1
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEPATUHAN DAN KEMANDIRIAN SANTRI REMAJA DI PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH
NURLAILI RAHMAH DINI
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
2
ABSTRAK NURLAILI RAHMAH DINI. The Relationship between Emotional Intelligence with Adolescent
Santri’s
Obedience
and
Autonomy
in
Pondok
Pesantren
Asshiddiqiyah. Supervised by DIAH KRISNATUTI and TIN HERAWATI. Pesantren is one of national education institution which focuses not only in general knowledge but also religion knowledge. Obedience and autonomy are two things which popularly in boarding school life. There are many activities and rules that students have to do well. The main objective of this research was to observe the relation between emotional intelligence with obedience and autonomy of santri. The method of this research was cross sectional study with 63 samples. Analysis data which used was Sample’s Independent T-test, Spearman’s Correlation, and Chi-Square’s Correlation. The results of this research showed that emotional intelligence level of females was higher than males. Obedience level of females was classified as middle level and males was classified as low level. Autonomy level of females and males was classified as high level. There was correlation between emotional intelligence with obedience and autonomy. Despite of that, there was also correlation between quantities of family with emotional intelligence. If students had good emotional intelligence, they also had good obedience and autonomy. Keyword : emotional intelligence, obedience, autonomy
3
RINGKASAN NURLAILI RAHMAH DINI. I24052395. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kepatuhan dan Kemandirian Santri Remaja di Pondok Pesantren. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI dan TIN HERAWATI. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian pada santri remaja di pondok pesantren. Secara khusus, penelitian ini bertujuan : (1) Mengidentifikasi karakteristik contoh dan karakteristik keluarga contoh, (2) Mengidentifikasi kecerdasan emosional contoh, (3) Mengidentifikasi kepatuhan dan kemandirian contoh, (4) Mengidentifikasi persepsi contoh terhadap pola asuh emosi di pondok pesantren, (5) Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh dan keluarga dengan tingkat kecerdasan emosional, (6) Menganalisis hubungan antara tingkat kecerdasan emosional, kepatuhan, dan kemandirian contoh. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study. Penelitian ini dilakukan di SMP Manba’ul Ulum Pondok Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Pemilihan tempat dilakukan secara purposive dengan pertimbangan lokasi penelitian merupakan pondok pesantren modern. Pengumpulan data dilakukan dari bulan Mei sampai Juni 2009. Total contoh dalam penelitian ini sebanyak 63 santri dengan 32 santri laki-laki dan 31 santri perempuan. Data primer meliputi kecerdasan emosional, kepatuhan, kemandirian, persepsi pola asuh emosi, karakteristik pribadi dan keluarga contoh. Data sekunder yang digunakan adalah karakteristik pondok pesantren. Data yang diperoleh melalui proses editing, coding, scoring, entry data ke computer, cleaning, dan analisis data dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS for windows versi 13. Setelah itu, data dianalisis dengan menggunakan uji deskriptif, beda mean, dan korelasi. Lebih dari separuh contoh berusia 13 tahun, tergolong pada kategori anak pertama, dan berasal dari keluarga dengan ukuran sedang (5-6 orang). Lebih dari separuh contoh memiliki orangtua dengan kategori usia dewasa madya (4060 tahun) untuk ayah dan dewasa awal (18-40 tahun) untuk ibu. Persentase terbesar contoh memiliki orangtua dengan pendidikan tertinggi adalah SMA/sederajat, pendapatan yang berkisar antara Rp 1 juta – Rp 3 juta, dan pekerjaan ayah sebagai wiraswasta serta ibu sebagai ibu rumah tangga. Sebagian besar contoh memiliki kecerdasan emosional yang tergolong baik. Lebih dari separuh contoh memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Hampir seluruh contoh memiliki kemandirian yang baik dan tidak terkecuali dalam kemandirian emosi, kemandirian perilaku serta kemandirian nilai. Hampir seluruh contoh menyimpulkan bahwa pola asuh emosi di pondok pesantren termasuk dalam kategori baik. Selain itu, pengasuh atau ustad/ustadzah ternyata cenderung menerapkan jenis pola asuh pelatih emosi atau coaching kepada para santri. Mengenai hubungan antar variabel, dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara karakteristik contoh dengan kecerdasan emosional. Karakteristik keluarga memiliki hubungan dengan kecerdasan emosional, walaupun hanya besar keluarga saja sehingga semakin banyak anggota keluarga contoh maka kecerdasan emosional contoh juga semakin meningkat. Kecerdasan emosional ternyata memiliki hubungan yang sangat nyata terhadap kepatuhan dan berhubungan nyata dengan kemandirian contoh. Kecerdasan emosional akan menentukan kepatuhan dan kemandirian. Jika
4
emosi yang dimiliki contoh sudah berada pada tingkat baik maka kepatuhan dan kemandiriannya pun akan baik pula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berhubungan dengan kemandirian dan kepatuhan. Oleh karena itu, hendaknya para orangtua dan pengasuh atau ustad/ustadzah bekerja sama dengan melakukan sharing yang efektif dalam memberikan pemahaman akan manfaat dari segala peraturan dan kegiatan yang ada, sesekali mengadakan kegiatan yang lebih santai, memberikan kepercayaan, melakukan pengontrolan dengan kontinu dan tepat sasaran serta menerapkan pola asuh yang terbaik dan sesuai dengan kebutuhan para santri. Selain itu, adanya hubungan yang positif antara pola asuh dengan kepatuhan maka pihak pondok pesantren diharapkan dapat melakukan evaluasi terhadap pola asuh yang selama ini diterapkan.
5
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEPATUHAN DAN KEMANDIRIAN SANTRI REMAJA DI PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH
NURLAILI RAHMAH DINI
Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
6
Judul
:
HUBUNGAN
KECERDASAN
EMOSIONAL
DENGAN
KEPATUHAN DAN KEMANDIRIAN SANTRI REMAJA DI PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH Nama
:
Nurlaili Rahmah Dini
NRP
:
I24052395
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dosen Pembimbing
Tin Herawati, SP. M.Si NIP. 19720428 200604 2 007
Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS NIP. 19601007 198503 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc NIP. 19630714 198703 1 002
Tanggal Lulus :
7
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah dengan baik. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, MS dan Tin Herawati, SP. M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas bimbingan, arahan, waktu, kesabaran, dan ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih karena ibu telah memberikan dukungan, semangat, keceriaan, dan optimisme kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Hartoyo, M.Si selaku dosen pembimbing akademik selama 3 tahun di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen atas perhatian, motivasi, dan keceriaan yang telah diberikan kepada penulis. 3. Neti Hernawati, SP. M.Si selaku dosen pemandu seminar dan Dr. Ir. Dwi Hastuti, M.Sc selaku dosen penguji sidang atas waktu dan masukan yang telah diberikan kepada penulis selama seminar dan ujian sidang. 4. Orangtuaku, Teteh, Riri, dan Bullah yang selalu dan tak pernah putus memberi semua dukungan, kasih sayang dan doa kepada penulis. 5. Keluarga besarku, Nenek, Kakek yang tidak pernah putus mendoakan penulis dan selalu mengingatkan penulis agar tetap ikhtiar dan tawakal kepada Allah SWT. 6. Kepala sekolah dan guru SMP Manba’ul Ulum Pondok Pesantren Asshiddiqiyah yang telah memberikan waktu, izin, dan bantuan dalam pengambilan data kepada penulis. 7. Sahabat-sahabatku di IKK’42 : Tika, Anne, Sri, Asro, Bu Endah, Anna, Maul dan semuanya yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih untuk dukungan, semangat, tawa serta canda yang telah diberikan kepada penulis. 8. Sahabat-sahabatku di Ash-Shohwah tercinta : Ais, Vivit, Tante, Chila dan semuanya yang selalu memberikan semangat, bantuan, dan perhatian kepada penulis. 9. Semua pihak yang telah berkenan untuk berpartisipasi. Semoga Allah membalas kebaikan saudara dengan hal yang jauh lebih baik. Amin.
8
Penulis menyadari bahwa segala sesuatu tidaklah luput dari kesalahan. Penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini serta mengharapkan kritik dan saran untuk dapat memperbaikinya. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, Februari 2010
Nurlaili Rahmah Dini
9
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1987. Penulis adalah anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak Samsudin dan Ibu Siti Asnawati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Ceger 02 Pagi pada tahun 1999. Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, penulis melanjutkan pendidikan di MTs Manba’ul Ulum Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Tangerang dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 2002. Pada tahun 2005, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas di MAN 2 Jakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas, penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB). Penulis diterima di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis berhasil diterima menjadi mahasiswa Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia dengan minor Komunikasi. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Ilmiah tahun ajaran 2008/2009. Selain itu, penulis pernah masuk dalam 10 finalis LKTM Tingkat IPB Bidang Pendidikan yang diselenggarakan oleh DIKTI tahun 2008. Penulis merupakan anggota divisi perusahaan Koran Kampus IPB pada tahun 2007 dan anggota dari klub bahasa Inggris dan tumbuh kembang anak Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen pada tahun 2006-2008.
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
v
PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................... Perumusan Masalah ...................................................................... Tujuan Penelitian............................................................................ Kegunaan Penelitian ......................................................................
1 2 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Kepatuhan...................................................................................... Kemandirian................................................................................... Kecerdasan Emosi ......................................................................... Pola Asuh....................................................................................... Pondok Pesantren.......................................................................... Remaja .......................................................................................... Karakteristik keluarga.....................................................................
6 7 11 13 17 19 23
KERANGKA PEMIKIRAN ..........................................................................
25
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, Waktu, dan cara pemilihan contoh ...................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data................................................ Pengolahan dan Analisa Data ........................................................ Definisi Operasional .......................................................................
27 28 29 32
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................... Karakteristik Contoh ....................................................................... Karakteristik Keluarga .................................................................... Kecerdasan Emosional .................................................................. Kepatuhan ..................................................................................... Kemandirian................................................................................... Pola asuh emosi............................................................................. Hubungan Antar Variabel ...............................................................
34 37 38 41 51 54 60 65
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
72
LAMPIRAN ................................................................................................
76
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Perbedaan sikap antara anak laki-laki dan perempuan..............................
21
2 Jenis dan cara pengumpulan data .............................................................
28
3 Variabel dan cara pengkategorian .............................................................
29
4 Karakteristik SMP Manba’ul Ulum .............................................................
36
5 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin .................................
37
6 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran dan jenis kelamin .............
38
7 Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua ..............................................
39
8 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan terakhir orangtua .......................
39
9 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orangtua .....................................
40
10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga.................................
40
11 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga ..........................................
41
12 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan kesadaran diri .........................
42
13 Sebaran contoh berdasarkan kategori kesadaran diri ..............................
43
14 Sebaran contoh berdasarkan pengaturan diri ..........................................
44
15 Sebaran contoh berdasarkan kategori pengaturan diri.............................
44
16 Sebaran contoh berdasarkan motivasi.....................................................
45
17 Sebaran contoh berdasarkan kategori motivasi .......................................
46
18 Sebaran contoh berdasarkan empati .......................................................
47
19 Sebaran contoh berdasarkan kategori empati..........................................
48
20 Sebaran contoh berdasarkan keterampilan sosial....................................
48
21 Sebaran contoh berdasarkan kategori keterampilan sosial ......................
48
22 Sebaran contoh berdasarkan kategori kecerdasan emosi..................... ..
50
23 Sebaran contoh berdasarkan aspek kepatuhan .......................................
51
24 Sebaran contoh berdasarkan alasan dalam aspek kepatuhan..............
52
25 Sebaran contoh berdasarkan perasaan bersalah dalam aspek kepatuhan................................................................................................
53
26 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kepatuhan .......................
54
27 Sebaran contoh berdasarkan kemandirian emosi ....................................
55
28 Sebaran contoh berdasarkan hal yang dilakukan dalam kemandirian emosi.......................................................................................................
56
29 Sebaran contoh berdasarkan kemandirian perilaku .................................
57
30 Sebaran contoh berdasarkan hal yang dilakukan dalam kemandirian
iii
perilaku ....................................................................................................
57
31 Sebaran contoh berdasarkan kemandirian nilai .......................................
58
32 Sebaran contoh berdasarkan hal yang dilakukan dalam kemandirian nilai ..........................................................................................................
58
33 Sebaran contoh berdasarkan kategori kemandirian .................................
59
34 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh pelatih emosi.............................
61
35 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh pengabai emosi.........................
61
36 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh tidak menyetujui ........................
62
37 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh Laissez Faire.............................
62
38 Sebaran contoh berdasarkan persepsi santri terhadap pola asuh emosi.......................................................................................................
63
39 Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan pola asuh emosi...............
64
40 Hubungan karakteristik contoh dengan kecerdasan emosional................
65
41 Hubungan karakteristik keluarga dengan kecerdasan emosional.............
66
42 Hubungan antara besar keluarga dengan kecerdasan emosional............
66
43 Hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian ..
67
44 Hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan..............................
68
45 Hubungan kecerdasan emosional dengan kemandirian...........................
68
46 Hubungan pola asuh emosi dengan kepatuhan dan kemandirian ............
69
47 Hubungan pola asuh emosi dengan kepatuhan .......................................
69
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian santri remaja...................................................................
26
2 Kerangka penarikan contoh .......................................................................
27
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Variabel dan reliabilitas..............................................................................
77
2 Alasan lain yang dipilih contoh dalam aspek kepatuhan ............................
78
3 Alasan lain yang dilakukan contoh dalam aspek kemandirian....................
80
4 Tata tertib pondok pesantren tentang keamanan .......................................
81
5 Tata tertib pondok pesantren tentang perijinan santri ................................
85
6 Tata tertib pondok pesantren tentang kebersihan lingkungan ....................
87
7 Tata tertib siswa SMP Manba’ul Ulum Jakarta...........................................
88
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Era globalisasi merupakan suatu zaman dimana pertukaran budaya, seni dan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi sangat pesat dan bebas. Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk memasuki era ini. Salah satunya adalah memiliki sumberdaya manusia yang berkualitas tidak hanya dari segi IQ (Intelligence Quotient) melainkan juga EI (Emotional Intelligence) serta berdayasaing tinggi. Menurut Kuncoro (2008) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat 107 dari 177 negara yang menggambarkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia masih sangat rendah. Setiap individu, pada dasarnya dituntut untuk memiliki beragam keterampilan yang dapat menunjang kemampuan agar berdayasaing tinggi. Terampil tidak hanya dalam bekerja (bagian dari IQ) tetapi juga secara emosi (bagian dari EI). Di negara Indonesia ternyata kedua hal ini belum mendapat dukungan yang maksimal oleh sistem pendidikan yang ada. Selama ini para siswa ditekankan untuk mengerti dan memahami materi pelajaran hanya agar dapat menjawab soal ujian dengan benar. Padahal sesungguhnya, dalam dunia kerja tidak hanya kecerdasan inteligensi yang dibutuhkan melainkan juga kemampuan-kemampuan secara psikis seperti memiliki kepribadian yang baik, tangguh, disipilin, beretos kerja, profesional, mandiri, bertanggung jawab, dan produktif. Hartono (2006) menjelaskan bahwa pondok pesantren merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki fokus tidak hanya pada ilmu pengetahuan umum tetapi juga ilmu agama. Selain itu sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren juga tidak sama dengan sekolah umum biasa. Hal itu terlihat bahwa pondok pesantren lebih menekankan sistem pengajaran yang berlandaskan kekeluargaan. Hal ini dilakukan karena sebagian besar santrinya berusia belasan tahun atau biasa dikenal dengan masa remaja dimana dipenuhi oleh gejolak emosi yang meluap-luap dan sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain. Kehidupan di pesantren sangat dikenal dengan kepatuhan dan kemandirian santrinya (Hartono 2006). Kepatuhan digambarkan sebagai sikap dari seorang santri untuk mengikuti, dengan kesadaran sendiri, peraturan-peraturan yang ada di pondok. Sedangkan kemandirian merupakan kemampuan santri untuk mandiri
2
tidak hanya secara emosi melainkan juga tingkah laku dan nilai dalam membangun pandangan hidup. Sebagian besar santri dapat dikatakan berasal dari keluarga dengan adat dan budaya yang berbeda-beda, sehingga tugas kiai atau ustad/ustadzah adalah sebagai orangtua pengganti, yang berkewajiban menjaga, memberi kasih sayang dan mendidik para santri selama berada di pondok pesantren. Pesantren mengajarkan santri bahwa mereka harus memiliki disiplin dan kesadaran diri dalam melakukan kegiatan apa pun, sehingga nantinya mereka dapat memahami manfaat dari apa yang telah mereka lakukan. Hal itu terlihat jelas dari beberapa peraturan dan sanksi di pondok pesantren yang secara sengaja diadakan untuk menunjang terciptanya kepatuhan dan kemandirian santri dalam melaksanakan kehidupannya sehari-hari, walaupun tetap saja semua itu kembali kepada kepribadian masing-masing santri dan kecerdasan emosi yang dimilikinya. Kepatuhan dan kemandirian merupakan bagian dari kehidupan pesantren yang mengajarkan sikap dan tingkah laku jujur dan bermoral kepada santri serta menyiapkan mereka untuk hidup sederhana dan bersih hati. Santri remaja terkenal dengan sebutan fase “mencari jati diri” dan fase perkembangan yang amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat bagaimana hubungan kecerdasan emosi dengan kepatuhan dan kemandirian para santri remaja di pondok pesantren. Perumusan Masalah Data HDI (Human Development Index) menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 107 dari 177 negara (Kuncoro 2008). Berdasarkan data di atas maka pembangunan manusia di Indonesia dapat dikatakan berada pada tingkat medium atau sedang. Hal ini merupakan petunjuk sekaligus tanda bahwa pembangunan manusia di Indonesia masih sangat perlu ditingkatkan. Individu yang mulai memasuki masa remaja akan menghadapi masa yang penuh konflik. Hal ini menimbulkan keresahan dan kontradiksi pada diri remaja. Kemandirian dan kepatuhan yang merupakan bagian dari tugas-tugas perkembangan remaja dirasa mulai perlu diperhatikan. Hal ini juga berlaku bagi santri remaja yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Para santri dituntut untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri mulai dari merapikan lemari pakaian, kamar, meja belajar, mengelola uang saku, mengatur jadwal kegiatan sehari-hari bahkan sampai mencuci pakaian mereka sendiri.
3
Santri tidak bisa mengandalkan orang lain karena setiap santri mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa para santri tidak saling peduli satu sama lain. Terlepas dari latar belakang keluarga yang berbeda, seluruh santri dihadapkan pada sejumlah peraturan yang harus dipatuhi dan sanksi-sanksi jika ada yang melanggar. Kepatuhan pada taraf tertentu diduga dapat menghambat perkembangan kemandirian dari seorang santri (Hartono 2006). Hal ini dikarenakan kepatuhan menuntut santri untuk mengikuti peraturan yang ada tanpa memikirkan manfaat yang akan diperolehnya. Meskipun
demikian,
peraturan sebenarnya sengaja diadakan agar santri mematuhi dengan kesadaran
sendiri dan
memiliki
kemandirian untuk
dapat
menjalankan
kehidupannya kelak dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Hartono (2006) menunjukkan bahwa kepatuhan santri remaja di pesantren sudah berada pada tingkat yang cukup tinggi. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik remaja yang cenderung menyesuaikan tingkah laku dengan norma yang berlaku di dalam lingkungannya sehingga santripun cenderung untuk melaksanakan perintah (aturan pondok pesantren) atau permintaan kiai yang dianggapnya sebagai pimpinan dari pondok pesantren. Akan tetapi kemandirian santri masih dalam tingkat sedang dan rendah yang berarti santri belum benar-benar mandiri baik dalam hal emosi, tingkah laku maupun nilai untuk membangun kepercayaan dan pandangan hidup yang sesuai dengan nilainya sendiri. Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas, terdapat pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya melalui penelitian ini yaitu : 1. Bagaimana karakteristik santri dan keluarganya? 2. Bagaimana santri mempersepsikan pola asuh emosi di pondok pesantren? 3. Bagaimana
tingkat
kecerdasan
emosional
santri
di
pondok
pesantren? 4. Bagaimana kepatuhan santri terhadap aturan sekolah dan aturan pondok pesantren? 5. Bagaimana kemandirian santri (baik secara emosi, tingkah laku maupun nilai) dalam menjalankan tugas?
4
Tujuan Penelitian Tujuan Umum : Mengetahui hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian santri di pondok pesantren. Tujuan Khusus : 1. Mengidentifikasi karakteristik anak (usia, jenis kelamin dan urutan kelahiran) dan karakteristik keluarga (usia, pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan besar keluarga) 2. Mengukur tingkat kecerdasan emosional contoh (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial) 3. Mengidentifikasi kepatuhan contoh (patuh terhadap aturan di sekolah dan pondok pesantren) dan kemandirian contoh (tingkah laku, emosi dan nilai dalam membangun pandangan hidup) 4. Mengukur persepsi contoh terhadap pola asuh emosi di pondok pesantren 5. Menganalisis hubungan antara karakteristik anak dan keluarga dengan tingkat kecerdasan emosional 6. Menganalisis hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian contoh Kegunaan Penelitian 1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana berlatih untuk mempelajari fenomena yang ada di masyarakat sehingga diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dibangku kuliah agar bermanfaat bagi orang banyak. 2. Bagi para orangtua dan generasi muda, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai suatu sarana kajian mengenai kecerdasan emosional dan hubungannya dengan kepatuhan dan kemandirian yang dimiliki remaja. 3. Bagi institusi pendidikan, khususnya pondok pesantren, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk meningkatkan kualitas yang berkaitan dengan kecerdasan emosional, kepatuhan dan kemandirian santri. 4. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat yang berkaitan dengan kecerdasan emosional, kepatuhan
5
dan kemandirian santri, sehingga masyarakat diharapkan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini.
6
TINJAUAN PUSTAKA Kepatuhan Menurut Hartono (2006) kepatuhan adalah perubahan sikap dan tingkahlaku seseorang untuk mengikuti permintaan atau perintah orang lain. Seseorang dikatakan patuh terhadap orang lain apabila orang tersebut dapat: (1) mempercayai (belief), (2) menerima (accept), dan (3) melakukan (act) sesuatu atas permintaan atau perintah orang lain. “Belief” dan “accept” merupakan dimensi kepatuhan yang terkait aspek tingkah-laku patuh seseorang. McKendry
(2009)
menjelaskan
bahwa
kepatuhan
merupakan
kecenderungan dan kerelaan seseorang untuk memenuhi dan menerima permintaan, baik yang berasal dari seorang pemimpin atau yang bersifat mutlak sebagai sebuah tata tertib atau perintah. Ada dua macam istilah kepatuhan yaitu kepatuhan baik yang biasa disebut kepatuhan bermanfaat dan kepatuhan yang kurang baik atau merusak. Kepatuhan bermanfaat ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari seperti seorang anak yang patuh kepada orangtua dan guru atau karyawan yang harus secara rutin menjalankan instruksi yang diberikan oleh pemimpin atau bos mereka. Sedangkan kepatuhan yang kurang baik atau kepatuhan yang merusak terlihat pada suatu kelompok yang mempengaruhi orang lain serta perilaku orang tersebut. Selain itu, jika ada seseorang yang patuh kepada orang lain dengan tujuan untuk menyakiti orang tersebut yang sebenarnya tidak ingin ia sakiti ketika berada dibawah suatu ancaman maka hal itu bisa dikatakan sebagai kepatuhan yang merusak. Hartono (2006) menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kepatuhan dan kemandirian dalam tradisi pesantren meskipun hanya pada tingkat sedang atau dapat juga dikatakan bukan suatu hubungan yang saling tergantung karena hanya menggambarkan fakta yang memang demikian adanya. Kepatuhan dalam kehidupan pesantren merupakan suatu kecenderungan untuk memenuhi dan mengikuti semua aturan berdasarkan kesadaran diri santri atas manfaat yang akan diperoleh kelak. Para santri diharapkan melakukan semua kegiatan tanpa adanya tekanan akan hukuman, baik yang bersifat fisik seperti hukuman wajib piket kebersihan maupun psikologis seperti skorsing dan dikeluarkan dari pesantren.
