Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : Nurdin NIM : 1613048000085
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1438 H / 2016 M
Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh :
Nurdin NIM : 1613048000085
Dosen Pembimbing
Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH NIP. 196911211994031001
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1438 H / 2016 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan
yang
berlaku
di
Universitas
Islam
Negeri
(UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
ABSTRAK Nurdin, NIM 1613048000085“ Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015) ” Program Studi Double Degree (Ilmu Hukum) Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Studi ini bertujuan untuk mengetahui Pertimbangan Hakim Pada Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dan Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XII/2015 yang menyatakan bahwa frasa bersama dan Komisi Yudisial dalam Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU No. 49 Tahun 2009, Pasal 13A ayat (2) dan (3) UU No. 50 Tahun 2009, dan Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU No. 51 Tahun 2009 adalah bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 18D ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945, sehingga proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri hanya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Penelitian ini bersifat normatif, yaitu penelitian hukum yang meneliti kaidah atau aturan hukum sebagai suatu peristiwa hukum, yang di dalam penelitian ini hanya berhenti pada lingkup konsepsi hukum, asas hukum dan kaidah peraturan saja Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan Analisis data hasil penelitian dilakukan secara deskriptif kualitatif, yaitu mengumpulkan semua bahan baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Adapun Penelitian Studi ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan. Teknik analisis data menggunakan deskriptif analitis yang berusaha menggambarkan masalah hukum, sistem hukum dan mengkajinya secara sistematis. Berdasarkan hasil penelitian dapat diperoleh kesimpulan guna menjawab rumusan masalah Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, Adapun faktor faktornya dirumuskan dalam Pasal 24A ayat 1, Pasal 24 B ayat 1, dan Pasal 28D Ayat 1. Mahkamah Agung menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang melaksanakan proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama dan Komisi Yudisial sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk ikut dalam proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama. Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan tingkat pertama juga harus dilaksanakan dengan mendudukkan hakim sebagai pejabat negara pelaku kekuasaan kehakiman, tidak sebagai PNS karena putusan ini telah memberikan nilai khusus pada status hakim sebagai pejabat negara. Keyword : Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUUXIII/2015 dan Kewenangan Komisi Yudisial Pasca Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 Dosen Pembimbing : Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH Daftar Pustaka : 1983 sd Tahun 2016
KATA PENGANTAR Segala Puji bagi allah SWT yang menciptakan makhluk yang berisi, relevan, karena kudrat iradatnya atas rahmat dengan petunjuk dan bimbinganNyalah penulis telah melewati masa masa sulit dengan penuh perjuangan tetesan keringat, basuhan air mata, serta beribu-ribu do’a. akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUUXIII/2015)”. Shalawat dan salam, semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda tercinta nabi Muhammad SAW, karena beliaulah yang merubah peradaban dunia yang berazaskan moral. Rasa syukur saya persembahkan kepada Allah SWT atas nikmat yang tak terhitung jumlahnya yang telah dianugerahkan kepada penulis. Salah satunya nikmat Iman dan Islam, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari, sebagai hamba yang lemah dan penuh salah, bahwa tugas ini selesai bukan semata-mata dari buah tangan sendiri, akan tetapi tugas ini selesai karena adanya dorongan, motivasi, bimbingan, do’a dan bantuan
yang senantiasa mengalir dari para hamba Allah SWT baik secara
langsung atau tidak langsung, serta memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil. Mereka yang dengan tulus hati meluangkan waktunya dan memberikan inspirasinya, pastinya tugas ini akan lebih berat tanpa adanya mereka. Melalui kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis persembahkan untaian kata terima kasih kepada yang terhormat. 1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA Selaku Rektor Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Dr. H. Asep Saepuddin Jahar, MA Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Beserta Para Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Hidayatullah Jakarta.
Syarif
3. Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH Selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. dan Juga Selaku Dosen Pembimbing yang telah tulus ikhlas membantu, membimbing dengan penuh kesabaran, sehingga penyelesaian skripsi ini berjalan baik. Drs. Abu Thamrin, SH, M.Hum Selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. H. Yayan Sopyan, SH, MA, MH Selaku Dosen Penguji Skripsi 1 (Satu) dan Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Selaku Dosen Penguji Skripsi 2 (Dua), Aku ucapkan terimakasih banyak atas arahan, masukan dan koreksi skripsinya yang bersifat sangat membangun menuju arah perubahan yang lebih baik. 5. Kakak Mufida Selaku Pihak Pengurus Double Degree Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu senantiasa memberikan semangat kepada saya untuk segera cepat menyelesaikan study ini 6. Para dosen Fakultas
Syariah dan
Hukum khususnya
dosen
jurusan
Peradilan Agama yang telah memberikan materi perkuliahan, saya mendapatkan ilmu yang tidak ternilai ibarat berlian yaitu bernilai mahal, indah, berharaga serta bimbingan akhlak, semua mata kuliah hingga selesai sampai skripsi ini. 7. Pimpinan
dan
Karyawan
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Serta Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelayanan referensi yang diperlukan. 8. Teman-Teman Prodi Double Degree Angkatan Ke 3 (Tiga) Tahun 2013 Aku Ucapkan Kepada Indah Khoiril Bariyah, Zulisan Sidqi, Muhammad Awaludin, Ahmad Saidi, Andi Asyraf Rahman, Muhammad Hira Hidayat, Bustomi, Badru Tamam, Erwin Hikmatiar, Rusdi Rizki Lubis, Nurfachri, Jefri AR, Ade Firmansyah, Muhammad Irpan,.Terimakasih atas semua yang telah kita lewati bersama, kalian adalah Teman Teman terbaik yang aku punya.
9. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis yang tercinta, Bapak Kandungku Ayahanda H. Supandi dan Ibu Kandungku Ibunda Mamah HJ. Eneng Nurhayati yang tidak henti-hentinya mendoakan dan memberikan pengorbanan yang telah memberikan segenap kesabaran, ketulusan dan keikhlasan serta cinta dan kasih sayang, serta dukungan baik moril maupun materil yang tiada terhitung nilainya, serta senantiasa mendoakan dan membimbing penulis. Serta Adik Kandungku tercinta Feni Sulsiah yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis,dan untuk Adik Kandungku tersayang Fahrudin Terima kasih juga telah memberikan Do’a dan support, semoga dari Allah SWT dapat balasan yang lebih baik. Amiin 10. Narti Patner Hidupku yang selalu setia menemaniku berjuang baik dalam keadaan susah, sedih, duka, senang, gembira, bahagia, wanita terindah ini selalu ada untukku, selalu memberikan support yang luar biasa, seperti ibarat kata pepatah mutiara, Hadapi segala tantangan Hidup untuk sebuah pembelajaran, jadikan semangat yang kuat dan motivasi yang tinggi, tetap optimis. Insya Allah dimana ada kesulitan pasti ada jalan kemudahan. Asalkan Tanamkan Niat Keikhlasan dalam Hati Bahwa Allah SWT, dalam melaksanakan sholat lima waktu sebagai amal ibadah dan perbuatan yang baik untuk bekal nanti di akhirat menuju Syurga nya Allah SWT bersama dengan orang orang yang sabar dan beriman, untuk berpuasa dan bersedekah, serta senantiasa sebagai insan yang lemah ini selalu berusaha, berdo’a, berjuang, berikhtiar, serta hasilnya tawakal, dan berserah diri semuanya pasrahkan kepada Allah SWT sang maha pencipta. sang maha membolak balikan perasaan hati seorang manusia yang awalnya keras menjadi lembut. Karena Allah SWT Sang maha kuasa atas segala kehendaknya. KUN FAYAKUN Dengan Segenap Ketulusan dan keikhlasan dari hati yang paling dalam atas jasa dan bantuan semua pihak. Penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang berlipat ganda dan menjadikannya sebagai amal ibadah yang tidak akan pernah berhenti mengalir pahalanya hingga akhir hayat. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, dan umumnya bagi para pembaca, serta Allah SWT senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua. Amiin Jakarta,
21 Oktober 2016 M 20 Muharram 1438 H
Nurdin
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah…. ………………………………………
1
B. Identifikasi Masalah…………………………………………….
8
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah………..…………..
9
D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ……………………... 11 E. Study Review (Tinjauan Pustaka) Terdahulu……………………. 12 F. Metode Penelitian…..………...... ………………………………. 15 G. Sistematika Penulisan….………………………………………... 18 BAB II EKSITENSI KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM KETATA NEGARAAN INDONESIA A. Sejarah Lahirnya Komisi Yudisial………………………………. 20 B. Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary Organs)………………………………………………………………. 26 C. Teori Pemisahan Kekuasaan……………………………………… 31
BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG KONSTITUSIONAL KOMISI YUDISIAL
A. Mengusulkan Pengangkatan Aakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat……………………………………………….. 38 B. Menegakkan Keluhuran Martabat serta Menjaga Perilaku Hakim……………………..……………………………………… 50 C. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial……………………….
57
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTUSI NOMOR 43/PUU-XIII/2015 A. Duduk Perkara………………………………………………........ 61 B. Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi…………… 62 C. Analisis………………………………………………………….. 66 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan……………………………………………………… 79 B. Saran…………………………………………………………….
82
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 83
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri, yang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, juga mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Yakni Hakim Agung dan Hakim pada badan peradilan disemua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung serta Hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Menurut Philipus M. Hadjon dalam memaknai kedudukan suatu lembaga negara dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: pertama: kedudukan diartikan sebagai suatu posisi lembaga negara dibandingkan dengan lembaga negara lain. Kedua, kedudukan lembaga negara diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi utamanya.1 Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial merupakan organ negara yang wewenangnya diberikan langsung oleh UUD 1945. Pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 Komisi Yudisal
1
Philipus M. Hadjon, “Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), h. 10
1
2
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, walaupun Komisi Yudisial tidak memiliki kekuasaan kehakiman. Pasal 24A ayat (3) berbunyi, “Calon Hakim Agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden”. Selanjutnya, Pasal 24B ayat (1) UUD bahwa
Komisi
Yudisial
1945
menyebutkan
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi dalam Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di bidang
kekuasaan
kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk
menegakkan konstitusi dalam mewujudkan negara hukum Indonesia yang demokratis. Sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang (a) Menguji undang-undang terhadap UUD; (b)
Memutus
kewenangannya
sengketa
diberikan
oleh
kewenangan
lembaga
negara
yang
Undang- Undang Dasar; (c) Memutus
pembubaran partai politik; (d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan (e) Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden
3
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan pendapat bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dengan dimasukkannya
Hakim
Konstitusi
dalam
pengawasan
Komisi Yudisal menurut Undang-Undang Komisi Yudisial mengakibatkan lumpuhnya kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam menghadapi kenyataan timbulnya persengketaan kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.2 Padahal Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk memutuskan dengan putusan yang final dan mengikat dalam hal terjadinya sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
2
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa dimasukkannya hakim konstitusi dalam Undang- Undang Komisi Yudisial yang dibahas pada tahun 2004 mencerminkan motif di kalangan Pembentuk undang-undang untuk menitipkan kepentingan untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Konstitusi yang dianggap terlalu berkuasa, terutama setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan beberapa pengujian undang-undang, seperti pengujian atas ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, pengujian atas Undang- Undang tentang Ketenagalistrikan yang dibatalkan seluruhnya, pengujian atas UndangUndang eks Perpu Pemberlakuan Undang-Undang tentang Anti Terorisme, ketentuan UndangUndang tentang Pemilu yang membatasi hak warga negara eks anggota PKI untuk ikut serta dalam Pemilu, dan lainsebagainya. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum tata Negara Indonesia Pasca Amandemen, h. 578-579
4
Hubungan Komisi Yudisial dengan Presiden diatur dalam UUD 1945 secara tegas menyatakan kedudukan Presiden adalah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara (executive power).3 Meskipun demikian, menurut Ismail Sunny Presiden Republik Indonesia tidak menjadi kepala eksekutif dan pemimpin yang sebenarnya dari eksekutif seperti halnya di Amerika Serikat.4 Ada dua alasan yang mendukung pendapat Ismail Sunny tersebut,
yaitu:
pertama, dalam melaksanakan kekuasaan
itu telah
ditentukan dalam undang-undang dasar. Dan kedua, dalam melaksanakan tugasnya Presiden dibantu oleh para menteri dan para menteri inilah dalam konteks politik melaksanakan tugas-tugas permerintahan. Menurut
Moh.
Kusnardi
dan
Harmailiy
Ibrahim,
ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) tersebut memberi wewenang yang luas dan tidak terperinci kepada Presiden namun tidak berarti presiden dapat berbuat sekehendak hatinya karena dibatasi oleh UUD 1945.5 Dalam Undang-Undang Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial. Ada pendapat yang mengatakan bahwa wewenang (bevoegheid) mengandung pengertian
3
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar.” 4 Ismail Sunny, “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif”, (Jakarta: Aksara Baru, 1986), h. 42 5 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, “Pengantar Hukum Tata Negara”, (Jakarta: Sinar Bhakti, 1983), h. 198
5
tugas (plichten) dan hak (rechten). Menurut Bagir Manan,6 wewenang mengandung makna kekuasaan (macht) yang ada pada organ, sedangkan tugas dan hak ada pada pejabat organ .Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial menyatakan “Komisi Yudisial mempunyai wewenang” : a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan Persetujuan b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim.” c. Menetapkan kode etik dan pedoman perilaku hakim bersama sama dengan mahkamah agung d. Menjaga dan menegakan pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku hakim Semua aparat penegak hukum berkewajiban mewujudkan cita hukum secara utuh, yakni keadilan, kemanfaatan menurut tujuan, dan kepastian hukum. Diantara para penegak hukum yang lainnya posisi Hakim adalah istimewa. Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang abstrak, bahkan ada yang menggambarkan Hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.
