KETIKA HUKUM TIDAK LAGI OTENTIK Dr. Yudi Kristiana, SH., M.Hum Jaksa, Dosen Program Pascasarjana Universitas Negeri Surakarta Solo dan Widya Iswara Luar Biasa Badan Pendidikan dan Latihan (BADIKLAT) Kejaksaan Agung Republik Indonesia Abstract The reality of the law shows that the law was out of the nature existentiality as an authentic entity that seeks to achieve justice, certainty and expediency. In relation to this restoring the genuine of law as an authentic entity, the progressive legal approach should be welcomed as a legal framework of liberation. Keywords: Law, authentic, justice, progressive, approach. A. PENDAHULUAN Mencermati realitas hukum di Indonesia, semakin hari-semakin menampakkan betapa cara berhukum itu ibarat sebuah panggung yang dipenuhi dengan tragedi-tragedi hukum. Sebelum episode yang satu berakhir, telah hadir episode lain yang jauh lebih menarik, begitu seterusnya, dan orangpun tidak lagi menunggu bagaimana endingnya, bahkan peduli pun juga tidak, karena akhir sebuah episode selalu saja dapat ditebak ke mana arahnya dan dapat dipastikan “tidak tuntas”. Dalam tataran kebijakan penegakan hukum, kisah kasih kasus Antasari yang dipaksakan dan penuh dengan misteri, kasus “cicak vs buaya” yang berimbas pada kriminalisasi pimpinan KPK, kasus pajak dengan sosok Gayus Tambunan yang menyeret mantan Kabareskrim Susno Duadji dan Jaksa Cirus Sinaga, kasus sisminbakum yang diduga melibatkan Yusril, dan lain-lain setidaknya cukup merepresentasikan betapa hukum itu bekerja tidak tuntas. Bahkan kasus suap Kemenpora dalam pembangunan wisma atlit, yang apabila menempatkan nyanyian Nazaruddin sebagai bukti awal juga melibatkan the rulling party dengan bobot korupsi politik yang sangat tinggi pun mulai ditengarai adanya kemungkinan ketidak-tuntasan dan ketidak jelasan. Demikian juga dalam tataran kebijakan formulatif, dengan semakin banyaknya “pasal” peraturan perundang-undangan yang berhasil di “MK” kan, tarik-ulur pembahasan pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan di DPR, stagnannya RUU KUHP, tidak segeranya RUU KUHAP dibawa ke DPR karena mondar-mandir dari Kemenkumham ke Setneg, juga memperlihatkan betapa hukum dalam tataran formulatif pun sudah sedemikian crowded. Hukum sebagai sebuah entitas, seharusnya semenjak kehadirannya sudah melengkapi diri dengan tiga dimensi yang saling bertautan dan bersinergi yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Namun demikian sangat disayangkan, entitas hukum itu benar-benar kering dari esensi hukum yang seharusnya menjadi media lahirnya keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Oleh sebab itu tidak berlebihan, ketika rakyat menghendaki hukum yang adil, tetapi yang mencuat justru ketidak adilan. Ketika rakyat menghendaki hukum yang memberikan kepastian, tetapi yang diterima justru ketidak-pastian. Ketika rakyat menghendaki hukum yang melahirkan kemanfaatan, tetapi kehadiran hukum seperti bekerja di ruang hampa yang jauh dari nilai-nilai kemanfaatan.
Keringnya hukum dari hakikat eksistensialitasnya itu tidak hanya terjadi dalam kasuskasus besar, dalam kasus-kasus kecil di tingkat grassroots pun cukup banyak yang menyayat hati seperti kasus persidangan dan penahanan terhadap 10 (sepuluh) anak yang disangka melakukan perjudian di Cengkareng, kasus Nenek Minah yang didakwa mencuri tiga buah biji Kakau, kasus pencurian Randu di Batang, kasus Kakek Klijo Sumarto yang dilaporkan mencuri Pisang Klutuk di Jogja, kasus pencurian Semangka di Jawa Timur, kasus pencurian voucher pulsa di Jakarta, kasus janda veteran yang diadili karena diduga menyerobot tanah dan sebagainya. Ini menunjukkan adanya kecenderungan penggunaan instrumen hukum pidana melalui bekerjanya criminal justice system secara serampangan, telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Kasus Prita adalah contoh lain yang akan melegenda dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia dimana pengungkapan pengalaman pribadinya terkait dengan pelayanan salah satu rumah sakit di Tangerang melalui media internet dalam bentuk email dijerat dengan Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kasus Prita adalah realitas empirik betapa penegakan hukum di Indonesia benar-benar sudah jauh menyimpang dari tujuan philosofis dari eksistensi hukum pidana. Sangat disayangkan ternyata kasus yang mirip dengan Prita juga telah ada sebelumnya, hanya saja tidak mendapatkan liputan seheboh kasus Prita, yaitu yang menimpa Khoe Seng Seng (Khoe Seng Seng dipidana karena menulis Surat Pembaca yang dianggap melanggar pasal pencemaran nama baik