Wacana KKR_03
1
Wacana KKR_03 [lanjutan] ============================================================================= Media Indonesia, Kamis, 2 Januari 2003
Harus Segera Lakukan Rekonsiliasi Nasional
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA (Media): Mantan Presiden Abdurrahman Wahid memperingatkan agar bangsa ini segera melakukan rekonsiliasi nasional untuk mencegah terjadinya revolusi sosial pada 2003 ini. "Revolusi sosial akan terjadi karena adanya kesenjangan antara masyarakat kaya dan miskin yang akan menimbulkan konflik horizontal, Kita lihat di bandar udara, banyak pesawat dan banyak penumpangnya. Namun, yang miskin juga banyak," kata Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid kepada wartawan dalam jumpa pers di kantor PBNU, Jl Kramat Raya, Jakarta, kemarin. Gus Dur mengharapkan revolusi sosial itu tidak terjadi dan harus dihindari. Rekonsiliasi dapat dilakukan dengan cara pemberian maaf kepada orang-orang yang sulit dibuktikan kesalahannya oleh hukum seperti para konglomerat hitam, dan mantan Presiden Soeharto. "Beberapa pihak, seperti mantan Presiden Soeharto, perkumpulan Tionghoa, dan para sesepuh warga keturunan India juga mengharapkan revolusi sosial tidak terjadi," kata Gus Dur. Tapi Gus Dur mengingatkan, pemberian maaf kepada konglomerat itu dengan catatan mereka memberikan 95% kekayaannya untuk membantu usaha kecil-menengah (UKM). Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga mencabut perkara perdata para konglomerat. "Tetapi, perkara pidana bagi para konglomerat dilanjutkan atau tidaknya terserah kepada aparat hukum," tegas Gus Dur. Forum Rekonsiliasi Nasional itu akan dilakukan 20 Maret mendatang oleh Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia. Rencana tersebut, tambah Gus Dur, sudah disetujui oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X. Gus Dur mengharapkan agat krisis multidimensi yang tengah dihadapi bangsa selama tujuh tahun ini dapat diselesaikan dengan cara berusaha menuju negara yang demokratis. Negara harus menempatkan setiap warga negaranya sama di muka hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Sementara itu, Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) DPR Rodjil Ghufron, dalam menanggapi Refleksi Akhir Tahun 2002 Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, menilai pemerintahan Megawati belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan dalam menjalankan agenda reformasi. Pemerintah belum maksimal dalam melaksanakan penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN bagi aparat negara, pemulihan ekonomi nasional, reposisi militer dalam kehidupan politik nasional, dan sebagainya. "Yang dilakukan pemerintah selama ini hanyalah upaya untuk menjaga keberlangsungan pemerintah semata dengan mengorbankan agenda reformasi tersebut," kata Rodjil. Menurutnya, ajakan presiden untuk meningkatkan kesadaran kebangsaan yang lebih membumi jangan sampai mengarah kepada penggunaan dan penyalahartian nasionalisme demi keberlangsungan kekuasaan semata dan upaya menutupi kelemahan pemerintah. (MS/P-3)
Wacana KKR_03
2
Kompas, Sabtu, 04 Januari 2003
Pentingnya Komisi Nasional Sejarah Oleh Asvi Warman Adam
Kebingungan
LS A
M
BEGITU perjanjian damai Aceh ditandatangani awal Desember 2002, masalah yang menggayut adalah penyelesaian masa lalu di daerah itu. Begitu dalam trauma yang menghantui korban pelanggaran HAM. Bagaimana menyelesaikan persoalan lama ini ? Maka, sebetulnya Presiden dan anggota kabinet membutuhkan masukan dari sejarawan. Itulah salah satu alasan penting dan mendesaknya pembentukan Komisi Nasional (Komnas) Sejarah. Bangsa Indonesia yang kini menjalani masa transisi amat membutuhkan "pelajaran" sejarah. Integrasi bangsa kini terancam: mengapa sampai terjadi hal demikian? Penjelasan tentang berbagai persoalan mendasar seperti hakikat bangsa dan proses yang telah kita jalani selama ini akan menerangi masyarakat dalam melangkah ke depan mengatasi krisis multidimensi. Selain itu, muncul perkembangan yang amat memprihatinkan ketika kekerasan terjadi tiap detik dan di mana saja. Sebetulnya sejak kapan kekerasan muncul di Nusantara? Terutama sejak Indonesia merdeka, kita telah mengalami sekian lama gelombang kekerasan baik secara horizontal (antarmasyarakat) maupun vertikal (oleh negara). Bagaimana menyembuhkan trauma yang telah diderita korban kekerasan, terutama sejak peristiwa 1965 sampai kasus Aceh. Bagaimana memulihkan trauma yang dialami rakyat Aceh selama puluhan tahun akibat kekerasan TNI dan GAM. Masyarakat jelas tidak bisa melupakan masa lalu yang penuh kekejaman, yang menyakitkan. Dalam hal ini, selain Pengadilan HAM Ad Hoc, apakah perlu dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menangani berbagai kasus sejak Indonesia merdeka?
kli
pin gE
Alasan lain pembentukan Komnas Sejarah adalah kebingungan masyarakat mengenai buku dan pelajaran sejarah. Setelah Soeharto turun takhta Mei 1998, bermunculan tulisan di media massa dan buku tentang sejarah masa Orde Baru yang berbeda dengan apa yang diajarkan selama ini di sekolah. Masyarakat, terutama guru dan siswa, bingung. Untuk mengatasi hal ini, Departemen Pendidikan Nasional telah mengeluarkan pedoman bagi guru mengenai aspek kontroversial dalam sejarah Indonesia. Namun, pedoman itu masih memiliki berbagai kekurangan. Direncanakan terbit buku standar Sejarah Nasional Indonesia sebagai pengganti buku Sejarah Nasional Indonesia yang ditulis 1970-an. Penerbitannya diperkirakan baru selesai 2004. Dengan demikian, sampai 2004 akan ada kevakuman dalam pembenahan pengajaran sejarah di Indonesia. Sementara itu, kurikulum baru (kurikulum berbasis kompetensi) telah dilansir Pusat Kurikulum Depdiknas dan akan diberlakukan 2004. Tetapi, sejauh ini kurikulum baru itu tidak banyak beda dengan kurikulum sejarah yang lama. Bukan hanya soal politik dan hukum yang mengandung aspek kesejarahan, bidang ekonomi pun tak luput dari dimensi historis. Ketika Soekarno diturunkan dari kursi kepresidenan, ia meninggalkan utang 2,5 milyar dollar AS. Namun, ketika Soeharto berhenti, utang yang diwariskan kepada bangsa ini 150 milyar dollar AS (utang pemerintah dan swasta). Utang itu akan ditanggung kita dan anak-cucu kita. Sebetulnya, kalau kita menengok sejarah, Prof Alexander Sacks di Paris tahun 1927 telah memperkenalkan konsep utang najis (odious debt). Utang yang dibuat rezim otoriter tidak ditanggung rezim penggantinya. Kita sebetulnya dapat meminta penghapusan atau pemotongan utang, seperti dilakukan dan diterima Pemerintah Filipina baru-baru ini. Bukankah Marcos dan Soeharto sedikit banyak memiliki kemiripan. Jadi, sejarah bermanfaat untuk menyelesaikan aneka masalah yang dihadapi bangsa kita kini. Kelembagaan Lembaga semacam ini ada juga di luar negeri, seperti di Filipina, namun dengan status dan cakupan tugas yang berbeda. Oleh karena tidak ada lembaga asing yang dapat dijadikan rujukan, maka kita terpaksa melihat ke dalam negeri, membandingkan dengan komisi nasional pada bidang lain. Dari tiga Komnas yang telah berdiri lebih dulu, Komnas HAM dibentuk berdasar undang-undang. Sedangkan Komnas Perempuan yang diketuai Saparinah Sadli didirikan berdasar keputusan presiden (keppres). Komnas Anak yang dipimpin Seto Mulyadi (Kak Seto) tidak memiliki sifat keduanya. Baik Komnas HAM maupun Komnas Perempuan dibiayai berdasarkan anggaran yang berasal dari Sekretariat Negara.
Wacana KKR_03
3
Kemauan politik Presiden
M
Diusulkan agar Komnas Sejarah ada di bawah Presiden dan dibentuk berdasarkan keputusan presiden. Komisi memiliki ketua, sekjen, dan beberapa anggota, dibantu sekretariat tetap. Masa keanggotaan empat tahun dan dapat diperpanjang hanya satu kali masa jabatan. Semua pengurus memperoleh gaji/honorarium bulanan yang jumlahnya setara dengan honorarium lembaga sejenis seperti KPKPN atau Komisi Ombudsman. Mengingat lembaga ini memiliki tugas tidak ringan, ketua dan sekjen tidak dirangkap oleh pejabat struktural pada departemen/badan pemerintahan. Untuk memudahkan berurusan dengan lembaga pemerintah lainnya, sebaiknya kedudukan Sekjen Komnas Sejarah disesuaikan dengan model Sekjen Komnas HAM. Sekjen Komnas Sejarah harus seorang PNS (pegawai negeri sipil), kedudukannya disetarakan eselon satu. Jumlah keanggotaan tidak usah terlalu besar, tidak lebih dari sepuluh orang, dibantu sekretariat tetap. Komisi yang ramping, tetapi bekerja sepenuh waktu akan lebih baik daripada lembaga yang besar tetapi hanya bisa rapat selepas jam kantor. Untuk pertama kali, para narasumber yang ditunjuk Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dalam rangka pembentukan Komnas Sejarah dapat diusulkan menjadi anggota Komnas Sejarah ditambah beberapa tokoh dari luar Jakarta.
kli
pin gE
LS A
Komnas Sejarah memberi masukan kepada Presiden mengenai berbagai persoalan sejarah dan persoalan masa lalu bangsa. Lembaga ini juga akan berperan dalam menjelaskan aspek sejarah yang kontroversial di tengah masyarakat. Di bidang pendidikan, in- stitusi ini akan memberi pertimbangan dalam penulisan Sejarah Nasional Indonesia yang selanjutnya akan menjadi pegangan pembuatan buku teks sekolah. Komnas Sejarah juga memberi masukan dalam penyusunan kurikulum nasional sejarah. Butir-butir yang diajarkan dalam pelajaran sejarah didiskusikan Komnas Sejarah. Selain itu, dalam rangka menyelesaikan persoalan sosial-politik masa lalu, Komnas Sejarah menyumbangkan pemikiran dan berpartisipasi dalam pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pembentukan Komnas Sejarah dan sejauh mana wewenang yang dimilikinya akan menjadi barometer kemauan politik Presiden dalam menangani masalah sejarah dan persoalan masa lalu bangsa Indonesia. Dr Asvi Warman Adam sejarawan LIPI
Wacana KKR_03
4
Suara Pembaruan, Jumat 10 Januari 2003
Pemerintah Didesak Susun RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah untuk segera menyusun dan mengajukan ke DPR Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Selain itu pemerintah juga didesak untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik serta Konvensi Internasional mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, usai bertemu Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Jakarta, Kamis (9/1) menjelaskan, RUU Kebenaran dan Rekonsiliasi sangat diperlukan sebagai dasar bagi upaya-upaya rekonsiliasi Bangsa Indonesia. Hal tersebut, lanjutnya, saat ini dirasa perlu setelah ditandatanganinya Perjanjian Penghentian Permusuhan oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Jenewa, Swiss, 9 Desember 2002. Sebab, salah satu kesepakatan pasca-Perjanjian Jenewa, adalah penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh melalui jalan rekonsiliasi dan adat. "Dalam pertemuan tadi tidak secara khusus membahas soal Aceh. Tetapi kami sampaikan ke Presiden bahwa rekonsiliasi ini suatu cara yang mestinya dikedepankan. Dan untuk mendukungnya perlu segera dibahas dan diundangkan, yaitu UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," jelasnya. Oleh karenanya, Komnas HAM menekankan supaya pemerintah mengambil prakarsa dalam penyusunan RUU-nya. Selanjutnya, Garuda mengatakan, pihaknya juga mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi dua Konvensi Internasional, masing-masing mengenai hak sipil dan politik, serta mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. Maksud dari ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia tersebut, menurut Garuda, untuk melindungi dan memperkokoh hak-hak masyarakat Indonesia di bidang ekonomi, sosial dan budaya. "Ini ada kaitannya dengan hak rakyat akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL) dan tarif telepon seperti yang terjadi sekarang," jelasnya. Pada pertemuan dengan Presiden, Komnas HAM juga meminta komitmen pemerintah dalam hal penegakan hukum, terutama mengakhiri praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Menanggapi hal itu, Presiden mengatakan tidak cukup dilakukan oleh eksekutif di pusat. Tetapi Pemda, yudikatif dan legislatif juga harus konsisten melakukannya. "Presiden mengakui yudikatif perlu didorong oleh eksekutif dan legislatif bersama-sama," ujar Garuda. (A-17) Last modified: 10/1/2003
Wacana KKR_03
5
Suara Pembaruan, Senin 13 Januari 2003
Kekuatan Lama Ganjal RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi TNI dan Golkar Menghambat Lahirnya UU KKR
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Presiden Megawati Soekarnoputri dinilai lamban dalam melaksanakan salah satu amanat MPR untuk segera mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) ke DPR. Kelambanan itu disinyalir karena masih adanya kekuatan politik lama, seperti TNI dan Golkar, yang memang tidak menginginkan adanya UU KKR. Demikian penilaian Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Ifdhal Kasim, di Jakarta, Senin (13/1). Ifdhal yang turut dalam penyusunan draf RUU KKR mengungkapkan, draf itu telah diselesaikan sejak Pemerintahan Abdurrahman Wahid. "Saat ini draf RUU KKR masih tertahan di Sekretariat Negara," ungkapnya. Secara terpisah, Wakil Direktur Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Robertus Robert menilai, Pemerintahan Megawati tidak melihat masalah penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebagai prioritas. "Pemerintah sekarang tampak sangat akomodatif terhadap TNI, sehingga mengabaikan masalah penyelesaian pelanggaran HAM," tandasnya. Robertus menambahkan, tidak adanya agenda yang tegas dari pemerintah soal HAM, dimanfaatkan oleh kekuatan politik lama yang tidak ingin mempertanggungjawabkan masalah pelanggaran HAM di masa lalu. "Kalau ini dibiarkan, saya khawatir di masa depan peristiwa-peristiwa serupa akan terulang lagi," ujarnya. Menurutnya, rekonsiliasi tidak sepenuhnya mampu menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. "Masyarakat korbanlah yang sepenuhnya bisa menentukan warna bagaimana penyelesaian HAM yang semestinya," tandasnya. Kendala Ifdhal Kasim lebih lanjut mengungkapkan, saat Sidang Tahunan MPR 2002 lalu, MPR mempertanyakan kepada Presiden mengenai kelanjutan dari penyusunan UU KKR. "Saat itu Presiden Megawati menjanjikan akan mempercepat pembahasannya," katanya. Amanat pembentukan UU KKR sendiri dituangkan dalam Tap MPR No 5/2002. Diingatkan, saat ini Pemerintah menghadapi sejumlah proses rekonsiliasi, sebagaimana yang akan dilaksanakan di Aceh dan Papua. "Proses rekonsiliasi itu kalau tidak ada dasar hukumnya, akan kehilangan substansinya, seperti menyangkut soal pertanggungjawaban di masa lalu," ujarnya. Dia khawatir apabila proses rekonsiliasi dilaksanakan tanpa dasar hukum, akan mengarah pada upaya mengusung kepentingan politik pemerintah, tanpa menyentuh kepentingan riil masyarakat. "Kalau itu yang terjadi, kemungkinan proses rekonsiliasi dari pemerintah ditolak oleh masyarakat akan sangat besar. Jadi sebaiknya dasar hukum rekonsiliasi itu cepat diselesaikan," tandasnya. Menurut Ifdhal, lambannya Pemerintahan Megawati mengajukan RUU KKR ke DPR, antara lain adanya kendala struktural yang berasal dari pemerintahannya sendiri. Dia menyebut dua kekuatan politik lama, seperti TNI dan Golkar, yang menghambat lahirnya UU KKR. "Sebab kekuatan politik lama itulah yang menjadi sasaran dari UU KKR itu nantinya. Pelanggaran-pelanggaran oleh pemerintah di masa lalu banyak dilakukan oleh TNI dan Golkar, dan UU KKR akan menuntut pertanggungjawaban atas semua itu," jelasnya. Menghadapi realitas tersebut, lanjut Ifdhal, menyebabkan Megawati bersikap kompromi. "Harus diakui Mega butuh TNI dan Golkar. Dia ingin membangun stabilitas rezim, sehingga ada hal-hal yang terpaksa dikorbankan," ujarnya. Akan tetapi, sikap lamban Mega dalam menuntaskan RUU KKR, bisa kontraproduktif bagi pemerintahannya. Sebab masalah RUU KKR sudah diamanatkan oleh MPR. "Seharusnya RUU KKR ini menjadi kepentingan politik Megawati dan PDI-P. Kalau sampai tidak diselesaikan, ada alasan konstitusional bagi MPR untuk memberikan rapor merah bagi Pemerintahan Mega. Ini tentu mengurangi kans untuk maju pada Pemilihan Presiden 2004," katanya. (A-17) Last modified: 13/1/2003
Wacana KKR_03
6
Media Indonesia, Rabu, 15 Januari 2003
Harus Ada MoU Pelanggaran HAM
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA (Media): Tiga lembaga terkait, yaitu Komnas HAM, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), harus membuat kesepakatan bersama atau memorandum of understanding (MoU) untuk menyamakan persepsi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM sebelum UU No 26/1999 diundangkan. "Ketiga institusi ini sangat berkaitan dengan usaha pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM terutama di masa lampau, sebelum diundangkannya UU No 26/1999. Anggota DPR yang diharapkan turut serta dalam usaha pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat adalah Komisi II. Alangkah baiknya jika Komisi II DPR terlebih dahulu memprakarsai penandatanganan MoU tersebut agar ketiga institusi itu memunyai satu persepsi," kata Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara kepada pers, seusai melakukan pertemuan dengan Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Kejaksaan Agung BR Pangaribuan di kantor Komnas HAM, kemarin. Dengan adanya MoU tersebut diharapkan antara institusi yang saling terkait tidak jalan sendiri dan tidak terpisah satu dengan yang lainnya. Kalau tidak ada persamaan persepsi antarketiga institusi tersebut maka hasil penyelidikan satu institusi tidak akan tuntas karena tidak ditindaklanjuti oleh institusi terkait lainnya. Seperti yang telah diatur, Komnas HAM merupakan komisi negara yang berhak melakukan penyelidikan pada kasus pelanggaran HAM, sementara Kejaksaan Agung adalah institusi yang berhak melakukan penyidikan. Kalau tidak ada kerja sama dan persamaan persepsi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung, maka penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM sulit untuk ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung. "Pertemuan kami dengan BR Pangaribuan sendiri dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama yang baik antara Komnas HAM dan Kejaksaan. Komnas HAM adalah institusi yang melakukan penyelidikan, sementara Kejaksaan adalah institusi yang melakukan penyidikan, jadi seharusnya sudah harus memiliki persamaan persepsi," ujar Hakim Garuda. Sementara itu, Pangaribuan mengaku terdapat perbedaan persepsi antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung terhadap beberapa pasal dalam UU No 26/1999. Demikian juga dengan DPR. Keputusan politis DPR yang menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus Trisakti, Semanggi I dan II menjadi penghambat pengungkapan ketiga kasus pelanggaran HAM tersebut. "Hal itu bisa dijadikan rujukan bagi orang-orang yang kita duga terlibat, karena mereka pasti tidak mau dipanggil untuk penyelidikan, begitu pula penyidikan akibat keputusan politis DPR tersebut," kata Pangaribuan. Sementara mengenai perbedaan jumlah tersangka antara Komnas HAM dan Kejaksaan dalam kasus Tanjung Priok, Pangaribuan mengungkapkan meskipun jumlah pelaku yang disebutkan Komnas HAM sebanyak 23 orang, tetapi selama ini hanya 14 orang yang memunyai cukup bukti untuk dijadikan tersangka. (CR-21/P-3)
Wacana KKR_03
7
Koran Tempo, Jumat, 17 January 2003
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Tertahan di Presiden JAKARTA -- Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) belum juga ditandatangani Presiden Megawati. Padahal, menurut Dirjen Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Abdul Gani Abdullah, draft itu sudah diserahkan ke Sekretariat Negara awal 2002. "Saya menghubungi Setneg pekan lalu. Kata mereka tinggal menunggu tandatangan Presiden untuk selanjutnya diserahkan ke DPR," kata Gani kepada Koran Tempo kemarin.
M
Namun menurut Ifdhal Kasim, anggota tim perumus rancangan undang-undang itu, penghambat proses justru Setneg. Ia lalu menunjuk langkah Setneg yang beberapa waktu lalu mempertanyakan beberapa hal dalam rancangan. "Itu melampaui kewenangan mereka," kata Ifdhal.
LS A
Ifdhal mengatakan, Sekneg misalnya berkeberatan dalam pasal soal kompensasi dan restitusi terhadap keluarga korban dan korban. Dalam rancangan itu memang diatur soal pemberian kompensasi atau ganti kerugian dari negara kepada korban dan keluargan korban serta ganti kerugian kepada korban dan keluarga korban oleh pelaku atau pihak ketiga. "Mereka mengatakan, negara tidak punya uang untuk membayar ganti rugi itu. Ini jelas bukan urusan Sekneg tapi ini urusan kewenangan negara pada rakyatnya," ujar Ifdhal.
pin gE
Namun, menurut Gani, pasal kompensasi, rehabilitasi dan restitusi pada draft RUU KKR tidak mengalami perubahan. Perubahan, katanya, hanya menyangkut pemberian kewenangan kepada Presiden untuk mengusulkan sejumlah nama calon komisi ini untuk pertama kalinya. "Jadi untuk pertama kali (pembentukan komisi) Presiden dapat mengusulkan calon anggota komisi. Kalau yang lain tidak ada perubahan," papar Gani. Gani beralasan, UU ini begitu operasional langsung harus ditindaklanjuti dengan pembentukan komisi. Jika proses pengusulan nama datang dari masyarakat, kata dia, akan memakan waktu lebih lama. Gani membantah rancangan ini memberikan kewenangan mutlak kepada Presiden untuk mengusulkan calon-calon yang disenanginya. Menurut dia, Presiden memiliki staf yang mengurusi masalah ini. "Lagipula ini kan untuk pertama kalinya. Kalau untuk pemilihan anggota komisi selanjutnya, masyarakat boleh ikut mengusulkan," ujarnya beralasan.
kli
Selanjutnya, di DPR akan diadakan seleksi untuk memilih dari sejumlah nama yang diusulkan Presiden. Soal usulan presiden diterima atau ditolak DPR, Gani menolak berkomentar. Pernyataan ini berbeda dengan draft akhir rancangan. Dalam dratt diatur bahwa Komisi Nasional HAM lah yang pertama kali berwenang memilih dan menyeleksi seluruh anggota komisi. Komnas HAM membentuk panitia seleksi untuk menerima usulan dari perorangan, kelompok orang, atau organisasi kemasyarakatan sesuai kriteria yang diatur RUU ini. Hasil pilihan dari panitia seleksi diserahkan kepada Komnas HAM untuk diseleksi kembali. Hasil seleksi Komnas HAM kemudian diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Presiden sebagai Kepala Negara bertugas menetapkan nama-nama yang disetujui. Direktur LBH Jakarta Iriantor Subiakto meragukan niat baik dalam perubahan pengusulan calon itu kepada presiden. "Ini tidak fair. Sebab, yang dipersoalkan adalah negara sebagai pelaku pelanggaran HAM." Anehnya, kata Irianto, rancangan memberi kewenangan kepada Presiden untuk mengusulkan calon anggota komisi dan kemudian menetapkannya. "Dari hulu ke hilir dia yang pegang. Niatnya apa?" ujarnya. Untuk menghindari tunggangan kepentingan politis, menurut Irianto, sudah seharusnya kewenangan pemilihan dan seleksi calon anggota komisi diserahkan ke Komnas HAM. maria hasugian
Wacana KKR_03
8
Koran Tempo, Jumat 17 Januari 2003
Komisi Pemberi Rekomendasi Pengampunan Berikutsejumlayh pasal yang mengatur tugas, fungsi, dan keanggotaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Pasal 4 Komisi mempunyai fungsi kelembagaan yang bersifat publik untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran atas pelangggaran hak asasi manusia yang berat dan melakukan rekonsiliasi.
LS A
M
Pasal 5 Komisi memiliki tugas: 1. Menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korban 2. Melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran HAM berat 3. Memberi rekomendasi kepada presiden dalam permohonan amnesti 4. Menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah dalam pemberian kompensasi, restitusi, atau rehabilitasi. 5. Menyampaikan laporan tahunan dan leporan akhir tentang pelaksanaan tugas dan wewenang berkaitan dengan perkara yang ditanganinya kepada presiden dan DPR dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.
Pasal 29
pin gE
Pasal 27 1. Dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru dan Orde Lama telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, komisi wajib memberikan rekomndasi kepada presiden untuk memberikan amnesti. 2. Penryataan perdamaian wajib dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani kedua pihak dan diketahui ketua komisi.
kli
Keanggotaan komisi diperoleh berdasarkan seleksi dan pemilihan oleh Komnas HAM, dari suatu daftar nominasi yang diajukan oleh perorangan, kelompok orang atau organisasi ke masyarakatan.
Wacana KKR_03
9
Koran Tempo, Rabu, 22 January 2003
DPR: Lembaga Impunity Baru?
Satya Arinanto Pengajar FHUI, Analis Hukum Dan Konstitusi Akhir-akhir ini berkembang perdebatan mengenai kelanjutan proses pemeriksaan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (TSS). Sinyalemen ini muncul dari dua lembaga sentral yang memiliki kaitan erat dengan proses pemeriksaan perkara pelanggaran HAM berat, yakni dari Komisi Nasional HAM dan Kejaksaan Agung. Menurut kedua lembaga tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga yang menghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang disingkat TSS tersebut. Kejaksaan Agung dan Komnas HAM akan mengirim surat kepada DPR agar DPR mengkaji ulang keputusannya soal penyelesaian kasus TSS (Kompas, 15 Januari 2003).
LS A
M
Entah kebetulan atau tidak, sinyalemen tentang potensi DPR untuk berfungsi sebagai lembaga yang membebaskan atau mengampuni kesalahan (impunity) ini muncul setelah adanya pemberitaan media massa tentang pertemuan antara mantan Menteri Pertahanan Keamanan/Pangab Wiranto dengan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan pada 13 Februari 2003 lalu. Menurut Sekretaris Jenderal/Panitera MA Gunanto Suryono, dalam pertemuan itu bisa saja dibicarakan persoalan penanganan perkara dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan mantan presiden Soeharto yang kini sedang ditangani Komnas HAM. Hal ini berkaitan dengan fenomena bahwa Komnas HAM sudah membentuk tim ad hoc untuk melakukan penyelidikan terhadap hal tersebut.
pin gE
Menurut Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara, tim ad hoc tersebut akan melakukan penyelidikan terhadap berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi pada era Soeharto, misalnya, peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965, kasus Komando Jihad. Hakim menyatakan bahwa tim itu akan menyelidiki sejauh mana duduk persoalan kasus-kasus tersebut. Fokusnya antara lain akan dilihat apakah berbagai pelanggaran HAM berat itu terjadi karena sebuah kebijakan atau bukan, serta siapa-siapa saja yang terlibat. Kembali ke masalah kasus TSS. Sebagaimana kita ketahui, DPR telah pernah membentuk panitia khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut, berdasarkan Surat Keputusan Ketua DPR Akbar Tandjung. Setelah beberapa kali pertemuan, panitia khusus menyimpulkan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat dalam kasus TSS tersebut. Kesimpulan inilah yang hingga saat ini dipergunakan oleh berbagai kalangan, terutama kalangan yang berkepentingan dengan kasus tersebut, untuk menghindari terjadinya penghukuman terhadap kasus tersebut.
kli
Dalam konteks inilah telah lama muncul pemikiran bahwa DPR akan berperan sebagai lembaga yang berpotensi melakukan pembebasan dari hukuman atau pengampunan (impunity) baru. Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 43 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan proses seleksi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Menurut UU itu, jika DPR setuju, presiden kemudian dapat menerbitkan keputusan presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc guna mengadili kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Hingga saat ini baru ada dua kasus yang telah disetujui DPR dan diterbitkan keppresnya, yakni kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di eks Timor Timur, khususnya yang terjadi di Dili, Liquica, dan Suai. Kedua, kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Tanjung Priok pada September 1984. Di luar kedua kasus tersebut, sebenarnya pemerintah melalui Menteri Kehakiman dan HAM juga telah menyampaikan usulan pembentukan pengadilan HAM untuk kasus Aceh, namun hingga saat ini hal tersebut belum mendapatkan respons dari DPR.
Dalam kasus TSS, memang muncul sinyalemen bahwa kesimpulan DPR tentang kasus TSS--bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus tersebut--dikeluarkan dalam konteks kepentingan dari fraksi-fraksi non-TNIPolri di DPR untuk menarik dukungan dari Fraksi TNI-Polri dalam rangka rencana penarikan mandat kepresidenan Abdurrahman Wahid yang lalu. Rencana ini telah berlangsung dengan "sukses", sejalan dengan turunnya Wahid dari kursi kepresidenannya. Namun, dampak dari kesimpulan tersebut masih terasa hingga saat ini, yakni munculnya penilaian bahwa DPR berpotensi secara "legal" untuk menjadi lembaga impunity baru. Dengan demikian, memang diperlukan peninjauan kembali, atau bahkan revisi, terhadap ketentuan UU Nomor 26
Wacana KKR_03 10
kli
pin gE
LS A
M
Tahun 2000 yang berkaitan dengan hal tersebut. Memang, latar belakang pemasukan pasal-pasal yang berkaitan dengan hal itu dapat dipahami, yakni agar tidak semua kasus pelanggaran berat HAM pada masa lalu dapat dengan mudah dibuka. Namun, penempatan peran pada lembaga DPR untuk menyeleksi kasus-kasus mana yang bisa dibuka pengadilannya dan kasus-kasus mana yang tidak bisa dibuka telah menimbulkan penilaian sebagaimana tercantum dalam judul tulisan ini. Semoga sinyalemen ini tidak tepat.
Wacana KKR_03 11 Suara Pembaruan, Kamis 06 Februari 2003
Mencari Model Rekonsiliasi Nasional untuk Cegah Disintegrasi Bangsa Bagian Pertama dari Dua Tulisan Judo Poerwowidagdo KRISIS ekonomi dan moneter yang dimulai bulan Juli 1997 yang lalu, telah berkembang menjadi krisis politik, hukum, kepercayaan, krisis moral dan sebagainya sehingga dapat dikatakan telah terjadi krisis total dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak dapat disangkal pula bahwa krisis total itu disebabkan terutama oleh adanya kebijakan-kebijakan (policies) pembangunan yang salah selama Orde Baru memegang pemerintahan.
M
Bukan saja kesalahan dalam kebijakan pembangunan nasional, tetapi juga kesalahan dalam kebijakan pemerintahan dan dalam berbagai sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kebijakan-kebijakan pembangunan nasional dan pemerintahan itu telah menyimpang dari cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk membangun suatu masyarakat modern yang adil dan makmur serta sejahtera material dan spiritual, yang lestari berdasarkan Pancasila.
LS A
Krisis total ini mengharuskan adanya reformasi total pula. Yang saya maksudkan dengan reformasi total adalah pembaruan menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, terutama dari segi-segi yang mendasar sebagai landasan kita hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh, suatu bangsa yang maju dan modern di tengah-tengah berbagai bangsa di dunia ini.
pin gE
Reformasi total ini menyangkut kehidupan sosial-ekonomi, politik, hukum, dan budaya, serta pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia. Dalam keadaan krisis total sekarang ini, di mana situasi politik dan ekonomi sangat tidak stabil atau sangat rentan, ditambah dengan praktik hukum serta peradilan kita yang mengalami banyak penyimpangan, telah terjadi berbagai kerusuhan-kerusuhan massal yang menyebabkan korban jiwa yang luar biasa banyaknya. Memprihatinkan
Kerusuhan massal yang banyak terjadi di berbagai wilayah negara kita itu sangat memprihatinkan, karena telah mengakibatkan korban jiwa ribuan rakyat Indonesia dan mengakibatkan puluhan bahkan mungkin ratusan ribu lainnya menjadi pengungsi di negara sendiri (internally displaces persons - IDPs). Dari kerusuhan atau keributan yang kecil antar-pribadi dapat berkembang menjadi kerusuhan massal yang melibatkan ribuan penduduk, dan dapat berkembang menjadi kerusuhan yang bersifat SARA.
kli
Rupa-rupanya ada kelompok-kelompok tertentu di dalam masyarakat yang memanfaatkan situasi konflik di dalam masyarakat sehingga berkembang atau sengaja dikembangkan menjadi konflik SARA yang meluas. Kerusuhankerusuhan sosial yang sangat memprihatinkan ini, termasuk yang direkayasa seakan-akan konflik yang bersifat SARA itu jelas-jelas membahayakan keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia, dan akan mengakibatkan disintegrasi bangsa. Namun lebih dari itu, yang sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa, serta keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia adalah kesalahan-kesalahan ataupun kekeliruan-kekeliruan yang mendasar yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat selama negara kita merdeka, dan terutama selama Pemerintahan Orde Baru. Kebijakan Pemerintah Orde Baru yang mengutamakan laju pertumbuhan ekonomi, yang mensyaratkan adanya stabilitas politik, dilakukan atau dilaksanakan dengan pendekatan keamanan (security approach).
Kebijakan yang seharusnya ditempuh dalam pembangunan nasional adalah pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, seperti yang telah digariskan dalam GBHN-GBHN sebagai TAP-TAP MPR (1973, 1978, 1983). Hal ini seharusnya dilakukan melalui pendidikan politik, pendidikan demokrasi serta pendidikan karakter (character building) dalam masyarakat.
Wacana KKR_03 12 Kenyataannya, pelaksanaan menyimpang dari hal-hal ini. Bukannya pendidikan politik dan demokrasi, tetapi yang dilakukan adalah indoktrinasi P-4 yang sangat tidak konsekuen dalam praktiknya. Bukannya iklim demokrasi yang dikembangkan, tetapi sebaliknya, yaitu iklim kekuasaan mutlak, mono loyalitas dan asas tunggal. Tidak ada toleransi perbedaan pendapat. Bahkan pelaksanaan pembangunan dipenuhi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah. Dengan pembangunan yang sentralistis (memusat di Pulau Jawa), terjadi ketimpangan-ketimpangan sosial dan ketidakadilan dalam pembangunan daerah. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial berbagai wilayah yang merasakan kesenjangan pembangunan itu sebagai ketidakadilan. Seperti wilayah-wilayah Sumatera serta Sulawesi dan Maluku semasa Orde Lama, dan Aceh, Papua Barat (Irian Jaya), serta Timor Timur semasa Orde Baru. Sarana
LS A
M
Apabila kita mengingat perjuangan kemerdekaan bangsa kita melawan penjajah, melawan kolonialisme dan imperialisme Belanda dan melawan kekejaman-kekejaman militer Jepang yang fasistis, kita tidak akan berhasil apabila kita tidak menggalang kesatuan dan persatuan gerakan dan perjuangan kemerdekaan. Tanpa persatuan dan kesatuan bangsa dan gerakan serta perjuangan itu, tentu kita belum dapat merdeka sekarang ini. Kesatuan dan persatuan bangsa merupakan suatu syarat atau sarana untuk mencapai kemerdekaan bangsa kita. Bagi perjuangan kemerdekaan, maka kesatuan dan persatuan perjuangan merupakan suatu conditio sine qua non suatu kondisi yang harus ada. Kalau kita melihat sejarah bangsa kita mulai tahun 1908, tahun kebangkitan bangsa dengan berdirinya Boedi Oetomo dan tahun 1928, Kongres Pemuda yang melahirkan Sumpah Pemuda, kita menyadari bahwa kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia sebagai alat perjuangan kemerdekaan kita itu telah membawa hasil nyata.
pin gE
Tujuan persatuan dan kesatuan bangsa ini adalah untuk mencapai kemerdekaan, kebebasan bagi seluruh bangsa kita, seluruh lapisan masyarakat kita dari Sabang sampai Merauke. Bahkan TNI pun tumbuh dari dan menyatu dengan rakyat, didukung oleh rakyat karena melindungi dan memberi ketenteraman kepada rakyat dan berjuang bersamasama dengan rakyat. Dengan kesatuan dan persatuan bangsa, rakyat dan tentara nasional kita dapat mencapai kemerdekaan dengan maksud membangun masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera material dan spiritual, sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kesatuan dan persatuan bangsa ini sebenarnya bukanlah merupakan tujuan akhir perjuangan kita, tetapi merupakan suatu alat dan strategi perjuangan, merupakan sarana perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Namun dalam perkembangan sejarah bangsa kita, telah terjadi sedikit pergeseran ideologi dalam hal ini. Kesatuan dan persatuan bangsa, seakan-akan telah merupakan dan dijadikan tujuan akhir itu sendiri, yang coute que coute harus dipertahankan, yang bagaimanapun juga harus dipertahankan, apapun risikonya (at all costs).
kli
Menurut pendapat saya, ideologi kesatuan dan persatuan bangsa sedemikian itu perlu direnungkan lebih dalam dan matang. Tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai kemerdekaan dan kebebasan, mencapai kebahagiaan dan kehidupan yang nyaman, aman dan sejahtera. Masyarakat yang kita idam-idamkan adalah suatu masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera material dan spiritual. Inilah tujuan perjuangan kemerdekaan bangsa kita yang dapat kita capai dengan persatuan dan kesatuan gerakan dan perjuangan kemerdekaan. Demikian juga perjuangan kita membebaskan Irian Barat (Irian Jaya/Papua Barat) menjadi bagian yang integral dari negara Republik Indonesia yang bebas merdeka dari penjajahan Belanda. Juga usaha dan perjuangan penyatuan Provinsi Timor Timur ke dalam Republik Indonesia itu bertujuan untuk menjadikan rakyat di sana juga merdeka, bebas dari kolonialisme Portugal, maupun bebas dari cengkeraman komunisme, dan menjadikan rakyat Timor Timur juga hidup aman, sejahtera material dan spiritual, yang lestari berdasarkan Pancasila, bersama-sama dengan rakyat Indonesia lainnya. Namun apa yang dialami oleh penduduk atau rakyat di daerah Istimewa Aceh, di Irian Jaya dan di Timor Timur sangat berbeda dengan harapan kemerdekaan mereka. Rakyat atau penduduk di provinsi-provinsi itu yang juga telah ikut berjuang bersama-sama dengan rakyat Indonesia lainnya, berjuang bersama TNI untuk mencapai kemerdekaan
Wacana KKR_03 13 bersama Republik Indonesia, tidak mengalami kemajuan dan perkembangan daerah seperti di wilayah lain Republik ini, terutama tidak sama dengan Pulau Jawa. Hal ini karena kebijakan pembangunan nasional Pemerintah Pusat yang sangat sentralistis. Mereka merasakan ketimpangan dan ketidakadilan pembagian hasil pendapatan daerah, sumber-sumber daya alam di wilayah mereka dengan pemerintah pusat. Sementara itu korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan pejabat pemerintah pusat dan daerah telah mentelantarkan rakyat di wilayah-wilayah itu serta menimbulkan rasa ketidakadilan, bahkan mungkin juga kebencian terhadap pemerintah pusat. Pemerintah Pusat
M
Oleh karena itu kita melihat adanya konflik-konflik vertikal, dalam wujud gerakan separatisme dan bukan saja konflik horizontal dalam masyarakat. Gerakan separatisme tentu tidak dapat dibiarkan oleh pemerintah pusat, dan oleh karena itu wilayah atau provinsi itu diberlakukan sebagai DOM.
LS A
Apabila praktik-praktik ketidakadilan sosial semacam ini masih akan terus berlanjut, konflik vertikal semacam ini dapat diantisipasi akan terus muncul atau tetap berlangsung bahkan akan dapat merebak atau meluas ke wilayahwilayah atau provinsi lain yang juga merasakan hal yang sama. Apabila hal ini terjadi, maka bahaya disintegrasi bangsa dan negara menjadi semakin besar, karena gerakan-gerakan separatisme akan menuntut pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
kli
pin gE
Penulis adalah Direktur Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian, Jakarta Last modified: 6/2/2003
Wacana KKR_03 14 Suara Pembaruan, Jumat 07 Februari 2003
Mengantisipasi Konflik dalam Masyarakat Bagian Terakhir dari Dua Tulisan Judo Poerwowidagdo
kli
pin gE
LS A
M
Konflik masyarakat cenderung untuk terjadi atau meledak apabila terdapat kesenjangan dalam unsur atau sumbersumber konflik, yang dibiarkan terjadi tanpa ada penyelesaian. Unsur-unsur atau sumber-sumber konflik itu dapat di kategorikan dalam 6 hal, yaitu sumber daya alam (ketidakadilan dalam pembagian SDA), informasi (distorsi informasi, atau informasi yang salah/keliru, sengaja atau tidak), nilai-nilai (agama/budaya/adat/tradisi/moral/etis), kepentingan (perbedaan kepentingan), hubungan (hubungan primordialis) dan struktur (yang diskriminatif, tidak adil). Kita juga dapat mengantisipasi bahwa suatu saat konflik itu akan meledak apabila terdapat unsur ataupun gejala sebagai berikut. Terdapat kelompok-kelompok penduduk yang masing-masing terpisahkan satu dari yang lain, berdasarkan identitas atau ciri kelompok itu, misalnya berdasarkan kelompok etnis, agama atau status sosial (identitas primordialistis). Juga terdapat perbedaan kelompok-kelompok antara penduduk asli (setempat) dan kelompok-kelompok pendatang, yang berlainan etnis, agama atau status sosial ekonominya (hubungan primordialistis). Selain itu, ada kesenjangan sosial antara kelompok-kelompok, baik dalam hal ekonomi, pendidikan maupun dalam hal kekuasaan. Di samping itu, ada kelompok-kelompok masyarakat yang termarjinalisasi. Ada ketidakadilan struktural, misalnya pembedaan status dan privileges bagi kelompok tertentu. Ada pergerakan sosial ke atas dalam masyarakat dari masyarakat yang semula terpinggirkan (upward social mobility dari marginalized groups). Jalan yang paling baik untuk dapat menghindarkan meletusnya konflik dalam masyarakat adalah mengurangi atau menyingkirkan gejala-gejala yang tersebut di atas. Hal ini dapat dilakukan dengan social engineering, misalnya: * Tidak memperkenankan pengelompokan domisili dari kelompok yang sama di daerah atau wilayah yang sama secara eksklusif. Jadi tempat tinggal/domisili atau perkampungan sebaiknya mixed, atau campuran dan tidak mengelompok berdasarkan suku (etnis), agama, atau status sosial ekonomi tertentu. * Masyarakat pendatang dan masyarakat atau penduduk asli juga harus berbaur atau membaur atau dibaurkan. * Segala macam bentuk ketidak-adilan struktural harus dihilangkan atau dibuat seminim mungkin. Baik ketidakadilan sosial, ekonomi maupun politik. * Kesenjangan sosial harus dibuat seminim mungkin, dan sedapat-dapatnya dihapuskan sama sekali. * Perlu dikembangkan adanya identitas bersama (common identity) misalnya kebangsaan (nasionalisme-Indonesia). Masyarakat Terpecah Perlu dicari tokoh masyarakat yang dipercaya dan/ atau dihormati oleh pihak-pihak yang berkonflik, untuk berusaha menghentikan konflik (conflict intervention), melalui lobi-lobi, negosiasi, diplomasi. Hal ini merupakan usaha peace making. Dalam usaha untuk mengembangkan adanya perdamaian yang lestari, atau adanya rekonsiliasi, maka metode yang dipakai oleh pihak ketiga sebaiknya adalah mediasi dan bukan arbitrase. Dalam arbitrase, pihak ketiga (pendamai) yang dipercaya oleh pihak-pihak yang bertentangan/berkonflik itu, setelah mendengarkan masing-masing pihak mengemukakan masalahnya, maka si arbitrator "mengambil keputusan dan memberikan solusi atau penyelesaiannya, yang "harus" ditaati oleh semua pihak yang berkonflik. Penyelesaian konflik melalui jalan arbitrase mungkin dapat lebih cepat diusahakan, namun biasanya tidak lestari. Apalagi kalau ada pihak yang merasa dirugikan, dikalahkan atau merasa bahwa kepentingannya belum diindahkan. Sebaliknya, mediasi adalah suatu cara intervensi dalam konflik, di mana mediator (fasilitator) dalam konflik ini juga harus mendapat kepercayaan dari pihak yang berkonflik. Tugas mediator adalah memfasilitasi adanya dialog antara pihak yang berkonflik, sehingga semuanya dapat saling memahami posisi maupun kepentingan dan kebutuhan masing-masing, dan dapat memperhatikan kepentingan bersama. Jalan keluar atau penyelesaian konflik harus diusulkan oleh atau dari pihak-pihak yang berkonflik. Mediator sama sekali tidak boleh mengusulkan atau memberi jalan keluar/penyelesaian, namun dapat mengajukan pertanyaanpertanyaan yang membantu pihak-pihak yang berkonflik untuk dapat mengusulkan atau menemukan jalan penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak. Mediator tidak boleh memihak, harus "impartial", tidak bias, dsb. Mediator harus juga memperhatikan kepentingan-kepentingan stakeholders, yaitu mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik, tetapi juga mempunyai kepentingan-kepentingan dalam atau atas penyelesaian konflik itu.
Wacana KKR_03 15
kli
pin gE
LS A
M
Kalau stakeholders belum diperhatikan kepentingannya atau kebutuhannya, maka konflik akan dapat terjadi lagi, dan akan meluas serta menjadi lebih kompleks dan dapat berlangsung dengan berkepanjangan. Mengembangkan kegiatan pendamaian itu tidak mudah. Ada beberapa tahapan atau perkembangan yang dapat kita amati yaitu: a) Peace making (conflict resolution) yaitu memfokuskan pada penyelesaian masalah-masalahnya (isunya: persoalan tanah, adat, harga diri, dsb.) dengan pertama-tama menghentikan kekerasan, bentrok fisik, dll. Waktu yang diperlukan biasanya cukup singkat, antara 1-4 minggu. b) Peace keeping (conflict management) yaitu menjaga keberlangsungan perdamaian yang telah dicapai dan memfokuskan penyelesaian selanjutnya pada pengembangan/atau pemulihan hubungan (relationship) yang baik antara warga masyarakat yang berkonflik. Untuk itu diperlukan waktu yang cukup panjang, sehingga dapat memakan waktu antara 1-5 tahun. a) Peace building (conflict transformation). Dalam usaha peace building ini yang menjadi fokus untuk diselesaikan atau diperhatikan adalah perubahan struktur dalam masyarakat yang menimbulkan ketidak-adilan, kecemburuan, kesenjangan, kemiskinan, dsb. Waktu yang diperlukanpun lebih panjang lagi, sekitar 5-15 tahun. Dalam konteks Indonesia akhir-akhir ini, banyak konflik atau kekerasan masyarakat yang sebenarnya bersumber pada masalah ketidakadilan sosial, budaya dan politik. Konflik-konflik ini sering berubah sifatnya atau berkembang menjadi konflik atau kekerasan yang bersifat konflik SARA. Ada konflik sosial yang berkembang menjadi konflik antarpemeluk agama yang berbeda. Sebenarnya tidak ada konflik agama atau konflik dengan kekerasan yang didasarkan pada ajaran agama, namun secara politis, konflik sosial, budaya dan politik di manipulasikan menjadi konflik antarumat beragama, atau bahkan konflik antara agama. Simbol-simbol agama sengaja dipakai untuk mempertajam perbedaan yang menimbulkan pertentangan dan konflik. Jadi konflik antarumat beragama itu di Indonesia akhir-akhir ini rupa-rupanya sengaja dibuat atau direkayasa oleh kelompok tertentu atau kekuatan tertentu untuk menjadikan masyarakat tidak stabil. Ketidakstabilan masyarakat ini dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politis maupun ekonomis, oleh berbagai pihak. Hal ini sangat berbahaya, karena konflik horizontal dapat dimanipulasi menjadi konflik vertikal, sehingga menimbulkan bahaya separatisme dan disintegrasi nasional atau disintegrasi bangsa. Sikap Terbuka Untuk menghadapi masalah-masalah konflik dengan kekerasan yang melibatkan umat berbagai agama dalam suatu masyarakat, diperlukan sikap terbuka dari semua pihak, dan kemampuan untuk memahami dan mencermati serta menganalisa sumber-sumber konflik. Demikian juga diperlukan adanya saling pengertian dan pemahaman kepentingan masing-masing pihak, agar dapat mengembangkan dan melihat kepentingan bersama yang lebih baik sebagai prioritas, lebih daripada kepentingan masing-masing pihak yang mungkin bertentangan. Dengan jalan demikian maka kita akan dapat mengembangkan usaha-usaha rekonsiliasi bagi masyarakat yang mengalami konflik. Sebagaimana dikatakan oleh Archbishop Desmond Tutu dan mantan Presiden Nelson Mandela dari Afrika Selatan, "without forgiveness there is no future for South Africa," artinya "tanpa adanya pengampunan, maka tidak ada masa depan bagi Afrika Selatan." Oleh karena itu, Afrika Selatan mengembangkan model rekonsiliasi nasional dengan menerapkan dan melaksanakan undang-undang tentang Rekonsiliasi Nasional melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission - disingkat TRC). Rekonsiliasi model Afrika Selatan ini perlu kita pelajari lebih baik dan mendalam, kita lihat apa kesamaankesamaan situasi antara Indonesia dengan Afrika Selatan yang dapat mendukung pelaksanaan rekonsiliasi nasional di Indonesia. Demikian juga perbedaan-perbedaan yang ada di antara Republik Indonesia dengan Republik Afrika Selatan yang mungkin menghambat atau yang menghalangi penerapan model ini di Indonesia. Saya yakin bahwa kita pun di Indonesia perlu memakai prinsip "pengampunan" seperti dianjurkan oleh Nelson Mandela dan Desmond Tutu di Afrika Selatan Namun demikian langkah rekonsiliasi nasional itu harus juga menerapkan prinsip-prinsip pokok yang harus menjadi pedoman dalam membangun masyarakat Indonesia yang baru. Prinsip pokok atau prinsip utama, yang dapat juga kita sebut sebagai prima norma adalah "kemanusiaan yang adil dan beradab." Kalau kita menjadikan prinsip ini sebagai prinsip utama dalam kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dan prinsip ini dipegang teguh dan diterapkan oleh semua lembaga negara maupun lembaga kemasyarakatan, oleh pejabat-pejabat pemerintah baik sipil maupun TNI/ Polri dan juga dilaksanakan oleh partai-partai politik dan organisasi dan lembaga swadaya masyarakat, maka saya yakin tidak akan ada daerah (penduduknya) yang mau memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia, tidak akan ada gerakan separatisme lagi. Apabila kepentingan dan kebutuhan rakyat daerah itu telah diperhatikan oleh semua pihak secara adil dan beradab, maka mereka pasti tidak akan merasa perlu untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Wacana KKR_03 16
kli
pin gE
LS A
M
Mereka juga mengharapkan untuk diperlakukan dengan adil dan dihargai harkat dan martabat kemanusiaan mereka sama dengan warga negara lain di Indonesia. Kalau demikian maka bahaya disintegrasi bangsa akan semakin hilang dan akan lenyap dari bumi pertiwi. Rekonsiliasi nasional model Afrika Selatan ini diterapkan Pemerintah Demokrasi Kulit Hitam (ANC) setelah tokohtokoh politik mereka mempelajari berbagai macam model rekonsiliasi di lain-lain negara. Mereka menolak model Jerman setelah Perang Dunia II, yaitu dengan melaksanakan pengadilan kejahatan perang (Nurenberg), yang menerapkan punitive justice atau "keadilan dengan penghukuman." Sebab baik Presiden Nelson Mandela maupun Ketua TRC Archbishop Desmond Tutu percaya bahwa "without forgiveness there is no future for South Africa." Dikhawatirkan akan terjadi balas membalas yang tiada habisnya. Menolak Mereka juga menolak rekonsiliasi nasional model Chili, yang menerapkan kebijakan blanket amnesty atau "pengampunan total" tanpa proses pengadilan sama sekali, karena hal ini menyebabkan impunity dan menyalahi prinsip keadilan. Perlu kita pahami bahwa masalah rekonsiliasi nasional di negara-negara itu khusus menyangkut pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh penguasa (pejabat negara) terhadap warga masyarakatnya. Persoalan di Indonesia tentu lebih kompleks. Banyak terjadi konflik-konflik nasional dalam sejarah kita. Kapan atau pada titik peristiwa sejarah yang mana kita mau mengadakan rekonsiliasi nasional itu? Apakah rekonsiliasi ini hanya menyangkut masalah pelanggaran HAM dan masalah politik saja? Bagi saya, kita di Indonesia, tidak mungkin dapat menyelesaikan masalah rekonsiliasi nasional hanya dengan menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. Kita perlu juga menyelesaikan masalah KKN secara nasional, dan mungkin melalui proses semacam TRC, atau Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tetapi khusus untuk menyelesaikan masalah korupsi dalam rangka rekonsiliasi nasional itu. Komisi sedemikian perlu mendapat kewenangan melalui undang-undang untuk memberi amnesti kepada siapa saja yang mengaku telah melakukan korupsi dengan terus-terang dan dengan jujur dan benar, serta bersedia mengembalikan sebagian besar hasil korupsinya ini untuk diserahkan kembali kepada negara. Sebagai imbalannya maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini dapat memberikan amnesti penuh. Sebaliknya, bagi mereka yang selama masa kerja Komisi Kebenaran dan Korupsi ini (mungkin selama 3 atau 4 tahun) tidak mau tampil dan mengakui tindak korupsi mereka di depan Komisi ini, akan dapat dikenakan tuduhan korupsi dan dituntut di muka pengadilan, dan harus membuktikan bahwa harta kekayaannya itu diperoleh secara sah atau legal, dan bukan karena hasil korupsi dan kolusi. Jadi diterapkan pembuktian terbalik. Si tersangka koruptorlah yang harus membuktikan bahwa harta bendanya di dapat dengan jalan legal dan bukan karena korupsi atau kolusi. Apabila tidak dapat membuktikan bahwa harta bendanya di dapat secara legal, dan bukan karena korupsi, maka yang bersangkutan akan mendapat hukuman seberat-beratnya, misalnya penjara 20 tahun atau penjara seumur hidup atau bahkan dapat dikenakan hukuman mati dan/atau harta bendanya dirampas untuk negara. Semua ini harus dilakukan berdasar undang-undang yang perlu dibuat terlebih dahulu. Dalam hal ini memang diperlukan langkah yang berani dan drastis untuk dapat memberantas penyakit korupsi yang telah menyebar luas bagaikan kanker pada stadium akhir. Apabila hal ini dapat dilaksanakan, maka dana hasil pengembalian korupsi ini dapat dipakai oleh negara (Pemerintah) untuk membayar lunas semua utang luar negeri maupun dalam negeri, dan dapat dipakai untuk menggerakkan dan meningkatkan pembangunan nasional, memperbaiki perekonomian bangsa dan menggairahkan lagi investasi baik dalam negeri maupun luar negeri. Hasilnya akan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Koruptor akan dapat hidup tanpa dibebani rasa salah secara moral/agama karena telah mendapat amnesti secara formal, dan masih dapat hidup dengan cukup, meskipun tidak berkelebihan. Koruptor yang membandel akan dapat hukuman yang setimpal beratnya. Dengan demikian diharapkan ada perubahan mendasar dalam kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Rekonsiliasi nasional juga akan dapat dikembangkan dan dapat diharapkan lebih berhasil, kalau secara ekonomi juga dikembangkan keadilan dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Penulis adalah Direktur Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian, Jakarta. Last modified: 7/2/2003
Wacana KKR_03 17 Media Indonesia, Jumat, 14 Februari 2003
RI Jadi Model Rekonsiliasi
pin gE
LS A
M
JAKARTA (Media): The International Islamic-Christian Organization for Reconciliation and Reconstruction (IICORR), lembaga swadaya masyarakat (LSM) berbasis di London, menjadikan Indonesia sebagai model bagi upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi dalam konflik antarumat beragama. Ketua Dewan Eksekutif IICORR (Organisasi Islam-Kristen Internasional untuk Perukunan dan Pembangunan Kembali) The Baroness Cox of Queenburry dalam peluncuran LSM itu di Jakarta, kemarin, menyatakan upaya menjadikan Indonesia sebagai model tersebut merupakan salah satu pertimbangan diluncurkannya IICORR di Indonesia. "Meski berbasis di London, IICORR diluncurkan di Indonesia karena pentingnya Indonesia di komunitas internasional," kata The Baroness Cox of Queenburry dalam acara yang juga dihadiri Presiden Kehormatan IICORR Abdurrahman Wahid. Selain itu, Indonesia merupakan salah satu negara, selain Sudan dan Nigeria, yang berpengalaman memiliki kehidupan harmonis antarumat beragama dalam waktu yang lama, namun pada tahun-tahun belakangan mengalami konflik antarumat beragama. Namun, dalam konflik yang terjadi di Indonesia, IICORR mencatat keinginan yang kuat dari kedua pihak yang berselisih untuk mengakhiri pertikaian dan kembali membangun kehidupan yang damai seperti semula. Abdurrahman Wahid dalam kesempatan itu menyatakan IICORR akan mengupayakan bantuan dana internasional bagi upaya rekonsiliasi dan rekonstruksi di Ambon, Maluku, dan Poso. "Terutama untuk merehabilitasi tempattempat ibadah, sekolah-sekolah, dan sarana umum lainnya," kata Wahid yang akrab disapa Gus Dur. IICORR sendiri didirikan untuk mengampanyekan hubungan yang harmonis di antara komunitas Islam dan Kristen di seluruh dunia, terutama di kawasan yang dilanda konflik antarumat beragama. Program IICORR antara lain memberi bantuan kemanusiaan pada korban konflik, mendukung suara-suara moderat dari pihak-pihak yang bertikai, membantu merehabilitasi sarana ibadah, pendidikan, sarana umum lainnya, serta memfasilitasi penempatan kembali orang-orang yang terpisah akibat konflik ke komunitasnya.
kli
Rasa dendam Sementara itu, Rois Syuriah PBNU Said Aqil Siradj mengatakan, keberadaan kelompok Islam radikal di Indonesia atau sering dikenal dengan sebutan 'Islam keras' tidak terlepas dari rasa dendam yang dalam atas perlakuan yang pernah dialami mereka selama ini. "Selain faktor dendam politik, juga ada faktor ketidakadilan dan kesenjangan sosial," katanya dalam acara Kongres Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) di Mataram, kemarin. Ia menjelaskan, menilik latar belakang para pelaku peledakan bom di Bali, terlihat bahwa kondisi kehidupan sosial mereka sangat minimal. "Kondisi hidup yang kurang tersebut membuat mereka dan keluarganya mudah terpengaruh dan terpancing untuk terlibat dalam kelompok Islam keras tersebut," katanya. Ia mengatakan, kalau kehidupan mereka cukup baik, tentunya keluarga itu tidak akan terjerumus melakukan tindakan yang sangat ditentang agama Islam. "Saat ini terdapat sejumlah kelompok yang memahami Islam secara tidak benar, dan tidak mempelajari kandungan Alquran secara benar." Ia menjelaskan, jumlah kelompok yang bersikap radikal dan eksklusif ini sebenarnya relatif kecil. Cara berpakaian dan penampilan mereka secara fisik berbeda, ada tanda-tanda khusus. (Ant/P-2)
Wacana KKR_03 18 Kompas, Jumat, 14 Maret 2003
Menkeh dan HAM:Jangan Selesaikan Masa Lalu dengan Dendam
kli
pin gE
LS A
M
Jakarta, Kompas - Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, saat ini hampir semua orang lebih memilih melampiaskan dendam akibat peristiwa masa lampau. Bila terus dibiarkan, hal itu menjadi kurang bagus buat negara dan masa depan bangsa Indonesia. "Kita harus menuntaskan masalah masa lalu yang belum selesai. Tetapi kalau kita selalu diliputi dendam dan tidak pernah memikirkan langkah maju di masa depan, serta melupakan kesalahan di masa silam, itu kurang bagus buat bangsa ini. Kita harus mengambil pelajaran dari proses rekonsiliasi di Afrika Selatan," kata Yusril usai pertemuan dengan Menteri Kehakiman Afrika Selatan (Afsel) Panuell Mpapa Maduna di Jakarta, Kamis (13/3). Menurut Yusril, proses rekonsiliasi di Afsel merupakan contoh baik untuk ditiru Indonesia. Meski sampai saat ini rekonsiliasi di negara itu berjalan rumit dan belum selesai, namun pengalaman rekonsiliasi antara warga kulit hitam dan kulit putih sudah menunjukkan kemajuan luar biasa. "Rekonsiliasi antarsesama mereka penting dijadikan bahan yang akan kita hadapi di sini, terutama tentang konflik etnik yang masih berlangsung. Kita bisa belajar dari jiwa besar mantan Presiden Afsel Nelson Mandela, walau dia disiksa selama 27 tahun di penjara, tapi setelah apartheid bubar mereka lupakan dendam dan mencoba membangun Afsel baru. Penduduk mereka kini memiliki hak yang sama," kata Yusril. Panuell menambahkan, Afsel dan Indonesia sebenarnya masih sama-sama belajar sebagai dua negara yang masih baru berkembang. Dia mengakui pertemuan dengan Yusril untuk membicarakan persoalan hukum dan HAM masih sangat singkat. Namun, dia berjanji untuk bekerja sama dalam banyak hal, terutama untuk menghadapi permasalahan di masa mendatang. Yusril mengatakan, pertemuannya dengan pihak Afsel akan dilakukan secara intensif selama Panuell masih di Jakarta. Pada Kamis malam mereka melakukan diskusi membahas berbagai persoalan hukum. Senin mendatang, rencananya delegasi Afsel itu juga akan terlibat dalam diskusi dengan pihak Depkeh/HAM, dengan tema penyelesaian hukum dan HAM pada era transisi (Transitional Justice). (SAH)
Wacana KKR_03 19 Media Indonesia, Jumat, 14 Maret 2003
Rekonsiliasi Kultural Islam dan Budaya Lokal M Khoirul Muqtafa, Koordinator Piramida Circle Jakarta
LS A
M
TULISAN Khamami Zada dengan tajuk 'Menggagas Islam Pribumi' yang dimuat Harian Media Indonesia awal bulan lalu (7/2) menarik untuk dikaji kembali. Dalam tulisan tersebut, Khamami menawarkan 'Islam Pribumi' sebagai alternatif baru gerakan Islam. Islam Pribumi ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam yang telah memberangus budaya lokal dengan dalih bidah serta menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Sebagai jawaban dari Islam otentik, Islam Pribumi mengandaikan tiga hal, demikian Khamami. Pertama, Islam Pribumi memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Kedua, Islam Pribumi bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, Islam Pribumi memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab berbagai problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah. Tulisan berikut bermaksud ikut urun rembuk diskusi tentang Islam Pribumi. Utamanya dalam konteks relasi agama dan budaya lokal sebagai titik tolak Islam Pribumi.
kli
pin gE
Signifikansi Relasi agama (Islam) dan budaya lokal memang meyisakan tarik ulur persoalan yang kerap memancing ketegangan. Di satu sisi budaya lokal dianggap tak lebih sebagai 'parasit' bagi agama dan karenanya harus disingkirkan. Di saat yang sama agama pun dianggap sebagai 'momok' bagi budaya lokal yang siap mengancam dan memberangus eksistensinya. Agama dan budaya lokal kemudian ter(di)posisikan secara oposisi biner dan konfrontatif. Yang pertama, bersifat normatif dan yang kedua berbasis faktual. Yang pertama ranah yang didambakan dan, yang kedua, ranah aktualitas dan karenanya tak didambakan. Yang pertama enak didengar dan indah dimeditasi sedangkan yang kedua menyakitkan untuk dipandang dan mengerikan untuk diperkirakan. Tak pelak, budaya lokal semakin tidak mendapatkan tempat di ruang publik. Nah, pada aras demikian, Islam Pribumi akan menemukan signifikansinya. Islam Pribumi hadir untuk menyelesaikan persoalan dikotomis antara agama dan budaya lokal. Agama dan budaya lokal dipandang sebagai dua kekuatan yang menyatu dalam realitas sosial. Agama sebagai ajaran transendental atau --meminjam istilah Peter L Berger--ajaran-- langit mampu bersentuhan dan dipahami oleh umat manusia ketika ia mampu membumikan dirinya dalam realitas kultural. Dan, pada titik ini sebenarnya kebudayaan merupakan media yang menjembatani antara realitas langit (transendental) dengan realitas bumi. Islam Pribumi juga bukan sinkretisme sebagaimana tecermin dalam tulisan Akh Muzakki ('Menakar Islam Pribumi', MI, 21/2). Karena ia hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman teks. Sedangkan sinkretisme sendiri adalah usaha memadukan teologia atau sistem kepercayaan lama tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam. Menuju rekonsiliasi Lebih jauh, Islam Pribumi akan menemukan bentuknya dalam rekonsiliasi kultural. Yakni rekonsiliasi yang mempertimbangkan hak-hak kultural masyarakat lokal. Terutama menyangkut relasi agama dan budaya lokal. Nah, sampai di sini persoalan orisinalitas dan otentisitas memang selayaknya ditinjau dan dibincangkan kembali. Dalam Islam, apakah yang menjadi rujukan dari otentisitas dan orisinalitas adalah Islam yang ada di Mekah yang disebut sebagai pusat (centrum). Sedangkan yang lain diposisikan sebagai marjin (periferi) dan harus nurut yang di sentrum? Apakah ini juga berarti bahwa agama yang sudah 'terkontaminasi' oleh berbagai bentuk budaya lokal, yang tidak seratus persen seperti yang ada di centrum adalah kurang absah dan sudah menyimpang? Ironis, ketika kita masih terjebak pada persoalan 'orisinal dan otentik' yang sarat dengan nuansa purifikasi yang -dengan demikian-- pembungkaman bahkan penumpasan terhadap unsur-unsur 'nonagama' (baca: budaya lokal) legitimate. Padahal, dalam kenyataannya, keduanya justru telah saling membaur dan susah untuk dipilah-pilah. Di dalam mengagungkan Tuhan dan mengungkapkan rasa indah akan hubungan manusia dengan Sang Khalik, agama-
Wacana KKR_03 20
kli
pin gE
LS A
M
agama kerap menggunakan kebudayaan secara masif. Simak saja, ikon-ikon, patung-patung, lukisan-lukisan, atau prosesi-prosesi saat penyaliban Isa al-Masih. Bahkan drama politik biasa --seperti terbunuhnya Sayidina Hussein di tangan anak buah Yazid, yakni Muslim bin Aqil, di Kota Karballa-- kadang-kadang diangkat sebagai peristiwa agama yang diperingati setiap 10 Muharam (Abdurrahman Wahid, 2001). Karenanya 'orisinal dan otentik' mesti didekonstruksi dan dimaknai kembali secara lebih arif sesuai dengan kondisi yang melingkupinya sehingga keberadaan agama tidak akan menimbulkan ancaman bagi yang lain. Rekonsiliasi kultural ini memungkinkan upaya untuk saling menopang dan melestarikan antara agama dan budaya lokal. Proses rekonsiliasi ini tidak berjalan secara 'koeksistensi' melainkan 'proeksistensi' yang terjelmakan ke dalam tindakan dan aksi-aksi yang jelas dalam kehidupan sehari-hari sehingga kolaborasi keduanya menjadikannya lebih acceptable dalam masyarakat. Memosisikan agama sebagai sesuatu yang ideal, universal, dan bertolak dari kesempurnaan dan keabadian doktrin, sering melupakan kenyataan bahwa agama mengalami apa yang disebut Weber 'sistemisasi dan rasionalisasi': seolah-olah agama sama sekali tidak memunyai asal-usul sosial dan kulturalnya yang dengan demikian sisi-sisi manusiawinya. Jika demikian, maka apa yang saat ini sebagai agama, sakral, bukan mustahil ia semula hanyalah 'kebudayaan' yang telah menempuh perjalanan historis dan sosiologis sedemikian rupa, sehingga ia lalu masuk ke dalam ranah 'agama'. Maka sebenarnya, agama dan kebudayaan tidak berada di aras yang berbeda, tetapi keduanya berada di dalam ruang pengalaman manusia. Sudah semestinya agama (baca: Islam) yang diturunkan ke bumi dengan segala isinya harus membumi, mampu bersandingan dengan 'yang lain' (the other). Ia tidak harus dilangitkan (sakral) karena hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia sebab tidak akan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan manusia. Padahal sesungguhnya agama diturunkan untuk manusia. Agama harus ditarik ke dalam wilayah profan di mana manusia sebagai khalifah di bumi mampu meng-creat keberagamaannya disesuaikan dengan kondisi sosio-kultural yang melingkupinya. Agama tidak harus menjadi amunisi untuk menghabisi budaya lokal yang ada malah akan saling menyetubuhi menuju rekonsiliasi kultural, sehingga agama benar-benar membumi, indigenous.***
Wacana KKR_03 21 Kompas, Senin, 17 Maret 2003
Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu
Legitimasi bagi Demokrasi
pin gE
LS A
M
Jakarta, Kompas - Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu sama sekali bukanlah pelampiasan dendam sebagian masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah prasyarat dan tanggung jawab negara dalam menjalani transisi dan mengonsolidasikan demokrasi, sekaligus memberi legitimasi pada rezim baru pemerintahan. Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim dan Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Johnson Panjaitan secara terpisah di Jakarta, Sabtu (15/3). Keduanya menanggapi pernyataan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang menyayangkan banyak kalangan yang memilih melampiaskan dendam atas berbagai peristiwa di masa lalu. Menurut Yusril, jika itu terus dilakukan, tidak bagus bagi upaya rekonsiliasi nasional (Kompas, 14/3). Ifdhal mengemukakan, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi salah satu syarat untuk menuju demokrasi dan memastikan terjadinya konsolidasi demokrasi. Pada rezim lalu telah terjadi pengabaian terhadap HAM dan hukum. Padahal, tegaknya hukum merupakan salah satu elemen penting hukum. Pengungkapan kebenaran masa lalu sekaligus akan memulihkan relasi sosial antarkelompok masyarakat. Ifdhal menyebut contoh kelompok masyarakat bekas tahanan politik G30S/PKI yang berhadapan dengan kelompok lain. "Relasi sosial ini harus dipulihkan. Caranya dengan pengungkapan kebenaran. Ini bukan balas dendam. Tanpa penyelesaian terhadap masa lalu, legitimasi rezim baru akan terus dipertanyakan," katanya. Masalah masa lalu, menurut Ifdhal, tak bisa dilupakan begitu saja. Masalah masa lalu justru harus selalu diingat. "Upaya melupakan masa lalu hanya akan menyimpan bom waktu. Katakan sebuah partai mencalonkan seseorang yang terlibat pelanggaran HAM masa lalu, maka ketika orang itu muncul, tentunya akan dipersoalkan," ujar Ifdhal. Dari perspektif korban, menurut Ifdhal, harus disadari ada hak korban untuk mengetahui kebenaran (right to know the truth) dan hak untuk mendapatkan rehabilitasi. "Korban Tanjung Priok punya hak untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi dalam peristiwa 12 September 1984. Korban kasus 27 Juli juga mempunyai hak untuk mengetahui siapa dan bagaimana sebenarnya kasus 27 Juli dan siapa yang harus bertanggung jawab," kata Ifdhal. Menurut Ifdhal, pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu tidak melulu melalui jalan penghukuman. "Mekanisme paling relevan dan ikut memberi andil pada proses menjaga stabilitas rezim baru adalah mekanisme Komisi Kebenaran. Itu bukan lembaga yudisial dan tak bisa dipertentangkan dengan pengadilan," ujarnya. Komisi Kebenaran inilah yang mempunyai tugas untuk mengungkapkan kejadian masa lalu dalam sebuah periode waktu, bukan kasus per kasus. "Bahwa dalam proses pengungkapan kebenaran itu ada orang yang harus diproses hukum, itu soal lain," kata dia.
kli
Distribusi keadilan Adapun Johnson Panjaitan melihat pernyataan Yusril lebih terasa sebagai reaksi panik pemerintah dalam menjawab tuntutan masyarakat akan penegakan hukum dan HAM. "Menteri Kehakiman dan HAM harusnya jujur dan tidak menutup-nutupi bahwa yang masih terjadi dan akan terus terjadi secara sistematis adalah setting pengingkaran distribusi keadilan terhadap korban pelanggaran HAM di masa lampau," ujar Panjaitan. Panjaitan mengatakan, yang terjadi sejak 1998 hingga sekarang adalah perebutan kekuasaan dan beralihnya kekuasaan dari satu pemerintahan yang korup kepada pemerintahan yang tidak kalah korupnya. Akibatnya, distribusi keadilan di masa transisi tidak memiliki desain komprehensif sesuai dengan tuntutan masyarakat. "Masa transisi seharusnya diawali dengan kehendak serius dari negara untuk melakukan distribusi keadilan, antara lain dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, bukan dengan menciptakan ruang pembebasan dan pengampunan," kata Panjaitan. (bdm)
Wacana KKR_03 22 Suara Pembaruan, Senin 17 Maret 2003
Indonesia Perlu Tiru Rekonsiliasi Afrika Selatan
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Pengalaman rekonsiliasi yang terjadi di Afrika Selatan sesudah runtuhnya rezim aparteid patut ditiru oleh Indonesia, khususnya dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hal itu penting untuk menghilangkan naluri balas dendam. Karena balas dendam akan menghambat pembangunan Indonesia di masa mendatang. Hal itu ditegaskan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeh dan HAM) Yusril Ihza Mahendra kepada wartawan usai bertemu dengan Menteri Kehakiman Afrika Selatan Panuell Mpapa Maduna di kantor Departemen Kehakiman dan HAM, Jalan Rasuna Said, Jakarta, pekan lalu. "Pengalaman rekonsiliasi antara warga kulit putih dan kulit hitam di Afrika Selatan setelah runtuhnya rejim apartheid menjadi pengalaman berharga untuk menyelesaikan berbagai persoalan etnik yang terjadi di Indonesia," tegas Yusril. Menurut Yusril, proses rekonsiliasi yang berhasil dilaksanakan di Afrika Selatan membuat negeri itu bisa ditata menuju Afrika Selatan yang lebih maju. (A-21) Last modified: 17/3/2003
Wacana KKR_03 23 Kompas, Selasa, 18 Maret 2003
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Masih Tertahan di Presiden
kli
pin gE
LS A
M
Jakarta, Kompas - Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu lewat jalur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dipastikan belum akan terwujud dalam waktu dekat. Sebab, naskah akademis atau draf Rancangan Undang-Undang KKR yang sudah diselesaikan Departemen Kehakiman dan HAM sejak enam bulan lalu masih terus tertahan di Presiden. Demikian disampaikan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra, Senin (17/3), usai seminar tentang Transitional Justice yang juga menghadirkan narasumber Menteri Kehakiman Afrika Selatan Panuell Mpapa (PM) Maduna. "Pada sisi saya tidak ada ganjalan, draf sudah diserahkan ke Presiden. Saya tak tahu mengapa belum ditandatangani. Kalaupun ada yang kurang, harusnya Sekretariat Negara memberi tahu," katanya. KKR adalah sebuah penyelesaian di luar jalur hukum untuk pelanggaran HAM masa lalu. Sedangkan penyelesaian jalur hukum dilakukan lewat Pengadilan HAM Ad Hoc seperti kasus Timor Timur dan Tanjung Priok. Kehadiran KKR adalah perintah UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Namun setelah dua setengah tahun UU itu berlaku, KKR belum juga terbentuk. Berdasarkan informasi yang beredar, Presiden enggan membawa draf RUU KKR ke DPR karena masalah kompensasi dan rehabilitasi korban. Bila KKR diwujudkan, dana kompensasi akan memberatkan keuangan negara. Menurut Yusril, kalaupun masalah dana menjadi ganjalan, jalan keluarnya harus tetap dicari. PM Maduna menambahkan, KKR di Afrika Selatan, kompensasi tidak dilakukan secara langsung, tapi lebih banyak disalurkan untuk komunitas misalnya pendidikan, kesehatan, dan perumahan para korban. Korban apartheid di Afrika Selatan ada dua kelompok. Dari sudut pandang luas, seluruh warga kulit hitam adalah korban. Sedangkan pandangan lebih kecil adalah korban langsung. "Untuk penyelesaian pelanggaran berat HAM langsung, kami mengutamakan pendekatan komprehensif. Uang bukan yang utama," kata Maduna. Yusril mengungkapkan, obyek RUU KKR lebih diutamakan pada kejadian yang melibatkan orang banyak dan merupakan bagian dari sejarah bangsa. Kebenaran harus diungkap apa adanya, tapi pihak yang terkait sepakat saling memaafkan. "Misalnya masalah Partai Komunis Indonesia. Sekarang ini seolah-olah PKI hanya menjadi korban pemerintah Orde Baru. Padahal, sewaktu PKI kuat, banyak juga korban dari Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah. Makanya lebih saling memaafkan, "ujar Yusril. Menurut Yusril, banyak pihak yang memandang pelanggaran HAM cuma terjadi antarwarga Indonesia. Padahal, pelanggaran HAM juga dilakukan negara lain di Indonesia, seperti pembantaian 40.000 warga Sulawesi Selatan oleh tentara Belanda, Westerling. Hingga kini tidak ada pertanggungjawaban Belanda atas kasus itu. (SAH)
Wacana KKR_03 24 Republika, Selasa, 18 Maret 2003
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Belum Ditandatangani JAKARTA -- Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan nasib Rancangan UndangUndang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Hak Asasi Manusia yang telah diajukannya kepada presiden. Menurutnya, dia sudah mengirimkan RUU itu sejak enam bulan silam dan hingga kini presiden belum juga menandatanganinya. "Jika memang ada masalah dengan RUU itu, seharusnya sekretariat negara (Setneg) memberi tahu dan kita diskusikan bersama," ujarnya seusai berbicara dalam seminar tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Jakarta, Senin (17/3).
M
Di luar masalah birokrasi itu, menurut Yusril, juga perlu dipikirkan hal lain yang masih berpotensi menjadi hambatan. Dia menyebut salah satunya menyangkut dana kompensasi untuk korban pelanggaran HAM.
LS A
Saat soal dana ini muncul ke permukaan, dia memaparkan, belum-belum sudah ada suatu tuntutan dari suatu kelompok yang menyatakan diri sebagai korban kekejaman Westerling (pimpinan tentara Belanda, KNIL) di masa silam. Soal lain yang masih menjadi ganjalan adalah kesiapan masyarakat Indonesia dengan ide rekonsiliasi itu sendiri. Dia menyebut sepertinya orang Indonesia masih sulit melakukan rekonsiliasi. Dia lalu mengambil contoh perseteruan antara sebagian kelompok Islam dan mantan pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI), yang hingga kini tidak kunjung usai.
pin gE
Karena itu pula, saat ditanya model rekonsiliasi seperti apa yang hendak dianut Indonesia, dia mengaku tidak bisa memastikannya. Setiap model mempunyai nilai lebih dan kurangnya, atau dengan kata lain tidak semuanya cocok untuk Indonesia. Menurutnya, Afrika Selatan sendiri yang selama ini dikenal sukses melaksanakan rekonsiliasi sebenarnya masih menghadapi banyak ganjalan. Dia menyebut salah satu contohnya yaitu masih berlangsungnya penyerobotan tanah milik orang kulit putih oleh orang kulit hitam. "Untuk Indonesia, mungkin dapat menerapkan model ajaran Islam yaitu islah," lanjut Yusril.Di tempat yang sama, Menteri Kehakiman dan Pembinaan Konstitusi Afrika Selatan, PM Maduna, mengakui sulit penerapan rekonsiliasi itu.
kli
Menurutnya, masih sulit meyakinkan sebagian warganya tentang pentingnya rekonsiliasi dan membangun masa depan daripada tuntutan kompensasi. Selain itu, lanjutnya, sentimen rasial masih kental di antara warga yang saling berbeda warna kulit. "Semua itu menghabiskan waktu, daya, dan tenaga," ujarnya. Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Abdul Hakim Garuda Nusantara, menyatakan Indonesia bisa belajar banyak dari pengalaman Afrika Selatan. Terlepas dari permasalahan yang mungkin masih ada di negeri Nelson Mandela itu, menurutnya, Afrika Selatan masih lebih maju dari Indonesia.
Salah satu penyebabnya, dia menyebut adanya niat baik pemerintah setempat untuk mengakhiri dendam kesumat antara warganya dan membangun negeri itu bersama-sama. Abdul Hakim juga menyebut soal produk politik yang juga menunjang dilakukannya rekonsiliasi di negara itu. Dia mengatakan selain ada figur pemimpin yang sangat disegani dan berwibawa di antara para warga yang plural, juga tersedia perangkat hukum yang memungkinkan dilakukannya rekonsiliasi dan mengakhiri pelanggaran HAM dan tindakan balas dendam atas perkara masa lalu. Meski Indonesia tetap menjadi sorotan dunia atas pelanggaran HAM di berbagai tempat, termasuk Timor Timur, Yusril menegaskan pemerintah telah banyak melaksanakan perbaikan kondisi HAM. Dia menyebut hanya di
Wacana KKR_03 25 Indonesia Pengadilan HAM pertama di dunia berdiri. Terlepas dari beberapa keputusan yang dihasilkan tidak memuaskan, Indonesia, menurutnya, masih lebih maju dari negara lain termasuk Amerika Serikat.
kli
pin gE
LS A
M
"Apakah selama ini ada pengusutan tentang pelanggaran HAM yang dilakukan Amerika di Vietnam. Adakah pengusutan tentang pembantaian rezim Polpot di Kamboja. Jumlah korban di dua peristiwa itu luar biasa banyaknya, bandingkankan dengan Timor Timur yang hanya beberapa," lanjut Yusril. fin
Wacana KKR_03 26 The Jakarta Post, March 18, 2003
Reconciliation bill held up in state secretary: Yusril
kli
pin gE
LS A
M
Muninggar Sri Saraswati, The Jakarta Post, Jakarta An expected truth and reconciliation commission that would deal with the country's past human rights abuses out of court will not be established in the near future, an official has announced. Minister of Justice and Human Rights Yusril Ihza Mahendra said on Monday that the bill on a truth and reconciliation commission, which had supposedly reached the House of Representatives for deliberation, was stuck at the State Secretariat. "I sent the bill six months ago. It was supposed to be deliberated by the House, but the State Secretary has not informed me if there is something wrong," he told reporters after a seminar on Transnational Justice, the Past Experiences of South Africa and Indonesia. "Perhaps it has something to do with the several articles on compensation," Yusril said when asked about the reasons behind the bill's suspension. He disclosed that some of the articles in the bill stipulate that the state has to compensate the victims of human rights violations in the past and that the perpetrators were to be granted amnesty. "The State Secretary has to be wary if the government pays out compensation to millions of victims. But the draft does not specifically mention the amount of compensation as that is to be determined by the government," he said, adding that the government should have issued a special regulation about the compensation issue. Yusril said that according to the bill, the establishment of the commission was mandatory in a bid to reconcile both sides in human rights cases, including the alleged mass killing during the 1965 coup by the banned Indonesian Communist Party (PKI). "We are talking about an out-of-court settlement in a bid to reveal the real history here, no matter how painful it is. We all have to be able to forgive, otherwise, we wouldn't be able to move into a better phase," he said. The incident claimed millions of lives, including the supporters and those who opposed the PKI. Indonesia started drafting the bill two years ago following the establishment of Law No. 26/1999 on human rights trials, which mandates the establishment of a truth and reconciliation commission as an alternative to the court system. Several experts have conducted comparative studies in several countries, including South Africa, in a bid to draft the bill. South African Justice and Constitutional Development Minister Panuelle Mpapa Maduna shared his country's experiences with the seminar's participants, saying that the most important thing was learning how to assist the victims of human rights abuses. "If we're talking about compensating the victims, money is not the matter. What is more important is how to assist them in rebuilding their lives, making a better life for them," he said, adding that his country was continuing its efforts for national reconciliation. Maduna is known as the architect of the commission in South Africa, which managed to bring reconciliation to the country following the collapse of the Apartheid regime in 1992.
Wacana KKR_03 27 The Jakarta Post, March 18, 2003
The ebb and flow of human rights enforcement
Asvi Warman Adam, Historian, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Jakarta
kli
pin gE
LS A
M
The National Commission on Human Rights has become more active of late in investigating past human rights violations. A Commission of Inquiry into Human Rights Violations (KPP HAM) on the May 1998 riots has been established, for example. And learning from previous oversights, this commission will definitely go about its work in a painstaking manner. Also, a team has been established to investigate alleged human rights by Soeharto, and its report is expected by May this year. Indeed, there are parties who are skeptical about the efforts of KPP HAM, now led by lawyer Abdul Hakim Garuda Nusantara. Over 1,000 people died in a number of cities during the May 1998 tragedy -- and hardly any attempt has been launched to arrest the masterminds behind the violence despite the findings of the official team set up by the rights commission to investigate the matter. Meanwhile, Soeharto is ill and likely cannot be tried, though there are likely legal breakthroughs that can be taken to deal with the case. While the possibility for trials in these cases remains unclear, the dossiers on past human rights violations will remain the property of this nation. They will constitute an important history subject to be taught to students. Therefore, the writing of the National History Book (Sejarah Nasional Indonesia) as a new reference for school textbooks needs to be observed closely. One of the eight volumes planned for the book pertains to the New Order regime (1965-1998). It is only fair that human rights aspects be addressed proportionately therein; if not, these books will be no different from those made by the New Order regime. We must do our utmost so that this nation does not suffer from collective amnesia. The East Timor ad hoc rights tribunal is in process. The rulings so far have been dissatisfying to many. Only two civilians have been found guilty and sentenced, while generals were acquitted. On March 12 the tribunal sentenced former East Timor military commander Brig. Gen. Noer Moeis to five years in jail for gross human rights violations in 1999, but did not imprison him immediately -- while the law rules a minimum of 10 years imprisonment for such a crime. As if responding to the situation, earlier news from East Timor revealed that a number of former higher ranking officials were indicted for serious human rights violations, while the nation's Truth and Reconciliation Commission has begun its role in revealing alleged rights violations since 1970. The important thing is at least that first, the truth should prevail -- whether the perpetrators will be brought to justice is another story. It is crucial not only for the sake of writing East Timor's history but also for the country's national reconciliation. In the same token, a book titled Masters of Terror: Indonesia's Military and Violence in East Timor in 1999, published by the Australian National University (2002, 325 pages), should be translated into Indonesian and discussed at academic levels in Indonesia. Efforts to include human rights elements in laws and regulations intensified with the "reform" era. It has not been easy but gradually human rights have been included in People's Consultative Assembly decrees and in the Constitution, which has been amended. Yet there has been a move backward at the level of two new laws, i.e. the acts on political parties and general elections, which contradict the Constitution. The law on political parties states that parties must not adopt Marxism, communism or Leninism; whereas the law on general elections states that those directly or indirectly involved in the Sept. 30 Movement, the outlawed Indonesian Communist Party and other restricted organizations cannot be elected. As the laws violate human rights and the principles of democracy, as well as the Constitution, the Supreme Court should function as a Constitutional Court and rule on the matter. If not, the cost and time spent on the 2004 elections could be null and void. The war to achieve legislation and enforcement to promote human rights is not over yet. So if we move back one step, we must then progress two steps. We must not become apathetic like some people who wish to go back to Soeharto's "normal" era (the abnormal era, in fact). In its Feb. 27 issue, the editorial of Kompas on East Timor indictment of the generals said, among other things, that "this country has been overwhelmed with problems. This country needs tranquility to do all its homework so that we all can exit from this depressing crisis".
Wacana KKR_03 28
M
Economic recovery can and must be in line with law and human rights enforcement. Neither can be sacrificed for the sake of the other. In this transition period, the judiciary, legal products and human resources are still very weak. Legal reform is in disarray and the judicial mafia is as prominent as ever. Therefore, "transitional justice" is the most we might expect, through the form of a long overdue truth and reconciliation commission, the bill for which has been drafted by the Ministry of Justice and Human Rights, in collaboration with Elsam, a non-governmental organization working on law and human rights. This bill should be discussed immediately at the legislature so that this nation can resolve its past problems and get over its past trauma. For instance, the commission would have to deal with long past, wide-scale, human rights atrocities such as the killings around the Sept. 30, 1965 coup attempt. We need to encourage the Directorate General for Human Rights at the above justice ministry to be more proactive. The ministry's human rights research and development bureau should be working hand in hand with NGOs dealing in advocacy programs. These NGOs have more field data on human rights violations. Victims and survivors are still waiting for justice and law enforcement, and the defenders of human rights cannot give up.
kli
pin gE
LS A
Dr. Asvi Warman Adam is a member of the ad hoc team investigating former president Soeharto's alleged human rights violations. The team was set up by the National Commission on Human Rights
Wacana KKR_03 29 Koran Tempo, Selasa, 18 Maret 2003
Surat Pembaca Transitional Justice di Indonesia Sehubungan dengan pernyataan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehakiman dan HAM, bahwa "saat ini hampir semua orang lebih memilih melampiaskan dendam akibat peristiwa masa lampau...." (Kompas, 14 Maret 2003), penting bagi kami, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), untuk menanggapi pernyataan tersebut.
M
Pertama, kami menilai, pernyataan tersebut lebih tampak sebagai ungkapan panik dan give up kalangan pemerintah dalam menjawab tuntutan masyarakat akan penegakan hukum dan HAM. Menteri Kehakiman dan HAM seharusnya jujur dengan tidak menutup-nutupi dan mengeliminasi fakta bahwa yang masih terjadi dan akan terus terjadi secara sistematis adalah setting pengingkaran distribusi keadilan terhadap korban pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu.
LS A
Kedua, kami menilai, di balik pernyataan tersebut terselip agenda terselubung Menteri Kehakiman dan HAM dan pemerintah dalam melanggengkan circle of impunity di Indonesia sesuai dengan pesanan kelompok tertentu yang saat ini sedang terdesak dengan tuntutan pertanggungjawaban. Ketiga, kami menaruh kecurigaan bahwa saat ini Menteri Kehakiman dan HAM dan pemerintah sedang berupaya menyusun sebuah proyek impunity besar dengan menunggangi model transitional justice Afrika Selatan.
pin gE
Masa transitional justice haruslah diawali dengan kehendak serius dari negara untuk melakukan hal tersebut yang ditentukan dengan batas waktu limitatif, yang dikawal dengan proses penegakan hukum terhadap semua pelaku pelanggaran berat HAM yang terjadi di masa lalu, dan diakhiri dengan penghukuman terhadap mereka yang terbukti bersalah. Karena itu, mengadopsi secara murni rekonsiliasi model Afrika Selatan--dengan penekanan pada restitusi dan kompensasi--tidak sepenuhnya menjawab tuntutan masyarakat dan korban pelanggaran berat HAM. Jauh lebih menjawab tuntutan masyarakat jika kita becermin pada truth and justice model Argentina.
kli
Johnson Panjaitan Sekretaris Jenderal PBHI
Wacana KKR_03 30
Rakyat Merdeka, Selasa 18 Maret 2003 Yusril: Sudah Diserahkan ke Mega 6 Bulan Yang Lalu RUU Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi Jalan Ditempat. Pembentukan Komisi Kebnaran dan Rekonsiliasi [KKR] tampaknya nggak bakal terwujud dalam waktu dekat. Sebab, Rancangan Undang-undang (RUU) KKR yang sudah dibuat Departemen Kehakiman dan HAM (Depkeh dan HAM) sampai saat ini masih belum direspon Presiden Megawakti alias jalan di tempat. Kemarin, Menkah dan HAM Yursril Mahendra mengaku tidak tahu kenapa draft RUU KKR belum juga disikapi oleh bosnya. "Sampai sekarang masih di tangan beliau keluhnya kepada wartawan di kantor Depkeh dan HAM.
M
Mestinya, lanjut calon presiden dari Partai Bulan Bintang (PBB) ini, kalau ada suatu yang kurang pada RUU tersebut, Sekretaris Negara harus memberitahukan sekiranya masih perlu diperbaiki. "Saya akan perbaiki itu dan biasanya saya bekerja cepat sekali," tandasnya.
LS A
Padahal, lanjut Yusril, RUU KKR sangat diperlukan supaya kasus-kasus pelanggaran HAM berat bisa diselesaikan. Dengan begitu bisa dijadikan masing-masing pihak untuk melupakan masa lalu dan memulai sesuatu yang baru untuk memulai masa depan. Ditambahkan, kalaupun masalah dan kopensasi bagi korban yang dipersoalkan, Yusril sepakat bahwa hal itu harus ada dan diatur dalam Undang-undang. Dan kasus-kasus yang harus diselesaikan lewat KKR tidak dibatasi terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde Baru saja. Termasuk sebelum Orde Baru berkuasa.
pin gE
"Selama ini kita selalu terfokus pada masalah-masalah yang terjadi pada masa Orde Baru. Padahal, masyarakat sebelum Orde Baru pun banyak kasus yang masih harus diselesaikan, seperti peristiwa Madiun," ujar Yusril. Yusril justeru menyayangkan jika masalah-masalah seperti ini terus diperdebatkan. Karena salama ini tidak ada satu pun negara di dunia ini yang benar-benar mengadili para pelanggar HAM-nya. "Saya ambil contoh, Amerika; yang terlah melakukan genocida. Berapa banyak orang yang dibantai Amerika selama perang Vietnam? Tapi nggak pernah ada investigasi ke arah itu. Bagitu pula berapa banyak orang yang dibantai kelompok Pol Pot di Kamboja. Kita, soal Timtim yang korbanya cuma 102 orang, dibuka sidang di pengadilan. Meskipun hasilnya belum sepenuhnya memuaskan," paparnya. Sementara Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makasar, Profesor Achmad Ali menduga kelambanan proses pengajuan RUU KKR ini dikarenakan pemerintah tidak punya dana yang cukup sebagai kompensasi bagi para korban pelanggaran HAM berat dan ahli warisnya.
kli
"Saya menduga pertimbangan dari pemerintah adalah pada kekhawatrian banyaknyta dana yang harus dikeluarkan bagi para korban pelanggaran HAM berat dan ahli warsinya,tegasnya.
Padahal, lanjut anggota Komnas; HAM ini, pemerintah harus segara menindak lanjuti rencana pembentukan KKR. Karena tidak semua karsus pelanggaran HAM berat bisa diselesaikan lewat pengadilan. Hal ini sebagai akibat dari ketidakberesannya lembaga peradilan yang ada sekarang dalam menyelesaikan masalah-masalah pelanggaran HAM berat.
"Kita lihat saja kasus-kasus seperti Trisakti, Semanggi, yang terus mondar-mandir. Akhirnya hal itu masalah akan mengecewakan rakyat yang menjadi korban," tandasnya. Ditambahkan, jika sampai akhir tahun ini KKR belum dterbentuk, maka hal itu hanya akan menambah beban berat bagi Komnas HAM. "Kami harapkan presiden segera menindaklanjuti hal ini. Begitu juga nanti DPR harus menjadikan ini sebagai prioritas," uijarnya. ZIK.
Wacana KKR_03 31 Media Indonesia, Selasa, 18 Maret 2003 Dinamika RUU KKR MASIH DI SETNEG: Presiden belum menandatangani Rancangan Undang-Undang Komisi
kli
pin gE
LS A
M
Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang oleh Depkeh dan HAM telah diajukan sekitar enam bulan lalu. Akibatnya, RUU tersebut belum bisa disampaikan kepada DPR untuk pembahasan. Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan hal itu menjawab pertanyaan wartawan usai penandatanganan perjanjian kerja sama di bidang hukum dan HAM dengan Menteri Kehakiman dan Pembinaan Konstitusi Afrika Selatan Paunell Mpapa Maduna di Depkeh dan HAM, kemarin. Yusril mengaku tidak tahu persis kenapa RUU tersebut belum juga ditandatangani. "Mestinya kalau ada kekurangan atau kelemahan dalam usulan itu, Sekretaris Negara menghubungi saya untuk menjelaskan. Saya mengharap kalau ada yang tidak disetujui agar dibahas dan didiskusikan. Saya enggak tahu sebabnya, kenapa begitu lama belum ada respons," katanya. Yusril mengatakan, dalam penyusunan RUU KKR, pihaknya banyak melakukan kajian terhadap nilai lokal dan pengalaman negara lain. Dia berjanji akan segera melakukan perbaikan jika RUU yang diajukan Depkeh dan HAM dinilai masih ada kekurangannya. Menurut dia, masyarakat Indonesia sebenarya sering melakukan rekonsiliasi yang didasarkan pada hukum adat atau hukum Islam. (Mg-1/P-5)
Wacana KKR_03 32 Kompas, Rabu, 19 Maret 2003
Hakim HAM Harus Kuasai Statuta Roma
pin gE
LS A
M
Jakarta, Kompas - Mantan Menteri Kehakiman Muladi mengemukakan, para hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Ad Hoc umumnya tidak menguasai Statuta Roma yang menjadi acuan dalam Pengadilan HAM. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terjadi kekeliruan dalam menerjemahkan Statuta Roma. Karena itulah, Muladi yang empat kali menjadi saksi ahli dalam Pengadilan HAM Timor Timur (Timtim) menyatakan setuju dengan keinginan Mahkamah Agung (MA) untuk mengkaji kembali putusan bebas atas beberapa terdakwa kasus pelanggaran HAM Timtim. "Keputusan itu memang perlu dikaji kembali. Saya setuju kalau Ketua MA Bagir Manan mau mengkajinya. Jangan takut pada tekanan-tekanan internasional," kata Muladi di sela acara peluncuran tiga buku karya Prof Dr Romli Atmasasmita SH LLM tentang Pengadilan HAM, korupsi, dan terorisme, Selasa (18/3) kemarin. Muladi mengimbau agar pada tingkat banding dan kasasi untuk kasus pelanggaran HAM Timtim, hakim yang menanganinya menguasai Statuta Roma. Ada tiga dokumen yang harus dikuasai para hakim, yaitu tentang pengadilan pidana internasional (International Criminal Court), pembuktian (Rules of Evidence), dan unsur-unsur kejahatan (Elements of Crime) "Kalau tidak menguasai Statuta Roma, jangan coba-coba mengadili perkara di Pengadilan HAM. Nanti keputusannya keliru. Ini kelemahan para hakim, jaksa, dan pengacara," kata Muladi, yang menjadi ketua delegasi Indonesia dalam perumusan Statuta Roma, tahun 1998, ketika menjabat Menteri Kehakiman. Contoh penerjemahan Statuta Roma yang keliru, kata Muladi, antara lain terjadi ketika menyebutkan pengertian "pertanggungjawaban komando". Menurut dia, tanggung jawab komando harusnya ditarik dari anak buah yang berada di bawah kendalinya. Artinya, bawahan yang melakukan pelanggaran HAM harus diadili terlebih dahulu. Kalau kesalahan mereka terbukti, barulah satu demi satu komandannya dibawa ke pengadilan. "Yang selama ini terjadi, anak buahnya tidak diadili, tetapi komandannya sudah bertanggung jawab secara komando," ungkapnya. Muladi mendukung berlakunya asas retroaktif dalam kasus- kasus pelanggaran HAM. Bila tidak diberlakukan asas retroaktif, banyak pelaku kejahatan berat yang tidak tersentuh.
kli
Rekonsiliasi Tentang adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Muladi mengatakan, rekonsiliasi hanya diperlukan terhadap delik-delik yang sulit pembuktiannya. Salah satu kasus kejahatan berat yang sulit pembuktiannya adalah Gerakan 30 September (G30S). Untuk kasus semacam ini perlu ditempuh rekonsiliasi agar hak perdata korban dan keluarganya tidak terbunuh dan mereka harus disantuni. Dengan demikian, kata Muladi, rekonsiliasi tidak saling bertentangan dengan Pengadilan HAM, tetapi saling mengisi. Ia mengingatkan agar rekonsiliasi ditempuh jangan karena pertimbangan politis, melainkan karena kejahatan itu memang sulit pembuktiannya. (LAM)
Wacana KKR_03 33 Media Indonesia, Rabu, 19 Maret 2003
'Gentlemen', Unsur Penting Rekonsiliasi
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA (Media): Upaya penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bisa berjalan efektif kalau didukung dengan adanya sikap gentlemen untuk mengakui kesalahan dan bersedia meminta maaf atas kesalahan. "Proses rekonsiliasi yang menjadi faktor terpenting adalah adanya sikap gentlemen dengan mengakui suatu kesalahan dan kesediaan meminta maaf," kata praktisi hukum senior Muladi dalam diskusi mengenai pelanggaran HAM, pada acara peluncuran tiga buah buku karya pakar hukum Romli Atmasasmita di Jakarta, kemarin. Bukubuku itu berjudul Pengadilan HAM dan Penegakannya di Indonesia, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia, dan Korupsi, Good Governance, dan Komisi Antikorupsi di Indonesia. Hadir dalam diskusi tersebut pakar hukum tata negara Adnan Buyung Nasution dan Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara, dengan moderator pakar hukum Harkristuti Harkrisnowo. Pernyataan Muladi tersebut dikemukakannya berkaitan dengan adanya mekanisme penyelesaian kasus di masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Muladi mengakui bahwa hal itulah yang sulit dilakukan di Indonesia. Pemerintah cq Depkeh dan HAM telah menyusun RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). RUU itu saat ini masih menunggu ditandatangani presiden untuk selanjutnya dibahas di DPR. Muladi berpendapat, RUU yang telah disusun relatif sudah baik. Yang diatur dalam RUU itu titik beratnya pada penyantunan korban, kompensasi, restitusi, itu menjadi sesuatu yang sangat penting. "Jadi rekonsiliasi itu jangan hanya karena pertimbangan politis, tetapi pertimbangannya adalah karena kasusnya sulit dibuktikan kejahatannya. Jadi, yang menjadi pertimbangannya adalah korbannya menonjol, baru direkonsiliasi," kata Muladi. Ia mengatakan, RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sudah ada, tetapi sayangnya RUU itu kurang disosialisasikan. Ketika ditanya bagaimana mekanisme penyelesaian melalui KKR, Muladi mengatakan, penyelesaiannya diawali dengan mengidentifikasi kasusnya, siapa pelakunya, siapa korbannya. "Korbannya siapa, harus disantuni dan mana yang mungkin diampuni dalam bentuk amnesti atau grasi. Jadi tiga kategori itu, yaitu identifikasi pelakunya, korbannya, serta siapa yang bisa diampuni sehingga kembali damai. Jadi intinya rekonsiliasi itu kembali ke perdamaian semula," katanya. Sementara itu, Romli mengatakan, masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi masalah politik. Karena itu penyelesaiannya bukan dengan hukum semata, melainkan harus ada kebijakan-kebijakan dari pimpinan negara untuk menyelesaikan hal ini. Sejak awal, kata Romli, memang sudah disadari bahwa pengungkapan bukti-bukti pelanggaran HAM berat di masa lalu tidaklah mudah jika dilihat dari sisi teknik penyelidikan dan penyidikan. "Oleh karena itu diperlukan jalan keluar yang bijaksana manakala bukti-bukti pelanggaran HAM itu sulit diperoleh, sementara secara faktual jelas timbul korban dalam masyarakat." Satu-satunya jalan keluar yang baik dan bijaksana adalah dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dalam UU Pengadilan HAM No 26 Tahun 2000 telah diperintahkan pembentukannya harus dengan UU. Dari lahirnya UU pengadilan HAM yang baru sendiri, Romli mengatakan yang terpenting adalah hadirnya Komnas HAM sebagai lembaga satu-satunya yang berwenang untuk melakukan penyelidikan projustitia, sehingga sebagai lembaga penyelidik ia harus memperkuat kinerja Kejaksaan Agung dalam menuntaskan penyidikan atas pelanggaran HAM berat. "Karena wewenang tersebut, maka diperlukan juga lembaga pengawas independen atas kinerja Komnas HAM tersebut. LSM yang berkecimpung dalam human rights defenders merupakan pilihan tepat untuk peran tersebut," kata Romli. (CR-20/P-3)
Wacana KKR_03 34 Sinar Harapan, Kamis, 20 Maret 2003 Rencana Rekonsiliasi Nasional
Wapres Tak Setuju Memaafkan Kesalahan PKI
pin gE
LS A
M
Jakarta, Sinar Harapan Wakil Presiden Hamzah Haz tidak setuju kalau dalam rekonsiliasi nasional harus memaafkan orang yang masuk dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Rekonsiliasi hanya berkaitan dengan masalah kemanusiaan, sedangkan kesalahan PKI dianggap berkaitan dengan ideologis. Sikap Wapres itu disampaikan kepada Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PBPMMI), Nusron Wahid di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (19/3). ”Saya juga tanya kepada Wapres, apakah rekonsiliasi nasional harus memaafkan PKI. Wapres tidak setuju, karena kesalahan PKI soal ideologis, bukan soal kemanusiaan,” katanya kepada wartawan usai pertemuan tersebut. Menurut Wahid, rekonsiliasi nasional sebaiknya untuk dimensi yang bersifat kemanusiaan, dan jangan sampai proses rekonsiliasi nasional nantinya dengan mengatasnamakan kemanusiaan untuk melakukan pemulihan ideologi. Dalam Undang-Undang Rekonsiliasi Nasional nanti, kata Wahid, tidak harus melupakan kesalahan yang berkaitan dengan ideologis, sebab kesalahan ideologis sulit dilupakan sehingga bisa menjadi penghambat proses rekonsiliasi. Namun sejauh masalah yang berkaitan dengan masalah politik, ekonomi, dan kejahatan, demi Indonesia ke depan harus dilakukan rekonsiliasi nasional. Pada kesempatan itu, Wahid menanyakan model rekonsiliasi nasional seperti di Afrika Selatan, lalu Wapres mengatakan setuju kalau rekonsiliasi nasional harus melupakan kesalahan masa lalu, tapi tidak untuk kesalahan ideologis. ”Kalau masalah rasial dan diskriminasi memang harus ditinggalkan,” ujarnya. Sementara itu, Salahuddin Wahid (Gus Sholah) secara terpisah di tempat yang sama mengatakan rekonsiliasi nasional harus melibatkan semua komponen bangsa. Rekonsiliasi nasional yang sangat mendesak saat ini berkaitan dengan masalah Aceh, Papua, dan Timor Timur (Timtim). Namun, ia mengingatkan rencana rekonsiliasi nasional belum terlaksana karena Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Rekonsiliasi Nasional sampai saat ini belum masuk ke DPR, meskipun RUU itu sudah sekitar enam bulan lalu di Sekretariat Negara (Setneg). Sementara itu, Wapres Hamzah Haz kepada wartawan di Hotel Mulia, Jakarta, menjelaskan sebenarnya tidak ada hambatan bagi pemerintah dalam mengajukan RUU itu. Pemerintah hanya melakukan prioritas dalam Perpu Pemberantasan Terorisme dan RUU Pemilu. ”Jadi soal prioritas, kalau dikirim ke DPR dan lama juga, kan lebih baik satu-satu menurut prioritas,” kata Hamzah. (ady)
Suara Pembaruan, Kamis 21 Maret 2003
kli
Hamzah Haz Rekonsiliasi untuk Menyelesaikan Kesalahan Masa Lalu JAKARTA - Wakil Presiden Hamzah Haz menegaskan arti penting rekonsiliasi untuk menyelesaikan berbagai kesalahan di masa lampau kecuali persoalan yang berkaitan dengan masalah ideologis. "Saya katakan kalau kesalahan itu bersifat rasial dan kriminal setelah rekonsiliasi bisa dilupakan. Tetapi jika kesalahan bersifat ideologis tidak akan dilupakan," ujar Wapres Hamzah Haz seperti dikutip Ketua Umum Pengurus Pusat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PP PMII) Nusron Wahid seusai diterima di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan Jakarta, Rabu (19/3). Wapres, kata Nusron, menegaskan bahwa pelaksanaan rekonsiliasi tidak berkaitan dengan kesalahan ideologis tetapi kemanusiaan. Hal tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa masyarakat masih sulit memaafkan kesalahan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia. "Rekonsiliasi dilakukan untuk melupakan kesalahan yang bersifat rasial dan kemanusiaan, bukan kesalahan ideologis seperti pernah dilakukan PKI terhadap masyarakat Indonesia," kata Hamzah. (W-8) Last modified: 20/3/2003
Wacana KKR_03 35 Kompas, Kamis, 20 Maret 2003
Wakil Presiden Hamzah Haz:
Rekonsiliasi Nasional Tidak untuk Kesalahan Ideologis
kli
pin gE
LS A
M
Jakarta, Kompas - Wakil Presiden (Wapres) Hamzah Haz menyatakan, rekonsiliasi nasional harus dilakukan secara total guna melupakan segala kesalahan masa lampau, sepanjang kesalahan tersebut bukan kesalahan ideologis. "Kalau kesalahan itu bersifat rasial dan diskriminatif kita harus bisa melupakan, tetapi tidak untuk kesalahan ideologis," kata Hamzah Haz, seperti dikutip Ketua Umum Pengurus Pusat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PP PMII) Nusron Wahid usai bertemu dengan Wapres Hamzah Haz di Istana Wakil Presiden, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (19/3). Oleh karena itu, Wapres menyatakan tidak setuju memaafkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai bagian dari rekonsiliasi nasional. Sebab, yang dilakukan PKI adalah kesalahan ideologis, bukan lagi kesalahan kemanusiaan. "Indonesia, yang sebagian besar rakyatnya umat Islam, pernah disakiti oleh PKI tentu tidak bisa menerima itu, sehingga rekonsiliasi tidak terbentuk," ujar Hamzah. Wapres mengingatkan agar Undang-Undang (UU) Rekonsiliasi Nasional yang akan dibuat tidak dimanfaatkan oleh kelompok dengan kepentingan ideologi tertentu untuk menghidupkan kembali ideologi itu di Indonesia dengan alasan kemanusiaan. "Jadi, UU itu hanya untuk melupakan kesalahan masalah lalu yang dimensinya kemanusiaan. Jangan sampai digunakan oleh kelompok yang punya kepentingan ideologi untuk menghidupkan kembali ideologi itu di Indonesia," tegasnya. Sementara itu, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Solahuddin Wahid mengimbau agar pemerintah segera mengajukan RUU tentang Rekonsiliasi Nasional kepada DPR untuk dibahas. "RUU itu harus segera diajukan ke DPR karena itu salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan masa lalu yang hingga kini masih mengganjal," katanya usai bertemu Wapres. Draf RUU tentang Rekonsiliasi Nasional sejak enam bulan lalu telah diserahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra kepada Presiden Megawati Soekarnoputri. Namun, hingga saat ini belum diketahui nasibnya. "Kenapa begitu lama, sampai enam bulan di tangan Presiden, dan tidak diapa-apakan," ujar Solahuddin yang juga Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Rekonsiliasi nasional juga harus segera dilakukan terhadap persoalan di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua. "Dua hal itu relevan untuk segera diselesaikan secara memadai, karena sudah sangat mendesak," tutur Solahuddin Wahid. (ely)
Wacana KKR_03 36 Koran Tenpo, Kamis, 20 Maret 2003
Pasal Kompensasi Hambat RUU Rekonsiliasi JAKARTA - Sekretaris Negara Bambang Kesowo mengakui, masih ada kendala yang menghambat pengajuan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ke DPR. Rancangan ini selesai disusun Departemen Kehakiman dan HAM sejak enam bulan lalu dan masih tertahan di meja presiden. "Ada beberapa pasal yang di kabinet belum dicapai titik temu. Diantaranya, menyangkut pemberian dana kompensasi dan rehabilitasi bagi korban," ujarnya di Istana Negara Jakarta kemarin. Ia tidak menjelaskan lebih jauh alasan pasal itu memberatkan pemerintah. Namun, ia tidak membantah bahwa bahwa pemberian kompensasi dan rehabilitasi bagi korban akan memberatkan keuangan negara.
M
Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra Senin lalu mengaku heran karena rancangan ini belum juga diajukan ke DPR. Menurut dia, Sekretariat Negara tidak pernah menjelaskan penyebab lamanya pengajuan ke DPR.
LS A
Kesowo mengatakan, masih ada bagian dalam rancangan yang harus dibicarakan dalam sidang kabinet. Ini, kata dia, untuk menghindari agar tidak sampai sampai terjadi pertentangan dalam kabinet. Secara terpisah, Wakil Presiden Hamzah Haz menyatakan, rekonsiliasi nasional dapat dilakukan tapi tidak untuk pertentangan bersifat ideologis, seperti Partai Komunis Indonesia. "Hal yang rasial dan diskriminasi memang harus ditinggalkan, tapi tidak ideologis," kata Nusron Wahid. Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, seusai bertemu Hamzah di Istana Wakil Presiden.
pin gE
Mengutip Hamzah, Nurson menyatakan, kesalahan PKI adalah kesalahan ideologis sehingga mayoritas umat Islam tidak akan menerima rekonsiliasi. Wakil Ketua Komisi Nasional HAM Salahudin Wahid tidak setuju dengan pernyataan ini. Menurut dia, rekonsiliasi seyogianya dilakukan kepada semua pihak termasuk yang pernah dicap sebagai anggota PKI. "Kita boleh berbeda ideologi, tapi secara kemanusiaan tidak," katanya. Meski begitu, ia menganggap persoalan Papua dan Aceh mendesak diselesaikan dengan rekonsiliasi. Pakar hukum Muladi mengatakan, rekonsiliasi hanya bisa dilakukan terhadap kasus-kasus yang sulit pembuktiannya tapi masyarakat melihat adanya kejahatan kemanusiaan. Ia mengingatkan agar rekonsiliasi dititikberatkan pada kepentingan seluruh korban tanpa ditunggangi pertimbangan-pertimbangan politis.
kli
Untuk itu, ia berharap pemerintah dan DPR segera membentuk Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ia menilai, draf rancangan yang dibuat Departemen Kehakiman dan HAM cukup baik. "Persoalannya, pemerintah kurang mensosialisasikannya sehingga masyarakat kurang memahami proses dan tujuan rekonsiliasi," kata mantan Menteri Kehakiman ini. Menurut Salahuddin, UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah cara yang paling tepat untuk menyelesaikan utang-utang di masa lalu dalam bidang kejahatan manusia dan politik. Makanya, ia mempertanyakan sikap pemerintah yang tidak kunjung mengambil keputusan soal draf rancangan ini. oman/sudrajat/maria
Wacana KKR_03 37 The Jakart Post, Thursday, Marcth 20, 2003
Compensation row delays truth bill
Fabiola Desy Unidjaja and Muninggar Sri Saraswati, The Jakarta Post, Jakarta
kli
pin gE
LS A
M
Disagreement among Cabinet ministers over compensation for the victims of past human rights abuses has delayed the submission of the truth and reconciliation commission bill to the House of Representatives, a government official says. The draft was submitted by the Ministry of Justice and Human Rights to the State Secretariat six months ago but no progress has been made so far as regards its submission to the House. "There are several articles that need further discussion so as to avoid differing views among Cabinet members," State Secretary Bambang Kesowo said on Wednesday. Asked whether the contentious articles included a proposal to provide compensation for the victims of past human rights violations, Bambang said: "Yes, this is one of the (contentious) issues." He refused to elaborate further. Bambang gave assurances, however, that the bill would soon be discussed with President Megawati Soekarnoputri and then submitted to the House for deliberation. "We are planning to discuss the bill as soon as possible, but sometimes it is difficult to push ahead with the schedule for certain bills," he said. The proposed truth and reconciliation commission is expected to resolve past human rights violations, especially those that occurred during the 32-year rule of former president Soeharto. The commission, patterned after South Africa's Truth and Reconciliation Commission, would select the cases to be processed by identifying the facts, the victims and the perpetrators. It later would have to decide whether or not the victims or their heirs would be eligible to receive compensation and the perpetrators eligible for amnesty or presidential pardon. If the perpetrators refuse to apologize to the victims or the victims refuse to forgive the perpetrators, such cases would go before the human rights tribunal. The bill requires the government to provide protection for witnesses, victims and the perpetrators of rights abuses until a settlement is reached. It also obliges the government to pay compensation and to rehabilitate the victims of rights abuses. Deputy chairman of the National Commission on Human Rights (Komnas HAM) Salahuddin Wahid urged the government on Wednesday to immediately iron out its differences and submit the bill to the House. "The bill will provide answers to past abuses and will help build peace in the country," he said after a meeting with Vice President Hamzah Haz. Meanwhile, former justice minister Muladi welcomed the bill on Wednesday, saying that it was imperative for settling conflicts arising from past gross human rights violations. "We won't be able to step forward into a better future unless the people agree on reconciliation," he said. "The perpetrators must apologize to the victims and, on the other hand, the victims must forgive the perpetrators because the spirit of the commission is all about reconciliation and peace," Muladi said. Separately, lawyer Johnson Panjaitan of the Indonesian Legal Aid and Human Rights Association (PBHI), argued that the bill was an attempt to exempt the perpetrators of past human rights abuses from possible criminal charges. "The government seems to want to maintain impunity (for the perpetrators of human rights violations)," Johnson said.
Wacana KKR_03 38 Sinar Harapan, Kamis, 20 Maret 2003 Rencana Rekonsiliasi Nasional
Wapres Tak Setuju Memaafkan Kesalahan PKI
kli
pin gE
LS A
M
Jakarta, Sinar Harapan Wakil Presiden Hamzah Haz tidak setuju kalau dalam rekonsiliasi nasional harus memaafkan orang yang masuk dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Rekonsiliasi hanya berkaitan dengan masalah kemanusiaan, sedangkan kesalahan PKI dianggap berkaitan dengan ideologis. Sikap Wapres itu disampaikan kepada Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PBPMMI), Nusron Wahid di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (19/3). ”Saya juga tanya kepada Wapres, apakah rekonsiliasi nasional harus memaafkan PKI. Wapres tidak setuju, karena kesalahan PKI soal ideologis, bukan soal kemanusiaan,” katanya kepada wartawan usai pertemuan tersebut. Menurut Wahid, rekonsiliasi nasional sebaiknya untuk dimensi yang bersifat kemanusiaan, dan jangan sampai proses rekonsiliasi nasional nantinya dengan mengatasnamakan kemanusiaan untuk melakukan pemulihan ideologi. Dalam Undang-Undang Rekonsiliasi Nasional nanti, kata Wahid, tidak harus melupakan kesalahan yang berkaitan dengan ideologis, sebab kesalahan ideologis sulit dilupakan sehingga bisa menjadi penghambat proses rekonsiliasi. Namun sejauh masalah yang berkaitan dengan masalah politik, ekonomi, dan kejahatan, demi Indonesia ke depan harus dilakukan rekonsiliasi nasional. Pada kesempatan itu, Wahid menanyakan model rekonsiliasi nasional seperti di Afrika Selatan, lalu Wapres mengatakan setuju kalau rekonsiliasi nasional harus melupakan kesalahan masa lalu, tapi tidak untuk kesalahan ideologis. ”Kalau masalah rasial dan diskriminasi memang harus ditinggalkan,” ujarnya. Sementara itu, Salahuddin Wahid (Gus Sholah) secara terpisah di tempat yang sama mengatakan rekonsiliasi nasional harus melibatkan semua komponen bangsa. Rekonsiliasi nasional yang sangat mendesak saat ini berkaitan dengan masalah Aceh, Papua, dan Timor Timur (Timtim). Namun, ia mengingatkan rencana rekonsiliasi nasional belum terlaksana karena Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Rekonsiliasi Nasional sampai saat ini belum masuk ke DPR, meskipun RUU itu sudah sekitar enam bulan lalu di Sekretariat Negara (Setneg). Sementara itu, Wapres Hamzah Haz kepada wartawan di Hotel Mulia, Jakarta, menjelaskan sebenarnya tidak ada hambatan bagi pemerintah dalam mengajukan RUU itu. Pemerintah hanya melakukan prioritas dalam Perpu Pemberantasan Terorisme dan RUU Pemilu. ”Jadi soal prioritas, kalau dikirim ke DPR dan lama juga, kan lebih baik satu-satu menurut prioritas,” kata Hamzah. (ady)
Wacana KKR_03 39 The Jakarta Post, March 24, 2003
Commission to unravel dark side of Indonesian history Muninggar Sri Saraswati, The Jakarta Post, Jakarta
The Justice and Human Rights Ministry has drafted legislation on the establishment of a truth and reconciliation commission to settle the numerous gross human rights violations committed by the Indonesian government.
M
The draft legislation, which allows for businesses and individuals to be charged, has been submitted to the government for consideration before it can be presented to the House of Representatives. Indonesia already has legislation allowing for the establishment of ad-hoc tribunals to hear cases involving rights violations. However, the tribunals can only hear cases which occurred after the law's enactment on Nov. 20, 2000. The exceptions are atrocities committed by Indonesian security forces in East Timor in 1999 and the Tanjung Priok massacre in 1984. Other cases will have to be settled through either the commission or normal legal channels.
LS A
Under the draft bill, a copy of which was made available to The Jakarta Post, the 15 member-commission will be given the power to grant human rights violators amnesty if they plead guilty and express remorse to those affected, provided the family is willing to forgive. However, the draft states the commission can provide the president with recommendations to pardon rights violators, even if the families are not willing to forgive.
pin gE
Should the perpetrators plead innocent, the cases will be heard by an ad-hoc human rights tribunal. "Through the Truth and Reconciliation Commission, both the victims and perpetrators could share their experiences to reconstruct the truth in connection with past human rights violations. Only in this way, can national reconciliation develop," according to the bill. A committee comprising three government officials and two community representatives will select 30 candidates, with the president picking the 15 commission members. The selection also have to be endorsed by the House. Police and military personnel are barred from serving on the commission given the conflict of interest. The draft says the commission is authorized to investigate violations following reports from the perpetrators, victims or surviving relatives. The commission is allowed to obtain evidence from civilians, the military or private institutions as well as order people to testify.
kli
The draft does not specify a time limit for past rights violations that the commission can investigate. Justice and Human Rights Minister Yusril Ihza Mahendra once said the commission may investigate possible human rights violations during Dutch colonization from the sixteenth century to the 20th century. State Secretary Bambang Kesowo said last week that disagreement over how much compensation should be paid and its impact on the state budget had delayed submission of the bill to the House. The abortive coup d'etat by the Indonesian Communist Party (PKI) in the mid 1965, which claimed hundreds of thousands of PKI supporters, and the May 1998 riots, during which at least 100 women and girls, mainly Indonesians of Chinese decent, were sexually assaulted, are just two examples of cases the commission could hear.
Researcher Priscilla B. Hayner of the Ford Foundation, however, warns that the commission could only be effective if it is supported by all parts of the community. She suggested the government promote the commission among Indonesians.
Wacana KKR_03 40 Kompas, Sabtu, 29 Maret 2003
Ajukan Segera RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
LS A
M
Jakarta, Kompas - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendesak Presiden Megawati Soekarnoputri untuk segera mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Berbagai kelemahan dalam substansi RUU KKR bisa diperbaiki dalam pembahasan di DPR. Hal itu dikatakan Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara kepada pers, Jumat (28/3). Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah perintah Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. "Urgensi RUU KKR telah disampaikan ke Presiden Megawati saat bertemu Komnas HAM, Januari lalu," ujarnya. Lewat Bab V Pasal 3 Tap MPR No V/MPR/2000, pemerintah diberi tugas membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai lembaga ekstra yudisial, yang jumlah anggota dan kriterianya ditentukan UU. Komisi ini bertugas menegakkan kebenaran dengan mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau, sesuai ketentuan hukum dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bangsa. Pengungkapan kebenaran dapat dilakukan dengan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, dan rehabilitasi. Atau alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. "Saya dengar RUU KKR itu masih ada di meja Presiden. Pemerintah masih berpikir soal anggaran kompensasi bagi para korban. Isu itu sebenarnya tak perlu dipikir terlalu jauh. Kompensasi tak selalu harus dalam bentuk uang," katanya. Abdul Hakim menambahkan, KKR sangat penting untuk menyelesaikan persoalan masa lalu yang tak kunjung terselesaikan. Tanpa penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu, akan sulit dicapai rekonsiliasi.
kli
pin gE
Berbagai kepentingan Abdul Hakim mengatakan, dalam konteks penghormatan HAM, pemerintahan transisi bukannya tak berbuat apaapa. Sudah ada beberapa UU yang menjamin perlindungan dan penghormatan HAM. Namun, penegakannya masih menghadapi masalah. "Penegakan hukum dilakukan selektif. Itu terjadi karena interaksi antara kelompok-kelompok politik yang terkait rezim lama," ujarnya. Ia mencontohkan penuntutan mantan Presiden Soeharto yang diperlakukan sebagai ketua yayasan. "Itu kan menyamakan Soeharto dengan tokoh LSM yang tak menggambarkan peran Soeharto sesungguhnya. Ini contoh penegakan hukum yang selektif," katanya. Memang beberapa anggota militer secara selektif diadili. Namun, persidangannya lebih merupakan simbol saja sebagai usaha penegakan hukum. Menurut Abdul Hakim, KKR adalah wahana penting untuk mendorong para pejabat masa lalu bersikap jujur terhadap masa lalu.Ia tak menyangkal KKR bisa menciptakan impunity atau pembebasan hukuman. "Di beberapa negara lain pun terjadi impunity karena persepsi keadilan yang mau dibangun KKR adalah keadilan restoratif. KKR juga wujud penyelesaian politik, bukan penyelesaian hukum," katanyaseraya menambahkan, sebuah keputusan politik memang harus ada unsur memberi dan menerima. Dalam draf RUU KKR terakhir yang diketahuinya, Abdul Hakim mengatakan, KKR Indonesia menyerupai KKR Afrika Selatan. Hanya saja, diberi atau tidaknya amnesti tetap akan diputuskan presiden dan DPR. Subkomisi amnesti akan memberikan rekomendasi apakah seseorang bisa diberikan amnesti atau tidak, namun keputusannya diserahkan kepada presiden setelah mendengar pertimbangan DPR.(bdm)
Wacana KKR_03 41 Kompas, Jumat, 04 April 2003
Satya Arinanto:
Prinsip Retroaktif Terbatas oleh DPR Perlu Ditinjau
kli
pin gE
LS A
M
Jakarta, Kompas - Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu mana saja yang boleh diungkapkan sudah saatnya ditinjau kembali. Dalam praktiknya, kepentingan politik dan ekonomi anggota DPR yang berperan lebih dominan. Hal itu dikatakan promovendus Satya Arinanto dalam disertasi berjudul "Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik: Upaya Pencarian Keadilan Transisional di Indonesia dalam Era Reformasi" yang dipertahankan dalam ujian promosi doktor di Kampus UI, Depok, Kamis (3/4). Sidang yang dipimpin Dekan Fakultas Hukum UI Prof Dr Abdul Bari Bazed dengan penguji Prof Dr Miriam Budiardjo, Prof Dr Sri Soemantri, Dr Adnan Buyung Nasution, dan Dr Todung Mulya Lubis menyatakan, Satya Arinanto lulus dengan predikat cum laude. Prof Dr Ismail Suny bertindak sebagai promotor, sementara Prof Dr Harun Alrasid dan Prof Dr Jimly Asshiddiqie sebagai kopromotor. Menjawab pertanyaan Adnan Buyung Nasution, Satya mengemukakan, prinsip retroaktif terbatas yang tertera dalam Pasal 43 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM perlu ditinjau kembali. Dalam Pasal 43 UU No 26/2000 itu dinyatakan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No 26/2000 berlaku ditetapkan oleh DPR. DPR-lah yang mengusulkan kepada Presiden tentang perlunya dibentuk Pengadilan HAM Ad hoc. Dalam tataran implementasi, kata Satya, baru dua kasus yang direkomendasikan oleh DPR untuk diselesaikan, yakni kasus pelanggaran HAM Timtim pasca-penentuan pendapat dan kasus Tanjung Priok yang perkaranya belum diadili, yang pada level masyarakat sudah terjadi perdamaian antara penanggung jawab keamanan dengan korban dan keluarga korban. Sementara kasus penembakan mahasiswa Trisakti dan Semanggi I-II direkomendasikan DPR untuk diselesaikan di Pengadilan Militer. "Ini adalah sebuah reduksi," ujar Satya. Dia menambahkan, "Ada kecenderungan DPR dan pemerintah melanggengkan impunity. Jadi, sangat riskan kalau penentuan pelanggaran HAM masa lalu mana yang akan dibuka diserahkan kepada DPR." Sementara Jimly Asshiddiqie mempertanyakan kendala dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang draf RUU-nya sudah disiapkan sejak 1999. "Apakah kendalanya hanya masalah teknis, yakni anggaran, atau ada kendala lain?" tanya Jimly. Menanggapi pertanyaan Jimly, Satya mengemukakan, selain kendala teknis soal anggaran, memang ada kendala politik dan kendala kultural di balik tersendatnya pembahasan RUU KKR. Kendala politik adalah persiapan elite politik untuk menghadapi Pemilu 2004, di mana para elite politik itu sedang berjuang untuk merebut kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah yang bisa mendukungnya untuk tetap berkuasa. Adapun kendala kultural, pada tingkat wacana juga muncul dengan gugatan apakah dalam kultur masyarakat Indonesia dikenal semacam pengakuan dosa sebagaimana terjadi di Afrika Selatan. Di bagian akhir paparannya, Satya mengemukakan, dari berbagai pola penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat dalam era reformasi, tampak bahwa walaupun telah ada upaya-upaya untuk mencari dan merumuskan suatu konsepsi keadilan transisional, namun dalam implementasinya masih sangat lemah. Hal ini menyebabkan dibutuhkannya semacam upaya pencarian konsepsi baru untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Oleh karena itu, tambahnya, pencarian konsepsi keadilan transisional di Indonesia dalam era reformasi masih memerlukan waktu panjang. (bdm)
Wacana KKR_03 42 Koran Tempo, Senin, 7 April 2003
"Pengadilan Pelaku Pelanggaran HAM Telah Gagal" JAKARTA- Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Salahuddin Wahid mengatakan, pengadilan terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dinilai telah gagal menunaikan tugasnya untuk memberikan rasa keadilan bagi korban. Ia menyarankan agar persoalan masa lalu dituntaskan lewat pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. "Proses pengadilan justru memberikan rasa ketidakadilan bagi korban. Komnas HAM pun merasakan ketidakadilan itu," kata Salahuddin kepada Koran Tempo di Jakarta, kemarin.
M
Menurut Salahuddin, indikasi kegagalan proses pengadilan itu dapat dilihat dari persidangan pelaku pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Baik jaksa penuntut maupun hakim hanya memperlakukan kejahatan kemanusiaan ini sebagai kejahatan atau pelanggaran biasa.
pin gE
LS A
Jaksa penuntut, kata dia, hanya hanya mengajukan pelaku lapangan ke pengadilan. Sementara putusan pengadilan jauh dari tuntutan jaksa. Bahkan ada vonis majelis hakim yang membebaskan terdakwa.Indikasi lain dari kegagalan pengadilan HAM juga terasakan dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia Tanjung Priok. Hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM merekomendasikan 33 nama yang dinilai layak dimintai pertanggungjawaban hukum. Namun Kejaksaan Agung hanya menetapkan 14 nama orang sebagai tersangka. "Komnas sempat bertanya ke Kejaksaan Agung tentang kemungkinan bertambahnya nama lain,"ujar Salahuddin. Menurut Salahuddin, meski Indonesia harus diakui masih lebih maju dengan negara -negara lainnya yang belum memiliki pengadilan HAM, namun jika putusan pengadilan tak memberikan rasa keadilan bagi korban dan jauh dibawah standar internasional, maka pengadilan tak bisa diharapkan untuk menuntaskan kasus -kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Apalagi kinerja pengadilan HAM itu semuanya berawal dari hasil penyelidikan Komnas HAM. " Saat ini, Komnas hanya bisa gigit jari saja. Apalagi UU tak memberi ruang bagi Komnas HAM untuk mengintervensi kerja jaksa atau pengadilan," ujarnya. Jika kondisinya seperti itu, kata Salahuddin, satu-satunya jalan terbaik untuk menuntaskan persoalan itu adalah melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Untuk itu, adik kandung bekas presiden Abdurrahman Wahid ini mendesak lagi mengapa Presiden Megawati tak segera melimpahkan draft Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk segera dibahas DPR. "Sayangnya, sudah enam bulan lebih draft itu diserahkan ke Presiden. Tapi belum ada jawaban. Komnas HAM mendesak Presiden supaya draftnya segera diajukan ke DPR," kata dia.
kli
Dihubungi terpisah, Dirjen Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM, Abdul Gani Abdullah mengaku tidak tahu pasti mengapa RUU itu belum kunjung diserahkan ke DPR. "Yang saya tahu, draft itu sudah lama diserahkan ke Presiden. Jadi, tanya saja ke Sekretaris Negara," ujar Gani yang dihubungi kemarin. Beberapa waktu lalu Sekretaris Negara Bambang Kesowo mengakui, masih ada kendala yang menghambat pengajuan RUU itu ke DPR. Karena masih ada beberapa pasal menyangkut pemberian dana kompensasi dan rehabilitasi bagi korban yang belum menemukan titik temu. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra saat bertemu Menteri Kehakiman Afrika Selatan juga mengakui kalau pemerintah berkeberatan dengan soal pemberian kompensasi bagi korban pelanggaran HAM. Namun saat itu, Yusril tak menjelaskan soal batasan masa lalu untuk melakukan rekonsiliasi. Ia hanya mempertanyakan, apakah peristiwa Westerling di era perjuangan kemerdekaan juga termasuk rekonsiliasi atau tidak. Begitu juga penolakan sejumlah politisi apabila kasus idiologi komunis turut masuk proses rekonsiliasi.
