HUBUNGAN PENERAPAN BUDAYA KERATON DENGAN AKHLAK SANTRI PONDOK PESANTREN NADWATUL UMMAH BUNTET PESANTREN CIREBON Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Disusun Oleh : Ahmad Yusuf Qurdhowi Nim : 109011000068
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
LEMBAR PENGESAHAN
HUBUNGAN PENERAPAN BUDAYA KERATON DENGAN AKHLAK SANTRI PONDOK PESANTREN NADWATUL UMMAH BUNTET PESANTREN CIREBON
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I) Disusun Oleh :
Ahmad Yusuf Qurdhowi NIM : 109011000068 Dibawah Bimbingan :
Drs. Rusdi Jamil, MA NIP. 1962 1231 19950 31 005
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK Nama Nim Fak/Jurusan Judul Skripsi
: Ahmad Yusuf Qurdhowi : 109011000068 : Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/Pendidikan Agama Islam : Hubungan Penerapan Budaya Keraton Terhadap Akhlak Santri di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Cirebon
Skripsi ini berjudul Hubungan Penerapan Budaya Keraton Terhadap Akhlak Santri di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Cirebon. Lingkup yang dijadikan penelitian penulis adalah sikap para abdi terhadap para sultan dan keluarga sultan. Tujuan dari penulisan skripsi adalah untuk mencari hubungan antara penerapan budaya keraton terhadap akhlak santri di pondok pesantren Nadwatul Ummah Cirebon. Penerapan budaya keraton seperti ini sangat jarang diterapkan dalam dunia pendidikan baik sekolah umum maupun dalam pendidikan pesantren sehingga perlu diketahui latar belakang serta pengaruhnya penerpan budaya keraton terhadap akhlak santri di pondok pesantren. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif yang dalam pelaksanaannya penulis mengadakan penelitian lapangan dengan cara menyebar angket kepada beberapa responden serta mengadakan obserfasi di pesantren yang menjadi tempat penelitian. Adapun hasil penelitian yang telah dilakukan penulis menunjukan bahwa antara penerapan budaya keraton dengan akhlak santri pondok pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon menunjukan adanya hubungan yang signifikan dengan hasil perhitungan yang menunjukan r hitung > r tabel (r hitung 0, 61 > r tabel 5% = 0, 273 / r hitung 0, 61 > r tabel 1% = 0, 354) yang artinya r hitung lebih besar (0, 61) dari r tabel 5% (0, 273) dan r tabel 1% (0, 354). Hal ini dikarenakan dengan adanya penerpan budaya keraton dapat membantu proses pendidikan di peantren terutama dalam pendidikan akhlak, dimana para santri mendapatkan pendidikan akhlak yang nyata melalui penerapan budaya keraton. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penerapan budaya keraton dengan akhlak santri di pondok pesantren Nadwatul Ummah, karena dengan penerapan buadaya tersebut dapat membantu proses pendidikan di pesantren.
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Illahi Rabbi yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini. Shalawat beriringan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi umat manusia. Skripsi ini berjudul Hubungan Penerapan Budaya Keraton terhadap Akhlak Santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon, merupakan tugas akhir yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I). Atas selesainya Skripsi ini, tidak terlepas dari bantuan serta doa dari berbagai pihak yang telah memberikan kontribusinya dalam rangka penyusunan dan penulisan Skripsi ini, untuk itu penulis menyampaikan ribuan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyusun skripsi ini. Yaitu : 1.
Kedua orang tua, yaitu Ahmad Junaedi dan Rianawati, S. Pd yang telah merawat dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang secara tulus, mendoakan dan mencukupi moril serta materil kepada penulis.
2.
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ibu Nurlena Rifa‘i MA, Ph. D, beserta seluruh staffnya.
3.
Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam bapak Bahrissalim, M.Ag dan seketaris Jurusan Pendidikan Agama Islam bapak Drs. Sapiuddin Shidiq, MA beserta seluruh staffnya.
4.
Bapak Drs. Rusdi Jami, MA yang telah sabar dan meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5.
Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah memberikan ilmunya dan membimbing kepada penulis selama menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga bapak dan ibu dosen selalu dalam
ii
rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat dikemudian hari. 6.
Dra. Shofiah, M.Ag sebagai dosen penasehat akademik, yang memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis, untuk menyelesaikan studi tepat waktu.
7.
Bapak pimpinan beserta para staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakulatas Tarbiyah dan Keguruan, atas segala kemudahan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan referensi yang mendukung penyelesaian skripsi ini.
8.
Pengasuh Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon Dr. KH. Luthfi El-Hakim, MA beserta keluarga besar Pondok Pesantren yang telah bersedia membantu penulis melakukan penelitian di Pesantren.
9.
Seluruh santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon yang telah bersedia membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir dengan mengisi angket yang telah disebarkan.
10. Seluruh teman-teman Jurusan Pendidikan Agama Islam yang selalu mensuport penulis serta memberikan masukan dalam menyelesaikan tugas akhir hingga skripsi ini selesai. Semoga bantuan yang telah diberikan dapat berbuah berkah dan pahala sehingga bermanfa‘at bagi penulis dan juga semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi. Dan semoga apa yang telah penulis hasilkan dari skripsi ini dapat bermanfa‘at bagi semua orang pada umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri. Amin ya Rabbal‘alamin.
Jakarta, 04 Mei 2014
Ahmad Yusuf Qurdhowi
iii
DAFTAR ISI COVER LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK .....................................................................................................i KATA PENGANTAR ...................................................................................ii DAFTAR ISI ..................................................................................................iv DAFTAR TABEL .........................................................................................vi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................vii BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................1 B. Identifikasi Masalah ...................................................................................4 C. Pembatasan Masalah ..................................................................................4 D. Perumusan Masalah ....................................................................................5 E. Tujuan Penelitian ........................................................................................6 F. Kegunaan Penelitian ...................................................................................6 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Deskripsi Teoritik ......................................................................................7 1. Budaya ..............................................................................................7 a. Pengertian Budaya ........................................................................7 b. Substansi (Isi) Budaya ..................................................................9 2. Keraton .............................................................................................10 a. Pengertian Keraton .......................................................................10 b. Unsur-unsur Keraton ....................................................................11 c. Budaya Keraton ............................................................................11 3. Pesantren ...........................................................................................14 a. Pengertian Pesantren ....................................................................14 b. Tujuan Pesantren ..........................................................................15 c. Elemen-elemen Pesantren ............................................................15 d. Kategorisasi Pesantren ..................................................................17 e. Pola Pesantren ..............................................................................18
iv
4. Akhlak ...............................................................................................19 a. Pengertian Akhlak ..........................................................................19 b. Ruang Lingkup Akhlak..................................................................20 1) Akhlak Seorang Anak Kepada Orangtua ..............................20 2) Akhlak Seorang Murid Kepada Guru ....................................23 B. Kajian Penelitian Terdahulu Yang Relevan ..............................................24 C. Kerangka Berfikir .......................................................................................27 D. Hipotesis Penelitian ....................................................................................29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................30 B. Metode Penelitian .......................................................................................30 C. Populasi Dan Sampel ..................................................................................31 D. Teknik Pengumpulan Data .........................................................................32 E. Tehnik Analisis Data ..................................................................................34 F. Hipotesis Statistik .......................................................................................36 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data .............................................................................................37 1. Penerapan Budaya Keraton ...............................................................37 2. Deskripsi Data Hasil Angket Penelitian ...........................................42 B. Pengujian Hipotesis Penerapan Budaya Keraton Terhadap Akhlak santri . C. Pembahasan Hasil Penelitian ......................................................................60 1. Interprestasi dan Pemaknaan Hasil Penelitian ..................................60 2. Keterkaitan Pola Perilaku Adab Abdi Dalem di Keraton dengan Akhlak Santri di Pesantren ................................................................62 3. Keterkaitan Hasil Penelitian dengan Penelitian Terdahulu ...............63 D. Keterbatasan Penelitian ..............................................................................64 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .................................................................................................67 B. Implikasi Penelitian ....................................................................................68 C. Saran ...........................................................................................................68 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................70 LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
59
Daftar Tabel Tabel 1 Kisi-kisi angket Tabel 2 Penskoran angket positif Tabel 3 Penskoran angket Negatif Tabel 4 deskripsi angket no. 1 Tabel 5 deskripsi angket no. 2 Tabel 6 deskripsi angket no. 3 Tabel 7 deskripsi angket no. 4 Tabel 8 deskripsi angket no. 5 Tabel 9 deskripsi angket no. 6 Tabel 10 deskripsi angket no. 7 Tabel 11 deskripsi angket no. 8 Tabel 12 deskripsi angket no. 9 Tabel 13 deskripsi angket no. 10 Tabel 14 deskripsi angket no. 11 Tabel 15 deskripsi angket no. 12 Tabel 16 deskripsi angket no. 13 Tabel 17 deskripsi angket no. 14 Tabel 18 deskripsi angket no. 15 Tabel 19 deskripsi angket no. 16 Tabel 20 deskripsi angket no. 17 Tabel 21 deskripsi angket no. 18 Tabel 22 deskripsi angket no. 19 Tabel 23 deskripsi angket no. 20 Tabel 24 deskripsi angket no. 21 Tabel 25 deskripsi angket no. 22 Tabel 26 Indeks Korelasi variabel X dan variabel Y Tabel 27 Indeks Korelasi Product Moment
vi
Daftar Lampiran Lampiran 1 angket penelitian Lampiran 2 pedoman wawancara Lampiran 3 pedoman wawancara Lampiran 4 pedoman wawancara Lampiran 5 pedoman observasi Lampiran 6 hasil penentuan sampel Lampiran 7 hasil hitungan validitas instrumen variabel X Lampiran 8 hasil hitungan validitas variabel Y Lampiran 9 hasil uji reliabilitas Variabel X Lamppiran 10 hasil uji reliabilitas Variabel Y Lampiran 11 data mentah hitungan variabel X Lampiran 12 data mentah htungan variabel Y Lampiran 13 hasil analisis deskriptif Lampiran 14 photo hasil penelitian Lampiran 15 profil pesantren Lampiran 16 surat izin penelitian Lampiran 17 surat keterangan pesantren Lampiran 18 hasil uji referensi Lampiran 19 hasil uji referensi Lampiran 20 hasil uji referensi Lampiran 21 data pribadi penulis
vii
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. Keberadaan pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk di Negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum datangnya Islam. Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama hidup di Negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar dalam membangun pendidikan agama di Indonesia. Pesantren tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh nasional yang berpengaruh tapi juga di akui telah berhasil membangun watak tersendiri, dimana bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam selama ini dikenal sebagai bangsa yang penuh tenggang rasa. Kendatipun demikian, dalam perjalanan sejarahnya yang panjang pondok pesantren mengalami dinamika yang luar biasa. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari berbagai konteks yang melatar belakanginya. Diantara hal-hal yang melatarbelakanginya adalah; pertama, fenomena tuntutan dan harapan masyarakat yang cukup besar terhadap lembaga pendidikan Islam, seumpama dengan tercerminnya animo masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya kelembaga pendidikan Islam karena dianggap lebih aman dari sisi moral. Kedua, adanya tuntutan dari pengguna jasa terhadap lembaga penddidika Islam. Ketiga, adanya tuntutan era reformasi yang memberi peluang otonomsasi pendidikan tingkat kabupaten.1 Keempat, semakin berkembangnya kemajuan tehnologi dan informasi yang terdapat pada masyarakat luas, yang akhirnya menuntut suatu lembaga agar terus berkembang maju menngikuti permintaan zaman. Proses sejarah pesantren
yang mengalami
dinamika transformasi
memunculkan ideologi serta sistem pesantren yang berbeda-beda, hal ini tergambarkan dari munculnya model atau tipe pesantren-pesantren 1Amin
yang kini
Haedari, Transformasi Pesantren Pengembangan Aspek Pendidikan, keagamaan,
dan Sosial, (Jakarta: LeKDIS & Media Nusantara, 2006), h. 7-8
2
banyak berkembang, diantanya adalah; 1. Podok Pesantren Tradisional yang masih mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ulama abad ke 15 dengan menggunakan Bahasa Arab dengan menggunakan metode halaqoh yang dilaksanakan di masjid atau surau. 2. Pondok Pesantren Modern, dimana pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe pesantren karena orientasi belajarnya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan sistem belajar tradisional. 3. Pondok Pesantren Komprehensif, disebut komprehensif karena merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara tradisional dan modern.2 Tuntutan zaman yang semakin hari semakin terus berkembang maju telah mendorong pesantren untuk bergerak dinamis dalam menjalankan perannya sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas tinggi. Seperti halnya Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet pesantren Cirebon, pesantren yang menjadi fokus penulis dalam penulisan skirpsi ini. Pesantren Nadwatul Ummah mengalami perubahan yang dinamis mulai dari sistem pembelajaranya hingga sistem sosial yang diberlakuakan dalam lingkungan pesantren. Pesantren
Nadwatul
Ummah
pada
dasarnya
adalah
pesantren
salafi/tradisional yang dalam sistem pembelajarannya masih menggunakan metode wetonan, sorogan dan hafalan. Seiring dengan berkembanganya zaman serta berubahnya kondisi masyarakat, pesantren Nadwatul Ummah merubah sistem pembelajaran dengan menggunakan sistem kelas dan metode pembelajaran yang lebih berpariasi. Kendatipun demikian metode-metode lama seperti wetonan, sorogan, dan hafalan masih tetap dipakai karena metode tersebut dianggap cocok dan sesuai dalam proses pembelajaran di pesantren. Selain itu pula, pesantren Nadwatul Ummah dalam sistem sosial yang diberlakukan di pesantren menerapkan sistem yang tidak biasa diterapakan dalam dunia pendidikan di pesantren pada umumnya. Pesantren Nadwatul Ummah menerapkan sistem sosial budaya yang sama dengan sistem sosial di keraton.
2
M. Bahri Ghazali, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan Kasus Pondok
Pesantren An-Nuqoyah, (Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 2001) h. 14 -15
3
Dimana para santri diibaratkan sebagai abdi dalem yang mengabdi kepada sultan/raja disebuah kerajaan/keraton. Dalam pola kehidupan dan kebudayaan seperti ini, santri dibaratkan seorang abdi dalem yang mengabdikan dirinya terhadap guru/kiyai yang memimpin pesantren untuk menimba ilmu dipesantren. Sama halnya seorang abdi dalem, santri haruslah tunduk dan patuh terhadap guru/kiyai serta keturunan dan juga kerabatnya. Sistem sosial budaya seperti ini menjadi wajib untuk diterapkan dalam kegiatan sehari-hari. Dan bagi santri yang tidak menerapkan pola seperti ini dianggap sebagai santri yang tidak beradab dan tak tahu sopan santun. Hal semacam ini terus berlaku baik ketika santri berada di ligkungan pesantren ataupun bagi santri yang tidak lagi menetap dipesantren/sudah selesai menimba ilmu dipesantren, karena hal ini menjadi barometer bagi setiap santri dalam melanjutkan perannya sebagai agen of change. sistem yang diterapkan di pesantren Nadwatul Ummah nyata telah menjelaskan bahwa akulturasi budaya pesantren dengan budaya lokal merupakan proses negosiasi antara tradisi dan Islam, membentuk budaya baru pesantren. Hal ini disebabkan karena Islam dipahami tidak pernah membangun relasi oposisional dengan adat dan budaya lokal. Islam yang dibawa, diantaranya oleh ―Walisongo‖ , telah berkolaborasi dengan budaya Jawa dan menjadi Islam Jawa yang memiliki karakterisitik khas Jawa. Islam Jawa yang memiliki mengartikulasikan keislamannya melalui smbol-simbol dan tradisi Jawa. Dengan sentuhan ilmu dan teknologi modern, pesantren juga berakulturasi dengan peradaban modern dan membentuk simbol-simbol tradisi Jawa Islam modern.3 Hubungan pesantren dengan tradisi serta kepercayaan lain tidak statis karena selalu mengalami pasang surut. Bagaimanapun doktrin Islam perlu diperkenalkan, terutama yang berkaitaan dengan penegakan iman dan amal saleh yakni penegakan moralitas atau etika sosial. Penekanan pada ajaran moral sebagaimana yang diajarkan dalam tasawuf seperti yang berkembang dipesantren
3
Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender),
(Purwokerto, STAIN Purwokerto Press, 2007) h. 121
4
tradisional/salafi yang memiliki impilkasi sosial yang sangat besar.4 Untuk itulah pengadopsian budaya keraton di pesantren ini dinilai tepat demi membangun nilai-nilai moral sosial yang sesuai dengan syari‗at agama, karena pada masa kini proses pendidikan yang berlaku di Indonesia telah melupakan hal terpenting dalam dunia pendidikan yaitu pendidikan moral atau pendidikan akhlak yang berperan penting dalam pembentukan moral bangsa. Dengan memperhatikan hal tersebut, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis tertarik untuk meneliti dan membahas tentang ―Hubungan Penerapan Budaya Keraton Dengan Akhlak Santri di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon‖ . B. Identifikasi Masalah Berkaitan dengan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai berikut : 1.
Ketepatan sistem pendidikan Pesantren yang menerapkan sistem sosial budaya keraton terhadap pola kehidupan santri di pesantren.
2.
Ketepatan sistem pendidikan Pesantren yang menerapkan sistem sosial budaya keraton dalam membentuk akhlak santri di pesantren.
C. Pembatasan Masalah Demi tidak akan munculnya kerancuan serta meluasnya pembahasan dalam skirpsi ini, maka pembahasan ini akan di batasi dengan persoalan sebagai berikut : 1.
Penerapan budaya keraton dalam skirpsi ini dibatasi pada sikap/akhlak abdi dalem terhadap sultannya. Dimana sikap/akhlak abdi dalem merupakan salah satu unsur budaya yang berbentuk sistem sosial sebagaimana yang dikatakan Koentjaraningrat bahwa sistem sosial termasuk dalam bentuk kebudayaan yang berwujud aktivitas, tingkah laku berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritual-ritual yang wujudnya lebih
4
M. Darwan Rahardjo, Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: Pustakan LP3ES
Indonnesia, 2007) h. 43
5
konkret dan dapat di amanati.5 Adapun aspek yang akan diteliti dalam penulisan skripsi ini adalah tingkah laku berpola dan perilaku dalam wujud berupa sikap unggah-ungguh abdi dalem dalam lingkungan keraton yang meliputi : a. Cara berjalan abdi dalem di lingkungan keraton b. Cara sembah abdi dalem kepada sultan/raja c. Cara duduk abdi dalem ketika menghadap sulatan/raja d. Cara abdi dalem jalan jongkok/nglesot, dan e. Cara abdi dalem berbicara dengan sultan/raja. 2.
