BAB II KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA MEMERIKSA PERKARA KEPAILITAN BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
A. Pengadilan Niaga 1.
Latar Belakang Lahirnya Pengadilan Niaga Yang mendasari dan melatar belakangi lahirnya Pengadilan Niaga adalah
Pasal 27 UU No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berisi : (1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU.No.48 Tahun 2009. (2) Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang. Dan Oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara). Beberapa bentuk Pengadilan khusus lainnya, antara lain seperti Pengadilan Hubungan Industrial yang ditetapkan dengan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berada di bawah lingkungan
24 Universitas Sumatera Utara
Peradilan umum, Pengadilan Anak yang telah ditetapkan dengan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang berada di bawah lingkup Peradilan Umum. 36 Demikian halnya UU No. 2 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No.8 Tahun 2004 Tentang peradilan Umum, dalam Pasal 8 dinyatakan secara tegas “Di lingkungan Peradilan Peradilan Umum dapat diadakan Pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang”. Undang-Undang memberikan ruang untuk terbentuknya Pengadilan khusus yang berada dibawah lingkungan Peradilan Umum dengan syarat bahwa pembentukan pengadilan khusus tersebut ditetapkan melalui UU. Pembentukan Pengadilan Niaga ini menunjukkan bahwa perkembangan sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup berarti. Dari segi struktur organisasi, kedudukan Pengadilan Niaga merupakan bahagian khusus di dalam lingkungan Peradilan Umum. 37 Tujuan utama dibentuknya Pengadilan Niaga ini adalah agar dapat menjadi sarana hukum bagi penyelesaian hutang piutang diantara para pihak yaitu Debitor dan kreditor secara cepat, adil, terbuka, dan efektif, sehingga dengan demikian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya. Selain itu sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta 38 , hal ini merupakan salah satu langkah positif dalam hal memperbaiki carut-marutnya UUK terdahulu yang lahir 36 37 38
Jono, Hukum Kepailitan, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2008), hlm 81-82. Sunarmi, Hukum Kepailitan (edisi 2), (Jakarta: sofmedia, 2010),hlm.227. Ibid, hlm.229.
Universitas Sumatera Utara
akibat desakan International Monetery Fund (IMF) karena peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintahan kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan kurang memenuhi tuntutan zaman. 39 guna
Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah
memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). 40 Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa gugatan/ permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak Pengadilan lain. 41
2.
Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga Lembaga Kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi
penting, sebagai realisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata yakni Pasal 1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitur terhadap hutang-hutangnya. 42 Menurut Pasal 1131 : segala kebendaan berhutang baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatanya perseorangan.
39
Ahmad yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis : Kepailitan, (Jakarta : Rajawali Pers, 1999), hlm.1-2. 40 Ibid, hlm. 230. 41 Ibid. 42 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, (Malang: Departemen Pendidikan Nasional, 2002), hlm.10.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1132 menentukan Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya. Pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masingmasing kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Kedua pasal tersebut di atas memberikan jaminan kepastian kepada kreditur bahwa kewajiban debitur akan tetap dipenuhi/ lunas dengan jaminan dari kekayaan debitur baik yang sudah ada maupun yang masih akan ada dikemudian hari Pasal 1131 KUH Perdata dan 1132 KUH Perdata itu merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-transaksi yang telah diadakan. 43 Adapun hubungan kedua pasal tersebut adalah bahwa kekayaan debitur merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya secara proporsional, kecuali bagi krediturnya dengan hak mendahului (hak preferensi). Jadi pada dasarnya, asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUH perdata dan 1132 KUH perdata ini adalah bahwa UU mengatur tentang hak menagih bagi kreditur atau kreditur-krediturnya terhadap transaksinya dengan debitur. Bertolak dari asas tersebut di atas sebagai lex generalis, maka ketentuan kepailitan mengaturnya dalam urutan yang lebih rinci dan operasional. Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai dua fungsi sekaligus yaitu :
43
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
(1)
Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur tidak akan berbuat curang, dan bertanggung jawab atas semua hutanghutangnya kepada semua kreditur-krediturnya.
(2)
Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh kreditur-krediturnya. Jadi keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau
sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Sistem pengaturan yang taat asas inilah yang mempunyai nilai utama dalam rangka memberikan kepastian hukum. Oleh karena itu lembaga kepailitan berfungsi sebagai pengawas implementasi pelaksanaan Peraturan Kepailitan dan mekanisme pembayaran utang terhadap semua kreditur dengan mengacu yang diperintahkan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata yang merupakan dasar hukum dari kepailitan. 44 Kedudukan dan Pembentukan Pengadilan Niaga, menurut Sudargo Gautama merupakan pencangkokan institusi baru, Artinya Pencangkokkanya itu diambil dari berbagai lembaga baru dalam sistem hukum dan praktek hukum yang sudah ada dalam rangka Faillisemen. Dianggap wajar oleh pembuat Undang-Undang, jika dalam rangka untuk menyediakan sarana hukum sebagai landasan untuk menyelesaikan hutang piutang, dianggap perlu peraturan kepailitan yang dapat 44
Sri Redjeki Hartono, Analisis Terhadap Peraturan Kepailitan Dalam kerangka Pembangunan Hukum, (Semarang: Elips Project, 1997), hlm.5.
