OPTIMALISASI ZAT PENGATUR TUMBUH NAA DAN BAP TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN TANAMAN LIDAH BUAYA OPTIMIZATION OF PLANT GROWTH REGULATOR’S CONCENTRATION NAA AND BAP ON THE GROWTH OF CROCODILE TONGUE EXPLANT Maria Theresia Darini Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Unversitas Sarjanawiyata Tamansiswa E-mail
[email protected]
ABSTRACT The use of optimal concentration of plant growth regulator, NAA and BAP on the growth of crocodile tongue, has been done in tissue culture laboratory, Faculty of Agriculture, Sarjanawiyata Tamansiswa University. The experiment is factorial 4 x 3, arranged in a completely randomized design with three replications. The first factor was concentration of NAA consisting of four levels: 0.50 ppm (N 1), 1.00 ppm (N2), 1.50 ppm (N3) and 2.00 ppm (N4). The second factor was concentration of BAP consisting of four levels : 0.50 ppm (B1), 1.00 ppm (B2), 1.500 ppm (N3) and 2.00 ppm (N4). The variables observed were : date of shoot emerge, number and height of shoots, number of leaves and roots, root length, shoot and root fresh weight, shoot – root fresh weight ratio and viability potensial of the explant. There were interaction effect between NAA and BAP concentration on the number of roots and root fresh weight, but no interaction effects on other variables observed. The combination NAA of 0.500 ppm with BAP of 1.00 ppm gave the height number and fresh weight of roots. BAP concentration of 1.00 ppm could increase the growth of the explant. Key words: plant growth regulator, NAA, BAP, explant of crocodile tongue
Published in AGROS Scientific Journal of Agricultural Science. Vol. 13 No. 2, Juli 2011: 230-237. ISSN 1411-0172. Page 1
INTISARI Penelitian yang berjudul Optimalisasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP terhadap pertumbuhan eksplan tanaman lidah buaya, telah dilakukan di laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian UST. Penelitian merupakan percobaan laboratorium yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap faktorial tiga ulangan. Faktor I : konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA, terdiri dari empat aras 0,50 ppm (N1); 1,00 ppm (N2); 1,50 pm (N3) dan 2,00 ppm (N4). Faktor II adalah konsentrasi zat pengatur tumbuh BAP yang terdiri dari empat aras yaitu 0,50 ppm (B1); 1,00 ppm (B2); 1,50 ppm (B3) dan 2,00 ppm (B4), sehingga diperoleh 16 X 3 kombinasi perlakuan. Adapun variable pengamatan meliputi waktu tumbuh tunas, jumlah tunas, tinggi tunas, jumlah daun, jumlah akar, panjang akar, bobot segar tunas, bobot segar akar, rasio bobot segar tunas dengan akar dan daya tumbuh eksplan. Berdasarkan analisis hasil terjadi interaksi antara perlakuan konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP terhadap variabel jumlah akar dan bobot segar akar, sedangkan variabel lain tidak terjadi interaksi. Kombinasi perlakuan konsentrasi 0,5 ppm NAA dan 1,00 ppm BAP menghasilkan jumlah akar terbanyak dan bobot segar akar tertinggi. Zat pengatur tumbuh BAP pada konsentrasi 1,00 ppm meningkatkan pertumbuhan tunas eksplan tanaman lidah buaya. Kata kunci : zat pengatur tumbuh NAA dan BAP, eksplan lidah buaya.
