ACEH: SEBUAH PERDAMAIAN YANG RAPUH 27 Februari 2003
ICG Asia Report N°47 Jakarta/Brussels, 27 February 2003
DAFTAR ISI RANGKUMAN EKSEKUTIF DAN REKOMENDASI..........................................................i I.
PENDAHULUAN ................................................................................................................2
II.
LATAR BELAKANG PERJANJIAN 9 DESEMBER................................................3
III. OTONOMI KHUSUS DAN KELEMAHANNYA .........................................................6 IV. PROSES NEGOSIASI DIB AWAH PEMERINTAHAN MEGAWATI.....................8 V.
TAHAPAN BERIKUT: FEBRUARI HINGGA DESEMBER 2002 ...........................9
VI. KESEPAKATAN PENGHENTIAN PERMUSUHAN (COHA) ...............................11 VII. PELAKSANAAN KESEPAKATAN ..............................................................................13 VIII. OTONOMI DAN PARTISIPASI POLITIK.................................................................16 IX. PERAN MENDESAK BAGI PARA DONATUR ........................................................18 X.
AKIBAT DARI KEGAGALAN ......................................................................................19
XI. KESIMPULAN ..................................................................................................................20 LAMPIRAN A.
MAP OF INDONESIA.........................................................................................................18
ICG Asia Report N°47
27 February 2003
ACEH: SEBUAH PERDAMAIAN YANG RAPUH RANGKUMAN EKSEKUTIF DAN REKOMENDASI Pada tanggal 9 Desember 2002, sebuah perjanjian penghentian permusuhan di Aceh dirampungkan di Jenewa, seraya membawa harapan munculnya akhir dari pertikaian selama 26 tahun antara pasukan pemerintah Indonesia dan para gerilya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sejak itu telah terjadi banyak perkembangan yang positif, dan yang paling menonjol, penurunan drastis tingkat kekerasan. Namun demikian, perjanjian perdamaian tersebut bukan merupakan penyelesaian bagi perdamaian, melainkan lebih merupakan kerangka kerja untuk melakukan negosiasi menuju penyelesaian konflik, dan hal ini masih sangat rapuh. Dua bulan pertama beranjaknya kesepakatan tersebut seharusnya merupakan tahapan membangun kepercayaan, namun bukannya kepercayaan yang dibangun, justru kecurigaan masing-masing pihak terhadap maksud lawannya di jangka panjang semakin menguat. Pada tanggal 9 Februari 2003, kedua belah pihak memasuki tahap pelaksanaan selama lima bulan, namun dengan beberapa perselisihan utama belum terselesaikan. Hal ini termasuk bagaimana pihak militer Indonesia akan melakukan relokasi seiring dengan penempatan jumlah senjata yang kian meningkat di berbagai lokasi tertentu oleh GAM. Pemimpin GAM mungkin telah menerima konsep otonomi sebagai titik awal pembicaraan namun bukan sebagai tjuan akhir politik, selain itu kelompok gerilya tetap tidak banyak tergugah untuk mengubah diri menjadi partai politik yang menjadi bagian dari sistim elektoral di Indonesia Kecil kemungkinannya tentara Indonesia bakal berdiam diri untuk waktu yang tidak pasti jika meredanya kekerasan justru menimbulkan lebih banyak lagi kegiatan organisasi menuju kemerdekaan, seperti yang tampaknya tengah terjadi, apakah kegiatan tersebut secara formal
melanggar perjanjian atau tidak. Pemerintah propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pun menjadi penghalang menuju perdamaian yang kekal, karena kredibilitasnya yang sangat rendah, selain secara luas dipandang korup. Selama pemerintahan tersebut dilihat sebagai wujud “otonomi” sebagaimana yang diberikan kepada Aceh sesuai undang-undang Agustus 2001, maka banyak orang Aceh tetap melihat kemerdekaan sebagai alternatif yang lebih baik. Perjanjian 9 Desember 2002 yang ditengahi oleh sebuah organisasi non pemerintah berkedudukan di Jenewa, yaitu Henri Dunant Centre (HDC), merupakan hasil dari proses negosiasi yang alot selama tiga tahun, serta berbagai upaya berselang untuk mengakhiri kekerasan yang berhasil untuk waktu yang singkat, namun kemudian runtuh. Perjanjian ini berbeda dengan yang sebelumnya. Ada pemantau mancanegara. Struktur bagi penyelidikan dan pelaporan pelanggaran yang dimilikinya sudah jauh lebih transparan daripada perjanjian-perjanjian sebelumnya. Selain itu didukung oleh jajaran tertinggi pemerintahan Indonesia serta oleh serangkaian luas donatur internasional. Perjanjian ini merupakan kesempatan yang terbaik – dan mungkin yang terakhir – bagi 4,4 juta rakyat Aceh untuk mencapai perdamaian melalui perundingan. Ini mungkin juga menjadi kesempatan terakhir memperoleh dukungan internasional untuk melakukan reformasi pada pemerintahan setempat serta mendapatkan bantuan rekonstruksi pasca-perang yang cukup besar. Jika perjanjian dapat bertahan, tidak semua pihak menang, namun jika gagal, maka semua pihak kalah. Konsekuensi kegagalan bakal suram dan operasi militer yang ditingkatkan sudah hampir pasti terjadi. Luapan semangat yang ditimbulkan
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
Page ii
perjanjian tersebut diseluruh Aceh seharusnya menjadi cukup alasan bagi semua pihak agar berupaya semaksimal mungkin untuk menjamin keberhasilannya.
(c) memastikan agar tuduhan korupsi yang dilakukan pejabat propinsi dan kabupaten diselidiki dengan segera, dan bilamana perlu melakukan penuntutan, oleh orangorang yang tidak mempunyai kaitan politik maupun ekonomi dengan pihakpihak yang diselidiki; dan
REKOMENDASI Rekomendasi yang terpenting bagi kedua belah pihak adalah untuk menjalani hingga rampung tahap pelaksanaan perjanjian yang tengah berja lan, seraya menghindari tindakan-tindakan yang melanggar perjanjian secara tersurat maupun tersirat. Namun sementara itu, berbagai permasalahan yang lebih rumit perlu ditanggulangi. Dibawah ini lebih banyak rekomendasi yang ditujukan bagi pemerintah ketimbang GAM. Namun hal ini jangan diartikan bahwa beban pemerintah lebih besar, akan tetapi lebih mengisyaratkan betapa kepemerintahan setempat menjadi masalah yang penting. Pada banyak wilayah di Aceh, penduduk bahkan samasekali tidak mempercayai pemerintah. Kepercayaan tersebut tidak bisa dipulihkan sekedar dengan undang-undang otonomi, selain itu peningkatan pada besarnya dana yang dialokasikan dalam anggaran propinsi dan kabupaten belum tentu mewujudkan tingkat hidup yang lebih baik bagi warga Aceh biasa.
(d) mendukung dilakukannya penilaian oleh sebuah perusahaan akuntansi internasional yang handal, terhadap praktek-praktek pembukuan para pejabat propinsi dan kabupaten, dan bagaimana hal ini dapat diperbaiki. 4.
Mendukung dilakukannya sebuah survei pendapat umum yang dirancang dengan cermat pada beberapa desa pemantauan diseluruh Aceh, tentang penilaian orang Aceh terhadap hal-hal yang dianggap dapat meningkatkan tingkat kehidupan mereka, dan apa saja prioritas bagi mereka maupun anak-anak mereka, kemudian hasilnya digunakan untuk merancang kebijakan pemerintah yang memperhatikan aspirasi masyarakat setempat.
5.
Mengembangkan rencana untuk memulihkan kredibilitas terhadap sistim peradilan di Aceh, termasuk dengan: (a) memastikan agar pembentukan pengadilan agama yang baru tidak lebih melemahkan perangkat hukum dengan menimbulkan kerancuan seputar tumpang tindih wewenang;
Bagi pemerintah Indonesia: 1.
Tawarkan kepada GAM insentif yang lebih realistis agar melibatkan diri dalam proses politik, termasuk dengan mendukung perubahan hukum yang diperlukan untuk memungkinkan keberadaan partai politik lokal di Aceh.
2.
Memberi dukungan penuh bagi proses yang digariskan dalam perjanjian 9 Desember 2002 untuk menyelidiki laporan pelanggaran.
3.
Memperbaiki dengan:
kepemerintahan
setempat
(a) mendukung upaya meningkatkan transparansi keuangan pada pemerintahan NAD; (b) penelaahan oleh sebuah dewan independen terhadap alokasi kontrak bagi proyek yang didanai pemerintah selain terhadap hubungan antara pembelanjaan yang di otorisasikan dan mutu hasil pekerjaan;
(b) memberi prioritas tinggi bagi penyelenggaraan pengadilan didalam zona damai; dan (c) memahami sebab-sebab mengapa cara peradilan setempat maupun adat dipandang lebih efektif ketimbang apapun yang disuguhkan negara. 6.
Mengakhiri pungutan liar sepanjang jala njalan dengan: (a) menjadikan masalah tersebut suatu prioritas bagi TNI maupun Polri di Jakarta, dengan pemeriksaan mendadak menggunakan jenis kendaraan umum yang biasa menjadi sasaran pungutan liar; serta (b) mabes menerapkan disiplin ketat terhadap polisi dan tentara yang melakukan pemerasan.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
7.
Mendorong DPRD di Aceh agar memberi prioritas tinggi bagi rancangan peraturan (qanun) tentang pemilihan langsung pejabat setempat, termasuk bupati dan walikota.
8.
Menyalurkan seluruh bantuan kemanusiaan termasuk dari pemerintah pusat bukan melalui pemerintah propinsi melainkan sebuah badan khusus yang berkomitmen menyelenggarakan transparansi dan akuntabilitas kepada publik.
9.
Menyelenggarakan diskusi yang dipimpin seorang pejabat pemerintah yang senior dari Jakarta, bersama akademisi ahli hukum, organisasi non pemerintah, media setempat, serta pihak militer dan polisi mengenai kebebasan berpendapat dan berkumpul, sehingga tercapai kesepakatan tentang bagaimana kemerdekaan tersebut dapat dijalankan di Aceh, atau setidaknya agar penafsiran yang berlainan serta akibat-akibatnya dapat diketahui oleh semua pihak.
Bagi GAM: 10. Menahan diri untuk tidak melakukan unjuk rasa maupun kegiatan lain yang memberi kesan bagi pemerintah bahwa GAM memanfaatkan penghentian permusuhan untuk melakukan konsolidasi dukungan politik dan militer. 11. Memberi perhatian serious agar pembicaraan Januari 2001, pada saat “Kesepahaman Sementara” mengenai proses demokrasi, dapat diterjemahkan menjadi program yang kongkret untuk mengubah GAM menjadi partai politik tanpa melalui referendum, namun tidak pula menghapuskan jatidiri GAM. 12. Mengakhiri pemerasan terhadap masyarakat setempat oleh anggota GAM. 13. Sepenuhnya mendukung proses yang digariskan pada perjanjian 9 Desember 2002 untuk menyelidiki laporan adanya pelanggaran. Bagi Donatur Internasional: 14. Mendanai penguatan segera terhadap unit media dan hubungan masyarakat pada HDC
Page iii
agar dapat melakukan sosialisasi terhadap isi perjanjian dengan lebih langsung, luas, serta bebas prasangka, dengan menggunakan bahasa Aceh dan cara-cara yang dapat menarik jumlah pendengar yang lebih besar. 15. Segera menunjukkan hasil-hasil perdamaian pada masyarakat yang terkena dampak konflik melalui proyek-proyek nyata yang dapat mendukung perjanjian tersebut. 16. Mendukung upaya pihak setempat untuk mendorong transparansi di bidang keuangan dengan: (a) membantu para jurnalis mencari keterangan mengenai uang sejumlah Rp.700 milyar (kurang lebih AS$79 juta) yang dialokasikan pemerintah propinsi untuk pendidikan; (b) meningkatkan tekanan terhadap Jakarta dan pemerintah setempat untuk menyelenggarakan audit yang independen dan handal terhadap pemebelanjaan pemerintahan setempat. 17. Menemukan cara-cara agar pejuang GAM terserap kedalam tenaga kerja tanpa menimbulkan pembengkakan upah. 18. Menyiapkan rencana untuk membantu pelaksanaan pemilihan langsung pejabat daerah, jika dan bila peraturan pemerintah tentang pemilihan langsung mulai berlaku. 19. Sebagaimana telah dilakukan hampir semua donatur, menghindari menyalurkan bantuam melalui pemerintahan propinsi. 20. Memantau pelaksanaan proyek dengan membuka kantor multi donatur yang kecil di Aceh yang memudahkan penyampaian informasi bantuan donatur kepada organisiasiorganisasi Aceh. 21. Mempertimbangkan melakukan kajian terhadap pelaksanaan proyek secara berkala, bukan saja untuk menilai keberhasilan masingmasing proyek, akan tetapi untuk mengukur keberhasilan upaya donatur dalam meningkatkan perdamaian, serta melakukan penyesuaian yang diperlukan. Jakarta/Brussels, 27 Februari 2003
ICG Asia Report N°47
27 February 2003
ACEH: PERDAMAIAN YANG RAPUH I.
