INDIKASI PRAKTIK DUMPING MENURUT KETENTUAN PERUNDANGAN INDONESIA oleh Putu Edgar Tanaya Ida Ayu Sukihana Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana
ABSTRACT Indications Dumping Practices Legislation Provisions According to Indonesia. The existence of fuzzy norms in the explanation of Act No. 7 of 1974 on Ratification of the Agreement Establishing the World Trade Organization. This paper describes the indications that can be used to categorize an act into the practice of dumping pursuant to the laws of Indonesia. In addition, this paper also discusses the forms of dispute resolution pursuant dumping laws and regulations of Indonesia. In writing scholarly journals used this type of research is normative research. Indication of the existence of dumping of imported goods has seen the export price of the goods is lower than the normal value and import of goods. Dispute resolution developed in General Agreement on Tariff and Trade (GATT) done by non-litigation and litigation. Key Words: Indications, Practice of Dumping, Laws ABSTRAK Indikasi Praktik Dumping Menurut Ketentuan Perundangan Indonesia. Adanya norma kabur dalam penjelasan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Tulisan ini menjelaskan tentang indikasi yang dapat digunakan untuk mengkategorikan suatu perbuatan kedalam praktik dumping menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia. Di samping itu, tulisan ini juga membahas mengenai bentuk penyelesaian sengketa praktik dumping menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia. Dalam penulisan jurnal ilmiah ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif. Indikasi akan adanya praktik dumping dilihat dari barang impor memiliki harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya dan impor barang. Penyelesaian sengketa yang dikembangkan dalam Persetujuan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan dilakukan dengan cara non litigasi dan litigasi. Kata Kunci: Indikasi, Praktek Dumping, Perundang-undangan I.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
1
Pembangunan ekonomi telah berhasil menumbuhkan dan mengembangkan berbagai sektor ekonomi utamanya sektor industri yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. persaingan antar pelaku usaha di dunia bisnis dan ekonomi adalah sebuah keharusan. Persaingan usaha di dunia merambah ke Indonesia yang memunculkan praktik dumping yang dapat mengancam terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kata lain hakikat dumping sebagai praktek curang bukan hanya karena dumping dipergunakan sebagai sarana untuk merebut pasar di negara lain. Praktek banting harga itupun dapat berakibat menggerogoti bahkan mematikan perusahaan domestik yang menghasilkan produk-produk sejenis.1 Sebagai tindak lanjut dari ratifikasi Persetujuan Pebentukan WTO sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, praktik dumping belum diatur dalam satu Undang-undang khusus, melainkan diatur dengan disisipkan dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabean (pasal 18 dan 20) dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Imbalan sebagai ketentuan materiil. Didalam hukum internasional, Indonesia mengikuti persetujuan Anti Dumping yang disebut dengan Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994 bahwa perlawanan diperbolehkan untuk diambil alih oleh suatu negara pengimpor sebagai cara mengadakan perbaikan atas kerugian yang diderita oleh usaha atau industri barang sejenis di dalam negeri.2 1.2 Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan jurnal ini adalah untuk mengetahui indikasi yang dapat digunakan untuk mengkategorikan suatu perbuatan kedalam praktek dumping, serta mengetahui bentuk penyelesaian sengketa praktik dumping menurut peraturan perundangundangan Indonesia. 1
Sukarmi, 2002, Regulasi Anti Dumping Di Bawah Bayang-bayang Pasar Bebas. Sinar Grafika, Bandung, Hal. 7. 2
Aprilia gayatri dan Femita Adriani, 2008, Tugas Hukum Perdagangan Internasional : Tuduhan Praktek Dumping Yang Dilakukan Indonesia Oleh Korea Selatan, Fakultas Hukum Padjajaran, Bandung, Hal.1.