KUHP). Realitas hukum menunjukkan bahwa hukum tidak bisa membebaskan diri dari paradigma kekuasaan. Bahkan yang lebih parah seolah-olah hukum hanya menjadi bagian dari ornamen guna melengkapi estetika pencitraan politik kekuasaan. Fenomena ini menggambarkan bahwa hukum tidak lagi sebagai sebuah entitas yang otentik. Relevan dengan fenomena perkembangan hukum di Indonesia, maka focus kajian dalam tulisan ini akan beruang-lingkup pada: (1) eksplorasi tentang realitas hukum yang tidak lagi sebagai sebuah entitas yang otentik; dan (2) bagaimana menghadirkan kembali hukum sebagai sebuah entitas yang otentik dengan pendekatan hukum progresif. B. PEMBAHASAN 1. Fenomena de-otentifikasi hukum Hukum dalam segala perwujudannya dan dalam semua pentahapannya seharusnya merupakan sebuah entitas yang otentik. Pemaknaan otentik di sini lebih dimaknai sebagai sebuah entitas yang genuine sesuai dengan hakikat eksistensialitasnya. Mengikuti pemikiran Gustaf Ratbrug, dalam tataran yang riel, hakikat eksistensialitas dari hukum dapat disederhanakan ke dalam tujuan yang ingin dicapai hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Eksplorasi tentang fenomena otentisitas atau genuinitas hukum, dapat dimulai dengan mengikuti pemikiran Lawrence M Friedmen dalam bukunya “The Legal System: A Social Science Perspective” yang memetakan sistem hukum dalam tiga bidang yaitu legal substance, legal structure dan legal culture. a. De-otentifikasi ranah legal substance. Fenomena de-otentifikasi hukum dalam ranah legal substance terlihat jelas dalam peraturan perundang-undangan yang bukan saja muncul dalam tahap pelaksanaan tetapi dapat diidentifikasi mulai dari tahap formulasi. 1) Politisasi politik hukum. Peraturan perundang-undangan disusun dengan politik hukum nasional yang jelas. Apabila diabstraksikan maka setiap rumusan pasal perundang-undangan akan dapat ditarik ke atas sampai pada tingkat norma dasar. Dalam tataran praktis, peraturan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya demikian seterusnya sampai pada landasan filsafat suatu negara. Namun demikian sangat disayangkan, sejalan dengan pergeseran sistem politik yang cenderung didominasi oleh sistem demokrasi yang liberal, maka politisasi politik hukum sudah sedemikian kentalnya. Seolah-olah dominasi partai politik dengan berbagai kepentingan yang melingkupinya telah melegitimasi adanya politisasi atas politik hukum nasional sesuai dengan kehendak politik masing-masing kekuatan politik yang cenderung mereduksi kehendak politik nasional. Padahal politik hukum nasional idealnya harus berdiri di atas kehendak politik bersama yang mencerminkan pluralisme sebagaimana dijamin dalam Pancasila sebagai dasar filsafat Bangsa Indonesia. Dengan adanya politisasi politik hukum nasional, menjadikan hukum yang dibangun tidak lagi otentik. Hukum diwarnai dengan kepentingan-kepentingan parsial, egoisme sektoral kelembagaan, dan bahkan pemaksaan kehendak kelompok tertentu yang terlembagakan dalam kebijakan formulatif peraturan perundang-undangan. Itulah sebabnya dalam penyusunan peraturan perundang-undangan muncul berbagai fenomema seperti pasal pesanan, pasal kompromi, pasal susupan, dan penghilangan pasal. Ini menunjukkan betapa politisas terhadap politik hukum telah menjadikan hukum tidak lagi otentik. 2) Politisasi sistem hukum. Dalam konteks hukum pidana, bekerjanya hukum pidana telah diwadahi dalam suatu sistem yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System atau disingkat dengan SPP. Namun demikian sangat disayangkan dalam perjalanannya subsistem peradilan baik itu lembaga penyidikan, lembaga penuntutan, lembaga peradilan lembaga pemasyarakatan dan lembaga keadvokatan (penasehat hukum) belum bekerja secara optimal sehingga tidak sesuai dengan harapan publik. Masing-masing pemegang otoritas dalam subsistem peradilan masih terjebak pada abuse of power. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila out put penegakan hukum jauh dari pencapaian tujuan hukum seperti keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Masng-masing subsistem peradilan mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan pengadilan menjadi media pelembagaan intervensi kekuasaan ke dalam sistem hukum. Keadaan ini sudah barang tentu menimbulkan kegelisahan dan keresahan sehingga perlu solusi untuk mengatasinya. Namun demikian sangat disayangkan solusi yang ditawarkan tidak pernah menukik ke akar persoalan yang menjadi penyebabnya, tetapi sifatnya hanya parsial dan sementara, atau dalam bahasa lain solusi yang diberikan masih cenderung bersifat