PENDAHULUAN
keuntungan masing-masing pihak dalam permainan politik akhir yang diusulkan.
Secara kasat mata, perjanjian 9 Desember 2002 tentang penghentian permusuhan di Aceh tampaknya cukup berhasil. Perjanjian tersebut telah membangkitkan semangat diseluruh propinsi disertai harapan bahwa konflik selama 26 tahun antara pasukan pemerintah Indonesia dan para gerilya dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mulai berakhir.1 Tingkat kekerasan telah turun secara drastis. Struktur yang diperlukan untuk melaksanakan kesepakatan tersebut telah dibangun dalam waktu yang singkat. Tahap “membangun kepercayaan” selama dua bulan telah usai pada 9 Februari 2003, dan selanjutnya tahap kedua yang lebih sulit, yaitu “demiliterisasi” mulai berlaku, dengan kedua belah pihak menegaskan kembali komitmen mereka bagi proses perdamaian.
Bukannya membangkitkan kepercayaan, masa dua bulan pertama mungkin justru memperkuat kecurigaan masing-masing pihak terhadap maksud jangka panjang lawannya. Pertentangan besar masih belum terselesaikan. Pimpinan GAM bisa jadi menerima otonomi sebagai titik awal melakukan pembicaraan namun tidak sebagai tujuan politik akhir, selain itu tidak banyak insentif bagi kelompok gerilya tersebut untuk mengubah diri menjadi partai politik didalam kerangka elektoral Indonesia. Sementara itu kecil kemungkinannya TNI bakal berdiam diri untuk waktu yang tak menentu jika penurunan kekerasan, seperti yang tampaknya terjadi, justru menimbulkan kegiatan organisasi dalam mendukung kemerdekaan, terpisah dari apakah hal itu merupakan pelanggaran resmi dari perjanjian atau tidak.
Akan tetapi sejak pertengahan Februari tampaknya gencatan senjata mulai goyah. Kemajuan pada demiliterisasi - artinya GAM meletakkan senjatanya (namun tetap menguasainya), TNI melakukan “relokasi” dari tempat-tempat yang dapat menimbulkan konfrontasi, dan polisi paramiliter menjalankan fungsi polisi biasa – akan dievaluasi setiap bulan sejak 9 Maret hingga 9 Juli 2003, dimana setiap kajian ulang berpotensi menjadi krisis. Hal-hal teknis seperti apakah GAM sesungguhnya menyerahkan jumlah senapan yang diwajib kan, atau apakah TNI telah melakukan “relokasi” sejalan dengan perjanjian, tampaknya tidak begitu penting dibanding anggapan masing-masing pihak terhadap iktikad lawannya serta penilaian mengenai
Pemerintah propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sudah demikian tidak disukai dan dianggap sangat korup sehingga mendiskreditkan konsep otonomi, selain itu tidak tampak tanda-tanga menuju reformasi. 2 Langkanya keberadaan pemerintahan yang positif di sebagian besar Aceh telah membuka peluang yang sangat besar bagi GAM. Perjanjian 9 Desember yang ditengahi organisasi non pemerintah yang berkedudukan di Jenewa, yaitu Henri Dunant Centre (HDC), merupakan peluang terbaik – dan mungkin yang terakhir – bagi 4,4 juta rakyat Aceh untuk memperoleh penyelesaian konflik melalui negosiasi. 3 Mungkin juga itu merupakan kesempatan terbaik untuk memperoleh dukungan
2 1
Untuk melihat latarbelakang konflik di Aceh, lihat laporan ICG Asia No 17 dan 18, Aceh: Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace, 12 Juni 2001, dan Aceh: Can Autonomy Stem the Conflict?, 27 Juni 2001. Lihat juga ICG Indonesia Briefing, Aceh: A Slim Chance for Peace, 27 Maret 2002.
“Nanggroe Aceh Darussalam” adalah nama baru Aceh sesuai UU No.18 bulan Agustus 2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi Aceh. 3 Henri Dunant Centre secara resmi telah mengubah namanya menjadi Centre for Humanitarian Dialogue namun semua pihak di Aceh mengenalnya dengan nama awal serta singkatannya.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
internasional bagi reformasi terhadap pemerintahan setempat serta bantuan rekonstruksi pasca konflik yang cukup besar. Jika perjanjian bertahan, tidak semua pihak menang, namun jika perjanjian gagal, semua pihak bakal kalah. Karena itu semua pihak seyogyanya berkepentingan untuk meniadakan gangguan-gangguan jangka pendek serta menjembatani pertentangan yang lebih mendasar yang merupakan hambatan terhadap perdamaian di jangka panjang,
Page 3
II.
LATAR BELAKANG PERJANJIAN 9 DESEMBER
Perjanjian tanggal 9 Desember 2002 tentang penghentian permusushan (Cessation of Hostilities Agreement / COHA) disambut secara luas sebagai titik mula perdamaian di Aceh namun bukan sesungguhnya sebuah perjanjian perdamaian. Perjanjian tersebut dirancang untuk menghentikan kekerasan dan membentuk kerangka guna membahas persyaratan bagi perdamaian yang kekal. Para arsitek maupun penyelenggaranya – HDC, pejabat Indonesia secara perorangan, terutama Soesilo Bambang Yudhoyono, serta pihak-pihak luar yang berkepentingan, antara lain Amerika Serikat, Jepang, Uni Eropa, Thailand dan Filipina – membangun berdasarkan pelajaran yang dipe roleh dari perjanjian lain antara GAM dan pemerintah yang telah ditengahi HDC. HDC hadir di Aceh tidak lama setelah Abdurrahman Wahid menjadi presiden pada Oktober 1999. Ketika itu Timor Timur, yang baru berpisah dari Indonesia setelah dilakukan referendum yang diselenggarakan PBB, masih menjadi pusat perhatian semua pihak. Di Aceh, kekerasan sudah meningkat sejak akhir tahun 1998, dan kekhawatairan mengenai disintegrasi Indonesia menjadi lebih nyata 4 HDC mengusulkan strategi untuk menyelesaikan konflik secara damai, dengan secara hati-hati mulai mengurangi tingkat kekerasan sehingga memungkinkan mengirim bantuan kemanusiaan ke wilayah-wilayah yang memerlukannya. Haslnya, pada tanggal 12 Mei 2000 tercetus “Kesepakatan Bersama Tentang Jeda Kemanusiaan di Aceh” yang mulai berlaku pada bulan Juni untuk kurun waktu tiga bulan. Jeda tersebut diperpanjang pada bulan September hingga Januari 2001. Sebagai perjanjian yang dijalin untuk pertama kalinya antara GAM dan pemerintah Indonesia,
4
Kekhawatiran tersebut disuarakan baik di luar negeri maupin didalam negeri. Baik TNI maupun beberapa kelompok Islam konserfatif seperti Laskar Jihad, setelah konflik di Maluku pecah pada tahun 1999, menilai ada upaya yang disengaja untuk memecahkan negara seperti yang terjadi di Yugoslavia atau Uni Soviet. Akan tetapi TNI pun percaya terhadap kewajiban dan kemampuannya untuk mencegah hal tersebut. Lihat misalnya “TNI AD Tak Akan Tolerir Upaya Disintegrasi Bangsa”, Kompas, 25 November 2000.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
kesepakatan tersebut didukung Presiden Wahid, namun sangat ditentang oleh TNI serta banyak anggota elit politik yang melihatnya memberi legitimasi yang tidak pada tempatnya kepada GAM, serta membawa konflik ke gelanggang internasional di saat luka Timor Timur masih baru. 5 Beberapa orang Aceh diam-diam mengutarakan kekhawatiran bahwa dengan melakukan negosiasi dengan pimpinan GAM di pengasingan di Swedia, pemerintah justru menunjang sebuah generasi pemberontak lama yang tidak melihat kenyataan di Aceh maupun Indonesia secara lebih luas, dan yang berasumsi bahwa jika mereka cukup mengulur waktu, maka Indonesia bakal ambruk akibat sejumlah banyak permasalahannya .6 Pada bulan-bulan pertama jeda kemanusiaaan ada penurunan tingkat kekerasan, namun perjanjian tersebut runtuh ketika masin g-masing pihak menuduh lawannya melakukan pelanggaran. Dari awal sudah terlihat beberapa kelemahan. Sebuah tim pemantau yang terdiri dari orang-orang yang dipilih masing-masing pihak dan disetujui lawannya, seharusnya melakukan penyelidikan atas pelanggaran, akan tetapi walaupun telah dilatih, tingkat keterampilannya rendah sementara ketakutannya untuk melaporkan kebenaran cukup tinggi. 7 Laporan-laporannya dikirimkan ke Jenewa dan tidak pernah dipublikasikan. TNI menjadi yakin, bukan tanpa sebab, bahwa GAM memanfaatkan jeda untuk melakukan konsolidasi terhadap kekuasaannya di pedesaaan serta mendirikan struktur pemerintahan alternatif. GAM menjadi yakin bahwa TNI dengan berkedok mengamankan proyek vital termasuk instalasi raksasa Exxon-Mobil di Aceh Utara me masukkan lebih banyak lagi pasukan.
5
S.Wiryono, “The Aceh Conflict: The Long Road to Peace”, makalah yang tidak diterbitkan, Januari 2003. 6 Hubungan pribadi ICG, Banda Aceh, Agustus 2001. 7 Sesuai perjanjian 12 Mei 2000, ada tiga badan yang didirikan: Forum Bersama untuk merumuskan dan mengawasi kebijaksanaan dasar; Komite Bersama untuk Tindakan Kemanusiaan (Joint Committee on Humanitarian Action/JCHA); dan Komite Bersama untuk Cara-cara Pengamanan (Joint Committee on Security Modalities (JCSM). Kedua badan terakhir tersebut memiliki tim pemantau, namun pemantau dari JSCM yang bertanggung jawab menyelidiki pelanggaran perjanjian tentang “peniadaan serangan militer” dari kedua belah pihak serta melaporkan temuannya kepada Forum Bersama. Perjanjian tersebut ditandatangani Hassan Wirajuda yang mewakili pemerintah Indonesia, dan Zaini Abdullah, mewakili GAM.
Page 4
Hingga akhir tahun 2000, tingkat kekerasan telah menyamai keadaan sebelum jeda, dengan penduduk sipil, seperti biasa, menanggung akibatnya. Pada Januari 2001, HDC membawa kembali kedua belah pihak ke Jenewa dimana mereka membuat “kesepakatan sementara” yang untuk pertama kalinya memperhatikan masa depan politik, meski hanya secara samar. Mereka setuju bahwa penyelesaian konflik harus termasuk pembahasan, antara lain, mengenai pemilihan yang bebas dan adil bagi Aceh; sebuah komisi pemilihan yang independen yang dapat diterima kedua belah pihak; pemantauan terhadap proses pemilihan oleh sebuah badan yang independen dan tidak berpihak; peraturan yang menjamin bahwa calon non-partai dapat ikut serta dan bahwa partai daerah dapat dibentuk; serta kriteria yang memungkinkan GAM dan pendukung kemerdekaan sepenuhnya ikut serta dalam proses politik. 8 Namun ketika wakil dari pemerintah membawa kembali daftar bahan pembahasan ke Jakarta, segera timbul pertentangan sehingga tidak pernah dikembangkan lebih lanjut. 9 Kedua belah pihak sepakat menjalani “moratorium terhadap kekerasan” selama satu bulan namun di lapangan hal tersebut tidak berlaku. Setiap langkah pada proses negosiasi seolah-olah menghasilkan terobosan yang pada kenyataannya tidak pernah terwujud. Pada tanggal 18 Maret 2001, misalnya, kedua belah pihak di Jenewa sepakat untuk mendirikan dua “zona keamanan” yang meliputi sebagian besar kabupaten yang rawan di Aceh: Aceh Utara dan Bireun. 10 Awalnya moratorium terhadap kekerasan pada wilayah tersebut direncanakan berlaku selama tigabelas hari, dari 22 Maret hingga 3 April 2001, namun segera terlihat bahwa “zona” tersebut tidak mungkin dipantau secara efektif, sementara kedua belah pihak tidak menampakkan keseriusan untuk menghentikan konflik di daerah itu. 11 (HDC belajar dari
8
“Lampiran terhadap Kesepahaman Sementara, hal-hal yang akan menjadi pembahasan”, lampiran pada Kesepakatan Sementara antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pimpinan Gerakan Aceh Merdeka, Suis, 9 Januari 2001. 9 Wawancara ICG, Jakarta, 25 Februari 2003. 10 Pernyataan 18 Maret tersebut dikeluarkan pada akhir sesi negosiasi dimana “Jeda Kemanusiaan” secara resmi diganti dengan istilah baru “Perdamaian Melalui Dialog”. Unit Informasi Publik, “Tindak Lanjut Pengaturan Keamanan di Aceh”, 18 Maret 2001. 11 Dalam evaluasi zona, pada tanggal 4 April 2001 pemerintah menuduh GAM melakukan penyerangan
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
pengalaman tersebut, dan “zona damai” pertama yang dibentuk sesuai perjanjian 9 Desember bukan pada tingkat kabupaten melainkan tingkat kecamatan, dan bukan wilayah yang paling dipertentangkan.)