2
II. ISI MAKALAH 2.1 METODE PENELITIAN Dalam penulisan jurnal ilmiah ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif. Praktik dumping di Indonesia sejauh ini diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabean dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang BMAD dan Bea Masuk Imbalan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Perundang-undangan (statute approach). 2.2 HASIL DAN PEMBAHASAN 2.2.1 Klasifikasi Praktik Dumping Menurut Ketentuan Undang-Undang Tentang Kepabean dan Peraturan Pemerintah Tentang Bea Masuk Anti Dumping Dalam penanganan kasus-kasus dumping terdapat beberapa peraturan perundangundangan nasional yang mengatur salah satunya adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan pada Pasal 1 ayat (1) mengatur bahwa ”Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu-lintas barang yang masuk atau keluar Daerah Pabean dan pemungutan Bea Masuk". Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan didalamnya mengatur mengenai Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). Dalam pengertian ini berarti terhadap barang impor yang dikenakan Bea Masuk Anti Dumping telah dianggap produsen barang tersebut telah melakukan dumping. Adapun dalam pasal 19 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1955 tentang Kepabeanan disebutkan bahwa Bea Masuk Anti Dumping dikenakan terhadap barang impor yang melakukan praktik dumping tersebut setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan pasal 1 butir 1 dapat diindikasi akan adanya praktik dumping adalah bilamana barang impor dengan tingkat ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekspor. Kendati demikian namun beberapa ketentuan dalam Peraturan pemerintah ini secara tegas mengisyaratkan mengenai perlindungan dan pengawasan oleh pemerintah terhadap keberadaan barang dumping tanah air 2.2.2 Bentuk Penyelesaian Praktik Dumping
3
Penyelesaian praktik dumping secara non litigasi berdasarkan penjelasan Undangundang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia disebutkan bahwa pada prinsipnya, masalah-masalah yang timbul diselesaikan secara bilateral antara negara-negara yang terlibat dalam persengketaan dagang melalui mediasi/konsultasi dan konsiliasi, serta hasilnya diberitahukan kepada GATT. Alternatif penyelesaian sengketa menurut pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, dan Abitrase. Selain secara non litigasi dapat ditempuh secara litigasi yang jauh lebih formal dan litigasi adalah penyelesaian sengketa yang diambil melalui jalur judicial settlement yang mempunyai sifat tribunal yaitu sifat seperti pengadilan pada umumnya. Disputte Settlement Body (Badan Penyelesaian Sengketa) yakni sebagai pengawas penyelesaian sengketa dalam GATT sekaligus menyelesaikan sengketa dumping. Disputte Settlement Body (DSB) juga memonitor pelaksanaan putusan dan merekomendasikan serta memiliki kekuasaan untuk mengesahkan retalisasi, jika suatu negara tidak mematuhi keputusan yang bedasar pada pasal XXII-XXIII GATT 1974. Dalam WTO, Dispute Settlement Body merupakan satu dari 4 organisasi utama yang merupakan konsekuensi fungsi WTO sebagai pengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan sebagaimana tercantum dalam Article III-Functions of the WTO dari Agreement of Estabilishing the World Trade Organization (WTO).3 III. KESIMPULAN Dari pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Indikasi akan adanya praktik dumping dapat dilihat dengan kriteria yaitu apabila barang impor memiliki harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya dan impor barang tersebut menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang 3
Faisal Salam, 2007, Penyelsaian Sengketa Bisnis Secara Nasional Dan Internasional, Mandar Maju, Bandung, Hal. 457.
4
memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut serta mengecam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut dan menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. 2. Penyelesaian sengketa yang dikembangkan dalam GATT dilakukan dengan cara non litigasi dan litigasi. adapun penyelesaian secara non litigasi terdiri dari : Negosisasi, Konsultasi, Arbitrase. sedangkan secara litigasi adalah penyelesaian sengketa yang diambil melalui jalur judicial settlement yang mempunyai sifat tribunal. penyelesaian dalam WTO adalah melalui Dispute Settlement Body atau badan penyelesaian sengketa memegang peranan paling penting. DAFTAR PUSTAKA BUKU-BUKU Aprilia gayatri dan Femita Adriani, 2008, Tugas Hukum Perdagangan Internasional : Tuduhan Praktek Dumping Yang Dilakukan Indonesia Oleh Korea Selatan, Fakultas Hukum Padjajaran, Bandung. Faisal Salam, 2007, Penyelsaian Sengketa Bisnis Secara Nasional Dan Internasional, Mandar Maju, Bandung. Sukarmi, 2002, Regulasi Anti Dumping Di Bawah Bayang-bayang Pasar Bebas. Sinar Grafika, Bandung. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Dasar 1945 (Amandemen Ke-IV). Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Pengesahan Agreement Estabilishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan.
5