KETIKA BANTUAN HUKUM STRUKTURAL TAK MAMPU HENTIKAN PENINDASAN Oleh * Herlambang P. Wiratraman [disampaikan pada diskusi Catatan Akhir Tahun 2015 YLBHI-LBH Semarang, Taman Budaya Raden Saleh, 16 Desember 2015]
I.
Pengantar This is frontier capitalism that thrives on low wages and high exploitation. When neo-
liberalism in the Global South fails to bring development and produces income polarization, it’s not because of the failure of neo-liberalism but because if its success. It’s not because of the ‘politics of structural reform’, but because of structural reform itself (Pieterse 2004: 12).
Dalam dua dekade terakhir, isu paling dominan dalam mewarnai soal kebijakan dan politik-ekonomi di negara-negara selatan, termasuk Indonesia, adalah isu globalisasi neo-liberal. Rejim pemerintah otoritarian di Asia yang bertumbangan di akhir 1990an, tak mengubah situasi itu, bahkan sebaliknya, kian mengukuhkan arah kebijakan dan politik ekonominya. Memang, rejim pemerintahan telah bergeser menjadi ‘lebih demokratis’ di beberapa titik tertentu, seperti berkembangan demokrasi elektoral dan terakomodasinya hukum soal hak-hak asasi manusia. Namun, skenario global yang mendominasi telah menancapkan siasat politikekonomi yang berbasis pada pasar, dan berhasil menundukkan rejim-rejim yang dipercaya ‘lebih demokratis’ tersebut. Akibatnya, di tengah transisi politik demokratisasi, kita pula menyaksikan praktek eksploitasi yang kian masif dan sistematik, baik terhadap manusia maupun sumberdaya alam. Pemerintah, sebagai politik elit, berjumpa dengan pemilik modal, yang menjadi penggerak politik lokal-nasional, berkembang dan sekaligus berwujud
menjadi politik elit predatorik yang setiap saat melindas kepentingan rakyat dan hak-hak asasi manusia. Tidak mengherankan, kebijakan, peraturan perundangundangan, penegakan hukum, dan bahkan bisa dikata sistem hukum, telah terjerembab dalam politik hukum yang diskriminatif, eksploitatif, nan koruptif. Ini berarti, lawan politik bagi kelompok pro-demokrasi tidak semata rejim pemerintahan hasil demokrasi elektoral, tetapi meluas berhadapan dengan elit predatorik yang merebut ruang-ruang publik, menguras sumberdaya alam dan sekaligus mendikte institusi-institusi politik dan hukum demi memuluskan kepentingan-kepentingan struktural elit predatorik tersebut. Dalam konteks politik ekonomi liberal yang demikian, tentu proses-proses pemiskinan struktural kian masif dalam skala besar, menggunakan rasionalisasi teknokrasi dan legitimasi politik hukum yang kian terbuka dikembangkan sebagai dasar pembentukan kebijakan. Hal ini melahirkan situasi yang mana gerakan masyarakat sipil, termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH), memerlukan reorientasi gerakan bantuan hukum yang lebih efektif mendorong transformasi sosial politik yang lebih berkeadilan. Pertanyaan kuncinya, bagaimana hal itu semestinya diwujudkan dan merawatnya sebagai disain politik kelembagaan bagi kantor-kantor LBH di seluruh Indonesia. Tulisan ini hendak mengurai sejumlah perkembangan dan memetakan strategi kelembagaan berikut agenda gerakan dalam konteks politik ekonomi neo-liberal. II.
Pemiskinan Struktural: Dulu dan Kini
Diberitakan dalam suatu media, ratusan buruh Jawa Timur yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sidoarjo dan Surabaya menggelar aksi di kantor Dinaskertransduk Jatim untuk melaporkan 1.022 perusahaan ‘outsourcing’ yang menyalahi aturan Menakertrans dan Mahkamah Konstitusi, Juni 2012 lalu. Sebelumnya aksi-aksi serupa telah dilakukan, dan Gubernur Jatim menjanjikan menerbitkan kebijakan moratorium outsourcing. Faktanya, praktik outsourcing semakin marak tanpa tindakan [penegakan] hukum. Bahkan, praktik outsourcing melibatkan oknum SPSI, SBI, dan Disnakertrans sendiri. Selain itu, praktik outsourcing dilakukan dengan memecat (PHK) karyawan tetap dengan
alasan penghasutan (demonstrasi), dan untuk kemudian mereka digantikan outsourcing.1 Union busting (pemberangusan serikat buruh) demikian mudah terjadi dan ditemui realitasnya, namun pemberangusan serikat buruh kini dilakukan bukan dengan kekuatan represif, melainkan penundukan serikat oleh simbol-simbol kuasa politik organisasi yang tertundukkan dan dilemahkan struktur dan fungsinya dalam sirkuit subordinasi kapital. Belum lagi mekanisme PPHI (penyelesaian perselisihan hubungan industrial) yang menempatkan posisi buruh dalam skema penindasan yang kian terlegalisasi. Kasus-kasus di atas, bukan saja terjadi di Kabupaten Sidoarjo maupun propinsi Jatim2, namun kasus itu telah berdimensi nasional bahkan pula terjadi sejumlah negara-negara lainnya, terutama negara miskin dan berkembang dimana tenaga kerja murah secara mudah didapat. Kisah outsourcing di Indonesia bukanlah cerita sederhana, melainkan kerja yang amat sistematik melalui skenario penundukan kuasa kapital atas politik ekonomi suatu bangsa, dengan melibatkan aktor-aktor yang demikian tersusun rapi dan besar perannya mentransmisikan gagasan sekaliguspelemahan atau bahkan penghancuran hak-hak asasi manusia. Melalui kasus-kasus demikian, mari kita simak situasi yang terjadi di Indonesia. Apa yang terjadi di Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dengan konteks perkembangan pembaruan hukum perburuhan di Indonesia pasca krisis finansial, yang mana kebijakan itu kuat mempengaruhi lahirnya sejumlah teks yang secara sistematik dan terstruktur rapi dalam politik (ekonomi) legislasi buruh. Setidaknya terjadi tiga gelombang pembaruan hukum (1997-1998, 2000-2004, dan 2005sekarang) (Wiratraman 2006, 2007a) telah memperlihatkan kekuatan neo-liberalisme melalui tangan-tangan multilateral development banks (Bank-bank pembangunan multilateral, semacam Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan IMF) telah terlibat mendisain arah hukum buruh. Sebagaimana mudah disaksikan, bahwa skema pembaruan yang diusung proponen neo-liberal begitu gampang 1
dipercaya oleh negara-negara di selatan yang
Ratusan Buruh Jatim Laporkan 1.022 Perusahaan
“Outsourcing”, Antara News, 18 Juni 2012,
http://www.antarajatim.com 2
Dalam Laporan Catatan Akhir Tahun 2015 YLBHI-LBH Semarang, terlihat sejumlah kasus serupa.
