ISSN. 2355-0813
PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DAN TIPE THINK PAIR SHARE TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS VII SMP TAMAN DEWASA IBU PAWIYATAN TAHUN AJARAN 2012/2013 Jati Aurum Asfaroh dan Hidayati Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Abstract
According to descriptive study, the research is intended to know the inclination of the result of IPA learning in class VII grade at SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan by using jigsaw, Think Pair Share (TPS) and conventional model. According to comparative study is to know the difference of the result of IPA learning on the VII grade students by using the learning models. The research conducted in class VII grade of SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan in Academic 2012/2013. The research population included all students of the VII grade of SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatanin academic 2012/2013 which consists of 4 classes with totaling 88 students. The samples were taken 3 classes by random sampling with class VII B and class VII C as experiment class and class VII D as control class. The collecting data by using documentation techniques to obtain the first skill of the students and using test technique to obtain data of the result of IPA learning. Validity of the questions were looked for by using product moment correlation. The question reliability was looked for using the KR-20 formula; the result is 0.72 rtt was explained was reliable. The data analysis techniques was calculated using the F or ANOVA test A, but previously conducted analysis of requirement test, including test distribution normality and homogenity of variance test. According to descriptive study, the result showed that the tendency of the result of IPA learning on class VII grade of SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan in Academic 2012/2013 which using the model of cooperative learning (jigsaw in very high categories, Think Pair Share (TPS), and conventional models ware high categories. In the F test using the dk a = 2 and dbd = 52 obtained Fhitung = 7,07 whereas in table of The F values were 3.164 at significance level of 5 % and 4.98 at 1% significance level. Because the result of Fhitung > F 1%, there were significant difference of the result of IPA learning on the class VII grade of SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan in academic 2012/2013 between the learning presses using jigsaw and Think Pair Share (TPS) cooperative learning models. From the result of Shceffe test described that jigsaw was higher than Think Pair Share (TPS) cooperative leaning models, Think Pair Share (TPS) was higher than conventional cooperative learning models. The teacher must be increase quality of learning outcomes besides using jigsaw and Think Pair Share (TPS) models to get maximal learning outcomes. Key Words: jigsaw and Think Pair Share (TPS) learning models and learning result
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
1
ISSN. 2355-0813
A. PENDAHULUAN Mata pelajaran IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang harus dipelajari oleh siswa SMP. Ilmu Pengetahuan Alam berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Proses pembelajaran IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. IPA diarahkan untuk berbuat sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Pembelajaran IPA sebaiknya dilakukan dengan model pembelajaran kooperatif untuk menumbuhkan kemampuan berfikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA yang dilaksanakan di SMP hendaknya menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah (BSNP, 2006: 1). Pembelajaran IPA adalah pembelajaran yang tidak menuntut hafalan, tetapi pembelajaran yang banyak memberikan latihan untuk mengembangkan cara berfikir yang sehat dan masuk akal berdasarkan kaidah-kaidah IPA. Tidak dapat disangkal, bahwa konsep merupakan suatu hal yang sangat penting. Pentingnya pemahaman konsep dalam proses belajar mengajar sangat mempengaruhi sikap, keputusan, dan cara-cara memecahkan masalah. Untuk itu yang terpenting dari belajar yang bermakna dan tidak hanya seperti menuang air dalam gelas pada siswa. Dalam kondisi demikian, maka kompetensi guru dituntut untuk mampu meramu wawasan pembelajaran yang lebih menarik dan disukai oleh siswa. Berdasarkan hasil observasi di kelas VII SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan tahun ajaran 2012/2013 menunjukkan bahwa pada saat proses pembelajaran IPA masih sering dijumpai adanya kecenderungan siswa tidak memperhatikan pada saat guru menjelaskan pelajaran dan tidak mau bertanya apabila ada bagian yang tidak jelas. Ketika guru menanyakan bagian mana yang belum mengerti seringkali siswa hanya diam, dan setelah guru memberikan soal latihan barulah guru mengerti bahwa sebenarnya ada bagian dari materi yang belum dimengerti siswa. Siswa cenderung pasif dalam pembelajaran, seperti kurangnya aktivitas bertanya, dan mengemukakan gagasan dari siswa. Siswa hanya menerima informasi dari guru. Pembelajaran minim dengan aktivitas siswa sehingga mengakibatkan pembelajaran menjadi tidak bermakna dan belum mencapai beberapa tujuan pembelajaran IPA. Sebagian besar siswa kurang mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan/diaplikasikan pada situasi baru. Siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemui masalah dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan konsep yang dimiliki/dikuasai. Hal tersebut mengindikasikan bahwa masih rendahnya daya serap siswa terhadap pelajaran, yang tampak dari rerata hasil belajar siswa yang masih memprihatinkan. Hasil belajar tersebut dapat dilihat dari perolehan nilai Ujian Tengah Semester di SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 yang relatif rendah dibanding dengan mata pelajaran lain. Tabel 1. Data Nilai Ujian Tengah Semester Mata pelajaran Nilai Bahasa Inggris 78 IPA 63 IPS 65 Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
2
ISSN. 2355-0813
Berdasarkan permasalahan tersebut perlu dilakukan pembenahan dalam pembelajaran sehingga dapat mengaktifkan siswa. Model pembelajaran yang diperlukan saat ini adalah model pembelajaran yang inovatif dan kreatif yang memberikan iklim kondusif dalam pengembangan daya nalar dan kreatifitas siswa. Salah satunya adalah dengan menerapkan pembelajaran kooperatif yaitu pembelajaran dengan menggunakan kelompok kecil yang saling bekerjasama dalam menyelesaikan tugas. Siswa dalam kelompok kooperatif belajar diskusi, saling membantu, dan mengajak satu sama lain untuk mengatasi masalah belajar (Isjoni, 2012: 20). Pembelajaran kooperatif diantaranya adalah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan tipe Think Pair Share (TPS). Pembelajaran tipe jigsaw merupakan suatu pembelajaran kooperatif yang mengutamakan kerjasama dan saling ketergantungan antara siswa serta didasarkan pada pandangan kontruktivisme dimana pengetahuan dibangun dari pengetahuan siswa itu sendiri. Dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, siswa bekerja dalam kelompok selama dua kali, yakni dalam kelompok mereka sendiri (asal) dan dalam kelompok ahli. Pembelajaran tipe Think Pair Share (TPS), model pembelajaran ini menghendaki siswa bekerja saling membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kooperatif dari pada penghargaan individual. Pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS) memiliki prosedur pembelajaran yaitu guru memberikan pertanyaan kepada kelas.Siswa diminta memikirkan sebuah jawaban dari mereka sendiri, lalu berpasangan dengan pasangannya untuk mencapai sebuah kesepakatan terhadap jawaban. Akhirnya guru meminta para siswa untuk berbagi jawaban yang telah mereka sepakati denga seluruh kelas (Robert E. Slavin, 2005: 257). B. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kelas VII SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan tahun ajaran 2012/2013. Penelitian ini termasuk jenis penelitian quasi eksperimen. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Matched Group Pre Test Post Test Design” (Suharsimi Arikunto, 2002: 78). Model yang dimaksud terdiri dari kelompok eksperimen menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada kelas VII B yang terdiri dari 18 siswa (10 putri dan 8 putra) dan tipe Think Pair Share (TPS) pada kelas VII C yang terdiri dari 19 siswa (9 putri dan 10 putra) sedangkan kelompok kontrol pada kelas VII D yang terdiri dari 18 siswa (10 putri dan 8 putra) menggunakan model pembelajaran konvensional. Ketiga kelompok diberi pretest (T 1) sebelum perlakuan diberikan. Pretest digunakan untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Setelah perlakuan, ketiga kelompok diberi postest (T 2) untuk mengetahui hasil belajar siswa. Variabel penelitian adalah sifat atau nilai dari orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti (Sugiyono, 2013: 60). Variabel penelitian meliputi: model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS), dan hasil belajar siswa. Data penelitian dikumpulkan melalui teknik dokumentasi untuk memperoleh nilai tes berupa nilai ulangan tengah semester sebagai nilai kemampuan awal dan tes hasil belajar (Sugiyono, 2008: 240). Penggunaan tes hasil belajar dimaksudkan untuk mengukur hasil belajar siswa tiap kelompok setelah masing-masing kelompok diajar dengan menggunakan model pembelajaran yang tidak sama tetapi materi yang sama (Sukardi, 2005: 138). Bentuk tes yang digunakan adalah pilihan ganda berjumlah 30 butir. C. HASIL PENELITIAN Sebelum melakukan proses uji hipotesis perlu dilaksanakan terlebih dahulu uji normalitas dan uji homogenitas. Hasil uji normalitas sebaran dari data yang diperoleh Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
3
ISSN. 2355-0813
meliputi tiga kelompok yaitu kelompok yang pembelajarannya dengan model pembelajaran jigsaw , Think Pair Share (TPS) dan konvensional. Hasil uji normalitas sebaran data hasil belajar IPA adalah sebagai berikut. Tabel. 2 Uji Normalitas Sebaran Kelompok Dk Status 𝒳²hitung 𝒳²tabel 5% jigsaw 3 2,350 5,991 Distribusi normal TPS 3 4,860 5,991 Distribusi normal Konvensional 3 2,760 5,991 Distribusi normal Memperhatikan tabel di atas, tampak bahwa 𝒳 hitung < 𝒳 tabel, dengan demikian berarti bahwa ketiga kelompok tersebut sebaran data berdistribusi normal (Sugiyono, 2013: 241). Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah sampel penelitian berasal dari populasi yang homogen atau tidak (Sudjana, 1976:263). Dari data hasil penelitian diperoleh S² = 17,28 dan B = 64,35 sedangkan hasil selanjutnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut. Tabel 3. Hasil Uji Homogenitas Varian Sampel Dk 1/dk Si2 Log Si2 dk Log Si2 1 17 0.058 12,53 1,09 18,53 2 18 0.055 14,59 1,16 20,88 3 17 0.058 24,90 1,39 23,63 Jumlah 63,04 Dari data penelitian diperoleh harga 𝒳 ² = 3,016 sedangkan dari daftar tabel distribusi chi-kuadrat, jika α = 0.05 dan dk = k – 1 = 3 – 1 = 2, maka nilai 𝒳² = 5,991 dengan demikian 𝒳 ² hitung <𝒳 ² tabel sehingga hipotesis yang menyatakan tidak ada pengaruh varians antara kelompok 1, 2 dan 3 dapat diterima berarti varian dari ketiga kelompok tersebut homogen. Untuk mengetahui kecenderungan hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan tipe Think Pair Share (TPS), terlebih dahulu dihitung rata-rata observasinya. Untuk menganalisis data secara deskriptif yang perlu dicari terlebih dahulu adalah skor terendah, skor tertinggi rata-rata, simpangan baku dari setiap variabel kemudian dibandingkan dengan kurva normal ideal (Saifuddin Azwar, 2009:108). Pada penelitian ini diperoleh skor maksimal ideal = 26 skor minimal ideal = 0 maka M = 0,5(26+0)= 13 dan SD = 2,17 sehingga dapat disusun kriteria sebagai berikut: 16,26 – 26,00 (Sangat tinggi), 14,09 – 16,25 (Tinggi), 11,92 – 14,08 (Sedang), 9,75 – 11,91 (Rendah), dan 0,00 – 9,74 (Sangat Rendah). Hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model pembelajaran jigsaw, diperoleh rata-rata = 19,37. Dengan melihat hasil rata-rata dan dibandingkan dengan kriteria di atas, rata-rata kelompok ini berada pada interval 16,25 – 26,00 maka hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model pembelajaran jigsaw siswa kelas VII semester II SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 termasuk kategori sangat tinggi. Hasil belajar IPA yang pembelajaranya dengan menggunakan model pembelajaran Think Pair Share (TPS), diperoleh rata-rata = 16,20. Dengan melihat hasil rata-rata dan dibandingkan dengan kriteria di atas, rata-rata kelompok ini berada pada interval 14,09 – 16,25 maka hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) siswa kelas VII semester II SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 termasuk kategori tinggi. Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
4
ISSN. 2355-0813
Hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model pembelajaran konvensional, diperoleh rata-rata = 14,50. Dengan melihat hasil rata-rata dan dibandingkan dengan kriteria di atas, rata-rata kelompok ini berada pada interval 14,08 – 16,25, maka hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model pembelajaran konvensional siswa kelas VII semester II SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 termasuk kategori tinggi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan hasil belajar IPA siswa kelas VII SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan tahun ajaran 2012/2013 antara pembelajaran menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan model pembelajaran konvensional. Untuk menjawab hipotesis apakah ada perbedaan hasil belajar IPA siswa antara pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe jigsaw, model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS), dan model pembelajaran konvensional, digunakan analisis varians satu jalur (ANAVA). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh harga F hitung = 7,07. F tabel pada taraf signifikansi 5% dengan dk pembilang 2 dan dk penyebut 52 adalah 3,164 sedangkan Ftabel pada taraf signifikansi 1% = 4,98 karena Fhitung> Ftabel 1%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: ada perbedaan yang sangat signifikan hasil belajar IPA antara yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, tipe Think Pair Share (TPS) dan konvensional, untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel 4 berikut.
Sumber variasi Rerata Antar kel Dalam kel Total
Tabel 4. Ringkasan ANAVA Data Penelitian Keterangan Dk JK RJK Fh Ft 1 2 52 55
18620 323,43 1189,30
185620 161,72 22,87
3.164 (5%) 7,07 4.98 (1%)
Sangat Signifikan
Untuk menentukan model pembelajaran yang lebih baik dengan menggunakan uji Scheffe, dengan terlebih dahulu diurutkan harga rata-rata dari ketiga model pembelajaran tersebut, dari hasil perhitungan diperoleh harga rata-rata dari ketiga model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw > model pembelajaraan kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) > harga rata-rata model pembelajaran konvensional (X1> X2> X3). 1. Membandingkan antara model pembelajaran jigsaw dengan Think Pair Share (TPS) Hasil perhitungan, α = 0.05 serta dk = 52 diperoleh ttabel = 1,675 dengan demikian bahwa diperoleh thitung> ttabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar IPA menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dari pada model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). 2. Membandingkan antara model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dengan model pembelajaran konvensional Hasil perhitungan, α = 0.05 serta dk = 52 diperoleh ttabel = 1,675 dengan demikian bahwa diperoleh thitung> ttabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar IPA menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dari pada model pembelajaran konvensional. 3. Membandingkan antara model pembalajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dengan model pembelajaran konvensional Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
5
ISSN. 2355-0813
Hasil perhitungan, α = 0.05 serta dk = 52 diperoleh ttabel = 1,675 dengan demikian bahwa diperoleh thitung> ttabel, sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar IPA menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih tinggi dari pada model pembelajaran konvensional. Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dari model pembelajaran koopearif tipe Think Pair Share (TPS) dan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih tinggi dari pada model pembelajaran konvensional, maka model pembelajaran jigsaw lebih tinggi dari model konvensional. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa: hasil belajar IPA menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dari model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS), model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih tinggi dari model pembelajaran konvensional. D. PEMBAHASAN Berdasarkan data hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kecenderungan hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang diikuti 19 siswa memperoleh skor rata-rata = 19,37 sedangkan rata-rata ideal = 13 dan SD = 3,82 sehingga dalam kurva normal berada dalam kategori sangat tinggi. Hal ini disebabkan dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw siswa akan lebih aktif dalam kerja tim, dapat mengembangkan hubungan antar pribadi positif di antara siswa yang memiliki kemampuan belajar berbeda, menerapkan bimbingan sesama teman, rasa harga diri siswa yang lebih tinggi, penerimaan terhadap perbedaan individu lebih besar, pemahaman materi lebih mendalam, meningkatkan motivasi belajar dan menguasai pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh apabila mereka mencoba untuk mempelajari semua materi sendirian (Mitahul Huda, 2013: 121). Kecenderungan hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) yang diikuti 18 siswa memperoleh skor rata-rata = 16,20 sedangkan rata-rata ideal = 13 dan SD = 3,54 sehingga dalam kurva normal berada dalam kategori tinggi. Karena dalam model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) memungkinkan siswa untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi yang pembelajarannyakan karena secara tidak langsung memperoleh contoh pertanyaan yang diajukan oleh guru, serta memperoleh kesempatan untuk memikirkan materi yang pembelajarannyakan, siswa akan terlatih menerapkan konsep karena bertukar pendapat dan pemikiran dengan temannya untuk mendapatkan kesepakaatan dalam memecahkan masalah, siswa lebih aktif dalam pembelajaran karena menyelesaikan tugasnya dalam kelompok, siswa memperoleh kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusinya dengan seluruh siswa sehingga ide yang ada menyebar, memungkinkan guru untuk lebih banyak memantau siswa dalam proses pembelajaran. Kecenderungan hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran konvensional yang diikuti 18 siswa memperoleh skor rata-rata = 14,50 sedangkan rata-rata ideal = 13 dan SD = 4,99 sehingga dalam kurva normal berada dalam kategori tinggi. Karena dalam model pembelajaran konvensional yang aktif adalah guru sedangkan siswa pasif maka konsep yang diperoleh tidak akan bertahan lama dalam ingatan. Siswa lebih banyak mendengarkan penjelasan guru di depan kelas dan melaksanakan tugas jika guru memberikan latihan soal-soal kepada siswa. Proses belajar mengajar berjalan monoton sehingga membosankan dan membuat siswa pasif karena kurangnya kesempatan yang di berikan, siswa lebih terfokus membuat catatan, siswa akan lebih cepat lupa, pengetahuan dan kemampuan siswa hanya sebatas pengetahuan yang diberikan oleh guru. Pembelajaran yang terjadi pada model konvensional berpusat pada Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
6
ISSN. 2355-0813
guru, dan tidak terjadi interaksi yang baik antara siswa dengan siswa. Siswa tidak bisa menilai apa yang dipelajarinya, tidak bisa menyusun fakta dan mengambil kesimpulan karena mereka tidak memperoleh hasil belajar yang lebih tahan lama tertanam dalam memorinya. Dalam pengujian hipotesis disimpulkan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan hasil belajar IPA antara yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan model pembelajaran konvensional konsep ekosistem siswa kelas VII semester genap SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan tahun ajaran 2012/2013. Hal ini ditunjukan oleh Fhitung > Ftabel pada taraf signifikansi 1%.Ini berarti ada pengaruh yang positif dan sangat signifikan antara model pembelajaran terhadap hasil belajar. Tiga kelompok yang memiliki kemampuan awal yang sama, setelah diberi perlakuan yang berbeda ternyata memberikan hasil belajar yang berbeda pula. Ini menunjukkan bahwa perlakuan dalam hal ini penggunaan model pembelajaran berpengaruh terhadap hasil belajar. Hasil yang diperoleh dari ketiga kelompok tersebut menunjukkan adanya perbedaan. Untuk menentukan model pembelajaran yang lebih baik digunakan uji Scheffe. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh t 21 = 2,02 > dari ttabel dengan dk 52 = 1.675 ini berarti hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dari hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Untuk hasil t 13= 1,750 > dari ttabel dengan dk 52 = 1.675 ini berarti hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih tinggi dari hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran konvensional. Untuk hasil t23= 3,09 > dari ttabel dengan dk 52 = 1.675 ini berarti hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dari hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran konvensional. Hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model jigsaw lebih tinggi dari pada hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model Think Pair Share (TPS). Ini berarti bahwa model jigsaw lebih baik dari pada Think Pair Share (TPS). Hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih tinggi dari pada hasil belajar menggunakan model pembelajaran konvensional. Hal tersebut terjadi karena siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih aktif dalam pembelajaran, dapat mengembangkan hubungan antar pribadi positif di antara siswa yang memiliki kemampuan belajar berbeda, menerapkan bimbingan sesama teman, rasa harga diri siswa yang lebih tinggi, penerimaan terhadap perbedaan individu lebih besar, pemahaman materi lebih mendalam, meningkatkan motivasi belajar dan menguasai pengetahuan secara mendalam yang tidak mungkin diperoleh apabila mereka mencoba untuk mempelajari semua materi sendirian. Siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) tidak semuanya aktif, dan hanya siswa yang aktif yang dapat menemukan konsep sendiri. Pada model pembelajaran konvensional, siswa kurang aktif dalam mengerjakan apa yang diperintahkan guru sehingga tidak dapat menemukan konsep sendiri. Siswa hanya sebagai pendengar dan hanya mencatat hal-hal yang penting dari keterangan guru. Jika dibandingkan antara model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan model pembelajaran konvensional ternyata model konvensional lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena yang aktif hanya gurunya saja, sedangkan siswanya pasif. Dengan demikian hasil belajar IPA konsep ekosistem apabila dalam pembelajarannya diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
7
ISSN. 2355-0813
atau model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS), maka hasil belajarnya akan meningkat. E. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model kooperatif tipe jigsaw siswa kelas VII semester genap SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 adalah sangat tinggi. Kecenderungan hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) siswa kelas VII semester genap SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 adalah tinggi. Kecenderungan hasil belajar IPA yang pembelajarannya dengan menggunakan model konvensional konsep ekosistem siswa kelas VII semester genap SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013 adalah tinggi. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan hasil belajar IPA siswa kelas VII SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013, antara pembelajarannya menggunakan model kooperatif tipe jigsaw, tipe Think Pair Share (TPS), dan model pembelajaran konvensional. Dari hasil uji Shceffe didapat bahwa model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi dari model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) dan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih tinggi dari model pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti memberikan saran untuk guru dapat meningkatkan kualitas mengajar antara lain dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan tipe Think Pair Share (TPS) agar diperoleh hasil belajar yang maksimal. Siswa dibiasakan untuk diskusi kelompok agar dapat berperan aktif dalam pembelajaran sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk mendengarkan, berkonsentrasi, dan memahami apa yang dipelajari dengan cara yang bermakna. F. DAFTAR PUSTAKA BSNP.2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPA untuk SMP/MTs.Tidak diterbitkan. Jakarta. Isjoni. 2012. Pembelajaran kooperatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Miftahul Huda. 2013. Cooperative Learning, metode, teknik, struktur, dan model penerapan.Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Robert E. Slavin. 2005.Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik.Bandung :Nusa Media. Saifuddin, Azwar. 2008. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Sudjana. 1976. Metode statistik.Bandung : Tarsino. Sugiyono. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung : Alfabeta. Sugiyono. 2013. Metodologi Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung : Alfabeta. Suharsimi, Arikunto. 2002. Evaluasi Pendidikan.Jakarta : Rineka Cipta. Sukardi.2005. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.Jakarta : Bumi Aksara.
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
8
ISSN. 2355-0813
UPAYA PENINGKATAN MINAT DAN PRESTASI BELAJAR IPA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 12 YOGYAKARTA TAHUN PELAJARAN 2012/2013 MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME Chairin Najemi dan Hidayati Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Abstract The purpose of this research was to determine the constructivism learning model in order to increase interest in science learning and achievement of class VIII C of SMP Negeri 12 Yogyakarta in the Academic Year 2012/2013. This type of research is Classroom Action Research (CAR) or Clasroom Action Research (CAR) conducted collaboratively. Subjects in this study were students of class VIII C, amounting to 34 students. Objects in this research is of interest, science learning achievement and learning constructivism. The data collecting technique is conducted by observation, interview, questionnaires engineering, documentation and test. Techniques of data analysis conducted qualitative descriptions. Achievement test data analysis is done by calculating the average and the percentage of successful products. The results showed that after the implementation of this constructivism learning students' interest in learning has increased. Seen before action students just passively listening to the teacher explain the matter but after being given the actions they have started actively to ask, and discuss with friends. Percentage of student interest obtained from the questionnaire on pre-action that is 63.81%, while the percentage obtained in the first cycle of 71.55%, and the second cycle is obtained percentage of 78.34%. The students also experienced an increase of value average 56.65 initial capability, increased in the first cycle to 68.7, and the second cycle increased to 75.92. It can be said that the interest in constructivism learning model and student achievement VIII Class C SMP Negeri 12 Yogyakarta can be improved. Keywords: Learning Constructivism, Interests, Learning Achievement.
