KONSEP DIRI SUAMI DENGAN ISTRI PENYANDANG RETARDASI MENTAL YANG MENGALAMI PERKOSAAN
Riris Sugiarto Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri suami dengan istri penyandang retardasi mental yang mengalami perkosaan serta perubahan yang dapat terjadi pada konsep diri suami, sebelum dan sesudah menjalani pernikahan. Mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam konsep diri juga menjadi tujuan penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Subjek yang digunakan adalah suami dengan istri penyandang retardasi mental yang mengalami perkosaan dan telah menjalani pernikahan selama empat tahun. Data yang telah diperoleh, dianalisis dengan metode content analysis atau analisis isi. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah suami dengan istri penyandang retardasi mental yang mengalami perkosaan, memiliki konsep diri positif pada aspek fisik, moral, sosial dan psikis yang ditunjukkan dari penerimaan terhadap kondisi subjek saat ini, baik itu kondisi fisik, ekonomi maupun kondisi istri sekarang. Penerimaan yang diikuti dengan kenyamanan dan ketentraman batin merupakan ciri konsep diri positif. Konsep diri tersebut mengalami perubahan antara sebelum dan setelah menikah pada beberapa aspek konsep diri yaitu aspek moral dan psikisnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain adalah perubahan status sebagai suami dan ayah, serta kondisi lingkungan tempat tinggalnya. Kata kunci: Konsep diri suami, istri penyandang retardasi mental, korban perkosaan.
Abstract The purpose of this research is to find out of self concept of husband who has wife with mental retardation and as victim of rape. Moreover the changing of self concept before and after married and the factors wich affecting changes of the husband’s self concept. The method are used in this research is fenomenology approach. The subject is husband who has wife with mental retardation and as victim of rape. The data were analised with cotent analysis. The result of this research illustrated that husband has positive self concept in physical aspect, moral aspect, social aspect and psychological aspect wich
showed in his acceptance with their economical, physical condition and condition of his wife who has mental retardation and as victim of rape. This acceptance followed with comfort and inner peace wich is one of the positive self concept characteristic. This self concept chance in moral and psychological aspect. It is influenced by changes in the status of subject as a husband and father. The influence is coming from the condition of environment in his residence. Key word: Self concept of husband, wife with mental retardation, victim rape
PENDAHULUAN Suami adalah seorang pemimpin dan pasangan hidup istri yang memiliki tanggung jawab penuh dalam suatu keluarga. Kamus besar bahasa Indonesia mengartikan suami adalah pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (KBBI, 2008). Suami mempunyai peranan yang penting dalam keluarga karena tidak hanya dituntut untuk mencari nafkah akan tetapi juga sebagai motivator dalam berbagai kebijakan yang akan diputuskan termasuk merencanakan kehidupan keluarga. Suami yang akhirnya memutuskan untuk menjalin suatu hubungan dengan istrinya sekarang, diawali dengan sebuah atraksi terhadap seorang wanita. Menurut Shaw, atraksi merupakan sensasi dalam tubuh yang menimbulkan suatu kenyamanan yang dirasakan seseorang ketika berada di dekat lawan jenis yang disukai dan merasa ingin selalu dekat dengan orang tersebut (Laswell & Laswell, 1987). Atraksi tersebut dipengaruhi oleh self-judgement seseorang yang berarti bahwa konsep diri mempengaruhi setiap orang dalam memilih teman atau pasangan hidupnya (Laswell & Laswell, 1987). Laki-laki yang memiliki kepercayaan terhadap dirinya akan cenderung melakukan atraksi terhadap seseorang yang menganggap dirinya menarik begitu pula pada perempuan. Perempuan yang merasa dirinya memiliki kelebihan atau bahkan kekurangan, akan cenderung melakukan atraksi terhadap laki-laki yang mengakui kelebihan atau kekurangannya tersebut. Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan dan mengarahkan seluruh perilaku. Peranan penting tersebut ditunjukkan dengan kenyataan bahwa setiap individu selalu berusaha memperoleh keseimbangan dalam dirinya, selalu dihadapkan pada pengalaman hidup dan selalu dipenuhi oleh kebutuhan untuk mencapai sebuah prestasi atau mewujudkan harapan-harapan dari sebuah keinginanya. Konsep diri adalah aspek yang penting dari fungsi manusia karena sebenarnya manusia sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya, termasuk siapakah drinya, seberapa baik mereka merasa tentang dirinya, seberapa efektif fungsi-fungsi mereka atau seberapa besar impresi yang mereka buat terhadap orang lain (Rakhmat, 2002). Konsep diri menurut Brook adalah suatu persepsi mengenai diri sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial, maupun psikologis yang diperoleh melalui pengalaman individu dalam interaksinya dengan orang lain (Rakhmat, 2002).