Page 5
lemah telah menyerahkan kendali atas kebijaksanaan mengenai Aceh kepada TNI.13
Dalam pe mbicaraan Maret 2001, GAM pun secara tersurat menyetujui dibukanya kembali pengadilan Indonesia (sebagian besar pengadilan di propinsi tersebut telah ditutup akibat pengrusakan fisik terhadap gedungnya dan intimidasi yang dilakukan GAM terhadap para hakim dan jaksa). Tampaknya seperti sebuah terobosan ketika kelompok yang menolak legitimasi setiap lembaga Indonesia dan dalam banyak hal bertanggungjawab atas kerusakan terhadap pengadilan bersedia menerima semacam bentuk tatanan hukum ketimbang tidak sama sekali. Namun sah-sah saja mempertanyakan apakah GAM diberi wewenang yang berlebihan jika harus dikonsultasikan mengenai pemulihan pengadilan, apalagi untuk menyetujui atau menolak proses tersebut. Seiring dengan peningkatan kekerasan, Presiden Abdurrahman Wahid mengalami tekanan yang kian meningkat dari TNI untuk bertindak tegas. Iapun bertahan untuk tidak mencanangkan keadaan darurat, sebagaimana yang dihendaki militer.12 Sebaliknya, ia mengeluarkan Inpres No.4 pada tanggal 11 April 2001 yang maksudnya menjadi rencana enam butir untuk mengakhiri konflik, termasuk langkah-langkah untuk memperhatikan aspek politik, ekonomi, sosial, hukum, ketertiban umum, keamanan dan informasi. Pada akhirnya hanya menjadi lampu hijau untuk menjalankan putaran baru operasi militer. Inpres tersebut secara telak menyatakan bahwa dialog dengan “pihak separatis bersenjata” tidak menghasilkan apa-apa, serta mengisyaratkan rasa frustrasi, bahkan mungkin celaannya, terhadap proses perdamaian. Hal ini ditandai secara dramatis dengan penangkapan enam orang pria yang terlibat dalam proses negosiasi atas nama GAM, pada tanggal 20 Juli. Secara praktis, seorang presiden sipil yang
terhadap pos militer dan polisi sebanyak duabelas kali, melakukan penembakan tiga kali, serta melakukan pembunuhan, perampokan dan pembakaran masing-masing satu kali. GAM tidak melancarkan tuduhan khusus terhadap pihak Indonesia namun mendesak agar tim pemantauan diperkuat. Unit Informasi Publik, Damai Melalui Dialogue, “Evaluasi Pelaksanaan Penghentian Tindak Kekerasan”, 4 April 2001. 12 ICG Report, Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace, op. cit., hal.5.
13
Kenyataan bahwa sesuai Inpres No.4 aparat keamanan berada dibawah kendali nominal komandan nasional Brimob pada prakteknya tidak banyak artinya. TNI tetap menguasai upaya melawan pemberontakan tersebut.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
III. OTONOMI KHUSUS DAN KELEMAHANNYA Namun demikian dialog tetap dilanjutkan sementara operasi keamanan mulai ditingkatkan, selain itu semakin jelas bahwa pemerintah Indonesia bertekad menjalani pendekatan dua arah. Tampaknya dialog tanpa tindakan keras hanya membawa keuntungan bagi GAM. Sementara penggunaan tindakan keras belaka tidak dapat diterima oleh sebagian besar warga Aceh, sejumlah signifikan anggota elit politik di Jakarta, serta komunitas internasional. Hal itu memang membawa keuntungan taktis bagi militer namun memperpanjang kesengsaraan penduduk Aceh dan cenderung membangkitan dukungan politik lebih besar bagi GAM. Jelas bahwa bagian teka-teki yang belum ditemukan adalah apakah dapat dihasilkan suatu alternatif yang handal bagi landasan GAM yang pro-kemerdekaan. Status quo politik yang ada tidak dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat Aceh, meski tidak semuanya mendukung kemerdekaan. Di Aceh tidak pernah mungkin dilakukan jajak pendapat yang tidak berpihak mengenai sentimen pro-kemerdekaan, namun “dugaan perkiraan” oleh para akademisi Aceh melalui pembicaraan informal mengisyaratkan adanya dukungan yang sangat besar pada kabupaten didaerah pesisir timur yang paling berkembang dan paling tinggi jumlah penduduknya, termasuk Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara dan Aceh Timur. Konon dukungan kuat juga terdapat pada kabupaten sepanjang daerah pesisir barat, dukungan lebih kecil di kota Banda Aceh, dan lebih kecil lagi di kabupaten diwilayah tengah dan sangat kecil di kabupaten daerah selatan yang penduduknya bukan dari suku Aceh .14
14
Wawancara ICG, Banda Aceh, 19 Desember 2002. Sebagian karena perbedaan tersebut dan karena baik pemerintaha pusat maupun pemerintah propinsi melihat ada keuntungan dalam pemekaran Aceh secara administratif, timbullah gagasan pada pertengahan 2001 agar kabupatenkabupaten yang sebagian besar penduduknya bukan orang Acehch dapat memperjuangkan propinsi tersendiri yang bernama Leuser Antara. Lihat “Tiga Kabupaten di Aceh Menuntut Propinsi Baru”, Kompas, 4 Agustust 2001. Ketika itu, kabupaten yang dimaksud berada di Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Singkil. Setelah terjadi pemekaran administratif lebih lanjut di Aceh pada tahun 2002 dan terbentuk lima kabupaten baru, pejabat dari dua kabupaten terakhir tersebut, yaitu Gayo Lues dan Tamiang, mengisyaratkan minat mereka untuk bergabung dengan propinsi Leuser Antara. Sejak
Page 6
Dengan tujuan mengikis dukungan bagi kemerdekaan, para politisi yang berkedudukan di Jakarta menyiapkan rancangan dari apa yang kemudian menjadi undang-undang otonomi khusus. Rancangan tersebut disetujui DPR-RI pada tanggal 19 Juli 2003 dan disahkan ole h Presiden Megawati Soekarnoputri dalam salah satu tindakannya yang pertama selaku presiden pada tanggal 9 Agustus sebagai UU No.18 tentang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Bentuk rancangannya saja tidak menggemingkan semangat diantara masyarakat Aceh, akan tetapi dalam bentuk akhirnya bahkan sangat cacat. UU tersebut samasekali tidak menyinggung soal HAM atau keadilan, berbeda dengan UU otonomi khusus bagi Papua. Tidak ada ketentuan bagi pembentukan partai politik lokal, sehingga sangat menghambat upaya untuk mengembangkan insentif bagi GAM untuk berpartisipasi dalam proses politik. 15 Didalamnya diizinkan penyelenggaraan syariah Islam, namun tanpa menjelaskan cara penetapannya ataupun penegakannya, bagaimana para hakim, jaksa, dan polisi bagi sistim peradilan Islam yang baru direkrut dan dilatih, atau dalam hal mana undang-undang sipil tetap diberlakukan. 16 Gubernur diberi wewenang sangat besar dibidang keuangan akan tetapi timbul kerancuan yang tinggi karena tidak menggantikan dua buah UU tentang desentralisasi yang disahkan pada tahun 1999 yang memberi sebagian wewenang yang sama kepada para bupati. 17 Namun demikian UU tersebut
Februari 2003, usulan tersebut masih ditangguhkan di Departemen Dalam Negeri. 15 Pada saat ini, UU pemilihan umum tidak memuat ketentuan untuk dibentuknya partai local, selain itu masalah tersebut tidak disebut dalam UU otonomi. 16 Wakil rakyat di DPR-RI tampaknya menilai bahwa hal yang paling diinginkan masyarakat Aceh adalah penerapan syariah Islam, dan bahwa dengan memberikannya kesetiaan mereka kepada republik Indonesia dapat terjamin. Pada kenyataannya, kendati ada dukungan bagi penerapan syariah Islam secara lebih luas, cara ketentuan tersebut dimuat didalam UU otonomi justru menyinggung perasaan banyak orang Aceh karena mereka seolah dianggap belum cukup menghormati syariah Islam, dan bahwa negara perlu menegakkan ketaatan mereka. Beberapa cendekiawan mengungkapkan keprihatinannya kepada ICG bahwa jika tatanan hukum masih kacau seperti keadaan saat ini, maka penambahan sebuah tatanan hukum yang baru samasekali justru bakal memperburuk keadaan. Wawancara ICG, 25 Januari 2003. 17 Bank Dunia, “Promoting Peaceful Development in Aceh”, Laporan kepada Consultative Group on Indonesia, Januari 2003, hal. 22.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
meningkatkan dengan tajam jumlah dana yang bakal masuk ke perbendaharaan propinsi. Pelaksanaan UU No.18 kemudian menjadi titik tolak bagi pendekatan politik yang dilakukan pemerintahan Megawati terhadap permasalahan Aceh, akan tetapi dalam beberapa hal justru memperburuk keadaan. Karena banyak pihak di Jakarta menjadi yakin, sebagaimana pemerintah jelas meyakinkan dirinya, bahwa mereka telah memberi tawaran politik yang adil, dan bahwa kini masyarakat Aceh memperoleh kesempatan untuk memerintah diri mereka dengan dibekali alokasi sumber daya asli yang lebih besar dari yang pernah mereka terima sebelumnya. Namun pada kenyataannya, UU tersebut secara efektif melepaskan seluruh tanggung jawab pemerintah pusat, yang diserahkan kepada perilaku sebuah pemerintahan propinsi yang korup yang sudah berkuasa sebelum kesepakatan otonomi mulai berlaku, dan masih mewakili jajaran Golkar lama.18 Ketika masih menjadi propinsi biasa, Aceh setidaknya dikenakan pengawasan nominal oleh Departemen Dalam Negeri. Dengan otonomi khusus, permasalahan administratifnya bukannya diawasi malah diabaikan. Tidak terdapat mekanisme untuk menjamin agar aspirasi masyarakat setempat diperhatikan, keadilan terlaksana, jasa tersedia, atau korupis dibasmi. 19 Pemerintah Megawati tampaknya mengaburkan UU No.18 dengan prinsip otonominya sendiri, serta berasumsi bahwa penolakan terhadap UU tersebut merupakan penolakan terhadap prinsip itu. (Penafsiran yang salah tersebut bisa jadi telah mempengaruhi sebuah unsur kunci pada perjanjian 9 Desember, yaitu Dialog Seluruh Aceh, yang dipaparkan lebih luas di bawah ini). Lebih penting lagi, tampaknya hal itu memberi penilaian salah tentang besarnya dukungan bagi kemerdekaan: bukan lah hal pasti bahwa dukungan tersebut bakal sirna, meski ada tawaran otonomi yang lebih baik
18
Golkar merupakan partai yang berkuasa dibawah Soeharto. Abdullah Puteh yang pernah menjadi ketua KNPI dipilih menjadi gubernur pada November 2000 oleh DPRD propinsi Aceh, dari pilihan dua calon termasuk Azwar Abubakar dari PAN. 19 Tuduhan korupsi yang dilansirkan terhadap gubernur NAD, Abdullah Puteh, yang menyangkalnya dengan keras, dapat dilihat secara rinci dalam “Menanti Kejujuran Puteh”, Forum Keadilan N°39, 2 Februari 2003; “Uang NAD Diaudit, Siapa Takut?”Kontras N°226, 22-28 Januari 2003, hal.8. Gubernur menyatakan kesediaannya untuk dilakukan audit terhadap keuangannya.