Universitas Sumatera Utara
memenuhi kebutuhan dunia usaha yang makin berkembang secara cepat dan bebas. 45 PERPU (Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang) No.1 Tahun 1998 dipilih untuk melakukan penyempurnaan atas peraturan Faillissemen yang sudah ada. Karena dengan demikian dapat diharapkan bertindak lebih cepat dengan dasar pertimbanganya yaitu : (1) Adanya kebutuhan yang besar yang sifatnya mendesak untuk secepatnya mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang dapat berlangsung secara cepat, adil, terbuka, dan efektif untuk menyelesaikan piutang perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap perekonomian nasional. (2) Dalam rangka penyelesaian akibat-akibat dari gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997, khususnya berkenaan dengan masalah utang piutang di kalangan dunia usaha nasional, dianggap perlu adanya penyelesaian yang cepat mengenai masalah ini. Untuk itu perlu kesediaan perangkat hukum untuk memenuhi kebutuhan. Penyelesaian masalah utang piutang. Dengan demikian perusahaan-perusahaan dapat segera beroperasi secara normal. Bila kegiatan ekonomi berjalan kembali, akan berarti pengurangan tekanan sosial yang menurut pengamatan pemerintah sudah terasa banyak di lapangan kerja. Maka perlu diwujudkan penyelesaian utang-piutang ini secara cepat dan efektif. 46 Dalam Pasal 8 UU No. 3 Tahun 1986 Tentang Pengadilan Umum disebutkan bahwa : “Yang dimaksud dengan ‘diadakanya pengkhususan’ ialah adanya 45
Sudargo Gautama, Komentar Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia, (Bandung:Citra Adytia Bakti, 1998), hlm.9. 46 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diferensiasi / spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum, misalnya Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak dan Pengadilan Ekonomi”. Dengan demikian dalam UU No. 4 Tahun 1998 diatur terbentuknya Pengadilan Niaga yang merupakan Pengadilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum. Ketentuan Pasal 300 UUK-PKPU secara tegas menentukan : (1) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden (KEPRES), dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan. Berlakunya UU Kepailitan 1998 telah memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima permohonan Kepailitan dan Penundaan kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). 47 Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak Pengadilan lain. 48
47 48
Sunarmi, Loc.cit.hlm.229. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 300 ayat (1) memberikan kekuasaan kepada Pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara lain di bidang perniagaan selain perkara Kepailitan dan PKPU. Namun tidak terdapat penjelasan apa yang dimaksud dengan perkara lain di bidang perniagaan tersebut, hal ini disebabkan Undang-Undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Dengan demikian, Undang-Undang yang akan mengatur hal tersebut kelak, hendaknya harus jelas bidang-bidang perniagaan apa saja yang menjadi kewenangan yurisdiksi dalam mengadili antara Pengadilan Niaga dengan Pengadilan Negeri. Undang-Undang di bidang HAKI 49 telah secara tegas menetukan bahwa perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di Pengadilan Niaga. Hal ini berarti, bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga selain menyelesaikan sengketa – sengketa di bidang kepailitan dan PKPU, juga menyelesaikan sengketa HAKI.
3.
Hakim Pengadilan Niaga Hakim Pengadilan Niaga diangkat berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah
Agung. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim sebagaimana dimaksud pada Pasal 302 ayat (2), adalah : a.
Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan Peradilan Umum;
b.
Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan;
c.
Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
49
Seperti yang terdapat dalam Pasal 76 ayat (2) UU No.15 Tahun 2001 tentang Merek.
Universitas Sumatera Utara
d.
Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada pengadilan. Dengan tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada Pasal
302 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan Keputusan Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang yang ahli, sebagai hakim Ad-hoc, baik pada tingkat pertama, Kasasi, maupun pada Peninjauan Kembali (Pasal 302 UUKPKPU). Dalam hal pemeriksaan perkara Kepailitan, ada 2 jenis hakim yang dapat memeriksa perkara Kepailitan yaitu : 1.
Hakim Tetap.
2.
Hakim Ad-Hoc. 50
ad 1. Hakim Tetap Hakim Tetap, yaitu para hakim yang diangkat berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung untuk menjadi Hakim Pengadilan Niaga. Landasan hukumnya dapat merujuk pada Pasal 302 ayat (1), dan pasal 302 ayat (2) UUKPKPU. ad 2. Hakim Ad-hoc Untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam proses penyelesaian utang-piutang swasta, selain direvisinya Fv, dan dibentuknya Pengadilan Niaga, juga di introdusir hakim Ad-hoc untuk dapat menjadi bagian dari majelis hakim yang memeriksa suatu perkara di Pengadilan Niaga. 50
Sunarmi, Op.cit, hlm.234.
Universitas Sumatera Utara
Ide awal keterlibatan hakim Ad-hoc di Pengadilan Niaga didasarkan pada penilaian atau asumsi beberapa pihak bahwa pengetahuan “Hakim Karir” cenderung bersifat umum (generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada lingkup Niaga diperlukan hakim dengan keahlian khusus, di luar dari “Hakim Karir” yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk menjadi “Hakim Niaga”. 51 Pengangkatan hakim Ad-hoc dalam Kepailitan ditentukan dalam UU No.4 Tahun 1998 yang kemudian dikuatkan kembali dalam UU No. 37 Tahun 2004. Selama berlakunya UU No.4 Tahun 1998 yang kemudian disempurnakan oleh UU No.37 tahun 2004, pengangkatan hakim Ad-hoc di Pengadilan Niaga telah dilakukan 2 (dua) kali, yakni melalui 2 (dua) buah Keppres. Pertama, Keppres No. 71/M/1999 tertanggal 27 Februari 1999 berisi pengangkatan 4 (empat) orang hakim ad-hoc untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Kedua, Keppres No.108/M/2000, berisikan Pengangkatan 9 (sembilan) hakim Ad-hoc. Penempatan hakim Ad-hoc dalam majelis hakim adalah berdasarkan penunjukan dari hakim Ketua Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Niaga yang bersangkutan, dengan terlebih dahulu adanya permohonan dari salah satu pihak yang berperkara (Pemohon Pailit). Konsekuensi dari sifat fakultatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 283 ayat (3) UU No. 4 Tahun 1998, maka bila tidak ada permintaan dari pihak tersebut, maka hakim Ad-hoc tersebut tidak bertugas. Kondisi inilah yang antara lain mengakibatkan sistem hakim Ad-hoc tidak bekerja.
51
Ibid, hlm.235.
