KETERAMPILAN DASAR KONSELING: LAPORAN TES DAN LANGKAH BERIKUTNYA Nurbaity Bustamam Bimbingan dan Konseling Departemen, Universitas Syiah Kuala Email:
[email protected] ABSTRAK Keterampilan dasar konseling adalah modal awal bagi mahasiswa calon konselor untuk dapat mengembangkan kemampuan kerjanya terutama dalam layanan konseling baik konseling individu maupun konseling kelompok secara berkelanjutan. Oleh karena itu penguasaan keterampilan ini merupakan salah satu tujuan inti dalam program pendidikan sarjana bimbingan dan konseling selain penguasaan berbagai teori dalam konseling dan praktis penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling dalam seting sekolah dan luar sekolah. Artikel ini melaporkan hasil pengukuran aspek kognitif keterampilan dasar konseling dari 205 mahasiswa dan alumni Program Studi Bimbingan dan Konseling di Aceh. Temuantemuan positif dan negatif dijabarkan secara hati-hati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penguasaan konsep attending, questioning, observing dan responding masih belum memuaskan. Masih banyak poin-poin konsep yang hanya dipahami oleh sejumlah kecil peserta tes. Hal ini menunjukkan bahwa pengajar dalam mata kuliah yang mengajarkan kemampuan ini harus lebih memberikan penekanan terhadap pemahaman konseptual daripada hanya langkah-langkah prosedural saja. Pengajar juga diajak untuk memeriksa kembali konsep awal pelatihan keterampilan dasar konseling agar dapat digunakan di dalam pembelajaran mata kuliah yang terkait dengan pengembangan keterampilan dasar konseling ini. Kata Kunci: Keterampilan dasar konseling, tes aspek kognitif
PENGANTAR Konseling merupakan salah satu profesi dari banyak profesi lain yang berupaya memberikan pertolongan bagi orang lain atau sering juga disebut helping profession. Orang-orang yang terlibat dalam kegiatan konseling perlu membangun jenis hubungan tertentu yang akan memungkinkan terutama orang yang dibantu untuk tumbuh lebih baik. Konseli datang untuk berbicara tentang masalah mereka dan berharap konselor dapat memahami dan menerima perasaan mereka sehingga konseli dapat melakukan pengungkapan diri dengan nyaman. Konselor diharapkan dapat memberikan kondisi tertentu dalam interaksi ini yaitu membiarkan konseli untuk berbicara, menghormati perbedaan mereka, serta menumbuhkan kepercayaan
dan memberikan penguatan (McLeod, 2007). Keberhasilan hubungan ini tergantung pada kualitas sikap konselor, kualitas pribadinya dan keterampilan dalam membangun hubungan (Timulak, 2011). Salah satu tujuan dari pendidikan konselor adalah mengajar mahasiswa untuk memiliki sikap dan keterampilan konselor dalam membangun hubungan terapeutik. Untuk alasan ini, pendidik konselor harus yakin bahwa metode yang mereka gunakan dalam mengajar sikap dan keterampilan akan efektif. Pendidik harus memusatkan perhatian mereka pada kondisi belajar dan mengajar yang akan mendukung pencapaian maksimal sikap dan keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja sebagai konselor yang profesional. 27
SULOH | Volume 1 Nomor 1 Juli-Desember 2016