PENDAHULUAN Tanaman lidah buaya merupakan salah satu komoditas hortikultura daerah tropis yang mempunyai peluang besar untuk dikembangkan di Indonesia sebagai usaha agribisnis . Salah satu sentra produksi lidah buaya di Indonesia adalah Kalimantan Kabupaten Pontianak. Realisasi ekspor pelepah lidah buaya 3.066.47 ton / tahun, dengan negara tujuan Malaysia, Hongkong, Singapura dan sebagian dipasarkan di dalam negeri 1021,2 ton/tahun (Sulaeman, 2005). Nilai penjualan komoditas tanaman lidah buaya di dunia mencapai US $ 60 milyar/tahun (Anonim, 2006). Bagian dalam daun lidah buaya yang berwarna putih jernih disebut gel, di dalam gel ini mengandung 96 % air, dan 4 % elemen. Elemen- elemen ini tersusun oleh karbohidrat 0,04 %, lemak 0,06 %, protein 0,04%, 17 asam amino essensiil , 8 macam enzim, 4 macam vitamin dan 11 macam mineral (Akinyele and Odiyi, 2007 ; Kane, 2007). Selain itu gel ini juga mengandung metabolit sekunder yang umumnya dapat berperan sebagai obat, berupa antraquinon, aloin atau barbaloin (Anggraeni, 2007), sterol dan saponin ( Anonim, 2007 ), Published in AGROS Scientific Journal of Agricultural Science. Vol. 13 No. 2, Juli 2011: 230-237. ISSN 1411-0172. Page 2
serta kardiak glukosida (Anonim, 2008 ). Oleh karena itu tanaman ini dapat berfungsi sebagai tanaman hias, makanan kesehatan dan farmasi ( Kane, 2007 ; Lewey, 2007), kosmetik (Anonim, 2007 ) dan obat ( Bunyapraphatsara et al.,2007 ; Tenny et al.,2005 ; Yongchiyunda et al.,2007 ). Berdasarkan manfaat maka tanaman ini ditetapkan sebagai tanaman multifungsi dan tanaman abadi atau tanaman yang menakjubkan (Miracle Plant) (Boundrea and Beland, 2006). Perbanyakan vegetatif yang terbaru (mulai 1962) yaitu kultur jaringan. Kultur jaringan (Tissue Culture) yaitu membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya. Keunggulan metode kultur jaringan dapat menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak, sifat seragam dan dalam waktu singkat ( Nasir, 2002; Altman, 2003; Bhojwani and Soh, 2004 ). Media tanam kultur jaringan adalah suatu media di mana bahan tanam ditempatkan agar dapat tumbuh menjadi tanaman baru melalui proses pembentukan kalus, differensiasi dan organogenesis. Oleh karena itu media tanam kultur jaringan memerlukan persyaratan kandungan unsur-unsur hara berupa garam anorganik, bahan organik, vitamin dan zat pengatur tumbuh. Perkembangan kalus dikendalikan oleh zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam medium, khususnya zat pengatur tumbuh golongan auksin dan sitokinin. Perubahan kadar zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi kalus apakah akan membentuk tunas atau akar. Keseimbangan hormon yang diperlukan merupakan hal penting untuk setiap spesies dan sering sangat beragam antara kultivar satu dengan yang lain. Jenisjenis zat pengatur tumbuh yang banyak beredar dari jenis auksin dapat berupa Indole Acetic Acid (IAA), Naphthalene Acetic Acid (NAA), Indole Butiric Acid (IBA) dan 2.4. Dichlrophenoxyacetic Acid (2.4.D). Jenis sitokinin dapat berupa kinetin, zeatin dan Benzylamino Purin (BAP) ( Moore, 1999; Nasir, 2002). Adapun tujuan dalam penelitian ini : 1. Untuk mengetahui konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP yang optimum dalam pertumbuhan eksplan tanaman lidah buaya. 