Page 7
dan ada pemerintahan yang handal. Yang pasti hanyalah bahwa tanpa kedua hal tersebut, tidak ada alasan bagi pendukung kemerdekaan untuk mencoba otonomi.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
IV. PROSES NEGOSIASI DIB AWAH PEMERINTAHAN MEGAWATI Pemerintahan Megawati mulai bertugas pada 23 Juli 2001, dengan prioritas utamanya mempertahankan kesatuan negara. Tidak ada tanda-tanda samasekali bahwa rundingan hendak dilanjutkan. Beberapa pejabat senior mengisyaratkan jika dialog hendak dilanjutkan, maka harus dilakukan antara pemerintahan propinsi, yang segera memperoleh status otonominya secara resmi, dengan GAM, namun GAM langsung menolak usulan tersebut. Akan tetapi dua unsur baru kini masuk dalam rumusan. Ketika kian tampak bahwa kepresidenan Abdurrahman Wahid menghadapi kegagalan, pejabat senior AS yang memperhatikan Aceh mulai memprakarsai pembicaraan dengan Megawati serta penasehatnya mengenai penglibatan sebuah tim “orang bicak” asal mancanegara yang memiliki pembawaan dan pengaruh untuk menghasilkan kompromi yang nyata yang bisa menuju sebuah hasil yang lebih kekal. Sasarannya adalah menemukan orang-orang yang bisa diterima kedua belah pihak, yang piawai dalam melakukan negosiasi, serta cukup senior agar menambah bobot HDC, yang bagaimanapun adalah sebuah organisasi non pemerintah. Konsep awalnya, jumlah orang bijak ada lima. Pada akhirnya ada tiga orang, yaitu mantan Menlu Thailand Surin Pitsuwan20 , Jenderal (purnawirawan) Anthony Zinni dari AS; serta Budimir Loncar, mantan Menlu Yugoslavia dan duta besar di Jakarta, yang pernah akrab dengan ayah Megawati, mantan Presiden Sukarno. Lord Avebury dari Inggeris pun terlibat dalam beberapa pembicaraan kunci. Sesaat setelah Megawati mengambil alih pucuk pimpinan, pembicaraam mengenai orang bijak dipacu dengan konteks peningkatan kekerasan yang terjadi di Aceh, dan pihak militer yang dengan sengit menentang setiap keterlibatan internasional. Yang menjadi kejutan bagi banyak pengamat, ialah bahwa pemerintah menerima gagasan tersebut, sepanjang orang-orang bijak tersebut hadir dalam pembicaraan bukan sebagai wakil negara-negara asing, melainkan selaku penasehat HDC. Menko Polkam dalam pemerintahan Megawati, Susilo Bambang
20
Surin Pitsuwan adalah anggota Dewan Pembina International Crisis Group.
Page 8
Yudhoyono memainkan meyakinkan pemerintahan.
peran
kunci
dalam
Sepanjang akhir 2001 dan awal 2002, berbagai operasi militer besar masih berlanjut di Aceh, bahkan ketika pemerintah mencari pendekatan baru untuk melakukan dialog; memang tidaklah mungkin pihak militer menyepakati masalah orang bijak, jika tidak secera serentak dibiarkan tetap berupaya mengalahkan GAM. 21 Unsur baru kedua adalah kesadaran bahwa masyarakat sipil perlu dilibatkan, bukan hanya GAM dan pemerintahan, dalam setiap pembicaraan mengenai masa depan Aceh. Bahkan beberapa pihak yang ikut dalam pembicaraan dengan HDC berpendapat bahwa wakil dari masyarakat sipil seharusnya dilibatkan dari awal, dan bahwa dengan tidak melibatkan mereka justru terkesan GAM lebih mewakili aspirasi bangsa Aceh ketimbang yang sesungguhnya terjadi. Seseorang memberitahu ICG bahwa struktur yang didirikan HDC pada tahap pertama negosiasi secara tidak sengaja telah memperdalam polarisasi didalam masyarakat Aceh dengan membiarkan setiap pihak mencalonkan orang-orang untuk mengisi tim pemantauan dan keamanan, dan dengan demikian memberi cap proGAM ataupun pro pemerintah. Beberapa pihak lain tetap berdalih bahwa hanya pihak-pihak yang secara langsung terlibat perseteruan, yaitu GAM dan pemerintah, yang dapat mengakhirinya Salah seorang yang akrab dengan proses negosiasi bertutur kepada ICG bahwa mulai awal 2001, HDC ternyata secara aktif telah mengajak wakil-wakil dari masyarakat sipil untuk ikut serta dalam konsultasi. Namun demikian banyak yang takut terlibat sampai proses perdamaian memperoleh dukungan lebih besar dari kedua belah pihak, dan keamanan mereka dijamin. 22 Beberapa kelompok masyarakat sipil melakukan berbagai upaya dan memperluas pengaruhnya pada proses negosiasi. Pada pertengahan 2001, sekelompok orang Aceh yang mewakili semua pandangan politik, mulai dengan wakil dari
21
Kontradiski pada pendekatan bercabang dua tersebut terlihat dalam kurun waktu satu minggu, ketika pada tanggal 19 Januari 2002 Gubernur Abdullah Puteh sendiri mengunfang panglima GAM Abdullah Syafi’ie untuk berdialog; tiga hari kemudian Syafi’ie tewas ditangan pasukan Indonesia. 22 Wawancara ICD, Jakarta, 21 Februari 2003.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
pimpinan GAM di Swedia hingga wakil gubernir Aceh, akan tetapi lebih banyak terdiri dari pemimpin non pemerintah serta para akademisi, berkumpul di Washington untuk membahas sumbangan mereka bagi penyelesaian konflik. Mereka membentuk sebuah Satgas Masyarakat Sipil dibawah pimpinan ulama kondang Imam Syuja, yang bergagasan mencari mekanisme guna menjadikan proses negosiasi lebih terwakili, namun satgas tersebut tidak pernah berjalan efektif Penyebabnya banyak. Dunia ornop di Banda Aceh terpecah belah karena saling mencurigai dan tudingmenuding akibat perbedaan politik, persaingan dalam memperoleh sumberdaya dari donatur, pertentangan kepribadian, ajakan dari pihak pemerintah, maupun sulit nya menjalankan sesuatu dalam iklim dimana rasa takut terhadap infiltrasi oleh pelaku intel serta intimadasi oleh kedua belah pihak cukup tinggi. Diluar Banda Aceh, setiap pekerjaan lapangan secara otomatis menghadapkan ornop dengan pasukan keamanan, dan kadangkala dengan GAM pula. Dalam keadaan seperti itu, sulit membedakan siapa saja orang Aceh yang “biasa”. Namun demikan, HDC tetap menyadari perlunya sebuah dialog yang “serba mewakili”, yang menjadi butir kunci pada agenda putaran pembicaraan berikutnya pada bulan Februaru 2002. 23
23
Rumusan tersebut sendiri cukup memberi petunjuk. Pada tahun 1995, Deplu RI sepakat menjadi sponsor bersama dengan PBB untuk sebuah “All-Inclusive Intra-East Timorese Dialogue” yang melibatkan pimpinan prokemerdekaan maupun pro-otonomi di Timor Timur. Topik apapun dapat dihadirkan – kecuali perubahan pada status politik TimTim dimasa depan. Penerapan rumusan yang sama bagi Aceh menenggarai bahwa setiap pembicaraan bakal sama terbatas.
Page 9
V.
TAHAPAN BERIKUT: FEBRUARI HINGGA DESEMBER 2002
Orang-orang bijak tersebut menghembuskan sebuah kekuatan baru yang dahsyat kedalam proses negosiasi. Pemerintah menunjuk seorang perunding baru, yaitu Duta Besar S. Wiryono yang mantan diplomat. Sejak saat itu, salah satu ciri negosiasi adalah menjadikan penerimaan otonomi sebagai titik pusat, selain bahwa sebagian besar konsesi yang kreatif datangnya dari pihak pemerintah. Akan tetapi itupun bersifat taktis, sementara pemerintah bertindak dari kedudukan yang relatif kuat. Kenyataannya, GAM tetap tidak banyak memetik keuntungan dari sebuah perdamaian tanpa opsi kemerdekaan yang melandasi dukungan luas yang diterimanya. Ada tiga rangkaian pembicaraan yang berlangsung di Jenewa, pa da bulan Februari, Mei, dan Desember tahun 2002. Pada pembicaraan pertama, kedua belah pihak mengumumkan akan bertitik tolak dari UU No. 18 tentang otonomi, dan selanjutnya berupaya mencapai penghentian permusuhan, dialog yang mewakili secara menyeluruh, serta “pemilihan yang bebas dan adil” di Aceh pada tahun 2004. 24 Gagasan mengubah GAM menjadi partai daerah memang terungkap, namun tidak dilanjutkan. Namun demikian GAM masih jauh dari meninggalkan cita-cita kemerdekaan. Wakil-wakilnya menegaskan bahwa dala m menyepakati untuk menjadikan otonomi sebagai titik tolak, hal mana sebagian karena upaya kelompok bijak, bukanlah berarti mereka “menerima atau menolak” prinsip tersebut. Jurang diantara kedua belah pihak masih sangat lebar. Pada akhir rangkaian pembicaraan yang kedua, pada tanggal 19 Mei, jurubicara pemerintah menggemborkan bahwa GAM telah menerima otonomi dan bakal meninggalkan tuntutannya bagi kemerdekaan. Namun tidak demikian halnya: segalanya bertolak dari perkataan dan penafsiran. GAM mencari rumusan dimana penerimaan otonomi masih membuka peluang bagi kemerdekaan di masa depan. Pihak Indonesia menghendaki komitmen terhadap otonomi, bukan sebagai titik tolak, melainkan sebagai titik akhir. Segala sesuatunya kembali kepada UU No.18. Pemerintah Indonesia mengusulkan agar dialog yang serba mewakili
24
ICG Briefing, A Slim Chance for Peace, op. cit., hal. 10.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
dirancang antara lain untuk “memperhalus” UU tersebut, artinya dikutak-katik namun tidak dirubah secara hakekat. GAM bersikeras agar UU ditinjau kembali, artinya seluruh UU tersebut dapat direvisi atau bila perlu bahkan ditolak. Para perundingnya tetap berkata dibalik layar bahwa satu-satunya cara adil untuk meninjau kembali UU tersebut adalah dengan melakukan referendum terhadapnya, yang mana merupakan hal mustahil bagi pihak pemerintah. Mereka pun mengeluh ditekan oleh kelompok orang bijak maupun HDC untuk mencapai kesepakatan, akan tetapi justru dengan tujuan itulah kelompok orang bijak dibentuk, selain itu tekanan bukan hanya ditujukan kepada GAM. Sesungguhnya tidak pernah terjadi pertemuan dalam pemikiran. Menanggapi pengakuan pemerintah bahwa telah terjadi terobosan, di Aceh GAM membantah bahwa pihaknya pernah menerima otonomi, apapun yang telah diucapkan oleh pimpinannya di Swedia.25 Bahkan, para perunding GAM di Jenewa tidak pernah melepaskan komitmen mereka terhadap kemerdekaan; mereka semata-mata bersedia berbicara tentang penelaahan UU otonomi dan selanjutnya bertolak dari itu. Kemudian pemerintah menuduh mereka ingkar kata, yang diikuti oleh meningkatnya kegiatan perlawanan, dan pihak TNI kembali mengancam akan menerapkan keadaan darurat. Keadaan ini merupakan titik yang paling suram bagi perdamaian sejak dimulainya perundingan. Hanya berkat kegiatan yang intensif dibalik layar oleh HDC, upaya serta waktu yang sangat besar dipihak Soesilo Bambang Yudhoyono, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, serta Kapolri Jenderal Dai Bachtiar pada kususunya, serta kerja keras kelompk bijak, maka penerapan keadaan darurat berhasil dihalau. Sebagian besar aparat keamanan malah merasa kurang puas karena tidak dapat menjalankan penyelesaian total secara militer. Namun demikian kekerasan mulai meningkat. Pada tanggal 19 Agustus 2002 pemerintah memberi waktu kepada GAM hingga akhir bulan Ramadhan, yaitu 7 Desember, untuk menerima otonomi atau berhadapan dengan kegiatan operasi yang meningkat. GAM menolak diterapkannya tenggat waktu, namun pada akhirnya berhasil dibujuk untuk kembali ke meja perundingan. Pihaknya memang tidak punya pilihan lain: kegiatan operasi militer tengah merusak jalur pemasokan serta
Page 10
ruang geraknya, selain itu jika mereka menghentikan pembicaraan, satu-satunya sumber kegitimasi internasional yang diperolehnya bakal hilang. Akan tetapi ketika TNI tampak semakin garang, HDC, kelompok orang bijak, serta segelintir pejabat termasuk Yudhoyono, Menlu Hassan Wirajuda, dan Wiryono berhasil membujuk kelompok didalam pemerintahan yang menggebu untuk berperang agar mau menerima beberapa konsesi yang luas, termasuk gagasan menghadirkan pemantau internasional. Sesaat sebelum dibukanya putaran pembicaraan yang terakhir dan yang paling kritis tersebut di Jenewa, sebuah pemanis berhasil diletakkan diatas meja rundingan. Pada 3 Desember, sekelompok donatur bertemu di Tokyo dalam rangka Konferensi Persiapan tentang Perdamaian dan Rekonstruksi di Aceh, seraya mengantisipasi hasil yang positif dari putaran baru tersebut. Konferensi tersebut, yang dipimpin bersama oleh Jepang, AS, Uni Eropa, dan Bank Dunia menetapkan prioritasprioritas bagi rekonstruksi pasca konflik, yang mencakup dukungan bagi proses perdamaian, bantuan kemanusiaan jangka pendek, rekonstruksi masyarakat, perencanaan dibidang pemerintahan dan sektor publik, serta pemulihan prasarana sosial dan fisik. 26 Namun meski dengan konferensi Tokyo tersebut, jurang antara kedua belah pihak sudah sedemikian lebar sehingga pada saat terakhir pun belum jelas apakah perundingan bakal berlanjut, apalagi menghasilkan sebuah kesepakatan.
