Hukum Merapatkan Tumit Ketika Sujud Segala puji bagi Allah , sholawat dan salam terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad , keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya. Wa ba’du. Salah satu sifat sholat Nabi adalah merapatkan tumit ketika sujud. Namun sebagian ulama kontemporer menolak amalan ini dengan 2 alasan yang terkuat menurut mereka yaitu : 1. Haditsnya Syadz (menyelisihi hadits yang lebih shahih). 2. Tidak ada ulama madzhab yang mengamalkan sifat sholat ini. Sebelum kita membahas kedua alasan ini, mari kita lihat jalan periwayatan hadits yang menunjukkan sifat sholat ini. Imam Ibnu Khuzaimah dalam “Ash-Shahih” (No. 634), Imam Baihaqi dalam “AsSunan” (no. 2827), Imam Ibnu Hibban dalam “Ash-Shahih” (no. 1967), Imam Thohawi dalam “Musykilul Atsar” (no. 92), Imam Al Hakim dalam “Al Mustadrok” (no. 832) dan Imam Ibnul Mundzir dalam “Al Ausath” (no. 1401) semuanya dari jalan
*
# (. + ,- *
# ( ) % & ' !"#$ 96$ 8- 675 9 =6,- ( " ;
. < : 56/ 96$ 8- 675 4,- 2
/ 3 %01 $ * ,) (. &,- ! / $
(. 9 I
# J < A % 6 . ,H- 9 7 K -LH M G F .H IJ 9 . $ E7-" -DC 9 B C < A @-< 6$ > ?/ 56/ #6 < .« R < =X? W6 V R 6 $ H A R R / A R I . $ P UH / A R S T P Q O $ »: .« >^ S @ 9 , =Vb _ ` a »: ( ) ]^>S @ R , : *
6H .< .« R S @ P \ %01 $ »: ( ) K [ .« 6 M< 9 6 $ 9 =6,- ;
$ ` 4c , A / »: ( ) ] 9=6,- ( " * / : *
6H .< “Haddatsanaa Said bin Abi Maryam, akhbaronaa Yahya bin Ayyub, haddatsanii ‘Umaaroh bin Ghoziyyah ia berkata, aku mendengar Abu Nadhor berkata, aku mendengar ‘Urwah bin Zubair berkata, Aisyah istri Nabi berkata : ‘aku mencari Rasulullah -tadinya Beliau ada disampingku di tempat tidurku -, aku mendapati Nabi sedang sujud merapatkan tumitnya, jari-jari kakinya menghadap ke kiblat. Aku mendengar Beliau berdoa : “aku berlindung dengan ridho-Mu dari kemarahan-Mu, dengan ampunan-Mu dari hukuman-Mu, dengan-Mu dan dari-Mu, aku memuji-Mu yang belum mencakup semua yang ada padaMu”. Ketika sudah selesai sholat Beliau bersabda : “Wahai Aisyah, Syaihonmu telah mempengaruhimu”. Aku berkata : ‘apakah engkau memiliki syaithon?’. Nabi menjawab : “Tidak seorang manusia pun kecuali bersamanya ada Syaithon yang menemani”. Aku berkata : ‘engkau juga ditemani setan, wahai Rasulullah?’. Nabi menjawab : “iya saya juga, namun aku berdoa kepada Allah , maka syaithonku masuk Islam”.