Salahuddin menilai, persoalan -persoalan itu sebaiknya dibawa saja saat membahas RUU itu di DPR untuk mendapatkan masukan dari masyarakat. Menurut dia, jangan sampai dicampur aduk soal proses rekonsiliasi dengan kepentingan politis tertentu. " Yang terpenting, RUU itu dibahas dulu dan negeri ini segera memiliki mekanisme penyelesaian atas masa lalu. Sudah lima tahun lamanya Indonesia menjalani proses transisi, ,"tegasnya. maria hasugian
Wacana KKR_03 43 Kompas, Selasa, 08 April 2003
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Harus Berempati kepada Korban
M
Jakarta, Kompas - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) harus menitikberatkan perhatian atau memberi empati kepada pihak korban. Dengan demikian, suara serta keberadaan mereka diakui resmi oleh negara. "Kalau pengadilan hanya berbicara tentang pelaku, maka KKR harus berbicara tentang korban. Selama tidak berbicara tentang korban, maka komisi itu hanya akan berputar-putar pada wacana politik," kata Agung Putri, Koordinator Divisi Riset dan Dokumentasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dalam seminar "Meluruskan Kembali Wacana Rekonsiliasi," Senin (7/4). Dalam seminar yang diselenggarakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan Elsam itu, Agung berkeyakinan, bila korban hanya sekadar diatasnamakan, KKR hanya akan menjadi lembaga impunitas baru. Hal penting yang harus menjadi perhatian utama adalah bagaimana memunculkan rasa empati terhadap korban. "Rekonsiliasi tanpa pemulihan martabat korban sangat menyakitkan. Korban juga harus memperoleh kompensasi yang tidak selalu harus berbentuk uang," tutur Agung.
kli
pin gE
LS A
Masih di pemerintah Sementara itu, Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, mengemukakan bahwa naskah Rancangan Undang-undang (RUU) tentang KKR masih tertahan di Sekretariat Negara. "Sebaiknya ditanyakan kepada Presiden mengapa RUU itu masih ditahan," kata Hakim soal mengapa RUU tersebut belum di tangan DPR. Menurut Hakim, saat bertemu Komnas HAM pada Januari lalu, Presiden Megawati Soekarnoputri mengatakan akan menjadikan RUU KKR sebagai agenda prioritas pemerintah. "Kami tidak tahu apa yang terjadi sehingga RUU itu belum diserahkan ke DPR," katanya. Ketua II Komnas HAM, Salahuddin Wahid, dalam seminar itu mengemukakan beberapa hambatan pembentukan KKR. Antara lain karena adanya keyakinan berbeda antara korban dan institusi pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu. "Masyarakat, terutama korban, khawatir bahwa KKR adalah untuk melupakan masa lalu dan akan berujung pada impunitas. Sebaliknya, institusi pelaku dan beberapa pihak lain khawatir bahwa KKR adalah media balas dendam dan hanya untuk mengembalikan luka masa lalu," papar Hakim. Pembicara lainnya, Asvi Warman Adam (peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI) berpendapat, RUU KKR hendaknya berangkat dari prinsip bahwa kita menolak impunitas. Namun penolakan terhadap impunitas itu berhadapan dengan kenyataan yang ada di Tanah Air, bahwa kita masih berada dalam masa transisi demokrasi dari rezim otoriter menuju pemerintahan demokratis. (LAM)
Wacana KKR_03 44 Koran Tempo, Selasa, 8 April 2003
Komnas HAM Minta DPR Rumuskan RUU Rekonsiliasi JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat akan meminta DPR merumuskan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ini karena draf rancangan undangundang itu yang telah disiapkan pemerintah tak kunjung diajukan Presiden Megawati ke DPR. Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah amanat Ketetapan MPR No. V Tahun 2000 dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. "Ini kewajiban DPR untuk memprioritaskannya," ujarnya dalam seminar Meluruskan Kembali Wacana Rekonsiliasi di Jakarta kemarin.
M
Dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR, Maret lalu, Hakim menyatakan, komisinya sudah meminta DPR membahas rancangan komisi ini. Pemerintah, menurut dia, juga berinisiatif menyusun rancangan undang-undang yang sama. Anehnya, Hakim melanjutkan, draf itu justru mandek di tangan presiden selama setahun lebih.
LS A
Hakim menilai sikap pemerintah tak jelas dalam soal ini. Ia mencontohkan, dalam pertemuan dengan Komnas HAM, Januari lalu, presiden berjanji menjadikan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai agenda rapat konsultasi dengan DPR. Ternyata, menurut Hakim, tak ada agenda itu dalam rapat selanjutnya. Kritikan senada dilontarkan sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam. Menurut dia, penegakan HAM di Indonesia, "Maju-mundur dan bahkan berkembang wacana yang cenderung mengaburkan makna pembentukan Komisi Kebenaran."
pin gE
Bahkan, ada anggapan proses rekonsiliasi dianggap mengatasnamakan kemanusiaan untuk melakukan pemulihan ideologi. Menurut Asvi, upaya pengaburan makna KKR ini pada akhirnya justru membahayakan proses rekonsiliasi yang sesungguhnya. Peneliti di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Agung Putri pun mengkritik belum jelasnya fungsifungsi Komisi Kebenaran namun lembaga ini sudah dibebani berbagai pekerjaan. "Komisi ini nanti berada di titik mana dalam proses transisi? Ini tidak jelas," katanya. Menurut Agung, harusnya dipahami lebih dulu awal lahirnya Komisi yang telah diterapkan sejumlah negara. Ia mengatakan, Komisi lahir atas dorongan rasa empati kepada korban sehingga pembentukannya harus ditujukan kepada korban.
kli
Dalam pelaksanaannya, dia melanjutkan, hubungan Komisi dan pengadilan harus bersifat komplementer. Artinya, Komisi harus didukung dengan proses pertanggungjawaban hukum. "Komisi harus bisa merekomendasikan tindakan-tindakan yang tidak bisa ditolerir dan harus ada proses hukum," kata Agung. maria hasugian/purwanto
Wacana KKR_03 45 Media Indonesia, Selasa, 8 April 2003
Dinamika RUU KKR: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah segera mengajukan
kli
pin gE
LS A
M
Rancangan Undang-undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) ke DPR. Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara meminta pemerintah mengambil sikap yang jelas terhadap RUU KKR. "Padahal Presiden sudah mengatakan bahwa RUU tersebut akan menjadi prioritas beliau, tetapi sampai saat ini belum juga masuk ke DPR," kata Hakim di Jakarta, kemarin. Apalagi, lanjutnya, RUU tersebut sudah enam bulan 'mengendap' di Sekretariat Negara menunggu ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri. "Apakah pemerintah menganggap masih ada kekurangan atau bagaimana," katanya. Kalau pemerintah tidak mengajukan RUU KKR, Komnas HAM dan kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) akan meminta DPR mengajukan inisiatif RUU KKR itu. Dia mengingatkan kewajiban pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan penyelesaian RUU tersebut. Hakim menduga pemerintah tidak kunjung menyerahkan RUU KKR ke DPR untuk dibahas dan disahkan karena terkait dengan masalah pendanaan. Hal itu mengingat RUU KKR ini akan menyebabkan pemerintah harus mengeluarkan dana kompensasi cukup besar bagi korban pelanggaran HAM. (LV/P-5)
Wacana KKR_03 46 The Jakarta Post, April 08, 2003
Govt told to submit TRC bill to House
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA: The National Commission on Human Rights (Komnas HAM) expressed regret on Monday over the government's move to withhold the bill on truth and reconciliation commission (TRC), saying the move revealed the government's lack of will in handling rights abuses in the past. "It has been mandated by the MPR (People's Consultative Assembly). The government has an obligation to take the bill a priority," commission chairman Abdul Hakim Garuda Nusantara said on Monday. The bill, which had been initiated in 2000, was submitted last year by the Ministry of Justice and Human Rights to the State Secretary to be conveyed to the House for deliberation. The State Secretary admitted that they had retained the bill because of their objection to several articles regarding compensation for the victims, which is supposedly covered by the state. Law No. 26/2000 on human rights tribunal stipulates the establishment of a truth and reconciliation commission to settle past human rights violations out of court. -- JP
Wacana KKR_03 47 Sinar Harapan, Selasa, 08 April 2003
Elite Politik Belum Pahami Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
pin gE
LS A
M
Jakarta, Sinar Harapan Elite politik di negeri ini dinilai belum memahami konsep Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Bahkan di antara mereka menilai rekonsiliasi justru akan mengaburkan sejarah. Demikian antara lain kesimpulan diskusi ”Meluruskan Kembali Wacana Rekonsiliasi” yang digelar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Lembaga Studi Advokasi dan HAM di Jakarta, Senin (7/4). Dalam diskusi tersebut terungkap, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi memiliki arti penting untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran HAM yang tidak terjangkau oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Persoalan pelanggaran HAM yang dimaksud antara lain menyangkut persoalan HAM di masa lalu. Namun, Komisi ini bukanlah jawaban atas semua permasalahan konflik antar kelompok yang berseberangan di negeri ini, melainkan hanya ‘jembatan’. ”Sayangnya elite politik sering memlintir arti rekonsiliasi, seperti halnya pernyataan Wapres Hamzah Haz yang mengatakan umat Islam tidak bisa memaafkan dan mnegadakan rekonsiliasi dengan PKI. Itu bukan pernyataan seorang negarawan,” ujar sejarawan UI, Asvi Marwan Adam, mencontohkan pernyataan elite soal rekonsiliasi, dalam diskusi tersebut. ”Yang salah diartikan adalah komisi ini nantinya (KKR-Red) harus bisa menyelesaikan masalah. Komisi ini bukanlah yang mendamaikan 2 pihak yang berseberangan. KKR adalah jembatan untuk perdamaian dan hasilnya tidak bisa diprediksi,” tambah Kordinator Elsam, Agung Putri di kesempatan sama. Asvi mengatakan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini harusnya menjadi suatu wadah pengakuan dari para pelaku - pelaku pelanggaran HAM di masa lalu, sekaligus pemulihan bagi harkat korban. Ia menegaskan, langkah ini perlu dilakukan terutama di kalangan akar rumput. Demikian, nantinya tidak ada lagi pengkotak- kotakkan di masyarakat atas dosa- dosa di masa lalu. Jika memang hasil temuan KKR tidak bisa diproses ke sebuah pengadilan HAM, minimal ada dokumen sejarah yang mencatat pengakuan atas kekerasan yang dilakukan suatu kelompok terhadap kelompok lainnya. Di kesempatan sama, Agung Putri mengatakan pentingnya peran KKR untuk mengurangi beban pengadilan HAM. Karena, lewat komisi ini bisa difasilitasi pengakuan dari pelaku kepada korban yang bisa bermuara dengan pengadilan atau sanksi moral. ”Pengadilan yang paling bersih dan hakim yang paling murni bagaimana pun tidak akan sanggup. Dia perlu dibantu oleh Komisi yang bisa membongkar paksa merumuskan siapa pelakunya dan menetapkan tanggung jawab pelaku, serta memberi rekomendasi apakah perbuatan pelaku bisa dimaafkan atau tidak,” ujarnya. (rik)
Media Indonesia, Sabtu, 10 Mei 2003
kli
Rekonsiliasi Tulus Korban G30S PKI Diperlukan
JAKARTA (Media): Kemarahan, kejengkelan, dan kesedihan bercampur menjadi satu di hati Nani Surachman-putri Mayjen Sutoyo, salah seorang pahlawan revolusi--ketika ayahnya diambil begitu saja dari sisinya. "Kenapa ayah saya diambil begitu saja tanpa saya sempat melakukan perpisahan dan mengucapkan selamat tinggal kepadanya," katanya dalam silaturahmi putra-putri para pahlawan revolusi dan korban G30S PKI, kemarin, di Jakarta.
Nani Surachman yang kini berprofesi sebagai dosen psikologi sama sekali belum memikirkan untuk melakukan upaya rekonsiliasi korban G30S PKI secara hukum dan politik. Rekonsiliasi baru dilakukan secara psikologis, yakni dengan memaafkan, tetapi tidak melupakan (forgive but not forget). "Dengan konsep rekonsiliasi kami sekarang ini, tidak harus rekonsiliasi nasional terjadi. Yang paling penting adalah, ketulusan dari pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa G30S PKI," ujarnya.
Wacana KKR_03 48 Suasana silaturahmi pun dipenuhi dengan keharuan ketika ia menceritakan kronologi perjalanan rekonsiliasi dirinya, dimulai saat ia baru kembali ke Tanah Air dari Amerika Serikat pada 1986 sampai sekarang, ketika ia mengumpulkan kembali putra-putri dan keluarga korban G30S PKI pada 2000 lalu. Hadir dalam acara silaturahmi itu, Tigor Siregar dan Ridwan Soeriyadi dari Pemuda Pancamarga yang membantu mempertemukan kembali keluarga besar korban. "Kami sendiri belum memikirkan apakah rekonsiliasi ini akan selesai 10 atau 20 tahun lagi," kata Ridwan. Tetapi, yang paling penting adalah pelajaran moral yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut yang menjadi aset penting bagi bangsa dan Tanah Air. "Dalam sejarah multidimensional selalu ada pemenang, korban, penonton, dan penganalisis. Tetapi, tidak pernah ada kebenaran yang absolut," ujar Nani. Karena itu, lanjutnya, dalam pengungkapan suatu tragedi akan selalu ada bagian yang tidak pernah terungkapkan.
M
Karenanya, rekonsiliasi yang tulus sangat diperlukan untuk mengutuhkan kembali bangsa dan negara yang saat ini terkoyak-koyak. Bila tidak, maka akan terus-menerus hidup dalam trauma yang berkepanjangan. "Trauma tersebut akan menjadi titik rawan yang mengganggu eksistensi bangsa ini," ujarnya.
LS A
Nani menggelengkan kepalanya ketika ditanya apakah proses rekonsiliasi ini akan dibawa ke arah politis. "Perguliran itu lebih baik berjalan secara alamiah. Kami harus sepakati dulu dari awal, dan setelah mantap baru berkembang." Di tengah maraknya upaya rekonsiliasi untuk berbagai kasus dan pembahasan mengenai Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Nani mengatakan masih perlu ditentukan lagi apakah arti 'kebenaran' yang sesungguhnya. "Apakah arti kebenaran tersebut merupakan pengalaman, atau kebenaran yang harus diverifikasi dengan bukti-bukti yang dapat menyatakan hal tersebut benar."
pin gE
Sedangkan arti rekonsiliasi menurutnya adalah konsep yang sangat psikologis, bukan politis. Karenanya, untuk merekonsiliasi dan mengutuhkan kembali bangsa dan negara terdapat unsur tobat dan penyesalan, dan proses pertama yang terjadi pada individu adalah penerimaan.
kli
"Korban di sini memegang peranan strategis karena dapat memutuskan rantai dendam," katanya. Nani mengharapkan rekonsiliasi bukan hanya mendidik pelaku, melainkan juga para korban. (LV/X-5)
Wacana KKR_03 49 Koran Tempo, Senin, 12 Mei 2003
Negara Bertanggung jawab Bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi JAKARTA -Negara harus bertanggungjawab segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan, komisi itu amat penting untuk memperoleh kebenaran atas peristiwa yang terjadi di masa lalu. "Ini bagian dari tanggung jawab negara untuk memenuhi hak para korban atas kebenaran," kata Hakim saat membuka pertemuan nasional korban pelanggaran HAM selama pemerintahan Orde Baru di Wisma Hijau Cimanggis, akhir pekan lalu.
M
Menurut Hakim, kehadiran komisi kebenaran dan rekonsiliasi juga dapat menembus dilema yang dihadapi pengadilan HAM. Pasalnya, pengadilan HAM dibatasi menjadi pengadilan terhadap kejahatan kemanusiaan saja. "Bukan pengadilan HAM yang berurusan dengan kejahatan hak asasi manusia," kata Hakim.
LS A
Seharusnya, kata Hakim, pengadilan HAM juga menangani pelanggaran HAM seperti pelanggaran atas kebebasan berekspresi dan sebagainya. Hakim juga mengkritik prosedur pengadilan yang terbatas dan tak bisa memulihkan hak korban yang mewujudkan rasa keadilan para korban. Di lain pihak, pengadilan menghadapi kekhawatiran terjadinya disintegrasi sosial karena keputusannya. Di tempat terpisah, Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menyatakan draf RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sampai saat ini masih tertahan di Sekretariat Negara. Yusril tak tahu kapan Presiden Megawati Soekarnoputeri menyerahkan draf RUU itu kepada DPR untuk dibahas.
pin gE
"Hampir dua bulan draf perbaikan RUU itu sudah kita serahkan kembali ke presiden," kata Yusril usai memberikan pembekalan kepada para calon duta besar di Departemen Luar Negeri, akhir pekan lalu. Yusril tidak mengetahui apa hambatan yang dihadapi Setneg sehingga draf itu tak juga diserahkan ke DPR. Dia juga merasa tak enak bila harus terus menerus bertanya mengapa presiden tak juga menandatanganinya. Dirjen Peraturan dan Perundang-undangan Depkeh dan HAM Abdul Gani Abdullah mengatakan, pasal yang harus diperbaiki antara lain, prosedur untuk bisa diadakan rekonsiliasi. "Harus ada pernyataan mana yang benar dan mana yang salah dulu," katanya. Pada draf lama, jalur untuk ke pengadilan masih tetap terbuka meski rekonsiliasi sudah tercapai. Dengan demikian, maka tidak ada lagi kewenangan untuk membawa masalah ini untuk diproses ke pengadilan.
kli
Temu Kemanusiaan yang berlangsung sejak 9-13 Mei 2003 itu telah dirintis sejak tahun 2000 oleh berbagai kelompok korban dan kelompok masyarakat seperti Paguyuban korban Tragedi Mei dan Semanggi, Pakorba, Kelompok Korban Talang Sari, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, ELSAM dan Kontras. Setelah melakukan lokakarya dan sarasehan, temu kemanusiaan ini akan melakukan acara puncak berupa peringatan tragedi Mei 13 Mei. Pertemuan ini bertujuan memecah kebisuan korban untuk menyampaikan pandangan atas keadilan dan menggalang solidaritas di antara korban. "Untuk menggumpalkan kekuatan menyuarakan tuntutan keadilan dan merumuskan bersama platform perjuangan," kata penanggung jawab temu kemanusiaan, Agung Putri dalam keterangan persnya. Sekitar 120 kelompok korban pelanggaran HAM pemerintah Orde Baru itu datang dari 10 provinsi di Indonesia, yaitu Papua, Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali dan DKI Jakarta. Mereka mewakili korban pelanggaran HAM berat di Aceh, Papua, Talangsari, Tanjung Priok, tragedi 1965, dan sembilan kasus lainnya. tjandra dewi
Wacana KKR_03 50
Menghapuskan Mitos Korban dengan Pertanggungjawaban *Swara KOMPAS - Senin, 19 May 2003 Halaman: 42 Penulis: mh Ukuran: 7396 Foto: 1
MENGHAPUSKAN MITOS KORBAN DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PERSOALAN yang mengemuka ke dalam sebuah pertanyaan besar tentang upaya rekonsiliasi adalah: bisakah kejujuran diungkapkan dan permintaan maaf keluar dari mulut mereka yang pernah berkuasa?
pin gE
LS A
M
INI membutuhkan kematangan berpikir dan bertindak yang luar biasa. Ahli hukum dari Harvard University, Amerika Serikat (AS), Martha Minow, dalam Breaking the Cycles of Hatred (2002) mengemukakan dua contoh serta satu contoh untuk menunjukkan sisi pahit Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) di Afrika Selatan. Pertama, kisah Amy Biehl, seorang perempuan Amerika yang berangkat ke Afrika Selatan untuk bekerja membantu masyarakat di kotakota kecil. Malang baginya karena pada suatu hari ia dibunuh oleh sekelompok gerombolan kriminal pemuda. Orangtuanya, dalam kedukaan yang mendalam berangkat ke Afrika Selatan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Mereka menepiskan kemarahan dengan memberikan waktu dan sumber dayanya untuk membantu masyarakat di mana para pembunuh itu tumbuh. Mereka mendirikan sekolah, mengembangkan program seni, dan membangun industriindustri kecil. Para pembunuh Amy kemudian ditangkap dan dihukum melalui pengadilan kriminal setempat. Kemudian mereka mengajukan amnesti kepada TRC. Orangtua Amy pun menghadiri public hearing itu dan tidak berkeberatan dengan amnesti itu. Mereka menyadari langkahnya: memaafkan lalu menjauhkan diri dari pembalasan dan dendam. Mereka sampai pada devosi yang luar biasa dalam upaya untuk menghapuskan kondisi dari kebencian rasial dan ketidakberdayaan ekonomi; suatu situasi yang melahirkan anakanak muda yang membunuh anak perempuan pasangan Biehl.
kli
YANG kedua adalah kisah Jenderal Magnus Malan, Kepala Angkatan Darat yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan dalam pemerintahan apartheid di Afrika Selatan. Jenderal itu menghadapi tuntutan atas pelanggaran HAM berat, khususnya kekeliruan yang dilakukan oleh pasukannya sehingga menewaskan 13 perempuan dan anak-anak pada tahun 1987. Pengadilan terhadap Malan berlangsung selama sembilan bulan pada tahun 1996 dan ia dinyatakan tidak bersalah. Pada tahun 1997, Malan dengan sukarela berbicara di hadapan TRC, dan secara eksplisit menyatakan bahwa ia tidak menginginkan amnesti. Ia hanya ingin mendapat kesempatan untuk mengungkapkan kebenaran menurut versinya. Ia mengakui serangan lintas batas itu dilakukan atas perintahnya. Ia memaparkan bagaimana ia membentuk suatu unit khusus untuk mengacaukan aktivitas pembebasan yang didukung Soviet. Namun, ia menolak tuduhan bahwa ia menyetujui pembantaian tersebut. Dia juga menegaskan bahwa ia tidak setuju dengan TRC dan melihat TRC sebagai pemfitnah dan pencemar nama baik orang. Namun, ia menyatakan bahwa ia datang untuk mengambil tanggung jawab moral atas perintah yang telah ia berikan. Ia mengatakan, "Saya
Wacana KKR_03 51
pin gE
LS A
M
telah datang ke mari untuk menceritakan kisah ini dan untuk menghadapi keputusan yang dijatuhkan pada saya…. Saya merasa puas kalau apa yang saya katakan ini dapat memberi sedikit saja pengertian dari mantan lawan-lawan saya. Saya akan bersyukur kalau upaya ini dapat memberikan sumbangan dalam laporan untuk rekonsiliasi dan jika semua anak buah saya bisa mendapatkan amnesti moral…. Yang kami cari adalah pengertian dan pemaafan, bukan pengampunan secara hukum...." Contoh ketiga agak rumit dan merupakan pengalaman pahit TRC. Jeffrey Benzien mengajukan amnesti atas tindakantindakan keji yang ia lakukan sebagai pejabat polisi pada tahun 1980-an. Pada awalnya ia membuat pernyataan yang tidak jelas, namun seperti halnya mereka yang mengajukan amnesti lainnya, Benzien menghadapi kemungkinan pengujian silang dari para korbannya. Ketika ditanya mengenai kasus Ashley Forbes, pendiri Cape Youth Congress, dan kemudian bergabung dengan sayap militer ANC (African National Congress), Benzien dengan tenang bersaksi bagaimana ia mengembangkan suatu standar khusus untuk menyiksa para tahanan. Ia mendemonstrasikan apa yang disebut sebagai teknik "karung basah" yang dikenal sangat kejam, sebagai bagian dari interogasi. Benzien mengaku bahwa ia sudah berbuat salah, namun ia menyatakan bahwa saat itu ia bekerja untuk menyelamatkan Afrika Selatan dari gerakan komunis dan untuk melindungi kebebasan keluarganya. Beberapa pengamat berpendapat, Benzien memainkan peran sebagai manipulator, dalam public hearing sekalipun. Saat mengajukan amnesti itu Benzien masih bekerja sebagai polisi. Pertanyaannya kemudian, apakah orang ini bebas dari hukuman ketika ia masih memiliki kekuasaan? Ketika kemudian ia mendapatkan amnesti, TRC harus menelan pil pahit atas keputusannya.
kli
INTI dari setiap penegakan keadilan terutama keadilan berdasarkan kebenaran masa lampau dari versi korban, menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), pada gilirannya akan sangat menentukan watak kebernegaraan dan kebermasyarakatan sekarang dan di masa depan berdasarkan penghormatan terhadap harkat, martabat, dan hak asasi manusia. Budaya keadilan dimulai dari tumbuhnya rasa hormat pada korban ketidakadilan itu sendiri dalam berbagai warna, bentuk dan ungkapan. Rasa hormat terhadap korban dimulai dengan ditepiskannya mitos yang memandang korban sebagai pihak yang memang layak untuk dikorbankan. Ahli filsafat dan pekerja kemanusiaan Dr Karlina Supelli mengingatkan, pada masa transisi dari sebuah rezim penguasa yang represif dan brutal, ketegangan antara korban dan kekuasaan muncul kembali dalam pertarungan menyangkut impunity atau kekebalan hukum para pelaku. Ratusan bahkan mungkin ribuan pelaku yang terlibat dalam kejahatan negara terhadap warganya patut menerima hukuman, tetapi kompromi politik sering kali menyebabkan pilihan jatuh ke mekanisme pencarian keadilan di luar sistem peradilan. Negara seperti Afrika Selatan yang menyelenggarakan momenmomen "Kebenaran dan Rekonsiliasi" untuk mencegah upaya pelupaan dan amnesia politik. Para pelaku pelanggaran HAM yang bersembunyi di balik institusi negara atau militer, mendapat tawaran pengampunan jika dalam batas waktu tertentu bersedia dengan sukarela memberi kesaksian publik atas kejahatannya.
Wacana KKR_03 52 Dibalik tawar-menawar ini, seperti dikemukakan Karlina, ada keyakinan bahwa ketika keadilan tidak sepenuhnya dapat ditegakkan, pengakuan publik atas kebenaran korban menjadi lebih penting. Namun, sebenarnya hubungan korban, kekuasaan, kebenaran dan keadilan amatlah rumit. Karlina memberi contoh, pengadilan Nuremberg yang dilaksanakan untuk para penjahat Perang Dunia II. Lebih daripada kepentingan korban individual, pengadilan ini adalah penegakan keadilan atas nama besar kemanusiaan. Sekalipun demikian, dari sisi korban, pengadilan tersebut tetaplah merupakan bahasa abstrak yang tidak pernah cukup mendefinisikan secara personal teror yang mereka alami. (mh)
kli
pin gE
LS A
M
Foto: Associated Press/Murizal Hamzah Makna Keadilan - Makna keadilan bagi perempuan bukan semata-mata pengadilan legal formal, tetapi terutama adalah kehidupan yang lebih baik di mana kemanusiaan dibangun di atas keberagaman. Mitos tentang korban pun harus dihapus dengan pertanggungjawaban.
Wacana KKR_03 53 Masa Depan Masih dalam Bayangan Kekerasan Masa Silam * Swara KOMPAS - Senin, 19 May 2003 Halaman: 41 Penulis: mh Ukuran: 14016 Foto: 1 MASA DEPAN MASIH DALAM BAYANGAN KEKERASAN MASA SILAM Dwell on the past and you will lose an eye. Forget the past and you will lose both eyes.…
kli
pin gE
LS A
M
PERIBAHASA Rusia kuno ini mungkin tepat untuk mengawali apa yang dikisahkan oleh Benny Biki (43). "Tuntutan kami sederhana saja kalau mau diterima dengan kejujuran dan hati bersih," ujar Benny. "Kami ingin kebenaran diungkapkan dan keadilan ditegakkan. Apa yang kami lakukan sejak awal tahun 1990-an adalah upaya untuk mengungkapkan kebenaran dari versi korban karena selama ini masyarakat telanjur mengukuhi peristiwa Tanjung Priok hanya dari versi penguasa." Bagi Benny dan seluruh korban kekerasan politik dan militer rezim Orde Baru, masa lalu tidaklah benar-benar berlalu. Masa lalu ada di depan mata ketika stigmanya terus dipikul; ketika kebenaran terus ditutupi dengan berbagai cara untuk membisukan suara korban dan untuk mengukuhkan kekuasaan yang dilumuri darah dan kedurjanaan. Perjuangan Benny dan para korban serta keluarga korban adalah perjuangan untuk mendefinisikan sendiri realitas mereka, bukan realitas yang dibentuk oleh penguasa. "Stigma itu sungguh luar biasa dan meneguhkan asumsi bahwa Islam begini, Islam begitu," lanjut Benny. Karena stigma itu, selama bertahun-tahun korban dan keluarga korban berada di bawah tekanan dan pandangan yang penuh tuduhan dari masyarakat. "Bahkan, untuk menjalankan ibadah saja kami sempat takut, termasuk mengumandangkan azan," sambungnya. Menurut dia, yang terjadi saat itu sebenarnya adalah koreksi atas kesewenang-wenangan penguasa karena, menurut pandangan mereka, keseragaman ideologi hanyalah merupakan upaya penguasa untuk mengukuhkan kekuasaannya. Karena dalihnya adalah "persatuan" dan "kesatuan" bangsa, maka siapa pun yang mempertanyakan, apalagi mencoba mengoreksi, akan segera dianggap sebagai melawan pemerintah yang sah. "Kami minta ada proses pengadilan karena tidak ada pertemuan pemikiran yang fundamental dan supaya peristiwa seperti itu tidak terulang lagi," lanjut Benny. "Kami juga menuntut agar ada pengakuan dan permohonan maaf secara langsung dari pelaku dan pemerintah kepada masyarakat." Tindakan ini penting karena, menurut Benny, akar dari tindak kekerasan dan kekejian seperti yang sekarang disebut sebagai terorisme dapat terjadi ketika orang merasa diperlakukan tidak adil akibat berbagai persoalan di masa lalu yang tidak pernah diungkap kebenarannya. "Karena itu, orang hanya berpikir untuk membalas perlakuan itu dengan kekerasan lagi," ujar Benny. Berkaitan dengan ini, ahli filsafat dan pekerja kemanusiaan, Dr Karlina Supelli, selalu mengingatkan pentingnya belajar dari sejarah bahwa ingatan akan penderitaan, ketidakadilan, korban dengan cepat meletup menjadi kebengisan ketika dipertemukan dengan berbagai kepentingan politik. Sejarah juga mengajarkan bahwa politik ingatan telah berkali-kali berhasil membalik kesengsaraan menjadi kebencian
Wacana KKR_03 54 yang menggulirkan kekerasan baru. Sejarah juga mengajarkan bahwa jalinan fakta dan mitos tentang korban dapat melahirkan perang.
kli
pin gE
LS A
M
KETIKA sampai pada masalah islah yang masih tetap menjadi kontroversi, khususnya para korban dari kelompok-kelompok Islam, Benny menegaskan, islah hanyalah tindakan separuh langkah yang tidak menyelesaikan persoalan. "Islah adalah salah satu cara yang dilakukan penguasa agar kebenaran tidak usah diungkapkan," tandas Benny. "Harus diakui, untuk beberapa saat, masalah islah ini telah menjadi sumber perpecahan dalam keluarga korban," sambungnya. Meski ada kemajuan karena dalam pemberian islah itu korban berhadapan dengan pelaku, yang bisa diinterpretasikan sebagai bukti dan pengakuan pelaku mengenai pelanggaran yang dilakukannya, Benny melihat permasalahan islah adalah pada penafsirannya, yang dibuat untuk melepaskan pelaku dari tanggung jawab. "Rekonsiliasi tidak bisa dilakukan hanya dengan islah," tegas Benny. Dalam kasus Talangsari, Lampung, pada awal tahun 1989, para aktivis HAM menemukan adanya upaya pemaksaan oleh pelaku untuk melakukan islah. Padahal, bagi korban, islah adalah proses yang dapat dilakukan apabila pelaku dan negara telah melakukan pengungkapan dan pengakuan atas peristiwa yang telah terjadi. "Persoalannya bukan sekadar islah, tetapi bagaimana mengembalikan nama baik," ujar Azwar Chaili (60) dengan suara terbata. Ia berasal dari Desa Sidorejo, Lampung Tengah, yang rumahnya dulu hanya berjarak sekitar 30 meter dari cabang pengajian Jamaah Warsidi. "Saya dituduh sebagai anggota gerombolan, diikat dan dibawa paksa ke kecamatan, lalu ditahan selama tiga bulan tanpa pengadilan." "Rumah saya hancur. Harta saya lenyap. Ketika sepulang dari tahanan saya minta harta saya dikembalikan, saya malah dituduh menghina negara, lalu saya ditahan lagi 1,5 bulan. Karena semuanya habis, saya mencoba berladang di Simpang 10, sekitar tujuh kilometer dari rumah. Ketika hampir panen, semuanya diambil Babinsa. Katanya, kebun itu milik Mujahiddin. Saya kembali ditahan lima bulan," lanjutnya. Apa yang diungkapkan Benny dan Azwar hanyalah dua dari gambaran penderitaan yang dialami jutaan korban pelanggaran HAM yang kasusnya tidak pernah diselesaikan. "Sampai saat ini kami masih takut identitas kami diketahui masyarakat di tempat yang baru. Setelah peristiwa itu, keluarga kami terpecah-pecah," ujar seorang keluarga korban G30S yang masih tetap tidak mau disebut identitasnya karena masih dipenuhi trauma atas perlakuan masyarakat di masa lalu terhadap keluarganya. Kasus material dan imaterial yang terjadi dirasakan oleh semua kasus tanpa melihat latar belakang kejadian, bentuk kekerasan, maupun ideologi korban. "Sepulang dari penjara, mereka kehilangan semuanya. Rumah dan semua harta mereka," ujar Ny Yati Ruyati Darwin-akrab dipanggil Bu Darwin-yang beberapa waktu lalu mengunjungi Kartini, eks anggota Gerwani di Garut. Bu Darwin adalah ibu enam anak yang anak sulungnya, Eten Karyana, seorang guru, tewas ketika menolong anak-anak yang terpanggang di Toko Yogya, Klender, Jakarta Timur, saat kerusuhan Mei tanggal 14 Mei 1998. "Bu Kartini itu sudah sangat tua, tetapi ingatannya masih sangat
Wacana KKR_03 55
kli
pin gE
LS A
M
tajam. Ia bilang, ’Aduuuh Neng, masak saya dibilang tukang nyilet. Saya dituduh menyimpan cabai sekarung di rumah untuk senjata nyongkel mata. Selama 30 tahun diputarkan film seakan-akan kami memang seperti itu. Itu tidak benar, Neng. Sebenarnya kami yang disiksa. Saya dipenjara 15 tahun untuk tuduhan yang tidak pernah bisa dibuktikan. Hati saya perih…, sakit’," lanjut Bu Darwin menirukan Kartini. Dari Kartini, Bu Darwin mengetahui siksaan apa yang dialami para perempuan eks anggota Gerwani. "Ada yang disetrum, ada yang harus melayani…, ada yang organ kelaminnya di…. Maaf, saya tidak bisa melanjutkan… saya merasa nyeri di sini...." Bu Darwin menangkupkan tangan ke dadanya. "Menurut saya, perjuangan hidup mereka luar biasa," sambung Koordinator Paguyuban Keluarga Korban Mei itu. Mendengarkan langsung penuturan Kartini membuat Bu Darwin menyimpulkan bahwa Kartini adalah korban. "Lalu, film apa yang kita tonton selama puluhan tahun setiap tanggal 30 September? Jadi, itu hanya film, rekaan, yang dipakai untuk membohongi kita," lanjut Bu Darwin, "Saya juga jadi paham bahwa perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan mendapatkan keadilan akan sangat panjang. Bisa puluhan tahun. Karena itu, saya tidak boleh capai, saya harus sehat." Dari tuturan para korban yang justru menjadi tertuduh ini, Bu Darwin merasakan kebersamaan meskipun baru pada tataran emosi. "Kami mengalami hal yang sama. Anak kami yang meninggal terpanggang malah dituduh penjarah. Padahal, banyak saksi mata bilang, waktu itu anakanak dipaksa masuk ke toko sama orang- orang berambut cepak berbadan tegap. Katanya, boleh ambil apa saja. Waktu mereka ada di dalam, bangunan itu dibakar," lanjut Bu Darwin. Perjumpaan Bu Darwin dengan banyak orang, baik aktivis, para tokoh, maupun sesama korban, membuat dia paham bahwa cap kriminal dengan stigma "penjarah" yang ditimpakan kepada almarhum anaknya dan para korban yang lain merupakan upaya dari mereka yang memiliki kekuasaan untuk menutupi permainan politik kotor, yang menyebabkan tewasnya sekitar 1.200 korban, yang sebagian besar berasal dari kelompok masyarakat bawah. "Saya sedih bukan hanya karena saya menjadi korban yang kehilangan anak, tetapi karena tuduhan ’penjarah’ itu," ungkap Bu Darwin lebih jauh. Dengan terus-menerus memberikan cap-cap tertentu kepada kelompokkelompok dalam masyarakat-masyarakat sipil di tempat-tempat yang dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) mendapat stigma "pengacau keamanan". Korban ’65 yang menjadi korban pembantaian, diskriminasi dicap sebagai "ateis", "pemberontak", korban yang terbakar malah dicap "penjarah" dan lain-lain, maka kebenaran atas realitas terus dibentuk oleh yang memiliki kekuasaan dan direproduksi oleh media massa sehingga masyarakat luas mengukuhinya sebagai kebenaran tunggal. Sementara itu, korban hanya mengemuka dalam angka, tanpa memedulikan bahwa mereka adalah manusia yang berkehidupan. REALITAS korbanlah yang tampaknya menyatukan para korban kekerasan Orde Baru dalam suatu lokakarya bertema "Temu Kemanusiaan Korban Orde Baru" di Jakarta tanggal 9-13 Mei lalu. Lebih dari 200 orang berkumpul dan kemudian membentuk Aliansi Kemanusiaan Korban Kekerasan Negara. Pada akhir pertemuan, mereka mengeluarkan resolusi yang isinya antara lain menyatakan bahwa kekerasan telah menjadi bagian dari penyelenggaraan pemerintahan yang melahirkan tragedi yang
Wacana KKR_03 56
kli
pin gE
LS A
M
mengorbankan rakyat, seperti Tragedi Kemanusiaan tahun 1965, Peristiwa Malari, Komando Jihad, Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari Lampung, pemberlakuan operasi militer di Aceh dan Papua (sebelumnya juga Timor Timur), Peristiwa 27 Juli, penculikan aktivis prodemokrasi, penembakan mahasiswa Trisakti, Tragedi Mei 1998, serta Tragedi Semanggi I dan II. Dalam pertemuan tersebut, para korban yang hadir mewakili hampir semua peristiwa kekerasan selama rezim Orde Baru itu bergandeng tangan dan membacakan resolusi secara bersama. Dalam resolusi ini mereka mendesak penegakan HAM, mengakui posisi korban dan melakukan pemulihan atas hak-hak korban kekerasan negara, serta menghapuskan impunitas (kekebalan hukum) pada pelaku kekerasan. Selain mendesak agar pemerintah menghentikan operasi militer di Aceh dan Papua. Namun, sebenarnya tidak mudah menyatukan korban dan keluarga korban dari "ekstrem kiri" dan "ekstrem kanan". "Kami memiliki perbedaan dan persamaan," ujar Benny dalam acara terakhir yang difasilitasi oleh Ruth Indiah Rahayu dari Kalyanamitra, Ita F Nadia dari Komnas Perempuan, dan Ibe Karyanto dari Sanggar Akar. "Sebagai korban, kami sama-sama didiskriminasi, diperlakukan tidak adil, diberi stigma, dan selama ini perbedaan ideologi atau apa pun di antara korbanlah yang digunakan untuk memecah belah korban," lanjutnya. "Karena itu, banyak karat-karat yang harus kami hancurkan dulu, dan itu mesti pelan-pelan. Kalau dipaksa, nanti malah patah. Inilah saat kami membersihkan karat-karat itu." Kesadaran akan makna rekonsiliasi membuat mereka sempat tegang ketika seorang peserta bernama Nugroho Tjahyadi meminta agar korban melupakan masa lalu karena hal itu hanya akan melahirkan kebencian dan dendam serta tindak kekerasan baru. Ia juga mengimbau agar rekonsiliasi dapat menjadi jalan untuk merajut masa depan. Nugroho menyatakan dirinya berada bersama kelompok tokoh politik yang namanya beredar di media massa saat ini. Ia juga menyatakan bahwa kelompoknya telah berhasil mempertemukan anak dari tokoh PKI Suparjo dengan tokoh DI/TII, Kartosuwiryo. "Mereka bisa rangkulrangkulan," ujarnya. Benny Biki langsung menyergah. "Rekonsiliasi seperti apa yang ia maksudkan?" tanyanya. Aktivis HAM, Nursyahbani Katjasungkana, yang baru kembali dari menghadiri suatu acara pengakuan dan permintaan maaf di tingkat akar rumput untuk kasus ’65 di daerah Banyuwangi, segera berdiri dan dengan lantang menyatakan, ia sepakat bahwa kebencian dan dendam harus dipatahkan. Akan tetapi, "Rekonsiliasi tidak akan terjadi tanpa pengungkapan kebenaran, pengakuan kepada publik atas kejahatan yang dilakukan. Itu adalah dasar rekonsiliasi," tegasnya. "Jadi, ada proses penuntutan, pengakuan, pengampunan, dan rehabilitasi. Tidak ada satu pun dari empat unsur ini bisa dihilangkan untuk mencapai rekonsiliasi dan untuk mematahkan dendam dan kebencian. Kalau di tengah proses itu nantinya ada amnesti dan sebagainya, itu soal lain," ujarnya. "Pengungkapan kebenaran adalah bagian dari upaya untuk mendapatkan rasa keadilan," ujar Ita F Nadia, anggota Komnas Perempuan yang mengikuti proses dengar pendapat publik di Timor Leste, akhir bulan April lalu. Temu Kemanusiaan Korban Orde Baru sudah berakhir. Namun, perjalanan masih akan panjang karena rekonsiliasi menyangkut dua soal
Wacana KKR_03 57
kli
pin gE
LS A
Foto: Dok Kompas/Danu Kusworo Keadilan bagi Putra Tercinta - Ny Arief Pribadi, ibunda Wawan, salah seorang korban tragedi Semanggi, larut bersama ratusan mahasiswa Universitas Atma Jaya dalam unjuk rasa yang menuntut penyelesaian kasus Semanggi di depan Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, dua tahun lalu.
M
sekaligus; politik dan psikologis. Meski begitu, acara tersebut merupakan bagian penting dari perjuangan melawan pelupaan. Dalam hal ini ada dua pilihan yang sama pahitnya. Seperti dikemukakan filsuf Perancis, Jean Baudrillard, "Melupakan suatu peristiwa pembasmian adalah bagian dari pemusnahan itu sendiri." Atau, barangkali kita memang ingin kehilangan kedua "mata" dan berjalan dalam gelap karena kita telah menjadi buta? (mh)
Wacana KKR_03 58
Mitos Kebangsaan KOMPAS - Selasa, 20 May 2003 Halaman: 4 Penulis: Chang, William Ukuran: 7820
MITOS KEBANGSAAN Oleh William Chang
pin gE
LS A
M
KELAHIRAN bangsa Indonesia memiliki "sejarah" yang analog dengan sejumlah negara di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Penentuan status negara umumnya berdasar teritori jajahan. Malaysia, Singapura, India, Kenya, misalnya, adalah daerah eks-jajahan Inggris. Sementara, Indonesia dan Suriname adalah kawasan eks-jajahan Belanda. Timor Timur, Brasilia, Capo Verde, dan Angola adalah daerah eks-jajahan Portugal. Sementara, Aljazair, Madagaskar, Zaire, Vietnam, dan Kamboja adalah negara-negara eks-jajahan Perancis. Ternyata tidak sedikit negara yang pernah dikandung dalam rahim dan "ditentukan" penjajah. Sejak awal abad lalu telah muncul sejumlah gerakan nasional yang bertujuan menghimpun dan membangkitkan semangat kebangsaan. Budi Utomo, yang didirikan atas anjuran Mas Wahidin Sudirohusodo (1908), antara lain berusaha memajukan kehidupan penduduk, baik dalam lapangan jasmani, maupun rohani. Lembaga yang beranggotakan 10.000 orang memiliki 40 cabang (dalam dan luar Jawa). Taman Siswa sebagai perguruan nasional yang didirikan Ki Hajar Dewantoro (3 Juli 1922) bermaksud memajukan pendidikan kebangsaan yang mengandung inti aliranaliran modern (antrhosophi, buah pikiran Rudolph Steiner, metodemetode Montessori, sistem Dalton, cita-cita pendidikan Rabindranath Tagore). Napas kebangsaan tertuang dalam Sumpah Pemuda 1928 yang dianggap sebagai sumpah semua anak bangsa yang hidup dan tinggal dalam kepulauan Nusantara. Dalam kemajemukan sosial waktu itu, anak-anak bangsa bertekad memiliki nusa, bangsa, dan bahasa yang satu dan sama yaitu Indonesia. "Indonesia" dan "keindonesiaan" yang sebenarnya menjadi perekat kesatuan dan persatuan suatu negara raksasa. Bahasa yang satu memungkinkan komunikasi antargolongan yang majemuk. ***
kli
BUNG Karno, dalam pidato tentang Dasar Negara Indonesia pada 1 Juni 1945 di Gedung Pejambon Jakarta, antara lain, dengan tegas menggarisbawahi dasar pertama buat Indonesia adalah kebangsaan dan bukan yang lain. "Ini bukan berarti satu kebangsaan dalam arti sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka tuan adalah orang Bangsa Indonesia, bapak tuan pun adalah orang Indonesia, nenek tuan pun Bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek-moyang tuan pun Bangsa Indonesia." (Risalah Sidang BPUPKI–PPKI: 29 Mei 1945–19 Agustus 1945:62). Bangsa Indonesia, Natie Indonesia, menurut Bung Karno, bukan sekadar satu golongan yang hidup dengan le desir d’etre ensemble (Ernest Renan) di daerah-daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogyakarta, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia yang menurut geopolitik telah
Wacana KKR_03 59
LS A
M
ditentukan oleh Allah SWT tinggal dalam kesatuan dengan semua pulau Indonesia. Seluruhnya! Kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang bulat. Bukan kebangsaan Sumatera, Borneo, Sulawesi, Bali, atau lainlain, tetapi kebangsaan Indonesia. Gagasan tentang kesatuan bangsa ini dibakukan dalam dasar negara kita, Pancasila. Akibatnya, lahirlah negara dengan masyarakat yang serba majemuk, "multi ini dan multi itu" (multietnis, multikultur, multireligi, multilinguae, dan multi-multi lainnya). Dari satu sisi, kemajemukan sosial dapat dipandang sebagai kekayaan, dari sisi lain, kemajemukan bisa mengundang masalah individual dan sosial. Keanekaragaman sering dialami sebagai mosaik yang memiliki keindahan dalam hidup manusia. Manusia dapat memperkaya diri melalui perjumpaan dengan mereka yang berbeda latar belakang sosial. Namun, sering terjadi, perjumpaan dalam perbedaan sosial menimbulkan rentetan konflik individual yang berubah menjadi konflik sosial. Malah, kecenderungan untuk melepaskan diri dari Jakarta sudah tampak sejak awal kemerdekaan Indonesia. ***
kli
pin gE
YANG menarik untuk disoroti dalam konteks kebangsaan adalah kecenderungan sosial beberapa kawasan untuk berdiri sendiri dan melepaskan diri dari Republik Indonesia. Makna kebangsaan dalam konteks plural dan global perlu dikaji dalam hidup harian. Kebangsaan tidak ditentukan hanya oleh warna kulit, bahasa ibu, nama, kedudukan sekarang, tetapi terutama oleh sense of belonging akan Indonesia sebagai tanah tumpah darah dan rumah kita bersama. Mengapa muncul benih separatis dalam tubuh Indonesia? Ini masalah rumit. Secara umum, beberapa alasan mendasar turut mendorong kecenderungan kuat untuk memisahkan diri dari Indonesia. Pertama, anggota masyarakat masih mengalami ketidakadilan sosial dalam hidup sehari-hari, meski keadilan sosial akan menjadi sebuah masalah kekal di atas permukaan bumi, termasuk di negara kita. Adalah masalah klasik bahwa kekayaan daerah diraub dan dilarikan ke pusat, diterbangkan ke luar negeri atau masuk kantong sejumlah penguasa tamak. Anak-anak asal daerah belum dilibatkan dalam pengelolaan kekayaan alam dengan alasan rendahnya sumber daya manusia lokal. Keluarnya kekayaan alam dari daerah turut mengakibatkan hidup masyarakat yang tak mengalami banyak kemajuan dan perkembangan. Keadaan alam di daerah luluh-lantak, kekayaan alam sirna dan manusia sengsara. Ketidakadilan sosial tidak hanya mencakup bidang ekonomi, tetapi juga sosial, politik, dan religius. Kegagalan dalam mewujudkan keadilan sosial berarti kegagalan dalam menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang hakikatnya adalah sejajar, tanpa kehilangan makna unisitas. Yang kaya bertambah kaya dan yang berkuasa kian berkuasa. Kedua, diskriminasi sosial masih terasa dalam hampir semua lapisan sosial. Hukum dan perundang-undangan yang jelas-jelas diskriminatif dari zaman penjajahan masih dipertahankan dan dipraktikkan hingga kini. Duit masih mengendalikan nurani banyak penegak hukum dan keadilan di negara kita. Yang kaya tinggal dalam penjara "berbintang", yang miskin mendekam dalam penjara penderitaan. Pemikiran primordialisme (beda dari nasionalisme) masih melekat dalam benak sejumlah wakil rakyat dan penguasa di Republik ini. Diskriminasi tampak dalam pemberian hak-hak istimewa kepada golongan
Wacana KKR_03 60
kli
pin gE
WILLIAM CHANG Pengamat sosial, tinggal di Pontianak
LS A
M
tertentu. Penerapan hukum yang pilih-kasih hanya akan menyuburkan iklim diskriminasi dalam suatu masyarakat majemuk. Kesetaraan hak dan kewajiban tiap warga negara acapkali dipermainkan penguasa pusat dan daerah. Ketiga, trauma politik masa lampau mewarnai pandangan dan sikap dasar warga negara. Yang menggelora dalam batin adalah rasa sakit hati dan semangat balas dendam terhadap pihak yang pernah menyakiti hati dan merenggut nyawa anggota masyarakat. Trauma ini, secara tak langsung, turut membentuk watak manusia yang ingin membalas dendam. Hidup sebagai suatu bangsa (bukan hanya sebagai suatu kelompok sosial) yang berpersaudaraan dan bersolidaritas nasional kurang dialami di banyak kawasan. Kekuatan suatu kebangsaan perlu dibangun di atas semangat rekonsiliasi lokal dan nasional yang berdasarkan kejujuran dan keterbukaan. Mitos kebangsaan yang telah dirintis tak cukup hanya dipertahankan dengan kekuatan ideologi dan militeristik, tetapi terutama oleh penegakan hukum yang adil, nonsektarian, nondiskriminatif, yang sungguh menjunjung harkat dan martabat tiap pribadi dalam tiap sektor hidup manusia. Kebangsaan akan kuat bila tiap pribadi menjadi warga negara yang mendapat tempat layak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Wacana KKR_03 61 Media Indonesia, Selasa20 Mei 2003
Rekonsiliasi sangat Urgen Dilakukan untuk Bangun Bangsa
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA (Media): Bangsa Indonesia memerlukan sosok kepemimpinan yang memiliki kemampuan melakukan rekonsiliasi dan komunikasi untuk membangun konsensus berbangsa dan bernegara. Cendekiawan Nurcholish Madjid (Cak Nur) mengemukakan hal itu saat menjadi pembicara kunci pada acara Lima Tahun Reformasi: Sampai di Mana Kita? yang diselenggarakan oleh majalah Tempo di Hotel NIKKO Jakarta Pusat, kemarin. "Salah satu persoalan kita adalah yang sering dinyatakan sebagai rekonsiliasi. Agaknya, rekonsiliasi sudah tidak bisa dihindari lagi," katanya. Akan tetapi, Cak Nur mengingatkan rekonsiliasi bukanlah berarti melupakan masa lalu. Sebab, jelasnya, melupakan masa lalu akan membuat bangsa Indonesia bisa terjerembap dan mengulangi kesalahan yang pernah terjadi. Menurut dia, yang dimaksud dengan rekonsiliasi adalah sikap membiarkan yang lalu itu berlalu dan memulai yang baru. Jika sikap seperti itu gagal dilakukan, akan terjadi bahaya ancaman deretan balas dendam yang tidak ada akhirnya. Cak Nur menggarisbawahi urgensi pembangunan konsensus untuk melaksanakan rekonsiliasi dalam pengertian seperti itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. "Seperti Masyumi, PKI, DI/TII, atau tokoh simbolis seperti Bung Karno, Pak Soeharto, dan Gus Dur (mantan Presiden Abdurrahman Wahid), kalau kita lihat secara objektif, ada segi positif dari mereka." Bung Karno, sambungnya, adalah termasuk angkatan yang berjasa dalam mencerdaskan bangsa. Presiden Soeharto memunculkan beberapa peninggalan yang positif bagi bangsa. Sementara Presiden BJ Habibie telah menetapkan dasar bagi kebebasan pers, sebagai tonggak kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat. "Kalau Mbak Mega (Presiden Megawati Soekarnoputri), meski tidak memunyai guidence dalam perbaikan ekonomi, namun tidak mengobok-obok masalah ekonomi dan membiarkan saja (berjalan secara alami), sedangkan Gus Dur adalah presiden yang mencoba melaksanakan visi besarnya, tetapi tidak terlalu berhasil karena terhalang gaya pribadi yang tidak terlalu produktif," paparnya. Usaha melihat kebaikan itu diperlukan untuk sampai pada kesimpulan biarlah yang lalu berlalu, untuk memulai yang baru. Hanya saja, Rektor Universitas Paramadina Mulya itu berpendapat permulaan yang baru itu harus memunyai garis demarkasi tegas yang tidak boleh dilanggar, terutama berkaitan dengan tindakan secara masif yang merugikan negara, seperti korupsi. Terhadap pelanggaran garis demarkasi itu, sambungnya, maka perlu diambil tindakan yang keras, tegas, high inisiative, dan tidak ada kompromi. Dia menambahkan setiap pemimpin haruslah memunyai legitimasi. "Legitimasi adalah dia tampil dari kalangan bangsa sendiri, melalui prosedur yang demokratis. Jadi, harus ada melalui legitimasi prosedural yang demokratis," ucapnya. Selanjutnya, Cak Nur menggarisbawahi keharusan bagi setiap pemimpin memiliki kemampuan berkomunikasi. "Banyak pemimpin besar tidak perlu sangat terpelajar secara formal, tetapi sangat berhasil karena kemampuan dalam berkomunikasi." Seorang pemimpin, masih menurut Cak Nur, harus memiliki kemampuan bersikap autentik. Dalam artian, adanya konsistensi antara yang diucapkan dan yang dilakukan. (HR/P-5)
Wacana KKR_03 62 Kompas, Rabu 21 May 2003
IKOHI Menuntut Kejelasan NasibKorban Penghilangan Paksa Surabaya, Kompas - Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) akan terus mengupayakan proses untuk mempertemukan keluarga korban penghilangan paksa. Langkah itu merupakan cara memperkuat gerakan untuk menuntut kejelasan nasib para korban penghilangan paksa, termasuk dua mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah.
M
Demikian diungkapkan aktivis IKOHI Surabaya, Dandik Katjasungkana, di Surabaya, Selasa (20/5), usai acara dialog publik "Penghilangan Paksa Aktivis Prodemokrasi" yang diselenggarakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair. Narasumber yang hadir dalam dialog yang tercakup dalam rangkaian "Peringatan Pekan Penghilangan Paksa" itu antara lain Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) dan Agung Putri dari Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam). "Hingga saat ini belum ada konsolidasi gerakan yang terhimpun untuk menghadapi dan menumpas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk korban penghilangan paksa," kata Dandik.
LS A
Dandik yang juga aktivis Institut Sosial Persatuan Etnis dan Ras Indonesia (Inspirasi) itu menegaskan, IKOHI Surabaya akan mengadakan evaluasi untuk melangkah lebih lanjut. "Selama ini, pertemuan beberapa keluarga dan korban masih berbasis pada kepentingan sesaat. Padahal, perjuangan ini membutuhkan kekuatan untuk menghadapi skenario jangka panjang," kata Dandik. Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah adalah dua mahasiswa FISIP Unair yang dilaporkan hilang pada bulan Maret 1998 di Jakarta. Keduanya adalah aktivis mahasiswa yang memilih bergerak di jalur Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalam memperjuangkan reformasi. Hingga saat ini, kedua mahasiswa itu belum jelas rimbanya.
pin gE
Usman Hamid, anggota Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Trisakti dan Semanggi, khawatir bahwa upaya memperoleh kejelasan nasib korban penghilangan paksa akan terus terganjal rezim yang berkuasa saat ini. "Sebagaimana kita ketahui, rezim saat ini lahir dari kompromi politik sehingga tidak memiliki kekuatan politik untuk membuka kejahatan di masa lalu," ujar Usman. Bahkan, saat ini upaya Komisi Nasional (Komnas) HAM untuk menyelesaikan masalah ini masih terbentur oleh ketidakmauan militer untuk tunduk pada Komnas HAM. "Saya yakin, penyelesaian kasus ini akan berlangsung sangat lama dan panjang," katanya.
kli
Oleh karena itu, Usman berharap pada pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang segera disahkan berdasarkan undang-undang. Dengan memperoleh mandat untuk melakukan penyelidikan lapangan, maka komisi ini dapat membuka tabir gelap yang masih melingkupi kejahatan HAM pada masa tumbangnya rezim Orde Baru. (IDR)
Wacana KKR_03 63
Rekonsiliasi Mensyaratkan Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Era Orde Baru KOMPAS - Rabu, 04 Jun 2003 Halaman: 7 Penulis: edn Ukuran: 3116
REKONSILIASI MENSYARATKAN PENUNTASAN KASUS PELANGGARAN HAM ERA ORDE BARU
kli
pin gE
LS A
M
Jakarta, Kompas Rekonsiliasi mustahil dilakukan kalau kasus-kasus pelanggaran HAM di masa pemerintahan Orde Baru tidak dituntaskan. Penuntasan kasus pelanggaran HAM itu juga merupakan langkah awal peletakan sejarah yang selama ini banyak diselewengkan. Demikian terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dan Penerbit Utan Kayu, Selasa (3/6). Diskusi diselenggarakan dalam rangka peluncuran buku "Kesaksian Tiga Tapol Orde Baru" dan "Sajinah :Terhempas Gelombang Pasang." "Sebelum rekonsiliasi, kebenaran perlu diungkapkan dulu untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab," kata sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam. Hal serupa disampaikan beberapa korban kekerasan Orde Baru, termasuk mereka yang pernah menjadi tahanan politik. Sasmaja selaku Wakil Sekretaris Umum Paguyuban Korban Orde Baru mengatakan, pihaknya menuntut Peradilan HAM. Menurut dia, saat ini seakan masalah kekerasan Orde Baru itu bisa diselesaikan secara horizontal. Masyarakat disuruh saling maaf-memaafkan, padahal sebenarnya konflik adalah antara negara dengan pemerintah. "Itu bukan gambaran konkret, rekonsiliasi tidak bisa tanpa kebenaran," kata Sasmaja. Hal serupa dinyatakan Heru Atmodjo, anggota Tim Advokasi Angkatan Udara Republik Indonesia yang telah memperjuangkan kasus pembantaian tahun 1965 hingga ke PBB. Heru mengatakan, tidak mudah untuk memperjuangkan kasus pembantaian, penyiksaan, dan pelanggaran HAM lainnya itu bahkan ke PBB. Ia juga menyesalkan rencana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang saat ini terdengar agendanya hanya rekonsiliasinya semata. "Padahal, tidak mungkin rekonsiliasi tanpa kebenaran," katanya. MPR telah memberikan arahan agar penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Namun, sejauh ini, RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi belum dibahas. Menurut Asvi, salah satu contoh yang bisa menjadi studi banding adalah rekonsiliasi di Afrika Selatan. Bentuk rekonsiliasi itu adalah merupakan bagian dari transitional justice. Ruth Indiah Rahayu dari Kalyanamitra mengatakan, harus didefinisikan dahulu substansi dan alat rekonsiliasi. Apalagi, ia menilai KKR yang seharusnya menjadi alat independen tidak berfungsi. Saat ini, dipertanyakan apa tujuan dari rekonsiliasi yang seakan dilakukan antar masyarakat. "Apa ini sekadar konsolidasi menjelang pemilu, berhubung massanya korban kekerasan Orde Baru itu banyak," kata Ruth. Buntoro, salah satu Tapol/Napol dalam buku "Kesaksian Tiba Tapol Orde Baru" itu menceritakan versinya berkaitan dengan kejadian 30
Wacana KKR_03 64
kli
pin gE
LS A
M
September 1965. Dalam buku itu disebutkan berbagai penyiksaan yang dialaminya. Suyatno, salah seorang korban juga menceritakan kondisinya selama ditahan di Nusakambangan dan Yogyakarta, mulai dari kamar yang penuh kotoran hingga jatah makan pagi 175 butir jagung. (EDN)
Wacana KKR_03 65 Media Indonesia, Selasa, 3 Juni 2003 03:26 WIB
Diperlukan Rekonsiliasi Nasional Tanpa Gembar-Gembor
SURABAYA--MIOL: Bangsa Indonesia yang kini terkotak-kotak dalam berbagai kelompok, antara lain Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi memerlukan rekonsiliasi nasional tanpa gembar-gembor. "Rekonsiliasi yang diatur secara protokoler acapkali dijadikan isu politik baru, tapi rekonsiliasi tanpa gembargembor seperti yang ditunjukkan Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais dan Ketua Umum DPP Partai Pelopor Rachmawati Soekarnoputri, diharapkan lebih bernas karena dalam masyarakat paternalistik rakyat perlu contoh dari pemimpinnya," kata mantan Menteri Keuangan Fuad Bawazier di Blitar, Senin. Fungsionaris DPP PAN itu mengatakan, sejak sekarang luka-luka lama satu per satu harus dilupakan, dan rakyat hendaknya diajak berpikir menyikapi masa depan.
M
*
Pertemuan Amien Rais dengan Rachmawati menurut Fuad Bawazier bukan yang pertama kali, karena sebelumnya mereka pernah bertemu tiga kali di Jakarta.
LS A
Amien Rais dan Rachmawati bertemu kembali, sekaligus melakukan ziarah bersama ke makam Proklamator RI Ir Soekarno, dalam rangka peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni. Bung Karno menyampaikan pidato yang kemudian dikenal dengan Lahirnya Pancasila di hadapan Dokuritzu Zuunbie Choosakai, atau Badan Pekerja Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPU PKI) di Jakarta pada 1 Juni 1945. *
pin gE
Rekonsiliasi nasional, menurut Fuad, saat ini diperlukan sekaligus untuk menyelesaikan masalah bangsa ke depan, agar masa depan bangsa ini tidak dibebani kesalahan-kesalahan masa lalu. Dalam hal ini, ia bahkan menandaskan perlunya rekonsiliasi melibatkan kekuatan nasionalis, agama, TNI, dan Polri, sebagai sesama anak bangsa. Bagaimanapun TNI dan Polri tak boleh disudutkan, TNI dan Polri yang kuat diperlukan untuk menjaga dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan RI. Misalnya, dari rongrongan pemberontak GAM. "Dengan bersatunya semua komponen bangsa ini, saya berharap bangsa Indonesia bisa melakukan take off baru setelah 2004." *
kli
Fuad berpendapat, pemerintah yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri saat ini lebih banyak resistensinya. Karena itu militer tak boleh dijauhkan dan dihujat terus-menerus, apalagi oleh link-link yang punya hubungan dengan luar negeri. Bagaimanapun, negara-negara menginginkan tentaranya yang kuat dan berwibawa, bukan sebaliknya malah dikerdilkan. "Ini kan aneh, seolah ada pembusukan dari dalam." Demikian pula, dalam pemilihan presiden secara langsung pada Pemilu 2004, semua warga negara yang ber hak pilih harus diberi haknya, termasuk kalangan militer. * Mengenai Pancasila, Fuad Bawazier menyatakan prihatin, karena dalam kenyataannya akhir-akhir ini acapkali nilainilai luhur Pancasila terabaikan. Tapi ketika ditanya, apakah hubungan Amien Rais dan Rachmawati akan berlanjut ke jenjang koalisi dalam Pemilu 2004, Fuad mengatakan, terlalu pagi untuk mengatakan itu.
"Yang jelas, antara Pak Amien dan Mbak Rachma mempunyai banyak kesamaan, yaitu mereka sama-sama seorang nasionalis. Jadi kalau ada pertanyaan bisakah orang nasionalis berkoalisi dengan agama, kenapa tidak," ucapnya.
Wacana KKR_03 66 Amien Rais, Rachmawati, sejumlah tokoh PAN dan Partai Pelopor, pada Minggu malam menyaksikan pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Manteb Sudarsono di rumah kediaman kakak Bung Karno, Ny Wardoyo, yang kini diabadikan menjadi museum.
kli
pin gE
LS A
M
Ki Manteb menyajikan lakon Wahyu Makutho Romo di hadapan ribuan penonton, termasuk mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, dan tokoh Partai Golkar Marwah Daud Ibrahim. (Ant/Ol-01)
Wacana KKR_03 67 Kompas, Senin, 09 Juni 2003
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Diserahkan ke DPR Jakarta, Kompas - Presiden Megawati Soekarnoputri telah menyerahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera dibahas. RUU KKR itu merupakan amanat dari Tap MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Nasional guna penyelesaian kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.
M
Surat Presiden kepada Pemimpin DPR tertanggal 4 Juni 2003 itu antara lain ditembuskan kepada Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara yang dihubungi Kompas, Minggu (8/6) membenarkan bahwa dirinya telah menerima tembusan surat pengantar dari Presiden Megawati tersebut. "Ya kami berharap agar RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu segera bisa dibahas dan diprioritaskan pembahasannya oleh DPR," kata dia. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan salah satu instrumen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, selain Pengadilan HAM Ad Hoc yang sudah operasional.
LS A
Dalam RUU KKR, "masa lalu" didefinisikan pemerintah sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat-termasuk genosida dan kejahatan kemanusiaan-yang terjadi sebelum diberlakukan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. "Itu berarti semua peristiwa pelanggaran HAM sebelum berlakunya UU No 26/2000 bisa diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," ujar Abdul Hakim. Ia juga mengatakan, draf RUU KKR yang disiapkan pemerintah juga mengatur soal islah. Dalam draf tersebut, sebuah proses pelanggaran HAM yang telah dilakukan islah atau kebenarannya sudah diungkapkan dapat dimohonkan amnesti. Itu berarti kasus yang telah dilakukan perdamaian antara pelaku dan korban tidak bisa lagi diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc.
pin gE
Ditanya soal kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok, Abdul Hakim mengatakan, kasus Tanjung Priok telah mulai dilakukan penuntutan sehingga proses hukum melalui Pengadilan HAM Ad Hoc tetap akan berjalan. Sebanyak 15 orang
Abdul Hakim menambahkan, RUU KKR yang disusun pemerintah menyebutkan, Presiden akan membentuk Panitia Seleksi beranggotakan lima orang yang terdiri dari tiga orang pemerintah dan dua orang masyarakat untuk merekrut anggota KKR.
kli
Panitia akan menyeleksi 30 orang calon anggota KKR dan kemudian Presiden akan memilih 15 orang. Sebanyak 15 calon pilihan Presiden selanjutkan akan dimintakan persetujuan dari DPR. "Itu skema pemerintah, dan tentunya dalam proses pembahasan di DPR bisa berubah," lanjutnya. (bdm)
Wacana KKR_03 68 Kompas, Selasa 10 Juni 2003
Mempersoalkan Masa Lalu "MENARIK Garis Batas antara Masa Lalu dengan Masa Depan: Audiensi Publik dengan Nurcholish Madjid" adalah diskusi menarik yang diselenggarakan Radio 68 H bersama Demos, Elsam, dan Imparsial pekan lalu. Pembicara utamanya adalah Nurcholish Madjid dengan penanggap Agus Wijaya, tokoh yang aktif mempromosikan rekonsiliasi di antara keluarga korban peristiwa politik; Ifdal Kasim dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam); dan Kamala Chandrakirana dari Komnas Perempuan. Diskusi dipandu oleh Asmara Nababan dari Demos, diantar oleh Munir dari Imparsial.
M
TEMA diskusi ini menantang karena mengandaikan dalam waktu bisa ditarik garis batas seperti matematika. Diskusi ini diselenggarakan pada waktu yang bersamaan dengan berlakunya Darurat Militer di Aceh, pada saat a full scale military operation tengah dikerahkan. Yang tengah terjadi di Aceh saat ini, menurut Munir adalah "menghapus batas antara masa lalu dengan masa depan".
LS A
Banyak orang berasumsi bahwa masa lalu berada di belakang dan kita tengah berjalan menuju masa depan. Namun, melihat yang sedang terjadi, pandangan kedua lebih masuk akal: masa lalu sudah lewat dan berada jelas di hadapan kita. Selanjutnya, masa depanlah yang berada di belakang karena kita tidak bisa melihat apa yang belum terjadi. Kita hanya bisa menduga dan meramal. Sheila Rowbotham, ahli sejarah mengenai gerakan perempuan, memberi judul salah satu bukunya The Past is Before Us (1989) karena tertantang oleh ucapan orang bijak dari Timur mengenai konsep waktu, "The past is before us, the future’s behind us."
pin gE
Kamala Chandrakirana (Nana) juga mempersoalkan makna "batas" tersebut. "Jika kita membayangkan batas, kita melihat garis tegas dan mutlak yang digunakan sebagai alat pembedaan dua hal tertentu," sergah Nana "Akan tetapi, ketika kita bicara tentang proses penarikan batas dan ketika menyisiri lingkungan terdekat pada wilayah batas, maka kita memasuki suatu arena yang penuh dengan ketidakmutlakan." Bagi Nana, pembuatan batas yang mempunyai implikasi besar pada kehidupan manusia, merupakan konstruksi sosial yang lahir dari berbagai kepentingan yang sangat duniawi. Dalam kondisi ideal pun, suatu batas tak lebih dari hasil negosiasi antara dua pihak yang setara. "Dengan demikian, menarik batas merupakan suatu pilihan, tentang jenis kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang ingin kita bangun," tegas Nana. MASALAHNYA sekarang adalah bagaimana memandang masa lalu kalau dihubungkan dengan peristiwa yang sedang berlangsung, dan siapa yang memandangnya. "Menarik Garis Batas antara Masa Lalu dengan Masa Depan" sebenarnya merupakan wacana untuk mempromosikan keadilan retributif sebagai model untuk menghadapi masa lalu yang kelam oleh pelanggaran hak asasi manusia yang masif.
kli
"Menarik batas artinya menjadikan masa lalu sebagai pengalaman, sebagai referensi historis yang menuntun akal budi kita untuk pada hari ini membangun hari depan yang berbeda dan lebih baik," ujar Munir. "Jika kita terus menerus menolak, melupakan masa lalu, sesungguhnya kita sedang terus menerus mengembalikan masa lalu ke hari ini. Kita menjadi Sisyphus mendorong sebongkah batu besar naik ke puncak bukit hanya untuk mendapati batu itu jatuh dan turun lagi," katanya. Munir mengemukakan pikiran-pikirannya yang mengacu kepada Martha Minow (1998) dan Herbert Hirsch (1995) mengenai politik ingatan: hanya dengan mengingat masa lalu, bisa dirumuskan masa depan. Melupakan perbuatan buruk di masa lalu akan memungkinkan terjadinya pengulangan, dan akhirnya kita akan kehilangan masa depan. Karena itu, ia ingin tahu dari Nurcholish Madjid-yang memutuskan maju sebagai calon presiden untuk lima tahun yang krusial ke depan-apa jawabannya terhadap masalah-masalah di masa lalu untuk merumuskan hidup yang lebih baik di masa depan di "rumah" bernama Indonesia. "Masa lalu sudah terjadi. Pahit dan tidak boleh terulang. Oleh karena itu, tidak boleh dilupakan sama sekali," ujar Cak Nur. Masalahnya adalah bagaimana sikap kita terhadap masa lalu. Kalau jawabannya adalah rekonsiliasi, ia
Wacana KKR_03 69 menanyakan apakah proses rekonsiliasinya seperti yang terjadi di Afrika Selatan. "Di sana ada unsur keteladanan dan legitimasi dari pemrakarsanya. Mandela punya posisi moral sebagai orang yang selama 28 tahun dipenjara karena menentang pemerintah apartheid," ujar Cak Nur. Kalau banyak orang saat ini lebih banyak menyebut peristiwa G-30 S sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu, Cak Nur memandang perlunya melihat apa yang melahirkan sederetan vendetta, tindakan balas membalas yang menjadikan sejarah dipenuhi oleh darah. "DI/TII memiliki geneaologi pikiran, lalu ada PKI yang juga punya geneaologi pikiran," ujar Cak Nur.
M
Ia mengingatkan peristiwa Madiun tahun 1948, yang banyak memakan korban di kalangan santri dan kiai, untuk melihat peristiwa G-30 S di mana kejadian yang sebaliknya berlangsung. "Anak-anak melihat peristiwa itu dan menjadikannya sebagai ’catatan kaki’," sambung Cak Nur yang seperti menggarisbawahi pendapat Prof Mahmood Mamdani, ahli Kajian Afrika dari Columbia University dalam When Victims Become Killers (2001), bahwa korban dan pelaku bisa saling bertukar tempat ketika rantai dendam tak bisa diputuskan.
LS A
Untuk menyikapi masa lalu yang carut dan untuk menangkap kepastian, Cak Nur menyatakan, rekonsiliasi harus segera dilakukan. Syaratnya adalah komunikasi yang baik antarsemua pihak yang terlibat dalam proses tersebut agar proses itu tidak menjadi tidak terlalu ’terjal’ seperti dalam mitos Sisyphus.
pin gE
PEMAKNAAN terhadap sejarah atau ingatan tentang masa lalu merupakan kekuatan luar biasa yang bisa menggerakkan suatu komunitas untuk menyerang dan menghancurkan atas nama kebenaran. Nana mengutip Julie A Mertus dalam Kosovo: How Myths and Truths Started a War (1999), yang memaparkan bagaimana Slobodan Milosevic mengadakan pertemuan-pertemuan populis yang dijuluki ’pertemuan tentang kebenaran’ untuk memobilisasi serangan masyarakat Serbia terhadap warga Bosnia dan Albania dan memicu euphoria kebersamaan orang Serbia dengan ’ingatan-ingatan’ mengenai kesakitan masa lalu. Khususnya, ketika negeri itu diduduki oleh Kerajaan Ottoman dari Turki pada tahun 1389. Milosevic menggunakan media Serbia untuk mengobarkan kebencian antarwarga dengan menyebarkan kisah-kisah perkosaan perempuan Serbia oleh laki-laki Albania di Kosovo dan tentang pengusiran orang Serbia. "Di belakang segala kekejaman dan upaya-upaya pembersihan etnik adalah suatu bayangan tentang masa lalu dan impian tentang masa depan yang diisi dengan supremasi absolut dari suatu kebangsaan tertentu," tandas Nana. "Saya kira kita tidak bisa mengatakan kekejaman serupa tak mungkin terjadi di bumi Indonesia. Lihat Aceh, Papua, dan Timor Timur ketika masih di bawah RI." Sementara masyarakat dididik untuk membisu dan melupakan, pemegang kekuasaan mempunyai prerogatif tunggal untuk menciptakan ’ingatan baku’ tentang masa lalu. Tidak mengherankan kalau pola-pola diskriminasi dan kekerasan di masa lalu menjadi langgeng akibat ketakutan dan dendam dari ingatan akan masa lalu.
kli
Itulah cengkeraman mematikan dari masa lalu terhadap masa depan. Karena itu, menurut Nana, pembahasan mengenai pelanggaran HAM berat di masa lalu, seharusnya berada dalam bingkai wacana transitional justice karena momentum awal wacana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu adalah pergantian rezim, dari rezim Orde Baru yang otoriter menuju rezim baru yang lebih demokratis. "Masa depan yang baik masih bisa dibangun dengan melewati tahapan-tahapan sebelum rekonsiliasi," ujar Nana. Ia menyebutkan proses membuka dialog tentang kebenaran masa lalu, menegakkan keadilan melalui pertanggungjawaban secara hukum oleh pelaku, memperbarui institusi-institusi dalam negara dan masyarakat, memenuhi hak para korban atas pemulihan, serta menemukan titik-titik rekonsiliasi. Proses itulah yang akan mengantar menuju perdamaian sesungguhnya. Berbeda dengan Cak Nur yang menyoroti rekonsiliasi dari posisi struktural formal, Agus Wijaya menyoroti rekonsiliasi dari tataran kultural. "Kita perlu melihat hakikat korban, tetapi kita harus melihat proses seutuhnya, jangan hanya melihat akibat dari suatu peristiwa politik. Ini penting supaya kita tidak terjebak pada kepentingan yang terkotak-kotak, dan supaya kita mendapatkan konsensus bagaimana memandang masa lalu," ujar Agus.
Wacana KKR_03 70 Mantan Kepala Staf Teritorial TNI itu optimis generasi yang tidak mengalami langsung peristiwa tersebut bisa lebih moderat memandang masalah rekonsiliasi. Ia juga menceritakan pertemuan antaranak-anak keluarga korban peristiwa politik, di mana anak tokoh PKI, Supardjo, bisa bersalaman dan bersanding dengan anak-anak pahlawan revolusi. Di situ juga hadir cucu Daud Beureuh dan anak tokoh DI/TII, Kartosuwiryo. "Saya ingin melengkapi proses rekonsiliasi secara formal dengan proses dari bawah ke atas, mulai dari diri kita sendiri. Saya yakin rekonsiliasi bisa dilakukan kalau kita tulus," sambung putra sulung Pahlawan Revolusi Mayjen Anumerta Soetojo Siswomihardjo itu.
M
Namun, Ifdal Kasim lebih sependapat dengan Nana. Menurut dia, rekonsiliasi tidak bisa difokuskan pada pemaafan saja, tetapi harus ada proses hukum. Harus ada kombinasi antara aspek pemaafan dengan penghukuman. "Pemidanaan itu penting," tegas Ifdal. Pertanggungjawaban oleh pelaku merupakan sesuatu yang tidak boleh dikesampingkan. Ifdal tidak sependapat dengan Cak Nur soal posisi moral pemrakarsa rekonsiliasi. Di Cile, misalnya, pemrakarsanya adalah seorang mantan hakim agung.
LS A
Tindakan Cak Nur yang mendukung upaya rekonsiliasi dengan islah untuk korban tragedi Tanjung Priok mendapat gugatan dari Aisyah, seorang keluarga korban Tanjung Priok. "Saya datang ke sini supaya bisa ketemu Cak Nur untuk menyampaikan bahwa keluarga korban Tanjung Priok sekarang terpecah akibat islah," ujar Aisyah. Suaranya seperti menahan tangis. "Setelah islah, posisi keluarga korban semakin buruk. Kami tidak bisa menuntut tanggung jawab. Mungkin memang begitu skenarionya." Jawaban Cak Nur terasa normatif dan apologetik. Ia mengatakan bahwa saat itu ia melihat kebutuhan untuk segera memberikan bantuan, didasari semata-mata oleh rasa kemanusiaan karena memang keluarga korban tampak sangat membutuhkannya.
pin gE
FORUM tanya jawab lebih banyak diambil oleh korban tragedi G-30S, yang memang mengalami diskriminasi dan pembisuan selama lebih 30 tahun. Namun, bahwa kebenaran masa lalu bukan merupakan sesuatu yang tunggal, tampak ketika aktivis Emmy Hafild yang hadir sebagai peserta dengan suara gemetar mengungkapkan kesaksiannya. "Saya sebenarnya bagian dari keluarga korban dari kasus pelanggaran HAM yang hampir tidak pernah disebut dalam sejarah," ujarnya. "Sebagian dari keluarga ibu saya habis dalam ’revolusi sosial’ di daerah Asahan, Langkat, Serdang, di Sumatera Utara. Ayah saya nyaris dibunuh oleh BTI dalam peristiwa Bandar Betsi, tetapi selamat karena ditolong seorang petani yang dibantunya. Waktu itu saya masih kecil, tetapi saya sudah bisa merasa bagaimana rasanya diperlakukan secara diskriminatif di dalam masyarakat."
kli
Dalam penuturan Emmy tampak bagaimana sejarah tidak berjalan linier karena politik merupakan sesuatu yang tidak bisa diprediksi. Artinya, kelompok yang mengalami penderitaan oleh PKI dan organisasi-organisasi di bawah payungnya, dalam perjalanan kemudian juga tidak sejalan dengan sistem politik Orde Baru. "Ayah saya juga sempat ditahan pada masa Orde Baru. Mertua saya, almarhum HR Darsono dipenjara selama bertahun-tahun oleh Pemerintah Soeharto," sambung Emmy. Seperti dikemukakan Nana, kebenaran itu majemuk. Tidak ada kebenaran tunggal. Yang penting adalah dialog yang terus-menerus. "Tanpa keputusan yang sadar tentang bagaimana memperlakukan masa lalu, pelupaan, pembisuan, dan impunity akan sekali lagi menjadi isi kontrak sosial Indonesia yang baru," ujar Nana. Persoalannya kemudian adalah bagaimana memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan pemulihan korban jika pemegang kekuasaan politik tidak menginginkannya. Bagaimana memenangkan kemanusiaan jika budaya yang hidup dominan di tengah masyarakat adalah budaya kekerasan? (mh)
Wacana KKR_03 71 Kompas, Selasa 10 Juni 2003
Tak Mudah Menemukan Konsensus untuk Menyikapi Masa Lalu MENEMUKAN konsensus untuk menyikapi masa lalu bukanlah tugas yang ringan. Hal yang paling sering mengemuka adalah perdebatan antara pendekatan moral untuk masalah pengampunan dengan pendekatan legal formal melalui pemidanaan. Perdebatan ini berada dalam kerangka bahwa sebenarnya tidak satu pun tindakan bisa mengembalikan apa yang hilang dari diri seseorang yang mengalami tindak kekerasan oleh pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Meski begitu, norma-norma kemanusiaan yang telah rusak harus diupayakan untuk dipulihkan.
M
Dalam diskusi "Menarik Garis Batas antara Masa Kini dengan Masa Depan", pekan lalu, perdebatan yang melibatkan pendapat aktivis Cile, Jose (Pepe) Zalaquett, dengan pendapat Direktur Eksekutif Human Right Watch, Aryeh Neier, muncul dalam tanggapan Rachland Nashidik dari Imparsial atas pemaparan Ifdal Kasim dari Elsam.
LS A
Meski tidak berlanjut karena waktu diskusi yang terbatas, pertanyaan Rahlan pada Ifdal Kasim mengingatkan pada perdebatan mengenai soal pengampunan antara Zalaquett dan Neier dalam sebuah seminar di Maryland tahun 1988 mengenai tindak kriminal yang melibatkan negara. Zalaquett menyatakan setiap kebijakan menyangkut masa lalu harus mengacu pada masa lalu dan masa depan. Untuk masa lalu, diperlukan pemulihan, untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh pelanggaran HAM masa lalu. Sedangkan yang mengacu pada masa depan menyangkut perlindungan dan mempromosikan masa depan yang demokratis, yang tidak memungkinkan terjadinya pelanggaran lagi.
pin gE
Menurut Zalaquett setiap kebijakan harus memenuhi standar persyaratan minimum. Artinya, kebenaran harus diungkapkan, lengkap dengan sanksi resmi dan disiarkan secara terbuka agar terekam oleh ingatan bangsa; kebijakan itu harus mewakili kehendak rakyat, dan tidak melanggar standar hukum internasional. Namun, ketiga hal ini harus tergantung pada kebutuhan suatu bangsa, supaya bangsa itu tidak menjadi subyek absolut dari standar yang dipaksakan dari luar. Dalam hal ini pengampunan sama nilainya dengan perlindungan. Dikatakan juga, para pemimpin di masa transisi harus dipandu oleh etika tanggung jawab. Prinsip etika ini harus dicapai secara maksimal dengan menyeimbangkan faktor hambatan dan kesempatan politik. Karena tidak satu pun konvensi internasional memuat prinsip-prinsip itu, dibutuhkan perpaduan antara norma-norma internasional dengan postulat etika dan mempertimbangkan seluruh pengalaman yang relevan.
kli
Sementara Neier bersikukuh pada penerapan hukum yang ketat. Ia menyatakan, prediksi mengenai kestabilan masa depan yang dibangun oleh demokrasi merupakan hal yang penuh spekulasi. Pengampunan tidak hanya akan membuat pelaku bertindak semakin berani, tetapi juga membuat perlindungan terhadap pelanggaran yang sama di masa depan tidak lagi dimungkinkan. Menurut Neier, kapasitas manusia untuk melihat masa lalu sangat lemah. Karena itu, penghukuman merupakan tugas absolut dari masyarakat untuk mengembalikan kehormatan dan mengurangi penderitaan dari korban individual. Pengampunan atas pelaku tindak kejahatan terhadap kemanusiaan mungkin saja dipaksakan atas dasar force majeure, tetapi tidak pernah bisa dilakukan atas dasar hukum. DUA pendapat ini masih terus memacu kontroversi dalam setiap diskusi mengenai masa lalu. Apalagi dalam kenyataannya banyak negara memasuki masa transisi dengan proses politik yang kompleks. Pada situasi seperti itu, pertanyaan yang paling mendasar adalah bagaimana pemerintah menentukan proses penyelesaian pelanggaran HAM dalam skala luas pada masa kekuasaan pemerintah sebelumnya. Sementara pelanggaran itu menyangkut kelompok yang masih memiliki akses kepada kekuasaan langsung atau tak langsung, militer atau sipil. Direktur HAM Carter Center of Emory University Jamal Benomar dalam artikelnya 'Justice after Democracy" (Journal of Democracy, 1993) mencontohkan, militer Argentina yang merasa direndahkan martabatnya setelah
Wacana KKR_03 72 rezim militer digulingkan melakukan tiga kali pemberontakan selama tahun 1980- an. Mereka menolak tuntutan pelanggaran HAM secara umum. Para demokrat yang menentang tuntutan pelanggaran HAM di masa lalu juga menekankan kasus-kasus di mana pemerintahan pada masa transisi menjalankan hasil perundingan perdamaian antara pemerintah yang menindas dengan kelompok militer oposisi yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat. Banyak pihak yakin bahwa gerakan-gerakan militer oposisi seperti ANC di Afrika Selatan, SWAPO di Namibia, dan SPLA di Sudan memiliki rekor buruk dalam HAM. Itu sebabnya saat dilakukan perundingan perdamaian di El Salvador tahun1991, para pemimpin gerilya FMLN tidak menentang keinginan pemerintah untuk memberikan amnesti karena tanpa amnesti beberapa komandan FMLN akan menghadapi tuntutan atas tindakan kriminal yang dilakukannya pada masyarakat sipil.
M
Cile juga menghadapi kasus luar biasa sulit pada masa transisi, yang didominasi oleh dilema antara amnesti versus keadilan. Karena Undang-Undang Dasar Cile yang dirancang pada masa rezim Pinochet melindungi kekuasaan militer secara penuh, maka kontrol terhadap tentara pada masa pemerintahan sipil tidak berjalan baik.
LS A
Terlepas dari perannya dalam serangkaian tindakan penghilangan aktivis, penyiksaan, dan pembunuhan ribuan warganya. Pinochet tetap menjadi komandan Angkatan Darat dan tidak bisa dipecat. Bekas anggota polisi rahasia yang melakukan pelanggaran HAM berat di masa lalu masih menduduki posisi-posisi terhormat di dalam Angkatan Darat.
pin gE
Ketika pemerintahan Presiden Patricio Aylwin yang demokratis berkuasa pada bulan Maret 1990, dibentuk Komisi Nasional untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran yang menyebabkan kematian dan penghilangan selama 17 tahun pemerintahan rezim militer yang otoriter. Komisi itu bekerja selama sembilan bulan dengan 60 staf, menyelidiki lebih 4.000 pengaduan. Pada bulan Februari 1991, Komisi itu memberikan laporan setebal 1.800 halaman kepada presiden yang kemudian membawakan laporan itu dalam pidatonya di televisi pada tanggal 4 Maret. Atas nama negara, Aylwin meminta maaf kepada korban dan keluarganya, serta meminta kepada Angkatan Darat untuk mengakui tindakan pelanggaran yang telah dilakukan. Pidato tersebut menekankan kepada masyarakat ’untuk menerima kebenaran’ dan membuka lembaran baru. Aylwin sama sekali tidak menyinggung peran Pinochet dalam tindakan kriminal di masa lalu, juga tak menyinggung persoalan hukum. Hal yang mirip terjadi di Argentina. Ketika Presiden Alfonsin membawakan laporan Komisi Nasional untuk Orang Hilang kepada publik, tuntutan maksimal dari Para Ibu dari Plaza de Mayo juga tidak terpenuhi. Baru kemudian diketahui bahwa sekelompok pejabat penting di dalam pemerintahan Presiden Alfonsin, termasuk anggota kabinet, menentang proses pengadilan anggota militer.
kli
Menurut mereka, pengadilan seperti itu hanya akan menciptakan ketegangan baru dengan Angkatan Darat. Mereka menganggap waktu dan tenaga yang digunakan lebih baik dipakai untuk memperkuat demokrasi yang masih lemah di negeri itu. Jamal Benomar melihat pentingnya keseimbangan kekuatan antara kekuatan yang mewakili masa lalu dan kekuatan demokratis pada masa transisi merupakan faktor penting dalam berbagai kebijakan pemerintah mengenai persoalan itu. Kompetisi kekuatan akan terus berlangsung antara mereka yang menekankan prinsip-prinsip legal dan moral dengan mereka yang memberikan perhatian utama pada proses untuk mempertahankan demokrasi. TERKAIT dengan masalah pengampunan, ada baiknya mengingat kembali apa yang dipaparkan Dr Karlina Supelli dalam seminar "Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu, antara Kebenaran dan Keadilan", di Jakarta tiga tahun silam. Menurut Karlina, pelaku diajukan ke pengadilan tidak hanya dengan landasan telah melakukan kejahatan terhadap korban secara individu, tetapi karena tindakannya mengancam kemanusiaan secara umum.
Wacana KKR_03 73 Tindakan ini tidak bisa diartikan sebagai depersonalisasi penderitaan korban karena nilai setiap manusia merupakan landasan yang tidak bisa diganggu gugat di dalam hukum. Di sini Karlina mengutip filsuf Hannah Arendt, yang menyatakan, ketika pelaku pelanggaran HAM dibawa ke pengadilan, tubuh politik itu sendiri yang memerlukan pemulihan. Tertib masyarakat yang telah dirusak harus diperbaiki. Dengan perkataan lain, yang dimenangkan adalah normanorma hukum, bukan korban sebagai individu. Karlina menegaskan, penghukuman bukan merupakan pembalasan. Tindak kekerasan, tidak dapat disangkal, hampir selalu melahirkan kekerasan lainnya demi pembalasan dendam. "Penyucian" korban akan membuat semua upaya untuk membela korban disahihkan, termasuk melakukan tindak kekerasan balik. Balas-membalas inilah yang terus berlangsung.
LS A
M
Sementara reaksi kebalikannya, yakni diam, bukan selalu karena korban tidak menghendaki pembalasan, melainkan karena korban tidak punya kemampuan untuk membalas. Dalam beberapa kasus, korban ataupun keluarganya yang sedang dalam proses mengatasi tahap sindrom pasca-trauma, kerap kali menciptakan sebuah fantasi bahwa jika saja pelaku mengalami apa yang sudah mereka timpakan kepadanya, atau kepada keluarganya, mungkin penderitaan mereka akan berkurang. Jika diterjemahkan ke dalam prinsip hukum mengenai kesetaraan dan hak-hak individual, pembalasan atau pembayaran setara dengan tindak pelanggaran yang dilakukan menemukan bentuknya di dalam penghukuman retributif. Gagasan retribusi mendorong penghukuman atas dasar pertimbangan bahwa tindakan pelaku telah menimbulkan penderitaan dan rasa sakit luar biasa pada korban dan masyarakat. Oleh karena itu, ia harus dihukum sesuai dengan penderitaan yang telah ia timbulkan.
pin gE
Landasan ideal dari gagasan ini adalah kesetaraan harkat setiap orang. Melalui retribusi, masyarakat diandaikan mengoreksi cara pandang yang ada di belakang tindakan pelaku yang melihat korban sebagai orang yang lebih rendah martabatnya sehingga bisa diperlakukan sewenang-wenang. Dalam praktiknya, penghukuman yang bersifat retributif ini memang menghukum, tetapi juga tidak mencegah apa-apa. Akibatnya penghukuman menjadi seperti tindakan balas dendam, yang justru bertentangan dengan tujuan hukum untuk memperbaiki keadaan. PEMBALASAN dalam bentuk apa pun, hanya merupakan penukaran peran antara pelaku dan korban. Dari banyak pengalaman kekerasan, tindakan membalas ternyata membuat korban terus menerus terkungkung di dalam ingatan pedih akan kekerasan, penghinaan dan kebencian. Hasilnya pun tidak selalu menjamin perubahan, meskipun melalui sistem hukum. Pun tidak ada jaminan bahwa kejahatan tidak akan terulang atau akan berhenti setelah pemberian hukuman.
kli
Tidak ada jalan pendek untuk menuju kepada rekonsiliasi. Karlina menyebut tiga langkah penting dalam upaya berdamai dengan masa lampau. Pertama, memulihkan hak korban dan keluarga mereka melalui proses reparasi, yang mencakup pengakuan, rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi baik yang bersifat konkret maupun simbolis. Langkah kedua adalah dengan pertanggungjawaban hukum atas kejahatan yang dilakukan oleh pelaku dengan membuka kemungkinan pemberian amnesti. Langkah ketiga adalah reformasi kebijakan dan lembaga peradilan untuk memungkinkan penegakan tertib hukum. Komisi kebenaran dapat dilihat sebagai salah satu bentuk upaya penyelesaian pelanggaran HAM yang memberi banyak kemungkinan untuk mengurangi ketidakpastian proses penyelesaian menurut jalur hukum karena terlalu banyak kasus yang harus ditangani. Langkah pertamanya adalah mendefinisikan ’masa lalu’, yaitu kurun waktu terjadinya pelanggaran dan kejahatan HAM yang meluas dari pemerintah terdahulu. Selanjutnya adalah ’maaf’ dan janji, yang keduanya sarat dengan dimensi moral dan spiritual. Sebagai tindakan baru, maaf membuka kemungkinan untuk hubungan baru. Seiring dengan itu, janji di wilayah publik mengandung daya untuk memberi kepastian pada hubungan itu.
Wacana KKR_03 74
kli
pin gE
LS A
M
Janji seseorang secara pribadi bisa saja tidak dapat diandalkan, tetapi ketika banyak orang setuju untuk berjanji demi masa depan, maka kesepakatan yang tercipta seperti menghadirkan pulau-pulau kepastian di tengah lautan ketidakpastian. (mh)
Wacana KKR_03 75
Kompas, Rabu, 11 Juni 2003
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Disampaikan ke DPR Masa Tugas KKR Lima Tahun
Jakarta, Kompas - Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri mengintroduksi lembaga baru bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu. Komisi yang bertugas untuk mengungkap kebenaran atas terjadinya pelanggaran HAM masa lalu ini akan bekerja selama tiga tahun dan bisa diperpanjang dua tahun lagi. Rancangan Undang-Undang KKR yang akan menjadi dasar hukum pembentukan komisi itu telah diserahkan Presiden kepada DPR untuk dibahas.
LS A
M
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diserahkan Presiden Megawati Soekarnoputri kepada DPR melalui surat tertanggal 26 Mei 2003. Presiden meminta kepada DPR untuk membicarakan dan membahas RUU KKR. Presiden telah menunjuk Menteri Kehakiman dan HAM untuk membahas RUU itu bersama DPR. Sejauh ini belum diketahui kapan DPR akan membahas RUU KKR tersebut.Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim yang dihubungi Kompas secara terpisah, Selasa (10/6), mengharapkan agar DPR dapat memprioritaskan pembahasan RUU KKR. "Kalau diserahkan kepada DPR (hasil) Pemilu 2004, tantangan politik dan agenda politiknya tentu akan berbeda," kata Ifdhal.
pin gE
RUU KKR merupakan amanat dari Ketetapan MPR Nomor V/MPR Tahun 2000 tentang Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Nasional dan juga UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. "Jadi itu merupakan tanggung jawab dari DPR dan Presiden yang ada sekarang ini," tutur Ifdhal. Dengan hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi maka penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat diselesaikan melalui komisi tersebut maupun melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. Namun, sebagaimana tertera dalam Pasal 42 disebutkan, Pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi ini, perkaranya tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan HAM Ad Hoc. RUU KKR yang diajukan pemerintah memberikan definisi pelanggaran HAM masa lalu sebagai pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc. "Pengertian masa lalu seperti itu merupakan langkah Presiden untuk menghindari kontroversi politik dan menyerahkan perdebatan soal batasan masa lalu itu ke DPR," jelas Ifdhal. Terlalu lama
Menanggapi masa kerja KKR selama lima tahun, Ifdhal melihat masa kerja itu terlalu panjang. "Itu akan membuat komisioner bekerja santai dan KKR akan kehilangan sifat transisional dan urgensinya," tandas Ifdhal.
kli
Ia memberikan contoh Komisi Kebenaran di Cile bekerja selama satu tahun, Komisi Kebenaran Argentina yang dipimpin Ernesto Sabato bekerja selama dua tahun, sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan bekerja dua tahun dan bisa diperpanjang satu tahun lagi. "Kalau KKR Indonesia diberikan waktu lima tahun itu terlalu lama dan fungsi KKR untuk menjawab persoalan dalam konsolidasi demokrasi tidak bisa berjalan," papar Ifdhal. RUU KKR yang diajukan pemerintah juga mengatur soal perdamaian antara pelaku dan korban pelanggaran HAM. Dalam Pasal 27 RUU KKR disebutkan, bila antara pelaku dan korban telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka komisi ini dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti.Dalam Pasal 27 Ayat (2) disebutkan, saling memaafkan dan melakukan perdamaian wajib diikuti pengungkapan kebenaran tentang terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan. Pernyataan perdamaian wajib dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan ketua komisi.
Ifdhal mengemukakan pasal soal perdamaian dan amnesti ini harus diperdebatkan secara luas oleh publik. "Pemberian amnesti itu menjadi hak korban dan bukan hak negara. Karena, di Indonesia konflik yang terjadi adalah konflik vertikal, di mana aktor negara terlibat. Tak mungkin negara mengampuni dirinya sendiri," kata Ifdhal.Komisi akan terdiri dari tiga subkomisi, yakni Sub-Komisi Penyelidikan dan Klarifikasi Pelanggaran HAM, Sub-Komisi Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi, dan Sub-Komisi Pertimbangan Amnesti. KKR terdiri dari 15 anggota dengan mempertimbangkan faktor geografis, etnis, agama, dan kepakaran.
Wacana KKR_03 76
kli
pin gE
LS A
M
Ifdhal mengingatkan, keberhasilan KKR di banyak negara adalah soal legitimasi anggotanya. Jadi, seleksi anggota sangat penting dan menentukan keberhasilan KKR. (bdm)
Trio’ Achmad Ali dan Kawan-kawan Jadi Ketua Tim Penyelidikan Pelanggaran HAM Soeharto 14 Jan 2003 19:49:22 WIB TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua Tim Penyelidikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Soeharto telah dipilih. Ketua tim ini dipilih melalui rapat yang digelar di Komnas HAM, Selasa (14/1), oleh empat orang penerima mandat rapat Paripurna Komnas HAM. Masing-masing adalah Prof. Achmad Ali, MM Bilah, Sandra Moniaga, dan Nursyachbani Katjasungkana. Terpilih sebagai ketuanya, ‘trio’ dari empat penerima mandat itu, kecuali Sandra Moniaga.
LS A
M
Salah satu Ketua Tim, Achmad Ali, mengatakan tim juga telah memilih 15 anggota dan lima koordinator penanganan kasus. Ketua PBHI, Hendardi, akan menangani kasus Daerah Operasi Militer di Aceh, Papua dan Timtim; Ita F. Nadia menangani kasus Gerakan 30 September; Luhut Pangaribuan menangani kasus penembakan misterius (petrus); Munir untuk kasus Tanjungpriok (TP), dan Nursyachbani menangani kasus 27 Juli, dan kasus Mei 1998. “Tim ini akan mengumpulkan fakta awal. (Selanjutnya) akan dilaporkan ke ‘Rapat Paripurna Komnas HAM’ yang sudah projusticia,” kata Ali, kepada Tempo News Room. Selasa.
pin gE
Ia meyakini, pengumpulan bukti awal ini mampu terselesaikan sekitar bulan April. Setelah bukti kelima kasus terkumpul, maka Komnas HAM akan membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Soeharto. “Kasus ini akan direkomendasikan kepada pihak kejaksaan,” tutur dia. Bila tak terselesaikan di pengadilan, Komnas masih punya alternatif kedua untuk menyelesaikan, yakni melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Untuk itu, Ali berharap, pemerintah dan DPR segera mengundangkan pembentukan komisi tersebut. Tujuannya, bila tidak dapat terselesaikan secara pidana bisa melalui komisi tersebut , yang memiliki undang-undang resmi. “Bukan seperti rekonsiliasi islah yang dilakukan Try Sutrisno (dalam kasus Tanjungpriok) dulu,” tandasnya.
kli
Soal hambatan sakit permanennya Soeharto, ia juga meyakini tidak masalah. Yang penting bagi Komnas adalah menuntaskan kasus pelanggaran HAM dan mengumpulkan bukti. Soal pengadilan atau kejaksaan tidak bisa mengadili, ia mengatakan, “Itu tanggung jawab mereka kepada masyarakat, bangsa dan Tuhan.” Soal bisa tidaknya mengadili Soeharto itu, lanjut Ali, itu tergantung dari faktor Jaksa Agung dan hakimnya.
Ali menegaskan, kelima kasus ini dipilih karena dianggap sebagai kasus terhebat selama kepemimpinan orang nomor satu di Orde Baru, Soeharto. Sementara, untuk mengadili semua kesalahan Soeharto selama 32 tahun jelas tidak mungkin. Menurut Achmad Ali, sasaran pertama seperti dalam Undang-undang pelangaran HAM berat itu ada dua cara. Pertama melalui pengadilan atau kedua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. “Hanya persoalannya, di negara kita tidak ada Komisi ini,” tutur dia. Ali sendiri tak mempersoalkan banyaknya kasus yang menjadi beban tim ini. Ia menilai, untuk mencari bukti kasus itu tidak terlalu berat. Kasus ‘petrus’ contohnya, Soeharto sudah mengakui sendiri dalam bukunya biografi Soeharto yang menyebut hal itu sebagi kebijakannya untuk shock therapy. Itu merupakan salah satu contoh bukti tertulis yang sah secara hukum. Contoh lain, kasus Tanjungpriok yang dapat dibuktikan melalui pidato Soeharto di Pekan Baru, Riau. “Mengumpulkan bukti awal itu tidak terlalu sukar,” tandasnya.
kli
pin gE
LS A
M
Selanjutnya, Ali mengungkap tentang adanya dukungan dari Amnesti Internasional yang akan memberikan sejumlah bukti dengan gratis. Tapi, ia menolak bila tim itu dibentuk karena tekanan internasional. Bukti dari Amnesti internasional hanya akan menjadi bukti tambahan yang menunjang saja. Sementara, bukti utama akan diambil dari hasil penyelidikan KPP HAM. “Kami membentuk tim ini karena Undang-Undang yang mengamanatkan, bukan yang lain. (Amanat UU) itu sama saja dengan mandat masyarakat” katanya. (Eduardus Karel Dewanto – Tempo News Room
Wacana/artikel KKR_03
KLP: Wacana/Artikel KKR Juli 2003 [lanjutan] [telah cetak satu kali] Kompas, Kamis, 10 Juli 2003
Pansus RUU KKR Terbentuk Jakarta, Kompas - Setelah Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dikirimkan Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 26 Mei 2003 ke Dewan Perwakilan Rakyat, DPR akhirnya membentuk Panitia Khusus RUU KKR. Namun, pembahasan RUU yang ditunggu-tunggu itu baru dilakukan setelah tanggal 14 Agustus 2003 karena DPR hari ini memasuki reses.
M
Pengesahan Pansus RUU KKR itu dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di Gedung MPR/DPR, Rabu (9/7).
LS A
Anggota Pansus RUU KKR tersebut berjumlah 50 orang. Para anggota pansus di antaranya adalah Sidarto Danusubroto, Firman Jaya Daeli, Alex Litaay, dan M Junus Lamuda (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Dari Fraksi Golkar di antaranya tercatat Rambe Kamarulzaman, Agun Gunandjar Sudarsa, dan Hajriyanto Y Thohari.
pin gE
Dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di antaranya Chozin Chumaidy, Thahir Saimima, Endin Soefihara, dan Rusjdi Hamka. Dari Fraksi Kebangkitan Bangsa di antaranya KH Yusuf Muhammad, Sofwan Chudorie, Amin Said Husni, dan Susono Yusuf. Dari Fraksi Reformasi adalah Muhammadi, Ambia B Boestam, dan Mashadi. Dari Fraksi TNI/Polri adalah Kohirin Suganda dan Prayogo. Dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia Astrid Susanto, Fraksi Partai Bulan Bintang adalah Zubair Bakry, dan Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah diwakili Mudahan Hazdie. Ditunggu-tunggu RUU KKR merupakan RUU yang ditunggu-tunggu karena sudah tiga tahun diusulkan pembentukannya melalui Ketetapan MPR Nomor V/MPR/ 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Dalam Tap MPR itu antara lain dinyatakan bahwa pembentukan KKR merupakan langkah nyata untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional.
kli
Dalam Tap MPR itu, pada bagian Kaidah Pelaksanaan antara lain mengamanatkan pembentukan KKR sebagai lembaga ekstra yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan UU. Komisi tersebut bertugas menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang- undangan yang berlaku. Komisi jKebenaran dan Rekonsiliasiuga melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Tap MPR itu lebih lanjut mengamanatkan, langkah- langkah setelah pengungkapan kebenaran dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi. Atau, alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Status Tap MPR Anggota Pansus RUU KKR dari F-PG Rambe Kamarulzaman yang juga Ketua Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR mengungkapkan, Tap MPR No V/MPR/2000 itu sebetulnya sekarang sedang dikaji PAH II BP MPR, apakah
1
Wacana/artikel KKR_03
2
akan dihapuskan atau tidak. Disepakati di PAH II bahwa jika materi suatu Tap MPR sudah diturunkan dalam UU, maka Tap MPR itu bisa dihapus. Hal itu akan diputuskan dalam Sidang Tahunan MPR 1-10 Agustus 2003. "Tampaknya Pansus RUU KKR itu baru bisa bekerja setelah 14 Agustus. Sementara status Tap MPR itu sudah harus diputuskan dalam ST MPR nanti. Oleh karena itu, mungkin nanti Tap No V/MPR/2000 itu tidak dihapuskan dulu sebelum UU KKR jadi," kata Rambe.
kli
pin gE
LS A
M
Anggota Pansus RUU KKR dari F-PDI Perjuangan Firman Jaya Daeli menambahkan, kehadiran RUU KKR ini tidak sekadar merupakan respons terhadap Tap MPR No V/MPR/2000. Akan tetapi, ia lahir dari perspektif bangsa ini untuk membangun semangat rekonsiliasi sebagai prasyarat terhadap sebuah perdamaian. (bur)
Wacana/artikel KKR_03
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Disampaikan ke DPR: Masa Tugas KKR Lima Tahun KOMPAS - Rabu, 11 Jun 2003 Halaman: 7 Penulis: bdm Ukuran: 4523
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Disampaikan ke DPR MASA TUGAS KKR LIMA TAHUN
kli
pin gE
LS A
M
Jakarta, Kompas Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri mengintroduksi lembaga baru bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu. Komisi yang bertugas untuk mengungkap kebenaran atas terjadinya pelanggaran HAM masa lalu ini akan bekerja selama tiga tahun dan bisa diperpanjang dua tahun lagi. Rancangan Undang-Undang KKR yang akan menjadi dasar hukum pembentukan komisi itu telah diserahkan Presiden kepada DPR untuk dibahas. RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diserahkan Presiden Megawati Soekarnoputri kepada DPR melalui surat tertanggal 26 Mei 2003. Presiden meminta kepada DPR untuk membicarakan dan membahas RUU KKR. Presiden telah menunjuk Menteri Kehakiman dan HAM untuk membahas RUU itu bersama DPR. Sejauh ini belum diketahui kapan DPR akan membahas RUU KKR tersebut. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim yang dihubungi Kompas secara terpisah, Selasa (10/6), mengharapkan agar DPR dapat memprioritaskan pembahasan RUU KKR. "Kalau diserahkan kepada DPR (hasil) Pemilu 2004, tantangan politik dan agenda politiknya tentu akan berbeda," kata Ifdhal. RUU KKR merupakan amanat dari Ketetapan MPR Nomor V/MPR Tahun 2000 tentang Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Nasional dan juga UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. "Jadi itu merupakan tanggung jawab dari DPR dan Presiden yang ada sekarang ini," tutur Ifdhal. Dengan hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi maka penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat diselesaikan melalui komisi tersebut maupun melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. Namun, sebagaimana tertera dalam Pasal 42 disebutkan, Pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh komisi ini, perkaranya tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan HAM Ad Hoc. RUU KKR yang diajukan pemerintah memberikan definisi pelanggaran HAM masa lalu sebagai pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc. "Pengertian masa lalu seperti itu merupakan langkah Presiden untuk menghindari kontroversi politik dan menyerahkan perdebatan soal batasan masa lalu itu ke DPR," jelas Ifdhal. Terlalu lama Menanggapi masa kerja KKR selama lima tahun, Ifdhal melihat masa kerja itu terlalu panjang. "Itu akan membuat komisioner bekerja santai dan KKR akan kehilangan sifat transisional dan urgensinya," tandas Ifdhal. Ia memberikan contoh Komisi Kebenaran di Cile bekerja selama satu tahun, Komisi Kebenaran Argentina yang dipimpin Ernesto Sabato bekerja selama dua tahun, sementara Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan bekerja dua tahun dan bisa diperpanjang satu tahun
3
Wacana/artikel KKR_03
pin gE
LS A
M
lagi. "Kalau KKR Indonesia diberikan waktu lima tahun itu terlalu lama dan fungsi KKR untuk menjawab persoalan dalam konsolidasi demokrasi tidak bisa berjalan," papar Ifdhal. RUU KKR yang diajukan pemerintah juga mengatur soal perdamaian antara pelaku dan korban pelanggaran HAM. Dalam Pasal 27 RUU KKR disebutkan, bila antara pelaku dan korban telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka komisi ini dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti. Dalam Pasal 27 Ayat (2) disebutkan, saling memaafkan dan melakukan perdamaian wajib diikuti pengungkapan kebenaran tentang terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat yang telah dilakukan. Pernyataan perdamaian wajib dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan ketua komisi. Ifdhal mengemukakan pasal soal perdamaian dan amnesti ini harus diperdebatkan secara luas oleh publik. "Pemberian amnesti itu menjadi hak korban dan bukan hak negara. Karena, di Indonesia konflik yang terjadi adalah konflik vertikal, di mana aktor negara terlibat. Tak mungkin negara mengampuni dirinya sendiri," kata Ifdhal. Komisi akan terdiri dari tiga subkomisi, yakni Sub-Komisi Penyelidikan dan Klarifikasi Pelanggaran HAM, Sub-Komisi Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi, dan Sub-Komisi Pertimbangan Amnesti. KKR terdiri dari 15 anggota dengan mempertimbangkan faktor geografis, etnis, agama, dan kepakaran. Ifdhal mengingatkan, keberhasilan KKR di banyak negara adalah soal legitimasi anggotanya. Jadi, seleksi anggota sangat penting dan menentukan keberhasilan KKR. (bdm)
RUU KKR Belum Cakup Pelanggaran Hak Ekonomi KOMPAS - Sabtu, 14 Jun 2003 Halaman: 7 Penulis: bdm Ukuran: 3966
RUU KKR BELUM CAKUP PELANGGARAN HAK EKONOMI
kli
Jakarta, Kompas Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diajukan Presiden Megawati Soekarnoputri kepada Dewan Perwakilan Rakyat lebih banyak difokuskan pada penyelesaian pelanggaran HAM berat, namun belum mencakup pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. Padahal, pada era pemerintahan Orde Baru pelanggaran hak ekonomi dan sosial juga banyak terjadi. Penilaian itu disampaikan mantan Sekjen Komisi Nasional HAM Asmara Nababan kepada Kompas di sela-sela diskusi mengenai RUU KKR yang diadakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) di Jakarta, Jumat (13/6). Nababan memberi contoh kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah yang telah merugikan masyarakat sekitar serta konflik tanah adat di Kalimantan dan daerah lain. "Pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya seharusnya juga ikut dicakup oleh RUU KKR," kata Nababan. Sebagaimana diberitakan, Presiden Megawati melalui surat tertanggal 26 Mei 2003 telah mengirim surat kepada DPR untuk dapat membahas RUU KKR tersebut. Presiden juga telah menunjuk Menteri Kehakiman dan HAM untuk mewakili pemerintah. Melalui RUU KKR tersebut, pemerintahan Presiden Megawati
4
Wacana/artikel KKR_03
M
mengintroduksi sebuah lembaga baru bernama Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komisi ini berfungsi untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM berat dan melaksanakan rekonsiliasi. RUU KKR mendefinisikan pelanggaran HAM berat sebagaimana yang sudah tertuang dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Definisi, menurut Nababan, seharusnya bisa diperluas dan mengacu pada Statuta Roma. Dalam diskusi kemarin, dipertanyakan soal dianut atau tidaknya prinsip non-recurrence principle, sebuah prinsip yang menjamin bahwa pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu tidak terulang lagi. "Prinsip itu penting karena buat apa rekonsiliasi kalau kemudian pelanggaran HAM terjadi lagi," ujar Heru Atmodjo. Nababan membenarkan perlunya prinsip non-recurrence principle harus tercantum dalam RUU KKR. Akan tetapi, justru prinsip itu yang tidak muncul dalam RUU KKR yang disiapkan oleh pemerintah.
kli
pin gE
LS A
Keanggotaan komisi Keanggotaan komisi menjadi sebuah isu sentral yang perlu diperhatikan dengan seksama. Karena menurut Ifdhal Kasim dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), legitimasi dan kredibilitas anggota komisi sangat menentukan keberhasilan kerja lembaga itu. Dalam RUU KKR, anggota TNI dan Polri tidak boleh menjadi anggota komisi, anggota parpol, ormas, dan LSM boleh menjadi anggota asal calon yang bersangkutan bersedia melepaskan diri dari jabatannya. Calon juga tidak pernah terlibat dalam pelanggaran HAM. Selain persyaratan normatif, calon anggota komisi juga harus mempertimbangkan aspek geografis, etnis, agama, dan kepakaran. Presiden membentuk Panitia Seleksi yang terdiri dari tiga orang dari unsur pemerintah dan dua orang unsur sipil. Panitia Seleksi mengusulkan 30 orang calon kepada Presiden dan selanjutnya Presiden memilih sebanyak 15 orang untuk diserahkan kepada DPR untuk dimintakan persetujuan. Jika DPR tak menyetujui, maka DPR harus memberikan jawaban disertai alasannya dan diserahkan kepada Presiden. Presiden kemudian mengajukan calon pengganti. Nababan melihat, proses seleksi calon anggota komisi sudah cukup bagus. "Saya kira itu bagus, karena kalau melalui DPR dulu yang muncul justru kepentingan politiknya," kata Nababan. RUU KKR tidak memberikan batas waktu sampai kapan pelanggaran HAM masa lalu bisa diungkap kebenarannya. RUU KKR hanya memberikan definisi pelanggaran HAM masa lalu adalah pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM berlaku. Berbeda dengan UU No 26/2000, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui Pengadilan HAM Ad Hoc ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (bdm)
Hukum Online, 25/06/03]
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Suatu Kritik
5
Wacana/artikel KKR_03
6
Setelah lama terpendam di Sekretariat Negara dan mengalami beberapa kali perubahan, akhirnya pada akhir Mei 2003 pemerintah -- melalui Departemen Kehakiman dan HAM -- menyampaikan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) kepada DPR. KKR merupakan implementasi dari TAP MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional guna penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. KKR adalah salah satu jalan yang ditempuh di banyak negara dunia ketiga dalam melewati masa transisi politik menuju demokrasi. Pada dasarnya Indonesia mengadopsi dan meniru KKR Afrika Selatan dalam memuluskan transisi menuju demokrasi, di mana secara politik menghapuskan praktek politik kulit berwarna atau apartheid.
M
Profesor Douglas Cassel, Priscilla Hayner, dan Paul van Zyl dalam bukunya Beberapa Pemikiran Mengenai Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Elsam:2000) menggambarkan tujuan pembentukan KKR di Indonesia, yaitu: (1) Memberi arti kepada suara korban secara individu; (2) Pelurusan sejarah berkaitan dengan peristiwa-peristiwa besar pelanggaran HAM (common historical narrative); (3) Pendidikan dan pengetahuan publik.
LS A
Selanjutnya, (4) Memeriksa pelanggaran HAM sistematis menuju reformasi kelembagaan; (5) memberikan assesment tentang akibat pelanggaran HAM terhadap korban dan (6) pertanggungjawaban para pelaku kejahatan. Secara garis besar, KKR memberikan porsi besar bagi para korban maupun keluarganya untuk menyampaikan apa yang mereka derita dan alami berkaitan dengan pelanggaran HAM.
pin gE
Setiap KKR memiliki karakteristiknya masing-masing di berbagai negara yang berakibat banyak perbedaanperbedaan kewenangan dan fokus permasalahan. Munculnya perbedaan ini disebabkan karena faktor-faktor politik di negara masing-masing. Terutama, posisi korban yang memiliki kekuatan politik dalam melakukan tawarmenawar secara poltik dengan penguasa di masa transisi. Kita bisa melihat Argentina dengan Comision Nacional Para los Desaparecidos (Comadap)-nya memilih kasuskasus penghilangan paksa sebagai fokus yang akan diungkap. Para ibu dari korban penghilangan paksa yang tergabung dalam Madres de Plaza de Mayo menjadi motor penggerak dalam pengungkapan orang hilang selama rezim militer berkuasa di Argentina. Gerakan mereka sangat terkenal di seluruh dunia. Mereka melakukan demonstrasi damai dengan membentangkan sehelai kain bertuliskan nama keluarga mereka yang hilang di sebuah tempat bernama Plaza de Mayo di jantung kota Buenos Aires ada 28 Juli 1982. Sedangkan Afrika Selatan melalui Truth and Reconciliation (TRC) yang menginvestigasi selama 30 tahun rezim apartheid berkuasa. Kendati demikian, munculnya lembaga ini bukan tanpa kritik yang tajam. Hal ini penting dikarenakan tidak semua kasus pelanggaran HAM masa lalu dapat diselesaikan dengan mekanisme KKR.
kli
Antara social harmony dengan moral society
Sesuai dengan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), pembentukan KKR Indonesia difokuskan pada penyelamatan persatuan dan kesatuan nasional. Dengan kata lain, pembentukan KKR ditekankan pada terciptanya social harmony. Namun, seringkali dalam pembentukan social harmony tersebut mengorbankan proses legal justice. Pengalaman Afrika Selatan secara jelas mengambil jalan yang berujung pada impunitas. Tidak ditemukan penuntutan kepada para pelaku pelanggaran HAM (perpetrators) termasuk penghukuman kepada mereka. Suatu harga sangat mahal yang harus dibayar oleh korban dan keluarga korban demi terwujudnya rekonsiliasi.
Sedangkan proses legal justice akan menghasilkan apa yang disebut sebagai moral society. Moral Society ini terbangun bukan hanya karena efek jera (deterent) akibat penghukuman saja, tetapi akan muncul suatu masyarakat yang mampu mengatakan tidak terhadap pelanggaran HAM. Ambil contoh di Jerman, setelah Nuremberg Tribunal dilaksanakan pada tahun 1946, rakyat Jerman dan dunia mengatakan tidak untuk kejahatan melawan kemanusiaan.
Wacana/artikel KKR_03
7
Permasalahan yang sangat mendasar adalah pemberian amnesti kepada para pelaku. Sudah banyak sekali contoh pelaksanaan KKR, terutama di negara-negara Amerika Selatan yang pada akhirnya hanya membebaskan para pelaku dari pertanggungjawaban hukum. Hasil KKR di Chile yang diumumkan oleh Presiden Aylwin secara emosional di layar televisi pada akhirnya berujung pada pemberian "maaf" kepada para pelaku. Argentina, pada masa Presiden Alfonsin melalui hasil laporannya yang berjudul Nunca Mas-nya, Conadep berhasil memenjarakan orang kuat masa junta militer, Jenderal Videla dan Laksamana Emilio Masssera. Tetapi saat pemerintah beralih pada Carlos Menem -- seorang peronis -kedua orang tersebut dibebaskan.
M
Amnesti hanya dapat diberikan bagi para pelaku yang melakukan makar (rebellion) kepada negara (state). Dalam hal ini, para pemberontak telah melakukan kejahatan terhadap negara (crimes against state). Negara dalam hal ini menjadi korban dari perbuatan makar. Karenanya, amnesti dapat diberikan kepada mereka yang telah menyerah atau berbuat baik selama menjalani hukuman.
LS A
Profesor Cherif Bassiouni, Guru Besar Hukum HAM Internasional dan Pidana Internasional De Paul University, menjelaskan amnesti adalah bentuk lain dari pemberian maaf yang diberikan oleh pemerintah terhadap suatu kejahatan terhadap publik. Pertanyaan yang kemudian terlontar, bagaimana memberikan permaafan terhadap dirinya yang dilakukan oleh aparatnya? Dan bagaimana pemerintah dapat memaafkan kejahatan yang dilakukan oleh "sekelompok orang" terhadap lainnya?
pin gE
Menurut Bassiouni, kekuatan utnuk memberikan maaf (to forgive), melupakan (to forget) terhadap kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan penyiksaan bukan porsi dari pemerintah, melainkan oleh para korban. Ditambahkannya, amnesti dapat diberikan setelah orang atau sekelompok orang telah dijatuhi hukuman (convicted). Untuk itu, rekonsiliasi disertai dengan pemberian maaf hanya dapat dilakukan antara entitas-entitas yang memiliki kedudukan sederajat. Contoh nyata adalah yang dilakukan Komisi Penerimaan Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor Lorosa'e. Komisi ini akan menangani kejahatan-kejahatan seperti pencurian, penyerangan ringan, pembakaran rumah, penjarahan atau membunuh hewan piaraan, merusak atau mencuri hasil kebun yang terjadi dalam konteks politik di Timor Lorosa'e. Konteks politik yang dimaksud tentunya adalah usaha rekonsiliasi antara masyarakat pro-Indonesia dengan prokemerdekaan yang terjadi antara 1974 hingga 1999. Komisi juga akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah, khususnya tentang pembaharuan hukum serta institusional untuk melindungi HAM di masa yang akan datang seklaigus mempromosikan rekonsiliasi.
kli
Secara tegas komisi menyatakan dirinya tidak menangani kejahatan berat, seperti pembunuhan, pemerkosaan, atau pengorganisasian kekerasan. Komisi hanya menerima kesaksian dari korban. Pelaku atau saksi tentang kejahatan berat lewat pengungkapan kebenaran. Bukti-bukti kejahatan yang muncul selama komisi bekerja akan diserahkan kepada pengadilan. CAVR memiliki karakteristik yang berbeda dari KKR lainnya adalah kata "penerimaan", disebabkan komisi juga mengakomodasi para warga Timor Leste yang telah kembali ke Timor Leste -- termasuk yang menjadi pengungsi di NTT -- Indonesia untuk diterima di masyarakatnya dengan damai. Pemberian amnesti sebelum dilakukannya penuntutan terhadap para pelaku oleh negara kepada aparat negara adalah bentuk pembersihan diri negara dari dosa-dosanya. Rezim militer Uruguay sebelum turun dari tampuk kekuasaanya malah mengeluarkan undang-undang yang memberikan amnesti umum (blanket amnesty) kepada seluruh perwira yang terlibat dalam pelanggaran HAM. Mereka menyatakan, tindakan yang dilakukan semasa rezim berkuasa adalah tindakan patriotik terhadap negara. Praktek self amnesty atau blanket amnesty jelas-jelas melanggar prinsip tiada seorang pun dapat bebas dari hukuman/dihukum berdasarkan hukum yang dibuatnya sendiri (no one can be judge in their own suit). Zalaquett, seorang pengacara berkebangsaan Chili yang bekerja untuk Amnesty International dan banyak menulis soal KKR, menjelaskan salah satu persyaratan pemberian amnesti adalah berkaitan dengan jenis kejahatan yang
Wacana/artikel KKR_03
8
telah dilakukan oleh pelaku. Menurutnya, amnesti tidak dapat diberikan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan genocide. Kedua kejahatan ini termasuk sebagai serious crime recognized by international law atau seringkali disebut sebagai pelanggaran HAM berat (gross violations of human rights). Para pelaku adalah musuh umat manusia (hostis humani generis) yang tidak boleh dilindungi oleh kekuatana apapun termasuk kekebalan (immunity) karena jabatannya. Masyarakat internasional berkewajiban untuk melakukan penuntutan dan/atau melakukan ekstradisi (au dedere au punare). Juan E. Mendez mengemukakan, terdapat empat langkah yang harus dilakukan pemerintah menyikapi hal ini sebagai bentuk tanggungjawabnya kepada rakyat. Pertama, korban berhak mendapatkan keadilan (right to see justice done) dengan digelarnya sebuah pengadilan yang bersifat independen dan imparsial.
M
Kedua, korban serta masyarakat berhak mendapatkan kebenaran (right to truth) yang artinya pemerintah dengan seluruh kekuatannya melakukan penyelidikan setiap kasus yang belum diungkap; menjelaskan semua hal yang mereka ketahui berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat serta membuka semua informasi kepada korban dan masyarakat.
pin gE
Kritik terhadap KKR
LS A
Ketiga, korban dan keluarganya berhak mendapatkan reparasi baik material maupun moral sebagai bentuk penghormatan terhadap harga diri korban. Dan keempat, masyarakat berhak melihat perubahan dari angkatan bersenjatanya terutama tidak terlibat lagi dalam politik dan tunduk terhadap supremasi sipil di mana selama berkuasa posisi mereka adalah sebagai penentu, perencana dan pelaksana terhadap segala bentuk kejahatan terhadap gerakan-gerakan masyarakat sipil. Keempat tanggungjawab ini bukanlah pilihan-pilihan bagi pemerintah, tetapi harus dipandang sebagai sesuatu yang linear dan saling berkaitan.
Adalah sangat perlu untuk mempertimbangkan mekanisme KKR bagi seluruh kasus pelanggaran HAM masa lalu. Terdapat tiga hal yang menjadi kritik terhadap praktik KKR. Pertama, KKR dimulai dengan prasangka bahwa kebenaran (truth) dan keadilan (justice) adalah alternatif-alternatif pilihan penyelesaian pelanggaran masa lalu. Padahal, kebenaran bukanlah salah satu bentuk alternatif namun sebagai persyaratan utama untuk pencapaian keadilan. Kedua, rekonsiliasi. Afrika Selatan sebagai contoh yang baik dari pelaksanaan KKR, telah berhasil melakukan rekonsiliasi di tingkat masyarakat dalam tataran politik namun diskriminasi rasial di tataran ekonomi belum lagi tersentuh.
kli
Ketiga, rasa keadilan. Tidak semua orang di kedua belah pihak puas dengan jalan penyelesaian rekonsiliasi dengan mengabaikan hukuman. Salah satu yang menjadi fenomena adalah Keluarga Steven Biko, seorang aktivis anti apartheid yang dibunuh secara brutal oleh polisi. Pihak keluarga mengemukakan ketidakpuasan dengan pernyataan yang terkenal, "Bila maaf dapat membayar semua rekening milik saya, maka maaf itu akan saya terima". Bhatara Ibnu Reza adalah peneliti IMPARSIAL The Indonesian Human Rights Watch (Bhatara Ibnu Reza)
Wacana/artikel KKR_03
9
Media Indonesia, Rabu, 9 Juli 2003 18:40 WIB
DPR Bentuk Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
JAKARTA--MIOL: DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan 50 anggota dari semua fraksi di DPR. Pengesahan pembentukan Pansus RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi lengkap dengan anggotanya itu dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di Jakarta, Rabu. *
M
Sebanyak 50 anggota Pansus RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu terdiri atas Fraksi PDIP sebanyak 15 orang, Fraksi Partai Golkar 12 orang, Fraksi PPP dan Kebangkitan Bangsa masing-masing enam orang, Fraksi Reformasi dan TNI/Polri masing-masing empat orang. Anggota pansus lainnya berasal dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia (KKI), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Daulatul Umat (PDU) masing-masing satu orang.
LS A
*
Anggota pansus dari FPDIP terdiri atas Sidarto Danusubroto, Firman Jaya Daili, I Ketut Bagyarsa, Marah Simon, Yunus Lamuda, Oktavianus Rimapuas, I Nyoman Gunawan, Alexander Litaay, Pandapotan Simanjuntak, Mangara Lumban Tobing, Dadang Rukmana Mulia, Gunawan Slamet, I Made Damin, Rony BS Hutagaul, dan Lukas S. Dari FPG terdiri Rambe Kamarulzaman, Darwis Wida, Agun Gunanjar Sudarsa, Evita Asmalda, Fathoni, Hajrianto Tohari, Irsyad Sudiro, Akil Mukhtar, Marwah Daud Ibrahim, Anwar Arifin, Peddy Tandawuya, dan Rustam Tamburaka,
pin gE
Anggota pansus dari FPPP terdiri Husin Chumaidi, Tahir Saimi, Endin AJ Sofihara, Rusdi Hamka, Syaiful Rahman, dan Barlianta Harahap. FKB diwakili oleh Yusuf Muhamand, Sofwan Chudorie, Hanif Ismail, Amin Said Husni, Husono Yusuf, dan Seto Haryanto. Fraksi Reformasi terdiri atas Muhammadi S, Ambiya Bustam, Anthoni Amin, dan Mashadi. Fraksi TNI/Polri terdiri Kohirin Suganda, Dahuan Syamsuri, Prayoga, dan Mursyid Murhadi.
kli
Sementara itu Astrid S Susanto mewakili FKKI, Zubair Bakri mewakili FPBB, dan Muhmuda mewakili FPDU. (Ant/Ol-01)
Wacana/artikel KKR_03 10 Koran Tempo, Kamis 10 Juli 2003
DPR Bentuk Pansus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi RUU Ini Strategis bagi proses konsolidasi demokrasi untuk memisahkan rezim Orde Baru dengan pemerintahan reformasi. Rapat Paripurna DPR menyepakati Pembentukan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Anggota pansus berasal dari berbagai fraksi di DPR. “Dengan disetujuinya pembentukan panitia khusus, mulai saat ini sudah dapat bekerja,” ujar Wakil ketua DPR Muhaimin Iskandar yang memimpin rapat paripurna di gedung Nusantara V, Rabu 9/7).
LS A
Firman Jaya Daely Junus Lamuda I Nyoman Gunawan Rambe Kamarulzaman, Agun Gunandjar Sudarsa, M. Akil Mochtar, Chozin Chumaidy, M. Thahir Saimima, M. Sayiful Rachman, Amin Said Husni , Sofwan Chudori Muhammad, S. Kohirin Suganda Astrid Susanto Zubair Bakri, dan Mudahan Hzdie.
pin gE
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
M
Dalam susunan keanggotaan pansus yang dibacakan kepala Biro Persidangan DPR Subijanto Sudardjo disebutkan 50 nama, diantaranya:
RUU Pembentukan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran adalah usulan pemerintah. Sekretariat DPR, kata Subijanto, menerima surat usulan RUU itu beserta amanat presiden pada 26 Mei 2003 dan baru dibacakan dalam Rapat paripurna DPR pada 9 Juni. Dalam rapat badan Musyawarah DPR 26 Juni lalu, papar dia, fraksi-fraksi sepakat untuk mengagendakan pembentukan panitia khusus.
kli
Menurut anggota Pansus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Chozin Chumaidy, kemungkinan besar pansus baru akan bekerja pada masa persidangan berikutnya, karena akhir bulan ini DPR telah masuk masa reses. Dalam masa persidangan mendatang, terlebih dulu anggota pansus membentuk pimpinan pansus. Karena RUU ini dari pemerintah, maka setelah penyampaian materi dan latar belakangnya, maka masing-masing fraksi akan menanggapinya. Selain membahas materi RUU, pansus juga akan meminta masukan dari berbagai elemen masyarakat. Mulai dari perguruan tinggi, organisasi, tokoh masyarakat, serta para pakar. “Karena ini menyangkut rekonsiliasi, ada kemungkinan pansus juga perlu mendengar masukan dari aparat militer serta pakar hukum,” kata Chozin kepada Koran Tempo kemarin. Para Korban pelanggaran HAM atau penindasan pemerintah, menurut dia, juga perlu didengar masukannya. Sebab, kata Chozin salah satu tujuan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah untuk mencari penyelesaian antara para korban dengan pihak yang bertanggung jawab. Apalagi, para korban ini nantinya akan mendapat rehabilitasi serta kompensasi.
