Kilometer Nol, Sebuah Lambang Sebuah tugu di ujung Utara pulau Weah Aceh, berdiri tegak setinggi delapan meter. Landasannya, beton berteratak mirip tangga bersusun lima. Dengan panjang dan lebar sekitar enam meter. Tentu itu terletak di sebuah semak belukar di bilangan Jaboi, kotamadya Sabang. Itulah kilometer nol Indonesia. Berada di tugu itu, terasa sesuatu merayap di kalbu, perasaan keindonesiaan. Lagu patriotik Dari Sabang sampai Marauke seakan-akan tergiangngiang di telinga. Kita sedang menginjak setapak tanah di ujung paling Barat Nusantara. Lambang Garuda begitu megah bertenger di puncak tugu. Di bawah kaki Sang Garuda, ada relief yang melukiskan untaian zamrud kepulauan di Indonesia. Memang, sempat timbul tanda tanya, apakah kilometer nol ini benar menjadi ukuran pasti dimulainya bentangan jalan raya dari ujung Barat Indonesia ke Timur. Akan tetapi, berada dititik itu, slogan Sabang-Marauke tiba-tiba menjadi sangat bermakna. Dari titik nol kilometer ini, jalan hanya selebar 3 meter. Itupun hanya permukaan sekitar 2 meter yang kelihatan, selebihnya tertutup semak belukar. Sulit dibayangkan, jika ada kendaraan 2 arah berada di jalur itu. Jarak kilometer nol ke kota Sabang 22,5 Km. Lalu, dari Sabang terbentang lagi jarak 28 mil laut atau hampir 52 Km dan tiga jam perjalanan feri ke ujung utara Sumatra. Jalan menuju kilometer nol hampir tak berbicara sebagai sebuah jalan raya. Kilometer nol pun seakan-akan tak berbicara sebagai tanda kilometer di tempat lain. Bahkan pualam bertuliskan ”KM0” telah dicopot tangan-tangan jahil. Sedangkan tugu-tugu yang kesepian itu tak pernah dihiraukan sebagai tanda kilometer jalan raya. Akan tetapi, dalam keheningan belukar di Jaboi, di bawah bola-bola awan yang keperakan, di sela-sela deburan ombak, tugu itu tetap tegar sebagai sebuah lambang yang berbicara tentang kesatuan Indonesia.
2. Apotik Siang itu aku sedang duduk santai di sofa empuk di dalam apotik milikku yang baru saja dibuka. Apotik ini adalah impianku sejak aku kuliah di Farmasi dulu. Sekarang aku memandang puas pada usahaku selama ini. Aku bisa mendirikan apotik di kota kelahiranku. Apotik ini cukup luas, beberapa rak besar tempat obat-obatan berjejer rapi dengan kemasan-kemasan obat warna-warni yang dikelompokkan menurut farmakologinya dan disusun alfabetis. Pandangan saya tertuju pada rak buku di pojok ruangan yang berisi bukubuku tebal. Ku ambil satu buku yang disampulnya tertulis Informasi Spesialis Obat atau yang biasa disebut kalangan farmasi dengan buku ISO. Setelah ku pandangi aku tersenyum dan mengembalikannya ke tempat semula. buku ini adalah buku pertama yang kubeli saat aku kuliah dulu. Aku memandang lagi secara keseluruhan apotik ini, sebuah televisi 14 inci dan sebuah computer di meja kasir. Hembusan angin dari AC cukup membuat udara terasa sejuk di bulan Mei yang panas ini.
3. RUANG KELAS WINA Wina membuka pintu kelasnya perlahanlahan. Dilihatnya sebuah jendela yang terbuka. Di bawah jendela, tampak sebuah meja guru yang memakai tapalak putih. Di atas taplak putih itu ada sebuah vas bunga dari kayu. Vas bunga tersebut bergambar beberapa kuntum bunga matahari seperti bunga yang ada didalamnya. Disebelahnya tergeletak sebuah agenda kelas yang terbuka dan kalender duduk. Wina lalu memasuki ruang kelasnya dengan langkah yang lambat. Dia memalingkan pandangan ke arah kanan. Tampak satu buah white board yang bersih tanpa coretan. Di sebelah kiri white board tersebut, terpasang sebuah tempat spidol berwarna biru muda, serasi dengan dinding yang bercatut biru tua. Dan disebelah kanan white board terpasang satu papan madding yang penuh tulisan-tulisan karya siswa. Wina memutar pandanganya ke belakang kelas. Ada sebuah pribahasa berbahasa inggris yang berwarna kuning bertuliskan ‘practice make perpect’ dibawahnya terpasang sebuah system periodik unsur-unsur di kiri kananya juga terpasng sebuah denah duduk dan daftar kelompok belajar. Selain itu, ditatapnya dinding kiri kelas. Di sana terpasang struktur organigram dan sebuah daftar regu kerja dari karton berwarna kuning. Struktur organigram dan daftar regu kerja tersebut ditutupi oleh plastic bening. Wina berpaling kedinding kanan. Disana tergantung daftar pelajaran berwarna kuning. Daftar pelajaran itu disusun tak berurutan, hurf-hurufnya pun dari guntingan majalah. Meski tampak tidak rapi,namun cukup bagus dan menarik. Wina menyusuri deretan bangku kosong didepanya. Tak usah dihitung lagi karena pasti ada 40 meja dan 80 kursi. Dan tanpa kata wina berjalan kebangkunya sendiri,dan duduk manis disana.