7
Harrison (2009) menjelaskan cara-cara yang dapat dilakukan untuk mencegah kepatuhan yang merusak : 1. Memberikan dukungan atas perselisihan atau perbedaan di depan umum Banyak sekali individu yang memiliki kelemahan dalam mengutarakan pendapat karena tidak yakin bahwa orang lain memiliki pendapat yang sama dengan dirinya. Jika seseorang dalam suatu forum diberi dukungan untuk mengutarakan pendapat tanpa tekanan akan adanya tindakan balasan terhadap tindakannya tersebut maka ada banyak anggota lain yang akan ikut mengutarakan pendapat mereka. Jika sudah banyak anggota, dalam forum, yang mengutarakan perhatian-perhatian mereka, maka cara tersebut akan mengurangi kekuatan suatu forum atau kelompok dalam menarik anggota untuk sekedar mengikuti tanpa adanya pemahaman dan penjelasan (Baron & Byrne 2004, diacu dalam Harrison 2009). 2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang bahaya kepatuhan yang merusak Pengetahuan terbukti dapat menjadikan individu memiliki cara dalam melawan tekanan buruk yang berasal dari lingkungan sekitar (Osherow 2004, diacu dalam Harrison 2009). Ketakutan akan hukuman, biasanya membuat individu merasakan efek psikologis yang ternyata dapat menguatkan hubungannya dengan suatu kelompok tertentu. Pada umumnya individu, yang termasuk dalam kelompok tertentu, sungguh dibatasi pengetahuannya terlebih yang berasal dari luar sehingga individu semakin kesulitan dalam membuat keputusan-keputusan yang bijaksana (Osherow 2004, diacu dalam Harrison 2009). Mendidik masyarakat dengan baik sebelum mereka menjadi korban dari lingkungan yang tidak baik adalah kunci dalam menghindari kepatuhan yang merusak. Kemandirian Kemandirian dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah autonomy yaitu satu
kemampuan
individu
untuk
beradaptasi
dengan
lingkungan
atau
kemampuan untuk menguasai konflik internal dan perasaan yang berkaitan dengan ketergantungan, rasa malu, rasa bersalah dan dapat melepaskan diri dari ikatan dan kehidupan orangtuanya (Frank et al. 1988). Sedangkan menurut Monks (2001) diacu dalam Musdalifah (2007) menjelaskan bahwa kemandirian merupakan perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau
8
masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Harter (1999) diacu dalam Zimmer-Gembeck (2001) menyatakan bahwa rata-rata laki-laki dan perempuan memiliki tingkat kesulitan yang sama dalam mengeluarkan pendapat ketika mereka berada di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Pada kenyataannya, remaja laki-laki mempunyai cara yang berbeda dengan remaja perempuan ketika mengeluarkan pendapat tentang apa yang dipikirkan dan ketika berinteraksi dengan berbagai orang seperti teman, orangtua ataupun guru. Remaja perempuan memiliki kepercayaan yang rendah ketika harus mengekspresikan pendapat didepan khalayak banyak dibanding laki-laki, meskipun perempuan terbukti memiliki kualitas hubungan yang lebih baik dibanding laki-laki. Steinberg (2001) menjelaskan bahwa kemandirian terbagi menjadi tiga dimensi yaitu : 1. Kemandirian emosi (emotional autonomy) Dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan kedekatan atau keterikatan hubungan emosional antara anak dengan orangtua. Remaja berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan kekanak-kanakan dengan orang tua. Hubungan antara orangtua dan anak akan mengalami perubahan dengan sangat cepat, terutama sekali pada saat anak memasuki usia remaja dimana pada usia ini anak sudah dapat mengurus dirinya sendiri, sehingga waktu yang diluangkan orang tua untuk anak remajanya akan semakin berkurang disamping menyusul semakin tingginya kemandirian emosi remaja, meskipun tidak dapat diputuskan secara sempurna (Berk 1994; Rice 1996). Kemandirian emosi harus dicapai oleh para remaja dengan melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang lain, belajar mengontrol diri sendiri dan mengidentifikasi orang tua sebagai teman yang dapat dipercaya, bukan lagi sebagai model (Beyers & Goosens 1999). Indikator kemandirian emosi pada remaja dapat dilihat dari beberapa karakteristik yaitu : (1) remaja tidak begitu saja datang kepada orang tua jika mendapat kesulitan, kesedihan, kekecewaan dan kekhawatiran ataupun meminta bantuan; (2) remaja tidak lagi memandang orang tua sebagai orang yang mengetahui dan menguasai segalanya; (3) remaja pada umumnya memiliki kekuatan emosi yang hebat untuk dapat menyelesaikan berbagai
9
permasalahan di luar keluarga dan dalam kenyataannya remaja merasa lebih dekat dengan teman dibanding orangtua; dan (4) remaja memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orangtua, baik sebagai orang tua sesungguhnya maupun sebagai teman dalam mendiskusikan berbagai hal (Steinberg 2001). Steinberg (2001) menyatakan bahwa ada empat komponen kemandirian emosi antara lain : a. Suatu tingkat dimana remaja memiliki kemampuan untuk tidak terlalu mengidealkan (“de-idealized”) orang tua b. Suatu tingkat dimana remaja memiliki kemampuan untuk memandang orang tua sebagai orang dewasa atau orang lain pada umumnya (parent as people) c. Suatu tingkat dimana remaja memiliki sikap no dependency artinya remaja lebih bersandar kepada kemampuan sendiri daripada meminta bantuan kepada orang tua d. Suatu tingkat dimana remaja menampilkan perilaku bertanggung jawab dalam hubungannya dengan orang tua (individuated) 2. Kemandirian perilaku (behavioral autonomy) Kemandirian perilaku merupakan dimensi kemandirian dalam bentuk fungsi individu yang aktif dan nyata, dimana individu memiliki kebebasan untuk berbuat dan bertindak tanpa harus bergantung pada orang lain (Sprinthal & Collins 1995). Steinberg (2001) menjelaskan individu yang mandiri secara perilaku memiliki kemampuan untuk membuat suatu keputusan sendiri dan dapat melaksanakan keputusannya tersebut. Ada tiga karakteristik remaja yang memiliki kemandirian perilaku yaitu : (1) Memiliki kemampuan mengambil keputusan; (2) Memiliki kekuatan terhadap pengaruh pihak lain; dan (3) Memiliki rasa percaya diri (self-reliance). 3. Kemandirian nilai (values autonomy) Individu telah memiliki seperangkat prinsip tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting dalam memandang sesuatu yang dilihat dari sisi nilai (Sprinthall & Collins 1995). Perkembangan kemandirian nilai membawa perubahan pada konsep remaja tentang moral, ideologi, politik dan agama. Steinberg (2001) juga menjelaskan terdapat tiga perubahan kemandirian nilai pada remaja yaitu : (a) keyakinan akan nilai-nilai semakin abstrak (abstract belief); (b) keyakinan akan nilai-nilai semakin mengarah kepada yang bersifat
10
prinsip (principle belief); dan (c) keyakinan akan nilai-nilai semakin terbentuk dalam diri remaja sendiri, bukan hanya dalam sistem nilai yang diajarkan oleh orang tua melainkan juga orang dewasa disekitarnya (independent belief). Dari ketiga dimensi kemandirian di atas, kemandirian nilailah yang paling kompleks karena terjadi melalui proses internal yang biasanya tidak disadari dan umumnya berkembang paling akhir serta paling sulit dicapai (Karma 2002). Moore (1987) dan Smolak (1993) menjelaskan kemandirian sebagai ketidaktergantungan (independence) yang terdiri dari 4 bentuk yaitu : 1. Ketidaktergantungan secara fungsional (functional independence) yaitu kemampuan seorang remaja untuk mengatur dan mengarahkan diri sendiri tanpa bantuan dari ayah dan ibu 2. Ketidaktergantungan dalam sikap (attitudinal independence) artinya remaja mampu menjadi diri yang unik yaitu memiliki keyakinan, nilai-nilai dan pendapat sendiri 3. Ketidaktergantungan dalam hal emosi (emotional independence) artinya seseorang bebas dari kebutuhan yang berlebihan akan penerimaan, keakraban dan dukungan emosi dari orangtua 4. Ketidaktergantungan konfliktual (conflictual independence) artinya bebas dari rasa bersalah dan cemas yang berlebihan. Ali dan Asrori (2009) menyatakan bahwa ada sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian remaja yaitu: 1. Gen atau keturunan orangtua Orangtua yang memiliki sifat kemandirian tinggi seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya bukan sifat kemandirian orangtua yang menurun kepada anak melainkan sifat orangtua yang muncul berdasarkan cara orangtua dalam mendidik anak. 2. Pola asuh orangtua Cara
orangtua mengasuh atau mendidik
anak akan mempengaruhi
perkembangan kemandirian anak remaja. Orangtua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarga akan dapat mendorong kelancaran perkembangan bagi seorang anak. 3. Sistem pendidikan di sekolah Proses pendidikan yang dapat memperlancar perkembangan kemandirian remaja adalah proses yang lebih menekankan pentingnya penghargaan
11
terhadap potensi anak, pemberian reward, dan penciptaan kompetisi yang positif. 4. Sistem kehidupan di masyarakat Sistem kehidupan yang dapat merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian remaja adalah lingkungan masyarakat yang aman, menghargai ekspresi potensi remaja dalam bentuk berbagai kegiatan, dan tidak terlalu hierarkis. Kecerdasan Emosi Kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence merupakan suatu kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaanperasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan (Goleman 1999). Emosi ternyata banyak mempengaruhi fungsi-fungsi psikis seperti pengamatan, tanggapan, pemikiran, dan kehendak. Seseorang akan mampu melakukan pengamatan atau pemikiran dengan baik jika disertai dengan emosi yang baik pula. Seseorang juga akan memberikan tanggapan yang positif terhadap suatu objek manakala disertai dengan emosi yang positif pula. Sebaliknya, seseorang akan melakukan pengamatan atau tanggapan negatif terhadap suatu objek, jika disertai oleh emosi yang negatif terhadap objek tersebut (Ali & Asrori 2009). Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya (Fitri 2008). Model six seconds yang dijelaskan oleh Hastuti (2008) menyebutkan bahwa ada sebelas indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat EQ seorang anak yaitu (1) memiliki kemampuan mengekspresikan emosi dan
12
memahami emosi orang lain; (2) kemampuan mengelola emosi; (3) kemampuan memberikan empati pada orang lain; (4) bersikap mandiri; (5) mudah beradaptasi dengan beragam situasi dan kondisi; (6) disukai lingkungannya; (7) memiliki orientasi untuk mencari solusi; (8) mudah berteman dan berbagi; (9) bersikap gigih; (10) bersikap penolong; dan (11) menghormati orang lain. Lima dasar kecakapan emosi dan sosial (Goleman 1999) : 1.
Kesadaran diri : mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat
2.
Pengaturan diri : menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi
3.
Motivasi : menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi
4.
Empati : merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif
mereka,
menumbuhkan
hubungan
saling
percaya
dan
menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang 5.
Keterampilan sosial : menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim. Menurut Goleman (2007) IQ hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi
faktor-faktor yang menentukan kesuksesan dalam hidup seseorang sedangkan sisanya yaitu 80 persen diperoleh dari EQ. Ia juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional seseorang dapat dilihat dari kemampuan dalam memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa. Daengsari (2009) menjelaskan bahwa pada dasarnya, perkembangan emosi dipengaruhi perkembangan beberapa aspek seperti fisik-motorik, kognitif,
13
maupun sosial. Sifat bawaan atau temperamen anak, serta pola asuh dan lingkungan sosial tempat
anak
dibesarkan juga
berpengaruh
terhadap
perkembangan emosinya. Hasil penelitian Ktyal dan Awasthi (2005) menjelaskan bahwa 61.33 persen remaja laki-laki dan 64.00 persen perempuan memiliki kecerdasan emosional yang termasuk kategori baik. Hal ini dikarenakan perempuan cenderung lebih emosi dan lebih ingin mengenal baik dalam suatu hubungan dibanding laki-laki sehingga perempuan diharuskan memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Selain itu, ada fakta yang juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk mengatur dan mengekspresikan emosi yang dimiliki sebagai kemampaun sosial. Tapia (1999) dan Dunn (2002) diacu dalam Katyal dan Awasthi (2005) menyatakan bahwa perempuan memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding laki-laki dalam hal empati, tanggung jawab sosial, dan hubungan interpersonal. Perempuan juga lebih sensitif terhadap hubungan dengan orangtua, teman, dan saudara kandung. Pola asuh Hastuti (2008) menjelaskan gaya pengasuhan adalah cara berinteraksi orangtua-anak yang paling menonjol dan dominan dalam berhubungan dengan anak. Gaya pengasuhan terbagi menjadi dua yaitu gaya pelatihan emosi dan gaya pendisiplinan. Gaya pelatihan emosi terdiri atas : 1. Coaching (pelatih emosi) Gaya ini merupakan cara terbaik untuk mengajarkan anak-anak tentang apa yang mereka rasakan dan bagaimana mengatasi perasaan tersebut dengan cara yang positif (Gottman 2004). Ciri-ciri orangtua atau pengasuh yang menerapkan gaya pengasuhan pelatih emosi menurut Gottman dan De Claire (1997) adalah : a. Orangtua menghargai emosi negatif anak sebagai sebuah kesempatan untuk semakin akrab b. Orangtua sabar dan bersedia menghabiskankan waktu bersama anak yang sedang sedih, marah dan takut c. Orangtua sadar dan menghargai emosi-emosinya sendiri
14
d. Orangtua sadar dan peka terhadap keadaan emosi anak bahkan bila emosi tersebut tidak terlalu kelihatan e. Orangtua tidak merasa bingung ataupun cemas menghadapi ungkapan emosi anak serta mengetahui apa yang perlu dilakukan untuk menghadapi emosi tersebut f. Orangtua menghormati emosi yang dialami anak g. Orangtua tidak meremehkan perasaan atau emosi negatif anak h. Orangtua tidak memerintahkan apa yang harus dirasakan oleh anak i. Orangtua tidak merasa bahwa ia harus menyelesaikan segala masalah bagi anak j. Orangtua menggunakan saat emosi anak sebagai saat mendengarkan anak, berempati dengan kata-kata yang menyejukkan dan penuh kemesraan, menolong anak memberikan nama pada emosi yang dirasakannya, memberikan petunjuk untuk mengatur emosi, menentukan batas dan mengajarkan cara mengungkapkan emosi yang dapat diterima orang lain dan mengajarkan keterampilan untuk menyelesaikan masalah. Akibat dari penerapan pola asuh pelatih emosi terhadap anak-anak antara lain mereka belajar mempercayai perasaan-perasaan mereka, mengatur emosiemosi mereka sendiri, dan menyelesaikan masalah-masalahnya. Selain itu, mereka juga mempunyai harga diri yang tinggi, dapat belajar dengan baik, dan bergaul dengan orang lain secara baik-baik. 2. Dismissing parenting style (gaya pengabai emosi) Menurut Gottman (2004) para orangtua, pengasuh dan guru meyakini bahwa cara terbaik untuk mengatasi emosi seorang anak adalah dengan mengatakan kalimat “sudah lupakan saja” kepada anak. Mereka cenderung tidak peduli terhadap apa yang dirasakan oleh seorang anak karena mereka menganggap bahwa perasaan itu tidak penting atau mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan terhadap anak mereka. Mereka sering merasa tidak nyaman jika anak-anak sedih atau marah. Mereka sangat yakin bahwa emosi negatif merupakan sesuatu yang berbahaya atau tidak penting, dan sebaiknya dihindari. Ciri-ciri orangtua atau pengasuh dengan pengasuhan perilaku pengabai emosi menurut Gottman dan De Claire (1997) yaitu : a. Orangtua memperlakukan perasaan-perasaan anak sebagai hal yang tidak penting
15
b. Orangtua melepaskan diri atau mengabaikan perasaan-perasaan anak c. Orangtua menginginkan agar emosi-emosi negatif anak hilang dengan cepat d. Orangtua menggunakan pengalih perhatian untuk menutup emosi anak e. Orangtua memperlihatkan sedikit minat pada apa yang ingin disampaikan oleh anak f. Orangtua barangkali tidak mempunyai kesadaran akan emosi-emosinya sendiri dan orang lain g. Orangtua merasa tidak nyaman, penuh rasa takut, cemas, terganggu, sakit hati, atau kewalahan dengan emosi-emosi anak h. Orangtua takut lepas kendali secara emosional i. Orangtua memusatkan perhatian lebih pada bagaimana mengatasi emosiemosi dan bukan pada makna emosi itu sendiri j. Orangtua berpendapat bahwa emosi-emosi itu merugikan atau beracun k. Orangtua berpendapat bahwa jika memusatkan perhatian pada emosi negatif maka hanya akan memperburuk keadaan l. Orangtua tidak mengetahui dengan pasti bagaimana atau apa yang harus dilakukan untuk menghadapi emosi anak m. Orangtua percaya bahwa emosi negatif berarti bahwa seorang anak tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik n. Orangtua berpendapat emosi negatif anak secara buruk mencerminkan orangtua mereka o. Orangtua menganggap kecil perasaan-perasaan anak dan meremehkan peristiwa yang menimbulkan emosi tersebut p. Orangtua tidak menyelesaikan masalah bersama dengan anak melainkan membiarkannya karena seiring berjalannya waktu maka sebagian besar masalah akan selesai dengan sendirinya 3. Disapproving style (gaya tidak menyetujui) Menurut Gottman (2004) gaya tidak menyetujui menganggap bahwa kemarahan dan tangisan seorang anak hanyalah karena menginginkan perhatian dari orangtua, pengasuh atau guru. Sikap penolakan dari orangtua, pengasuh dan guru menjelaskan bahwa emosi merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima sehingga mereka mencoba untuk memahami emosi anak dengan mendisiplinkan atau menghukum anak terkait dengan apa yang mereka rasakan.
16
Ciri dari orangtua atau pengasuh dengan gaya pengasuhan tidak menyetujui : a. Orangtua memeragakan banyak tingkah laku orangtua yang meremehkan tetapi dengan cara yang lebih negatif b. Orangtua menilai dan mengecam ungkapan emosional anak c. Orangtua terlampau sadar akan perlunya menentukan batas-batas terhadap anak-anak mereka d. Orangtua menekankan kepatuhan terhadap pedoman-pedoman ang baik atau tingkah laku yang baik e. Orangtua menghardik, menertibkan, atau menghukum anak karena mengungkapkan emosi, entah anak itu nakal atau tidak f. Orangtua percaya bahwa ungkapan emosi negatif harus dibatasi waktunya g. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif harus dikendalikan h. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif mencerminkan perangai buruk i. Orangtua berpendapat bahwa anak menggunakan emosi negatif untuk memanfaatkan
orangtua;
kepercayaan
ini
menghasilkan
perebutan
kekuasaan j. Orangtua berpendapat bahwa emosi membuat orang lemah; anak-anak harus melawan emosinya supaya dapat bertahan hidup k. Orangtua berpendapat bahwa emosi negatif tidak produktif dan merupakan pemborosan waktu l. Orangtua menganggap emosi negatif (terutama kesedihan) sebagai sebuah komoditas yang tidak boleh diboroskan m. Orangtua memprihatinkan ketaatan anak terhadap orangtua atau guru Akibat dari penerapan pola asuh mengabaikan dan tidak menyetujui terhadap anak antara lain mereka belajar bahwa perasaan-perasaan yang mereka rasa keliru, tidak tepat, atau tidak sah. Hal ini dikarenakan menurut pemahaman mereka bahwa “dari sananya” ada sesuatu yang salah dengan mereka karena cara mereka dan mereka menghadapi kesulitan untuk mengatur emosi-emosi mereka sendiri. 4. Gaya pengasuhan Laissez-faire Menurut Gottman (2004) gaya Laissez-faire merupakan suatu kebebasan bagi seorang anak dalam mengekspresikan apa yang mereka rasa, baik kebahagiaan, kemarahan atau kesedihan. Akan tetapi Laissez-faire tidak memberikan batasan terhadap kebebasan tersebut dan hanya ada sedikit
17
bimbingan agar anak dapat memahami bahwa emosi mereka baik dan tidak diajarkan bagaimana mengatasi emosi tersebut. Sedangkan menurut Gottman dan De Claire (1997) ciri-ciri orangtua atau pengasuh dengan gaya pengasuhan laissez-faire antara lain : a. Orangtua dengan bebas menerima semua ungkapan emosi anak b. Orangtua menawarkan hiburan kepada anak yang sedang mengalami kesedihan dan perasaan negatif lainnya c. Orangtua tidak mampu mengajarkan cara mengenal emosi d. Orangtua sedikit memberikan arahan tentang tingkah laku tertentu e. Orangtua tidak menentukan batasan sehingga terlalu mudah memberikan ijin f. Orangtua tidak dapat membantu anak dalam menyelesaikan masalah ataupun meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah g. Orangtua percaya bahwa hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk emosiemosi negatif selain bertahan dari emosi tersebut h. Orangtua berpendapat bahwa mengelola emosi negatif merupakan masalah ilmu hidrolika; lepaskanlah emosi, maka masalahnya akan selesai Akibat dari penerapan pola asuh Laissez-Faire terhadap anak antara lain mereka tidak belajar cara mengatur emosi mereka sendiri; mereka menghadapi kesulitan untuk berkonsentrasi, menjalin persahabatan, dan bergaul dengan anak lain. Pondok Pesantren Kata pesantren, secara etimologis, berasal dari kata pesantrian yang berarti ’tempat santri’ (Dhofier 1982, diacu dalam Ma’arif 2008). Sementara menurut Clifford Geertz (1983) diacu dalam Ma’arif (2008) istilah pesantren yang lazim disebut pondok memiliki kata dasar ’santri’ yang berarti seorang murid atau sekolah agama yang disebut pondok atau pesantren. Lalu kata itu mendapat imbuhan berupa prefiks ’pe’ dan sufiks ’an’ yang kemudian berarti tempat tinggal para santri. Secara terminologis, Abdurrahman Mas’ud (2004) diacu dalam Ma’arif (2008) mendefinisikan pesantren adalah ”the word pesantren stems from ”santri” which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to a place where the santri devotes most of his or her time to live in and acquire knowledge.” Daulay (2004) menjelaskan pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bersifat “tradisional“ untuk mendalami
18
ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian. Mastuhu (1994) diacu dalam
Ma’arif
(2008) menambahkan,
pesantren
merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dengan menekankan
pentingnya
moral
agama
Islam
sebagai
pedoman
hidup
bermasyarakat sehari-hari. Berdasarkan kenyataan di lapangan terdapat lima unsur pokok pesantren yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran ilmu-ilmu agama, dan kiai (Daulay 2004). Adapun ciri-ciri pesantren menurut pendapat Ziemek (1986) diacu dalam Ma’arif (2008) terbagi menjadi tiga yaitu (1) kiai sebagai pendiri, pelaksana, dan guru; (2) pelajar (santri) secara pribadi diajari berdasarkan naskah-naskah Arab klasik tentang pengajaran, paham, dan akidah keislaman; (3) kiai dan santri tinggal bersama-sama untuk masa yang lama, membentuk satu komunitas seperti asrama, tempat mereka sering disebut ’pondok.’ Tujuan
dasar
didirikan
pesantren
adalah
menciptakan
dan
mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. berakhlak mulia dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar (Ma’arif 2008). Selain itu, Dhofier (1982) diacu dalam Ma’arif (2008) juga menjelaskan bahwa pesantren bertujuan untuk meningkatkan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral dan menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati. Sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak kepada kiai adalah salah satu nilai pertama yang juga ditanamkan pada setiap santri (Bruinessen 1995, diacu dalam Ma’arif 2008). Nilai-nilai khas
kepesantrenan
yang
dikembangkan
oleh
pondok
pesantren, sebagaimana telah ditunjukkan Fakih (2004) diacu dalam Ma’arif (2008) adalah (1) nilai teosentris; (2) sukarela dan mengabdi; (3) kearifan; (4) kesederhanaan; (5) kolektivitas; (6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin; (8) mandiri; (9) tempat mencari ilmu dan mengabdi; (10) mengamalkan ajaran agama dan (11) restu kiai. Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan (sistem individual) dan sistem bandongan atau wetonan (kolektif). Dengan cara sistem sorogan, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kiai atau pembantu kiai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan Al-
19
Quran dan kenyataannya merupakan bagian yang paling sulit karena menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Lalu selanjutnya adalah sistem bandongan atau wetonan yang merupakan metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren. Kelompok kelas dari sistem bandongan disebut halaqah atau sekelompok santri yang belajar dibawah bimbingan seorang
guru.