Kedudukan sanad : berikut rincian perowinya : 1. Said bin Abi Maryam (144 H – 224 H), Abu Muhammad Said ibnul Hakam Ibnu Muhammad Al Mishri yang ma’ruf dengan Ibnu Abi Maryam. Perowi Bukhori-Muslim, seorang yang ‘tsiqoh, tsabat dan faqih’ sebagaimana penilaian Al Hafidz dalam “At-
Taqriib”. 2. Yahya bin Ayyub (w. 168 H), Abul Abbas Al Mishri. Perowi Bukhori-Muslim, ditsiqohkan oleh Imam Ibnu Ma’in, Imam Bukhori dan Imam Ibnu Hibban. Sebagian ulama seperti Imam Ahmad dan Imam Nasa’I menilainya lemah. Pendapat yang pertengahan ia adalah Shoduq , sebagaimana peniliaian Imam Ibnu Adiy dan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam “At-Taqriib” (Tahdzibain). 3. Umaaroh bin Ghoziyyah Al Madaniy (w. 140 H), perowi Muslim, Imam Bukhori mengeluarkan haditsnya sebagai mu’alaq. ditsiqohkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Zur’ah, Imam Ibnu Sa’ad, Imam Daruquthni dan Imam Al ‘ijli. Imam Nasa’I menilainya laisa bihi ba’sun dan Imam Abu Hatim menilainya, shoduq. 4. Abu Nadhor, adalah Hasyiim ibnul Qosim bin Muslim (134 H – 207 H), Tabi’I shoghir, perowi Bukhori-Muslim, dinilai tsiqoh tsabat oleh Al Hafidz dalam “At-
Taqriib”. 5. ‘Urwah bin Zubair, perowi yang masyhur, fuqohanya Tabi’in. 6. Aisyah Ummul Mukminin. Kesimpulan : berdasarkan kondisi para perowinya, maka jalan ini hasan karena adanya kritikan ketsiqohan kepada Yahya bin Ayyub. Sekarang kita akan berdiskusi dengan sebagian ulama yang melemahkan hadits ini. Yang pertama, kata mereka hadits ini syadz karena bertentangan dengan riwayat berikut dari Abu Huroiroh dari Aisyah , bahwa ia berkata:
< f / 9 ) SH 6$ e * ) < 9 I J # I,H< d -U ,H- %F 6 , 56/ 96$ 8- 675 9 =6,- ( " ;
. < R O $/ R I . $ R B < # / R S T P Q O $ h =6,- » (. f / > I [ #f / g J # ,H.« R J k UH 6$ * H #? * R 6 $ ji [ V R ‘aku mencari Rasulullah pada suatu malam dari tempat tidurku, lalu aku menemukannya, tanganku mendapati kedua telapak kakinya yang sebelah dalam, Nabi pada waktu itu sedang sholat di masjid (dalam kondisi sedang sujud-riwayat Malik) dan kedua kakinya ditegakkan, Nabi berdoa : “..dst”. (HR. Muslim, Malik dan selainnya). Sebelum kita lanjutkan, maka saya akan menyampaikan pengertian hadits syadz yaitu “W ُ XِA UَMْ أَوHُ هR ْ َLِM ً@OِM@QُA ل ُ HIْKLM اCُ @ رواA (penyelisihan rowi yang maqbul terhadap perowi yang lebih unggul darinya). Maka yang dimaksud dengan “rowi maqbul” adalah rowi yang tsiqoh atau shoduq dan yang dimaksud dengan “lebih unggul” adalah bisa berupa
penyilisihan kepada 1 orang yang lebih tsiqoh atau kepada banyak perowi yang setara dengannya atau gabungan dari kedua hal tersebut. kemudian para ulama hadits berselisih tentang maksud dari pertentangan, apakah sekedar terdapat tambahan dari perowi yang bersendirian atau kurang unggul tersebut terhadap matan (isi) hadits dapat diketegorikan syadz atau tidak? Atau yang dimaksud adalah pertentangan secara makna, dalam artian kalau kita tetapkan tambahan matan tersebut dari perowi yang bersendirian atau kurang unggul tadi, berkonsekuensi menolak makna matan perowi yang lebih unggul yang tidak terdapat tambahan didalamnya. Barangkali pendapat terakhir inilah yang kami condong kepadanya. Imam Ibnu Sholah rohimahulloh berkata :