mayoritas negara miskin dan berkembang, tak terkecuali Indonesia. Skema itu mencipta skenario kebijakan perburuhan, antara lain: good governance (tata pemerintahan yang baik), labor market flexibility (pasar buruh lentur), dan legal framework for development (kerangka hukum untuk pembangunan). Untuk memastikan wacana itu lebih mudah diterima, termasuk kelompok pro-demokrasi sekalipun, diperlukan teknologi kekuasaan dan rasionalitas untuk menyuntikkannya, dengan cara pemenuhan persyaratan utang, bantuan teknis, dan utang itu sendiri. Turunan-turunan diskursus tersebut untuk memberikan pembenaran politik hukumnya, disertakan konteks yang nyata, seperti merespon kebutuhan investasi pasca krisis, pengentasan kemiskinan, pengurangan pengangguran, dan penciptaan kondusifitas hubungan industrial. Wacana dalam konteks skenario tersebut termaterialisasi melalui hukum dengan pengaturan-pengaturan khusus
reformasi kebijakan buruh yang merepresentasi
teknologi kekuasaan tersebut, seperti pengesahan tiga paket UU Buruh (UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh; UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial/ PPHI) (Wiratraman 2007). Walhasil, sejumlah instrumentasi politik perundang-undangan tersebut ibarat mesin penggilas hak-hak rakyat, yang mana gerakan buruh maupun aktifis organisasi nonpemerintah seakan tak berdaya berhadapan dengan situasi yang demikian sistemik dan lugas mempedaya hak buruh. Memang, situasi penggunaan instrumentasi politik perundang-undangan untuk melegitimasi penindasan hak-hak rakyat bukanlah situasi baru, karena di masa rejim otoritarian militer Orde Baru sekalipun, praktek itu telah lama dan meluas terjadi. Praktek itu ditujukan untuk memastikan perangkat kekuasaan rejim bertahan dan terus menguasai alat produksi, merawat hegemoni kekuasaan, serta pemenuhan kepentingan bagi segelintir orang (kronikroni) di sekitar Soeharto. Yang membedakan, dengan konteks politik pasca Soeharto, skenario pematerialisasian pelanggaran hak-hak asasi manusia yang dilegalkan (‘legalized human rights violation’) terjadi dengan sarana demokrasi, yang berpusat pada disain demokrasi yang ramah terhadap kepentingan neo-liberalisasi kapital. Demokrasi dalam konteks itu, tak ubahnya sebagai bentuk pendisiplinanpendisiplinan politik ekonomi yang sarat dengan penyingkiran dan pelemahan hak-
hak rakyat. Institusi-institusi demokrasi dikembangkan dan dikemas dalam prosesproses institutionalisasi pemastian kebijakan itu. Tak heran, bila dari sudut pandang ketatanegaraan, lahir sejumlah lembaga-lembaga negara baru dari rahim neoliberalism, baik dalam pilar eksekutif maupun di dalam kekuasaan yudisial. UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) adalah salah satu contohnya, betapa tekanan politik liberal mampu menancapkan pembaruan hukum dengan dikembangkannya institusi peradilan baru. Dalam praktek, alih-alih berharap keadilan dalam proses dan penentuan keputusannya, pembentukan peradilan bagi buruh dalam sengketa ketenagakerjaan itu menjelaskan bahwa kewajiban negara (state obligation) dalam upaya menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk dalam hal ini hak-hak normatif kaum buruh, begitu mudahnya diserahkan melalui mekanisme liberal, membiarkan buruh berhadapan dengan pemilik modal di pengadilan. Mengapa hal ini demikian mudah terjadi di tengah proses demokratisasi Indonesia pasca Soeharto? Dan, bagaimana dengan posisi gerakan masyarakat sipil atas proses tersebut, termasuk peran LBH-LBH yang selama ini dikenal sebagai lokomotif demokrasi Indonesia? Ada sejumlah catatan soal proses demokratisasi tersebut, terutama dikaitkan dengan perjuangan LBH sebagai lembaga hukum yang dikenal membela kepentingan rakyat miskin. Catatan itu antara lain keterlibatan masyarakat sipil dalam setidaknya tiga isu, yakni isu ‘legal reform’ [pembaruan hukum], isu ‘good governance’, isu access to justice’ (akses terhadap keadilan). Model-model pendidikan hukum (kritis), paralegalisme, dan pelatihan-pelatihan serta seminar kolaboratif, tetap produktif dilakukan mengikutinya. III.
‘Legal Reform’, ‘Good Governance’ dan ‘Access to Justice’: Mantra Politik Hukum?