Murid-murid
mendengarkan
guru
yang
membaca,
menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Sistem sorogan biasanya hanya digunakan untuk santri baru yang memerlukan bantuan secara individual (Dhofier 1985). Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pesantren tradisional sering disebut sistem salafi, yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitabkitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah) (Walsh 2002). Remaja Kata adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1980). Orang-orang Barat menyebut remaja dengan istilah ”puber” sedangkan orang Amerika menyebutnya ”adolesensi” dan keduanya merupakan transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa (Zulkifli 1995). Menurut Zulkifli (1995), anak-anak yang berusia 12 atau 13 tahun sampai dengan 19 tahun berada dalam masa pertumbuhan remaja sehingga tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya ia juga belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Sedangkan Monks (2001) menjelaskan bahwa remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan dan 18-21 tahun masa remaja akhir. Piaget (1969) diacu dalam Hurlock (1980) menjelaskan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa atau usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih
20
tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Steinberg (1993) menyatakan bahwa remaja perempuan lebih mudah terkena pengaruh orang lain atau figur otoritas, apabila dibandingkan dengan remaja laki-laki. Ali dan Asrori (2009) membagi masa remaja menjadi empat periode yaitu: 1. Periode praremaja Selama periode ini remaja perempuan dan laki-laki mengalami gejala yang hampir sama. Para remaja lebih mudah tersinggung dan cengeng tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak. 2. Periode remaja awal Selama periode ini remaja merasa cemas terhadap dirinya sendiri karena merasa kurang mendapat perhatian dari orang lain atau bahkan merasa tidak ada orang yang mempedulikannya sehingga mereka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar. 3. Periode remaja tengah Pada periode ini remaja harus meningkatkan rasa tanggung jawab agar mampu memikul sendiri masalah yang sedang mereka hadapi. Tuntutan tanggung jawab tersebut tidak hanya datang dari orangtua atau anggota keluarga tetapi juga dari masyarakat sekitar. Tidak jarang masyarakat juga menjadi masalah bagi remaja. Melihat fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang seringkali juga menunjukkan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau buruk. Akibatnya, remaja seringkali ingin membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik, dan pantas untuk dikembangkan di kalangan mereka sendiri. Lebih-lebih jika orangtua atau orang dewasa di sekitarnya ingin memaksakan nilai-nilainya agar dipatuhi oleh remaja tanpa disertai dengan alasan yang masuk akal menurut mereka. 4. Periode remaja akhir Pada periode ini, remaja mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap, perilaku yang semakin dewasa. Oleh karena itu, orangtua dan masyarakat mulai memberikan kepercayaan yang selayaknya kepada mereka. Interaksi dengan orangtua juga menjadi lebih bagus dan lancar karena mereka sudah memiliki kebebasan penuh serta emosinya pun mulai stabil. Pilihan arah hidup sudah
21
semakin jelas dan mulai mampu mengambil pilihan dan keputusan tentang arah hidupnya secara lebih bijaksana meskipun belum bisa secara penuh. Mereka
juga
mulai
memilih
cara-cara
hidup
yang
dapat
dipertanggungjawabkan terhadap dirinya sendiri, orangtua, dan masyarakat. Ciri-ciri masa remaja menurut Zulkifli (1995) antara lain : 1. Pertumbuhan fisik terjadi dengan cepat bahkan lebih cepat dibandingkan dengan masa anak-anak dan masa dewasa yang jelas terlihat pada tungkai dan tangan, tulang kaki dan tangan, dan otot-otot tubuh sehingga anak kelihatan bertubuh tinggi tetapi kepalanya masih mirip dengan anak-anak. 2. Perkembangan seksual kadang-kadang menimbulkan masalah dan menjadi penyebab timbulnya perkelahian, bunuh diri, dan sebagainya. Tanda-tanda perkembangan seksual pada anak laki-laki diantaranya alat produksi sperma mulai beroperasi, mengalami mimpi pertama yang tanpa sadar mengeluarkan sperma (biasanya terjadi ketika usia 13 tahun yang merupakan awal dari masa pubertas dan masa itu akan berakhir pada sekitar usia 21 tahun), pada leher menonjol buah jakun yang membuat nada suara menjadi pecah, dan di atas bibir serta di sekitar kemaluannya mulai tumbuh bulu-bulu (rambut). Sedangkan pada anak perempuan antara lain mendapatkan menstruasi (datang bulan) yang pertama sehingga rahim sudah bisa dibuahi (biasanya terjadi ketika usia 12 tahun yang merupakan awal masa pubertas dan masa itu akan berakhir pada sekitar usia 19 tahun), tumbuhnya jerawat di permukaan wajah dan terjadi penimbunan lemak yang membuat buah dada tumbuh, pinggul melebar dan paha membesar. 3. Cara berpikir kausalitas yang menyangkut hubungan sebab dan akibat. Remaja sudah mulai berpikir kritis sehingga ia akan melawan bila orang tua, guru, lingkungan, masih menganggapnya sebagai anak kecil. 4. Emosi yang meluap-luap atau keadaan emosi yang masih labil sangat erat kaitannya dengan keadaan hormon. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka daripada pikiran yang realistis. 5. Mulai tertarik kepada lawan jenis dan mulai berpacaran. Secara biologis anak perempuan lebih cepat matang daripada anak laki-laki. Tabel 1 Perbedaan sikap antara anak laki-laki dan perempuan No 1
Sikap Anak Laki-Laki Aktif memberi, melindungi, dan menolong
Sikap Anak Perempuan Suka dilindungi dan ditolong
22
Tabel 1 (Lanjutan) No 2 3 4 5 6
Sikap Anak Laki-Laki Ingin memberontak dan mengeritik Ingin mencari kemerdekaan berpikir, bertindak, dan memperoleh hak-hak turut berbicara Suka meniru perbuatan orang-orang yang dipujanya Minatnya tertuju kepada hal-hal yang abstrak Lebih memuja kepandaian yang dimiliki seseorang daripada orangnya
Sikap Anak Perempuan Dorongan itu dilunakkan oleh perasaan terikat kepada aturan-aturan dan tradisi Ingin dicintai dan menyenangkan hati orang lain Tidak ingin meniru, lebih suka bersikap pasif Minatnya ditujukan kepada hal-hal yang nyata Langsung memuja orangnya
6. Menarik perhatian lingkungan dengan berusaha mendapatkan status dan peranan seperti kegiatan remaja di kampung-kampung yang diberi peranan 7. Terikat dengan kelompok sehingga tidak jarang orangtua dinomorduakan sedangkan kelompoknya dinomorsatukan. Kelompok atau gang sebenarnya tidak berbahaya asal saja kita bisa mengarahkannya. Tugas-tugas perkembangan bagi seorang remaja menurut Havighurst (1972) diacu dalam Hurlock (1980) antara lain : 1. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita 2. Mencapai peran sosial sebagai pria atau wanita 3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif 4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab 5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya 6. Mempersiapkan karier ekonomi 7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga 8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku-mengembangkan ideologi. Urutan kelahiran seorang anak dalam sebuah keluarga bisa dijadikan pertimbangan untuk menggambarkan perilaku dari anak tersebut. Contohnya adalah anak pertama yang digambarkan sebagai anak yang lebih berorientasi dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas, mampu mengendalikan diri, dan kurang agresif dibandingkan dengan saudaranya (Santrock 2003). Sedangkan menurut Hurlock (1978) anak pertama lebih merasa tidak pasti, tidak mudah percaya, tidak merasa aman, lihai, bakhil, bergantung, bertanggung jawab, berkuasa, iri hati, konservatif, kurang adanya dominasi dan
23
agresivitas, mudah dipengaruhi, mudah merasa senang, sensitif, murung, introvert, sangat terdorong berprestasi, membutuhkan afiliasi, pemarah, manja, dan mudah terlibat dalam gangguan perilaku. Lalu ciri anak kedua antara lain mandiri, agresif, ekstrovert, suka melucu, suka berteman, suka berpetualang, dapat dipercaya, dan mudah menyesuaikan diri. Anak tengah memiliki ciri agresif, mudah dialihkan perhatiannya, sangat membutuhkan pernyataan kasih sayang, iri hati, terganggu oleh perasaan ditolak orangtua, rendah diri, merasa tidak mampu, dan mudah terlibat dalam gangguan perilaku. Selain itu, anak bungsu memiliki ciri aman, percaya diri, spontan, bersifat baik, murah hati, manja, tidak matang, ekstrovert, kemampuan berempati, merasa tidak mampu dan rendah diri, memusuhi saudaranya yang lebih tua, iri hati, tidak bertanggung jawab, dan bahagia. Karakteristik Keluarga Usia orangtua Menurut Hurlock (1991) usia orangtua dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu dewasa awal (18-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun), dan dewasa akhir (>60 tahun). Usia orangtua sangat berhubungan dengan kestabilan emosi dan kemampuan pengendalian emosi diri. Ketidakstabilan ekonomi dan emosi, tekanan rasa malu, dan ketidaksiapan menjadi orangtua adalah faktor utama yang menentukan kualitas pengasuhan yang diberikan kepada anaknya (Hastuti 2008). Pendidikan orangtua Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian. Orangtua berpenidikan tinggi cenderung lebih mengembangkan diri dan pengetahuannya, lebih terbuka untuk mengikuti perkembangan masyarakat, dan perkembangan informasi dibandingkan dengan orangtua berpendidikan rendah. Selain itu, para orangtua
berpendidikan
tinggi
juga
sanggup
memberikan
rangsangan-
rangsangan fisik maupun mental sejak dini, mereka juga akan melatih anakanaknya untuk memiliki sikap sosial yang baik, dan membiasakan untuk hidup disiplin, sehingga anak-anak memiliki sikap atau nilai sosial yang tinggi (Gunarsa dan Gunarsa 2004). Pekerjaan Orangtua Pekerjaan ayah dapat mempengaruhi hubungan keluarga dalam empat hal antara lain prestise pekerjaan ayah berpengaruh langsung pada perilaku remaja
24
terhadap ayah dan secara tidak langsung terhadap dirinya sendiri. Kedua, pekerjaan ayah mempengaruhi status sosial ekonomi keluarga. Ketiga, pekerjaan ayah mempengaruhi hubungan ayah dengan anak remaja laki-laki, menjadi kurang luas, dan anak remaja perempuan sepanjang pengaruhnya terhadap aspirasi dan standar yang diberikan kepada mereka misalnya dalam dunia kerja. Keempat, jika pekerjaan ayah mengharuskan dirinya untuk absen dari rumah dalam waktu yang cukup lama, maka akan ada keretakan sementara dalam keluarga dan perubahan dalam lingkungan rumah. Ketika ayah kembali ke rumah maka penyesuaian ulang mungkin membuat semua anggota keluarga menjadi cukup stres (Hurlock 1973). Status pekerjaan ibu mempengaruhi anggota keluarga dengan cara yang berbeda. Ketika ibu bekerja, anak laki-laki memiliki waktu senggang yang lebih karena ia tidak perlu bekerja setelah pulang sekolah untuk mencari uang atau berkontribusi dalam pendapatan keluarga. Sedangkan bagi anak perempuan diharapkan untuk menerima tanggung jawab yang lebih di rumah. Sejauh ini, anak perempuan yang memiliki ibu bekerja seringkali merasa bahwa ia dibatasi secara sosial (Hurlock 1973). Besar keluarga Kepadatan anggota keluarga dapat mengganggu pola dan interaksi antar anggota keluarga sehingga muncul berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh, sikap bersaing dan tersisih (Gunarsa dan Gunarsa 2000). Hal ini dapat menimbulkan kepatuhan yang kurang baik karena tidak adanya kontrol yang intens yang dilakukan orangtua kepada anak-anak mereka. Semakin kecil sebuah keluarga, maka semakin sedikit hubungan interpersonal yang terjadi dan kemungkinan untuk berselisih. Orangtua dengan satu anak lebih suka memperlakukan anak secara demokratis dan menjadi sangat baik terhadap anak. Sedangkan keluarga dengan dua atau tiga orang anak, dikatakan kecil jika dibandingkan dengan generasi yang lalu, cenderung menjadi sangat mudah berselisih. Keluarga besar atau keluarga yang memiliki enam atau lebih anak cenderung memiliki tingkat perselisihan yang lebih rendah dibanding keluarga kecil karena jarang mendapat perlindungan dan lebih sering dibatasi oleh kondisi ekonomi untuk mengembangkan kemandirian mereka dalam berkontribusi terhadap pendapatan keluarga (Hurlock 1973).
25
KERANGKA PEMIKIRAN Kehidupan pondok pesantren sangat terkenal dengan kepatuhan dan kemandirian para santrinya (Hartono 2006). Kepatuhan dan kemandirian merupakan dua dari beberapa tugas perkembangan yang harus dicapai oleh para santri. Berdasarkan hasil penelitian Hartono (2006) dijelaskan bahwa terdapat hubungan antara kepatuhan dan kemandirian, akan tetapi hanya hubungan yang saling tergantung atau hubungan yang berada pada taraf sedang. Tuntutan banyaknya kegiatan dan aturan yang terdapat di pondok pesantren terpaksa mengharuskan para santri untuk menjalankan semua kegiatan dan rutinitas sesuai aturan dengan baik. Kepatuhan dan kemandirian diduga ditentukan oleh tingkat kecerdasan emosionalnya. Jika seseorang sudah memiliki emosi yang baik maka diharapkan dapat melakukan pengamatan dan pemahaman terhadap suatu hal dengan baik sehingga nantinya dapat memberikan tanggapan yang positif terhadap hal tersebut (Ali & Asrori 2009). Daengsari (2009) menyatakan bahwa perkembangan emosi dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti fisik-motorik, kognitif, dan sosial. Selain itu, sifat bawaan atau temperamen anak, pola asuh, dan lingkungan sosial tempat anak dibesarkan juga berpengaruh terhadap perkembangan emosi. Sifat bawaan atau temperamen anak dapat dilihat dari karakteristik anak yang terdiri dari usia, jenis kelamin, dan urutan kelahiran dalam keluarga. Lalu lingkungan sosial juga dapat dilihat dari karakteristik keluarga santri yaitu usia orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga dan besar keluarga. Sedangkan untuk pola asuh dilihat dari persepsi santri terhadap pola asuh emosi yang diterapkan oleh pihak pondok pesantren dengan mengaitkan peraturan, jumlah santri, dan sistem pendidikan. Secara umum, penelitian ini dilakukan untuk melihat dugaan adanya hubungan antara karakteristik anak dan keluarga dengan kecerdasan emosional. Hubungan antara kecerdasan emosional dan pola asuh emosi yang diterapkan di pondok pesantren dengan kepatuhan dan kemandirian anak.
26
Karakteristik anak : Usia anak Jenis kelamin Urutan kelahiran
Persepsi anak terhadap pola asuh emosi di pondok pesantren
Karakteristik keluarga : Usia orangtua Pendidikan orangtua Pekerjaan orangtua Pendapatan keluarga Besar keluarga
Kecerdasan Emosional : Kesadaran diri Pengaturan diri Motivasi Empati Keterampilan sosial
Karakteristik pondok: Sistem pendidikan Jumlah santri Peraturan dan sanksi Peran Kiai atau Ustad/ustadzah Keterangan : = variabel yang diteliti = hubungan yang diteliti = variabel yang tidak diteliti = hubungan yang tidak diteliti Gambar 1. Kerangka Pemikiran Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kepatuhan dan Kemandirian Santri Remaja di Pondok Pesantren
Kepatuhan : Aturan pondok pesantren
Kemandirian : Emosi Tingkah laku Nilai
27
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study yaitu penelitian yang dilakukan dalam satu waktu. Pemilihan tempat dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan lokasi penelitian adalah salah satu lembaga pendidikan Islam modern yang sudah cukup lama dan terkenal serta memiliki santri yang berasal dari daerah dengan latar belakang keluarga dan budaya yang beraneka ragam. Dalam proses belajar mengajarnya, pondok pesantren mengkombinasikan sistem pendidikan umum Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) dengan sistem pendidikan pesantren. Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Jakarta Barat. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2009. Cara Pemilihan Contoh Contoh dalam penelitian ini adalah santri yang telah belajar di pondok pesantren, minimal 1 tahun, sehingga dirasa cukup memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang kehidupan di pondok pesantren. Pemilihan contoh diawali dengan memberikan kuesioner kepada seluruh santri kelas VII-VIII sejumlah 178 santri. Dari kuesioner yang dibagikan, kuesioner yang diisi dan dikembalikan sejumlah 116 buah. Kemudian dipilih lagi berdasarkan kelengkapan dan ketepatan pengisian, sehingga akhirnya diperoleh 63 kuesioner dengan 32 contoh laki-laki dan 31 perempuan (Gambar 2).
Pemilihan Pondok Pesantren Modern Purposive Santri telah tinggal 1 tahun di pondok pesantren
Laki-laki
Perempuan
n = 32
n = 31
Gambar 2 Kerangka Penarikan Contoh
28
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer (Tabel 2) yang dikumpulkan meliputi (1) kecerdasan emosional santri (2) kepatuhan santri , (3) kemandirian santri, (4) persepsi santri terhadap pola asuh emosi, (5) karakteristik santri, dan (6) karakteristik keluarga, adapun data sekunder meliputi karakteristik pondok pesantren seperti sistem pendidikan, jumlah santri, peraturan dan sanksi yang berlaku. Data dikumpulkan dari penyebaran kuesioner yang diisi oleh masing-masing santri kelas VII dan VIII dengan penjelasan yang diberikan langsung selama proses pengisian kuesioner tersebut. Tabel 2 Jenis dan cara pengumpulan data Jenis Data Primer
Sekunder
Variabel
Sumber Instrumen Ginting (2005) dan Arisandi (2007)
Kecerdasan emosional santri Kesadaran akan emosi diri Kemampuan mengelola emosi diri Motivasi dalam memperkuat emosi Kemampuan dalam berempati Keterampilan dalam membina hubungan Kepatuhan santri Kepatuhan santri terhadap peraturan yang ada di pondok pesantren Ruhidawati (2005) Kemandirian santri Kemandirian emosi Kemandirian perilaku Kemandirian nilai Hastuti (2008) Persepsi pola asuh emosi Pola mengabaikan Pola tidak menyetujui Pola Laissez Faire Pola pelatih emosi Karakteristik santri Usia contoh Jenis kelamin Urutan lahir Karakteristik keluarga Usia orangtua Besar keluarga Karakteristik keluarga Pendidikan orangtua Pekerjaan orangtua Pendapatan keluarga Karakteristik pondok pesantren Peraturan, sanksi, jumlah santri
Alat Ukur Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Data pondok pesantren
29
Pengolahan dan Analisis Data Data yang telah dikumpulkan diolah melalui proses editing, koding, scoring, entry data ke komputer, cleaning dan analisis data. Selanjutnya data diolah secara komputerisasi dengan menggunakan Program Microsoft Excel 2007 dan Program SPSS 13 for Windows. Analisis statistik yang digunakan yaitu analisis deskriptif, dengan menggunakan Uji Korelasi Spearman dan Uji Sebaran Hubungan Chi-Square untuk melihat hubungan antar variabel yang diteliti, Uji Cronbach Alpha untuk melihat reliabilitas dari kuesioner yang digunakan (Lampiran 1), dan Uji beda t-test untuk melihat perbedaan beberapa variabel berdasarkan jenis kelamin. Tabel 3 Variabel dan cara pengkategorian Data Primer Variabel
Dasar Pengukuran
Kategori
Jenis Data
karakteristik santri Usia santri
Sebaran contoh
12-15 tahun (remaja awal)
Rasio
Jenis kelamin
Sebaran contoh
1. Laki-laki
Nominal
Urutan kelahiran
Sebaran contoh
2. Perempuan Ordinal
karakteristik keluarga Usia orang tua
Sebaran contoh
Besar keluarga
Sebaran contoh
Pendidikan orangtua
Sebaran contoh
Pekerjaan orangtua
Sebaran contoh
Kepatuhan
Standar deviasi
Kemandirian Kemandirian emosi Kemandirian perilaku Kemandirian nilai
Standar deviasi
1. 18-40 tahun (dewasa muda) 2. 40-60 tahun (dewasa madya) 1. Keluarga kecil (≤4 orang) 2. Keluarga sedang (5-6 orang) 3. Keluarga besar (≥ 7 orang) 1. SD/sederajat 2. SMP/sederajat 3. SMA/sederajat 4. Akademi/Diploma 5. Sarjana 1. PNS 2. Karyawan swasta 3. Wiraswasta 4. ABRI/Polisi 5. Ibu rumah tangga Rendah (0-4) Sedang (5-8) Tinggi (9-12) Kurang (0-5) Sedang (6-10) Baik (11-15)
Rasio Rasio Ordinal
Nominal
Ordinal
Ordinal
30
Tabel 3 (lanjutan) Variabel Kecerdasan emosional Kesadaran akan emosi diri
Dasar Pengukuran
Standar deviasi
Mengelola emosi diri
Standar deviasi
Motivasi
Standar deviasi
Empati
Standar deviasi
Membina hubungan
Standar deviasi
Persepsi terhadap pola asuh emosi Pelatih emosi Pengabai emosi Tidak menyetujui Laissez Faire Pendapatan keluarga
Standar Deviasi
Kategori
Jenis Data
Kurang (0-9) Sedang (10-18) Baik (19-27) Kurang (0-10) Sedang (11-20) Baik (21-30) Kurang (0-10) Sedang (11-20) Baik (21-30) Kurang (0-7) Sedang (8-14) Baik (15-21) Kurang (0-7) Sedang (8-14) Baik (15-21)
Ordinal
Kurang (1-26) Sedang (27-53) Tinggi (54-80)
Ordinal
Data Sekunder 1. < 500 ribu Sebaran contoh 2. 500.001 – 1.000.000 3. 1.000.001 – 3.000.000 4. 3.000.001 – 5.000.000 5. > 5.000.001
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ordinal
Ket : dilakukan invers nilai
Kecerdasan emosi Kecerdasan emosi contoh terdiri dari 43 pernyataan yang dikombinasi dari Ginting (2005) dan Arisandi (2007), yaitu 9 pernyataan mengenai kesadaran akan emosi diri, 10 pernyataan mengenai kemampuan dalam mengelola emosi diri, 10 pernyataan mengenai motivasi dalam memperkuat emosi, 7 pernyataan mengenai
kemampuan
dalam
berempati
dan
7
pernyataan
mengenai
keterampilan dalam membina hubungan sosial. Skor jawaban tiap-tiap pernyataan yaitu 3 (selalu), 2 (kadang-kadang), dan 1 (tidak pernah) untuk pernyataan positif maupun negatif.
