27
KEWENANGAN PERMOHONAN KEPAILITAN DALAM PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI
Muhammad Umar1 Fakultas Hukum Universitas Mataram ABSTRAK
Kredit sindikasi merupakan kredit yang diberikan oleh dua atau lebih lembaga keuangan dengan ketentuan / persyaratan yang sama untuk peserta sindikasi, menggunakan dokumentasi yang sama dan dikelola oleh agen yang sama. Dalam hal debitur yang terikat dengan perjanjian pinjaman sindikasi dinyatakan pailit, khususnya tidak ada hukum yang mengaturnya sehingga debitur sindikasi pinjaman untuk dinyatakan bangkrut dipandu oleh persyaratan sebagaimana ditentukan oleh UU Nomor 4 dari 1998, maka UU tersebut diperbaharui dengan UU Nomor 37 Tahun 2004. Istilah yang digunakan dalam undangundang kepailitan adalah debitur dalam keadaan berhenti membayar, dan utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga (Pasal 1 ayat (1) UU No 4 Tahun 1998, Pasal 8 ayat (4 ) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004). Pada penerapan ketentuan utang yang telah jatuh tempo dan terhutang dikategorikan secara sederhana, semua tergantung pada interpretasi hakim yang melihat bagaimana membuktikan keberadaan utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Prosedur Kepailitan, menurut Undang-Undang Kepailitan, Pengadilan berwenang mengadili permohonan pailit kasus adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan debitur. Ketika Anda telah meninggalkan wilayah Indonesia, keputusan pengadilan adalah pengadilan yang berwenang untuk menentukan wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir dalam hal debitur merupakan debitur dalam bentuk perusahaan negara nasional, hakim adalah yurisdiksi pengadilan mencakup lokus dari firma hukum, dalam hal debitur tidak mengambil domisili tempat hukum dalam wilayah Republik Indonesia Mahkamah berwenang pengadilan negeri memutuskan adalah hukum kantor debitur menjalankan profesi (bisnis) dan jika debitur badan hukum , posisi hukum sebagaimana dalam anggaran dasarnya. Kata kunci: pinjaman sindikasi, peserta sindikasi, prosedur Kepailitan.
ABSTRACT Syndicated loans are loans granted by two or more financial institutions with the terms/conditions the same for participant syndication, using the same documentation and administered by the same agent. In the case of a debtor that is bound to a syndicated loan agreement is declared bankrupt, in particular there is no law that set it so that the debtor syndicated loan to be declared bankrupt guided by the requirements as specified by the Act No. 4 of 1998, then the Act was renewed by Act No. 37 of 2004. Terms used in the 1
Muhammad Umar Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Mataram Bagian Perdata
28
bankruptcy laws is a debtor in a state stopped paying, and the debt that was due and payable declared bankrupt by the Commercial Court (Article 1, paragraph (1) of Law No. 4 of 1998, Article 8 paragraph (4) Law Act No. 37 of 2004). On the application of the provisions of the debt that was due and payable are categorized in a simple, all depending on the interpretation of judges who looked at how about proving the existence of the debt has been due and payable. Bankruptcy procedures, according to the Bankruptcy Act, the Court authorized to try the case bankruptcy petition is the Commercial Court which jurisdiction covers the place of domicile of the debtor. When you have left the territory of Indonesia, the court's decision is the court authorized to determine which jurisdiction covers the place of last legal position in case the debtor is a debtor in the form of national state firm, the judge is the court's jurisdiction covers the locus of the law firm, in which case the debtor does not take place legal domicile within the territory of Indonesia Republic Court authorized the district court decides is the law of the debtor's office to run the profession (The business) and if the debtor's legal entity, the legal position is as set in their statutes. Keywords : Syndicated loans, participants syndication, Bankruptcy procedures.
29
A. PENDAHULUAN Suatu kenyataan bahwa kegiatan usaha pada era global seperti sekarang ini tidak mungkin terisolir dari masalah-masalah lain. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan mempunyai imbas dan pengaruh buruk bukan hanya kepada perusahaan itu saja melainkan berakibat global. Sebagai contoh2, ketika Dirut Yamaichi Securities pada tanggal 1 Desember 1995 mengumumkan kebangkrutan perusahaannya pada suatu konfrensi pers di Tokyo, Jepang laksana diguncang bom atom lagi, bahkan dampaknya bersifat menggelobal. Dari Kasus ini dapat dilihat banyak pihak yang jadi korban bila perusahaan itu dinyatakan pailit. Oleh karena itu, lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok didalam aktivitas bisnis karena adanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar atau terpaksa bahkan mungkin dipaksa keluar dari pasar. Dalam hal seperti inilah kemudian lembaga kepailitan itu berperan. Pandangan seperti ini memang secara ekonomis dapat diterima, bila dikemas di dalam peraturan hukum maka peratuaran itu secara tepat merefleksikan kepentingan yang dilihat dari sudut pandang ekonomis namun hal seperti ini jelas tidak sesuai dengan era global seperti sekarang ini. Masalah kepailitan sudah diatur di dalam peraturan kepailitan dan penundaan pembayaran utang (Verordening op het faillisement en de surseance van betaling) yang dicantumkan dalam staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto staatblad 1906 Nomor 348 yang diundangkan pada tahun 1906 yang kewenangan mengadilinya ada pada Pengadilan Negeri. Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 ternyata masih ada beberapa hal yang belum jelas, misal tentang pengertian utang, jatuh tempo dan dapat ditagih, jenis kreditur, ada klausula arbitrase dalam perjanjian serta hal-hal lain yang masih perlu diperjelas, dipertegas atau diatur dengan lebih baik lagi dalam Undang-Undang kepailitan. Dalam rangka menjawab itu semua, maka pada tanggal 18 Nopember 2004 disahkan dan berlakulah mulai saat itu juga Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-Undang Kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar, dalam perkembangannya kemudian adanya krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 mendorong Pemerintah Indonesia menyesuaikan hukum kepailitan tersebut dengan perkembangan hukum kepailitan yang modern agar dapat berperan
2
Sri Redjeki Hartono , 2008 Hal. 3
30
membangkitkan kembali kegiatan usaha dan perekonomian Nasional melalui Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Di samping penyempurnaan tentang prosedur permohonan pernyataan pailit dan hukum acaranya berubah, perubahan yang mendasar adalah perkara kepailitan tidak lagi diperiksa dan diadili di Pengadilan Negeri tetapi Pengadilan Niaga yang merupakan pengadilan khusus di lingkungan Peradilan Umum dengan hakim yang khusus dan upaya hukum yang dapat diajukan adalah langsung berupa kasasi ke Mahkamah Agung, dengan kata lain tidak melalui pemeriksaan banding kepada Pengadilan Tinggi terlebih dahulu, namun demi keadilan terhadap putusan kasasi tesebut masih dapat diajukan peninjauan kembali. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan tersebut, maka terhadap Permohonan kepailitan harus menerapkan ketentuan Undang-Undang kepailitan tersebut. Dalam rumusan Pasal 1 (1) Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan “Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Dari ketentuan Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 permohonan pailit dapat diajukan terhadap debitur bila memenuhi syarat-syarat3: Debitur terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit mempunyai dua kreditur atau dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu kreditur. a. Debitur tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu kreditur. b. Utang yang dibayar itu harus telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Di era sekarang ini dengan semakin meluasnya kebutuhan akan pembiayaan guna mengembangkan usaha akan pembiayaan proyek-proyek di dunia usaha, menuntut akan kebutuhan modal dan untuk itu menuntut pula suatu tindakan penciptaan suatu system pembiayaan yang mampu menghasilkan laba, hal ini menuntut suatu system pembiayaan baru yang didalam dunia Perbankan disebut sebagai kredit sindikasi. Kredit Sindikasi merupakan kredit yang diberikan beberapa bank kepada seorang debitur dimana diantara bank-bank peserta sindikasi tersebut terdapat hubungan lintas 3
Sutan Remy Syahdeini . 2002 hal. 63
31
kreditur yang dikoordinasi secara erat dan kokoh oleh satu bank sebagai koordinator yang disebut lead Creditor atau Lead manager. Karena adanya hubungan yang bersifat lintas kreditur, jika ada wanprestasi terhadap salah satu kreditur berarti juga dianggap wanprestasi terhadap seluruh kreditur yang lain4 . Menurut Budhiyono Budoyo (2004) bahwa kredit sindikasi adalah kredit yang diberikan oleh dua atau lebih lembaga keuangan dengan syarat/ketentuan yang sama bagi para peserta sindikasi, menggunakan dokumentasi yang sama dan diadministrasikan oleh agen yang sama pula. Djohansjah mengutip pendapat Tony Rhoders menyatakan kredit sindikasi sebagai berikut :” A Syndicated loan is a loan made by two or more lending institution, on similar term and condition, using common documentation and administered by common agent5 : Artinya kredit sindikasi adalah kredit yang diberikan oleh dua atau lebih lembaga keuangan dengan syarat/ketentuan yang sama, menggunakan dokumentasi yang sama dan diadministrasikan oleh agen yang sama “. Menurut Sutan Remy Syahdeini (1997) ada beberapa pihak yang terlibat dalam suatu kredit sindikasi, yaitu : a. Pihak debitur(Borrower) b. Pihak kreditur(Lender) c. Pihak Lead manager d. Pihak agen Bank Kepailitan terjadi dikarenakan debitur dalam keadaan tidak dapat membayar hutangnya pada kreditur pada saat jatuh tempo, dan bila kepailitan tersebut terjadi terhadap debitur yang terikat adanya perjanjian kredit sindikasi dengan kreditur hal ini merupakan