“KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA TERHADAP PENYIMPANGAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NO.4 TAHUN 1998 TENTANG KEPAILITAN DALAM MENYELESAIKAAN SENGKETA HUTANG PIUTANG DALAM KASUS PRUDENTIAL LIFE INSURANCE” Askardija Radmojo Adji ( Hoesodo ) Abstract, Indonesian monetary crisis in July 1997 led to the decline of the real sector and the national economy. One of the law that can be the basis for the settlement of debts and bankruptcy is closely relevant to the business world are the rules about bankruptcy and suspension of debt payments. However, given the existing bankruptcy laws are Faillissementsverordening felt inadequate and unable to meet the demands of the times, it is the insistence of the IMF on April 22, Perpu No. 1 /1998 on Bankruptcy which is then set into UU No. 4 /1998 on bankruptcy on September 9, 1998 . Since the enactment of the Act, a paradigm shift in the community in looking at bankruptcy as a legal process. It can be seen from the number of cases handled by the Commercial Court compared with when Faillissementsverordening still valid. However, these rules are no longer able to meet the demands of the developments taking place in the economy, especially in settle down the debt. To compensate for the shortcomings of the Labor Law, established new laws that fit the needs of the community, namely UU No. 37 / 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment. Before the advent of the Labor Law , the absolute authority to receive , investigate and adjudicate bankruptcy petition is on public courts , but after the establishment of the Commercial Court under the Labor Law then in receiving, checking and try to move the authority of the Commercial Court Article 280 paragraph ( 1 ) Labor Law ). The Commercial Court is part of the general court as underlined in Article 1 paragraph ( 7 ) Labor Law and PKPU. Keywords : commercial court , bankruptcy , law Abstrak, Ketika Indonesia mengalami krisis moneter pada bulan Juli 1997 yang menyebabkan terpuruknya sektor riil dan perekonomian nasional, salah satu sarana hukum yang menjadi landasan bagi penyelesaian utang piutang dan erat relevansinya dengan kebangkrutan dunia usaha adalah peraturan tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Namun, mengingat peraturan kepailitan yang ada yaitu Faillissementsverordening dirasa sudah tidak memadai dan tidak dapat memenuhi tuntutan zaman, maka atas desakan IMF pada 22 April 1998 dibuatlah Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang kepailitan yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang kepailitan pada tertanggal 9 September 1998. Sejak berlakunya UU No. 4 Tahun 1998 tentang kepailitan, terjadi perubahan paradigma di masyarakat dalam memandang kepailitan sebagai proses hukum. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya perkara yang ditangani oleh Pengadilan Niaga dibanding dengan ketika Faillissementsverordening masih berlaku. Namun demikian, peraturan tersebut sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di bidang perekonomian terutama dalam menyelesaikan utang-piutang. Kemudian kelemahan yang ada dalam UUK tersebut, dibentuk undang-undang baru yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yaitu UU No.37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Sebelum adanya UUK, kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa dan mengadili permohonan kepailitan ada pada peradilan umum namun setelah dibentuknya Pengadilan Niaga berdasarkan UUK tersebut maka dalam menerima, memeriksa dan mengadili berpindah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga (Pasal 280 ayat (1) UUK). Pengadilan Niaga tersebut merupakan bagian dari peradilan umum sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (7) UUK dan PKPU. Adapun lingkup kewenangan pengadilan niaga secara lengkap dapat dijelaskan berdasarkan Keppres 7 Tahun 1999. Meskipun Pengadilan Niaga mempunyai kewenangan untuk memeriksa perkara utang-piutang, namun sebelum menjatuhkan putusan pailit, hakim seharusnya mempertimbangkan keadaan finansial perusahaan, dampak sosial penutupan perusahaan, peran perusahaan asuransi yang sangat penting bagi kepentingan umum dan stabilitas perekonomian