6
Bagir Manan, “Menyongsong Fajar Otonomi Daerah”, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum FH UII Yogyakarta, 2001), h. 69-70.
6
Konflik antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial ternyata bukan hanya kali ini dan hanya dalam masalah ini saja. Sejak akhir tahun 2005 sampai paling tidak pertengahan tahun 2006, khususnya masyarakat hukum, menyaksikan adegan konflik antara Makamah Agung dan Komisi Yudisial. Konflik yang oleh masyarakat disayangkan ini sebenarnya bermula dari langkah-langkah Komisi Yudisial ketika hendak menejermahkan dan melaksanakan amanat
konstitusi atas pembentukannya yang kemudian
membentur Mahkamah Agung yang struktur dan karakternya sudah begitu kuat dan berpola. Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang baru kemudian mendapat sorotan baik yang bersifat positif maupun negatif.7 Terjadinya perseteruan antara kedua lembaga tersebut adalah diajukannya permohonan atau gugatan judicial review
atas UU No.
22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial oleh 31 Hakim Agung sebagai pribadi pribadi. Mereka pada pokoknya meminta Mahkamah Agung membatalkan sebagian isi Undang Undnag tersebut karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar Tahun 1945 yakni bagian yang menentukan bahwa Komisi Yudisial berwenang mengawasi Hakim Agung. Para pemohon mendalilkan bahwa Komisi Yudisial hanya berwenang mengawasi hakim dan pengertian hakim di sana tidak mencakup Hakim Agung. Hal ini mengherankan karena baik ditinjau dari latar belakang maupun dari sikap Mahkamah Agung sendiri 7
Mohammad Mahfud MD, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi” (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h.110
7
sebelum lahirnya Undang Undang tersebut jelas-jelas disebutkan bahwa Komisi Yudisial berwenang mengawasi Hakim termasuk Hakim Agung.8 Hubungan kedua institusi ini tidak seperti yang diharapkan, yakni bekerja sama sebagai mitra (partnership). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 juga merupakan bentuk konflik antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, putusan ini banyak menimbulkan perdebatan, lenyapnya
kewenangan
Komisi Yudisial dalam seleksi hakim menimbulkan banyak opini tentang pelemahan lembaga tersebut, karena bukan hanya kali ini saja kewenangan Komisi Yudisial
dikurangi dalam menjalankan tugasnya, tugas Komis
Yudisial yang menyangkut pengawasan terhadap perilaku hakim menjadi terpangkas dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Namun di sisi lain, banyak juga opini yang menyatakan mendukung putusan ini karena berkaitan dengan kemandirian badan peradilan yang tercipta pada awal reformasi yang dicampuri oleh suatu lembaga baru yaitu Komisi Yudisial.
8
h.111
Mohammad Mahfud MD, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi”
8
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mencoba membahas masalah ini dalam skripsi dengan judul “ Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung” (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015) B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang itulah penulis mengidintifikasi masalah yang ada dalam Komisi Yudisial, dianataranya sebagai berikut : 1. Bagaimana Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung ? 2. Bagaimana Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi ? 3. Bagaimana Hubungan Komisi Yudisial dengan Presiden ? 4. Apa Wewenang dan Tugas Komisi Yudisial ? 5. Apa yang menyebabkan terjadi konflik antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial dengan terkait Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 ? 6. Apa yang menjadi Pertimbangan Hukum Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam judicial review Undang Undang yang diuji oleh Mahkamah Agung terkait dengan IKAHI ? 7. Faktor Apa yang memengaruhi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam seleksi pengangkatan hakim ?
9
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan dari identifikasi masalah tersebut, maka penulis merasa sangat perlu untuk membatasi agar pokok permasalahan dalam kajian penelitian skripsi ini tidak meluas serta menjaga kemungkinan penyimpangan dalam penelitian skripsi ini, maka dalam penelitian ini penulis memfokuskan dan membatasi masalah hanya dalam ruang lingkup pembahasan skripsi ini hanya berkisar pada Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015) 2. Rumusan Masalah Komisi Yudisial bersama-sama dengan Mahkamah Agung dalam melakukan proses seleksi pengangkatan hakim merupakan kewenangan yang diberikan oleh pembuat Undang-Undang (lembaga legislatif) melalui tiga undang-undang terkait dengan kekuasaan kehakiman. Di dalam hukum konstitusi kita pembentuk Undang-Undang boleh menentukan isi undang-undang yang dianggap penting dan baik apapun isinya, sepanjang tidak melanggar dan bertentangan dengan UUD 1945. Kewenangan dalam proses seleksi pengangkatan Hakim Agung berdasarkan Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 Amanden Perubahan Kedua Undang Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial,
10
Undang Undang 48 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum/Peradilan Negeri,
Undang
Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, dan Undang Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata merupakan
sebagai
bentuk
upaya
Usaha
Negara,
peningkatan kapasitas
dan
kesejahteraan Hakim dengan melakukan perbaikan pada integritas Hakim dan segenap komponen peradilan yang mendukung sistem kerja
Hakim,
dalam taraf tertentu diyakini akan mampu menghasilkan sebuah kultur penegakan hukum yang bersih, jujur dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, tegas dan bewibawa melalui proses seleksi pengangkatan Hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung bersama-sama dengan Komisi Yudisial. Proses seleksi pengangkatan Hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial bersama-sama dengan Mahkamah Agung pada pengadilan negeri, pengadilan agama dan pengadilan tata usaha negara sesungguhnya menciptakan kepastian hukum. Melihat bahwa proses seleksi pengangkatan Hakim Agung tidak diatur dalam UUD 1945 dan rekrutmen hakim yang dilakukan Komisi Yudisial bersama-sama Mahkamah Agung merupakan sebagai salah satu tujuan pembentukan sistem rekrutmen Hakim yang ideal, dimana proses seleksi pengangkatan Hakim akan lebih transparan
dan
memberikan ruang pada masyarakat untuk ikut serta mengikuti proses
11
seleksi
pengangkatan Hakim,
serta menimalisir terjadi kecurangan
kucarangan yang mungkin terjadi pada proses seleksi pengangkatan hakim. Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Apa yang menjadi Pertimbangan Hukum Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam judicial review Undang Undang yang diuji oleh Mahkamah Agung terkait dengan IKAHI? 2. Faktor Apa yang memengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam seleksi pengangkatan hakim? D. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penilitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penelitian skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan memahami substansi Komisi Yudisial dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 2. Untuk mengetahui faktor faktor yang memengaruhi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam seleksi pengangkatan hakim
Adapun manfaat penilitian skripsi ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis :
12
1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan Wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan konstribusi dalam menanggapi masalah hukum, khususnya tentang Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015) 2. Manfaat Praktis Adapun hasil penilitian skripsi diharapkan dapat memberi masukan dan sumbangan pemikiran yang bersifat konseptual yang berkaitan dengan Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015) E. Study Review (Tinjauan Pustaka) Terdahulu Guna mengetahui sejauh mana masalah komisi yudisial yang pernah di bahas dalam berbagai literatur, buku, artikel.baik yang disusun oleh perseorangan, maka penulis melakukan pengamatan terhadap penelitian sebelumnya.
13
NO
Identitas
1.
Masripatunnisa “
Skripsi Ini
Disini penulis
Efektifitas Fungsi
menjelaskan
membahas Komisi
mengenai efektifitas
Yudisial dalam
Mengawasi Hakim
fungsi pengawasan
kekuasaan
Dan Pengaruhnya
Komisi Yudisial
kehakiman bahwa
secara umum serta
ada pelanggaran
pengaruhnya
kode etik, dan tidak
terhadap sistem
mendapatkan
kekuasaan
tanggapan dari
kehakiman di
mahkamah agung.
Pengawasan Komisi
Subtansi
Pembeda
Yudisial Dalam
Terhadap Kekuasaaan Kehakiman (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014)
indonesia Merumuskan kode
melakukan
etik bersama perilaku
pemantauan dan
hakim bersama
pengawasan terhadap
Mahkamah Agung,
perilaku Hakim,
Menganalisis putusan
menerima laporan
yang sudah
dari masyarakat
berkekuatan hukum
berkaitan dengan
tetap sebagai dasar
pelanggaran Kode
melakukan mutasi
Etik dan pedoman
hakim,
perilaku Hakim.
14
melakukan
melakukan verifikasi,
pemeriksaan bersama
klarifikasi, dan
Mahkamah Agung
investigasi terhadap
atas dugaan
laporan dugaan
pelanggaran kode etik pelanggaran Kode hakim, apabila
Etik dan Pedoman
ada perbedaan hasil
Perilaku Hakim secara
pemeriksaan dengan
tertutup.
Mahkamah Agung. 2 Amir Syamsuddin,
Hasil penelitian
Adakah kerjasama
Integritas Penegak
berupa buku ini
antara Mahkamah
Hukum (Hakim, Jaksa, membahas tentang
Agung dan Komisi
dan Pengacara) tentang Mahkamah Agung
Yudisial baik secara
Mahkamah Agung
versus Komisi
internal maupun
Versus Komisi
Yudisial dalam hal
eksternal, pelaksanaan
Yudisial, Kompas,
kewenangan
fungsi pengawasan
Jakarta, Juni 2008
menjalankan fungsi
dan efektrifitasnya
pengawasan
dalam mengawasi
secara yuridis maupun
hakim perngaruhnya
akses publik dan
terhadap kekuasaan
informasi
kehakiman
15
Berdasarkan Telaah Pustaka dan penulusuran data yang telah penyusun lakukan, banyak sekali yang telah membahas tentang komisi yudisial, tetapi dari beberapa karya ilmiah maupun lainnya, belum ada yang mengangkat topik penelitian yang penyusun angkat. Maka peneliti merasa penting dan perlu untuk mengangkat topik “Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Pengangkatan Hakim Agung (Analisa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015) ” . F. Metode Penelitian Dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini digunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan. Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini, adalah: 1.1
Penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.9
1.2
Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan bukubuku, literatur, dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
9
Johny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, (Malang: Bayumedia Pubblishing, 2008), h. 294
16
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini antara lain : 1.3 Pendekatan
perundang undangan
yang
didalamnya terdapat pasal
pasal yang berkaitan (statute approach) ialah pendekatan dengan melakukan pengkajian terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundang undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian skripsi ini khususnya berkenaan dengan Komisi Yudisial.10 1.4 Pendekatan terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal ialah untuk mengungkapkan kenyataan, sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara vertikal, atau mempunyai keserasian secara horizontal apabila menyangkut perundang-undangan sederajat mengenai bidang yang sama.11 2. Sumber Bahan Hukum Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu : 2.1 Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang diurutkan berdasarkan hierarki perundangundangan dengan Undang Undang Kewenangan dalam proses seleksi pengangkatan hakim agung berdasarkan Undang Undang Nomor 22 tahun
10
Johny Ibrahim, “Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif”, h. 295 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif”,(Jakarta: Rajawali Press, 1985),h. 85 11
17
2004 Amanden Perubahan Kedua Undang Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial, Undang Undang 48 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Negeri, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Adapun bahan hukum primer yang diteliti adalah berupa bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari UUD RI 1945, peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksana yang dianggap menunjang terhadap penulisan skripsi ini. Dikatakan demikian karena yang menjadi dasar dalam penulisan skripsi ini yaitu dalam melakukan proses rekruitmen terhadap Hakim Agung hendaknya Komisi Yudisial melaksanakannya dengan prinsip transparansi, partisipatif, objektif, dan bertanggung jawab. Dengan demikian maka Komisi Yudisial dapat melakukan pengawasan terhadap para Hakim-Hakim agar tidak melakukan penyimpangan. 2.2 Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.12 Adapun bahan yang diteliti adalah berupa bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari UUD RI 1945, peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksana yang dianggap menunjang terhadap penulisan skripsi ini. Bahan hukum yang terdiri 12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51
18
atas buku-buku (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de hersendee leer), jurnal-jurnal hukum, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan
topik penelitian skripsi
ini. Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari buku-buku hukum, media cetak, artikel-artikel baik dari internet maupun berupa data digital. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu masalah yang diteliti, adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut : Pertama dalam bab ini penulis membahas dasar-dasar pemikiran penulis dan gambaran umum tentang tujuan tulisan ilmiah serta berisi hal-hal yang menyangkut teknis pelaksanaan penyelesaian skripsi yang dimulai dengan mengemukakan Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Study Review (Tinjauan Pustaka) Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
19
Kedua dalam bab ini penulis akan membahas eksistensi Komisi Yudisal yang berkaitan dengan Sejarah Komisi Yudisial dan Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary Organs), Teori Pemisahan Kekuasaan. Ketiga dalam bab ini penulis berusaha menguraikan tentang Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung Kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Menegakkan Kehormatan, Keluhuran
Martabat
dan Menjaga
Perilaku Hakim, Serta Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial. Keempat dalam bab ini memuat analisis yang
bertujuan untuk
menjelaskan Apa yang menjadi Pertimbangan Hukum Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam
judicial
review
Undang Undang Nomor 18 tahun 2011 terkait dengan seleksi pengangkatan Hakim Agung, Faktor Apa yang memengaruhi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 Kelima dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, dalam bab ini penulis akan menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.
BAB II EKSISTENSI KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Sejarah Lahirnya Komisi Yudisial Undang Undang Dasar 1945 dalam perubahan ketiga yang disahkan pada tanggal 10 November 2001 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.1 Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraa kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari campur tangan kekuasaan lain untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan ketertiban,
keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.2 Perubahan Undang Undang Dasar 1945 yang menyangkut kelembagaan kekuasaan kehakiman sebagaimana di atas, telah mengintroduksi suatu lembaga baru yang kewenangannya berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Kehadiran Komisi Yudisial sebagai lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan pada kesepakatan bahwa perlu ada suatu lembaga khusus untuk menjalankan fungsi fungsi tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman.3 Keberadaan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara dijamin kemandiriannya dalam UUD 1945 yaitu dalam hal mengusulkan pengangkatan hakim 1
Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan III, Bab I Tentang Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” 3 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisal, 2003, h. 12 2
20
21
agung sekaligus berwenang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.4 Berdasarkan perubahan tersebut, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.5 Kekuasaan kehakiman bukanlah suatu lembaga yang dapat menuntaskan segala persoalan yang menyangkut kekuasaan kehakiman.
