1
KONSERVASI “PUSAT” SEBAGAI PEMBENTUK SPIRIT KOTA Widiastuti, Universitas Udayana
[email protected]
Abstrak Kota adalah salah satu dari produk budaya suatu masyarakat. Bentuk kota sangat tergantung pada bagaimana masyarakatnya menghadapi permasalahan yang dihadapinya dan cara pandang mereka terhadap kehidupan. Pada masyarakat tradisional, kota dipandang sebagai pengejawantahan atas proses penciptaan, imitasi dari dunia langit. Kota pada masyarakat ini memiliki nilai-nilai kosmologis yang ditranformasikan dalam bentuk-bentuk pusat dan gunung magis, sumbu dan tata nilai sakral profan. Permukiman tradisional Bali disusun atas dasar konsep kosmologis hindu dimana sumbu-sumbu magis digunakan. Pempatan Agung adalah merupakan pusatnya dimana dinetralisir energi positif dan negatif. Untuk mendukung tata nilai tersebut fungsi-fungsi yang diletakkan sangat terkait dengan prosesi upacara ritual serta kekuatan politik. Perkembangan kota, salah satunya kota Denpasar, yang begitu pesat menghilangkan batas-batas magis. Perubahan bentuk kekuasaan, teknologi, ekonomi merupakan faktor-faktor yang berperan dalam menurunkan nilai keterpusatan Pempatan Agung. Dari studi banding yang dilakukan di kota Paris dan Sarlat, konservasi dapat berhasil bukan hanya karen ditetapkan aturan, tetapi yang lebih penting adalah komitmen dan disiplin semua aktor pembangunan untuk mendukung berjalannya aturan tersebut. Maka Pengendalian adalah konsep yang penting dalam pelestarian. Makalah ini mengelaborasi pentingnya pelestarian nilai kosmologis pada kota dimana budaya tradisional masih dijunjung tinggi. Kata Kunci: Konservasi, Pusat, Kosmologis, Pempatan Agung, Denpasar, Paris, Sarlat
2
Pendahuluan Kota sebagai bentuk terbangun mencerminkan kepentingan-kepentingan budaya, perilaku dan pola kehidupan sosial masyarakatnya (Low,1992). Kota adalah produk yang dihasilkan dari konflik-konflik sosial politik (Harvey,1985) ; kota disusun oleh bentuk kehidupan masyarakat dan memberikan pengalaman dalam kehidupan manusia (Bourdieu, 1977), kota menciptakan ide dalam membentuk citra lingkungannya (Quantrill, 1987 ; Rapoport, 1982). Dengan demikian kota adalah sebuah pelestari makna hisrotis yang menciptakan hubungan-hubungan sosial masyarakatnya (Giddens,1979 ; Castells, 1978). Pengetahuan akan kota bukan hanya didukung hanya pada bentuk materialnya namun lebih dari itu adalah kondisi sosial, politik, ekonomi yang disimbolkan pada pusat kotanya, pada ruang-ruangnya dan terlebih pada kehidupan sehari-hari penduduknya. Kota dapat juga dijelaskan sebagai sebuah kreasi budaya. Kota adalah hasil dari makna budaya dalam proses sosial. Maka kota harus dipahami sebagai keseluruhan dari faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik dari masyarakatnya. Ia adalah kesatuan dari material yang tersusun dari sebuah sistem spasial (hubungan, orientasi, dan pola ruang), sebuah sistem fisik (sistem pembangunan dan bahan), dan sistem gaya (fasad, ornamen, dan elemen bangunan lain) (Habraken,1970 : 37). Dalam pandangan budaya, kota adalah hanya produk budaya. Pendekatan budaya untuk perancangan kota telah dilakukan oleh Agnew, Mercer dan Sophier (1984). Menurut mereka budaya adalah perekat masyarakat, pola kehidupan keseharian, dan ekspresi alamiah dari organisasi ekonomi. Kota adalah materialisasi dari proses sosial dan hasil dari sebuah ide. Dan budaya mengalami evolusi. Itulah sebabnya perlu melihat kota sebagi sebuah fenomena budaya, yaitu pola hidup, sistem makna, produk prinsipal dari fungsi-fungsi ekonomi, dan ketahannya menghadapi evolusi. Setelah meneliti pola permukiman di seluruh dunia, Amos Rapoport (1986) menyimpulkan bahwa pola bermukim tunduk pada aturan-aturan yang merupakan keinginan manusia mengatur dunianya. Menurut Amos, setiap budaya memiliki sistem pengaturan sendiri dan berhubungan secara simbolik dengan aturan alam. Setiap elemen alam dalam budaya ini memiliki makna dan diaplikasikan menurut prioritas-prioritas dan dan preferesi budayanya. Dalam budaya tradisional, aturan ruang terkait