Keterampilan konseling dasar diyakini sebagai keterampilan inti dan dasar dari profesi konseling. Tanpa keterampilan ini konselor tidak dapat melakukan perannya sebagai konselor dengan baik. Tanpa keterampilan ini konselor tidak akan dapat membantu konseli dan akan berkinerja buruk dalam pekerjaannya sehari-hari. Perhatian pada pelatihan keterampilan ini harus diberikan baik dalam pendidikan untuk mahasiswa calon konselor atau disebut juga pendidikan pra-layanan (pre-service) maupun pendidikan bagi konselor yang sudah bekerja atau disebut pendidikan dalam-layanan (in-service). Pelatihan keterampilan dasar konseling di Indonesia saat ini khususnya berfokus pada mata kuliah mikro konseling. Mata kuliah ini biasanya menjadi prasyarat sebelum mahasiswa mengambil mata kuliah konseling individu. Mata kuliah mikro konseling biasanya berbeda dari mata kuliah lain dalam hal jumlah peserta kuliah. Jumlah peserta kelas ini cukup kecil untuk memungkinkan mereka memiliki cukup waktu untuk berlatih setiap keterampilan. Teknik yang biasa digunakan di dalam kelas adalah bermitra, siswa akan mengambil peran sebagai konselor dan konseli secara bergantian. Kadang-kadang rekaman video digunakan untuk membantu mahasiswa melakukan review atas keterampilan yang telah mereka tunjukkan. Rekaman video juga biasanya digunakan sebagai alat penilaian akhir mahasiswa. Laporan menunjukkan bahwa guru bimbingan dan konseling di sekolah memberikan layanan konseling dalam kondisi yang tidak cukup baik. Kusmaryani (2010) melaporkan bahwa personil konseling sekolah memberikan konseling dengan keterampilan minimum, atau tidak melakukan proses konseling sama sekali dalam pekerjaan sehari-hari mereka. Laporan diri dengan nada yang sama juga ditemukan hampir di setiap kegiatan pelatihan in-service, atau dalam diskusi dan pembicaraan di media sosial. Konselor sekolah atau guru bimbingan dan konseling di Aceh sebagian
besar melaporkan bahwa apa yang telah mereka pelajari di universitas tidak dapat ditransfer dengan mudah di lapangan dengan konseli sesungguhnya. Atas dasar ini, universitas perlu memiliki dan terus mengadaptasikan kurikulum. Dosen harus menemukan format pengajaran yang tepat, desain pembelajaran yang baik untuk membantu mahasiswa mengembangkan profesionalisme yang sesuai. Sementara berencana untuk meningkatkan pembelajaran, dosen perlu mengumpulkan sebanyak mungkin informasi tentang kekuatan dan kelemahan dari efek pembelajaran mereka yang telah lalu. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang pengetahuan dan keterampilan yang ditampilkan oleh mahasiswa senior dan alumni Program Studi Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syiah Kuala, pada tes keterampilan dasar konseling yang mereka ikuti dengan harapan untuk memberikan deskripsi tentang apa yang telah mereka kuasai dan apa yang tidak mereka kuasai dalam hal keterampilan dasar konseling. KETERAMPILAN DASAR KONSELING Keterampilan dasar konseling adalah keterampilan dasar dan utama dalam konseling yang harus mampu dikuasai oleh mahasiswa selama tahun-tahun belajar mereka. Kata "dasar" menunjukkan bahwa ada beberapa keterampilan "lanjutan" yang juga harus dimiliki oleh mahasiswa. Keterampilan konseling lanjutan (advance) terkait dengan spesifik teori atau model konseling tertentu yang berbeda dengan teori atau model lain, sedangkan keterampilan dasar merupakan dasar dari semua teori tersebut. Banyak ahli menyarankan bahwa mata kuliah keterampilan dasar konseling penting terlepas teori atau model yang akan diikuti (misalnya Carkhuff, 1979; Kuntze, 2009; Reiter, 2008 dan Timulak, 2011). Para ahli percaya bahwa perkembangan konsep dan pelatihan
Nurbaity [Keterampilan dasar konseling ...]
