KOMITMEN PERNIKAHAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI BEKERJA HALAMAN DEPAN NASKAH PUBLIKASI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi
Oleh : LATIFATUNNIKMAH F.100110190
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015
KOMITMEN PERNIKAHAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI BEKERJA
HALAMAN JUDUL NASKAH PUBLIKASI Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi
Diajukan Oleh : LATIFATUNNIKMAH F.100 110 190
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015
KOMITMEN PERNIKAHAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI BEKERJA HALAMAN PERSETUJUAN Yang Diajukan Oleh : LATIFATUNNIKMAH F. 100 110 190
Telah disetujui untuk dipertahankan di depan Dewan Penguji
Telah Disetujui Oleh :
Tanggal 7 Juni 2015
KOMITMEN PERNIKAHAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI BEKERJA HALAMAN PENGESAHAN
Yang diajukan oleh : LATIFATUNNIKMAH F 100 110 190 Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal
17 Juni 2015
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
KOMITMEN PERNIKAHAN PADA PASANGAN SUAMI ISTRI BEKERJA Latifatunnikmah Sri Lestari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
[email protected] ABSTRAK Tujuan dalam penelitian ini untuk mendiskripsikan dinamika komitmen pernikahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada pasangan suami istri bekerja. Metode penelitian yang diguankan adalah kwalitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data kwalitatif diperoleh dari 6 pasang suami istri bekerja tinggal di Karisidenan Surakarta, usia pernikahan tidak lebih 10 tahun, memiliki anak usia tidak lebih dari 6 tahun menggunakan wawancara semi terstruktur dan dianalisis tematik. Komitmen pernikahan pasutri bekerja dibangun sejak sebelum menikah, melalui tahapan ketertarikan pada pasangan, pembuatan kesepakatan, dan upaya menghadapi tantangan. Ke tiga tahap ini mempengaruhi pasangan dalam memutuskan untuk berkomitmen melalui pernikahan. Menyebabkan lama waktu menuju pernikahan berbeda-beda. Setelah menikah pembentukan komitmen dapat dilihat dari pembagian peran, kesepakatan yang dibuat untuk meminimalisasi dampak negatif yang disesuaikan kebutuhan bersama, motivasi istri bekerja, sedikitnya dampak negatif dan semakin meningkatnya dampak positif, sedikitnya permasalahan, dan penyelesaianya melibatkan kerjasama. Penguatan komitmen diikuti juga dengan semakin berkurangnya dampak negatif dari pasutri bekerja. Faktor yang mempengaruhi kuatnya komitmen pernikahan adalah komunikasi pasangan yang terbuka dan setara, pengungkapan kasih sayang yang dilakukan secara verbal dan nonverbal, semakin banyaknya waktu bersama pasangan, semakin besar kesediaan menerima kekurangan pasangan baik secara penyesuaian maupun diartikan sebagai kosekuensi dari komitmen, dan kerelaan berkorban untuk pasangan yang lebih. Kata Kunci: Komitmen pernikahan, pasangan suami istri bekerja
Pendahuluan Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat pasangan laki-laki dan perempuan mencapai tahap pernikahan. Mempertahankan pernikahan merupakan tanggung jawab dari semua pihak terutama pasangan suami istri itu sendiri. Bahkan pengorbanan dilakukan oleh pasangan suami istri untuk mempertahankan stabilitas hubungannya dalam keadaan sulit dan bahagia. Monk (2010) dari hasil temuannya menjelaskan pengorbanan juga memfasilitasi rasa komitmen pasangan suami istri dalam menciptakan hubungan yang lebih baik. Komitmen pernikahan adalah pengalaman dari pasangan suami istri yang bersama-sama untuk tetap mempertahankan pernikahannya sebagai fungsi, bagian, dan interaksinya (Thompson & Webb, 2004). Komitmen pada pasangan suami istri sejak dahulu diakui sebagai prediktor terkuat dalam menjaga stabilitas pernikahan (Clements & Swenson, dalam Lambert & Dollahite, 2008), oleh karenanya komitmen dijadikan sebagai strategi dalam melanjutkan hubungan dengan penuh usaha dan biaya. Selain itu komitmen juga mengalami perubahan bahkan dari awal pernikahan sampai yang sudah menjalani hubungan dalam waktu yang lama (Burgoyne, Reibstein, Edmunds, & Routh, 2010). Bentuk komitmen pernikahan ada tiga yaitu komitmen personal, moral, dan struktural. Komitmen struktural muncul bila komitmen personal dan moral rendah (Johnson, Caughlin, & Huston, 1999). Faktor yang mempengaruhi perkembangan komitmen pernikahan dalam hubungan pernikahan adalah kualitas alternatif, besarnya investasi, dan tingkat kepuasan (Gonzalez, 2011). Pada
masyarakat
luas
bentuk
hubungan
suami
istri
mengalami
perkembangan. Bentuk-bentuk hubungan tersebut diantaranya early married, single parent families, step families, beda etnis dan budaya, gay and lesbian families (Liddle, Santisteban, Levant, & Bray, 2010), dan suami istri yang samasama bekerja (dual career families) (Godenzi, 2012). Model pasangan sama-sama bekerja memiliki konsekuensi positif dan negatif dalam pernikahan. Konsekuensi positif menurut Kiong (dalam
Desmayanti, 2009) antara lain adalah adanya kesiapan jika terjadi sesuatu pada pasangan hidup (meninggal/bercerai/ PHK, dll), meningkatkan pengertian istri terhadap suami karena mengetahui bagaimana kondisi di luar rumah, dan bagaimana sulitnya perjuangan hidup. Selain itu juga dapat meningkatan finansial keluarga, memperluas network jaringan hubungan, tersedianya kesempatan untuk menyalurkan bakat dan hobi, terbukanya kesempatan untuk mewujudkan citra diri yang positif, dan status sosialnya lebih dipandang (Junaidi dalam Paputungan, Faradila, Akhrani, & Pratiwi, 2013). Sedangkan dampak negatifnya menurut White dan Gallagher (dalam Burgoyne, dkk., 2010) adalah istri yang bekerja dan juga mengurus pekerjaan rumah tangga dapat meningkatkan ketegangan dan konflik dalam pernikahan. Waktu mereka banyak diluangkan di luar rumah, sehingga terabaikan urusan rumah tangga terutama kepada anak, terlalu letih akibat terlalu lama bekerja, dan pendangkalan kasih sayang anak kepada ibu (Junaidi dalam Paputungan, dkk., 2013), pengaruh pada karir yang dijalani, role conflict, dan pengaruh terhadap personal well-being (Neault & Pickerell, 2005). Di Indonesia jumlah pasangan suami istri yang sama-sama bekerja senantiasa mengalami peningkatan. Hasil sensus penduduk pada tahun 2010 menyebutkan ada 39,5 juta istri yang bekerja (Badan Pusat Statistik, 2010), kemudian Di Surakarta ada 854.949 pasangan suami istri yang bekerja. Duffy dan Atwater (Desmayanti, 2009) menjelaskan bahwa pekerjaan merupakan salah satu konflik pada pasangan suami istri yang dapat mengurangi keharmonisan. Pekerjaan yang dimaksudkan adalah pekerjaan yang dimiliki oleh kedua pasangan. Maka tidak heran bila fenomena perceraian di Indonesia mengalami peningkatan. Data dari Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama MA tingkat perceraian dari tahun ke tahun meningkat, pada tahun 2009 perkara perceraian yang diputus oleh Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah mencapai 223.371 perkara. Pada tahun 2010 ada 285.184 perkara perceraian. Pada rentang sembilan tahun terakhir rata-rata perceraian tiap tahunnya mencapai 161.656. Diasumsikan setahun terdapat dua juta peristiwa perkawinan dan 8% -nya berakhir dengan perceraian.