Ada tiga isu yang amat bersinggungan dengan urusan advokasi hukum dan hak asasi manusia, termasuk kerja-kerja advokasi LBH-LBH di Indonesia: Pembaruan Hukum (Legal Reform), Ketatapemerintahan yang Baik (Good Governance) dan Akses Keadilan (Access to Justice). Ketiganya, saling berkait, terutama untuk mendorong proses-proses kebijakan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia.
Contoh pengesahan tiga paket UU Buruh (UU Serikat Buruh 2000; UU Ketenagakerjaan 2003 dan UU PPHI 2004) menunjukkan bagian skenario politik hukum yang mencerminkan siasat neo-liberal melalui proyek legal framework for development (Kerangka kerja hukum untuk pembangunan). Skenario politik hukum dominan ini disusupkan melalui kerjasama sejumlah bank pembangunan multilateral (terutama dimotori oleh Bank Dunia) dengan pemerintah (beberapa kelembagaan negara di bawah eksekutif) dan pula sejumlah organisasi masyarakat sipil, melalui Partnership for Governance Reform (Kemitraan) dan Justice for the Poor (kaki organisasi Bank Dunia). Tentu, sekilas, program atau proyek-proyek pembaruan hukum yang disertai diskursus good governance dan akses keadilan menjadikan tidak mudah dikenali sisi negatifnya, mengingat keduanya dilekati konsep ‘good’ (baik) dan ‘justice’ (keadilan). Problem besarnya adalah, secara konseptual, keduanya memerlukan interpretasi atas konsep yang memastikan bagaimana ‘good governance’ itu benar-benar ‘good’ dan akses keadilan itu juga berbicara ‘keadilan’ yang belum tentu bicara sesungguhnya. Misalnya, apakah upaya transparansi informasi di suatu pemerintahan daerah merupakan bentuk dari kemajuan yang dimiliki negara kita untuk mendorong proses demokratisasi dan partisipasi publik? Kalangan awam sekalipun, akan menilai kemajuan itu berkaitan dengan demokratisasi. Meskipun demikian, bila ditelusuri lebih jauh, skenario transparansi yang didesakkan menjadi suatu kebijakan daerah – atau nasional sekalipun – tidak selamanya berkaitan dengan kebutuhan dari proses demokratisasi dan partisipasi publik. Dalam kasus penyelesaian sengketa tanah, sebagaimana LBH-LBH banyak mendampingi petani, begitu banyak kasus bahwa kantor pertanahan atau Badan Pertanahan Nasional di tingkat kabupaten/kota maupun propinsi tidak serta merta bersedia terbuka untuk menyampaikan informasi publik. BPN kerap menyembunyikan informasi yang berkaitan dengan [penyelesaian] sengketa tanah. Contoh: Ketika para petani yang tergabung dalam OPWB (Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi) melakukan upaya membuka informasi atau dokumen Hak Guna Usaha PT. Wongsorejo yang dianggap bermasalah, BPN Banyuwangi menyuruh warga untuk pergi ke Surabaya atau ke Kantor BPN Kantor Wilayah Jawa Timur. Sesampai di Surabaya, BPN tidak bersedia membuka dokumen itu, bahkan
menegaskan bahwa HGU tidak ada masalah dan akan diperpanjang, karena tidak ada keluhan dari masyarakat. Tentu, atas jawaban tersebut membuat warga petani marah, karena selain tidak diberikan informasi, justru status tanah mereka kian terancam akibat perpanjangan HGU yang sama sekali tidak partisipatif. Kejadian ini berlangsung dalam kurun bulan Juli hingga Agustus 2012. Contoh lainnya adalah kasus yang sedang dihadapi Warga Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Mereka berjuang menolak pendirian pabrik semen di wilayahnya. Pada Senin, 1 September 2014, perwakilan warga bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah Nomor 668.1/17 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2012. Gugatan tersebut mempersoalkan penerbitan SK Gubernur yang dinilai melanggar banyak peraturan perundang-undangan khususnya UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, SK ini juga dinilai melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), termasuk di dalamnya diabaikannya akses informasi dan transparansi (YLBHI LBH Semarang, 2015, hl. 7-8). Kasus layanan publik dalam konteks transparansi penyelesaian sengketa tanah nampaknya ‘jauh panggang dari api.’ Terjadi ‘legal gaps’ antara ideal kerangka aturan normatif dengan implementasi di lapangan. Tidak mengherankan, badanbadan pemerintahan di era yang telah mengemuka soal ‘good governance’ hari ini, pemerintah justru menjadi bagian dari konflik yang merugikan kepentingan publik secara luas. Situasi menjadi berbeda ketika layanan informasi itu begitu mudahnya diberikan kepada kalangan investor atau elit politik lokal yang mengembangkan bisnis, dan bahkan begtiu mudahnya hak-hak tanah diberikan dalam skala luas tanpa memperhatikan situasi nyata yang terjadi di lapangan, termasuk keberadaan warga berikut sumberdaya alam yang berkaitan di dalamnya. Singkat cerita, informasi merupakan ‘transaksi antar kekuasaan’, dan transparansi merupakan ‘alat politik wacana’ yang memastikan transaksi kekuasaan itu berjalan tanpa gangguan. Disain rapi transparansi memang lebih didominasi untuk melayani kepentingan investasi daripada partisipasi. Itu sebabnya, dalam konteks neo-liberal, informasi merupakan