symtomatik dan tidak causatif. Kehadiran lembaga-lembaga hukum yang sifatnya ad-hoc seperti menjamurnya berbagai bentuk komisi negara (dengan kewenangan yang sama atau bahkan lebih guna mengatasi ketidakmampuan subsistem hukum yang sudah ada), atau kehadiran lembaga ad-hoc seperti dalam bentuk SATGAS (dengan kewenangan yang sifatnya koordinatif) sudah barang bentu bukan solusi terbaik untuk mengatasi problem sistem hukum yang sudah sedemikian sistemik, tetapi justru memperumit sistem hukum menjadi semakin crowded. Pembentukan lembaga-lembaga ad-hoc di luar sistem hukum yang sudah ada selain berpotensi menimbulkan konflik dilihat dari sisi sistem juga menimbulkan konflik kepentingan kelembagaan yang bisa jadi menjadi kontra-produktif. Kalau memang dipandang perlu, untuk mengatasi ketidakberhasilan atas bekerjanya subsistem peradilan yang bekerja dalam sebuah System Peradilan Pidana semestinya harus ada keberanian untuk mengganti figur-figur penentu atau strategis dalam sistem itu, bukan dengan cara menciptakan lembaga-lembaga baru meskipun sifatnya ad-hoc. Hal ini penting mengingat
pembentukan lembaga adhoc berpotensi menjadikan hukum tidak lagi bekerja secara otentik, karena hanya berorientasi pada kepentingan sesaat sebagaimana yang menjadi dasar pemikiran kehadiran lembaga ad-hoc itu sendiri. 3) Pesanan kewenangan. Sistem hukum di Indonesia bukan menjadi semakin tertata dengan rapi, tetapi justru semakin tidak beraturan. Hal ini terlihat dari hampir setiap lahirnya peraturan perundangundangan terkait dengan kelembagaan telah melahirkan kewenangan baru atau perluasan kewenangan. Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang baru tidak berusaha untuk merapikan sistem yang sudah ada, tetapi justru memperumit sistem yang sudah ada. Seolah-olah setiap lembaga berusaha memesan untuk mendapatkan kewenangan baru atau setidaknya memperluas kewenangan yang sudah ada melalui otoritas politik yang saat ini berkuasa baik melalui tangan kementerian/lembaga yang menjadi inisiator penyusunan peraturan perundangundangan maupun melalui kekuatan partai politik di DPR. Fenomena pesan kewenangan ini sudah barang tentu menjadikan hukum tidak lagi otentik. Bahwa benar secara formal kewenangan ini sah karena dirumuskan dalam bentuk undang-undang, tetapi pasti akan menimbulkan persoalan dalam tataran aplikasi, karena akan memunculkan penumpukan kewenangan dalam suatu lembaga tertentu yang berpotensi menciptakan sebuah lembaga yang tidak terkontrol dalam bekerjanya sistem, atau terlihat lucu bila di angkat ke tingkat perbandingan dengan sistem hukum negara lain. Bukankah realitas ini telah menjauh hukum dari sisinya yang seharusnya otentik. b. De-otentifikasi ranah legal structure. Dalam perspektif legal structure, de-otentifikasi hukum muncul dalam bentuk yang jauh lebih telanjang. Penentuan siapa yang duduk dalam jabatan jabatan strategis di bidang hukum baik di tingkat kementerian/ kelembagaan tidak bisa lepas dari kepentingan kekuasaan. Hal ini bisa dilihat ketika Presiden akan menentukan siapa yang akan menduduki posisi Jaksa Agung. Terkadang logika-logika hukum dan birokrasi harus dikalahkan dengan logika-logika kepentingan. Itulah sebabnya figur top management di kejaksaan jatuh pada figur-figur di luar harapan publik yang cenderung kompromistik. Idealnya siapa yang menjadi Jaksa Agung adalah jaksa terbaik yang dimiliki oleh kejaksaan pada saat itu, tetapi lihatlah pada periode pasca dilengserkannya Hendarman Supandji, yang ditunjuk adalah figur yang sebelumnya tidak terlalu istimewa. Kalau sudah demikian, bukan hanya penentuan jabatan strategis di bidang hukum yang tidak otentik, tetapi kebijakan hukum yang dihasilkan pun dapat dipastikan tidak akan otentik. Hal ini terjadi karena kebijakan yang dibangun lebih tunduk pada logika kepentingan dan kekuasaan. Kalau sudah demikian sudah dapat dipastikan bahwa hukum tidak akan otentik lagi. c. De-otentifikasi ranah legal culture. De-otentifikasi hukum bukan hanya terhenti dalam ranah legal substance dan legal structure, tetapi sudah menyusuf ke dalam legal culture. Dalam dunia hukum kelemahan atas peraturan perundang-undangan dan lembaga hukum, masih dapat diatasi ketika penegak hukum memiliki kultur hukum yang baik. Itulah sebabnya Traveme pernah mengemukakan bahwa “beri aku hakim dan jaksa yang baik, maka dengan hukum yang buruk pun akan diperoleh putusan yang baik”. Namun demikian sangat disayangkan de-ontetifikasi hukum telah masuk ke dalam ranah kultur hukum, fenomena itu muncul ke permukaan dalam bentuk sebagai berikut: 1) Tebang pilih.