2. Untuk mengetahui interaksi antara zat pengatur tumbuh NAA dan BAP pada pertumbuhan eksplan tanaman lidah buaya.. BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan : bibit lidah buaya (tinggi 15 cm, dengan 8 daun), larutan stock makro dan mikro MS, stock besi, stock mioinositol, larutan stock vitamin MS, agar, sukrosa, zat pengatur tumbuh NAA dan BAP serta aquades. Bahan sterilisasi detergen, clorox dan alkohol. Adapun alat yang digunakan merupakan peralatan laboratorium kultur jaringan. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap faktorial, dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama konsentrasi NAA (N) terdiri dari 4 aras yaitu 0, 50 ppm (N1); 1.00 ppm (N2); 1,50 ppm (N3) dan 2,00 ppm (N4). Faktor ke dua konsentrasi BAP (B) terdiri dari 4 aras yaitu; 0,50 ppm (B1); 1,00 ppm (B2); 1,50 ppm (B3) dan 2,00 ppm (B4), sehingga diperoleh 16 unit kombinasi perlakuan. Tiap unit perlakuan (2 botol media ) ditanam 5 eksplan meristem batang lidah buaya. Pelaksanaan Penelitian: Sterilisasi Alat, mempersiapkan Media MS Baku dengan volume 2400 ml, sterilisasi dan penanaman eksplan (bahan tanam) pada media. Pengamatan Published in AGROS Scientific Journal of Agricultural Science. Vol. 13 No. 2, Juli 2011: 230-237. ISSN 1411-0172. Page 3
dilakukan terhadap sampel setelah 2 (dua) bulan meliputi variabel : Waktu munculnya tunas (hst), jumlah tunas, jumlah daun, tinggi tunas, jumlah akar, panjang akar, bobot segar tunas, bobot segar akar, ratio bobot segar tunas dan akar dan daya hidup eksplan (%). Analisis hasil dengan sidik ragam pada jenjang nyata 5%, kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test ( DMRT) pada jenjang nyata 5 %.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1: Rerata Hasil Pengamatan tidak terjadi interaksi antara perlakuan konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP, pada variable – variable. Perlakuan No
Variabel Pengamatan
N1
N2
N3
N4
B1
B2
B3
B4
1
Waktu tunas tumbuh (hr)
8,25 a
8,41 a
8,5 a
8,16 a
6,00 S
7,41 r
9,25 q
10,66 p
2
Jumlah tunas
2,00 a
2,00 a
1,83 a
1,75 a
1,16 R
2,50 p
2,25 p
1,66 p
3
Jumlah daun
3,08 a
3,00 a
3,00 a
3,00 a
2,33 R
3,41 p
3,25 p
3,08 P
4
Panjang akar (cm)
6,35 a
6,15 ab
6,00 ab
5,70 b
3,81 R
8,48 p
6,02 q
5,88 q
5
Tinggi tunas (cm)
4,06 a
3,70 a
3,06 b
2,70 b
3,40 P
3,41 p
3,43 p
3,28 p
6
Bobot segar tunas (g)
3,33 ab
3,78 a
3,50 ab
3,13 b
3,15 Pq
4,46 p
3,46 pq
2,66 Q
7
Rasio bobot segar tunas dan akar
2,81 a
3,10 a
3,00 a
2,93 a
2,91 p
2,98 p
3,05 p
2,89 q
8
Daya tumbuh planlet (%)
78,80 75,25 a a
75,25 a
75,25 a
72,50 Q
89,00 p
72,50 69,75 q Q
Published in AGROS Scientific Journal of Agricultural Science. Vol. 13 No. 2, Juli 2011: 230-237. ISSN 1411-0172. Page 4