keterampilan dasar konseling berdasarkan pada teori Carl Rogers. Smaby dan Maddux (2010) menyebut bahwa pendekatan Rogerian merupakan bentuk pelatihan keterampilan konseling modern dibandingkan dengan pelatihan keterampilan konseling atau psikoterapi sebelum era Rogerian. Mereka menyatakan bahwa pendekatan ini lebih mengutamakan pemahaman hubungan antara konselor dan konseli daripada pemahaman kepribadian konseli. Theron (2009) menyatakan bahwa usulan Rogers mengenai kondisi dasar yang harus disediakan dalam konseling menjadi awal dukungan terhadap pengembangan dan pelatihan keterampilan dasar konseling. Reiter (2008) mengemukakan bahwa pengembangan hubungan dengan konseli lebih penting daripada latar belakang teoritis konselor. Pernyataan ini sesuai dengan tujuan dari teori Rogers. Keterampilan dasar konseling juga dinyatakan dalam istilah lain oleh para ahli. Brems (2001) menggunakan istilah "keterampilan untuk memfasilitasi komunikasi" ketika menjelaskan perhatian, pertanyaan, tanggapan dan keterampilan menunjukkan empati. Ivey, Ivey & Zalaquett (2009) menggunakan istilah “keterampilan mikro” sebagai dasar dari wawancara yang disengaja (intentional interviewing) yaitu termasuk perilaku atending, sekuens mendengar dasar, konfrontasi, fokus, refleksi makna dan interpretasi, dan keterampilan mempengaruhi. Selanjutnya Ivey dkk. (2009) menekankan bahwa keterampilan sentral dalam melakukan wawancara termasuk perilaku atending dan sekuens mendengar dasar yaitu bertanya, mengobservasi konseli, mendorong, parafrase, meringkas dan refleksi perasaan. Egan (2009: 128) menyatakan bahwa penolong atau helper membutuhkan berbagai “keterampilan komunikasi” untuk membantu konseli terlibat sepenuhnya dalam proses menolong. Keterampilan yang dijelaskan oleh Egan (2009) adalah tuning in, mendengarkan secara aktif, menanggapi dengan empati, memeriksa pemahaman,
menyelidik, meringkas, menantang dan negosiasi. “Keterampilan dasar” merupakan istilah yang digunakan Geldard & Geldard (2011) sebagai istilah yang melingkupi bergabung (joining) dan mendengarkan, melakukan parafrase, mencerminkan perasaan dan isi, mempertanyakan, meringkas, pencocokan bahasa dan metafora dan menciptakan pendekatan yang nyaman. Istilah keterampilan dasar juga digunakan oleh Bayliss (2001) dan Hough (2010). Bayliss (2001) menjelaskan bahwa “keterampilan dasar” yang diperlukan untuk secara aktif mendengarkan konseli adalah perhatian (attending) (termasuk penyiapan diri dan tempat/seting, serta penggunaan komunikasi non-verbal), mengamati, mendengarkan, dan merespons (termasuk penggunaan pertanyaan yang tepat, parafrase, refleksi dan meringkas). Hough (2010) menyatakan “keterampilan dasar” sebagai alat untuk melakukan komunikasi interpersonal secara efektif dengan konseli. Termasuk di dalamnya perhatian dan mendengarkan, parafrase, meringkas, mengajukan pertanyaan, mendorong konseli untuk lebih spesifik, mencerminkan perasaan, menjelaskan pikiran, fokus dan menawarkan bentuk-bentuk tantangan bila diperlukan. Ahli lain juga menggambarkan hal yang kurang lebih sama tentang keterampilan dasar dalam konseling. Reiter (2008), Cormier, Nurius dan Osborn (2009) dan Timulak (2011) menjelaskan bahwa memperhatikan, mendengarkan dan menanggapi dengan tepat adalah “keterampilan inti” yang dapat membantu konseli mengeksplorasi dan memahami kekhawatiran mereka. Keterampilan dasar ini akan efektif dalam membantu beberapa konseli apabila digunakan secara tepat, karena keterampilan ini akan membantu konseli untuk menggali dan memahami apa yang terjadi dan bagaimana mereka menangani masalah mereka, sedangkan untuk beberapa konseli lain keterampilan dasar saja tidak cukup sehingga konselor perlu memiliki keterampilan lanjutan.