nasional serta semangat yang melandasi tujuan utama hukum kepailitan melalui terobosan ataupun temuan hukum berdasarkan intepretasi keadilan yang dimiliki oleh hakim dalam melaksanakan tugasnya. Kata Kunci: pengadilan niaga, kepailitan, UU
Kasus pailitnya Prudential ini menunjukkan betapa lemahnya Undang-undang Kepailitan dan buruknya sistem peradilan di Indonesia karena: (1) terlalu mudah bagi kreditor memailitkan perusahaan yang sehat hanya karena sengketa utang tanpa mempertimbangkan nilai kekayaan perusahaan; (2) Undang-undang kepailitan tidak mempertimbangkan dampak sosial penutupan perusahaan diantaranya ribuan pemegang polis akan dirugikan secara sepihak akibat perusahaan asuransinya dipailitkan, banyak pekerja yang akan dipecat, dan aset yang salah urus ketika diambil alih. (3) kasus Prudential ini gagal menjaga semangat yang mendasari tujuan utama Undang-undang Kepailitan yaitu agar usaha yang terkena pengaruh krisis ekonomi dapat memperoleh suatu upaya untuk dapat meneruskan kegiatannya. Selain itu pemailitan seharusnya digunakan untuk menghukum pengelola dan pemilik perusahaan yang sembrono, dan juga pemailitan seharusnya menjadi jalan terakhir setelah semua jalan lain buntu karena kepailitan sangat mahal biayanya secara ekonomi. Di samping itu, dengan terjadinya pemailitan sejumlah perusahaan asuransi dengan kategori sehat akhir-akhir ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Kepailitan sering disalahgunakan untuk tujuantujuan yang menyimpang dari filosofi dasar hukum kepailitan. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan yang telah dikemukakan di atas yaitu: (1) Untuk mengetahui apakah Pengadilan Niaga mempunyai kewenangan untuk memeriksa terhadap adanya penyimpangan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Kepailitan; (2) Untuk meneliti sejauh mana kewenangan Pengadilan Niaga dalam memeriksa penyelesaian sengketa utangpiutang; (3) Untuk meneliti sejauh mana kewenangan Pengadilan Niaga dalam
memeriksa penyelesaian sengketa piutang dalam kasus Prudential
utang-
KAJIAN LITERATUR Dalam dunia usaha, baik perseorangan maupun badan hukum ada kalanya tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai keperluan atau kegiatannya, bahkan untuk membayar utang-utangnya. Untuk itu dibutuhkanlah sumber dana dari pihak lain yang dapat dilakukan dengan cara antara meminjam uang atau kredit. Pada dasarnya, pemberian kredit oleh kreditur kepada debitor dilandasi kepercayaan (trust) bahwa debitor akan mengembalikan pinjaman pada waktunya. Tanpa adanya kepercayaan, maka tidak mungkin kreditur akan memberikan pinjaman tersebut, dan kemauan baik dari debitur untuk mengembalikan utangnya menjadi pertimbangan utama bagi kreditur untuk memberikan kredit. Namun dalam prakteknya, ada kalanya debitur tidak mampu ataupun tidak mau membayar utangnya kepada kreditur (baik disebabkan oleh situasi ekonomi yang sulit atau keadaan terpaksa). Oleh karena itu disiapkanlah suatu “pintu darurat” untuk menyelesaikan persoalan tersebut, yang dikenal dengan lembaga Kepailitan dan penundaan pembayaran. Kepailitan adalah suatu sitaan atas barangbarang (harta kekayaan) milik debitur untuk kepentingan para kreditur secara bersama. Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata Eropa, sebagai realisasi dari asas pokok yang menyangkut jaminan yang terkandung dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Pasal 1131 KUHPerdata menetapkan “Segala harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan debitur.” Berdasarkan pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa apabila debitur ternyata
karena suatu alasan tertentu pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditur, maka harta kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi agunan utangnya (baik yang timbul dari perikatan yang terjadi karena perjanjian maupun undang-undang), yang dapat dijual untuk dijadikan sumber pelunasan utangnya. Sedangkan untuk mengatur bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan atau aset-aset debitur sebagai pelunasan utangutangnya kepada para krediturnya, dan untuk menjaga ketertiban dan mencegah ketidakadilan dalam pembagian diantara para kreditur sehingga tidak terjadi saling berebutan, serta agar semua kreditur mendapatkan pembayarannya menurut imbangan besar kecilnya piutang (berbagi secara pari passu pro rata parte), maka diaturlah dalam Pasal 1132 KUH perdata ketentuan “Harta kekayaan debitur menjadi agunan bersama-sama bagi semua krediturnya; hasil penjualan harta kekayaan itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut perbandingan besar kecilnya tagihan masing-masing kreditur, kecuali apabila di antara para kreditur itu terdapat alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditur lainnya.” Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka terhadap kreditur-kreditur tertentu undangundang memberikan kedudukan yang lebih tinggi daripada para kreditur lainnya. Kreditur tertentu yang didahulukan daripada kreditur lainnya disebut Kreditor Preferen, sedangkan kreditur lainnya disebut kreditur konkuren. Seorang kreditur dapat diberikan kedudukan yang didahulukan terhadap kreditur lain apabila tagihan kreditur tersebut merupakan: (1) tagihan yang berupa hak istimewa; (2) tagihan yang dijamin dengan hak gadai; (3) tagihan yang dijamin dengan hipotek. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1133 KUH Perdata yaitu: “Hak untuk didahulukan di antara para kreditur timbul karena hak istimewa, gadai dan hipotek. Perihal gadai dan hipotek diatur dalam Bab keduapuluh dan keduapuluh satu buku ini.” Dengan demikian berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas, maka dikenal ada tiga jenis kreditur yaitu: (1) Kreditur konkuren yaitu kreditur yang harus berbagi dengan para
kreditur lain secara proporsional menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan mereka; (2) Kreditur Preferen adalah kreditur yang didahulukan dari kreditur-kreditur lainnya untuk memperoleh pelunasan tagihannya dari hasil penjualan harta kekayaan debitur sepanjang atas benda tersebut telah dibebani dengan hak jaminan tertentu untuk kepentingan kreditur tersebut; (3) Kreditur pemegang hak istimewa adalah kreditur yang oleh undangundang diberikan kedudukan didahulukan dari para kreditur konkuren maupun kreditur preferen. Sekalipun dalam KUHperdata telah diatur mengenai jaminan atas pelunasan utang-utang debitur kepada para kreditur dan tingkat prioritas serta urutan pelunasan masing-masing piutang para kreditur, akan tetapi perlu ada undang-undang yang khusus untuk melaksanakan asas-asas yang terkandung dalam KUH Perdata agar tercipta ketertiban, keadilan dan kepastian hukum. Dengan dibentuknya Undang-undang Kepailitan (UUK), maka diaturlah ketentuan-ketentuan mengenai: (1) Cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitur untuk melunasi piutang-piutang para kreditur berdasarkan tingkat prioritasnya; (2) tata cara agar debitur dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan; (3) tata cara melakukan pencocokan atau verifikasi piutang-piutang oleh para kreditur; (4) mengatur mengenai perdamaian yang dapat ditempuh sebelum atau setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan.1 Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan tersebut, maka seorang debitur dapat dinyatakan pailit apabila memenuhi syaratsyarat kepailitan yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UUK. Dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya” Dari ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) UUK, dapat ditarik kesimpulan bahwa syaratsyarat agar debitur dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut: (1) Debitur memiliki
lebih dari satu kreditur, (2) Debitur tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu krediturnya, (3) Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih. Sedangkan pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit menurut Pasal 1 UUK adalah: (1) Pihak debitur, (2) Satu atau lebih kreditur, (3) Jaksa untuk kepentingan umum, (4) Bank Indonesia jika debiturnya bank, (5)Bapepam jika debiturnya perusahaan efek.
advokat yang berkantor pada Kantor Hukum Lucas, SH., & Partners, beralamat di Wisma Metropolitan I lantai 14, Jalan Jendaral Sudirman Kav 29-31, Jakarta 12920, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 4 Maret 2004, (selanjutnya disebut “Pemohon Pailit”). Terhadap PT. Prudential Life Assurance, beralamat di Prudential Centre, Menara Thamrin lantai 3, Jalan M.H. Thamrin Kav 3, Jakarta Pusat 10250, (selanjutnya disebut “Termohon”).