Akhlak yang dimaksud dalam skripsi ini adalah akhlak santri kepada Guru dan orangtua ketika berada di lingkungan Pondok Pesantren Nadwatul Ummah. Akhlak yang dimaksud disini adalah sikap/etika santri ketika berhadapan dengan guru dan kedua orangtuanya di lingkungan pesantren. Adapun aspek yang akan diteliti dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Sikap santri ketika menghadap guru dan orangtua b. Sikap santri ketika berbicara dengan guru dan orangtua c. Sikap santri ketika melayani guru dan orangtua d. Sikap santri ketika berada di lingkungan pesantren, dan e. Sikap santri ketika menyambut kedatangan guru dan orangtua.
D. Perumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah, maka perumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Bagaimana penerapan adab abdi dalem yang di terapkan kepada santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon? 2. Bagaimana adab santri terhadap Guru dan Orangtua di lingkungan Pondok Pesantren?
5Jalaludin,
Psikologi Agama Memahami Prilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-
Prinsip Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012) h. 227
6
3. Apakah terdapat hubungan yang sigifikan antara penerapan Budaya Keraton dengan akhlak santri di pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon? 4. Apakah terdapat kesamaan pola perilaku antara sikap abadi dalem terhadap Sultan/Raja dengan pola perilaku santri terhadap Guru dan Orangtua? E. Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui efektivitas Penerapan Budaya Keraton terhadap Akhlak Santri di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon. F. Kegunaan Penelitiian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah : 1. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat bermanfa‗at bagi peningkatan mutu sistem pembelajaran di pesantren, sehingga dapat meningkatkan kualitas belajar santri. 2. Sebagai sumber informasi ilmiah yang dapat dijadikan referensi untuk peningkatan mutu dan kulitas pelajar. Khususnya para santri di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon. 3.
Dapat dijadikan dasar alternatif dalam membuat kebijakan-kebijakan sistem di pesantren.
7
BAB II Kajian Teori A. Deskripsi Teoritik 1. Budaya a. Pengertian Budaya Budaya pada dasarnya merupakan nilai-nilai yang muncul dari proses interaksi antar individu. Nilai-nilai ini diakui, baik secara langsung maupun tidak, seiring dengan waktu yang dilalui dalam interaksi tersebut. Bahkan terkadang sebuah nilai berlangsung di alam bawah sadar indvidu dan diwariskan pada generasi berikutnnya. Budaya/kebudayaan
merupakaan hasil yang dilakukan manusia yang
berupa material maupun non material yang dapat dinikmati baik berupa ilmu pengetauan, ataupun norma keyakinan serta kerinduan akan keindahan dan menolak kejelekan atau dengan singkat kata bahwa budaya adalah resultan dari cipta, karsa dan rasa.6 Kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingah laku maka kebudayaan cenderung menjadi sebuah tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi adalah suatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dengan kehidupan masyarakatnya, dan tradisi masyarakat merupakan norma yang terbentuk dari bawah hingga sulit diketahui sumber asalnya.7 Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sansakerta budhayah yaitu jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan kata cultuur, dalam bahasa Latin, berasal dari kata colera. Colera berarti
6
D. Soenarto, Kesetiaan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, (Yogyakarta,
Kepel Press, 2013) h. 37 7
Jalaludin, op. cit., h. 223
8
mengolah,
mengerjakan,
menyuburkan, mengembangkan
tanah
(bertani).
Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mmengolah dan mengubah alam. Berikut pengertian budaya atau kebudayaan : Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, milik diri manusia belajar. Selo
Soemardjan
dan
Soelaeman
Soemardi,
mengatakan
bahwa
kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. R. Linton, kebudayaan dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, di mana unsur pembentukannya didukung dan diteruskan oleh anggota masyarakat lainnya.8 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya diartikan; pikiran, akal budi, adat istiadat, sesuatu yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju) dan sesuatu yanng sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah.9 Secara pendekatan teori misalnya dalam tradisi antropologi, Cliffort Geerzt mengartikan budaya sebagai nilai yang secara historis memiliki karaterisrik tersendiri dan bisa dilihat dari simbol-simbol yang muncul. Sementara dalam pendekatan etnografi, budaya diartikan sebagai konstruksi sosial maupun historis yang mentransmisikan pola-pola tertentu melalui simbol, pemaknaan, premis, bahkan tertuang dalam aturan. Adapun menurut Marvin Harris mendefinisikan kebudayaan sebagai berbagai pola tingkah laku yang tidak bisa dilepaskan dari ciri khas kelompok masyarakat tertentu misalnya adat istiadat.10
8
Elly M. Setiadi, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial & Budya Dasar Edisi
Kedua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) h. 27-28 9
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001) h. 169 10
Rulli Nasrullah, Komunikasi Antar Budaya di Era Budaya Siber, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2012) h. 15-17
9
Dengan demikian budaya atau kebudayaan merupakan pola tingkah laku ataupun kegiatan manusia yang menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik dalam segi material maupun non material. b. Substansi (isi) Kebudayaan Substansi (isi) utama kebudayaan merupakan wujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan di dalam masyarakat yang memberi jiwa kepada masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk ataupun berupa sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup, kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan. 1) Sistem Pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk hidup sosial merupakan suatu akumulasi dari perjalanan hidupnya dalam hal berusaha memahami, alam sekitar, alam flora dan fauna di daerah tempat tinggal, zatzat bahan mentah dan benda-benada dalam lingkungan, tubuh manusia, sifat dan tingkah laku sesama manusia, ruang dan waktu. 2) Nilai, adalah sesuatu yang selalu diinginkan, dicita-citakan dan dianggap penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu sesuatu dikatakan memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai-moral atau etis), religius (nilai agama). 3) Pandangan hidup merupakan pedoman bagi suatu bangsa atau masyarakat dalam menjawab atau mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya. 4) Kepercayaan yang mengandung arti lebih luas daripada agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 5) Persepsi atau sudut pandang ialah suatu titik tolak pemikiran yang tersusun dari seperangkat kata-kata yang digunakan untuk memahami kejadian atau gejala dalam kehidupan. 6) Etos Kebudayaan berasal dari bahasa Inggris yang berarti watak khas. Etos sering nampak pada gaya perilaku warga misalnya, kegemaran-kegemaran
10
warga masyarakatnya, serta sebagai benda budaya hasil karya mereka, dilihat dari luar oleh orang asing.11 Sementara menurut Koentjaraningrat membedakan antara bentuk dan isi kebudayaan, menurutnya bentuk kebudayaan terdiri atas 3 bagian yaitu : 1) Sistem Kebudayaan, yang berwujud gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai budaya, norma-norma, pandangan-pandangan yang bentuknya abstrak serta dalam pikiran para pemangku kebudayaan yang bersangkutan. 2) Sistem Sosial, yang berwujud aktivitas, tingkah laku berpola, perilaku, upacara-upacara serta ritual-ritual yang wujudnya lebih konkret. Sistem sosial adalah bentuk kebudayaaan dalam wujud yang lebih konkret dan dapat diamati. 3) Benda-benda Budaya disebut juga sebagai kebudayaan fisik atau kebudayaan materil. Benda budaya merupakan hasil tingkah laku dan karya pemangku kebudayaan yang bersangkutan. Selanjutnya, isi kebudayaan menurutnya terdiri atas 7 unsur yaitu: bahasa, sistem-tehnologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian.12 2. Keraton a. Pengertian Keraton Keraton dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tempat kediaman ratu dan raja; istana raja; kerajaan.
13
Dalam keseharian keraton
difungsikan sebagai tempat peristirahatan bagi ratu dan raja serta keturunannya. Pada umumnya orang-orang yang berdomisili di keraton adalah orang-orang yang memiliki keturunan darah biru/bangsawan/kerajaan terdahulu yang pernah berkuasa di suatu daerah. Keraton merupakan pusat kepemerintahan bagi sebuah daerah, namun dengan seiringnya waktu fungsi tersebut semakin sirna sehubugan dengan sistem keperintahan di Indonesia yang menganut sistem Replubik. 11
Setiadi, op. cit., h. 31-33
12
Jalaludin, op. cit., h. 226-227
13
Nasional, op. cit., h. 551
11
b. Unsur-unsur Keraton 1) Sultan Sultan secara bahasa diartikan Raja, Baginda, Johor.14 Istilah sultan sering terdengar dalam kerajaan-kerajaan Islam terdahulu dimana seorang sultan menempati kedudukan paling tinggi dalam sebuah kerajaan. Kedudukan sultan hanya dapat diduduki secara garis keturunan/kekerabatan dari sultan-sultan sebelumnya yang telah menjadi raja. 2) Abdi Dalem Abdi dalem atau dalam kata lain adalah pegawai, dalam definisinya berarti seorang yang memiliki tugas untuk bekerja dan mengabdi. Sedangkan jika berbicara mengenai abdi dalem, pada dasarnya memiliki definisi yang sama yakni seorang pekerja/pegawai, hanya saja istilah abdi dalem sebutan untuk mereka yang mengabdikan dirinya kepada keraton.15 Sebagai pegawai, pejabat pemerintah, merasa belum pantas apabila belum mendapatkan gelar abdi dalem. Kesetiaan abdi dalem dalam melayani keraton dilatar belakangi oleh kesadaran akan jati dirinya sebagai orang Jawa untuk mempertahankan dan memelihara budaya yang dimiliki. Selain itu, abdi dalem ingin menceburkan diri untuk lebih dekat dengan keraton agar tahu budaya keraton yang mengandung ajaran yang adiluhung untuk dikembangkan ke anak, saudara keluarga, bahkan kepada wawangsanya (etnis) agar memiliki etika, moral, dan kenangan hidup lebih baik, sekaligus ingin kedudukan spiritual di masyarakat.16 3) Alun-alun Pada awalnya Alun-alun merupakan tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah (sabda) raja kepada kawula (rakyat), pusat perdagangan rakyat, juga hiburan seperti Rampokan macan yaitu acara yang menarik dan paling mendebarkan yaitu
14
Nasional, op. cit.,h. 1100
15
Gelar S. Ramdani. Pengertian Abdi Dalem, 2012, (kompaasiana.com)
16
Soenarto, op. Cit., h. 6-7
12
dilepaskannya seekor harimau yang dikelilingi oleh prajurit bersenjata. Namun seiring berkembangnya zaman, kini alun-alun merupakan suatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan masyarakat yang beragam.17 c. Budaya Keraton 1) Tatakrama Abdi Dalem a) Sembah Menyembah merupakan penghormatan kepada pihak lain, baik kepada pemimpin (Raja), kepada orangtua atau orang yang dituakan yang patut mendapat penghormatan. Adapun cara menyeembah adalah dengan meenangkapkan kedua telapak tangan secara rapat ibu jari ketemu ibu jari, masing-masing jari bersatu, kemudian diangkat dengan ibu jari mengenai hidung. Menyembah dilaksanakan dengan duduk bersila, jongkok, atau berdiri. b) Duduk Bersila Cara duduk bersila diatur dengan maksud sebagai perwujudan sikap sopan dan tertib. Adapun pelaksanaannya sebagi berikut : Telapak kaki kanan berada di bawah depan kaki kiri, telapak kaki kiri disisipkan diantara paha dengan betis kaki kanan. Tumit kaki kanan di bawah betis kaki kiri, telapak kaki kiri maupun kanan menghadap ke atas. Kain dan witon menutup kedua kaki kanan dan kaki kiri. Tangan kanan dan tangan kiri menutup di depan kedua kaki yang disebut ngapurancang. Punggung tegak dada ke depan, kepala tegak, pandangan tetap lurus tidak dibiarkan melirik kiri maupun kekanan, jarak pandang kurang lebih 5 meter dari tempat duduknya, tetapi hati tetap tenang tidak tertekan santai. c) Duduk di Kursi Cara duduk di kursipun di lingkungan Keraton diatur untuk tertib dan sopan, kaki kiri dan kanan tidak saling tumpang, tetapi sejajar dan menapak di lantai. Tangan kiri dan tangan kanan di depan pangkuan, badan tegak, dada ke
17
Sukawi ,Pengertian Alun-alun, 2013, (Loenpia. net)
13
depan sedikit, kepala tegak pandangan lurus ke depan kurang lebih 5 meter, tidak banyak toleh kanan dan kiri. d) Cara Berjalan Berjalan dilingkungan Keraton juga diatur baik berjalan biasa maupun jalan jongkok atau menggunakan pantat (nglesot). Cara berjalan biasa, tangan kiri memegang lipatan kain (wiron), sedangn tangan kanan melambai biasa, tidak sraweyan ke kanan ke kiri. Pandangan tetap ke depan tidak tolah toleh ke kanan dan ke kiri, berjalan selalu mengambil di pinggir. Kalau berjalan bersama tidak boleh bergerombol tetapi harus urut (seperti orang antre), dan tidak diizinkan ngobrol, ngomong tidak perlu seyogyanya diam. Bila bicara harus berhenti dulu. Di dalam keraton tidak diperkenankan memakai alas kaki baik sepatu atau sandal (canela). Bila hujan diizinkan memakai payung. Bila payung satu untuk berdua tidak dibenarkan satu orang memayungi yang lain tetapi harus masingmasing memegang tangkainya. Sedang untuk jalan jongkok dan jalan pantat hanya dibangsal yang sudah ditentukan acaranya. e) Bahasa Bahasa yang digunakan di lingkungan keraton menggunakan bahasa campuran antara krama inggil, krama madya dan ngoko, disebut bahasa bagongan. Penggunaan bahasa Bagongan ini dimaksudkan agar hubungan antar sesama abdi dalem maupun dengan para Pangeran serta keluarga tanpa memperlihatkan pangkat dan gelar sehingga akan lebiih akrab, lebih demokratis, kecuali dengan Raja tetap menggunakan bahasa Krama inggil. 18 Penggunaan bahasa krama Inggil bagi abdi dalem kepada rajanya merupakan bentuk memulyakan Raja sebagai orang nomer satu di wilayah keraton atau kerajaan, karena bahasa krama inggil merupakan bahasa dengan kasta tertinggi dalam penggunaan bahasa Jawa yang penggunaan bahasanya digunakan untuk menghormati orang yang lebih tua atau orang yang lebih tinggi kedudukannya.19
18
Soenarto, op. cit., 51- 54
19
Roqib, op. cit., 45
14
3. Pesantren a. Pengertian Pesantren Pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe- dan akhiran –an yang berarti tempat tinggal santri. Sedang C. C, Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India diartikan orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu.20 Sebelum tahun 1960-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Indonesia lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata Arab, funduq, yang artinya hotel atau asrama. Terlepas dari usul-usul kata itu berasal dari mana, yang jelas ciri-ciri umum keseluruhan pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia, yang pada saat ini merupakan warisan kekayaan bangsa Indonesia yang terus berkembang.21 Dalam pengertian lain, pesantren diartikan sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan leadership seorang atau beberapa orang kiyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal.22 Dengan demikian pesantren merupakan bentuk pola pendidikan murni yang lahir di Indonesia yang khusus mempelajari pelajaran-pelajaran agama dengan bentuk pembelajaran kitab-kitab klasik dan para santri yang menetap tinggal disebuah asrama atau pondok. Hingga kini pola pendidikan di Pesantren terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan animo masyarakat yang terus maju, sehingga perkembangan pesantren di zaman sekarang telah memasuki era pembaharuan dalam dunia pesantren. 20
Babun Suharto, Dari Pesantren Untuk Umat, (Surabaya, IMTIYAZ, 2011) h. 9
21
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 2011) h. 41
22
Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi
Institusi, (Jakarta, Erlangga, 2009) h. 2
15
b. Tujuan Pesantren Tujuan berkepribadian
umum
pesantren
Muslim
sesuai
adalah dengan
membina
warga
ajaran-ajaran
negara
agama
agar
Islam
dan
menanamkan rasa keagamaan tersebut pada setiap segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara. Adapun tujuan khusus pesantren adalah sebagai berikut : 1) Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi seorang Muslim yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, keterampilan dan sehat lahir batin sebagai warga negara yang baik. 2) Mendidik siswa/santri untuk menjadikan manusia Muslim selaku kader-kader ulama dan mubaligh yang berjiwa ikhlash, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan sejarah Islam secara utuh. 3) Mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan mempertebal semangat
kebangsaan
agar
dapat
menumbuhkan
manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggung jawab kepada pembangunan bangsa dan negara. 4) Mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan mikro (keluarga) dan regional (pedesaan/masyarrakat lingkungannya) 5) Mendidik siswa/santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor pembangunan, khususnya pembangunan mental-spriritual. 6) Mendidik siswa/santri untuk membantu mmeningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat bangsa.23 c. Elemen-elemen Pesantren 1) Pondok Pondok, asrama bagi para santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negaara lain.Pentingnya
23
Ibid., h. 6-7
16
pondok pesantren sebagai asrama para santri tergantung pada jumlah santri yang datang dari daerah-daerah yang jauh. Pondok tempat tinggal santri merupakan elemen yang paling penting dari tradisis pesantren, tapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang. 2) Masjid Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dari pesantren dan diaanggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang jum‗at serta pegajaran kitab-kitab klasik. Kedudukan masjid
sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren
merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional dengan kata lain, kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat pada masjid sejak Masjid Qubba didirikan oleh Nabi Muhammad SAW tetap terpencaar dalam sistem pesantren. 3) Pengajian Kitab-kitab Klasik Islam Pada masa lalu, pengajaran kitab Islam klasik, terutama karangankarangan ulama menganut faham Syafi‗i, merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Tujuan utamanya adalah untuk mendidik calon-calon ulama. Sekarang kitab-kitab klasik yang diajarkan dipesantren digolongkan kedalam 8 kelompok jenis pengetahuan yaitu, nahwu dan shorof, fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf, dan cabang-cabang lain seperti tarikh dan balagah. Kitab—kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek sampai teks yang berjilid-jilid yang kesemuanya dapat digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu : kitab dasar, kitab tingkat menengah dan kitab tingkat tinggi. 4) Santri Santri adalah siswa yang belajar dipesantren, santri disetiap pesantren dapat digolongkan menjadi dua bagian, yakni :
17
a) Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. b) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren, biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren mereka berangkat dari rumah dan kembali lagi kerumahnya tanpa menetap di pesantren. 5) Kiyai Kiyai merupakan elemen paling esensial dari suatu pesantren. Ia sering kali bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung pada kemampuan pribadi kiyainya. Menurut asal-usulnya, perkataan kiyai dipakai untuk ketiga jensi gelar yang saling berbeda : 1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat. 2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya. 3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan kitabkitab Islam klasik kepada para santrinya.24 d. Kategorisasi Pesantren Menurut Zamakhsyari Dhofier tipe pesantren terbagi mennjadi 2 kelompok besar yaitu : 1. Tipe lama (klasik), yang inti pendidikannya mengajarkan kitab-kitab Islam klasik.