Tabel 2: Rerata Jumlah Akar / eksplan B1
B2
B3
B4
Rerata
N1
5,00 ab
5,33 a
5,33 a
5,00 ab
5,16
N2
5,33 a
3,66 cd
2,66 d
4,33 bc
4,00
N3
4,33 bc
3,33 cd
2,66 d
4,00 c
3,75
N4
4,00 c
3,66 cd
3,33 cd
4,00 c
Tabel 3: Rerata Bobot Segar Akar/eksplan (g) Perlakuan B1 B2
B3
(+)
B4
Rerata
N1
4,35 e
9,30 a
5,90 c
4,70 d
6,50
N2
7,20 bc
6, 90 bc
6,80 bc
4,60 d
6,10
N3
5,80 c
7,30 b
5,55 c
4,60 d
5,80
N4
5,25 c
6,90 bc
4,65 d
4,55 d
5,30
Rerata
5,40
7,60
5,70
4,60
(+)
Keterangan : Angka rerata yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak ada beda nyata pada uji DMRT taraf signifikasi 5%, (+) menunjukkan interaksi antara perlakuan. Berdasarkan hasil analisis terjadi interaksi antara perlakuan konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP terhadap variabel jumlah akar dan bobot segar akar, sedangkan terhadap variabel yang lain tidak terjadi interaksi. Terjadi interaksi antara perlakuan yang berarti adanya saling pengaruh antara zat pengatur tumbuh NAA dan BAP. Jumlah akar terbanyak diperoleh pada kombinasi zat pengatur tumbuh NAA pada konsentrasi rendah ( 0,50 dan 1,00 ) ppm dan BAP pada semua tingkat konsentrasi. Hal ini diduga konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA tersebut termasuk tinggi pada eksplan tanaman lidah buaya, sehingga akan menyebabkan peningkatan jumlah akar. Pada kombinasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP terhadap bobot segar akar, diperoleh bahwa bobot segar akar tertinggi pada kombinasi 0,5 ppm NAA dan 1,00 ppm BAP, sedang hasil terendah pada kombinasi NAA dan 2,00 ppm BAP. Hal ini membuktikan bahwa zat pengatur tumbuh NAA, mempengaruhi aktivitas pertumbuhan akar. Dengan demikian hasil tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian Emawati (2005 ); Malia (2005 ), yang menyatakan bahwa aktivitas rangsangan zat pengatur tumbuh tidak bekerja sendiri, tetapi saling mempengaruhi, dan terjadi pada pertumbuhan tunas. Dalam laporan Hoque et al.(2004) menyatakan pertumbuhan terbaik dari eksplan Published in AGROS Scientific Journal of Agricultural Science. Vol. 13 No. 2, Juli 2011: 230-237. ISSN 1411-0172. Page 5
embrio tanaman lentil (Lens culinaris Medic ) pada kombinasi 1,07 ppm NAA + 2,22 ppm BAP + 2,32 ppm Kinetin. Tidak terjadi interaksi antara konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA dan BAP terhadap waktu tumbuh tunas. Perlakuan konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA tidak mempengaruhi waktu tumbuh tunas, sedangkan konsentrasi BAP berpengaruh. Waktu tumbuhnya tunas tercepat (6,00 hari ) pada perlakuan konsentrasi 1,00 ppm BAP dan paling lambat (10,66 hari) konsentrasi 2,00 ppm. Hal ini terjadi sesuai dengan aktivitas zat pengatur tumbuh, pada eksplan tanaman lidah buaya bahwa dalam konsentrasi rendah dapat memacu pertumbuhan, sedang dalam konsentrasi tinggi menghambat pertumbuhan. Pertumbuhan tunas sangat dipengaruhi oleh aktivitas zat pengatur tumbuh BAP, sedangkan zat