Terlepas dari kepentingan apapun yang melatar-belakanginya, fenomena tebang pilih sudah sering disuarakan oleh berbagai kalangan, mulai dari akademisi, pengamat, hingga politisi. Namun demikian tampaknya fenomena tebang pilih itu masih saja terus berlangsung baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik dalam kasus besar maupun kasus kecil, baik di level elit maupun di tingkat akar rumput. Nuansa tebang pilih lebih terasa dalam penanganan perkara korupsi, dan fenomena itu hampir terasa di seluruh tahapan penanganan perkara dan hampir terasa di seluruh lembaga penegak hukum. Bukan hanya lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan umum yang memang cenderung tidak netral, tetapi di Komisi Pemberantasan Korupsi yang selama ini dipandang relatif independen dan jauh dari kepentingan politik pun, sekarang juga mulai dijangkiti penyakit tebang pilih ini. Seandainya tebang pilih itu dapat dijelaskan tentang sebab musababnya secara transparan, maka logika hukum masyarakat pun mungkin bisa memaklumi, tetapi ketika tebang pilih itu sama sekali tidak dapat dijelaskan, maka yang muncul kemudian adalah kecurigaan, bahwa hukum tidak bekerja otentik. 2) Mereduksi Jangkauan Hukum. Upaya mereduksi jangkauan hukum biasanya berpasangan dengan tebang pilih. Hanya saja kalau tebang pilih itu bisa dimaknai dalam dua hal, yang pertama, dalam satu peristiwa yang sama, satu kasus ditangani tetapi kasus yang lain tidak ditangani, dan yang kedua dalam satu kasus yang sama seseorang ditetapkan sebagai tersangka sedangkan pihak lain tidak atau dibiarkan. Sedangkan dalam hal mereduksi jangkauan hukum diartikan bahwa dalam satu peristiwa pidana, jangkauan hukum dibatasi sampai pada tahap tertentu sehingga tidak menjangkau peristiwa tertentu yang seharusnya masih terkait. Namun demikian perlu dicatat bahwa keduanya baik upaya untuk mereduksi jangkauan hukum maupun tebang pilih sama-sama berangkat dari kepentingan tertentu yang biasanya berujung pada kepentingan kekuasaan tertentu, baik otoritas politik maupun otoritas fmansial. Tetapi keduanya menunjukkan bahwa hukum tidak lagi bekerja secara otentik. Karena keduanya bertabrakan dengan prinsip hukum yang sangat mendasar yaitu prinsip equality before the law. Dalam prinsip ini kesanaan di depan hukum bukan hanya berarti secara positif bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban hukum yang sama tetapi juga mengandung konsekuensi negatif bahwa harus ada jaminan perlakuan yang sama. Dalam sebuah peristiwa hukum yang sama, seseorang yang berada dalam peran yang sama dalam suatu peristiwa hukum semestmya harus berada di dalam status yang sama kecuali yang sudah dikecualikan dalam peraturan perundang-undangan misalnya ada alasan pembenar dan pemaaf yang menghapuskan pemidanaan. Penanganan perkara Nazaruddin bisa jadi akan menjadi tolok ukur sejauh mana kecurigaan publik tentang kemungkinan tebang pilihnya penanganan perkara maupun upaya mereduksi jangkauan hukum, mengingat perkara ini sangat kental dengan keterlibatan partai politik. Seandainya KPK benar-benar bisa menjawab keraguan publik, maka dengan sendirinya akan mampu menepis de-otentifikasi hukum. Namun demikian fenomena umum menunjukkan bahwa hukum masih diwarnai dengan dua hal itu sehingga dikatakan bahwa hukum tidak otentik. 3) Mengkanalisasi Pemaknaan Hukum. Fenomena lain yang tidak kalah menariknya, yang masih dalam ruang lingkup betapa hukum tidakbekerja secara otentik adalah upaya mengkanalisasi pemaknaan hukum.
Yang dimaksud dengan upaya mengkanalisasi pemaknaan hukum di sini adalah upaya membatasi pemaknaan hukum untuk kepentingan tertentu yang biasanya disesuaikan dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Dalam kasus yang sederhana upaya mengkanalisasi pemaknaan hukum muncul ke permukaan dalam wujud perbedaan pemaknaan hukum misalnya dalam memaknai pengertian “melawan hukum” dalam perkara korupsi. Dalam hubungan antara penyidik dan penuntut umum, perbedaan persepsi dalam pemaknaan “melawan hukum” menjadikan bolak-baliknya berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum. Dalam hubungannya antara penuntut umum dengan hakim, menjadikan banyak perkara korupsi dibebaskan, karena menurut Jaksa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sehingga harus dijatuhi pidana tetapi menurut hakim tidak terbukti. Dan perbedaan ini tidak hanya terhenti sampai pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, tingkat banding di Pengadilan Tinggi, tetapi juga sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Upaya mengkanalisasi pemaknaan hukum juga muncul dalam bentuk pemaknaan hukum yang hanya dibatasi pada ruang lingkup rezim hukum. Dalam kasus korupsi misalnya, perspektif rezim hukum administrasi selalu menganggap bahwa kebijakan tidak bisa dipidana, atau perbuatan hukum hanya dianggap sebagai bentuk mal administrasi dan sebagainya, padahal dalam hukum pidana tidak mengenal terminologi kebijakan, karena semua perbuatan yang melawan hukum bisa dipidana (kecuali dalam hal tertentu), demikian juga dalam hal maladministrasi juga tetap dianggap sebagai perbuatan melawan hukum yang bisa jadi keduanya menjadi salah satu penentu untuk dapat dipidananya perbuatan karena memang merupakan salah satu unsur delik korupsi. Perbedaan pemaknaan hukum ini telah dimanfaatkan secara cerdas oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk terbebas dari jerat hukum. Padahal perbedaan pemaknaan hukum itu tidak menghapus dapat dicelanya perbuatan dan oleh karenya sudah semestinya tidak terlalu signifikan pengaruhnya dalam bekerjanya hukum pidana. Tetapi realitas menunjukkan bahwa dengan baju perbedaan pemaknaan hukum telah menjadi media bersembunyinya kepentingan dan abuse of power. Kalau sudah demikian layakkah hukum disebut bekerja secara otentik? 2. Urgensi Hukum Progresif dan Otentisitas Hukum. a. Tawaran Hukum Progresif. Dengan mencermati betapa hukum tidak lagi otentik mulai dari tahap formulasi hingga implementasinya, sudah barang tentu cukup menjadikan pelecut tentang perlunya menjadikan hukum kembali otentik, kembali genuine sesuai dengan kahikat eksistensialitasnya yang berorientasi pada keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Eksplorasi tentang konsep hukum yang memiliki relevansi dengan upaya mengembalikan hukum pada jati diri hukum dapat dimulai dengan menggali konsep hukum sebagaimana ditawarkan oleh Satjipto Rahardjo dengan apa yang disebut sebagai hukum progresif dalam bukunya Yudi Kristiana yang berjudul “Menuju Kejaksaan Progresif: Studi tentang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tmdak Pidana Korupsi”. Tentu saja timbul pertanyaan mendasar seperti, mengapa harus hukum progresif, keunggulan apa yang dimiliki hukum progresif sehingga berani menawarkan diri sebagai alternatif untuk mengembalikan hukum ke dalam kehikat hukum yang genuine. Untuk menjawan persoalan ini sudah barang tentu diperlukan eksplorasi yang cukup mendalam di tengah-tengah keterbatasan hukum progresif itu sendiri. 1) Hukum Progresif.