29
SULOH | Volume 1 Nomor 1 Juli-Desember 2016
MENGAJAR KETERAMPILAN DASAR KONSELING McLeod (2009) dan Smaby & Maddux (2010) melihat pelatihan konselor sebagai sejarah periode waktu. Ada periode waktu awal dan periode waktu modern. Para ahli ini setuju bahwa periode waktu modern dalam pelatihan konselor merupakan periode yang dibawa oleh Carl Rogers. McLeod (2009) menggambarkan saat ini sebagai "featured a more open and multifaceted approach to learning technique, and the introduction of other means of facilitating self-awareness (e.g. encounter groups), rather than a reliance solely on personal therapy." (Hal. 620). Rogers membawa pendekatan yang lebih terbuka dan teknik pembelajaran yang lebih beragam serta memberi penekanan pada memfasilitasi kesadaran diri. Sementara itu Smaby & Maddux (2010) menunjukkan bahwa zaman modern ini ditandai dengan pendekatan yang lebih jelas mendeskripsikan pengajaran keterampilan konseling. Mereka jelas terkesan bahwa terapi non-direktif atau person-centered yang dibawa oleh Rogers telah membawa pengaruh penting bagi pelatihan konselor. Para ahli percaya bahwa pelatihan keterampilan konseling saat ini telah dipengaruhi oleh pendekatan lama dan baru. Beberapa pendekatan yang memiliki pengaruh pada pelatihan keterampilan konseling adalah: (1) Pengembangan Sumber Daya Manusia (Human Resource Development), yang dikembangkan oleh Robert Carkhuff; (2) Interpersonal Process Recall, yang dikembangkan oleh Norman Kagan; (3) Microcounseling, yang dikembangkan oleh Alan Ivey; dan (4) Skilled Helping, yang dikembangkan oleh Gerard Egan (Larson, 1984; McLeod, 2009; Smaby & Maddux, 2010). Pelatihan keterampilan dasar konseling di Indonesia juga telah dipengaruhi oleh campuran berbagai pendekatan ini. Pelatihan keterampilan dasar yang telah diterapkan selama ini tampaknya lebih menekankan kepada penguasaan tahapantahapan prosedural dalam pelaksanaan
keterampilan dasar konseling. Penekanan terhadap konsep mengapa konselor perlu melakukan langkah tertentu sepertinya masih mendapatkan sedikit perhatian. Sementara belajar adalah proses perkembangan. Mahasiswa harus menyadari mengapa mereka belajar hal tertentu dan apa kegunaan dari hal yang mereka pelajari dalam pekerjaan profesional sehingga mereka dapat menguasai keterampilan konseling dengan baik. Berkenaan dengan hal ini, McLeod (2009) menjelaskan bahwa selain kerangka teoritis dan keterampilan konseling, penekanan yang sama juga harus diberikan terhadap pengetahuan diri dan kesadaran diri. Calon konselor juga perlu diberi kesempatan untuk belajar menangani masalah profesional dan belajar untuk melakukan penelitian agar dapat memberi informasi terhadap praktek yang mereka lakukan. Sementara itu Dryden dan Feltham (1994) menyarankan institusi yang melatih calon konselor untuk memberikan perhatian penuh pada pemakaian metode pelatihan, pelatihan keterampilan, teori yang akan dipakai, pengembangan pribadi trainee dan pengawasan trainee. Pada pelatihan keterampilan Dryden dan Feltham (1994) menyarankan lembaga untuk berfokus pada pemahaman peserta terhadap setiap keterampilan tertentu yang dipelajari, sehingga mereka akan mengetahui fitur atau seluk-beluk dari setiap keterampilan. Mahasiswa juga harus memiliki waktu, kondisi yang tepat dan kesempatan untuk berlatih masing-masing keterampilan. Pandangan ini jelas mendukung bahwa untuk menguasai keterampilan konseling mahasiswa bukan hanya perlu dilatih untuk mengetahui langkah demi langkah dalam melakukan keterampilan spesifik tetapi juga perlu memahami mengapa konselor harus melakukan keterampilan tertentu. TES KETERAMPILAN DASAR KONSELING Tes Keterampilan Dasar Konseling (Basic Counseling Skills Test) adalah tes pilihan ganda yang dikembangkan untuk mengukur
Nurbaity [Keterampilan dasar konseling ...]
