KOMNAS HAM
KNuPKA Sebuah KOMlSl NASIONAL HAK ASASI MANUSIA Jakarta 2005
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitarz (KDT)
Komnas HAM, Tim Kerja
KNuPKA Sebuah Keniscayaan, Tim Kerja Komnas HAM, Editor: Usep Setiawan, Cet. ke-1, Komnas HAM, Jakarta 2005 xii, 204 hlm: 21 cm Daftar Pustaka: 189 Indeks: 191 ISBN: 979-26-1400-1
KNuPKA Sebuah Keniscayaan Penulis: Tim Kerja Kornnas HAM Editor: Usep Setiawan Cetakan Ke-1, Desember 2005 Penerbit: Komnas HAM, Jakarta JI. Latuharhari No. 4 B Jakarta Telp.(021)3925230, Fax. (021) 3925228 Desain Sampul: PENAMA~AN~ Seting Layout: PENAMA~AN~ Isi diluar tanggung jawab PERCFTA~AN PENAMA~AN~, Jakarta
KNuPKA SEBUAH KENISCAYAAN Sub-Kornisi Ekossb Komnas HAM : Amidhan (Kehca Subksm) Anshari Thayib (Wakil Ketua) Achmad Ali (Anggota) M,Habib Chirzin (Anggota) Saafroedin Bahar (Anggota) Yualdi (Anggota)
Tim Kerja Menggagas Pembuatan KNuPKA : Prof.Dr. Maria SW Sumardjono Prof. (Emeritus) Sediono MP Tjondronegoro Gunawan Wiradi kof. Dr. Rusniyati Suryasaputra Erpan Paryadi Sandra Monica Dianto Bachriadi Usep Setiawan
Pra kata Konflik Agraria, selalu menjadi "penghias" sejarah panjang bangsa-bangsa, tak terkecuali di Indonesia. Konflik yang ditimbulkan akibat sengketa lahan yang secuil atau bahkan seluas mata memandang, pada gilirannya akan melahirkan konflik sosial yang runyam. Di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, konflik agraria mendapatkan tempatnya tersendiri. Masalah agraria secara khusus menjadi bidang garapan subkomisi Ekonomi Sosial Budaya, pada desk Tema hak atas kepemilikan. Tak pelak, kasus-kasus pertanahan lancar mengalir ke Ekosob, dari hari ke hari. Di tahun 2005 saja, tercatat bahwa kasus tema ini menjadi salah satu tema yang terbanyak mendapat animo dari masyarakat luas, dilihat dari banyaknya kasus yang masuk. Tragedi berdarah akibat konflik agraria yang berdimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia datang silih berganti. Akar dari konflik agraria yang menampilkan wajah ketidakadilan merupakan ekspresi politik agraria yang otoriter sebagai benteng dari politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria gaya orba ini masih kental diterapkan atas nama "pembangunan." Otoritarianisme ini akhirnya mencapai puncaknya pada penggunaan senjata sebagai penyalahgunaan wewenang negara (abuse of poziler) dalam rangka "membela" kepentingan "negara," atau malah kerap kali sebagai "tameng" kepentingan pemilik modal. Konflik Agraria yang disertai kekerasan ini seolah menegaskan kembali perlunya pelaksanaan reforma agraria sebagai satu upaya jalan keluar dari peliknya problem agraria. Di sini, gagasan tentang pembentukan mekanisme
dan kelembagaan alternatif yang khusus untuk menyelesaikan konflik agraria seperti halnya gagasan "KNuPKA" terasa makin relevan bahkan menjadi suatu keniscayaan. Secara garis besar, buku ini berisi pendahuluan yang memberikan konteks makro atas konflik agraria dan kaitannya dengan urgensi pembaruan agraria. Bagian berikutnya ditampilkan kasus-kasus konflik agraria. Selanjutnya, buku ini juga menghadirkan analisis yang memberikan tinjauan dari berbagai segi, baik akar kebijakan dan peraturan perundang-undangan serta konteks ekonomi politik yang dalam praktiknya mempengaruhi praktik politik agraria di negeri kita. Semoga buku ini menjadi semacam amunisi untuk mengubah wajah konflik agraria mencapai pengharapan baru dalam meraih keadilan agraria di tanah air. Jakarta, Desember 2005
H. Amidhan Ketua Subkomisi Ekonomi Sosial Budava Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
DAFTAR IS1 Prakata - v Daftar Isi - vii Catatan Editor - ix Bagian I KNuPKA Sebagai Keniscayaan: Kata Pembuka Ketua Komnas HAM Oleh:Abdul Hakim Garudn Nusantara - 1 Bagian I1 KNuPKA : Sebuah Pengantar Oleh: Amidhan - 5 Bagian I11 Laporan Pertanggungjawaban Oleh: Tim Kerja - 21 Bagian IV Naskah Akademik Oleh: Tim Kerja - 47 Bagian V Lampiran makalah-makalah pendukung : - 55 a. Beberapa prinsip dalam menggagas pembentukan KNuPKA Oleh: Gunaalan Wiradi - 115 b. Pokok-pokok pikiran menuju pembentukan KNuPKA Oleh: Sediono MP Tjondronegoro - 119
c. Sumbang pikir sekitar pembentukan KNuPKA di Indonesia Oleh: Lies Sugondo - 125
d. Peluang bagi penyelesaian konflik agraria di subsektor pertambangan umum Oleh: Soenarto - 135 e. Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian konflik agraria Oleh: Slamet Marfa Wardaya - 145 f. Peranan DPR dalam penyelesaian konflik agraria Oleh: Turnbu Saraalati - 149
g. Penyelesaian konflik agraria di Afrika Selatan, peluang dan tantangan bagi implementasinya di Indonesia Olelz: Maria SW Sumardjino - 155 h. Konflik agraria dan restitusi tanah di Afrika Selatan Oleh: Dianto Bachriadi - 167 i. Pengalaman Indonesia dalam penyelesaian konflik agraria Oleh: Erpan Faryadi - 179 j. Pemerintah baru dan konflik agraria Olelz: Usep Setiaalan - 183 Daftar Pustaka - 189 Indeks - 191
Catatan Editor
Meniscayakan Keadilan Agraria Menggagas pembentukan kelembagaan dan mekanisme baru untuk menyelesaikan konflik agraria tampaknya gampang-gampang susah. Gampangnya, konflik agraria atau sengketa-sengketastruktural menyangkut pertanahan telah menjadi berita sehari-hari yang tiada seorang pun dapat memungkirinya. Gampangnya lagi, dalam k o d i k agraria itu akar penyebabnya pun sudah menjadi rahasia umum: karena kebijakan publik yang ada. Namun, dalam menemukan jalan keluar ternyata dalam prakteknya tidaklah mudah. Tim kerja yang dibentuk Komnas HAM dan bekerja lebih dari setahun (2003-2004)telah berketetapan hati bahwa untuk mengatasi semua persoalan konflik agraria yang masih menjalar di mana-mana mestilah ditempuh cara-cara baru. Bahkan kenapa tidak dibentuk lembaga baru yang khusus untuk menangani konflik agraria? Dalam perjalanannya, tim kerja ini telah berhasil merumuskan gagasan mengenai pembentukan lembaga yang disebut Komisi Nasional untuk Penyelesaian Kon!ilik Agraria (KNuPKA).Argumen-argumen akademis pun telah dituangkan dalarn naskah akademik yang dilandasi konsep, data dan analisa yang lebih dari memadai. Tiada keraguan bahwa KNuPKA adalah keniscayaan. Bahkan, telah pula dirumuskan rancangan Keppres tentang KNuPKA secara rinci, agar penandatangan Keppres tak terlalu sulit membayangkan wujud kelembagaan yang diusulkan. Sejumlah faktor turut mempengaruhi kemungkinan pembentukan KNuPKA. Kecenderungan "pasar politik"
tampaknya sangat menentukan sempit-lebarnya ruang dan peluang yang tersedia. Sekuat apapun argumen dan sebaik bagaimanapun rumusan yang diusulkan, namun jika pasar politik mengatakan: tidak untuk KNuPKA! Maka tertutuplah ruang itu. Fertanyaannya kemudian: Apabila KNuPKA menurut pasar politik tak mungkin dibentuk, apakah jalan untuk menuntaskan ketidakadilan agraria juga serta merta tertutup? Tentu jawabnya (harus): Tidak! Inilah makna penting yang terkandung di balik substansi gagasan penyelesaian konflik agraria sebagai bagian dari agenda pembaruan agraria atau reforma agraria. Jawaban jitu yang paling komprehensif untuk menyelesaikan konflik agraria memang adalah reforma agraria. Menata ulang struktur agraria yang timpang, memberikan akses yang lebih besar atas tanah bagi rakyat miskin, melegalisasi tanah-tanah yang sudah dikuasai rakyat, mendorong berlakunya modal produksi kolektif kerakyatan dan pola konsumsi yang beradilan adalah agenda-agenda kunci reforma agraria sejati. Yang hendak ditekankan, perjuangan untuk melahirkan KNuPKA adalah satu ha1 yang perlu terus disuarakan. Namuan jangan dilupakan akar dan muara dari ide awalnya bahwa terkandung cita-cita yang jauh lebih besar yang hendak didorong oleh para penyokong gagasan KNuPKA, yakni terselenggaranya reforma agraria yang menyeluruh. Sebagaimana lazirnnya, setiap agenda perubahan, lagi-lagi akan-sangat ditentukan oleh pasar politik, atau komitrnen politik para pemegang kuasa negara yang tengah bertahta. Butir-butir pemikiran yang dikompilasi dalarn buku "KNuPKA sebuah Keniscayaan" ini dapat menjadi saksi suatu fase sejarah perjuangan reforma agraria pada tataran
"mendorong perubahan kebijakan di level atas". Menu penyelesaian konflik sebagai hidangan utamanya merupakan agenda yang paling kasat mata dari kemendesakan reforma agraria. Esensi buku ini hendaknya dipandang sebagai salah satu guratan penting dalam usaha menjemput keadilan agraria di negeri ini. Para penulis naskah yang dimuat dalam buku ini memiliki latar belakang yang berbeda-beda, tetapi punva kehendak yang sama: laksanakan reforma agraria, salah satunya dengan cara membentuk jembatan berupa mekanisme dan kelembagaan baru untuk menyelesaikan benang kusut konflik agraria. Perjuangan masih harus diteruskan. SeIamat membaca. Jakarta, Desember 2005
Usep Setiawan
KNuPKA Sebagai Keniscayaan: Kata Pembuka Ketua Komnas HAM
Kita sudah sama-sama mengetahui bahwa konflik agraria merupakan salah satu permasalahan bangsa ini yang belum kunjung menemukan muara penyelesaiannya. Konflik agraria telah menyebabkan begitu banyak korban di pihak masyarakat sipil. Pada kebanyakan kasus konflik agraria, dimensi pelanggaran hak asasi manusia menjadi kenyataan yang sulit dibantah adanya. Dalam konteks itulah, Komnas HAM menggodok gagasan dan strategi pembentukan sebuah lembaga dan mekanisme alternatif bagi penyelesaian konflik agraria. Inisiatif ini diberi nama "Menggagas Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia". Dibayangkan, lembaga penyelesai konflik agraria ini nantinya akan bersifat otonom dan memiliki kewenangan penuh dalam menuntaskan seluruh konflik agraria yang terjadi di tanah air, sekaligus menyiapkan pembentukan kelembagaan pelaksana pembaruan agraria. Dalam inisiatif ini, Komnas HAM bekerja sama dengan sejumlah organisasi non-pemerintahan seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Bina Desa. Komnas HAM memposisikan diri sebagai fasilitator bersama dalam proses perumusan konsep mengenai mekanisme dan kelembagaan hingga advokasi lanjutan dari penyelesaian konflik agraria. Inisiatif ini juga
didukung dan melibatkan berbagai kalangan yang berkepentingan dan berkompeten atas persoalan agraria dan pengelolaan SDA, seperti departemen terkait, akademi, dan organisasi massa rakyat (petani,nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin kota). Untuk melancarkan inisiatif ini, Ketua Komnas HAM telah menerbitkan SK Nomor 41/KOMNASHAM/XII/ 2003 tentang Pembentukan Tim Kerja Menggagas Pembentukan Komnas untuk Penyelesaian Konflik Agraria, tertanggal 4 Desember 2003. Tim Kerja ini bertugas sejak 1Oktober 2003 September 2004. Selain dari anggota Komnas HAM, sebagian anggota tim kerja ini adalah aktivis-aktivis yang tergabung dalam berbagai organisasi non-pemerintah d a n akademisi yang berkompeten dalam tema agraria. Secara legal-formal, inisiatif ini merupakan salah satu wujud implementasi Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang dikuatkan oleh Tap MPR No. VI/2002 tentang rekomendasi kepada Presiden (dalam poin mengenai lingkungan hidup), dan dikukuhkan oleh Tap MPR No. 112003 tentang hasil pengkajian dan penetapan status hukum Tap-Tap MPR/MPRS, serta Tap MPR No. V/2003 tentang saran kepada Presiden (dalam poin mengenai lingkungan hidup dan reforma agraria). Selain itu, inisiatif semangat keadilan dan kerakyatan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah serta sumber-sumber agraria laimya. Secara esensial, usaha menyelesaikan konflik agraria di Indonesia mestilah diletakan dalam konteks pelaksanaan Pembaharuan Agraria secara menyeluruh. Arah dan semangat penyelesaian konflik yang hendak dikedepankan bukan saja untuk memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat
korban konflik agraria selama ini, melainkan juga untuk mendorong terjadinya perubahan sosial ke arah susunan masyarakat yang lebih berkeadilan sosial, dengan landasan berupa keadilan dalam pemilikan, penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Dengan demikian, usaha menyelesaikan konflik agraria dalam kerangka pelaksanaan pembaruan agraria sejatinya merupakan usaha mendasar bagi perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, sekaligus hak-hak sipil dan politik sebagaimana dikenal dalam ranah perjuangan penegakan HAM. Oleh karena itu, dapat dikatakan jika pembaruan agraria tidak dijalankan maka konflik agraria akan terlanggengkan sehingga praktek pelanggaran HAM akan senantiasa merongrong bangsa ini. Dengan mengingat dan mempertimbangkan hal-ha1 demikian, maka melalui Seminar dan Lokakarya Nasional ini Komnas HAM beserta para penggagas lainnya telah "Mensegerakan Pembentukan KNuPKA sebagai Bagian dari Usaha Pemenuhan HAM dan Persiapan Pelaksanaan Pembaruan Agraria di Indonesia", pada tanggal 22-23 Juni 2004. Semiloka ini dihadiri sekitar 150 (seratus lima puluh) peserta dari berbagai wilayah di Tanah Air dan dari berbagai kalangan yang berkepentingan, seperti instansi pemerintah terkait dengan agraria, anggota legislatif, partai politik yang berhasil mendudukan wakilnya di parlemen melalui Pemilu 2004, akademisi dari berbagai kampus, organisasi non-pemerintahan (LSM), organisasi rakyat (petani, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin kota), anggota Komnas HAM, dan media massa. Peserta yang
hadir sebagian besar sudah terlibat dalam proses-proses sebelumnya, baik sebagai peserta lokakarya persiapan di carita Banten pada tanggal 13-14 Januari 2004, maupun dalam konsultasi dan konsolidasi mengenai gagasan ini di daerah-daerah. Muara dari proses perumusan gagasan pembentukanpembentukan Komisi Nasional untuk penyelesaian Konflik Agraria ini semoga saja bisa segera mendapat tempat dalam agenda kebijakan Presiden Republik Indonesia untuk mempertimbangkan pembentukan Komisi Nasional untuk penyelesaian Konflik Agraria melalui keputusan Presiden ( Keppres). Demikianlah sambutan dan pengantar kami, Atas nama Komnas HAM dan seluruh inisiator, kami ucapkan terimakasih atas partisipasi semua pihak dalam menghasilkan rumusan yang baik dan kongkrit dalam usaha penyelesaian konflik Agraria di Tanah Air kita. Sekali lagi, terimakasih.0
*) Abdul Hakim Garuda Nusantara, adalah Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Komisi Nnsio~~l Hnk Asmi MANUS~A (KOMNAS HAM)
PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA (KNuPKA) Sebuah Penpntar *) 1. ABSTRAK Merupakan kenyataan yang hidup bahwa kita sebagai bangsa memiliki sisa masalah masa lalu dalam pengelolaan Agraria dan SDA. Sebagai tanggapan atas permasalahan di atas dengan desakan dari masyarakat yang telah menjadi korban dari berbagai kebijakan publik di bidang Agraria dan SDA di penghujung tahun 2001 lembaga tertinggi negara MPR-RI telah menetapkan Ketetapan No. 1X/ MPR-2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alarn. Dalam Ketetapan tersebut MPR memerintahkan terutama kepada Pemerintah tentunya, antara lain agar menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip menghormati hak asasi manusia dan supremasi hukum. Meskipun permasalahan ini telah diakui oleh negara tetapi upaya penyelesaian secara sistematik oleh negara sendiri belum dapat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. *)
Disampaikan pada Konferensi Intemasional Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam Di Indonesia Yang Sedang Berubah "hfempertanya-kan Kembali Berbagai Jawaban", di Hotel Santika Jakarta Tanggal 11-13Oktober 2004.
")
Ketua Sub-Komisi Ekonomi, Sosial dan Budaya Kornnas HAM
Kontradiksi antara sikap negara yang tertuang dalarn Ketetapan No. lX/MPR/2001 dan tindakan negara dalam realitasnya masih sarat dengan kekerasan, merupakan potret nyata situasi kebijakan dan permasalahan pengelolaan SDA yang nampak di hadapan kita. Namun demikian Tap MPR No.lX/MPR/2001 tersebut merupakan landasan hukum yang pertama dan utama yang dapat digunakan untuk menggagas suatu lembaga untuk menyelesaian konflik agraria. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dalam masa sebelum tahun 2001 itu, pelanggaran, HAM dan perusakan SDA terjadi di mana-mana terutama sejak 1967 ketika pemerintahan Orde Baru menerapkan politik pengelolaan SDA yang eksploitatif atas nama pertumbuhan ekonomi alias pembangunan nasional. Dengan dasar hukum yang ada sebagian besar kegiatan eksploitasi SDA yang merusak dan melanggar HAM adalah kegiatan yang sah di mata negara waktu itu. Beberapa perundangan yang dihasilkan di awal Orde Baru misalnya Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuanPokok Kehu tanan No.X/ 1967 dan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan No. X1/1967 secara tegas menetapkan kewenangan negara yang sangat luas dan adanya penegasian hak-hak rakyat, termasuk hak-hak masyarakat adat baik dalam penguasaan maupun dalam ha1 pengelolaannya. Dua perundangan ini merupakan contoh produk hukum yang asosial (anti rakyat) yang kemudian menjadi penyumbang utama dari permasalahan dalam pertimbangan keluarnya Ketetapan No.Xl/ MPR-2001. Pada tahun 1999, Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan No. 5/1967 tersebut diganti dengan UU No. 41/ 1999namun rumusan isi undang-undang kehutanan
yang baru ini tidak berbeda banyak dari undang-undang kehutanan yang baru ini tidak berbeda banyak dari undangundang digantikannya, terutama dalam ha1 posisi hak-hak masyarakat dalam pemilikan kawasan hutan dan pengelolaan kehutanan. Meskipun jelas-jelas begtu banyak konflik diakibatkan oleh sebagai kebijakan yang diturunkan dari UU No.5/1997, namun UU No.4111999 yang menggantikannya tidak menyediakan ruang untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut. Tap lX/MPR/2001 itu sendiri menurut pengkajian Komnas HAM berpotensi untuk memicu pelanggaran HAM antara lain disebabkan oleh capital violence (kekerasan yang disebabkan/dilakukan oleh pemodal/pemilik kapital) yang kental dengan pahan neoliberalisme. Selama tahun 2002-2003, Tap lX/MOR/2001 tersebut sama sekali tidak direalisasikan oleh Pemerintah hingga akhirnya Sidang Tahunan 2003, MPR mengeluarkan lagi Tap No.V/MPR/2003 yang dalam poin saran bagi reforma Agraria, MPR menyarankan kembali kepada Pemerintah untuk :"menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan agraria secara proporsional dan adil mulai dari persoalan hukumnya sampai dengan implementasinya di lapangan". Masih menurut Tap No.V/MPR/2003 pada bidang lingkungan hidup, MPR menyarankan pula untuk membentuk lembaga atau institusi independen lainnya untuk menyusun kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dan SDA guna menyelesaikan sengketa agraria dan SDA agar memenuhi rasa keadilan kelompok petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat pada umumnya sehingga berbagai konflik dan kekerasan dapat dicegah dan ditanggulangi. Sebenarnya pada tahun 2003 tersebut juga lahir Keppres No.3412003 namun Keppres
tersebut tidak memuat satu kata pun mengenai Tap MPR No.lXMPR/2001 yang memerintahkan untuk menyelesaikan konflik agraria dan SDA dimaksud. Hanya saja ada sedikit peluang jika dimungkinkan dalam amandemen UU No.5 Tahun 1960 yang ditangani oleh BPN atas dasar mandat Keppres No.3412003 tersebut untuk sekaligus memuat perintah membentuk institusi penyelesaian konflik agraria yang bersifat independen yang diterbitkan dalam bentuk PP Pengganti Undang-undang. Terutama sekali untuk menangani masalah konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari upaya-upaya rakyat dalam merebut kembali tanah-tanah mereka yang telah dirampas atas kebijakan Pemerintah. Permasalahan memang tidak hanya sampai di situ, masih ada pertanyaan yang hams dijawab yakni apakah konflik agraria itu meliputi perkara tata usaha saja atau juga perdata dan pidana serta juga menyangkut sengketa masa lalu melalui pendekatan transitional justice seperti halnya dilakukan terhadap perkara Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam situasi demikian itulah Komnas HAM, bekerjasama dengan KPA, HuMa, M7ALHI dan Bina Desa mengambil peran aktif untuk mendorong terbentuknya sebuah lembaga dan mekanisme alternabf bag penvelesaian konflik agraria. Usaha menyelesaikan konflik agraria ini disadari mesti diletakan dalam konteks pelaksanaan pembaharuaan Agraria secara komprensif. Arah dan semangat penyelesaian konflik yang hendak dikedepankan bukan saja untuk memenuhi rasa keadilan korban konflik tanah selama ini melainkan juga untuk mendorong transformasi sosial kearah susunan masyarakat vang lebih berkeadilan dalam kepemilikan, penguasaan, pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya.
Lebih lanjut gagasan tersebut telah mempertimbangkan hal-ha1 tersebut di bawah ini: a. Mengapa konflik Agraria bukan sengketa tanah. Konflik agraria dapat diartikan sebagai suatu fenomena ketidaksesuaian antara berbagai ha1 atau unsur baik yang bersifat tersembunyi (potensial/latent) atau yang sudah muncul ke permukaan (manifest/sengketa) terkait penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Sumber agraria yang dimaksud termasuk tanah, air, udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Banyaknya kasus konflik agraria yang tidak bisa diselesaikan adalah akibat penanganan selama ini hanya secara sepotong-sepotong (kasus per kasus). Sebagai gambaran di tahun 1999kasus konflik agraria di Komnas HAM menempati peringkat ketiga (520 kasus) dari enam jenis pengaduan lainnya. Tahun berikutnya hingga saat ini bahkan menempati peringkat pertama. Menurut pendataan yang dilakukan KPA selama 30 tahun (19702001) tercatat 1721kasus konflik agraria, meliputi sektor perkebunan besar, pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perumahan dan kota baru, kawasan kehutanan produksi, kawasan industri dan pabrik, bendungan dan sarana pengairan, sarana wisata, pertambangan besar dan sarana rniliter. c. Menumpuknya kasus tersebut disebabkan antara lain oleh : (a) tidak adanya lembaga khusus yang menangani kasus-kasus tersebut setelah dibekukannya pengadilan land reform untuk kemudian diserahkan kepada pengadilan umum, (b) adanya peraturan perundangan yang tumpang tindih yang dikeluarkan
pada waktu pemerintahan masa lalu, dan (c) berbarengan itu malahan sering timbul konflik kewenangan antara lembagal instansi yang mempunyai tugas terkait dengan bidang agraria. d. Jika selama ini Komnas HAM menangani pengaduan konflik agraria secara kasus per kasus, dan merekomendasikan penyelesaiannya secara satu per satu, maka kini Komnas HAM mencoba merumuskan suatu format baru yang lebih strategis berupa usulan pembentukan Komnas Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia, sebagai kelembagaan baru yang secara khusus akan menangani penyelesaian konflik agraria. Dalam ha1 Komnas HAM memposisikan diri sebagai fasilitator bersama dalam proses penanganan konsep mengenai mekanisme dan kelembagaan hingga advokasi lanjutan dari penyelesaian konflik agraria. Inisiatif ini juga didukung dan melibatkan berbagai kalangan yang berkepentingan dan berkompeten atas persoalan agraria dan pengelolaan SDA seperti departemen terkait, akademisi, dan organisasi massa rakyat ( petani, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin kota. Untuk melaksanakan gagasan tersebut Komnas HAM menerbitkan SK Komnas HAM No.411 XI112003 tanggal 4 Desember 2003 tentang Pembentukan Tim Kerja yang sudah bertugas sejak tanggal 1Oktober 2003 sampai 30 September 2004. SC Tim Kerja dipimpin oleh Amidhan dari Komnas HAM sedangkan Ketua OC adalah Usep Setiawan dari KPA. Tim telah melaksanakan program-programnya sebagai berikut : (a)
mengadakan lokakarya Persiapan, tanggal 13-14 Januari 2004, di Carita, Banten, (b) Kajian mengenai sengketa/konflik agraria oleh Wiwiek Awiyati dan HuMa, (c) Kajian yurisprudensi oleh, Djoko Soegianto, dari Komnas HAM, (d) Kajian pengalaman Afrika Selatan, dipimpin oleh Maria SW Sumardjono, Waka BPN Pusat, (e) Pemetaan konflik agraria oleh Syaiful Bahari dari Bina Desa, Konsultasi dan konsolidasi daerah-daerah dilakukan oleh Tim Kerja, hasilnya dikemas oleh Erpan Feryadi dari KPA. Kesemua bahan dibawa ke dalam Semiloka Nasional tanggal 22-23 Juni 2004 di Jakarta, serta rapat-rapat Tim kerja yang hasilnya kemudian tersusun dalam bentuk dokumen akademik "Penyelesaian Konflik Agraria dan Usulan Pelem-bagaannya di Indonesia. Dokumen Akademik tersebut telah disampaikan kepada Presiden, Ibu Megawati Sukarnoputri, di Istana Negara tanggal 26 Juni 2004, Tim audiensi dipimpin Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono.
2. PEMBENTUKAN KNuPKA 2.1. Landasan. a. Filosofis. 1)Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2) Tanah, air dan sumber-sumber agraria yang lain bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. 3) Tanah, air dan sumber-sumber agraria yang lain adalah sumber penghidupan mayoritas rakyat Indonesia (bukan komoditi komersial).
4) Penguasan dan pemanfaatan tanah, air dan sumbersumber agraria yang lain untuk mewujudkan keadilan sosial.
b. Sosiologis. 1)Masyarakat mengalami ketidakadilan agraria, terutama selama 30 tahun terakhir; 2) Sampai saat ini konflik agraria yang berdimensi pelanggaran HAM masih terus berlangsung di Indonesia. c.
Politis
1) Lembaga-lembaga negara/pemerintah yang ada sekarang tidak memadai untuk menyelesaikan konflik.
2) Hadir d a n berlakunya sebagai peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan agraria dan SDA yang menyebabkan tumpang tindih dan konflik kewenangan. 3) Pengelolaan tanah, air dan sumber-sumber agraria yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik ; 4) Terjadinya penyimpangan dari asas atau prinsip keadilan sosial yang sudah dituangkan dalam sebagian peraturan-peraturan.
5) Mekanisme penyelesaian konflik agraria yang ada mengalami kebutuhan dalam menjawab keadilan ditengah rakyat korban. d. Hukum. 1)UUD 1945 hasil amandemen 1 sampai dengan 1V (Pasal18B, 28i dan 33 ayat 3 ). 2) Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. 3) Ketetapan MPR No. VI/2002 tentang rekomendasi kepada lembaga-lembaga tinggi negara (pada point keempat rekomendasi kepada Presiden mengenai lingkungan hidup); 4) Ketetapan MPR No. 112003tentang hasil pengkajian dan penetapan status hukum terhadap Ketetapanketetapan MPRI MPRS. 5) Ketetapan MPR No. V/2003 tentang saran kepada lembaga-lembaga tinggi negara (rekomendasi kepada presiden mengenai lingkungan hidup dan reforma agraria) 6) Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria No. 5 tahun 1960 (UUPA 1960).
2.2. Tujuan a. Penyelesaian konflik agraria bertujuan untuk menegakkan keadilan sosial, dan mewujudkan pemerataan ekonomi. b. Penyelesaian konflik agraria haruslah dalam kerangka penegakan hak asasi manusia secara menyeluruh.
c. Penyelesaian konflik agraria harus menyentuh permasalahan dasar, yakni keadilan distribusi kesejahteraan. d. Penyelesaian konflik agraria dilembagakan melalui berbagai kerangka pembaruan agraria. 2.3. Kedudukan. a. Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) diletakkan dalam konteks Pembaruan Agraria dan Sumberdaya Alam (Reforma Agraria), sesuai Tap IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. b. Kornisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan menyelesaikan konflik agraria dari periode (19451196011965) sampai tahun dimana KNuPKA ditetapkan, sekaligus merupakan lembaga yang mempersiapkan pembentukan Badan Otorita Reforma Agraria (BORA). c. Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) adalah lembaga yang melibatkan semua pihak berkepentingan dan berkeinginan kuat untuk menyelesaikan konflik agraria, dari berbagai unsur antara lain pemerintah, organisasi rakyat, LSM, perguruan tinggi.
d. Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) adalah wujud komitmen kuat dari negara yang diwujudkan dalam pemberian wewenang, akses terhadap berbagai sumber informasi, dan penyediaan
anggaran yang bersumber dari negara (antara lain APBN dan APBD). e. Masa kerja Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) dibatasi sekurang-kurangnya adalah 5 (lima) tahun untuk pengaduan, pemeriksaan kasus terhitung sejak ditetapkan oleh Presiden melalui Keppres, atau sampai terbentuknya Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) melalui undang-undang (UU). Setelah BORA terbentuk maka seluruh kerja KNUPKA akan dilanjutkan oleh BORA.
2.4. Prinsip a. Komisi Nasional untuk menyelesaikan Konflik Agraria (KNuPKA) hendaknya merupakan bagian dari agenda reforma agraria secara luas. b. Proses dan hasil-hasil kerja Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) haruslah memenuhi rasa keadilan bagi korban konflik agraria. c. Komisi Nasional untuk penyelesaian Agraria (KNuPKA) hendaknya bersifat operasional dan mampu penyelesaian konflik. d. Gagasan KNuPKA mencakup konflik yang manifes yang disebabkan oleh penggunaan dan atau penyalah gunaan wewenang pejabat publik dan atau tindakan pejabat publik di masa lalu. e. Kasus-kasus yang diproses oleh KNuPKA harus berdasarkan pengaduan dari korban. 2.5. Kewenangan a. KNuPKA memiliki kewenangan untuk menetapkan keputusan yang mengikat.
b. Pengadilan adat berpotensi untuk dipakai sebagai salah satu mekanisme penyelesaian konflik agraria c. Konflik agraria yang ditangani KNuPKA adalah konflik manifes yang terjadi sejak tahun (1945/1960/1965) sampai tahun di mana KNuPKA ditetapkan. d. Konflik agraria yang telah diputuskan atau ditetapkan oleh pengadilan tetap masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat dapat diproses oleh KNuPKA sarnpai pada terwujudnya rasa keadilan. e. Untuk konflik-konflik agraria yang bersifat laten perlu dilakukan mediasi dengan pihak-pihak yang menguasai tanah untuk segera dilaksanakan perombakan dan penataan ulang struktur penguasaan tanah sehingga lebih adil. 2.6. Keanggotaan.
a. Anggota KNuPKA harus terdiri dari instansi pemerintah, LSM, organisasi rakyat (petani, nelayan, masyarakat adat, kaum rniskin kota) b. Komposisi keanggotaan KNuPKA antara pemerintah dan masyarakat harus seimbang. c. Anggota KNuPKA seyogianya memenuhi kriteria : komitmen keperpihakannya kepada rakyat dan keadilan dan pemahaman yang cukup mengenai agraria dan masalah SDA.
d. Anggota KNUPKA hendaknya bersifat independen dan non-partisan yang diisi oleh orang-orang berkompeten atas masalah agraria dan berkomitmen tinggi untuk menyelesaikan konflik agraria.
e. Kualitas anggota KNuPKA meliputi kejujuran, adil, bersih, berpihak pada kebenaran, memahami kepentingan umum. f. Perlu kombinasi keahlian anggota, seperti antropologi, sosialogi, hukum agraria, politik, ekonomi, dan sebagainya. g. Jumlah anggota KNuPKA idealnya ganjil, sekurangkurangnya 9 (sembilan)dan sebanyaknya 15(lima belas) orang dengan memperhatikan keadilan gender. h. KNUPKA bekerja selama-lamanyauntuk 5 (lima) tahun. i. Anggota KNUPKA dipimpin oleh Sekjen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
2.7. Instrumen Legislasi. a. KNUPKA dibentuk dengan Keputusan Presiden (Keppres). b. SedangkanBadan Otorita Reforma Agraria (BORA)yang akan dibentuk berdasarkan undang-undang (UU).
a. Mendorong terbentuknya komitrnen dan kerjasama di kalangan pemerintah untuk segera membentuk KNuPKA melalui Keppres. Kewenangan KNuPKA yang dibentuk dengan keppres adalah penyelesaian secara damai di luar pengadilan, penyelesaian alternatif (ADRj yang hasilnya akan mengikat secara hukum kedua belah pihak yang melakukan kesepakatan. Fungsi Komisi sebagai penengah sekaligus instansi yang berwenang mendesakkan hasil kesepakatan tersebut kepada
pemerintah. Bila terjadi wanprestasi pihak yang dirugikan dapat membawanya ke Pengadilan Negeri untuk dimintai bantuan pelaksanaan eksekusi. b. Sebenarnya melalui Keppres No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, dalam amandemen UU No. 5 Tahun 1960 yang ditangani BPN dimungkinkan pula untuk membentuk institusi (KNuPKA) untuk penyelesaian konflik agraria, yang bersifat independen diterbitkan dalam bentuk PP Pengganti UU. c. Langkah yang penting adalah menyiapkan RUU tentang pembentukan KNuPKA. Melalui undangundang KnupKA akan mempunyai kedudukan yang mantap dan kuat dengan kewenangannya yang sangat besar yang beryurisdiksi d i seluruh Indonesia, sebagai peradilan khusus (specialized court) yang memiliki kekuatan law enforcement. d. Langkah yang bersifat ad hoc ialah membentuk special desk di KOMNAS HAM, untuk penyelesaian konflik agraria yang keberadaannya di bawah koordinasi Subkom Ekosob. e. Mendorong lahirnya dukungan sosial yang luas (legitimasi) dari masyarakat, khususnya melalui konsultasi dan konsolidasi dari rakyat yang paling berkepentingan dengan penyelesaian konflik agraria. f. Terus menerus menjaga konsolidasi tim kerja yang sudah dibentuk melalui SK Ketua Komnas HAM.
2.9. Program dan Kegiatan. Berisi sejumlah aktivitas, baik yang dijalankan oleh Tim Kerja Komnas HAM maupun yang dijalankan oleh jaringan kerja di berbagai daerah dalam kerangka mendorong lahirnya KNuPKA.