A. PENDAHULUAN Menurut Dimyati (2009:7), pendidikan adalah proses interaksi guru dengan siswa, yang bertujuan meningkatkan perkembangan mental sehingga mandiri dan utuh. Hal ini membuat siswa mempunyai peran belajar serta guru sebagai fasilitator, motivator, dan sekaligus evaluator dalam kegiatan belajar mengajar. Peran guru sebagai fasilitator dalam kegiatan pembelajaran, antara lain menyediakan kemudahan kepada siswa dalam belajar. Peran guru sebagai motivator dalam kegiatan pembelajaran antara lain memberikan rangsangan bagi pengembangan inisiatif dan kreatifitas para siswa serta mendorong siswa untuk menerapkan ide/gagasan barunya. Peran guru yang lain adalah sebagai evaluator atau penilai, artinya guru harus mampu menilai kemajuan belajar siswa baik. Menurut Munjid Nur Alamsyah (2003:1), kenyataan yang terjadi di lapangan, guru cenderung dominan dalam mengajarkan konsep atau materi pelajaran di kelas sehingga siswa semakin tergantung pada inisiatif guru. Dalam hal ini semua kegiatan di kelas berpusat pada guru, apabila keadaan ini berlangsung secara terus menerus, maka upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tidak akan mengalami perubahan. Pembelajaran yang dilaksanakan miskin aktivitas sehingga siswa merasa bosan dan pada akhirnya kemampuan berpikir tidak berkembang, hal tersebut mengakibatkan pembelajaran menjadi tidak Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
9
ISSN. 2355-0813
bermakna. Dari hal tersebut akan secara otomatis mengurangi ketertarikan siswa terhadap pelajaran IPA. Padahal pelajaran IPA bukanlah pelajaran yang sulit. Hal seperti di atas juga terjadi di kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta. Ketertarikan siswa terhadap pembelajaran IPA masih rendah. Sebagaimana data yang diperoleh dari hasil nilai rata-rata ulangan IPA akhir semester 1 kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta Tahun Pelajaran 2012/2013 sebesar 56,65. Artinya dalam Kriteria Ketuntusan Minimal (KKM) belum memenuhi standar dari sekolah tersebut yang nilainya sebesar 70. Kondisi ini sangat memperhatinkan dan perlu upaya konkrit sejak dini untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pada tanggal 14 Maret 2013 di kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta pada pelajaran IPA, suasana belajar-mengajar masih berpusat pada guru sehingga menjadikan siswa kurang komunikatif dalam kegiatan belajar mengajar. Rasa ingin tahu siswa terhadap pelajaran IPA serta motivasi siswa untuk menyelesaikan soal masih kurang. Siswa terkesan takut dan kurang percaya diri mengemukakan idenya apalagi ketika guru meminta menyelesaikan soal di depan kelas. Untuk menumbuhkan minat dan ketertarikan belajar IPA, guru harus berani menggunakan model-model pembelajaran inovatif. Salah satu model pembelajaran yang berpusat pada siswa yaitu model pembelajaran kontruktivisme. Von Glaserfeld dan Matthews yang dikutip dalam Paul Suparno (1997:18), menyatakan bahwa konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Pada pendekatan konstruktivisme, pengetahuan adalah bukan suatu fakta yang tinggal ditemukan, melainkan suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (siswa). Langkah-langkah model pembelajaran konstruktivisme menurut Tyler dalam Sumatowa (2006:55), dibagi dalam 3 fase sebagai berikut, 1) Fase Eksplorasi yaitu guru memancing pengetahuan awal siswa mengenai materi yang akan dipelajari pada saat itu, 2) Fase Klarifikasi, Pada fase ini informasi berupa pengetahuan awal siswa di perdalam agar bisa menambah pengetahuan siswa mengenai materi yang dipelajari, dan 3) Fase Aplikasi, Pada fase ini guru mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dipelajari agar bisa mengetahui apakah perencanaan sesuai dengan pelaksanaan. Belajar merupakan proses konstruksi pengetahuan melalui keterlibatan fisik dan mental siswa secara aktif, juga merupakan proses yang menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalamanpengalaman yang dimiliki seseorang sehingga pengetahuannya mengenai objek tertentu menjadi lebih kokoh. Siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan untuk dirinya sendiri, dan bukan pengetahuan yang datang dari guru “diserap” oleh siswa. Ini berarti bahwa setiap siswa akan mempelajari sesuatu yang sedikit berbeda dengan pelajaran yang diberikan (Muijs dan Reynolds, 2011:97). Menurut Syaiful Bahri D dan Aswan Zain (1996:95), model pembelajaran konstruktivisme memiliki kelebihan antara lain sebagai berikut. 1) Dapat membina siswa dengan kebiasaan menerapkan pengetahuan, sikap dan keterampilan secara terpadu, 2) Dapat mengembangkan kemandirian siswa diluar pengawasan guru, 3) Dapat merangsang dan mengembangkan kreatifitas siswa dalam bentuk ide, gagasan dan terobosan dalam memecahkan suatu masalah, dan 4) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya dengan bahasa sendiri. Kekurangan model pembelajaran konstruktivisme sebagai berikut. 1) Memerlukan waktu yang cukup lama, 2) Tidak mudah merangsang siswa dengan memberikan pertanyaan yang sesuai dengan tingkat berpikirnya siswa, 3) Tidak semua siswa ikut berperan aktif dalam proses pembelajaran melalui percobaan, dan 4) Jumlah alat yang disediakan harus disesuaikan dengan jumlah siswa, jika hal tersebut tidak dipenuhi maka akan menimbulkan hasil yang kurang memuaskan. Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
10
ISSN. 2355-0813
Pembelajaran konstruktivisme merupakan pendekatan pembelajaran yang menekankan pada proses pembelajaran, dimana dalam proses pembelajaran siswa dituntut untuk aktif dalam membangun sendiri pengetahuannya sehingga siswa mampu berpikir mandiri. Pada pembelajaran ini guru tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, akan tetapi guru berperan sebagai fasilitator untuk membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa dapat berjalan lancar. Dalam kegiatan pembelajaran, model pembelajaran konstruktivisme dapat membangkitkan minat karena siswa dituntut aktif dalam membangun sendiri pengetahuannya yang kemudian siswa mampu berpikir mandiri, maka penerapan model pembelajaran konstruktivisme dilakukan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan minat siswa terhadap materi yang dipelajari melalui interaksinya terhadap alam melalui pengalaman langsung, sehingga prestasi belajar siswa dapat meningkat. Pembelajaran IPA melalui pendekatan konstruktivisme diharapkan siswa dapat terlihat aktif dalam pelajaran sehingga siswa dapat membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan ilmiah yang baru ditemukan. Dari latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah: bagaimana upaya meningkatkan minat siswa dalam pembelajaran IPA melalui model pembelajaran konstrukstivisme dan bagaimana upaya meningkatkan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran IPA melalui model pembelajaran konstruktivisme. Aplikasi model pembelajaran konstruktivisme dalam materi mata pelajaran IPA diharapkan dapat meningkatkan minat dan prestasi belajar IPA.
B. METODOLOGI Penelitian ini dilaksanakan di kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta tahun ajaran 2012/2013. Penelitian ini termasuk jenis penelitian tindakan kelas. Menurut Suharmi Arikunto (2009:2), Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah penelitian tindakan (action research) yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelas. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta berjumlah 34 siswa. Objek dalam penelitian ini adalah minat, prestasi belajar IPA, dan model pembelajaran konstruktivisme.Teknikpengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan lembar observasi, angket, tes hasil belajar, catatan lapangan, lembar wawancara, dan dokumentasi. Data penelitian dikumpulkan melalui observasi langsung oleh peneliti dan kolaborator pada saat pembelajaran berlangsung yang terdiri dari lembar observasi keaktifan siswa, lembar observasi aktivitas guru dalam proses belajar mengajar. Angket untuk mengetahui minat siswa terhadap pembelajaran konstruktivisme, tes digunakan untuk mengetahui hasil belajar sedangkan dokumentasi digunakan untuk memperoleh data kemampuan awal siswa. Indikator keberhasilan yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengukur tercapainya peningkatan prestasi belajar siswa, yaitu sebagai berikut. 1) Tindakan yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam model pembelajaran konstruktivisme, 2) Meningkatnya minat belajar IPA siswa minimal 5% dilihat dari hasil angket yang diberikan pada saat pra siklus, siklus I dan siklus II, dan 3) Setelah tindakan nilai rata-rata tes prestasi belajar siswa dikatakan meningkat bila dari pra tindakan ke siklus I naik minimal 5%, kemudian dari siklus I ke akhir siklus II naik minimal 5% dan mencapai kategori tinggi (61% - 80%) sesuai dengan tabel tingkat keberhasilan prestasi belajar siswa.
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
11
ISSN. 2355-0813
C. HASIL PENELITIAN Proses pembelajaran pada penelitian tindakan kelas ini dalam 2 siklus. Siklus pertama terdiri dari 3 pertemuan dan siklus kedua terdiri dari 3 pertemuan dengan menerapkan modelpembelajaran konstruktivisme. Siklus I Pada siklus I dilaksanakan dalam 3 pertemuan, membahas tentang materi bahan kimia dalam rumah tangga. Langkah-langkah dalam pembelajaran ini sebagai berikut. Pada fase eksplorasi pembelajaran diawali dengan kegiatan merangsang dan memancing pengetahuan siswa untuk mengungkapkan idenya mengenai materi yang akan dibahas. Tugas guru dalam proses ini lebih menekankan untuk merangsang pemikiran siswa, memberikan persoalan, dan membiarkan siswa mengungkapkan gagasan dan konsepnya, serta kritis menguji konsep yang dibentuk siswa. Untuk memancing pemikiran dan ide siswa maka guru memberikan beberapa soal tanya jawab mengenai materi yang akan dibahas. Ketika guru melakukan tanya jawab hanya beberapa siswa saja yang aktif menjawab pertanyaan yang diberikan guru. Setelah itu untuk memudahkan siswa membentuk ide dan konsep baru kemudian guru mengenalkan berbagai macam contoh baik berupa benda maupun gambar. Yang terpenting dalam tahap ini adalah menghargai dan menerima pemikiran siswa apa pun adanya. Dengan tetap mengarahkan apakah pemikiran atau ide tersebut jalan atau tidak.Dalam fase klarifikasi guru lebih memperdalam lagi informasi berupa pengetahuan awal siswa dengan kegiatan diskusi. Sebelum diskusi dimulai guru membentuk beberapa kelompok siswa yang masing-masing kelompok beranggotakan 4-5 siswa. Pada awalnya siswa banyak yang kurang setuju dengan pembagian kelompok tersebut. Guru kemudian membujuk siswa kembali ke kelompok semula. Guru membimbing kelompok dalam melakukan kegiatan diskusi. Pada waktu berdiskusi guru berkeliling membimbing siswa jika mengalami kesulitan, selain itu guru juga bertugas mengarahkan siswa jika terjadi kesalahan konsep. Guru mengamati kerja kelompok 3 dan 4 yang terlihat ramai sendiri. Mereka masih terlihat bingung dalam bekerjasama dengan kelompok. Kemudian guru menanyakan apa kesulitan mereka. siswa masih malu untuk menanyakan kepada guru. Berbeda dengan dengan kelompok 5 dan 7 mereka justru terlihat aktif mengerjakan LKS. Mereka bahkan sudah berbagi tugas untuk mencari informasi tentang materi tersebut. Setelah selesai berdiskusi dengan kelompok, kemudian guru memberikan kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas. Dari sinilah minat siswa mulai terlihat jelas dari pertemuan sebelumnya. Ketika menyarankan untuk presentasi di depan, 4 dari 7 kelompok mengangkat tangan berharap kelompok merekalah yang dipersilahkan maju ke depan. Setelah semua anggota kelompok presentasi kemudian guru bersama-sama dengan siswa menyimpulkan hasil diskusi yang telah dibahas. Guru juga memberikan penguatan terhadap materi yang dianggap penting supaya tidak terjadi kesalahpahaman konsep. Dalam fase aplikasi guru mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kegiatan evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui apakah perencanaan pembelajaran sesuai dengan yang dilaksanakan. Guru mengevaluasi kegiatan pembelajaran dengan memberikan tes. Pada siklus I, guru secara umum sudah melaksanakan proses pembelajaran sesuai rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun akan tetapi keaktifan siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung masih belum sepenuhnya tampak. Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi pelaksanaan tindakan siklus I dapat Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
12
ISSN. 2355-0813
disimpulkan bahwa pembelajaran IPA dengan menggunakan model pembelajaran konstruktivisme sudah sesuai dengan prosedur yang direncanakan. Meskipun demikian, terdapat beberapa permasalahan yang muncul pada siklus I antara lain: 1) Masih banyak siswa yang belum terlihat aktif berdiskusi dengan kelompok, 2) Siswa masih cenderung malu untuk bertanya, 3) Siswa belum terbiasa belajar secara kelompok sehingga kerjasama dalam kelompok masih kurang optimal, 4) Siswa masih belum siap presentasi ketika ditunjuk untuk maju, dan 5) Beberapa siswa ada yang kurang memperhatikan ketika kelompok lain presentasi di depan. 5) Masih membutuhkan waktu yang lama untuk berdiskusi. Siklus II Berdasarkan refleksi yang dilakukan terhadap siklus I, masih terdapat beberapa permasalahan yang harus diselesaikan sehingga pada siklus II dapat diperbaiki. Hal-hal yang masih perlu dilakukan dalam memperbaiki kelemahan dan kekurangan pada siklus I untuk diperbaiki pada siklus II, dilaksanakan dengan cara sebagai berikut. 1) Guru memberikan motivasi secara intensifkepada siswa agar berperan aktif dalam proses pembelajaran. 2) Guru lebih intensif dalam melakukan pendampingan dalam kelompok supaya bisa bekerjasama secara optimal. 3) Guru memberikan waktu yang cukup untuk persiapan terlebih dahulu kepada kelompok yang akan presentasi. 4) Dalam pelaksanaan pembelajaran guru lebih bersikap tegas dan efisien terhadap waktu agar pembelajaran lebih efektif. 5) Guru mengingatkan dan memberikan teguran kepada siswa agar memperhatikan ketika penyampaian materi. 6) Guru lebih memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Pada awal siklus II, guru membuka pertemuan dengan mengucap salam. Sebelum pembelajaran dimulai guru mengumumkan hasil evaluasi dan memberikan penghargaan kepada kelompok atas keberhasilannya. Siswa terlihat senang dan termotivasi untuk lebih meningkatkan nilainya pada evaluasi selanjutnya. Materi yang dibahas pada siklus ini yaitu gerak pada tumbuhan. Pada fase eksplorasi guru menyampaikan indikator yang akan dicapai sebelum pelajaran dimulai. Sesuai dengan pembelajaran konstruktivisme guru mencoba memancing pengetahuan siswa tentang gerak pada tumbuhan. Guru melakukan tanya jawa kepada siswa mengenai materi tersebut. Tidak seperti pada siklus I, pada siklus ini ketika guru melakukan tanya jawab banyak siswa yang menanggapi pertanyaan tersebut. Keaktifan siswa siswa mulai terlihat perkembanganya. Mereka sudah tidank cangung lagi untuk menjawab pertanyaan dari guru, begitupula untuk menanggapi. Guru memberikan beberapa contoh gambar tumbuhan yang sering terlihat disekeliling kita setiap hari. Ada beberapa siswa yang cepat memahami contoh tersebut dan ada juga siswa yang lambat. Beberapa ide yang diungkapkan siswa beranekaragam. Mereka sudah aktif untuk mencari informasi tentang materi yang disajikan dari berbagai sumber. Misalnya buku-buku refrensi, internet, bertanya kepada teman, dan lain sebagainya. Berbeda dengan siklus I siswa masih malu untuk bertanya bahkan mengungkapkan idenya ketika guru memberikan kesempatan. Pada fase klarifikasi siswa kembali memposisikan diri untuk duduk bergabung dengan teman sekelompoknya. kemudian guru membagikan LKS kepada siswa untuk didiskusikan. Kemudian kegiatan diskusi dimulai dengan membahas materi tentang gerak pada tumbuhan. Masing-masing kelompok mulai mempelajari materi dan mendiskusikan LKS yang dibagikan. Kegiatan diskusi pada pertemuan ini sudah terlihat berjalan dengan baik. Guru selalu berkeliling kelas mengamati perkembangan tiap-tiap kelompok. Guru Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
13
ISSN. 2355-0813
juga terus memberikan motivasi kepada kelompok yang kurang aktif. Menanyakan tentang kesulitan yang dihadapi mereka. mereka harus berani dan aktif mengemukakan pendapatnya serta menunjukkan sikap saling berbagi dan bekerjasama dalam berdiskusi. Guru memberikan waktu kepada kelompok terlebih dahulu untuk persiapan. Pada presentasi kali ini terlihat berbeda dengan siklus I. Hampir semua kelompok berani mengangkat tangan untuk maju ke depan tanpa ditunjuk oleh guru terlebih dahulu. Mereka sudah tidak canggung dan ragu lagi untuk berbicara di depan. Seperti kelompok 3 yang sebelumnya hanya 1 orang saja yang berbicara, namun sekarang semua anggotanya sudah berani berbicara sesuai dengan tugasnya masing-masing. Pada siklus II ini kegiatan diskusi mulai terlihat perkembangan dari siklus I. Keaktifan siswapun terlihat ketika mereka berani berbicara di depan kelas dan mengemukakan pendapatnya. Selain itu mereka juga mampu menangapi hasil presentasi dari kelompok lain. Dalam fase aplikasi guru mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dipelajari agar bisa mengetahui apakah perencanaan sesuai dengan pelaksanaan. Seperti pada siklus I kegiatan evaluasi dilakukan dengan memberikan tes. Tes ini dilaksanakan secara individu, maka setiap siswa harus mengerjakanya sendiri tanpa bertanya kepada siapapun. Kemudian setelah siswa selesai mengerjakan guru kembali membagikan angket untuk diisi oleh siswa. Berdasarkan observasi selama pembelajaran siklus II, minat dan prestasi belajar siswa sudah meningkat. Peningkatan tersebut tidak hanya dilihat dari nilai yang diperoleh siswa, namun juga dilihat dari perubahan sikap siswa. D. PEMBAHASAN Pada siklus I, pelaksanaan belajar kelompok belum dapat optimal karena masih terlihat beberapa siswa kurang percaya diri untuk aktif dalam mengikuti pembelajaran, masih ada beberapa siswa yang tidak memperhatikan materi yang disampaikan, dan siswa masih enggan untuk berdiskusi dengan kelompoknya. Sedangkan pada siklus II, pelaksanaan belajar kelompok dapat berjalan dengan lebih baik. Siswa sudah aktif dan lebih bersemangat dalam mengikuti pembelajaran disebabkan siswa sudah bisa membangun kerjasama dalam kelompok belajar, berani mengemukakan pendapat, memperhatikan penjelasan yang diberikan dan hampir semua siswa sudah terlibat dalam kerja kelompok. Hasil lembar observasi keaktifan siswa dari tiap indikator mengalami peningkatan dari siklus I dan siklus II. Jumlah rerata persentase yang diperoleh siswa pada siklus I adalah 65,90% dan mengalami peningkatan pada siklus II menjadi 79,54% sehingga indikator keberhasilan tindakan dapat tercapai. keaktifan siswa yang mengalami kenaikan terletak pada indikator persiapan sebelum mulai pembelajaran, hal ini terlihat saat guru sebelum memulai pelajaran siswa terlebih dahulu sudah mempersiapkan buku dan alat tulis. Pada indikator kerjasama dalam kelompok juga mengalami peningkatan, dimana pada saat bekerjasama dalam kelompok siswa juga aktif mencari informasi. Untuk indikator presentasi hasil diskusi juga mengalami peningkatan, terlihat adanya perubahan cara menyampaikan hasil diskusi pada tahap pengorganisasian kelompok dan menanggapi pendapat dari kelompok lain. Selama proses pembelajaran siswa terlihat
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
14
ISSN. 2355-0813
Jumlah Nilai Tertinggi Nilai Terendah Banyak Siswa Tuntas Banyak Siswa Tidak Tuntas Rata-Rata Kelas
Pra Tindakan 90 0 7 27 56,65
Siklus I 92,86 35,71 18 16 68,7
Siklus II 100 31,25 22 12 75,92
Lebih semnagat dibandingkan pada siklus sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa kelas VIII C SMP Negeri 12 meningkat. Hasil lembar observasi pengamatan aktivitas guru dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya mengalami peningkatan pada siklus I dan siklus II. Jumlah rerata pada siklus I sebesar 78,12% dan meningkat pada siklus II menjadi 89,06%. Pada umumnya guru sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Selain mengawasi jalannya pembelajaran guru juga membimbing setiap kelompok untuk menyiapkan strategi untuk mempresentasikan materi yang baru dipelajarinya bersama teman sekelompoknya serta membantu menyiapkan media pengajaran yang diperlukan. Berdasarkan hasil angket minat siswa, persentase angket yang dikelompokkan dalam 4 indikator pada siklus I sebesar 71,55% dan meningkat pada siklus II menjadi 78,34%. Persentase minat siswa pada siklus I ke siklus II mengalami kenaikan tertinggi pada indikator aktivitas dalam kegiatan belajar IPA dengan kenaikan 9,07 poin dari 68,94% menjadi 77,94%, hal ini disebabkan karena banyaknya anggota kelompok yang aktif berdiskusi, lancar bertanya, mengeluarkan pendapat ataupun menyanggah pendapat anggota yang lain dan apabila ada anggota yang mengalami kesulitan maka tidak segan untuk bertanya kepada anggota yang sudah paham. Sedangkan yang mengalami kenaikan paling rendah indikator dapat rasa tertarik dalam belajar IPA yaitu mengalami kenaikan sebesar 5,18 poin dari 79,96% menjadi 85,14%. Hal ini disebabkan karena pada waktu mempersentasikan hasil pekerjaan kelompok mereka tidak mau maju untuk mempersentasikan di depan kelas atau kemauan sendiri, tetapi hanya mau maju apabila ditunjuk oleh guru. Prestasi belajar siswa juga mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan nilai rata-rata tes untuk kemampuan awal adalah 56,65, meningkat pada siklus I menjadi 68,7 dan meningkat lagi pada siklus II menjadi 75,92. Banyak siswa yang mencapai KKM pada pra tindakan adalah 7 orang dengan persentase sebesar 28,6%. Pada siklus I meningkat menjadi 52,9% dengan 18 orang siswa mencapai KKM. Dan pada siklus II, yang mencapai KKM sebanyak 22 siswa dengan persentase pencapaian sebesar 64,7%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar IPA siswa kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta meningkat sehingga indikator keberhasilan dapat tercapai. E. KESIMPULAN Pelaksanaan pembelajaran di kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta sudah sesuai dengan rencana pembelajaran dengan model pembelajaran konstruktivisme. Dalam pembelajaran ini guru terlebih dahulu memancing pengetahuan awal siswa mengenai hal-hal yang berhubungan dengan materi. Hal ini dilakukan untuk membangun pengetahuan baru siswa yang dibentuk dari pengetahuan awal yang sudah diperoleh. Kemudian untuk mengkonfirmasinya guru Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
15
ISSN. 2355-0813
memberikan soal tanya jawab kepada siswa supaya ada respon dari siswa tersebut. Untuk lebih mempermudah siswa dalam memahami materi kemudian guru memberikan beberapa contoh benda ataupun gambar yang berhubungan dengan materi tersebut. Siswa dibentuk dalam beberapa kelompok untuk melaksanakan diskusi. Selama kegiatan diskusi guru berkeliling kelas untuk mengamati kegiatan diskusi. Jika ada siswa yang merasa kesulitan maka guru memberikan bantuan, setelah selesai diskusi maka guru memberikan kesempatan kepada tiap kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya di depan. Guru harus terus membimbing dan mengarahkan apabila terjadi perbedaan pendapat antara kelompok satu dengan yang lainya. Setelah semua kelompok melaksanakan tugas, guru dan siswa bersama-sama menyimpulkan tentang apa yang mereka pelajari. Model pembelajaran konstruktivisme dapat mengatasi permasalahan yang ada di dalam kelas. Melalui model pembelajaran konstruktivisme, guru mampu menciptakan suasana pembelajaran di kelas yang lebih kondusif dan interaktif. Hal tersebut berdampak pada minat belajar IPA siswa kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta mengalami peningkatan pada pra tindakan mendapatkan hasil sebesar 63,81%, dan naik sebesar 7,74% menjadi 71,55% pada akhir siklus I, kemudian naik sebesar 6,79% menjadi 78,34% pada akhir siklus II. Berdasarkan hasil tes prestasi belajar siswa kelas VIII C SMP Negeri 12 Yogyakarta mengalami peningkatan, hal ini dilihat dari rata-rata kelas siswa pada nilai kemampuan awal sebesar 56,65 naik 12,05 poin menjadi 68,7 pada siklus I dan naik lagi sebesar 7,22 poin menjadi 75,92 pada siklus II. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka siswa diharapkan agar mampu membiasakan diri mengikuti proses belajar dengan model pembelajaran konstruktivisme atau model pembelajaran lainnya sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar IPA dan dapat mengembangkan daya berpikir secara mandiri. Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran, sebaiknya guru melakukan perincian waktu yang digunakan sangat penting agar proses pembelajaran model konstruktivisme berjalan secara efektif. Model pembelajaran konstruktivisme yang telah dilaksanakan di SMP Negeri 12 Yogyakarta, diharapkan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan agar keaktifan siswa dalam pembelajaran IPA semakin berkembang sehingga berpengaruh terhadap minat belajar siswa. Untuk peneliti yang bermaksud melakukan penelitian sejenis, hendaknya direncanakan dengan matang sehingga diperoleh hasil sesuai yang diharapkan. F. DAFTAR PUSTAKA Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rhineka Cipta Muijs, Daniel, dan Reynolds David. 2011. Effective Teaching, Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Munjid Nur Alamsyah. 2003. Permasalahan yang Dihadapi Guru dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran IPA di SMU. Yogyakarta: UNY. Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Samatowa Usna. 2006. Bagaimana Membelajarkan IPA Sekolah Dasar. Jakarta: Prestasi Pustaka. Trianto. 2007. Model-Model pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivis. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan. Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
16
ISSN. 2355-0813
PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN TUTOR SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS VIII SMP TAMAN DEWASA IBU PAWIYATAN TAHUN AJARAN 2012/2013 Deni Afriani dan Astuti Wijayanti Jurusan/Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Abstract This research purposes to increase student liveliness and learning outcomes at the eighth grade student through peer teaching at SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan in academic year 2012/2013. It is because of some learning problems at class VIII A SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan such as: 1). Teacher face come constraints in applying the concept to student, 2) there is assumption that science is hard because of its formula which is must be remembered, 3) too many material to be learned in school which make student are not interested, 4) they tend to cluster with certain student, 5) students are not active in the class, 6) the low value of student learning outcome in science. This research is an action research that is conducted collaboratively. The subjects of this research are 20 students in class VIII A of SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Tamansiswa. The object of this research is learning through peer teaching, liveliness, and students learning outcomes. The data collecting technique is conducted by observation, interview, documentation and test. Data analysis technique of observation sheet or questionnaire are conducted by calculating the total value of each indicator and learning outcome test is conducted by searching the median of test and counting the percentage that fulfill the passing grade. The reasult shows that after applying peer teaching in class VIII A of SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Tamansiswa, the liveliness and learning outcomes of science subject go up. It is proven by the enhancement of average percentage of student liveliness observation worksheet for each cycle; the average of liveliness indicator in cycle 1 is 69,875%. It increases 8,9575% to 78,8325% in cycle 2. The average learning outcomes of science in preaction is 55,7 increase to 65,7 in cycle 1 and 76,3 in cycle 2. The numbers of student that pass the passing grade in the pre-action are 5 students with a percentage of 25%. In cycle 1, it increases to 60% with 12 students passing the passing grade and it becomes 70% in cycle 2 with 14 students. Based on the result of research conducted, the researcher advices science teacher to apply peer teaching as a variation of the learning model. Keywords: Liveliness, Learning Outcome Dan Peer Teaching. A. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan proses yang berfungsi membimbing siswa dari tidak tahu menjadi tahu dan membimbing perkembangan diri sesuai dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dijalankan oleh siswa. Dalam keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar mengajar adalah proses pokok yang harus dilalui oleh seorang guru. Berhasil tidaknya suatu tujuan pendidikan bergantung kepada bagaimana proses belajar mengajar dirancang dan disajikan. Guru secara langsung