suatu keadaan yang delematis bagi anggota peserta kreditur sindikasi yang hendak mengajukan permohonan pailit, mengingat di dalam ketentuan Pasal 1 (1) tersebut secara terang dan jelas Undang-undang tidak mengaharuskan adanya permohonan pailit diajukan oleh semua kreditur, dan berdasar Pasal 1 (1) tersebut dapat diartikan hanya dengan satu kreditur saja dapat diajukan suatu permohonan kepailitan. Dalam kredit sindikasi tersebut pihak agen bank mempunyai peran yang sangat besar, yaitu mewakili dan bertindak untuk kepentingan serta untuk dan atas nama para kreditur, pihak agen bank ini diangkat dan ditunjuk oleh para kreditur, dia bertanggung jawab secara operasional atas pengelolaan pinjaman sindikasi mulai dari menerima angsuran, bunga dan 4 5
Munir Fuady. 2002, hal. 21 Djohansjah. 2004 hal. 153
32
mengatur serta membagi dan pada waktu pemberian pinjaman kepada debitur, dengan perkataan lain pihak agen bank ialah yang mengatur operasional administrasi pinjaman 6, di dalam kredit sindikasi, hubungan kreditur dengan debitur dilakukan melalui agen, agen mewakili sindikasi dapat pula dikatakan para agen mewakili para peserta sindikasi dalam kaitan kewajibannya para peserta untuk menyediakan dana bagi kredit sindikasi yang diberikan oleh sindiaksi kredit. Masing-masing pihak peserta sindikasi tidak mempunyai hubungan hukum yang langsung dengan debitur, karena itu tidak berhubungan langsung dengan debitur, dengan demikian anggota atau peserta sindikasi tidak berhak menegur atau menagih pembayaran kredit pokok atau bunganya kepada debitur apabila debitur menunggak pembayaran, segala perbuatan hukum termasuk menyurati debitur hanya dapat diurus oleh agen7. Dari uraian tentang kredit sindikasi tesebut di atas sudah dapat menjelaskan tentang kredit sindikasi, permasalahan terjadi apabila dalam hal terjadi kepailitan yang mana pihak debitur terikat perjanjian kredit sindikasi pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap salah satu kreditur peserta sindikasi, padahal berdasarkan Pasal 1 (1 ) Undang-Undang Kepailitan, terhadap permohonan pernyataan pailit Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dapat mengajukan permohonan pailit bila ada satu utang yang sudah jatuh tempo belum dibayar, akan tetapi dalam kredit sindikasi menyangkut lebih dari satu kreditur yang mana kreditur-kreditur tersebut telah dikuasakan pada agen, oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut bagaimana pelaksanaan kewenangan permohonan kepailitan kreditur sindikasi terhadap debitur yang terikat perjanjian kredit sindikasi, kewenangan siapa yang berhak untuk mengajukan permohonan kepailitan apabila debitur terikat perjanjian kredit sindikasi, apakah kreditur secara bersama-sama, apakah pihak agen atau dapatkah kreditur secara terpisah mengajukan permohonan kepailitan. Perkembangan yang demikian tersebut bila dikaitkan dengan permasalahan kepailitan akan menimbulkan permasalahan hukum tersendiri bagi Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung, serta berpengaruh pula terhadap para pelaku usaha yang mengharapkan adanya kepastian hukum. Dari latarbelakang tersebut di atas
dapat dikemukakan permasalahan
tentang “bagaimana pelaksanaan permohonan pernyataan kepailitan terhadap debitur yang terikat dengan perjanjian kredit sindikasi”.?
6 7
Hasanudin Rahman, 1995 hal. 120 Ibid, hal. 126
33
II. PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Permohonan Pernyataaan Pailit terhadap Debitur yang Terikat Perjanjian Kredit Sindikasi. 1. Persyaratan Debitur yang terikat Perjanjian Kredit Sindikasi untuk dapat dinyatakan Pailit. Dalam hal seorang debitur yang terikat perjanjian kredit sindikasi dapat dinyatakan pailit, secara khusus belum ada Undang-Undang yang mengaturnya sehingga terhadap debitur kredit sindikasi untuk dapat dinyatakan pailit berpedoman persyaratan sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, kemudian Undang-Undang Kepailitan tersebut telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004. Ketentuan hukum yang mengatur kapan seorang dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga ditemukan dalam Pasal 1 ayat (1 ) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 juncto Pasal 6 ayat (3 ) yang sama dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004. Ketentuan yang digunakan peratuaran kepailitan adalah debitur dalam keadaan berhenti membayar, dan adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Dalam Undang-Undang dinyatakan secara tegas bahwa pembuktian yang dianut adalah pembuktian adanya utang yang dapat dibuktikan sederhana. Penentuan jatuh temponya suatu utang harus berdasarkan kesepakatan para pihak dalam perjanjian, pada dasarnya debitur dianggap lalai apabila ia tidak atau gagal memenuhi kewajibannya dengan melampaui batas waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Pembuktian sederhana menurut Undang-Undang Kepailitan adalah apa saja yang lazim disebut hakim dalam mengambil putusan, tidak memerlukan alat bukti yang sebagaimana dalam buku ke empat KUH Perdata, cukup apabila peristiwa atau keadaan tersebut telah terbukti dengan alat bukti yang sederhana. Dalam UndangUndang Nomor 4 tahun 1998 tersebut tidak menjelaskan secara jelas mengenai apa yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih serta tidak menjelaskan tentang pembuktian yang sederhana hanya menjelaskan tentang pengertian utang dan tenggang waktu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UUK Tahun 2004 bahwa utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang lokal maupun asing, baik secara langsung