Di Surakarta angka perceraian mengalami peningkatan sekitar 2-3% setiap bulan. Berdasarkan data pada bulan Januari hingga bulan September 2012, kasus perceraian di Surakarta mencapai 582 kasus dengan penyebab perceraian antara lain faktor tidak ada tanggungjawab antara suami dengan istri 41%, perselingkuhan mencapai 8%, ketidakharmonisan 19%, faktor ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan krisis akhlak hanya 1% (Solopos, 2012). Padahal menurut temuan dari Mooney, Oliver, dan Smith (dalam Jansen, 2013) menunjukkan bahwa tingkat perceraian menunjukkan sebuah ilustrasi objektif mengenai kehancuran dalam struktur keluarga dan komitmen. Tidak semua pasangan yang sama-sama bekerja memiliki komitmen pernikahan yang rendah dan berakhir pada perceraian, terbukti masih banyak pasangangan suami istri bekerja masih mempertahankan pernikahannya. Berikut ini adalah kutipan wawancaranya: “Bisa mengayomi anak dan suami, bisa diajak kerja sama, ada suatu komitmen karena sama-sama bekerja, contoh komitmen karena sama-sama sibuk tidak boleh harus menuntut, misalnya saya harus...suami setiap pagi apa, istri setiap pagi apa. Nggak itu, harus ada kerja samanya mana yang repot mana yang tidak, saling mengisi satu dengan yang lain. Contohnya pagi-pagi bangun tidak harus dibuatkan teh, dibuatkan sarapan.” Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dinamika komitmen pernikahan, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada pasangan suami istri yang sama-sama bekerja. Berdasarkan paparan diatas maka pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian adalah Bagaimana dinamika komitmen pernikahan pada pasangan suami istri bekerja dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya. Metode Penelitian Penelitian
ini
menggunakan
metode
kwalitatif
dengan
pendekatan
fenomenologi agar dapat memahami informan dalam dunia pengalamannya. Informan penelitian dipilih dengan teknik purposive sampling, karakteristik informan adalah 6 pasangan suami istri bekerja dengan usia pernikahan tidak
lebih dari 10 tahun, memiliki anak denan usia tidak lebih dari 6 tahun, dan berdomisili di Karisidenan Surakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur. Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis tematik menurut Creswell (2012), Kredibilitas data yang diperoleh dilakukan dengan member checking dan trianggulasi data (Creswell, 2012). Tabel 1. Data demografi informan No 1.
Pasangan
Usia pernikahan
Pasangan 1
9 tahun
Pasangan 2
3 tahun
2.
3. 4. 5. 6.
Pasangan 3
5 tahun
Pasangan 4
4 tahun
Pasangan 5
4 tahun
Pasangan 6
2 tahun
Status Suami Istri Suami Istri Suami Istri Suami Istri Suami Istri Suami Istri
Pendidikan S-1
Pekerjaan Pegawai swasta
SMA
Buruh dan pengusaha MLM Pegawai pemerintahan Karyawan swasta Karyawan bank Karyawan bank Karyawan bank Karyawan bank Pegawai swasta Dokter Karyawan bank Karyawan bank
SMA S-1 S-1 S-1 S-1 D-3 S-1 S-1 S-1 S-1
Hasil dan Pembahasan 1. Dinamika komitmen pernikahan pada pasangan suami istri bekerja Dinamika komitmen pernikahan pasutri bekerja mulai terlihat dari sebelum menikah hingga menikah. Komitmen pernikahan dibangun mulai sebelum menikah, dan di pertahankan hingga setelah pernikahan. Komitmen dapat mulai terbentuk dari sebelum pernikahan karena adanya hal berikut, a. Ketertarikan pada pasangan. Dari data didapatkan bahwa ketertarikan suami dan istri kepada pasangannya karena karakter, penampilan fisik, kecocokan, dan agama yang kuat. satu agamane wis kuat, agamane kabeh sak keluargane kuat (Pasangan 3, Suami)
terus jiwa..ee...apa ya..kayak kepemimpinannya dia sih, ya itu yang membuat saya tertarik (Pasangan 5, Istri) e... ya... apa namanya, banyak banyak apa ya, banyak yang kita banyak yang e.. sama gitu ya (iter: heem) lalu dari e... apa namanya perilaku dan sebagainya. Ya... apa, gitu tu ada kecocokan dari situ lah, gitu (Pasangan 4, Istri) Pernikahan dengan adanya rasa saling ketertarikan dengan pasangannya dapat meningkatkan keinginan seseoarng untuk tetap bersama dengan pasangannya. Karena salah satu pembentuk komitmen pernikahan adalah komitmen yang berasal dari diri sendiri yaitu ketertarikan dengan pasangannya. Semakin tertarik seseorang dengan pasangannya maka semakin tinggi keinginan untuk bersama. (Johnson, dkk., 1999). b. Membuat kesepakatan sebelum menikah Pasutri
bersama-sama
membuat
kesepakatan
untuk
mencapai
tahap
pernikahan. Kesepakatan ini tidak hanya dibuat dengan pasangan, namun juga dengan orang tua. Kesepakatan dibuat dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari pihak masing-masing. e..pada akhirkan ada e..aturan suami istri tidak boleh bekerja satu perusahaan, akhirnya kita berkomitmen untuk mencari kerja bareng-bareng nanti yang keterima istri atau saya itu kita cari pekerjaan (Pasangan 4, Suami) Kesepakatan bertujuan untuk menyamakan pandangan mengenai kehidupan pernikahan yang akan dijalani nantinya. Karena mereka sadar bahwa hubungan tidak hanya milik satu orang tetapi milik keduanya (Bakker, 2010). Selain itu kesepakatan juga berisi mengenai persyaratan agar dapat melanjutkan ke jenjang pernikahan. c. Upaya menghadapi tantangan Jalan menuju pernikahan tidaklah mudah, pasangan mendapatkan tantangantantangan yang dapat menggoyahkan komitmen yang telah dibangun. Tantangan yang dihadapi berasal dari pasangan dan pihak luar yaitu restu dari orang tua. karena satu status e janda, pasti itu pasti. emm padahal belum kenal. istilahnya belum pernah membayangkan kayak gitu lah, taunya ya ada dulu
gosip miring banyak gosip miring yang didenger sama orang tua (Pasangan 1, Suami) Persetujuan orang tua merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan sebuah pernikahan, tanpa adanya restu dari orang tua pasangan akan kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan pernikahannya (Mc Whirter & Mattison, dalam Margiantari, Basuki, & Miranti, 2012). Tantangan dari pasangan lebih pada penyesuaian dan menyamakan keyakinan. selama satu tahun itu kan bertentangan dia ikut saya atau saya ikut dia gitu. Terus akhire wis apa akhire saya sing kalah, itu hehe. Cuma itu kendalanya sih mbak (Pasangan 2, Suami) ama-sama untuk berdiskusi dan memang yang bagusnya yang mana kan kita sendiri kan juga tetep bisa bisa tahu kan (Pasangan 4, Istri) Pasangan menghadapi tantangan tersebut dengan melakukan kerja sama untuk mencari alternatif solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi .Seperti pada model pengelolaan konflik kolaboratif (Galvin dalam Kharisma, 2013). Kemampuan keduanya dalam menyelesaikan masalah dapat meningkatkan kepuasan pernikahan (Duval dan Miller dalam Desmayanti, 2009) d. Pengambilan keputusan untuk menikah Pasangam membuat keputusan untuk menikah dipengaruhi oleh ke tiga tahap sebelumnya