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
17
ISSN. 2355-0813
mempengaruhi, membimbing, dan mengembangkan siswa menjadi pribadi yang cerdas, terampil, dan bermoral tinggi. Dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas, guru masih merasa kesulitan bagaimana menanamkan konsep-konsep mata pelajaran IPA pada siswa. Guru harus dapat mendorong siswa aktif dalam melakukan kegiatan yang dapat memberikan pengalaman langsung sehingga belajar merupakan proses aktif siswa dalam membangun pengetahuannya sendiri. Banyaknya materi yang harus dipelajari siswa di sekolah dan adanya anggapan bahwa mata pelajaran IPA susah dipahami karena banyak rumus yang harus dihafalkan menjadi salah satu penyebab rendahnya hasil belajar IPA siswa SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan. Ketika guru menerangkan siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran di kelas, siswa hanya mencatat apa yang guru tuliskan di papan tulis. Dalam pembentukan kelompok, siswa cenderung memilih sendiri anggota kelompoknya dan hanya mau berkelompok dengan siswa tertentu. Siswa yang pandai di kelas VIII A cenderung bersikap individualis terhadap siswa yang kurang pandai. Mereka enggan berkumpul bersama, sehingga siswa yang kurang pandai merasa minder. Berbagai kendala yang muncul dalam proses pembelajaran tersebut berakibat pada rendahnya nilai siswa. Rata-rata nilai ujian pelajaran IPA kelas VIII adalah 64,55 dan belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Salah satu cara mengatasi berbagai permasalahan tersebut adalah dengan diterapkannya model pembelajaran yang dapat mengaktifkan belajar siswa. Model pembelajaran merupakan unsur yang penting untuk menjalankan kegiatan belajar siswa di sekolah. Karena dengan model pembelajaran yang baik, guru akan mudah untuk mengajar dan terjadi proses belajar pada diri siswa. Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks yang pada hakikatnya merupakan suatu usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan (Trianto, 2012: 17). Pembelajaran tutor sebaya melatih siswa untuk memiliki keterampilan baik keterampilan berpikir (thinking skill) maupun keterampilan sosial (social skill) seperti keterampilan untuk mengemukakan pendapat, menerima saran, dan masukan dari orang lain, bekerja sama, rasa setia kawan dan mengurangi timbulnya perilaku menyimpang dalam kehidupan. Siswa dapat memperoleh pengetahuan, kecakapan, sebagai pertimbangan untuk berpikir dan menentukan, serta berbuat dan berpartisipasi sosial. Tutor sebaya merupakan salah satu model pembelajaran untuk membantu memenuhi kebutuhan siswa. Tutor sebaya dikenal dengan pembelajaran teman sebaya atau antar siswa, siswa yang lebih mampu menyelesaikan pekerjaannya sendiri kemudian membantu siswa lain yang kurang mampu. Tutor dapat berperan sebagai pemimpin dalam kegiatan kelompok dalam hal tertentu ia dapat berperan sebagai pengganti guru. Menurut Moh. Surya (Kusumah Wijaya, 2010: 211), tutor sebaya adalah seorang atau beberapa orang siswa yang ditunjuk dan ditugaskan untuk membantu siswa-siswa tertentu yang mengalami kesulitan belajar. Bantuan yang diberikan oleh teman sebaya pada umumnya dapat memberikan hasil yang lebih baik. Hubungan antar siswa terasa lebih dekat dibandingkan dengan hubungan siswa dengan guru. Hubungan antara tutor dengan temannya adalah hubungan antar kakak-adik atau antar kawan sehingga kekakuan seperti yang ada pada guru dapat dihilangkan (Muntasir, 1985: 58) ”. Tutor sebaya adalah siswa yang pandai memberikan bantuan kepada siswa yang kurang pandai. Bantuan tersebut dapat
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
18
ISSN. 2355-0813
diberikan kepada teman sekelasnya di sekolah atau kepada teman sekelasnya di luar kelas (Conny Semiawan, 1985: 70). Menurut Mel Silberman (2006: 185), langkah-langkah dalam mengajarkan kepada teman sebaya adalah sebagai berikut. : (a) Membagi siswa menjadi kelompok–kelompok kecil sebanyak segmen materi yang akan disampaikan, (b) Masing-masing kelompok kecil diberi tugas untuk mempelajari satu topik materi, kemudian mengajarkannya kepada kelompok lain. Topik-topik yang diberikan harus yang saling berhubungan, (c) Setiap kelompok menyiapkan strategi untuk menyampaikan materi kepada teman-teman sekelas. Sarankan kepada mereka untuk tidak menggunakan metode ceramah atau seperti membaca laporan. Guru dapat mengadakan variasi dalam pembelajaran seperti menggunakan alat bantu visual, menyiapkan media pengajaran yang diperlukan, (d) Memberi waktu yang cukup untuk persiapan, baik di dalam maupun di luar kelas, (e) Setiap kelompok menyampaikan materi sesuai tugas yang telah diberikan, (f)Setelah semua kelompok melaksanakan tugas, beri kesimpulan dan klarifikasi sekiranya ada yang perlu diluruskan dari pemahaman siswa. Dengan mengajar teman sebaya dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang sama, menjadi narasumber bagi yang lain serta mendapatkan pengetahuan dan pengalaman. Dengan adanya pelajaran teman sebaya memberikan bantuan kepada para guru apabila mengajar dilakukan oleh para siswa. Rusman (2012: 204) menegaskan bahwa “Pembelajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) lebih efektif daripada pembelajaran oleh guru”. Menurut Mel Silberman (1996: 166), “Pembelajaran dengan teman sebaya adalah sebuah pembelajaran “peer teaching” dalam kelas dan yang menerima seluruh tanggung jawab untuk mengajar para siswa sebagai anggota kelas”. Peran guru adalah mengawasi kelancaran pelaksanaan dengan memberi pengarahan dan lain-lain. Pembelajaran di kelas menuntut guru agar dapat memberikan kesempatan belajar kepada siswa untuk mengoptimalkan keaktifan belajarnya. Kesempatan yang diberikan guru akan menuntut siswa selalu aktif mencari, memperoleh, dan mengolah perolehan belajarnya. Dalam proses belajar-mengajar siswa mampu mengidentifikasi, merumuskan masalah, mencari dan menemukan fakta, menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan. Menurut Thorndike, “Keaktifan siswa dalam belajar sesuai dengan hukum “law of exercise“ yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan” (Dimyati Mujiono, 2009: 45). Menurut Sardiman (2001: 98), keaktifan adalah kegiatan yang bersifat fisik maupun mental yaitu berbuat dan berpikir sebagai suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Dalam proses pembelajaran, siswa mengaktifkan berbagai macam inderanya untuk dapat menyerap dan mencapai hasil belajar yang maksimal. Keaktifan belajar siswa ini akan mempengaruhi hasil belajar yang ia peroleh. Semakin tinggi tingkat keaktifan diharapkan semakin besar hasil yang diperoleh. Pengalaman dalam belajar merupakan pengalaman yang dituju pada hasil yang akan dicapai siswa dalam proses belajar di sekolah. Menurut Nana Sudjana (1996: 82), hasil belajar diperoleh pada akhir proses pembelajaran dan berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menyerap atau memahami suatu bahan yang telah diajarkan. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Winarno Surakhmad (1986: 66) mengatakan “Hasil belajar adalah suatu proses yang tidak terpisah dan Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
19
ISSN. 2355-0813
menghasilkan pola tingkah laku yang dituju semula”. Pola tingkah laku tersebut terlihat pada perbuatan reaksi dan sikap siswa secara fisik maupun mental. Dari latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah: bagaimana upaya meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran IPA melalui model pembelajaran tutor sebaya dan bagaimana upaya meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA melalui model pembelajaran tutor sebaya. Aplikasi model pembelajaran tutor sebaya dalam materi mata pelajaran IPA diharapkan dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar IPA. B. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di kelas VIII A SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan tahun ajaran 2012/2013. Penelitian ini termasuk jenis penelitian tindakan kelas. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart (Suharsimi Arikunto, 2008: 16). Adapun model yang dimaksud terdiri dari 4 tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan sebanyak 2 siklus. Siklus pertama terdiri dari 3 pertemuan dan siklus kedua terdiri dari 4 pertemuan. Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai guru. Subyek penelitian adalah 20 siswa, dengan siswa laki-laki sebanyak 10 siswa dan siswa perempuan sebanyak 10 siswi. Variabel penelitian meliputi: keaktifan siswa, hasil belajar siswa dan model pembelajaran tutor sebaya. Instrumen penelitian meliputi lembar observasi, angket, tes, dokumentasi dan wawancara. Data penelitian dikumpulkan melalui observasi langsung oleh peneliti dan kolaborator pada saat pembelajaran berlangsung yang terdiri dari lembar observasi keaktifan siswa, lembar observasi aktivitas guru dalam proses belajar mengajar dan lembar observasi pengamatan tutor dalam membantu teman sebayanya. Angket untuk mengetahui kepuasan siswa terhadap pengajaran tutor, tes digunakan untuk mengetahui hasil belajar sedangkan angket dan dokumentasi digunakan sebagai pedoman peneliti dalam menentukan siswa yang akan dijadikan tutor. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini dapat dilihat dari tingkat keaktifan siswa pada mata pelajaran IPA mengalami peningkatan yakni dilihat dari rekapitulasi indikator lembar observasi keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar dan adanya peningkatan hasil belajar IPA siswa setelah menggunakan model pembelajaran tutor sebaya dengan pencapaian nilai rata-rata kelas di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yakni 65. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Siklus I Pada siklus I materi yang diajarkan adalah materi getaran dan gelombang. Pokok materi tekanan dipecah menjadi 5 submateri yang saling berhubungan. Kelompok pertama mendapat tekanan pada benda padat, kelompok kedua mendapat tekanan hidrostatis, kelompok ketiga mendapat bejana berhubungan dan Hukum Boyle, kelompok keempat mendapat Hukum Pascal, kelompok kelima mendapat Hukum Archimedes. Langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya adalah berikut. Sebelum pembelajaran guru dan kolaborator mengucapkan salam kepada siswa, berdoa serta mengecek kehadiran siswa. Sebelum memulai pembelajan, guru terlebih dahulu menjelaskan tujuan pembelajaran, apersepsi dan memotivasi siswa. Sebelum melaksanakan tindakan, Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
20
ISSN. 2355-0813
guru membagi siswa menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 orang dengan 1 siswa sebagai tutor. Pada awalnya siswa cenderung tidak mau berkumpul dengan teman sekelompoknya, mereka ingin memilih sendiri dan hanya mau berkelompok dengan siswa tertentu saja. Guru kemudian membagikan materi dan LKS yang berbeda kepada masing-masing kelompok. Guru meminta masing-masing kelompok untuk berdiskusi mempelajari materi sesuai yang dibagikan dan menyuruh tutor membantu teman sebayanya yang mengalami kesulitan dengan menjelaskan materi sesuai dengan petunjuk guru. Guru kemudian mengkonfirmasi siswa berkaitan dengan tugas yang diberikan serta mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang relevan berkaitan dengan materi yang dipelajari. Pada awalnya siswa masih enggan untuk bertanya kepada tutor bila ada yang belum dimengerti. Tutor pun masih terlihat enggan membantu teman-temannya bila tidak diminta terlebih dahulu. Guru membimbing tiap kelompok untuk menyiapkan strategi untuk mempresentasikan materi yang baru dipelajarinya beserta teman sekelompoknya dan menyampaikan ke teman–teman sekelas dengan menggunakan alat bantu visual, alat peraga serta menggunakan contoh–contoh yang relevan. Guru memberikan kesempatan kepada salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Setiap kelompok menyampaikan materi sesuai dengan petunjuk dalam LKS dengan menggunakan alat bantu yang relevan. Setiap anggota yang ditunjuk wajib menyampaikan kepada teman-teman sekelas tanpa membaca laporan. Kelompok yang lain memperhatikan dan wajib menanggapi presentasi dari kelompok yang di depan. Guru memberikan waktu kepada kelompok untuk melakukan persiapan. Pada saat kelompok 1 mendapat giliran pertama untuk mempresentasikan pekerjaannya, anggota yang ditunjuk terlihat belum siap dan terlihat kebingungan. Tutor pun terlihat malu-malu saat membantu menjelaskan kepada teman-teman sekelasnya. Guru kemudian meminta kelompok lain untuk bersiap menanggapi, akan tetapi tidak ada yang mau menanggapi sampai peneliti menunjuk kelompok lain untuk menanggapi. Siswa masih terlihat ragu-ragu dan takut mengemukakan pendapatnya. Guru kemudian memberikan penguatan kepada siswa yang aktif dan memotivasi siswa yang kurang aktif, Berbeda dengan kelompok 3 yang terlihat siap ketika mempresentasikan hasil pekerjaaannya. Anggotanya pun terlihat lancar dalam menjelaskan kepada teman sekelasnya dengan menggunakan alat bantu visual. Penjelasan yang diberikan juga jelas dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Tutor juga menguasai materi dengan disertai contoh-contoh yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam melakukan pengamatan selama tindakan berlangsung kolaborator menggunakan instrumen lembar observasi keaktifan siswa, lembar observasi pengamatan aktivitas guru dalam proses belajar mengajar dan lembar observasi pengamatan tutor dalam membantu teman sebayanya. Guru juga menggunakan angket kepuasan siswa terhadap pengajaran tutor. Kolaborator dalam penelitian ini adalah teman sejawat peneliti yaitu Yanuarti Pradikta. Pada siklus I, guru secara umum sudah melaksanakan proses pembelajaran sesuai rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun akan tetapi keaktifan siswa pada saat proses pembelajaran berlangsung masih belum sepenuhnya tampak. Hasil observasi dan evaluasi pelaksanaan tindakan siklus I menunjukan bahwa pembelajaran IPA dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya sudah sesuai dengan prosedur yang telah direncanakan. Meskipun demikian, Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
21
ISSN. 2355-0813
terdapat beberapa permasalahan yang ditemukan pada pembelajaran di siklus I di antaranya adalah : (a)Masih banyak siswa yang kurang terlibat aktif dalam kegiatan diskusi bersama teman sekelompoknya, (b)Kerjasama antar kelompok masih belum optimal, (c)Keberanian siswa bertanya masih kurang, mereka cenderung malu untuk bertanya, (d)Kelompok masih harus ditunjuk terlebih dahulu agar maju ke depan untuk menyampaikan hasil diskusinya, (e)Masih terdapat beberapa kelompok yang belum siap ketika ditunjuk, (f)Tutor masih terlihat enggan dalam membantu temannya bila tidak diminta terlebih dahulu, (g)Tutor belum dapat menjalankan tugasnya dengan baik sehingga masih membutuhkan bimbingan dari guru. Pada saat pelaksaaan tindakan siklus II, guru kembali melaksanakan pembelajaran sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran tindakan siklus II berdasarkan masukan dari refleksi di siklus I. Berdasarkan hasil evaluasi dan refleksi, maka tindakan pada siklus II yang perlu dilakukan adalah (a)Guru menambah intensif pendampingan dan lebih sering memberi motivasi kepada siswa agar dapat lebih baik dalam bekerja sama, (b) Guru memberikan waktu yang cukup agar kelompok melakukan persiapan terlebih dahulu sebelum maju untuk menyampaikan hasil diskusinya, (e)Guru memberikan materi tambahan kepada tutor agar dapat dipelajari di rumah, (f) Guru harus dapat mengoptimalkan peran tutor, (g)Guru juga harus menciptakan suasana kelas yang lebih kondusif sehingga keaktifan siswa dapat lebih ditingkatkan. 2. Siklus II Berdasarkan refleksi yang dilakukan terhadap siklus I, masih terdapat beberapa permasalahan yang harus diselesaikan sehingga pada siklus II dapat diperbaiki. Hal-hal yang masih perlu dilakukan dalam memperbaiki kelemahan dan kekurangan pada siklus I untuk diperbaiki pada siklus II di antaranya guru harus bersikap tegas kepada siswa yang tidak mau memperhatikan penjelasan guru dan tidak mau bekerja sama dengan teman sekelompoknya. Setiap siswa dalam kelompok diberikan tanggung jawab untuk menguasai LKS yang diberikan agar setiap siswa siap ditunjuk untuk mempresentasikan hasilnya ke seluruh kelas. Guru juga akan berkeliling pada saat tahapan menyiapkan strategi untuk membimbing tiap kelompok apabila mengalami kesulitan. Peran tutor pun akan lebih dioptimalkan serta tutor akan dibekali dengan materi tambahan. Pada awal siklus II, guru membuka pertemuan dengan mengucap salam. Sebelum pembelajaran dimulai guru mengumumkan hasil evaluasi dan memberikan penghargaan kepada tutor atas keberhasilannya dalam membimbing temantemannya. Tutor dan anggotanya terlihat senang dan termotivasi untuk lebih meningkatkan nilainya pada evaluasi selanjutnya. Guru menyampaikan pembelajaran pada pokok pembelajaran selanjutnya yaitu getaran dan gelombang. Selanjutnya guru meminta siswa agar berkelompok kembali seperti pada pertemuan sebelumnya. Masing-masing kelompok beserta tutor berkumpul menjadi satu, guru kemudian membagikan materi yang berbeda kepada masing-masing kelompok akan tetapi saling berhubungan. Pokok materi getaran dan gelombang dipecah menjadi 5 submateri yang saling berhubungan. Kelompok pertama mendapat pengertian getaran dan periode getaran, kelompok kedua mendapat frekuensi getaran dan hubungan antara frekuensi dan periode, kelompok ketiga mendapat pengertian gelombang dan jenisjenis gelombang, kelompok keempat mendapat periode frekuensi dan cepat rambat gelombang, kelompok kelima mendapat pemantulan dan penerapan konsep Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
22
ISSN. 2355-0813
gelombang. Guru meminta siswa agar berdiskusi bersama-sama berkaitan dengan tugas yang diberikan. Masing-masing kelompok mempelajari materi sesuai yang dibagikan dan tugas setiap tutor membantu teman sebayanya yang mengalami kesulitan dengan menjelaskan materi sesuai dengan petunjuk guru. Pada siklus II, siswa yang belum paham segera bertanya kepada tutor. Bahkan tanpa diminta tutor menanyakan sendiri kepada para anggotanya yang belum paham dan segera membantunya. Apabila tutor merasa kesulitan tutor segera menanyakan kepada guru. Pada pertemuan pertama pada siklus II setiap kelompok segera menyiapkan strategi untuk menyampaikan ke teman-teman sekelas dengan menggunakan alat bantu visual, alat peraga serta menggunakan contoh-contoh yang relevan. Guru berkeliling untuk membimbing kelompok yang mengalami kesulitan. Pada sebagian besar kelompok, siswa sudah terlihat banyak yang mau berdiskusi bersama. Mereka juga lebih aktif bertanya kepada tutor. Guru terus memotivasi agar siswa bersikap berani dan aktif dalam mengemukakakan pendapat serta menunjukkan sikap saling berbagi dan bekerjasama antar anggota kelompok. Tutor juga melaksanakan tugasnya dengan baik. Setiap kelompok menyampaikan materi dengan menggunakan alat bantu yang relevan. Setiap anggota yang ditunjuk wajib menyampaikan kepada temanteman sekelas tanpa membaca laporan. Kelompok yang lain memperhatikan dan wajib menanggapi presentasi dari kelompok yang di depan. Guru memberikan waktu kepada kelompok untuk melakukan persiapan. Ketika guru akan menunjuk kelompok yang mendapat giliran pertama untuk maju menyampaikan hasil diskusi ke depan, kelompok-kelompok yang lain segera mengacungkan jarinya. Kelompok yang pertama yang menawarkan diri segera maju ke depan dan mempresentasikan hasil diskusi bersama teman sekelompoknya dengan penuh rasa percaya diri. Kelompok lain pun tanpa diminta, berebutan untuk menanggapi. Keaktifan siswa pun terlihat ketika siswa sudah berani mengemukakan pendapat serta dengan penuh percaya diri menyampaikan hasil diskusinya. Setelah semua kelompok melaksanakan tugas, peneliti bersama siswa memberi kesimpulan tentang apa yang mereka pelajari dan klarifikasi bila ada yang salah dari pemahaman siswa. Selanjutnya guru memberikan LKS yang berisi tentang percobaan guna menyelidiki getaran pada bandul sederhana kepada setiap kelompok. Pada waktu mengerjakan LKS kelompok 2 terlihat paling bersemangat. Tutor segera membantu temannya yang belum paham, kelompok 2 menyelesaikan percobaan paling cepat. Setelah selesai mereka berinisiatif untuk membantu teman dari kelompok yang lain yang masih merasa kebingungan. Siswa menyelesaikan tugas tang diberikan guru tepat sesuai waktu yang diberikan. Pada pelaksanan siklus II, beberapa tutor terlihat sudah mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Tutor membantu teman sebayanya yang mengalami kesulitan dalam mempelajari materi. Pada siklus II, siswa yang belum paham segera bertanya kepada tutor. Bahkan tanpa diminta tutor menanyakan sendiri kepada para anggotanya yang belum paham dan segera membantunya. Apabila tutor merasa kesulitan tutor segera menanyakan kepada guru. Guru tidak harus menunjuk siswa yang akan mendapat giliran menyampaikan hasil diskusinya, siswa terlebih dahulu menawarkan diri. Pada siklus II, guru secara umum sudah melaksanakan proses pembelajaran sesuai rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun. Guru memberikan modul tambahan kepada tutor. Guru juga memberikan waktu yang cukup kepada tiap kelompok untuk melakukan persiapan. Keaktifan siswa dan kinerja tutor pun mengalami peningkatan. Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
23
ISSN. 2355-0813
3. Perbandingan Hasil Tindakan Antar Siklus Pada siklus I, pelaksanaan belajar kelompok belum dapat optimal karena ada beberapa siswa yang enggan bertanya kepada tutor bila ada yang belum dimengerti. Tutor pun enggan membantu jika tidak diminta terlebih dahulu serta beberapa siswa belum terlibat aktif dalam kelompoknya, sedangkan pada siklus II pelaksanaan belajar dengan tutor dapat berjalan dengan lebih baik. Mereka lebih aktif bertanya kepada tutor. Guru terus memotivasi agar siswa bersikap berani dan aktif dalam mengemukakakan pendapat serta menunjukkan sikap saling berbagi dan bekerjasama antar anggota kelompok. Tutor juga melaksanakan tugasnya dengan baik. Hasil lembar observasi keaktifan siswa dari tiap indikator mengalami peningkatan dari siklus I dan siklus II. Jumlah rerata persentase yang diperoleh siswa pada siklus I adalah 69,875% dan mengalami peningkatan pada siklus II menjadi 78,8325% sehingga indikator keberhasilan tindakan dapat tercapai. Persentase keaktifan siswa yang mengalami kenaikan paling rendah terletak pada indikator saat mengerjakan soal dan tugas. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa siswa yang harus dibimbing langsung oleh guru saat mengerjakan LKS. Persentase keaktifan siswa yang mengalami kenaikan paling tinggi terletak pada indikator kerjasama dengan teman sekelompoknya. Hal ini dapat terlihat dari saat mereka merencanakan presentasi topik maupun saat melaksanakan percobaan. Dari keseluruhan persentase rata-rata skor siklus II, keaktifan siswa termasuk dalam kualifikasi baik. Dengan demikian dapat disimpulkan keaktifan siswa kelas VIII A SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan meningkat. Berdasarkan hasil lembar observasi pengamatan terhadap kinerja tutor, persentase rata-rata yang diperoleh siswa pada siklus I sebesar 65% dan meningkat pada siklus II menjadi 76,78%. Pada siklus II tutor terlihat lebih sabar dalam membimbing teman sebayanya yang mengalami kesulitan dalam memahami materi. Tutor membantu tanpa diminta terlebih dahulu. Kemampuan tutor dalam memberikan penjelasan pada siklus II lebih baik dibandingkan pada siklus I. Hasil lembar observasi pengamatan aktivitas guru dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya mengalami peningkatan pada siklus I dan siklus II. Jumlah rerata pada siklus I sebesar 78,94% dan meningkat pada siklus II menjadi 94,73%. Pada umumnya guru sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Selain mengawasi jalannya pembelajaran guru juga membimbing setiap kelompok untuk menyiapkan strategi untuk mempresentasikan materi yang baru dipelajarinya bersama teman sekelompoknya serta membantu menyiapkan media pengajaran yang diperlukan. Berdasarkan hasil angket kepuasan siswa terhadap pengajaran tutor,persentase angket yang dikelompokkan dalam 5 indikator pada siklus I sebesar 68,56% dan meningkat pada siklus II menjadi 82,878%. Persentase angket siswa yang mengalami kenaikan paling rendah terletak pada indikator 2 yaitu sikap tutor pada teman sebayanya. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa tutor yang dalam membantu teman sebayanya yang masih belum paham, tutor terlihat kesal dan kurang sabar. Persentase angket siswa yang mengalami kenaikan paling tinggi terletak pada indikator 5 yaitu motivasi belajar bersama tutor. Sebagian besar siswa terlihat bersemangat untuk belajar bersama lagi dengan tutor, rasa saling menghargai dan mengerti dibina di antara peserta didik yang bekerja bersama. Siswa yang terlibat tutor sebaya merasa bangga atas perannya dan juga belajar dari Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
24
ISSN. 2355-0813
pengalamannya sehingga membantu memperkuat apa yang telah dipelajari dan diperolehnya atas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya Hasil belajar IPA siswa juga meningkat, hal ini dilihat pada tabel berikut. Perbandingan Hasil Belajar IPA Pra Tindakan, Siklus I, dan Siklus II No
1. 2. 3. 4. 5.
Jumlah Nilai Tertinggi Nilai Terendah Banyak Siswa Tuntas Banyak Siswa Tidak Tuntas Rata-Rata Kelas
Pra Tindakan 73 40 5 15 55,7
Siklus I 100 27 12 8 65,7
Siklus II 100 33 14 6 76,3
Persentase dan Kualifikasi Hasil Observasi Keaktifan Siswa Siklus I dan Siklus II No
Indikator Keaktifan 1. Interaksi dengan peneliti dan teman 2 Kerjasama dengan teman sekelompok 3 Mengerjakan soal dan tugas 4 Motivasi dalam mengikuti pembelajaran Rata-rata
Siklus I
Kualifikasi
Siklus II
Kualifikasi
62%
Kurang
74%
Cukup
61,67%
Kurang
80,83%
Baik
70,83%
Cukup
73%
Cukup
85%
Baik
87,5%
Baik
69,875%
78,0825%
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat peningkatan ratarata kelas siswa pada pra tindakan sebesar 55,7 menjadi 65,7 pada siklus I dan meningkat kembali menjadi 76,3 pada siklus II. Banyak siswa yang mencapai KKM pada pra tindakan adalah 5 orang dengan persentase sebesar 25%. Pada siklus I meningkat menjadi 60% dengan 12 orang siswa mencapai KKM. Dan pada siklus II, yang mencapai KKM sebanyak 14 siswa dengan persentase pencapaian sebesar 70%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar IPA siswa kelas VIII A SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan Yogyakarta meningkat sehingga indikator keberhasilan dapat tercapai.