Walaupun
sistem
madrasah
diterapkan,
tujuannya
untuk
mempermudah sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama. Tipe ini tidak mengenaalkan pengajaran pengetahuan umum. 2. Tipe baru (modern) yaitu mendirikan sekolah-sekolah umum dan madrasah-madrassah
24
Dhofir, op. cit., h. 79-93
yang
mayoritas
mata
pelajaran
yang
18
dikembangkannya bukan kitab-kitab Islam klasik. Sekalipun kitab-kitaab klasik tetap dipertahankan namun porsi pengajarannya tidak memadai.25 Selain itu, Zamakhsyari Dhofier juga membagi 3 kelompok besar pesantren sesuai dengan jumlah banyak sedikitnya sntri yaitu : 1.
Pesantren yang tergolong kecil biasanya mempunyai jumlah santri dibawah 1.000 dan pengaruhnya tebatas pada tingkat kabupaten.
2.
Pesantren menengah biasanya
memiliki santri antara 1.000 sampai
2.000, dan memiliki pengaruh dan menarik santri-santri dari beberapa kabupaten 3.
Pesantren besar biasanya memiliki santri lebih dari 2.000 yang berasal dari berbagai kabupaten dan provinsi.26
e. Pola Pesantren Yang dimaskud pola pesantren adalah sebuah bentuk dan sistem kepesantrenan yang djalankan oleh sebuah pesantren. Adapun pola-pola pesantren adalah sebagai berikut : 1) Pola 1 terdiri dari Masjid dan rumah kiyai. Bentuk pesantren ini masih bersifat sederhana, diamana kiyai menggunakan masjid sebagi sarana pendidikan. Santri yang datang ke pesantren pola ini biasanya hanya santri yang tinggal disekitar pesantren dan metode pembelajaran yang diguakan adalah wetonan dan sorogan. 2) Pola 2, terdiri dari Masjid, rumah kiyai, dan pondok. Pola pesantren semacam ini telah memiliki pondok atau asrama yang disediakan bagi santri-santri yang datang dari tempat yang jauh. Metode pembelajaran adalah wetonan dan sorogan. 3) Pola 3, terdiri dari masjid, rumah kiyai, pondok, dan madrasah. Pesantren yang telah memiliki madrasah seperti ini sudah mulai menggunakan sistem klasikal dalam metode pembelajarannya. Dimana santri yang tinggal bisa sekolah dimadrasah, begitu juga santri yang berasal dari wilayah sekitar pesantren.
25
Dhofir, op. cit., h. 76
26
Dhofir, op. cit., h. 79
19
4) Pola 4, terdiri dari masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan. Pola semacam ini menunjukan kemajuan pesantren dalam mengeembangkan
metode pembelajaran
dengan
disediakannya tempat
keterampilan untuk mmembantu mengembangkan sikomotorik pada santri. 5) Pola 5, terdiri dari masjid, rumah kiyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga, dan sekolah umum. Dalam pola ini pesantren sudah dapat digolongkan pesantren yang mandiri dan modern karena keelengkapan sarana dan prasarananya demi membantu kemajuan santri dalam mengembangkan potensi dirinya.27 4. Akhlak a. Pengertian Kata akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari kosakata bahasa Arab (akhlaq) yang merupakan bentuk jamak dari kata (Khuluq) yang berarti assajiyyah (perangai), at-tabi‟ ah (watak), al- „adah (kebiasaan atau kelaziman), dan ad-din (keteraturan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Akhlak diartikan; budi pekerti dan kelakuan.28 Jadi menurut kebahasaan kata akhlak mengacu kepada sifat-sifat manusia secara universal, perangai, watak, kebiasaan, dan keteraturan. Menurut Ibnu Manzur, akhlak pada hakikatnya adalah dimensi esetoris manusia yang berkenaan dengan jiwa, sifat, dan karakteristiknya secara khusus, yang hasanah (baik) maupun yang qabihah (buruk).29 Dalam kitab Al-Ta‟ rifat akhlak jamak dari kata khuluq diartikan sebagai tingkah laku manusia yang dilakukan atau dikerjakan secara spontan tanpa ada usaha untuk berfikir maupun perencanaan terlebih dulu. Apabila perbuatan itu memunculkan perbuatan buruk maka hal tersebut dinamakan dengan akhlak yang
27
Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007) h. 66 28
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat,
(Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008) h. 27 29
Perpustakaan Nasional RI, Etika Berkeluarga Bermasyarakat dan Berpolitik, (Jakarta,
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‗an, 2009) h. 1-2
20
buruk, dan apabila perbuatan itu memunculkan perbuatan baik yang sesuai akal dan syari‗at maka hal tersebut dinamakan dengan akhlak yang baik.30 Dengan demikian pengertian akhlak mengacu pada sifat manusia secara umum tanpa melihat perbedaan jenis antara laki-laki maupun perempuan, oleh karenanyalah akhlak terbagi atas dua bagian yaitu al-akhlaqul hasanah (akhlak yang baik) danal-akhlaqul mahmudah (akhlak yang buruk.) Dalam pengertian lain akhlak adalah sifat yang tertanam di dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan baik atau buruk tanpa membutuhkan pemikiran atau pertimbangan. Ibnu Maskawaih sebagai pakar dibidang akhlak mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.31 Karenanya akhlak secara kebahasaan bisa baik atau buruk tergantung kepada nilai yang dipakai sebagai landasannya, meskipun secara sosiologis di Indonesia kata akhlak sudah mmengandung konotasi baik, jadi orang yang berakhlak berarti orang yang berakhlak baik.32 Allah SWT berfirman : “(agama Kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu. (Q.S. AsySyu‗ara : 137)‖ b. Ruang Lingkup Akhlak 1) Akhlak Seorang Anak Kepada Orangtua a) Berbakti Kepada Orangtua Diantara sifat orang muslim yang menonjol adalah berbakti dan berbuat baik kepada orangtua. Berbakti dan mentaati keduanya selama keduanya tidak
30
‗Ali Ibn Muhammad Al-Jarjani, ت اف يزع ت ال, (Al-Haramain, Jeddah) h. 101
31
Heny Narendrani Hidayati, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa, (Jakarta, UIN
Press, 2009) h. 7 32
Abu Ahmadi, Noor Salimi, MKDU Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk
Perguruan Tinggi, (Jakarta, Bumi Aksara, 2004)cet. Ke-4, hal. 198
21
menyuruh berbuat dosa dan memutus silaturrahmi33. Rasulullah SAW bersabda:
―Diceritakan kepada kami abu al-Walidi Hisyam bin ‗Abdul Milki berkata diceritakan kepada kami Syu‗bah berkata al-Walidi bin al-‗Izaz mengabarkan kepada saya berkata saya mendengarkan aba Umar dan Syaiban berkata diceritakan kepada kami bahwa pemilik rumah ini mengisyaratkan kepada Abdullah, berkata ―Aku bertanya kepada Nabi SAW, perbuatan apakah yang paling dicintai Allah ? beliau menjawab ―Melakukan shalat pada waktunya‖ kemudian apa ? Tanyaku. Beliau menjawab ―berbakti kepada orangtua‖ Aku bertanya, kemudian apa? Beliau menjawab ―Jihad di jalan Allah‖ . (HR. AlBukhori). b) Berbuat Baik Kepada Orang yang Dicintai Orangtua Bimbingan dan petunjuk Islam tidak hanya tertuju pada berbuat baik kepada orangtua saja, melainkan Islam juga memerintahkan untuk berbuat baik kepada orang yang dicintai orangtua. Dari Ibn Umar R. A dia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah SAW Bersabda :
―Sesungguhnya bakti yang paling baik adalah jika seorang laki-laki menyambung tali persaudaraan orang yang dicintai ayahnya. (H. R. Muslim)‖ c) Cara Berbakti dan Berbuat Baik kepada Orangtua Orang muslim yang telah mendapatkan didikan dan bimbingan Islam akan menjadi orang yang benar-benar berbakti kepada orangtuanya. Dia selalu 33
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Adab & Akhlak Penuntut Ilmu, (2010, Pustaka At-
Taqwa, Bogor), h. 56 34
Abdullah bin Muhammad bin Isma‗il Al-Bukhori, Matan al-Bukhari, (t.t, Al-Haramain,
Jeddah), h. 102 35
Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, (2008, Dar-Alkitab, Lebanon), h. 412
22
memberikan penghormatan dan memuliakan keduanya, berdiri jika keduanya berdiri dari tempat duduknya dan menundukan kepala sambari mencium kedua tangannya, tidak mengangkat suara dihadapannya sebagai penghormatan bagi keduanya, merendahkan diri serta berbicaralah lemah lembut dengannya. Sehingga tidak ada kata—kata kotor yang keluar dan dapat meynakitkan keduannya, tidak juga memperlakukannya dengan suatu yang menjadikan keduanya mendapatkan aib.36 Selain itu sebagai anak yang sholeh, dengarkanlah perkataan orangtua dengan sebaik-baiknya. Jalankanlah dan taatilah perintah mereka itu sesuai dengan syari‗at Allah Ta‗ala. Datanglah lekas jika mereka memanggil, tundukan kedua lengan bahu dan rendahkan diri di hadapan keduanya, seperti yang diperintahkan Allah SWT : “dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Q.S. Al-Isra‟ 24) Jangan merasa bosan berbakti kepada mereka. Jangan pula merasa bosan menjalankan perintah mereka. Jangan memandang mereka dengan pandangan sebelah mata. Jangan anda sampai melengkingkan suara dihadapan mereka atau berkata dengan suara keras ketika berbicara dengan mereka. Jangan pula anda menghardik atau berkata ―cis‖ kepada mereka apalagi kalau sampai menyalahi, tidak mengindahkan perintah dan anjuran mereka.37
36
M. Abdul Ghoffar, Buku, Jati Diri Muslim, Terj. Dari Syahsiyatul Al-Muslim Kamaa
Yashughuha Al-Islam fii Al-Kkitab wa Al-Sunnah oleh Muhammad Ali Al-Hasyimil (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1999) Cet. I, h. 61 37
Al-Ghazali (Penerjemah; A. M. Basalamah), Adab dalam Agama, (1992, Gema Insani
Press, Jakarta) Cet. 3 h. 59-60
23
2) Akhlak Seorang Murid Kepada Guru a) Menjaga Kehormatan Guru Adab murid terhadap gurunya adalah adab yang paling penting yang harus dimiliki oleh seorang pelajar. Hendaklah dia menganggap gurunya sebagai seorang pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar yang mengajarkan ilmu, serta sebagai pendidik yang membimbingnya kepada budi pekerti yang baik. Seorang murid kalau tidak percaya dengan gurunya pada dua hal ini, maka dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya.38 Dengan demikian bentuk penghormatan seorang pelajar terhadap guru sangatlah penting demi terciptanya keharmonisan antara murid dan guru sehingga murid akan mendapatkan berkah keilmuan dari keikhlasan guru yang telah mendidik dan membimbing murid. b) Cara Berakhlak Kepada Guru Termasuk cara menghormati ilmu adalah menghormati guru, adapun cara menghormati guru antara lain adalah : tidak berjalan di depannya, tidak menduduki tempat duduknya, tidak mendahului bicara dihadapan guru kecuali dengan izin guru, tidak bicara banyak di hadapan guru, tidak bertanya yang membuat bosan, harus menjaga waktu dan tidak mengetuk-ngetuk pintunya, namun harus bersabar untuk menunggunya keluar. Kesimpulannya, seorang murid harus berusaha mendapatkan ridho guru, menghindari keemurkaannya dan patuh kepadanya selain dalam menjalankan maksiat keepada Allah SWT, sebab tidak boleh patuh kepada makhluk untuk melakukan perbuatan kepada sang pencipta. Dan cara menghormati guru juga termasuk menghormati anakanaknya dan orang yang mempunyai hubungan dengannya.39 Selain itu, sebagai seorang murid yang baik haruslah menghormati gurunya dengan baik. Usahakan muridlah yang terlebih dulu mengucapkan salam. Kurangi banyak bicara yang asal bunyi dihadapan guru. Berdiri apabila guru berdiri. Jangan mengatakan kepadanya ―Si Fulan berkata begini (yang 38
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‗Utsman, Penerjemah Ahmad Sabiq, Syarah Adab
dan Manfa‟ at Menuntut Ilmu, (Jakarta, Pustaka Imam Asy-Syafi‗i, 2007) cet 2, h. 111-112 39
Syekh Al-Zarnuji, م ي ل عت م ي ل ع تم ال, (ه ث ت كم دمحم هت دمحا ن اه ثو هدالوا و, Surabaya) hal. 17
24
berlawanan)‖ . Jangan bertanya kepada teman-teman ketika dihadapan guru. Jangan tertawa atau tersenyum-senyum ketika berbicara dengan guru. Jangan mengutarakan hal-hal yang berlawanan dengan pendapatnya dan jangan meminta penjelasan kepada sang guru ketika di tengah jalan dan jangan menambah hal-hal yang membosankan guru.40 B. Kajian Penelitian Terdahulu yang Relevan 1. Berdasarkan hasil penelitian dari Tholobin dengan judul Skripsi Respons Masyarakat Modern Terhadap Eksistensi Tradisi Panjang Jimat Keraton Kasepuhan Cirebon (Studi Terhadap Masyarakat Kasepuhan RW.04 Sitimulya) dapat disimpulkan bahwa : Tradisi Panjang Jimat merupakan tradisi yang selalu diperingati pada setiap tahun yaitu pada tanggal 12 Robiul Awwal, sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang berlangsung sangat meriah. Pihak keraton sebagai penyelenggara atas terlaksananya tradisi tersebut, hal demikian karena pihak keraton pewaris dari tradisi Panjang Jimat, sebagaimana layaknya tradisi yang harus dijaga dan di hormati serta tetap di lestarikan. Bentuk dari tradisi Panjang Jimat adalah adanya alegoris Panjang Jimat pada malam terakhir yang disebut malam pelal. Tradisi Panjang Jimat mempunyai potensi materil bagi masyarakat Sitimulya. Fakta yang terjadi di lapangan masyarakat Sitimulya sangat senang dengan adanya tradisi Panjang Jimat karena setiap individu maupun masyarakat bisa berperan guna menyalurkan nilai kreatifitas yang ada selama tradisi tersebut berlangsung. Hal ini menjadi alasan masyarakat Sitimulya agar tradisi tersebut tetap eksis. Adanya potensi-potensi yang terdapat dalam tradisi Panjang Jimat, masyarakat Sitimulya bergerak untuk melakukan sesuatu. Bentuk dari respons masyarakat Sitimulya terahadap berlangsungnya tradisi Panjang Jimat, masyarakat Sitimulya melakukan banyak hal terutama dalam kegiatan ekonomi dan wisata kebudayaan. Kegiatan ekonomi masyarakat Sitimulya bergerak 40
Al-Ghazali op, cit,. h. 21
25
dibidang barang dan jasa, kegiatan ekonomi bersifat barang adalah masyarakat membuka lapangan pekerjaan dan perdagangan di area sekitar keraton sebagai tempat pelaksaan tradisi Panjang Jimat, sedangkan kegiatan ekonomi yang bersifat jasa, masyarakat Sitimulya menyiapkan atau menyediakan tempattempat penginapan seperti halnya penyediaan kos-kosan, kontrakan bagi para pengunjung dari luar yang datang selama tradisi Panjang Jimat berlangsung juga membuka biro jasa penitipan barang. Kemudian pada sektor wisata masyarakat Sitimulya melakukan wisata hiburan dengan memanfaatkan momen tradisi Panjang Jimat sebagai wisata kebudayaan selama tradisi tersebut berlangsung merupakan wisata alternatip bagi masyarakat Sitimulya.41 2. Berdasarkan hasil penelitian dari Yesy Wahyuning Tyas dengan judul Skripsi Analisis Nilai Dan Makna Simbolik Teks Serat Tata Cara Keraton Dalam Naskah Serat Abdi Dalem Keraton menjelaskan secara garis besar makna filosofis dari aturan sikap di atas, mengandung nilai seperti apa yang dituangkan dalam Serat Wulangreh dan Serat Raja Kapakapa, bahwa seorang abdi dalem harus „darma lumaku sapakon‟ artinya, wajib berjalan menurut perintah. Dalam hal ini, adalah menuruti perintah rajanya. Lalu aturan berjalan, tidak boleh bolak- balik, tidak boleh merokok, tidak boleh melambai, hal ini juga telah diajarkan dalam Serat Wulangreh dan Serat Raja Kapakapa, sikap seorang abdi dalem harus mantep dan madep, yaitu harus bersikap mantap dan tidak gentar. Sikap berjalan dengan tidak boleh melambaikan tangan, menoleh kanan dan kiri, harus senantiasa sigap. Juga dalam hal bersopan santun dan bersikap seperti gambaran seorang wanita, halus, berbudi luhur, namun juga harus seperti kuda yang senantiasa sigap apabila menerima perintah raja, dengan aturan apabila berbicara harus dengan suara yang lirih dan halus. Berdasarkan logika, bagaimana seorang abdi dalem dapat bersigap, ketika dirinya sambil 41
Tholibin ―Respons Masyarakat Modern Terhadap Eksistensi Tradisi Panjang Jimat
Keraton Kasepuhan Cirebon (Studi Terhadap Masyarakat Kasepuhan RW.04 Sitimulya)” Skripsi Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga Yogyakarta, 2009, h. 102-103 tidak dipublikasikan.
