KETAHANAN AMIDA DALAM SISTEM RUMEN DAN EFEKTIVITASNYA MEMODIFIKASI KOMPOSISI ASAM LEMAK PADA TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL PASCARUMEN
SITTI WAJIZAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Ketahanan Amida dalam Sistem Rumen dan Efektivitasnya Memodifikasi Komposisi Asam Lemak pada Tikus sebagai Hewan Model Pascarumen adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Sitti Wajizah D061040031
ABSTRACT SITTI WAJIZAH. Resistance of Amide in Ruminal System and Its Effectiveness in Modifying Fatty Acid Composition in Rat as Post Ruminal Model. Under supervision of KOMANG G. WIRYAWAN, WASMEN MANALU, and DWI SETYANINGSIH. Dietary n-3 polyunsaturated fatty acids (PUFA n-3), such as fish oil in ruminant potentially decrease cholesterol concentration in meat. Due to extensive lipolysis and hydrogenation of n-3 PUFA by rumen microorganism, n-3 PUFA was reacted with butylamine to produce fish oil amides that resist microbial breakdown in the rumen. Three in vitro trials were conducted to determine whether fish oil amides were degraded and hydrogenated by ruminal organism. The treatments consisted of ground corn hay supplemented with either no lipid, fish oil, combination of fish oil and amide, and amide alone. After 24 hours incubation, the degradation of amide was lower for 10% supplementation than for 5% supplementation (13% and 30% respectively). Fish oil amides had no effect on VFA, acetat:propionate, NH3, microbial protein, and gas production. Relative to control, fish oil amide significantly reduced the degradabilities of dry and organic matters, and protozoa population in cultures. In in vivo experiment, fish oil amide was added to rat diets as post ruminal model. This experiment was conducted to study the effectiveness of fish oil amide in decreasing plasma cholesterol and triglyceride concentrations, increasing PUFA in rat muscle and its effect on blood hematological status. Thirty five male Sprague Dawley rats of 7 weeks old were randomly divided into 5 (five) treatment groups. Control group (A) was fed with semi-purified diet containing of 8% corn oil. Treatment groups were supplemented with 4.5% fish oil (B), 3% fish oil+1.5% fish oil amide (C), 1,5% fish oil+3% fish oil amide (D), and 4.5% fish oil amide (E), respectively. The result showed that fish oil amide supplementation could maintain the number of erythrocytes and hemoglobin, while hematocrit value began to decrease with 3% amide supplementation compared to fish oil supplementation (B) and 1.5% amide supplementation (C). The number of leucocytes in group with 4.5% amide supplementation significantly increased (P<0,05) compared to the group supplementing fish oil (B). Fish oil amide supplementation had no effect on plasma cholesterol and HDL concentrations, but began markedly increased (P<0,05) plasma triglyceride, LDL concentrations, and muscle cholesterol at 3% amide supplementation. There was no enriched levels of n-3 PUFA in rat muscle with amide supplementation. It was concluded that 3% amide supplementation gave negative impact on hematological status, plasma lipid profile, mucle and adipose tissue. Keywords: amide, fish oil, rumen, biohydrogenation, lipid profile
RINGKASAN SITTI WAJIZAH. D061040031. Ketahanan Amida dalam Sistem Rumen dan Efektivitasnya Memodifikasi Komposisi Asam Lemak pada Tikus Sebagai Hewan Model Pascarumen. Dibimbing oleh: Prof. Dr. Komang G. Wiryawan, Prof. Wasmen Manalu, PhD, dan Dr. Dwi Setyaningsih, M.Si. Pemberian pakan tinggi asam α-linolenat dan khususnya asam lemak dengan rantai yang lebih panjang, yaitu EPA dan DHA, dapat memperbaiki kandungan asam lemak tak jenuh rantai ganda atau polyunsaturated fatty acids (PUFA) n-3 dalam jaringan daging domba untuk memenuhi standar kesehatan yang optimal bagi diet manusia. Pada ruminansia, diet asam lemak mengalami biohidrogenasi yang ekstensif oleh mikroorganisme rumen sehingga penyerapan didominasi oleh asam lemak jenuh yang mengarah pada pembentukan lipoprotein berdensitas sangat rendah atau very-low-density lipoprotein (VLDL). Biohidrogenasi asam lemak dalam rumen dapat diatasi dengan melindungi asam lemak, terutama PUFA n-3 dalam bentuk amida. Penelitian ini dimulai dari tahap pembuatan amida minyak ikan, uji ketahanan dalam sistem rumen, dan efektivitasnya dalam mengubah profil lemak pada hewan model. Identifikasi gugus amida yang terbentuk dilakukan dengan spektroskopi inframerah, sedangkan GC-MS digunakan untuk mengetahui kadar senyawa amida yang terbentuk. Pengujian dalam sistem rumen secara in vitro memperlihatkan bahwa senyawa amida tetap terdeteksi dalam kultur setelah inkubasi selama 24 jam, dengan tingkat degradasi masing-masing 30% untuk pemberian 5% dan 13% untuk pemberian amida sebesar 10%. Namun kondisi ini belum mampu memperbaiki kecernaan substrat dalam kultur. Kondisi lingkungan rumen, seperti pH, produksi gas, VFA, NH3 dan protein mikrob, masih dapat dipertahankan pada kisaran normal, dan tidak berbeda dari kontrol. Namun jumlah protozoa mulai menurun, kemungkinan karena mengalami lisis akibat pemberian amida. Pada pengujian ini, amida belum mampu mengatasi gangguan fermentasi akibat pemberian lemak, terutama asam-asam lemak tak jenuh. Hal ini ditandai dengan
rendahnya degradasi bahan kering dan bahan organik dibandingkan dengan kontrol yang tidak mendapat sumber lemak. Percobaan pada tikus sebagai hewan model pascarumen menunjukkan bahwa amida tidak dapat memasok EPA dan DHA dalam saluran pencernaan yang ditunjukkan oleh kecilnya proporsi EPA dan DHA dalam jaringan otot dibandingkan dengan pemberian minyak ikan. Tampaknya proses amidasi memutuskan ikatan rangkap pada minyak sehingga jumlahnya berkurang, dan sebagian mengalami penjenuhan. Hal ini terlihat dari kenaikan trigliserida dan LDL plasma, serta kolesterol jaringan otot pada pemberian amida. Hal ini tidak terlihat pada pemberian minyak ikan, karena EPA dan DHA bersifat menurunkan sintesis kolesterol dalam hati, serta menekan produksi lipoprotein endogen, meningkatkan eliminasi lipoprotein, atau meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase. Pemberian amida menurunkan konsumsi dan kecernaaan bahan kering, serta kecernaan lemak. Hal ini mengakibatkan turunnya pertambahan bobot badan harian. Penurunan konsumsi bahan kering dapat disebabkan oleh faktor fisiologis atau palatabilitas, karena bau amida yang agak menyengat. Suplementasi amida tidak berpengaruh nyata pada konsentrasi kolesterol total dan HDL, tetapi mulai meningkatkan konsentrasi trigliserida, LDL, kolesterol daging pada pemberian 3% dalam ransum. Meskipun masih berada dalam kisaran normal, suplementasi 3% amida dalam ransum mulai memperlihatkan peningkatan jumlah leukosit, yang diikuti dengan menurunnya kadar Hb darah.
Kata kunci: amida, minyak ikan, rumen, biohidrogenasi, profil lipid
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KETAHANAN AMIDA DALAM SISTEM RUMEN DAN EFEKTIVITASNYA MEMODIFIKASI KOMPOSISI ASAM LEMAK PADA TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL PASCARUMEN
SITTI WAJIZAH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dwi Apri Astuti, M.S. Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc. Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Jajat Jachja, M.Sc.Agr. Dr. Ir. Moh. Yamin, M.Agr.Sc.
HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi
:
Nama NRP
: :
Ketahanan Amida dalam Sistem Rumen dan Efektivitasnya Memodifikasi Komposisi Asam Lemak pada Tikus sebagai Hewan Model Pascarumen Sitti Wajizah D061040031
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Komang G Wiryawan Ketua
Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si. Anggota
Prof. Wasmen Manalu, PhD. Anggota
Diketahui Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Idat Galih Permana M.Sc.Agr.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 31 Januari 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi kesehatan dan kekuatan sehingga penulis akhirnya mampu menyelesaikan penulisan disertasi ini. Tema yang dipilih dalam penelitian yang mulai dilaksanakan sejak tahun 2009 ini ialah perlindungan PUFA n-3 dalam sistem rumen. Penelitian ini berjudul Ketahanan Amida Minyak Ikan dalam Sistem Rumen dan Efektivitasnya Memodifikasi Komposisi Lemak pada Tikus sebagai Hewan Model Pascarumen. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Komang G. Wiryawan, Prof. Wasmen Manalu, PhD, dan Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, M.Si selaku komisi pembimbing yang telah memberi arahan serta bimbingan kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian hingga penyusunan disertasi ini. Rasa terima kasih yang dalam juga penulis sampaikan kepada ibu Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MS. M.Sc selaku Ketua Program Studi Ilmu Nutrisi beserta para staf yang telah sekuat tenaga membantu penyelesaian studi penulis di saat-saat terakhir ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dirjen Dikti beserta jajarannya, Rektor Unsyiah beserta jajarannya, Rektor IPB beserta jajarannya, Pemerintah Provinsi Aceh yang telah mendukung penulis dengan beasiswa NAD, Toyota Astra yang telah memberikan bantuan dana untuk membantu penyelesaian studi, serta seluruh instansi dan perseorangan yang telah menyediakan fasilitas dan bantuan bagi penulis, mulai dari masa kuliah hingga selesainya disertasi ini. Kepada ayahanda dan ibunda tercinta penulis menghaturkan terima kasih yang tulus atas doa yang tak pernah putus, kasih sayang yang tak pernah pupus, dan dorongan semangat yang membuat penulis kembali bangkit. Kepada adikadikku terima kasih atas segala pengertian dan kasih sayang. Kepada suamiku terkasih, terima kasih atas segala kesabaran dalam penantian yang panjang, semoga kita dapat membangun harapan bersama ke depan. Terima kasih kepada sahabat-sahabat setiaku Dr. drh. Nurliana, M.Si, dan Dr. drh. Ummu Balqis, M. Si, serta adik-adikku di Radar 6 yang telah mendukung penulis dalam penyelesaian studi ini. Kepada teman-teman pascasarjana PTK yang senasib seperjuangan terima kasih atas segala kebersamaan, bantuan, dan dukungan semangat yang senantiasa ada terutama di masa-masa sulit ini. Semoga persahabatan kita tetap indah. Disertasi ini masih penuh kekurangan, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk menjadikan karya ini bermanfaat. Semoga Allah SWT meridhai. Amiin Bogor, Januari 2012
Sitti Wajizah
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 28 Pebruari 1969 dari Bapak Amiruddin Abdul Wahab dan Ibu Sitti Halimah Hamzah. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Banda Aceh dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala melalui jalur PMDK, dan lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1996 penulis menjalani program magister (S-2) pada Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Ternak dan lulus pada tahun 1999. Selanjutnya di tempat yang sama, pada tahun 2004 penulis menempuh program pendidikan doktoral (S-3). Sebuah artikel berjudul Profil Lemak Plasma dan Nilai Hematologi Tikus Sprague Dawley dengan Suplementasi Amida Minyak Ikan telah disetujui untuk diterbitkan pada Jurnal Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala edisi 2012. Penulis merupakan staf pengajar Jurusan Peternakan Universitas Syiah Kuala sejak tahun 1993 sampai sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………...
xii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..
xiv
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………...
xv
PENDAHULUAN……………………………………………………………
1
Latar Belakang……………………………………………………….
1
Tujuan Penelitian……………………………………………………..
3
Manfaat Penelitian……………………………………………………
3
Hipotesis Penelitian…………………………………………………..
3
TINJAUAN PUSTAKA Suplementasi Lemak dalam Pakan Ruminansia……………………...
5
Metabolisme Lemak dalam Rumen…………………………………..
9
Tipe Lemak dan Kolesterol…………………………………………..
13
Minyak Ikan dan Peranannya………………………………………...
15
Perlindungan Asam Lemak dalam Rumen…………………………...
19
MATERI DAN METODE Sintesis Amida Minyak Ikan…………………………………………
23
Metode Analisis Minyak Ikan dan Amida Minyak Ikan…………….
23
Uji Ketahanan Minyak Ikan secara In Vitro………………………….
26
Metode Analisis In Vitro……………………………………………..
27
Efektivitas Suplementasi Amida Minyak Ikan pada Tikus sebagai Hewan Model Pascarumen………………………………….
30
Pengambilan Data dan Sampel ……………………………………..
31
Metode Analisis In Vivo……………………………………………..
32
Analisis Data…………………………………………………………
36
x
HASIL DAN PEMBAHASAN Produk Amida Minyak Ikan…………………………………………
37
Uji Ketahanan Amida Minyak Ikan secara In Vitro………………….
41
Uji Efektivitas Amida Pascarumen…………………………………..
51
Pembahasan Umum…………………………………………………..
64
SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………
69
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
71
LAMPIRAN…………………………………………………………………
79
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Asam lemak utama dalam diet……………………………………….
5
2
Asam lemak komponen lemak depo ternak (%)……………………
7
3
Komposisi lemak berbagai jenis ternak (%)…………………………
14
4
Tempat sintesa dan pengaruh prostaglandin terhadap agregasi platelet……………………………………………..
17
5
Kandungan PUFA n-3 pada beberapa jenis ikan (%)…………………
18
6
Komposisi minyak ikan dan minyak jagung (%)……………………
30
7
Susunan ransum percobaan in vivo……………………………………
31
8
Karakteristik minyak ikan untuk amidasi……………………………..
37
9
Karakteristik amida minyak ikan……………………………………...
38
10
Komposisi kimia utama hasil amidasi minyak ikan…………………..
39
11
Rataan pH cairan rumen in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan…………………………………
42
Rataan populasi protozoa/ml sampel rumen secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan………...
43
Rataan N-NH3, VFA total, produksi gas, dan protein mikrob secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan………...............................................................................
44
Rataan VFA parsial (mM) secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan……………………
45
Rataan DBO(%) dan DBK (%) secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan……………………
48
Senyawa amida (%) pada kultur in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan……………………
50
Nilai rata-rata hematologi darah tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan………………………………….
52
12
13
14
15
16
17
xii
18
19
Rataan konsentrasi lemak plasma dan daging tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan…………………..
54
Rataan bobot akhir, PBBH, konsumsi nutrient, kecernaan nutrient, konversi pakan, dan kadar lemak daging tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan…………………..
62
xiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Lipolisis dan biohidrogenasi ………………………………………….
10
2
Fraksi lipida dalam duodenum ruminansia……………………………
11
3
Sintesis asam lemak jenuh dan asanm lemak tak jenuh tunggal oleh mikrob……………………………………………………………
12
Jalur metabolisme asam lemak esensial dari prekursor n-3 dan n-5 ……………………………………………………………
16
5
Spektra IR hasil reaksi minyak ikan dan butilamina………………….
38
6
Spektra IR hasil reaksi minyak ikan dan urea ………………………..
40
7
Spektra IR hasil reaksi ester minyak ikan dan urea ………………….
40
8
Spektra IR minyak ikan…………………………………….................
41
9
Kandungan asam lemak jaringan otot tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan…………………..
61
4
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Analisis sidik ragam populasi protozoa pada inkubasi 0 jam ……….
81
2
Analisis sidik ragam dan uji BNTpopulasi protozoa pada inkubasi 12 jam………………………………………………………
81
3
Analisis sidik ragam populasi protozoa pada inkubasi 24 jam………
81
4
Analisis sidik ragam produksi gas……………………………………
82
5
Analisis sidik ragam nilai pH pada inkubasi 0 jam…………………..
82
6
Analisis sidik ragam nilai pH pada inkubasi 24 jam…………………
82
7
Analisis sidik ragam nilai pH pada inkubasi 48 jam…………………
82
8
Analisis sidik ragam konsentrasi N-NH3…………………………….
83
9
Analisis sidik ragam konsentrasi VFA total…………………………
83
10
Analisis sidik ragam konsentrasi asetat………………………………
83
11
Analisis sidik ragam konsentrasi propionat…………………………
83
12
Analisis sidik ragam konsentrasi isobutirat………………………….
83
13
Analisis sidik ragam konsentrasi n-butirat…………………………..
84
14
Analisis sidik ragam konsentrasi isovalerat………………………….
84
15
Analisis sidik ragam rasio A:P………………………………………
84
16
Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan organik pada inkubasi 0 jam………………………………………………….
84
Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan organik pada inkubasi 24 jam…………………………………………………
85
Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan organik pada inkubasi 48 jam…………………………………………………
85
Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan kering pada inkubasi 0 jam………………………………………………….
86
17
18
19
xv
20
Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan kering pada inkubasi 24 jam…………………………………………………
86
Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan kering pada inkubasi 48 jam…………………………………………………
87
22
Analisis sidik ragam protein mikrob…………………………………
87
23
Analisis sidik peragam dan uji BNT PBBH…………………………
88
24
Analisis sidik peragam eritrosit………………………………………
88
25
Analisis sidik peragam nilai hematokrit……………………………..
89
26
Analisis sidik peragam kadar hemoglobin
89
27
Analisis sidik peragam dan uji BNT jumlah leukosit………………..
90
28
Analisis sidik peragam jumlah neutrofil
90
29
Analisis sidik peragam jumlah jumlah limfosit………………………
91
30
Analisis sidik peragam jumlah monosit……………………………...
91
31
Analisis sidik peragam jumlah eosinofil…………………………….
91
32
Analisis sidik peragam konsentrasi kolesterol plasma……………….
92
33
Analisis sidik peragam dan uji BNT konsentrasi trigliserida plasma..
92
34
Analisis sidik peragam konsentrasi HDL plasma……………………
93
35
Analisis sidik peragam dan uji BNT konsentrasi LDL plasma………
93
36
Analisis sidik peragam dan uji BNT konsentrasi kolesterol daging…
94
37
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan lemak daging……...
95
38
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam laurat………..
96
39
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam miristat…….
97
40
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam palmitat……
98
41
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam palmitoleat….
99
42
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam stearat……….
100
21
xvi
43
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam oleat………… 101
44
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam linoleat……...
102
45
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam linolenat…….
103
46
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam arakidonat…... 104
47
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan EPA……………….
105
48
Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan DHA………………
106
49
Analisis sidik peragam dan uji BNT konsumsi bahan kering………..
106
50
Analisis sidik peragam dan uji BNT kecernaan bahan kering……….
107
51
Analisis sidik peragam konsumsi protein……………………………. 107
52
Analisis sidik peragam dan uji BNT kecernaan protein……………..
108
53
Analisis sidik peragam dan uji BNT konsumsi lemak……………….
108
54
Analisis sidik peragam dan uji BNT kecernaan lemak………………
109
xvii
PENDAHULUAN Latar Belakang Domba merupakan salah satu sumber daging yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Produksi daging domba terus meningkat karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi, dan sangat efisien dalam mengubah hijauan yang berkualitas rendah menjadi daging yang berkualitas tinggi. Karakteristik daging domba didominasi oleh kandungan asam lemak jenuh atau saturated fatty acids (SFA) yang tinggi, dan memiliki rasio asam lemak tak jenuh ganda atau polyunsaturated fatty acids (PUFA) : SFA yang rendah (Cooper et al. 2004). Berdasarkan hal tersebut maka Lee et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi daging merah termasuk daging domba berisiko pada kesehatan, karena tingginya kandungan SFA (40-50%) dan rendahnya kandungan PUFA. Konsumsi SFA yang tinggi merupakan salah satu faktor pemicu berkembangnya beberapa jenis kanker, penyakit jantung koroner atau coronary heart disease (CHD), diabetes, dan obesitas. Asam lemak jenuh, terutama C14:0 dan C16:0, yang berlebihan mengakibatkan otot rentan terhadap resistensi insulin sehingga timbul hiperinsulinemia, atau meningkatkan produksi trigliserida dan kolesterol oleh hati yang meningkatkan faktor risiko aterosklerosis kronis (Moibi & Christopherson 2001). Manipulasi nutrisi merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan komposisi lemak daging yang lebih sehat.
Pakan ternak berbasis hijauan
menghasilkan daging dengan sedikit lemak intramuskular dan kandungan PUFA yang lebih tinggi dibandingkan pakan ternak berbasis konsentrat. Aktivasi enzim ∆-desaturase juga dapat meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA), yang berperan menurunkan penyakit metabolis pada manusia. Pemberian asam linoleat dan asam α-linolenat juga akan meningkatkan kandungan asam linoleat terkonjugasi atau conjugated linoleic acids (CLA), yang mempunyai aktivitas antikarsinogenik (Hausman et al. 2009). Ponnampalan et al. (2002) melaporkan bahwa sejak pertengahan 1990-an, peran tipe lemak diet dalam mempertahankan kesehatan manusia terfokus pada PUFA n-3 dalam diet. Salah satu sumber PUFA n-3 yang potensial adalah minyak
2
ikan laut yang mengandung asam eikosapentanoat (EPA; 20:5) dan asam dokosaheksanoat (DHA; 22:6). Kecukupan EPA dan DHA dapat mencegah terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung pada manusia dewasa. Minyak ikan mengandung PUFA n-3, seperti EPA dan DHA, dalam jumlah yang berlimpah, tetapi jarang terdapat pada lemak hewan (Irie & Sakimoto 1992). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian pakan tinggi asam αlinolenat, khususnya asam lemak dengan rantai yang lebih panjang, yaitu EPA dan DHA, dapat memperbaiki kandungan PUFA n-3 dalam jaringan daging domba untuk memenuhi standar kesehatan yang optimal bagi diet manusia. Namun demikian, pada ruminansia, diet asam lemak mengalami hidrogenasi yang ekstensif oleh mikroorganisme rumen sehingga penyerapan didominasi oleh asam lemak jenuh yang mengarah pada pembentukan lipoprotein berdensitas sangat rendah atau very-low-density lipoprotein (VLDL). Trans-asam lemak tak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA) dan SFA yang merupakan bagian dari VLDL selanjutnya tergabung ke dalam lemak otot, yang berimplikasi pada rendahnya rasio PUFA : SFA pada daging domba (Jenkins 1993; Cooper et al. 2004). Gulati et al. (1999) melaporkan bahwa meskipun pada beberapa penelitian didapatkan bahwa EPA dan DHA hanya mengalami modifikasi sebagian oleh mikroorganisme rumen secara in vitro, hidrogenasi ruminal yang ekstensif terjadi pada asam-asam lemak tersebut secara in vivo. Selain itu, pakan yang mengandung PUFA memiliki beberapa pengaruh inter-relasi (baik positif maupun negatif) terhadap metabolisme rumen yang mempengaruhi pola fermentasi, jumlah protozoa, kecernaan pakan, efisiensi pertumbuhan mikrob, serta situs dan kinetika pencernaan (Chikunya et al. 2004). Biohidrogenasi asam lemak dalam rumen dapat diatasi dengan pemberian minyak yang tinggi asam lemak tidak jenuh yang dilapisi dengan suatu material yang tidak dapat dimetabolisme oleh mikroorganisme rumen, tetapi dapat dicerna dalam usus halus (Ekeren et al.1992). Penggunaan formaldehida dan mineral terutama Ca sudah banyak digunakan, meskipun hasilnya belum konsisten. Alternatif lain yang dapat dilakukan dalam melindungi asam lemak, terutama PUFA n-3, adalah dalam bentuk amida. Jenkins dan Adams (2002) mendapatkan
3
bahwa meskipun perlindungannya belum sempurna, ternyata linolamida dapat bertahan dari biohidrogenasi dalam rumen jauh lebih baik dari asam linoleat. Namun demikian, perlindungan dalam bentuk amida dari EPA dan DHA dalam minyak ikan masih jarang dilakukan. Berdasarkan pernyataan di atas, perlu dikaji pengaruh amida minyak ikan pada pola fermentasi rumen, dan efektivitasnya dalam meningkatkan aliran EPA dan DHA pascarumen, memperbaiki profil asam lemak plasma, dan deposisinya dalam jaringan otot tikus sebagai hewan model pascarumen. Penggunaan tikus didasarkan asumsi bahwa pencernaan pascarumen mempunyai kemiripan dengan pencernaan monogastrik pada nonruminan.