2.10. Pengertian Berisi rumusan pengertian dari kata-kata kunci yang sering digunakan dalam dokumen ini, seperti kata konflik, agraria, dampak sosial luas, mediasi, ADR, pengadilan khusus, peradilan adat dsb. 2.11. Penutup. Gagasan ini harus disosialisasi untuk mendapat dukungan masyarakat yang peduli terdapat pengelolaan sumber alam, baik dari LSM, organisasi rakyat, lembaga legislatif maupun departemen terkait. Harus dijaga keberpihakan kepada rakyat dan rasa keadilan. Jangan sampai terjadi kerusakan alam dan perampasan hak rakyat. Oleh karena itu KNuPKA harus dijaga agar tidak memihak kepada pemodal besar ketika konflik itu terjadi. Sebenarnya masih banyak masalah yang harus diselesaikan. Perlu diakomodasi aspirasi dan tuntutan masyarakat terutama yang menyangkut hak-hak rakyat termasuk masyarakat hukum adat.[]
LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN
Tim Kerja Menggagas Pernbentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) Disarnpaikan Kepada Sidang Paripurna Komnas HAM Jakarta, Desember 2004 I. Pendahuluan Keberadaan tim kerja ini mengacu kepada SK Ketua Komnas HAM Nomor 41/ KOMNASHAM/ XII/ 2003 tentang Pembentukan Tim Kerja Menggagas Pembentukan Komnas untuk Penyelesiaan KonElik Agraria, tertanggal4 Desember 2003. Tim Kerja ini bertugas sejak 1Oktober 2003 hingga 30 September 2004. Selain dari anggota Komnas HAM, sebagian anggota tim kerja ini adalah aktivis dari berbagai organisasi non-pemerintah dan akademisi yang berkompeten dalam tema agraria dan pengelolaan SDA. Pada intinya, ruang lingkup tugas tim kerja ini adalah: pengkajian usaha pelaksanaan dan kelembagaan penyelesaian konflik agraria dan mekanismenya; kebijakan, putusan pengadilan dan yurisprudensi mengenai agraria; model penyelesaian konflik agraria di Indonesia; usaha dukungan secara luas pembentukan komisi nasional dan pelaksanaan pembaruan agraria, dan kegiatan lain yang dianggap perlu. Adapun hasil kerja tim harus diserahkan kepada Sidang Paripurna Komnas HAM untuk rrren-
"---"
Kmisi NAS~ONA~ U N T U ~PENYE~ESA~AN Ko~flikA ~ R A R(KNuPKA) ~A
21
s
-
dapatkan pengesahan. Menurut SK di atas, jika dianggap perlu keberadaan tim kerja ini dapat diperpanjangl Secara keseluruhan, tim kerja telah melaksanakan sejumlah kegiatan sebagaimana dirancang pada tahap persiapan kerjanya. Kegiatan yang dimaksud meliputi lokakarya persiapan, konsultasi dan konsolidasi di sejumlah daerah, pengkajian berbagai kebijakan, studi banding ke negara lain, penyusunan rancangan naskah akademik dan keputusan presiden, seminar dan lokakarya nasional, serta audiensi dengan Presiden RI. Sebagai pertanggungjawaban tim kerja ini kepada Sidang Paripurna Komnas HAM, maka disusun laporan pertang-gungjawaban yang isinya uraian ringkas mengenai semua kegiatan sebagairnana dimaksud di atas. Laporan ini juga dilampiri sejumlah laporan lengkap per kegiatan, termasuk notulensi pertemuan, dan laporan keuangan. 11. Pelaksanaan dan Hasil Kegiatan 1. Lokakarya persiapan
Dalam rangka mempersiapkan pokok-pokok pikiran, strategi dan rute untuk mempercepat pembentukan Kornisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), telah digelar Lokakarya Persiapan dengan tema "Merumushn Pokok-pokok Pikiran Menuju Pernbentuhn Komisi Nasional untuk Pen yelesaian Konjlik Agraria di Indonesia", pada tanggal 13-14 Januari 2004, di Carita-Banten. Lokakarya ini telah diikuti oleh sekitar 50 (lirna puluh) peserta dari berbagai kalangan yang berkepentingan baik dari pemerintahan (Departemen Dalarn Negeri, Departemen Kehakiman dan Lihat SK Ketua Komnas HAM Nomor ll/KOMNASHAM/XII/2003 tentang Pembentukan Tim Keja Menggagas Pembentukan Komnas untuk Penyelesiaan Konflik Agraria, 4 Desember 2003.
Komisi N n s i o ~ ~Hl A h~~ s MANUS~A i (KOMNAS HAM)
HAM, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, dan Badan Pertanahan Nasional) maupun dari organisasi nonpemerintahan, seperti organisasi tani, nelayan, masyarakat adat, miskin kota dan E M dari berbagai wilayah di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Jawa. Lokakarya ini dibuka dan diantarkan Salahuddin Wahid (Wakil Ketua Komnas HAM), dan disajikan tiga materi dalam tiga sessi. Dalam diskusi didalami berbagai topik seperti; pengalaman dalarn negeri dalam penyelesaian konflik agraria; pengalaman Afsel dalam menyelesaikan konflik agraria, dan; prinsipprinsip penyelesaiankonflik agraria di Indonesia masa depan. Dilakukan juga diskusi kelompok yang membahas pokokpokok pikiran yang bersifat substansial dari gagasan KNuPKA, serta membahas strategi dan jalur tempuh dari usaha mewujudkan pembentukan KNuPKA. Lokakarya Persiapan ini merupakan tahap awal dari serangkaian kegiatan dalarn mendorong terbentuknya kelembagaan dan mekanisme penyelesaikan konflik agraria. Kegiatan berikutnya yang dirancang lokakarya ini meliputi: kajian kebijakan, konsultasi dan konsolidasi di wilayah, perumusan draft usulan kebijakan, kampanye, sosialisasi, lobby, dan hearing ke Presiden2
2. Konsultasi dan konsolidasi di sejumlah daerah Selain perlunya dukungan dari badan-badan negara, ide tentang KNuPKA harus mendapatkan legitimasi dari kalangan rakyat yang selama ini mendambakan keadilan agraria, yakni dari kalangan yang selama menjadi korban dari konflik agraria. Untuk maksud itulah, telah diadakan Lihat buku bejudul "Pokok-pokok Pikiran Meizgeilai pelzyelesaiafz Konflik Agraria, Hasil Lokakarya Persiapan Merlnjn~Pefnbentitkan Koinrlas ~ i ~ z t nPenyelesaian k Konflik Agraria (KNnPKA)", Carita-Banten, 13-14 Januari2004, disusun Tim Keja, Maret 2004.
"Konsultasi dan Konsolidasi Organisasi Rakyat di Daerah dalam Rangka Promosi KNuPKA". Kegiatan ini telah terselenggara di Subang Jawa Barat (8 April 2004), Garut Jawa Barat (12 April 2004), Makassar Sulawesi Selatan (1920 April 2004), Jombang Jawa Timur (24-25 April 2004), JemberJawa Timur (27-28 April 2004), Palembang Sumatera Selatan (5 - 6 Juni 2004). Selain kegiatan yang dirancang khusus, konsultasi juga dilakukan melalui kegiatan bersama lembaga lain, seperti di Pontianak Kalimantan Barat (20Juni 2004), Jambi, Bulukumba, dan seterusnya. Melalui kegiatan ini diperoleh begitu banyak masukan sekaligus dukungan sosial dari sejumlah wilayah yang dikonsultasi dan dikonsolidasikan. Masukan yang diperoleh cenderung menguatkan dan mematangkan gagasan mengenai KNuPKA. Pada umumnya, setiap wilayah berharap KNuPKA tidak hanya bekerja di pusat (Jakarta)melainkan hingga ke daerah-daerah mengingat konflik agraria hampir seluruhnya terjadi di daerah. Selain itu, keanggotaan KNuPKA pun jangan dimonopoli "orang pusat", tapi harus juga memperhatikan representasi wilayah, tanpa mengabaikan kapasitas dan kredibilitasnya. Melihat jumlah wilayah yang dikonsultasi masih sangat terbatas, maka konsultasi dan konsolidasi mengenai KNuPKA ini masih relevan untuk dilanjutkan sampai terbentuknya KNuPKA.~ 3. Pengkajian berbagai kebijakan
Kegiatan pengkajian terhadap kebijakan yang terkait dengan penanganan konflik agraria dilakukan dalam 3 (tiga) Lihat kompilasi laporan kegatan "Konsrrltasi dair Koi~solidnsiOrgnirisasi Rakynf di Dnernll dalarn Rnilgkn Prolnosi KNrtPKA"; dan lihat juga hasil konsultasi dan konsolidasi di daerah-daerah yang dikemas oleh Erpan Faryadi (KPA).
model. Model pertama terhadap berbagai peraturan perundang-undangan mengenai tanah dan kekayaan alam lainnya sebagaimana dilakukan oleh HuMA. Model kedua kajian yurisprudensi oleh Djoko Soegianto (KomnasHAM), dan model ketiga melalui kajian mengenai pemetaan data konflik agraria yang dilakukan Syaiful Bahari (Bina Desa). Ketiga hasil kajian ini memberikan analisis tambahan yang memperkuat argumentasi mengenai pentingnya pembentukan kelembagaan dan mekanisme alternatif dalam menyelesaikan kodlik agraria di Indonesia. Hal ini terutama mengingat masih diberlakukannya berbagai peraturan yang seringkali menjadi penyebab munculnya konflik agraria, macetnya mekanisme peradilan umum terutama dalam memenuhi rasa keadilan bagi pihak korban konflik agraria, serta minimnya upaya mempersiapkan sistem data-base mengenai konflik agraria dan ~enanganannya.~ 4. Studi banding ke negara lain
Studi banding telah dilakukan pada pertengahan Desember 2003 ke Afrika Selatan (Afsel)dengan mempelajari sejarah dan kinerja sebuah badan yang bernama Komisi Restitusi Hak Atas Tanah (Commission on Restitution of Lands Rights). Tim yang berangkat ke Afsel adalah Prof. Maria SW Soemardjono (koordinator rombongan), Dianto Bachriadi, dan Usep Setiawan. Dari Afsel diperoleh pelajaran bahwa komitmen pemerintah untuk melaksanakan landreform sebagai bagian dari pembaruan agraria dijamin dalam Lihat hasil "Kajian mekanisme penyelesaian sengketa/konflik agraria menurut perundang-undangan"yang dibuat oleh Wiwiek Awiyati dan HuMA; Lihat juga hasil "Kajian pemetzan kasus kon€lik agraria" yang dilakukan oleh Syaifd Bahari (Bina Desa); serta hasil "Kajian yurispurdensi mengenai konflik agraria", disusun Dloko Soegianto (Komnas HAM).
konstitusi (Act No. 108 of 1996).Secara faktual, landreform di Afsel terdiri dari 3 program yang saling terkait dalam rangka menyediakan akses yang adil terhadap sumber daya agraria. Program-program tersebut meliputi Land Restitution, Land Redistribution, dan Land Tenure Reform. Kebijakan restitusi yang bertujuan untuk memulihkan pemilikan tanah dan membersihkan penggantian bagi mereka yang dihilangkan kepemilikannya karena peraturan perundang-undangan atau praktek yang diskriminatif. Sebagai tindak lanjut dari konstitusi, untuk mendukung restitusi hak atas tanah telah diterbitkan: The Restitution of Land rights Act No. 22 of 1994 (dalam undangundang ini antara lain dimuat tentang pembentukan Commission on Restitution of Lands Rights yang dibentuk tahun 1995) dan Land Claim Court ("LCC"), dan UU No. 22 tahun 1994 tersebut telah diubah pada tahun 1997 melalui Restitution Of Land Right Amendment Bille5 Dengan memperhatikan pengalaman Afsel di atas, implementasinya di Indonesia perlu dirumuskan dalam arah pembaruan agraria yang diorientasikan secara tegas yakni bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat banyak yang selama ini menjadi korban konflik. Di samping itu, perlu payung hukum yang kuat, jika perlu masuk ke dalam tingkat konstitusi. Agar lebih operasional dan berkekuatan hukum maka perangkat UU untuk penyelesaian konflik agraria sebagai bagian dari pembaruan agraria pun perlu disusun. Yang tak kalah penting, perlu institusi khusus yang disamping Lihat makalah berjudul "Perryelesaiari Korrflik Agmria di Reprrblik Afiika Selntnrr, Pelirarig darr Tarrtnrrgnii Impkitwritasinya di Irrdoilesm", yang disusun Prof. Maria SW Soemardjono yang dipresentasikan dalam lokakarya persiapan di Carita, 11 Januari2004.
r2-3 L!&? WL"
Komisi Nnsio~nlHnk Asmi Mn~usin(KOMNAS HAM)
profesional juga kredibilitasnya diakui semua pihak yang berkepentingan dalam pembentukan dan pelaksanaan kebijakan agraria.
5. Penyusunan rancangan naskah akademik dan keputusan presiden Naskah ini merupakan argumen-argumen pokok bagi pembentukan mekanisme dan kelembagaan baru dalam penyelesaian konflik agraria di Indonesia saat ini. Tujuan dari penyusunan naskah ini adalah untuk memberikan landasan argumentasi secara utuh dan mendalam bagi pembentukan kelembagaan penyelesaian konflik agraria. Pembuatan naskah ini, pertama-tama disiapkan oleh Dianto Bachriadi dan Noer Fauzi -keduanya Dewan Pakar KPA yang tergabung di Tim Kerja Menggagas Pembentukan KNuPKA yang dibentuk Komnas HAM. Naskah ini telah pula berusaha mengendapkan ha4il-hasil kajian yang lakukan oleh Tim Kerja, sebagai berikut: "Kajian mekanisme penyelesaian sengketa/ konflik agraria menurut perundangundangan", disusun oleh Wiwiek Awiyati dan HuMA; "Hasil kajian yurispurdensi mengenai konflik agraria", disusun oleh Djoko Soegianto (Komnas HAM); "Kajian pengalaman negeri Afrika Selatan dalam menvelesaikan klaim pertanahan", disusun oleh Maria SW Soemardjono (Wakil Kepala BPN dan Guru Besar UGM) bersama Dianto Bachriadi (KPA); "Hasil kajian pemetaan kasus konflik agraria', disusun oleh Syaiful Bahari (Bina Desa); serta "Hasil Lihat Naskah Akademis berjudul "Pe~njelesainnKorzflik Agrnria don Usrrlnn Pelelnbagaanny di fndoncsia", disusun Tim Kej a Menggagas Pernbentukan KNuPKA - Komnas HAM, Juli2004. Khusus bagian kelembagaan dari naskah akademis tersebut, dan draft Keppres KNuPKA akan diuraikan khusus pada bagian 111dari laporan ini.
konsultasi dan konsolidasi di daerah~daerah",yang dikemas oleh Erpan Faryadi (KPA). Setelah beberapa kali didiskusikan dan disempurnakan dalam rapat-rapat tim kerja, naskah ini kemudian dibawa ke seminar dan lokakarya nasional pada tanggal 22-23 Juni 2004, di Jakarta. Naskah ini telah dikritisi dan diberikan input oleh peserta serniloka yang berasal dari sejurnlah daerah di Tanah Air dan dari berbagai latar belakang.6 Dengan adanya naskah akademis dan draft Keppres KNuPKA ini, maka pimpinan pemerintahan dan jajarannya dapat lebih mudah memahami peta persoalan dan argumen-argumen pokok terkait urgensi penyelesaian koflik agraria di Tanah Air. Lebih dari itu, dengan adanya serta usulan teknis operasional sebagaimana tertuang dalam draft Keppres, maka diharapkan pimpinan pemerintahan dapat lebih cepat untuk mengambil keputusan mengingat segala sesuatunya sudah dirumuskan dengan cukup jelas dan kongkrit. Memang disadari, sekalipun kelengkapan argumen dan usulan teknis sudah lebih dari memadai namun pada akhirnya semua terpulang pada komitmen politik pimpinan pemerintahan untuk memutuskan mengenai perlu atau tidaknya diterbitkan Keppres KNuPKA ini. 6. Seminar dan lokakarya nasional Seminar dan lokakarya nasional bertema "Mensegerakan
Pembentuknn Komisi Nnsionnl unttlk Penyelesaian Konfilk Lihat Naskah Akademis beriudul "Perz~~elesnia~z Kolzflik Axraria daiz Usz~larl Peleinbnganrzrzyadi Iizdoizesia", diiusun Tim KG rja ~ e n g g a g i ~s e r n L t u k a nKNuPKA - Komnas HAM, Iuli 2001. Khusus bagian kelembagaandari naskah akademis tersebut, dan draft ~ e p ~ rKNuPKA es akan d&raikan khusvus pada bagian 111 dari laporan ini.
Agrnrin (KNUPKA) Sebngni Bngznn dnri Usnluz Pernenzilzan Hnk Asasi Manusin (HAM) dnn Persinpnn Pelnksannan Pernbnnlnn Agrnrin di Indonesia'' telah dilaksanakan di Hotel Acacia Jakarta, pada tanggal 22-23 Juni 2004. Semiloka dibuka di Istana Wakil Presiden oleh Hamzah Haz (Wakil Presiden RI) yang dalam ha1 ini diwakili oleh Hari Sabarno (Menkopolkam Ad Interim). Semiloka ini dihadiri oleh 100 (seratus)Iebih peserta dari berbagai daerah dan dari berbagai lembaga baik pemerintahan maupun non-pemerintahan. Selain mempresentasikan dan mendiskusikan berbagai hasil kajian tim kerja, agenda strategis dari semiloka ini adalah mematangkan rancangan naskah akademik sebagai argumen-argumen yang mendasari usulan pembentukan KNuPKA. Dalam semiloka ini, draft awal naskah akademis telah dikritisi dan diberi input oleh peserta semiloka yang berasal dari berbagai latar belakang, seperti akademisi, instansi pemerintahan terkait agraria, kalangan organisasi non-pemerintah (LSM), dan organisasi petani, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin kota. Semiloka ini juga menjadi kegiatan yang menyiapkan strategi lobby kepada Presiden RL7
Semiloka ini telah berhasil memperluas dan memperkuat sosialisasi menuju lobby gagasan mengenai KNuPKA, bahkan sampai ke Istana Wakil Presiden. Selain itu, keterlibatan peserta dari berbagai kalangan dan wilayah semakin mengukuhkan semangat untuk mensegerakan pembentukan KNuPKA. Liputan pers cukup baik dan mendalam. Lihat laporan kegiatan seminar d a n lokakarya nasional bertema "Merrsegeraknn Peinbetztzckan Koinisi Nnsiortal rln trrk Perlyelesaian Korrfilk Agmria (KNUPKA) Sebngai Bagrat1 dari Usaha Pernen~illnrrHak Asasi Manlisia (HAM) dan Persinpurr Pelaksarlaar~ Pernbancan Agraria di hrdor1esin",di Hotel ACACIA Jakarta, 22-23 Juni2004.
7. Audiensi dengan Presiden RI Pada hari Senin, 26 Juli 2004, sepuluh orang anggota Tim Kerja Menggagas Pembentukan KNuPKA yang dipimpin oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM) telah melaksanakan audiensi dengan Presiden RI di Istana Negara. Audiensi ini merupakan salah satu tahap kegiatan yang memang dirancang oleh Tim Kerja. Beberapa respon Presiden Megawati Soekarnoputri; (1)Gagasan yang disampaikan oleh Tim Kerja dihargai dan oleh karenanya Presiden menyampaikan ucapan terima kasih, (2) Masalah tanah dipandang sebagai masalah yang sangat penting bagi bangsa ini dan Presiden menegaskan bahwa "tanah adalah nafas kehidupan", (3) Masalah tanah memang sangat komplek yang perlu diatasi dan ini terkait dengan kerumitan dalam tata ruang dan pembangunan yang sering mengalih-fungsikan lahan pertanian untuk keperluan lain.
Dapat ditarik beberapa catatan; (1)Gagasan tentang pembentukan KNuPKA akan dipelajari secara mendalam terlebih dahulu sebelum kemudian diambil keputusannya, (2) Substansi gagasan yang diusulkan tidak ditolak oleh Presiden (Megawati) dan ha1 ini pernyataan ini diulang beberapa kali, dan (3) Mengenai kemungkinan bentuk atau nama kelembagaannya, belum tentu bernama "komisi" seperti yang diusulkan tetapi bisa dengan nama dan bentuk lain tapi dengan maksud tetap sama. Sekalipun gagasan mengenai pembentukan KNuPKA sudah sampai secara langsung ke tangan Presiden RI namun pembentukan Keppres KNuPKA tidaklah berjalan mulus. Hal ini terutama karena adanya pergantian Presiden melalui pemilu 2004, dimana Megawati digantikan oleh Susilo
Bambang Yudhoyono. Untuk itu, inisiatif untuk melanjutka n proses lobby kepada presiden baru perlu dilak~kan.~ 111. Kelembagaan KNuPKA dan Rancangan Keppres
1. Kelembagaan KNuPKA Lingkup Wewenang dan Kegiatan Sebagai lembaga yang menangani konflik-konflik agraria dan mempersiapkan pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia, KNuPKA berwenang untuk: a.
Mendaftar, memverifikasi dan memberkas kasus-kasus konflik agraria yang diadukan oleh kelompok masyarakan secara kolektif;
b.
Membuat dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian kasus-kasus konflik agraria tersebut kepada para pihak yang terlibat di dalam konflik;
c.
Memfasilitasi penyelesaian konflik melalui mediasi, negosiasi dan arbitrasi;
d. Menyusun rancangan peraturan perundang-undangan dan kelembagaan untuk penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan pembaruan agraria; e.
Melakukan sosialisasi, koordinasi dan kerjasama dengan badan-badan pemerintah maupun nonpemerintah dalam rangka pencapaian tujuan Komisi. Sedangkan jenis-jenis kegiatan KNuPKA adalah: 1. Menyebarluaskan gagasan, prinsip-prinsip, dan tatacara penyelesaian konflik agraria yang
* Lihat
Risalah Ringkas Audiensi Tim Kerja Menggagas KNuPKA Komnas HAM dengan Presiden RI, 26 Juli 2004.
berkeadilan dan dalam rangka menjalankan pembaruan agraria;
2. Menyusun prosedur pendaftaran tuntutan dan verifikasinya, serta metode-metode penyelesaian konflik yang tepat; 3. Melakukan pendataan terhadap konflik-konflik agraria yang teqadi selama ini; 4. Menerirna pendaftaran dan memverifikasi tuntutantuntutan kelompok masyarakat untuk penyelesaian konflik agraria yang dialaminya;
5. Mengupayakan penyelesaian sengketalkonflik dengan cara alternatif (alternative dispute resolution), mediasi, negosiasi, arbitrase, dan/atau mengeluarkan rekomendasi penyelesaian atas sengketa/ konflik tersebut; 6. Melakukan tinjauan ke lapangan untuk proses verifikasi maupun dalam rangka penyelesaian sengketa dengan cara alternatif; 7. Menyusun naskah Rancangan Undang-undang Penyelesaian Konflik Agraria yang di dalamnya terkandung muatan tentang pembentukan Pengadilan Khusus Agraria dan penguatan kewenangan Komisi untuk penyelesaian konflik agraria secara cepat dan berkeadilan, dalam waktu yang sesegera mungkin setelah pembentukan Komisi; 8. Mempersiapkan Rancangan Undang-undang Pembaruan Agraria yang di dalamnya terkandung muatan tentang kelembagaan pelaksana pembaruan agraria.
Komisi N~sioNnlHA^ AS AS^ MANUS~A (KOMNAS \SAM)
Dengan ruang lingkup kewenangan dan jenis kegiatan dari KNuPKA di atas, maka KNuPKA sangat tidak mungkin menjadi subordinat dari institusi lain - mengingat kapasitas kerja yang akan dilakukan. Kapasitas kerja dan kebutuhan melakukan langkah-langkah yang cepat, membuat institusi harus merupakan badan tersendiri. Juga, mengingat kewenangan, kapasitas dan logistik yang akan digunakan, maka instiusi ini harus merupakan suatu Komisi yang bersifat independen, yang untuk pertama kalinya dibentuk oleh Presiden. Namun, meskipun dibentuk oleh Presiden, tidak dengan sendirinya dapat membuka jalan bagi intervensi dari presiden. Oleh sebab itu, institusi ini harus diberi payung hukum yang kedudukan hukurnnya tidak bisa diganggu dengan mudah oleh intervensi presiden. Artinya, pada gilirannya dibutuhkan sebuah undang-undang tersendiri untuk mengatur ha1 ini. KNuPKA melalui Presiden dan/atau masyarakat melalui parlemen dapat mengambil prakarsa untuk memungkinkan undang-undang guna menguatkan posisi badan penyelesaian konflik agraria. Susunan Organisasi Mengingat kewenangan dan jenis kegiatannya, maka organisasi ini adalah badan kerja yang cepat dalam mengambil keputusan dan demokratis kualitas keputusannya. Setiap keputusan hendaknya tidak bertumpu pada satu orang, sebaiknya digunakan mekanisme sidang pleno dengan sifat terpusat. Ssebagai organ yang ad hoc, maka sebaiknya jenis pekerjaan-pekerjaan tertentu dilakukan secara ad hoc, yang segera berakhir setelah tugas selesai. Hal ini dibutuhkan untuk menghemat sumberdaya dan mempercepat kerja. e
Adapun susunan organisasi disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi-fungsinya, yang untuk permulaan dapat saja sebagai berikut: 1. Pleno, sebagai pengambil keputusan tertinggi; 2. Ketua dan Wk. Ketua sebagai pelaksana harian; 3. Sub komisi-sub komisi yang terdiri dari: a. Sub Komisi Pendataan, Registrasi dart Verifikasi Klaim; b. Sub Komisi Penerangan, Pendidikan dan Perluasan Jaringan;
c. Sub Komisi Penyelesaian Konflik; dan d. Sub Icomisi Kajian dan Pengembangan Perundang-undangan 4. Sekretaris Jenderal - sebagai pelayan administrasi kegiatan; Keanggotaan Komisi yang bermaksud untuk mernfasilitasipenyelesaian konflik agraria dan mempersiapkan pelaksanaan pembaruan agraria ini mengandaikan anggotanya memiliki kapasitas pemahaman terhadap wacana konflik, sehingga mampu melakukan tindakan-tindakan yang cepat dan tepat. Oleh sebab itu, anggota haruslah pihak yang memang merniliki kapasitas pengalaman tertentu dalamrnasalah-masalahkeagrariaan. Sifat institusiyang hendak mengerjakanjurnlah kasus yang banyak dan pemikiran yang lengkap, tentu saja membutuhkan konsentrasi yang penuh dan waktu yang besar. Oleh sebab itu, anggota haruslah bisa bekerja secarafill, dan tidak sedang melakukan aktivitas lain yang bisa menimbulkan beban tarnbahan, apalagi konflik kepentingan.
Dengan demikian, sifat keanggotaan KNuPKA adalah: a. Anggota tidak bisa, atau sebaiknya bukan anggota aktif atau pengurus sebuah partai politik. Hal ini dibutuhkan agar dalam melakukan kerja, loyalitas anggota hanya pada institusi dan bukan pada partai. Dengan demikian kepentingan kerja institusi bisa dikedepankan, dan bukan sekedar kepentingan sempit sebuah partai. Asal-usul keanggotaan perlu sekali mempertimbangkan asal-usul yang berkenaan dengan reputasinya. Komisi ini membutuhkan individu anggota yang kuat memper-juangkan kepentingan korban dan mampu menembus kemelut birokrasi pemerintahan dan siasat dari para pelanggar untuk menghindar dari pertanggungjawaban. Kepakaran hendaknya tidak dijadikan acuan pertama - sebab untuk pekerjaan ini dibutuhkan komitmen yang tinggi sebagai modal awal - keahlian adalah aspek kedua atau ketiga. Untuk itu, jejak langkah calon harus bisa diketahui publik, yang akan menjadi kontrol perjalanan kornitmen dari yang bersangkutan. b. Jumlah anggota Komisi tidak perlu banyak. Jumlahnya disesuaikan dengan posisi yang akan diduduki oleh anggota dalam susunan organisasi Komisi. Semakin sedikit jumlah keanggotaan Komisi semakin baik. Sedikitnya jumlah anggota Komisi ditujukan untuk mempermudah dan mengefektifkan pengambilan keputusan. Setiap posisi dari anggota Komisi dapat meminta dan dibantu oleh jumlah staff dan tenaga ahli yang
cukup dan handal. Staff dan tenaga ahli inilah yang bekerja atas tugas dari dan atas nama anggota Komisi. c. Sebaiknya anggota diperoleh dari sebuah proses terbuka, dan dengan demikian siapa saja berhak untuk ikut ambil bagian, menawarkan diri atau mencalonkan diri bergabung dalam institusi ini. Keseimbangan dari laki-perempuan perlu menjadi prinsip utama dalam susunan keanggotaan Komisi. Untuk itu diperlukan sebuah seleksi yang dijalankan secara terbuka dengan kriteria yang juga terbuka untuk menghindari klik kelompok dalam institusi. Namun, untuk pertama kalinya, Presiden dapat menseleksi dan menetapkannya, berdasar atas kewenangannya.
2. Rancangan Keppres KNuPKA Menimbang:
a. bahwa kebijakan agraria yang berlangsung selama ini telah menimbulkan konflik agraria yang berkepanjangan dan ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria; b. bahwa diperlukan upaya-upaya penyelesaian konflik agraria dan mempersiapkan pelaksanaan pembaruan agraria secara terpadu sebagai perwujudan penghargaan pada hak asasi manusia di masa transisi menuju demokrasi; c. bahwa untuk memenuhi maksud tersebut dalam butir a dan b dipandang perlu untuk membentuk -
: --"
36
Ko~isiNAsio~AlH A Asmi ~ MANUS~A (KOMNAS HAM)
suatu Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria dengan Keppres. Mengingat:
a. Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen 1 sampai 4, pasal188, Pasal28i, dan Pasal33 ayat 3; b. Ketetapan MPR-RI No. IX/ MPR/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam; c. Ketetapan MPR-RI No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara, pada bagian ke-4 rekomendasi kepada Presiden RI; d. Ketetapan MPR-RI No. I/MPR/2003 tentang Hasil Pengkajian dan Penetapan Status Hukum terhadap Ketetapan-ketetapan MPR/ MPRS; e. Ketetapan MPR-RI No. V/MPR/2003 tentang Saran Kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara, pada bagian saran kepada Presiden RI mengenai lingkungan hidup dan reforma agraria; f. Undang-undang No. 5 Tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. MEMUTUSKAN: Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIATENTANG KOMISI NASIONAL UNTUK PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA
Kwisi Nnsio~nlU N T U ~PENYE~ESG~AN Ko~nikA~IIAR~A (KNUPKA)
i 37
8
BAB I NAMA, ASAS, SIFAT DAN TUJUAN Pasall Dalam rangka menjalankan pembaruan agraria dan penegakan hak azasi manusia di Indonesia dibentuk suatu komisi yang bersifat nasional dan diberi nama Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria, yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Kornisi. Pasal2 Komisi berasaskan Pancasila. Pasal3 Komisi bersifat independen, berkedudukan di Jakarta dan dapat dibentuk di daerah. Pasal4 Komisi bertujuan untuk: a. Menjalankan fasilitasi penyelesaian konflik-konflik agraria secara berkeadilan demi tegaknya hak azasi manusia;
b. Mempersiapkan pembentukan peraturan perundang undangan dan kelembagaan untuk pelaksanaan pembaruan agraria. BAB I1 KEMrENANGAN DAN KEGIATAN
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal4, Komisi benvenang untuk:
1. Mendaftar, memverifikasidan memberkas kasus-kasus konflik agraria yang diadukan secara kolektif; 2. Membuat dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian kasus-kasus konflik agraria tersebut kepada para pihak yang terlibat di dalam konflik; 3. Memfasilitasi penyelesaian konflik melalui mediasi, negosiasi dan arbitrasi;
4.
5.
Menyusun rancangan peraturan perundang-undangan dan kelembagaan untuk penyelesaiankan konflik agraria dan pelaksanaan pembaruan agraria. Melakukan sosialisasi, koordinasi dan kerjasama dengan badan-badan pemerintah maupun nonpemerintah dalam rangka pencapaian tujuan Komisi.
Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal4, adalah: 1. Menyebarluaskan gagasan, prinsipprinsip, dan tatacara penyelesaian konflik agraria yang berkeadilan dan dalarn rangka menjalankan pembaruan agraria; 2. Menyusun prosedur pengajuan tuntutan, proses verifikasinya, serta metode-metode penyelesaian konflik yang tepat. 3. Melakukan pendataan terhadap konflik-konflik agraria yang terjadi selama ini; 4. Menerima pendaftaran dan memverifikasi tuntutantuntutan kelompok masyarakat untuk penyelesaian sengketa/ konflik agraria yang dialaminya.
Mengupayakan penyelesaian sengketa/ konfllk dengan cara alternatif (a1ternative dispute resolutionj, mediasi, negosiasi, arbitrase, dan/atau mengeluarkan rekomendasi penye-lesaian atas sengketa/ konflik tersebut; 6. Melakukan tinjauan ke lapangan untuk proses verifikasi maupun dalam rangka penyelesaian sengketa dengan cara alternatif; 7. Menyusun naskah Rancangan Undang-undang Penyelesaian Konflik Agraria yang di dalamnya terkandung muatan tentang pembentukan Pengadilan Khusus Agraria dan penguatan kewenangan Komisi untuk penyelesaian konflik agraria secara cepat dan berkeadilan, dalam waktu yang sesegera mungkin setelah pembentukan Komisi; 8. Mempersiapkan Rancangan Undang-undang Pembaruan Agraria (Reforma Agraria) yang di dalamnya terkandung muatan tentang kelembagaan pelaksana pembaruan agraria;
5.
BAB I11 SUSUNAN ORGANISASI DAN KEANGGOTAAN
Susunan organisasi Kornisi terdiri dari: a. Komisi Paripurna; b. Ketua dan Wakil Ketua; c. Sub-sub Komisi; dan d. Sekretariat Jenderal
Keanggotaan Komisi Paripurna terdiri dari tokohtokoh nasional yang selama ini telah menunjukan komitmennya untuk pembaruan agraria dan penegakan hak azasi manusia yang mewakili berbagai kalangan, seperti: pendorong pembaruan agraria dari organisasiorganisasi non pemerintah maupun organisasi rakyat, pakar agraria yang kompeten dari berbagai disiplin ilmu, dan pembela hak azasi manusia.
(1) Komisi Paripurna terdiri dari 15 (lima belas) orang
anggota yang dipimpin oleh seorang Ketua dan dua orang Wakil Ketua yang komposisinya memperhatikan kesetaraan kesempatan antara laki-laki dan perempuan; (2) Ketua dan Wakil Ketua Komisi Paripurna dipilih oleh Anggota dan dari anggota; (3) Anggota Komisi Paripurna diseleksi dan diajukan oleh Komnas HAM serta dikukuhkan oleh Presiden RI;
(4) Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua serta Anggota Komisi Paripurna adalah 5 (lima) tahun dengan penyesuaian dan perubahan sejalan dengan disahkannya Undang-undang Penyelesaian Konflik Agraria.
Komisi Paripurna menyusun dan menetapkan Anggaran Dasar (AD)/ Anggaran Rumah Tangga dan Program Kerja Komisi.
Pasall1 (1) Komisi terdiri dari: a. Sub Komisi Pendataan, Registrasi, dan Verifikasi Klaim; b. Sub Komisi Penerangan, Monitoring, dan Perluasan Jaringan; c. Sub Komisi Penyelesaian Konflik; dan d. Sub Komisi Kajian dan Pengembangan Perundangundangan. (2) Setiap Sub Komisi dipimpin oleh Ketua dengan dibantu Wakil Ketua dan staf yang sesuai dengan keahlian dan kebutuhan; (3) Ketua dan Wakil Ketua dipilih oleh dan berasal dari anggota Komisi Paripuma; (4) Ketua, Wakil Ketua dan staf Sub Komisi bekerja penuh waktu.
Pasal12 (1) Pelayanan kesekretariatanKomisi diselenggarakan oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang SekretarisJenderal. (2) SekretarisJenderal adalah bukan anggota Komisi, yang penunjukkannya dilakukan oleh Presiden RI. Pasal 13 Sumber utama pembiayaan untuk pelaksanaan kerja Komisi dibebankan pada Anggaran Negara. Pasal 14 Komisi dapat mengembangkan kerjasama dengan pihak-pihak lain selarna tidak bertentangan dengan asas, sifat, tujuan dan maksud pembentukamya.