prasyarat kapitalisasi lebih masif di suatu proyek-proyek pembangunan dan eksploitasi sumberdaya alam. Situasi itu pula terjadi dalam kasus-kasus perburuhan yang berhubungan dengan peran Dinas Tenaga Kerja (Disnaker), dimana informasi menjadi suatu bentuk pertarungan sendiri bagi gerakan buruh. Layanan diskriminatif kerap terjadi antara buruh yang menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak normatif buruh dengan perusahaan-perusahaan yang hendak memutus hubungan kerja atau berkepentingan atas pelanggengan industrialisasi dan pelanggaran hak-hak buruh. Belum lagi, begitu menguatnya korupsi secara sistematik di tingkat birokrasi politik lokal. Konspirasi politik lokal yang menyuguhkan fakta bertemunya pemodal, birokrasi dan institusi hukum melahirkan sistem impunitas dan pelemahan penegakan hukum, sehingga tak mengherankan koruptor maupun pelaku pelanggaran hak asasi manusia begitu mudahnya lolos dari jert hukum. Ini sebab, ‘ketatapemerintahan yang baik’ sebatas slogan politik diskursus yang tidak bekerja baik, bukan karena ide yang buruk, melainkan paradigma yang belum berubah watak kekuasaan yang korup dan diskriminatif. Menjadi lebih celaka, bahwa gerakan masyarakat sipil pun terjebak dalam transmisi diskursus tersebut, tanpa bisa melihat secara kritis bahwa problem besar itu bukan di level diskursus, melainkan di level paradigma. Paradigma yang lebih dominan dalam konteks tersebut adalah bekerjanya atau terimplementasinya ‘good governance’, ‘access to justice’ dan lain sebagainya, berpusat pada skenario menopang liberalisasi pasar. Hal inilah yang harus menjadi perhatian bahwa strategi neo-liberal untuk mempertahankan
hegemoninya adalah dengan mereproduksi pengetahuan soal
rasionalitas ‘good governance’ sehingga memudahkan
bekerjanya teknologi
kekuasaannya melalui berbagai pintu masuk di level negara, non negara maupun kemitraan keduanya. Realitasnya, wacana-wacana ketatapemerintahan, pembaruan hukum dan kebijakan publik lainnya dikonstruksi dengan mengikutsertakan demokrasi, hak asasi manusia, anti kemiskinan, antikorupsi, yang kesemuanya terasa cocok dengan suasana (perangkap) reformasi yang sudah dikendalikan pendukung neo-liberal. Semakin lengkap adalah teknologi kekuasaan modalnya yang mampu memistifikasi ketidakseimbangan kekuasaan dan menyedot perhatian
arah reformasi yang ‘good’, melalui program pendanaan ke sejumlah institusi negara, organisasi non-pemerintah, serta kampus-kampus melalui pusat-pusat studi governance. Godaan untuk mengakses dana proyek governance tersebut terlampau besar, sehingga tidak sedikit yang mengubah pula rencana dan pola kerja organisasi penerima dana tersebut. Donor-driven hegemony! (Wiratraman 2007b). IV.
Penegakan Hukum Lumpuh, HAM Terabaikan
Sebagai efek atas situasi neo-liberalisasi yang merangsek ke bidang hukum, maka tidaklah mengherankan bahwa isu penegakan hukum pun sesungguhnya mandeg, apalagi keseriusan pemerintah dalam memajukan hak-hak asasi manusia. Penegakan hukum tak semata menerapkan hukum secara tegas, melainkan mengupayakan membangun sistem hukum yang bekerja secara berkeadilan, tanpa diskriminasi, dan menjangkau seluruh struktur politik ketatanegaraan untuk menjamin hak dasar warga negara. Masalah mendasarnya, ada sejumlah palang pintu politik hukum yang membuat penegakan hukum yang demikian lumpuh. Dalam tulisan terpisah (Kompas, 30 September 2011), telah diungkapkan bahwa ada setidaknya lima hal soal itu. Pertama, hukum dan penegakannya telah terlalu jauh memasuki pusaran kekuasaan politik ekonomi. Tak susah menyaksikan lunaknya penyelesaian hukum sejumlah kasus suap dan korupsi yang melibatkan pejabat, petinggi politik, dan pemilik modal. Berlikunya penyelesaian kasus Century dan kasus Lapindo adalah contoh soal. Kedua, pemerintah tidak saja melakukan pembiaran, tetapi terlibat dalam konflik dan kekerasan. Ini yang membuat hak-hak dasar warga negara, tegasnya hak atas rasa aman, terancam. Kasus kekerasan terhadap warga Ahmadiyah disertai perusakan tempat ibadah, rumah, dan sekolah membuktikan betapa kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai hak yang sama sekali tak boleh dikurangi begitu gampang dilanggar. Ketiga, pelanggengan impunitas. Pelaku kejahatan HAM sistematik dan terencana justru dibebaskan. Proses hukumnya dibiarkan mengambang. Pernyataan Jaksa Agung Basrief Arief soal tuntasnya kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, (Kompas, 7/9) mengindikasikan fakta betapa kuat kebijakan impunitas. Keempat, melemahnya fungsi-fungsi protektif kelembagaan negara: tersumbatnya aspirasi politik warga negara melalui parlemen, masih
