Referat Trauma dr. Krisna Murti Sp BS
KOMPLIKASI TRAUMA KEPALA Komplikasi dari suatu trauma kepala merupakan masalah terbanyak yang dihadapi para ahli bedah saraf , terutama di senter-senter trauma. Komplikasi –komplikasi tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Simptom atau gejala yang subyektif . Misal : Sindroma pasca konkusi b. Gangguan kognitif atau tingkah laku paska cedera kepala c. Komplikasi struktural akibat injury yang mengenai otak atau bagian-bagian yang melingkupinya . Sindroma Paska Konkusi Sindroma paska konkusi meliputi antara lain nyeri kepala , dizzines , mual dan muntah. Juga kecemasan dan iritabilitas , insomnia , serta gangguan memori dan konsentrasi . Nyeri kepala dapat berlangsung hingga tiga bulan atau lebih pada 93 % pasien dengan mild atau moderate head injury . Telah dibuktikan bahwa menetapnya serta beratnya sindroma paska konkusi terkait langsung dengan derajat beratnya cedera kepala . Namun penyebabnya hingga saat ini tetap tidak diketahui . Diduga penyebab terjadinya sindroma paska konkusi antara lain : a. Stretch injury pada pembuluh darah di basis kalvaria. b. Iritasi duramater . c. Subarachnoid bleeding yang tersamar / tersembunyi . d. Mild aseptik meningitis . e. Difus aksonal injury dan disrupsi neuron . f. Neuronal loss . g. Injury di lobus frontal dan temporal . Sekuele Kognitif Paska Cedera Kepala Pada banyak kasus beberapa pasien mengalami abnormalitas dalam perhatian , proses kognitif dan memori . Pada studi – studi multisenter , pasien –pasien dengan Closed Mild HI yang di follow-up selama 7 hari , didapatkan adanya insidens yang tinggi dari defisit pada perhatian dan konsentrasi , ingatan verbal dan visual jangka pendek , serta gangguan proses berpikir . Satu bulan paskatrauma , pasien rata-rata telah sembuh secara bermakna dan mengalami recovery fungsi kognitifnya . Dan setelah tiga bulan pasien –pasien tersebut recoverynya telah komplit . Namun beberapa senter lain menyebutkan lebih kurang sepertiga pasien mungkin memiliki defisit neurologis yang menetap , dan dapat terdeteksi melalui testing-testing neuropsikologis . Mekanisme terjadinya sekuel-sekuel ini diduga oleh karena difus aksonal injury , aksonal disrupsi (aksonotomi) dan matinya neuron . Disrupsi yang luas dari akson pada substansia alba dapat ditunjukkan melalui gambaran MRI pada lebih kurang 30% pasien dengan mild HI .Bukti terbaru didapatkan dengan pemeriksaan proton magnetic resonance spectroscopy , yang menunjukkan bahwa pada mayoritas pasien –
pasien mild head injury akan didapatkan abnormalitas struktur splenium korpus kalosum dan lobus substansia alba . Trauma serebri secara langsung ( direct impact ) dapat menimbulkan kontusi korteks serebri pada basis frontal , os temporal , dan di regio occipital . Juga didapatkan fakta bahwa suatu difus cerebral injury dapat timbul setelah kejadian trauma kepala . Junger dan kawan-kawan , melaporkan terdapat 28% pasien menunjukkan abnormalitas atau hilangnya autoregulasi cerebral 48 jam setelah terjadinya injury. Hal ini timbul oleh karena meningkatnya resiko untuk terjadinya secondary ischemic neuronal damage , terutama pada pasien dengan multipel trauma , atau terdapatnya injury pada paru yang terkait dengan keadaan hipoksia atau hiperkarbia , pada periode awal paska injury . Komplikasi Struktural Otak Paska Injury Pasien – pasien cedera kepala dari berbagai tingkat keparahan memiliki risiko yang tinggi untuk menderita berbagai komplikasi sruktural otak . Jenis injury ini biasanya terlokalisir dan meliputi fraktur basis , fraktur linier atau depressed , CSF fistula , hematoma ekstraaksial , kontusio atau laserasi serebri , atau fokal intracerebral hemorhage . Pasien dengan lesi hemoragik beresiko untuk terjadinya defisit neurologik lanjutan , tergantung derajat progresifitas lesi tersebut .Demikian pula komplikasi struktural otak dapat pula menimbulkan epilepsi paska trauma . 1.Fraktur tulang kepala Fraktur basis kranii sangat sering dijumpai pada pasien cedera kepala , dengan insidensi mencapai 24 %. Diagnosisnya didasarkan pada gambaran klinis , seperti : - Ekimosis periorbital - Hemotymphanum - Oto atau Rhinoree - Ekimosis retroaurikular ( Battle’s sign ) Dan kadang pada gambaran x-ray kepala atau CT-scan tidak didapatkan adanya fraktur .Bentuk yang lebih berat dari fraktur basis adalah menetapnya leakage / kebocoran LCS dari hidung atau telinga , sensorineural hearing loss dan parese segera atau lambat nervus kranialis VII (fasialis). Fraktur linier juga sering dijumpai pada pasien dengan closed mild HI. Biarpun secara keseluruhan gambaran fraktur pada pasien – pasien mild HI tidak berpengaruh pada outcome, beberapa penelitian menunjukkan adanya kaita yang erat antara gambaran fraktur dan komplikasi intrakranial, terutama pada anak kecil .Dacey dan kawan mencatat bahwa pada pasien dengan gambaran fraktur , 20% memerlukan tindakan pembedahan dibandingkan dengan 1 % pada pasien tanpa fraktur .Pada bayi dan anak dibwah umur 2 tahun , fraktur linier kepala memerlukan observasi lanjutan buat ” delayed growing fracture” yang menuju terbentuknya leptomeningeal cyst . 2. CSF Fistula Traumatik CSF fistula biasanya disebabkan oleh fraktur basis kranii yang merobek dura dan arachnoid dengan angka insidensi 2% dari pasien cedera kepala . Presentasi tersering dari CSF fistula adalah otorhe dan rhinore.