-O@ 9 `U- >? wQ / uUv 9 t/ f s-/" r U,q 9 `U- p >? >o< 9< n jm0 l/-,- `U- -Ob n< V$ >? >o< `Ur- l/-,- -\f { n< sy' s/ x/ f s-/" zb/ sy' s-/" r %U,q 9< cB x >b/ -`/` >? 9 `U- l\,- R,\, 9.Bb/ 9nU~ } p c x >b/ 9 `-UV- |. x/ 9 `U- X) 9SQ/ 9.Bo ) y' 9 `Ur- >? >o< (v- J~ %B/UI B- 1-` R,O f [,- & $ 9, && 9, " s`-U - >? >b/ +,-
v- X) tb 9S x/ R,O 9 JI- s`UB (.r- w+,- u<v- %C"` cr- O0,- X) >?/ 9 `U- ``" R,O “Jika seorang perowi bersendirian pada suatu hadits, maka perlu diamati. Jika riwayat yang bersendirian tadi menyelisihi riwayat dari orang yang lebih unggul darinya, baik dari segi hapalan atau dhobtnya, maka kesendiriannya tadi adalah syadz. Namun jika tidak menyelisihi riwayat perowi yang unggul tadi, hanya ia saja yang meriwayatkan, maka ditinjau kondisi perowinya, jika ia perowi yang hafidz, tsiqoh, kokoh dan dhobt, maka diterima riwayat kesendiriannnya dan tidak dicela. Jika ia bukan perowi yang tsiqoh, hafidz, kokoh, maka kesendiriannya turun bergeser dari kategori shahih, lalu ia berkisar antara tingkatan pertengahan, jika rowi tersebut tidak jauh dari tingkatan hafidz, dhobt, tetap diterima dan dianggap hasan haditsnya, tidak dicatat sebagai kategori hadits dhoif. Namun jika rowi tadi jauh dari derajat ini, maka kita tolak kesendiriannya dan dikategorikan sebagai hadits syadz yang mungkar” (Mukadimah Ibnu Sholah). Al Hafidz Ibnu Hajar dalam “Nuzhatun Nadhor” berkata :
=> ] : ! `4&,- R6B ?H\ x p } / f % -/ , %F < . B xH %^ ,. Jv-/ [,- : l #h/-" !`3/ X.IJr-
v- cH { h F.6HS X.H B s\h< f?H\ x % -/" / h m < B V > cB [ >H ] b : [ ! `4&,mf )) s\h< A e- % -/4,- `" h ,) &6
~ %F < > cB >H b/ . s y' 9 T @ $ 9/ V/ %.,- 9 ` U l\,.|
Cr- ` / [
C-,- X.H < ] A h Q" / h
CI,- . ,- (( “Tambahan dari kedua perowi yaitu perowi shahih dan hasan diterima, selama tidak bertentangan dengan perowi yang lebih tsiqoh yang tidak menyebutkan tambahan tersebut.
sebab tambahan bisa jadi tidak menafikan riwayat yang tidak disebutkan tambahan padanya, maka ini diterima secara mutlak, karena hukum haditsnya seperti hadits yang terpisah yang hanya perowi tsiqoh tersebut yang meriwayatkannya yang mana perowi lainnya tidak meriwayatkan dari gurunya tersebut. dan bisa juga tambahan itu menafikannya yang mana konsekuensi dari menerima riwayat yang terdapat tambahan akan menolak riwayat (yang lebih kuat yang tidak ada tambahannya-pent). Maka dalam hal ini dilakukan tarjih terhadap dua riwayat tersebut, sehingga diterima riwayat yang unggul dan ditolak riwayat yang marjuh”. Setelah melihat pemaparan 2 Imam pakar ilmu hadits dunia, maka kami katakan, 1. Riwayat merapatkan kedua tumit bukan syadz, karena terkadang para ulama hadits meringkas matan hadits, mereka hanya fokus menampilkan keterangan yang akan dijadikannya hujjah. Misalnya dalam kasus ini, Imam