Kesanggupan suami dalam memutuskan untuk berkomitmen dengan pasangannya merupakan salah satu bentuk dari konsep dirinya. Menurut Laswell and Lobsenz bahwa seseorang yang menghindar untuk berkomitmen karena ketakutan akan kegagalan dalam menjalankan tugas dalam perkawinan memiliki self-esteem rendah yang dikorelasikan dengan konsep diri negatif dalam melakukan antisipasi masalah (Laswell & Laswell, 1987). Keberanian seseorang dalam mengambil keputusan untuk berkomitmen mengingat segala bentuk resiko yang dihadapi merupakan suatu bentuk konsep diri yang positif dari seseorang laki-laki yang akan menjadi suami. Konsep diri tersebut semakin teruji ketika pengambilan keputusan berkomitmen dihadapkan pada suatu masalah yang tidak biasa yaitu latar belakang calon pasangan tidak terkecuali dengan pasangan yang berlatar belakang sebagai penyandang retardasi mental yang mengalami perkosaan. Latar belakang ini merupakan salah satu pertimbangan seorang lakilaki dalam menentukan pasangan hidupnya (Laswell & Laswell, 1987). Selain itu latar belakang ini juga menempatkan kedudukan istri dengan keterbatasannya dalam lapisan sosial tertentu di masyarakat. Lapisan sosial di masyarakat ini menciptakan tingkatan-tingkatan kedudukan tertentu yang salah satunya disebabkan perbedaan kemampuan seseorang (Soekanto, 1990). Kedudukan ini lebih dipentingkan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia ketika memberikan nilai terhadap seseorang daripada perannya sehingga seseorang dengan kemampuan tidak seperti orang normal atau dengan retardasi mental akan memiliki tempat terpinggirkan dalam masyarakat. Seorang laki-laki yang memutuskan untuk menikahi wanita dengan keterbatasan kemampuan mentalnya akan menimbulkan gunjingan di masyarakat sebagai konsekuensi dari ketidakwajaran nilai yang dijalankan. Nilai-nilai di masyarakat Indonesia masih berkecenderungan untuk menempatkan sepasang suami dan istri pada kedudukan dan peranan yang sejajar (Soekanto, 1990). Hal ini menjadi konflik dalam diri suami dengan istri penyandang retardasi mental yang mengalami perkosaan karena respon yang akan terjadi pada masyarakat sekitar terhadap perbedaan yang dimiliki. Setiadi dkk. (2008) mengatakan bahwa setiap orang khususnya dalam masyarakat, selalu terkait dengan orang lain sehingga perilakunya juga dipengaruhi oleh keinginan mendapat respon positif dari orang lain (pujian). Konflik dalam diri individu akibat dari interaksinya dalam masyarakat, dapat mempengaruhi konsep diri suami tersebut. Menurut Blummer (Mboya, 1998), konsep diri berkembang seiring dengan responnya terhadap reaksi lingkungan. Kenyataannya, penulis menjumpai seorang suami yang memiliki istri penyandang retardasi mental yang mengalami perkosaan, justru mempunyai konsep diri positif. Hal tersebut dibuktikan dari hasil wawancara yang dilakukan kepada suami dengan istri penyandang retardasi mental yang mengalami perkosaan pada tanggal 25 September 2012, ketika ditanyakan tentang kehidupan berkeluarga dengan kondisi istrinya yang memiliki latar belakang sebagai korban perkosaan dan retardasi mental beliau menyatakan “ya..dijalani apa adanya mbak, jodohnya...mungkin memang ini jalannya Allah buat saya, buat dia (istrinya) juga. Sayanya juga cuma orang sederhana kok mau cari yang nekoneko…yang penting sekarang saya bahagia dia juga bahagia”. Pernyataan ini
menyiratkan penerimaan subjek terhadap situasi yang dialaminya saat ini terutama dalam kehidupan berkeluarganya. Bentuk penerimaan yang dapat dilakukan subjek ini dapat sedikit memberikan gambaran tentang konsep diri subjek.