dominannya praktik mafia peradilan, dan ketidakberpihakan pemerintahan atas hajat hidup orang banyak. Sayangnya, Komnas HAM sebagai lembaga independen yang diharapkan progresif dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM justru terjebak dalam situasi ini sehingga perannya pun terlihat kurang lugas dan berani membongkar akar kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi. Kelima, terpasungnya kebebasan pers. Pers telah secara dominan dikendalikan pemilik media yang berkepentingan atas kuasa politik, baik di level nasional maupun lokal. Pekerja pers juga kerap mendapatkan ancaman, bahkan aksi kekerasan tanpa ada pertanggungjawaban dari pelaku. Indikasi ini dikuatkan oleh laporan Reporters Sans Frontieres yang menempatkan Indonesia di posisi terburuk sejak 2002, yakni di peringkat ke-117 pada 2010. Bahkan, di tahun 2012, peringkat kebebasan pers Indonesia melorot tajam di level 148. Dengan peringkat itu, kebebasan pers Indonesia dianggap dalam situasi sulit, dan kondisinya dibandingkan anggota ASEAN lainnya, hanya lebih baik dengan Vietnam dan Burma. Selebihnya, peringkatnya lebih baik dari Indonesia. Itu sebabnya, situasi Indonesia boleh dikata kian rapuh bangunan sistem politiknya, apalagi disertai begitu rendahnya kadar konstitusionalisme Indonesia di tangan pemerintah. Ironisnya, rezim Jokowi-JK (begitu juga rezim sebelumnya, SBYBoediono) terkesan sangat tak berdaya melawan permasalahan hukum dan HAM yang mendera ini. Peristiwa kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Misalnya, dalam kurun rezim SBY memerintah, begitu banyak petani menjadi korban, tewas dan luka-luka, akibat memperjuangkan hak-hak tanahnya yang dirampas, seperti kasus Alas Tlogo di Pasuruan yang berhadapan dengan TNI AL, kasus penembakan di Bima, dan bahkan kasus Mesuji. Begitu juga kasus yang terjadi di Selok Awar-Awar Lumajang yang mengorbankan Salim Kancil atas penolakan tambang. Sungguh mengejutkan sekaligus menyakitkan! Kekerasan yang menewaskan
sejumlah petani terjadi di berbagai daerah itu, seperti di Mesuji Lampung, Alas Tlogo Pasuruan, dan Selok Awar-Awar di Lumajang, menambah daftar panjang
kekerasan terhadap petani di tanah air. Kekerasan kali ini memakan korban begitu banyak nyawa manusia serta diduga kuat melibatkan unsur penegak hukum, terutama aparat kepolisian. Peristiwa itu jelas, sungguh tamparan keras bagi upaya maju penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Publik seolah bertanya dimana kewajiban negara untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Konflik yang berlatar belakang sengketa tanah ini sesungguhnya telah menjadi perhatian Komnas HAM. Komisioner Komnas HAM periode sebelumnya, Yosep Adi Prasetyo mengatakan, rekomendasi dikeluarkan setelah pihaknya menerjunkan tim investigasi di dua daerah itu untuk mengusut pembunuhan keji di Mesuji. Salah satu rekomendasi terpenting adalah pemerintah harus membuat strategi untuk memastikan warga yang terusir dari lokasi pemukiman karena sengketa dengan perusahaan itu dapat dikembalikan ke tempat asalnya. Namun, Yosep menengarai, aparat setempat tidak melakukan langkah-langkah sesuai dengan permintaan dan rekomendasi Komnas HAM (Kompas, 15/12/2011). Rekomendasi Komnas HAM pasca kasus 21 April 2011, sebenarnya sudah ditujukan pada pihak-pihak yang terkait, terutama Bupati, Pemda dan Polri. Sayang, rekomendasinya terkesan diabaikan. Dan sebaliknya, warga justru kian tertekan akibat mengungsi, anak-anak yang tidak lagi bersekolah, dan penghidupannya tidak jelas. Hilangnya hak-hak dasar itu menegaskan bahwa UUD 1945 sebagai hukum tertinggi menjadi tiada artinya. Hari ini, kasus-kasus tanah yang masuk ke Komnas HAM, pula terkesan tak tuntas diselesaikan, atau setidaknya tidak pernah dianggap punya pengaruh diupayakan penyelesaiannya di level Pemerintahan Pusat. Lantas, siapakah aktor utama yang paling bertanggung jawab setelah terjadi peristiwa pembantaian di lokasi tersebut baru-baru ini? Usai menerjunkan tim investigasinya, KontraS sudah tunjuk hidung. Melalui Koordinatornya, Haris Azhar, mengungkapkan ada praktik kolaborasi antara perusahaan, aparat keamanan, dan Pam Swakarsa dalam kasus tersebut. Bukti paling jelas, aparat kepolisian yang membiarkan Pam Swakarsa melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap warga hingga banyak korban tewas (Kompas, 15/12/2011). Tren kekerasan yang demikian, pula tetap terjadi atau bertahan dalam satu tahun terakhir.