yaitu
adanya
ketertarikan,
kesepakatan
yang
dibuat,
dan
kemampuannya dalam menghadapi tantangan. Alasan yang dijadikan untuk menikah yaitu ketertarikan, sudah dipenuhinya kesepakatan (kemapanan pendidikan dan pekerjaan). Yang memutuskan? Mungkin ya karena itu ya mbak faktor wis kita podopodo senenge (Pasangan 2, Suami) Ya udah punya kerja sendiri-sendiri, jadi bisa buat nikah gitu (Pasangan 6, Istri) Pasangan memutuskan untuk menikah lebih cepat bila adanya ketertarikan, kemapanan pekerjaan dan pendidikan, sudah lama mengenal dan memahami pasangan, serta restu orang tua. Oleh karena itu waktu yang diperlukan pasangan untuk memutuskan menikah berbeda-beda antar pasangan. Tergantung dari alasan
menikah, seberapa besar ketertarikan pada pasangan, kesepakatan yang dibuat, dan kemampuan dalam menghadapi tantangan. Adanya rasa saling suka, yang menurut Dariyo (dalam Paputungan, Faradila, Akhrani, & Pratiwi, 2013) bahwa alasan menikah karena motif cinta yang juga diguanakan untuk mempertahankan komimen pernikahan. motif kecocokan menjadi alasan menikah karena setelah menikah akan mudah dalam menyesuaikan dengan pasangan. Kemudian kesiapan mental yang berkaitan dengan usia, pendidikan, dan karir, dengan terpenuhinya kriteria tersebut memungkinkan seseorang siap untuk menikah (Dariyo dalam Paputungan, dkk., 2013). Pasangan lebih lama memutuskan menikah bila hanya dipengaruhi ketertarikan saja. Selain itu waktu pasangan memutuskan menikah juga dipengaruhi dengan kesepakatan yang dibuat dan kemampuan pasangan dalam menghadapi tantangan. Oleh karena itu waktu yang diperlukan pasangan untuk memutuskan menikah berbeda-beda antar pasangan. Proses pembentukan komitmen sebelum pernikahan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini, Tabel 2. Pembentukan komitmen sebelum menikah Informan
Ketertarikan
Kesepakatan
Pasangan 1
karakter, religiusitas, dan kesamaan minat
tidak membuat kesepakatan
Pasangan 2
karakter dan religiusitas
menyamakan keyakinan agama, dan pekerjaan
Pasangan 3
kecocokan, dan karakter
dengan orang tua mengenai pekerjaan
Pasangan 4
penampilan
dengan pasangan
Upaya menghadapi tantangan restu dari orang tua. cara: meyakinkan dan memberikan penjelasan perbedaan agama dan hubungan jarak jauh. cara: pengenalan tata cara ritual secara terus menerus, menambah frekuensi komunikasi restu orang tua. cara: meyakinkan orang tua hubungan
jarak
Keputusan menikah
lama berhubungan: 2 tahun. Alasan: ibadah dan ketertarikan lama berhubungan: 1 tahun. Alasan: awal membangun hubungan bertujuan menikah,kesepakatan, ketertarikan, dan usia sudah matang.
lama berhubungan: 6 bln. Alasan: lama mengenal pasangan sebagai teman, ketertarikan, dan restu orang tua (kesepakatan) lama berhubungan: 4
fisik, kecocokan, dan karakter
mengenai berpindah pekerjaan
jauh. Cara: menambah frekuensi komunikasi
Pasangan 5
karakter
menyamakan perbedaan pemikiran tentang pengelolaan keuangan, dengan orang tua yaitu menyelesaikan pendidikan
kesibukan masing-masing, dan restu orang tua. Cara: saling memahami, menyakinkan orang tua
Pasangan 6
kemapanan pekerjaan, dan karakter
dengan pasangan yaitu mengenai pekerjaan
tidak memiliki tantangan
tahun Alasan: ketertarikan dan bertujuan menikah dari awal membangun hubungan lama berhubungan: 3 tahun Alasan: memenuhi kesepakatan untuk menyelesaikan pendidikan, desakan dari keluarga, waktu yang lama menjalin hubungan, dan prinsip pasangan menikah muda lama berhubungan: 1 tahun Alasan: ketertarikan dan kemapanan pendidikan serta pekerjaan
Tahapan selanjutnya adalah pernikahan. Setelah menikah komitmen pernikahan menglami perkembangan. Baik menglami kenaikan maupun penurunan. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga komitmen pernikahan yang telah dibentuk. a. Pembagian peran Suami berperan sebagai pencari nafkah utama, istri mencari nafkah tambahan. Walaupun istri bekerja tetap berkewajiban mengurus rumah dan mengasuh anak. yang jelas istri kerja itu nomer dua bukan tanggung jawab jadi cuman sekedar bantu aja (Pasangan 1, Suami) Di era modern ini kan kita tidak bisa melupakan kalau mengasuh hanya istri itu tidak bisa, suami ya harus berperan mungkin porsinya kalau istri enam puluh suami empat puluh (Pasangan 4, Suami) walaupun nambah penghasilan tapi tetep harus tahu posisi, posisi sebagai ibu sama suami sama anak ada batasnya tahu (Pasangan 1, Suami) tetep anak-anak keurus, suami juga bisa itu aja sih (Pasangan 5, Istri) Dalam pengerjaan tugas rumah tangga dan pengasuhan anak istri tetap dibantu oleh suami. Saraceno (2007) dari hasil temuannya menyebutkan suami yang memiliki istri bekerja lebih peduli untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak daripada yang hanya bekerja sendiri.
Kemudian pembagian peran dalam pengambilan keputusan, ada tiga berperdaan, yaitu
pertama suami sebagai pembuat keputusan dengan tetap
meminta pertimbangan istri, kedua keputusan dibuat bersama-sama, dan keputusan diambil oleh istri atau suami tergantung dari kemampuan menguasai bidang tertentu. heem, ya keputusan rumah tanggakan ya suami Mba, cuma harus sharing cuma keputusannya final nya, saya (Pasangan 1, Suami) ehm..apa ya..sharing dulu sama suami baru ada keputusan yo wis berdasarkan sharing berdua terus memutuskan gitu (Pasangan 6, Istri) kalau memang diluar kemampuan saya ya dan istri menguasai seharusnya istri lebih monggolah, artinya dia punya punya apa ya pertimbangan untuk memilih tentunya dengan pertimbangan saya (Pasangan 4, Suami) Ketiga bentuk pengambilan keputusan itu muncul karena ketika seorang istri juga bekerja, istri memiliki kemampuan dan diberi kekuasaan oleh suami untuk ikut berkontribusi dalam pengambilan keputusan. Walaupun tidak semua pasangan sama-sama bekerja menggunakan norma kekuasaan yang sama, ketika istri bekerja suami menjadi lebih menghargai pendapat dan keinginan dari istri. Sehingga suami tidak bisa memaksakan superioritasnya (Scanzoni dalam Triwarmiyati, 2009). Istri bekerja menjadi lebih berani dalam mengungkapkan pendapat dan lebih dipertimbangkan oleh suami dalam pengambilan keputusan (Putri, 2013). b. Membuat kesepakatan untuk sama-sama bekerja Kesepakatannya adalah harus ada ijin dari suami, dan pengaturan waktu. ijin suami ya kalau suami mengijinkan bekerja ya bekerja (Pasangan 1, Istri) membagi waktu dengan porsinya dengan pas gitu loh mbak (Pasangan 3, Suami) Kesepakatan mengenai waktu dibuat karena pasangan yang sama-sama bekerja memiliki schedule yang lebih padat. Sehingga harus mengatur waktu untuk bersama dengan pasangannya, anak, orang tua, atau teman. Selain itu juga waktu untuk diri sendiri misalnya berolah raga, atau pengembangan profesional (Neault & Pickerell, 2005).