Otore timbul sebagai akibat fraktur tulang temporal yang merobek duramater , bersamaan dengan ruptur membran timpani . Karena fraktur ini biasanya menyilang bagian telinga tengah , injury ke N. Fasialis dan tulang-tulang pendengaran berakibat paralisis N.VII dan gangguan tuli konduktif . Fraktur basis kranii yang sejajar dengan pars petrosus os temporal akan mengakibatkan disfungsi vestibular dan sensorineural hearing loss. Rinore disebabkan karena robeknya dura sebagai akibat fraktur tulang temporal dan frontal yang melibatkan cribform-ethmoid junction dan ethmoid roof . Fraktur basis fosa media juga dapat mengakibatkan rinore , bila sudah terekstensi ke sinus sfenoid. Gejala oto-rhinore adalah konsekwensi dari fraktur tulang temporal yang melibatkan mastoid air cell dengan membrana timpani yang intak .Pada keadaan ini LCS berjalan ke rongga mastoid air cell masuk ke dalam tuba eustachii dan selanjutnya ke kavum nasi . Mayoritas CSF fistula didiagnosis berdasar riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis . Antara lain : a. Pasien dengan rhinore selalu mengeluh keluarnya cairan dari hidung , terutama pada perubahan posisi . b. Bila keluhan rhinore disertai anosmia maka harus dicurigai adanya fraktur cribform plate. c. Suatu perdarahan dari hidung yang menimbulkan gambaran halo pada kain kasa , merupakan tanda utama terjadinya CSF leakage . d. Pemeriksaan kadar glukosa LCS ( >30 mg/100 mL ) atau klorida ( >110 mEq/L) , atau dengan memeriksa kadar beta-transferin secara radioimunoasay akan memastikan cairan tersebut LCS atau tidak . Pada pasien dengan terapi konservatif yang gagal ,perlu dilakukan investigasi diagnostik lebih lanjut untuk menentukan lokasi kebocoran LCS . Subarachnoid contrast enhancement merupakan penanda pada CT-Scan untuk menentukan lokasi kebocoran LCS aktif . Sedang pemeriksaan MRI dikatakan merupakan modalitas yang lebih baik untuk menentukan lokasi kebocoran , tanpa diperlukan penambahan agen kontras. 3. Post traumatik epilepsi Post traumatika epilepsi telah diklasifikasikan oleh Jennett dan yang lainnya , berdasarkan onset timbulnya paska cedera kepala , dibagi menjadi dua , dini dan lambat . Secara tegas dikatakan bahwa post traumatik epilepsi dini akan timbul dalam periode 7 hari setelah cedera kepala . Bila timbul serangan kejang lebih dari dua kali pada masa tersebut , maka pasien tersebut dapat didiagnosis paska trauma epilepsi dini.Risiko timbulnya epilepsi akan semakin tinggi bila didapatkan fraktur depressed , Epidural hematoma , dan penurunan kesadaran yang lama .Kejang yang timbul biasanya bersifat fokal , walaupun pada komplikasi lanjut dapat timbul status epileptikus . Timbulnya epilepsi dini paska trauma kepala merupakan faktor predisposisi timbulnya epilepsi paskatrauma lambat , terutama pada orang dewasa. Epilepsi paska trauma tipe lambat , lebih kurang 50% akan timbul pada tahun pertama, sedang sisanya pada tahun kedua .Kasus – kasus intracerebral dan subdural hematoma , fraktur depressed , luka-luka tembus , dan adanya epilepsi paskatrauma tipe dini diduga terkait dengan 30% - 50 % insidens epilepsi tipe lambat .Berbeda dengan tipe dini , pada tipe lambat ini kejang yang timbul biasanya bersifat menyeluruh ( generalised ) . Manajemen Komplikasi 1.Sindroma Paska Konkusi