Kompetensi Pengadilan Niaga Dalam Pelaksanaan Undang-Undang No.4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan Peraturan mengenai kepailitan, yang merupakan kewenangan dari pengadilan niaga ini semula diatur oleh Failliessement Verordening, Staatsblad 1905-217 jo 1906-348, namun peraturan tersebut sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di bidang perekonomian terutama dalam menyelesaikan masalah hutang-piutang, untuk itu perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan terdapat peraturan Faillissement Verordening tersebut dengan ditetapkannya Perpu No 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan tertanggal 22 April 1998 yang kemudian menjadi undang-undang dengan UndangUndang No 4 Tahun 1998 tentang UndangUndang Kepailitan tertanggal 9 September 1998 dan dengan berlakunya UUK ini berarti pemerintah telah memenuhi salah satu syarat yang diminta oleh kreditur-kreditur luar negeri (Baca Dana Moneter Internasional/Internasional Monetary Fund), agar para kreditur luar negeri memperoleh jaminan kepastian hukum.
Tentang Duduknya Perkara (1) Tuan Lee Boon Siong adalah seorang konsultan yang bergerak dalam bidang jasa konsultasi asuransi dan keagenan; (2) Pada 1 Juli 2000 telah dibuat dan ditandatangani Pioneering Agency Bonus Agreement antara pemohon dan termohon. Berdasarkan Perjanjian Keagenan itu, Tuan Lee sebagai konsultan berkewajiban untuk mengembangkan keagenan dalam memasarkan produk-produk asuransi PT Prudential, dan PT Prudential berkewajiban untuk melakukan pembayaran (bonus) kepada Tuan Lee apabila ia telah memenuhi target sebagaimana diatur dalam Perjanjian Keagenan tersebut. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa “Prudential setuju untuk membayar PAR (bonus agen perintis) kepada konsultan berdasarkan syarat-dan kondisi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 4 Perjanjian Keagenan tersebut.” (3) Tuan Lee menyatakan bahwa ia telah mencapai target yang ditentukan dalam Perjanjian Keagenan sehingga ia merasa berhak atas bonus Rekruitmen sebesar 3 % dari premi seperti yang diatur dalam Pasal 2 yaitu pada tahun pertama pada periode Juli 2002 sampai dengan Juni 2003 sebesar Rp.143.192.572.02,- yaitu 3% X Rp143.192.572.02,- = Rp.4.295.777,.163,-. (4) Di samping itu, Tuan Lee juga menyatakan bahwa ia berhak atas Bonus konsistensi sebesar 1 % dari premi yang telah dicapai berdasarkan Pasal 2 yaitu tahun pertama periode Juli 2002Juni 2003 sebesar 1% X Rp.143.192.572.092,= Rp.1.431.925.721,-. (5) Dengan demikian menurut Tuan Lee, pihak PT Prudential berkewajiban membayar bonus kepada Tuan Lee untuk periode Juli 2002-Juni 2003 sebesar: (5a) Bonus Pencapaian Target = Rp.4.295.777.163,- (5b) Bonus Rekruitmen = Rp.4.295.777.163,- (5c) Bonus Konsistensi =
Pt. Prudential Life Insurance Kasus Posisi Dan Analisa Kasus Putusan No. 13/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST merupakan putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh: Tuan Lee Boon Siong, Warga Negara Malaysia, Pemegang Paspor Nomor A10645614, dalam hal ini memilih domisili hukum pada kantor kuasanya: Muhammad As’Ary, SH., dan Finda Mayang, SH., Para
Rp.1.431.925.721,- (5d) Jumlah seluruhnya = Rp.10. 023.480.047,- (6) Selain itu, Tuan Lee juga menyatakan bahwa ia mempunyai hak untuk menagih kewajiban PT Prudential atas biaya perjalanan sebesar Rp.130.228.800,- (7) Tuan Lee juga merasa bahwa ia berhak atas angsuran bonus sampai dengan tahun 2013 sebesar Rp.360.889.358.108,- (8) Akan tetapi pada 20 Januari 2004, PT Prudential telah memutus secara sepihak Perjanjian Keagenan tersebut. Menurut Tuan Lee, akibat pemutusan Perjanjian Keagenan secara sepihak oleh PT Prudential, semua kewajiban PT Prudential menjadi jatuh tempo dan dapat ditagih; (9) Di samping mempunyai utang kepada Tuan Lee, PT Prudential juga memiliki utang kepada kreditur lain, yakni: (9a) Hartono Hojana yang beralamat di Muara karang blok E.6.U/11A RT 005 RW 008, Kelurahan Pluit, kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara; (9b) Liem Lie Sia yang beralamat di Jl. Taman Alfa Indah J.7/19 RT 012 RW 007, Kelurahan Petukangan, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan; (9c) Budiman, beralamat di Jalan Muara Karang E 5T/34 RT 007 RW 003, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Putusan Majelis Hakim Setelah Majelis Hakim mendengar tanggapan dari Termohon (PT Prudential) dan memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak, maka Majelis Hakim menjatuhkan putusan dengan amar putusan sebagai berikut: (a) Mengabulkan permohonan pemohon; (b) Menyatakan Termohon PT. Prudential Life Assurance, beralamat di Prudential Center, Menara Thamrin, lantai 3, Jalan M.H. Thamrin Kav. 3, Jakarta Pusat 10250, pailit dengan segala akibat hukumnya; (c) Menunjuk dan mengangkat Binsar Siregar, SH. M.Hum, Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat, sebagai Hakim Pengawas; (d) Mengangkat Sdr. Yuhelson, SH., MH., beralamat di World Trade Centre lantai 12, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 29-31, Jakarta 12920, sebagai kurator dalam kepailitan Termohon; (e) Menyatakan imbalan jasa bagi kurator akan ditetapkan kemudian dengan sebuah penetapan; (f) Menghukum Pemohon untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah).