[T" &&
Komisi NAsioN~lHA^
kAsi
MANUS~A (KOMNAS HAM)
Pasal 15 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. IV. REKOMENDASI Jika memperhatikan alur kegiatan, dapat dikatakan bahwa tirn kerja telah berhasil melaksanakan seluruh. rencananya dengan baik. Demikian pula dari segi substansi, tirn ini telah berhasil merumuskan dokumen kongkrit untuk memberikan argumen-argumen ilmiah dan objektif bagi pembentukan KNuPKA yang tertuang dalam naskah akademis. Ketika proses sudah dilalui dan substansi gagasan sudah terumuskan dengan baik, maka tiba gilirannya untuk melanjutkan upaya advokasi kepada pimpinan pemerintahan (dalam ha1 ini Presiden RI) agar gagasan ini dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang nyata. Dalam ha1 ini, terbitnya Keppres tentang KNuPKA menjadi terminal akhir yang hendak dituju oleh segala daya dan upaya yang dilakukan oleh tirn kerja. Mengingat terminal akhir itu belum juga tercapai, maka baiklah untuk disampaikan sejumlah rekomendasi berikut ini: 1. Sehubungan dengan telah berakhirnya masa tugas tirn kerja untuk mendorong pembentukan KNuPKA maka sebaiknya dibentuk tirn baru di dalam Komnas HAM yang diberi tugas dan mandat untuk menindaklanjuti hasil kerja tirn sebelumnya; 2. Agenda kerja ke depan hendaknya fokus pada usaha mendorong pimpinan pemerintahan untuk mem-
percepat terbitnya Keppres pembentukan KNuPKA, dan yang disertai lobby ke kalangan legislatif di DPR untuk menerbitkan RUU penyelesaian konflik agraria; dan
3. Komnas HAM hendaknya melakukan berbagai usaha alternatif transisional, misalnya melalui pembentukan "desk khusus agraria" sebelum Keppres tentang KNuPKA terbit. Usaha alternatif ini diperlukan terutama dalarn rangka menangani kasus-kasus konflik agraria yang ditangani Komnas HAM dan usaha-usaha konsolidasi untuk mengadvokasi kebijakan pembaruan agraria dan pemenuhan hak-hak asasi petani di Indonesia. Demikianlah Laporan Pertanggungjawaban Tim Kerja Menggagas KNuPKA - Komnas HAM ini disampaikan kepada Sidang Paripurna Komnas HAM. Atas segala perhatian, dukungan, saran dan kritiknya disampaikan terirna kasih. Jakarta, 20 Desember 2004
Usep Setiawan
H. Amidhan
(Koordinator OC Tim Kerja)
(Koordinator SC Tim Kerja)
Komisi N~sioNAiH A AS~AS^ MANUS~A (KOMNAS HAM)
DAFTAR DOKUMEN 1. SK Ketua Komnas HAM Nomor 41/KOMNASHAM/ XII/2003 tentang Pembentukan Tim Kerja Menggagas Pembentukan Komnas untuk Penyelesiaan Konflik Agraria, tertanggal4 Desember 2003.
2.
Buku berjudul "Pokok-pokok Pikiran Mengenai penyelesaian Konflik Agraria, Hasil Lokakarya Persiapan M e n u j u Pembentukan Komnas untuk Penyelesaian Konj7ik Agraria (KNuPKA) ",Carita-Banten, 13-14Januari2004, disusun Tim Kerja, Maret 2004. 3. Laporan hasil konsultasi dan konsolidasi di daerahdaerah, dan kompilasi laporan kegiatan "Konsultasi dan Konsolidasi Organisasi Rakyat di Daerah dalam Rangka Promosi KNuPKA", disusun oleh Erpan Faryadi dari KPA. 4. Laporan hasil kajian mekanisme penyelesaian sengketa/ konflik agraria menurut perundang-undangan, disusun oleh Wiwiek Awiyati dan HuMA. 5. Laporan hasil kajian pemetaan kasus konflik agraria, disusun oleh Syaiful Bahari dari Bina Desa.
Laporan hasil kajian yurispurdensi mengenai kon€lik agraria, disusun oleh Djoko Soegianto dari Kornnas HAM. 7. Laporan seminar dan lokakarya nasional bertema "Mensegerakan Pembentukan Komisi Nasional u n t u k Penyelesaian Konfilk Agraria (KNUPKA) Sebagai Bagran dari Usaha Pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Persiapan Pelaksanaan Pembaruan Agraria di Indonesiaf', di Hotel Acacia Jakarta, 22-23 Juni 2004.
6.
8.
Naskah akademis berjudul "Penyelesaian Konflik Agraria dan Usulan Pelembagaannya di Indonesia", disusun Tim Kej a Menggagas Pembentukan KNuPKA - Komnas HAM, Juli 2004.
9.
Risalah Ringkas Audiensi Tim Kerja Menggagas KNuPKA Komnas HAM dengan Presiden RI, 26 Juli 2004.
10. Sejurnlah notulensi internal rapat tim kerja. 11. Laporan keuangan. [I
NASKAH AKADEMIK
PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA DAN USULAN PELEMBAGAANNYA DI INDONESIA Disiapkan oleh: Tim Kerja Menggagas Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA)yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) Pengantar Naskah ini merupakan argumen-argumen pokok bagi pembentukan mekanisme dan kelembagaan baru dalam penyelesaian konflik agraria di Indonesia saat ini. Tujuan dari penyusunan naskah berjudul "Penyelesaian Konpik Agraria dan Usulan Pelernbagaannya di Indonesia" ini adalah untuk memberikan landasan argumentasisecara mendalam bagi pembentukan kelembagaan penyelesaian konflik agraria. Penyusunan naskah ini merupakan upaya memenuhi tugas dari Surat Keputusan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang "Tim Kerja Menggagas Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria". Upaya melaksanakan tugas pembuatan Naskah Akademik ini, pertama-tama dibicarakan pada lokakarya persiapan yang diselenggarakan di Carita-Banten pada tanggal 13-14Januari 2004. Untuk pertama kalinya, naskah ini disiapkan oleh
Dianto Bachriadi dan Noer Fauzi - keduanya Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang tergabung di Tim Kerja Menggagas Pembentukan KNuPKA yang dibentuk Komnas HAM. Naskah ini telah pula berusaha mengendapkan hasil-hasil kajiw yang lakukan oleh Tim Keja, sebagai berikut: Kajian mekanisme penyelesaian sengketalkonflik agraria menurut perundang-undangan" yang dibuat oleh Wiwiek Awiyati dan HuMA; Hasil kajian yurispurdensi mengenai k o d i k agraria yang dilakukan oleh Djoko Soegianto dari Komnas HAM; Kajian pengalaman negeri Afrika Selatan dalam menyelesaikan klaim pertanahan, yang dibuat oleh Maria SW Soemardjono (Wk. Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Guru Besar Universitas Gajah Mada) bersama Dianto Bachriadi dari KPA; Hasil kajian pemetaan kasus konflik agraria yang dilakukan oleh Syaiful Bahari dari Bina Desa; serta Hasil konsultasi dan konsolidasi di daerah-daerah yang dikemas oleh Erpan Faryadi dari KPA. Setelah beberapa kali didiskusikan dan disempurnakan dalam rapat-rapat Tim Kerja, naskah ini kemudian dibawa ke seminar dan lokakarya nasional bertema "Mensegerakan Pembentukan Komisi Nasional u n i u k Penyelesaian Konfilk Agraria (KNUPKA) Sebagai Bagian dari Usnlza P e m e n u h n Hnk Asnsi Manusia (HAM) dnn Persiapan Pelaksanaan Pembarunn Agraria di Indonesia" pada tanggal 22-23 Juni 2004, di Jakarta. Naskah ini telah dikritisi dan diberikan input oleh peserta
semiloka yang berasal dari sejumlah daerah di Tanah Air dan dari berbagai latar belakang, seperti akademisi, instansi pemerintahan terkait agraria, kalangan organisasi nonpemerintah (LSM), dan organisasi petani, nelayan, masyarakat adat dan kaum miskin kota. Berdasarkan input dari peserta semiloka itu, kemudian naskah ini dirumuskanulang oleh tirn kecil yang terdiri dari Noer Fauzi, Rikardo Simarmata dan Usep Setiawan. Proses akhir dari penyusunan naskah ini adalah finalisasi dalam rapat Tim Kerja (30 Juni 2004), yang hasilnya dibawa ke dalam Rapat Paripurna Komnas HAM agar diperoleh pengesahannya. Dengan tuntasnya proses penyusunan dan pembahasan naskah akademik dan rancangan Keppres KNuPKA ini, maka akhirnya naskah ini dapat diletakkan sebagai usulan publik kepada Presiden RI yang disampaikan melalui Komnas HAM. Setelah naskah ini final, berbagai langkah untuk menyampai-kan naskah ini kepada Presiden RI akan segera dilakukanmelalui berbagai cara, seperti mekanisme audiensi maupun sosialisasi, lobby dan kampanye publik. Demikian pengantar ini dibuat untuk memperjelas tujuan dan isi dari naskah akademik tentang pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA).Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kritik dan masukan bagi penyempurnaan naskah ini. Semoga naskah ini dapat membantu membukakanjalan bagi penyelesaian konflik agraria dalam kerangka pelaksanaan pembaruan agraria demi penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Kmisi NAS~ONA~ U N T U ~P E N Y E ~ ~ AKo~flik ~ A N A ~ R A R(KNUPKA) ~A
I. PENDAHULUAN Naskah ini menggunakan istilah 'sengketa' dan 'konflik' secara bersamaan. Kata 'konflik' bermakna lebih luas ketimbang kata 'sengketa'. Kata 'sengketa' memiliki skala lebih kecil, menyangkut pertentangan hak tertentu antara satu pihak dengan pihak lainnya, dan pada umumnya diselesaikan lewat jalur-jalur yang disediakan secara hukum. Sementara itu, "konflik agraria" didefinisikan sebagai pertentangan klaim antar satu pihak atau lebih mengenai penguasaan maupun pengelolaan terhadap tanah dan/atau sumber daya alam lain yang menyertainya.' Situasi ini disebut konflik karena klaim itu ditampilkan secara terbuka oleh satu pihak melalui berbagai ekspresi dengan maksud menghilangkan klaim pihak lainnya. Naskah ini berpendirian bahwa upaya-upaya penyelesaian sengketa dan/atau konflik agraria ini harus didudukkan sebagai bagian dari cara untuk menata ulang distribusi penguasaan tanah yang timpang selama ini. Dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria, yang biasa dikenal dengan nama UUPA 1960, disebutkan bahwa objek yang diatur oleh hukum agraria di Indonesia meliputi "bumi, air, udara/ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan tanah dan di dalam perut bumi." Ditinjau dari wujudnya secara fisik, objek hukum itu dapat berupa tanah, air, udara, mineral dan energi, serta seluruh jenis tumbuhan dan binatang, termasuk yang Perlu dicatat bahwa istilah 'sengketa' lebih popular digunakan oleh peraturan perundangan, ketimbang istilah 'konflik'. s a J G y a , kendati sering digunakan, kecuali UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, tak satupun Undang-undang yang mendefenisikan istilah 'sengketa'. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menggunakan istilah 'perhm' (pasal 89 ayat 4).
berbentuk mikro-organisme. Pengertian agraria itu sendiri merujuk pada hubungan-hubungan yang terjadi: (1) di antara orang dengan salah satu atau keseluruhan material di atas, dan (2) antara orang/kelompok orang dengan orang/ kelompok orang lainnya yang berhubungan dengan salah satu atau keseluruhan material di atas. Dari hubungan-hubungan tersebut kemudian muncul pengaturan mengenai hak dan kewajiban dari orang-orang atau kelompok orang yang terlibat di dalamnya. Adanya hak dan kewajiban inilah yang kemudian menciptakan hukum agraria sebagai pengaturan mengenai hubungan antar subjek hukum dengan keberadaan tanah, perairan, udara/ruang angkasa, dan segala kekayaan alam yang terdapat di atas permukaan tanah dan di dalam perut bumi dalam suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, hukum agraria pada hakekatnya adalah suatu upaya untuk menciptakan keteraturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan/atau sumber daya agraria lain yang menyertainya (selanjutnya ditulis: SDA lainnya) dalam suatu wilayah tertentu. Lebih jauh lagi, pengaturan terhadap orang-orang ini secara umum merupakan usaha mewujudkan keadilan, menjamin kepastian, serta memperbesar kemanfaatan. Hukum agraria adalah alat negara yang utama untuk menjalankan upaya menata kembali struktur penguasaan tanah dan/ atau SDA lainnya. Dalam istilah yang biasanya dikenal, 'upaya' inilah yang disebut (bimaknai) dengan Pembaruan Agraria atau Agrarian Reform (bahasa Inggris) atau Reforma Agraria (bahasa Spanyol). Implementasi pembaruan agraria tidak terbatas pada pelaksanaan
Kmisi NAS~ONA~ umuk PEN~E~ESA~AN Ko~flikAGRAR~A (KNUPKA)
im
distribusi tanah dan SDA lainnya. Pelaksanaan tersebut harus disertai dengan pengadaan infrastruktur penunjang seperti perkreditan, pendidikan dan latihan, pemasaran, penguatan organisasi lokal, dan lain-lain, agar dapat mengelola tanah dan SDA lainnya secara produktif dan berkelanjutan. Jadicakupan dari pembaruan agraria tersebut meliputi perombakan (penataan ulang) struktur di dalam hubungan-hubungan agraria yang terjadi di dalam suatu masyarakat dan penetapan kembali prinsip-prinsip pengelolaan SDA untuk masa selanjutnya (setelah dijalankannya perombakan struktur). Pembaruan agraria merupakan jalan menciptakan keadilan agraria (agrarian justice). Sebagai suatu jalan maka sesungguhnya pembaruan agraria adalah sebuah "operasi" atau "program" dengan batasan waktu tertentu dan targettarget perubahan yang tertentu pula. Karena itu, yang hendak dikejar dari pelaksanaan "operasi" atau "program" ini bukanlah sekedar terlaksananya "program" itu semata, tetapi justru kehidupan masyarakat yang dibangun dalam hubungan agraria yang baru yang dapat menjamin terpeliharanya keadilan agraria. Jadi, dalam rangka mencapai keadilan agraria, maka pembaruan agraria juga meliputi upaya-upaya perbaikan kesalahan-kesalahan masa lampau dalam kebijakan dan penerapannya yang telah mengakibatkan terjadinya sengketa-sengketa dan/ atau konflik agraria. Rejim Orde Baru yang lalu gagal mewujudkan keadilan agraria termaksud, khususnya gagal menjamin kepastian penguasaan tanah dan/atau SDA lain bagi komunitas lokal yang telah memanfaatkan tanah dan sumberdaya alam yang
menyertainya. Bahkan, sebaliknya praktek pembangunan semasa Orde Baru justru menyingkirkan akses rakyat terhadap tanah dan SDA lain yang telah lama dip~nyainya.~ Hal ini pada Hirannya menciptakan sengketa hingga kodik agraria. Kodik agraria ini merupakan warisan yang tak terselesaikan, yang diperkirakan telah mencapai ribuan kasus yang berkaitan dengan eksploitasi kayu hutan alam, perluasan hutan tanaman industri, hutan jati, kawasan konservasi, perkebunan, pesisir, laut dan lain-lain. Sudah umum diketahui bahwa sengketa yang pada mulanya sederhana ini pada gilirannya berubah menjadi konflik yang sangat rumit, karena kewenangan dan manajemen yang sentralistikitu pada penerapannya dikawal oleh mesin birokrasi yang otoriter dan praktek-praktek manipulasi dan kekerasan terhadap penduduk yang mempertahankan hak asasinya. Sementara itu badan peradilan yang disediakan untuk memperkarakan keputusan-keputusan pejabat publik danlatau untuk memperjuangkan hak-haknya, tidak dapat dijangkau oleh penduduk-penduduk korban dan para pembelanya karena masalah aksesibilitas, mahal, dan belum dapat menjamin pemenuhan rasa keadilan r a k ~ a t . ~ Di masa reformasi ini, untuk mendorong perubahan kebijakan pemulihan kondisi korban, penduduk-penduduk Lihat: Endang Suhendar dkk, Pefani dan Koizflik Agmria, Bandung: Akatiga 1998. Khusus Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) memiliki batasan kadaluarsanya masa gugatan yang hanya berlaku paling lama 90 hari setelah keputusan dikeluarkan.Menumt Prof. Dr. Paulus Effendi Lotulung SH, staff Litbang Mahkarnah Agung, masalah pertanahan mendominasi perkara di PTUN dan PTTUN. "Dari penelitian saya, sejak 14 PTUN dan empat Pengadilan Tinggi TUN (PTTUN) didirikan, perkara yang diterima sebagian besar adalah masalah pertanahan" (sebagaimana dimuat di Kompas, 21 Oktober 1996).
Kmisi Nnsio~nlumk PENYE[ESA~AN Ko~flikA ~ R A R (KNuPKA) ~A
633
yang merasa diperlakukan tidak adil atau terganggu rasa keadilannya dalam konflik-konflik tersebut telah mengekspresikannya dalam berbagai tindakan protes. Lebih dari itu, keterlambatan pemerintahan mewujudkan pemulihan ini ternyata telah ikut mendorong tindakan kolektif rakyat untuk merebut kembali apa-apa yang dirampas darinya. Naskah Akademik ini akan menawarkan perlunya dibentuk suatu lembaga khusus yang dapat saja diberi nama Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA)yang seharusnya berfungsi untuk menyediakan keadilan bagi korban-korban yang merupakan akibat praktek dari rejim otoritarianisme masa lalu. Kornisi ini selayaknya mampu menembus kemelut yang tidak berkesudahan dari upaya korban memperjuangkan hakhaknya. Maksud lebih lanjut dari komisi ini adalah menyiapkan pembaruan hukum dan kelembagaan negara mewujudkan pembaruan agraria yang pro-pada rakyat miskin. Adapun susunan isi naskah akadernik ini meliputi: (01) Pendahuluan,
(02) Dinamika konflik agraria di Indonesia masa kini, (03) Penyelesaian konflik agraria dan pembaruan agraria dalarn rangka penghargaan, perlindungan dart pemenuhan hak asasi manusia, (04) Perintah hukum pembentukan KNuPKA, dan (05) Kelembagaan komisi nasional untuk penyelesaian konflik agraria. (06) Penutup
54)
Komisi NAS~ONA~ HA^ Asnsi MANUS~A ( K ~ M N A !HAM) ~
Lampiran :
- Rancangan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria
11. DINAMIKA KONFLIK AGRARIA DI INDONESIA MASA KIN1 Di Indonesia saat ini, konflik agraria adalah satu persoalan yang sangat serius. Ironisnya, konflik agraria ini tidak pernah diperhatikan dan diurus oleh badan-badan negara Republik Indonesia secara serius. Sehingga di satu pihak, masih terus-menerus hidup faktor-faktor yang menyebabkan seringnya, dalamnya dan luasnya konflikkonflik agraria; dan di pihak lain tidak ada upaya secara sistematik untuk menyelesaikan konflik-konflik itu, terutama dalam rangka pemenuhan rasa keadilan dan hak asasi para korban. Berikut disajikan ilustrasi konflik agraria di Indonesia. Keterbatasan dari ilustrasi ini hanya pada konflik agraria yang berbasis tanah. 2.1. Realitas Konflik Agraria di Indonesia Saat Ini
Resource Center KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria)4melakukan perekaman atas 1.753kasus konflik agraria5 yang sifatnya struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang terjadi (melibatkan) penduduk setempat di -
a
--
KPA mengembangkan suatu sistem inventarisasi data mengenai kasus-kasus sengketa agraria yang terjadi di Indonesia lewat program Data Base Sengketa Agraria - KPA yang sistemnya dikembangkan sebagai bagian kejasama KPA dengan dari proyek penelitian "Land Tenure and Law in Indonesia: Implications for Livelihood, Community and Environment" yang dilakukan oleh Dr. Carol Warren (Murdoch
satu pihak yang berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat ke dalam 3 sektor, seperti yang dikemukakan oleh Alexis Tocqueville (1805-1859), maka konflik agraria yang struktural sifatnya dapat dinyatakan sebagai konflik antara kelompok-kelompok masyarakat sipil di satu pihak yang berhadapan dengan
j
University, Perth) dan Dr. Anton Lucas (Flinders University, Adelaide). Data-data untuk kasus sengketa yang diinvetarisir bersumber dari: kliping sejumlah media massa nasional, khususnya, yang terbit sejak tahun 1972 dan beberapa media massa lokal (berdasarkan ketersediaannya di Sekretariat BP-KPA), laporan-laporan investigasi yang dilakukan sejumlah anggota KPA, kronologi-kronologi sengketa yang dikirirn oleh masyarakat atau anggota KPA ke Sekretariat BP-KPA, serta laporanlaporan dan hasil studi terhadap sengketa agraria yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, monograf, dan sebagainya yang bisa didapatkan di Resource Center KPA. Adapun satuan analisis dari data base ini adalah Kasus, yakni adanya sejumlah orang yang mempakan penduduk setempat yang sedang atau telah terlibat dalarn suatu persengketaan dengan satu pihak atau beberapa pihak tertentu atas sebidang atau beberapa bidang tanah tertentu karena kedua belah pihak sama-sama mengaku memiliki hak atas bidang tanah tersebut. Sebagai satu kasus, maka sejumlah orang yang mempakan penduduk setempat tersebut akan dianggap sebagai satu kesatuan (kolektif tertentu), dan pihak-pihak yang menjadi lawannya juga sebagai satu kesatuan Misalnya, Kasus Badega adalah kasus persengketaan tanah yang terjadi antara sekelornpok orang di satu daerah di Kabupaten Garut yang bersengketa dengan satu perusahaan perkebunan akan diperhitungkan sebagai satu kasus meskipun dalarn kasus ini terlibat sejumlah penduduk di 3 desa dari dua kecamatan yang berbeda. Kasus Badega dianggap sabagai satu kasus, karena penduduk setempatyang berkonflik tadi menganggap dirinya sebagai satu kesatuan (kolektif).Tetapi ada juga sejurnlah kasus yang terjadi di dalam satu wilayah operasi satu perusahaan tertentu, seperti yang terjadi pada PT MHP di Sumatera Selatan yang operasinya telah menirnbulkan 44 kasus sengketa agraria. Indikator untuk menyatakan satu kasus tertentu didasarkan pada anggapan kolektif masyarakat sendiri yang sedang bersengketa yang merasa mereka sebagai satu kesatuan, atau berdasarkan anggapan pihak lawan dari masyarakat yang memiliki catatan atas-atas 'kasus-kasus' sengketa yang terjadi di wilayah kerjanya. Dari data-data yang ada temyata dari kedua sisi pandang ini tidak ada perbedaan di antara kedua pihak untuk menyatakan kasus sengketa tertentu sebagai satu Kasus. Angka ini dan angka-angka yang kemudian akan menyertainya dapat dikatakan sebagai angka minimal yang dapat diinventarisir oleh KPA. Dikarenakan oleh keterbatasan rnetodologi pengumpulan data yang ada, tidak semua kasus sengketa/ konflik yang terjadi di Indonesia dapat terliput. Meskipun demikian, data-data ini dapatlah dijadikan sebuah gambaran mengenai pola-pola konflik agraria yang terjadi di Indonesia selama masa Orde Baru hingga sekarang.
dua kekuatan lainnya yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, yakni: sektor bisnis dan/atau negara. Karena itu, satu faktor yang penting memainkan peran di dalam munculnya kasus-kasus tersebut adalah adanya kebijakan tertentu yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah untuk berbagai tujuan - termasuk tujuan-tujuan yang dinyatakan sebagai "kepentingan umum" maupun untuk tujuan "pembangunan" yang mengabaikan kenyataan adanya penguasaan tanah oleh penduduk setempat. Seluruh kasus-kasus yang terekam tersebut tersebar di 2.834 desa/kelurahan6 dan 1.355 kecamatan di 286 daerah Tingkat I1 (Kabupaten/Kota) (lihat Tabel-1).7 Rentang waktu dimana kasus-kasus tersebut mengemuka ke permukaan adalah sejak tahun 1970 hingga 2001. Dari kasus-kasus itu tercakup luas tanah yang diper-sengketakan yang jumlahnya tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan telah mengakibatkan tidak kurang dari 1.189.482 KK menjadi korban (lengkapnya lihat Tabel-3). Dilihat dari adanya kebijakan publik yang menjadi penyebab terjadinya kasus-kasus sengketa dan/atau konflik tersebut, maka konflik yang paling tinggi intensitasnya adalah yang terjadi karena sengketa atas lahan perkebunan besar (344 kasus). Selanjutnya secara berturut-turut adalah kasus-kasus yang terjadi akibat adanya kebijakan publik yang berkaitan dengan Ini juga merupakan angka minimal, karena banyak kasus-kasus yang terekam tidak dapat diidentifikasi nama desa/kelurahan di mana warganya terlibat dalam konflik. Data-data konflik agraria di dalam Resource Center KPA rnasih disusun dalam peta geografi-administratif dengan inventarisasi nama dan jumlah propinsi di Indonesia sebelum pemekaran dan penambahan sejumlah propinsi maupun kabupaten yang terjadi pada masa pasca reformasi (sejak 1998).Sehingga data-data ini masih merujuk pada 26 propinsi (Timor Tirnur sudah tidak dimasukan ke dalam pencatatan).
-" ---,
Kmisi NAS~ONAI U N T U ~PENYE~ESA~AN Ko~flikA ~ R A R(KNuPKA) ~A
57
Tabel-1. Jumlah Konflik Agraria di 26 Propinsi F'ropinsi
Jumlah Kabupaten Keumatan Desa/ Kelurahan & Kota 362 968 79 97 43 302 104
Kasus
SUMATERA DI Aceh Sumatera U Sumatera B( Riz1u Jarnbi Be1nolciilii .o-. Sumatera Se~atan Lamp u g
464 47 121
JAWA Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tenga DI Yogjakal Jawa Timur
946 484 175
KALIMANTAN KaIimantan Timur Kalimantan Tengah 1;mrnJ.nKauutal Lrruc Selatan Kalimantan SULAWESI Sulawesi Se .- Sulawesi Uitara Sulawesi TE!ngah sulawesi TFmggara BALI NUSA TENGGARA Nusa Tenggara Timur Nusa Tenggara Barat MALUKU PAPUA TOTAL
92
30 1 3 8
26
8
za
133 48
3 2 7
190 57
--
--
--
--
1
100
-
1
fl
99
8 4
I
87 46 659
1312
368 36 101 16 138
705 147
100 35 8 31
179
190
0
17 42 8
13
7
12
7l 44 27
18 12 6
44 29
6
4
28
9 286
1.753
7 1
73
6 26
1.355
14 101 65 36 32 38
2.834
Diolnh d u n Data-base Koflik Agraria KPA, entry due to Dec 30,2001
'
pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), pembangunan perumahan dan kota baru (232 kasus), pengembangan kawasan kehutanan produksi (141 kasus), pembangunan kawasan industri dan pabrik (115kasus), pembangunan bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), pembangunan sarana wisata [tourism, hotels and resorts (73 kasus)], pengembangan kawasan pertambangan besar (59 kasus) dan pembangunan sarana militer (47 kasus). Untuk lengkapnya lihat Tabel-2 berikut ini.
Tabel-2. Jumlah Kasus Berdasarkan Peruntukannya Menurut Putusan Pejabat Publik Perkebunan Sarana Umum/Fasilitas Perkotaan Pemmahan/Kota Baru Kehutanan Produksi Kawasan Industri/Pabrik Bendungan/Pengairan Turisme/ Hotel/Resort Pertambangan Sarana Militer Kehutanan K&ervasi/Lindung Pertambakan Sarana Pemerintahan Perairan Transmigrasi Lain-lain Diolah d u n Data-base Kof7ik Agraria K P A , e n t n j due to Dec 30,2001
Dari data yang ada, intensitas konflik yang tertinggi terjadi di propinsi jawa Barat (484 kasus). Berikutnya adalah: DKI Jakarta (175 kasus), Jawa Timur (169 kasus), Sumatera Selatan (157 kasus), Sumatera Utara (121
kasus), Jawa Tengah (99 kasus), Sulawesi Tengah (58 k a s u ~ ) Lampung ~, (54 kasus), dan Sulawesi Selatan (48 kasus), dan NAD (47 kasus). Untuk lengkapnya lihat Tabel-3 berikut ini. Dari data-data mengenai kasus-kasus sengketa yang terekam jelas tergambar negara -1ewat institusi pemerintah, aparatus militer maupun hukum, maupun badan-badan usaha yang dimiliki negara (BUMN dan BUMD) - mengambil peran yang sangat aktif, bukan sebagai penengah atau mengambil posisi tidak berpihak kepada pihak-pihak yang bersengketa tetapi lebih mengambil posisi sebagai lawan rakyat. Dalam keterlibatannya ini, termasuk juga adanya sejumlah fasilitasi dan kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada pihak pengusaha swasta melalui kebijakankebijakan publik maupun peraturan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga negara. Melalui kebijakan-kebijakan publik inilah konsepsi kepentingan nasional direduksi menjadi kepentingan umum, yang kemudian direduksi lagi menjadi kepentingan sekelompok kecil orang atau kepentingan bisnis suatu perusahaan tertentu. Tabel-3 di atas jelas memperlihatkan posisi negara sebagai lawan sengketa dari rakyat - baik yang direpresentasikan melalui lembaga pemerintah, badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer secara proporsional jumlahnya cukup besar. eke rap an lembaga pemerintah menjadi lawan sengketa dari rakyat Belum termasuk kasus konflik tanah yang tejadi di Kabupaten Bulukumba yang tejadi antara PT London Sumatera Indonesia, Bulukumba dengan masyarakat sekitar perkebunan tersebut. Dalam peristiwa aksi pendudukan tanah yang dilakukan oleh sejumlah warga setempat pacla Juli lalu 3 warga setempat tewas ditembak pasukan Brimob dan ratusan lainnya mengalami luka-luka akibat penembakan dan tindak kekerasan lainnya.
Koiisi NAS~ONA~ HA^ AS AS^ MANUS~A (KOMNAS HAM)
Tabel-3. Characteristics of Land Disputes in Indonesia 1970-2001 Cases involving military action to resolve disputed
1 Jawa Barat
484
184.484
237.482
197
12
60
225
187
38,64
297
61.36
39
13.13
258
86247
114
2 DKI Jakarta
175
60.615
117.194
96
5
9
66
55
31/43
120
68,57 iI
2
1,67
118
98.33
10
3 Jawa Timur
169
390.296
187.428
77
9
31
59
76
4497
93
55.03
8
8,60
85
91,40
42
Arranged from KPA's Agrarian Conflict Data-base, entry due to Dec 30,2001 Catatan: *) Belum termasuk kasus Lonsum, Bulukumba
bI
Komiri Nasio~alU N T U ~
-
E N ~ E ~ ~ AK~oA~N f l i kA ~ ~ I I A R(KNuPK) ~A
setempat jumlahnya 39,3%;sedangkan badan usaha milik negara/daerah jumlahnya 12%; dan institusi militer jumlahnya 3,2%. Dengan kata lain dari seluruh sengketa agraria yang dapat terekam, posisi negara dan institusiinstitusinya yang menjadi lawan dari rakyat jumlahnya sekitar 54,5 % . Selebihnya, atau sekitar 55,5% dari keseluruhan kasus tersebut, berarti rakyat setempat berhadapan dengan perusahaan-perusahaan swasta. Meskipun demikian, posisi pemerintah di dalam kasus-kasus konflik antara rakyat setempat dengan perusahaan-perusahaan swasta selalu melibatkan pihak pemerintah dikarenakan melalui lembaga pemerintah itulah yang menerbitkan sejumlah ijin atau hak-hak atas tanah maupun hak-hak untuk mengelola sumberdaya alam tertentu konflik-konflik tersebut jadi terpicu. Bahkan pada banyak kasus, keterlibatan lembaga negara tidak hanya melalui institusi pemerintah, melainkan juga melibatkan militer dan lembaga peradilan. Dari data-data yang tersedia, dapat dilihat bahwa kekerapan pihak pemerintah dan institusi-institusi negara lainnya yang menjadi lawan sengketa dari rakyat sangat sering terjadi terjadi pada jenis-jenis sengketa berikut: pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, pengembangan perkebunan besar, pengembangan perumahan dan kota-kota baru, pembangunan bendungan dan sarana pengairan, pembangunan sarana-sarana wisataperhotelan-dan resort, pengembangan areal kehutanan produksi, dan pembangunan sarana-sarana militer. Dari data-data yang tersedia, dapat dibedakan dua bentuk posisi pihak ,pemerintah - khususnya - ketika
menjadi lawan langsung dari rakyat setempat, yakni: sebagai pihak yang menggusur langsung mereka maupun sebagai pihak yang dianggap paling bertanggung jawab atas terjadinya penggusuran karena keluarnya suatu ijin atau hak-hak baru atas sebidang tanah yang sebelumnya dikuasai oleh mereka (rakyat ~etempat).~ Perusahaan swasta sendiri menjadi lawan sengketa dari rakyat banyak terjadi dalam kasus-kasus sengketa yang menyangkut: pengembangan perkebunan besar, pengembangan perurnahan dan kota-kota baru, pengembangan kawasan kehutanan - baik untuk tujuan produksi maupun konservasi dan hutan lindung, serta pengembangan kawasan industri dan pabrik. Tabel4 berikut memperlihatkan kekerapan lembagalembaga yang terkait dengan negara tersebut menjadi pihak lawan dari rakyat setempat di dalam konflik-konflik agraria di Indonesia.
Tabel-4. Kekerapan Pihak-pihak yang Menjadi Lawan Rakyat Setempat dalam Kasus-kasus Konflik Agraria di Indonesia
Digunakannya kata "dianggap" di sini untuk menunjukan bahwa penempatan (positioning)pihak pemerintah sebagai lawan sengketa langsung - meskipun 'hanya 'dikarenakan keluarnya suatu perijinan atau diterbitkannya hak-hakbaru atas sebidang tanah - dilakukanoleh kelompok rakyat itu sendui - baik yang sudah terbentuk dalam suatu gugatan hukum maupun tuntutan langsung untuk bertanggung jawab.
kotaan
-
Diolah dari Data-base Konflik Agraria KPA, entry due to Dec 30, 2001
Militer sendiri sebagai sebuah institusi ternyata tidak hanya terlibat sebagai pihak lawan langsung dari rakyat setempat dalam kasus-kasus sengketa agraria. Dari datadata yang dapat terkumpul, pihak militer - termasuk kepolisian - ternyata juga aktif berperan sebagai penyokong pihak-pihak lain yang menjadi lawan utama (mainopponents) dari rakyat. Dalam ha1 ini, aparat militer dan kepolisian bertindak sebagai alat dari penggusuran tersebut. Tabel-5 berikut memperlihatkan jumlah kasus sengketa yang di dalamnya pihak militer dan kepolisian terlibat atau melibatkan diri pada berbagai kasus konflik dengan mengambil posisi sebagai penyokong pihak-pihak yang menjadi lawan rakyat setempat.