Kesepakatan yang dibuat bertujuan untuk menjaga keutuhan keluarga. Ijin dari suami merupakan salah satu nilai kepatuhan yang digunakan sebagai syarat untuk bekerja. Menunjukkan bahwa kesepakatan ini termasuk komitmen moral yang mengacu pada nilai kesusilaan dimana individu masih ingin mempertahankan pernikahannya (Johnson, dkk., 1999). c. Motivasi istri bekerja dan berhenti bekerja Faktor yang mendorong istri untuk bekerja menurut Hoffman dan Nye (Desmayanti, 2009) bahwa faktor pendorong istri bekerja ada dua yaitu faktor motivasi dan faktor fasilitas. Yang termasuk faktor motivasi dari hasil penelitian adalah uang yaitu membantu meningkatkan perekonomian keluarga, Lalu kepribadian yaitu keinginan dalam mengembangkan kompetensi yang dimiliki. Serta peran sosial dimana istri yang bekerja memiliki kegiatan yang bervariasi dan bermanfaat. ya buat nambah penghasilan memperbaiki perekonomian keluarga, ya bantu beban suami (Pasangan 1, Istri) perempuan yang gak bekerja prinsip saya fikiran kita jadi mati kita gak bisa berkembang (Pasangan 2, Istri) Dia menjadi pribadi yang bermanfaat itu kan artinya tidak lantas beraktifitas sebagai ibu rumah tangga tetapi mencari aktifitas-aktifitas yang lain yang mungkin bermanfaat. Itu (Pasangan 5, Suami) Selanjutnya adalah faktor fasilitas muncul dari sikap dan nilai pasangan yaitu mengurangi keegoisan suami dengan menghargai keinginan dan pilihan dari istri ketika istri bekerja, dan mengembangkan potensi yang dimiliki istri selama usia masih muda. Istri bekerja tidak karena paksaan dari suami, melainkan keinginan sendiri. dulu lebih egois, kemana ayo lebih sering eee kalau keinginan dia melenceng dari jalur wahh saya nggak bisa menuruti aku lebih sering membatasi saja (Pasangan 1, Suami) Setelah itu motivasi istri berhenti bekerja disebabkan kondisi ekonomi keluarga sudah bisa stabil, ada gangguan pada perkembangan anak, dan ijin dari suami.
cuman untuk kedepannya eee saya sudah mapan kemudian misal suatu saat istri mau berhenti dan tidak mau mengerjakan ya ngga apa-apa sih (Pasangan 4, Suami) suami mengijinkan nggak bekerja ya saya kemungkinan juga akan keluar akan resign (Pasangan 4, Istri) yang kedua kalau misalnya ada kendala sama anak saya yang memang butuh bimbingan dari ibuk e pengwasan ekstra kedua orang tua lah kudu ngalah kue metu ngurusi anak (Pasangan 2, Istri) Tujuan awal dari istri bekerja adalah untuk membantu perekonomian keluarga (Junaidi, dalam Paputungan, dkk., 2013) setelah terpenuhi istri bisa berhenti dan lebih fokus untuk mengurus anak yang menjadi alasan kedua istri berhenti bekerja. Selam bekerja istri kurang memahami perkembangan sosial dan pendidikan dari anak, atau gangguan pada pekermbangan anak. Istri merasa situasi rumah tangga lebih membutuhkan perannya sebagai istri dan ibu (Hoffman & Nye dalam Desmayanti, 2009) d. Dampak pasutri yang sama-sama bekerja Dampak yang terjadi dari pasangan suami istri yang sama-sama bekerja antara lain: kemampuan kondisi ekonomi keluarga, meningkatkan perekonomian keluarga menjadi lebih stabil. ya mungkin ekonominya bisa lebih kuat mbak. pemasukannya kan dua orang suami sama istri, beda sama satu orang, mungkin suami aja itu kan beda (Pasangan 6, Suami) Menurut Dewi dan Sudhana (2013) karir yang dimiliki istri dapat meningkatkan kebahagian dan kemajuan bagi keluarga. Secara ekonomi, dengan bekerja dapat membantu kelangsungan hidup keluarga secara fianansial. Pengasuhan anak, menimbulkan efek negatif dan positif. Kurangnya itu, kurang pengawasan otomatiskan kalau siang dititipkan lingkungannya gimana mungkin nggak sesuai dengan cara didik saya resikonya begitu jadi kadang ada kata-kata baru waaaa itu dapet dari mana (Pasangan 1, Suami)
Gantian, kalo misalnya emang ehem..kalo misalnya eee suami yang mandiin, saya yang nyiapin makan. Kalo misalnya saya yang mandiin, suami kadang yang nyiapain. Jadi gantian sih (Pasangan 5, Istri) Efek negatifnya, karena kurang pengawasan dari orang tua pada kegiatan anak dapat memunculkan perilaku buruk pada anak seperti menggunakan kata-kata kotor, dan melawan orang tua (Junaidi dalam Paputungan, dkk., 2013). Selain itu pendampingan pada perkembangan pendidikan anak kurang. Seperti melupakan PR anak, dan jarang bisa mengikuti pertemuan wali murid. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian dari Neault dan Pickerell (2005) bahwa pasutri yang sama-sama bekerja tidak memhami bahwa secara tidak langsung mereka membatasi tanggung jawabnya pada perkembangan anak secara umum. Seperti memberikan arahan, membantu mengerjakan PR, menhadiri kegiatan anak, dan menjadi orang pertama yang membantu anak ketika mengalami kesulitan di lingkungan rumah. Dampak positifnya adalah suami tetap membantu istri dalam pengasuhan anak, ketika ketika anak sakit mereka dihadapkan pada situasi untuk memilih antara pekerjaan dan urusan rumah (Pickerell & Neault, 2005) pasutri tidak menjadikan itu sebagai masalah, karena suami dan istri bersedia untuk mengkompromikan pengambilan cuti Tugas rumah tangga, Pengerjaan pekerjaan rumah belum bisa diselesaikan dengan baik meski suami sudah membantu istri melakukan pekerjaan rumah tangga. Dimana suami dan istri bekerja sama melakukan pekerjaan rumah tangga, tanpa adanya pembagian tugas yang pasti antara suami dan istri. Pengerjaannya berdasarkan pada siapa yang longgar yang mengerjakan. kita kan sibuk di rumah ya di kantor juga di kantor banyak kerjaan, di rumah masih ada PR (Pasangan 4, Istri) nek seumpama kabeh tak pasrahke bojoku yo mesakke wong bojoku yo nyambut gawe, nek aku ora ngewangi mesakke dee mulih kerjo kesel ijek ngumbahi ijek masak kan (Pasangan 2, Suami) Kesamaan dalam pengerjaan tugas rumah tangga dapat meningkatkan keintiman emosional menjadi lebih besar, dan dapat meningkatkan gairah kerja
suami (Wilcox & Nock, 2006). Selain itu suami yang memiliki istri bekerja menjadi lebih peduli dalam menerjakan tugas rumah tangga (Saraceno, 2007). Intensitas waktu, pasutri yang sama-sama bekerja memiliki waktu yang lebih padat. Selain melakukan pekerjaannya, juga mengurus pekerjaan rumah tangga. Hal ini menjadikan sulit berkumpul dengan keluarga, anak, dan pasangan. e....kalau saya sih ngerasanya waktu ya, kurang untuk keluarga. apa lagi kalau waktu kerjanya itu kan samapai malem, paling cepet ya saya setengah enam sampai rumah itu untuk yang paling cepet itu (Pasangan 4, Istri) Sama dengan hasil penelitian dari Neault dan Pickerell (2005) bahwa waktu menjadi salah satu permasalahan bagi pasangan suami istri yang sama-sama bekerja karena jadwal kegiatan yang lebih padat. Namun juga ada dampak positifnya, yaitu menjadi lebih disiplin. ya jelas lebih disiplinlah waktunya dengan jamnya (Pasangan 4, Suami) Kemampuan memahami pasangan, dampak positif yang ditimbulkan adalah kemampuan pasutri yang sama-sama bekerja untuk lebih saling memahami kondisi pasangan karena sama-sama tahu dan merasakan, dan melakukan pekerjaan di luar rumah. saat memang kerja lembur pulang malam pulang jam tujuhan itu kan suatu saat ketika porsi pekerjaan menumpuk di perbankan pulangnya juga lebih malam maka itu sudah tidak menjadi masalah sudah tahu dibidangnya seperti itu tapi kalau solusinya ya harusnya sama-sama tahu kelebihannya mba (Pasangan 3, Istri) Seperti yang disampaikan oleh Kiong (Dasmayanti, 2009) Pasutri bekerja dapa meningkatkan pengertian istri terhadap suami karena mengetahui bagaimana kondisi di luar rumah, dan bagaimana sulitnya perjuangan hidup. Upaya yang dilakukan adalah dengan membuat suasana yang nyaman sepulang kerja, tidak banyak memberikan tuntutan, dan memberikan toleransi. ya paling nggak kalau dia udah pulang kerja disana penat paling nggak ya dirumahlah bikin dia nyaman (Pasangan 5, Istri) Penghargaan diri, Memiliki istri bekerja mendapatkan penghargaan yang positif dari lingkungan sosial.