Wacana/artikel KKR_03 11 Chozin mengakui, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi amat penting. Komisi ini adalah amanat Ketetapan MPR karena adanya keinginan untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa. Karena itu, menyayangkan RUU ini baru masuk ke DPR dalam masa persidangan sekarang. “Pasalnya, saat ini DPR tengah disibukkan berbagai masalah menjelang pemilu,” ucap anggota Komisi Hukum DPR ini. Keterlambatan penyerahan RUU ini terjadi karena Depkeh dan HAM harus melakukan revisi atas rancangan sbelumnya. Seperit dikatakan Dirjen Peraturan dan Perundang-undangan Depkeh dan HAM Abdulgani Abdullah kemarin, salah satu pasal yang harus diperbaiki adalah prosedur untuk bisa diadakan rekonsiliasi. “Seperit harus ada pernyataan mana yang benar dan mana yang salah dulu. Masalah satu kasus mana saja yang tengah diupayakan rekonsiliasi ke pengadilan juga masuk materi yang direvisi, “ kata Gani.
M
Anggota tim perumus RUU komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Ifdhal Kasim Mengatakan, perumusan RUU ini sejak dua tahun lalu digodok pemerintah. Baru pertengahan 2003 diajukan ke DPR.
LS A
Menurut dia, Kelambatan ini lebih karena banyaknya masalah Kontroversial yang muncul dalam pembahasan RUU itu. Direktur Eksekutiuf Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) ini bahkan sudah memperkirakan pembahasannya bakal alot dan mendapat perhatian luas masyarakat. “RUU ini strategis bagi proses konsolidasi demokrasi untuk memisahkan antara rezim Orde Baru dengan pemerintahan reformasi,” papar Ifdhal ketika dihubungi kemarin.
pin gE
Perumusan RUU, menurut Ifhdal,melibatkan beberapa departemen terkait, Kejaksaan Agung, Kepolisian, LSM, Advokad, dan ahli hukum. Am fikri/tjandra dewi/mari. Koran Tempo, Kamis 10 Juni 2003
Pasal-pasal Krusian
Memaafkan tapi tidak untuk melupakan. Ini satu landasan dalam merumuskan perlunya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam menjabarkan landasan itu dalam rumusan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, diperkirakan terjadi polemik dan kontroversi terhadap sejumlah pasal krusial.
kli
Menurut direktur Eksekutif Elsam, Ifdhal Kasim, kemarin, pasal-pasal krusial itu diantaranya soal manifestasi dari upaya mengatasi masa lalu. “Kepengadilan atau memaafkan,” papar dia. Bagi mereka yang berorientasi ke pengadilan, RUU ini akan kurang begitu disenangi kehadirannya. Pasal krusial berikut, papar Ifdhal, mengenai batas waktu masa lalu itu dari mana ke mana. Apa indikatornya dan bagaimana mengukurnya. Ifdhal mengusulkan agar tolok ukur dari batas waktu itu adalah masa dimana masyarakat mengalami perpecahan, friksi, dan belum ada penyelesaiannya. Dia mengusulkan batas waktunya adalah 1959, ditandai masa demokrasi terpimpin, hingga sekarang. Bila Materi Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra pernah bertanya apakah peristiwa Westerling, PRRI/Permesta masuk di dalamnya, menurut Ifdhal ketiga peristiwa itu sudah mendapat amnesti politik dari Soekarno.
Wacana/artikel KKR_03 12
Pasal Kruisial lainnya dalah pemberian amnesti terhadap para pelaku yang tak lain dalam hal ini negara. “Saya memperkirakan bakal banyak penolakan. Mengapa yang bersalah diberi amnesti?” ucapnya.
kli
pin gE
LS A
M
Menurut Ifdhal, pemberian amensti bukan sesuatu yang salah, walaupun diakuinya, instrumen hukum internasional menolak amensti terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan. Sepanjang amnesti bisa memberikan kemaslahatan, amensti dapat diberikan,” kata Ifdhal. Maria.
Wacana/artikel KKR_03 13 Hukum Online, [11/07/03]
Pembahasan RUU KKR Maju Selangkah Lagi Lamban, tapi pasti. Mungkin itulah kalimat yang dapat menggambarkan jalannya RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Meski sempat tersendat, RUU KKR akhirnya segera dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) yang telah disahkan DPR
M
Setidaknya, dibutuhkan waktu kurang lebih satu tahun bagi naskah RUU KKR untuk mendarat di meja pimpinan DPR. Pasalnya, RUU yang disusun oleh Departemen Kehakiman dan HAM sejak awal 2002 ini baru masuk ke DPR pada Juni 2003. Itu pun setelah pemerintah "ditegur" oleh dunia internasional (hukumonline, 19/03).
LS A
Terakhir (09/07), Rapat Paripurna DPR telah mensahkan keanggotaan Panitia Khusus RUU KKR. Pada acara yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR dari F-KB Muhaimin Iskandar tersebut ditetapkan 50 anggota DPR dari kesembilan fraksi yang akan menjadi anggota Pansus RUU KKR. Kelimapuluh anggota Pansus RUU KKR tersebut terdiri dari 15 orang dari F-PDIP, 12 orang dari F-PG, enam orang dari F-PPP, enam orang dari F-KB, empat orang dari F-Reformasi, empat orang dari F-TNI/Polri, dan masing-masing satu orang dari F-KKI, F-PBB dan F-PDU.
pin gE
Dari surat yang dibacakan oleh Kepala Biro Persidangan Sekretariat Jenderal DPR Soebianto berikut sebagian nama-nama anggota Pansus RUU KKR. Dari unsur F-PDIP antara lain Firman Djaya Daeli, Marah Simon, M. Yunus Lamuda, Alexander Litaay, I Nyoman Gunawan; F-PG, Rambe Kamaruzaman, Agun Gunanjar, Marwah D. Ibrahim, Akil Mukhtar. Kemudian dari unsur F-PPP, Syaiful Rahman, Thahir Saimima, Endin Sufihara, Yusuf Muhammad; F-Reformasi, Antoni Amir dan Mashadi; F-TNI/Polri Kohirin Suganda dan Prayogo; serta dari unsur F-KKI, F-PBB, dan F-PDU masing-masing Astrid S. Susanto, Zubair Bakrie dan Mudahan Hadzie. Sebelum memulai pembahasan, Pansus akan menunjuk tiga orang anggota untuk menjadi pimpinan Pansus.
kli
Pembahasan RUU KKR kemungkinan besar baru akan dimulai setelah masa reses DPR berakhir, sekitar pertengahan Agustus mendatang. Terhitung 9 Juli 2003, DPR memasuki masa reses setelah bersidang kurang lebih 50 hari pada Masa persidangan IV Tahun Sidang 2002-2003 yang lalu. Tertahan di Setneg
RUU KKR sempat tertahan relatif lama di pihak Sekretariat Negara. Menurut sumber hukumonline, tertahannya naskah RUU KKR di Setneg lebih disebabkan oleh ketidaksetujuan terhadap sebagian materi yang dianggap krusial. Sumber tersebut mencontohkan aturan mengenai hak reparasi. Berdasarkan aturan RUU KKR, setiap korban berhak mendapat pemulihan, rehabilitasi atau semacam kompensasi. Setneg beranggapan jika hak itu diatur dalam suatu UU, niscaya akan memberatkan APBN. Bayangkan,
Wacana/artikel KKR_03 14
kalau korban G.30.S yang jumlahnya mungkin jutaan meminta hak reparasi. Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Hal itu juga dibenarkan oleh peneliti ELSAM, A. Semendawai. Menurutnya, konsep itu diyakini Setneg akan membutuhkan dana yang cukup besar. Padahal, lanjut Semendawai, hak reparasi tidak selalu dalam bentuk uang. Tetapi, juga bisa dalam bentuk pengakuan bahwa yang bersangkutan adalah korban masa lalu. Cuma, itu tadi, masih ada rasa keberatan. Itu sebabnya, masa depan rekonsiliasi nasional belum jelas benar.
M
Aparat hukum pun tampak minim dukungan. Dendam kesumat masa lalu agaknya sulit lekang dari hati setiap orang. Jika kita terus menerus berada dalam tahap belajar KKR, itu berarti tidak ada kemajuan. Kalau kunjungan Dr Penuelle Mpapa Maduna masih dijadikan sebatas belajar KKR dari Afrika Selatan, itu sama saja memulai dari nol lagi alias mundur lagi ke belakang. (Lebih jauh baca "Terus Belajar Rekonsiliasi dari Afsel, Kapan Pelaksanaannya?").
LS A
(Amr)
[15/03/03] Terus Belajar Rekonsiliasi dari Afsel, Kapan Pelaksanaannya?
pin gE
Kalau diibaratkan seorang siswa, Indonesia mungkin termasuk negara yang rajin belajar tentang sesuatu yang baru. Tetapi sayang, tidak pernah naik kelas. Demikian pula halnya dengan pembentukan Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Bertahun-tahun dibahas, nasib RUU KKR masih belum jelas. Masalah itu tiba-tiba kembali menghangat menyusul kunjungan Menteri Kehakiman Afrika Selatan DR. Penuelle Mpapa Maduna ke Indonesia. Maduna berada di Indonesia selama lima hari, 12 hingga 17 Maret 2003. Kamis lalu (13/03), Maduna secara khusus bertandang ke Rasuna Said untuk menemui Menkeh Yusril Ihza Mahendra. Tidak diketahui pasti, apa isi pertemuan tertutup kedua menteri selama sekitar dua jam. Selain pertemuan Kamis pagi itu, kedua menteri masih akan bertemu dalam acara resepsi makan malam. Puncaknya, pada Senin (17/03) akan berlangsung seminar dengan tema "Transnational Justice: Indonesian and South African Experience".
kli
Yang jelas, dalam keterangan persnya, Maduna mengaku hubungan kedua negara begitu akrab sejak dahulu. Ia kembali mengungkit persinggungan budaya kedua negara. "Di negara kami, banyak keturunan Melayu dari Makassar," katanya. Tentulah, yang dia maksud Syech Yusuf asal Makassar yang keturunannya masih bisa ditemukan di sana. Tetapi, kedatangan Maduna ke Rasuna Said tentu lebih terkait dengan masalah hukum. Isu penting yang diusung adalah masalah rekonsiliasi nasional. Afrika Selatan memang cukup berhasil menerapkan semangat itu. Bagaimana dengan Indonesia? Dendam masa lalu Yusril menganjurkan agar bangsa ini harus menuntaskan masalah masa lalu yang belum selesai. "Kita bisa belajar melakukan rekonsiliasi dari Afrika Selatan," kata Yusril. Ditambahkan Yusril, konflik tak akan bisa diselesaikan jika yang dikedepankan dendam masa lalu.
Wacana/artikel KKR_03 15 Mengambil contoh bersatunya kalangan Republik dengan kelompok hitam yang dimotori Nelson Mandela, Yusril yakin bila semangat serupa diterapkan, bara konflik di Tanah Air bisa dikurangi. "Mudah-mudahan bisa diterapkan dalam penyelesaian konflik etnis di berbagai daerah," tambah Yusril. Namun, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) mengkritik pernyataan Menkeh dan HAM merupakan pesanan kelompok tertentu. "Pernyataan tersebut mengandung agenda terselubung Menkeh HAM untuk melanggengkan circle of impunity (lingkaran pengampunan atau pembebasan hukuman) di Indonesia," kata Sekretaris PBHI Johnson Pandjaitan, dalam siaran persnya.
M
Johnson mengemukakan bahwa pernyataan ini juga sebagai bentuk kepanikan dan ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum dan HAM. Ia berpendapat, Yusril seharusnya bersikap jujur dan tidak menutupi maupun mengeliminir fakta bahwa hingga kini masih terjadi pengingkaran terhadap korban pelanggaran HAM.
Maduna dan semangat rekonsiliasi
LS A
PBHI juga curiga bahwa saat ini Menkeh HAM dan Pemerintah sedang berusaha menyusun sebuah proyek pembebasan hukuman dalam skala besar dengan meniru model transitional justice, sebagaimana yang pernah dijalankan oleh Afrika Selatan.
Afrika Selatan memang contoh terbaik mempelajari KKR, yang di sana disebut TRC (Truth and Rekonciliation Commission). Seperti diberitakan SABnews.co.za, Penuelle Mpapa Maduna adalah icon TRC.
pin gE
Pria kelahiran 29 Desember 1952 itu memang sudah terlibat aktif sejak awal ide rekonsiliasi pasca rezim apartheid Afrika Selatan. Dia ikut dalam tim yang memprakarsai pertemuan Nelson Mandela dengan FW de Klerk--pemimpin Afsel saat itu--yang menghasilkan Record of Understanding pada 26 September 1992. Di lain waktu, ia menjadi satu dari dua tokoh ANC yang menggagas program negosiasi antara para pihak yang bersengketa. Kepeduliannya pada hak-hak dasar dalam semangat rekonsiliasi ia tuangkan dalam buku Fundamental Rights in the New Constitution (bersama Azhar Cachalia, 1994). Peraih gelar PhD di bidang hukum konstitusi ini memang sudah lama dikenal sebagai orang yang berada di balik penyusunan panduan ANC. Tidak aneh kalau kemudian Nelson Mandela mempercayakan sejumlah jabatan kepada Maduna. Mulai dari Deputi Mendagri, Menteri Energi dan Mineral, hingga jadi Menkeh di zaman Presiden Thabo Mbeki.
kli
Prestasi mantan jaksa ini selama di Depkeh patut dijadikan bahan renungan. Dalam laporannya ke Dewan Perwakilan Propinsi--semacam DPR--pertengahan lalu, Maduna menjelaskan bahwa ia telah turun gurung, menyambangi gedung-gedung pengadilan di banyak daerah terpencil. Setelah kunjungan itu, diperoleh kesimpulan: Pemerintah Afsel masih harus membangun 9 pengadilan Magistrates baru dan 39 sistem pelayanan sedang dibangun. Belum termasuk 51 pengadilan di daerah terpencil yang masuk program perbaikan dan pemeliharaan; memperkenalkan 31 unit Pusat Pelayanan Keadilan plus 7 unit yang sedang dibangun; 9 unit Pusat Keamanan Masyarakat. Yang tak kalah penting adalah program sistem pengadilan terpadu. Proyek di Durban, misalnya, berhasil mengelola sekitar 4.500 kasus. Dan lewat program itu, tak ada lagi kasus salah orang dalam praktek pengadilan sejak program perbaikan dilakukan. Nasib RUU KKR
Wacana/artikel KKR_03 16 Spirit rekonsiliasi itulah yang sedang ditawarkan Maduna kepada Indonesia. Masalahnya, proyek KKR bukanlah barang baru yang dibawa Maduna semata. Beberapa tahun lalu, ide ini sudah mencuat. Bahkan pertengahan 2001, Pemerintah Indonesia sempat menerima hibah sebesar AS$7,5 juta dari Inggris. Bukan hanya itu, seorang sumber membenarkan bahwa tim Depkeh dan LSM beranggotakan sekitar 20-an orang sudah berkunjung dua tahun lalu ke Afrika Selatan untuk melihat langsung pelaksaaan KKR. Bahkan dalam catatan hukumonline, sejumlah pengurus TRC--Wim van Zyl dkk--juga berkunjung ke Jakarta dalam rangka sosialisasi. Dengan kata lain, sudah banyak daya, dana, dan waktu yang terpakai untuk merealisasikan ide KKR.
M
Tugas penting KKR antara lain adalah menverifikasi dan mengidentifikasi para korban serta pelaku pelanggaran HAM. Selain itu, selain juga memverifikasi sebab-sebab terjadinya pelanggaran HAM tesebut. Toh, harus diciptakan di atas landasan kebenaran yang didukung oleh bingkai hukum yang kuat dan tangguh.
LS A
Romli Atmasasmita, Kepala Badan Pembinaa Hukum Nasional (BPHN), juga mengatakan bahwa karena tugas KKR yang cukup luas dan peka, KKR perlu dibentuk dengan undang-undang. Selain perlu disahkan oleh DPR, perlu dilakukan konsultasi yang luas dengan seluruh lapisan masyarakat, terutama para korban dan keluarganya. Dengan begitu, KKR akan memperoleh dukungan luas masyarakat, baik pelaku maupun keluarga korban. Celakanya, nasib RUU KKR masih belum menentu. Menurut A. Semendawai dari ELSAM, draf RUU KKR sebenarnya sudah jadi. "Sepengetahuan saya, naskahnya sudah lama selesai," kata Semendai. Bahkan, Departemen Kehakiman sudah menyerahkan draf tersebut ke Sekretariat Negara (Setneg).
pin gE
Seorang sumber hukumonline yang ikut intens menyusun RUU tersebut menguatkan. Katanya, naskah itu belum diserahkan ke Badan Legislasi DPR karena mentok di tangan Setneg. Tertahannya naskah RUU KKR di Setneg lebih disebabkan oleh ketidaksetujuan terhadap sebagian materi yang dianggap krusial. Sumber tersebut mencontohkan aturan mengenai hak reparasi. Berdasarkan aturan RUU KKR, setiap korban berhak mendapat pemulihan, rehabilitasi atau semacam kompensasi. Setneg beranggapan jika hak itu diatur dalam suatu UU, niscaya akan memberatkan APBN. Bayangkan kalau korban G.30.S yang jumlahnya mungkin jutaan meminta hak reparasi. Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Semendawai juga membenarkan. "Konsep itu diyakini Setneg akan membutuhkan dana yang cukup besar," ujarnya. Padahal, lanjut Semendawai, hak reparasi tidak selalu dalam bentuk uang. Tetapi, juga bisa dalam bentuk pengakuan bahwa yang bersangkutan adalah korban masa lalu. Cuma, itu tadi, masih ada rasa keberatan.
kli
Itu sebabnya, masa depan rekonsiliasi nasional belum jelas benar. Aparat hukum pun tampak minim dukungan. Dendam kesumat masa lalu agaknya sulit lekang dari hati setiap orang. Dan kalau kita terus menerus berada dalam tahap belajar KKR, itu berarti tidak ada kemajuan. Kalau kunjungan Dr Penuelle Mpapa Maduna masih dijadikan sebatas belajar KKR dari Afrika Selatan, itu sama saja memulai dari nol lagi alias mundur lagi ke belakang.
Wacana/artikel KKR_03 17 Kompas, Senin, 14 Juli 2003
Penyelesaian Pelanggaran HAM Era Orde Baru Mau ke KKR atau Pengadilan HAM Ad Hoc KEKUASAAN PRESIDEN Soeharto telah secara formal berakhir 21 Mei 1998. Namun, setelah lima tahun berakhirnya kekuasaan Soeharto, pemerintahan transisi post-Soeharto-baik BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri-belum mampu menyelesaikan satu pun berbagai kasus yang dilakukan rezim Orde Baru. Padahal, pelanggaran HAM itu membentang dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua.
M
AHLI politik Samuel Huntington yang mendalami transisi politik di berbagai negara mengakui ada dua masalah pelik yang tidak mudah diselesaikan oleh pemerintahan baru setelah transisi politik. Kedua masalah itu adalah bagaimana pemerintahan transisi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM warisan rezim otoriter dan bagaimana pemerintah baru mengatasi masalah keterlibatan militer dalam politik.
LS A
Alfred Stepan dalam buku Militer dan Demokratisasi, Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain mengungkapkan, sebuah rezim yang berada dalam proses demokratisasi, tingkat kontestasi militer terbuka sangat dipengaruhi oleh sejauh mana terdapat pertikaian besar atau ketidaksepakatan yang mendasar antara militer dalam pemerintahan baru dalam sejumlah isu penting. Salah satu wilayah isu yang mengandung potensi konflik besar ialah bagaimana rezim baru menangani kasus pelanggaran HAM. Dari kajian Stepan di Argentina, Brasil, dan Uruguay, terdapat resistensi militer terhadap pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu. Upaya Presiden Argentina Raul Alfonsin untuk mengadili sejumlah petinggi militer yang terlibat dalam dirty war (perang kotor) mendapat resistensi yang sangat kuat dari militer. Percobaan kudeta berulang kali terjadi, sampai kemudian Alfonsin mundur dari kebijakannya dan menghentikan proses penuntutan.
pin gE
Pengalaman di berbagai negara juga menunjukkan, sebuah perdebatan keras mengenai format penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Diane Orentlichter menggambarkan sebuah pemerintahan transisi dihadapkan pada dilema Hobson’s Choice. Pada satu sisi, pemerintahan transisi diwajibkan oleh hukum internasional untuk melaksanakan proses hukum terhadap pelanggar HAM. Namun, pada sisi lain, kondisi pemerintahannya masih rapuh. Penuntutan terhadap para pelaku pelanggar HAM dikhawatirkan bakal mengganggu stabilitas pemerintahan. Terdapat dua kelompok yang berbeda pandangan. Ada kelompok yang mendukung penuntutan terhadap para pelaku pelanggar HAM, namun kelompok lain lebih mendukung pemberian amnesti demi untuk rekonsiliasi. Bagi kubu yang mendukung penuntutan ke pengadilan mengatakan, kebenaran dan keadilan mengharuskan tindakan penuntutan ke pengadilan.
kli
Rezim pengganti mempunyai kewajiban moral untuk menghukum kejahatan biadab. Namun, kelompok yang menentang menyebutkan, demokrasi harus didasarkan pada rekonsiliasi di antara kelompok-kelompok utama di dalam masyarakat dengan mengesampingkan perpecahan di masa lalu.
Perbebatan antara kelompok pendukung penuntutan ke pengadilan dan kelompok amnesti ini telah menimbulkan sintesa baru, yakni format penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Priscilla Hayner menyebutkan paling tidak sudah 20 negara membentuk KKR untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu. KKR Timtim kini sedang bekerja dan belum merampungkan tugasnya. KKR yang paling populer di Indonesia adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan yang dipimpin Uskup Desmond Mpilo Tutu.
BERBEDA dengan negara-negara lain, baru setelah lima tahun sejak tumbangnya Soeharto, pemerintahan Megawati Soekarnoputri mengajukan sebuah draf Rancangan Undang-Undang (RUU) KKR. Draf RUU itu telah diserahkan kepada DPR tanggal 26 Mei 2003. DPR pun telah membentuk panitia khusus (pansus) untuk membahas RUU KKR. Namun, pembahasan RUU KKR baru akan dilaksanakan setelah Sidang Tahunan MPR. Melalui RUU KKR itu, pemerintahan Megawati akan mengintrodusir sebuah lembaga baru, yakni KKR. KKR ini berfungsi untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia berat dan melaksanakan rekonsiliasi. KKR akan beranggotakan lima belas orang dan akan bertugas selama tiga tahun.
Wacana/artikel KKR_03 18 KKR Indonesia mempunyai tugas untuk menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korban serta melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran HAM berat. Selain itu, memberikan rekomendasi kepada presiden dalam hal permohonan amnesti serta menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi. Ada beberapa pokok pikiran yang melandasi penyusunan RUU KKR. Pertama, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM harus ditelusuri kembali untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran serta menegakkan keadilan dan membentuk budaya menghargai HAM. UU No 26/2000 mulai berlaku 23 November 2000. Kedua, dalam rangka pencarian dan pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM berat perlu dilakukan langkah konkret dengan membentuk KKR.
M
Ketiga, pengabaian tanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU No 26/2000 telah menimbulkan ketidakpuasan, sinisme, apatisme, dan ketidakpercayaan dalam masyarakat terhadap institusi penegak hukum. Akibatnya, negara dianggap memberikan kebebasan dari hukuman kepada pelaku pelanggaran HAM berat.
LS A
RUU KKR tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum, tetapi lebih terfokus pada pengaturan mengenai proses pencarian dan pengungkapan kebenaran, pertimbangan amnesti. Dan, pemberian kompensasi, restitusi, atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sehingga diharapkan akan membuka jalan rekonsiliasi. RUU KKR yang diajukan Presiden Megawati ini memberikan kemudahan bagi para pelaku dan korban yang telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian. Dalam Pasal 27 disebutkan, dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, Komisi memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti.
pin gE
Dalam Pasal 27 Ayat (2) disebutkan, saling memaafkan dan melakukan perdamaian wajib diikuti pengungkapan kebenaran tentang terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang telah dilakukan. Dalam Ayat (3) disebutkan, pernyataan perdamaian dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani kedua pihak dan Ketua Komisi. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim dalam percakapan dengan Kompas beberapa waktu lalu mengungkapkan, kemudahan dalam proses perdamaian dan pemberian amnesti ini perlu dipikirkan secara baik dan dipertimbangkan secara matang. Seorang aktivis HAM dalam sebuah diskusi terbatas di Elsam mengemukakan, KKR Indonesia akan menghadapi resistensi dari militer dan juga korban. Militer tidak mau masalah pelanggaran HAM masa lalu diungkit-ungkit, sementara korban juga menolak kalau pelanggaran HAM yang dialaminya diampuni begitu saja.
kli
RUU KKR sebenarnya merupakan perintah Tap MPR dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 27 UU No 26/2000 disebutkan bahwa "Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undangundang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi."
Rumusan demikian itu menunjukkan ada dua jalur untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Pertama adalah jalur Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam Pasal 43 UU No 26/2000 disebutkan, "Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Adhoc." Dalam Ayat (2) disebutkan, Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Rumusan Pasal 43 UU No 26/2000 itu telah menimbulkan ketegangan antara Komnas HAM, DPR, dan militer berkaitan dengan penyelesaian kasus Trisakti dan Semanggi. Pada satu sisi, DPR mengambil keputusan yang jauh di luar kewenangannya yang mengatakan, kasus Trisakti dan Semanggi bukan pelanggaran HAM berat, sementara Komnas HAM berpendapat bahwa kasus itu adalah pelanggaran HAM berat. Akhirnya, kedua kasus itu mandek dan korban dirugikan. Kedua, jalur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Penyelesaian melalui jalur ini relatif lebih mudah dan tidak memerlukan keputusan politik DPR. KKR Indonesia bisa langsung menerima pengaduan dari masyarakat, menerima pernyataan perdamaian untuk memperoleh amnesti.
Wacana/artikel KKR_03 19 Dua jalur penyelesaian itu harus dipilih salah satu. Apakah akan ke Pengadilan HAM Ad Hoc dengan syarat ada dukungan politik DPR atau ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam Pasal 42 disebutkan, pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad Hoc. Dari kedua undang-undang itu, tampak sekali bahwa upaya untuk menuntut ke pengadilan para pelaku pelanggar HAM berat menjadi lebih sulit karena masih harus menunggu keputusan politik DPR. Pengadilan HAM Ad Hoc tak mungkin terbentuk tanpa ada keputusan politik DPR. Kasus Tanjung Priok dan Timtim bisa digelar setelah ada keputusan politik DPR, sementara kasus Trisakti dan Semanggi I-II tak bisa digelar karena DPR memandang kasus bukan pelanggaran HAM berat. Apakah desain itu menunjukkan arah politik dari pemerintahan Megawati yang cenderung akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui KKR karena persyaratannya yang mudah? Pertanyaan itu masih akan dijawab oleh waktu.
LS A
M
Jika ada dua jalur yang bisa dilalui, lalu di mana letak penyelesaian kasus 27 Juli 1996. Adalah suatu kenyataan bahwa kasus 27 Juli oleh penyidik koneksitas bukan dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, meskipun Komnas HAM mengatakan paling sedikit terdapat lima pelanggaran HAM dalam kasus 27 Juli. Dipilihnya model penyelesaian pengadilan koneksitas merupakan sebuah kemenangan dari militer karena apa pun pengadilan koneksitas/pengadilan militer merupakan hak istimewa militer yang masih bisa dipertahankan oleh militer. Masalah lain yang perlu dipikirkan sehubungan dengan penyelesaian pelanggaran era Orde Baru adalah soal penyelesaian pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. "Masalah pelanggaran hak ekonomi dan sosial seperti kasus penggusuran di Kedung Ombo belum memperoleh jalan penyelesaian.
kli
pin gE
Seharusnya, RUU KKR juga menampung masalah ini," kata Asmara Nababan, mantan Sekjen Komnas HAM. (Budiman Tanuredjo)
Wacana/artikel KKR_03 20 Kompas, Senin, 14 Juli 2003
Kasus 27 Juli 1996 Kebenaran Dua Rezim Presiden Megawati Soekarnoputri mengambil sebuah prakarsa politik yang cukup berarti. Ketua Umum PDI Perjuangan yang pernah menjadi korban rezim otoriter Orde Baru ini memutuskan untuk membuka kembali kasus kekerasan politik yang terjadi tanggal 27 Juli 1996, tujuh tahun lalu. Sebanyak enam terdakwa, satu di antaranya telah meninggal dunia, diajukan ke persidangan koneksitas. PEMBACAAN dakwaan telah dilangsungkan akhir bulan lalu dalam persidangan koneksitas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dan, hari Senin ini, kuasa hukum terdakwa akan membacakan eksepsi atas dakwaan tersebut.
M
Bagi rezim Orde Baru, Peristiwa 27 Juli 1996-yang diawali dengan penyerbuan Kantor DPP PDI dan berdampak dengan kerusuhan sosial di sebagian wilayah Jakarta-telah dinyatakan selesai. Sebanyak 124 orang pendukung Megawati yang bertahan di dalam Gedung DPP PDI divonis hukuman penjara satu hingga empat bulan penjara.
LS A
Militer Indonesia menuduh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dipimpin Budiman Sudjatmiko sebagai dalang kerusuhan sosial setelah penyerbuan Kantor DPP PDI. Namun, dalam proses persidangan, pengadilan sama sekali tak bisa membuktikan bahwa anak-anak muda PRD itu sebagai dalang kerusuhan 27 Juli. Aktivis PRD diganjar hukuman 4 hingga 13 tahun penjara atas tuduhan subversi. Alasannya, dalam AD/ART PRD tak mencantumkan Pancasila sebagai asas partai.
pin gE
Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid dalam penjelasannya kepada perwakilan negara asing di Departemen Luar Negeri tanggal 5 Agustus 1996 menegaskan bahwa Peristiwa 27 Juli 1996 merupakan upaya sekelompok orang untuk menghidupkan kembali faham komunis di Indonesia. Upaya untuk menghidupkan kembali komunisme itu dilakukan dengan menggunakan konflik internal di tubuh Partai Demokrasi Indonesia sebagai "kuda troya". Penggunaan PDI sebagai "kuda troya" adalah karena PDI menyimpan konflik internal yang dapat dieksploitasi dan diprovokasi. Status PDI sebagai lembaga politik formal mengakibatkan kelompok-kelompok yang bermain politik praktis tak dicurigai. Di antara kelompok ekstrem itu adalah PRD dengan berbagai faksinya yang dapat disamakan dengan PKI. Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menuding mimbar bebas yang digelar di halaman Kantor DPP PDI adalah embrio makar terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Sebelumnya, tanggal 19 Juli 1996, Soeharto memanggil sejumlah pembantu militernya untuk membahas mimbar bebas tersebut. Soeharto mengingatkan agar pembantu militer mewaspadai makar. Hingga berakhirnya kekuasaan Soeharto, militer Indonesia sukses membangun sebuah konstruksi teoretis bahwa Peristiwa 27 Juli 1996 adalah sebuah upaya kelompok komunis untuk bangkit kembali di panggung politik Indonesia dengan memanfaatkan konflik internal di tubuh PDI.
kli
Namun, teori yang mau dibangun militer Indonesia soal kebangkitan komunis itu terpatahkan oleh Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang ditandatangani Ketua Komnas HAM Munawir Sjadzali dan Baharuddin Lopa (Sekjen). Komnas HAM, sebuah lembaga yang dibentuk Soeharto, mengatakan, latar belakang peristiwa 27 Juli 1996 tak terlepas dari konflik intern PDI yang menjadi terbuka karena faktor ekstern.
Ketiga unsur yang terlibat adalah unsur pihak yang bertikai: Kelompok PDI Kongres Medan (Soerjadi) dan Kelompok PDI Munas (Megawati), kedua unsur pemerintah dan ketiga unsur masyarakat. Komnas HAM juga menyebutkan sebanyak lima orang tewas, 149 luka-luka baik sipil maupun aparat keamanan, sebanyak 23 orang per tanggal 10 Oktober 1996 hilang. Pengertian hilang adalah belum pulang ke alamat asal, belum dapat dihubungi dalam perjalanan dan/atau kemungkinan meninggal, dan sebanyak 136 orang ditahan.
UPAYA rezim Orde Baru untuk membangun sebuah konstruksi cerita Peristiwa 27 Juli 1996 ini mulai coba "direvisi" secara tanggung oleh pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Langkah Megawati untuk meluruskan sejarah kekerasan politik tanggal 27 Juli 1996 sebenarnya merupakan bagian dari pemenuhan keadilan transisional (transitional justice).
Wacana/artikel KKR_03 21 Upaya pengungkapan kebenaran itu dikatakan "tanggung" karena pemerintahan Megawati ternyata hanya mengajukan pelaku-pelaku lapangan, tanpa menyentuh pejabat- pejabat militer Orde Baru. Pasal yang dituduhkan amat sumir, yakni pasal perusakan yang melanggar Pasal 170 KUHP. Lima terdakwa yang diadili terdiri atas dua personel militer dan tiga orang sipil. Kol CZI (Purn) Budi Purnama (Mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Lettu Inf Suharto (mantan Komandan BKI-C Detasemen Intel Kodam Jaya) adalah dua anggota militer yang dimintai pertanggungjawaban. Sedang tiga orang sipil adalah Mochamad Tanjung (buruh), Jonathan Marpaung (wiraswasta), dan Rahimmi Ilyas (karyawan ekspedisi). Seorang lagi, Djoni Moniaga, seorang buruh, yang diajukan juga sebagai terdakwa, telah meninggal dunia. Persidangan kasus 27 Juli 1996 ini menimbulkan protes dari keluarga korban Kasus 27 Juli. Dalam persidangan pertama, keluarga korban kasus 27 Juli menilai persidangan itu hanyalah sandiwara.
M
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Trimedya Panjaitan mengharapkan agar persidangan koneksitas yang dipimpin Hakim Ny Rukmini mampu untuk mengungkap otak di balik penyerbuan Kantor DPP PDI. "Janganlah persidangan kasus itu hanya sebagai pelipur lara bagi para korban," kata Panjaitan.
LS A
Dalam dakwaan yang disusun Jaksa Penuntut Umum Bastian Hutabarat tampak sekali adanya keterlibatan pejabatpejabat militer Orde Baru dalam pengambilalihan Kantor PDI. Namun, juga tampak ada upaya untuk melokalisir pihak- pihak yang terlibat dalam kasus tersebut. Hutabarat menyebutkan bahwa untuk mengambil alih Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58, Ketua Umum DPP PDI Hasil Kongres Medan Soerjadi menunjuk Alex Widya Siregar (pengurus PDI) untuk mengambil alih kantor. Alex kemudian berkoordinasi dengan Brigjen Zacky Anwar Makarim (salah seorang direktur di Badan Intelijen ABRI).
pin gE
Terjadi serangkaian pertemuan di Hotel Sunter dan Holiday Inn yang dilakukan petinggi militer Kodam Jaya dengan fungsionaris PDI Soerjadi. Pejabat militer Kodam Jaya dalam dakwaan jaksa terlibat secara aktif dalam pengumpulan massa. Massa dikumpulkan dan diberi tahu untuk dipekerjakan di Proyek Sirkuit Sentul yang kemudian dibelokkan untuk mengambil alih Kantor DPP PDI. Massa yang didatangkan dari Cengkareng dan Pasar Induk Kramat Jati dikumpulkan di Gedung Arta Graha sejak 26 Juli 1996. Sabtu, 27 Juli 1996, pukul 04.00, massa yang berjumlah sekitar 1.000 orang dibagikan kaus warna merah bertuliskan "Kongres IV Medan" dan pengikat kepala. Letkol Budi Purnama, Lettu Suharto, saksi Kolonel Haryanto, dan beberapa orang lain memberikan pengarahan. "Bubarkan mimbar bebas dan ambil alih Kantor DPP PDI yang ditempati pengurus DPP PDI Pro-Megawati Soekarnoputri, kita membela negara dan berjuang untuk pemerintahan yang sah dan kalian tidak usah takut." Massa berangkat dari Arta Graha menuju Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Letkol Budi Purnama, Lettu Suharto, Kolonel Haryanto, dan Serma Ratiman mengikuti massa dengan mobil mereka sendiri.
kli
Setibanya di Kantor PDI, massa diperintah untuk menyerbu dan melempari ke arah gedung. Dalam dakwaannya Jaksa Bastian Hutabarat mengatakan, "Pada saat massa dengan atribut pro-Soerjadi melakukan penyerangan, Mayjen Sutiyoso, Mayjen Hamami Nata, Letkol Abubakar, Letkol Zulkarnaen Effendi, Mayor Pol R Sumaryo, dan Letkol Tritamtomo berada di tempat kejadian." Jaksa tak menjelaskan lebih jauh peranan mereka. DAKWAAN yang diajukan Jaksa Bastian Hutabarat sangatlah sederhana, terlebih jika dikaitkan dengan persaingan politik di sekitar pembantu Soeharto, menyusul terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI. Persaingan politik antara Soeharto dan para pembantu militernya dengan faksi lain dalam tubuh militer yang berpihak pada Megawati Soekarnoputri sama sekali tak tercermin dalam dakwaan tersebut. Pertemuan di rumah Soeharto yang dihadiri para pembantu militer Soeharto tanggal 19 Juli 1996 sama sekali tak disentuh. Analis politik Harold Crouch dalam buku Peristiwa 27 Juli yang diterbitkan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) menyebutkan, kekhawatiran Soeharto atas tampilnya Megawati Soekarnoputri harus dilihat dari segi budaya politik orang Jawa, khususnya generasi tua. Dalam sistem politik tradisional Jawa, seorang Sultan membutuhkan dukungan bulat dari rakyatnya. Jika dukungan tidak bulat, maka negara dianggap dalam keadaan bahaya dan kedudukan Sultan terancam. Dalam perspektif itu, Megawati dianggap sebagai pesaing Soeharto.
Wacana/artikel KKR_03 22 Mantan Kepala Staf Umum ABRI Letjen Soeyono dalam bukunya, Bukan Puntung Rokok, mengungkapkan teori pertarungan srikandi kembar yang melatarbelakangi penyerbuan Kantor DPP PDI. Soeyono yang diberhentikan sebagai Kepala Staf Umum ABRI beberapa hari setelah meletusnya Peristiwa 27 Juli menyebutkan, "Srikandi Kembar" merupakan persaingan di antara dua wanita yang sedang berebut panggung politik, yaitu Siti Hardiyanti Indra Rukmana (Mbak Tutut) dari Golkar dan Megawati Soekarnoputri dari PDI. Tutut adalah putri Soeharto yang berkuasa saat itu, sedangkan Megawati adalah putri Soekarno, presiden pertama dan proklamator. Persaingan dua srikandi kembar ini telah mengakibatkan pejabat pemerintah dan ABRI terlibat dalam intrik pro dan kontra serta friksi yang tajam. Secara moral, jelas Megawati lebih unggul, tetapi politik kekuasaan lebih banyak berpihak kepada Tutut.
M
Dalam bukunya, Soeyono mengatakan, "Yang pasti tidak mungkin ada dua mawar yang mekar bersamaan. Tidak boleh ada dua srikandi yang mentas bersamaan di panggung politik Indonesia." Menurut dia, "Pengambilalihan Kantor PDI tanggal 27 Juli 1996 merupakan klimaks dari upaya menggembosi pamor Megawati dan menaikkan popularitas Mbak Tutut."
LS A
Persaingan dua srikandi kembar itu telah membuat persaingan di tubuh ABRI. Setelah pecahnya kerusuhan tanggal 27 Juli, Soeharto melakukan konsolidasi di tubuh militer. Kepala Staf Umum ABRI Letjen Soeyono, Kepala BIA Mayjen Syamsir Siregar, dan Wakil Kepala BIA Brigjen Achdari diberhentikan. Soeyono digantikan Tarub dan Syamsir digantikan Farid Zaenuddin. Syamsir Siregar merasa tidak senang dengan pemberhentian dirinya. "Yang paling tidak saya senangi, saya dibilang mendalangi pembakaran Jakarta. Padahal, justru kami yang menangkapi orang- orang PRD," kata Syamsir dalam buku Bukan Puntung Rokok. Ketika kekuasaan Soeharto berakhir, pejabat militer Orde Baru itu saling menuding dan melepaskan tanggung jawab. Mantan Pangdam Jaya Letjen (Purn) Sutiyoso termasuk yang dituduh harus bertanggung jawab atas pengambilalihan kantor tersebut.
pin gE
Dalam bahan konferensi pers tertulis yang disiapkannya, Sutiyoso secara tak langsung tidak membantah bahwa ia harus bertanggung jawab. Namun, Sutiyoso mengatakan, "Akan sangat tragis dan bertentangan dengan rasa keadilan jika risiko akibat kebijakan politik elite penguasa (pemerintah pusat dan komponen pendukungnya) semata-mata hanya menjadi tanggung jawab institusi dan orang per orang, pada level pelaksana operasional pemerintahan di tingkat bawah." Sutiyoso juga tidak membantah bahwa ia berada di lokasi kejadian. "Saya mengetahui pertama kali kejadian itu dari Kolonel Tritamtomo selaku Komandan Sektor I Pengamanan Jakarta Pusat dan Jakarta Timur yang berada di Posko Kodam Jaya," ujarnya. Sutiyoso kemudian turun langsung ke lokasi."Itu keharusan dalam kepemimpinan ABRI. Dalam situasi genting, komandan harus berada di tempat kejadian. Jadi, keberadaan saya di tempat kejadian jika dilihat dari sifat dan prinsip kepemimpinan TNI, tak ada yang aneh," tulis Sutiyoso.
kli
PANGGUNG untuk mengungkap kebenaran telah digelar. Rezim Megawati mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan kebenaran akan peristiwa 27 Juli 1996 yang sampai sekarang masih merupakan sebuah peristiwa yang tak terungkap dan bagian dari sejarah yang tak diketahui, tersembunyi, dan penuh dengan rahasia. Persidangan koneksitas kasus 27 Juli merupakan sebuah panggung untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dalam kekerasan politik yang ikut memicu berakhirnya kekuasaan Soeharto. Panggung itu juga merupakan peluang bagi mantan Pangdam Jaya Sutiyoso untuk menjelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan "akibat aliran kebijakan politik elite penguasa". Juga bagi mantan Kepala Staf Umum ABRI Soeyono dan mantan Kepala Sospol ABRI Syarwan Hamid untuk mengungkapkan kebenaran kasus tersebut. Menurut Priscilla Hayner, rekonsiliasi tak mungkin bisa dicapai jika masih terlalu banyak versi kebenaran. Ada kebenaran versi Orde Baru, ada kebenaran versi Soeyono, ada kebenaran versi Syarwan Hamid, ada kebenaran versi Megawati. Upaya untuk mendekatkan fakta-fakta atas suatu kejadian yang mendekati kebenaran akan memudahkan bangsa ini menuju sebuah rekonsiliasi.Mampukah pengadilan koneksitas melakukan tugas itu? Hal tersebut sepenuhnya tergantung dari kemauan para pelaku di panggung pengadilan. Akan sangat lebih baik kalau putusan-putusan pengadilan mampu berfungsi sosial dengan mengungkap kebenaran secara lebih mendalam, bukan hanya sekadar membuktikan pasal-pasal dakwaan. (Budiman Tanuredjo)
Wacana/artikel KKR_03 23 Kompas, Jumat, 18 Juli 2003
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Mencari Sang Farmakos
Oleh Eddie Riyadi Terre SETELAH ditunggu sekitar tiga tahun, Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dikirim Presiden Megawati Soekarnoputri ke DPR, 26 Mei 2003. DPR lalu membentuk Pansus RUU KKR pada 9 Juli 2003.
M
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), sebuah lembaga ekstra yudisial, merupakan bagian dari amanat reformasi yang tertuang dalam Tap MPR No V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Menurut Tap MPR itu, tugas komisi tersebut adalah menegakkan kebenaran dengan mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM masa lampau. Selain itu, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 47 Ayat (1) dan (2) juga mengamanatkan hal yang sama.
LS A
Dari pemberitaan terkesan, bagi DPR, komisi ini dibentuk untuk memenuhi amanat hukum semata. Sementara bagi hukum itu (Tap MPR), komisi ini tidak lebih sebagai alat untuk menjaga keutuhan bangsa. Lalu, di mana penghormatan terhadap harkat dan martabat korban? Ke mana raibnya semangat keadilan? Tulisan ini mengajak pembaca keluar dari konteks (supremasi) hukum semata. Kita tempatkan bahasan pada cita-cita penegakan keadilan yang memadat dalam konsep hak asasi manusia (HAM) sebagai mentarinya dan demokrasi sebagai rembulan. Inilah perspektifnya. Namun, proses yang merangkak-rangkak selama ini, sedikit banyak membuat semangat dan roh komisi ini menguap dari opini dan kesadaran publik. Ia datang lalu disambut sebagai "jabang" baru lagi. Karena itu, amat penting untuk menyegarkan kembali, terutama soal signifikansi komisi ini.
pin gE
Pertanyaan soal signifikansi ini tidak lagi berkutat tentang konsep dan asumsi teoretis di belakang gagasan pembentukan komisi. Ia lebih menjawab pertanyaan pragmatis dan praktis. Memang, tetap ada paradigma yang mengawalnya agar tidak salah arah dan linglung saat bertemu tembok konseptual yang berseliweran seputar wacana keadilan, demokratisasi, rule of law, dan HAM. Secara runut akan dilihat kembali mengapa kita butuh komisi ini, soal konteksnya, soal signifikansinya. Pertanyaan ini dengan sendirinya mengharuskan kita mengurai "nilai lebih" dan "tawaran khusus" komisi ini di tengah menjamurnya lembaga semacam itu di negeri ini. Tentu juga soal hubungan dan kompatibilitasnya dengan pilihan lain, yaitu pengadilan. Ini penting untuk membangun kembali kepercayaan publik atas pengalaman buruk Pengadilan HAM Ad Hoc yang telah berlalu tanpa membawa hasil apa-apa. Konteks dan signifikansi
kli
Konteks pembentukan KKR, mengacu Bronkhorst (1995), adalah transisi dari rezim otoriter ke rezim demokratis. Bronkhorst sendiri menambahkan dua jenis transisi lain: modernisasi dengan liberalisasi pasar tanpa diikuti pemberdayaan politik bagi rakyat (contoh Korea Selatan), dan transisi yang tidak lebih dari jeda sementara antara suatu situasi perang ke perang berikut, dari suatu rezim represif atau diktator ke rezim serupa berikut seperti terjadi di Angola dan Somalia tahun 1990-an. Untuk transisi menuju demokratisasi ini, Huntington (1991) membaginya atas tipologi: transformasi, penggantian (replacement), negosiasi (transplacement), dan intervensi. Transisi demikian, entah tipologi pertama, kedua, atau lainnya, mengimplikasikan pertanyaan soal sikap (responsibility) negara terhadap masa lalunya. Menurut Mary Albon, pertanyaan soal sikap ini mengandung dua isu kunci: pengakuan (acknowledgement) dan pertanggungjawaban (accountability). Pengakuan mengandung dua pilihan: "mengingat" atau "melupakan". Akuntabilitas menghadapkan kita pada pilihan antara melakukan "prosekusi" atau "memaafkan". Persoalannya, mengutip Hannah Arendt (1958), bagaimana kita bisa memaafkan apa yang tak dapat dihukum? "Men are not able to forgive what they cannot punish" (kita tak bisa mengampuni apa yang tak dapat kita hukum). Demikian juga, bagaimana kita bisa melupakan apa yang tak pernah dibuka untuk kita ingat bersama? Reformasi kita adalah transisi menuju demokrasi. Mengingkari hal ini berarti mengkhianati perjuangan mahasiswa yang rela meninggalkan tugas utamanya di ruang kuliah. Lebih jauh, mengingkarinya berarti mengkhianati rakyat
Wacana/artikel KKR_03 24 yang sudah lebih dari 30 tahun hidup dalam tawanan rezim otoriter. Mengingkari berarti mengkhianati masa depan bangsa yang mencita-citakan tatanan hukum dan politik yang adil dan demokratis. Jelaslah signifikansi pembentukan komisi ini sekarang. Ia bukan sekadar alternatif pengadilan HAM (Ad Hoc), tetapi sebagai kawan seperjalanan. Ia merupakan upaya kunci yang di dalamnya kental perspektif HAM dan paradigma humanis yang mengedepankan kepentingan para korban di satu sisi dan menyelamatkan kehidupan masyarakat umum di sisi lain. Ia merupakan wahana untuk menerapkan konsep keadilan yang restoratif dan reparatif di satu sisi dan konstruktif di sisi lain.
M
Ia mengimplikasikan konsep keadilan yang keluar dari pakem klasik khas Aristotelian (keadilan komutatif/kontraktual, distributif, korektif, dan punitif) dan pakem Rawlsian-Habermasian yang menumbuhkan keadilan di atas kesetaraan (justice as fainess) yang hanya dapat diterapkan dalam situasi normal yang makin jauh panggang dari api kini. Ia memperkenalkan konsep keadilan progresif yang, mengikuti Ruti G Teitel (2000), mengedepankan penghukuman kejahatan (keadilan kriminal), pembongkaran sejarah (keadilan historis), pengutamaan dan penghormatan terhadap korban (keadilan reparatoris), pembenahan serta pembersihan sistem penyelenggaraan negara (keadilan administratif), dan perombakan konstitusi (keadilan konstitusional). Keadilan demikian ditegakkan di atas prinsip rule of law, kedaulatan rakyat atau legitimasi demokratis yang mengedepankan hukum, dan bukan sekadar rule by law, kedaulatan hukum yang belum tentu demokratis.
LS A
Jadi, keliru anggapan bahwa pembentukan komisi ini hanya memperbanyak daftar komisi di negeri ini. Keliru pula bila ada kecurigaan ia hanya sebuah usaha parsial dan mengada-ada. Lebih keliru lagi bila ada sinisme ia hanya memperpanjang rantai impunitas atau sebaliknya hanya akan menyeret dan memadati penjara dengan semua orang bersalah di masa lalu.
pin gE
Mengikuti Luc Huyse (1995), truth is both retribution and deterrence, kebenaran selalu bermakna sebagai dera penghukum dan penggentar. Selain itu, dalam spektrum retribusi-rekonsiliasi, responsibilitas atau sikap ideal yang kita ambil adalah selective punishment, model yang mengedepankan penagihan tanggung jawab formal atau legal secara selektif. Hemat saya, tipologi transisi kita adalah replacement (penggantian) yang diinisiatifi rakyat sendiri, yang cocok dengan model selektif ini. Kendati kalau mengacu pada penyerahan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie seolah kita bertipologi transformasi (diinisiatifi pemerintah), tetapi pergantian itu pun atas desakan rakyat, dan terutama mahasiswa. Contoh yang mengikuti model ini adalah Yunani dan Etiopia. Nilai lebih dan kompatibilitas
Mengacu pada wawasan yang diketengahkan Teitel, jelaslah kini nilai lebih komisi ini dibanding berbagai institusi transisional lain, bahkan dengan pengadilan HAM (Ad Hoc) sekalipun. Komisi ini hadir untuk menangani masa lalu, tetapi berimplikasi pada masa kini dan masa depan negeri ini. Semangatnya adalah reflektif- responsif sekaligus restoratif- rekonstruktif. Upayanya untuk membongkar masa lalu bukan demi masa lalu itu sendiri. Begitu juga upayanya mengonstruksi masa depan tidak dengan mengingkari sejarah masa lalu. Setelah waktu diberi ruas dan ditempatkan dalam ruang, maka upaya kemanusiaan tak pernah lepas dari ketiga ruang waktu itu.
kli
Komisi ini mengemban tugas mulia membangun dan mendefinisikan kembali hakikat kita sebagai negara dan bangsa. Komisi ini membawa kita melihat Indonesia tidak sekadar sebagai "yang dibayangkan" saja. Lalu, apa tawaran khusus atau nilai lebihnya dibandingkan dengan pengadilan HAM Ad Hoc? Bukankah keduanya sama-sama mengurus kejahatan masa lalu negeri ini? Bagaimana kompatibilitasnya? Komisi ini tidak sekadar berdimensi lintas ruang dan waktu dalam menangani kejahatan masa lalu. Ia merupakan institusionalisasi pemikiran yang paradigmatis dalam memandang keadilan di masa transisi. Kalau pengadilan hanya menekankan aspek pro yustisia dan penuntutan, maka komisi ini bergerak lebih jauh dari itu. Kalaupun pada akhirnya ada rekomendasi untuk penuntutan dari komisi ini, itu dipandang tidak sebagai hal yang sudah seharusnya dari kerjanya yang komprehensif itu. Demikian juga kalau pada akhirnya ada rekomendasi pengampunan, itu merupakan buah dari pergulatan kerja komisi yang mempertimbangkan keselamatan semua generasi dalam tiga ruang waktu itu. Pada akhirnya, kita menangkap pesan sentral dari kerja komisi yang sarat beban ini, yaitu bahwa upaya apa pun di negeri yang bahkan paling demokratis sekalipun, selalu merupakan upaya menuju masyarakat komunikatif yang mengedepankan dialektika dan semangat dialogis. Keadilan dalam ruang dan waktu selalu bersifat kontingen dan negotiable. Amnesti dan sang farmakos
Wacana/artikel KKR_03 25 Ada ungkapan klasik yang menunjukkan bahayanya amnesti ataupun impunitas itu: impunitas semper ad deteriora invitat, impunitas selalu "mengundang" kejahatan yang lebih besar. Saya memandang, tanpa terjebak dalam pragmatisme, penentu pilihan dan keputusan atas isu ini bergantung pada pertanyaan: apa asumsi perlu dan asumsi cukup bagi sebuah pilihan? Dengan kata lain, apa signifikansinya bagi perjuangan demokratisasi yang di dalamnya sine qua non tersemai cita-cita penegakan keadilan dan pemuliaan HAM atau pemuliaan martabat manusia? Pertanyaan ini ingin menghindari perdebatan melelahkan yang mengacu pada teori abstrak dan besar yang melatarbelakangi pilihan amnesti atau tidak.
M
Kalau ada rekomendasi amnesti, itu bukanlah berangkat dari ketidakberdayaan menegakkan keadilan. Kalau ternyata memberikan amnesti akan menjamin selamatnya demokrasi masa depan di satu sisi dan terpenuhinya rasa keadilan para korban di sisi lain, maka pertanyaannya adalah "mengapa tidak?" Tentu saja amnesti yang saya maksudkan di sini bukanlah blanket amnesty atau general amnesty, melainkan selective amnesty. Sebaliknya juga, jika amnesti bahkan yang selektif sekalipun ternyata hanya menambah rasa ketidakadilan bagi para korban di satu sisi dan tidak menyumbang apa-apa bagi upaya demokratisasi, maka suka tidak suka, ia tak boleh diberikan.
LS A
Sekarang ada simtom kembalinya rezim lama ke tampuk kekuasaan. Kesepakatan politik antara kekuatan demokratis dan otoriter semakin sulit digapai. Kekuatan tawar masyarakat sipil makin melemah seiring menguat kembalinya militer. Tuntutan untuk menghukum pelaku tampak sebagai upaya yang membabi buta sekarang ini. Tetapi, kalau amnesti diberikan gara-gara itu, untuk apa komisi ini dibentuk? Komisi ini harus menegaskan bahwa pemberian amnesti memang merupakan salah satu bagian dari upaya komprehensif penegakan keadilan dan demokratisasi. Bukan karena menyerah tanpa syarat kepada kekuatan otoriter yang sedang kembali itu. Kalau komisi tidak bisa menunjukkan itu, maka kita terpaksa mengulang dari awal lagi kisah reformasi yang bermula secara signifikan sejak 1998 itu.
pin gE
Pengadilan HAM Ad Hoc gagal memenuhi harapan penegakan keadilan di masa transisi ini. Jika komisi ini kita pandang sebagai bentuk lain dari pengadilan, maka jangan heran kalau kita akan menemui kekecewaan yang sama. Bagi saya, komisi ini justru menjadi pemandu kita mencari sang Farmakos. Farmakos (Pharmakos-Yunani) adalah penjahat atau pengacau yang menyebabkan kerusuhan dan disharmoni sosial. Farmakos adalah racun sosial. Masyarakat hanya menjadi sembuh dengan mengarak sang Farmakos itu keliling kampung untuk menyerap berbagai noda dan kejahatan yang telah disebabkannya, sebelum dibawa ke tiang gantungan. Masyarakat menjadi sembuh kembali. Farmakos menjadi obat sosial. Ia menjadi racun sekaligus obat. (Istilah "farmasi" dalam dunia medis berasal dari praktik Yunani kuno ini). Namun, dalam praktiknya kemudian oleh bangsa Athena, dan hingga sekarang oleh masyarakat modern, Farmakos ini kemudian berubah menjadi kambing hitam semata; sang Farmakos bukan lagi penjahat yang sebenarnya, tetapi kambing hitam yang dianggap sebagai biang keladi sekaligus diharapkan menjadi penyembuh kekacauan sosial.
kli
Praktik yang diemban komisi ini adalah jenis yang pertama, mencari sang Farmakos, bukan yang kedua, yang justru sering dipraktikkan rezim otoriter yang kita tentang. Barangkali tidak untuk dibawa sampai ke tiang gantungan, tetapi minimal masyarakat, terutama korban, mendapatkan haknya untuk mengetahui kebenaran di samping kedua hak lainnya, berupa right to justice dan right to reparation. Ketiga hak ini adalah hak utama dalam perspektif keadilan transisional. Pengembangan ketiganya secara optimal akan "mengesahkan" dan menjamin benarnya penambahan kata "rekonsiliasi" di belakang nama Komisi Kebenaran ini. Eddie Riyadi Terre Koordinator Lingkar Studi, Pemerhati Masalah Transitional Justice dan staf Elsam
Wacana/artikel KKR_03 26
Kompas, Sabtu 19 Juli 2003
Geliat Cendekiawan dalam Cengkeraman Neo-Fasisme Orde Baru Judul Buku : Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru Penulis : Daniel Dhakidae Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003 Tebal : xxxviii + 790 halaman < : p>
M
GAMBARAN tentang kekuasaan-yang pencemburu, ganas, dan terus haus dalam nafsu ingin hadir dan berdaulat dalam setiap ruang kehidupan-disajikan oleh Daniel Dhakidae secara sangat memikat, baik dari substansi yang dipilih, kedalaman, dan ketajaman analisis yang dibuat, maupun olah-bahasa yang dipakai dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.
LS A
D>small 2small 0< memanfaatkan kerangka pikir Foucaultian yang sangat menekankan pentingnya peneropongan realitas sebagai sesuatu yang terus bergerak dalam proses relasional dialektis, Dhakidae menggeledah-periksa ruang bawah tanah dan loteng yang penuh sarang laba-laba di mana bertebaran dokumen tentang cengkeraman kuku rezim Orde Baru dan kiprah-geliat perlawanan para cendekiawannya. Kaum cendekiawan dan wacana politik publik
pin gE
Jenis geliat cendekiawan yang diperiksa buku ini adalah wacana politik publik, public political discourse, yang dilontarkan oleh para cendekiawan dalam publik. Konsisten dengan garis Foucaultian, Dhakidae menolak untuk mengerangkeng pengertian cendekiawan dan kecendekiaan dalam suatu sangkar definisi. Ia cenderung melihat dua hal itu sebagai suatu "…relasi dalam suatu medan-medan sosial, medan ekonomi, medan sastra, medan politik-dengan titik berat diberikan pada produksi wacana, pertikaian wacana, pergantian wacana, dan kembali kepada formasi wacana baru lagi" (xxviii).< dan dalam> Demikian pula karena pelekatan sifat publik pada wacana politik para cendekiawan, Dhakidae menolak untuk masuk ke wilayah pribadi seperti: ciri-ciri pribadi, kecenderungan pribadi, ataupun hal-hal yang terjadi di belakang layar publik. Karena itu, ia tidak menganggap perlu untuk melakukan cek silang antara temuannya dengan para pelaku sejarah masa Orde Baru yang sebagian besar masih hidup. Pengecekan silang adalah upaya untuk mempengaruhi, memberi warna atas sedimen yang disebut teks. Itu ditolaknya.
kli
Kecenderungan yang sama kembali terlihat ketika Dhakidae mengabaikan peran ilmuwan yang diduga sebagai "penulis hantu" pidato Adam Malik, yang melontarkan kritik terhadap ilmu-ilmu sosial dan para ilmuwannya dalam pertemuan HIPIIS, Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial, yang sangat bersejarah tahun 1977 di Manado. Dia pun menolak mencari penulis hantu pidato Soeharto dalam Kongres HIPIIS 1998 di Medan. Fakta bahwa pidato tersebut menjadi public discourse jauh lebih penting dibandingkan siapa penulis pidato "sesungguhnya", yang secara publik hilang dalam kegelapan sejarah. Buku ini "…memeriksa berbagai instansi dan kesempatan di mana kekuasaan menunjukkan dirinya dalam berbagai bidang pada masa Orde Baru dan memeriksa bagaimana semuanya berinteraksi satu dengan yang lain" (hal 65) di mana "…terjadi pertarungan yang tidak habis-habis antara totalisasi kekuasaan dengan perlawanan terhadapnya; kekuasaan yang merumuskan wacana dan perlawanan yang merumuskan wacana tandingan; perlawanan yang diberikan dan ancaman yang diterima dan pembinasaan yang dikerjakan kekuasaan" (hal 65-66). Penggerak utama, prime movers, the underlying forces, sekurang-kurangnya ada tiga, yaitu: modal, kekuasaan dan kebudayaan, dan konflik, serta pertentangan yang dirangsang, dikembangkan dalam ruang publik oleh kaum cendekiawan yang terikat pada ketiga hal tersebut…" (xxxi). Gulungan-utama, the main thread, dari organisasi buku ini berputar di sekitar proses totalisasi kekuasaan (negara dan modal) yang semakin ganas dalam upayanya membangun suatu formasi wacana dominan di satu pihak dan pihak lain muncul geliat cendekiawan dalam tiga bentuk: pertama, penghambaan hampir total oleh intelektual tukang; kedua, subversi dari dalam sistem oleh para intelektual yang memilih berpikir positif dan bergabung dengan rezim; dan ketiga, perlawanan total dari luar sistem oleh tukang intelektual yang yakin mereka harus berperan
Wacana/artikel KKR_03 27 maksimal secara Bendais, yaitu membela nilai-nilai abadi seperti kebenaran dan keadilan tanpa pamrih dan tanpa menanam kepentingan diri sendiri. Konsekuensinya, buku ini diurutkan dalam suatu pembabakan yang konsisten dengan alur pikiran tersebut. Totalisasi kekuasaan Bertolak dari keyakinan bahwa sejarah dapat dijadikan acuan untuk mengritik realita masa kini, Dhakidae berusaha memperlihatkan bahwa sesungguhnya rezim Orde Baru setali tiga uang dengan Pemerintah Kolonial Belanda masa politik etis. Kedua rezim ini pada awalnya bertolak dari niat luhur untuk memperbaiki kehidupan rakyat, sesuatu yang bisa disebut sebagai humanisme, humanisme politik etis dan humanisme pembangunan. Namun, seiring perjalanan waktu, mereka semakin menjauh dari tujuan semula.
M
Dalam upaya memperkuat cengkeraman kekuasaan atas pribumi, pemerintah kolonial melihat kebutuhan membangun suatu formasi wacana dominan: Inlander-Nederlander. Dengan tetap menjaga batas antara keduanya, para kawulo Inlander dibuat berpikir bahwa mereka hanya mungkin maju, sejahtera, dan berjaya bila mereka tetap dalam kerangka Nederland Raya.
LS A
Orde Baru sebagai suatu rezim yang sama dan sebangun dengan rezim kolonial, diperlihatkan lebih brutal dari rezim kolonial, seperti dipaparkan dalam Bab Tiga. Rezim Orde Baru adalah suatu bentuk Neo-Fasisme Militer dengan terpenuhinya hampir semua unsur yang dapat dipikirkan menjadi ciri-ciri khas dari fasisme, antara lain: adanya sebuah ideologi yang sakral mendekati bahkan melampaui sifat agama; adanya seorang pemimpin yang terus mengkonstruksikan diri sebagai pihak yang penuh karisma; dan adanya sebuah mesin organisasi politik seperti Golkar yang dahsyat lengkap dengan organisasi paramiliter dan preman politiknya.
pin gE
Rezim ini dimulai dengan peristiwa 1 Oktober 1965. Setelah dalam bagian akhir dari bab sebelumnya, Dhakidae telah menyemai pemahaman bahwa polarisasi Cendekiawan Kanan, Manikebu, Kiri, dan Lekra sudah kokoh mengendap dalam pertandingan diskursif era 1960-an (hal 181-192). Peristiwa ini terbukti merupakan kesempatan emas yang telah lama ditunggu pihak militer dalam perjalanannya menuju kekuasaan. Intelektual tukang dan tukang intelektual
Kepengapan dan kesesakan yang diakibatkan oleh agresivitas rezim Orde Baru berlangsung demikian efektif baik dengan kebengisan maupun dengan kesejukan rayuan jabatan dan materi. Semuanya ditunjang oleh pemanfaatan teknologi bahasa yang ampuh. Teknik kekuasaan seperti memakai akronim/penyingkatan bahasa, eufemisme/penghalusan bahasa, dan disfemisme/pengkasaran bahasa, seperti memberi cap dan langsung menuduh, seperti "Saudara adalah PKI, atau GPK, atau OTB", dan lain-lain menjadi alat ampuh Orde Baru. Semuanya berjalan sedemikian rupa sehingga para cendekiawan, sesuai dengan posisi dan relasi masing-masing dengan kekuasaan dan modal, dibuat menggeliat di sela-sela cengkeraman kuku rezim ini.
kli
Geliat cendekiawan kanan diperagakan dalam beragam wujud wacana politik publik, public political discourse, dan di sana kelihatan bahwa secara perlahan semakin melemah dalam perlawanan, namun secara pasti menerima wacana politik Orde Baru dan semakin membudak pada kekuasaan maupun modal. Beberapa contoh dapat ditunjuk: dunia penelitian, organisasi kecendekiaan, seperti ISEI, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, dan HIPIIS, Universitas, Pers, MUI, CSIS, Center for Strategies and International Studies, dan dalam arti tertentu jurnal Prisma.
Akan tetapi, ada juga sedikit geliat dalam bentuk resistensi terhadap wacana Orde Baru yang berkembang cepat menjadi teriakan dalam kesepian. Namun, pemadaman perlawanan tersebut menyebabkan mereka terkulai dan matisecara fisik dan intelelektual-dalam kesunyian akibat penculikan rahasia yang begitu berkembang dalam Orde Baru. Nama-nama bisa disebut di sini seperti kelompok diskusi di luar kampus, aktivis NGO dan NGI, nongovernmental intellectuals, pemikir-pemikir muda cemerlang dari jemaah NU, Wiji Thukul, Nuku Suleiman, Sandyawan, Budiman Sudjatmiko, Marsinah, dan Udin. Pada umumnya mereka yang disebut belakangan ini disikapi dan diperlakukan sebagai "Cendekiawan Kiri". Semuanya bisa direntang dalam satu kontinuum antara jenis relasi "intelektual tukang" sampai "tukang intelektual". Yang pertama sudah direduksi kadar kecendekiaannya menjadi sekadar alat/tukang teknis dari kekuasaan dan modal dengan otonomi yang mendekati titik nadir. Yang kedua merujuk kepada mereka yang terus menjadikan kerja kecendekiaan kepedulian utamanya dan terus berurusan dengannya. Otonominya nyaris penuh karena berhasil lolos dari cengkeraman rezim dan karena itu berada di luar sistem.
Wacana/artikel KKR_03 28 Keberadaan cendekiawan pada sejumlah jenis relasi yang dapat dibayangkan di antara dua kutub kontinum relasi tersebut di atas tidaklah ajek karena setiap jenis relasi itu terus bergerak dalam arus proses interaksi dialektik segi tiga antara modal, kekuasaan, dan kebudayaan. Semua kenyataan itu menunjukkan betapa cendekiawan dan kecendekiaan adalah "…relasi yang dihasilkan, karakter yang tampak, dan peran yang dimainkan serta kekuasaan yang ditunggangi dan kekuasaan yang dihasilkan untuk membentuk suatu political discourse oleh kaum cendekiawan itu" (xxxi). Semua ini berlangsung dalam suatu konfigurasi tatanan kemasyarakatan yang lebih luas dalam jangka-waktu tertentu di mana turut tegak terpacak berbagai enabling systems dan constraining systems yang turut mempengaruhi proses dimaksud. Struktur memfasilitasi proses dengan cara meminjam tangan para aktor sejarah yang bermodalkan posisi dalam relasi struktural guna mengaktifkan suatu proses tertentu yang pada gilirannya kembali mengeras menjadi struktur relasional dalam suatu siklus proses sejarah yang terus berputar dan berkembang semakin kompleks.
LS A
M
Tatanan relasi dialektik ini pun pada gilirannya terus bergerak atau digerakkan oleh suatu proses relasi dari kekuasan mengolah wacana dan ilmu menjadi kekuasaan bersama dengan upaya modal mengakrabi dan sekaligus mengubah baik kekuasaan maupun wacana politik publik menjadi modal. Semuanya bertabrakan dengan upaya gigih olahwacana para cendekiawan dalam memanfaatkan baik posisi kekuasaan maupun modal kultural yang dimilikinya untuk mentransformasikan kekuasaan dan modal menjadi penopang budaya kritis dalam arena laga-wacana tanpa akhir. Apa pun posisi dan relasi mereka, jelas terlacak suatu kegeraman yang dalam terhadap rezim Neo-Fasisme Militer Orde Baru yang sudah demikian total dan mahadigdaya. Kontroversi struktur dan aktor
pin gE
Sejak Roy Bhaskar menulis The Possibility of Naturalism, 1978, dalam ilmu-ilmu sosial dia dianggap sudah menyelesaikan kontroversi antara kuasa tatanan dan peran aktor sejarah, the role of historical agency. Kuasa tatanan tidak mempedulikan tokoh-tokoh dalam menjelaskan perubahan sosial. Perubahan dilihatnya semata-mata sebagai hasil perubahan struktur modal, negara, dan lain-lain tanpa peduli dengan peran yang dimainkan aktor. Soekarno dan Hatta tidak penting dalam kemerdekaan Indonesia, akan tetapi perubahan struktur modal mondial pasca-Perang Dunia II lebih menentukan. Cepat atau lambat Indonesia akan merdeka, berdasarkan perubahan struktur modal dunia. Struktur meniadakan aktor. Di pihak lain teori-teori liberal mengagung-agungkan aktor. Namun, sejak Bashkar seharusnya para tokoh sudah berada dalam posisi sangat kuat dan juga gagasan-gagasan mereka diperlakukan berperan sama pentingnya-kalau tidak, kadang-kadang lebih menentukan-vis-à-vis tatanan yang memungkinkan ataupun yang membatasi sesuatu untuk mewujud, enabling and constraining structures.
kli
Dalam buku ini, Dhakidae cenderung mengabaikan peran tokoh-tokoh dan gagasan mereka dan semuanya dilebur dalam pergulatan wacana kecendekiaan di Indonesia. Meskipun buku ini sempat memeriksa para tokoh CSIS, tapi porsi itu tidak seimbang jika dibandingkan dengan diskusi atas dokumen dan proses pembentukan dan pembongkaran wacana. Pelaku sejarah yang dikedepankan lebih sering hilang dalam wujud wadah kelembagaan. Akibatnya, discourse yang diutarakan dapat dianggap sebagai produk resmi lembaga cendekiawan. Padahal banyak hal yang "tidak resmi" di belakang layar justru berperan besar menentukan tampilan resmi di depan publik.
Pengabaian peran para tokoh dan gagasan mereka membuat buku ini hanya bisa mengetengahkan bahwa organisasi para ekonom, ISEI, lebih mempunyai akses langsung ke Kantor Presiden Soeharto dan, karena itu, lebih berperan sebagai pemimpin dan perumus kebijakan-kebijakan pokok. Sementara itu, organisasi para ilmuwan sosial nonekonomi, HIPIIS, lebih punya kedekatan dengan Kantor Wakil Presiden saat itu dan karena itu lebih berfungsi sebagai pengontrol kebijakan. Pengamatan ini tepat sekali tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: mengapa ISEI lebih berpengaruh atas Presiden Soeharto sedangkan HIPIIS lebih mempunyai kedekatan dengan Wakil Presiden? Kenyataan pertama hanya bisa dijawab dengan mengetengahkan hubungan yang telah dibina oleh para ekonomteknokrat sejak mereka menjadi dosen di SESKOAD Bandung, sedangkan kenyataan kedua tidak dapat dilepaskan begitu saja dari posisi strategis Prof Selo Soemardjan, ilmuwan sosiologi, sebagai Sekretaris di Kantor Wakil Presiden. Laga wacana ilmuwan sosial nonekonomi mungkin akan lebih bergigi-tidak dalam makna menggeser sektor ekonomi untuk digantikan oleh sektor sosial, akan tetapi paling kurang pertimbangan-pertimbangan
Wacana/artikel KKR_03 29 kemasyarakatan lebih diperhatikan secara substantif dan tidak sekadar terbatas hanya pada sifat-sifat prosedural dan seremonial belaka. Tubuh politik dan politik tubuh Bertolak dari posisi epistemologis Foucaultian yang memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang cair dan terus bergerak secara dialektis maka baik kekuasaan, modal, ideologi, agama, maupun ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai suatu entitas yang tetap, melainkan terus berubah wujud. Kekuasaan dapat bertukar rupa menjadi agama, agama dapat berwujud modal seperti kredensial religiusitas ataupun mengambil bentuk kekuasaan politik. Tak satu pun dari hal-hal ini dapat dipaku dalam suatu wujud tertentu pada titik waktu tertentu. Kemustahilan pemakuan itu dengan sendirinya menurunkan peluang pengambilan tindakan ke titik nadir.
M
Cara penelisikan Foucaultian ini memang sangat mengasyikkan dalam memperluas dan memperdalam pemahaman kita secara penuh dan menjelimet. Namun, di pihak lain kita dapat dibuat sedemikian asyik terbenam sehingga kita tidak tahu "rumah tetangga kita sudah habis terbakar" tanpa kita mampu bertindak menolongnya dan menghentikan bencana itu. Karena itu, biayanya terlalu besar demi kenikmatan diskursif yang mewah, khususnya bagi negerinegeri yang serba terbelakang. Kesan elitis pendekatan ini tidak terhindarkan.
LS A
Dalam hubungan itu, beberapa contoh dapat dikemukakan untuk memahami apa yang dimaksudkan di atas. Analisis diskursif menempatkan tubuh/body natural, tubuh politik/body politic, dan politik terhadap tubuh dalam posisi yang menarik untuk disimak. Di sana ditekankan kontrol terhadap tubuh sebagai titik utama. Pada saat buku ini menelanjangi kebijakan pengendalian kependudukan Orde Baru, umpamanya, ia hampir saja luput menyadari pentingnya kebijakan itu bagi seorang istri di wilayah pedesaan yang dalam usia lebih dari 40 tahun menderita setiap tahun selama sembilan bulan karena frekuensi kehamilan yang rapat untuk kemudian mempertaruhkan nyawanya dalam proses melahirkan tujuh sampai dua belas anak.
pin gE
Ia juga hampir luput memahami arti suatu pakaian seragam bagi suatu keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan, yang tidak ada harkat apa pun selain pakaian seragam yang diberikan, pada saat buku ini membuka kedok kebijakan pakaian seragam Pemerintah Orde Baru. Dengan kata lain, keuntungan ekonomis yang didapat lapis bawah masyarakat baik dari program Keluarga Berencana maupun pakaian seragam sama sekali diabaikan buku ini. Meskipun demikian, buku ini mengungkap dengan gamblang kontrol atas tubuh yang dijalankan program KB maupun pakaian seragam sekolah lengkap dengan perangkat kekerasan yang menyertai pelaksanaannya. Kontrol itu tidak lain maksudnya selain untuk meningkatkan kepatuhan tubuh, docility, juga berarti kepatuhan masyarakat pada umumnya, submission. Hanya dengan pendekatan diskursif-suatu yang tidak dimungkinkan oleh pendekatan positivistik-tokoh-tokoh seperti Marsinah, Wiji Thukul bisa dijaring dan kontrol yang dijalankan atas mereka dengan seluruh rentetannya dibuka. Hal yang sama berlaku untuk Inul Daratista yang juga terjaring dalam diskursus politik kecendekiaan dengan kekuasaan.
kli
Dalam kurun waktu yang berbeda, pasca-Orde Baru, analisis diskursif di atas bisa dipakai untuk memahami kontrol kekuasaan atas tubuh Inul Daratista akhir-akhir ini. Ada beberapa persamaan antara pusat kekuasaan yang mencengkeram para cendekiawan masa Orde Baru dengan lembaga kekuasaan moral agama yang berupaya meluruskan lenggak-lenggok "goyang ngebor" Inul.
Pertama, kedua jenis kekuasaan itu mendakukan diri menggenggam kebenaran yang laa raiba fihii, tidak ada keraguan di dalamnya, suatu kebenaran mutlak. Kedua, dua kekuasaan itu pada hakikatnya adalah dua sisi dari satu mata-uang yang sama. Rezim Neo-Fasisme Orde Baru bertingkah mutlak-mutlakan seperti laiknya agama. Bahkan berada di atas agama, ketika Orde Baru menggenggam monopoli pengakuan dan pelarangan agama yang dianggap mengandung ajaran sesat. Sebaliknya, lembaga agama berperilaku ganas seperti perlakuan negara Orde Baru terhadap perempuan, terhadap nasib seperti yang dialami Marsinah. Ketiga, baik geliat cendekiawan Orde Baru maupun gigihnya perjuangan Inul sangat tergantung pada posisi masingmasing dalam relasi kuasa dengan negara dan kedigdayaan modal. Hasil akhir dari pertarungan masing-masing dengan dua kekuatan itu adalah sebagai berikut. Para cendekiawan Orde Baru nyaris tidak berkutik berhadapan dengan totalisasi kekuasaan Neo-Fasisme Militer Orde Baru dan mengguritanya modal. Sedangkan Inul Daratista di
Wacana/artikel KKR_03 30 pihak lain, berhasil menunggangi kekuasaan, seperti berfoto bersama Taufik Kiemas dan mendekati Gubernur DKI, untuk mendongkrak posisi tawarnya. Di bawah kaki kebesaran modal akhirnya Inul bersimpuh. Penutup Dengan semua kritik yang diberikan di atas, sebelum menutup tinjauan ini, beberapa hal perlu dikemukakan dalam hubungan dengan kehidupan akademi negeri ini. Pertama, nilai paling utama buku ini adalah kontribusinya dalam pemancangan kriteria-kriteria mutu akademik suatu karya ilmiah dalam hampir setiap aspeknya. Metode kerja yang diperagakan dengan cara mengumpulkan dan menyatukan secara kumulatif berbagai gagasan yang sempat beredar dalam beberapa tulisan sebelumnya dapat menjadi contoh bagi mereka yang berkiprah dalam bidang keilmuan untuk tidak mudah tergoda berpindah fokus spesialisasi.
M
Kedua, teknik pembongkaran dan pemeriksaan dokumen-dokumen dikerjakan sedemikian sungguh-sungguh sehingga buku ini nyaris tidak menyisakan satu pun ceruk konseptual yang tidak disorotnya. Karya ini boleh dibilang suatu academic exemplar yang bisa dijadikan ukuran/acuan mutu bagi para ilmuwan sosial profesional.
LS A
Ketiga, dalam peta pengetahuan keilmuan, inilah buku pertama, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun yang ditulis dalam bahasa asing, terutama Inggris, tentang Indonesia, yang menggarap ranah kajian geliat cendekiawan dalam suatu tatanan ekonomi politik tertentu dengan strategi periksa Foucaultian di bawah terang obor Andersonian. Kehadirannya menutup suatu ruang bolong besar dalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial Indonesia tentang kaum cendekiawan dan masalah kecendekiaan. Adanya ruang hampa ini agak mengherankan karena, sebagaimana dikatakan buku ini, cendekiawan dan masalah kecendekiaan adalah bagian kajian penuh daya tarik, ada fascinatio di sana. Namun, adanya ruang hampa ini bisa dijelaskan dari sisi lain, selain mengasyikkan, fascinans, masalah kecendekiaan juga sekaligus menakutkan, tremendum, karena seperti dikatakan Dhakidae "kaum cendekiawan itu sendiri menakutkan."
pin gE
Dr Tamrin Amal Tomagola Sosiolog
Kompas, Jumat, 25 Juli 2003
Pada Tanggal 17 Agustus 2003 Presiden Diminta Rehabilitasi Korban Tragedi 1965 Jakarta, Kompas - Presiden Megawati Soekarnoputri diminta mengeluarkan keputusan untuk merehabilitasi korban Tragedi Kemanusiaan 1965, tepat pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI, 17 Agustus mendatang. Keputusan Presiden tersebut akan menjadi tonggak sejarah dalam menghapus catatan kelam yang sempat merusak harkat dan martabat bangsa ini.
kli
"Inilah kesempatan Presiden dengan hak prerogatifnya untuk mengeluarkan Keppres Rehabilitasi itu. Mumpung kami sebagai korban masih hidup dan penanggung jawabnya, Soeharto, juga masih hidup. Jalur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) masih tidak jelas. Kalau melihat RUU KKR lebih rumit lagi, karena tidak akan mungkin selesai satu atau dua tahun. Pada saat dilaksanakan KKR, mungkin kami sudah mati semuanya," ujar Sumaun Utomo, salah seorang delegasi Korban 1965 yang mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kamis (24/7), di Jakarta.
Diterima Ketua Sub-Komisi Pemantauan Komnas HAM MM Billah, Wakil Ketua Sub-Komisi Taheri Noor, dan Sekretaris Komisi Yuwaldi, seluruh korban yang datang ke Komnas HAM, kemarin, tampak sudah uzur. Meskipun sudah berusia di atas 60 tahun, semangat mereka untuk meminta penghapusan diskriminasi terhadap mereka masih tinggi. Menurut Sumaun, sangat banyak para korban yang dihukum tanpa melewati proses pengadilan. Belum lagi negara ini merampok harta benda mereka serta melakukan pelanggaran hak asasi lainnya. "Kami masih saja mengalami diskriminasi. Sekarang ini ada kemauan atau tidak untuk menghilangkan diskriminasi itu. Diskriminasi adalah melanggar hukum. Apakah negara ini tetap ingin melanggar hukum?" timpal Soebarto, korban lainnya.
Wacana/artikel KKR_03 31 Jhon Pakasi menambahkan, dia adalah pegawai negeri sipil asal Sulawesi Utara yang ditangkap 15 Desember 1965. Dia diciduk tanpa tahu kesalahan lalu ditahan tanpa proses peradilan. Setelah mendekam selama 12 tahun di penjara, dia dilepas 12 Desember 1977. Soehanto, korban lainnya, dari Angkatan Darat, menyebutkan, status Megawati dan suaminya sebenarnya sama saja dengan mereka. Sebagai anak Soekarno, Megawati pernah menerima perlakuan diskriminatif dari penguasa Orde Baru. Namun, bedanya, Megawati telah memegang tampuk pimpinan tertinggi negeri ini, sedangkan nasib mereka tak berubah. "Kami hanya mau bertanya, apakah Presiden Megawati mau membebaskan kaum tertindas atau tidak?" tanya Soehanto. MM Billah belum dapat memberikan jawaban Komnas HAM terhadap permintaan para korban 1965. Menurut dia, Komnas HAM akan membicarakannya pada rapat paripurna, awal Agustus mendatang.
kli
pin gE
LS A
M
"Komnas akan mempertimbangkan apakah akan ikut bersama-sama dengan bapak-bapak meminta kepada Presiden. Namun, yang jelas, Komnas HAM akan membantu dengan membuat kajian secara hukum dan hak asasi manusia. Mudah-mudahan Presiden dapat menyetujuinya," ujar Billah. (SAH)
Wacana/artikel KKR_03 32 Kompas, Sabtu, 26 Juli 2003
Warisan Para Korban Oleh Karlina Supelli SUATU hari saya mengirim kalimat Tocqueville (1805-1859) kepada seorang kawan, "Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusia mengelana di tengah kabut" (Democracy in America). Ia membalas, "Tak satu pun lenyap hanya karena menjadi masa lalu; kalender hanyalah pagar yang kita paksakan pada waktu; ingatan selalu menyelamatkan masa lalu yang digelapkan; adalah tugas para saksi untuk menghidupkan masa lalu yang belum selesai, untuk melahirkan masa depan".
Ambruknya panggung hiburan
M
Sidang Koneksitas Kasus 27 Juli 1996 membuat saya membaca lagi surat-menyurat beberapa bulan terakhir. Kutipan di atas muncul saat pemerintahan Megawati Soekarnoputri mengajukan draf RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ke DPR, 26 Mei 2003.
LS A
Mengikuti kerja Tim Penyidik Koneksitas untuk Kasus 27 Juli yang dibentuk tahun 2000, ibarat memasuki panggung hiburan yang dibangun bagi para korban. Sejak awal, keluarga korban dan mereka yang dikorbankan sebagai kambing hitam dalam peristiwa itu menolak peradilan koneksitas. Mungkin karena sebagai panggung hiburan sekalipun, pilar-pilarnya ambruk bahkan sebelum pertunjukan mulai. Pilar pertama ambruk saat para tersangka yang diajukan hanya pelaku lapangan. Pilar berikutnya runtuh saat mereka hanya dikenai pasal sumir "perusakan". Padahal, Sub-Tim Kasus Tragedi 27 Juli 1996 yang dibentuk Komnas HAM menyimpulkan, peristiwa itu termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan (draf Laporan, Mei 2003).
pin gE
Maka, betapapun dinyatakan sebagai bagian upaya pemerintah memenuhi keadilan pada masa transisi (masa yang ditandai berakhirnya pemerintahan otoriter sehingga terbuka peluang bagi demokratisasi), peradilan koneksitas lebih merupakan langkah beberapa institusi negara untuk menyeret kasus pelanggaran HAM berat ke mekanisme di luar standar HAM. Pengadilan koneksitas di Aceh (2000) untuk pembantaian Teuku Bantaqiah dan 56 pengikutnya, menunjukkan sedikitnya dua sukses pihak militer. Pertama, sidang mengubur mata rantai antara pemberian perintah dan pelaksanaan operasi militer. Kedua, sidang hanya menghukum pelaku berpangkat rendah. Seperti kasus 27 Juli sejauh ini, petinggi militer yang bertanggung jawab lolos dari dakwaan. Mungkin saja selama proses berlangsung, kepentingan politik yang terkait dengan pola kejahatan lebih luas dapat terungkap. Tetapi, pengadilan umumnya hanya berpusat pada pelaku individual. Tujuannya, membuktikan keterlibatan dan tanggung jawab pelaku atas peristiwa tertentu. Padahal, gambaran luas kepentingan politik itulah yang diperlukan, agar pertarungan kekuasaan yang menyebabkan pelanggaran HAM bisa dipahami. Peradilan koneksitas juga tidak punya sarana pemulihan korban.
kli
Warisan tanpa wasiat
Penulis Jerman, Walter Benjamin merenung: ada semacam janji keramat antara generasi lalu dan sekarang, yaitu kehadiran kita di muka bumi ini dinanti. Seperti setiap generasi terdahulu, kita dikaruniai daya untuk melindungi tuntutan masa lalu yang selalu cenderung diperlakukan secara murahan. Saya menamai renungan Benjamin itu "Warisan Tanpa Wasiat" (ungkapan penyair Perancis René Char). Warisan tanpa wasiat berpotensi menimbulkan pertarungan. Filsuf Hannah Arendt (Between Past and Future) memaknai aforisme Char lewat "Dia" (Kafka, Notes from the year 1920). "Dia" terjepit antara masa lalu dan masa depan. Pertarungan mulai saat rantai tindakan manusia berputar, namun kisahnya menunggu penyelesaian. Kisah-kisah itu, yang tak lain buah tindakan manusia, memburu benak para pewaris yang masih bersedia mempertanyakannya. Bertanya bagi sebuah pemahaman akan masa lalu bukanlah semata demi berdamai dengan fakta. Ia upaya mencegah klaim murahan di suatu titik waktu-ruang masa depan, klaim yang dapat melahirkan tragedi kemanusiaan. Tanpa bermaksud menyetarakan situasi Indonesia, apalagi memprediksi akibatnya bagi masa depan, perang Kosovo (1990-an) tak mungkin diurai dari pertarungan kisah masa lalu dengan rancangan masa depan. Keterbatasan pengetahuan memungkinkan mitos dan klaim kebenaran atas kekalahan Serbia di pertempuran Kosovo (1389;
Wacana/artikel KKR_03 33 melawan Turki-Ottoman) tertenun menjadi propaganda politik kebengisan. Ingatan akan derita korban memberi pembenaran bagi serdadu Serbia untuk melakukan genosida dan memperkosa perempuan-perempuan Muslim Bosnia. Sebaliknya, kekurangpahaman mendorong masyarakat melaksanakan, sadar atau tidak, persekongkolan diam. Kita bisu terhadap upaya korban mengungkap kebenaran, karena "percaya" bahwa mereka pantas menerima perlakuan tak adil. Misalnya terhadap upaya perempuan Gerwani akhir-akhir ini. Kita tidak memprotes pewartaan militeristik media, ketika warga Aceh sebetulnya sedang mengalami tragedi HAM. Kita biarkan propaganda "pemulihan keamanan" menguasai mental, tanpa merasa perlu mencari tahu alasan Aceh terus bergolak.
Kejahatan diam
M
Sebagian orang bahkan gentar mendengar "Partai Rakyat Demokratik", karena termakan fiksi rezim Orde Baru tentang Peristiwa 27 Juli. Ketakutan itu bisa dimengerti meski tak lagi relevan; selama tiga dasa warsa, berpihak kepada korban berisiko ikut menjadi korban.
LS A
Pelaku berkepentingan dilupakan tindakannya, korban berkehendak didengar kisahnya. Mekanisme kekuasaan yang lebih melindungi kepentingan pelaku selalu bekerja melalui kontrol atas media, penulisan sejarah, bahkan ingatan agar saksi berkurang. Masyarakat sukar membedakan, apakah mereka sedang bergulat dalam dinamika perkembangan pengetahuan dan pemahaman atas persoalan, atau hanya menerima begitu saja realitas versi rekaan. Aneka argumen penolakan, pembenaran tindakan, termasuk teror dan intimidasi, dijalankan agar sesedikit mungkin yang mendengar kisah korban. Ketika ketegangan pelaku-korban ditarik ke ruang publik demi kepentingan klaim kebenaran, trauma pascakekerasan menjadi sebuah proses sosial. Persekongkolan diam pun melahirkan apa yang dinamakan Bertrand Russell the crime of silence. Kita memilih bersikap seakan kekerasan terjadi di pulau "entah". Korban terisolasi dari akses pada keadilan dan pemulihan hak, sedangkan pelaku menikmati kekebalan hukum.
pin gE
Inilah hakikat penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Telah berlangsung pengingkaran terhadap martabat manusia melalui pembunuhan, penculikan, penganiayaan, pemerkosaan, serta perusakan, dan perampasan harta benda. Ada penolakan dan penyangkalan terhadap korban. Ada pembiaran terhadap pelaku kejahatan. Semuanya dikawal oleh pelenyapan ingatan atas peristiwa yang menyebabkan banyak orang mengalami kehancuran fisik, psikis, intelektual, sosial, ekonomi, dan kultural. KKR: pengakuan
Kerumitan menangani pelanggaran HAM di negara yang menjalani masa transisi kerap muncul di harian ini (misalnya Kompas 14/7/2003). Dilema antara kewajiban pemerintah menyediakan keadilan bagi korban dan kepentingan stabilitas politik, melahirkan drama moral, politik dan filosofis besar abad ini (lihat Rosenberg dalam Coming to Terms). Ketika pemerintah masih memiliki hubungan politik dengan para petinggi rezim sebelumnya, politik persekongkolan lebih berperan. Politik macam itu membuat DPR menyatakan kasus Trisakti dan Semanggi III bukan pelanggaran HAM berat.
kli
Pengadilan bukan satu-satunya ruang bagi solusi kasus HAM masa lalu, khususnya ketika kejahatan meluas dan berkepanjangan sehingga jumlah kasus amat besar. Kita menyaksikan gugurnya klaim bahwa Pengadilan Nuremberg bagi penjahat Perang Dunia II menghasilkan mekanisme peng-gentar-an. Kekejaman tidak berhenti pada pengadilan ataupun konsep hostis humani generis (musuh segala kemanusiaan) yang memungkinkan orang dimintai pertanggungjawaban di luar jurisdiksi, tempat kejahatan dilakukan. Setelah Nuremberg, genosida berlangsung di Kamboja, Kurdistan, Bosnia, Uganda, Rwanda, serta Indonesia. Dari pengalaman beberapa negara, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan kekhasan dan kekurangannya membantu pemulihan keluarga korban serta trauma sosial. Lewat pengakuan resmi, KKR menampilkan kebenaran naratif korban yang disingkirkan. Bagaimanapun, pembentukan KKR merupakan pengakuan atas ketidakmampuan pemerintahan transisi dalam menyelesaikan masalah masa lalu secara utuh dan adil melalui proses sesuai standar HAM. Namun, bukan hanya itu yang membuat situasi Indonesia lebih tragis. Kita letih mendengar "pentingnya hukum". Sebagian besar warga bahkan sudah sampai pada sikap agnostik: ada atau tidak ada hukum, tidak relevan. Masalah seperti kesemrawutan lalu lintas, kegagalan serius pengadilan kasus KKN, kehampaan solusi memadai bagi
Wacana/artikel KKR_03 34 pelanggaran HAM, maupun ketidaktegasan pengadilan ad hoc HAM hanya menunjukkan betapa sering hukum gagal menjadi efektif. Dalam diskusi UU Sisdiknas di Unika Atmajaya (19/6/2003) bocorlah bilik sidang DPR. Seorang pengurus partai besar menyatakan, sekarang ini disepakati, kalaupun UU Sisdiknas mau tidak dipatuhi, juga tak akan ada sanksi. Bisa saja kita mengandaikan, hal itu berlaku bagi UU dan peraturan lain. Ketika RUU KKR pun berisi persekongkolan untuk tidak memasukkan konsep keadilan bagi korban, saat wakil rakyat terlibat mafia persekongkolan, saat masyarakat agnostik hukum, tinggallah satu pertanyaan: Bagaimana mungkin kita mencipta masa depan sebuah Indonesia di atas persekongkolan yang melenyapkan sejarah anakanaknya?
kli
pin gE
LS A
M
Karlina Supelli Pengajar STF Driyarkara, Jakarta
Wacana/artikel KKR_03 35 Kompas, Sabtu, 26 Juli 2003
Penyelidikan Pelanggaran HAM Oleh Asvi Warman Adam KASUS penyerbuan Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia 27 Juli 1996 (Kasus 27 Juli) mulai dibuka oleh pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Kasusnya sedang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, sebagaimana kasus lain (Timor Timur dan Tanjung Priok), tanggapan pesimistis muncul di masyarakat. Selama ini pengadilan terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) hanya bisa menyeret dan menghukum pelaku level bawah dan menengah (pada tentara hanya yang berpangkat prajurit sampai letnan kolonel). Sedangkan pengambil kebijakan atau dalang yang sebenarnya dari suatu peristiwa berdarah tidak pernah tersentuh (meski pada era reformasi nama mereka sudah berani disebut-sebut pers).
LS A
M
MENGAPA ini selalu terjadi? Salah satu penyebabnya, pengadilan dilakukan secara kasus per kasus, bukan secara keseluruhan. Meski menyebut beberapa kasus pada era Orde Baru, tulisan ini tidak bertujuan membeberkan substansi atau temuan Tim Penyelidikan Pelanggaran Berat HAM Soeharto yang laporannya baru akan disampaikan awal Agustus 2003. Artikel ini hanya untuk mendukung pandangan, pengungkapan kejahatan di masa lalu akan lebih efektif bila dijalankan secara holistis atau komprehensif ketimbang dilakukan secara kasuistik. Ada beberapa alasan.
pin gE
Pertama, penyelidikan pelanggaran HAM dilakukan secara induktif. Artinya, fakta-fakta di lapangan dikumpulkan, dan dari situ disimpulkan apakah dalam kasus itu ada indikasi pelanggaran HAM. Kesulitan muncul saat menentukan orang-orang yang diduga sebagai pelakunya dengan menarik garis lurus pertanggungjawaban ke atas, misalnya bila terjadi missing link. Contoh, kasus pembantaian Teuku Bantaqiah yang dibunuh bersama 56 pengikutnya di Aceh, 23 Juli 1999. Komandan lapangan Letkol Sudjono menghilang secara misterius hingga kini. Alhasil, tidak bisa diketahui siapa yang memerintahkan Letkol Sudjono. Dan, pada giliran pengambil keputusan tertinggi dalam peristiwa itu tidak bisa dituntut. Dengan demikian, yang bisa diadili hanya beberapa prajurit di lapangan. Sebagai solusinya, metode induktif di atas perlu digabung dengan pendekatan agency and structure. Kita melihat tokoh atau pelaku pelanggaran HAM, tetapi juga mencari struktur kelembagaan yang mendukung terjadinya kejahatan itu. Soeharto adalah pemimpin tertinggi selama era Orde Baru. Kekuatan Soeharto, selain ditopang lembaga resmi, militer, dan Kejaksaan Agung, juga instansi inkonstitusional seperti Kopkamtib yang lalu berubah nama menjadi Bakostranas. Lembaga ini dalam bagan organisasinya berada langsung di bawah presiden. Jabatanjabatan pada ABRI bertumpang tindih dengan posisi-posisi pada Kopkamtib. Seorang Pangab merangkap Panglima Kopkamtib atau wakilnya, hal serupa berlaku di daerah pada tingkat Kodam.
kli
Pada tahun 1965/1966, Soeharto sendiri merangkap Pangkostrad, Menpangad, Pangkopkamtib, pemegang Supersemar, ditambah pejabat presiden tahun 1967. Untuk mengambil keputusan, Soeharto bisa berganti-ganti baju, tergantung keperluan. Untuk membubarkan PKI, ia memakai nama Presiden Soekarno yang telah memberinya Surat Perintah 11 Maret 1966. Untuk hal lain, Soeharto memutuskan atas nama Pangkostrad, sebab bila ia memakai posisi Menpangad kebijakan itu bisa dipersoalkan dalam sidang kabinet. Sedangkan Pangkostrad tidak bisa ditegur oleh kabinet, kecuali oleh atasannya sendiri, yaitu Menpangad yang tak lain Soeharto sendiri. Dalam buku David Jenkins, Soeharto and His Generals, tergambar kelihaian Soeharto mengolah permainan ini. Kedua, investigasi atas suatu kasus kurang memperlihatkan aspek sistematis dan meluas. Padahal, dalam suatu pelanggaran berat HAM, kedua aspek itu perlu digali. Hal ini bisa diatasi dengan melakukan penyelidikan pada jangka waktu cukup panjang dan mencakup wilayah luas. Investigasi pelanggaran HAM semasa Orde Baru yang dipimpin Soeharto memenuhi persyaratan ini karena kurun waktunya 32 tahun (1965-1998) dan tersebar di berbagai wilayah dari Aceh sampai Papua. Korban manusia yang jatuh amat banyak, dalam peristiwa 1965 diperkirakan ada minimal 500.000 orang. PENGUSUTAN terhadap pelanggaran HAM itu jelas tidak akan mengumpulkan data tentang seluruh kasus yang terjadi dari masa ke masa. Namun, sesuai kaidah ilmiah, suatu kurun bisa dibagi menjadi berbagai periode dan pada masing-masing periode diambil sampel yang menonjol. Dalam masa Orde Baru, misalnya, kita bisa membagi masa
Wacana/artikel KKR_03 36 ini menjadi empat fase (1965-1975, 1975-1985, 1985-1995, 1995-1998). Periodisasi ini tidak mutlak, bisa disesuaikan lagi. Pada periode pertama dapat diambil kasus pembantaian 1965 dan penahanan politik di Pulau Buru. Fase kedua dapat diwakili kasus Petrus (pembunuhan misterius) 1982/1983. Periode ketiga, pelanggaran HAM yang berkait dengan "pemaksaan asas tunggal" (kasus Lampung, Tanjung Priok, Haur Koneng, dan lain-lain) dan yang berhubungan dengan daerah operasi militer (DOM), seperti kasus Aceh dan Papua. Fase keempat, kasus 27 Juli 1996 dan kerusuhan massal Mei 1998.
M
Politisi selama ini hanya melihat peristiwa Mei 1998 terbatas pada kasus pembunuhan mahasiswa Trisakti. Tetapi, kasus perkosaan dan tewasnya ribuan orang saat pembakaran rumah dan toko-toko sering dilupakan. Analisisnya akan lebih lengkap bila kerusuhan akbar Mei 1998 disigi sebagai upaya menjatuhkan Soeharto, mempertahankan Soeharto, serta pertarungan antara usaha menggulingkan Soeharto dan membela Soeharto. Sungguhpun Soeharto sendiri mempunyai alibi amat kuat, ia tidak berada di Tanah Air saat itu.
LS A
Pendekatan yang komprehensif bukan kasuistik akan lebih mampu menjaring pelaku pelanggaran berat HAM di masa lalu pada level lebih tinggi, bahkan pada tingkat pengambil keputusan. Metode induktif sebaiknya digabungkan dengan pendekatan agency and structure. Dalam kasus pelanggaran HAM Orde Baru, dengan membaca kepustakaan yang ada selama ini, kita bisa menarik benang merah bahwa itu dilakukan untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan. Hal ini tampak lebih gamblang bila investigasi dilakukan pada kurun sejarah yang cukup panjang (beberapa dekade). Hasil temuan tim Penyelidikan Pelanggaran Berat HAM Soeharto akan disampaikan awal Agustus 2003. Terserah kepada bangsa ini apakah akan mengulangi kesalahan terhadap Bung Karno tempo hari dengan membiarkan kasusnya mengambang atau mengadili Soeharto. Ia sudah bisa ke mana-mana, termasuk ke Solo dan Nusakambangan. Ia bisa senyum dan berbicara. Kalau enggan datang ke pengadilan bukankah kini sudah ada fasilitas teleconference sehingga Soeharto bisa menjawab pertanyaan hakim dan jaksa di rumahnya.
pin gE
Di pengadilan akan terbukti apakah seseorang bersalah atau tidak. Bila bersalah dan dijatuhi hukuman, saya pribadi berpendapat sebaiknya ia diberi amnesti oleh presiden, mengingat usianya sudah lanjut. Apakah pemberian amnesti dikaitkan dengan penyerahan sebagian hartanya bagi rakyat, seperti diusulkan Amien Rais, itu soal teknis. Namun, jika terbukti bersalah dan dihukum, ini merupakan pelajaran paling berharga bagi segenap bangsa untuk menghormati HAM dalam menjalankan pembangunan, sekaligus membuktikan, hukum memang tidak pandang bulu. Tujuannya semata-mata agar pelanggaran HAM tidak terulang dan korban jutaan manusia tidak lagi berjatuhan di masa datang. Pengadilan HAM itu seyogianya dikomplementerkan dengan upaya yang dilakukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) agar hasilnya lebih optimal. Hanya dengan cara ini bangsa kita dapat menyelesaikan persoalan masa lalu dengan baik dan melangkah ke masa depan tanpa beban historis.
kli
Asvi Warman Adam Sejarawan pada Pusat Penelitian Politik LIPI
Wacana/artikel KKR_03 37
Suara Pembaruan, Senin 28 July 2003
KKR Timor Leste Kembali Gelar Audiensi Publik
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA- Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Timor Leste kembali mengelar audiensi publik bertajuk "Pemindahan paksa dan kelaparan" di Dili, Timor Leste, Senin (28/7). Tema ini merupakan salah satu upaya penelitian KKR Timor Leste untuk mengungkap kebenaran mengenai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sejak 15 April 1974 hingga 25 Oktober 1999. Dalam acara ini, tampil 12 narasumber yang berasal dari sejumlah distrik di Timor Leste. Mereka akan memberikan pernyataan ataupun menceritakan pengalaman mengenai pemindahan paksa dan dampaknya. Namun sebelum memberikan pernyataan, mereka akan terlebih dulu diwawancarai tim peneliti. Selain itu, KKR Timor Leste juga mengundang sejumlah tokoh kunci yang akan memberikan kesaksian mengenai terjadinya peristiwa tersebut. "Mereka diundang karena memiliki pengetahuan yang luas dan berguna untuk memahami kebenaran mengenai pemindahan paksa dan kelaparan yang terjadi di Timor Leste,"kata Ketua Komisaris Nasional KKR Timor Leste Aniceto Guterres Lopes melalui siaran persnya yang diterima Pembaruan di Jakarta, akhir pekan lalu. Aniceto menjelaskan, tujuan umum audiensi publik adalah menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM. Program tersebut juga ingin menunjukkan luasnya dampak dari pelanggaran HAM dan untuk mengetahui siapa yang memegang kendali atas terjadinya pelanggaran HAM dan siapa saja yang terlibat. Dengan demikian, melalui program tersebut diharapkan KKR dapat mengetahui apakah ada pola kebijakan dan perencanaan yang sistematis atas terjadinya pelanggaran itu.''Tentu saja kita juga ingin mengetahui faktor eksternal apa saja yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut,'' tambah Aniceto. KKR Timor Leste telah sukses menggelar tiga audiensi publik sebelumnya. Tiga audiensi publik sebelumnya mendapat perhatian luar biasa baik dari pejabat maupun masyarakat Timor Leste. Ketiganya antara lain, Dengarkan suara korban (digelar, November 2002), Tahanan politik (Februari 2003) dan Perempuan dalam Konflik (April 2003). Lambat Di Indonesia, upaya untuk membentuk KKR telah digagas empat tahun terakhir oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam). Upaya tersebut kurang mendapat sambutan pemerintah dan kalangan LSM. Sejumlah LSM semula mengkhawatirkan pembentukan KKR akan menyebabkan para pelaku pelanggaran HAM akan memperoleh pengampunan dengan adanya KKR. Pandangan tersebut kemudian berubah perlahan setelah dilakukannya sosialisi tentang KKR oleh Elsam. Dalam pandangan Direktur Elsam, Ifdhal Kasim, KKR harus dibentuk untuk mengungkap kebenaran dan keadilan agar kejahatan serupa tidak terulang lagi.'' KKR adalah mekanisme yang memberikan peluang kepada pelaku pelanggaran HAM di masa lalu mengungkapkan semua kekejiannya yang dilakukan di masa lampau,''katanya. Setelah melalui perdebatan panjang di antara berbagai kalangan LSM dan di pemerintahan, ide pembentukan KKR akhirnya diterima pula oleh pemerintah. Lewat suratnya tertanggal 26 Mei 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mengirimkan RUU KKR ke DPR. Dalam surat pengantar pemerintah mengenai KKR yang ditandatangani Direktur Jenderal Perundang-Undangan Departemen Kehakiman dan HAM, Abdul Gani Abdullah disebutkan, KKR perlu dibentuk untuk mengungkap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No.26/200 tentang Pengadilan HAM. (M-17/A-14) Last modified: 28/7/03
Wacana/artikel KKR_03 38 Suara Pembaruan Selasa 29 July 2003
Rakyat Timor Leste Dukung Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
kli
pin gE
LS A
M
DILI - Rakyat Timor Leste menyambut baik pelaksanaan kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sambutan positif tersebut diberikan setelah KKR yang selintas hanya seperti program membuka luka lama rakyat Timor Leste, terus disosialisasikan. Perlahan namun pasti, rakyat Timor Leste yang telah melepaskan diri dari Indonesia lengkap dengan luka sejarahnya, mulai menyadari arti penting KKR sebagai mekanisme untuk menyelesaikan persoalan masa lalunya. Demikian terungkap dari wawancara YW Nugroho dari Pembaruan dengan Ketua KKR Timor Leste (Comissao de Acolhimento Verdadee Reconciliacao de Timor Leste/CAVR), Aniceto Guterres di Dili, Timor Leste, Selasa (29/7). KKR sangat diperlukan untuk mengetahui dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi pada saat peristiwa pelanggaran HAM muncul. Masyarakat yang menjadi korban pelanggaran HAM juga membutuhkan suatu pengakuan terbuka dari para pelanggar HAM. "KKR penting sebagai mekanisme bagi korban untuk memperoleh pengakuan yang luas dan menunjukkan pada publik betapa mahalnya pelanggaran HAM, sekaligus untuk klarifikasi apa yang sebenarnya terjadi ketika itu," katanya. Aniceto mengakui adanya beberapa pihak yang tidak mendukung kerja KKR. Apalagi jika mereka adalah pelaku pelanggaran HAM. "Termasuk tentunya pihak Indonesia, dalam hal ini tentara (TNI). Kami sebenarnya juga ingin melibatkan mereka dalam rekonsiliasi ini, hanya mungkin bentuknya berbeda. Karena kami tidak bermaksud mengadili," kata sarjana hukum lulusan Universitas Udayana, Denpasar, Bali itu. CAVR sendiri selama ini juga membuka semacam cabang di perbatasan Timor Leste-Indonesia di Atambua, untuk menjalin hubungan dengan para pengungsi yang selama ini dikenal sebagai kelompok pro-integrasi. Audiensi Publik Awal pekan ini, KKR Timor Leste menggelar Audensi Publik, sebuah program rekonsiliasi di antara berbagai pihak yang bertikai di Timor Leste dan pengungkapan berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama 1974-1999. Program yang merupakan kali keempat ini diselenggarakan dua hari dengan menghadirkan 12 saksi, termasuk saksi ahli, Pat Walsh, peneliti asal Australia yang melihat langsung bencana kelaparan pada 1978-1980 di Timor Leste. Audensia Publik kali ini mengambil tema "Kelaparan dan Pemindahan Paksa" yang merupakan tema lanjutan dari tiga program sebelumnya, yakni tentang korban, tapol/napol, dan pengalaman perempuan dalam konflik. u Last modified: 29/7/03
Wacana/artikel KKR_03 39 Kompas, Rabu, 30 Juli 2003
Tak Ada Kemauan Tuntaskan Tragedi Kemanusiaan Jakarta, kompas - Ketua Umum Partai Perjuangan Rakyat Gustaf Dupe menuding pemerintah tidak memiliki kemauan politik untuk menuntaskan peristiwa tragedi kemanusiaan di Tanah Air. Rekonsiliasi yang diinginkan atas pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau bahkan semakin dipersempit pengertiannya. "Baik Habibie, Abdurrahman Wahid, maupun Megawati tidak memiliki kemauan politik untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan itu. Rekonsiliasi hanya diartikan sebagai islah, tidak usah memikirkan masa silam dan hanya melihat ke depan. Kita setuju dengan melihat ke depan, namun kita tak boleh melupakan masa lalu," kata Gustaf pada diskusi "Mengungkap Tragedi Kemanusiaan di Indonesia", Senin (28/7).
M
Diskusi dihadiri juga oleh mantan korban Tragedi 1965, di antaranya Kolonel (Purn) Abdul Latief, yang disebutsebut sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia. Hadir sebagai pembicara antara lain Sumaun Utomo (Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orba) dan Surya Tjandra (YLBHI).
LS A
Gustaf mengatakan, kalaupun pemerintah ingin menyelesaikan peristiwa masa lalu dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka setidaknya harus ada persyaratan-persyaratan yang dipenuhi. Pertama, harus mengungkap kebenaran. Kedua, ada proses hukum terhadap pelaku. Ketiga, ada pengakuan bersalah dari pelaku. Dan, keempat, baru disusul dengan pengampunan.
kli
pin gE
"Tanpa ada empat persyaratan itu, rekonsiliasi hanyalah penipuan opini nasional. Tanpa rekonsiliasi pun, pemerintah dapat membuat keppres tentang rehabilitasi, memberi restitusi atau kompensasi," ujar Gustaf. (SAH)
Wacana KKR_03
1
WACANA KKR Agustus 2003 Suara Pembaruan, Senin 04 Agustus 2003
Pemerintahan Soeharto Selalu Pengaruhi Peradilan
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Corak Pemerintahan Soeharto yang otoriter telah membawa pengaruh tidak saja pada tidak berjalannya pemisahan kekuasaan antara yudikatif dan legislatif, tetapi juga tidak berfungsinya check and balance di antara ketiga cabang kekuasaan negara tersebut. Demikian dikatakan A Muhammad Asrun dalam disertasi doktornya yang berjudul "Pemerintahan Otoriter dan Independensi Peradilan Kajian Fenomena Keadilan Personal dalam Peradilan di Tingkat Mahkamah Agung 19671998", yang dipertahankan di hadapan Senat Guru Besar Fakultas Hukum UI, di Jakarta, belum lama ini. Menurut dia, dalam konteks pelaksanaan kekuasaan kehakiman terjadi dualisme kekuasaan kehakiman melalui ketentuan Pasal 11 UU No 14 Tahun 1970 yang mengakibatkan kekuasaan kehakiman tidak independen. Dikatakan, proses mempengaruhi peradilan juga dilakukan pemerintahan Soeharto dengan melibatkan aparat penyidik yang tidak dikenal dalam Hukum Acara Pidana, aparat intelijen militer maksudnya, dalam tahap penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus pidana politik. "Penyimpangan terjadi mulai dari proses penyidikan, yang ditandai dengan proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan dengan melibatkan aparat intelijen militer sampai kepada pemilihan tempat tahanan bagi tersangka pidana politik," ujarnya. Dijelaskan, proses penempatan peradilan pidana politik pada jangkauan pengaruh kekuasaan eksekutif dapat dilihat dari putusan pidana politik yang secara jelas telah diskenariokan sehingga para terdakwa tidak dapat lepas dari tuntutan hukum. Upaya mempengaruhi proses peradilan tidak terbatas pada perkara pidana politik, tetapi juga pada perkara perdata dan Tata Usaha Negara. Dalam beberapa kasus yang dikaji, menurut Asrun, tampak perlawanan dari kalangan hakim baik dari lingkungan peradilan tingkat pertama, tingkat banding maupun kasasi di Mahkamah Agung, berupa lahirnya putusan-putusan yang adil dan tidak berpihak. "Dari sini tampak lahir fenomena keadilan personal, di mana hakim memutus perkara berdasarkan fakta-fakta dan keyakinan diri sang hakim sekalipun ada tekanan dari pihak penguasa yang menghendaki putusan yang menguntungkan penguasa," lanjutnya. Faktor latar belakang pribadi hakim menjadi sangat menentukan lahirnya keputusan hakim yang adil, yang tidak dapat dikatakan sebagai manifestasi bekerjanya sistem hukum. Namun, putusan-putusan pengadilan seperti itu akhirnya tidak dapat diteruskan eksekusinya, karena proses peradilan yang lebih tinggi membatalkan putusanputusan yang adil dan tidak memihak. Ditambahkan, rusaknya proses peradilan pada masa rezim Orba harus dijadikan pelajaran berharga. "Harus ada pembangunan sistem politik yang lebih demokratis dibandingkan dengan masa pemerintahan Soeharto, melalui pembenahan Undang Undang Dasar yang dapat menciptakan berfungsinya secara nyata ketiga cabang kekuasaan negara, yaitu eksekutif, yudikatif dan kekuasaan legislatif, serta berjalannya mekanisme perimbangan kekuasaan di antara ketiga cabang kekuasaan tersebut. (E-5) Last modified: 4/8/03
Wacana KKR_03
2
Suara Pembaruan, Jumat 08 Agustus 2003
Rekonsiliasi Nasional Perlu Terus Diupayakan
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Rekonsiliasi nasional perlu terus diupayakan untuk memperkokoh persatuan dan kerukunan nasional. Rekonsiliasi nasional harus meliputi banyak agenda, seperti menyelesaikan dengan arif dan adil jutaan anak-anak bangsa yang di luar kemauan mereka terlahir menjadi anak para aktivis PKI tahun 1960-an. "Anak, apalagi cucu para aktivis PKI yang pada tahun 1965 masih berusia muda, apalagi yang belum lahir, tentu harus mendapat hak-hak warga negara mereka secara penuh. Tidak masuk akal bila mereka harus menanggung dosa politik warisan," kata Ketua MPR Amien Rais dalam pidatonya menutup Sidang Tahunan (ST) MPR 2003, di Jakarta, Kamis (7/8) malam. Rapat Paripurna MPR pengesahan dua rancangan ketetapan (Rantap) dan dua rancangan keputusan MPR berjalan lancar. Kendati masih ada anggota MPR yang menginterupsi dan menyampaikan nota keberatan, seperti atas Tap MPRS No XXV/1966, TAP MPRS No XXXIII/1967, dan Keputusan MPR tentang Komisi Konstitusi (KK). Pengambilan keputusan terhadap Tap MPRS No XXV/1966 dan Tap MPRS No XXXIII/1967 akhirnya tidak dilakukan dengan voting. Keputusan terhadap dua TAP MPRS itu diambil melaluai rapat lobi malam hari sebelumnya. MPR memutuskan, kedua Tap MPRS itu dinyatakan tetap berlaku. Tap MPRS No XXV/1966 dimasukkan ke dalam Pasal 2 Tap MPR No 1/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Tap MPRS dan Tap MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2003 yang menyatakan, Tap MPRS itu berlaku dengan ketentuan. Fraksi-Fraski di MPR sepakat, ketentuannya adalah alternatif pertama yang diusulkan sebagian besar fraksi, kecuali Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Sedangkan Tap MPRS No XXXIII/1967 diputuskan untuk ditempatkan pada Pasal 6 Tap No 1/2003. Pasal 6 itu berbunyi "Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang disebutkan di bawah ini merupakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilakukan." (A-21/O-1/M-15/M-17) Last modified: 8/8/03
Wacana KKR_03
3
Kompas, Sabtu, 09 Agustus 2003
Tap MPRS No XXV soal Komunis Tak Bisa Dipakai Jakarta, Kompas - Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan bahwa Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tidak dicabut, maka MPR harus menyatakan tap tersebut tidak bisa dijadikan dasar hukum di pengadilan. Artinya, ketetapan itu tetap tidak bisa dipergunakan sebagai dasar hukum sebuah tindakan. Selain itu, pemerintah juga harus merehabilitasi nama para korban peristiwa tahun 1965 yang dianggap terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Apalagi jika pemerintah sudah mengesahkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Demikian sejarawan LIPI Asvi Warman Adam dan peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Harry Tjan Silalahi dalam diskusi bertema "Fobia Komunis Wakil Rakyat" yang digelar Radio Namlapanha, Kamis (7/8).
LS A
M
Asvi menegaskan, Tap MPRS itu sering kali dijadikan cantolan hukum kebijakan diskriminatif terhadap mereka yang diduga terlibat PKI. Salah satu contoh adalah kasus Ny Nani Nurani (62), eks tapol 1965 yang menggugat Camat Koja Jakarta Utara di Pengadilan Tata Usaha Negara karena camat menolak mengeluarkan kartu tanda penduduk (KTP) seumur hidup. Dalam putusannya, PTUN memenangkan Nani, Juli 2003. Eks tapol itu berhak mendapatkan KTP seumur hidup. Namun, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengajukan banding dengan memakai dasar Tap MPRS No XXV/1966. "Seharusnya tap ini dicabut, tetapi kalau MPR telah memutuskan untuk tidak mencabut tap ini, seharusnya MPR membuat rekomendasi agar tap ini tidak bisa lagi dijadikan dasar hukum," kata Asvi.
pin gE
Hal senada ditegaskan Harry Tjan Silalahi. Menurut Silalahi, tap ini tidak boleh menjadi dasar hukum. Semua kewenangan yang diderivasi lewat aturan perundang-undangan di bawahnya harus ditinjau kembali dan diamandemen. Menurut Asvi, cara lain yang harus dilakukan adalah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Selain untuk mengungkap kebenaran, karena kisah G30S/PKI banyak yang direkayasa, rekonsiliasi juga penting untuk menghilangkan dendam. Tidak serius lindungi HAM
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, Sidang Tahunan MPR 2003 tidak memberi perhatian serius kepada perlindungan HAM. "Khususnya penanganan kasus pelanggaran HAM di Aceh selama pemberlakuan DOM (Daerah Operasi Militer) maupun setelahnya. Padahal, agenda ini jelas dimandatkan MPR kepada presiden," kata Koordinator Badan Pekerja KontraS Usman Hamid, Jumat.
kli
Usman menjelaskan, GBHN yang ditetapkan dalam Sidang Umum tahun 1999 memerintahkan pemerintah menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan pengadilan yang jujur bagi para pelanggar HAM, baik selama pemberlakuan DOM maupun setelah DOM. Begitu pula dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Irian Jaya lewat proses pengadilan yang jujur dan bermartabat seperti disebutkan Tap MPR No IV/1999. Ketetapan lain yang telah dikeluarkan MPR juga memerintahkan adanya pemisahan yurisdiksi peradilan umum dan militer seperti disebutkan hasil Sidang Tahunan MPR 2000.
Ternyata, lanjut Usman, pelaksanaan ketetapan-ketetapan itu tidak dijalankan konsisten. Meskipun telah ada pemisahan yurisdiksi peradilan umum dan militer, nyatanya peradilan militer masih digunakan sampai sekarang. (win/VIN)
Wacana KKR_03
4
Koran Tempo, Sabtu, 9 Agustus 2003
Kontras: Sidang Tahunan 2003 Abaikan HAM di Aceh Jakarta -- Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyesalkan Sidang Tahunan MPR 2003 yang tidak memperhatikan secara serius masalah perlindungan hak asasi manusia (HAM), khususnya di Aceh. "Kami menilai agenda Sidang Tahunan 2003 dan laporan Presiden Megawati Soekarnoputri mengesampingkan GBHN," ujar Koordinator Badan pekerja Kontras Usman Hamid kepada wartawan di kantornya, Jakarta, kemarin.
M
Menurut Usman, GBHN hasil Sidang Umum MPR 1999 menginstruksikan pemerintah menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermartabat, dengan mengusut dan menggelar pengadilan yang jujur bagi pelanggar HAM baik pada masa Daerah Operasi Militer dan sesudahnya. Tap MPR No. IV/1999 tentang GBHN itu juga meminta pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Irian Jaya lewat proses pengadilan.
LS A
Sementara itu, masih kata Usman, Sidang Tahunan MPR 2000 menetapkan adanya pemisahan yurisdiksi peradilan umum dan peradilan militer. Amendemen kedua UUD 1945 juga mewajibkan pemerintah menjamin hak asasi manusia. "Namun, ternyata pelaksanaan ketetapan-ketetapan itu tidak dijalankan secara konsisten," kata Usman. Meski telah ada pemisahan yurisdiksi peradilan umum dan militer, pada kenyataannya peradilan militer masih digunakan sampai hari ini. "Bahkan cenderung dijadikan alat untuk menghalangi proses hukum lainnya dan melindungi pelaku utama seperti kasus (pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua) Theys Hiyo Eluay, Aceh, dan Trisakti-Semanggi," kata Usman.
pin gE
Dalam sidang tahunan yang berakhir dua hari lalu, MPR hanya menyarankan sikap kehatian-hatian aparat keamanan dalam menjalankan operasi militer dengan tetap memperhatikan hukum humaniter dan penegakan HAM. MPR juga menyarankan pemerintah agar menjalankan operasi secara terpadu, termasuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di Aceh. Kontras melihat hal itu tak cukup. Ketidakseriusan negara dalam melindungi HAM itu, kata Usman, juga terlihat dari macetnya kerja Panitia Khusus DPR tentang Aceh yang hingga kini tidak jelas tindak lanjutnya. Kerja Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh, menurut dia, tidak dituntaskan secara baik. "Padahal, komisi telah menghasilkan laporan penting kekerasan di Aceh, seperti kejahatan serius dalam kasus pembantaian Tengku Bantaqiah dan para santrinya, yang diselesaikan lewat pengadilan koneksitas," ujarnya.
kli
Ironisnya, kata Usman, MPR sebagai pemberi mandat kepada presiden tidak mengambil sikap atas perkembangan penegakan HAM dan demokrasi secara jelas dari sudut kinerja pemerintah. Padahal, menurut dia, penegakan HAM selama empat tahun ini menemui jalan buntu. "MPR tidak mengevaluasi kinerja pemerintah berdasarkan ketetapan yang sudah dibuatnya sendiri," ujarnya. tjandra/indra
Wacana KKR_03
5
Suara Pembaruan, Sabtu 09 Agustus 2003
ST 2003, MPR dan Pemerintah Tidak Serius Tegakkan HAM
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Pemerintah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak memiliki komitmen kuat untuk menegakkan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Buktinya, dalam pidato presiden Megawati Soekarnoputri dalam sidang tahunan (ST) 2003 lalu, sama sekali tidak disebutkan soal upaya pengusutan terhadap para pelaku pelanggaran HAM di Aceh baik selama dan sesudah Aceh dijadikan sebagai daerah operasi militer (DOM). Lebih parah lagi, fraksi-fraksi di MPR juga tidak pernah mempersoalkan sikap pemerintah itu. Padahal, tugas meningkatkan dan menegakkan HAM adalah perintah konstitusi dan Ketetapan (TAP) MPR itu sendiri. Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid mengatakan hal itu kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (9/8). "Kita sangat menyesalkan bahwa momentum sidang tahunan ini tidak ada upaya untuk melindungi HAM, khususnya pelanggaran HAM di Aceh baik selama DOM maupun pasca-DOM," kata aktivis HAM itu. Kesampingkan GBHN Kontras menilai, dalam sidang tahunan 2003 yang berakhir Kamis (7/8) lalu Presiden Megawati Soekarnoputri mengesampingkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Alasannya, TAP MPR No IV/1999 tentang GBHN menugaskan pemerintah supaya menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermartabat serta mengadili para pelaku pelanggaran HAM. Begitupun dengan kasus pelanggaran HAM di Papua. Lebih parah lagi, fraksi-fraksi di MPR sama sekali tidak mempersoalkan pelanggaran GBHN yang dilakukan pemerintah seperti itu. Kenyataan itu sekaligus memperlihatkan inkonsistensi MPR melaksanakan produk hukum yang mereka hasilkan. "Ini sungguh menyedihkan," tambah Usman Hamid. Sebaliknya pemerintah malah membiarkan para pelaku pelanggaran HAM diadili di pengadilan militer. Padahal, presiden berhak untuk membawa para pelaku pelanggaran HAM itu ke pengadilan sipil. "Sudah terbukti, hukuman yang diberikan pengadilan militer kepada para pelaku pelanggaran HAM menyakiti hati keluarga korban," katanya. Dia mencontohkan, para pelaku pembunuhan terhadap Theys Hiyo Eluai dihukum sangat ringan. Begitupun para pelaku pembunuhan terhadap mahasiswa dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Hanya karena alasan mereka sudah diadili di pengadilan militer, mereka tidak bisa diseret ke pengadilan ad hoc HAM. Pada bagian lain Usman mendesak pemerintah dan DPR supaya dalam menyelesaikan masalah Aceh dan Papua tetap mengutamakan pendekatan-pendekatan dialogis dengan tetap mengadili para pelaku pelanggaran HAM di kedua wilayah itu. (A-21) Last modified: 9/8/03
Wacana KKR_03
6
Suara Pembaruan, Senin 11 Agustus 2003
UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Perlu Segera Dibahas JAKARTA - Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang akan dibentuk pemerintah bersama DPR dimaksudkan untuk mencegah terjadinya peristiwa-peristiwa yang menyakitkan di masa lalu tidak terjadi lagi di masa depan. KKR merupakan salah satu bentuk mencari, mengungkap kebenaran dan meraih rekonsiliasi, dan karena itu perlu segera dibahas.
M
"KKR untuk memastikan apa yang terjadi di masa lalu. Harus ada kebenaran dan rekonsiliasi baru bisa terlaksana setelah ada kebenaran," kata Direktur Eksekutif ELSHAM, Ifdhal Kasim kepada Pembaruan, di Jakarta, Sabtu (9/8). Panitia Khusus (Pansus) DPR RUU tentang KKR sudah dibentuk dengan anggota 50 orang.
LS A
Namun saat pembentukannya pada rapat pleno DPR belum ditentukan siapa yang menjadi ketua dan wakil ketuanya. "Kemungkinan baru akan dibahas pada rapat 14 Agustus mendatang," katanya. RUU tentang KKR ini sebagai bagian dari pelaksanaan Ketetapan MPR No 5/2000. Saran MPR kepada Presiden yang termuat dalam lampiran Keputusan MPR No 5/2003 adalah tentang Rekonsiliasi Nasional adalah wujud yang lebih spesifik dari upaya rekonsiliasi nasional. Dalam saran tersebut ditulis dengan jelas tujuannya, untuk menciptakan situasi kondusif bagi rekonsiliasi nasional.
pin gE
MPR juga menyarankan kepada Presiden untuk merehabilitasi nama baik para pahlawan dan tokoh-tokoh nasional yang telah berjasa pada bangsa dan negara. Mengingat jasa-jasa Bung Karno, khususnya sebagai salah seorang Proklamator dan Presiden Pertama RI, MPR menyarankan kepada Presiden untuk mengambil langkah-langkah merehabilitasi nama baik Bung Karno. Saran ini salah satu upaya untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi pada Bung Karno pada 19651966. Karena tanpa penyelidikan yang mendalam, tidak akan pernah diketahui secara pasti apa sebenarnya yang menimpa Bung Karno. Kepada mereka yang terlibat PKI saat itu, dapat diketahui peristiwanya secara benar. Untuk ini semua, tambahnya, perlu ada satu pengakuan untuk menemukan kebenaran dari mereka yang terlibat.
kli
"Bertolak dari situ baru bisa dilakukan rekonsiliasi. Kalau tidak ada pengungkapan kebenaran, nanti yang terjadi hanyalah terus menerus timbul prasangka, yang itu dikuatkan dengan pernyataan-pernyataan politik," katanya. Untuk menuntaskan masalah ini, tambahnya, perlu proses yang relatif panjang dan pasti tidak bisa selesai dalam sekejap. (M-11) Last modified: 11/8/03
Wacana KKR_03
7
Kompas, Jumat, 15 Agustus 2003
KKR Dikhawatirkan Menjadi Tameng "Impunity" Jakarta, Kompas - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang sekarang sedang digodok rancangan undangundangnya oleh DPR, dikhawatirkan menjadi tameng bagi impunity (kebebasan dari hukuman) untuk para pelaku pelanggaran HAM semasa Orde Baru. KKR hendaknya jangan jadi ajang bagi-bagi uang saja dengan hanya menekankan aspek rekonsiliasi. Tetapi, yang penting diperhatikan ketika mendefinisikan kerja KKR adalah persoalan rasa keadilan yang selama ini dituntut oleh para korban dari pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan rezim Orde Baru jangan sampai dilupakan.
M
Demikian saripati sharing pendapat yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) berjudul "Mematahkan Impunity: Kewajiban Negara terhadap Pelanggaran HAM Masa Lalu" di Museum Arsip Nasional, Jakarta, Kamis (14/8).
LS A
Acara ini dihadiri oleh kelompok-kelompok korban Orde Baru, di antaranya korban tragedi Semanggi I dan II, Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru, dan Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 1965 (LPKP 1965). Asih Widodo, orangtua dari Sigit Prasetyo yang gugur pada peristiwa Semanggi, dengan nada keras mengatakan dia akan menolak tawaran uang sebagai bentuk rekonsiliasi. Sebab, bagi dia yang terpenting adalah pengadilan orangorang penanggung jawab peristiwa itu. Robertus Robert dari YLBHI, selaku pembicara, mengatakan bahwa para korban dan elemen prodemokrasi perlu mengkritisi RUU KKR ini. Ia mengajak untuk mengambil momen pembahasan ini agar gagasan KKR tidak didominasi oleh kelompok-kelompok yang memiliki keinginan tertentu.
kli
pin gE
"Rezim ini memang telah berganti, tetapi aparat dan komponen politik yang berkuasa masih tetap sama. Oleh karena itu, kita harus mengambil kesempatan gagasan RUU KKR ini, jangan sampai ini menjadi pepesan kosong yang nanti direbut dan diisi oleh mereka yang berkuasa dan punya kepentingan," jelas Robert. (VIN)
Wacana KKR_03
8
Kompas, Selasa 19 Agustus 2003
KKR Harus Terbentuk Sebelum Pemilu 2004 Jakarta, Kompas - Dewan Perwakilan Rakyat diminta untuk segera menggodok Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Diharapkan komisi tersebut segera terbentuk sebelum terselenggaranya Pemilihan Umum 2004. Jika komisi yang telah diamanatkan oleh Sidang Tahunan MPR 2000 ini tak juga terbentuk sebelum pemilu, dikhawatirkanKKR tidak dijamin akan terbentuk setelah kepemimpinan nasional hasil Pemilu 2004.