aspek kognitif dari keterampilan dasar konseling yang pada umumnya mencakup apa, bagaimana, kapan dan kapan tidak melakukan keterampilan tertentu, dan apa yang mungkin terjadi sebagai akibat dari praktek baik atau buruk setiap keterampilan ini. Butir keterampilan yang diukur di dalam tes ini dikelompokkan ke dalam keterampilan atending, keterampilan bertanya, keterampilan mengamati dan keterampilan menanggapi. Tes terdiri dari 20 butir soal, masing-masing soal memiliki empat pilihan jawaban. Format untuk setiap item adalah respon ganda atau pilihan ganda dengan lebih dari satu jawaban yang benar (Nurbaity, 2013). Format tes tersebut diyakini mudah untuk dilaksanakan dan mudah untuk diperiksa, namun berpotensi lebih kompleks karena mengurangi kemungkinan menebak dan juga menghargai pengetahuan parsial (McAlpine & Hesketh, 2003; University of Leeds, 2008). METODE Artikel ini bertujuan untuk melaporkan kinerja peserta dalam pengujian keterampilan dasar konseling. Data kuantitatif (p-value setiap butir soal dan pilihan jawabannya) dianalisis dengan hati-
hati untuk memeriksa penguasaan yang baik dan penguasaan yang buruk pada tiap butir keterampilan ini. Para peserta dalam penelitian ini adalah 205 mahasiswa dan alumni (fresh graduate) dari Program Studi Bimbingan dan Konseling di Aceh. Persentase akan digunakan untuk menjelaskan kondisi peserta. HASIL Peserta tes keterampilan dasar konseling ini adalah 205 mahasiswa dan alumni Program Studi Bimbingan dan Konseling di Aceh. Tidak ada dari 205 peserta tersebut yang mencapai skor maksimal yang mungkin diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa penguasaan konsep mengenai keterampilan dasar konseling masih belum cukup baik. Hasil kinerja peserta ditampilkan dalam dua tabel di bawah ini. Persentase digunakan untuk menggambarkan kondisi pengetahuan peserta tentang keterampilan dasar konseling secara teoritis dan praktis. Hasilnya dibedakan antara temuan positif dan temuan negatif. Tabel 1 menunjukkan temuan positif tentang pengetahuan yang diungkapkan oleh peserta dalam tes tersebut.
Tabel 1. Temuan Positif Konsep Keterampilan Dasar Konseling yang dinilai Persentase Attending: mempersiapkan diri (seting/tempat, fokus dan penampilan) 1. Tujuan sebenarnya dari mempersiapkan seting/tempat adalah untuk 96.6 memfasilitasi pengungkapan diri 2. Mengetahui cara mempersiapkan diri agar dapat fokus a. Pengaturan waktu yang lebih baik untuk membantu konseli 58.5 b. Cara agar dapat fokus 28.3 3. Mengetahui konsep penampilan konselor a. Menampilkan nilai konselor 57.1 b. Kenyamanan konseli 31.7 Attending: menunjukkan minat verbal dan non verbal serta penerimaan 1. Mengetahui cara melakukan atending tubuh (non verbal) 34.1 2. Mengetahui cara melakukan atending non verbal secara umum 67.3 3. Mengetahui cara mendengarkan tanpa menghakimi 41.0 Pertanyaan 1. Pertanyaan untuk membantu membuka percakapan 31
SULOH | Volume 1 Nomor 1 Juli-Desember 2016