kelebihannya ya mungkin di lingkungan kantor , kalau di tanya temen istri kerja dimana , kan bisa menjadi nilai tambah bagi saya juga (Pasangan 10, Suami) Hal ini dapat meningkatkan harga diri dari pasangan suami istri bekerja. Junaidi (Paputungan, dkk., 2013) menyebutkan dampak positif dari istri bekerja salah satunya mewujudkan citra diri yang positif, dan secara status sosial lebih diapandang. Kelelahan, karena istri mengerjakan dua pekerjaan yaitu pekerjaan dan tugas rumah tangga. saya kadang kecapekan gitu kadang marah-marah sendiri hihihihi (Pasangan 1, Istri) Menurut Pickerell dan Neault (2005) kelelahan dapat menimbulkan kesulitan menemukan kesimbangan dalam melakukan kegiatan dalam kehidupannya, menjadi mudah stress, dan sedikit energi untuk menghabiskan akhir pekan. e. Pengelolaan konflik Permasalahan yang dihadapi selama menikah, dan bagaimana pasutri yang sama-sama bekerja menyelesaikan permalahannya. Selama menjalani kehidupan rumah tangga pasangan suami istri mengalami berbagai rintangan. Seperti permasalahan dengan pasangannya sendiri seperti ketidakmampuan menerima kondisi pasangan dan kesulitan mengubah kebiasaan sebelum menikah. Hal ini dapat terjadi karena belum memahami kenyataan dari sebuah hubungan, artinya tidak ada pasangan hidup (termasuk diri sendiri) yang sempurna. Tanpa memperdulikan seberapa tampak idealnya orang lain tersebut, orang pada suatu waktu akan menyadari bahwa ia memiliki kwalitas positif dan negatif (Baron & Byrne, 2005). Permasalahan pendapatan dan pengelolaan keuangan. Pada awal menikah mengalami masalah perekonomian, dimana mengalami kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan hasil temuan dari Daniel (Sari, 2008) bahwa pada periode awal menikah yaitu sekitar 1-5 tahun pasangan mengalami permasalahan dalam ekonomi.
Permasalahan dengan pasangan yang lainnya adalah perbedaan pendapat dalam pengambilan keputusan, hal ini dapat terjadi karena masing-masing belum memahami akan pentingnya mempertimbangkan kebutuhan kedua pasangan (Baxter dalam Baron & Byrne, 2005). Kemudian penyesuian dengan pasangan meliputi menyamakan perbedaan cara pandang karena dari latar belakang yang berbeda, menyesuaikan dengan sikap baru yang muncul setelah menikah. Penyesuaian ini tampak pada fase pernikahan yaitu fase pengenalan kenyataan. Dimana pasangan memerlukan adanya adaptasi mengenai kebiasaan pasangan seperti pasangan terkejut dengan perubahan sikap yang terjadi pada pasangannya, belum terbiasa dengan perubahan pasangan, salah satu pasangan ingin merubah kebiasaan pasangannya, salah satu pasangan ingin pasangannya masuk dalam kehidupannya, dan salah satu pasangan ingin agar pasangannya lebih dapat menerima kebiasaan serta keadaan dirinya apa adanya (Anjani & Suryanto, 2006) Cara penyampaian komunikasi yang kurang tepat hingga berakhir pada kesalah pahaman. Hal ini dapat terjadi karena menggunakan gaya komunikasi negatif, akan berbeda bila menggunakan gaya komunikasi positif yang menekankan pada sikap asertif dan menggunakan pernyataan (Lestari, 2012) Oleh karena itu diperlukan ketrampilan dalam berkomunikasi untuk menghindari adanya kesalah pahaman. Kemudian cara penyelesaian masalah yang digunakan adalah dengan memberikan penjelasan kepada pasangan apabila terjadi kesalah pahaman. Pasangan juga saling berdiskusi untuk menyelesaikan masalah, saat berdiskusi ada kesediaan untuk menerima saran dan penjelasan dari pasangan. sama-sama untuk berdiskusi dan memang yang bagusnya yang mana kan kita sendiri kan juga tetep bisa bisa tahu kan jadi nya ya kayak kayak masukan aja sih (Pasangan 4, Istri) Penyelesaian masalah seperti pemaparan tersebut termasuk resolusi konflik yang konstruktif, dimana adanya pemberian penjelasan dan diskusi dengan pasangan mengenai permasalahan yang dihadapi. Mencari penyelesaian yang mempertimbangkan kebaikan untuk keduanya, dan keluarga. Serta menghargai
pendapat dan pilihan dari pasangan (Lestari, 2012). Penyelesaian konflik yang konstruktif menunjukkan adanya konsistensi pada komitmen pernikahan yang dimiliki oleh pasangan untuk tidak menyerah dengan permasalahan dan menghadapinya dan tetap mempertahankan pernikahannya (Johnson, 1999). Kemudian penyelesaian masalah dengan menghindar terlebih dulu, setelah itu baru memberikan penjelasan. Ya kalau saya saya orangnya kecewaan mbak. Jadi kalau kaya gitu itu yasudah. Saya diem dia cari ketenangan yasudah. Itu ya untuk tanggung jawab kita ngomong ya ngomong lagi (Pasangan 2, Istri) self-evaluation dan menahan diri untuk tidak menggunakan kata-kata atau perilaku hostile (Baron & Byrne, 2005) digunakan sebagai salah satu penyelesaian konflik. Cara yang digunakan informan untuk menahan diri menggunakan kata dan berperilaku hostile adalah dengan mengalah dan menenangkan diri terlebih dahulu. Untuk memperjelas pembentukan komitmen pernikahan dari setiap informan dalam menjalani kehidupan pernikahannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 3. Pembentukan komitmen pernikahan setelah menikah
Informan
pasangan 1
pasangan 2
Pembagian peran Suami pencari nafkah utama, istri pencari nafkah tambahan. pekrjaan RT tanggung jawab istri dibantu suami. Suami pembuat keputusan dengan pertimbangan istri Suami pencari nafkah utama, istri pencari nafkah tambahan, pekrjaan RT tanggung jawab istri dibantu suami. Suami pembuat keputusan dengan
Kesepakat -an samasama bekerja ijin suami (suka rela)
ijin suami (terpaksa)
Motivasi bekerja dan berhenti ekonomi Motivasi berhenti: ekonomi, tidak diijinkan suami, pengasuhan anak
ekonomi dan pengembangan kompetensi. motivasi berhenti: ekonomi, tidak diijinkan suami, pengasuhan
Dampak kelelahan, pengasuhan anak (positif dan negatif), pekerjaan rumah tangga (positif dan negatif), peningkatan ekonomi pengasuhan anak (positif dan negatif), pekerjaan rumah tangga (positif dan negatif), kemampuan memahami,
Penyelesaian masalah masalah: ekonomi, penyampaian komunikasi. penyelesaian: penghindaran lalu diberi penjelasan masalah: tidak bisa menerima kondisi pasangan, penyesuaian, penyampaian komunikasi. penyeleseaian:
pertimbangan istri
pasangan 3
pasangan 4
pasangan 5
pasangan 6
anak
Suami pencari nafkah utama, istri pencari nafkah tambahan. pekrjaan RT tanggung jawab istri dibantu suami. Keputusan diambil bersama
pengaturan waktu dan ijin dari suami
ekonomi, nilai dan sikap suami mengurangi egois. motivasi berhenti: ekonomi, tidak diijinkan suami, pengasuhan anak ekonomi, ekspresi diri. motivasi berhenti: ekonomi, tidak diijinkan suami, pengasuhan anak
Suami pencari nafkah utama, istri pencari nafkah tambahan. pekrjaan RT tanggung jawab istri dibantu suami. Pembuat keputusan suami atau istri
pengaturan waktu
Suami pencari nafkah utama, istri pencari nafkah tambahan. pekrjaan RT tanggung jawab istri dibantu suami. Suami pembuat keputusan dengan pertimbangan istri
pengaturan waktu
ekonomi, kegiatan lain yang bermanfaat. motivasi berhenti: ekonomi, pengasuhan anak
Suami pencari nafkah utama, istri pencari nafkah tambahan. pekrjaan RT tanggung jawab istri dibantu suami. Keputusan diambil bersama
pengaturan waktu
ekonomi, ekspresi diri. motivasi berhenti: pengasuhan anak
penghargaan diri,ekonomi (positif dan negatif) kemampuan memahami, ekonomi, intensitas waktu bersama (sengaja meluangkan waktu).