26
melakukan hal lain walaupun sekecil apapun, untuk itulah aturan-aturan sikap tersebut dibuat. Sikap yang harus ditunjukan ketika berpapasan dengan putra-putri raja beserta kerabatnya, maka harus segera memberi jarak. Makna simbol dari sikap tersebut selain sebagai simbol penghormatan kepada petinggi keraton, juga sebagai tanda pembeda kasta, diantara atasan dan bawahan. Yang mana, yang lebih berkuasa harus menjadi prioritas. Hal ini, merupakan ajaran peninggalan agama hindu di Jawa. Kemudian mengenai aturan untuk ndhodhok atau berjongkok. Apabila dihadapan leluhur harus ndhodhok atau berjongkok, mengandung makna sebagai suatu bentuk penghormatan, sikap seperti itu juga sebagai simbol bahwa seorang abdi dalem adalah jabatan yang paling rendah dalam keraton. Sembah, ngapurancang, bersila, berjongkok dan berjalan jongkok yang disebut laku ndhodhok merupakan lambang- lambang yang selalu muncul pada setiap interaksi dalam keraton. Tetapi, pemberian sembah dan laku ndhodhok tersebut hanya dilakukan setiap kali apabila abdi dalem bertemu atau menghadap raja dan kerabat raja. Bentuk-bentuk sikap di atas, yang mencerminkan nilai ‗andap asor‟ yang merupakan salah satu ajaran budaya Jawa. ‗Andap asor‟
berarti
merendahkan diri sendiri dengan sopan dan merupakan kelakuan yang benar yang harus ditunjukan kepada setiap orang yang derajatnya lebih tinggi. Dalam tatacara ini juga mengandung unggah- ungguh yang dipahami oleh masyarakat besar di Jawa, yang banyak tampak dalam keseharian sampai saat ini, yang juga diterapkan dalam keraton, yaitu apabila berbicara atau berhadapan dengan orang yang lebih tua, atau dengan orang yang jabatannya lebih tinggi, unggah- ungguh-nya adalah ‗jangan kita menatap wajah orang yang lebih tua atau lebih tinggi jabatannya, karena apabila kita berani menatap wajahnya, ini berarti kita menentang dan menantang orang tersebut.42 42
Yesy Wahyuning Tyas, “Analisis Nilai Dan Makna Simbolik Teks Serat Tata Cara
Keraton Dalam Naskah Serat Abdi Dalem Keraton” skripsi pada Universiitas Indonesia, Jakarta, 2009, h. 21- 23, tidak dipubliasikan
27
Sekalipun memiliki ruanglingkup yang sama dalam pnelitian, dari kedua penelitian yang relevan diatas terdapat perbedaan penelitian dengan penelitian yang penulis ajukan diantaranya adalah : 1. Dalam penjelasan yang diajukan oleh Yesy Wahyuning Tyas dalam penelitiaannya analisis nilai dan makna simbolik teks serat tatacara keraton, menjelaskan tentang makna yang terkandung dalam tata cara unggah-ungguh abdi dalem maupun tata cara peletakan benda-benda pusaka keraton. Sementara penelitian yang diajukan penulis menjelaskan tentang hubungan penerapan budaya keraton yaitu sikap abbdi dalem terhadap rajanya dengan akhlak santri di pesantren. 2. Dalam
penjelasan
penelitiaan
yang
diajukan
oleh
Tholibin
dalam
penelitiaannya adalah respon masyarakat terhadap tradisi panjang jimat yang dilakukan oleh keraton, sementara penelitian yang diajukan penulis adalah pengaruh budaya keraton terhadap akhlak santri di pesantren. Dengan demikian sekalipun penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan hasil penelitian yang relevan di atas memiliki ruanglingkup yang sama yakni Budaya Keraton, namun dari fokus penelitian yang dijelaskan masing-masing penelitian memiliki fokus budaya yang berbeda sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. C. Kerangka Berfikir Dari penjelasan di atas telah nampak jelas bahwa pesantren dalam perjalanannya mengalami perkembangan yang dinamis di setiap zamannya dengan mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Sesuai dengan fungsinya, pesantren merupakan tempat pendidikan yang memfokuskan pembelajaran pada pelajaran-pelajaran agama Islam. Walaupun kini pesantren sudah banyak yang mengalami kemajuan
dalam sistem pembelajarannya,
namun hal tersebut tetap tidak merubah hukum awal adanya pesantren yaitu memberikan pelajaran agama yang mendalam. Seiring dengan terus berkembangnya zaman, pesantren mulai mengalami evolusi yang dinamis dengan banyaknya bermunculan pesantren-
28
pesantren yang bersistem modern yang pada pembelajarannya tidak hanya terfokus pada pelajaran agama saja tetapi juga memasuki pelajaran-pelajaran umum pada kurikulumnya. Hal ini sejalan dengan tujuannya didirikan pesantren yaitu mendidik manusia untuk menjadi insan yang kamil baik dalam budi pekerti maupun ilmu pengetahuannya. Namun demikian hingga saat ini pun masih ada pesantren-pesantren yang mempertahankan sistem lama dalam pembelajarannya maupun dalam sistem sosialnya, semisal dengan pelajaran-pelajaran yang diajarkan hanyalah pelajaran agama saja, hal ini berkaitan dengan sistem turun temurun yang diterapkan oleh pihak kepengurusan pesantren yaitu kiyai yang menjadi pengasuh sekaligus pemimpin tertinggi dalam pesantren. Sistem yang dipakai oleh pesantren semacam ini biasanya dipengaruhi juga oleh lingkungan maupun sejarah Daerah. Semisal dengan sistem pesantren yang dipengaruhi oleh budaya ataupun sistem kepemerintahan dalam sistem kepesantrenannya, hal ini menunjukan bahwa pesantren merupakan produk budaya lokal yang didirikan sesuai dengan situasi dan kondisi dimana pesantren itu didirikan. Oleh karenanya, dalam sebuah sistem pendidikan di pesantren, situasi dan kondisi lingkungan sangatlah berperan dalam menjalankan dan menciptakan sebuah sistem pendidikan di pesantren. Karena pesantren merupakan produk lokal yang berdiri dan berkembang dengan alur lingkungan. Seperti halnya pondok pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon yang masih mempertahankan sistem turun temurunnya terutama dalam sistem ke-Pesantrenan yang mengacu pada sistem sosial keraton. Dimana para santri diibaratkan seorang abdi dalem yang selalu setia melayani keluarga keraton, begitu juga santri yang setia melayani guru dalam menuntut ilmu demi mendapatkan berkah serta ilmu yang manfa‗at dari sang guru dengan cara menjaga sikap dan tau bagaimana harus bersikap kepada guru. Dalam prakteknya, hal tersebut bertujuan untuk memberikan pendidikan akhlak secara nyata kepada para santri agar tidak hanya memahami pendidikan akhlak yang hanya terbatas pada teori saja.
29
Dengan demikian, para santri diharap dapat memahami bagaimana cara untuk bersikap kepada guru maupun orangtua mereka, karena dengan sistem yang demikian para santri dapat langsung memeraktekan apa yang telah mereka pelajari selama mereka menjalani pendidikan di pesantren. D. Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis penelitian yang penulis ajukan adalah : Terdapat hubungan yang positif antara penerapan budaya keraton dengan akhlak santri pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon.
30
BAB III Metodologi Penelitian A. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat dalam pelaksanaan penelitian ini adalah di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah komplek Pondok Buntet Pesantren Rt. 010 Rw. 04 Ds. Mertapada Kulon Kec. Astanajapura Kab. Cirebon Jawa Barat. B. Metode Penelitian Metode penelitian secara umum diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.43 Adapun metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode kuantitatif deskriptif yang ditunjang dengan metode kualitatif yakni metode penelitian yang berusaha memberikan gambaran dengan fakta-fakta yang valid tentang Hubungan Penerapan Budaya Keraton dengan Akhlak Santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon. Dengan menyebarkan angket kepada responden di tempat penelitian yang telah ditentukan. Serta mendeskripsikan hasil temuan penelitian di lapangan dengan memberikan informasi yag valid. Dalam penyusunan skripsi, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yang didasarkan pada data atau informasi yang diperoleh melalui penelitian sebagai berikut : 1. Penelitian Kepustakaan Penelitian ini dilakukan dengan cara membaca, mempelajari dan meneliti berbagai buku referensi yang relevan dengan tema yang diangkat. Adapun tujuan dari penelitian kepustakaan adalah untuk memperoleh bahan-bahan dan konsep yang berkaitan dengan tema penelitian. 2. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan langsung terjun meneliti ditempat penelitian yang telah ditentukan. Penelitian lapangan ini
43
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuntitatif, Kualitatif dan R&D,
(Bandung, Alfabeta, 2010) Cet. Ke-10, h. 3
31
bertujuan untuk mendapatkan data yang valid tentang interaksi sosial individu maupun kelompok yang terdapat pada tempat penelitian. C. Populasi dan Sampel Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon yang berjumlah 251. Cara pengambilan sampel (teknik sampling) dengan probality sampling (pengambilan sampling berdasarkan peluang). Dalam probality sampling semua anggota populasi mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel yang dilakukan secara acak atau random. Adapun jumlah sampel yang peneliti inginkan adalah 20% dari jumlah Populasi. Hal ini berdasarkan apa yang telah diungkapkan oleh Suharsimi Arikunto sebagai berikut: ―Apabila subjeknya kurang dari seratus, lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi.Selanjutnya jika subjeknya lebih dari seratus dapat diambil 10-15 % atau 20-25 %. 44 Dengan demikian, peneliti mengambil 20% sampel dari populasi yakni sebanyak 50 santri. Teknik pengambilannya menggunakan metode random sampling sistematis yaitu semua anggota dalam populasi mempunyai probabilitas atau kesempatan yang sama untuk dipilih melalui acak nomor berdasarkan absensi dengan menghitung kelipatan 2 dari jumlah di setiap kelas. Adapun kelas yang terdapat di Pondok Pesantren berjumlah 9 kelas yang terdiri dari kelas Shifir Awwal A, Shifir Awwal B, Shifir Tsani A, Shifir Tsani B, Tsnawiyah I A, Tsnawiyah I B, Tsanawiyah II, Tsanawiyah III, dan Tsanawiyah IV. Dan untuk menentukan jumlah sampel di setiap kelas, peneliti menggunakan metode hitung dengan ketentuan sebagai berikut : S = JSS x JS JP Keterangan :
S : Sampel yang di butuhkan JSS : Jumlah Sampel Strata JP : Jumlah Populasi JS : Jumlah Sampel
44
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta:Rineka Cipta, 1993), h. 107
32
D. Tehnik Pengumpulan Data 1. Obserfasi Obserfasi merupakan pengamatan langsung peneliti terhadap objek yang akan ditelitinya dengan tujuan agar dapat mengetahui langsung keadaan sosial yang ada di pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon. 2. Wawancara Penulis dalam melakukan wawancara/interview kepada responden akan menggunakan wawancara terstruktur yang hanya akan memuat garis besar dari tema penelitian tersebut. Dalam hal ini, penulis akan mewawancarai orang-orang yang bersangkutan semisal para santri dan Kiyai di Pondok Pesantren. 3. Angket Angket yang akan disebarkan kepada responden oleh peneliti adalah sebanyak 50 buah disesuaikan dengan jumlah sampel yang diambil. Bentuk angket yang disebarkan adalah angket terstruktur atau tertutup dimana telah dicantumkan jawaban-jawabannya.
33
Tabel Kisi-kisi Angket Hubungan Penerapan Budaya Keraton Dengan Akhlak Santri Di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon Tabel 01 No
Variabel
Indikator
Jumlah
Item
Item
Item Soal
Soal
Soal
Positif
Negatif
1. Menerapkan Budaya Keraton
7
5, 6, 7
dalam kegiatan Penerapan 1 Budaya Keraton
1, 2, 3, 4,
sehari-hari 2. Kefektifan
1
8
6
9, 10, 11,
Penerapan Budaya Keraton dalam sistem sosial di lingkungan pesantren 1. Akhlak Santri Terhadap Guru di lingkungan
2
Akhlak Santri
Pesantren
13, 14,
12,
2. Akhlak Santri terhadap Orangtua di lingkungan
8
16, 19,
15, 17,
20, 21, 22
18
Pesantren
4. Dokumentasi Dokumentasi adalah catatan peristiwa yang sudah dilakukan, biasanya dokumetasi berupa tulisan ataupun berupa gambar.45 Dalam istilah lain
45
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung, Alfabeta, 2007) hal. 72
34
dokumentasi adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan yang ada dan mempunyai Hubungan dengan tujuan penelitian.46 Dokumentasi merupakan tehnik pengumpulan data dengan penelitian melalui berkas-berkas atau dokumen berupa catatan yang dapat memberikan informasi tambahan dalam penelitian. E. Tehnik Analisis Data Data-data yang telah diperoleh berdasarkan angket yang diberikan kepada responden kemudian diolah dalam bentuk tabel dengan menggunakan metode deskriptif presentase. Dari angket yang telah terkumpulkan kemudian diolah dengan tahapan sebagai berikut : Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan teknik analisis data adalah langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis untuk memperoleh hasil akhir dalam penelitian. Adapun langkah-langkah yang penulis tempuh dalam analisis data ini adalah: 1. Editing, yaitu memeriksa jawaban angket yang telah diserahkan oleh responden. Tujuannya adalah mengurangi kesalahan atau kekurangan yang ada dalam daftar pertanyaan. Bila ada jawaban yang meragukan atau tidak dijawab, penulis menghubungi responden yang bersangkutan. 2. Setelah data terkumpul dengan lengkap tahap berikutnya adalah tahap analisis data. Analisa data dilakukan dengan menggunakan bentuk tabel dengan menggunakan teknik deskriptif prosentase. 3. Kemudian selanjutnya adalah dengan skoring, untuk menentukan skoring ing semua pernyataan setiap itemnya dengan bobot nilai setiap jawaban sebagai berikut:
46
Anas Sujdono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2006) hal. 30
35
Tabel 02 Skor Positif Angket Pertanyaan Item Jawaban
Skor
Keterangan
SL
5
Selalu
SR
4
Sering
JR
3
Jarang
KD
2
Kadang-kadang
TP
1
Tidak Pernah
Tabel 03 Skor Negatif Pertanyaan Item Jawaban
Skor
Keterangan
SL
1
Selalu
SR
2
Sering
JR
3
Jarang
KD
4
Kadang-kadang
TP
5
Tidak Pernah
4. Selanjutnya untuk menganalisis hubungan antara variabel X (penerapan budaya Keraton) dan Y (akhlak santri) digunakan analisis korelasi Product Moment, dengan formulasi sebagai berikut: ∑ √
∑
(∑ )(∑ ) (∑ )
∑
(∑ )
Dengan keterangan sebagai berikut : rxy
: angka index korelasi
N
: Number of Case
∑XY
: Jumlah hasil perkalian antara Pertanyaan X dan Pertanyaan Y
∑X
: Jumlah seluruh Pertanyaan X
36
∑Y
: Jumlah seluruh Pertanyaan Y47
F. Hipotesis Statistik Hipotesis merupakan dugaan sementara penilitian yang dilakukan oleh peneliti, baik dugaan kemungkinan benar maupun dugaan kemungkinan salah. Hipotesis akan diterima jika bukti-bukti yang ditunjukan peneliti ada kebeneran dan jika salah maka akan dikelola kembali. Penolakan dan penerimaan hipotesis tergantung pada penyelidikan bukti-bukti yang telah didapat. Adapun hipotesis yang diajukan oleh peneliti adalah sebagai berikut : 1. Hipotesis alternative (Ha), yaitu adanya pengaruh yang signifikan antara penerapan budaya keraton terhadap akhlak santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon. 2. Hipotesis Nol (Ho), yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan antara penerapan budaya keraton terhadap akhlak santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummmah Buntet Pesantren Cirebon.
47
ibid., h. 206
37
BAB IV Hasil Penelitian A. Deskripsi Data 1. Penerapan Budaya Keraton Pondok pesantren Nadwatul Ummah adalah pondok pesantren yang dikategorikan pesantren salafi. Karena sejak awal berdirinya pesantren pada tahun 1971 hingga saat ini metode pembelajaran yang digunakan adalah wetonan dan sorogan. Serta kitab-kitab yang dipelajari adalah kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab atau sering dikenal dengan kitab kuning yang ditulis oleh para ulama terdahulu yang berpaham Ahlussunnah Wal Jama‟ ah. Dan selesainya (khatam) kitab yang dipelajari menjadi tolak ukur bagi santri untuk melanjutkan ke kelas berikutnya. Selain mengajarkan kitab-kitab klasik, pesantren Nadwatul Ummah juga mengajarkan Al-Qur‗an sebagai modal dasar seorang muslim. Dalam sistem pembelajaran Al-Qur‗an di pesantren menggunakan sistem ijazah. Namun bentuk ijazah di pesantren tidak seperti ijazah-ijazah yang kita kenal dalam pendidikan modern melainkan berbentuk pencantuman nama santri dalam suatu daftar rantai transmisi pengetahuan yang dikeluarkan oleh guru terhadap santrinya yang telah mengkhatamkan belajar Al-Qur‗an sehingga si murid dianggap menguasai dan diperbolehkan mengajarkannya kepada orang lain. Tradisi ijazah dalam pesantren umumnya di berlakukan ketika seorang santri tingkat tinggi yang telah menyelesaiakan dan menguasai kitab-kitab besar yang telah dipelajari. Sebagai mana yang telah dikatakan Zamakhsyari Dhofier dalam bukunnya Tradisi Pesantren, bahwa ―Tradisi ijazah ini hanya dikeluarkan untuk murid-murid tingkat tinggi dan hanya mengenai kitab-kita besar dan masyhur.‖ 48 Berbeda dengan pesantren Nadwatul Ummah yang memang lingkungan di komplek Buntet Pesantren, Al-Qur‗an menjadi acuan utama dalam pembelajaran santri selain kitab-kitab kuning. Hal ini sudah terjadi sejak awal berdiriya Pesantren di komplek Buntet Pesantren.
48
Dhofir, op. cit., h. 48
38
Pondok pesantren Nadwatul Ummah juga menerapkan kelas musyawarah (bahsul matsail) yang menjadi ciri khas pesantren-pesantren salafi dalam mencari solusi dari sebuah permasalahan agama. Kelas musyawarah di pesantren Nadwatul Ummah dikenal dengan istilah MMU (Majlis Musyawarah Umum), dimana para santri ditugaskan mencari jawaban dari pertanyaan yang dimusyawarahkan di dalam kitab kuning. Ketika musyawarah dimulai para santri diperbolehkan mengutarakan jawabannya dan santri juga diperbolehkan untuk mendebat pernyataan santri lain yang tidak sepaham hingga ditemukannya solusi yang terbaik. Pelaksanaan MMU di pesantren dipimpin langsung oleh kiyai atau guru di pesantren yang bertugas menyimpulkan hasil musyawarah. Pondok pesantren Nadwatul Ummah sejak didirikan oleh KH. Muhammad Anis Fu‗ad Hasyim (Alm.) pada tahun 1971 memang selalu mempertahankan tradisi tradisional baik dalam sistem pembelajarannya maupun sistem sosialnya. Namun setelah anak pertama dari KH. Muhammad Anis Fu‗ad Hasyim (Alm.) yaitu DR. KH. Luthfi El-Hakim ditunjuk sebagai pegasuh pesantren, semua sistem yang telah berlaku dirubah, mulai dari sistem pembelajaran hingga sistem sosial di pesantren.
Sistem pembelajaran yang
tadinya hanya menggunakan metode wetonan ataupun sorogan, kini dimodifikasi dengan menggunakan sistem madrasah namun tetap tidak meninggalkan metode wetonan ataupun sorogan sebagai cirikhas dari tradisi pesantren salafi, dan kitabkitab yang diajarkanpun tetap kitab-kitab kuning klasik. Sistem madrasah diberlakukan untuk mempermudah metode sorogan yang diterapkan di pesantren. Hal ini sejalan dengan pendapat Zamakhsyari Dhofier ketika menjelaskan kategorisasi pesantren yang dikelompokan menjadi 2 kelompok besar yaitu : 1. Tipe lama (klasik), yang inti pendidikannya mengajarkan kitab-kitab Islam klasik.
