Riswaka Sudjaswadi
KONSEP DIRI PROFESI FARMASI SELF-CONCEPT PHARMACEUTICAL PROFESSION Riswaka Sudjaswadi Dosen Farmasi Sosial Fakultas Farmasi UGM dan USD
ABSTRAK Profesi Farmasi adalah suatu profesi yang concern, commitment, dan competence tentang obat. Artikel ini akan membahas tentang definisi Farmasi menurut pandangan disiplin sosial dan perilaku, serta sosiologi. Lebih jauh dipresentasikan pula ciri-ciri dan bukti bahwa Farmasi adalah suatu profesi. Konsep diri Farmasi digambarkan sebagai sosok manusia, pohon, bangunan, dan kipas, beserta ilustrasi tentang hasil proses pendidikan (khusus), bidang pengabdian, dan kompetensi. Konsep diri farmasi hendaknya dipahami dan dihayati secara proporsional sehingga para farmasis mampu menjalankan pengabdian profesi di bidang kesehatan secara profesional. Kata kunci: profesi Farmasi, sosiologi, profesional
ABSTRACT Profession of Pharmacy is a profession that concern, commitment, and competence about the drug. This article will discuss about the definition of Pharmacy in the view of social discipline and behavior, and sociology. Furthermore also presented the characteristics and evidence that Pharmacy is a profession. Pharmaceutical self-concept is described as human figures, trees, buildings, and fans, along with an illustration about educational process result (special), service field, and competence. Pharmaceutical self-concept should be understood and internalized proportionally so the pharmacists can contribute a professional service in the field of professional health. Keywords: Pharmaceutical profession, sociology, professional
DEFINISI DAN PENGERTIAN Farmasi adalah suatu profesi yang concern, commitment, competence tentang obat. Dari definisi tersebut muncul istilah profesi yang didefinisikan sebagai suatu pekerjaan (okupasi) yang mempunyai otonomi/menunjukkan karakteristik ilmu yang sangat khusus (specialized knowledge), dan diperoleh lewat proses pendidikan perguruan tinggi setingkat strata 1 (S-1) dilanjutkan dengan pendidikan profesi (academic preparation), yang juga ditentukan oleh waktu menempuh pendidikan yang bersangkutan (length of training). Sebagai ilustrasi, di Universitas Gadjah Mada terdapat 75 program studi, yang berarti terdapat 75 macam pekerjaan yang dapat diampu oleh sarjana lulusan perguruan tinggi yang bersangkutan, namun berdasarkan proses pendidikannya, hanya 7 macam yang berhak menyandang jabatan profesi, yaitu dokter, dokter gigi, dokter hewan, farmasis (apoteker), akuntan, notaris, dan psikolog. Selanjutnya pengertian profesi, menurut disiplin sosial dan perilaku, dapat dibedakan menjadi 2
Majalah Farmaseutik, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012
macam, yang sekaligus merupakan ciri-cirinya, yaitu: 1. Statutory profession, ciri yang berdasarkan atas undang-undang (legislative act). Bukti untuk bidang Farmasi, tercantum dalam Undang-Undang Kesehatan nomor 36/2009, pasal 21 ayat 1, pasal 108 ayat 1, penjelasannya, dan Peraturan Pemerintah nomor 51/2009. 2. Learned profession, berdasarkan output proses belajar-mengajar di perguruan tinggi yang memerlukan waktu relatif panjang, berkesinambungan, beserta karakteristik, bercirikan: a. Unusual learning, menerima pengetahuan yang khas, tidak diperoleh di tempat lain, atau dianggap “aneh” oleh bidang/disiplin ilmu yang berbeda. Bukti untuk pendidikan tinggi Farmasi adalah mengajarkan mata kuliah: Farmasetika, Farmasi Fisik, Kimia Farmasi, Farmakokinetika, Biofarmasetika, Teknologi Farmasi, Farmasi Klinik, Pelayanan Farmasi, Manajemen farmasi, Farmasi Sosial, Farmakokimia dan Kimia Medisinal, Drug 170
Konsep Diri Profesi Farmasi …