Menggali gagasan hukum progresif dari Satjipto Satjipto dalam pidatonya berjudul “Mengajarkan Keteraturan, Menemukan Ketidak-teraturan (Teaching Order, Finding Disorder), Tigapuluh Tahun Perjalan Intelektual dari Bojong ke Pleburan” pada tanggal 15 Desember 2000 (Pidato Emiritus Guru Besar UNDIP) bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Bukan saja karena secara teknis konsep pemikirannya yang tersebar (meskipun sudah ada yang mulai menghimpun khususnya oleh hasil peternakan doktornya di PDIH UNDIP), tetapi lebih karena Gagasan hukum progresif itu dapat dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan arus besar yang saat ini sedang berkuasa yaitu domain positivistik dan legalistik. Hukum progresif prinsipnya bertolak dari dua komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior) sebagaimana yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo dalam makalahnya yang berjudul ‘Menuju Produk Hukum Progresif’, disampaikan dalam Diskusi Terbatas yang diselenggarakan oleh FH UNDIP, 24 Juni 2004. Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya (Satjipto Rahardjo, 2005: 5). Berangkat dari asumsi dasar ini, maka kehadiran hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar, itulah sebabnya ketika terjadi permasalahan di dalam hukum, maka hukumlah yang harus ditinjau dan diperbaiki, bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum (Satjipto Rahardjo, 2005: 5). Hukum progresif juga berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final, karena hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi/law as a process, law in the making (Satjipto Rahardjo, 2005: 6). Untuk melukiskan bahwa hukum senantiasa berproses, Satjipto Rahardjo melukiskannya dengan sangat menarik sebagai berikut: “Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan di sini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakekad ‘hukum yang selalu dalam proses menjadi’ (law as a process, law in the making). Hukum tidak ada untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia” (Satjipto Rahardjo, 2005:6). Memperhatikan pernyataan Satjipto Rahardjo tersebut terlihat, bahwa untuk menguji (memverifikasi) kualitas dari hukum, tolok ukur yang dapat dijadikan pedoman antara lain keadilan, kesejahteraan, dan keberpihakan kepada rakyat. Dengan demikian, ketika hukum masuk dalam ranah penegakan hukum misalnya, seluruh proses bekerjanya instrumen penegak hukum harus dapat dikembalikan pada pertanyaan apakah sudah mewujudkan keadilan? Apakah sudah mencerminkan kesejahteraan? Apakah sudah berorientasi kepada kepentingan rakyat? Deskripsi tentang hukum progresif secara garis besar dapat digambarkan dalam tabel berikut ini: (Yudi Kristiana, 2007: 44)
Tabel Hukum Progresif
No.
Identifikasi
Hukum Progresif
1
Asumsi
(1) (2)
2
Tujuan
Kesejahteraan dan kebahagian manusia;
3
Spirit
1. 2.
4
Progresifitas
1. 2. 3.
5
Karakter
1. 2. 3.
4.
5. 6.
Hukum untuk manusia bukan sebaliknya; Hukum bukan merupakan institusi yang mutlak dan final tetapi selalu dalam proses untuk menjadi (law as a process, law in the making); Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas dan teori yang selama ini dipakai (mendominasi); Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghampat hukum dalam menyelesaikan persoalan; Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making). Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional maupun global. Menolak status-quo manakala menimbulkan dekadensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum; Kajian hukum progresif berusaha mengalihkan titik berat kajian hukum yang semula menggunakan optik hukum menuju ke perilaku. Hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat, meminjam istilahnya Nonet & Selznick bertipe responsif. Hukum progresif berbagi paham dengan legal realism karena hukum tidak dipandang dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan dilihat dan dinilai dari tujuan sosial yang ingin dicapai dan akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan sociological jurisprudence dari Roscoe Pound yang mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada studi tentang peraturan tetapi keluar dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan teori hukum alam, karena peduli terhadap hal-hal yang “meta juridical “. Hukum progresif memiliki kedekatan dengan critical legal studies namun cakupannya lebih luas.