Walaupun
sistem
madrasah
diterapkan,
tujuannya
untuk
mempermudah sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama. 2. Tipe baru (modern) yaitu mendirikan sekolah-sekolah umum dan madrasah-madrassah
yang
mayoritas
mata
pelajaran
yang
39
dikembangkannya bukan kitab-kitab Islam klasik. Sekalipun kitab-kitaab klasik tetap dipertahankan namun porsi pengajarannya tidak memadai.49 Selain
sistem
pembelajaran
yang
dirubah,
sistem
sosial
yang
diberlakukanpun dirubah. Pesantren Nadwatul Ummah yang sebelumnya terlihat bebas karena tidak ada peraturan yang mengikat santri sehingga santri terlihat bebas dalam mengikuti program di pesantren. Dan hal semacam itu dinilai tidak tepat dalam proses pendidikan di pesantren, karena pada dasarnya santri haruslah beretika baik sehingga dapat mengikuti program di pesantren dengan baik dan tertib. Sehingga menurut DR. KH. Luthfi El-Hakim sistem tersebut perlu di rubah demi menciptakan suasana pesantren yang islami, sehingga para santri dapat beretika sesuai dengan apa yang telah mereka pelajari melalui kitab-kitab klasik yang diajarkan kiyai atau guru di pesantren. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Zamakhsyari Dhofier : Secara umum, tingkah laku yang benar secara Islam dinyatakan dalam contoh-contoh seperti yang dikerjakan para kiyai (melalui lembaga-lembaga pesantren dan amalan-amalan beragama yang lain, seperti mengikuti sembahyang dan khutbah jum‗at) mengajarkan kepada anggota-anggota masyarakat tingkah laku Islam yang ideal, pola pikiran dan perasaan yang ideal, simbol-simbol dan amalan-amalan Islam.50 Menurut DR. KH. Luthfi El-Hakim seorang santri haruslah menunjukan etika/akhlak yang sesuai dengan gelarnya yaitu santri/pencari ilmu, dimana seorang santri haruslah memulyakan gurunya sebagai landasan awal berakhlak yang baik. Karena akhlak merupakan pondasi daam mencari ilmu tanpa akhlak yang baik seorang santri tidak akan mendapatkan manfa‗at dari ilmu yang telah dipelajari, hal ini sesuai dengan maqolah yang mengatakan : َِيا اَابلََبمألبعأالَعأيبَََْْأالَدبِ ۞بمبلَعَتَمألبعأال اَهَهبتَْأالَدب “wahai pencari „ilmu junjung tinggilah adab/akhlak, tuntutlah ilmu dengan
memprioritaskan adab/akhlak”.51
49
Dhofir, op. cit., h. 76
50
Dhofir, op. cit., h. 42
51
Muhammad bin ahmad Nubhan,
(Surabaya,tt. p, 1980) h. 4
40
Oleh sebab itu DR. KH. Luthfi El-Hakim menerapkan sistem yang menyerupai sistem di keraton yaitu etika/akhlak abdi dalem kepada sultannya. Sehingga para santri diwajibkan beretika sopan santun yang baik kepada guru di pesantren sebagaimana abdi dalem beretika kepada sultannya. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang pendidikan akhlak yang nyata sehingga dapat membentuk santri yang bermoral dan berakhlak baik. Dilihat dari nasab keturunannya, keluarga besar KH. Muhammad Anis Fu‗ad Hasyim (Alm.) memang memiliki garis nasab dari Syekh Sultan Syarif Hidayatullah pendiri kerajaan/keraton di Cirebon sekaligus penyebar agama Islam di Cirebon. KH. Muhammad Anis Fu‗ad Hasyim (Alm.) merupakan keturunan ke20 dari urutan gari nasab Syekh Sultan Syarif Hidayatullah. Dan hingga kinipun keluarga besar pesantren masih memiliki hubungan kekerabatan yang baik dengan keluarga besar yang tinggal di keraton. Menurut DR. KH. Luthfi El-Hakim sekalipun keluarga besar pesantren memiliki kekerabatan yang dekat dengan pihak keraton, tidak serta merta sistem sosial yang diberlakukan dipesantren meniru sistem yang diberlakukan di keraton. Karena pada dassarnya etika/akhlah semacam itu sudah ada dan diajarkan dalam agama Islam sesuai dengan Firman Allah :
―Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.‖ (Q. S. Al-Hujarat : 2) Dan sabda Rasulullah SAW :
41
52
.
―Tidak ada orang yang lebih kucintai melebihi Rasulullah saw. dan di mataku tidak ada yang lebih agung melebihi beliau. Saya tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar semata-mata karena menghormatinya. Jika saya ditanya untuk mensifati beliau saya tidak akan mampu menjawab sebab saya tidak mampu memandang beliau dengan mata terbuka lebar. (HR. Muslim)‖ Oleh
karenanya,
pondok
pesantren
Nadwatul
Ummah
dalam
pembelajarannya sangat menekankan kepada pelajaran Akhlak. Semisal dengan kitab-kitab akhlak yang selalu diajarkan kepada santri seperti kitab Ta‟ lim Muta‟ alim yang dibaca ketika pengajian umum, serta kitab-kitab akhlak kecil seperti Taisirul Kholak dan „Izzul Adab yang diajakan di kelas Shifir. Dengan diterapkannya sistem sosial tersebut, diharapkan para santri dapat mendapatkaan pengalaman nyata dalam memahami nilai-nilai akhlak yang telah diajarkan sehingga para santri tidak hanya memahami secara teori saja, melainkan dalam praktekpun santri dapat memahami secara mendalam sesuai dengan apa yang telah mereka pelajari. Semisal dengan penjelasan Syekh Al-Zarnuji dalam kitabnya Ta‟ lim Muta‟ alim yaitu termasuk salah satu menghormati guru adalah menghormati anak-anaknya dan orang yang mempunyai hubungan dengannya. Guru kami Syaikhul Islam Burhanudin pengarang kitab ―Al-Hidayah‖ pernah berkata. Bahwa seorang ulama besar dari Bukhara sedang duduk dalam suatu majelis pengajian, kemudian ia berdiri dan duduk kembali. Ketika ditanya kepadanya sikap itu, ia menjawab : ―sesungguhnya saya melihat putra guruku sedang bermain di jalan bersama teman-temannya. Jika saya melihatnya lalu saya berdiri, itu semata-mata bentuk penghormatan saya kepada guruku.‖ 53 Hal tersebut sejalan dengan etika yang diberlakukan di pesantren bahwa para santri diwajibkan berdiri dan menundukan kepala atau hanya menundukaan kepala apabila bertemu atau berpapasan dengan kiyai/guru dan keturunanya serta 52
Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, (2007, Dar-Al-Ma‗rifah, Lebanon), h. 319
53
Syekh Al-Zarnuji, op, cit,. h. 17 - 18
42
kerabatnya dalam kondisi apapun. Apabila santri sedang berjalan maka berhenti sejenak dan apabila santri berjalan di hadapan kiyai/guru dan keturunanya serta kerabatnya maka harus menundukan kepalanya. Selain untuk membentuk santri yang bermoral dan berakhlak baik, sistem sosial seperti itu diberlakukan atas dampak dari kurangnya pendidikan akhlak yang diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan modern sehingga hal tersebut dapat dijadikan sebagai pembeda antara pendidikan modern dengan pendidikan pesantren tradisional. 2. Deskripsi Data Hasil Angket Penelitian Hasil penelitian yang penulis peroleh dengan menyebarkan angket kepada 50 santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon, kemudian diolah dengan lagkah-langkah sebagai berikut : a. Menghitung jumlah responden b. Memeriksa
angket
sebelum
dianalisa
terlebih
dahulu
kemudian
meniterpestasikan data yang terkumpul dengan mengecek ulang data yang ada dengan tujuan agar dapat memperoleh data yang valid. c. Mencari frekuensi dengan cara menjumlahkan jawaban dan mencari korelasinya. Adapun data tersebut dapat dilihat sebagai berikut : 1) Deskripsi data variabel X penerapan budaya keraton di Pesantren Tabel 04 Pertanyaan Saya berjalan jongkok atau nglesot ketika menghadap guru
Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban
Frekuensi
Presentase
a. Selalu
35
70%
b. Sering c. Jarang d. Kadang-kadang e. Tidak Pernah Jumlah
11 1 2 1 50
22% 2% 4% 2% 100%
Dari tabel di atas dapat diperoleh penjelasan bahwa, 35 responden 70% menjawab selalu berjalan jongkok atau nglesot ketika menghadap guru, 11 responden 22% sering berjalan jongkok atau nglesot ketika menghadap guru, 1
43
responden menjawab 2 berjalan jongkok atau nglesot ketika menghadap guru, 2 responden menjawab 4%, 1 responden menjawab 2%
berjalan jongkok atau
nglesot ketika menghadap guru. Dengan demikian dapat dilihat bahwa santri yang selalu berjalan jongkok ketika menghadap guru lebih banyak, hal ini didasari kepada bentuk penghormatan seorang santri kepada gurunya. Tabel 05 Pertanyaan
Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban
Frekuensi
Presentase
Saya menundukan
a. Selalu
30
60%
kepala dan
b. Sering
15
30%
c. Jarang
2
4%
d. Kadang-kadang
3
6%
e. Tidak Pernah
-
-
50
100%
mengumpulkan tangan dibawah perut serta berhenti sejenak ketika berpapasan dengan guru
Jumlah
Dari tabel di atas dapat diperoleh penjelasan bahwa, 30 responden menjawab 60% menundukan kepala dan mengumpulkan tangan di bawah perut serta berhenti sejenak ketika berpapasan dengan guru ketika berjalan dalam jarak 5m, 15 responden menjawab 30% menundukan kepala dan mengumpulkan tangan di bawah perut serta berhenti sejenak ketika berpapasan dengan guru ketika berjalan dalam jarak 5m, 2 responden menjawab 4 % menundukan kepala dan mengumpulkan tangan di bawah perut serta berhenti sejenak ketika berpapasan dengan guru ketika berjalan dalam jarak 5m 3 responden menjawab 6% menundukan kepala dan mengumpulkan tangan di bawah perut serta berhenti sejenak ketika berpapasan dengan guru ketika berjalan dalam jarak 5m, 5 responden menjawab 0% menundukan kepala dan mengumpulkan tangan di bawah perut serta berhenti sejenak ketika berpapasan dengan guru ketika berjalan dalam jarak 5m. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa santri yang selalu menundukan kepala dan mengumpulkan tangan di bawah perut serta berhenti sejenak ketika berpapasan dengan guru ketika berjalan dalam jarak 5m lebih
44
banyak, hal ini didasari oleh bentuk penghormatan santri yang diberikan kepada guru-gurunya. Tabel 06 Pertanyaan
Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban
Frekuensi
Presentase
Saya duduk seperti
a. Selalu
38
76%
tasyaahud akhir dan
b. Sering
8
16%
menundukan kepala
c. Jarang
3
6%
ketika berbicara
d. Kadang-kadang
1
2%
berhadapan dengan
e. Tidak Pernah
-
-
50
100%
guru
Jumlah
Dengan demikian dapat diperoleh penjelasan bahwa, 38 responden (76%) menjawab selalu duduk seperti tasyaahud akhir dan menundukan kepala ketika berbicara berhadapan dengan guru, 8 responden (16%) menjawab duduk seperti tasyaahud akhir dan menundukan kepala ketika berbicara berhadapan dengan guru, 3 responden (6%) duduk seperti tasyaahud akhir dan menundukan kepala ketika berbicara berhadapan dengan guru, 1 responden (2%) menjawab duduk seperti tasyaahud akhir dan menundukan kepala ketika berbicara berhadapan dengan guru. Dapat disimpulkan bahwa santri yang selalu duduk seperti tasyahud akhir dan menundukan kepala ketika berbicara berhadapan dengan guru lebih banyak.
Pertanyaan Ketika duduk bersila, saya menutupi kaki saya dengan kain sarung
Tabel 07 Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban
Frekuensi
Presentase
a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Kadang-kadang e. Tidak Pernah Jumlah
23 12 11 3 1 50
46% 24% 22% 6% 2% 100%
45
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa, 23 responden (46%) menjawab Ketika duduk bersila, saya menutupi kaki saya dengan kain sarung, 12 respoden (24%) menjawab ketika duduk bersila, saya menutupi kaki saya dengan kain sarung, 11 responden (22%) menjawab ketika duduk bersila, saya menutupi kaki saya dengan kain sarung, 3 responden (6%) menjawab ketika duduk bersila, saya menutupi kaki saya dengan kain sarung, 1 responden (2%) menjawab ketika duduk bersila, saya menutupi kaki saya dengan kain sarung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang ketika duduk bersila, menutupi kaki dengan kain sarung lebih banyak, hal ini dikarenakan untuk menjaga tatakarama kesopanan seorang santri dalam menjalani kehidupan sosial sehari-hari. Tabel 08 Pertanyaan
Pertanyaan positif Alternatif Jawaban
Frekuensi
Presentase
f. Selalu
7
14%
Saya menggunakan
g. Sering
6
12%
bahasa kromo inggil
h. Jarang
18
36%
ketika berbicara dengan
i. Kadang-kadang
15
30%
guru
j. Tidak Pernah
4
8%
Jumlah
50
100%
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, 18 responden (36%) menjawab jarang menggunakan bahasa kromo inggil ketika berbicara dengan guru, 15 responden (30%) menjawab kadang-kadang menggunakan bahasa kromo inggil ketika berbicara dengan guru, 7 responden (14%) menjawab selalu menggunakan bahasa kromo inggil ketika berbicara dengan guru, 6 responden (12%) menjawab sering menggunakan bahasa kromo inggil ketika berbicara dengan guru, 4 responden (8%) menjawab tidak pernah menggunakan bahasa kromo inggil ketika berbicara dengan guru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang jarang menggunakan bahasa kromo inggil ketika berbicara dengan guru lebih banyak, hal ini dikarenakan tidak semua santri berasal dari wilayah/daerah yang
46
berbahasa Jawa dan tidak semua santri mahir dalam berbahasa Jawa baik ngoko maupun kromo. Tabel 09 Pertanyaan Saya tidak berjalan bergerombol dengan teman-teman ketika berjalan di depan rumah guru
Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban
Frekuensi
Presentase
a. Selalu
18
36%
b. Sering
17
34%
c. Jarang
7
14%
d. Kadang-kadang
4
8%
e. Tidak Pernah
4
8%
Jumlah
50
100%
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, 18 responden (36%) menjawab selalu tidak berjalan bergerombol dengan teman-teman ketika berjalan di depan rumah guru, 17 responden (34%) menjawab sering tidak berjalan bergerombol dengan teman-teman ketika berjalan di depan rumah, 7 responden (14%) menajwab jarang tidak berjalan bergerombol dengan teman-teman ketika berjalan di depan rumah, 4 responden (8%) menjawab kadang-kadang tidak berjalan bergerombol dengan teman-teman ketika berjalan di depan rumah, 4 responden (8%) menjawab tidak pernah tidak berjalan bergerombol dengan teman-teman ketika berjalan di depan rumah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, santri yang tidak berjalan bergerombol dengan teman-teman ketika berjalan di depan rumah lebih banyak, hal ini dilakukan demi tidak menggangu aktifitas yang sedang dilakukan guru.
47
Tabel 10 Pertanyaan
Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban
Frekuensi
Presentase
b. Selalu
17
34%
Ketika duduk
c. Sering
12
24%
dibangku saya
d. Jarang
14
28%
merapatkan kedua
e. Kadang-kadang
6
12%
kaki saya
f. Tidak Pernah
1
2%
50
100%
Jumlah
Dari tabel di atas dapat dijelaskna bahwa, 17 responden (34%) menjawab ketika duduk dibangku selalu merapatkan kedua kakinya, 12 responden (24%) menjawab ketika duduk dibangku sering merapatkan kedua kakinya, 14 responden (28) menjawab ketika duduk dibangku jarang merapatkan kedua kakinya, 6 responden (12%) menjawab ketika duduk dibangku kadang-kadang merapatkan kedua kakinya, 1 responden (2%) menjawab ketika duduk dibangku tdak pernah merapatkan kedua kakinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, santri yang ketika duduk dibangku merapatkan kedua kakinya lebih banyak karena hal ini merupakan tatakrama yang baik untuk diprktekan demi menjaga sopan santun dalam kehidupan sosial. Tabel 11 Pertanyaan
Pertanyaan Positif Frekuensi Alternatif Jawaban
Presentase
Saya selalu
a. Selalu
29
58%
berpakian rapih baik
b. Sering
14
28%
dalam lingkungan
c. Jarang
4
8%
pesantren maupun di
d. Kadang-kadang
3
6%
luar lingkungan
e. Tidak Pernah
-
-
50
100%
pesantren.
Jumlah
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, 29 responden (58%) menjawab selalu berpakian rapih baik dalam lingkungan pesantren maupun di luar
48
lingkungan pesantren, 14 responden (28%) menjawab selalu berpakian rapih baik dalam lingkungan pesantren maupun di luar lngkungan pesantren, 4 responden (8%) menjawab selalu berpakian rapih baik dalam lingkungan pesantren maupun di luar lngkungan pesantren, 3 responden (6%) menjawab selalu berpakian rapih baik dalam lingkungan pesantren maupun di luar lngkungan pesantren. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang selalu berpakian rapih baik dalam lingkungan pesantren maupun di luar lingkungan pesantren lebih banyak hal ini dipraktekan demi menjaga tatakrama yang baik dalam kehidupan sosial. 2) Deskripsi data variabel Y Adab Santri Terhadap Guru di Lingkungan Pesantren Tabel 12 Pertanyaan
Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban
Frekuensi
Presentase
a. Selalu
37
74%
Ketika guru
b. Sering
8
16%
memanggil, saya
c. Jarang
3
6%
segera
d. Kadang-kadang
2
4%
menghampirinya
e. Tidak Pernah
-
-
50
100%
Jumlah
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 37 responden (74%) menjawab ketika guru memanggil saya segera menghampirinya, 8 responden (16%) menjawab ketika guru memanggil saya segera menghampirinya, 3 responden (6%) menjawab ketika guru memanggil saya segera menghampirinya, 2
responden
(4%)
menjawab
ketika
guru
memanggil
saya
segera
menghampirinya. Dengan demikiandapat disimpulkan bahwa, santri yang bersegera menghampiri ketika dipanggil oleh guru lebih banyak, hal ini menunjukan bahwa akhlak terpuji kepada guru sangat diperhatikan oleh para santri.
49
Tabel 13 Pertanyaan
Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban Frekuensi
Presentase
a. Selalu
35
70%
Saya menghormati
b. Sering
11
22%
kerabat guru
c. Jarang
2
4%
sebagaimana saya
d. Kadang-kadang
2
4%
menghormati guru
e. Tidak Pernah
-
-
50
100%
Jumlah
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 35 responden (70%) menjawab selalu menghormati kerabat guru sebagaimana saya menghormati guru, 11 responden (22%) menjawab Saya sering menghormati kerabat guru sebagaimana saya menghormati guru, 2 responden (4%) menjawab jarang menghormati kerabat guru sebagaimana saya menghormati guru, 2 responden (4%) menjawab kadang-kadang menghormati kerabat guru sebagaimana saya menghormati guru, dan 0 responden menjawab tidak pernah menghormati kerabat guru sebagaimana saya menghormati guru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang menghormati kerabat guru sebagaimana menghormati guru mereka lebih banyak, hal ini dikarenakan pemahaman santri terhadap bentuk penghormatan terhadap guru tidak hanya terbatas pada guru saja melainkan kepada orang-orang yang berhubungan dekat dengan gurupun juga harus dihormati, baik dalam ruang lingkup keluarga maupun kerabat.