pengatur tumbuh NAA kurang berpengaruh terhadap pertumbuhan tunas, sesuai dengan hasil penelitian Malia (2005), bahwa zat pengatur tumbuh BAP mempercepat pertumbuhan tunas. Penggunaan zat pengatur tumbuh NAA pada berbagai tingkat konsentrasi tidak mempengaruhi pertumbuhan jumlah tunas eksplan, sedangkan konsentrasi zat pengatur tumbuh BAP berpengaruh terhadap jumlah tunas. Jumlah tunas eksplan tertinggi diperoleh pada konsentrasi 1,00 dan 1,50 ppm, sedang hasil jumlah tunas terendah pada konsentrasi BAP 0,50 ppm. Hasil ini dapat terjadi karena zat pengatur tumbuh NAA mempunyai aktivitas pada pertumbuhan akar, sedangkan hormon tumbuh BAP pada konsentrasi cukup lebih berperan memacu pertumbuhan tunas (batang), sedangkan pada konsentrasi terlalu rendah atau tinggi zat pengatur tumbuh BAP justru menghambat pertumbuhan tunas. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Avivi dan Ikrarwati (2004), bahwa pertumbuhan tunas eksplan pisang abaca terbaik pada zat pengatur tumbuh BAP konsentrasi 5,00 ppm. Demikian juga pada variabel jumlah daun, zat pengatur tumbuh NAA pada berbagai konsentrasi tidak berpengaruh, sedangkan zat pengatur tumbuh BAP berpengaruh. Jumlah daun tertinggi diperoleh pada zat pengatur tumbuh BAP konsentrasi 1,00; 1,50 dan 2,00 ppm, sedangkan jumlah daun terendah diperoleh pada zat pengatur tumbuh BAP dengan konsentrasi 0,50 ppm. Hal ini sesuai dengan peran zat pengatur tumbuh pada konsentrasi yang tepat akan memacu peningkatan pertumbuhan batang (daun). Pada perlakuan konsentrasi zat pengatur tumbuh NAA berpengaruh terhadap tinggi tunas, konsentrasi NAA 0,50; 1,00 dan 1,50 ppm menghasilkan tunas tertinggi, sedang tunas terendah diperoleh pada konsentrasi 2,00 ppm. Dengan zat pengatur tumbuh BAP berpengaruh terhadap tinggi tunas, hasil tunas tertinggi diperoleh pada konsentrasi 1,00 ppm, sedangkan hasil terendah diperoleh pada konsentrasi 0,50 ppm. Hal ini sesuai dengan peran masing – masing zat pengatur tumbuh, bahwa NAA (golongan auksin) cenderung berperan memacu daerah perakaran, dan zat pengatur tumbuh BAP (golongan sitokinin) memacu pertumbuhan tunas. Dalam laporan Avivi dan Ikrarwati (2004), bahwa pada eksplan pisang abaca tunas tertinggi diperoleh pada BAP konsentrasi 5,00 ppm. Hal ini diduga bahwa konsentrasi tersebut baik pada eksplan lidah buaya merupakan konsentrasi yang tepat, sehingga berperan dalam memacu pertumbuhan tunas. Tidak terjadi interaksi antara zat pengatur tumbuh NAA dan BAP pada variabel panjang akar eksplan tanaman. Zat pengatur tumbuh NAA berpengaruh terhadap panjang akar, akar terpanjang diperoleh pada konsentrasi 0,50 dan 1,00 ppm, sedang akar terpendek diperoleh pada konsentrasi 1,50 dan 2,00 ppm. Hal ini sesuai dengan laporan Avivi dan Published in AGROS Scientific Journal of Agricultural Science. Vol. 13 No. 2, Juli 2011: 230-237. ISSN 1411-0172. Page 6