Muslim yang meriwayatkan hadits Aisyah diatas yang tidak terdapat tambahan “merapatkan tumit” meletakkan hadits ini dalam “Shahih Muslim” pada bab “` gJ,-/ ?,- < (. ” (apa yang dibaca ketika ruku’ dan sujud). Sehingga fokus Imam Muslim adalah menampilkan doa yang dibaca oleh Rasulullah dalam sujudnya. Atau terdapat informasi tambahan yang tidak didengar oleh perowi lainnya, dalam kasus ini bahwa riwayat Aisyah yang terdapat tambahan “merapatkan tumit” disampaikan oleh ‘Urwah bin Zubair, yang mana beliau memiliki kedudukan yang dekat dengan Aisyah , karena Urwah adalah keponakannya yang biasa keluar masuk rumah Aisyah untuk menimba ilmu dan keperluan lainnya. 2. Riwayat dalam shahih Muslim yang menyebutkan bahwa Ibunda Aisyah menyentuh kedua telapak kaki Nabi tidak bertentangan bahwa Nabi sedang merapatkan kedua tumitnya, bahkan sangat mungkin bahwa Nabi ketika itu sedang merapatkan kedua kakinya, karena Ibunda Aisyah mengungkapkan dengan “9 ) SH 6$ e * ) < ” (tanganku menyentuh kedua telapak kaki (bagian dalam) Nabi ), maka seandainya kedua kaki Nabi pada waktu itu renggang tangan Ibu kita bisa jadi hanya menyentuh satu kakinya saja. Dan dengan bukti perkataan Ibunda Aisyah bahwa tangannya menyentuh kedua kaki telapak kaki (bagian dalam) Nabi , maka berat sangka Nabi sedang merapatkan kedua kakinya. 3. Kami belum mendapatkan dari kalangan ulama mutaqodimin yang mengatakan bahwa hadits ini syadz, jangan-jangan yang mengatakan bahwa hadits ini syadz adalah pendapat yang syadz (ganjil) itu sendiri. 4. Para ulama yang pakar dalam hadits telah menilai bahwa hadits “Merapatkan tumit” adalah shahih dan telah diketahui bahwa hadits shahih adalah hadits yang telah terbebas dari syadz. Diantara mereka yang menilai hadits ini shahih :
I.
Imam Ibnu Khuzaimah (223 H – 311 H) beliau mencantumkan hadits ini dalam kitab shahihnya, dimana beliau berkata dalam judul kitabnya :
67 9,b V7 ( ,- $ A ( ,- X. A 6/ 96$ 8- 67 ,- $ [,- Jr- [ITr- [Iq . t B 8- %0 f?\ ,- "- m6) { |C V/ `- j { S) y' 6/ 96$ 8“Ringkasan dari ringkasan Musnad shahih dari Nabi dengan penukilan perowi yang adil dari perowi yang adil yang bersambung sampai kepada Nabi tanpa ada keterputusan sanad ditengahnya dan tanpa ada tuduhan jarh kepada pembawa beritanya yang kami sebutkan sesuai dengan kehendak Allah ”. Jadi Imam Ibnu Khuzaimah mensyaratkan dalam kitabnya ini bahwa dia tidak mentakhrij melainkan hadits-hadits shahih. II. Imam Ibnu Hibban (273/279 H – 354 H), beliau mencantumkan hadits ini dalam kitab shahihnya, dimana beliau berkata dalam mukadimah kitabnya : “Maka aku mentadaburi hadits-hadits shahih untuk memudahkan para pelajar menghafalnya dan aku kerahkan segala pikiranku pada hadis ini agar para penyadur tidak sulit memahaminya”. III. Imam Al Hakim (321 H – 405 H), dalam “Al Mustadrok” setelah meriwayatkan hadits ini beliau berkomentar :
y' `gJ,- { . ,- Q ?O - 6$ V A uU6,- -\ sC x/ T0,- @ 6$ 7
-\f