Berdasarkan uraian mengenai kasus posisi tersebut di atas,maka di bawah ini akan dianalisa Putusan Pengadilan Niaga No. 13/PAILIT/2004/PN.NIAGA.JKT.PST yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit dari Pemohon (Tuan Lee Boon Siong) dan menjatuhkan putusan pailit kepada Termohon (PT Prudential Life Assurance), sebagai berikut: Dalam putusan tersebut, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan unsur “tidak membayar”, apakah Termohon tidak mau membayar atau tidak mampu membayar. Majelis Hakim hanya mempertimbangkan karena Termohon dalam tanggapannya tidak menolak dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon, maka Termohon dianggap mengakui dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon dan karenanya Termohon dinyatakan memiliki utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam perkara ini, seharusnya hakim melakukan penemuan hukum terhadap suatu undang-undang yang tidak lengkap atau tidak jelas, melalui interpretasi atau penafsiran, hakim seharusnya dapat memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan hukum. Dengan demikian, hakim dalam menjalankan fungsinya tidak hanya menerapkannya menurut bunyi undang-undang, karena hakim bukanlah corong undang-undang yang tidak dapat mengubah atau menambah undang-undang. Hakim dalam menjalankan fungsinya bersifat mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum konkrit. Oleh sebab itu, dalam perkara ini hakim seharusnya memahami filosofi dasar (hakekat) dari lembaga kepailitan, sehingga seharusnya kepailitan menjadi jalan terakhir untuk menyelamatkan perusahaan yang insolvency, atau jika tidak dapat diselamatkan setidaknya hak dan kewajiban perusahaan dapat diselesaikan secara adil sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, bukan justru mematikan perusahaan yang sehat. Terlebih lagi menurut laporan keuangan per akhir tahun 2003, Termohon memiliki tingkat solvabilitas yang tinggi dengan total kekayaan Rp.1,575 triliun dan memiliki tingkat Risk Based capital (RBC) mencapai 225%, jauh melebihi angka yang ditentukan pemerintah yaitu 100%. Oleh karena itu, tidak masuk akal
jika ada sebuah perusahaan besar dengan kondisi keuangan yang sehat, jumlah asetnya melebihi kewajibannya dapat dengan mudah dinyatakan pailit karena memiliki utang yang nilainya tidak sebanding dengan jumlah kekayaannya. Di samping itu, memperhatikan Bagian Umum dari Penjelasan atas UU RI No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian bahwa usaha asuransi merupakan usaha yang menyangkut dana masyrakat, dan berperan dalam pembangunan ekonomi, maka bidang usaha perasuransian memerlukan pembinaan dan pengawasan dari Pemerintah dalam rangka pengamanan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, seharusnya Majelis Hakim lebih mempertimbangkan kepentingan mana yang patut didahulukan apakah kepentingan perorangan atau kepentingan masyarakat yang terkait erat dengan keberadaan dan kelanjutan usaha Termohon. Dengan demikian, dalam perkara ini seharusnya Majelis Hakim tidak hanya berdasar pada bahwa karena terpenuhinya syarat-syarat dalam Pasal 1 ayat (1) serta telah terbukti secara sumir maka Majelis Hakim langsung menyatakan pailit tanpa mempertimbangkan solvabilitas perusahaan tersebut dan peran yang sangat penting terhadap masyarakat dan dampak buruk bagi perekonomian nasional atas dipailitkannya suatu perusahaan yang menyerap atau menghimpun dari masyarakat serta kepentingan para stokeholders dan para karyawannya. Di samping itu, dalam perkara ini Majelis Hakim juga harus melihat perkara ini secara menyeluruh dengan jernih, apakah Pengadilan Niaga berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara kepailitan, karena berdasarkan Pasal 6 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998 Majelis Hakim harus mengabulkan permohonan pailit jika syarat-syarat dalam Pasal 1 ayat (3) telah terpenuhi. Permasalahannya disini, apakah dalam perkara ini syarat-syarat dalam Pasal 1 ayat (3) telah terpenuhi? Adanya sengketa mengenai ada tidaknya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih antara Pemohon dan Termohon yang timbul karena Termohon telah melakukan wanprestasi dengan melakukan kegiatan yang dilarang sebagaimana dengan jelas disebutkan dalam pasal 7 Perjanjian Keagenan tersebut