Ikrarwati, bahwa akar terpanjang pada perlakuan NAA dengan konsentrasi 1,00 ppm, dan konsentrasi ini merupakan konsentrasi yang tepat untuk eksplan pisang dan lidah buaya, sehingga dapat meningkatkan perpanjangan akar. Hormon tumbuh BAP tidak berpengaruh terhadap panjang akar eksplan lidah buaya. Hal ini diduga karena peran zat pengatrur tumbuh BAP (golongan sitokinin) cenderung memacu pada petumbuhan tunas ( batang ). Tidak terjadi interaksi antara zat pengatur tumbuh NAA dan BAP terhadap hasil bobot segar tunas, bobot segar tunas tertinggi diperoleh pada konsentrasi 1,00 ppm dan hasil bobot segar terendah pada konsentrasi 2,00 ppm. Hal ini tidak sesuai dengan laporan Emawati (2005), bahwa terjadi interaksi antara zat pengatur tumbuh NAA dan BAP terhadap bobot segar tunas eksplan lidah buaya, bobot segar tunas tertinggi diperoleh pada kombinasi 0,50 ppm NAA dan 2,00 ppm BAP. Demikian juga laporan Hoque et al., (2004 ), bahwa pertumbuhan terbaik pada eksplan lentil pada kombinasi zat pengatur tumbuh 2,20 ppm BAP + 2,30 ppm Kinetin + 1,20 ppm NAA. Zat pengatur tumbuh BAP berpengaruh terhadap bobot segar tunas eksplan dah buaya. Bobot segar eksplan tertinggi diperoleh pada BAP konsentrasi 1,00 ppm, sedang bobot segar terendah diperoleh pada konsentrasi 2,00 ppm. Dengan demikian pada konsentrasi yang tepat zat pengatut tumbuh BAP dapat meningkatkan stimulasi pertumbuhan tunas melalui pembelahan sel. Perlakuan zat pengatur tumbuh NAA tidak berpengaruh terhadap rasio bobot segar tunas dan akar, sedangkan zat pengatur tumbuh BAP berpengaruh terhadap rasio terebut. Rasio bobot segar tunas dan akar tertinggi pada BAP konsentrasi 0,50 ; 1,00 dan 1,500 ppm, rasio terendah diperoleh pada perlakuan BAP dengan konsentrasi 2,00 ppm. Berdasarkan hasil rasio tersebut menunjukkan bahwa zat pengatur tumbuh BAP sangat berperan dalam memacu pertumbuhan tunas (batang). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Avivi dan Ikrarwati (2004 ) pada eksplan pisang abaca. Pada zat pengatur tumbuh NAA pada berbagai konsentrasi tidak berpengaruh terhadap terhadap daya tumbuh eksplan, sedangkan perlakuan zat pengatur tumbuh BAP berpengaruh terhadap daya tumbuh eksplan. Daya tumbuh eksplan tertinggi (89 %) diperoleh pada BAP dengan konsentrasi 1,00 ppm dan daya tumbuh terendah (69,75 %) diperoleh pada BAP konsentrasi 2,00 ppm. Hal ini diduga bahwa konsentrasi 1,00 ppm merupakan konsentrasi yang tepat sehingga sesuai dengan perannya sangat memacu pembelahan sel, sedangkan pada konsentrasi 2,00 ppm merupakan konsentrasi tinggi sehingga berubah peran menghambat pembelahan sel. KESIMPULAN Tidak terjadi interaksi antara perlakuan zat pengatur tumbuh NAA dan BAP terhadap variabel waktu tunas tumbuh, jumlah tunas, jumlah daun, tinggi tunas, panjang akar, bobot segar tunas, rasio bobot segar tunas dengan akar dan daya tumbuh eksplan, sedangkan variabel panjang akar dan bobot segar terjadi interaksi. Konsentrasi 0,50 ppm dan 1,00 ppm NAA berpengaruh terhadap pertumbuhan akar dan pertumbuhan tunas. Konsentrasi 1,00 ppm BAP berpengaruh terhadap pertumbuhan tunas dan akar.