2) Penegakan Hukum Progresif. Penegakan hukum progresif harus dimulai dari birokrasi (sistem) peradilan (pidana) progresif yang dalam tulisan ini berangkat dari pemikiran bahwa sistem peradilan pidana identik dengan Sistem Penegakan Hukum Pidana/SPHP (Barda Nawawi Arief, 2006: 19). Sistem “penegakan hukum” pada dasarnya merupakan “sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum” (Barda Nawawi Arief, 2006: 19). Kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum ini dapat diidentikkan pula dengan istilah “kekuasaan kehakiman”, oleh karena itu, SPP atau SPHP pada hakikatnya juga identik dengan “Sistem Kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Pidana”/SKKHP (Barda Nawawi Arief, 2006:19).
Berangkat dari pemikiran bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana, maka membawa konsekuensi bahwa semua bekerjanya sistem peradilan pidana merupakan kekuasaan yang independen, yang bebas, yang merdeka terlepas dan pengaruh kekuasaan apapun. Dengan demikian bukan hanya hakim saja yang memiliki kekuasaan yang bebas dalam menangani perkara tetapi penyidik dan penuntut Umum juga harus memiliki kebebasan. Kebebasan ini tidak hanya kebebasan dalam menangani perkara dari kooptasi kekuasaan politik, tetapi juga kebebasan dari pengaruh birokrasi kelembagaan yang ada di atasnya. Penegakan hukum progresif harus bersandarkan pada spirit pembebasan yang diintroduksi oleh hukum progresif yaitu: a) Pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas dan teori yang selama ini dipakai. b) Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of justice) yang selama ini berkuasa dan dirasa menghambat usahahukum untuk menyelesaikan persoalan (Satjipto Rahardjo, 2005: 15-16). Spirit pembebasan yang dibawa oleh hukum progresif dirasa penting, karena berangkat dari realitas bahwa tipe, cara berpikir asas dan teori hukum yang dikembangkan di Indonesia mencerminkan dommasi positivisme. Bahkan dalam penyelenggaraan administration of justice pun, juga didominasi oleh positivisme. Perlu menjadi catatan bahwa semua perkara yang dihentikan oleh penyidik/ penyelidik (SP3) secara formil telah memenuhi syarat yang dipersyaratkan oleh administrasi peradilan dalam konteks positivistik. Demikian juga tuntutan pidana yang rendah oleh Penuntut Umum sementara kerugian negara yang ditimbulkan sangat besar, juga sudah memenuhi semua prosedur birokrasi yang dipersyaratkan. Bahkan putusan hakim terhadap koruptorpun sudah mendasarkan pada dalil-dalil teori hukum yang positivistik dan legalistik. Namun demikian apakah hal-hal tersebut memenuhi rasa keadilan masyarakat yang haus akan substansial justice? Berangkat dari realitas bahwa model hukum ini belum berhasil menyelesaikan persoalan dalam pencapaian kesejahteraan manusia, maka kehadiran hukum progresif dimaksudkan untuk membebaskannya. Spirit pembebasan yang diintroduksi oleh hukum progresif menjadi sangat urgen dalam konteks penegakan hukum, karena hukum progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia bukan sebaliknya, dan hukum bukan sesuatu yang mutlak dan final, tetapi sebagai suatu yang senantiasa berproses. Dengan demikian penegaian kebenaran dalam bekerjanya sub-sistem peradilan tidak terhenti karena kooptasi kekuasaan birokrasi, tetapi karena semata-mata kebenaran dan keyakinan hati nurani dari penyidik dan penuntut umum itu sendiri. Selain asumsi dasar, spirit dan karakter hukum progresif sebagaimana tersebut di atas, hukum progresif juga memiliki karakter yang progresif dalam hal: a) Bertujuan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dan oleh karenanya memandang hukum selalu dalam proses untuk menjadi (law in the making). b) Peka terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat, baik lokal, nasional maupun global. c) Menolak status-quo manakala menimbulkan dekadensi, suasana korup dan sangat merugikan kepentingan rakyat, sehingga menimbulkan perlawanan dan pemberontakan yang berujung pada penafsiran progresif terhadap hukum (Satjipto Rahardjo, 2005: 16-17). Dikaitkan dengan spirit hukum progresif yang dimaksudkan untuk membebaskan tipe, cara berpikir, asas dan teori serta pembebasan atas penyelenggaraan administration of justice, maka karakter hukum progresif yang berwatak “progresif’ menduduki posisi penting, karena pembebasan ini jelas tidak mungkin terjadi, manakala masih memandang hukum sebagai sesuatu yang absolute, tidak peka terhadap perubahan, dan berpihak kepada status-quo.