Universitas Sumatera Utara
Sesuai dengan ketentuan Pasal 303 ayat (3), maka persyaratan pengangkatan seorang sebagai hakim Ad-hoc yang membedakan dengan hakim Pengadilan Niaga lain adalah hakim ad-hoc tersebut haruslah seorang “ahli”. Jadi berdasarkan usulan dengan “hakim Niaga”dari Ketua Mahkamah Agung melalui Keppres maka di Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang ahli sebagai hakim Ad-hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama dengan “hakim Niaga” atau “hakim karir” seperti mempunyai kemampuan pengetahuan di bidang masalah yang menjadi lingkup kewenangan Pengadilan Niaga, dan persyaratan lain, harus tetap dipenuhi. 52 Paulus Efendi Lotulung menyebutkan beberapa kemungkinan pengangkatan hakim Ad-hoc (sebagai hakim pengawas atau hakim majelis) adalah: 1. Atas permohonan para pihak, baik langsung maupun dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga yang selayaknya diberikan jika wajar (should not be reasonably). 2. Hanya dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga atas kewenanganya sendiri. 53 Tentunya pilihan pertama lebih dapat diterima, karena cukup terdapat check and balance. Biaya atau imbalan bagi hakim Ad-hoc tersebut, jika perlu tambahan dapat diambil dari harta Pailit. Dalam Pasal 304 UUK-PKPU menentukan bahwa : 52 53
Ibid, hlm.235-236. Paulus Efendi Lotulung, dalam Sunarmi, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Perkara yang pada waktu UU ini berlaku: a. Sudah diperiksa dan diputus tetapi belum dilaksanakan atau sudah diperiksa tetapi belum diputus maka diselesaikan berdasarkan peraturan perundangundangan di bidang Kepailitan sebelum berlakunya UU ini; b. Sudah diajukan tetapi belum diperiksa, diselesaikan berdasarkan ketentuan dalam UU ini; Pasal 305 UUK-PKPU menentukan bahwa : “ Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari UU tentang Kepailitan (Faillissements-verordening, Stbld 1905:217 jo Stbld 1906: 348) yang diubah dengan Perpu No.1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan yang ditetapkan menjadi UU berdasarkan UU No.4 Tahun 1998 pada saat UU diundangkan masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan UU ini. Berlakunya UUK-PKPU No.37 tahun 2004 mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi ( Faillissements-verordening Staatblad 1905:217 jo Staablad 1906:348 ) dan UU No.4 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UU Tentang Kepailitan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 307 UUK-PKPU yang menyatakan : “ Pada saat UU ini mulai berlaku, UU Tentang Kepailitan (Fv dan UU No.4 Tahun 1998) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selain Hakim tetap dan Hakim Ad-hoc di atas ada 1 hakim lagi yang berperan dalam perkara Kepailitan yakni Hakim Pengawas. Hakim pengawas ini berperan untuk mengawasi pelaksanaan pemberesan harta pailit, dalam keputusan Kepailitan,
Universitas Sumatera Utara
yang diangkat oleh Pengadilan. Dahulu untuk hakim pengawas tersebut disebut sebagai hakim komisaris, tetapi jika ada keberatan terhadap hakim pengawas dapat ditempuh prosedur keberatan. Dan Pengadilan wajib mendengar pendapat hakim pengawas sebelum mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit. 54 Secara umum, tugas hakim pengawas adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit, seperti yang disebutkan dalam Pasal 65 UUK-PKPU, yang intinya sama dengan ketentuan Pasal 63 Fv yang tidak diubah dan dicabut oleh UU No.4 Tahun 1998.
B. Kompetensi Pengadilan Niaga Menurut UUK-PKPU, pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara permohonan Kepailitan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum si debitur. 55 Dan apabila debitur adalah badan Hukum maka merujuk pada kedudukan hukum yang terdapat pada anggaran dasarnya (Pasal 3 ayat (5) Dalam hal Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan Pailit
54
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum (Bandung:Alumni,2007), hlm.56. 55 Lihat di Pasal 3 ayat 1 UUK-PKPU
Kepailitan;Perusahaan;
dan
Asuransi,
Universitas Sumatera Utara
adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor. 56 Bila dalam hal Debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan. 57 Dalam hal Debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat si debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia. 58 Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. 59 Yang dimaksud pengadilan menurut UUK-PKPU ini adalah Pengadilan Niaga yang merupakan pengkhususan Pengadilan di bidang Perniagaan yang dibentuk dalam lingkup Peradilan Umum. 60 Pengadilan Niaga yang pertama kali di dirikan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pembentukan Pengadilan Niaga dilakukan secara bertahap dengan keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang di perlukan. Sebelum Pengadilan Niaga terbentuk, semua perkara yang menjadi lingkup 56 57 58 59 60
Lihat di Pasal 3 ayat 2 UUK-PKPU Lihat di Pasal 3 ayat 3 UUK-PKPU Lihat di Pasal 3 ayat 4 UUK-PKPU Lihat di Pasal 3 ayat 5 UUK-PKPU Lihat di Pasal 1 ayat 7 UUK-PKPU
Universitas Sumatera Utara
kewenangan Pengadilan Niaga diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Hal ini berdasarkan pasal 281 ayat (1) PERPU No.1 Tahun 1998 jo.UU No.1 tahun 1998 kemudian dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup Pengadilan Niaga sebagaimana dalam bagian ketentuan Penutup Bab VII Pasal 306 UUK-PKPU tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Yang bunyinya adalah sebagai berikut : Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga.
Pengadilan Niaga pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mana Pengadilan Niaga tersebut berwenang untuk menerima permohonan Kepailitan dan PKPU yang meliputi lingkup di seluruh wilayah Indonesia dan untuk pertama kali Pengadilan Niaga Jakarta Pusat diberikan yurisdiksi terbatas yaitu untuk memeriksa
permohonan Pailit. 61 Namun dengan lahirnya UUK-PKPU maka
pengaturan kewenangan Pengadilan Niaga harus mengacu pada UUK-PKPU sebagaimana diatur dalam Pasal 306 UUK-PKPU yaitu : Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat 1 PERPU No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No.4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas Pengadilan Niaga. 61
Bagus Irawan, Op.cit, hlm.76.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahap permulaan pembentukan Pengadilan Niaga, kewenangan mengadili (Kompetensi Absolut) hanyalah meliputi pemeriksaan dan pemutusan perkara permohonan Kepailitan dan PKPU saja, dan untuk pertama kali Pengadilan Niaga dibentuk pada tanggal 20 Agustus 1998 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Untuk menjalankan proses pemeriksaan perkara Kepailitan Pasal 301 UUKPKPU menentukan : (1) Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama dengan majelis hakim; (2) Dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 ayat 1, Ketua Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal. (3) Dalam menjalankan tugasnya, hakim Pengadilan dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera pengganti dan juru sita. Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan penyelesaian perkara Kepailitan adalah tentang kewenangan Pengadilan antara Pengadilan Niaga dan Pengadilan Negeri. Berdasarkan cetak biru Pengadilan Niaga, maka terungkap bahwa sebenarnya proses kepailitan di Pengadilan Niaga tidak efektif. Hal ini terjadi karena sering kali ada perkara-perkara Kepailitan yang ternyata menimbulkan persinggungan antara Pengadilan Negeri dengan Pengadilan Niaga. 62
62
Sunarmi, Op.cit, hlm.231.