Tujuan Penelitian 1. Mempelajari pembuatan amida minyak ikan. 2. Mengevaluasi ketahanan amida minyak ikan dalam rumen secara in vitro. 3. Mengevaluasi
efektivitas
amida
minyak
ikan
pascarumen
menggunakan hewan model tikus. Manfaat Penelitian 1. Mendapatkan teknologi pembuatan amida minyak ikan. 2. Menentukan kemampuan melindungi PUFA n-3 dari degradasi sistem rumen. 3. Menentukan profil lemak pada tikus sebagai hewan model. Hipotesis Penelitian 1. Amida minyak ikan dapat melindungi PUFA n-3 dari biohidrogenasi dalam rumen untuk pencernaan pascarumen. 2. Pemberian amida minyak ikan dapat meningkatkan kandungan PUFA n-3 dalam jaringan otot tikus. 3. Pemberian amida minyak ikan dapat memperbaiki profil lemak plasma tikus.
4
5
TINJAUAN PUSTAKA Suplementasi Lemak dalam Pakan Ruminansia Lipid adalah suatu substansi yang tidak larut air, tetapi larut dalam pelarut organik (eter, kloroform, heksan, dll). Lipid dalam bahan pakan biasanya dalam bentuk trigliserida yang terutama ditemukan dalam biji-bijian sereal, biji-bijian penghasil minyak, dan lemak hewan. Selain itu, lipid dalam bahan pakan juga terdapat dalam bentuk glikolipida yang terutama ditemukan dalam hijauan rumput-rumputan dan leguminosa, dan sejumlah kecil terdapat dalam bentuk fosfolipid (Wattiaux & Grummer 2006). Ginsberg dan Karmally (2000) membagi asam lemak dalam diet menjadi 3 kelompok utama, yaitu asam lemak jenuh atau saturated fatty acids (SFA), asam lemak tak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA), dan asam lemak tak jenuh ganda atau polyunsaturated fatty acids (PUFA). Perbandingan berdasarkan bobot antara PUFA dan SFA dikenal dengan rasio PUFA : SFA. Asam lemak utama yang terdapat dalam triasilgliserol diet (lemak dan minyak) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Asam lemak utama dalam diet Kelompok asam lemak
Nama asam lemak
Asam lemak jenuh
Asam laurat (12:0) Asam miristat (14:0) Asam palmitat (16:0) Asam stearat (18:0)
Asam lemak tak jenuh
Asam oleat (18:1n-6) trans-16:1n-9 dan trans-18:1n-9 Omega 6 Asam linoleat (18:2n-6) Omega 3 Asam α-linoleat (18:3n-3) Asam eikosapentanoat (20:5n-3) Asam dokosaheksanoat (22:6n-3)
Sumber: Ginsberg & Karmally (2000)
6
Lazimnya, pakan ternak produksi mengandung sedikit atau tanpa penambahan lemak. Sumber asam lemak satu-satunya terdapat secara alami dalam bahan pakan. Penggunaan lemak terutama terbatas pada pakan unggas dan pengganti susu pada ruminansia muda. Namun demikian, akhir- akhir ini terjadi perkembangan yang pesat dalam penambahan lemak pada pakan ternak produksi. Pemberian lemak biasanya dimaksudkan untuk meningkatkan kepadatan energi dalam pakan, di samping memiliki keuntungan lain, seperti meningkatkan penyerapan nutrien larut lemak dan mengurangi debu pada pakan (Palmquist 1988). Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan tentang pengaruh asam lemak tertentu pada kandungan lemak darah, dikeluarkanlah rekomendasi internasional menyangkut jumlah dan komposisi lemak diet yang dikonsumsi. Lemak hewan ternyata tidak direkomendasikan karena terlalu banyak mengandung SFA dan terlalu sedikit PUFA. Di samping itu, pentingnya PUFA n-3 telah lama diketahui sehingga rasio n-3: n-6 menjadi penting. Usaha untuk mendapatkan pangan asal hewan yang lebih sehat bertujuan untuk mengubah pola asam lemak produk, agar sedapat mungkin sesuai dengan rekomendasi kesehatan (Leibetseder 1997). Ponnampalan et al. (2001) menambahkan bahwa tipe lemak pada pakan ternak domestikasi dapat mempengaruhi komposisi asam lemak total dan lemak netral pada jaringan otot. Asam lemak jenuh bila diberikan melebihi kebutuhan akan dideposit pada jaringan lemak sebagai trigliserida cadangan, sedangkan PUFA terutama n-3 sebagian besar dideposit dalam fosfolipid struktural. Mayoritas lipid sel terdiri atas fosfolipid dan kolesterol, yang memainkan peranan penting
dalam
menentukan
struktur
lipoprotein
plasma,
juga
sangat
mempengaruhi fungsi protein membran seperti aktivitas insulin pada jaringan lemak otot. Komposisi asam lemak pada domba dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, kastrasi, dan pakan. Ternak yang gemuk biasanya berumur tua, sehingga pengaruh umur pada komposisi asam lemak menjadi relevan. Domba yang berumur di atas satu tahun kandungan lemaknya menjadi lebih keras, dengan peningkatan kandungan asam stearat dan penurunan kandungan asam oleat. Komposisi asam lemak pada domba betina dan domba jantan kastrasi hanya sedikit berbeda,
7
namun terdapat perbedaan yang besar antara komposisi asam lemak subkutan pada domba jantan dan domba jantan kastrasi. Perbedaan ini disebabkan domba betina dan domba jantan kastrasi lebih gemuk daripada domba jantan pada umur yang sama. Pengaruh penambahan lemak pada pakan relatif kecil dalam mempengaruhi komposisi lemak karena asam lemak segera terhidrogenasi dalam rumen, kecuali bila diberikan dalam bentuk terproteksi. Komponen pakan selain lemak mempunyai pengaruh yang besar pada jenis asam lemak dalam depot lemak, dalam kaitannya dengan sintesis asam lemak de nuvo (Enser 1991). Komposisi asam lemak depo dari beberapa jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Asam lemak komponen lemak depo ternak (%) Komposisi asam lemak Hewan
12:0
14:0
16:0
18:0
20:0
16:1
18:1
18:2
18:3
20:1
Sapi
-
6.3
27.4
14.1
-
-
49.6
2.5
-
-
Babi
-
1.8
21.8
8.9
0.8
4.2
53.4
6.6
0.8
0.8
Domba
-
4.6
24.6
30.5
-
-
36.0
4.3
-
-
Kambing
3.5
2.1
25.5
28.1
2.4
-
38.4
-
-
-
Kuda
0.4
4.5
25.9
4.7
0.2
6.8
33.7
5.2
16.3
2.3
Ayam
1.9
2.5
36.0
2.4
-
8.2
48.2
0.8
-
-
Kalkun
0.1
0.8
20.0
6.4
1.3
6.2
38.4
23.7
1.6
-
Sumber: deMan (1997).
Suplementasi lemak merupakan alternatif yang relatif murah dalam formulasi pakan ternak pedaging, dan penggunaannya dapat memodifikasi komposisi asam lemak daging. Namun, pemberian lemak dalam ransum ruminansia terbatas sampai tingkat yang relatif rendah untuk mencegah timbulnya masalah pada fermentasi rumen. Pemberian lemak dapat menurunkan pencernaan serat karena menghambat fermentasi mikrob yang terjadi dalam rumen. Penurunan kecernaan serat lebih parah pada pemberian sumber lemak yang tak jenuh dibandingkan sumber lemak jenuh. Kandungan lemak dalam ransum ruminansia berkisar antara 4-5%, sementara pada tingkat yang lebih tinggi berpengaruh negatif pada fermentasi mikrob dalam rumen. Rekomendasi yang
8
umum untuk kandungan lemak dalam ransum tidak melebihi 6-7% dari bahan kering ransum (Jenkins 1998; Bauman et al. 2003). Penambahan lemak dalam pakan ruminansia dapat mengganggu fermentasi dalam rumen, sehingga menyebabkan menurunnya kecernaan energi dari sumber bukan lemak. Kecernaan karbohidrat struktural dalam rumen dapat menurun 50% atau lebih dengan penambahan lemak kurang dari 10%. Penurunan kecernaan berbarengan dengan turunnya produksi metan, hidrogen, dan VFA, serta turunnya rasio asetat:propionat. Metabolisme protein dalam rumen juga mengalami perubahan dengan terganggunya fermentasi rumen akibat penambahan lemak. Penurunan kecernaan protein dalam rumen berbarengan dengan turunnya konsentrasi amonia, dan meningkatnya aliran N ke dalam duodenum (Jenkins 1993). Sintesis asam lemak de novo dipengaruhi oleh densitas energi pakan. Pakan hijauan mempunyai densitas yang rendah, sehingga membatasi deposisi lemak. Penambahan konsentrat biji-bijian yang kaya pati pada hijauan akan meningkatkan densitas energi. Pati akan difermentasi dalam rumen menjadi asam lemak terbang atau volatile fatty acids (VFA), terutama asam asetat dan asam propionat yang segera diserap dan digunakan sebagai substrat dalam sintesis asam lemak (Enser 1991) Penambahan lemak dalam ransum ruminansia juga dapat mengakibatkan turunnya kecernaan asam lemak, yang umumnya berhubungan dengan sifat dari komposisi asam lemak itu sendiri. Pada kondisi tertentu, kecernaan SFA dapat lebih rendah dibandingkan kecernaan PUFA. Bilangan Iod atau Iodine Value (IV) 50 atau lebih berpengaruh kecil pada kecernaan asam lemak. Namun demikian, kecernaan menurun bila IV menurun di bawah 50, terutama bila IV jatuh dari nilai 27 menjadi 11. Pada asupan asam lemak yang rendah, kecernaan asam lemak sejati masing-masing mencapai 89% untuk lemak dengan IV>40 dan 74% untuk lemak dengan IV<40. Namun demikian, kecernaan asam lemak semakin menurun dengan meningkatnya asupan asam lemak dengan IV>40 (Jenkins 1998). Komposisi lemak daging mencerminkan metabolisme lipid ransum dalam rumen.
Jaringan
tubuh
ruminansia
tidak
mensintesis
PUFA,
sehingga
konsentrasinya dalam jaringan tubuh bergantung pada jumlah yang keluar dari
9
rumen. Untuk mendapatkan produk daging yang lebih sehat, terutama dengan peningkatan PUFA dan mendapatkan rasio n-3:n-6 yang lebih baik, dilakukan penambahan sumber PUFA n-3 dalam pakan ternak, terutama yang berasal dari minyak ikan. Minyak ikan mengandung dua jenis asam lemak rantai panjang atau long chain fatty acids (LCFA), yaitu EPA dan DHA yang biasanya diberikan dalam bentuk lemak terlindungi (Chilliard et al. 2000; Bauman et al. 2003).
Metabolisme Lemak dalam Rumen Demeyer dan Doreau (1999) menjelaskan bahwa hidrolisis merupakan langkah pertama metabolisme lipid dalam rumen. Triasilgliserol, fosfolipid, dan galaktosil lipid dalam pakan hijauan dan konsentrat segera mengalami hidrolisis dalam rumen oleh lipase ekstraselular yang dihasilkan oleh sejumlah kecil bakteri. Beberapa aktivitas kemungkinan berhubungan dengan fraksi protozoa.
Produk
akhir yang dihasilkan berupa asam lemak bebas, selain itu juga gliserol dan galaktosa yang diubah menjadi VFA. Tingkat hidrolisis sangat tinggi terutama pada lemak yang tidak terproteksi mencapai 85-95%, persentase hidrolisis lebih tinggi pada pakan kaya lemak dibandingkan dengan pakan konvensional, dimana sebagian besar lemak terdapat dalam struktur sel (Tamminga & Doreau 1991). Hidrogenasi terjadi oleh berbagai jenis bakteri, dimulai dengan isomerisasi oleh enzim bakteri (Gambar 1). Asam linolenat (C18:3 n-3) umumnya mengalami hidrogenasi sempurna menjadi asam stearat (C18:0). Sebaliknya hidrogenasi asam linoleat (C18:2
n-6) berlangsung tidak sempurna. Hidrogenasi menghasilkan
asam stearat dan asam trans-vaksenat (C18:1 n-7), menunjukkan tingkat hidrogenasi yang tinggi terhadap asam linoleat dan asam linolenat. Rata-rata hanya kurang dari 10% asam linoleat dan kurang dari 5% asam linolenat yang terbebas dari hidrogenasi. Tingkat hidrogenasi asam trans-vaksenat menjadi asam stearat bergantung pada kondisi rumen. Hidrogenasi menjadi asam stearat dipacu oleh adanya cairan rumen bebas sel dan partikel pakan, tetapi dihambat oleh asam linoleat dalam jumlah besar (Tamminga & Doreau 1991; Jenkins 1993)
10
Lipolisis dan biohidrogenasi Lemak pakan teresterifikasi lipase galaktosidase fosfolipase FFA tak jenuh (Cth: cis-9, cis-12, C18:2) isomerase cis-9, trans-11 C18:2 reduktase trans-11 C18:1 reduktase C18:0 Gambar 1 Tahap kunci lemak pakan teresterifikasi menjadi asam lemak jenuh oleh lipolisis dan biohidrogenasi dalam rumen (Jenkins 1993).
Jenkins (1993) juga menambahkan bahwa tingkat hidrogenasi pada asam lemak tak jenuh bergantung pada derajat ketidakjenuhan suatu asam lemak serta jumlah dan frekuensi pemberiannya dalam pakan. Hidrogenasi yang dialami PUFA dalam rumen diperkirakan berkisar 60-90%, sedangkan asam lemak rantai panjang hanya mengalami sedikit degradasi dalam rumen. Sebagian besar asam lemak yang disintesis oleh mikrob rumen bergabung dalam fosfolipid. Kira-kira 85-90% asam lemak yang meninggalkan rumen merupakan asam lemak bebas, dan sekitar 10-15% adalah fosfolipid mikrob. Karena asam lemak bersifat hidrofobik, maka akan terikat pada partikel pakan dan mengangkutnya menuju duodenum. Lipolisis dalam rumen berlangsung sangat efisien. Oleh sebab itu, hampir semua lemak yang teresterifikasi yang mencapai duodenum dalam bentuk sel mikrob. Namun demikian, lipolisis dan biohidrogenasi menurun pada pH rumen yang rendah, seperti pada pakan kaya biji-bijian (Palmquist 1988). Lipid yang terdapat dalam duodenum ruminansia terbagi menjadi 3 fraksi (Gambar 2), yaitu: lipid pakan yang lolos dari transformasi mikrob, lipid pakan setelah mengalami transformasi mikrob, dan lipid mikrob. Lipid pakan yang
11
mengalami transformasi dan lipid mikrob dalam isi duodenum tersimpan dalam jaringan ruminansia (Jenkins 1994). Fraksi lipid dalam duodenum ruminansia DIET
DL
a RUMEN
DL
DLt c
VFA b
c
Mikroba
DUODENUM
DL
ML
DLt
Gambar 2 Lipid dalam duodenum ruminansia terdiri atas lipid pakan yang mencapai duodenum tanpa perubahan (DL), lipid pakan setelah hidrogenasi oleh mikrob rumen (DLt), dan lipida mikrobial (ML). Huruf merujuk pada a) konversi DL menjadi DLt oleh biohidrogenasi, b) sintesis lipid secara de novo oleh mikrob rumen dari VFA, dan c) asupan langsung DL dan DLt oleh mikrob rumen (Jenkins 1994).
Jenkins (1993) melaporkan bahwa kandungan lipid total dari massa bakteri kering dalam rumen berkisar antara 10-15%, baik yang berasal dari sumber eksogen (asupan diet LCFA) maupun sumber endogen (sintesis de novo). Sebagian asam lemak yang ditemukan dalam rumen merupakan komponen fosfolipid membran mikrob. Asam lemak yang disintesis secara de novo terutama terdiri atas C18:0 dan C16:0. Asam lemak bakteri mengandung 15-20% MUFA, yang disintesis melalui jalur anaerobik (Gambar 3). Bakteri rumen biasanya tidak mensintesis PUFA, kecuali dari kelompok cyanobacteria. Namun demikian, PUFA yang dilaporkan terdapat dalam mikrob rumen tampaknya berasal dari asupan eksogen dari asam lemak yang membentuk PUFA. Tingkat suplementasi lemak dan komposisinya dapat berpengaruh pada komposisi asam lemak dari mikroorganisme rumen (Bauman et al. 2003). Lipid pascarumen terutama terdiri atas asam lemak jenuh tidak teresterifikasi atau Non-
12
esterified Fatty Acids (NEFA) yang berasal dari pakan dan mikrob (70%), dan sejumlah kecil (10%-20%) fosfolipid mikrob. Umumnya, koefisien penyerapan asam lemak individual dalam usus halus berkisar antara 80% (untuk SFA) sampai 92% (untuk PUFA) pada pakan konvensional dengan kandungan lemak rendah (23% bahan kering) (Bauchart 1993). Sintesis asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh tunggal oleh mikrob
VFA
C10
β-hidroksi C10 β, γ
α, β Dehidrasi
cis-3-dekanoat
Tanpa reduksi
trans-2-dekanoat
Dekanoat
---------Pemanjangan rantai-------C16:1
C16:0
---------Penambahan unit C2------C18:1
C18:0
Gambar 3 Sintesis MUFA oleh mikrob rumen melalui jalur anaerob (Jenkins 1993).
Pemberian sejumlah besar EPA dan DHA diduga dapat menurunkan tingkat hidrogenasinya, baik secara in vitro maupun in vivo dalam percobaan jangka pendek (3 hari). Pasokan EPA dan DHA, melalui mekanisme yang belum diketahui juga meningkatkan trans-MUFA dan conjugated linoleic acids (CLA) (Chilliard et al. 2000).
13
Tipe Lemak dan Kolesterol Tingginya konsumsi lemak dan SFA dipercaya secara luas berkonstribusi terhadap meningkatnya kasus penyakit jantung koroner atau coronary heart disease (CHD), yang merupakan penyebab kematian utama pada sebagian negara industri. Adanya korelasi positif antara konsumsi lemak asal hewan dan kematian yang disebabkan CHD, tampaknya sangat
dipengaruhi oleh konsentrasi
lipoprotein berdensitas rendah atau low density lipoproteins (LDL) yang merupakan faktor risiko timbulnya CHD. Lipoprotein merupakan kompleks protein-lipid dalam darah, yang terdiri atas tiga tipe: lipoprotein berdensitas rendah atau low density lipoproteins (LDL) yang molekulnya terdiri atas 46% kolesterol; lipoprotein berdensitas tinggi atau high density lipoproteins (HDL) yang mengandung 20% kolesterol, dan lipoprotein berdensitas sangat rendah atau very low density lipoproteins (VLDL) yang mengandung 8% kolesterol. Tingginya kandungan kolesterol dalam LDL merupakan penyebab utama timbulnya CHD, sebaliknya HDL berperan sebagai pelindung (Bender 1992; Bandara 1997). Bender (1992) menyatakan bahwa tingginya kandungan kolesterol total darah sangat berhubungan dengan tingginya kejadian CHD, dan tingginya asupan SFA dapat meningkatkan kandungan kolesterol darah. Miristat dan palmitat merupakan SFA utama dalam diet yang menyebabkan meningkatnya kolesterol darah, sehingga meningkatkan LDL. Stearat yang juga merupakan SFA yang utama dalam diet tidak memperlihatkan pengaruh yang sama. Hal ini karena stearat diubah menjadi oleat yang merupakan MUFA.
Asam lemak dengan
panjang rantai yang lebih pendek tampaknya juga tidak berpengaruh. Seperempat dari SFA dipasok dari lemak asal daging, sehingga konsumsi daging sendiri berada dalam ancaman. Komposisi lemak dari beberapa ternak dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
14
Tabel 3 Komposisi lemak berbagai jenis ternak (%) Jenis lemak
Lemak total
Persentase dari lemak total SAFA
MUFA
PUFA
Lemak sapi
67
43
48
4
Lemak domba
72
50
39
5
Lemak babi
71
37
41
15
Ayam, daging, dan kulit
18
33
42
19
Itik, daging, dan kulit
43
27
54
12
Hati sapi
7
30
18
26
Sumber: Bender (1992).
Gurr (1992) mendeskripsikan CHD sebagai suatu kondisi ketika arteri utama (coronary) yang memasok darah ke jantung kehilangan kemampuan untuk memasok darah dan oksigen dalam jumlah yang cukup ke otot jantung (myocardium).