M
Demikian mengemuka dalam diskusi bertema "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Menimbang Model yang Tepat dan Implementasinya di Indonesia" yang diselenggarakan Kelompok Kerja Pendampingan Orang Muda untuk Demokrasi dan Keadilan (Pokja Pedoman) di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, Sabtu (16/8). Pembicara dalam acara ini adalah Asvi Warman Adam (sejarawan LIPI), Daniel Panjaitan (YLBHI), Agung Putri (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/Elsam), dan Musdah Mulia (staf ahli Menteri Agama).
LS A
Menurut Asvi, kalau pembentukan KKR ditunggu setelah pelaksanaan Pemilu 2004 dikhawatirkan justru tidak akan pernah terbentuk. "Sama sekali tidak ada jaminan apakah kepemimpinan nasional yang akan terpilih pada Pemilu 2004 akan punya komitmen untuk membentuk KKR ini," katanya. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai lembaga ekstra yudisial ini telah diamanatkan dalam Bab V Butir (3) Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Ketetapan MPR tersebut memerintahkan kepada pemerintah untuk membentuk KKR sebagai lembaga ekstra yudisial yang jumlah anggota atau kriterianya ditetapkan dengan UU.
pin gE
Komisi tersebut bertugas menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa. Asvi mengajak berbagai elemen masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat untuk turut mengkritisi penggodokan RUU KKR ini agar KKR yang terbentuk sesuai dengan harapan rakyat, khususnya korban dan keluarga korban kekerasan yang dilakukan rezim otoritarian. Lembaga tersebut jangan menjadi lembaga yang justru akan menjadi alat atau sarana impunity (kebebasan dari hukuman) bagi para pelaku pelanggaran HAM. Daniel Panjaitan dari YLBHI menyoroti inkonsistensi pemerintah dan DPR untuk melaksanakan amanat dari Tap MPR tersebut. Sebab, jika melihat niat untuk membentuk KKR tersebut sangat lemah. "Ini terbukti dengan sudah tiga kali direkomendasikan untuk pembentukan KKR, namun hingga kini KKR belum juga terbentuk," katanya. Padahal KKR bisa memberi arti banyak, yakni bagi keluarga korban secara individu, sebagai bentuk pendidikan dan pengetahuan politik publik, penyelidikan pelanggaran HAM, pertanggungjawaban pelaku kejahatan HAM, serta refleksi dan restrukturisasi lembaga-lembaga yang terlibat dalam pelanggaran HAM ini.
kli
"Dari terminologi hukum, kasus-kasus pelanggaran HAM sering kali sulit dilakukan pembuktiannya di pengadilan. Karena waktu yang sudah lama sering kali para korban telah sembuh dari luka-lukanya serta banyaknya yang sudah lupa kronologis kejadian secara detail. Pelanggaran HAM berat terlalu sempit jika dimasukkan dalam pengadilan sehingga perlu adanya KKR ini," tegas Panjaitan. Gerakan demokrasi
Agung Putri dari Elsam menjelaskan, tidak ada satu pun prinsip baku tentang pembentukan KKR. Sebab, KKR ini merupakan temuan dari pengalaman negara-negara yang baru saja keluar dari rezim otoritarian yang sedang mengalami masa transisi. Putri menambahkan, dalam prinsip hukum internasional tercantum kewajiban negara untuk mengingat tindakan yang telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM di masa lalu. "Proses transisi akan mengalami kemacetan jika negara tidak bisa membongkar masa lalu dan memutus hubungan dengan masa lalu. Tetapi keinginan untuk membongkar masa lalu ini di Indonesia tidak terlalu kuat, ini terbukti dengan Undang-Undang Pemilu yang masih mensyaratkan eks tapol boleh memilih tetapi tidak boleh dipilih dalam Pemilu 2004. Para politisi di DPR masih terikat dengan masa lalu," tegas Putri.
Wacana KKR_03
9
kli
pin gE
LS A
M
Putri menjelaskan, pengalaman pembentukan KKR di hampir 20 negara berlainan satu sama lain karena bergantung pada kompleksitasnya sosial politik negara-negara tersebut. "Tapi yang perlu dicatat, gerakan demokrasi memang sering kali berhasil menggulingkan rezim otoritarian yang berkuasa, namun gerakan demokrasi tidak berhasil mengganti birokrasi pemerintahan," katanya. (VIN)
Wacana KKR_03 10 Kompas, Selasa 19 August 2003
Petisi 50: Segera Lakukan Rekonsiliasi Nasional Jakarta, Kompas - Kelompok Kerja Petisi 50 mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera melakukan langkah-langkah konkret untuk melakukan rekonsiliasi nasional. Langkah konkret yang mereka usulkan terdiri atas beberapa butir. Pertama, adili dan maafkan mantan Presiden Soeharto beserta kroninya, baik sipil maupun militer. Kedua, rehabilitasi dan hilangkan stigma keluarga korban politik masa lalu, terutama keluarga G30S PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia). Ketiga, cabut seluruh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Sementara (Tap MPRS) yang berkaitan dengan hukuman politik terhadap Bung Karno.
M
"Kalau kita mau menyongsong masa depan Indonesia yang bersih dari dendam dan produktif, dan kalau kita tidak mau melihat masa depan Indonesia yang porak-poranda, maka sudah saatnya pemerintah dan para wakil rakyat segera melakukan rekonsiliasi nasional," kata Ali Sadikin selaku juru bicara Petisi 50 dalam acara jumpa pers di rumahnya di Jakarta, Jumat (15/8).
LS A
"Kami berharap, lewat rekonsiliasi tersebut, kita juga bisa meluruskan sejarah," lanjut Sekretaris Petisi 50 Chris Siner Key Timu yang mendampingi Ali Sadikin. Menurut dia, di samping idealisme dan puritanisme, kebangkitan gerakan radikal orang-orang muda di Tanah Air saat ini sebagian masih diwarnai perasaan dendam. "Kalau ini yang terus mewarnai gerakan politik orang-orang muda, maka yang akan terjadi di Tanah Air adalah destabilitas politik, kekerasan, dan anarki," ujar Key Timu menambahkan.
kli
pin gE
Oleh karena itu, lanjut Key Timu, generasi tua harus memberi contoh sikap ksatria dengan berani mengakui kesalahan masa lalu. (win)
Wacana KKR_03 11 Kompas, Senin 25 Agustus 2003
Rehabilitasi Korban 1965 Asvi Warman Adam SIDANG Tahunan MPR, Agustus 2003, gagal mencabut Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
Rekomendasi MA
M
Padahal, selama puluhan tahun Ketetapan (Tap) MPRS inilah yang menjadi "cantolan" berbagai peraturan diskriminatif yang menimpa jutaan warga Indonesia. Misalnya, sebuah keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1981 tentang larangan menjadi pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI/Polri, guru, pendeta, dan sebagainya bagi mereka yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam G30S/1965 dan mereka yang tidak "bersih lingkungan". Demikian pula ketentuan untuk memperoleh KTP seumur hidup bagi mereka yang berusia di atas 60 tahun tidak diperlakukan bagi kelompok ini, lagi-lagi berdasarkan Tap MPRS itu.
LS A
Upaya untuk mencabut stigma buruk bagi mereka yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam peristiwa 1965 beserta keluarganya tinggal melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang mana itu pun masih panjang prosesnya. Saat ini Rancangan Undang-Undang KKR sudah ada di DPR tetapi belum dibicarakan. Tentu ini akan memakan waktu. Sementara pelaksanaan tugas dari KKR itu sendiri tentu akan berlangsung lebih dari setahun.
pin gE
Namun, saat ini berembus angin segar di tengah teriknya matahari saat Mahkamah Agung (MA) menulis surat kepada Presiden Megawati Soekarnoputri, Nomor KMA/403/VI/2003 (12 Juni 2003), yang ditandatangani Ketua MA Bagir Manan. Dalam pertimbangan surat itu disebutkan, berdasarkan Pasal 37 UU Nomor 14 Tahun 1985, MA dapat memberi pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada lembaga tinggi negara lainnya. Belakangan ini MA telah menerima surat dari perorangan atau kelompok masyarakat yang menyatakan diri sebagai Korban Orde Baru dan menginginkan rehabilitasi. Padahal, wewenang rehabilitasi tidak ada pada MA, tetapi merupakan hak prerogatif presiden. Dalam pemberian rehabilitasi itu, berdasarkan Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 yang sudah diamandemen, sebenarnya Presiden RI dapat memberikan rehabilitasi karena telah mendapat rekomendasi dari MA. Pasal 14 UUD 1945 yang sudah diamandemen berkaitan dengan hak prerogatif presiden: Ayat (1), Presiden memberikan Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Ayat (2), Presiden memberikan Amnesti dan Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
kli
Alasan MA mengirim surat ini adalah (1) untuk memberikan penyelesaian dan kepastian hukum yang dapat memulihkan status dan harkat mereka sebagai warga negara yang sama dan (2) didorong semangat rekonsiliasi bangsa. Maka, MA "memberikan pendapat dan mengharapkan kesediaan Saudara Presiden untuk mempertimbangkan dan mengambil langkah-langkah konkret ke arah penyelesaian tuntutan yang sangat diharapkan tersebut". Pemulihan nama baik
Biasanya, menjelang 17 Agustus, pemerintah memberikan remisi bagi tahanan. Juga pada kesempatan ini dapat diberikan amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi yang semuanya merupakan hak prerogatif presiden. Seyogianya setelah tragedi nasional 1965, 38 tahun berlalu, presiden dapat memberikan rehabilitasi kepada mereka yang tidak pernah diadili tetapi telah diberi stigma buruk sebagai orang yang diduga terlibat G30S. Sepuluh ribu orang telah dibuang ke Pulau Buru tahun 1969-1979 tanpa diadili. Menurut Kopkamtib, pada tahun 1979 ratusan ribu orang orang masih dikenai wajib lapor. Ada pendapat, rehabilitasi hanya bisa diberikan kepada mereka yang sudah pernah dihukum. Namun, ada pandangan lain, mereka yang tidak pernah diadili namun pernah menjalani hukuman seperti dibuang ke Pulau Buru, dapat direhabilitasi nama baiknya. Biasanya rehabilitasi itu disertai kompensasi atau ganti rugi. Namun, ganti rugi itu tidak harus berbentuk uang, dapat berupa natura (paket kredit usaha, beasiswa kepada anak-anak mereka, dan lain-lain).
Wacana KKR_03 12 Jika pemerintah tidak mampu karena kondisi ekonomi amat terpuruk dewasa ini, dapat saja kompensasi itu ditangguhkan sampai keadaan keuangan negara mengizinkan. Banyak di antara korban peristiwa 1965 yang sebelumnya bekerja sebagai PNS maupun TNI/Polri. Bila hak mereka dipulihkan, berarti akan diberi tunjangan pensiun bagi orang-orang itu. Namun, bila kini hal itu tidak sanggup dipenuhi, hal itu bisa ditunda. Bagi korban 1965 dan keluarganya, rehabilitasi nama baik itu merupakan hal yang paling utama. Mungkin secara khusus, kalangan swasta yang mampu dapat memberi kompensasi. Seperti Caltex yang sejak tahun 1975 pernah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan "rendahan" (kelompok Non-Staff dan Associate Staff).
M
Rasionalisasi yang dilakukan perusahaan demi efisiensi tentu sesuatu yang lumrah. Namun, dalam kasus ini alasan yang digunakan adalah politik dan hukum. Penyebabnya sepele, karena gaji karyawan itu harus dipotong Rp 100 (seratus rupiah) antara tahun 1964-1966 untuk Persatuan Buruh Minyak (Perbum). Hal ini tidak jauh berbeda dengan keharusan gaji PNS dipotong untuk iuran Korpri pada masa Orde Baru. Padahal sebenarnya hanya sebagian kecil karyawan yang benar-benar aktif pada organisasi yang digolongkan sebagai "seasas/berlindung/bernaung di bawah PKI" (Lampiran Keppres No 85/Kogam/1966). Di Caltex, karyawan yang terkena kasus ini disebut sebagai "Kanai Saratuih" (maksudnya dipecat gara-gara seratus perak). Terhadap kategori ini dapat diberi kompensasi oleh perusahaan yang bersangkutan.
kli
pin gE
Asvi Warman Adam Peneliti LIPI
LS A
MPR telah memberi saran kepada presiden untuk melakukan rehabilitasi. Jadi, Ibu Megawati dapat memberikan rehabilitasi kepada korban peristiwa 1965 dimulai dari mantan Presiden Soekarno sampai kepada bekas tahanan politik golongan A, B, dan C. Tentu saja "rehabilitasi" ini dapat diwujudkan dalam bentuk lain bagi tokoh-tokoh PRRI (misalnya Sjafrudin Prawiranegara, M Natsir, dan Muhammad Rasyid) dengan mengangkat mereka sebagai pahlawan nasional. Rekonsiliasi nasional yang kita dambakan itu akan memperlihatkan titik-titik terang.
Wacana KKR_03 13 Republika, Sabtu, 30 Agustus 2003
Rehabilitasi Massal Komunisme? Oleh : Denny J. A Saya membayangkan Presiden Megawati tampil di TV dalam siaran langsung menyampaikan sebuah pidato yang sangat penting. "Saudara-saudariku sebangsa dan setanah air," ujarnya membuka pidato. "Tak ada bangsa yang dapat melangkah ke depan dengan kokoh jika bangsa itu masih menyimpan luka yang menganga akibat trauma konflik politik di masa silam. Komunisme dan G30 S tahun 1965 telah menjadi momok dan beban politik kita selama sekitar 40 tahun."
M
Publik luas, dari Sabang sampai Merauke, mengikuti pidato Presiden Megawati dengan sangat seksama. Sudah lama terdengar kabar, Megawati akan membuat langkah rekonsiliasi dan rehabilitasi yang sangat historik. "Maka dengan ini, " sambung Megawati, "setelah mendengar pertimbangan dari Mahkamah Agung, saya selaku presiden merehabilitasi secara massal semua korban isu komunisme."
LS A
Lanjut Megawati, "Saya tidak gegabah membuat keputusan ini karena saya menyadari efek politiknya yang sangat mendasar. Sejak lama saya sudah membentuk team yang mempelajari kasus ini. Team ini terdiri dari berbagai unsur yang beragam. Antara lain pakar hak asasi, ulama, unsur partai politik, sampai kepada purnawirawan militer dan tentara yang masih aktif. Dengan melibatkan banyak unsur itu, saya mengharap rehabilitasi ini hasil kompromi kekuatan politik Indonesia dalam spektrum yang beragam." "Setelah reformasi," ujar Megawati lebih lanjut, "kita sebagai bangsa menumpuh rekonsiliasi yang moderat. Tak bisa kita bantah, bahwa kesepakatan politik di MPR secara aklamasi masih melarang komunisme sebagai ideologi di Indonesia. Kenyataan ini harus kita terima dengan lapang dada. Komunisme masih belum dibolehkan."
pin gE
Sambung Megawati lagi, "Namun untuk keluarga pimpinan PKI, dan tokoh lain yang tidak terlibat secara langsung dengan peristiwa G 30 S tahun 1965 tak sepantasnya ikut menanggung hukuman. Harus kita akui, kebijakan bersih lingkungan di masa lalu sudah diterapkan secara sewenang-wenang. Atas nama pemerintah secara resmi saya menyatakan rasa maaf atas semua tindakan yang telah membuat mereka yang tak bersalah menanggung penderitaan selama ini." Megawati menutup pidatonya dengan konklusi bahwa rehabilitasi itu diberikan kepada semua tokoh dan tapol golongan B, C dan sejumlah list lainnya. Ujar Megawati semoga kita sebagai bangsa dapat kembali hidup bersama, melupakan konflik masa silam dan melihat ke depan.
kli
Tak pernah kita tahu, apakah pidato model di atas akan benar-benar terjadi. Belum juga dapat dipastikan, apakah presiden Megawati akan benar-benar merehabilitasi secara massal korban isu komunisme. Memang tekanan atas rehabilitasi itu cukup kuat. Tak hanya kalangan masyarakat yang menyuarakannya, seperti Petisi 50 dan Komnas HAM, tapi juga Mahkamah Agung. Namun jika langkah rehabilitasi diambil Megawati, dapat dipastikan sebagai presiden, Megawati sudah meletakkan fondasi yang kokoh untuk rekonsiliasi nasional. Pada waktunya, rekonsiliasi dan rehabilitasi, bahkan amnesty akan pula diberikan kepada tokoh lain. Trauma konflik politik berskala besar di masa silam, pelan-pelan disembuhkan. Tentu saja langkah moderat di atas akan dikritik oleh pihak yang ekstrem, baik di "kiri" ataupun di "kanan." Pihak "kiri", baik mantan pemimpin PKI, aktivis hak asasi ataupun kaum liberal mungkin menganggap langkah rekonsiliasi itu kurang radikal. Mereka mungkin berharap, misalnya, komunisme sebagai ideologi jangan lagi dilarang. Toh secara internasional ideologi itu sudah ompong. Namun lebih mendasar lagi, sebaiknya komunisme itu dikalahkan dalam pemilu, bukan dilarang melalui regulasi pemerintah. Rehabilitasi tapi masih melarang ideologi komunisme, oleh kalangan ekstrem kiri ini, dianggap langkah yang tak tegas. Jika memang ingin membangun demokrasi yang sejati, ideologi harus dibiarkan bebas. Bukankah publik luas yang akan menentukan ideologi mana yang dipilih. Mengapa takut dengan pilihan publik luas secara demokratis?
Wacana KKR_03 14 Sebaliknya, pihak yang ekstrem kanan, berpendapat yang sama sekali bertentangan. Menurut mereka, rehabilitasi korban komunisme itu seperti membangunkan macan tidur. Buat apa lagi diusik-usik masalah komunisme. Pelaku, ideologi dan korban isu itu sudah terkubur dalam sejarah. Publik luas jangan lagi diingat-ingatkan soal itu. Masalah kita sudah terlalu banyak. Menurut kelompok ini, sangat bahaya jika keluarga dan pelaku komunisme itu direhabilitasi walau mereka hanya dari golangan B dan C. Dendam politik mereka masih tinggi. Mereka akan menyusup membalas dendam. Memang bukan ideologi komunisme itu lagi secara murni yang diperjuangkan. Namun dendam terhadap institusi dan tokoh yang memojokan mereka itu yang akan terus membara. Bagi mereka, isu komunisme masih menjadi variabel disintegrasi bangsa. Rehabilitasi massal atas korban isu komunisme dianggap sebagai blunder politik.
M
Spektrum politik Indonesia memang sangat plural dan luas. Memang tak ada kebijakan politik apapun yang besar, yang dapat menyenangkan semua pihak dari semua spectrum. Walau kritik dari sayap kiri dan sayap kanan dapat dipahami, tapi langkah moderat pemerintah terhadap isu komunisme sudah merupakan langkah maju. Ini hasil kompromi yang optimal.
LS A
Amerika Serikat butuh lebih dari seratus tahun untuk merekatkan kembali warga negaranya. Perang sipil di abad ke 18, antara wilayah selatan dan utara hampir saja menenggelamkan AS. Untung saat itu ada Abraham Lincoln, presiden yang sangat inovatif dan berani mengambil resiko. Ia melihat penghapusan budak itu perlu. Ia melihat AS harus tetap bersatu. Walau badai dan peluru menerjang, demi masa depan negara yang lebih baik, keputusan harus diambil.
kli
pin gE
Perpecahan di Indonesia di tahun 60-an akibat G 30 S PKI memang tidak separah perang sipil di AS. Namun akibat peristiwa itu, jutaan warga negara merasa terpisah dan terisolasi dari mainstream. Butuh waktu yang cukup lama untuk kembali merekatkan dua komunitas yang bertolak belakang. Rehabilitasi korban komunisme sambil tetap melarang komunisme sebagai ideologi adalah langkah moderat awal yang baik. Dipandang murni dari kaca mata hak asasi, ini memang belum ideal. Tapi secara politik praktis, ini langkah yang mungkin. Kita menunggu keberanian Presiden Megawati untuk rehabilitasi massal itu.
Wacana KKR_03 15 Kompas, Jumat, 24 Oktober 2003
Rekonsiliasi Nasional Mendesak Diwujudkan Jakarta, Kompas - Rekonsiliasi nasional merupakan hal yang sangat mendesak untuk segera diwujudkan di Indonesia. Jika hal ini belum terselesaikan, proses politik yang berlangsung di Indonesia akan tetap diwarnai kepentingan kelompok dan balas dendam. Keadaan ini membuat Indonesia makin terbelakang di antara negara terbelakang. Demikian pendapat yang muncul dalam dialog Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) di Jakarta, Rabu (22/10). Di samping menampilkan kesaksian putra-putri korban konflik, empat pembicara mencoba memberi perspektif mengenai apa dan bagaimana yang terjadi pada masa lalu dan dampaknya hingga saat ini. Keempatnya dengan latar belakang berbeda. Mereka adalah Batara R Hutagalung, Tatto S Pradja Manggala, Dr Nani Nurrachman, dan Nurcholish Madjid.
LS A
M
Dalam dialog yang dihadiri lebih dari 200 orang mantan aktivis organisasi di bawah PKI, mantan pejabat Orde Baru, purnawirawan TNI/Polri, maupun anak dan cucu korban peristiwa G30S serta konflik sebelumnya, muncul kekhawatiran bahwa pemerintah dan elite politik saat ini menjauh dari keinginan rekonsiliasi nasional. Ini berkaitan dengan persaingan antarparpol dan perpecahan internal yang merembet ke luar. Sidang tahunan MPR baru- baru ini memang kembali menyebutkan pentingnya rekonsiliasi nasional. Namun, hal ini tidak lebih dari sekadar basa- basi. Selain belum pernah diupayakan pemerintah maupun elite politik secara nasional, perilaku elite politik Indonesia sendiri bertentangan dengan semangat rekonsiliasi. Salah satu peserta mengambil contoh Tap MPR mengenai larangan ajaran yang berbau komunisme. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid hal ini diusulkan agar dicabut, tetapi reaksi elite politik begitu keras menolak. Begitu pula Tap MPRS mengenai keterlibatan Bung Karno dalam peristiwa G30S yang baru-baru ini diusulkan dicabut.
pin gE
Lebih aneh lagi, usulan tersebut malah dimanfaatkan sebagai isu politik yang menyudutkan dan memperuncing pertentangan agama dengan sekularisme. Ini artinya, pola pikir elite politik kita justru memanfaatkan pertentangan demi kekuasaan. Pertentangan yang akan mempertebal segmentasi dalam masyarakat Indonesia. Penolakan elite politik yang duduk di MPR untuk mencabut Tap MPRS mengenai status Bung Karno dalam peristiwa G30S sebenarnya bukan hanya tidak menghargai Proklamator RI. Ini terkait dengan pola pikir sempit elite politik yang hanya mengutamakan kepentingan jangka pendek parpolnya. Dengan kata lain, mereka khawatir rehabilitasi nama Bung Karno akan memberi bobot politik bagi Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 2004. Padahal, Bung Karno adalah milik dan simbol persatuan Indonesia di masa lalu. Namun, elite politik Indonesia berusaha mengingkari sejarah. Pengingkaran demikian selalu menjadi sumber perpecahan, kebingungan, dan konflik terbuka di lapis bawah.
kli
Para peserta dialog umumnya sependapat bahwa penulisan kembali sejarah secara obyektif mutlak dilakukan. Namun, ini jangan diinterpretasikan secara sempit, menyalahkan salah satu pihak. Sejarah yang dimaksud adalah membuka wawasan kita agar belajar dan tidak mengulangi kekeliruan masa silam. Direktur FSAB Suryo Susilo sebelumnya mengungkapkan kepada Kompas, sarasehan ini bermula dari inisiatif beberapa anak keluarga korban peristiwa G30S maupun konflik sebelumnya. Ternyata sambutan masyarakat makin meluas. Tanpa menyebut kesadaran masyarakat lebih tinggi ketimbang elite politik maupun pemimpin nasional sekarang, Suryo hanya berharap proses penyadaran ini nantinya bisa berskala nasional.(MT)
Wacana KKR_03 16 Kompas, Selasa, 04 November 2003
Aliansi Perdamaian * Terobosan Pascakonflik Oleh Ivan A Hadar AGAK sulit dipercaya bahwa pelaku penyerangan di Poso beberapa waktu lalu berasal dari komunitas yang sebelumnya terlibat konflik keras dan kemudian dirukunkan oleh Deklarasi Malino, Desember 2001. Alasannya, metode serangan sangat tidak awam, serentak, sistematis, dan terjaga kerahasiaannya. Betapa tidak. Dengan menggunakan senjata organik dan metode hit and run, para penyerang bergerak cepat membakar dan membunuh.
M
Tujuannya adalah membangkitkan ketakutan dan dendam untuk membalas. Semua itu, berbeda dengan apa yang terjadi pada peristiwa Poso Desember 1998 dan April 2000. Ketika itu, pola penyerangan antarkomunitas berlangsung terbuka, melibatkan ratusan atau bahkan ribuan massa kedua pihak, menggunakan batu, senjata tajam, senapan angin, bom ikan, dan senjata rakitan dalam jumlah amat terbatas. (Arianto Sangaji, Kompas 17/10) Sebenarnya, perubahan pola kekerasan tersebut, juga bisa diamati di beberapa tempat di Ambon sepanjang tahun 2002.
LS A
Yang patut disyukuri adalah reaksi masyarakat berubah. Kalau sebelumnya, banyak yang terpancing untuk melakukan "serangan balasan", kini ada kesan kuat telah muncul kesadaran bahwa ada pihak tertentu yang ingin melanggengkan konflik. Sesuatu yang sama sekali berseberangan dengan kepentingan masyarakat itu sendiri. Di tingkat nasional, sejumlah pemuka masyarakat juga serempak bersetuju, aparat keamanan harus segera menginvestigasi dan membekuk para pelaku. Bila hal ini dibiarkan berlarut tanpa kejelasan, maka seperti yang dikhawatirkan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Prof Ahmad Syafi’i Ma’arif sulit sekali menghindari kesan bahwa aparat turut bermain dalam peristiwa ini. (Tempo, 26/10/)
pin gE
Di tingkat masyarakat daerah konflik, kondisi "lelah konflik" dan kesadaran sekadar menjadi wayang dalam baku bunuh yang absurd, sementara dalangnya entah di mana atau sulit dijangkau hukum, telah membuahkan bentuk dan upaya peace building. Apa saja bentuknya dan bagaimana upaya damai tadi disinergikan dan didukung secara luas, menjadi penting bagi kawasan pascakonflik. Lebih dari itu, upaya damai yang melibatkan berbagai stakeholders itu, bisa menjadi contoh perekat kuat bagi manusia Indonesia yang mulai kehilangan solidaritas antarsesama. STUDI dan assessment berkaitan dengan Program Pemulihan Maluku dan Maluku Utara yang didukung United Nations Development Programme (UNDP), di mana penulis terlibat sebagai anggota tim peneliti, menemukan beberapa bentuk peace building yang bila diperluas implementasinya, bisa menjadi terobosan baru yang efektif dalam merajut kembali kehidupan berbangsa. (INSIST, 2003)
kli
Salah satu terobosan terjadi di Desa Debut, sebuah desa nelayan di Pulau Kei Kecil, Maluku Tenggara. (Craigh C Thorburn, 2001). Debut adalah salah satu desa yang paling parah dilanda konflik horizontal. Meski demikian, hanya dalam waktu beberapa bulan, Debut bisa berbenah diri menjadi salah satu desa paling aman dengan tingkat kohesivitas penduduk yang sangat tinggi di tengah suasana konflik yang, ketika itu, masih melanda Maluku. Penyebabnya adalah terpilihnya kepala desa baru, seorang mantan aktivis lembaga swadaya masyarakat, yang dengan karismanya bergerak cepat menyatukan masyarakat desa. Lebih dari itu, pada Mei dan Juni 1999, penduduk desa ini telah menyelamatkan ratusan nyawa, ketika berhasil menghalangi serangan para perusuh dari desa lain yang berniat menyerang beberapa desa tetangganya yang beda agama. Konon, pada malam hari, penduduk Debut menyalakan lampu sepeda motor dan kendaraan bermotor lainnya menerangi desa tetangganya yang terancam diserang, Dian Pulau, agar tidak mudah diserang dari laut. Mereka juga menyelundupkan makanan, air, dan selimut ke desa yang dikepung para perusuh itu. Kepala desa kemudian bernegosiasi dengan para penyerang yang membuahkan perdamaian dan rekonsiliasi. Alo Jamlean, sang kepala desa, seusai memenangkan pemilihan kepala desa dengan mengantongi 90 persen suara, tanpa menunggu pengangkatan resmi, langsung meminta lima marga besar di desanya untuk menunjuk wakil mereka dalam Saniri-nama adat dari Badan Perwakilan Desa (BPD). Selain itu, Saniri juga memiliki anggota nonadat, yang mewakili pemuda, perempuan, dan kelompok terpelajar seperti guru, pensiunan pegawai negeri serta pengusaha swasta.
Wacana KKR_03 17 Secara terbuka, ia juga menghukum staf desa yang menyalahgunakan dana dan jabatan. Lewat sejumlah public hearing, bisa dihasilkan sejumlah peraturan desa (Perdes) berkaitan dengan penghasilan desa, proyek umum, pengaplingan lahan dan laut, perencanaan kawasan, serta peran serta tanggung jawab kepala desa dan anggota Saniri.
M
Perubahan dramatis yang terjadi di desa Debut, telah menginspirasikan sebuah rencana pengembangan kampanye pelatihan dan advokasi bagi reformasi pemerintahan desa di Kepulauan Kei. Namun, Ajo Jamlean menolak rencana untuk menjadikan Debut sebagai pusat pelatihan bagi program tersebut. Karena, hal tersebut akan sejalan dengan rencana pemerintah kabupaten untuk mengubah status Debut menjadi kelurahan yang otomatis mereduksi otonominya sebagai desa. Meskipun demikian, ia tetap bersedia memberikan kontribusi bagi rencana tersebut sebatas menggunakan Debut sebagai lokasi studi kasus dan magang. Dalam kaitan dengan resolusi konflik, desa Debut memprakarsai sebuah jaringan lepas dengan beberapa desa tetangga yang heterogen. Pertemuan dalam berbagai hal, termasuk mencari solusi bagi potensi konflik, menjadi agenda rutin. Community policing, juga dilakukan untuk mengamankan kawasan seputarnya.
LS A
TEROBOSAN lainnya berasal dari Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah di Ambon dengan apa yang disebut "Sekolah Rekonsiliasi". Ide dasar program ini adalah menyediakan tempat pendidikan di Sekolah Menengah Umum (SMU) Muhammadiyah Ambon yang dikelola bersama oleh guru dari kalangan Muslim dan Kristen bagi murid dari dua pemeluk agama tersebut. Untuk menarik minat murid, SMU Muhammadiyah menyediakan "Kelas Akselerasi" bagi siswa potensial yang memperoleh paket pelajaran kelas II dan III yang diselesaikan dalam waktu satu tahun. Sebanyak 30 murid berbakat, masing-masing 15 Muslim dan 15 Kristen, diberikan beasiswa dengan metode pendidikan khusus dengan jam pelajaran dari jam 7.30 hingga 16.00.
pin gE
Terlepas dari pro-kontra berkaitan dengan aspek pedagogis dan beban pelajaran yang padat, "model" SMU Muhammadiyah ini merupakan sebuah terobosan bagi dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan yang dikelola pihak Muslim. Sejauh ini, sekolah swasta berlabel keagamaan yang menerima-atau tepatnya, terbuka-bagi siswa dari agama berbeda, hanyalah sekolah Kristen, terutama sekolah-sekolah Katolik. Sekolah berlabel Islam, seperti Muhammadiyah, Ma’arif (NU) dan lainnya, umumnya memiliki 100 persen siswa Muslim. Dengan demikian, SMU Muhammadiyah Ambon, bisa dianggap sebagai pemula yang melakukan terobosan. Dan, yang menggembirakan, ide ini tampaknya disambut baik pimpinan pusat Muhammadiyah. Bahkan menurut Ketua Majelis Pendidikan Muhammadiyah Ambon, Ismail Sangaji, Dikdasmen Muhammadiyah Pusat bukan sekadar menyetujui model yang diajukan Muhammadiyah Ambon, tetapi melangkah lebih jauh. Konon, bila suatu saat Muhammadiyah Ambon mampu memiliki lahan yang cukup luas untuk membangun lembaga pendidikan, konon pejabat Dikdasmen pusat memberikan usulan agar "selain sekolah campur tadi, ada baiknya dibangun gereja selain masjid."
kli
Bila terobosan SMU Muhammadiyah Ambon ini bisa menjadi salah satu model dalam pendidikan Muhammadiyah secara nasional, maka sumbangannya bagi inklusivitas Muhammadiyah dan Islam di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini akan sangat berharga. Baik secara nasional, maupun bagi peradaban dunia, karena bisa menggugah pemeluk agama lain untuk melakukan hal yang sama. Sesuatu yang sebenarnya bukan hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah peradaban Islam, meski lama terabaikan.
Di Mesir abad ketiga misalnya, ada raja, bernama Ahmad bin Tulun. Ia sering menganjurkan tukar-menukar "khatib". Dari Gereja Ortodox berceramah di masjid, yang Islam ceramah di gereja. Tentu saja, isinya tentang hal yang universal yang disepakati kedua ajaran. Kemudian, ada pula Sultan Harun Al-Rasyid yang membangun gereja Kristen di Baghdad. Toh dalam hal iman umat beragama, banyak persamaannya. Ada aktivis lembaga swadaya masyarakat teman saya di Tual yang beragama Katolik mengatakan, "Kalau orang-orang Kristen dan Katolik sampai pada inti agama yang disebut cinta kasih, demikian juga yang Muslim sampai pada inti agama yang disebut keikhlasan dan ketulusan, kita bisa hidup damai di mana saja dan kapan saja. Kita lalu bisa bareng berbuat kebajikan bersama dan membantu orang yang lemah." Ini yang menurut mendiang Romo Mangunwijaya disebut berlombalomba dalam kebajikan. Kalau ini yang terjadi, yang untung, ya, orang yang selama ini tergusur, tertekan, miskin dan butuh perlindungan. Aliansi kebajikan ini, bisa berkembang menjadi aliansi perdamaian, bukan hanya di Ambon, Debut, dan daerah pascakonflik lainnya. Ivan A Hadar Direktur IDe (Indonesian Institute for Democracy Education), Jakarta
Wacana KKR_03 18 Republika, Kamis, 06 Nopember 2003
PKI dan Rekonsiliasi Oleh : Salahuddin Wahid
Dalam peringatan 30 September 2003 saya diminta bicara di depan para mantan tapol G 30 S dan keluarga. Pada 23 Oktober 2003 saya diminta bicara bersama Asvi Warman Adam dan Ester I Yusuf di Institut Studi Arus Informasi (ISAI) dalam acara bedah tiga buah buku sekitar G 30 S. Salah satunya berjudul "G 30 S Sejarah yang Digelapkan". Medio September 2003 di kantor Komnas HAM saya menerima pengaduan tentang tindak kekerasan oleh PKI di Madiun (1948). Para pengadu itu menyerahkan daftar nama korban.
M
Saya mengikuti serangkaian wawancara Metro TV terhadap beberapa tokoh yang berseberangan dalam rangka memperingati 30 September. Wawancara tersebut memberi informasi kepada masyarakat luas yang tidak tahu persis apa yang terjadi, khususnya generasi muda. Memang generasi muda menjadi bingung akibat perubahan drastis yang timbul sebagai hasil keterbukaan yang kita alami saat ini.
LS A
Kita harus memberi informasi yang benar dan tepat serta berimbang terhadap apa yang sebenarnya terjadi, walaupun tidak mudah untuk melakukan hal itu. Pasti akan ada pertentangan yang tajam dalam melihat peristiwa G 30 S dan Peristiwa Madiun. Akan ada dua versi yang sulit untuk mengklarifikasi mana yang benar. Kedua pihak merasa benar. Sementara itu pemerintah telah menugasi Dr Taufik Abdullah dkk untuk menulis kembali sejarah Indonesia.
pin gE
Tiga pokok soal Dalam diskusi di ISAI saya sampaikan pandangan tentang tiga hal: (1) peristiwa G 30 S, (2) komunisme dan PKI, dan (3) perlakuan terhadap korban dan keluarganya. Ketiga hal itu harus kita jelaskan kepada generasi muda yang amat membutuhkan kejelasan sikap kita. Menurut saya hal itu amat penting sehingga membuat tulisan ini tanpa harus menunggu 30 September tahun depan. Di ISAI, di depan sekitar 100 orang yang saya duga kebanyakan adalah simpatisan korban kekerasan tahun 1965 dan pendukung PKI, saya sampaikan pengalaman saya pada tahun 1965 dan 1966. Selesai mendengar pengumuman Dewan Revolusi (1 Oktober 1965) bersama ibu, kakak, dan adik, kami langsung berkesimpulan bahwa yang telah melakukan makar adalah PKI. Reaksi spontan itu adalah sesuatu yang wajar kalau kita hidup di Indonesia pada tahun 1962-1965 dan berada pada pihak yang tidak pro-PKI. Hal itu adalah hasil dari pemahaman terhadap proses politik yang berlangsung di negara kita. Selama 1962-1965 kami mendengar langsung dari kawan dan saudara di Jawa Timur bagaimana PKI dan organisasi di bawahnya melakukan aksi sepihak dan provokasi yang menimbulkan konflik dengan kalangan Islam, kalangan agama lain, dan pihak TNI. Beberapa peristiwa masih teringat di luar kepala seperti insiden di Kanigoro dengan PIL, di Muncar (Banyuwangi) dengan Ansor, dan Bandar Betsy (Sumut) yang menewaskan Pelda Sujono.
kli
Rumah ibu saya selama Oktober 1965 menjadi semacam Posko bagi kalangan NU karena letaknya sentral dan berada di samping rumah perwira TNI yang mendapat penjagaan. Di situ saya terlibat dalam penggodokan sikap NU terhadap G 30 S, membantu para senior saya seperti Pak Ud, Mahbub Junaedi, Said Budairy, dll. Sikap NU tegas yaitu meminta pembubaran PKI karena keterlibatannya dalam G 30 S. Di rumah Sudisman (tokoh CC PKI) yang ada di dekat rumah ibu saya, terdapat daftar tokoh-tokoh yang anti-PKI. Nama ibu saya terdapat di dalam daftar itu. Kesimpulan yang wajar (pada saat itu) terhadap daftar itu ialah bahwa nama-nama tersebut akan ditangkap atau bahkan dihabisi oleh PKI. Kita sekarang bisa mengatakan bahwa daftar itu dibuat oleh pihak TNI untuk memojokkan PKI. Tetapi kita harus memahami situasi dan kondisi saat itu. Tidak bisa kita menilai apa yang terjadi 38 tahun lalu dengan perspektif dan setting sosial-politik masa kini.
Beberapa pekan setelah itu mulai terdengar informasi tentang terjadinya pembunuhan terhadap mereka yang diduga menjadi anggota PKI atau organisasi mantelnya. Jumlah korban kabarnya mencapai ratusan ribu orang. Disiarkan bahwa para anggota Banser di Jawa Timur terlibat di dalam kegiatan itu. Saya, adik, kakak, dan ibu sering membahas hal itu. Kami menyesal hal itu terjadi dan sulit untuk bisa menerimanya. Januari 1966 di Jakarta berlangsung peringatan Harlah ke-40 NU. Dalam kegiatan itu banyak anggota Banser dari berbagai tempat datang ke Jakarta. Kami sempat diskusi dengan beberapa dari mereka. Kami sampaikan pikiran
Wacana KKR_03 19 kami tentang pembunuhan terhadap orang yang diduga anggota PKI di Jawa Timur. Mereka menjawab situasi amat mencekam dan menghendaki mereka untuk melakukan tindakan itu. Tidak ada pilihan lain, membunuh atau dibunuh. Kami hanya bisa bersyukur bahwa kami tidak berada pada posisi seperti para anggota Banser itu. Kita sekarang menghadapi suatu teka-teki tentang siapa yang sesungguhnya berada di belakang G-30 S, apakah PKI atau TNI AD, atau permainan CIA? Jenderal Mursyid pernah menyatakan tuduhan: Pak Harto ada di belakang G 30 S. Pendapat serupa juga disampaikan oleh banyak pihak. Pihak TNI AD sejauh saya ketahui tidak banyak menanggapi tuduhan itu. Dalam status TNI AD sedang berada pada posisi yang terpojok memang tidak terlalu mudah untuk bisa membendung upaya menghapuskan keterlibatan PKI dalam G 30 S, khususnya di kalangan generasi muda.
M
Tidak mudah untuk menemukan jawaban terhadap teka-teki itu. Jangankan untuk peristiwa tahun 1965, untuk kasus Mei 1998 saja kita sulit untuk menemukan jawaban pihak mana sebenarnya yang bermain sehingga mengakibatkan korban ratusan jiwa melayang. Kita memang harus terus berupaya untuk membuka kabut sejarah itu dan sejarah yang akan menjawab pertanyaan itu.
LS A
Dalam diskusi di ISAI, seorang pemudi menanyakan kebenaran informasi yang dia terima dari salah seorang kawannya bahwa keluarga si kawan itu menjadi korban pembunuhan oleh PKI di masa lalu. Saya menjawab bahwa PKI terlibat dalam pemberontakan Madiun (1948). Pada usia 10 tahun saya melihat foto menggambarkan seorang lelaki bercelana pendek tanpa baju berdiri dengan mata tertutup dan dihadapannya berjajar beberapa orang yang memegang senapan dan menujukan senapan itu kepada orang yang ditutup matanya itu. Saya bertanya kepada ayah saya siapa orang itu. Beliau menjawab bahwa orang itu adalah anggota PKI yang dihukum mati karena terlibat dalam pembunuhan terhadap kalangan ulama yang kebetulan adalah famili dari ayah saya.
pin gE
Pelarangan ajaran komunisme Pertanyaan kedua ialah bagaimana sikap kita terhadap komunisme, apakah isme itu tetap harus dilarang? Seperti kita tahu, upaya pencabutan TAP MPRS No XXV/1966 tidak berhasil. Pelarangan terhadap komunisme juga dimasukkan dalam RUU KUHP. Kita melihat bahwa terdapat pro-kontra terhadap pelarangan itu. Ada yang menyetujui pelarangan itu dan membandingkannya dengan pelarangan yang dilakukan bangsa Jerman terhadap ajaran NAZI. Tetapi ada yang menolak larangan itu dengan argumentasi bahwa kita tidak berhak melarang karena bertentangan dengan HAM yang dijamin oleh UUD kita. Banyak anak muda, termasuk juga di kalangan NU, tertarik untuk mempelajari ajaran Karl Marx. Alasannya sederhana, ajaran itu menunjukkan pemihakan yang jelas terhadap nasib rakyat kecil. Mereka melihat masyarakat yang penuh dengan penindasan terhadap rakyat kecil, banyak pengangguran, banyak rakyat yang menderita kelaparan. Mereka juga menyaksikan penggusuran yang dilakukan secara besar-besaran dengan menggunakan aparat pemerintah dalam jumlah besar seperti hendak memerangi musuh. Di tengah suasana seperti itu mereka melihat banyak pejabat yang hidup mewah (yang mereka duga dari hasil KKN). Mereka juga membaca berita tentang kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat kecil.
kli
Tidak heran kalau mereka amat tertarik dengan gagasan yang terdengar indah itu yang menjanjikan jalan keluar dari keadaan yang amat menyedihkan bagi rakyat banyak, termasuk kemungkinan melakukan revolusi. Mereka tidak ingin mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya komunisme dalam praktiknya. Mereka tentu tahu bahwa komunisme telah ditinggalkan oleh sebagian besar pendukungnya yang telah gagal mewujudkan paham itu dalam kehidupan nyata. Tetapi bagi mereka komunisme/marxisme tetap menawarkan pesona indah. Kalangan muda NU mungkin banyak yang kecewa dengan perilaku para tokoh Islam yang menurut mereka tidak banyak yang menunjukkan kepedulian terhadap nasib rakyat banyak yang tetap menderita setelah Indonesia merdeka lebih dari 50 tahun. Bagi mereka masyarakat Islam lebih sibuk dengan ibadah ritual dan mengabaikan ibadah sosial yang sebenarnya harus lebih kita utamakan. Bagi mereka Islam historis tidak sebaik Islam normatif yang telah mereka pelajari sekian lama. Pendapat itu benar, tetapi mereka tampaknya lupa bahwa komunisme historis juga tidak lebih baik daripada Islam historis kalau tidak mau kita katakan lebih buruk. Banyak buku baru yang mempromosikan gagasan-gagasan tokoh kiri seperti Karl Marx, Tan Malaka, dan Che Guevara. Juga diterbitkan buku-buku tentang pemberontakan Madiun maupun G 30 S yang isinya menafikan keterlibatan PKI. Para penentang PKI harus menerbitkan buku-buku tentang tema serupa namun dengan perspektif yang berbeda. Tentu dengan kualitas yang bagus. Buku semacam "Prahara Budaya" perlu dicetak ulang. Kita serahkan pada masyarakat untuk menilai mana yang salah dan mana yang benar.
Wacana KKR_03 20 Bagaimana kita harus menyikapi PKI? Bagi saya keterlibatan PKI di dalam Pemberontakan di Madiun (1948) dan G 30 S (1965) tidak usah diragukan lagi. Mungkin saja ada faktor lain yang memicu mereka untuk melakukan pemberontakan tersebut. Tetapi faktor pemicu itu tidak dapat dijadikan justifikasi terhadap pemberontakan itu. Oleh karena itu saya setuju untuk melarang berdirinya kembali PKI. PKI dan keluarganya Terakhir kita perlu bicara tentang bagaimana seharusnya sikap kita terhadap para mantan tapol dan simpatisan PKI serta keluarganya. Kita harus memisahkan politik dengan kemanusiaan. Jadi kita harus memperlakukan para keluarga korban itu sama dengan warga negara yang lain, tidak boleh ada diskriminasi. Kita harus menghormati hak mereka dalam segala bidang kehidupan, tidak boleh ada yang dikurangi.
M
Hak-hak milik pribadi mereka yang pernah dirampas oleh siapapun harus dikembalikan. Hak-hak sipil dan politik mereka juga harus dijaga dan dihormati. Demikian pula halnya dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kalau ada keluarga korban atau pihak mana pun yang ingin menguburkan kembali kerangka yang dikuburkan secara massal, kita tidak perlu melarangnya.
LS A
Secara sosial kita harus menerima kembali mereka sebagai anggota masyarakat yang utuh. Kita tidak boleh mengucilkan atau memojokkan mereka. Kalau ada famili kita yang akan menikah dengan keturunan mantan tapol seyogyanya tidak kita larang semata-mata dengan alasan bahwa mereka adalah keturunan tapol. Kita tidak boleh memperlakukan mereka sebagai warga negara kelas dua atau kelas kesekian. Bagaimana dengan tuntutan untuk membuka kembali peristiwa yang memakan korban ratusan ribu orang anggota dan simpatisan PKI dan ormas mantelnya pada tahun 1965 itu? Artinya dilakukan penyelidikan terhadap peristiwa itu. Komnas HAM selaku lembaga yang berwenang melakukan penyelidikan itu telah membuat tim untuk mengkaji peristiwa itu.
pin gE
Sejumlah anak-anak NU yang tergabung dalam Syarikat Indonesia yang telah memulai upaya ke arah rekonsiliasi dengan keluarga korban di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka melakukan kegiatan bersama dengan keluarga korban yang dalam jangka panjang diharapkan dapat mencairkan hubungan antarkelompok dan diharapkan dapat diikuti oleh masyarakat secara luas. Sebagai salah seorang pimpinan NU saya amat menghargai dan merasa bangga terhadap kegiatan kemanusiaan anak-anak muda NU itu. Rekonsiliasi sosial di tingkat akar rumput akan lebih berarti walaupun membutuhkan waktu lebih panjang. Saya tahu banyak kawan-kawan saya yang merasakan adanya bahaya dan ancaman komunisme terhadap kehidupan kita. Banyak dari mereka telah datang ke tempat saya untuk menyampaikan hal itu. Menurut saya, komunisme lebih merupakan tantangan daripada ancaman.
kli
Komunisme hanya bisa tumbuh dan hidup dalam masyarakat yang subur untuk paham itu. Masyarakat kita sekarang adalah masyarakat yang penuh dengan ketidakadilan, kemunafikan, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan berbagai penyakit sosial lainnya. Kita harus menjawab tantangan itu dengan berjuang menghilangkan lahan yang subur untuk tumbuhnya komunisme. Umat Islam (dan umat agama lain) harus berjihad menghilangkan ketidakadilan, korupsi, kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan penyakit masyarakat lainnya. Jihad utama kita adalah jihad sosial seperti ini. Wakil Ketua Komnas HAM
Wacana KKR_03
1
Wacana KKR September 2003 Kompas, Senin, 01 September 2003
Pengungkapan Kebenaran dalam RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Oleh Fadjar I Thufail Pemerintah akhirnya menyerahkan draf RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi kepada DPR setelah terbengkalai beberapa saat. Panitia Khusus di DPR segera bersidang guna membahas draf RUU tersebut yang diajukan pemerintah. Langkah pemerintah mengajukan draf RUU itu tampaknya berdimensi ganda.< p>
M
Di satu pihak, ini langkah maju dalam usaha transisi ke arah sistem politik yang lebih demokratis dibandingkan dengan masa rezim Orde Baru. Namun, di pihak lain, bila dicermati, draf Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) ini mengandung beberapa kelemahan mendasar yang, bila tidak disikapi secara kritis, justru akan menjadi penghalang terhadap usaha penegakan dan penghormatan bagi prinsip- prinsip hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
LS A
Sesuai dengan namanya, RUU KKR mencakup dua bagian besar, soal "pengungkapan kebenaran" dan "rekonsiliasi". Tulisan ini akan difokuskan pada aspek pertama, yaitu "pengungkapan kebenaran". Meski tulisan ini tidak membahas soal "rekonsiliasi", bukan berarti aspek itu memiliki derajat kepentingan yang lebih rendah dibandingkan dengan "pengungkapan kebenaran". Bagi kepentingan korban, misalnya, soal "rekonsiliasi" dengan segala rinciannya, seperti masalah restitusi dan rehabilitasi, jauh lebih bermakna untuk bekal menghadapi realitas kehidupan sehari-hari sekarang.
pin gE
Pertama-tama perlu dicermati bagaimana RUU KKR ini diletakkan dalam diskursus HAM di Indonesia. Dalam pertimbangan yang dikemukakan pemerintah, tampak RUU KKR memanfaatkan sekaligus berusaha mengisi keterbatasan yang ada dalam Undang-Undang (UU) Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 1 RUU KKR disebutkan, ruang lingkup RUU ini mencakup wilayah pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam UU No 26/2000, yaitu pelanggaran HAM berat berupa genosida (genocide) dan kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity). Dalam RUU juga jelas dikatakan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertugas menyelesaikan pertanggungjawaban tentang pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi sebelum UU No 26/2000 berlaku secara efektif. Meski demikian, dengan merujuk pada UU No 26/2000, RUU KKR mempersempit dimensi pelanggaran HAM pada pengertian genosida dan kejahatan melawan kemanusiaan yang ditafsirkan dalam UU No 26/2000 itu. Dengan pengertian ini, pelanggaran HAM masa lalu di luar batasan penafsiran UU No 26/2000 tidak dapat dijadikan ruang lingkup kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
kli
Dengan kata lain, bila terjadi pelanggaran HAM, tetapi peristiwa itu tidak bisa dikategorikan sebagai sebuah "pelanggaran HAM berat" menurut UU No 26/2000, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tak memiliki wewenang untuk mengungkap "kebenaran" peristiwa itu, apalagi mengusahakan rekonsiliasi antarkelompok yang terlibat dalam peristiwa itu. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan demikian akan menjadi macan ompong bila terjadi sebuah proses politik maupun yudisial yang memutuskan bahwa di masa lalu tak pernah terjadi pelanggaran HAM berat sebagaimana ditafsirkan oleh UU No 26/2000.
Dibandingkan dengan pasal-pasal yang mengatur perangkat dan keanggotaan Komisi, hanya sedikit pasal yang mendefinisikan soal "kebenaran" dan mengatur cara "kebenaran" itu bisa diperoleh dan ditafsirkan. Dalam Pasal 1 tentang Ketentuan Umum, "kebenaran" ditafsirkan sebagai "kebenaran atas suatu peristiwa" yang meliputi "korban, pelaku, tempat, maupun waktu". Penafsiran "kebenaran" semacam ini memiliki implikasi sosiologis dan kultural yang sama sekali tak disentuh oleh draf RUU KKR ini. ASUMSI yang mendasari penafsiran RUU ini adalah asumsi legal-positivistik yang beranggapan, kebenaran substansial dapat diperoleh tanpa memandang asal- usul, latar belakang kultural, dan pengalaman historis mereka yang memberi kesaksian. Seperti dikemukakan Douglas Cassel, Priscilla Hayner, dan Paul van Zyl (2000), kerja
Wacana KKR_03
2
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di negara-negara lain sering berkutat pada penafsiran tentang "kebenaran peristiwa" yang bertolak belakang atau tidak lengkap. Menghadapi persoalan ini, KKR di Afrika Selatan, misalnya, lebih menekankan aspek truth-telling (penceritaan kebenaran), bukan truth-seeking (pencarian kebenaran), dalam ruang lingkup dan mekanisme kerja mereka. Sayang, pasal-pasal dalam RUU KKR cenderung mencampuradukkan kedua pengertian ini meski sebenarnya ada perbedaan mendasar pada landasan asumsi dan praksis kedua perspektif itu. Penafsiran tentang "kebenaran peristiwa" secara legal-positivistik dalam RUU KKR berdampak terhadap kerancuan tugas, wewenang, dan mekanisme kerja KKR yang diatur RUU ini. Tugas KKR seperti diatur dalam Pasal 5 (a) dan (b) adalah menerima pengaduan atau laporan dan melakukan penyelidikan dan klarifikasi tentang pelanggaran HAM berat.
LS A
M
Sementara itu, wewenang KKR dalam Pasal 6, antara lain, adalah melaksanakan penyelidikan, meminta keterangan, mendapatkan dokumen, dan memanggil orang untuk memberi keterangan dan kesaksian. Secara tersirat, Pasal 6 meletakkan pengertian keterangan dan kesaksian sebagai alat bukti legal yang dapat dipakai sebagai material sah guna mengadakan penyelidikan dan melakukan klarifikasi adanya pelanggaran HAM. Lagi-lagi pengertian keterangan dan kesaksian semacam ini mempersempit pengertian "kesaksian" yang seharusnya ditafsirkan secara luas sebagai sebuah "testimoni" (testimonial account). Testimoni sebenarnya adalah bagian kesaksian sejarah yang bersifat amat personal. Oleh karena bersifat personal, testimoni sering tidak lengkap (fragmented) dan tidak selesai. Kepentingan testimoni adalah memberi ruang bagi seorang pelaku atau korban untuk menceritakan peristiwa yang ia lihat atau alami. Nilai testimoni tidak terletak pada kemampuannya sebagai alat untuk klarifikasi atau penyelidikan, tetapi sebagai mediasi truth-telling.
pin gE
Berlandaskan interpretasi inilah, KKR di beberapa negara cenderung menekankan perannya sebagai lembaga tempat orang datang untuk menceritakan dan merekam testimoni mereka. Di Afrika Selatan, KKR mengumpulkan testimoni untuk dijadikan bagian narasi kesaksian sejarah bahwa sebuah peristiwa pelanggaran HAM pernah terjadi di negara itu. Dengan demikian, KKR di Afrika Selatan berfungsi lebih sebagai agen sejarah, bukan sekadar agen pembuktian hukum. Apabila KKR di Indonesia akan diarahkan sebagai komisi yang memiliki fungsi truth-seeking, hal itu sah saja. Konsekuensi dari pilihan itu adalah memberi wewenang luas kepada KKR untuk melakukan penyelidikan tentang peristiwa pelanggaran HAM. Akan tetapi, harus diingat, fungsi semacam ini akan tumpang tindih dengan fungsi Komisi Nasional (Komnas) HAM dan tak dapat dielakkan akan muncul pandangan bahwa KKR hanya akan menambah daftar komisi yang dibentuk, tetapi tidak pernah menghasilkan kerja maksimal.
kli
Di pihak lain, bila KKR diarahkan sebagai lembaga yang berfungsi mengatur rekonsiliasi dan kompensasi semata, maka akan muncul keberatan dari keluarga korban yang menghendaki adanya penyelesaian hukum terhadap pelanggaran HAM yang mereka alami. Selain itu, ketidakpuasan terhadap pengadilan ad hoc HAM yang sudah berlangsung sejauh ini akan menjadikan persoalan rekonsiliasi dan kompensasi sebagai "telur di ujung tanduk" karena tak seorang pun percaya bahwa hal itu membawa keadilan bagi mereka yang menjadi korban. Penulis berpendapat, RUU KKR sebaiknya dijadikan dasar pijakan untuk pembentukan sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang memiliki fungsi truth-telling untuk mediasi peristiwa kekerasan dan konflik yang pernah terjadi. Secara bersamaan, perlu pula diperkuat fungsi truth-seeking Komnas HAM sehingga, apabila ditemukan testimoni yang memenuhi unsur pelanggaran HAM, maka KKR bisa menyerahkan kepada Komnas HAM untuk penyelidikan sebagaimana mestinya.
Dengan cara itu, ruang cakupan KKR tidak dapat dibatasi sekadar pada peristiwa pelanggaran HAM berat yang ditafsirkan dalam UU No 26/2000. Komisi ini melakukan "pengungkapan kebenaran" dengan cara mengumpulkan testimoni dan menelusuri peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM. Bersamaan dengan itu, dapat pula dibicarakan dan disepakati peristiwa historis seperti apa yang "kebenarannya" perlu ditelusuri lebih lanjut melalui pengumpulan testimoni. Implikasi pilihan ini, KKR harus diisi orang-orang profesional yang peka terhadap sejarah pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Fadjar I Thufail Peneliti LIPI; Kandidat PhD di Departemen Antropologi Universitas Wisconsin-Madison, AS
Wacana KKR_03
3
Kompas, Senin, 01 September 2003
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Samsudin Di beberapa daerah di Indonesia terjadi pelanggaran HAM berat yang dilakukan masa lalu. Apakah ini akan dibiarkan tanpa tindakan hukum? Apakah kita menganut faham impunity (kebal hukum) dan unable to prosecute (tidak dapat dituntut)? Nurani dan rasa kemanusiaan kita tidak dapat menerima pembebasan mereka yang telah melakukan kekejaman luar biasa. Kekejaman itu telah mengakibatkan korban jiwa, runtuhnya moral, dan rusaknya fisik korban, serta membawa dampak buruk kepada keluarganya. Bentuk kekejaman itu berupa extra judicial killing, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
LS A
M
Jelas, impunity dan unable to prosecute tidak dapat diterima. Hal ini dapat terbaca pada Pasal 4 dan penjelasannya dari Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 46 UU No 26/2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia. Kedua undang-undang itu menganut asas retroaktif; artinya pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum kedua undang-undang itu diundangkan dapat diusut kembali. Demikian pula Tap MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional mengamanatkan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat yang terjadi pada masa lalu.
pin gE
Ketetapan MPR ini menggambarkan parahnya penyalahgunaan kekuasaan masa lalu. Tap MPR ini menggambarkan betapa penyalahgunaan kekuasaan masa lalu berdampak antara lain kepada pelanggaran HAM, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal serta lemahnya penegakan hukum. Akibatnya, timbullah masalah kepada persatuan dan kesatuan nasional. Tap MPR itu mengamanatkan agar membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). UU No 26/2000, juga memberikan alternatif penyelesaiannya melalui KKR. KKR itu harus dibentuk melalui undangundang pula. ADA dua hal yang perlu diketahui tentang KKR. Pertama, KKR adalah lembaga ekstra judisial yang dapat menyelesaikan perkara di luar pengadilan. Kedua, KKR dirancang untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang hanya berlatar belakang politik dan terjadi antara dua kurun waktu tertentu. Apa perlunya kita menyelesaikan masa lalu yang gelap itu? Pertama, karena hal itu berpotensi menjadi sumber disintegrasi bangsa. Kedua, pada masa transisi, Orde Reformasi perlu menunjukkan perbedaannya dengan Orde Baru yang represif. Dengan menegakkan struktur bernegara, seperti demokrasi, hukum, dan HAM, Orde Reformasi akan mendapat dukungan kuat dari masyarakat.
kli
Setiap undang-undang yang dibuat tidak lepas dari filosofi yang mendasarinya. Demikian halnya undang-undang KKR yang menganut filosofi, "Demi persatuan bangsa, pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu dapat dimaafkan, bukan untuk dilupakan, dengan lebih dahulu mengungkap kebenaran" adalah jaminan bahwa proses peradilan tetap ada dan berjalan. Kebenaran itu berupa pengakuan pelaku di depan KKR atas perbuatan kejam yang dilakukan dan proses hearing di mana korban dengan bebas dan terbuka dapat menceritakan pengalaman kejam yang dialaminya. KKR harus mengutamakan perspektif dan kepentingan korban dengan menghargai kesediaan pelaku mengakui perbuatannya. Itu sebabnya struktur KKR dirancang atas tiga subkomisi. Pertama, Sub Komisi Penyelidikan dan Klarifikasi, yang berwenang menerima pengaduan, mengumpulkan bukti dan fakta pelanggaran HAM berat. Kedua, Subkomisi Pertimbangan Amnesti, yang berwenang menerima pengakuan pelaku dan merekomendasikan amnesti yang diajukan pelaku kepada presiden, sebagai implementasi perspektif kepentingan pelaku. Ketiga, Subkomisi Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi, yang berwenang memberi pertimbangan hukum dalam pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi kepada korban atau keluarganya. Di sinilah perspektif kepentingan korban harus mendapat perhatian KKR.
Ada alasan penting mengapa KKR dibentuk. Pertama, KKR akan memutus mata rantai, sekaligus membedakan rezim lama yang otoriter, sewenang-wenang, dan absolut dengan pemerintah selanjutnya. Kedua, KKR akan memulihkan demokrasi dan civil society serta penegakan hukum, yang tidak mendapat perhatian masa lalu sehingga
Wacana KKR_03
4
demokrasi tidak berjalan baik; karena demokrasi hanya akan tegak jika HAM terintegrasi dengan sistem demokrasi dan diatur dengan mekanisme hukum yang jelas sehingga demokrasi mempunyai landasan kuat. Untuk melaksanakan fungsi KKR yang dilakukan tiga sub- komisi itu, lebih dulu harus ditetapkan tujuan KKR dibentuk. Tujuan pertama, untuk menciptakan persatuan dan rekonsiliasi nasional dalam jiwa saling pengertian. Kedua, untuk memulihkan demokrasi dan konflik masa lalu. Sadar akan tujuan KKR yang begitu tinggi nilainya, korban diharapkan dapat bersikap wajar atas kompensasi yang disediakan. Demikian pula dengan pelaku; mereka harus sadar bahwa pengakuan kejahatan yang mereka lakukan akan mengembalikan demokrasi, civil society, dan integritas nasional yang goyah akibat tindakan mereka di masa lalu. Selain itu, mengingat tingginya nilai tujuan KKR, semua pihak harus mengesampingkan interes parsial.
M
Untuk mencapai tujuan itu, KKR perlu menyusun mungkin gambaran lengkap tentang kasus dan tingkat keluasan pelanggaran HAM berat yang terjadi pada periode seperti ditetapkan UU-KKR; menganalisis pelanggaran HAM berat dari perspektif korban; meneliti motivasi pelaku dan orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang berat; dan memulihkan martabat dan harga diri korban.
LS A
TIM perumus RUU-KKR, sambil memantau respons, pernah beberapa kali mengadakan semacam diskusi. Pesertanya dari kelompok korban atau keluarga mereka. Dalam diskusi muncul dua masalah yang menjadi perdebatan, yakni masalah amnesti dan batas waktu. Mayoritas peserta tidak dapat menerima dan menolak adanya amnesti dan tetap menuntut supaya pelaku dimasukkan ke dalam penjara. Demikian pula tentang ketentuan "Batas Waktu". Peserta mengajukan beragam alternatif batas waktu, yang semuanya dilatarbelakangi kepentingan masing-masing kelompok: seperti dari kelompok yang merasa sebagai korban Orde Baru, korban Orde Lama, korban DOM, korban penculikan aktivis, korban operasi Papua. Bahkan, ada yang menarik jauh ke belakang seperti korban pembunuhan PKI di Madiun tahun 1948.
pin gE
Melihat gelagat itu, akan timbul debat hangat saat pasal tentang batas waktu dibicarakan di DPR. Pemerintah pun rupanya gamang mencantumkan batas waktu itu secara definitif. Dalam RUU-KKR, pemerintah menetapkan dengan menariknya jauh molor ke belakang, yaitu kasus-kasus yang terjadi sebelum UU No 26 /2000, tanpa menyebut peristiwa apa yang menjadi batas awal dari waktu yang ditentukan. Untuk membantu menemukan Batas Waktu Definitif, ada "jembatan" yang dapat dipakai untuk menuntun, sampai kita menemukan batas itu; meskipun masih bersifat kualitatif. Caranya, dengan menggelar kasus ke belakang, yang terjadi sebelum UU No 26/2000. Kasus itu lalu dianalisa satu per satu guna menentukan dua atau tiga kasus yang karena kasus-kasus itu berakibat parah terhadap integritas bangsa kini.
kli
Dengan demikian perdebatan tentang Batas Waktu itu dapat dipersempit. Di antara kasus berikut seperti: korban pembunuhan oleh PKI tahun 1948, Peristiwa DI-TII, PRRI/Permesta, korban pembunuhan yang dilakukan kelompok kiri terhadap kelompok kanan pada awal tahun 1960-an yang terjadi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, korban G30S/PKI, korban DOM, operasi di Papua, penculikan aktivis, orang hilang, dan lain-lain, rasanya sudah layak bila Batas Waktu itu dimulai dari kasus korban DOM di Aceh karena kasus itu berakibat amat parah terhadap disintegrasi bangsa. Atau paling jauh ditarik ke belakang mulai dari korban kelompok kanan itu. Samsudin Anggota Komisi Nasional HAM
Wacana KKR_03
5
Kompas, Selasa 02 September 2003
Dari Kebenaran ke Rekonsiliasi Oleh Baskara T Wardaya
M
Dalam sebuah artikel di Kompas edisi 25 Agustus 2003, sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, menulis tentang perlunya rehabilitasi bagi para korban peristiwa 1965 serta peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM lain yang pernah terjadi di negeri ini. Artikel itu menarik antara lain karena penulisnya mengajak kita untuk secara ksatria menyadari kembali dan berefleksi mengenai kekejaman kemanusiaan yang terjadi di antara kita sejak beberapa dekade silam, khususnya menyangkut peristiwa G30S (1965) dengan segala dampaknya. Lepas dari penilaian siapa yang benar dan siapa yang salah dalam peristiwa (pembunuhan, pengasingan, dan pelanggaran HAM lain) yang dikaitkan dengan Gerakan 30 September 1965 itu, topik yang dilontarkan penulis artikel itu menarik (dan penting) dikaji. Hal itu terutama mengingat bahwa di beberapa kalangan kini sedang berlangsung sejumlah diskusi mengenai Rancangan UndangUndang (RUU) Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sekarang telah ada di DPR meskipun belum dibahas secara luas.
LS A
Sebagaimana kita tahu, RUU macam itu amat diperlukan karena ia merupakan usaha pertama di negeri ini yang secara formal dan nasional mempertimbangkan suatu tindakan bersama guna membahas berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu untuk kemudian memikirkan langkah-langkah praktis yang perlu diambil demi kebaikan bersama sebagai bangsa di masa kini maupun masa depan. Penundaan terwujudnya upaya macam itu hanya akan membuat bangsa ini terus berjalan pincang karena terbebani masa lalu yang gelap dan tak pernah tuntas. Namun, di lain pihak kiranya perlu RUU macam itu mendapatkan sejumlah catatan kritis agar perumusan dan pelaksanaan upaya rekonsiliasi yang mau dituju dapat berhasil. Empat unsur pokok
pin gE
Setidaknya ada empat unsur sekaligus tahap pokok yang perlu dilalui bagi terwujudnya suatu rekonsiliasi, terutama jika ia dipahami sebagai bagian usaha memadukan kebenaran moral, kesabaran hati, dan empati dengan suatu komitmen untuk memperbaiki hubungan antar-manusia yang retak (Shriver Jr, 1995). Pertama, kebenaran atau truth. Sebuah proses rekonsiliasi seharusnya bertolak dari kebenaran. Yang dimaksud di sini terutama apa yang disebut sebagai upaya truth seeking (pencarian kebenaran) dan truth telling (pemaparan kebenaran). Artinya, perlu ada kesediaan untuk menceritakan kembali apa sebenarnya yang terjadi di masa lalu, berikut latar belakang yang mendasarinya. Penceritaan ini dilakukan oleh pihak pelaku, korban, maupun pihak lain yang tidak terlibat langsung tetapi relevan untuk didengar kisahnya. Tentu akan muncul berbagai versi dan perspektif. Tetapi, itu merupakan bagian dari proses yang harus dilalui. Dalam kasus pembunuhan massal 19651966, misalnya, ketiga pihak perlu "duduk bersama" dan saling menceritakan kembali apa sebenarnya yang terjadi menurut sudut pandang masing-masing. Termasuk di sini apa yang menurut pihak-pihak itu menjadi latar belakang dari tragedi berdarah yang menelan korban nyawa ratusan ribu (mungkin lebih) putra-putri bangsa itu.
kli
Kedua, pengampunan atau mercy. Penceritaan kembali itu perlu diikuti kerelaan hati untuk saling mengampuni dan diampuni, baik dari pihak korban maupun pelaku. Langkah ini penting untuk menyadarkan kita bahwa truth telling tidak dimaksudkan terutama sebagai tindakan mengorek luka lama untuk kemudian melakukan balas dendam, tetapi benar-benar ingin mencari pengampunan bersama. Dalam komunitas beriman, pengampunan tidak hanya diharapkan dari sesama, tetapi juga dari Yang Maha Kuasa dan Maha Pengampun. Ketiga, keadilan atau justice. Tahap "keadilan" perlu dilalui guna menyadarkan semua pihak bahwa tindakan jahat di masa lalu (apalagi menyangkut pelanggaran HAM berat) tidak bisa dibiarkan begitu saja. Suatu tindak kejahatan menuntut konsekuensi legal dan sosial yang harus dipenuhi pihak pelaku. Pemenuhan itu, misalnya, dalam bentuk retribusi atau kompensasi. Perlu diingat, pemenuhan konsekuensi ini juga bukan terutama dimaksudkan sebagai sarana balas dendam, tetapi sebagai wujud nyata dari tindakan mengampuni dan diampuni. Keempat, perdamaian atau peace. Terlaluinya tiga tahap itu diharapkan membantu masyarakat untuk mencapai tahap keempat, yakni perdamaian. Bukan hanya perdamaian bagi para bekas korban dan keluarganya, tetapi perdamaian bagi semua pihak yang terkait di dalamnya. Jika keempat unsur ini terpenuhi, baru terwujud rekonsiliasi sejati.
Wacana KKR_03
6
Dengan kata lain, hanya dengan begitu kebenaran akan mengantar kita ke suatu rekonsiliasi yang menyeluruh dan mendalam. Pada saat yang sama perlu diingat, unsur atau tahap itu tidak harus dilalui secara berurutan. Bisa saja proses rekonsiliasi dimulai berkat kuatnya hasrat untuk mengampuni atau keinginan pihak pelaku untuk memberikan keadilan bagi para korban dan keturunannya. Tetapi, yang jelas keempatnya harus hadir dalam proses itu. Hilangnya salah satu unsur atau tahap akan membuat proses rekonsiliasi itu menjadi timpang.
Penyembuhan nasional
M
Dengan demikian jika suatu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mau dibentuk berdasarkan RUU, semua unsur itu perlu terpenuhi. Absennya sebagian atau semua unsur itu akan membuat rekonsiliasi yang diusahakan menjadi melulu formal dan kurang menyeluruh. Undang-undang yang lahir hanya menjadi rumusan legal yang dingin, sedangkan komisi yang terbentuk hanya akan berfungsi memperpanjang daftar komisi nasional yang telah ada. Berkait dengan model yang mau diacu, perlu kiranya ditambahkan, boleh-boleh saja pembentukan komisi macam itu mengacu komisi-komisi serupa di Afrika Selatan, Argentina, Timor Leste, atau tempat lain yang relatif berhasil. Tetapi, kita tetap perlu untuk tidak melepaskannya dari konteks pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri.
LS A
Jika keempat unsur itu terpenuhi, upaya rekonsiliasi yang ingin dicapai RUU Kebenaran dan Rekonsiliasi akan sekaligus merupakan suatu "undangan" bagi tiap warga masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam upaya serupa di komunitas masing-masing. Berkaitan dengan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM massal yang pernah terjadi (entah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Tanjung Priok, Maluku, Poso, Talangsari, atau yang lain) tentu ada banyak anggota masyarakat yang terlibat dan perlu untuk saling berekonsiliasi. Dengan demikian, KKR tidak akan menjadi satu-satunya forum bagi usaha untuk mewujudkan rekonsiliasi itu, tetapi merupakan bagian dari sebuah gerakan nasional demi tercapainya tujuan itu.
pin gE
Perlu ditekankan sekali lagi, tujuan pokok dari seluruh upaya ini terutama bukan untuk mengorek luka lama atau mencari alasan guna melakukan balas dendam, tetapi untuk menempuh usaha luhur dalam rangka penyembuhan nasional (national healing), demi terciptanya masa kini dan hari depan bersama yang lebih sehat, adil, dan sejahtera. Keengganan untuk berekonsiliasi dengan (kebenaran) masa lalu laksana kemalasan untuk membuka dan menyembuhkan bisul yang kian membengkak. Suatu saat ia akan pecah. Bau busuk akan menimpa siapa pun yang ada di sekitarnya.
kli
Baskara T Wardaya Pengajar Sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Wacana KKR_03
7
Media Indonesia, Selasa, 2 September 2003
Rehabilitasi Korban Komunisme
ISU komunisme yang telah menjadi momok dan beban politik selama sekitar 40 tahun akankah berakhir? Mungkin dengan berakhirnya isu tersebut bangsa Indonesia akan lebih ringan melangkah ke depan, karena terlepas dari beban masa lalu. Pemikiran seperti ini bisa muncul spontan karena tuntutan rekonsiliasi yang belakangan ini semakin kuat dari berbagai lembaga.
M
Komnas HAM baru-baru ini melayangkan surat kepada Presiden Megawati meminta secepatnya merehabilitasi korban dan keluarga PKI yang menjadi tertuduh peristiwa pemberontakan G-30-S pada 1965. Menurut penuturan Komnas HAM, korban sudah cukup lama menderita tanpa ada keputusan apakah dirinya bersalah ataukah dibebaskan oleh pengadilan. Penderitaan itu bukan hanya dialami oleh yang bersangkutan, melainkan juga oleh istri, anak, bahkan sampai ke cucu terkena tindakan diskriminasi sepanjang Orde Baru.
LS A
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) juga menyampaikan pertimbangan serupa kepada Presiden. Pada 12 Juni MA memberikan pandangannya yang mendukung rehabilitasi para korban komunisme tersebut. Konstitusi menggariskan, bahwa Presiden boleh melakukan rehabilitasi setelah mendengarkan pertimbangan MA. Juga Ali Sadikin--tokoh 'Petisi 50'--mendesakkan hal serupa saat ia menerima penghargaan atas jasa-jasanya di hari kemerdekaann. Dan, sebagai puncak dari seruan itu, ST MPR 2003 meminta Presiden menindaklanjuti kebijaksanaan rekonsiliasi nasional. Isu korban komunisme tersebut dibahas dalam diskusi interaktif Parliament Watch Metro TV yang dipandu oleh Denny JA, dihadiri oleh mantan Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Laksamana TNI (Purn) Sudomo, pengamat sosial Asvi Warman Adam, serta seorang korban bersih lingkungan Robertus Guncahyo yang dihubungi terpisah.
pin gE
Dalam sejarah politik di Indonesia pascakemerdekaan tak ada peristiwa politik yang begitu dahsyat, sehingga membelah komunitas politik Indonesia menjadi kawan dan lawan secara frontal. Jutaan warga yang terlibat konflik selama 40 tahun tak kunjung selesai, dan mereka tak kunjung sembuh dari luka-luka lama. Di saat dunia yang telah berubah saat ini, karena komunisme sudah ambruk, beberapa negara melakukan reposisi atas isu komunisme. Isu rehabilitasi korban komunisme sangat mungkin didukung oleh mayoritas elite politik. Akan tetapi, ideologi komunisme tetap dilarang. Secara aklamasi semua politikus di ST MPR 2003, dari partai yang paling kental nuansa keislamannya seperti Partai Bulan Bintang sampai dengan yang paling sekuler seperti PDIP sepakat tetap melarang ajaran komunisme.
kli
Terhadap rehabilitasi korban komunisme, Denny menanyakan kepada korban bersih lingkungan Guncahyo, apakah kebijakan ini akan mempunyai efek terhadap korban? Menjawab pertanyaan ini Guncahyo yang baru berusia dua tahun pada 1965 mengatakan bahwa ayahnya bukan tokoh komunisme, tetapi di-PKI-kan. Penderitaan yang dialami akibat tuduhan ini sangat sulit diungkapkan, karena terasa sakit luar biasa. Sejak masih kanak-kanak pihaknya sudah dikucilkan oleh lingkungan. Padahal, pihaknya berada dalam sebuah keluarga besar sehingga semua anggota keluarga menjadi tercerai-berai. Ditambah lagi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi agar keluarga harus survive.
''Saat itu saya dalam satuan militer. Ketika sedang mengikuti latihan, saya dipanggil komandan batalyon dan dikatakan tidak memenuhi syarat administrasi. Waktu itu saya tidak tahu soal bersih lingkungan, membuat saya merasa hancur,'' ungkap Guncahyo. Kemudian setelah berhenti dari tentara ia menjadi karyawan Garuda Indonesia. Tetapi, di tempat yang baru, ia juga disingkirkan dengan diberi label 'b'. Sebagai warga negara yang tidak tahumenahu tentang G-30-S merasa haknya telah hilang karena tindakan diskriminasi. Oleh karena itu, rehabilitasi nama baik itu sangat diperlukan baik untuk dirinya maupun keluarganya. Terutama karena dirinya dan keluarga merasa telah di-PKI-kan.
Menanggapi pengalaman tersebut, Sudomo yang menjabat Pangkopkamtib pada 1978 hingga 1983 mengatakan bahwa telah disusun suatu sistem bersih lingkungan dengan litsus (penelitian khusus). Akan tetapi, hal ini dikaitkan kepada mereka yang berasal dari keluarga ABRI (TNI/Polri) yang terlibat dengan Gerakan 30 September (G-30S/PKI). Apabila seseorang terkait dengan G-30-S/PKI maka dirinya tidak bisa diterima sebagai anggota ABRI bukan untuk yang lain-lainnya. Akan tetapi, ketentuan ini salah dalam penerapannya.
Wacana KKR_03
8
Untuk kasus salah kaprah itu, Sudomo menyampaikan suatu kisah sebagai contoh ketika seseorang yang akan melangsungkan pernikahan. Hanya karena seseorang pamannya terlibat G-30-S/PKI perkawinan itu tidak boleh dilangsungkan. Mendengar laporan dari peristiwa tersebut Sudomo langsung berinisiatif untuk berangkat ke Kalimantan, tempat akan dilangsungkannya pernikahan tersebut, dan meluruskan masalahnya sehingga perkawinan bisa dilangsungkan. ''Jadi, masalah bersih lingkungan itu salah penerapannya,'' tutur Sudomo. Menanggapi penjelasan Sudomo tentang salah penerapan, Asvi Warman Adam mengatakan bahwa salah penerapan yang dikemukakan Sudomo adalah kesalahan yang dibuat secara sistematis dan terencana. Sebab, bersih lingkungan bukan hanya kepada jajaran ABRI, karena pada 1981 keluar keputusan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud melarang orang-orang yang terlibat G-30-S secara langsung atau tidak langsung menjadi PNS atau menjadi anggota TNI/Polri, serta jabatan guru, pendeta, dan lainnya. ''Ini adalah sebuah sarana diskriminasi yang telah dituangkan dalam naskah tertulis oleh Mendagri pada waktu itu,'' ungkap Asvi.
M
Bahkan, lebih jauh Asvi mengatakan, bahwa sebelum Sudomo menjadi Pangkopkamtib, pada 1966 Soeharto sudah membuat kategori golongan A, B, dan C terhadap bersih lingkungan. Hal itu tidak hanya menyangkut militer, tetapi juga menyangkut kalangan sipil.
LS A
Tentang mereka yang dinyatakan tidak bersih lingkungan, Sudomo menjelaskan, mereka dibagi dalam tiga golongan yaitu A, B, dan C. Mereka yang terlibat golongan C, yaitu yang dinilai hanya sebagai simpatisan (sekitar 500 ribu orang) dan sudah dilepaskan, golongan B (33 ribu) yang benar-benar terlibat PKI tetapi tidak terbukti terlibat G-30S 1965. Sedang golongan A adalah mereka yang benar-benar terbukti keterlibatannya dan langsung diproses ke pengadilan. Orang-orang ini mulai 1975 dilepaskan dalam Operasi Ksatria. Mula-mula dilepaskan 1.000 orang golongan B, kemudian 1.000 orang lagi, selanjutnya sepuluh-sepuluh. Pada dasarnya ketentuan itu adalah untuk mencegah mereka masuk ke dalam ABRI.
pin gE
Menurut Asvi, mereka yang dilepaskan secara kesatria, misalnya mereka yang di Pulau Buru dari 1969 hingga 1979, sekitar 10 ribu orang dibuang ke pulau terpencil itu. Kalaupun kemudian dibebaskan lebih dari 10 ribu orang disebabkan karena desakan dunia internasional, karena akan dihentikan bantuan. Adanya rencana rehabilitasi secara umum? Sudomo mengatakan, dengan demikian nantinya mereka yang ditandai pada KTP akan dibebaskan dari tanda-tanda tersebut sehingga mereka akan sama dengan warga negara lainnya tanpa ada catatan lagi pada KTP atau identitas lainnya. ''Saya setuju sekali dengan rehabilitasi itu. Karena sudah waktunya, dan dengan reformasi sekarang ini seharusnya begitu,'' tutur Sudomo. Demikian pula Asvi yang menyatakan bahwa rehabilitasi seharusnya dilaksanakan sejak dahulu. Apabila sekarang momentumnya sudah ada, Presiden Megawati sebaiknya tidak perlu menunggu-nunggu lagi. Sebab, mereka menjadi korban menderita sudah cukup lama, apalagi di antara para korban komunisme itu saat ini banyak yang sudah tua renta.
kli
Asvi menambahkan, bahwa banyak sekali kasus seperti yang dialami oleh Guncahyo, karena pada 1979 masih satu juta orang yang harus melapor. Bila mereka memiliki keluarga, maka sekarang kemungkinan jumlah keluarga yang terkait dengan sang korban sudah mencapai 20 juta orang. Pemerintah menurut Asvi tidak punya alasan lagi untuk melakukan penundaan, hanya saja belum pernah dibicarakan menyangkut kompensasi.
Hasil polling Metro TV, tentang pemberian rehabilitasi terhadap korban G-30-S/PKI, sebanyak 73% menyatakan perlu, 21% tidak perlu, dan hanya 6% yang tidak tahu. Sebanyak 78% masih menganggap komunisme sebagai ancaman, 20% tidak lagi menjadi ancaman, dan 2% menyatakan tidak tahu.*** (Rasyid R Sulaiman/A-1)
Wacana KKR_03
9
Media Indonesia, Rabu, 3 September 2003
Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, akan Diapakan
Salahuddin Wahid, Wakil Ketua Komnas HAM
LENGSERNYA Pak Harto meninggalkan begitu banyak masalah bagi bangsa dan negara kita. Salah satunya adalah tindak pidana yang dapat dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat. Amat banyak korban yang jatuh akibat tindak pidana tersebut. Keluarga mereka tentu mengharapkan ditegakkannya keadilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat itu. Komnas HAM adalah tumpuan harapan mereka dalam upaya tersebut.
M
Beberapa kasus dicoba untuk diungkap dan diajukan ke pengadilan, yaitu kasus Tanjung Priok (1984) dan Kasus Timor Timur. Kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur telah menampilkan Pengadilan HAM Ad Hoc yang oleh kalangan internasional dianggap mengecewakan. Bahkan sejumlah kalangan di Timor Timur telah meminta supaya kasus tersebut dibawa ke pengadilan internasional. Walaupun banyak kekecewaan, kasus Tanjung Priok akan segera dimulai proses peradilannya. Namun kasus Trisakti, Semanggi I dan II, telah kandas di tengah jalan setelah DPR membuat rekomendasi bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus itu. Keluarga korban yang tidak puas telah mendatangi pimpinan DPR dan meminta DPR mencabut rekomendasi itu.
LS A
Kasus berikutnya yang dicoba untuk diungkap berkaitan dengan kerusuhan pada 13, 14, dan 15 Mei 1998. Setelah menerima laporan tim yang mengkaji laporan TGPF, Sidang Paripurna Komnas HAM memutuskan untuk membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Kasus Mei 1998 (selanjutnya disebut Tim Ad Hoc Kasus Mei 98). Masyarakat, khususnya keluarga korban, yang berharap kasus itu diungkap, menyimpan pertanyaan besar, apakah tim ini akan mengalami nasib seperti Tim Ad Hoc Penyelidikan Kasus TSS? Tim Ad Hoc Kasus Mei 1998 ini telah bekerja sejak Januari 2003 dan harus menyelesaikan tugasnya awal September 2003. Sekitar 80-an saksi telah diperiksa dan sejumlah narasumber telah memberikan informasi yang amat berharga. Banyak fakta dan informasi telah didapat.
pin gE
Tetapi, tim itu telah gagal ketika memanggil sekitar 60-an perwira TNI dan Polri. Hanya tiga perwira TNI dan Polri yang memenuhi panggilan. Para perwira itu menolak untuk datang karena menganggap tim tidak sah secara hukum. Pendapat itu berdasarkan penafsiran mereka terhadap Pasal 43 UU No 26/2000 ayat (1) dan (2). Sedangkan penafsiran Komnas HAM bertentangan dengan penafsiran tersebut. Ayat (1) berbunyi bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa pengadilan tersebut dibentuk atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden. Menurut pihak TNI dan Polri sebelumnya harus dibentuk dahulu Pengadilan HAM Ad Hoc khusus peristiwa Mei 1998. Baru setelah itu bisa dilakukan penyelidikan. Penjelasan Pasal 43 UU itu menyatakan bahwa DPR mendasarkan rekomendasinya pada dugaan telah terjadi pelanggaran HAM yang berat pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU No 26/2000.
kli
Dalam proses hukum, dugaan seperti yang dikehendaki oleh penjelasan Pasal 43 UU No 26/2000 dapat diperoleh melalui suatu penyelidikan. Pasal 18 UU yang sama menentukan bahwa penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Komnas HAM. Jadi, harus dilakukan dulu penyelidikan baru dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Argumentasi itu akan dijawab bahwa penyelidikan yang dimaksudkan untuk memperoleh dugaan sebagai landasan bagi rekomendasi DPR adalah penyeldikan yang diatur oleh Pasal 89 dari UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang sifatnya pemantauan bukan penyelidikan proyustisia. Tetapi, prosedur seperti itu tidak sesuai dengan prinsip dari peradilan kita yang sederhana, cepat, dan murah. Dan, argumentasi itu tentu akan dilawan lagi dengan kontra argumen yang lain, yang bisa berlanjut terus tanpa jawaban pasti. *** Tim Ad Hoc Kasus Mei 98 akan menyelesaikan penyusunan laporan penyelidikan tanpa kesaksian para perwira TNI/Polri. Cukup banyak hasil kesaksian dan informasi yang dapat dijadikan bahan untuk dapat menarik kesimpulan dan rekomendasi. Laporan itu akan diserahkan kepada Jaksa Agung yang akan bertindak sebagai penyidik. Tetapi, timbul lagi masalah yang akan menghambat proses pengungkapan kasus itu.
Wacana KKR_03 10 Kalau Tim Ad Hoc Kasus Mei 98 dianggap tidak sah, maka tentu laporan yang dihasilkannya juga dianggap tidak sah. Maka konsekuensi logis yang timbul bahwa para perwira TNI/Polri tidak akan memenuhi panggilan Jaksa Agung dalam rangka penyidikan terhadap kasus kerusuhan Mei 98. Maka, langkah pengungkapan pelanggaran HAM yang berat masa lalu sekali lagi akan terhenti di tengah jalan. Sementara masyarakat, khususnya keluarga korban, mengharapkan ditegakkannya keadilan. Perbedaan penafsiran ini juga akan menghambat pengungkapan kasus lain yang terjadi sebelum diundangkannya UU No 26/2000. Komnas HAM bisa meminta fatwa Mahkamah Agung tentang perbedaan penafsiran terhadap Pasal 43 UU No 26/2000 itu. Tetapi, kita tahu fatwa MA bersifat tidak mengikat. Komnas HAM juga bisa mengambil prakarsa untuk mengadakan pertemuan segi empat antara DPR, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Komnas HAM untuk memperoleh kesepakatan penafsiran mana yang lebih tepat. Tetapi, sekali lagi, hal itu tidak mengikat.
M
Mungkin Komnas HAM bisa mengajukan masalah perbedaan penafsiran ini kepada Mahkamah Konstitusi yang baru saja dibentuk. Diharapkan Mahkamah Konstitusi dapat memberi jalan keluar yang pasti. Namun, apakah sengketa penafsiran ini bisa dikategorikan sebagai sengketa kewenangan lembaga negara? Masalah berikutnya adalah apakah Komnas HAM termasuk dalam lembaga negara yang kewenangannya disebutkan dalam UUD?
LS A
Upaya lain juga bisa dilakukan melalui revisi UU No 39/1999 dan UU No 26/2000. Yang jelas, kedua tindakan itu perlu segera dilakukan karena masyarakat sudah terlalu lama menunggu. Pilihan lain adalah segera menuntaskan pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tetapi, belajar dari pengalaman adanya perbedaan penafsiran terhadap Pasal 43 UU No 26/2000 itu, sedapat mungkin harus dihindari munculnya pasal yang di kemudian hari menimbulkan perbedaan penafsiran dalam RUU KKR. Kita tahu bahwa tidak mudah untuk melakukan hal itu karena selalu terjadi benturan kepentingan dalam pembahasannya di DPR. Bahkan, sudah terdengar permintaan sebagian kalangan, jangan sampai UU KKR menjadi alat untuk menciptakan impunity.
kli
pin gE
Kalau masalah ini berlarut-larut, berarti salah satu masalah berat yang kita warisi akan tetap tidak terselesaikan dan menghambat upaya kita keluar dari krisis. Juga akan menghambat laju gerakan reformasi yang telah berjalan lebih dari lima tahun tanpa hasil yang jelas. Sebagian besar masyarakat mengharapkan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu dapat segera diselesaikan dengan lebih mengutamakan rasa keadilan di atas pertimbangan normatif positivis dan politik. Penyelesaian semacam itu akan lebih memberi harapan bahwa lembaran hitam dalam sejarah kita tidak terulang lagi di masa depan.***
Wacana KKR_03 11 Suara Pembaruan, Rabu 3 September 2003
RUU KKR Masih Terganjal Sejumlah Masalah. Jakarta – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (RUU KKR) di pastikan masih terganjal sejumlah masalah. Hambatan yang bisa mengganjal pembahasan RUU KKR bukan hanya masalah campur tangan politik, namun juga masa sidang di DPR yang singkat yang tidak bisa ditawar-tawar.
M
“Persidangan di DPR akan kembali memasuki masa reses pada akhir September 2003. Dalam waktu singkat ini, DPR juga dibebani tugas legislasi yang tidak sedikit. Setidaknya, pada masa sidang kali ini, sekitar 60 RUU yang masih menunggu antrean untuk dibahas,” kata Anggota Komisi II DPR Akil Mochtar saat tampil sebagia pembicara pada acara “Proyeksi Publik atas Pembantukan Pansus RUU KKR”, di Jakarta, Selasa (2/9). Mengingat banyaknya RUU yang akan dibahas, kata Akil, DPR terpaksa membuat prioritas. RUU KKR tidak tercantum dalam daftar RUU yang menjadi priorits.
LS A
Menurut Akil, kendala lain yang bakal menjadi penghambat dalam pembahasan RUU KKR adalah perbedaan persepsi dan pemahaman mengenai hukum HAM dan keadilan dan pentingnya KKR di kalangan anggota DPR. Akibatnya, RUU KKR bisa jadi dianggap tidak terlalu penting dibandingkan RUU yang lain. Selain itu, adanya kepentingan politik dari fraksi-fraksi yang ada di DPR juga akan menjadikan pembahasan RUU ini semakin berlarut-larut. Karena masing-masing partai politik memiliki visi dan misi serta kepentingan yang berbeda-beda. “Tidak aneh kalau RUU KKR hingga kini belum dibahas di tingkat Pansus. Padahal, mestinya pada 28 Agustus lalu, ketua pansus sudah terpilih,” ujar Akil.
pin gE
Di tempat yang sama, Kepala Divisi Penelitian dan Riset ELSAM Agung Putri tidak menampik kemungkinan adanya kepentingan politik yang bermain sehingga pembahasan RUU KKR tersendat-sendat. Menurut Agung Putri, ELSAM sebagai pihak yang memprakarsai sebenarnya berharap RUU KKR secepatnya disahkan dan komisi dibentuk. Mencermati RUU KKR yang kini diajukan pemerintah, Agung sedikit menyayangkan karena RUU itu kurang memberi penjelasan lengkap apa yang dimaksud dengan kebenaran dan bagaimana kebenaran itu diperoleh. Berbeda dengan komisi sejenis di negeri-negeri Amerika Selatan, KKR tidak memberikan amnesti. KKR hanya memberi rekomendasi amnesti. Yang jelasa, tambah dia, komisi ini harus menghadapi luka yang telah berlangsung selama 30 tahun tanpa menutup diri. Karena itu, komisi ini harus menemukan metode yang tepat untuk itu. “Saya tidak pusing soal nama komisi. Bagi saya, yang paling diperlukan adalah membuka kebisuan dan membuat orang bicara setelah bungkam sekian tahun,” kata Agung Putri.
kli
Sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Presiden Megawati sendiri sudah menyampaikan amanat presiden (Ampres) pada 26 Mei sewaktu penyerahan naskah RUU KKR ke DPR. Dalam pengantarnya, Pemerintah berpendirian, RUU KKR disusun untuk memperkuat landasan hukum yang mengatur perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. MPR juga sudah mengeluarkan Tap No. XVII/1998 tentang HAM, yang kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya UU No 39/1999, juga tentang HAM. Beranjak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional dan internasional, untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat dan mengembalikan keamanan perdamaian di Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 104 Ayat 1 UU No. 39/1999, dibentuk UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 47 UU No. 26/00 disebutkan, dalam menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum 2000, tidak tertutup kemungkinan menggunakan jalur KKR. Selanjutnya, ditegaskan kembali di dalam Tap MPR No. V/2000 tentang pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, perlu dibentuk KKR sebagai lembaga ekstra yudisial yang bertugas menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusi di masa lampau. (M-17).
Wacana KKR_03 12
Kompas, Rabu 3 September 2003
KKR Harus Ungkap Kasus HAM 30 Tahun Jakarta, Kompas - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diharapkan dapat mengungkap pelanggaran hak asasi manusia yang telah terjadi selama 30 tahun ini di Indonesia. Harapan masyarakat terhadap komisi ini sangat besar sehingga masyarakat yang selama ini bungkam dalam ketakutan dapat menyatakan apa yang sebenarnya terjadi.
M
"Jika komisi ini punya badan- badan kerja di daerah dan membuka jalur mudah bagi korban untuk memberi kesaksian, saya yakin ada begitu banyak orang akan bicara," kata Kepala Divisi Studi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Agung Putri dalam diskusi "Proyeksi Publik atas Pembentukan Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi" di Jakarta, Selasa (2/9). Pembicara lain dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Elsam tersebut adalah M Akil Mochtar dari Pansus RUU Kebenaran dan Rekonsiliasi DPR.
LS A
Pada Sidang Istimewa MPR 1998 telah ditetapkan Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, Ketetapan MPR itu ditindaklanjuti dengan pembentukan UU No 39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tahun berikutnya, muncul juga UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai instrumen hukum untuk mengadili pelanggar HAM berat.
pin gE
Dalam Pasal 47 UU No 26/2000 disebut, penyelesaian HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No 26/2000 bisa diselesaikan lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pembentukan KKR juga ditegaskan lagi dalam Ketetapan MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. KKR merupakan lembaga ekstra yudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM di masa lampau. Ketatapan MPR itulah yang kini membutuhkan UU untuk mewujudkan pembentukan KKR. Sayangnya, RUU KKR yang kini diajukan pemerintah, kata Agung Putri, kurang memberi penjelasan lengkap apa yang dimaksud dengan kebenaran dan bagaimana kebenaran itu diperoleh. Tidak memberi amnesti
Berbeda dengan komisi sejenis di negara-negara Amerika Selatan, KKR tidak memberikan amnesti. KKR hanya memberi rekomendasi amnesti. Yang jelas, komisi ini harus menghadapi luka yang telah berlangsung selama 30 tahun tanpa menutup diri. Karena itu, komisi ini harus menemukan metode yang tepat untuk itu.
kli
"Yang penting kita pikirkan sebelum mengambil posisi atas komisi ini adalah apa yang kira-kira signifikan untuk dicapai oleh komisi ini? Di berbagai negara, transisi demokratis tidak ada yang berlangsung mulus, selalu menghadapi pasang surut yang tidak bisa kita perkirakan. Yang penting, kita tidak perlu meragukan atau sinis, tapi kita lihat dulu apakah komisi ini signifikan dengan transisi," kata Agung Putri. "Saya tidak pusing soal nama komisi. Bagi saya, yang paling diperlukan adalah membuka kebisuan dan membuat orang bicara setelah bungkam sekian tahun," kata Agung Putri. (LOK)
Wacana KKR_03 13
Republika, Kamis, 04 September 2003
Pansus KKR Dibentuk JAKARTA --Korban pelanggaran HAM yang melapor ke KKR, bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi. Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hingga kini masih banyak yang belum tuntas. Sedangkan keluarga dan kerabat yang ditinggalkan menderita dan menyimpan dendam. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, DPR bersama pemerintah ditugaskan membuat RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
M
Pansus RUU tentang KKR sudah disiapkan DPR RI, dan pimpinannya sudah dipilih, yaitu Ketua Sudharto dari FPDIP, wakilnya Akil Mochtar (FPG), Sofwan Chudori (FPKB), sedangkan FPPP belum menentukan wakilnya.
LS A
Wakil ketua Pansus KKR, Akil Mochtar, menjelaskan pembentukan KKR ini merupakan amanat Tap MPR, serta UU tentang HAM dan UU tentang Pengadilan Ad Hoc, di mana penyelesaian kasus berat HAM dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu proses di pengadilan ad hoc atau melalui rekonsiliasi. Dia mencontohkan kasus-kasus seperti Tanjung Priok, Timtim pascajejak pendapat, kerusuhan Mei, kalau terbukti merupakan pelanggaran berat HAM, dan korbannya melapor KKR, maka bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi. ''Silakan saja nanti para korban melaporkan kasus HAM tersebut, kalau mau diselesaikan melalui rekonsiliasi,'' tegasnya.
pin gE
Kalau dipilih penyelesaian melalui rekonsiliasi, anggota KKR akan mencari bukti-bukti, lalu memanggil pelaku dan korban atau keluarganya. Kalau sepakat, maka pelaku akan mendapat amnesti, atau rehabilitasi nama baiknya, sedangkan korban mendapat kompensasi atas penderitaan yang dialaminya. Selama ini, yang terjadi pelaku pelanggaran berat HAM bebas berkeliaran, sebaliknya korban tetap menderita, seakan-akan terjadi pengabaian tanggung jawab. Hal-hal seperti ini, menurut Akil, menimbulkan berbagai ketidakpuasan, dendam, sinisme, apatisme, dan ketidakpercayaan yang besar terhadap institusi hukum. ''Akibatnya, negara dianggap memberikan kebebasan kepada para pelaku pelanggaran HAM.'' Ketua Pansus RUU tentang KKR, Sudharto, mengatakan RUU tentang KKR ini sangat penting, karena sampai saat ini masih banyak dendam politik, juga kultur di daerah yang sering terjadi perselisihan. Oleh karena itu, RUU ini harus diselesaikan secara sempurna. Sebagai masukan, semua kalangan harus diundang untuk menyerap berbagai aspirasi.
kli
Anggota KKR akan dipilih sebanyak 30 orang oleh tim seleksi, lalu diserahkan ke presiden. Presiden akan menetapkan 15 nama, lalu DPR tinggal menyetujui. Masa kerja anggota KKR selama tiga tahun, KKR juga bisa dibentuk di daerah-daerah. Tak Sekadar Memaafkan Masalah
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tidak hanya sekadar untuk memaafkan. Menurut pemerhati masalah HAM, Hendardi, bukan soal maaf-memafkan semata yang menjadi dasar suatu rekonsiliasi. Memaafkan tanpa pengungkapan kebenaran, lenjutnya, akan tetap meninggalkan luka. ''Inilah yang akhirnya terus menjadi salah satu penghambat terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Lihat saja, usulan soal ini sudah sejak lama. Toh baru bulan silam pemerintah menyerahkan RUU-nya ke DPR,'' ujar Hendardi. Jika nanti terbentuk KKR, bukan berarti segala proses hukum atas kasus masa lalu otomatis akan terabaikan.
Wacana KKR_03 14 Menurutnya, perkara yang membuat luka besar bagi masyarakat dan bangsa tidak dapat begitu saja diabaikan. Dia menyebut untuk kasus pelanggaran berat HAM dan kasus korupsi tidak menjadi bagian dari agenda rekonsiliasi.
kli
pin gE
LS A
M
Instrumen yang terpenting dari komisi ini adalah menentukan kriteria kasus atau masalah apa yang dapat direkonsiliasikan, bagaimana rekonsiliasi dilakukan, serta mekanisme penyelesaian di pengadilan jika mungkin memang perlu menempuh jalur hukum. fin
Wacana KKR_03 15
Kompas, Selasa 16 Sep. 03
Berdamai dengan Kejahatan Masa Lalu? Oleh Teuku Kemal Fasya Agak kaget saya membaca artikel yang berjudul Dari Kebenaran ke Rekonsiliasi yang ditulis oleh Baskara T Wardaya (Kompas, 2 September 2003). Yang saya tahu, beberapa hari sebelumnya, sekelompok individu yang concern terhadap pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, termasuk Baskara T Wardaya, berkumpul di Jakarta, merapatkan opini, membangun sebuah counter discourse melawan draf RUU KKR yang masih menggantung begitu lama di DPR.
M
Atas dasar itulah saya berpikir bahwa kerja-kerja para penggiat HAM itu, yang dimotori Elsam, akan merumuskan sesuatu yang lebih jernih dalam melihat konteks kejahatan masa lalu, yang membuat kita sampai hari ini masih ragu memilih jalan untuk menyembuhkan luka bangsa sekaligus menggerakkan roda demokratisasi. Harapan semoga tidak luput lagi karena luka-luka masih terus ada dan diingat serta tidak diakui oleh negara. Namun, apa nyana, sebuah opini yang muncul ke publik malah bertolak belakang dengan keinginan berempati terhadap korban. Tetapi, saya tidak bermain-main dengan asumsi pertemuan itu dan hanya membahas tulisan di atas.
LS A
Terlepas bahwa draf yang sedang dibahas di DPR masih diliputi polemik tentang kompetensi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dalam membuat kualifikasi "HAM berat" dan seberapa mundur batas waktu pelanggaran boleh diangkat (retroactiveness), seperti yang telah dibahas oleh Samsudin ("Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi", Kompas, 1/9/03) dan Fadjar I Thufail ("Pengungkapan Kebenaran dalam RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi", Kompas, 1/9/03), ada hal-hal filosofis tentang kejahatan kemanusiaan, pengungkapan kebenaran, dan rekonsiliasi yang perlu dibicarakan dalam ruang publik ini. Karena tanpa itu, secara substansi KKR dipertaruhkan untuk melakukan hal-hal yang remeh dan tidak akan mempengaruhi sejarah bangsa sama sekali.
pin gE
Hal yang paling mengusik dari tulisan itu adalah mengalihkan titik tekan permasalahan dari upaya pengungkapan kebenaran (truth seeking) ke rekonsiliasi. Motif wacana ini sebenarnya didasarkan pertimbangan dua hal, pertama, kita harus cepat keluar dari krisis HAM, segera bergerak menyatukan unit-unit kekuatan bangsa untuk membangun, jangan ada dendam yang berkepanjangan, berbesar hatilah karena sesungguhnya kejahatan masa lalu adalah kejahatan struktural (structural crime) yang saling kait-mengait dan melibatkan kita semua. Yang kedua, kita tidak mungkin lagi seratus persen normatif kepada proses menuju kebenaran disebabkan masih lemahnya infrastruktur hukum dan masih bergentayangannya "tangan-tangan kotor yang tak kelihatan" yang dapat saja mengganggu kehidupan kita dengan teror dan hura-hara sosial. Ini terlihat saat kita berupaya untuk merealisasikan Tap MPR tentang proses hukum Soeharto, kerusuhan pun muncul di Kupang dan Ambon, berlanjut dengan aksi jagal para dukun santet sepanjang tahun 1999 di Jawa Barat dan Banyuwangi. Terus membuntuti ketika setiap tokoh penting Orde Baru disidik atau diproses di pengadilan.
kli
Intinya kita harus kompromi kepada usaha yang berorientasi pada hasil, bukan pada proses. Ingat, kita masih sebagai bangsa yang dilemahkan oleh elite. Seperti itulah kira-kira motif wacana tulisan di atas. Hal kedua yang juga bermasalah adalah tujuan pada keadilan (justice) harus bersyarat-ikat dengan pemberian ampunan (mercy/forgiveness). "…tidak dimaksudkan terutama sebagai tindakan mengorek luka lama, melakukan balas dendam, tetapi benar-benar untuk mencari pengampunan bersama".
Saya pikir ini alasan yang paling pragmatis dari sebuah tujuan yang telah didangkalkan dengan menghilangkan semua risiko, termasuk risiko ketersinggungan pelaku. Mengutip apa yang dikatakan Haryatmoko bahwa pengampunan sama sekali tak berasumsi kepada konsekuensi menghilangkan status hukum (Haryatmoko, "Social Memory" dan Syarat Rekonsiliasi, 29 Februari 2000), rekonsiliasi juga bukan merupakan perayaan terhadap momen keterlupaan (moment of forgetfulness)-semerta-merta mengaburkan seluruh esensi bahwa ada pelaku yang harus dianggap bersalah dan ada korban yang selama ini disunyikan. Kalau sekarang populer konsep tentang penyembuhan nasional (national healing), harusnya lebih tertuju kepada korban, minoritas, pihak yang menderita, dll, dan bukan sebaliknya. Hal ini penting, terutama untuk meluruskan pandangan terhadap kasus-kasus separatis, seperti daerah operasi militer (DOM) di Aceh dan Papua, operasi pemulihan Ambon, berbagai operasi pasca DOM di Aceh, termasuk pula mereview perjalanan operasi militer di Aceh meskipun telah stabil dengan sandaran legal-konstitusional. KKR yang
Wacana KKR_03 16 dibentuk harus mampu menembus dinding-dinding kepentingan yang dalam pelaksanaannya memakai sandaran hukum. Tidak bisa atas nama hukum (penal law) mendiamkan keliaran operasi, salah sasaran, teror kepada masyarakat sipil, dan pemunahan secara mendasar alasan-alasan berlakunya hukum humaniter. Hukum kita yang membolehkan membasmi pemberontakan dan teroris tidaklah lebih berwenang mengatasi hukum yang telah disepakati secara internasional, semisal Rome Statute of International Criminal Court atau Konvensi Gevena 1949. Pun tanggung jawab KKR harus keluar dari tekanan politik untuk mendefinisikan mana yang dianggap sebagai kejahatan berat sehingga bisa dimasukkan ke dalam pelanggaran HAM. Harus diingat bahwa pelanggaran HAM tidak hanya bergantung pada definisi pembantaian massal semata, tetapi juga perusakan hak milik, penyiksaan, penculikan, pemerkosaan, penahanan tanpa hukum yang jelas, dan pola-pola kekerasan sejenis, yang menciptakan kultur ketakutan, depresi, dan trauma mendalam yang dirasakan secara sosial.
M
DENGAN konsepsi singkat ini, hampir seluruh konflik yang menyebabkan terjadinya parade kekerasan secara sosial yang dilakukan aparat negara semestinya ditampung sebagai kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity). KKR harus lebih jeli dan memiliki "mata Tuhan" untuk memasukkan kasus yang melibatkan ingatan masyarakat yang selama ini kekal dalam warna ungu-hanya disebutkan dengan berbisik-bisik. Tanpa sikap pro-aktif dari KKR, kasus ini tetap dikatagorikan black number dan dipendam dengan perasaan bersalah.
LS A
Saya bersepakat saja bahwa inti dari melihat persengketaan masa lalu adalah memutus persengketaan itu dan menciptakan perdamaian. Bahkan, dalam taraf tertentu mungkin juga bersepakat bahwa yang lebih penting adalah kepastian kepada status kebenaran (stands on truth), dibandingkan dengan masalah retribusi (pembalasan/hukuman). Kita tentu menginginkan adanya proses restitusi dan kompensasi yang sangat manusiawi dan adil bagi para korban. Tetapi jikalau pilihan maksimal sekalipun diberlakukan, seperti menyeret para pelaku kejahatan ke balik terali besi atau menghukum mati, tidaklah sebanding dengan perasaan yang dialami para korban.
pin gE
Apa yang dialami para korban, seperti disebutkan Hannah Arendt, tak akan mampu mengembalikan mereka ke posisi sedia kala (irreversible). Mereka selama ini telah yatim-piatu akibat penderitaan dan kekerasan yang menimpa, ditambah status keyatim-piatuannya tak pernah diakui. Jikalau pun saat pengakuan itu tiba dan ia memperoleh pengakuan kebenaran, tak membuat mereka lebih bahagia. Mungkin sebagian dari mereka dapat kembali menatap masa depan dengan usaha berat. Tetapi, jika saja kejahatan itu tak pernah menimpa mereka? Tanpa sudut pandang yang benar (mungkin karena ketakutan munculnya aksi balas dendam dari para pelaku), kita selamanya akan terombang-ambing. Bisa-bisa tanpa sadar memilih sikap berdamai dengan kejahatan masa lalu. Kalau muncul pemikiran seperti itu, rekonsiliasi tak perlu dimunculkan. Biarkan saja semua menguap bagai angin dan debu. Kita memang membutuhkan korban seperti Nelson Mandela yang sudi memaafkan sang algojo yang mengencingi dan menyiksanya. Tetapi, kita lebih butuh para pelaku yang ksatria mengakui kejahatannya dan mempertanggungjawabkannya dengan adil dan benar (epieikeia). Tidak cengeng dan hanya mampu menyulut huruhara.
kli
Teuku Kemal Fasya Mahasiswa S2 Ilmu Religi dan Budaya Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Wacana KKR_03 17
Koran Tempo, Rabu, 17 September 2003
Komisi Kebenaran Vs Komisi Pembenaran Refliani H.Z. Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara UI If we cannot secure all our rights, let us secure what we can. (Thomas Jefferson, 1787)
M
Setelah terkatung-katung lebih dari dua tahun, Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi kembali mewacana, ditandai dengan niat DPR untuk segera membahasnya. DPR sendiri sebenarnya sudah membentuk Panitia Khusus RUU KKR pada 9 Juli 2004, namun hingga sekarang belum pernah bekerja (Koran Tempo, 3/9). RUU KKR ini penting karena akan menjadi alas pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang merupakan wadah bagi proses pencarian keadilan transisional di Indonesia.
LS A
Keadilan transisional adalah suatu keadaan yang lazim dihadapi oleh negara-negara yang baru terlepas dari rezim otoriter menuju transisi demokrasi. Tema sentral dari keadaan ini adalah pemberian keadilan bagi korban-korban pelanggaran masa lalu oleh pemerintah atau rezim yang baru. Isu keadilan transisional di Indonesia mengemuka begitu pintu reformasi terkuak dengan tumbangnya Soeharto pada 21 Mei 1998. Korban-korban masa lalu beramai-ramai menggugat pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan penguasa saat itu, dan meminta penguasa sekarang memberi keadilan. Ini terjadi dengan korban-korban pelanggaran HAM di Aceh, Talangsari (Lampung), Tanjung Priok, Irian Jaya, Timor Timur, tragedi 27 Juli, dan korban/keluarga korban tragedi Trisakti serta Semanggi I dan II. Bahkan, mantan anggota PKI yang dipenjarakan tanpa proses pengadilan pun ikut unjuk suara.
pin gE
Di Indonesia, keadilan transisional diwadahi dengan dua pintu, yaitu pengadilan hak asasi manusia dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pintu pertama sudah dilakukan, misalnya pengadilan terhadap pelanggaran HAM di Timor Timur, tragedi 27 Juli, dan yang saat ini berlangsung adalah kasus Tanjung Priok. Namun, secara umum pintu pertama ini dinilai kurang memuaskan karena pengadilan HAM ternyata hanya menjangkau pelaku-pelaku di lapangan (keroco-keroco), dan sama sekali tidak menyentuh "dalang" sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Padahal, diyakini bahwa pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi itu tidak sekadar by omission (pembiaran), melainkan juga by commission (didesain oleh struktur tertentu). Pada titik inilah pentingnya kehadiran KKR. Melalui KKR korban-korban pelanggaran masa lalu dapat memperjuangkan hak mereka kembali yang sudah terenggut dengan pemulihan nama baik dan kompensasi. Sementara itu, mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM dapat dimaafkan dengan prosedur tertentu.
kli
Pertama-tama harus ada pengakuan dari pelanggar HAM bahwa mereka telah melakukan kejahatan. Pengakuan adalah kunci untuk berekonsiliasi dengan para korban. Bila korban (keluarga korban) menerima pengakuan tersebut dan mau memaafkan, si pelanggar HAM akan terbebas dari hukuman dan akan memperoleh pemulihan nama baik pula (rehabilitasi). Adapun si korban akan memperoleh kompensasi atas penderitaan yang telah dialami. Contoh negara yang sukses menjalankan pola KKR ini adalah Korea Selatan dan Afrika Selatan. Akankah kesuksesan yang sama diraih di Indonesia? Persoalan yang segera menghadang KKR adalah apakah mereka yang diduga melakukan pelanggaran HAM mau mengakui kesalahan mereka dan kemudian meminta maaf? Apalagi bila hal tersebut menyangkut institusi yang masih berkuasa (baca: TNI) dan figur yang saat ini masih powerful, atau paling tidak memiliki link tertentu dengan kekuasaan sekarang. Terlepas dari upaya DPR untuk menyegerakan persetujuan RUU KKR, proyek keadilan transisional di Indonesia, baik melalui pintu pengadilan HAM maupun KKR, terancam gagal, untuk tidak dikatakan sudah gagal. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, absennya figur yang kuat. Salah satu negara yang relatif berhasil menjalankan proyek ini adalah Afrika Selatan dan Korea Selatan. Di kedua negara tersebut dijalankan proses
Wacana KKR_03 18 rekonsiliasi (islah) antara tiga pihak, yaitu pemerintah baru sebagai fasilitator, korban (victim), dan pelaku pelanggaran masa lalu. Sedikit perbedaan terjadi pada cara untuk menuju rekonsiliasi. Di Afrika Selatan, rekonsiliasi dilakukan tanpa melalui tahap pengadilan. Sementara itu, di Korea Selatan, rekonsiliasi dijalankan dengan terlebih dulu membawa pelanggar HAM masa lalu itu ke meja hijau. Setelah dinyatakan bersalah, baru pelaku pelanggaran HAM masa lalu itu menjalani proses rekonsiliasi dengan korban.
M
Proses rekonsiliasi itu bisa berhasil karena hadirnya figur Nelson Mandela di Afrika Selatan dan Kim Dae-jung di Korea Selatan. Kedua pemimpin tertinggi negara itu adalah korban-korban masa lalu yang paling riil. Keduanya untuk waktu yang lama mendekam dalam penjara sebuah rezim. Nelson Mandela dipenjarakan rezim apartheid, sedangkan Kim Dae-jung dibui oleh rezim Chun Do-hwan. Itulah sebabnya, ketika tampil sebagai pionir proyek keadilan transisional, mereka sangat legitimate.
LS A
Kita tidak memiliki figur seperti Mandela dan Dae-jung. Tokoh-tokoh reformasi seperti Amien Rais, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri bukanlah korban riil dari rezim masa lalu (Orde Baru). Di era Orde Baru, ketiga tokoh tersebut sempat "menikmati" pekerjaan dan statusnya masing-masing. Gus Dur menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, Amien Rais Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan Megawati anggota DPR selama dua periode (1987-1992 dan 1992-1997). Mereka sama sekali tak pernah mengalami kehidupan penjara seperti yang dirasakan para pemimpin Indonesia masa lalu (Soekarno, Hatta, Syahrir, dan masih banyak lagi).
pin gE
Kedua, reformasi yang tidak tuntas. Reformasi Mei 1998 yang dipelopori mahasiswa memang berhasil menumbangkan Soeharto. Namun, elemen-elemen pendukung rezim otoriter itu (Golkar dan militer) tidak tersentuh sama sekali. Reformasi Mei 1998 hanya menumbangkan puncak gunung es, namun tidak sampai pada lereng, apalagi kaki gunung. Problem utama yang diidap oleh Reformasi Mei 1998 adalah kegagalannya menarik batas yang tegas antara pendukung rezim masa lalu dan masa sekarang. Saat ini, ketika Megawati naik ke puncak kekuasaan, masih banyak elemen masa lalu yang terangkut dalam gerbong kereta yang ia kendalikan, termasuk mereka yang diduga kuat terkait dengan tragedi 27 Juli. Mega seolah tidak mampu mengungkapkan siapa dalang peristiwa yang merenggut nyawa para pendukungnya itu--hingga kini tidak pernah jelas berapa sebenarnya korban tragedi 27 Juli. Yang dibutuhkan Mega saat ini adalah kestabilan pemerintahan, walau harus dengan mengorbankan korban-korban masa lalu yang berjasa besar mendongkrak popularitasnya.
kli
Kaitannya dengan proyek keadilan transisional, pembedaan yang tidak tegas antara "masa lalu" dan "masa kini" itu membuat pemerintah yang baru sulit menemukan siapa sesungguhnya para pelaku pelanggaran masa lalu itu. Sebab, pemerintahan yang sekarang tidak semuanya mencerminkan aktor-aktor masa kini. Sebagian dari mereka juga aktoraktor masa lalu, atau masih menjalin link dengan aktor-aktor masa lalu. Karena itu, mereka tidak berkepentingan untuk mengungkap para pelaku pelanggaran masa lalu. Ada kecenderungan mereka bahkan menutup-nutupinya. Akibatnya, tidak pernah jelas siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban atas segala pelanggaran yang telah terjadi. Itulah yang terjadi, misalnya, dengan tragedi Trisakti dan 12 Mei 1998. Hingga kini tidak jelas siapa sesungguhnya yang bertanggung jawab atas peristiwa yang merenggut empat nyawa mahasiswa Trisakti itu. Pengadilan atas kasus Trisakti hingga kini baru sampai pada pengadilan para prajurit, sedangkan jenderal yang seharusnya bertanggung jawab tak pernah tersentuh. Tidak heran kemudian pernah muncul keinginan dari para aktivis HAM untuk membawa pelanggaran selama Mei 1998 itu ke pengadilan internasional (international tribunal) karena tidak seriusnya pemerintah menuntaskan soal itu. Dengan dua kelemahan itu, pemerintah saat ini memang tak bisa diharapkan menjalankan proyek keadilan transisional dengan tuntas. Elemen-elemen masa lalu dalam pemerintahan sekarang akan terus-menerus menghalanginya. Komisi Kebenaran, bila jadi terbentuk, bisa menjadi "Komisi Pembenaran", yaitu pembenaran atas masa lalu. Maka, bagi mereka yang ditindas hak-haknya, keadilan bakal makin menjauh.
Wacana KKR_03 19 Kompas, Jumat, 19 September 2003
Satu Tahun Pengurus Baru Komnas HAM
Belum Mengubah Wajah Penegakan HAM Oleh Usman Hamid SETAHUN sudah Komnas HAM berjalan di bawah kepengurusan baru periode 2002-2007. Kepemimpinan di bawah Abdul Hakim Garuda Nusantara, Solahuddin Wahid, dan Zoemrotin terbentuk 12 September 2002. Kepengurusan baru dikukuhkan melalui Keppres Nomor 165/M/2002 tertanggal 31 Agustus 2002. Meski masih ada wajah lama, kepengurusan baru ini memberi harapan dan angin segar bagi masyarakat, terutama korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
M
Harapan masyarakat yang tinggi memosisikan Komisi Nasional (Komnas) hak asasi manusia (HAM) ada pada posisi amat penting bagi perubahan dan penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu. Tengok saja berbagai pernyataan yang muncul di media massa serta laporan masyarakat yang dituangkan lewat aksi demonstrasi, audiensi maupun cara lain.
LS A
Satu tahun pertama, Komnas HAM belum terlihat banyak berubah. Bukan karena kelemahan pada dirinya, tetapi lebih dikarenakan ketidakpedulian otoritas politik yang ada. Tidak ada perhatian dan dukungan serius dari pemerintah untuk mengatasi hambatan yang ditemuinya, terutama yang bersifat politis. DPR sendiri malah memberi berbagai tafsir hukum absurd yang justru berakibat fatal pada mekanisme penanganan kejahatan masa lalu. Pada saat yang sama, sikap ini tampak melegitimasi penolakan militer atas wewenang Komnas HAM, yang jelas merupakan preseden buruk sekaligus ancaman dalam perjalanan transisi politik di Indonesia. Masalah inilah yang mewarnai kinerja setahun Komnas HAM.
pin gE
BEBERAPA masalah penting lainnya selain soal otoritas politik yang acuh terhadap kerja Komnas HAM adalah sebagai berikut. Pertama, pendekatan agenda prioritas Komnas HAM. Di awal kepengurusan, kebijakan yang dipilih, Komnas HAM tampak lebih mengarah pada pemajuan HAM secara normatif. Hal ini ditunjukkan pada keputusan awal Komnas HAM mengenai: (1) pengajuan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; (2) ratifikasi kovenan induk hak asasi manusia, yakni Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; (3) pengajuan revisi terhadap UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
kli
Semua itu berkait dengan perubahan dan pemajuan sistem hukum di Indonesia. Tentu saja ini bukan sesuatu yang tidak penting, sebaliknya justru diperlukan. Namun melihat banyaknya pekerjaan rumah Komnas HAM terkait kasus masa lalu, semestinya bukan pendekatan normatif seperti ini yang diambil Komnas HAM, apalagi perubahan dan kemajuan di bidang hukum melalui ketiga agenda itu sudah menjadi kewajiban konstitusional pemerintah. Komnas HAM tidak perlu repot mengurusi soal ini. Kedua, tercecernya pekerjaan rumah Komnas HAM. Hingga kini, sejumlah kasus pelanggaran berat HAM masa lalu masih terabaikan. Termasuk beberapa kasus terakhir yang telah diputuskan pada periode Komnas HAM sebelumnya. Antara lain, kasus Talangsari Lampung 1989, kasus Aceh termasuk Bumi Flora, kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa, dan kekerasan atas wartawan. Seperti kita ketahui, pada periode sebelumnya telah ada beberapa keputusan Komnas HAM untuk menyelidiki kasus itu. Sayang, hingga hari ini kejelasan nasib dan tindak lanjut kasus-kasus ini masih jauh dari harapan. Di sisi lain, terhadap berkas penyelidikan yang telah diserahkan ke Kejaksaan Agung, Komnas HAM tidak mengambil langkah pemantauan yang intensif guna mempertanyakan kelanjutan hasil penyelidikan. Misalnya, berkas perkara Trisakti, Semanggi I dan II, Abepura, Sampit, dan Maluku. Tanpa pemantauan intensif bagi tindak lanjut kasus-kasus itu, dapat kian mengendapkannya dalam "penyidikan" di Kejaksaan Agung, seperti terjadi pada kasus Tanjungpriok. Berkas perkara Priok baru dilimpahkan ke Pengadilan, setelah kurang lebih mengendap di Kejaksaan Agung sekitar 35 bulan. Kini sudah mulai disidangkan. Ketiga, penggunaan wewenang dan mandat undang-undang yang setengah hati. Penggunaan wewenang terkait soal fungsi penyelidikan belum menghasilkan sesuatu yang signifikan. Tengok misalnya Tim Kajian Soeharto
Wacana KKR_03 20 yang dibentuk Komnas HAM. Mandat yang diberikan terbatas sebagai fungsi pengkajian, bukan penyelidikan pro-justicia. Padahal, sebagai lembaga tunggal penyelidik pelanggaran berat HAM masa lalu, Komnas HAM semestinya menggunakan wewenang yang diberikan UU, terutama UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Siapa yang akan menjalankan fungsi itu jika bukan Komnas HAM? Keempat, integritas maupun konsistensi anggota Komnas HAM. Masalah ini tidak bisa dilepaskan dari terbatasnya pemahaman anggota soal konsep HAM sehingga kesan sarat kepentingan dan konservatisme tampak kental. Lihat sikap Komnas HAM soal pemberlakuan hukuman mati di Indonesia, darurat militer di Aceh hingga upaya mendeligitimasi kerja kelembagaan. Contoh yang penting dicatat saat Tim Ad Hoc bentukan Komnas HAM mengumumkan temuannya di Aceh, dua anggota Komnas HAM lainnya menemui Menko Polkam tanpa sepengetahuan dan melalui proses pengambilan keputusan dalam kelembagaan.
M
Sikap Komnas HAM terpecah, mendukung dan menolak penerapan hukuman mati di Indonesia dan pemberlakuan darurat militer di Aceh. Termasuk dalam melihat kasus pemerkosaan di Aceh, di mana Komnas Perempuan memprotes keras termasuk lewat sebuah surat terbuka kepada Komnas HAM, akhir Juli lalu. Seandainya ada mekanisme kerja yang kredibel di dalam Komnas HAM, hal-hal seperti ini tidak boleh terjadi. Tindakan anggota Komnas HAM di luar kesepakatan lembaga jelas tidak bisa ditolerir. Sebab, bisa menimbulkan penafsiran yang membingungkan di masyarakat.
LS A
CATATAN pada uraian terakhir bisa menjadi faktor penyebab rendahnya kinerja Komnas HAM. Setahun lalu, sebelum anggota baru disahkan Presiden Megawati, ada keraguan terhadap kredibilitas sejumlah anggota dan kekhawatiran bahwa "wajah-wajah lama" yang kembali terpilih akan menghambat pengungkapan kejahatan masa lalu. Bahkan, sejumlah korban melalui kuasa hukum beberapa LSM menggugat Presiden Megawati di PTUN. Kekhawatiran ini bisa terjadi. Tetapi, jika dilihat dari komposisi keanggotaan, mereka tidak dominan. Begitu kuat dan berpengaruhkah mereka sehingga mampu menghambat penuntasan pekerjaan rumah Komnas HAM atas kasus masa lalu?
pin gE
Sulit memastikan penyebab utama di antara catatan itu. Yang pasti, problem eksternal Komnas terkait sikap DPR dan pemerintah, yang langsung atau tidak melegitimasi sikap militer yang jelas melawan hukum, juga berjalan selaras persepsi dan kepentingan yang berbeda atas kasus atau isu tertentu di dalam tubuh Komnas HAM sendiri. Karena itu, Pemerintah dan DPR harus bertanggung jawab atas rendahnya kualitas penghormatan dan pemajuan HAM seperti dimandatkan konstitusi. Demi perbaikan dan peningkatan kinerja di masa datang, Komnas HAM harus segera mengambil langkah inisiatif guna perubahan strategi lembaga dengan menempatkan kasus masa lalu sebagai prioritas. Hal itu harus diiringi perbaikan internal di tubuh Komnas HAM. Langkah ini penting agar Komnas HAM mampu menghadapi tantangan masa kini dan masa datang. Sebab, tantangan ke depan dalam menuntaskan kejahatan masa lalu, jauh lebih berat.
kli
Melihat perkembangan sosial politik saat ini terutama terkait Pemilu 2004 dan ramainya bursa bakal calon presiden, apakah masih ada harapan bagi Komnas HAM mengubah wajah penegakan HAM di Indonesia? Atau, haruskah menunggu pergantian pemerintahan di masa selanjutnya sehingga Komnas HAM mampu menjadi bagian penting mekanisme nasional bagi pemecahan problem impunitas? Apa pun yang terjadi, selama komitmen pemerintah dan DPR masih belum berubah, jangan harap wajah penegakan HAM di negeri ini bisa berubah. Usman Hamid Aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
Wacana KKR_03 21 Kompas, Sabtu 20 September 2003
Belajar dari Peristiwa Madiun Oleh Baskara T Wardaya SEBAGAIMANA banyak peristiwa kontroversial lain dalam sejarah, ada sejumlah teori yang muncul mengenai Peristiwa Madiun. Dalam peristiwa yang terjadi pada bulan September 1948 itu setidaknya ada empat teori yang berlaku.
M
Pertama, teori yang mengatakan, dalang Peristiwa Madiun adalah PKI. Menurut teori ini, Partai Komunis ingin merebut kekuasaan dari Pemerintah RI dengan cara menduduki Kota Madiun. Sebagaimana terungkap dalam dokumen yang diedarkan kalangan Partai Murba, PKI melakukan kerja sama dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) untuk menjadikan Indonesia berpemerintahan komunis. Di Madiun pula mereka membentuk "soviet" atau sistem pemerintahan model komunis Rusia. Muso adalah pemimpin dari pemberontakan di Madiun. Dengan tindakannya itu, dia dan kawan-kawannya dipandang telah "menusuk dari belakang" Republik yang sedang giatgiatnya berjuang melawan Belanda.
LS A
Kedua, teori yang mengatakan, pelaku utama Peristiwa Madiun adalah kabinet yang dipimpin Wapres Hatta. Pada pertengahan Februari 1948 Kabinet Hatta bermaksud melakukan "rasionalisasi" atau penciutan jumlah personel angkatan perang, antara lain guna mengurangi beban finansial "bayi" Republik. Dalam pelaksanaannya program rasionalisasi ini dilakukan oleh Divisi Siliwangi dan mendapat tentangan dari laskar-laskar rakyat, khususnya yang tergabung dalam Divisi Senopati yang berhaluan Kiri dan berkedudukan di Solo. Laskar-laskar itu merasa telah ikut berjasa dalam Revolusi, karena itu tak mau didemobilisasi begitu saja. Mereka bermaksud melawan program rasionalisasi. Dikatakan, dalam situasi demikian Kabinet Hatta sengaja memprovokasi kerusuhan di Solo dan Madiun, supaya ada alasan untuk menyingkirkan golongan Kiri.
pin gE
Ketiga, teori yang mengatakan, provokatornya adalah Amerika Serikat (AS). Menurut teori ini, tanggal 21 Juli 1948 AS berinisiatif menyelenggarakan sebuah konferensi di Sarangan. Dalam konferensi yang dihadiri dua wakil AS, G Hopkins dan Merle Cochran serta Presiden Sukarno dan Wapres Hatta, dihasilkanlah dokumen Red-Drive Proposal. Konon, menurut dokumen berisi rencana pembasmian "kaum merah" itu, yang mau dibasmi bukan hanya orangorang komunis, tetapi setiap unsur masyarakat yang antiimperialis. Pemerintah RI diminta melakukan pembasmian itu dengan imbalan 56 juta dollar AS. Sejak itu diadakanlah berbagai bentuk provokasi terhadap PKI dan FDR serta kelompok-kelompok Kiri lain. Dengan demikian dalam pandangan teori ini Peristiwa Madiun tak lain adalah buah provokasi AS dalam usahanya membasmi kaum Kiri dan unsur-unsur antiimperialis lain di Republik ini.
kli
Keempat, teori yang mengatakan, "otak"-nya adalah Uni Soviet (US). Menurut teori ini, tidak bisa disangkal bahwa Peristiwa Madiun merupakan hasil rekayasa US melalui apa yang disebut Moscow Plot. Sebelum Agustus 1948, PKI tenang-tenang saja, tetapi setelah kedatangan Muso-yang selama 20 tahun tinggal di Rusia-pada bulan itu partai komunis itu menjadi amat agresif dan dalam waktu singkat berhasil merekrut banyak pengikut. Kementerian Penerangan RI saat itu, misalnya, menuduh kedatangan Muso terkait erat rencana Moskwa untuk menguasai Asia Tenggara. Mengada-ada
Betapapun tampak meyakinkannya, teori-teori itu memiliki kelemahan masing-masing. Teori mengenai PKI sebagai dalang Peristiwa Madiun misalnya, mengandung kelemahan mencolok. Ketika peristiwa itu pecah tanggal 18 September 1948, Muso dan para pemimpin PKI lain sedang ada di luar kota. Bila "pemberontakan" itu dipimpin Muso, seharusnya hari itu ia ada di Madiun. Muso justru terkejut mendengar berita mengenai apa yang terjadi, dan baru tiba kembali di Madiun tengah malam. Sementara itu para pemimpin PKI yang lain justru tertahan di Yogyakarta. Selanjutnya dokumen-dokumen yang konon "ditemukan" dan kemudian disebarkan oleh Partai Murba, amat diragukan keasliannya, termasuk oleh Profesor Kahin yang sempat membaca sendiri berkas-berkas itu (Kahin: 1952). Teori mengenai Kabinet Hatta sebagai pelaku utama Peristiwa Madiun perlu dipertanyakan. Bahwa kabinet itu merencanakan rasionalisasi dan khawatir akan meluasnya pengaruh komunis di Indonesia, itu jelas. Tetapi apakah berdasarkan rencana dan kekhawatiran itu lantas secara sengaja memprovokasi golongan komunis agar berontak supaya bisa disingkirkan, belum bisa dipastikan. Tentu Hatta tak menghendaki adanya perang saudara di tengah seriusnya ancaman militer Belanda yang siap melancarkan Agresi Kedua.