METODE PENELITIAN Berdasarkan jenis masalah yang diteliti dan tujuannya, penulis menggunakan metode kualitatif. Menurut Bodgan dan Taylor (Moleong, 2004), metode kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Menurut teori Weber (Sarwono, 2006), fenomenologi menekankan pada metode penghayatan atau pemahaman interpretative (verstehen). Adapun alasan penulis menggunakan metode fenomenologi karena peneliti ingin mendapatkan hasil berupa makna pengalaman subjektif dari subjek yang akan diteliti yaitu konsep diri suami dengan istri penyandang retardasi mental yang mengalami perkosaan. Analisis dilakukan agar peneliti segera menyusun untuk melengkapinya dan selanjutnya diharapkan dari analisis awal diperoleh kesimpulan sementara. Analisis data yang digunakan dalam penelitian aini adalah content analysis yaitu isi pesan suatu komunikasi. Secara teknis content analysis mencakup upaya klasifikasi tanda-tanda yang dipakai dalam komunikasi, menggunakan kriteria sebagai dasar klasifikasi dan menggunakan teknik analisis tertentu sebagai pembuat prediksi (Muhadjir, 2000). Pengambilan sumber data penelitian ini menggunakan teknik convenience sampling yaitu pengambilan sampel yang didasarkan pada ketersediaan elemen dan kemudahan mendapatkannya (sampel terpilih karena ada pada tempat dan waktu yang tepat). Pemilihan metode sampling ini dikarenakan hambatan dalam menemukan subjek sejenis yaitu suami dengan istri penyandang retardasi mental yang mengalami perkosaan. Subjek dalam penelitian ini merupakan seorang suami yang memiliki istri penyandang retardasi mental yang menjadi korban perkosaan. Istri subjek memiliki retardasi mental yang dikuatkan dengan tes SPM dengan hasil IQ berada pada persentil 5, yang termasuk kedalam kategori grade V yaitu intellectually defective. Selain itu, sebelum menikah istri subjek juga menjadi korban perkosaan oleh orang yang tidak dikenal dan dari perkosaan tersebut menghasilkan satu orang anak laki-laki yang sekarang berumur lima tahun. Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain wawancara dan observasi. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur merupakan wawancara yang menggunakan guide pertanyaan tidak terlalu rinci, tetapi digunakan tema-tema pokok yang akan membantu pewawancara dalam memfokuskan kelanjutan pertanyaannya kepada informan (Moleong, 2004). Adapun kegiatan wawancara dan jawaban dari seluruh informasi dibuat dalam catatan lapangan. Sebelum wawancara dilakukan peneliti membuat instrument wawancara dengan tujuan agar wawancara yang dilakukan terarah dan
mendapatkan informasi yang runtut dan akurat. Kegiatan observasi meliputi melakukan pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku, obyek-obyek yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan (Sarwono, 2006). Salah satu peranan pokok dalam melakukan observasi adalah untuk menemukan interaksi yang kompleks dengan latar belakang sosial yang dialami.
HASIL DAN PEMBAHASAN Temuan di lapangan 1. Konsep Diri a. Konsep diri dari aspek fisik Subjek penelitian memiliki kesadaran dan penerimaan terhadap kondisi fisik yang sebelumnya diawali dengan self awareness yaitu kesadaran atas diri sendiri ditengah pandangan orang lain yang menilai fisik subjek menyerupai bentuk bola. Subjekpun menyadari bahwa dirinya memang relatif gemuk dan pendek sehingga terlihat memiliki badan yang bulat. Selain itu, dengan kekurangan yang dialami subjek akibat merokok cukup menyadarkan subjek untuk berubah, namun subjek merasa belum cukup memiliki kemampuan untuk menghentikan kebiasaannya. Sehingga, subjek masih merasa pesimis untuk dapat berhenti dari kebiasaannya merokok, meskipun subjek mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan dari perilaku merokok tersebut. b. Konsep diri dari aspek sosial Sebelum menikah subjek termasuk pribadi yang senang bergaul dengan siapapun baik yang sebaya, orang yang berusia lebih muda atau bahkan lebih tua begitu pula setelah menikah. Kepribadian yang senang bergaul dengan siapapun tidak berubah. Solidaritas subjekpun masih dimiliki subjek dengan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut terlihat dari perilaku subjek yang dahulu sebelum menikah senang berbagi dengan teman-temannya meskipun dalam keadaan kekurangan, begitupula ketika sudah menikah, subjek tidak segan untuk memberikan dukungan dana bagi kegiatan kemasyarakatan di kampungnya. Meskipun tidak ada perubahan dalam gaya bergaul subjek, namun harapan untuk lebih berperan dalam masyarakat tidak dapat subjek capai karena subjek menyadari tentang kemampuan yang dimilikinya tidak memadai untuk mencapai hal tersebut. c. Konsep diri dari aspek moral Dahulu sebelum menikah, subjek kerap diajak oleh teman-temannya untuk minum-minuman keras. Subjek juga merasakan bahwa perbaikan ekonominya sekarang karena kerja kerasnya selama ini mencoba bangkit ketika usahanya jatuh hingga sekarang berhasil sebagai pedagang serbet. Ketika menghadapi masalah, subjek juga menyadari bahwa tidak semua masalah atau musibah dapat dikendalikan oleh tangan manusia dan subjek memilih untuk menerima dan mempertanggungjawabkan keputusan yang sudah ia ambil yaitu memilih istrinya sekarang. Musibah berupa perkosaan yang dialami calon istri subjek pada saat itu, diterima subjek dengan lapang dada sehingga tidak banyak
keinginan selain menyadari keterbatasan kemampuan manusia. Perilaku minumminuman keras yang dilakukan bersama teman-temannya dahulu sebelum menikah sebagai bentuk konformitas dalam komunitas pergaulannya. d. Konsep diri dari aspek psikis Subjek mudah untuk meluapkan emosi, atau mudah untuk mengekspresikan kepada lingkungannya baik itu emosi positif atau negatif seperti emosi marah atau sedih. Kehidupan subjek sekarang dimaknai dengan perasaan bersyukur meskipun dalam berbagai kekurangan termasuk dalam berkeluarga dengan keadaan istri yang mengalami beberapa kekurangan yang tidak semua orang dapat menerima. 2.