yang mengakibatkan berakhir pemutusan secara sepihak perjanjian keagenan tersebut, menunjukkan bahwa perkara ini tidak dapat diperiksa secara sederhana. Berdasarkan hasil wawancara dengan kuasa hukum Termohon (PT Prudential) yaitu Bapak Tantawi J Nasution, beliau mengatakan bahwa sejak awal menangani perkara ini, ia melihat bahwa perkara ini tidaklah sumir, karena utang yang didalilkan oleh Pemohon sebagai haknya sebenarnya sulit untuk dibuktikan secara sederhana, terbukti dari seluruh utang yang diajukan hanya satu utang yang dikabulkan oleh Majelis Hakim. Menurut beliau, selama ia menangani perkara kepailitan baru kali ini terjadi hanya satu utang yang dikabulkan oleh Hakim dari utang-utang yang diklaim oleh Pemohon yang kemudian dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan pailit. Selanjutnya pada tingkat Kasasi, Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan secara tegas bahwa perkara antara Tuan Lee Boon Siong dan PT. Prudential Life Assurance merupakan perkara yang tidak dapat diperiksa secara sederhana. Oleh karenanya perkara tersebut harus diajukan ke Pengadilan Negeri. Dengan demikian, karena perkara tersebut merupakan murni sengketa, maka perkara tersebut seharusnya diperiksa dan diputus di Pengadilan Negeri melalui gugatan wanprestasi. Namun demikian, karena kriteria yang dapat dijadikan pegangan untuk menentukan apakah suatu kasus tersebut dapat dibuktikan secara sederhana atau tidak masih simpang siur, sedangkan pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh Hakim Niaga (termasuk Hakim kasasi dan Hakim PK di MA) juga belum dapat digunakan sebagai tolok ukur yang jelas, maka dibutuhkan interpretasi hakim untuk menafsirkan pengertian pembuktian secara sumir tersebut. Dan karena hakim memiliki kewenangan untuk menafsirkan pengertian pembuktian sederhana, maka hal ini membuka ruang diskresi yang lebar bagi hakim untuk menafsirkan pengertian pembuktian sederhana dalam menyelesaikan permohonan kepailitan. Penafsiran yang berbeda-beda oleh Majelis Hakim ini dapat membuka peluang penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pihak-pihak tertentu, dan Ketidakjelasan
mengenai pengertian pembuktian secara sederhana ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, dan membuka peluang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). |Simpulan (1) Pengadilan Niaga secara lex specialis mempunyai kewenangan khusus untuk mengadili suatu permohonan kepailitan; (2) Pengadilan Niaga mempunyai kewenangan dalam memeriksa utang piutang pada kasus Prudential meskipun sebenarnya putusan tersebut tidak benar berdasarkan pertimbangan yuridis-ekonomis karena prudential merupakan perusahaan yang sangat sehat Saran (1) Perlunya amandemen pasal 1 ayat (1) dan juga pasal 6 ayat(3) UU no4 Tahun 1998.Yang secara sederhana kedua pasal tersebut dapat mempailitkan perusahaan yamg sehat dan besar; (2) Para Hakim dapat memutus perkara kepailitan sampai dilakukan amandemen kedua pasal tersebut,Maka para Hakim dapat melakukan terobosan hokum atau penemuan hokum selama tidak bertentangan dengan prinsip keadilan. DAFTAR PUSTAKA BUKU/LITERATUR Abdurrachman. A 1991 Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan,. Asikin, Zainal. 2001 Hukum Kepailitan & Penundaan Pembayaran Di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: PT. RajaGrafinda Persada. Black, Henry Campbell. 1968 Black’s Law Dictionary, St. Paul Minnesota, USA: West Publishing Co.,. Erni, Daly. “Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data Lapangan.” (Makalah disampaikan dalam Pelatihan Penelitian Hukum, FHUI, 25-29 April 2005). Fuady, Munir. 2002 Hukum Pailit 1998 Dalam ,Teori dan Praktek. Cet. 2. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,. Gautama, Sudargo. 1998 Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia (1998). Cet. 1. Bandung: PT. Rineka Aditya Bakti..