34
maupun akan timbul di kemudian hari atau kontinjen yang timbul karena perjanjian atau karena Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur (Pasal 1 angka 6), sedangkan tenggang waktu adalah jangka waktu yang harus dihitung dengan tidak memasukan hari mulai berlakunya tenggang waktu tersebut (Pasal 1 angka 10). Penerapan ketentuan tentang utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih harus dapat dibuktikan secara sederhana sebagaimana kasus berikut ini: perkara Nomor 42/ Pailit/ 2001/PN Niaga JKT PST8. PT Bank Mayapada bersama kreditur lainnya telah memberikan fasiltas kredit kepada PT Mandira Pelita Utama berdasarkan perjanjian kredit sindikasi yang dibuat dihadapan notaries sebesar US$ 9.000.000 yang terdiri dari : a. Term loan sejumlah US$ 8.100.000. b. Interes during construction US$ 900.000. Dari perjanjian kredit sindikasi trsebut pemohon menyediakan dana pada termohon sebesar US$ 1.000.000 dengan perincian sebagai berikut : a. Team loan sejumlah US$ 900.000. b. Interes during contruction US$ 100.000. Termohon telah menerima fasilitas kredit dari Pemohon melalui PT Hastin Internasionan Bank selaku Agen fasilitas sebesar : a. Tam Loan US$ 300.000. b. Inters during Construction US$ 99..662.29 Bahwa kredit sindikasi berlaku 4 tahun dari 6 maret 1997 sampai dengan 6 Maret 2001. Bahwa setelah jatuh tempo bahkan sampai dengan diajukannya permohonan kepailitan termohon, termohon juga mempunyai utang dengan kreditur lain. Oleh karena dengan sampai saat ini termohon tidak melaksanakan kewajiaban pembayaran hutangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut, disamping itu termohon juga mempunyai hutang kepada kreditur lainnya, maka termohon akan semakin tidak mampu membayar hutang-hutangnya, oleh sebab itu adalah wajar dan sangat berdasar terhadp termohon dinyatakan pailit. Pihak termohon mengajukan tanggapannya yang pada pokoknya pihak Pemohon telah terlebih dahulu melakukan 8
www. Kasusus.com /Diakses Internet tanggal 12 Oktober 2010
35
wanprestasi oleh karena tidak memberikan danma sesuai dengan syarat yang telah diperjanjikan dalam perjanjian, akan tetapi hanya memberikan sebagian dananya saja. Bahwa terhadap perkara permohonan Pailit tersebut dalam proses perkara di tingkat peradilan umum. Pengadilan Niaga memutuskan mengabulkan permohonan pemohon dengan pertimbangan : a. Menimbang bahwa berdasarkan surat bukti yang ada, dapat disimpulkan bahwa pemohon telah menyerahkan dana fasilitas sindikasi kepada termohon melalui PT Hasti Internasional Bank selaku agen fasilitas dan atas penerimaan dana tersebut oleh termohon dibuatkan surat pengakuan hutang sebagaimana disebutkan dalam bukti P4 yaitu surat pengakuan hutang yang dibuat oleh termohon menerima pencairan dana fasilitas kredit sindikasi dari peserta pemberi kredit sindikasi, incasu pemohon, dan dana yang diterima termohon tersebut adalah merupakan sebagian dari dana pinjaman sebesar US$ 2.700.000. yang telah diterima Termohon dari PT Hastin Internasionan Bank selaku agen fasilitas kredit sindikasi oleh karena itu Termohon harus dinyatakan pailit telah mempunyai utang pada Pemohon. b. Menimbang bahwa sesuai dengan Pasal 1 dari surat perjanjian kredit sindikasi tersebut telah disepakati bahwa tanggal jatuh tempo dibitur untuk membayar lunas seluruh fasilitas kredit sindikasi adalah tanggal 6 Maret 2001, oleh karena itu utang-utang Termohon pada Pemohon dan para kreditur lainnya tersebut haruslah dinyatakan telah jatuh tempo dan dapat ditagih. c. Termohon telah mempunyai hutang kepada pemohon dan para kreditur lainnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sehingga unsur Pasal 1 ayat 10 Jo Pasal 6 ayat 3 Undang-undang nomor 4 tahun 1998 telah terpenuhi, oleh karena itu termohon PT Mandira Pelita Utama harus dinyatakan pailit. d. Terhadap putusan Pengadilan Niaga pihak pemohon yaitu PT Mandira Pelita Utama (selaku pemohon kasasi) mengajukan kasasi terhadap Bank mayapada Internasional Tbk (selaku Termohon Kasasi). Dari kasus tersebut terdapat fakta-fakta hukum sebagai berikut : 1. Timbulnya suatu wanprestasi terhadap adanya perjanjian kredit sindikasi tersebut, dimana pemohon dalam hal ini kreditur peserta sindikasi tidak memenuhi perjanjian yang telah diperjanjikan dalam pemberian kredit pada termohon (debitur). 2. Di mana termohon (debitur) hanya menerima sebagian kecil kredit yang diperjanjikan, sehingga termohon mengalami kegagalan dalam hal pembangunan proyeknya.