dengan agama dan kepercayaan untuk meniru harmoni surgawi. Terdapat dua sistem pengaturan ruang dalam budaya tradisional yaitu aturan geometris yang berkait dengan kosmologi dan agama, dan aturan sosial yang berkait dengan sistem sosial Kota mencerminkan budaya yang merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek termasuk di dalamnya cara berfikir, lingkungan, kebiasaan, cara hidup, norma, aturan, tata nilai, dan kepercayaan. Kota juga mencerminkan cara pandang suatu masyarakat terhadap alam semesta yang ditransformasikan dalam bentuk dan wajah kota. (Rapoport, 1986, Claval, 1995, Agnew et al., 1984).Menurut Almeida (1994), pendekatan budaya berperan ganda yaitu pada interaksi dan makna. Interaksi dimaksud adalah percampuran berbagai cara pandang yang berbeda seperti antara insinyur dan petani. Sedangkan makna menunjukkan bagaiman individu dalam masyarakat tetap dapat menunjukkan jati dirinya dan memiliki
3
identitas pada budaya mereka melalui tata nilai, simbol, ritual, bahasa, dan sebagainya. Salah satu aspek dalam pendekatan budaya adalah dimensi mistis dalam praktek spasial yang dielaborasi oleh Eliade (1949, 1952, 1965), Roux (1996,1999), dan Berdoulay et al. (2001). Relevansi geografis tentang mistis berasal dari pembentukan nalar yang mengandung representasi dari dunia dimana individu atau kelompok masyarakat tunduk pada proses dimana mereka menemukan “tempat” mereka. Hal itu nampak juga pada stuktur penempatan masyarakat dalam ruang (Turco, 2001). Menurut pendekatan ini, ruang dalam budaya masyarakat tradisional diterjemahkan melalui dunia ciptaan Tuhan atau tempat berstananya para dewata dan diproyeksikan dalam ruang simbolik dalam komposisi yang berbeda baik fisik maupun makna. Transformasi dari dimensi mistis dalam pendekatan budaya ini ditransformasikan dalam bentuk-bentuk sumbu-sumbu maya, pusat dan gunung mistis, pembagian ruang berdasarkan nilai sakral dan profan. Sumbu-sumbu maya terkait dengan keberadaan fenomena alam yaitu matahari dan gunung. Dalam masyarakat tradisional arah matahari terbit adalah simbol kehidupan, terang, kebaikan sedang arah matahari terbenam merupakan simbol kematian, gelap, keburukan. Sedangkan gunung adalah tempat tertinggi, tempat berstananya para dewata, dan simbol dari keagungan, kesucian, sumber kehidupan. Sebaliknya dengan laut. Sumbu-sumbu tersebut menghasilkan tata nilai sakral dan profan dari setiap ruang Titik pertemuan antara sumbu laut dan matahari ini menghasilkan “Pusat” magis dari suatu kota dimana kekuatan negatif dinetralisir oleh kekuatan positif, tempat bersatunya tiga kekuatan kosmis yaitu bumi, langit dan surga, tempat dimana manusia merasa lebih dekat dengan penciptanya. Disinilah letak “Pusat Dunia” (Axis Mundi). Mahameru adalah axis mundi bagi orang Hindu, Golgota adalah axis mundi bagi orang Yahudi, gunung Olimpus adalah axis mundi bagi orang Yunani, Haraberezaiti bagi orang Persia, Ziggourats bagi orang Mesopotamia, Ka’bah adalah axis mundi bagi semua orang Islam. Disinilah pentingnya “Pusat” karena di pusat inilah identitas setiap budaya ditampilkan. Sebagai sebuah konsepsi, spirit kota biasanya terkait dengan usaha-usaha revitalisasi dan preservasi. Spirit kota juga terkait dengan tata nilai dan makna bagi para penduduk kota dimana tanpa spirit kota kualitas hidup dianggap rendah. Spirit kota terdapat pada beberapa bagian dari kota yang membawa penduduk pada suatu gambaran mental yang sangat kuat dari suatu memori tentang karakter kota. Bagi pengunjung kota, spirit suatu kota tersirat pada tempat-tempat yang dikunjungi yang memberi apresiasi tertentu terhadap warna kehidupan penduduk lokal. Tata nilai tapak, konservasi objek-objek vital sepanjang jalan, struktur ruang kota, hubungan antara ruang terbangun dan ruang terbuka, dimensi adalah bagianbagian dari spirit kota yang dapat melestarikan simbol-simbol bersejarah. Karena kandungan makna dan historis yang begitu besar pada “Pusat” maka dalam penciptaan spirit kota posisi “Pusat” ini menjadi sentral untuk diperhatikan.