Tahapan
perkembangan
penyakit
ini
dimulai
dengan
menyempitnya arteri utama oleh endapan campuran kompleks lemak pada dinding arteri, proses tersebut dikenal dengan asteriosklerosis. Tahapan yang fatal ketika terbentuknya gumpalan darah (thrombosis) yang menghambat aliran darah melalui arteri yang telah menyempit. Menurunnya aliran darah ke otot jantung menyebabkan otot jantung kekurangan oksigen sehingga terjadi kerusakan yang ekstensif, yang dikenal dengan serangan jantung (myocardial infraction). Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) terutama dari seri n-3 mempunyai pengaruh yang menguntungkan dalam menekan kejadian CHD, karena dapat mencegah terjadinya asteriosklerosis dan komplikasi karena trombosis. Asam lemak n-3 yang berasal dari laut memiliki pengaruh antitrombosis, memodifikasi agregasi platelet, menurunkan kekentalan darah, dan meminimalisir respons inflamasi dalam dinding pembuluh darah. Pemberian PUFA n-3 pada ruminansia bertujuan
meningkatkan
konsentrasinya
dalam
jaringan
tubuh
untuk
meningkatkan produksi dan kesehatan, serta meningkatkan asam lemak nutraceuticals untuk meningkatkan kesehatan manusia (Jenkins 2004).
15
Minyak Ikan dan Peranannya Ditemukannya hubungan antara lemak diet dengan penyakit pembuluh darah jantung atau cardiovascular (CVD), telah menelurkan rekomendasi yang menyarankan penggantian kolesterol dan SFA dalam diet dengan PUFA. Kelompok PUFA ditandai dengan adanya ikatan rangkap pada rantai karbonnya. Dua kelompok PUFA yang penting adalah PUFA n-6 dan PUFA n-3, yang masing-masing posisi ikatan rangkap pertamanya pada atom karbon keenam dan ketiga dari ujung metil rantai karbon. Kelompok PUFA n-6 penting dalam diet dan terutama terdapat dalam minyak tumbuhan. Asam linoleat (18:2n-6) yang merupakan sumber PUFA n-6 dalam diet terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam minyak tumbuhan (kedelai, jagung, dan safflower), dan merupakan prekursor asam arakidonat (20:4n-6). Kelompok PUFA n-3 terkandung dalam jumlah yang sedikit dalam kebanyakan bahan makanan, kecuali ikan. Asam linolenat (18:3n-3) terdapat dalam konsentrasi yang rendah dalam jaringan tumbuhan dan minyak kedelai. Ikan laut merupakan sumber yang kaya asam eikosapentanoat atau EPA (20:5n-3) dan asam dokosaheksanoat atau DHA (22:6n-3). Asam linolenat juga merupakan prekursor EPA dan DHA (Kinsella 1987; Cunnane & Griffin 2002). Bukti epidemiologis yang berhubungan dengan meningkatnya asupan PUFA n-3 dari ikan dengan turunnya kejadian CHD, mendorong penelitian yang intensif mengenai pengaruh minyak ikan pada resiko CHD. Secara nyata terlihat bahwa PUFA n-3 dari minyak ikan lebih efektif dalam menurunkan hiperlipidemia dibandingkan PUFA n-6 dari minyak tumbuhan, karena lebih efektif dalam menghambat sintesis asam lemak dan pembentukan lipoprotein dalam hati, serta meningkatkan katabolisme lipoprotein. Selain itu, PUFA n-3 dari minyak ikan berpengaruh langsung pada kesehatan CVD, melalui pengaruhnya pada fungsi platelet. Agregasi platelet yang berlebihan dapat menyebabkan stroke yang menyebabkan trombosis dan menyumbat arteri ke otak. Beberapa PUFA n-3 seperti EPA dan asam DHA menghasilkan eikosanoid dengan pengaruh imflamasi yang rendah, menyebabkan vasodilatasi, dan menghambat agregasi platelet dibandingkan dengan PUFA n-6 dari minyak tumbuhan (Kinsella 1987; Azain 2004).
16
Menyangkut fungsinya sebagai prekursor eikosanoid,
EPA mendapat
perhatian khusus yang penting secara fisiologis. Asam ini termasuk kelompok substansi yang secara fisiologis potensial, yaitu prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien. Ketiga substansi ini terbentuk dari prekursor asam lemak dengan masuknya atom oksigen ke dalam rantai asam lemak. Asam lemak terpenting yang bertindak sebagai prekursor untuk sintesis eikosanoid adalah asam arakidonat. Proses oksigenasi terjadi dalam dua jalur utama, yaitu jalur siklik yang membentuk prostaglandin dan tromboksan, dan jalur linear yang menghasilkan leukotrien. Pembentukan prostaglandin dan tromboksan menjadi penting karena perannya dalam agregasi platelet. Ada dua jenis PUFA yang terlibat dalam produksi kedua substansi tadi, yaitu asam linoleat sebagai prekursor asam arakidonat dan asam linolenat sebagai prekursor EPA dan DHA (Gambar 4)(Groff & Gropper 2000; McCowen & Bistrian 2003). Jalur n-6 18:2n-6 (asam linoleat) ↓ 20:3n-6 ↓ 20:4n-6 (asam arakidonat) ↓ Prostanoid seri-2 Leukotrien seri-4
inhibisi ←←←
Jalur n-3 18:3n-3 (asam linolenat) ↓ 20:4n-3 ↓ 20:5n-3 (EPA dari minyak ikan) ↓ Prostanoid seri-3 Leukotrien seri-5
Gambar 4 Jalur metabolisme asam lemak esensial dari prekursor n-3 dan n-6 (McCowen & Bistrian 2003)
Proses oksigenasi siklik dari asam arakidonat akan menghasilkan prostaglandin E2 (PGE2) yang mengganggu fungsi sistem imunitas karena berperan dalam menghasilkan sel-sel T penekan. Konsumsi ikan laut yang menyediakan EPA dalam jumlah tinggi dapat melindungi manusia dari trombosis dan serangan jantung karena mengandung rasio PGI3/TXA3 yang terbaik. Tempat sintesis dan pengaruh prostaglandin pada agregasi platelet dapat dilihat pada Tabel 4 (Lands 1982; Kelley et al. 1988; Marinetti 1990; Terry et al. 2003).
17
Tabel 4 Tempat sintesis dan pengaruh prostaglandin pada agregasi platelet Prostaglandin
Tempat sintesis
Pengaruhnya pada agregasi
TXA2
Platelet
Stimulasi
PGI2
Sel endotel
Inhibisi
TXA3
Platelet
Tidak berpengaruh
PGI3
Sel endotel
Inhibisi
Sumber: Marinetti (1990)
Pemberian minyak ikan juga diketahui dapat menekan produksi prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat, sehingga membatasi pengaruh inflamasi dengan menghasilkan prostaglandin dan leukotrien seri 3 dan 5. Meningkatnya asupan EPA dan DHA dari minyak ikan akan meningkatkan proporsi EPA dan DHA dalam plasma dan fosfolipid eritrosit, berbarengan dengan menurunnya proporsi asam arakidonat dalam plasma dan fosfolipid eritrosit dan menurunnya asam linoleat dalam fosfolipid eritrosit. Selain menghambat
agregasi
platelet,
minyak
ikan
juga
berpengaruh
dalam
hipolipidemia dan menurunkan kolesterol plasma, yang pada akhirnya akan meminimalisir pembentukan plak. EPA dalam minyak ikan juga dapat menurunkan produksi faktor pengaktif platelet atau platelet activating-factor (PAF), dan bersifat antiinflamasi karena menekan produksi leukotrien-B4 dalam leukosit yang menyebabkan respons inflamasi pada leukosit (Marinetti 1990; McCowen & Bistrian 2003; Trebble et al. 2003). Minyak ikan mengandung berbagai jenis asam lemak, terutama dari kelompok PUFA n-3. Ikan menyerap dan menyimpan berbagai asam lemak yang tersedia dalam pakannya, selanjutnya juga mengubah komponen lain dari diet seperti alkohol dari ester lilin menjadi asam lemak dan menyimpannya dalam jaringan tubuh. Ikan juga mampu mensintesis asam lemak secara de novo serta melakukan desaturasi dan perpanjangan dari asam lemak yang tersedia. Asam lemak utama dalam minyak ikan adalah EPA dan DHA, yang jumlahnya mencapai 20% atau lebih pada beberapa minyak, di samping sejumlah kecil asam α-linolenat atau α-linolenic acid (LNA), seperti terlihat pada Tabel 5 (Enser 1991).
18
Tabel 5 Kandungan PUFA n-3 pada beberapa jenis ikan (%) Jenis ikan
LNA (18:3)
EPA (20:5)
DHA (22:6)
EPA + DHA (20:5 + 22:6)
Atlantic mackerel
0.1
0.9
1.6
2.5
King mackerel
0.0
1.0
1.2
2.2
Chub mackerel
0.3
0.9
1.0
1.9
Atlantic salmon
0.1
0.6
1.2
1.8
Pacific herring
0.1
1.0
0.7
1.7
Atlantic herring
0.1
0.7
0.9
1.6
Lake trout
0.4
0.5
1.1
1.6
Bluefin tuna
0.0
0.4
1.2
1.6
Chinook salmon
0.1
0.8
0.6
1.4
Anchovy, Eropa
0.0
0.5
0.9
1.4
Atlantic bluefish
0.0
0.4
0.8
1.2
Sockeye salmon
0.1
0.5
0.7
1.2
Sarden, kaleng
0.5
0.4
0.6
1.1
Chum salmon
0.1
0.4
0.6
1.0
jarang
0.4
0.6
1.0
Pink salmon Sumber: Nettleton (1995).
Dalam tinjauannya Azain (2004) mengungkapkan bahwa pemberian minyak ikan untuk nonruminan dapat meningkatkan kandungan PUFA n-3 dalam jaringan tubuh. Irie dan Sakimoto (1992) melaporkan bahwa pemberian diet dengan 6% minyak ikan untuk babi selama 4 minggu, dapat meningkatkan kandungan EPA dan DHA dalam daging masing-masing 5 dan 10 kali lipat. Untuk memanipulasi profil asam lemak dalam jaringan tubuh ruminansia lebih sulit. Meskipun ada peningkatan PUFA n-3 dalam fosfolipid otot pada pemberian minyak ikan, fraksi tersebut hanya sejumlah kecil dari keseluruhan lemak daging. Namun demikian, peningkatan PUFA n-3 pada daging tanpa lemak (lean) masih dimungkinkan untuk mendapat daging yang mengandung PUFA n-3 dalam jumlah yang cukup berarti (Nettleton 1994). Pengujian terhadap komposisi kelompok lipid plasma menunjukkan bahwa EPA terinkorporasi lebih baik dibandingkan DHA ke dalam cholesteryl ester dan
19
ini mencerminkan aktivitas dari lechitin cholesteryl acyl transferase. Fraksi cholesteryl ester mengandung sekitar 80% asam lemak tak jenuh atau unsaturated fatty acids (UFA). Komposisi asam lemak dari triasilgliserol dan asam lemak bebas dalam plasma serupa dengan dalam digesta abomasum, yang mencerminkan pencernaan dan transfer lemak diet.
Kandungan EPA dan DHA dalam
triasilgliserol plasma tidak tercermin dalam triasilgliserol jaringan lemak. Tidak adanya inkorporasi EPA atau DHA ke dalam triasilgliserol jaringan adiposa menunjukkan bahwa pada tingkat intestinal asam lemak tersebut tergabung ke dalam kilomikron triasilgliserol, tetapi tidak ditransfer dari pool plasma ke dalam jaringan adiposa. Hal ini berbeda dari EPA dan DHA yang diserap oleh kelenjar susu dan terinkorporasi ke dalam triasilgliserol susu. Suplementasi minyak ikan tuna pada ruminansia menurunkan kandungan triasilgliserol dan kolesterol plasma karena adanya penghambatan sintesis dalam usus dan hati (Kitessa et al. 2001). Demirel et al. (2004) melaporkan bahwa perlakuan minyak linseed bersama minyak ikan pada domba meningkatkan konsentrasi EPA dan DHA secara nyata dalam fosfolipid otot dan fraksi lemak netral dan polar dalam hati, dibandingkan dengan pemberian minyak linseed secara tunggal. Perlakuan tersebut juga meningkatkan rasio PUFA:SFA dalam hati dan jaringan adiposa tetapi tidak dalam otot dan memperbaiki rasio PUFA n-6:n-3. Percobaan Gulati et al. (1999) terhadap dosis minyak ikan yang diberikan pada domba menunjukkan adanya hidrogenasi yang cukup besar terhadap EPA dan DHA bila konsentrasi minyak ikan kurang dari 1 mg/ml cairan rumen, sedangkan produksi asam lemak trans-C18:1 sangat tinggi. Pada konsentrasi minyak ikan yang lebih tinggi, isomer ini menurun yang menandai adanya penghambatan biohidrogenasi.
Perlindungan Asam Lemak dalam Rumen Ruminansia dan populasi mikrob yang hidup bersamanya berkembang hanya dengan kandungan lemak yang rendah dalam pakan. Kelebihan lemak 23% dari bahan kering pakan dapat menghambat aktivitas mikrob, terutama bakteri selulolitik dan metanogenesis. PUFA lebih bersifat toksik terhadap beberapa mikrob rumen, terutama protozoa dan bakteri metanogen. Pemberian lemak juga memperlihatkan penurunan kecernaan serat kasar, terutama pada domba.
20
Turunnya kecernaan serat kasar karena lemak melapisi partikel pakan, sehingga mencegah pelekatan bakteri selulolitik. Pengaruh penghambatan meningkat seiring tingkat kelarutan, karenanya asam lemak dengan rantai sedang (C 12-14) dan asam lemak tak jenuh (minyak tumbuhan, minyak ikan) merupakan penghambat yang kuat. Asam lemak yang tidak teresterifikasi memiliki efek hambat yang lebih tinggi dari bentuk teresterifikasi, dan minyak bebas lebih menghambat dibandingkan biji-bijian yang diberi utuh (Palmquist 1988; Van Nevel 1991). Pemberian minyak ikan yang kaya PUFA n-3 dapat mengubah profil asam lemak pada jaringan dan organ tubuh ruminansia, terutama dengan penggabungan EPA dan DHA, sehingga didapatkan produk ternak yang menguntungkan bagi kesehatan manusia. Namun demikian, adanya biohidrogenasi asam lemak yang ekstensif dalam rumen dapat menurunkan keuntungan pemberian PUFA n-3 seperti yang diharapkan. Untuk itu dilakukan perlindungan asam lemak yang dapat mencegah PUFA n-3, terutama EPA dan DHA, mengalami perubahan dalam rumen, sehingga memungkinkan penggabungannya dalam jaringan tubuh ruminansia (Jones et al. 2005). Berbagai pengaruh negatif dari pemberian lemak dalam jumlah tinggi pada fermentasi rumen dapat diatasi dengan memungkinkan lemak dapat lolos dari rumen. Teknik perlindungan lemak yang paling tua adalah melapisi emulsi lemak dengan protein yang mendapat perlakuan formaldehid. Ikatan ini kemudian terurai dalam abomasum sehingga asam lemak dapat diserap dalam usus halus. Cara ini cukup efektif dalam meloloskan sejumlah besar PUFA dari degradasi dalam rumen, tetapi ikut menurunkan
produksi trans-MUFA dan CLA. Karena
dinyatakan berbahaya bagi kesehatan manusia, teknik penggunaan formaldehid sekarang dipertanyakan untuk produksi ternak dan berpengaruh buruk pada citra produk. Penggunaan garam kalsium (Ca) merupakan teknik yang paling populer karena kemampuannya dalam mencegah interaksi antara asam lemak dan mikrob, terutama asam lemak dari minyak kelapa sawit yang tingkat kejenuhannya tinggi. Garam tersebut tidak larut dalam rumen dan dapat mencegah penghambatan terhadap kecernaan serat. Asam lemak dibebaskan dalam abomasum, sedangkan Ca diserap dalam duodenum dan asam lemak diserap dalam jejunum. Namun
21
demikian, dilaporkan adanya hidrogenasi parsial terhadap asam lemak dalam rumen, karena sabun yang terbentuk mengalami disosiasi dalam rumen. Disosiasi meningkat jika pH rumen menurun dan kejadian ini lebih tinggi pada PUFA dibandingkan asam lemak jenuh. Teknik terbaru yang mulai dikembangkan adalah perlindungan asam lemak dalam bentuk amida asam lemak (Palmquist 1988; Tamminga & Doreau 1991; Chilliard et al. 2000). Amida asam lemak dihasilkan dengan mereaksikan asam lemak dengan amina. Berdasarkan laju degradasi amida yang rendah oleh suspensi populasi bakteri dan kebutuhan gugus karboksil bebas untuk biohidrogenasi oleh mikrob rumen, Fotouhi dan Jenkins (1992a) menyatakan bahwa amida dari UFA akan tahan terhadap biohidrogenasi oleh mikrob rumen. Mikrob rumen memerlukan gugus karboksil bebas untuk menghilangkan ikatan rangkap dari UFA. Dari dua percobaan in vitro terlihat penurunan kehilangan asam linoleat pada kultur rumen jika UFA diberikan sebagai amida dibandingkan sebagai asam lemak bebas. Pemberian linoleamida juga mengurangi destruksi ruminal dari asam linoleat dibandingkan dengan pemberian asam linoleat tidak terlindungi atau kalsium linoleat (Fotouhi & Jenkins 1992b). Jenkins (1995) mensintesis amida skunder dari butilamina dan minyak kedelai mengikuti metode Feairheller et al. (1994), untuk mengukur ketahanannya terhadap biohidrogenasi dalam rumen. Dengan penambahan masing-masing 5% butilsoyamida dan minyak kedelai pada pakan, ternyata dapat meningkatkan konsentrasi asam linoleat plasma 22% pada pemberian minyak kedelai dan 58% pada pemberian butilsoyamida dibandingkan kontrol. Jenkins (1997) juga mensintesis amida dengan mereaksikan minyak kedelai dengan ethanolamina menghasilkan
N-hidroksietilsoyamida.
Butilsoyamida
dan
N-
hidroksietilsoyamida yang dihasilkan tidak mengganggu fermentasi rumen dan kecernaan serat serta dapat bertahan terhadap degradasi rumen, sehingga dapat meningkatkan aliran asam lemak tersebut dalam rumen. Linolamida yang dihasilkan dari kombinasi asam linoleat dan urea juga mampu mempertahankan konsentrasi asam lemak C18:2n-6 dalam kultur rumen dan isi doudenum domba lebih tinggi dibandingkan dengan asam linoleat bebas (Jenkins & Adams 2002).
22
Pada percobaan in vivo, Lundy et al. (2004) mengevaluasi biohidrogenasi asam oleat dan linoleat dalam bentuk minyak kedelai, kalsium minyak kedelai, dan amida minyak kedelai pada sapi perah laktasi. Aliran asam lemak pascarumen dan laju biohidrogenasi diukur dari sampel omasal, dan didapatkan bahwa pemberian minyak kedelai dalam bentuk garam kalsium dan amida belum mampu menurunkan biohidrogenasi asam linoleat secara berarti, namun amida mampu menurunkan biohidrogenasi asam oleat secara nyata. Tampaknya efektivitas ketahanan garam kalsium atau amida terhadap biohidrogenasi bergantung pada jenis asam lemak dan komposisi asam lemak.
23
MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Hewan Pusat Penelitian
Sumberdaya
(PPSHB-PAU),
Hayati dan Bioteknologi, Pusat Antar Universitas
Laboratorium
Ternak
Perah
Fakultas
Peternakan,
dan
Laboratorium Hewan Percobaan Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini terdiri atas tiga tahap, yaitu pembuatan amida minyak ikan, uji ketahanan amida minyak ikan secara in vitro, dan uji efektivitas suplementasi amida minyak ikan pada tikus sebagai hewan coba pascarumen. Sintesis Amida Minyak Ikan Minyak ikan yang digunakan untuk pembuatan amida minyak ikan lemuru yang diperoleh dari Desa Muncar Banyuwangi, Jawa Timur. Selama penyimpanan, minyak ikan ditambahkan butylated hydroksitoluen (BHT) untuk melindungi minyak dari ketengikan oksidatif. Sebelum dilakukan reaksi amidasi ditentukan dahulu bilangan iod, bilangan penyabunan, dan bilangan asam minyak ikan yang digunakan.
Kandungan asam lemak utama dalam minyak ikan
ditentukan menggunakan kromatografi gas dengan detektor ionisasi nyala atau gas liquid chromatography flame ionized detector (GLC FID). Proses amidasi dilakukan dengan tiga cara berbeda untuk mendapatkan hasil yang terbaik yaitu: 1. Sintesis amida minyak ikan dengan mereaksikan minyak ikan dan urea, dengan perbandingan 1:1 (w/w) menurut prosedur Jenkins dan Adams (2002). Reaksi
dilakukan dalam reaktor amidasi vakum
dengan kapasitas 500 ml dengan diameter 10 cm, yang dilengkapi dengan pengaduk. Suhu pemanasan selama reaksi berlangsung dikontrol dengan menggunakan termokopel. Pembuatan amida minyak ikan dilakukan pada suhu 90⁰C dengan lama reaksi 4 jam. Produk yang dihasilkan disaring dengan kertas saring. 2. Sintesis amida minyak ikan dengan mereaksikan etil ester minyak ikan dengan urea.
Etil ester minyak ikan diperoleh dari proses
esterifikasi minyak ikan menggunakan kalium etoksida 0.5M pada
24
suhu 75⁰C selama 2 jam, dengan flushing N2. Etil ester minyak ikan yang terbentuk direaksikan dengan urea dengan rasio molar 1:2, pada suhu 90⁰C dengan pengadukan.
Produk yang dihasilkan disaring
dengan kertas saring. 3.
Sintesis amida minyak ikan dengan mereaksikan minyak ikan dan nbutilamin mengikuti metode Feairheller et al. (1994). Minyak ikan direaksikan dengan n-butilamin dengan rasio molar 1 :8. Ke dalam bahan juga ditambahkan Na-EDTA sebanyak 0.5% (w/w) dan BHT sebanyak 0.05% (w/w), sebagai antioksidan selama proses amidasi berlangsung. Bahan dipanaskan dengan hot plate dalam labu empat leher yang dihubungkan dengan kondensor refluks dan dilakukan flushing N2 untuk mengusir O2. Suhu dipertahankan pada kisaran 7778⁰C, yang merupakan titik didih n-butilamin, dengan kecepatan pengadukan 150 rpm selama 5 jam. Setelah proses berakhir, produk dilarutkan kembali dengan heksan, selanjutnya dicuci dengan akuades 70⁰C 3-4 kali untuk membuang kelebihan butilamin dan gliserol. Kemudian produk dievaporasi dengan rotavapor dan selanjutnya dikompressor untuk menguapkan dan menghilangkan sisa heksan.