36
3. Yang kemudian termohon (debitur) mengajukan gugatan ke Pengadilan umum dan pada saat permohonan pailit diajukan pemohon, masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap. 4. Dari keadaan tersebut pihak pemohon mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga. 5. Dan oleh Pengadilan Niaga, karena telah terbukti adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sehingga dapat dibuktikan secara sederhana maka permohonan pailit dari pemohon dikabulkan. 6. Mahkamah Agung kemudian dalam putusan kasasinya menyatakan, oleh karena terbukti bahwa pembuktian adanya utang tersebut tidak dapat dibuktikan secara sederhana maka sudah tentu tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 ayat 1 jo Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Kepailitan, maka permohonan kasasi dikabulkan dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga. Penafsiran tentang adanya utang di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tidak ada definisi secara khusus yang menyebutkan definisi utang, namun demikian dengan telah diperbaharuinya Undang-Undang Kepailitan yaitu Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 menyatakan definisi tentang utang dalam Pasal 1 ayat 6 adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau konyijen, yang timbul karena perjanjian atau karena undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi member hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. Terhadap penerapan ketentuan pembuktian utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih yang dikategorikan secara sederhana, semua tergantung dalam penafsiran hakim tersebut yang memandang bagaimana tentang pembuktian secara adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Terhadap penerapan Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 tentang adanya pemeriksaan yang sederhana, Pasal 6 ayat 3 tersebut menyatakan “permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwea persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat 1 telah terpenuhi. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 6 ayat 3 tersebut diuraikan: yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana adalah yang lazim disebut pembuktian secara sumir, dalam hal permohonan pernayataan pailit diajukan oleh kreditur untuk menagih juga dilakukan secara sederhana. Dari rumusan Pasal dan
37
penjelasan tersebut memperlihatkan bahwa dalam memeriksa permohonan pernyataan pailit pengadilan harus memanggil kedua belah pihak yakni debitur dan kreditur. Dalam permohonan kepailitan kredit sindikasi terdapat pandangan terhadap penerapan Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, hal ini ditentukan dalam perkara-perkara Nomor 42/Pailit/2001/PN Niaga Jkt Pst, yang menyatakan oleh karena terbukti secara jelas hutang termohon yang sudah jatuh tempo dan dan dapat ditagih, maka Pengadilan Niaga “mengabulkan permohonan pailit karena telah memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, sebaliknya pihak termohon menyatakan bahwa penentuan ada tidaknya utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat 1 undang-undang nomor 4 tahun 1998 belum jelas, karena adanya utang piutang yang didalilkan oleh pemohon pailit masih dalam sengketa diantara para pihak di hadapan hakim perdata, yang mana di Pengadilan Negeri dan Penagdilan Tinggi telah memutus bahwa perjanjian utang piutang tersebut telah batal namun perkara tersebut masih dalam taraf kasasi dengan demikian termohon berpendapat dengan belum putus dan belum mengikatnya putusan atas sengketa tersebut, pengajuan kepailitan yang didasarkan atas uatang yang belum pasti adalah tidak berdasar. Pengadilan Niaga dalam putusannya menyatakan bahwa syarat-syarat permohonan kepailitan sebagaiman Pasal 1 ayat 1 jo Pasal; 6 ayat 3 undang-undang kepailitan telah terpenuhi. Sedangkan Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 41/K/N/2001 menyatakan “ mengabulkan kasasi dari pemohon kasasi dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga “dan putusan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan Kembali dengan pertimbangan hukum: a) bahwa menurut Pasal 1 ayat 1 jo Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, suatu permohonan pernyataan pailit harus dilakukan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa debitur mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan sedapat mungkin ditagih. b) bahwa sesuai dengan Pasal dalam perjanjian kredit sindikasi, tanggal jatuh tempo debitur telah ada, namun oleh karena itu termohon kasasi/pemohon pailit tidak memenuhi isi perjanjian kredit sindikasi/wanprestasi, maka
38
adanya utang serta apakah utang tesebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih tidak dapat dibuktikan secara sederhana. c) Bahwa pemohon kasasi sebagi salah satu kreditur tidak dapat menunjukkan jumlah tagihan yang menjadi haknya, dan sehubungan dengan ini perkaranya masih dalam pemeriksaan pada tinmgkat kasasi, maka hal ini adanya hutang tidak dapat dibuktikan dengan secara sederhana. Menurut pendapat penulis berdasarkan peraturan-peraturan hukum kepailitan yang ada dihubungkan dengan pertimbangan hukum dari Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung, dalam kasus tersebut tidak dapat diterapkan ketentuan Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, adanya utang harus dapat dibuktikan secara sederhana padahal dalam perkara ini hal tersebut tidak dapat dibuktikan adanya utang dan tidak dapat diterapkan dengan pemeriksaan sederhana karena: a) Satu-satunya alat bukti yang membuktikan adanay utang tersebut adalah perjanjian kredit sindikasi. b) Perjanjian tersebut masih dipermasalahkan keabsahannya, karena sudah dinyatakan batal baik oleh Pengadilan Negeri jakarta Pusat maupun oleh Pengadilan Tinggi DKI, dan kemudian masih dalam proses kasasi di Mahkamah Agung yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. c) Tidak dapat dibuktikannya dengan sederhana adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, karena pada kenyataannya pemohon kasasi tidak dapat membuktikan jumlah utangnya. 1.2. Prosedur Kepailitan, Menurut Undang-Undang Kepailitan, pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara permohonan kepailitan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Yang dimaksud pengadilan menurut Undang-undang Kepailitan (UUK) ini9 adalah Pengadilan Niaga yang merupakan kekhususan pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkungan Peradilan Umum. Bila debitur telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, maka pengadilan yang berwenang menetapkan putusan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitur. Sedang 9