Universitas Sumatera Utara
Persinggungan yang terjadi, misalnya saja ada perusahaan yang sudah dinyatakan Pailit dan seharusnya berdasarkan UUK-PKPU dikelola oleh kurator, ternyata masih bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Hal ini dianggap aneh karena seharusnya, perkara tersebut menjadi kompetensi pengadilan Niaga dan bukan Pengadilan Negeri. 63 Untuk mencegah terjadi persinggungan perlu ada mekanismenya. Pasalnya, selama ini bila ada perkara-perkara Kepailitan dan HAKI yang diajukan ke Pengadilan Negeri tidak ada mekanisme pencegahannya, Karena berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman, Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada dasar hukumnya. Selain menangani perkara kepailitan dan PKPU serta perkara-perkara di bidang perniagaan lainnya, Pengadilan berwenang menangani perkara pernyataan permohonan Pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula Arbitrase. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 303 UUK-PKPU yang menentukan bahwa : Pengadilan berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan Pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula Arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 UU ini. Penjelasan Pasal 303 kembali menegaskan tentang kewenangan Pengadilan Niaga terhadap perjanjian yang memuat klausula Arbitrase yaitu bahwa ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan Niaga 63
Ibid, hlm.231-232.
Universitas Sumatera Utara
tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula Arbitrase. Pada tanggal 18 Agustus 1999, keluarlah Keppres No.97 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri semarang. Keppres No.97 Tahun 1999 dibuat bertujuan untuk : a. Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 281 ayat (2) Undang-undang tentang Kepailitan (Staatsblad Tahun 1905 No. 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 No. 348), yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 1998, sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang no. 4 Tahun 1998; b. Untuk meningkatkan pemerataan dan mempermudah masyarakat baik secara perorangan atau badan usaha dalam menyelesaikan sengketa di bidang perniagaan secara adil, cepat, terbuka dan efektif, dipandang perlu membentuk Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri di kota-kota besar pusat perdagangan; 64 Dengan didasari pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Presiden RI tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang;
64
Dapat dilihat dalam konsiderans Keppres No.97 Tahun 1999
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 2 Keppres No.97 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang menentukan tentang wilayah hukum Pengadilan Niaga yang meliputi : (1)
Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.
(2)
Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh. 65
(3)
Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya meliputi Wilayah Propinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.
(4)
Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang meliputi Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya dalam Pasal 4 menentukan tentang sengketa yang menjadi
kewenangan Pengadilan Niaga meliputi : (1) Sengketa di bidang Perniagaan yang termasuk lingkup kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan-Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ini ditetapkan telah diperiksa tetapi belum diputus 65
Daerah Istimewa Aceh telah berganti nama menjadi Nangroe Aceh Darusalam.
Universitas Sumatera Utara
oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (2) Sengketa di bidang perniagaan yang termasuk lingkup kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ini ditetapkan telah diajukan tetapi belum diperiksa oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dilimpahkan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang sesuai dengan daerah hukum masing-masing Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Khusus untuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Pasal 5 menentukan tentang daerah hukumnya , yakni pada saat berlakunya Keputusan Presiden ini, maka daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung dan Kalimantan Barat. Menurut Sutan Remy, pembentukan Pengadilan Niaga dalam mengadili perkara-perkara Perniagaan, didasarkan pada pertimbangan kecepatan dan efektifitas, perkara-perkara Kepailitan. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Kepailitan adalah langsung Kasasi ke Mahkamah Agung tanpa upaya banding melalui Pengadilan
Universitas Sumatera Utara
Tinggi. Dengan demikian, perkara Kepailitan akan berjalan lebih cepat bila dibanding dengan pemeriksaan biasa di Pengadilan Negeri. 66 Putusan perkara permohonan kepailitan akan lebih efektif oleh karena menurut Undang-undang kepailitan putusan perkara permohonan Kepailitan tersebut bersifat serta merta artinya, kurator telah dapat menjual harta Pailit meskipun pernyataan putusan pernyataan Pailit tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap, karena terhadap putusan itu diajukan upaya hukum kasasi. 67 Dengan demikian, terbentuknya Pengadilan Niaga sebagai instrumen penunjang reformasi hukum Kepailitan merupakan langkah yang dapat dikatakan fenomenal. Pembentukan Pengadilan Niaga tidak hanya memberikan Jalan bagi proses reformasi hukum Kepailitan itu sendiri, tetapi memiliki efek lebih jauh yaitu melapangkan jalan bagi reformasi Peradilan dalam bidang perekonomian lainya 68 , tanpa mengesampingkan asas yang ada dalam Undang-Undang Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang antara lain : 1. Asas Keseimbangan Merupakan perwujudan dari asas keseimbangan yaitu, di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga Kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak, terdapat ketentuan yang
66
Sutan Remy Syahdeny, Hukum Kepailitan; Memahami Faillissementsverordening juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, (Jakarta: Grafity, 1992), hlm.149. 67 Elijana.S ,Penyelesaian Utang-Piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung:Penerbit Alumni,2001), hlm.15-16. 68 Bagus Irawan, Op.cit, hlm.75.
Universitas Sumatera Utara
dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga Kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. 2. Asas Kelangsungan Usaha Terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. 3. Asas Keadilan Bahwa ketentuan mengenai Kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangwenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memperdulikan Kreditor lainya. 4. Asas Integrasi Bahwa sistem hukum Formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
C. Pemeriksaan Perkara Kepailitan Dalam hal ini dapat dilihat dari 2 sistem hukum yaitu Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Kepailitan. Terlebih dahulu akan dibahas : 1.
Hukum Acara Perdata
a.