Contoh Paragraf Deskripsi 1. Aku berdiri tepat depan kelas ku. Aku meliahat di meja guru ku ada taplak meja dengan motif batik, dan di atasnya ada pas bungga yang berwarna hijau dan dihiasi bungabunga yang terbuat dari kain. Lalu aku melangkahkan kaki ku menuju kebelakang, aku melihat banyak sapu yang berantakan dan aku hitung ada tiga sapu. Aku melihat ke dinding ada hiasan bunga, jam dinding yang mempercantik diding kelas ku. ada dua papan tulis yang memang sengaja disambung agar terlihat panjang. Kemudian aku mulai membersihkan kelas ku supaya kelas ku menjadi lebih bersih. Kata guru ku, jagalah kebersihan supaya kita nyaman saat belajar di kelas.
Qqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqq Pagi itu, pukul 06.30 langkah kakiku terhenti di pintu ruang kelas X-8, kubuka pintu perlahan-lahan. Terlihat lantai yang masih mengkilap. Kulihat sebuah jendela yang terbuka, angin yang berembus pelan membuat si gordeng biru ikut bergoyang. Di sudut depan sejajar dengan pandanganku dari pintu, tampak sebuah meja guru yang bertaplak biru putih kotak-kotak. Diatas meja itu ada sebuah bunga beserta vasnya. Disebelahnya tergeletak sebuah agenda kelas yang terbuka. Aku memalingkan pandangan kearah kiri, tampak dua buah whiteboard yang masih bersih tanpa coretan, dibawahnya terpasang sebuah tempat spidol berwarna biru muda, yang hampir sama dengan dinding berwarna putih kebiruan. Kemudian kutatap dinding kanan kelas, terpasang sebuah system periodik unsur, juga disebelah kanannya terpangpang dua buah kertas berlakban hitam yang bertuliskan jadwal pelajaran dan jadwal piket siswa. Dibawahnya tercecer botol-botol minuman bekas, yang sungguh mengganjal pandangan mata.
Aku menyusuri deretan bangku yang seluruhnya belum terisi, tak usah dihitung lagi karena pasti ada 17 meja dan 34 kursi. Dan tanpa kata, aku berjalan ke bangkuku sendiri dan duduk manis disana.
Siswa-siswi masuk ke ruang kelas dengan sepatu yang basah dan bercampur tanah. Lantaipun menjadi kotor. Ruang kelas menjadi tampak tak terawat. Whiteboard yang sudah lama dipake sudah pecah- pecah. Buku- buku tampak tertata rapi di dalam almari kaca. Dinding dan kaca terlihat bersih. Namun, kursi dan meja tidak tertata dengan rapi. Di atas meja terdapat tas, tempat alat tulis, dan buku membuat kesan tidak rapi. Aliran listrik yang tidak ada alat pelindung dapat melukai para siswa. Kipas angin yang sudah berkarat namun masih digunakan adalah alat yang memfasilitasi kelas ini. Selain itu,terdapat dua speaker dan juga satu lampu. Data- data kelas juga tertempel di dinding. Foto- foto pahlawan tertempel di depan kelas.
Nama saya adalah Marshel Eko Saputra. Saya kuliah di Politeknik Negeri Sriwijaya Jurusan Teknik Listrik. Dari seluruh kelas yang ada di Teknik Listrik, saya berada di kelas 3LD. Mengapa disebut begitu karena saya sekarang telah semester 3. Pada awalnya, kelas saya terdiri dari 24 orang tetapi 5 orang telah mengundurkan diri. Saya adalah ketua kelas di kelas ini. Kelas saya juga bisa dibilang cukup lengkap karena disini memiliki satu buah AC dan satu buah layar proyektor. Kelas kami juga cukup bersih rapi dan teratur karena tugas piket dilakukan dengan baik.
"In my class, there are 30 desks and 32 chairs. There's a clock near the door. There are 5 windows, but the 2 ones are broken. It doesn't have a Whiteboard, but there's a chalkboard in my class."