D. SIMPULAN DAN SARAN 1. Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran di kelas VIII A SMP Taman Dewasa Ibu Pawiyatan sudah sesuai dengan rencana pembelajaran yaitu dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya. Kendala yang ada dalam pelaksanaan model pembelajaran tutor sebaya antara lain: pemilihan strategi yang tepat yang akan digunakan dalam menyampaikan materi ke teman sekelas dan pengoptimalan peran tutor, (3) Melalui model pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya guru mampu menciptakan suasana pembelajaran di kelas yang lebih kondusif dan interaktif, siswa lebih bersemangat dalam mengikuti pembelajaran IPA. Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
25
ISSN. 2355-0813
Keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran meningkat dari siklus I ke siklus II. Ratarata persentase pada siklus I sebesar 69,875% dan meningkat 8,9575% menjadi 78,8325% pada siklus II. Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada tahap pra tindakan sebesar 55 meningkat menjadi 65,7 pada siklus I dan meningkat menjadi 76,3 pada siklus II. Guru hendaknya membiasakan siswa untuk diskusi kelompok dalam pembelajaran IPA agar dapat berperan aktif dalam pembelajaran sehingga siswa dapat mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk mendengarkan, berkonsentrasi, dan memahami apa yang dipelajari dengan cara yang bermakna, E. DAFTAR PUSTAKA Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran.Jakarta: Rineka Cipta.Melvin Silberman. 2006. Active Learning : 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Bumimedia. Nana Sudjana.1996. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Ngalim Purwanto. 2010. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pres. Saleh Muntasir. 1985. Pengajaran Terprogram Teknologi Pendidikan Dengan Pengandalan Tutor. Jakarta: Rajawali Pres Suharsimi Arikunto.2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Trianto. 2012. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Bumi Aksara. Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama,Dedi. 2010. Mengenal Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Indeks. Winarno Surahmad. 1986. Pengantar Interaksi Belajar Mengajar Dasar dan Teknik Metodologi Pengajarani. Bandung: Tarsito. Sardiman. 2001. Pengertian Keaktifan Siswa diunduh dari http://www.buatskripsi.com/201/01pengertian-keaktifan-belajar-siswa.html Diakses pada tanggal 10 Maret 2013
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
26
ISSN. 2355-0813
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERHADAP HASIL BELAJAR IPA DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 PRAMBANAN KLATEN TAHUN AJARAN 2013/2014 Wahyuni dan Astuti Wijayanti Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Abstract According to descriptive study, the research is intended to know the inclination of the result of IPA learning in class VIII grade at SMP NEGERI 1 Prambanan Klaten in academic 2012/2013 by using inquiry model, direct instruction, and the learn motivation of the student. According to comparative study is to know the difference of the result of IPA learning on the VIII grade at SMP NEGERI 1 Prambanan Klaten students with the learn using inquiry model and direct instruction consederation from the learn motivation of the student. The research conducted at the eight grade of SMP NEGERI 1 Prambanan Klaten. The research population included all students of the eight grade students of 7 classes. The removal of sample by random sampling. From the result lottery get class VIII C as experiment sample and class VIII D as control sample. The collecting data by using documentation techniques to obtain the first skill of the students, angket techniques to obtain the learn motivation and the test techniques to obtain learning outcomes of the students Validity of the questions were looked for by using product moment correlation. The question reliability was looked for using the KR-20 formula. The question reliability angket was looked for using the Alpha Cronbach formula. According to descriptive study, the result showed that the tendency of the result of IPA learning on SMP NEGERI 1 Prambanan Klaten in 2012/2013 which using the model of learning inquiry in high categories with mean 23,18 on the interval 18,09- 23,26, and direct instruction models high categories with mean 21,07 on the interval 18,0923,26. The tendency of the result of IPA learning on motivation which using the model of learning inquiry in high categories with mean 83,3 on the interval 76,6- 92,03, and direct instruction models high categories with mean 81,69 on the interval 76,68-92,03. In comparative there were significant difference of the result of ipa learning in using inquiry model n direct instruction consederation from the learn motivation of the student. From the result of anacova test before control motivation get value F 17,023 and after control motivation get value F 15,875 it means decrease 1,148 it means get removal the variable control is accurated. The teacher must be increase quality of learning outcomes beside using inquiry models to get maximal outcomes. Key words: inquiry models, motivation, and learning result. A. PENDAHULUAN Mutu pendidikan IPA di Indonesia saat ini masih dianggap rendah. Indikator rendahnya mutu pendidikan tersebut ditandai dengan hasil penelitian mutu akademik negara-negara Asia melalui Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2003. Hasil menunjukkan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA, Indonesia menempati peringkat ke-38 (Ida Bagus, 2012: 2). Rendahnya mutu pendidikan dapat diartikan sebagai kurang efektifnya proses Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
27
ISSN. 2355-0813
pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari proses belajar IPA yang dilakukan di kelas. Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang menuntut siswa untuk terlibat aktif selama pembelajaran berlangsung. Pembelajaran yang dilakukan harus menumbuhkan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan dan mengemukakan gagasan mereka (Suprijono, 2012: 10). Hal itu memungkinkan dapat meningkatkan kualitas hasil belajar siswa. Siswa yang aktif dalam pembelajaran akan lebih mudah memahami pelajaran yang diberikan oleh guru dibandingkan dengan siswa yang hanya mendengarkan penjelasan dari guru. Ada kecenderungan bahwa siswa akan lebih mudah memahami suatu pelajaran apabila mereka itu melakukan dan mengalami sendiri hal tersebut. Pembelajaran yang hanya berlandaskan teori saja hanya akan membuat siswa dapat mengingat pelajaran dalam jangka waktu pendek. Berbeda dengan pembelajaran yang melibatkan siswa secara langsung mereka akan dapat mengingat apa yang telah mereka lakukan dari pada apa yang telah mereka pelajari dan menjadi ingatan jangka panjang (long term memory). Kualitas hasil belajar siswa dipengaruhi oleh bagaimana cara guru mengajar di kelas. Untuk dapat menyampaikan pelajaran dengan efektif dan efisien, guru perlu mengenal berbagai model belajar mengajar sehingga dapat memilih model yang paling tepat untuk suatu bidang pelajaran. Model tersebut dimaksudkan sebagai daya upaya guru dalam menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar mengajar, agar tujuan pembelajaran yang dirumuskan dapat tercapai dan berhasil guna (Isriani, 2012: 2). Pada dasarnya pembelajaran IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis. IPA merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala alam dan interaksi di dalamnya. Pembelajaran IPA bukan hanya penguasaan konsep atau kumpulan pengetahuan yang merupakan fakta atau prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pembelajaran IPA di SMP menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar. Untuk itu, guru perlu mengembangkan suatu strategi dalam pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi siswa sehingga keaktifan siswa dalam kegiatan belajar mengajar meningkat. Bruner (2008: 32) menyatakan bahwa pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa harus bersifat penemuan yang memungkinkan siswa dapat memperoleh informasi dan keterampilan baru dari pelajaran sebelumnya. Pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa belajar hendaknya lebih banyak melibatkan siswa daripada guru. Guru berfungsi sebagai fasilitator yang memfasilitasi kebutuhan belajar siswa. Motivasi belajar siswa terhadap bidang studi IPA sangat berpengaruh pada proses dan hasil belajar yang diraih siswa. Motivasi belajar adalah proses yang memberi semangat belajar, arah, dan kegigihan perilaku (Suprijono, 2012: 163). Menurut Rusyan (1994: 93), motivasi adalah dorongan yang tumbuh karena tingkah laku dan kegiatan manusia. Belajar membutuhkan motivasi yang secara konstan tetap tinggi dari para siswanya. Hamalik (2008: 65) menyatakan bahwa motivasi yang dimiliki siswa dalam setiap kegiatan pembelajaraan sangat berperan untuk meningkatkan hasil belajar dalam mata pelajaran tertentu. Siswa yang bermotivasi tinggi dalam belajar memungkinkan akan memperoleh hasil belajar yang tinggi pula, artinya semakin tinggi motivasinya, semakin kuat usaha yang dilakukan, maka semakin tinggi hasil belajar yang diperolehnya. Semakin rendah motivasi belajar Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
28
ISSN. 2355-0813
siswa maka semakin rendah pula hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di SMP Negeri 1 Prambanan Klaten dalam pembelajaran IPA masih mengalami kendala dalam pembelajaran, antara lain metode pembelajaran yang digunakan guru adalah ceramah dan demonstrasi. Guru lebih mendominasi pembelajaran dengan menjelaskan materi pokok yang sedang dipelajari, dan siswa mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru. Metode ceramah hanya mengutamakan produk atau hasilnya saja. Padahal dalam pembelajaran IPA, proses dan produk sama pentingnya serta tidak dapat dipisahkan. Metode ceramah tidak dapat memotivasi siswa untuk mengembangkan ide mereka dalam memecahkan permasalahan selama proses pembelajaran berlangsung. Pada saat guru melakukan demonstrasi, siswa hanya melihat demonstrasi yang dilakukan kemudian mencatat apa yang didapatkan dari penjelasan tersebut. Kedua metode tersebut dirasa kurang efektif untuk meningkatkan kualitas hasil belajar IPA sehingga hasil belajar yang dicapai siswa tidak maksimal. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar IPA siswa yang masih di bawah standar Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Kriteria Ketuntasan Minimal yang harus dicapai oleh siswa adalah 72. Hasil selengkapnya seperti pada tabel berikut. Tabel 1. Data Hasil Belajar IPA Siswa Kelas Nilai rata-rata kelas pelajaran IPA VIII A 70 VIII B 71 VIII C 65 VIII D 64 VIII E 70 VIII F 63 VIII G 69 Rendahnya hasil belajar IPA ini dipengaruhi oleh kurangnya motivasi belajar siswa selama proses pembelajaran. Siswa hanya memperoleh informasi yang disampaikan oleh guru. Siswa belum mampu untuk bertanya, mempertanyakan dan mengemukakan gagasannya sendiri atas suatu permasalahan yang sedang mereka hadapi. Akibatnya pemahaman atas apa yang mereka dapatkan belum tentu sesuai dengan apa yang sebenarnya tersirat dalam materi yang telah mereka pelajari. Oleh karena itu, penggunaan metode dan model pembelajaran yang tepat dan bervariasi diharapkan akan meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Menanggapi hal tersebut, maka terdapat satu model pembelajaran inovatif yang dapat digunakan untuk meningkatkan kompetensi dan hasil belajar siswa yaitu model pembelajaran inkuiri. Model pembelajaran inkuiri menekankan pada pengalaman belajar aktif yang berpusat pada siswa (student centered learning). Inkuiri berarti suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri (Isriani, 2012: 70). Model pembelajaran ini berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Sunaryo (2005: 95) menambahkan bahwa model pembelajaran inkuiri melibatkan siswa dalam tanya jawab, menjawab informasi, dan melakukan penyelidikan. Pembelajaran inkuiri berorientasi pada keterlibatan siswa secara maksimal dalam proses kegiatan belajar, keterarahan kegiatan secara maksimal dalam proses Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
29
ISSN. 2355-0813
kegiatan belajar, mengembangkan sikap percaya pada diri siswa tentang apa yang ditemukan dalam proses inkuiri. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai subyek dan objek dalam belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan model inkuiri adalah sebagai pembimbing dan fasilitator. Model pembelajaran inkuiri terbimbing menurut Sund dan Trowbrigde (Mulyasa, 2005: 9) mempunyai langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut. 1) Menyajikan pertanyaan atau masalah: Guru membimbing siswa mengidentifikasi masalah dan masalah dituliskan di papan tulis. Guru membagi siswa dalam kelompok; 2) Membuat hipotesis: Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk curah pendapat dalam membentuk hipotesis. Guru membimbing siswa dalam menentukan hipotesis yang relevan dengan permasalahan dan memprioritaskan hipotesis mana yang menjadi prioritas penyelidikan; 3) Merancang percobaan: Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan langkah-langkah yang sesuai dengan hipotesis yang akan dilakukan. Guru membimbing siswa mengurutkan langkah-langkah percobaan; 4) Mengumpulkan dan menganalisis data: Guru memberi kesempatan kepada setiap kelompok untuk menyampaikan hasil pengolahan data yang terkumpul; 5) Membuat kesimpulan: Guru membimbing siswa dalam membuat kesimpulan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui: (1) kecenderungan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri, (2) kecenderungan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung (direct instruction), (3) kecenderungan motivasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri, (4) kecenderungan motivasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung (direct instruction) dan secara komparatif untuk perbedaan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten antara pembelajaran menggunakan model inkuiri dan pembelajaran langsung (direct instruction) ditinjau dari motivasi belajar siswa. B. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini termasuk dalam kategori kuasi eksperimen, yaitu penelitian yang mendekati eksperimen semu (Cholid Narbuko, 2003: 53). Dalam penelitian ini terdapat tiga macam variabel meliputi variabel bebas yaitu model pembelajaran (A) yang terdiri dari model pembelajaran inkuiri (A1) dan model pembelajaran langsung (direct instruction) (A2), variabel sertaan/kovariat (X) yaitu motivasi belajar siswa dan variabel terikat (Y) yaitu hasil belajar IPA. Populasi penelitian ini adalah seluruh kelas VIII yang terdiri dari 7 kelas (A, B, C, D, E, F dan G) dengan jumlah siswa 238. Pengambilan sampel dengan teknik random sampling dengan cara diundi. Dari hasil pengundian terambil kelas VIII C yang terdiri dari 34 siswa (21 putri dan 13 putra) sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII D yang terdiri dari 33 siswa (25 putri dan 8 putra) sebagai kelas kontrol. Pengambilan data dilakukan dengan teknik dokumentasi untuk mengetahui kemampuan awal siswa, teknik angket untuk mengetahui motivasi belajar siswa, dan teknik tes untuk mengetahui hasil belajar IPA siswa. Ujicoba instrumen yaitu uji validitas butir soal dicari dengan rumus korelasi Product Moment. Butir soal yang valid ditetapkan sebagai item yang akan Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
30
ISSN. 2355-0813
digunakan untuk soal postes hasil belajar siswa yaitu sejumlah 30 soal. Uji reliabilitas soal menggunakan KR-20. Uji reliabilitas angket menggunakan rumus Alpha Cronbach. Teknik analisis data meliputi uji persyaratan analisis yang terdiri dari uji normalitas sebaran dengan Chi-Kuadrat, uji homogenitas varian dan uji linieritas hubungan dengan menggunakan uji F. Analisis secara deskriptif dibandingkan dengan kriteria kurva normal. Analisis secara komparatif dengan menggunakan ANACOVA 1 jalur. Metode ANACOVA digunakan untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan antara variabel kovariat dengan hasil belajar IPA. Asumsi analisis kovarian, bahwa data berdistribusi normal, varian homogen dan linieritas antar kovariat sudah terpenuhi.
C. HASIL PENELITIAN Deskripsi data tentang hasil belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan model inkuiri dan model pembelajaran langsung (direct instruction) ditinjau dari motivasi belajar siswa disajikan pada tabel 2 sebagai berikut. Tabel 2. Data Hasil Belajar dan Motivasi Belajar Siswa Hasil Belajar IPA Model
N
Mean
SD
Inkuiri Pembelajaran Langsung
34
23,12
2,22
Skor Minimu m 21
Skor Maksimu m 28
33
21,07
1,17
20
25 Skor Maksimu m 99 97
Motivasi Belajar Siswa Model
N
Mean
SD
Inkuiri Pembelajaran Langsung
34
83,3
9,50
Skor Minimu m 58
33
81,69
16,72
57
Deskripsi statistik hasil analisis data diperoleh gambaran bahwa rata-rata skor hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model inkuiri dan model pembelajaran langsung (direct instruction) masing-masing sebesar 23,13 dan 21,07. Skor motivasi belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan model inkuiri dan model pembelajaran langsung (direct instruction) sebesar 83,3 dan 81,69. Hasil uji prasyarat data, yaitu normalitas sebaran,homogenitas varians, dan linieritas hubungan menunjukkan bahwa skor pretest dan posttes memenuhi syarat untuk dilakukan uji analisis ANACOVA yaitu data berdistribusi normal, varians dari kedua kelompok tersebut homogen dan hubungan antar variabel tersebut linier. Dari hasil analisis regresi diperoleh hubungan Y= 47,738 + 0,352X dengan koefisien korelasi 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi α = 0,05. Hal ini berarti ada hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi belajar siswa dengan hasil belajar IPA. Berikut adalah grafik hubungan antara motivasi belajar siswa dengan hasil belajar IPA.
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
31
ISSN. 2355-0813
Gambar 1. Grafik Hubungan antara Motivasi Belajar Siswa dengan Hasil Belajar IPA Untuk mengetahui apakah ada perbedaan hasil belajar IPA antara pembelajaran dengan model inkuiri dan model pembelajaran langsung (direct instruction) ditinjau dari motivasi belajar siswa digunakan analisis kovarians satu jalur (ANACOVA). Dari hasil perhitungan uji hipotesis nihil diperoleh angka F sebesar 1,199 dengan nilai probabilitas sebesar 0,278. Jika angka probabilitas ini dibandingkan dengan angka signifikansi kategorik yaitu 0,05, maka terlihat bahwa angka ini jauh lebih besar sehingga dapat dipastikan bahwa hipotesis nihil dapat diterima dan hipotesis alternatif ditolak. Hal ini berarti bahwa varian variabel terikat adalah sama (homogen). Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Hasil Perhitungan Uji Hipotesis Nihil F df1 df2 Sig. 1.199 1 65 0.278 Dari hasil analisis ini, sebelum motivasi belajar dikendalikan diperoleh F hitung sebesar 17,023 dan 0,265 untuk angka signifikansi. Besarnya angka signifikansi adalah 0,265 lebih besar dari 0,05. Ketentuan yang berlaku adalah jika sig (p) > 0,05 maka hipotesis nihil diterima sedangkan jika sig (p) < 0,05 maka hipotesis nihil ditolak. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa sig (p) = 0,265 > 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan jenis model yang berbeda, dengan melakukan kontrol terhadap hasil belajar sebelum perlakuan diberikan. Setelah motivasi belajar dikendalikan, diperoleh F hitung sebesar 15,875 dan 0,000 untuk angka signifikansi. Dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa sig (p) = 0,000 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran langsung (direct instruction) ditinjau dari motivasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014. Hasil perhitungan dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4. Hasil Perhitungan ANACOVA
Source Corrected Intercept Model model * motivasi
Type III Sum of 437.32 Squares 3557.19 6a 6437.32 6
df 2 1 2
Mean Square F Sig 218.663 .000 . 3557.196 15.875 .000 218.663 154.32 .000 15.875 8
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
32
ISSN. 2355-0813
Error 1475.17 64 23.050 5 Total 376017.6 67 101912.50 66 Corrected Total 2 pembelajaran yang lebih baik antara model Untuk menentukan model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran langsung digunakan uji-t. Dari hasil uji-t diperoleh t hitung sebesar 20,845 dan nilai sig. (p) = 0,000 ≤ 0,05 maka hipotesis diterima dan signifikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran inkuiri lebih baik dari pada model pembelajaran langsung/direct instruction. Sumbangan kontribusi variabel terikat (model pembelajaran) terhadap hasil belajar IPA hanyalah 0,16 % sementara kontribusi variabel kovariat/sertaan (motivasi belajar) terhadap hasil belajar sebesar 99,84 %. D. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini hasil analisis menunjukkan bahwa kecenderungan hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model inkuiri termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini disebabkan dalam pembelajaran dengan menggunakan model inkuiri siswa terlibat langsung dalam pembelajaran. Model pembelajaran inkuiri melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri. Model pembelajaran ini berupaya menanamkan dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Siswa tidak hanya diam mendengarkan penjelasan dari guru melainkan siswa berperan aktif dalam mengembangkan ide-ide mereka untuk memecahkan permasalahan dan mengambil kesimpulan. Dengan demikian pemahaman dan ingatan yang diperoleh tidak mudah hilang dan akan menjadi ingatan jangka panjang (long term memory) karena mereka terlibat langsung dalam pembelajaran. Begitu juga dengan kecenderungan motivasi belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan model inkuiri termasuk ke dalam kategori tinggi. Hal ini terlihat dari antusias siswa ketika mereka berpendapat dan mulai dapat mengembangkan ide-ide mereka dalam memecahkan permasalahan yang diberikan oleh guru. Mereka juga terlihat aktif dalam pembelajaran. Siswa mulai berani berhipotesis terhadap masalah-masalah yang diberiakn oleh guru. Berbeda dengan hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung meskipun termasuk ke dalam kategori tinggi akan tetapi masih mempunyai skor rata-rata di bawah siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri. Hal ini disebabkan karena guru terlibat aktif dalam pembelajaran sehingga siswa cenderung pasif. Guru kurang memberikan pelatihan awal, mengajarkan keterampilan dasar sehingga siswa sangat bergantung dari guru dan keberhasilan yang dicapai siswa sangat bergantung pada gaya komunikasi guru. Jadi model pembelajaran langsung/direct instruction kurang efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran karena siswa belum cukup memahami informasi yang disampaikan oleh guru sehingga ilmu yang diperoleh akan mudah hilang dari ingatan. Kecenderungan motivasi belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung termasuk dalam kategori tinggi tetapi rata-ratanya masih di bawah siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri. Hal ini terlihat dari keaktifan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Hanya siswa yang aktif saja yang mau bertanya dan mengeluarkan Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
33
ISSN. 2355-0813
pendapat. Siswa yang pasif hanya diam mendengarkan penjelasan dari guru. Dari hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi belajar siswa dengan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siswa yang mempunyai motivasi belajar tinggi akan dengan cepat menguasai materi. Siswa yang motivasinya rendah akan menangkap materi dengan lebih lambat. Dalam pengujian hipotesis disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten antara pembelajaran dengan model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran langsung (direct instruction) ditinjau dari motivasi belajar siswa. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 berarti p ≤ 0,05. Karena F hitung > F tabel pada taraf signifikan 5% atau p (sig) < 0,05, ini bearti ada pengaruh yang positif dan signifikan antara model pembelajaran terhadap hasil belajar IPA. Sebelum diberi perlakuan siswa berangkat dari kemampuan awal yang sama akan tetapi setelah diberi perlakuan yaitu dengan menggunakan model pembelajaran yang berbeda ternyata kedua kelompok tersebut mempunyai hasil belajar yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran berpengaruh pada hasil belajar siswa. Untuk menentukan model pembelajaran yang lebih baik, dilakukan dengan cara membandingkan rata-rata hasil belajar yang diperoleh kedua kelompok tersebut. Nilai rata-rata kelas yang pembelajarannya menggunakan model inkuiri adalah 77,06 sedangkan hasil belajar dengan model pembelajaran langsung adalah 70,19. Jika dilihat dari skor rata-rata dari masing-masing model, maka skor rata-rata hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri lebih besar dari skor rata-rata hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran inkuiri lebih baik dari pada model pembelajaran langsung. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar IPA yang pembelajarannnya menggunakan model pembelajaran inkuiri lebih tinggi dari pada hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung. Ini berarti bahwa model pembelajaran inkuiri lebih baik dari pada model pembelajaran langsung. Siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri lebih aktif dan kreatif dalam mengembangkan ide-ide mereka dalam memecahkan permasalahan. Mereka mulai berani bertanya, mengeluarkan pendapat dan mengambil kesimpulan. Model pembelajaran inkuiri juga mengajarkan siswa untuk dapat menemukan konsep sendiri karena mereka mempunyai peranan yang penuh secara keseluruhan dalam pembelajaran. Hal ini akan menjadikan ingatan yang lebih tahan lama dan mudah dimengerti artinya pengetahuan yang diperoleh akan sulit hilang dari ingatan. Sementara siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung (direct instruction) tidak semua siswa dapat berpendapat mengembangkan ide-ide mereka dalam memecahkan masalah. Hanya siswa yang aktif yang mau berpendapat dalam memecahkan permasalahan. Siswa yang lain hanya pasif mendengarkan penjelasan dari guru. Hal ini disebabkan guru berperan aktif dalam mengusung pelajaran dalam pembelajaran di kelas sehingga siswa hanya mendapatkan teori dari guru saja. Pembelajaran yang hanya berlandaskan teori saja hanya akan membuat siswa dapat mengingat pelajaran dalam jangka waktu pendek. Model pembelajaran inkuiri meningkatkan motivasi belajar siswa. Siswa merasa tertarik dengan hal-hal yang mereka temukan melalui proses inkuiri. Mereka Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
34
ISSN. 2355-0813
tidak hanya diam mendengarkan penjelasan guru saja, melainkan mereka harus berhipotesis dan melakukan percobaan untuk membuktikan hipotesis mereka. Hal tersebut yang memotivasi siswa selama proses pembelajaran. Bearti dapat dikatakan bahwa model pembelajaran berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Jika dibandingkan antara model pembelajaran inkuiri dan model pembelajaran langsung, ternyata model pembelajaran langsung lebih rendah. Hal ini dimungkinkan dalam pembelajaran ini yang aktif bukan siswanya melainkan guru. Dengan demikian hasil belajar IPA apabila dalam pembelajarannya diterapkan model pembelajaran inkuiri, maka hasil belajarnya akan meningkat. E. SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kecenderungan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014 yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri adalah tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata = 23,117 dan berada pada interval 18,09 – 23,26. Kecenderungan motivasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014 yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri adalah tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata yang diperoleh yaitu 83,3 dan terletak pada interval 76,68 – 92,03. Kecenderungan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014 yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung (direct instruction) adalah tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata = 21,069 dan berada pada interval 18,09 – 23,26. Kecenderungan motivasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014 yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung (direct instruction) adalah tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata yang diperoleh yaitu 81,697 dan terletak pada interval 76,68 – 92,03. Secara komparatif ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014 antara pembelajaran dengan model inkuiri dan model pembelajaran langsung (direct instruction) ditinjau dari motivasi belajar siswa. Dilihat dari reratanya ternyata hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran inkuiri lebih tinggi dibandingkan dengan hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung. Berarti ada pengaruh model pembelajaran inkuiri terhadap hasil belajar IPA ditinjau dari motivasi belajar siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014. Berdasarkan hasil penelitian di SMP Negeri 1 Prambanan Klaten tahun ajaran 2013/2014, maka diharapkan guru dapat meningkatkan kualitas mengajar dengan cara memilih model pembelajaran yang tepat agar diperoleh hasil belajar yang maksimal yaitu dengan menerapkan model pembelajaran inkuiri dalam membelajarkan IPA. Selain itu hendaknya siswa meningkatkan keaktifannya dalam kegiatan pembelajaran dengan cara terlibat aktif dalam pembelajaran sehingga siswa dapat mengemukakan pendapat dan mengembangkan ide-ide mereka dalam memecahkan suatu permasalahan. F. DAFTAR PUSTAKA Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Sinar Grafika Hardini, Isriani & Puspitasari, Dewi. 2012. Strategi Pembelajaran Terpadu: Teori, Konsep dan Implementasi. Yogyakarta: Familia. Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
35
ISSN. 2355-0813
Narbuka, Cholid. 2003. Model Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara Sanjaya, Wina. 2008. Strategi Pembelajaran: Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sudjana, Nana. 1990. Teori Belajar untuk Pengajaran. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sunaryo. 2005. Strategi Belajar Mengajar Dalam Pengajaran IPS. Jakarta: FPIPS IKIP Malang. Suprijono, Agus. 2012. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tabrani, Rusyan. at.al. 1994. Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosdakarya.