“Pusat Dunia” dan “Gunung mistis” Dalam pandangan kosmologis, kota adalah sebuah prototipe dari dunia langit, imitasi mikrokosmis, pengulangan dari proses penciptaan alam semesta dimana bertemu tiga zona kosmis yaitu bumi, langit dan surga. Sebagai bentuk yang ideal,
4
kota memiliki beberapa tingkatan yang melambangkan tata nilai dan makna. Kuil adalah tempat dimana Tuhan berstana dimana tinggal arwah para leluhur, sebuah pusat yang sakral, paling tinggi, paling berharga sehingga ditempatkan pada lokasi yang paling tinggi. Simbolisme dari dari “pusat” diformulasikan dalam bentuk gunung suci. Semua tempat suci adalah “pusat dunia”, axis mundi. Permukiman adalah juga sebuah model dari kosmogeni yang dilambangkan melalui pembangunan tempat ibadah yang melambangkan dunia dan berinkarnasi dalam beberapa siklus temporer. Ruang bermukim adalah ruang vital yang mentransformasikam “kaotik” atau kekosongan dalam kosmos. Padang pasir adalah tempat bermukim para monster, lahan yang tak mungkindimukimi, lautan lepas bukanlah prototipe dari kosmogeni. Sebaliknya untuk gunung, permukiman, perkebunan.persawahan, perairan yang bisa dilayari, dan kuil. Konsepsi-konsepsi spasial ini berasal dari konsepsi “diri” dan “realitas” yang mencerminkan perilaku manusia dalam masyarakat tradisional. Hal ini diformulasikan dalam bahasa simbolik, mistik, dan ritual yang mengekspresikan sebuah sistem metafisik yang kompleks (Eliade, 1969). Masyarakat Hindu menggunakan sebuah konsepsi kosmologis, suatu kesatuan karakter alam semesta yang dipadukan dengan perhitungan metafisik dan pengetahuan tentang alam untuk mengatur kotanya. Dalam kosmologi ini, kekuatan mistis dunia dan ruang berada pada satu tingkatan yang menghasilkan kemakmuran, keselarasan dan sekaligus kehancuran. Kekuatan tersebut ditunjukkan dalam simbol-simbol kosmis dalam bentuk sumbu dan pusat dimana oriantasi bangunan dan ruang mengikuti. Kekuatan inilah pengisi “Pusat Dunia” atau aksis mundi. Dalam Pusat ini gunung berperan sebagi penghubung dunia atas dan dunia bawah (Gde, I Gusti Ngurah,1981 : 90). Gunung paling suci (Maha Meru) adalah pusatnya. Setiap kota harus memiliki Meru sebagai pelingdung dan Pusat magis. Pusat adalah simbol dari pusar (omphalos), uterus calon bayi, pusat penciptaan alam semesta dan manusia. Konsepsi Vatsu-Purusa-Mandala menunjukkan dengan jelas hubungan ini. Pada konsepsi ini sebuah wilayah terdiri dari sebuah pusat dan beberapa lingkaran dari kekuatan magis yang disebut Mandala. Setiap mandala memiliki kekuatan tertentu tergantung jaraknya dengan pusat. Makin jauh, makin lemah kekuatan magisnya. Konsepsi ini mirip dengan konsepsi-konsepsi lain seperti: Airyanam Vaejah di Iran, Dur-an-ki pada masyarakat bailonia, Pusering Jagad bagi masyarakat Jawa dan Bali. Peran dari pusat magis adalah sentral dan menentukan tata