Wacana KKR_03 22 Teori provokasi Amerika terasa meragukan, antara lain karena cerita mengenai "Konferensi Sarangan" yang disebutsebut sebagai dasar teori itu sebenarnya tidak pernah ada (Swift: 1989). Cochran yang dikabarkan sebagai salah seorang wakil AS dalam konferensi yang katanya berlangsung 21 Juli itu, baru tiba di Indonesia 9 Agustus 1948. Sementara itu, orang bernama "G Hopkins" yang dikatakan sebagai penasihat Presiden Truman itu mungkin hasil mengada-ada. Teori mengenai rekayasa Moskwa juga cukup meragukan. Ketika mendengar pecah Peristiwa Madiun, Moskwa justru kaget. Pemahaman Moskwa mengenai peristiwa itu baru datang belakangan hingga tanggal 25 September koran resmi US Pravda menurunkan berita singkat tentang apa yang terjadi di Madiun. Informasi lebih lengkap yang didapat Moskwa justru datang dari komunis Belanda, sehingga baru pada 15 Oktober koran itu menyampaikan tuduhan bahwa PKI telah diprovokasi untuk melakukan perlawanan supaya dapat dibasmi. Mengolah
M
Kelemahan yang ada pada masing-masing teori bukan berarti tak ada kebenaran dalam teori-teori itu, tetapi bahwa "kebenaran" tentang Peristiwa Madiun mungkin terletak pada kombinasi dari unsur-unsur yang terkandung dalam keempatnya. Yang jelas, ada satu fakta yang sulit dipungkiri, dalam peristiwa itu anak-anak bangsa telah menjadi pelaku dan korban baku-tuduh hingga baku-bunuh dalam skala besar.
LS A
Banyak warga golongan Kiri dihabisi tentara pemerintah, tetapi banyak pula anggota PKI yang membunuh lawanlawan politiknya dalam jumlah besar. Di antara golongan Kiri yang dibunuh adalah Amir Sjarifuddin, mantan Perdana Menteri RI yang disuruh menggali liang kuburnya sendiri sebelum kemudian dieksekusi tentara. Tanpa pengadilan, tanpa kesempatan membela diri.
pin gE
Sayang, dalam sebuah peristiwa yang berlangsung secara relatif singkat di awal sejarah Republik, terjadi pembantaian antarsesama warga bangsa dalam jumlah ratusan, mungkin ribuan. Namun, lebih sayang lagi, tragedi nasional macam itu kurang mendapat kesempatan untuk diolah secara mendalam, selain diberi label "pemberontakan PKI yang gagal." Jangan-jangan antara lain karena kurangnya pengolahan pengalaman atas momen-momen historis macam itu, maka tragedi baku-tuduh hingga baku-bunuh terus berlanjut sampai kini. Pembunuhan Massal 1965, Kerusuhan Solo, Maluku, dan Poso hanyalah beberapa contoh. Diharapkan, ingatan akan apa yang terjadi dalam Peristiwa Madiun mendorong kita untuk tak enggan berdialog dengan pengalaman masa lalu. Munculnya berbagai teori itu hendaknya menyadarkan kita bahwa upaya mencari kebenaran itu tidak mudah tetapi harus dilaksanakan. Semoga kita tak bosan untuk terus mengolah pengalaman sejarah bangsa ini.
kli
Baskara T Wardaya SJ Mengajar Sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Wacana KKR_03 23 Kompas, Jumat, 26 September 2003
RUU KKR Sudah Kehilangan Momentum? MENURUT saya, Rancangan Undang-undang mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah kehilangan momentum, tegas Dr Priyambudi Sulistiyanto. "Perdebatan antara pandangan KKR sebagai jalan pintas dan KKR cara alternatif untuk pencarian kebenaran, seharusnya sudah selesai. Momentumnya sudah habis pada tahun 2001," tegas Ilmuwan dan staf pengajar di National University of Singapore, yang sedang melakukan penelitian mengenai proses rekonsiliasi di negara-negara Asia Tenggara ini.
M
Namun dalam diskusi publik mengenai "Keadilan di Masa Transisi: Sumbangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi", yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) di Jakarta, tanggal 19 September 2003, Priyambudi menyatakan, penerbitan dua buku dari Elsam yang diluncurkan pada acara itu, yakni Pencarian Keadilan di Masa Transisi dan Kebenaran Keadilan: Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu, harus dilihat dalam konteks lebih luas: bahwa masalah rekonsiliasi tak bisa dihitung dengan waktu, harus dilihat dari tataran yang lebih komprehensif.
LS A
Priyambudi bisa memahami mengapa pengampunan acapkali diinterpretasikan secara buruk, dan disetarakan impunity dalam pelanggaran berat HAM, dan jarang sekali didiskusikan dalam kerangka data. "Saya melihat masalah rekonsiliasi dan keadilan dalam empat kerangka yang lebih luas, yakni pemaafan atau pengampunan dalam konteks individu dalam hubungannya dengan kelompok. Kemudian pemaafan dalam konteks satu kelompok masyarakat dengan individu. Lalu pemaafan antara individu dengan individu dan antara kelompok dengan kelompok," ujar Priyambudi.
pin gE
Bagi dia, proses pemaafan atau pengampunan harus dilihat sebagai upaya pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu di mana tahap pengungkapannya harus sejalan dengan penegakan HAM. Namun, apa kerangka yang diungkapkan oleh Priyambudi tampaknya belum menyentuh kriteria pelanggaran berat HAM. Dalam berbagai artikelnya, Direktur Eksekutif Elsam, Ifdhal Kasim, menyatakan, pelanggaran amnesti kepada pelaku pelanggaran berat HAM merupakan salah satu isu paling kontroversial di negeri-negeri yang sedang mengalami transisi politik. Mereka yang menentang menganggap kebijakan pemberian amnesti sebagai bentuk penyelamatan terhadap pelaku, sekaligus merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional mengenai kewajiban untuk menyelidiki dan mengadili pelanggaran berat HAM.
kli
Bagi mereka, pemberian amnesti sama saja dengan memalingkan muka dari warisan Nuremberg. Seperti diketahui, pengadilan terhadap perwira militer dan pejabat sipil Nazi Jerman di Nuremberg, yang dikenal sebagai Nuremberg Trial, melahirkan preseden dalam hukum internasional, yakni kewajiban untuk melakukan penyelidikan dan mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dalam perang. Para ilmuwan hukum, seperti Austin Sarat dari Amherst College, menyatakan, pemberian amnesti bisa menuntun suatu bangsa menuju kepada amnesia sejarah. Sementara itu, pihak yang menerima mengatakan, kebijakan pemberian amnesti itu sebagai necessary evil demi menyelamatkan proses transisi menuju demokrasi. Dalam argumen ini yang dipentingkan adalah tujuan akhirnya, yaitu menormalisasikan situasi transisi dalam negeri demi penataan kembali masyarakat menuju tertatanya masa depan bagi generasi mendatang.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Afrika Selatan juga memiliki sub-Komisi Amnesti, sebagai satu dari tiga subkomisi dalam KKR. Ada sekitar 7.124 permohonan amnesti yang diterima oleh Komisi Amnesti yang sebagian besar ditolak atas dasar pemeriksaan administratif yang tidak memenuhi persyaratan. Bagi yang permohonannya diterima akan menjalani pemeriksaan yang teliti untuk menguji kebenaran atas pengakuan yang mereka berikan. Bagi kasus-kasus tertentu, pemeriksaan dilakukan secara terbuka melalui public hearing. Dalam proses ini paling tidak hadir tiga anggota dan dipimpin oleh seorang hakim pengadilan tinggi. Bukti-bukti berupa pernyataan diperlakukan sebagai subyek untuk pembuktian timbal balik.
Wacana KKR_03 24 Sub-Komite Amnesti mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas anel dan kemudian diumumkan kepada publik. Meskipun dilakukan dengan prosedur yang sangat rumit dan mengandung kehati- hatian yang cukup besar, toh pemberian amnesti ini tetap merupakan kritik terhadap KKR di Afrika Selatan karena tidak memenuhi rasa keadilan dari banyak anggota masyarakat. PADA kesempatan terpisah, Prof Dr Saparinah Sadli dari Komnas Perempuan sependapat dengan Priyambudi. "Kita memang sudah kehilangan momentum," tegasnya. Saparinah menjelaskan, di Timor Leste, KKR segera terbentuk begitu negeri itu terbebas dari penguasaan Indonesia, dan segera menjalankan tugasnya, dengan membuka public hearing sampai ke tingkat distrik. Rakyat yang memilih sendiri anggota- anggota KKR yang ia percaya akan menjamin rasa keadilan itu, karena mereka juga terdiri dari korban.
M
"Proses pengungkapan kebenaran dan memaafkan bisa berlangsung, bukan hanya karena mereka sudah capai berperang, tetapi terutama karena pihak yang dianggap sebagai "musuh", yakni Indonesia, sudah tidak ada di sana. Lebih jauh lagi, ada tokoh-tokoh yang dipercaya oleh masyarakat. Ada Xanana. Xanana. Dalam hal ini kepercayaan merupakan hal yang penting," tandasnya.
LS A
Terkait dengan ini, dalam artikel Coming to Term with Atrocities: A Review of Accountability Mechanism for Mass Violation of Human Rights yang dimuat dalam jurnal Law and Contemporary Problem, Vol 59 tahun 1996, Neil J Kritz, antara lain mengemukakan mengapa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan berhasil mendorong ribuan orang untuk memberikan pengakuan atas kejahatan yang mereka lakukan pada masa pemerintah apartheid. "Karena pengadilan tetap merupakan ancaman yang nyata," tulis Kritz.
pin gE
Kritz menegaskan bahwa KKR bukan merupakan pengganti pengadilan. KKR tidak memberi standar prosedural yang sama dengan pengadilan, tetapi KKR bisa menjalankan banyak fungsi serupa. KKR memberi mandat dan otoritas untuk penyelidikan resmi tentang pelanggaran yang terjadi. "Tentu dengan catatan bahwa anggota KKR dipilih oleh masyarakat, khususnya masyarakat korban," ujar Eddie Riyadi Terre, peneliti dari Elsam. KKR, menurut Kritz, juga memberi kemungkinan katarsis secara terbuka tentang kejahatan yang dilakukan dan penderitaan yang ditimbulkannya. Selain itu, KKR juga memberi forum bagi korban dan kerabatnya untuk menceritakan kejadian tragis yang menimpa mereka, dan menjadikan pemaparan kebenaran dari perspektif korban itu sebagai catatan resmi. "Di sini, sejarah didefinisikan kembali dari perspektif korban," sambung Eddie. Selanjutnya Kritz menulis, dalam beberapa kasus, KKR memberikan dasar formal untuk kompensasi bagi para korban dan penghukuman bagi pelaku. Keunggulan KKR adalah bahwa ia bisa dibentuk dan mulai bekerja dengan segera. Ini merupakan hal yang logis karena pengadilan dalam masa transisi di berbagai negara masih merupakan warisan dari lembaga yang korup.
kli
Dalam hal ini peran KKR menjadi signifikan karena ia bisa segera melakukan public hearing, mengumpulkan kesaksian dan mendokumentasikannya. Ini semua kemudian bisa digunakan oleh pengadilan. Dengan penjelasan Kritz sebenarnya bisa disimpulkan bahwa proses yang terjadi di Indonesia, sebenarnya terbalik. Yang terjadi di Indonesia adalah diselenggarakannya pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu, khususnya untuk kasus Timor Timur. "Dari banyak literatur yang saya baca, yang terjadi di berbagai negara seperti di Cile dan Argentina, juga Afrika Selatan dan Timor Leste, adalah pencarian kebenaran dulu oleh KKR, baru diselenggarakan pengadilan untuk pelanggaran berat HAM," jelas Eddie.
Proses yang terbalik ini, menurut dugaan Eddie, tak bisa dilepaskan dari negosiasi politik. "Kita semua tergiring ke dalamnya, apalagi dengan pembahasan yang terkesan bertele- tele, sehingga memakan waktu lama," sambungnya. Karena itu, Eddie bisa memahami mengapa ada pendapat bahwa KKR cenderung melanggengkan impunity bagi para pelanggar HAM berat.
Wacana KKR_03 25 Lebih jauh dijelaskan, kalau- pun suatu saat KKR bisa terbentuk, Komisi itu tidak bisa lagi memberikan rekomendasi kepada pengadilan karena ada prinsip ne bis in idem. Berdasarkan prinsip itu, maka sesuatu yang sudah ditetapkan oleh pengadilan tidak bisa dibawa ke pengadilan lagi. "Kalau KKR terbentuk di Indonesia, tidak mungkin KKR memberikan rekomendasi untuk pelanggaran HAM bagi kasus Timor Timur," sambungnya. Akan tetapi, memang ada kasus-kasus lain terkait dengan masalah pelanggaran berat HAM, seperti misalnya dalam kasus Semanggi atau Trisakti, dan kasus-kasus lainnya. Kasus-kasus ini relatif baru dibandingkan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi di Indonesia. "Persoalannya adalah, KKR dibuat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu," jelas Eddie.
M
JADI persoalannya adalah "batas waktu masa lalu" tadi. Batas ini masih terus diperdebatkan. Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam dalam buku Pencarian Keadilan di Masa Transisi (2003) mengusulkan batas waktu yang dimaksud dengan "masa lalu" itu dimulai dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli tahun 1959 dan berakhir pada bulan Mei tahun 1998.
LS A
Di dalam kurun waktu kekuasaan rezim Orde Baru terjadi berbagai peristiwa pelanggaran berat HAM, termasuk di antaranya kasus Tanjung Priok, penangkapan aktivis-aktivis politik Islam (kelompok Usro, 1985-1988, terutama di Jawa), pembantaian kelompok Warsidi (Lampung, 1989), penyiksaan dan pembunuhan terhadap jemaat Huriah Kristen Batak protestan, HKBP (1992-1993), kasus Haor Koneng, Majalengka, Jawa Barat (1993), pembunuhan petani Nipah (Madura, 1993), operasi militer di Aceh (1989- 1998), pembunuhan di Irian Jaya 1994-1995), pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983), penghilangan aktivis, peristiwa 27 Juli, dan lain-lain.
pin gE
Kurun waktu sebelum Orde Baru (1959-1965), menurut Asvi Warman, merupakan kurun waktu yang "panas" dalam sejarah politik Indonesia, yang melibatkan pihak "kiri" di satu sisi dan pihak "kanan" di sisi lain, yang sampai kini keretakannya masih terasa. Juga Peristiwa G30S. Ilmuwan Daniel Dhakidae cenderung memulai "masa lalu" itu dari rezim Orde Baru, yakni tanggal 1 Oktober 196522 Mei 1998, karena pada periode inilah terjadi apa yang dikenal sebagai gross violation of human rights, yang skalanya tidak tertandingi oleg rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno. Kriteria gross violation of human rights, menurut Dhakidae, adalah pelanggaran itu prosesnya terjadi secara sistematis, dikerjakan oleh state apparatus yang mendapat dukungan dari institusi kekerasan yang ada dalam masyarakat.
kli
Kriteria selanjutnya adalah dilakukan secara massal dengan korban yang massal pula dan menyebabkan hubungan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Pada ujung berikutnya berkaitan dengan persoalan keadilan, yang tentu saja menjadi basis terdalam dari seluruh persoalan tersebut. Pertanyaan dengan batas waktu adalah, apakah dasar penetapan jangka waktu itu? Apakah "masa lalu"? Bukankah tidak bisa ditarik garis lurus dalam sejarah? Apakah rezim Orde Baru berakhir setelah pemerintah Soeharto jatuh? Bukankah rezim itu menurunkan sifat dan pemikiran yang masih terus dianut sampai saat ini? Bagaimana dengan fakta bahwa dalam masa transisi di Indonesia, banyak pelaku pelanggaran "berganti baju"? Bukankah mereka juga menggunakan kata "reformasi" dan tetap memegang jabatan-jabatan yang memberinya akses kekuasaan secara langsung?
Kalau tidak mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan ini, siapa yang bisa menjawab mengapa terjadi peristiwa Semanggi I dan Semanggi II dan peristiwa-peristiwa lainnya yang mengandung unsur-unsur pelanggaran berat HAM? Bagaimana dengan kasus terakhir di Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri (STPDN)?
Wacana KKR_03 26 Perdebatan mengenai "batas waktu masa lalu" bukan soal yang bisa diselesaikan dengan mudah. Inilah proses yang penuh kontradiksi, yang entah kapan bisa diselesaikan.
kli
pin gE
LS A
M
Namun, dalam hal ini barangkali bisa dikemukakan pernyataan aktivis perdamaian dan peraih Nobel Sastra tahun 1986 dan aktivis perdamaian dari Nigeria, Wole Soyinka, "Dengan mengakui kejahatan di masa lalu, suatu bangsa bisa melangkah dengan lebih ringan menuju masa depan." (mh)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
1
KLP: RUU KKR [Pansus Juli s/d. September 2003] [telah cetak 3 kali] Kamis, 10 Juli 2003
Pansus RUU KKR Terbentuk Jakarta, Kompas - Setelah Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dikirimkan Presiden Megawati Soekarnoputri tanggal 26 Mei 2003 ke Dewan Perwakilan Rakyat, DPR akhirnya membentuk Panitia Khusus RUU KKR. Namun, pembahasan RUU yang ditunggu-tunggu itu baru dilakukan setelah tanggal 14 Agustus 2003 karena DPR hari ini memasuki reses.
M
Pengesahan Pansus RUU KKR itu dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar di Gedung MPR/DPR, Rabu (9/7).
LS A
Anggota Pansus RUU KKR tersebut berjumlah 50 orang. Para anggota pansus di antaranya adalah Sidarto Danusubroto, Firman Jaya Daeli, Alex Litaay, dan M Junus Lamuda (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Dari Fraksi Golkar di antaranya tercatat Rambe Kamarulzaman, Agun Gunandjar Sudarsa, dan Hajriyanto Y Thohari. Dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan di antaranya Chozin Chumaidy, Thahir Saimima, Endin Soefihara, dan Rusjdi Hamka. Dari Fraksi Kebangkitan Bangsa di antaranya KH Yusuf Muhammad, Sofwan Chudorie, Amin Said Husni, dan Susono Yusuf.
pin gE
Dari Fraksi Reformasi adalah Muhammadi, Ambia B Boestam, dan Mashadi. Dari Fraksi TNI/Polri adalah Kohirin Suganda dan Prayogo. Dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia Astrid Susanto, Fraksi Partai Bulan Bintang adalah Zubair Bakry, dan Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah diwakili Mudahan Hazdie. Ditunggu-tunggu RUU KKR merupakan RUU yang ditunggu-tunggu karena sudah tiga tahun diusulkan pembentukannya melalui Ketetapan MPR Nomor V/MPR/ 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Dalam Tap MPR itu antara lain dinyatakan bahwa pembentukan KKR merupakan langkah nyata untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional.
kli
Dalam Tap MPR itu, pada bagian Kaidah Pelaksanaan antara lain mengamanatkan pembentukan KKR sebagai lembaga ekstra yudisial yang jumlah anggota dan kriterianya ditetapkan dengan UU. Komisi tersebut bertugas menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau sesuai dengan ketentuan hukum dan perundangundangan yang berlaku. Komisi jKebenaran dan Rekonsiliasiuga melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.
Tap MPR itu lebih lanjut mengamanatkan, langkah- langkah setelah pengungkapan kebenaran dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi. Atau, alternatif lain yang bermanfaat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan sepenuhnya memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Status Tap MPR
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
Anggota Pansus RUU KKR dari F-PG Rambe Kamarulzaman yang juga Ketua Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR mengungkapkan, Tap MPR No V/MPR/2000 itu sebetulnya sekarang sedang dikaji PAH II BP MPR, apakah akan dihapuskan atau tidak. Disepakati di PAH II bahwa jika materi suatu Tap MPR sudah diturunkan dalam UU, maka Tap MPR itu bisa dihapus. Hal itu akan diputuskan dalam Sidang Tahunan MPR 1-10 Agustus 2003. "Tampaknya Pansus RUU KKR itu baru bisa bekerja setelah 14 Agustus. Sementara status Tap MPR itu sudah harus diputuskan dalam ST MPR nanti. Oleh karena itu, mungkin nanti Tap No V/MPR/2000 itu tidak dihapuskan dulu sebelum UU KKR jadi," kata Rambe.
kli
pin gE
LS A
M
Anggota Pansus RUU KKR dari F-PDI Perjuangan Firman Jaya Daeli menambahkan, kehadiran RUU KKR ini tidak sekadar merupakan respons terhadap Tap MPR No V/MPR/2000. Akan tetapi, ia lahir dari perspektif bangsa ini untuk membangun semangat rekonsiliasi sebagai prasyarat terhadap sebuah perdamaian. (bur)
2
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
3
Kompas, Senin, 14 Juli 2003
Penyelesaian Pelanggaran HAM Era Orde Baru Mau ke KKR atau Pengadilan HAM Ad Hoc KEKUASAAN PRESIDEN Soeharto telah secara formal berakhir 21 Mei 1998. Namun, setelah lima tahun berakhirnya kekuasaan Soeharto, pemerintahan transisi post-Soeharto-baik BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri-belum mampu menyelesaikan satu pun berbagai kasus yang dilakukan rezim Orde Baru. Padahal, pelanggaran HAM itu membentang dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam hingga Papua.
M
AHLI politik Samuel Huntington yang mendalami transisi politik di berbagai negara mengakui ada dua masalah pelik yang tidak mudah diselesaikan oleh pemerintahan baru setelah transisi politik. Kedua masalah itu adalah bagaimana pemerintahan transisi menyelesaikan kasus pelanggaran HAM warisan rezim otoriter dan bagaimana pemerintah baru mengatasi masalah keterlibatan militer dalam politik.
LS A
Alfred Stepan dalam buku Militer dan Demokratisasi, Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain mengungkapkan, sebuah rezim yang berada dalam proses demokratisasi, tingkat kontestasi militer terbuka sangat dipengaruhi oleh sejauh mana terdapat pertikaian besar atau ketidaksepakatan yang mendasar antara militer dalam pemerintahan baru dalam sejumlah isu penting. Salah satu wilayah isu yang mengandung potensi konflik besar ialah bagaimana rezim baru menangani kasus pelanggaran HAM.
pin gE
Dari kajian Stepan di Argentina, Brasil, dan Uruguay, terdapat resistensi militer terhadap pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu. Upaya Presiden Argentina Raul Alfonsin untuk mengadili sejumlah petinggi militer yang terlibat dalam dirty war (perang kotor) mendapat resistensi yang sangat kuat dari militer. Percobaan kudeta berulang kali terjadi, sampai kemudian Alfonsin mundur dari kebijakannya dan menghentikan proses penuntutan. Pengalaman di berbagai negara juga menunjukkan, sebuah perdebatan keras mengenai format penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Diane Orentlichter menggambarkan sebuah pemerintahan transisi dihadapkan pada dilema Hobson’s Choice. Pada satu sisi, pemerintahan transisi diwajibkan oleh hukum internasional untuk melaksanakan proses hukum terhadap pelanggar HAM. Namun, pada sisi lain, kondisi pemerintahannya masih rapuh. Penuntutan terhadap para pelaku pelanggar HAM dikhawatirkan bakal mengganggu stabilitas pemerintahan.
kli
Terdapat dua kelompok yang berbeda pandangan. Ada kelompok yang mendukung penuntutan terhadap para pelaku pelanggar HAM, namun kelompok lain lebih mendukung pemberian amnesti demi untuk rekonsiliasi. Bagi kubu yang mendukung penuntutan ke pengadilan mengatakan, kebenaran dan keadilan mengharuskan tindakan penuntutan ke pengadilan.
Rezim pengganti mempunyai kewajiban moral untuk menghukum kejahatan biadab. Namun, kelompok yang menentang menyebutkan, demokrasi harus didasarkan pada rekonsiliasi di antara kelompok-kelompok utama di dalam masyarakat dengan mengesampingkan perpecahan di masa lalu. Perbebatan antara kelompok pendukung penuntutan ke pengadilan dan kelompok amnesti ini telah menimbulkan sintesa baru, yakni format penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Priscilla Hayner menyebutkan paling tidak sudah 20 negara membentuk KKR untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
4
KKR Timtim kini sedang bekerja dan belum merampungkan tugasnya. KKR yang paling populer di Indonesia adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan yang dipimpin Uskup Desmond Mpilo Tutu. BERBEDA dengan negara-negara lain, baru setelah lima tahun sejak tumbangnya Soeharto, pemerintahan Megawati Soekarnoputri mengajukan sebuah draf Rancangan Undang-Undang (RUU) KKR. Draf RUU itu telah diserahkan kepada DPR tanggal 26 Mei 2003. DPR pun telah membentuk panitia khusus (pansus) untuk membahas RUU KKR. Namun, pembahasan RUU KKR baru akan dilaksanakan setelah Sidang Tahunan MPR.
M
Melalui RUU KKR itu, pemerintahan Megawati akan mengintrodusir sebuah lembaga baru, yakni KKR. KKR ini berfungsi untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia berat dan melaksanakan rekonsiliasi. KKR akan beranggotakan lima belas orang dan akan bertugas selama tiga tahun.
LS A
KKR Indonesia mempunyai tugas untuk menerima pengaduan atau laporan dari pelaku, korban, atau keluarga korban serta melakukan penyelidikan dan klarifikasi atas pelanggaran HAM berat. Selain itu, memberikan rekomendasi kepada presiden dalam hal permohonan amnesti serta menyampaikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi.
pin gE
Ada beberapa pokok pikiran yang melandasi penyusunan RUU KKR. Pertama, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM harus ditelusuri kembali untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran serta menegakkan keadilan dan membentuk budaya menghargai HAM. UU No 26/2000 mulai berlaku 23 November 2000. Kedua, dalam rangka pencarian dan pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM berat perlu dilakukan langkah konkret dengan membentuk KKR. Ketiga, pengabaian tanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU No 26/2000 telah menimbulkan ketidakpuasan, sinisme, apatisme, dan ketidakpercayaan dalam masyarakat terhadap institusi penegak hukum. Akibatnya, negara dianggap memberikan kebebasan dari hukuman kepada pelaku pelanggaran HAM berat. RUU KKR tidak mengatur tentang proses penuntutan hukum, tetapi lebih terfokus pada pengaturan mengenai proses pencarian dan pengungkapan kebenaran, pertimbangan amnesti. Dan, pemberian kompensasi, restitusi, atau rehabilitasi kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sehingga diharapkan akan membuka jalan rekonsiliasi.
kli
RUU KKR yang diajukan Presiden Megawati ini memberikan kemudahan bagi para pelaku dan korban yang telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian. Dalam Pasal 27 disebutkan, dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM yang berat, yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, Komisi memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti. Dalam Pasal 27 Ayat (2) disebutkan, saling memaafkan dan melakukan perdamaian wajib diikuti pengungkapan kebenaran tentang terjadinya peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang telah dilakukan. Dalam Ayat (3) disebutkan, pernyataan perdamaian dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani kedua pihak dan Ketua Komisi.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
5
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdhal Kasim dalam percakapan dengan Kompas beberapa waktu lalu mengungkapkan, kemudahan dalam proses perdamaian dan pemberian amnesti ini perlu dipikirkan secara baik dan dipertimbangkan secara matang. Seorang aktivis HAM dalam sebuah diskusi terbatas di Elsam mengemukakan, KKR Indonesia akan menghadapi resistensi dari militer dan juga korban. Militer tidak mau masalah pelanggaran HAM masa lalu diungkit-ungkit, sementara korban juga menolak kalau pelanggaran HAM yang dialaminya diampuni begitu saja.
M
RUU KKR sebenarnya merupakan perintah Tap MPR dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 27 UU No 26/2000 disebutkan bahwa "Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi."
LS A
Rumusan demikian itu menunjukkan ada dua jalur untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Pertama adalah jalur Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam Pasal 43 UU No 26/2000 disebutkan, "Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Adhoc." Dalam Ayat (2) disebutkan, Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
pin gE
Rumusan Pasal 43 UU No 26/2000 itu telah menimbulkan ketegangan antara Komnas HAM, DPR, dan militer berkaitan dengan penyelesaian kasus Trisakti dan Semanggi. Pada satu sisi, DPR mengambil keputusan yang jauh di luar kewenangannya yang mengatakan, kasus Trisakti dan Semanggi bukan pelanggaran HAM berat, sementara Komnas HAM berpendapat bahwa kasus itu adalah pelanggaran HAM berat. Akhirnya, kedua kasus itu mandek dan korban dirugikan. Kedua, jalur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Penyelesaian melalui jalur ini relatif lebih mudah dan tidak memerlukan keputusan politik DPR. KKR Indonesia bisa langsung menerima pengaduan dari masyarakat, menerima pernyataan perdamaian untuk memperoleh amnesti. Dua jalur penyelesaian itu harus dipilih salah satu. Apakah akan ke Pengadilan HAM Ad Hoc dengan syarat ada dukungan politik DPR atau ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dalam Pasal 42 disebutkan, pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada Pengadilan HAM Ad Hoc.
kli
Dari kedua undang-undang itu, tampak sekali bahwa upaya untuk menuntut ke pengadilan para pelaku pelanggar HAM berat menjadi lebih sulit karena masih harus menunggu keputusan politik DPR. Pengadilan HAM Ad Hoc tak mungkin terbentuk tanpa ada keputusan politik DPR. Kasus Tanjung Priok dan Timtim bisa digelar setelah ada keputusan politik DPR, sementara kasus Trisakti dan Semanggi I-II tak bisa digelar karena DPR memandang kasus bukan pelanggaran HAM berat. Apakah desain itu menunjukkan arah politik dari pemerintahan Megawati yang cenderung akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui KKR karena persyaratannya yang mudah? Pertanyaan itu masih akan dijawab oleh waktu.
Jika ada dua jalur yang bisa dilalui, lalu di mana letak penyelesaian kasus 27 Juli 1996. Adalah suatu kenyataan bahwa kasus 27 Juli oleh penyidik koneksitas bukan dianggap sebagai pelanggaran HAM berat, meskipun Komnas HAM mengatakan paling sedikit terdapat lima pelanggaran HAM dalam kasus 27 Juli. Dipilihnya model penyelesaian pengadilan koneksitas merupakan sebuah kemenangan dari militer karena
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
apa pun pengadilan koneksitas/pengadilan militer merupakan hak istimewa militer yang masih bisa dipertahankan oleh militer. Masalah lain yang perlu dipikirkan sehubungan dengan penyelesaian pelanggaran era Orde Baru adalah soal penyelesaian pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya. "Masalah pelanggaran hak ekonomi dan sosial seperti kasus penggusuran di Kedung Ombo belum memperoleh jalan penyelesaian.
kli
pin gE
LS A
M
Seharusnya, RUU KKR juga menampung masalah ini," kata Asmara Nababan, mantan Sekjen Komnas HAM. (Budiman Tanuredjo)
6
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
7
Suara Pembaruan, Senin 11 Agustus 2003
UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Perlu Segera Dibahas JAKARTA - Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang akan dibentuk pemerintah bersama DPR dimaksudkan untuk mencegah terjadinya peristiwa-peristiwa yang menyakitkan di masa lalu tidak terjadi lagi di masa depan. KKR merupakan salah satu bentuk mencari, mengungkap kebenaran dan meraih rekonsiliasi, dan karena itu perlu segera dibahas.
M
"KKR untuk memastikan apa yang terjadi di masa lalu. Harus ada kebenaran dan rekonsiliasi baru bisa terlaksana setelah ada kebenaran," kata Direktur Eksekutif ELSHAM, Ifdhal Kasim kepada Pembaruan, di Jakarta, Sabtu (9/8). Panitia Khusus (Pansus) DPR RUU tentang KKR sudah dibentuk dengan anggota 50 orang.
LS A
Namun saat pembentukannya pada rapat pleno DPR belum ditentukan siapa yang menjadi ketua dan wakil ketuanya. "Kemungkinan baru akan dibahas pada rapat 14 Agustus mendatang," katanya. RUU tentang KKR ini sebagai bagian dari pelaksanaan Ketetapan MPR No 5/2000. Saran MPR kepada Presiden yang termuat dalam lampiran Keputusan MPR No 5/2003 adalah tentang Rekonsiliasi Nasional adalah wujud yang lebih spesifik dari upaya rekonsiliasi nasional. Dalam saran tersebut ditulis dengan jelas tujuannya, untuk menciptakan situasi kondusif bagi rekonsiliasi nasional.
pin gE
MPR juga menyarankan kepada Presiden untuk merehabilitasi nama baik para pahlawan dan tokoh-tokoh nasional yang telah berjasa pada bangsa dan negara. Mengingat jasa-jasa Bung Karno, khususnya sebagai salah seorang Proklamator dan Presiden Pertama RI, MPR menyarankan kepada Presiden untuk mengambil langkah-langkah merehabilitasi nama baik Bung Karno. Saran ini salah satu upaya untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi pada Bung Karno pada 1965-1966. Karena tanpa penyelidikan yang mendalam, tidak akan pernah diketahui secara pasti apa sebenarnya yang menimpa Bung Karno.
kli
Kepada mereka yang terlibat PKI saat itu, dapat diketahui peristiwanya secara benar. Untuk ini semua, tambahnya, perlu ada satu pengakuan untuk menemukan kebenaran dari mereka yang terlibat.
"Bertolak dari situ baru bisa dilakukan rekonsiliasi. Kalau tidak ada pengungkapan kebenaran, nanti yang terjadi hanyalah terus menerus timbul prasangka, yang itu dikuatkan dengan pernyataan-pernyataan politik," katanya. Untuk menuntaskan masalah ini, tambahnya, perlu proses yang relatif panjang dan pasti tidak bisa selesai dalam sekejap. (M-11) Last modified: 11/8/03
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
8
Kompas, Rabu 3 September 2003
KKR Harus Ungkap Kasus HAM 30 Tahun Jakarta, Kompas - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diharapkan dapat mengungkap pelanggaran hak asasi manusia yang telah terjadi selama 30 tahun ini di Indonesia. Harapan masyarakat terhadap komisi ini sangat besar sehingga masyarakat yang selama ini bungkam dalam ketakutan dapat menyatakan apa yang sebenarnya terjadi.
M
"Jika komisi ini punya badan- badan kerja di daerah dan membuka jalur mudah bagi korban untuk memberi kesaksian, saya yakin ada begitu banyak orang akan bicara," kata Kepala Divisi Studi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Agung Putri dalam diskusi "Proyeksi Publik atas Pembentukan Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi" di Jakarta, Selasa (2/9).
LS A
Pembicara lain dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Elsam tersebut adalah M Akil Mochtar dari Pansus RUU Kebenaran dan Rekonsiliasi DPR. Pada Sidang Istimewa MPR 1998 telah ditetapkan Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, Ketetapan MPR itu ditindaklanjuti dengan pembentukan UU No 39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tahun berikutnya, muncul juga UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai instrumen hukum untuk mengadili pelanggar HAM berat.
pin gE
Dalam Pasal 47 UU No 26/2000 disebut, penyelesaian HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No 26/2000 bisa diselesaikan lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pembentukan KKR juga ditegaskan lagi dalam Ketetapan MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. KKR merupakan lembaga ekstra yudisial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM di masa lampau. Ketatapan MPR itulah yang kini membutuhkan UU untuk mewujudkan pembentukan KKR.Sayangnya, RUU KKR yang kini diajukan pemerintah, kata Agung Putri, kurang memberi penjelasan lengkap apa yang dimaksud dengan kebenaran dan bagaimana kebenaran itu diperoleh. Tidak memberi amnesti
kli
Berbeda dengan komisi sejenis di negara-negara Amerika Selatan, KKR tidak memberikan amnesti. KKR hanya memberi rekomendasi amnesti.Yang jelas, komisi ini harus menghadapi luka yang telah berlangsung selama 30 tahun tanpa menutup diri. Karena itu, komisi ini harus menemukan metode yang tepat untuk itu. "Yang penting kita pikirkan sebelum mengambil posisi atas komisi ini adalah apa yang kira-kira signifikan untuk dicapai oleh komisi ini? Di berbagai negara, transisi demokratis tidak ada yang berlangsung mulus, selalu menghadapi pasang surut yang tidak bisa kita perkirakan. Yang penting, kita tidak perlu meragukan atau sinis, tapi kita lihat dulu apakah komisi ini signifikan dengan transisi," kata Agung Putri. "Saya tidak pusing soal nama komisi. Bagi saya, yang paling diperlukan adalah membuka kebisuan dan membuat orang bicara setelah bungkam sekian tahun," kata Agung Putri. (LOK)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
9
Suara Pembaruan, Rabu 3 September 2003
RUU KKR Masih Terganjal Sejumlah Masalah. Jakarta – Pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (RUU KKR) di pastikan masih terganjal sejumlah masalah. Hambatan yang bisa mengganjal pembahasan RUU KKR bukan hanya masalah campur tangan politik, namun juga masa sidang di DPR yang singkat yang tidak bisa ditawar-tawar.
M
“Persidangan di DPR akan kembali memasuki masa reses pada akhir September 2003. Dalam waktu singkat ini, DPR juga dibebani tugas legislasi yang tidak sedikit. Setidaknya, pada masa sidang kali ini, sekitar 60 RUU yang masih menunggu antrean untuk dibahas,” kata Anggota Komisi II DPR Akil Mochtar saat tampil sebagia pembicara pada acara “Proyeksi Publik atas Pembantukan Pansus RUU KKR”, di Jakarta, Selasa (2/9). Mengingat banyaknya RUU yang akan dibahas, kata Akil, DPR terpaksa membuat prioritas. RUU KKR tidak tercantum dalam daftar RUU yang menjadi priorits.
LS A
Menurut Akil, kendala lain yang bakal menjadi penghambat dalam pembahasan RUU KKR adalah perbedaan persepsi dan pemahaman mengenai hukum HAM dan keadilan dan pentingnya KKR di kalangan anggota DPR. Akibatnya, RUU KKR bisa jadi dianggap tidak terlalu penting dibandingkan RUU yang lain. Selain itu, adanya kepentingan politik dari fraksi-fraksi yang ada di DPR juga akan menjadikan pembahasan RUU ini semakin berlarut-larut. Karena masing-masing partai politik memiliki visi dan misi serta kepentingan yang berbeda-beda. “Tidak aneh kalau RUU KKR hingga kini belum dibahas di tingkat Pansus. Padahal, mestinya pada 28 Agustus lalu, ketua pansus sudah terpilih,” ujar Akil.
pin gE
Di tempat yang sama, Kepala Divisi Penelitian dan Riset ELSAM Agung Putri tidak menampik kemungkinan adanya kepentingan politik yang bermain sehingga pembahasan RUU KKR tersendat-sendat. Menurut Agung Putri, ELSAM sebagai pihak yang memprakarsai sebenarnya berharap RUU KKR secepatnya disahkan dan komisi dibentuk. Mencermati RUU KKR yang kini diajukan pemerintah, Agung sedikit menyayangkan karena RUU itu kurang memberi penjelasan lengkap apa yang dimaksud dengan kebenaran dan bagaimana kebenaran itu diperoleh. Berbeda dengan komisi sejenis di negeri-negeri Amerika Selatan, KKR tidak memberikan amnesti. KKR hanya memberi rekomendasi amnesti.
kli
Yang jelasa, tambah dia, komisi ini harus menghadapi luka yang telah berlangsung selama 30 tahun tanpa menutup diri. Karena itu, komisi ini harus menemukan metode yang tepat untuk itu. “Saya tidak pusing soal nama komisi. Bagi saya, yang paling diperlukan adalah membuka kebisuan dan membuat orang bicara setelah bungkam sekian tahun,” kata Agung Putri. Sebenarnya pemerintah, dalam hal ini Presiden Megawati sendiri sudah menyampaikan amanat presiden (Ampres) pada 26 Mei sewaktu penyerahan naskah RUU KKR ke DPR. Dalam pengantarnya, Pemerintah berpendirian, RUU KKR disusun untuk memperkuat landasan hukum yang mengatur perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. MPR juga sudah mengeluarkan Tap No. XVII/1998 tentang HAM, yang kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya UU No 39/1999, juga tentang HAM. Beranjak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional dan internasional, untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang berat dan mengembalikan keamanan perdamaian di Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 104 Ayat 1 UU No. 39/1999, dibentuk UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 47 UU No. 26/00 disebutkan, dalam menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum 2000, tidak tertutup kemungkinan menggunakan jalur KKR. Selanjutnya, ditegaskan
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
kli
pin gE
LS A
M
kembali di dalam Tap MPR No. V/2000 tentang pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, perlu dibentuk KKR sebagai lembaga ekstra yudisial yang bertugas menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusi di masa lampau. (M-17).
10
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
11
Republika, Kamis, 04 September 2003
Pansus KKR Dibentuk JAKARTA --Korban pelanggaran HAM yang melapor ke KKR, bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi. Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hingga kini masih banyak yang belum tuntas. Sedangkan keluarga dan kerabat yang ditinggalkan menderita dan menyimpan dendam. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, DPR bersama pemerintah ditugaskan membuat RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
M
Pansus RUU tentang KKR sudah disiapkan DPR RI, dan pimpinannya sudah dipilih, yaitu Ketua Sudharto dari FPDIP, wakilnya Akil Mochtar (FPG), Sofwan Chudori (FPKB), sedangkan FPPP belum menentukan wakilnya.
LS A
Wakil ketua Pansus KKR, Akil Mochtar, menjelaskan pembentukan KKR ini merupakan amanat Tap MPR, serta UU tentang HAM dan UU tentang Pengadilan Ad Hoc, di mana penyelesaian kasus berat HAM dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu proses di pengadilan ad hoc atau melalui rekonsiliasi. Dia mencontohkan kasus-kasus seperti Tanjung Priok, Timtim pascajejak pendapat, kerusuhan Mei, kalau terbukti merupakan pelanggaran berat HAM, dan korbannya melapor KKR, maka bisa diselesaikan melalui rekonsiliasi. ''Silakan saja nanti para korban melaporkan kasus HAM tersebut, kalau mau diselesaikan melalui rekonsiliasi,'' tegasnya.
pin gE
Kalau dipilih penyelesaian melalui rekonsiliasi, anggota KKR akan mencari bukti-bukti, lalu memanggil pelaku dan korban atau keluarganya. Kalau sepakat, maka pelaku akan mendapat amnesti, atau rehabilitasi nama baiknya, sedangkan korban mendapat kompensasi atas penderitaan yang dialaminya. Selama ini, yang terjadi pelaku pelanggaran berat HAM bebas berkeliaran, sebaliknya korban tetap menderita, seakan-akan terjadi pengabaian tanggung jawab. Hal-hal seperti ini, menurut Akil, menimbulkan berbagai ketidakpuasan, dendam, sinisme, apatisme, dan ketidakpercayaan yang besar terhadap institusi hukum. ''Akibatnya, negara dianggap memberikan kebebasan kepada para pelaku pelanggaran HAM.''
kli
Ketua Pansus RUU tentang KKR, Sudharto, mengatakan RUU tentang KKR ini sangat penting, karena sampai saat ini masih banyak dendam politik, juga kultur di daerah yang sering terjadi perselisihan. Oleh karena itu, RUU ini harus diselesaikan secara sempurna. Sebagai masukan, semua kalangan harus diundang untuk menyerap berbagai aspirasi. Anggota KKR akan dipilih sebanyak 30 orang oleh tim seleksi, lalu diserahkan ke presiden. Presiden akan menetapkan 15 nama, lalu DPR tinggal menyetujui. Masa kerja anggota KKR selama tiga tahun, KKR juga bisa dibentuk di daerah-daerah. Tak Sekadar Memaafkan Masalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tidak hanya sekadar untuk memaafkan. Menurut pemerhati masalah HAM, Hendardi, bukan soal maaf-memafkan semata yang menjadi dasar suatu rekonsiliasi. Memaafkan tanpa pengungkapan kebenaran, lenjutnya, akan tetap meninggalkan luka. ''Inilah yang akhirnya terus menjadi salah satu penghambat terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Lihat saja, usulan soal ini sudah sejak lama. Toh baru bulan silam pemerintah menyerahkan
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
12
RUU-nya ke DPR,'' ujar Hendardi. Jika nanti terbentuk KKR, bukan berarti segala proses hukum atas kasus masa lalu otomatis akan terabaikan. Menurutnya, perkara yang membuat luka besar bagi masyarakat dan bangsa tidak dapat begitu saja diabaikan. Dia menyebut untuk kasus pelanggaran berat HAM dan kasus korupsi tidak menjadi bagian dari agenda rekonsiliasi.
kli
pin gE
LS A
M
Instrumen yang terpenting dari komisi ini adalah menentukan kriteria kasus atau masalah apa yang dapat direkonsiliasikan, bagaimana rekonsiliasi dilakukan, serta mekanisme penyelesaian di pengadilan jika mungkin memang perlu menempuh jalur hukum. fin
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
13
Koran Tempo, Jumat, 5 September 2003
DPR: Kerja Komisi Kebenaran dan Komnas HAM Tumpang Tindih JAKARTA - Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Mayjen Pol. (Purn) Sidarto Danusubroto memperkirakan kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bakal tumpang tindih, terutama yang menyangkut kewenangan kedua lembaga ini untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM. "Apakah tugasnya hanya mengungkap atau mencari kebenaran dengan melakukan penyelidikan, sebab tugas penelusuran ini overlap dengan Komnas HAM," kata Sidarto ketika dihubungi kemarin malam.
M
Sidarto mengatakan, panitia khusus harus membuat permasalahan tumpang tindih ini jangan sampai terjadi. UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus memberi warna bagaimana tugas komisi ini agar tidak bertabrakan dengan Komnas HAM. Namun, Wakil Ketua Panitia Khusus Akil Mochtar justru berpendapat lain.
LS A
Akil mengatakan, ia tidak melihat keadaan tumpang tindih karena Pasal 47 UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM memberi kewenangan bagi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk mengungkap kasus pelanggaran HAM berat. Bedanya, kata politikus partai Golkar ini, jika Komnas HAM melakukan penyelidikan secara proyustisia untuk disidik Kejaksaan Agung, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi hanya menyelidiki untuk mengungkap kebenaran tanpa upaya hukum. Hasil akhir Komisi Kebenaran adalah rekomendasi kepada Presiden agar memberi amnesti kepada pelaku dan kompensasi, rehabilitasi bagi korban.
pin gE
Meski berbeda pendapat, keduanya sependapat bahwa penyelesaian kasus Trisakti, Semanggi I dan II yang mandek di Kejaksaan Agung bisa ditampung di komisi ini. "Kalau memang dulu belum selesai, bisa diungkap di sini," kata Sidarto. Meski begitu, Akil mengatakan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus menyelidiki ulang kasus itu. Bisa-tidaknya suatu kasus diselidiki dan diselesaikan Komisi Kebenaran juga sangat bergantung pada 15 orang anggotanya. "Asalkan komisi ini mampu, karena RUU Komisi Kebenaran hanya membatasi pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU Nomor 26 Tahun 2000," ujarnya.
kli
Tujuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi memang untuk mewadahi upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM sebelum lahirnya UU Pengadilan HAM. Penyelesaian lewat Komisi Kebenaran berada di luar jalur hukum. Sementara itu, jalur hukumnya tetap harus melewati UU Pengadilan HAM dengan membentuk Pengadilan HAM ad hoc. Untuk menentukan penyelesaiannya, lewat jalur hukum atau di luar jalur hukum, menurut Akil, pihak korban yang berhak memilih. Mereka bisa mengadu ke Komnas atau ke Komisi Kebenaran. Jika mereka memilih Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, berarti mereka tak boleh lagi menempuh jalur hukum. "Tak bisa dua-duanya. Harus pilih salah satu," kata Akil.
Hal ini perlu dipastikan, kata anggota komisi hukum DPR ini, untuk menanggapi komentar para korban pelanggaran HAM di masa lalu yang menghendaki kasusnya diselesaikan lewat hukum. Mereka tak ingin sekadar di Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi saja. "Kalau begitu, silakan melalui proses pengadilan, bukan lewat Komisi Kebenaran," katanya. Kepastian ini juga sudah dicantumkan dalam Pasal 42 draf RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. "Itu artinya ada dua model penyelesaian," ujarnya. Namun, dijelaskan Akil, penyelesaian model Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini tak mudah ditempuh. Pasalnya, harus ada kemauan dari masing-masing
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
14
pihak untuk mengungkap kebenaran. "Jika ada yang tidak mau mengaku, ya tidak bisa. Harus ada pengakuan," paparnya. Soal lambannya kerja panitia khusus, padahal sudah dibentuk pada awal Juli lalu, Sidarto membantah Dewan sengaja menunda-nunda pembahasan RUU itu. Dia beralasan DPR juga memiliki banyak tugas. Apalagi, draf RUU Komisi Kebenaran baru diterima DPR beberapa saat sebelum reses, Juli lalu. Rapat panitia khusus hari ini, kata Sidarto, akan menetapkan jadwal rapat dengar pendapat dengan lembaga pemerintah, pakar, akademisi, dan LSM peduli HAM termasuk kelompok-kelompok korban pelanggaran HAM di masa lampau. Sidarto beranggapan, makin banyak pihak memberi masukan, makin baik agar pansus tidak salah langkah.
M
Selain akan mengundang Departemen Luar Negeri dan Departemen Kehakiman HAM dari pemerintah, panitia khusus juga akan mengundang Panglima TNI dan Kepala Polri. Pertimbangannya, tugas-tugas operasi keamanan yang dilakukan aparat seringkali tak lepas dari pelanggaran HAM. "Kita harus tampung semua pihak agar UU ini mewadahi semua pendapat politik bangsa ini dan dari semua sudut," ujarnya.
LS A
Di tempat terpisah, anggota Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Soelistyowati Sugondo menyatakan, Komnas HAM akan mengajukan peninjauan atas sejumlah pasal RUU Komisi Kebenaran. Pasal yang dimaksud antara lain soal kewenangan presiden mengangkat anggota komisi. "Itu yang kami rekomendasikan untuk ditinjau," katanya kepada Tempo News Room kemarin Menurut Ketua Tim Pengkaji RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Komnas HAM, hal itu bisa menjadi pertanyaan atas asas komisi yang seharusnya independen dan mandiri. "Bagaimana dengan asas itu dilaksanakan bila pengangkatan anggota dilakukan oleh pemerintah?" ujarnya.
pin gE
Anggota tim perumus RUU Komisi Kebenaran Ifdhal Kasim membenarkan adanya perubahan soal kewenangan presiden mengangkat 15 anggota komisi. Draf awal, kata Ifdhal, menyebutkan, pengangkatan dilakukan oleh satu panitia dari Komnas HAM.
kli
Rekomendasi untuk peninjauan beberapa pasal RUU itu diajukan dalam rapat pleno Komnas HAM pada 11 dan 12 September. Setelah itu, kata Soelistyowati, focal point Komnas akan memberi masukan pada panitia khusus DPR. tjandra dewi/yophiandi
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
15
Kompas, Sabtu 6 September 2003
RUU KKR Segera Dibahas
Jakarta, Kompas - Rapat pimpinan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi hari Jumat (5/9) baru menjadwalkan pembahasan RUU KKR dalam rapat kerja dengan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra tanggal 15 September mendatang. Pansus RUU KKR juga merencanakan memanfaatkan waktu selama dua bulan pertama untuk public hearing guna mengetahui model KKR apa yang diinginkan masyarakat Indonesia.
M
Wakil Ketua Pansus RUU KKR Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar seusai rapat mengemukakan, hasil rapim pansus itu baru akan dimintakan persetujuan anggota pansus dalam rapat 15 September. "Kita tidak terlalu memaksakan kapan RUU KKR ini selesai. Tetapi, paling tidak, sebelum masa kerja DPR sekarang selesai. Yang penting sebanyak mungkin masyarakat dapat memberikan masukan model KKR yang bagaimana yang kita sepakati bersama," katanya.
LS A
Akil Mochtar menjelaskan, selain amanat Ketetapan MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, pembentukan KKR merupakan amanat UU Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pengadilan HAM bahwa untuk kasus pelanggaran HAM berat selain diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc, dapat juga diselesaikan melalui KKR. "Ada banyak model KKR di dunia, seperti Afrika Selatan, Argentina, atau Cile. Akan tetapi, yang lebih cocok untuk Indonesia adalah KKR yang bisa menyelesaikan kasus setelah ada pengakuan dari korban dan pelaku. Si pelaku selanjutnya mendapat amnesti dan korban mendapat rehabilitasi," kata Akil.
kli
pin gE
Setelah rapat kerja dengan Menkeh dan HAM, pimpinan pansus menjadwalkan rapat dengar pendapat dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri (18/9); Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (23/9). (BUR)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
16
Republika, Sabtu, 06 September 2003
Pansus KKR Undang Korban Pelanggaran HAM JAKARTA -- Wakil Ketua Pansus RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) DPR RI, Akil Mochtar, mengatakan selama dua bulan ini, Pansus KKR akan melakukan dengar pendapat dengan semua elemen bangsa agar pembentukan KKR sesuai harapan semua pihak. Kalangan yang akan diundang, meliputi pemerintah, LSM, para korban pelanggaran HAM berat, serta kedubesan dari negara-negara yang berhasil membuat rekonsiliasi.
LS A
M
''Kita akan mengundang kedubesan Afrika Selatan, Cile, dan Argentina. Negera-negara ini terbukti mampu melakukan rekonsiliasi antara para korban pelanggaran HAM dengan yang bersengketa, terutama Afrika Selatan yang mampu menyelesaikan masalah rasial,'' ujar Akil Mochtar seusai mengikuti rapat pimpinan Pansus RUU KKR di Gedung DPR RI di Jakarta, kemarin (5/9).
pin gE
Pengalaman negara-negara lain yang berhasil menyelesaikan rekonsiliasi pelanggaran HAM berat, lanjut Akil, perlu dijadikan masukan bagi kerja pansus. Pansus RUU tentang KKR juga akan mengundang para korban atau ahli waris kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti kasus Tanjung Priok, kerusuhan Mei 1998 lalu. ''Keterangan para korban tentu sangat diperlukan untuk mengetahui penderitaan yang mereka alami setelah menjadi korban pelanggaran HAM berat,'' tegasnya. Mulai pertengahan September, pimpinan pansus RUU KKR telah menjadwalkan akan mengundang narasumber dari pemerintah, yaitu Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra, Mendagri Hari Sabarno, Menlu Hasan Wirayudha, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, dan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar.
kli
Sedangkan nonpemerintah, selain kedubesan dan para korban pelanggaran HAM berat, yaitu Kontras, Komnas HAM, YLBHI, Ikadin, APHI, AAI. Kalangan ormas agama pun akan didengarkan pendapatnya, seperti MUI, KWI, PGI, Walubi, NU dan Muhammadiyah. Vie
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
17
Republika, Sabtu, 06 September 2003
Rekonsiliasi Ala Indonesia Rekonsiliasi dalam benak banyak orang adalah pengampunan dan memaafkan. Model rekonsiliasi yang dilakukan Afrika Selatan dan Korea Selatan, berhasil menghapus luka lama dan sejarah kelam yang terjadi di dua negara ini. Namun, apakah rekonsiliasi bisa diterapkan di Indonesia?
M
Setidaknya, ada empat elemen umum yang dimiliki berbagai KKR yang pernah ada di dunia. Pertama, fokus penyelidikannya pada kejahatan masa lalu. Kedua, tujuannya untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai kejahatan HAM dan pelanggaran hukum internasional pada kurun waktu tertentu, serta tidak terfokus pada satu kasus saja. Ketiga, masa bakti terbatas --biasanya berakhir setelah perampungan laporan. Keempat, memiliki kewenangan mengakses informasi ke lembaga apa pun, dan mengajukan perlindungan hukum terhadap saksi.
LS A
Model KKR di Cile dan Argentina, misalnya, terbatas pada penyelidikan atas kasus-kasus eksekusi di luar proses hukum (extrajudicial executions) dan penghilangan paksa (disappearances) --tanpa pengecualian, apakah pelakunya negara maupun kelompok perlawanan bersenjata. Sementara KKR di Afrika Selatan, Guatemala, dan El Salvador mengusung mandat yang sangat luas menjangkau hampir semua tipe pelanggaran berat HAM. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Proses pembentukan KKR dimandatkan melalui Tap MPR No VI Tahun 2000.
pin gE
Mandat ini juga ditegaskan kembali dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 43 UU no.26/2000 dijelaskan, bahwa kasus pelanggaran berat HAM yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc akan ditangani oleh KKR. KKR, terlepas siapa yang membentuknya, dipandang sebagai komisi yang sukses, jika berhasil menerbitkan laporan yang komprehensif mengenai pelanggaran HAM masa lalu, di mana masyarakat menerima dan mempercayainya. Suatu KKR, dianggap berfungsi baik bila memenuhi aspek kebenaran. Komisi ini wajib mengungkap fakta, bukan sekadar rekaan atas fakta. Mereka memberikan laporan yang sesuai norma hukum atau moral internasional. Boleh menyatakan suatu pembunuhan sebagai kejahatan, namun tidak menyejajarkan pembunuhan dengan pemecatan seseorang karana alasan politik. Dan, yang tak kalah penting, KKR harus memaparkan temuannya secara benar dan jujur.
kli
Mereka tak dibenarkan menutup-nutupi sebagian isu yang sensitif atau mengaburkan penanggung jawab utamanya, karena tindakan itu akan merusak kepercayaan masyarakat kepadanya.
Ide pembentukan KKR di Indonesia, sedikit banyak diilhami pengalaman negara-negara yang berhasil mewujudkan rekonsiliasi atas pertentangan hebat dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Sebut saja Afrika Selatan. Adalah Nelson Mandela yang korban politik apartheid di negerinya yang menggagas pembentukan The Truth and Reconciliation Commission. Rekonsiliasi yang wujudnya ''memaafkan tanpa melupakan'' itu mengharuskan adanya standar yang proporsional, batas "dosa" aktor rezim lama yang layak dimaafkan, dan atau tidak termaafkan. Bagi yang tak termaafkan, perlu dikelompokkan lagi sesuai dengan kualitas kesalahannya. Bagaimana cara menentukan kriteria itu, dan siapa yang berwenang melakukannya? KKR inilah yang diberi kewenangan untuk menentukan siapa di antara aktor rezim lama yang layak dan atau tidak layak
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
18
diampuni/dimaafkan. Mereka yang tidak layak diampuni dihadapkan pada mahkamah, sipil maupun militer, baik di dalam negeri maupun internasional.
kli
pin gE
LS A
M
Untuk merajut masa depan Indonesia baru, rekonsiliasi dinilai mampu mengobati luka rakyat. Rekonsiliasi bukan berarti membuka luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam, melainkan dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban sehingga tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat. elsam/one
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
19
Media Indonesia, Senin, 8 September 2003
KKR harus Jalankan Tiga Agenda Rekonsiliasi
JAKARTA (Media): Mantan Menteri Kehakiman Muladi mengatakan ada tiga agenda utama yang harus dicapai sebagai upaya pencarian kebenaran dan mengadakan rekonsiliasi. Agenda pokok tersebut seharusnya menjadi prioritas kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang akan dibentuk. Muladi mengungkapkan hal itu di sela-sela sosialisasi bakal calon presiden Partai Golkar di Jakarta, kemarin.
M
Agenda pertama, mengidentifikasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang telah terjadi di masa lalu. Kalau pelanggaran HAM di masa lalu yang teridentifikasi tergolong berat, penyelesaiannya harus melalui pengadilan.
LS A
Di sini, kata profesor hukum Universitas Diponegoro ini, dituntut sikap kesatria untuk mengaku dari para pelaku yang terindentifikasi melanggar HAM. "Kalau tidak ada sikap kesatria maka akan sulit tercapai rekonsiliasi," ucap Muladi. Untuk persoalan mengaku salah ini Muladi mencontohkan kasus di Korea Selatan. Di Negeri Ginseng tersebut para pelanggar HAM tampil ke depan umum disertai pernyataan salah. Setelah itu, kata maaf pun akan datang dari masyarakat, terutama yang menjadi korban atau keluarga korban. Tetapi khusus untuk pelanggaran HAM yang tergolong terlalu berat, tetap harus diadili.
pin gE
Agenda kedua, lanjut Muladi, harus ada santunan kepada para korban berupa kompensasi ataupun restitusi, termasuk memberi akses kepada korban yang mencari dan mendapatkan keadilan. Agenda ketiga, membuka kemungkinan pemberian amnesti bagi si pelaku yang telah bersikap kesatria mengaku salah telah melakukan pelanggaran HAM, tetapi tanpa bukti-bukti yang mendukung. "Kalau ketiga pokok ini tidak dilakukan maka rekonsiliasi tidak berjalan," ujar Muladi. Muladi pesimistis kalau membawa para pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan HAM akan menyelesaikan masalah. "Tidak terlalu menyelesaikan masalah," tekan dia. Karena itu, tetap harus dimungkinkan penyelesaian melalui rekonsiliasi tanpa harus menyelesaikan semua masalah melalui pengadilan HAM.
kli
Menurut dia, penyelesaian masalah HAM melalui rekonsiliasi sangat dimungkinkan untuk kasus dengan bukti-bukti yang kurang kuat seperti peristiwa G-30-S/PKI. Untuk kasus dengan klasifikasi seperti ini, maka bisa diberikan amnesti umum. "Tetapi tetap harus didahului suatu pernyataan dari pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada korban," sambung dia mengingatkan. Muladi mengakui ada kesulitan menyeret para pelaku yang diduga terlibat, tetapi selalu membawa masalah tersebut merupakan tanggung jawab institusi, bukan personal semata. Ia mencontohkan ada tokoh yang dianggap melakukan pelanggaran HAM, tetapi keberatan karena merasa yang dilakukan adalah sebuah kebijakan penguasa melalui instruksi institusional. (IM/P-4)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
20
Koran Tempo, Senin, 8 September 2003
Draf RUU Komisi Kebenaran Bisa Multitafsir Jakarta -- Draf Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi memiliki banyak lubang yang multitafsir. Kesimpulan itu disampaikan Koordinator Kampanye Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Agung Yudhawiranata. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kelemahan-kelemahan itu sengaja dibuat untuk menguntungkan beberapa kelompok pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu. "Draf yang sekarang dipegang DPR adalah draf ke-15 hasil perubahan Sekretariat Negara serta Depkeh dan HAM. Isinya berbeda jauh dengan yang kami buat bersama," kata Agung kemarin.
LS A
M
Menurut Agung, tim dari Departemen Kehakiman dan HAM, Komnas HAM serta sejumlah pakar hukum sebenarnya sudah membuat draf yang sempurna. Namun, saat diserahkan ke Sekretariat Negara ternyata rancangan itu harus diubah berulang-ulang sampai lima belas kali. Salah satu perubahan substansial yang terjadi adalah tentang penyerahan kewenangan memilih anggota komisi kepada presiden. Pada hal, dalam draf ke tujuh disepakati pemilihan pertama kali dilakukan oleh Komnas HAM. Hal yang sama diungkapkan Ketua Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Soelistyowati Sugondho. Menurut dia, kewenangan rekrutmen anggota komisi kebenaran dan rekonsiliasi harus dikembalikan kepada Komnas HAM. Menyerahkan kewenangan kepada Presiden, kata Soelistyowati, berarti tidak konsisten pada asas kemandirian, independen, kejujuran, dan keadilan dalam komisi itu. "Kalau kita konsisten pada asas itu, tentunya rekrutmen harus dilakukan lembaga independen seperti Komnas HAM," kata Soelistyowati di kantornya, Jumat (5/9).
pin gE
Sementara itu, menurut Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Akil Mochtar, perubahan pasal bisa saja terjadi dalam pembahasan nanti. "Mengapa pasal itu diubah alasannya bisa akademis maupun sesuai dengan kondisi riil bangsa," katanya. Kendati demikian, Pansus RUU Komisi juga akan memberi kesempatan kepada pemerintah untuk memberi penjelasan tambahan tentang rancangan undang-undang yang diajukannya. "Yang penting orang yang duduk di Komisi itu kredibel, imparsial, punya kemampuan dan diterima semua pihak," ujar Akil.
kli
Selain itu, meskipun pemilihan anggota komisi nantinya diserahkan kepada presiden, masih ada tahap penyaringan lewat fit and proper test di DPR. "Jadi DPR juga harus setuju," katanya. Selain pasal rekrutmen, soal kewenangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga dinilai tumpang tindih dengan Komnas HAM. Menurut Agung, tumpang tindih itu di antaranya adalah soal lingkup kejahatan HAM yang ditangani. Keduanya mengacu pada UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. "Berarti antara kedua komisi itu bisa berebut kasus mana yang harus ke pengadilan HAM ad hoc dan mana yang ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," ujarnya.
Secara garis besar, kata Agung, draf RUU yang baru itu tidak memihak korban. Dia merujuk ketentuan kompensasi, rehabilitasi, dan restitusi yang baru dapat dilakukan jika amnesti kepada pelaku dikabulkan. "Berarti kalau presiden menolak memberikan amnesti, maka korban tidak dapat rehabilitasi dan kompensasi," katanya. Sehingga, korban seolah-olah harus mendesak presiden memberikan amnesti agar bisa menerima rehabilitasi dan kompensasi. Padahal, kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pelaku bisa dikategorikan kejahatan internasional yang harus diselesaikan di pengadilan dan tidak boleh diselesaikan dengan cara lain. Draf RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi itu sebenarnya sedikit meniru komisi sejenis dari negara lain. Menurut Soelsityowati, model KKR yang dipakai Indonesia itu hampir mirip dengan komisi serupa di Afrika Selatan. "Kiblatnya memang ke sana. Cuma bedanya masalah amnesti," katanya. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan memiliki wewenang untuk memberikan amnesti secara langsung. Sementara itu, komisi yang akan dibentuk Indonesia hanya punya kewenangan
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
21
untuk merekomendasikan saja. Pasalnya, UUD 1945 sudah menetapkan bahwa yang berhak memberikan grasi, amnesti, dan abolisi adalah presiden. tjandra dewi Media Indonesia, Selasa, 9 September 2003
Independensi Perekrutan Anggota KKR Harus Dijaga PADANG (Media): DPR harus menjaga independensi perekrutan angggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), karena keberadaan KKR sangat diperlukan untuk mengatasi konflik di masa lalu. Demikian pernyataan mantan Menteri Kehakiman Muladi kepada Media di sela-sela Penataran Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia yang diadakan Laboratorium Hukum Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, kemarin.
LS A
M
Menurut Muladi, agar independensi KKR terjaga, tak perlu ada panitia seleksi yang dibentuk oleh presiden (Pasal 31 RUU), fit and proper test juga tak boleh diserahkan bulat-bulat pada DPR. ''Jika DPR saja yang melakukan fit and proper test, kepentingan partai akan kembali bermain.'' Seharusnya, kata Muladi, proses perekrutan diadakan oleh panitia yang terdiri atas unsur Komisi II DPR, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan akademisi.
pin gE
Muladi berada di Padang bersama-sama dengan hakim Pengadilan Negeri Niaga dan HAM Andriani Nurdin, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Erasmus Belanda Jaap van der Hulst, serta Ketua Pengadilan Tinggi Sumbar Joko Sarwoko. Mereka memberikan materi kepada 80 orang peserta yang terdiri atas hakim, jaksa, akademisi, polisi, pengacara, dosen, dan mahasiswa. ''Kita ingin mengangkat tema ini karena konsep HAM di Indonesia masih remang-remang. Di satu sisi banyak terjadi pelanggaran HAM, tetapi di sudut lain ada ketakutan aparat untuk bertindak karena ketidakmengertian pada HAM,'' kata Shinta Agustina, ketua panitia acara itu. Sementara dalam makalah tentang peradilan HAM, Muladi menyebutkan perlu amendemen terhadap UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, di antaranya soal yurisdiksi peradilan HAM yang sebaiknya juga mencakup kejahatan perang. Ini mengingat potensi konflik bersenjata noninternasional masih cukup besar di Indonesia. Selain itu, masih menurut Muladi, kedudukan Komnas HAM sebagai penyelidik ad hoc harus disertai dengan perangkat penyelidikan yang memadai, serta perlu kejelasan tentang lembaga mana yang berwenang untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran HAM berat sebagai syarat dibentuknya pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan HAM ini akan berdampingan dengan KKR yang memang diharuskan pembentukannya oleh Pasal 47 UU ini. ''Pengadilan HAM akan mengadili pelanggaran HAM berat, sedangkan KKR akan mengurus persoalan masa lalu yang tak punya bukti kuat untuk diserahkan ke pengadilan,'' kata Muladi.
kli
Antara Komnas HAM dan KKR juga tak akan bekerja tumpang tindih. ''Komnas HAM tugasnya melakukan pemantauan, penyelidikan terhadap pelanggaran HAM, sedangkan KKR menyelesaikan masalah dengan rekonsiliasi,'' jelasnya. Akan tetapi, koordinasi di antara kedua lembaga ini sangat diperlukan. Jika bukti minim sekali, pengadilan tak akan menyelesaikan konflik. ''Sudah saatnya kita menghilangkan permusuhan, melihat ke depan dan menyelesaikan persoalan dengan KKR,'' katanya.
Sebelumnya, Muladi mengatakan ada agenda-agenda yang harus dicapai sebagai upaya pencarian kebenaran dan mengadakan rekonsiliasi, misalnya mengidentifikasi pelanggaran HAM yang telah terjadi di masa lalu. (HR/P-4)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
22
Media Indonesia, Rabu, 10 September 2003
DPR Perlu Revisi UU Pengadilan HAM JAKARTA (Media): DPR dan pemerintah perlu melakukan revisi terhadap UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM karena materi dari UU tersebut masih multitafsir, sehingga sulit untuk menerapkannya.
M
"Revisi itu diarahkan untuk memperjelas dan mempertegas apakah sebuah kasus pelanggaran HAM boleh diteruskan Komnas HAM atau tidak ke tingkat yang lebih tinggi tanpa harus dihalangi tafsir lain oleh lembaga seperti DPR. Revisi ini pun akan sangat membantu pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)," kata Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Salahuddin Wahid, dalam diskusi Prospek penegakan HAM di Indonesia: refleksi kritis atas komitmen dan kinerja eksekutif, legislatif, dan Komnas HAM dalam upaya penegakan hukum di Jakarta, kemarin. Diskusi yang digelar Jaringan Nasional HAM ini juga menghadirkan Bonjan Saptono dari Direktorat Jenderal Perlindungan HAM Departemen Kehakiman dan HAM, dan anggota Tim Substansi Jaringan Nasional HAM Tohap P Simamora.
LS A
Salahuddin memberi contoh kasus Trisakti, Semanggi I dan II terpaksa berhenti di tengah jalan karena DPR menganggap tidak ada pelanggaran HAM berat. Demikian pula dengan kasus Tanjung Priok yang dalam waktu dekat akan diadili. "Banyak ketidakpuasan dengan apa yang terjadi," aku Salahuddin.
pin gE
Menurut Salahuddin, penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu sulit dilaksanakan karena adanya keengganan anggota Polri dan TNI memenuhi panggilan Komnas. Mereka tetap beranggapan perlu dibentuk pengadilan ad hoc HAM sesuai penafsiran mereka terhadap UU 26/2000 untuk selanjutnya diadakan pengadilan yang projustisia. Pasal 43 UU No 26/2000, kata Salahuddin, memang menyebutkan DPR bisa memberikan rekomendasi kepada presiden atas penanganan HAM kalau ada bukti pelanggaran HAM. Dugaan tersebut merupakan hasil penyelidikan yang kalau tidak ada, pengadilan ad hoc tidak bisa dibentuk. "Ibarat telur sama ayam, apakah pengadilan dulu atau menyidikan dulu," ujar Salahuddin.
kli
Padahal, menurut Salahuddin, UU 39/1999 tentang HAM bersifat generalis, sedangkan UU 26/2000 bersifat khusus sehingga UU 39/1999 bukan projustisia. "Tetapi yang terjadi, DPR malah membuat rekomendasi, setelah pengadilan ad hoc dibentuk, baru ada pengadilan projustisia. Ini bertentangan dengan pengadilan yang didambakan yang cepat dan murah. Kita takut ada langkah jebakan politis. Kasus Mei melibatkan orang yang menjadi calon presiden." (IM/P-3)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
23
Sinar Harapan, Senin, 15 September 2003
Rekonsiliasi di Tengah Badai Ketidakpercayaan
M
Pengantar Redaksi Senin (15/9) ini, Panitia Khusus (Pansus) DPR soal RUU Komisi Keberanaran dan Rekonsiliasi mengundang sejumlah pakar dan Organisasi Non-pemerintah untuk dimintai masukan guna membahas materi RUU KKR. Ada banyak harapan, tapi tak sedikit pula keraguan, terhadap keberadaan KKR di Indonesia. Pengalaman di sejumlah negara menunjukkan, tak semua pihak puas dengan hasil-hasil KKR. Terlebih para korban yang melihat upaya tersebut sebagai pemutihan nama bagi pelaku tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Di bawah ini, ”SH” menyajikan empat artikel mengenai KKR, termasuk wawancara dengan sejarahwan Asvi Warman Adam. Tulisan dikerjakan oleh wartawan ”SH” Suradi, Tutut Herlina, Rikando Somba, Daniel D. Tagukawi, Web Warouw, Renee Alexander, Syafnijal D Sinaro, Thomas Jan Bernadus dan Fransisca R. Susanti.
kli
pin gE
LS A
JAKARTA – Victor Jara ternyata tidak mati karena sayatan dan cincangan bayonet. Seniman dan penyanyi kondang Chili itu mati karena 44 lubang peluru yang menembus tubuhnya. Misteri kematian Victor Jara terkuak berkat peneusuran Truth and Reconciliation Commission (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang dibentuk lewat dekrit Presiden Aylwin, presiden hasil referendum tahun 1988 yang memangkas kekuasaan Pinochet. Dalam pidato pelantikannya di tahun 1990, di mimbar Stadium Santiago dengan suasana sangat emosional, Aylwin memohon kepada 80.000 rakyat Chili yang hadir dan ribuan lainnya yang menonton televisi, untuk melakukan upaya penemuan kebenaran dan rekonsiliasi guna mengikis luka batin rakyat Chili selama tahun-tahun menyakitkan di bawah rezim Pinochet. KKR Chili setidaknya berhasil mendokumentasikan, 2.100 kasus, sejumlah analisis dilakukan terhadap jaring-jaring represi, dan berbagai rekomendasi dikeluarkan untuk upaya pemulihan dan rehabilitasi. Komisi semacam ini yang tampaknya mengilhami Indonesia untuk membentuk KKR. Senin (15/9) ini, Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat soal KKR, berniat mengundang sejumlah pakar dan Organisasi Non-pemerintah (Ornop) untuk mendapatkan masukan bagi draft RUU KKR yang akan segera dibahas. Kepada SH, Direktur Eksekutif Elsam (Ornop yang tampaknya berada di balik penyusunan draft ini), Ifdhal Kasim, menyatakan keberadaan KKR diharapkan memberikan pengalaman dan merekonstruksi kekerasan yang terjadi pada masa lalu. Harapannya, agar peristiwa itu tidak terulang lagi pada masa mendatang. ”Jadi, perlu dicari penyebab dari kekerasan itu, sehingga penguasa tidak mengulang lagi kekerasan itu terhadap rakyatnya,” ujarnya. Menurut Ifdhal, KKR tidak boleh diposisikan sebagai lembaga peradilan, tapi lebih sebagai lembaga yang mencari kebenaran mengenai kekerasan pada masa lalu. Pengungkapan kebenaran, katanya, bukan untuk mengungkit luka lama, tapi lebih sebagai upaya untuk membangkitkan kesadaran. Sehingga dalam tatanan hukum dan moral di masa mendatang, pemimpin tidak mencelakakan rakyatnya. Selain Chili, ada puluhan negara yang telah menggunakan model KKR. Dan menurut pengamatan SH, RUU KKR Indonesua mirip dengan model KKR di Afrika Selatan. Dalam konsideran butir (a) RUU KKR Indonesia, disebutkan : ”Bahwa pelanggaran berat hak azasi manusia yang terjadi pada era Orde Lama dan masa Orde Baru harus ditelusuri kembali untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran serta menegakkan keadilan dan membentuk budaya menghargai hak azasi manusia sehingga dapat mewujudkan persatuan dan rekonsiliasi nasional.” Berdasarkan RUU, Komisi ini direncanakan memiliki tiga sub komisi, yakni sub komisi penyelidikan dan klarifikasi; sub komisi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi; serta sub komisi pertimbangan amnesti. Menurut Wakil Ketua Pansus DPR soal KKR, Rusdi Hamka, Komisi ini diharapkan bisa terbentuk sebelum Pemilu 2004, kemungkinan bulan Maret. Sedangkan kerja Pansus KKR diharapkan selesai awal tahun depan. Seperti diungkapkan Ifdhal, KKR didesain sebagai alternatif terhadap pengadilan HAM. RUU KKR bahkan memberikan peluang islah antara korban dan pelaku pelanggaran HAM dan Komisi memiliki
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
24
weenang memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memberikan amnesti pada presiden.
pin gE
LS A
M
Pemutihan Nama Namun pagi-pagi, rencana pembentukan KKR sudah diragukan sejumlah kalangan. Argumen yang dilontarkan pun cukup masuk akal. Direktur Imparsial, Munir, mengatakan KKR tidak akan beres tanpa adanya kesadaran bangsa Indonesia, terutama para pelaku kejahatan untuk menerima kebenaran dan kejujuran atas cerita masa lalu. Dalam mengungkap tindak pelanggaran HAM tahun 1965 terkait dengan peristiwa G 30 S, menurut Munir, satu-satunya hal yang dapat diwujudkan adalah meniadakan Ketetapan (TAP) MPRS No. XXV/MPRS/1966, mengenai pelajaran komunis. ”Bagaimana mungkin melakukan rekonsiliasi, sementara pemerintah masih menyatakan menerapkan TAP tersebut,” ujarnya. Menurut Munir, pembentukan KKR tersebut harus dilihat dari berbagai alasan, yakni konstektual, politik dan normatif. Dari segi alasan konstektual, di tengah-tengah kesibukan dalam mempersiapkan pemilu, langkah pembentukan KKR dikhawatirkan justru tidak akan efektif dan mendapatkan hasil maksimal. Sementara dari alasan politik, pembentukan KKR ini terbentur dengan lemahnya penegakan hukum di Indonesia, khususnya dalam upaya menghormati HAM. Pengadilan HAM porak poranda, Komnas HAM hanya digunakan sebagai legitimasi, dan perlindungan HAM cenderung menurun. ”Melihat faktor tersebut, sangat tidak mungkin bagi pihak-pihak untuk berkata dengan jujur mengenai apa yang sebenarnya terjadi.” Selain itu, suara korban di Indonesia tidak pernah punya tempat. Sehingga, nantinya komisi tersebut justru akan lebih banyak didominasi kepentingan para pelaku. Sehingga yang terjadi hanyalah pemutihan dosa para pelaku. Sedangkan alasan normatif, RUU KKR yang muncul nantinya hanya untuk pemberian maaf pada para pelaku, bukan mencari kebenaran dan keadilan seperti yang diharapkan. Dia mengatakan, dilihat dari produknya, anggota KKR seharusnya muncul dari masyarakat yang independen. Namun yang terjadi justru sebaliknya, dimana dalam draf terakhir RUU KKR disebutkan bahwa anggota akan dipilih oleh presiden dan DPR. ”Ini bukan ukuran HAM, tapi politik,” imbuhnya. Rusdi Hamka pun mengakui, Komisi akan mengalami sejumlah kendala karena adanya kepentingan dari para pelaku yang tidak ingin perbuatan pelanggaran HAM di masa lalu diungkap.
kli
Duplikasi Pembentukan KKR tersebut juga dikhawatirkan akan menjadi duplikasi dari kinerja Komnas HAM. Sehingga, nantinya kewenangan dan kinerja KKR dengan Komnas HAM akan tumpang tindih. Over lapping tersebut nantinya dikhawatirkan justru akan merugikan para korban. Komnas HAM sendiri hingga saat ini belum menyiapkan satu position paper atas RUU KKR. Wakil Ketua Komnas HAM Salahuddin Wahid dan Anggota Tim Komnas untuk pembahasan RUU KKR, Enny Soeprapto, mengatakan, Komnas HAM akan membahas konsep KKR. Jika tidak, salah- salah Komsi baru ini malah tidak berpihak ke korban, justru menjadi ”mesin cuci” dosa para pelaku pelanggaran HAM berat. Sementara menurut Salahuddin Wahid, Komnas HAM sangat mendukung pembentukan KKR. ”Rabu depan (17/9), kita baru ketemu dengan DPR buat bahas ini. Kita memang belum punya posisi instutusi atas hal ini. Yang ada adalah pendapat- pendapat individual, karenanya kita masih perlu ”matangkan” dahulu. KKR memang membuat kerja Komnas HAM lebih ringan untuk kasus yang on going,” papar Gus Solah. Sementara Ifdhal mengatakan, KKR dan Komnas HAM memiliki perbedaan sangat jelas, seperti masa berlaku dan kewenangan. KKR berwenang untuk menangani pelanggaran HAM pada masa lalu, sedangkan Komnas HAM menangani kasus yang muncul sejak pembentukan Komnas HAM. ***
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
25
Sinar Harapan, Senin, 15 September 2003
Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam:
KKR Bisa Jadi Alternatif Penyelesaian Pelanggaran HAM
M
JAKARTA - Asvi Warman Adam memiliki kepedulian cukup besar dengan praktik pelanggaran hak azasi manusia (HAM) di Indonesia. Bahkan ia merasa perlu mengusulkan pembuatan kurikulum pendidikan khusus tentang pelanggaran HAM tahun 1965. Sayang, ide sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kandas karena ditolak mayoritas sejarawan lainnya. Namun ambisi Asvi yang menulis desertasi doktornya di EHESS, Prancis, berjudul Les Relation Entre Les Indes Neerlandaises et L’Indochine 1870 –1914, pada tahun 1990 ini tak mati. Ia kini tetap rajin meneliti, mengulik data sejarah, dan menulis sejumlah artikel di media massa, terkait dengan pelanggaran HAM di tanah air, khususnya setelah Indonesia merdeka. Ia pun mengikuti perkembangan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Berikut petikan wawancara SH dengan Asvi di rumahnya di kawasan Pondok Gede, Jakarta Timur, belum lama ini.
LS A
DPR telah membentuk Pansus tentang KKR, ke mana arah komisi ini nantinya ? Komisi serupa sudah ada di Afrika Selatan (Afsel) dan Amerika Latin. Tapi, tugas dan wewenang komisi itu tidak sama, begitu juga dengan tingkat keberhasilannya. Tampaknya kita sulit untuk mengambil model seperti di Afsel, sebab ada hal-hal yang tidak cocok dengan kondisi di sini. Di Afsel, pelaku pelanggaran HAM mendapatkan amnesti setelah membuat pengakuan di depan publik. Mungkinkah di Indonesia para pelaku pelanggaran HAM mau mengaku di depan publik? Jadi, perlu dipikirkan modus lain untuk membuat pengakuan, misalnya tidak di depan umum.
pin gE
Apa saja cakupan pelanggaran yang akan ditangani KKR? Secara umum, masalah pelanggaran di masa lalu yang sudah terlampau lama dan tidak cukup bukti untuk diajukan ke pengadilan. Saya usulkan diberi batasan yang jelas yakni sejak Indonesia merdeka hingga tahun 2000. Tanpa batasan ini, bisa saja jauh ke masa kolonial dan itu sangat memberatkan komisi. Selain itu, masalah yang ditangani adalah pelanggaran antara orang Indonesia dengan orang Indonesia. Dengan demikian, pelanggaran HAM oleh Westerling tidak tercakup, mes-ki terjadi setelah RI merdeka. Bila Westerling ingin diungkap, maka tindak lanjutnya ke Mahkamah Internasional di Den Haag.
kli
Kalau begitu, peristiwa mana saja yang sangat penting ditangani ? Kita bisa mengungkap kembali peristiwa pemberontakan PKI Madiun 1948, sebab di sana terjadi pelanggaran baik yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun kelompok lain seperti ulama dan santri NU , termasuk militer. Pengungkapan persoalan ini bisa jelas dan jernih dan tidak lagi dijadikan komoditas politik. Berikutnya adalah peristiwa yang menelan ratusan dan mungkin jutaan jiwa yaitu pemberontakan G30S tahun 1965. Di sini jelas ada kebijakan negara yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. Begitu juga kasus-kasus pelanggaran HAM seperti peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 dan juga peristiwa Lampung serta kasus-kasus lain yang jarang diketahui publik. Misalnya, dampak pemberlakukan SOB tahun 1957 yang mengakibatkan penangkapan terhadap pimpinan partai seperti M. Natsir dan Buya Hamka dari Masyumi serta Sutan Syahrir dari Partai Sosialis.
Pada peristiwa G30S, siapa korban utama? Menurut saya, mantan Presiden Soekarno adalah korban pertama dan utama dari pemberontakan yang disebut-sebut didalangi PKI. Soekarno saat peristiwa terjadi adalah presiden yang sah dan akhirnya digulingkan karena tidak mau menghujat dan menyalahkan PKI sebagai dalang. Begitu juga dalam Pidato Nawaksara di muka Sidang Istimewa MPRS, Soekarno tidak mau menyebut PKI sebagai dalang. Sekarang ini MPR sudah memberi mandat kepada Presiden Megawati untuk merehabilitir nama baik presiden pertama yang juga proklamator itu. Kita tunggu saja langkah presiden yang sudah
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
26
diberi wewenang penuh dan itu hak prerogatif presiden. Apakah pelanggaran HAM akibat konflik komunal atau SARA tercakup ? Sebaiknya tidak perlu dimasukkan dalalm tugas komisi. Sebab bila ini dimasukkan, tugas komisi juga akan bertumpuk. Sebab dalam periode tiga tahun sejak reformasi, konflik itu menyebar di banyak daerah dan menimbulkan korban tewas sangat besar. Intinya, pelanggaran itu akibat kebijakan negara, terutama kebijakan politik yang berimbas pada pelanggaran di tingkat bawah. Meskipun ada juga kebijakan ekonomi yang dampaknya hampir sama berupa pelanggaran HAM.
LS A
M
Kapan sebaiknya KKR dibentuk? Lebih cepat lebih baik. Memang ada keinginan untuk mengundur pembentukan komisi ini setelah Pemilu. Saya khawatir jika setelah Pemilu 2004 baru dibentuk, orang akan lupa dan banyak pelaku yang memang menghendaki agar komisi ini tidak terbentuk. Pembentukan KKR bisa mengambil momen peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober atau Hari Pahlawan 10 November. Pentingnya agar KKR secepatnya dibentuk mengingat ini amanat MPR agar bias-bias yang merugikan rekonsiliasi bisa dieliminir atau dikurangi. Misalnya dalam RUU disebut rehabilitasi kepada korban diberikan setelah pelaku diberi amnesti, seharusnya rehabilitasi itu tidak perlu menunggu amnesti. Bagaimana soal keanggotaan KKR, karena ini menentukan sukses tidaknya KKR? Benar. Saya mengusulkan agar orang-orang yang akan duduk di KKR benar-benar independen, mempunyai kredibilitas tinggi dan mempunyai pengaruh besar di masyarakat seperti pemimpin Ormas Islam NU dan Muhamadiyah, sebaiknya masuk di sana. Tapi, dalam draft malah dianjurkan melepaskan baju ormasnya. Itu harus diubah agar pengaruh tokoh-tokoh itu diikuti masyarakat. Saya juga tidak setuju bila anggota yang berasal dari LSM harus melepaskan ikatannya di LSM.
kli
pin gE
Apakah Anda optimis KKR akan berhasil ? Kita harus optimis. Paling tidak KKR ini wujud dari pelaksanaan hukum di masa transisi atau transitional justice. Di masa lalu, amat sulit menyeret pelaku pelanggaran HAM, tapi kini, pintu untuk melakukan itu terbuka, tinggal kemauan politik. Namun demikian, tidak semua pelanggaran HAM masa lalu harus ditangani lewat KKR. Jalan alternatif yang ditempuh pemuda NU untuk menyelesaikan masa lalu orang tua mereka di Blitar Selatan dalam kaitan dengan PKI sangat baik sehingga tidak ada lagi persoalan dan dendam masa lalu. ***
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
27
Sinar Harapan, Senin, 15 September 2003
Amnesti di Korsel, Ketidakpuasan di Chili dan Kompromi di Afsel
pin gE
LS A
M
JAKARTA – Bicara soal rekonsiliasi, bangsa Indonesia perlu belajar dari Korea Selatan, terutama kepada dua mantan presidennya, Kim Yong-sam dan Kim Dae-jung. Dua pemimpin sipil pertama setelah Korsel di bawah rezim militer selama 32 tahun tersebut seolah mengajarkan bahwa balas dendam kepada penguasa lama bukanlah cara bijaksana. Namun bukan berarti para penguasa lama bebas dari hukuman. Mereka tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka selama berkuasa di muka pengadilan dan menerima hukuman kendati akhirnya diperingan. Ini yang dialami oleh dua mantan presiden Korsel, Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo. Ironisnya kedua mantan penguasa tersebut pernah memvonis mati Kim Dae-jung, saat menjadi aktivis pro-demokrasi, pada tahun 1980 karena dituduh melakukan penghianatan. Namun hukum karma seolah berlaku saat majelis hakim di pengadilan Seoul pada pengadilan tanggal 25 Agustus 1996 memvonis mati mantan presiden Chun Doo-hwan dan penggantinya, Roh Tae-woo, atas tuduhan penghianatan, pemberontakan, dan korupsi. Majelis hakim juga tidak luput menghukum 13 mantan jenderal, 14 mantan pembantu presiden dan pengusaha yang dekat dengan Chun dan Roh. Namun para pesakitan tersebut akhirnya mendapat pengampunan yang luar biasa dari Kim Dae-jung. Pada tanggal 22 Desember 1997 atau beberapa hari setelah dinyatakan sebagai pemenang pemilihan umum presiden, Kim memutuskan untuk membebaskan kedua penjahat tersebut dari hukuman penjara. Permintaan tersebut diluluskan oleh Kim Yong-sam, yang pada tanggal 25 Februari 1998 menyerahkan jabatan presiden kepada Kim. Baik Kim Dae-jung maupun Kim Yong-sam telah bersepakat bahwa pemberian pengampunan itu sebagai upaya rekonsiliasi dengan rezim lama dan lebih baik memfokuskan diri pada krisis ekonomi yang saat itu dihadapi Korsel. Pemberian pengampunan kepada mantan kedua pe-nguasa tersebut saat itu menimbulkan kontroversi diantara rakyat Korsel. ”Pengampunan tersebut akan membantu menyembuhkan luka psikologis,” kata Paik Seung-ki, pengamat dari Universitas Kyongwon. Namun ada pula yang mengritiknya. ”Amnesti ini tidak akan dilihat sebagai rekonsiliasi, namun tindakan menyerah kepada para pelaku kekerasan,” kata Sanjeewa Liyanage dari Komisi HAM Asia.
kli
Komisi Independen Di sejumlah negara, inisiatif rekonsiliasi a la Kim Dae-jung dan Kim Yong-sam ini dilakukan dalam wadah-wadah independen, baik lewat bentukan dekrit presiden maupun melalui parlemen. Di Chili, Komisi rekonsiliasi ini diberi nama Truth and Reconciliation Commission (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Berdasarkan dekrit presiden hasil referendum Aylwin, Chili membentuk KKR pada tahun 1990 untuk mengungkap pelanggaran hak azasi manusia yang terjadi selama pemerintahan Jendral Auguste Pinochet dari tahun 1973-1988. Komisi ini beranggotakan delapan orang, empat dari golongan Kiri dan empat dari kelompok Kanan. Kerja Komisi ini bukan tanpa masalah. Karena berdiri berdasarkan dekrit presiden, Komisi kesulitan memanggil para pelaku pelanggaran HAM yang berasal dari kalangan militer. Agak berbeda dengan Komisi sejenis di Argentina yang dibentuk berdasarkan keputusan parlemen. Namun saat kerja Komisi harus dilaporkan pada 4 Maret 1991, Komisi berhasil menetapkan 2.200 orang sebagai korban negara (termasuk 957 orang yang dihilangkan), 90 orang korban dari kelompok subversif, dan 600 kasus masih memerlukan investigasi lanjutan. Sembilan puluh lima persen dari korban berjenis kelamin laki-laki dan dua pertiga diantaranya berumur 20-40 tahun. Sebagian besar di antara mereka adalah kaum buruh dan tani, dua kali lebih banyak dari jumlah mahasiswa. Sejumlah monumen kemudian dibangun, bertuliskan korban yang hilang dan tewas saat pemerintahan Pinochet, dan para keluarga korban menerima kompensasi sekitar US$ 400 per bulan yang dibebankan pada anggaran negara. Tak semua orang puas dengan hasil kerja Komisi ini. Kelompok Kiri menggangap hasil ini tidak menampung aspirasi korban, sementara golongan Kanan berpikir bahwa kelompok Kiri yang harus
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
28
disalahkan atas semua malapetaka ini. Militer tidak mengingkari fakta-fakta yang diungkap, tapi bersikukuh ada perang sejati –di luar pembantaian yang mereka lakukan- di Chili. Jose Zalaquett, salah satu anggota KKR Chili, menyatakan bahwa secara umum Komisi tersebut telah gagal karena angkatan bersenjata enggan mengakui kesalahan dan pengadilan sulit mengayunkan pedang hukumnya bagi para pelaku pelanggaran HAM.
kli
pin gE
LS A
M
Kompromi Di Afrika Selatan, pembentukan KKR dilakukan dengan persiapan RUU Rekonsiliasi yang diajukan ke parlemen pada akhir 1994. Mirip dengan RUU KKR Indonesia –dikatakan bahwa KKR Indonesia mengadopsi Afsel- KKR Afsel memiliki tiga Sub Komisi, yakni Sub Komisi Pelanggaran HAM, Sub Komisi Amnesti, serta Sub Komisi Perbaikan dan Rehabilitasi. Bedanya dengan Indonesia, KKR Afsel memiliki kewenangan untuk memberikan amnesti kepada para pelanggar HAM. Sementara Komisi di Indonesia hanya berhak memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk mengeluarkan amnesti. Di bawah kepemimpinan Nelson Mandela, RUU Rekonsiliasi ini ditandatangani pada tahun 1995 dan bertugas mengusut seluruh pelanggaran HAM yang terjadi selama 33 tahun pemerintahan rezim Apartheid. Dibandingkan KKR di negara lain, KKR Afsel merupakan jalan kompromi. Komisi Afsel ini meniadakan pengadilan, tapi juga menghindari blanket amnesty. Ada 11-15 anggota dalam komisi yang diangkat oleh presiden atas rekomendasi komite bersama dari parlemen. Para anggota tidak akan memiliki profil politik dan akan menjadi wakil representatif yang luas dari keseluruhan penduduk. Komisi memegang jabatan selama 12 bulan dan bisa diperpanjang atas ketentuan pemerintah, tapi tidak lebih dari enam bulan. KKR model Afsel ini mengedepankan azas keadilan restoratif dengan bertumpu pada pengungkapan kebenaran, pengakuan, permintaan dan permohonan maaf serta rekonsiliasi. Dengan demikian, KKR menjadi alternatif terhadap pengadilan. Poin terakhir inilah yang mengusik rasa keadilan korban. Tidak adanya pengadilan terhadap pelaku pelanggaran HAM dan kewenangan KKR memberikan amnesti membuat banyak kalangan khawatir bahwa keberadaan KKR hanya akan memberikan pengampunan dan pemulihan nama baik pelanggar HAM, tapi mengabaikan rasa keadilan korban. ***
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
29
Sinar Harapan, Senin, 15 September 2003
Mendengar Suara Korban
pin gE
LS A
M
JAKARTA – Negeri ini boleh berdebat mengenai perlu atau tidaknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Para anggota Pansus DPR pun boleh mengundang para pakar dan Ornop guna mendapat masukan atas draft RUU KKR. Namun ada baiknya, aspirasi korban juga didengarkan, agar mereka tak merasa terus menerus merasa dipecundangi. Sumini (72) adalah salah satu korban peristiwa G30S/1965 yang melihat upaya pembentukan KKR ini akan sia-sia tanpa mendengarkan suara masyarakat korban dan menguak kebenaran dari tindak pelanggaran HAM. Anggota Gerwani, ormas perempuan di bawah Partai Komunis Indonesia (PKI), ini dijebloskan ke bui oleh rezim Orde Baru selama 9 tahun tanpa pernah diadili. Ia juga harus kehilangan suami dan sejumlah kawan yang diciduk aparat dan tak pernah kembali hingga hari ini. Anak-anak yang lahir dari rahimnya pun mendapat perlakukan tidak adil sepanjang hidupnya dengan kebijakan litsus yang diterapkan penguasa Orde Baru, Soeharto. Mantan Letkol (Udara) Heru Atmojo adalah contoh lain korban G30S/1965 yang harus meringkuk di penjara Orba tanpa pernah diadili. Dengan seluruh ketidakadilan yang ia terima selama ini, Heru melihat upaya rekonsiliasi hanya bisa dilakukan setelah ada pengadilan terhadap pelanggaran HAM. ”Jutaan anggota keluarga telah menjadi korban dari perbuatan Soeharto. Mereka disisihkan, dianggap sampar, hidup di bawah garis kemiskinan, dan bahkan banyak yang gila. Mereka hanya ingin melihat Soeharto diadili. Biar pengadilan yang menentukan nasib Soeharto, sebelum ia mati,” ujar Heru yang pernah diundang dalam Sidang ke-59 Gross Violation Against Human Right Abuse oleh UNHCR di Jenewa, April lalu. Pendapat senada muncul dari Ketua Umum Paguyuban Korban Orde Baru (Pakorba), Dr. Ribka Ciptaning juga menegaskan bahwa tanpa rehabilitasi, tanpa ganti rugi, tanpa pencabutan TAP-MPRS, dan tanpa pengadilan bagi Soeharto, tidak mungkin ada rekonsiliasi. Sementara salah satu keluarga korban peristiwa Tanjung Priuk, Dewi Wardah yang merupakan istri Amir Biki, menyatakan tidak terlalu mempermasalahkan keberadaan KKR. Tapi dengan catatan, tersangka pelaku pelanggaran HAM dalam peristiwa yang terjadi 19 tahun lalu itu harus diadili terlebih dahulu. ”Kalau mereka tidak diadili, ini berarti ada upaya untuk menutup-nutupi kasus Tanjung Priuk. Pokoknya fakta harus dibeberkan kepada publik atau masyarakat melalui pengadilan nantinya,” ujarnya. Para tersangka, menurut Dewi, harus mengakui terlebih dahulu perbuatan mereka di depan pengadilan. Setelah itu, upaya rekonsiliasi baru bisa dilakukan.
kli
Kepentingan Politik Pendapat agak keras muncul dari Lampung. Koordinator Komite LSM Smalam Fikri Yasin yang menjadi juru bicara korban Talangsari bahkan mengatakan pembentukan KKR sarat dengan kepentingan politik Presiden Megawati Soekarnoputri untuk memenangkan Pemilu 2004. Menurutnya, niat pemerintah untuk membentuk KKR patut diacungi jempol. Tapi dalam realisasinya di lapangan hampir semua negara yang melakukannya tidak berhasil, termasuk Afrika Selatan. ”Di Afsel saja yang memiliki Desmond Tutu, tokoh Kristen yang disegani dan dinilai mampu menjembatani antara pemerintah dengan korban, tidak maksimal hasilnya. Apalagi kita di Indonesia tidak ada tokoh yang bisa memfasilitasi,” ujar Fikri. Fikri mengaku, pihaknya sudah bertemu dengan fasilitator dan mediator serta korban kekerasan Orde Baru, baik dari Talangsari, Aceh, Tanjungpriok dan lain-lain. Para korban mengharapkan jika memang ada niat baik dari pemerintah untuk membentuk KKR maka tidak bisa dilaksanakan dalam waktu singkat. Butuh waktu setahun hingga dua tahun untuk sosialisasi. Tidak saja sosialisasi kepada korban, tapi juga publik. Apalagi, menurut Fikri, KKR dibentuk oleh para elit politik yang tidak tahu persoalan sesungguhnya. Sementara itu, Ketua Umum DPP Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rezim Orde Baru (LPRKROB), Semaun Utomo, ketika dihubungi SH di Semarang menegaskan, rekonsiliasi yang tepat ialah rekonsiliasi dalam kedudukan setara antarsemua pihak.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
30
kli
pin gE
LS A
M
Ini berarti, korban harus direhabilitasi terlebih dahulu (pasal 14 UUD 1945), dipulihkan posisi kewarganegaraannya yang sama dan setara dengan warga Negara lainnya (pasal 27 UUD 1945), dan semua produk perundang-undangan dan peraturan yang diskriminatif dan memberikan stigma kepada korban harus dicabut (pasal 28 Ayat 1 UUD 1945). Setelah itu, kebenaran persoalan ini harus diusut melalui pengadilan. ”Rekonsiliasi ini bukan sekadar janji dari pihak manapun, baik pemerintah maupun partai politik. Hutang ini harus dibayar kontan, bukannya kredit. Ini berarti Presiden Republik Indonesia harus (tanpa syarat) terlebih dahulu mendekritkan rehabilitasi, baru kemudian dilakukan rekonsiliasi atas dasar kebenaran dan keadilan,” tegasnya. Semaun menambahkan, upaya rekonsiliasi ini bisa ditempuh asalkan ada political will yang sungguhsungguh dan tidak ragu-ragu dari pemerintah, meskipun menghadapi reaksi anti dari pihak lain. Pendapat Semaun ini diamini oleh mantan Kepala Staf Teritorial TNI Letjen Agus Widjoyo. ”Selama ada political will dan dukungan politik maka sulit untuk mengatakan keberatan,” ujar Agus. Mantan Wakil Ketua MPR ini berbicara dalam konteks jika para pelaku pelanggaran HAM dimaksud adalah para perwira dan bekas perwira TNI. ”Sepanjang otoritas politik menjalankannya dengan tidak diskriminatif, maka sulit untuk menghindari (pengadilan terhadap para anggota dan perwira TNI yang melakukan pelanggaran HAM -red),” demikian Agus. Putra (alm) Mayjen Sutoyo –meninggal dalam peristiwa G30S/1965- ini juga menyatakan bahwa dalam hal-hal tertentu, KKR harus mengedepankan kepastian hukum. ***
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
31
Kompas, selasa 16 September 2003
RUU KKR Hilang Momentum Jakarta, Kompas - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diragukan akan benar-benar bisa mengungkap kebenaran seperti yang diharapkan. Pembentukan KKR pada saat ini juga dinilai telah kehilangan momentum karena masa transisi demokrasi di Indonesia sudah dilalui. Oleh karena itu, bobot KKR perlu ditingkatkan. Penilaian pesimistis tersebut disampaikan oleh Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Dr Ikrar Nusa Bhakti, Ketua YLBHI Munarman, dan Wakil Ketua YLBHI Robertus Robet dalam rapat dengar pendapat umum Panitia Khusus RUU KKR di Gedung MPR/DPR, Senin (15/9). Rapat yang dilakukan pertama kali dengan pihak luar DPR itu dipimpin Ketua Pansus Sidharto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP).
M
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dikirimkan Presiden Megawati Soekarnoputri ke DPR tanggal 26 Mei 2003 baru dibahas dalam masa sidang pertama DPR saat ini. Pansus tidak menetapkan kapan RUU ini selesai dibahas, tetapi diharapkan selesai sebelum masa bakti DPR yang sekarang berakhir.
Islah dibayar
LS A
Pasal 4 RUU KKR menyebutkan, KKR mempunyai fungsi kelembagaan yang bersifat publik untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melakukan rekonsiliasi. KKR beranggotakan 15 orang (Pasal 36) dengan masa tugas tiga tahun sejak pengambilan sumpah dan dapat diperpanjang selama dua tahun (Pasal 43).
pin gE
Ikrar Nusa Bhakti menyatakan, LIPI pesimis dengan kehadiran KKR karena dua hal. Pertama, apakah bisa KKR benar-benar menghasilkan kebenaran dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat. "Kebenaran itu untuk siapa? Siapa yang harus menentukan suatu kebenaran?" ujarnya. Kedua, apakah jika sudah terjadi saling memaafkan atau islah antara pelaku dan korban serta dibayarkan restitusi masalahnya akan selesai. Munarman menyatakan, dari sisi politik, pembentukan KKR ini sudah kehilangan momentum karena proses peralihan atau menuju suatu rezim yang demokratis, suasananya sudah terlewatkan tahun 2000 lalu. Implikasi dari kehilangan momentum itu adalah rumusan- rumusan dalam RUU KKR lebih banyak merupakan rumusan yang bersifat teknis. "RUU KKR sama sekali tidak menggambarkan tujuan politik untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM dan rekonsiliasi serta menuju masyarakat yang demokratis. Tetapi, lebih ke soal mekanisme kerja, hubungan antarlembaga, dan lain-lain," kata Munarman.
kli
Robertus Robet menambahkan, KKR ini tidak dibentuk dalam momentum yang tepat sebagai satu paket dalam perubahan demokrasi. Salah satu kesalahan RUU KKR ini masih mencerminkan kerja tim-tim yang dibentuk Komnas HAM.
Selain itu, ada dua fungsi yang tidak terlihat dalam RUU KKR. Pertama, KKR mestinya membuat demarkasi yang jelas antara rezim otoritarian dan rezim demokratis. Fungsi untuk menetapkan niat baru bahwa politik yang diterapkan saat ini adalah politik baru. Kedua, untuk membedakan KKR dengan kerja tim-tim yang dibentuk Komnas HAM, KKR mestinya membangun konsensus politik baru baik di antara negara dan masyarakat. "Melihat dua fungsi itu, tidak bisa dikerjakan dengan RUU KKR yang sangat prosedural dan teknis," kata Robertus. Untuk itu, martabat KKR perlu ditingkatkan dengan melibatkan institusi tinggi dan tertinggi negara guna membuat komitmen baru berpolitik ke depan.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
32
Menanggapi masukan tersebut, Sidharto menyatakan, semua pihak harus optimistis dengan terbentuknya KKR sebagai lembaga yang penting untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. "Kami bahkan merencanakan untuk mengundang tokoh-tokoh nasional guna memberikan masukannya di pansus, termasuk para calon presiden," kata Sidharto.
kli
pin gE
LS A
M
Anggota Pansus RUU KKR dari F-PDIP Firman Jaya Daeli menyatakan, akan terjadi kontradiksi jika dibuat garis demarkasi politik yang jelas antara masa lalu dan masa kini, sementara tujuan KKR adalah untuk rekonsiliasi. (BUR)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
33
Kompas, Selasa 16 Sep. 03
Berdamai dengan Kejahatan Masa Lalu? Oleh Teuku Kemal Fasya Agak kaget saya membaca artikel yang berjudul Dari Kebenaran ke Rekonsiliasi yang ditulis oleh Baskara T Wardaya (Kompas, 2 September 2003). Yang saya tahu, beberapa hari sebelumnya, sekelompok individu yang concern terhadap pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, termasuk Baskara T Wardaya, berkumpul di Jakarta, merapatkan opini, membangun sebuah counter discourse melawan draf RUU KKR yang masih menggantung begitu lama di DPR.
LS A
M
Atas dasar itulah saya berpikir bahwa kerja-kerja para penggiat HAM itu, yang dimotori Elsam, akan merumuskan sesuatu yang lebih jernih dalam melihat konteks kejahatan masa lalu, yang membuat kita sampai hari ini masih ragu memilih jalan untuk menyembuhkan luka bangsa sekaligus menggerakkan roda demokratisasi. Harapan semoga tidak luput lagi karena luka-luka masih terus ada dan diingat serta tidak diakui oleh negara. Namun, apa nyana, sebuah opini yang muncul ke publik malah bertolak belakang dengan keinginan berempati terhadap korban. Tetapi, saya tidak bermain-main dengan asumsi pertemuan itu dan hanya membahas tulisan di atas.
pin gE
Terlepas bahwa draf yang sedang dibahas di DPR masih diliputi polemik tentang kompetensi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dalam membuat kualifikasi "HAM berat" dan seberapa mundur batas waktu pelanggaran boleh diangkat (retroactiveness), seperti yang telah dibahas oleh Samsudin ("Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi", Kompas, 1/9/03) dan Fadjar I Thufail ("Pengungkapan Kebenaran dalam RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi", Kompas, 1/9/03), ada hal-hal filosofis tentang kejahatan kemanusiaan, pengungkapan kebenaran, dan rekonsiliasi yang perlu dibicarakan dalam ruang publik ini. Karena tanpa itu, secara substansi KKR dipertaruhkan untuk melakukan hal-hal yang remeh dan tidak akan mempengaruhi sejarah bangsa sama sekali. Hal yang paling mengusik dari tulisan itu adalah mengalihkan titik tekan permasalahan dari upaya pengungkapan kebenaran (truth seeking) ke rekonsiliasi. Motif wacana ini sebenarnya didasarkan pertimbangan dua hal, pertama, kita harus cepat keluar dari krisis HAM, segera bergerak menyatukan unitunit kekuatan bangsa untuk membangun, jangan ada dendam yang berkepanjangan, berbesar hatilah karena sesungguhnya kejahatan masa lalu adalah kejahatan struktural (structural crime) yang saling kait-mengait dan melibatkan kita semua.
kli
Yang kedua, kita tidak mungkin lagi seratus persen normatif kepada proses menuju kebenaran disebabkan masih lemahnya infrastruktur hukum dan masih bergentayangannya "tangan-tangan kotor yang tak kelihatan" yang dapat saja mengganggu kehidupan kita dengan teror dan hura-hara sosial. Ini terlihat saat kita berupaya untuk merealisasikan Tap MPR tentang proses hukum Soeharto, kerusuhan pun muncul di Kupang dan Ambon, berlanjut dengan aksi jagal para dukun santet sepanjang tahun 1999 di Jawa Barat dan Banyuwangi. Terus membuntuti ketika setiap tokoh penting Orde Baru disidik atau diproses di pengadilan. Intinya kita harus kompromi kepada usaha yang berorientasi pada hasil, bukan pada proses. Ingat, kita masih sebagai bangsa yang dilemahkan oleh elite. Seperti itulah kira-kira motif wacana tulisan di atas. Hal kedua yang juga bermasalah adalah tujuan pada keadilan (justice) harus bersyarat-ikat dengan pemberian ampunan (mercy/forgiveness). "…tidak dimaksudkan terutama sebagai tindakan mengorek luka lama, melakukan balas dendam, tetapi benar-benar untuk mencari pengampunan bersama". Saya pikir ini alasan yang paling pragmatis dari sebuah tujuan yang telah didangkalkan dengan menghilangkan semua risiko, termasuk risiko ketersinggungan pelaku. Mengutip apa yang dikatakan
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
34
Haryatmoko bahwa pengampunan sama sekali tak berasumsi kepada konsekuensi menghilangkan status hukum (Haryatmoko, "Social Memory" dan Syarat Rekonsiliasi, 29 Februari 2000), rekonsiliasi juga bukan merupakan perayaan terhadap momen keterlupaan (moment of forgetfulness)-semerta-merta mengaburkan seluruh esensi bahwa ada pelaku yang harus dianggap bersalah dan ada korban yang selama ini disunyikan. Kalau sekarang populer konsep tentang penyembuhan nasional (national healing), harusnya lebih tertuju kepada korban, minoritas, pihak yang menderita, dll, dan bukan sebaliknya.
M
Hal ini penting, terutama untuk meluruskan pandangan terhadap kasus-kasus separatis, seperti daerah operasi militer (DOM) di Aceh dan Papua, operasi pemulihan Ambon, berbagai operasi pasca DOM di Aceh, termasuk pula me-review perjalanan operasi militer di Aceh meskipun telah stabil dengan sandaran legal-konstitusional. KKR yang dibentuk harus mampu menembus dinding-dinding kepentingan yang dalam pelaksanaannya memakai sandaran hukum. Tidak bisa atas nama hukum (penal law) mendiamkan keliaran operasi, salah sasaran, teror kepada masyarakat sipil, dan pemunahan secara mendasar alasanalasan berlakunya hukum humaniter. Hukum kita yang membolehkan membasmi pemberontakan dan teroris tidaklah lebih berwenang mengatasi hukum yang telah disepakati secara internasional, semisal Rome Statute of International Criminal Court atau Konvensi Gevena 1949.
LS A
Pun tanggung jawab KKR harus keluar dari tekanan politik untuk mendefinisikan mana yang dianggap sebagai kejahatan berat sehingga bisa dimasukkan ke dalam pelanggaran HAM. Harus diingat bahwa pelanggaran HAM tidak hanya bergantung pada definisi pembantaian massal semata, tetapi juga perusakan hak milik, penyiksaan, penculikan, pemerkosaan, penahanan tanpa hukum yang jelas, dan pola-pola kekerasan sejenis, yang menciptakan kultur ketakutan, depresi, dan trauma mendalam yang dirasakan secara sosial.
pin gE
DENGAN konsepsi singkat ini, hampir seluruh konflik yang menyebabkan terjadinya parade kekerasan secara sosial yang dilakukan aparat negara semestinya ditampung sebagai kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity). KKR harus lebih jeli dan memiliki "mata Tuhan" untuk memasukkan kasus yang melibatkan ingatan masyarakat yang selama ini kekal dalam warna ungu-hanya disebutkan dengan berbisik-bisik. Tanpa sikap pro-aktif dari KKR, kasus ini tetap dikatagorikan black number dan dipendam dengan perasaan bersalah. Saya bersepakat saja bahwa inti dari melihat persengketaan masa lalu adalah memutus persengketaan itu dan menciptakan perdamaian. Bahkan, dalam taraf tertentu mungkin juga bersepakat bahwa yang lebih penting adalah kepastian kepada status kebenaran (stands on truth), dibandingkan dengan masalah retribusi (pembalasan/hukuman).
kli
Kita tentu menginginkan adanya proses restitusi dan kompensasi yang sangat manusiawi dan adil bagi para korban. Tetapi jikalau pilihan maksimal sekalipun diberlakukan, seperti menyeret para pelaku kejahatan ke balik terali besi atau menghukum mati, tidaklah sebanding dengan perasaan yang dialami para korban. Apa yang dialami para korban, seperti disebutkan Hannah Arendt, tak akan mampu mengembalikan mereka ke posisi sedia kala (irreversible). Mereka selama ini telah yatim-piatu akibat penderitaan dan kekerasan yang menimpa, ditambah status keyatim-piatuannya tak pernah diakui. Jikalau pun saat pengakuan itu tiba dan ia memperoleh pengakuan kebenaran, tak membuat mereka lebih bahagia. Mungkin sebagian dari mereka dapat kembali menatap masa depan dengan usaha berat. Tetapi, jika saja kejahatan itu tak pernah menimpa mereka?
Tanpa sudut pandang yang benar (mungkin karena ketakutan munculnya aksi balas dendam dari para pelaku), kita selamanya akan terombang-ambing. Bisa-bisa tanpa sadar memilih sikap berdamai dengan kejahatan masa lalu. Kalau muncul pemikiran seperti itu, rekonsiliasi tak perlu dimunculkan. Biarkan saja semua menguap bagai angin dan debu.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
35
Kita memang membutuhkan korban seperti Nelson Mandela yang sudi memaafkan sang algojo yang mengencingi dan menyiksanya. Tetapi, kita lebih butuh para pelaku yang ksatria mengakui kejahatannya dan mempertanggungjawabkannya dengan adil dan benar (epieikeia). Tidak cengeng dan hanya mampu menyulut huru-hara.
kli
pin gE
LS A
M
Teuku Kemal Fasya Mahasiswa S2 Ilmu Religi dan Budaya Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
36
Jakarta Post, September 16, 2003
Expert, activists seek end to state-sponsored discrimination Kurniawan Hari, The Jakarta Post, Jakarta Analysts and human right groups urged the government on Monday to end "state-sponsored discrimination" of Chinese-Indonesians and family members of suspected communist party members, rather than wasting more time on a mostly "toothless" truth and reconciliation commission. "Ending all discriminatory policies would do far more good than establishing a truth and reconciliation commission," Ikrar Nusa Bhakti of the Indonesian Institute of Sciences (LIPI) told legislators in a hearing here on Monday.
M
Currently, the House of Representatives (DPR) is deliberating a bill on the establishment of a truth and reconciliation commission to deal with past human rights abuses in the country, but activists claim it has all come too late.
LS A
Citing "state-sponsored discrimination" against Indonesians of Chinese descent and relatives of former members of the Indonesian Communist Party (PKI), Ikrar said putting an end to government racism and political biases would promote reconciliation without the need to establish a special commission. Chinese-Indonesians, for instance, are still required to obtain a special letter issued, ironically, by the Ministry of Justice and Human Rights, which specifically states their ethnicity, along with dozens of other government policies that are designed to discriminate against them. As such they are barred from most government institutions.
pin gE
Children and relatives of former PKI members have their IDs marked, making it almost impossible for them to obtain a job with government institutions as civil servants. The PKI was blamed by then Maj. Gen. Soeharto and his military colleagues for a coup d'etat attempt in 1965, and that incident led to the ascension of Soeharto as president, as well as hundreds of thousands of brutal deaths of suspected PKI supporters throughout the country. Munarman, director of the Indonesian Legal Aid Foundation (YLBHI), said the House should have begun deliberation on the truth and reconciliation commission right after Soeharto's downfall. Current talks on the creation of such a commission had lost momentum, he added. "The implication is that most articles in the bill are just technical matters regarding the work of the truth commission," Munarman added.
kli
Fellow activist Robertus Robert criticized the bill, saying that the power given to the truth commission was too insignificant to make much of a difference. According to Robert, with such limited powers as stipulated in the bill, the truth and reconciliation commission would be as "toothless" as the ad hoc inquiry committee set up by the National Commission on Human Rights (Komnas HAM). In the proposed bill, the truth and reconciliation commission is only in charge of investigating and revealing human rights violations and promoting reconciliation between the victims and perpetrators. With such limited powers, the commission would never be able to perform its tasks, he said. Legislator Sidharto Danusubroto meanwhile said that the bill on the truth and reconciliation commission was important and lawmakers planned to "hear more input from society."
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
37
"We plan to spend two months to hold hearings with elements in society and government officials. If necessary, all presidential candidates must explain their opinions (on the planned commission) in hearings," Sidharto said.
kli
pin gE
LS A
M
Some articles in the bill ---------------------------------------------------------------- Article 4: The Commission functions to disclose the truth over gross human rights violation and to seek reconciliation. - Article 6: The Commission coordinates with the court to summon victims, perpetrators, or others for clarification and get documents either from civilian, military, or private institutions. - Article 26: Compensation and rehabilitation can be given (to the victims) should the request for amnesty (from the perpetrators) be approved. - Article 43: The Commission works for a period of three years and may be extended for another two years. ---------------------------------------------------------------- Source: Truth and Reconciliation Commission Bill
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
38
Koran Tempo, Selasa, 16 September 2003 Pansus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
YLBHI: Definisikan Arti Pelanggaran HAM Berat JAKARTA - Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diminta untuk mendefinisikan secara jelas pengertian pelanggaran hak asasi manusia berat yang menjadi bidang kerjanya agar tidak rancu dengan bidang tugas Komisi Nasional HAM. Usulan itu disampaikan Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam rapat dengar pendapat umum dengan panitia khusus di gedung MPR/DPR kemarin.
M
Bahkan Munarman, Ketua Dewan Pengurus YLBHI, menyarankan agar Dewan membuat aturan tentang pengungkapan suatu pelanggaran HAM berat yang menjadi karakteristik situasi Indonesia pada masa lalu. Kasus ini mewakili berbagai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang akan dibawa kepada rekonsiliasi, misalnya kasus perampasan tanah petani yang terjadi di masa Orde Baru. "Persoalan ini lebih konkret diungkap daripada mengikuti definisi pelanggaran HAM dalam Undang-Undang Pengadilan HAM, yakni genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan," kata dia.
LS A
Sementara itu, Ikrar Nusa Bhakti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berpendapat, pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah kehilangan momentum. Dia pesimis komisi ini bisa bekerja secara maksimal. "Namun, kalau komisi ini berhasil, saya akan angkat topi," kata Ikrar yang juga didengar pendapatnya oleh panitia khusus kemarin.
pin gE
Peneliti di LIPI ini juga mempertanyakan pengertian kebenaran merujuk pada siapa. Jangan sampai, kata Ikrar, keberadaan komisi ini malah membuka luka lama yang mengarah pada disintegrasi bangsa. Karena itu, dia lebih cenderung mendukung apabila pemerintah membuat kebijakan yang memastikan pelanggaran HAM di masa lalu tidak terulang lagi. Robertus, anggota YLBHI, juga mengaku menerima sejumlah keluhan dari warga masyarakat yang pesimis dan sinis terhadap pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. "Ada kekhawatiran komisi akan menjadi alat impunity (upaya melindungi pelaku dari tuntutan hukum) daripada memberi keadilan sosial," katanya.
kli
Dari sejumlah keraguan dan kritik yang dilontarkan, Ketua Pansus Sidharto Danusubroto mengatakan, pihaknya tetap akan melanjutkan pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Meski diakui pembentukannya memang sudah terlambat, lebih baik terlambat daripada tidak dilakukan sama sekali. "Lagi pula, pembentukannya sudah diamanatkan dalam Tap MPR Nomor V Tahun 2000 dan UU Pengadilan HAM Nomor 26 Tahun 2000," ujar Sidharto. yandi mr/wahyu dhyatmika
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
39
Suara Pembaruan, Selasa 16 Sep. 03
Mestinya KKR Berfungsi Membuat Demarkasi Politik
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang akan dibentuk melalui Undang-Undang (UU) yang sedang dibahas di DPR, terkesan masih sama dengan Panitia Ad Hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). KKR mestinya berbeda dari komisi lainnya dan mempunyai fungsi membuat garis demarkasi politik yang jelas antara rezim otoritarian dan pemerintahan yang demokratis. Demikian pandangan Wakil Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Robertus Robert dalam rapat dengar pendapat umum dengan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) KKR, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (15/9). Rapat yang dipimpin Ketua Pansus KKR, Sidarto Danusoebroto ini menghadirkan pula Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti dan Ketua YLBHI, Munarman. Robertus menilai, KKR yang terkesan masih akan sama dengan Panitia Ad Hoc Komnas HAM itu menunjukkan terjadi misleading dalam memahami fungsi KKR. Fungsi KKR itu seharusnya diharapkan bisa membuat garis demarkasi politik karena dengan demikian ada niat menetapkan, politik yang akan diterapkan adalah politik baru yang berbeda dari rezim sebelumnya. Fungsi berikutnya adalah KKR dapat membuat konsensus politik baru, baik di antara negara maupun di antara masyarakat. Fungsi itulah yang seharusnya dapat membedakan KKR dengan kerja tim-tim yang dibentuk Komnas HAM. Apabila dicermati, kata Robert, pasal-pasal dalam RUU KKR yang diajukan pemerintah ke DPR, fungsi membuat demarkasi dan membuat konsensus politik baru itu tidak kelihatan. Yang akan terjadi, KKR cenderung akan lebih bersifat prosedural dan teknis. Menanggapi pandangan itu, anggota Pansus RUU KKR, Firman Jaya Daeli dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) mengatakan, akan terjadi kontradiksi jika dibuat garis demarkasi politik yang jelas antara masa lalu dan kini. Alasannya, tujuan pembentukan KKR adalah rekonsiliasi. Kehilangan Momentum Sedangkan Ikrar Nusa Bhakti dan Munarman menilai, upaya pembentukan KKR melalui UU yang sedang dibahas DPR bersama pemerintah itu sudah kehilangan momentumnya. Kedua pembicara ini mempertanyakan pula mekanisme islah dan restitusi kepada para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu. Munarman berpendapat, dari sisi politik, pembentukan KKR ini sudah kehilangan momentum karena proses peralihan atau menuju pemerintahan yang demokratis, suasananya sudah berlalu tahun 2000. Munarman juga melihat KKR menurut RUU tersebut lebih bersifat teknis prosedural belaka. Istilah genosida (pembunuhan massal) yang disebut dalam RUU KKR menurut Munarman, juga tidak jelas seperti apa. Di samping itu, Munarman mempertanyakan pula mekanisme restitusi dan nasib korban pelanggaran HAM berat, jika ternyata pelakunya tidak mau mengaku apakah lagi islah. ''Dalam RUU ini disebutkan, korban berhak mendapat restitusi (ganti rugi) apabila terjadi islah (saling memaafkan antara pelaku dengan korban). Lalu bagaimana jika, pelaku tidak mau mengaku,'' tegasnya. Ikrar menyatakan, LIPI pesimistis dengan KKR yang dimaksud dalam RUU tersebut dengan dua pertanyaan. Pertama, apakah bisa KKR benar-benar menghasilkan kebenaran dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Kedua, kata Ikrar, apakah jika sudah terjadi saling memaafkan atau islah antara pelaku dan korban, apakah masalahnya dianggap sudah selesai? Menanggapi masukan itu, Sidarto dalam rapat yang dihadiri 10 dari 50 anggota Pansus tersebut mengatakan, semua pihak mestinya tetap optimistis dengan pembentukan KKR ini untuk menyelesaiakan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Ketua Pansus ini berjanji akan mengundang sejumlah tokoh nasional termasuk para calon presiden untuk memberi masukan atas RUU tersebut. (M-15) Last modified: 16/9/03
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
40
The Jakarta Post, September 17, 2003
Clear definition sought on role of truth commission Kurniawan Hari, The Jakarta Post, Jakarta Lawmakers deliberating the bill on truth and reconciliation were urged on Tuesday to clearly define gross human rights violations to ensure that the proposed truth and reconciliation commission would help strengthen national unity.
M
Speaking during a hearing with the House committee charged with deliberating the bill, Minister of Foreign Affairs Hassan Wirayuda and Minister of Home Affairs Hari Sabarno said a clear definition of gross human rights violations would help bring about reconciliation.
LS A
Hassan also suggested that lawmakers clearly define the ultimate objective of establishing the truth and reconciliation commission.
"Gross violations of human rights can be one cause of national disintegration. Therefore, the ultimate goal of the truth and reconciliation commission must be to maintain national integration," he said.
pin gE
The two ministers had been invited to give their opinions on the bill, which will serve as the legal basis for the setting up of the truth and reconciliation commission. Hassan said that legislators should also determine which human rights abuses could be brought before the truth and reconciliation commission. Hari Sabarno, meanwhile, said that without clear regulations the public might feel that all types of legal violations could be brought before the commission.
kli
"And this would result in overlapping between the role of the planned commission and that of the National Commission on Human Rights," he said. Hassan concurred with Hari, saying that the truth and reconciliation commission must be set up with a specific brief to handle clearly defined cases. Taking Argentina as an example, he said a similar commission in that country, called the National Commission on the Disappeared, had the specific task of investigating widespread disappearances that were blamed on the security forces. The idea of setting up a truth and reconciliation commission emerged shortly after the downfall of Soeharto's repressive administration in 1998.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
41
Political expert Ikrar Nusa Bhakti and human rights activists Munarman and Robertus Robert on Monday urged the government to end "state-sponsored discrimination against Chinese-Indonesians and the relatives of suspected communist party members." The chairman of the House committee charged with deliberating the bill, Sidharto Danusubroto, disclosed on Tuesday that his committee planned to listen to the views of about 60 institutions over the course of two months. He said he hoped that the opinions put forward by these institutions would help improve the substance of the bill.
M
Although Sidharto stressed the importance of the bill, the committee meeting on Tuesday was attended by only 16 of the committee's 50 members.
kli
pin gE
LS A
Home minister Hari had to interrupt his presentation to answer a phone call from President Megawati Soekarnoputri.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
42
Kompas, Rabu 17 September 2003
Menlu-Mendagri Kritik RUU KKR Jakarta, Kompas - Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno mengkritik sejumlah rumusan dalam Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang juga disusun pemerintah sendiri, dalam hal ini Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Menlu antara lain mengusulkan agar kasus yang ditangani KKR lebih terfokus pada pelanggaran HAM berat dan sistematis. Adapun Mendagri antara lain meminta agar tidak dibentuk perwakilan KKR di daerahdaerah supaya tidak menimbulkan masalah baru.
M
Hal itu muncul dalam rapat kerja Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR dengan Menlu dan Mendagri yang dipimpin Ketua Pansus RUU KKR Sidharto Danusubroto (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) di Jakarta, Selasa (16/9).
LS A
Menlu mengusulkan agar judul RUU itu mengadopsi UU sejenis di Afrika Selatan yang berjudul UU Pemajuan Kesatuan Nasional dan Rekonsiliasi. Di negara itu pembentukan KKR-nya sendiri masuk dalam bab khusus di dalam UU tersebut. "Saya kira itu bisa kita contoh. RUU kita kan membahas komisinya. Padahal, yang dimaksud bukan komisinya. Sesungguhnya UU ini mengatur pencapaian rekonsiliasi dalam konteks kesatuan nasional," katanya.
pin gE
Menlu juga menilai cakupan kasus yang ditangani KKR terlalu luas, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Rumusan yang terdapat pada UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAMyang dijadikan rujukan RUU KKR-itu dinilai terlalu lebar. Oleh karena itu, cakupan kasus pelanggaran HAM beratnya harus dibuat lebih jelas karena bentuk dan jumlahnya banyak sekali. Sementara itu, Mendagri meminta agar jangan sampai kehadiran KKR ini menimbulkan masalah-masalah baru, sehingga malah menimbulkan konflik dan tumpang tindih tugasnya dengan Komnas HAM. Mendagri juga meminta ada batas dan standar yang jelas mengenai waktu dan bobot masalah pelanggaran HAM beratnya. Mendagri meminta ada penegasan apakah konflik yang ditangani KKR merupakan konflik vertikal atau horizontal atau gabungan keduanya. "Jangan sampai rezim berkuasa melakukan balas dendam. Itu harus dihindari," katanya.
kli
Mendagri meminta KKR steril dari kepentingan-kepentingan yang bermuatan politis. Jadi betul-betul pertimbangan sosiologis dan budaya yang dikemukakan oleh KKR. Mendagri mengatakan agar KKR lebih berwibawa, sebaiknya KKR berkedudukan di ibu kota negara saja. Jadi tidak ada KKR yang tersebar di daerah- daerah. (bur)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
43
Media Indonesia, Rabu, 17 September 2003
Batas Waktu Pelanggaran HAM Perlu Diatur RUU Rekonsiliasi JAKARTA (Media): Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) perlu menetapkan batas waktu peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang bisa ditangani KKR.
M
Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda mengemukakan hal itu dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR yang juga menghadirkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Menlu mengusulkan KKR bisa menangani kasus-kasus HAM yang terjadi sejak 30 tahun ke belakang.
LS A
''Ini baru sekadar usulan saya. Akan tetapi, prinsipnya harus ada batasan waktu agar kerja komisi ini menjadi lebih efisien dan efektif sesuai dengan semangat dan tujuan pembentukannya,'' ungkap Menlu. Usulan tersebut, ungkap Menlu, mengacu pada ketentuan hukum pidana yang membatasi waktu 30 tahun untuk sebuah kasus, setelah itu dianggap kedaluwarsa.
pin gE
Selain itu, tambahnya, jika lebih dari masa 30 tahun ke belakang, maka upaya mencari kebenarannya akan semakin sulit, terutama dalam mencari bukti-bukti pelanggaran HAM berat dan juga sulit mencari saksi-saksi yang mempunyai ingatan yang masih utuh. Ia berharap RUU KKR menjadi media bagi pertobatan nasional, sehingga bangsa Indonesia dapat menata masa depannya secara lebih baik, tanpa rasa dendam dan kebencian yang tak berujung. Untuk itu, jelasnya, RUU KKR harus dikemas secara baik dengan mempertimbangkan berbagai aspek, sehingga bisa menjadi rujukan terciptanya integrasi nasional. Sebaliknya, kalau pengemasannya tidak tepat maka bisa menimbulkan disintegrasi bangsa.
kli
''Ini yang harus kita yakini, bahwa KKR nantinya bukan untuk membuka luka lama, melainkan merupakan jalan menuju integrasi sosial dan integrasi bangsa,'' kata Menlu saat mempresentasikan pendapatnya di hadapan pansus yang dipimpin Sidharto Danusubroto dari F-PDIP. Untuk mencapai sasaran itu, tutur Menlu, perlu ada kesadaran bersama bahwa kebenaran dan rekonsiliasi bukan berarti melupakan masa lalu, melainkan juga jangan sampai kita dipenjara oleh masa lalu yang penuh kebencian dan dendam. Terlalu formalistis Dalam kesempatan itu, Menlu mengkritisi kewenangan KKR dalam RUU itu yang terlalu formalistis karena menyandarkan pada kekuasaan formal. Padahal, yang diharapkan dari komisi itu adalah moral. ''Kalau bersandar pada kekuatan formal, maka tidak ada bedanya dengan komisi-komisi yang ada selama ini,'' tegas Menlu.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
44
Ia memberi contoh, salah satu keberhasilan rekonsiliasi di Afrika Selatan karena ada gerakan moral (moral force) yang dipelopori oleh Uskup Desmon Tutu. Dalam konteks itu, sambung Menlu, para anggota KKR sebaiknya dipilih dari orang-orang yang memiliki keteladanan moral kekuatan moral, bukan pada kekuatan formal dan politis. ''Jika figurnya dipilih secara politis, maka KKR bukannya mendekatkan pada kebenaran dan rekonsiliasi, melainkan justru akan menjauh dari misi kebenaran,'' tambahnya.