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
36
ISSN. 2355-0813
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) UNTUK MENINGKATKAN KECAKAPAN SOSIAL (SOCIAL SKILLS) DAN HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS VIIIE DI SMP NEGERI 12 YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2012/2013 Rizky Ridha Syafika dan Astuti Wijayanti Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Abstract This research was to improve social skills and the result of scientific of students study with aplication of cooperative learning model Teams Games Tournament (TGT) type. This was because there was learning problem in the class of VIII E Junior High School 12 Yogyakarta. That was 1) the result of scientific of students study was low; 2) students antusiasm in the learning activity was low; 3) interaction student with student and student with teacher was low; 4) students was pasive; and 5) the students social skills in the case of empatic, cooperative, and solidarity communication was low. The learning metode that was applied was the result of class action. In this result teacher o researcher and to be observer. The subject o this research was the student o class VIII E Junior High School 12 Yogyakarta which has 32 students. The object this research was coperative learning model TGT, social skills, and the result of students study. After using cooperative learning model TGT, this research was down in 2 cycle ang it every cycle consist of planning, acting, observation, and reflection. The technic data collection through observation sheet, interview, westionair, field note, test, and documentation. The research result indicated that social skills ang the result of scientific students study can improve after giving action. Social skills had increase which was indicated with by its appearing student social skills in every cycle as case of empatic, cooperative, and solidarity skills. The improvement result of scientific student amount was achieve minimum thoroughness criteria > 65% and improvement average at evaluation value in every cycle it was from 70,14 at first cycle to be 84,38 at second cycle. The efforts was down the teacher need impove assistance on group, study group with intensive in order to the student can to cooperative, to empatic, and to solidarity, and the teacher need giving motivation in order to students have believe in with capability students. Keywords : Cooperative, TGT, Social Skills, Student Result A. Pendahuluan Perkembangan bangsa-bangsa di dunia memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain. Setiap bangsa dan negara memiliki kemampuan sendiri-sendiri dalam membangun negaranya. Pembangunan suatu negara tidak ditentukan oleh seberapa banyak potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang dapat diolah, tetapi kemajuan pembangunan ditentukan oleh kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu mengolah, merancang strategi, merancang metode serta melaksanakan tugas pembangunan itu (Triyono, 2005: 1). Pembentuk SDM berkualitas dapat menjadi motor penggerak pembangunan. Salah satu upaya peningkatan SDM dapat dilakukan melalui peningkatan mutu pendidikan. Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
37
ISSN. 2355-0813
Persoalan yang kini dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia adalah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan umumnya dikaitkan dengan tinggi rendahnya prestasi yang ditunjukkan dengan kemampuan siswa mendapat skor dalam tes, kemampuan lulusan mendapatkan dan melaksanakan pekerjaan. Kualitas pendidikan dianggap penting karena sangat menentukan gerak laju pembangunan di suatu negara. Oleh karena itu, hampir semua negara di dunia menghadapi tantangan untuk melaksanakan pembaharuan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dari data hasil survei Depdiknas (2002: 2) menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia kurang menggembirakan. Hasil studi the International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R 1999) melaporkan bahwa siswa SLTP Indonesia menempati peringkat 32 untuk IPA dan 34 untuk matematika dari 38 negara yang survai di Asia, Australia, dan Afrika. Indonesia telah lama berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Berbagai inovasi dan program pendidikan telah dilaksanakan, antara lain penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar, dan buku referensi lainnya, peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan lainnya melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi pendidikan, peningkatan manajemen pendidikan, serta pengadaan fasilitas lainnya. Depdiknas (2002: 1) menyatakan bahwa keberhasilan program pendidikan melalui proses belajar mengajar di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu siswa, kurikulum, tenaga kependidikan, biaya, sarana, dan prasarana serta faktor lingkungan. Apabila faktor-faktor tersebut dapat terpenuhi sudah tentu akan memperlancar proses belajar mengajar, yang akan menunjang pencapaian hasil belajar yang maksimal dan kualitas kecakapan siswa yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu pendidikan. Delors (Anwar, 2004: 5) menyatakan bahwa UNESCO merekomendasikan adanya “empat pilar pembelajaran”, yaitu program pembelajaran yang diberikan hendaknya mampu memberikan kesadaran kepada masyarakat sehingga mau dan mampu belajar (learning to know or learning to learn). Bahan ajar yang dipilih hendaknya mampu memberikan suatu pekerjaan alternatif kepada siswanya (learning to do), dan mampu memberikan motivasi untuk hidup dalam era sekarang dan memiliki orientasi hidup ke masa depan (learning to be). Pembelajaran tidak cukup hanya diberikan dalam bentuk keterampilan untuk dirinya sendiri, tetapi juga keterampilan untuk hidup bertetangga, bermasyarakat, berbangsa, dan hidup dalam pergaulan antar bangsabangsa dengan semangat kesamaan dan kesejajaran (learning to live together). Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah memegang peranan penting dalam membentuk siswa menjadi berkualitas. IPA merupakan suatu sarana berpikir untuk mengkaji sesuatu secara ilmiah. Menurut Trianto (2010: 141), hakikat IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala melalui serangkaian proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep, prinsip, dan teori yang berlaku secara universal. Pada kenyataan di sekolah, pelajaran IPA merupakan salah satu pelajaran yang dianggap sulit oleh sebagian besar siswa. Siswa kurang meminati mata pelajaran IPA bahkan memandang bahwa Ilmu Pengetahuan Alam adalah sesuatu yang tidak bersahabat, membosankan, banyak hitungan dan hafalan. Oleh karena itu, guru IPA perlu menerapkan model pembelajaran yang bervariasi dalam proses
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
38
ISSN. 2355-0813
pembelajaran IPA sehingga IPA tidak lagi menjadi hal yang sulit akan tetapi menarik dan menyenangkan. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru mata pelajaran IPA kelas VIII E di SMP Negeri 12 Yogyakarta diketahui bahwa terdapat kendala dalam pelaksanaan pembelajaran IPA. Kendala yang dihadapi yaitu: 1) penguasaan materi IPA oleh siswa masih tergolong rendah; 2) kurangnya antusias siswa untuk belajar; 3) kurangnya interaksi antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru; 4) siswa lebih cenderung menerima yang disampaikan oleh guru, diam, dan enggan dalam mengemukakan pertanyaan maupun pendapat. Kendala tersebut menyebabkan hasil belajar siswa menjadi kurang maksimal. Hal ini dapat dilihat pada hasil rata-rata nilai UTS dan UAS siswa kelas VIII E pada mata pelajaran IPA. Kendala lain yang tampak saat observasi yaitu pada kelas VIII E kecakapan sosial siswa pada pembelajaran IPA yang masih rendah. Kecakapan sosial ini belum terlihat ketika pembelajaran dengan kerja kelompok. Pada saat kerja kelompok, anggota belum mampu bekerjasama. Interaksi dengan siswa yang lain melalui komunikasi langsung masih kurang, baik secara lisan maupun tulisan, selain itu juga dalam kerja kelompok belum ada keterbukaan dan kepercayaan, saling empati, dan tanggung jawab demi tujuan bersama. Siswa masih cenderung ramai, belum fokus pada masalah yang harus dipecahkan pada diskusi kelompok dan keterlibatan siswa dalam diskusi kelompok masih kurang. Satu atau dua orang siswa yang memiliki kemampuan tinggi lebih dominan dalam diskusi kelompok. Untuk meningkatkan kecakapan sosial dan hasil belajar siswa perlu dikembangkan suatu model pembelajaran yang memberikan lingkungan yang kondusif bagi siswa untuk bertukar pendapat atau informasi, bekerja sama dengan teman, berinteraksi dengan guru, merespon pemikiran siswa lain, dapat membina kebersamaan, peduli satu sama lain, dan tenggang rasa. Salah satu model pembelajaran yang dapat dikembangkan adalah model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif dapat mengubah pembelajaran yang semula teacher centered menjadi student centered. Siswa akan lebih aktif dan kegiatan belajar akan maksimal serta lebih bermakna. Model pembelajaran kooperatif tipe TGT memungkinkan siswa untuk mengembangkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan secara penuh dalam suasana belajar yang terbuka, siswa bukan lagi sebagai objek pembelajaran namun dapat berperan sebagai tutor bagi teman sebayanya. Pembelajaran ini didahului dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk pemahaman materi siswa, kemudian untuk mengulang kembali materi digunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Menurut Slavin (2008: 166), pembelajaran kooperatif tipe TGT terdiri dari 5 langkah tahapan yaitu presentasi kelas (class presentation), belajar kelompok (teams), permainan (games), pertandingan (tournament), dan penghargaan kelompok (teams recognition). Presentasi kelas (class presentation) merupakan tahap dimana siswa mempresentasikan hasil diskusi kelompok di depan kelas. Tahap ini melatih kecakapan berkomunikasi siswa dan kepercayaan diri siswa serta tanggungjawab yang dibebankan kepada siswa oleh guru. Belajar dalam kelompok siswa belajar bersama dengan anggota kelompoknya untuk menyelesaikan masalah dan tugas yang diberikan guru. Siswa diberikan kebebasan untuk belajar bersama dan saling membantu teman kelompok untuk pemahaman materi. Siswa diharapkan dapat berinteraksi dengan siswa lain, saling berbagi ide, dan bekerjasama. Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
39
ISSN. 2355-0813
Permainan dan pertandingan dilakukan untuk mengetahui pengetahuan dan pemahaman siswa setelah melakukan presentasi kelas dan diskusi kelompok, siswa bermain dan bertanding dalam menjawab kartu soal dan menyumbangkan poin untuk kelompoknya. Kegiatan ini mampu memotivasi siswa untuk selalu meningkatkan hasil belajar siswa. Penghargaan kelompok dalam pembelajaran diberikan berdasarkan keberhasilan yang diperoleh kelompok yang ditentukan oleh keberhasilan masing-masing anggotanya dalam game dan tournament. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah 1) Bagaimana upaya menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) untuk meningkatkan kecakapan sosial (social skills) siswa kelas VIII E di SMP Negeri 12 Yogyakarta?; dan 2) Bagaimana upaya menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) untuk meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas VIII E di SMP Negeri 12 Yogyakarta? B. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 12 Yogyakarta yang berlokasi di Jalan Tentara Pelajar No. 9 Bumijo, Jetis Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2012/2013 yaitu pada tanggal 4 Maret s/d 22 Agustus 2013. Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII E SMP Negeri 12 Yogyakarta yang berjumlah 32 siswa, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament, kecakapan sosial, dan hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament. Penelitian ini berupa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan melalui siklus yang terdiri dari 4 langkah, yaitu plan (perencanaan), action (tindakan), observation (observasi), dan reflection (refleksi) (Wijaya dan Dedi, 2010:39). Rancangan tindakan pada siklus pertama adalah sebagai berikut. Tahap perencanaan, mencakup kegiatan mempersiapkan lembar observasi guru, siswa dan angket keterampilan sosial; menyiapkan perangkat pembelajaran dan merancang RPP pembelajaran IPA dengan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament; membentuk kelompok TGT dan menyiapkan tes hasil belajar. Tahap pelaksanaan, dilakukan dengan mengadakan pembelajaran sesuai langkah-langkah TGT. Pembelajaran dilakukan oleh guru kelas, sedangkan mahasiswa berperan sebagai observer. Tahap observasi dilakukan observer dengan mengamati proses pembelajaran IPA (akivitas guru dan siswa). Observasi diarahkan pada poin-poin dalam pedoman yang telah disiapkan peneliti. Selain itu, untuk memperoleh data yang akurat, peneliti juga melakukan wawancara dengan para siswa mengenai poin-poin tertentu yang perlu ditanyakan dan angket siswa untuk memperoleh data yang lengkap. Tahap refleksi dilakukan guru dan peneliti dengan cara menganalisis hasil pekerjaan siswa, hasil observasi, wawancara, angket, dan catatan lapangan. Dengan demikian, analisis dilakukan terhadap proses dan hasil pembelajaran. Berdasarkan analisis tersebut diperoleh rekomendasi fase mana yang perlu diperbaiki atau disempurnakan dan fase mana yang telah memenuhi target. Perbaikan tersebut digunakan sebagai tindakan siklus berikutnya.
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
40
ISSN. 2355-0813
Tabel 1. Data Persentase Kecakapan Sosial Siswa Siklus I Persentase No Aspek Kecakapan Sosial 1 Kecakapan Berkomunikasi dengan Empati 80% 2 Kecakapan Bekerjasama 75% 3 Kecakapan Bersolidaritas 50% Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa kecakapan sosial siswa dilihat dari aspek siswa dalam bersolidaritas menunjukkan persentase yang paling rendah (50%). Hal ini dikarenakan siswa belum menunjukkan antusiasme dalam pembelajaran dan masih mengganggu diskusi kelompok lain. Selanjutnya disusul siswa yang cakap dalam bekerjasama (75%), dalam pembelajaran keaktifan siswa dalam bekerjasama masih kurang maksimal dan belum menunjukkan kekompakan kelompok. Hal ini dikarenakan siswa belum terbiasa dalam kerja kelompok. Pada kecakapan berkomunikasi dengan empati (80%), dalam pembelajaran siswa belum menunjukkan antusias dalam kegiatan diskusi dan presentasi. Hasil belajar IPA siswa kelas VIII E pada siklus I materi bunyi yang telah diajar dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat diketahui hasilnya. Hasil belajar ini diperoleh hasil evaluasi tes siklus 1, dimana terdapat 7 siswa yang belum tuntas. Rata-rata nilai hasil belajar siklus I yaitu sebesar 70,14 dan dengan nilai KKM sebesar 70. Nilai terendah yaitu 58,33, sedangkan nilai tertinggi yaitu 100. Keseluruhan kegiatan pembelajaran pada siklus I ini mengalami beberapa kendala antara lain: 1) pada saat pembagian kelompok siswa terlihat gaduh dan beberapa siswa menolak untuk bergabung dengan kelompok yang telah ditentukan guru; 2) pada saat kegiatan diskusi kelompok siswa belum menunjukkan kerjasama dalam kelompok, hal ini terlihat beberapa siswa masih mengobrol dan tidak ikut dalam diskusi kelompok; 3) pada saat presentasi kelas siswa belum menunjukkan kepercayaan diri dalam mempresentasikan hasil diskusi kelompok; 4) pada saat game dan tournament siswa terlihat ramai dan tidak mematuhi aturan TGT yang telah disepakati; dan 5) hasil belajar beberapa siswa masih belum memenuhi KKM. Beberapa kendala pada pembelajaran TGT siklus I tersebut direfleksi dan dicarikan solusi agar pada pembelajaran TGT siklus II tidak ditemukan kendalakendala tersebut. Upaya yang dilakukan yaitu antara lain: 1) seorang guru menambah intensif pendampingan dan lebih sering memberikan motivasi kepada siswa terutama pada siswa yang belum tuntas; 2) seorang guru memberikan dorongan kepada siswa agar berani mengungkapkan pendapat dalam kelompoknya; 3) dalam pelaksanaan pembelajaran TGT maupun belajar kelompok, guru harus lebih bersikap tegas, agar mereka bekerjasama dalam mengerjakan tugas yang diberikan guru; 4) guru menjelaskan kembali aturan TGT yang telah disepakati; 5) guru menghimbau kembali setelah kartu jawaban dibacakan untuk dapat membahas soal secara bersama-sama jika terdapat perbedaan jawaban; dan 6) guru memberikan batasan waktu pelaksanaan TGT secara jelas. 2. Siklus II Pada pelaksanaan tindakan siklus II ini, guru berusaha melaksanakan pembelajaran agar sesuai dengan rekomendasi tindakan dari refleksi siklus I. Kegiatan pembelajaran diawali dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai dengan maksud agar siswa memiliki gambaran jelas tentang pengetahuan yang akan diperoleh setelah proses pembelajaran berlangsung. Guru juga melakukan tindakan perbaikan sebagaimana yang telah direncanakan. Pada Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
41
ISSN. 2355-0813
siklus II siswa sudah menunjukkan keaktifan dalam pembelajaran dan diskusi, hal ni dikarenakan siswa mulai terbiasa dengan kegiatan ini. Pada saat pembagian kelompok, siswa langsung menempatkan diri untuk bergabung dengan kelompok mereka. Guru kemudian memberikan bahan diskusi berupa LKS tentang materi cahaya kepada setiap kelompok. Guru mengkonfirmasi kesiapan kelompok dalam melakukan diskusi dan mengkondisikan siswa untuk melakukan diskusi dan mengerjakan tugas LKS. Tiap siswa diberi kesempatan oleh guru untuk berdiskusi. Pada saat mengerjakan, beberapa siswa mulai menunjukkan keikutsertaan dan keaktifan mereka dalam kegiatan diskusi. Siswa terlihat sudah mampu berpendapat, bertanya dan menghargai jawaban teman yang lainnya. Setelah siswa melakukan diskusi kelompok, guru memberikan kesempatan kepada salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi mereka. Tanpa menunggu lama, salah satu siswa sudah berani tampil ke depan kelas mempresentasikan hasil diskusi kelompok siswa. Siswa yang mempresentasikan sudah terlihat percaya diri. Guru kemudian memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk menanggapi. Siswa yang berada paling depan mengangkat tangan dan menanggapi hasil presentasi siswa. Begitu pula pada saat game dan tournament siswa terlihat aktif dan antusias. Siswa telah dapat melaksanakan aturan TGT yang telah disepakati dan berusaha dengan sungguh-sungguh dalam TGT. Kecakapan sosial siswa pada siklus II mengalami peningkatan. Dalam berkomunikasi dengan guru dan teman, siswa menunjukkan rasa empati yaitu melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh, menghargai pendapat orang lain, menyatakan pendapat, dan mampu mengajukan pertanyaan. Hasil observasi kecakapan sosial siswa dalam kelompok pada siklus II dapat dilihat pada tabel 2 berikut. Tabel 2. Data Persentase Kecakapan Sosial Siswa Siklus II No
Aspek Kecakapan Sosial
Persentase
1 2 3
Kecakapan Berkomunikasi dengan Empati 87,5% Kecakapan Bekerjasama 83,3% Kecakapan Bersolidaritas 75% Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa kecakapan sosial siswa dilihat dari aspek siswa dalam bersolidaritas menunjukkan persentase yang paling rendah (75%), disusul siswa yang cakap dalam bekerjasama (83,3%), dan siswa yang dalam mampu berkomunikasi dengan empati (87,5%) dengan persentase tertinggi. Berikut disajikan diagram persentase kecakapan sosial siswa siklus I dan II, sehingga terlihat peningkatan kecakapan kecakapan sosial siswa.
Prosentase Kecakapan Sosial
Hasil Observasi Kecakapan Sosial 100
kecakapan berkomunikasi dengan empati
80 60
kecakapan bekerjasama
40 20
kecakapan bersolidaritas
0 siklus I siklus II
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
42
ISSN. 2355-0813
Gambar 1. Grafik Kecakapan Sosial Siswa pada Siklus I dan Siklus II Pembelajaran yang telah dilakukan pada siklus II dapat diketahui peningkatan hasil belajar IPA materi cahaya yang diajar dengan pembelajaran kooperatif tipe TGT. Hasil yang diperoleh terdapat 4 siswa yang belum tuntas dan sisanya sudah memenuhi KKM. Rata-rata nilai evaluasi siswa pada siklus II setelah pelaksanaan pembelajaran TGT adalah 84,38 dengan nilai KKM sebesar 70. Nilai terendah yaitu 64. Sedangkan nilai tertinggi yaitu 100. Hasil belajar berasal dari kemampuan awal yaitu dari nilai mid semester genap, nilai evaluasi setelah tindakan TGT siklus I dan siklus II. Berikut perbandingan antara kemampuan awal, nilai siklus I dan siklus II. Tabel 3. Perbandingan Antara Kemampuan Awal, Nilai Siklus I dan Siklus II Kemampuan Keterangan/Nilai Siklus I Siklus II Awal Jumlah peserta tes 32 32 32 Rata-rata 67,72 70,14 84,38 Σ nilai ≥70 19 25 28 Berdasarkan tabel di atas, terlihat peningkatan nilai rata-rata ulangan harian dan jumlah siswa yang sudah memenuhi KKM pada tiap siklusnya. Pada kemampuan awal nilai rata-rata ulangan harian sebesar 67,72 dan jumlah siswa yang KKM sebanyak 19 siswa. Pada siklus I nilai rata-rata ulangan harian sebesar 70,14 dan jumlah siswa yang KKM sebanyak 25 siswa. Pada siklus II nilai rata-rata ulangan harian sebesar 84,38 dan jumlah siswa yang KKM sebanyak 28 siswa. Hasil belajar siswa mengalami peningkatan pada setiap siklusnya. Hal ini dikarenakan salah satu tahapan dalam pembelajaran TGT adalah game dan tournament. Setiap kelompok berlomba dan bekerjasama untuk mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya agar kelompoknya menjadi yang terbaik. Dengan kata lain, setiap siswa akan termotivasi untuk belajar dan memperhatikan pelajaran dengan baik karena setiap anggota kelompok memiliki tanggungjawab yang sama dalam keberhasilan kelompok. Selain itu, hasil belajar ini dapat mengalami peningkatan dikarenakan salah satu kelebihan dari TGT yaitu meningkatkan pemahaman dan keterampilan siswa dalam mengaplikasikan solusi/jawaban yang tepat untuk permasalahan tertentu. Berikut peningkatan nilai siswa sebelum tindakan dan setelah dilakukan tindakan. 300
250 200 150 100 50 0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31
Nilai Kemampuan Awal
Nilai Siklus I
Nilai Siklus II
Gambar 2. Grafik Pencapaian Nilai Kemampuan Awal, Siklus I dan Siklus II
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
43
ISSN. 2355-0813
Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat peningkatan pencapaian nilai siswa dari kemampuan awal, siklus I, dan pada siklus II. Dengan demikian dapat disimpulkan hasil belajar IPA siswa kelas VIII E SMP Negeri 12 Yogyakarta meningkat. Berdasarkan data yang diperoleh dari lembar observasi, catatan lapangan, nilai game dan tournament, dapat disimpulkan bahwa kecakapan sosial siswa dan hasil belajar IPA dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT di kelas VIII E SMP Negeri 12 Yogyakarta mengalami peningkatan. F. Simpulan Secara ringkas, simpulan hasil penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. Pelaksanaan pembelajaran di kelas VIII E SMP N 12 Yogyakarta sudah sesuai dengan rencana pembelajaran yaitu dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Upaya yang dilakukan seorang guru adalah perlu 1) menambah intensif pendampingan dan lebih sering memberikan motivasi kepada siswa terutama pada siswa yang belum tuntas; 2) memberikan dorongan kepada siswa agar berani mengungkapkan pendapat dalam kelompoknya; 3) dalam pelaksanaan pembelajaran TGT maupun belajar kelompok, guru harus lebih bersikap tegas, agar mereka bekerjasama dalam mengerjakan tugas yang diberikan guru; 4) guru menjelaskan kembali aturan TGT yang telah disepakati; 5) guru menghimbau kembali setelah kartu jawaban dibacakan untuk dapat membahas soal secara bersama-sama jika terdapat perbedaan jawaban; dan 6) guru memberikan batasan waktu pelaksanaan TGT secara jelas. (c) Melalui pembelajaran kooperatif tipe TGT, siswa dapat berkelompok secara intensif, siswa dapat belajar bekerjasama, berempati dan bersolidaritas, siswa memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuan dirinya, siswa merasa tertantang dan antusias dalam belajar. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan kecakapan sosial siswa kelas VIII E. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya beberapa aspek kecakapan sosial ketika pembelajaran berlangsung yaitu kecakapan berkomunikasi dengan empati, kecakapan bekerjasama, dan kecakapan bersolidaritas, (b)Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe teams games tournament (TGT) dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa. Hal ini ditunjukkan dengan hasil belajar IPA siswa kelas VIII E SMP Negeri 12 Yogyakarta yang mengalami peningkatan dari nilai rata-rata 67,72 pada kemampuan awal menjadi 70,14 pada siklus I dan pada siklus II meningkat menjadi 84,38. Berdasarkan nilai belajar IPA yang diperoleh pada siklus I dan siklus II, siswa yang memperoleh nilai mengalami peningkatan dari 25 siswa (66,67%) pada siklus I menjadi 28 siswa (87,5%) pada siklus II. Dengan kata lain siswa telah mencapai ketuntasan secara perorangan.
G. Daftar Pustaka Anita Lie. 2002. Cooperative Learning: Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Gramedia Anwar . 2004. Pendidikan Kecakapan Hidup. Bandung: Alfabeta. Depdiknas. 2002. Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill) Melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas Broad Based Education (BBE). Jakarta http://kireyinha.blogspot.com/2011/07/model-pembelajaran-kooperatif-tipe-tgt.html diakses tanggal 1 April 2013.