nilai wilayah lainnya. Pusat upacara menurut Wheatley (1971 : 267-305) tergantung pada elemen alam (iklim dan kesuburan tanah) yang menentukan bentuk produksi. Pengelompokan produksi menstimulasi budaya pertanian dan pada akhirnya membentuk sistem sosial dan nilai budaya. Hubungan sosial mencerminkan aturan kosmis yang mengorganisir aktifitas keseharian, ekonomi dan politik, sebuah demografi yang terkait dengan pertanian. Hubungan ini menghasilkan karakter spesifik dari pusat sebagai simbol spasial yang dibutuhkan semua masyarakat. Berdasarkan aturan sosial dan kosmis tersebut pusat menjadi kota, pusat upacara ritual, pusat sakral dimana tinggal para pendeta, seniman, tentara, dan bangsawan. Peran lain dari keterpusatan tersebut adalah menjaga kota dalam aturan kosmologi dimana ruang terbagi dalam beberapa hirarkhi sesuai fungsinya dalam konteks budaya yaitu sakral dan profan.
5
Konsepsi Vastu-Purusa Mandala (Sumber : Volwahsen, 1968 : 44-50)
Transformasi konsepsi Mandala pada Kuil Ch’i-nien Tien di Beijing ( Sumber: Mangunwijaya, 1988 : 94-95)
Borobudur, Pusat dunia
Kota Terlarang, Pusat Magis (Sumber: Mangunwijaya,1985 : 92)
Gambar Transformasi konsep Pusat
6
Pada dunia masa kini, keterpusatan mengalami perubahan tergantung pada pentingnya fungsi-fungsi atau konsentrasi fasilitas publik. Sebagai transformasi budaya, konsepsi pusat sangat terganutng pada kapasitas manusia dalam menguasai ekonomi, teknologi, seni dan budaya untuk menyelesaikan masalahmasalahnya dan beradaptasi pada kebutuhan hidup. Pusat masa kini tidak lebih dari pusat perdagangan dan bisnis, terpisah secara spasial dari bagian bersejarah dari kota.
Pempatan Agung Bali sebagai “Pusat Kosmos” Kota-kota di Bali dibangun mulai dari sebuah titik yang disebut Pempatan Agung sebuah konsepsi kosmologi terkait dengan tradisi dan agama. Secara phisik Pempatan Agung adalah sebuah perempatan besar yang berorientasi dari timur ke barat, dari utara ke selatan. Titik ini terletak pada pusat desa tradisional bali. Pempatan Agung adalah titik nol dari desa adat dimana sebuah desa adat mulai dibangun. Beberapa desa adat bali menjadi pusat kota berkat posisi mereka yang strategis baik secara politik maupun geografis. Bagi orang Bali, perempatan ini adalah sebuah tempat yang sakral. Ia lahir berdasarkan konsep Catus Patha yang dipahami sebagai pusat dari empat arah mata angin (Utara, Timur, Selatan, dan Barat). Konsepsi ini berasal dari dua budaya yang berkembang di Bali yaitu kebudayaan Bali Aga yang mengembangkan konsepsi Nyegara gunung (arah gunung ke laut) atau Ulun teben dan Hindu Bali yang menggunakan arah matahari untuk menentukan nilai lahan. Menurut konsep ini, arah matahari terbit adalah arah yang paling suci yang merupakan simbol kehidupan, Tuhan dan kelahiran dan sebaliknya dengan arah matahari terbenam. Penciptaan