Pertanyaan Saya menjaga kepercayaan yang telah diberikan guru kepada saya
Tabel 14 Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Kadang-kadang e. Tidak Pernah Jumlah
Frekuensi
Presentase
33 14 3 50
66% 28% 6% 100%
50
Dari tabel di atas dapaat dambil penjelasan bahwa, 33 responden (66%) menjawab saya selalu menjaga kepercayaan yang telah diberikan guru kepada saya, 14 responden (28%) menjawab Saya sering menjaga kepercayaan yang telah diberikan guru kepada saya, 3 responden (6%) menjawab saya jarang menjaga kepercayaan yang telah diberikan guru kepada saya, dan 0 responden menjawab kaadang-kadang bahkan tidak pernah menjaga kepercayaan yang telah dberikan guru kepada saya. Dengan demikian kesimpulan yang didapat adalah santri yang menjaga kepercayaan yang telah diberikan guru kepadanya lebih banyak, hal ini dilatarbelakangi oleh pemikiran para santri yang selalu mempunyai keinginan untuk selalu memberikan yang terbaik untuk guru.
Pertanyaan
Tabel 15 Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban
Frekuensi
Presentase
a. Selalu
32
64%
Ketika berjalan
b. Sering
15
30%
dengan guru saya
c. Jarang
3
6%
berjalan di
d. Kadang-kadang
-
-
belakangnya
e. Tidak Pernah
-
-
50
100%
Jumlah
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, 32 responden (64%) menjawab ketika berjalan dengan guru saya selalu berjalan di belakangnya, 15 responden (30%) menjawab Ketika berjalan dengan guru saya sering berjalan di belakangnya, 3 responden (6%) menjawab Ketika berjalan dengan guru saya berjalan di belakangnya, dan 0 responden menjawab ketika berjalan dengan guru saya kadang-kadang bahkan tidak pernah berjalan di belakangnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang ketika berjalan dengan guru selalu berjalan di belakangnya, hal ini dilatar belakangi oleh bentuk penghormatan para santri yang tidak ingin mendahului bahkan berada di depan guru sehingga menghalangi perjalanannya.
51
Tabel 16 Pertanyaan Saya memotong pembicaraan guru ketika guru sedang berbicara kepada saya
Pertanyaan Negatif Alternatif Jawaban Frekuensi
Presentase
a. Selalu
-
-
b. Sering
2
4%
c. Jarang
-
-
d. Kadang-kadang
8
6%
e. Tidak Pernah
40
80%
50
100%
Jumlah
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 40 responden (80%) menjawab Saya tidak pernah memotong pembicaraan guru ketika guru sedang berbicara kepada
saya, 8 responden (16%) menjawab Saya kadang-kadang
memotong pembicaraan guru ketika guru sedang berbicara kepada saya, 0 responden menjawab Saya jarang tidak pernah memotong pembicaraan guru ketika guru sedang berbicara kepada saya, 2 responden (4%) menjawab Saya sering memotong pembicaraan guru ketika guru sedang berbicara kepada saya, dan 0 responden menjawab Saya selalu memotong pembicaraan guru ketika guru sedang berbicara kepada saya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa santri yang tidak memotong pembicaraan guru ketika guru sedang berbicara kepadanya lebih banyak, hal ini dikarenakan rasa ta‗dzim santri kepada guru demi untuk menjaga perasaan guru untuk tidak tersinggung dengan sikap santri yang memotong pembicaraan guru ketika guru sedang berbicara kepadanya.
Pertanyaan Ketika berhadapan dengan guru saya berdiri sementara guru dalam keadaan duduk
Tabel 17 Pertanyaan Negatif Frekuensi Alternatif Jawaban a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Kadang-kadang e. Tidak Pernah Jumlah
1 1 6 42 50
Presentase 2% 2% 12% 84% 100%
52
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 42 responden (84%) menjawab ketika berhadapan dengan guru saya tidak pernah berdiri sementara guru duduk, 6 responden menjawab ketika berhadapan dengan guru saya kadangkadang berdiri sementara guru duduk, 1 responden (2%) menjawab ketika berhadapan dengan guru saya selalu berdiri sementara guru duduk, 1 responden (2%) menjawab ketika berhadapan dengan guru saya sering berdiri sementara guru duduk, 0 responden menjawab ketika berhadapan dengan guru saya jarang berdiri sementara guru duduk. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa santri yang ketika berhadapan dengan guru tidak pernah berdiri sementara guru dalam kondisi duduk lebih banyak, hal ini merupakan bentuk penghormatan santri terhadap segala suatu kondisi guru sehingga santripun harus mengikuti dan memakluminya. 3) Deskripsi data variabel Y akhlak santri kepada Orangtua Tabel 18 Pertanyaan
Saya membantah perintah orangtua
Pertanyaan Negatif Alternatif Jawaban Frekuensi
Presentase
a. Selalu
1
2%
b. Sering
-
-
c. Jarang
6
12%
d. Kadang-kadang
15
30%
e. Tidak Pernah
28
56%
50
100%
Jumlah
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, 28 responden (56%) menjawab saya tidak pernah membantah perintah orangtua, 15 responden (30%) menjawab kadang-kadang saya membantah perintah orangtua, 6 responden (12%) menjawab saya jarang membantah perintah orangtua, 1 responden (2%) menjawab saya selalu membantah perintah orangtua, 0 responden menjawab saya sering membantah perintah orangtua. Dengan demikian dapat diambil penjelasan bahwa santri yang tidak pernah membantah perintah orangtua lebih banyak, hal ini
53
dikarenakan pemahaman tentang akhlak seorang anak kepada orangtuanya yang harus selalu mematuhi perintah orangtua selama hal itu baik. Tabel 19 Pertanyaan Saya mencium lutut dan kaki kedua orangtua saya ketika orangtua menjenguk ke pesantren
Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban
Frekuensi
Presentase
a. Selalu
14
28%
b. Sering
8
16%
c. Jarang
15
30%
d. Kadang-kadang
9
18%
e. Tidak Pernah
4
8%
50
100%
Jumlah
Dari tabel di atas dapat di jelaskan bahwa, 15 responden (30%) menjawab saya jarang mencium lutut dan kaki kedua orangtua saya ketika orangtua menjenguk ke pesantren, 14 responden (28%) menjawab saya selalu mencium lutut dan kaki kedua orangtua saya ketika orangtua menjenguk ke pesantren, 9 responden (18%) menjawab saya kadang-kadang mencium lutut dan kaki kedua orangtua saya ketika orangtua menjenguk ke pesantren, 8 responden (16%) menjawab saya sering mencium lutut dan kaki kedua orangtua saya ketika orangtua menjenguk ke pesantren, 4 responden (8%) menjawab saya tidak pernah mencium lutut dan kaki kedua orangtua saya ketika orangtua menjenguk ke pesantren. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang jarang mencium lutut dan kaki kedua orangtua ketika orangtua menjenguk ke pesantren, hal ini dikarenakan masih adanya rasa malu untuk melakukan hal tersebut, sekalipun hal tersebut baik dan merupakan salah satu bentuk penghormatan anak kepada orangtuanya.
54
Tabel 20 Pertanyaan
Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban Frekuensi
Presentase
a. Selalu
42
84%
Saya menghormati
b. Sering
4
8%
kedua orangtua
c. Jarang
1
1%
sebagaimana saya
d. Kadang-kadang
2
4%
menghormati guru
e. Tidak Pernah
1
2%
Jumlah
50
100%
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa, 42 responden (84%) menjawab saya selalu menghormati kedua orangtua sebagaimana saya menghormati guru, 4 responden (8%) menjawab saya sering menghormati kedua orangtua sebagaimana saya menghormati guru, 1 responden (2%) menjawab saya jarang menghormati kedua orangtua sebagaimana saya menghormati guru, 2 responden (4%) menjawab saya kadang-kadang menghormati kedua orangtua sebagaimana saya menghormati guru, 1 responden (2%) menjawab saya tidak pernah menghormati kedua orangtua sebagaimana saya menghormati guru. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, santri yang selalu menghormati kedua orangtuanya sebagaimana saya menghormati guru, hal ini didasari pada rasa cinta seorang anak kepada orangtuanya serta tidak adanya rasa membedakan antara guru dan orangtua, karena guru dan orangtua sama-sama orang yang selalu ada untuk memberikan pendidikan. Tabel 21 Pertanyaan
Saya melalaikan nasihat orangtua
Pertanyaan Negatif Alternatif Jawaban Frekuensi
Presentase
a. Selalu
1
2%
b. Sering c. Jarang d. Kadang-kadang
3 4 17
6% 8% 34%
e. Tidak Pernah Jumlah
25 50
50% 100%
55
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 25 responden (50%) menjawab saya tidak pernah melalaikan nasihat orangtua, 17 responden (34%) menjawab saya kadang-kadang melalaikan nasihat orangtua, 4 responden (8%) menjawab saya jarang melalaikan nasihat orangtua, 3 responden (6%) menjawab saya sering melalaikan nasihat orangtua, 1 responden (2%) menjawab saya selalu melalaikan nasihat orangtua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, santri yang tidak pernah melalaikan nasihat orangtua lebih banyak hal ini didasari oleh rasa ta‗dzim seorang anak untuk selalu memulyakan kedua orangtuanya. Tabel 22 Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban
Pertanyaan
Frekuensi
Presentase
a. Selalu
32
64%
Ketika orangtua
b. Sering
12
24%
memerintah saya
c. Jarang
3
6%
langsung
d. Kadang-kadang
3
6%
melaksanakannya
e. Tidak Pernah
-
-
50
100%
Jumlah
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa, 32 responden (64%) menjawab ketika orangtua memerintah saya selalu langsung melaksanakannya, 12 responden (24%)
menjawab
ketika
orangtua
memerintah
saya
sering
langsung
melaksanakannya, 3 responden (6%) menjawab ketika orangtua memerintah saya jarang langsung melaksanakannya, 3 responden (6%) menjawab ketika orangtua memerintah saya kadang-kadang langsung melaksanakannya, dan 0 responden menjawab
ketika
orangtua
memerintah
saya
tidak
pernah
langsung
melaksanakannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang ketika orangtua memerintah selalu langsung melaksanakannya lebih banyak, hal ini didasari oleh sikap santri yang tidak ingin membuat kecewa orangtuanya yang menanti-nanti perintah dari orangtuanya.
56
Tabel 23 Petanyaan Saya menghormati kerabat-kerabat orangtua sebagaimana saya menghormati orangtua
Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban
Frekuensi
Presentase
a. Selalu
32
64%
b. Sering
12
24%
c. Jarang
3
6%
d. Kadang-kadang
3
6%
e. Tidak Pernah
-
-
50
100%
Jumlah
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 32 responden (64%) menjawab saya selalu menghormati kerabat-kerabat orangtua sebagaimana saya menghormati orangtua, 12 responden (24%) menjawab saya sering menghormati kerabat-kerabat orangtua sebagaimana saya menghormati orangtua, 3 responden (6%) menjawab saya jarang menghormati kerabat-kerabat orangtua sebagaimana saya menghormati orangtua, 3 responden (6%) menjawab saya kadang-kadang menghormati kerabat-kerabat orangtua sebagaimana saya menghormati orangtua, dan 0 responden menjawab saya tidak pernah menghormati kerabat-kerabat orangtua sebagaimana saya menghormati orangtua. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa santri yang selalu menghormati kerabat-kerabat orangtua sebagaimana saya menghormati orangtua lebih banyak, hal ini disebabkan oleh pemahaman santri tentang akhlak dan bersikap kepada kerabat-kerabat orangtua sebagaimana yang dianjurkan dalam syari‗at islam. Tabel 24 Pertanyaan Ketika berbicara dengan orangtua saya merendahkan suara saya
Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban a. Selalu b. Sering c. Jarang d. Kadang-kadang e. Tidak Pernah Jumlah
Frekuensi
Presentase
29 12 3 4 2 50
58% 24% 6% 8% 4% 100%
57
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 29 responden (58%) menjawab ketika berbicara dengan orangtua, saya selalu merendahkan suara saya, 12 responden (24%) menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya sering merendahkan suara saya, 3 responden (6%) menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya jarang merendahkan suara saya, 4 responden (8%) menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya kadang-kadang merendahkan suara saya, 2 responden (4%) menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya tidak pernah merendahkan suara saya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa santri yang ketika berbicara dengan orangtua selalu merendahkan suaranya lebih banyak, hal ini dikarenakan para santri telah dapat memahami dengan baik bagaimana harus bersikap ketika berhadapan dengan orangtua. Tabel 25 Pertanyaan
Pertanyaan Positif Alternatif Jawaban
Frekuensi
Presentase
a. Selalu
31
58%
Ketika berbicara
b. Sering
12
24%
dengan orangtua saya
c. Jarang
3
6%
menggunakan bahasa
d. Kadang-kadang
4
8%
yang baik dan sopan
e. Tidak Pernah
-
-
50
100%
Jumlah
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, 31 responden (58%) menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya selalu menggunakan bahasa yang baik dan sopan, 12 responden (24%) menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya sering menggunakan bahasa yang baik dan sopan, 3 responden (6%) menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya jarang menggunakan bahasa yang baik dan sopan, 4 responden (8%) menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya kadang-kadang menggunakan bahasa yang baik dan sopan, 0 responden menjawab ketika berbicara dengan orangtua saya tidak pernah menggunakan bahasa yang baik dan sopan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, santri yang ketika berbicara dengan orangtua selalu menggunakan bahasa
58
yang baik dan sopan lebih banyak, hal ini membuktikan bahwa para santri telah dapat memahami dengan baik akhlak dan cara bersikap kepada orangtua. B. Pengujian Hipotesis Penerapan Budaya Keraton terhadap Akkhlak Santri Tabel 26 Perhitungan untuk memperoleh angka indeks korelasi antara variabel X dan Variabel Y X Y X² Y²
XY
1
29
55
841
3025
1595
2
31
65
961
4225
2015
3
29
59
841
3481
1711
4
28
66
784
4356
1848
5
31
57
961
3249
1767
6
32
59
1024
3481
1888
7
33
54
1089
2916
1782
8
32
56
1024
3136
1792
9
33
57
1089
3249
1881
10
31
52
961
2704
1612
11
34
61
1156
3721
2074
12
29
58
841
3364
1682
13
34
64
1156
4096
2176
14
32
60
1024
3600
1920
15
36
65
1296
4225
2340
16
34
54
1156
2916
1836
17
25
44
625
1936
1100
18
21
39
441
1521
819
19
34
63
1156
3969
2142
20
24
52
576
2704
1248
No. Responden
59
21
37
68
1369
4624
2516
22
37
68
1369
4624
2516
23
30
64
900
4096
1920
24
38
64
1444
4096
2432
25
26
67
676
4489
1742
26
36
67
1296
4489
2412
27
30
66
900
4356
1980
28
34
58
1156
3364
1972
29
34
63
1156
3969
2142
30
19
59
361
3481
1121
31
25
64
625
4096
1600
32
38
70
1444
4900
2660
33
38
70
1444
4900
2660
34
39
69
1521
4761
2691
35
39
69
1521
4761
2691
36
38
69
1444
4761
2622
37
36
69
1296
4761
2484
38
31
67
961
4489
2077
39
36
68
1296
4624
2448
40
36
68
1296
4624
2448
41
30
63
900
3969
1890
42
37
62
1369
3844
2294
43
22
58
484
3364
1276
44
36
61
1296
3721
2196
45
37
63
1369
3969
2331
46
38
68
1444
4624
2584
47
31
65
961
4225
2015
48
35
61
1225
3721
2135
60
49
37
68
1369
4624
2516
50
38
66
1444
4356
2508
∑X = 2
∑Y = 2
∑X²
∑Y²
∑XY
1630
3102
54338
194556
102107
N= 50
Setelah keseluruhan data dihitung maka dapat diketahui N = 50, ∑X = 1630, ∑Y = 3102, ∑X² = 54338, ∑Y² = 194556, ∑XY = 102107, maka dapat dicari indeks korelassinnya dengan menggunakan rumus product moment sebagai berikut : ∑ √
∑
(∑ )(∑ )
(∑ )
∑
(∑
)
= 50 x 102107 – 1630 x 3102 √[(50 x 54338 – (1630)²)][(50 x 194556 – (3102)²)] = 5105350 – 5056260 √(2716900 – 2656900)(9727800 – 9622404) = 49090 √60.000 . 105396 = 49090 √6. 323. 760. 000 = 49090 79. 522, 07241 = 0, 61 Setelah melakukan didapatkan antara
perhitungan secara keseluruhan, maka hasil yang
hubungan penerapan budaya keraton dengan akhlak santri
Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon, diperoleh angka korelasi ―r‖ product moment sebesar 0, 61. C. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Interpretasi dan Pemaknaan Hasil Angket Penelitian Berdasarkan hasil perhitungan di atas, maka penulis memberikan interpretasi terhadap angka indeks korelasi ―r” product moment melalui dua cara yaitu :
61
a. Interpretasi secara sederhana atau kasar Interpretasi terhadap rxy dan perhitungan di atas ternyata angka korelasi antara variabel X dan Variabel Y bertanda positif, berarti diantara kedua variabel tersebut terdapat korelasi positif (korelasi yang berjalan searah). Dengan memperhatikan besarnya rxy (yaitu 0, 61), berarti antara variabel X dan Y memang terdapat korelasi yang signifikan. Hal ini mengacu pada Angka Indeks Korelasi ―r‖ Product Moment yaitu : Besarnya "r" Product Moment (rxy)
Tabel 27 Indeks Korelasi Product Moment Interpretasi
0,00-0,20
Antara variable X dengan variable Y memang terdapat korelasi, akan tetapi korelasi itu sangat lemah atau sangat rendah sehingga korelasi itu diabaikan ( di anggap tidak ada korelasi antara variable X dengan variable Y )
0,20 -0,40
Antara variable X dengan variable Y terdapat korelasi yang lemah atau sangant rendah
0,40 -0,70
Antara variable X dengan variable Y terdapat korelasi yang sedang atau cukup
0,70 -0,90
Antara variable X dengan variable Y terdapat korelasi yang kuat atau tinggi
0,90 -1,00
Antara variable X dengan variable Y terdapat korelasi yang sangat tinggi
b. Interpretasi dengan menggunakan tabel nilai ―r‖ product moment Rumusan Hipotesa Alternatif (Ha) dan Hipotesa Nihil (Ho), yang penulis ajukan adalah : 1) Hipotesis alternative (Ha), yaitu adanya pengaruh yang signifikan antara penerapan budaya keraton terhadap akhlak santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummmah Buntet Pesantren Cirebon. 2) Hipotesis Nol (Ho), yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan antara penerapan budaya keraton terhadap akhlak santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummmah Buntet Pesantren Cirebon.