Beberapa aspek seperti
pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman terhadap hakim merupakan persoalan di dalam kekuasaan kehakiman yang apabila tidak terkelola dengan baik akan berpengaruh besar terhadap kinerja kekuasaan kehakiman secara keseluruhan.6 Persoalan menjadi semakin rumit ketika menyangkut perekrutan Hakim Agung. Hal ini dikarenakan Hakim Agung adalah
jabatan yang sangat
strategis
sehingga selalu mengundang intervensi pemegang kekuasaan politik (DPR dan Presiden) dalam rangka menempatkan orang orangnya untuk dapat memperjuangkan kepentingan kepentingannya di kemudian hari.
4
Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Paragraf 6 menyebutkan “Komisi Yudisal bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.” 5
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab I Ketentuan Umum. Pasal 2 menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dalam undang-undang ini adalah dilakukan oleh sebuah Mahkama Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. 6 Ahsin Thohari, “Komisi Yudisal & Reformasi Peradilan”, (Jakarta: Elsam, 2004), h.157
22
Sebenarnya gagasan tentang perlunya suatu lembaga khusus untuk menjalankan fungsi fungsi tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal yang
baru. Dalam pembahasan Rancangan Undang- Undang tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tahun 1968, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim, yang diajukan baik
oleh
Mahkamah Agung maupun
Departemen Kehakiman. Namun dalam
perjalanannya, ide tersebut tidak berhasil dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sejalan dengan hal tersebut, A. Ahsin Thohari menyimpulkan bahwa alasan alasan utama yang menyebabkan munculnya gagasan pembentukan Komisi Yudisial, antara lain: 1. Lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman
karena
monitoring hanya dilakukan secara internal saja 2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antar kekuasaan Pemerintah dalam hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakiman. 3. Kekuasaan kehakiman dianggap tindak mempunyai efisiensi dan
efektifitas yang
memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan persoalan teknis menghukum 4. Rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan karena tidak diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar- benar independen
23
5. Pola rekruitmen hakim terlalu bias dengan masalah politik karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga lembaga politik.7 Praktik peradilan yang akrab dengan mafia peradilan (judicial corruption) merupakan alasan lain lahirnya komisi ini. Wajah kusut pengadilan dinegeri kita merupakan sejarah gelap yang telah berlangsung lama dan tidak boleh terulang kembali untuk masa kini dan masa yang akan datang. Kepercayaan publik yang hilang (publicdistrust) terhadap lembaga pengadilan akibat tingginya praktik mafia peradilan dapat ditumbuhkan lagi dengan hadirnya lembaga pengawasan yang dapat menegakkan kehormatan dan perilaku hakim.8 Penegakan hukum di Indonesia dalam pelaksanaan mekanisme kontrolpun dirasa masih lemah. Ada faktor faktor lain sebagai konsistensi kepatuhan terhadap hukum, yaitu sikap para penyelenggara negara, penegak hukum, dan rakyat itu sendiri. Ditengah situasi semacam itu pula muncul manusia yang seolah olah kebal hukum. Padahal secara normatif, semua warga negara tanpa kecuali sama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjungnya. Semangat ketaatan terhadap hukum itu tidak mungkin dapat ditumbuhkan tanpa dilandasi iman keagamaan dan kepatuhan terhadap norma norma moral yang hidup dalam masyarakat. Iman dan moral mendorong manusia untuk patuh terhadap hukum.9
7
Ahsin Thohari, “Komisi Yudisal & Reformasi Peradilan”, (Jakarta: Elsam, 2004), h. 217-218 Busyro Muqoddas, Arah Kebijakan Komisi Yudisial dalam Mengawal Penegakan Hukum di Indonesia, (Makalah) disampaikan dalam seminar Nasional di Pusat Penelitian Agama dan Perubahan Sosial Budaya Lemlit UIN SUKA Yogyakarta, 29 Juli 2006 9 Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia (Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996) h. 56 8
24
Pentingnya akuntabilitas dalam sistem kekuasaan kehakiman juga mendorong lahirnya Komisi Yudisial ini. Kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem kekuasaan kehakiman karenanya bukanlah sekedar “asesoris” demokrasi atau sekedar “kegenitan” proses pembaruan penegakan hukum. Komisi Yudisial lahir sebagai konsekuensi politik dari adanya amandemen konstitusi yang ditujukan untuk membangun sistem checks and
balances
di
dalam
sistem
dan
struktur kekuasaan kehakiman, termasuk
didalamnya pada sub sistem kekuasaan kehakiman.10 Kelahiran Komisi Yudisial juga didorong antara lain karena tidak efektifnya pengawasan internal (fungsional) yang ada di badan-badan peradilan. Tidak efektifnya pengawasan internal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai, (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan, (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses), (4) semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu, dan (5) tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak lanjuti hasil pengawasan.11 Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman
yang
merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, 10
Bambang Widjoyanto, “Komisi Yudisial: Checks and Balances Dan Urgensi Kewenangan Pengawasan”, artikel dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, 2006, h. 111 11 Mas Achmad Santosa, artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian Kompas tanggal 2 Maret 2005, h.5
25
baik dari segi hukum maupun
dari segi
etika. Untuk itu, diperlukan institusi
pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri yaitu Komisi Yudisial yang berkaitan dengan fungsi pengawasan eksternal terhadap kekuasaan kehakiman. Jimly Asshiddiqie12
Selain itu, Menurut
maksud
dibentuknya
Komisi
Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga di luar Struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam poses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim. Semua itu dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting konferensi International
Commission
of
Jurist
menggaris
bawahi
bahwa; “Independence
does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasa mengubah UUD Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan kehakiman,
perlu
diadakan
pengawasan
eksternal yang efektif di bidang etika
kehakiman seperti beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial. 13
12
Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Cet. Kesatu (1), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 57 13 Jimly Ashiddiqie, Bagir Manan, et. al, “Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden Secara Langsung”, (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), h. 24
26
B. Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary Organs) Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Bantu di Indonesia yang dirumuskan Dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 ditentukan: “Calon hakim Agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden.” Pasal 24B UUD 1945 menentukan pula bahwa: 1. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan
mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 2. Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum, serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. 3. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 4. Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Ketentuan tersebut kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 34 menentukan: 1. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan Hakim Agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan Undang Undang. 2. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Hakim diatur dalam Undang Undang. 3. Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim Agung dan Hakim pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam Undang Undang.
27
Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat dua tugas Komisi Yudisial yaitu, tugas pertama berkenaan dengan rekruitmen Hakim
Agung, dan
tugas
kedua
berkenaan dengan
pembinaan hakim dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Ketentuan Pasal 24B UUD 1945 menyatakan bahwa Komisi Yudisial “bersifat mandiri”. Ketentuan ini
kemudian dipertegas pada
Pasal 2
Undang Undang Komisi
Yudisial yang menyatakan bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga
negara
yang
bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain. Dari ketentuan tersebut, maka Komisi Yudisial merupakan lembaga yang mandiri (independence). Secara etimologis istilah “mandiri” berarti keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung kepada orang lain. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada tiga pengertian independensi, yaitu: 14 1. Structural Independence yaitu independensi kelembagaan dimana struktur suatu organisasi yang dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali terpisah dari organisasi lain. 2. Functional Independence yaitu dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur kelembagaannya. 3. Financial Independece yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran yang dapat dijamin kemandiriannya dalam menjalankan fungsi.
14
Jimly Asshiddiqie, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi”, Cet, Kesatu (1) , (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2007), h, 79
28
Secara struktural, dapat dikatakan bahwa kedudukan Komisi Yudisial sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap kekuasaan kehakiman. Meskipun secara fungsional terkait dengan kekuasaan kehakiman, tetapi tidak menjalankan fungsi kehakiman. Komisi Yudisal bukanlah lembaga penegak
norma
hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code of ethics). Komisi Yudisial hanya berkaitan dengan persoalan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional. Keberadaannyapun sebenarnya berasal dari lingkungan internal hakim sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim yang terdapat di dalam dunia profesi kehakiman dan lingkungan Mahkamah Agung, artinya sebelumnya fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun untuk lebih menjamin efektifitas kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku hakim, maka fungsinya ditarik ke luar menjadi eksternal auditor yang kedudukannya dibuat sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat dengan pengawasnya. Menimbang pula bahwa Komisi Yudisial merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A, Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B, dan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 Komisi Yudisial berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 berbunyi, “Calon Hakim Agung diusulkan
29
Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Bahwa Masyarakat yang semakin berkembang ternyata menghendaki
negara
memiliki struktur organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka. Demi Terwujudnya efektivitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan
juga menjadi harapan
masyarakat yang ditumpukan kepada negara. Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk serta fungsi lembaga lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority).
15
Lahirnya lembaga lembaga negara baru tersebut, dalam pelaksanaan
fungsinya tidak secara jelas termasuk ke dalam salah satu dari tiga organ negara menurut trias politica. Dalam perkembangannya sebagian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu bukan yang berfungsi utama. Lembaga Negara baru tersebut disebut dengan state auxiliary organ, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang bersifat penunjang. Istilah “lembaga negara bantu” merupakan istilah yang paling umum digunakan, meskipun ada pula yang berpendapat bahwa istilah lain
15
Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Cet. Kesatu (1), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 7-8
30
seperti “lembaga negara penunjang”, “komisi negara independen” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal
dari keinginan negara yang
sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk tuntutan
masyarakat
atas terciptanya
Prinsip-prinsip
demokrasi
menjawab
dalam
setiap
penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya. Menurut Ni’matul Huda Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, mengatakan bahwa aspek kuantitas lembaga-lembaga tersebut tidak menjadi masalah asalkan keberadaan dan pembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai berikut:. 1. Prinsip Konstitusionalisme, Konstitusionalisma adalah gagasan yang menghendaki agar Kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintahan yang ada dapat dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme yang tetap. Dengan demikian, pembentukan lembaga lembaga negara bantu ditujukan untuk menegaskan dan memperkuat prinsip-prinsip konstitusionalisme agar hak hak dasar warga negara semakin terjamin serta demokrasi dapat terjaga. 2. Prinsip checks and balances. Ketiadaan mekanisme checks and balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik pemerintahan pada masa prareformasi telah menghambat proses demokrasi secara
31
sehat. Ketiadaan mekanisme saling kontrol antar cabang kekuasaan tersebut mengakibatkan pemerintahan yang totaliter serta munculnya praktik penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Prinsip checks and balances menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. 3. Prinsip integrasi. Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan yang jelas, konsep kelembagaan negara juga harus membentuk suatu kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsinya. Pembentukan suatu lembaga negara tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dikaitkan keberadaannya dengan lembaga lembaga lain yang telah eksis. Proses pembentukan lembaga lembaga negara yang tidak integral dapat mengakibatkan tumpang-tindihnya kewenangan antar lembaga yang ada sehingga menimbulkan inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan.16 C. Teori Pemisahan Kekuasaan Teori
Pemisahan
Kekuasaan
pertama
kali
dikemukakan
oleh
Locke (1960) yang kemudian dikembangkan oleh Baron de Montesquieu
John (1689-
1755) yang lebih dikenal dengan istilah trias politica. Teori ini dilandasi oleh pemikiran untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan secara absolut di tangan satu orang.