Analisis kualitatif dilakukan untuk mengidentifikasi terbentuknya senyawa amida dengan menggunakan spektroskopi inframerah atau infra red (IR). Analisis semi kuantitatif untuk mengetahui jumlah senyawa amida yang dihasilkan dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas dengan spektrometer massa atau gas chromatography mass spectrometry GC-MS. Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kadar lemak dan N dari produk. Pengukuran bilangan iod setelah reaksi juga dilakukan untuk mengetahui derajat ketidakjenuhan yang masih bisa dipertahankan. Metode Analisis Minyak ikan dan Amida Minyak Ikan Bilangan iod Dasar penentuan bilangan iod adalah reaksi adisi dengan ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh. Penentuan bilangan iod menurut metode Hanus (Apriyantono et al. 1989) dilakukan dengan cara titrasi. Sejumlah bahan ditimbang (0.1-0.5 gram) dalam erlenmeyer bertutup dan ditambahkan dengan 10
25
ml kloroform untuk melarutkan sampel, dan 25 ml pereaksi Hanus kemudian dibiarkan selama 1 jam di tempat gelap sambil sekali-sekali dikocok. Kemudian ditambahkan 10 ml larutan KI 15 % lalu dikocok. Erlenmeyer dan tutupnya dicuci dengan 100 ml akuades. Titrasi dengan larutan standar Na2S2O3 0.1 N sampai warna kuning iod hampir hilang, kemudian ditambahkan 2 ml larutan pati 1% sebagai indikator. Titrasi dilanjutkan sampai warna biru hilang. Di samping itu juga dilakukan penetapan blanko. ml titrasi (blanko-sampel) x N Na2S2O3 x 12.69 Bilangan Iod = ---------------------------------------------------------berat sampel (gram) Bilangan penyabunan Bilangan penyabunan adalah jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Penentuan bilangan penyabunan dilakukan dengan metode titrasi (Apriyantono et al. 1989). Sejumlah bahan ditimbang (1-5 gram) dalam erlenmeyer 300 ml dan ditambahkan 50 ml KOH beralkohol. Kemudian dihubungkan dengan pendingin tegak dan direfluks hingga tersabunkan sempurna. Larutan didinginkan dan ditambahkan 1 ml indikator fenolftalen. Kemudian dititrasi dengan HCl 0.5 N sampai warna merah jambu hilang. Buat penetapan blanko seperti penetapan contoh. ml titrasi (blanko-sampel) x N HCl x 56.1 Bilangan Penyabunan = ----------------------------------------------------bobot sampel (gram) Bilangan asam Bilangan asam adalah jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak. Penentuan bilangan asam dilakukan dengan metode titrasi (Ketaren 2005). Sejumlah bahan ditimbang (10-20 gram) dalam erlenmeyer 200 ml. Ditambahkan 50 ml alkohol netral 95%, dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit sambil diaduk. Larutan ini kemudian dititer dengan KOH 0.1 N dengan indikator larutan fenolftalen 1% dalam alkohol, sampai terlihat warna merah jambu. Dilakukan
26
penghitungan jumlah miligram KOH yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas dalam 1 gram minyak atau lemak. ml titrasi sampel x KOH x 56.1 Bilangan Asam = -------------------------------------bobot sampel (gram)
Uji Ketahanan Amida Minyak Ikan secara In Vitro Percobaan in vitro dilakukan menurut metode Tilley dan Terry (1963), untuk mengetahui ketahanan amida asam lemak minyak ikan terhadap biohidrogenasi oleh bakteri rumen dengan inkubasi menurut perlakuan untuk mengetahui pelepasan asam lemak pascarumen. Unit percobaan dilakukan secara terpisah. Penambahan lemak baik dalam bentuk minyak ikan maupun amida minyak ikan, sebanyak 10% dari ransum. Senyawa amida yang tersisa
dalam
kultur dianalisis menggunakan GC-MS. Percobaan in vitro juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian amida asam lemak pada pH cairan rumen, konsentrasi N-NH3, VFA total cairan rumen, VFA parsial, produksi gas, jumlah protozoa, protein mikrob, degradasi bahan kering (DBK) dan bahan organik (DBO) pakan. Sumber inokulum yang digunakan adalah cairan rumen domba, dan sebagai substrat adalah hijauan jagung yang telah digiling halus. Berdasarkan analisis proksimat, substrat hijauan jagung mengandung 91.82% bahan kering, 7.68% protein, 1.54% lemak, 28.88% serat kasar, 9.81% abu, dan 52.09% BETN. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri atas 4 perlakuan, dengan masing-masing 3 kelompok pengambilan cairan rumen sebagai berikut: R0 = Substrat hijauan jagung R1 = R0 yang mengandung 10% minyak ikan R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
27
Metode Analisis In Vitro Degradasi bahan kering (DBK) dan bahan organik (DBO) in vitro Inkubasi in vitro dilakukan dengan metode Tilley dan Terry (1963). Sampel yang telah disiapkan ditimbang sebanyak 0.5 gram dan dimasukkan ke dalam tabung fermentor berkapasitas 100 ml. Larutan medium buffer yang terdiri atas 2 gram trypticase, 400 ml air, 0.1 ml larutan mikromineral ditempatkan di dalam erlenmeyer dan diaduk hingga larut. Selanjutnya ditambahkan 200 ml larutan buffer, 200 ml larutan mikromineral, dan 1 ml resazurin dan 40 ml larutan pereduksi. Medium lalu ditempatkan ke dalam water bath pada suhu 39⁰ C sambil dialirkan gas CO2 dan diaduk dengan magnetic stirrer, hingga terjadi perubahan warna medium dari biru ke merah muda hingga menjadi bening tidak berwarna yang menandai medium telah tereduksi dengan sempurna. Selanjutnya 1 bagian rumen dicampur dengan 4 bagian medium di bawah aliran gas CO2 di dalam water bath sambil terus diaduk. Sebanyak 50 ml campuran medium diambil dan dimasukkan ke dalam masing-masing tabung fermentor yang telah berisi sampel dan 2 tabung fermentor yang tidak berisi sampel (blanko). Tabung fermentor ditutup dengan tutup karet berventilasi, dan diinkubasi secara anaerob menurut perlakuan, yaitu selama 0, 24 dan 48 jam dalam shaker water bath pada suhu 39⁰ C. Setelah inkubasi berakhir kultur ditetesi 2-3 tetes asam sulfat pekat, H2SO4 9M kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm. Supernatan diambil untuk analisis VFA, N-NH3, dan senyawa amida, sisanya disaring menggunakan kertas saring Whatman no. 41, lalu ditentukan kadar bahan kering dan bahan organiknya. Degradasi bahan kering (DBK) dan bahan organik (DBO) dihitung dengan persamaan : BK awal - (BK residu - BK blanko) DBK= ------------------------------------------- x 100% BK awal
DBO=
BO awal - (BO residu – BO blanko) ------------------------------------------- x 100% BO awal
Pengukuran pH Pengukuran pH dilakukan pada setiap akhir masa inkubasi dengan menggunakan pH meter.
28
Pengukuran VFA parsial Untuk analisis VFA, supernatan diambil sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke dalam tabung sampel yang bertutup. Ke dalam tabung tersebut ditambahkan 30 mg 5-sulphosalicylic acid (C6H3(OH)SO3H H2O) lalu dikocok. Kemudian disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit dan disaring dengan milipore hingga diperoleh cairan jernih. Sebanyak 1 µl cairan jernih diinjeksikan ke gas kromatografi (AOAC 1995). Sebelum injeksi sampel, terlebih dahulu diinjeksikan larutan VFA standar. Perhitungan konsentrasi asam lemak dilakukan dengan rumus: Tinggi sampel Tinggi internal standar dalam standar C = ------------------ x Konsentrasi standar x --------------------------------------------Tinggi standar Tinggi internal standar dalam sampel
Pengukuran VFA total Kadar VFA total ditentukan dengan metode destilasi uap (General Laboratory Procedure 1966). Sebanyak 5 ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung destilasi yang dipanaskan dengan uap air. Tabung segera ditutup rapat setelah ditambahkan 1 ml H2SO4 15%. Uap air panas akan mendesak VFA melewati tabung destilasi yang terkondensasi dan ditampung dengan erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N sampai mencapai volume sekitar 300 ml. Selanjutnya ditambahkan indikator penophtalein sebanyak 2 tetes dan dititrasi dengan HCl 0.5 N. Titrasi berakhir pada saat titik awal perubahan warna dari merah menjadi bening. Sebagai blanko, dilakukan juga titrasi terhadap 5 ml NaOH 0.5 N. Perhitungan kadar VFA dihitung dengan rumus: Konsentrasi VFA total = (b-s) x N HCl x 1000/5 dimana: b = volume titran blanko s = volume titran sampel Pengukuran N-NH3 Kadar N-NH3 ditentukan dengan teknik Microdifusi Conway (General Laboratory Procedure 1966). Sebanyak 1 ml supernatan diletakkan di sebelah kiri sekat cawan conway dan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh ditempatkan pada sekat sebelah kanan. Posisi cawan diletakkan sedemikian rupa sehingga keduanya tidak bercampur sebelum cawan ditutup rapat. Pada cawan kecil di bagian tengah diisi
29
dengan asam borat berindikator metil red dan brom kressol green sebanyak 1 ml. Kemudian cawan Conway ditutup rapat dengan tutup bervaselin, digoyang dengan perlahan hingga supernatan tercampur dengan larutan Na2CO3. Amonia yang dibebaskan dari reaksi antara kedua bahan tersebut, selanjutnya akan ditangkap oleh asam borat yang diperlihatkan dengan adanya perubahan warna. Setelah dibiarkan selama 24 jam dalam suhu kamar, amonium borat dititrasi dengan H2SO4 0.005 N sampai terjadi perubahan warna ke warna asal asam borat (merah muda). Volume titran dicatat, dan kadar N-NH3 dapat dihitung dengan rumus: N-NH3 = (ml H2SO4 x N H2SO4 x 1000) mM Pengukuran Produksi Gas Pengukuran produksi gas mengikuti prosedur Close dan Menke (1986) sebagai berikut: Syringe kapasitas 100 ml diisi dengan 0.2 g sampel, kemudian ditambahkan 30 ml cairan rumen yang telah dicampur dengan larutan buffer dengan perbandingan 1:2. Selanjutnya syringe diinkubasi dalam shaker waterbath Pada suhu 39⁰C. Pengamatan dilakukan pada 0, 12, dan 48 jam dengan mencatat volume gas yang terbentuk selama proses fermentasi. Pengukuran sintesis protein mikrob Sebanyak dua ml supernatan dimasukkan ke dalam tabung eppendorf, kemudian disentrifus dengan kecepatan 15 000 rpm pada suhu 4⁰C selama 30 menit. Endapan yang terbentuk dibilas dengan akuades selanjutnya disentrifus lagi pada kondisi yang sama. Selanjutnya, endapan disuspensikan dengan 2 ml NaOH 1 N, divortex lalu dipanaskan pada air bersuhu 60-70⁰C selama 10 menit. Analisis protein mikrob dilakukan menurut Lowry et al. (1951). Pembacaan absorbansi dilakukan pada 660 nm dan kadar protein sampel (mg/L) dapat dihitung berdasarkan persamaan regresi kurva standar. Perhitungan jumlah protozoa Jumlah protozoa total dihitung dengan menggunakan hemositometer (Ogimoto & Imai 1981). Sebanyak 0.5 ml cairan rumen dimasukkan ke dalam larutan MFS (Methylgreen Formalin-Saline), kemudian diteteskan pada
30
hemositometer dan jumlah protozoa dapat dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 kali. Efektivitas Suplementasi Amida Minyak Ikan pada Tikus sebagai Hewan Model Pascarumen Percobaan in vivo bertujuan untuk mempelajari efektivitas suplementasi amida minyak ikan, dengan menggunakan hewan coba tikus sebagai model pascarumen. Percobaan ini menggunakan 35 ekor tikus jantan strain Sprague Dawley, yang berumur 7 minggu dengan kisaran bobot badan 120-160 g, yang diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner Bogor. Tikus ditempatkan di kandang individu berupa bak plastik yang dilengkapi dengan panggung kasa , dasarnya beralas koran yang diganti setiap hari. Kandang dibersihkan dua kali seminggu. Ransum tikus diformulasi berdasarkan metode AOAC (1990) berupa ransum semi purified yang mengandung minyak jagung sebagai ransum standar, dengan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan menurut perlakuan (Tabel 7). Masa adaptasi dilakukan selama 7 hari dengan pemberian ransum standar. Tikus dibagi secara acak
ke dalam 5 perlakuan
dengan jumlah masing-masing perlakuan sebanyak 7 ekor. Ransum percobaan dan air minum diberikan secara ad libitum selama 6 minggu. Komposisi minyak ikan dan minyak jagung, tersaji pada Tabel 6 berikut. Tabel 6 Komposisi minyak ikan dan minyak jagung (%) Jenis Asam Lemak
Asam lemak
SFA
Miristat Palmitat Stearat Palmitoleat Oleat Linoleat γ-Linolenat α-Linolenat Arakidonat EPA DHA
MUFA PUFA
Minyak Ikan*
Minyak Jagung**
11.74 17.94 3.03 14.26 4.89 1.01 0.59 4.04 16.06 12.79
Keterangan : * Hasil Analisis Laboratorium Kimia Terpadu IPB (2010) ** www.scientificpsychic.com
11 2 28 58 1 -
31
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), dengan perlakuan sebagai berikut: A= Kontrol (sumber lemak 8% minyak jagung) B= Suplementasi 4,5% minyak ikan C= Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan D= Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan Tabel 7 Susunan ransum percobaan in vivo Bahan/Nutrien
Ransum A
B
C
D
E
Kasein
114
114
114
114
114
Minyak Jagung
78
33
33
33
33
Minyak ikan
-
45
30
15
-
Amida Minyak Ikan
-
-
15
30
45
45.2
45.2
45.2
45.2
45.2
Vitamin
10
10
10
10
10
CMC (Selulosa)
10
10
10
10
10
Maizena (Pati)
700
700
700
700
700
Air
42.8
42.8
42.8
42.8
42.8
Bahan Kering
87.66
87.88
85.91
86.31
86.28
Abu
3.95
4.11
4.79
4.48
4.21
Lemak
12.36
12.39
8.84
9.9
8.7
Protein
10.15
10.57
11.04
11.72
12.14
Serat kasar 0.27 0.32 0.62 0.42 Sumber: Hasil Analisis Laboratorium Biologi Hewan, PPSHB IPB (2011)
0.17
Komposisi Bahan (g/kg)
Multimineral
Komposisi Nutrien (%)
Pengambilan Data dan Sampel Data bobot badan tikus diperoleh dari penimbangan tikus setiap minggu. Sisa pakan ditimbang setiap hari, sedangkan feses dikoleksi selama 10 hari berturut-turut sebelum akhir pengamatan. Setelah 10 hari koleksi, feses setiap harinya dikomposit untuk analisis proksimat dan senyawa amida dan kolesterol.
32
Pada akhir percobaan, dilakukan pengambilan darah melalui jantung menggunakan alat suntik setelah tikus dibius dengan eter, kemudian darah dimasukkan ke dalam tabung yang berisi antikoagulan EDTA. Sampel darah dibagi menjadi dua, yaitu untuk analisis hematologi dan untuk analisis profil lemak darah. Tikus dibunuh, daging paha belakang diambil untuk analisis kadar lemak daging, komposisi asam lemak, dan kadar kolesterol daging. Metode Analisis In Vivo Pertambahan bobot badan Dihitung berdasarkan selisih bobot badan akhir dengan bobot badan awal dibagi lama waktu pengamatan. Penimbangan bobot badan tikus dilakukan setiap minggu. Konsumsi ransum Dihitung berdasarkan jumlah ransum yang disediakan dikalikan dengan kandungan bahan keringnya, dikurangi sisa ransum dikalikan dengan bahan kering sisa ransum tersebut. Konversi pakan Diperoleh berdasarkan jumlah konsumsi bahan kering pakan dibagi dengan kenaikan bobot badan per satuan waktu. Kecernaan zat makanan Dihitung berdasarkan selisih zat-zat makanan dari konsumsi ransum yang diukur dengan zat-zat makanan yang terkandung dalam feses, dibagi dengan zatzat makanan yang dikonsumsi, selama masa koleksi feses (10 hari). Pengukuran nilai hematologi darah. Pemeriksaan jumlah sel darah merah (eritrosit) menggunakan larutan pengencer Hayem kemudian dihitung menggunakan hemositometer Neubauer di bawah mikroskop dengan pembesaran 100x. Hal yang sama juga dilakukan untuk menghitung jumlah sel darah putih (leukosit) dengan larutan pengencer Turk. Diferensiasi leukosit dilakukan dengan sediaan apus darah yang diwarnai dengan pewarna Giemsa. Pengamatan dan penghitungan persentase jenis sel dilakukan menggunakan mikroskop. Kadar hematokrit ditentukan ke dalam tabung mikrohematokrit lalu disentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 11.500 rpm,
33
dan angka hematokrit dicatat (Sastradipraja et al., 1989). Pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dengan metode Cyanmethemoglobin (Merck, 1987). Pengukuran kadar kolesterol dan trigliserida serum Kolesterol serum ditentukan dengan metode CHOD-PAP (Cholesterol Oxidase Phenol Amino Phenazone), yang merupakan enzymatic photometric test. Prinsip pengukuran kolesterol dengan metode ini melibatkan enzim cholesterol esterase yang memecah ikatan ester kolesterol menjadi kolesterol dan asam lemak. Selanjutnya enzim cholesterol oksidase mengoksidasi kolesterol menjadi cholest-3-one dan hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida bereaksi dengan 4aminoantipyrine dan fenol dengan adanya enzim peroksidase membentuk pigmen quinoneimine sebagai indikator colorimetri. Spesimen yang digunakan adalah serum atau standar sebanyak 10 µl ditambah 1 ml reagensia, kemudian dikocok sampai homogen. Sebagai blanko digunakan air suling sebanyak 10 µl yang ditambah 1 ml reagensia. Selanjutnya diinkubasi selama 20 menit pada suhu 2025⁰ C, dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm dengan alat spektrofotometer. Konsentrasi kolesterol dapat dihitung dengan rumus:
Kolesterol (mg/dl) =
∆A sampel ------------- x kons. standar (mg/dl) ∆A standar
Prinsip penentuan kolesterol LDL berdasarkan pengendapan LDL oleh heparin pada titik isoelektriknya (pH 5,04). Setelah disentrifus, HDL dan VLDL tetap tinggal dalam supernatan, sehingga selanjutnya dapat dilakukan pengukuran dengan metode enzimatis. Serum sebanyak 100 µl dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, ditambahkan reagensia pengendap sebanyak 1 ml dan dikocok hingga homogen, dibiarkan selama 10 menit pada suhu 15-25⁰C dan disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan penentuan konsentrasi kolesterol dalam supernatan, dengan memasukkan supernatan atau standar sebanyak 50 µl ke dalam tabung dan ditambahkan 1 ml reagensia. Campuran dikocok hingga homogen dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 20-25⁰C, dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm dengan alat
34
spektrofotometer. Sebagai blanko digunakan air suling sebanyak 50 µl yang ditambah 1 ml reagensia. Konsentrasi kolesterol dalam supernatan dapat dihitung dengan rumus: A sampel Kolesterol (mg/dl) = ------------- x kons. Standar (mg/dl) A standar Kolesterol-LDL = Kolesterol total – kolesterol dalam supernatan Prinsip penentuan kolesterol HDL didasarkan pada pengendapan kolesterol LDL, VLDL dan kilomikron dengan penambahan phosphotungstic acid dengan adanya ion magnesium. Setelah disentrifus, konsentrasi kolesterol dalam fraksi HDL yang berada dalam supernatan dapat diukur. Serum sebanyak 500 µl dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse, ditambahkan 1 ml reagen pengendap, kemudian dikocok sampai homogen. Campuran dibiarkan selama 10 menit pada suhu kamar, kemudian disentrifus selama 2 menit dengan kecepatan 12.000 rpm. Supernatan yang jernih dipisahkan untuk dilakukan penentuan kadar kolesterol dengan metode CHOD-PAP. Supernatan atau standar sebanyak 100 µl selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung, ditambahkan 1 ml reagensia dan dikocok hingga homogen. Campuran diinkubasi selama 10 menit pada suhu 20-25⁰C, dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm dengan alat spektrofotometer. Sebagai blanko digunakan air suling sebanyak 100 µl yang ditambah 1 ml reagensia. Konsentrasi kolesterol-HDL dalam supernatan adalah: A sampel Kolesterol-HDL (mg/dl) = ------------- x kons. Standar (mg/dl) A standar Trigliserida serum ditentukan dengan colorimetric enzymatic test menggunakan gliserol-3-fosfat oksidase (GPO). Prinsip penentuan trigliserida melibatkan perombakan trigliserida secara enzimatis oleh lipoprotein lipase, menghasilkan gliserol dan asam lemak. Enzim gliserokinase mengubah gliserol dan ATP menjadi gliserol-3-fosfat dan ADP, yang selanjutnya dioksidasi oleh enzim gliserol-3-fosfat oksidase menjadi dihidroksiaseton fosfat dan hidrogen peroksida. Hidrogen peroksida bereaksi dengan 4-aminoantipyrine dan 4-
35
chlorophenol
dengan
adanya
enzim
peroksidase
membentuk
pigmen
quinoneimine sebagai indikator colorimetri. Spesimen yang digunakan adalah serum atau standar sebanyak 10 µl ditambah 1 ml reagensia, kemudian dikocok sampai homogen. Sebagai blanko digunakan air suling sebanyak 10 µl yang ditambah 1 ml reagen. Selanjutnya diinkubasi selama 20 menit pada suhu 20-25⁰ C, dan dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm dengan alat spektrofotometer. Konsentrasi trigliserida dapat dihitung dengan rumus:
Trigliserida (mg/dl) =
∆A sampel ------------- x kons. Standar (mg/dl) ∆A standar
Untuk mengoreksi gliserol bebas, konsentrasi trigliserida dari perhitungan di atas dikurangi 10 mg/dl. Komposisi asam lemak daging Lemak daging diekstraksi dengan petroleum eter dengan metode soxhlet. Komposisi asam lemak dianalisis sesuai dengan AOAC (1995). Sampel hasil ekstraksi sebanyak 100 mg ditambah 4 ml NaOH 0.5 N di bawah gas nitrogen, dikocok, tutup rapat dan dipanaskan pada suhu 100⁰C selama 5 menit. Kemudian 5 ml BF3 - metanol (boron triflouride 7% dalam metanol). Kemudian ditutup rapat, dikocok dan dipanaskan kembali pada suhu 100⁰C selama 45 menit. Ditambahkan 5 ml heksan dan diinkubasi selama 5 menit, ditutup dan dikocok selama 30 detik kemudian ditambahkan 5 ml larutan NaCl jenuh. Ditutup dan dikocok kencang selama 10 menit, didiamkan 10 menit, ditempatkan di rotary shaker selama 10 menit kemudian disentrifus selama 10 menit. Fase organik (heksan) diambil dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat, kemudian didiamkan selama 10 menit. Heksan dipekatkan, lalu diinjeksikan 2 µl ke dalam Gas Chromatography. Kolesterol daging dan feses Sampel sebanyak 0.1 gram dimasukkan ke dalam tabung sentrifus ditambah dengan 8 ml alkohol : heksan (3:1), diaduk sampai homogen. Kemudian pengaduk dibilas dengan larutan alkohol : heksan (3:1), dan disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Supernatan dituang ke dalam beaker glass 100
36
ml, dan diuapkan di penangas air. Residu diuapkan dengan kloroform sedikit demi sedikit, sambil dituangkan ke dalam tabung berskala sampai volume 5 ml, ditambahkan asam asetat anhidrat, lalu ditambahkan 0.2 ml H2SO4 pekat (p.a). Campuran dikocok dan dibiarkan di tempat gelap selama 15 menit. Kemudian absorbansinya dibaca pada gelombang 420 nm dengan standar yang digunakan 0.4 mg/ml. Kadar kolesterol daging dapat dihitung dengan rumus : (A sampel x konsentrasi sampel)/bobot sampel Kadar kolesterol = --------------------------------------A standar
Analisis Data Data yang diperoleh pada percobaan in vitro dianalisis dengan sidik ragam (Analysis of Variance), sedangkan data yang diperoleh pada percobaan in vivo dianalisis dengan sidik peragam (Analysis of Covariance). Analisis dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil atau Least Significant Difference (LSD) untuk mengetahui perbedaan antarperlakuan (Steel & Torrie 1991).