a. Menggunakan percakapan umum & pertanyaan terbuka b. Menggunakan atending verbal dan mendorong keterlibatan 2. Jenis pertanyaan membantu untuk mendorong konseli a. Menanyakan makna b. Menanyakan contoh 3. Jenis pertanyaan berbahaya a. Menghindari pertanyaan yang mendorong konseli untuk membela diri b. Menghindari pertanyaan "mengapa anda melakukan itu?" Mengamati 1. Fungsi: mengenali kenyamanan-ketidaknyamanan 2. Fungsi: membantu mendengar keseluruhan cerita, membantu menanggapi 3. Mengamati diri sendiri a. Fungsi: menghindari perbedaan antara kata-kata dan bahasa tubuh b. Fungsi: mengontrol kata-kata dan bahasa yang tubuh yang sesuai dengan konseli c. Fungsi: mengenali penolakan terhadap nilai konseli dan menahan kekontrasan 4. Hasil pengamatan yang baik a. Mengenali perbedaan b. Mengenali minat atau penekanan c. Mengenali makna dan nilai Responding 1. Fungsi a. Mengungkapkan cerita secara lengkap b. Merefleksikan konseli 2. Mengenal cara melakukan melakukan responding a. Mengutip kata kunci b. Parafrase – mengklarifikasi c. Mendorong 3. Mengenal cara melakukan parafrase yang baik 4. Mengenal cara melakukan refleksi perasaan 5. Mengenal cara melakukan ringkasan Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa terdapat variasi pengetahuan yang ditunjukkan oleh peserta tes. Pada umumnya peserta tes mengetahui bahwa tujuan sebenarnya dari mempersiapkan seting/tempat adalah untuk memfasilitasi pengungkapan diri konseli. Sementara sebagian besar peserta mengetahui bahwa mereka perlu melakukan pengaturan waktu yang baik agar dapat fokus membantu konseli; mengetahui bahwa penampilan
78.5 38.5 24.9 39.0 20.5 21.5 42.9 61.0
59.5 36.6 22.9
67.8 44.9 22.0
56.6 24.4 22.0 25.9 42.0 23.4 34.1 20.5
konselor dapat menunjukkan nilai yang dimiliki oleh konselor; mengetahui cara melakukan atending non verbal secara umum. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar peserta menguasai sebagian konsep atending. Sementara mengenai konsep bertanya (questioning), konsep keterampilan dasar yang dikuasai oleh sebagian besar peserta tes adalah bahwa mereka dapat menggunakan percakapan umum &
Nurbaity [Keterampilan dasar konseling ...]
pertanyaan terbuka untuk membantu membuka percakapan. Hanya sedikit peserta tes yang memiliki pengetahuan mengenai konsep-konsep lain seperti jenis pertanyaan yang dapat membantu pengungkapan diri dan jenis pertanyaan yang berbahaya. Pada aspek keterampilan dasar mengamati, konsep yang dikuasai oleh lebih dari setengah peserta tes adalah mengenai fungsi pengamatan untuk membantu mendengar keseluruhan cerita, membantu menanggapi, menghindari perbedaan antara kata-kata dan bahasa tubuh baik pada diri sendiri maupun pada konseli. Pada aspek keterampilan dasar responding, hanya konsep fungsi responding yaitu untuk mengungkapkan cerita secara lengkap yang dipahai oleh
lebih setengah peserta tes. Dapat dilihat pada tabel di atas bahwa kurang dari setengah bahkan hanya sedikit peserta tes yang mengetahui konsep-konsep penting lainnya dalam keterampilan dasar konseling. Hasil temuan negatif pada Tabel 2 mengungkapkan banyak kesalahpahaman konsep yang juga masih dialami oleh peserta tes. Dapat dilihat bahwa masih banyak peserta tes yang menganggap bahwa mereka harus selalu tersenyum dan menunjukkan perilaku “akrab” ketika melayani konseli; mendengarkan cerita konseli dengan tujuan memeriksa kesesuaian cerita konseli dengan cerita orang lain; menggunakan jenis pertanyaan berbahaya; serta tidak mengetahui cara melakukan responding dengan baik.