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
44
ISSN. 2355-0813
http://mustofasmp2.wordpress.com/2009/02/07/pentingnya-ketrampilan-sosial/ diakses tanggal 18 Maret 2013 pukul 23:43. Isjoni. 2009. Pembelajaran Kooperatif Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta Didik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Muslimin Ibrahim, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press. Robert E. Slavin. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktis. Boston: Allyn and Bacon. Rochiati Wiriaatmadja. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya. Trianto. 2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara Triyono. 2005. Analisis Kecakapan Sosial (Social Skills) Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Muhammadiyah Prambanan Yogyakarta. Skripsi: UNY Wijaya dan Dedi. 2010. Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta: Indeks. W. J. S. Poerwadarminta. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara Zainal Arifin. 2011. Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
45
ISSN. 2355-0813
STUDI KORELASI KUALITAS SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH BIOLOGI DASAR DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU PENGETAHUAN ALAM FKIP UST SEMESTER GASAL TAHUN AJARAN 2010/2011 Widowati Pusporini Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta ABSTRACT Testing of the student’s ability is required to know the success of the learning activity process. The purpose of the study is to describe the characteristic of the final term examination test quality of Basic Biology Course of Natural Science study Program FKIP UST on the odd term in Academic Year of 2010/2011 reviewed from the theorical and empirical aspect. he study aimed to determine the relationship of the final term examination test quality of basic Biology course. The process are blue print establishment, optional objective test determination, assessment criteria, examination, revision, and trial. The test characteristic clarified as follows: good content validity, content validity resulted through item examination by practitioners and experts.. The responses of the student are analyzed quantitavely to obtain the psychometric characteristic of the test. This study was carried out in the Natural Science Education Study Program FKIP UST Yogyakarta. The sample of research are 46 students of Natural Science Education Study Program FKIP UST attended the Basic Biology Course on the odd term in Academic Year of 2010/2011 Result of the analysis using ITEMAN shows the test have alpha reliability coefficient 0,697 and SEM 2,488. The Analysis result using Iteman shows that this test instrument has a quite good item difficulty level, good item discrimination, and good distracter affectivity. Overall examination question is good, but still to be revised in determining the language distractor and construction so the testee can understand the question easily. Suggestions for this research are to be widely used, the test should not be carried out once, the samples should be taken from the wider scope. This examination should be supported with performance test to measure the real students ability. Keywords: examination, difficulty level, item discrimination, distractor effectivity, reliability. A. Pendahuluan Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, serta bagi pembangunan bangsa dan negara. Hal ini dapat dilihat dari kemajuan di berbagai sektor pembangunan yang semuanya merupakan dampak dari hasil pendidikan. Kemajuan suatu negara sangatlah bergantung pada cara negara itu mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia, serta perhatiannya terhadap kualitas pendidikan yang diberikan kepada masyarakat. Evaluasi merupakan salah satu rangkain kegiatan dalam meningkatkan kualitas, kinerja atau produktivitas suatu lembaga dalam melaksanakan programnya Djemari Mardapi (2008: 8). Oleh karena itu, evaluasi merupakan salah satu subsistem yang penting dalam sistem pendidikan. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, evaluasi diatur dalam Bab XVI Pasal 57, 58, dan 59. Pelaksanaan evaluasi bertujuan untuk Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
46
ISSN. 2355-0813
mengukur dan mengendalikan mutu pendidikan. Menyusun soal yang baik menyangkut lebih dari sekedar menanyakan pemahaman yang sulit kepada mahasiswa. Banyak pendidik tidak mendapatkan pelatihan formal dalam mendesain dan menyusun soal. Penyusunan soal sebenarnya adalah usaha yang membutuhkan kecakapan tinggi. Kenyataannya tidak semua soal buatan pendidik (dosen) diciptakan sama. Apabila pendidik (dosen) tidak bisa mengenali kualitas soal, maka metode evaluasi dari pendidik tersebut rawan untuk dipertanyakan (Shirran, 2008:80). Selaras dengan pendapat diatas, Jejen, Harsoyo, dan Rusmawan (2009:358) menyatakan bahwa apa yang dicapai siswa setelah melakukan kegiatan belajar sering disebut sebagai prestasi belajar. Winkel (1999:164) menyatakan bahwa siswa yang berorientasi pada keberhasilan, memiliki nilai tinggi sebagai hasil yang maksimal dan memandang kemampuan sebagai suatu yang selalu dapat ditingkatkan, dia menetapkan suatu sasaran belajar untuk mengangkat diri lebih jauh. Secara sederhana Allen & Yen (1979: 1) menyebut tes sebagai “a test is device for obtaining a sample of an individual’s behavior”. Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh Gronlund (1985: 5) yang mendefinisikan tes sebagai instrumen atau prosedur sistematis untuk mengukur perilaku sampel. Tes yang merupakan alat ukur dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan istilah ujian. Di dalam ujian, yang hendak diukur adalah kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan. Sebagai alat yang digunakan dalam pengukuran, seharusnya tes disusun dengan prosedur serta aturan dan metode tertentu yang jelas dan sistematis. Prosedur dan metode dalam penyusunan tes dimaksudkan agar kesalahan dalam pengukuran yang disebabkan oleh alat ukur tersebut sekecil mungkin. Pengukuran dengan alat ukur berupa tes, sesungguhnya merupakan upaya mengestimasi kesalahan yang mungkin muncul dari respons peserta didik terhadap tes yang diberikan. Jenis atau klasifikasi tes bukan hanya satu macam, melainkan banyak macamnya. Agar mudah mengenalnya beberapa pakar mencoba membuat klasifikasi tes, diantaranya (Gronlund, 1982: 19) yang membedakan klasifikasi tes menjadi empat yaitu: 1) tes penempatan, 2) tes formatif, 3) tes diagnostik, dan 4) tes sumatif. Tes juga dapat dibedakan menjadi achievement test atau tes prestasi belajar dan learning outcome test atau tes hasil belajar (Tim Puslitbang Sisjian, 1999: 15). Dalam tes prestasi belajar, yang hendak diukur ialah tingkat kemampuan seorang siswa dalam menguasai bahan pelajaran yang diajarkan kepadanya. Oleh karenanya, kedudukan tes prestasi dalam pengambilan keputusan sangat penting. Penggunaan bentuk soal dalam tes prestasi belajar, secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: 1) tes uraian, terdiri dari uraian bebas, uraian terbatas atau isian singkat, uraian berstruktur, dan 2) tes objektif, terdiri dari pilihan benarsalah, pilihan ganda, dan menjodohkan. Setiap bentuk tes, memiliki keunggulan dan keterbatasan. Saifuddin Azwar (1998: 75) secara garis besar menyebutkan keunggulan tes yang terdiri dari soal-soal bentuk pilihan ganda yakni: (1) komprehensif, karena dalam waktu tes yang singkat dapat memuat lebih banyak item, (2) pemeriksaan jawaban dan pemberian skornya mudah dan cepat, (3) penggunaan lembar jawaban menjadikan tes efisien dan hemat bahan, (4) kualitas item dapat dianalisis secara empirik, (5) objektifitasnya tinggi, dan (6) umumnya memiliki reliabilitas yang memuaskan. Keterbatasan tes pilihan ganda antara lain: (1) pembuatannya sulit dan memakan banyak waktu dan tenaga, (2) tidak mudah ditulis untuk mengungkapkan tingkat kompetensi tinggi, dan (3) ada kemungkinan jawaban benar semata-mata karena tebakan. Validitas dan reliabilitas pada perangkat tes digunakan untuk menentukan kualitas tes. Kriteria lain yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas tes adalah indeks Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
47
ISSN. 2355-0813
kesukaran dan daya pembeda. Syarat tes yang baik adalah sahih dan handal ( Pujiyati Suyata, 2005: 2), sahih baik dari isi, konstruk, dan daya prediksi. Kehandalan sebuah tes dapat diketahui dari data hasil ujicoba, indeks kehandalan tes berkisar antara 0 sampai 1. Indeks kehandalan dapat digunakan untuk menghitung besarnya kesalahan pengukuran. B. Metode Penelitian Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan kualitas soal ujian akhir semester mata kuliah Biologi Dasar di FKIP Prodi IPA semester gasal Tahun ajaran 2010/2011, merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Peneliti dengan bantuan ahli menganalisis naskah soal secara kualitatif untuk mendeskripsikan kualitas tes berdasarkan aspek materi, konstruksi, bahasa. Respon mahasiswa dianalisis secara kuantitatif guna memperoleh karakteristik psikometris soal dan mengkorelasikan dengan indeks prestasi mahasiswa. Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa selama 6 bulan. Sampel penelitian ini adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Pengetahuan Alam FKIP UST semester gasal Tahun Ajaran 2010/2011, berjumlah 46 orang mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Biologi Dasar. Bagan Alur Penelitian
Mengkaji MengkajiSilabus Silabusdan dan SAP Biologi SAP BiologiDasar Dasar
Membuat Membuat dan danmerakit merakitsoal soal
Validasi ValidasiAhli Ahli
Analisis Analisis
Uji UjiCoba Coba
Dokumen yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini antara lain: Lembar telaah butir soal, lembar respon mahasiswa (lembar jawab dan nilai), dan output hasil program ITEMAN. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : SAP mata kuliah Biologi Dasar Program Studi Ilmu Pengetahuan Alam FKIP UST Semester Gasal Tahun Ajaran 2010/2011, lembar soal dan respon mahasiswa, dan lembar telaah butir soal Validasi dilakukan dengan cara telaah butir dan menentukan kehandalan diuji menggunakan program ITEMAN. Indeks reliabilitas ditunjukkan dengan besarnya nilai alpha pada lampiran output ITEMAN. Data yang diperoleh dalam penelitian ini, selanjutnya dianalisis secara kualitatif (teoritis) dan secara kuantitatif (empiris). Analisis secara kualitatif dilakukan melalui telaah butir soal (item review) berdasarkan pertimbangan professional (expert judgment). Tahapan ini dimaksudkan untuk melihat perilaku soal yang diharapkan, ditinjau dari aspek materi, konstruksi, dan bahasa. Analisis butir soal pilihan ganda dengan pendekatan teori tes klasik dilakukan dengan bantuan program Item and Test Analysis (ITEMAN) Versi 3.00. Tujuan analisis butir soal pilihan ganda dengan program ITEMAN adalah untuk mengetahui karakteristik dan kualitas empirik soal ujian akhir semester mata kuliah Biologi Dasar Program Studi Ilmu Pengetahuan Alam FKIP UST Semester Gasal Tahun Ajaran 2010/2011. Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
48
ISSN. 2355-0813
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian Statistik perangkat soal memberikan informasi meliputi: Jumlah butir soal, jumlah mahasiswa, rerata, distribusi jawaban benar, standar deviasi, skor minimum mahasiswa, skor maksimum mahasiswa, indeks keandalan (kualitas soal), dan estimasi kesalahan pengukuran adalah sebagai berikut Statistik Perangkat Soal dengan Program ITEMAN N of Items 35 Maximum 30.000 N of Examinees 46 Median 22.000 Mean 21.717 Alpha 0.697 Variance 20.420 SEM 2.488 Std. Dev. 4.519 Mean P 0.624 Skew -0.441 Mean Item-Tot. 0.302 Kurtosis -0.092 Mean Biserial 0.428 Minimum 9.000 Nilai alpha menunjukkan reliabilitas/keandalan perangkat soal sebesar 0,697. Besarnya Indeks ini menggambarkan mutu soal. Semakin besar nilainya maka perangkat soal ujian semakin bagus. Hasil analisis menggunakan ITEMAN menunjukkan, terdapat 10 butir dari 35 butir soal yang ada memiliki tingkat kesukaran kategori sangat baik, 7 butir memiliki kategori baik, terdapat 10 butir memiliki kategori cukup baik, dan terdapat 8 butir memiliki kategori tidak baik. Menurut daya pembeda 35 butir soal yang ada memiliki kategori sangat baik, 7 butir memiliki kategori baik, terdapat 10 butir memiliki kategori cukup baik, dan terdapat 8 butir memiliki kategori tidak baik. Data menunjukkan 34 butir soal yang memiliki distraktor yang baik dalam artian, 97,14% distraktor perangkat soal ujian adalah baik, hanya 1 soal memiliki keefektifan distraktor dibawah 2%. 2.
Pembahasan Hasil analisis teori tes klasik menunjukkan jumlah butir yang baik untuk soal ujian akhir Biologi Dasar terdapat 20 butir dari 35 butir soal yang ada. Secara rinci dapat dilihat bahwa 12 butir memiliki tingkat kesukaran lebih besar dari 0,70 (kategori mudah), 20 butir memiliki tingkat kesukaran antara 0,30 dan 0,70 (kategori sedang) dan 3 butir memiliki tingkat kesukaran kurang dari 0,30 (kategori sukar). Berikut ini disajikan tabel tingkat kesukaran butir tes kompetensi membaca, menulis, dan berhitung. Butir terlalu mudah atau terlalu sukar merupakan butir yang tidak baik, butir yang baik adalah butir dengan tingkat kesukaran kategori sedang. Butir soal yang mudah disebabkan karena distraktor butir soal tidak berfungsi sedangkan butir soal yang sukar diprediksi akibat belum tuntasnya pembelajaran pada materi tersebut, sehingga kompetensi minimum yang harus dikuasai mahasiswa belum tercapai. Berdasarkan kriteria indeks daya pembeda berdasar korelasi point biserial yang dianalisis dengan menggunakan program Iteman (tm) Version 3.00, dapat diperoleh informasi perangkat soal ujian akhir Biologi Dasar. Terdapat 10 butir dari 35 butir soal yang ada memiliki kategori sangat baik, 7 butir memiliki kategori baik, terdapat 10 butir memiliki kategori cukup baik, dan terdapat 8 butir memiliki kategori tidak baik. Berikut ini disajikan tabel daya pembeda butir soal soal ujian akhir Biologi Dasar Data menunjukkan 34 butir soal yang memiliki distraktor yang baik dalam artian, 97,14% distraktor perangkat soal ujian adalah baik, hanya 1 soal memiliki keefektifan
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
49
ISSN. 2355-0813
distraktor dibawah 2%. Distraktor yang tidak berfungsi tersebut mengakibatkan butir soal menjadi mudah. Hasil analisis butir soal menurut teori tes klasik ini juga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut diantaranya, karakteristik butir soal dapat berubah jika karakteristik subjek, dalam hal ini peserta tes berubah. Meski demikian setidaknya informasi ini dapat menjadi acuan untuk pembuatan soal ujian yang berkualitas. D. Simpulan dan saran Hasil analisis menggunakan Iteman menunjukkan perangkat tes ini memiliki tingkat kesukaran cukup baik 20 butir soal dalam tes yang memiliki tingkat kesukaran sedang, 12 butir terlalu mudah, dan 3 butir soal terlalu sukar. Perangkat tes ini memiliki daya beda yang baik, sebanyak 30 butir-butir soal dalam tes berada dalam kisaran daya beda cukup baik dan sangat baik. Efektivitas distraktor baik, 34 soal termasuk dalam kategori baik. Reliabilitas soal ujian akhir semester Biologi Dasar secara keseluruhan adalah baik (handal). Berdasarkan hasil analisis butir soal dengan menggunakan Iteman, perangkat soal ujian biologi dasar memiliki koefisien reliabilitas alpha sebesar 0,697 dan SEM 2,488. Semakin kecil indeks kesalahannya, semakin besar indeks keandalan ini maka semakin tinggi mutu tes. Saran untuk penelitian ini adalah : 1. Agar dapat dipakai secara luas sebaiknya, uji coba tak hanya dilakukan sekali dan mengambil sampel dalam lingkup yang lebih luas, tidak hanya mahasiswa pendidikan IPA . 2. Supaya hasil uji coba lebih beragam, maka memerlukan peserta ujian lebih banyak. 3. Perlu kontrol yang ketat dalam pelaksanaan tes. Tata ruang dan pengaturan tempat duduk ketika pelaksanaan ujian. 4. Ujian ini sebaiknya didukung dengan performance test agar mampu mengukur kemampuan mahasiswa yang sebenarnya. 5. Perlu dilakukan penelitian dengan melibatkan psikologi behavioristik dan humanistik, agar dapat menjelaskan kecerdasan yang lebih kompleks (multiple inteligence).
E. Daftar Pustaka Djemari Mardapi. (2008). Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Nontes. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press. Djaali. (2006). Hasil belajar evaluasi dalam evaluasi pendidikan: Konsep dan aplikasi. Jakarta: Uhamka Press. Gronlund, N.E. (1982). Constructing achievement test. (3rd ed). New York: Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs. ____________. (1985). Measurement and evaluation in teaching. (5th ed). New York: Macmillan Publishing Co., Inc. Jejen, Harsoyo, & Rusmawan. (2009). Peningkatan belajar siswa dengan model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan pada mata pelajaran IPS di kelas VI SDN Jagabaya )01 kecaatan Parung Panjang Kabupaten Bogor Tahun Pelajaran 2008/2009. Shirran, Alex. (2008). Evaluating Students. Jakarta : Grasindo. Winkel. (1999). Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Grasindo.
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
50
ISSN. 2355-0813
PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN IPA 2 UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP IPA YANG TERINTEGRASI MAHASISWA PENDIDIKAN IPA FKIP UST Septi Ambarwati Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Abstact The aim of this study is to develop IPA 2 learning Module for the topic of The Microscope that can improve the 2012/2013 class students at the Department of Science Education Yogyakarta Sarjanawiyata Tamansiswa University in understanding the concept of integrated science. This study was a research and development study by using the design of the 4-D model consisting of defining, designing, developing, and disseminating stages. Subjects were 27 students of 4th semester at the 2012/2013 class of Department of Science Education Yogyakarta Sarjanawiyata Tamansiswa University. The results form an integrated IPA 2 learning modules to enhance the 4th semester student at Department of Science Education Yogyakarta Sarjanawiyata Tamansiswa University in understanding the science concepts. Media validation, material validation, testing one-onone, small group testing, and field trials obtained good in overall criteria. The concept understanding of the students has increased significantly, derived from the value of midsemester and endsemester examination. Keywords: modules, IPA 2 A. Pendahuluan Hasil observasi awal, pembelajaran IPA 2 di Program Pendidikan IPA FKIP UST menunjukan bahwa pelaksanaan pembelajaran masih berpaku pada konsep dasar dari masing-masing bidang ilmu IPA yaitu Fisika, Kimia, dan Biologi. Perangkat pembelajaran juga masih sangat terbatas, karena dosen menggunakan buku referensi dari masing-masing bidang ilmu tersebut. Hal tersebut dapat mengidentifikasikan bahwa perangkat pembelajaran yang digunakan pun masih terbatas pada buku paket dan lembar kerja siswa (LKS) dari penerbit. Indikasi tersebut memberi gambaran bahwa keberadaan perangkat pembelajaran IPA terintegrasi di tingkat perguruan tinggi masih sangat terbatas. Wina Sanjaya (2007: 52) mengungkapkan bahwa setiap guru memiliki pengalaman, pengetahuan, kemampuan, gaya, dan bahkan pandangan yang berbeda dalam mengajar. Perbedaan potensi lingkungan yang ada menuntut guru lebih kreatif dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga tujuan pembelajaran sains dapat tercapai, terutama dalam kaitannya memahamkan mahasiswa untuk lebih bisa memahami konsep IPA 2 secara terintegrasi. Peneliti berencana untuk mengembangkan modul kuliah dengan menggunakan pendekatan yang besifat induktif atau deduktif. Pendekatan, metode, maupun strategi yang tepat sangat diperlukan agar pembuatan petunjuk ini memiliki kemanfaatan yang baik untuk membantu mahasiswa dalam belajar sains. Diharapkan dengan dihasilkan produk berupa modul dapat memberi kontribus nyata dalam mewujudkan pembelajaran IPA 2 yang terintegrasi.
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
51
ISSN. 2355-0813
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi persoalan sebagai berikut : 1. Pembelajaran IPA 2 masih belum terintegrasi. 2. Belum tersedia Modul pembelajaran IPA 2 terintegrasi C. Pembatasan Masalah Batasan masalah pada penelitian ini adalah subjek penelitian mengambil mahasiswa semester 2 tahun angkatan 2012/2013 Prodi Pendidikan IPA FKIP UST. Pengembangan Modul pembelajaran yaitu terbatas Modul dengan materi Mikroskop, yang bertujun untuk meningkatkan pemahaman konsep IPA 2 terintegrasi melalui uji validitasi.. D. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah, yaitu bagaimana mengembangkan Modul pembelajaran IPA 2 Terintegrasi dengan tema Mikroskop yang layak bagi mahasiswa IPA 2 Semester 2 Prodi IPA FKIP UST tahun angkatan 2012/2013 dalam upaya untuk meningkatkan pemahaman konsep IPA 2 terintegrasi. E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah menghasilkan produk modul pembelajaran IPA 2 sebagai sumber belajar mahasiswa Prodi Pendidikan IPA FKIP UST tahun angkatan 2012/2013 untuk meningkatkan pemahaman konsep IPA 2 terintegrasi. F. Spesifikasi Produk yang Dikembangkan Produk yang diharapkan dari penelitian ini berupa Modul IPA 2 dengan materi Mikroskop. Sebagai produk hasil pengembangan Modul Pembelajaran mengandung 3 komponen, yaitu: (a) rasionalisasi pengembangan, (b) teori pendukung, (c) pengembangan Modul Pembelajaran melalui tahap ujicoba hingga memperoleh naskah jadi yang layak digunakan. G. Manfaat Penelitian Pengembangan perangkat pembelajaran ini dinilai penting, karena bermanfaat bagi beberapa pihak, diantaranya : 1. Bagi mahasiswa, produk Modul membantu mahasiswa dalam menerima dan memahami materi pembelajaran sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar, menjadikan pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan sehingga mahasiswa termotivasi untuk aktif belajar, membiasakan pola berfikir mahasiswa tentang konsep sains yang ada di alam secara terintegrasi. 2. Bagi dosen, produk Modul pembelajaran dapat memotivasi dosen untuk 3. Bagi lembaga, produk Modul pembelajaran dapat memberikan referensi sebagai Bahan Ajar IPA 2 yang terintegrasi. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai salah satu inspirasi dalam melakukan inovasi pembelajaran pada mata pelajaran yang lain dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran. H. Metode Penelitian 1. Tempat dan waktu penelitian : Penelitian ini di lakukan di Prodi Pendidikan IPA FKIP UST khususnya mahasiswa angkatan 2011. 2. Jenis Penelitian : Penelitian Pengembangan 3. Desain Penelitian : Penelitian ini menggunakan rancangan dan pendekatan penelitian pengembangan Research and Development (R & D) termasuk dalam penelitian pengembangan. Pada penelitian ini akan dikembangkan Modul Pembelajaran dengan materi Mikroskop dan Keselamata Laboratorium, yang hasilnya diharapkan dapat meningkatkan pemahaman konsep IPA terintegrasi Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
52
ISSN. 2355-0813
mahasiswa prodi pendidikan IPA angkatan tahun 2011. Pada penelitian ini prosedur pelaksanaan penelitian R & D diformulasikan dengan penelitian pengembangan menjadi model siklus 4-D (Four-D Models). Tahapan pengembagan tersebut adalah: (a) Tahapan Pendahuluan (define), (b) Tahapan Perencanaan (design), (c) Tahapan Pengembangan (develop), (d) Tahapan desiminasi (desiminate). 4. Subjek dan Objek Penelitian : Subjek penelitian adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST tahun akademik 2012/2013 yang menempuh mata kuliah IPA 2. 5. Instrumen Teknik Pengumpulan data : Untuk menghasilkan produk pengembangan yang berkualitas diperlukan instrumen yang mampu menggali data yang diperlukan dalam pengembangan produk perangkat pembelajaran. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini berupa lembar validasi ahli, lembar observasi dan kuesioner. Lembar observasi digunakan untuk mencatat kejadian-kejadian penting dan respon mahasiswa selama proses ujicoba produk berlangsung. Lembar validasi digunakan untuk mengukur/mengevaluasi kualitas produk yang dikembangkan dari aspek pembelajaran/materi oleh ahli materi, dari aspek media instruksional dari ahli media. Lembar kuesioner digunakan untuk mengukur/mengevaluasi kualitas produk aspek materi/pembelajaran dan aspek perangkat oleh mahasiswa. Sesuai keperluan di atas, kemudian dikembangkan indikator-indikator kualitas perangkat pembelajaran baik dari aspek pembelajaran, tampilan dan isi/materi dengan mengacu pada teori dan pendapat sesuai bidangnya. Berdasarkan kisi-kisi tersebut kemudian dikembangkan instrumen penelitian. 6. Teknik analisis data : Data hasil penelitian ini berupa tanggapan ahli media instruksional, ahli materi dan mahasiswa terhadap kualitas produk yang telah dikembangkan ditinjau dari aspek tampilan, pembelajaran dan isi atau materi. Data berupa komentar, saran revisi dan hasil pengamatan peneliti selama proses ujicoba dianalisis secara deskriptif kualitatif, dan disimpulkan sebagai masukan untuk memperbaiki atau merevisi produk yang telah dikembangkan. Sementara, data berupa skor tanggapan ahli media, ahli materi dan mahasiswa yang diperoleh melalui kuesioner, dianalisis secara deskriptif kuantitatif dengan teknik persentase dan kategorisasi. Langkah-langkah yang digunakan untuk menentukan kriteria kualitas produk yang telah dikembangkan, sebagai berikut: (a) Konversi jenis data. Data yang diperoleh dari kuesioner tentang tanggapan mahasiswa diubah dulu menjadi data interval. Dalam kuesioner diberikan lima pilihan untuk memberikan tanggapan tentang produk, yaitu: sangat baik (5), baik (4), cukup (3), kurang (2) dan sangat kurang (1). Apabila siswa memberi tanggapan ”sangat baik” pada suatu butir pertanyaan/pernyataan, maka skor butir pertanyaan tersebut adalah ”5”, demikian seterusnya. (b) Mengkonversi skor yang diperoleh menjadi data kualitatif Skor yang diperoleh, kemudian dikonversikan menjadi data kualitatif skala lima, dengan acuan rumus yang dikutip dari Sukardjo (2008: 101) sebagai berikut: Tabel 1. Konversi Data Kuantitatif ke Data Kualitatif dengan Skala Lima Skor Kriteria Rumus Perhitungan X > X + 1,80SBi X > 4,21 Sangat baik X + 0,60SB < X < X +1,80SBi ,40 < X < 4,21 Baik X − 0,60SB < X < X + 0,60SBi 60 < X < 3,40 Cukup X −1,80SB < X < X − 0,60SBi 1,79 < X < 2,60 Kurang X < X −1,80SBi X < 1,79 Sangat kurang Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
53
ISSN. 2355-0813