ekonomi, pengasuhan anak (positif), intensitas waktu bersama (tidak menjadwalkan), kemampuan memahami, penghargaan diri, pekerjaan rumah tangga (positif & negatif) ekonomi, kemampuan memahami, pekerjaan rumah tangga (positif & negatif), pengasuhan anak (positif), intensitas waktu bersama (sengaja meluangkan waktu) ekonomi, intensitas waktu bersama (tidak terjadwalkan), pengasuhan anak (positif), penghargaan diri, kemampuan memahami, pekerjaan rumah tangga (positif & negatif)
penghindaran lalu diberi penjelasan masalah: ekonomi, penyampaian komunikasi. penyelesaian: melakukan diskusi menerima saran dan penjelasan masalah: ekonomi, perbedaan pendapat. penyelesaian: melakukan diskusi menerima saran dan penjelasan
masalah: tidak bisa menerima kondisi pasangan, ekonomi, perbedaan pendapat, penyesuaian. penyelesaian: penghindaran lalu diberi penjelasan masalah: perbedaan pendapat. penyelesaian: saling mengalah
Komitmen pernikahan yang kuat setelah menjalani kehidupan pernikahan dibentuk melalui pembagaian peran yang mempertimbangkan kebaikan keduanya,
yaitu suami masih sebagai pencari nafkah utama dan istri hanya membantu, pekerjaan rumah tangga masih menjadi tanggung jawab istri dan dibantu oleh suami. Pengambilan keputusan dengan mempertimbangkan pemikiran dari keduanya. Kemudian kesepakatan berisi tentang perijinan dan pengaturan waktu, bertujuan untuk meminimalisasi dampak negatif dari pasutri bekerja. Motivasi bekerja yang hanya untuk kepentingan ekonomi tanpa adanya keinginan pribadi, dan dukungan dari pasangan hanya akan menambah dampak negatif. Dampak positif yang muncul dapat memberikan efek positif pada komitmen pernikahan. Selain itu sedikitnya masalah yang dihadapi dan cara penyelesaian dengan bersedia menerima saran dan penjelasan juga dapat memperkuat terbentuknya komitmen. Penguatan komitmen diikuti juga dengan semakin berkurangnya dampak negatif dari pasutri bekerja. f. Nilai-nilai pernikahan Membangun sebuah rumah tangga diperlukan adanya nilai-nilai moral yang mengatur perilaku dalam kehidupan pernikahan. Nilai-nilai pernikahan tersebut adalah adanya tanggung jawab dari suami kepada keluarga, adanya landasan agama yang kuat, menikah hanya sekali seumur hidup, adanya kepercayaan, saling melengkapi, adanya kerjasama, saling memahami, komunikasi yang terbuka, dan saling menghargai. yang penting menurut saya kalau semua dilandasi dengan agama (Pasangan 3, Suami) terus dilandasi dengan komunikasi dan saling terbuka itu aja jadi, selama ini sampai saat ini kita utamakan juga keterbukaan jadi apapun kalau apa namanya, problem atau masalah atau eee... dengan terbuka (Pasangan 3, Istri) Kepercayaan aja sih ya (Pasangan 6, Istri) Hasil penelitian menunjukkan dalam membangun keluarga perlu dilandasi dengan keyakinan agama yang kuat untuk menjadikan pernikahan yang bahagia. Sebagai keluarga, nilai-nilai keagamaan perlu diciptakan untuk kebaikan berumah tangga (Paputungan, dkk., 2013)
Nilai-nilai yang diyakini oleh pasangan kemudian dipraktikkan secara langsung dalam kehidupan pernikahan karena pasangan suami istri memiliki kewajiban
moral
untuk
melakukannya
guna
menjaga
keberlangsungan
pernikahannya (Johnson, dkk., 1999). 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen pernikahan a. Komunikasi pasangan Komunikasi pasutri yang sama-sama bekerja dilakukan secara terbuka mengenai kegiatan, perencanaan, dan penghasilan, dan permasalahan masingmasing, sehingga dapat menciptakan rasa percaya. memahami kegiatan, menghargai
pasangannya. Selain itu komunikasi yang bebas juga digunakan
untuk mengurangi sikap egois suami sebagai kepala keluarga dengan bersedia menerima dan menghargai pemikiran dan pendapat istri sehingga muncul kesetaraan komunikasi. Biasanya kita ya e.. untuk apa namanya sharing sharing apa ya pekerjaan e.. kadang-kadang itu sharing pekerjaan kantor, kadang juga anak-anak ya.. kadang pekerjaan rumah juga (Pasangan 4, Istri) mungkin ada masalah keuangan gitu juga eee lebih enaknya komunikasi misal kan oh ini itu gitu ee mending kan ngomong aja lebih enak lebih apa namanya (Pasangan 3, Istri) Pasangan suami istri yang bisa melakukan komunikasi yang efektif membuat hubungan interpersonal menjadi baik sehingga dapat terwujud keharmonisan yang ditunjukkan adanya rasa saling percaya, mengerti, menerima, menghargai, dan mencintai (Drajat, dalam Dewi & Sudhana, 2013) Menunjukkan bila semakin efektif komunikasi maka hubungan pasutri semakin harmonis (Dewi & Sudhana, 2013).