Tabel 2. Temuan Negatif Pengetahuan yang menilai Persentase Attending: menunjukkan minat verbal dan non verbal serta penerimaan 1. Selalu menunjukkan wajah tersenyum dan bahasa tubuh yang 57.6 menunjukkan keakraban 2. Mendengarkan untuk memeriksa kesesuaian antara cerita konseli dan 54.1 cerita orang lain Pertanyaan 1. Jenis pertanyaan berbahaya: menggunakan "Bukankah ...?" untuk 60.0 memperjelas Responding 1. Mendorong: mengatakan "saya tahu bagaimana rasanya ..." 40.0 2. Tidak mengetahui cara melakukan parafrase 76.6 3. Tidak mengetahui cara melakukan refleksi perasaan 65.9 4. Tidak mengetahui cara meringkas 79.5 PEMBAHASAN Hasil penelitian di atas menunjukkan kondisi yang tidak memuaskan mengenai penguasaan konsep mengenai keterampilan dasar konseling pada mahasiswa dan alumni Program Studi Bimbingan dan Konseling. Hasil tersebut memberi implikasi bahwa penekanan terhadap pengetahuan dan kesadaran diri perlu lebih ditekankan oleh dosen dalam pembelajaran keterampilan dasar konseling. Hal ini penting karena beberapa hal. Pertama, pelatihan keterampilan apapun memang memiliki
aspek kognitif, bukan hanya tahapantahapan prosedural saja, tetapi ada alasan yang mendasari setiap langkah prosedural ini. Kedua, para ahli juga telah menjelaskan bahwa ada dasar pengetahuan yang juga harus mengiringi pelatihan keterampilan dasar ini (Mcleod, 2009; Dryden & Feltham, 1994). Ketiga, setiap orang memiliki gaya pribadi masing-masing. Bahkan konseli datang dengan beragam pemikiran, perilaku, sikap, bahkan budaya. Akan sulit sekali menyesuaikan konselor 33
SULOH | Volume 1 Nomor 1 Juli-Desember 2016
yang juga memiliki gaya kepribadiannya sendiri dengan beragam gaya konseli bila konselor hanya berpegang pada tahapantahapan keterampilan dasar konseling. Boleh jadi hal ini yang menyebabkan profesi konseling belum menunjukkan perkembangan yang cukup memuaskan baik di bidang pendidikan maupun di luar bidang pendidikan. Oleh karena itu program studi yang mendidik calon konselor atau guru bimbingan dan konseling perlu melihat kembali kepada teori membangun hubungan baik antara konselor dengan konseli. Truax dan Carkhuff (2007) menekankan bahwa walaupun banyak aliran yang telah mewarnai dunia konseling dan psikoterapi, namun ada sifat-sifat umum yang mendasari berbagai teori ini. Truax dan Carkhuff (2007: 25) menyatakan hal berikut: “In one way or another, all have emphasized the importance of the therapist’s ability to be integrated, mature, genuine, authentic or congruent in his relationship to the patient. They have all stresses also the importance of the therapist’s ability to provide a nonthreatening, trusting, safe or secure atmosphere by his acceptance, nonpossessive warmth, unconditional positive regard, or love.” Melihat pada kondisi-kondisi yang disebutkan oleh Truax dan Carkhuff ini, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa inilah konsep yang ditekankan oleh Rogers yang kemudian menjadi dasar pelatihan keterampilan dasar konseling. Namun bila pelatihan keterampilan dasar konseling tidak mampu membuat konselor menyediakan kondisi-
kondisi ini di dalam pelayanan konseling, bahkan tidak memahami cara menyediakan kondisi-kondisi ini, maka tentu ada yang tidak lengkap pada pelatihan keterampilan dasar konseling yang telah diterapkan selama ini. Oleh karena itu pengajar perlu mempertimbangkan untuk melengkapi pembelajaran dengan penekanan terhadap konsep awal dalam pelatihan keterampilan dasar konseling. Mahasiswa perlu didorong untuk menguasai konsep dan tata cara dasar dalam membangun hubungan baik dengan beragam konseli. Apabila hal ini telah mereka kuasai, maka ini merupakan modal awal bagi mahasiswa untuk mengembangkan kepribadian konselor mereka sendiri yang sesuai dengan keunikan pribadinya masing-masing. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta tes telah menguasai beberapa konsep dengan baik, sementara konsep-konsep yang lain masih perlu ditekankan di dalam perkuliahan agar mahasiswa lain di masa depan menjadi lebih baik dalam penguasaan aspek kognitif dalam keterampilan dasar konseling ini. Pengetahuan menjadi landasan bagi perilaku yang lebih baik, oleh karena itu perhatian terhadap penguasaan konsep-konsep penting dalam keterampilan dasar konseling ini perlu lebih difokuskan agar mahasiswa dapat melakukan proses konseling dasar dengan lebih baik dan dapat mengembangkan gaya konselingnya sendiri sesuai dengan keunikan pribadinya.