-
Tabel-5. Persentase Keterlibatan Militer sebagai Alat untuk Menggusur R e ~ a h&&m f Kasus-kasus Sengketa Agraria berdasarkan Jenis Sengketa
Diolah dari Data-base Konflik Agraria KPA, entry due to Dec 30,2001
Dari tabel ini dapat dilihat bahwa secara keseluruhan hampir di sepertiga jumlah kasus konflik agraria militer terlibat atau melibatkan dirinya untuk menjadi bagian dari pihak yang menekan rakyat setempat untuk melepaskan hak-hak mereka. Sementara jika ha1 ini dihubungkan
dengan aspek wilayah, maka tampak di provinsi-provinsi seperti Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Lampung keterlibatan militer sangat intens untuk menjadi penekan maupun 'penggusur'. Di Bali, jenis konflik terbanyak terjadi akibat pengembangan sarana-sarana wisata-perhotelan-resort. Di Kalimantan Tengah adalah perkebunan dan perumahan dan kota baru. Di Kalimantan Barat adalah perkebunan. Sedangkan di Lampung adalah perkebunan dan pengembangan kawasan konservasi dan hutan lindung. Tampaknya kombinasi antara watak pimpinan institusi militer setempat, posisi geografis, jangkauan peliputan media, dan kepentingan ekonomi dari lembaga-lembaga militer yang terlibat di dalam kasuskasus tersebut mempengaruhi tingginya intensitas keterlibatan mereka. 2.2. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Agraria berdasar Hukum Negara
2.2.1. Analisis Normatif 2.2.1. A. Penyelesaian Melalui Pengadilan Menurut peraturan perundangan, penyelesaian sengketa/ konflik agraria dapat ditempuh melalui dua cara, yakni: [I] melalui pengadilan; dan [2] di luar pengadilan (pasal74 ayat 1UU No. 41/1999 dan pasal30 ayat 1UU No. 23/1997, pasal88 ayat 2 W No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air). Tentang tugas, asas, jenis-jenis dan kompetensi peradilan telah diatur dalam UU No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.UU ini membagi peradilan ke dalam peradilan umum dan peradilan khusus. Peradilan umum tersusun atas Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agungl0. Sedangkan peradilan khusus terdiri dari peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan peradilan agama. Belakangan jumlah ini bertambah bersamaan dengan didirikannya peradilan anak, peradilan niaga, peradilan HAM, peradilan pajak & peradilan tindak pidana korupsi. Bahkan dibentuk pula peradilan ad hoc semacam peradilan ad hoc HAM dan (rencana) peradilan ad hoc tindak pidana illegal loggzng. Kecuali peradilan agama, putusan peradilan khusus mempunyai kekuatan mengikat yang sama dengan putusan peradilan umum. Menurut UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, penyelesaian sengketa kehutanan melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh pihak yang kalah dalam sengketa. Selain itu, pengadilan juga dibolehkan untuk menetapkan pembayaran uang paksa atas keterlambatan pelaksanaan tindakan tertentu. Dalam ha1 sejak awal para pihak telah menyepakati untuk menyelesaian sengketa di luar pengadilan, penyelesaian melalui pengadilan hanya dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan (tidak berhasil) antara para pihak yang bersengketa (pasal74ayat 2 UU No. 4111999 dan pasal 30 ayat 3 UU No. 23/1997). Masih menurut UU Kehutanan, gugatan ke pengadilan hanya dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat, organisasi yang berbentuk badan hukum dan penuntut. Sedangkan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup mem'O
Selain peradilan urnum dan khusus, yang seluruhnya berada dalam pengawasan
Mahkamah Agung, dikenaljuga Mahkamah Konsitusi sebagai badan peradilan dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
bolehkan penggugatnya adalah masyarakat, organisasi lingkungan hidup dan negara. 2.2.1. B. Di Luar Pengadilan
Sejak awal para pihak yang bersengketa telah diperbolehkan untuk menggunakan mekanisme penyelesaian di luar pengadilan". Penyelesaian sengketa jenis ini difungsikan untuk mencapai kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti rugi, dan atau tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan atau guna menjarnin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Penjelasan terhadap penyelesaian sengketa di luar pengadilan akan dilakukan dengan cara menerangkan 3 aspek, yakni: [i] jenis sengketa yang diperiksa dan diselesaikan; [ii] kedudukannya di hadapan pengadilan; dan [iii] pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa/ konflik. [i] Jenis SengketalKonflik Lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya bisa memeriksa dan mengadili perkara perdata dan administratif, tidak untuk perkara pidana (UU Kehutanan, UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen serta UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Jadi, perkara-perkara pidana masih merupakan kompetensi pengadilan. Dengan kata lain, sengketa/ konflik
" Dalam versi UU Sumberdaya Air, penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan dilakukan setelah para pihak terlebih dahulu mengupayakan musyawarah (pasal88 ayat 1).
yang mengandung unsur publik masih merupakan tanggung jawab negara. Hal yang agak berbeda dilakukan oleh UU HAM. UU ini memberikan kewenangan kepada (anggota)Komnas HAM sebagai mediator untuk melakukan perdamaian dan konsultasi, negosiasi, konsiliasi dan penilaian ahli. Sengketalkonflik yang bisa diselesaikan lewat mediasi ini adalah yang lahir karena terjadi pelanggaran HAM berat. [ii] Kedudukan di Hadapan Pengadilan Putusan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidaklah bersifat final. Bila para pihak tidak puas diperbolehkan untuk meneruskan ke pengadilan dengan mengajukan gugatan. Begitulah UU Kehutanan, UU Perlindungan Konsumen dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup merumuskan klausul. Hal yang berbeda dirumuskan oleh UU HAM dan UU Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Menurut UU HAM kesepakatan yang dicapai dalam proses mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan mediasi dalarnjangka waktu yang ditetapkan maka pihak lainnya dapat memintakan kepada PN setempat agar putusan tersebut dapat dilaksanakan (pasal96 ayat 3 dan 4). Pernyataan yang tegas dirumuskan oleh UU Arbitrase dengan mengatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase (pasal3).Jadi, selain penyelesaian lewat arbitrase, putusan penyelesaian di luar pengadilan untuk kasus pelanggaran HAM, kehutanan, perkara konsumen dan lingkungan hidup, tidak memiliki kekuatan eksekutorial.
[iii] Pihak yang Terlibat dalam Penyelesaian Sengketa/ Konflik Pengaturan mengenai pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan cenderung agak kabur. Satu-satunya yang agak jelas adalah penyebutan sitilah 'pihak ketiga'. UU HAM menempatkan Komnas HAM sebagai mediator bagi para pihak. UU Kehutanan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebut pihak ketiga dan organisasi non-pemerintah (Ornop).Sedangkan pihak-pihak yang bersengketa tidak dijelaskanidentitasnya.Apakah antar perorangan, perorangan dengan badan hukum, perorangan dengan kelompok masyarakat, perorangan dengan badan hukum atau antar badan hukum/ kelompok masyarakat? Dalam rangka menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, UU Perlindungan Konsumen memperkenalkan sebuah lembaga bernama Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, badan ini hanya menyelesaikan sengketa perdata dan administrasi yang fungsinya untuk untuk mencapai kesepakatan mengenai ganti rugi atau tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk menjamin tidak terulangnya kerugian konsumen (pasal 47). Pihak-pihak yang diperbolehkan mengajukan sengketa ke badan ini adalah individu, masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen (LSM) yang berbentuk badan hukumx2. Bila UU Perlindungan Konsumen menghasilkan sebuah badan maka UU Pengelolaan Lingkungan Hidup melahirkan lembaga yang sifatnya tidak terpusat. Dalam rangka " Inilah
yang membedakan UU Pcrlindungan Konsurnen dengan UU Kehutanan dan UU PengelolaanLingkungan Hidup yang tidak jelas menyebutkan pihak-plhak yang bersengketa.
penyelesaian sengketa di luar pengadilan UU ini menyarankan terbentuknya lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan yang bersifat bebas dan tidak mengikat. Menurut PP No. 54/2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, lembaga ini bisa dibentuk oleh masyarakat maupun pemerintah. Bila lembaga tersebut dibentuk oleh masyarakat maka harus disahkan dengan akte notaris. Selain itu, sebuah terobosan dilakukan oleh UU No. 261 2000 tentang Pengadilan HAM. Sekalipun tidak mematok batasan waktu, UU ini menyatakan dirinya berlaku bagi pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelumia diundangkan.13
2.2.2. Analisis Empiris Dari data-data KPA yang dipergunakan di muka, terlihat bahwa lebih banyak sengketa yang tidak diselesaikan (terselesaikan)ketimbang yang diselesaikan/ terselesaikan. Dari data-data ini juga terlihat bahwa pengadilan bukanlah satu tempat yang tepat bagi rakyat untuk mencari keadilan dalam kasus-kasus sengketa agraria. Dari beberapa studi yang telah dilakukan, terlihat pemihakan pengadilan bukanlah kepada rasa keadilan, tetapi lebih kepada kekuasaan dan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonorni terhadap lahan-lahan yang disengketakan.14 Rupanya prinsip ini hendak ditiru oleh rancangan Perpu tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon Di Dalam Hutan Secara Ilegal. l4 Mengenai ha1 ini lihat misalnya: Abdul Hakim G. Nusantara dart Budiman Tanuredjo (1997),Dzia Kudo Hakirn Agzazg briat Kedrcrzg Ombo: ~itzjazianPufiisan-pzifzisanMahkainnlz A p i n g fentarzg Kaslis Kedrirtg Ombo, Jakarta:Elsam; Bachriadi (1998),Seirgketa Agrnrin dun Perlzinya Metzegakan Lelnbaga PeradilanAgrarin yang Independen ; dan Dianto Bachriadi dan Anton Lucas (2001),Merampas Tairalz Rakjat: Kaszcs Tapos dair Ciinacaiz, Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia. I3
Pengadilan di lembaga peradilan itu sendiri terhadap sengketa hak (sengketa klairn) terhadap tanah atau sumbersumber agraria lainnya itu sendiri jarang terjadi, yang lebih banyak dilakukan adalah proses pengadilan terhadap tindakan-tindakan masyarakat yang dianggap sebagai tindakan kriminal ketika mereka berusaha mempertahankan hak atau klaimnya. Penyebabnya adalah aparat kearnanan menganggap upaya masyarakat mempertahankan hakhaknya sebagai tindakan yang melanggar hukum, dan sebaliknya tindakan pihak-pihak yang menyerobot tanahtanah rakyat sebagai sesuatu yang sah menurut hukum. Biasanya memang upaya-upaya penyerobotan tanah-tanah yang sudah dikuasai oleh rakyat maupun upaya-upaya penggusuran dilakukan oleh atau untuk mendukung pihak yang sudah mengantongi hak-hak baru atas tanah/sumbersumber agraria tersebut. Manakala kasus-kasus yang dianggap sebagai tindakan kriminal ini dibawa ke pengadilan, biasanya anggota masyarakat yang dituduh melakukan tindakan krirninal tersebut akan mengemukakan klairnnya (haknya)atas tanah yang disengketakan, atau kemudian melakukan gugatan perdata kepada pihak yang dianggap menyerobot hak-hak mereka. Tetapi dari beberapa studi yang pernah dilakukan, maupun dari laporan-laporan yang disampaikan ke publik oleh masyarakat maupun Ornop, terlihat bahwa pada urnumnya hakim-hakim di pengadilan akan lebih banyak berpegang pada hal-ha1 yang bersifat formal, khususnya dalam melakukan proses pembuktian terhadap klaim-klaim yang dikemukakan oleh kedua belah pihak. Sehingga pihak rakyat biasanya akan kalah karena pada umurnnya buktibukti pemilikan atau penguasaan mereka atas tanah-tanah Ko~isiNAS~ONA~ HA^ AS%i MANUS~A (KOMNAS HAM)
atau sumber-sumber agraria yang disengketakan lemah jika dilihat dari sudut hukum formal. Kasus yang sangat mencolok yang dapat dikemukakan sebagai contoh adalah Kasus Cimacan (pembangunan lapangan golf) dengan hakim ketuanya di pengadilan Negeri Cianjur pada waktu itu adalah Benjamin Mangkudilaga. Terlepas dari segala isu soal suap yang diterima oleh majelis hakim, putusan yang diambil oleh majelis hakim pada waktu itu sangat mengesankan mereka tidak mau melihat sejarah dari keberadaan tanah tersebut hingga bisa berada di tangan rakyat dan alasan-alasan mengapa mereka menolak pembangunan lapangan golf, di samping majelis hakim itu sendiri tidak seksama memperhatikan kelemahan buktibukti dan kesaksian yang disampaikan oleh pihak pengusaha.15 Ini menunjukan bahwa hakim-hakim pada pengadilan umum lemah dalam segi penguasaan terhadap masalah-masalah agraria dan lemah pengalamannya dalam ha1 penyelesaian sengketa agraria yang dapat memenuhi rasa keadillan masyarakat.16 Hal ini membuat banyak anggota masyarakat yang mengalami sengketa agraria kemudian lebih memilih mengadukan persoalannya ke lembaga-lembaga non peradilan, seperti DPR dan Komnas HAM.17 Banyak di antara mereka malah beranggapan lembaga-lembaga non peradilan ini bisa menyelesaikan persoalan mereka. Padahal dalam kenyataannya tidak lah dernikian. 'j
Untuk jelasnya mengenai kasus ini lihat Bachriadi dan Lucas (2001),Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dun Cimacan.
l6
Lihat Bachriadi (1998), Serrgkfo Agrarin dun Perlliizya Menegakar~Letnbaga Peradilair Agraria yartg Independen.
l7
Lihat Bachriadi (1998),Idem.
Pada Tabel-1 di muka dapat dilihat dari 1.753 kasus sengketa/konflik yang terinventarisir, yang jelas status upaya penyelesaiannya hanya 55,1% saja. Selebihnya sekitar 44,9% lagi status upaya penyelesaiannya tidak jelas - yang dalam beberapa ha1 disebabkan karena tidak terliput atau tertutup tabir hiruk-pikuknya pembangunan atau tergilas roda otoritarian pemerintahan Orde Baru. Di antara kasus-kasus yang jelas upaya-upaya penyelesaiannya tersebut, hanya 7,6% yang masuk pengadilan, dengan 38% di antaranya yang dinyatakan berakhir18 dan 62% sisanya masih berlangsung proses peradilannya. Sedangkan 92,4%kasus yang tidak masuk pengadilan, yang statusnya berakhir ada sekitar 14,9%,'9 dan sisanya yaitu sekitar 85,1% lagi status penyelesaiannya masih berlangsung/belum berakhir (lihat Tabel-6 di bawah). Dilihat dari rentang waktu kejadian-kejadian konflik tersebut, maka angka-angka ini menunjukan begitu panjang dan melelahkannya upaya penyelesaian konflik tersebut, yang seringkali juga ha1 itu menjadi bagian dari strategi untuk melemahkan daya tahan dan perjuangan rakyat setempat yang menjadi korban. Karena pada kenyataannya, jika rakyat setempat tidak melakukan aksi-aksi pendudukan secara langsung di atas tanah-tanah yang disengketakan, maka tanah-tanah tersebut langsung dikuasai oleh pihak lawannya. Bahkan tidak jarang pula di tengah-tengah upaya Berakhir disini hams dibaca sebagai Berakhir dengan kemenangan di pihak warga maupun Berakhir dengan kemenangan pada pihak lawan sengketa mereka. Kata 'berakhir' ini tidak dengan sendirinya telah mencerminkan adanya keadilan. l9
Dari data yang tersedia sengketa yang berakhir tanpa lewat pengadilan ini biasanya diselesaiakan lewat musyawarah -untuk penetapan/peninjauan ulang ulang nilai ganti rugi atau dalam kasus-kasus dimana warga mendapatkan tanah pengganti di lokasi lain.
hukum masih berlangsung proses pembangunan atau pengembangan sarana-sarana yang menjadi tujuan diambilnya tanah-tanah tersebut terus berlangsung! Jika dilihat secara lebih seksama, data-data yang tersedia di KPA menujukan bahwa dari 16,7% jurnlah kasus yang dinyatakan berakhir, terdapat 51,6% kasus yang dimenangkan oleh warga. 8 kasus diantaranya dirnenangkan melalui pengadilan, dan 75 kasus lainnya tanpa melalui pengadilan. Sedangkan sengketa yang dimenangkan oleh pihak lawan dari rakyat jumlahnya sedikit lebih kecil, yakni sekitar 48,4%. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa dari segi kuantitas, tingkat kemenangan warga/rakyat lebih tinggi, karena angka-angka ini harus diperbandingkan dengan angka kasus-kasus yang masih berlangsung yang jumlah seluruhnya (dari kasus-kasus yang jelas upaya penyelesaiannya) adalah 83,3% ! Kasus-kasus yang statusnya masih berlangsung ini menunjukan bahwa secara de facto sumber-sumber agraria masih dikuasai oleh pihak lawan dari rakyat. Dalam ha1 ini, kerangka analisa harus tetap dikembalikan kepada corak sengketa yang terekam di dalam data-data ini, yaitu sengketa-sengketa yang sifatnya struktural. Ditandai dengan dimulainya proses penggusuran atau pengusiran warga masyarakat dari tanah-tanah atau sumber-sumber agraria yang mereka kuasai atau rniliki sebelumnya akibat terbitnya sejumlah hak-hak penguasaan atau pengelolaan yang baru. Dengan demikian, kasus-kasus yang berstatus masih berlangsung menunjukan dua kenyataan, yaitu: pertama, secara de facto dan de jure (berdasarkan hukum formal) sumber-sumber agraria tersebut dikuasai oleh pihak lawan Kmisi NAS~ONA~ UMUk PENYE!ESA~AN Ko~flikA ~ R A R(KNUPW ~A
dari warga masyarakat (rakyat); dan kedua, pihak rakyat masih terus mengadakan perlawanan sehingga konflik masih terus berlangsung secara aktual (nyata). Sebagai perbandingan dari angka-angka yang dirniliki oleh KPA melalui perekamannya terhadap 1.753 kasus kodik, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak tahun 1997 menerima 2.846 kasus p e n g a d ~ a nDari . ~ ~jurnlah ini ada 2.592 kasus yang ditangani langsung, 95 kasus dicoba selesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan 33 kasus diselesaikan melalui pengadilan perdata." Dari gambaran dan angka-angka di atas dapatlah dikatakan bahwa sistem hukum ada saat ini telah gaga1 untuk menjadi saluran bagi penyelesaian konflik agraria yang terjadi selama ini. 2.3. Konflik Agraria dan Pelanggaran HAM Di atas sudah disinggung bahwa di balik sengketa dan 'perampasan' tanah-tanah atau sumber-sumber agraria yang dimiliki/dikuasai oleh rakyat setempat terjadi juga perlawanan yang dilakukan oleh rakyat yang sumbersumber agrarianya terampas tersebut. Ada berbagai macam perlawanan yang terjadi, dari mulai perlawanan dengan cara hukum (masuk ke pengadilan); mengadukan permasa'O
"
Jumlah kasus yang masuk ke BPN ini meliputi semua jenis kasus sengketa tanah yang dianggap berkaitan dengan adanya kebijakan dari BPN - baik yang semestinya maupun tidak semestinya - dalam menerbitkan suatu hak atas tanah. Sudah barang tentu BPN tidak mengkhususkan melakukan pemilahan pencatatan terhadap kasuskasus yang dalam tulisan ini disebut dengan kasus konfik agraria yang bersifat struktural. Mengenai ha1 ini lengkapnya lihat: Luthfi Nasution (2002), "Kebijakan dalam Melaksanakan Pembaman Agraria", dalam Hiirlprrrlart Pidato Kepala BPN d m Wnkil Kepaln BPN 2002, Jakarta: Badan Pertanahan Nasional.
lahannya ke lembaga-lembaga non pengadilan; mengadakan upaya-upaya apenyelesaian yang sifatnya non peradilan; melakukan kampanye publik - nasional maupun internasional - terhadap masalah yang menimpanya; hingga upaya-upaya untuk bertahan, menduduki atau menggarap kembali tanah-tanah atau sumber-sumber agraria yang akan atau sudah 'terampas' itu. Fenomena yang terakhr ini sangat mencolok terjadi pada masa setelah reformasi bergulir (sejak jatuhnya Soeharto pada Mei 1998). Meskipun demikian, bukan berarti pada masa-masa sebelum itu tidak terjadi proses pendudukanlpenggarapan kembali tanah-tanah mereka yang telah terampas atau upaya-upaya untuk terus bertahan dan terus menggarap tanah-tanah/ sumber-sumber agraria yang hendak dialihkan kepenguasaannya. Sementara semenjak reformasi bergulir, gejala pendudukan dan penggarapan atau pengambilan manfaat oleh rakyat terhadap sumber-sumber agraria yang ada di sekitar mereka, terlepas dari ada atau tidaknya hak yang mereka pegang jadi lebih marak. Faktor melemahnya kekuasaan dan kekuatan negara dan aparatus-aparatusnya semenjak kejatuhan pemerintahan Orde Baru membuat proses pendudukan, penggarapan, atau pengambilan manfaat itu terjadi dengan lebih leluasa. Selain itu, di dalam tubuh masyarakat setempat sendiri terjadi proses konsolidasi yang semakin menguat dengan adanya ruang politik yang.lebih terbuka. Ada dua pola di dalam proses pendudukan, penggarapan dan pengambilan manfaat terhadap sumbersumber agraria pada masa setelah reformasi bergulir jika dilihat dari pelakunya, yaitu: (1)pendudukan, penggarapan
Kmisi NAS~ONA~ U N T U ~PENYE[ESA~AN Ko~flikA ~ R A R(KNuPKA) ~A
- "-
i 77 a
atau pengambilan manfaat terhadap sumber-sumber agraria yang disengketakan sebelumnya oleh kelompok masyarakat yang merasa memiliki hak atas sumber-sumber agraria tersebut; dan (2) pendudukan, penggarapan atau pengambilan manfaat atas sumber-sumber agraria, baik yang dianggap tidak produktif maupun yang produktif, atau oleh kelompok-kelompok masyarakat yang ada di sekitar lokasi tanpa memperdulikan alas hukum dari penegakan klaim tersebut kecuali bersandar pada rasa keadilan yang subyektif. Di dalarn pola yang kedua inilah dapat disaksikan munculnya parapee-riders yang mengarnbil keuntungan dari kekosongan kekuasaan yang terjadi akibat proses reformasi. Bersamaan dengan upaya-upaya perlawanan, pendudukan, penggarapan atau pengambilan kembali manfaat dari sumber-sumber agraria yang sedang disengketakan, terjadi pula sejumlah tindak kekerasan. Kedua belah pihak yang bersengketa bersama dengan sekutu-sekutunya kemudian terlibat dalam sejurnlah tindak kekerasan tersebut. Berikut ini adalah gambaran yang dapat terekam mengenai jenis-jenis kekerasan yang pernah terjadi di dalam kasus-kasus sengketa dan konflik agraria sejak masa Orde Baru maupun yang terjadi setelah masa reforrnasi.
Tabel-8. Jumlah Kasus Konflik Agraria dan Jenis Tindak Kekerasan terhadap Petani yang terjadi pada Kasus yang Bersangkutan, yang dapat terekam pada tahun 1990-2000 di 19 Propinsi di Indonesia No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Propinsi
N.ACEHD SUMUT RIAU SUMSEL BENGKULU LAMPUNG DKI JAKARTA JABAR JATENG DI YOGYAKARTA JATIM KALBAR KALTIM KALTENG KALSEL SULSEL SULTENG SULTRA SULUT
JENIS TINDAK KEKERASAN Pengani- Pem- Penem- Pencu- Penang- Pembakaran/ Pembabatafl Intimi- PemerPerusakan Pembakaran Teror dasi yayaan bunuhan bakan likan kapan Rumahpondok kosaan Tanaman
14 1 2
4 1 1
4
2
7 1 1 1 2
4 1
1
1
9
5
7
1 13 2 7 3 5 1 14 2
2
1 1
17
2
5 1 2
3 1 1 1 6
1 1 1 2 1
1 1 1
10 2
1 1
5 1 1
1
I
1
2 10 1
2 20 4 7 3 7 6 63 4 11 1 4 3 13 2 1 2
2 25 5 13 3 9 6 60 14 2 24 1 7 2 2 16 2 2 3
1
LainnYa
9 6 1 2 2 3 33 3 11 3 1 12 1
Sumber: Dianto Bachriad~,"Kekerasan dalam Persoalan Agraria dan Relevansi Tuntutan Dijalailkannya Pembaruai~Agraria di Ii~donesiaPaska Orde Barun,berdasarkan Data-base Konflik Agraria KPA, entri hingga 17 Deseinber 2000
111. PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA DAN PEMBARUAN AGRARIA DALAM RANGKA PENGHARGAAN, PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK ASASI MANUSIA Bagian ini hendak menyajikan cara pandang transitional justice atas masalah konflik agraria, yang pokok soalnya tenvakili dalam pertanyaan: "Bagaimana cara menyediakan keadilan bagi mereka yang menjadi korban perampasan hak atas tanah dan/atau SDA lain, sebagai akibat dari praktekpraktek otoritarian rejim Orde Baru yang lampau?". Dalam naskah ini akan terlebih dahulu disajikan secara padat kedudukan kewajiban negara dalam cara pandang Hak Asasi Manusia dan prinsip transitional justice sebagai upaya menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lampau, khususnya perampasan hak atas tanah dan/atau sumber daya alam lain yang menyertainya.
3.1. Kewajiban Negara Menurut ajaran Hak Asasi Manusia, penyelenggara Negara sesungguhnya memiliki kewajiban untuk (i) menghargai hak asasi manusia rakyatnya; (ii) melindungi hak asasi manusia rakyatnya; dan (iii) memenuhi hak asasi manusia rakyatnya." Kewajiban pertama, untuk rnenghargai, mensyaratkan penyelenggara negara sendiri tidak melanggar hak-hak asasi rakyatnya. Hal ini mencakup tindakan negara untuk memberlakukan hukum-hukum baru yang berlaku surut yang diperkirakan dapat mengakibatkan Stephen A. Hansen, Tliesnrrrirs of Ecorroinic, Socinl nizd Crrltral Riglzts: TerminoZogj nird PoterztinZ Violntiori, Washington: American Association for Advancement of Science, 2000. Halaman 6-7.
terjarninnya hak-hak korban pelanggaran HAM di masa lampau pada masa kini, dan dengan demikian dapat menyelesaikan pelanggaran hak di masa lampau itu. Kewajiban kedua, untuk melindungi, mempersyaratkan penyelenggara negara mencegah dan menindak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pihak bukannegara dengan menegakkan aturan-aturan hukum yang diberlakukan pada pelanggar itu. Kewajiban ketiga, untuk memenuhi, mempersyaratkan penyelenggara negara mengkaji ulang prioritas kejanya, membuat perubahanperubahan aturan, administrasi, anggaran, peradilan dan ha1 yang diperlukan lainnya untuk mewujudkan hak-hak tertentu dari rakyatnya. Pihak-pihak non-penyelenggara negara, seperti perusahaan, akademisi, kaum profesional, organisasi nonpemerintah memiliki kewajiban tidak langsung, yang diperantarai oleh kewajiban penyelenggara negara di atas, untuk melindungi hak-hak tersebut dan memiliki kewajiban moral untuk mengajak semua orang memperkuat HAM. Tentunya, sekali lagi, adalah kewajiban penyelenggara negara agar pihak-pihak non-penyelenggara negara tidak memperlemah tiap hak asasi manusia, dengan cara memperbaiki dan mengendalikan tindakantindakan mereka. Penyelenggara negara disebut melanggar HAM apabila, pertama, tindakan-tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan hak-hak asasi rakyatnya. Contohnya, Menteri Kehutanan yang menetapkan sebidang tanah masyarakat adat sebagai 'hutan negara' dan kemudian memberi hak pada perusahaan raksasa yang dimiliki temannya untuk mencuri kayu-kayu yang tumbuh di atas tanah masyarakat
adat itu; dan kedua, tindakannya membiarkan pihak lain merusak hak-hak asasi rakyat. Contohnya, polisi dan jaksa tidak mengusut perbuatan pihak manajer Perusahaan Inti Rakyat - Perkebunan (PIR-Bun) yang menipu petani-petani plasmanya memelihara, memetik hasil dan menyerahkan kelapa sawit di tanahnya tanpa bayaran apapun. Dalam kamus HAM, pelanggaran golongan pertama disebut sebagai act of commission; sedangkan yang kedua disebut act of commission. Jadi, pengambilan tanah dan sumberdaya alam kepunyaan rakyat beserta manipulasi dan kekerasan yang menyertainya adalah pelanggaran HAM, baik yang dikarenakan (i) penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan penyelenggara Negara di masa lampau; dan (ii) pembiaran penyelenggara negara terhadap pihak nonpenyelenggara negara melanggar hak tersebut. Kesulitan kita menemukan penyelesaian 'pelanggaran HAM di masa larnpau' adalah resiko dari kenyataan bahwa peralihan dari rejim otoritarianisme di Indonesia merupakan hasil 'ramuan jelek' dari gerak unsur-unsur rejim sebelumnya dan gerak kaum oposisi, yang masih menyertakan unsur rejim lama dalarn pemerintahan yang baru. Sebagaimana telah kita saksikan beberapa tahun belakangan ini, bagian dari rejim lama, yang masih tetap berada dalam pemerintahan baru itu, termasuk lembaga hukum (produk hukumnya, institusi hukumnya, personilnya maupun budaya hukumnya) membiarkan pelanggaran-pelanggaranHAM yang telah terjadi itu, dan/ atau menghalangi upaya korban untuk mendapat keadilan atas pelanggaran itu, dan/atau juga tentunya yang paling mendasar adalah mengungkung diri sendiri untuk tidak
--
mengubah lembaga hukum itu dengan sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip dan instrumen HAM. Ajaran HAM ini merupakan suatu koreksi yang mendasar terhadap ajaran yang menjadi sumber dari praktek-praktek perampasan hak tanah dan sumber daya alam kepunyaan penduduk beserta pelanggaran HAM lain yang menyertainya. Implikasi dari ajaran baru ini terletak pada batas-batas kekuasaanl kewenangan penyelenggara negara, yang pada pokoknya pemerintah tidak mudah melakukan pembatasan terhadap hak-hak rakyat ataupun . mengalihkan hak-hak tersebut untuk kepentingan Negara maupun pihak ketiga. Hal ini sejak semula harus ditegaskan, supaya tidak Zagi terjadi tindakan sewenang-wenang yang bisa dibenarkan secara juridis formal. Pemerintah hanya bisa menerbitkan hak-hak baru di atas tanah dan sumberdaya alam yang tak dilekati hak rakyatnya, baik untuk kepentingan penanaman modal maupun proyek-proyek pembangunan. Pemberian hak-hak agraria tersebut tidak bisa dilakukan sebelum memastikan bahwa tanah dan sumberdaya alam tersebut haknya tidak dipegang oleh orang-orang atau sekelompok orang, atau telah dilepaskan olehnya secara sadar dan sukarela dengan proses yang dapat dipertanggungjawabkan(sebagai implementasi dari prinsip free and prior inform concent dan due processes). 3.2. Implementasi Pendekatan HAM di Masa Transisi: Transitional J u s t i d 3
Kenyataan yang harus dihadapi Indonesia saat ini adalah bahwa peralihan dari rejim otoritarianisme di " Sebagian argumen ini didasarkan pada dokumen, Trarzsitiorzal lrcstice rnerlet~tr~kai~ Kzialztas Delnokrasi lndorresia dz Masa Depan, Kertas Posisi Kelompok Kerja Transitional Justice,2001.
Indonesia merupakan hasil gerakan kombinasi antara bagian dari rezirn sebelumnya dan gerakan oposisi. Konsekuensi logis dari keadaan ini adalah bagian dari rezim lama, baik dalam ha1 personel maupun lembaga, masih tetap berada dalam pemerintahan baru, termasuk lembaga hukum: produk hukumnya, institusi hukumnya, personilnya maupun budaya hukurnnya. Padahal, penegakan hukum merupakan fundamenkeberhasilan pemerintahan baru yang menggantikan rejim otoriter sebelumnya. Penegakan hukum, selain menjamin legitimasi pemerintah baru juga akan menjadi garis batas yang jelas antara rejim otoriter dengan pemerintah yang demokratis. Penegakan hukum yang hendak dilakukan tentunya menghadapi tantangan yang berat ketika dihadapkan pada upaya penegakan hukum atas pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Penegakan hukum memiliki tiga tujuan dasar, yakni menyediakan keadilan, menjamin kepastian dan mewujudkan kemanfaatan. Dalam masa transisi, tujuan menghadirkan keadilan bagi korban, harus diutamakan ketimbang dua tujuan lainnya. Konsekuensinya, doktrindoktrin atau ajaran-ajaran positivisme hukum yang mengutamakan kepastian dan kemanfaatan, harus dikoreksi. Dalam konteks perjuangan keadilan di masa transisi ini, yang selanjutnya diistilahkan sebagai transitional justice, perlu ada terobosan baru untuk menegakkan hukum dalam kasus-kasus pelanggaran HAM, yang dalam konteks ini adalah peristiwa perarnpasan kepunyaan penduduk (dalam ha1 ini adalah tanah dan kekayaan alam lain yang menyertainya) beserta pelanggaran HAM lain yang
menyertainya, akibat penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan pejabat pemerintahan.
Transitional Justice bukanlah 'keadilan yang tengah mengalami transisi' karena cita-cita keadilan bersifat universal dan eternal. Hal yang tengah bertransisi itu ialah kenyataan-kenyataan konstektualnya yang konkret, yaitu transisi dari suatu rezim otoriter ke rezim demokratik dengan segala imbasnya, baik di sektor ekonomi, politik maupun di sektor sosial. Oleh karena itu, pada hakikatnya transitional justice merupakan kerangka tindakan guna mewujudkan keadilan dalam masa transisi. Di sektor kultural, imbas transisi mempengamhi tataran nilai dan norma sehingga terjadi upaya mendefinisikan keadilan dari konsepnya yang semula sebagaikeadilan yang distributif ke konsepnya sebagai keadilan yang dirumuskan ulang Iewat wacana dan kesepakatan bersama, dengan mendasarkan diri pada paradigma komutatif yang lebih realistik dan interest based. Ditimbang dari sisi legal, prinsip menerapkan hukum secara retroaktif dalam pelaksanaan transitional justice hams dimungkinkan guna menghindari terjadinya impunities (bebas dari penghukuman). Rezim otokratis -baik secara institusional maupun secara individual para pejabatnyahams dimintai pertanggungjawabannyasecara terbuka atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap hak asasi manusia pada waktu yang lalu. Dalam pelaksanaannya, asas keikutsertaan korban dalam setiap wacana dan upaya merealisasi transitional justice harus diusahakan secara sungguh-sungguh. Bentuk dan wujud keadilan dari perspektif korban-ialah
kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapannyamerupakan salah satu prasyarat, karena tidaklah mungkin menciptakan keadilan tanpa sekaligusmenyertakan mereka yang selama ini justru menjadi korban pelanggaranpelanggaran. Selain itu, jika transitional justice dilihat sebagai jembatan legal dan historis yang menghubungkan masa lampau dan masa depan, maka melibatkan korban secara aktif merupakan pengakuan atas penderitaan yang tak tertuturkan selama ini. Hal ini merupakan bagian dari upaya pemulihan kehidupan para korban, serta bagian dari upaya mencegah dan menangkal terulangnya peristiwa yang melanggar hak dan martabat manusia itu tidak terulang. Dalam hubungan ini prinsip toleransi dan pluralisme (menerima dan menghormati keragaman) menjadi sangat penting. Sekalipun disadari bahwa upaya yang dilakukan dalam kerangka transitional justice diarahkan pada penyelesaian yang bersifat pragmatis demi pencapaian kepentingan jangka panjang, namun demikian keberpihakan padda korban harus menjadi dasar penyelesaian yang utama. Sementara itu, pertanggungjawaban para pelaku pelanggaran harus tetap dituntut, karena pertang-gungjawaban tidak pernah terputus sehubungan dengan berlakunya prinsip kontinuitas pertanggungjawaban, baik pertanggungjawaban individu maupun institusi negara, termasuk sikap pembiaran oleh negara atas terjadinya kekerasan. Landasan prinsip-prinsip trnnsitionnljustice adalah nilainilai kebenaran dan keadilan serta penghormatan terhadap martabat manusia- khususnya para korban. Apapun bentuknya, keadilan yang diberikan haruslah dimaksudkan
agar ketidakadilan masa lampau tidak terjadi lagi dan agar keadilan itu tidak menciptakan ketidakadilan baru. Khusus mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya, persoalan keadilan berkaitan dengan proses pengambilan keputusan, sumber daya ekonomi, dan kebebasan berekspresi. Oleh karena itu transitional justice harus pertama-tama melandaskan diri pada prinsip mendahulukan yang tidak beruntung dalam proses pengambilan keputusan seperti masyarakat petani, masyarakat adat, nelayan dan kaum miskin di perkotaan (baikformal maupun informal) dan secara lebih khusus lagi, memberi perhatian lebih kepada anak-anak dan perempuan. Terlepas dari kerangka model yang dipilih, penyelesaian dapat dilakukan dengan menempuh metode sebagai berikut:
(1) Perlu ada pengungkapan kesalahan, baik lewat proses pengadilan atau di luar pengadilan, mengenai kekerasan yang telah dilakukan oleh pelaku. Langkah ini mensyaratkan pengungkapan kebenaran lebih dulu dengan nama dan wajah yang jelas dari pelaku pelanggaran.
(2) Harusnya ada pengakuan dan penyesalan pelaku akan kesalahannya
(3) Adanya penghukuman terhadap pelaku (4) Disusul oleh tindakan melikuidasi unit dalam institusi pelaku maupun pendukung tindak pelanggaran, baik yang berstatus resrni negara maupun yang bukan demi mencegah terulangnya pelanggaran, namun dengan
tetap mencegah terjadinya bentuk ketidakadilan yang baru. (5) Proses pemulihan dan/atau penyembuhan demi kepentingan korban harus dilakukan dengan cara yang mengupayakan rehabilitasi, restitusi, kompensasi. Pemulihan yang diberikan hams layak dan berorientasi memberi kepuasan dan bermakna bagi korban.