3) Verifikasi Hukum Progresif Untuk mengetahui lebih lanjut apakah penegakan hukum pidana yang sekarang dijalankan itu merupakan penegakan hukum progresif atau bukan, dapat diajukan beberapa verifikasi. Verifikasi yang pertama, berupa pertanyaan apakah hukum sudah mewujudkan keadilan, sudah barang tentu mempunyai dimensi yang sangat luas, karena dalam bekerjanya hukum, terpenuhinya prosedur hukum belum tentu menjamin terwujudnya keadilan. Terpenuhinya prosedur hukum baru menciptakan apa yang disebut dengan prosedural justice, sementara bisa saja justru substancial justice-nya terpinggirkan. Verifikasi yang kedua, berupa pertanyaan apakah hukum sudah mencerminkan kesejahteraan, juga menyangkut ranah kajian yang sangat luas. Memang kesejahteraan manusia tidak hanya ditentukan oleh bekerjanya hukum, tetapi diharapkan bekerjanya hukum dapat menyumbangkan kesejahteraan manusia. Demikian juga dengan verifikasi ketiga, dengan pertanyaan apakah hukum sudah berpihak kepada rakyat. Pertanyaan ini menjadi penting dan bernilai strategis, terkait dengan realitas bekerjanya hukum yang seringkali lebih berpihak kepada pemegang kekuasaan (ekonomi maupun politik) dari pada berpihak kepada rakyat, sehingga sering muncul adagium bahwa “The haves come-out ahead”. Dengan melakukan verifikasi dalam setiap proses bekerjanya hukum, sudah dengan sendirinya, bekerjanya hukum bukan merupakan sesuatu yang final, dan absolute, tetapi selalu dalam proses untuk mencari, dan selalu terbuka untuk diverifikasi. Itulah sebabnya hukum disebut sebagai law as a process, law in the making. Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan yang bersifat verifikatif tersebut, terlihat bahwa bekerjanya hukum dipengaruhi oleh manusia-manusia yang menjalankan hukum. Memang hukum itu tidak bisa melepaskan diri dan cirinya yang normatif sebagai rules, tetapi hukum juga sebagai suatu perilaku (behavior). Peraturan akan membangun suatu sistem hukum positif, sedangkan perilaku atau manusia akan menggerakkan peraturan dan sistem yang sudah dibangun itu. Hal ini penting karena sebagai peraturan hukum itu hanya kata-kata dan rumusan di atas kertas tapi nyaris tidak berdaya sama sekali, sehingga sering disebut sebagai “black letter law”, “law on paper” dan “law in the books “. Hukum hanya bisa menjadi kenyataan dan janji-janji dalam hukum terwujud, apabila ada campur tangan manusia (Satjipto Rahardjo, 2005: 5). Dalam konsep hukum progresif manusia berada di atas hukum, hukum hanya menjadi sarana untuk menjamm dan menjaga berbagai kebutuhan manusia (Satjipto Rahardjo, 2005: 5). Hukum tidak lagi dipandang sebagai suatu dokumen yang absolut dan ada secara otonomi (Satjipto Rahardjo, 2005: 5). Berangkat dari pemikiran ini, maka dalam konteks penegakan hukum, penegak hukum tidak boleh terjebak pada kooptasi rules atas hatinurani yang menyuarakan kebenaran. Hukum progresif yang bertumpu pada rules and behavior, menempatkan manusia untuk tidak terbelenggu oleh tali kekang rules secara absolute. Itulah sebabnya, ketika terjadi perubahan dalam masyarakat, ketika teks-teks hukum mengalami keterlambatan atas nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, penegak hukum tidak boleh hanya membiarkan diri terbelenggu oleh tali kekang rules yang sudah tidak relevan tersebut, tetapi harus melihat keluar (out-ward), melihat konteks sosial yang sedang berubah tersebut dalam membuat keputusankeputusan hukum. Hukum progresif yang bertumpu pada manusia, membawa konsekuensi pentingnya kreativitas (Satjipto Rahardjo, 2005: 5). Kreativitas dalam konteks penegakan hukum selam untuk mengatasi ketertinggalan hukum, mengatasi ketimpangan hukum, juga dimaksudkan untuk
membuat terobosan-terobosan hukum. Terobosan-terobosan hukum inilah yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusian melalui bekerjanya hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo diistilahkan dengan hukum yang membuat bahagia (Satjipto Rahardjo, 2005: 5). Kreativitas penegak hukum dalam memaknai hukum tidak akan berhenti pada “mengeja undang-undang”, tetapi menggunakannya secara sadar untuk mencapai tujuan kemanusiaan (Satjipto Rahardjo, 2005: 5). Menggunakan hukum secara sadar sebagai sarana pencapaian tujuan kemanusiaan berarti harus peka dan responsif terhadap tuntutan sosial. Dalam ranah birokrasi peradilan progresif, kehadiran penegak hukum penyidik, penuntut umum, hakim, bahkan penasehat hukum tidak hanya bertindak sebagai boeche de la loi (terompet undangundang) dan tidak hanya memaknai hukum sebagai perintah penguasa (Achmad Ali, 2001: 39) tetapi sebagai living interpretator (Achmad Ali, 2002: 27) yang menjadikan hukum sebagai alat untuk mewujudkan substansial justice guna kesejahteraan masyarakat. Namun demikian perlu juga menjadi catatan bahwa as long as the dirty broom is not cleaned any talk of justice will be empty talk. Hal penting lain terkait dengan penegakan hukum progresif adalah perlunya akuntabilitas atas semua keputusan yang dihasilkan oleh masing-masing sub-sistem peradilan baik itu di tingkat penyidikan, penuntutan maupun pengadilan. Penghentian penyidikan harus dapat dipertanggungjawabkan bukan semata-mata memenuhi pertanggungjawaban internal birokrasi karena sudah ada surat perintah penghentian penyidikan (SP3) saja, tetapi karena memang layak untuk dihentikan. Demikian juga tinggi rendahnya tuntutan tidak hanya selesai setelah rencana tuntutan (rentut)-nya sudah mendapatkan persetujuan dari birokrasi