Sebab hal tersebut sangat berpeluang bagi timbulnya
penyalahgunaan kekuasaan (misuse power). Jika kekuasaan yudikatif diletakkan pada penguasa, maka proses peradilan berpotensi besar untuk dijadikan alat untuk mempertahankan kepentingan penguasa. Selanjutnya, jika kekuasaan yudikatif dan kekuasaan legislatif diletakkan pada penguasa maka akan lahir penguasa tirani. 17 Adapun Ajaran Motesquieu yang lebih dikenal dengan sebutan Trias Politica, yang menghendaki pembagian
16
kekuasaan negara dalam tiga bidang pokok yang
Ni’matul Huda, “Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi”, (Yogya karta: UII Press, 2007), h. 202 17 Sumali, “Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu)”, (Malang: UMM Press,2003), h. 9
32
masing masing berdiri sendiri, lepas dari kekuasaan lainnya. Satu kekuasaan mempunyai satu fungsi saja yaitu :18 1. Kekuasaan legislatif, menjalankan fungsi membentuk Undang Undang 2. Kekuasaan eksekutif, menjalankan Undang Undang Pemerintahan 3. Kekuasan yudikatif, menjalankan fungsi peradilan Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini maka tidak ada campur tangan antara organ organ negara terhadap operasional kekuasaan masing masing. Dengan sistem yang demikian di dalam ajaran Trias Politica terhadap suasana checks and balance, di mana di dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara itu terdapat sikap saling mengawasi, saling menguji, sehingga tidak mungkin masing-masing
lembaga
negara
itu melampaui
batas
kekuasaan
yang
ditentukan. Dengan demikian terdapat hubungan kekuasaan antara lembagalembaga negara tersebut.19 Menurut C.S.T Kansil, bahwa negara dapat pula diartikan sebagai suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia-manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan
yang
sama. Pemerintah ini sebagai
alat
untuk
bertindak
demi kepentingan rakyat untuk mencapai tujuan organisasi negara, antara lain kesejahteraan, pertahanan, keamanan, tata tertib, keadilan, kesehatan dan lain-lain. Untuk
dapat
bertindak
dengan
sebaik-baiknya
guna
mencapai
tujuan
tersebut, pemerintah mempunyai wewenang, wewenang mana dibagikan lagi 18
Kotan Y. Stefanus, “Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan, Dimensi Pendekatan Politik Hukum Terhadap Kekuasaan Presiden Menurut UUD 1945”,(Yogyakarta: Atmajaya 1998), h. 29 19 Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1994), h.7
33
kepada alat- alat kekuasaan negara, agar tiap sektor tujuan negara dapat bersamaan dikerjakan. Berkenaan dengan pembagian wewenang ini, maka terdapatlah suatu pembagian tugas negara kepada alat-alat kekuasaan itu.20 Adapun pengertian pembagian kekuasaan berbeda dari pengertian pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisahpisah dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun fungsinya. Kenyataan menunjukkan
bahwa
suatu
pemisahan
kekuasaan
yang murni tidak dapat
dilaksanakan. Oleh karena itu maka pilihan Indonesia jatuh kepada istilah pembagian kekuasaan, yang berati bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa di antara bagian-bagian itu dimungkinkan adanya kerjasama.21 Sedangkan inti dari ajaran trias politica ialah adanya pemisahan kekuasan dalam negara, sehingga dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan negara tidak berada dalam kekuasaan satu tangan. Sementara kekuasaan cenderung bersalah guna (power tends to
corrup).Pemegang kekuasaan ada kecenderungan untuk
menyalahgunakan kekuasaan,
dan
dalam konteks
ini
diperlukan
adanya
pembatasan kekuasaan.22 Undang Undang Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
yang
terkenal dengan naskah yang singkat, apabila dikaji dengan cermat, ternyata tidak menganut 20
h. 88
21
sistem
pemisahaan
kekuasaan. Hal
ini
dapat
dilihat
dari
C.S.T Kansil,“Hukum Tata Negara Republik Indonesia”(Jakarta: Bina Aksara,1986)
Muhammad Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Fakultas Hukum UI 1988) h.140 22 Sri Soemantri “Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia”, (Bandung: Alumni, 1992) , h. 46
34
organisasi maupun sistem pemerintahan negara. Menurut UUD 1945, antara kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak dipisahkan, ketentuan ini dapat dilihat pada pasal 5 ayat Presiden
(1)
UUD
1945
yang
menggariskan
kerjasama
antara
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dengan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam tugas perundang-undangan.23 Walapun dalam selanjutnya dalam perubahan pertama UUD 1945, ketentuan pasal tersebut berubah menjadi ”Presiden berhak mengajukan rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dalam perkembangannya,
tugas
negara
yang
semakin
banyak
dan
kompleks mengakibatkan penerapan teori pemisahan kekuasan (separation of power) sulit dipatuhi secara tajam. Pada zaman modern terjadi saling mengkombinasi antara konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan konsep check and balances. Konsep seperti ini umumnya disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of powers). Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipisah (secara tegas) tetapi hanya dibagi-bagi, sehingga memungkinkan timbulnya overlapping kekuasaan.24 Tidak diragukan lagi bahwa teori trias politica sangat perlu diaplikasikan dalam suatu sistem pemerintahan yang baik. Sejarah ketatanegaraan menunjukkan penerapan teori ini (dengan berbagai variasi) dapat mengantarkan umat manusia ke arah kehidupan yang lebih demokratis sehingga dapat menopang sendi sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat menjamin kelangsungan kehidupan
23 24
Dahlan Thaib, “DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, h.8 Munir Fuady,“Teori Negara Hukum Modern (rechtstaat)”,(Bandung: Refika Aditama, 2009) h.105
35
manusia. Bahkan, penerapan doktrin trias politica merupakan satu satunya pilihan bagi setiap negara yang demokratis, maju dan modern.25 Posisi Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan. Pada saat perumusan pasal mengenai Komisi Yudisial dalam perubahan Undang Undang Dasar 1945, muncul berbagai perdebatan konsepsi tentang posisi Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Diantaranya beberapa catatan yang berkembang dalam perdebatan yaitu sebagai berikut : a. Kekuasaan Kehakiman sebagai kekuasaan yang independen (merdeka) untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Jadi independensi penyelenggaraan peradilan hanya dibatasi oleh hukum dan keadilan itu sendiri. b. Pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka itu adalah : Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kedua lembaga inilah sebagai representasi kekuasaan yudikatif dalam kerangka konsep trias politica. Adapun lembaga-lembaga lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan Undang Undang antara lain Polisi sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut, notaris, advokat dan lain-lain (pasal 24 ayat (3)) UUD 1945). c. Independesi kekuasaan kehakiman tidak dapat diganggu atau dipengaruhi oleh kekuasaan lembaga negara lainnya dan dari pengaruh manapun (eksekutif dan atau Legislatif). Independensi ini hanya dibatasi oleh hukum dan keadilan sendiri. Penghormatan masyarakat terhadap lembaga yudikatif dan kewibawaanya sangat
25
Munir Fuady, “Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat)”, h., 108
36
tergantung pada ketataatan dan konsistensinya dalam menegakkan hukum dan keadilan. d. Dengan dasar pandangan yang demikianlah pada draft perubahan UUD tahun 2000 yaitu padal draft Pasal 25A (Lihat TAP IX/MPR/2000) menghapus kewenangan Komisi Yudisial untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, martabat dan perilaku hakim. e. Pada perkembangan selanjutnya Komisi Yudisial diposisikan berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman. Posisi seperti ini dimaksudkan agar kekuasaan kehakiman itu tidak diganggu atau diintervensi oleh kekuasaan negara yang lain sehingga prinsip-prinsip kebebasan peradilan (independency and impartiality) dari lembaga peradilan. Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, akan tetapi sebagai supporting sistem dalam menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka agar kewibawaan dan kehormatan lembaga peradilan
tetap
terjaga
dan
tidak
kebablasan
karena
kebebasan
dan
kemerdekaannya. Pengawasan oleh Komisi Yudisial adalah bentuk pengawasan eksternal hakim yang mengimbangi pengawasan yang hanya dilakukan oleh Dewan Kehormatan Hakim yang bersifat internal. Karena itulah anggota komisi Yudisial disyaratkan harus mempunyai pengalaman dan pengetahuan di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela (pasal 28B ayat (2) UUD 1945). f. Dalam kerangka konsep seperti ini, Komisi Yudisial dan pelaku kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) harus dapat berjalan bersama untuk membangun kekuasaan kehakiman yang berwibawa. Komisi
37
Yudisial sebagai institusi luar hakim mengawasi dan mengawal perilaku para hakim agar martabat dan kehormatannya tetap terjaga. Diantara institusi dalam lingkungan kekuasaan kehakiman ini tidak dapat saling menjatuhkan atau meminta intervensi kekuasaan lain sehingga dapat merusak independensi lembaga peradilan.
BAB III PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG KONSTITUSIONAL KOMISI YUDISIAL
A. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Kewajiban semua aparat penegak hukum untuk mewujudkan cita hukum secara utuh, yakni terciptanya keadilan, kemanfaatan menurut tujuan dan kepastian hukum. Dari keseluruhan aparat penegak hukum, hakim (termasuk Hakim Agung) memiliki kedudukan yang istimewa. Hakim merupakan tokoh sentral dalam proses pengadilan. Untuk itu, seorang hakim diharapkan mampu memberikan putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat berdasarkan hukum. Agar dapat mewujudkannya, seorang hakim harus memiliki kemampuan hukum (legal skill) dan pengalaman yang memadai; memiliki integritas, moral dan karakter yang baik; mencerminkan keterwakilan dari masyarakat (baik secara ideologis, etinis, gender, status sosial-ekonomi dan sebagainya), memiliki nalar yang baik; memiliki visi yang luas; memiliki kemampuan berbicara dan menulis; mampu mengakkan negara hukum dan bertindak independen dan
imparsial dan memilki
kemampuan administratif yang independen.1 Untuk dapat memperoleh Hakim (Hakim Agung) yang memiliki kriteria kriteria di atas, diperlukan suatu sistem yang baik yaitu melalui suatu sistem rekruitmen, seleksi dan pembinaan yang baik. Sistem rekruitmen yang baik harus mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, right man in right place, 1
Mahkamah Agung RI, 2003, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial., h 28
38
39
obyektivitas, dan sebagainya.2 Sistem rekruitmen tersebut tidak dapat siapa
yang
memiliki kewenangan untuk
terlepas dari
menyeleksi, mengangkat dan bagaimana
proses seleksi tersebut berlangsung. Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat berperan penting dalam terciptanya rekruitmen Hakim Agung yang kredibel. Sistem rekruitmen Hakim Agung memberi pengaruh langsung terhadap kualitas dan tingkah laku Hakim Agung. Apabila sistem rekruitmen hakim agung tidak didasarkan pada norma-norma profesionalitas maupun integritas yang bersangkutan, maka pada akhirnya akan mengakibatkan penyimpangan dalam proses peradilan. Hal ini akan bermuara pada lahirnya putusan hakim yang tidak memenuhi kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Kondisi seperti ini tentu akan berakibat ketidak percayaan masyarakat kepada institusi peradilan. Rekruitmen Hakim Agung harus bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Misalnya, ketika seseorang yang ingin menjadi Hakim Agung harus mengeluarkan biaya yang besar, maka besar kemungkinan selama memangku jabatannya, Hakim Agung tersebut berupaya mengembalikan dana yang telah dikeluarkan sekaligus untuk mencari kekayaan dan memakmurkan diri. Selain itu, sistem rekruitmen Hakim Agung yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui proses fit and proper test harus bersih dari kepentingan politik yang mempengaruhinya.3
2 3
Mahkamah Agung RI, 2003, h. 29 Lawren T.P. Siburian, Jurnal Era Hukum Ilmiah Ilmu Hukum, Edisi No. 3/Th.14/Mei/2007, h. 521-522
40
Apabila kondisi yang demikian tidak tercipta maka prinsip kemandirian hakim dalam negara hukum Indonesia mustahil untuk terwujud. Sebagaimana di kemukakan Pengangkatan Hakim Panel, bahwa independensi kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara salah satunya dapat dilihat dari pola rekruitmen Hakim Agung yang tidak bersifat politis. Sebelum perubahan Undang Undang Dasar 1945, mekanisme usulan, pencalonan dan seleksi Hakim Agung semata-mata berada di tangan Presiden selaku kepala negara. Melihat kenyataan demikian, Jimly Asshiddiqie4 berpendapat bahwa pencalonan keanggotaan Hakim Agung jangan diserahkan secara eksklusif kepada satu lembaga karena dapat mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman. Pada era reformasi terjadi perombakan besar besaran terhadap tataran kekuasaan pemerintahan. Hal ini disebabkan perubahan Undang Undang Dasar 1945 sebanyak empat kali yang mengakibatkan perubahan tatanan pemerintahan berserta lembaga lembaga negara tak terkecuali kekuasaan kehakiman khususnya menyangkut tata cara rekruitmen atau pencalonan Hakim Agung. Konstruksi hukum pasca perubahan Undang Undang Dasar 1945
menentukan
bahwa mekanisme pengusulan calon Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat merupakan wewenang yang dimiliki dan dilakukan oleh Komisi Yudisial.
4
Jimly Asshiddiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”, Cet. Kesatu (1), (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) h. 84
41
Landasan konstitusionalnya merujuk kepada Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi. “Calon
Hakim
Agung
diusulkan
Komisi
Yudisial
kepada
Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.” Landasan pokok selanjutnya, diatur pada Pasal 8 ayat (1), (2), dan
(3) Undang-
Undang Mahkamah Agung. Ayat (1) berbunyi: “ Hakim Agung diangkat oleh Presiden dari calon nama yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat.” Selanjutnya ayat (2) berbunyi: “Calon Hakim Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Kemudian ayat (3) berbunyi: “Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang sejak nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.” Sebagai landasan hukum pelaksanaan pencalonan Hakim Agung diatur pada BAB III Pasal 13 sampai dengan Pasal 20 Undang Undang Komisi Yudisial. Undang undang ini mengatur tata cara pelaksanaan pencalonan Hakim Agung yang digariskan dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Mahkamah Agung. Bertitik tolak dari ketentuan perundang-undangan yang dikemukakan di atas, proses pengangkatan Hakim Agung melibatkan lembaga Komisi Yudisal, DPR, dan Presiden. Sehubungan dengan itu, penulis mencoba membahas lebih lanjut sejauh mana porsi dan batas wewenang masing-masing lembaga tersebut dalam proses pengangkatan Hakim Agung.