26 25
“GAM Bantah Terima Otonomi Khusus Aceh”, Koran Tempo, 15 Mei 2002.
World Bank, “Promoting Peaceful Development in Aceh”, Brief for the Consultative Group on Indonesia, Januari 2003, hal.1.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
VI. PERJANJIAN PENGHENTIAN PERMUSUHAN (COHA) Pembicaraan di Jenewa bukannya berjalan lancar. COHA merupakan upaya yang paling rumit dan paling rinci yang dilakukan dalam rangka mengakhiri kekerasan di Aceh. Sebagaimana disebut diatas, pembicaraan tersebut merupakan kerangka untuk pembahasan perdamaian, bukan penyelesaian perdamaiannya sendiri, namun seluruh kesepakatan tersebut bergantung pada asumsi bahwa jika kerangka dimaksud dapat dibangun serta struktur yang layak dipicu, maka ada kemungkinan momentum yang tercipta dapat membawa kedua belah pihak melampaui hambatan-hambatan yang dihadapi. Hal tersebut dipertaruhkan oleh semua pihak yang terlibat, namun harga yang harus dibayar jika terjadi kegagalan cukup tinggi: sebuah operasi militer tanpa titik balik serta tanpa kemungkinan rundingan lebih lanjut. Karena modal politik yang dibayarkan untuk mencapai titik itu sangat besar, maka COHA secara signifikan memperbesar taruhan bagi kegagalan. Menurut perjanjian tersebut, peneriman UU NAD lah – dan bukan prinsip otonomi – yang dijadikan titik awal bagi sebuah “dialog demokratis yang mewakili seluruh pihak, yang melibatkan seluruh unsur masyarakat Aceh yang akan difasilitasi oleh HDC di Aceh” serta “berupaya meninjau kembali unsur-unsur dari UU NAD melalui ungkapan rakyat Aceh secara bebas dan aman”.27 Guna memungkinkan berlangsungnya proses tersebut, pihak yang bersangkutan sepakat melakukan penghentian permusuhan “yang dilengkapi mekanisme yang memadai menuju akuntabilitas.” Kesepakatan tersebut sedianya diawali dengan tahapan membangun kepercayaan selama dua bulan dari 9 Desember 2002 hingga 9 Februari 2003. Selama masa tersebut, kedua belah pihak akan memberi tahu seluruh ketentuan kesepakatan tersebut kepada masing-masing tentaranya secara cermat. Merekapun sepakat tidak menggunakan masa tersebut untuk meningkatkan kekuatan militernya, baik personil maupun perlengkapan. 28 Kendati tidak aka larangan tegas bagi penyelenggaraan unjuk rasa pro-kemerdekaan, kesepakatan tersebut menyatakan bahwa mengingat
Page 11
“sifat rawan” dari proses membangun kepercayaan tersebut, kedua belah pihak mengimbau agar “tidak satupun pihak melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan perjanjian tersebut dan yang dapat membahayakan keamanan serta kesejahteraan rakyat Aceh di masa depan”.29 Sebuah Komite Keamanan Bersama (Joint Security Committee/JSC), yang pada awalnya didirikan sesuai kesepakatan jeda kemanusiaan pada Mei 2000, diaktifkan kembali disertai mandat untuk memantau keadaaan keamanan dan menyelidiki setiap pelanggaran yang terjadi. Sebuah tim terdiri dari 150 pemantau, masing-masing 50 orang dari GAM, TNI, dan sebuah kontingen mancanegara yang sebagian besar terdiri dari tentara Thai dan Filipina, akan membantu JSC. Sebuah tim JSC akan dibentuk pada setiap kabupaten yang dilanda konflik untuk menyelidiki laporan, menentukan pihak yang bertanggung jawab, serta menyepakati sanksi. Hasil dari penyelidikan akan diumumkan, dan JSC akan menerbitkan laporan mingguan. Adapun tugas JSC pula untuk memperuntukkan “zona damai” dimana kedua kekuatan tersebut memelihara posisi bertahan, menghindari konfrontasi, serta melakukan persiapan bagi rekonstruksi dan bantuan kemanusia an. 30 Bisa jadi bagian yang paling kritis dari kesepakatan tersebut adalah Pasal 3 (b), tentang peran JSC: Setelah zona-zona dami ditentukan, GAM akan menetapkan lokasi penempatan persenjataannya. Dua bulan setelah penandatanganan COHA dan sejalan dengan tumbuhnya kepercayaan, secara bertahap GAM akan mulai meletakkan persenjataan dan amunisinya pada lokasi yang telah ditetapkan. JSC pun akan menentukan relokasi bertahap secara serentak dari pasukan TNI yang mereformulasi mandatnya dari sebuah pasukan penyerangan menjadi pasukan pertahanan […] Penempatan bertahap dari persenjataan GAM akan diselesaikan dalam kurun waktu lima bulan. Tidak disepakati mengenai apa yang sesungguhnya dimaksud dengan “penempatan” atau “relokasi”. HDC yang merasakan adanya permasalahan, menggariskan pemahamannya terhadap Pasal 3(b) sebagai berikut:
27
COHA, Preambul, mengulang perkataan pada kesepakatan 10 Mei 2002. 28 COHA, Pasal 2(d).
29 30
Ibid., Preambul. Ibid., Pasal 3(b) dan Pasal 4.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
Adapun penafsiran kami bahwa sesuai sistem yang disepakati, GAM tidak akan memindahkan senjata yang diletakkan pada lokasi yang ditetapkan tanpa persetujuan HDC. GAM wajib mentaati permintaan HDC untuk melakukan inspeksi mendadak pada setiap saat.31 Namun bagi tentara Indonesia, “penempatan” senjata diartikan sama dengan melucuti GAM. Dilain pihak, GAM samasekali tidak bermaksud untuk menyerahkan senjatanya. Melainkan hanya sepakat untuk menyimpannya didalam baraknya sendiri dan tidak mempergunakannya. Untuk kepentingan mencapai suatu kesepakatan, pemerintah bergerak jauh dalam hal ini. Pada awalnya HDC mengusulkan sebuah tempat khusus (cantonment) untuk meletakkan senjata GAM dengan me nggunakan sistem “tiga kunci”. Senjata GAM diletakkan didalam sebuah sarana gudang yang terkunci, dimana kuncinya akan disimpan secara bersamaan oleh GAM, TNI, dan HDC. GAM berhasil melakukan penawaran, pertama hingga menjadi sistim dua kunci, dengan menghilangkan peran TNI, dan selanjutnya mencapai posisinya sekarang, dimana senjata tersebut tidak lepas dari kendalinya, kendati HDC harus tetap dapat melakukan pemeriksaan mendadak untuk memastikan bahwa keberadaannya memang pada tempat yang disebut oleh GAM. Hal itu merupakan salah satu dari sejumlah konsesi dari TNI yang mustahil terjadi setahun sebelumnya, akan tetapi setahun sebelumnya GAM pun mustahil bersedia meletakkan senjatanya. Menurut pemahaman GAM, istilah relokasi berarti TNI menarik pasukan teritorialnya kembali ke pos komando pada tingkat kecamatan, kabupaten, daerah dan propinsi, dan bahwa pasukan tempur kembali ke masing-masing batalyon atau baraknya. Artinya semua pos militer lainnya bakal dibubarkan, termasuk yang didirikan secara darurat pada gedung sekolah atau gedung non militer lainnya. 32 Para perunding pemerintah memandang bahwa “relokasi” tidak menyangkut pengurangan jumlah pos maupun pasukan, melainkan hanya memindahkan pos-pos pada zona damai ketempat lebih jauh apabila terlalu berdekatan dengan pos GAM. (Dalam sebuah 31
“Penjelasan Pasal 3b”, Framework Agreement between GOI and the Free Acheh Movement, http://www.acehehtimes.com/pu/news/120902.htm 32 “Peletakan Senjata GAM dan Relokasi TNI di Aceh, Akankah Terjadi?” Kompas, 8 Februari 2003.
Page 12
wawancara dengan ICG pada bulan Desember 2002, Pangdam Mayor Jenderal Djali Yusuf mengisyaratkan bahwa “relokasi” hanyalah masalah pergeseran posisi dari penyerangan menjadi pertahanan diri.) Perbedaan tersebut bisa tetap menjadi hal yang pelik. Masalah besar lainya yang diributkan adalah disebutnya dalam preambul perjanjian tersebut mengenai Polri yang tetap bertanggung jawab atas penegakan hukum dan ketertiban: Dalam konteks ini, mandat dan misi Brimob akan dirumuskan kembali agar secara ketat mengikuti kegiatan kepolisian biasa dan karenanya tidak lagi melakukan tindakan penyerangan terhadap anggota GAM yang tidak melanggar Perjanjian tersebut. Hanya segelintir orang yang berpengalaman di Aceh, apalagi anggota GAM, percaya bahwa Brimob, yang secara luas dipandang sebagai pasukan yang paling banyak melakukan pelecehan, dapat dengan mudah berubah menjadi unsur penegak hukum yang ramah diantara masyarakat. Namun keluhan GAM bahkan melampaui itu. Mereka tidak bersedia menerima rumusan apapun yang memberi wewenang kepada Brimob untuk melakukan patroli didalam zona damai, yang tidak menyediakan peran bagi pasukan polisi GAM sendiri, atau yang menyerahkan tanggung jawab kepada Polri untuk menjaga tempat-tempat dimana senjata GAM disimpan. Kekhawatiran GAM perihal masalah polisi tersebut hampir saja menggagalkan kesepakatan tersebut, akan tetapi setelah pemerintah sepakat untuk tidak lagi menekan masalah siapa yang bakal menjaga senjata, GAM dengan setengah hati menerima rumusan terakhir tersebut. Namun masih tersisa perbedaan-perbedaan sehubungan dengan Dialog Serba Mewakili (AllInclusive Dialogue, di Aceh disebut AID). Pada Pasal 6, menurut perjanjian pihak-pihak bersangkutan mendukung proses tersebut, serta setuju untuk menjamin keamanan dan kebebasan untuk bergerak. Hal ini tidak dirinci dalam pertemuan Desember ikhwal waktu pelaksanaannya, siapa saja yang terlibat, bagaimana mereka dipilih, atau bagaimana agenda ditentukan. Perbedaan yang muncul pada pertemuan Mei pun masih tersisa: GAM menilai bahwa seluruh proses otonomi perlu dimungkinkan untuk dipertimbangan kembali serta terbuka terhadap referendum; pemerintah bersikeras bahwa UU dimaksud ditinjau kembali untuk tujuan merubah atau menjelaskan ketentuan-ketentuan
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
khusus, namun tidak untuk menambahkan hal- hal baru untuk disertakan atau ditolak, ataupun untuk melakukan pemilihan terhadap otonomi. Perbedaan lainnya berputar sekitar pemilihan tahun 2004. Menurut perjanjian tersebut, “Pemerintah Indonesia dan GAM sepakat mengenai proses yang menuju pemilihan pada tahun 2004 dan selanjutnya pendirian sebuah pemerintahan yang dipilih secara demokratis di Aceh, Indonesia, sejalan dengan peninjauan kembali UU NAD.” Pejabat pemerintah bersikukuh bahwa pemilihan diselenggarakan di Aceh sesuai UU nasional, dan jika anggota GAM hendak ikut serta, maka mereka wajib melakukannya sebagai anggota partai yang sah. Kemungkinan terjadinya hal tersebut adalah nihil. GAM memilih menafsirkan “pemilihan” sebagai “referendum”, yang juga tidak dimungkinkan secara politis. Dalam keadaan demikian, bahwasanya ada kesepakatan sekalipun, sudah merupakan sebuah keajaiban kecil, serta menunjukkan keberanian para perunding selain upaya dan dedikasi yang sanagat besar dari para fasilitator. Pihak pemeritah memperlihatkan lebih banyak kreatifitas, serta berlaku lebih bijak dan fleksibel, namun demikian perlu dicatat bahwa hal-hal yang diberinya konsesi tidak menyangkut ihwal yang paling genting: yaitu keutuhan Republik Indonesia. GAM berada dalam posisi yang lebih sulit, karena bagi pimpinan maupun pengikutnya, raison d’etre nya terancam sirna apabila senjatanya diserahkan atau jika hendak menerima penyelesaian yang lebih kecil dari kemerdekaan. Sementara itu pihak Indonesia perlu menanggulangi kecurigaan maupun kehawatiran dari kalangan nasionalis yang konservatif maupun TNI, namun demikian kompromi bukan menjadi masalah hidup atau mati, sebagaimana halnya dengan GAM.