Published in AGROS Scientific Journal of Agricultural Science. Vol. 13 No. 2, Juli 2011: 230-237. ISSN 1411-0172. Page 7
DAFTAR PUSTAKA Akinyele, B. O. and A .C. Odiyi, 2007. Comparative Study of Vegetative Morphology and Exiting Taxonomic Status of Aloe vera L. Journal of Plant Sciences 2 ( 5 ) :558563 ISSN 1816 – 49 Altman, A. 2003. Plant and Agricultural Biotechnology Revolution. In Agrobiotechnology and Plant Tissue Culture. Bhojwani, S. S. and Woong Young Soh. Published by Inc. Enfield, NH.USA. Printed in India Anggraini, S. A. 2007. Kajian Penggunaan Lidah Buaya ( Aloe vera L.). Diarsipkan dalam LAPORAN. Anonim, 2006. Nilai Penjualan Lidah Buaya US$ 60 Miliar/ tahun. Jakarta Badan Pengembangan Ekonomi Nasional Departemen Perdagangan.R. I. Anonim, 2007. Final Report on Safety Assessment of Aloe Extract Aloe leaf juice, Aloe flower extract, Aloe leaf polysaccharida, Aloe leaf juice extract. Published in International Journal of Toxicology.26 : 1 – 50. http:/ www.informaworld.com/smmp/content - db = all ? content= 10.1080/ 1091581070135118611/17/2008. Anonim, 2008. Aloe. From wikipedia. The free encyclopedia. http:/ en. Wikipedia. org wiki/ Aloe. 11/17/2008. Avivi, S. dan Ikrarwati, 2004. Mikropropagasi Pisang Abaca (Musa textilllis Nee) Melalui teknik Kultur Jaringan. Journal Ilmu Pertanian 11(2) : 27 – 34. Bhojwani, S. S. and W. Y. Soh, 2004. In Agrobiotechnology and Plant Tissue Culture. Published by Inc. Enfield, NH.USA. Printed in India Boundreau B. D. and F. A. Beland, 2006. An Evaluation of The Biologycal and Toxicology Propetis Aloe barbadensis, Aloe vera . Journal of Enviroment Sceince and Health Part C. 24 (1): 153 – 158. Bunyapraphatsara ,N., S. Jongchaiyudha, V. Rungpitarangsi and O. Chokechiyarauporn, 2007. Antidiabetic Activity of Aloe vera L. Juice II. Clinical Trial In New Cases of Diabetis Mellitus. Journal of Phytomedicine l 3 : 245 – 248. Emawati, 2005. Stimulasi Tunas Lidah Buaya (Aloe vera L.) Pada Beberapa Taraf Konsentrasi BAP dan 2. 4. D. Secara In Vitro . http://www.bdpunib.org.
Published in AGROS Scientific Journal of Agricultural Science. Vol. 13 No. 2, Juli 2011: 230-237. ISSN 1411-0172. Page 8
Hoque, M. I., F. Hassan. , H. Kiesecker and H. J. Jacobsen, 2004. Tissue Culture Studies in Lentil (Lens culinaris Medik). In Vitro Application in Crop Improvement. Science Publishers Enfield (NH) Plymount UK.273 – 284. Kane, E. A. 2007. Aloe for Acid Reflux You´ ve Seen Aloe Juice at the Health Food Store, Now learn how it helps heal acid reflux, also called heartburn. http: / findarticess. Cmp/ p/articles/mi – MOFKA/ 15 – 4 – 69/ ai – n 18791510.11/17/200 Lewey, S. 2006. Food Lectins in Health and Disease. An Introduction., file : // I ; /internet/ KYG. 34 Sya. Htm.part. htm. http : // www.the fooddoc. Com. Malia, A. 2005. Pertumbuhan Eksplan Lidah Buaya (Aloe vera L.) secara In Vitro Pada Beberapa Taraf Konsentrasi BAP. http://www.bdpunib.org. Moore, T. C. 1999. Biochemistry and Physiology of Plant Hormones. Springer – Verlag. New York Heidelberg Berlin Sulaeman, S. 2005. Model Pengembangan Agribisnis Komoditas Lidah Buaya (Aloe vera L.) Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian UKMK . http://www.deptan.go.id/info-daerah/kalbar/42 htm diakses 10 Agustus 2008 Tenny, S., E. Sari, dan K. Usri, 2005. Penggunaan Daun lidah buaya (Aloe vera ) untuk Pengobatan Stomatis Aftosa ( sariawan ) di desa Ciburial Kec. Cimenyan Kab. Bandung. Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Padjajaran. Yongchaiyudha, S., V. Rungpitarangsi, N. Bunyapraphatsara and O. Chokechayaranporn, 2007. Antidiabetic Activity of Aloe vera L. Juice I Clinical Trial In New cases of Diabetis Mellitus. Journal of Phytomedicine 3 : 241 -243.
Published in AGROS Scientific Journal of Agricultural Science. Vol. 13 No. 2, Juli 2011: 230-237. ISSN 1411-0172. Page 9