Sindroma post konkusi secara umum diterapi secara simptomatis dengan medikasi non narkotik . Namun bila diperlukan narkotik ringan , kodein , terbukti efektif untuk nyeri kepala . Meclizine atau low – dose benzodiazepin digunakan untuk vertigo yang berat . Namun terapi medikamentosa ternyata tidak efektif bagi pasien – pasien dengan closed mild head injury yang mengalami gangguan kognitif atau neuropsikologis . Yang harus dilakukan adalah menjelaskan kepada pasien bahwa umumnya gejala ini akan berkurang dalam beberapa minggu dan lenyap setelah 3 bulan , biarpun pada beberapa kasus ditemukan gejala yang menetap hingga satu tahun. 2. Fraktur Basis Kranii Komplikasi tersering dari fraktur basis kranii adalah leakage LCS dan paralisis dari nervus fasialis . Paralisis nervus fasialis yang timbul lambat mengindikasikan adanya non aksonal disruption kontusi atau intraneural hematoma , atau adanya tusukan fragmen tulang pada nervus .Kebanyakan pasien tidak memerlukan tindakan operasi , dan akan sembuh secara spontan . Sedang paralisis yang timbul segera setelah trauma mengindikasikan terjadinya transverse fraktur dari tulang temporal yang disertai transeksi atau lacerasi dari serabut saraf .Tindakan eksplorasi sebaiknya ditunda hingga hari ke 21 , dan bila studi elektris menunjukkan tidak ada perbaikan fungsi neurologis . 3. Cerebrospinal Fluid ( CSF ) Fistula Berdasarkan studi metaanalisis pemberian antibiotik profilaksis pada pasien dengan CSF fistula memberikan banyak keuntungan. Secara mendasar pengelolaan nonoperatif pada pasien dengan CSF fistula meliputi : a. Bedrest dan Head up 45 derajat dari tempat tidur. b. Restriksi cairan hingga 1500 cc / 24 jam pada orang dewasa c. Penggunaan acetazolamide 250 mg per enam jam . Bila leakage tidak berhenti setelah 24 jam dengan metode non operatif , ditempatkan lumbar sub arachnoid drainase untuk mengeluarkan LCS 60-100 cc tiap enam jam dalam sistem yang tertutup . Bila setelah 48 – 72 jam tetap terjadi leakage dengan metoda diatas maka dilakukan investigasi mencari sumber kebocoran LCS , guna persiapan operasi repair . Operasi repair pada pasien dengan CSF fistula meliputi subfrontal atau bifrontal kraniotomi ( transkranial repair ), atau transnasal endoskopik repair ( ekstrakranial repair) . Secara prinsip transkranial repair dilakukan dengan mengekspose rongga epidural , serta menambal defek duramater secara primer atau menggunakan jaringan yang autolog.Pada lesi yang lebih kompleks , eksenterasi dan obliterasi sinus frontal mungkin diperlukan , disertai penggunaan rotasional flap dari otot temporal atau dengan dura buatan.Transkranial repair ini dikerjakan bila terjadi fraktur yang luas dari tulang dasar tengkorak , terbentuk encephalocele, atau jaringan otak memerlukan debridement . Ekstrakranial repair dapat dikerjakan secara transetmoid ataupun transspenoid dengan menambal defek duramater menggunakan jaringan lemak , otot dan fascia lata.Teknik ekstrakranial ini dikerjakan secara mikroskopik dan endoskopik. Pada kedua prosedur operatif diatas lumbar drainase tetap dipasang hingga 5-7 hari paska operasi untuk memberi kesempatan luka operasi sembuh secara optimal.
4. Epilepsi Paska trauma Pemberian profilaksis anti kejang pada pasien cedera kepala yang beresiko tinggi untuk timbulnya epilepsi paska cedera kepala , terbukti secara signifikan mereduksi timbulnya kasus –kasus baru . Walau demikian pemberian terapi anti kejang dalam jangka waktu yang lama menimbulkan banyak efek samping seperti hipersensitifitas, gangguan hematologik , nystagmus, ataxia , dan Stephen- Johnson syndrome yang dapat berakibat fatal. Rekomendasi yang diberikan adalah pemberian profilaksis anti kejang phenytoin atau karbamazepin dalam periode satu minggu paska cedera kepala , bagi pasien – pasien yang beresiko tinggi . Sedang bagi pasien yang mengalami epilepsi paska cedera kepala tipe lambat terapi anti kejang diberikan seperti pada pasien yang mengalami kejang pertama kali . Pada masa mendatang terapi operasi dengan mengangkat fokus trauma epilepsi dapat dipertimbangkan .
Disadur dari : Batjer H Hunt and Loftus CM ,Textbook of Neurosurgery , volume three , Lippincott William Wilkins , Philadelphia ,2003,p: 2889-93.