37
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan analisis yang dilakukan di Laboratorium Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) dan Laboratorium Kimia Terpadu Institut Pertanian Bogor, karakteristik minyak ikan disajikan pada Tabel 8 berikut. Tabel 8 Karakteristik Minyak Ikan untuk Amidasi Jenis Analisis
Hasil
Bilangan iod Bilangan penyabunan (mg KOH/g) Bilangan asam (mg KOH/g) Bobot jenis Jenis asam lemak Miristat Palmitat Palmitoleat Stearat Oleat Linoleat g-Linolenat Arakidonat EPA DHA
158.09 201.80 1.40 0.89 Konsentrasi (%) 11.74 17.94 14.26 3.03 4.89 1.01 0.59 4.04 16.06 12.79
Produk Amida Minyak Ikan Proses amidasi menggunakan n-butilamina mengikuti metode Feairheller et al. (1994). Dari spektra hasil analisis menggunakan spektroskopi inframerah (IR) didapat gugus amida asam lemak sebagai hasil reaksi minyak ikan dan butilamina. Pada amida primer, vibrasi N-H berada pada angka gelombang 34003520 cm-1. Dari hasil uji spektrum IR sampel, maka diduga gugus N-H (ikatan amida I) berada pada angka gelombang 3299.35 cm-1 (Gambar 5).
38
Gambar 5 Spektra IR hasil reaksi minyak ikan dan butilamina Amida asam lemak merupakan senyawa yang mempunyai reaktivitas yang rendah dan stabilitas panas yang tinggi. Sifat kimia dari senyawa ini bergantung pada panjang rantai hidrokarbon dan penggantian atom hidrogen pada atom N (Bilyk et al. 1992). Karakteristik dari produk yang dianalisis Laboratorium Balai Besar Pasca Panen dan Laboratorium Biologi Hewan PPSHB IPB tersaji pada Tabel 9. Tabel 9 Karakteristik Amida Minyak Ikan Jenis Analisis
Hasil
Bilangan Iod
104.69
Bilangan Penyabunan (mg KOH/g)
46.92
Bilangan Asam (mg KOH/g)
5.38
Bobot Jenis
0.81
Kadar Lemak (%)
93.43
Kadar N (%)
3.39
Pengaruh amidasi menurunkan bilangan iod karena pengaruh oksidasi termal selama proses oksidasi memutuskan ikatan rangkap pada minyak, sehingga jumlahnya berkurang. Namun, penurunan tersebut relatif kecil dibandingkan
39
dengan bahan bakunya (158 vs 104). Hal ini karena suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi (780C). Bilangan penyabunan turun tajam (201 vs 49) karena bahanbahan tersabunkan sisa amidasi terbuang setelah proses pencucian berkali-kali. Proses oksidasi juga meningkatkan bilangan asam, karena terputusnya ester asam lemak menghasilkan asam-asam lemak bebas. Kadar lemak pada produk yang dihasilkan menurun karena meningkatnya proporsi air dan kadar N pada proses amidasi. Bilyk et al. (1992) melakukan prosedur amidasi pada berbagai sumber lemak menggunakan butilamina dengan perbandingan rasio molar 1:8. Meskipun bilangan iod dari berbagai sumber lemak berbeda, laju reaksi relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa ikatan rangkap terujung tidak terlibat dalam proses amidasi. Fenomena ini terlihat pada hasil identifikasi senyawa amida yang terbentuk menggunakan GC-MS disajikan pada Tabel 10, yang menunjukkan tingginya luas area senyawa metil-eikosa-5,8,11,14,17-pentaenoat yang tidak teramidasi. Tabel 10 Komposisi kimia utama hasil amidasi minyak ikan No
Komponen
Luas Area (%)
1
Decanamide (kaprinamida)
2.41
2
Dodecanamide (lauramida)
4.85
3
Octadecanamide (stearamida)
34.93
4
9-Octadecenamide (oleamida)
12.48
5
Morinamide
3.49
6
Methyl-eicosa-5,8,11,14,17-pentaenoat
29.3
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Kesehatan Daerah DKI Jakarta (2010)
Proses amidasi minyak ikan dengan menggunakan urea juga telah dilakukan. Hasil spektrum IR memperlihatkan adanya gugus amida (N-H) yang diduga merupakan urea yang tidak larut. Hasil amidasi juga tidak mencirikan produk amida yang bersifat semi solid, dengan konsistensi masih berupa minyak (Gambar 6).
40
Gambar 6 Spektra IR hasil reaksi minyak ikan dan urea Untuk meningkatkan kelarutan urea dalam minyak ikan, dilakukan esterifikasi yang menghasilkan etil ester minyak ikan yang bersifat lebih polar. Proses amidasi yang menggunakan etil ester minyak ikan dan urea tidak berhasil membentuk gugus amida (N-H) (Gambar 7), hasilnya dapat dibandingkan dengan minyak ikan tanpa perlakuan (Gambar 8).
Gambar 7 Spektra IR hasil reaksi etil ester minyak ikan dan urea
41
Gambar 8 Spektra IR minyak ikan Kegagalan proses amidasi menggunakan urea kemungkinan karena suhu yang digunakan di bawah 100⁰C karena keterbatasan kemampuan reaktor. Jenkins dan Adams (2002) mereaksikan asam linoleat dan urea dengan pemanasan pada suhu 190⁰C selama 4 jam, dan menghasilkan produk yang solid dengan konsistensi seperti lilin.
Uji Ketahanan Amida Minyak Ikan secara In Vitro Uji ketahanan amida minyak ikan
(AMI) secara in vitro bertujuan
mengevaluasi ketahan AMI dalam sistem rumen, dan pengaruhnya pada fermentasi dan lingungan rumen. Kisaran pH rumen yang optimal untuk proses selulolisis, proteolisis, dan deaminasi berkisar antara 6-7. Selulolisis terhambat total pada pH di bawah 6, dan turunnya pH mengakibatkan turunnya kecernaan bahan kering. Penurunan nilai pH berkorelasi dengan meningkatnya N mikrob, serta meningkatnya konsentrasi VFA total dan parsial (Alltech 2012). Status pH rumen in vitro akibat perlakuan berada pada tingkat optimal, berkisar antara 6.71 sampai 6.96 (Tabel 11). Hasil sidik ragam memperlihatkan tidak ada perbedaan nyata pada nilai pH antar perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian amida minyak ikan (AMI) tidak mengganggu keseimbangan lingkungan rumen, sehingga proses fermentasi masih dapat berjalan dengan baik.
42
Tabel 11 Rataan pH cairan rumen secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan Perlakuan R0 R1 R2 R3
Waktu Inkubasi 0 jam 24 jam 6.96 ± 0.04 6.94 ± 0.06 6.90 ± 0.09 6.94 ± 0.11
6.91 ± 0.03 6.85 ± 0.04 6.85 ± 0.06 6.85 ± 0.05
48 jam 6.78 ± 0.09 6.80 ± 0.02 6.76± 0.09 6.71 ± 0.10
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). R0 = Substrat hijauan jagung R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
Meskipun berbeda tidak nyata antarperlakuan, penambahan AMI cenderung menurunkan pH setelah inkubasi 48 jam dibandingkan dengan perlakuan minyak ikan (MI). Hasil ini menunjukkan penambahan AMI dapat mengurangi gangguan fermentasi rumen akibat pemberian MI, sehingga produk total asam yang dihasilkan lebih banyak. Martin dan Jenkins (2002) melaporkan pada pH 5, distribusi asam lemak rantai panjang atau long chain fatty acids (LCFA) pada kultur pH rendah sama dengan proporsi LCFA pada medium, menunjukkan terhambatnya biohidrogenasi oleh bakteri rumen. Hal ini karena bakteri utama yang terlibat pada proses biohidrogenasi adalah bakteri selulolitik yang peka terhadap kondisi asam (pH<6) dalam rumen. Populasi protozoa mencapai setengah dari biomassa mikrob rumen, dan sekitar tiga perempat asam lemak mikrob dalam rumen terdapat pada protozoa (Jenkins et al. 2008). Pemberian AMI pada inkubasi 24 jam menurunkan populasi protozoa secara nyata (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan kontrol, namun berbeda tidak nyata dengan perlakuan MI. Pada inkubasi 0 dan 24 jam, jumlah protozoa berbeda tidak nyata antarperlakuan, meskipun perlakuan AMI pada inkubasi 24 jam menunjukkan jumlah protozoa yang rendah (Tabel 12). Penurunan jumlah protoza pada pemberian AMI, selain lemak merupakan agen defaunasi bagi protozoa juga kemungkinan karena sifat racun dari amida.
43
Tabel 12 Rataan populasi protozoa/ml sampel rumen (105) secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan Perlakuan
0 jam R0 R1 R2 R3
4.40 ± 2.88 4.93± 3.33 2.93± 2.20 5.57 ± 6.10
Waktu Inkubasi 12 jam 3.87a ± 2.05 2.13ab ± 1.97 1.07b ± 1.22 1.20b ± 1.39
24 jam 1.60 ± 1.44 1.20± 1.44 0.27 ± 0.46 0.67 ± 0.23
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). R0 = Substrat hijauan jagung R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
Pakan tinggi lemak merupakan racun bagi protozoa rumen, karena keterbatasan protozoa dalam memetabolisme asam lemak. Populasi protozoa semakin menurun seiring banyaknya ikatan rangkap yang terkandung di dalam asam lemak tidak jenuh berantai panjang (Hristov et al. 2004). Minyak yang mengandung konsentrasi C:18 yang tinggi secara konsisten menurunkan jumlah protozoa pada sapi dan domba. Data in vitro menunjukkan hilangnya masingmasing 48, 88, dan 100% protozoa pada pemberian 0.25, 0.5, dan 1% asam linoleat pada media. Pada pemberian asam oleat, protozoa menurun masingmasing 26, 45, dan 78% pada pemberian 0.25, 0.5, dan 1% pada media inkubasi (Hristov et al. 2005). Amonia (N-NH3) merupakan produk utama dari proses deaminasi asam amino dan kecukupannya dalam rumen untuk memasok sebagian besar N untuk pertumbuhan mikrob merupakan prioritas utama dalam mengoptimalkan fermentasi hijauan (Wallace & Cotta 1988; Leng 1990). Tabel 13 memperlihatkan konsentrasi amonia setelah inkubasi 6 jam, yang berbeda tidak nyata pada semua perlakuan dan berada pada kisaran optimum yaitu 6-30 mg/dL atau 4-21 mM (Yuan et al. 2010). Hristov et al. (2004) melaporkan efek hambat yang kuat dari asam lemak tak jenuh ganda atau polyunsaturated fatty acids (PUFA) seperti asam linoleat dan asam linolenat terhadap populasi dan aktivitas protozoa, kurang efektif dalam menurunkan konsentrasi amonia. Asam lemak ini tidak menghambat aktivitas proteolitik bakteri, tetapi menurunkan inkorporasi N pada protein protozoa.
44
Namun demikian, konsentrasi amonia yang tetap tinggi pada suplementasi minyak dapat saja karena turunnya kebutuhan amonia untuk mendukung sintesis protein mikrob (Kucuk et al. 2004). Fermentasi dalam rumen menghasilkan asam lemak terbang atau volatile fatty acids (VFA) sebagai produk utama untuk menyediakan energi dan karbon untuk pertumbuhan dan mempertahankan kehidupan komunitas mikrob. Jumlah VFA yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh kecernaan serta kualitas ransum yang difermentasi (Hvelplund 1991; Baldwin 1995). Konsentrasi VFA total setelah inkubasi 6 jam berbeda tidak nyata antarperlakuan, meskipun perlakuan dengan minyak ikan memperlihatkan jumlah VFA yang paling rendah, yaitu 119,52 mM (Tabel 12). VFA yang dihasilkan pada semua perlakuan berada pada kisaran optimum bagi pertumbuhan mikrob, yaitu 80-180mM (Sutardi 1979). Tabel 13 Rataan N-NH3, VFA total, produksi gas, dan protein mikrob secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan Peubah N-NH3 (mM) VFA total (mM) Produksi gas (ml) Protein mikrob (mg/L)
Perlakuan R0
R1
R2
R3
16.42 ± 3.88 152.73 ± 26.26 46.16a ± 8.30 517.10 ± 39.51
16.80 ± 4.09 119.52 ± 20.18 33.70b ± 4.93 509.10± 38.82
17.09 ± 4.10 153.40 ± 39.99 43.98a ± 9.12 500.64 ± 57.78
16.86 ± 4.6 130.30 ± 32.53 43.69a ± 4.53 511.38 ± 32.17
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). R0 = Substrat hijauan jagung R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
Hasil penelitian ini mirip laporan Jenkins et al. (1996) yang mendapatkan konsentrasi VFA total cenderung menurun pada pemberian minyak kedelai, dibandingkan dengan pemberian butylsoyamide (amida minyak kedelai). Hal ini mengindikasikan minyak kedelai mengganggu fermentasi rumen. Butylsoyamide tidak mempengaruhi VFA rumen karena sifatnya yang inert dalam rumen. Konversi trigliserida minyak kedelai menjadi amida asam lemak dapat mengurangi pengaruh negatif minyak pada fermentasi rumen.
45
Konsentrasi VFA parsial setelah inkubasi 24 jam berbeda tidak nyata antarperlakuan, namun ada kecenderungan turunnya rasio asetat:propionat secara konsisten pada pemberian MI dan AMI, dibandingkan dengan kontrol (Tabel 14). Turunnya rasio asetat:propionat mencerminkan terganggunya fermentasi serat akibat sifat antibakteri asam lemak, dan terjadinya degradasi sebagian pada amida oleh bakteri rumen, sehingga membebaskan asam lemak yang bersifat antibakteri (Jenkins 1994). Tabel 14 Rataan VFA parsial (mM) secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan Peubah
Perlakuan
Asetat (mM) Propionat (mM) Isobutirat (mM) n-Butirat (mM) Isovalerat (mM) Rasio A:P
R0
R1
R2
R3
32.50 ± 3.98 11.52 ± 1.55 1.54 ± 0.17 4.80 ± 0.72 1.48 ± 0.58 2.85 ± 0.40
40.84 ± 11.06 15.73 ± 4.23 2.43 ± 0.23 6.63 ± 1.80 2.21 ± 0.28 2.68 ± 0.92
27.96± 5.38 11.79 ± 0.66 1.85 ± 0.80 3.32 ± 2.00 1.61 ± 0.83 2.36 ± 0.32
36.37 ± 25.40 15.95 ± 11.81 1.84 ± 0.52 6.74 ± 5.69 1.97 ± 0.51 2.32 ± 0.09
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). R0 = Substrat hijauan jagung R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
Suplementasi AMI cenderung menurunkan konsentrasi isobutirat dan isovalerat dibandingkan dengan pemberian MI. Isobutirat dan isovalerat merupakan asam lemak rantai cabang atau branched chain fatty acids (BCFA) dalam rumen yang berasal dari pemecahan asam amino rantai cabang atau branched
chain
amino
acids
(BCAA).
Turunnya
konsentrasi
BCFA
mengindikasikan terhambatnya katabolisme asam amino (Hristov et al. 2004). Penurunan populasi protozoa pada suplementasi AMI diduga mengakibatkan berubahnya proporsi VFA yang secara tipikal berhubungan dengan turunnya jumlah protozoa dalam rumen. Protozoa rumen terutama jenis Ciliata mempunyai kapasitas proteolitik yang kuat. Penurunan populasi protozoa menurunkan proteolisis bakteri oleh protozoa yang berdampak pada penurunan konsentrasi BCFA. Pada pemberian minyak, proporsi molar propionat diharapkan meningkat dari konversi gliserol yang dipasok dari hasil hidrolisis triasilgliserol menjadi
46
propionat (Kucuk et al. 2004; Hristov et al. 2005). Hal ini terlihat pada suplementasi MI dan AMI yang cenderung meningkatkan konsentrasi propionat dibandingkan dengan kontrol. Menurut Oldick & Firkins (2000), defaunasi menurunkan konsentrasi asam butirat dan meningkatkan konsentrasi propionat, yang berhubungan dengan turunnya populasi protozoa rumen pada pemberian lemak. Turunnya proporsi asetat dan kecernaan serat mengindikasikan turunnya pertumbuhan atau aktivitas bakteri selulolitik. LCFA bersifat toksik bagi beberapa jenis bakteri selulolitik dalam rumen. Bakteri penghasil asetat lebih rentan terhadap pengaruh toksik dari LCFA dibandingkan dengan bakteri penghasil propionat (Fotouhi & Jenkins 1992a; Ramos et al. 2009). Pencernaan anaerobik dari selulosa, xylan, pati, pektin, dan gula oleh mikrob rumen menghasilkan VFA, CO2, CH4, dan sejumlah kecil H2. Baik pada in vivo maupun in vitro, VFA bereaksi dengan bufer bikarbonat melepaskan CO2, sehingga produksi gas berjalan secara simultan dan seiring dengan pencernaan serat (Schofield et al. 1994). Total produksi gas selama
inkubasi 48 jam berbeda nyata (P<0,05)
antarperlakuan. Perlakuan minyak ikan menghasilkan produksi gas terendah, yaitu 33,70 ml (Tabel 12). Hal ini menunjukkan adanya gangguan fermentasi pakan dalam rumen akibat pemberian minyak. Hal ini sejalan dengan rendahnya VFA total yang dihasilkan pada perlakuan tersebut. Turunnya produksi gas juga dapat disebabkan penggunaan H2 oleh bakteri untuk biohidrogenasi PUFA dalam MI. Biohidrogenasi lemak dalam rumen dapat mengurangi penggunaan H2 untuk produksi metan yang berimplikasi pada turunnya produksi gas (Mohammed et al. 2004). Terdapat hubungan yang kuat antara laju kehilangan bahan organik secara in vitro dan produksi gas. Kuantitas gas yang diproduksi selama fermentasi mencerminkan jumlah substrat yang dicerna dan jalur metabolik mikrob. Asetat dan butirat yang dihasilkan selama fermentasi, berhubungan dengan pelepasan CO2 langsung dari metabolisme mikrob. Laju kecernaan dan sintesis mikrob dapat mempengaruhi keseimbangan produk akhir metabolis antara gas dan VFA (Doane et al. 1997).
47
Protein mikrob mempunyai keseimbangan asam amino yang baik, sehingga sintesisnya dalam rumen perlu dioptimalkan. Nilai dari efesiensi sintesis mikrob ditunjukkan sebagai gram N mikrob/kilogram bahan organik yang tercerna dalam rumen (Ramos et al. 2009). Rataan sintesis protein mikrob setelah inkubasi 48 jam tidak berbeda nyata antarperlakuan (Tabel 13). Hal ini seiring dengan konsentrasi amonia yang merupakan sumber N bagi pertumbuhan bakteri, bahkan 80% bakteri dapat tumbuh dengan amonia sebagai satu-satunya sumber N. Ketersediaan VFA dan amonia yang cukup dapat meningkatkan
sintesis
protein
mikrob.
Turunnya
konsentrasi
amonia
menunjukkan penurunan asupan N atau turunnya degradasi protein. (Baldwin 1995; Ramos et al. 2009 ). Kim
et
al.
(2007)
melaporkan
pemberian
PUFA
menghambat
pertumbuhan protozoa rumen. Reduksi protozoa rumen diharapkan meningkatkan proliferasi bakteri, sehingga pasokan N bakteri pascarumen meningkat pula. Hasil penelitian tidak menunjukkan peningkatan sintesis protein mikrob, kemungkinan karena percobaan dilakukan secara in vitro sehingga bakteri terakumulasi baik yang masih hidup maupun yang telah lisis. Selain itu, populasi bakteri bersifat dinamis, jika satu jenis bakteri dihambat pertumbuhannya maka bakteri jenis lain akan berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa, meskipun pemberian AMI berdampak negatif terhadap populasi protozoa, tetapi relatif tidak berpengaruh pada populasi bakteri. Rataan degradasi bahan organik (DBO) pada perlakuan MI dan AMI berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan kontrol pada inkubasi 24 dan 48 jam. Rataan degradasi bahan kering (DBK) pada perlakuan MI dan AMI juga berbeda nyata (P<0,05) dibanding kontrol pada semua masa inkubasi (Tabel 15). Hal ini menunjukkan lemak berpengaruh negatif pada kecernaan pakan. Penambahan lemak dalam pakan ruminansia dapat mengganggu fermentasi dalam rumen, sehingga menyebabkan menurunnya kecernaan energi dari sumber bukan lemak. Kecernaan karbohidrat struktural dalam rumen dapat menurun 50% atau lebih dengan penambahan lemak kurang dari 10%. Penurunan kecernaan ini disebabkan lemak yang melapisi partikel pakan, sehingga menghambat pelekatan enzim mikrob (Jenkins 1993).