Rahayu Hartini, 2008, hal. 71
39
dalam hal debitur berupa persero suatu Firma, yang mengadili adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut. Dalam hal debitur tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitur menjalankan profesi atau usahanya dan bila debitur badan hukum maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya (penjelasan Pasal 2 UUK) 1.3. Cara-cara pengajuan Permohonan Pailit Permohonan pernyataan pailit10 diajukan kepada Pengadilan melalui panitera, yang menurut lampiran UUK Pasal 5 harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek. Berdasarkan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri/ Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor: W7.DC.HT.0801 /VIII/1998/01 maka ditetapkan mengenai besarnya biaya panjar dan biaya untuk pendaftaran perkaraperkara yang dimohonkan kepailitan adalah sebesar RP 5.000.000 (Lima juta rupiah) dengan rincian sebagai berikut: -
Materai 2 buah a Rp.2000
:
Rp.4.000
-
Redaksi
:
Rp.3.000
-
Exploit
:
Rp.1.000
-
Penyerahan Surat
:
Rp.5.000
-
Administrasi
:
Rp.1.015.000
-
Penyampaian panggilan/ Putusan
:
Rp 3.972.000
Jumlah ……………………
:
Rp.5.00.000
-
Surat permohonan tersebut harus disertai dokumen-dokumen atau suratsurat dibuat rangkap sesuai dengan jumlah pihak, serta ditambah 4 rangkap untuk Majelis dan arsip. Salinan/dokumen atau surat-surat yang berupa foto copy harus dilegalisir sesuai dengan aslinya oleh Pejabat yang bewenang/Panitera Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Apabila salinan/dokumen atau surat-surat yang dibuat di luar Negeri harus disyahkan oleh kedutaan/Perwakilan Indonesia di Negara tersebut dan selanjutnya diterjemahkan oleh penterjemah resmi ke dalam Bahasa Indonesia, demikian pula terhadap
10
Sri Redjeki Hartono, 2008, hal. 72
40
salinan dokumen dan surat-surat yang menyangkut kepailitan ke dalam Bahasa Indonesia. Dokumen atau surat-surat yang harus dilampirkan untuk permohonan kepailitan sesuai dengan ketentuan lampiran UU kepailitan Nomor 4 Tahun 1998 Pasal 1 Juncto Pasal 2 UU Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 bahwa kepailitan dapat dilakukan oleh pihak-pihak berikut ini: 1. Debitur sendiri 2. Seorang atau lebih krediturnya 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum 4. Bank Indonesia 5. Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) 6. Menteri Keuangan Terkait dengan proses pengajuan permohonan kepailitan yang dilakukan oleh para pihak11 juga harus diperhatikan mengenai dokumen atau surat yang harus dipenuhi atau dilampirkan yaitu sebagi berikut: a. Permohonan dari kreditur 1. Surat permohonan bermeterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. 2. Izin Pengacara/kartu pengacara 3. Surat Kuasa Khusus 4. Akta pendaftaran Perusahaan (Tanda daftar Perusahaan/ Yayasan/Asosiasi) yang dilegalisir oleh kantor perdagangan paling lambat 1 minggu sebelum permohonan didaftarkan. 5. Surat perjanjian utang (loan agreement) atau bukti lainnya yang menunjukan adanya utang. 6. Perincian utang yang tidak dibayar 7. Nama serta alamat masing-masing kreditur/debitur. b. Permohonan dari Debitur (perorangan)
11
Ibid. Hal, 730
41
1. Surat permohonan bermeterai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga Jakarta Pusat 2. Izin pengacara/Kartu pengacara 3. Surat kuasa Khusus 4. Surat tanda bukti diri suami/isteri yang masih berlaku (KTP/Paspor/SIM) dan akta perkawinan suami isteri 5. Persetujuan suami/isteri 6. Daftar asset dan tanggung jawab 7. Neraca pembukuan terakhir (dalam hal perorangan memiliki perusahaan. c. Permohonan dari Debitur (Perseroan Terbatas). 1. Surat permohonan bermeterai yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri/Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. 2. Izin pengacara/Kartu Pengacara 3. Surat kuasa khusus 4. akta pendaftaran Perusahaan (tanda daftar perusaahaan) yang dilegalisir oleh kantor perdagangan paling lambat 1 minggu sebelum permohonan didaftarkan 1.4. Prosedur Permohonan Pailit ke Pengadilan Niaga bagi Debitur yang Terikat Perjanjian Kredit Sindikasi Prosedur permohonan pailit ke Pengadilan Niaga bagi Debitur yang terikat perjanjian kredit sindikasi dapat dilakukan pembahasan sebagai berikut: Permohonan pernyataan pailit tersebut dapat diajukan oleh, debitur sendiri, atas permohonan seorang atau lebih kreditur, kejaksaan untuk kepentingan umum. Dalam hal menyangkut debitur yangmerupakan Bank permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Dalam hal menyangkut debitur merupakan perusahaan efek, permohonan pailit dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal Dalam kepailitan, penasehat hukum memegang peranan yang sangat sentral, permohonan pernyatan pailit baik yang diajukan sendiri oleh debitur maupun oleh kreditur yang bersangkutan. Permohonan ini harus diajukan oleh penasehat hukum, yang memiliki izin praktek untuk atas nama pemohon kepada Pengadilan melalui
42