Sekali lagi ditekankan bahwa pengikutsertaan korban dalam proses ini, termasuk dalam ha1 persiapan mekanismenya adalah prasyarat yang hams dipandang mutlak. Untuk menunjang proses ini perlindungan saksi dan korban dan kebebasan informasi - dengan tetap menghormati prinsip kerahasiaan korban- penting untuk diwujudkan. Berbeda dengan transitional justice bagi pelanggaran Hak-hak Sipil dan Politik maka bagi korban-korban ketidakadilan Ekonomi, Sosial dan Budaya, sistem hukum termasuk proses dan institusi hukum yang ada tidak dapat memulihkan kembali hak-hak korban. Oleh karena itu harus diupayakan mekanisme pemberian keadilan alternatif yang sesuai dengan metode penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam butir (1)s/d (5) di atas. 3.3. Konflik Agraria dan Pembaruan Agraria
Konflik agraria adalah salah satu tema sentral dalarn Christodoulou (1990) malah wacana pembaruan ag~-aria.~~ mengatakan bekerjanya pembaruan agraria bergantung pada watak konflik yang mendorong dijalankannya pembaruan tersebut.*=Artinya karakteristik, perluasan, jumlah, eskalasi dan de-eskalasi, pola-pola penyelesaian dan
berbagai konsekuensi yang ditimbulkan oleh konflik-konflik agraria di satu sisi dapat membawa pada dijalankannya pembaruan agraria (menjadi alasan obyektif dan rasional) dan di sisi lain menentukan bentuk dan metode implementasi pembaruan itu sendiri. Konflik agraria itu sendiri mencerrninkan adanya suatu keadaan yang tidak memuaskan dan atau memenuhi rasa keadilan, khususnya bagi kelompok-kelompok tertentu yang mengandalkan hidup dari tanah dan sumber daya lain yang menyertainya, seperti kaum tani, dart masyarakat adat dll. Bagi mereka, penguasaan mereka atas tanah, SDA lain atau alat-alat produksi lainnya adalah syarat dari keselamatan dan keberlanjutan hidup mereka. Namun, konflik agraria telah memporak-porandakan syarat keberlanjutan hidup itu. Bersamaan dengan ketidakpuasan dan ketidakadilan dalam konflik itu, melekat sejumlah kekerasan, penyingkiran, eksploitasi dan penindasan baik yang dilakukan oleh aparatur negara, perusahaan- perusahaan berskala raksasa, maupun proyek-proyek lain. Kekerasan, penyingkiran dan penindasan yang dilakukan itu tercermin dari sejumlah kebijakan publik yang 24
25
Lihat misalnya: Demetrios Christodoulou, Tlre Urrprornised Land: Agraria~rRefonn and Co~rflicfWorldwide. London: Zed Books,1990; Hung-Chao Tai, Land Refontr arrd Politics: A ColnparafioeAnalysis. Berkeley: University of California Press, 1974;Senior Clarence, Land Reform and Democracy. Wesrport: Greenwood Press, 1958; Roy L. Prosterman, Mary N. Temple dan Timothy M. Hanstad (ed.), Agrariatr Reform atrd Grassroots Developrnerrt, Terr Case St~ldies.Colorado:Lynne Rienner Pub., 1990; JohnP. Powelson, Tlw Story of Lnrtd: A World Histonjof Land Tenure and Agrarian Refonn. Cambridge: The Lincoln Institute of Land Policy, 1988; James Putzel, Tlw Capfir)eLand: 77le Politics of Agrarian Reforlrr in the Pliilippines. New York: Monthly Review Press, 1992; dan Gunawan Wiradi, Refonna Agrarin: Perjalarrnrr yang Belriln Beraklrrr, Yogyakarta:INSIST Press, KPA dan Pustaka Pelajar, 2000, hal. 90-93. Christodoulou, Tlre Uirprornised Land, 1990, hal. xv.
tidak memihak pada aspirasi dan kepentingan-kepentingan korban, khususnya petani-petani kecil dan miskin yang pada umumnya menguasai tanah sangat sedikit atau bahkan tidak sama sekali (landless). Kelompok-kelompok petani yang menguasai tanah agak besar atau yang menguasai tanah luas sekali pun bisa saja mengalami ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan oleh negara dan aparatnya tersebut manakala tanah-tanah hak milik atau yang berada dalam penguasaannya dialihkahhaknya kepada pihak lain, dengan pengganti kerugian yang tidak memadai atau tanpa penggantian sama sekali, yang dalam ha1 ini kekuatan hukum dan politik termasuk kekuatan militer dan birokrasi dipergunakan secara efektif. Pada titik ini kelompok petani kecil dan tak bertanah serta petani-petani pemilik tanah sedang maupun besar bisa bersatu dan bergabung untuk melakukan perlawanan, meskipun dalam kehidupan seharihari kedua kelompok ini sangat potensial terlibat dalam hubungan konflik sehubungan dengan penguasaan alat-alat produksi dan hubungan-hubungan produksi yang terjalin di antara mereka. Meskipun demikian, hubungan antara konflik agraria dan usaha-usaha untuk menyelesaikannya dengan jalan merombak struktur agraria (menjalankan pembaruan/ reforma agraria) bukanlah hal yang sederhana, tetapi sangat kompleks. Kompleksitas ini berhubungan erat faktor-faktor politik yang kemudian muncul dalam kenyataan-kenyataan seperti berikut: (1)dari berbagai studi dan analisis terungkap bahwa penyebab utama terjadinya konflik itu justru berasal dari kebijakan pemerintah sendiri; (2) penyelesaian konflik dengan jalan pembaruan agraria akan berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan politik para tuan tanah atau pemilik modal besar vang dapat atau sudah sangat berpengaruh di dalam proses politik pembuatan/pengambilan kebijakan publik; (3) kecenderungan globalisasi dan intervensi kebijakan-kebijakan internasional sangat mempengaruhi konstelasi dan proses pembentukan kebijakan di suatu negara; (4) pendekatan politik yang populis akan lebih mudah mengambil hati rakyat banyak, tetapi akan memerlukan waktu dan proses yang berkepanjangan di lembaga-lembaga pemerintahan maupun lembaga pembentuk kebijakan; atau (5) diperlukan suatu proses konsolidasi perjuangan politik yang rumit dengan terlebih dahulu merebut kekuasaan agar negara mengambil kebijakan-kebijakan yang populis; (6) pada umumnya, di bawah dominasi dan penguasaan politik kaum kaya dari kota-kota dan berkembangnya sistem politik yang bias kota (urban bias), kaum tani atau kelompok-kelompok masyarakat dari kelas bawah relatif tidak dapat atau memiliki kesulitan sendiri untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingankepentingannya; dan sebagainya. Christ-odouloudi dalam bukunya The Unpromised Land (1990)26- yang juga sering dikutip oleh Wiradi dalam sejurnlah kesempatanZ7,menyatakan ada empat pendekatan yang bisa dibedakan dari sejumlah negara dalam menghadapi konflik-kontlik agraria, yaitu: 27
i--
Christodoulou ,The Utrproinised Land, 1990, hal. 109-111. Wiradi sering mengungkapkan pendapat Christodoulou ini dalam berbagai kesempatan diskusi - baik yang terbuka maupun diskusi yang hlakukan bersama dengan penulis, maupun dalam sejumlah seminar dan lokakarya. Untuk pengutipan yang dilakukannya, lihat misalnya Gunawan Wiradi, Reforlnn Agraria, Perjnlnrrarr ynrrg Belllin BeraWzir,Noer Fauzi (Penyunting), Yogyakarta: Insist Press bekejasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria, 2000, hal. 90-93.
.--
Kmisi NAS~ONA~ U N T U ~PENYE[ESA~AN Ko~flikA ~ R A R(KNuPKA) ~A
i 91
,wax&w&
(1) Mengabaikan kenyataan adanya konflik-konflik agraria yang muncul akibat serangkaian tindakan yang terencana sebelumnya.
Menunda-nunda, sehingga orang menjadi bosan dan kemudian jadi tidak mempermasalahkannya lagi. Maksudnya, konflik disadari ada dan dirasakan mengganggu, tetapi penyelesaiannya tidak dilakukan dengan segera, tetapi ditunda-tunda dengan harapan akan dilupakan dengan sendirinya atau tersisih dengan aktivitas lainnya yang membuat orang melupakan bahwa konflik agraria itu pernah tejadi.
(3) Mengambil jalan pintas, yaitu menempatkan masalah konflik agraria sebagai masalah teknis belaka. Lebih khusus lagi hanya sekedar masalah ketersediaan pangan atau penegakan kepastian hukum. Dengan demikian suatu penyelesaian yang 'radikal' (menyentuh akar masalah) dan menyeluruh tidak dilakukan. (4) Mengerahkan kekuatan, yaitu upaya penyelesaian konflik agraria secara mendasar dan menyentuh akarakar masalahnya dengan suatu program reform. Tetapi biasanya pelaksanaannya memerlukan kekuatan penuh yang dapat mengikat seluruh warga masyarakat untuk turut meng&utinya. Karena itu pendekatan ini biasanya dilakukan dengan dukung penuh rniliter atau kekuatan revolusi. Kompleksitas hubungan antara konflik agraria dan pembaruan agraria seringkali membuat sejurnlah negara seperti telah menjalankan pembaruan agraria, tetapi sesungguhnya pembaruan yang dijalankannya adalah
pembaruan yang semu (pseudo-refom). Kembali mengikuti pandangan Christodoulou, menurutnya "harus dibedakan antara perubahan gradual di dalam kondisi-kondisi dan hubungan-hubungan produksi - yang kemudian bisa tampak sangat mendasar atau revolusioner - tetapi tidak memberikan makna apapun terhadap pembaruan agraria, dengan suatu kebijakan publik yang relatif drastis tetapi terencana, jelas batasan-batasannya, jelas batasan waktu kerjanya, dan jelas pula sasaran-sasaran yang hendak dicapainya yaitu membuat struktur akses terhadap tanah lebih berkesesuaian dengan kebutuhan-kebutuhan produksi bersama dan kenyataan sosial politik yang ada."mDengan kata lain, suatu perubahan agraria (agrarian changes) yang tidak didahului dengan suatu upaya untuk merombak tatanan atau struktur agraria yang timpang tidak memiliki makna apapun dari perspektif keadilan, kecuali yang terjadi hanyalah perubahan sosial itu sendiri. Padahal pembaruan agraria, terutama sekali karena hendak menjadi jalan keluar penyelesaian dari konflik-konflik agraria, orientasi utamanya adalah keadilan - yang sering diungkapkan dengan istilah keadilan agraria (agrarianjustice), yaitu "suatu keadaan dimana relatif tidak ada konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak dan terjaminnya kepastian hak penguasaan masyarakat setempat, termasuk hak masyarakat adat, terhadap tanah dan kekayaan alam l a i n ~ ~ y a . " ~ ~ '8
Christodoulou, T ~ Uaprorrriwd E Lnrrd, 1990, hal. 112. Mengenai ha1 ini lihat: Merlegrllrknrt KornifrnerlMcndororlg Perrrbalrnr~:Argrrrwn-nrgrcrnerr rlnrr Usrclarl Ketetnpnrr MPR RI terrtnrrg Pelaksnlrnnn Pernbnnrnrr Agrarin rfnrr Per~gelolnnn Srrrrrberdnyn Alnrn ynrlg Adil dnrr Berkelnrrjtrfarr,Bandung: KPA, KSPA dan Pokja PSDA, 2001, hal. 20-21.
Pembaruan agraria itu sendiri dapat dimaknai sebagai suatu perubahan mendasar di dalam hubungan-hubungan sosial dan politik yang berkait erat dengall sistem produksi, khususnya di pedesaan, yang dengan sendirinya meliputi perubahan-perubahan di dalam keseimbangan kekuasaan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda di dalam masyarakat. Dengan demikian, reforma agraria merupakan suatu dasar bagi perubahan sosial melalui penataan kembali tata kuasa terhadap tanah dan juga sumber daya alam lainnya dalam rangka pembangunan m a ~ y a r a k a t . ~ ~ Pemaknaan ini sejalan dengan Putzell yang mengatakan reforma agraria adalah sebuah program yang multi dimensional yang melintasi rentang-rentang masalah ekonomi, politik, dan sosial. Bahkan menurutnya pembaruan agraria dapat juga memainkan peran dalam memerangi "kekalahan" wanita pede~aan.~' Sementara itu, Gunawan Wiradi, sebagai salah seorang penganjur pembaruan agraria di Indonesia yang paling kukuh, mengatakan pembaruan agraria adalah suatu program operasional dalam jangka waktu tertentu yang merombak tatanan struktur agraria yang ada yang kemudian disusul dengan program-program pengemMengenai ha1 ini lihat: Richard Levin d a n Michael Neocosmos, "The Agrarian Question and Class Contradictions in South Africa: Some Theoritical Considerations", dalam 1orirnnl of Peasant Sfridies Vol. 16 No. 2, hal. 230-259; Henry Bernstein, "Social Change in the South African Countryside? Land and Production, Poverty and Power", dalarn /orlriral of Peasairt Stridies Vol. 25 No. 4, hal. 1-32; Putzel, The Captive Laird, 1992; Bonnie Setiawan, "Konsep Pembaruan Agraria: Sebuah Tinjauan Umum", dalam Refonnasi Agmria: Penibal~ailPolitik, Seirgliefn,danAgeirda Petnbanian Agrnria di Indmresia, Dianto Baduiadi, Erpan Fa~yadidan Bonnie Setiawan (ed.).Jakarta: Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia, 1997, hal. 3-38; juga dokumen Pingnin KRrtin Tnni, Deklarasi rnetrgetrni Priilsip-priirsip datr Prograrn Aksi Korlferensi Driiria ineilgeizai Peinbantan Agraria dun Peiizbairgrtilan Pedesaail. Roma: FAO, 1981. 31 Lihat Putzel, A Captive Laird, 1992, hal. xxii-xxiii.
'O
bangan dan penguatan ekonomi rakyat di pedesaan. Dengan kata lain hendak dikatakan dalam menjalankan program ini, untuk pertama-tama faktor kekuasaan dan politik menjadi ~enentunya.~~ Dengan demikian, sesungguhnya, seperti disirnpulkan oleh Bachriadi, "penting sekali untuk tetap mengingat bahwa pembaruan agraria adalah suatu program politik, bukan suatu program teknokratik, untuk merubah keseluruhan sturktur kekuasaan dalam lapangan agraria dan pertanian serta pada kenyataan nantinya akan merubah struktur kekuasaan perekonomian secara ke~eluruhan."~~ Dalam kasus Indonesia yang sedang berupaya melepaskan diri dari cengkeraman rezim otoritarian dan mencoba memasuki tahap awal demokratisasi, maka upaya-upaya untuk menyelesaikan segala konflik agraria yang merupakan anak kandung dari kegiatan pembangunan di masa lalu hams ditempatkan tidak semata dalam kerangka penegakan hukum di jalan konvensional. Lebih dari itu, segenap kehendak dan komitmen politik yang jelas untuk menyelesaikan segala konflik ini menjadi suatu prasyarat yang tidak bisa ditawar lagi. Dalam kerangka politik hukum, sesungguhnya sejak tahun 2001 sudah ada satu kemajuan yang cukup berarti yang ditandai dengan keluarnya Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Lihat Wiradi, Refonna Apria, 2000, khususnya hal. 151-191 dan 202-206.
Refonn):Urgensi danHambatannya dalam Pernerintahan Baru di Indonesia Pasca Pemilu 1999", rnakalah pada Seminar Pembaruan Agraria dengan tema 'Mendesakan Agenda Pembaruan Agraria dalam Sidang Umum (SU) btPR 1999' yang diselenggarakan di Jakartaoleh KPA, ELSAM, dan Laboratorium Sosiologi dan Antropologi Institut Pertanian Bogor, 22 September 1999, hal. 28.
" Dianto Bachriadi,"PembaruanAgraria (Agrarinlz
Alam. Ketetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokok bagi upaya-upaya menyelesaikan konflik-konflik agraria yang diwariskan oleh rezirn masa lalu yang telah dan masih terus berlangsung hingga kini. Ketetapan MPR ini malah harus ditempatkan sebagai sandaran hukum utama bagi proses pelembagaan upaya-upaya untuk penyelesaian konflik-kodik agraria secara berkeadilan.
IV. PERINTAH HUKUM PEMBENTUKAN KNuPKA 4.1. Pembentukan KNuPKA sebagai Jalan Menuju Pembaruan Agraria
Sudah banyak diketahui bahwa Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 adalah suatu produk perundangundangan yang dibuat untuk mengubah karakter negara kolonial menuju negara nasional yang merdeka, serta untuk menghapuskan segala bentuk sisa-sisa feodalisme yang menghambat kemajuan rakyat. Para pembuat UUPA bermaksud untuk membawa rakyat ke arah keadilan sosial, kemakmuran dan kemajuan melalui penataan ulang penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Dalam praktek semasa Orde Baru, kedudukan Negara yang dominan dalam perundang-udangan, terbukti telah dirnanfaatkan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dalam bentuk usaha-usaha peningkatan produktivitas tanpa memberi rakyat peran untuk berpartisipasi dalam pemilikan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria itu serta untuk Noer Fauzi, Petani datr Penguasa, Dinatnika Perjalailatt Polifik Agraria Orde Bnnr, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaman Agraria, 1999.
menikmati hasilnya.%Lebih dari itu, politik agraria demikian menghasilkan konflik agraria yang luar biasa banyaknya. Konflik agraria yang diwarisi saat ini adalah buah dari politik agraria Orde Baru. Politik agraria itu bukan hanya sudah tidak secara konsekuen menjalankan pembaruan agraria (agrarian reform), tetapi justru menampilkan semangat anti-pembaruan agraria dan menggagalkan perwujudan keadilan agraria. Politik agraria Orde Baru tersebut bermula dari digesernya UUPA 1960 dari posisinya sebagai undang-undang induk menjadi undangundang sektoral, dengan ditetapkannya berbagai undangundang pokok lainnya, seperti Ketentuan-ketentuanPokok Kehutanan (UU No. 5 tahun 1967) dan Ketentuanketentuan Pokok Pertambangan (UU No. 11tahun 1967). Dengan sektoralisme ini, kebijakan manajemen dan praktek pembangunan agraria dilakukan secara terpusat dan diabdikan untuk kepentingan pertumbuhan dan akumulasi modal, dengan mengabaikan dan melanggar hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria. Dengan dijadikannya hukum sebagai alat untuk memfasilitasi kepentingan pertumbuhan dan akumulasi modal, lembaga-lembaga pemerintahan sektoral telah memberikan berbagai hak-hak baru atas sumber-sumber agraria untuk proyek-proyek bermodal besar di atas sumber-sumber agraria yang telah dimuati hak-hak rakyat. Konflik agraria yang kemudian terjadi adalah konflik agraria struktural, dimana dalarn konflik tersebut sangat menonjol manipulasi dan kekerasan terhadap rakyat. Memperhatikan pendekatan tersebut, di masa reformasi ini sudah waktunya dilakukan koreksi yang mendasar terhadap politik agraria Orde Baru. Koreksi tersebut hams
1
7-
Kwisi Nnsio~niU N T U ~PENYE~SA~AN Ko~fiikA ~ R A R(KNUPKA) ~A
I
97
mengedepankan kedaulatan rakyat atas kepenguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Secara ideal, koreksi ini tetap meneguhkan visi bahwa penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria dijalankan untuk mencapai kemajuan, keadilan sosial dan kemakmuran rakyat - sebagaimana yang telah diletakkan dasar-dasarnya oleh UUPA 1960 dengan konsepsi pembaruan agraria (agrarian reform). Hakekat dari koreksi ini tentu bukan hanya teknis, melainkan dimulai dari koreksi filosofis tentang hubungan Negara dan Rakyat, yang intinya kekuasaan Negara terbatas dan dibatasi. Koreksi ini akan dan harus diefektifkan untuk memberikan dasar kesahan hukum (legalitas) dan sekaligus pembenaran (legitimasi) bagi rakyat agar mereka secara lebih bermakna dapat berpartisipasi dalam setiap aktivitas pembangunan, khususnya yang berkenaan dengan ihwal pemilikan, pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber agraria dan ikut menghaki dengan lebih bermakna hasil-hasil pembangunan itu. Dengan dasar-dasar tersebut, fungsifungsi sumber-sumber agraria ditempatkan sebagai sarana pemberdaya rakyat untuk melepaskan diri dari ketergantungan atau dari kemungkinan tereksploitasi kekuatan-kekuatan ekonomi besar. Keadaan yang hendak diwujudkan adalah Keadilan Agraria, yakni suatu keadaan dimana terjamin tidak adanya konsentrasi dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria. Dengan perspektif demikian itu, menjadi jelas bahwa pembentukan KNuPKA bukanlah tujuan akhir. Pem-
bentukan KNuPKA adalah jembatan menuju pelaksanaan pembaruan agraria secara menyeluruh. 4.2. Dasar Hukum Perintah Pembentukan KNuPKA 4.2.1. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam telah memberikan mandat yang jelas, bails yang ditujukan kepada DPR maupun Presiden, yakni: (1)menjalankan pembaruan agraria, dan (2) menegakan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. Sementara sebagai arahan kebijakan, TAP ini menghendaki: (1)dilakukan peninjauan kembali segala perundanganundangan dan peraturan di bidang agraria yang selama ini sifatnya sektoral, tumpang tindih, dan tidak mengandung semangat untuk mengedepankan kepentingan rakyat banyak dalam ha1 penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan tanah dan sumberdaya alam lainnya; (2) dilakukannya penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan yang lebih dikenal dengan istilah land reform, sekaligus dilakukan pendataan dan inventarisasi tanah untuk kepentingan land refomz ini; (3) diselesaikannya konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dengan berpegang pada prinsip menjunjung tinggi hak azasi manusia, terrnasuk memperkuat kelembagaan yang akan bertugas melaksanakan penyelesaian sengketa-sengketa ini; dan yang ke(4) adalah mengupayakan pembiayaan bagi program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik agraria maupun dalam pengelolaan sumberdaya alarn.
Secara umum pelaksanaan pembaruan agraria dan penetapan prinsip-prinsip baru dalam pengelolaan sumberdaya alam di masa depan harus berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; 4. Mensejahterakan rakyat, terutarna melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia; 5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat; 6. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria/ sumberdaya alarn; 7. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan; 8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; 9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya dam; 10. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria/ sumberdaya alam;
Komisi Nnsio~~l HA^ hnsi MANUS~A (KOMNAS HAM)
11. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/ kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; 12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumberdaya agrarial sumberdaya dam. Dilihat dari isinya, secara ideal seharusnya Tap MPR 1~/2001dijalankan seperti skenario berikut. Pertama-tama yang harus menjadi perhatian adalah dibangunnya atau dipenuhinya prakondisi yang diperlukan untuk implementasi sejumlahmandat di dalam Ketetapan tersebut yang meliputi dua hal, yakni: (i) memperkuat kelembagaan dan kewenangan di dalarn pelaksanaan TAP ini;dan (ii)jelas diperlukan suatu komitmen yang jelas untuk pembiayaannya. Dengan kata lain, pembaruan agraria harus dijadikan mata anggaran tersendiri di dalam Rencana Anggaran dan Pembelanjaan Negara/ Daerah. Anggaran merupakan cerminan dari realisasi komitmen politik yang turun dalam bentuk kebijakan publik. Pada saat ini, dengan konstelasi kelembagaan pemerintahan seperti sekarang, maka sulit untuk meletakkan agenda pembaruan agraria seperti yang diamandatkan oleh Tap MPR No. IX/2001 di dalam institusi-institusi negara yang ada. Karakter dari persoalan agraria dan kompleksitas kerja yang menjadi turunan dari mandat Ketetapan MPR tersebut ditambah dengan kenyataan politik birokrasi yang ada saat ini menyiratkan --
Kwisi Nnsio~nlu ~ r u kP E N ~ E [ ~ K~ oA~Nn i kA ~ ' ~ A (KNUPKA~ R~A
--
c
101: -7,
dilakukannya tindakan-tindakan baru yang bertujuan untuk mempercepat dan memuluskan proses pembaruan tersebut. Langkah terobosan pertama dalam implementasi Ketetapan ini adalah melakukan kaji ulang terhadap seluruh peraturan perundang-undangan dan turunannya yang berkaitan dengan bidang agraria (dalam arti sempit: pertanahan) dan pengelolaan sumberdaya alam. Kajian ini semestinya menghasilkan suatu kerangka baru dalam sistem hukum agraria nasional yang merangkum keseluruhan aspek baik pertanahan (agraria dalam arti sempit dan "salah") maupun pengelolaan SDA secara integratif. Dengan kerangka.baruinilah kemudian sejatinya proses penataan ulang posisi (reposisi) sejumlah peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan turunannya dilakukan untuk menghilangkan tumpang tindih peraturan dan berlanjutnya sektoralisme hukum/ peraturan. Langkah berikutnya adalah disusunnya strategi nasional untuk pemanfaatan dan pengelolaan kekayaan alam (tanah dan SDA lainnya), yang disusul dengan dua proses inventarisasi, yakni: (1)inventarisasi dan pendataan ulang penguasaan dan penggunaan tanah, dan (2) inventarisasi potensi-potensi SDA untuk optimalisasi pemanfaatannya. Segera setelah itu, di daerah-daerah di mana telah terjadi kerusakan ekosistem atau degradasi kualitas lingkungan hidup dilakukan proses restorasi atau pemulihan, dan berdasarkan data-data yang sudah ada tadi secara bersamaan juga dapat dimulai dijalankan program penataan ulang penguasaan tanah dan SDA lainnya (atau
Komisi NAS~ONA~ HA^ A s ~ s iMANUS~A (KOMNAS HAM)
yang biasa dikenal dengan istilah land refom) serta dilakukan upaya-upaya nyata untuk menyelesaikan seluruh persoalan konflik agraria yang telah terjadi/ berkembang selama ini secara menyeluruh dan tuntas. Setelah serangkaian kerja penataan ualng dilakukan, barulah sejumlah prinsip baru ditetapkan dan diterapkan sebagai pegangan baru dalam pengelolaannya. Berikut ini adalah gambaran skematik dari skenario terurai di atas:
ANTAR SEKTOR MEMPERKUAT KELEMBAGAAN DAN KEWENANG PELAKSANAAN TAP IN1
UPAYAKAN
SECARA ADlL DAN BERKELANJUTAW
diadaptasi dari: Kartodilzardjo, 2001
Kmisi NAS~ONA[ U N T U ~PENYE[ESA~AN Ko~flikA ~ R A R(KNUPW ~A
---
ld 103
4.2.2. Ketetapan MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR-RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA.
Pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2002 ditekankan kembali rekomendasi kepada Presiden, melalui Tap MPR No. VI/MPR/ 2002. Direkomendasikandengan tegas bahwa Presiden sebaiknya, "menyiapkan penyusunan peraturan perundang-undangan yang mengatur redistribusi dan pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta menyelesaikan berbagai konflik pemanfaatan sumberdaya alam dan agraria yang timbul selama ini sekaligus mengantisipasi konflik pada masa mendatang guna mencapai keadilan dan kepastian hukum sebagaimana telah ditetapkan dalam Tap MPR IX/MPR/2001". 4.2.3. Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tentang Hasil
Peninjauan Materi dan Status Hukum Ketetapanketetapan MPR/S
Sementara itu, dalam tahun 2003, Tap ini memastikan bahwa: "Ketetapan MPR No.IX/ MPR/ 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alarn tetap berlaku sampai terlaksananya semua ketentuan dalam ketetapan tersebut (pasal4 poin 11)". 4.24. Ketetapan MPR No.V/MPR/2003 tentang Saran kepada Lembaga-lembaga Negara.
Pada bagian saran bagi pelaksanaan pembaruan agraria Tap MPR ini, ditegaskan saran: "menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil mulai dari persoalan hukumnya Komisi NAsio~~l Hnk Asnsi M A N U ~(KOMNAS ~A HAM)
sampai dengan implementasinya di lapangan". Dan pada bagian saran di bidang lingkungan hidup, Tap MPR ini menyarankan: "Membentuk lembaga atau institusi independen lainnya untuk menyusun kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dan sumberdaya alam, agar memenuhi rasa keadilan kelompok petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat pada umumnya sehingga berbagai konflik dan kekerasan dapat dicegah dan ditanggulangi; Mempercepat pembahasan RUU pelaksanaan pembaruan agraria, RUU penataan struktur agraria serta RUU penyelesaian konflik agraria dan sumberdaya alam" . 4.3. Kedudukan Hukum Pembentukan KNuPKA Dari sisi yuridis-normatif, gagasan pembentukan KNuPKA sebenarnya mempunyai referensi legislasi. Dari sisi administrasi pemerintahan, bentuknya sebagai komisi memang dilajimkan seperti yang terjadi pada kasus Komnas HAM. Bila cara peneguhamya melalui Keppres, selain mirip dengan kasus Komnas HAM, juga sama dengan kasus Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Meskipun dibentuk oleh Keppres, keputusannya tetap mengikat semua pihak. Bahkan, selain mengikat, keputusannya juga final, sekalipun tidak bersifat eksekutorial. Untuk membuat keputusan mengenai kasuskasus itu bersifat eksekutorial, diperlukan pengesahan dari pengadilan (khusus). Dalam posisi demikian, putusan KNuPKA tidak akan bersifat eksekutorial karena masih harus disahkan oleh ~ e n g a d i l a n . ~ ~ Proses semacam akan mirip dengan format relasi antara Coiniiiissioir orr h n d Rights Restihrtioil dengan Lnird Clniin Court di Afrika Selatan.
Prinsip dan doktrin-doktrin progresif dalam penyelesaian sengketa telah mulai dikembangkan seperti yang tampak dalam uraian di atas. Sernisal asas retroaktif, pembuktian terbalik dan defenisi-defenisi tentang barang bukti. Karena hendak menyelesaikan konflik masa lalu, maka KNUPKA harus lebih memajukan prinsip dan doktrin progresif tersebut. Ini penting, karena yang sedang dilawan oleh pikiran-pikiran KNUPKA adalah sebuah pandangan hukum yang membenci semangat menoleh ke belakang36. Penerapan prinsip "pemberlakukan hukum secara surut (retvoaktif)",sepertiyang telah diberlakukan pada UU HAM, terhadap kasus-kasus sengketa agraria merupakan keniscayaan. Batas waktu surutnya adalah awal mula rejim Orde Baru berkuasa, yang secara formal dimulai dari tahun 1967. Pada tahun itulah mulai bermunculan kebijakan/ keputusan penguasaan dan pengelolaan tanah dan SDA lain yang menyebabkan berbagai sengketakkonflik. Usulan ini kian menguat ketika jenis konflik yang akan diselesaikan KNuPKA adalah konflik struktural. Dalarn konteks desentralisasi dan kebutuhan efektivitas, KNUPKA dibayangkan tidak hanya ada di Jakarta. Apapun bentuk hubungannya dengan KNUPKA di Jakarta, komisi ini disarankan memiliki perangkat di daerah. Struktur serupa menjadi semakin mutlak bila mengacu pada Keppres No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Semangat membenci menoleh kebelakang dianut dan dikembangkan oleh faham legal positivisln dengan dokhin legisme dan orientasi mengejar kepastian hukum ( r e c h t z e k e r l ~ e i d ) .Sementara itu gagasan pembentukan K N U P K A justru mengembangkan pandangan-pandangan kritis terhadap hukum (critical legnl fhol~gllt), dengan mempertanyakan dalil-dalil legal positivistn.
Kmisi NAS~ONA! Hnk As~siMANUS~A (KOMNAS HAM)
Pertanahan. Keppres ini mengatakan bahwa kewenangan penyelesaian tanah garapan dan masalah tanah ulayat dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota (pasal 2 huruf c dan f). Bila komisi ini punya organ di daerah maka pekerjaan pemkab/pemkot untuk dua ha1 di atas akan makin terbantu. Begitu juga sebaliknya. Mengenai prosedur beracara, tentu saja KNuPKA akan menggunakan sistem beracara sendiri yang khusus. Karena mengkritik prosedur beracara di pengadilan yang tidak mungkin bisa menyelesaikan konflik masa lalu, KNuPKA justru harus merumuskan prosedur beracara tersendiri yang memihak pada korban (sederhana, murah, tidak formalistik).
V. KELEMBAGAAN KOMISI NASIONAL untuk PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA 5.1. Lingkup Wewenang dan Kegiatan Sebagai lembaga yang menangani konflik-konflik agraria dan mempersiapkan pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia, KNuPKA benvenang untuk: a.
Mendaftar, memverifikasi dan memberkas kasus-kasus konflik agraria yang diadukan oleh kelompok masyarakan secara kolektif;
b.
Membuat dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian kasus-kasus konflik agraria tersebut kepada para pihak yang terlibat di dalam konflik;
c.
Memfasilitasi penyelesaian konflik melalui mediasi, negosiasi dan arbitrasi;
d. Menyusun rancangan peraturan perundang-undangan dan kelembagaan untuk penyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan pembaruan agraria; e.
Melakukan sosialisasi, koordinasi dan kerjasama dengan badan-badan pemerintah maupun nonpemerintah dalam rangka pencapaian tujuan Komisi.
Sedangkan jenis-jenis kegiatan KNuPKA adalah: 1. Menyebarluaskan gagasan, prinsip-prinsip, dan tatacara penyelesaian konflik agraria yang berkeadilan dan dalam rangka menjalankan pembaruan agraria;
2.
Menyusun prosedur pendaftaran tuntutan dan verifikasinya, serta metode-metode penyelesaian konflik yang tepat;
3.
Melakukan pendataan terhadap konflik-konflik agraria yang terjadi selama ini;
4. Menerima pendaftaran dan memverifikasi tuntutantuntutan kelompok masyarakat untuk penyelesaian konflik agraria yang dialaminya; 5. Mengupayakan penyelesaian sengketa/ konflik dengan cara alternatif (alternative dispute resolution), mediasi, negosiasi, arbitrase, dan/atau mengeluarkan rekomendasi penyelesaian atas sengketa/ konflik tersebut; 6. Melakukan tinjauan ke lapangan untuk proses verifikasi maupun dalam rangka penyelesaian sengketa dengan cara alternatif; 7. Menyusun naskah Rancangan Undang-undang Penye-
lesaian Konflik Agraria yang di dalamnya terkandung
muatan tentang pembentukan Pengadilan Khusus Agraria dan penguatan kewenangan Komisi untuk penyelesaian konflik agraria secara cepat dan berkeadilan, dalam waktu yang sesegera mungkin setelah pembentukan Komisi;
8. Mempersiapkan Rancangan Undang-undang Pembaruan Agraria yang di dalamnya terkandung muatan tentang kelembagaan pelaksana pembaruan agraria. Dengan ruang lingkup kewenangan dan jenis kegiatan dari KNuPKA di atas, maka KNuPKA sangat tidak mungkin menjadi subordinat dari institusi lain - mengingat kapasitas kerja yang akan dilakukan. Kapasitas kerja dan kebutuhan melakukan langkah-langkah yang cepat, membuat institusi harus merupakan badan tersendiri. Juga, mengingat kewenangan, kapasitas dan logistik yang akan digunakan, maka instiusi ini harus merupakan suatu Komisi yang bersifat independen, yang untuk pertama kalinya dibentuk oleh Presiden. Namun, meskipun dibentuk oleh Presiden, tidak dengan sendirinya dapat membuka jalan bagi intervensi dari presiden. Oleh sebab itu, institusi ini harus diberi payung hukum yang kedudukan hukurnnya tidak bisa diganggu dengan mudah oleh intervensi presiden. Artinya, pada gilirannya dibutuhkan sebuah undang-undang tersendiri untuk mengatur ha1 ini. KNuPKA melalui Presiden dan/atau masyarakat melalui parlemen dapat mengambil prakarsa untuk memungkinkan undang-undang guna menguatkan posisi badan penyelesaian konflik agraria.