Hoff, Jerry. Undang-undang Kepailitan Di Indonesia. Diterjemahkan oleh Kartini Muljadi. Jakarta: PT. Tatanusa, 2000. Huizink, J.B. , 2004 Insolventie. Diterjemahkan oleh Linus Doludjawa. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Juwana, Hikmahanto. “Pailitnya prudential, harga Mahal Panasea IMF,” Kompas (19 Mei 2004): 49. “Kasus Prudential Membuat investor Prihatin.” Kompas (5 Juni 2004): 27. Parinduri, Rasyad A. “Sehat tapi Pailit,” Koran Tempo (29 April 2004): B7. “Pengadilan Pailitkan prudential Life,”
. 23 April 2004. Rasjidi, Lili. 1992 ”Penelitian Hukum Empiris/Sosiologis (Socio Legal Empiris),” Makalah disampaikan pada Penataran Metodologi Penelitian Bidang Ilmu Hukum Bagi Dosen Perguruan Tinggi Swasta SeIndonesia, Cisarua-Bogor, 12-17 Januari. Santoso, Topo. “Penulisan Proposal penelitian Hukum Normatif.” (Makalah disampaikan dalam Pelatihan Penelitian Hukum, FHUI, 25-29 April 2005). Sardjono, Agus. “Pengumpulan, Pengolahan, Dan Analisa Data kepustakaan.” (Makalah disampaikan dalam Pelatihan Penelitian Hukum, FHUI, 25-29 April 2005). Simandjuntak, Herris B. “Ancaman Pailit Perusahaan Asuransi, Revisi UU Kepailitan Mendesak,” Kompas (6 Mei 2004): 27. Situmorang, Victor M. & Hendri Soekarso, 1994 Pengantar Hukum Kepailitan Di Indonesia. Cet. 1. Jakarta: Rineka Cipta,. Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Cet. 1. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI Press, 1986. Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Cet.4. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Tumbuan, Fred B.G. “Mencermati PokokPokok Undang-Undang Kepailitan Yang Diubah Perpu Bo. 1/1998.” Newsletter No. 3 (Juni 1998):1-7. …………… “Ciri-Ciri Utama Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagimana Dimaksud Dalam Undang-Undang Tentang Kepailitan.” Makalah disampaikan pada Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum, Jakarta, 2-19 Agustus 1999. Uwiyono, Aloysius. “Proposal Penelitian Hukum Empiris (Non-Doktrinal).” (Makalah disampaikan dalam Pelatihan Penelitian Hukum, FHUI, 25-29 April 2005). Yani, Ahmad & Gunawan Widjaja. 2002 Seri Hukum Bisnis Kepailitan. Cet. 3. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Faillissements verordening. Staadblaad 1905 No. 217 jo Staadblaad 1906 No. 348.
Indonesia A. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan. Perpu No. 1 tahun 1998. LN No. 87 Tahun 1998. TLN. No. 3761. Indonesia B. Undang-Undang Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. UU No. 4 tahun 1998. LN No. 135 Tahun 1998. TLN. No. 3761. Indonesia C. Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas. UU No. 1 Tahun 1995. LN No. 13 Tahun 1995. TLN No. 3587. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet 25. Jakarta: Pradnya Paramita, 1992.