48
Tabel 15 Rataan DBO (%) dan DBK (%) secara in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan Perlakuan 0 jam R0 R1 R2 R3
6.90a ± 2.20 2.15b ± 1.72 4.82ab ± 2.82 3.79b ± 1.58
R0 R1 R2 R3
11.29a ± 4.54 2.41b ± 1.37 4.45b ± 1.05 5.05b ± 0.75
Waktu Inkubasi 24 jam DBO (%) 21.14a ± 1.15 9.29b ± 0.93 9.69b ± 2.10 11.93b ± 4.32 DBK (%) 19.71a ± 1.31 8.77b ± 0.55 9.87b ± 2.03 11.69b ± 4.17
48 jam 35.23a ± 4.40 22.25b ± 3.14 24.77b ± 8.33 23.31b ± 6.81 32.68a ± 3.36 21.67b ± 3.22 23.55b ± 8.45 22.78b ± 6.83
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). R0 = Substrat hijauan jagung R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
Jenkins (1993) juga menambahkan, pengaruh yang beragam dari sumber lemak pada fermentasi disebabkan perbedaan struktur lipid. Salah satu faktor adalah derajat ketidakjenuhan, karena asam lemak tak jenuh atau unsaturated fatty acids (UFA) menghambat fermentasi lebih besar daripada asam lemak jenuh atau saturated fatty acids (SFA). Kelompok karboksil bebas pada lemak yang tidak terlindungi tampaknya merupakan penghambat yang penting pada fermentasi rumen. Terhambatnya fermentasi rumen pada pemberian MI yang ditandai dengan turunnya DBO dan DBK secara nyata (P<0.05) dibandingkan dengan kontrol, menunjukkan sifat antimikrob lipid. Sifat antimikrob lipid pada rumen mirip dengan pengaruh sitotoksik asam lemak pada fungsi membran sel eukarotik. LCFA melekat pada lipid bilayers pada membran biologis karena sifat hidrofobik dan ampifiliknya. Lipid dalam rumen menghambat fermentasi dengan cara memasuki membran plasma mikrob dan mengganggu fungsinya (Jenkins 1993). Suplementasi AMI juga menurunkan DBO dan DBK secara nyata (P<0.05) ) dibandingkan dengan kontrol. Terhambatnya fermentasi rumen pada pemberian AMI dapat disebabkan oleh pemecahan amida oleh bakteri rumen
49
yang membebaskan asam lemak yang bersifat antimikrob, atau sifat antimikrob secara langsung dari amida sendiri. Hasil serupa juga dilaporkan Jenkins (1997) pada pemberian hydroxyethylsoyamide (HESA) yang mengakibatkan turunnya kecernaan nutrien pada domba. Menurunnya populasi protozoa pada pemberian MI dan AMI berdampak pada penurunan kecernaan serat, karena protozoa terlibat dalam sepertiga aktivitas selulolitik rumen (Hristov et al. 2005). Meskipun berbeda tidak nyata, pemberian AMI cenderung meningkatkan DBO dan DBK dibandingkan dengan pemberian MI. Jenkins et al. (1996) melaporkan proteksi asam lemak dengan ikatan amida dapat mencegah gangguan fermentasi rumen yang sering terjadi bila UFA ditambahkan ke dalam pakan ruminansia.
Substitusi kelompok karboksil asam lemak dengan kelompok
fungsional yang lain, seperti alkohol dan aldehid dapat menekan pengaruh negatif pada fermentasi in vivo dan in vitro. Dugaan kelompok karboksil bebas diperlukan untuk mengganggu fungsi membran, dapat dijelaskan dengan fakta penambahan lemak dalam bentuk trigliserida, sabun kalsium, dan amida menyebabkan berkurangnya gangguan fermentasi rumen (Jenkins 1993). Biohidrogenasi UFA oleh mikrob rumen mengurangi aliran UFA ke duodenum, sehingga pemberian minyak kaya UFA untuk ruminansia hanya sedikit meningkatkan ketidakjenuhan jaringan tubuh, bahkan mengganggu fermentasi rumen dan kecernaan serat. Perlindungan lipid terhadap biohidrogenasi mikroorganisme rumen telah dimulai dengan menggunakan formaldehida. Teknik ini berhasil melindungi sejumlah besar PUFA dari degradasi rumen. Penggunaan formaldehida saat ini kurang populer karena meninggalkan residu yang membahayakan kesehatan. Penggunaan garam kalsium dalam melindungi asam lemak dari biohidrogenasi rumen juga populer, terutama pada minyak sawit. Perlindungan yang lebih mutakhir dalam bentuk ikatan amida, yang merupakan hasil reaksi antara UFA dan amina primer yang tahan terhadap biohidrogenasi dan mengurangi gangguan fermentasi rumen (Jenkins et al. 1996; Chilliard et al. 2000). Pada Tabel 16 terlihat bahwa degradasi amida setelah inkubasi 24 jam pada penambahan 5% amida sebesar 30%, sedangkan pada penambahan 10% amida turun menjadi 13%. Jenkins dan Adams (2002) mendapatkan bahwa
50
meskipun perlindungannya belum sempurna, ternyata linolamida dapat bertahan dari biohidrogenasi dalam rumen jauh lebih baik dari asam linoleat. Pada suplementasi linolamida, konsentrasi asam linoleat masih tetap tinggi pada kultur setelah inkubasi selama 24 dan 48 jam, dan dalam duodenum dibandingkan dengan konsentrasi asam linoleat pada suplementasi asam linoleat. Amida tahan terhadap biohidrogenasi hanya bila ikatan amida berbentuk utuh, karena kelompok karboksil bebas dibutuhkan untuk aktivitas biohidrogenasi oleh enzim mikrob. Senyawa AMI dalam kultur dianalisis pada inkubasi 0 dan 24 jam. Hasil pengukuran tidak dianalisis secara statistik, disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Senyawa amida (%) pada kultur in vitro pada perlakuan penambahan minyak ikan dan amida minyak ikan Waktu Inkubasi 0 jam 24 jam
R0 0 8.16
Perlakuan R1 R2 0 72.3 0 50.72
R3 75.55 65.56
Keterangan: R0 = Substrat hijauan jagung R1= R0 yang mengandung 10% minyak ikan R2 = R0 yang mengandung 5% minyak ikan + 5% amida minyak ikan R3 = R0 yang mengandung 10% amida minyak ikan
Demeyer dan Doreau (1999) melaporkan pemberian lemak dalam bentuk garam kalsium bersifat inert dalam rumen. Meskipun tidak mempengaruhi metabolisme mikrob dalam rumen, garam kalsium mengalami hidrogenasi bila kandungan asam lemaknya tidak jenuh dan pH rumen rendah. Kedua faktor tersebut meningkatkan disosiasi garam kalsium. Lundy et al. (2004) membandingkan efektivitas garam kalsium dan amida terhadap biohidrogenasi rumen mendapatkan biohidrogenasi asam oleat lebih rendah pada amida daripada garam kalsium. Namun demikian, penggunaan amida tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan garam kalsium dalam mengurangi biohidrogenasi asam linoleat. Hal ini diduga karena ikatan amida kurang stabil pada PUFA dibandingkan asam lemak tak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA). Penelitian ini tidak berhasil mengukur asam lemak yang terkandung dalam kultur secara kuantitatif dengan menggunakan GC-FID. Kandungan senyawa
51
amida dideteksi secara kualitatif menggunakan
GC-MS. Pada perlakuan kontrol
(tanpa sumber minyak), ternyata setelah inkubasi 24 jam terdeteksi senyawa amida. Hal ini diduga karena terjadi kontaminasi, baik pada waktu penanganan ataupun analisis sampel.
Uji Efektivitas Amida Pascarumen Uji efektivitas amida pascarumen menggunakan tikus sebagai hewan model pascarumen. Hal ini karena pencernaan pascarumen mempunyai kemiripan dengan pencernaan monogastrik pada nonruminansia. Nilai hematologi darah Eritrosit merupakan bagian sel darah yang telah berdiferensiasi jauh dan mempunyai fungsi khusus untuk pengangkutan oksigen. Pembentukan sel darah merah berlangsung dalam sumsum tulang, yang dikendalikan oleh mekanisme umpan balik negatif terhadap jumlah oksigen yang mencapai jaringan melalui darah. Eritrosit mengandung hemoglobin (Hb), sejenis protein pengikat dan pembawa oksigen yang mengandung besi. Persentase eritrosit di dalam 100 ml darah total dinyatakan sebagai hematokrit (Leeson et al. 1990; Campbell et al. 2004). Tabel 17 menunjukkan jumlah eritrosit pada semua kelompok perlakuan berbeda tidak nyata dan masih berada dalam kisaran normal, yaitu 7x1069,7x106/mm3 (Ringler & Dabich 1979). Kadar Hb antarperlakuan juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi pada perlakuan D dan E, kadar Hb berada di bawah kisaran normal yaitu 11.4-19.2 g/dL. Pada perlakuan D, kadar Hb adalah 10.94 g/dL dan nilai hematokrit adalah 32.92% paling rendah di antara semua perlakuan. Nilai hematokrit yang rendah sangat dipengaruhi oleh kadar Hb yang rendah, karena nilai hematokrit kira-kira tiga kali nilai Hb. Tikus yang digunakan pada percobaan ini mempunyai nilai hematokrit yang lebih rendah dari kisaran normal, yaitu 40.5-53% (Ringler & Dabich 1979). Ada beberapa kemungkinan turunnya kadar Hb pada perlakuan D dan E. Kemungkinan pertama sifat toksik dari amida yang merusak membran plasma eritrosit, sehingga hemoglobin keluar dari sel ke dalam plasma yang disebut juga hemolisis (Leeson et al. 1990). Kemungkinan lain, buruknya status nutrisi yang
52
disebabkan turunnya konsumsi dan kecernaan nutrien, serta gangguan penyerapannya di usus halus menyebabkan menurunnya pasokan protein yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Tampaknya kemungkinan status nutrisi yang menurun berpengaruh kuat dalam menurunkan kadar Hb pada tikus percobaan, hal ini dibuktikan dengan kadar Hb yang normal pada perlakuan A, B, dan C yang mempunyai kecernaan nutrien yang relatif tinggi. Tabel 17 Nilai rata-rata hematologi darah tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan Peubah 6
3
Eritrosit (10 /mm ) Hematokrit (%) Hb (g/dL) Leukosit(103/mm3) • Neutrofil (103/mm3) • Limfosit (103/mm3) • Monosit (102/mm3) • Eosinofil (102/mm3)
A 8.57 35.92ab 12.14 13.01ab 3.38 8.90 4.98 2.30
B 7.67 37.46a 12.03 10.66b 2.42 7.72 2.93 2.40
Perlakuan C 8.01 36.96a 11.98 14.80ab 2.61 11.19 6,34 3,64
D 8.39 32.92b 10.94 14.69ab 4.68 9.28 4.31 3.07
E 7.90 34.82ab 11.32 18.00a 3.99 13.04 7.51 2.16
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). A = Ransum kontrol (8% minyak jagung) B = Suplementasi 4,5% minyak ikan C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan
Hensyl (1990) mendefinisikan imunitas sebagai status atau kualitas ketahanan suatu organisme terhadap infeksi. Leukosit merupakan bagian dari sistem ketahanan tubuh yang terpenting. Sistem imun menggunakan sistem limfatik dan peredaran darah sebagai lalu lintasnya ke seluruh tubuh. Hal ini meliputi produksi antibodi yang spesifik yang mengenali organisme penginfeksi atau material asing lainnya (antigen) atau aktivasi jaringan proteksi dari sel khusus yang disebut limfosit (Sherman & Hallquist 1990; Gurr 1992). Jumlah leukosit pada kelompok tikus perlakuan B nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok tikus perlakuan E, meskipun masih berada dalam kisaran normal yaitu 6000-18000/mm3 (Ringler & Dabich 1979). Hal ini karena pemberian PUFA n-3 dalam jumlah moderat dapat mengatur fungsi imun, dan menekan kejadian infeksi (McCowen & Bistrian 2003). Meningkatnya
53
konsumsi asam α-linolenat dapat menurunkan produksi interleukin 1β (IL-1β) dan tumor necrosis factor (TNF-α) oleh oleh monosit darah, dan menurunkan proliferasi limfosit darah. Pemberian minyak ikan pada tikus, mencit, atau kelinci juga memperlihatkan penekanan proliferasi limfosit, aktivitas sitotoksik limfosit T, aktivitas natural killer (NK), fagositosis yang dimediasi oleh makrofag, dan penurunan produksi interleukin 2 (IL-2)yang bergantung pada proliferasi limfosit (Thies et al. 1999; Kew et al. 2003). Sebaliknya, pada kelompok tikus perlakuan E jumlah leukosit meningkat nyata seiring dengan meningkatnya limfosit. Namun, jumlah leukosit tidak dapat memberi informasi yang spesifik, dan diperlukan jumlah diferensiasi leukosit untuk menjabarkannya (Aboderin & Oyetayo 2006). Secara statistik, jumlah diferensiasi leukosit berbeda tidak nyata pada semua kelompok perlakuan. Pada kelompok tikus perlakuan E menunjukkan peningkatan pada jumlah limfosit dan monosit, yang kemungkinan sebagai respons perlawanan tubuh terhadap sifat toksin dari amida. Kresno (1996) menjelaskan bahwa bila sistem imun terpapar pada zat yang dianggap asing, selsel
radang
seperti
neutrofil,
eosinofil,
monosit,
dan
makrofag
akan
menghancurkannya secara fagositosis, dengan memproduksi superoksida dan jenis oksigen reaktif. Monosit dan makrofag juga menghasilkan sitokinin, yang menghubungkan sel-sel radang dengan imunitas spesifik karena dapat merangsang limfosit T dan B. Limfosit T berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi virus dan merusak beberapa sel kanker, sedangkan limfosit B berperan dalam pembentukan antibodi (Kew et al. 2003; Medicastrore 2012). Profil lemak plasma dan jaringan otot Lipoprotein merupakan kompleks protein-lipid dalam darah, yang terdiri atas tiga tipe: lipoprotein berdensitas rendah atau low density lipoproteins (LDL) yang molekulnya terdiri atas 46% kolesterol; lipoprotein berdensitas tinggi atau high density lipoproteins (HDL) yang mengandung 20% kolesterol, dan lipoprotein berdensitas sangat rendah atau very low density lipoproteins (VLDL) yang mengandung 8% kolesterol. Tingginya kandungan kolesterol dalam LDL merupakan penyebab utama timbulnya penyakit jantung koroner, sebaliknya HDL berperan sebagai pelindung (Bender 1992).
54
Fungsi utama lipoprotein plasma mengangkut lipid dari tempat penyerapan atau produksi, melalui sistem sirkulasi ke tempat yang menggunakannya. Pembentuk lipoprotein seperti kolesterol dan trigliserida juga mempengaruhi laju sintesis kolesterol dan asam lemak pada jaringan tubuh. Apolipoprotein merupakan komponen esensial dalam mempertahankan struktur lipoprotein, dan apolipoprotein tertentu bertindak sebagai kofaktor untuk integrasi enzim pada metabolisme lipid dan mediasi pengikatan lipoprotein pada jaringan tubuh yang dituju (Etherton & Etherton 1982). Rataan konsentrasi
lemak plasma tikus
percobaan disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Rataan konsentrasi lemak plasma dan daging tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan Peubah Plasma Kolesterol total (mg/dl) Trigliserida (mg/dl) HDL (mg/dl) LDL (mg/dl) Kolesterol daging (mg/100g)
Perlakuan A
B
C
D
E
48,89
40,95
42,86
54,10
47,92
50,04b 29,51 8.15b 73.67b
50,73b 21,81 8.33b 78.07b
64,26b 19,69 8.31b 84,81b
122,23a 20,69 11.65a 104.68a
94,56ab 24,06 11.43a 90.42a
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). A = Ransum kontrol (8% minyak jagung) B = Suplementasi 4,5% minyak ikan C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan
Total kolesterol plasma dan HDL berbeda tidak nyata pada semua kelompok perlakuan. Hal ini kemungkinan karena ransum kontrol mengandung minyak jagung yang kaya asam linoleat yang mencapai 58%. Dari beberapa studi metabolik melaporkan bahwa asam linoleat berpengaruh kuat dalam menurunkan kolesterol plasma (Hu et al. 2001). Salah satu fungsi HDL adalah mengangkut kolesterol dari jaringan peripheral kembali ke hati, selanjutnya digunakan untuk sintesis asam empedu yang disekresi ke dalam jaringan usus. Sebagian besar kolesterol serum pada tikus adalah HDL, dan memerlukan suplementasi tinggi
55
kolesterol dengan asam empedu dan tiourasil untuk menyebabkan arteriosklerosis dan hiperlipidemia yang parah (Starr 1994; Harris 1997). Suplementasi MI cenderung menurunkan konsentrasi kolesterol total dibandingkan dengan kontrol, terutama karena menurunnya konsentrasi HDL. Hal ini sejalan dengan laporan Harris (1997) yang menyatakan bahwa konsentrasi kolesterol biasanya turun pada substitusi minyak ikan pada lemak jenuh maupun lemak tak jenuh. Hal ini hampir selalu disebabkan menurunnya konsentrasi HDL, sedangkan penurunan konsentrasi LDL tidak konsisten. LDL merupakan hasil kerja enzim lipolitik pada VLDL dalam sirkulasi darah. Faktor yang mempengaruhi sintesis dan sekresi VLDL memainkan peranan penting dalam mengatur produksi LDL. VLDL terdiri atas trigliserida, fosfolipid, kolesterol, ester kolesterol, dan berbagai apolipoprotein. Potensi ketersediaan berbagai komponen tersebut akan mempengaruhi sintesis VLDL. Beberapa bukti menunjukkan bahwa ketersediaan kolesterol merupakan faktor terpenting. Kolesterol dapat berasal dari ransum atau sintesis de novo. Sintesis de novo terutama dikontrol oleh penghambatan umpan balik sterol dari enzim hidroxymethylglutaryl-CoA
(HMG-CoA) reduktase dan HMG-CoA sintase
(Salter & White 1996). Konsentrasi LDL plasma meningkat nyata (P<0,05) pada kelompok tikus perlakuan D dan E. Hal ini diduga karena asam-asam lemak ikatan rangkap terikat kuat dalam kompleks amida, sehingga penyerapannya dalam usus terhambat. Selain itu, proses amidasi mengakibatkan putusnya ikatan rangkap pada minyak, sehingga derajat ketidakjenuhannya berkurang. Amida merupakan ikatan yang kuat, yang hanya terhidrolisis dalam larutan asam dan basa kuat (Wilbraham & Matta 1992). Minyak ikan yang digunakan dalam proses amidasi mengandung asam miristat (C14) dan asam palmitat (C16) yang relatif tinggi, masing-masing 11.74% dan 17.94%. Asam lemak jenuh dengan 12-16 jumlah karbon cenderung meningkatkan konsentrasi kolesterol total dan LDL plasma. Cara kerjanya diduga dengan menekan reseptor terikat yang membersihkan kolesterol LDL dari peredaran dan dengan meningkatkan sekresi VLDL kolesterol oleh hati. Dibandingkan asam laurat (C12) dan asam palmitat, asam miristat lebih
56
berpotensi dalam meningkatkan kadar kolesterol plasma (Ginsberg & Karmally 2000; Hu et al. 2001). Kelompok tikus perlakuan D memperlihatkan konsentrasi tigliserida plasma yang nyata lebih tinggi (P<0,05), dibandingkan kelompok tikus perlakuan A, B, dan C, namun tidak berbeda nyata dengan kelompok tikus perlakuan E. Seperti dugaan di atas, karena ikatan amida yang kuat mengganggu penyerapan dalam usus halus, dan terjadinya penjenuhan ikatan rangkap pada proses amidasi berimplikasi pada meningkatnya trigliserida plasma. Pemberian PUFA dapat menurunkan trigliserida plasma melalui mekanisme penurunan produksi endogenous lipoprotein yang kaya trigliserida (medium transport trigliserida dalam darah), meningkatkan eliminasi lipoprotein yang kaya trigliserida, atau meningkatkan aktivitas lipase lipoprotein. Selain itu, minyak ikan dapat diserap secara efisien dalam usus dan dioksidasi lebih cepat daripada asam lemak lain, sehingga berkonstribusi pada penurunan trigliserida (Herzberg 1991; Djoussé et al. 2003). Minyak ikan mempunyai kemampuan menurunkan konsentrasi kolesterol plasma dan trigliserida dengan cara menghambat sintesis trigliserida dan VLDL dalam hati. Produksi apolipoprotein B menurun dengan konsumsi minyak ikan dibandingkan dengan minyak tumbuhan seperti minyak safflower atau minyak zaitun. Mekanisme ini diperkuat dengan uji kultur hepatosit kelinci dan tikus pada EPA dapat menghambat sintesis trigliserida dan merangsang sintesis membran fosfolipid. Hasil serupa tidak ditunjukkan pada penggunaan minyak zaitun (Connor 2000). Peningkatan tingkat pemberian AMI semakin menurunkan pasokan EPA, sehingga tidak cukup untuk menghambat sintesis trigliserida dalam hati. Kadar kolesterol daging juga menunjukkan pola yang sama dengan kadar trigliserida plasma. Konsekuensi dari meningkatnya kadar trigliserida terutama asam miristat dan asam palmitat mengakibatkan peningkatan kolesterol plasma yang terdeposisi dalam daging. Dalam sitosol, asam palmitat mengalami perpanjangan menjadi asam lemah jenuh rantai panjang yang merupakan prekursor kolesterol. Sintesis kolesterol de novo terutama terjadi di hati dan usus
57