62
Adapun kriteria pengajuannya adalah : jika r hitung > r tabel maka Ha diterima dan Ho ditolak. Sebaliknya jika r hitung < r tabel maka Ha ditolak dan Ho diterima. Kemudian penulis mencari derajat bebasnya (df atau db) dengan rumusnya adalah : Df = N – nr = 50 – 2 = 48 Dengan memeriksa tabel ―r‖ roduct moment ternyata df sebesar 48 tidak terdapat dalam tabel, maka angka yang digunakan adalah angka yang terdekat dari 48 yaitu 50, sehingga diperoleh r tabel pada taraf signifikasi 5% adalah 0, 27 dan pada taraf signifikasi 1% adalah 0, 35. Dengan demikian hasil yang diperoleh adalah r hitung > r tabel (r hitung 0, 61 > r tabel 5% = 0, 27 / r hitung 0, 61 > r tabel 1% = 0, 35) yang artinya r hitung lebih besar (0, 61) dari r tabel 5% (0, 27) dan r tabel 1% (0, 35). Maka hasil akhir yang diperoleh adalah bahwa hubungan antara penerapan budaya keraton dengan akhlak santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon merupakan korelasi yang positif yakni terdapat hubungan yang signifikan. 2. Keterkaitan Pola Perilaku Adab Abdi Dalem di Keraton dengan Adab Santri di Pesantren Berdasarkan hasil penelitian yang telah ditemukan, bahwa penerapan budaya keraton mempunyai pengaruh yang signifikan dalam pembentukan akhlak santri pondok Pesantren Nadwatul Ummah. Hal ini menggambarkan bahwa dengan adanya sistem penerapan budaya keraton sangat membantu proses pendidikan di pesantren terutama pendidikan akhlak yang berperan dalam membentuk moral santri yang sesuai dengan syari‗at Islam. Karena pada dasarnya sistem penerapan budaya keraton di pesantren bertujuan memberikan pendidikan akhlak secara nyata sehingga para santri dapat memahami secara mendalam teori pendidikan yang telah dipelajari. Semisal dengan teori pendidikan akhlak yang menjelaskan bahwa seorang murid haruslah mendapat ridlo dari seorang guru dan menghindari kemurkaannya serta harus patuh kepada guru, hal ini tergambar dalam sistem sosial yang diberlakukan di pesantren bahwa setiap santri ketika berjalan di depan rumah guru tidak boleh
63
bergerombol
dan
memunculkan
kerimbutan
karena
hal
tersebut
dapat
mengganggu ketenangan guru dan keluarganya sehingga dapat membuat guru kesal dan marah. Selain itu, para santri juga diwajibkan bersikap sopan kepada orangtua dengan tidak memandang wajahnya ketika berbicara, sikap demikian dilakukan sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa seorang anak ketika berhadapan dengan oangtuanya haruslah merendahkan dirinya. Hal ini menunjukan bahwa dengan adanya sistem tersebut santri dapat langsung memahami
dan
memeraktekan teori akhlak secara langsung dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penerapan budaya keraton sangat efektif untuk di terapkan karena dapat membantu proses pendidikan terutama pendidikan akhlak yang langsung dipraktekan oleh para santri lewat terapan sistem budaya keraton yang dalam hal ini adalah bentuk akhlak atau sikap abdi dalem terhadap sultan atau raja. Selain itu pula dengan diterapkannya sistem budaya keraton di pesantren telah memberikan efek positif terhadap para santri karena dengan adanya terapan sistem tersebut para santri benar-benar telah memahami bagaimana harus bersikap terhadap guru beserta keluarganya, juga kepada orangtua maupun kerabat orangtua mereka. 3. Keterkaitan Hasil Penelitian Dengan Penelitian Terdahulu Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa hasil dari penelitian penulis terkait hubungan penerapan budaya keraton dengan akhlak santri pondok pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon memiliki hubungan yang signifikan, dikarenakan praktek budaya yang diterapkan dipesantren memiliki peran yang positif dalam memberikan pengalaman nyata terhadap para santri terutama dalam hal pendidikan akhlak. Dalam kajian penelitian terdahulu yang relevan, dijelaskan bahwa keraton memiliki peran penting terhadap kehidupan sosial masyarakat yang tinggal di wilayah sekitar Keraton, baik dalam hal ekonomi maupun dalam segi pelestarian budaya. Hal ini disebabkan oleh fungsi Keraton yang kini berfungsi sebagai
64
tempat pelestarian budaya nenek moyang serta menjadi pusat perekonomian masyarakat sekitar yang membuka usaha di sekitar keraton. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keterkaitan hasil penelitian dengan hasil penelitian terdahulu yang relevan adalah bahwa Keraton telah memberikan dampak positif terhadap masyarakat yang berada di lingkungan sekitar baik dalam hal perekonomian, pelestarian budaya, serta dalam hal pendidikan di wilayah sekitar keraton. Hal ini didasari pada faktor sejarah dimana Keraton pada masa dulu merupakan kerajaaan yang berkuasa di wilayahnya sehingga kebijakan-kebijakan Keraton akan selalu memberikan dampak terhadap kehidupan masyarakat sekitar. D. Keterbatasan Penelitian Pada pelaksanaan penelitian, peneliti menemukan beberapa hambatan sehingga menyulitkan peneliti untuk mendapatkan menyelesaikan penelitian sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, adapun hambatan yang ditemui penulis antara lain adalah : 1. Waktu dan Jarak Judul dalam skripsi ini adalah Hubungan Penerapan Budaya Keraton Terhadap Akhlak Santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon, sehubungan dengan judul yang terkait secara otomatis dalam pelaksanaan penelitian haruslah mengadakan peneletian di tempat yaitu di Pondok Pesantren Nadwatul Umma Buntet Pesantren Cirebon. Karena hal itulah, peneliti sedikit merasa terberatkan karena jarak tempuh antara Jakarta dan Cirebon tidaklah dekat. Selain itu pula, waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan penelitian tidaklah sebentar, dan terkadang ketika peneliti sudah menjadwal dengan baik jadwal penelitian namun sesekali jadwal tersebut tidak sesuai dengan situasi dan kondisi di Pesantren sehingga jadwal harus diatur ulang dengan menyesuaikan situasi dan kondisi di Pesantren, semisal ketika peneliti ingin melaksanakan wawancara dengan pengasuh Pesantren yang ternyata ketika peneliti datang Pengasuh
sedang tidak berada di Pesantren sehingga
membutuhkan waktu lagi untuk melakukan wawancara dilain hari. Selain itupula, dalam proses observasi maupun pengambilan photo dokumentasi kegiatan di
65
pesantren peneliti tidak bisa langsung melaksankan berbarengan dengan pelaksanaan kegiatan di pesantren karena waktu dan kondisi peneliti yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan jadwal kegiatan Pesantren. 2. Biaya Penelitian Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penelitian dilaksanakan di tempat yang jauh dari asal peneliti sehingga dalam pelaksanaannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, terhitung dari biaya transportasi maupun akomodasi sehari-hari peneliti dalam melaksanakan penelitian di Pesantren yang terkadang penelitipun harus berkali-kali mendatangi Pesantren di waktu dan hari yang berbeda, serta biaya pembuatan angket yang harus disebar ke beberapa santri di Pesantren yang tidak sedikit. Oleh karenanyalah peneliti dalam melaksanakan
penelitian
sangat
berhati-hati
terutama
dalam
kebijakan
menggunakan biaya untuk pelaksanaan penelitian. 3. Kekhawatiran Peneliti Pesantren yang menjadi fokus penelitian dalam penulisan skripsi ini merupakan tempat dimana peneliti pernah menjadi santri dan menjalani proses pendidikan agama Islam, sehingga sedikit banyaknya peneliti memahami situasi dan kondisi sosial di Pesantren serta dalam diri peneliti masih tersimpan kepatuhan yang dalam akan nasihat dan titah Pengasuh dan juga keluarga besar Pesantren. Berdasarkan hal tersebut, peneliti sedikit merasa khawatir akan penelitian ini. Adapun sebab kekhawatiran peneliti antaralain adalah : a. Peneliti khawatir pihak Pesantren baik Pengasuh maupun keluarga besar Pesantren merasa tersiggung dengan tema maupun judul dari penelitian, b. Adanya perasaan kurang menyenangkan dari peneliti, karena khawatir penelitian yang dilaksanakan merupakan hal yang tidak sopan untuk dilakukan karena terkesan melawan, c. Khawatir
akan
adanya
penolakan
tentang
penelitian
sehingga
menyebabkan peneliti harus merubah konsep dan juga tema maupun judul skripsi, dan
66
d. Khawatir akan adannya perlawan dari pihak pesantren tentang hasil penelitian nanti bila hasil penelitian ternnyata jauh dari harapan yang di inginkan pihak pesantren. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam pelaksanaan penelitian baik wawancara maupun observasi peneliti tidak merasakan kebebasan sehingga menyebabkan proses penelitian sedikit terhambat, semisal dengan pertanyaanpertanyaan yang akan diajukan dalam wawancara kepada pengasuh Pesantren peneliti harus kembali berdiskusi dengan para guru yang berada di Pesantren demi menjaga tidak adanya kesalah pahaman dalam proses wawancara. 4. Pendapat Pengasuh yang Berbeda Sebagaimana yang telah penulis ketahui bahwa sistem yang diberlakukan di pesantren merupakan sistem yang serupa dengan sistem yang diberlakukan di keraton terutama dalam hal penerapan sikap abdi dalem kepada sultan atau raja. Namun ketika penulis melaksanakan wawancara dan menanyakan kepada pengasuh
tentang
latar
belakang
penerapan
sistem
dipesantren,
beliau
menerangkan bahwa sistem yang diberlakukan bukan karena meniru terhadap sistem yang diterapkan dalam keraton melainkan sistem yang diberlakukan merupakan terapan yang memang sudah ada dalam syari‗at Islam. Dengan adanya pernyataan tersebut membuat penulis sedikit bingung karena pada praktek nyatanya setelah dipadukan dengan temuan teoritis oleh penulis, sistem yang diterapkan banyak meniru sistem yang ada dikeraton.
67
BAB V Penutup A. Kesimpulan Setelah penjelasan dari hasil penelitian yang penulis dapat, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Pondok pesantren Nadwatul Ummah adalah pesantren yang dikategorikan sebagai pesantren yang Klasik/Salafi. Hal tersebut dikarenakan masih banyak tradisi-tradisi pesantren klasik yang diterapakan di pesantren. Semisal, sistem pengajian yang masih menggunakan metode sorogan dan wetonan serta kitab yang diajarkan
merupakan kitab-kitab klasik (kitab kuning), tradisi
musyawarah/Bahtsul masail, dan pemberian ijazah kepada santri yang telah menyelesaikan pembelajaran kitab-kitab Besar dan masyhur. 2. Pengasuh Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon merupakan keturunan dari Syekh Syarif Hidyatullah pendiri kerajaan Islam di Cirebon yang sekarang dikenal dengan Keraton Kasepuhan Cirebon dan hingga saat ini masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan keluarga besar Keraton Kasepuhan Cirebon. Sehingga pola pendidikan dan pola kehidupan sosial di pesantren telah terpengaruh oleh sistem yang berlaku di Keraton. Hal tersebut digambarkan dengan diterapkannya sistem budaya keraton yang dalam hal ini adalah adab abdi dalem kepada sultan/raja dan santri diibaratkan seorang abdi dalem yang harus beradab luhur ketika berada di lingkungan keraton. Sehingga ketika santri berada di lingkungan pesantren haruslah beradab luhur dan patuh serta tunduk kepada titah Kiyai/Guru di Pesantren. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara penerapan Budaya Keraton dengan Akhlak santri di Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon dengan nilai korelasi sedang atau cukup yaitu sebesar 0, 61. Penilaian tersebut mengacu pada tabel Indeks Korelasi Product Moment yang menyebutkan bahwa apabila nilai korelasi yang didapat adalah 0, 40 – 0, 70 maka nilai korelasi yang didapat antra variabel X dan Y adalah sedang atau cukup.
68
4. Pola perilaku abdi dalem ketika berada di lingkungan Keraton dengan pola perilaku santri ketika berada di ilngkungan pesantren memiliki kesamaan yang signifikan. Hal tersebut dikarenakan penerapan sistem budaya keraton yang diterapkan di pesantren sesuai dengan syari‗at agama yang menjelaskan tentang adab-adab seorang murid kepada guru. Semisal dengan adab seorang abdi dalem ketika menghadap sultan harus duduk dengan posisi yang lebih rendah dari sultan/raja. Demikian pula dengan santri yang ketika menghadap Kiyai/guru harus duduk dengan posisi yang lebih rendah dari posisi duduk Kiyai/guru. Karena hal tersebut merupakan betuk penghormatan dan memulyakan seorang guru yang derajatnya lebih tinggi. 5. Penerapan adab abdi dalem yang diterpakan kepada santri di Pesantren sangatlah tepat, karena dapat membantu proses belajar mengajar di pesantren terutama dalam pembelajaran akhlak. Karena dengan adanya terapan adab abdi dalem, santri dapat langsung memahamai secara mendalam dan memeraktekan teroi-teori pendidikan aklak yang telah mereka pelajari dalam pengajian kitabkitab klasik. B. Implikasi Setelah disimpulkan hasl dari penelitian yang dilakukan penulis, maka implikasi dari hasil penelitian ini adalah : 1. Penerapan budaya keraton sangat efektif diterapkan karena membantu proses pendidikan di pesantren terutama pendidikan akhlak, oleh karenanyalah perlu adanya peningkatan dalam penerapan budaya tersebut. 2. Model-model penerapan budaya keraton tersebut perlu kiranya untuk diberikan pejelasan kepada seluruh santri karena tidak semua santri dapat memahami betul makna dan tujuan dari penerapan budaya keraton di pesantren. C. Saran Melihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis memberi saran dalam penerapan budaya keraton di pesantren adalah :
69
1. Bagi para santri harus merealisasikan penerapan budaya keraton tersebut dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan pesantren maupun di luar lingkungan pesantren, karena akhlak merupakan pondasi dari setiap perbuatan. 2. Sekalipun budaya keraton diterapkan para guru harus tetap menjaga intensitas pertemuan dengan santri demi terciptanya hubungan sosial yang harmonis antar guru dan murid sehingga murid tidak akan memiliki rasa enggan bahkan takut untuk berhadapan maupun berdiskusi dengan guru.
70
Daftar Pustaka Ahmadi, Abu, Noor Salimi, MKDU Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta, Bumi Aksara, 2004)cet. Ke-4 Al-Ghazali (Penerjemah; A. M. Basalamah), Adab dalam Agama, (1992, Gema Insani Press, Jakarta) Cet. 3 Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, (2007, Dar-Al-Ma‗rifah, Lebanon) Al-Jarjani, ‗Ali Ibn Muhammad, ت اف يزع ت ال, (Al-Haramain, Jeddah) Al-Zarnuji, م ي ل عت م ي ل ع تم ال, (t.t, tt. p, Surabaya) Arikunto,
Suharsimi,
Prosedur
Penelitian
Suatu
Pendekatan
Praktik,
(Jakarta:Rineka Cipta, 1993) bin Abdul Qadir Jawas, Yazid, Adab & Akhlak Penuntut Ilmu, (2010, Pustaka AtTaqwa, Bogor) bin ahmad Nubhan, Muhammad, عدّاألدب, (Surabaya,tt. p, 1980) bin Al-Hajjaj, Al-Imam Muslim, Shahih Muslim, (2008, Dar-Alkitab, Lebanon) bin Shalih al-‗Utsman, Muhammad, Penerjemah Ahmad Sabiq, Syarah Adab dan Manfa‟ at Menuntut Ilmu, (Jakarta, Pustaka Imam Asy-Syafi‗i, 2007) cet 2 Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 2011) El-Hakim,Luthfi, Wawancara, Pondok Pesantren Nadwatul Ummah, Cirebon, 20 Juli 2013 Ghazali, M. Bahri, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan Kasus Pondok Pesantren An-Nuqoyah, (Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 2001) Ghoffar, M. Abdul, Buku, Jati Diri Muslim, Terj. Dari Syahsiyatul Al-Muslim Kamaa Yashughuha Al-Islam fii
Al-Kkitab wa
Al-Sunnah oleh
Muhammad Ali Al-Hasyimil (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 1999) Cet. I Haedari, Amin, Transformasi Pesantren Pengembangan Aspek Pendidikan, keagamaan, dan Sosial, (Jakarta: LeKDIS & Media Nusantara, 2006) Hidayati, Heny Narendrani, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa, (Jakarta, UIN Press, 2009) Isma‗il Al-Bukhori, Abdullah bin Muhammad bin, Matan al-Bukhari, (t.t, AlHaramain, Jeddah)
71
Jalaludin, Psikologi Agama Memahami Prilaku dengan Mengaplikasikan PrinsipPrinsip Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012) M. Setiadi, Elly, Kama A. Hakam, Ridwan Effendi, Ilmu Sosial & Budya Dasar Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) Nasrullah, Rulli, Komunikasi Antar Budaya di Era Budaya Siber, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012) Pendidikan Nasional, Departemen, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008) Pendidikan Nasional, Departemen, Kamus Besar Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001) Perpustakaan Nasional RI, Etika Berkeluarga Bermasyarakat dan Berpolitik, (Jakarta, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‗an, 2009) Putra, Haidar, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007) Qomar, Mujamil, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, (Jakarta, Erlangga, 2009) Rahardjo, M. Darwan, Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: Pustakan LP3ES Indonnesia, 2007) Roqib, Moh, Harmoni Dalam Budaya Jawa (Dimensi Edukasi dan Keadilan Gender), (Purwokerto, STAIN Purwokerto Press, 2007) S. Ramdani, Gelar. Pengertian Abdi Dalem, 2012, (kompaasiana.com) Soenarto, D, Kesetiaan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, (Yogyakarta, Kepel Press, 2013) Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung, Alfabeta, 2007) Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuntitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung, Alfabeta, 2010) Cet. Ke-10 Suharto, Babun, Dari Pesantren Untuk Umat, (Surabaya, IMTIYAZ, 2011) Sujdono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006) Sukawi ,Pengertian Alun-alun, 2013, (Loenpia. net)
72
Tholibin ―Respons Masyarakat Modern Terhadap Eksistensi Tradisi Panjang Jimat Keraton Kasepuhan Cirebon (Studi Terhadap Masyarakat Kasepuhan RW.04 Sitimulya)” Skripsi Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Sunan Kali Jaga Yogyakarta, 2009, tidak dipublikasikan. Wahyuning Tyas, Yesy, ―Analisis Nilai Dan Makna Simbolik Teks Serat Tata Cara Keraton Dalam Naskah Serat Abdi Dalem Keraton‖ skripsi pada Universiitas Indonesia, Jakarta, 2009, tidak dipublikasikan
Lampiran 1 Angket Penelitian
Lampiran 2 Pedoman Wawancara Wawancara dilaksanakan di Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon dan diajukan kepada Pengasuh Pondok Pesantren Dr. KH. Luthfi El-Hakim, MA. 1. Bagaimana sejarah berdirinya pesantren Nadwaul Ummah Buntet Pesantren Cirebon? Pondok Pesantren Nadwatul Ummah berdiri pada tahun 1971 oleh Prof. Dr. KH. MA. Fu‘ad Hasyim di Buntet Pesantren Astana Japura Cirebon. Berdirinya Pondok Pesantren Nadwatul Ummah diawali oleh pemikiran Prof. Dr. KH. MA. Fu‘ad Hasyim akan pentingnya mendirikan pesantren demi menjadi wadah bagi putra-putrinya untuk mengamalkan ilmunya ketika dewasa nanti, hal ini dikarenakan hampir semua putra dan putri beliau menjalani pendidikan melalui pesantren-pesantren yang berada di Indonesia maupun di luar Indonesia, dengan harapan ketika putra dan putri beliau telah selesai menjalani pendidikannya sudah ada wadah untuk mengamalkan serta memanfa‘atkan ilmu yang telah didapat dalam pendidikannya. Pada awal berdirinya Pondok Nadwatul Ummah, Prof. Dr. KH. MA. Fuad Hasyim tidak membuka jalur pendidikan di dalam pesantren, beliau hanya memfasilitasi para santri yang ingin tinggal dan mengaji di Buntet dengan menempatkan mereka di Pondok yang hanya terbuat dari bilik bambu. Beliaupun hanya mengajar para santrinya pada bulan Ramadhan saja dengan mengajarkan kitab Tafsir Al-Jalalain, hal ini dikarenakan kesibukan beliau dalam berdakwah baik di dalam maupun luar negeri. Sekalipun demikian para santri tetap menjalani pendidikan pesantren lewat pengajian sorogan dan wetonan di rumah-rumah kiyai maupun asrama-asrama yang mengadakan pengajian Al-Qur‘an maupun pengajian Kitab Kuning. Karena Buntet merupakan lingkungan pesantren, sehingga banyak kiyai yang membuka pengajian dirumahnya masing-masing.