Pempatan Agung melalui proses seperti konsep penciptaan manusia dan alam semesta. Pada konsep ini terdapat dua dunia yaitu macrocosm and microcosm dimana masing-masing memiliki jiwa. Pada dunia akhirat (macrocosme) terdapat sembilan kekuatan, spirit utama disimbolkan dengan sebuah huruf sakral dari Tuhan (Ongkara). Disinilah pusat kekuatan religius. Ia diperlihatkan dalam delapan kekuatan kekuatan dari delapan arah penjuru mata angin. Pada microcosm, bumi dibagi dalam dua sumbu matahari dan sumbu geografi seperti yang telah dijelaskan diatas. Persilangan antar sumbu tersebut menghasilkan stratifikasi nilai ruang. Yang pertama berdasarkan sumbu kosmis adalah hydrosphère (bhur loka), lithosphère (bhuah loka) and atmosphère (swah loka). Yang kedua adalah sumbu religius yaitu arah terbit dan tenggelamnya matahari (Kangin-Kauh). Yang ketiga adalah sumbu gunung laut Kesembilan nilai ruang tersebut diaplikasikan dalam pola desa tradisional Bali dimana Pempatan Agung terletak ditengahnya. Pempatan Agung merupakan simbol dari Pusat dari seluruh kekuatan magis tersebut (Sularto, 1985 ; Gelebet, 1986 ; Meganada, 1990 ; Anindya.P, 1991 ; Sugiantara, 1996). Tipologi dan morfologi kota-kota di Bali tidak terpisahkan dari pusat kerajaan dan desa tradisional yang sudah ada sejak dinasti Warmadewa (913-1343). Desa-desa tradisional ini dibangun berdasarkan pada tradisi dan kepercayaan, sistem nilai dan pola hidup. Pada umumnya terdapat tiga tipe desa tradisional yaitu : linear, pempatan, dan kombinasi antara keduanya. Pada tipe pertama, fasilitas publik diletakkan pada jalan utama pada desa tradisional yang membentang dari arah gunung ke arah laut. Pada pola Pempatan Agung, fasilitas publik diletakkan di
7
tengah desa dimana terletak persilangan dua jalan utama desa yang membentang dari arah timur-barat dan Utara-selatan (lihat gambar ).
Linear Pattern
Combination Pattern
Great Crossroad Pattern
Gambar xxPola Desa Tradisional Bali (Source : Sularto, 1987 ; Gelebet, 1986 ; Budiharjo, 1985)
Letak dari fasilitas-fasilitas tersebut ditentukan berdasarkan konsep-konsep kosmologis yang memiliki makna-makna tertentu tergantung pada tujuan akhir dari raja-raja pemegang kekuasaan tertinggi di daerah tersebut. Aplikasinya sangat bervariasi sesuai dengan konsep desa, kala patra (tempat, waktu dan situasi). Namun pada umumnya fungsi pempatan agung sebagai pusat energi desa yang menetralisir kekuatan positif dan negatif tetap sama. Sebagai tempat menetralisir energi desa,“Pusat” ini adalah pusat upacara penyucian dimana seluruh warga desa adat berpartisipasi. Konsepsi “Pusat” adalah kosong adalah isi dan isi adalah kosong diaplikasikan dengan baik pada Pempatan Agung. Sehingga secara spasial titik nol ini adalah titik kosong, tanpa material yang mengisi, tetapi isi karena terdapat energi mistis yang padat.