Dugaan KontraS tersebut mengisyaratkan penegakan hukum, dalam arti, mengusut dan mencari fakta-fakta lapangan tidaklah cukup dilakukan oleh proses penyelidikan aparat kepolisian, terutama di lapangan. Karena mereka dianggap sebagai bagian dari pelaku kekerasan. Apalagi, hukuman atas penembakan yang dijatuhkan terhadap bawahan saja dengan hukuman 21 hari, semakin menguatkan dugaan adanya keterlibatan Polri secara institusi. Tidak saja dalam kasus HAM, situasi penegakan hukum dalam kasus korupsi juga memperlihatkan karakter sistematik yang sama. Sebagai contoh, konflik wewenang antar dua lembaga negara dalam kasus proyek pengadaan Simulator SIM, antara KPK vs. Polri, sudah menunjukkan situasi paling rendah dalam upaya pemajuan strategi penegakan hukum yang efektif. Keduanya bersikeras melakukan penyidikan, meskipun faktanya buntu dan justru mengacaukan sistem hukum atas pertanggungjawaban tindak pidana korupsi. Apalagi, memanasnya situasi itu dipicu oleh dugaan korupsi bernilai milyaran rupiah di tubuh Mabes Polri, sebagai pihak yang merasa memiliki otoritas penyidikan atas dirinya sendiri. Kasus ‘Papa Minta Saham’ yang melibatkan Ketua DPR Setyo Novanto dan pengusaha M Riza Chalid, pula memperlihatkan konfigurasi politik korup dan niretika sekalipun kasusnya ditangani oleh lembaga yang bernama, Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR-RI. Lembaga etik semacam itu, tak ubahnya mesin cuci, membersihkan kotoran-kotoran kerakusan elit-elit politik di berbagai level. Konflik institusional mempertontonkan ketidakwarasan politik hukum. Dalam kasus Simulator SIM, konflik melahirkan beragam argumentasi dikemukakan para ahli hukum untuk menopang pendapatnya masing-masing, baik yang mendukung penyidikan oleh Polisi maupun KPK. Kewenangan Polisi lebih didasarkan pada argumentasi yang berpusat pada MoU (memorandum of understanding) dan KUHAP (Kitab UU Hukum Acara Pidana). Atas dua dasar itu, Polri merasa punya wewenang melanjutkan proses penyidikan atas korupsi yang mendera institusinya. Sementara di sisi lain, wewenang KPK didasarkan pada UU KPK, yang memiliki wewenang mengambil alih proses hukum, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 50 ayat (3) UU KPK, yang pada intinya dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan maka kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan
penyidikan.” Ini artinya, bukan pengambilalihan kasus, melainkan penyidik selain KPK harus berhenti. Pelemahan gerakan anti korupsi dimulai tidak hanya dengan represi, namun melumpuhkannya dengan menggunakan instrumentasi hukum, atau kerap disebut kriminalisasi. Kriminalisasi itu menyasar gerakan masyarakat sipil. Sebagai contoh kasus yang dihadapi Ronny Maryanto, aktivis anti korupsi/Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) yang melaporkan dugaan politik uang saat Pilpres yang dilakukan oleh Fadli Zon saat kampanye di Pasar Bulu, Semarang pada 2 Juli 2014 ke Panwaslu Kota Semarang. Lucunya, Fadli Zon, yang kini duduk sebagai Wakil Ketua DPR RI, telah melaporkan Ronny Maryanto ke Bareskrim Mabes Polri pada 7 Juli 2014 dengan delik Pasal 27 ayat (3) UU ITE serta Pasal Pencemaran Nama Baik (310 dan 311 KUHP). Kasus demikian membalikkan nalar dan akal sehat warga bangsa, melawan praktek money politics justru berbuah kriminalisasi. Lembaga negara pun tak luput disasar untuk dilumpuhkan. Kriminalisasi terhadap Komisioner KPK, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad serta Komisioner Komisi Yudisial, Suparman Marzuki dan Taufiqurrohman Syahuri, dalam kasus pencemaran nama baik hakim Sarpin Rizaldi. Langkah ini pun tak cukup. KPK kini pun diduga kuat dilemahkan dari dalam atas peran-peran kontraproduktif yang dilakukan oleh Pimpinan KPK itu sendiri (baca: Tempo Edisi “Aduh Ruki”, 14-20 Desember 2015). Hukum yang tertera demikian jelas, lex certa (berkepastian), bisa bengkok dan menjadi tak menentu ujungnya. Memang, di lapangan hal itu sangat mungkin dan sering terjadi, karena hukum dan penegakannya sesungguhnya merupakan ekspresi politik yang sarat digelayuti kepentingan-kepentingan. Apa yang diajarkan dan diteoritisikan (das sollen), bisa berkebalikan dengan faktanya (das sein). Itulah hukum, dibuat bukan untuk robot yang serba mekanistik nan patuh, melainkan dirancang untuk manusia dengan pelbagai akal dan perangainya. Semestinya, pintu eksekutif merupakan jalan yang sifatnya bisa segera dilakukan dan lebih singkat dibandingkan pintu kekuasaan lainnya: parlemen maupun yudisial,
serta tanpa harus menunggu datangnya para pihak yang bersengketa. Alasannya sederhana, baik KPK maupun Polri merupakan lembaga-lembaga negara pendukung (state auxiliary bodies) yang berada di bawah kekuasaan Presiden. Prosesnya, Presiden SBY memanggil para pihak, mendengar dan memberikan keputusan langsung atas konflik itu. Konsekuensinya, para pihak harus patuh atas perintah Presiden, dan publik tentunya akan membaca sebagai sikap tegas dan komitmen politik Presiden SBY untuk menghentikan sengkarut antar lembaga negara yang berada di bawah kekuasaannya. Sayangnya, hingga turun jabatan tahun 2014, Presiden SBY belum berniat untuk menggunakan kewenangan politiknya menghentikan sengkarut itu. Bila alasan bahwa Presiden SBY tidak ingin mencampuri urusan proses penegakan hukum, adalah pandangan hukum yang keliru. Presiden memiliki wewenang mewakili publik mengupayakan penegakan hukum hingga di tahap penyidikan. Pandangan hukum demikian dibenarkan, bila campur tangan Presiden dilakukan di saat suatu kasus hukum sudah masuk dalam proses peradilan (yudisial). Hal serupa di masa Jokowi. Tidak ada ketegasan sikap yang bisa ditunjukkan tatkala upaya kriminalisasi Komisioner KPK, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, pasca penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka. Kesan permisif terjadi ketika pelimpahan kasus penetapa Budi Gunawan dilakukan oleh KPK kepada Mabes Polri. Dan bisa ditebak hasil akhirnya, kasus Budi Gunawan yang telah dilimpahkan ke Kejaksaan dan Kepolisian, akhirnya dihentikan pada Maret 2015 (Tempo, 14-20 Desember 2015). Situasi demikian dengan ditambah terjadinya kasus yang berulang-ulang, serta pembiaran atau bahkan kesengajaan politik hukum yang terjadi di Indonesia, niscaya bahwa proses penegakan hukum atas kasus pelanggaran hak asasi manusia dan tindak pidana korupsi di Indonesia akan semakin tajam merosot ke titik yang akan kian sulit diselamatkan. V.