M
Sementara itu, Mendagri Hari Sabarno menambahkan, anggota KKR harus terdiri dari orang-orang yang memiliki komitmen terhadap penegakan hukum dan HAM, tanpa ada rasa dendam dan interest tertentu terhadap pihak yang diduga melanggar HAM. ''Ini harus menjadi perhatian agar KKR tidak menimbulkan konflik baru,'' ujarnya.
LS A
Selanjutnya, kata dia, perlu ada pemilahan yang jelas kasus mana saja yang akan diselesaikan oleh KKR. Apakah hanya konfik antara negara dan masyarakat, atau juga termasuk konflik horizontal antara sesama anggota masyarakat. ''Ini perlu ada kejelasan agar tidak merambat ke mana-mana, dan juga jangan sampai bertabrakan dengan tugas yang selama ini dijalankan Komnas HAM,'' Hari mengingatkan.
kli
pin gE
Sementara itu, Ketua Pansus RUU KKR Sidharto Danusubroto mengatakan, eksistensi KKR diperlukan karena diharapkan bisa membebaskan rakyat dari dendam politik di masa lalu. (Hil/P-5
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
45
Suara Pembaruan, Rabu 17 September 2003
Kehadiran KKR Terkesan Jadi Tandingan Komnas HAM
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) jangan sampai menjadi tandingan dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Bahkan pembentukan perwakilan KKR di daerah bisa menimbulkan masalah baru sehingga tujuan rekonsiliasi justru tidak terwujud. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno melontarkan hal itu dalam rapat dengar pendapat umum dengan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang- Undang (RUU) KKR, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (16/9). Selain Mendagri, Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda menyampaikan pula pandangannya dalam rapat yang dipimpin Ketua Pansus RUU KKR, Sidarto Danusoebroro dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) itu. Hari Sabarno dan Menlu dalam rapat tersebut mengeritik RUU KKR yang disusun pemerintah, dalam hal ini oleh Kementerian Kehakiman dan HAM. Mendagri antara lain menilai, tugas dan fungsi KKR dalam RUU tersebut terkesan tumpang tindih dengan tugas dan fungsi Komnas HAM. Sedangkan Menlu mengeritik tidak adanya batasan waktu kasus pelanggaran yang akan ditangani KKR nanti. Mendagri dan Menlu juga mempertanyakan, sejauh mana bobot peristiwa pelanggaran HAM yang akan ditangani KKR tersebut. Apakah peristiwa itu menyangkut konflik horizontal, vertikal atau kedua-duanya. Padahal KKR mestinya lebih memfokuskan diri pada konflik vertikal antara pemerintah atau negara dan rakyat. Sebab, jika menyangkut pula konflik horisontal, yakni rakyat dengan rakyat atau kelompok etnis tertentu, dikhawatirkan malah menimbulkan masalah baru yang lebih besar. Diingatkan pula, pembahasan RUU KKR tersebut harus hati-hati, sebab bukan tidak mungkin kebijakan masalah lalu yang dilakukan oleh sebuah partai politik yang berkuasa menimbulkan balas dendam ketika rezim pemerintahan berganti. Hal itu harus dihindari dalam pembahasan RUU KKR. Mendagri juga meminta agar tidak perlu ada perwakilan KKR di daerah seperti yang dirumuskan dalam Pasal 3 Ayat (2) RUU ini. Menurut Mendagri, kehadiran KKR di daerah bisa menimbulkan masalah baru karena akan jadi ajang masyarakat saling ungkit mengungkit masalah lalu. Apalagi masyarakat senang mencari keadilan baru dengan kehadiran lembaga baru, padahal masalahnya sudah tidak dipersoalkan lagi. Soal keanggotaan, Mendagri mengingatkan agar mereka yang akan dipilih benar-benar orang yang bebas dari kasus pelanggaran HAM. Di samping itu, anggota KKR nanti, harus benar-benar full time sehingga KKR jangan jadi lembaga sambilan saja oleh orang yang hanya mau gagah-gagahan, tapi tidak mengutamakan kepentingan negara. Sedangkan Menlu antara lain mengusulkan agar kasus yang ditangani KKR lebih terfokus pada pelanggaran HAM berat dan sistematis. Dia mengusulkan agar judul RUU itu mengadopsi UU sejenis di Afrika Selatan yang berjudul UU Pemajuan Kesatuan Nasional dan Rekonsiliasi. Sebab pembentukan KKR di negara itu hanya menjadi bab khusus di dalam UU tersebut. ''Saya kira itu bisa kita contoh. RUU kita kan membahas komisinya. Padahal, yang dimaksud bukan komisinya. Sesungguhnya UU ini mengatur pencapaian rekonsiliasi dalam konteks kesatuan nasional,'' tutur Menlu. Dia juga mengingatkan agar kewenangan KKR yang akan dibentuk sebaiknya didasarkan pada kekuatan moral anggota-anggotanya. Menurutnya, keberhasilan Afsel dalam menjalankan komisi seperti ini karena kekuatan moral Uskup Desmon Tutu. (M-15) Last modified: 18/9/03
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
46
Sinar Harapan, Rabu 17 September 2003
KKR Sebaiknya Tidak Tandingi Komnas HAM
kli
pin gE
LS A
M
Jakarta, Sinar Harapan Keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) semestinya tidak menjadi komisi tandingan bagi Komnas HAM. Sebab, dalam RUU KKR, terdapat konsep yang berpotensi menimbulkan tarik-menarik antara kedua komisi tersebut. Untuk itu, tugas KKR harus diatur secara tegas dalam UU KKR yang akan dibuat. Demikian Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno dalam rapat dengar pendapat dengan Pansus RUU KKR di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (16/9). Rapat yang dipimpin Ketua Pansus, Sindharto Danusubroto itu, juga dihadiri Menlu Hassan Wirajuda. ”Kalau ada dua komisi, kadang suka ada tarik-menarik. Itu bisa juga terjadi. Sama-sama diproses dari DPR. Kalau tak diatur tegas, bisa jadi akan tumpang tindih,” tuturnya. Menurut Mendagri, pengaturan KKR itu harus tegas, sehingga tidak menimbulkan persoalan baru. Dia mengatakan, sebaiknya kewenangan KKR dibatasi bagi permasalahan yang sudah lewat, sehingga tidak tumpang tindih dengan kewenangan Komnas HAM. Dalam UU KKR, menurutnya, perlu diatur mengenai pembatasan waktu kasus yang ditangani dan sejauh mana bobot dari masalah yang ditangani atau tidak ditangani KKR. Mendagri juga menegaskan, KKR harus steril dari kepentingan politis dan lebih menekankan aspek sosiologis, psikologis, filosofis dan budaya. Smentara itu, Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda mengatakan, keberadaan KKR harusnya bukan sekadar mengungkap luka masa lalu, tapi untuk mencegah agar hal itu tidak terulang lagi. Dengan mengungkap kebenaran, katanya, diharapkan terjadi proses rekonsiliasi yang bisa menjadi dasar pemberian kompensasi, rehabilitasi dan restitusi. Menurutnya, tujuan akhir pengungkapan kebenaran, sesungguhnya untuk mendorong suatu integrasi sosial, yang merupakan komponen penting integrasi nasional. Sementara mengenai batas kewenangan KKR, Menlu mengusulkan berdasarkan patokan KUHAP, yakni kasus yang terjadi dalam rentang 30 tahun. ”Mengapa? Karena 30 tahun lebih dari satu generasi. Karena dalam perspektif politik, satu generasi itu 25 tahun,” jelasnya. (ady)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
47
Suara Pembaruan, Kamis 18 September 2003
KKR, Bentuk Penyelesaian Pelanggaran HAM secara Yudisial
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Meski banyak kalangan pesimistis atas pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) karena dianggap sudah kehilangan momentum, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menilai KKR tetap relevan. Komnas HAM juga menyatakan tugas dan fungsinya tidak akan tumpang tindih dengan KKR nanti. Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam rapat dengar pendapat umum dengan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undag-Undang (RUU) KKR, di DPR, Rabu (17/9), menegaskan, KKR akan merupakan instrumen hukum untuk mencapai rekonsiliasi demi persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itu, persepsi KKR seolah-olah akan menggantikan peradilan HAM, tidak benar. Tugas KKR memang akan berkaitan dengan Komnas HAM dan peradilan HAM, tetapi fungsinya berbeda. Sebuah peradilan bisa digelar jika ada Keputusan Presiden (Keppres) dan sebuah peristiwa yang menurut temuan Komnas disimpulkan terjadi pelanggaran HAM berat. Tetapi jika DPR secara politik menyatakan tidak mendukung, keputusan itu bisa dimentahkan. Menurut Abdul hakim, mekanisme pengambilan keputusan seperti itulah yang akan membedakan KKR dengan Komnas HAM. Tetapi Abdul Hakim berharap, DPR ke depan tidak lagi membuat keputusan menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat atas sebuah peristiwa dan seyogianya DPR cukup merekomendasikan agar kasusnya dilimpahkan ke KKR. Soal penilaian KKR sudah kehilangan momentum, Komnas HAM menurut Abdul Hakim, tidak sependapat. "Saya rasa, KKR tidak kehilangan momentum, karena masa transisi yang kita hadapi sekarang belum selesai. Kita sekarang sedang dalam proses konsolidasi demokrasi, karena itu KKR seyogianya dibentuk dalam perpektif konsolidasi demokrasi,'' kata Abdul Hakim yang didampingi anggota Komnas lainnya, yakni Samsudin, Lies Suganda dan Eni Suprapto. Abdul Hakim mengatakan, dalam pembentukan KKR ada lima prinsip yang perlu diperhatikan. Pertama, proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu harus diletakkan pada proses pemenuhan keadilan masyarakat yang telah mengalami kekerasan fisik, psikologis dan mental karena mereka mengalami penolakan. Menurutnya, harus ada keseimbangan penyelesaian pelanggaran HAM berat. "Kita ingin memberikan keadilan kepada korban, tapi di sisi lain kita ingin membangun rekonsiliasi demi kesatuan bangsa. Karena itu, negara harus mengambil alih tugas ini dengan memberikan kompensasi atau amnesti,'' ujarnya. Soal pemberian amnesti, menurutnya, KKR hanya sebatas memberi rekomendasi dan keputusannya tetap ada di tangan presiden. Tetapi, rekomendasi yang disampaikan KKR harus diperhatikan oleh presiden. Prinsip kedua adalah penyelesaian pelanggaran HAM berat oleh KKR tidak boleh dipandang sebagai ajang balas dendam. Ketiga, penyelesaian pelanggaran HAM berat harus dilakukan secara terbuka. Keempat, KKR harus benarbenar independen. Sedangkan prinsip kelima, keamanan, keselamatan dan martabat para korban, pelaku dan saksi harus dijamin. (M-15) Last modified: 19/9/03
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
48
Sinar Harapan, Kamis, 18 September 2003
Komnas HAM Tawarkan Seleksi Anggota KKR
LS A
M
Jakarta, Sinar Harapan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengusulkan agar seleksi dan pemilihan anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dilakukan olehnya atau DPR. Kalau seleksi dilakukan presiden akan memangkas independensi KKR karena KKR condong kepada pemerintah, ujar Ketua Sub-komisi Pengkajian HAM, Lies Sugondo, dalam rapat dengar pendapat dengan Pansus RUU KKR DPR di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (17/9). Rapat yang dipimpin Ketua Pansus RUU KKR, Sindharto Danusubroto itu, juga dihadiri Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara; Anggota Sub-komisi Pemantauan, Syamsuddin dan Anggota Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan HAM, Enny Suprapto. Menurut Lies, Komnas HAM menganggap, kalau presiden melakukan seleksi dan pemilihan anggota KKR, maka hal itu berdampak terhadap posisi KKR yang tidak sesuai dengan asas independen, kemandirian, bebas dan tidak memihak, kejujuran, keadilan, keterbukaan dan perdamaian. Untuk itu, jelas Lies, Komnas HAM mengusulkan, agar untuk pertama kali seleksi dan pemilihan calon anggota KKR dilakukan Komnas HAM. Usulan itu, tambahnya, sesuai dengan draft awal RUU KKR sebelum diubah di Sekretariat Negara. Ia menjelaskan, dalam melakukan seleksi, Komnas HAM diharuskan membentuk panitia seleksi yang terdiri dari lima orang, tiga dari Komnas HAM dan dua dari unsur masyarakat. Hasil seleksi Komnas HAM itu, katanya, akan disampaikan kepada DPR dan diteruskan ke presiden untuk diresmikan dengan keputusan presiden. Alternatif kedua, kata Lies, seleksi dan pemilihan anggota KKR dilakukan anggota DPR. Kemudian, hasil dari DPR itu diteruskan ke presiden untuk diresmikan dengan keputusan presiden.
kli
pin gE
Tumpang Tindih Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, mengatakan, ia masih melihat adanya persepsi yang kurang pas mengenai KKR, karena KKR seolah menggantikan pengadilan HAM Ad Hoc. Padahal, KKR merupakan alternatit untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Garuda Nusantara juga melihat tidak ada tumpang-tindih antara kerja KKR dengan Komnas HAM. Meski ada keterkaitan tugas, tapi KKR hanya menangani kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU No 26 tahun 2000. Jadi, pelanggaran HAM masa lalu. ”Yang memang jadi pertanyaan, apakah yang sudah masuk KKR, tidak bisa diselidiki Komnas? Itu saya kira, persoalan hukum acara, yang memang belum diatur lebih jelas dalam RUU. Tapi, idenya, memang kalau suatu kasus diselesaikan KKR dan sudah dipenuhi kompensasi, rehabilitasi dan amnesti sudah diberikan, ya tidak bisa lagi dibawa ke Komnas HAM,” ujarnya. (ady)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
49
Republika, Kamis 18 September 2003
KKR Bukan Ajang Balas Dendam Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara, menilai KKR tidak akan tumpang tindih dengan lembaga yang dipimpinnya. Ia menjelaskan antara Komnas HAM dan KKR berkaitan, tapi tugasnya berbeda. Tugas DPR, menurutnya, menentukan lembaga mana yang layak menyelesaikan pelanggaran berat HAM pada masa lalu. Tetapi DPR tidak berhak melakukan penilaian atas temuan pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh Komnas HAM dan jaksa agung. “Jika jaksa agung dan Komnas HAM menemukan kasus pelanggaran berat HAM, DPR tak berhak menilai bahwa kasus itu bukanlah pelanggaran berat HAM,” kata kata Ketua Komnas HAM ini kepada anggota pansus RUU KKR, di gedung DPR, kemarin (17/9).
M
Abdul Hakim mengatakan pembentukan KKR masih relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.
LS A
Menurut Abdul Hakim, ada sejumlah prinsip yang perlu dipertaimbangkan oleh KKR dalma meanngani kasus-kasus pelanggaran berat HAM pada masal lalu. Pertama, KKR harus memberikan keadilan pada korban atau keluarga korban tetapi di sisi lain harus membangun rekonsiliasi terhadap pelaku pelanggarna berat HAM. “Negara harus memberi kompensasi pada korban dan memberi amnesti pada pelaku pelanggaran berat HAM pada masa lalu,” katanya. Prinsip kedua, penyelesaian pelanggaran berat HAM melalui KKR tak boleh dianggap sebagai balas dendam. Prinsip ketiga, KKR harus menjalankan tugasnya secara terbuka.
pin gE
Menburut Ketua Pansus RUU KKR DPR, Sidarto, pansus memerlukan masukan sebanyak mungkin dari kalangan masyarakat, untuk menghasilkan UU KKR yang kredibel dan efektif dalam menyelesaikan kasuskasus pelanggaran berat HAM pada masal lalu lewat proses ekstra yudisial. Sebelumnya, DPR juga mengundang Menteri Luar Negeri, Hassan Wirayuda, untuk memberikan masukan kepada pansus mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan KKR. Menlu mengatakan kewenangan KKR yang akan dibentuk sebaiknya didasarkan pada kekuatan moral anggota-anggotanya, dan bukan pada kekuatan formal, yang politis sifatnya. “Sandaran utama komisi ini, harus pada kekuatan moral. Keberhasilan Afsel dalam menjalankan komisi seperti ini karena kekuatan moral Desmon Tutu, “kata menlu.
kli
Menurut rencana, Pansus RUU KKR DPR juga akan mengundang Elsam, Kontras, untuk memberikan masukan mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan penyelesaian pelanggarna berat HAM pada masal lalu lewat proses ekstrayudisial. Vie.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
50
Kompas, Kamis 18 September 2003
Komnas Hak Asasi Manusia
Pembentukan KKR Tak Kehilangan Momentum
kli
pin gE
LS A
M
Jakarta, Kompas - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tetap relevan dan tidak kehilangan momentum karena Indonesia sekarang masih dalam masa transisi demokrasi. Kewenangan KKR juga tidak akan tumpang tindih dengan Komnas HAM karena KKR merupakan alternatif untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di luar pengadilan yang bersifat temporer. Demikian dikemukakan Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam rapat dengar pendapat umum Panitia Khusus RUU KKR yang dipimpin ketuanya, Sidharto Danusubroto, di Gedung MPR/DPR Jakarta, Rabu (17/9). Abdul Hakim didampingi anggota Komnas HAM lainnya, seperti Samsuddin, Lies Soegondo, dan Enny Soeprapto. Abdul Hakim mengemukakan bahwa KKR adalah suatu instrumen hukum untuk mencapai tujuan, yaitu rekonsiliasi nasional guna menjaga kesatuan bangsa. Ia meluruskan persepsi yang salah bahwa KKR menggantikan Pengadilan HAM Ad Hoc. KKR, katanya, adalah suatu alternatif Pengadilan HAM Ad Hoc untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Apalagi Ketetapan MPR No V/MPR/2000 dan Pasal 47 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga telah mengamanatkan pembentukan KKR. Pasal 47 Ayat (1) UU No 26/2000 menyebutkan, Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. "Saya rasa kita tidak kehilangan momentum karena memang masa transisi yang kita hadapi ini belum selesai. Kita masih berada dalam masa transisi. Kita sekarang dalam proses konsolidasi demokrasi. Dari perspektif itu, RUU KKR seyogianya dibahas dalam perspektif konsolidasi demokrasi itu," kata Abdul Hakim. Enny Soeprapto juga berpendapat, soal momentum itu tidak perlu dipermasalahkan karena sekarang ada naskah RUU KKR yang konkret. Diakui, kalau disimak praktik negara lain saat satu rezim otoriter berganti dengan rezim demokrasi, maka sistem KKR segera dibentuk. "Di Cile itu hanya enam pekan setelah Pinochet jatuh. Selalu singkat. Ada yang sembilan bulan. Saya berharap, RUU ini disetujui menjadi UU selambat-lambatnya Januari 2004 karena nanti ada proses pemilihan birokrasi, sehingga pertengahan tahun depan KKR benar-benar bisa berfungsi. Pasalnya, KKR adalah satu bentuk transitional justice," kata Soeprapto. Akan tetapi Samsuddin mengakui, pembentukan KKR pada masa sekarang ini memang agak terlambat. Mestinya, segera setelah rezim Orde Baru tumbang RUU KKR segera dimasukkan . "Ini pernah disampaikan Komnas HAM kepada Presiden BJ Habibie untuk segera masuk ke DPR, tetapi waktu itu sibuk dan belum sempat. Kalau waktu itu terbentuk, maka KKR bisa memutus mata rantai rezim lama dan rezim baru," kata Samsuddin. Sidharto Danusubroto mengatakan, soal dibentuk atau tidaknya KKR ini dilihat plus-minusnya saja. "Jika dibentuk waktu itu, kondisinya begitu traumatis sehingga UU KKR agak emosional. Kalau sekarang kita bentuk, mungkin lebih jernih kita pikirkan. Pikiran kita sudah melewati masa trauma," kata Sidharto. (BUR
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
51
Koran Tempo, Kamis, 18 September 2003
Komnas HAM: Tak Ada Overlapping dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menepis anggapan bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan mengambil lahan kerja lembaganya. "Tugas Komisi Kebenaran lebih pada pengungkapan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM disahkan," kata Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara, dalam rapat Panitia Khusus Pembentukan Komisi Kebenaran di gedung MPR/DPR kemarin.
M
Tugas itu, Abdul Hakim melanjutkan, berbeda dengan Komnas HAM yang sesuai dengan undang-undang berfungsi sebagai lembaga penyelidik pelanggaran HAM berat. Penyelidikan Komnas HAM dilanjutkan Kejaksaan Agung ke proses penyidikan dan baru berakhir dengan sidang pengadilan HAM. "Tapi, kalau lewat Komisi Kebenaran pelakunya bisa memohon amnesti. Jadi, Komisi ini semacam solusi alternatif dari pengadilan HAM," kata Abdul Hakim lagi.
LS A
Lebih-lebih, Abdul Hakim menambahkan, kerja Komisi Kebenaran juga dibatasi hanya tiga sampai lima tahun. "Semua itu membuat kami yakin bahwa tidak ada overlapping antara Komnas HAM dan Komisi Kebenaran," katanya. Dalam rapat kemarin, Abdul Hakim didampingi tiga anggotanya: Lies Soegondho, Soeprapto, dan Syamsuddin Haris. Abdul Hakim yang membacakan hasil sidang pleno Komnas HAM sebagai tanggapan atas draf RUU Komisi Kebenaran usulan pemerintah juga meminta kerja komisi nantinya transparan dan independen. "Ini penting untuk menjamin hasilnya bisa diterima secara luas oleh publik," ujarnya.
pin gE
Abdul Hakim juga membantah pernyataan koleganya di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menyebut pembentukan Komisi Kebenaran sekarang telah kehilangan momentum. "Saya tidak setuju. Bangsa ini masih belum melewati krisisnya dan sekarang ada pada tahap konsolidasi demokrasi. Justru saat ini adalah momentum yang tepat," katanya lagi.
kli
Ketua Panitia Khusus Komisi Kebenaran Sidharto Danusubroto menjelaskan bahwa parlemen memang berusaha meminta masukan sebanyak-banyaknya dari publik. "Ada lebih dari 50 lembaga pemerintah dan swadaya masyarakat, serta perwakilan negara asing yang akan kami mintai masukan," ucapnya. Namun, dia berjanji pembentukan komisi ini akan rampung pada Februari 2004 mendatang. wahyu dhyatmika/yophiandi
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
Kompas, Jumat, 19 September 2003
Tunda Pembentukan KKR karena Pelaku Kejahatan Masa Lalu Masih Berpengaruh Jakarta, Kompas - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) serta Lembaga Pengkajian Hukum dan Strategi Nasional meminta agar pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ditunda dan diserahkan pembahasannya pada sistem politik periode yang akan datang. Alasan mereka, pada saat ini para pelaku kejahatan masa lalu masih berpengaruh terhadap pemerintahan dan menjadi bagian dari kekuasaan negara.
LS A
M
Permintaan itu disampaikan Ketua Dewan Pengurus Kontras Munir, Koordinator Badan Pekerja Kontras Usman Hamid, dan Ketua LPHSN Achmad Rifai dalam rapat dengar pendapat umum Panitia Khusus RUU KKR di Gedung MPR/ DPR, Kamis (18/9). Dalam RDPU yang dipimpin Wakil Ketua Pansus Akil Mochtar (Fraksi Partai Golkar), hadir pula Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Ifdal Kasim dan Ketua Perkumpulan Elsam Asmara Nababan. Achmad Rifai mengatakan, RUU KKR sebaiknya ditunda dulu pembahasannya karena pelakunya masih besar potensi pengaruhnya terhadap pemerintahan saat ini. "Kami tidak yakin pula pemerintahan akan berani melakukan rekonsiliasi atas keterbukaan segala kejahatan yang telah dilakukan pada masa lalu. Dengan demikian, sangat sulit untuk menyelidiki dan mencari keadilan melalui KKR," kata Rifai.
pin gE
Tidak ada kejujuran
Usman Hamid mengatakan, dengan konteks sosial politik aktual saat ini, adalah tidak tepat Indonesia memilih model KKR untuk menyelesaikan kejahatan masa lalu. Hal itu karena para pelaku kejahatan atas kemanusiaan di masa lalu masih menjadi bagian dalam sistem kekuasaan negara. Munir menambahkan, Kontras mengusulkan pembahasan RUU KKR ditunda karena kini tidak ada satu pun modal yang menunjukkan lebih baik daripada masa depan. Ia mencontohkan kasus Trisakti yang habis "dibantai" di DPR dengan alasan bukan pelanggaran HAM berat. Pengadilan kasus Timor Timur oleh sebagian anggota DPR dinyatakan melawan nasionalisme.
kli
"Tidak pernah ada kesadaran bahwa kita pernah salah. Kejujuran itu tak ada. Saya tak yakin kita sanggup untuk menata proses menyelesaikan kasus masa lalu kalau kita buat KKR, tetapi kesadaran dasar dari kejujuran itu tidak ada," katanya. Namun, Munir mengatakan, sebetulnya boleh saja ada RUU KKR, tetapi ini jangan diturunkan hanya berbicara pasal. "Tetapi seberapa besar kita sadar akan kebutuhan sejarah dan jujur. Juga sadar bahwa kita tidak lagi diskriminatif terhadap ideologi. Sepanjang kita ngomong Tap XXV/MPR/1966 tentang komunisme masih relevan dan komunisme/marxisme masih dinyatakan sebagai tindak pidana, tidak ada kejujuran di situ," kata Munir. (bur)
52
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
53
Suara Pembaruan, Jumat 19 September 2003 KKR Dikhawatirkan Hanya Putihkan Kejahatan Masa Lalu Jakarta – Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dikhawatrikan hanya akan menjadi lembaga pemutihan dan impunity kejahatan para pejabat dan negara masa lalu terhdap rakyat. Sebab, Rancangan Undang-Undang (RUU) KKR yang diajukan pemerintah ke DPR lebih cenderung sebagai lembaga penekan para korban kejahatan hak asasai manusia (HAM) untuk memaafkan.
M
Pandangan tersebut di sampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM) Ifdhal Kasim dan Ketua Dewn Pengurus Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Khusus (Pansus) KKR< di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (19/9). Rapat yang dipimpin wakil Ketua Pansus M Akil Mochtar itu juga dihadiri Koordinator Kontras Usman Hamid, ketua Perkumpulan ELSAM Asmara Nababan, dan Ketua LPHSN Achmad Rivai.
LS A
Menurut Munir, RUU KKR tidak mengatur mekanisme yang bisa membuat para pelaku kejahatan HAM berat di masa lalu mengaku secara jujur perbuatannya. Karena itu, tujuan yang ingin dicapai, yakni rekonsiliasi hanya semu dan tidak akan maksimal sehingga tidak akan terjadi pelurusan sejarah. Senada dengna itu, Ifdal Kasim mengatakan, KKR bukanlah lembaga pelaksana rekonsilias, tapi terlabih kepada upaya mengungkap kebenaran. Rekonsiliasi adalha tahapan berikutnya, sedangkan pengungkapan kebenarna seharusnya menjadi hal utama., karena kkr bukanlah substitusi dari lembaga peradilan tetapi hanya melengkapi peradilan.
pin gE
Hak-hak korban melekat pada korban sendiri, karena itu tidak bisa ditukarkan begitu saja dengna ganti rugi negara. Sebab, kalau itu yang terjadi, dikhawatirkan KKR akan menjadi lembaga impunity bagi para pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu. Asmara Nababan juga menambahkan, RUU KKR tidak mengatur secara jelas mengenia prinsip keberulangan pelangaran atau kekjahatna. Padahal RUU itu diharpakan bisa mengatur bagimana agar mengatur bagiamana agar kebijakan-kebijakna atau perilaku negara yang merugikan rakyat, seperit kasus Kedung Ombo,d iJawa tenagh, tidak terulang di kemudian hari.
kli
Semantara itu, Achmat Rifai dair LPHSN menilai, sebaiknya KKR tersbeut ditunda pembahasannya. Alasannya, para pelaku kejahatan di masa lalu masih berpengaruh terhada apemerintah dan menjadi bagian dari kekuasaan saat ini. “akami tidak yakin pemerintahan sekarang berani melakukan rekonsiliais atas keterbukaan segala kejahatan yang terjaid di masa lalu. Kalua itu yang terjadi, akan sangat sulit mengungkap kebenarna menuju rekonsliasi, “kata Rifai. M-15
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
54
Koran Tempo, Jumat, 19 September 2003
LSM Minta Pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Ditunda JAKARTA -- Sejumlah LSM melontarkan kritik terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi oleh Panitia Khusus DPR. Kritik disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum dengan Panitia Khusus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di gedung MPR/DPR kemarin.
M
Seperti dituturkan Direktur Eksekutif Imparsial Munir, yang mengusulkan penundaan pembahasan RUU itu, DPR diminta untuk mengefektifkan pengadilan yang sudah ada untuk menuntut pertanggungjawaban pelaku pelanggaran HAM. "Akan sangat bertanggung jawab terhadap bangsa ini jika menunda saja pembahasan RUU ini sampai pemilu yang akan datang," kata Munir.
LS A
Lagi pula, ujarnya, gagasan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi lebih pada keinginan memaafkan daripada kebesaran jiwa untuk mengoreksi kesalahan masa lalu. "Kecenderungan ini memang sangat kental. Beberapa argumen yang menolak pertanggungjawaban cenderung muncul dan itu diakomodasi pada RUU ini," ujarnya. Mantan Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan juga mengkhawatirkan komisi ini tidak sanggup memulihkan hak dan kondisi korban, sehingga institusi ini hanya akan menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan penguasa saja.
pin gE
Koordinator Badan Pekerja Kontras, Usman Hamid, juga mengkhawatirkan komisi ini hanya akan dijadikan jalan pintas untuk menghindari kejujuran sejarah. Makanya, kata dia, Kontras merekomendasikan agar DPR dan pemerintah lebih baik mengambil langkah untuk mendorong efektivitas sistem peradilan yang sudah ada. "Hapuskan praktek-praktek diskriminatif dalam kehidupan sosial, maka kebenaran dan kejujuran dapat dicapai," kata Usman. Munir pun tidak yakin atas keinginan para pelaku politik saat ini termasuk anggota DPR untuk menyelesaikan kesalahan masa lalu. Karena Dewan tidak melihat koreksi masa lalu sebagai kewajiban. "Kasus Trisakti misalnya yang menjadi bulan-bulanan secara politik di DPR. Pada konteks serupa kita membahas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang seharusnya berdasarkan kesadaran yang sama. Itu menjadi pertanyaan besar," kata Munir.
kli
Bahkan, kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Ifdhal Kasim, ada kekeliruan dalam memahami pemberian amnesti terkait dengan RUU ini. "Hak-hak korban tidak bisa begitu saja diganti dengan amnesti. Tetapi negara juga harus memberikan pemulihan nama supaya lembaga ini tidak menjadi lembaga baru untuk impunitas," ujarnya. Namun, Elsam juga tidak setuju bila Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dianggap sebagai pengganti pengadilan. Melainkan, kata Ifdhal, kedua lembaga ini harus saling berhubungan secara komplementer. priandono kusumo
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
55
Media Indonesia, Jum'at, 19 September 2003
'KKR Bisa Jadi Lembaga Pemutihan' JAKARTA (Media): Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam) meminta DPR tidak menjadikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai lembaga pemutihan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Pernyataan itu dikemukakan Ketua Dewan Pengurus Kontras Munir dan Direktur Aksekutif Elsam Ifdal Kasim dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Pansus KKR yang dipimpin Akil Mochtar di Gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin.
M
Munir menilai gagasan pembentukan lembaga KKR memiliki kecenderungan dijadikan mekanisme untuk menekan korban pelanggaran HAM berat di masa lalu agar memberi pengampunan kepada para pelakunya. ''Hak korban untuk mendapatkan ganti rugi dapat dipakai sebagai alat menekan korban memberikan pengampunan kepada pelaku,'' tegasnya.
LS A
Sehingga ada kekhawatiran KKR yang akan dibentuk itu tidak akan memberikan hasil maksimal. Apalagi selama ini terlihat sistem hukum belum memiliki kewibawaan untuk bisa memaksa para pelaku pelanggaran HAM mengakui secara jujur perbuatannya di masa lalu.
pin gE
Selain itu, realitas penegakan hukum selama ini memperlihatkan adanya kesenjangan yang sangat jauh antara posisi pelaku yang begitu kuat menghadapi para korban yang lemah. ''Posisi para pelaku pelanggaran HAM di masa lalu masih begitu kuat, sementara posisi korban begitu lemah sehingga tak terlindungi sama sekali,'' ujar Munir yang dalam kesempatan itu didampingi Koordinator Kontras Usman Hamid. Menurut Munir, untuk mendukung KKR agar menjadi lembaga yang produktif dalam merekonsiliasi, maka hal penting yang harus dilakukan adalah menciptakan sistem politik dan hukum yang kompeten supaya bisa mencegah tindakan menghalang-halangi penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Namun, sambung Munir, kalau KKR dalam praktiknya nanti memberi kesempatan terjadinya tindakan penekanan terhadap korban HAM untuk memilih mendapatkan ganti rugi dan mengabaikan putusan pengadilan yang fair, maka tindakan semacam itu tidak bisa dibenarkan. Sehingga sama saja hal itu hanya menjadi ajang pemutihan terhadap kejahatan masa lalu tanpa upaya meluruskan kebenaran sejarah yang menjadi tanggung jawab para pelaku kejahatan,
kli
Senada dengan pernyataan itu, Direktur Eksekutif Elsam Ifdal Kasim mengatakan KKR tidak boleh dijadikan alat impunitas ataupun alat untuk mengampuni para pelanggar HAM. ''Hak korban untuk diperlakukan adil dan dipulihkan martabatnya tak bisa diganti dengan uang.'' Ifdal setuju dengan usulan perlunya pembatasan waktu atas kasus-kasus HAM yang akan ditangani KKR. hal itu penting agar kerja KKR menjadi lebih fokus dan efektif. Ifdal juga mengemukakan kekhawatiranya kalau kelak KKR akan menjadi alat intervensi politik bagi penguasa, sehingga dapat memanipulasi kasus pelanggaran HAM masa lalu. Oleh karena itu, ia mengharapkan agar pemilihan anggota KKR sebaiknya diserahkan sepenuhnya kepada DPR dan bukan oleh eksekutif. ''Mayoritas anggota KKR harus berasal dari masyarakat dan bukan dari eksekutif,'' Ifdal mengingatkan. (Hil/P-6)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
56
Sinar Harapan, Jum'at, 19 September 2003
RUU KKR Wakili Kepentingan Pelanggar HAM
kli
pin gE
LS A
M
Jakarta, Sinar Harapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sangat jelas mewakili kepentingan pelaku pelanggaran HAM, bukan kebenaran dan kewajiban sejarah. Hal ini tampak pada amnesti yang justru dijadikan syarat pemberian rehabilitasi, kompensasi dan restitusi. Demikian Ketua Dewan Pengurus Kontras, Munir dalam rapat dengar pendapat dengan Pansus RUU KKR di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (18/9). Selain Kontras, Pansus RUU KKR juga mengundang Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsam) dan Lembaga Penegakan Hukum dan Strategi Nasional (LPHSN). ”Amnesti seolah bukan hak para korban. Ini semacam reward, jika korban memberikan pengampunan kepada pelaku. Artinya, KKR mewakili kepentingan pelaku, bukan mewakili kebenaran, kewajiban sejarah, bukan juga mewakili keinginan kita menata Indonesia ke depan. Tapi, menyediakan alat bagi pelaku untuk memperoleh pengampunan,” ujar Munir. Menurutnya, dalam sistem peradilan yang korup, maka orang tidak perlu susah payah datang ke satu tempat untuk membuat pengakuan yang jujur. ”Kita terbuka saja, para pelaku politik nasional, termasuk DPR secara nyata-nyata tidak cukup menunjukkan upaya keras agar kejahatan masa lalu itu diungkap. Sejauh ini, kami tidak melihat indikasi itu,” katanya. Munir mengatakan, jauh lebih penting kalau pemerintah dan DPR menunjukkan sikap serius untuk mendorong sistem peradilan reguler yang ada sehingga berjalan maksimal daripada berpikir proses lain yang tidak akan pernah punya kewibawaan apapun. Sebab, mekanisme yang ada tidak punya kompetensi untuk menopang mekanisme yang ditawarkan melalui KKR itu. Dia menegaskan, sebaiknya RUU KKR ditunda sehingga dibahas anggota DPR hasil Pemilu 2004. Munir juga mengungkapkan, sikap menolak pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang PKI, menunjukkan keengganan mengungkap kebenaran. Padahal, jika Tap tersebiut tidak dicabut maka sulit mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi. Sementara itu, Asmara Nababan dari Elsam, mengatakan, pihaknya tidak menolak ide KKR untuk menyelesaikan masa transisi. Namun, dari RUU itu ada banyak pasal yang harus diubah dan diperbarui. Tanpa adanya perubahan, KKR hanya menjadi instrumen untuk melanggengkan impunity. Pelanggengan impunity berarti tak ada demokrasi. Dia mencontohkan, rehabilitasi yang merupakan hak korban dikaitkan dengan amnesti. Dia menegaskan, hal itu merupakan pemikiran yang sangat korup karena itu merupakan hak korban. Nababan juga mengingatkan, konstitusi Pasal 28I Ayat 4 tentang penegakan, pemenuhan, pemajuan dan perlindungan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. ”Jadi, itu konstitusional right, bukan hanya human right. Kok dikaitkan dengan amnesti. Kalau hal sepetrti ini tidak dikoreksi, maka KKR gagal untuk capai tujuan mulianya,” tegasnya. Ahmad Rivai dari LPHSN, senada dengan Kontras, mengatakan agar pembahasan RUU KKR itu ditinjau karena tidak ada kejelasan dimensi, baik dimensi ekonomi, politik dan hukum. Apalagi, katanya, beban pengganti dibebankan kepada negara. ”Tentu itu uang rakyat dan membebani negara yang sudah menghadapi banyak kesulitan, sedangkan pelakunya dapat tertawa atau bahkan dapat jadi calon presiden mendatang. Ini tidak fair. Kalau begitu, dimana nilai keadilan masyarakat dalam KKR ini?” ujarnya. (ady)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
57
Jakarta Post, September 20, 2003
Experts doubt merit of reconciliation commission Moch. N. Kurniawan, The Jakarta Post,
Experts and human rights activists have expressed doubts over the effectiveness of the planned Truth and Reconciliation Commission (KKR) to resolve past human rights abuses, saying it would merely expose some facts but would not result in true justice.
M
Rachland S. Nashidik, program director of the Indonesian human rights group Imparsial, said the process of the KKR would only result in forgiveness, but human rights abusers would never get justice for their crimes.
LS A
"If we only seek truth, we do not have to set up a KKR. We just need a thorough investigation (by existing institutions). For me, the KKR, as stipulated in the current bill is meaningless," he said after a discussion on transitional justice and the contribution of a truth commission. "We should also have a mandate to bring about justice via the courts," he added.
He also warned that such a commission would quite possibly become an instrument to whitewash all human right abuses that have taken place, thereby exonerating the perpetrators entirely.
pin gE
Therefore, Rachland called on the House of Representatives to postpone the endorsement of the bill until the inauguration of new legislators next year. Under the present bill, there is no clause stipulating that those found guilty of violating human rights, would automatically be tried in court. The bill states that cases that are resolved by KKR will not be brought to court. The country now has a human rights court, but it only has a mandate for the alleged human right violations in the Tanjung Priok incident in 1984, and the 1999 bloodshed in East Timor. Priyambudi Sulistiyanto, a lecturer at the National University of Singapore, also expressed pessimism over the proposed role of the KKR in resolving past human right abuses.
kli
He stated that there would be no guarantee that those found to have violated human rights would confess their crimes. Furthermore, there was no record of other Southeast Asian countries succeeding with similar truth commissions as part of efforts to resolve human rights violation cases, he added. "However, as a process in this transitional period, we should not oppose the establishment of the KKR as one alternative solution," he said, adding that the KKR process must also be conducted along with other possible solutions. Baskara T. Wardaya, lecturer of the Sanata Dharma University, concurred with Priyambudi. He said the commission should become the impetus to resolve rights violations but not the only solution.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
58
Koran Tempo, Sabtu, 20 September 2003
LSM Khawatir Konsep Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Disalahtafsirkan JAKARTA - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat kemarin kembali melontarkan penolakan atas konsep pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi versi pemerintah. Mereka mengaku khawatir konsep komisi ini yang sebenarnya bisa ditafsirkan berbeda dan digunakan para pelaku pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu untuk menghindari proses peradilan.
M
Direktur Indonesian Human Right Watch (Imparsial) Rachlan Nashidik mengatakan, indikasi itu terlihat jelas dari konstruksi Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sedang dibahas Panitia Khusus DPR. Menurut dia, dalam RUU itu tampak Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini dianggap sebagai alternatif pengadilan HAM.
LS A
"Bila itu terjadi, tugas utama komisi ini sebagai pendorong agar masyarakat bisa menolak tegas setiap bentuk pelanggaran HAM di masa depan telah gagal. Harusnya komisi ini menjadi awal kekuatan moral masyarakat untuk berani melawan dan berkata tidak pada pelanggaran HAM," kata Rachlan di Jakarta kemarin. Ifdal Kasim, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, berpendapat serupa. Menurut dia, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bukan untuk merekomendasikan pemberian impunity untuk pelanggar HAM. "Seharusnya semua hasil penelusuran pelanggaran HAM yang ditemukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dilaporkan ke Kejaksaan Agung, untuk diteruskan ke pengadilan HAM," ujarnya.
pin gE
Komisi ini, kata Ifdal, jelas berbeda dengan Komisi HAM yang menyelidiki kasus per kasus, karena komisi ini melacak semua pelanggaran HAM di masa rezim yang lalu. Juga, pentingnya mengutamakan cara pandang korban dalam menilai kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Baik Ifdal maupun Rachlan menyatakan tak sepakat jika pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dinilai kehilangan momentum. Menurut Rachlan, selama pelakunya masih selalu mencari celah menghindari pengadilan, komisi ini masih relevan. Hanya saja pembentukannya di Indonesia tidak secara mentah-mentah mengadopsi model di negara lain. "Jangan hanya menjahit model-model terbaik di negara lain tanpa berangkat dari kebutuhan riil di negeri ini," pinta Rachlan.
kli
Ifdal juga mengaku khawatir kalau pembahasan RUU Pembentukan Komisi ini di DPR diwarnai kepentingan kelompok tertentu. "Ada agenda politik dari mereka yang mau lari dari pengadilan HAM," katanya. Agenda itu tercium dari sejumlah perubahan draf RUU sejak dibahas di Departemen Kehakiman sampai ke Sekretariat Negara. "Harus terus diawasi," katanya. wahyu dhyatmika/yophiandi
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
59
Media Indonesia, Sabtu, 20 September 2003
Rekonsiliasi tidak Berarti Melupakan Masa Lalu PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diterima DPR dari Presiden Megawati Soekarnoputri pada 26 Mei 2003, sejak awal pekan ini, mulai digelar.
M
Sekitar 50 lembaga pemerintah dan swasta akan diundang secara bergantian oleh Pansus RUU KKR. Pihak yang sudah memberikan pendapatnya dalam rapat kerja Pansus antara lain Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Hari Sabarno, LIPI, Komnas HAM, YLBHI, Kontras, Elsam, dan LPHSNI. Tujuannya untuk menghimpun pendapat dari pemerintah, masyarakat, dan LSM sebagai bahan kajian Panitia Khusus (Pansus) KKR dalam membuat daftar inventarisasi masalah (DIM).
LS A
Dari lembaga pemerintah dan swasta yang telah diundang, ada yang mendukung keberadaan KKR ini, namun ada juga yang pesimistis KKR dapat membawa ke arah penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat yang lebih baik. Apalagi yang menjadi korban pelanggaran HAM berat itu biasanya rakyat kecil, sementara pelakunya adalah mantan petinggi dan penguasa masa lalu, yang masih memiliki jaringan kekuasaan dengan pejabat-pejabat atau militer yang berkuasa saat ini.
pin gE
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Ikrar Nusa Bhakti, misalnya, mencatat sejumlah kelemahan substansial dalam RUU itu. RUU KKR ini tidak memberikan difinisi terhadap pelaku pelanggaran HAM berat. RUU ini hanya memberikan definisi terhadap korban. Artinya, RUU ini mengindikasikan ada diskriminasi karena lebih banyak mengatur tentang korban dan mengabaikan pelaku. Padahal tujuan utama yang ingin dicapai adalah mencari kebenaran. ''Ini perlu perhatian serius, karena tidak ada rekonsiliasi tanpa kebenaran,'' tegasnya. Dalam ketentuan umum pasal 1 ayat 5 yang menyatakan, Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran HAM berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
kli
Sementara pasal 1 ayat 1 menyatakan, Kebenaran adalah kebenaran atas suatu peristiwa yang dapat diungkapkan berkenaan dengan pelanggaran HAM yang berat, baik mengenai korban, pelaku, tempat, maupun waktu. Definisi kebenaran itu masih pro dan kontra. Setiap pihak yang terkait dalam kasus pelanggaran HAM akan berusaha manafsirkan kebenaran menurut kepentingannya, sehingga proses rekonsiliasi yang ditandai dengan restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi akan berjalan alot. ''Karena akan muncul pertanyaan, kebenaran menurut siapa yang akan menjadi dasar rekonsiliasi itu,'' ujar Ikrar. RUU ini juga tidak memberikan batas waktu kasus yang boleh ditangani KKR, dan apakah kasus yang tidak berhasil diselesaikan oleh KKR direkomendasikan untuk diselesaikan secara hukum di pengadilan atau tidak. Semua pertanyaan itu perlu mendapat jawaban yang jelas dalam RUU KKR. Kalau tidak, pembentukan komisi itu dapat menjadi bumerang dan menimbulkan masalah baru. Yang
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
60
lebih memprihatinkan lagi adalah keberadaan KKR dijadikan sebagai instrumen oleh pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu untuk 'memutihkan' dosa-dosanya. Karena itu, tidak berlebihan kalau Mendagri Hari Sabarno mengingatkan pansus yang terdiri atas 50 orang anggota DPR dari berbagai fraksi itu agar berhati-hati mengemas RUU itu supaya tidak menjadi ajang balas dendam para korban atau keluarga korban terhadap para pelaku. ''RUU ini harus dikemas secara baik dan penuh kehati-hatian agar tidak menimbulkan konflik baru,'' ujarnya mengingatkan. Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam pemaparannya di depan pansus mengusulkan agar RUU KKR sekurang-kurangnya memuat lima prinsip dasar rekonsiliasi yang mengarah pada persatuan dan kesatuan bangsa.
LS A
M
Pertama, penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lampau harus ditempuh demi keadilan, terutama bagi korban yang mengalami penyiksaan baik secara fisik maupun psikologi. Kedua, penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui KKR tidak boleh dipandang sebagai balas dendam, melainkan bertujuan untuk keadilan sosial. Ketiga, proses mencari kebenaran dan rekonsiliasi yang akan ditangani KKR harus bersifat terbuka, kecuali karena alasan konfidensial dinyatakan tertutup. Keempat, orang-orang yang dipilih menjadi anggota KKR harus bersifat independen. Dan kelima, KKR harus menjamin keamanan, martabat korban, pelaku, dan saksi.
kli
pin gE
Mampukah Pansus RUU KKR menjawab semua persoalan itu? Tidak ada yang bisa memprediksi, karena pembahasan RUU-nya masih sedang berjalan. Yang perlu disepakati adalah kebenaran dan rekonsiliasi bukan berarti melupakan masa lalu, tetapi kita juga tidak mau diperjara oleh masa lalu.(Hillarius Gani/P-3)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
61
Suara Pembaruan, Sabtu 20 September 2003
Letakkan KKR Sebagai Gerakan Seluruh Rakyat Jakarta – Upaya rekonsiliasi yang akan dilakukan melalui pembentukkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) tidak cukup dengna pendekatan legalistik formal perundang-undangan belaka. Rekonsiliasi harus diletekkan dalam konteks sebagai gerakan seluruh rakyat.
M
Demikian kesimpulan yang mengemuka dalam diskusi dan peluncuran buku bertajuk, “Kebenaran Verus Keadilan, Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Massa lalu”, di Jakarta, Jumat (19/9). Diskusi yang dipandu Asmara Nababan ini menampilkan pembicara Direktur Indonesia Human Rights Watch (Imparsial), Rachlan Nashidik, Dosen National University of Singapore Priyambudi Sulistyanto dan Dosen Pasca Saraja Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Romo Baskara T. Wardaya.
LS A
Menurut Baskara, dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) ini, upaya rekonsiliasi tidak cukup dengan UU KKR. Hal yang penting dari upaya rekonsiliasi adalah gerakan seluruh rakyat sebab bagaimana pun tanpa dukungan seluruh pihak, rekonsiliasi sulit terwujud. Menanggapi hal itu, Eddie Riyadi dari ELSAM mengatakan, rekonsiliasi harus ditempatkan dalma konteks rekonsiliasi secara kesleuruhan. Maksudnya, rekonsliasi itu bukan hanya antara korban dengan pelku, tetapi harus dengan seluruh komponen masyarakat.
pin gE
Berkaitan dengan itu, Rachlan Nashidik pun sependapat, keputusan penyelesaian kejahatan atau pelanggaran HAK Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu, tidak bisa hanya monopoli korban. Artinya, penyelesaiannya pelanggaran HAM tidak cukup hanya dengan pernyataan islah atau pengampunan dari korban terhadap pelaku. Rachlan juga khawatir KKR bisa disalhartikan seolah-olah akan menjadi pengganti pengadilan terhadap kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Artinya, KKR bisa dipandang sebagai sarana bagi para pelanggar HAM berat untuk menghindari pengadilan.
kli
Senada denagn itu, Direktur Eksekutif Ifdal Kasim mengatakan, KKR bukanlah lembaga yang akna merekomendasikan pemberian impunity baig pelanggar HAM. Karean itu, kata dia, seharusnya semuiadata pelanggaran HAM yang ditemukan KKR nanti diteruskan ke Kejaksaan Agung agar bisa ditindaklanjuti pula ke pengadilan HAM. (M-15)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
62
Kompas, Selasa, 23 September 2003
RUU KKR dan Problem Kemanusiaan Ismatillah A Nu’ad Tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa pemerintah sedang menggodok Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Klaim pemerintah terhadap RUU itu ialah sebagai respons menapak Indonesia baru supaya tidak terbelenggu pada sejarah masa lalu yang terus menggerogoti masa depan.
M
Dapat dipastikan RUU itu akan berpolemik di kalangan masyarakat yang kritis, tak hanya karena mengandung kontroversi pro-kontra itu, namun RUU ini dapat mengandung pretensi yang kuat terhadap sebuah usaha pemutihan dosa-dosa politik yang telah diperbuat sebuah rezim masa lalu sejak pemerintahan Soekarno, Habibie, hingga Abdurrahman Wahid.
LS A
Namun, dalam hal ini, stigma negatif masyarakat hanya menaruh fokus pada pemutihan dosa-dosa masa lalu Orde Baru pemerintahan Soeharto yang telah mengendalikan bangsa ini selama 32 tahun, terutama kekerasan yang terjadi pada tragedi 1 Oktober 1965. Apa yang terkandung dari prediksi di mata masyarakat sebenarnya telah diwanti-wanti setelah sekian lama melihat gejala ketidakbecusan pemerintah dalam setiap persoalan yang berkenaan dengan kejahatan Orde Baru. Hal itu dimulai sejak bergulirnya reformasi. Pemerintah seperti macan ompong dalam menangani kasus-kasus tersebut. Usaha untuk menjerat mantan penguasa ke-2 hingga detik ini belum menampakkan hasil signifikan dengan alasan klasik yang bermacam-macam.
pin gE
Jika hal itu benar-benar terjadi, setidaknya ada satu persoalan serius yang akan ditanggung sebagai konsekuensi logis, yaitu persoalan kemanusiaan bagi mereka yang merasakan langsung kejahatan masa lalu Orde Baru. Hal ini akan berpengaruh secara psikologis pada mereka atau generasi setelahnya dalam melihat aspek hukum bangsa ini yang katanya hendak bertekad menegakkannya, meski hal itu, menurut riset yang dilakukan LSM, tidak menjadi poin penting karena faktanya mereka ini telah melupakan sendiri masa lalu yang pernah dideritanya (Kompas, 15/8/2003).
kli
Setidaknya ada dua persoalan, hal ini juga mengandung makna kurangnya dukungan publik terhadap RUU KKR. Pertama, secara umum kurangnya dukungan barangkali disebabkan oleh ketidakpastian hasil. Proses rekonsiliasi bisa menimbulkan kekerasan (baik secara psikis atau fisik) baru. Bahkan, masyarakat umum yang tidak terlibat secara langsung barangkali perlu diyakinkan agar mendukungnya karena masyarakat sudah apatis dengan banyak komisi di negara ini. Jika semangat rekonsiliasi ini demi terwujudnya keadilan, masyarakat kita seolah sudah apatis atas kemampuan bangsa ini untuk bersikap adil. Kedua, nilai kemanusiaan apa yang sesungguhnya sedang dicari dalam wacana rekonsiliasi itu? Apakah kemampuan manusia untuk mengampuni? Berbicara rekonsiliasi sesungguhnya berbicara tentang berbagai bentuk kekerasan yang membekas dalam ingatan, dalam hubungan sosial, dan bahkan dalam tubuh manusia. Bagaimana kekerasan itu tidak manusiawi dan tidak menghargai nilai kemanusiaan. Lebih jahat lagi jika nilai-nilai itu diingkari bahwa kenyataan itu pernah ada, pernah terjadi, dan pernah dijadikan dalam sejarah bersama (St Sunardi, Kekerasan dan Makna Kemanusiaan, Driyarkara 2003). Meskipun demikian, setidaknya ada poin tersendiri yang seharusnya melandasi RUU KKR, yaitu persoalan pembelajaran terhadap sejarah seperti yang sedikit disinggung di atas. Layaknya kejahatan sebuah rezim yang terjadi di beberapa negara lain, semuanya harus diusut oleh pemerintah yang sedang berkuasa ini sebagai konsekuensi tuntutan publik nasional ataupun internasional demi kepastian hukum. Bagaimana hal itu terjadi dalam kasus Jenderal Pinochet, Pol Pot di Vietnam, Milojevic di Yugoslavia, dan sebagainya
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
63
yang pernah menjalani tuntutan atau setidaknya pernah diajukan tuntutannya pada Mahkamah Internasional di Belanda. Bahkan, dalam setiap konvensi yang dibuat untuk kepentingan universal yang kemudian berada di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seperti Konvensi Deklarasi Universal HAM, Bill Of Right, Nurenberg, dan sebagainya yang semula merupakan inisiatif suatu negara yang mengajukan pada lembaga dunia untuk membuat kebijakan keadilan melalui proses hukum telah dilakukan sejak lama. Pada persoalan ini, setiap negara di bawah PBB mengambil langkah efektif untuk mencegah penyiksaan dan menyediakan ganti rugi bagi korban-korbannya. Seperti pada deklarasi antipenyiksaan yang menegaskan bahwa tidak ada pengecualian, baik pada masa perang, instabilitas, atau situasi darurat publik yang dapat membenarkan penyiksaan (Geofrey Robertson, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, 2002).
LS A
M
Persoalannya, apakah hal itu juga melandasi ketika pemerintah berinisiatif membuat RUU KKR. Hal ini menjadi penting untuk diverifikasi sebab terdapat kejanggalan di ruang publik berkaitan dengan prediksiprediksinya seperti lebih kurang tertuang di atas. Adanya gejala itu menguatkan proporsi tidak wajar yang dilakukan pemerintah yang bersifat kontraproduktif sesuai dengan tuntutan reformasi yang didengungkan tahun 1998. Lagi pula, persoalan kekerasan yang pernah terjadi yang menimpa siapa pun tidak mudah begitu saja untuk dihapuskan lukanya. Wacana rekonsiliasi atau apalagi dianggap sebagai jalan untuk menempuh kebenaran yang terkandung dalam RUU KKR yang tidak sedikit pun menyentuh persoalan hukum, hal ini tidak sedikit pun mencerminkan dimensi rasional jika dilihat secara etika-antropologis yang membekas dalam dimensi kemanusiaan.
pin gE
Fenomena itu tampaknya berlawanan dengan akal sehat yang berakar dalam antropologi secara mendalam. Bagaimana membunuh, melukai, bersikap sewenang-wenang dipandang sebagai "kewajiban etis" yang bisa melahirkan rekonsiliasi? (F Budi Hardiman, Kekerasan dan Pelaku, Driyarkara 2003). Meski demikian, masyarakat tetap menanti apakah pemerintah akan benar-benar memberlakukan RUU itu. Bagaimana mekanisme RUU itu berlaku dan apa saja kemungkinan-kemungkinan yang terjadi ketika visi dan misi RUU itu berlaku belum jelas akan dirasakan hasil positifnya bagi masyarakat. Alih-alih sekarang masyarakat mempunyai prasangka buruk pada pemerintah seperti alasan-alasannya di atas.
kli
Dapat dipastikan RUU KKR ini bernasib serupa dengan RUU lain yang pernah ditawarkan pemerintah seperti Sisdiknas, yang meskipun telah disahkan, ada beberapa elemen masyarakat yang merasa tidak puas dengan hasilnya. Begitu juga RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB) dan sebagainya yang sekarang sedang digagas pemerintah.
Produktifnya pemerintah dalam membuat RUU dewasa ini memang di satu sisi menampakkan keseriusan dalam membenahi tuntutan-tuntutan masyarakat, namun di sisi lain juga seperti membuat "huru-hara" baru. Sebab, RUU yang ditawarkan itu selalu bersifat kontraproduktif dengan tuntutan asasi masyarakat. Ismatillah A Nu’ad Editor Islamic Millennium Forum for Peace and Social Justice, Mahasiswa Jurusan Teologi dan Filsafat UIN Syahid, Jakarta
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
64
Kompas, Rabu 24 September 2003
DPR Tak Minati KKR Jakarta, Kompas - Sebagian besar anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) semakin tak meminati untuk mendengarkan masukan masyarakat dan pemerintah tentang RUU KKR. Padahal, KKR tersebut dirancang sebagai lembaga penting yang merupakan alternatif selain pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu.
M
Dalam lima kali rapat dengar pendapat umum dengan masyarakat atau rapat dengar pendapat dengan pemerintah selama ini, rata-rata hanya sekitar 10 dari 50 anggota pansus yang hadir sampai rapat selesai. Padahal, pansus merencanakan menerima masukan masyarakat 80-90 instansi selama dua bulan.
pin gE
Keluar ruangan
LS A
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) yang dipimpin Ramdlon Naning dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) pimpinan Indra Sahnun Lubis hari Selasa (23/9), misalnya, ketika memulai rapat Ketua Pansus Sidharto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) mengumumkan, yang menandatangani daftar presensi 19 orang dan tujuh orang absen. Dengan demikian dianggap hadir 26 dari 50 anggota pansus.
Namun, ketika RDPU selesai hanya sembilan anggota pansus yang bertahan, yaitu Sidharto, Wakil Ketua Pansus dari Fraksi Partai Golkar Akil Mochtar, Wakil Ketua Pansus dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Rusjdi Hamka, serta anggota pansus seperti Gunawan Slamet dan Pandapotan Simanjuntak dari F-PDIP, Amaluddin Nasution dari F-PPP, Mashadi dari Fraksi Reformasi, Zubair Bakry dari Fraksi Partai Bulan Bintang, dan Astrid Susanto dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia. Barlianta Harahap dari F-PPP dan Nyoman Gunawan dari FPDIP yang tadinya datang, keluar ruangan terlebih dulu.
kli
Seusai RDPU, Sidharto dan Akil Mochtar mengemukakan bahwa tidak banyaknya anggota pansus yang hadir karena banyak acara yang bersamaan di DPR ketika RDPU berlangsung. Apalagi sebentar lagi DPR memasuki reses. Seperti kemarin, RDPU Pansus RUU KKR bersamaan dengan Rapat Kerja Komisi II dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar dan Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja Majelis Rakyat. "Ini, kan, hanya RDPU yang tidak memerlukan kuorum. Jadi, kalau fraksi sudah ada wakilnya rapat bisa dilanjutkan dan masukannya diteruskan ke fraksi masing-masing," kata Sidharto.
Namun, Akil Mochtar mengharapkan pimpinan fraksi dapat meminta kepada anggotanya di Pansus RUU KKR agar dapat mengikuti rapat secara serius. Dengan demikian, KKR yang akan dibentuk dapat maksimal sesuai yang diharapkan. (bur)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
65
Koran Tempo, Rabu, 24 September 2003
Tingkat Kehadiran Anggota Pansus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Rendah JAKARTA --- Meski Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menjadi agenda penting, tingkat kehadiran para anggota panitia khusus (pansus) untuk membahas RUU ini rendah. Setidaknya, lima kali rapat dengar pendapat dengan kalangan LSM dan pemerintah hanya dihadiri belasan orang dari 50 anggota pansus.
M
Wakil ketua pansus, Akil Muhtar, mengakui, tingkat kehadiran para anggota memang rendah. "Kalau ini dianggap sesuatu yang sangat penting, saya kira fraksi-fraksi perlu memperhatikan agar para anggota yang ditugaskan dalam pansus ini bisa menghasilkan pekerjaan yang maksimal," katanya setelah melakukan rapat dengar pendapat dengan Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), di gedung MPR/DPR, Jakarta kemarin.
LS A
Rapat ini pun hanya dihadiri 11 anggota plus tiga pimpinan. Dengan demikian, kursi yang disediakan di ruang rapat sebagian besar kosong. Pemandangan serupa juga tampak saat pansus rapat dengar pendapat beberapa hari sebelumnya dengan beberapa LSM. Ketua pansus, Sidharto Danusobroto, juga memprihatinkan rendahnya minat rekan-rekannya itu. Namun, menurut dia, yang penting dalam setiap rapat itu semua fraksi terwakili sehingga nantinya masing-masing fraksi bisa meminta laporan dari para anggotanya untuk persiapan penyusunan daftar inventarisasi masalah. Rendahnya tingkat kehadiran para anggota itu, dikatakannya, tak lepas dari masa reses yang sudah dekat, yang selain ada rapat pansus, para anggota juga mengikuti rapat komisi-komisi.
kli
pin gE
Sementara itu, Ramdlan Naning dari Ikadin dalam rapat kemarin mengungkapkan rasa pesimistisnya. Menurut dia, meski Indonesia merupakan negara ke-37 yang membentuk Komisi Kebenaran, pembentukan komisi itu tidaklah mudah. Sebab, saat ini masyarakat sudah banyak dibingungkan oleh munculnya komisikomisi baru seperti Komisi Antikorupsi, Komisi Penyiaran, dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara. fajar wh/priandono
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
66
Media Indonesia, Rabu, 24 September 2003
Tingkat Kehadiran Pansus KKR Rendah JAKARTA (Media): Animo dan tingkat kehadiran anggota Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sangat rendah dalam menghadiri rapat-rapat dengar pendapat umum (RDPU) dan rapat kerja yang digelar Pansus RUU KKR.
M
Sejak RDPU pertama dengan LIPI dan YLBHI pada 15 September lalu hingga RDPU kelima dengan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), kemarin, total kehadiran anggota secara fisik di ruangan rapat tidak pernah mencapai lebih 20 orang dari 50 anggota. Rapat pun sering molor dari jadwal yang telah ditetapkan.
LS A
Dalam RDPU dengan AAI, Ikadin, dan IPHI, jumlah anggota yang hadir hanya 10 orang. Bahkan, saat rapat dibuka oleh Sidarto Danusubroto pukul 14.30 WIB, jumlah yang hadir hanya 8 orang. Dua orang baru bergabung setelah rapat sudah berlangsung sekitar setengah jam. Jumlah anggota yang hadir dalam ruangan rapat berbeda dengan tanda tangan pada daftar absensi yang ada di depan pintu masuk. Dalam daftar hadir terdapat 26 orang yang hadir. Tidak jelas siapa yang menandatangani daftar absensi tersebut. Dan tidak jelas pula apakah tanda tangan itu asli atau palsu.
pin gE
Sejumlah orang yang tampak selalu hadir dalam rapat yang dijadwalkan setiap pukul 14.00 WIB itu antara lain Astrid Soesanto (F-KKI), Barlianta Harahap dan Rusdji Hamka (F-PPP), M Akil Mochtar (F-PG), Sidarto dan Evita Asmalda (F-PG), Firman Jaya Daeli (F-PDIP), dan Mashadi (F-Reformasi). Menurut Wakil Ketua Pansus RUU KKR M Akil Mochtar, rendahnya kehadiran anggota pansus itu karena banyak anggota fraksi yang mengikuti rapat-rapat lain, baik di komisi maupun di fraksi, serta rapat Panitia Ad Hoc (PAH) II BP MPR. Meski demikian, ia minta perhatian semua fraksi untuk mengingatkan anggotanya agar mengikuti rapat Pansus KKR. ''Ini masalah penting yang berkaitan dengan masa depan bangsa, yang harus menjadi perhatian serius,'' katanya.
kli
Alasan yang sama juga disampaikan Sidarto. Menurut dia, belakangan ini anggota DPR sibuk dengan berbagai acara persidangan menjelang reses sehingga banyak tugas yang terabaikan. ''Tapi yang hadir itu sudah mewakili semua fraksi,'' katanya memberi alasan. Ketua Ikadin Ramdon Naning dalam pemaparannya meminta pansus agar menyusun UU KKR secara jujur, profesional, dan komprehensif. Karena UU mengatur soal rekonsiliasi antara pihak yang sebelumnya bermusuhan. ''Kita harus sadar bahwa mengajak orang untuk mengakui kesalahannya dan diikuti dengan permintaan maaf merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Jadi, UU ini harus berisi pesan-pesan perdamaian dan rekonsiliasi,'' tuturnya.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
67
Sementara itu, mantan anggota Komnas HAM Albert Hasibuan meminta pemerintah lebih serius memperlihatkan kemauan politiknya (political will) yang memungkinkan terciptanya rekonsiliasi secara politik dan kemasyarakatan berlangsung. Dengan demikian, pembentukan KKR dapat dirintis.
kli
pin gE
LS A
M
"Dasar dan perkembangan rekonsiliasi harus bisa disiapkan," ujar dia di sela-sela hari ulang tahun kesatu Partai PIB di Jakarta, kemarin.(Hil/IM/P-3)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
68
Suara Pembaruan, Rabu 24 Sep. 03
DPR Tak Punya Visi Soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Ketidakseriusan anggota DPR menghadiri rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan UndangUndang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) merupakan refleksi bahwa mereka tidak mempunyai visi tentang bangsa dan negara. Politisi seperti itu tidak ada gunanya bagi rakyat dan negara. Hal itu dikemukakan sejarawan Anhar Gonggong di Jakarta, Rabu (24/9) pagi, menanggapi ketidakseriusan anggota DPR atas KKR dengan kehadiran rata-rata 15-20 persen setiap rapat dengar pendapat umum. ''Aneh, kalau anggota DPR itu tidak serius membahas KKR. Mereka kan dipilih rakyat dan digaji negara, kok tidak mau memikirkan masalah dan nasib bangsa jauh ke depan,'' tegasnya. Menurut Anhar, KKR merupakan hal penting yang menyangkut visi negara dan bangsa jauh ke depan. Karena itu, adalah kewajiban para anggota DPR sebagai politisi dan wakil rakyat untuk memikirkan secara serius dan mendalam mengenai KKR tersebut. Anhar tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa pembentukan KKR kehilangan momentum. ''Momen kan bisa diciptakan untuk kepentingan jauh ke depan dan jangan hanya melihat dalam kepentingan sesaat dengan politik praktis saja. Kalau hanya memikirkan kepentingan sesaat, ingin punya mobil mewah dan harta berlimpah, berhenti saja jadi politisi,'' tandasnya. Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Pansus RUU KKR yang dipimpin Sidharto Danusubroto Selasa (23/9) hanya delapan dari 50 anggota Pansus yang berada di ruang rapat. Namun anehnya, ketika membuka rapat, Sidharto mengumumkan rapat telah memenuhi kuorum. Menurutnya, absensi kehadiran ditandatangani 19 anggota Pansus dan tujuh lainnya mengajukan izin tidak menghadiri rapat sehingga jumlah anggota yang dianggap hadir adalah 26 dari 50 anggota Pansus. Sebenarnya, dalam lima kali RDPPU Pansus RUU KKR dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemerintah maupun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, tingkat kehadiran anggota Pansus sangat rendah. Mereka yang hadir pun biasanya hanya hadir sebentar lalu kabur atau hanya tanda tangan lalu meninggalkan ruang rapat. Seusai RDPU, Sidharto dan Akil Mochtar mengemukakan bahwa tidak banyaknya anggota pansus yang hadir karena banyak acara yang bersamaan di DPR ketika RDPU berlangsung. Apalagi sebentar lagi DPR memasuki reses. RDPU Pansus RUU KKR kemarin bersamaan dengan Rapat Kerja Komisi II dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar dan Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja Majelis Rakyat. ''RDPU yang tidak memerlukan kuorum. Jadi, kalau fraksi sudah ada wakilnya rapat bisa dilanjutkan dan masukannya diteruskan ke fraksi masing-masing,'' kata Sidharto mantan Bendahara Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDII-P) itu. RDPU Selasa kemarin berlangsung dengan Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) yang dipimpin Ramdlon Naning dan Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) pimpinan Indra Sahnun Lubis. Sedangkan, Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) yang diundang tidak hadir hingga rapat berakhir. Indra Sahnun Lubis dari IPHI misalnya mengingatkan agar konsep kebenaran yang dimaksud dalam KKR dirumuskan dengan jelas. Diingatkan pula, rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran akan sulit tercapai karena rekonsiliasi semua seperti itu hanya akan menyulut kemarahan rakyat terutama korban pelanggaran Hak Asasi Mansuia (HAM) berat di masa lalu. (M-15) Last modified: 24/9/03
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
69
Jakarta Post, Jumat 26 September 2003
'Reconciliation knows no limit': Minister JAKARTA: All human rights cases that cannot be settled in court should be presented to the reconciliation commission regardless of what year the abuses took place, a minister says. In order to avoid confusion, however, Minister of Justice and Human Rights Yusril Ihza Mahendra said on Thursday that cases prior to Aug. 17, 1945 should not be presented to the commission. The commission has yet to be set up.
He said reconciliation would help the nation have a better future.
M
He made the statement at a hearing with the House of Representative's special commission in charge of deliberating the bill on the truth and reconciliation commission (KKR).
LS A
Yusril said that human rights abuses in the country would be brought to court as long as there was enough evidence and witnesses. "And of course, if it is clear who the suspect is," Yusril said.
kli
pin gE
But if the evidence and the witnesses were not clear, the human rights abuses would be settled through the commission, he said. - JP
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
70
Koran Tempo, Jumat, 26 September 2003
Yusril: Kalau Perlu Komisi Kebenaran Tangani Pertengkaran Anak Nabi Adam JAKARTA---Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pemerintah, seperti tertuang dalam draf Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi , mengusulkan agar tidak ada pembatasan waktu bagi komisi untuk mengusut kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Sebab, jika diberikan batasan waktu, maka akan tidak adil bagi kelompok korban yang tak tercakup dalam waktu yang ditetapkan.
LS A
M
"Bahkan saya pernah mengatakan kalau perlu Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini bisa juga menangani kasus pertengkaran anak Nabi Adam yakni Habil dan Qabil,\" kata Yusril saat rapat dengar pendapat umum dengan Panitia Khusus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di gedung MPR/DPR, Jakarta kemarin. Namun, kata dia, pemerintah siap berkompromi soal perlunya batasan waktu jika nanti memang dianggap perlu. Rapat yang dipimpin Sudharto Danusubroto juga mendengarkan masukan dari Kapolri Jenderal (Pol) Da\'i Bachtiar dan Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Marsekal Madya Suprihadi.
pin gE
Usulan tanpa batas waktu bagi komisi untuk mengusut kasus pelanggaran HAM berat masa lalu juga datang dari Kapolri. Di sisi lain, paparKapolri, tidak semua kasus bisa diselesaikan melalui jalur hukum. Terhadap kasus-kasus yang tak bisa diselesaikan melalui jalur hukum menjadi tugas komisi ini. Ia mencontohkan kasus Timika yang tidak diselesaikan melalui jalur hukum tetapi melalui jalur adat. Sementara itu, Suprihadi mengusulkan agar ada batas waktu dan batas kewenangan komisi. Namun ia tidak menyebut kapan batasan waktu itu.
kli
Menurut Permadi, agar kerja KKR fokus, memang perlu ada batasan waktu. Ia mengusulkan batasan waktu itu adalah sejak Indonesia berdiri yakni 17 Agustus 1945. “Tidak perlu sampai jaman nabi Adam,” kata anggota fraksi PDI Perjuangan ini. Komisi Kebenaran pun diharapkan tidak hanya menitikberatkan pada pelanggaran HAM berat tapi juga bisa menjangkau ke kasus ekonomi dan politik. Sebab, kata dia, isu HAM baru muncul belakangan ini. Sementara saat terjadinya pembantaian terhadap orangorang DI/TII, PKI serta kasus hukuman kepada Natsir, Sahrir, masalah HAM itu belum ada. "Apa yang dilakukan Sukarno dan Soeharto dalam melakukan pemasungan hak-hak politik seseorang itu merupakan kesalahan bangsa karena kita sebagai bangsa tidak pernah menegurnya,\" ujar Permadi. Soal jangkauan kerja komisi, Yusril mengusulkan agar komisi juga menjangkau negaranegara lain yang telah melakukan pelanggaran di Indonesia. Namun ia mempertanyakan
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
71
kli
pin gE
LS A
M
kemampuan komisi ini untuk menjangkaunya. Namun Yusril mendukung pemberian kompensasi bagi para korban. Kompensasi itu sifatnya massal seperti pembangunan sarana sosial atau pemberian beasiswa. “Jadi, tidak untuk individual,” kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang itu. fajar wh/priandono
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
72
Media Indonesia, Jumat 26 September 2003
Batasan Pelanggaran HAM Masa Lalu Masih Pro dan Kontra JAKARTA (Media): Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yusril Ihza Mahendra mengusulkan agar periode waktu penanganan pelanggaran HAM berat tidak perlu dibatasi. Pembatasan itu akan menimbulkan ketidakadilan bagi pihak-pihak tertentu. Yusril mengemukakan hal itu dalam rapat kerja dengan Pansus Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) DPR di Gedung MPR/DPR, kemarin. Rapat kerja tersebut juga diikuti oleh Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar dan Sekjen Departemen Pertahanan Suprihadi.
M
"Jika dibatasi hanya sampai lahirnya Orde Baru, maka yang mendapat perlindungan hanya korban G30-S/PKI. Padahal, ketika jaya, PKI juga melakukan pelanggaran dan Masyumi menjadi korbannya," kata Yusril yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang.
LS A
Menurut Yusril, jika ada pembatasan, menurut Yusril, misalnya sejak tahun 1945, maka anak cucu dari orang-orang yang disiksa pada masa penjajahan Jepang tidak bisa mendapatkan keadilan karena rekonsiliasi tidak bisa dilakukan. Secara ekstrem, Yusril mengungkapkan rekonsiliasi bahkan seharusnya bisa dilakukan terhadap pelanggarn HAM yang terjadi sejak zaman Nabi Adam. Hal itu, menurut Yusril agar keadilan didapat oleh semua pihak.
pin gE
Sedangkan anggota Pansus Fraksi PDIP Permadi cenderung menginginkan adanya pembatasan waktu yang tegas. Dia mengusulkan sebaiknya pembatasan ditetapkan sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. ''Sebab, sebelum itu negara Indonesia belum berdiri. Namun, sebaiknya batasan waktu itu memang sejauh mungkin,'' kata Permadi. Keinginan agar pembatasan itu diakomodasi juga dikemukakan Sekjen Dephan Suprihadi. ''Harus diakomodasi mengenai pembatasan yang jelas dan tegas tentang kurun waktu ke belakang yang akan jadi kewenangan KKR,'' kata Suprihadi yang mewakili Menhan Matori Abdul Djalil.
kli
Selain masalah pembatasan waktu, Menkeh dan HAM juga menekankan bahwa biaya ganti rugi kepada korban kejahatan HAM sudah sepatutnya dimasukkan ke dalam APBN. Sebab, kata Yusril, penyelesaian masalah kejahatan itu telah dilimpahkan kepada negara untuk menyelesaikannya melalui KKR. ''Jadi, ini tanggung jawab negara, bukan institusi tertentu. Jadi, harus dimasukkan dalam APBN,'' kata Yusril. Ini menjawab keberatan beberapa anggota pansus yang menilai bahwa rakyat tidak berhak dibebani oleh biaya untuk ganti rugi dengan memasukkan biaya itu ke APBN.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar mengatakan proses hukum tidak selamanya bisa menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Da'i kemudian merujuk konflik horizontal yang terjadi di Poso dan Maluku sebagai contoh. Dia menjelaskan konflik yang melibatkan massa dalam jumlah cukup besar itu merupakan kasus pelanggaran HAM yang sulit diproses secara hukum.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
73
"Jika kasus penyerangan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain diproses berdasarkan KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana), penyelesaian hukumnya harus ada saksi dan keterangan ahli serta petunjuk, dan bukti-bukti. Mencari saksi yang netral dalam kasus ini ternyata sulit," katanya.
kli
pin gE
LS A
M
Dengan demikian, proses hukum menjadi mandek. Oleh sebab itu, kata Da'i Bachtiar, rekonsiliasi merupakan solusi yang tepat. Menurut Kapolri, penyelesaian kasus-kasus pelanggran HAM yang melibatkan kelompok antarmasyarakat harus menggunakan pendekatan kebersamaan. Kapolri memberikan contoh pada kasus Timika. Konflik dalam insiden yang terkait dengan pro-kontra pemekaran Papua itu akhirnya bisa diselesaikan lewat upacara damai, bukan lewat pengadilan. (VI/P5)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
74
Kompas, Jumat, 26 September 2003
Hak-hak Eks Tapol Masih Dipasung
LS A
M
Jakarta, Kompas - Meskipun sudah keluar dari penjara ataupun "tempat pembuangan" di Pulau Buru, para eks tahanan politik (tapol) masih tetap merasa diperlakukan sebagai tapol. Pasalnya, hak-hak mereka sebagai warga negara masih tetap dipasung. Mereka memang memiliki hak memilih dalam pemilihan umum. Akan tetapi, ironisnya mereka masih tidak memiliki hak untuk dipilih. Persoalan masih terpasungnya hak-hak para eks tahanan politik tersebut mengemuka dalam diskusi peluncuran buku karya Hersri Setiawan di Komisi Nasional Perempuan, Jakarta, Kamis (25/9). Tiga buku karya Hersri Setiawan yang diterbitkan oleh Galang Press kemarin diluncurkan bersama-sama. Buku-buku tersebut berjudul Aku Eks Tapol diluncurkan oleh Saparinah Sadli (Komnas Perempuan), Kamus Gestok diluncurkan oleh peneliti LIPI Asvi Warman Adam, dan Negara Madiun? oleh Zoemrotin (Komnas Hak Asasi Manusia). Gugatan akan hak-hak eks tapol yang masih dipasung sampai sekarang ini dikemukakan oleh eks tapol Buru, Gorma Hutajulu. "Saya ini eks tapol, tapi tetap hingga kini masih merasa sebagai tapol. Sampai sekarang para eks tapol tidak mendapatkan haknya secara penuh. Kami boleh memilih, tapi tidak boleh dipilih. Itu pelanggaran HAM," kata Hutajulu.
kli
pin gE
Hanya diperalat Hersri Setiawan menyatakan, kita harus mengatasi bersama supaya tidak terjadi tragedi yang berulangulang dan yang dikorbankan adalah orang-orang yang tidak semestinya berkorban. "Kalau yang namanya hak warga negara dipulihkan itu ya hak positif, hak aktif dan hak pasif, hak memilih dan hak dipilih, itu harus diberikan semua. Kalau hanya diberi hak untuk memilih itu namanya hanya diperalat," kata Hersri Setiawan. Ditanyai wartawan apakah ia berharap banyak pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang rencananya akan dibentuk, Hersri Setiawan mengatakan bisa berharap. Namun, orang yang pernah dipenjara pada tahun 1969-1978 ini menyatakan tidak berharap terlalu banyak dengan dibentuknya KKR tersebut. "Sebab, menurut saya, selama komisi ini wawasannya dalam menyelesaikan soal ini ke atas atau kepada rezim, itu pasti akan mentok. Saya lebih percaya kalau masalah rekonsiliasi atau perukunan nasional itu dibina dari bawah dengan acara-acara yang bisa menyatukan mereka," kata Hersri Setiawan. "Saya membaca tulisan Pak Asvi tentang apa yang terjadi di Blitar Selatan. Itu menarik. Mengapa itu tidak dikembangkan sebagai model? Di sana masyarakat mengadakan pertunjukan bersama-sama di kalangan yang dulu menjadi korban dan yang dulu dikorbankan," ujarnya. Supaya ada hasil, Hersri Setiawan lebih cenderung melihat rekonsiliasi kepada kegiatan masyarakat atau aktivitas lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di akar rumput. Sebab, di kalangan eks tapol tidak ada rasa dendam dan memahami bahwa mereka semua adalah korban. "Mudah-mudahan KKR bisa menghasilkan perubahan. Tapi kalau wawasan, orientasi berpikir, dan metode bekerja mereka mengarah pada apa yang ada di tangan rezim, berdasar undang-undang dan menunggu lahirnya perundang-undangan, saya tidak yakin berhasil," katanya. (LOK)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
75
Kompas, Jumat 26 September 2003
RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Depkeh dan Dephan Sendiri Beda Pendapat Jakarta, Kompas - Soal batasan kasus menjadi pembicaraan hangat dalam pembahasan Rancangan UndangUndang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Ada yang menghendaki perlunya pembatasan, ada juga yang berpendapat tidak perlu limitasi. Pemerintah sendiri tampaknya belum satu kata tentang soal ini. Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra berpendapat, limitasi kasus tidak diperlukan karena akan menyebabkan ketidakadilan.
M
Adapun Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Marsekal Madya Suprihadi menghendaki ada batasan kasus dan kewenangan.
LS A
Hal itu mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pansus RUU KKR dengan Departemen Kehakiman dan HAM, Kepolisian Republik Indonesia, serta Departemen Pertahanan, Kamis (25/9). Yusril berpendapat, pembatasan kasus tidak perlu karena akan menimbulkan ketidakadilan. Dia mencontohkan, jika batasan kasus hanya 30 tahun, maka hanya yang dulu dianggap anggota Partai Komunis Indonesia yang diuntungkan. Padahal, banyak anggota PKI yang melakukan pelanggaran HAM kepada kelompok Masyumi dan Partai Sarikat Islam.
pin gE
Sementara itu, pandangan di kalangan anggota DPR sendiri belum tergambar. Sejumlah anggota pansus sependapat dengan Permadi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan agar kasus rekonsiliasi dibatasi sejak 17 Agustus 1945. Yusril mengakui, dalam pembahasan di pemerintah memang terjadi perbedaan pandangan. Karena itu, Yusril keberatan dengan mekanisme RDPU Pansus DPR dengan berbagai instansi pemerintah karena akan mengesankan bahwa suara pemerintah tidak satu. Yusril mengusulkan pansus langsung menggelar rapat kerja dengan Depkeh dan HAM, yang ditunjuk presiden mewakili pemerintah. Kepala Polri Jenderal (Pol) Da’i Bachtiar mendukung agar RUU KKR segera dibahas dalam rapat kerja. Ditolak keluarga korban
kli
Sementara itu, keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat kemarin menolak RUU KKR karena tidak mengakomodasi kepentingan mereka dan lebih berpihak pada pelaku pelanggaran HAM berat. Dalam jumpa persnya, juru bicara korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat, Benny Biki, menyatakan, RUU itu tidak memuat hak-hak korban, hak akan kebenaran sejarah, keadilan, dan pemulihan. Ketua Ikatan Keluarga Korban dan Orang Hilang (Ikohi) Mugianto yang mendampingi mereka menambahkan, dalam pelanggaran HAM berat tidak ada istilah amnesti. Biki juga menyatakan, aktor- aktor masa lalu kini juga masih duduk di eksekutif dan legislatif. Mereka berpotensi menghalangi terungkapnya kebenaran.(win/sut)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
76
Kompas, Jumat 26 September 2003
RUU KKR Sudah Kehilangan Momentum? MENURUT saya, Rancangan Undang-undang mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah kehilangan momentum, tegas Dr Priyambudi Sulistiyanto. "Perdebatan antara pandangan KKR sebagai jalan pintas dan KKR cara alternatif untuk pencarian kebenaran, seharusnya sudah selesai. Momentumnya sudah habis pada tahun 2001," tegas Ilmuwan dan staf pengajar di National University of Singapore, yang sedang melakukan penelitian mengenai proses rekonsiliasi di negara-negara Asia Tenggara ini.
M
Namun dalam diskusi publik mengenai "Keadilan di Masa Transisi: Sumbangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi", yang diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) di Jakarta, tanggal 19 September 2003, Priyambudi menyatakan, penerbitan dua buku dari Elsam yang diluncurkan pada acara itu, yakni Pencarian Keadilan di Masa Transisi dan Kebenaran Keadilan: Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu, harus dilihat dalam konteks lebih luas: bahwa masalah rekonsiliasi tak bisa dihitung dengan waktu, harus dilihat dari tataran yang lebih komprehensif.
LS A
Priyambudi bisa memahami mengapa pengampunan acapkali diinterpretasikan secara buruk, dan disetarakan impunity dalam pelanggaran berat HAM, dan jarang sekali didiskusikan dalam kerangka data. "Saya melihat masalah rekonsiliasi dan keadilan dalam empat kerangka yang lebih luas, yakni pemaafan atau pengampunan dalam konteks individu dalam hubungannya dengan kelompok. Kemudian pemaafan dalam konteks satu kelompok masyarakat dengan individu. Lalu pemaafan antara individu dengan individu dan antara kelompok dengan kelompok," ujar Priyambudi.
pin gE
Bagi dia, proses pemaafan atau pengampunan harus dilihat sebagai upaya pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu di mana tahap pengungkapannya harus sejalan dengan penegakan HAM. Namun, apa kerangka yang diungkapkan oleh Priyambudi tampaknya belum menyentuh kriteria pelanggaran berat HAM. Dalam berbagai artikelnya, Direktur Eksekutif Elsam, Ifdhal Kasim, menyatakan, pelanggaran amnesti kepada pelaku pelanggaran berat HAM merupakan salah satu isu paling kontroversial di negeri-negeri yang sedang mengalami transisi politik. Mereka yang menentang menganggap kebijakan pemberian amnesti sebagai bentuk penyelamatan terhadap pelaku, sekaligus merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional mengenai kewajiban untuk menyelidiki dan mengadili pelanggaran berat HAM.
kli
Bagi mereka, pemberian amnesti sama saja dengan memalingkan muka dari warisan Nuremberg. Seperti diketahui, pengadilan terhadap perwira militer dan pejabat sipil Nazi Jerman di Nuremberg, yang dikenal sebagai Nuremberg Trial, melahirkan preseden dalam hukum internasional, yakni kewajiban untuk melakukan penyelidikan dan mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dalam perang. Para ilmuwan hukum, seperti Austin Sarat dari Amherst College, menyatakan, pemberian amnesti bisa menuntun suatu bangsa menuju kepada amnesia sejarah. Sementara itu, pihak yang menerima mengatakan, kebijakan pemberian amnesti itu sebagai necessary evil demi menyelamatkan proses transisi menuju demokrasi. Dalam argumen ini yang dipentingkan adalah tujuan akhirnya, yaitu menormalisasikan situasi transisi dalam negeri demi penataan kembali masyarakat menuju tertatanya masa depan bagi generasi mendatang.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Afrika Selatan juga memiliki sub-Komisi Amnesti, sebagai satu dari tiga subkomisi dalam KKR. Ada sekitar 7.124 permohonan amnesti yang diterima oleh Komisi Amnesti yang sebagian besar ditolak atas dasar pemeriksaan administratif yang tidak memenuhi
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
77
persyaratan. Bagi yang permohonannya diterima akan menjalani pemeriksaan yang teliti untuk menguji kebenaran atas pengakuan yang mereka berikan. Bagi kasus-kasus tertentu, pemeriksaan dilakukan secara terbuka melalui public hearing. Dalam proses ini paling tidak hadir tiga anggota dan dipimpin oleh seorang hakim pengadilan tinggi. Bukti-bukti berupa pernyataan diperlakukan sebagai subyek untuk pembuktian timbal balik. Sub-Komite Amnesti mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas anel dan kemudian diumumkan kepada publik. Meskipun dilakukan dengan prosedur yang sangat rumit dan mengandung kehati- hatian yang cukup besar, toh pemberian amnesti ini tetap merupakan kritik terhadap KKR di Afrika Selatan karena tidak memenuhi rasa keadilan dari banyak anggota masyarakat.
M
PADA kesempatan terpisah, Prof Dr Saparinah Sadli dari Komnas Perempuan sependapat dengan Priyambudi. "Kita memang sudah kehilangan momentum," tegasnya. Saparinah menjelaskan, di Timor Leste, KKR segera terbentuk begitu negeri itu terbebas dari penguasaan Indonesia, dan segera menjalankan tugasnya, dengan membuka public hearing sampai ke tingkat distrik. Rakyat yang memilih sendiri anggotaanggota KKR yang ia percaya akan menjamin rasa keadilan itu, karena mereka juga terdiri dari korban.
LS A
"Proses pengungkapan kebenaran dan memaafkan bisa berlangsung, bukan hanya karena mereka sudah capai berperang, tetapi terutama karena pihak yang dianggap sebagai "musuh", yakni Indonesia, sudah tidak ada di sana. Lebih jauh lagi, ada tokoh-tokoh yang dipercaya oleh masyarakat. Ada Xanana. Xanana. Dalam hal ini kepercayaan merupakan hal yang penting," tandasnya.
pin gE
Terkait dengan ini, dalam artikel Coming to Term with Atrocities: A Review of Accountability Mechanism for Mass Violation of Human Rights yang dimuat dalam jurnal Law and Contemporary Problem, Vol 59 tahun 1996, Neil J Kritz, antara lain mengemukakan mengapa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan berhasil mendorong ribuan orang untuk memberikan pengakuan atas kejahatan yang mereka lakukan pada masa pemerintah apartheid. "Karena pengadilan tetap merupakan ancaman yang nyata," tulis Kritz. Kritz menegaskan bahwa KKR bukan merupakan pengganti pengadilan. KKR tidak memberi standar prosedural yang sama dengan pengadilan, tetapi KKR bisa menjalankan banyak fungsi serupa. KKR memberi mandat dan otoritas untuk penyelidikan resmi tentang pelanggaran yang terjadi. "Tentu dengan catatan bahwa anggota KKR dipilih oleh masyarakat, khususnya masyarakat korban," ujar Eddie Riyadi Terre, peneliti dari Elsam.
kli
KKR, menurut Kritz, juga memberi kemungkinan katarsis secara terbuka tentang kejahatan yang dilakukan dan penderitaan yang ditimbulkannya. Selain itu, KKR juga memberi forum bagi korban dan kerabatnya untuk menceritakan kejadian tragis yang menimpa mereka, dan menjadikan pemaparan kebenaran dari perspektif korban itu sebagai catatan resmi. "Di sini, sejarah didefinisikan kembali dari perspektif korban," sambung Eddie. Selanjutnya Kritz menulis, dalam beberapa kasus, KKR memberikan dasar formal untuk kompensasi bagi para korban dan penghukuman bagi pelaku. Keunggulan KKR adalah bahwa ia bisa dibentuk dan mulai bekerja dengan segera. Ini merupakan hal yang logis karena pengadilan dalam masa transisi di berbagai negara masih merupakan warisan dari lembaga yang korup.
Dalam hal ini peran KKR menjadi signifikan karena ia bisa segera melakukan public hearing, mengumpulkan kesaksian dan mendokumentasikannya. Ini semua kemudian bisa digunakan oleh pengadilan.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
78
Dengan penjelasan Kritz sebenarnya bisa disimpulkan bahwa proses yang terjadi di Indonesia, sebenarnya terbalik. Yang terjadi di Indonesia adalah diselenggarakannya pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu, khususnya untuk kasus Timor Timur. "Dari banyak literatur yang saya baca, yang terjadi di berbagai negara seperti di Cile dan Argentina, juga Afrika Selatan dan Timor Leste, adalah pencarian kebenaran dulu oleh KKR, baru diselenggarakan pengadilan untuk pelanggaran berat HAM," jelas Eddie. Proses yang terbalik ini, menurut dugaan Eddie, tak bisa dilepaskan dari negosiasi politik. "Kita semua tergiring ke dalamnya, apalagi dengan pembahasan yang terkesan bertele- tele, sehingga memakan waktu lama," sambungnya. Karena itu, Eddie bisa memahami mengapa ada pendapat bahwa KKR cenderung melanggengkan impunity bagi para pelanggar HAM berat.
M
Lebih jauh dijelaskan, kalau- pun suatu saat KKR bisa terbentuk, Komisi itu tidak bisa lagi memberikan rekomendasi kepada pengadilan karena ada prinsip ne bis in idem. Berdasarkan prinsip itu, maka sesuatu yang sudah ditetapkan oleh pengadilan tidak bisa dibawa ke pengadilan lagi.
LS A
"Kalau KKR terbentuk di Indonesia, tidak mungkin KKR memberikan rekomendasi untuk pelanggaran HAM bagi kasus Timor Timur," sambungnya. Akan tetapi, memang ada kasus-kasus lain terkait dengan masalah pelanggaran berat HAM, seperti misalnya dalam kasus Semanggi atau Trisakti, dan kasus-kasus lainnya. Kasus-kasus ini relatif baru dibandingkan dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi di Indonesia. "Persoalannya adalah, KKR dibuat untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu," jelas Eddie.
pin gE
JADI persoalannya adalah "batas waktu masa lalu" tadi. Batas ini masih terus diperdebatkan. Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam dalam buku Pencarian Keadilan di Masa Transisi (2003) mengusulkan batas waktu yang dimaksud dengan "masa lalu" itu dimulai dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli tahun 1959 dan berakhir pada bulan Mei tahun 1998. Di dalam kurun waktu kekuasaan rezim Orde Baru terjadi berbagai peristiwa pelanggaran berat HAM, termasuk di antaranya kasus Tanjung Priok, penangkapan aktivis-aktivis politik Islam (kelompok Usro, 1985-1988, terutama di Jawa), pembantaian kelompok Warsidi (Lampung, 1989), penyiksaan dan pembunuhan terhadap jemaat Huriah Kristen Batak protestan, HKBP (1992-1993), kasus Haor Koneng, Majalengka, Jawa Barat (1993), pembunuhan petani Nipah (Madura, 1993), operasi militer di Aceh (19891998), pembunuhan di Irian Jaya 1994-1995), pembunuhan dan penghilangan paksa dalam operasi militer terbatas di Aceh dan Irian Jaya (1976-1983), penghilangan aktivis, peristiwa 27 Juli, dan lain-lain.
kli
Kurun waktu sebelum Orde Baru (1959-1965), menurut Asvi Warman, merupakan kurun waktu yang "panas" dalam sejarah politik Indonesia, yang melibatkan pihak "kiri" di satu sisi dan pihak "kanan" di sisi lain, yang sampai kini keretakannya masih terasa. Juga Peristiwa G30S. Ilmuwan Daniel Dhakidae cenderung memulai "masa lalu" itu dari rezim Orde Baru, yakni tanggal 1 Oktober 1965-22 Mei 1998, karena pada periode inilah terjadi apa yang dikenal sebagai gross violation of human rights, yang skalanya tidak tertandingi oleg rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno. Kriteria gross violation of human rights, menurut Dhakidae, adalah pelanggaran itu prosesnya terjadi secara sistematis, dikerjakan oleh state apparatus yang mendapat dukungan dari institusi kekerasan yang ada dalam masyarakat.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
79
Kriteria selanjutnya adalah dilakukan secara massal dengan korban yang massal pula dan menyebabkan hubungan yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Pada ujung berikutnya berkaitan dengan persoalan keadilan, yang tentu saja menjadi basis terdalam dari seluruh persoalan tersebut. Pertanyaan dengan batas waktu adalah, apakah dasar penetapan jangka waktu itu? Apakah "masa lalu"? Bukankah tidak bisa ditarik garis lurus dalam sejarah? Apakah rezim Orde Baru berakhir setelah pemerintah Soeharto jatuh? Bukankah rezim itu menurunkan sifat dan pemikiran yang masih terus dianut sampai saat ini? Bagaimana dengan fakta bahwa dalam masa transisi di Indonesia, banyak pelaku pelanggaran "berganti baju"? Bukankah mereka juga menggunakan kata "reformasi" dan tetap memegang jabatan-jabatan yang memberinya akses kekuasaan secara langsung?
M
Kalau tidak mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan ini, siapa yang bisa menjawab mengapa terjadi peristiwa Semanggi I dan Semanggi II dan peristiwa-peristiwa lainnya yang mengandung unsur-unsur pelanggaran berat HAM? Bagaimana dengan kasus terakhir di Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri (STPDN)?
LS A
Perdebatan mengenai "batas waktu masa lalu" bukan soal yang bisa diselesaikan dengan mudah. Inilah proses yang penuh kontradiksi, yang entah kapan bisa diselesaikan.
kli
pin gE
Namun, dalam hal ini barangkali bisa dikemukakan pernyataan aktivis perdamaian dan peraih Nobel Sastra tahun 1986 dan aktivis perdamaian dari Nigeria, Wole Soyinka, "Dengan mengakui kejahatan di masa lalu, suatu bangsa bisa melangkah dengan lebih ringan menuju masa depan." (mh)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
80
Kompas, Jumat 26 September 2003
Diskusi mengenai RUU KKR
Mempertanyakan Suatu Konsensus Politik "You build your life around something that cannot be healed… something for which there are no word." Dori Laub
M
BARANGKALI pendapat psikiater dari Yale University, Dori Laub, benar. Tak ada luka batin yang bisa disembuhkan secara sempurna. Tidak ada yang bisa dikembalikan secara utuh dari sesuatu yang sudah dihancurkan. Tidak ada kata-kata yang bisa menjabarkan secara tepat perasaan menderita, kemarahan, ketidakberdayaan, dan keputusasaan yang harus ditanggung setelah itu.
LS A
INI artinya, segala sesuatu yang dikerjakan sebagai usaha untuk menyelamatkan masa depan setelah terjadinya tragedi demi tragedi bukanlah hal yang sederhana, sesederhana membangun sebuah rumah di atas tanah kosong. Membangun di atas reruntuhan membutuhkan keseriusan dan ketelatenan, juga keteguhan. Bangunan yang hampir roboh itu harus kembali ditegakkan supaya tidak menjadi rumah hantu. Metaphor itu menemukan wujudnya dalam diri Ny Sumarsih (50). Ia adalah ibu dari Benardinus Realino Norma Irawan, mahasiswa semester lima di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, Jakarta. Wawan (panggilan Realino Norma Irawan) tewas diterabas peluru aparat dalam tragedi Semanggi I tanggal 13 November 1999 ketika terjadi gelombang besar aksi protes mahasiswa terhadap keputusan Sidang Istimewa MPR, khususnya tentang posisi ABRI di DPR/MPR.
pin gE
Saat penembakan terjadi, Wawan tengah menjalani tugas kemanusiaan di dalam kampusnya, yang berjarak hanya sekitar dua kilometer dari Gedung DPR/MPR. Menurut Ny Sumarsih, berdasarkan keterangan teman-teman korban, hanya beberapa saat sebelum ditembak, Wawan sudah memberikan isyarat kepada aparat bahwa ia sedang menolong temannya. Selama lima tahun terakhir ini, Ny Sumarsih dan suaminya, Arief Priyadi, terus berupaya menegakkan kebenaran dan mencari keadilan atas peristiwa yang menimpa anaknya itu. Orang di luar mereka tidak sungguh-sungguh tahu apa yang tertanam di dalam batin mereka meski peristiwa itu semakin lama semakin dilupakan orang. Namun, para penjaga makam di Pemakaman Umum Joglo mengenali betul pasangan yang hampir setiap hari membersihkan dan berdoa khusyuk di makam anak mereka.
kli
Bersama keluarga korban peristiwa politik lainnya, mereka terus berjuang meski pun harapan itu kian samar. Titik-titik terang yang hampir tampak lebih sering dikaburkan oleh berbagai kepentingan dari para pemegang kekuasaan. "Saya sebenarnya sering merasa lelah," ujar Ny Sumarsih (50). "Tapi saya harus tetap menuntut keadilan atas kematian Wawan dan orang-orang yang menjadi korban." Menurut Ny Sumarsih, Rancangan Undang-Undang untuk pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) harus terus "dikawal" dalam pembahasannya di DPR supaya kebenaran dan rekonsiliasi tidak didefinisikan oleh pihak yang berkuasa. "Bagi kami, yang lebih penting adalah kebenaran dan keadilan yang dibuktikan melalui gelar hukum. Rekonsiliasi adalah soal kemudian karena kalau soal maaf-maafan… ya bagaimana ya, kalau kita melihat
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
81
perjalanan panjang para keluarga korban selama ini. Tapi, saya akan memaknai penembakan Wawan untuk melanjutkan perjuangan bagi penegakkan supremasi hukum." Dikarenakan lebih bersandar pada hukum yang diyakini mampu memenuhi rasa keadilannya, Ny Sumarsih menegaskan bahwa sistem peradilan harus diperjuangkan. "Mari kita buktikan moral dan kejujuran para pemegang kekuasaan. Kami bersama para keluarga korban kekerasan politik lainnya akan terus berjuang supaya sistem hukum yang diacak-acak di negeri ini dibenahi. Hukum harus berpihak kepada mereka yang lemah, termasuk para korban dan keluarganya," sambung Ny Sumarsih.
M
Prof Dr Saparinah Sadli dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada kesempatan terpisah menegaskan, dalam persoalan masa lalu, suara korban merupakan hal yang sangat penting, termasuk kalau korban menghendaki dilakukannya pengadilan formal untuk kasusnya. "Tapi korban juga harus menyadari bahwa jalan adalah jalan yang panjang dan memakan waktu lama sekali," ujarnya.
LS A
PERNYATAAN Ny Sumarsih memberikan kejelasan mengenai persoalan kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, apakah kebenaran? Apakah keadilan? Apakah keadilan hanya bisa didapatkan melalui pengadilan? Apakah KKR penting atau tidak penting? Bagaimana dengan RUU KKR di Indonesia? Apakah KKR akan menyentuh persoalan pelanggaran berat HAM yang terjadi setelah rezim Orde Baru tumbang? Seberapa penting masa lalu yang carut- marut terhadap pembentukan masa depan suatu bangsa?
pin gE
Diskusi seputar masalah ini, dalam kerangka transitional justice atau keadilan transisional terus dilakukan dalam lima tahun terakhir ini. RUU KKR pada awalnya merupakan inisiatif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), yang berusaha memberi isi pada gagasan para elite politik yang mulai berbicara soal rekonsiliasi, tetapi rekonsiliasi yang dimaksud adalah rekonsiliasi antarelite politik. Dalam hal ini rekonsiliasi bisa diartikan sebagai amnesti. Elsam kemudian membuat rancangan mengenai KKR dan meluncurkannya pada refleksi akhir tahun 1998. Gagasan Elsam ini tampak diartikulasikan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dengan mengintrodusir upaya rekonsiliasi dengan para korban G-30S. Namun, sebenarnya standpoint Elsam lebih tegas: bukan hanya dengan korban G-30S, tetapi dengan seluruh korban pelanggaran HAM pada masa pemerintahan Soeharto. Prakarsa ini kemudian disambut oleh Kementerian Negara untuk urusan Hak Asasi Manusia, dan penggodokannya kemudian dilakukan bersama tim dari Elsam dengan kementerian tersebut yang kemudian menjadi Departemen Kehakiman dan HAM.
kli
Akan tetapi, apa yang sudah dirancang oleh Elsam termasuk beberapa provisi yang penting dalam perkembangannya kemudian tampak "dibelokkan" oleh Departemen Kehakiman dan HAM sehingga RUU KKR lebih condong untuk menyelamatkan pihak yang berkuasa, terutama militer, yang paling banyak melakukan pelanggaran HAM, khususnya pada masa lalu. Pertanyaan apakah kita memilih antara keadilan dan kebenaran dapat dijawab dalam "konsensus politik" tentang masalah itu. Konsensus itu didapatkan pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 yang menyetujui suatu keputusan tentang langkah apa yang akan diambil dalam rangka menangani pelanggaran HAM di masa lalu. Keputusan itu tertuang dalam TAP MPR No V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional yang di dalamnya memandatkan kepada pemerintah dan DPR untuk segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional sebagai instrumen yang akan menangani pelanggaran HAM di masa lalu. TAP
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
82
MPR No V/2000 dapat dikatakan sebagai keputusan politik untuk memenuhi kewajiban mengingat (state’s duty to remember). Sementara itu, seperti dikemukakan Direktur Elsam Ifdhal Kasim, masih terdapat kekuatan-kekuatan politik di dalam masyarakat ataupun di dalam negara yang tidak ingin pelanggaran HAM masa lalu diungkap kebenarannya. Mereka gigih memperjuangkan gagasan "marilah kita tutup buku masa lalu karena dengan masa lalu kita tidak bisa membangun hari ini dan masa depan". Dukungan ini semakin lama semakin besar. Inilah yang mungkin dapat menjelaskan mengapa pengajuan RUU KKR terlambat diajukan ke DPR guna mendapat pengesahan. Memang saat ini RUU KKR sudah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat, bahkan sudah terbentuk panitia khusus (pansus). Namun, beberapa pasalnya masih menyulut kontroversi dan tampaknya tidak terlalu mudah untuk dicapai kata sepakat.
LS A
M
Sementara itu, di luar gedung parlemen perdebatan masih terus terjadi mengenai pencapaian dalam transitional justice dalam konteks keadilan restoratif atau keadilan retributif. Ini mengulang perdebatan antara pendapat aktivis Chile Jose (Pepe) Zalaquett dan Direktur Eksekutif Human Rights Watch Aryeh Neier mengenai tindakan kejahatan yang melibatkan negara. Dalam diskusi publik tentang Keadilan di Masa Transisi: Sumbangan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang diselenggarakan Elsam tanggal 19 September lalu, yang dipandu oleh Asmara Nababan dari Demos dan Direktur Program Imparsial Rachland Nashidik, tetap berpegang pada pendapat Direktur Eksekutif Human Right Watch Aryeh Neier mengenai penerapan hukum yang ketat. Pengampunan tidak hanya akan membuat pelaku bertindak semakin berani, tetapi juga membuat tidak dimungkinkannya perlindungan atas terjadinya pelanggaran yang sama pada masa-masa sesudahnya.
pin gE
Pada dasarnya, Rachland meyakini bahwa penghukuman merupakan tugas absolut dari masyarakat untuk mengembalikan kehormatan dan mengurangi penderitaan korban dari korban individual. Pengampunan atas pelaku tindak kejahatan terhadap kemanusiaan mungkin saja dipaksakan atas dasar force majeure, tetapi tidak pernah bisa dilakukan atas dasar hukum. Rachland menyikapi RUU KKR dengan skeptis. "Buat saya, model-model itu seharusnya datang belakangan, setelah kita tahu kita mau apa," tegasnya. "Model yang banyak ditawar- tawarkan di Indonesia, menurut saya, mengambil model yang lebih sempit dari keadilan restoratif, dengan KKR. Yang kita punya adalah RUU KKR, bukan RUU yang menyelesaikan persoalan masa lalu."
kli
Ia juga menyatakan bahwa model KKR seperti Afrika Selatan yang banyak dibicarakan harus ditanggapi secara lebih kritis, dengan melihat kondisi yang berkembang di Indonesia. "Ada perbedaan budaya, agama, dan lain-lain. Akan tetapi, yang paling penting dilihat adalah bahwa tidak ada kehendak politik di sini. Kita mendorong pencarian kebenaran, tetapi tidak ada hukum yang mengaturnya. Bagaimana kita bisa mengharapkan tentara muncul di depan tim KKR tanpa ada ancaman hukuman?" Bagi Rachland, penyelesaian masa lalu tidak bisa direduksi dengan pembentukan KKR. Ia juga merasa cemas karena melihat bahayanya kalau KKR semata-mata dilihat sebagai alternatif keadilan. "Kalau KKR dilihat sebagai jalan yang terpisah dari seluruh proses penyelesaian masa lalu, jangan bisa menyelesaikan semuanya," tegasnya lagi. Bagi Rachland, pilihannya bukan pada keadilan restoratif atau keadilan retributif. "Keduanya harus berjalan bersama-sama dan penting diterapkan di Indonesia," tegasnya. PAKAR dalam bidang etika, seperti Dr Baskara T Wardaya dari Universitas Sanata Dharma, seperti memberikan peneguhan pada pendapat mengenai keadilan restoratif, seperti yang juga sering dikemukakan oleh Ifdhal Kasim dari Elsam. Mereka tampaknya lebih meneguhi pendapat Zalaquett, yang menyatakan
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
83
setiap kebijakan menyangkut masa lalu harus mengacu pada masa depan. Singkatnya, Zalaquett mempertimbangkan apa yang disebut pengampunan. Zalaquett menggarisbawahi perlunya pemulihan untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh pelanggaran HAM masa lalu. Adapun yang mengacu pada masa depan menyangkut perlindungan dan mempromosikan masa depan yang demokratis, yang tidak memungkinkan terjadinya pelanggaran lagi. Menurut Zalaquett, setiap kebijakan harus memenuhi standar persyaratan minimum. Artinya, kebenaran harus diungkapkan, lengkap dengan sanksi resmi dan disiarkan secara terbuka agar terekam dalam ingatan bangsa. Kebijakan itu harus mewakili kehendak rakyat dan tidak melanggar standar hukum internasional.
LS A
M
Namun, ketiga hal itu harus bergantung pada kebutuhan suatu bangsa, supaya bangsa itu tidak menjadi subyek absolut dari standar yang dipaksakan dari luar. Dalam hal ini, pengampunan sama nilainya dengan perlindungan dari tindakan pelanggaran yang sama di masa-masa yang akan datang. Dikatakan juga, para pemimpin di masa transisi harus dipandu oleh etika tanggung jawab. Yang dibutuhkan adalah perpaduan antara norma-norma internasional dengan postulat etika, dan mempertimbangkan seluruh pengalaman yang relevan. Baskara mengingatkan empat aspek proses rekonsiliasi, yakni, menceritakan kebenaran, pengampunan, keadilan, dan perdamaian. "Ini semua normatif, dan kita masuk ke tubuh dari ide-ide normatif itu. Di sini ada sejarah. Kita juga bisa belajar dari sejarah negara lain yang mengalami peristiwa serupa," ujarnya.
pin gE
Antropolog Fajar Thufail yang hadir sebagai peserta mengatakan sependapat dengan Rachland, tetapi ia masih melihat penekanan dari soal KKR masih berada dalam tataran kelembagaan. Ia mengingatkan perlunya penekanan lain yang tak kalah penting, yakni rekonsiliasi di tataran individu, antar-anggota masyarakat, dengan mempertimbangkan pengalaman masing-masing individu. Seperti di Timor Leste, keadilan kemudian tidak terbatas pada pengadilan formal karena rasa keadilan setiap korban berbeda-beda, khususnya kalau memperhatikan pengalaman perempuan. Persoalannya, seperti dikemukakan Saparinah -yang juga tak sependapat dengan pendekatan either or- adalah pencarian kebenaran melalui mekanisme public hearing antar-anggota masyarakat seperti terjadi di Timor Leste, akan sulit dilakukan di Indonesia karena tidak ada UU Perlindungan Saksi.
kli
Pertanyaan kemudian adalah apa arti perdebatan ini ketika para tokoh politik tampak lebih tertarik dengan perebutan kekuasaan dalam pemilu mendatang? Apa artinya semua itu bagi korban, yang lukanya terus bernanah? (Maria Hartiningsih)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
84
Sinar Harapan, Jum'at, 26 September 2003
Korban Pelanggaran HAM Bicara Soal KKR:
Kami Butuh Keadilan Politik
LS A
M
JAKARTA - ”Keadilan politik memang perlu. Keadilan ekonomi bukan segalanya karena ketika martabat telah sirna apakah arti kesejahteraan materi itu”. Pernyataan ini keluar dari seorang eks tahanan politik yang diduga terlibat Gerakan 30 September/1965, di Komnas HAM, Jakarta, Kamis (25/9). Dalam bedah buku karangan Hersri Setiawan yang berjudul ”Aku Eks Tapol” itu, beberapa orang mantan tapol mengkritik rencana pembentukan Rancangan Undang Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), yang saat ini sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka satu persatu bergantian angkat bicara di dalam sebuah ruangan kecil ber-AC dan penuh pengunjung. Menurut mereka, hidup di dunia reformasi saat ini bukan berarti mendapatkan kebebasan yang hakiki. Meski mereka telah dikembalikan kepada masyarakat, namun masih banyak rambu sosial dan politik dibuat untuk memagarinya. ”Kembali ke masyarakat” ternyata bukan berarti bebas dari isolasi sosial-politik rezim. Sebagai anggota masyarakat, mereka mengeluh statusnya sebagai social being dan zoon politicon yang pernah dimiliki belum sepenuhnya pulih. Sebagai seorang warga negara yang seharusnya diperlakukan sama, mereka tidak memiliki hak untuk dipilih, melainkan hanya memilih. Alasan mereka tidak dapat dipilih, karena masih ada TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang larangan Partai Komunis Indonesia (PKI). Produk hukum tersebut masih menjadi pertanyaan bagi para korban, bagian mana dari PKI yang dilarang. ”Ajarannya atau idiologinya, itu tidak jelas. Kalau idiologi untuk kerakyatan itu dilarang, tidak pada tempatnya,” ujar Gorma Hutajulu salah satu eks tapol yang hadir.
kli
pin gE
Akar Rumput Sementara Hersri Setiawan mengatakan, rekonsiliasi seperti akar rumput di Blitar Selatan pada waktu yang lalu, lebih ideal untuk memperbaiki sejarah dan kehidupan bersosial bangsa Indonesia dibandingkan dengan pembentukan RUU KKR. Ia mengaku tidak berharap banyak atas kebijakan politik tersebut. Menurutnya, peristiwa G30S/1965 lebih didominasi konflik antara elite tingkat atas. Elite politik sipil dengan elite politik sipil, elite politik militer dengan elite politik militer dan elite politik militer dengan elite politik sipil. Sedangkan, masyarakat sipil hanya menjadi korban atas konflik tingkat atas. Apabila dalam RUU KKR tersebut, penyelesaiannya hanya bersifat ke atas, maka tidak mustahil tidak akan menghasilkan apa-apa. Belum selesai dibahas, baru duduk sudah saling tuding. Seharusnya, rekonsiliasi dibina dari bawah. Dari pihak yang menjadi korban dan pihak yang membuat jatuhnya korban. Jalan yang terbaik adalah melakukan rehabilitasi sejati. Di hari yang sama, di ruang pertemuan di Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), para korban menentang KKR juga angkat bicara. Para korban tersebut berasal dari pelanggaran HAM berat kasus 1965, kasus Tanjung Priok 1984, kasus Lampung 1989, Kasus Mei 1998, kasus Trisakti-Semanggi I dan II, kasus penculikan 1997/1998, serta kasus di Aceh dan di Papua. Lain dengan para eks tapol di Komnas HAM, Beny Biki, korban Tanjung Priok menolak RUU KKR, karena aktor-aktor masa lalu kini masih bercokol baik di eksekutif maupun legislatif. Tak diragukan, mereka nantinya berpotensi untuk menghalang-halangi terungkapnya kebenarnya. Sehingga, komisi itu hanya menjadi sebuah komisi pembenaran atas pelanggaran HAM berat di masa lalu. Permasalahan pun akan menjadi terbalik, pelaku bukan lagi dituntut untuk meminta maaf, melainkan justru korban dituntut untuk meminta maaf. ”Ini pernah terjadi dalam kasus Tanjung Priok. Ketika beberapa di antara kami menyetujui islah lantas kemudian mencabutnya, maka mereka diminta untuk meminta maaf kepada Tri Sutrisno,” ujar Beny Biki. Sedangkan Syamsul, salah seorang korban G30S/1965 mengatakan, selama ini, baik legislatif, yudikatif, dan eksekutif tidak pernah merespon keluhan para korban atas keadilan dan posisinya. ”Tidak banyak yang kami inginkan. Kami hanya ingin rehabilitasi sejati. Kalau pemerintah tidak bisa memberikannya, kami tetap akan meminta pada perkembangan zaman sambil menunggu orang-orang yang benar-benar serius untuk mewujudkan program rekonsiliasi,” ujar Syamsul. (SH/tutut herlina)
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
85
Kompas, Senin 29 September 2003
Pengakuan...
SUDAH 38 tahun berlalu. Namun, bagi Lestari (72), waktu bukanlah sesuatu yang dapat begitu saja memutus ingatan pada peristiwa yang membuat kehidupannya runtuh dalam sekejap. "Kalau saya menceritakan ini semua, bukan berarti saya marah atau dendam. Saya hanya ingin membagikan pengalaman. Tidak lebih dan tidak kurang." DI dalam rumah, beberapa kali telepon berdering, dan beberapa kali pula ia meminta izin untuk menjawab telepon. Lalu ia kembali duduk. Wajahnya sangat tenang, sorot matanya teduh, namun nada suaranya sangat tegas; juga ketika ditanyakan bagaimana harus dituliskan identitasnya.
M
"Apa lagi yang harus disembunyikan Nak? Apa lagi yang harus ditakuti? Yang paling sulit dalam hidup ini sudah saya lewati. Saya percaya hidup ini adalah milik-Nya," ujarnya.
LS A
Ia melanjutkan, "Saya tumbuh, berkembang, ditempa, dan matang dalam pergerakan." Dalam sejarah Gerakan Wanita Indonesia, nama Lestari tercatat sebagai Ketua Cabang Gerwani di Bojonegoro. "Kami bekerja keras untuk hak-hak perempuan dan anak. Bukan yang lain," ujarnya. Karena itu ia amat terkejut ketika mendengarkan siaran radio tentang apa yang dilakukan "anggota Gerwani" pada malam tanggal 30 September 1965 di Lubang Buaya. "Saya tidak bisa mempercayainya," sambungnya.
pin gE
Kontroversi tentang keterlibatan Gerwani dalam peristiwa itu, dan bentuk hubungan Gerwani dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebenarnya sudah kembali dibuka oleh para sejarawan. Sosiolog dari Belanda, Dr Saskia Wieringa, memaparkannya dengan komprehensif dalam disertasinya yang kemudian dibukukan dengan judul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, yang diterbitkan oleh Kalyanamitra dan Garba Budaya pada tahun 1999. Beberapa sejarawan, terutama sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, terus-menerus mencoba melengkapi bukti-bukti yang menguatkan bagaimana Gerwani dihancurkan secara sistematis. Bukti menjadi sesuatu yang sangat penting untuk melakukan counter terhadap perspektif sejarah yang dominan mengenai peristiwa itu. Berbagai dokumen, kesaksian-kesaksian korban dan keluarganya, dan bukti-bukti lain seperti kuburan massal, telah dikumpulkan jaringan organisasi nonpemerintah yang memiliki keprihatinan dengan persoalan ini.
kli
Berbagai buku telah diterbitkan. Para seniman mencoba membongkar memori kolektif dari bangsa ini dengan berbagai pameran dan pertunjukan.Namun, tampaknya proses negosiasi politik seputar peristiwa yang berujung dengan pembunuhan para jenderal pada malam tanggal 30 September tahun 1965 itu masih akan berlanjut. Tawaran perspektif lain dari sejarah yang mengambil pengalaman korban dan bukti-bukti otentik-yang selama 33 tahun disembunyikan, bahkan dimanipulasi oleh penguasa-masih harus melewati perjalanan yang panjang dan terjal dalam situasi di mana demokrasi masih sangat muda dan ringkih.
Para aktor yang berkuasa saat ini, dalam beberapa hal, masih memiliki keterkaitan dengan rezim Orde Baru, khususnya dengan watak-wataknya. Oleh sebab itu, selalu ada kemungkinan bukti-bukti itu dinihilkan dan penyangkalan kembali dikumandangkan. Perdebatan mengenai "siapa yang benar dan siapa yang salah", "siapa yang menang dan siapa yang kalah", akan kembali memasuki gelanggang perdebatan. Padahal, tidak ada kebenaran yang absolut dalam perjalanan sejarah suatu bangsa. Mempertahankan hal semacam itu juga tidak akan membawa bangsa itu beranjak menuju pemulihan bagi jutaan orang tak bersalah yang menjadi korban dari suatu peristiwa politik yang paling mengerikan di negeri ini.
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
86
Sangat boleh jadi, "benar" dan "salah", "kalah" dan "menang" adalah penilaian historis dan sejarah yang dominan yang menguasai kebenaran, hampir selalu dibuat di atas hubungan-hubungan yang tidak setara. Karena itu, bagi Nani Nurrahman-Sutojo, adalah sah juga untuk bertanya, siapa yang menjadi korban dan siapa yang menderita. "Bagi saya yang lebih penting diperhatikan adalah bagaimana pergumulan seseorang dengan nasibnya, dengan dunianya," ujar putri Mayjen (Anumerta) Sutojo Siswomihardjo. "Suatu tragedi adalah pergumulan nasib yang tidak dapat dimenangkan. Tragedi tidak akan pernah berlalu karena peristiwanya tetap tinggal dalam ingatan, tetapi dapat berkembang menjadi hikmah yang ditemukan dari perspektif waktu yang tepat."
M
WAKTU adalah teka-teki; membingungkan sekaligus menarik untuk terus dikaji. Para ilmuwan hebat dari Albert Einstein sampai Stephen Hawking telah berusaha menjelaskan dan memahaminya. Namun sebenarnya waktu hanyalah konsep.
LS A
Tidak ada satu peristiwa pun bisa dikubur oleh waktu. Ingatan manusialah yang menentukan apakah suatu peristiwa akan dikuburkan atau terus dihidupkan, dengan alasan-alasan yang sangat pribadi, mengapa harus atau tidak harus memilih di antara keduanya. Ingatan manusia telah menentukan bagaimana sejarah dituliskan sehingga sejarah bukanlah sesuatu yang berjalan dengan logika garis lurus dan deterministik. Banyak ahli mengingatkan bahwa ideologi dan kepentingan politik pihak yang berkuasa memungkinkan terjadinya manipulasi sejarah.
pin gE
Sejarah dominan itulah yang kemudian tertinggal dalam ingatan kolektif suatu bangsa. Akan tetapi, pengaruh ideologi kekuasaan sehebat apa pun akan menabrak tembok perlawanan yang sangat kuat ketika mencoba memasuki ruang personal dalam ingatan individu-individu yang mengalami secara langsung peristiwa tragis akibat suatu peristiwa politik. "Ketika peristiwa itu terjadi ayahnya anak-anak tidak ada di rumah," ujar Lestari. Lestari memulai kisahnya."Dalam situasi yang sangat tidak menentu saat itu, saya merasa beruntung karena pembantu saya sangat baik. Tiga anak saya yang lain diselamatkan oleh pembantu saya. Saya sendiri jitungan, bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain, karena mulai sering ada gropyokan. Anak saya terkecil, Nining, yang waktu itu berusia 3,5 tahun, saya bawa. Pembantu saya menghidupi anak-anak saya dengan menjual barang-barang yang tersisa. Tetapi, itu juga tidak bisa bertahan lama. Akhirnya, dua anak saya diantar ke rumah neneknya di Madiun, satu tetap ikut neneknya, yang satu lagi dititipkan ke gereja, supaya bisa sekolah.
kli
Yang satu lagi, karena amat dekat dengan pembantu saya, ikut dengan pembantu saya ke desanya, dan kemudian dirawat oleh adik pembantu saya itu yang jadi tentara dan bisa menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat sekolah menengah pertama. Anak saya yang ikut eyangnya tidak mau lagi bersekolah karena tidak tahan diejek terus-menerus oleh teman-temannya sebagai anak PKI, dan kemudian dikucilkan. Setelah beberapa waktu, saya bisa menghubungi suami saya. Kami lalu berkumpul lagi di Blitar Selatan. Di sana keadaannya lumayan baik. Kami sudah bisa beradaptasi dengan penduduk meskipun untuk itu kami harus mengubah seluruh identitas kami. Anak saya Nining berubah namanya menjadi Poniyem. Kami tinggal di Blitar selama hampir 1,5 tahun. Saya hamil lagi. Tapi keberadaan kami mulai tercium karena ada kabar bahwa PKI bangkit lagi di Blitar Selatan. Saya harus lari lagi ke hutan-hutan." NAMUN lari dengan membawa anak bukanlah hal yang mudah. "Waktu anak saya lahir, ada tetangga yang melahirkan juga, tetapi anaknya meninggal. Setelah dibujuk, ia akhirnya mau menerima anak saya yang waktu itu umurnya 40 hari," sambungnya. "Anak saya Nining yang umurnya
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
87
lima tahun juga saya serahkan kepada tetangga supaya ia selamat."Meminta bantuan tetangga bukan hal yang mudah saat itu. Tekanan politik yang begitu kuat diikuti berbagai ancaman, membuat banyak orang memilih untuk tidak melakukan hubungan apa pun dengan pihak yang sedang diburu. "Dalam pelarian itu saya mendengar kabar, Nining dibunuh. Anak saya yang kecil katanya dibuang di kuburan karena tetangga yang saya titipi itu takut."
M
Sampai pada titik itu, suara Lestari bergetar. Namun mimik wajahnya datar. Air matanya mengalir, tetapi tidak ada isakan. Penderitaan tampaknya telah menempanya sampai ia mampu menelan seluruh kepedihan oleh luka-luka jiwa yang menganga. Lestari akhirnya tertangkap. "Saya dibawa ke puskesmas untuk diobati dulu," ia melanjutkan. "Waktu berobat itu, seorang tentara mendekati saya. Ia bicara dengan bahasa Jawa yang sangat halus, ’Bu jangan khawatir. Anak Ibu selamat’." Sapaan itu cukup menenangkan hatinya meskipun sepanjang hidupnya kemudian ia tidak pernah lagi bertemu dengan dua anaknya yang dikabarkan meninggal itu.
LS A
Lestari akhirnya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Wanita di Malang. "Sekarang gedungnya sudah tidak ada lagi. Di situ sudah dibangun kompleks pertokoan," ujarnya. Tanpa proses pengadilan ia ditahan dan baru keluar pada bulan Desember 1979. Sebelum penahanan itu, ia juga melewati proses interogasi dan mengalami kekerasan yang luar biasa. "Apa harus saya ceritakan semuanya?" Selama itu ia sempat dua kali berjumpa dengan suaminya yang divonis mati. "Habis itu saya tidak pernah ketemu lagi karena ia dipindah ke Pamekasan." Setelah keluar dari tahanan, hidup Lestari tidak lebih mudah. Ia harus menyembunyikan identitasnya untuk menjaga agar saudara dan kerabatnya tidak terlibat kesulitan karena memberi naungan padanya. Ia juga berpindah-pindah dan sempat menjadi pengasuh bayi selama beberapa tahun.
pin gE
"Kehidupan anak-anak saya tidak mudah. Karena tidak selesai sekolah, mereka harus bekerja apa saja. Anak saya satu menjadi tukang, yang perempuan bekerja sebagai TKW di Malaysia. Saya tidak boleh menyandarkan hidup pada mereka," sambungnya. Selama beberapa tahun, Lestari merawat cucunya yang ditinggalkan ibunya bekerja di negeri orang. Dengan anak sulungnya, Sri, ia mengaku tidak banyak berhubungan. Ketika terjadi peristiwa G30S, Sri baru tiga bulan menikah dengan seorang aktivis buruh pabrik gula. Suaminya kemudian ditangkap dan hilang. "Setelah itu, Sri menikah lagi dengan tentara." LESTARI hanyalah satu dari ribuan korban peristiwa 1965. Ketika jumlah korban yang sangat besar muncul sebagai statistik yang angkanya terus diperdebatkan, rasa sakit dan penderitaan korban tidak bisa lagi dipertanyakan, diperbandingkan, apalagi dipertukarkan. Tragedi itu hanya bisa dimaknai oleh mereka yang mengalaminya secara langsung.
kli
Sejak dua tahun lalu, Lestari tinggal bersama Sulami (almarhum), tokoh Gerwani yang mendirikan Yayasan Penelitian Korban Politik (YPKP) 1965 dan Lembaga Penelitian Korban Politik (LPKP) 1965. Bersama Sulami dan para korban yang tersebar di berbagai daerah, Lestari berjuang untuk menegakkan kembali hak-hak korban sebagai manusia dan warga negara.
Apakah ia kembali teringat peristiwa itu setiap menjelang tanggal 30 September?"Saya mengingatnya setiap hari," jawabnya. Suaranya terdengar lunak, namun tegas. Pada Lestari, proses dalam ingatan, tampaknya bukan melupakan, tetapi memeliharanya. Tidakkah itu juga berarti memelihara dendam? "Tidak Nak," jawabnya lembut. "Dendam hanya akan merusak hidup. Saya tidak menaruh dendam pada siapa pun. Saya ikhlas dengan apa yang sudah terjadi. Semua adalah risiko dan lakon saya dalam menjalani hidup."
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
88
Lestari tahu persis bahwa saat ini Rancangan Undang-Undang mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU-KKR) sedang dibicarakan di Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan sudah dibentuk Panitia Khusus untuk itu. Akan tetapi, seperti dikatakannya, "Keadilan lewat jalan itu akan memakan waktu lama sekali." Dengan nada yang tetap lembut ia berkata, "Pengadilan atau apa pun, itu nomor sekian." Lalu, Anda menginginkan apa, Bu? "Pengakuan," tegas jawabnya ketika mengucapkan kata itu. "Pengakuan secara resmi bahwa di Indonesia pernah terjadi pembantaian massal di zaman Soeharto." Lestari bukan tidak hirau dengan soal "pelurusan sejarah", rehabilitasi, reparasi, serta segala hal yang terkait dengan upaya pencarian kebenaran dan rekonsiliasi. Namun, bagi dia, yang terpenting adalah pengakuan itu. Perjuangan untuk pengakuan seperti menjadi bagian dari upayanya memaknai seluruh ingatan akan penderitaan.
kli
pin gE
LS A
M
""Hidup saya tidak lama lagi, Nak. Saya akan memberikan seluruh sisa hidup saya untuk itu," ujarnya, menutup pembicaraan di ujung siang, pekan silam. Ketika pagar rumah kontrakan itu dibukakan, debu kemarau beterbangan di jalan. (maria hartiningsih).
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
89
Kompas, Minggu 28 September 2003
Kehilangan Rekonsiliasi Oleh Degung Santikarma
TANGGAL 30 September 2003. Sudah tiga puluh delapan tahun sejak kira-kira satu juta orang Indonesia tewas di tangan saudara sebangsa. Sudah tiga puluh delapan tahun sejak sebuah peristiwa yang terhitung dalam sejarah dunia sebagai salah satu pembantaian yang paling brutal dan efisien di muka bumi ini. Tiga puluh delapan tahun. Satu juta manusia lenyap. Apakah kita pernah akan mampu memahami itu?