v- -\f { “Hadits ini shahih atas syarat Bukhori-Muslim namun mereka berdua tidak mengeluarkan dengan lafadz ini. Aku tidak mengetahui satu pun penyebutan merapatkan tumit dalam sujud, kecuali dalam hadits ini”. IV. Kemudian perkataan Imam Al Hakim ini disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi dalam “At-Talkhish”. Namun kalau kita amati perowi-perowi yang telah disebutkan diatas, maka penilaian atas syarat Bukhori-Muslim perlu ditinjau, karena ‘Umaroh bin Ghoziyyah, Imam Bukhori hanya menulis dalam kitab shahihnya (no. 1482) dengan sanad Mu’alaq, sekalipun Mua’alaq ini menggunakan sighot (bentuk kalimat) jazm (pasti) yang menunjukkan keshahihan riwayatnya. V. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “Majmu Fatawa” berkata :
XC" 9< 7 ` !G[,- %U7 -- `gJ,- { . ,- Q { yc,- J,- { .h,- f?O/ l"T,- 9, e/" )/ 9I,-$ { 6Iq “Imam Baihaqi meriwayatkan dalam sunan kabiir pada bab “merapatkan tumit dalam sujud” dalam bab-bab sholat dengan sanad Shahih, didalamnya terdapat perowi yang
diperselisihkan keadilannya, namun Imam Bukhori telah meriwayatkan hadits perowi ini”. Kemungkinan yang dimaksud syaikhul Islam adalah Yahya dan Syaikhul Islam mengisyaratkan bahwa yang rojih Yahya ini dapat dijadikan hujjah, dengan bukti Syaikhul Islam menshahihkan haditsnya. VI. Imam Al Albani menshahihkan haditsnya, bahkan beliau salah seorang yang mempopulerkan sifat sholat ini dalam karya monumentalnya “Sifat Sholat Nabi ”. VII. Imam Ibnu Utsaimin dalam beberapa fatwa dan kitabnya, misalnya dalam “Majmu Fatawanya” (no. 383) beliau rohimahulloh menjawab :
#? e .,- eb }[6 > %J,< A#h %<J V 9o< `gJ,- ( { .,- %<Jr- / %& - 7 { R,O jC “Adapun jarak antara kedua telapak kaki pada waktu sujud adalah tidak ada jarak padanya, karena sunnahnya merapatkan kedua telapak kakinya, sebagaimana tertera dalam Shahih Ibnu Khuzaimah”. Adapun dalam kitabnya, misalnya “Syaroh Mumti’” beliau berkata :
{ #? A #h+ .,- : AI77 >cB .,- > :%J,- hn l\,- c,/ / A 9) S 6$ f * )< 6/ 96$ 8- 67 ,- ; . < %01$
«[,-» 7» { F+ R,O jC )/ A4-I,- ( { Vb .,- 6$ .B V !-,- ,-/ . C f/ A>I[ %J,< -\f 6$/ . «9.$ E7-" >? 6/ 96$ 8- 67 (,- =>» :4.Ir- %01$
{ «%& .,-/ I?,- KG -I,- f .,- { “Namun yang nampak dari sunnah adalah bahwa kedua telapak kaki dirapatkan, yakni merapatkan telapak kaki satu dengan lainnya, sebagaimana dalam “Shahih (Muslim-pent)” dari hadits Aisyah , ketika kehilangan Nabi , maka tangannya mendapati telapak kaki dalam Nabi yang sedang ditegakkan pada saat Nabi sedang sujud. Dan satu tangan tidak menyentuh kedua telapak kaki, kecuali kalau dirapatkan. Dan telah datang juga riwayat dalam “Shahih Ibnu Khuzaimah” dari hadits Aisyah yang tadi, bahwa Rasulullah merapatkan tumitnya. Maka berdasarkan hal ini untuk kedua telapak kaki dirapatkan (ketika sujud-pent.) berbeda dengan kedua lutut dan kedua tangan”. VIII. Syaikh Syu’aib Arnauth dalam ta’liq terhadap Shahih Ibnu Hibban berkata : “6J @ 6$ 7 s`b” (sanadnya shahih atas syarat Muslim). IX. Syaikh Musthofa Al Adzhami dalam ta’liq terhadap shahih Ibnu Khuzaimah berkata : “7 s`b” (sanadnya shahin).