Page 13
VII. PELAKSANAAN PERJANJIAN Masyarakat Aceh biasa menyambut kesepakatan tersebut dengan spontan dan gembira. Secara serentak, penduduk mulai beranggapan seolah perdamaian memang telah tiba. Mereka beranjak keluar rumah lebih lama, bepergian lebih jauh serta bergabung kembali dengan kerabat dan saudara. Pejuang GAM mulai turun dari gunung dan dibeberapa daerah ikut serta dalam upacara adat bersama TNI setempat. Tingkat kekerasan pun merosot tajam. Komite Keamanan Bersama (Joint Security Committee) didirikan pada tanggal 20 Desember 2002, dibawah kepemimpinan tripartite yang terdiri dari seorang perwira senior dari militer Thailand, yaitu Mayor Jenderal Tanongsuk Tuvinun; Brigadr Jenderal Safzen Noerdin dari TNI dan Sofyan Ibrahim Tiba dari GAM. Pasukan Thai dan Filipina mulai berdatangan menempati posisi mereka pada kota-kota kabupaten bersama rekan-rekannya dari GAM dan TNI. Hingga akhir Januari 2003, lebih setengah dari para pemantau telah berada di tempat masing-masing. Zona damai yang pertama didirikan di Indrapura, kabupaten Aceh Besar dengan gegap gempita pada 25 Januari, dengan dihadiri anggota GAM setempat maupun komandan TNI setempat yang mengenakan seragam lengkap, selain itu ribuan penduduk ikut serta dalam upacara tersebut. Sebulan kemudian, tidak ada satupun laporan mengenai pelanggaran didalam zona tersebut. Enam zona lagi diumumkan pada 9 Februari menjelang akhir tahapan pertama dari pelaksanaan perjanjian. Keenamnya berada di kecamatan Kawai XVI, Aceh Barat; kecamatan Peusangan, Bireuen; kecamatan Sawang, Aceh Selatan; kecamatan Tiro, Pidie; kecamatan Simpang Keramat, Aceh Utara; dan kecamatan Idi Tunong, Aceh Timur. Seluruh wilayah tersebut pernah rawan konflik. Kedua belah pihak sepakat untuk tidak menyandang senjata didalam zona-zona tersebut serta tidak memindahkan pasukan baru kedalam wilayah tersebut. Zona-zona tersebut akan dipantau ole h tim-tim tripartite serta menerima bantuan kemanusiaan dengan segera.33 Antara 16 Desember 2002 dan 15 Januari, empat tim donatur secara terpisah mengunjungi Aceh
33
“JSC Names Six Peace Zones”, JSC News Release, Banda Aceh, 9 Februari 2003.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
untuk mengevaluasi kebutuhannya serta merekomendasikan bantuan jangka pendek maupun menengah guna memperkuat proses perdamaian serta mewujudkan hasil perdamaian yang nyata bagi penduduk. Didalam apa yang bagi Aceh merupakan perkembangan yang luarbiasa, JSC, yang dilanda laporan tentang pelanggaran, yang sebagian besar tidak benar, sejak hari operasionalnya yang pertama, mengumumkan pada 24 Januari bahwa pihaknya akan mengenakan sanksi kepada GAM maupun pemerintah setelah menyelidiki tiga peristiwa.34 Pada kenyataannya yang dilakukan adalah menunjuk tanggung jawab dan bukannya menerapkan sanksi, akan tetapi hal itu merupakan kejadian pertama didalam riwayat pertikaian tersebut dimana kedua belah pihak mencapai sebuah mekanisme untuk menentukan siapa yang bersalah, dengan bantuan pihak ketiga. Empat lagi keputusan diumumkan pada tanggal 15 Februari – tiga pelanggaran dilakukan oleh pasukan pemerintah, dan satu oleh GAM. Kini jelaslah sudah bahwa sanksi pelanggaran harus diserahkan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab, dan karenanya nyaris tidak dapat diberlakukan. Dalam satu kasus, JSC mengumumkan bahwa GAM bertanggung jawab atas sebuah “pelanggaran yang sangat berat”, yaitu sebuah serangan pada tanggal 14 Januari 2003 terhadap delapan anggota TNI yang tengah melakukan perjalanan dengan sepeda motor di Lokop, Aceh Timur, dimana seorang tentara tewas terbunuh. Menurut GAM tentara tersebut melakukan pelanggaran karena jelas-jelas memburu pasukan GAM. Ketika tentara tersebut mendekati sebuah pos GAM, pejuang GAM melepaskan tembakan ke udara, dan ketika peleton tersebut tidak berhenti, mereka menembakinya. TNI dengan keras berdalih bahwa sesuai perjanjian, seharusnya tidak perlu terjadi kontak senjata.35 Komandan pasukan GAM setempat menolak memberi hukuman kepada bawahannya bahkan setelah putusan JSC, karena menurutnya GAM tidak bersalah. 36
Page 14
Namun demik ian, menimbang segalanya, kegagalan menerapkankan sanksi merupakan hal yang kecil. Adapun bagaimana “penempatan” senjata dilakukan, bagaimana TNI “direlokasi”, serta “reformulasi” peran Brimob merupakan hal-hal yang jauh lebih genting bagi ketahanan perja njian, karenanya pekanpekan menjelang tenggat waktu 9 Februari menjadi kian tegang. Pada awal Februari 2003, Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto memberi peringatan bahwa pemerintah akan menarik diri dari perjanjian jika “penempatan” senjata tidak berlangsung sebagaimana telah dijanjikan. 37 Ia memberi tahu anggota DPR bahwa kendati TNI akan tetap menjalankan komitmennya untuk mengubah sikapnya dari ofensif menjadi defensif setelah 9 Februari, pihaknya akan meningkatkan operasi intelijen untuk memastikan bahwa GAM tidak memanfaatkan perjanjian tersebut untuk meningkatkan kekuatannya, dan iapun menyatakan bahwa TNI mempunyai rencana cadangan untuk mengirim lebih banyak pasukan ke propinsi tersebut jika kesepakatan perdamaian mengalami kegagalan38 Mayor Jenderal Djali Yusuf pun memberi sumbang kata, dengan memberi peringatan bahwa setiap kegagalan dipihak GAM untuk melakukan demiliterisasi akan berakhir dengan penerapan keadaan darurat di Aceh .39 Menyadari ketegangan yang timbul, Menko Soesilo Bambang Yudhoyono pada 5 Februari mengumumkan bahwa pertemuan Dewan Bersama (Joint Council) – menyangkut pimpinan atas GAM, pemerintah serta HDC – akan segera dilaksanakan untuk mengevaluasi kemajuan yang dicapai pada dua bulan pertama, dan ia mengingatkan agar tidak menarik kesimpulan berdasarkan gunjingan yang tidak mempunyai dasar. Ia mengakui tindak-tanduk GAM yang “melakukan provokasi”, namun berkata pemerintah tidak bermaksud menetapkan tenggat waktu maupun ultimatum. 40 Sesaat menjelang tanggal tenggat waktu 9 Februari, GAM menyetujui 32 lokasi penempatan senjata dan 37
34
“JSC Sanctions GAM, RI, Peace Milestone: Both Parties Accept Responsibility for Violence”, JSC News Release, 24 January 2003. 35 “Aneka Versi Insiden Lokop”, Kontras N°226, 22-28 January 2003. 36 “Keberatan Kami tak Bisa Diungkapkan”, Kontras N°227, 29 January-4 February 2003, p.10.
“Tarto: Kalau GAM Tak Mau Taati Janji Damai, Bagaimana Dong?” detik.com, 4 February 2003. 38 “TNI Reposisi Operasi Militer,” detik.com, 4 February 2003; “TNI Siapkan Rencana Cadangan untuk Aceh”, Kompas, 4 February 2003. 39 “Jika GAM Tak Gudangkan Senjata, TNI akan Kerahkan Kekuatan, Serambi Indonesia, 31 January 2003. 40 “Joint Council akan Evaluasi Aceh”, Kompas, 6 Februari 2003.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
menurutnya pihaknya akan menyimpan 20 persen dari persenjataannya pada lokasi tersebut sebelum 9 Maret, dan 20 persen lagi pada setiap bulan berikutnya hingga 9 Juli 2003 – jikalau merasa cukup puas atas ketaatan TNI dalam memenuhi bagiannya pada perjanjian tersebut. TNI mengartikan hal ini sebagai pelucutan permanen. Namun Sofyan Ibrahim Tiba, jurubicara senior GAM, menegaskan bahwa pihaknya akan menahan diri untuk tidak menggunakan senjata tersebut sepanjang terjadi “demiliterisasi” pada pihak lawan pula, serta menenggarai bahwa kendati GAM berpegang pada komitmennya untuk melakukan penempatan selama lima bulan, ia tidak bersedia menyatakan apa yang akan terjadi selanjutnya.41 Sementara itu, HDC setuju membentuk tim verifiksai beranggotakan empat orang untuk menjalankan inspeksi mendadak terhadap lokasi-lokasi yang telah ditetapkan. 42 GAM mengartikan demiliterisasi yang dilakukan pemerintah mencakup baik relokasi dari pasukan TNI maupun reformulasi dari peran Brimob, dan jurubicaranya menegaskan bahwasanya mereka tidak melihat adanya perubahan yang nyata dalam hal yang kedua.43 Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar mengakui kesulitan tersebut. Menurutnya, sebagian besar dari anggota Brimob sejumlah 3.000 orang yang berada di Aceh telah menjalani pelatihan namun tidaklah mudah mengubah mereka dari pasukan khusus anti pengacau menjadi polisi yang memeriksa KTP serta melakukan penyelidikan kejahatan. 44 Mengingat riwayat Brimob di Aceh, “reformulasi” tersebut bisa jadi merupakan bagian tersulit dari perjanjian kesepakatan. Pada jangka pendek, ancaman terhadap perjanjian mungkin lebih banyak bersumber dari daerah kelabu yang tidak ditangani secara khusus, ketimbang dari tindakan pelanggaran secara harafiyah. TNI percaya, dan ada bukti yang mendukung keyakinan tersebut, bahwa GAM memanfaatkan masa sepi tersebut untuk mengkonsolidasikan kekuatannya serta menggalang dukungan bagi kemerdekaan, kendati telah menyangkal hal itu. Khususnya TNI dibuat berang oleh pengorganisasian kembali yang
41
“Soal Penempatan Senjata, GAM Ajukan Syarat”, detik.com, 14 Februari 2003. 42 “JSC Akan Keluarkan Solusi Atas Pemerasan”, Serambi, 14 Februari 2003. 43 “Soal Pemempatan Senjata, GAM Ajukan Syarat”, detik.com, 14 Februari 2003. 44 “Kapolri: Tahap Reformulasi Brimob di Aceh Sudah Dilakukan”, detik.com, 13 Februari 2003.