Sifat Hukum Acara Perdata Hukum Acara Perdata (HAP) adalah seperangkat hukum perdata formil yang
menjamin kelangsungan proses Pengadilan secara lancar, cepat, dan biaya murah,
Universitas Sumatera Utara
serta dapat dilaksanakan putusan hakim. Tujuan proses Pengadilan adalah untuk mendapatkan kepastian kedudukan hukum dalam suatu sengketa yang diajukan oleh para pihak ke hadapan sidang Pengadilan. 69 Dalam Hukum Acara Perdata inisiatif suatu perkara perdata berada di tangan para pihak yang bersengketa. Sikap dan prilaku para pihak sangat berpengaruh terhadap jalannya proses Pengadilan. Namun demikian, bukan berarti para pihak bisa bertindak semaunya di muka persidangan. Para pihak, kuasa hukum atau hakim sekalipun terikat dengan aturan main yang telah baku dalam menangani proses perkara. Sebagai contoh, para pihak tidak bisa merubah atau mencabut kembali gugatan yang telah diajukan secara sepihak, terutama bila tergugat telah memberi jawaban terhadap penggugat. Tindakan ini baru dapat dilakukan oleh penggugat atas izin tergugat. Demikian juga mengenai tenggang waktu untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek, banding, kasasi, atau Peninjauan kembali (PK) telah diatur secara cermat dan harus ditaati. Bila ketentuan ini dilanggar, maka konsekuensinya gugatan yang diajukan dinyatakan oleh hakim tidak dapat diterima. 70
b. Tuntutan Hak dan Gugatan Dalam Hukum Acara Perdata Tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri
69 70
Muhammad Nasir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Djambatan,2002), hlm.25. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
(eigenrichting). 71
Dalam RUU HAP, gugatan dimaksudkan sebagai tuntutan hak
yang mengandung sengketa dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan. Darwan Prinst merumuskan gugatan sebagai suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya, dan harus diperiksa menurut tata cara tertetu oleh pengadilan, serta kemudian dibuat putusan terhadap gugatan tersebut. 72 Dari pengertian tuntutan hak di atas dapat dipahami bahwa ada seseorang atau badan hukum yang ‘merasa’ telah dilanggar haknya, sedangkan yang ‘dirasa’ melanggar hak tersebut tidak bersedia secara sukarela memenuhi tuntutan yang diajukan kepadannya. Untuk menentukan siapa yang benar dan berhak, diperlukan adanya suatu putusan hakim. Dalam hal ini hakim bertugas memeriksa, mengadili, dan memutuskan siapa di antara para pihak tersebut yang benar dan berhak atas tuntutan hak tersebut. Seseorang atau badan hukum yang mengajukan tuntutan hak berarti mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum. Pihak yang tidak menderita kerugian, baik materiil maupun non-materiil, mengajukan tuntutan hak, dianggap tidak memiliki kepentingan sehingga tuntutanya tidak diterima oleh Pengadilan. Demikian juga, tidak setiap kepentingan dapat diterima sebagai dasar pengajuan tuntutan hak. Sebagai contoh Arnold berutang pada Basri. Setelah jangka 71
Sudikno Mertokusumo, Hukum dan Peradilan, (Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada,1968), hlm.21 72 Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, (Bandung : Citra Adytia Bakti, 1992), hlm.2.
Universitas Sumatera Utara
waktu yang dijanjikan tiba, Arnold belum juga melunasi utangnya kepada Basri. Candri sebagai kakak Basri merasa kasihan kepada adiknya yang merasa ditipu oleh Arnold dan merasa berkewajiban untuk membela kepentingan adiknya. Tanpa mendapat kuasa dari Basri, Chandri menggugat Arnold agar Arnold membayar utangnya kepada Basri. Di sini jelas Chandri memiliki kepentingan yaitu untuk membela adiknya sendiri, Basri. Namun kepentingan seperti itu belum cukup untuk timbulnya hak untuk dapat menuntut melalui Pengadilan. Jadi, tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan seperti itu dapat mengajukan tuntutan hak semaunya ke Pengadilan. Hanya kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai dasar tuntutan hak. 73
c.
Kompetensi Peradilan Dalam Hukum Acara Perdata Ada dua bentuk kompetensi peradilan yaitu Kompetensi Absolut dan
Kompetensi Relatif. Kompetensi Absolut adalah wewenang yang menyangkut pembagian dalam sengketa perceraian. Bagi mereka yang beragama Islam, penyelesaian sengketa ini menjadi wewenang absolut Peradilan Agama (PA) sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat (1a) Undang-undang No.1 Tahun 1974. Sedangkan sengketa sewa menyewa, jual beli, pinjam-meminjam, utang piutang, gadai, taggungan, dan perceraian bagi yang beragama non muslim, menjadi wewenang Peradilan Umum (PU) dalam hal ini Pengadilan Negeri untuk mengadili sengketa tersebut. 73
Star Busmann, dalam Muhammad Nasir, Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Kompetensi Relatif mengatur tentang pembagian kekuasaan mengadili suatu perkara perdata antara Pegadilan sejenis, tergantung tempat domisili tergugat (actor sequitur forum rei) (Pasal 118 ayat (1) HIR,142 ayat (1) Rbg). Jadi Kompetensi Relatif berkaitan dengan wilayah hukum suatu badan Peradilan. 74
d. Tempat Pengajuan Gugatan Dalam Hukum Acara Perdata 1.
Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara perdata yang diajukan kepadanya adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi : a. tempat tinggal tergugat; b. tempat tinggal salah seorang tergugat, dalam hal tergugat lebih dari seorang: c. tempat tergugat sebenarnya berada, dalam hal tempat tinggal tergugat tidak diketahui; d. tempat tinggal penggugat, dalam hal tempat tinggal tergugat atau tempat tergugat sebenarnya berada tidak diketahui; e. tempat tinggal penggugat, dalam tergugat bertempat tinggal diluar daerah Republik Indonesia; f. tempat tinggal tergugat yang berhutang, dalam hal para tergugat terdiri dari tergugat yang berhutang dan tergugat yang menjamin hutang; g. tempat barang yang digugat berada, dalam hal gugatan tentang barang-barang yang tidak bergerak;
74
Muhammad Nasir, Op.cit, hlm.72.
Universitas Sumatera Utara
h. tempat tinggal yang ditentukan, dalam hal telah ditentukan dalam suatu perjanjian tertulis antara penggugat dan tergugat. 75 i. Pengadilan Negeri berwenang untuk mengadili perkara perdata yang salah satu pihaknya adalah Negara/Pemerintah/Daerah Tingkat I/Daerah Tingkat II (Kotapraja atau Kabupaten). 2.
a. Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara perdata yang diajukan kepadanya, apabila perkara tersebut menurut peraturan perundang-undangan yang ada termasuk wewenang badan peradilan yang lain. b. Karena jabatannya Ketua Pengadilan Negeri harus menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang mengadili, walaupun tidak ada suatu tangkisan dari tergugat. 76
e.
Pelaksanaan Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata
1.