Sekarang tersisa diskusi yang kedua, yaitu alasannya bahwa kalangan ulama terdahulu baik dari ulama 4 madzhab maupun selainnya tidak mengamalkan hadits ini. Maka diskusi kita mulai bahwa : 1. Para ulama madzhab telah sepakat apabila ada hadits shahih, maka itu adalah madzhab mereka, sebagaimana perkataan yang masyhur dari mereka : “
v- 7 -Ob f\ h<” (Jika telah shahih suatu hadits, maka itu adalah madzhabku). Maka sebagaimana penjelasan diatas bahwa hadits “merapatkan tumit” shahih tanpa keraguan, sehingga konsekuensi dari orang yang mengaku mengikuti para Aimah madzhab adalah mengamalkan hadits shahih ini. 2. Telah ada para ulama yang mengamalkan hadits ini, lihatlah Imam Ibnu Khuzaimah yang ketika meriwayatkan hadits ini, beliau memberi judul bab “`gJ,- { . ,- Q ” (bab merapatkan tumit ketika sujud). Begitu juga Imam Baihaqi dalam “Sunannya” menempatkannya pada bab “` gJ,- < . ,H- 4Q < j C .” (bab tentang merapatkan kedua tumit dalam sholat). Imam Al Hakim sebelumnya telah menyebutkannya. Imam Ibnul Mundzir juga dalam “Al Ausath” memberi judul bab “ Q/ `gJ,- { . ,- Q R,\? \TU,-” (merapatkan kedua tumit dan kedua paha juga seperti itu). Kalau mereka menyanggah bahwa penulisan judul bab belum tentu mewakili pendapat penulis tersebut, maka pernyataan ini tidak diterima, karena manhajnya ulama muhaditsin mutaqodimin, bahwa judul bab adalah merepresentasikan pendapat mereka, yakni disamping mereka adalah ahli hadits, mereka juga ahli fikih, dimana penulisan kitab hadits tersebut juga merupakan kitab fikih. Mereka memberikan judul bab sebagai fikih mereka didalam mengambil hukum dari hadits yang dibawakan dibawah judul bab tersebut. 3. Tidak diketahuinya seorang pun yang mengamalkan hadits ini dari kalangan ulama mutaqodimin –padahal ada, sebagaimana point 2- bukan berarti gugur hadits tersebut. karena ketika suatu berita telah shahih dari Nabi , maka itu adalah hujjah bagi kita, karena kita hanya diperintahkan untuk mengikuti Nabi bukan selainnya. Allah berfirman :
j , / 9 / ` -
IB ,/ c4" c,b ( & -
B “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya” (QS. Al A’raaf (7) : 3). Imam Al Albani memberikan kaedah yang bagus dalam “Tamamul Minnah” :
" 9I," " { 9$ 8- mQ" m <0,- - () 9 X# x >b/ [,-
v X# ,- C/ !0$ % -,- !$.,> 9b " : !yh0,-
(a I? -6. x/ : () 9,b -/"7 " X- 0$ R,f p 7b X? {/ " : () 6/ 96$ 8- 67 8- (" 6/ 96$ 8- 67 8- (" I? 9 ¤ * £ 5 6$ 8-/ 5 & /#$ X#$ x >b/ 9< * l\,- *),- { ¦¡- () e-/ ¦¡- () -b : >I,V`
v- -\f ¥/ C/ %#1- X#$ + + , 9 6$ %,V`/ -6) l\,- ¦¡- X %#196$ 8- 67 8- ("
> 6$ %,V`/ 8- (" ¦¡ 96#$ PI, 96#$ , -¦ 6/ 96$ 8- 67 ,- $ " s sy' X# V 9JU * 6/ “Kaedah 14 wajib beramal dengan hadits shahih sekalipun /dak diamalkan oleh seorang pun. Imam Syafi’I dalam “Ar-Risalah” yang masyhur berkata : ‘sesungguhnya Umar bin Khothob telah memutuskan bahwa jempol diatnya 15 ekor unta, ke/ka mendapatkan kitabnya keluarga Ibnu Hazm bahwa Rasulullah bersabda : “untuk se/ap jari dendanya 10 ekor unta”. Umar pun memutuskan dengannya. Ada yang berkata : ‘mereka tidak menerima buku keluarga ‘Amr bin Hazm –wallaohu A’lam- sampai yakin bahwa itu adalah bukunya Rasulullah . Dalam hadits ini ada dua dalil, yang pertama diterimanya berita yang kedua diterimanya berita pada waktu penetapannya, sekalipun sebelumnya tidak ada seorang Aimah pun yang mengamalkannya. Ini menunjukkan