31
Kepatuhan Kepatuhan dalam penelitian ini terbagi menjadi 12 pernyataan dengan pilihan jawaban pertama yaitu pernah (nilai 0) atau tidak (nilai 1), pilihan jawaban kedua yaitu alasan yang disesuaikan dengan pernyataan berkaitan dengan apakah contoh pernah mengalami peristiwa tersebut atau tidak, dan yang terakhir adalah pilihan jawaban terkait apakah contoh merasa bersalah atau tidak setelah melakukan hal tersebut (alasan yang dipilih). Jawaban atas perasaan bersalah karena telah melakukan hal-hal tersebut terdiri dari pilihan jawaban tidak (nilai 0) dan ya (nilai 1). Kemandirian Pernyataan untuk melihat kemandirian contoh dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga aspek yang dimodifikasi dari Ruhidawati (2005) yaitu 5 pernyataan tentang emosi, 5 pernyataan perilaku, dan 5 pernyataan nilai. Pilihan jawaban untuk setiap pernyataan dibagi menjadi dua bagian yaitu pertama, jawaban pernah (nilai 1) atau tidak (nilai 0) dan kedua, pilihan atas hal yang dilakukan contoh ketika mengalami peristiwa tertentu yang telah disesuaikan dengan pernyataan. Pola asuh emosi Kuesioner pola asuh dalam penelitian ini terdiri dari 20 pernyataan dengan 4 pilihan jawaban yaitu sangat setuju, setuju, kurang setuju dan tidak setuju. Instrumen tersebut terdiri dari 5 pernyataan yang diacu dari Hastuti (2008) untuk setiap jenis pola asuh (mengabaikan, tidak menyetujui, Laissez Faire dan pelatih emosi). Untuk mengetahui kecenderungan setiap jenis pola asuh tertentu dilakukan skoring yaitu skor 4 untuk pernyataan sangat setuju, skor 3 untuk setuju, skor 2 untuk kurang setuju dan skor 1 untuk tidak setuju. Selanjutnya skor dijumlahkan sehingga diperoleh skor minimum 0 dan skor maksimum 20. Semakin tinggi skor pola asuh tertentu maka semakin kuat kecenderungan pengasuh terhadap pola asuh tersebut. Melihat baik tidaknya pola asuh yang dilakukan pengasuh terhadap contoh dilakukan skoring sebagai berikut : untuk yang terkait dengan tiga jenis pola asuh (mengabaikan, tidak menyetujui dan Laissez-Faire) diberi skor 4 untuk pernyataan tidak setuju, skor 3 untuk kurang setuju, skor 2 untuk setuju dan skor 1 untuk sangat setuju, sedangkan untuk pola asuh pelatih emosi yaitu skor 4 untuk pernyataan sangat setuju, skor 3 untuk setuju, skor 2 untuk kurang setuju dan skor 1 untuk tidak setuju. Hasil skoring selanjutnya dijumlahkan sehingga
32
diperoleh skor minimum 0 dan maksimum 80. Semakin tinggi skor pola asuh maka semakin baik pula pola asuh yang diterapkan pengasuh terhadap santri. Definisi Operasional Santri adalah seluruh contoh berusia 13-16 tahun yang sedang menuntut ilmu dan minimal sudah tinggal 1 tahun di pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan agama Islam yang diasuh oleh seorang kiai atau yayasan atau organisasi dengan sistem asrama, pengajarannya berlangsung dalam bentuk sekolah atau madrasah dengan masa belajar disesuaikan dengan jenis dan tingkatan sekolah atau program kitab yang ingin dicapai. Karakteristik contoh adalah identitas contoh yang terdiri dari jenis kelamin, usia, dan urutan kelahiran dalam keluarga. Karakteristik keluarga adalah identitas seluruh anggota keluarga yang terdiri dari usia orangtua, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga. Pendidikan adalah lama pendidikan formal yang pernah ditempuh, mulai dari SD, SLTP, SLTA sampai Perguruan Tinggi. Pekerjaan adalah jenis kegiatan rutin yang dilakukan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup sekeluarga yang meliputi pekerjaan utama dan sampingan. Pendapatan adalah jumlah pendapatan yang dihasilkan oleh keluarga dan dinyatakan dalam rupiah per bulan. Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya orang yang tinggal dalam satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak atau yang lainnya yang penghidupannya berdasarkan pengelolaan dari sumberdaya yang sama. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam hal kesadaran diri, pengaturan diri, mengelola motivasi, berempati dan keterampilan sosial. Persepsi terhadap pola asuh emosi adalah cara pandang santri terhadap interaksi yang terjadi antara kiai/ustad/ustadzah dengan santri dalam hal pola asuh secara emosi. Kepatuhan adalah sikap mengikuti aturan yang ada di pondok pesantren berdasarkan disiplin dan kesadaran diri sendiri.
33
Kemandirian adalah kemampuan untuk tidak terlalu tergantung dengan orang lain, membuat keputusan sendiri dan melaksanakannya, dan memiliki prinsip tentang benar dan salah serta penting dan tidak penting dalam memandang suatu tugas.
34
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Pondok Pesantren Asshiddiqiyah Pondok pesantren Asshiddiqiyah didirikan pada bulan Rabiul Awal 1406 H (Juli 1985) oleh DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ di jalan Surya Sarana No.6C, Kedoya Kebon Jeruk Jakarta Barat. Asshiddiqiyah memiliki beberapa cabang antara lain Batu Ceper Tangerang, Karawang, Serpong Tangerang, Cijeruk Bogor, Sukabumi Jawa Barat, Lampung, Bayung Lencir Musi Banyuasin dan Gunung Sugih Lampung. Sistem pendidikan yang diterapkan di Asshiddiqyah pusat ini merupakan gabungan dari sistem tradisional dan modern dengan tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik penekanan ubudiyah seperti keharusan tahajud tiap malam dan menyediakan sekolah formal di dalam pesantren untuk para santri serta membiasakan mereka menggunakan bahasa Arab dan Inggris selama berada di lingkungan pesantren. Visi pondok pesantren Asshiddiqiyah yaitu meneladani akhlaq Nabi dan unggul dalam prestasi. Sedangkan misi yang diembannya antara lain (1) menanamkan akhlaqul karimah yang dicontohkan Nabi dalam kehidupan seharihari; (2) melaksanakan pengajaran dan bimbingan bahasa Inggris dan Arab sehari-hari secara aktif dengan menggunakan metode langsung (Direct Methode); (3) menumbuhkan semangat berkomunikasi bahasa resmi pesantren kepada warga sekolah dalam pembinaan dan monitoring 24 jam; (4) menyelenggarakan bimbingan belajar kepada santri oleh guru yang profesional secara aktif dan efektif; (5) menyelenggarakan bimbingan belajar khusus diluar PBM (Proses Belajar Mengajar) formal bagi kelas tiga dalam persiapan menghadapi UAN; (6) menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler dalam menyalurkan minat dan bakat santri; dan (7) menerapkan manajemen partisipatif dengan melibatkan seluruh warga sekolah dalam menciptakan lingkungan sekolah yang nyaman, aman dan kekeluargaan. Ada lima indikator yang ditekankan untuk mewujudkan visi dan misi pondok pesantren yaitu (1) memiliki akhlaqul karimah; (2) unggul dalam penguasaan dasar bahasa Inggris dan bahasa Arab; (3) unggul dalam perolehan mutu nilai Akademik dan Non Akademik; (4) unggul dalam prestasi ekstrakurikuler dan (5) unggul dalam pengelolaan mutu lingkungan sekolah yang nyaman, aman dan kekeluargaan dalam sistem pembinaan Boarding School. Selanjutnya ada lima panca disiplin bagi santri Asshiddiqiyah yaitu (1) disiplin belajar; (2) disiplin
35
beribadah; (3) disiplin berbahasa; (4) disiplin menjaga kesehatan dan (5) disiplin istirahat. Pondok pesantren Asshiddiqiyah pusat menyelenggarakan unit kegiatan pendidikan formal seperti SMP Islam Manba’ul Ulum Asshiddiqiyah, Madrasah Aliyah Manba’ul Ulum Asshiddiqiyah, Ma’had Aitam Saa’idusshiddiqiyah (Tahfidzul Qur’an), dan Ma’had ‘Aly Saa’idusshiddiqiyah (Sekolah Tinggi Agama Islam, setara Strata 1). Seluruh siswa, yang biasa disebut santri, diharuskan tinggal di dalam lingkungan Asshiddiqiyah. Pondok pesantren menyediakan asrama-asrama untuk tempat tinggal para santri. Ada beberapa kamar yang sudah dilengkapi tempat tidur dan ada juga yang tidak. Setiap kamar dihuni oleh 30 santri dan satu wali asuh dengan beberapa kamar mandi disetiap lantainya. Selain itu, pihak pondok juga telah menyediakan lemari untuk tiap-tiap santrinya. Para santri hanya perlu membawa kasur, bantal, guling dan perlengkapan pribadi lainnya sebagai modal untuk tinggal di asrama. Para orangtua membayar iuran rutin sebesar Rp 540.000/bulan untuk iuran sekolah, makan 3 kali sehari, tempat tinggal dan iuran pendidikan pondok. Pihak pondok juga memberikan fasilitas pilihan laundry dengan biaya RP 60.000/bulan. Para santri dapat memberikan pakaian kotor dan mengambil pakaian bersih setiap sore hari. Salah satu target pihak pondok pesantren bagi santri SMP adalah wajib menghafalkan Surat Yasin, Al-Waqi’ah, Ar-Rahman dan Juz 30 dalam waktu 3 tahun. Lalu mereka juga diwajibkan menggunakan bahasa Arab dan Inggris dalam kegiatan sehari-hari. Selain itu, ada juga kegiatan pendalaman bahasa dan pengkajian kitab setiap hari seperti kitab Ta’lim Muta’allim. Jika ada yang melanggar kewajiban-kewajiban tersebut maka ada konsekuensi yang sudah dijelaskan sejak awal dan harus diterima oleh santri. Seluruh santri hanya diperbolehkan pulang ke rumah jika liburan semester dan hari-hari besar seperti Hari Raya Idul Fitri. Akan tetapi ada pengecualian untuk keadaan darurat dan tetap harus dijemput orangtua atau wakilnya. Selain itu, tidak ada larangan bagi para santri untuk membawa makanan, minuman dan obat-obatan sendiri walaupun pihak pondok sudah menyediakan balai kesehatan, mini market dan wartel untuk menghubungi orangtua mereka. SMP Manba’ul Ulum sebagai salah satu unit kegiatan dari Pondok Pesantren Asshiddiqiyah memiliki tanah seluas 8.103 m2 dengan luas bangunan
36
7.403 m2. Asshiddiqiyah sudah memiliki ruangan dan lapangan yang cukup lengkap seperti ruang kepala sekolah dan wakil, ruang guru, ruang tata usaha, ruang belajar/kelas, dan ruang-ruang serta lapangan lain yang dapat menunjang efektivitas proses belajar mengajar. Selain itu jumlah guru SMP Manba’ul Ulum berbanding santri SMP yaitu 23:247 dengan jumlah karyawan 17 orang. Kelas VII terdiri dari tiga kelas dengan dua kelas putra dan satu kelas putri. Sedangkan kelas VIII terdiri dari empat kelas dengan dua kelas putra dan dua kelas putri. Data mengenai karakteristik sekolah dapat dilihat dalam Tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Karakteristik SMP Manba’ul Ulum Karakteristik SMP Manba’ul Ulum
Keterangan
Luas Tanah
8.103 m
2
Luas Bangunan
7.403 m
2
Ruangan:
Jumlah
Luas (m
Ruang Kepala Sekolah
2
24
Ruang Wakil Kepala Sekolah
2
24
Ruang Guru
1
40
Ruang Tata Usaha Ruang Belajar/Kelas Ruang tamu Laboratorium. IPA Laboratorium Bahasa Laboratorium Komputer Perpustakaan Ruang multimedia Ruang kesenian Ruang serbaguna/aula Ruang OSIS Ruang PMR/Pramuka Ruang UKS Ruang BK Ruang Koperasi Ruang ibadah/Musholla Gudang Hall/lobi Dapur Kantin Toilet Guru/Karyawan Toilet Santri Pos jaga Lapangan basket Lapangan bola Lapangan bulu tangkis Lapangan voly
1 26 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 3 12 2 1 1 1 1
21 24 90 30 42 180 42 42 135 24 12 44 12 90 200 6 225 82 144 36 108 24 150 300 240 240
2)
37
Tabel 4 (Lanjutan) Karakteristik SMP Manba’ul Ulum Ketersediaan Sumber Daya Manusia
Keterangan Tugas
Jumlah (orang)
Mengajar mata pelajaran Tata Usaha
Jumlah Guru Jumlah Karyawan
23 5
Lab. Computer
1
Lab. Bahasa
2
Lab. IPA
1
Perpustakaan
3
Kantin
1
Penjaga sekolah
1
Tukang kebun
1
Keamanan
2
Karakteristik Contoh Usia dan jenis kelamin Contoh dalam penelitian ini berjumlah 63 orang yang terdiri dari 32 orang laki-laki dan 31 orang perempuan. Usia contoh berkisar antara 12-15 tahun dengan rata-rata 13.02 tahun (Tabel 5). Lebih dari separuh contoh (54.0%) berusia 13 tahun dengan 43.8 persen laki-laki dan 64.5 persen perempuan. Usia 13 tahun termasuk dalam fase remaja awal (Monks 2001). Menurut Ali dan Asrori (2009) fase remaja awal merupakan tahapan dimana remaja merasa cemas terhadap dirinya sendiri karena kurang mendapat perhatian dari orang lain atau bahkan tidak ada yang mempedulikannya sehingga mereka cepat marah dengan cara yang kurang sopan. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin Usia (tahun)
Laki-laki n
%
Perempuan n
%
Total n
%
12
9
28.1
6
19.4
15
23.8
13
14
43.8
20
64.5
34
54.0
14
7
21.9
5
16.1
12
19.0
15
2
6.2
0
0
2
3.2
32
100
31
100
63
100
Total Min-maks Rata-rata±SD
12-15
12-14
12-15
13.06±0.88
12.97±0.61
13.02±0.75
38
Urutan Kelahiran Berdasarkan urutan kelahiran dalam keluarga contoh tersebar mulai anak pertama hingga anak ke-6 (enam) dengan persentase terbesar (49.2%) sebagai anak pertama dengan rata-rata urutan kelahiran contoh 1.81 (Tabel 6). Lebih dari separuh contoh laki-laki (56.3%) dan hampir separuh contoh perempuan (45.2%) tergolong pada kelompok anak pertama. Anak pertama dalam sebuah keluarga digambarkan sebagai anak yang lebih dewasa, penolong, mengalah, lebih cemas, mampu mengendalikan diri dan kurang agresif jika dibandingkan dengan saudaranya (Santrock 2003). Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran dan jenis kelamin Urutan lahir
Laki-laki
Perempuan
Total
n
%
n
%
n
%
1
18
56.3
13
41.9
31
49.2
2 3
7 3
21.9 9.4
14 4
45.2 12.9
21 7
33.3 11.1
4 6
2 2
6.2 6.2
0 0
0 0
2 2
3.2 3.2
32
100
31
100
63
100
Total
1-6
1-3
1-6
1.91±1.40
1.71±0.69
1.81±1.11
Min-maks Rata-rata±SD
Hurlock (1978) menjelaskan bahwa anak pertama lebih merasa tidak pasti, tidak mudah percaya, tidak merasa aman, lihai, bakhil, bergantung, bertanggung jawab, berkuasa, iri hati, konservatif, kurang adanya dominasi dan agresivitas, mudah dipengaruhi, mudah merasa senang, sensitif, murung, introvert, sangat terdorong berprestasi, membutuhkan afiliasi, pemarah, manja, dan mudah terlibat dalam gangguan perilaku. Karakteristik Keluarga Usia orangtua contoh Usia ayah contoh berkisar antara 31 hingga 56 tahun dengan rata-rata 42.34 tahun sedangkan usia ibu berkisar antara 26 hingga 50 tahun dengan ratarata 38.46 tahun (Tabel 7). Lebih dari separuh contoh memiliki ayah (60.3%) dengan usia antara 40-49 tahun dan ibu (54.0%) dengan usia 29-39 tahun. Menurut Hurlock (1991) usia ibu termasuk dalam kelompok dewasa awal (18-40 tahun), sedangkan usia ayah termasuk dalam kelompok dewasa madya (40-60
39
tahun). Hastuti (2008) menjelaskan bahwa usia orangtua berhubungan dengan kestabilan emosi dan pengendalian diri. Oleh karena itu, semakin bertambah usia orangtua maka kestabilan emosi dan pengendalian dirinya akan semakin bertambah pula. Pertambahan tersebut diharapkan dapat membuat cara berpikir orangtua dalam meningkatkan perkembangan anak menjadi lebih baik. Tabel 7 berikut ini menjelaskan sebaran contoh berdasarkan usia orangtua. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan usia orangtua Ayah
Usia Orangtua (tahun)
Ibu
n
%
n
%
29-39 tahun
16
25.4
34
54.0
40-49 tahun
38
60.3
27
42.9
50-56 tahun
9
14.3
2
3.1
Total
63
100
63
Min-maks Rata-rata ±SD
100
31-56
29-50
42.34±5.76
38.46±4.99
Pendidikan orangtua contoh Tingkat pendidikan orangtua contoh tersebar mulai SD/sederajat hingga sarjana (Tabel 8). Pada umumnya tingkat pendidikan ayah (57.1%) dan ibu (47.6%) contoh adalah SMA/sederajat. Sedangkan orangtua yang memiliki tingkat pendidikan sarjana hanya sebanyak 15 orang untuk ayah (23.8%) dan 10 orang untuk ibu (15.9%). Fenomena yang terjadi sekarang ini menunjukkan bahwa kebanyakan orangtua menginginkan anaknya menjadi orang yang sukses dalam pendidikan maupun karirnya, sehingga di masa yang akan datang mereka dapat memperbaiki kualitas hidupnya menjadi lebih baik dari sebelumnya (Sumardi 1982, diacu dalam Sumarto 2006). Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan terakhir orangtua Pendidikan Orangtua
Ayah n
Ibu %
n
%
SD/sederajat
2
3.2
8
12.7
SMP/sederajat
7
11.1
12
19.0
SMA/sederajat
36
57.1
30
47.6
Akademi/Diploma
3
4.8
3
4.8
Sarjana
15
23.8
10
15.9
Total *Sumber data sekolah
63
100
63
100
40
Pekerjaan orangtua contoh Orangtua contoh dalam penelitian ini memiliki pekerjaan yang beragam. Mayoritas contoh (69.8%) memiliki ayah yang berprofesi sebagai wiraswasta sedangkan hampir separuh contoh (47.6%) memiliki ibu yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga (Tabel 9). Pekerjaan sebagai wiraswasta tidak mengharuskan ayah untuk absen dari rumah dalam waktu yang lama sehingga keretakan dalam hubungan keluarga tidak perlu dikhawatirkan, khususnya dengan anak (Hurlock 1973). Begitu pula dengan pekerjaan ibu sebagai ibu rumah tangga. Selama ibu memiliki waktu yang lebih banyak untuk berada di rumah maka ibu diharapkan lebih mengetahui, memahami, dan dapat membimbing kehidupan keluarga agar menjadi lebih baik. Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orangtua Pekerjaan Orangtua
Ayah
Ibu
n
%
n
%
PNS
7
11.1
8
12.7
Karyawan swasta Wiraswasta
9
14.3
1
1.6
44
69.8
24
38.1
3
4.8
0
0
0 63
0 100
30 63
47.6 100
ABRI/Polisi Ibu rumah tangga Total
*Sumber data sekolah Pendapatan orangtua Pendapatan orangtua berkisar antara Rp 500.000 – Rp 5.000.001 (Tabel 10). Mayoritas pendapatan orangtua contoh (63.5%) berada pada kisaran Rp 1.000.001 – Rp 3.000.000. Kisaran pendapatan tersebut menunjukkan bahwa orangtua mampu membiayai kebutuhan pendidikan anak, khususnya yang menjadi responden dalam penelitian ini, setiap bulan dengan iuran rutin Rp 540.000, biaya laundry Rp 60.000, dan biaya-biaya lain termasuk uang saku. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan orangtua Pendapatan Orangtua (Rupiah/Bulan)
Jumlah
Persentase (%)
< 500.000
2
3.2
500.001 - 1.000.000
9
14.3
1.000.001 - 3.000.000
40
63.5
3.000.001 - 5.000.000
12
19.0
41
Tabel 10 (Lanjutan) Pendapatan Orangtua (Rupiah/Bulan)
Jumlah
Persentase (%)
> 5.000.001
0
0
63
100
Total *Sumber data sekolah
Besar Keluarga Berdasarkan Hurlock (1991), lebih dari separuh contoh (60.3%) berasal dari keluarga sedang dan 28.6 persen contoh lain dari keluarga kecil serta hanya 11.1 persen contoh yang memiliki keluarga besar (Tabel 11). Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000) kepadatan dalam sebuah keluarga dan jumlah anggota yang semakin besar dapat menimbulkan ketegangan yang berakibat lebih buruk pada perilaku antar anggota keluarga itu sendiri. Keluarga dengan dua atau tiga orang anak cenderung menjadi sangat mudah berselisih dibanding keluarga dengan satu dan enam atau lebih orang anak (Hurlock 1973). Selain itu, kisaran pendapatan orangtua juga menunjukkan bahwa keluarga sudah mampu memenuhi
kebutuhan
masing-masing
anggota
keluarganya
dengan
Rp
200.000/Rp 600.000/kapita/bulan. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Besar keluarga
Jumlah
Persentase (%)
Kecil (≤ 4 orang)
18
28.6
Sedang (5-6 orang)
38
60.3
7
11.1
63
100
Besar (≥ 7 orang) Total
Kecerdasan Emosional Menurut Goleman (1999) kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Seseorang dikatakan memiliki emosi yang positif jika ia dapat memberikan tanggapan yang positif terhadap suatu objek (Ali & Asrori 2009). Sesuai dengan beberapa item dari tugas perkembangan remaja dan 11 indikator yang digunakan untuk melihat tingkat EQ seorang anak (Hastuti 2008) maka remaja dikatakan memiliki kecerdasan emosional yang baik jika sudah memiliki kesadaran emosi diri, kemampuan mengelola emosi, motivasi,
42
kemampuan dalam berempati dan berhubungan yang baik. Kecerdasan emosional dapat dilihat dari lima dasar kecakapan emosi dan sosial tersebut (Goleman 1999) antara lain : Kesadaran diri Kesadaran diri mengharuskan remaja mengetahui apa yang sedang dirasa sehingga dapat menggunakan perasaan tersebut untuk mengambil suatu keputusan sendiri. Lalu remaja juga diharapkan dapat memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat sehingga dapat melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki (Goleman 1999). Tabel 12 menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (66.7%) kadang-kadang dapat mengetahui sifat baik yang dimiliki, akan tetapi contoh belum dapat mengetahui penyebab kekesalan yang dirasakan (66.7%), bagaimana rasanya ketika sedang marah (66.7%), belum menyadari sifat jelek yang dimiliki (58.7%), dan masih terlambat dalam menyadari kekecewaan yang dirasakan (54.0%). Contoh terkadang juga merasa jenuh dan bosan ketika merasa tidak nyaman (49.2%), sedih jika tidak dapat membantu teman yang sedang dalam masalah (49.2%) dan putus asa ketika mendapat nilai jelek (36.6%). Walaupun lebih dari separuh contoh (57.1%) selalu dapat menyadari kekurangan yang dimiliki. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan kesadaran diri No
Pernyataan
1
Saya mengetahui sifat baik yang saya miliki
2
Saya tidak mengetahui penyebab kekesalan yang saya rasakan* Saya terlambat menyadari kekecewaan yang saya rasakan* Saya menyadari kekurangan yang saya miliki
3 4
Ketika saya merasa tidak nyaman lagi dengan suatu keadaan maka cepat atau lambat pasti saya akan merasa jenuh dan bosan 6 Saya tidak menyadari sifat jelek yang saya miliki* 7 Saya merasa sedih jika tidak dapat membantu teman yang sedang dalam masalah 8 Saya merasa putus asa ketika mendapat nilai jelek* 9 Saya tidak tahu bagaimana rasanya ketika saya sedang marah* Ket : * = pernyataan negatif 5
Kadang- Tidak Total kadang pernah n % n % n % n % 18 28.6 42 66.7 3 4.7 63 100 Selalu
7 11.1 42 66.7 14 22.2 63 100 19 30.2 34 54.0 10 15.8 63 100 36 57.1 25 39.7 2
3.2 63 100
30 47.6 31 49.2 2
3.2 63 100
10 15.9 37 58.7 16 25.4 63 100 23 36.5 31 49.2 9 14.3 63 100 20 31.7 23 36.6 20 31.7 63 100 9 14.3 42 66.7 12 19.0 63 100
43
Tabel 13 menjelaskan bahwa lebih dari separuh contoh (63.5%) memiliki kesadaran diri yang tergolong baik. Dengan demikian, berarti dapat dikatakan bahwa contoh sudah mampu mengenal dan menamakan perasaannya, memahami penyebab perasaan, mengenal perbedaan perasaan dan perbuatan. Selain itu juga dapat dikatakan bahwa contoh sudah dapat beradaptasi dan menyadari manfaat dari sejumlah peraturan yang berlaku di pesantren tersebut. Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kategori kesadaran diri Kesadaran akan emosi diri
Jumlah n
%
Kurang (0-9)
0
0
Sedang (10-18)
23
36.5
Baik (19-27)
40
63.5
Total
63
100
Min-maks
15-27
Rata-rata ±SD
19.56±2.526
Pengaturan diri Salah satu tugas kemampuan remaja dalam hal mengatur diri adalah menangani emosi sedemikian rupa sehingga memiliki dampak yang positif. Lalu remaja juga diharapkan peka terhadap kata hati, sanggup menjalankan makna dari sebuah pepatah yang mengatakan “bersusah-susah dahulu baru bersenangsenang kemudian,” dan dapat pulih kembali dari tekanan emosi yang dirasakan (Goleman 1999). Berdasarkan Tabel 14 dijelaskan bahwa contoh terkadang merasa kesal jika permintaannya tidak dipenuhi (69.8%), berusaha untuk sabar, menahan diri dan bersikap tenang dengan tidak membalas ketika menghadapi kemarahan orang lain (58.7%), berusaha untuk sabar ketika diperolok-olok teman (57.1%), berusaha mengalihkan perhatian serta menghibur diri ketika sedih (54.0%), merasa lebih
bangga
walau
mendapat nilai
jelek
(52.4%),
berloncat-
loncat/berteriak kegirangan jika sedang gembira (49.2%), sulit mencari kata-kata untuk menjelaskan perasaan (46.0%), menerima dengan terpaksa/kesal jika rencana rekreasi tertunda (44.4%) dan merasa gengsi untuk meminta maaf jika terbukti bersalah (42.9%). Lalu lebih dari separuh contoh (56.9%) menyatakan selalu memaafkan teman yang telah menyakiti perasaannya. Hal tersebut membuktikan bahwa contoh terkadang masih menyimpan rasa kesal walaupun sudah memaafkan teman yang telah menyakiti perasaannya.