5.2 Susunan Organisasi Mengingat kewenangan dan jenis kegiatannya, maka organisasi ini adalah badan kerja yang cepat dalam mengambil keputusan dan demokratis kualitas keputusannya. Setiap keputusan hendaknya tidak bertumpu pada satu orang, sebaiknya digunakan mekanisme sidang pleno dengan sifat terpusat. Ssebagai organ yang ad hoc, maka sebaiknya jenis pekerjaan-pekerjaan tertentu dilakukan secara ad hoc, yang segera berakhir setelah tugas selesai. Hal ini dibutuhkan untuk menghemat sumberdaya dan mempercepat kerja. Adapun susunan organisasi disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi-fungsinya, yang untuk permulaan dapat saja sebagai berikut: 1. Pleno, sebagai pengambil keputusan tertinggi;
2. Ketua dan Wk. Ketua sebagai pelaksana harian; 3. Sub komisi-sub komisi yang terdiri dari: a. Sub Komisi Pendataan, Registrasi dan Verifikasi Klaim; b. Sub Komisi Penerangan, Pendidikan dan Perluasan Jaringan; c. Sub Komisi Penyelesaian Konflik; dan d. Sub Komisi Kajian dan Pengembangan Perundang-undangan 4. Sekretaris Jenderal- sebagai pelayan administrasi kegiatan;
G J'p
Komisi Nnsio~~l Hnk Asmi M A N ~(KOMNAS ~A HAM)
5.3. Keanggataan Komisi yang bermaksud untuk memfasilitasi penyelesaian konflik agraria dan mempersiapkan pelaksanaan pembaruan agraria ini mengandaikan anggotanya memiliki kapasitas pemahaman terhadap wacana konflik, sehingga mampu melakukan tindakantindakan yang cepat dan tepat. Oleh sebab itu, anggota haruslah pihak yang memang memiliki kapasitas pengalaman tertentu dalam masalah-masalah keagrariaan. Sifat institusi yang hendak mengerjakan jurnlah kasus yang banyak dan pemikiran yang lengkap, tentu saja membutuhkan konsentrasi yang penuh dan waktu yang besar. Oleh sebab itu, anggota haruslah bisa bekerja secara fill, dan tidak sedang melakukan aktivitas lain yang bisa menirnbulkan beban tarnbahan, apalagi konflik kepentingan. Dengan demikian, sifat keanggotaan KNuPKA adalah: a.
Anggota tidak bisa, atau sebaiknya bukan anggota aktif atau pengurus sebuah partai politik. Hal ini dibutuhkan agar dalam melakukan kerja, loyalitas anggota hanya pada institusi dan bukan pada partai. Dengan demikian kepentingan kerja institusi bisa dikedepankan, dan bukan sekedar kepentingan sempit sebuah partai. Asal-usul keanggotaan perlu sekali mempertimbangkan asal-usul yang berkenaan dengan reputasinya. Komisi ini membutuhkan individu anggota yang kuat mem-pejuangkan kepentingan korban dan mampu menembus kemelut birokrasi pemerintahan dan siasat dari para pelanggar untuk menghindar dari pertang-gungjawaban. Kepakaran hendaknya tidak dijadikan acuan pertama - sebab
Kmisi Nnsio~~! umk P E N ~ E ~ SKmHik A ~ A NA ~ ~ A (KNuPKA) R~A
:111;
Lw*-d
untuk pekerjaan ini dibutuhkan komitmen yang tinggi sebagai modal awal - keahlian adalah aspek kedua atau ketiga. Untuk itu, jejak langkah calon harus bisa diketahui publik, yang akan menjadi kontrol perjalanan komitmen dari yang bersangkutan. b. Jumlah anggota Komisi tidak perlu banyak. Jumlahnya disesuaikan dengan posisi yang akan diduduki oleh anggota dalam susunan organisasi Komisi. Semakin sedikit jumlah keanggotaan Komisi semakin baik. Sedikitnya jurnlah anggota Komisi ditujukan untuk mempermudah dan mengefektifkan pengambilan keputusan. Setiap posisi dari anggota Komisi dapat meminta dan dibantu oleh jumlah staff dan tenaga ahli yang cukup dan handal. Staff dan tenaga ahli inilah yang bekerja atas tugas dari dan atas nama anggota Komisi. c.
Sebaiknya anggota diperoleh dari sebuah proses terbuka, dan dengan demikian siapa saja berhak untuk ikut ambil bagian, menawarkan diri atau mencalonkan diri bergabung dalam institusi ini. Keseimbangan dari laki-perempuan perlu menjadi prinsip utama dalam susunan keanggotaan Komisi. Untuk itu diperlukan sebuah seleksi yang dijalankan secara terbuka dengan kriteria yang juga terbuka - untuk menghindari klik kelompok dalam institusi. Namun, untuk pertama kalinya, Presiden dapat menseleksi dan menetapkannya, berdasar atas kewenangannya.
VI. P E N U T U P Gagasan pembentukan komisi ini dibuat untuk menanggapi menguatnya tuntutan keadilan dari para korban sejalan dengan adanya perubahan politik, khususnya perubahan konfigurasi komitmen pimpinan dan lembaga negara, yang bisa membuka peluang. bagi dihargai, dilindungi dan dipenuhinya hak-hak korban ketidakadilan yang terjadi pada periode ketika Indonesia dikuasai oleh Rejim sebelumnya. Konteks ini menempatkan KNuPKA pada fungsi sebagai berikut: Pertama, memungkinkan suatu proses pembukaan luka-luka lama, yang selama ini terhalangi untuk muncul. Diharapkan dari proses ini akan bisa terbaca peta konflik agraria yang lebih luas, dan sekaligus karakteristik konflik agraria yang tercermin dari kasuskasus.
fl Kedua, memungkinkan suatu terobosan hukum, yang sekaligus sebagai bagian dari upaya penguatan rakyat melalui jalan koreksi atas relasi kekuasaan yang selama ini berkembang. Proses ini diharapkan menjadi titik masuk untuk melakukan pembaruan terhadap hukum yang ada - yang makin dipandang tidak memberikan kepastian dan keadilan. Ketiga, memperkuat rakyat melalui proses memungkinkan .korban untuk mempersoalkan kembali kasus-kasus lama yang tidak terselesaikan, dimana pada waktu itu rakyat dipaksa untuk menjadi korban.
Keempat, memungkinkan korban memperoleh penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasinya yang dirarnpas oleh praktek penindasan di masa ldu. Kelima, memperkuat korban untuk membuka jalan bagi pengorgansiasian kelompok korban untuk realisasi prinsip keadilan agraria melalui pembaruan agraria. Secara khusus, naskah ini diniatkan sebagai naskah akademik dari Rancangan Keputusan Presiden tentang Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (Keppres KNuPKA). Naskah ini dapat pula dikembangkan kemudian menjadi dasar argumen bagi pembentukan berbagai Rancangan Undang-Undang yang terkait dengan penyelesaian konflik agraria secara lebih luas melalui jalan pembaruan agraria. Dalam Naskah Akademik ini telah diurai alasan keberadaan dan usulan pokok-pokok kelembagaan KNuPKA. Meski secara akademik kehadiran KNuPKA telah diargumentasikan bermotifkan pencapaian keadilan sosial, namun pada akhirnya, putusan tentang pembentukannya adalah keputusan politik dari Presiden. Sebagaimana diketahui, keputusan politik tidak hanya dipengaruhi oleh argumentasi perlunya menghadirkan keadilan sosial, melainkan bisa saja oleh kalkulasi variabel-variabel lain yang berbeda. 0
Komisi NAS~ONA~ HA^ Asmi MANUS~A (KOMNASHAM)
BEBERAPA PRlNSlP DALAM MENGGAGAS PEMBENTUKAN KOMlSl NASIONAL PENY ELESAIAN KONFLIK AGRARIA
PENGANTAR Kita semua menyadari bahwa ditawarkannya gagasan untuk membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA) ini tentu saja akan mengundang sejurnlah pertanyaan awal. Misalnya saja (a) Mengapa perlu dibentuk badan ini?; (b) Bagaimana status hukumnya? (c) Bagaimana struktur organisasinya?; (d) Siapa saja anggotaanggotanya ?; (f) Cakupan obyek yang menjadi garapannya apa saja ?; dan pertanyaan-peryataan lain yang berkembang dari enam pertanyaan tersebut. Catatan ringkas ini tidak akan menjawab semua pernyataan tersebut, melainkan justru melemparkannya kepada forum Lokakarya ini untuk memperoleh masukanmasukan. Yang jelas, pertanyaan pertama itu sudah diuraikan dalam Kerangka Acuan yang dilampirkan dalam undangan. Yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa jikalau kita semua memang sudah sepakat untuk menerima gagasan dibentuknya maka menurut pendapat saya, ada beberapa prinsip yang perlu dijadikan pegangan. Atas dasar prinsip-prinsip itu, kita mengembangkan pemikiran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaaan tersebut di atas. Beberapa prinsip tersebut adalah sebagai berikut.
1. KELEMBAGAAN DAN STATUS HUKUM 1) Pembentukan badan ini haruslah diletakan dalam konteks pembaruan Agraria dan Sumberdaya Alam (Reforma Agraria), sesuai Tap 1X/2001.
2) Jika kita konsisten (dan mempuyai "kemauan politik") untuk melakukan Reforma Agraria yang genuine, maka badan ini haruslah merupakan bagian dari Badan Otorita Reforma Agraria (BORA). Mengapa ? 3) Jika KNUPKA itu lepas dari BORA, maka terdapat peluang untuk menyimpang, yaitu hanya bertujuan menjaga stabilitas semata, sehingga justru bisa bertentangan dengan tujuan pembaruan. 4) Sebagai bagian dari BORA, maka KNUPKA ini mempuyai kewenangan yang menyeluruh, mengatasi kewenangan sektoral, dan bertanggung jawab kepada presiden. 5) Eksistensi KNUPKA ini harus dilandasi aecara hukum oleh Undang-undang. (Seperti juga dahulu, panitia Pengadilan Land Reform dilandasi oleh UU No. 21/ 1964). 11. RUANG LINGKUP GARAPAN 1) Garapan badan ini mencangkup semua kasus konflik (meliputi semua sektor), baik kasus-kasus yang telah terjadi; maupun yang akan terjadi dalam proses pembaruan agraria nanti. 2) Kasus konflik yang menjadi garapan badan ini adalah kasus-kasus konflik yang mempuyai dampak sosial yang luas.
3) Kasus-kasus yang tidak/ kurang berdampak sosial (misalnya cekcok antar saudara yang memperebutkan warisan dan tidak melibatkan orang luar), tidak menjadi garapan ini. 111. KEANGGOTAAN KNUPKA
1) Agar KNUPKA ini mampu untuk mempunyai kataputus dalam menangani kasus-kasus konflik agraria, maka anggota harus terdiri dari berbagai pihak (instansi pemerintah, akademisi, LSM, organisasi tarti/ nelayan, dll). 1
POKOK-POKOK PlKlRAN MENUJU PEMBENTUKAN NASIONAL PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA Guru Besar Emerituse IPB Bogor
KONnIK Di banyak negara pada umumnya KONFLIK AGRARIA timbul di lingkar luar (peri-urban) perkotaan karena dan perluasan kota mengurangi luas tanah pertartian. Lebih khusus di negara-negara yang penyebaran penduduknya tidak merata, sehingga wilayah luas yang dihuni suku/ kelompok etnis belum terkena hukum negara, atau paling tidak hukum tersebut tidak dipahami suku-suku etnis yang turun temurun hidup menurut hukurn adat yang mengenal penguasaan kolektif. Seperti Amerika Serikat di abad ke-18, Mexico, Brasil dan juga Indonesia tergolong kelompok negara yang kedua tadi. Perebutan tanah dalam sejarah misalnya dikenal di Mexico waktu Cortes menaklukan bangsa Aztek (abad ke17) dan kolonis Eropa yang menguasai Amerika Utara dengan memburu bangsa Indian (abad ke-18/19), juga terjadi Belanda di Afrika Selatan dan kemudian Inggris. Di Indonesia Agrarische Wet 1870 boleh dikatakan mengalihkan penguasaan tanah ke pemerintah jajahan Hindia Belanda. Pada dasarnya UUPA 5/1960 bermaksud mengembalikan kekuasaan tadi kepada bangsa Indonesia, namun dalam kenyataan setelah 1965tidak dilaksanakan. Kmisi N~sioNnIU N T U ~PENYE[ESA~AN Ko~flikA ~ R A R(KNUPKA) ~A
,
- -"p 119 8
- *-
Dalarn sejarah bangsa-bangsa memang banyak konflik yang sebenarnya berakar dalam perebutan penguasaan tanah. Ideologi atau agama tidak jarang hanya bagaikan"Penye1imut konflik. Konflik akibat perebutan penguasaan atas tanah dalam tulisan singkat ini dibatasi pada j'enis. konflik yang berdampak sosial karena pertengkaran antara individu dan antara kelompok organisasi sudah lebih diatur dalam berbagai undang-undang/ hukum positif Yang belum diatur secara terperinci adalah penyelesaian masalah akibat benturan antara ranah hukum adat dan ranah hukum negara. AGRARIA Oleh banyak orang termasuk banyak orang berpendidikan dan bergelar sarjana istilah Agraria diidentikkan dengan Landreform padahal Agraria mempunyai "...... wider incope than land reform, covering as it does all aspects of institutional development, including not only land reform (i.e. reform of tenure, production and supporting services structure), but also reform and development of complementaryinstitutional framework and related institutions, and social welfare institutions. " (S-Lin, 1974). Bacajuga Wiradi & Tjodronegoro (2002)
LUAS CAKUPAN Konflik Agraria mempunyai cakupan dan relevansi yang sangat luas, bukan hanya melibatkan sektor-sektor dalam pemerintahan (Departemen/Kementrian) tetapi hampir semua sektor dalam ranah Masyarakat Madani (kekeluargaan, adat-istiadat, agama dsb.) sehingga tidak
mudah untuk mempertemukan' wakil/ tokoh semua sektor tersebut. WalaupuA demikian baik komposisi/ perwakilan di dalam komisi perlu mencerminkan heterogenitas itu dalam usaha mencapai konsesus, menuju penyelesaian konflik agraria.
-
KELEMBAGAAN Bila yang dimaksud PEMBENTUKAN KOMISI paling tidak ada dua alternatif yang tentu tidak boleh bertentangan dengan ketatanegaraan d m sistem perundangan negara kita. Jalan pintas, karena penyelesaian banyak konflik agraria sudah mendesak mungkin melalui KEPPRES berdasarkan TAP MPR/ 1X-2001. Untuk memberi landasan hukum lebih mantap dan berjangka panjang adalahjalur legislatif, melalui DPR-RI dan seterusnya, yang memang akan makan waktu jauh lebih panjang apabila dalam keadaan dewasa ini yang sedang mencari keseimbangan dan stabilitas politik baru. Mengenai SUSUNAN & STRUKTUR Komisi sudah disinggung dalam bab di atas, yang jelas sektor pemerintah d m sektor masyarakat madani perlu seimbang. Setelah ada UU No. 25/1999 tentang Otonorni Daerah juga perlu dipersoalkan apakah perlu Komisi di Pusat saja, atau juga ada Komisi di daerah di mana konflik sering meletus ? Bila dipertannyakan bagaimana nanti hubungannya dengan Undang-undang, maka mengingat luas cakupnya, sifat yang mendasar dan kedudukan Komisi yang nanti dinaungi Undang-undang diusulkan agar secara singkat dan mantap RUU dan kemudian UU-nya :
Disebut :RUU AGRAIUA DAN SUMBERDAYA ALAM. Katakata "Pembaruan" dan "Pengelolaan" yang termaktub dalam TAP MPR-RI 1X/2001 adalah penugasan kepada DPR-RI, sehingga dengan penyelesaian tugas nanti tidak hams disebut lagi.
RUANG LINGKUP Konflik yang berdarnpak sosial jelas dapat timbul di semua sektor, baik di lingkungan/ranah Pemerintah maupun ranah Masyarakat Madani, sehingga luasnya tugas Komisi tidak dapat diselesaikan di pusat saja. Kelihatannya konflik agraria juga banyak timbul di daerah sehingga timbul pertanyaan apakah Komisi Nasional juga perlu dibantu oleh Komisi Daerah ?? Lalu ada kemiripan dengan LBHI.
KEKUATAN MENGIKAT Dapat diartikan keanggotaan di dalam Komisi yang dapat dibatasi, tetapi juga dapat diartikan Kekuatan Mengingat dari KEPUTUSAN KOMISI. Bila ada yang kedua yang dirnaksud maka dipertannyakanseberapa jauh Komisi Nasional/Daerah dapat menerapkan SANKSI apabila keputusannya tidak dilaksanakan?Jelas ini ada kaitannya dengan sistem hukum negara kita.
PROSEDUR MEKANISME Setelah UUPA 5/1960 diberlakukan sepertinya ada Pengadilan Landreform di daerah, namun yang kami dengar wewenangnya sampai menerima pengaduan, tetapi tidak berwenang mengadili dan menyelesaikan konflik sendiri?
*
Dipertannyakan apakah ini Prosedur Pembentukan atau Mekanisme Penyelesaian Konflik yang menjadi tugas Komisi? Yang pertama sudah dijelaskan di atas, yaitu agar semua sektor tenvakili di dalam Komisi dan diresrnikan dengan KEPPRES (jalan pintas) atau melalui DPR-RI (jalur legislaw yang lebih panjang dan makan waktu. Yang kedua tergantung dari kedudukan dan wewenang Komisi dalam sistem Hukum Negara kita. SUMBERDAYA MANUSIA Kecuali mewakili banyak sektor tentu ada persyaratan kecuali tingkat pendidikan juga kualitas anggota Komisi seperti : kejujuran, adil, bersih, berpihak pada kebenaran, memahami kepentingan umum dan lain sebagainya. Tergantung dari keadaan "prinsip gender" dapat diterapkan. Di antara anggota-anggota Komisi perlu ada kombinasi keahlian a.1. Antropologi/Sosiologi, Hukum Agraria, Politik, Ekonomi, Pemerintahan yang sebaiknya non-partisan (politik partai). Demikian beberapa masukan yang diharapakan dapat mempercepat tercapainya konsensus dan keputusan sebagai hasil lokakarya persiapan dua hari ini. Terima kasih! Bogor, 10 Januari 2004 Sediono M.P. Tjodronegoro (Grtnr Bcsnr Ei~reritnslrrstitrrt Pertntrinrr Bogor)
Kmisi NA~~ONA! U N T U ~PENYE~ESA~AN Ko~flikAGRAR~A (KNuPKA)
123
SUMBANG PlKlR SEKITAR PEMBENTUKAN KOMlSl NASIONAL PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA Dl INDONESIA Anggota Komnas H A M
PENDAHULUAN Memenuhi anjuran penyelenggaraan Lokakarya persiapan dalam rangka mendorong terbentuknya "Kornisi Nasional Penyelesaian Konflik Agraria" yang sekaligus menjadi bagian dari amanat TAP MPR No. 1X/2001, maka dibawah ini sekedar sumbang pikir saya. Sebelum sampai pada perlu atau tidaknya memenuhi amanat TAP MPR No. lX/Tahun 2001 tersebut, langkahlangkah yang hams dilakukan adalah pertarna kita terlebih dahulu menguji Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dari sudut hak asasi manusia. Karena Undang-undang inilah yang dipakai sebagai dasar dalam mengelola pertanahan di Indonesia. Kita tahu bahwa berulang kali, MPR mengamanatkan agar Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara, " demi kesejahteraan rakyat" menitiberatkan kepada pembangunan disegala bidang. Guna melaksanakan amanat MPR pada waktu itu, selarna 32 tahun disusunlah Pelitademi pelita (PerencanaanLima Tahunan) yang mendukung pelaksanaan pembangunan disegala bidang. Khususnya mengenai pembangunan ekonomi, termasuk pengelolaan agraria dan sumber daya alarn yang menyertainya, dalam
pelaksanaannya dirasakan sangat merugikan hak-hak adat rakyat setempat. Setelah lengser Presiden Suharto di tahun 1998 korban bermunculan baru berani melakukan pengaduan dan mengharapkan advokasi penyelesaian yang adil. Apalagi muncul pula penanganan penyelesaian yang masih represif terhadap upaya-upaya rakyat mengambil dan menguasai kembali dan tanah-tanah mereka yang hilang terampas pada masa pemerintah rejim otoriter. Oleh karenanya maka amandemen secara konprehensif terhadap UU No. 5 Tahun 1960 tersebut sudah selayaknya didukung, tentunya dengan selalu memperhatikan pada landasan idial dan landasan Konstitusional negara kita. Data pendukung perlakuan kekerasan seperti yang diungkapkan oleh Noer Fauzi dalam tu1isannya"Keadilan Agraria di Masa Transisif' menunjukkan perlakuan atas hakhak agraria penduduk dan pemulihan Kondisi Korbankorban sengketa Agraria2(halaman 209).
11. PENYELESAIAN KONFXIK AGRARIA Terlepas dari materi muatan Rancangan Undangundang sebagai amademen UU No. 5 Tahun 1960, yang kiranya perlu pula diamatkan didalam UU yang baru kelak (sebagai hasil amandemen) mengenai upaya-upaya penyelesaian konflik dibidang agraria, jangan sampai berlarut-larut. Upaya-upaya tersebut yang saya maksudkan adalah dengan memuatkan pasal tentang kemungkinan dibentuknya sebuah institusi yang independen yang bertugas tunggal untuk menyelesaiakn konflik-konflik
bidang agraria. Pemikiran tersebut sejalan dengan arnanat TAP MPR No. V/ MPR/ 2003 dalam butir bidang lingkungan hidup, bahwa MPR meyarankan agar "membentuk lembaga atau institusi independen lainnya agraria dan sumber daya alam agar memenuhi rasa keadilan kelompok petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat umumnya, sehingga berbagai konflik dan kekerasan dapat dicegah dan ditangulangi". Walaupun Keputusan Presiden No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di bidang Pertanahan, yang merupakan pelaksanaan dari TAP MPR No.lX/MPR/2001, sudah melakukan perbaikan-perbaikan bidang agraria tersebut, tetapi bukan menangani masalah konflik agraria yang muncul sebagai akibat dari upaya-upaya rakyat dalam merebut kembali tanah-tanah mereka yang telah dirarnpas atas kebijakan Pemerintah. Menurut pendapat saya, upaya Presiden tersebut harus diiringi dengan upaya penyelesaian konfliknya sekaligus yang hanya dapat dilakukan oleh institusi yang independen dan yang berkompeten untuk itu. Oleh karenanya saya ingin mengajak forum ini untuk menyiapkan secara nyata terbentuknya institusi yang idependen tersebut (apapun namanya) dengan merancang sebuah Rancangan Undang-undang tentang pembentukan Komisi Penyelesaian Kodik Agraria. Saya melihat bahwa perlu dasar hukum pembentukannya harus melalui Undang-undang karena agar memiliki kedudukan yang mantap dan kuat dan mengingat kewenangannya sangat besar yang beryurisdiksi seluruh Indonesia, sebagai lembaga yang memiliki kekuatan :law enforcement".
111. KOMISI PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA
Adapun RUU tentang pembentukan Komisi Penyelesaian konflik agraria tersebut, memuat ketentuanketentuan sebagai berikut : a. Tugas pokok penyelesaian konflik agraria tersebut, menyangkut penyelesaian secara darnai terhadap konflik yang muncul sebagai akibat dari perampasan tanahtanah mereka dalam rangka menunjang kebijakan pembangunan dimasa lalu diluar masalah sengketa pernilikan. b. Komisi dalam melaksanakan tugasnya dibatasi, selama 3 tahun dan dapat diperpanjang 2 tahun c. Hukum acara yang dipergunakan oleh Komisi tersebut dapat diterapkan "Alternative Dispute Resolution" (ADR) dengan mengedepankan atas kebenaran dan pengakuan dari penyelenggaraan negara (Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah) serta penyelesaian secara damai antara pihak-pihak yang berkonflik dengan memberikan kompensasi yang adil dan berimbang oleh negara/Pemerintah(pusat atau daerah). d. Mekanisme kerja Komisi, sebaiknya disusun oleh Komisi itu sendiri dengan caracara pertanggungjawaban secara kolektif bersama-sama bagi seluruh anggotanya dengan meletakan kekuasaan tertinggi pada Sidang Paripurna Komisi (seperti Komisi kebenaran dan Rekonsiliansi atau Komnas HAM sendiri). e. Kewenangan Komisi dan kekuatan hukurnnya seperti layaknya penyelesaian secara damai melalui secara di luar pendidikan, hasilnya akan mengingat secara hukum
J ' z 'p
Komisi Nnsio~nlHnk h ~ s MANUS~A i (KOMNAS HAM)
kedua belah pihak yang melakukan kesepakatan. Sedangkan fungsi Komisi sebagai penengah dan sekaligus instansi yang berwenang mendesak pelaksanaan hasil kesepakatannya tersebut kepada pemerintah. Dalam ha1 tersebut, pemerintah wajib melaksanakannya sesuai dengan kemampuannya. Kemungkinan pembayaran kompensasi secara tertahap harus menjadi pertimbangan dalam kesepakatan tersebut. Tetapi manakala terjadi wan prestasi maka, pihak yang dirugikan dapat membawanya ke Pengadilan Negeri untuk diminta bantuan pelaksanaan eksekusi. f. Sifat Komisi independe Artinya institusi tersebut tidak dapat diintevensi oleh siapapun. Institusi hanya bertanggung jawab kepada publik/masyarakat dan memberi laporan setiap tahun kepada Dewan Penvakilan Rakyat dan Presiden selaku Kepala Negara. g. Sepanjang konflik tersebut meyangkut kepemilikan, menjadi diluar yurisdiksi komisi melainkan yurisdiksi Pengadilan Negeri (Perdata) h. Keanggotaan Komisi Ditentukan dalam RUU mengenai jurnlahnya dengan ketentuan maksimalnya saja. Sedang tata cara rekrutmennya serta syarat-syaratnya diatur pula secara tegas i. Ketentuan peralihan Dalam ketentuan ini, perlu diatur bahwa apa yang telah diselesaikan oleh lembaga/badan lain, sepanjang masih dalam proses tetap menjadi wewenang lembaga/ badan tersebut. Namun manakala kasusnya sudah didaftar di lembaga/ badan tersebut tetapai belum diproses/ditangani, maka kasus dapat diserahkan kepada Komisi.
IV. UPAYA LAIN YANG MENDESAK Kenyataan sekarang, masyarakat sangat menantikan penyelesaian konflik agraria dalam waktu yang pendek. Sedangkan pemikiran seperti tang saya utarakan diatas, masih memakan waktu yang cukup lama. Oleh karenanya perlu dipikirkan, bagaimana caranya agar ketentuan peraturan perundang-undangan yang akan menjadi dasar hukum Komisi tersebut dapat terwujud dengan segera. Saya mengusulkan dapat menempuh beberapa cara sebagai berikut :
a. Apakah mungkin amandemen UU No. 5 Tahun 1960 yang di tangani oleh BPN atas dasar Keputusan presiden No.34 Tahun 2003, yang sekaligus berisi perintah membentuk institusi penyelesaian konflik agraria yang bersifat independen di terbitkan dalam bentuk pelaturan Pemerintah Pengganti Undangundang. b. Tentunya Pemerintah juga harus secara simultan meyiapkan RUU (atau Rancangan Perpu) tentang Pembentukan Komisi Penyelesaian konflik agraria dengan muatan materi seperti tersebut di atas. c. Atau untuk sementara sambil menunggu terbitnya Undang-undang yang mengaturnya, memberikan tugas tambahan kepada Komnas H A M untuk bertindak sebagai "mediator" dalam kerangka ADR. Tetapi masalahnya : apakah ADR atau Mediasi yang dilakukan Komnas HAM mengikat secara hukum tidak saja pada pihak-pihak, tetapi juga pihak ketiga untuk menghormatinya
d. Tugas tambahan tersebut dalam butir e, perlu dikukuhkan melalui keputusan Presiden dengan ketentuan setelah terbentuknya komisi melaui Undang-undang, maka tugas dan fungsi tersebut diserahkan kepada penyelesaian Konflik Agraria. Adapun materi muatan keputusan presiden dimaksud antara lain : a. Batas-batas kewenangannya b. Diatur hukum acara apa yang mesti dipergunakan. Apakah acara seperti dalam Komisi kebenaran dan rekonsilitasi atau seperti dalam "Mediasi" pada umumnya. Mudah-mudahan sumbang pikir tersebut dapat membantu mendorong terwujudnya Komisi penyelesaian konflik agraria dimasa mendatang. Jakarta, 6 Januari 2003 Sub Kornisi pengkajian Ketua,, ttd.
-
Kmisi NAS~ONA~ U N T U ~PENYE~ESA~AN Koruflik A ~ R A R(KNuPKA) ~A
>
: 131 $ tbmx+&s
CATATAN Rl NGKAS 9
Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya" Merumus-kan pokok-pokok Pikiran Menuju Pembentukan Kornisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia", kerjasama Kornnas HAM-KPA-HumaPokja PA-PSDA, Carita-Banten 13-14Januari 2004.
9
Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Direktur PERGERAKAN-People-Centered AdvocacyInstitute. Alamat kontak : KPA, Jalan Situsari Wetan No. 37A, Buahbatu, Bandung 40165, telp./fak. : 022-730.98.93; PERGERAKAN, Jalan Tubagus Ismail V111/1 Bandung 40134, telp./fax. : 022-250.25.24; e-mail : penk @ bdg. Centrin.net.id atau penk @ kpa.or.id
9
Satu kasus yang menarik dalam sod pengembalikan hak secara faktual atas tanah yang diklaim telah terampas &bat adanya program pemerintah di masa lalu adalah tuntutan masyarakat Makulele yang sebagian kawasan hidupnya terarnbil untuk pengembangan tanarn nasional Kruger atau South Africa National Parks (SANP). Pengadilan memutuskankawasantersebut dikembalikan kepada masyarakat Makulele, tetapi dengan syarat kawasan tersebut tetapi dipelihara sebagai kawasan tanaman nasional dengan segala fungsinya, dan masyarakat Makulele diajuk untuk menjadi bagian dari pengelola tanarn nasional tersebut. Ini adalah satu contoh yang paling menarik sekalibagaimana pengelolaan hutan, bahkan dalam kawasan konservasi sekalipun, dapat dipercayakankepada masyarakat setempatyang memang
pada dasarnya memiliki budaya hidup di dalam kawasan berekosistem hutan. Hal ini adalah satu persoalan yang paling sulit diwujudkan di Indonesia hingga saat ini. Lihat : Koch dan de Bee (2000 : 176-192).
> Berdasarkan hasil diskusi dengan Deputy Direktur Jendral Land and Tenure Reform Departement of Land Affairs RSA, Desember 2003.
> Wawancara dengan Ceryl Walker, mantan Kornisioner dari Provinsi Kwazulu-Natal dilakukan di kota Durban pada bulan Desember 2003. 9
Catatan ringkas, disampaikan oleh penulis sebagai narasum-ber pengganti dalam "Lokakarya Persiapan menuju Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria ";yang diselenggarakan oleh Komnas HAM bekerja sama dengan KPA, HUMA, WALHI dan Bina Desa tanggal 13-14 Januari 2004, di Hotel Mutiara Carita, Pedeglang Banten. .
> Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya "Merumuskan pokok-pokok Pikiran Menuju Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia", kerjasama Komnas HAMKPA-HUMA-Pokja PA-PSDA, Carita-Banten 13-14 Januari 2004. Makalah yang disampaikan dalam Lokakarya "Merumuskan Pokok-pokok Pikiran Menuju Pembentukan Komisi Nasional untuk penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia", kejasama Komnas HAMKPA-KUMA-Pokja PA-PSDA, Carita-Banten 13-14 Januari 2004.
9
Anggota Kornisi 11DPR RI
9
Makalah disampaikan pada lokakarya "Pengalaman Indone-sia Dalam Penyelesaian Konflik Agraria" diselenggarakan oleh Komnas HAM di Mutiara Carita, 13-14Januari 2004. Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
9
Disusun untuk Lokakrya Persiapan Komnas Penyelesaian Konflik Agraria. Carita, Banten 13-14 Januari 2004.
9 - Disampaikan dalam Lokakarya tanggal
13 dan 14
Januari 2004 di Carita. [I
Komisi NASion~l HA^ Asmi MANUS~A (KOMNAS HAM)
PELUANG BAG1 PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA Dl SUB SEKTOR PERTAMBANGAN UMUM Direktorat Geologz dan Sumberdaya Mineral A. PENDAHULUAN
UUD 45 pasal33 ayat 3 mengamatkan bahwa " Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Dari pasal tersebut digariskan bahwa monopoli pengaturan, penyelenggaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumberdaya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara. Penafsiran dari kalimat "dikuasai oleh negara" dalam ayat (2) dart (3) tidak selalu dalarn bentuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh atas perusahaan berpegang pada azas kepentingan rnayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam implementasinyapengelolaan sunberdaya dam yang berlangsung selama ini sering mengalami/ menimbulkan ketimbangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik; serta penurunan kualitas lingkungan. Disamping itu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.
Menyadari akan ha1 tersebut, maka dikeluarkan TAP MPR Nomor 1X/2001 tentang " Pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumberdaya Alam", yang antara lain mengamatkan bahwa pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip;
a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragarnan dalam unifikasi hukum ; d. Rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partipikasi rakyat; f. Mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemiliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam ; g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap mempertahankan daya tampung dandukunglingkungan; h. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinat antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam; j. Mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;
rn
Kmisi Nnsio~nlHnk knsi MANUS~A (KOMNASHAM)
k. Mengupayakan keseirnbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/ kota, dan desa atau yang setingkat),masyarakatdan individu; B. KONFLIK AGRARIA DI SUB SEKTOR PERTAMBANGAN
UMUM Melaksanakan desentraliasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat,berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam. Pengolahan usaha pertambangan umum juga tidak luput dari masalah ke agrariaan/pertanahan. Konflik masalah pertanahan/kewilayahan yang sering teqadi di sub sektor pertambangan antara lain : C. PERATURAN PERUNDANGAN SUB SEKTOR PERTAMBANGAN UMUM YANG BERKAITAN DENGAN PENGUASAAN DAN KEWILAYAHAN
Tumpang tindih pemanfaatkan lahan dengan sektor lain seperti kehutanan,perkebunan,kelautan,pertanian,dll b Permasalahan ganti rugi lahan dengan pemegang hak atas tanah b Hak ulayat Landasan hukum pengelolaan sumber daya alam adalah UUD pasal33, yang kemudian khusus untuk pengelolaan sumber daya mineral dijabarkan lebih konkrit didalam UUD No. 11tahun 1967 dan PP 75 tahun 2001. Beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 yang berkaitan dengan masalah penguasaan dan kewilayahan /agraria adalah: b
Pasall: Semua bahan yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan endapan alam sebagai karunia tuhan YME, adalah kekayaan Nasional Bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Pasal2, huruf (K) : Wilayah hukum pertambangan Indonesia ; seluruh kepulauan Indonesia, tanah dibawah perairan Indonesia dan paparan benua (continental shelf) kepulauan Indonesia; Mengingat sifat keberadaan sumberdaya mineral yang berada didalam tanah, tidak dapat dilihat langsung dengan mata, sehingga perlu menetapkan wilayah hukum pertambangan sebagai mana pasal2 huruf (K). Untuk dapat membedakan berbagai jenis tahapan kegiatan pertambangan, maka dalam pasal14,UU 11tahun 19967ditetapkan bahwa : Usaha pertambangan bahan-bahan galian dapat meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi; pengolahan dan pemurnian; pengangkutan dan perjualan. Usaha pertambangan Penyelidikan Umum dan Eksplorasi, sesuai namanya adalah baru merupakan kegiatan survey, yang selalu berpindah-pindah, tidak memanfaatkan lahan untuk jangka lama, dan sangat sedikit merusak dan merubah kondisi lahan, sehingga seharusnya masalah pertanahan berkaitan dengan tahapan usaha pertambangan tersebut tidak ada atau sangat sedikit. Usaha pertambangan yang menggunakan lahan cukup lama yaitu tahap eksploitasi dan pengelolaan/ pemurnian. Kmisi N M ~ O N AHA^ ~ A s ~ s iM A N U ~(KOMNAS ~A HAM)
UU II/1967 juga telah menggariskan daerah-daerah mana yang tidak diperbolehkan ada kegiatan pertambangan, yaitu sebagaimana pasal16, ayat : Pasal16, ayat : (2) Pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan tidak boleh dilakukan diwilayah yang tertutup untuk kepentingan umum dan pada lapangan sekitar lapangan-lapangan dan bangunanbangunan pertahanan. (3) Wilayah pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan tidak meliputi : Tempat-tempat kuburan, tempat-tempat yang dianggap suci, pekerjaan-pekerjaanumum, misalnya jalan-jalan umum, jalan kereta api, seluruh air, listrik, dan sebagainya ; Tempat-tempat pekerjaan usaha pertambangan lain; Bangunan - bangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik-pabrik beserta tanah-tanah pekarangan sekitamya, kecuali dengan izin yang berkepentingan. (4) Dalam ha1 dianggap sangat perlu untuk kepentingan pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan, pemindahan sebagaimana termaksud dalam ayat (3) pasal ini dapat dilakukan atas bebean pemegang kuasa pertambangan dan setelah diperoleh izin dari yang benvajib. Hubungan antara pemegang hak/ kuasa pertambangan dengan hak-hak atas tanah baik menyangkut prosedur sebelum memulai kegiatan, kewajiban kedua belah pihak dan sampai pada penyelesaian sengketa, diatur sebagai mana pasal25,26 dan 27 yaitu : Kmisi NAS~ONA~ U N T U ~PENYE!ESA~AN Ko~flikAqwni~(KNuPKA)
1391:
Pasal25, ayat : (1) Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun diluarnya, dengan tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan disengaja, maupun yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih dahulu. Pasal26, ayat : Apabila telah didapat izin pertambangan atas sesuai dengan daerah, atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkanpekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya:
a.
b.