b. Delivery Systems, Farmasi Rumah Sakit, Protein Farmasi, Toksikologi, Efek Samping Obat dan Adverse Drug Reactions, Farmakoekonomi, Fitokimia, Fitofarmaka, Farmakognosi, Farmakoterapi, Compounding and Dispensing. c. Adanya Kode Etik Profesi yang diakui negara sebagai payung untuk melindungi pengabdian profesinya. Di Indonesia terdapat Kode Etik Apoteker yang diakui oleh negara sebagai pedoman para farmasis (apoteker) mengabdi profesinya di bidang kesehatan. d. Confidential relationship dalam pengabdian profesi. Bukti untuk hal itu adalah fenomena pengambilan sumpah apoteker sebelum meninggalkan bangku perguruan tinggi, isi sumpah diatur undang-undang, dan tentang menjaga rahasia jabatan tercantum pada lafal sumpah yang kedua. Jika dokter (gigi/hewan) merahasiakan penyakit pasiennya, apoteker harus merahasiakan resep dokter (gigi/hewan) yang diterimanya untuk dilayani obatnya, master formula sediaan, dan obat yang diserahkan pasien, meskipun informasi tentang penggunaannya harus disampaikan sejelas-jelasnya agar dipatuhi oleh pengguna obat yang bersangkutan, dan menghasilkan outcome yang optimal, mekanisme kerja obat tidak perlu diterangkan. Pengertian dan ciri-ciri profesi tersebut sejak tahun 2001 telah dikembangkan menjadi empat busur dalam lingkaran, berdasarkan disiplin sosiologi, yaitu: 1. Specialized Knowledge and length of training, profesi harus menguasai ilmu pengetahuan yang khusus, unusual, unik, yang diperoleh dari proses pembelajaran jenjang perguruan tinggi selama kurun waktu tertentu hingga memahami dan siap praktek dalam mengabdi profesi (proporsional untuk menempuh pasca sarjana). 2. Service oriented, pengabdian profesi harus berorientasi pelayanan (untuk bidang kesehatan, berupa pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kepentingan/keselamatan pasien). Dalam bidang kefarmasian, dikenal dan ditanamkan pengertian pelayanan yang berupa konsep terstruktur, lengkap disertai panduan pelaksanaan operasionalnya sehingga ditetapkan sebagai standar profesional (professional standard) oleh asosiasi farmasis internasional (FIP) disebut sebagai Pelayanan Farmasi (Pharmaceutical Care). 3. Self Regulation, setiap profesi dilindungi oleh undang-undang tersendiri dan hanya berlaku untuk profesi yang bersangkutan dan diakui oleh negara, selanjutnya berlaku atasnya kode etik profesi yang juga harus diakui negara. Dalam bidang kefarmasian, profesi Apoteker (farmasis) tercantum dalam UU no 36/209 tentang
171
kesehatan diperjelas dalam PP no 51/2009, dan memiliki kode etik apoteker yang diakui negara. 4. Monopoly of Practice, praktek profesi bersifat otonom dan tidak tergantikan oleh profesi lain, penilaian terhadapkinerja profesi yang bersangkutan diawasi dan diputuskan benar/salah oleh profesi itu sendiri (esoterik). Dalam bidang kefarmasian, di Indonesia, hal tersebut diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP) no 51 tahun 2009. OBAT Berdasarkan definisi ilmiah, obat adalah senyawa yang berasal dari alam atau hasil sintesis yang mempunyai aktivitas biologis, sedangkan menurut UU no 36 tahun 2009 tentang kesehatan, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Definisi tersebut lebih menyempurnakan pengertian obat, yang memisahkan obat dengan obat tradisional jika dibandingkan dengan Undang-Undang Pokok Kesehatan yang lama. Persyaratan fundamental obat adalah mutu (yang berkaitan dengan khasiat) dan aman. Perguruan tinggi farmasi terpusat pada dua hal tersebut dalam segala aspek yang dapat mempengaruhinya. Disiplin ilmu tentang mutu obat dapat dipilah menjadi tiga domain, yaitu ilmu tentang (efek) obat (pharmacodynamics), ilmu tentang nasib obat dalam badan (pharmacokinetics), dan ilmu tentang sediaan obat (pharmaceutics). Disiplin ilmu tentang keamanan obat antara lain efek samping obat (ESO), adverse drug reaction (ADR), dan toksikologi. Proses belajar-mengajar untuk mempersiapkan para apoteker (farmasis), umumnya dijalankan oleh empat bagian yang terintegrasi dalam fakultas farmasi secara proporsional, harmonis, dan inherent, yaitu bagian biologi farmasi, farmakologi dan farmasi klinik, farmasetika, serta kimia farmasi. PROSES BELAJAR MENGAJAR (ACADEMIC PREPARATION) Proses tersebut harus dilaksanakan oleh perguruan tinggi secara sistematik, terprogram standardized, dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan, karena merupakan proses pembentukan profesi (farmasi) yang mampu menunjukkan sikap dan perilaku profesional, yaitu sikap dan perilaku khusus yang mengutamakan sisi intelektual daripada ketrampilan, sehingga akan memperoleh status dan penghargaan tertentu. Selanjutnya sikap dan perilaku tersebut berkembang dalam lindungan kode etik,