44
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pengaturan diri No
Pernyataan
1
Saya sulit mencari kata-kata untuk menjelaskan perasaan yang sedang saya rasakan* 2 Walaupun saya mendapat nilai jelek, saya akan tetap merasa lebih bangga karena itu merupakan hasil kerja saya sendiri 3 Saya tidak akan memaafkan teman yang telah menyakiti perasaan saya* 4 Ketika menghadapi kemarahan orang lain, saya bersabar, menahan diri dan bersikap tenang dengan tidak membalas kemarahannya 5 Saya merasa gengsi untuk meminta maaf jika merasa bersalah* 6 Jika sedang gembira, saya berloncatloncat/berteriak kegirangan untuk mengungkapkan kegembiraan tersebut 7 Ketika keinginan untuk pergi rekreasi tertunda karena anggota keluarga sakit, saya akan menerimanya dengan terpaksa/kesal* 8 Saya berusaha untuk sabar ketika diperolokolok oleh teman 9 Saya akan mengalihkan perhatian dari rasa sedih yang saya rasakan dan berusaha menghibur diri 10 Saya merasa kesal jika permintaan saya tidak terpenuhi* Ket : * = pernyataan negatif
KadangTidak Total kadang pernah n % n % n % n % 27 42.9 29 46.0 7 11.1 63 100 Selalu
28 44.4 33 52.4 2 4
6.9
3.2 63 100
21 36.2 33 56.9 63 100
20 31.8 37 58.7 6
9.5 63 100
16 25.4 27 42.9 20 31.7 63 100 22 34.9 31 49.2 10 15.9 63 100 10 15.9 28 44.4 25 39.7 63 100 24 38.1 36 57.1 3
4.8 63 100
28 44.4 34 54.0 1
1.6 63 100
8
12.7 44 69.8 11 17.5 63 100
Tabel 15 menjelaskan bahwa sebagian besar contoh (74.6%) sudah memiliki kemampuan pengaturan diri yang baik, walaupun sekitar seperempat contoh (25.4%) masih termasuk dalam kategori sedang. Selain itu dapat dikatakan pula bahwa contoh sudah mampu menangani emosi diri sedemikian rupa sehingga tugas-tugas yang dilakukan dapat terselesaikan dengan baik. Hal ini berarti bahwa contoh sudah mampu mengatur waktu kapan harus serius belajar dan menyelesaikan tugas serta kapan waktu bermain dan tertawa bersama teman-teman. Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan kategori pengaturan diri Kemampuan dalam mengelola emosi diri
Jumlah n
%
Kurang (0-10)
0
0
Sedang (11-20)
16
25.4
Baik (21-30)
47
74.6
45
Tabel 15 (Lanjutan) Jumlah
Kemampuan dalam mengelola emosi diri
n
Total
%
63
100
Min-maks
17-28
Rata-rata ±SD
22.09±2.486
Motivasi Motivasi bertujuan untuk mencapai sasaran dan membantu dalam mengambil inisiatif agar dapat bertindak secara efektif dan dapat bertahan dalam menghadapi kegagalan dan frustasi. Tabel 16 menjelaskan bahwa sebagian besar contoh (76.2%) masih mengerjakan PR/tugas sekolah ketika tiba di sekolah dengan menyontek pekerjaan teman. Walaupun begitu, contoh tetap berusaha mempelajari materi pelajaran yang belum dimengerti sampai paham (69.8%), memperhatikan semua pelajaran termasuk pelajaran yang tidak disukai (63.5%), terus belajar atas keinginan sendiri (52.4%), dan tidak pernah mengadukan teman yang mengganggu kepada guru (54.0%). Contoh cenderung masih mendahulukan bermain dibanding mengerjakan PR/tugas sekolah (63.5%), tidak dapat menahan keinginan untuk bermain walau dalam masa ujian (60.3%), dan hanya membersihkan kelas atau kamar pada saat piket saja (57.1%). Motivasi positif lain yang dimiliki contoh adalah selalu menjadikan teman yang berprestasi sebagai dorongan dan semangat dalam belajar (63.5%) dan berusaha menyelesaikan suatu target pekerjaan dengan baik (52.4%). Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan motivasi No
Pernyataan
1
Saya akan mengadukan kepada guru jika ada teman yang mengganggu saya* Ketika ada PR/tugas sekolah, saya sering mengerjakannya di sekolah saat akan dikumpulkan dan menyontek pekerjaan teman* Saya akan mendahulukan bermain dibanding mengerjakan PR/tugas sekolah* Teman yang selalu berprestasi bagi saya adalah dorongan dan semangat untuk belajar lebih rajin lagi Saya selalu memperhatikan semua pelajaran di sekolah termasuk pelajaran yang tidak saya suka
2
3 4 5
n 6
KadangTidak Total kadang pernah % n % n % n % 9.5 23 36.5 34 54.0 63 100
6
9.5 48 76.2
Selalu
9 14.3 63 100
9 14.3 40 63.5 14 22.2 63 100 40 63.5 21 33.3
2
3.2 63 100
22 34.9 40 63.5
1
1.6 63 100
46
Tabel 16 (Lanjutan) No
KadangTidak Total kadang pernah n % n % n % n % 13 20.6 38 60.3 12 19.1 63 100 Selalu
Pernyataan
6
Saya tidak dapat menahan keinginan untuk bermain dan beristirahat ketika sedang menghadapi ujian* 7 Saya selalu belajar atas keinginan diri sendiri 8 Ketika ada pelajaran yang belum saya mengerti maka saya akan terus mempelajarinya sampai mengerti 9 Saya akan membersihkan kelas atau kamar pada saat piket saja* 10 Jika saya menetapkan suatu target pekerjaan atau kegiatan, saya berusaha untuk menyelesaikan suatu pekerjaan tersebut dengan baik Ket : * = pernyataan negatif
28 44.4 33 52.4
2
3.2 63 100
16 25.4 44 69.8
3
4.8 63 100
20 31.7 36 57.1
7 11.1 63 100
33 52.4 28 44.4
2
3.2 63 100
Jika motivasi juga dikategorikan menjadi 3 kelompok maka sebagian besar contoh (74.6%) termasuk kedalam kategori baik dan sisanya termasuk dalam kategori sedang dengan nilai 25.4 persen (Tabel 17). Hal ini menggambarkan bahwa contoh sudah merasa memiliki tanggung jawab atas tugas-tugas yang harus diselesaikan dengan tekun dan baik. Selain itu contoh juga sudah dapat menguasai diri mereka karena termotivasi untuk mencapai sasaran atau target yang terbaik. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kategori motivasi Motivasi
Jumlah n
%
Kurang (0-10)
0
0
Sedang (11-20) Baik (21-30)
16
25.4
47
74.6
Total
63
100
Min-maks Rata-rata ±SD
17-28 22.39±2.562
Empati Kemampuan empati mengharapkan remaja dapat merasakan yang dirasakan oleh orang lain dan memahami perspektif mereka agar remaja dapat menumbuhkan rasa saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacammacam orang (Goleman 1999). Tabel 18 menunjukkan bahwa contoh terkadang tidak menyadari ketika ada teman yang terkena musibah (65.1%), tidak peduli
47
dengan teman yang bermusuhan (57.1%), dan tidak dapat menerima dan memahami pandangan teman yang berbeda (50.8%). Empati yang sudah dimiliki contoh antara lain dapat menjaga rahasia teman dan berusaha menolong jika ada teman yang butuh pertolongan (54.0%), serta berusaha menghibur jika ada teman yang sedih/murung (49.2%). Lalu hampir separuh contoh (46.0%) menyatakan selalu dan 46.0 persen contoh lain menyatakan kadang-kadang mengucapkan selamat kepada semua teman yang berulang tahun tanpa terkecuali. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya contoh sudah mampu berempati terhadap teman yang sedang dalam masalah tetapi masih belum dapat menerima pandangan atau pendapat orang lain yang berbeda dengan dirinya. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan empati No 1
Pernyataan
Saya tidak menyadari ketika teman saya sedang mengalami musibah* 2 Ketika teman saya sedih/murung, saya akan berusaha menghiburnya 3 Saya termasuk orang yang dapat menjaga rahasia teman 4 Saya tidak peduli dengan teman yang sedang bermusuhan* 5 Saya tidak dapat menerima dan memahami pandangan teman yang berbeda dengan saya* 6 Saya mengucapkan selamat ulang tahun kepada semua teman yang berulang tahun tanpa terkecuali 7 Saya akan berusaha menolong semampu saya jika ada teman yang membutuhkannya Ket : * = pernyataan negatif
Kadang Tidak Total -kadang pernah % n % n % n % 11.1 41 65.1 15 23.8 63 100
Selalu n 7
28 44.4 31 49.2
4
6.4
63 100
27 42.9 34 54.0
2
3.1
63 100
10 15.9 36 57.1 17 27.0 63 100 14 22.2 32 50.8 17 27.0 63 100 29 46.0 29 46.0
5
8
63 100
28 44.4 34 54.0
1
1.6
63 100
Berdasarkan pengkategorian pada Tabel 19 maka dapat dikatakan bahwa contoh termasuk kedalam kategori yang memiliki empati baik (69.8%). Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa contoh sudah dapat beradaptasi dengan teman-temannya yang beragam, dengan kebiasaan dan budaya yang berbeda, karena berasal dari suku dan asal keluarga yang berbeda pula. Dalam lingkungan pesantren contoh memang dilatih dan dituntut untuk memiliki rasa empati yang tinggi dengan pembiasaan tinggal dalam lingkungan yang dikelilingi oleh puluhan bahkan ratusan orang yang memiliki beragam sifat
48
dan budaya. Hal ini bertujuan agar contoh sudah memiliki bekal sikap untuk tetap menghormati dan menghargai orang lain, meskipun berbeda agama, suku maupun ras, ketika berada di luar lingkungan pesantren. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan kategori empati Kemampuan berempati
Jumlah n
%
Kurang (0-7)
0
0
Sedang (8-14)
19
30.2
Baik (15-21)
44
69.8
Total
63
100
Min-maks
11-20
Rata-rata ±SD
15.87±2.246
Keterampilan sosial Poin terakhir kecerdasan emosi yang terdapat dalam Tabel 20 adalah keterampilan sosial. Keterampilan ini mengharapkan para remaja dapat menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan menggunakan keterampilan sosial untuk bekerja sama dengan mereka (Goleman 1999). Tabel di bawah menjelaskan bahwa lebih dari separuh contoh terkadang merasa canggung untuk bicara di depan orang banyak (65.1%) dan tidak tertarik dengan kegiatan ekstrakurikuler di pesantren (63.5%). Walaupun contoh merasa mudah bekerja sama dengan orang lain (57.1%) tetapi masih merasa sulit jika harus bersikap ramah dengan orang yang baru dikenalnya (54.0%). Meskipun demikian, contoh selalu mencium tangan kedua orangtua jika akan pergi keluar rumah (60.8%), mudah bergaul dengan siapa saja (58.7%), dan mengucapkan kata permisi ketika lewat di depan orang lain (55.6%). Hal-hal di atas menjelaskan bahwa contoh dapat membina hubungan yang baik dan bersikap sopan dengan siapa saja walaupun terkadang masih sulit untuk bersikap ramah dengan orang yang baru dikenalnya. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan keterampilan sosial No
Pernyataan
1
Saya merasa mudah untuk bekerja sama dengan orang lain Saya merasa mudah untuk bekerja sama dengan orang lain
Tabel 20 (Lanjutan)
Kadang -kadang n % n % 23 36.5 36 57.1 Selalu
Tidak pernah n % 4 6.4
Total n % 58 100
49
No
Kadang Tidak Total -kadang pernah n % n % n % n % 12 19.0 34 54.0 17 27.0 58 100 Selalu
Pernyataan
2
Saya sulit bersikap ramah dengan orang yang baru saya temui* 3 Saya bisa bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang mereka 4 Saya merasa canggung untuk berbicara di depan orang banyak* 5 Saya mengucapkan kata permisi ketika lewat di depan orang lain 6 Saya mencium tangan kedua orangtua jika akan pergi keluar rumah 7 Saya tidak tertarik dengan kegiatan ekstrakurikuler di pondok pesantren* Ket : * = pernyataan negatif
37 58.7 19 30.2
7
11.1 58 100
16 25.4 41 65.1
6
9.5
58 100
35 55.6 25 39.7
3
4.7
58 100
44 69.8 14 22.2
5
8
58 100
4
6.3
40 63.5 19 30.2 58 100
Tabel 21 yang menjelaskan pengkategorian keterampilan sosial contoh menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
contoh
(77.8%)
sudah
memiliki
keterampilan yang baik dalam membina hubungan dengan orang lain. Dan dalam hal ini hanya 22.2 persen dari contoh yang memiliki keterampilan sedang. Dapat dikatakan bahwa contoh menangani emosinya dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi agar dapat berinteraksi dengan lancar. Di dalam kehidupan pesantren, tidak hanya pendidikan formal atau umum saja yang diberikan kepada santrinya melainkan juga pendidikan agama yang salah satunya adalah menciptakan generasi penerus yang dapat menyebarluaskan pengetahuan agama sehingga diperlukan keahlian dalam mencuri perhatian orang lain dan membina suatu hubungan yang sehat agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan baik. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan kategori keterampilan sosial Keterampilan sosial
Jumlah n
%
Kurang (0-7)
0
0
Sedang (8-14)
14
22.2
Baik (15-21)
49
77.8
Total
63
100
Min-maks Rata-rata ±SD
12-20 16.06±2.04
Tabel 22 dibawah ini menjelaskan tingkat kecerdasan emosi contoh yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Hasil uji beda t-test dengan nilai p-value
50
sebesar 0.001 (<0.05) menunjukkan terdapat perbedaan kecerdasan emosi yang siginifikan antara contoh laki-laki dan perempuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar contoh (84.1%) berada pada kategori kecerdasan emosi yang baik. Contoh perempuan (96.8%) yang termasuk dalam kategori kecerdasan emosi baik memiliki persentase yang lebih tinggi dibanding contoh laki-laki (71.9%). Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan kategori kecerdasan emosi Laki-laki
Kategori Kurang (0-43)
Perempuan
Total
n
%
n
%
n
%
0
0
0
0
0
0
Sedang (44-86)
9
28.1
1
3.2
10
15.9
Baik (87-129)
23
71.9
30
96.8
53
84.1
Total
32
100
31
100
63
Min-maks Rata-rata ±SD
100
81-110
86-118
81-118
95.87±8.74
99.14±8.18
95.98±8.75
p-value Ket : p 0.001 = < 0.05
0.001
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Katyal dan Awasthi (2005) yang menjelaskan bahwa terdapat 61.33 persen remaja laki-laki dan 64.00 persen perempuan memiliki kecerdasan emosional yang tergolong baik. Hal tersebut dikarenakan perempuan cenderung lebih ingin mengenal baik dalam suatu hubungan
dibanding
laki-laki
sehingga
perempuan
diharuskan
memiliki
kecerdasan emosional yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Selain itu, sebuah fakta juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang untuk mengatur dan mengekspresikan emosi yang dimiliki sebagai kemampuan sosial. Tingginya kecerdasan emosional perempuan dapat dijelaskan dengan karakteristik diri. Hasil penelitian yang sama ditemukan juga oleh Tapia (1999) dan Dunn (2002) diacu dalam Ktyal dan Awasthi (2005) yang menjelaskan bahwa nilai perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki dalam hal empati, tanggung jawab sosial, dan hubungan interpersonal. Mereka juga lebih “sensitif” terhadap hubungan dengan orangtua, teman, dan saudara kandung. Kelima indikator di atas menunjukkan tingkat kecerdasan emosional dari seluruh contoh yang menurut Goleman (2007) dapat dilihat dari kemampuan seseorang dalam memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur
51
suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa. Kepatuhan Menurut
Hartono
(2006)
kepatuhan
pada
taraf
tertentu
dapat
menghambat kemandirian seseorang. Hal ini dikarenakan kepatuhan menuntut seseorang untuk mengikuti saja permintaan atau perintah orang lain tanpa memahami tujuan dari permintaan tersebut. Seseorang dikatakan memiliki kepatuhan yang baik jika sudah rela untuk memenuhi dan menerima permintaan dari seorang pemimpin atau yang bersifat mutlak sebagai sebuah tata tertib atau perintah secara rutin (McKendry 2009). Tabel 23 di bawah menjelaskan bahwa contoh pernah mengerjakan PR di kelas dan tidak menggunakan bahasa resmi (95.2%), terlambat sholat berjama’ah (90.5%), terlambat masuk sekolah (84.1%), menyetor hafalan AlQur’an tidak tepat waktu (76.2%), tidak melaksanakan piket (66.7%), terlambat masuk kelas setelah jam istirahat dan tidak mengikuti pelajaran kitab (63.5%), dan menitip piring kepada teman yang sedang mengantri jika antriannya panjang (61.9%). Walaupun lebih dari separuh contoh tidak pernah kabur dari mata pelajaran (57.1%), tidak menggunakan seragam yang lengkap (55.6%), dan kembali ke pondok tidak tepat waktu setelah liburan (54.0%). Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan aspek kepatuhan No
Pernyataan
1
Terlambat masuk sekolah
2 3
Mengerjakan PR di kelas Terlambat masuk kelas setelah jam istirahat Tidak melaksanakan piket Tidak mengikuti pelajaran (kabur)
4 5 6 7 8 9 10 11
Tidak menggunakan seragam yang lengkap Menitip piring kepada teman yang sedang mengantri makan (antrian panjang) Kembali ke pondok tidak tepat waktu (Setelah liburan) Tidak mengikuti pelajaran kitab Terlambat sholat berjama’ah Menyetor hafalan Al-Qur’an tidak tepat waktu
Pernah
Tidak
Total
n 53
% 84.1
n 10
% 15.9
n 63
% 100
60 40
95.2
3
4.8
63
100
63.5
23
36.5
63
100
42 27
66.7 42.9
21 36
33.3
63
100
57.1
63
100
28
44.4
35
55.6
63
100
39
61.9
24
38.1
63
100
29
46.0
34
54.0
63
100
40
63.5
23
36.5
63
100
57 48
90.5
6
9.5
63
100
76.2
15
23.8
63
100
52
Tabel 23 (Lanjutan) No
Pernyataan
12
Tidak menggunakan bahasa yang ditentukan pondok
Pernah n 60
Tidak
% 95.2
n 3
Total
% 4.8
n 63
% 100
Alasan yang dipilih contoh ketika mengalami 12 peristiwa di atas terangkum dalam Tabel 24 di bawah. Sebagian besar alasan yang dipilih contoh merupakan faktor ketidaksengajaan seperti kesiangan, lupa, kehilangan barang, dan ketiduran. Selain itu, alasan yang merupakan kesengajaan ternyata didominasi oleh kemalasan dan kebiasaan contoh serta situasi yang mendukung. Salah satu contoh adalah sengaja terlambat kembali ke pondok dan menitip piring kepada teman yang sudah berada dalam antrian makan. Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan alasan dalam aspek kepatuhan No
Pernyataan
Persentase (%) Pilihan 1
Pilihan 2
1 Terlambat masuk sekolah (n=53)
Sengaja (13.2)
2 Mengerjakan PR di kelas (n=60)
Malas (28.3)
3 Terlambat masuk kelas setelah jam istirahat (n=40) 4 Tidak melaksanakan piket (n=42)
Lupa waktu (45.0) Lupa (35.7)
Sengaja (40.0)
5 Tidak mengikuti pelajaran (kabur) (n=27)
Tidak suka dengan gurunya (48.2) Hilang (53.6)
Tidak suka pelajarannya (22.2) Masih basah (39.3) Malas (25.6)
6 Tidak menggunakan seragam yang lengkap (n=28) 7 Menitip piring kepada teman yang sedang mengantri makan (antrian panjang) (n=39) 8 Kembali ke pondok tidak tepat waktu (Setelah liburan) (n=29) 9 Tidak mengikuti pelajaran kitab (n=40) 10 Terlambat sholat berjama’ah (n=57) 11 Menyetor hafalan Al-Qur’an tidak tepat waktu (n=48)
Gantian (66.7)
Lupa waktu (10.4) Ketiduran (30.0) Ketiduran (40.3) Belum hafal (83.3)
12 Tidak menggunakan bahasa yang Lupa (33.3) ditentukan pondok (n=60) Keterangan : * = disebutkan didalam lampiran 2
Kesiangan (73.6) Lupa (65.0)
Malas (40.5)
Sengaja (44.8) Malas (25.0) Malas (24.6) Ada teman yang belum (14.6) Tidak tahu artinya (51.7)
Pilihan 3* Lainnya (13.2) Lainnya (6.7) Lainnya (15.0) Lainnya (23.8) Lainnya (29.6) Lainnya (7.1) Lainnya (7.7) Lainnya (44.8) Lainnya (45.0) Lainnya (35.1) Lainnya (2.1) Lainnya (15.0)
53
Tabel 25 menjelaskan bahwa sebagian besar contoh merasa bersalah karena telah melakukan 12 aspek seperti yang telah disebutkan di atas. Walaupun begitu, lebih dari separuh contoh ternyata masih merasa tidak bersalah ketika menitip piring kepada teman yang sudah berada dalam antrian dan ketika terlambat pada saat kembali ke pondok setelah liburan. Hasil ini menunjukkan
sebenarnya
contoh
sudah
mengetahui
bahwa
hal
yang