Sebelum pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa pertambangan atau salinannya yang sah, diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaanpekerjaan itu akan dilakukan; Diberi ganti kerugian atau jarninan ganti kerugian itu terlebih dahulu.
Pasal27, ayat : (1) Apakah telah ada hak atas sebidang tanah yang bersangkutan dengan wilayah Kuasa Pertambangan, maka kepada yang berhak diberikan ganti rugi yang sejumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan dan yang mempunyai hak atas
tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk penggantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan, (2) Jika yang bersangkutan tidak mencapai kata mufakat tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, maka penentuannya diserahkan kepada Menteri,
(3) Jika yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan Menteri tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, maka penentuannya diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah/ Wilayah yang bersangkutan, (4) Ganti rugi yang dimaksud pada ayat (I), (2),dan(3) pasal ini beserta segala biaya yang berhubungan dengan itu disebabkan kepada pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan,
(5) Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat halk tanah, maka atas sebidang tanah tersebut atau bagianbagiannya tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.
Lebih lanjut dalam PP Nomor 75 Tahun 2001 tentang " Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1969" mengatur mekanisme persetujuan permohonan kuasa pertambangan, yang antara lain mengharuskan dilakukan pengumurnan setempat, atau pemberitahuan dan persetujuan dari daerah/ masyarakat yang berada pada wilayah yang dimohon, seperti diatur dalam pasall7 :
-
Pasal17, ayat : (1) Sebelum Menteri Gubernur sesuai dengan kewenangannya menyetujui permohonan Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan atau Kuasa Pertambangan Eksploitasi, terlebih dahulu : a. Menteri sesuai kewenangannya meminta pendapat dari Gubernur dan Bupatil Walikota dimana usaha pertambangan itu berada; b. Gubernur sesuai kewenangannya meminta pendapat dari Bupati/ Walikota dimana usaha pertambangan itu berada (2) Mereka yang mempunyai hak atas tanah dan atau mereka yang berkepentingan yang akan mendapat kerugian karena adanya pemberian Kuasa Pertambangan dapat mengajukan keberatan Bupati/ Walikota dirnana usaha pertambangan itu berada paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sesudah dikeluarkannya emintaan pendapat mengenai Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); '
(3) Bupati/ Walikota dimana usaha pertambangan itu berada menyampaikan keberatan kepada Menteri atau Gubernur sesuai kewenangannya dalam waktu sesingkat-singkatnya dengan disertai berita acara yang memuat alasan-alasan dari keberatan tersebut;
(4) Keberatan sebagaimana dirnaksud dalam ayat (3) dapat diterima oleh Menteri atau Gubernur sesuai kewenangannya, apabila usaha pertambangan tersebut nyata-nyata akan merugikan rakyatlpenduduk setempat ;
Komisi NnsioNA~ HA^ Asfii MANUS~A (KOMNAS H A M )
(5) Jika dalam paling lambat (empat) bulan setelah tanggal dikirimnya permintaan pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (I), Menteri atau Gubernur tidak menerima pernyataan keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka Bupati/ Walikota yang bersangkutan dianggap telah menyatakan tidak adanya keberatan atas pemintaan Kuasa Pertambangan. Dalam PP 75 tahun 2001, kembali ditegaskan secara lebih rinci bagaimana ketentuan kegiatan usaha pertambangan pada wilayah tertutup untuk kepentingan umum oleh instansi lain, sebagaimana disebutkan dalam pasal22.
Pasal22, ayat : (1) Pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu Kuasa pertambangan tidak boleh dilakukan di tempat yang dinyatakan sebagai wilayah tertutup untuk kepentingan umum dan di tempat-tempat yang secara khusus ditentukan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangan. (2) Untuk tempat-tempat yang sebelum ada penetapan Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangannya. D. UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK Dinyatakan sebagai wilayah yang tertutup untuk kepentingan umum oleh instasi lain, maka penampangan bahan galian hanya dapat dilakukan atas izin Menteri, Gubernur, Bupati/ Walikota sesuai kewenangan dengan mengingat pendapat dan pertimbangan dari instansi/pihak yang bersangkutan.
Berbagai upaya dalam penanganan kodik pertanahan/ penggunaan lahan telah dilakukan, antara lain melalui : b b
b b b
Mengaktifkan dan mengoptimalkan koordinasi Pembuatan SKB Musyawarah dan mufakat Penekakan peraturan perundangan Peningkatan komunikasi dan sosialisasi. fl
MEDIAS1 SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENYELESAIAN KONFLIK
(Dirjen Perlindungan HAM, Departemen Kehakiman dan HAM)
LATAR BELAKANG J
Sebagai besar penduduk yang agraris, berarti bahwa 70% kehidupan masyarakat bersumber dari pertanian.
J
Hubungan yang erat antara penggunaan lahan dengan kebutuhan hidup, yang terkadang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara ketersediaan lahan (daya dukung lahan dan daya dukung lingkungan terhadap kebutuhan hidup manusia agraris), yang akan mengakibatkan konflik.
J
Pada saat ini banyak sekali pengaduan dari masyarakat yang berkait dengan penggunaan lahan, baik untuk pertanian maupun non pertanian, sehingga perlu adanya suatu penataan kembali.
KONFLIK J Adalah suatu keadaan dimana terdapat dua pihak atau lebih yang saling bertentangan, yang dapat mengakibatkan ketidakpuasan, kemarahan, kerusakan secara materi, luka dan kematian, hilangnya produktivitas, dapat pula mengakibatkan lingkungan dan kebudayaan dalam suatu keadaan bahaya.
J
J
Konflik biasanya dianggap sebagai suatu yang merusak, namun dernikian bila suatu konflik dapat diselesaikan secara efektif,konflik dapat menjadi suatu kekuatan yang membangun. Dapat dibedakan menjadi : a. Konflik vertikal yakni konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat; b. Konflik horizontal yakni konflik yang pecah antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain.
TuJUAN Mencari penyelesaian konflik agraria secara efisien dan efektif. SASARAN J
Adanya kesediaan pihak-pihak yang berkonflik untuk menyelesaikannya
J
Adanya kesepakatan kedua belah pihak dan penyelesaian konflik
J
Adanya keadilan, saling menguntungkan kedua belah pihak yang berkonflik
J
Penyelesaian konflik secara cepat, efisien, efektif
TAHAP PENYELESAIAN KONFLIK J Musyawarah mufakat J Mediasi 4
Pengadilan
ALTERNATIF PENYELESAIAN KONFLIK J
J
Pengadilan Adat Masyarakat. Peradilan Adat benvenang memeriksa dan penyelidiki sengketa-sengketa perdata antara warga warga masyarakat. Lembaga Peradilan. Namun demikian, terkadang : - Satu pihak merasa sudah adil/puas dan pihak yang lainnya merasakan sebaliknya; - Pihak yang merasakan tidak adil maupun tidak puas akan mengajukan banding bahkan sampai pada tingkat kasasi.
J
Jalan formal banyak dianut oleh masyarakat modern yang serba praktis, kaku dan didasarkan pada undangundang dan berorientasi pada asas legalitas.
J
Jalur informal dapat melibatkan : - Kedua belah pihak yang bersengketa;
- Pihak ketiga yang bisa untuk menyelesaikan sengketa. - Tenaga Mediasi PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA .MELALUI LEMBAGA MEDIAS1 (MEDIATION BOARD) J J J
J
J
Satu alternatif yang mempunyai resiko kecil Kesepakatan yang diperoleh adil; Kesepakatan yang diperoleh memuaskan; Kesepakatan dibuat oleh pihak yang terlibat dalam konflik. Waktu yang dibutuhkan relatif singkat
Kmisi Nnsio~nlU N T U ~PENYE~ESA~AN KwFlik A ~ ~ R A (KNuPKA) R~A
147? *a%---%"
KESIMPULAN
Penyelesaian suatu konflik dapat ditempuh dengan jalur informal dan formal. 9 Penyelesaian konflik dengan jalur mediasi merupakan salah satu alternatif dalam mencari peluang-peluang yang tersedia bagi penyelesaian konflik agraria di Indonesia saat ini. 9 Penyelesaian dengan mediasi akan memberikan keadilan dan kepuasan bagi kedua belah pihak karena kesepakatan dibuat oleh mereka yang terlibat di dalam konflik.
9
SARAN 9 Perlu disiapkan tenaga mediator yang profesional ; 9 Perlu disiapkan sarana, prasarana dan dukungan operasional untuk pembentukan Lembaga Mediasi.1
PERANAN DPR DALAM PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN
Realita permasalahan pertanahan di Indonesia sudah semenjak lama berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Pada umumnya sengketa pertanahan yang terjadi, amat jarang dapat diselesaikan secara damai dan adil. Hal ini terjadi antara lain sebagai akibat lemahnya aturan hukum mengenai pertanahan dan kuatnya kepentingan kelompok-kelompok tertentu untuk menguasai akses terhadap tanah. Sejak sebelum reformasi terjadi, banyak sekali masyarakat yang datang kelembaga DPR sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, di samping ke lembaga peradilan dan Kornnas HAM. Jadi secara historis, keterlibatan DPR-RI dalam turut serta menyelesaikan sengketa pertanahan sesungguhnya sudah dirintis sejak lama. Banyak sengketa pertanahan yang merupakan warisan orde baru dan sampai saat ini belum diselesaikan dengan baik. Untuk itu komisi 11DPR telah membentuk Sub Komisi Pertanahan untuk membantu penyelesaian sengketasengketa tanah yang terjadi dihampirseluruh wilayah Indonesia. Secara garis besar peta permasalahan tanah dapat dikelompokan : 1. Masalah penggarapan masyarakat atas areal tanah kehu tanan, perkebunan; 2. Masalah pelanggaran ketentuan landreform;
3. Masalah adanya akses dalam penyediaan tanah dalam pembangunan; 4. Sengketa perdata berkenaan dengan pernilikan tanah ; 5. Tuntutan dari masyarakat terhadap hak atas adat baik berupa tanah ulayat maupun perorangan. Beberapa contoh kasus sengketa tanah yang masuk ke DPR RI khususnya pengaduan masyarakat melalui Fraksi PDI Perjuangan antara lain adalah : 1. Penjualan tanah garapan masyarakat beberapa kecamatan di Kabupaten Pandeglang oleh oknum Pemerintah Daerah kepada perkebunan ; 2. Penyerobotan tanah rakyat ahli waris Putting oleh PT. SWEET INDOLAMPUNG ; 3. Penyerobotan tanah di Sumatera Utara oleh perusahaan perkebunan negara/ swasta 4. Tanah adat di lokasi tanah raja Gowa yang telah menjadi hak pakai atas nama Pemda Kimpraswil dengan dasar tanah negara, dl1 ; Untuk kasus-kasus sengketa tanah yang ada, dalam proses penyelesaian, DPR selain memanggil pihak-pihak terkait dengan juga selalu melakukan kunjungan lapangan untuk mengetahui keadaan tanah yang menjadi sengketa, dalam ha1 ini bersama-sama pemerintah yang diwakili oleh BPN dengan membentuk Tim Penyelesaian Masalah Pertanahan antara BPN dan DPR. Namun demikian sampai saat ini penyelesaiannya masih terkatung-katung karena tampaknya belum ada kehendak dari BPN secara serius untuk merespon rekomendasi yang telah diberikan DPR. Bahkan kesepakatan bersama diselesaikan pemerintah setempat tidak sesuai dan tidak memihak rakyat.
Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasannya pada awal tahun 2003 yang lalu DPR telah membentuk Panitia Khusus (PANSUS) untuk mengadakan penyelidikan masalah Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasannya pada awal tahun 2003 yang lalu DPR telah membentuk Panitia Khusus (PANSUS) untuk mengadakan penyelidikan masalah pertanahan secara nasional. Sebagai alat kelengkapan yang dibentuk oleh DPR, pansus ini dalam bekerja DAPAT memanggil pihak-pihak lain yang selalu terkait dengan penyelesaian sengketa pertanahan yang ada, antara lain BPN, BUMN, TNI-POLRI dan Pejabat Pemerintah (Gubernur dan Bupati) setempat. Para anggota pansus ini terdiri dari anggota DPR lintas fraksi-fraksi dan lintas komisi. Tujuan dibentuknya Pansus Pertanahan ini adalah diharapkan para pencari keadilan terutama yang kurang mampu dapat memperoleh penyelesaian masalahnya dengan waktu yang singkat, biaya ringan dan prosedur yang sederhana. Hasil kerja Pansus adalah berupa suatu Rekomendasi kepada pihak pemerintah dan para pihak bersengketa untuk menyelesaian dengan segera permasalahannya. Walaupun rekomendasi tersebut tidak bersifat eksekutorial namun paling tidak DPR tidak tidur atau tinggal diam terhadap permasalahan yang ada. Komitmen DPR adalah pendudukan masalah pertanahan sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku dengan memperkatikan rasa keadilan masyarakat. Adanya gagasan untuk membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria ini memang sangat baik sekali. Hal ini sesuai dengan amanat TAP MPR No.
lX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan SDA dan TAP MPR No. V/2003 tentang Sarana Kepada Lembaga Negara, dimana MPR menyarankan kepada DPR dan Pemerintah untuk membentuk sesuatu lembaga untuk penyelesaian konflik agraria untuk memberi sesuatu kepastian hukum dan mencegah terjadinya berbagai konflik kekerasan lainnya yang melanggar HAM. Dan "konflik agraria" di sini lebih luas dari hanya sengketa tanah dimana tanah hanya melakukan salah satu dari sumber agraria. Kita ketahui, bahwa berlarut-larut penyelesaian konflik agraria terutama masalah tanah (yangmenjadi acuan utama pembahasan ini) salah satunya juga disebabkan karena masalah yang diajukan kepada lembaga peradilan masih jauh dari efektif dan efisien serta kualitas putusannya masih jauh dari harapan ataupun rasa keadilan masyarakat. Praktek yang terjadi di masyarakat saat ini juga sangat mengkhawatirkankarena banyak putusan pengadilan yang tidak dapat dilaksanakan karena pihak pemerintah mengabaikan begitu saja keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Hal ini jelas sangat merugkan masyarakat. Untuk itu kiranya kita dapat segera menjalankan amanat TAP MPR tersebut di atas dengan membentuk komisi penyelesaian konflik agraria. Dan sebaiknya pembentukan lembaga ini didasarkan pada suatu undangundang. Lembga ini diharapkan menjadi suatu lembaga yang bersifat Independen, diisi oleh orang-orang yang berkompeten terhadap maslah agraria dan yang mempunyai komitrnen tinggi untuk menyelesaikan semua konfik agraria
yang ada sesuai dengan mekanisme penyelesaian yang ditetapkan dengan mengacu pada prosedur penyelesaian yang sederhana waktunya singkat, biaya ringan. Mempunyaikewenangan yang luas untuk mengadakan penyelidikan dalam proses penyelesaiannya dan hasilnya adalah mengeluarkan suatu putusan yang sifatnya Final and Binding, Final dan mengingat para pihak dimana putusan tersebut merupakan suatu solusi yang sesuai dengan rasa keadilan di masyarakat. [I
PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA D l AFRIKA SELATAN. PELUANG D A N TANTANGAN BAG1 IMPLEMENTASINYA D l INDONESIA
A. PENYELESAIAN KONFLIK SUMBERDAYA AGRARIA, KHUSUSNYA PERTANAHAN, YANG DILAKSANAKAN SAMPAI DENGAN SAAT IN1 1. Akar Permasalahan Akar permasalahan konflik pertanahan dan sumberdaya agraria lainnya dalam garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut : a. Konflik kepentingan, yang disebabkan karena adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan kepentingan subtantive (contoh : hak atas sumberdaya agraria termasuk tanah), kepentingan prosedural maupun kepentingan psikologis. b. Konflik struktural, yang disebabkan antara lain karena : Pola perilaku atau interaksi yang destruktif; kontrol pemilikan atau pembagian sumberdaya agraria yang tidak seimbang; kekuasaan dan kewenangan yang tidak seimbang; serta faktor geografis,fisik atau lingkungan yang menghambat kerjasama. c. Konfik nilai, disebabkan karena perbedaan kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi gagasan atau perilaku; perbedaan gaya hidup, ideologi atau agarna/kepercayaan.
d. Konflik hubungan, yang disebabkan karena emosi yang berlebihan, persepsi yang keliru komunikasi yang buruk atau salah ; pengulangan perilaku yang negatif. e. Konflik data, yang disebabkan karena informasi yang tidak lengkap; informasi yang keliru; pendapat yang berbeda tentang hal-ha1 yang relevan; interpretasi data yang berbeda; dan perbedaan prosedur penilaian. (Christopher W. Moore, The Mediation Process, 1996) Konflik bisa bersifat laten maupun manifes. Istilah sengketa dimaksudkan apabila konflik sudah menjadi nyata (manifest),pihak yang bersengketan (subyek)dan substansi yang dipermasalahkan (obyek sengketa)jelas. 2. Cara-cara penangana sengketa Mekanisme penyelesaian sengketa yang pada umurnnya ditempuh oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah sebagai berikut:
a. Bila ditemukan cacat administratif, maka koreksi dilakukan oleh BPN b. Bila kedua belah pihak saling terbuka, diusahakan musyawarah, difasilitasi oleh BPN c. Bila sengketa melibatkan instansi sektoral, diupayakan koordinasi antar sektor d. Bila semua usaha telah menemui kegagalan, utamanya bila objek sengketa berkenaan dengan masalah "hak", maka upaya terakhir adalah melalui pengadilan. Berkenaan dengan mekanisme penyelesaian sengketa tersebut diatas terdapat berbagai hambatan yang perlu disampaikan sebagai catatan.
Upaya penyelesaian berupa koreksi administratif oleh BPN pada umurnnya dilakukan dalam bentuk pembatalan Surat keputusan Pemberian Hak Atas Tanah atau sertifikat hak atas tanah, baik karena dijumpai karena adanya cacat hukum administrasi dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atau sertifikat hak atas tanah atau karena melaksanakan putusan pengadilan. Sebagai instansi yang bertanggung jawab untuk urusan pelayanan adminsiratif, BPN tidak berwenang untuk melakukan uji materil untuk mencari kebenaran, namun pihak yang bersengketa seringkali tidak dapat membedakan kewenangan yang termasuk dalam lingkup hukum administrasi dan kewenangan melakukan uji materil yang merupakan kewenangan badan peradilan. Kekurangpahaman ini sering kali menyebabkan banyaknya kasus/sengketa yang masuk ke BPN, setelah diteliti ternyata penyelesaiannya tidak menjadi wewenang BPN dan ketika dianjurkan agar yang bersangkutan mengajukan masalahnya ke pengadilan, mereka menjadi kecewa. Dalam ha1 penyelesaian upaya sengketa memerlukan koordinasi antar instansi, misalnya dalam sengketa antar masyarakat dengan melibatkan instansi kehutanan, ABRI, Departemen Perhubungan, dan lain-lain, koordinasi yang diharapkan tidak selalu dapat dilaksanakan. Salah satu alasan sulitnya melaksanakan koordinasi antar instansi, terutama instansi sektoral adalah karena dari segi normatif peraturan perundang-undangan sektoral yang sentralistik itu, tumpang tindih dan inkonsisten satu sama lain.
-1 , - - - A -
Kmisi NAS~ONA~ U N T PENYE~ESA~AN ~ ~ Ko~flikA ~ R A R (KNuPKA) ~A
3
157
Dari segi empiris, tidak adanya suatu instansi yang bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan di bidang sumberdaya agraria mendorong setiap sektor untuk bertindak dalam ruang vertikal masing-masing dengan menyisakan sedikit kesempatan untuk melakukan koordinasi horisontal. Dalam ha1 diperlukannya koordinasi antar instansi, dengan tujuan untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat terhadap hak atas tanahnya, diperlukan peran DPR dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan untuk mernfasilitasi pertemuan dengan instansi terkait untuk melakukan koordinasi yang diperlukan. 3. Penanganan permasalahan/sengketa pertahanan yang diselesaikan oleh BPN bersama DPR-RI
Dengan meningkatkan pengaduan yang disampaikan kepada DPR RI, maka agar dapat ditangani secara terpadu antara aspek teknis yuridis dan aspek sosial politik, dibentuklah Tim penyelesaian Masalah pertanahan Badan Pertanahan Nasional bekerja sama dengan komisi 11DPRRI, dengan keputusan kepala BPN No. 186 V-2001 tanggal 11September 2002 yang diketahui Wakil kepala BPN. DPRRI juga membentuk Tim Penyelesaian Masalah Pertanahan. Untuk mernfasilitasi koordinasi antara Tim BPN dan Tim DPR-RI dibentuk sekretariat bersama. Dari pengaduan yang masuk ke DPR RI ada yang langsung diteruskan ke BPN, tetapi ada pula yang ditelaah terlebih dahulu oleh Tim DPR - RI sebelum dikirim ke BPN. Penanganan masalahlsengketa pertanahan yang diselesaikan oleh BPN dan DPR-RI juga meliputi prosedur telaah kasus, penelitian lapangan (bila diperlukan) dan
peyajian hasil kajian kasus beserta penyelesaiannya. Keputusan tentang usul penyelesaian yang dipilih, didasarkan atas hasil rapat bersama antara Tim BPN dan Tim DPR-RI. Berdasarkan usulan penyelesaian tersebut, tindak lanjut dilaksanakan sesuai dengan wewenang masing-masing. Dalam perkembangannya Komisi 11 DPR-RI telah membentuk Pansus Pertanahan yang dalam sidangsidangnya memanggrl berbagai pihak terkait untuk didengar pendapatnya dalarn rangka mengusulkan penyelesaiannya melalui Panja. B. PENYELESAIAN KONFLIK SUMBERDAYA AGRARIA MODEL REPUBLIK AFRIKA SELATAN (" RAS") 1. Komitmen pemerintah untuk melaksanakan landreform sebagai bagian dari pembaruan agraria di RAS dijamin dalam konstitusi RAS (Act No. 108 of 1996). Dalam ketentuan terkait dengan Property (pasal 25) disebutkan : ayat (4)for the purposesof this sectiona) The public interest includes the nation's commitment to land reform, and to reforms to bring about equitable access to all South Afica's natural resources; and b) Property is not limited to land Akses yang adil terhadap tanah diuraikan dalam ayat (5), sebagai berikut : l7ze state must take rensonable legzslative and other measures, ~ilitlzinis aonilable resozrces, to fortes canditions rilhich enable citizens to gnin access to lnnd on nn equitable basis.
Tenure reform disebutkan dalam ayat (6), sebagai berikut : A person or community a~lzosetenure of land is legally insecure as a result of past racially discriminatory lanls or practices is etitled, to the extent provided by an Act of parliament, either to tenure rohich is legally secure or to camparable redress. Secara khusus, restitusi dijamin dalam ayat (7) : A person or community dispossessed of property ofier 19 June 1913 as a result past racially discriminato y 1a717~or practices is entitled, to the extent provided by an Act of parliament, either to restitution of that property or to equitable redress. Sebagaijaminan bahwa Land reform merupakan komitmen pemerintah, maka dalam ayat (8) disebutkan bahwa : No provision of this section may impede the statefiom taking legislative and other measures to achieve land, water and related reform, in order to redress the result or past racial discrimination provided that any departure from the provisions of this sections is in accordance the provisions of section 36 (1) Oleh karena hal-ha1 yang diatur dalam konstitusi memerlukan tindak lanjut berupa UU organik, maka sekaligus dalam ayat (9) disebutkan : Parliament must enact the legislation referred to i n subsecfion (6). Secara faktual, landreform di RAS terdiri dari 3 program yang saling terkait dalam rangka menyediakan akses yang adil terhadap sumber daya agraria. Program-program tersebut adalah sebagai berikut : I. Land Restitution 2. Land Redistribution 3. Land Tenure Reform
Secara khusus akan diuraikan tentang berbagai isu penting terkait dengan Land Restitution di RAS. 1. Tujuan
Kebijakan Land Restitution yang bertujuan untuk memulihkan pemilikan tanah dan membersihkan penggantian bagi mereka yang dihilangkan kepemilikannya karena peraturan perundangundangan atau praktek yang diskriminatif. 2.
Dasar Hukum Sebagai tindak lanjut dari konstitusi, untuk mendukung Land Restitution telah diterbitkan : a. The Restitution of Land rights Act No. 22 of 1994 Dalarn undang-undang ini antara lain dimuat tentang pembentukan commission on Restitution of Lands Rights ("Commission") (dibentuk tahun 1995), dan Land Claim Court ("LCC") b. UU No. 22 tahun 1994 tersebut telah diubah pada tahun 1997 melalui Restitution of Land Right Amendment Bill.
3. Ruang lingkup restitusi Berdasarkan konstitusi dan Act No. 22/1994, klaim dapat diajukan bila memenuhi kriteria, sebagai berikut : a. Kepemilikannya terhadap tanah dihilangkan b. Terjadi setelah 19 Juni 1913 c. Sebagai akibat dari peraturan perundang-undang atau praktek yang bersifat diskriminatif (racially discriminatirylaw), atau d. Tidak diberikan ganti kerugian yang adil
4. Cut-off date (19 Juni 1913) Alasan mengapa ditentukan tahun 1913adalah karena melalui Native Land Act tahun 1913 secara formal ditetapkan bahwa ;hak untuk memiliki, menyewa atau bahkan membagihasilkan tanah di RAS tergantung kepada penggolongan berdasarkan ras (teritorial segregation)
Klaim-klaim yang terjadi sebelum tahun 1913tetap akan ditangani, tetap ha1 itu berada di luar kewenangan LCC. Berkenaan dengan klaim-klaim tersebut, Menteri Agraria akan memberikan prioritas untuk dirnasukkan dalam program Land Redistribution.
5. Mekanisme penyelesaian a. Pengajuan klaim diajukan dalam jangka waktu 3 tahun, terhitung muali 1Mei 1995 sampai dengan 31 Desember 1998 b. Penyelesaian Maim oleh Commission dan LCC dalarn jangka waktu 5 tahun c. Penyelesaian implementasi keputusan LCC dalam jangka waktu 10 tahun Catatan : dari sekitar 68.000 klaim, data pada tanggal 30 Nopember 2003 menunjukkan bahwa 45.096 klaim sudahdiselesaikan. Dari keseluruhan klaim yang diselesaikan, untuk urban claims (39.163)kasus), 14.153memperoleh penggantian berupa tanah, 22.533 memperoleh kompensasi berupa uang dan sisanya 2.477 memperoleh penggantian dalarn bentuk lain. Dari 5.933 rural claims, 2.613 memperoleh
penggantian berupa tanah, 3.315 berupa uang dan 5 klaim diberikan ganti kerugian dalarn bentuk lain. 6. Kelembagaan dan tatacara penyelesaian Fase 1 : Pengajuan dan pendaftaran klaim Fase 2 : Penyaringan dan penerirnaan Maim Fase 3 : Penelitian berkenaan dengan klaim Fase 4 : Penilaian hak/ kepemilikan tanah yang hilang, pilihan bentuk penggantian, negosiasi, finalisasi dan kesempakatan Fase 5 : Kesempakatan dikirim ke Menteri Agraria (Department of Land Affairs/ DLA) atau LCC untuk diputuskan Fase 6 : Pelaksanaan keputusan
Catatan : 1) Pada awalnya, keputusan tentang penggantian diputuskan oleh LCC, namun karena ha1 itu mengakinatkan kelambanan, maka disarnping LCC, Menteri Agraria dapat membuat keputusan mengenai ha1 tersebut. Bila terjadi keberatan atas keputusan Menteri, pihak yang bersngkutan dapat mengadukan kepada LCC, bilamasih tetap berkeberatan, dapat membawa masalahnya kepada Supreme Court dan bahkan kepada Constitutional Court (yang merupakan peradilan tingkat akhir). 2) Kegiatan fase 1sampai dengan 4 dilaksanakan oleh Commission yang anggotanya direkrut berdasarkan masukan dari masyarakat, baik kelompok maupun perorangan. Departemen Agraria (DLA) melakukan
Kmisi NAS~ONA~ U N T U ~PENYE[ESA~AN Ko~flikAGRAR~A (KNuPKA)
-8
penyaringan calon, diajukan kepada panel yang terdiri dari beberapa menteri, dan terhadap caloncalon terpilih dilakukan wawancara. Anggota terpilih dikukuhkan oleh Menteri Agraria. Commision terdiri dari seorang Chief Commissioner dan 9 Commissioner yang mewakili tiap-tiap propinsi, masing-masing dilengkapi dengan staf pendukung.
3) LCC merupakan badan peradilan dengan wewenang khusus yang independen. Hakim-hakim direktur dari berbagai pengadilan dan lembaga ini bersifat sementara (bukan badan peradilan tetap). 4) Kedudukan DLA adalah sebagai wakil pemerintah yang bertanggungjawab terhadap pemberian penggantian. Selama 7 tahun berturut-turut, anggaran untuk landreformbagi RAS termasuk kecil yakni kurang dari 1(satu)persen dari total anggaran per tahun. 7. Alternatif bentuk penggantian
1) Pengembalian tanah semula
2) Tanah penggantian 3) Uang 4) Alternatif lain berupa : (a) kombinasi dari 1,2 dart 3 tersebut di atas, (b) land sharing, (c) bantuan pengembangan pelayanan dan infrastruktur di tempat tinggal claimant. 5) Prioritas untuk memperoleh akses dalam programprogram pengembangan untuk tanah dan perumahan.
Orientasi program landreform di RAS adalah pasar (marketled landreform).Oleh karena itu dalam hal bentuk penggantian adalah tanah, baik berupa pengembalian tanah semula atau tanah pengganti, yang harus dibayarkan oleh pemerintah kepada pihak yang menyerahkan tanahnya kepada claimant adalah harga pasar (free buyer-free seller). C. PELUANG PENYELESAIAN KONFLIK SUMBERDAYA AGRARIA MENURUT MODEL RAS DI INDONESIA 1. Tujuan: "Undoing the injustice of the fast" (bagian dari trantitional justice) 2. Komitmen Pemerintah :
Perlu budget, fasilitas dan lain-lain 3. Dasar hukum : TAP MPR RI No. lXMPR/2001 UU (sudah dimuat dalam draft RUU Penyempurnaan UUPA dalam Bab tentang Penyelesaian Sengketa Sumber Daya Agraria, Pasal 50 ayat (3) : "Penyelesaian sengketa sumberdaya agraria secara tuntas dan sekaligus dilakukan oleh suatu kornisi dan Badan Peradilan Khusus yang akan dibentuk oleh undang-undang") 4. Ruang lingkupmiteria :
- Konflik apa saja?
-
Siapa yang boleh mengajukan (Perorangan, kelompok, masyarakat, masing-masing, diwakili?
- Bukti-bukti yang diperlukan ? - Perlu cut-off date ? Dasar ? 5. Mekanisme Penyelesaian :?
6. Kelembagaan : - Komisi Penyelesaian Konflik (rekrutrnen, ruang lingkup tugas dan tanggung jawab) - Pengadilan (khusus) Penyelesaian Konflik (perlukah, rekrutmen, dll) - Peran pemerintah (perlukah, lembaga mana, bagaimana perannya)? - Dan lain-lain
7. Alternatif bentuk penggantian dan cara penentuannya :?
Pelaksanaan restitusi di RAS tindakan tanpa kritik. Belajar dari pengalaman RAS, setidaknya dapat dikaji kemungkinan penetapannya di Indonesia, tentunya dengan berbagai modifikasi. Tanpa adanya suatu kornitmen untuk menyelesaikan konflik sumberdaya agraria melalui suatu upaya khusus, harga yang harus dibayar akan terlampau mahal untuk kerugian kita bersama sebagai bangsa yang kurang peduli untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Jakarta, 14 Januari 2004
KONFLlK AGRARIA DAN RESTITUSI TANAH D l AFRIKA SELATAN
01. PROGRAM RESTITUSI TANAH
Program Land Restitution merupakan upaya untuk memulihkanhak-hakseseorangatau sekelompokatas sebidang tanah yang mereka kuasai tatapi diabaikan akibat kebijakan diskrhhasi rasial. Dalam beberapa ha1program inijuga secara khusus bertujuan untuk menyediakansarana pendukung bagi proses rekonsiliasi dan pembangunan m t e Paper, 1997 : x). Diduga ada sekitar 3,5 juta dan keturunannya yang telah menjadi korban penggusuran akibat diskrimhsi rasial selama era pemerintahan apartheid w t e Paper, 1997 : 29) yang membuat program restitusi tanah menjadi sangat strategisbaik dari sisi kepentingan untuk social healing dan rekonsiliasi maupun untuk memenuhi tujuan pokok dari program land reform secara keseluruhan. Program ini mulai bekerja sejak tahun 1994 setelah dikeluarkannya Restitu fion of Land Rights Act 22/ 1994 yang berpengang pada sisi Konstitusi Sementara 1994. Konstitusi Sementara ini menyediakan kerangka hukum yang mendasar untuk dipulihkannya hak-hak orang/ sekelompok orang atas tanah, dan memerintahkan lembaga legislatif untuk menyusun undang-undang yang memungkinkan diakuinya korban-korban penggusuran yang terjadi setelah tahun 1913 dalam bentuk dikembalikannya tanah-tanah mereka atau bentu-bentuk perlakuan lainnya (White Paper, 2997 : 28).
Berdasarkan Restitution of Land Rights Act 221 1994 itu, kemudian dibentuklah Commission on Restitution of Land Rights (Komisi Restitusi Hak atas Tanah) dan Land Claims Court (Peradilan Tanah). Berikut ini adalah gambaran umum strategi implementasi dari program restitusi tanah di Afrika Selatan. S trategi Implemen fasi Program Aes fitusi Tanah
Tujuan: Memulihkan dan/atau mengembalikan hak-hak orang/ sekelompok orang yang tergusur sejak tahun 1913 yang terjadi akibat adanya kebijakan dan praktek hukum yang disriminatif rasial, serta untuk mendorong terciptanya keadilan dan rekonsiliasi. Outputs: Pemerintah memiliki batasan-batasan yang membuat adanya beberapa hasil yang spesifik di setiap blok batas-batas tersebut, yakni :
+ +
Periode 3 tahun untuk penerimaan klaim;
+
Periode 10 tahun untuk menuntaskan seluruh pelaksanaan putusan-putusan pengadilan yang timbul akibat adanya tuntutan/klaim.