Hakekat Pelaksanaan Putusan Hakim Eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Pada asasnya suatu putusan hakim yang sudah mempunyai hukum pasti yang dapat dijalankan. Semua putusan Pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa oleh alat-alat negara. Adanya kekuatan eksekutorial pada putusan putusan adalah karena kepalanya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha 75 76
Lihat dalam Pasal 142 R.Bg/118 HIR. K.Wantjik Saleh, Hukum Acara perdata, (Jakarta: Ghalia Indonesia,1981), hlm.98-99.
Universitas Sumatera Utara
Esa”.akan tetapi tidak semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap memerlukan pelaksana secara paksa oleh alat negara, tetapi hanya putusan Pengadilan diktumnya bersifat condemtoir. Sedang putusan yang bersifat deklaratoir dan konstitutif tidak memerlukan alat negara untuk melaksanakan karena putusan itu tidak memuat adanya hak atas suatu prestasi”. 77 Pengecualiannya adalah apabila suatu putusan dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu sesuai dengan Pasal 180 HIR. Perlu juga dikemukakan, bahwa tidak semua putusan yang sudah mempunyai kekuatan pasti harus dijalankan, karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat condemnatoir yaitu yang mengandung perintah kepada pihak untuk melakukan suatu perbuatan. 78 Cara melaksanakan putusan hakim diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 208 HIR. Sehubungan dengan hal ini dikemukakan, bahwa Pasal 209 sampai dengan Pasal 222 HIR sesungguhnya juga mengatur perihal cara pelaksanaan putusan. Dalam melaksanakan putusan (eksekusi) dikenal beberapa asas yang harus dipegang oleh pihak pengadilan yaitu : a.
Putusan pengadilan harus mempunyai kekuatan hukum tetap, maksudnya putusan ini tidak ada hukum lain baik tingkat banding dan kasasi. Pengecualian atas asas hukum ini adalah :
77
Poltak.I.Wibowo, Tips bagi Pengacara Publik : Sebuah Pengalaman Pendampingan Kasus Lingkungan, (Jakarta : Elaw Indonesia, 2003), hlm.14. 78 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1. Pelaksanaan putusan uit voerbaar bij voorraad sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) Rbg dan Pasal 180 ayat (2) HIR ; 2. Pelaksanaan putusan Provisi sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) Rbg dan Pasal 180 ayat (1) dan Pasal 54 RV; 3. Pelaksanaan putusan perdamaian sesuai dengan Pasal 130 ayat (2) HIR dan Pasal 154 ayat (2) Rbg; 4. Eksekusi berdasarkan Grose akta sesuai dengan Pasal 245 HIR dan Pasal 295 Rbg. b.
Putusan tidak dijalankan secara sukarela Ada dua cara menyelesaikan pelaksanaan putusan berdasarkan Pasal 196 HIR dan Pasal 207 Rbg yaitu secara sukarela dan Secara Paksa dengan bantuan Pihak Kepolisisan (Pasal 200 ayat (1) HIR.
c.
Putusan mengandung amar Condemtoir, Putusan ini lahir dari perkara yang bersifat contensius dengan proses pemeriksaan yang bersifat contradiktoir.
d.
Eksekusi
dibawah
pimpinan
Ketua
Pengadilan,
Pengadilan
berwenang
melakukan eksekusi adalah pengadilan yang memutus perkara tersebut sesuai dengan kompetensi relatifnya (Pasal 195 ayat (1) HIR dan Pasal 206 ayat (1) Rbg. Pengadilan banding tidak mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atau melaksanakan putusan. 79
79
Fauizie Yusuf Hasibuan, Seri Pendidikan Advokat : Praktek Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Fauzie & Partnes, 2007), hlm.97.
Universitas Sumatera Utara
2.
Jenis-Jenis Eksekusi Ada 3 jenis Eksekusi dalam Hukum Acara Perdata, yaitu :
a.
Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya, dimana seorang dihukum untuk membayar sejumlah uang.
b. Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam pasal 225 HIR dimana seseorang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan. c.
Eksekusi Riil, yang dalam praktik banyak dilakukan, akan tetapi tidak diatur HIR. 80 Namun dalam Pasal 1033 Rv. Sedangkan hal penjualan lelang (Pasal 200 ayat (1) HIR dan Pasal 218 ayat (2) Rbg. Menurut Pasal 1033 Rv, eksekusi riil adalah pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Bila orang yang dihukum untuk mengosongkan benda tetap tidak mematuhi surat perintah hakim, maka hakim dapat memerintah juru sita dengan bantuan panitera Pengadilan dan bila perlu dengan aparat Kepolisian agar benda tersebut dikosongkan oleh pihak yang dihukum
d.
eksekusi parate (parate executie) yaitu eksekusi yang dilakukan bila seorang kreditur menjual barang tertentu milik debitur tanpa harus memperoleh titel eksekutorial (Pasal 1155, Pasal 1175 ayat 2 KUH perdata). Bila ditelaah secara mendalam terhadap ketentuan-ketentuan dalam HIR,
ternyata bahwa pasal-pasal yang mengatur tentang eksekusi (Pasal 195 s/d Pasal 224) lebih terfokus kepada pelaksanaan putusan yang memerintahkan pembayaran 80
Retno Wulan Sutantio & Iskandar Oeripkarta Winata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek ,(Bandung : Mandar Maju, 1997), hlm.130.
Universitas Sumatera Utara
sejumlah uang. Namun demikian, bukan berarti bahwa amar putusan yang memerintahkan pihak tergugat untuk mengosongkan sebidang tanah, merobohkan sebuah tembok, mengeluarkan isi sebuah bangunan, dan lain-lain tidak dapat dijalankan. Hal ini didasarkan pada realita yang ada bahwa pelaksanaan putusan seperti ini relatif mudah dan tidak rumit sehingga tidak memerlukan adanya ketentuan yang rinci. 81
3.
Prosedur Pelaksanaan Putusan Hakim Pelaksanaan putusan hakim dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera
dan jurusita yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 195 ayat (1) HIR, Pasal 197 ayat 2 HIR, Pasal 206 ayat (1), Pasal 209 ayat (1) Rbg). Ada dua tahap penting dalam pelaksanaan eksekusi yaitu Tahap tegoran dan Tahap sita eksekusi. Untuk dapat dilaksanakan suatu putusan hakim secara paksa oleh pengadilan negeri , maka pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan supaya putusan tersebut dapat dilaksanakan. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan permohonan tersebut memanggil pihak yang dikalahkan untuk ditegor agar memenuhi putusan dalam waktu 8 hari setelah teguran tersebut (Pasal 196 HIR, Pasal 207 Rbg). Dalam tenggang waktu 8 hari tersebut dan pihak yang dikalahkan juga belum menjalankan atau memenuhi isi putusan, atau jika orang yang dikalahkan sesudah dipanggil 81
Muhammad Nasir, Op.cit, hlm.240.