42
Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan bebas dari campur tangan pengaruh kekuasaan lainnya. Komisi Yudisial melaksanakan kewenangannya
melakukan
pencalonan Hakim
Agung
yang diperintahkan Pasal
24B ayat (1) UUD 1945. Perintah dan kewenangan mengusulkan pngangkatan hakim agung ditegaskan kembali oleh Pasal 3 huruf a Undang-Undang Komisi Yudisial yang berbunyi:
“Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung
kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, pengusulan
calon
Hakim Agung sepenuhnya diberikan kepada Komisi Yudisial. Tugas yang harus dilaksankan Komisi Yudisial dalam rangka pengusulan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, diatur dalam Pasal 14, 15 , 16, 17, 18, 19, dan 20 Undang-Undang Komisi Yudisal. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a dan Pasal 15 Undang- Undang Komisi Yudisial, dalam rangka pencalonan Hakim Agung maka Komisi Yudisial terlebih dahulu melakukan pendaftaran calon Hakim Agung. Menurut Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Komisi Yudisial bahwa dalam hal terjadi peristiwa berakhir masa jabatan seorang atau beberapa Hakim Agung, maka Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, hal itu harus disampaikan Mahkamah Agung kepada Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat enam bulan sebelum berakhir masa jabatan tersebut. Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a jo. Pasal 14 ayat (2) yang menyatakan befungsinya kewenangan Komisi Yudisial melakukan pendaftaran calon Hakim
43
Agung setelah adanya pemberitahuan dari Mahkamah Agung tentang adanya Hakim Agung
yang akan
berakhir
masa
jabatannya, Pemberitahuan Mahkamah Agung
tersebut harus dilakuakan paling lambat enam bulan sebelum berakhirnya masa jabatan tersebut. Hal ini berarti bahwa selama belum ada pemberihtaun dari Mahkamah Agung tentang lowongan jabatan Hakim Agung yang timbul sebagai akibat dari adanya masa jabatan Hakim Agung yang akan
berakhir,
Komisi
Yudisial
tidak
dapat
mengajukan pengangkatan caon Hakim Agung. Berdasarkan Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang
Komisi
Yudisial, digariskan
tindak lanjut yang harus dilakukan Komisi Yudisial setelah mendapat pemberitahuan dari Mahkamah Agung tentang adanya lowongan Hakim Agung, yaitu (a) paling lambat dalam jangka waktu lima belas hari sejak menerima pemberitahun dari Mahkamah Agung, Komisi
Yudisial mengeluarkan pengumuman pendaftaran calon Hakim
Agung dan (b) pengumuman tersebut dilakukan selama lima belas hari berturut-turut. Menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial disebutkan bahwa yang dimaksud dengan berturut-turut dalam ketentuan ini adalah pengumuman yang dilakukan secara terus-menerus di tempat pengumuman Komisi Yudisial dan dapat pula diumumkan dalam media massa paling sedikit dua kali. Selanjutnya, Pasal 15 ayat (2) mengatur siapa atau pihak mana saja yang dapat atau berhak mengajukan calon hakim agung, antara lain: a. Mahkamah Agung, b. Pemerintah, c. Masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, sepanjang mengenai Mahkamah Agung tidak ada masalah. Akan tetapi, mengenai Pemerintah terkandung pengertian yang kabur (vague)
44
atau mendua (ambiguity). Apakah yang dimaksudkan pasal ini adalah Presiden atau menteri tertentu. Berpedoman pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, yang melaksanakan kekuasaan pemerintah adalah Presiden. Dalam melaksanakan pemerintahan menurut ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Bertitik tolak pada ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Presiden maupun menteri berwenang mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial. Dalam hal menteri yang dianggap memiliki kewenangan untuk itu adalah menteri yang berkaitan dengan dengan masalah penegakan hukum yaitu Menteri Hukum dan HAM. Berkenaan dengan pengertian masyarakat, dapat juga menimbulkan persoalan. Hal ini disebabkan rumusan Pasal 15 ayat (2) hanya menyebutkan kata “masyarakat” tanpa disertai penjelasan yang lengkap tentang apakah yang dimaksud masyarakat
itu. Apakah
pengertian
masyarakat
dengan
adalah masyarakat dalam arti
individu atau perseorangan. Atau, apakah harus berbentuk kelompok Namun apabila mengacu kepada maksud dari rumusan pasal tersebut, kata “masyarakat” mencakup pengertian anggota masyarakat secara individual maupun sebagai kelompok. Dengan demikian, orang perorangan dapat mencalonkan dirinya sendiri kepada Komisi Yudisial. Jangka waktu pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial oleh Mahkamah Agung, pemerintah maupun masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal 15 ayat (3) Undang Undang Komisi Yudisial dilakukan dalam jangka waktu lima belas hari sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung dikeluarkan
45
Komisi Yudisial. Apabila lewat dari jangka waktu yang tersebut, pengajuan tersebut tidak dapat diterima. Pengajuan Hakim Agung kepada
Komisi
Yudisial
harus
memperhatikan
persyaratan untuk dapat diangkat sebagai hakim agung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.5 Syarat formil dan materil diatur dalam Pasal 7 Undangundang Mahkamah Agung yang meliputi Hakim Agung karir dan Hakim Agung non karir. Pada ayat (1) menentukan syarat seorang hakim agung karir, antara lain: a. Warga Negara Indonesia, b.
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, c. Berijazah Sarjana
Hukum yang mempunyai keahlian dibidang hukum, d. Berusia sekurang kurangnya lima puluh tahun, e. Sehat jasmani dan rohani; f. Berpengalaman sekurang kurangnya dua puluh tahun menjadi hakim termasuk sekurang-sekurangnya tiga tahun menjadi hakim tinggi. Terhadap persyaratan di atas, menurut M. Yahya Harahap. Pembatasan usia calon Hakim Agung yakni berusia sekurang kurangnya lima puluh tahun dianggap kurang realistis dan kurang objektif.6 Menurutnya, pada konsep semula dalam Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial adalah 45 tahun. Usulan tersebut didasarkan pada pertimbangan dan pengalaman bahwa pada umur 45 tahun, seorang Hakim sudah matang apabila dia cakap serta telah menduduki jenjang karier mulai dari Hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri sampai ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi. Idealnya, perekrutan Hakim Agung didasarkan kepada gabungan antara
faktor kecakapan
dengan kemampuan, bukannya mengutamakan faktor senioritas. 5
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial M. Yahya Harahap, “Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 28 6
46
Selanjutnya pada Pasal 7 ayat (2) mengatur syarat bagi Hakim Agung non karier, antara lain: a. Memenuhi syarat yang disebut pada Pasal 7 ayat (1) huruf a (Warga Negara Indonesia), huruf b (bertaqwa kepada Tuhan Yang MAha Esa), huruf c (berusia sekurang-kurangnya lima puluh tahun), dan huruf d (sehat jasmani dan rohani). b. Berpengalaman
dalam
profesi
hukum
dan/atau
akademisi
hukum
sekurang-kurangnya 25 tahun; c. Berijazah magister dalam bidang ilmu hukum dengan dasar Sarjana Hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum.7 d. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Mengenai syarat administratif diatur pada Pasal 16 ayat (2) UndangUndang Komisi Yudisial yang menegaskan pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi
Yudisial
harus
memenuhi
persyaratan
administratif
dengan jalan
menyerahkan sekurang-kurangnya: a. Daftar riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan, b. Ijazah asli atau yang dilegalisasi, c. Surat keterangan sehat dan rohani dari dokter rumash sakit pemerintah, d.
jasmani
Daftar harta kekayaan serta
sumber penghasilan calon, e. Nomor Pokok Wajib Pajak.
7
Berdasarkan penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf c, yang dimaksud dengan “sarjana lain” dalam ketentuan ini adalah Sarjana Syariah dan Sarjana Kepolisian
47
Setelah jangka waktu pengajuan Hakim Agung yang digariskan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Komisi Yudisial berakhir yakni lima belas hari
dari tanggal
pengumuman pendaftaran penerimaan calon Hakim Agung, maka menurut Pasal 14 ayat
(1) huruf b Undang-Undang Komisi Yudisial,
tugas selanjutnya adalah
melakukan proses seleksi dengan proses berikut: a. Komisi Yudisial mengumumkan daftar nama calon Hakim Agung yang telah memenui syarat.8 b. Komisi Yudisial melakukan penelitian atas informasi atau pendapat masyarakat tehadap calon Hakim Agung. c. Menyelenggarakan seleksi kualitas dan kepribadian calon Hakim
Agung
secara terbuka.9 d. Mewajibkan calon Hakim Agung menyusun
karya ilmiah yang dipertanggung jawabkan kepada dan di hadapan Komisi Yudisial. Apabila tahapan seleksi di atas telah selesai dilaksanakan, maka tugas selanjunya menurut kententuan Pasal 18 ayat (5)
Jo. Pasal 14 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Komisi Yudisial adalah menetapkan calon Hakim Agung yang dilakukan Komisi Yudisial paling lambat lima belas hari terhitung sejak seleksi kualitas dan kepribadian selesai atau berakhir. Menurut ketentuan Pasal Pasal 18 ayat (5), untuk setiap satu calon Hakim Agung Komisi Yudisial menetapkan tiga orang calon Hakim Agung. Hal ini bertujuan untuk memperoleh calon Hakim Agung yang ideal. Namun, apabila jumlah tersebut tidak terpenuhi, apakah jangka waktu pencalonan diperpanjang sampai jumlah tersebut terpenuhi Atau, apakah pencalonan dihentikan karena tidak memenuhi jumlah tersebut sampai jangka waktu yang ditentukan berakhir.
8 9
Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Pasal 17 ayat (3) Jo. Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
48
Apabila bertitik tolak dari pendekatan efisiensi dan urgensi yang dikaitkan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial, maka dari segi efisiensi, proses seleksi kualitas dan kepribadian dan penetapan calon Hakim Agung harus terus dilanjutkan meskipun yang mendaftar tidak memenuhi jumlah yang ditentukan oleh Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Komisi Yudisial. Begitu pula dari segi urgensitas,memperpanjang pendaftaran yang digariskan Pasal 15 ayat
(3)
Undang-Undang Komisi Yudisial atau mengulang pendaftaran baru berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang Undang Komisi Yudisial akan mengganggu dan memperlambat pengisian jabatan Hakim Agung yang lowong dan hal ini akan mengganggu pelaksanaan fungsi Mahkamah Agung. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang Undang Komisi Yudisial, bahwa dalam jangka waktu lima belas hari, Komisi Yudisial
harus sudah
menetapkan calon Hakim Agung dan mengusulkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tembusan usulan kepada Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan kepada Presiden. Tahapan ini merupakan tugas terakhir Komisi Yudisial dalam proses pencalonan Hakim Agung. Tugas selanjutnya proses pencalonan Hakim Agung beralih ke Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Undang Undang Komisi Yudisial yang menggariskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat harus menetapkan calon Hakim Agung paling lambat dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak diterimanya usulan calon Hakim Agung dari Komisi Yudisial. Yang dimaksud dengan jangka waktu tiga puluh hari dalam ketentuan tersebut adalah hari persidangan tidak termasuk masa reses. Masih dalam jangka waktu tiga puluh hari tersebut,
49
Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan calon Hakim Agung yang ditetapkan tersebut kepada Presiden. Pasal 19 ayat (1) Undang Undang Komisi Yudisial tidak menentukan berapakah calon Hakim Agung yang dapat diajukan kepada Presiden. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa Komisi Yudisial Agung
menetapkan tiga orang calon Hakim
kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Apakah Dewan Perwakilan Rakyat
berwenang atau dapat mengurangi jumlah tersebut, Sebagai contoh, Komisi Yudisial mengusulkan tiga orang calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial untuk mengisi satu jabatan Hakim Agung yang lowong. Apakah Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengurangi menjadi dua atau satu calon saja. Atau, tetap mengajukan ketiga calon tersebut kepada Presiden. Apabila mengacu kepada ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang Undang Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat dapat saja mengajukan satu calon saja kepada Presiden. Namun hal ini dianggap sebagai tindakan yang bersifat fait accompli, yakni proses pencalonan Hakim Agung telah selesai atau tuntas dimana Presiden hanya tinggal menetapkan pengangkatan Hakim Agung saja. Terlepas dari tindakan tersebut bersifat fait accompli, tindakan Dewan Perwakilan Rakyat yang demikian tidak bertentangan dengan ketentua Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial. Proses selanjutnya diatur dalam Pasal 19 ayat (2) yang berbunyi: “Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat”. Sebagaimana telah dijelaskan
50
dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945. Calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada
Presiden
untuk mendapatkan persetujuan,
dan selanjutnya
ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden. Begitu pula Pasal
8 ayat (1)
Undang Undang Mahkamah Agung menegaskan Hakim Agung diangkat oleh Presiden dari nama nama yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan Demikian gambaran pelaksanaan rekruitmen Hakim Agung yang melibatkan beberapa lembaga negara. Pendaftaran pencalonan melibatkan Komisi Yudisial pemerintah
dan
Mahkamah Agung. Selanjutnya melibatkan
Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat
dan
Presiden. Dari keseluruhan
Komisi tahapan
tersebut, diharapkan akan dapat dihasilkan Hakim Agung yang memiliki kualitas dan kepribadian yang ideal serta memiliki integritas dan profesionalisme yang solid. B. Menegakkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat serta Menjaga Perilaku Hakim Selain mengusulkan pengangkatan Hakim Agung, Pasal
24B UUD 1945 juga
menggariskan bahwa Komisi Yudisial “memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Secara esensial, kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim merujuk kepada kode etik (code of ethics) dan pedoman perilaku Hakim (code of conduct) yang menjadi panduan keutamaan bagi para Hakim baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan diluar kedinasan.10
10
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/104A/SK/XII /2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim, h.57
51
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kode etik (code of ethics) dan pedoman perilaku Hakim (code of conduct) ditegakkan, Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, bahwa Komisi Yudisial diberikan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya ketentuan ini dijabarkan dalam Undang-Undang Komisi Yudisial sebagai bentuk pengawasan terhadap hakim. Ketentuan tentang pengawasan ini diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 Undang Undang Komisi Yudisial. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisial “Hakim adalah
Hakim Agung
dan Hakim pada
badan Peradilan di semua
lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Namun, menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Uji Materil Undang-Undang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi tidak sependapat dengan rumusan Pasal 1 angka 5 tersebut. Dalam pertimbangnnya tentang hal ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidaklah termasuk dalam kategori sebagai hakim yang merupakan objek pengawasan Komisi Yudisial. Beberapa alasan
yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengawasan Komisi
52
Yudisial sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisial adalah: 1. Dari
sistematika
penempatan
ketentuan
mengenai
Komisi
Yudisial
Sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai
Komisi Yudisial
UUD
pernah dimaksudkan untuk mencakup
1945
memang
tidak
dalam
Pasal
24B
pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945. 2. Dalam
ketentuan
Undang
Undang
Mahkamah
Konstitusi
dan
Undang Undang Kekuasaan Kehakiman yang dibentuk sebelum pembentukan Undang Undang Komisi Yudisial. Dalam Undang Undang Mahkamah Konstitusi, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi ditentukan adanya lembaga majelis kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sama sekali tidak
53
menentukan bahwa hakim konstitusi menjadi objek pengawasan oleh Komisi Yudisial. 3. Berbeda halnya dengan hakim biasa, hakim konstitusi pada dasarnya bukanlah Hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Hakim konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan hakim konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. 4. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran Komisi Yudisial sama sekali. 5. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh Komisi Yudisial, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat
bersikap imparsial,
khususnya apabila dalam praktik timbul
persengketaan kewenangan antara Komisi Yudisial dengan lembaga lain.11 Mahkamah
Konstitusi
juga
berpendapat
bahwa
kewenangan
pengawasan Komisi Yudisial bukan untuk mengawasi lembaga peradilan, melainkan untuk menjaga dan menegakkan perilaku hakim sebagai individu. Selain itu, hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bukanlah untuk menerapkan prinsip checks and balances karena hubungan semacam ini hanya terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation
11
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, h. 173-176
54
of power). Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
merupakan lembaga
yang berada dalam satu kekuasaan yang sama, dalam hal ini kekuasaan kehakiman
yudikatif.