LS A
M
Philip Gourevitch dalam buku We Wish To Inform You That Tomorrow We Will Be Killed With Our Families, yang membahasakan genocida di Rwanda, menulis kutipan bahwa "kematian satu orang menjadi tragedi; kematian satu juta orang menjadi statistik." Tetapi nomor-nomor bisa membantu kita mereka-reka skala kengerian horor yang luar biasa. Di Bali, dari November 1965 sampai April 1966-enam bulan, setengah tahun, satu musim tanam-panen-seratus ribu manusia atau kira-kira delapan persen dari penduduk Pulau Dewata, terbunuh. Ini berarti satu di antara setiap dua belas orang Bali hilang atau rata-rata satu orang Bali dalam setiap lima belas detik menemui ajalnya selagi kekerasan berlangsung.
pin gE
Saya tidak tahu di mana Anda berada sekarang, tetapi saya bisa membayangkan bahwa di wilayah Indonesia yang padat ini, Anda punya selusin orang yang cukup dekat. Bayangkan bahwa satu di antara mereka tiba-tiba tak kembali untuk selamanya. Anda tidak usah repot memilih yang mana harus hilang-bisa siapa saja asal mereka cocok dicap "terlalu kritis" atau "pembangkang," atau berteman, bersaudara atau kenal dengan orang yang diasosiasikan dengan "kelompok kiri." Bayangkan bahwa di seluruh negeri tercinta ini, satu di antara dua belas orang mampus begitu saja. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk Anda bisa melupakan itu?
kli
Indonesia belum melupakan apa yang terjadi sesudah 30 September 1965-walaupun tampaknya kita linglung. Ingatan kita memang kelihatan tidak secanggih bangsa yang lain yang pernah mengalami kekerasan traumatis. Kita bukan seperti rakyat Yahudi yang punya Museum Holocaust di Washington DC, Museum of Tolerance di Los Angeles, dan Museum Yad Vashem di Israel yang dikunjungi oleh jutaan orang setiap tahun. Kita jauh dari orang kulit hitam di Amerika, yang sudah menulis ribuan buku dan membuat ratusan film tentang kepedihan era perbudakan. Kita bukan hanya kelihatan kalah dengan peradaban Barat, tetapi dengan orang dunia ketiga lainnya. Di Cile, Afrika Selatan, dan Rwanda para korban pembantaian sudah diajak duduk bersama untuk menceritakan pengalaman mereka di panggung umum. Kekejaman Pol Pot dan Khmer Rouge di Kamboja sudah diperingati dengan monumen, museum, pameran foto, dan film. Di negeri Pagoda itu, sejarah kekerasan bahkan dijadikan atraksi pariwisata, dengan 30 persen turis asing mengunjungi "The Killing Fields," tempat di mana ratusan ribu manusia dijagal. Mungkin Anda sebagai orang Indonesia ingin protes bahwa bangsa yang lebih maju dan kaya mampu membayar untuk membuat monumen dan film, sedangkan kita masih tidak bisa menyekolahkan dan memberikan makanan kepada anak-anak kita. Namun, Anda tidak harus berkecil hati: lihat monumen Lubang Buaya dan film Pengkhianatan G-30-S PKI. Kita memang tidak sekaya orang-orang di New York atau seterkenal sutradara Stephen Spielberg. Tetapi kita bisa membantai satu juta manusia dengan modal yang sangat kecil dibandingkan, misalnya, dengan invasi Amerika ke Irak yang memakai teknologi supercanggih dengan biaya ribuan miliar dollar AS, tetapi membunuh jumlah orang yang relatif sedikit. Satu juta korban kebengisan Gestapu mati tanpa budget, tanpa bom, disupat hanya dengan parang, pedang, beberapa timah panas, dan kerja keras. Setelah tumbangnya Soeharto, kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) mencoba menggugah ingatan kita dengan memperkenalkan wacana "rekonsiliasi." Didukung oleh organisasi internasional, mereka membentuk tim pencari fakta, mengadvokasikan pencabutan beberapa Ketetapan (Tap) MPR yang
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
90
melanggar hak asasi manusia (HAM), mengagendakan pelurusan sejarah dan rehabilitasi nama korban, dan merencanakan pembentukan peradilan HAM. Kata "rekonsiliasi" menjadi begitu populer sampai dia masuk dalam kamus bahasa gaul aktivis muda dan keluar mencuap dari mulut politisi. Kelihatan bahwa tidak ada yang tidak setuju dengan rekonsiliasi, seperti sebelumnya tentang istilah "reformasi." Akan tetapi, gaung rekonsiliasi lama-kelamaan tersayup-sayup mengecil. Tahun ini, 30 September 2003, jumlah kegiatan untuk mengingatkan tentang apa yang terjadi di kegelapan sejarah kita kian surut. Bukan hanya Lubang Buaya yang menjadi sepi, tetapi ruang seminar sunyi, mike terpajang di meja tanpa pembicara, pemrasaran dan notulen, dan tumpukan kertas makalah lokakarya menipis. Apakah rekonsiliasi dihilangkan seperti nasib satu juta orang dulu? Atau mungkin target rekonsiliasi sudah tercapai sehingga kita semua sudah menemui pencerahan?
pin gE
LS A
M
Ada banyak pilihan kalau kita ingin mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Mungkin karena rekonsiliasi dibidani oleh donor luar negeri dalam bentuk proyek musiman-persis dengan slogan hambar, demokratisasi, transparansi, transitional justice, good governance dan civil society-kalau funding berubah arah, kucuran pembela kalangan akar rumput juga tertimpa kekeringan. Mungkin wacana rekonsiliasi telah terkotak dibatasi bingkai untuk kebutuhan organisasi dan institusi yang mementingkan legalitas dan laporan sehingga menjelma jadi proposal dan proyek yang lebih mendiamkan daripada memberi suara. Mungkin karena rumusan rekonsiliasi sendiri dipinjam dari negeri yang mayoritas Kristen dan Katolik, seperti Guatemala, Afrika Selatan, Cile, Rwanda, dan Timor Timur, kebanyakan manusia Indonesia-apalagi di Bali-tidak terbiasa mengakrabi diri dengan konsep-konsep tentang kematian, moralitas, dan pengampunan yang masuk dalam kemasan paket impor. Barangkali karena rekonsiliasi belum sempat singgah di bumi pertiwi sebelumnya dia sudah dijemput, dijinakkan dan diinterpretasikan tidak hanya oleh barisan pembela dan penghormat HAM, tetapi juga oleh pelaku kekerasan yang ingin dilupakan dan dimaafkan, arti rekonsiliasi menjadi terlalu cair untuk dimaknai. Dengan kemungkinan seperti itu membuat kita bertanya: apakah rekonsiliasi membawa ingatan atau pelupaan? Sudah tiga puluh delapan tahun lewat, dan saya belum melupakan nama Pak Wayan. Dalam pengalaman saya sebagai anak yang terlalu dini untuk mengerti kenapa "tidak bersih" bisa lebih dari sekadar lumpur sawah yang melekat pada kuku tangan, ingatan bukan sebuah pilihan, melainkan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pak Wayan dan saya sudah bertetangga sejak saya lahir. Setiap kali ada upacara, kerja bakti, hari raya atau kematian, Pak Wayan selalu ada di depan hidung saya. Dan, sejak saya berumur lima tahun, ketika bapak saya hilang untuk selamanya, saya sudah dengar nama Pak Wayan sebagai salah satu sutradara yang menentukan kepergiannya.
kli
Saat meletus ritual berdarah 1965, bukan hanya menyebabkan raibnya nyawa ayah, tetapi juga paman, dan setiap libur akhir pekan saya, berkisar tentang besuk om yang meringkuk di balik terali besi. Puing-puing rumah yang tersisa akibat dibakar, dirusak, dan dijarah oleh massa, hanya bisa disaksikan oleh para manula jompo yang ketakutan dan pasrah. Ibu dan bibi yang baru saja berstatus janda hanya mampu menyelamatkan beberapa peninggalan penting seperti ijazah, foto keluarga, dan buku yang disisakan oleh para preman yang kala itu disebut tameng.
Menurut penuturan beberapa anggota keluarga yang selamat dari tebasan pedang sakti para algojo, kepergian sanak-kerabat akibat ulah "sentimen" pribadi-niat tersembunyi, seperti perasaan iri dengki dan cemburu terhadap yang lain, yang tak berhubungan dengan ideologi partai politik. Sedangkan kalau versi kearifan nenek dan kakek yang dianggap buta politik, kepergian anak-anak tercinta mereka berakibat mule tuwuh ne amonto dadi manusa atau memang sudah nasib mereka.. Walaupun umurnya sudah 73 tahun, penampilan Pak Wayan masih tampak awet muda. Rambutnya memutih, tetapi sinar matanya masih tajam dan berwibawa. Di tahun 1965, Pak Wayan dianggap oleh komunitas sekitarnya sebagai "orang penting," atau dengan sebutan lokal, anak kangguang gumi. Dulu
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
91
waktu muda dia adalah seorang pegawai negeri dan tokoh nasionalis. Karena begitu besarnya kekuasaan Pak Wayan itu, bahkan ada yang menyebut beliau bagai Sang Hyang Suratma, tokoh dewa dalam mitologi Hindu yang menguasai dunia akhirat dan menentukan kapan kematian akan datang menjemput manusia dari bumi. Ketika tragedi 30 September 1965 meledak, ada beberapa korban yang takut mereka akan ditargetkan yang datang tergopoh-gopoh pada Pak Wayan memohon agar kematiannya bisa dicegah. Tetapi nanti, banyak di antara yang selamat berubah dari manusia penakut menjadi jago yang haus darah. Sekarang Pak Wayan berpredikat kakek, dan hari-hari pensiun dihabiskan dengan mengemong cucu dan membaca lontar sambil memerankan tokoh penglisir atau orang yang dituakan, bergelut dengan urusan adat dan agama.
LS A
M
Menurut para pakar, salah satu hakikat dasar rekonsiliasi adalah untuk mempererat pertalian yang dulu diporakporandakan akibat kekerasan, konflik atau kesalahpahaman. Menurut definisi itu, Pak Wayan dan saya memang bisa dianggap sudah melakukan rekonsiliasi. Kita hidup di lingkungan sosial yang sama: setiap pagi saya dibangunkan oleh ayam aduannya, dan setiap malam dia bisa dengar suara motor saya lewat. Meskipun kami tidak pernah omong, kami juga tidak pernah berselisih. Tetapi di balik penampakan keharmonisan sosial, apakah kami betul sudah berekonsiliasi? Dan, apakah rekonsiliasi di tingkat personal menjadi sesuatu yang kami inginkan?
pin gE
Dengan sedikit jantung berdebar saya coba mengetuk pintu dan dibuka oleh Pak Wayan dengan terkejut melihat wajah saya. Setelah dipersilakan meneguk suguhan kopi dan hidangan ringan yang disediakan, pembicaraan kami dimulai dengan basa-basi ringan tentang musim kemarau panjang, kesehatan anak-anak, mahalnya biaya sekolah dan upacara di pura desa. Tetapi ketika obrolan kami menukik pada persoalan 1965, suasana berubah menjadi formal dan berjarak. "Yang saya lakukan pada waktu ’Gestok’ itu tidak banyak, hanya membantu aparat untuk membawa mereka yang dianggap partisan partai yang bergambar palu-arit," Pak Wayan mengatakan. "Daftar nama mereka yang dianggap terlibat sudah ada pada map yang dibawa oknum berseragam. Jadi, saya hanya menunjukkan rumah pribadi para simpatisan. Ini enteng karena mereka kebetulan para tetangga dan teman sepermainan. Begitu saya temukan, saya antar langsung ke kantor camat, hanya itu saja, tidak lebih dan tidak kurang." Pak Wayan bicara dengan tegas, tetapi badannya seperti mengkhianati apa yang terucap. Tangannya gemetar, tubuhnya berkeringat dan betisnya, tanpa sadar, menabrak kaki meja sampai cangkir kopi tertumpah. Pak Wayan kukuh bahwa dia tidak sadar bahwa ajakan ke kantor camat merupakan pertemuan yang terakhir dengan tetangganya. "Itu memang kehendak negara," ujar dia dengan raut muka sedih sambil menggeleng-gelengkan kepala. Suasana menjadi hening dan sepi, sekali kali terdengar sela suara cicak yang seolah-olah menjadi saksi. "Sudahlah, itu masa lalu, mari kita lupakan," dia menyambung. "Saya setuju dengan rekonsiliasi agar kesalahan yang sudah lewat tak terulang lagi."
kli
Saya ingin percaya pada Pak Wayan. Saya ingin percaya bahwa kita bisa belajar sesuatu dari kesalahan kita semua. Tetapi kepercayaan itu duduk di atas landasan yang sangat keropos. Ketika mau pamit pulang, Pak Wayan sempat menunjukkan foto dirinya yang terpajang di kamar tamu dengan seragam pakaian pejabat, jas, dasi, dan berkopiah ketika bersalaman dengan posisi badan merunduk dengan bapak bupati yang melantiknya. "Itu potret kenangan waktu saya jadi anggota DPR sekitar tahun 70’an," katanya dengan senyum bangga, seolah-olah menegaskan bahwa kalau sekarang dia bertanya-tanya pada diri, dulu sama sekali tak terbesit keragu-raguan.
Ketika saya berjalan pulang menuju rumah, saya sadar bahwa saya masih belum puas. Pertanyaanpertanyaan saya belum dijawab, walaupun ada keterangan: sepanjang rekonsiliasi diterjemahkan akan kelangsungan hidup bersama berdampingan secara damai di antara korban dan pelaku, kita belum bisa mencapai rekonsiliasi yang benar. Kita tidak bisa lihat kehidupan sosial hanya di tingkat formal saja karena di sisi lain ada yang sama pentingnya, yaitu kualitas manusia macam apa yang diciptakan oleh tabuh rah 1965 yang pedih dan memilukan?
KLP: Wacana Pansus RUU KKR
Kita harus mengakui betapa kuatnya perasaan saling curiga antartetangga dan antarteman. Kita harus mengerti politik bahasa sehari-hari yang berjargon kekuasaan, terkuburnya kebenaran, hamparan luka emosi yang terpendam, dendam sesama warga, sinisme, apatisme dan frustrasi sosial. Untuk bisa menangkap riak-riak ekspresi ini, tidak bisa didapat dengan metode cacah yang membawa formulir ke setiap rumah penduduk seperti dalam ilmu sensus atau pemeriksaan Litsus. Kalau kita ingin mencapai rekonsiliasi yang benar-yang tidak bisa dilupakan dan yang tidak bisa membawa pelupaan-kita harus merevisi pikiran kita tentang hubungan kita dengan sejarah dengan diri kita dan dengan sesama.
kli
pin gE
LS A
M
Degung Santikarma Antropolog, Editor in Chief Majalah Latitudes
92
Wacan/artikel KKR_03
1
Wacana KKR Oktober 2003 Kompas, Sabtu 11 Oktober 2003 Pemilu 2004 dan Rekonsolidasi Orde Baru Cahyo Pamungkas PERANAN Pemilu 2004 dalam proses pembangunan demokrasi masih menjadi polemik, sebagian besar pakar ilmu politik dan elite politik selalu menekankan pentingnya pemilu sebagai mekanisme pembangunan demokrasi. Sementara sebagian lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai bahwa Pemilu 2004 dikhawatirkan akan gagal dan tidak berkualitas.
M
TULISAN berikut dimaksudkan untuk melihat secara kritis peranan Pemilu 2004 dalam perspektif pembangunan demokrasi dan reformasi nasional. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah apakah Pemilu 2004 merupakan bentuk rekonsolidasi demokrasi ataukah rekonsolidasi Orde Baru.
LS A
Pemilu sering kali hanya dilihat secara fungsional untuk menentukan apakah sistem politik dapat dikategorikan demokratis atau tidak. Substansi yang dinilai tidak lebih dari prosedur formal untuk memilih para pembuat keputusan kolektif tertinggi seperti DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Selain itu, asumsi yang digunakan juga perlu untuk dikritisi bahwa prosedur demokrasi akan menjamin dihasilkannya rezim politik yang demokratis. Pemilu 2004 tidak hanya berkaitan dengan persoalan prosedur demokrasi karena diletakkan dalam konteks historis yaitu bertolak dari reformasi nasional. Pertanyaannya adalah apakah Pemilu 2004 dapat memperkuat proses demokratisasi dan menghasilkan rezim yang mampu mewujudkan cita-cita reformasi dan menyelesaikan krisis nasional.
pin gE
Pengalaman sejarah di negara berkembang menunjukkan bahwa pemilu tidak secara langsung mendukung pembangunan demokrasi atau menghasilkan rezim yang berpihak pada cita-cita reformasi. Pakistan dan Turki adalah contoh negara demokrasi tetapi tidak memiliki tradisi demokrasi yang kuat. Elite militer di negara tersebut memiliki peranan yang lebih besar daripada elite sipil dalam mengarahkan berjalannya sistem politik. Setiap rezim politik sipil menerapkan kebijakan politik yang bertentangan dengan tentara maka militer akan mengambil alih kekuasaan dari politisi sipil. Demikian juga ketika pemilu melahirkan rezim yang tidak disukai tentara maka militer akan melakukan intervensi dalam politik. Sedangkan Filipina adalah contoh di mana pemilu yang demokratis tidak otomatis melahirkan rezim politik yang berpihak kepada cita-cita reformasi. Presiden Joseph Estrada yang terpilih melalui pemilu, akhirnya harus diturunkan oleh kekuatan rakyat pada tahun 2001 karena kasus KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
kli
Derajat relasi Pemilu 2004 dan pembangunan sistem demokrasi dapat dilihat dari proses penyusunan UU Pemilihan Presiden/Wakil Presiden. Salah satu pasal dalam RUU yang menyebutkan "seorang dalam status terdakwa atau terpidana dalam perkara tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih tidak diperbolehkan menjadi calon presiden," telah dihapus oleh DPR. Pada sisi lain UU Pemilu dan UU Pemilihan Presiden/Wakil Presiden juga melarang "bekas anggota organisasi terlarang atau yang terlibat langsung maupun tidak langsung dengan peristiwa G30S/PKI untuk menjadi calon anggota legislatif, presiden atau wakil presiden."
Kedua undang-undang tersebut menunjukkan bahwa sejak awal, peraturan perundang-undangan mengenai pemilu merupakan wadah kompromi elite politik di DPR daripada hasil sebuah pemikiran kritis untuk membangun demokrasi. Undang-undang tersebut juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat karena sifat diskriminatifnya. Seseorang yang telah berstatus terpidana/terdakwa diperbolehkan menjadi calon presiden, sementara seseorang yang diduga terlibat G30 S/PKI tanpa ada keputusan pengadilan dilarang menjadi calon anggota legislatif dan presiden/wapres.
Pemilu yang didasarkan atas perundang-undangan yang merupakan hasil kolaborasi elite politik dan mengandung unsur-unsur diskriminasi diharapkan dapat memperkuat pembangunan demokrasi. Bertolak dari Pemilu 2004 maka sistem politik demokrasi yang akan dibangun pada masa depan tidak lain adalah demokrasi prosedural yang didasarkan atas kompromi elite politik. Permasalahannya adalah sejauh mana sistem tersebut berpihak kepada kepentingan rakyat.
Wacan/artikel KKR_03
2
Demokrasi prosedural telah terbukti gagal untuk membangun sistem politik yang berpihak kepada massa rakyat. Pareto mengatakan bahwa kekuasaan politik dalam sistem demokrasi liberal selalu dijalankan oleh minoritas elite, sementara Gaetano Mosca menegaskan bahwa pemilu dan manifestasi kehidupan sosial lainnya ditentukan oleh elite yang memiliki legitimasi atas moral, intelektual, dan harta benda (Susanto, 1998). Demokrasi liberal hanya akan menciptakan elitisme dalam masyarakat. Elite politik dalam struktur kekuasaan akan mengendalikan dan melakukan kontrol terhadap massa rakyat sebagaimana telah dijalankan dalam sistem politik di negara-negara yang menganut demokrasi liberal.
M
Pembangunan demokrasi yang menjadi cita-cita reformasi bukanlah sebuah sistem demokrasi prosedur melainkan lebih substansial yaitu terciptanya sebuah sistem politik yang memihak kepada massa rakyat, menegakkan rasa keadilan masyarakat, dan menjunjung tinggi etika. Demokrasi substansial akan mendasarkan pada peranan massa rakyat untuk menentukan sejarah perjalanan bangsa dan negara dan melahirkan tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan moralitas. Pemilu sebagai pilar sistem demokrasi seharusnya mengarahkan transisi menuju terciptanya demokrasi substantial.
LS A
Pada sisi lain, pemilu harus melahirkan rezim politik yang memiliki komitmen terhadap terwujudnya cita-cita reformasi. Adapun cita-cita reformasi yang dicetuskan pada tahun 1998 antara lain adalah: perbaikan kesejahteraan rakyat, penegakan hukum atas kasus-kasus KKN dan pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Orde Baru, dan penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, mereka yang akan mengisi struktur politik tersebut adalah elite-elite politik yang sekarang ini menyusun kerangka pemilu dan menjalankan sistem pemerintahan. Selain itu, partai politik yang akan duduk dalam parlemen sebagian besar didominasi oleh partaipartai warisan Orde Baru atau pro-status quo seperti Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan PDI-P. Pemilu 2004 hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang populis seperti Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais, tetapi diragukan komitmennya terhadap perjuangan cita-cita reformasi dan demokrasi.
pin gE
Pertanyaan yang mengemuka adalah bukankah elite-elite politik tersebut sudah diberikan kesempatan dalam lembaga-lembaga tinggi/tertinggi ne gara untuk menjalankan amanah gerakan reformasi. Tanggung jawab untuk mewujudkan cita-cita reformasi dan demokrasi bukanlah tanggung jawab individu tetapi tanggung jawab kolektif baik Presiden, DPR/MPR, dan lembaga lainnya. Untuk mendapatkan gambaran umum hasil kerja elite politik dalam hubungannya dengan pelaksanaan cita-cita reformasi dapat disarikan sebagai berikut. Pertama, tingkat perbaikan kesejahteraan rakyat secara riil mengalami penurunan. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin mahalnya pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat kecil. Kedua, gagalnya pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto dan tidak tersentuhnya kasus-kasus KKN serta pelanggaran HAM pada masa Orde Baru. Kalaupun ada pengadilan HAM maka tidak menyentuh petinggi-petinggi militer yang bertanggung jawab. Ketiga, gagalnya politik pengendalian terhadap tentara. Penghapusan Dwi fungsi ABRI hanyalah bersifat simbolis, sementara penggunaan kekerasan oleh TNI dilegitimasikan oleh negara dan masih berlangsung di Aceh. Keempat, kembalinya otoritarianisme melalui Undang-Undang Tindak Pidana Teroris yang membelenggu hak-hak politik dan kebebasan warga negara.
kli
Kinerja elite-elite politik tersebut menunjukkan bahwa Pemilu 2004 hanyalah sebagai alat untuk melegitimasi kembalinya Orde Baru dan TNI. Pemilu sebagai sarana legitimasi politik memperkuat kekuasaan pemerintah untuk menjalankan seluruh kebijakan yang dihasilkannya dan memungkinkan pemerintah memperbarui kesepakatankesepakatan politik dengan rakyat dan mengendalikan perilaku rakyat (Syamsuddin Harris dkk, 1997). Kalau yang berkuasa adalah elite-elite dari partai politik warisan Orde Baru maka gerak pembangunan demokrasi berbalik arah ke belakang. Mereka tidak memiliki kesadaran terhadap proses demokrasi dan reformasi karena lebih cenderung mengutamakan kepentingan kekuasaan. Gerakan pro-demokrasi harus memiliki agenda yang jelas untuk menahan arus balik demokratisasi ini dengan melihat Pemilu 2004 dalam konteks perjuangan reformasi dan demokrasi. Menolak sepenuhnya Pemilu 2004 adalah sikap yang tidak mendukung pendidikan politik masyarakat karena pemilu adalah mekanisme demokrasi yang memerikan kesempatan yang sama kepada seluruh partai-partai politik maupun elite-elite politik. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah mencoba mengkampanyekan masyarakat untuk tidak memilih partai warisan Orde Baru. Hal tersebut dilakukan dengan menjelaskan bahwa krisis nasional yang belum selesai disebabkan karena kembalinya dominasi kekuatan politik Orde Baru dalam kehidupan sosial politik. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mendesak kepada partai politik baru agar bersatu melawan partai pro-status quo. Kalaupun cara tersebut gagal dan pemilu benar-benar menjadi alat legitimasi bagi status quo maka harus ada kampanye terbalik kepada
Wacan/artikel KKR_03
3
massa rakyat bahwa reformasi telah gagal dan demokrasi prosedural tidak akan banyak memberikan manfaat kepada masyarakat. Selanjutnya wacana dan agenda transisi demokrasi jilid dua perlu dikembangkan untuk mewujudkan cita-cita reformasi yang belum selesai.
kli
pin gE
LS A
M
Cahyo Pamungkas Peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Wacan/artikel KKR_03
4
Suara Pembaruan, Minggu 19 Oktober 2003 TNI dan Rekonsiliasi Nasional Rachmat H Cahyono
kli
pin gE
LS A
M
Menyedihkan, jika akhir-akhir ini orang mulai kehilangan minat dan perhatian terhadap apa yang terjadi di daerah serambi Mekkah, Aceh. Setelah beberapa bulan penetapan status darurat militer dan pelaksanaan operasi terpadu, termasuk operasi militer, sebuah komentar menarik muncul dari wilayah bergolak ini. Pihak Komando Operasi (Koops) TNI di sana, menurut juru bicaranya Letnan Kolonel Ahmad Yani Basuki beberapa waktu lalu, menginginkan tugas negara yang mereka emban di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dilaksanakan dengan sukses. Menarik, jika memang benar pernyataan itu sesuai kenyataan di lapangan. Bahwa yang dimaksud sukses, menurut Ahmad Yani Basuki, adalah jika TNI dalam melaksanakan tugasnya bukan hanya dilihat dari keberhasilan menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM), melainkan juga dari kemampuan TNI untuk menjalankan tugas tanpa tumpukan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh. Kalaupun terjadi kasus pelanggaran HAM oleh prajurit TNI selama darurat militer di Aceh, kasus itu harus sesegera mungkin diselesaikan. "TNI ingin sukses menjalankan tugas di Aceh dan sekaligus ingin pulang dari Aceh tanpa meninggalkan berbagai persoalan," ujarnya. Kita membaca adanya kemajuan dari TNI dalam menyikapi masalah pelanggaran HAM. Ada pengakuan mengenai kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM dalam pelaksanaan tugas TNI. Ini masalah yang sangat penting, karena Indonesia di masa kemerdekaan justru memiliki riwayat kekerasan yang besar dan terjadi berulang kali. Kasus kekerasan dan pelanggaran HAM berat ini kebanyakan justru dilakukan oleh negara sendiri. Otomatis kekerasan dan pelanggaran HAM oleh negara itu dalam praktiknya melibatkan aparat negara (baca, kaum militer). Pasang Surut Sepanjang 58 tahun usianya yang sama dengan usia kemerdekaan negeri ini, TNI telah ikut mengalami pasang surut kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak mungkin mengesampingkan peran TNI dari perjalanan sejarah modern bangsa ini. Sampai pada masa sekarang pun, TNI tetap menjadi institusi yang diperhitungkan oleh berbagai pranata lain setiap kali muncul tantangan dan masalah dalam perjalanan berbangsa dan bernegara. Begitu pula sulit mengesampingkan TNI ketika kita bicara tentang perlunya rekonsiliasi nasional. Dalam banyak hal, rekonsiliasi yang paling krusial, seperti pernah dikemukakan sejarawan Asvi Warman Adam, sebenarnya harus dilakukan antara kaum sipil dengan militer. Hampir semua riwayat kekerasan dan pemberontakan di masa kemerdekaan, melibatkan kelompok bersenjata (militer atau elite militer). Semua kekerasan berdarah sejak Indonesia merdeka juga menyangkut pihak yang memegang senjata. Lebih banyak kalangan sipil menjadi korban. Rekonsiliasi hubungan sipil-militer akan sangat menentukan, apakah di masa mendatang masih akan terjadi pelanggaran berat HAM atau tidak. Sejarawan telah mencatat, kebanyakan dinasti dan rezim didirikan dan dipertahankan dengan kekerasan. Di Indonesia, peran kaum militer - yang pada hakikatnya dekat dengan kekerasan karena fungsi pertahanan negara berada di pundak mereka - menjadi makin penting dan dominan, terutama sejak awal berlakunya sistem Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Sukarno pada tahun 1959. TNI memainkan peranan penting dalam menjaga kesatuan Indonesia, yang ketika itu menghadapi pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera Barat, Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi Utara, serta Darul Islam di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Penggunaan tindakan kekerasan pun dilakukan dengan mengatasnamakan kewajiban menjaga keutuhan bangsa dan negara. TNI pun berkembang menjadi faktor penting saat itu di antara dua kekuatan lain, yaitu Presiden Sukarno dan Partai Komunis Indonesia. Konstelasi berubah drastis dan dramatis, ketika kaum militer khususnya Angkatan Darat di bawah kepemimpinan Mayor Jenderal Soeharto menjadi satu-satunya kekuatan vital setelah tragedi kemanusiaan 1 Oktober 1965 disusul tragedi pembunuhan massal "orang-orang kiri" antara akhir 1965 s/d pertengahan 1966. Orde Baru pun lahir dari tangan rezim yang didominasi kaum militer. Penggunaan kekerasan dalam mempertahankan kekuasaan menjadi semakin tidak terelakkan. Peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang luar biasa -dan diyakini sebagian kalangan didorong oleh kekuatan Angkatan Darat saat itu- berupa pembunuhan ratusan ribu orang Indonesia yang dianggap "simpatisan PKI" antara 1965-1966 dan penahanan tanpa melalui pengadilan serta pembuangan ke Pulau Buru, oleh Daniel Dhakidae disebut sebagai simpul pertama awal segala kekacauan selama ini.
Wacan/artikel KKR_03
5
kli
pin gE
LS A
M
Beberapa simpul yang lain juga tidak terlepas dari peran militer. Yakni, simpul kedua berupa tindakan kekerasan dan ketidakadilan terhadap kelompok Islam, misalnya sejak ekses Demokrasi Terpimpin berupa penangkapan dan penahanan tokoh Masyumi/PSI tanpa diadili, sampai kasus Tanjung Priok dan kasus Lampung di tahun '80-an. Simpul lainnya adalah sejumlah kasus pelanggaran HAM yang muncul belakangan, mulai dari peristiwa pembunuhan misterius (petrus), kasus penculikan dan penghilangan aktivis, kasus 27 Juli 1996, kerusuhan Mei 1998, sampai kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Di luar itu, masih ada simpul yang berdiri sendiri, seperti kasus pelanggaran HAM di Aceh (DOM/Daerah Operasi Militer), Timor Timur, dan Papua. Tentu saja dalam melihat peranan kaum militer atau TNI sebagai institusi dalam kasus-kasus itu, perlu mempertimbangkan kriteria yang tidak kalah penting sebagaimana disarankan Asvi Warman Adam. Yakni, apakah tindakan pelanggaran HAM itu merupakan bagian dari suatu kebijakan atau sekurang-kurangnya kultur dari suatu sistem politik? Apakah itu dapat dikaitkan dengan karakter suatu rezim yang memerintah? Apakah pelanggaran HAM yang terjadi akibat bekerjanya sebuah sistem dan bekerja dari suatu sistem tertentu? Mengungkap Kebenaran Seusai Perang Pasifik yang mengakibatkan kekalahan bagi Jepang, sejumlah petinggi negara yang didominasi kaum militer, termasuk Perdana Menteri Tojo, dimintai pertanggungjawabannya dalam sebuah mahkamah internasional untuk penjahat perang. Namun, dari puing-puing kekalahan perang yang sangat menyedihkan, negara Jepang tetap mampu bangkit dan eksis untuk kemudian tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang diperhitungkan di dunia. Rekonsiliasi berarti mengungkap kebenaran, mengakui kesalahan, yang diikuti dengan penegakan hukum tanpa mengesampingkan pentingnya permaafan dan penyingkiran dendam. Sebaiknya kita terus mendorong institusi TNI agar senantiasa menjaga fitrahnya selaku alat pertahanan negara yang lahir dari rahim rakyat Indonesia. "Jangan sakiti hati rakyat" adalah mantera yang paling tepat untuk membuktikan jati diri TNI sebagai "anak kandung" rakyat. Nama TNI tidak akan jatuh jika aparatnya -apapun pangkatnya- yang terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat, termasuk di masa silam, dapat dimintai pertanggungjawabannya melalui proses pengadilan yang fair dan terbuka. Sebaliknya, tindakan ini justru dapat merebut simpati dan memenangkan hati rakyat. Dalam konteks kekinian, tentu kita harus terus mendorong tumbuhnya iklim keterbukaan di lingkungan TNI sendiri. Misalnya, kita harus memberi apresiasi jika TNI benar-benar mampu membuktikan ukuran kesuksesan operasi militer yang diembannya, adalah termasuk kemampuan untuk menegakkan hukum terhadap pelanggar HAM dan menghindari terulangnya kembali kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang menimpa rakyat sipil seperti kasuskasus terdahulu. Penulis adalah pengarang dan pemerhati masalah sosial politik dan budaya. Last modified: 17/10/03
Wacan/artikel KKR_03
6
Kompas, Selasa, 21 Oktober 2003 Pelurusan Sejarah 1965 Penting buat Seluruh Bangsa Jakarta, Kompas - Pelurusan penulisan sejarah peristiwa 1965 bukan hanya penting untuk korban dan keluarganya, tetapi juga penting untuk bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sepanjang masyarakat Indonesia tidak bisa bersikap rasional, kesatria, dan jujur terhadap sejarah, bangsa Indonesia tidak akan bisa keluar dari krisis multidimensi yang terjadi selama ini. "Ini menyangkut psikologi bangsa. Sepanjang bangsa ini tidak bisa keluar dari sikap-sikap picik, menjadi pecundang, dan selalu menyalahkan orang lain, kita tidak akan menjadi bangsa yang survive," kata Boni Setiawan, aktivis Institute of Global Justice, dalam acara peluncuran buku Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966 karya peneliti asal Australia Robert Cribb di Jakarta, Senin (20/10).
LS A
M
Trauma akibat peristiwa 1965, kata Boni, tidak hanya menghinggapi korban dan keluarganya, tetapi juga para pelakunya. Hal tersebut dikemukakan pula oleh aktivis Kalyanamitra Ruth Indah Rahayu. Sejumlah kasus menunjukkan anak-anak pelaku pembantaian 1965 menjadi pelaku kekerasan terhadap istri dan anak-anak. Ruth juga mengungkapkan, banyak anak yang gelisah karena keterlibatan orangtuanya dalam pembantaian 1965. Mereka kemudian bergabung dengan anak-anak korban untuk bersama-sama memahami peristiwa tersebut. Film-film versi Orde Baru tentang peristiwa 1965, menurut Ruth, merupakan pelajaran kekejaman terhadap masyarakat Indonesia. Cerita tentang aktivis Gerwani-yang menari sambil menyiksa sejumlah jenderal-menciptakan suasana yang mudah diarahkan pada aksi pembantaian terhadap sesama anggota masyarakat. Kekejaman itu berlanjut dengan pembuangan mayat ke sungai, penangkapan sewenang-wenang, pelarangan keluarga korban 1965 bekerja, dan lain-lainnya. Kekerasan itu juga berdampak para istri korban yang mengalami penderitaan dan mereka kemudian menghalang-halangi anak-anaknya untuk terlibat dalam kegiatan politik.
pin gE
Robert Cribb mengemukakan, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang menjadi pengecualian karena tidak pernah selesai menjelek-jelekkan komunisme. "Kekecualian ini mudah-mudahan akan hilang," kata Cribb. Menurut Cribb, rekonsiliasi yang benar-benar sulit diharapkan bisa tercapai di Indonesia. Rekonsiliasi di Indonesia, menurut Cribb, tidak bisa meniru rekonsiliasi antara warga Aborigin dan warga kulit putih di Australia. Alasannya, pihak yang menang di Indonesia tidak merasa aman. Jalan kedua adalah melupakan masa lalu, seperti yang terjadi dalam konflik kelompok kanan dan kiri di Finlandia. Hal itu mungkin saja dilakukan setelah peristiwa itu berlalu dalam kurun waktu lama dan selama itu terjadi perubahan-perubahan sosial. Jalan ketiga, kata Cribb, bisa ditempuh dengan dokumentasi dan publikasi tentang penderitaan para korban. Dokumentasi merupakan satu-satunya jalan untuk menceritakan nasib korban. Dokumentasi peristiwa 1965, kata Cribb, sangat penting agar orang Indonesia bisa mengerti penderitaan para korban yang dialami pada waktu itu.
kli
"Cara ini tidak sulit dibandingkan keinginan pengakuan bersalah dari para pelaku," kata Cribb. (wis)
Wacan/artikel KKR_03
7
Suara Pembaruan, Selasa 21 Oktober 2003 Korupsi Membuat Indonesia Dekat dengan Kehancuran
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Korupsi yang merajarela di Indonesia memposisikan bangsa ini begitu dekat dengan jurang kehancuran. Korupsi telah mengakibatkan kualitas hidup rakyat Indonesia merosot sampai di bawah standar minimal internasional dan tujuan konstitusi untuk menyejahterakan rakyat tidak tercapai. Sementara itu, mereka yang korupsi tidak malu-malu menunjukkan hasil korupsinya dalam wujud barang-barang yang dimiliki, seperti mobil dan rumah mewah, di samping pergi dan belanja ke luar negeri. Pendapat itu dikemukakan Direktur Eksekutif Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsilisasi dan Perdamaian (PPRP) Judo Poerwowidagdo, dalam Konferensi Nasional tentang Rekonsiliasi Nasional Menuju Masyarakat Sipil yang Demokratis, diselenggarakan PPRP bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES), Selasa (21/10), di Jakarta. Korupsi, kata dia, bukan tidak mungkin diberantas di negara maju dan berkembang yang rakyat dan pemerintahnya mempunyai kemauan politik. Beberapa negara telah menunjukkan hasil yang baik, seperti Cina yang telah menetapkan memberikan hukuman mati bagi yang terbukti korupsi US$ 5.000 (setara Rp 45 juta) atau le- bih. Amnesti Judo menawarkan gagasan memberantas korupsi dengan memberi amnesti kepada koruptor, asalkan yang bersangkutan mengungkapkan korupsi, meminta maaf, dan mengembalikan sebagian besar hasil korupsinya. Proses pemberian amnesti ini dilakukan melalui Komisi Pemberantasan Korupsi yang bekerja dalam kurun waktu tertentu. Setelah masa kerja komisi berlalu dan orang yang diduga korupsi tidak mengungkapkannya kepada komisi tersebut akan diajukan ke pengadilan dengan proses pembuktian terbalik. Jika terbukti, seluruh kekayaan hasil korupsinya disita untuk negara dan yang bersangkutan dihukum berat. Dana yang terkumpul dari para koruptor itu bisa digunakan membayar kompensasi bagi korban pelanggaran HAM pada masa lalu yang prosesnya melalui KKR. Peran Perempuan Sementara itu pembicara lainnya Saparinah Sadli menyoroti rekonsiliasi dalam perspektif perempuan. Dia mengemukakan, rekonsiliasi atau solusi damai membutuhkan waktu dan kesabaran, serta dilandasi keinginan tulus untuk menata masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, kata dia, rekonsiliasi harus mendatangkan rasa damai dan aman bagi semua termasuk perempuan dan anak-anak. Saparinah yang berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak mengatakan, dalam proses rekonsiliasi perempuan dan anak sebagai korban perlu diberi sarana dan kesempatan yang sama dengan korban lainnya. Hal ini perlu pertimbangan khusus karena adanya aturan dan hukum yang masih diskriminatif terhadap perempuan dan anak. Secara kultur mereka sering ditempatkan sebagai warga negara kelas dua. Dia mengungkapkan, dalam situasi konflik perempuan dan anak sebagai korban sering tidak diakui sebagai realita pelanggaran HAM. Akibatnya suara perempuan dan anak sering dianggap tidak penting dalam upaya rekonsiliasi. Itu sebabnya, dia menghendaki agar perempuan dan anak mendapatkan kesempatan yang sama dalam proses rekonsiliasi.(M-17/S-22) Last modified: 21/10/03
Wacan/artikel KKR_03
8
Jakarta Post, October 21, 2003 RI needs truth commission Opinion and Editorial - October 21, 2003 Agung Yudhawiranata, Institute for Policy Research and Advocacy (ELSAM), Jakarta President Megawati Soekarnoputri's regime is still obliged to deal with systematic human rights violations that occurred under Soeharto's New Order regime -- mainly because the atrocities have not been dealt with by the law, apart from the country's obligations stemming from its ratification of the Universal Declaration of Human Rights. Most of the victims and their families have not received acknowledgement, nor have they received adequate reparations according to their rights. A major problem for decision makers involved in this issue is the debate on "pardon or punish".
M
There is the urgent need to cleanse post-Soeharto governments of any influence from the prior regime. Meanwhile the new governments also need to obtain compliance and legitimation from the military, many of whose officers are active political actors, as well as having been among the human rights abusers in the past.
LS A
In a number of countries truth commissions have had considerable success as one way to deal with past gross violations of human rights, hence the call for such a commission in the early days after the downfall of Soeharto. The establishment of these commissions is often controversial. There are those who are of the opinion that the criminal punishment process could be harmed by the establishment of such a commission, and therefore would violate the norms of international law. But many doubt whether the legal process alone is sufficient to settle accounts with past human rights violations. One argument against prosecuting past rights abusers is that a new or reinstated democracy is frail, thus tolerance in the handling of past abuses is necessary for democracy to survive.
pin gE
If applying a particular international legal obligation results in the "political suicide" of a government in transition to a more democratic system, such an obligation can be postponed. Commenting on calls for justice for past atrocities in his country, the former president of Uruguay, Julio M. Sanguinetti, once said: "What is more just, to consolidate the peace of a country where human rights are guaranteed today or to seek retroactive justice that could compromise that peace?" Indonesia faces a complex political situation and uncertainty, human rights violations in the recent or further past and a relatively weak legal system and law enforcement. Therefore there seems to be no favored method for dealing with the past atrocities.
kli
However, in achieving reconciliation, Indonesia must pass a number of stages regarding the following issues: How to deal with the legacy of oppression, how to restore the rule of law and establish a culture of respect for human rights, how to democratize the country's institutions and how to establish an accountable government and an independent judiciary.
This at least means that the process, through genuine reconciliation, needs the political will of the current government to reveal, investigate and punish the perpetrators of past rights violations, however powerful they may be; and the will of the people, particularly the victims and their relatives and families, to forgive but not to forget. And probably most importantly of all, in order to lay a concrete foundation for a new democratic society, the whole process should be conducted fairly and transparently. Truth commissions and criminal prosecutions are both important in a democratic transition. Each serves unique purposes and are complementary, and a full range of objectives may be met only if there are both prosecutions and a truth commission. In Indonesia, the Human Rights Court Act (Law No. 26/2000) recognizes that not all gross human rights violations can be resolved judicially, hence the provision for the resolution of gross violations through a truth and reconciliation commission that would be established through a separate law. This recognition may be a good start.
Wacan/artikel KKR_03
9
Kompas, Jumat 24 Oktober 2003
KKR Harus Ungkap Kebenaran Pelanggaran HAM Jakarta, Kompas - Perspektif Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang paling utama adalah mengungkap kebenaran dari peristiwa pelanggaran berat HAM. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran konkret, seperti berapa jumlah korban, siapa saja korbannya, siapa yang melakukan pelanggaran, dan mengapa peristiwa itu terjadi. "Saya mau meluruskan perspektif KKR, yaitu yang paling utama adalah mengungkapkan kebenaran dari peristiwa pelanggaran berat HAM secara konkret, bukan kebenaran spekulasi," kata Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Abdul Hakim Garuda Nusantara di Jakarta, Selasa (21/10).
Reformasi pemerintahan
M
Saat berbicara dalam Konferensi Nasional Rekonsiliasi Nasional Menuju Masyarakat Sipil yang Demokratis, Abdul Hakim mengatakan, setelah kebenaran diungkapkan dan data-datanya diklarifikasi, data-data itu menjadi dasar untuk menyusun rekomendasi tentang kebijakan reformasi.
LS A
Yang harus direformasi adalah sistem hukum dan pemerintahan, termasuk di dalamnya TNI, Polri, intelijen, dan pemerintahnya, karena biasanya aparat-aparat inilah yang menjadi alat pelanggaran HAM di masa lalu. Dengan reformasi diharapkan berbagai pelanggaran berat HAM tidak terulang lagi. Data-data yang kebenarannya sudah dikumpulkan dan dianalisis KKR juga menjadi dasar untuk menyusun program reparasi nasional. Maksudnya, reparasi para korban atau keluarganya, atau masyarakat yang terkena dampak pelanggaran berat HAM itu. Itu bisa dalam bentuk ganti rugi atau kompensasi, atau rehabilitasi.
pin gE
Apabila memang di dalam Undang-Undang KKR ada kemungkinan untuk memberi amnesti kepada pelaku, datadata itu digunakan untuk memanggil si pelaku. Kalau memang dia mau mengakui dan meminta amnesti, serta ada alasan yang masuk akal, bisa saja diusulkan kepada presiden untuk diberikan amnesti. Jika tidak bisa diberikan amnesti, data-data yang sama bisa dikirim ke Komnas HAM untuk diselidiki dan diberikan kepada jaksa agung untuk diproses secara hukum ke Pengadilan HAM Ad Hoc. "Jadi yang paling utama adalah pengungkapan kebenarannya," kata Abdul Hakim. Soal pemerintah dan DPR yang kelihatannya tak lagi menggebu soal KKR, menurut Abdul Hakim, itu menunjukkan bahwa mereka tidak konsisten. UU KKR semestinya melalui proses konsultasi yang luas kepada masyarakat, terutama kepada masyarakat korban, keluarga korban, dan pelaku.
kli
"Saya tidak ingin menggunakan bahasa agar diselesaikan cepat, karena nanti UU KKR jadi asal bikin. Tetapi RUU KKR ini perlu dikonsultasikan secara luas sehingga secara kualitatif aspirasi masyarakat terakomodasi di dalamnya. Kalau UU KKR-nya jelek, yang terjadi adalah rekonsiliasi sepihak dan akhirnya tidak ada rekonsiliasi karena UU itu tidak mendapat dukungan dari masyarakat," tambahnya. (LOK)
Wacan/artikel KKR_03 10 Kompas, Jumat 24 Oktober 2003
Rekonsiliasi Nasional Mendesak Diwujudkan Jakarta, Kompas - Rekonsiliasi nasional merupakan hal yang sangat mendesak untuk segera diwujudkan di Indonesia. Jika hal ini belum terselesaikan, proses politik yang berlangsung di Indonesia akan tetap diwarnai kepentingan kelompok dan balas dendam. Keadaan ini membuat Indonesia makin terbelakang di antara negara terbelakang.
M
Demikian pendapat yang muncul dalam dialog Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) di Jakarta, Rabu (22/10). Di samping menampilkan kesaksian putra-putri korban konflik, empat pembicara mencoba memberi perspektif mengenai apa dan bagaimana yang terjadi pada masa lalu dan dampaknya hingga saat ini. Keempatnya dengan latar belakang berbeda. Mereka adalah Batara R Hutagalung, Tatto S Pradja Manggala, Dr Nani Nurrachman, dan Nurcholish Madjid.
LS A
Dalam dialog yang dihadiri lebih dari 200 orang mantan aktivis organisasi di bawah PKI, mantan pejabat Orde Baru, purnawirawan TNI/Polri, maupun anak dan cucu korban peristiwa G30S serta konflik sebelumnya, muncul kekhawatiran bahwa pemerintah dan elite politik saat ini menjauh dari keinginan rekonsiliasi nasional. Ini berkaitan dengan persaingan antarparpol dan perpecahan internal yang merembet ke luar. Sidang tahunan MPR baru- baru ini memang kembali menyebutkan pentingnya rekonsiliasi nasional. Namun, hal ini tidak lebih dari sekadar basa- basi. Selain belum pernah diupayakan pemerintah maupun elite politik secara nasional, perilaku elite politik Indonesia sendiri bertentangan dengan semangat rekonsiliasi. Salah satu peserta mengambil contoh Tap MPR mengenai larangan ajaran yang berbau komunisme. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid hal ini diusulkan agar dicabut, tetapi reaksi elite politik begitu keras menolak. Begitu pula Tap MPRS mengenai keterlibatan Bung Karno dalam peristiwa G30S yang baru-baru ini diusulkan dicabut.
pin gE
Lebih aneh lagi, usulan tersebut malah dimanfaatkan sebagai isu politik yang menyudutkan dan memperuncing pertentangan agama dengan sekularisme. Ini artinya, pola pikir elite politik kita justru memanfaatkan pertentangan demi kekuasaan. Pertentangan yang akan mempertebal segmentasi dalam masyarakat Indonesia. Penolakan elite politik yang duduk di MPR untuk mencabut Tap MPRS mengenai status Bung Karno dalam peristiwa G30S sebenarnya bukan hanya tidak menghargai Proklamator RI. Ini terkait dengan pola pikir sempit elite politik yang hanya mengutamakan kepentingan jangka pendek parpolnya. Dengan kata lain, mereka khawatir rehabilitasi nama Bung Karno akan memberi bobot politik bagi Megawati Soekarnoputri dalam Pemilu 2004. Padahal, Bung Karno adalah milik dan simbol persatuan Indonesia di masa lalu. Namun, elite politik Indonesia berusaha mengingkari sejarah. Pengingkaran demikian selalu menjadi sumber perpecahan, kebingungan, dan konflik terbuka di lapis bawah.
kli
Para peserta dialog umumnya sependapat bahwa penulisan kembali sejarah secara obyektif mutlak dilakukan. Namun, ini jangan diinterpretasikan secara sempit, menyalahkan salah satu pihak. Sejarah yang dimaksud adalah membuka wawasan kita agar belajar dan tidak mengulangi kekeliruan masa silam.
Direktur FSAB Suryo Susilo sebelumnya mengungkapkan kepada Kompas, sarasehan ini bermula dari inisiatif beberapa anak keluarga korban peristiwa G30S maupun konflik sebelumnya. Ternyata sambutan masyarakat makin meluas. Tanpa menyebut kesadaran masyarakat lebih tinggi ketimbang elite politik maupun pemimpin nasional sekarang, Suryo hanya berharap proses penyadaran ini nantinya bisa berskala nasional.(MT)
Wacan/artikel KKR_03 11 Kompas, Jumat 24 Oktober 2003
Pemerintah Tak Bisa Sendiri dalam Konflik * Libatkan LSM dan Tokoh Masyarakat
Jakarta, Kompas - Resolusi konflik hanya akan berhasil bila pemerintah mau menjalin kerja sama dengan kelompokkelompok masyarakat sipil dan tidak hanya terfokus pada tokoh-tokoh, tetapi juga harus mengikutsertakan korban. Perang dan penyelesaian konflik dengan cara kekerasan hanya akan menghamburkan biaya, merusak peluang kehidupan, dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Penyelesaian konflik tanpa kekerasan, termasuk konflik yang terkait dengan gerakan separatisme, merupakan tema sentral yang dikemukakan pada hari kedua Konferensi Internasional Konflik di Asia Pasifik yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kamis (23/10).
M
Hadir sebagai pembicara dalam konferensi itu pakar studi perdamaian Prof Johan Galtung, Menko Kesra Jusuf Kalla, Robert Cribb dari Universitas Nasional Australia, Sidney Jones dari International Crisis Group (ICG), peneliti LIPI Ikrar Nusa Bhakti, dan aktivis resolusi konflik Ichsan Malik.
LS A
Galtung dalam konferensi itu mengemukakan federalisme merupakan sebuah pilihan yang mesti diambil Pemerintah Indonesia untuk memecahkan konflik yang terjadi di berbagai daerah. Sebab, menurut Galtung, dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang dengan perbedaan etnis begitu banyak, sangat sulit mempertahankan keutuhan Indonesia dalam bentuk negara kesatuan. Bila negara kesatuan dipertahankan, potensi kekerasan struktural akan terus berlangsung. Jehan Parera dari Direktur Dewan Nasional Perdamaian Sri Lanka mengemukakan bahwa para pemimpin politik baru hasil pemilihan umum 2001 di Sri Lanka saat ini memiliki komitmen untuk menghentikan perang.
pin gE
"Perang disadari hanya akan mendatangkan kerusakan bagi kehidupan. Opsi yang dipilih untuk memecahkan konflik di Sri Lanka adalah dengan membentuk federasi," ujar Jehan Parera. Sinkronisasi wewenang
Sementara itu, Melina Nathan dari Bank Dunia mengemukakan, kebingungan wilayah tugas antara polisi dan tentara merupakan salah satu penyebab meluasnya konflik di Indonesia. Kepala daerah merupakan pihak yang harusnya bertanggung jawab atas masalah keamanan. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak banyak berbicara dengan polisi. Menurut Melina, mesti ada sinkronisasi antara desentralisasi dan perundang-undangan yang mengatur persoalan keamanan. Ichsan Malik mengemukakan perlunya kerja sama antara pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam proses penyelesaian konflik. Pertemuan Malino, kata Ichsan, merupakan inisiatif baru dari pemerintah dalam usaha mencari penyelesaian konflik, selain pendekatan secara militer.
kli
Pertemuan Malino, diakuinya, memberikan kontribusi yang penting dalam penyelesaian konflik di Poso dan Maluku. Meski demikian, ada sejumlah kelemahan yang terdapat dalam penyelesaian konflik ala Malino. Kelemahan itu terutama adalah posisi yang diambil pemerintah sebagai pemadam kebakaran, kurang melibatkan partisipasi masyarakat, tidak melibatkan korban, dan prosesnya instan. Ichsan juga mengemukakan perlunya membangun sistem yudisial yang baik untuk mencegah konflik. Sistem penegakan hukum, kata Ichsan, selama ini merupakan bagian dari masalah yang ikut memperparah konflik. "Sistem yudisial yang adil sangat penting dalam penyelesaian konflik," kata Ichsan. (wis)
Wacan/artikel KKR_03 12 Serambi Rabu 29 Oktober 2003
Menggalang Rekonsiliasi Untuk Indonesia Baru Oleh: Ibrahim Ambong
Pemilu 2004 akan digelar tepat April 2004. Euforia politik Indonesia kembali riuh oleh aktivitas masyarakat yang mengangankan suksesi nasional berlangsung dengan baik. Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini mempertanyakan meskipun terkesan "repetitive"- apakah ada kesesuaian antara platform tertulis dari para praktisi politik, partai politik, dan pejabat negara dengan praktik politik pasca-pemilu?
M
Demokrasi merupakan kehendak untuk mewujudkan kebebasan yang terkontrol melalui pengendalian konstitusional. Esensinya, meniadakan segala bentuk tindakan-tindakan yang menyimpang. Realitas sosial politik yang mengemuka akhir-akhir ini justru semakin meyakinkan bahwa demokrasi dalam tataran praktik sangatlah berbeda dengan yang diidealkan dalam tataran teori. Penggunaan jalur-jalur politik yang serba formal sebagai kanalisasi utama demokrasi, adalah salah satu penyebab perbedaan ini masih terjadi. Rekayasa suara publik, jubah hakim di pengadilan, dan rapat yang terkesan megah di gedung wakil rakyat, adalah contoh-contoh yang bisa dikemukakan.
LS A
Menjelang Pemilu 2004, para pejabat atau politisi yang mencalonkan diri, wajib menyertakan tanda tangan masyarakat pendukung, suatu ketentuan yang bisa membuka peluang munculnya rekayasa suara publik, seperti memobilisir KTP sebanyak-banyaknya. Lantas, apakah bedanya praktik ini dengan realitas yang terjadi di negaranegara otoriter yang juga menjalankan prosedur formal sebagai salah satu pilar menuju hasil demokratis?
pin gE
Perbenturan konseptual ini barangkali masih bersandar pada keyakinan bahwa prosedur yang demokratis akan menghasilkan sesuatu yang demokratis pula. Kalau memang konsep ini yang menjadi rujukan, maka sudah barang tentu demokrasi hanya akan terjadi dalam konteks elit politik tetapi tidak dalam konteks publik karena pandanganpandangan masyarakat tidak mendapat tempat dalam penyusunan berbagai agenda negara. Adalah menjadi penting untuk terus menerus mempertegas kembali baik secara konseptual maupun strategi praksisnya bahwa, apa yang diyakini demokratis - menurut negara lain - belum tentu demokratis dalam tipikal Indonesia. Hal ini tentu saja terkait dengan kultur yang melatari perilaku dan sikap kita terhadap demokrasi. Mempertanyakan kembali demokrasi bukannya untuk memunculkan sebuah apologi bahwa demokrasi tidak mungkin diselenggarakan, melainkan untuk melakukan identifikasi diri bahwa demokrasi merupakan masalah besar yang memerlukan perumusan-perumusan tersendiri agar tidak sekadar menjadi petanda sistem pemerintahan. Sebagai komparasi, apa yang terjadi pada Indonesia pada masa lalu, adalah akibat dari pemberlakuan demokrasi elit yang tidak mengindahkan masyarakat sebagai fokus perjuangan membentuk pemerintahan yang baik.
kli
Negara beralih rupa dan peran menjadi "monster" dengan memberangus oposan yang mengkritik kebijakan pemerintah. Demokrasi yang dihentakkan sebagai sebuah pilihan sistem pemerintahan, justru menyisakan luka yang parah dan terakumulasi menjadi perilaku politik yang memalukan. Wajar jika masyarakat kemudian berusaha mencari obat untuk menyembuhkan luka lama, ketika otoritarianisme berbaju demokrasi di masa lalu hancur melalui satu gerakan ferormasi untuk melakukan perubahan sosial yang menjanjikan ketenangan. Hanya saja, kebutuhan menghadirkan ketenangan itu terkoyak oleh keberingasan ketika masing-masing kelompok, komunitas, atau bahkan individu menakarnya menurut ukuran masing-masing. Merebaklah distabilisasi sosialpolitik dengan munculnya kekuatan-kekuatan primordialistik yang menyeruakkan konflik di berbagai tempat.
Kesalahan manajemen politik masa lalu akhirnya mewujud dalam perilaku warga yang beragam. Mulai isu otonomi sampai separatisme. Masyarakat menuntut keadilan sembari membuka borok-borok pemerintahan masa lalu. Di satu sisi, fenomena ini cukup menggembirakan karena suasana kritis masyarakat demokratis mulai terbina, tetapi di sisi lain, daya kritik yang diiringi oleh emosianalitas komunal terkadang melahirkan otoritarianisme primordialistik yang baru. Permasalahannya, apakah suksesi nasional akan bisa menjamin terwujudnya kondisi sosial-politik yang stabil tanpa ada tuntutan baru yang justru lebih emosional? Rekonsiliasi
Wacan/artikel KKR_03 13 Kegagalan untuk membuat rumusan baru yang lebih ideal bagi sistem kenegaraan, akan sangat menentukan keberlangsungan kehidupan masyarakat di masa mendatang. Mungkin, Indonesia bisa meneladani Afrika Selatan dan Korea Selatan yang pernah terpuruk akibat manajemen politik yang otoriter, tetapi kini berubah menjadi bangsa baru yang demokratis. Afrika Selatan dengan presidennya Nelson Mandela (1994-1999) dari ANC (African National Congress), pernah bertarung dengan kebijakan politik "apartheid", sementara Korea Selatan, juga pernah bergulat dengan kebijakan politik radikal. Apa yang bisa dipetik dari pengalaman politik kedua negara tersebut adalah bahwa, kesalahan politik masa lalu yang telah banyak memangsa korban, harus segera disadari sebagai sebuah kesalahan bersama dan hanya bisa diselesaikan dengan semangat bersama untuk membangun bangsa baru yang anti-kekerasan. Semangat bersama inilah yang kemudian populer dengan sebutan rekonsiliasi.
M
Rekonsiliasi berarti bersatunya kembali semangat untuk menghapus kesalahan masa lalu dan bergandengan tangan membangun dan menyongsong masa depan dan Indonesia Baru yang cerah. Salah satu syarat terwujudnya rekonsiliasi adalah semangat untuk memaafkan, tertuama dari pihak yang selama ini menjadi korban.
LS A
Bagaimanapun, Indonesia pernah menjalani kebijakan politik otoriter yang dampaknya sudah meminta korban ribuan nyawa. Kenyataan seperti ini memang menyakitkan, tetapi bukan berarti harus diselesaikan dengan cara balas dendam. Melakukan pemaafan memang bukan sesuatu hal yang mudah, apalagi bagi mereka yang sekian lama mengalami kekerasan. Tetapi, satu hal yang harus disadari bahwa sebuah bangsa akan bisa maju dan kembali bangkit jika masyarakatnya memiliki semangat seperti ini. Para elit juga harus mau menjadi pelopor dan pemrakarsa rekonsiliasi nasional.
pin gE
Ketika Nelson Kolihiahia Mandela - yang pernah dipenjarakan 27 tahun - membentuk The Truth and Reconciliation Commission (TRC) ia mendapat tantangan dari orang kulit hitam yang pernah menjadi korban. Demikian pula keputusan presiden Kim Dae-Jung dari NCNP (Partai Konggres Nasional untuk Masyarakat Baru) yang memaafkan kesalahan mantan presiden Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo), tidak mudah diterima oleh mayoritas masyarakatnya karena dianggap telah menjalankan keputusan politik yang tidak adil dan tidak fair. Dengan merujuk pada konteks Afrika Selatan dan Korea Selatan, mungkin kita bisa mencermati bahwa, proses pengampunan terhadap pelaku kejahatan bukan berarti tidak disertai dengan aturan main yang berlaku, yaitu komitmen terhadap penegakan hukum dan pranata-pranata kehidupan demokratis yang mengedepankan transparansi, kejujuran, dan keterbukaan.
kli
Pendekatan yang dilakukanpun adalah pendekatan yang bisa diterima oleh dua pihak yang selama ini bertikai. Aceh, Papua, Maluku, Poso dan juga Kalimantan merupakan contoh menyeruaknya konflik sosial-politik yang menyedihkan. Yang diperlukan saat ini adalah common mindset (pemikiran bersama) bahwa, menjalin kembali kehidupan berbangsa melalui rekonsiliasi merupakan agenda yang sangat penting. Para elit dan berbagai kalangan masyarakat perlu duduk bersama, melupakan kepahitan masa lalu dan merumuskan kebutuhan bersama dalam satu naungan kepentingan.
Rekonsiliasi harus disertai pula dengan perbaikan sistem hukum, sistem politik, dan militer. Bagaimanapun juga, rekonsiliasi hanyalah salah satu jalan yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa diimbangi oleh piranti-piranti yang lain. Menjangkau rekonsiliasi berarti memobilisir kekuatan-kekuatan demokratis yang ada dalam masyarakat. Eksistensi Indonesia sangat ditentukan oleh kesediaan komunitas-komunitas yang menjadi warganya untuk bersamasama, senasib dan sepenanggungan merajut rantai persahabatan dan persatuan dan menuju kedewasaan berbangsa dan bernegara. ■Penulis, Ketua Komisi I DPR RI
Wacan/artikel KKR_03 14 Suara Karya Kamis, 30 Oktober 2003
Rekonsiliasi Dan Penegakan Demokrasi Oleh Dharma Oratmangun
kli
pin gE
LS A
M
Setelah kurang lebih 5 tahun proses reformasi dijalankan, sementara proses demokratisasi juga terus digalakkan seiring itu pula tuntutan-tuntutan untuk secara konsisten menjalankan praktik-praktik sosial-politik yang bersih pun terus disuarakan. Masyarakat semakin sadar bahwa selama rentang waktu pembentukan Indonesia, belum terdapat sedikitpun ruang yang begitu membahagiakan kehidupan warga negaranya. Yang terjadi, justru sebaliknya, pembentukan republik terus diwarnai dengan torehan-torehan luka, konflik, dan bahkan pembunuhan terhadap warga negaranya sendiri. Ketika semua itu berusaha disingkap melalui tuntutan untuk menguak kejahatan-kejahatan otoriterisme masa lalu, maka yang terjadi adalah kesimpangsiuran; apakah perbuatan pelanggaran terhadap Hak-hak Asasi Manusia - pembunuhan, penculikan, penganiayaan, pemerkosaan, penahanan tanpa pengadilan - harus diselesaikan melalui pengadilan ataukah cukup dengan memaafkan dan melupakan? Sebagai perbandingan, mungkin masih begitu segar dalam ingatan kita bagaimana kejamnya rezim-rezim otoriter di Argentina dasawarsa 1970 dan 1980 yang telah menghilangkan sekitar 9.000 warga masyarakatnya. Lalu rezim Ceausescu yang juga pernah melakukan pelanggaran HAM terhadap warga Rumania, atau peristiwa holocaust (pembunuhan besar-besaran pada masa Hitler) yang sampai saat ini masih mengendap dalam kerak pikir warga negara sedunia. Atau juga, penculikan dan pembunuhan yang pernah dilakukan oleh rezim di negeri ini. Akhirnya, sejumlah pemimpin di belahan dunia merasa perlu untuk memikirkan secara serius bahwa kehidupan umat manusia harus dilindungi dari tindakan-tindakan yang anti-manusiawi. Mulailah bermunculan organisasi-organisasi HAM di beberapa negara di dunia sampai didesaknya peraturan perundang-undangan internasional tentang HAM. Dalam konteks fenomena, muncul beberapa pemikiran untuk menyelesaikan masalah itu, yaitu pembentukan Komisi Kebenaran dan Keadilan (KKK), penyusunan RUU Pengadilan HAM, Koreksi KUHP, dan pencabutan atau perubahan UU yang dianggap memberi peluang bagi proses impunity, serta pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Efeknya, sangatlah dignifikan karena begitu rezim demokratis memegang tampuk kekuasaan, maka agenda utamanya adalah penyikapan terhadap dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya. Salah satu kecenderungan yang seringkali muncul adalah bahwa para pelaku kejahatan masa lalu itu harus dihukum melalui pengadilan karena "kewajiban moral" mengharuskan pemerintah demokratis melakukan hal itu. Tetapi, apakah dengan demikian lalu persoalan-persoalan kebangsaan selesai begitu saja? Apakah ketika pelaku kejahatan diseret ke meja hijau dan dihukum seberat-beratnya, lalu konstruksi tentang kejahatan akan hilang? Padahal, persoalan mendasar yang melibat negeri ini adalah komitmen dan konsistensi menegakkan hukum dan kesejahteraan sosial yang belum dilaksanakan. Dua agenda utama tersebut masih terkungkung dalam ambisi banyak pihak yang ingin menyuarakan aspirasi pribadi dan kelompoknya daripada harus bersimbah keringat memikirkan masa depan demokrasi bangsa yang lebih baik. Mungkin akan lebih bijak, kalau kita kembali mengecamkan kata-kata Presiden Uruguay Sanguinetri, beberapa waktu yang lalu: "Mana yang lebih adil - mengkonsolidasi perdamaian di suatu negeri untuk menjamin hak-hak asasi manusia atau mencari keadilan ke masa lalu yang justru bisa membahayakan perdamaian itu?"
Wacan/artikel KKR_03 15
pin gE
LS A
M
Samuel P Huntington dalam bukunya The Third Wave: Democratization in the Late of Twentieth Country (1989) mengatakan bahwa proses demokratisasi yang sedang dilakukan oleh negara-negara penegak demokrasi seharusnya lebih mementingkan adanya pengertian di antara berbagai kelompok - baik secara eksplisit atau tersirat - bahwa tidak akan ada hukuman balasan terhadap tindakan yang dilakukan pada masa lampau. Mensinyalir ucapan Vaclav Havel, Huntington mengatakan bahwa kejahatan-kejahatan masa lalu, dalam rentang sejarah yang panjang, ternyata turut melibatkan masyarakat, sehingga seolah-olah masyarakat menjadi terbiasa dan secara tidak langsung turut melestarikan sistem itu. Dengan kata lain, masyarakat, atau mungkin juga kita semua - tentunya dalam bentuk dan tingkatan yang berbeda-beda - pernah turut andil dan semestinya bertanggungjawab atas terciptanya otoriterisme masa lalu. Pernyataan ini bukan untuk membenarkan tentang kejahatan, melainkan untuk secara arif bersikap bahwa luka lama akibat kesalahan manajemen politik masa lalu jangan sampai mewujud dalam perilaku warga yang emosional. Karena, akhir-akhir ini terdapat kecenderungan melakukan balas dendam akibat ketakutan terhadap rezim terdahulu, kini terkuak ketika masing-masing wilayah, komunitas, bahkan individu mulai berteriak menuntut keadilan sembari membuka borok-borok pemerintahan masa lalu. Fenomena ini di satu sisi cukup menggembirakan, karena nuansa kritis sebagai salah satu kontrol pembentukan masyarakat demokratis mulai terbina, tetapi di sisi lain, daya kritik yang diiringi oleh emosionalitas komunal terkadang melahirkan otoritarianisme primordialisme yang baru. Dari Mana Berawal?
kli
Titik pijak melakukan rekonsiliasi harus dimulai dari kejujuran bahwa di seberang sana terdapat individu, kelompok, komunitas atau apa pun namanya yang pernah mengalami masa-masa traumatik. Mereka inilah yang telah sekian lama menjadi korban, mulai dari stigmatisasi sampai kekerasan fisik yang tak berkesudahan. Pada era pemerintahan masa lalu, korban bukan hanya mengalami kekerasan, melainkan mereka dipojokkan sebagai pihak yang bersalah kepada bangsa sehingga stereotip dan stigmatisasi ini menimbulkan kemarahan massa untuk terus memburu dan mengasingkan korban. Stigmatisasi itu terus dipupuk sehingga kesalahan hanya terletak pada orang lain yang merasa dianggap berseberangan, berbeda, dan "melawan" pemerintah. Melalui kecanggihan inilah, penguasa mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat bahwa kekerasan dan kejahatan politik yang dilakukan penguasa dianggap "wajar" dilakukan. Saat itu, yang ada di benak masyarakat hanyalah pernyataan: "Bukankah ini demi 'kemakmuran bangsa'?" Dan, ketika saat ini kesalahan itu berusaha diungkap, yang terjadi adalah proyek politik pelupaan, di mana kekuatan-kekuatan negara yang pernah berjibaku dalam pemberangusan warga negaranya berupaya melakukan penghilangan kesaksian, berusaha meniadakan kesaksian masa lalu sebuah penyangkalan terhadap martabat manusia. Memang tidak mudah untuk duduk bersanding, meminta maaf, dan secara jujur mengaku bersalah karena di sana pastilah terdapat - sekurang-kurangnya - dua pihak yang berselisih. Di satu sisi, dari pihak yang menjadi korban dibutuhkan jiwa besar untuk dapat melupakan penderitaan lahir batin yang panjang. Sedangkan dari pihak yang melakukan kejahatan dan masyarakat umum, diharapkan supaya mereka membuka mata hati dan belajar melepaskan diri dari stigmatisasi yang telah ditanamkan mengenai orang-orang yang dicap "disiden".
Wacan/artikel KKR_03 16
LS A
M
Pemerintah Indonesia mungkin tidak harus melakukan hal yang sama persis seperti yang pernah dilakukan oleh Nelson Mandela yang berhasil memaksimalkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sehingga mereka bisa terbebas dan "melupakan" peristiwa apartheid. Atau, mengadopsi cara-cara Presiden Cory Aquino yang berhasil pula meratifikasi instrumen-instrumen hak asasi internasional sehingga Pilipina sekarang menjadi negara Asean yang terkaya dalam legislasi hak asasi nasional. Yang paling penting adalah belajar dari pengalaman sejarah bahwa kepedihan harus dilupakan demi proses penyembuhan (bealing process) mengenai kemelut masa silam. Dengan memahami berbagai konteks rekonsiliasi di berbagai negara itulah, kita juga bisa memahami bahwa menghabisi otoritarianisme haruslah mengetahui terlebih dahulu bagaimana sistem otoriter itu bekerja. Jika kemudian Indonesia merasa perlu untuk turut pula meratifikasi beberapa instrumen pokok hak asasi manusia dari PBB seperti Covenant on Civil and Political Rights dan Covenant on Economic, Social and Cultural Rights untuk menjadi bagian dari hukum negeri (law of the land), maka kesadaran untuk pemilihan dan menumbuhkan kewelas-asihan itulah komitmen utama yang harus dilakukan. Bagaimana Ke Depan?
kli
pin gE
Sebagai sebuah instrumen pemersatu bangsa, gagasan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang bakal menjadi bagian integral dari penyelesaian komprehensif pelanggaran hak asasi manusia sepatutnya terus digulirkan. Gagasan yang sudah dimulai pada pemerintahan Abdurrahman Wahid ini memang tidak mungkin menyelesaikan semua persoalan masa lalu, tetapi yang patut dihargai adalah upaya pemulihan sebagai sebuah proses inilah yang penting untuk diperhatikan. Perdebatan panjang apakah sifat hakikat dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang berorientasi kepada 'distributive justice' atau 'restorative justice' tidak selayaknya menjadi alasan bahwa KKR kemudian dianggap tidak diperlukan, karena tokh perdebatan teknis itu sangat bisa ditemukan titik temunya. Jika bangsa ini tetap berkeinginan untuk menegakkan demokrasi, maka proses-proses demokratisasi yang mengirimnya pun seharusnya dilakukan. Mungkin bisa dimaklumi jika saat ini hampir semua lapisan masyarakat berbondong-bondong, berkerumun, dan "berpesta" menjelang peristiwa 2004, tetapi melupakan masa lalu sebagai pintu masuk untuk hidup di masa mendatang bisa menjadi bom waktu yang suatu saat akan menelan kehidupan generasi masa depan. Atau, inikah yang diinginkan oleh elit kita sekarang? Kunci keberhasilan bangsa Indonesia bukanlah terletak pada setiap proses pergantian kepemimpinan nasional, tetapi pada keinginan bersama untuk mengonsolidasi demokrasi pada semua tingkatan masyarakat. Kesalahan, kekeliruan, dan kekejaman masa lalu cukup dijadikan cermin untuk terus memahami hakikat jati diri kita. Menjangkau rekonsiliasi berarti memobilisir kekuatan-kekuatan demokratis yang ada dalam masyarakat bersama-sama, senasib dan sepenanggungan menjalin rantai persahabatan dan persatuan yang tetap menghargai kemajemukan. *** (Penulis adalah budayawan, Ketua Departemen Seni dan Budaya DPP Partai Golkar, peserta Program Pascasarjana STIAMI Jakarta).
Wacan/artikel KKR_03 17
WAcana/Artikel KKR November 2003 Kompas, Senin, 10 November 2003 Menjelang Lima Tahun Tragedi Semanggi
Menolak Kejahatan Kebisuan
LIMA tahun telah berlalu. Dalam kurun itu, peristiwa kekerasan susul-menyusul di negeri ini, membuat peristiwa yang satu seperti tenggelam ditelan peristiwa yang lain, hingga pada akhirnya orang membiarkan setiap peristiwa terlupakan.
M
PEMBANTAIAN oleh sosok-sosok misterius terhadap suatu kelompok masyarakat di Poso, kekerasan terhadap penduduk sipil di Aceh, konflik di Maluku dan Ambon, bom Bali, bom Marriot, ditambah berbagai peristiwa bencana yang menelan banyak korban, segera mengikis ingatan akan kerusuhan Mei, tragedi Trisakti dan tragedi Semanggi.
LS A
Mungkin benar apa yang dikatakan Milan Kundera dalam The Book of Laughter and Forgetting (1994). Sejarah melesat seperti kilat. Suatu kejadian yang paling tragis sekali pun dalam sejarah suatu bangsa akan segera terkuburkan ketika esok hari telah muncul kejadian lain yang lebih baru. Satu bangsa menjadi seperti kumpulan orang-orang dengan ingatan-ingatan yang dangkal.
pin gE
Tragedi menjadi seperti kejadian biasa yang layak dilupakan, apalagi kalau peristiwa itu kental dengan nuansa politik. Kehidupan yang direnggutkan direduksi maknanya menjadi angka. Kesedihan, kedukaan, kemarahan, kekecewaan tidak pernah diperhitungkan sebagai dorongan untuk membuka tabir gelap kebenaran. Justru stigma yang terus-menerus dipelihara untuk melemahkan perjuangan keluarga korban dalam pencarian kebenaran. Namun, kebenaran adalah wilayah yang terus-menerus diperebutkan dalam wacana di ruang publik. Dalam tragedi politik, ironisnya, ada ketimpangan yang dalam antara keluarga korban dan pelaku kekerasan. Aparat pemerintah punya alasan yang cukup kuat untuk melakukan kekerasan atas nama stabilitas kekuasaan. Adapun keluarga korban meyakini bahwa tindakan kekerasan itu merupakan pelanggaran terhadap hak manusia yang paling asasi. Kompetisi atas kebenaran ini juga yang membuat tindakan-tindakan yang berseberangan di antara keduanya. Pelaku berusaha, dengan segala cara, menyampaikan informasi sepihak yang memberi pembenaran atas tindakan kekerasan yang telah terjadi dan membuat korban dan keluarganya merasa terpojok dan terisolasi. Pada tahap berikutnya, dengan segala cara, pelaku hanya ingin keluarga korban bungkam dan melupakan yang terjadi. Sementara itu, keluarga korban, demi kebenaran dan keadilan, tidak mau diam dan terus berupaya mengungkapkan tindakan pelanggaran yang dilakukan aparat beserta seluruh konstelasi politik yang melindungi pelaku.
kli
"Perjuangan manusia untuk menolak kekuasaan yang sewenang-wenang adalah perjuangan ingatan melawan pelupaan," tulis Kundera. PASANGAN Sumarsih dan Arief Priyadi masih melakukan kebiasaan yang dimulai sejak hari Wawan dimakamkan, pada tanggal 14 November 1998, yakni mengunjungi makan putra mereka itu setiap pagi, di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Joglo, Jakarta Barat, sebelum berangkat kerja. Makam itu sangat terawat, dan lebih mengesankan sebagai beranda sebuah rumah karena teduh dan asri. "Kami menganggapnya rumah juga," ujar Sumarsih. Di tempat itu, Sumarsih berdoa rosario setiap hari, hampir tanpa celah, di tengah hujan lebat sekali pun. Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya, Jakarta, yang tewas diterabas peluru aparat dalam peristiwa Semanggi I, tanggal 13 November 1998. Pada hari itu terjadi lagi aksi protes mahasiswa terhadap keputusan Sidang Istimewa MPR, khususnya tentang posisi ABRI (sekarang TNI) di DPR/MPR. Aksi protes ini dihadapi aparat keamanan dengan serangkaian tembakan yang membabi-buta, meninggalkan lima korban tewas dan 253 lainnya luka-luka di kawasan Semanggi, Jakarta.
Wacan/artikel KKR_03 18 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam pertemuannya dengan Presiden Habibie saat itu meminta pemerintah untuk memberi penjelasan tentang sebab dan akibat serta pertanggungan jawab mengenai peristiwa tanggal 13 November itu secara terbuka pada masyarakat luas karena berbagai keterangan yang diberikan ternyata berbeda dengan kenyataan di lapangan. (Kompas, 16 November 1998). Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, dalam jumpa pers di Hankam mengakui ada sejumlah prajurit yang terlalu defensif dan menyimpang dari prosedur, menembaki dan memukuli mahasiswa. Namun, Wiranto menuduh ada kelompok radikal tertentu yang memancing bentrokan mahasiswa dengan aparat, dengan tujuan menggagalkan Sidang Istimewa. (Kompas, 23 November 1998).
M
Saat penembakan terhadap Wawan terjadi, pemuda berusia 21 tahun itu tengah menjalankan tugas kemanusiaannya di dalam Kampus Universitas Atma Jaya, yang berjarak sekitar dua kilometer dari gedung DPR/MPR. Ia adalah anggota Tim Relawan Kemanusiaan. "Menurut teman-temannya sesama relawan, Wawan sudah bertanya pada aparat militer yang masuk ke Kampus Atma Jaya, apakah ia boleh menolong sesama temannya yang menjadi korban," kenang Sumarsih.
LS A
Aparat militer itu mengizinkannya. "Sebelum menghampiri korban, Wawan melambaikan bendera putih sebagai tanda untuk memberikan pertolongan. Namun, ketika sedang mengangkat korban, ia ditembak. Seorang dokter memberitahu saya, peluru yang ditemukan di tubuh Wawan bentuknya bulat. Jadi, ketahuan kalau ia tidak ditembak dengan peluru karet, tetapi peluru tajam. Ia ditembak di dada, mengenai jantung dan paru-paru sebelah kiri, jadi bukan ditembak di kaki," sambung Sumarsih. Sumarsih masih mengingat detik demi detik dari peristiwa tanggal 13 November itu, dan ia dapat menceritakannya dengan sangat rinci. Ia juga tidak pernah melupakan perjalanan mobil ambulans yang membawa jenazah Wawan dari dari RS Jakarta ke RSCM petang itu, ditembaki. "Saya ingat, Mbak Ita waktu itu berteriak, tundukkan kepala… tundukkan kepala…," kenang Sumarsih.
pin gE
Di dalam mobil ambulans, dan dalam seluruh proses meninggalnya Wawan, sampai pemakamannya, Sumarsih mengingat Ita F Nadia, anggota Tim Relawan Kemanusiaan (yang kemudian menjadi anggota Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, Komnas Perempuan) terus mendampinginya. Di antara keluarga korban Tragedi Semanggi, Sumarsih bisa dikatakan yang paling gigih memperjuangkan keadilan bagi korban. Perjalanannya selama lima tahun terakhir ini melahirkan Sumarsih yang berbeda dari Sumarsih sebelumnya. Ia aktif melakukan advokasi dan berbagai aksi menolak kekerasan di mana pun. Ia juga melakukan testimoni di berbagai ruang publik. Ia seperti sudah kehilangan rasa takutnya sehingga berani menghadapi tindakan aparat yang serepresif apa pun.
kli
Keberaniannya seperti muncul dari kesadaran yang terbangkitkan melalui berbagai peristiwa sepeninggal Wawan. Dia berani melempar telur ke arah anggota DPR dalam Sidang Paripurna DPR tanggal 9 Mei 2000 karena di dalam rekomendasi Komisi Ad Hoc yang dibentuk DPR untuk menyelidiki kasus Trisakti dan Semanggi menyatakan bahwa kedua peristiwa itu bukan termasuk pelanggaran HAM berat. Dalam aksi menolak kekerasan pada bulan September 1999, ia hampir mengulang akibat yang terjadi pada Wawan, saat mengikuti aksi menolak kekerasan di Timor Timur, Aceh dan Ambon. Sumarsih pula yang dengan tekun berupaya terus mengumpulkan keluarga korban dari berbagai peristiwa kekerasan politik. Tujuannya menyatukan kekuatan korban kekerasan dari berbagai peristiwa politik untuk mendapatkan keadilan. Seperti dikemukakan ilmuwan Karlina Supelli dalam berbagai kesempatan, tindakan dalam proses advokasi bukanlah semata-mata aktivisme, melainkan gerakan mengembalikan korban kepada fitrahnya, sebagai manusia, yaitu subyek yang dapat bertindak otonom dalam sebuah dunia yang ditinggali bersama. NAMUN, keadilan seperti fatamorgana. Yang tinggal kini hanyalah bayangan yang kian menjauh. "Segala cara yang prosedural sudah kami lakukan. Tetapi jalannya seperti buntu. Jadi, terus terang, saya merasa agak patah," ujar Ny Maria, ibu dari Teddy Mardani, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia, korban tragedi Semanggi. "Minggu lalu, Komnas HAM datang ke DPR dan minta supaya DPR mengubah rekomendasi hasil Pansus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Sebenarnya keluarga korban juga pernah meminta DPR untuk hal yang sama," sambung Sumarsih.
Wacan/artikel KKR_03 19 Kata Sumarsih, waktu itu Ketua DPR Akbar Tanjung menjanjikan akan mengadakan rapat gabungan antara Kejaksaan Agung, DPR, dan Komnas HAM. "Kemarin jawabannya juga sama, katanya, akan diusahakan melalui mekanisme DPR. Intinya, hasil pansus bisa ditinjau ulang. Tetapi DPR kan tidak melakukan penyelidikan, hanya pemantauan," sambungnya. Segala usaha yang sudah dilakukan oleh keluarga korban bukan dilakukan karena ketidakikhlasan terhadap kematian anak-anak mereka. "Saya sudah lama mengikhlaskan kematian Sigit," ujar Ny Martini, ibu Sigit Prasetyo, mahasiswa semester I Yayasan Akuntansi Indonesia (YAI), yang juga tewas diterjang peluru di Semanggi pada tanggal 13 November 1998. Sigit adalah anak tunggal pasangan Martini dan Widodo. Martini bekerja keras sebagai buruh cuci pada beberapa keluarga agar bisa menyekolahkan Sigit.
M
Namun, mengikhlaskan kematian anak bukan berarti membiarkan kekerasan dan ketidakadilan. "Dalam sanubari, saya bisa menerima takdir kematian anak saya," ujar Cece Sarwelli, ayah dari Engkus Kusnaedi, mahasiswa Universitas Jakarta, yang juga menjadi korban dalam Tragedi Semanggi I. "Saya tidak akan berhenti memperjuangkan keadilan itu, supaya cukup hanya Sigit yang menjadi korban. Saya tidak pernah merelakan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap anak saya," tegas Martini, yang pernah pada suatu masa, sangat aktif melakukan testimoni bersama keluarga korban kekerasan lainnya.
LS A
Seperti Sumarsih dan Arif Priyadi, Martini mengunjungi makam anaknya setiap hari, bahkan dua kali sehari karena makam anaknya terletak hanya beberapa langkah dari rumah kontrakannya di bilangan Tanah Kusir, Jakarta Selatan. "Saya ingin membangun rumah di sepetak tanah yang saya beli di dekat sini. Supaya bisa dekat dengan Sigit," ujar Martini.
pin gE
Meskipun terasa semakin kabur, Cece Sarwelli, ayah dari Engkus Kusnaedi, mahasiswa Universitas Jakarta, yang juga menjadi korban dalam Tragedi Semanggi I, tidak akan putus asa. "Memang kebuntuan ini membuat saya bertanya-tanya, tapi saya yakin keadilan bisa direbut, entah berapa panjangnya jalan yang harus kami tempuh. Juga menjadi kewajiban bagi kami yang masih hidup untuk memperjuangkan keadilan," ujar Cece, yang sampai sekarang masih bekerja sebagai guru sekolah dasar. Mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Sumarsih menyatakan, KKR bukanlah jalan damai. Janji pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi pada korban adalah tipu muslihat. "Rekonsiliasi tanpa proses hukum adalah bentuk pengingkaran Negara Indonesia sebagai Negara Hukum," katanya. Hakim Agung Artidjo Alkostar, mengingatkan, pengadilan yang dapat memberikan keadilan adalah pengadilan yang bebas, transparan, dan adil. Proses pengadilan menjadi sesat apabila dijadikan bagian dari administrasi pemerintah yang tunduk kepada kredo pemegang kekuasaan. "SAYA yakin kematian anak saya bukanlah kematian yang sia-sia," tegas Ny Maria. Dalam bahasa yang berbeda, ungkapan senada itu juga dikemukakan oleh Cece, Martini, dan Sumarsih.
kli
Maria, Cece, dan Martini juga tidak pernah melupakan detik-detik ketika anak mereka tewas. "Kami juga ingin klarifikasi karena banyak pernyataan bahwa Tragedi Semanggi I adalah perbuatan makar," tegas Maria. Sumarsih malah mendengar orang di kantornya menyalahkan dia sebagai orangtua yang tidak bisa mendidik anak. "Malah ada yang bilang… udah enggak usah diperpanjang, yang menembak kan orang kita juga. Saya tidak tahu apa maksudnya ’orang kita’. Saya tidak habis pikir mengapa begitu ringannya mereka menanggapi peristiwa itu," sambung Sumarsih. Sumarsih menyadari, pencarian keadilan membutuhkan waktu yang sangat panjang. Perjalanan itu juga kerap diwarnai keputusasaan, yang bisa saja membuat keluarga korban menjadi apatis. "Saya berharap agar setiap upaya kami lebih merupakan perjuangan untuk terus mengingat bahwa tragedi seperti ini pernah terjadi di negeri kita," tegas Sumarsih. Bagi dia, terus mengingat dan terus bersuara adalah upaya untuk menolak kebisuan dan pembungkaman suatu kejahatan. Barangkali yang terpenting dari seluruh proses itu adalah berusaha mengerti apa yang terjadi. Karlina mengatakan, pemahaman adalah cara manusia berbaik dengan realitas dan kemudian berdamai dengan dunia. Tanpa pemahaman itu, manusia akan bertarung tiada henti dengan pikiran dan ingatan-ingatannya sendiri. (mh)
Wacan/artikel KKR_03 20 Kompas, Kamis 20 November 2003
Menghukum dan Mendamaikan Oleh Satjipto Rahardjo INDONESIA lebih sibuk menggagas pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) daripada bersungguh-sungguh mewujudkannya. Bahkan, karena wacana yang berlarut-larut itu, dikatakan momentum yang baik telah lewat (Kompas, 26/9/2003). Salah satu dugaan mengapa keadaan sampai berlarut-larut adalah masih kuatnya konsep pengadilan konvensional bertahan di masyarakat. Hukum dan pengadilan itu harus memeriksa dan menghukum. Maka, begitu muncul gagasan untuk rekonsiliasi, untuk rujuk kembali, kita menjadi sedikit bingung. Mengapa harus ada pikiran memaafkan, pengakuan salah, perdamaian, dan sebagainya? Gagasan terakhir masih terlalu alot untuk dicerna.
"Malapetaka" hukum modern
LS A
M
Artikel ini mengatakan, bila Indonesia kini terlibat usaha rekonsiliasi, maka sebenarnya ia memiliki akar mendalam. Bila kita turut menggagas pembentukan KKR, itu tidak sepenuhnya karena mengikuti Afrika Selatan dan negara lain, tetapi karena ada hal yang lebih mendasar. Dengan demikian, gagasan KKR bukan hanya fenomena "a ship that passed at night, melainkan karena berakar pada perilaku mendasar yang ada pada bangsa kita. Rekonsiliasi bukan gagasan yang sama sekali baru untuk Indonesia, melainkan memiliki akar historis dan antropologis yang kuat. Mudah-mudahan dengan tulisan ini kita bisa lebih yakin memasuki gagasan rekonsiliasi nasional. Secara bernas bisa dikatakan, hukum modern datang dengan memporakporandakan tatanan yang lama atau asli. Itu terjadi dengan cara menata hukum dan proses hukum secara terorganisasi dan birokratis. Tatanan lama yang otentik, luwes, hubungan sosial yang sudah mapan, oleh hukum modern diubah menjadi serba terstruktur formal, rasional, dan kaku.
pin gE
Hukum modern yang identik dengan hukum negara menyiapkan tatanan baru yang jauh lebih canggih dan terukur daripada tatanan dari komunitas otentik yang digantikan. Ia membangun struktur yang jelas dan tegas batas serta fungsinya. Ada badan legislatif, pengadilan, polisi, penjara, dan birokrasi penegakan hukum. Semua serba terukur fungsi, kewenangan dan batasnya. Begitu juga dengan aspek prosedur. Semua diatur secara formal. Justru karena "kecanggihan" itu, maka selain hukum bisa dijalankan dengan lebih terukur, juga lebih keras (violent). Lex dura sed tamen scripta (hukum itu keras, tetapi begitulah sifat hukum tertulis itu). Yang disebut hukum modern mulai dengan dibuatnya peraturan oleh legislatif, disusul pembentukan polisi, pengadilan, jaksa, hakim, penjara dan tiang gantungan. Itulah potret kerasnya hukum dan kekerasan yang dilahirkan oleh hukum modern. Tetapi, potret hukum yang demikian itu bukan satu-satunya gambaran tentang hukum yang ada atau pernah ada di dunia. Hukum modern baru lahir sekitar abad ke-18 menyusul kelahiran negara modern. Selama beribu-ribu tahun sebelumnya, dunia sudah akrab dengan tipe hukum yang lebih otentik, sebagaimana dibicarakan di bawah ini.
kli
Tatanan otentik yang mendamaikan
Bila tatanan lama, termasuk pengadilan, kurang "canggih" daripada hukum modern, maka tatanan lama yang otentik itu menyimpan kelebihannya sendiri. Memiliki kelemahan dalam pembagian kerja, pengorganisasian dan birokrasi, di lain pihak ia justru memiliki kelebihan dalam keluwesan, kelenturan, lebih akomodatif dan rekonsiliatif, serta jauh dari kesan "kuat dan keras" (strong and violent). Lebih dari hal-hal yang bersifat formal, organisatoris, dan struktural, tatanan otentik memiliki atmosfernya sendiri, yaitu suasana perdamaian dan harmoni. Atmosfer inilah yang membedakan tatanan dan pengadilan lama dari hukum modern. Pengadilan dalam komunitas otentik lebih cenderung mendamaikan daripada menghukum. Kalaupun menghukum, maka amat dipikirkan agar hubungan lama tidak rusak. Jadi, memulihkan hubungan lama (to restore former relations) menjadi unsur pertimbangan lebih tinggi daripada menghukum. Semua proses mengadili harus berakhir pada perdamaian. Konflik harus berakhir pada perdamaian, bukan penghukuman. Itulah kredo dalam komunitas otentik. Namun, itu semua menjadi porak poranda karena penggunaan hukum modern yang terorganisasi, rapi, dan tajam. Atmosfer yang meliputi pengadilan adalah penghukuman dan pemidanaan. Semuanya menjadi hitam-putih, tajam
Wacan/artikel KKR_03 21 dan penuh kekerasan. Dengan mengemukakan hal-hal itu, tidak berarti tatanan lama tidak bisa menimbulkan kekerasan. Yang kita amati adalah konteks besarnya, atmosfernya, dan filsafatnya. Sebenarnya tidak seluruh tatanan lama di wilayah negara kita menjadi porak poranda dilanda kedatangan hukum modern. Pada tingkat lokal preservasi tatanan lama yang akomodatif, rekonsiliatif dan damai masih berjalan terus. Komunitas lokal Bali merupakan suatu contoh, tetapi di luar Bali masih banyak komunitas lokal otentik yang "menempuh jalur lain daripada hukum modern".
M
Pada program doktor hukum Universitas Diponegoro tidak sedikit disertasi yang membahas masalah itu yang menunjukkan kegelisahan para calon doktor mengamati keadaan hukum di negerinya. Salah satu misalnya, disertasi yang membahas cara penyelesaian konflik di masyarakat lokal Lamaholot, Flores, Nusa Tenggara Timur. Penelitian dan kajian akademis itu menunjukkan, Indonesia masih banyak menyimpan tradisi dan kebijakan luhur dalam penyelesaian konflik. Disebut luhur karena bukankah itu yang kini sebetulnya sedang dicari KKR? Juga para ilmuwan Barat sekarang mulai banyak menengok kepada kearifan Timur yang lebih rekonsiliatif dan reintegratif, sehingga mengurangi keadaan stigmatis dan keras dalam penghukuman.
Pesan untuk KKR
LS A
Para calon doktor itu menemukan bahwa masyarakat lokal tidak puas dengan putusan pengadilan negara. Kendati menerima putusan itu, tetapi mereka melanjutkannya dengan cara penyelesaian yang sesuai pikiran serta konsepnya tentang hukum, pengadilan, dan hukuman. Konflik harus diselesaikan dengan perdamaian, bukan dengan penghukuman. Dengan paparan itu, tulisan ini ingin mendorong dan memberi dukungan semangat kepada KKR agar dengan tegar menjalankan tugasnya. Cara pengadilan dengan menghukum bukanlah satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Ternyata masyarakat lokal kita menyimpan kearifan yang sangat pantas untuk disimak dan didengarkan dengan baik.
pin gE
Komunitas lokal otentik kita ternyata banyak menyimpan kearifan yang cukup berseberangan dengan atmosfer pengadilan modern kita. Kredo mereka adalah perdamaian dan harmoni, bukan pembalasan. Memulihkan kembali hubungan lama dan menjaga agar masyarakat tidak retak, dirasakan lebih penting daripada menghukum begitu saja. Bila kita membuat KKR, itu bukan karena mengikuti tren dunia, melainkan karena tradisinya, filsafatnya sudah ada dalam masyarakat kita sendiri.
kli
Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Universitas Diponegoro
Wacan/artikel KKR_03 22 Kompas, Kamis, 20 November 2003
Rekonsiliasi Tanpa Diskriminasi Oleh Sukowaluyo Mintorahardjo PERISTIWA Poso belum hilang dari ingatan, kita dikejutkan lagi oleh konflik horizontal di Buleleng, Bali, yang menelan korban. Bangsa Indonesia seperti hidup di antara api dalam sekam. Sewaktu-waktu bisa terjadi konflik horizontal antaranggota masyarakat atas dasar kategori askriptif: suku, agama, keyakinan politik, dan sebagainya. Mengapa identitas kebangsaan yang dibangun melalui nation and character building oleh pendiri republik dirasakan saat ini begitu rapuh? Apa penyebabnya?
M
Salah satu hipotesis menyebutkan, kerapuhan yang terjadi-terutama pada lima tahun belakangan-karena pengalaman sosiologis dan historis sebagai suatu negara-bangsa (nation-state) yang majemuk atau heterogen telah dinegasi, direduksi, dan ditiadakan secara sistematis melalui pemberlakuan praktik diskriminatif di antara warga masyarakat selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru. Diskriminasi mencapai puncaknya pada masa tersebut, melalui diundangkannya puluhan peraturan pendukungnya.
Prasyarat rekonsiliasi
LS A
Karena diskriminasi dilegitimasi atas dasar pertimbangan politik, maka bangsa Indonesia secara tidak langsung mengingkari pengalaman sosiologis dan historisnya. Akibatnya, sebagai suatu fondasi kebangsaan, negara ini menjadi rapuh dan mudah tersulut konflik yang mengancam integritas dirinya sendiri.
pin gE
Pada seminar terbatas bertopik rekonsiliasi nasional beberapa waktu lalu ada satu rekomendasi penting dari kebanyakan peserta, yaitu rekonsiliasi mensyaratkan dihapusnya diskriminasi yang menimpa jutaan warga negara Indonesia. Menurut sebagian peserta-yang kebanyakan mantan tapol/napol di masa Orde Baru itu-jika rekonsiliasi itu ingin terwujud, maka harus ada pra-kondisi persamaan kedudukan di muka hukum. Tak mungkin ada rekonsiliasi jika masih ada sebagian warga negara Indonesia yang terdiskriminasi. Rekonsiliasi mempersyaratkan mereka yang akan duduk bersama di satu meja itu-baik pelaku maupun korbannya-berkedudukan setara. Puluhan juta warga negara yang terdiskriminasi ini tidak memperoleh haknya. Baik hak sipil-politik, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Jumlah orang yang terdiskriminasi demikian besarnya, karena spektrumnya yang luas, meliputi tiga kelompok masyarakat, yaitu diskriminasi politik akibat peristiwa politik tertentu (PRRI/Permesta, G30S, Tanjung Priok 1984, dan lain-lain); diskriminasi terhadap minoritas nasional (warga Tionghoa); dan diskriminasi terhadap masyarakat adat. Termasuk diskriminasi terhadap kelompok aliran kepercayaan.
kli
Tindak diskriminasi yang terjadi di Indonesia ini membuat kaget anggota parlemen di negara Eropa Timur pascapemerintahan totaliter komunis. Seperti dituturkan Ketua Pansus RUU KKR Sidarto Danusubroto, ketika melakukan kunjungan kerja ke Parlemen Rumania. Mereka heran bagaimana mungkin puluhan juta orang, meliputi anak, cucu, dan anggota keluarga didiskriminasi untuk peristiwa politik di mana mereka sendiri tak mengalaminya secara langsung. Bagi mereka, hal itu tidak manusiawi dan di luar akal sehat manusia. Diskriminasi dilegitimasi melalui puluhan peraturan dari setingkat Tap MPR(S), hingga hanya setingkat keputusan instansi di bawah kementerian atau badan pemerintah, seperti Keputusan Bakin di era Orde Baru. Sekarang penghapusan diskriminasi sebenarnya harus menjadi kehendak politik seluruh komponen bangsa. Karena bangsa Indonesia adalah masyarakat majemuk. Diskriminasi tidak hanya menisbikan kenyataan sosiologis bangsa Indonesia, tetapi juga mencederai konstitusi dan dasar negara. Agenda bersama
Dengan mulai dibahasnya Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR), maka mengangkat persoalan diskriminasi sebagai isu nasional seperti menemukan momentumnya kembali. Hingga sekarang, upaya berbagai pihak, baik lembaga maupun perorangan yang konsern terhadap penghapusan diskriminasi berulang kali dilakukan. Dari advokasi hingga sejumlah aksi politis lainnya. Akan tetapi, hingga sekarang belum menghasilkan perubahan signifikan.
Wacan/artikel KKR_03 23 Dalam upaya penghapusan diskriminasi itu, saya mencatat beberapa agenda yang relevan diperjuangkan. Pertama, perlu dipercepat penyelesaian pembahasan RUU Anti-Diskriminasi dan RUU Kewarganegaraan untuk disahkan. Kedua RUU itu berada di badan legislatif (Baleg) DPR. Kedua, selain mengupayakan dipercepatnya pengesahan undang-undang yang mendukung penghapusan diskriminasi, cara lainnya adalah mengeluarkan paraturan perundang-undangan yang bertujuan menghapus peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. Misalnya, presiden mengeluarkan surat keputusan presiden (Keppres) sebagai suatu langkah terobosan, menyangkut diskriminasi yang dialami keturunan minoritas Tionghoa, misalnya. Selain Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, dua peraturan perundang-undangan, yang dinilai menjadi kunci penghapusan diskriminasi terhadap keturunan Tionghoa adalah Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera tentang Masalah Cina bernomor SE-06/Pres-Kab/6/1967; dan juga Keputusan Kepala Bakin No KPTS-032 Tahun 1973 tentang Struktur Organisasi, Prosedur dan Tata Cara Kerja Badan Koordinasi Masalah Cina.
M
Diskriminasi merupakan akibat pertarungan politik di tingkat elite. Generasi dari elite politik yang mengeluarkan peraturan diskriminasi itu, hingga sekarang masih mempunyai pengaruh politik di berbagai institusi pengambil keputusan.
LS A
Sebaliknya, di beberapa forum yang membahas rekonsiliasi nasional, sudah terlalu biasa jika anak-cucu para pelaku, maupun korban pelanggaran HAM saling bertegur sapa dan berempati satu sama lain dalam suasana penuh kekeluargaan. Tak ada jarak dan saling curiga di antara mereka. Para anak-cucu pengambil keputusan politik di masa lalu, yang mengeluarkan perangkat undang-undang diskriminatif lebih menghendaki agar berbagai peraturan itu dicabut. Kesulitan yang dialami bangsa ini untuk menyudahi diskriminasi adalah masih ada yang melihatnya sebagai akibat dari latar belakang suatu peristiwa politik semata. Padahal, persoalan diskriminasi menyangkut psiko-sosial historis. Persoalan diskriminasi akan memperlihatkan, memori kolektif yang ada di masyarakat.
pin gE
Tercatat tinta emas
Untuk menyelesaikan persoalan ini, selain diperlukan kehendak politik lembaga yang berwenang menghapus diskriminasi, maka secara filosofis perlu ditopang dengan perumusan kembali keindonesiaan bangsa ini. Hal ini berarti menempatkan bangsa Indonesia, bukan hanya sebagai a nation-state yang memiliki makna atau konsepsi entitas politik semata, tetapi juga sebagai a nation of people. Jadi, keindonesiaan bangsa ini juga dilihat sebagai proses psikologis dan proses kultural. Tidak hanya proses politik semata. Secara kualitatif, diskriminasi di Indonesia merupakan bentuk pelanggaran HAM yang ditoleransi negara. Diskriminasi yang dialami sebagian masyarakat Indonesia begitu luas, kompleks dan beragam. Diskriminasi tak hanya menyangkut hak sipil dan politik warga negara, seperti hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu atau hak terhadap keyakinan politik yang dianutnya, tetapi juga menyangkut kematian perdata yang dialami seorang warga negara. Karena itu, tak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan sesuai pilihan nuraninya (menjadi seorang pegawai negeri atau anggota TNI dan Polri).
kli
Hal ini sudah tentu melanggar Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang dicanangkan PBB pada tahun 1966.
Sudah saatnya kita mengambil sikap bersama menghapuskan diskriminasi. Khususnya kepada Fraksi TNI/Polri DPR yang akan mengakhiri tugasnya di DPR, ini adalah kesempatan mengukir tinta emas sejarah melalui pengesahan UU KKR, UU Kewarganegaraan, dan UU Anti-Diskriminasi. Kita tidak ingin masalah ini berlarut-larut tertanam dalam memori kolektif bangsa. Terutama bagi anak-cucu dari eks komunis, dan korban Orde Baru lainnya.
Sukowaluyo Mintorahardjo Ketua Umum Lembaga Kajian Demokrasi (LKaDe) dan Anggota DPR
Wacan/artikel KKR_03 24 Kompas, Kamis, 20 November 2003
Kebenaran dalam Rentang Waktu Oleh Fadjar I Thufail DISKUSI publik tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR, truth and reconciliation commission) terus bergaung. Padahal, di negara lain, yang pernah mengalami kekuasaan rezim politik otoriter, KKR menjadi ujung tombak transisi politik di tingkat akar-rumput, sehingga pergantian rezim bukan sekadar urusan lembaga politik, melainkan menyentuh tiap dimensi sosial dan kultural masyarakat.
M
Dalam tulisan sebelumnya (Kompas, 1/9/2003), secara singkat penulis membahas RUU KKR yang cenderung mencampuradukkan pengertian penceritaan kebenaran (truth-telling) dengan pencarian kebenaran (truth-seeking), dan implikasi beberapa pasal terhadap penegakan hak asasi manusia (HAM) sebagai salah satu usaha pencarian kebenaran.
LS A
DALAM tulisan ini, penulis mempersoalkan kembali pengertian kebenaran dalam RUU KKR itu dan letaknya dalam diskursus sejarah di Indonesia. Secara tersirat, Baskara T Wardaya (Kompas, 2/9/2003) mencoba menggunakan perspektif sejarah untuk kepentingan rekonsiliasi. Baskara melihat sejarah bukan sebagai peristiwa masa lalu an sich, melainkan sebagai tawaran kemungkinan melihat masa depan demi kepentingan rekonsiliasi anak bangsa yang pernah saling memusuhi di masa lalu.
pin gE
Jelas bahwa RUU KKR tak dimaksudkan untuk mengatur cara kerja sejarawan, tetapi tak dapat diingkari pula bahwa ruang lingkup kerja KKR memiliki dimensi historis yang kental. KKR diharapkan dapat "mengurusi" peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Ironisnya, RUU KKR tak pernah secara eksplisit memberi batasan tentang pengertian "masa lalu" itu, dan rentang waktu ke belakang yang dapat dimasukkan ke dalam cakupan wewenang kerja komisi. Padahal, tinjauan kritis atas dimensi "masa lalu" ini memperlihatkan rumitnya perspektif interpretasi yang bisa dipakai sebagai latar belakang pemahaman tentang "masa lalu" dan implikasinya terhadap otoritas kebenaran yang dicari. Tak satu pun pasal dalam RUU KKR yang secara eksplisit menyebut soal periodisasi. Definisi "sebelum berlakunya UU No 26 Tahun 2000", bila perlu bisa ditarik ke belakang sampai zaman VOC. Padahal, usaha semacam ini tidak sekadar mengaburkan jiwa dan tujuan KKR, tetapi secara teknis juga tidak mungkin dilakukan. Hingga kini, perdebatan soal batasan rentang waktu masih berlangsung, dan perdebatan soal periodisasi ini ternyata sarat kepentingan politik yang akhirnya justru akan memperumit usaha rekonsiliasi.
kli
Usulan yang dikemukakan sejarawan Asvi Warman Adam adalah periodisasi kerja berdasarkan kronologi. Karena KKR berurusan dengan konflik di antara orang Indonesia, periodisasi itu dimulai tahun 1945 sampai tahun 2000, saat UU No 26/2000 mulai berlaku. Selanjutnya, periode 1945-2000 dapat dibagi secara kronologis berdasar rezim politik, sehingga diperoleh rentang waktu sebelum Soeharto, saat Orde Baru berkuasa, sampai kejatuhan rezim Soeharto. Usulan kronologis itu dipadukan dengan usulan yang berdasarkan skala peristiwa pelanggaran HAM. Asvi mengajukan beberapa peristiwa sejarah yang memiliki skala pelanggaran cukup "besar", di antaranya: Penahanan tokoh Masyumi/PSI saat Demokrasi Terpimpin, Pembataian 1965/1966, Penahanan Pulau Buru (1969-1979), Kasus Timor Timur, Kasus Aceh, Kasus Irian Jaya, Penembak Misterius 1980-an, Tanjung Priok 1984, Kasus 27 Juli 1996, dan Kerusuhan Mei 1998. Periodisasi ruang lingkup secara kronologis semacam ini tampaknya lebih mudah ditangani dengan catatan komisi memiliki perangkat kerja cukup memadai. Tetapi, periodisasi kronologis ini memiliki beberapa kelemahan amat mendasar. Pertama, pembagian peristiwa menurut skala pelanggaran langsung mengundang pertanyaan siapa yang berhak menentukan skala itu, apa ukuran yang dipakai? Pembabakan semacam ini mengandung asumsi, skala pelanggaran HAM ditentukan dari jumlah orang yang menjadi korban, sebuah asumsi yang sebenarnya dapat dipersoalkan dan justru cenderung bertentangan dengan prinsip Deklarasi Universal HAM di mana tiap orang memiliki hak yang sama untuk dilindungi hak-hak dasarnya. Kedua, pembabakan ini menempatkan sejarawan-atau siapa pun yang menentukan pembabakan itu-sebagai kelompok elite yang menentukan sebuah peristiwa memiliki "nilai" penting, karena itu harus dicari kebenarannya.
Wacan/artikel KKR_03 25 Usulan pembagian secara kronologis itu sebenarnya berakar pada pandangan yang bersifat strukturalis. Pandangan ini memiliki asumsi, suatu peristiwa sosial merupakan akibat langsung karakter sebuah rezim politik yang sedang berkuasa. Karena akibat dari cara rezim politik berkuasa, maka perbedaan di antara berbagai peristiwa itu menjadi tidak terlalu penting. Peristiwa tertentu dianggap "penting" bila ia dapat menjadi representasi paling luas dan akurat tentang kekejaman rezim itu, sebuah puncak dari longue duree struktur kekuasaan. Selain usulan itu, ada perspektif lain yang bisa ditawarkan. Perspektif ini lebih mendasarkan pada pengalaman korban, entah itu korban langsung penindasan negara atau korban konflik etnis. Perspektif ini amat penting karena korban adalah aktor sosial terpenting dari proses rekonsiliasi. Bila dilihat dari perspektif korban, setidaknya ada dua dimensi penting, yaitu persoalan hak korban yang dilanggar dan persoalan realitas kekinian korban. Kedua dimensi ini menentukan kriteria peristiwa masa lalu yang mungkin diajukan sebagai fokus kerja KKR.
M
PELANGGARAN hak korban harus dilihat melalui prinsip dasar HAM atau UU No 39 tentang HAM, bukan sekedar ditafsirkan sebagai pelanggaran genosida atau kejahatan kemanusiaan. Peristiwa Pembantaian 1965/1966, misalnya, memenuhi kedua dimensi itu. Hak korban yang dilanggar bukan saja pembunuhan kejam, tetapi juga pemasungan kebebasan berpendapat. Pelanggaran itu tidak hanya terjadi di masa lalu, tetapi diskriminasi tertentu berlanjut hingga kini. Peristiwa itu memenuhi unsur pelanggaran hak dan realitas kekinian, dan layak untuk menjadi fokus kerja KKR.
LS A
Pengungkapan kebenaran yang harus dilakukan adalah melakukan truth-telling sebanyak-banyaknya, dan karena peristiwa itu hingga kini masih membayangi trauma sosial korban, maka KKR harus melakukan usaha rekonsiliasi antarberbagai kelompok yang terlibat. Contoh lain juga bisa ditemukan pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Kerusuhan Mei jelas melanggar hak mereka yang menjadi korban, baik dari kelompok Tionghoa maupun nonTionghoa. Realitas bahwa sampai saat ini hubungan antar-etnis masih bermasalah merupakan kondisi yang mengharuskan upaya-upaya rekonsiliasi antar-etnis juga menjadi perhatian KKR.
pin gE
Persoalan rentang waktu adalah satu aspek penting dalam RUU KKR yang harus dibahas secara hati-hati. Jangan sampai pembatasan rentang waktu menjadi benih perdebatan baru karena adanya kelompok yang menghendaki ruang lingkup kerja KKR diperluas sehingga KKR ditempatkan sebagai "wasit" atau superbody yang harus bisa menyelesaikan setiap warisan konflik sosial. Di pihak lain, pengungkapan kebenaran tak seharusnya dibatasi periode atau peristiwa yang didefinisikan oleh kelompok elite sosial tertentu. Dengan kata lain, sebelum memutuskan rentang waktu atau klasifikasi peristiwa yang menjadi ruang lingkup kerjanya, KKR harus melihat peristiwa historis itu melalui perspektif korban yang dilanggar hak-haknya. Anggota KKR dituntut tak hanya peka sejarah, tetapi sejarah yang, mengutip Clifford Geertz, bermula dari, dan berakhir pada, the native’s point of view.
kli
Fadjar I Thufail Peneliti LIPI, Kandidat PhD di Departemen Antropologi, Universitas Wisconsin-Madison, AS
Wacan/artikel KKR_03 26 Suara Pembaruan, Kamis 27 November 2003
Apa Kata Capres tentang Rekonsiliasi? Oleh Wartawan "Pembaruan" Asni Ovier DP
Pembaruan/Alex Suban MASUKAN DARI SESePUH TNI - Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memang bukan calon presiden. Tapi pandangannya yang luas mengenai nasib bangsa ini membuat Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merasa perlu mengundang beliau pada rapat dengar pendapat umum di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2003). Bang Ali meminta sebelum dibentuk UU, diadakan dulu pelurusan sejarah. Pertemuan ini juga dihadiri Mantan Pangkopkamtib Sudomo (tengah), mantan Dubes di AS Hasnan Habib, dan para sesepuh TNI lainnya.
kli
pin gE
LS A
M
Ada seorang perempuan muda yang baru saja membeli sebuah mesin penjawab telepon. Dia membeli mesin itu untuk mengetahui siapa saja yang meneleponnya sebelum dia menjawab panggilan telepon itu. Sebelum telepon diangkat, mesin penjawab akan berkata, "Tinggalkan nomor pesan anda. Jika ada kata yang sulit dimengerti, sebutkan kata apa itu?" Perempuan muda itu tidak ingin menjawab sejumlah nomor telepon, terutama nomor seorang perempuan yang juga istri seorang pengusaha. Pasalnya, perempuan muda itu adalah istri simpanan si pengusaha. Suatu hari, telepon milik perempuan muda itu berdering. Pemilik telepon sebenarnya ada di rumah namun dia tidak mau mengangkat karena penelepon adalah istri pengusaha. Setelah tidak berdering lagi, perempuan muda itu mengaktifkan mesin penjawab telepon dan mendengar pesan yang disampaikan isteri pengusaha. Kalimat yang didengar perempuan muda itu adalah, "Kata yang sulit saya mengerti adalah rekonsiliasi. R-E-K-O-N-S-I-L-I-A-S-I". Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang membahas Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Saat ini mereka sedang mendengarkan masukan dari masyarakat dan pemerintah. Dari sejumlah pendapat, dapat disimpulkan bahwa untuk mewujudkan rekonsiliasi itu memang sulit. Rekonsiliasi bisa diwujudkan asalkan ada kebesaran jiwa dari semua pihak untuk mengakui kesalahan dan mau memaafkan kesalahan itu. Namun, ada juga yang berpendapat, rekonsiliasi dapat diwujudkan asalkan proses hukum tetap menjadi prioritas utama. Melalui proses hukum itu dapat diketahui kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang pernah terjadi. Banyak kekurangan yang terdapat dalam RUU KKR itu. Paling tidak menurut pihak korban. Menurut mereka, dalam RUU KKR tidak ada definisi pelaku. Artinya, tanpa definisi itu sulit untuk mengetahui kebenaran atas suatu peristiwa. Selain itu, RUU KKR yang sedang dibahas DPR itu lebih cenderung memihak kepada pelaku. Ada semacam upaya pemutihan pelaku atas tindakan melanggar HAM yang mereka lakukan pada masa lalu. Pada 2004 nanti bangsa Indonesia akan melaksanakan pesta akbar demokrasi, yaitu pemilihan umum. Selain untuk memilih calon anggota legislatif, pada Pemilu 2004 rakyat Indonesia juga akan memilih presiden baru. Isu tentang rekonsiliasi sangat penting untuk dikemukan dalam kampanye para calon presiden (capres). Sampai saat ini rakyat Indonesia masih belum sepenuhnya menerima keberagaman. Itu menjadi salah satu pemicu konflik di Tanah Air. Tugas Presiden Indonesia mendatang adalah mewujudkan suatu rekonsiliasi agar bangsa ini dapat menatap masa depan dan melaluinya tanpa ada tangis lagi. "Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak takut menatap bayanganya sendiri," kata Nani Nurachman Soetojo, putri seorang pahlawan revolusi di hadapan Pansus RUU KKR. Berikut ini komentar sejumlah capres tentang rekonsiliasi. Ketua Umum PPP, Hamzah Haz
Wacan/artikel KKR_03 27
kli
pin gE
LS A
M
Usai menerima Pengurus Pusat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, di Istana Wapres, Jakarta, Rabu 19 Maret 2003. Rekonsiliasi sangat penting untuk menyelesaikan berbagai kesalahan di masa lampau kecuali persoalan yang berkaitan dengan masalah ideologis. Saya katakan, kalau kesalahan itu bersifat rasial dan kriminal setelah rekonsiliasi bisa dilupakan. Tetapi jika kesalahan bersifat ideologis tidak akan dilupakan. Pelaksanaan rekonsiliasi tidak berkaitan dengan kesalahan ideologis tetapi kemanusiaan. Hal tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa masyarakat masih sulit memaafkan kesalahan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia. Rekonsiliasi dilakukan untuk melupakan kesalahan yang bersifat rasial dan kemanusiaan, bukan kesalahan ideologis seperti pernah dilakukan PKI terhadap masyarakat Indonesia. Ketua Umum PAN, Amien Rais Pada pidato penutupan Sidang Tahunan MPR 2003, Kamis 7 Agustus 2003 Rekonsiliasi nasional perlu terus diupayakan untuk memperkokoh persatuan dan kerukunan nasional. Rekonsiliasi nasional harus meliputi banyak agenda, seperti menyelesaikan dengan arif dan adil jutaan anak-anak bangsa yang di luar kemauan mereka terlahir menjadi anak para aktivis PKI tahun 1960-an. Anak, apalagi cucu para aktivis PKI yang pada tahun 1965 masih berusia muda, apalagi yang belum lahir, tentu harus mendapat hak-hak warga negara mereka secara penuh. Tidak masuk akal bila mereka harus menanggung dosa politik warisan. Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono Usai membuka seminar nasional Persaudaran Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) di Jakarta, Rabu 1 Oktober 2003 Bangsa Indonesia memerlukan suatu rekonsiliasi antarorde. Rekonsiliasi itu perlu dilakukan untuk kepentingan masa depan bangsa Indonesia yang penuh kedamaian. Rekonsiliasi antarorde, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi harus dilakukan. Sebab, hal itu sesuai dengan amanat MPR. Rekonsiliasi seperti itu sangat mungkin dilakukan. Apalagi jika rekonsiliasi itu dilakukan untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia sehingga tidak terpecah-pecah karena masalah dendam, trauma, dan permusuhan di masa lalu. Namun, rekonsiliasi yang dilakukan tetap harus berdasarkan kebenaran dan fakta- fakta yang terjadi di masa lalu. Artinya, kebenaran di masa lalu jangan dilupakan begitu saja dan dianggap tidak ada. Kita bisa saja memaafkan tanpa harus melupakan apa yang telah terjadi. Kita juga dapat mengambil pelajaran dari hal-hal yang terjadi di masa lalu itu. Wiranto Saat sosialisasi bakal capres Partai Golkar di Ternate, Maluku Utara, Minggu 7 September 2003. Bangsa Indonesia perlu memiliki konsep rekonsiliasi yang terbuka dan diterima masyarakat selain menjalankan program pemulihan ekonomi dan politik. Cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa hanya bangsa yang mampu mengatasi masalah domestiknya saja yang bisa mengubah nasib negaranya. Faktor kunci untuk mengatasi masalah domestik yang telah diwacanakan namun tidak pernah dilaksanakan dengan sungguh-sunguh adalah rekonsiliasi nasional. Tanpa keberhasilan menyatukan potensi dan kecerdasan bangsa, mustahil bangsa Indonesia dapat bangkit kembali sebagai bangsa yang dihormati dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia. Untuk itulah dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki karisma, dipercaya, dan dihormati masyarakatnya, serta mampu memobilisasi dukungan untuk membangun suatu sinergi dari seluruh kekuatan nasional. Nurcholish Madjid Pada peluncuran buku Arus Cina-Islam-Jawa, karya Sumanto Al Qurtuby, di Jakarta, Rabu 19 November 2003. Banyaknya konflik antaretnis, suku, dan agama di Indonesia seperti di Sampit, Maluku, Poso dan wilayah lain negeri ini menunjukkan toleransi masih bersifat prosedural dan belum merupakan sebuah prinsip. Jika sudah menjadi suatu prinsip, toleransi tentu saja akan mengutamakan saling menghormati dan menghargai sesama. Bahkan, Nabi Muhammad SAW dalam pidato perpisahannya mengatakan, manusia tidak boleh dibedakan meskipun memiliki warna kulit, budaya dan latar belakang yang berbeda. Karena itu, sudah saatnya sikap membeda-bedakan orang berdasarkan suku, warna kulit, etnis dan agama harus diakhiri. Sudah saatnya pula bangsa ini membangun rekonsiliasi. Rekonsiliasi dan keadilan di Indonesia harus ditegakkan. Hanya dengan rekonsiliasi semua pihak dapat menerima kenyataan dan perbedaan apa adanya, jujur dan tanpa prasangka.* Last modified: 27/11/03
Wacan/artikel KKR_03 28 Kompas, Sabtu 13 Desember 2003
Periodisasi KKR
Oleh Asvi Warman Adam KOMISI Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan mandat MPR kepada pemerintah. Jadi, KKR harus dibentuk sebelum pemerintahan Megawati berakhir. Meski idenya sudah saya sampaikan jauh sebelumnya, periodisasi kasus yang dibahas komisi ini tidak termasuk dalam Rancangan Undang-Undang KKR. Pertimbangannya saat itu adalah pertama, komisi itu sendiri yang menetapkan kasus yang akan diinvestigasi. Kedua, guna menghindari perdebatan berlarut-larut di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM), Sekretariat Negara, dan DPR.
M
Namun, ketika Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mencari masukan tentang aspek sejarah dari komisi ini, selayaknya aspek periodisasi ini dikemukakan. Karena komisi membahas rekonsiliasi sesama bangsa Indonesia, maka sudah tentu KKR tidak berurusan dengan masa kolonial meski pada zaman itu juga sudah terjadi pelanggaran HAM berat.
LS A
Menurut hemat saya, periodisasinya adalah tahun 1945-2000. Hendaknya tonggak waktu ini dapat disepakati dulu. Berdasarkan pengalaman melakukan penyelidikan pelanggaran HAM berat Soeharto, jangka waktu itu dibagi lagi menjadi per dekade. Jadi, untuk tiap dasawarsa dipilih satu-dua kasus menonjol. Dalam periode itu (1945-2000) terjadi beberapa peristiwa pelanggaran HAM berat dalam sejarah Indonesia, yaitu a) Peristiwa Madiun 1948 (korban: kelompok Islam dan komunis) b) Pembantaian 1965/1966 (korban: kelompok komunis)
pin gE
c) Penahanan politik di kamp Pulau Buru 1969-1979 (kelompok komunis) d) Petrus (korban: preman jalanan)
e) Kasus Timor Timur (korban: penduduk daerah) f) Kasus Aceh (korban: penduduk daerah)
g) Kasus Papua (korban: penduduk daerah)
h) Kasus Tanjung Priok 1984 (korban: kelompok Islam)
i) Kasus 27 Juli 1996 (korban: warga/simpatisan PDI Perjuangan)
j) Kerusuhan Mei 1998 (korban: masyarakat luas, mahasiswa, dan warga Tionghoa). Kasus Trisakti dan Peristiwa Semanggi I dan II merupakan bagian dari kasus ini.
kli
Dari sepuluh peristiwa yang disebutkan itu, sembilan di antaranya terjadi pada masa Orde Baru, hanya satu pada masa sebelum Soeharto. Akan tetapi, pengurutan kasus itu tidak menutup kemungkinan kasus lain seperti yang dikehendaki masyarakat atau korban. Demikian pula sebaliknya, mungkin ada yang mempertanyakan apakah kasus Timor Timur masih relevan dimasukkan karena negara itu kini sudah berdiri sendiri.
Penyebutan itu bukan berarti bahwa hanya itu peristiwa pelanggaran HAM di tanah air kita. Banyak lagi pelanggaran HAM lain. Namun, perlu kita sepakati dulu, ada pelanggaran yang diprioritaskan penanganannya dan kesepuluh kasus itu dengan berbagai alasan termasuk dalam kategori yang didahulukan.
Kriteria pengusutan pelanggaran HAM Di dalam sejarah dikenal seleksi. Tidak semua data yang ditemukan atau dimiliki perlu dimasukkan dalam pembahasan suatu topik penelitian. Dalam hal ini dikenal prinsip relevansi dan signifikansi. Kedua prinsip itu dapat menjadi patokan dalam memilih data. Secara umum, pembunuhan 100 orang jelas lebih signifikan daripada satu orang. Dalam penelitian tentang kejahatan HAM, peristiwa kecelakaan bus (karena keteledoran sopir atau putus rem) yang menewaskan 50 penumpang tidak
Wacan/artikel KKR_03 29 diikutkan karena tidak relevan, ini berbeda dengan kasus Tengku Bantaqiyah yang menewaskan 47 orang yang jelas relevan. Untuk mengimplementasikan kedua prinsip itu, ukuran yang amat sederhana adalah jumlah korban yang tewas. Yang kedua, durasi peristiwa itu (bertahun-tahun atau hanya satu hari). Selain itu, tingkat kekejaman atau keganasan suatu kejahatan (bila ini dapat diungkapkan atau diverifikasi melalui kesaksian lisan) dapat dijadikan salah satu unsur kriteria. Liputan oleh media massa-meski ada yang menganggap hal ini tidak selalu atau tidak mutlak berhubungan dengan jumlah korban maupun tingkat kekejaman-juga patut diperhitungkan. Peristiwa yang diliput media massa secara intensif dan luas akan menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat.
M
Namun, dari sisi lain ada kriteria yang tak kalah penting. Apakah tindakan pelanggaran HAM itu merupakan bagian dari suatu kebijakan atau sekurang-kurangnya kultur dari suatu sistem politik? Apakah itu dapat dikaitkan dengan karakter suatu rezim yang memerintah? Apakah pelanggaran HAM akibat bekerjanya sebuah sistem dan bekerja dari suatu sistem tertentu.
LS A
Konflik yang dimasukkan dalam KKR hanya yang terkait dengan politik. Jadi, kasus yang betul-betul murni pertengkaran antaretnis tidak diikutkan dalam KKR. Demikian pula kasus yang berhubungan dengan soal tanah. Bila masalah pertanahan dimasukkan, jumlah kasusnya akan menjadi sangat banyak dan pasti tidak tertangani. Sambutan dan antusiasme dari masyarakat yang terkena kasus ini akan meluap. Lagi pula, berdasarkan pengalaman di luar negeri, kasus tanah juga dihindari untuk diselesaikan melalui KKR. Di Australia, misalnya, ketika berbicara rekonsiliasi dengan kelompok Aborijin, soal tanah tak disinggung. Kalau tidak, maka orang-orang Australia yang sekarang ini harus "hengkang" dari benua itu karena tanah itu milik suku Aborijin. Masa jabatan KKR
pin gE
Dalam RUU KKR yang sekarang, masa jabatan KKR tiga tahun, setelah sebelumnya dalam draf awal disebutkan lima tahun. Saya sendiri berpandangan, sebaiknya komisi hanya bertugas selama satu tahun. Apabila belum selesai, bisa diperpanjang maksimal satu tahun. Pemendekan masa tugas KKR ini untuk membuat mereka lebih serius dalam menangani kasus-kasus itu. Asal dana yang disediakan beserta staf sekretariatnya cukup memadai, saya yakin KKR itu bisa berjalan cepat. Keberhasilan KKR itu juga bergantung pada komposisi anggotanya. Anggota atau pengurus partai politik hendaknya tidak termasuk. Namun, pimpinan ormas atau anggota LSM sebaiknya diikutkan dalam KKR. Pimpinan NU dan Muhammadiyah sebaiknya menjadi anggota komisi ini, demikian pula dengan LSM yang telah terlibat selama ini dalam perancangan undang-undang dan sosialisasinya, seperti Elsam. Sebaiknya anggota KKR diusulkan oleh Komnas HAM dan ditetapkan oleh presiden.
kli
Dr Asvi Warman Adam Sejarawan LIPI
Wacan/artikel KKR_03 30 Kompas, Selasa, 16 Desember 2003
Rekonsiliasi Menuju Indonesia Baru 2004 Rekonsiliasi sejati mengekspos kekejaman, kekerasan, kepedihan, kebejatan, kebenaran. Bahkan terkadang dapat memperburuk keadaan. Ini adalah perbuatan berisiko, meskipun begitu pada akhirnya akan ada pemulihan nyata setelah menyelesaikan situasi yang sebenarnya. Rekonsiliasi yang palsu hanya dapat menghasilkan pemulihan yang palsu. Desmond Tutu, Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan dalam buku No Future Without Forgivenes (1999)
M
PERNYATAAN Uskup Tutu itu amat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang ini. Isu rekonsiliasi dalam berbagai persepsi terus disuarakan di Gedung Parlemen maupun dalam ruang-ruang diskusi, berbarengan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Masyarakat pun terbelah. Polarisasi tercipta.
LS A
SEBAGIAN kalangan perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Airlangga, dan para sejarawan mendukung gagasan perlunya dibentuk semacam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, kelompok agamawan, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), menolak pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Masyarakat korban pun terbelah. Mereka menolak RUU KKR yang hanya akan mengukuhkan impunity.
pin gE
Polarisasi dalam masyarakat juga terjadi dalam persidangan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Tanjung Priok yang terjadi 12 September 1984. Ada kelompok masyarakat yang pro-islah (perdamaian), ada pula yang menolak islah dan mendorong proses pengadilan terhadap sejumlah pimpinan tentara yang bertanggung jawab dalam kasus tersebut. Sejumlah prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD datang ke persidangan untuk memberikan dukungan kepada komandan jenderalnya, Mayjen Sriyanto (dulu Perwira Seksi Operasi Kodim Jakarta Utara), yang menjadi salah seorang terdakwa dalam kasus Priok tersebut. Kedatangan rombongan Kopassus itu sempat diprotes keluarga korban karena dianggap melakukan teror, dan diprotes kalangan wartawan karena dianggap menutupi akses pers untuk meliput kasus tersebut. Sebagaimana terjadi di negara yang sedang beranjak dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan yang lebih demokratis, pemerintahan transisi dihadapkan pada sebuah masalah pelik yang tak mudah diselesaikan. Masalah itu adalah bagaimana pemerintahan transisi menyelesaikan masalah pelanggaran HAM yang dilakukan rezim otoriter. Rezim otoriter Soeharto, dengan dalih stabilitas nasional dan pembangunan nasional serta dalih untuk mempertahankan integritas negara, telah melakukan serangkaian pelanggaran HAM. Melalui mesin-mesin politiknya, militer, birokrasi, dan Golkar, pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Soeharto terbentang dari Aceh hingga Papua dan telah menimbulkan banyak korban jiwa.
kli
TUNTUTAN dari masyarakat korban yang kemudian justru dikorbankan oleh negara menjadi beban warisan pemerintahan transisi, mulai dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Namun, hingga lima tahun runtuhnya rezim otoriter Soeharto, pemerintahan transisi pasca-Soeharto tidak mempunyai pola baku untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu.
Negara yang sebenarnya memegang kewajiban internasional untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu tampak pasif dan sama sekali tak berani mengambil prakarsa untuk penyelesaian kasus tersebut. Penyelesaian kasus-kasus itu sangat digantungkan pada interaksi keluarga korban dan para pendukungnya yang terus menuntut dihadapkan pada resistensi dari militer untuk dimintai pertanggungjawaban. Interaksi antara korban pada satu sisi dan militer pada sisi lain inilah yang membuat pola penyelesaian yang berbeda-beda. Hal itu tercermin pada islah dalam kasus Tanjung Priok dan kompensasi uang terhadap sejumlah korban kasus 27 Juli. Penyelesaian kasus 27 Juli 1996 menggunakan pola pengadilan koneksitas. Namun, pengadilan yang lebih bisa disebut pengadilan simbolik itu hanya mampu menghadapkan pelaku lapangan, tanpa mampu menghadapkan penanggung jawab lapangan. Pasal yang dituduhkan pun sangat sumir, yakni pasal perusakan gedung. Pasal itu sangat tidak sebanding dengan realitas sebenarnya, di mana kasus 27 Juli merupakan sebuah konspirasi politik dari rezim Soeharto untuk menyingkirkan Megawati Soekarnoputri. Dalam istilah mantan Kasum ABRI Soeyono dalam
Wacan/artikel KKR_03 31 bukunya Bukan Puntung Rokok (2003), kasus 27 Juli adalah dampak dari pertarungan dua srikandi kembar, Megawati di PDI dan Siti Hardijanti Rukmana di Golkar yang bertarung di panggung politik nasional pada saat-saat akhir kekuasaan Soeharto. Penyerbuan dilakukan beberapa hari setelah Soeharto bertemu dengan para pembantu militernya untuk mengambil alih Kantor PDI yang dikuasai pendukung Megawati. Sebuah sumber yang dekat dengan lingkaran kekuasaan menyebutkan, Presiden Megawati sebenarnya ingin meminta pertanggungjawaban penanggung jawab militer pada waktu itu. Namun, niat itu mendapat resistensi dari militer. Karena jika itu dilakukan, dikhawatirkan terjadi efek domino pada kasus-kasus lain.
M
Sementara itu, kasus penembakan mahasiswa Trisakti 12 Mei 1998-yang menjadi pemicu kerusuhan sosial di Jakarta dan berakhir dengan tumbangnya kekuasaan Soeharto-diadili melalui mekanisme pengadilan militer. Sementara pertanggungjawaban komando atas terjadinya kerusuhan sosial di Jakarta sama sekali tak pernah diungkap.