Gerakan Bantuan Hukum, Disain Ulang?
Dalam sejarahnya, LBH tidak bisa dipisahkan dengan perannya sebagai motor penggerak gerakan bantuan hukum di Indonesia. Meski sejatinya menggunakan
istilah ‘bantuan’, sesungguhnya kerja-kerja LBH telah berubah atau bergeser dengan menanggalkan istilah tersebut, dan mengubah menjadi memberdayakan. Konsekuensinya, kerja LBH tidak berpusat semata ke advokasi korban, tetapi pula mendorong perubahan ke arah pembentukan sistem hukum yang demokratis. Memang, situasi itu menjadi mutlak diperlukan di tengah timpangnya sistem hukum Indonesia, korupsi yang sistematik terjadi, serta pelanggaran HAM yang meluas dan penegakan hukum yang mandul. Keterlibatan LBH bersama organisasi nonpemerintah lainnya dalam advokasi kebijakan menuntut mereka memperjuangkan ke arah demikian. Itu sebabnya, LBH pula mengembangkan apa yang disebut Pendidikan Hukum Kritis (PHK). PHK, meski terkesan sebagai bentuk pendidikan, sejatinya adalah model gerakan alternatif yang tak semata bertumpu pada alternatif transfer pengetahuan, melainkan pula mendorong kekuatan publik dalam bentuk pengorganisasian rakyat (Simarmata 2003). Kerja-kerja LBH dalam PHK menuntut prasyarat pengorganisasian, agar hasil dari pendidikan tersebut untuk kemudian bisa dikembangkan menjadi gerakan kontrol sipil yang efektif atas upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Inilah yang kemudian dipersepsikan sama dengan model Bantuan Hukum Struktural (BHS) yang berkembang di awal 1980an. Bantuan Hukum Struktural, kala itu, muncul sebagai kritik atas gerakan hukum, dan ingin mengubahnya menjadi gerakan sosial. Mimpi BHS adalah mengubah tatanan sosial yang tidak manusia dan tidak adil. Itu sebabnya, gerakan bantuan hukum harus bisa membebaskan kaum tertindas dari praktek ketidakadilan sistem politik, hukum, ekonomi dan sosial-budaya. Dalam perkembangan berikutnya, LBH-LBH mengupayakan perluasan aktor yang mumpuni dalam bidang hukum, terutama melalui kaderisasi hukum yang sekaligus penggerak kekuatan sosial masyarakat, yang disebut sebagai aktifis paralegal. Paralegalisme menjadi penting dan meluas mengingat efektifitasnya mendorong perubahan secara bersama-sama dengan LBH-LBH yang bekerja dengan model pemberdayan hukum. Paralegal, sebagaimana pernah dialami dalam perjalanan panjang kerja LBH, memiliki sejumlah peran, antara lain: menfasilitasi pembentukan organisasi rakyat, mendidik, melakukan penyadaran, melakukan analisis sosial, advokasi, membantu pengacara, memediasi dan mengumpulkan dokumentasi (Simarmata 2003: 35).
Dalam suatu analisis disebutkan, ada dua kegagalan BHS: pertama, dinilai kurang jelas sehingga melahirkan berbagai tafsir di lapangan; Kedua, terjebak dalam bantuan hukum gaya lama karena kenyataannya tidak membangun institusi atau organisasi alternatif di tingkat basis (Simarmata 2003: 37). Belakangan, ide-ide BHS dianggap tidak lagi mampu menjawab persoalan yang demikian tajam menyayat struktur sosial budaya masyarakat serta melanggengkan perampasan, kejahatan kemanusiaan dan pemiskinan struktural. Situasi ini tetap dirasakan di masa awal pasca tumbangnya rezim otoritarian Soeharto di pertengahan 1998. Politik hukum memang terasa berbeda dengan asupan gizi politik nir-diktator dengan suplai material proyek-proyek reformasi hukum. Tanda-tanda perubahan positif soal reformasi hukum bisa diperlihatkan dari sejumlah hal, antara lain: terakomodasinya hak-hak asasi manusia dalam hukum/ perundang-undangan, termasuk sebagai hak-hak dasar (constitutional rights); kebebasan pers diberi ruang legislasi sehingga tidak ada lagi bredel, sensor dan perijinan bagi pers; liberalisasi politik terjadi, terutama pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi serta pengembangan budaya demokrasi elektoral yang tidak saja terjadi di level nasional, melainkan pula dipraktekkan di tingkat lokal; pembagian porsi kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudisial, diikuti dengan pembatasan kekuasan Presiden/Wakil Presiden; serta sejumlah bentuk paket reformasi di tubuh peradilan, kepolisian, kejaksaan, dan dukungan legalisasi perundang-undangan yang menyangkut pula hak-hak asasi manusia. Semestinya, dengan perkembangan maju yang demikian, kerja-kerja LBH semakin ringan terbantu dengan sistem hukum yang sudah terdisain rapi untuk memastikan bekerjanya hukum lebih baik dibanding masa pemerintah otoritarian. Faktanya? Ternyata, reformasi hukum yang ‘dinilai positif’ itu pula melahirkan situasi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi masa Soeharto, dimana hukum masih begitu gampangnya dilemahkan, diskriminatif dan berkarakter melegitimasi pelanggaran HAM dan korupsi. Sederhananya, reformasi yang terjadi di awal 2000an kini menyuguhkan fakta dan situasi yang kian memburuk, sebagaimana tergambar dalam tulisan ini di bagian awal.