Namun, Komisi Yudisial bukanlah pelaksana dari
kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial berperan dalam pengusulan calon Hakim Agung, sedangkan fungsi pengawasan penuh tetap dipegang oleh Mahkamah Agung. Akan tetapi, dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim ini, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
harus
bekerja sama erat dalam hubungan kemitraan. Dalam model pengawasan pelaksanaan tugas para hakim, dilakukan melalui dua jenis pengawasan, yaitu: pertama, pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah Agung. Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, secara internal Mahkamah Agung dapat membentuk Badan Pengawas di tingkat pusat pada lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Pengawas di tingkat daerah pada masing-masing Peradilan Tingkat Banding, pelaksanaan tugasnya dibawa Mahkamah
Agung.
pimpinan
Ketua
Muda
yang dalam Pengawasan
Kedua, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh
komisi independen dalam hal ini dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dalam menjalankan fungsi pengawasan hakim berdasarkan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mengawasi perilaku Hakim dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat. Subyek terlapor adalah Hakim. Untuk memperoleh kepastian benar tidaknya laporan, Komisi Yudisial meminta
55
keterangan dari terlapor melalui surat panggilan. Hasil keterangan dibuat berita acara yang ditandatangani oleh terlapor dan anggota Komisi Yudisial. Selanjutnya dilakukan analisis dan pembahasan dalam rapat pleno. Agenda rapat pleno untuk menentukan benar tidaknya laporan masyarakat dan apakah Hakim melanggar prinsip penting yang melekat pada jabatan dan tugas Hakim, yaitu: kode etik dan pedoman perilaku Hakim (code of conduct), prinsip imparsialitas dan profesionalitas hakim. Dari mekanisme ini, tahapan
pemeriksaan terhadap hakim adalah penting dan menentukan,
apakah laporan masyarakat benar atau salah. Apabila terbukti ada unsur pelanggaran atas prinsip-prinsip di atas, Komisi Yudisial mengajukan rekomendasi sanksi terhadap Hakim terlapor. Rekomendasi diajukan kepada ketua Mahkamah Agung dengan tembusan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.12 Perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Yudisial tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam melaksanakan perannya sebagai pengawas hakim, Komisi Yudisial wajib menaati norma, hukum dan ketentuan peraturan perundangundangan, serta menjaga kerahasian keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia
Komisi Yudisial
yang
diperoleh
kedudukannya sebagai anggota Komisi Yudisial.13
12 13
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial Pasal 22 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
berdasarkan
56
Dalam hal pemanggilan dan meminta keterangan Hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku Hakim, harus didasarkan pada kode etik dan pedoman perilaku Hakim (code of conduct) yang telah ditetapkan Kode etik dan pedoman perilaku Hakim (code of conduct) yang konkret ini menjadi sebuah standar atau tolak ukur dalam melaksanakan pengawasannya. Keseluruhan tindakan pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial berujung pada pemberian rekomendasi kepada organisasi profesi yaitu Mahkamah Agung. Berkaitan dengan pasal pasal penjatuhan sanksi atas pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku Hakim dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung. Dalam menjalankan peranannya untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim, Komisi Yudisial diberikan wewenang untuk dapat
mengusulkan kepada Mahkamah
Agung untuk
memberikan penghargaan kepada Hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku Hakim. Undang Undang Komisi Yudisial tidak secara eksplisit memberikan kriteria perilaku Hakim yang bagaimanakah yang dianggap layak untuk diusulkan memperoleh penghargaan. Akan tetapi kriteria penilaian prestasi Hakim tidak lepas dari pedoman perilaku Hakim (code of conduct), yaitu: berprilaku adil, berprlaku jujur, berprilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati dan bersikap profesional.
57
C. Tugas dan Kewenangan Komisi Yudisial Untuk menjelaskan tugas dan kewenangannya. Komisi Yudisial bekerja berdampingan dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, bahkan dengan pemerintahan ataupun dengan lembaga perwakilan rakyat. 14 Karena jika komisi Yudisial mengambil jarak dengan pemerintah atau parlemen, Komisi Yudisial tidak akan menjadi alat politik para politisi, baik di eksekutif maupun legislatif, pemerintah ataupun lembaga perwakilan rakyat untuk mengawasi dan mengintervensi kekuasaan kehakiman. Keindependenan Komisi Yudisial bukan berarti menghilangkan sifat tanggung jawab terhadap Undang Undang. Namun sebaliknya, Komisi Yudisial bertanggung jawab sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang. Ketentuan Bab III Pasal 13 huruf a Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, lembaga ini memiliki kewenangan antara lain, mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Kemudian dalam melaksanakan tugasnya sebgaimana tercantum dalam pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Selanjutnya pasal 21 disebutkan, bahwa Komisi Yudisial untuk
melaksanakan
kepentingan
pelaksanaan
kewenangan
sebagaimana
dimaksud pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul
14
A. Salman Magalatung “ Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, (Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h.135
58
penjatuhan sanksi terhadap Hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.15 Untuk melaksanakan wewenang sebagaimana termaktub dalam pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Hal tersebut diajukan kepada pimpinan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak setuju dengan pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, yaitu pengawasan terhadap hakim dibawah lingkungan mahkamah agung dan Mahkamah konstitusi Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Kemudian Undang Undang Komisi Yudisial di Judicial
Review
oleh
Mahkamah
Konstitusi
telah
menyatakan
Inskonstitusionalitas yang tertuang dalam pasal 20, 21, pasal 22, pasal 23, pasal 24, dan pasal 25 Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mengenai paying hukum wewenangan pengawasan Komisi Yudisial. Ada dua dalam Undang Undang Nomor 22 tahun 2004 Komisi Yudisial yang dinyatakan bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi dalam hal pengawasan, yaitu pertama hakim konstitusi tidak termasuk hakim yang perilaku etikanya harus diawasi oleh Komisi Yudisial. Kedua, Komisi Yudisial tidak lagi mempunyai wewenang pengawasan.16
15 16
A. Salman Magalatung “ Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, h.136 A. Salman Magalatung “ Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, h.137
59
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas: a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung c. Menetapkan calon Hakim Agung d. Mengajukan calon hakim agung ke DPR Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut. Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima pemberitahuan mengenai lowongan Hakim Agung, Komisi Yudisial mengumumkan pendaftaran calon Hakim Agung selama 15 (lima hari) berturut turut.17 Mahkamah Agung, Pemerintah dan Masyarakat dapat mengajukan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial. Dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya masa pengajuan calon, Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon Hakim Agung. Komisi Yudisial mengumumkan daftar nama calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari. DPR telah menetapkan calon Hakim Agung untuk diajukan kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterima calon. Keputusan Presiden mengenai pengangkatan 17
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil “ Hukum Tata Negara Republik Indonesia” Cet. Pertama Edisi Revisi 2 (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h.195
60
Hakim Agung ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan DPR18
18
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil “ Hukum Tata Negara Republik Indonesia” Cet. Pertama Edisi Revisi 2, h.196
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 43/PUU-XIII/2015
A. Duduk Perkara Pada tanggal 23 Maret 2015 memberi kuasa kepada: Dr. H M Fauzan, SH, MH. Lilik Mulyadi, SH, MH. Teguh Satya Bhakti, SH, MH dalam hal ini mereka bertindak sebagai pengurus pusat IKAHI dan atas nama pemberi kuasa beralamat di Mahkamah Agung Jalan Merdeka Utara Nomor 9-13 Jakarta Pusat.1 Permohonan yang diterima kepada Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 2015 dengan registrasi perkara Nomor 43/PUUXII/2015 Permohonan tersebut telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah konstitusi Republik Indonesia pada tanggal 29 April 2015 .2 Pemohon memohonkan kepada Mahkamah konstitusi untuk melakukan pengujian pasal 13A ayat 2, Ayat 3 dan 14A ayat (2) Ayat (3) undang undang tentang Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara. Yang berbunyi selengkapnya pada pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) Undang undang nomor 49 tahun 2009 Ketentuan Ayat (2) berbumyi “Proses Seleksi Pengangkatan Hakim Pengadilan Negeri dilakukan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, dan Ayat 3nya berbunyi “Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. sedangkan pasal 13A ayat 2, ayat 3 undang undang nomor 50 tahun 2009 ketentuan ayat 2 berbunyi “ Proses selesksi pengangkatan Hakim Agama dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. dan Ayat 3 nya berbunyi 1 2
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.3
61
62
“Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” dan Pasal 14A ayat 2, ayat 3 undang nomor 51 tahun 2009 ketentuan ayat 2 berbunyi “Proses pengangkatan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” dan ayat 3 berbunyi “ Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi yang diatur bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial” . Bahwa dengan ketentuan ketentuan tersebut diatas3 telah mengurangi hak konstitusional para pemohon khususnya dalam mengusulkan promosi/mutasi hakim yang baik dan berprestasi, Menjaga dan mempertahankan prinsip peradilan yang bebas dan mandiri, Membina dan meningkatkan kemampuan hakim untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban memeriksa, mengadili dan memutus perkara secara baik, serta menjaga kemerdekaan dan independensi peradilan untuk kepentingan seluruh warga negara pencari keadilan (Justitiabelen). B. Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi 1. Kewenangan Mahkamah Kehadiran Komisi Yudisial di Indonesia didasari pemikiran bahwa hakim agung yang duduk di Mahkamah Agung dan para Hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan menegakkan hukum dan keadilan. Apalagi Hakim Agung duduk pada tingkat peradilan tertinggi dalam susunan peradilan. Sebagai negara hukum, masalah
keluhuran
martabat,
serta
perilaku
seluruh
Hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk mendukung upaya menegakkan peradilan yang 3
handal
dan
realisasi
paham
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.10
Indonesia adalah negara hukum.