Aplikasi spasial dari konsepsi Pempatan Agung
8
Morfologi Pempatan Agung Denpasar sebagai “Pusat Kosmos” Pada awalnya Pempatan Agung Denpasar adalah titik pusat Kerajaan Badung. Dimana pada masa kerajaan ini diletakkan fasilitas-fasilitas publik seperti Puri, Pasar Desa, Wantilan, Alun-alun, Pura, dan perumahan para keluarga raja. Pohon beringin yang memiliki fungsi penjaga magis terdapat pada seluruh empat arah di Pempatan Agung. Di sekelilingnya terletak perumahan rakyat. Ini adalah transformasi konsep Pempatan Agung murni. Pada jaman penjajahan, Puri sebagai pusat kekuatan politik dirobohkan dan dibangun pusat kekuasaan penjanjahan. Secara politik fungsi keduanya sama, namun secara budaya perubahan ini merusak tatanan sosial masyarakat kerajaan Badung. Pada bagian lain dibangun markas militer, permukiman orang-orang eropa yang diikuti pusat perdagangan yang dihuni keturunan arab dan cina. Secara spasial, orang lokal termaginalisasi. Pada titik Pempatan Agung dibangun menara jam yang memusnahkan konsepsi kosong adalah isi dan isi adalah kosong. Dalam konteks ini material yang ditambahkan pada titik nol ini menghilangkan energi magis pada pempatan agung. Pembangunan musium pada jaman penjajahan secara arsitektural menyelamatkan aset budaya karena mengikuti kaidah-kaidah arsitektur tradisional Bali. Perubahan di sekitar Pempatan Agung Denpasar terus terjadi sampai masa kemerdekaan dan kini. Titik nol telah diganti dengan patung Catur Muka yang secara fungsional hanya merupakan pengatur sirkulasi kendaraan dan secara fisik kota diharapkan menjadi identitas kota Denpasar. Namun secara kosmologis “Pusat” energi spiritual telah kehilangan maknanya. Dan karena itu masyarakat harus menyesuaikan prosesi budaya (Ngaben, Upacara Tawur Kesanga) dengan situasi ini. Bade
Bade diputar pada titik PA
Tugu
Bade
Bade mengelilingi Tugu Pura
N Alun-alun
Alun-alun
Perubahan perilaku akibat perubahan ruang
9
Bentuk bangunan baru di sekitar Pempatan Agung sebagian besar masih “patuh” pada aturan yang ditetapkan Perda. Namun tidak semuanya. Pada sisi selatan alunalun hanpir semua bangunan memiliki wajah yang berbeda. Usaha untuk mengakomodasi masih tampak seperti penggunaan bahan bangunan dan ornamen, namun itu tidak lebih dari pada make upnya saja. Contohnya adalah wajah Gedung Kantor Garuda Indonesain Airways. Tempelan-tempelan ornamen dan penggunaan batu paras sebagai finishing merupakan usaha memenuhi tuntutan Perda. Namun warna dan bentuk bangunan yang digunakan sangat kontras dengan lingkungannya. Padahal sebagai “Pusat” yang merupakan inti dari budaya lokal seharusnya kawasan Pempatan Agung ini memiliki pengendalian yang tinggi. Perubahan tersebut juga terjadi pada unit-unit hunian sekitar Pempatan Agung. Mahalnya harga lahan di pusat kota, desakan ekonomi, dan faktor lain menyebabkan perubahan fungsi-fungsi hunian menjadi fungsi campuran: hunian komersial. Pengendalian arsitektural dan budaya tidak mampu membendung derasnya kepentingan ekonomi kota.
Mandala ketiga: perumahan Pusat Mandala : Pempatan Agung, Puri, Pasar, wantilan, beringin, alun-alun, Pura Mandala :kedua permukiman keluarga raja, pegawai kerajaan, dan pedanda
Permukiman Arab, Cina dan etnik lain. Kantor Belanda,,Alun-alun,, Pempatan Agung. Permukiman eropa. Permukiman penduduk lokal. Sekarang : Kantor, komersial, pemerintahan Sekarang: Pusat administratif. Perubahan nilai kosmologis akibat berubahnya fungsi
10
Morfologi Kawasan “Pusat” Kota Denpasar
Tugu Jam di Pempatan Agung Denpasar
11
Perubahan-perubahan fisik tersebut pada akhirnya menurunkan nilai kosmologis. Batas-batas mistis menjadi kabur. Rusaknya nilai pusat menurunkan juga keseluruhan nilai kosmologis desa adat sebagai kosmos. Kekuatan mandala juga makin kabur. Untuk mempertahankan atau mengembalikan model kosmologis dari desa adat sebagai kosmos perlu dilakukan pengendalian-pengendalian pada desadesa adat di Bali sehingga budaya sebagai aset berharga bangsa tidak kehilangan spiritnya.
Studi Banding: Konservasi Pusat Kota Paris dan Sarlat la Caneda, Perancis Selatan Pelestarian kota Paris dilakukan sesuai dengan tahapan-tahapan pembangunan kota. Ibarat batang pohon, morfologi Kota Paris dapat dibaca seperti lingkaran tahun pada pohon. Setiap lingkaran merupaka periode tertentu dari pembangunan kota. Lingkaran-lingkaran tersebut merupakan bentuk dari batas kota yang berupa benteng. Pada saat ini bekas benteng tersebut menjadi boulevard sehingga proses pembentukan kota dapat dijejaki.