Pertanyaan yang berkaitan dengan kontradiksi tersebut adalah, apakah kerja-kerja LBH memerlukan reorientasi atas gerakan bantuan hukum selama ini, ataukah mendorong LBH untuk lebih memusatkan kerja-kerjanya pada gerakan politik yang lebih kuat sebagai jawaban untuk mendorong transformasi hukum yang lebih berkeadilan? Tentunya, tulisan ini tidak serta merta akan diakhiri dengan preskripsi tertentu yang kemudian akan digunakan sebagai panduan untuk merancang strategi LBH. Alasannya dua hal, pertama, konteks politik nasional dan lokal haruslah disimak dan dibaca kritis oleh para pekerja LBH itu sendiri (atau pengabdi bantuan hukum, yang tak kesemuanya pengacara/advokad). Karena para pelaku di internal LBH yang bisa memahami kondisi dan sekaligus menjajaki kemungkinan-kemungkinan perubahannya. Kedua, LBH haruslah mumpuni memetakan kekuatan sosial yang kini tumbuh pesat seiring dengan jatuhnya Soeharto, terutama menganalisis peranperan organisasi masyarakat sipil, mengidentifikasi kantong-kantong gerakan sosial yang efektif, sekaligus merefleksikan kasus-kasus yang selama ini ditangani LBH. Yang bisa digulirkan dalam kristalisasi gagasan membangun gerakan bantuan hukum saat ini adalah menyangkut paradigma pembaruan hukum yang haruslah secara kritis dilihat sebagai kegagalan organisasi masyarakat sipil, termasuk LBH. Contoh kasus sederhananya misalkan, bagaimana bisa institusi LBH menjadi makelar proyek-proyek bantuan hukum yang digulirkan Bank Dunia atau organisasiorganisasi proponen neo-liberal, sementara kita paham bahwa Bank Dunia dan organisasi-organisasi itu merupakan aktor utama pembangkrutan reformasi hukum yang dialami oleh Indonesia hari ini. Itu sebabnya di kalangan gerakan masyarakat sipil terkesan sama sekali tidak cerdas membaca situasi transmisi politik HAM yang terdisain dalam bungkus neo-liberalisme. Para aktifis, tidak saja aktifis paralegal, melainkan pula lawyer dan bahkan kerja pengorganisasian atau fasilitator gerakan bantuan hukum, kian sulit membedakan strategi program, terutama program yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia yang berada dalam paradigma liberalisasi pasar (market friendly human rights paradigm). Alih-alih untuk bersikap kritis, pada perkembangannya, masyarakat sipil termasuk organisasi rakyat dan organisasi non-pemerintah, kian mudah tergelincir dalam pragmatisme proyek atau program dengan dalih merawat organisasi agar tetap bertahan dalam krisis pendanaan, yang sesungguhnya memang banyak terjadi tidak
hanya di Indonesia, tetapi juga aktifisme sosial-politik di sejumlah negara-negara dunia ketiga lainnya. Sebagi catatan akhir, bahwa gerakan sosial politik yang dilakukan oleh LBH hari ini memerlukan energi politik yang tidak kecil, bahkan harus kian lebih presisi menentukan strateginya untuk mengubah sistem hukum dan sistem politik yang kian tidak berpihak terhadap rakyat dan hak asasi manusia. Gerakan transformasi hukum yang berkeadilan hanya bisa dilakukan dengan mengembangkan sayap politik gerakan sosial hukum melalui organisasi masyarakat yang kuat, terkonsolidasi, kritis dan berani melakukan perubahan sistem, dengan metode ekstra-legal sekalipun. Ingin mengutip pandangan seorang kawan serikat buruh sebagai pamungkas gagasan, “.. bahwa hari ini, menyelesaikan masalah hukum hanya bisa dituntaskan bukan dengan cara berhukum yang sehat, apalagi mengandalkan institusi politik dan hukum bekerja baik, melainkan menjawabnya dengan gerakan sosial nan terkonsolidasi untuk merebut hak-hak asasi manusia. Meskipun beresiko tinggi, rasanya jauh lebih efektif, terukur dan lugas dengan strategi ini di tengah ketidakberpihakan pemerintah dan kaum pemodal.” Pesan itu sesungguhnya menjadi tantangan sekaligus refleksi bagi para pengabdi bantuan hukum, sejauh mana upaya membangun sistem hukum [negara] yang lebih berkeadilan bisa distrategikan lebih efektif, terutama bersama rakyat.
Daftar Pustaka Kompas, 15 Desember 2011 Pieterse, Jan Naderveen (2004) Globalization or Empire? New York/London: Routledge. Simarmata, Rikardo (2003) “Pendidikan Hukum Kritis: Asal-Usul, Faham, Prinsip dan Metode”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi Khusus 2003. Tempo Edisi “Aduh Ruki”, 14-20 Desember 2015.
Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2006) “Disain Neo-Liberalisme dan Ancaman Terhadap Hak-Hak Buruh”,
Makalah Untuk Labor Law Course For Trade
Unionist, Surabaya, 7-10 September 2006, Trade Union Rights Center Dan Forum Buruh Surabaya. Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2007a) Good Governance and Legal Reform in Indonesia. Bangkok: OHRSD Mahidol University. Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2007b) “Neo-Liberalisme, Good Governance dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum Jentera XV, Januari-Maret 2007. Wiratraman, R. Herlambang Perdana (2011) “Gagalnya Penegakan Hukum dan HAM”, Kompas, 30 September 2011. YLBHI-LBH Semarang (2015) Catatan Akhir Tahun 2015: Membunyikan Lonceng Kematian. Semarang: LBH Semarang.
* Herlambang P. Wiratraman Koordinator Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia/SEPAHAM Indonesia, 2014-2016, Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Diponegoro, Anggota Perkumpulan HuMa dan pernah aktif sebagai Pengabdi Bantuan Hukum pada LBH Surabaya, 1998-2004
[email protected] / +6282140837025