63
Melalui Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat diwujudkan
lembaga peradilan yang
sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan Hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.4 Berdasarkan Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 menyebutkan Komisi Yudisial dibentuk dengan kewenangan: 1. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung. 2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Untuk mengemban dua amanat
tersebut, Komisi Yudisial harus bersifat mandiri atau independen dari
pengaruh pengaruh di luarnya khususnya kekuasaan kehakiman. Dua hal yang patut diperhatikan adalah kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.5 Kalau melihat rumusan Pasal 24 B Perubahan Ketiga UUD 1945 Komisi Yudisial termasuk ke dalam lembaga negara non pemerintah setingkat Presiden dan bukan lembaga negara tambahan (state auxiliary agency), karena dua alasan sebagai berikut : 1. Berbeda dengan komisi-komisi yang lain, kewenangan Komisi Yudisial diberikan langsung oleh UUD 1945, yaitu Pasal 24 B 2. Berbeda dengan komisi komisi yang lain, Komisi Yudisial merupakan Bagian dari kekuasaan kehakiman, bukan dari kekuasaan eksekutif, karena pengaturannya ada dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdapat dalam UUD 1945. 3. Tidak dapat dipungkiri Komisi Yudisial merupakan salah satu bagian dari paket reformasi
4
peradilan
mengingat
berbagai
sorotan buruk terhadap kinerja
Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, “Panduan dalam Memasyarakatkan UUD Negara RI Tahun 1945”, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR Rl, 2003), h. 195 5 A. Ahsin Thohari.“ Komisi Yudisyal di Indonesia dan Relevansinya dengan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka”,(Jakarta: Jurnal Keadilan Vol 3 No.6, Center for Law and justice studies, 2004), h. 37
64
tembaga peradilan di Indonesia, yang bukan hanya pada tingkat Mahkamah Agung saja, tetapi juga Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Berdasarkan pertimbangan
tersebut
di
atas,
menurut
Mahkamah, sistem
peradilan yang diamanatkan dan dikehendaki oleh konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yang tugasnya tidak saja sekadar menegakkan hukum, tetapi sekaligus menegakkan keadilan telah terpenuhi. Dengan sistem dan mekanisme seperti itu, pencari keadilan telah dilindungi dalam mendapatkan hakim yang bebas dan tidak memihak. 6 2. Kedudukan Hakim (Legal Standing) Pemohon Memperhatikan dalil dalil permohonan Pemohon, hal yang dipersoalkan Pemohon I adalah tentang permohonan Pemohon a quo, menurut DPR berpandangan bahwa para Pemohon I harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan kewenagan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji, khususnya untuk mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan kewengan dan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Berdasarkan hal tersebut.7 alasan Pemohon I telah memenuhi ketentuan pasal 51 ayat 1 huruf a undang undang mahkamah konstitusi tersebut bukanlah persoalan konstitusionalitas karena sebagai perseorangan warga negara Indonesia tidak ada satupun hak dan kewenangan konstitusional Pemohon I dihilangkan. Hak kewenagan konstitusional Pemohon I dihilangkan jika proses seleksi pengangkatan Hakim Pengadilan Negeri atau Hakim Pengadilan Agama atau Hakim Pengadilan Tata Usaha 6 7
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.117 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.68
65
Negara hanya dilakukan oleh komisi Yudisial. Akan tetapi, pasal pasal yang dimohonkan judicial review tetap melindungi hak dan kewenangan konstitusional pemohon I karena proses seleksi pengangkatan Hakim Pengadilan Agama dilakukan bersama sama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Dengan Demikian Hak Konstitusional Pemohon I justru telah dilindungi oleh adanya pertimbangan Komisi Yudisial sebagai wujud pertimbangan atau check and balance dalam pengambilan keputusan. Pemohon II sebagai badan hukum privat yang sangat peduli dengan isu utama dari permohonan a quo adalah batas konstitusional terkait pengusulan Hakim Agung dan wewenang Komisi Yudisial untuk terlibat bersama dengan Mahkamah Agung dalam proses seleksi Hakim pada Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara merupakan implementasi lebih lanjut dari pengaturan pasal 25 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan Undang Undang.8 Sehingga Mahkamah berpendapat pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pemohon dalam permohonan a quo. 3. Pokok Permohonan Bahwa pokok permohonan Pemohon II mengenai ketentuan
a quo Nomor
49/2009 juncto UU Nomor 50/2009 juncto UU Nomor 51/2009 , Menurut Pemohon II telah menimbulkan ketergantungan Mahkamah Agung kepada Komisi Yudisial dalam hal
8
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.73
66
seleksi pengangkatan Hakim pada Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara.9 Sehubungan dengan dalil para permohonannya pada Pemohon II Bahwa salah satu pokok perubahan yang mendasar ialah penempatan tiga aspek organisasi, administratif, dan finansial kekuasaan kehakiman menjadi satu atap di Mahkamah Agung. Sebelumnya, secara administratif ada dibawah kendali Departemen Kehakiman. Sedangkan secara teknis yudisial, berada dalam kekuasaan Mahkamah Agung. Konsep ini lebih dikenal dengan sebutan penyatu atapan kekuasaan kehakiman (One Roof Of Justice System). Dengan demikian berdasarkan pertimbangan tersebut, 10 pembentuk Undang Undang mengeluarkan ide untuk membentuk lembaga pengawas eksternal yang diberi tugas menjalankan fungsi checks and balances dalam rangka mengawasi peradilan yang diharapkan berjalan dengan transparan, akuntabel dan imparsial, serta mengedepankan aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Berdasarkan amanat ketentuan Pasal 24A dan Pasal 24B UUD 1945, terbentuklah Komisi Yudisial sebagai lembaga yang bersifat mandiri yang dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. C. Analisis Komisi Yudisial dibentuk atas kesepakatan bangsa, direpresentasi kan oleh MPR, yang dituangkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
9
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.74 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.77
10
67
sebagai bagian dari solusi untuk mengatasi dunia peradilan yang harus diakui dan tercatat dengan jelas di dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia. Komisi Yudisial bersama sama dengan Mahkamah Agung dalam melakukan proses seleksi pengangkatan Hakim merupakan kewenangan yang diberikan oleh pembentuk Undang Undang (lembaga legislatif) melalaui tiga Undang undang dalam bidang terkait dengan kekuasaan kehakiman setelah memilih berbagai alternatif yang tersedia secara konstitusional dan legal. Di dalam Hukum Konstitusi pembentuk Undang Undang boleh menentukan Isi Undang Undang yang dianggap penting dan baik, apapun isinya, sepanjang tidak melanggar atau bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.11 Menurut Mohammad Mahfudz MD Kewenangan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi dalam Undang Undang Dasar kaitannya memiliki peran penting dalam beberapa pernyataan diantaranya:12 1. Jika ada Undang Undang atau sebagian isinya yang tidak disukai oleh beberapa pihak, tetapi isi undang tersebut tidak melanggar atau tidak bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, Maka Mahkamah Konstitusi tidak boleh membatalkannya. 2. Jika membatalkan Undang Undang atau sebagian Isinya yang sebenarnya merupakan area opened legal policy, maka berarti Mahkamah Konstitusi sudah masuk dan ikut campur kedalam ranah legislatif
11 12
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.54 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015, h.55
68
3. Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga legislatif melainkan lembaga yudikatif dengan kewenangan kewenangan, antara lain Konstitusionalitas Undang Undang terhadap Undang Undang. 4. Undang Undang itu yang tidak disukai orang itu berbeda dengan Undang Undang yang melanggar atau bertentangan dengan Undang Undang Dasar, Undang Undang yang tidak disukai orang belum tentu bertentangan dengan Undang Undang Dasar, adakalanya disukai atau tidak disukai itu hanya menyangkut selera dan kepentingan. 5. Mahkamah Konstitusi hanya boleh membatalkan Undang Undang atau sebagian isinya yang melanggar atau bertentangan dengan Undang Undang Dasar dan tidak boleh membatalkan Undang Undang atau sebagian isinya yang hanya tidak disukai oleh sekelompok orang padahal yang dipersoalkan bersifat opened legal policy yang sebenarnya tujuannya baik. 6. Kalau Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang Undang atau sebagian isinya yang bersifat opened legal policy maka bisa diartikan Mahkamah Konstitusi sudah menabrak konstitusi dan menjelmakan dirinya bukan hanya sebagai lembaga yudikatif melainkan sudah memposisikan dirinya sebagai lembaga legislatif 7. Kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan proses seleksi Pengangkatan Hakim bersama Mahkamah Agung merupakan ketentuan yang lahir dari opened legal policy lembaga legislatif yang tujuannya sangat baik yakni membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka, kuat, profesional yang didukung oleh Hakim Hakim yang berintegritas, jujur, bersih dan berani.
69
Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 telah menghapuskan
kewenangan
Komisi
Yudisial
dalam
proses
seleksi
pengangkatan Hakim di Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara, Proses melalui pengangkatan Hakim tingkat pertama menjadi kewenangan Mahkamah Agung tanpa melibatkan Komisi Yudisial. Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUUXIII/2015 bahwa para pemohon menyatakan bahwa norma a quo tersebut bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 berkaitan dengan pasal pasal berikut diantaranya Pasal 24A ayat 1 “Kekuasaan Kehakiman kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan” Pasal 24B ayat 1“Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulakan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga serta menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim” . Pasal 28D ayat 1 “Setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di depan hukum”. Dalam hal ini, Pihak Terkait memiliki beberapa dalil serta dasar dasar permohonan dalam hal pengujian pasal a quo tidaklah bertentangan dengan pasal 24A ayat 1, pasal 24B ayat 1, dan Pasal 28D ayat 1 Undang Undang Dasar 1945. 13
13
Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.85
70
Adapun Peran Komisi Yudisial memiliki amanat yang penting dalam proses seleksi Hakim Agung diantaranya : Peran Komisi Yudisial dalam proses seleksi Hakim Agung pada pasal 24A ayat 1 tidak melanggar prinsip kekuasan kehakiman yang merdeka. Bahwa proses seleksi calon Hakim
tidak
dapat
dikatakan
sebagai
intervensi
terhadap kekuasan kehakiman yang merdeka karena dalam Pasal 1 angka 2 dan angka 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah pelaku kekuasaan kehakiman dalam proses seleksi serta pemilihan Hakim Agung yang dilakukan melibatkan Komisi Yudisial dan DPR tidaklah dipandang sebagai proses yang mencederai atau mengekang kebebasan kemerdekaan institusional lembaga peradilan yang tercermin dalam kebebasan para hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, seperti yang didalilkan oleh para Pemohon. Demikian pula dengan proses seleksi, serta pemilihan hakim konstitusi yang dipilih dengan berdasarkan representasi dari lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahwa independensi hakim agung serta hakim konstitusi tidak terganggu dengan mekanisme seleksi, serta
pemilihan
seperti
yang
telah
dijelaskan di atas, sehingga alasan para Pemohon yang mengatakan bahwa pasal a quo bertentangan dengan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tidak beralasan menurut hukum, sehingga pihak terkait menyatakan bahwa tidak ada pertentangan norma antara pasal a quo dengan Pasal 24 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945.
71
Peran Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan Hakim yang diatur
dalam
pasal
a
quo
sudah
dengan konstitusi.14
sesuai
Bahwa
berdasarkan Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dikatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan
mempunyai
wewenang
lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim. Jadi konstitusi telah memberikan wewenang yang luas kepada Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku Hakim dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku
hakim, hal ini harus dimaknai termasuk melakukan seleksi pengangkatan hakim agar dapat memenuhi kriteria hakim yang berkualitas, berintegritas, serta bernurani keadilan. Bahwa jelas peran
Komisi
Yudisial
dalam
proses
seleksi
pengangkatan Hakim adalah merupakan amanat dari konstitusi, di mana Komisi Yudisial diberikan wewenang lain dari konstitusi dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku Hakim bahwa proses menjaga kehormatan, keluhuran, martabat Hakim sangatlah memiliki hubungan yang sangat tidak terpisahkan dari proses seleksi pengangkatan hakim. Karena proses seleksi pengangkatan Hakim harus dipandang
sebagai
upaya
preventif
Komisi Yudisial dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran, martabat hakim.
14
Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.86
72
Bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan Hakim pada Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara seperti yang diatur dalam pasal a quo adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menurut Pihak Terkait tidak mendasar dan tidak beralasan menurut hukum. Bahwa berdasarkan penjelasan di atas, maka Pihak Terkait menyatakan bahwa pasal a quo yang diujikan oleh para Pemohon tidak memiliki pertentangan norma dengan konstitusi, sehingga norma yang terdapat dalam pasal a quo tersebut sesuai dengan prinsip lex superior derogat legi inferior. Peran Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan hakim agung pada pasal 28D ayat 1 tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.Bahwa berdasarkan ketentuan pasal a quo ditegaskan bahwa proses seleksi pengangkatan
hakim
pada
peradilan
umum,
peradilan
agama,
peradilan tata usaha negara dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial melalui peraturan bersama yang dibuat oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Bahwa kemudian pada tahun 2010, proses seleksi pengangakatan hakim pada
peradilan
umum,
peradilan
agama,
dan
peradilan
tata
usaha
negara dilakukan dengan menggunakan rekrutmen CPNS oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, dengan melibatkan Mahkamah Agung tanpa melibatkan Komisi Yudisial. Namun, guna menjaga legitimasi keberadaan calon Hakim hasil seleksi tahun 2010 tersebut, disusunlah
73
peraturan
bersama
Mahkamah
Agung dan
Komisi
Yudisial
Nomor
01/PB/MA/IX/2012-01/PB/P.KY/09/2012 tentang Seleksi Pengangkatan Hakim bahwa terhitung sejak dikeluarkannya peraturan bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tersebut,
hingga
saat
ini
proses
seleksi
pengangkatan hakim pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara belum dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Walaupun belum ada penerapan seleksi pengangkatan hakim sejak dibuatnya peraturan bersama yang telah dibuat dan ditandatangani oleh Mahkamah Agung dan dikatakan
tidak
Komisi
Yudisial,
sehingga
tidak
beralasan
jika
timbul ketidakpastian hukum terhadap norma pasal a quo
dalam penerapannya. Namun, lebih
kepada
ketidakpatuhan
masing-masing
lembaga dalam menjalankan peraturan bersama tersebut.15 Mahkamah juga berpendapat bahwa dalam Pasal 24 Undang Undang Dasar 1945 tidak menyebutkan secara tersurat mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan calon Hakim dari lingkungan Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan Tata Usaha Negara, akan tetapi dalam pasal 24 ayat 2 telah secara tegas menyatakan bahwa ketiga undang undang yang diajukan Pemohon dalam perkara a quo berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung. Serta dihubungkan dengan peradilan
15
Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.87
74
“satu atap” menurut mahkamah seleksi pengangkatan calon Hakim pengadilan tingkat pertama menjadi kewenangan Mahkamah Agung. 16 Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang lahir atas kehendak politik
yang dituangkan melalui perubahan Undang Undang Dasar 1945,