Majalah Farmaseutik, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012
Riswaka Sudjaswadi
Gambar 1. Personafikasi Profesi Farmasi
Gambar 2. Pohon Ilmu Konsep Diri Farmasi
menyebabkan profesi (farmasi) bersifat altruistic dan esoteric. Menurut referensi Amerika, lama pendidikan tinggi farmasi mirip dengan pendidikan tinggi dokter, dokter gigi, dokter hewan, dokter spesialis mata, yaitu terbagi atas dua bagian pokok, pendidikan pre-profesional
Majalah Farmaseutik, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012
kurang lebih 2 tahun ( 3 tahun untuk pendidikan dokter), dan pendidikan profesional dengan jangka waktu 4 tahun. Sementara itu di Australia, pendidikan dokter selama 5 tahun, pendidikan farmasi selama 4 tahun. Proses pendidikan yang relatif panjang menjadi relevan, karena profesi
172
Konsep Diri Profesi Farmasi …
harus terproses secara lengkap, sistematik, tahap demi tahap, dan unik/khusus. Berdasarkan undang-undang, farmasi merupakan profesi di bidang kesehatan yang bertanggung jawab atas kualitas (Quality Assurance) obat dan penggunaan klinisnya. Selanjutnya, farmasi secara fundamental dan professional, menyelenggarakan pelayanan tentang keamanan dan penggunaan obat yang tepat guna dan benar serta rasional (safe and appropriate/rational use of drugs) untuk mencapai tujuan pokok pengabdiannya, yatu peningkatan kesehatan (promosi). Dalam usaha/proses tersebut, diperlukan prinsip dasar kepemimpinan (leadership). Karakterisitik kepemimpinan dalam kefarmasian adalah low profile, karena posisinya yang tidak langsung menangani pasien, dan penatalaksanaan pelayanan kesehatan dimulai oleh dokter yang melakukan pemeriksaan, disimpulkan dalam diagnosis. Sikap dan perilaku low profile (rendah hati) harus segera diikuti dengan selfconfidence saat pasien mendapatkan terapi (farmakologi), karena penatalaksanaan pelayanan kesehatan telah masuk kawasan pengabdian profesi farmasi, yaitu pelayanan kefarmasian. GAMBARAN (EKSPRESI) PROFESI FARMASI Gambaran (ekspresi) profesi farmasi (penyandang jabatannya disebut farmasis, atau di Indonesia disebut apoteker) dapat diwujudkan sebagai:
1. Manusia (individu atau personifikasi), jantung dan jiwanya senantiasa bergetar dan berdegup mengembang seirama dengan disiplin ilmu dispensing and compounding yang selalu diperbaiki dan disempurnakan agar mencapai efek optimal dengan dukungan disiplin ilmu-ilmu teknologi farmasi, drug delivery system, biofarmasetika dan farmakokinetika, serta farmakoterapi dan farmasi klinik. Selanjutnya, efek samping diminimalkan berdasarkan pemahaman disiplin ilmu-ilmu interaksi obat, adverse drug reaction, toksikologi, sifat-sifat bahan tambahan, fisiologi dan biotransformasi/metabolisme obat. Otak dan pikirannya terpusat atau tercermin pada drugs and their action sebagai perwujudan pertanggungjawaban profesi di bidang kesehatan (khususnya bidang obat/kefarmasian), dan aktivitas tersebut akan selalu berhubungan kaitmengkait dengan getar jantung serta jiwanya. Berdasarkan ungkapan jiwa dan pikirannya yang saling bersatu-padu, maka aktivitas farmasis dalam pengabdian profesi adalah analisis tentang jaminan mutu obat, keamanan, dan penggunaan sediaan obat yang tepat guna/rasional, atau secara ringkas aktivitas tersebut adalah analysis drug/therapeutic related problems (gambar1). 2. Pohon, tersusun atas akar yang terdiri dari rangkaian hibrida-hibrida ilmu pengetahuan alam yang sistematik membentuk basic pharmaceutical sciences dan tertanam dalam “tanah” bidang kesehatan. Batangnya tegak menjulang tinggi beralaskan akar yang kuat, menggambarkan
Gambar 3. Bangunan Farmasi
173
Majalah Farmaseutik, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012
Riswaka Sudjaswadi
Gambar 4. Model Kipas Gambaran Inovasi Dan Pengembangan Model Farmasi Sosial