Periode 5 tahun bag Komisi maupun Peradilan Tanah unttlk menyelesaikan seluruh tuntutan / klaim yang diterima;
Indikator-indikator Pencapaian Hasil: Program akan dinilai keberhasilan berdasavkan sejumlah indikator berikut :
+ jika
sejumlah pihak yang mengajukan tuntutan yang mengalami penggusuran/perampasan tanah setelah tahun 1913 di bamah kebijakan rasial rnemperoleh penggantian . (restitusi) dalam bentuk tanah atau yerlakuan-perlakuan lninnya yang sesuai dun bisn diterima;
+
jika proses restitusi tidak menimbulkan persengketaan atau konfik baru yang tidak dapat diselesaikan menurut kerangka hukum undang-undang restitusi hak atas tanah;
+
jika nilai dari (pemberian) restitusi tanah mengzkuti kecenderungan harga yang berlaku dalam pasar tanah umum; dan
+
jika kerangka kerja dun prosedur-prosedur lainnya yang memuaskan dapat terbentuk bagi tuntutan -tun tutan yang tidak sesuai dengan kerangka hukum yang ada/berlaku.
Aktivitas-aktivitas: Capaian-capaian di atas menuntut tersedianya suatu kapasitas dun modus operandi yang memuaskan di dalam tubuh Department of Land Afirs untuk menyokong kerja-kerja Komisi dun putusan-putusan peradilan. Dalam ha1 ini ada beberapa aktivitas program yang pokok, yakni : 1) Memproses klaim atas tanah :Komisi akan mengumumkan proses untuk melakukan tuntu tan/klaim atas tanah, membantu para penuntut untuk menyusun/membuat tuntutan dun memilih prioritas tuntutan yang akan diproses selanjutnya; Komisi akan melakukan penyelidikan dun mediasi terhadap tuntutan yang masuk, menyelesaikannya-baik yang berupa tuntutan perorangan maupun kelompok-dengan cara memfasilitas proses penyelesaian secara negosiasi. Departement of Land Affairs akan mezi7akili kepentingrrn pihak pemerintah dun memberi masukan kepada Menteri untuk kelayakan pemberian penggantian (restoration).Departemen juga akan membuat Iznsil-hasil penelitiannyn tersedia bagi komisi dan akan berkoordinnsi dengnnnya dnlnm membunt kebijakan penggnn tian.
2) lmplementasi putusan pengadilan : Departemen akan menjalankan putusan pengadilan, baik secara Zangsung maupun bekerjasama dengan pihak lainnya dun akan memonitor pelaksanaannya.
IMENTERI 1 Keputusan I
Kemungkinan tentang : 1. Pemulihan Tanah Negeri 2. Penerirnaan Tanah Pribadi 3. Alterinatif Tanah Negara 30 Hari
'
Pertimbangan : o Pembagian wilayah o Pembangunan Pedesaan o Hal-ha1 lain o Berbagai kerusakan
b/
LAPORAN
(1) Penentuan untuk : - Restitusi - Kompensasi - SertifikatTanah - Pernyataan - Hal-ha1 lain yang berkaitan (2) Posisi Hukum (3) Bukti-bukti pengakuan Kesaksian - Keahlian (4) Konferensi Pra Pemeriksaan pengadilan (5) Aplikasi non restitusi preemptive (6) Perintah Pengadilan (7) Review dari Komisi dan Keputusan Menteri. (8) Banding: - Divisi Peninjau - Pengadilan Konstitusi
-
KELAPA KOMISI REGIONAL
I. Keterterimaan klaim 11. Memperhatikan Gazette 111. Saran kepada para pihak IV. ~ e n ~ e r a h kiaim a n kepada pengadilan V. Investigasi terhadap klaim VI. Proses mediasi klaim VII. Informasi kepada publik VIII. Tanpa penyitaan
(i) Individu/perwakilan komunitas (ii) Keturunan langsung pasangan
(iii) Klaim yang berbasis ras untuk pengambiian hak dahm 3 tahun. (iv) Seluruh calon
Faktor-faktor yang diperhatikan di dalam pengadilan : (a) Restitusi karena pengambilan hak di era Apartheid @) ~imulihanterhadap tindakan pelanggaran HAM di masa hlu. (c) Keseimbangan dan keadilan (dl Mennhindari kekacauan sosial (ej ~ e n c i n aaksi berbagai pihak terhadap tanahnya (f) Faktor lain yang sesuai dengan konstitusi, khususnya ketentuan yang sama.
3) Tuntutan yang berada di luar kerangka peraturan yang ada : Departemen akan memberikan kerangka kerja dan prosedur untuk tuntutan-tuntutanyang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. 4) Komunikasi :Departemen akan mempublikasi proses-proses restitusi dan melakukan koordinasi aktivitas dengan pihakpihak/organisasi - organisasi lainnya yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan adanya tuntutan terlibat di dalam program.
Dari gambaran ini jelas bahwa hubungan yang terjadi akibat adanya tuntutan antara korban penggusuran paksa dengan pemerintah adalah hubungan hukum antara pihak penuntut (= rakyat) yang dituntut (= pemerintah). Dari model penyelesaian konflik semacam ini pula dapat kita tangkap dengan jelas hasil negosiasi dan kompromi dari pihak-pihak yang bertikai menjelang kemerdekaan negara ini di tahun 1994. Artinya, kesediaan pemerintah baru untuk membayar segala resiko atas tuntutan yang datang dari warganya di satu sisi memang menujukan adanya suatu proses peralihan kekuasaan yang terjadi dengan damai dan berbasis pada kompromi, tetapi di sisi lain juga mencerminkan bagaimana pihak-pihak yang telah sangat diuntungkan dari proses penindasan di masa lalu tidak dikenakan " hukuman" apa pun, kecuali tejadi proses yang pararel di dalam " forum Kebenaran dan Rekonsiliasi" untuk "memperhitungkan" pelanggaran-pelanggaranHAM yang difasilitasi oleh Truth and Reconciliation Commission.
Tahapan-tahapan dalamProses Restitusi Hak atas Tanah Ada 6 tahun/fase yang harus ditempuh oleh seseorang atau sekelompok orang yang hendak memperoleh pengaKmisi NAS~ONA~ U N T U ~PENYE~ESA~AN Ko~flikA ~ R A R (KNuPKA) ~A
171 Y*"
"i-i-
kuan dan penggantian terhadap haknya atas sebidang tanah tertentu yang terampas pada masa pemerintah apartheid. Keenam fase itu adalah : (1)Pengajuan dan Registrasi Klaim; (2) Seleksi dan Kategorisasi Klaim ;(3) Penentuan Kualifikasi atas Tuntutan; (4) Proses Negosiasi ; (5) pengambilan Keputusan ; dan ( 6 ) Pelaksanaan Keputusan. Keseluruhan proses ini di dalamnya penuh dengan lika-liku dan dalam beberapa tingkatan menjadi sangat birokratis serta sudah pasti memakan waktu. Bisa jadi satu klaim tidak terselesaikan meskipun sudah diproses hingga memakan waktu 4 tahun (Brown, et-al.,1998). Hal ini pula yang menjadi salah satu penyebab kekecewaan dan berkembangnya frustrasi di tengah masyarakat atas keberhasilan program ini secara keseluruhan. Berikut ini adalah gambar alur proses penyelesaian tuntutan FASE PERTAMA Pengajuan dan Registrasi
FASE KEDUA
Seleksi dan Kategorisasi (Fase ini meliputi :Pemeriksaan awal, Pilihan,Pendahuluan, Pemeriksaan lanjutan, Dugaan awal, Pengelompokan dan Prioritisasi)
FASE KETIGA Penentuan Kualifikasi berdasarkan Bab 2 dari UU Restitusi (Fase ini meliputi : Penilaian terhadap bentuk putusan dan Penilaian terhadap putusan yang diajukan.
FASE KEEMPAT Proses Negosiasi (Fase ini meliputi : Rencana program untuk mengaju, Perwakilan dari Pengaju dibutuhkan, Penelitian untuk mencari tambahan informasi yang dibutuhkan, Penilaian, Nilai Klaim (MVOC), Pembuktian, Perencanaan Perencanaan pendahuluan untuk tata guna lahan dan pengembangannya, Laporan pendahuluan dan posisi negosiasi, Persiapan untuk menghasilkan mandat, Mempersiapkan memorandum. Mengeluarkan persetujuan dari menteri)
FASE KELIMA Pengambilan Keputusan (Perjanjian ditandatangani berdasarkan Keputusan Menteri bagian 42D atau keputusan yang dibuat oleh Land Claim Court dalam bentuk putusan pengadilan)
FASE KEENAM Pelaksanaan Keputusan ( Perencanaan tanah terperinci, Pemberian tanah, Pembiayaan pembangunan, Hibah, Dukungan langsung paska pelaksanaan keputusan. Kompensasi dalam bentuk uang atau lainnya untuk kasus-kasus dimana pengaju tidak meminta tanah sebagai berikut
Seperti telah disinggung di muka putusan-putusan penerimaan tuntutan yang menjadi restitusi dari hak atas tanah pihak penuntut dapat berbentuk :(1)dikembalikannya secara faktual penguasaan atas tanah yang diklaim sebagai haknya3; (2) diberikan tanah lain di lokasi lain sebagai ganti atas tanah mereka yang dirampas di masa lalu; (3) atau pemberian penggantian dalam bentuk uang ; (4) serta sejumlah pemberian laimya yang seringkali menyertai 3 bentuk penggantian sebelumnya yang pada umumnya berupa fasilitas-fasilitas untuk memelihara tingkat produktivitas tanah atau pihak si penerirna penggantian.
Dalam kasus dimana pihak pengaju klaim/tuntutan tidak dapat menerima putusan yang dibuat oleh Komisi yang kemudian dikukuhkan oleh Pengadilan, maka mereka bisa mengajukan banding kepada Pengadilan Tanah (Land Claims Court). Jika kemudian Putusan Pengadilan ini pun masih tidak memuaskan mereka dapat mengajukan banding terakhir ke Mahkamah (Pengadilan) Konstitusi (Constitution Court). Putusan Mahkamah (Pengadilan) Konstitusi akan merupakan putusan akhir yang tidak bisa diganggu-gugat lagi. Hal yang sama juga berlaku bagi pihak pemerintah yang merasa tidak puas dengan putusan yang diambil oleh Pengadilan Tanah. Mereka sebagai wakil negara atau pihak tertuntut dapat mengajukan banding ke Mahkamah (Pengadilan) Konstitusi untuk mendapatkan penyelesaikan akhir. Pada hakekatnya, Pengadilan Tanah juga akan bekej a untuk memproses berbagai sengketa dan konflik lainnya yang timbul akibat pelaksanaan program land reform. Jadi lembaga ini tidak hanya bekerja untuk dan/atau dalam skema program restitusi tanah saja. Rumitnya lika-liku proses penyelesaian suatu tuntutan akibat berbagai kendala administrasi, kapabilitas kelembagaan -baik di Komisi maupun Departemen, serta prosedural hukum di pengadilan membuat program ini berjalan sangat lambat dan mencapai hasil yang jauh dari harapan pada 5 tahun pertama pelaksanaan program. Sebagai contoh, pada bulan Agustus 1997 atau setelah 3 tahun program berjalan, dari sekitar 16.000klaim yang masuk dan bisa diproses di Komisi, hanya 5 yang bisa dimasukan ke Pengadilan Tanah untuk proses penetapan
hukumnya, dan hanya 1(satu!) yang bisa diratifkasi oleh pengadilan (Brown, 1998 : 7). Hasil ini membuat diadakannya perbaikan hubungan kerja antara Komisi dan Departemen of Land Affairs (DLA).Meskipun demikian, satu tahun kemudian, sampai April 1998 atau setelah 4 tahun program ini berjalan, hanya 28 klaim yang dapat diselesaikan ! (Hargreaves dan Eveleth, tt : 4). Lambatnya proses ini membuat satu NGO yang selama ini mendorong terlaksana land reform di Afrika selatan, yakni National Land Committee membuat pertemuan khusus dengan Menteri Land AljCirs untuk memulai suatu proses identifikasi kebijakan dan mencari jalan keluar dari sejumlah kecamatan yang terjadi (Harreaves dan Eveleth, tt :4).Hasilnya adalah diubahkan mekanisme pengambilan keputusan atas klaim yang masuk. Sejak tahun 2000, Menteri Land Affirs dapat mengambil keputusan hukum atas hasil kerja Komisi. Jika terjadi keberatan -keberatan, maka baru lah pihak yang berkeberatan mengjukan banding ke Pengadilan Tanah dan seterusnya ke Mahkamah Konstitusi jika tetap merasa tidak puas terhadap putusan banding dari pengadilan.4 Berdasarkan aspek ke wilayah dan karakter pihakpihak vang mengajukan klaim dapat dibedakan adanya dua jenis klaim, yakni klaim atas tanah-tanah yang berada di pedesaan dan klaim atas tanah-tanah yang berada di wilayah perkotaan. Adapun kriteria bagi tuntutan tang dapat diterima dan diproses lebih lanjut dengan penyelidikan, menurut Restitution of Land Riglzts Act pasal 2 dan Konsitusi Sementara pasal 121 (4) adalah sebagai berikut (White paper, 1997 :51):
1. Mengalami penggusuran atau pengusiran dari tanah yang ditempati atau diubahkannya; 2. Memegang hak atas tanah tersebut;
3. Penggusuran/pengusiran terjadi setelah tanggal 19 Juni 1913 ; 4. Pengusiran/ penggusuran terjadi sebagai akibat atau menjadi objek lanjutan dari hukum yang menerapkan diskriminasi rasial ;atau
5. Telah menerima kompensasi atau ganti kerugian yang dianggap tidak adil. Jika dilihat dari pembagian wilayah kasus, maka tabel 02. KEBERAPA KRITISISME TERHADAP PROGRAM RESTITUSI TANAH
Berikut ini memperlihatkan bahwa sesungguhnya jumlah kasus-kasus yang ada di perkotaan menyumbang sangat besar dalam proporsi penyelesaian klaim. Apa maknanya, hasil diskusi dengan mantan Kornisioner dari Propinsi Kwazulu-Natal dan juga dengan sejurnlah pejabat di Departemen of Land Afirs terungkap kenyataan bahwa pemberian penggantian dalam bentuk uang untuk kasuskasus tuntutan yang berasal dari tanah di perkotaan lebih memudahkan pemerintah dalam melakukan eksekusi, dibanding dengan tuntutan atas pengembalian tanah atau pemberian tanah di lokasi lain yang kebanyakan menjadi tuntutan dari pihak penuntut dalam kasus-kasus di daerah pedesaan. Hal ini akan membawa kita pada bagian berikutnya dari makalah ini, yakni sejumlah kristisme terhadap pelaksanaan program restitusi tanah di Afrika
Selatan yang akan segala berakhir pada tahun 2005 mendatang. > Apa yang diberikan dari program restitusi ? Tanah atau Uang ? 03. BEBERAPA IMPLIKASI, CATATAN D A N PELAJARAN DARI AFRIKA SELATAN UNTUK INDONESIA Apa hubungan antara land restitution dengan land reform yang hendak menata ulang penguasaan atas tanah, jika teryata kompensasi dalam bentuk uang yang lebih dominan?
> Penentuan harga kompensasi yang didasari pada harga pasar atas tanah pada saat ini mencerminkanbekerjaanya prinsip pasar tanah ketimbang penataan ulang penguasaan tanah ! P Jumlah budget yang sangat kecil untuk program land
restitution (hanya sekitar 1% dari total anggaran belanja negara tiap tahunnya) menunjukan kebalikan dari tekad awal untuk melaksanakan land reform seperti yang diyatakan oleh Mandel (lihat kutipan awal)
> Dalam kerangka hukum pelaksanaan program; > Aspek birokratisme program > Komitrnen negara: P
Penyelesaian sengketa dan/atau konflik agraria untuk apa tujuan utamanya ? "Sekedar" menyelesaikan konflik yang ada dengan cara pemberian ganti rugi atas peristiwa hilangnya hak-hak ekonomi seseorang/sekeIompok orang atau hendak memberi kesempatan yang lebih luas
kepada orang-orang tersebut mengembangkan kehidupan sosial, ekonomi dan budayanyadengan merestorasi keberadaan tanah yang menjadi haknya?
> Bagaimana program restitusi akan menghadapi tekanan kekuatan-kekuatan bisnis yang pada saat ini mendominasi penguasaan tanah di Indonesia dan yang dalam kenyataannya telah melakukan pelanggaran HAM bersama-sama dengan negara pada 'masa lalu' dan masa kini ? (Mengingat keferbafasan fempaf, makalah Dianfo Bachriadi hanya dicuplik sebagian saja).
PENGALAMAN INDONESIA DALAM PENY ELESAIAN KONFLIK AGRARIA Sekrefaris Jenderal KPA
Di masa lalu, yakni di masa-masa akhir pemerintahan almarhum Presiden Sukarno, dibentuk suatu lembaga peradilan yang khusus, yaitu Pengadilan Landreform, melalui Undang-Undang No. 21 tahun 1964. Pengadilan ini disusun untuk menjawab persoalan yang berkembang di lapngan akibat program land reform yang seringkali menimbulkan sejurnlah persoalan penetapan tanah-tanah yang menjadi objek land reform dan kemudian ketepatan dalam pembagiannya. Karena itu, Pengadilan Landreform berwenang pengadili perkara-perkara perdata, pidana, dan administratif yang timbul akibat pelaksanaan program land reform 3. Dengan diadakannya Pengadilan Landreform, Negara pada waktu itu sedang menyediakan ruang bagi pembuktian secara hukum melalui pengadilan atas sengketa-sengketa penentuan hak atas sumber-sumber agraria-tanah pada khususnya. Penyediaan ruang ini merupakan manifestasi dari penegakan aspek judisial atas pelaksanaan undang-undang yang dalam ha1 adalah Undang-Undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-Undang Pokok Agraria/ UUPA). Tingkat partisipasi masyarakat dalam Pengadilan Landreform ini dapat dilihat dari ikut sertanya wakil-wakil Kmisi Nnsim~lU N T U ~PENYE~SA~AN KmHik A ~ R A R(KNuPKA) ~A
4
organisasi petani sebagai hakim anggota dalam Pengadilan Landreform-baik di tingkat Pusat maupun Daerah. Di sisi lain, ha1 ini memperlihatkan suatu dinamik politik pada masa itu, yang memberikan ruang partisipasi politik yang lebih luas bagi organisasi-organisasi tani. Menyusul pergantian pemerintahan ke pemerintahan Orde Baru, melalui Undang-Undang No.7 tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform, lembaga peradilan khusus ini dihapuskan. Akibatnya, persoalan sengketa agraria dikembalikan ke pengadilan umumdalam ha1 ini adalah Pengadilan Negeri dan pengadilanpengadilan setingkat di atasnya. Dalam kurun waktu sejak tahun 1970 hingga saat ini, telah terjadi banyak sekali sengketa dan konfik agraria, 4 terutama akibat dianutnya politik agraria Orde Baru yang berpopokkan pada pengurasan kekayaan alam. Konfik agraria tersebut seringkali diadukan ke lembaga-lembaga non-pengadilan, seperti Komnas HAM dan DPR(Dewan Perwakilan Rakyat). Hal ini memperlihatkan bahwa lembaga pengadilan yang ada dianggap tidak cukup memadai untuk menangani sengketa-sengketa yang muncul. Patut pula diingat akibat kelambanan pemerintah menangani konflik agraria yang tersebar di seluruh Indonesia ini, rakyat (kaum tani, nelayan, masyarakat adat, kaum miskin kota), telah mengambil jalannya sendiri, yang seringkali menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan demikian dimensi memberikan rasa keadilan bagi korban-korban konflik agraria sangat penting untuk dimasukan dalam kerangka pembentukan mekanisme dan kelembagaan penyelesaian konflik agraria di Indonesia.
Sejak munculnya Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, tema-tema untuk penyelesaian konflik agraria sebagai integral dari dijalankan program Pembaruan Agraria di Indonesia, kembali mendapatkan tempat dalam pembicaraan para pembuat kebijakan di bidang agraria. Momentum ini tentu mendapatkan sarnbutan dari kalangan-kalangan yang selama ini mempromosikan Pembaharuan Agraria dan penetapan prinsip-prinsip baru dalam pengelolaan sumber daya alam. Karena TAP MPR No. IX/2001 ini dengan jelas mengakui bahwa kebijakan agraria di masa lalu telah menimbulkan konflik agraria yang berkepanjangan, kerusakan ekologis yang tak terpulihkan, dan ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah dan sumbersumber agraria yang lain. Dengan demikian, gagasan tentang pembentukan Komisi Nasional untuk Peyelesaian Konflik Agraria di Indonesia, yang saat ini sedang dipromosikan oleh Kornnas HAM, perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan yang kuat dari kalangan pemerintah, terutama dari Badan Pertanahan Nasional, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Sumberdaya Energi dan Mineral, Departemen Pertanian, Kementerial Lingkungan Hidup, serta lembaga-lembaga negara lain yang terkait dengan soal tanah dan sumber-sumber agraria yang lain. Demikian pula, gagasan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria ini, perlu diletakan dalam keseluruhan mandat untuk pelaksanaan Ketetapan MPR No.IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Oleh karena itu, pembentukan Kornisi Nasional untuk penyelesaian Konflik
Agraria penting ditempatkan sebagai upaya lebih lanjut untuk mendorong terbentuknya satu mekanisme dan kelembagaan transisional guna mempersiapkan terjadinya infrastruktur pelaksanaan program Pembaruan Agraria. Mekanisme dan kelembagaan sebagai upaya lanjutan ini dapat kita sebut misalnya sebagai Komite Nasional untuk Pembaharuan Agraria (KNPA). 1 Lihat selanjutnya tulisan Dianto Bachriadi, Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakkan Lembaga Peradilan Agraria yang Independen, Kertas Posisi KPA No.002/1998, Bandung : Konsorsium Pembaruan Agraria, 2001 (cetakan ke-2), hal. 14-21.
2 Sekretaris Jenderal KPA 3 Lihat antara lain, data tentang konflik agraria yang diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), maupun yang dikumpulkan oleh jaringan-jaringan lain, serta yang direkam oleh badan-badan pemerintah, misalnya oleh Badan Pertanahan Nasional. Data yang dikumpulkan KPA sendiri menunjukkan ada sekitar 1.753 kasus yang mencakup 10.892.203 hektar luas areal sengketa di 16 propinsi pada data entry Juli 2002. Konflik agraria yang direkam dalam data base tentang konflik yang dikembangkan KPA ini meliputi periode tahun 1970 sampai tahun 2000. 4 Lihat antara lain, data tentang konflik agraria yang diterbitkan oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA),maupun yang dikumpulkan oleh jaringan-jaringan lain, serta yang direkam oleh badan-badan pemerintah, misalnya oleh Badan Pertanahan Nasional. Data yang dikumpulkan KPA sendiri menunjukkan ada sekitar 1.753 kasus yang mencakup 10.892.203 hektar luas areal sengketa di 16 propinsi pada data entry Juli 2002. Konflik agraria yang direkam dalam data base tentang konflik yang dikembangkan KPA ini meliputi periode tahun 1970 sampai tahun 2000. [I
PEMERINTAH BARU DAN KONFLIK AGRARIA*)
KONFLIK agraria di Indonesia merupakan sod super serius. Namun penyelenggara negara tak pernah serius menanganinya. Dampaknya, pemenuhan rasa keadilan bagi korban kian mengawang-awang.Absennya keadilan agraria menjadi kisah berulang setiap kita merayakan Hari Tani Nasional, 24 September. Pembentukan pemerintahan baru melalui Pemilu 2004 menghadirkan peluang untuk mendesakkan penyelesaian konflik agraria ke tubuh negara. Hasil Pemilu 2004 layak menjadi pembuka jalan penyelesaian konflik agraria sebagai bagian pembaruan agraria. Untuk itu diperlukan keutuhan gagasan bagaimana konflik agraria diselesaikan, sekaligus strategijitu pelibatan seluruh komponen bangsa yang terkait di dalarnnya. Artikel ini mengurai realitas konflik agraria di Indonesia kini, dikaitkan urgensi pembaruan agraria. Dikupas pula gagasan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA), mengacu naskah akademik pembentukan KNuPKA (Juli 2004) karya Tim Kerja yang dibentuk Komnas HAM. Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); anggota SC merangkap Koordinator OC Tim Kerja Menggagas Pembentukan KNuPKAKomnas HAM. Artikel Opini Kompas, Jum'at, 24 September 2004
Konflik agraria Konsorsium Pembaruan Agraria merekam 1.753kasus konflik agraria struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil "melawan" dua kekuatan lain di masyarakat, yakni: sektor bisnis dan/atau negara. Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/ kelurahan dan 1.355kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK.Kasus sengketa dan/ atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi d i sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus). Posisi negara (yang direpresentasikan lembaga pemerintah, badan-badan usaha milik negara/ daerah, maupun institusi militer) kerap muncul sebagai "lawan" rakyat. Tampilnya pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering terjadi pada berbagai jenis sengketa: pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan,
perkebunan besar, perumahan dan kota baru, bendungan dan sarana pengairan, sarana wisata, areal kehutanan produksi, dan sarana militer. Perusahaan swasta juga kerap menjadi lawan sengketa rakyat pada kasus perkebunan besar, perumahan dan kotakota baru, kawasan kehutanan (untuk tujuan produksi maupun konservasi), pengembangan kawasan industri dan pabrik.
Relevansi pembaruan agraria Konflik agraria adalah salah satu tema sentral wacana pembaruan agraria. Christodoulou (1990) mengatakan, bekerjanya pembaruan agraria tergantung watak konflik yang mendorong dijalankannya pembaruan. Artinya karakteristik, perluasan, jumlah, eskalasi, dan de-eskalasi, pola penyelesaian dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh konflik-konflik agraria di satu sisi dapat membawa dijalankannya pembaruan agraria (menjadialasan obyektif dan rasional), di sisi lain menentukan bentuk dan metode implementasi pembaruan sendiri. Konflik agraria mencerminkan keadaan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan alam lain, seperti kaum tani, nelayan, dan masyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas tanah adalah syarat keselamatan dan keberlanjutan hidup. Namun, gara-gara konflik agraria, syarat keberlanjutan hidup itu porakporanda. Kornitmen politik untuk menyelesaikan segala konflik menjadi prasyarat yang tidak bisa ditawar. Dalam kerangka politik hukum, sebenarnya kita sudah punya Ketetapan
MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Ketetapan MPR ini dapat menjadi kerangka pokok upaya menyelesaikan aneka konflik agraria yang diwariskan rezim masa lalu yang telah dan masih berlangsung hingga kini.
Membangun Jembatan Dari macetnya penyelesaian konflik agraria selama ini, gagasan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) dikedepankan. Tetapi, pembentukan KNuPKA bukan tujuan akhir. Pem-bentukan KNuPKA adalah jembatan menuju pelaksanaan menyeluruh pembaruan agraria. Kita dapat mengacu Tap MPR No V/ MPR/ 2003 tentang Saran kepada Lembaga-lembaga Negara. Dituangkan, "menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil mulai dari persoalan hukum sampai dengan implementasinya di lapangan ... , serta: "Membentuk lembaga atau institusi independen lainnya untuk menyusun kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik agraria dan sumberdaya alam, agar memenuhi rasa keadilan kelompok petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat pada umumnya sehingga berbagai konflik dan kekerasan dapat dicegah dan ditanggulangi; Mempercepat pembahasan RUU pelaksanaan pembaruan agraria,. ... RUU penataan struktur agraria serta RUU penyelesaian konflik agraria dan sumberdaya alam" . Jika terbentuk, KNuPKA diharapkan menyebarluaskan gagasan, prinsip, dan tatacara penyelesaian konflik agraria yang berkeadilan dan dalam rangka menjalankan N
pem-baruan agraria. Perlu juga disusun prosedur pendaftaran tuntutan dan verifikasinya, serta metode penyelesaian konflik yang tepat. Tak kalah penting pendataan konflik agraria yang terjadi selama ini, serta menerima pendaftaran dan memverifikasi aneka tuntutan kelompok masyarakat guna penyelesaian konflik agraria yang dialaminya. Pada akhirnya, KNuPKA harus mengupayakan penyelesaian konflik dengan cara alternatif (alternative dispute resolution), mediasi, negosiasi, arbitrase, dan/atau mengeluarkan rekomendasi penyelesaian atas sengketa/ konflik itu. Dalam prosesnya, dilakukan tinjauan ke lapangan untuk verifikasi maupun penyelesaian sengketa dengan cara alternatif. Berbarengan dengan itu, KNuPKA harus menyusun RUU Penyelesaian Konflik Agraria yang di dalarnnya terkandung muatan pembentukan Pengadilan Khusus Agraria, serta menyiapkan RUU Pembaruan Agraria yang di dalamnya terkandung muatan tentang kelembagaan pelaksana pembaruan agraria. Setelah pemilu Konstalasi politik setelah Pemilu 2004 hendaknya membuka peluang bagi upaya penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak korban konflik agraria. KNuPKA kiranya dapat dijadikan kendaraan penghubung menuju implementasi pembaruan agraria menyeluruh. KNuPKA adalah gagasan yang layak tempuh pada konteks Indonesia saat ini. Untuk itu, penyelesaian konflik agraria sewajarnya menjadi salah satu agenda pemerintahan baru hasil Pemilu 2004. Siapa pun yang terpilih menjadi Presiden RI (dan
anggota parlemen di pusat maupun daerah), hendaknya memperhatikan urgensi dan kemanfaatan penyelesaian konflik agraria bagi pengembangan seluruh bangsa di masa datang. Mumpung merayakan Hari Tani, mari saling merangsang kepedulian bagi kaum penghasil makanan yang jumlahnya mayoritas di negeri agraris ini. Kepedulian elite politik hasil Pemilu 2004 untuk menyelesaikan konfik agraria kiranya dapat menjadi pembeda antara dirinya dengan rezim penguasa lampau yang gemar menciptakan dan melanggengkan konflik agraria di seluruh Indonesia. Selamat Hari Tani ke-44.
DAFTAR PUSTAKA SK Ketua Komnas HAM Nomor 41/KOMNASHAM/ XII/2003 tentang Pembentukan Tim Kerja Menggagas Pembentukan Komnas untuk Penyelesiaan Konflik Agraria, tertanggal4 Desember 2003. Buku bejudul "Pokok-pokok Pikimn Mengenai penyelesaian Konflik Agraria, Hasil Lokakarya Persiapan M e n u j u Pembentuhn Komnas untuk Penyelesaian Konfiik Agraria (KNtrPKA)", Carita-Banten, 13-14 Januari 2004, disusun Tim Kerja, Maret 2004. Laporan hasil konsultasi dan konsolidasi di daerahdaerah, dan kompilasi laporan kegiatan "Konsultasi dun Konsolidasi Organisasi Rakyat di Daerah dalam Rangka Promosi KNuPKA", disusun oleh Erpan Faryadi dari KPA. Laporan hasil kajian mekanisme penyelesaian sengketa/ konflik agraria menurut perundang-undangan, disusun oleh Wiwiek Awiyati dan HuMA. Laporan hasil kajian pemetaan kasus konflik agraria, disusun oleh Syaiful Bahari dari Bina Desa. Laporan hasil kajian yurispurdensi mengenai konflik agraria, disusun oleh Djoko Soegianto dari Komnas HAM. Laporan seminar dan lokakarya nasional bertema "Mensegernkan Pembentukan Komisi Nasional u n t u k Penyelesaian Konfilk Agraria (KNUPKA) Sebagai Bapnn dari Usahn Pelnenulzan Hak Asasi Manusia ( H A M ) dan Persiapnn Pelaksnnaan Pembarzlan Agrnria di Indonesia ",di Hotel .Acacia Jakarta, 22-23 Juni 2004. iisi NAS~ONA~ U N T U ~PENYE~SA~AN Ko~flikA ~ R A R (KNUPKA) ~A
189
8. Naskah akademis berjudul "Pen yelesaian KonflikAgraria dan Usulan Pelembagannnya di Indonesiaff,disusun Tim Kerja Menggagas Pembentukan KNuPKA - Komnas HAM, Juli 2004. 9. Risalah Ringkas Audiensi Tim Kerja Menggagas KNuPKA Komnas HAM dengan Presiden RI, 26 Juli 2004. 10. Sejumlah notulensi internal rapat tim kerja. 11. Laporan keuangan. [I
INDEKS A Abdul Hakim Garuda Nusantara ad hoc 33 advokasi 43 Affairs 163 Afrika Selatan 11 agrarian changes 93 agrarian justice 52 Agrarian Reform 51 Agrarische Wet 119 akademi 2 akomodasi 100 Alexis Tocqueville 56 alternatif 1 amandemen 13 Amerika Utara 119 Amidhan 5 Analisis 71 Antropologi 123 Arbitrase 68 arbitrasi 31 argumentasi 25 Audiensi 30 Aztek 119
B Banten 11 Belanda 119 Benjamin Mangkudilaga 73 birokrasi 53 BORA 15 Brasil 119
C Carita 11 Center 55 Christodoulou 88 Cianjur 73 Cimacan 73 Commission 25, 162 Constitution Court 174 Constitutional Court 163 Cortes 119
D de facto 75 de jure 75 demokratis 33, 84 Dianto Bachriadi 25 Qoko Soegianto 11 E efektif 35 ekologis 136 eksekusi 176 eksekutorial 69 eksploitasi 89 eksploitatif 6 ekspresi 50, 87 Empiris 71 empiris 158 Erpan Feryadi 11 esensial 2 eskalasi 88 Eveleth 175
F faktual 26 fasilitas 9, 59 Fenomena 77 feodalisme 96 Filosofis 11 formal 2
J Jakarta 11 Jawa Barat 24 Jawa Timur 24
K Kalimantan Tengah 66 KNuPKA 1 kolektif 31, 39 kombinasi 17 komersial 11 komoditi 11 kompensasi 129 kompeten 2 Kompleksitas 90 Konflik 1 kongkrit 43 konprehensif 126 Konsekuensi 84 konsolidasi 4, 11, 23 Konsultasi 11, 23 konteks 1 Kontradiksi 6 konvensional 95 koordinasi 39 koordinat 136 kristisme 176 Kualitas 17 kultural 85
G Gajah Mada 48 globalisasi 91 Gowa 150 Gunawan Wiradi 94
H Hamzah Haz 29 Hari Sabarno 29 Harreaves 175 I ideal 17 Implementasi 83 . Implikasi 83 independen 16, 33 Inggris 119 Inisiatif 1 inisiatif 2 inisiator 4 institusi 33 Instrumen 17 intensitas 57 interest based 85 intervensi 33 Ironis 55
.
L Land Affirs 175 Land Committee 175 Land Redistribution 162 landless 90
Komisi N~sio~nl HA^ AS AS^ MANUS~A (KOMNAS HAM)
Lands Rights 25 laten 9 law enforcement. 18 legal 2 Legislasi 17 leplatif 44 llegal logging 67 logis 84 loyalitas 35
M main opponents 64 Makassar 24 manifes 15 manifest 9 Maria SW Sumardjono 11 Mediasi 147 mediator 130 Megawati Soekamoputri 30 Mekanisme 13 mekanisme 48 Mexico 119 mikro 51 Mineral 23
N Native Land Act 162 Noer Fauzi 48 normatif 105 Ny. Lies Sugondo 125
0 objektif 43 oposisi. 84 Ornop 70
otokratis 85 otonom 1 Otorita 14 otoritarianisme 83 otoriter 53
P Paripuma 21 partipikasi 136 Politis 12 populis 91 potensi 5 pragmatis 86 progresif 106 proporsional 7 Putzell 94 R radikaI 92 realisasi 7 realistik 85 realitas 6 reform 92 Reforma 15 Registrasi 34, 42 Rejim 52 rekomendasi 2, 43 Rekonsiliasi 128 Rekonsiliasi 171 represif 126 Resolution 128 resolution 40 resort 62 Resource 55 Restitusi 168
Restitution 25, 26 retroaktif 106 Rikardo Simarmata 49 S Sediono MP Tjondronegoro 119 Semiloka 3 sistematik 5 Slamet Marta Wardaya 145 social healing 167 Soeharto 77 Soenarto 135 sosialisasi 39 Sosiologis 12 specialized court 18 strategi 1 struktural 55 Subang 24 substansi 43 subtantive 155 Sukarno 179 Sulawesi Selatan 24 supremasi 5 Supreme Court 163
Susilo Bambang Yudhoyono. 11 Syaiful Bahari 11
T transisi 85 transitional justice 8 Tumbu Saraswati, SH 149
u Usep Setiawan .25
v Verifikasi 34 verifikasi 31 W wacana 34 Wiwiek Awiyati 11
Y yuridis 105 yurisdiksi 18 yurisprudensi 11