panitera (Pasal 4 ayat 1 Jo Pasal 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998). Kemudian dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 permohonan pailit yang diajukan oleh debitur harus memakai advokat. Permohonan pailit harus memakai penasehat hukum/Advokat. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998, ditentukan bahwa semua hal yang berkaitan dengan permohonan pernyataan pailit harus dimajukan oleh penasehat hukum/pengacara yang memiliki izin praktek. Selain hal tersebut, ada juga permohonan-permohonan yang diharuskan dengan penasehat hukum antara lain adalah, dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 jo Pasal 10 undangundang nomor 37 tahun 2004, sebelum putusan pailit diucapkan dapat diajukan untuk: (a) meletakan sita. (b) menunjuk curator sementara. Dalam Pasal 8 mengenai upaya hukum kasasi, Pasal 9, dalam mengajukan memori kasasi. Dalam Pasal 11 untuk peninjauan kembali. Dalam Pasal 56 a, pihak ketiga dapat meminta penangguhan hartanya yang berada di bawah penguasaan debitur yang pailit atau curator. Dalam Pasal 66 penetapan hakim pengawas dapat dimajukan perlawanan pada pengadilan. Pasal 151 penolakan pengesahan perdamaian. Pasal 161 penuntutan pembatalan perdamaian. Pasal 197, harta peninggalan dari meninggal dapat dinyatakan pailit. Pasal 205, permohonan rehabilitasi. Dari uraian Pasal-Pasal tersebut, ternyata menunjukan adanya keharusan untuk menggunakan penasehat hukum/pengacara yang telah diakui oleh pemerintah (dengan adanya izin praktek) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kepailitan Nomor 4 Tahun 1998. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 permohonan kepailitan harus diajukan oleh seorang advokat, dan ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal permohonan diajukan oleh kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar modal, dan Menteri Keuangan. Pendaftaran permohonan Pernmohonan didaftarkan ke panitera dan pada tanggal permohonan diajukan tersebut panitera memberikan tanda terima tertulis yang ditandatanganinya kepada pemohon sesuai dengan tanggal pendaftaran. Kemudian panitera pengadilan menyampaikan permohonan pernyataan pailit tersbut kepada Ketua Pengadilan Niaga. Ketua pengadilan mempelajari berkas permohonan pernyataan pailit, dan selanjutnya menunjuk Majelis hakim yang diberi wewenang untuk memeriksa
43
permohonan tersebut paling lambat 1 x 24 jam (setelah Undang-undang nomor 37 tahun 2004 berubah menjadi 2 x 24 jam terhitung sejak tanggal permohonan itu didaftarkan. Persidangan Dalam jangka waktu 2 x 24 jam (Undang-Undang Kepailitan yang baru), terhitung sejak tanggal permohonan itu didaftarkan Majelis Hakim akan menetapkan hari
sidangnya.
Sidang
pemeriksaan
atas
permohonan
pernyataan
pailit
diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan (Pasal 4 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Pasal 6 ayat (6) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004. Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat 5 sampai dengan paling lambat 25 hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan, namun penundaan itu hanya dapat dilakukan apabila ada permohonan dari debitur berdasarkan alasan yang cukup (Pasal 4 ayat 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Pasal 6 ayat 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Panggilan untuk debitur Panggilan, selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Jo Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 ditentukan bahwa Pengadilan: a. Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditur atau kejaksaan, Bank Indonesia, badan Pengawas Pasar Modal atau Menteri Keuangan; b. Dapat memanggil Kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur, apabila terdapat keragu-raguan dipenuhi atau tidaknya syarat pernyataan pailit yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 telah terpenuhi. Dari bunyi Pasal tersebut bahwa Pengadilan tidak wajib untuk memanggil dan mendengar debitur, akan tetapi untuk sebaiknya debitur didengar dan di panggil terutama
untuk
dapat
memberikan
pertimbangan-pertimbangan
mengenai
pemohonan pernyataan pailit yang benar atau sesungguhnya telah terdapat fakta atau keadaan yang secara terbukti secara sederhana atau yang terbukti secara sumir memenuhi persyaratan untuk dinyatakan pailit, seperti yang dimaksud Pasal 1 ayat 1
44
jo Pasal 6 ayat 3 undang-undang nomor 4 tahun 1998 atau Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 8 ayat 4 undang-undang nomor 37 tahun 2004. Panggilan yang dimaksud di atas, harus dilakukan oleh panitera paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksaan pertama diselenggarakan (sesuai Pasal 6 ayat 2 undang-undang nomor 4 tahun 1998 jo Pasal; 8 ayat 2 undang-undang nomor 37 tahun 2004). 2. Peranan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung dalam permohonan Pailit terhadap Debitur yang Terikat Perjanjian Kredit Sindikasi. Permohonan pailit terhadap debitur sudah biasa dilakukan atau diajukan baik oleh kreditur-kreditur, Bank, maupun debitur sendiri, namun permohonan pailit dalam hal perjanian kredit sindikasi terutama terhadap kreditur peserta kredit sindikasi yang mengajukan permohonan pailit kepada debitur yang terikat perjanjian kredit sindikasi hal ini merupakan suatu yang mendapat perhatian secara khusus, oleh karena untuk permohonan pailit pada umumnya jelas sudah pemberlakuannya dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang Nomor 37 Tahun 2004. Terhadap permohonan pailit kreditur kepada debitur yang terikat kredit sindikasi oleh karena pengaturan secara khusus tidak dijumpai dengan sendirinya menerapkan peraturan kepailitan yang umum yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Dalam Undang-Udang Nomor 37 Tahun 2004 tidak mengatur tentang kepailitan kredit sindikasi, akan tetapi dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 menyatakan “bilamana terdapat sindikasi kreditur maka masing-masing kreditur adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2. Pengertian kredit sindikasi menurut Munir Fuady adalah12 ” kredit yang diberikan oleh beberapa bank kepada satu debitur dimana diantara bank-bank peserta sindikasi tesebut terdapat suatu hubungan lintas kreditur yang dikoordinasi secara erat dan kokoh oleh satu bank sebagai coordinator yang disebut sebagai lead creditor atau lead manager, karena ada hubungan yang bersifat lintas kreditur, maka jika ada wanprestasi terhadap satu krediturnya, berarti juga dianggap wanprestasi terhadap seluruh kreditur yang lain (cross default).