dilakukannya selama ini adalah salah, akan tetapi contoh belum menyadari bahwa hal-hal tersebut sangat bermanfaat bagi dirinya kelak, minimal dalam hal melatih kedisiplinan diri. Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan perasaan bersalah dalam aspek kepatuhan No
Pernyataan
Ya
Tidak
Total
n 50
% 94.3
n 3
% 5.7
n 53
% 100
1
Terlambat masuk sekolah (n=53)
2 3
Mengerjakan PR di kelas (n=60) Terlambat masuk kelas setelah jam istirahat (n=40) Tidak melaksanakan piket (n=42) Tidak mengikuti pelajaran (kabur) (n=27) Tidak menggunakan seragam yang lengkap (n=28) Menitip piring kepada teman yang sedang mengantri makan (antrian panjang) (n=39) Kembali ke pondok tidak tepat waktu (Setelah liburan) (n=29) Tidak mengikuti pelajaran kitab (n=40) Terlambat sholat berjama’ah (n=57)
57 36
95.0
3
5.0
60
100
90.0
4
10.0
40
100
36 16
85.7
6
14.3
42
100
59.3
11
40.7
27
100
21
75.0
7
25.0
28
100
15
38.5
24
61.5
39
100
13
44.8
16
55.2
29
100
32
80.0
8
20.0
40
100
50
87.7
7
12.3
57
100
Menyetor hafalan Al-Qur’an tidak tepat waktu (n=48) Tidak menggunakan bahasa yang ditentukan pondok (n=60)
38
79.2
10
20.8
48
100
49
81.7
11
18.3
60
100
4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tabel 26 di bawah menunjukkan bahwa contoh memiliki rata-rata tingkat kepatuhan 3.7 dan termasuk dalam kategori rendah yaitu 61.9 persen. Sedangkan jika dilihat berdasarkan jenis kelamin dapat dikatakan bahwa contoh perempuan memiliki kepatuhan sedang (51.6%) dibanding contoh laki-laki yang masuk ke dalam kategori rendah (75.0%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Zulkifli (1995) yang menjelaskan bahwa dorongan untuk memberontak dan mengeritik pada anak perempuan sudah dilunakkan oleh perasaan terikat
54
kepada aturan-aturan dan tradisi. Selain itu Steinberg (1993) juga menyatakan bahwa remaja perempuan lebih mudah terkena pengaruh orang lain atau figur otoritas, apabila dibandingkan dengan remaja laki-laki. Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kepatuhan Kategori
Laki-laki
Perempuan
Total
n
%
n
%
n
%
Rendah (0-4)
24
75.0
15
48.4
39
61.9
Sedang (5-8) Tinggi (9-12)
7 1
21.9 3.1
16 0
51.6 0
23 1
36.5 1.6
Total
32
100
31
100
63
100
Min-maks Rata-rata±SD
0-11
1-8
0-11
3.19±2.52
4.23±1.94
3.70±2.29
P-Value Keterangan : p 0.073 = >0.05
0.073
Hasil uji beda t-test menunjukkan bahwa tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kepatuhan contoh laki-laki dengan perempuan (p>0.05). Hal ini sesuai dengan karakteristik remaja yang cenderung menyesuaikan tingkah-laku dengan norma yang berlaku dalam konteks atau lingkungannya (Steinberg 1993). Selain itu adanya hukuman bagi siapa saja yang melanggar aturan juga menjadi alasan para santri untuk mengikuti dan mematuhi semua aturan dengan baik. Oleh karena itu, usaha pencegahan Harrison (2009) terhadap kepatuhan yang merusak dirasa juga perlu dilakukan seperti memberi dukungan kepada para santri untuk mengekspresikan pemikiran mereka demi terciptanya situasi dan kondisi yang kondusif di pesantren. Selain itu, proses pemberian ilmu pengetahuan juga perlu terus dilakukan agar para santri memiliki kekuatan ketika menghadapi tekanan-tekanan buruk dari luar, sehingga mereka dapat membuat keputusan yang bijaksana. Kemandirian Kemandirian merupakan salah satu hasil yang diharapkan dari seseorang yang cerdas secara emosi. Monks (2001) diacu dalam Musdalifah (2007) menjelaskan bahwa kemandirian merupakan perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Steinberg (2001) membagi kemandirian menjadi tiga dimensi yaitu :
55
Kemandirian emosi Remaja baru bisa dikatakan mandiri secara emosi jika remaja sudah tidak begitu saja datang kepada orangtua atau guru untuk meminta bantuan ketika mendapat kesulitan dan merasa sedih, kecewa serta khawatir; remaja tidak lagi memandang orangtua atau guru sebagai orang yang mengetahui dan menguasai segalanya; remaja memiliki kekuatan emosi untuk dapat menyelesaikan berbagai permasahalan di luar keluarga; dan remaja sudah memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan orangtua, baik sebagai orangtua sesungguhnya maupun sebagai teman (Steinberg 2001). Hasil penelitian, dalam Tabel 27, menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh pernah mengalami perasaan cemas (93.7%) dan perasaan-perasaan yang kurang baik serta menahan diri sendiri ketika sedang merasa kesal/marah. Pernyataan di atas membuktikan bahwa ketidakstabilan keadaan emosi yang dialami oleh sebagian besar contoh dalam penelitian adalah wajar adanya karena merupakan salah satu dari ciri-ciri masa remaja (Zulkifli 1995). Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan kemandirian emosi No
Pernyataan
Tidak
Pernah
Total
1
Perasaan cemas yang berlebihan
n 4
% 6.3
n 59
% 93.7
n 63
% 100
2
Perasaan tidak suka terhadap sesuatu hal
7
11.1
56
88.9
63
100
3 4
Menahan diri (bila sedang kesal/marah) Menemukan kesulitan atau masalah
4 2
6.3 3.2
59 61
93.7
63
100
96.8
63
100
5
Perasaan tersinggung
1
1.6
62
98.4
63
100
Tabel 28 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memilih untuk bercerita kepada teman (47.6% dan 49.2%) dan meminta bantuan dari teman (57.1%) ketika mereka mengalami perasaan di atas. Disamping itu, ada sebagian besar yang memilih untuk diam dan melakukan evaluasi terhadap diri sendiri (60.3%) dan melupakan kemarahan yang dirasakan (61.9%).
56
Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan hal yang dilakukan dalam kemandirian emosi Persentase (%) No 1
Pernyataan Perasaan cemas yang berlebihan
Tidak Pilihan 1 memilih 6.4 Dipendam sendiri (31.7)
Pilihan 2
Bercerita kepada guru/orangtua (9.5) 2 Perasaan 7.9 Menyimpannya Bercerita sendiri (33.3) kepada tidak suka guru/orangtua terhadap (7.9) sesuatu hal Dipendam 3 Menahan diri 3.2 Berusaha melupakan dengan (bila sedang (61.9) perasaan kesal/marah) jengkel (20.6) Meminta 4 Menemukan 3.2 Berusaha menyelesaikan bantuan kesulitan atau sendiri (30.2) orangtua/guru masalah (9.5) 5 Perasaan 1.6 Diam saja dan Menangis evaluasi diri (7.9) tersinggung (60.3) Ket : * = disebutkan didalam lampiran 3
Pilihan 3
Pilihan 4*
Bercerita kepada Lainnya teman (47.6) (4.8) Bercerita kepada Lainnya teman (49.2) (1.7) Langsung marah Lainnya (14.3) (0) Meminta bantuan Lainnya teman (57.1) (0) Langsung protes/marah (19.1)
Lainnya (11.1)
Dari jawaban yang dipilih menunjukkan bahwa sebagian besar contoh sudah mampu mengatasi hambatan atau masalah yang ditemukan, walaupun masih mengandalkan bantuan teman. Meskipun demikian, contoh sudah mampu untuk tidak terlalu mengidealkan orangtua atau guru dan memandang mereka sebagai orang dewasa pada umumnya yang tidak selalu mengetahui dan menguasai segalanya (Steinberg 2001). Kemandirian perilaku Remaja dapat dikatakan mandiri dalam perilaku jika sudah mampu membuat keputusan sendiri dan melakukan keputusan itu dengan bertanggung jawab (Steinberg 2001). Hasil penelitian berdasarkan Tabel 29 menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh (90.5%) pernah membuat perencanaan untuk masa depannya. Sebagian besar contoh dapat dikatakan sudah memiliki kemampuan untuk membuat keputusan sendiri, melaksanakan keputusan tersebut, dan bertanggung jawab terhadap keputusan dengan melakukan evaluasi terhadap keputusan tersebut (Steinberg 2001).
57
Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan kemandirian perilaku No
Tidak
Pernyataan
Pernah
Total
1
Merencanakan masa depan
n 6
% 9.5
n 57
% 90.5
n 63
% 100
2
Merencanakan jadwal kegiatan harian sendiri
21
33.3
42
66.7
63
100
3
Mengelola sendiri uang saku yang telah diberikan orangtua Melakukan kegiatan menghafal (Al-Qur’an)
12
19.0
51
81.0
63
100
8
12.7
55
87.3
63
100
Melakukan evaluasi terhadap kegiatan yang telah direncanakan
21
33.3
42
66.7
63
100
4 5
Tabel 30 menunjukkan bahwa rata-rata contoh sudah mampu melakukan sendiri kelima aspek kemandirian perilaku tersebut, seperti merencanakan masa depan sendiri (50.8%) dan membuat perencanaan dalam mengelola uang saku yang diberikan orangtua (65.1). Meskipun demikian, hasil penelitian ternyata juga menunjukkan bahwa masih terdapat cukup banyak contoh yang memerlukan bantuan dari orangtua atau guru dan teman untuk melakukan kelima hal tersebut. Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan hal yang dilakukan dalam kemandirian perilaku Persentase (%) No 1
2
Pernyataan
Tidak Pilihan 1 memilih Merencanakan 6.3 Merencanakan sendiri (50.8) masa depan Merencanakan 30.2 Membuat jadwal jadwal kegiatan kegiatan sendiri harian sendiri secara detail (44.4)
Pilihan 2 Merencanakan bersama orangtua/guru (17.5) Membuat jadwal kegiatan bersama guru/orangtua (4.8) Membuat perencanaan bersama guru/orangtua (7.9) Menghafal jika sudah mendekati waktu ujian (33.3)
14.3 Membuat Mengelola perencanaan sendiri uang saku yang telah sendiri (65.1) diberikan orangtua 4 Melakukan 11.1 Menghafal jauh dari waktu kegiatan sebelum ujian menghafal (Aldan sesuai Qur’an) dengan rencana yang telah dibuat sendiri (46.0) 5 Melakukan 22.2 Mengevaluasi Mengevaluasi evaluasi sendiri sesuai dengan terhadap rencana awal bimbingan kegiatan yang (34.9) guru/orangtua telah (17.5) direncanakan Ket : * = disebutkan didalam lampiran 3 3
Pilihan 3 Merencanakan bersama teman (23.8)
Pilihan 4* Lainnya (1.6)
Membuat jadwal Lainnya kegiatan (0) bersama teman (20.6) Membuat perencanaan bersama teman (12.7)
Lainnya (0)
Lainnya Santai saja (3.2) karena masih banyak teman yang belum hafal (6.4) Mengevaluasi Lainnya dengan bantuan (0) teman (25.4)
58
Kemandirian nilai Remaja dapat dikatakan mandiri dalam nilai jika sudah memiliki keyakinan, nilai-nilai dan pendapat sendiri (Moore 1987; Smolak 1993) sehingga nantinya remaja cukup mudah dalam menolak tekanan untuk mengikuti permintaan orang lain (Steinberg 1993). Hasil penelitian, dalam Tabel 31, menjelaskan bahwa hampir seluruh contoh telah memiliki prinsip yang kuat tentang konsep benar dan salah, sehingga mereka dapat menghargai pendapat orang lain (96.8%), meyakini sesuatu hal (88.9%), dan menganggap perbedaan bukan sebagai masalah (76.2%). Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan kemandirian nilai Tidak
No
Pernyataan
1
Meyakini bahwa sesuatu yang dilakukan adalah benar Menghargai pendapat orang lain
Pernah
Total
n 7
% 11.1
n 56
% n 88.9 63
% 100
2
3.2
61
96.8 63
100
15 23.8
48
76.2 63
100
4
Menganggap perbedaan bukan sebagai masalah Kebersamaan menjaga kebersihan
2
3.2
61
96.8 63
100
5
Memiliki prinsip yang kuat
6
9.5
57
90.5 63
100
2 3
Kemandirian secara nilai pada Tabel 32 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh telah meyakini bahwa hal yang dilakukan adalah benar dan sudah semestinya dilakukan. Salah satu contohnya adalah bersedia berteman dengan siapa saja (79.4%) untuk menjelaskan bahwa perbedaan bukanlah hal negatif dan wajar terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Kesimpulannya adalah contoh sudah memiliki prinsip yang kuat dan sudah mampu membedakan mana yang salah dan benar serta berani mengatakan tidak jika ada suatu hal yang tidak sesuai dengan hati nuraninya (Steinberg 1993). Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan hal yang dilakukan dalam kemandirian nilai Persentase (%) No 1
Pernyataan Meyakini bahwa sesuatu yang dilakukan adalah benar
Tidak Pilihan 1 memilih 7.9 Melakukan sesuatu sesuai dengan hati nurani dan sebaik mungkin (66.7)
Pilihan 2 Melakukan sesuatu dengan petunjuk guru/orangtua (9.5)
Pilihan 3 Melakukan sesuatu hanya karena ikutikutan teman (15.9)
Pilihan 4* Lainnya (0)
59
Tabel 32 (Lanjutan) Persentase (%) No
Pernyataan
Tidak Pilihan 1 memilih 2 Menghargai 3.2 Tidak tergantung siapa yang pendapat berpendapat orang lain (79.5) 3 Menganggap 6.3 Berteman perbedaan dengan siapa bukan saja (79.4) sebagai masalah 4 Kebersamaan 1.6 Tetap menjaga menjaga kebersihan kebersihan kelas/asrama walaupun tidak piket pada hari itu (71.4) 5 Memiliki prinsip 9.5 Berani menolak yang kuat ajakan teman jika hal itu salah (4.8)
Pilihan 2
Pilihan 4* Lainnya Tidak peduli dengan pendapat (3.2) orang lain (7.9) Pilihan 3
Menganggap bahwa hanya pendapat saya yang benar (6.3) Berteman hanya Tidak mau Lainnya (6.3) dengan yang berteman sedaerah (1.6) dengan yang miskin dan tidak pintar (6.3) Tugas menjaga Tidak peduli Lainnya kebersihan dengan (1.6) hanyalah tugas kebersihan bagi anak yang kelas/asrama piket pada hari (7.9) itu (17.5) Berani menolak Tidak berani Lainnya ajakan teman menolak ajakan (0) karena ada teman karena teman lain yang takut dimusuhi menolak juga (85.7) (0)
Ket : * = disebutkan didalam lampiran 3
Kemandirian contoh dikategorikan kedalam tiga kelompok, pada Tabel 33, yaitu kurang (0-5), sedang (6-10), dan baik (11-15). Secara keseluruhan contoh termasuk dalam kategori kemandirian yang baik (87.3%) dan begitu pula jika dibedakan dari jenis kelaminnya yaitu laki-laki (78.1%) dan perempuan (96.8%). Hasil uji beda t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara tingkat kemandirian contoh laki-laki dan perempuan. Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan kategori kemandirian Kategori
Laki-laki n
Perempuan
%
n
Total
%
n
%
Kurang (0-5)
0
0
0
0
0
0
Sedang (6-10) Baik (11-15)
7 25
21.9
1
3.2
8
12.7
78.1
30
96.8
55
87.3
Total
32
100
31
100
63
Min-maks Rata-rata±SD
100
8-15
10-15
8-15
12.72±2.08
13.55±1.38
13.13±1.80
P-Value Keterangan : p0.068 = >0.05
0.068
60
Hasil ini sesuai dengan penelitian Harter (1999) yang menjelaskan bahwa contoh laki-laki dan perempuan berada pada tingkat kesulitan yang sama dalam hal kemampuan mengeluarkan opini ketika mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA). Steinberg (1993) menyatakan bahwa seorang remaja baru bisa dikatakan memiliki kemandirian jika ia sudah mampu mandiri tidak hanya secara perilaku melainkan juga secara emosi dan nilai. Penelitian yang dilakukan Karma (2002) menjelaskan bahwa kemandirian nilai merupakan kemandirian yang paling kompeks dan umumnya berkembang paling akhir sehingga paling sulit untuk dicapai. Pola asuh emosi Persepsi terhadap pola asuh dalam penelitian ini merupakan sebuah proses yang aktif dari contoh dalam memilah, mengelompokkan serta memberikan makna terhadap informasi yang diterima atau perlakuan yang dirasakan
contoh
mengenai
pola
asuh
yang
dilakukan
pengasuh
(ustad/ustadzah) di pondok pesantren. Sedangkan pola asuh adalah cara berinteraksi yang paling dominan dalam berhubungan dengan para santri. Menurut Gottman (2004) pola asuh terbagi menjadi empat macam yaitu (1) pelatih emosi : mengajarkan anak tentang apa yang mereka rasakan dan bagaimana mengatasi perasaan tersebut dengan cara yang benar; (2) pengabai emosi : menganggap perasaan anak tidak penting dan bagi para orangtua, pengasuh atau guru cenderung untuk mengatakan kalimat “lupakan saja apa yang dirasakan;” (3) tidak menyetujui : menganggap kemarahan atau tangisan anak sebagai upaya untuk mencari perhatian dan anak akan mendapat hukuman atas apa yang telah mereka rasakan; dan (4) Laissez-faire : memberikan kebebasan kepada anak untuk mengekspresikan segala hal yang dirasakan oleh anak dengan tidak memberi batasan dan sedikit bimbingan. Pola asuh pelatih emosi (Coaching) Berdasarkan
Tabel
34,
sebagian
besar
contoh
setuju
bahwa
ustad/ustadzah menghargai emosi negatif contoh dan bersedia meluangkan waktu untuk mendengarkan kesedihan contoh (44.5%) dan menanyakan apa yang sedang contoh pikirkan dan penyebab dari kesedihan atau kemarahan itu (63.5%). Disamping itu, ustad/ustadzah juga mengajarkan kepada contoh tentang apa yang mereka rasakan serta bagaimana mengatasi perasaan
61
tersebut dengan cara yang positif seperti membolehkan contoh melakukan sesuatu asal bertanggung jawab (63.5%). Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh pelatih emosi Persentase (%) No
Pernyataan
SS
1
Jika saya sedih, saya membicarakan kesedihan itu 44.5 bersama-sama dengan Ustad/ustadzah 2 Ustad/ustadzah membolehkan saya melakukan 63.5 sesuatu sesuai kehendak saya, tetapi saya harus berani dan bisa mempertanggungjawabkan perbuatan saya tersebut 3 Ustad/ustadzah dapat menjadi teman curhat ketika 58.7 saya sedang sedih 4 Apabila saya marah atau sedih, Ustad/ustadzah 63.5 mencoba menanyakan apa yang sedang saya pikirkan dan penyebab dari kemarahan atau kesedihan itu 5 Ustad/ustadzah mengajarkan saya cara yang tepat 6.4 untuk mengungkapkan amarah yang saya rasakan Keterangan : SS: sangat setuju; S: setuju; KS: kurang setuju; TS: tidak setuju
S
KS
TS Total
22.2 22.2 11.1
100
22.2
9.5
4.8
100
27.0
7.9
6.4
100
0
100
22.2 14.3
27.0 33.3 33.3
100
Pola asuh pengabai emosi (Dismissing Parenting Style) Pola asuh pengabai emosi dalam Tabel 35 di bawah menjelaskan sebagian besar contoh setuju bahwa ustad/ustadzah cenderung tidak peduli terhadap perasaan contoh dan mengesampingkan peristiwa yang telah menimbulkan emosi tersebut. Salah satu contohnya adalah ustad/ustadzah menganggap contoh cengeng jika merasa sedih (68.3%) karena contoh harus selalu gembira dan tidak boleh sedih atau marah (54.0%). Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh pengabai emosi Persentase (%) No 1
Pernyataan
SS
S
Ustad/ustadzah tidak pernah menanyakan situasi 22.2 36.5 dan kondisi belajar-mengajar di pondok pesantren 2 Ustad/ustadzah menganggap sepele terhadap 52.4 36.5 permasalahan yang saya alami di pondok pesantren 3 Ketika saya sedang bermusuhan dengan teman, 41.3 30.2 Ustad/ustadzah membiarkan saya karena menurutnya hal tersebut biasa terjadi 4 Setiap kali saya sedih, Ustad/ustadzah 68.3 25.4 menganggap saya terlalu cengeng 5 Ustad/ustadzah menganggap bahwa saya harus 27.0 54.0 selalu gembira dan tidak boleh sedih atau marah Keterangan : SS: sangat setuju; S: setuju; KS: kurang setuju; TS: tidak
KS
TS
Total
30.2 11.1
100
9.5
1.6
100
17.4 11.1
100
4.7
1.6
100
14.3
4.7
100
setuju
62
Pola asuh tidak menyetujui (Disapproving style) Pola asuh tidak menyetujui dalam Tabel 36 menunjukkan bahwa ustad/ustadzah tidak menyetujui emosi negatif sehingga mereka mencoba untuk memahami contoh dengan mendisiplinkan atau menghukum contoh dan tidak peduli apakah sebenarnya contoh salah atau tidak. Salah satu bukti yang sesuai dengan hasil penelitian
adalah
ustad/ustadzah
menganggap
tidak
baik
jika
contoh
mengungkapkan amarah (39.7%) dan contoh akan dipukul/dimarahi jika marah (41.3%). Tabel 36 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh tidak menyetujui Persentase (%) No
Pernyataan
SS
1