kemudian komisi Yudisial diorentasikan untuk membangun sistem checks and balances dalam sistem kekuasaan kehakiman dan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak bisa dibiarkan tanpa kontrol atau pengawasan sebagai wujud akuntabilitas.17 Adapun faktor faktor penentu independensi peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman adalah ketersediaan infrastruktur pendukung bekerjanya hakim yang bebas dan bermartabat. Infrastruktur pendukung dalam hal ini adalah segenap kompenen dalam struktur dan mekanisme pengadilan yang membantu dan mendukung hakim dalam melaksanakan tugas tugas yudisialnya.18 Menurut Lawrence M. Friedman yang menyatakan efektif tidaknya penegakan hukum itu tergantung pada ketiga elemen sistem hukum, yakni struktur hukum (legal structure), substansi (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) adalah bagian- bagian yang bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disiapkan dalam sistem yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan.19
16
Putusan Mahkamah Konstisusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h.120 Elza Faiz, Risalah Komisi Yudisial Cikal Bakal, Pelembagaa, dan Dinamika Wewenang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2013), h.7 18 Mario Prakas.“Merajut Independensi Peradilan Dalam Skenario Perbaikan Kesejah teraan Hakim”. Artikel ini diakses pada hari senin, 03 Oktober 2016 jam 09.00 dari http://www.komisiyudisial.go.id/Makalah Tentang Independens Peradilan.pdf. 19 Lawrence M. Friedman, “American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar” Penerjemah Wishnu Basuki, (Jakarta: Tatanusa, 2001), h.7-9 17
75
Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan oleh Undang Undang Dasar 1945 sebagai lembaga negara yang tersendiri karena dianggap sangat penting dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Jika hakim dihormati karena integritas dan kualitasnya maka rule of law dapat sungguh sungguh ditegakkan sebagaimana mestinya. tegaknya rule of law itu justru merupakan prasyarat bagi tumbuh dan berkembang sehatnya sistem demokrasi yang hendak dibangun menurut sistem konstitusional UUD 1945. Demokrasi tidak mungkin tumbuh dan berkembang, jika rule of law tidak tegak dengan kehormatan ,kewibawaan ,dan keterpercayaannya.20 Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung memiliki kolerasi yang erat terdapat pada pasal 24A ayat 3 dan Pasal 24B ayat 1 UUD NRI tahun 1945 menegaskan, bahwa calon Hakim Agung diusulkan oleh Komisi Yudisial Kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan Hakim Agung oleh Presiden. Keberadaan Komisi Yudisial tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan ini, bahwa jabatan hakim merupakan jabatan kehormatan yang harus dihormati, dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang juga bersifat mandiri. Dalam hubungannya dengan Mahkamah Agung, tugas Komisi Yudisial hanya dikaitkan dengan fungsi
20
Jimly Asshiddiqie,“Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,” Cet. Kedua (2), (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.158
76
pengusulan pengangkatan Hakim Agung, sedangkan hakim lainnya, seperti Hakim Mahkamah Konstitusi, tidak dikaitkan dengan Komisi Yudisial. 21 Konsep mengenai pengawasan terhadap hakim yang lahir pasca rangkaian amandemen UUD 1945 era reformasi tidak sepenuhnya mulus dalam tataran praktik. Hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berjalan tidak harmonis. Mahkamah Agung berpendapat bahwa Komisi Yudisial terlalu luas mengartikan tugasnya sebagai pengawas terhadap hakim karena menjadikan putusan sebagai pintu masuk pengawasan. Pertikaian tersebut berujung pada permohonan judicial review para Hakim Agung ke Mahkamah Konstitusi dan meminta Konstitusi membatalkan pasal-pasal yang mengatur mengenai kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap Hakim (dan Hakim Agung). Namun, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015) ini tidak diambil secara bulat. Salah satu hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna mengajukan dissenting opinion. Ia berpendapat bahwa seharusnya Mahkamah Konstitusi memutus ketiga pasal dengan konstitusional bersyarat. Alasannya, keterlibatan Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung dalam proses seleksi pengangkatan hakim di tiga lingkungan peradilan tidaklah
mengganggu
administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan. Lebih lanjut hakim konstitusi tersebut berpendapat bahwa sepanjang dipahami keterlibatan Komisi Yudisial itu konteksnya adalah keterlibatan 21
A. Salman Magalatung “Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945”, (Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h.172
77
dalam memberikan pemahaman kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam proses seleksi calon hakim. Menurut beliau, jika keterlibatan Komisi Yudisial dipahami demikian, sebenarnya hal itu merupakan penafsiran sekaligus implementasi yang tepat terhadap pengertian “wewenang lain” dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim yang diamanatkan Undang Undang Dasar Tahun 1945 kepada Komisi Yudisial. Penafsiran Demikian Dipandang Konstitusional disamping karena tidak mengganggu kemerdekaan kekuasaan kehakiman (baik secara organisasi, administrasi, maupun finansial) juga konstektual dengan tujuan utama pembentukan Komisi Yudisial yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung. Sayangnya buruknya hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam mengimplementasikan gagasan mulia konstitusi itu, sebagaimana tampak nyata dari fakta fakta yang terungkap dalam persidangan maupun melalui sebaran berita di media massa, telah menyebabkan penafsiran dan implementasi yang sungguh memberi harapan besar bukan hanya bagi tegaknya kemerdekaan kekuasaan kehakiman tetapi juga bagi terjaganya kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim itu menjadi sirna. Menurut I Dewa Gede Palguna, Mahkamah seharusnya memutus dan menyatakan norma Undang Undang yang dimohonkan pengujian dalam permohonan a quo konstitusional bersyarat (conditionally constitusional), yaitu sepanjang prasa “bersama Komisi Yudisial dalam proses seleksi pengangkatan Hakim Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Agama, dan Hakim Pengadilan
78
Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam ketiga Undang Undang a quo dimaknai sebagai diikut sertakannya Komisi Yudisial dalam proses pemberian materi kode etik dan pedoman perilaku hakim bagi para calon Hakim Pengadilan Negeri, calon Hakim Pengadilan Agama, dan calon Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara dalam proses seleksi tersebut.22
22
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015, h. 125-128
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan yang telah di sampaikan di bab sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan, diantarnya : 1. Pertimbangan Hakim Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU- XIII/2015 dalam melakukan pengujian pasal 13A ayat 2, Ayat 3 dan 14A ayat (2) Ayat (3) undang undang nomor 49 tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Undang Undang Nomor 50 tahun 2009 tantang Peradilan Agama, Undang Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan dengan ketentuan pasal tersebut, telah mengurangi hak konstitusional para pemohon khususnya dalam mengusulkan promosi/mutasi hakim yang baik dan berprestasi, Menjaga dan mempertahankan prinsip peradilan yang bebas dan mandiri, Membina dan meningkatkan kemampuan hakim untuk dapat menjalankan tugas dan kewajiban memerikasa, mengadili dan memutus perkara secara baik, serta menjaga kemerdekaan dan independensi peradilan untuk kepentingan seluruh warga negara pencari keadilan (Justitiabelen). 2. Sekilas hasil putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 43/PUU-XIII/2015 mengenai kewenangan tunggal seleksi hakim oleh Mahkamah Konstitusi memberi tanda bahwa penundaan proses seleksi hakim yang telah terjadi selama lima tahun terakhir ini akan segera berakhir. Tarik menarik kepentingan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial memang menjadi salah satu alasan mengapa proses seleksi hakim tingkat pertama dan banding tertunda pelaksanaannya. Namun ada tiga faktor hal yang bisa
79
80
dicermati pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang menghapus peran Komisi Yudisial dalam seleksi hakim. A. Pertama yaitu kegagalan Mahkamah Konstitusi untuk memaknai Konstitusi dengan lebih luas. Mahkamah Konstitusi melalui keputusannya
menyatakan
bahwa adanya kewenangan Komisi Yudisial untuk bersama Mahkamah Agung melakukan seleksi hakim di tiga lingkup peradilan (umum, agama, dan tata usaha) bertentangan dengan makna “wewenang
lain”Komisi Yudisial dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi merasa bahwa kewenangan pemilihan hakim oleh Komisi Yudisial hanya limitatif (terbatas) untuk hakim agung saja. Padahal seharusnya tidak begitu. Penjagaan martabat dan keluhuran hakim itu tentu tidak bisa tidak harus dimulai dari proses seleksi awal penerimaan hakim itu sendiri. Begitu juga penegakan kehormatan serta perilaku hakim tentunya harus ditegaskan sejak awal sehingga menjadi cara pandang bagi orang yang nantinya menjadi hakim. Dan lagi ini diperkuat dengan kenyataan bahwa kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan seleksi itu dilakukan bersama dengan Mahkamah Agung, bukan wewenang tunggal sehingga tidak seharusnya dimaknai bertentangan dengan Konstitusi. B. Kedua, yaitu kelalaian Mahkamah Konstitusi untuk membedakan larangan dengan norma Mahkamah Konstitusi berdasar keputusannya mengungkapkan bahwa pembahasan mengenai norma kewenangan Komisi Yudisial untuk melakukan seleksi atas hakim tingkat pertama dan banding dahulu sudah pernah
81
diperdebatkan dalam pembahasan perubahan Undang Undang Dasar 1945 di era awal reformasi dahulu dan ditolak. Menurut Mahkamah Konstitusi, dengan tidak disepakatinya suatu usulan norma itu berarti juga larangan terhadap hal itu. Padahal itu tidaklah beralasan. Sesuatu dikatakan bertentangan dengan konstitusi jika secara tegas melanggar norma Undang Undang Dasar ataupun prinsip umum yang termuat di Konstitusi. Justru pembahasan yang pernah dilakukan oleh para perumus amandemen Undang Undnag Dasar 1945 mengenai kewenangan Komisi Yudisial melakukan seleksi hakim hingga tingkat pertama menunjukkan gagasan mengenai peran lebih Komisi Yudisial. Maka dari itu, tentu sangat disayangkan saat perumus undang-undang peradilan membuat policy adanya kewenangan seleksi hakim tingkat pertama pada Komisi Yudisial yang sebenarnya tetaplah dilakukan bersama Mahkamah Agung dipermasalahkan. C. Ketiga, yaitu kegagapan Mahkamah Konstitusi untuk melihat hubungan ideal antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi berdasar keputusannya seakan mengangguk setuju begitu saja pada argumen pihak IKAHI yang menyatakan bahwa dengan adanya Komisi Yudisial yang turut melakukan seleksi hakim bersama Mahkamah Agung akan mengganggu independensi dan kemandirian peradilan. Mahkamah Konstitusi menyetujui bahwa kemandirian hakim bisa terjamin jika seleksi hakim bebas “intervensi” dari lembaga lain.
82
B. Saran 1.
Perlunya penyusunan Undang Undang Komisi Yudisial menyebutkan secara rinci tugas pengawasan yang dapat dilakukan Komisi Yudisial, sehingga putusannya
lebih jelas daya berlakunya semakin kuat. Dan mengatur tegas
pembedaan antara ranah perilaku, ranah teknis yudisial dan ranah administrasi. Selain itu, diperlukan pula tanggung jawab negara melalui fungsi legislasi yang dalam hal ini harus diperankan DPR dan Pemerintah. 2. Komisi Yudisial memegang peranan penting dalam menyeleksi hakim
agung,
maka yang harus diperhatikan adalah calon hakim yang dipilih adalah hakim yang benar benar bisa bertanggung jawab kepada provesinya sebagai hakim agung. 3. Komisi Yudisial perlu melakukan penguatan internal dalam membangun sistem pengawasan dan penguatan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan teknis terkait dengan pelaksanaan fungsi pengawasan. 4. Penulis mengharapkan adanya kajian lanjut dan lebih mendalam mengenai Komisi
Yudisial
dalam
pengangkatan, pemberhentian
pengawasan
hakim
khususnya masalah
dan penjatuhan sanksi yang dilakukan oleh
komisi Yudisial khususnya peradilan pada hukum Islam yang benar benar Valid dan Credible.
83
DAFTAR PUSTAKA Arfawie, Kurde, Nukhtoh, Telaah Kritis Teori Negara Hukum Konstitusi dan Demokrasi dalam Rangka Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah berdasarkan UUD 1945, Pustaka Pelajar, Arto, 2005 A. Mukti, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Redefenisi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung untuk Membangan Indonesia Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001 Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan Kesatu (1), Konstitusi Press, Jakarta, 2005 Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Cetakan Kesatu (1), Konstitusi Press, Jakarta, 2005. Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,” Cetakan Kedua (2), Sinar Grafika, Jakarta 2012
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Cetakan Kesatu (1), PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007 Asshiddiqie, Jimly, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Cetakan Kesatu (1), PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2009 Chaidir, Ellydar. Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2007 C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Bina Aksara, Jakarta 1986 Dahlan Thaib, DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1994. Jakarta, 1986. Fuady, Munir. Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Rafika Aditama, Bandung, 2009. Huda, Ni’Matul, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005. Hadjon, Philipus, M, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, Cetakan Pertama, Bina Ilmu, Surabaya, 1992. Harahap, Yahya M, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1984. Kusnardi, Muhammad dan Hermaily Ibrahim. Pengatar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”, Jakarta Pusat, 1983.
84
Kusnardi Muhammad dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1988. Kansil, C.S.T dan Kansil S.T.Christine“Hukum Tata Negara Republik Indonesia” Cetakan Pertama Edisi Revisi 2, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008 Latif, Abdul. Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi), Total Media, Yogyakarta, 2009. Mujahidin, Ahmad, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007. Mahfud MD, Moh Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007. Mahfud MD, Moh Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Rineke Cipta, Jakarta, 2001. Prodjohamidjojo, Martiman, S.H., Kekuasaan Kehakiman dan Wewenang untuk Mengadili, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. Salman, A, Magalatung “Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945” Gramata Publishing, Bekasi, 2016. Satjipto Rahardjo, Komisi Yudisial untuk Hakim dan Pengadilan Progersif, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, Komisi Yudisial RI, Jakarta, 2006. Sirajuddin, dan Zulkarnain, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Soemantri M., Sri. Prosedur dan dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit PT. Alumni, Bandung. Soekanto, Sorejono. Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1998. Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992. Sumali. Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang Undang (Perpu), UMM Press, Malang, 2003. Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Suyuthi, Wildan “Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama” dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan. Mahkamah Agung RI, Jakarta 2006. Thalib, Abdul Rasyid. Wewenang Mahkama Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya, Bandung, 2006. Thohari, A. Ahsin, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta, 2004.
85
Wahjono, Padmo. Beberapa Masalah Ketatanegaraan di Indonesia, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1984. Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Fokus Media,Bandung, 2007. Zaini, Abdulah. Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang tentang Komisi Yudisial Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisal. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisal, Jakarta, 2003. Naskah Akademik RUU tentang Komisi Yudisial yang disusun oleh Mahkamah Agung menjadi Naskah Akademik yang digunakan DPR dalam menyusun UU Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006, diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada Rabu, 23 Agustus 2006 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Konstitusi Republik Indonesia Nomor 43/PUU-XIII/2015 dalam proses pengangkatan Hakim Agung Artikel Santosa, Mas Achmad. artikel: Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, dalam harian Kompas, 02 Maret 2005. Widjoyanto, Bambang. Komisi Yudisial: Checks and Balances Dan Urgensi Kewenangan Pengawasan, artikel dalam Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial, 2006 Makalah dan Jurnal Thohari, A. Ahsin. Mengembalikan Khittah Komisi Yudisial Sebagai Pengawas Eksternal Hakim, dalam Jurnal Hukum Panta Rei, Vol 1, No. 3, Februari 2009 Sirajuddin, Profesi Hakim dalam Pusaran Krisis, Media Kampus, edisi Juli Desember 2007