Oleh karena itu komunikasi digunakan untuk membuat dan
mengembangkan komitmen pernikahan (Thompson & Webb, 2004). Meskipun
komunikasi yang efektif tidak selalu ditunjukkan dari sering
tidaknya melakukan komunikasi (Tailor, Dewi & Sudhana, 2013) namun pasutri sama-sama bekerja dengan kesibukan masing-masing, keduanya berusaha untuk senantiasa melakukan komunikasi karena komunikasi ditunjukkan sebagai bentuk perhatian kepada pasangannya. b. Pengungkapan kasih sayang pada pasangan
Penyampaian kasih sayang kepada pasangan dilakukan dengan dua cara. yaitu dengan verbal dan non verbal. Penyampaian verbal dilakukan dengan senantiasa menanyakan kabar, melakukan komunikasi secara terbuka mengenai kegiatan, perencanaan, dan keuangan. Serta menambah intensitas komunikasi dengan pasangan dari pada dengan rekan kerja, karena waktu bertemu pasangan singkat akibat dari keduanya bekerja. bentuk perhatian, bentuk care, itu nggak harus di ucapkan dengan ngasih sesuatu ndak dengan kita menanyakan kabar bentuk care juga (Pasangan 3, Suami) Komunikasi dan interaksi suami istri dalam kehidupan sehari-hari dapat mempengaruhi komitmen pernikahan dalam keluarga, Komunikasi sehari-hari dapat
meningkakan
keintiman,
kepercayaan,
dan
persahabatan
dengan
pasangannya (Weigel, 2003). Komunikasi yang terbuka antara pasangan suami istri juga dapat meningkatkan kepuasan pernikahan. (Desmayanti, 2009). Penyampaian secara non verbal dilakukan dengan memberikan perhatian seperti suami membantu pekerjaan rumah tangga, dan mengasuh anak, serta makan bersama, membelikan hadiah, merawat saat sakit. Saya coba bantu bisnis dan sebagainya kira-kira biar nanti biar dia merasa oh ya saya banyak mendapat dukungan dari suaminya (Pasangan 5, Suami) merawat anak itu bukan hanya tanggung jawab istri, memandikan ya saya nyuapin ya saya pokonya anak bukan hanya tanggung jawab istri (Pasangan 4, Suami) pas jalan jalan ada baju yang kira-kira cocok nggo bojoku ya di beliin (Pasangan 2, Istri) Hal ini merupakan salah satu bentuk dari dukungan suami bila dirasakan, dipersepsi, dan dinilai istri akan merasa memperoleh dukungan dan merasa suami dapat diandalkan pada saat dibutuhkan, kondisi ini akan membuat istri merasa puas dengan pernikahannya. (Soeharto, Faturochman, Adiyanti, 2013). Pemaparan tersebut menunjukkan bahwa suami dan istri masih tetap memiliki rasa sayang kepada pasangannya yang ditunjukkan dengan berbagi aktifitas bersama, bertukar ide, saling menghargai, dan adanya kepedulian terhadap
kesejahteraan masing-masing. Bentuk cinta yang seperti itu termasuk dalam cinta karib (Baron & Byrne, 2005) yaitu cinta yang bisa menjadi salah satu pembentuk dari komitmen yang berasal dari diri sendiri (Johnson, dkk., 1999) c. Kebersamaan dengan pasangan Pasutri sama-sama bekerja memiliki intensitas yang kurang untuk bersama dengan pasangannya karena kesibukan masing-masing. Waktu bersama pasangan tidak di jadwalkan secara khusus, tergantung pada situasi. Waktu bersama pasangan dibuat lebih fleksibel karena untuk memanfaatkan waktu yang singkat secara maksimal. Sehingga masih bisa bersama meski tidak memiliki banyak waktu. Atau memang sengaja menyempatkan pergi bersama pasangan untuk menyegarkan fikiran dari rutinitas sehari-hari dan menjaga kwalitas hubungan. saya biasanya malem mbak pada saat mau tidur atau mungkin pas kita makan bareng saya selalu bukan selalu ya, saya menyempatkan waktu untuk kita berdua dalam berdua itu mungkin malem, kalau nggak itu kalau kita sama-sama pulang sore kita pergi berdua aja, atau pas setelah makan siang kita pergi berdua (Pasangan 3, Suami) nggak ada waktu khusus mbak kalau untuk itu, sambil jalan, sambil momong, sambil dulang, sambil apapun, nggak kaku lah istilahnya (Pasangan 4, Suami) Hubungan yang erat memiliki ciri frekuensi interaksi yang kerap untuk waktu yang relatif panjang (Sears, Freedman, & Peplau, 2009), meskipun frekuensi interaksi terbatatas karena kesibukan pasutri sama-sama bekerja mereka berusaha untuk melakukan berbagai macam bentuk kegiatan bersama untuk membangun hubungun hubungan yang erat (Sears, dkk., 2009) d. Kerelaan berkorban untuk pasangan Pengorbanan dalam kehidupan rumah tangga berupa sumber daya yang diberikan kepada pasangan baik usaha maupun waktu dengan tujuan untuk menjaga hubungan pernikahannya. Nek istri saya anu mbak jadi selama ini sing iso gawe seneng atine yo satu saya wis ora ngombe wis opo-opo kon nuruti wae tak turuti sing kedua saya yo bantu kon bantu nyuci yo bantu opo lah sing dee anu opo yo tak bantu (Pasangan 2, Suami) mengatasi gini ya saya, seng dikorbanke waktu pekerjaan saya tiap hari itu dikorbanke (Pasangan 2, Suami)
kerja di syariah mandiri itu lebih apa ya, kalau untuk wanita itu nggak terlalu pressure nya, ngatur waktunya mudah. nah itu disepakati lah, yang nyari saya (Pasangan 3, Suami) Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya kerelaan untuk berkorban yang lebih , dan merasa lebih lembut dalam menghadapi kesalahan dari pasangan dapat memberikan pengaruh yang positif pada komitmen pernikahan (Fincham, Paleari, & Regalia, 2006). Monk (2010) dari hasil temuannya menjelaskan pengorbanan memfasilitasi rasa komitmen pasangan suami istri dalam menciptakan hubungan yang lebih baik. e. Kesediaan menerima kekurangan pasangan Kekurangan pasangan diartikan sebagai hal yang harus diterima karena sudah berkomitmen menikah. Namun tidak semua kekurangan diterima secara langsung, pasangan mengalami penyesuaian terlebih dahulu yaitu dengan meminta pasangan mengubah perilakunya atau menyesuaiakan diri dengan kekurangan pasangan. e... ya kita kan berkomitmen ya dari awal kan kita sudah komitmen jadi ya hal-hal yang e.. apa namanya yang kekurangan dan kelebihannya ya itu juga harus diterima (Pasangan 4, Istri) kalau kekurangan itu tidak bisa menyesuaikan sama ritme kita ya standar kita di sesuaikan di sesuaikan (Pasangan 4, Suami) Penerimaan kekurangan dan kesediaaan melakukan penyesuaian pernikahan merupakan salah satu usaha dari pasutri dalam membentuk komitmen pernikahan (Wieselquist, Rusbult, Foster, dan Agnew :1999). Penyesuaian dilakukan dengan memberikan toleransi pada perbedaan dan kekurangan yaitu tidak memaksakan keinginan pada pasangan untuk mengikuti harapannya. Untuk
mendapatkan
gambaran
yang
jelas
mengenai
faktor
yang
mempengaruhi komitmen dapat dilihat dari tabel di bawah ini: Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen pernikahan pasangan suami istri bekerja
Informan
pasangan 1
Komunikasi pasangan komunikasi terbuka
Pengungkapan kasih sayang nonverbal: perhatian,
Kebersamaan dengan pasangan
Kesediaan menerima kondisi pasangan
tidak terjadwal,
kekurangan diterima sebagai
Kerelaan berkorban untuk pasangan tidak melakukan
komunikasi terbuka dan setara pasangan 2
pasangan 3
komunikasi terbuka dan setara
komunikasi terbuka dan setara
pasangan 4
komunikasi terbuka dan setara pasangan 5
pasangan 6
komunikasi terbuka dan setara
membantu tugas rumah tangga dan mengasuh anak, memahami, dukungan pada pekerjaan. verbal: bertukar kabar, menguatkan nonverbal: membelikan hadiah, makan bersama, mengubah perilaku yang tidak disetujui pasangan. verbal: bertukar kabar, memberi kata-kata romantis. nonverbal: membelikan hadiah, memahami verbal: menambah frekuensi komunikasi disela waktu kerja nonverbal: memahami untuk kompromi waktu
fleksibel
konsekuensi komitmen
pengorban an
tidak terjadwal, fleksibel
penyesuaian: meminta merubah perilaku dengan bertahap.