halus, dan pengaturannya bergantung pada ketersediaan kolesterol dalam darah (Goodridge & Sul 2000). Pertumbuhan dinyatakan sebagai produksi sel-sel baru, tidak hanya multiplikasi (hiperplasia) tetapi juga pembesaran sel (hipertropi) dan inkorporasi komponen spesifik dari lingkungan. Pertumbuhan termasuk deposisi lemak, meskipun massa otot menjadi perhatian utama (Owens et al. 1993). Pemberian ransum tinggi lemak pada tikus dewasa dan sedang tumbuh menyebabkan deposisi lemak tubuh yang lebih besar karena peningkatan jumlah dan ukuran sel adiposa (Chilliard, 1993). Sintesis trigliserida pada jaringan adiposa bergantung pada sumber karbon untuk gliserol dan ketersediaan asam lemak untuk esterifikasi. Sumber asam lemak untuk sintesis trigliserida dapat berasal dari sintesis asam lemak de nuvo pada jaringan adiposa, asupan asam lemak bebas dari plasma, dan asam lemak yang berasal dari hidrolisis kilomikron dan trigliserida VLDL oleh lipoprotein lipase (LPL) (Etherton & Etherton 1982). Pada Gambar 9 terlihat bahwa pemberian amida minyak ikan meningkatkan proporsi asam palmitat dan palmitoleat dalam daging secara konsisten. Kondisi ini berhubungan erat dengan naiknya konsentrasi trigliserida dan LDL plasma, serta kolesterol daging. Bila dibandingkan dengan
kelompok
yang mendapat minyak ikan, terjadi peningkatan proporsi oleat dan linoleat yang linear pada kelompok yang disuplementasi amida minyak ikan. EPA dan DHA menurun secara linear dengan tingkat suplementasi amida minyak ikan, karena proses amidasi mengurangi pasokan EPA dan DHA untuk tikus. Pada kelompok kontrol, kandungan oleat dan linoleat jauh lebih tinggi daripada perlakuan lainnya, karena minyak jagung merupakan sumber oleat dan linoleat yang baik. Sheppard dan Herzberg (1992) melaporkan kandungan palmitat, oleat, dan linoleat pada semua jaringan tubuh tikus yang mendapat minyak jagung mencapai 85% dari total asam lemak, sedangkan pada tikus yang mendapat minyak ikan kandungannya 65%. EPA dan DHA sangat rendah dan hampir tidak terdeteksi pada tikus yang diberi minyak jagung. Pada tikus yang mendapat minyak ikan kandungan EPA dan DHA mencapai 4% dari keseluruhan asam lemak. Menariknya, pada semua jaringan tubuh EPA terdapat dalam jumlah yang relatif
58
lebih kecil daripada DHA. Hal ini diduga penggunaan EPA atau retensi DHA berlangsung selektif. Dibandingkan dengan linoleat dan linolenat, efisiensi deposisi EPA dan DHA cenderung rendah. Rendahnya inkorporasi dapat disebabkan oleh oksidasi selektif, retrokonversi, atau deposisi pada jaringan lain. Hasil tersebut menguatkan pengaruh komposisi asam lemak dalam ransum pada komposisi trigliserida, dan memperlihatkan secara jelas bahwa PUFA n-3 disimpan secara efisien sebagai cadangan trigliserida pada jaringan tubuh (Lin & Connor 1990;Sheppard & Herzberg 1992). Hasil serupa juga diperlihatkan pada penelitian ini, kandungan palmitat, oleat, dan linoleat pada tikus yang diberi minyak jagung mencapai 57%, sedangkan pada tikus yang disubstitusi dengan minyak ikan kandungannya 44%. Pada tikus yang disubtitusi minyak ikan dengan konsentrasi EPA 16.06% inkorporasinya dalam jaringan adiposa hanya 0.87%, sedangkan DHA dengan konsentrasi 12.79% dalam minyak ikan terinkorporasi dalam jaringan adiposa sebesar 3.06%. Lin & Connor (1990) juga mendapatkan bahwa rasio DHA:EPA lebih tinggi pada jaringan adiposa daripada dalam ransum. Kemampuan DHA berinkorporasi ke dalam jaringan adiposa tiga kali lipat dibanding EPA. Terdapat kemungkinan sejumlah EPA dikonversi menjadi DHA, karena EPA merupakan prekursor DHA pada jalur sintesis asam lemak n-3. Karena DHA merupakan asam lemak yang paling banyak terdapat dalam plasma, fenomena tersebut merupakan hal yang wajar. Pada tikus, komposisi asam lemak pada otot dan jaringan lemak dapat dimodifikasi dengan memberi sumber minyak yang sesuai, karena asam lemak diserap sepenuhnya dalam usus halus dan terinkorporasi dalam jaringan lemak. Kandungan jenis asam lemak jaringan otot dan lemak tikus dapat menjadi petunjuk jenis asam lemak yang dikonsumsi (Wood et al. 1998). Lemak dalam ransum menyediakan substrat untuk pengisian lipid pada jaringan adiposa, dan berpotensi dalam mengatur perkembangan jaringan adiposa. Pada nonruminansia, lemak ransum menghambat sintesis asam lemak de nuvo dan mengubah profil asam lemak jaringan adiposa dan jaringan lain, sehingga
59
mencerminkan profil asam lemak dalam ransum. Pemberian lemak tak jenuh menghasilkan peningkatan kadar lipid tak jenuh pada jaringan adiposa subkutan dan intramuskular (Hausman et al. 2009). Pada rodensia, lipogenesis terjadi dalam hati dan jaringan adiposa. Lipogenesis yang terjadi dalam hati secara spesifik dipengaruhi oleh derajat ketidakjenuhan asam lemak yang menghambat aktivitas enzim fatty acid synthase (FAS). Pada jaringan adiposa, tingkat penghambatan tidak berbeda antara lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas FAS berbeda antarjaringan. Pada spesies dimana hati merupakan tempat lipogenesis utama, UFA mempunyai efek hambat yang lebih besar daripada SFA. Pada tikus terbukti, pemberian minyak ikan menurunkan ukuran sel dan bobot lapisan lemak (Azain 2004). Hasil
penelitian
ini
menunjukkan
pemberian
AMI
cenderung
meningkatkan proporsi palmitat secara konsisten dibandingkan pemberian MI. Hal ini diduga karena proses amidasi telah mengubah proporsi asam lemak dari minyak ikan. Proses oksidasi termal menyebabkan terputusnya ikatan rangkap pada minyak ikan sehingga derajat ketidakjenuhannya berkurang, atau terputusnya rantai LCFA menjadi asam lemak yang lebih pendek. Meningkatnya derajat kejenuhan lemak ransum menyebabkan meningkatnya lipogenesis dalam hati. Naiknya kandungan palmitoleat pada pemberian AMI secara konsisten merupakan hasil dari aktivitas enzim ∆-9 desaturase, yang mengubah palmitat menjadi palmitoleat. Hal ini sejalan dengan laporan Clarke (1993) yang menyatakan bahwa, lemak PUFA mempunyai kemampuan unik dalam menekan pembentukan dan akumulasi asam lemak n-9. Kelompok asam lemak n-9 meningkat, jika ketersediaan SFA meningkat sebagai hasil dari peningkatan aktivitas biosintesis asam lemak de novo, atau dari suplementasi lemak dalam ransum. Pemberian AMI tidak memperlihatkan kenaikan yang konsisten pada kandungan laurat, miristat, dan stearat dibandingkat pemberian MI. Stearat mengalami desaturasi menjadi oleat yang dikatalisasi oleh enzim ∆-9 desaturase. Hal ini sejalan dengan peningkatan kandungan oleat secara konsisten pada pemberian AMI, dibandingkan pemberian MI. Selain berasal dari ransum, asam
60
oleat juga dapat berasal dari pemanjangan palmitat, desaturasi stearat, atau mengalami retrokonversi dari asam lemak yang lebih panjang. Hal ini dilaporkan oleh Lin & Connor (1990) yang menemukan bahwa asam erusik yang merupakan isomer dari asam setoleik, dideposit dalam jumlah yang rendah pada jaringan adiposa kelinci dibandingkan asam linoleat. Pada saat yang sama, terjadi peningkatan kandungan asam oleat dalam jaringan adiposa, yang menunjukkan kemungkinan terjadi retrokonversi asam lemak. Kandungan linoleat pada pemberian AMI secara linear meningkat dibandingkan pemberian MI. Hal ini kemungkinan karena ada perubahan proporsi PUFA n-3 akibat proses amidasi, yang ditunjukkan dengan hubungan negatif antara kenaikan proporsi linoleat dengan penurunan proporsi EPA dan DHA pada pemberian AMI. Proses amidasi dapat saja memutuskan rantai asam lemak menjadi asam lemak yang lebih pendek. Kandungan linolenat dan arakidonat juga tidak
memperlihatkan
kenaikan
yang
konsisten
pada
pemberian
AMI
dibandingkan dengan pemberian MI. Linolenat yang terdeteksi pada penelitian ini adalah γ-linolenat, yang merupakan pemanjangan dari linoleat, bukan α-linolenat yang merupakan asam lemak esensial dan prekursor dari EPA dan DHA. Secara keseluruhan, pemberian AMI relatif tidak mempengaruhi kandungan laurat, miristat, stearat, linolenat, dan arakidonat dibandingkan pemberian MI. Namun pemberian AMI menurunkan pasokan EPA dan DHA, yang berimplikasi pada meningkatnya kandungan palmitat, palmitoleat, dan oleat.
Asam lemak jenuh (%)
61
20 15 10 5 0 A
B
C
D
E
Perlakuan
Asam lemak tak jenu (%)
Laurat
Miristat
Palmitat
Stearat
25 20 15 10 5 0 A
B
C
D
E
Perlakuan
Asam lemak PUFA n-3 (%)
Palmitoleat
Oleat
Linoleat
Arakidonat
3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 A
B
C
D
E
Perlakuan Linolenat
EPA
DHA
Gambar 9 Kandungan asam lemak jenuh, asam lemak tak jenuh, dan asam lemak n-3 dalam jaringan otot tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan Keterangan: A = Ransum kontrol (8% minyak jagung) B = Suplementasi 4,5% minyak ikan C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan
62
Produktivitas tikus Tabel 19 Rataan berat akhir, PBBH, konsumsi nutrien, kecernaan nutrien konversi pakan, dan kadar lemak daging tikus pada perlakuan suplementasi minyak ikan dan amida minyak ikan Peubah A
Perlakuan C
B a
ab
D
E
213.27 1.08ab 11.10ab 94.17ab 1.126
218.61 1.30a 11.50a 94.58a 1.214
202.80 0.87ab 10.15ab 94.15ab 1.120
202.51 0.73ab 10.59ab 92.89b 1.240
195.10b 0.59b 10.01b 90.67c 1.215
Kecernaan Protein (%)
86.21a
87.88a
87.28a
85.34a
82.05b
Konsumsi Lemak (g/e/h)
1.37a
1.43a
0.90b
1.05b
0.87b
Kecernaan Lemak (%)
96.03a
95.64ab
89.84b
76.89c
59.43d
Konversi ransum* Lemak daging (%)
10.28 1.03b
8.88 1.73ab
11.66 1.96a
14.61 1.77a
17.00 1.69ab
Bobot akhir (g) PBBH (g/e/hr) Konsumsi BK(g/e/hr) Kecernaan BK (%) Konsumsi Protein (g/e/hr)
ab
ab
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). *Tidak diolah secara statistik A = Ransum kontrol (8% minyak jagung) B = Suplementasi 4,5% minyak ikan C = Suplementasi 3% minyak ikan dan 1,5% amida minyak ikan D = Suplementasi 1,5% minyak ikan dan 3% amida minyak ikan E = Suplementasi 4,5% amida minyak ikan
Dari Tabel 19 di atas, secara umum terlihat bahwa pemberian AMI mengakibatkan penurunan konsumsi dan kecernaan bahan kering, konsumsi dan kecernaan lemak, serta kecernaan protein ransum yang diikuti oleh penurunan bobot badan dan konversi ransum yang meningkat, terutama bila dibandingkan dengan kelompok perlakuan B yang disuplementasi MI. Hal ini nyata terlihat pada perlakuan E yang disuplementasi AMI tertinggi. Jenkins (1995) juga mendapatkan ada penurunan konsumsi pakan yang linear pada domba yang diberi stearylsoyamide. Hal ini menunjukkan, sumber amina primer pada amida asam lemak berpengaruh pada pengaturan konsumsi pakan. Turunnya tingkat konsumsi dapat disebabkan oleh palatabilitas yang menurun karena bau ammonia yang tajam dari sisa butilamin yang tidak bereaksi, atau merupakan respons fisiologis. Jenkins et al (2000) juga melaporkan penurunan tingkat konsumsi pada pemberian oleamida yang kemungkinan
63
disebabkan oleh salah satu komponen dari amida (asam lemak, dan amonia), atau oleh senyawa amida sendiri. Turunnya kecernaan lemak seiring meningkatnya suplementasi amida minyak ikan disebabkan sifat amida yang sukar dicerna oleh enzim pencernaan. Hal ini sejalan dengan laporan Fotouhi dan Jenkins (1992b) yang menyatakan bahwa amida yang disintesis dengan asam amino sebagai sumber amina lebih mudah dicerna oleh enzim pencernaan dibandingkan dengan amida yang terbuat dari butilamin. Seperti asilgliserol, asam-asam lemak pada amida harus dilepaskan terlebih dahulu sebelum diserap oleh sel mukosa usus halus. Hidrolisis amida asam lemak yang ekstensif terjadi di usus halus, baik oleh enzim mukosa amidase, pankreatik protease, atau kombinasi keduanya (Jenkins et al. 2000). Namun demikian, penurunan peubah-peubah tadi tidak memberi pengaruh nyata pada kandungan lemak daging. Kandungan lemak daging tetap tinggi pada suplementasi AMI. Hal ini kemungkinan karena turunnya rasio protein:lipid pada daging. Penurunan pertambahan bobot badan harian yang konsisten akibat suplementasi AMI, menurunkan kandungan protein dalam jaringan tubuh. Turunnya proporsi protein meningkatkan proporsi lemak secara relatif. Hal ini disebabkan proporsi lemak jenuh yang relatif tinggi pada suplementasi AMI, cenderung meningkatkan esterifikasi asam lemak. Peningkatan ini mengisyaratkan bahwa peningkatan asupan asam lemak (terutama yang kaya asam lemak jenuh), penurunan lipolisis, dan peningkatan reesterifikasi, secara ekstensif mengimbangi penurunan sintesis asam lemak de novo yang terjadi dalam jaringan adiposa dan hati (Chilliard 1993). Kandungan lemak daging terendah terlihat pada kelompok kontrol yang mendapat minyak jagung, meskipun memiliki bobot badan dan konversi pakan yang lebih baik daripada kelompok yang mendapat suplementasi AMI. Hal ini karena PUFA yang terdapat pada minyak jagung lebih cepat dioksidasi atau dapat merangsang aktivitas jaringan lemak cokelat, sehingga jaringan otot menjadi lebih
lean (Chilliard 1993).
64
Pembahasan Umum Metabolisme asam lemak dalam rumen berpengaruh besar pada komposisi asam lemak daging ruminansia. Meskipun asam lemak tak jenuh ganda atau
polyunsaturated fatty acids (PUFA), seperti asam linoleat dan asam α-linolenat terdapat dalam jumlah melimpah pada rerumputan dan bahan pakan lainnya, konsentrasinya dalam daging relatif rendah. Perubahan utama dari lemak diet karena hidrolisis dan biohidrogenasi oleh mikroorganisme dalam rumen, menyebabkan reduksi PUFA mencapai 70-90% yang bertransformasi menjadi lemak jenuh terutama asam stearat, atau trans-isomer dari asam lemak tak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA) Perlindungan PUFA dalam ransum terhadap aktivitas mikroorganisme rumen dan mencegah gangguan fermentasi rumen, dapat dilakukan dengan pemberian amida. Amida terbentuk dari reaksi asam lemak dan amina yang mensubsitusi kelompok karboksil asam, sehingga tidak tersedia kelompok karboksil bebas yang dibutuhkan oleh mikrob rumen untuk menghilangkan ikatan rangkap dari asam lemak tak jenuh atau unsaturated fatty acids (UFA). Pada penelitian ini, amida diperoleh dengan mereaksikan minyak ikan dan n-butilamin. Proses amidasi dengan mereaksikan minyak ikan dan n-butilamina berhasil membentuk senyawa amida yang diinginkan. Proses amidasi dengan mereaksikan minyak ikan dan urea terkendala oleh kelarutan urea yang rendah dalam minyak ikan. Penggunaan minyak ikan dalam bentuk ester untuk meningkatkan kelarutan juga belum menghasilkan senyawa amida. Kegagalan proses amidasi menggunakan urea kemungkinan karena suhu yang digunakan di bawah 100⁰C karena keterbatasan kemampuan reaktor. Uji ketahanan amida dalam sistem rumen secara in vitro menunjukkan bahwa suplementasi amida dapat mempertahankan pH rumen dalam kisaran normal, sehingga fermentasi masih dapat berjalan. Namun demikian, pemberian minyak ikan (MI) dan amida minyak ikan (AMI) menurunkan populasi protozoa rumen. Penurunan secara tajam terjadi seiring meningkatnya tingkat suplementasi AMI. Hal ini mengindikasikan penurunan populasi protozoa bukan semata-mata disebabkan sifat antibakteri dari PUFA, tetapi kemungkinan karena sifat toksik
65
dari amida. Meskipun berdampak negatif pada pertumbuhan protozoa, tetapi relatif tidak berpengaruh pada populasi bakteri. Pertumbuhan bakteri rumen bergantung pada ketersediaan asam lemak terbang atau volatile fatty acids (VFA) dan amonia yang optimal. Suplementasi amida dapat mempertahankan konsentrasi amonia dan VFA pada tingkat optimum, menunjukkan masih berlangsungnya aktivitas degradasi protein. Meskipun relatif kecil, suplementasi amida dapat memperbaiki degradasi bahan organik (DBO) dan bahan kering (DBK) dibandingkan minyak ikan. Hal ini sejalan dengan produksi gas dan konsentrasi VFA total yang lebih besar dibandingkan suplementasi MI. Kuantitas gas yang diproduksi selama fermentasi mencerminkan jumlah substrat yang dicerna secara in vitro. Suplementasi AMI cenderung menurunkan konsentrasi asam isobutirat dan asam isovalerat dibandingkan pemberian MI. Hal ini karena penurunan populasi protozoa menurunkan proteolisis bakteri oleh protozoa yang berdampak pada penurunan konsentrasi asam lemak rantai cabang atau branched chain fatty
acids (BCFA). Rasio asetat:propionat cenderung menurun pada pemberian MI dan AMI, karena terganggunya fermentasi serat akibat sifat antibakteri asam lemak, dan terjadinya degradasi sebagian pada amida oleh bakteri rumen. Konsentrasi propionat cenderung meningkat pada suplementasi MI dan AMI. Turunnya rasio asetat:propionat mencerminkan adanya penurunan produksi metan yang merupakan petunjuk ada pengalihan hidrogen dari metan untuk pembentukan propionat. Uji efektivitas amida pascarumen pada tikus sebagai hewan model, menunjukkan bahwa suplementasi AMI meningkatkan jumlah leukosit seiring peningkatan tingkat pemberian. Kemungkinan amida bersifat toksik, sehingga peningkatan leukosit mencerminkan respons pertahanan tubuh melawan zat asing. Suplementasi amida juga mengakibatkan penurunan kadar Hb yang diduga karena buruknya status nutrisi akibat turunnya kecernaan nutrien, sehingga menurunkan pasokan protein yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Konsentrasi kolesterol total dan lipoprotein berdensitas tinggi atau high
density lipoprotein (HDL) relatif tidak terpengaruh akibat suplementasi AMI, namun meningkatkan konsentrasi trigliserida dan lipoprotein berdensitas rendah
66
atau low density lipoprotein (LDL) dalam plasma. Hal ini kemungkinan karena proses amidasi memutuskan ikatan rangkap pada PUFA, sehingga sebagian asam lemak mengalami penjenuhan atau berubah menjadi asam lemak yang lebih pendek. PUFA mempunyai kemampuan menghambat lipogenesis dalam hati, sedangkan asam lemak jenuh atau saturated fatty acids (SFA) yang proporsinya meningkat pada amida mempunyai kemampuan yang rendah dalam menghambat lipogenesis dalam hati. Hal ini berdampak pada naiknya konsentrasi tigliserida plasma dan kolesterol daging. Suplementasi AMI juga belum mampu memperbaiki profil lemak daging, karena rendahnya pasokan EPA dan DHA. Proses amidasi belum berhasil mempertahankan kandungan EPA dan DHA tetap tinggi pada produk. Kemungkinan lain proses amidasi belum berjalan sempurna, sehingga masih ada sisa amina yang tidak bereaksi. Akibatnya terjadi gangguan pada sistem rumen secara in vitro, terutama ditunjukkan oleh menurunnya populasi protozoa dan degradasi substrat. Pada percobaan in vivo, tampaknya amida juga mulai mengganggu fisiologis hewan, dengan meningkatnya jumlah leukosit, turunnya kadar Hb, dan turunnya kecernaan nutrien. Hal ini berpengaruh pada turunnya produktifitas dari hewan. Penggunaan tikus sebagai hewan model sistem pencernaan pascarumen terkendala karena tikus mempunyai sistem metabolisme yang berbeda dengan rumiansia. Bila amida diberikan pada ruminansia, kemungkinan akan memberi pengaruh yang berbeda. Beberapa mikrob dalam rumen mempunyai kemampuan menetralisir substansi racun yang mungkin terkandung dalam amida, sehingga tidak mengganggu pencernaan pascarumen. Pemberian substrat yang telah mengalami fermentasi secara in vitro pada tikus, lebih dapat memberi gambaran yang mendekati pencernaan pascarumen pada ruminansia. Lipogenesis pada ruminansia terutama terjadi pada jaringan adiposa, sedangkan lipogenesis pada tikus terutama terjadi dalam hati, di samping jaringan adiposa. Perbedaan ini berpengaruh pada deposisi asam lemak dalam jaringan tubuh. Pola deposisi asam lemak kemungkinan juga berbeda pada berbagai spesies hewan.
67
Sintesis amida dari asam oleat dan asam linoleat cukup berhasil, kemungkinan karena rantai asam lemak yang lebih pendek, atau karena lemak yang diberikan berupa asam lemak yang lebih reaktif. Pemakaian minyak ikan dalam bentuk trigliserida kemungkinan kurang reaktif, dan adanya asam lemak rantai panjang, yaitu EPA dan DHA membutuhkan waktu yang lebih lama untuk reaksi yang sempurna. Proses amidasi berpeluang memberi hasil yang lebih baik, bila minyak ikan yang digunakan dalam bentuk ester.