Proses pertemuan dengan istri Subjek bertemu dengan istrinya bermula dari hubungan antara penjual dan pembeli yang timbul ketika subjek berjualan jepit rambut yang mengharuskannya untuk berkeliling ke beberapa daerah termasuk tempat tinggal istrinya. Ketika istrinya membeli dagangannya timbullah rasa suka yang berawal dari kekaguman subjek terhadap fisik istrinya yang cantik. Hubungan subjek dan istrinya mulai dari pertemuan hingga pernikahan hanya memerlukan waktu selama empat bulan. Keputusan untuk mempercepat pernikahan dilakukan selain karena ketertarikan satu sama lain, tetapi juga karena musibah atau halangan yang dialami oleh istrinya saat itu yaitu menjadi korban perkosaan. Awalnya keputusan tersebut cukup menjadi beban bagi subjek karena kejadian dalam hubungannya diluar dari perkiraan. Proses pertemuan dengan istri juga sempat diketahui oleh ayah kandungnya (HJ) yang membenarkan tentang pertemuan mereka ketika subjek sedang menjajakan dagangan ke daerah tempat tinggal istrinya. Setelah mereka berkenalan dan menjalin kedekatan serius, istrinya mengalami musibah perkosaan yang menyebabkan istri subjek saat itu hamil. Ketika diketahui hamil, istri subjek mendatangi keluarga subjek yang saat itu berada di Klaten sedangkan subjek masih berada di Jogja untuk bekerja. Hal tersebut yang justru mempercepat proses pernikahan subjek dengan AV 3.
Penerimaan akan keadaan istri Subjek cukup terkejut ketika mengetahui bahwa istrinya memiliki kekurangan yang tidak seorangpun menginginkannya yaitu memiliki kecerdasan dibawah rata-rata dan juga sebagai korban perkosaan orang tidak dikenal. Subjek mengetahui hal tersebut sebelum subjek memutuskan untuk menikah dengan istrinya sekarang. Setelah menikah subjek menyadari bahwa keterbatasan istrinya cukup memberikan hambatan dalam aktivitas sehari-hari khususnya yang berhubungan dengan aktivitas tulis menulis dan kemampuan pemahaman yang lebih lambat dari orang normal sehingga terkadang menjadi pemicu suatu permasalahan atau pertengkaran dalam keluarga subjek. Subjek merasa tabu untuk mengatakan halangan yang menimpa istrinya itu sebagai perkosaan, tetapi subjek cenderung mengatakan ‘alangan’ dibandingkan dengan menyebutnya sebagai perkosaan. Berbagai hambatan yang muncul dalam keluarganya, subjek menyikapinya dengan membesarkan kelebihan istrinya yang menjadikan subjek
merasa tentram dengan sang istri yaitu penerimaan istri terhadap kondisi suami terutama penerimaan ekonomi dan tidak terlalu banyak menuntut. Kondisi istri subjek merupakan suatu stresor yang sempat membuat subjek kebingungan mengenai hubungan subjek dengan istrinya. Namun hal tersebut subjek atasi dengan memberikan pemahaman pada dirinya sendiri bahwa kondisi tersebut diluar dari keinginan dan kendali manusia. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa subjek melakukan strategi emotional focus coping yaitu upaya coping yang ditujukan pada diri sendiri bukan pada masalahnya yaitu keadaan sang istri. 4.
Pandangan keluarga dan lingkungan sekitar Subjek mengupayakan untuk melakukan self disclosure yaitu dengan memberitahu orang lain tentang apa yang dialami, dirasakan dan diinginkan. Self disclosure ini dilakukan subjek terutama dengan teman dekat dan keluarga. Meskipun orang tua dan teman dekat subjek pada awalnya sempat terkejut, namun dukungan keluarga dan teman terdekat ditunjukkan dengan tetap menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada subjek setelah subjek melakukan diverse experience dengan mereka yaitu berbagi pengalaman dengan orang lain, membuat seseorang menyadari banyak hal tentang diri orang tersebut dan dirinya sendiri. Hal senada juga ditunjukkan oleh tetangga sekitar tempat subjek tinggal sekarang. Keputusan tersebut justru menimbulkan kekaguman terhadap diri subjek yang sudah berbesar hati untuk menerima segala kondisi istrinya. 5.
Faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan konsep diri subjek Subjek menyadari bahwa perubahan yang dilakukannya berdasarkan oleh motivasi internalnya atau keinginan dalam hatinya sendiri. Pengaruh atau ajakan dari orang-orang disekitarnya tidak serta merta mendorong subjek untuk segera melakukan perubahan tersebut. Justru pengaruh keberadaan anak dan lokasi tempat tinggalnya sekarang menjadi salah satu faktor bagi subjek untuk melakukan perubahan dalam dirinya terutama perubahan dalam konsep diri moralnya dan psikisnya. A. Konsep Diri Suami dengan Istri Penyandang Retardasi Mental yang Mengalami Perkosaan Menurut Calhoun dan Acocella (1995) konsep diri terdiri dari pengetahuan, harapan dan evaluasi tentang diri. Pengetahuan yang dimiliki individu merupakan hal-hal yang individu ketahui tentang dirinya. Hal tersebut dimiliki pula oleh subjek yang mengindikasikan bahwa secara umum subjek memiliki konsep diri yang positif. Konsep diri positif tersebut didasarkan pada kesadaran penuh yang ditunjukkan subjek terhadap perubahan yang telah dan ingin dicapainya. Sikap subjek tersebut sejalan dengan pendapat Polivy dan Herman bahwa memulai perubahan diri akan mendorong munculnya perasaan terkendali dan optimisme (Baron & Byrne, 2004). Perasaan terkendali dan optimisme ini senada dengan ciri
konsep diri positif menurut Hamaceck yang menyatakan bahwa salah satu karakter konsep diri positif adalah memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika menghadapi kegagalan atau kemunduran yang merupakan wujud pengendalian dan sikap optimistik (Rakhmat, 2002). Konsep diri positif tersebut ditunjukkan oleh beberapa hal dalam aspek fisik, sosial, moral dan psikis yang didasarkan oleh pendapat Berzonsky (1981). Menurut Hamacheck (dalam Rakhmat 2002), salah satu kriteria orang yang memiliki konsep diri positif yaitu kecenderungan untuk menolak usaha orang lain untuk mendominasinya. Hal tersebut terlihat dalam aspek fisik subjek. Subjek berkeyakinan bahwa perubahan yang akan terjadi dalam dirinya merupakan hasil dari tekad bulat dalam hatinya bukan dari tekanan orang-orang di sekelilingnya. Secara fisik, subjek menganggap bahwa kondisi fisiknya sekarang juga merupakan dampak dari perilakunya sehari-hari antara lain tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya bekerja di luar ruangan. Kebiasaan merokok yang sudah subjek lakukan sejak masa remaja, sekarang membuat subjek merasa mudah lelah dan terengah-engah. Atas kesadaran tersebut subjek merasa terganggu dan memiliki keinginan untuk menghentikan kebiasaan merokoknya. Keinginan tersebut membawa harapan bagi subjek untuk memiliki kondisi fisik yang lebih sehat meskipun subjek menyadari belum dapat melakukannya karena kurangnya motivasi untuk berhenti total dalam waktu singkat. Menurut Jourard (dalam Rakhmat 2002), komunikan yang memiliki konsep diri positif adalah orang yang “tembus pandang”, terbuka kepada orang lain. Hal tersebut terlihat dalam aspek sosial subjek. Subjek menyadari sebagai pribadi yang mudah bergaul, terbuka dan senang bercanda dengan siapapun. Selain itu subjek juga aktif dalam mengikuti kegiatan di sekitar tempat tinggalnya. Meskipun merasa sudah berperan aktif, namun ada keinginan dari subjek untuk lebih berperan dengan menjadi pengurus kampung. Keinginan tersebut terhambat karena kurangnya subjek menyadari kurangnya pendidikan yang dimiliki. Pribadi subjek yang mudah bergaul dan terbuka merupakan salah satu indikator seseorang yang memiliki konsep diri positif. Menurut Rakhmat (2002) salah satu tanda orang yang memiliki konsep diri positif adalah kemampuan untuk memperbaiki diri. Hal tersebut dimiliki pula oleh subjek dalam aspek moral. Subjek merupakan pribadi yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Meskipun dahulu subjek sempat melanggar norma agama maupun sosial yaitu minum-minuman keras dan jarang beribadah ke masjid namun sekarang subjek merasa sudah mengalami perubahan dalam dirinya dan sudah tidak minum-minuman keras lagi sejak menikah . Hal tersebut sesuai dengan harapan subjek dahulu untuk berhenti dari kebiasaan buruknya itu. Secara psikis, subjek merasa sebagai pribadi yang beruntung dengan yang dimiliki sekarang setelah dahulu sempat merasakan keprihatinan karena kehidupan yang sangat sederhana. Selain itu, ketentraman yang dirasakan subjek dengan istrinya merupakan bentuk penerimaan akan keadaan istrinya yang memiliki kekurangan yang tidak semua orang dapat menerima. Sikap subjek tersebut juga mencirikan konsep diri positif. Menurut Rakhmat (2002) bahwa salah satu tanda konsep diri positif adalah menyadari bahwa setiap orang
mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat. Konsep diri juga dapat dilihat dari sikap dan perilaku yang dilakukan dalam menentukan keputusan penting dalam hidup. Tidak semua orang dapat menerima calon istri yang mengalami kekurangan mental dan juga sebagai korban perkosaan. Hal tersebut dipertegas lagi ketika menyadari bahwa setiap orang memiliki kriteria ideal untuk pasangannya masing-masing seperti halnya pada subjek. Subjek memiliki kriteria ideal seorang istri normal, namun pada kenyataannya subjek mendapatkan calon istri yang mengalami retardasi mental dan juga menjadi korban perkosaan. Istri subjek merupakan seorang wanita yang memiliki retardasi mental dengan IQ berada pada grade V dalam tes SPM dengan keterangan intellectually defective. Berdasarkan hasiil tes ini, subjek dapat dikelompokkan sebagai seseorang berkebutuhan khusus mampu latih. Pada taraf ini, seseorang tidak dapat mengikuti program pada anak mampu didik yaitu kemampuan membaca dan berhitung, namun dapat dilatih untuk kemampuan mengurus diri sendiri dan lingkungannya serta mempelajari kemampuan ekonomi dimanapun berada. Pada istri subjek, kemampuan akademiknya juga tertinggal. Hingga sekarang, subjek tidak dapat menulis dan membaca namun dalam hal melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, menyapu dan mengurus anak dan lain-lain, istri subjek masih dapat melakukannya selayaknya ibu rumah tangga pada umumnya. Menurut Laswell dan Laswell (1987), ketika menentukan calon pasangan hidup maka kenyataan akan lebih banyak dibandingkan perkiraan. Apabila perkiraan sesuai dengan kenyataan maka kita akan mempertahankannya, namun apabila berbeda maka ada kecenderungan untuk menghindari atau meninggalkan pasangan tersebut. Hal tersebut tidak terjadi pada diri subjek penelitian. Subjek tidak meninggalkan calon istrinya meskipun kenyataan yang dialami istrinya adalah korban perkosaan dan memiliki retardasi mental yang tidak seperti perkiraan sebelumnya. Saat pertama bertemu, subjek tidak mengetahui kekurangan pasangannya tersebut. Hal ini merupakan salah satu stresor bagi subjek yang harus dihadapi. Subjek memilih untuk melakukan emotional focus coping yaitu dengan membesarkan hati dengan kenyataan dan berusaha menerimanya. Konsep diri subjek juga dapat dilihat melalui keputusannya untuk menikah. Keputusan menikah merupakan suatu bentuk keberanian untuk berkomitmen yang dapat dikatakan sebagai bentuk tanggung jawab seseorang. Menurut Laswell dan Lobsen, komitmen merupakan suatu perwujudan tanggung jawab kepada orang lain (Laswell & Laswell, 1987). Hal tersebut terlihat pada diri subjek yang merasa memiliki tanggung jawab terhadap istrinya pada saat itu. Perasaan memiliki tanggung jawab terhadap istrinya juga dirasakan subjek ketika dihadapkan pada pilihan untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan atau tidak, mengingat kondisi istri pada saat itu yang baru saja mengalami musibah perkosaan. Menurut Laswell dan Lobsenz, pribadi yang tidak berani mengambil keputusan untuk berkomitmen merupakan bentuk dari self esteem yang rendah (Laswell & Laswell, 1987). Keberanian subjek untuk mengambil keputusan
merupakan bentuk keberanian untuk berkomitmen yang menandakan bahwa subjek memiliki self esteem yang tinggi. Self esteem yang tinggi ini merupakan salah satu indikasi kecenderungan konsep diri kearah positif. Menurut Rakhmat (2002) komponen konsep diri meliputi self esteem dan self image. B. Perubahan Konsep Diri Suami dengan Istri Penyandang Retardasi Mental yang Mengalami Perkosaan, Sebelum dan Setelah Menikah Menurut Markus dan Nurius (dalam Rakhmat 2002), konsep diri seseorang pada saat tertentu sebenarnya hanyalah konsep diri yang bekerja (working self-concept), yang terbuka bagi perubahan sebagai respons terhadap pengalaman baru, umpan balik baru, dan informasi yang relevan dengan diri. Perubahan tersebut juga dialami subjek sebelum dan setelah menikah. Perubahan yang terjadi pada subjek setelah menikah antara lain perubahan pada aspek moral dan psikisnya. Perubahan moral yang terjadi adalah perubahan kebiasaan subjek yang kerap minum-minuman keras dan jarang beribadah dengan teman-temannya. Perubahan yang terjadi adalah subjek tidak minum-minuman keras lagi dan lebih aktif beribadah. Selain itu dalam apsek psikis, subjek merasa lebih beruntung atas segala sesuatu yang subjek dapatkan sekarang dibandingkan dengan keprihatinan dan kesedihan yang subjek rasakan dahulu sebelum menikah. Menurut Cohen dkk., orang cenderung menolak perubahan dan salah memahami atau berusaha meluruskan informasi yang tidak konsisten dengan konsep diri mereka (Baron & Byrne, 2004). Hal tersebut terjadi pada subjek ketika subjek diajak dan disindir oleh tetangganya untuk lebih giat beribadah ke masjid dan menghentikan merokok. Subjek merasa bahwa alasan yang digunakan oleh orang lain untuk berubah, tidak sesuai dengan pemahamannya. Subjek menganggap bahwa setiap perubahan tidak dapat terjadi dalam waktu singkat melainkan melalui proses. Perbedaan pemahaman tersebut membuat subjek pada saat itu menolak atau menunda untuk berubah. Hal tersebut tidak terjadi lagi sekarang karena subjek sudah lebih rajin beribadah meskipun tidak ada ajakan atau