Universitas Sumatera Utara
dengan patut tidak juga menghadap, maka Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya memberi perintah dengan surat penetapan supaya disita barang-barang bergerak milik orang yang kalah, atau bila tidak ada barang bergerak untuk disita, maka barang tetap pun dapat disita sebanyak nilai uang yang tersebut dalam putusan hakim untuk menjalankan eksekusi tersebut (Pasal 197 ayat (1) HIR, pasal 208 Rbg). Dengan demikian yang diutamakan untuk disita adalah barang-barang bergerak. Bila jumlah barang tidak ada atau belum memadai maka sita dapat dilakukan terhadap benda tetap. Dengan demikian jelaslah bahwa eksekusi merupakan tindakan menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak yang dikalahkan (debitur) dengan tujuan untuk memenuhi putusan hakim guna merealisasi kepentingan pihak yang dimenangkan hakim guna merealisasi kepentingan pihak yang dimenangkan (kreditur). Untuk dapat menguangkan harta kekayaan debitur harta kekayaan tersebut harus disita atau dibekukan terlebih dahulu. Penyitaan ini disebut dengan sita eksekusitorial yaitu penyitaan yang didasarkan atas titel eksekutorial.
4.
Penjualan Hasil Eksekusi Ada dua cara barang hasil eksekusi dilakukan penjualan yaitu : a. Penjualan dengan perantaraan kantor lelang (Pasal 200 ayat (1) HIR, 215 ayat (1) Rbg)
Universitas Sumatera Utara
b. Penjualan oleh orang yang melakukan penyitaan atau orang ditetapkan secara khusus oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 200 ayat (2) HIR, Pasal 215 ayat (2) Rbg). Penjualan barang bergerak dilakukan setelah diadakan pegumuman dan tidak boleh dilakukan sebelum hari kedelapan setelah barang tersebut disita (Pasal 200 ayat (6) HIR, Pasal 217 ayat (1) Rbg). Bila barang bergerak tersebut tidak lekas rusak, maka penjualan dilakukan sekaligus pada satu waktu sesudah diumumkan dua kali yang berselang 15 hari (Pasal 200 ayat (7) HIR,Pasal 217 ayat (2) Rbg). Barang tetap yang harganya lebih dari Rp.1000 harus diumumkan satu kali dalam surat kabar dari tempat barang tetap itu dijual selama-lamanya 14 hari sebelum penjualan (Pasal 200 ayat (9), Pasal 217 ayat (4) Rbg). 82 Jika pada saat yang sama diajukan dua permohonan pelaksanaan putusan atau lebih dijatuhkan pada seorang debitur, maka disita sekian banyak barang debitur sekaligus, sehingga cukup untuk memenuhi semua putusan. Untuk penyitaan ini hanya dibuat satu berita acara saja (Pasal 201 HIR, Pasal 219 Rbg). Bila setelah penyitaan, namun sebelum barang yang disita tersebut dijual, diterima lagi permohonan pelaksanaan putusan dari kreditur lain terhadap debitur yang sama, maka penyitaan atas barang-barang debitur yang telah dilakukan itu digunakan untuk memenuhi putusan yang diminta pelaksanaan oleh kreditur lain 82
Ibid, hlm.251.
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Jika sekiranya sita eksekutorial yang telah dilakukan itu belum mencukupi, maka Ketua Pengadilan dapat memerintahkan untuk melakukan penyitaan terhadap barang-barang debitur yang belum di sita sekadar cukup untuk memenuhi putusan yang kedua. Pada dasarnya ini tidak merupakan penyitaan yang khusus diadakan atas permohonan kreditur yang kedua, melainkan merupakan sita eksekutorial lanjutan dari sita eksekutorial yang pertama (voortgezet beslag) (Pasal 202 HIR, Pasal 220 Rbg). Ketua Pengadilan Negeri menetukan cara pembagian hasil penjualan di antara kreditur setelah debitur dan para kreditur dipanggil dan didengar keteranganya. Terhadap putusan hakim tentang pembagian ini dapat dimintakan upaya banding (Pasal 204 HIR, Pasal 222 Rbg). Hak orang yang dijual barangnya beralih kepada pembeli segera setelah perjanjian jual beli ditutup. Kantor lelang harus membuat surat keterangan kepada pembeli (Pasal 200 ayat 10 HIR, Pasal 218 ayat (1) Rbg). 83 Orang yang barang tetapnya dijual harus meninggalkan barang tersebut. Bila yang bersangkutan enggan meninggalkanya, maka Ketua Pengadilan Negeri membuat surat perintah kepada orang yang berkuasa menjalankan surat jurusita supaya dengan bantuan Pengadilan Negeri, bila perlu dengan bantuan Polisi, barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh yang bersangkutan beserta keluarganya (Pasal 200 ayat (11) HIR, Pasal 218 ayat (2) Rbg). 84 Segera setelah hasil penjualan mencapai 83 84
K. Wantjik saleh, Op.cit, hlm.48-49. Ibid, hlm.50.
Universitas Sumatera Utara
jumlah yang tersebut dalam putusan ditambah dengan biaya melaksanakan putusan, maka penjualan dihentikan (Pasal 200 ayat (5) HIR, Pasal 216 ayat (2) Rbg).
2.
Hukum Acara Kepailitan Hukum Acara Kepailitan atau disingkat dengan (HAK) yang berlaku dalam
menyelesaikan Kepailitan adalah Hukum Acara Perdata (HAP) sebagaimana dinyatakan dalam UUK-PKPU Pasal 284 ayat (1) 85 , Kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang ini. Lebih lanjut hal ini diatur dalam Pasal 299 UUK-PKPU. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut ini akan penulis uraikan tentang : a.
Pengadilan Yang Berwenang Dalam UUK-PKPU, Pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara
permohonan Kepailitan adalah : (1)
Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor.
(2)
Dalam hal Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor.
85
Lihat Pasal 284 ayat (1) UK No.4 Tahun 1998 dan Penjelasan
Universitas Sumatera Utara
(3)
Dalam hal Debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan.
(4)
Dalam hal debitur tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia.
(5)
Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. 86
b.