Berbagai bentuk bekas benteng di Paris
Kota terbangun pertama adalah Paris Gallo Roman. Paris bagian ini adalah kota yang dibangun pada masa romawi. Bangunan-bangunan publik yang merupakan peninggalan masa ini masih terkonsvasi dengan baik seperti arena, Lutece, dan pemandian umum Cluny. Permukiman dikendalikan dengan ketat baik mengenai ketinggian maupu style bangunannnya.
Paris gallo-romain (Sumber : Les collections de l’Histoire : 11)
Arenes Lutéce (Sumber: Les collections de l’Histoire : 11)
12
Bagian berikutnya adalah Paris Abad Pertengahan. Sama dengan lingkaran pertama. Beberapa peninggalan masa ini juga dikonservasi. Gaya-gaya banguan arsitekturnya sangat menonjol dan merupakan identitas kota Paris. Bentukan ruang terbuka juga merupakan ciri kota yang mampu menciptakan spirit kota.
La Bastille (Source : GEO, n°.93/1986)
Paris Abad Pertengahan
Demikian seterusnya sampai kota paris masa kini yang merupakan lingkaran terluar dimana dapat ditemukan bangunan-bangunan ultra modern dengan pengendalian konservasi yang sangat rendah. Model konservasi dengan menentukan tingkat pengendalian arsitektur yang sangat tinggi sampai rendah dapat dijadikan model untuk mengkonservasi kota-kota di Bali. Kasus Kota Sarlat juga hamper sama dengan Paris, hanya skalanya berbeda. Sarlat La Caneda adalah satu kota kecil yang terletak di Perancis Selatan. Penduduknya hanya 11 ribu orang, namun wisatawan yang hadir rata-rata adalah satu juta orang pertahun. Daya tariknya adalah warisan budaya dan arsitekturnya yang terpelihara dengan baik. Seperti juga kota-kota kuno, Sarlat dibangun dengan konsep konsmologis. Benteng adalah batas mistis kota yang ditransformasikan secara fisik. Pola kota mengikuti bentuk kota abad pertengahan dengan jalan yang melengkung. Pusat kota adalah pusat magis dimana terletak gereja dan ruang publik.
13
Kota Sarlat La Caneda tahun 1625 (kiri) dan sekarang (kanan)
Perjalanan kota ini sangat panjang dan didera berbagai bencana: penyakit, perang, bencana alam, dan sebagainya. Pada tahun enam puluhan dibuka Jalan Republik yang membelah kota. Disinilah terjadinya penghancuran arsitektur. Kota ini pernah ditinggalkan penduduknya karena kualitas kehidupan yang menurun. Untuk menyelamatkan kota, pada 4 agustus 1962 dikeluarkanlah peraturan Malraux yang memutuskan untuk mengkonservasi kota ini. Berbagai jaminan financial diberikan pemerintah agar penduduk mau kembali ke kota ini dan merestorasi bangunannya seperti semula. Produk aturan ini adalah produk pertama di Prancis yang mengkonservasi kota secara keseluruhan. Berkat usaha konservasi tersebut kota Sarlat saat ini adalah penghasil devisa pariwisata. Akibat pariwisata, maka kota memnjadi berkembang. Konservasi diperluas dengan lingkaran-lingkaran jarak. Pusat kota dikonservasi penuh, radius 500m dari benteng, bentuk bangunan baru harus menyesuaikan dengan bangunan lama. Benteng yang rapuh dan roboh dijadikan boulevard. Beberapa bagian benteng yang masih tersisa dan dikonservasi.
14
Morfologi Pusat Kota Sarlat
Keberhasilan konservasi fisik mampu mempertahan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Tradisi pasar setiap Rabu dan Sabtu dimana antar warga bersosialisasi dapat dipelihara. Jenis makanan dan produk lokal yang merupakan hasil budaya lokal juga terus dipelihara. Pada akhirnya spirit kota terus terpelihara aberkat pengendalian pembangunan yang ketat. Dari kedua kasus studi banding di atas, pelajaran yang dapat dipetik adalah peran semua elemen masyarakat untuk melestarikan aset budaya. Yang pertama adalah pemerintah yang mengeluarkan peraturan dan menjalankannya dengan tertib, kedua adalah arsitek yang patuh pada semua aturan, ketiga adalah masyarakat luas yang turut mendukung dan mengawasi terlaksananya aturan, serta investor yang turut berpartisipasi membangun kota.