LS A
Kini, pihak yang terlibat dan menjadi pendukung Soeharto mulai come back ke panggung politik nasional. Sebutlah seperti mantan KSAD Jenderal (Purn) Hartono, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto, dan mantan Pangkostrad Letjen (Purn) Prabowo Subianto. Bahkan, putri Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana, dicalonkan sebagai Presiden 2004-2009. Dosen filsafat STF Driyarkara F Budi Hardiman dalam diskusi mengenai RUU KKR tanggal 1 Agustus 2003 mengemukakan, para pelanggar HAM menolak permintaan tanggung jawab dengan sejumlah rasionalisasi. Mereka akan mengatakan bahwa kesalahan terletak pada orang lain; dan orang lainpun akan melakukan hal yang sama dalam situasi yang sama; tindakan yang dianggap salah itu (pelanggaran HAM) masih kontroversial. Mereka juga akan berkampanye bahwa mengorek masa lalu justru akan menciptakan destabilisasi; tindakan yang dianggap salah itu bagian dari keadaan khusus; dan mereka akan menyatakan bahwa masih banyak masalah lain yang lebih penting. Sejumlah rasionalisasi diajukan untuk itu.
pin gE
Di tengah segala keterbatasannya, Megawati telah melangkah untuk menyelesaikan permasalahan masa lalu. Kasus 27 Juli 1996 dibuka, meskipun baru merupakan pengadilan simbolis. Kasus Tanjung Priok yang terjadi 19 tahun lalu dibuka dan diajukan ke meja hijau. RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diajukan meskipun mendapatkan resistensi yang meluas. Namun, publik juga mencatat penyelesaian kasus-kasus itu bukanlah semata-mata karena prakarsa negara, melainkan karena tekanan dari keluarga korban. Meski demikian, sejumlah kasus lainnya, seperti Trisakti dan Semanggi, masih terus dijadikan komoditas politik.
kli
PENYELESAIAN pelanggaran HAM masa lalu sangat terkait dengan proses konsolidasi demokrasi. Paling tidak itu dikatakan oleh Lawrence Whitehead dalam artikel berjudul Consolidation of Fragile Democracy. Ia mengatakan, "Kalau kejahatan besar tak diselidiki dan pelaku-pelakunya tidak dihukum, tidak akan ada pertumbuhan keyakinan terhadap kejujuran secara nyata, tidak akan ada penanaman norma-norma demokrasi dalam masyarakat pada umumnya, dan karena itu tidak terjadi konsolidasi demokrasi." Konsolidasi demokrasi tak mungkin terselesaikan hanya dengan pemilihan umum. Konsolidasi demokrasi menuntut prasyarat lain, di antaranya adalah tegaknya rule of law. Dalam konteks rule of law itulah, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi penting. Dengan mengikuti pandangan Whitehead, penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu harus dituntaskan jika demokrasi akan dikonsolidasikan. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu juga akan menjadi prasyarat terjadinya rekonsiliasi. Rekonsiliasi bisa dimaknai sebagai membangun kembali hubungan yang tidak lagi dihantui konflik dan kebencian masa lalu. Priscilla Hayner dalam buku Unspeakable Truths Confronting State Terror and Atrocity paling tidak mengajukan tiga pertanyaan yang bisa digunakan untuk mengukur apakah rekonsiliasi telah berakar. Pertanyaan pertama adalah bagaimana sikap terhadap masa lalu di lingkup publik? Apakah konflik di masa lalu telah bisa dibicarakan-paling tidak secara sopan-bahkan dengan mantan lawan?
Pertanyaan Hayner itu akan mendapat variasi jawaban yang berbeda untuk masing-masing kasus. Meski sudah banyak buku yang mengajukan teori baru mengenai peristiwa 1965, masalah itu masih menyimpan bara emosi yang tinggi di kalangan pelaku dan korban. Sementara untuk kasus 27 Juli masalahnya relatif bisa dibuka, meski tak bisa transparan. Begitu juga dengan kasus Priok, di mana dimensi pengungkapan kebenaran terganggu dengan perdebatan soal islah dalam sistem hukum Indonesia dan kemampuan pengadilan untuk mengungkapkan kebenaran.
Wacan/artikel KKR_03 32 Kedua, bagaimana hubungan antara pihak yang bertikai? Apakah masih didasarkan pada masa lalu? Dalam kasus 27 Juli, hubungan antara pelaku dan korban sudah amat cair. Bahkan, mereka bisa bekerja sama. Mantan Pangdam Jaya Sutiyoso didukung partai yang dulu menjadi korban untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta. Komandan Satgas PDI Agung Imam Sumanto kini menjadi Ketua DPRD DKI Jakarta. Meski demikian, apakah itu menunjukkan rekonsiliasi yang tulus? Apakah bukan hanya karena faktor kekuasaan? Sejarah mungkin yang akan mencatatnya. Ketiga, apakah masih ada banyak cerita tentang masa lalu. Menurut Hayner, melakukan perdamaian tidak sematamata mengembalikan hubungan baik, namun juga mendamaikan fakta atau kisah yang saling bertentangan. Pada bagian ini, upaya penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu belumlah mengarah ke rekonsiliasi. Meskipun upaya pengadilan telah dilakukan, versi cerita sebenarnya tak pernah bisa diungkapkan di pengadilan.
M
Masih banyak ragam cerita tentang kasus 27 Juli. Masih banyak versi tentang kasus Tanjung Priok. Masih beragam pula cerita tentang peristiwa 1965. Dengan mengikuti Hayner, maka rekonsiliasi itu masih jauh dari kenyataan. Seperti dikatakan Uskup Tutu, rekonsiliasi sejati memang mempunyai risiko besar. Sementara itu, rekonsiliasi palsu hanya akan menghasilkan pemulihan yang palsu.
LS A
PEMERINTAHAN Megawati rasanya hampir tak mungkin menyelesaikan seluruhnya masalah pelanggaran HAM masa lalu. Namun, untuk menghormati manusia dan kemanusiaan korban serta terjadinya konsolidasi demokrasi, tugas itu harus dilakukan secara berkelanjutan, termasuk oleh pemerintahan baru yang akan terbentuk kemudian. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM juga sebagai upaya untuk tetap menghadirkan ingatan sosial (social memory). Sebagaimana dikatakan Haryatmoko dalam bukunya, Etika Politik dan Kekuasaan, memori individu bisa lenyap bersama dengan kematian seseorang, namun social memory masih akan tetap hidup meskipun orang-orangnya sudah meninggal. Hari Selasa 5 April 2004 akan dilangsungkan pemilu untuk anggota DPR dan DPD. Selanjutnya, akan diteruskan dengan pemilihan presiden-wapres secara langsung tahap pertama pada 5 Juli. Diharapkan, pada 20 Oktober 2004, Indonesia akan mempunyai presiden baru yang dipilih langsung oleh rakyat.
pin gE
Pemerintahan baru yang akan terbentuk dengan legitimasinya yang baru jelas mempunyai tanggung jawab besar untuk melanjutkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang dilakukan rezim Soeharto. Ingatan sosial akan selalu mempertanyakan impunity (tiadanya sanksi hukum) karena akan menohok rasa keadilan dan membangkitkan indignation (menggugat dan protes terhadap ketidakadilan). Menurut Haryatmoko, indignation merupakan titik tolak moralitas dan kepekaan terhadap nasib korban. Upaya menghidupkan ingatan sosial akan makin bermakna jika ditempatkan dalam kerangka rekonsiliasi. Untuk itu, menurut Haryatmoko dalam bukunya, ada empat syarat agar ingatan sosial bisa menunjukkan vitalitasnya dan rekonsiliasi menemukan maknanya. Pertama, hukum dan masyarakat mengakui adanya pelaku kejahatan dan korban kejahatan; kedua, keadilan harus ditegakkan, berarti dilaksanakannya retribusi (sanksi hukum) terhadap pelaku dan restitusi (pemulihan korban); ketiga, pemisahan antara pengampunan dan kepastian hukum; keempat, bila hukum positif tak mampu menjangkau, penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip Epiekeia (yang benar dan adil).
kli
Upaya untuk menyelesaikan dan meminta pertanggungjawaban masa lalu memang tidak mudah. Penuh risiko, kata Uskup Tutu. Juga ditulis Jack Snyder dalam buku Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah, upaya meminta pertanggungjawaban dari sejumlah pimpinan tentara bisa menjadi pemicu golongan elite untuk mengipas isu SARA sebagai upaya terakhir menangkal hukuman.
Meskipun demikian, masalah pelanggaran HAM masa lalu harus tetap diselesaikan. Mekanisme demokrasilah yang harus mencari format yang tepat untuk menjawab kendala-kendala tersebut. Untuk itu, upaya penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu juga seyogianya menjadi agenda parpol yang akan bertarung dalam pemilu. Penyelesaian masalah pelanggaran HAM masa lalu seharusnya juga menjadi agenda calon presiden mendatang. Tanpa adanya penyelesaian, maka masalahnya akan terus-menerus terbawa kepada pemerintahan baru yang akan terbentuk kemudian. Dan itu berarti demokrasi takkan terkonsolidasi dan rekonsiliasi sejati juga tak kunjung muncul. Kemampuan kita menatap masa depan akan sangat tergantung bagaimana kita menyelesaikan masa lalu. (Budiman Tanuredjo) Suara Pembaruan, 16 Desember 2003
Presiden Terpilih Harus Lakukan Konsolidasi dan Rekonsiliasi
Wacan/artikel KKR_03 33
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Siapapun tokoh yang akan terpilih menjadi Presiden RI ke-6 pada pemilihan tahun depan, harus memulai tugasnya dengan melakukan konsolidasi dan rekonsiliasi nasional. Langkah itu dimaksudkan untuk menata kembali kehidupan sosial politik nasional, pasca hingar-bingar pesta demokrasi yang dipastikan akan menimbulkan gesekan baik di kalangan elite politik maupun masyarakat. ''Siapapun nanti yang terpilih menjadi presiden, dan juga mereka yang memimpin parlemen, pertama-tama harus melakukan konsolidasi dan rekonsiliasi nasional. Langkah itu bukan berarti ada masalah di Tanah Air, tetapi untuk menata kembali situasi sosial politik setelah hingar-bingar pemilu,'' ujar Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan pandangannya dalam seminar mengenai prospek politik dan ekonomi pada 2004, di Jakarta, Senin (15/12). Dia lantas mencontohkan langkah serupa yang dilakukan Presiden Amerika Serikat (AS) George W Bush, saat memenangi pemilihan presiden di AS mengalahkan Al Gore. "Saya ikuti betul apa yang terjadi di AS saat itu. Gore mengakui kekalahannya dan meminta semua pendukungnya untuk mendukung kepemimpinan George Bush. Ini adalah contoh babak akhir dari sebuah kompetisi memperebutkan kepemimpinan, demi menata kembali kehidupan sosial dan politik,'' ungkapnya. Pada forum yang sama, Ketua Umum Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB), Sjahrir mengatakan, penyelesaian krisis multidimensi yang melanda Indonesia selama ini, sangat bergantung pada siapa yang bakal dipilih rakyat menjadi presiden pada pemilihan tahun depan. ''Intinya hanyalah apakah Megawati akan tetap bertahan atau tidak. Kalau tidak, berarti akan ada presiden baru,'' tandasnya.(A-17) Last modified: 16/12/03
Wacan/artikel KKR_03 34 Kompas, Jumat, 19 Desember 2003
Koreksi dan Rekonsiliasi, Kembangkan Demokrasi Jakarta, Kompas - Cendekiawan Nurcholish Madjid menyatakan, saat ini kita harus mulai belajar melihat kenyataankenyataan sejarah sebagai bagian dari pertumbuhan kita sebagai bangsa dan karena itu hendaknya sekarang ini, sambil mengoreksi masa lalu, kita juga harus mengembangkan sikap saling memaafkan.
M
"Karena kita melihat masa depan dalam forgiveness (memaafkan) itu, yaitu rekonsiliasi. Kalau kita bicara tentang demokrasi sekarang ini, tidak bisa tidak harus ada suatu hubungan antarkita yang disemangati dengan saling hormat, saling menghargai, dan saling percaya," demikian Nurcholish Madjid dalam halalbihalal yang digelar Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme di Jakarta, Kamis (18/12) malam. Acara tersebut juga dihadiri Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PNI Marhaenisme Sukmawati Soekarnoputri dan beberapa partai lainnya serta para pendukung dan simpatisan PNI Marhaenisme. Ditanya wartawan mengenai kehadirannya dalam acara yang digelar PNI Marhaenisme itu, Nurcholish menyatakan, ia diundang untuk menghadiri halalbihalal. "Saya ke sini ini diundang. Mereka yang punya tujuan. Saya hanya memenuhi undangan halalbihalal ini saja," katanya.
LS A
Apakah undangan itu terkait dengan pencalonan dirinya sebagai presiden, Nurcholish mengatakan, karena pihaknya tidak mempunyai partai, ia membuka diri terhadap semua partai asalkan bisa memoles satu platform dan kesamaan ide. Sebelumnya, pada hari yang sama, Nurcholish bertemu dengan pengurus Partai Bulan Bintang (PBB) yang menggelar diskusi politik, dan sehari sebelumnya ia menghadiri halalbihalal Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Indonesia.
pin gE
Ditanya mengenai partai-partai mana saja yang telah mendekatinya, Nurcholish menjawab, semua masih dalam proses, masih belum fixed. "Tapi saya minta maaf belum bisa menyebut partai karena saya tidak mau mengganggu atau melanggar kedaulatan mereka. Sekarang ini kan masih dalam proses pengambilan keputusan mereka sendiri," katanya. Sejauh ini memang telah terjadi "proses komunikasi intensif" antara beberapa partai dan Nurcholish untuk membuka diri dan saling mengenal. Partai-partai tersebut adalah PKP Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, PNI Marhaenisme, Partai Pelopor, Partai Bulan Bintang, dan Partai Bintang Reformasi. Kamis malam, sebagaimana dikutip Antara, calon presiden independen, Siswono Yudo Husodo, hadir dalam acara syukuran keikutsertaan Partai Sarikat Indonesia (PSI). PSI telah secara resmi mencalonkan Siswono sebagai calon presiden pada Pemilu 2004. Kepada pers, Siswono mengagendakan trilogi peradaban bangsa yang mencakup penegakan hukum, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya pada kegiatan ekonomi masyarakat, dan peningkatan pendapatan rakyat.
kli
Amien Rais dimintai penjelasan
Untuk menarik simpati warga Nahdlatul Ulama (NU), menjelang pemilihan presiden tahun 2004, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais mendatangi sejumlah pondok pesantren di sekitar daerah Tapal Kuda di Jawa Timur. Hari Rabu lalu Amien yang juga Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengunjungi Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah Syafiiyah pimpinan KH R Fawait As’ad Syamsul Arifin di Sukorejo, Asembagus, Situbondo. Sebelumnya, Ponpes Salafiyah Syafiiyah juga dikunjungi sejumlah pemimpin partai politik yang hendak mencalonkan diri sebagai presiden. Saat berdialog dengan tokoh masyarakat, Amien diminta menceritakan latar belakang jatuhnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari tampuk kekuasaan sebagai presiden. Amien kemudian bercerita mengenai latar belakang naiknya Gus Dur ke tampuk pemerintahan negeri ini. Mulai dari proses lobi untuk menjadikannya sebagai presiden sampai dengan sikapnya yang meninggalkan orang-orang yang dulu menjadikan dirinya sebagai presiden.
Wacan/artikel KKR_03 35 Adanya kasus Bulog ditambah dengan munculnya dekrit presiden, yang keberadaannya menurut Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan tidak sah, membuat pendukung Gus Dur berbalik arah dan menjatuhkannya. Sampai saat ini, kata Amien, belum jelas siapa pembuat dekrit yang isinya hendak membubarkan MPR/DPR itu.
kli
pin gE
LS A
M
"Sesungguhnya yang bertanggung jawab adalah yang membuat dekrit itu. Setelah saya lacak mengenai yang membuat dekrit, tidak ada yang mengaku dan saling melempar tanggung jawab, si anu... si anu. Sampai sekarang masih misteri siapa yang mengetik dan siapa yang memberi masukan," kata Amien menjelaskan. (k09/SIR/LOK)
kli
pin gE
LS A
M
Wacan/artikel KKR_03 36
Wacana/Pansus RUU KKR 03
1
WACANA/PANSUS KKR NOVEMBER 2003 Koran Tempo, Rabu, 12 November 2003
Panglima TNI Tak Setuju RUU KKR Bersifat Retroaktif
M
JAKARTA-- Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menyatakan tak setuju jika Rancangan UndangUndang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bersifat retroaktif (berlaku surut). Alasannya, sifat hukum yang retroaktif tidak sesuai dengan asas hukum yang berlaku universal dan keluar dari aturan umum dan internasional. "Jika berlaku retroaktif, ia menginjak-injak hak asasi manusia. Sebab apa yang berlaku di masa lalu kemudian diprotes dengan masa kini. Semuanya bisa berubah," kata Sutarto dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Khusus RUU itu di gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin.
LS A
Sutarto mengaku sulit untuk menjelaskan masalah ini karena banyak terkait dengan TNI, terutama di masa lalu. Ia tak ingin apa yang dibicarakan merupakan bentuk pembelaan diri. "Tapi terus terang ini tak ada kaitan sama sekali dengan masa lalu TNI. Ini semata-mata yang bisa dilihat dari sisi manusia," ujar dia. Dalam kesempatan itu, Sutarto kembali menegaskan agar RUU ini bisa dibuat sedemikian bagus sehingga harapan untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah lalu bisa terwujud tanpa menimbulkan dendam baru. Indonesia, kata dia, tak akan bisa maju jika terus-menerus mengungkit-ungkit kesalahan masa lalu. "Karenanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan itu," ujar dia.
kli
pin gE
Ia juga meminta pasal-pasal mengenai spesifikasi kasus-kasus yang dapat ditangani komisi ini perlu ditegaskan lagi. Ini karena tidak semua masalah dapat diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. - fajar wh/priandono
Wacana/Pansus RUU KKR 03
2
Koran Tempo, Rabu, 12 November 2003
Panglima TNI Tak Setuju RUU KKR Bersifat Retroaktif JAKARTA-- Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menyatakan tak setuju jika Rancangan UndangUndang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bersifat retroaktif (berlaku surut). Alasannya, sifat hukum yang retroaktif tidak sesuai dengan asas hukum yang berlaku universal dan keluar dari aturan umum dan internasional. "Jika berlaku retroaktif, ia menginjak-injak hak asasi manusia. Sebab apa yang berlaku di masa lalu kemudian diprotes dengan masa kini. Semuanya bisa berubah," kata Sutarto dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Khusus RUU itu di gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin.
M
Sutarto mengaku sulit untuk menjelaskan masalah ini karena banyak terkait dengan TNI, terutama di masa lalu. Ia tak ingin apa yang dibicarakan merupakan bentuk pembelaan diri. "Tapi terus terang ini tak ada kaitan sama sekali dengan masa lalu TNI. Ini semata-mata yang bisa dilihat dari sisi manusia," ujar dia.
LS A
Dalam kesempatan itu, Sutarto kembali menegaskan agar RUU ini bisa dibuat sedemikian bagus sehingga harapan untuk bisa menyelesaikan masalah-masalah lalu bisa terwujud tanpa menimbulkan dendam baru. Indonesia, kata dia, tak akan bisa maju jika terus-menerus mengungkit-ungkit kesalahan masa lalu. "Karenanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan salah satu jalan untuk mewujudkan itu," ujar dia.
kli
pin gE
Ia juga meminta pasal-pasal mengenai spesifikasi kasus-kasus yang dapat ditangani komisi ini perlu ditegaskan lagi. Ini karena tidak semua masalah dapat diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. - fajar wh/priandono
Wacana/Pansus RUU KKR 03
3
Suara Pembaruan, Rabu 12 November 2003
Perlu Kebesaran Jiwa untuk Melakukan Rekonsiliasi
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Diperlukan kebesaran jiwa dari seluruh elemen bangsa Indonesia agar rekonsiliasi nasional dapat terwujud. Di sisi lain, hukum harus dijalankan dulu sebelum proses rekonsiliasi berjalan. Pendapat itu disampaikan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P), Permadi, dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Jakarta, Selasa (11/11). "Tanpa kebesaran jiwa, rekonsiliasi itu omong kosong," kata Permadi. Kemarin, rapat Pansus RUU KKR mendengarkan masukan dari Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto dan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Ermaya Suradinata. Menurut Permadi, proses pembuatan UU KKR akan menghadapi banyak sekali dilema. Apalagi jika dasar pembuatan UU itu karena keputusasaan bangsa Indonesia yang tidak mampu menyelesaikan berbagai masalah. Dikatakan, banyak masalah yang belum diselesaikan bangsa Indonesia hingga saat ini. Misalnya, kasus PKI, tragedi Mei 1998, tragedi Trisakti dan Semanggi, kasus 27 Juli, kasus Tanjung Priok, dan kasus-kasus korupsi Dilema yang dimaksud oleh Permadi adalah adanya pro dan kontra di antara elemen masyarakat dalam menilai kasus-kasus itu. Kesulitan lain adalah kebesaran jiwa setiap elemen bangsa untuk saling memberi maaf. "Masalahnya, apakah kita mau memaafkan kelompok-kelompok radikal? Apakah mahasiswa mau memaafkan TNI? Apakah TNI mau memaafkan PKI? Apakah umat Islam mau memaafkan PKI? Itu menjadi tanda tanya besar," kata Permadi. Menyoroti RUU KKR yang sedang dibahas di DPR, Panglima TNI beranggapan, secara universal suatu UU tidak boleh retroaktif. Dia berargumentasi, standar hukum masa lalu berbeda dengan standar hukum saat ini. "Lihat saja bangsa Amerika pada masa Wild West. Ketika itu hukum ditegakkan dengan adu tembak. Siapa yang menang, dia yang benar," kata Panglima TNI. Menanggapi pernyataan Panglima TNI itu, Permadi mengatakan, di Indonesia masalah-masalah masa lalu sampai sekarang belum diselesaikan. Oleh karena itu, penegakkan hukum harus dijalankan dulu sebelum melakukan rekonsiliasi. "Kita tidak usah melihat kasus-kasus yang besar. Lihat saja kasus pembunuhan Marsinah. Kasus itu seharusnya mudah untuk diungkap, tetapi kenapa sampai sekarang belum juga selesai?" katanya. Pada kesempatan itu Panglima TNI mengaku sulit untuk bicara soal rekonsiliasi. Sebab, dia khawatir orang akan menilai apa yang dia ungkapkan sebagai bentuk pembenaran oleh TNI terkait dengan masalah-masalah masa lalu. "UU seperti ini seharusnya menjadi jalan untuk menyelesaikan masalah bukan justru menimbulkan masalah baru. Lihat saja UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM. UU itu tidak bersifat universal sehingga muncul pro dan kontra," katanya. Gubernur Lemhannas, Ermaya Suradinata mengatakan, DPR harus memberikan rekomendasi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Aturan tentang rekomendasi DPR itu harus tercantum dalam UU KKR. Selain itu, dalam melihat permasalahan bangsa Indonesia pada masa lalu harus ada batas waktu yang jelas. Dengan demikian, bangsa Indonesia tidak hanya terpaku pada masa lalu dan lupa untuk melihat masa depan. (O-1) Last modified: 12/11/03
Wacana/Pansus RUU KKR 03
4
Kompas, Kamis 13 November 2003
RUU KKR Tidak Cerminkan Keadilan bagi Korban Jakarta, Kompas - Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) dinilai tidak mencerminkan keadilan bagi korban, keluarga korban, dan masyarakat. RUU KKR belum mengatur perlindungan saksi korban maupun saksi yang memberatkan tersangka. Sebaliknya, RUU KKR malah membebaskan para pelaku pelanggaran HAM berat dari hukuman serta tidak menjamin lahirnya komisi yang independen dan memiliki cara kerja yang transparan.
M
Pandangan itu disampaikan Pengurus Komisi Hak Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Rm Benni Susetyo Pr dalam rapat dengar pendapat umum Panitia Khusus RUU KKR di Gedung MPR/DPR, Rabu (12/11). Rapat dipimpin Ketua Pansus RUU KKR Sidarto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP).
LS A
KWI menilai, RUU KKR juga akan semakin membebani masyarakat karena harus ikut menanggung beban biaya untuk pembayaran kompensasi, restitusi, dan pembiayaan KKR dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Atas dasar itu, KWI meminta kepada Pansus untuk menunda dan memperbaiki RUU KKR yang diusulkan pemerintah. Seandainya tidak ada perbaikan, KWI menyatakan penolakan terhadap rancangan yang diajukan. Dalam rapat kemarin juga hadir sejumlah organisasi agama lainnya. Namun, banyak yang belum siap melakukan pembahasan karena baru menerima draf RUU sehari sebelumnya.
pin gE
Tokoh yang hadir, Ketua Komisi Kerukunan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Z Kidam Djauhari, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Natan Setiabudi, Pengurus Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) IN Suwandha, Pengurus Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) Oka Diputhera, Pengurus Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Chandra Setiawan, serta Ketua Umum Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Koesoemo Hartami. Penolakan juga muncul dari MUI. Kendati demikian, MUI belum memberikan penjelasan mendalam. Djauhari hanya menegaskan bahwa pembahasan RUU KKR belum urgen karena menganggap perangkat perundang-undangan yang ada sudah memadai. Pansus tidak serius
kli
Sementara itu, Natan selain menyoroti soal substansi juga mempertanyakan sikap Pansus yang terkesan tak serius dalam melakukan pembahasan. Hal itu dibuktikan dengan pengiriman naskah rancangan yang sangat terlambat pada mereka dan minimnya anggota Pansus yang hadir dalam rapat kemarin. "Kami yakin anggota DPR menghargai forum ini karena kami di sini diundang. Tapi, faktanya seperti ini?" katanya. Dalam rapat kemarin, anggota Pansus yang hadir sangat minim. Meski rapat sudah ditunda lebih dari setengah jam, anggota Pansus yang hadir hanya lima orang, selebihnya pimpinan empat orang. Setelah rapat berlangsung satu jam, barulah berangsur-angsur anggota Pansus berdatangan.
Atas ketidakhadiran sejumlah anggota Pansus, Sidarto selaku Ketua Pansus memohon maaf kepada para undangan. Sidarto berjanji akan menyampaikan kritik tersebut kepada anggota untuk perbaikan. (sut)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
5
Wacana KKR-Pansus November 2003 Suara Pembaruan, Kamis 13 November 2003
RUU KKR Legalkan Impunitas bagi Pelanggar HAM Berat
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dinilai tidak mencerminkan keadilan bagi korban, keluarga korban, dan masyarakat. RUU KKR justru melegalkan negara dalam memberi perlindungan hukum (impunity/impunitas) bagi para pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Demikian pandangan yang disampaikan Pengurus Komisi HAM Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Romo Benny Susetyo Pr dalam rapat kerja Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR, di Gedung DPR, Jakarta Rabu (12/11) petang. Rapat Pansus yang dipimpin ketuanya, Sidarto Danusubroto ini dihadiri pula Ketua Komisi Kerukunan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Z Kidam Djauhari, Ketua Umum Persekutuan Gerejagereja Indonesia Nathan Setiabudi, Pengurus Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) IN Suwandha, Pengurus Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi) Oka Diputhera, Pengurus Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Chandra Setiawan, dan Ketua Umum Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Koesoemo Hartami. Menurut Romo Benny, bukti bahwa para pelanggar HAM berat justru diberi perlindungan hukum, bisa dilihat dari tidak diaturnya proses penuntutan terhadap pelaku pelanggaran HAM berat dalam RUU KKR tersebut. Pada Pasal 26 RUU ini juga disebut, kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan, sedangkan amnesti sendiri tidak dapat diberikan tanpa adanya putusan pengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 42 disebutkan pula, pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan KKR, perkaranya tidak dapat diajukan kepada pengadilan HAM ad hoc. KKR seolah-olah memberlakukan asas nebis in idem yang artinya, atas pelaku yang sama dari suatu tindakan pidana yang sudah mendapat putusan hakim yang tetap, tidak dapat dilakukan pemeriksaan/penuntutan. Komisi HAM KWI, kata Benny, juga menilai RUU KKR yang disusun Departemen Kehakiman dan HAM tersebut tidak independen. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 3 Ayat (3), yakni, pembentukan komisi daerah melalui pemerintah daerah setempat, dalam Aayat (4) disebutkan, pembentukan perwakilan komisi daerah diatur dengan Keppres. Pasal 31 Ayat (1) disebutkan, seleksi pertama kali dalam pemilihan anggota komisi dilakukan presiden. KKR dalam rumusan RUU yang sedang dibahas DPR tersebut, menurut Benny, mekanisme kerjanya tidak akan transparan. Sebab, peran masyarakat luas untuk ikut berpartisipasi dalam upaya menegakkan keadilan dan memantau jalannya penyelidikan dan klarifikasi komisi serta pemberian kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan pemberian rekomendasi untuk amnesti, tidak diberikan oleh RUU KKR ini. Di bagian lain, Romo Benny juga menilai terjadi inkonsistensi dalam RUU KKR tersebut. Sebab, dalam Pasal 1 poin ke-7 dijelaskan definisi restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. Namun dalam Pasal 41 disebutkan sumber keuangan untuk pembayaran pemberian kompensasi, rehabilitasi dan restitusi yang menjadi beban negara dibebankan kepada APBN. Sorotan senada soal beban biaya ganti kerugian yang mestinya dibebankan kepada pelaku ini, juga disampaikan IN Suwanda dari PHDI dan Chandra Setiawan dari Matakin. Chandra juga meminta agar nama RUU KKR dilengkapi dengan kata Nasional sehingga menjadi RUU KKRN sesuai amanat ketetapan (Tap) MPR No V/2000. Chandra juga mengusulkan agar cakupan KKR nanti tidak hanya menangani pelanggaran HAM berat, tetapi seluruh pelanggaran hak-hak sipil. Ketua Pansus RUU KKR Sidharto Danusubroto dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) menyatakan, pandangan yang disampaikan para tokoh agama tersebut khususnya dari KWI sangat bagus dan komprehensif. Sementara para tokoh agama lainnya, pada umumnya menyatakan tidak siap dengan alasan undangan baru diterima. (M-15) Last modified: 13/11/03
Wacana/Pansus RUU KKR 03
6
Korna Tempo, Jumat, 14 November 2003
"RUU Kebenaran dan Rekonsiliasi Jangan Dipaksakan" JAKARTA -- Sejumlah lembaga kajian dan penelitian meminta Panitia Khusus (Pansus) DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sampai situasi sosial politik memungkinkan. "Situasi masyarakat sekarang belum bisa menerima proses seperti itu. Belum ada social trust," kata J. Kristiadi, peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS), dalam rapat dengar pendapat dengan Pansus di gedung MPR/DPR kemarin.
M
Selain CSIS, Pansus Komisi Rekonsiliasi juga mendengarkan pendapat dari Center for Information and Development Studies (CIDES) dan Gerakan Nasional Patriot Indonesia. Seperti rapat-rapat pansus ini sebelumnya, anggota DPR yang hadir sangat minim. "Waktunya bertabrakan dengan sidang komisi lain," kata Ketua Pansus Sidharto Danusubroto beralasan.
LS A
Lebih jauh, Kristiadi menegaskan, ketaksiapan situasi sosial politik masyarakat Indonesia menerima keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, juga diperparah oleh tidak setaranya kedudukan pelaku dan korban pelanggaran hak asasi manusia saat ini di masyarakat. "Banyak orang yang diduga pelaku pelanggaran HAM, masih punya pengaruh ke mana-mana," katanya. Karena itu, ia khawatir, jika pembentukan Komisi Rekonsiliasi dipaksakan saat ini yang terjadi justru legalisasi impunitas dan proses saling mengungkit kesalahan. "Tidak ada suasana rekonsiliatif. Akan muncul masalah baru, yang lebih berat," kata Kristiadi.
pin gE
Sementara itu, Harun Rasid dari CIDES serta Sumarno Diposusatro dari Gerakan Nasional Patriot Indonesia meminta rumusan draf RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diperbaiki terlebih dulu. Kedua lembaga ini meminta rekonsiliasi dilakukan dengan payung nilai Pancasila. "Kami tidak bisa menerima jika rekonsiliasi dilakukan dengan mereka yang menolak Pancasila," kata Sumarno. Sebelumnya pada Rabu (13/11), enam lembaga agama telah memberikan tanggapannya terhadap RUU itu. Konferensi Wali Gereja, Persekutuan Gereja Indonesia , Himpunan Penghayat Aliran Kepercayaan, Majelis Tionghoa Indonesia, dan Parisadha Hindu Darma Indonesia mendukung semangat RUU itu asalkan dilakukan berbagai perbaikan. Sedangkan Majelis Ulama Indonesia tegas menolaknya.
kli
Menanggapi berbagai kritik itu, Sidharto menegaskan kerja panitia khusus DPR tidak akan lepas dari aspirasi yang berkembang di masyarakat. "Kami tidak memaksakan diri. Kalau masyarakat dinilai tidak siap dan menolak keberadaan Komisi Rekonsiliasi, DPR tidak bisa berbuat apa-apa," kata politikus PDI Perjuangan ini. wahyu dhyatmika/priandono
Wacana/Pansus RUU KKR 03
7
Kompas, Jumat, 14 November 2003
RUU KKR Akan Munculkan Masalah Baru Jakarta, Kompas - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) memandang pembentukan UndangUndang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi belum diperlukan saat ini. Apabila dipaksakan pembentukannya, dikhawatirkan malah akan memunculkan masalah baru yang lebih besar.
M
"Kalau dipaksakan, akibat paling buruk adalah akan terjadi saling ungkit kesalahan. Ini bisa menimbulkan masalah baru yang berat," kata pengamat politik J Kristiadi yang ditemui wartawan di sela-sela rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panitia Khusus RUU KKR di Gedung MPR/DPR, Kamis (13/11). Rapat dipimpin Ketua Pansus Sidarto Danusubroto (F-PDIP), didampingi Akil Mochtar (F-PG), Sofwan Chudhorie (F-KB), dan Rusydi Hamka (F-PPP).
LS A
CSIS menilai, kondisi saat ini belum memungkinkan terjadinya rekonsiliasi. Selain kedudukan pelaku lebih kuat dibandingkan dengan korban, kepercayaan kolektif antarmasyarakat pun belum mendukung adanya pengungkapan kebenaran. "Masih banyak pelaku yang diduga pelaku pelanggar HAM bisa berpengaruh ke mana-mana," jelas Kristiadi.
kli
pin gE
Pandangan senada disampaikan Center for Information and Development Studies (Cides) dan Gerakan Nasional Patriot Indonesia (GNPI). Fatullah dari Cides mempertanyakan apakah bangsa Indonesia sudah siap untuk membicarakan kebenaran. Menurut dia, tuntutan masyarakat sekarang lebih menghendaki penegakan hukum, bukan rekonsiliasi. (sut)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
8
The Jakarta Post, November 18, 2003
Experts fear whitewashing in new Truth Commission
kli
pin gE
LS A
M
Kurniawan Hari, The Jakarta Post, Jakarta Experts have expressed concern that a planned Truth and Reconciliation Commission will serve as a legal whitewash of past gross human rights abuses, allowing perpetrators to avoid prosecution. Frans Magnis-Suseno of the Driyakara School of Philosophy told the House of Representatives commission in charge of deliberating the bill on truth and reconciliation on Monday that many perpetrators of past human rights abuses were still in power. "It is not impossible that they are using their power to escape being held accountable. The Truth and Reconciliation Commission must not become an institution to protect them," Frans Magnis said. Political analyst J. Kristiadi from the Centre for Strategic and International Studies expressed similar concerns at a hearing with the commission last week. Frans suggested the bill order the planned commission to divulge the background of all the human rights cases it handled. Without a clear background and explanation, he said, victims of human rights abuses would remain victims. Former National Police chief Gen. (ret) Awaloeddin Djamin, meanwhile, urged lawmakers to overhaul the government-sponsored bill, which he said contained numerous flaws. Awaloeddin said the bill did not clearly define the perpetrators of conflicts. Taking the conflicts in Poso, Central Sulawesi, and in Ambon, Maluku, as examples, Awaloeddin said it was difficult to identify the perpetrators in these communal conflicts. He added that finding who was responsible for rights abuses in a conflict involving the state was also difficult. "Is it the military soldiers, the police personnel, the commander or the president?" he asked. Monday's hearing was also expected to hear from Muslim scholar Nurcholish "Cak Nur" Madjid, former president Abdurrahman "Gus Dur" Wahid and journalist Jakob Oetama, but they failed to appear. Commission chairman Sidharto Danusubroto said Cak Nur was too busy with his position as rector of the Paramadina Mulya University and Jakob was sick. Gus Dur, meanwhile, asked to delay his meeting with the commission until Dec. 9. Awaloeddin also said the nation must restore the good names of those people jailed without trial following the 1965 abortive coup blamed on the Indonesian Communist Party. He said the President could issue a decree to restore their names without having to go through a Truth and Reconciliation Commission. Earlier, several analysts have expressed doubt that the commission can help in the process of national reconciliation. J. Kristiadi from the Centre for Strategic and International Studies said that the nation could not reach reconciliation because the perpetrators of human rights abuses remained more powerful than the victims. "The current atmosphere is not feasible for reconciliation. If we insist on forcing reconciliation, it will only create more problems," he said on the sidelines of a hearing with legislators. The bill was mandated by the People's Consultative Assembly (MPR) in a decree issued in 2000. It is intended to settle human rights violations that have not been brought to a close by the current legal system. It is expected that the perpetrators or witnesses testifying before the commission will apologize to the victims and offer compensation.
Wacana/Pansus RUU KKR 03
9
Kompas, Selasa 18 November 2003
Hapus Dulu Diskriminasi Sebelum UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terbentuk Jakarta, Kompas - Selain penting untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, sebetulnya di depan mata banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia berupa diskriminasi politik yang memerlukan penanganan segera. Masalah diskriminasi politik itu dapat diselesaikan dengan keputusan presiden, tanpa harus menunggu terbentuknya UU KKR.
M
Demikian dikatakan mantan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Awaluddin Djamin dalam rapat dengar pendapat umum Panitia Khusus RUU KKR yang dipimpin Sidharto Danusubroto (Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) di Gedung MPR/ DPR, Senin (17/11). Pansus juga mendengarkan masukan dari ahli filsafat Prof Dr Franz Magnis-Suseno.
LS A
Awaluddin Djamin mengemukakan, RUU KKR bertujuan mewujudkan rekonsiliasi nasional melalui pengungkapan kebenaran, tetapi substansinya tidak jelas karena tidak ada latar belakang naskah akademiknya. Karena itu, perlu revisi total agar jelas betul masalah HAM apa yang perlu diselesaikan. "Jangan dipaksakan karena waktu. Ada masalah HAM yang hari-hari ini dibicarakan, misalnya orang dituduh terlibat G30S tapi tak pernah diadili. Ini yang mendesak rehabilitasinya. Yang telah divonis dan masuk lembaga pemasyarakatan ada proses amnesti," katanya.
pin gE
Awaluddin memberi ilustrasi tentang seorang anak Gubernur Akademi Kepolisian yang lulus tes, tetapi dikeluarkan karena "tidak bersih lingkungan". Penyebabnya, pamannya dituduh terlibat G30S. Ratusan bahkan ribuan kasus seperti ini ada di negara ini. KTP ditandai eks tapol dan kode-kode lain. Hal yang sama dialami warga negara Indonesia keturunan. "Ini adalah diskriminasi. Sudah lebih dari 35 tahun diskriminasi ini berjalan. Jika tidak ditangani oleh negara, saran saya, kasus demikian tidak perlu menunggu RUU. Cukup DPR mengusulkan kepada pemerintah agar dengan keppres masalah itu diselesaikan. Maka satu tahap rekonsiliasi nasional dapat diselesaikan," kata Awaluddin. Franz Magnis-Suseno juga sependapat dengan Awaluddin Djamin. Bahkan, sejumlah anggota Pansus juga mendukung, seperti Astrid Susanto dari Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia dan Sabam Sirait dari FPDIP.
kli
Sabam Sirait meminta agar Pansus menindaklanjuti dengan berkirim surat kepada Komisi II. Sidharto juga mengatakan akan menindaklanjuti usulan Awaluddin Djamin itu. Franz Magnis-Suseno antara lain mengemukakan, sebelum KKR ini betul-betul bekerja, kesadaran historis harus dipertajam lebih dulu. "Jangan sampai KKR ini menjadi sarana bagi pelaku untuk lepas dari perbuatannya, sedangkan korban belum terehabilitasi. Ada tendensi nanti KKR ini malah mempermasalahkan korban," kata MagnisSuseno.(BUR/TOM)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
10
Koran Tempo, Selasa 18 November 2003
RUU Rekonsiliasi Terlalu Optimistis, Harus Direvisi JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi perlu perbaikan total karena latar belakang kajian akademis tidak jelas. Mantan Kepala Polri Jenderal Pol. (Purn.) Awaluddin Djamin mengatakan, selain tak ada definisi siapa pelaku dan korban, rancangan ini juga terlalu optimistis, bisa membuat pelaku mengaku kesalahan dan minta maaf. "Polisi saja sulit. Penjahat biasa saja tidak pernah mengaku, apalagi menyesal. Itulah hebatnya optimisme perumus rancangan ini," kata Awaluddin dalam rapat dengan Panitia Khusus DPR Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di gedung MPR/DPR Jakarta kemarin.
M
Definisi pelaku ini penting, kata dia, karena ada pelanggaran HAM vertikal maupun horizontal antarwarga masyarakat seperti yang terjadi di Sampit atau Maluku. Awaluddin mengingatkan pertimbangan berbagai sektor, termasuk pelaksanaannya, karena komisi ini belum dirumuskan secara jelas mengenai konflik yang ditangani, batas waktu ataupun implikasi pasal-pasalnya terhadap masalah lain.
LS A
Narasumber kedua yang diundang Pansus, Franz-Magnis Suseno, mengatakan, komisi ini harus bisa mewujudkan kesadaran nasional bahwa telah terjadi pelanggaran HAM besar-besaran, lepas dari oportunisme politik. Tugas ini dirasanya sulit karena rendahnya kesadaran masyarakat mencari kebenaran, padahal harus ada kesadaran bahwa ada orang yang menjadi korban dan apa penyebabnya. "Kesadaran historis harus dipertajam. Jangan sampai rancangan ini menjadi sarana pelaku agar gampang lepas dari perbuatannya, sedangkan korban belum terehabilitasi," katanya.
kli
pin gE
Menurut Magnis, komisi juga harus memperhitungkan adanya kemungkinan pelaku adalah orang yang mempunyai kekuasaan yang cukup kuat. "Jangan sampai UU ini jadi semacam pemutihan kebenaran," katanya. Dia khawatir rancangan ini bisa membebaskan hukuman pelanggaran HAM berat karena adanya kesepakatan pelaku dengan korban. yandi mr/tjandra
Wacana/Pansus RUU KKR 03
11
Suara Pembaruan, Selasa 18 November 2003
Masyarakat Harus Dicerahkan agar Tidak Diskriminatif
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Masyarakat Indonesia harus diberi pencerahan agar tidak bertindak diskriminatif terhadap anggota masyarakat lainnya. Hal itu merupakan salah satu cara untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional. Pendapat itu disampaikan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis Suseno, kepada wartawan seusai rapat Panitia Khusus (Pansus) DPR yang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Jakarta, Senin (17/11). Bersama mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Awaluddin Djamin, Franz Magnis memberi masukan kepada Pansus RUU KKR. "Sekarang masih sering terjadi diskriminasi di Indonesia. Pemerintah dan elite politik harus memberikan pencerahan dulu kepada masyarakat tentang diskriminasi itu sehingga rekonsiliasi nasional bisa terwujud," kata Franz Magnis. Hal senada dikatakan Awaluddin. Dia lebih menyoroti terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang diakibatkan oleh diskriminasi politik. Diskriminasi politik yang dimaksud Awaluddin adalah perlakuan mantan anggota atau keluarga mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada kartu tanda penduduk para mantang anggota PKI dan keluarganya diberi cap eks tahanan politik atau tanda-tanda lain. Presiden Megawati Soekarnoputri, kata Awaluddin, seharusnya bisa mengeluarkan surat Keputusan Presiden (Keppres) menyangkut hal itu. Jadi, pemberian amnesti atau pemulihan nama baik para mantan anggota PKI dan keluarganya itu tidak perlu menunggu adanya UU KKR. Awaluddin menilai, RUU KKR yang diajukan pemerintah ke DPR tidak memiliki landasan pemikiran dan kajian yang jelas dan mendalam. Oleh karena itu, dia mengimbau anggota Pansus untuk merevisi secara total RUU KKR itu. Dikatakan, pada RUU KKR itu disebutkan bahwa untuk mewujudkan suatu rekonsiliasi nasional diperlukan pengungkapan kebenaran. Akan tetapi, substansi yang terkandung di dalamnya tidak jelas karena tidak memiliki latar belakang akademis. Menurut Franz Magnis, dalam RUU KKR kurang terlihat peran komisi itu dalam mewujudkan suatu kesadaran nasional bahwa telah terjadi suatu pelanggaran HAM berat. Di banyak negara, katanya, komisi serupa melakukan peran seperti itu. (O-1) Last modified: 18/11/03
Wacana/Pansus RUU KKR 03
12
Republika, Rabu, 19 Nopember 2003 8:10:00
Jangan Jadikan Komisi Kebenaran Sebagai 'Pemutihan Dosa'
kli
pin gE
LS A
M
Bandar Lampung-RoL-- Kontras meminta DPR untuk tidak tergesa-gesa mengesahkan UU Komisi Kebenaran dan Rekosiliasi (KKR), sebab bila dipaksakan dapat menjadi alat kekebalan dan menjadi "pemutihan dosa" para pelanggar HAM. Dengan adanya "pemutihan dosa," kata staf Advokasi Kontras Abu Said Pilu, Rabu, dikhawatirkan pula penyelesaian terhadap pelanggar HAM bakal hilang dan tidak menutup kemungkinan sebagai jembatan bagi mereka yang "berdosa" dalam kasus itu kembali berkuasa karena merasa sudah "diputihkan". "Pembuatan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terlihat hanya mengejar 'target' karena untuk memenuhi amanat TAP MPR saja," katanya. Dia menilai, pembuatan UU KKR terlalu prematur dan terkesan dipaksakan sehingga tidak bermanfaat bagi penegakan kebenaran dan keadilan di Indonesia. Menurutnya, sebelum UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi disahkan, hendaknya pemerintah bersungguh-sungguh menyelesaikan berbagai bentuk pelanggaran HAM sebelumnya seperti kasus "Talangsari" dan lainnya. Sementara Suparno, salah satu "korban Talangsari" 7 Februari 1989 meminta agar berbagai bentuk pelanggaran HAM diselesaikan terlebih dahulu. "Islah itu baik dan setuju saja. Namun proses hukum jalan terus," kata Suparno yang bersama anaknya disel tiga bulan di LP Rajabasa tanpa proses hukum. Suparno berharap, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dapat berjalan sesuai dengan hati nurani dan supramasi hukum. Ant/fif
Wacana/Pansus RUU KKR 03
13
kli
pin gE
LS A
M
Jakarta Pos, November 19, 2003 VETERANS REUNION: Several retired military officers (from left to right) Lt. Gen. (ret) Hasnan Habib, Adm. (ret) Sudomo, and Lt. Gen. (ret) Ali Sadikin attend a hearing with the House of Representatives to share ideas on the planned establishment of the truth and reconciliation commission. Former Indonesian Military chief Gen. Wiranto was invited to the hearing on Tuesday, but failed to turn up. JP/Mulkan Salmona
Wacana/Pansus RUU KKR 03
TEMPO Interaktif Nasional
14
19 November 2003
RUU Komisi Kebenaran Ditentang Korban , Jakarta: Korban pelanggaran HAM menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dalam rapat dengar pendapat dengan panitia khusus DPR di Jakarta, Rabu (19/11). Mereka yang hadir dalam rapat ini adalah korban tragedi 30 September 1965, Tanjung Priok, Lampung, korban penculikan 1998, tragedi Trisakti Semanggi I dan II.
M
Dalam tanggapannya, John Muhammad dari Universitas Trisakti, secara tegas menolak rancangan yang diajukan pemerintah. Selain itu John juga menuntut keadilan bagi para korban pelanggaran HAM agar tidak terulang kembali masa depan. Dirinya menilai keadilan sejati bagi para korban adalah dengan pengadilan HAM yang demokratis dengan pengungkapan kebenaran yang memenuhi rasa keadilan bagi korban.
LS A
Pada kesempatan yang sama, Arief Priyadi, orang tua Wawan, korban Semanggi I mengungkapkan, rancangan ini lebih berbasis memberikan pengampunan kepada pelaku dibanding mengungkapkan benaran dan keadilan. "Korban justru diminta untuk berkorban lagi untuk mengampuni," ujar Arief. Padahal, untuk mengampuni harus terlebih dahulu ada pengakuan dari pelaku. John, yang merupakan koordinator lapangan saat tragedi Trisaksi 1998, juga mempermasalahkan pelaku yang sudah diajukan dalam Komisi Kebenaran tidak bisa diajukan ke pengadilan HAM. "Seharusnya kedua lembaga ini saling melengkapi dan berkesimanbungan," katanya.
pin gE
Witaryono Reksuprodjo, putra dari Setiadi Reksuprodjo, Menteri Kelistrikan dan Ketenagaan kabinet Dwikora yang termasuk korban 30 September 1965, menyebutkan, yang terpenting adalah merehabilitasi para korban 30 September. Sebab, selama ini para korban politik tahun 1965 banyak yang belum mendapatkan hak-haknya sebagi warga negara. "Selama haknya belum pulih, maka akan sulit memberi kontribusi bagi KKR," kata Witaryono. Witaryono yang mewakili tim advokasi rehabilitas korban 65 menyebutkan bahwa pintu dari rekonsisliasi yang terpenting adalah penghapusan diskriminasi yang selama ini dialami oleh para korban pelanggaran HAM tahun 1965. Menurutnya, hukuman bagi para tahanan politik tahun 65 sangatlan tidak berprikemanusiaan karena sudah menjadi dosa turunan anak cucu.
kli
Ada sekitar 100 korban dan keluarga korban yang menghadiri rapat dengar pendapat hari ini. Sebelum memasuki ruang rapat mereka sempat melakukan demonstrasi di depan ruangan sambil meneriakkan yelyel penolakan Komisi Kebenaran. Priandono Kusuma - Tempo News Room
Wacana/Pansus RUU KKR 03
15
Suara Pembaruan, Rabu 19 November 2003
Pembentukan KKR Harus dalam Semangat Pelurusan Sejarah Pembaruan/Alex Suban MASUKAN DARI SESEPUH TNI - Mantan Pangkopkamtib Sudomo memberikan pandangannya di depan Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Selasa(18/11). Pertemuan ini juga dihadiri pengacara senior Adnan Buyung Nasution (kanan) dan para sesepuh TNI lainnya seperti mantan Gubernur DKI Ali Sadikin (tengah).
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Mengungkap kebenaran yang berujung pada rekonsiliasi bukan hal mudah. Dengan demikian, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menuntut adanya anggota komisi yang berwatak negarawan. Anggota komisi diharapkan pula mempunyai semangat untuk meluruskan sejarah. Hal itu dikemukakan mantan Gubernur DKI Jakarta yang lebih dikenal sebagai tokoh petisi 50, Ali Sadikin, dalam rapat dengar pendapat umum Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) KKR, di gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/11) petang. Rapat yang dipimpin Sidharto Danusubroto (Ketua Pansus) ini juga menghadirkan mantan Pangkopkamtib Sudomo, Hasnan Habib mantan Dubes Indonesia untuk Amerika Serikat, mantan Kasau Saleh Basarah dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Adnan Buyung Nasution. Menurut Ali Sadikin, pengungkapan kebenaran untuk rekonsiliasi membutuhkan tokoh besar seperti Uskup Desmond Tutu di Afrika Selatan. "Kita harus belajar dari Korea Selatan yang dengan berani mengadili para koruptor tidak terkecuali mantan presiden sekalipun, lalu kemudian diampuni, padahal di sana tidak dikenal Pancasila,'' tegasnya. Berkaitan dengan pelurusan sejarah, Ali Sadikin mengatakan, rekonsiliasi baru bisa terwujud kalau sekitar 1,8 juta penduduk eks tahanan politik (tapol) termasuk para mantan perwira Angkatan Laut, direhabilitasi namanya. Sebab, pada umumnya dinyatakan tidak bersih lingkungan, tanpa proses pengadilan lalu di KTP-nya dicantumkan ET (eks tapol). Sedangkan Hasnan Habib mengatakan, pelanggaran HAM berat yang akan menjadi lingkup penanganan KKR nanti, merupakan lingkup kejahatan internasional (international crime). Karena itu, UU KKR yang akan dibentuk DPR dan pemerintah, haruslah mengacu pada hukum internasional dan bukan hanya hukum nasional. Hukum nasional atau hukum lokal boleh saja jadi acuan, tetapi dengan catatan harus dijamin bisa memiliki kekuatan untuk menyelesaikan masalah kejahatan internasional. (M-15) Last modified: 19/11/03
Wacana/Pansus RUU KKR 03
16
Kompas, Kamis, 20 November 2003
Keluarga Korban Pelanggaran HAM Tolak RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Jakarta, Kompas - Keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Peristiwa 1965, Lampung, Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II menolak Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Mereka menilai, rancangan yang diajukan pemerintah dan kini sedang dibahas dalam Panitia Kerja DPR tersebut tidak berpihak kepada korban. Sebaliknya justru menguntungkan pelaku.
M
Pernyataan itu disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja RUU KKR di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (19/11). Sebelum rapat, keluarga korban yang tergabung dalam Solidaritas Kesatuan Korban Pelanggaran HAM (SKKP-HAM) menggelar aksi di depan Panja dengan menggelar sejumlah spanduk dan poster yang mengecam RUU KKR serta para pelaku pelanggaran HAM masa lalu.
LS A
Selain membawa berbagai spanduk, mereka juga memajang gambar sejumlah tokoh militer dan polisi yang dianggap bertanggung jawab terhadap peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Trisakti, Semanggi I dan II. Koordinator Forum Koordinasi Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban 1965 Witaryono S Reksoprodjo dalam rapat mendesak Pansus RUU KKR bisa segera merekomendasikan kepada Presiden RI agar menerbitkan satu keputusan presiden yang berkaitan dengan rehabilitasi para korban 1965.
pin gE
"Prioritas utama adalah dihapuskannya segala peraturan dan perundang-undangan yang mendiskriminasikan secara politik, sosial, dan ekonomi para korban serta memulihkan sepenuhnya hak-hak sipil dan kewarganegaraan para korban, sehingga memiliki hak dan perlakuan sama seperti warga negara lainnya," katanya. Witaryono adalah putra dari Ir Setiadi Reksoprodjo, mantan Menteri Listrik dan Ketenagaan RI dalam Kabinet Dwikora, yang sempat ditahan selama 12 tahun tanpa proses peradilan karena dianggap menyalahgunakan Surat Perintah 11 Maret 1966.
kli
Dalam rapat kemarin, juga hadir Nani Nurachman Soetojo, putri dari almarhum Mayjen (Anumerta) Soetojo Siswomihardjo, salah satu pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa 1965. Kehadiran Nani bersama para korban 1965 ini mengejutkan Panja. Pasalnya, Nani-yang seharusnya berada dalam posisi yang merasa dirugikan oleh PKI-malah mendukung adanya pemulihan terhadap para korban 1965. "Kita sebagai bangsa tidak boleh takut menatap bayangannya sendiri. Kita menjadi bangsa yang kalah karena tidak berani menyelesaikan masalahnya sendiri," ucap Nani. (sut
Wacana/Pansus RUU KKR 03
17
The Jakarta Post, November 20, 2003
Right abuses victims reject reconciliation draft law Kurniawan Hari, The Jakarta Post, Jakarta
Victims of human rights abuses staged a peaceful rally on Wednesday at the House of Representatives in a show of rejection of the bill on a Truth and Reconciliation Commission. The protesters, calling themselves Solidarity for Victims of Human Rights Abuses, said they wanted justice, which was the only thing that could prevent future rights abuses.
M
"Real justice will be obtained through a democratic human rights trial," said Mugiyanto, who led the protest. Mugiyanto was the victim of an involuntary disappearance during the repressive New Order era.
LS A
During the demonstration, the protesters unfurled a banner which read: "Reject the bill because it does not benefit the victims." They also displayed posters featuring photos of several police and military officers, including Dibyo Widodo (former National Police chief), Djaja Suparman (former Jakarta Military chief), Hamami Nata (former police chief), Nugroho Djajusman (former Jakarta Police chief), Wiranto (former military chief), Roesmanhadi (former police chief) and Hendardji (former military police chief).
pin gE
Below the picture of the photos read: "They must be held accountable." This was in reference to alleged human rights violations that occurred under their watch. The protesters said they represented victims of four rights abuse cases: The Tanjung Priok massacre in Jakarta in 1984, involuntary disappearances in 1997/1998, the May riots in 1998 and the Trisakti and Semanggi shootings in Jakarta in 1998. They claimed the bill on the Truth and Reconciliation Commission that is currently being debated only regulated the technicalities of the establishment of the commission, not the substance of justice. The protesters said the bill would benefit the perpetrators of human rights abuses, not the victims.
kli
Article 42 of the bill stipulates that human rights abuses that have been settled by the commission cannot be brought to trial in a court of law. The protesters said the commission and human rights trials must complement each other. During a hearing with the House committee deliberating the bill on Wednesday, victims of the 1965 violence that followed a coup attempt said they hoped the committee would recommend that the President issue a decree to repair the good names of the survivors. The said they continued to be stigmatized because they were associated with the banned Indonesian Communist Party (PKI) blamed for the coup attempt.
They said such a decree would help create a conducive situation for national reconciliation. Former president Abdurrahman Wahid has apologized to survivors of the 1965 violence on behalf of the organization he once chaired, Nahdlatul Ulama, the country's largest Muslim organization, whose members in 1965 joined in the slaughter of alleged PKI members and supporters.
Wacana/Pansus RUU KKR 03
18
Regarding the deliberation of the bill on the Truth and Reconciliation Commission, the group said the bill only defined the victims of human rights abuses, while a definition for the perpetrators still did not exist.
kli
pin gE
LS A
M
The group said they represented both sides of the 1965 violence: Founding president Sukarno who died in custody, military officers who died in the attempted coup, Sukarno's ministers and assistants, politicians who were murdered and detained without trial, and all those who for decades were stigmatized following the coup attempt.
Wacana/Pansus RUU KKR 03
19
Suara Pembaruan, Kamis 20 November 2003
Permintaan Korban Pelanggaran HAM Kembalikan RUU KKR ke Pemerintah
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Korban-korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) meminta Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) tidak membahas RUU itu dan mengembalikannya ke Pemerintah. Pasalnya, RUU itu dinilai tidak memuat semangat rekonsiliasi dan terlalu memihak pada pelaku pelanggaran HAM. Pendapat itu disampaikan sejumlah wakil korban pelanggaran HAM di masa lalu saat dengar pendapat dengan Pansus RUU KKR di Gedung DPR, Rabu (19/11). Para korban diwakili antara lain oleh Jhon Muhammad (kasus Trisakti), Witaryono S Reksoprodjo dan Nani Nurachman Soetojo (korban peristiwa 65), Arief Piryadi (kasus Semanggi), Fikri Yasin (kasus Lampung), Mugiyanto (korban penculikan 19971998), dan Ruminah (korban kerusuhan Mei 1998). Para korban sepakat agar DPR tidak lagi membahas RUU KKR yang diajukan pemerintah itu. Dasar pembuatan RUU itu, kata mereka, tidak jelas, apalagi para korban tidak diajak ikut serta dalam pembuatannya. "RUU ini cenderung memberikan pengampunan kepada pelaku ketimbang mengadili para pelanggar HAM itu ke pengadilan ad hoc HAM," kata Arief Piryadi yang juga ayah Wawan, salah satu korban peristiwa Semanggi. Pelaku Dikatakannya, RUU KKR yang sedang dibahas di DPR itu lebih mewakili kepentingan para pelaku daripada kepentingan korban. Apalagi definisi tentang pelaku tidak ada dalam RUU itu. Menurut penilaian Arief, RUU KKR tersebut pada akhirnya akan menjadikan korban pelanggaran HAM masa lalu sebagai korban lagi. Para korban pelanggaran HAM akan diminta untuk berkorban dengan memberi pengampunan kepada para pelaku. "Sebenarnya ada nggak sih pelaku pelanggaran HAM itu? Apakah bapak-bapak dan ibu-ibu anggota Dewan mempunyai bayangan tentang siapa pelaku?" tanya Arief. Sementara menurut Jhon Muhammad, ada kekaburan dalam RUU KKR itu. Salah satunya adalah bahwa pelaku tidak dapat lagi diajukan ke pengadilan ad hoc HAM jika kasus pelanggaran HAM yang dilakukannya selesai di KKR. Klausul dalam RUU itu dinilai memberi peluang dan jaminan bagi para pelanggar HAM untuk lepas dari mekanisme hukum. Padahal, menurut Jhon, KKR tidak bisa menggantikan langkah hukum apa pun terhadap pelaku pelanggaran HAM. Dia juga mencatat sejumlah kelemahan pada RUU KKR yang diajukan Pemerintah ke DPR. RUU itu hanya bersifat teknis dan tidak memuat prinsip-prinsip rekonsiliasi. Menurut Nani yang juga putri pahlawan revolusi Mayjen Soetojo, RUU KKR itu tidak memuat semangat rekonsiliasi. Selain itu, RUU tersebut juga meninggalkan bahasa dan dimensi kemanusiaan. "RUU ini juga harus bisa menyelesaikan permasalahan bangsa apalagi saat ini masih ada sikap tidak toleran bangsa kita terhadap keberagaman," katanya. Sebelumnya, para korban juga menanyakan siapa pelaku pelanggaran HAM yang diundang Pansus untuk diminta pendapatnya. "Kasus pelanggaran HAM masa lalu ada dua macam. Kasus vertikal, yaitu antara pemerintah dan anggota masyarakat, dan kasus horisontal, anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Kami telah mengundang pihak pemerintah untuk memberi komentar terhadap masalah ini. Jika masih dianggap kurang, kami akan menjadwalkannya lagi," katanya. (O-1) Last modified: 20/11/03
Wacana/Pansus RUU KKR 03
20
Suara Pembaruan, Kamis 27 November 2003
Apa Kata Capres tentang Rekonsiliasi? Oleh Wartawan "Pembaruan" Asni Ovier DP
Pembaruan/Alex Suban MASUKAN DARI SESePUH TNI - Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memang bukan
LS A
M
calon presiden. Tapi pandangannya yang luas mengenai nasib bangsa ini membuat Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merasa perlu mengundang beliau pada rapat dengar pendapat umum di gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2003). Bang Ali meminta sebelum dibentuk UU, diadakan dulu pelurusan sejarah. Pertemuan ini juga dihadiri Mantan Pangkopkamtib Sudomo (tengah), mantan Dubes di AS Hasnan Habib, dan para sesepuh TNI lainnya.
pin gE
Ada seorang perempuan muda yang baru saja membeli sebuah mesin penjawab telepon. Dia membeli mesin itu untuk mengetahui siapa saja yang meneleponnya sebelum dia menjawab panggilan telepon itu. Sebelum telepon diangkat, mesin penjawab akan berkata, "Tinggalkan nomor pesan anda. Jika ada kata yang sulit dimengerti, sebutkan kata apa itu?"
Perempuan muda itu tidak ingin menjawab sejumlah nomor telepon, terutama nomor seorang perempuan yang juga istri seorang pengusaha. Pasalnya, perempuan muda itu adalah istri simpanan si pengusaha. Suatu hari, telepon milik perempuan muda itu berdering. Pemilik telepon sebenarnya ada di rumah namun dia tidak mau mengangkat karena penelepon adalah istri pengusaha.
kli
Setelah tidak berdering lagi, perempuan muda itu mengaktifkan mesin penjawab telepon dan mendengar pesan yang disampaikan isteri pengusaha. Kalimat yang didengar perempuan muda itu adalah, "Kata yang sulit saya mengerti adalah rekonsiliasi. R-E-K-O-N-S-I-L-I-A-S-I".
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sedang membahas Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR). Saat ini mereka sedang mendengarkan masukan dari masyarakat dan pemerintah. Dari sejumlah pendapat, dapat disimpulkan bahwa untuk mewujudkan rekonsiliasi itu memang sulit. Rekonsiliasi bisa diwujudkan asalkan ada kebesaran jiwa dari semua pihak untuk mengakui kesalahan dan mau memaafkan kesalahan itu. Namun, ada juga yang berpendapat, rekonsiliasi dapat diwujudkan asalkan proses hukum tetap menjadi prioritas utama. Melalui proses hukum itu dapat diketahui kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang pernah terjadi. Banyak kekurangan yang terdapat dalam RUU KKR itu. Paling tidak menurut pihak korban. Menurut mereka, dalam RUU KKR tidak ada definisi pelaku. Artinya, tanpa definisi itu sulit untuk mengetahui kebenaran atas suatu peristiwa.
Wacana/Pansus RUU KKR 03
21
Selain itu, RUU KKR yang sedang dibahas DPR itu lebih cenderung memihak kepada pelaku. Ada semacam upaya pemutihan pelaku atas tindakan melanggar HAM yang mereka lakukan pada masa lalu. Pada 2004 nanti bangsa Indonesia akan melaksanakan pesta akbar demokrasi, yaitu pemilihan umum. Selain untuk memilih calon anggota legislatif, pada Pemilu 2004 rakyat Indonesia juga akan memilih presiden baru. Isu tentang rekonsiliasi sangat penting untuk dikemukan dalam kampanye para calon presiden (capres). Sampai saat ini rakyat Indonesia masih belum sepenuhnya menerima keberagaman. Itu menjadi salah satu pemicu konflik di Tanah Air.
LS A
Berikut ini komentar sejumlah capres tentang rekonsiliasi. Ketua Umum PPP,
M
Tugas Presiden Indonesia mendatang adalah mewujudkan suatu rekonsiliasi agar bangsa ini dapat menatap masa depan dan melaluinya tanpa ada tangis lagi. "Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak takut menatap bayanganya sendiri," kata Nani Nurachman Soetojo, putri seorang pahlawan revolusi di hadapan Pansus RUU KKR.
pin gE
Hamzah Haz Usai menerima Pengurus Pusat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, di Istana Wapres, Jakarta, Rabu 19 Maret 2003. Rekonsiliasi sangat penting untuk menyelesaikan berbagai kesalahan di masa lampau kecuali persoalan yang berkaitan dengan masalah ideologis. Saya katakan, kalau kesalahan itu bersifat rasial dan kriminal setelah rekonsiliasi bisa dilupakan. Tetapi jika kesalahan bersifat ideologis tidak akan dilupakan. Pelaksanaan rekonsiliasi tidak berkaitan dengan kesalahan ideologis tetapi kemanusiaan. Hal tersebut tidak terlepas dari kenyataan bahwa masyarakat masih sulit memaafkan kesalahan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia. Rekonsiliasi dilakukan untuk melupakan kesalahan yang bersifat rasial dan kemanusiaan, bukan kesalahan ideologis seperti pernah dilakukan PKI terhadap masyarakat Indonesia. Ketua Umum PAN,
kli
Amien Rais Pada pidato penutupan Sidang Tahunan MPR 2003, Kamis 7 Agustus 2003 Rekonsiliasi nasional perlu terus diupayakan untuk memperkokoh persatuan dan kerukunan nasional. Rekonsiliasi nasional harus meliputi banyak agenda, seperti menyelesaikan dengan arif dan adil jutaan anak-anak bangsa yang di luar kemauan mereka terlahir menjadi anak para aktivis PKI tahun 1960-an. Anak, apalagi cucu para aktivis PKI yang pada tahun 1965 masih berusia muda, apalagi yang belum lahir, tentu harus mendapat hak-hak warga negara mereka secara penuh. Tidak masuk akal bila mereka harus menanggung dosa politik warisan. Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono Usai membuka seminar nasional Persaudaran Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) di Jakarta, Rabu 1 Oktober 2003 Bangsa Indonesia memerlukan suatu rekonsiliasi antarorde. Rekonsiliasi itu perlu dilakukan untuk kepentingan masa depan bangsa Indonesia yang penuh kedamaian. Rekonsiliasi antarorde, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi harus dilakukan. Sebab, hal itu sesuai dengan amanat MPR. Rekonsiliasi seperti itu sangat mungkin dilakukan. Apalagi jika rekonsiliasi itu dilakukan untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia sehingga tidak terpecah-pecah karena masalah dendam, trauma, dan permusuhan di masa lalu. Namun, rekonsiliasi yang dilakukan tetap harus berdasarkan kebenaran dan fakta- fakta yang terjadi di masa lalu. Artinya, kebenaran di masa lalu jangan dilupakan begitu saja dan dianggap tidak ada. Kita bisa saja memaafkan tanpa harus melupakan apa yang telah terjadi. Kita juga dapat mengambil pelajaran dari hal-hal yang terjadi di masa lalu itu.
Wacana/Pansus RUU KKR 03
22
kli
pin gE
LS A
M
Wiranto Saat sosialisasi bakal capres Partai Golkar di Ternate, Maluku Utara, Minggu 7 September 2003. Bangsa Indonesia perlu memiliki konsep rekonsiliasi yang terbuka dan diterima masyarakat selain menjalankan program pemulihan ekonomi dan politik. Cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa hanya bangsa yang mampu mengatasi masalah domestiknya saja yang bisa mengubah nasib negaranya. Faktor kunci untuk mengatasi masalah domestik yang telah diwacanakan namun tidak pernah dilaksanakan dengan sungguh-sunguh adalah rekonsiliasi nasional. Tanpa keberhasilan menyatukan potensi dan kecerdasan bangsa, mustahil bangsa Indonesia dapat bangkit kembali sebagai bangsa yang dihormati dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia. Untuk itulah dibutuhkan seorang pemimpin yang memiliki karisma, dipercaya, dan dihormati masyarakatnya, serta mampu memobilisasi dukungan untuk membangun suatu sinergi dari seluruh kekuatan nasional. Nurcholish Madjid Pada peluncuran buku Arus Cina-Islam-Jawa, karya Sumanto Al Qurtuby, di Jakarta, Rabu 19 November 2003. Banyaknya konflik antaretnis, suku, dan agama di Indonesia seperti di Sampit, Maluku, Poso dan wilayah lain negeri ini menunjukkan toleransi masih bersifat prosedural dan belum merupakan sebuah prinsip. Jika sudah menjadi suatu prinsip, toleransi tentu saja akan mengutamakan saling menghormati dan menghargai sesama. Bahkan, Nabi Muhammad SAW dalam pidato perpisahannya mengatakan, manusia tidak boleh dibedakan meskipun memiliki warna kulit, budaya dan latar belakang yang berbeda. Karena itu, sudah saatnya sikap membeda-bedakan orang berdasarkan suku, warna kulit, etnis dan agama harus diakhiri. Sudah saatnya pula bangsa ini membangun rekonsiliasi. Rekonsiliasi dan keadilan di Indonesia harus ditegakkan. Hanya dengan rekonsiliasi semua pihak dapat menerima kenyataan dan perbedaan apa adanya, jujur dan tanpa prasangka.* Last modified: 27/11/03
Wacana/Pansus RUU KKR 03
23
Kompas, Rabu, 03 Desember 2003
Sejarawan Dukung Lahirnya UU KKR
LS A
M
Jakarta, Kompas - Tiga sejarawan, Taufik Abdullah, Anhar Gonggong, dan Aswi Warman Adam, mendukung lahirnya Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Lahirnya komisi ini diharapkan dapat membuka kembali ruang berkembangnya harapan sebuah bangsa merdeka, tanpa kekerasan. Namun, ketiganya berharap RUU KKR yang diajukan pemerintah disempurnakan. Hal itu mengemuka dalam Rapat Pansus RUU KKR di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (2/12). Rapat dipimpin Ketua Pansus Sidarto Danusubroto didampingi Wakil Ketua Sofwan Chudhorie dan Rusydi Hamka. Menurut Taufik, bangsa Indonesia sesungguhnya memupuk tradisi luhur, tetapi pengalaman sejarah menunjukkan sebaliknya, justru penuh kekerasan. "Oleh karena itu, UU ini perlu diwujudkan," ujarnya. Kendati demikian, dia mengingatkan pengungkapan kebenaran sering kali menyakitkan. Oleh karena itu, jika kebenaran justru membuat bangsa ini akan kembali bermusuhan, lebih baik menekankan rekonsiliasi. "Kita harus berusaha menjadikan semangat rekonsiliasi sebagai Idul Fitri setiap hari," ujarnya menambahkan. Anhar Gonggong berharap KKR nanti dapat membuka ruang bagi berkembangnya kembali harapan. "RUU KKR ini mudah-mudahan menghilangkan bau amis darah warga republik ini untuk selamanya," katanya.
kli
pin gE
Kesetaraan Sementara itu, Aswi menekankan arti penting sebuah kesetaraan. Dia berpendapat, rekonsiliasi tidak mungkin terjadi tanpa adanya rehabilitasi terlebih dulu terhadap jutaan orang yang selama ini kerap didiskriminasikan. "Paling tidak, ada lebih kurang 20 juta kelompok masyarakat yang sampai sekarang ini wajib lapor. Kalau tidak ada rehabilitasi tidak mungkin terwujud rekonsiliasi," katanya dalam rapat. Menyangkut batasan kasus, dia mengusulkan agar dibatasi sejak tahun 1945 hingga 2000, namun dibagi dalam periode sepuluh tahunan karena dalam setiap periode banyak terjadi pelanggaran HAM yang bersifat vertikal. Karena KKR menangani kasus masa lalu, Taufik Abdullah menggarisbawahi tentang pentingnya pengungkapan kebenaran sejarah. Kebenaran adalah kenyataan faktual yang didasarkan pada verifikasi sahih. Anggota Pansus Hajriyanto Thohari berpendapat, tugas Pansus merumuskan definisi dari kebenaran adalah pekerjaan berat karena kebenaran sering bermakna banyak. "Mungkin kata ’kebenaran’ tidak dicantumkan. Cukup Komisi Rekonsiliasi saja," kata politisi Golkar itu.(sut)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
24
Media Indonesia, Rabu, 03 Desember 2003
Rekonsiliasi harus Mengacu pada Kebenaran JAKARTA (Media): Rekonsiliasi nasional yang akan dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) harus mengacu pada kebenaran sejarah. Karena itu, KKR perlu memiliki pemahaman dan kearifan dalam melihat fakta-fakta sejarah. Demikian salah satu kesimpulan dari rapat dengar pendapat umum (RDPU) antara para sejarawan yang terdiri dari Taufik Abdullah, Anhar Gonggong, Asvi Warman Adam, dan Pansus KKR di Jakarta, kemarin.
M
Menurut Taufik, kebenaran merupakan syarat mutlak untuk mewujudkan rekonsiliasi. Persoalannya, muncul pertanyaan soal kebenaran apa yang akan menjadi dasar rekonsiliasi itu. ''Menurut saya rekonsiliasi harus bertitik tolak dari kebenaran sejarah, yakni kebenaran yang berdasarkan fakta-fakta sejarah.''
LS A
Pendapat tersebut diperkuat oleh Anhar dan Asvi. Menurut keduanya, yang menjadi dasar rekonsiliasi bukan kebenaran filosofis atau kebenaran politik serta kebenaran hukum, melainkan kebenaran historis. ''Karena, sejarah adalah ilmu yang bersifat tembus waktu, yakni berbicara tentang masa lalu, masa kini, dan kaitanya dengan masa yang akan datang,'' kata Anhar.
pin gE
Penjelasan para sejarawan itu mengundang pertanyaan dan tanggapan dari para anggota pansus. Permadi dari F-PDIP, misalnya, mempertanyakan bagaimana kebenaran sejarah bisa dipakai sebagai dasar rekonsiliasi kalau sejarah itu sendiri masih dipertanyakan kebenarannya. Ia menyebut sejumlah kontroversi sejarah seperti peristiwa G-30-S/PKI, Supersemar, serta peristiwa tewasnya tujuh jenderal pahlawan revolusi, yang menurut dia sampai saat ini masih diragukan kebenarannya. ''Kalau ada persoalan sejarah seperti ini, apakah kita melakukan rekonsiliasi lebih dahulu atau menguji sejarah lebih dahulu,'' tanya anggota DPR yang selalu mengenakan pakaian hitam-hitam itu.
kli
Anwar Arifin dan Hajrianto Tohari dari F-PG menyatakan keberatan kalau kebenaran sejarah menjadi dasar rekonsiliasi. Sebab, kata Anwar, sejarah adalah milik atau produk penguasa. Sedangkan rekonsiliasi yang akan dilakukan KKR adalah antara para mantan penguasa masa lalu dan rakyat sebagai korban. ''Kalau dasarnya adalah kebenaran sejarah, maka rekonsiliasi yang akan dilakukan nanti lebih banyak untuk kepentingan pelaku, bukan kepentingan korban,'' tuturnya.
Menanggapi berbagai koreksi yang dilontarkan dari para anggota pansus, Taufik mengakui bahwa mewujudkan kebenaran untuk sebuah rekonsiliasi bukan hal mudah. Karena itu, ia berpendapat bahwa hal terpenting dari tugas KKR adalah mewujudkan rekonsiliasi. ''Yang paling penting adalah tercapainya rekonsiliasi tanpa paksaan dari pihak mana pun juga, tentu saja dengan tidak mengabaikan kebenaran,'' paparnya. Selanjutnya Asvi mengusulkan agar
Wacana/Pansus RUU KKR 03
25
kli
pin gE
LS A
M
rekonsiliasi yang dilakukan KKR meliputi semua peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak 1945 sampai 2000. (Hil/P-4)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
26
Suara Pembaruan, Rabu 03 Desember 2003
Rekonsilias i Harus Didahului dengan Rehabilitasi Mantan Tapol
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Selama masih ada diskriminasi dalam masyarakat terutama terhadap para mantan tahanan politik (tapol) dan keluarganya yang diperkirakan saat ini mencapai 20 juta jiwa, rekonsiliasi tidak akan terwujud. Karena itu, proses rekonsiliasi harus didahului dengan rehabilitasi terhadap seluruh mantan tapol bersama keluarganya. Hal itu dikemukakan sejarawan dari Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aswi Warman Adam dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan UndangUndang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), di gedung DPR, Jakarta, Selasa (2/12) sore. Rapat yang dipimpin Ketua Pansus RUU KKR, Sidarto Danusubroto ini juga menghadirkan dua sejarawan lainnya, yakni Taufik Abdullah dan Anhar Gonggong. Menurut Aswi, rekonsiliasi harus dimaknai sebagai pelurusan sejarah, karena itu KKR yang akan dibentuk nanti harus mencari kebenaran sejarah. Baik Aswi maupun Taufik Abdullah dan Anhar Gonggong menyatakan mendukung dibentuknya KKR tersebut dengan harapan bisa mempersatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara utuh. Taufik Abdullah yang juga Kepala LIPI mengatakan, sebenarnya bangsa Indonesia mempunyai tradisi luhur hidup damai, tetapi selama Orde Baru justru tumbuh semangat kekerasan yang memupuk dendam. Karena itu, UU KKR perlu diwujudkan untuk memulihkan kembali tradisi luhur. Hanya saja RUU yang diajukan pemerintah perlu disempurnakan. Taufik Abdullah menggarisbawahi pentingnya pengungkapan kebenaran sejarah dalam pembentukan KKR nanti. Kebenaran yang dimaksud adalah kenyataan faktual yang didasarkan pada verifikasi sahih. Penjelasan soal itu sendiri merupakan tanggapan atas pertanyaan anggota Pansus Hajriyanto Thohari menyangkut definisi kebenaran sejarah. Menurut anggota Fraksi Partai Golkar (FPG) itu, kalau Pansus merumuskan definisi dari kebenaran adalah pekerjaan berat karena kebenaran sering bermakna banyak. Anwar Arifin pun dari FPG juga menilai kebenaran sejarah sifatnya bisa relatif. Ada teori yang menyebut, kebenaran sejarah adalah milik para pemenang (penguasa) sehingga sesuatu yang dianggap kebenaran oleh pemerintah sebelumnya, bisa dianggap tidak benar penguasa berikutnya. Berkaitan dengan itu, Taufik Abdullah mengingatkan pengungkapan kebenaran sering kali menyakitkan. Oleh karena itu, jika kebenaran justru membuat bangsa ini akan kembali bermusuhan, lebih baik menekankan rekonsiliasi. "Kita harus berusaha menjadikan semangat rekonsiliasi sebagai Idul Fitri setiap hari," ujarnya. Anhar Gonggong juga berharap KKR nanti dapat membuka ruang bagi berkembangnya kembali harapan. "RUU KKR ini sangat positif dan mudah-mudahan kita kembali benar-benar bersatu, sebab selama ini kita disebut satu tetapi kenyataannya tidak bersatu,'' ujarnya. Tentang batas waktu kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang bisa ditangani KKR nanti, Aswi mengusulkan agar dimulai sejak Republik Indonesia berdiri, pada 17 Agustus 1945 sampai tahun 2000. Kasusnya bisa dilihat setiap sepuluh tahunan, yakni 1945-1955, 1955-1965, 1965-1975, 1975-1985, 1985-1995, 1995-2000. Sedangkan soal masalah yang perlu ditangani, Aswi mengusulkan pula agar KKR cukup menangani kasus konflik vertikal (antara pemerintah/negara dan rakyat), sedangkan konflik horisontal penyelesaiannya lewat jalur lain. Demikian pula soal kasus tanah, Aswi mengingatkan agar tidak masuk kasus yang akan ditangani KKR.(M-15) Last modified: 3/12/03
Wacana/Pansus RUU KKR 03
27
Republika, Kamis 04 Desember 2003
NU, Muhammadiyah, DDII Tolak RUU KKR! Jakarta—Ormas Islam yakni Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Dewan Dakwan Ilsamiyah Indonesia, menyatakan tidak menyetujui RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang kin telngah dibhas Pansus DPR. Alasannya, selain banyak ditemukan kelemahan teknis, bila nanti RUU itu sampai disahkan akan menimbulkan konflik baru.
M
“Banyak sekali kelemahan teknis RUU ini. Bagaimana misalnya soal mekanisme pengakuan bersalah, kapan dan kasus mana saja yang akan diatur dalam RUU KKR,” kata Ketua Umum PB NU< KH Hasyim Muzadi, dalam rapat Pansus RUU KKR, di Gedung DPR/MPR Senayan, kemarin, (3/12).
LS A
Muzadi mengatakan sebaiknya soal rekonsiliasi itu tidak usah sampai dibuatkan UndangUndang. Lebih baik, DPR mengamanatkan saja kepada pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi dengan memanggil pihak yang dianggap wakil dari berbagai kelompok masyarakat yang selama ini dirugikan oleh kebijakan negara.
pin gE
“Jadi tidak perlu dengan UU. Cukup dengan sebuah kesepakatan nasional di mana ada orang yang dianggap mewakili arus bawah, menyatakan diri melakukan rekonsiliasi,“ katanya. Senada dengan Hasyim, Ketua Majelis Pendidikan Muhammadiyah, Yahya Muhaimin, mengatakan nuansa RUU KKR ini memang kurang adil. Padahal, syarat sebuah perundangan itu adalah selain harus realistis untuk dilaksanakna, aturan hukum itu juga, memberi perlakuan yan sama kepada semua pihak.
kli
Yahya mengatakan, dalam soal rekonsiliasi sebenarnya faktor utamanya harus ada keteladanan. Dengan demikian bilamana hukum yang adil dapat ditegakkan oleh para penguasa, maka perasaan yang tidak puas dari salah satu elemen bangsa tidak akan sampai terjadi. Semantara itu, Ketua Dewan Dakwah Islamiayah Indonesia (DDII), Husein Umar, mengatakan nuansa perlakuan yang tidak adil memang terasa dalam RUU KKR. Hal ini misalnya terlihat, pada fokusnya, yang lebih banyak tertuju sebatas soal rehabilitasi terhadap korban G30S PKI saja. “Padahal, korban-korban di luar G 30 S PKI itu juga sangat banyak. Mereka juga butuh rekabilitasi karena mereka juga dihambat hak-hak hidupnya. Cuma bedanya, korban di luar G30S PKI lebih lapang dada. Mereka tidak gencar menyerukan perbaikan nama baiknya, padahal juga sama-sama menderita,” katany. Uba.
Wacana/Pansus RUU KKR 03
28
Kompas, Jumat, 05 Desember 2003
Pandangan Perguruan Tinggi soal RUU KKR Pengungkapan Kebenaran Harus Dilalui
M
Jakarta, Kompas - Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) terus menjadi kontroversi. Kemarin, tiga perguruan tinggi negeri, yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Padjadjaran (Unpad), menyatakan mendukung terbentuknya KKR. Kendati demikian, mereka mengharapkan adanya berbagai penyempurnaan dari Rancangan Undang-Undang KKR yang diajukan pemerintah. Sehari sebelumnya, Rabu (3/12), tiga organisasi Islam, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Dewan Dakwah Islam Indonesia, menolak lahirnya RUU KKR. Kalangan perguruan tinggi menekankan pentingnya proses pengungkapan kebenaran. Proses tersebut dianggap sebagai suatu tahap proses yang harus dilalui agar terungkap siapa pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan siapa yang menjadi korban kejahatan tersebut. Hal itu disampaikan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Unair M Zaidun dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panitia Khusus RUU KKR, Kamis (4/12). Rapat dipimpin Ketua Pansus Sidarto Danusubroto.
pin gE
LS A
Agar berbagai pelanggaran HAM di masa lalu dapat terungkap, Komariah dan Rudi Rizki dari Fakultas Hukum Unpad mengusulkan adanya perlindungan korban, sanksi, pelaku yang memberikan pengakuan. "Pasal enam harus ditambah dengan perumusan dan pembentukan unit dan sistem perlindungan korban, saksi, dan pelaku yang memberikan pengakuan, dan orang-orang lain yang kemungkinan terkena dampak dari kesaksian atau pengakuan,"jelas Rudi. Sementara itu, UI yang diwakili Satya Arinanto, Safri Nugraha, dan Edie Toet Hendratno, antara lain menyoroti soal sistem seleksi anggota KKR. Mereka mengusulkan agar DPR tidak hanya memberikan persetujuan saja, tetapi harus melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon anggota seperti yang dilakukan dalam seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tak bermanfaat
Sehari sebelumnya, tiga organisasi Islam, Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), menolak lahirnya RUU KKR. Selain tidak bermanfaat karena tak bisa memberikan jaminan terwujudnya rekonsiliasi, UU KKR juga tidak realistis bisa dijalankan sehingga dikhawatirkan justru menjadi sumber konflik baru. Rapat yang dipimpin Sidarto Danusubroto itu turut mengundang Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi, Pembina Pendidikan dan Kebudayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yahya A Muhaimin, dan Sekjen Dewan Dakwah Islam Indonesia Husein Umar.
kli
Menurut Hasyim, NU setuju bahkan mewajibkan rekonsiliasi untuk masa depan bangsa. Tidak ada kata terlambat untuk rekonsiliasi. Tetapi apa yang ada dalam RUU KKR ini tidak memberi jaminan menuju ke arah terwujudnya rekonsiliasi. "Yang diatur RUU KKR, malah akan membuat di antara kita bertikai dalam mencari proses kebenaran. Maka, kondisi ini akan melahirkan luka-luka baru," ujarnya seraya menambahkan, " Orang seperti saya, Yahya Muhaimin, dan Husein Umar ini bisa bergerak di bawah untuk melakukan gerakan kultural, sehingga terjadi asimilasi alamiah di masyarakat, maka kalau ini terwujud menjadikan rekonsiliasi ini akan riil." Adapun Husein Umar berpendapat, DDII mendukung adanya gagasan rekonsiliasi nasional demi kepentingan bangsa ke depan. Namun, rekonsiliasi itu hendaknya dilandasi nilai kejujuran, keadilan, proporsionalitas, dalam bingkai paradigma nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. "Rekonsiliasi terbaik apabila berjalan secara alamiah dan ilahiah, semangat toleransi, demokrasi, hak asasi, penegakan hukum, penghormatan terhadap nilai-nilai agama sebagai cermin martabat bangsa," ujar Husein yang keberatan terhadap pembahasan RUU KKR sambil menunggu waktu yang tepat. (sut/mam)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
29
Tempo Interakif. 05 Desember 2003 Nasional
Rapat Pansus Komisi Rekonsiliasi "Sepi"
TEMPO Interaktif, Jakarta: Hanya delapan dari 50 anggota Panitia Khusus Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi DPR yang datang dalam rapat dengar pendapat, Kamis (4/12). Agendanya adalah menerima masukan dari kalangan akademisi dari Universitas Indonesia, Jakarta; Universitas Padjadjaran, Bandung; Universitas Airlangga, Surabaya, serta beberapa keluarga korban kasus Priok. Seperti biasa jadwal ditetapkan pukul 14.00 WIB di ruang Pansus lantai 3. Tepat pukul 14.00 WIB, acara belum dimulai, tamu sudah datang. Beberapa anggota juga sudah datang, termasuk pimpinannya, Sidharta. Rapat ditunda untuk menunggu kuorum, karena jumlah anggota hadir baru lima orang.
M
Rupanya Sidharta geram juga setelah hampir pukul 15.00 WIB, anggota Dewan tidak menunjukkan tambahan. "Coba telepon satu-satu," suruh ketua panitia khusus, Sidharto kepada petugas sekretariat DPR. "Telepon ke handphone-nya," tambahnya.
LS A
Beberapa anggota akhirnya bermunculan juga satu-satu hingga jumlah anggota Dewan delapan orang plus satu pimpinan. Dari 50 orang anggota pansus, memang memberi kabar ketidahadirannya kepada petugas absensi. Termasuk tiga wakil pimpinan yang izin. Tapi yang lainnya tidak ada kabar. Rapat sebelumnya, Selasa (2/12), juga begitu. Rapat dihadiri oleh 14 orang anggota dengan mayoritas dari PDIP plus tiga pimpinan. Politikus PDIP ini ahirnya membuka rapat meski tidak kuorum. "Karena ini rapat dengar pendapat umum jadi tidak memerlukan kuorum," katanya pimpinan sidang. Akhirnya rapat pun dimulai.
pin gE
Dosen Hukum dari Universitas Padjadjaran, Komariah mengaku menyambut Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini. Ia berharap rancangan ini sebagai bentuk perhatian terhadap korban pelanggaran HAM. Untuk itu lanjutnya, keadilan harus terwujud dan adanya kejelasan tindakan terhadap pelaku. "Tidak jelas mau diapakan dan siapa yang menyatakan bersalah ini," kata mantan Hakim ad hoc Timor Timur dan Tanjung Priok ini. Komariah mengatakan bahwa komisi ini bersifat komplementer dan bukan sebagai alat untuk mencuci dosa masa lalu para pelaku kejahatan HAM. Untuk itulah, katanya, perlu adanya batasan waktu.
kli
Ia mengingatkan panitia khusus agar memperhatikan masalah teknis yang akan menjadi hambatan dalam penyelesaian kasus. Ia mencontohkan dalam kasus Timor Timur dan Priok, pencarian fakta selalu dihambat. Untuk itulah, tegasnya, persoalan teknis harus benar-benar diperhatikan. Di lain pihak, keluarga korban yang diwakili Muhtarb Beni Biki menyatakan penolakannya terhadap pembentukan komisi ini. Dalam pemaparannya, komisi ini dianggap sebagai ajang untuk mencuci dosa pelaku kejahatan HAM di masa lalu. Yandi M.R. - Tempo News Room
Media Indonesia, Jum'at, 05 Desember 2003
RUU KKR Harus Memuat Batasan Pelanggaran HAM
Wacana/Pansus RUU KKR 03
30
JAKARTA (Media): Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) yang masih digodok DPR seharusnya memuat batasan instrumen pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) serta persyaratan kelayakan atau tolak ukur seseorang mendapat amnesti (pengampunan). Demikian pandangan yang muncul dalam dengar pendapat panitia khusus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan pihak perguruan tinggi. Dalam rapat dengar pendapat di Ruang Nusantara II DPR kemarin, juga dihadiri para korban kasus pelanggaran berat HAM Tanjung Priok. Dari perguruan tinggi yang hadir adalah perwakilan dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, dan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung.
LS A
M
Menurut Komariah dari Unpad, dalam RUU KKR belum disebutkan kategorisasi siapa yang pantas disebut pelaku pelanggaran berat HAM. Apakah pelaku genocide (pembunuhan terencana untuk memusnahkan suatu suku bangsa) atau pelaku kerusuhan yang membunuh tanpa rasa perikemanusiaan. "Kategorisasi pelaku pelanggaran berat HAM harus disebutkan dalam UU KKR nantinya. Sebab jika tidak ada, maka banyak kasus yang bisa dimasukkan dalam pelanggaran berat HAM. Padahal mungkin itu hanya tindakan kriminal saja," urai Komariah.
pin gE
Terkait masalah amnesti, menurut dosen Fakultas Hukum Unpad ini, dalam RUU KKR juga belum disebutkan syarat-syaratnya. "Pencantuman syarat-syarat amnesti bagi pelaku pelanggaran berat HAM harus dimasukkan. Hal itu agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda," jelasnya. Hal senada, juga dikemukakan Satya Arinanto dari UI. Satya mengatakan, tolok ukur pemberian amnesti bagi pelaku mutlak diperlukan dalam UU KKR untuk menghindari preseden buruk di belakang hari.Doktor yang mengambil disertasi tentang HAM ini mencontohkan kasus rekonsiliasi di Afrika Selatan. Kasus Steven Bico di Afrika Selatan dikhawatirkan akan menjadi cermin KKR yang ada di Indonesia di kemudian hari. "Steven dibunuh oleh sekelompok polisi dengan kejamnya. Lalu kelompok polisi tersebut mengakui pembunuhan itu. Karena dinilai kasus tersebut tidak berlatar belakang politik, maka amnesti tidak diberikan. "Pelajaran ini harus menjadi cerminan kita," imbuh Satya. Kolega Satya dari UI yang lain, Syafri Nugraha menilai kelemahan dari RUU KKR lainnya adalah belum mencerminkan HAM yang memiliki wawasan kebangsaan. Pasal-pasal HAM seharusnya menjadi penting karena pada umumnya wawasan HAM yang dipergunakan dalam RUU KKR memiliki standar internasional.
kli
Sementara itu, lanjutnya, standar internasional itu sendiri tidak selamanya baik. Sebab dalam standar tersebut juga termuat misi-misi tertentu yang berbaju HAM. "Jadi kita harus hati-hati memakainya, sebaiknya wawasan yang kita pakai dalam menilai pelanggaran berat HAM berlandaskan kebangsaan," tukas Syafri. Sedikit berbeda dalam pandangan Muhammad Sa'dun dari Unair yang berpendapat bahwa rekonsiliasi harus dilakukan atas dasar kesadaran saling memaafkan. Meskipun bukan dalam konteks melupakan kesalahan yang dilakukan. "Dalam pidana itu ada hubungan yang kuat antara pelaku dan korban, tapi tidak hanya mereka berdua. Sebab menyangkut juga kepentingan publik," jelas Sa'dun memberikan masukan. (Faw/P-6)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
31
Suara Pembaruan, Jumat 05 Desember 2003
Kalangan Perguruan Tinggi Mendukung Pembentukan KKR
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Kalangan perguruan tinggi mendukung rencana pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, mereka meminta agar Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang KKR yang diajukan pemerintah diperbaiki lagi. Hal itu terungkap saat rapat dengar pendapat antara Panitia Khusus (Pansus) RUU KKR dan sejumlah pemimpin perguruan tinggi di Indonesia, Kamis (4/12). Kemarin, Pansus mengundang pemimpin Universitas Indonesia (UI), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Padjadjaran (Unpad). Kalangan perguruan tinggi meminta agar KKR lebih berorientasi pada kepentingan korban dibandingkan pelaku. Selain itu, mereka menilai proses pengungkapan kebenaran menjadi suatu tugas penting komisi itu. Tim UI yang diwakili oleh Satya Arinanto, Edie Toet Hendratno, dan Safri Nugraha meminta agar asas nasionalisme dimasukkan sebagai asas pembentukan KKR. Menurut mereka, asas itu menjadi penting karena masalah hak asasi manusia sangat bersifat internasional. "Sehingga, untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia, kepentingan nasional tidak dilupakan. Masalah kepentingan integritas dan kesatuan bangsa sering dikalahkan oleh kepentingan pihak luar negeri yang mengatasnamakan HAM," kata mereka. Menyangkut keanggotaan KKR, UI mengusulkan agar syarat calon anggota ditambah. Penambahan itu antara lain, calon anggota KKR tidak berstatus pegawai negeri sipil dan tidak pernah terlibat dalam kasus pelanggaran HAM. UI juga meminta agar ada uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon anggota KKR. Sementara itu, Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Unair, M Zaidun menekankan pentingnya proses pengungkapan kebenaran. Dengan demikian, pelaku pelanggaran HAM di masa lalu dapat terungkap. Fakultas Hukum Unpad yang diwakili oleh Komariah, menekankan pentingnya ada perlindungan korban, saksi, dan pelaku. Untuk itu, mereka mengusulkan ada pasal yang merumuskan suatu sistem perlindungan korban, saksi, dan pelaku itu. Ketua Pansus RUU KKR, Sudarto Danusubroto menyambut baik usulan yang disampaikan kalangan perguruan tinggi itu. "Ini merupakan usulan yang paling lengkap yang pernah kami terima selama melakukan rapat dengar pendapat," katanya. Tanjung Priok Sementara itu, Direktur Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Ifdhal Kasim menilai telah terjadi dikotomi antara korban yang ingin islah dan tidak ingin islah dalam proses persidangan kasus Tanjung Priok. Akibat dikotomi itu, terjadi semacam diskriminasi selama proses pengadilan ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM) kasus Tanjung Priok. "Kecenderungan selama proses sidang orang-orang yang tidak mau islah dibatasi akses mereka ke pengadilan. Dikotomi seperti itu dilakukan oleh aparat pengadilan," katanya. Dikatakan, munculnya pemikiran tentang islah adalah suatu proses yang sering didahului dengan perubahan perspektif dalam menyikapi peristiwa yang terjadi. Perubahan itu terjadi baik di kalangan korban maupun pelaku. Menurut Ifdhal, dalam proses pengadilan kasus Tanjung Priok para hakim dan jaksa tidak fokus ke masalah pidana. Islah lebih dijadikan sebagai dasar bagi aparat untuk memeriksa orang dalam kasus itu. "Padahal, yang lebih penting adalah mencari tahu bagaimana peristiwa itu terjadi dan apa tanggung jawab pelaku," katanya. Sementara menurut anggota tim monitoring kasus Tanjung Priok Elsam, Amiruddin Alrahab, islah dapat menjadi permasalahan sendiri dalam proses pengadilan. Apalagi bila islah itu mempengaruhi berjalannya proses pengadilan. "Persepsi selama proses pengadilan selama ini adalah bahwa islah bisa menghilangkan suatu perbuatan. Padahal, dalam proses hukum islah tidak begitu penting. Islah hanya bisa menjadi pertimbangan hakim atas niat baik pelaku dan meringankan hukuman pelaku," katanya. (O-1) Last modified: 5/12/03
Wacana/Pansus RUU KKR 03
32
Suara Pembaruan, Sabtu 06 Desember 2003
Rekonsiliasi Harus Bisa Sentuh Mereka yang Terkena Stigma
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Rekonsiliasi yang tengah disiapkan perangkat perundang-undangannya di DPR, saat ini, harus mampu menyentuh orang-orang yang dikenai stigma, baik "kiri" maupun "kanan". Jika itu tidak dilakukan, korban berbagai pertikaian, baik horizontal maupun vertikal, tidak akan pernah diberdayakan dan rekonsiliasi menjadi sia-sia. Pendapat itu dikemukakan sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam dalam diskusi tentang rekonsilia- si yang diselenggarakan Lembaga Kajian Demokrasi (LKaDe), di Jakarta, Jumat (5/12). Dalam diskusi itu hadir juga sebagai pembicara antara lain Ketua Pansus Rancangan UndangUndang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) DPR, Sidarto Danusubroto, mantan Wakil Ketua MPR Agus Widjojo, dan anggota Komnas HAM Sjamsudin. Selama ini, katanya, terlalu banyak stigma yang dikenakan, baik pada pelaku maupun korban, dan tidak hanya stigma "kiri", yakni komunis (Partai Komunis Indonesia) yang memang lebih dikenal. Padahal, katanya, stigma yang ada juga dialami mereka yang dianggap "kanan", misalnya akibat peristiwa Tanjung Priok dan Talangsari. Semua ini, katanya, harus bisa disentuh dan ditangani dalam rekonsiliasi. Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Demos, Asmara Nababan mengingatkan, RUU KKR ternyata sama sekali tidak menyentuh masalah kejahatan HAM yang berkaitan dengan dunia ekonomi. "Kasus waduk Kedung Ombo yang menggusur penduduk sekitar waduk jelas merupakan tragedi kemanusiaan. Itu hanya satu contoh dari ribuan kasus di mana masyarakat kehilangan hak-hak ekonominya. Kasus tersebut jelas merupakan pelanggaran HAM yang tidak tersentuh RUU KKR,"katanya di sela-sela pengumuman pemenang Yap Thiam Hien Award 2003. Menjawab pertanyaan mantan Sekretaris Jenderal Komnas HAM itu menjelaskan, penyusunan RUU KKR seharusnya memperhatikan pula praktik pelanggaran HAM. Praktik pelanggaran HAM di satu negara bisa saja berbeda dengan praktik di negara lainnya. Di Afrika Selatan yang sering menjadi contoh pembentukan KKR, kasus pengusiran penduduk karena adanya proyek pemerintah di lokasi pendudu tidak menjadi perhatian mereka. Pemerintah dan tokoh masyarakat Afrika Selatan menitikberatkan kasus pelanggaran hak-hak politik dan sipil daripada kasus ekonomi, sosial dan budaya. Kenyataan berbeda terjadi di Indonesia yang penuh dengan kasus pelanggaran hak-hak ekonomi, budaya dan sosial. "Coba buka lagi data kasus pelanggaran hak-hak adat masyarakat di pedalaman kita. Luar biasa banyaknya. Tragedi itu tidak tersentuh RUU KKR yang tengah dibahas di DPR," tambahnya. Tidak diaturnya masalah pelanggaran hak ekonomi, budaya dan sosial menurut Asmara tidak lepas dari isi pasal 7 UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang hanya menyebutkan dua jenis pelanggran HAM berat yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. "Sebaiknya DPR lebih gigih menggali berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu ketika membahas RUU KKR agar bisa menghasilkan UU yang bisa memberikan rasa keadilan," tambahnya. Dua cara Menurut Asvi, berbagai konflik yang terjadi di Indonesia bisa diselesaikan melalui dua cara, yakni melalui rekonsiliasi berdasarkan UU KKR dan pengadilan HAM ad hoc. Asvi mencontohkan peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurutnya, peristiwa ini lebih tepat diselesaikan melalui rekonsiliasi, sementara peristiwa Pulau Buru, sebagai ekses peristiwa G30S, diselesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc. "Karena peristiwa itu sudah jelas, siapa pelakunya, korbannya, dan jelas ini pelanggaran HAM oleh rezim Soeharto," katanya. Peristiwa Pulau Buru melibatkan tidak kurang 10 ribu korban, belum termasuk anak, cucu, dan keluarga korban. Menurut anggota Komnas HAM, Sjamsudin, konflik horizontal sebaiknya tidak diselesaikan melalui KKR. Namun Sjamsudin tidak menjelaskan alasannya. Sjamsudin juga tidak menjelaskan, bagaimana menyelesaikan konflik horisontal yang terjadi selama ini. Menurutnya, KKR itu nantinya harus didampingi tim ahli, antara lain yang mengerti hukum internasional. Asumsinya, tidak semua anggota KKR mengerti hukum internasional. (Y-3/A-14) Last modified: 6/12/03
Wacana/Pansus RUU KKR 03
33
Media Indonesia, Sabtu, 06 Desember 2003
Batasan Awal Pengusutan HAM Berat di KKR Diusulkan 1965 JAKARTA (Media): Kasus pelanggaran HAM berat sejak 1965 diusulkan menjadikan patokan awal pengusutan yang dapat diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan memprioritaskan kasus-kasus yang menonjol. Usulan ini dimaksudkan agar pengusutan bisa lebih terfokus.
M
Demikian pendapat sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvin Warman Adam, dalam diskusi yang mengambil tema Penyelesaian masalah bangsa melalui KKR, yang diselenggarakan Lembaga Kajian Demokrasi, di Jakarta, kemarin. Hadir dalam acara itu sebagai pembicara adalah Syamsuddin dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Agus Widjoyo dari Centre for Strategic International Studies (CSIS), dan Ketua Panja RUU KKR Sidarto Danusubroto.
LS A
Tampak pula hadir sebagai peserta Nani Nurrahman Soetojo--putri Pahlawan Revolusi Jenderal Soetojo--tokoh Petisi 50 Ali Sadikin, Deputi Bidang Sejarah dan Purbakala Kementerian Budaya dan Pariwisata Anhar Gonggong, dan para korban Gestapu serta korban pelanggaran HAM berat lainnya. ''Pilih satu atau dua kasus pelanggaran HAM berat yang menonjol sejak 1965 sampai sekarang,'' usul Asvin. Alasan dia mematok tahun 1965, karena pada tahun tersebut banyak terjadi kasus atau peristiwa yang membuat banyak perubahan di Indonesia.
pin gE
Namun demikian, dia mengingatkan KKR nantinya harus berhati-hati dalam menangani kasus yang muncul pada era itu. Dia mengkhawatirkan adanya penilaian bahwa nantinya KKR malah dikira proPKI. Karena itu pula, ujarnya, KKR harus mampu juga mengungkap kasus yang menyangkut umat Islam, sehingga stigma ekstrem kiri atau kanan tidak perlu ada. Diperdebatkan
Usulan Asvin tersebut ditolak anggota Panja RUU KKR Firman Djaya Daeli. Menurut Firman, alasan titik awal pengusutan pelanggaran HAM berat yang paling logis adalah berdasarkan formal ketatanegaraan yaitu sejak kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.
kli
''Paling logis memberi batasan waktu kasus yang pantas adalah 17 Agustus 1945, karena waktu itu merupakan batas formal ketatanegaraan kita. Tahun 1965 alasannya apa?'' tanya Firman. Sementara itu, Agus Widjoyo berpendapat, batasan waktu memang diperlukan, tetapi yang lebih penting adalah implementasi dari UU KKR ke depan. Untuk itu, dia mengharapkan pembahasan RUU KKR ini bisa dilakukan secara lebih dalam dan teliti.
''Dengan begitu, UU KKR nantinya akan memberi manfaat. Kita jangan terjebak bagaimana bentuk UU ini nantinya, tetapi bagaimana implementasinya ke depan. Kita harus jujur terhadap sejarah sehingga UU ini bisa bermanfaat,'' jelas Agus. Ungkapan Agus disambut positif Ali Sadikin. Menurut Bang Ali--panggilan akrab Ali Sadikin--Panja RUU KKR harus hati-hati dalam merumuskan pasal demi pasal. Menurut dia, jangan sampai nantinya
Wacana/Pansus RUU KKR 03
34
terjadi pengkhianatan sejarah dengan alasan kepentingan politik. "Untuk itu pembahasan harus terbuka." ''Saya bukan dendam, tetapi pelurusan sejarah harus dilakukan dengan jujur untuk masa depan. Kita selalu bilang berdasarkan Pancasila, tetapi kita mengkhianatinya,'' tegas mantan Gubernur DKI ini. Sedangkan pengamat sosial dari LIPI lainnya Hermawan Sulistyo menambahkan tidak ada sejarah yang lurus dan tidak perlu diluruskan. Sejarah, menurutnya, selalu bengkok-bengkok dan itu menjadi pembelajaran yang baik bagi generasi mendatang.
kli
pin gE
LS A
M
"Makin banyak sejarah dalam satu peristiwa makin baik bagi pendidikan. Tetapi jangan percaya terhadap sejarah yang ditulis orang asing karena kita yang lebih tahu dari mereka,'' pintanya. (Faw/P6)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
35
Kompas, Senin, 08 Desember 2003
KKR Tangani Pengungkapan Pelanggaran sejak Tahun 1945 Jakarta, Kompas - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi diusulkan hanya menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi sejak Republik Indonesia berdiri, 17 Agustus 1945. Masalah rentang waktu pengungkapan kebenaran yang akan menjadi tugas KKR merupakan sebuah masalah pelik yang susah dikompromikan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR).
M
Ketua Panitia Khusus RUU KKR Sidarto Danusubroto dalam diskusi bertajuk "Penyelesaian Masalah Bangsa Melalui KKR" berpendapat, pengungkapan kebenaran dilakukan sejak berdirinya Republik Indonesia tahun 1945. "Mulai berlaku sejak kapan? Sejak berdirinya Republik Indonesia tahun 1945," kata Sidarto, Jumat (5/12).
LS A
Pembicara lainnya, Doktor Asvi Warman Adam, setuju dengan usulan tersebut. Menurut Asvi, KKR sebaiknya membagi sejumlah kasus pelanggaran HAM berat lewat periodisasi masing-masing 10 tahun. Tahun 1945 sampai 1955 kasus apa saja. Berikutnya tahun 1955- 1965 kasus apa saja dan seterusnya. Selanjutnya dari setiap periode, diambil dua kasus yang menonjol dan yang paling banyak menjadi tuntutan publik. Beberapa kasus yang menonjol tersebut, menurut Asvi, antara lain dugaan pelanggaran HAM berat mantan Presiden Soeharto, pembuangan tahanan politik (tapol) sewenang-wenang ke Pulau Buru, Kasus Aceh dan Papua, Kasus Priok, serta Kasus Talang Sari.
pin gE
"Menurut saya, kasus pembuangan tapol ke Pulau Buru tidak direkonsiliasi, tetapi dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc karena waktu, tempat, pelaku dan korbannya sampai sekarang masih jelas," ujar Asvi. Ketua YLBHI Munarman yang juga hadir dalam acara tersebut mengatakan hal senada. "Saya sepakat. Yang saya ingin ingatkan adalah agar KKR memilah kasus pelanggaran HAM berat secara tegas dan berimbang, misalnya kasus konflik ideologi dengan konflik kekuasaan langsung," ucapnya. Dia mengingatkan, KKR harus memikirkan kembali kasus pelanggaran HAM berat yang tidak tertampung oleh KKR. "Bagaimana nasib korban pelanggaran HAM berat yang tidak tertampung oleh KKR? Ini perlu dipikirkan," jelas Munarman. Pada bagian lain, mantan Gubernur Ali Sadikin menolak salah satu pasal dalam RUU KKR yang menyebutkan bahwa masalah yang sudah dibawa ke KKR tidak bisa dibawa ke pengadilan. "Lho, nasib korban bagaimana?" tanyanya. Hal serupa disampaikan peneliti LIPI, Hermawan Sulistyo.
kli
Hermawan menduga, baik KKR maupun Komnas HAM akan mendapat hambatan dari para petinggi militer yang sampai sekarang tidak pernah bersikap ksatria. Pembahasan RUU KKR yang merupakan amanat dari Ketetapan MPR itu sendiri menciptakan polarisasi dalam masyarakat. Pro dan kontra terjadi, kalangan perguruan tinggi mendukung pembahasan RUU KKR, namun golongan agama, sebagaimana dinyatakan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), menolak lahirnya RUU KKR. (WIN)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
36
Media Indonesia, Rabu, 10 Desember 2003
Habibie Soroti Pembentukan KKR JAKARTA (Media): Mantan Presiden BJ Habibie meminta pemerintah dan DPR mempertimbangkan konsekuensi politik, ekonomi, dan sosial yang ditimbulkan oleh pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Demikian pernyataan tertulis Habibie yang disampaikan kepada Penitia Khusus (Pansus) KKR, yang diperoleh Media di Gedung MPR/DPR, Jakarta, kemarin.
M
Menurut rencana, Pansus KKR kemarin mengadakan rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan tiga mantan presiden, yakni Pak Harto, BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
LS A
Ketiga mantan presiden itu menyatakan berhalangan hadir dengan alasan masing-masing. Pak Harto melalui sekretaris pribadinya, Kolonel CPM Maliki M, pada 24 November 2003, mengirim surat kepada Pansus KKR, menyatakan tidak bisa hadir karena alasan kesehatan. Sedangkan Gus Dur melalui surat yang ditandatanganinya sendiri tertanggal 17 November 2003, menyatakan tidak bersedia memenuhi undangan pansus, karena sejak ada keputusan MPR yang melengserkan dirinya dari jabatan presiden, maka segala kegiatan lembaga-lembanga pemerintah, termasuk kegitan DPR, tidak memiliki dasar hukum.
pin gE
Mantan presiden RI ketiga BJ Habibie juga menyatakan tidak bisa memenuhi undangan pansus karena sedang sibuk dengan berbagai urusan, sehingga hanya mengirim pernyataan tertulis kepada pansus. Dalam naskah setebal enam halaman yang diterima Pansus KKR pada 8 Desember lalu, Habibie menyatakan mendukung upaya DPR dan pemerintah dalam mewujudkan KKR. Namun, ia meminta agar mempertimbangkan dampak yang mungkin akan timbul dari pelaksanaan KKR. ''Pelaksanaan KKR dapat menimbulkan konsekuensi sosial, politik, dan ekonomi yang harus diantisipasi sejak awal. Jangan sampai kekurangcermatan kita dalam membentuk KKR ini justru akan menciptakan persoalan baru yang bisa memicu instabilitas dan disintegrasi bangsa,'' katanya mengingatkan.
kli
Oleh karena itu, kata Habibie, pembentukan KKR perlu dilandasi pertimbagnan yang cermat, antara lain, mendengar aspirasi seluruh komponen bangsa. Selain itu, pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap para korban jangan sampai terlalu memberatkan keuangan negara. Terlepas dari berbagai kekurangannya, Habibie menilai kehadiran KKR merupakan kebutuhan mendesak yang sangat didambakan masyarakat Indonesia demi terwujudnya rekonsiliasi atau rujuk nasional. Tentang pelanggaran HAM berat masa lalu, Habibie berpandangan bahwa peristiwa-peristiwa itu merupakan kesalahan kolektif, yang sadar atau tidak, diakibatkan oleh pengingkaran terhadap nilainilai luhur Pancasila.
Wacana/Pansus RUU KKR 03
37
kli
pin gE
LS A
M
Sementara itu, sehari sebelumnya, dalam RDPU dengan Dubes Jerman Gerhard Fulda, Dubes Afrika Selatan Norman Manuel Mashabane, dan Dubes Argentina Jose Luis Mignini, muncul pandangan bahwa rekonsiliasi nasional harus melibatkan seluruh rakyat. (Hil/P-1)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
38
Suara Pembaruan, Selasa 09 Desember 2003
Batal, Rapat Pansus RUU KKR dengan Mantan Presiden
kli
pin gE
LS A
M
JAKARTA - Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara mantan Presiden Indonesia dan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dipastikan batal. Tiga mantan presiden yang diundang, yaitu Soeharto, BJ Habibie dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), telah menyatakan tidak bisa datang dalam RDP itu. Kepastian tentang ketidakhadiran tiga mantan presiden itu disampaikan Ketua Pansus RUU KKR, Sidarto Danusubroto, kepada wartawan di Jakarta, Senin (8/12). "Gus Dur telah menyatakan berhalangan hadir. Habibie mengatakan sedang berada di luar kota sedangkan Soeharto masih sakit," katanya. Berdasarkan jadwal yang telah disusun Pansus RUU KKR, siang tadi, tiga mantan presiden Indonesia diminta memberi masukan terhadap RUU KKR dan pembentukan komisi itu. Dengan ketidakhadiran tiga mantan presiden itu, rapat Pansus hari ini dibatalkan. Menurut Sidarto, dari tiga mantan presiden yang dipanggil itu, hanya Habibie yang memberikan tanggapan tertulis kepada Pansus. Tanggapan tertulis setebal 10 halaman itu sudah disampaikan ke Sekretariat Pansus kemarin. Menurut anggota Pansus dari Fraksi Partai Golkar, Akil Mochtar, semula dua mantan presiden, yaitu Gus Dur dan BJ Habibie telah menyatakan bersedia hadir. "Tapi saya belum tahu perkembangan terakhir seperti apa," katanya. Kehadiran ketiga mantan presiden itu, kata Akil, cukup penting bagi Pansus RUU KKR. Dari ketiga mantan presiden itu diharapkan ada masukan dan pandangan yang yang berharga bagi Pansus. "Sebagai negarawan-negarawan, mereka diharapkan menyumbangkan pola pikir tentang upaya mewujudkan rekonsiliasi nasional. Tentu ada pikiran-pikiran yang bisa diambil oleh Pansus untuk mendisain KKR yang akan dibentuk," kata Akil. Selain itu, dari ketiga mantan presiden itu Pansus ingin mengetahui secara jelas dan terinci mengenai proses lahirnya Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 26/2000 tentang Pengadilan Ad Hoc HAM. Pasalnya, kedua UU itu sangat terkait dengan rencana pemerintah membentuk KKR. Kebebasan Informasi Pada rapat kemarin, Pansus RUU KKR mendengarkan masukan dan pandangan dari tiga Duta Besar (Dubes) negara sahabat untuk Indonesia, yaitu Dubes Jerman Gerhard Fulda, Dubes Afrika Selatan Norman Manuel Mashabane, dan Dubes Argentina Jose Luis Mignini. Ketiga Dubes itu diundang karena negara mereka memiliki pengalaman dalam membentuk komisi serupa KKR dan upaya-upaya me- wujudkan rekonsiliasi nasional. Dari paparan para Dubes itu, dapat ditarik benang merah, dalam mewujudkan suatu rekonsiliasi nasional dan mencari kebenaran atas pelanggaran HAM masa lalu diperlukan suatu kebebasan informasi. Selain itu, UU tentang KKR juga harus memenuhi standar hukum-hukum internasional yang berkaitan dengan HAM. "Di Afrika Selatan, KKR memiliki tiga komite. Salah satunya diberi kewenangan mengumpulkan informasi dan menerima barang bukti. Dari informasi dan barang bukti itu mereka membuat rekomendasi terhadap suatu kasus. Rekomendasi itu dilaporkan ke presiden," kata Mashabane. Prinsip keterbukaan, kata Mashabane, menjadi salah satu keunikan KKR di Afrika Selatan. "Bahkan makalah yang saya sampaikan dan didiskusikan sekarang ini, bisa diketahui oleh publik di mana pun," katanya. Menurut Dubes Jerman untuk Indonesia, Gerhard Fulda, sebelum Jerman bersatu data pribadi setiap warga negara Republik Demokrasi Jerman, dicatat dan direkam oleh Kementerian Keamanan Negara. Kini, data-data itu diakses oleh setiap orang. "Suatu pelanggaran yang keji bahwa setiap orang diawasi secara ketat oleh negara. Namun, kini mereka bisa memperoleh akses tentang data mereka dan mengetahui siapa saja yang telah memberi data pribadi mereka itu kepada negara," kata Fulda. Dikatakan pula, berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan, setiap orang bisa menindaklanjutinya melalui proses hukum. Namun, jika seseorang (korban) tidak ingin menindaklanjuti kasusnya, data-data tentang pelanggaran HAM yang dialaminya akan disimpan secara tertutup. (O-1) Last modified: 9/12/03
Wacana/Pansus RUU KKR 03
39
Kamis, 11 Desember 2003
Debat Publik Urgensi KKR tidak Sentuh Substansinya JAKARTA (Media): Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi hanya akan menjadi relevan di Indonesia jika bangsa ini mampu merumuskan terlebih dahulu urgensi autentik dari keberadaan komisi ini. Hingga saat ini rumusan urgensi autentik tersebut belum ditemukan.
M
"Kesulitan dalam merumuskan urgensi autentik itu karena debat publik mengenai perlunya KKR ini dimulai tanpa terlebih dahulu mencari, menyepakati dan menetapkan tujuan dari penyelesaian pelangaran hak-hak asasi manusia di masa lalu," kata praktisi hukum Todung Mulya Lubis dalam seminar sehari bertema Rekonsiliasi dalam Rangka Masa Depan Bangsa yang Lebih Baik, di Gedung MPR/DPR, kemarin.
LS A
Selain Todung, turut menjadi pembicara dalam seminar itu pengamat hukum dari Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo, Monang Siburian, Ketua Pansus RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Sidarto dan Hakim Pengadlan HAM Ad Hoc Winarno Yudo. Todung menuding bahwa apa yang disusun oleh DPR bersama pemerintah saat ini bukanlah undangundang yang mengatur mengenai pengungkapan pelanggaran HAM di masa lalu, tetapi sekadar UU mengenai pembentukan komisi, yang sebenarnya merupakan alatnya belaka.
pin gE
"Itu semua adalah bukti bahwa kita menganggap sepele masalah yang sesungguhnya sangat besar dan penting bagi kemajuan peradaban kita sebagai bangsa," tegas Todung. Kita di Indonesia, lanjutnya, mengenal KKR dari pengalaman penerapannya di Afrika Selatan, yang memang secara umum dianggap berhasil. Namun, sebelum kita telanjur bersemangat meniru penerapannya di Indonesia, perlu diingat bahwa model ini sebenarnya dibangun di atas keperluan politik yang khas dan hanya bisa bekerja di dalam syarat-syarat sosial yang mencukupi, urainya.
kli
"Saya kira, sudah banyak di antara kita yang tahu bahwa KKR di Afrika Selatan adalah buah dari kompromi yang dihasilkan oleh negosiasi politik antara rezim apartheid dan Nelson Mandela. Namun, buah paling penting dari negosiasi itu sebenarnya adalah kompromi untuk mengakhiri rezim apartheid--sebuah tujuan politik yang sekian lama diperjuangkan oleh mayoritas kulit hitam di negeri itu," jelas Todung lagi. KKR di Afrika Selatan adalah model yang dipilih dan diterapkan dengan tujuan untuk membangun tata sosial baru pascaruntuhnya rezim apartheid. Tata politik yang memiliki kekhasan seperti itu menurut Todung hanya bisa berdiri dengan topangan masyarakat yang sesuai. "Di situlah fungsi KKR di Afrika Selatan menemukan urgensi autentiknya." Dalam penilaian Todung, sampai saat ini pemerintah dan DPR belum mampu merumuskan urgensi politik dari komisi ini kelak. Salah satu sebabnya karena dalam memikirkan penyelesaian past human rights abuses, dengan memulai mencari model dan kemudian mencocok-cocokkannya ke dalam realitas Indonesia yang berbeda.
Wacana/Pansus RUU KKR 03
40
Menurut Todung, seharusnya dimulai dengan upaya merumuskan secara terbuka dan jujur perihal apa sebenarnya tujuan dan keperluan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu itu. Logisnya, model yang tepat dicari belakangan, setelah tujuan lebih dahulu ditetapkan. Bagi Indonesia, urgensi autentik pembentukan KKR ini adalah untuk mendapatkan keadilan bagi korban dan menghukum pihak yang bersalah.
M
Sementara itu, hakim Pengadilan HAM Ad Hoc Winarno Yudho berpendapat penyelesaian masalah pelanggaran berat HAM masa lalu melalui KKR merupakan pilihan terbaik untuk mengungkap kebenaran dan memberi keadilan kepada para korban. Menurut dia, penghukuman terhadap pihakpihak yang bersalah merupakan keharusan agar tidak terjadi impunity dan hal itu dilakukan oleh pengadilan.
LS A
"Penyelesaian melalui KKR justru menghindari hukuman dan yang diutamakan adalah mengungkap kebenaran sehingga korban dapat mengetahui fakta sebenarnya dan selanjutnya pihak yang bersalah harus memberikan pengakuan dan minta maaf," ujarnya. Sedangkan Harkristuti Harkrisnowo berpendapat rekonsiliasi antara pelaku dan korban tindak kekerasan serta pelanggaran HAM tidak bisa dipaksakan oleh hukum. Dalam melakukan proses rekonsiliasi tersebut tidak mungkin para korban melupakan berbagai penderitaan yang pernah dialaminya, karena itu telah menjadi bagian dari kehidupannya.
pin gE
"Karena itu, kata yang tepat adalah kita tidak melupakan masa lalu, dan memaafkan kejadian di masa lalu," ujarnya.
kli
Mengenai sumber-sumber konflik di Indonesia, Harkristuti berpendapat di antaranya adalah instabilitas politik, krisis ekonomi yang berkepanjangan, lemahnya kepemimpinan, serta rendahnya tingkat penegakan hukum. Selain itu, adanya ketidakadilan baik yang bersungguh-sungguh maupun pada tataran persepsi serta pembiaran benih-benih permusuhan yang ada di masyarakat juga merupakan sumber-sumber konflik yang setiap saat dapat saja meletup ke permukaan.(Ril/P-6)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
41
Kompas, Kamis, 11 Desember 2003
Urgensi Otentik KKR Perlu Lebih Dulu Dirumuskan Jakarta, Kompas - Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) hanya akan menjadi relevan di Indonesia jika mampu merumuskan lebih dulu urgensi otentiknya. Karena itu, sebelum telanjur bersemangat membentuk KKR, harus terlebih dulu merumuskan urgensi otentik dari Komisi ini. Demikian pandangan praktisi hukum dan tokoh penegakan hak asasi manusia Todung Mulya Lubis tentang urgensi KKR di Indonesia dalam seminar di Gedung MPR/DPR, Rabu (10/12).
M
"KKR di Afrika Selatan adalah buah dari kompromi yang dihasilkan oleh negosiasi politik antara rezim apartheid dan Nelson Mandela. Namun, buah paling penting dari negosiasi itu sebenarnya adalah kompromi untuk mengakhiri rezim apartheid," jelas Todung.
LS A
Tercapainya tujuan politik untuk mengakhiri rezim apartheid ini, lanjut dia, adalah kondisi yang memberikan kepada KKR di Afrika Selatan memiliki urgensi otentik. Dia yakin, sejarah Afrika Selatan pasti tidak akan pernah mengenal KKR tanpa dicapainya lebih dahulu tujuan politik tersebut. "Kita di Indonesia sampai hari ini belum mampu merumuskan apa urgensi otentik dari Komisi ini kelak," tandasnya. Todung juga berpendapat, perlu kehati-hatian sungguh- sungguh dalam mempertimbangkan relevansi KKR di Indonesia. Dia menilai, rekonsiliasi diupayakan untuk melindungi pelaku.
pin gE
Padahal, menurut dia, keadilan hukum lebih dibutuhkan daripada rekonsiliasi. Keadilan hukum dapat mendidik masyarakat percaya bahwa kesalahan harus dihukum dan keadilan harus dipersembahkan pada setiap korban. Hadir juga dalam kesempatan itu sebagai pembicara adalah Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia Harkristuti Harkrisnowo, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila Winarno Yudho, dan Brigadir Jenderal (Purn) Monang Siburian. Tatap masa depan
kli
Sementara itu, Harkristuti menekankan tentang peran dan fungsi KKR. Menurut dia, peran dan fungsi KKR yang penting antara lain adalah memberikan makna pada para korban dan penderitaan mereka secara individual. Adapun kepada para pelaku didorong untuk mengungkapkan kebenaran sehingga tak perlu menjalani proses hukum. KKR juga diharapkan dapat meluruskan informasi mengenai sejarah sehingga publik bisa mengetahui dan memahami viktimisasi yang terjadi. Ketua Panitia Khusus RUU KKR Sidharto Danusubroto yang juga hadir dalam seminar tetap memandang perlu KKR segera dibentuk. Dia menargetkan RUU KKR bisa selesai dibahas sebelum Pemilu 2004. (sut)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
42
Kompas, Selasa, 16 Desember 2003
RUU KKR Tak Beri Makna pada Keadilan Jakarta, Kompas - Keluarga korban Peristiwa 1965 menolak Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR) karena dinilai tidak memberi makna pada keadilan dan kebenaran. Penolakan dari keluarga korban ini makin mempertegas polarisasi antara kelompok yang mendukung KKR dan kelompok yang menolak KKR. "Keadilan dalam RUU KKR baru sebatas rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi. Sedangkan kebenaran cuma sebatas mengungkap peristiwa saja," jelas Kepala Divisi Program Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Amiruddin dalam acara diskusi publik tentang KKR di Jakarta, Senin (15/12).
M
Menurut Amiruddin, dalam soal keadilan, seharusnya ada aturan mengenai apa yang harus dilakukan negara terhadap pelaku. Harus ada tindakan pengganti vonis pengadilan terhadap para pelaku. "UU misalnya, para pelaku tidak boleh menduduki jabatan publik dalam periode tertentu," tuturnya.
LS A
Dia menilai, kebenaran yang ingin ditegakkan pun baru sebatas permukaan. "RUU KKR baru sebatas usaha mengungkap kebenaran. Belum memberi makna pada kebenaran itu misalnya dengan pilihan usaha memperbaiki keadaan setelah kebenaran tersebut terungkap," papar Amiruddin. Pemberian makna pada kebenaran itu misalnya bisa ditempuh dengan berbagai cara. Misalnya, kalau lembaga intelijen atau institusi militer banyak terlibat dalam kasus atau sejumlah kasus besar tertentu, seharusnya ada ketentuan yang menyebutkan perlunya restrukturisasi total terhadap kedua lembaga tersebut. "Itu artinya, ada usaha memperbaiki keadaan menjadi lebih baik dan lebih terkontrol setelah kebenaran itu diungkap," lanjutnya.
kli
pin gE
Dalam penjelasan tertulisnya, Forum Koordinasi Tim Advokasi dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Peristiwa 1965 menawarkan langkah penyelesaian kasus Peristiwa 1965. Pertama, mengakhiri berbagai diskriminasi yang disandang korban dan keluarga korban. Kedua, mengusut tuntas pelanggaran HAM berat pasca-Peristiwa G30S/1965. Ketiga, menyisir kembali tragedi tersebut dan mengungkapnya secara transparan, obyektif, dan proporsional. (WIN)
Wacana/Pansus RUU KKR 03
43
dpr.go.id/berita/jadwal/Des-03 JADWAL ACARA RAPAT DPR RI 1 DESEMBER S/D 5 DESEMBER 2003
Senin, 1 Desember 2003
14:00 WIB
Komisi VII Sosialisasi RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dengan Serikat Pekerja Komisi VIII RDPU Dengan PT. Aneka Tambang
Selasa, 2 Desember 2003
09:00 WIB
pin gE
14:00 WIB 13:00 WIB
Komisi I Raker dengan Meneg Kominfo Komisi III RDPU dengan Pakar Kehutanan Komisi VI RDPU dengan PBNU dan Muhammadiyah Komisi VII Raker dengan Menaker Komisi VII Sosialisasi RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) dengan Serikat Pekerja Rapat Gabungan Komisi II Dan VIII (Tentang Tindak Lanjut Pansus Pertamina) Tertutup Komisi VIII RDPU dengan PT. Timah Wakil Ketua DPR/Korinbang AM. Fatwa Menerima Dubes Polandia (R.Kerja Lt.IV Gd.Nusantara III)
LS A
09:00 WIB 09:00 WIB 09:00 WIB 09:00 WIB 14:00 WIB
M
14:00 WIB
Rabu, 3 Desember 2003
09:00 WIB 09:00 WIB 09:30 WIB
kli
09:00 WIB 09:00 WIB 09:00 WIB 09:00 WIB 14:00 WIB 14:00 WIB
Komisi I Raker dengan Menlu Komisi III RDP dengan Dirjen Rehabilitasi Lahan Dan Perhutanan Sosial (RLPS) Sub Komisi Perhubungan Komisi IV RDPU dengan Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) Komisi VI Raker dengan Mendiknas Komisi VII Raker dengan Menkes Komisi VIII RDP dengan Gubernur DKI Komisi IX Raker dengan Gubernur BI Sub Komisi BUMN Komisi IX RDP dengn PT. Perkebunan Nusantara (Tertutup) Pansus RUU Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi RDPU dengan PB NU, Ketua Umum PP Muhammadiyah dan Ketua Umum DDI (R.Rapat Pansus) Ketua DPR Akbar Tandjung menerima Kaukus Perempuan Golkar (R.Kerja) Ketua DPR Akbar Tandjung menerima delegasi Parlemen Polandia (R.Kerja)
09:30 WIB 15:30 WIB
Kamis, 4 Desember 2003
10:00 WIB 14:00 WIB 19:00 WIB 14:00 WIB
Komisi I Uji Kepatutan Dan Kelayakan Calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Ruang KK-I Gd.Nusantara Komisi VIII RDP dengan BPPT dan LIPI Komisi VIII Raker dengan Menristek Komisi IX RDP dengan Dirut Pertamina
Wacana/Pansus RUU KKR 03
14:00 WIB
Pansus RUU Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi RDPU dengan Kalangan Perguruan Tinggi Dan Unsyiah, UI, Unpad, ITB, UGM, Unair, dan Uncen (R.Rapat Pansus)
Jumat, 5 Desember 2003
~ 13:45 WIB
Komisi I Uji Kepatutan Dan Kelayakan Calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Ruang KK-I Gd.Nusantara Intern Fraksi Dialog Interkatif “Dialektika Demokrasi”
Jadwal Sewaktu-waktu Dapat Berubah
kli
pin gE
LS A
Update : 12/3/2003 9:13 AM
M
09:00 WIB
44