Dengan : X = Skor responden atau skor aktual MI = Mean ideal yang dapat dicapai responden Sbi = Simpangan baku ideal yang dapat dicapai responden Nilai kelayakan produk minimal pada penelitian ini adalah dengan kategori “cukup”, sebagai hasil penilaian baik dari ahli media instruksional, ahli materi maupun mahasiswa. Jika hasil penilaian akhir (keseluruhan) pada aspek perangkat pembelajaran dan aspek pembelajaran/materi dengan nilai minimal “cukup” oleh para ahli, dan jika hasil penilaian akhir (keseluruhan) pada aspek perangkat dan aspek pembelajaran/materi dengan nilai minimal “cukup” oleh mahasiswa, maka produk hasil pengembangan tersebut sudah dianggap layak digunakan sebagai sumber belajar. Menentukan tingkat kecenderungan dilakukan dengan kategorisasi tingkat kecenderungan pada variabel. Oleh karena itu, perlu ditentukan dahulu mean ideal (MI), simpangan baku ideal (Sbi) serta skor tertinggi ideal dan skor terendah ideal masing-masing subvariabel sebagai kriteria. Perhitungan mean ideal, simpangan baku ideal mengacu pada Djemari Mardapi (2008: 123), sebagai berikut: Mean ideal (MI) = 1/2 × (skor tertinggi ideal + skor terendah ideal) Simpangan Baku ideal = 1/6 (skor tertinggi ideal - skor terendah ideal) Skor tertinggi ideal = Σ butir kriteria × skor tertinggi Skor terendah ideal = Σ butir kriteria × skor terendah Keterlaksanaan perangkat pembelajaran Instrumen ini digunakan untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran sains, keterlaksanaan dilihat melalui reliabilitas instrumen berdasarkan rumus: 𝑨−𝑩 ) 𝑿 𝟏𝟎𝟎 % 𝑹 = (𝟏 − 𝑨+𝑩 Dengan : R : Reliabilitas Instrumen A : Frekuensi aspek aktivitas siswa yang teramati oleh pengamat yang memberikan frekuensi yang lebih. B : Frekuensi aspek aktivitas siswa yang teramati oleh pengamat yang memberikan frekuensi lebih rendah. I. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Analisis Data Validasi Ahli Media : Berdasarkan data pada Tabel 2 tentang hasil validasi ahli media terhadap kualitas produk ditinjau dari aspek media pembelajaran diketahui bahwa rata-rata skor penilaian ahli media sebesar 3,62. Angka ini menurut tabel konversi data kuantitatif ke data kualitatif Skala 5 (tabel 1) tergolong pada kriteria baik. Dari data penilaian ahli media tersebut persentase baik sebesar (80 %). Berdasarkan hasil penilaian dari ahli media, modul yang dikembangkan dinyatakan layak untuk diujicobakan di lapangan. Meskipun demikian produk pembelajarn ini masih perlu penyempurnaan sesuai dengan saran dari ahli media dan hasil revisi dapat dilihat pada pembahasan revisi produk. 2. Analisis Data Validasi Ahli Materi : Berdasarkan data pada Tabel 3 tentang hasil penilaian ahli materi terhadap kualitas produk ditinjau dari aspek pembelajaran diketahui bahwa rata-rata skor penilaian ahli materi sebesar 3,25. Angka ini menurut tabel konversi data kuantitatif ke data kualitatif skala 5 tergolong pada kriteria " baik". Persentase kriteria baik dari penilaian ahli materi adalah sebesar 78 %. Sesuai saran dari ahli materi untuk penyempurnaan modul, telah dilakukan revisi dan hasil revisi dapat dilihat pada pembahasan revisi produk. Berdasarkan Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
54
ISSN. 2355-0813
hasil validasi dari ahli materi pada aspek pembelajaran, maka produk awal produk yang dikembangkan "layak" untuk diujicobakan di lapangan. 3. Analisis Ujicoba Satu-Satu (One to One Evaluation) : Ada dua aspek yang dianalisis dalam ujicoba satu-satu yaitu aspek media pembelajaran dan aspek materi pembelajaran. Sesuai dengan data pada tabel 3 diketahui bahwa rata-rata skor tanggapan mahasiswa untuk aspek media pembelajaran sebesar 3,66. Angka ini menurut Tabel konversi data kuantitatif ke data kualitatif 3,41 skala 5 tergolong pada kriteria " baik", dan skor rata-rata keseluruhan untuk aspek materi pembelajaran 3,66 setelah dikonversikan pada skala 5 berarti termasuk kategori “baik”. Jumlah skor rata-rata keseluruhan untuk aspek media pembelajaran dan aspek materi pembelajaran 3,76 setelah dikonversikan pada skala 5 berarti termasuk kategori “baik”. Tabel 8. Hasil skor rata-rata tanggapan mahasiswa pada Ujicoba Satu-Satu Aspek Rata-rata Kategori Media 3,66 Baik Pembelajaran 3,41 Baik Skor rata-rata 3,53 baik keseluruhan 4. Analisis Data Ujicoba Kelompok Kecil (Small Group Evaluation) : Berdasarkan tabel 5 data skor penilaian kelompok kecil, terdapat dua aspek yang dianalisis dalam ujicoba yaitu aspek media dan aspek pembelajaran. Sesuai dengan data tersebut, diketahui bahwa rata-rata skor tanggapan siswa untuk aspek media sebesar 3,62. Angka ini menurut Tabel konversi data kuantitatif ke data kualitatif skala 5 (Tabel 1) tergolong pada kategori "baik", dan skor rata-rata untuk aspek pembelajaran 3,54 setelah dikonversikan pada skala 5 berarti termasuk kategori “baik”. Jumlah skor rata-rata keseluruhan untuk aspek media dan aspek pembelajaran adalah 3,83 setelah dikonversikan pada skala 5 berarti termasuk kategori “baik”. Secara jelas ujicoba kelompok kecil diperlihatkan pada Tabel 9 berikut. Tabel 9. Hasil skor rata-rata tanggapan mahasiswa uji kelompok kecil Aspek Rata-rata Kategori Media 3,62 Baik Pembelajaran 3,54 Baik Skor rata-rata 3,58 baik keseluruhan 5. Analisis Data Ujicoba Lapangan (Field Trial) : Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep IPA 2 mahasiswa Program Studi Pendidikan IPA semester 3 UST. Adapun data yang diperoleh untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep dari nilai hasil pretest dan posttest adapun data tersebut tersaji dalam diagram berikut ini :
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
55
ISSN. 2355-0813
100 90 80 70 60 50
Pretest
40
Posttest
30 20 10 0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27
Gambar 1. Grafik hasil pretest dan posttest 6. Revisi Ahli Media : Berdasarkan rekomendasi ahli media untuk perbaikan produk agar layak digunakan sebagai media pembelajaran, maka ada beberapa saran yang diberikan kepada peneliti untuk dilakukan revisi sebelum dilakukan tahapan ujicoba produk pada siswa. Peneliti melakukan revisi berdasarkan saran-saran sebagai berikut : (a)Gambar yang tidak sesuai dengan materi yang sajikan dihilangkan saja, atau diganti dengan gambar yang relevan, (b) Tulisan dibuat seragam, jangan terlalu banyak model tulisan, (c) Letak gambar dibuat lebih rapi, agar mahasiswa tertarik untuk membaca modul dan memahaminya, (d) Kombinasi warna pada modul jangan terlalu banyak, cukup beberapa warna yang menarik perhatian mahasiswa. 7. Revisi Ahli Materi : Berdasarkan hasil validasi ahli materi yang dituangkan dalam kuesioner, dikatakan bahwa modul yang dikembangkan sudah layak di ujicobakan dengan revisi sesuai saran dari ahli materi. Dengan menggunakan produk yang dikembangkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami materi IPA, perbaikan dan saran dari ahli materi terhadap produk yang dikembangkan adalah sebagai berikut : (a) Bahasa diperbaiki, (b) Materi yang tersaji dalam modul diringkas lagi, jangan terlalu banyak, singkat, padat dan jelas, (c) Pertanyaan dan petunjuk kegiatan dibuat tidak ambigu, sehingga mahasiswa tidak bingung melaksanakan kegiatan, (d) Pertanyaan pada pojok diskusi dibuat lebih luas, agar mahasiswa bisa lebih aplikatif. 8. Revisi ujicoba satu-satu : Berdasarkan hasil ujicoba satu-satu ditinjau dari aspek media dan aspek pembelajaran mendapatkan hasil dengan kategori baik. Dengan demikian modul yang dikembangkan sudah layak di ujicobakan pada tahapan berikut yaitu pada ujicoba kelompok kecil. Meskipun demikian masih terdapat masukan yang diberikan yaitu bahasa yang digunakan masih membingungkan, dan masih terdapat pertanyaan yang ambigu. 9. Revisi ujicoba kelompok kecil : Hasil ujicoba kelompok kecil ditinjau dari aspek media dan aspek pembelajaran mendapatkan hasil dengan kategori baik. Dengan demikian produk perangkat pembelajaran Sains yang dikembangkan sudah layak di ujicobakan pada tahapan berikut yaitu ujicoba lapangan. Meskipun demikian masih terdapat masukan yang diberikan berupa materi disederhanakan lagi, masih terlalu banyak dan panjang. Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
56
ISSN. 2355-0813
10. Revisi ujicoba lapangan : Berdasarkan hasil ujicoba lapangan ditinjau dari aspek media dan aspek pembelajaran mendapatkan hasil dengan kategori baik. Dengan demikian produk Modul pembelajaran IPA 2 yang dikembangkan sudah layak di gunakan sebagai Bahan ajar. Meskipun demikian masih terdapat masukan yang diberikan berupa, gambar yang tidak relevan lebih baik dihilangkan saja atau diganti dengan gambar yang sesuai. Peneliti kemudian memilih untuk menghilangkan gambar yang tidak sesuai, dalam hal ini adalah gambar monyet disebelah kolom judul. Berdasarkan hasil ujicoba lapangan setelah pengembang mengamati proses pemanfaatan produk yang dikembangkan, maka dapat disimpulkan bahwa produk ini dapat dipakai sebagai sumber belajar. 11. Kajian Produk Akhir : Melalui validasi aspek media oleh ahli media dan aspek pembelajaran oleh ahli materi, maupun ujicoba satu-satu, ujicoba kelompok kecil dan ujicoba lapangan telah diperoleh produk perangkat pembelajaran yang diharapkan. Berdasarkan hasil analisis data pada ujicoba menunjukkan bahwa penilaian terhadap Modul pembelajaran hasil pengembangan pada aspek materi dengan kategori baik, aspek media dengan kategori baik. Hasil ujicoba diperoleh skor rata-rata keseluruhan dengan kategori baik. Dengan demikian Modul pembelajaran ini sudah layak untuk dipergunakan sebagai sumber belajar dan dapat disebarluaskan kepada pengguna. Sebagai produk hasil pengembangan, dalam bentuk naskah jadi memiliki kelemahan dan kelebihan. Kelebihannya adalah: produk modul ini memuat materi baru yang tersaji dengan gambar-gambar yang menarik, bahasa yang sederhana, dan variasi pokok bahasanya yang disesuaikan dengan materi mata kuliah IPA 2 di Prodi Pendidikan IPA. Hal tersebut sesuai dengan tujuan peneliti dalam mengembangkan modul pembelajaran IPA 2 yang menarik dan dapat digunakan sebagai bahan ajar yang dapat membantu mahasiswa untuk memahami konsep IPA 2. Merupakan suatu kepuasan tersendiri bagi peneliti apabila produk ini diterima oleh mahasiswa maupun dosen. Hal ini berarti bahwa Modul pembelajaran yang dikembangkan untuk meningkatkan pemahaman konsep IPA mahasiswadapat tercapai. J. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pengembangan, dapat disimpulkan bahwa Modul IPA 2 telah dikembangkan sesuai dengan prosedur pengembangan. Evaluasi terhadap IPA 2 melalui tahap validasi ahli materi pembelajaran dan ahli media pembelajaran, uji coba satu-satu, uji coba kelompok kecil, dan uji coba lapangan melalui ujicoba satu dan ujicoba dua, serta analisis dan revisi sehingga menjadi produk akhir yang layak digunakan sebagai sumber belajar dan dapat meningkatkan pemahaman konsep IPA mahasiswa Prodi Pendidikan IPA UST. K. Keterbatasan Penelitian Adapun keterbatasan penelitian ini adalah keterbatasan biaya, waktu, tenaga peneliti dalam proses penelitian ini dan analisis yang dilakukan masih bersifat klasikal dan keterbatasan dalam mengintreprestasikan hasil penelitian secara lengakap.
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
57
ISSN. 2355-0813
L. Saran Pemanfaatan Produk, Diseminasi, dan Pengembangan Produk Lebih Lanjut 1. Saran Pemanfaatan Produk : Modul IPA 2 tentang materi Mikroskop dan Keselamatan Kerja Laboratorium diharapkan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh pengguna. 2. Desiminasi : Untuk pemanfaatan secara luas, Modul pembelajaran ini dapat disosialisasikan kepada dosen dan mahasiswa untuk dapat dipakai sebagai salah satu sumber belajar. 3. Pengembangan Produk Lebih Lanjut : Untuk pengembangan lebih lanjut, perlu dikembangkan Modul IPA 2 dengan Materi lain dalam mata kuliah IPA 2.
M. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman. (2007). Meaningful learning re-invensi kebermaknaan pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : BNSP.
Carin, A.A & Sund, R.B (1985). Teaching science through discovery (5th ed). Ohio: A Bell & Howell Company. Depdiknas. (2004-a). Pedoman pemilihan dan pemanfaatan bahan ajar. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen. Depdiknas. (2004-c). Materi pelatihan terintegrasi sains. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikdasmen. Gulo. W. (2002). Strategi belajar mengajar. Jakarta: PT Grasindo Widiasarana Indonesia. Hendro Darmojo, Jenny Kaligis. (1991). Pendidikan IPA II. Jakarta: Depdikbud.
Lorin, Kratwohl. (2001). A taxonomy for learning, teaching and Assesing. New York: Longman. NRC. 2007. Taking science to school: Learning and teaching science in grades K–8. Washington, DC: National Academies Press Oemar Hamalik. (2003). Proses belajar mengajar. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Sharon J. Sherman dan Robert S. Sherman. (2004). Science and Science Teaching. USA: Houghton Mifflin Company. Sukardjo. (2008). Handout mata kuliah evaluasi pembelajaran sains. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Trianto. (2007). Model pembelajaran terpadu dalam teori dan praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Victor Sampson, Jonathon Grooms, and Joi Walker (2009). Jurnal The Science Teacher. Full peer-review sheet: www.nsta.org/highschool/connections.aspx Wina Sanjaya. (2007). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan. Jakarta: Kencana.
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
58
ISSN. 2355-0813
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STUDENT TEAMS-ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD) PADA MATA KULIAH ILMU LINGKUNGAN SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA PRODI PENDIDIKAN IPA FKIP UST TAHUN AKADEMIK 2010/2011 Tias Ernawati Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta Abstract This research has been done to know how STAD as a model of study could increase activity and achievement the students of natural science education department on 2010/2011 of academic year and also to know the statement according to the model. This research was begun on observing class condition to identify problems. This was a class action research which had cycles to improve class condition. Each cycle was consist of planning, doing and observing, reflecting. Planning action used STAD model. The model included announcing model’s aim, studying college’s topics, grouping, tasking of groups, individual evaluating and rewarding the winner group. The winner was the most of points. Total points were equals of discuss point and average of total individual evaluating points in group. The instruments of this research were lecture-observing papers, students-observing papers, evaluating papers and statements papers. The research’s result showed increasing of students’ activity. At first discussion on first cycles, there were 38.7% students active, at last discussion on second cycles there were 90.3% students active. Average of students’ achievement has increased 20.6 points, i.e. from 61.8 to 82.4. According to the students’ statements of model showed that they liked STAD because they could get the topics easier and improve students’ activity by making life-class in order to increase achievement. A. Pendahuluan Pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan kualitas manusia dalam rangka mewujudkan masyarakat maju, serta dapat mengembangkan diri sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Salah satu masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di Indonesia adalah lemahnya proses pembelajaran. Oleh karena itu inovasi serta variasi proses pembelajaran dalam dunia pendidikan merupakan kebutuhan keyakinan yang pasti terjadi selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa proses pembelajaran masih kurang meningkatkan keaktifan dan kreatifitas mahasiswa. Masih ada yang menggunakan metode konvensional secara monoton dalam kegiatan pembelajaran, sehingga suasana belajar terkesan kaku. Mahasiswa kurang termotivasi untuk bertanya dan berdiskusi di kelas guna memecahkan suatu permasalahan dalam materi perkuliahan. Dengan demikian, suasana pembelajaran menjadi kurang kondusif sehingga mahasiswa cenderung menjadi pasif. Kurangnya antusiasme mahasiswa dalam proses pembelajaran memberikan pengaruh yang tidak baik terhadap hasil belajar mahasiswa. Mahasiswa hanya mengandalkan apa yang sudah diberikan oleh dosen. Kesulitan-kesulitan yang dialami mahasiswa dalam pemahaman materi biasanya tetap tersimpan, kemudian pada akhirnya mahasiswa akan membiarkan ketidaktahuannya. Akibatnya prestasi belajar mahasiswa menjadi kurang memuaskan dan cenderung turun. Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
59
ISSN. 2355-0813
Pembelajaran kooperatif muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Jadi, hakikat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif (Trianto 2007:41). Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang berorientasi pada siswa. Pembelajaran kooperatif ini memiliki beberapa variasi, antara lain : Student Teams-Achievement Divisions (STAD), Jigsaw, Investigasi kelompok menggunakan Teams Games Tournaments, Pendekatan struktural yang meliputi Think Pair Share dan Numbered Head Together. Pembelajaran kooperatif model STAD merupakan salah satu variasi dari pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompokkelompok kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok 4-5 orang mahasiswa secara heterogen. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi perkuliahan, kegiatan kelompok, evaluasi individual dan penghargaan kelompok. Gagasan utama STAD adalah untuk memotivasi siswa supaya saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru (Slavin 2008:12). Pembelajaran kooperatif model STAD mendorong mahasiswa untuk aktif di kelas. Mahasiswa yang aktif diharapkan dapat memiliki prestasi belajar yang baik. Penulis juga berharap adanya respon positif dari mahasiswa ketika diadakan STAD di dalam kelas baik proses maupun hasil. B. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan IPA FKIP UST. pada semester genap tahun akademik 2010/2011. Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas, yang terdiri dari dua siklus yang dibagi menjadi 4 tahapan, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) observasi dan (4) refleksi.
Gambar 1 Siklus Penelitian Tindakan Kelas Instrumen yang digunakan adalah: lembar observasi untuk dosen, lembar observasi untuk mahasiswa, lembar tes prestasi belajar Ilmu Lingkungan, dan lembar angket yang telah dikonsultasikan dengan ahli. Teknik analisis data meliputi keberhasilan proses dan keberhasilan produk. Keberhasilan proses meliputi presentase skor keaktifan kegiatan pembelajaran model STAD dosen dan mahasiswa berdasarkan observasi observer, yang dihitung dengan rumus: 𝑋 % 𝑆𝑇𝐴𝐷 = 𝑥 100% 𝑌 Keterangan: % 𝑆𝑇𝐴𝐷 : persentase kegiatan pembelajaran model STAD X : jumlah butir centangan pada kolom “ya” Y : jumlah butir keseluruhan Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
60
ISSN. 2355-0813
Presentase skor pelaksanaan kegiatan pembelajaran model STAD selanjutnya dibandingkan dengan kriteria menurut Arikunto (2007:76). Penelitian ini menggunakan angket dengan 4 kategori pilihan, yaitu : SS (Sangat Setuju) bernilai 4, S (Setuju) bernilai 3, TS (Tidak Setuju) bernilai 2, STS (Sangat Tidak Setuju) bernilai 1, dimana tiap-tiap kategori berjarak 25. Skor angket tiap butirnya dihitung dengan rumus : % 𝑏𝑢𝑡𝑖𝑟 𝑎𝑛𝑔𝑘𝑒𝑡 =
𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑏𝑢𝑡𝑖𝑟 𝑥 100% 𝑠𝑘𝑜𝑟 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
Keterangan : Skor butir : hasil kali skor semua kolom dalam satu baris Skor total : skor maksimum x banyaknya responden C. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian a. Keaktifan Dosen dan Mahasiswa : Aktifitas dosen peneliti dan mahasiswa pada pembelajaran model STAD berdasarkan hasil observasi kolaborator di tiap siklus disajikan dalam tabel 1. Keaktifan mahasiswa ketika berdiskusi dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3. Tabel 1 Prosentase Aktifitas Dosen dan Mahasiswa Berdasarkan Lembar Observasi Kolaborator Prosentase Keaktifan Siklus Dosen Mahasiswa I 100% 71,4% II 100% 85,7% Tabel 2 Prosentase Keaktifan Mahasiswa dalam Diskusi Siklus I Jumlah mahasiswa aktif pada kelompok Diskusi Prosentase I II III IV V VI VII I 2 2 2 1 2 1 2 38,7% II 3 3 3 3 3 3 3 67,7% III 3 4 4 3 3 3 4 77,4% Tabel 3 Prosentase Keaktifan Mahasiswa dalam Diskusi Siklus II Jumlah mahasiswa aktif pada kelompok Diskusi Prosentase I II III IV V VI VII I 3 3 4 3 3 4 4 77,4% II 4 4 4 4 3 4 4 87,1% III 4 5 4 4 3 4 4 90,3% 2. Prestasi Belajar Prestasi belajar mahasiswa disajikan dalam tabel di bawah ini. a. Prestasi kelompok Tabel 4 Skor Prestasi Kelompok Nilai kelompok (skor) Diskusi I II III IV V VI VII Siklus I 70 80 70 75 70 70 85 Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
Rata-rata (skor) 74,3 61
ISSN. 2355-0813
Siklus II 82 89 77 88 97 83 90 87,6 b. Prestasi individu Tabel 5 Skor Rerata Tes Evaluasi Individual Mahasiswa Indikator Nilai Nilai Rerata Terendah Tertinggi Tes penempatan 32 80 61,8 Tes evaluasi individual siklus I 45 88 69,1 Tes evaluasi individual siklus II 68 93 82,4 2
Pembahasan a. Kondisi Awal Penelitian Tindakan Kelas : Subyek penelitian dipilih berdasarkan observasi penulis, selaku dosen peneliti, yang dilakukan sebelum penelitian dimulai. Subyek cenderung pasif dan tidak termotivasi dalam kegiatan pembelajaran. Prestasi belajar subyek cenderung pas-pasan. Sehubungan dengan keragaman latar belakang subyek maka diadakan tes penempatan sebagai dasar pengelompokkan mahasiswa. Hasil tes diperoleh skor tertinggi 80 dan skor terendah 32. Sedangkan rata-rata skor tes adalah 61,8. Setelah mengerjakan tes, banyak siswa yang merasa tidak puas akan hasilnya. b. Hasil Penelitian Tindakan Kelas Siklus I : (a) Perencanaan : Kegiatan perencanaan diawali dengan menyusun rencana pembelajaran dengan menerapkan model STAD pada mata kuliah Ilmu Lingkungan, soal tes penempatan, materi perkuliahan, bahan diskusi serta soal evaluasi individual. Langkah berikutnya adalah menentukan kelompok STAD berdasarkan hasil tes penempatan. Ada 7 kelompok STAD. Kelompok I, II dan III terdiri dari 5 mahasiswa, sedangkan kelompok IV, V, VI dan VII terdiri dari 4 mahasiswa. Selama penelitian, penulis dibantu kolaborator. Hasil observasi penulis dan kolaborator akan dianalisis sebagai dasar untuk menentukan langkah berikutnya, (b) Pelaksanaan dan Observasi : Pelaksanaan kegiatan pembelajaran menggunakan model STAD diawali dengan penjelasan tentang pembelajaran model STAD yang akan digunakan pada perkuliahan dan diikuti pengumuman nama-nama kelompok. Kegiatan berikutnya adalah menyampaikan indikator yang harus dicapai mahasiswa dilanjutkan pemberian materi pengantar ilmu lingkungan, atmosfer, pencemaran udara, dan. Pemberian materi berlangsung dalam 3 kali pertemuan. Selama penyampaian materi dosen memberikan kesempatan bagi mahasiswa dalam kelompok untuk bertanya. Pada pertemuan kesatu dan kedua tidak dijumpai pertanyaan dari mahasiswa. Pertemuan ketiga ada 2 mahasiswa yang bertanya karena tertarik untuk belajar lebih lanjut mengenai materi pencemaran udara. Pertemuan ketiga, keempat dan kelima digunakan untuk diskusi tahap I, II dan III. Pada tahapan diskusi terlihat bahwa masih ada beberapa mahasiswa yang diam, tidak ikut berpendapat, cenderung mengandalkan teman untuk menyelesaikan permasalahan dalam kelompok dan bahkan ada yang tidak kebagian tugas. Mahasiswa juga ada yang enggan untuk berinteraksi dengan kawannya. Dalam hal ini penulis berupaya sebagai mediator agar mahasiswa berkomunikasi lebih baik dengan sesama anggota kelompok. Penulis akan memberikan pertanyaan tambahan. Mahasiswa tersebut akan memerlukan bantuan dari kelompoknya, sehingga penulis benar-benar
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
62
ISSN. 2355-0813
melihat sendiri ketika mahasiswa tersebut berinteraksi dengan anggota kelompoknya. Keaktifan mahasiswa dalam tiga tahapan diskusi teramati dan dapat dihitung prosentasenya. Berdasarkan hasil observasi, prosentase keaktifan mahasiswa pada tiap tahapan diskusi mengalami kenaikan, yaitu 38,7% , 67,7% dan 77,4%. Pada pertemuan keenam diadakan evaluasi individual. Perolehan skor individu kemudian direrata dengan anggota kelompoknya. Hasil rataan dijumlahkan dengan skor diskusi masingmasing kelompok. Pada pertemuan ketujuh mahasiswa mengisi angket respon pembelajaran STAD. Berikutnya penulis mengumumkan kelompok pemenang dan memberikan penghargaan untuk kelompok pemenang. Pemenang dalam siklus I adalah kelompok VII.. (c) Refleksi : Keaktifan dan peningkatan prestasi belajar mahasiswa menjadi penentu keberhasilan proses. Berdasarkan lembar observasi kolaborator, keberhasilan proses yang dilihat dari sudut pandang keaktifan mahasiswa adalah sebesar 71,4%. Berdasarkan teori keberhasilan-proses menurut Arikunto, nilai ini masuk dalam kategori baik. Prosentasi keaktifan mahasiswa dalam diskusi tahap I sampai tahap III naik sebesar 38,7%. Sedangkan rata-rata skor tes evaluasi individu terhadap tes penempatan naik sebesar 7,3 poin. Penelitian tindakan kelas siklus II perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari siklus I. Beberapa kondisi yang perlu diperbaiki dalam siklus I antara lain: (1) Ada mahasiswa yang tidak ikut mengerjakan tes evaluasi kelompok karena ada beberapa yang mendominasi pekerjaan, (2) Ada mahasiswa yang kurang bisa berinteraksi dengan sesama anggota kelompok, (3) Ada mahasiswa yang enggan bertanya apabila merasakan kesulitan dalam menyelesaikan tugas, (4) Ada mahasiswa yang tidak aktif dalam kegiatan pembelajaran, hanya diam dan mengandalkan temannya Berdasarkan kesepakatan dengan kolaborator, beberapa kondisi di atas dicoba diatasi dengan : (1) Lebih memotivasi mahasiswa agar lebih aktif dalam perkuliahan, (2) Memberikan perhatian yang lebih pada mahasiswa-mahasiswa yang pasif, (3) Mempersiapkan beberapa pertanyaan tambahan supaya semua mahasiswa dalam kelompok mempunyai tugas. c. Hasil Penelitian Tindakan Kelas Siklus II : (a) Perencanaan : Perencanaan penelitian tindakan kelas siklus II yaitu mempersiapkan lembar observasi, merancang materi perkuliahan berikutnya, membuat bahan diskusi, membuat soal evaluasi individual serta mempersiapkan angket respon mahasiswa terhadap pembelajaran STAD. Selama kegiatan, penulis tetap dibantu oleh seorang kolaborator untuk observasi pelaksanaan pembelajaran model STAD, (b) Pelaksanaan dan Observasi : Pertemuan pertama diawali dengan mengumumkan pelaksanaan pembelajaran model STAD siklus II dengan peraturan yang sama. Berikutnya adalah pemberian materi siklus hidrologi, reaksi kimia dalam air dan pencemaran air. Pemberian materi berlangsung selama 3 kali pertemuan. Indikator yang harus dicapai mahasiswa disampaikan pada pertemuan pertama. Selama penyampaian materi, dosen tetap memberikan kesempatan bertanya bagi mahasiswa. Ketika penyampaian materi berlangsung, tidak ada mahasiswa yang bertanya. Dari kondisi ini dapat diambil kesimpulan sementara, yaitu mahasiswa cukup memahami materi. Untuk lebih memantapkan kondisi mahasiswa, pada pertemuan ketiga setelah selesai materi dilanjutkan Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
63
ISSN. 2355-0813