Ustad/ustadzah menganggap tidak baik jika saya 39.7 mengungkapkan amarah yang saya rasakan 2 Jika saya sedih, Ustad/ustadzah biasanya hanya 39.7 menganggap kesedihan itu sebagai upaya untuk membuat mereka kasihan kepada saya 3 Jika saya marah, saya akan mendapat hukuman 41.3 dari Ustad/ustadzah seperti dipukul/dimarahi 4 Ustad/ustadzah menganggap saya berpura-pura 17.5 sedih untuk mendapatkan apa yang saya inginkan 5 Ketika saya marah, Ustad/ustadzah menganggap 34.9 saya belum dewasa Keterangan : SS: sangat setuju; S: setuju; KS: kurang setuju; TS: tidak setuju
S
KS
TS
Total
27.0 15.8 17.5
100
41.3
9.5
9.5
100
31.7 22.2
4.8
100
31.7 38.1 12.7
100
31.8 22.2 11.1
100
Pola asuh Laissez-Faire Pola asuh yang terakhir adalah pola asuh Laissez Faire (Tabel 37) yang menggambarkan
bahwa
ustad/ustadzah
terkadang
memberi
kebebasan
sepenuhnya kepada contoh untuk melakukan apapun (46.0%) dan tidak marah meskipun contoh tidak belajar (30.2%) atau mendapat nilai buruk (42.9%). Kesimpulannya, ustad/ustadzah tetap mengenalkan emosi dan mengajarkan bagaimana mengatasi emosi yang baik, walaupun tidak banyak. Tabel 37 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh Laissez Faire Persentase (%) No
Pernyataan
1
Ustad/ustadzah tidak marah atau memberi teguran kalau saya tidak belajar
SS
S
KS
TS Total
23.8 25.4 30.2 20.6
100
63
Tabel 37 (Lanjutan) Persentase (%) No
Pernyataan
SS
S
KS
TS Total
2
Ustad/ustadzah memberi kebebasan sepenuhnya 4.8 17.5 46.0 31.7 kepada saya untuk melakukan apapun yang saya suka 3 Ketika nilai saya buruk, Ustad/ustadzah tidak marah 6.3 27.0 42.9 23.8 atau menegur saya 4 Ketika saya marah, Ustad/ustadzah berharap saya 4.8 6.3 55.6 33.3 dapat mengatasinya sendiri 5 Saya merasa Ustad/ustadzah tidak pernah atau 14.3 12.7 41.3 31.7 jarang memberi arahan kepada saya Keterangan : SS: sangat setuju; S: setuju; KS: kurang setuju; TS: tidak setuju
100 100 100 100
Baik atau tidaknya pola asuh yang telah diterapkan pengasuh kepada para santri dapat dilihat pada Tabel 38 dibawah. Tabel 38 menunjukkan bahwa pola asuh pengasuh termasuk dalam kategori baik (87.3%) dengan rata-rata 59.7 yang berarti bahwa pola asuh yang selama ini diterapkan oleh pengasuh sudah sangat baik dan dapat diterima oleh para santri. Hasil uji beda t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara persepsi terhadap pola asuh contoh laki-laki dan perempuan (p>0.05). Hal ini diduga karena tidak adanya perbedaan yang besar terkait pola asuh yang diterapkan pengasuh kepada santri laki-laki maupun perempuan. Tabel 38 Sebaran contoh berdasarkan persepsi santri terhadap pola asuh emosi Kategori
Laki-laki
Perempuan
Total
n
%
n
%
n
%
Sedang (27-53) Baik (54-80)
0 5 27
0 15.6
0 3
0 9.7
0 8
0 12.7
84.4
28
90.3
55
87.3
Total
32
100
31
100
63
Kurang (1-26)
Min-maks Rata-rata±SD
100
41-75
40-72
40-75
59.13±6.51
60.32±6.12
59.71±6.30
P-Value Keterangan : p 0.456 = >0.05
0.456
Kecenderungan pola asuh yang diterapkan ustad/ustadzah sebagai pengasuh di pondok pesantren sangat jelas terlihat dalam Tabel 39 di bawah ini. Dari Tabel 39 dapat disimpulkan bahwa pengasuh atau ustad/ustadzah lebih cenderung menerapkan jenis pola asuh pelatih emosi atau coaching (54.0%)
64
kepada para santrinya. Skor contoh pada pola asuh mengabaikan ini berkisar antara 10-20 dengan skor rata-rata 13.70. Hasil penelitian pola asuh di pesantren tersebut menunjukkan bahwa para pengasuh atau ustad/ustadzah cenderung mempunyai kesadaran yang kuat akan emosi-emosi mereka sendiri maupun emosi orang-orang yang mereka kasihi. Gottman dan De Claire (1997) menjelaskan bahwa ciri pengasuh atau ustad/ustadzah yang menerapkan pola asuh pelatih emosi antara lain mereka mengenalkan kepada para santri bahwa semua emosi dapat memiliki tujuan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, termasuk emosi yang pada umumnya dianggap negatif seperti kesedihan, amarah, dan ketakutan. Lalu pengasuh atau ustad/ustadzah juga mengajarkan kepada para santri bagaimana mengatasi perasaan negatif tersebut dengan cara yang positif. Bila para santri melakukan hal-hal yang merugikan diri mereka sendiri, merugikan orang lain, atau merugikan hubungan mereka dengan orang lain maka pengasuh atau ustad/ustadzah cenderung untuk menghentikan tingkah laku yang merugikan tersebut dan mengarahkan kembali ke kegiatan atau cara pengungkapan yang tidak merugikan. Tabel 39 Sebaran contoh berdasarkan kecenderungan pola asuh emosi Kategori
Jumlah n
%
0 29
0 46.0
Tinggi (14-20)
34
54.0
Total
63
100
pola asuh pelatih emosi Kurang (<7) Sedang (7-13)
Min-maks
7-20
Rata-rata±SD
13.70±3.45
pola asuh mengabaikan Kurang (<7)
5
7.9
Sedang (7-13)
55
87.3
Tinggi (14-20)
3
4.8
Total
63
100
Min-maks
6-16
Rata-rata±SD
9.63±2.30
Pola asuh tidak menyetujui Kurang (<7) Sedang (7-13)
5 55
7.9 87.3
Tinggi (14-20)
3
4.8
65
Tabel 39 (Lanjutan) Jumlah
Kategori
n
Total
%
63
100
Min-maks
5-15
Rata-rata±SD
9.68±2.24
pola asuh Laissez Faire Kurang (<7)
6
9.5
Sedang (7-13) Tinggi (14-20)
45 12
71.4 19.1
Total
63
100
Min-maks
5-20
Rata-rata±SD
10.46±3.17
Hubungan Antar Variabel Faktor-faktor yang diamati dalam penelitian ini antara lain hubungan antara karakteristik contoh (usia, jenis kelamin dan urutan lahir) dan keluarga (usia orangtua, pendidikan, dan pendapatan) dengan kecerdasan emosional serta
hubungan antara
kecerdasan
emosional
dengan
kepatuhan
dan
kemandirian contoh. Hubungan karakteristik contoh dengan kecerdasan emosional Uji hubungan antara karakteristik contoh dan kecerdasan emosional dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Hasil uji pada Tabel 40 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia contoh dengan kecerdasan emosional. Hal ini diduga karena sebagian besar contoh memiliki usia yang homogen. Tabel 40 Hubungan antara karakteristik contoh dengan kecerdasan emosional Variabel Usia
Usia
Urutan Lahir
r p
Urutan Lahir Kecerdasan Emosi
r
0.236
p
0.063
r
-0.091
-0.018
p
0.478
0.886
Kecerdasan Emosi
66
Urutan lahir contoh dalam keluarga juga tidak berhubungan dengan kecerdasan emosional. Hal tersebut diduga karena rata-rata contoh tergolong kedalam kelompok anak pertama dalam keluarga mereka. Hubungan karakteristik keluarga contoh dengan kecerdasan emosional Uji hubungan antara karakteristik keluarga dan kecerdasan emosional dilakukan dengan uji korelasi Spearman. Hasil uji dalam Tabel 41 di bawah menunjukkan bahwa hanya besar keluarga contoh dari karakteristik keluarga yang berhubungan nyata dengan kecerdasan emosional contoh (p=0.047; r=0.251*). Hal ini menjelaskan bahwa semakin besar ukuran keluarga contoh maka kecerdasan emosional contoh juga semakin meningkat. Tabel 41 Hubungan karakteristik keluarga dengan kecerdasan emosional Usia Pddkn Usia ibu ayah ayah
Variabel Usia ayah
Pddkn ibu
Pdptn
Besar Kel
KE
r p
Usia ibu
r 0.762** p 0.000
Pendidikan ayah
r 0.359** 0.295* p 0.004 0.019
Pendidikan ibu
r 0.140 p 0.275
0.129
0.544**
0.312
0.000
Pendapatan
r -0.030 p 0.813
0.003
0.168
0.216
0.984
0.188
0.088
Besar keluarga
r 0.164 p 0.200
0.050
0.084
-0.111
-0.120
0.700
0.514
0.388
0.349
-0.108
-0.027
0.065
0.251*
0.401
0.833
0.614
0.047
-0.042 r 0.052 p 0.686 0.742 Ket : KE : kecerdasan emosional KE
Tabel 42 di bawah menunjukkan bahwa 89.5 persen contoh dengan keluarga sedang (5-6 orang) memiliki kecerdasan emosi yang tergolong baik. Hal tersebut bertentangan dengan pendapat Gunarsa dan Gunarsa (2000) bahwa kepadatan anggota keluarga dapat mengganggu pola dan interaksi antar anggota keluarga. Hal ini diduga karena contoh sudah terbiasa hidup mandiri dan mengatasi segala kebutuhan sendiri selama tinggal di pondok pesantren. Selain
67
itu, pengaruh dari teman, pengasuh dan situasi psikologis di pesantren diduga juga memberikan pengaruh terhadap emosi contoh. Tabel 42 Hubungan antara besar keluarga dengan kecerdasan emosional Kategori kecerdasan emosional Besar keluarga
Sedang
Baik
Total
n
%
n
%
n
%
Kecil (≤ 4 orang)
4
22.2
14
77.8
18
100
Sedang (5-6 orang)
4
10.5
34
89.5
38
100
Besar (≥ 7 orang)
2
28.6
5
71.4
7
100
Hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian Hasil uji korelasi Spearman, dalam Tabel 43, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara kecerdasan emosional dengan kepatuhan (p=0.000; r=0.483**) dan hubungan signifikan dengan kemandirian contoh (p=0.043; r=0.255**). Hasil tersebut menjelaskan bahwa semakin baik kecerdasan emosional contoh maka kepatuhan dan kemandirian contoh juga akan semakin baik. Tabel 43 Hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian Variabel KE
KE
Kepatuhan
Kemandirian
r p
Kepatuhan
r p
0.483** 0.000
Kemandirian
r
0.255*
0.020
p
0.043
0.877
Hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan Berdasarkan Tabel 43 di atas maka semakin baik kecerdasan emosional maka kepatuhan contoh juga semakin meningkat. Tabel 44 menunjukkan bahwa 58.5 persen contoh dengan kecerdasan emosional yang baik ternyata masih memiliki tingkat kepatuhan yang kurang. Hanya 1.9 persen contoh dengan kecerdasan emosional yang baik juga memiliki kepatuhan yang baik pula.
68
Tabel 44 Hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan contoh Kecerdasan Emosi
Kepatuhan Kurang
Sedang
Baik
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
Kurang (0-43)
0
0
0
0
0
0
0
0
Sedang (44-86) Baik (87-129)
8 31
80.0 58.5
2 21
20.0 39.6
0 1
0
10
100.0
1.9
53
100.0
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Ali dan Asrori (2009) yang menjelaskan bahwa seseorang akan melakukan pengamatan atau pemahaman dengan baik jika emosinya baik dan akan memberikan tanggapan yang positif jika emosinya juga baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jika seorang santri memiliki kecerdasan emosi yang baik maka ia dapat memahami sesuatu dengan baik dan akan memberikan respon yang baik pula terhadap hal tersebut. Hubungan kecerdasan emosional dengan kemandirian Hasil uji pada Tabel 43 juga menjelaskan bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional contoh maka tingkat kemandiriannya juga semakin meningkat. Tabel 45 di bawah ini menjelaskan bahwa terdapat 92.5 persen contoh dengan kecerdasan emosional baik juga memiliki kemandirian yang baik. Dan hanya 7.5 persen contoh dengan kecerdasan emosional baik ternyata memiliki kemandirian yang kurang baik. Tabel 45 Hubungan antara kecerdasan emosional dengan kemandirian Kecerdasan Emosi
Kemandirian Kurang
Sedang %
Baik n
Total
n
%
n
%
n
%
Kurang (0-43)
0
0
0
0
0
0
0
0
Sedang (44-86)
0
0
4
40.0
6
60.0
10
100.0
Baik (87-129)
0
0
4
7.5
49
92.5
53
100 .0
Banyak hal yang dapat mempengaruhi kemandirian seseorang antara lain kecerdasan emosional dari orang tersebut, gen atau keturunan orangtua, pola asuh yang diterima, sistem pendidikan di sekolah dan sistem kehidupan didalam masyarakat (Ali & Asrori 2009). Dan kecerdasan emosi seseorang, pada dasarnya dipengaruhi oleh perkembangan beberapa aspek seperti fisik-motorik, kognitif, maupun sosial. Sifat bawaan atau temperamen anak, serta pola asuh
69
dan lingkungan sosial tempat anak dibesarkan juga berpengaruh terhadap perkembangan emosinya (Daengsari 2009). Hubungan pola asuh emosi dengan kepatuhan Hasil uji korelasi Spearman pada Tabel 46 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh emosi dengan kepatuhan (p=0.022; r=0.287*). Hal ini menjelaskan bahwa semakin baik pola asuh emosi yang diterapkan maka kepatuhan contoh juga akan semakin baik. Tabel 46 Hubungan pola emosi dengan kepatuhan dan kemandirian Pola asuh emosi
Variabel
Kepatuhan
Pola asuh emosi
r
Kepatuhan
p r
0.287*
Kemandirian
p r
0.022 -0.004
0.020
p
0.976
0.877
Kemandirian
Tabel 47 menjelaskan bahwa terdapat 1.8 persen contoh yang memiliki persepsi terhadap pola asuh tinggi sudah memiliki kepatuhan yang baik, walaupun 60 persen contoh lainnya masih memiliki kepatuhan yang rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pondok pesantren sudah cukup berhasil untuk mengembangkan salah satu nilai khas kepesantrenan yaitu sukarela dan mengabdi
(Fakih
2004,
diacu
dalam
Ma’arif
2008).
Salah
satu
nilai
kepesantrenan tersebut diaplikasikan dengan kemauan dan kerelaan para santri untuk mengikuti dan mematuhi segala peraturan yang ada di pondok pesantren. Tabel 47 Hubungan pola asuh emosi dengan kepatuhan Pola asuh emosi
Kepatuhan Rendah
Sedang
Baik
Total
n
%
n
%
n
%
n
%
0
0
0
0
0
0
0
0
Sedang (27-53)
6
75.0
2
25.0
0
0
8
100.0
Tinggi (54-80)
33
60.0
21
38.2
1
1.8
55
100.0
Kurang (1-26)
70
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Lebih dari separuh contoh berusia 13 tahun dan hampir separuh contoh tergolong pada kategori anak pertama. Lebih dari separuh contoh memiliki ayah berusia 40-49 tahun dan termasuk kedalam kelompok dewasa madya sedangkan sebagian besar ibu contoh berusia sekitar 29-39 tahun yang termasuk kedalam kelompok dewasa awal. Pendidikan akhir orangtua contoh rata-rata sampai tingkat SMA/sederajat. Lebih dari separuh ayah contoh berprofesi sebagai wiraswasta sedangkan ibu contoh sebagai ibu rumah tangga. Dan mengenai pendapatan keluarga ada lebih dari separuh keluarga contoh berpendapatan antara Rp 1.000.001 - 3.000.000. Dan lebih dari separuh keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga sedang (5-6 orang). Sebagian besar contoh termasuk dalam kecerdasan emosi yang baik, begitu juga dengan jumlah remaja laki-laki dan perempuan. Dalam hal kepatuhan lebih dari separuh contoh termasuk dalam kategori rendah tetapi contoh perempuannya termasuk dalam kategori sedang. Sedangkan dalam kemandirian, sebagian besar contoh termasuk dalam kategori baik, begitu pula dengan contoh laki-laki dan perempuan. Untuk pola asuh yang cenderung diterapkan oleh pengasuh adalah pola asuh coaching atau pelatih emosi, sedangkan pola asuh yang diterapkan pengasuh termasuk dalam kategori baik, baik menurut persepsi contoh laki-laki maupun perempuan. Mengenai hubungan antar variabel, dapat dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara
karakteristik
contoh
dengan
kecerdasan
emosional.
Karakteristik keluarga yang memiliki hubungan signifikan dengan kecerdasan emosional adalah besar keluarga, sehingga semakin banyak anggota keluarga contoh maka kecerdasan emosional contoh juga semakin meningkat. Kecerdasan emosional ternyata memiliki hubungan yang sangat nyata terhadap kepatuhan dan berhubungan nyata dengan kemandirian contoh. Kecerdasan emosional akan menentukan kepatuhan dan kemandirian. Jika emosi yang dimiliki contoh sudah berada pada tingkat baik maka kepatuhan dan kemandiriannya pun akan baik pula.
72
DAFTAR PUSTAKA Ali M, Asrori M. 2009. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara Arisandi R. 2007. Analisis Persepsi Anak Terhadap Gaya Pengasuhan Orangtua, Kecerdasan Emosional, Aktivitas dan Prestasi Belajar Siswa Kelas Ix di SMA Negeri 3 Sukabumi [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Baron R.S, Byrne D. 2004. Social Psychology (10th Ed.). Boston: Allyn & Bacon. Berk L.E. 1994. Child Development. Boston: McGraw-Hill Inc. Beyers, Goosens L. 1999. Emotional Autonomy, Psychososial Adjustment and Parenting, Interactions, Moderating and Mediating Effects. Journal of adolescence. Bruinessen MV. 1995. Kitab Kuning. Bandung: Mizan. Daulay HP. 2004. Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana. Daengsari D. 2009. Perkembangan Emosi Si Prasekolah. http://www.tabloidnakita.com/artikel.php3?edisi=10476&rubrik=prasekolah. [09 Oktober 2009] Dhofier Z. 1982. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. . 1985. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. Dunn S. 2002. Emotinal Intelligence Quotations from Around the World. http://www.eqcoach.net/ [01 September 2009] Fakih M. 2004. Bebas dari Neoliberalisme. Yogyakarta: Inist. Fitri. 2008. Pengertian Kecerdasan Emosi. http://duniapsikologi.dagdigdug.com. [19 Desember 2008] Frank, Susan J, Avery CB, dan M.S.Laman. 1988. Young adult’s perceptions of their relationship with their parents: individual differences in connectedness, competence and emotional autonomy. Developmental Psychology Vol.24, No.5, 729-737. Geertz C. 1983. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Mahasin A, penerjemah. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Terjemahan dari: The Religion of Java. Ginting E. 2005. Hubungan Pengasuhan dan Kecerdasan Emosi dengan Prestasi Belajar pada Remaja [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
73
Goleman D. 1999. Kecerdasan Emosional untuk Mencapai Puncak Prestasi. Widodo AT, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Terjemahan dari: Working with EI. . 2007. Kecerdasan Emosional, Mengapa Emotional Intelligence lebih penting daripada Intelligence Quotient. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Gotmann J, Declaire J. 1997. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia. Gottman J. 2004. Four Parenting http://www.lifespanlearn.org/documents/Gottman-bookch2.pdf. Oktober 2009]
Styles. [09
Gunarsa & Gunarsa. 2000. Psikologi Praktis : Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK Gunung Mulia. ________________. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta : BPK Gunung Mulia. Harrison M. 2009. Resisting the Effects of Destructive www.associatedcontent.com [22 Januari 2010]
Obedience.
Harter S. 1999. The Construction of the Self: A Developmental Perspective. New York: The Guilford Press. Hartono. 2006. Kepatuhan dan kemandirian santri. Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol.4 No.1, hlm.50-66. Hastuti D. 2008. Pengasuhan : Teori dan Prinsip serta Aplikasinya di Indonesia. Diktat kuliah. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga Dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Havighurst, R. 1972. Development Task and Education (3rd ed.). New York: McKay. Hurlock. 1973. Adolescent Development Fourth Edition. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd. . 1978. Perkembangan Anak Edisi ke-6. Tjandrasa M, Zarkasih M, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Child Development Sixth Edition. . 1980. PSIKOLOGI PERKEMBANGAN Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. . 1991. PSIKOLOGI PERKEMBANGAN Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Karma I. 2002. Hubungan Pola Pengasuhan dengan Kemandirian Remaja SMU [Tesis]. Bandung: Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran. Katyal S, Awasthi E. 2005. Gender Differences in Emotional Intelligence Among Adolescents of Chandigarh. Journal Human Ecology. Vol 12, No 2, 153155.