Page 15
dilakukan di Pidie, yang merupakan benteng GAM pada 25 Januari. Menurut pengakuan GAM, hal itu biasa-biasa saja dan berguna untuk memudahkan penegakan disiplin serta melaksanakan komitmentnya terhadap penempatan senjata.45 Suara gemuruh yang berasal dari TNI kian meningkat sepanjang bulan Januari. Kiki Syahnakri, mantan Deputi Kastaf, pernah menulis artikel yang mengaku telah ditemukan dokumen yang mengungkap adanya pertemuan rahasia GAM antara 3 dan 5 Januari 2003 bertempat di Nisam, Aceh Utara, dimana diputuskan mereka akan meletakkan senjata hanya dibawah pengawasan PBB, dan bahwa mereka akan berupaya mendirikan struktur pemerintahan sipil diseluruh Aceh untuk menggantikan struktur yang telah didirikan pemerintah Indonesia. Ia selanjutnya mengutarakan pandangan yang dianutsebagian besar kalangan TNI ketika menulis: Timor Timur mampu memperoleh kemerdekaan melalui cara-cara rahasia bahkan ketika mendapat tekanan kuat dari Indonesia, karenanya bagaimana mungkin GAM diberi peluang emas untuk menjalankan kegiatannya secara bebas dan terbuka dihadapan kami ? 46 Sumber-sumber non pemerintah, anggota DPRD setempat, serta para aktivis pro-kemerdekaan menutur kepada ICG pada akhir Januari 2003, bahwa GAM tengah menyelenggarakan gerakan diseluruh Aceh, dengan menyatakan bahwa kesepakatan perdamaian merupakan langkah awal menuju kemerdekaan, serta memperoleh sambutan yang sangat bersemangat. Pada dua kecamatan di Aceh Selatan, menurut seorang petugas lapangan, GAM secara terbuka memanfaatkan gencatan senjata untuk mendirikan kembali kendali administratif atas desa-desa yang terpaksa ditinggalkannya ketika dilancarkan operasi militer pada tahun 2001. 47 Pada saat yang bersamaan, organisasi mahasiswa aktivis yang hampir punah selama satu tahun telah me manfaatkan gencatan senjata untuk menggalang dukungan secara terbuka bagi kemerdekaan maupun referendum. Mohamad Nazar, ketua organisasi pro-referendum SIRA, ditangkap pada tanggal 12 Februari, tampaknya
45
“Mengapa GAM Ubah Struktur Lapangan?”, Kontras N°227, 29 Januari-4 Februari 2003, hal.5. 46 Kiki Syahnakri, “After Aceh peace deal: learning from past mistakes”, Jakarta Post, 31 Januari 2003. 47 Wawancara ICG, 25 Januari 2003.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
Page 16
sehubungan dengan keterlibatannya dalam sebuah unjuk rasai di Lhokseumawe, Aceh Utara pada tanggal 9 Januari.
VIII. OTONOMI DAN PARTISIPASI POLITIK
Jelas sudah TNI tidak akan tinggal diam sementara tengah terjadi mobilisasi pro-kemerdekaan, pun tidak akan membiarkan GAM menguasai kembali kendali administratif tanpa perlawanan di wilayahwilayah yang telah “dibersihkannya” pada dua tahun terakhir Jelas perlu suatu keseimbangan guna mempertahankan ruang gerak yang terbatas yang ada saat ini untuk menjalankan hak-hak asasi sipil namun memberi cukup ruang bagi para perunding untuk tetap memperluas zona perdamaian. TNI perlu mengakui kekuatan dukungan bagi kemerdekaan maupun keharusan melindungi hak-hak asasi, namun GAM maupun beberapa aktivis pun harus memahami pentingnya mengendalikan diri pada titik kritis dalam proses perdamaian tersebut. Permainan akhir secara politik saja bakal cukup sulit, akan tetapi kecuali seluruh pihak bertindak hati-hati, kesepakatan dapat runtuh jauh sebelum itu.
Jika perdamaian hendak diraih, maka beberapa permasalahan yang hanya berhasil ditutup-tutupi pada kesepakatan 9 Desemberes perlu ditanggulangi. Yang terpenting adalah insentif apa yang dapat diberikan kepada GAM agar dapat ikut serta dalam proses politik secara adil dan demokratis. Hal-hal yang tidak mungkin, bila dilihat dari kedua ujung spektrum politik, adalah referendum tentang otonomi, serta penerapan UU nasional tentang partai politik bagi Aceh. Ada beberapa alternatif yang terselip diantara keduanya. Salah satunya adalah kembali kepada saran di Januari 2001 agar GAM diizinkan mendaftarkan diri sebagai partai politik dari propinsi. Prinsip partai lokal dari Aceh harus diterima dahulu, sementara permasalahan mengenai apakah partai GAM dapat menjalankan kampanye berdasarkan platform kemerdekaan lebih diperhalus lagi. Perlu ditemukan sebuah rumusan yang memungkinkan platform kemerdekaan didalam konteks penerimaan otonomi untuk kurun waktu yang panjang. Untuk itu, contoh Quebec dan Scotlandia dapat dijadikan model. Namun demikian, seorang pejabat pemerintah memberi tahu ICG bahwa perubahan dalam UU pemilihan nasional yang mengizinkan terbentuknya partai lokal di Aceh “terus terang, mustahil”. Iapun mencatat bahwa setiap perubahan terhadap UU otonomi harus disetujui DPR, dan menenenggarai bahwa hal ini bakal menghambat setiap perubahan yang luas.48 Pada saat yang bersamaan, perlu adanya upaya intensif untuk memastikan agar rancangan peraturan (qanun) tentang pemilihan langsung pejabat setempat, termasuk bupati dan walikota, tidak di peti eskan pada DPRD tingkat propinsi. (Pemilihan langsung terhadap pemerintahan memang diatur dalam UU No.18, namun mulai berlaku lima tahun setelah UU disahkan, artinya setelah masa jabatan Abdullah Puteh selaku gubernur saat ini.) Secara prinsip, para pejabat setempat termasuk gubernur menyetujui hal itu, namun menurut salah seorang sponsor kepada ICG pada bulan Januari, ia 48
Wawancara ICG, Jakarta, 25 Februari 2003.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
tidak berharap bisa melihat masalah itu dibicarakan paling tidak sampai Mei 2003. 49 Abdullah Puteh, yang secara luas dinilai menentang pemilihan langsung, sepakat untuk mendukung rancangan tersebut, namun selanjutnya menenggarai lebih banyak permasalahan lain yang menjadi prioritas lebih tinggi. 50 Namun demikian, pemilihan langsung terhadap bupati merupakan wahana lain bagi GAM untuk menempatkan calon-calonnya, disamping memastikan berdirinya pemerintahan setempat yang lebih bertanggung jawab. Beberapa dana dari donatur yang sudah ditujukan bagi Aceh dapat didaya gunakan untuk mengembangkan mekanisme yang menjamin pelaksanaan segera dari pemilihan lokal, jika dan bila peraturan tersebut disahkan. Permasalahan kedua adalah tentang peran polisi. Di Papua, Jenderal I Made Pastika pernah memprakarsai sebuah program untuk merekrut tenaga setempat untuk dijadikan kader polisi, dan di Aceh hal ini perlu dijadikan prioritas tinggi pula . Program pengrekrutan seyogyanya memungkinkan bekas anggota GAM yang tidak pernah tercatat sebagai pelaku kejahatan untuk direkrut. Ada kemungkinan bahwa reformulasi peran Brimob memang bisa berjalan, namun mengingat riwayatnya serta mendesaknya kebutuhan untuk memulihkan kredibilitas pemerintahan setempat, maka penarikan secara bertahap yang berujung dengan dipindahkannya seluruh anggota Brimob dari Aceh merupakan sasaran jangka panjang yang lebih baik. Keterlibatan HDC pada pembentukan opsi bagi Dialog Mewakili Seluruh Pihak sangat mendalam ketika laporan ini dicetak, dan yang hendak digarisbawahi oleh ICG hanyalah pentingnya membuka pembahasan tentang otonomi melampaui UU yang penuh kekurangan, serta memastikan agar agenda tetap fleksibel. Akhir kata, perdamaian di Aceh tidak akan kekal tanpa memperhatikan permasalahan keadilan dan HAM yang merupakan salah satu akar penyebab kegundahan orang Aceh terhadap pemerintah pusat. COHA tidak menyinggung soal HAM, dan menurut orang-orang yang hadir pada negosiasi, GAM lah yang menarik pasal tentang masalah itu dari rancangannya, setelah terjadi perselisihan dengan pihak pemerintah mengenai ganti rugi kepada para korban. Bisa jadi, setiap dorongan yang
49
Wawancara ICG, Banda Aceh, 26 Januari 2003. Qanun Pilsung Sangat Wajar, tapi…”, Kontras N°226, 2228 Januari 2003, hal.13. 50
Page 17
berkepanjangan untuk menuntut akuntabilitas terhadap pelanggaran di masa lalu pada masa yang sangat rapuh ini bakal mengikis perdamaian tanpa memajukan HAM, namun jika persoalan tersebut tidak pernah diperhatikan, maka pada satu saat akan kembali membayang-bayangi Aceh.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
IX. PERAN MENDESAK BAGI PARA DONATUR Sejumla h besar donatur yang berkomitmen untuk mendukung perdamaian serta rekonstruksi pasca konflik di Aceh telah memberi sejumlah saran yang sangat baik dalam laportannya kepada Consultative Group on Indonesia yang merupakan konsorsium para donatur. Titik pemusatannya saat itu adalah pada proyek-proyek jangka pendek maupun menengah; kebutuhan saat ini adalah untuk menentukan proyek-proyek darurat yang dapat mendukung perjanjian tersebut. Sebagaimana telah disinggung diatas, adalah sangat penting meningkatkan upaya intensif untuk mensosialisasikan kandungan perjanjian serta menjelaskannya secara mudah, agar diketahui apaapa saja yang diartikan, dan apa saja yang tidak diartikan. Laporan donatur memberi rekomendasi bagi pendanaan untuk melancarkan kampanye melalui media massa serta talk show radio, akan tetapi GAM mencapai massanya justru melalui perkumpulan atau da’wah pada mesjid-mesjid setempat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Aceh, bukan bahasa Indonesia, dan HDC pun perlu melakukan hal yang sama. Yang diperlukan bukan hanya pengarah media, namun juga ahli siasat diseminasi yang paham mengenai adat setempat serta dilengkapi staf Laporan donatur tersebut menyarankan untuk menelaah proyek-proyek yang dapat membantu membaurkan mantan pejuang kembali kedalam masyarakat. Persoalan inipun mendesak, serta dapat ditangani melalui bantuan yang ditujukan bagi zona perdamaian yang telah ditetapkan. Beberapa pejuang GAM dapat dibujuk untuk menjalani pekerjaan di masa damai, jika memang ada peluang, selain itu konon GAM secara lebih umum mengalami kesulitan mengupah pasukannya. Seorang tokoh di Banda Aceh menyarankan untuk mengidentifikasi perkebunan kopi dan kelapa sawit yang terlantar ketika terjadi konflik, yang mungkin dapat dioperasikan kembali agar tersedia pekerja an bagi ratusan orang Aceh. Bisa jadi ada kemungkinankemungkinan lainnya, namun sudah tidak ada waktu lagi untuk membuat evaluasi yang berkepanjangan. Jika ada rencana untuk menyediakan pekerjaan yang juga terbuka bagi mantan pejuang GAM, yang dapat segera diatur dan dilaksanakan tanpa mengubah skala upah maupun struktur pasar buruh, maka ada peluang
Page 18
untuk mempengaruhi persepsi-persepsi mengenai manfaat menyelenggarakan perdamaian Pada sektor pemerintahan dan perencanaan umum, para donatur berhasil mengidentifkasi berbagai proyek jangka pendek dan jangka menengah, namun tidak disebut-sebut mengenai proyek darurat. Adalah mendesak untuk menunjukkan bahwa pemerintah propinsi dapat, dan akan terbuka bagi pemeriksaan. Para jurnalis setempat tengah berupaya mengungkapkan siapa saja yang telah menerima kontrak-kontrak yang semuanya senilai Rp.700 milyar (kurang lebih US$79 juta) yang dialokasikan bagi pendidikan, nilai masing-masing kontrak, proyek apa saja yang tercakup serta dimana lokasi proyek, dan bagaimana proyek tersebut dilaksanakan. Akan lebih bermanfaat jika ada tekanan dari para donatur dalam memperoleh informasi serta bantuan kepada para jurnalis untuk menganalisa informasi itu. Sebagai proyek darurat, hal itu memang tidak akan membantu kredibilitas pemerintahan setempat; justru sebaliknya yang bakal terjadi. Akan tetapi hal itu dapat menjadi contoh nyata kepada publik bagaimana perdamaian mampu memberi tekanan bagi terwujudnya transparansi keuangan. Dalam sebuah pernyataan pers awal, JSC mengumumkan bahwa pihaknya akan menyelidiki laporan-laporan mengenai pungli yang terjadi sepanjang jalan utama, yang sebagian besar dilakukan oleh Brimob dan tentara setempat. Namun pada kenyataannya hal itu tidak mampu untuk menghentikan praktek tersebut. Sama dengan hal-hal lainnya, pungli tersebut senantiasa mengingatkan orang pada kehadiran aparat keamanan yang dibenci. (GAM pun melakukan pungli, namun tidak sesering polisi.) Jika ada proyek darurat yang dirancang untuk membebaskan bahkan satu bagian besar saja dari jalan Medan-Banda Aceh dari praktek pungli, hal itu pun akan dilihat sebagai salah satu manfaat nyata dari perdamaian. Pengadilan pun perlu segera diperhatikan, selain itu dapat menjadi proyek percobaan yang berguna untuk memulihkan fungsi pada salah satu pengadilan yang kini non aktif, disertai bantuan untuk segala sesuatunya, mulai dari menjamin adanya personil yang memenuhi syarat, memberi prioritas bagi berbagai perkara, hingga menempatkan peralatan dasar. Namun demikian, terbentuknya dengan segera pengadilan syariah yang pertama di Aceh, serta ketidakpastian sekitar wewenang yang bakal dimiliki pengadilan negeri yang lama, akan mempersulit
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
setiap pemusatan perhatian terhadap penerapan kedilan. Seorang anggota DPR bertutur kepada ICG bahwa dalam penilaiannya pengadilan syariah akan memiliki wewenang atas semua orang Muslim untuk segala perkara, termasuk perkara pidana, dan bahwa pengadilan negeri yang ada sekarang hanya menangani perkara yang melibatkan non Muslim. Kemudian ia merenung sejenak dan selanjutnya berkata alangkah lebih baik jika penduduk dapat memilih pengadilan mana yang mengadili perkaranya. 51 Jelas sudah bahwa masih banyak hal yang perlu diatur, dan bahkan orang Aceh yang paling mengetahui pun masih dibuat bingung mengenai bagaimana sistem hukum ganda tersebut dapat berjalan.