dengan sesi diskusi. Diskusi ini berlanjut hingga pertemuan keempat dan kelima. Selama berdiskusi, penulis berkeliling untuk memberi motivasi dan perhatian yang lebih pada mahasiswa yang dianggap pasif. Beberapa mahasiswa diarahkan untuk membagi pekerjaan dengan kawan sesama kelompoknya agar tidak terjadi dominasi. Penulis dan kolaborator mendata mahasiswa yang aktif selama kegiatan diskusi berlangsung. Skor yang diperoleh kelompok diakumulasi dan dicatat oleh penulis. Pada pertemuan keenam diadakan tes evaluasi individu. Skor yang diperoleh masingmasing mahasiswa direrata dengan kelompoknya kemudian diakumulasi dengan skor diskusi. Kegiatan pada pertemuan ketujuh adalah pengisian angket respon mahasiswa dan pemberian penghargaan untuk kelompok dengan skor tertinggi. Pada penelitian tindakan kelas siklus II ini kelompok V keluar sebagai pemenang., (c) Refleksi : Pembelajaran Ilmu Lingkungan dengan model STAD yang dikemas dalam penelitian tindakan kelas siklus II dapat dikatakan berjalan dengan baik. Keberhasilan proses ditinjau dari sisi keaktifan mahasiswa selama pembelajaran berdasarkan observasi kolaborator menunjukkan prosentase sebesar 85,7%. Jika mengikuti kriteria keberhasilan proses menurut Arikunto, nilai ini masuk ke dalam kategori sangat baik. Prosentase keaktifan mahasiswa dalam diskusi tahap I sampai dengan tahap III naik sebesar 12,9%. Kenaikan ini tidak terlalu tinggi, namun apabila dibandingkan dengan kondisi awal maka diperoleh kenaikan sebesar 51,6%. Sedangkan rata-rata skor diskusi mengalami kenaikan sebesar 13,3 poin, dari 74,3 menjadi 87,6. Rata-rata hasil tes evaluasi individual juga mengalami kenaikan sebesar 13,3 poin terhadap rata-rata tes evaluasi individual siklus I. Namun jika dibandingkan dengan rata-rata tes penempatan akan diperoleh kenaikan sebesar 20,6 poin. Berdasarkan analisis kondisi siklus II telah dapat dikatakan bahwa penerapan model pembelajaran STAD pada mata kuliah Ilmu Lingkungan sebagai upaya meningkatkan keaktifan dan prestasi belajar mahasiswa Prodi Pendidikan IPA FKIP UST Tahun Akademik 2010/2011 berhasil mencapai tujuan daripada penelitian ini. Sehingga penelitian tindakan kelas berhenti pada siklus II. 3. Pembahasan Hasil Penelitian a. Keaktifan Mahasiswa : Keaktifan mahasiswa bila ditinjau dari lembar observasi penulis maupun kolaborator menunjukkan hasil ada peningkatan keaktifan mahasiswa dari siklus I ke siklus II sebesar 14,3%. Jumlah mahasiswa yang aktif pada diskusi siklus I maupun siklus II juga mengalami kenaikan. Jumlah mahasiswa yang aktif diawali pada skor 38,7% pada siklus I dan menjadi 90,3% pada akhir siklus II. Rata-rata skor prestasi kelompok juga mengalami kenaikan yaitu sebesar 13,3 poin. Nampak ada antusiasme mahasiswa mengikuti model pembelajaran STAD. Hasil analisis prestasi belajar sehubungan dengan keaktifan mahasiswa menunjukkan ada 8 mahasiswa yang mengalami penurunan nilai setelah tes evaluasi I. Hal ini disebabkan kurangnya antusiasme mahasiswa untuk mencari informasi materi. Mahasiswa lebih banyak pasif pada diskusi siklus I. Penulis berupaya mengarahkan agar mahasiswa lebih aktif. Hasil pantauan terhadap ke-8 mahasiswa tersebut akhirnya memberikan hasil
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
64
ISSN. 2355-0813
positif. Pada siklus II mereka lebih aktif. Nilai evaluasi II mengalami kenaikan. b. Prestasi Belajar Mahasiswa : Penelitian ini diawali dengan tes penempatan, tes evaluasi individu untuk siklus I dan siklus II. Dari hasil tes diperoleh data sebagai berikut : Tabel IV.7 Rekap Nilai Mahasiswa Jumlah Mahasiswa Rentang Tes Penempatan Tes Evaluasi Tes Evaluasi Nilai Individual I Individual II 30 - 39 3 0 0 40 - 49 1 5 0 50 - 59 6 5 0 60 - 69 9 5 3 70 - 79 11 3 5 80 - 89 1 13 13 90 - 100 0 0 10 Jumlah 31 31 31 Berdasarkan tabel teramati bahwa terjadi peningkatan prestasi belajar. Keaktifan mahasiswa berperan penting dalam upaya peningkatan prestasi belajar. c. Respon Mahasiswa terhadap Model Pembelajaran STAD : Dari angket yang telah disebar kepada mahasiswa, diperoleh beberapa kesimpulan antara lain mahasiswa menyukai pembelajaran model STAD karena memudahkan untuk memahami materi. Model pembelajaran STAD dapat meningkatkan keaktifan mahasiswa dengan membuat suasana kelas lebih hidup dan kondusif sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar. Model pembelajaran STAD sesuai untuk diterapkan pada mata kuliah Ilmu Lingkungan dan berharap dapat pula diterapkan pada mata kuliah lain. D. Kesimpulan Dan Saran a. Kesimpulan, Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : (1) Ada peningkatan keaktifan mahasiswa Prodi Pendidikan IPA FKIP UST Tahun Ajaran 2010/2011 setelah diterapkannya penelitian tindakan kelas dengan menggunakan pembelajaran model STAD baik di siklus I maupun siklus II, (2) Ada peningkatan prestasi belajar mahasiswa Prodi Pendidikan IPA FKIP UST Tahun Ajaran 2010/2011 setelah diterapkan pembelajaran model STAD, (3) Ada respon yang baik dari mahasiswa terhadap pembelajaran model STAD. b. Saran : (1) Para dosen diharapkan mencoba pembelajaran model STAD untuk menghidupkan suasana kelas guna meningkatkan prestasi belajar mahasiswa, (2) Mahasiswa hendaknya lebih aktif mencari informasi dalam kegiatan pembelajaran baik ketika diskusi maupun ketika belajar sendiri. E. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi, dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara Arikunto, Suharsimi. 2010. Penelitian Tindakan untuk Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Yogyakarta: Aditya Media Connel, Des W. dan Miller, Gregory J. 2006. Terjemahan : Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta : UI Press Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
65
ISSN. 2355-0813
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher Slavin, Robert. E. 1995. Cooperative Learning Theory Research dan Practice 2nd ed. Washington D.C.: National Education Association Slavin, Robert. E. 1991. Student Team Learning 3rd ed. Boston: Allyn and Bacon Sugianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Modul PLPG. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
66
ISSN. 2355-0813
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING TERHADAP HASIL BELAJAR IPA DI TINJAU DARI KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 1 TEPUS GUNUNGKIDUL TAHUN AJARAN 2013/2014 Susi Murtini dan Astuti Wijayanti Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Abstract The research aims to know the result of learning natural science of SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul school year 2013/2014 which through quantum teaching learning and direct instruction. In comparative term in the research to determine the differences in the result of learning natural science eight grade student in SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul school year 2013/2014 at the between used quantum teaching learning and direct instruction in terms of critical thinking skill. This research did in SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul in academic 2013/2014. The population in the research was 126 students at the eight grade from four classes. This research in clude on descriptive comparatif. Was like “quasi eksperiment”. The sample got random sampling technical where two classes take a randomly from four classes there, VIII C as control class and VIII D as eksperiment class. The quetion validity tested with. Product moment corelation. The instrument reliability tested with KR-20 formula and got the reliabel criteria rt = 0,6924. The analysis technical used anakova test after this tested with analysis requirement induded disreminate normality test, variance homogenity, and connection linierity test. Descritively, the result of the study showed that propensity of learning natural science result at the eight grade student in SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul scool year 2013/2014 which through with quantum teaching learning and direct instruction included of high category. Inclination of critical thinking skill students with quantum teaching included very high category and while with direct instructionincluded high category. Comparatively there was significanly deference of science learning outcomer at the eight grade student in SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul in academic year 2013/2014 between used quantum teaching learning and direct instruction observed from critical thinking skill. Keywords: quantum teaching, direct instruction, the result, critical thinking skill. A. Pendahuluan Dalam era globalisasi dewasa ini, tantangan peningkatan mutu dalam berbagai aspek kehidupan tidak dapat ditawar lagi. Pesatnya perkembangan iptek dan tekanan globalisasi mempersyaratkan setiap bangsa untuk mengerahkan pikiran dan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya untuk mampu bertahan dan dapat memenangkan persaingan global. Perlu adanya peningkatan sikap kompetitif secara sistematik dan berkelanjutan terhadap sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dewasa ini harus diarahkan pada peningkatan daya saing bangsa agar mampu berkompetisi dalam persaingan global. Hal ini bisa tercapai jika pendidikan di sekolah diarahkan tidak semata-mata pada penguasaan dan pemahaman konsep-konsep ilmiah, tetapi juga pada peningkatan kemampuan dan keterampilan berpikir siswa, khususnya keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu keterampilan berpikir kritis (http://edukasi.kompasiana.com). Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
67
ISSN. 2355-0813
Dalam dunia pendidikan, khususnya kegiatan belajar mengajar, strategi sangat diperlukan. Belajar mengajar adalah suatu kegiatan yang bernilai edukatif yang di dalamnya terdapat interaksi antara guru dengan siswa (Hardini & Puspitasari, 2012: 1). Strategi yang perlu dilakukan oleh seorang guru adalah menerapkan model pembelajaran. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru di dalam kelas sangat berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar. Untuk mengatasi rendahnya hasil belajar diperlukan pembelajaran yang efektif dan efisien yaitu diperlukannya suatu model belajar yang baik. Menurut Trianto (2012: 154), pembelajaran IPA di sekolah sebaiknya: 1) Memberikan pengalaman kepada siswa sehingga kompeten dalam melakukan pengukuran berbagai besaran fisis; 2) Menanamkan pentingnya pengamatan empiris dalam uji hipotesis; 3) Melatih berpikir kuantitatif dan 4) Memperkenalkan dunia teknologi. Banyak anggapan bahwa mata pelajaran IPA termasuk pelajaran yang sulit dipelajari bagi siswa, mereka sering mengeluh karena pelajaran IPA yang terdiri dari Fisika, Kimia, dan Biologi itu sulit dipahami. Pembelajaran yang monoton menjadikan siswa kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran, sulit memahami materi yang disampaikan oleh guru, susah dalam mengerjakan soal-soal latihan serta mengerjakan PR sehingga nilai mata pelajaran IPA masih rendah. Berdasarkan hasil pengamatan di SMP Negeri 1 Tepus bahwa saat kegiatan belajar mengajar di kelas VIII: 1) siswa kurang antusias, dan 2) kurang aktif dalam bertanya dan menjawab pertanyaan dari guru. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan dan keterampilan berpikir kritis siswa SMP 1 Tepus masih kurang atau belum berkembang dengan baik. Hal tersebut dikarenakan pembelajaran IPA masih berpusat pada guru sehingga membuat siswa kurang aktif dalam pembelajaran. Pembelajaran IPA di kelas VIII masih didominasi oleh penggunaan metode ceramah dan pembelajaran langsung. Aktivitas siswa yang teramati yaitu siswa hanya mendengarkan penjelasan guru dan mencatat hal-hal yang dianggap penting sehingga keterampilan berpikir kritis siswa kurang berkembang dengan baik. Siswa cenderung hanya menghafal apa yang telah disampaikan oleh guru. Padahal seharusnya membahas IPA tidak cukup hanya menekankan pada produk, tetapi yang lebih penting adalah proses untuk membuktikan atau mendapatkan suatu teori atau hukum. Hasil belajar IPA kelas VIII saat ini masih rendah, Siswa SMP Negeri 1 Tepus memperoleh nilai rata-rata IPA yang belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM), nilai rata-rata siswa 62,12 sedangkan untuk nilai KKM IPA 71. Hal ini dapat dilihat dari perolehan nilai ujian semester 2 di SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul yang belum semua mencapai batas nilai KKM yang ditetapkan. Dari berbagai permasalahan yang ada tentunya guru harus dapat melakukan tindakan untuk meningkatkan kualitas belajar IPA di dalam kelas yang dapat menciptakan siswa mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan meningkatkan hasil belajar siswa. Banyak pengajar menyatakan bahwa mereka telah mengajarkan kepada para siswanya tentang “bagaimana berpikir”, sebagian besar mengatakan bahwa mereka melakukannya secara tidak langsung atau secara implisit, yaitu sembari menyampaikan isi materi pelajaran mereka. Lambat laun, para pendidik mulai meragukan efektivitas mengajarkan “keterampilan-keterampilan berpikir” dengan cara ini, karena hampir sebagian siswa sama sekali tidak memahami keterampilan-keterampilan berpikir yang dibicarakan (Fisher, 2009: 1) John Dewey menganjurkan agar sekolah mengajarkan cara berpikir kritis yang benar pada siswanya. Menurut Reggiero (Johnson: 187), berpikir merupakan segala aktivitas mental yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan atau memenuhi keinginan untuk Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
68
ISSN. 2355-0813
memahami sebuah pancaran jawaban, dan sebuah pencapaian makna. Senada dengan pendapat Johnson (2008: 185) bahwa pentingnya berpikir kritis dalam kehidupan saat ini adalah memungkinkan siswa untuk menemukan kebenaran di tengah banjir kejadian dan informasi yang mengelilingi mereka setiap hari. Pemilihan model pembelajaran yang tepat dalam mengajar diupayakan agar siswa tidak lagi menemukan kejenuhan bahkan kesulitan dalam memahami materi yang diajarkan di sekolah. Model pembelajaran yang baik dan menarik akan menjadikan siswa mampu mengembangkan keterampilan berpikir kritis serta mampu belajar dengan baik sehingga hasil belajar siswa menjadi lebih baik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar IPA di kelas yaitu dengan menggunakan model pembelajaran quantum teaching. Quantum teaching adalah pengubahan belajar yang meriah, dengan segala nuansanya. Quantum teaching juga menyertakan segala kaitan, interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Quantum Teaching berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas, interaksi yang mendirikan landasan untuk belajar (Bobbi Deporter, 2008: 3). Asas utama quantum teaching adalah “Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka” (Bobbi Deporter, 2008: 6). Asas ini terletak pada kemampuan guru untuk mampu menjembatani antara dua dunia yaitu guru dengan siswa. Artinya tidak ada yang dapat membatasi interaksi antara guru dengan siswa sehingga mereka mampu berinteraksi dengan baik. Seorang guru diharapkan mampu memahami karakter siswa, minat, motivasi, bakat dan setiap pikiran siswa, dengan demikian guru mampu masuk ke dunia siswa. Selain memiliki asas utama quantum teaching juga memiliki prinsip atau kebenaran tetap. Menurut Bobbi Deporter (2008: 78), prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut. 1. Segalanya Berbicara : Segalanya dari lingkungan kelas berbicara. Segala hal yang ada di dalam kelas mengirim pesan tentang belajar. Aspek yang perlu diperhatikan dalam menata kelas yaitu suasana, landasan dan rancangan. 2. Segalanya Bertujuan : Semua yang kita lakukan mempunyai tujuan. Semua yang terjadi dalam skenario pembelajaran mempunyai tujuan. Pembelajaran yang dilakukan guru harus mempunyai tujuan, yaitu agar siswa mencapai kompetensi yang diharapkan yang nantinya dapat bermanfaat dalam kehidupan siswa. 3. Pengalaman Sebelum Pemberian Nama Otak manusia berkembang pesat dengan adan: ya rangsangan kompleks, yang akan menggerakkan rasa ingin tahu. Oleh karena itu, proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari. 4. Akui Setiap Usaha : Belajar mengandung resiko. Belajar berarti melangkah keluar dari kenyamanan. Pada saat siswa mengambil langkah ini, mereka patut mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka. 5. Jika Layak Dipelajari, maka Layak Pula Dirayakan : Perayaan adalah sarapan pelajar juara. Perayaan mengenai umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dengan belajar. Kerangka perencanaan quantum teaching yang lebih dikenal dengan ungkapan TANDUR (Bobbi Deporter, 2008: 10). Komponen kerangka rancangan TANDUR sebagai berikut : 1. Tumbuhkan, menumbuhkan minat dengan memuaskan “Apakah Manfaat Bagiku” (AMBAK), dan manfaatkan kehidupan siswa. 2. Alami, menciptakan atau mendatangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti oleh semua siswa. Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
69
ISSN. 2355-0813
3. Namai, mengandung makna bahwa dalam menamai kegiatan yang akan dilakukan selama proses belajar mengajar dengan menyediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi atau sebuah masukan. 4. Demonstrasikan, memberi kesempatan bagi siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dan ketahui (menunjukkan bahwa mereka tahu); 5. Ulangi, menunjuk beberapa siswa untuk menglangi materi yang telah diketahui, dipelajari dan menegaskan, (Aku tahu bahwa aku memang tahu ini). 6. Rayakan, merayakan atas keberhasilan yang sudah dilakukan oleh siswa sebagai pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan Pengetahuan. Sintaks quantum teaching dalam pembelajaran adalah sebagai berikut. Kegiatan Keterangan - Menyampaikan salam, berdo’a, presens siswa dan Tanamkan mengingatkan agar siswa duduk memperhatikan kegiatan yang akan diberikan. - Guru membagi kelompok dan menjelaskan tugas Alami untuk setiap kelompok - Guru memberikan lembar pengamatan serta memberikan konfirmasi tugas yang akan dikerjakan oleh setiap kelompok. - Guru memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan percobaan sesuai waktu yang telah ditentukan. - Guru membimbing siswa dalam percobaan. - Siswa melakukan percobaan secara berkelompok. - Guru memberikan kesempatan kepada kelompok Namai untuk berdiskusi membahas percobaan yang telah dilakukan. - Guru memberi kesempatan pada kelompok untuk Demonstrasikan mempresentasikan hasil diskusi. - Guru memberikan kesempatan pada kelompok lain untuk menanggapi hasil diskusi kelompok. - Guru mengkonfirmasi hasil diskusi kelas. Ulangi - Guru bersama-sama siswa membuat kesimpulan Rayakan tentang materi yang telah dipelajari. - Guru memberikan umpan balik atas keberhasilan belajar siswa. Dalam melaksanakan pembelajaran IPA dengan pendekatan quantum teaching hendaknya guru memahami dan melaksanakan secara utuh kerangka TANDUR (Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, dan Rayakan) dan guru lebih kreatif dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran sehingga proses dan hasil pembelajaran meningkat (Afif Rifa’i, 2012: 7). B. Metodologi Penelitian ini dilaksanakan di kelas VIII C dan VIII D SMP Negeri 1 Tepus tahun ajaran 2013/2014. Penelitian ini termasuk jenis penelitian quasi eksperimen. Desain penelitian ini terdiri dari model pembelajaran quantum teaching (A1); model pembelajaran langsung/direct instruction (A2) sebagai variabel bebas, keterampilan Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
70
ISSN. 2355-0813
berpikir kritis (X) sebagai variabel sertaan atau kovariant, dan hasil belajar (Y) sebagai variabel terikat. Variabel penelitian meliputi: model pembelajaran quantum teaching, model pembelajaran langsung, hasil belajar dan keterampilan berpikir kritis. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII semester ganjil SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul tahun ajaran 2013/2014 dengan jumlah siswa 126 yang terbagi dalam 8 kelas. Teknik pengambilan sampel menggunakan random sampling. Dari empat kelas diambil dua kelas yaitu kelas VIII C sebagai kelas kontrol dan kelas VIII D sebagai kelas eksperimen. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan lembar observasi dan tes. Tes terdiri dari 40 soal pilihan ganda yang terdiri dari 4 pilihan jawaban, terdapat 26 soal yang valid kemudian soal digunakan untuk penelitian selanjutnya. Analisis butir soal menggunakan program iteman diperoleh reliabilitas 0,692. Lembar observasi digunakan untuk menilai dan mengukur siswa dalam berpikir kritis pada saat pembelajaran berlangsung. Analisis data secara deskriptif dihitung dengan melihat hasil belajar yang dibandingkan pada kategori kurva normal. Selain itu, dilakukan uji persyaratan analisis yang meliputi uji normalitas sebaran menggunakan rumus uji chi kuadrat, uji homogenitas varian menggunakan uji F, uji linieritas menggunakan teknik anareg dan uji hipotesis menggunakan uji anakova A (satu jalur) kemudian diuji t. Dalam melakukan analisis data peneliti menggunakan program SPSS 16. Indikator keberhasilan dalam penelitian ini dapat dilihat dari hasil belajar dan keterampilan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA berkembang dengan baik yakni dilihat dari hasil belajar IPA yang berada pada kategori tinggi (rerata 19,5) dan keterampilan berpikir kritis pada kategori sangat tinggi (rerata 81%) setelah menggunakan model pembelajaran quantum teaching sedangkan hasill belajar IPA (rerata 17,00) dan keterampilan berpikir kritis (rerata 69%) pada kategori tinggi setelah menggunakan model pembelajaran langsung (direct instruction) dalam proses belajar mengajar. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan Setelah analisis butir soal, 26 butir soal valid sehingga berlaku ketentuan skor maksimal idealnya adalah 26 skor minimal idealnya adalah 0 sehingga menurut kriteria kurva normal adalah sebagai berikut: ̅ 19,513 <𝑥 26 = sangat tinggi ̅ < 19,513 15,171 ≤𝑥 = tinggi ̅ < 15,171 10,829 ≤𝑥 = sedang ̅ 6,487 ≤ 𝑥 < 10,829 = rendah 0,00 < 6,487 = sangat rendah Dari data tes hasil belajar IPA kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun Ajaran 2013/2014 diperoleh data sebagai berikut : Kelompok siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran quantum teaching diperoleh data hasil belajar IPA sebagai berikut: skor tertinggi = 23; skor terendah = 14; nilai rata-rata 19,5 dan simpangan baku 2,437. Dari hasil penelitian diperoleh skor rata-rata 19,5 jika dibandingkan dengan kriteria kurva normal, kelompok ini berada pada interval 15,171 ≤ 𝑥̅ 19,513 termasuk kategori tinggi sehingga dapat disimpulkan bahwa kecenderungan hasil belajar IPA siswa SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun Ajaran 2013/2014 termasuk kategori tinggi. Dari data hasil belajar IPA yang diberi perlakuan dengan model pembelajaran quantum teaching diperoleh hasil skor tertinggi = 22, skor terendah = 14 dari simpangan baku 2,160 dan nilai rata-rata 17 dengan melihat kriteria di atas berati hasil belajar IPA yang diajar dengan model quantum Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
71
ISSN. 2355-0813
teaching siswa SMP Negeri 1 Tepus tahun ajaran 2013/2014 termasuk kategori tinggi. Dalam semua aspek keterampilan berpikir kritis siswa di kelas eksperimen rata-rata memiliki kategori sangat tinggi yaitu pada interval 80.00 – 100% sedangkan kelas kontrol rata-rata berada dalam kategori tinggi yaitu pada interval 60,00 – 69,00%. Pengujian persyaratan analisis dalam penelitian ini meliputi uji normalitas sebaran, uji homogenitas varian dan uji linieritas varian. Uji normalitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah data pada penelitian ini terdistribusi normal atau tidak. Berdasarkan hasil uji normalitas sebaran menggunakan Kolmogrorov-Smirnova diperoleh bahwa siginifikansi kelas kontrol adalah 0,136 dan kelas eksperimen 0,136. Karena signifikansi kedua kelompok tersebut lebih besar dari 0,05 maka kedua kelompok tersebut terdistribusi normal. Uji homogenitas varian digunakan untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan dalam penelitian berasal dari populasi yang homogen atau tidak. Berdasarkan analisis data diperoleh besarnya F 0,440 dengan signifikansi 0,510. Karena signifikansi lebih besar dari 0,05, maka kedua kelompok homogen. Uji linieritas varian digunakan untuk mengetahui status linier tidaknya suatu distribusi data penelitian. Berdasarkan analisis data yang diperoleh sebesar F 0,655 dengan signifikansi 0,685. Signifikansi yang diperoleh lebih besar daripada 0,05, maka kedua kelompok linier. Model pembelajaran quantum teaching lebih efektif dari pada model pembelajaran langsung (direct instruction). Berdasarkan uji anakova sebelum keterampilan berpikir kritis dikendalikan diperoleh Fhitung sebesar 18,539 dan 0,000 untuk angka signifikansi. Sedangkan setelah keterampilan berpikir kritis dikendalikan diperoleh F hitung sebesar 17,595 dan 0,000 untuk angka signifikansi, dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa sig. 0,000 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran quantum teaching dan model pembelajaran langsung (direct instruction) ditinjau dari keterampilan berpikir kritis siswa Kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul tahun ajaran 2013/2014. Berdasarkan uji t diperoleh bahwa bahwa thitung sebesar 8,228 dan nilai sig./ p = 0,000 ≤ 0,05 maka hipotesis diterima dan signifikan. Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran quantum teaching dengan model pembelajaran langsung (direct instruction) ditinjau dari keterampilan berpikir kritis siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun Ajaran 2013/2014. D. Simpulan Dari hasil analisis dan pembahasan disimpulkan sebagai berikut. Kecenderungan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun Pelajaran 2013/2014 yang menggunakan model pembelajaran quantum teaching dalam kategori tinggi. diperoleh rerata sebesar 19,50 dan berada pada interval 15,171 – 19,513. Kecenderungan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun Pelajaran 2013/2014 yang menggunakan model pembelajaran langsung (direct instruction) dalam kategori tinggi. diperoleh rerata sebesar 17.00 dan berada pada interval 15,171 – 19,513. Kecenderungan keterampilan berpikir kritis siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun Pelajaran 2013/2014 yang menggunakan model pembelajaran quantum teaching dalam kategori sangat tinggi. Diperoleh rerata prosentase sebesar 81% dan berada pada interval 80,00 – 100%. Kecenderungan keterampilan berpikir kritis siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun Pelajaran 2013/2014 yang menggunakan model pembelajaran langsung (direct Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
72
ISSN. 2355-0813
instruction) dalam kategori tinggi. Diperoleh rerata prosentase sebesar 69% dan berada pada interval 60,00 – 79,00%. Secara komparatif ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul Tahun Pelajaran 2013/2014 antara yang menggunakan model pembelajaran Quantum Teaching dan model pembelajaran Langsung (direct instruction) ditinjau dari keterampilan berpikir kritis. Dengan melihat reratanya ternyata hasil belajar IPA yang menggunakan model pembelajaran quantum teaching lebih tinggi daripada yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung (direct instruction). Berarti ada pengaruh model pembelajaran quantum teaching terhadap hasil belajar IPA ditinjau dari keterampilan berpikir kritis siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Tepus Gunungkidul tahun pelajaran 2013/2014. Berdasarkan kesimpulan yang terdapat pada penelitian di atas maka diharapkan: 1) Model pembelajaran quantum teaching dapat diterapkan dalam pembelajaran IPA dan dapat dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar siswa; 2) Pengelompokan antara siswa yang berkemampuan sedang dan tinggi perlu dibiasakan agar mampu berdiskusi sehingga keterampilan berpikir kritis siswa berkembang ketika pembelajaran berlangsung, dan 3) Siswa dibiasakan tertib dalam mengemukakan pendapat didalam kelas agar suasana tidak gaduh dan pembelajaran berjalan dengan lancar. E. Daftar Pustaka Afif Rifa’i, dkk. 2012. Penerapan Pendekatan Quantum Teaching Dalam Pembelajaran Ipa Di Kelas V Sdn 2 Jogomertan. Jurnal ilmiah: Alec Fisher. 2009. Berpikir Kritis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga Bobbi DePorter, dkk. 2001. Quantum Teaching : Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas. Bandung : Kaifa. Elaine B Johnson. 2008. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan kegiatanBelajar Mengajar Mengasyikkan dan Beramakna. Bandung: Mizan Learning Center. Isriani Hardini & Dewi Puspitasari. 2012. Strategi Pembelajaran Terpadu (Teori, Konsep & Implementasi). Yogyakarta: Famillia (Group Relasi Inti Media). Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatf-Progresif: Konsep Landasan, dan Implementasinyapada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana. Turmudzi. 2013. Mengajarkan Keterampilan Berpikir Kritis Pada Siswa. http://edukasi.kompasiana.com (diakses 12 Juli 2013)
Jurnal Pendidikan IPA NATURAL Volume 1 No. 1 tahun 2014
73