yang berada di atasnya saja, tetapi berdasarkan pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Demikian juga ketika hakim memutus seseorang apakah terdakwa bersalah atau dibebaskan harus benar-benar clean tidak karena tekanan maupun intervensi baik dari fihak ketiga maupun dari intern birokrasi pengadilan. Bahkan ketika teksteks hukum ketinggalan jaman atau hukum yang ada belum mampu menjangkau sesuatu yang dianggap sebagai kejahatan, hakim harus mampu membuat hukum (judge made law). Untuk sampai pada penegakan hukum progresif dengan out-put yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, maka semua proses penanganan perkara dalam semua tahapan harus transparan. Transparansi ini penting sebagai bentuk akuntabilitas publik. Bukankan korupsi sebagaimana dikemukakan oleh Robert Klitgart adalah C = M + D - A (C = Corruption, M = Monopoly, D = Discretion, A = Accountability) ? (Robert Klitgaard, 1996: 367) 4) Urgensi Hukum Progresif Mencermati identifikasi atas de-otentifikasi hukum, dengan berbagai kompleksitasnya, dalam ranah penegakan hukum menjadi sedemikian kompleksnya. Hal ini semakin menguat ketika penegakan hukum masih diwarnai dengan model cara berhukum yang memperlihatkan wajahnya dengan karakter sebagai berikut: a) Masih mengedepankan tercapainya procedural justice dibandingkan substansial justice; b) birokrasi peradilan yang masih konvensional dan birokratis; c) hubungan antara sub sistem dalam sistem peradilan pidana yang kurang terintegrasi; d) kurang adanya harmonisasi dalam pemaknaan hukum; e) penegakan hukum yang kurang independen; di tengah-tengah wajah hukum yang tidak jelas, ditambah dengan gejala sebagaimana tersebut dalam huruf a s/d e tersebut di atas, maka semakin menjadi rasional tentang urgensi hukum progresif yang mengedepankan spirit pembebasan terhadap tipe, cara berpikir, asas dan teori
yang selama ini dipakai dalam penegakan hukum dan sekaligus pembebasan terhadap kultur yang sudah terlanjur dibangun. Di sisi lain, hukum progresif tidak hanya relevan dalam konteks penegakan hukum semata, tetapi ketika hukum masih dalam tahap kebijakan formulatif, atau ketika pemegang otoritas berusaha untuk menginisiasi suatu produk hukum, kehadiran hukum progresif begitu diperlukan. Dengan demikian hukum progresif menjadi sangat relevan untuk membawa hukum ke dalam jati dirinya sebagai sebuah entitas yang otentik yang apabila dibawa ke dalam ranah tujuan hukum yang lebih nyata yaitu terwujudnya keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum. C. PENUTUP 1. Kesimpulan Hukum progresif prinsipnya bertolak dari dua komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior), dengan asumsi dasar bahwa: (1) hukum adalah untuk manusia (bukan sebaliknya); (2) hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final (hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Di sisi lain hukum progresif hadir dengan spirit pembebasan terhadap (1) tipe, cara berpikir, asas dan teori yang selama ini dipakai; (2) Pembebasan terhadap kultur penegakan hukum (administration of justice). Sedangkan untuk menguji kualitas hukum menggunakan tolok ukur yaitu keadilan, kesejahteraan, dan keberpihakan kepada rakyat. 2. Saran Relevan dengan realitas deotentifikasi dalam sistem hukum yaitu (1) ranah legal substance seperti politisasi politik hukum, politisasi sistem hukum, pemesanan kewenangan; (2) ranah legal strcuture; (3) ranah legal culture seperti tebang pilih, mereduksi jangkauan hukum, dan mengkanalisasi pemaknaan hukum; menunjukkan bahwa hukum sudah keluar dari hakikat eksistensialitasnya sebagai entitas yang otentik yang berusaha untuk mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan, maka untuk mengembalikan jati diri hukum sebagai entitas yang otentik, tawaran hukum progresif perlu disambut sebagai sebuah karya pembebasan. D. DAFTAR PUSTAKA Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebabnya dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001. ____________, Tinjauan Normatif dan Sosiologis Kasus Dugaan Suap Hakim Agung, Dictum (Jurnal Kajian Putusan Pengadilan), LeIP, edisi 1, 2002. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 2006. John Austin, The Province of Jurisprudence Determined, New Jersey, USA, The Lawbook Exchange, Ltd, Union. Lawrence M Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Russell Sage, 1975. Robert Klitgaard, Role for International Organizations in The Fight Against Corruption, dalam Responding to Corruption: Social Defence, Corruption, and The Protection of Public Administration and The Independence of Justice, updated documents of the XIII
International Conggres on Social Defence Lecce (Italy) 1996, editor, Paolo Bernasconi, 2000. Satjipto Rahardjo, Mengajarkan Keteraturan, Menemukan Ketidakteraturan (Teaching Order, Finding Disorder), Tigapuluh Tahun Perjalan Intelektual dari Bojong ke Pleburan, Pidato Emiritus Guru Besar UNDIP, 15 Desember 2000. Satjipto Rahardjo, Menuju Produk Hukum Progresif, Makalah dalam Diskusi Terbatas yang diselenggarakan oleh FH UNDIP, 24 Juni 2004. Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol. 1/No. 1/ April 2005, PDIH Ilmu Hukum UNDIP. Yudi Kristiana, Rekonstruksi Birokrasi Kejaksaan dengan Pendekatan Hukum Progresif Studi Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, Disertasi, April 2007. ______________, Menuju Kejaksaan Progresif : Studi tentang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi, MTI, 2010.