51
Wawancara ICG, 8 Februari 2003.
Page 19
X.
AKIBAT DARI KEGAGALAN
Para donatur dapat menjalani peran yang sangat berguna, namun jatuh bangunnya perjanjian ini tergantung dari sikap pihak-pihak yang terlibat, serta sejauh mana pemerintah mampu meyakinkan penduduk Aceh untuk mencoba menempuh otonomi. Selain itu kami senantiasa perlu mengingat apa saja yang menjadi akibat dari kegagalan COHA. q
Timbulnya kembali kekerasan bakal emnghapus kemungkinan keterlibatan donatur besar dalam kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi, sementara keterlibatan tersebut saat ini tampaknya merupakan satu-satunya harapan untuk mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas pada pemerintahan setempat.
q
Jika GAM dipandang sebagai pihak pengrusak, apakah hal itu tepat atau tidak, tekanan internasional terhadap pemerintah untuk menahan diri agar tidak melakukan penyerangan akan berkurang; selain itu tekanan itu tidak banyak mempengaruhi sebuah pemerintahan di Jakarta yang menjadikan kesatuan nasional sebagai satu-satunya platform yang nyata. GAM akan kehilangan seluruh legitimasi internasional yang dimilikinya, paling tidak dengan negara-negara yang telah mendukung negosiasi selama tiga tahun terakhir, selain itu minat untuk mendesak agar negosiasi dibuka kembali bersama pemain yang sama bisa menurun.
q
TNI perlu memahami bahwa GAM masih bisa memperoleh manfaat politik dari sebuah penyerangan militer. Tidak diragukan TNI memiliki kemampuan lebih besar untuk menghantam GAM dari yang telah dilakukannya hingga saat ini; di masa la lu, kepentingan ekonomi pihak militer setempat diuntungkan dengan memelihara konflik pada kadar yang rendah tanpa menghancurkannya. Namun demikian setiap upaya untuk membasmi GAM, yang keberhasilannya masih diragukan dalam keadaan terbaik sekalipun, akan mengakibatkan korban pihak sipil yang besar. TNI, dan bukan GAM yang bakal dipersalahkan oleh penduduk yang jenuh perang, yang tidak pernah merasakan keadilan atau melihat akuntabilitas atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam operasi-operasi terdahulu, sebaliknya justru dapat meningkatkan dukungan bagi kemerdekaan.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
XI. KESIMPULAN Rekomendasi yang terpenting kepada kedua belah pihak adalah untuk tetap menekuni tahap pelaksanaan selama lima bulan yang tengah berjalan hingga tuntas, sementara menahan diri untuk tidak melakukan tindakan yang melanggar semangat, jika bukan kata, dari perjanjian tersebut. Namun demikian, beberapa permasalahan yang lebih pelik perlu ditanggulangi. Pada banyak daerah, penduduk telah kehilangan seluruh kepercayaan terhadap pemerintah. Hal ini tidak dapat dipulihkan hanya dengan disahkannya UU otonomi di Jakarta, serta peningkataan dana yang mengalir ke dalam anggaran propinsi atau kabupaten yang belum tentu mewujudkan perbaikan dalam taraf kehidupan penduduk Aceh biasa. Pemerintah Indonesia perlu segera memberikan perhatian mendesak ubtuk menawarkan insentif yang lebih realistis kepada GAM daripada yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini harus mencakup wawasan mengenai partai politik setempat, sekalipun pemerintah kini menolaknya, sesuai yang digariskan pada pembicaraan Januari 2001 antara GAM dan pemerintah Perlu adanya perbaikan yang cukup besar dalam pemerintahan setempat. Selama kredibilitas pemerintahan NAD masih sangat rendah, akan sulit meyakinkan penduduk Aceh mengenai manfaat otonomi – yang dalam keadaan sebaik-baiknya pun masih merupakan upaya jangka panjang. Khususnya, perlu diperhatikan agar ditingkatkan transparansi keuangan pada pemerintahan propinsi dan kabupaten, serta penyelidikan terhadap penentuan dan pela ksanaan kontrak untuk proyek pemerintah. Pada akhirnya, pemerintahan yang buruk bisa merupakan hambatan yang sama besar seperti perbedaan antara GAM dan pemerintah, dalam permainan akhir politik. Jakarta perlu menghindari terjadinya kerancuan antara penolakan terhadap UU No.18 tentang Otonomi Khusus, yang masih banyak kekurangannya, dengan penolakan terhadap prinsip otonominya sendiri. Kiranya ada manfaat dalam mendukung penyelenggaraan survei terhadap opini masyarakat pada daerah yang paling dahsyat terkena konflik, tentang apa yang diyakini oleh warga Aceh dapat diraih dengan kemerdekaan. Jika diantara jawabannya termasuk keamanan pribadi, bebas dari rasa takut, keadilan, serta peningkatan taraf
Page 20
kehidupan, hal itu dapat dijadikan titik tolak untuk mengupayakannya didalam wewenang Indonesia, kemudian menjadikannya masukan dalam membuat formulasi kebijakan. Adalah mendesak untuk memanfaatkan pemikir-pemikir Indonesia terbaik, guna mengembangkan sebuah rencana untuk memulihkan kepercayaan terhadap perangkat hukum di Aceh, serta memberi andil yang nyata didalamnya kepada warga Aceh. Masalahnya bukan semata-mata menyangkut peningkatan pengiriman jumlah hakim dan jaksa ke pengadilan negeri. Adapun perlu ditelaah mengapa cara-cara pengadilan setempat atau pengadilan adat dipandang lebih efektif ketimbang apapun yang disajikan oleh negara. Pemda maupun pemerintah pusat perlu bekerjasama dengan erat bersama Polri dan TNI dalam memberlakukan larangan terhadap praktek pungli disepanjang jalanan secara lebih ketat. HDC secara tepat telah mengidentifikasi cara-cara mengakhiri berbagai bentuk pungli untuk ditempatkan sebagai prioritas, namun tugas itu tidak dapat dilakukannya sendiri. Jika Polri di Jakarta, khususnya, menjadikan hal ini sebagai prioritas, serta berhasil mengakhiri praktek tersebut, maka citra polisi di Aceh dapat diubah jauh melebihi cara lain. 52 Jakarta pun perlu memberi dorongan kuat kepada DPRD Aceh agar menempatkan masalah qanun tentang pemilihan langsung pejabat daerah, termasuk bupai dan walikota, sebagai prioritas tinggi. Pada Januari 2003 para anggota DPRD sepakat menganut undang-undang tersebut, namun agaknya qanun lain lebih diprioritaskan, selain itu baik gubernur maupun anggota kunci DPRD tampaknya kurang bersemangat memajukan peraturan tersebut. Pemerintah hendaknya memastikan agar bantuan kemanusiaan ataupun bantuan lainnya yang disediakan pemerintah pusat sedapat mungkin tidak disalurkan melalui pemerintah propinsi, melainkan melalui sebuah badan khusus yang dibentuk oleh Jakarta yang berkomitmen untuk mengungkapkan seluruh transaksi yang terjadi secara terbuka, serta 52
Untuk memahami kesulitan yang dihadapi dalam pembersihan demikian, lihat ICG Report, Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace, op. cit., hal. 18. Pada tahun 2001 Kapolda setempat menginbau masyarakat untuk melaporkan nama-nama oknum polisi yang bertanggungjawab atas pungli tersebut, namun menurut seorang pengemudi, bahkan melirik kearah tanda pengenal petugas polisi yang bersangkutan berarti mengundang pemukulan.
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
mengadakan evaluasi berkala, yang juga dipaparkan kepada masyarakat, tentang bagaimana dana dibelanjakan. GAM pun perlu mengambil langkah-langkah mendesak jika menginginkan proses perdamaian bertahan. Ini berarti tidak saja menghindari jenis pelanggaran seperti yang dipantau oleh Joint Security Committee, melainkan juga menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan pro-kemerdekaan, termasuk unjuk rasa, yang mengisyaratkan kepada pemerintah bahwa GAM memanfaatkan penghentian permusuhan untuk melakukan konsolidasi terhadap dukungan politik dan militer. Kelompok tersebut pun hendaknya memberi perhatian cermat terhadap pembicaraan Januari 2001, ketika “Pemahaman Sementara” mengenai proses demokrasi tercetus, dan bagaimana pembicaraan tersebut dapat diterjemahkan menjadi program yang kongkret bagi pengubahan GAM menjadi sebuah partai politik, melalui cara yang tidak menyangkut referendum namun tidak akan pula mengubah jatidirinya secara total. Catatan GAM sendiri terhadap perlakuannya kepada penduduk kurang baik. GAM perlu memperhatikan lebih cermat masalah pungli terhadap warga setempat yang dilakukan anggotanya, serta mengupayakan untuk mengakhiri praktek tersebut. Perbedaan yang digariskan GAM antara pajak nanggroe atau pajak negara dengan pungli tidaklah selalu tegas Beberapa langkah dapat ditempuh oleh para donatur termasuk mendanai penguatan segera terhadap satuan hubungan media dan masyarakat HDC agar terjadi sosialisasi yang lebih langsung, luas dan tanpa kecondongan mengenai kesepakatan tersebut, disampaikan dalam bahasa Aceh, dan dengan gaya dan format yang dapat menarik jumlah pendengar yang lebih besar.53 Dana dari para donatur hendaknya menghasilkan manfaat perdamaian dengan segera pada masyarakat yang terkena dampak konflik. Bank Dunia maupun berbagai tim donatur telah mengidentifikasi beberapa inisiatif yang berguna, namun pada masa beberapa bulan berikut, tekanan
53
Hal ini dapat dikembangkan berdasarkan rekomendasi yang telah disamp aikan para donatur: “Support for the Peace Process: Elements of an Immediate Response”, di Bank Dunia, “Promoting Peaceful Development in Aceh”, Brief for the Consultative Group on Indonesia, Januari 2003, hal.3.
Page 21
hendaknya diberikan bagi proyek-proyek terkemuka yang dapat menyokong kesepakatan tersebut. Para donatur hendaknya juga bekerjasama dengan pemerintah daerah dan pusat untuk menyerap pejuang GAM sebagai tenaga kerja, dengan cara yang tidak menimbulkan distorsi ekonomi namun dapat menyajikan alternatif ekonomi ketimbang berperang. Donatur pun harus siap membantu dalam pelaksanaan pemilihan langsung terhadap pejabat daerah, jika dan apabila qanun tentang pemilihan langsung mulai berlaku. Sebagian besar donatur yang bersikap was-was terhadap pemerintah NAD, secara tepat tengah menemukan mekanisme lain untuk menyalurkan bantuan ke Aceh. Mereka mungkin dapat mempertimbangkan membuka kantor multi-donatur di Aceh yang dapat dengan segera membantu memantau pelaksanaan proyek serta memastikan agar standar transparansi yang dituntutnya dari pemerintah setempat pun dipenuhi.
Jakarta/Brussels, 27 Februari 2003
Aceh: A Fragile Peace ICG Asia Report N°47, 27 February 2003
Page 22
APPENDIX A MAP OF INDONESIA