74
Kuncoro, Mudrajat. 2008. Sudahkah kita merdeka?. http://www.koransindo.com. [10 Maret 2009] Ma’arif S. 2008. Pesantren VS Kapitalisme Sekolah. Semarang: Need’s Press. Mas’ud A. 2004. Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LkiS. Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. McKendry A. 2009. Social Psychology-The Individual and Groups. http://intranet.bell.ac.uk/sites/courses/SocialPsyComm/. [20 Maret 2009] Monks FJ, Knoers AMP, dan Haditono SR. 2001. Psikologi Perkembangan : Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Moore D. 1987. Parent-adolescent separation: the construction of adulthood by late adolescents. Developmental Psychology. Vol.23, No.2, 298-307. Musdalifah. 2007. Perkembangan sosial remaja dalam kemandirian (studi kasus hambatan psikologis dependensi terhadap orangtua). Jurnal Iqra, Vol.4, 46-56. Osherow N. 2004. Making Sense of The Nonsensical: An Analysis of Jonestown. In E. Aronson (Ed.), Readings about the social anomal (10th ed.). New York: Worth Publishers, pp. 80-97. Piaget J. 1969. The Intellectual Development of The Adolescent. In G. Caplan and S. Lebovici (Eds.), Adolescence: Psychosocial Perspective. New York: Basic Book, pp. 22-26. Rice. 1996. The Adolescence Developmental Relationship and Culture. Massachusets: Allyn and Bacon. Ruhidawati C. 2005. Pengaruh Pola Pengasuhan, Kelompok Teman Sebaya dan Aktivitas Remaja Terhadap Kemandirian [Tesis]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Santrock. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja (Edisi ke-6). Penerjemah; Adelar S, Saragih S, penerjemah; Kristiadji, Sumiharti Y. Terjemahan dari: Adolescence. Smolak L. 1993. Adult Development. New Jersey: Prentice-Hall. Sprinthall, Collins. 1995. Adolescent psychology third edition. New York: Mc Graw-Hill Inc. Steinberg L. 1993. Adolescence. New York: McGraw-Hill Inc. . 2001. Adolescence third edition. New York: McGraw-Hill Inc. Sumardi M, Dieter-Evers H. 1982. Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok. Jakarta: Rajawali
75
Sumarto. 2006. Pengaruh Kondisi Sosial Ekonomi dan Pendidikan Orangtua Terhadap Motivasi Melanjutkan Pendidikan ke Perguruan Tinggi Pada Siswa SMA NU 10 Wahid Hasyim Talang Tegal [Skripsi]. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Tapia M. 1999. A Study of the Relationships of the Emotional Intelligence Inventory (Intelligence Test) [Disertasi]. India: Department of Child Development, Govt. Home Science College. Wals M. 2002. Dalam Studi Lapangan Tentang Golongan Islam Ekstrim [skripsi]. Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Muhammadiyah Malang. Ziemek M. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial. Jakarta: P3M. Zimmer-Gembeck, M.J. 2001. Autonomy in adolescence. In J. V. Lerner & R. M. Lerner (Eds.), Adolescence in America: An Encyclopedia. Denver, CO: ABC CLIO. Zulkifli. 1995. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
76
77
Lampiran 1
Tabel 1 Variabel dan reliabilitas kuesioner Item
Reliabilitas
Pertanyaan
(α-cronbach)
Kepatuhan santri
12
0.687
Kemandirian santri
15
0.754
20
0.745
43
0.721
Variabel
Persepsi santri terhadap pola asuh emosi di pondok pesantren Kecerdasan emosional santri
Pengujian kuesioner dilakukan pada 12 orang responden. Skala pengukuran yang digunakan dalam ordinal sehingga perhitungan reliabilitasnya menggunakan koefisien reliabilitas alpha cronbach. Nilai alpha cronbach keempat variabel lebih besar dari nilai kritik r tabel (0,632) sehingga dapat disimpulkan bahwa item-item pertanyaan keempat variabel tersebut cukup reliabel untuk menentukan hubungan kecerdasan emosional dengan kepatuhan dan kemandirian santri di pondok pesantren.
78
Lampiran 2 Tabel 2 Alasan lain yang dipilih contoh dalam aspek kepatuhan Alasan 1 2
N o
Pernyat aan
1
Terlamb at masuk sekolah (n=53)
Piket
2
Mengerja kan PR di kelas (n=60) Terlamb at masuk kelas setelah jam istirahat (n=40) Tidak melaksa nakan piket (n=42) Tidak mengikut i pelajaran (kabur) (n=27) Tidak menggun akan seragam yang lengkap (n=28) Menitip piring kepada teman yang sedang mengant ri makan (antrian panjang) (n=39)
3
4
5
6
7
3
4
Ngantri mandi
Ngantr i makan
Tidak bisa
Ketidura n
Senga ja
Ketidu ran
Ke kamar mandi
Belnya mati
Bar u pula ng dari rum ah Tida k moo d mal as
Terla mbat
Members ihkan masjid
Kesian gan
Saki t
Pusin g
Tidak ada gurunya
Lagi malas belajar
Tidu r di kam ar
Belum dicuci
Betnya belum dijahit
Memb eli minu m dulu
Sakit
5
6
Waktu nya tidak cukup Sedan g makan
Bany ak kegia tan Ngan tuk
Tidak ada alat kebers ihan Sakit
Tidak masu k sekol ah Bosa n
7
Jad wal bent rok Disu ruh guru
8 9 1 0
1 1
79
Tabel 2 (Lanjutan) N o 8
9
1 0
1 1
Perny ataan Kemba li ke pondok tidak tepat waktu (Setela h liburan ) (n=29) Tidak mengik uti pelajar an kitab (n=40) Terlam bat sholat berjam a’ah (n=57) Menyet or hafalan AlQur’an tidak tepat waktu (n=48) Tidak mengg unakan bahasa yang ditentu kan pondok (n=60)
1 2
Alasan 1 2 Sa Ada kit keperlu an/acar a
3 Mace t dijala n
4 Tida k seng aja
5
Sa kit
Tidak ada gurunya
Surat surat an
Terla mbat
Dijen guk
Ma ndi
Ketidura n
Terla mbat
Nga ntri wud hu
Pergi
Jarang
Tidak ada tema n yang berb ahas a resmi
Tida k men gerti
Situa si dan kondi si yang mend ukung
6
7
8
9
10
11
Ke ka ma r ma ndi
Ab is jal an jal an
Me nca ri baj u dan sar ung
Keca peka n
Ada kegi atan lain
Lu pa wa ktu
Sa kit
Ma las
Lampiran 3 Tabel 3 Alasan lain yang dilakukan contoh dalam aspek kemandirian N o 1
Pernyataa n Perasaan
Alasan 1 Kadang
2 Cerita
3
4
5
6
80
2
3
4 5
6
7
8
cemas yang berlebihan (1)
cerita kepada teman
Perasaan tidak suka terhadap sesuatu hal (2) Perasaan tersinggun g (5)
Langsung mengungka pkan
Merencana kan masa depan (6) Melakukan kegiatan menghafal (Al-Qur’an) (9) Mengharg ai pendapat orang lain (12) Mengangg ap perbedaan bukan sebagai masalah (13)
Masih kecil
Kebersam aan menjaga kebersiha n (14)
Membersihk an jika disuruh guru
Sabar
kepada orang yang bisa dipercaya dan member masukan
Melakukan sebaliknya
Sudah sedikit hafal dari SD jadi tinggal mengulang Sebagai manusia harus saling menghargai
Menghafal nya kalau sedang ingin saja
Berteman dengan orang yang tidak bandel
Berteman dengan yang baik dan berakhlaku l karimah
Kadan g dipend am
Langsung bicara dengan orang yang bersangku tan
Bertem an dengan orang yang santai
Tidak mau berteman dengan orang yang sifatnya kurang baik
Menah an dan berusa ha ikhlas
Bicara baik-baik dengan orang yang menyingg ung perasaan
81
Lampiran 4
TATA TERTIB PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH TENTANG KEAMANAN
KEWAJIBAN-KEWAJIBAN 1.
Semua santri wajib saling menghargai, menghormati, menyayangi dan patuh kepada semua peraturan Pondok Pesantren Asshiddiqiyah
2.
Semua santri yang akan pulang ke rumah dan datang ke pondok wajib memakai jas almamater Pondok Pesantren Asshiddiqiyah
3.
Semua santri wajib berpakaian rapi, islami dan ma’hadi. Perempuan berjilbab dan laki-laki berpeci dalam keseharian kecuali di kamar sendiri
4.
Semua santri yang merasa diperlakukan tidak menyenangkan, diganggu, dieksploitasi atau dianiaya oleh orang lain, wajib melaporkan kepada bagian keamanan
5.
Setiap jam 22.30 s/d 03.00 semua santri wajib istirahat tidur di kamar masing-masing atau di tempat lain yang diperbolehkan untuk tidur oleh bagian keamanan kecuali petugas ronda
6.
Setiap setelah sholat Isya’ dan Subuh semua santri wajib absen di kantor keamanan atau temat lain yang telah ditentukan oleh bagian keamanan
7.
Semua santri Aliyah wajib melakukan jaga malam (ronda) setiap malam sesuai dengan jadwal masing-masing yang telah ditentukan oleh bagian keamanan
8.
Setiap kamar wajib memiliki petugas piket yang terjadwal
9.
Pada waktu kamar ditinggalkan dalam keadaan kosong, petugas piket atau wali asuh wajib mengunci kamar masing-masing
10. Setiap santri yang telah melakukan kesalahan wajib mendatangi panggilan keamanan
82
11. Semua santri ketika akan pulang atau keluar dari lingkungan pondok pesantren wajib izin kepada Kabag. Keamanan atau wakilnya dan kembali ke pondok pesantren tepat waktu
LARANGAN-LARANGAN 1.
Semua santri dilarang membuat gaduh, berkelahi, membawa atau menyimpan senjata tajam atau memprovokasi orang lain untuk berbuat kejahatan
2.
Semua santri dilarang melawan petugas pesantren seperti karyawan, mustahiq (wali asuh), guru dan pimpinan
3.
Semua
santri
dilarang
mengganggu,
mengancam,
mengeksploitasi,
memalak, menghosob dan mencuri barang orang lain 4.
Semua santri dilarang merokok, minum-minuman keras, mengkonsumsi dan menyimpan obat-obatan terlarang dan atau memfasilitasinya
5.
Semua santri dilarang mengobak, membuang persediaan air dari bak mandi, membuang sampah sembarangan dan menginjak lantai yang dinyatakan suci dengan memakai alas kaki atau kaki yang kotor
6.
Semua santri dilarang berhubungan intim, berdua-duaan (kholwat) dengan lawan jenis atau yang sesama jenis
7.
Semua santri dilarang mencoret-coret dinding, meja, kursi, lemari, dan atau merusak fasilitas pondok pesantren Ashhiddiqiyah
8.
Semua santri dilarang memakai celana pendek bagi laki-laki, dan rok pendek atau rok belahan bagi perempuan, serta celana atau rok jeans
9.
Semua santri dilarang menyimpan uang lebih dari Rp. 20.000,- jika mempunyai uang lebih dari jumlah tersebut, supaya dititipkan kepada keuangan atau kepada wali asuh
10. Selain penghuni kamar dilarang masuk ke kamar lain tanpa ijin keamanan kecuali petugas pesantren 11. Pada saat belajar formal atau nonformal semua santri dilarang tinggal di kamar 12. Semua santri dilarang membawa, menyimpan dan memainkan gitar, kartu remi, gaple, alat-alat elektronik seperti : handphone, tape, radio, mp3 player
83
dan alat sejenisnya kecuali menonton TV pada hari libur pada waktu yang telah ditentukan SANKSI-SANKSI Barang siapa yang tidak menjalankan kewajiban sebagai berikut : a.
Membuat jadwal piket kamar
b.
Menjaga keamanan kamar, menunggu atau menguncinya jika kamar kosong, bagi petugas piket
c.
Ronda malam sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh bagian keamanan
d.
Melaporkan tamu ke bagian keamanan jika mau menginap
e.
Mendatangi panggilan keamanan bagi santri yang telah melakukan pelanggaran
f.
Tidur setalah jam 22.30 s/d 03.00, selain petugas ronda
g.
Berpakaian rapi, berpeci bagi laki-laki dan berjilbab bagi perempuan
h.
Meninggalkan dan memasuki pondok dengan menggunakan jas almamater pondok pesantren Ashhiddiqiyah
i.
Menghargai, menghormati dan menyayangi orang lain
j.
Mentaati peraturan pondok pesantren Asshiddiqiyah
k.
Meminta ijin kepada Kabag. Keamanan atau wakilnya ketika akan pulang atau keluar dari lingkungan pondok pesantren
l.
Datang ke pondok pesantren tepat waktu
Maka akan dikenakan sanksi sebagai berikut : 1.
Masing-masing akan dikenakan sanksi hukuman memungut sampah sebanyak 250 buah, menghafalkan mufrodat bahasa resmi 20 kata sambil berdiri di lapangan dan dipitak rambutnya bagi santri putra, membersihkan lingkungan pondok pesantren selama 3 hari bagi santri putri serta masingmasing membuat surat perjanjian
2.
Jika mengulangi lagi maka akan dikenakan sanksi hukuman memungut sampah sebanyak 500 buah, menghafalkan mufrodat bahasa resmi 40 kata sambil berdiri di lapangan dan dibotak rambutnya bagi santri putra, membersihkan lingkungan pondok pesantren selama 6 hari bagi santri putri serta masing-masing membuat surat perjanjian
3.
Jika mengulangi lagi maka akan dikenakan sanksi hukuman memungut sampah sebanyak 1000 buah, menghafalkan mufrodat bahasa resmi 80 kata
84
sambil berdiri di lapangan dan dibotak rambutnya bagi santri putra, membersihkan lingkungan pondok pesantren selama 12 hari bagi santri putri serta masing-masing disiram air got satu ember ukuran besar kemudian membuat surat perjanjian beserta orang tua yang bersangkutan 4.
Jika mengulangi lagi maka akan dikenakan sanksi hukuman memungut sampah sebanyak 2000 buah, menghafalkan mufrodat bahasa resmi 160 kata sambil berdiri di lapangan dan dibotak 2 kali rambutnya bagi santri putra, membersihkan lingkungan pondok pesantren selama 24 hari bagi santri putri serta masing-masing disiram air got dua ember ukuran besar 2 kali
kemudian membuat
surat
perjanjian beserta
orang tua
yang
bersangkutan serta dihadapkan kepada pengasuh pondok pesantren 5.
Jika mengulangi lagi maka akan dikenakan sanksi hukuman 2x lipat dari hukuman
sebelumnya
serta
dihadapkan
beserta
orang
tua
yang
bersangkutan kepada pengasuh pondok pesantren dan menerima keputusan dikeluarkan dari pondok pesantren Asshiddiqiyah Barang siapa melanggar larangan : a.
Mengobak didalam bak mandi dan atau membuang persediaan air dari bak mandi
b.
Membuang sampah sembarangan, menginjak lantai yang dinyatakan suci dengan memakai alas kaki atau kaki yang kotor
c.
Memakai celana pendek bagi laki-laki dan rok pendek atau rok belahan bagi perempuan serta celana atau rok jeans
d.
Masuk ke kamar orang lain tanpa ijin kepada yang bersangkutan
e.
Tinggal di kamar pada saat jam belajar formal maupun nonformal
f.
Menyimpan gitar, kartu remi, gaple atau sejenisnya
Maka akan dikenakan sanksi sebagai berikut : 1.
Masing-masing akan dikenakan sanksi hukuman memungut sampah sebanyak 250 buah, menghafalkan mufrodat bahasa resmi 20 kata sambil berdiri di lapangan dan dipitak rambutnya bagi santri putra, membersihkan lingkungan pondok pesantren selama 3 hari bagi santri putri serta masingmasing membuat surat perjanjian
2.
Jika mengulangi lagi maka akan dikenakan sanksi hukuman memungut sampah sebanyak 500 buah, menghafalkan mufrodat bahasa resmi 40 kata
85
sambil berdiri di lapangan dan dibotak rambutnya bagi santri putra, membersihkan lingkungan pondok pesantren selama 6 hari bagi santri putri serta masing-masing membuat surat perjanjian
86
Lampiran 5 TATA TERTIB PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH TENTANG PERIJINAN SANTRI A. Rekomendasi ijin pulang 1. Semua
santri
TIDAK
diperkenankan
pulang
kecuali
telah
mendapatkan rekomendasi dari KABAG KEAMANAN atau WAKIL KABAG KEAMANAN jika Kabag Keamanan tidak berada di tempat 2. Untuk mendapatkan rekomendasi ijin pulang HARUS memiliki MEMO dari wali asuh yang bersangkutan atau lurah pondok jika wali asuh berhalangan 3. Santri tidak berhak mendapatkan rekomendasi ijin pulang kecuali darurat atau libur panjang yang telah ditentukan oleh pesantren 4. Santri yang telah mendapatkan ijin pulang HARUS dijemput orang tuanya atau wakilnya B. Rekomendasi ijin keluar 1. Santri yang keluar ke SQ Mart HARUS menyerahkan kartu identitas pesantren ke pos keamanan, kemudian di tukar dengan kartu ijin yang harus dipakai selama ijin 2. Santri yang akan keluar selain ke SQ Mart harus memiliki ijin dari KABAG KEAMANAN atau WAKIL KABAG KEAMANAN jika Kabag Keamanan tidak berada di tempat 3. Untuk mendapatkan REKOMENDASI IJIN KELUAR HARUS memiliki MEMO dari wali asuh yang bersangkutan atau lurah pondok jika wali asuh berhalangan. Atau dari kepala sekolah jika berhubungan dengan urusan sekolah atau dari Kabag Lembaga jika berhubungan dengan lembaga atau dari Kabag Extra Kurikuler jika berhubungan dengan kegiatan ekskul atau Kabag Keuangan jika berhubungan dengan keuangan C. Ijin pertemuan/kegiatan 1. Setiap pertemuan yang melibatkan 2 orang atau lebih, laki-laki dan perempuan HARUS atas seijin bagian keamanan
87
2. Pertemuan tersebut harus didahului surat permohonan ijin yang didalamnya mencantumkan jumlah peserta dan penanggung jawab kegiatan,
waktu
pelaksanaan
paling lambat
1
hari
sebelum
wajib
menjaga
pelaksanaan. 3. Selama
kegiatan/pertemuan,
penanggungjawab
kebersihan, ketertiban dan mengembalikan seperti semula peralatan yang dipergunakan D. Peringatan Barangsiapa yang keluar dari pondok pesantren dengan melanggar ketentuan di atas dan atau bagi yang datang ke pondok pesantren melebihi batas waktu yang telah ditentukan, maka dianggap kabur dan akan mendapatkan sanksi. E. Sanksi-sanksi 1. Barangsiapa kabur 1(satu) jam maka akan dikenakan sanksi berupa pembinaan selama dua hari dan menghafalkan mufrodat (kosa kata) 20 kata bahasa Inggris atau bahasa Arab dan denda untuk pembinaan dan pengawasan sebesar Rp. 10.000,- yang harus diserahkan ke keamanan dan dicatat dalam buku denda 2. Barangsiapa kabur selama 1(satu) hari atau lebih maka akan dikenakan sanksi berupa pembinaan dan belajar tambahan bahasa Arab atau Inggris di luar jam belajar formal dan lembaga selama 7 hari dan denda Rp. 25.000,- untuk pelanggaran setiap 1 harinya 3. Setiap santri yang melakukan pelanggaran kemungkinan akan diberikan sanksi yang lebih berat sesuai dengan pertimbangan pengasuh 4. Hal-hal yang belum tercantum dalam peraturan ini akan dibuat aturan tersendiri secara tertulis maupun tidak tertulis demi mewujudkan kedisiplinan dan keamanan di lingkungan Pondok Asshiddiqiyah.
Pesantren
88
Lampiran 6 TATA TERTIB PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH JAKARTA TENTANG KEBERSIHAN LINGKUNGAN A. Kewajiban-kewajiban : 1. Semua warga pondok pesantren Asshiddiqiyah Jakarta WAJIB menjaga kebersihan lingkungan dan merawat sarana dan prasarana kebersihan 2. Semua pelaksana tugas piket kebersihan WAJIB melaksanakan tugasnya sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan 3. Makan dengan tertib dengan tetap menjaga kebersihan dan WAJIB mulai makan dengan berdoa B. Larangan-larangan : 1. Dilarang membuang sampah KECUALI pada tempat yang telah disediakan 2. Dilarang makan sambil gaduh (teriak-teriak) dan berantakan C. Sanksi-sanksi : 1. Barangsiapa melanggar TATA TERTIB ini akan dikenakan sanksi berupa HUKUMAN WAJIB PIKET KEBERSIHAN selama 1 minggu diluar jadwal yang telah ditentukan atau denda uang senilai Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) 2. Apabila masih melanggar tata tertib ini akan dilaporkan kepada MAHKAMAH PONDOK PESANTREN untuk diproses lebih lanjut.
89
Lampiran 7
TATA TERTIB SISWA SMP MANBA’UL ULUM PONDOK PESANTREN ASSHIDDIQIYAH JAKARTA
I. KEWAJIBAN
1. Menjaga dan menjunjung tinggi Almamater Sekolah dan Pesantren, baik di dalam maupun diluar Pondok Pesantren 2. Tunduk dan patuh terhadap peraturan dan tata tertib yang telah ditetapkan sekolah dan Pondok Pesantren 3. Memakai pakaian seragam Sekolah dengan rapih sesuai dengan ketentuan sekolah yaitu: Senin dan selasa
: Baju Kotak-kotak biru dan celana/rok biru
Rabu dan Kamis
: Baju Putih dan celana/rok biru
Jum’at
: Baju Putih dan celana/rok putih
Sabtu
: Pramuka
Siswa Putra memakai kemeja panjang dan berpeci Hitam (Peci Nasional), Sepatu & Kaos Kaki Siswi Putri memakai blus panjang dan berjilbab sesuai dengan ketentuan. 4. Hadir setiap hari bersekolah selambat-lambatnya 10 menit sebelum pelajaran pertama dimulai 5. Berdo’a bersama dengan suara keras sebelum jam pertama dimulai dan sesudah jam terakhir selesai dipimpin oleh ketua kelas 6. Mengikuti upacara bendera setiap hari senin pagi pukul 07.00-07.30 WIB 7. Mengikuti semua jam materi pelajaran yang telah ditentuakan oleh sekolah 8. Mengikuti ulangan harian dan ulangan umum yang telah ditentukan sekolah 9. Melaksanakan tugas-tugas yang telah diberikan oleh guru bidang study 10. Menjaga
dan
memelihara
7K
(Keamanan,
Ketertiban,
Keindahan,
Kebersihan, Kekeluargaan, Kerindangan dan Kesehatan) 11. Memiliki kelengkapan alat belajar siswa 12. Melunasi uang bayaran bulanan yang telah ditentukan selambat-lambatnya tanggal 10 setiap bulan.
90
13. Mengikuti salah satu kegiatan extrakurikuler yang telah ditentukan 14. Praktek berbahasa resmi yang telah ditentukan 15. Mengikuti kegiatan organisasi intra santri SMP 16. Menyerahkan surat keterangan tidak masuk sekolah karena sakit atau berhalangan hadir. 17. Mengamalkan ikrar santri dan panca disiplin santri 18. Mengikuti mutholaah malam dengan bimbingan wali asuh
II. HAK
1. Mendapat pelayanan pendidikan yang baik. 2. Menerima ilmu pengetahuan agama dan umum. 3. Mendapat tuntunan akhlakul karimah. 4. Mendapat bimbingan dan pengasuhan. 5. Mendapat pelayanan pengembangan minat dan bakat yang sesuai dengan trilogi Pondok Pesantren Asshiddiqiyah. 6. Mendapat perlindungan dari hal-hal yang tidak menyenangkan. 7. Mendapat pelayanan kesehatan. III. LARANGAN
1. Melanggar kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan 2. Membawa, memiliki dan memakai
rokok, narkoba, minuman keras dan
sejenisnya didalam sekolah maupun diluar sekolah 3. Menbawa senjata tajam dan sejenisnya 4. Berambut dan berkuku panjang bagi santri putra 5. Memakai aksesoris seperti kalung, gelang, giwang, anting, ikat kaki, cincin kaki dan sejenisnya. 6. Merubah warna rambut 7. Membawa dan menggunakan pilox,
tipe x dan sejenisnya yang
mengakibatkan hilangnya nilai-nilai 7K. ( Kebersihan,Keindahan 8. Berkuku panjang, memakai perhiasan dan bermake-Up yang berlebihan bagi santri putri 9. Bermusuhan, berkelahi dan sejenisnya
91
10. Melakukan hubungan lawan jenis, baik surat menyurat atau lebih dari itu. 11. Mengambil barang milik orang lain tanpa izin pemiliknya dengan sengaja 12. Membawa benda elektronik seperti : HP, walkman, dll. 13. Keluar masuk kelas ketika KBM sedang berlangsung 14. Bersalaman kepada guru atau siswa lain yang berlainan jenis 15. Memperlihatkan rambut bagi siswa putri
IV. SANKSI
1. Peringatan lisan 2. Peringatan tertulis 3. Pemanggilan orang tua 4. Skorsing 5. Dikeluarkan
92