Pengajuan Permohonan Kepailitan Permohonan pernyataan Pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan melalui
panitera dengan mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat dua hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu paling lambat tiga hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan 86
Lihat Pada Pasal 3 ayat (1) s/d ayat (5) UUK-PKPU.
Universitas Sumatera Utara
dalam jangka waktu paling lambat dua puluh hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud ayat (5) sampai dengan paling lambat dua puluh lima hari setelah tanggal permohon didaftarkan. 87 Permohonan pernyataan pailit sebagaimana tersebut diatas harus diajukan oleh seorang advokat 88 . Dalam hal Kepailitan yang menyangkut kepetingan umum, lembaga pasar modal, perbankan maupun perusahaan asuransi dan Badan Usaha milik Negara (BUMN) sebagaimana disebut dalam Pasal ayat (2), dan ayat (5), maka pemohon hanya dapat diajukan oleh Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan. Bahkan panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan Pailit yang tidak diajukan oleh institusi tersebut. 89 Berikutnya Pengadilan wajib memanggil debitor, dalam hal permohonan pernyataan Pailit diajukan oleh kreditor, Kejaksaan, BI, BAPEPAM, atau Menteri Keuangan; dan dapat memanggil kreditor, dalam hal permohonan pernyataan Pailit diajukan oleh debitor dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan 87
Lihat Pasal 6 ayat (1) s/d ayat (2) dan ayat (4) s/d (ayat (7) UUK-PKPU. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUK-PKPU, dan selanjutnya lihat UU advokat No.18 tahun.2003. Pasal 1 ayat (1), advokat adalah oang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar Pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-undang ini. Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh organisasi advokat. Jadi pengangkatan dilakukan oleh organisasi advokat dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: WNRI, bertempat tinggal di Indonesia dan magang minimal dua tahun terus menerus pada kantor advokat, dan tidak pernah dipidana atau diancam tindak pidana, serta berprilaku baik, jujur, tanggung jawab, adil, dan punya integritas tinggi (Pasal 2 dan Pasal 3 UU Advokat). 89 Ketentuan Pasal 6 ayat (3) jo. Pasal 7 ayat (2)UUK-PKPU. 88
Universitas Sumatera Utara
Pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Pemanggilan tersebut dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat tujuh hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan. Pemanggilan adalah sah dan dianggap telah diterima oleh debitor, jika dilakukan oleh juru sita sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Permohonan pernyataan Pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhanan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit tersebut telah dipenuhi. Pasal 8 ayat (5) UUK-PKPU menyatakan Putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat enam puluh hari setelah tanggal permohonan pernyataan Pailit didaftarkan. Putusan Pengadilan tersebut wajib memuat pula : a.
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan
b.
pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis sebgaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6). Putusan atas permohonan pernyataan Pailit sebagaimnan dimaksud di atas
memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut dan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum. 90 Kemudian salinan putusan Pengadilan tersebut wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitor, pihak yang mengajukan permohonan 90
Lihat Ketentuan Pasal 8 ayat (1) s/d ayat (7), UUK-PKPU.
Universitas Sumatera Utara
pernyataan Pailit, kurator, dan hakim Pengawas paling lambat tiga hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit Diucapkan. Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, BAPEPAM, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan pemohonan kepada Pengadilan untuk : 91 a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor; atau b. Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi : 1) Pengelolaan usaha debitor; dan 2) Pembayaran kepada kreditor, pengalihan, atau penganggunan kekayaan debitor yang dalam Kepailitan merupakan wewenang kurator. Permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan, apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditor. Dan apabila permohonan tersebut dikabulkan, maka Pengadilan dapat menetapkan syarat
agar kreditor pemohon memberikan
jaminan yang dianggap wajar oleh Pengadilan. 92
c.
Pembuktian Dalam Kepailitan Berkaitan dengan pembuktian, di dalam UUK-PKPU tidak ada mengaturnya.
Untuk itu sesuai dengan pasal 299 dipergunakanlah HIR dan Rbg, kecuali apabila telah ada Undang-Undang yang khusus mengatur hal tersebut. Namun apabila 91 92
Lihat Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUK-PKPU. Ketentuan Pasal 9 jo.Pasal 10 ayat (1) s/d (3) UUK-PKPU.
Universitas Sumatera Utara
diperhatikan Pasal 42 dan Pasal 44 UUK-PKPU, ada mengatur tentang asas Beban pembuktian Terbalik (Omkering van bewijstlast), artinya bahwa yang mendalilkan wajib membuktikan dalilnya tersebut apabila dalilnya disangkal. Pasal 42 dan Pasal 44 tentang Actio Pauliana, merupakan hak bagi kurator selaku penggugat untuk menuntut pembatalan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor yang merugikan kreditor yang dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sebelum putusan pernyataan Pailit diucapkan. Oleh karena perihal alat-alat bukti tidak ada diatur dalam UUK-PKPU, maka yang dipergunakan adalah Pasal 164 HIR yaitu: a.
Bukti surat;
b.
Bukti Saksi;
c.
Bukti Persangkaan;
d.
Bukti Pengakuan;
e.
Bukti Sumpah. Masing-masing alat bukti ini dapat dipergunakan oleh para pihak dalam
perkara Kepailitan untuk dapat memperkuat fakta-fakta dalam persidangan. 93
d.
Upaya Hukum Dalam Kepailitan Seperti diketahui, bahwa upaya hukum merupakan langkah atau usaha yang
diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keputusan adil (keadilan). 93
Sunarmi, Op.cit, hlm.81.
Universitas Sumatera Utara
Ada tiga macam upaya hukum yang dapat dilakukan dalam hal Kepailitan, yakni: Perlawanan, Kasasi (Pasal 11 s/d Pasal 13 UUK-PKPU), dan Peninjauan Kembali (Pasal 14 UUK-PKPU). 94 Sesuai dengan bunyi dari Pasal 299 UUK-PKPU di atas, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UUK-PKPU ataupun Undang-Undang khusus yang lain, maka Hukum acara yang berlaku untuk Pengadilan Niaga dalam menangani perkara – perkara kepailitan adalah HIR (Het Herziene Indonesich Reglement) untuk Pengadilan Niaga di Jawa dan Madura dan Rbg (Reglement Buiten Gewesten) untuk Pengadilan Niaga di luar Jawa dan Madura. 95
94
Rahayu Hartini, Penyelelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), hlm.106. 95 Sunarmi, Op.cit, hlm.80.
Universitas Sumatera Utara