15
Potensi :
Architecture Budaya dan tradisi Alam Sejarah
Démolition architecturale Partisipasi :
Penduduk Investor Pemerintah
Pengaturan :
waktu aktifitas ruang
Agen Perubahan :
Politik Jalan Industri
Intervensi pemerintah :
UU Malraux ZPPAUP PSMV Tata guna lahan
Kota Pariwisata
Keuntungan finansial Aktor yang terlibat dalam konservasi Sarlat dan Perannya
Usulan: Konservasi Pempatan Agung sebagai “Pusat Kosmos” yang Memberikan Spirit Kota Pempatan Agung sebagai Pusat bagi desa adat di Bali merupakan wilayah yang sarat dengan makna kosmologis. Budaya Bali yang terus dipertahankan dan berkembang dengan baik memerlukan wadah yang akomodatif dengan tuntutan nilai ruangnya. Untuk itu konservasi desa adat perlu memperhatikan tata nilai tersebut. Pertama adalah batas magis perlu diperjelas dengan penciptaaan boulevard sehingga perkembangan kota dapat dijejaki. Dalam batas magis ini perubahan perlu dikendalikan secara ketat terutama pada pusat mandala. Kedua pengendalian yang lebih longgar pada radius tertentu dengan tetap mempertahankan persyaratan arsitektur tradisional Bali.
16
Ketiga peran seluruh aktor pembangunan perlu ditingkatkan. Pengeluaran ijin pembangunan harus diperketat. Masyarakat harus mengawasi dan mengontrol pembangunan. Pada dasarnya disiplin dan komitmen untuk menjaga aset budaya menjadi faktor yang paling penting agar tujuan ini tercapai. Tanpa komitmen dan disiplin peraturan apapun yang dibuat tidak akan memberi arti yang banyak bagi pelestarian nilai budaya bangsa. DAFTAR PUSTAKA AGNEW, John A. ; MERCER, John ; SOPHER, David E. The city in cultural context, Boston : Allen & Unwin, 1984. 299 p. BUDIHARJO, Eko. Architectural conservation in Bali. Jogyakarta : Gajahmada University Press, 1986, 113 p. ELIADE, Mircea. Images et symboles : essais sur le symbolisme magicoreligieux. Paris : Gallimard, 1952. 239 p. ELIADE, Mircea. Le sacré et le profane. Paris : Gallimard, 1965. 192 p. GARNHAM, Harry Launce. Maintaining the spirit of place : a process for the preservation of town character. Mesa, Ariz. : PDA Publishers, 1985, 158 p. GEERTZ, Clifford C. Bali : Interprétation d’une culture. Paris : Gallimard, 1983. GELEBET, I Nyoman. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. ( L’architecture traditionnel balinais). Denpasar : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokomentasi Kebudayaan Daerah, 1985. 476 p. NORBERG-SCHULZ, Christian. Genius Loci : paysage, ambiance, architecture. Bruxelles : P. MARDAGA, 1981. 213 p. PUTRA, I Gusti Made. Kekuasaan dan transformasinya dalam arsitektur : studi budaya kasus puri Tabanan. Tesis S2: Université Udayana : Denpasar, 1998. SALAIN, Putu Rumawan. Norma-norma dan prinsip asta bumi dalam pencerminan wujud penataan ruang perumahan dan permukiman Bali. Seminar « Regionalisasi Penyebarluasan Produk », Bali, februari, 1996 SUGIHANTARA, I Ketut. Model Penataan Kawasan Pusat Kota di Bali dengan konsep « Catus Patha ».Tesis S2 architecture : Institut Teknologi Bandung, 1996 SULARTO, Robby. A brief introduction to traditional architecture of Bali,
some basic norms : seminar « The AgaKhan Awards for Architecture ». Bali, 1987.
17