DAFTAR PUSTAKA Bayliss, J. (2001). Introduction to counseling skills dalam S. Aldridge & S. Rigby (Editor), Counseling Skills in Context. London, England: Hodder Education. Brems, C. (2001). Basic Skills in Psychotherapy and Counseling. Belmont, CA, USA: Wadsworth/Thompson Learning.
Carkhuff, R. R. (1979). The Skills of Helping: An Introduction to Counseling Skills. Oxford, England: Human Resource Development Press. Cormier, S., Nurius, P. S. & Osborn, C. J. (2009) Interviewing and Change Strategies for Helpers: Fundamental Skills and Cognitive Behavioral
Nurbaity [Keterampilan dasar konseling ...]
Intervention (6th ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole Publishing Company. Dryden, W. & Feltham, C. (1994). Developing Counsellor Training. London, England: SAGE Publication . Egan, G. (2009). The Skilled Helper: A Problem-Management and Opportunity-Development Approach to Helping (9th Ed.). Belmont, CA: Brooks/Cole Publishing Company. Geldard, D. & Geldard, K. (2011). Basic Personal Counselling (7th Ed.). Australia: Pearson Hough, M. (2010). Counseling Skills and Theory (3rd Ed.). London, England: Hodder Education. Ivey, A. E., Ivey, M. B. & Zalaquett, C. P. (2009). Intentional Interviewing and Counseling: Facilitating Client Development in a Multicultural Society. Belmont, CA: Brooks/Cole Publishing Company Kuntze, A.J. (2009). Assessing progress in mastery of counseling communication skills. Erasmus University Rotterdam. Kusmaryani, R. E. (2010). Penguasaan Keterampilan Konseling Guru Pembimbing di Yogyakarta. Jurnal Kependidikan (Penerbit: Lembaga Penelitian UNY), 40(2), 175-188. McAlpine, M. & Hesketh, I. (2003). Multiple response questions – Allowing for chance in authentic assessment. Paper presented at the 7th International CAA Conference, Leicestershire, United Kingdom. McLeod, J. (2007). Counselling skill. Berkshire, England: Open university press. McLeod, J. (2009. An introduction to counselling (4th Ed.). Berkshire, England: Open university press. Reiter, M. D. (2008). Therapuetik interviewing: Essential skills and contexts of counseling. Boston, MA: Pearson/Allyn and Bacon. Smaby, M. H. & Maddux, C. D. (2010). Basic and Advance Counseling
Skills: Skilled Counselor Training Model. Belmont, CA: Brooks/Cole. Theron, M. J. (2009). A manual for basic relational skills training in psychotherapy. (Dotoral Disertation), University of South Africa. Retrieved from http://uir.unisa.ac.za/xmlui/handle/1 0500/2554 Timulak, L. (2011). Developing your counseling and psychotherapy: Skills and practice. Los Angeles, CA: Sage Publications. Truax, C. B. & Carkhuff, R. (2007). Toward effective counseling and psychotherapy: Training and practice. New Jersey, NJ: Aldine De Gruyter. University of Leeds. (2008). Writing multiple response questions. Questionmark Perception. Retrieved Feb. 2, 2013, from http://www.leeds.ac.uk/perception/v 4_mrq.html
35