usaha dan waktu
sengaja meluangkan waktu
menyesuaikan diri pada kekurangan pasangan
usaha
tidak terjadwal, fleksibel
usaha
verbal: bertukar kabar, nonverbal: bekerja sama mengerjakan tugas rumah tangga dan pengasuhan anak, membelikan hadiah, dukungan verbal: bertukar kabar nonverbal: melayani kebutuhan
sengaja meluangkan waktu
kekurangan diterima sebagai konsekuensi komitmen. penyesuaian: meminta merubah perilaku dengan bertahap. menyesuaikan diri pada kekurangan pasangan penyesuaian: meminta merubah perilaku dengan bertahap, kekurangan diterima sebagai konsekuensi komitmen menganggap pasangan tidak memiliki kekurangan
tidak terjadwal, fleksibel
usaha
tidak melakukan pengorban an
Simpulan Berdasarkan pemaparan pada pembahasan dapat disimpulkan bahwa dinamika komitmen pernikahan pada pasangan suami istri bekerja dibangun sejak sebelum menikah melalui tahapan-tahapan. Tahapan tersebut adalah ketertarikan pada pasangan, pembuatan kesepakatan, dan upaya menghadapi tantangan. Ke tiga
tahap ini mempengaruhi pasangan dalam memutuskan untuk berkomitmen melalui pernikahan. Sehingga menyebabkan lama waktu menuju pernikahan berbeda-beda, tergantung dari alasan menikah, seberapa besar ketertarikan pada pasangan, kesepakatan yang dibuat, dan kemampuan dalam menghadapi tantangan. Pembentukan komitmen pernikahan setelah menikah pada pasangan dapat dilihat dari pembagian peran yang mempertimbangkan kebaikan keduanya, kesepakatan yang dibuat untuk meminimalisasi dampak negatif, motivasi istri bekerja, sedikitnya dampak negatif dan semakin meningkatnya dampak positif, sedikitnya permasalahan, dan penyelesaianya melibatkan kerjasama keduanya untuk mencapai kebaikan bagi hubungan dan pasangannya. Penguatan komitmen diikuti juga dengan semakin berkurangnya dampak negatif dari pasutri bekerja. Faktor yang mempengaruhi komitmen pernikahan yang tinggi dilihat dari komunikasi pasangan yang terbuka dan setara, pengungkapan kasih sayang yang dilakukan secara verbal dan nonverbal, semakin banyaknya waktu bersama pasangan, semakin besar kesediaan menerima kekurangan pasangan baik secara penyesuaian maupun diartikan sebagai kosekuensi dari komitmen, dan kerelaan berkorban untuk pasangan yang lebih. Oleh karena itu komitmen pernikahan yang berkorelasi positif dengan lima faktor ini akan memunculkan komitmen yang kuat dengan tidak adanya keterpaksaan dalam mempertahankan pernikahan. Daftar Pustaka Anjani, C., & Suryanto. (2006). pola Penyesuaian Perkawinan pada Periode Awal. INSAN , 8, 198-210. Baron, & Byrne. (2005). psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Bakker, A. (2010). Commitment, Rituals, and Initiator Tendency in Married Couples. Utah State University. Utah: Utah State University. Burgoyne, C. B., Reibstein, J., Edmunds, A. M., & Routh, D. A. (2010). Marital Commitment, Money and Marriage Preparation: What Changes after the Wedding? Journal of Community & Applied TSocial Psychology , 390403.
Cresswell, J. W. (2012). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. D, Triwarmiyati. M. (2009). Tipologi Relasi Suami Istri: Studi Pemikiran Letha Dawson Scanzoni dan John Scanzoni. Tesis . Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Program Studi Sosiologi Universitas Indonesia, Jakarta. Desmayanti, S. (2009). Hubungan Antara Resolusi Konflik dan Kepuasan Pernikahan pada Pasangan Suami Istri Bekerja pada Masa Awal Pernikahan. Skipsi . Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta. Dewi, Nyoman R., Sudhana, H. (2013). Hubungan Antara Komunikasi Interpersonal Pasutri dengan Keharmonisan dalam Pernikahan. Jurnal Psikologi Udayana, 1, 22-31. Fincham, F. D., Paleari, F. G., & Regalia, C. (2002). Forgiveness in Marriage: The Role of Relationship Quality, Attributions, and Emphaty. Personal Relationship , 9, 27-37. Godenzi, F. (2010). The Dual-Career Family of the 21st Century. 1-40. Gonzalez, C. C. (2010) Personal and Perceived Partner Commitment and Trust as Predictors of Relationship Satisfaction in Long-Distance and Proximally Close Dating Relationships of Graduate Students. Dissertation. The Faculty of the Morgidge College of Education University of Denver Jansen, M.C. (2013). Meaningfulness As A Predictor of Intergenerational Commitment. Tesis. Faculty of Education University of Pretoria, Pretoria. Johnson, M. P., Caughlin, J. P., & Huston, T. L. (1999). The Tripartite Nature of Marital Commitment: Personal, Moral, and Structural Reasons to Stay Married. Journal of Marriage and the Family , 180-177. Kamadi, M. (2012) Angka Perceraian di Solo meningkat. Artikel. online, http://WWW.solopos.com/2012/09/03/angka- perceraian- di- solomeningkat-328252. Diakses pada 26 Desember 2014 pukul 22.20 WIB. Kharisma, Laila. (2013). Kemampuan Mengelola Konflik Perkawinan pada Remaja yang Mengalamu Kehamilan. Skripsi. Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, Semarang. Lambert, N. M., & Dollahite, D. C. (2008). The Threefold Cord: Marital Commitment in Religious Couple. Journal of Family Issues, 29, 592-614
Lestari, S. (2012). Psikologi Keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Jakarta: kencana Pernada Media Group. Liddle, H. A., Santisteban, D. A., Levant, R. F., & Bray, J. H. (2010). Family Psychology. United States America: American Psychological Association . Margiantari, Basuki, Heru., Miranti, & Novia. (2012). Persepsi Terhadap Perkawinan pada Dewasa Muda yang Mengalami Perceraian. Artikel. Universitas Gunadarma, Bali. Monica, C. W., Oktorina, M., & Mula, I. (2010). Pengaruh Konflik Pekerjaan dan Konflik Keluarga Terhadap Kinerja dengan Konflik Pekerjaan Keluarga Sebagai Intervening Variabel. jurnal Manajemen dan Kewirausahaan , 12, 121-132. Monk, J. K. (2010). Commitmen and Sacrifice in Emerging Adult Cyclical and Non-Cyclical Romantic Relationships. Thesis. Kansas State University, Manhattan Myers, D. G. (2012). Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Salemba Humanika. Neault, R. A., & Pickerell, D. A. (2005). Dual-Career Couples: The Juggling Act. Canadian Journal of Counselling , 187-198. Paputungan, Faradila., Akhrani, A. L., Pratiwi, A. (2013). Kepuasan Pernikahan Suami yang Memiliki Istri Berkarir. Jurnal Mahasiswa Angkatan 2008. Universitas Brawijaya. Saraceno, C. (2007). Introduction to The Special Issue: Dual-Career Couples. Zeitschrift für Familienforschung , 19, 255-262. Sari, A. E. (2008). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesetiaan dalam Perkawinan. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. (2009). Psikologi Sosial Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Soeharto, Triana Noor E.D., Faturochman., & Adiyanti, M. G. (2013). Peran Nilai Positif Pekerjaan-Keluarga Sebagai Mediasi Pengaruh Dukungan Suami terhadap Kepuasan Kerja dan Kepuasan Perjawinan pada Perempuan yang Bekerja. Jurnal Psikologi, 40, 59-70.
Thompson-Hayes, M., & Webb, L. M. (2004). Commitment Under Construction: A Dyadic and Communicative Model of Marital Commitment. The Journal of Family Communication , 249-260. Wilcox, W. B., & Nock, S. L. (2006). What’s Love Got To Do With It? Equality, Equity,Commitment and Women’s Marital Quality. Social Forces , 84, 1331-1335. Wieselquist, Jennifer., Rusbult, Caryl E., Foster, Craig A., Agnew, Christopher R. (1999). Commitment, pro-relationship behavior, and trust in close relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 77, 942-966.