Lampiran 3 Pedoman Wawancara 2. Apakah penerpan sistem di pesantren mencontoh sistem sosial yang ada di keraton? Perlu diketahui, bahwa sistem penerapan tersebut bukan sematamata meniru ataupun mencontoh dari keraton, karena pada dasarnya islampun sudah mengajari kita untuk menghormati guru, dan dalam syari‘at islampun hal-hal tersebut sudah diajari. Semisal dengan akhlak para sahabat kepada Nabi Muhammad SAW yang tercantum dalam AlQur‘an : .3
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (Q. S. Al-Hujarat : 2) Dan juga etika para sahabta yang tidak pernah memandang wajah Rasul dikarenakan sebagai bentuk penghormatan dan juga karena tidak sanggup untuk memandang wajah Rasul karena pancaran cahaya yang sangat terang.
Lampiran 4 Pedoman Wawancara 3. Apa latar belakang diterapkannya sistem sosial budaya keraton abdi dalem di pesantren? Sistem pendidikan yang ada pada zaman ssekarang menjadi fakto utama dalam diterpakannya sistem di pesantren, karena pada umumnya lembaga-lembaga pendidikan baik yang negeri amupun yang swasta mereka kurang memperhatikan pentingnya pendidikan akhlak. Mereka hanya memperhatikan sistem pendidikan yang hanya terfokus pada teori saja tanpa adanya praktek nyata dalam sebuah proses pendidikan di sekolah. 4. Apa sistem tersebut diterapkan sejak berdirinya pesantren Nadwatul Ummah? Sistem sosial yang dditerapkan di pesantren, diterapkan mulai tahun 1998 ketika saya (Dr. KH. Lthfi El-hakim) diangkat menjadi pengasuh oleh bapak di pesantren . 5. Apa tujuan diterapkannya sistem sosial budaya keraton abdi dalem di pesantren? Tujuan yang mendasar dari penerapan sistem ini di pesantren adalah utuk memberikna pendidikan akhlak secara nyata kepada santri agar para santri dapat memahami secara mendalam tentang teori-teori akhlak yang telah dipelajari. 6. Bagaimana santri memahami terapan sistem tersebut dengan baik, Sementara tidak semua santri mengenal keraton? Setiap penerimaan santri baru, di pesantren selalu mengadakan penataran. Dimana dalam kegiatan tersebut, para santri di didik maksimal 5 hari lamanya. Adapun dalam pelaksanaan kegiatan tersebut diisi oleh pengenalan-pengenalan mendasar pesantren seperti
sejarah pesantren,
pengenalan keluarga besar pesantren, serta pengenalan dan pemberian pemahaman sistem sosial yang diberlakukan di pesantren.
Lampiran 5 Pedoman Observasi
Lampiran 6 Penentuan Sampel Dalam menentukan sampel penelitian, peneliti menggunakan metode sistematis random sampling, karena populasi sampel berstrata dalam tingkatan kelas yang berjumlah 9 kelas, maka peneliti menggunakan metode hitungan dalam menentukan sampel di setiap kelas dengan cara sebagai berikut : S = JSS x JS JP Keterangan :
S : Sampel yang di butuhkan JSS : Jumlah Sampel Strata JP : Jumlah Populasi JS : Jumlah Sampel
Dengan memperhatikan jumlah populasi (Santri) 251 dan jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 20% dari populasi yaitu 50 Sampel (Santri), maka hasil yang diperoleh adalah : No Kelas 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Shifir Awwal A Shifir Awwal B Shifir Tsani A Shifir Tsani B Tsanawiyah A Tsanawiyah B Tsanawiyah II Tsanawiyah III Tsanawiyah IV
Jumlah Santri 31 43 44 42 21 23 21 17 9
Hasil Hitungan S = 31 x 50 = 6 251 S = 43 x 50 = 9 251 S = 31 x 50 = 9 251 S = 31 x 50 = 8 251 S = 31 x 50 = 4 251 S = 31 x 50 = 5 251 S = 31 x 50 = 4 251 S = 31 x 50 = 3 251 S = 31 x 50 = 2 251
Lampiran 7 Hasil Validitas Instrumen Variabel X
*Valid **Valid (Hasil Hitung Program SPSS)
Lampiran 8 Hasil Validitas Variabel Y
*Valid **Valid (Hasil Hitung Program SPSS)
Lampiran 9 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Variabel X Case Processing Summary N
%
Cases Valid
50
100,0
Excludeda
0
,0
Total 50
50
100,0
Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items ,712
11
(Hasil Hitung Program SPSS)
Lampiran 10 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Variabel Y Case Processing Summary N
%
Cases Valid
50
100,0
Excludeda
0
,0
Total 50
50
100,0
Reliability Statistics Cronbach's Alpha N of Items ,711 (Hasil Hitung Program SPSS)
18
Lampiran 11 Data Mentah Hitungan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
1 5 5 4 5 4 4 5 5 4 5 5 5 3 4 5 5 5 2 5 5 5 5 4 5 5 5 4 4 5 2 4
2 4 3 4 4 5 5 5 5 5 4 5 4 4 4 5 5 4 2 5 2 5 5 4 5 4 5 4 5 4 3 5
3 5 5 5 4 4 5 5 5 5 5 5 4 4 5 5 5 5 4 5 3 5 5 4 5 5 5 5 5 5 3 3
Variabel Item Soal X 4 5 5 2 4 2 3 2 3 3 5 3 5 2 4 4 3 2 4 3 3 3 5 2 5 4 5 3 4 3 5 3 5 1 2 2 1 2 3 3 4 1 5 3 5 3 4 2 5 4 2 2 5 3 3 5 5 3 5 1 3 2 4 2
6 2 4 5 3 4 4 3 4 4 4 2 1 5 4 3 5 3 4 4 4 4 4 3 5 4 5 3 4 5 1 1
7 2 3 2 3 3 3 3 4 4 3 5 2 5 5 5 3 2 2 4 4 5 5 4 4 2 3 4 3 4 1 2
8 4 5 4 3 3 4 4 4 4 4 5 4 5 3 5 5 2 4 5 1 5 5 5 5 2 5 2 5 5 4 4
Total 29 31 29 28 31 32 33 32 33 31 34 29 34 32 36 34 25 21 34 24 37 37 30 38 26 36 30 34 34 19 25
32
5
5
5
5
5
5
3
5
38
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 4 5 6 7 8 9 10
5 5 5 5 5 5 5 5 4 4 1 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 4 5 5 4 5 2 5 5 5 4 5 5 5
5 5 5 5 5 4 5 5 4 5 2 5 5 5 5 5 5 5
5 5 5 5 5 4 3 3 4 5 2 4 3 4 4 5 3 5 Total
3 4 4 3 3 2 3 3 1 5 4 3 5 5 2 2 5 5
5 5 5 5 4 4 5 5 5 3 2 5 4 5 2 5 4 5
5 5 5 5 5 3 5 5 4 5 4 5 5 4 4 3 5 3
5 5 5 5 4 5 5 5 4 5 5 4 5 5 5 5 5 5
38 39 39 38 36 31 36 36 30 37 22 36 37 38 31 35 37 38 1630
Lampiran 12 Data Mentah Hitungan Variabel Item SoalY
No
Total
9
10 11
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
1
5
5
3
4
5
5
3
2
3
5
3
5
4
3
55
2
5
5
5
4
5
5
5
3
5
5
5
5
5
3
65
3
5
4
5
4
5
5
4
1
5
4
4
5
4
4
59
4
5
5
5
5
5
5
5
4
5
5
4
5
4
4
66
5
3
5
4
5
5
5
4
3
5
4
2
4
4
4
57
6
5
5
4
5
5
5
3
3
5
3
4
4
4
4
59
7
4
4
4
4
2
4
4
3
5
4
4
4
4
4
54
8
3
4
4
4
5
5
4
1
5
5
4
4
4
4
56
9
5
4
4
5
4
4
4
2
4
4
5
4
4
4
57
10
4
3
5
4
4
5
4
3
4
4
3
2
3
4
52
11
5
5
5
3
5
5
5
3
5
5
4
5
2
4
61
12
5
4
3
4
5
4
5
5
4
4
5
5
1
4
58
13
5
5
4
3
5
5
4
5
5
4
5
5
5
4
64
14
4
4
4
5
5
5
3
4
5
4
4
4
5
4
60
15
5
5
5
5
5
5
4
5
5
5
5
5
4
2
65
16
5
5
5
5
5
5
4
3
2
4
4
2
3
2
54
17
4
2
4
4
4
5
4
1
4
4
2
2
2
2
44
18
3
4
4
3
2
4
4
2
2
2
3
2
2
2
39
19
5
5
4
5
5
5
3
4
5
4
4
5
4
5
63
20
3
5
3
5
5
1
4
3
5
3
2
4
4
5
52
21
5
5
5
5
5
5
5
3
5
5
5
5
5
5
68
22
5
5
5
5
5
5
5
3
5
5
5
5
5
5
68
23
5
4
4
4
5
5
5
2
5
5
5
5
5
5
64
24
5
5
5
5
5
4
4
1
5
5
5
5
5
5
64
25
5
5
5
4
5
5
5
5
5
4
5
4
5
5
67
26
5
5
5
4
4
5
5
5
5
5
5
4
5
5
67
27
5
4
5
5
4
5
5
4
5
5
5
4
5
5
66
28
5
5
5
4
5
5
3
2
5
2
5
2
5
5
58
29
2
5
5
5
5
5
5
4
5
5
5
2
5
5
63
30
5
3
5
5
5
5
5
2
5
3
5
5
3
3
59
31
4
4
5
4
5
2
5
5
5
5
5
5
5
5
64
32
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
70
33
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
70
34
5
5
5
5
4
5
5
5
5
5
5
5
5
5
69
35
4
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
69
36
5
5
5
5
5
5
4
5
5
5
5
5
5
5
69
37
5
5
5
5
5
5
5
4
5
5
5
5
5
5
69
38
5
5
5
4
5
5
5
3
5
5
5
5
5
5
67
39
5
5
5
5
5
5
5
3
5
5
5
5
5
5
68
40
5
5
5
5
5
5
5
3
5
5
5
5
5
5
68
41
4
4
4
4
5
5
4
5
5
5
5
4
4
5
63
42
5
5
5
5
5
5
5
4
5
1
5
4
3
5
62
43
5
2
4
5
5
4
5
2
5
5
5
5
1
5
58
44
5
5
5
5
5
5
3
2
5
2
4
5
5
5
61
45
4
5
5
5
4
5
5
3
5
3
4
5
5
5
63
46
5
5
5
5
5
5
5
5
5
4
4
5
5
5
68
47
5
5
4
5
5
5
5
2
5
4
5
5
5
5
65
48
5
5
5
5
5
5
1
1
5
4
5
5
5
5
61
49
5
5
5
5
5
5
5
4
5
4
5
5
5
5
68
50
5
5
5
5
4
5
5
3
5
4
5
5
5
5
66
Total
3102
Lampiran 13 Hasil Analisis Deskriptif Setelah keseluruhan data dihitung maka dapat diketahui N = 50, ∑X = 1630, ∑Y = 3102, ∑X² = 54338, ∑Y² = 194556, ∑XY = 102107, maka dapat dicari indeks korelassinnya dengan menggunakan rumus product moment sebagai berikut : ∑ √
∑
(∑ )(∑ )
(∑ )
∑
(∑
)
= 50 x 102107 – 1630 x 3102 √[(50 x 54338 – (1630)²)][(50 x 194556 – (3102)²)] = 5105350 – 5056260 √(2716900 – 2656900)(9727800 – 9622404) = 49090 √60.000 . 105396 = 49090 √6. 323. 760. 000 = 49090 79. 522, 07241 = 0, 617 Dengan memeriksa tabel ―r‖ roduct moment ternyata df sebesar 48 tidak terdapat dalam tabel, maka angka yang digunakan adalah angka yang terdekat dari 48 yaitu 50, sehingga diperoleh r tabel pada taraf signifikasi 5% adalah 0, 273 dan pada taraf signifikasi 1% adalah 0, 354. Dengan demikian hasil yang diperoleh adalah r hitung > r tabel (r hitung 0, 617 > r tabel 5% = 0, 273 / r hitung 0, 617 > r tabel 1% = 0, 354) yang artinya r hitung lebih besar (0, 617) dari r tabel 5% (0, 273) dan r tabel 1% (0, 354). Maka hasil akhir yang diperoleh adalah bahwa hubungan antara penerapan budaya keraton dengan akhlak santri Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon merupakan korelasi yang positif yakni terdapat hubungan yang signifikan.
Lampiran 14 Photo-photo Hasil Penelitian
Lampiran 15 Profil Pesantren 1. Alamat Pesantren Pondok Pesantren Nadwatu Ummah beralamat di komplek Pondok Buntet Pesantren Rt. 010 Rw. 04 Ds. Mertapada Kulon Kec. Astanajapura Kab. Cirebon Jawa Barat. 2. Visi Pondok Pesantren Nadwatul Ummah adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang sejak berdirinya tahun 1971 tetap mempertahankan salafiyahnya dengan menganut Thoriqoh At-Ta’alum Watta’alum senantiasa menjadi rukun pengembangn keilmuan ke-Islaman dan dakwah multi kultural. 3. Misi Pondok Pesantren a. Mengembangkan pesantren secara keilmuan dan kelembagaan serta melakukan pencerahan kepada masyarakaat melalui kegiatan Ta’lim Tarbiyah dan Ta’dib. b. Meningkatkan kompetensi lulusan Pondok Pesantren melalui pembekalan moral, skill dan penguatan dibidang ilmiah dan alamiah serta pengembangan wawasan demi mencetak lulusan yang berakhlakul karimah serta berilmu amaliyah dan beramal ilmiah. 4. Dirosah Diniyah Jenjang pendidikan Pondok Pesantren Nadwatul Ummah dimulai dirosah diniyyah dengan dua tingkat, yaitu tingkat ibtidaiyah dan tsanawiyah. Ditingkat ibtidaiyyah yang ditempuh selama dua tahun, lebih diprioritaskan pada pembinaan akhlak, ilmu tajwid, pemantapan tauhid dan pengenalan dasar-dasar gramatikal arab (ilmu nahwu) sebagai persiapan memasuki tingkat tsnawiyah. Selanjutnya ditingkat tsanawiyah akan ditempuh selama 4 tahun pada kelas 1, 2, 3, dan 4 tsanawiyah. Materi yang ditekankan adalah pendalaman ilmu nahwu dan shororf (dengan kajian utama: kelas 1 Jurumiyah, kelas 2 Imrithi, kelas 3 Alfiyah ibn Malik Juz I, kelas 4 Alfiyah Ibn Malik juz 2) serta dilegkapi pula kajan tauhid, fiqih, ushul fiqih, mustholahul hadits, maupun risalatul mahidh sebagai penyempurna.
Lampiran 16 Surat Izin Penelitian
Lampiran 17 Surat keterangan telah melaksanakan penelitian di pesantren
Lampiran 18 Hasil Uji Referensi
Lampiran 19 Hassil Uji Referensi
Lampiran 20 Hassil Uji Referensi
Lampiran 21 Data Pribadi Penulis Nama
: Ahmad Yusuf Qurdhowi
Tempat Tanggal Lahir
: Jakarta, 21 Februari 1992
Status
: Belum Nikah
Tinggi Badan
: 165 Cm
Berat Badan
: 52 Kg
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Thalib II Rt. 10 Rw. 05 Krukut Tamansari Jakarta Barat
1. Riwayat Pendidikan Formal : a. TK Islam Fatahilah Jakarta Barat masuk tahun 1996 lulus tahun 1998. b. SDN (Sekolah Dasar Negeri) 01 Pagi Ketapang Krukut Jakarta Barat masuk tahun 1998 lulus tahun 2003 c. MTs NU (Madrasah Tsanawiyah Nahdlatul Ulama) Buntet Pesantren Cirebon, masuk tahun 2003 lulus tahun 2006. d. MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Buntet Pesantren Cirebon, masuk tahun 2006 lulus tahun 2009. e. UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta, masuk tahun 2009. 2. Riwayat Pendidikan non-Formal : a. Pondok Pesantren Nadwatul Ummah Buntet Pesantren Cirebon, masuk tahun 2003 selesai tahun 2009 b. Pondok Pesantren Darul Hikam Ciputat, masuk tahun 2009 selesai tahun 2013.