disiplin ilmu khas kefarmasian, seperti farmakologi (molekuler), farmakokinetika dan biofarmasetika, kimia analisis, teknologi farmasi, farmakognosi dan fitokimia, pada batang tersebut terikat erat dahan-dahan dan ranting-ranting yang menggambarkan ilmu-ilmu yang mempertegas karakteristik kefarmasian, seperti teknologi formulasi sediaan (padat, semi-padat, cair, steril), mikrobiologi farmasi, farmakoterapi, kimia medisinal/farmakokimia. Daunnya mengekspresikan ilmu-ilmu yang lebih menegaskan tentang farmasi/kefarmasian, seperti farmasi klinik, drug delivery system, farmasi sosial, manajemen farmasi, metabolit sekunder, aerosol. Pohon gambaran farmasi mempersembahkan 4 macam bunga yang merupakan kompetensi dasar farmasis hasil menempuh selama proses pendidikan tinggi, yaitu complex bioavailability, parenteral solution/dosage forms, monitoring (therapy drug monitoring/TDM, drug therapy monitoring/DTM), dan clinical applications. Buah pohon tersebut terdapat 2 jenis, yaitu product oriented yang berasal dari 2 macam bunga pertama, dan patient oriented dari 2 macam bunga yang terakhir. Dengan demikian, farmasi(s) sebagai output pendidikan tinggi telah siap dan mandiri untuk pengabdian profesi dan pengembangan kualitas, mengingat dua kompetensi pertama dikuasai berdasarkan penelitian (research based learning), sedangkan dua kompetensi terakhir diperoleh berdasarkan sistem pelayanan (care/service) (gambar 2). Majalah Farmaseutik, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012
3. Bangunan, farmasi berdiri di atas disiplin ilmu kefarmasian yang selalu berdampingan dengan disiplin ilmu kedokteran (pharmaceutical and medical disciplines) sebagai dasar/pondasi yang tertanam kuat dalam tanah kesehatan. Dua disiplin tersebut tersusun dari filosofi ilmu matematika, fisika, dan biologi sebagai dasar ilmu pengetahuan alam (IPA), serta filosofi ilmu social sebagai dasar ilmu pengetahuan social (IPS). Bangunan terdiri dari 5 pilar yang merupakan disiplin ilmu life scienses, pharmaceutical scienses, pharmaceutical industry, clinical pharmacy, social pharmacy. Langit-langit berupa disiplin ilmu biopharmaceutics and pharmacokinetics. Di atas langit-langit tersusun “kuda-kuda” disiplin ilmu pharmacotherapy, toxicology, hospital pharmacy, management, etique, undang-undang. Dua sisi atapnya merupakan konsep pelayanan kesehatan di satu sisi, dan konsep sosial dan perilaku di sisi lain. Puncak bangunan yang merupakan “penangkal petir” yaitu pharmaceutical care, konsep maupun standar pelaksanaan dalam pengabdian profesi (gambar 3). 4. Kipas, jeruji/kerangka kipas berjumlah 4 buah, merupakan gambaran task-based competencies: complex bioavailability, parenteral solution, monitoring clinical application. Layarnya merupakan gambaran inovasi dan pengembangan model Farmasi Sosial: interdisciplinarity, professionalization, education and communication, kerangka dan layarnya terikat erat oleh benang “emas” efficiency and cost-effectiveness. Jika tidak digunakan, kipas tertutup yang berarti 174
Konsep Diri Profesi Farmasi …
ilmu dan kompetensi farmasi terintegrasi dengan rapi dan sistematik, sedangkan saat kipas digunakan akan terkembang indah dan kuat, merupakan ikatan task-based competencies dan behavioral-based competencies (hasil inovasi dan pengembangan farmasi sosial). Berayun dari konsep biopatologi, menuju sosio-psikologi, yang konsekuensinya akan bergeser dari konteks product-oriented ke patient-oriented. Kenyataan alamiah menunjukkan bahwa kipas terjelek merupakan hasil anyaman yang khas berasal dari bahan yang terbaik, sedangkan yang terbaik, tersulam indah berbau harum menyegarkan, disukai siapa saja. Dengan demikian, farmasi/farmasis akan menjadi profesi yang gemilang bertabur 8 bintang (gambar 4). PENUTUP Konsep diri farmasi hendaknya dipahami dan dihayati secara proporsional sehingga para
175
farmasis mampu menjalankan pengabdian profesi di bidang kesehatan secara profesional. DAFTAR ISI Riswaka S., 2007, Filosofi-Konsep Diri Profesi Farmasi, handout, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta. Taylor, K., and Harding, G., 2001, Pharmacy Practice, Taylor & Francis, London. Taylor, K., Nettleton, S., and Harding, G, 2003, Sociology for Pharmacist, 2nd ed., Taylor&Francis, London. Wertheimer, A.I., and Smith, M. C., 1989, Parmacy Practice, 3rd ed., Williams & Wilkins, Maryland. Winfield, A.J., and Richards R., 2004, Pharmaceutical Practice, 3rd ed., Churchill, Livingstone, London.
Majalah Farmaseutik, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012