12
Munir Fuady, 2002 hal. 119
45
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tidak mengatur tentang kepailitan kredit sindikasi, akan tetapi dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 menyatakan “ bilaman terdapat sindikasi kreditur maka masing-masing kreditur adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2. Dalam perkara-perkara kepailitan tersebut upaya hokum yang ada adalah kasasi ke Mahkamah Agung dan dimungkinkan untuk Peninjauan Kembali. Pembentukan Pengadilan Niaga untuk memeriksa perkara kepailtan, dan juga kelak perkara-perkara perniagaan lainnya berdasarkan peraturan pemerintah, didasarkan atas pertimbangan kecepatan dan efektifitasnya, dalam hal memeriksa perkara-perkara kepailitan yang menyangkut kepailitan kredit sindikasi. Dan dalam perkara-perkara kepailitan tersebut upaya hukum yang ada adalah kasasi dan dimungkinkan untuk peninjauan kembali. Sebagaimana telah disebut di atas bahwa ketentuan hukum yang mengatur persyaratan kapan seseorang debitur dapat dipailitkan oleh Pengadilan Niaga dijumpai dalam Pasal 1 ayat 1, Pasal 6 ayat 3 undang-undang nomor 4 tahun 1998 Jo Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan nomor 37 tahun 2004 , seorang debitur dapat dinyatakan pailit apabila secara sederhana (sumir) terbukti bahwa dalam keadaan tidak mampu membayar utangnya kepada minimal dua orang kreditur dan sedikitnya satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih Perkara-perkara permohonan pernyataan pailit terhadap debitur yang terikat kredit sindikasi di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sebagai berikut : 1. Bahwa Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang ada terhadap Permohonan pernyataan pailit terhadap debitur yang terikat kredit sindikasi sebagian besar perkara yang masuk ke Pengadilan Niaga telah diputus dengan amar putusan dikabulkan, sesuai dengan penerapan dari ketentuan Pasal 1 ayat 1 jo Pasal 6 ayat 3 undang-undang nomor 4 tahun 1998. 2. Bahwa terhadap satu perkara, oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dinyatakan ditolak. 3. Bahwa terhadap satu perkara dinyatakan tidak dapat diterima karena adanya syarat formil yang tidak lengkap. Tugas dan wewenang Pengadilan Niaga
46
Mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Niaga ni diatur dalam Pasal 300 dan Pengadilan Niaga berada dibawah lingkungan Peradilan Umum, yang tugastugasnya adalah: 1. Memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit. 2. Penundaan kewajiban pembayaran utang. 3. Memeriksa perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan undang-undang (misalnya, sengketa di bidang HAKI saat ini telah masuk wilayah Pengadilan Niaga). Dalam UUK tahun 2004 telah diatur tentang kewenangan Pengadilan sehubungan dengan perkara pailit yang mengandung klausula arbitrase, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 303, bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan memnyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase , sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat 1 Undang-undang ini. Ketentuan dalam Pasal 2 dimaksudkan untuk memberi dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase. III. SIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa: Pelaksanaan pernyataan pailit terhadap debitur yang terikat perjanjian kredit sindikasi pengaturannya secara khusus belum ada, maka pelaksanaannya berpedoman pada peraturan kepailitan pada umumnya yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang telah diperbarui menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 bahwa dalam pelaksanaan permohonan pernyataan terhadap debitur yang terikat perjanjian kredit sindikasi adalah persyaratan untuk dapat dinyatakan pailit dan prosedur permohonan pernyataan pailit. Persyaratan untuk dapat dinyataka pailit dalam kredit sindikasi berpedoman pada rumusan Pasal 1 ayat 1 undang-undang nomor 4 tahun 1998 Jo Pasal 2 ayat 1 UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004. Mengenai persyaratan untuk dapat dinyatakan pailit ditemukan kasus tentang penafsiran utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih dimana pihak pemohon mengajukan permohonan pailit kepada termohon di Pengadilan niaga, yang sebelumnya pihak pemohon trsebut juga mengajukan wanprestasi terhadap sengketa mengenai kredit sindikasi di Pengadilan Negeri yang subyek dan obyek perkara adalah sama
47
yaitu masalah utang kredit sindikasi. Prosedur permohonan pailit bagi debitur yang terikat perjanjian kredit sindikasi juga berpedoman pada prosedur kepailitan pada umumnya. Peranan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung dalam hal Permohonan pernyataan pailit terhadap debitur yang terikat perjanjian kredit sindikasi bahwa Pengadilan Niaga melaksanakan fungsinya sebagai lembaga peradilah khusus yang menangani perkara kepailitan serta perkara niaga lainnya dengan baik. Peran Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi di Indonesia juga telah menjalankan fungsinya dengan baik yaitu memutus perkaraperkara kasasi maupun peninjauan Kembali.
48
DAFTAR PUSTAKA
Budhiyono, Budoyo, 2004,” Kredit Sindikasi dan Restrukturisasi “Makalah disampaikan pada Lokakarya Terbatas tanggal 3-5 –Agustus 2004, Jakarta. Djohansjah, 2004,” Penjaminan Dalam Perjanjian Kredit, Lokakarya Terbatas dan Wawasan Bisnis, Jakarta 3-5-Agustus- 2004 Hasanudin Rahman, 1995,” Aspek–aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia “ Bandung. Fuady, Munir, 2002,” Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era global “ PT Citra Aditya Bakti ,Bandung. Rahayu Hartini, Sri, 2008, Pengantar Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang Sutan Remy Sjahdeini, 2002,” Hukum Kepailitan, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. -----------, 1997,” Kredit Sindikasi, Proses Pembentukan dan Aspek Hukum, PT Pustaka Utama grafiti, Jakarta.