juga bahwa sekiranya seorang ulama berbuat kemudian ia mendapati dari Nabi berita yang menyelisihi perbuatan yang selama ini dilakukannya, maka ia tinggalkan amal sebelumnya karena berita Rasulullah tersebut. ini menunjukkan bahwa Hadits Rasulullah tetap dengan sendirinya tidak butuh telah diamalkan orang setelahnya”. Semoga Allah merahmati Imam Al Albani yang menukilkan kepada kita perkataan indah Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim dalam “I’lamul Muwaqi’in” (3/364-365) :
/ ¨) / l 6/ 96$ 8- 67 8- ("
§"$ 6$ h+'/ fyc I0 S,- 6J,- >? )/ y' >'J V/ (- 9, + 6$ >/c/ R,O X$< >/gh/ >? 1? ¨,- () / >JI/ X#$ 9, h0 £ 9,) { )I,- 6. S V/ %$S,-/ #J, m.6I,-/ 6JI,-/ 6/ 96$ 8- 67 9, `.V>c > - 9,"/ 8- +) -Ob %© V/ ©r >? / : t B 9,. 6$ -? X >G >G< () }<- / ¨) p C hJU { -/« V h g@ #< P#cª £ >© V R"/ G< : t B 9,./ f !y¡- ¤ ¤/ >/?\B G6) j,/ 9/` - IB V/ c" c,b (& - B- : t B 9,./ #6JB -#6J/ *+) "7 { <` ] -\f () : (. -\?/ -\? () 9 6/ 96$ 8- 67 ,- $ * : f X) -Ob >3 tb << V 9/ XL,- n$ Gc,- -\f > 6 , 9JU [ ,/ 9 X# ,- PB/ 9IU,q { 9, %g X1., 96hC X «/
v. - > .I Ob 96hC { s"\$ R,O )/ Xh¬- -\f X 6/ 96$ 8- 67 8- (" <` 9, Xª 6/ 96$ 8- 67 8- (" % %U,q 6$ h)UB- tb hJ Ob #6Jr- %$#¯ ® j -\f/ %J,- R6B %U,q 6$
. %J,- 6$ 96hC °.B tb - ` <
v () 9#6$ $/ 96hC f/ - -\f e$` { s"\$ R,O )/ > IJr- 8-/ “Adalah salaf kita yang baik sangat mengingkari dan amat murka kepada orang-orang yang menentang hadits Rasulullah dengan pendapatnya atau qiyas atau menganggap baik sesuatu atau perkataan seorang manusia siapapun dia. Mereka memboikot para pelakunya dan mereka mengingkari juga orang-orang yang membuat perbandingan yang menyebabkan tidak bersegara untuk patuh kepada Nabi , menerima, mendengarkan dan taat kepadanya, mereka adalah orang-orang yang tidak terlintas dihatinya untuk segera menerima hadits Nabi sampai mereka menyaksikan adanya amalan atau qiyas atau sesuai dengan pendapatnya fulan dan fulan. Bahkan mereka sendiri sebenarnya berinteraksi dengan Firman Allah : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” (QS.Al Ahzab (33) : 36), “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS.An Nisaa’ (4) : 65 ). “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al A’raaf (7) : 3). Dan yang semisalnya. Kita berada pada zaman jika dikatakan kepada seseorang : ‘telah tetap dari Nabi bahwa Beliau berkata begini begitu’. Ia akan menjawab : ‘siapa yang mengatakan ini? Ia menolak hadits tersebut dan menjadikan tidak diketahuinya orang yang mengamalkan sebagai hujjah untuk menyelisihi hadits tersebut dan meninggalkan mengamalkannya, sekiranya ia mau merenungi dirinya, ia akan mengetahui bahwa ucapan ini adalah sangat batil dan tidak halal baginya menolak sunah-sunah Rasulullah dengan kebodohan seperti ini. Dan yang lebih jelek dari ini adalah alasannya -karena kebodohannya- ketika ia berkeyakinan bahwa telah terjadi ijma yang menyelisihi sunah tersebut, ini adalah prasangka jelek kepada jamaah kaum muslimin yang mana ia menisbahkan kesepakatan mereka untuk menyelisihi sunah Rasulullah . Dan yang lebih jelek lagi adalah alasannya bahwa terjadinya ijma ini berasal dari kebodohannya dan karena ketidaktahuannya adanya orang yang mengamalkan hadits tersebut, maka perkaranya kembali sebelumnya yaitu kebodohan terhadap sunnah. Wallahu A’lam. (dunukil dari Adabuz Zifaf karya Imam Al Albani).