paksaan dari orang lain. Menurut Sedikides, konsep diri dapat relatif sentral atau periferal. Konsepsi diri sentral (central self concept) cenderung lebih ekstrim antara positif dan negatif. Selain itu, konsepsi diri sentral akan dielaborasi lebih detail, lebih kuat dan diyakini dengan kepastian yang lebih besar. Konsepsi diri periferal (peripheral self concept) dapat dipengaruhi oleh manipulasi suasana hati (Baron & Byrne, 2004). Konsep diri subjek yang dapat dikatakan konsep diri sentral adalah perilaku subjek yang mudah bergaul dan senang bercanda. Selain itu, penilaian akan fisik subjek juga dapat dikatakan masuk pada konsep diri sentral ini. Perilaku ini dapat dikatakan sentral karena subjek menyadari hal ini meskipun subjek masih berada dalam kondisi yang memperihatinkan seperti dahulu sebelum menikah. Konsep diri subjek yang dapat dikatakan sebagai konsepsi diri periferal antara lain adalah keinginan atau harapan untuk menjadi pengurus di
kampungnya. Hal tersebut dikatakan periferal karena kesadaran subjek akan ketidakmampuannya dalam memimpin dapat berubah ketika subjek mengalami suasana hati yang berbeda misalnya ketika subjek sedang sedih. Ketika sedang bersedih, subjek sempat bercerita tentang masa lalunya yang harus membimbing adiknya ketika ditinggal oleh orang tuanya. C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Konsep Diri Suami dengan Istri Penyandang Retardasi Mental yang Mengalami Perkosaan Perubahan yang terjadi dalam diri subjek turut dipengaruhi oleh beberapa faktor di dalamnya. Menurut Rakhmat (2002) faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah orang lain dan kelompok rujukan. Faktor yang pertama adalah orang lain. Orang lain dalam pembahasan ini menyangkut peran orang tua dan keluarga. Menurut Baron dan Byrne (2004), kenyataan bahwa saling mempengaruhi dapat terjadi pada teman sekamar bahkan lebih kuat dalam hubungan dekat seperti persahabatan dan perkawinan. Dukungan dan persetujuan pasangan dekat dapat membuat seseorang individu semakin dekat dengan diri idealnya (Baron & Byrne, 2004). Pasangan dekat dapat diartikan sebagai pasangan suami dan istri. Status dalam pernikahan sebagai suami dan sebagai ayah menjadikan subjek sebagai pribadi yang mengalami perubahan konsep diri khususnya aspek moral. Ketika subjek akan melakukan perilaku yang menyimpang dari norma dan agama, subjek mengurungkan niatnya tersebut karena teringat akan keberadaan anaknya. Istri subjek berperan dalam memberikan dukungan berupa penerimaan terhadap hasil usaha atau nafkah yang diberikan suami. Hal tersebut diakui memberikan kenyamanan tersendiri dalam diri subjek. Faktor yang kedua adalah kelompok rujukan. Kelompok rujukan dalam pembahasan ini menyangkut kawan sebaya dan masyarakat. Menurut Rakhmat (2002), ada kelompok yang secara emosional mengikat kita, dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita. Kelompok ini akan mengarahkan seseorang melakukan perilaku dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya. Hal tersebut terjadi pula pada subjek yang melakukan perubahan karena lingkungan sekitarnya. Menurut Blummer (Mboya, 1998), konsep diri berkembang seiring dengan responnya terhadap reaksi lingkungan. Lingkungan yang tidak memberikan respon negatif atas keputusan yang diambil, akan turut mempengaruhi konsep diri subjek kearah yang cenderung positif. Subjek sudah jarang berkumpul lagi dengan teman-temannya yang dulu mengajak subjek untuk minum-minuman keras. Sekarang, subjek lebih banyak bergaul dengan orang-orang di sekitar tempat tinggalnya dan aktif dalam kegiatan masjid. Hal tersebut membuat subjek lebih giat beribadah ke masjid sehingga hal tersebut kerap mengingatkan subjek apabila akan melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma agama dan sosial. Selain faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan konsep diri di atas terdapat pengaruh yang lain antara lain letak lokasi tempat tinggal. Subjek merasa bahwa letak lokasi tempat tinggal subjek yang cukup dekat dengan masjid memberikan pengaruh bagi subjek untuk lebih termotivasi dalam beribadah ke
masjid tersebut. Motivasi tersebut dapat dikatakan sebagai motivasi ekstrinsik. Menurut Walgito (2004) motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang muncul dari faktor eksternal individu. Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan konsep diri dalam diri subjek antara lain adalah pengaruh perubahan status sebagai ayah dan suami. Selain itu pengaruh teman sebaya dan masyarakat juga berperan. SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan dari hasil penelitian di lapangan, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa suami dengan istri penyandang retardasi mental yang mengalami perkosaan memiliki konsep diri yang positif, meskipun kondisi istri yang dimiliki cenderung menimbulkan penilaian negatif dari orang lain yang memungkinkan subjek memiliki konsep diri negatif. Konsep diri positif suami dapat ditunjukkan dari sikap dan perilaku suami yang dapat menerima dan bersyukur atas kondisi istrinya dan meyakini sisi positif dari hubungan tersebut meskipun dengan keterbatasan istri. Selain itu, sifat terbuka terhadap orang lain merupakan salah satu ciri konsep diri positif yang dimiliki suami meskipun dengan istri penyandang retardasi mental yang mengalami perkosaan. Konsep diri positif juga terlihat dari pengetahuan, harapan dan penilaian yang dilakukan subjek. Subjek yang memiliki konsep diri positif mampu menyadari kemampuannya atas keadaan dan kondisi yang dimiliki untuk mencapai keinginan yang diharapkannya. Ketika kondisi tidak mendukung pencapaian harapan, maka pada pribadi dengan konsep diri positif akan berusaha melakukan perubahan positif pada dirinya. Perubahan aspek konsep diri yang terjadi pada diri suami dengan istri penyandang retardasi mental yang mengalami perkosaan terjadi pada aspek moral dan psikisnya. Sebelum menikah, perilaku menyimpang atau melanggar norma agama dan sosial masih kerap dilakukan, namun setelah menikah perilaku tersebut berubah. Sebelum menikah perilaku minum-minuman keras dan melalaikan sholat kerap dilakukan, namun setelah menikah dan memiliki anak perilaku tersebut berubah menjadi rajin ke masjid dan menghentikan kebiasaan minum-minuman keras. Sebelum menikah subjek merasakan bahwa kehidupannya memprihatinkan dan menyedihkan, namun setelah menikah subjek merasa memiliki kehidupan yang bahagia dan tentram. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan yang terjadi pada konsep diri subjek antara lain dari keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Keberadaan anak kerap menjadi pengingat subjek untuk tidak melakukan perilaku menyimpang. Semenjak subek menikah dan tinggal di lingkungan tempat tinggal istrinya, subjek menjadi lebih rajin berangkat beribadah ke masjid. Lingkungan tempat tinggal subjek sekarang, mendukung perubahannya karena masyarakat di daerah tersebut tidak memberikan respon negatif terhadap keputusan menikah subjek sehingga dapat mendukung perubahan konsep diri subjek.. Penelitian ini memiliki kelebihan antara lain dapat memberikan gambaran tentang konsep diri suami dengan kondisi istri penyandang retardasi
mental dan juga korban perkosaan yang jarang ditemukan dalam masyarakat. Kekurangan dalam penelitian ini adalah minimnya subjek yang mengalami kasus ini sehingga mempersempit variasi informasi dari individu dengan kasus yang serupa. Daftar Pustaka Baron, R. A., & Byrne, D. 2004. Psikologi Sosial Edisi Kesepuluh. Penerjemah: Djuwita. Jakarta: Erlangga. Berzonsky, M. 1981. Adolecense. New York: Mac Milan. Publishing. Co. Inc Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. 1995: Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Penerjemah: R.S. Satmoko. Edisi ketiga. Semarang: IKIP Semarang Press
Chaplin, J. P. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Feist, J.,& J.Feist, G. 2008. Theories of Personality.Penerjemah: Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hurlock, E. 1994. Psikologi Perkembangan. Penerjemah: Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga. Kapikiran, & Acun, N. 2012. Ideal Real Self Concept anda State Trait Anxiety In Turkish University Student According to CHAID Analysis . College Student Journal , Vol. 45, No. 4, 715 - 728. Laswell, M., & Laswell, T. 1987. Marriage and The Family. California: Wadswort Publishing Company. Mboya, M. M. 1998. Family Relation and the Self Concept of African Adolescent: Gender Related Differences. Journal of Comparative Family Studies , Vol. 29, 1, 201- 213. Moleong. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Muhadjir, N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin. Mulyana, D. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muthi'ah, D. 2007. Konsep Diri Dan Latar Belakang Kehidupan Waria (Studi Kasus Terhadap Waria Di Kota Semarang Tahun 2007). Skripsi. (tidak diterbitkan). Semarang: Universitas Negeri Semarang
Nangoy, W. M., Basir, J. R., & Warouw, Z. W. 2012. Konsep Diri Remaja. Journal Biodidaktis , Vol. 4, No. 1, 42-48. Pardede, Y. O. 2008. Konsep Diri Anak Jalanan Usia Remaja. Jurnal Psikologi , Volume 1, No. 2, 138-146. Poerwandari, E. K. 2007. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia. Rakhmat, J. 2002. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Riza, A. 2009. Konsep Diri Pekerja Seks Di Lokalisasi Pasar Kembang Yogyakarta. Skripsi. (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Setiadi, E. M., Hakam, K. A., & Effendi, R. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana. Soekanto, S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Walgito, P. B. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI. Wickrama, K., & Keith, P. M. 1996. Self Concept Disconfirmation, Psychological Distress and Marital Happines. Journal of Marriage and the Family , Vol. 58, No. 1, Hal 167- 182.