68
69
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Amida minyak ikan dapat dihasilkan dari reaksi minyak ikan dan nbutilamin. 2. Suplementasi amida minyak ikan dapat bertahan terhadap biohidrogenasi rumen, namun belum meningkatkan aktivitas fermentasi rumen secara in
vitro. 3. Suplementasi amida minyak ikan belum efektif dalam memperbaiki profil lemak plasma dan jaringan otot hewan model 4. Suplementasi amida minyak ikan masih dapat
mempertahankan nilai
hematologi darah hewan model dalam kisaran normal, meskipun mulai berpengaruh negatif pada pemberian 3% dalam ransum, yang ditandai dengan kenaikan leukosit dan perununan kadar Hb 5. Tingkat suplementasi 3% mulai memperlihatkan penurunan produktivitas hewan model
Saran
1. Teknik pembuatan amida perlu diperbaiki untuk mempertahankan kandungan PUFA n-3 tetap tinggi pada produk, sehingga meningkatkan evektivitas penggunaannya dalam ransum 2. Alternatif sumber amina untuk proses amidasi yang lebih murah dan aman perlu dikaji untuk menghindari biaya yang tinggi dan kemungkinan terjadinya toksisitas
70
71
DAFTAR PUSTAKA Aboderin FI, Oyetayo VO. 2006. Haematological studies of rats fed different doses of probiotic, Lactobacillus plantarum, isolated from fermenting corn slurry. Pakistan J. of Nutrition. 5:102-105. Alltech. 2012. Asidosis. [Terhubung berkala]. www.alltech.com/animal_nutrition/ beef_cattle/challenges/beef_cattle_acidosis. Diunduh 05/02/2012. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi-IPB. Bogor: IPB Press. [AOAC]. 1990. The Associaton of Official Analytical Chemist. Washington D.C. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Fatty Acid Oils and Fats. Washington, DC. Azain MJ. 2004. Role of fatty acids in adipocyte growth and development. J Anim Sci 82:916-924. Baldwin RL. 1995. Modelling Ruminant Digestion and Metabolism. London: Chapman & Hall. Bandara ABPA. 1997. Modifying fatty acid composition of bovine milk by abomasal infusion or dietary supplementation of seed oils or fish oils [dissertation]. Blacksburg, Virginia USA: Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University. Bauchart D. 1993. Lipid absorption and transport in ruminants. J Dairy Sci 76:3864-3881. Bauman DE, Perfield II JW, de Veth MJ, Lock AL. 2003. New perspectives on lipid digestion and metabolism in ruminants. Proc Cornell Nutr Conf pp. 175-189. [Terhubung berkala] http://www.ansci.cornell.edu/bauman/ conference_proceedings/articles/2003_cnc_bauman_et_al.pdf. Diunduh 13/11/2006. Bender A. 1992. Meat and meat products in human nutrition in developing countries. Rome: FAO Bilyk A, Bistline Jr. RG, Piazza GJ, Feairheller SH, Haas MJ. 1992. A novel tech nique for the preparation of secondary fatty amides. J Am Oil Chem Soc. 69:488. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2004. Biologi. Jilid 3, Ed ke-5. Manalu W, penerjemah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Chikunya S et al. 2004. Bihydrogenation of dietary n-3 PUFA and stability of ingested vitamin E in the rumen, and their effects on microbial activity in sheep. Br J Nutr 91:539-550. Chilliard Y. 1993. Dietary fat and adipose tissue metabolism in ruminants, pigs, and rodents: A review. J Dairy Sci 76:3897-3931. Chilliard Y, Ferlay A, Mansbridge RM, Doreau M. 2000. Ruminant milk fat plasticity: nutritional control of saturated, polyunsaturated, trans and conjugated fatty acids. Ann Zootech 49:181-205.
72
Clarke SD. 1993. Regulation of fatty acid synthase gene expression: an approach for reducing fat accumulation. J Anim Sci 71:1957-1965. Close WH, Menke KH. 1986. Manual Selected Topics in Animal Nutrition. Germany: University oh Hohenheim, The Institute of Animal Nutrition Stuftgart. Connor WE. 2000. Importance of n-3 fatty acids in health and disease. Am J Clin Nutr. 71(suppl):171S-175S. Cooper SL et al. 2004. Manipulation of the n-3 polyunsaturated fatty acid content of muscle and adipose tissue in lambs. J Anim Sci 82:1461-1470. Cunnane SC, Griffin BA. 2002. Nutrition and metabolism of lipid. Di dalam: Gibney MJ, Vorster HH, Kok FJ, editor. Introduction to Human Nutrition. Oxford: Blackwell Sci. Ltd. pp. 81-115. deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi Ke-2. Bandung:ITB. Demeyer D, Doreau M. 1999. Targets and procedures for altering ruminant meat and milk lipids. Proc Nutr Soc 58:593-607. Demirel G et al. 2004. Effects of dietary n-3 polyunsaturated fatty acids, breed and dietary vitamin E on the fatty acids of lamb muscle, liver and adipose tissue. Br J Nutr 91:551-565. Djoussé Let al. 2003. Dietary linolenic acid is inversely associated with plasma triacylglicerol: the national heart, lung, and blood institute family heart study. Am J Clin Nutr. 78:1098-1102. Doane PH, Schofield P, Pell AN. 1997. Neutral detergent fiber disappearance and gas and volatile fatty acid production during the in vitro fermentation of six forages. J Anim Sci 75:3342-3352. Ekeren PA, Smith DR, Lunt DK, Smith SB. 1992. Ruminal biohydrogenation of fatty acids from high-oleate sunflower seeds. J Anim Sci 70:2574-2580. Enser M. 1991. Animal carcass fats and fish oils. Di dalam: Rossell JB, Pritchard JLR, editor. Analysis of Oilseeds, Fats and Fatty Foods. London and New York: Elsv. Appl. Sci.pp. 329-394. Etherton PMK, Etherton TD. 1982. The role of lipoproteins in lipid metabolism of meat animals. J Anim Sci 55:804-817. Feairheller SH et al. 1994. A novel technique for the preparation of secondary fatty amides. III. Alkanolamides, diamides and aralkylamides. J Am Oil Chem Soc 71(8): 863-866. Fotouhi N, Jenkins TC. 1992a. Resistance of fatty acyl amides to degradation and hydrogenation by ruminal microorganisms. J Dairy Sci 75:1527-1532. Fotouhi N, Jenkins TC. 1992b. Ruminal biohydrogenation of linoleoyl methionine and calcium linoleate in sheep. J Anim Sci 70:3607-3614. General Laboratory Procedures. 1966. Departement of Dairy Science. University of Wisconsin. Madison.
73
Ginsberg HN , Karmally W. 2000. Nutrition, lipids, and cardiovascular disease. Di dalam: Stipanuk MH, editor. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. Philadelphia: W.B. Saunders Co. pp. 917-944. Goodridge AG , Sul HS. 2000. Lipid metabolism-synthesis and oxidation. Di dalam: Stipanuk MH, editor. Biochemical and Physiological Aspects of Human Nutrition. Philadelphia: W.B. Saunders Co. pp. 917-944. Groff JL, Gropper SS. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism. Ed ke3. Belmont-USA: Wadsworth Thomson Learning. Gurr MI. 1992. Role of Fats in Food and Nutrition. London and New York: Elsv. Appl. Sci. Gulati SK, Ashes JR, Scott TW. 1999. Hydrogenation of eicosapentanoic and docosahexaenoic acids and their incorporation into milk fat. Anim Feed Sci Technol 79:57-64. Harris WS. 1997. n-3 Fatty acids and serum lipoproteins: animal studies. Am J Clin Nutr. 65(suppl):1611S-1616S. Hausman GJ et al. 2009. Board-Invited Review: The biology and regulation of preadipocytes and adipocytes in meat animal. J Anim Sci 87:1218-1246. Hensyl W. 1990. Stedman’s Medical Dictionary, 25th Ed. Baltimore :Williams & Wilkins. Herzberg GR. 1991. Fish oil in the treatment of hypertriglyceridemia. Can Med Assoc J. 145 (7). Hristov AN, Ivan M, McAllister TA. 2004. In vitro effects of individual fatty acids on protozoa numbers and on fermentation products in ruminanal fluid from cattle fed a high-concentrate, barley based diet. J Anim Sci 82:26932704. Hristov AN, Kennington RL, McGuire MA, Hunt CW. 2005. Effect of diets containing linoleic acid-or-oleic acid-rich oils on ruminal fermentation and nutrient digestibility, and performance and fatty acid composition of adipose and muscle tissues of finishing cattle. J Anim Sci 83:1312-1321. Hu FB, JE Manson, Willet WC. 2001. Types of dietary fat and risk of coronary heart disease: A critical review. J. of the American College and Nutrition. 20:5-19. Hvelplund, T. 1991. Volatile fatty acids and protein production in the rumen. Di dalam: Jouany JP, editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. Paris: INRA. Irie M, Sakimoto M. 1992. Fat characteristics of pig fed fish oil containing eicosapentanoic and docosahexaenoic acids. J Anim Sci 70:470-477. Jenkins TC. 1993. Lipid metabolism in the rumen. J Dairy Sci 76:3851-3863. Jenkins TC. 1994. Regulation of lipid metabolism in the rumen. J Nutr 124:1372S-1376S.
74
Jenkins TC. 1995. Buylsoyamide protects soybean oil from ruminal biohydrogenation: Effects of butylsoyamide on plasma fatty acids and nutrient digestion in sheep. J Anim Sci 73:818-823. Jenkins TC, Bateman HG, Block SM. 1996. Butylsoyamide increases unsaturated of fatty acids in plasma and milk of lactating dairy cows. J Dairy Sci. 79:585-590. Jenkins TC. 1997. Ruminal fermentation and nutrient digestion in sheep fed hydroxyehylsoyamide. J Anim Sci 75:2277-2283. Jenkins T. 1998. The benefit and limitation of fat in dairy rations. Department of Animal and Veterinary Sciences Clemson University-Clemson, SC. [Terhubung berkala] http://www.txanc.org/proceedings/1998/benefits.pdf. Diunduh 28/04/2006. Jenkins TC, Thompson CE, Bridges Jr WC. 2000. Site of administration and duration of feeding oleamide to cattle on feed intake and ruminal fatty acid concentration. J Anim Sci 78:2745-2753. Jenkins TC, Adams CS. 2002. The biohydrogenation of linoleamide in vitro and its effects on linoleic acid concentration in duodenal contents of sheep. J Anim Sci 80:533-540. Jenkins T. 2004. Challenges of meeting cow demands for omega fatty acids. Department of Animal and Veterinary Sciences Clemson UniversityClemson, SC 29634: [Terhubung berkala]. http://dairy.ifas.ufl.edu/ rns/2004/Jenkins.pdf. Diunduh 28/04/2006. Jenkins TC, Wallace RJ, Moate PJ, Mosley EE. 2008. Board-Invited Review: Recent advances in biohydrogenation of unsaturated fatty acids within the rumen microbial ecosystem. J Anim Sci 86:397-412. Jones DF, Weiss WP, Palmquist DL. 2005. Dietary fish oil for dairy cows:1. Effects on milk fatty acid production and composition. Research and Reviews: Dairy Special Circular 163-99. [Terhubung berkala] http://ohioline.osu.edu/sc163/sc163-16.hmtl. Diunduh 13/06/2005. Kelley DS, Nelson GJ, Serrato CM, Schmidt PC, Branch LB. 1988. Effects of type of dietary fat on indices of immune status of rabbits. J Nutr 118:13761384. Ketaren S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Kew S et al. 2003. Lack of effect of food enriched with plant-or marine-derived n3 Fatty acids on human immune function. Am. J. Clin. Nutr. 77:1287-1295. Kim SC, Adesogan AT, Badinga L, Staples CR. 2007. Effects of dietary n-6:n-3 fatty acid ratio on feed intake, digestibility, and fatty acid profiles of ruminal contents, liver, and muscle of growing lambs. J Anim Sci 85:706-716. Kinsella JE. 1987. Seafoods and Fish Oils in Human Health and Disease. New York and Basel: Marcel Dekker, Inc.
75
Kitessa SM et al. 2001. Utilisation of fish oil in ruminants I. Fish oil metabolism in sheep. Anim Feed Sci Technol 89:189-199. Kresno SB. 1996. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke-3. Jakarta:FKUI. Kucuk O, Hess BW, Rule DC. 2004. Soybean oil supplementation on highconcentrate diet does not effect site and extent of organic matter, starch, neutral detergent fiber, or nitrogen digestion, but influences both ruminal metabolism and intestinal flow of fatty acids in limit-fed lambs. J Anim Sci 82:2985-2995. Lands WEM. 1982. Biochemical observation on dietary long chain fatty acids from fish oil and their effect on prostaglandin synthesis in animals and humans. Di dalam: Barlow SM, and Stansby ME, editor. Nutritional Evaluation of Long-Chain Fatty Acids in Fish Oil. London and New York: Academic Press. pp. 267-282. Lee JH, Waller JC, Melton SL, Saxton AM, Pordesimo LO. 2004. Feeding encapsulated ground full-fat soybeans to increase polyunsaturated fat concentration and effects on flavor volatile in fresh lamb. J Anim Sci 82:2734-2741. Leeson CR, Lesson TS, Paparo AA. 1990. Buku Ajar Histologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Leibetseder J. 1997. The effect of nutrition on the composition of animal fat. Anim Res Dev 45:46-58. Leng RA. 1990. Factors affecting the utilization of ‘poor quality’ forages by ruminants particularly under tropical condition. Di dalam: Nutrition Research Reviews. Vol 3. Smith RH, editor. Cambridge. Cambridge University Press. Lin DS, Connor WE. 1990. Rapid Communication: Are the n-3 fatty acids from dietary fish oil deposited in the triglyceride stores of adipose tissue. Am. J. Clin. Nutr. 51:535-539. Lowry OH, Rosebourgh NJ, Farr AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement with the Folin phenol reagent. J. Biol. Chem. 193.265-275. Lundy III FP, Block E, Bridges Jr. WC, Bertrand JA, Jenkins TC. 2004. Ruminal biohydrogenation in Holstein cows fed soybean fatty acids as amides or calcium salts. J Dairy Sci 87:1038-1046. Marinetti GV. 1990. Disorders of Lipid Metabolism. New York: Plenum Press. Martin SA , Jenkins TC. 2002. Factors affecting conjugated linoleic acid and trans-C18:1 fatty acid production by mixed ruminal bacteria. J Anim Sci 80:3347-3352. McCowen KC, Bistrian BR. 2003. Immunonutrition: problematic or problem solving? Am J Clin Nutr 77:764-770. Medicastore. 2012. Biologi Darah.[Terhubung berkala] http://medicastore.com/ penyakit/160/Biologi_Darah.hmtl. Diunduh 22/01/2012
76
Merck Indonesia. 1987. Buku Pedoman Kerja Kimia Klinik. Mohammed N et al. 2004. Effect of Japanese horseradish oil on methan production and ruminal fermentation in vitro and in steers. J Anim Sci 82:1839-1846. Moibi JA, Christopherson RJ. 2001. Effect of environmental temperature and a protected lipid supplement on the fatty acid profile of ovine longissimus dorsi muscle, liver and adipose tissues. Livest Prod Sci 69:245-254. Nettleton JA. 1994. Omega-3 Fatty Acids and Health. New York: Chapman & Hall. Ogimoto K, Imai S. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Tokyo: Japan Sci. Soc. Press. Oldick BS, Firkins JL. 2000. Effects of degree of fat saturation on fiber digestion and microbial protein synthesis when diets are fed twelve times daily. J Anim Sci 78:2412-2420. Owens FN, Dubeski P, Hanson CF. 1993. Factors that alter growth and development of ruminants. J Anim Sci 71:3138-3150. Palmquist DL. 1988. The feeding value of fats. Di dalam: Ørskov ER, editor. Feed Science. Amsterdam: Elsv. Sci. Pub. BV. pp. 293-312. Ponnampalam EN et al. 2001. Effect of dietary modification of muscle long-chain n-3 fatty acid on plasma insulin and lipid metabolites, carcass traits, and fat deposition in lambs. J Anim Sci 79:895-903. Ponnampalam EN, Sinclair AJ, Hosking BJ, Egan AR. 2002. Effects of dietary lipid type on muscle fatty acid composition, carcass leanless, and meat toughness in lambs. J Anim Sci 80:628-636. Ramos S, Tejido ML, Martinez ME, Ranilla MJ, Carro MD. 2009. Microbial protein synthesis, ruminal digestion, microbial populations, and nitrogen balance in sheep fed diets varying in forage-to-concentrate ratio and type of forage. J Anim Sci 87:2924-2934. Ringler DH. Dabich L. 1979. Hematology and Clinical Biochemistry. Di dalam: The Laboratory Rat. Volume I Biology and Diseases. Baker JH, Lindsey JR, Weisbroth SH (eds). Academic Press, Inc. Salter AM, White D. 1996. Effects of dietary fat on cholesterol metabolism: regulation of plasma LDL concentrations. Nutr Res Rev. 9:241-275. Sastradipradja D et al. 1989. Penuntun Praktikum Fisiologi Veteriner. PAU. IPB. Schofield P, Pitt RE, Pell AN. 1994. Kinetics of fiber digestion in vitro gas production. J Anim Sci 72:2980-2991. Scintificpsychic. 2012. Fatty acid composition of some common edible fats and oils. [Terhubung berkala]. http://www.scientificpsychic.co./fitness/fatty acids1.hmtl. Diunduh 04/02/2012.
77
Sheppard K, Herzberg GR. 1992. Triacylglycerol composition of adipose tissue, muscle and liver of rat fed diet containing fish oil or corn oil. Nutr Res. 12:1405-1418. Sherman AR, Hallquist NA. 1990. Immunity. Di dalam: Present Knowledge in Nutrition. Brown ML (ed). 6th Edition. International Life Sci. Institute Nutr. Found. Washington D.C. Starr C. 1994. Biology. Concepts and Applications. Wadsworth Publishing Company. Belmont. CA. Steel RGD, and Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Soemantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum. Sutardi T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Di dalam: Prosiding Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan. Bogor: LPP-IPB. Tamminga S, Doreau M. 1991. Lipids and rumen digestion. Di dalam: Jouany JP, editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. Paris: INRA. pp. 151-164. Terry PD, Rohan TE, Wolk A. 2003. Intake of fish and marine fatty acids and the risks of cancers of the breast and prostate and of other hormone-related cancers: a review of the epidemiologic evidence. Am J Clin Nutr 77:532543. Thies F et al. 1999. Manipulation of the type of fat consumed by growing pigs affects plasma and mononuclear cell fatty acid compositions and lymphocyte and phagocyte functions. J Anim Sci 77:137-147. Tilley JMA, Terry RA. 1963. A two-stage technique for the in vitro digestion of forage crops. J Br Grassl Soc 18:104-109. Trebble TM et al. 2003. Prostaglandin E2 production and T cell function after fish-oil supplementation: respons to antioxidant cosupplementation. Am J Clin Nutr 78:376-382. Van Nevel CJ. 1991. Modification of rumen fermentation by use of additives. Di dalam: Jouany JP, editor. Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. Paris: INRA. pp. 263-281. Wallace RJ, Cotta MA. 1988. Metabolism of nitrogen-containing compounds. Di dalam: Hobson PN, editor. The Rumen Microbial Ecosystem . London. Appl. Sci. Wattiaux MA, Grummer RR. 2006. Lipid metabolism in dairy cows. Babcock Institute for International Dairy Research and Development University of Wisconsin-Madison. http://babcock.wisc.edu/downloads/de/04.en.pdf. [13 Nov 2006]. Wilbraham AC , Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Ahmadi S , penerjemah. Bandung: Penerbit ITB.
78
Wood JD et al. 1999. Manipulating meat quality and composition. Animal Nutrition and Metabolism Group Symposium on ‘Improving meat production for future needs’. Proceeding of Nutrition Society.58, 363-370. Yuan ZQ et al. 2010. Effects of dietary supplementation with alkyl polyglycoside, a non ionic surfactant, on nutrient digestion and ruminal fermentation in goats. J Anim Sci 88:3984-3991.
79
LAMPIRAN
80
81
Lampiran 1 Analisis sidik ragam populasi protozoa pada inkubasi 0 jam SK
db
JK
KT
Kel Perl
2 3
1001216.667 113491.667
500608.333 37830.556
Galat
6
228983.333
38163.889
Total
11
1343691.667
F hitung
F tabel 0.05
0.99
0.01
4.76
9.78
Lampiran 2 Analisis sidik ragam dan uji BNT populasi protozoa pada inkubasi 12 jam SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel 0.05
Kel
2
147466.667
73733.333
Perl Galat
3 6
149866.667 82933.333
49955.556 13822.222
Total
11
380266.667
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0 R1
386.667 213.333
a ab
R2 R3
106.667 120.000
b b
BNT 0.05
234.90
3.61
4.76
0.01 9.78
Lampiran 3 Analisis sidik ragam populasi protozoa pada inkubasi 24 jam SK
db
JK
KT
2 3
33066.667 30933.333
16533.333 10311.111 9244.444
F hitung
F tabel 0.05
Kel Perl Galat
6
55466.667
Total
11
119466.667
1.12
4.76
0.01
9.78
82
Lampiran 4 Analisis sidik ragam produksi gas SK
db
JK
KT
Kel Perl
2 3
284.577 278.853
142.288 92.951
Galat
6
106.015
17.669
Total
11
669.445
Perlakuan
Rataan
R0
46.160
a
R1 R2
33.697 43.980
b a
R3
43.687
a
BNT 0.05
8.40
F hitung
F tabel 0.05
5.26
4.76
0.01
9.78
Notasi
Lampiran 5 Analisis sidik ragam nilai pH pada inkubasi 0 jam SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel 0.05
Kel Perl
2 3
0.043 0.006
0.021 0.002
Galat
6
0.008
0.001
Total
11
0.056
1.49
0.01
4.76
9.78
Lampiran 6 Analisis sidik ragam nilai pH pada inkubasi 24 jam SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel 0.05
Kel Perl
2 3
0.010 0.009
0.005 0.003
Galat
6
0.008
0.001
Total
11
0.027
2.44
0.01
4.76
9.78
Lampiran 7 Analisis sidik ragam nilai pH pada inkubasi 48 jam SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel 0.05
Kel
2
0.025
0.013
Perl Galat
3 6
0.014 0.023
0.005 0.004
Total
11
0.062
1.19
4.76
0.01 9.78
83
Lampiran 8 Analisis sidik ragam konsentrasi N-NH3 SK
db
JK
KT
Kel Perl
2 3
138.403 0.701
69.201 0.234
Galat
6
1.367
0.228
Total
11
140.471
F hitung
F tabel 0.05
1.03
0.01
4.76
9.78
Lampiran 9 Analisis sidik ragam konsentrasi VFA total SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel 0.05
Kel Perl
2 3
669.026 2553.501
334.513 851.167 1139.943
Galat
6
6839.655
Total
11
10062.182
0.75
0.01
4.76
9.78
Lampiran 10 Analisis sidik ragam konsentrasi Asetat SK
db
JK
KT
Kel Perl
2 3
911.031 271.419
455.516 90.473
Galat
6
714.236
119.039
Total
11
1896.687
F hitung
F tabel 0.05
0.76
0.01
4.76
9.78
Lampiran 11 Analisis sidik ragam konsentrasi Propionat SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
0.05 Kel
2
144.641
72.321
Perl Galat
3 6
52.679 175.623
17.560 29.270
Total
11
372.943
0.60
4.76
0.01 9.78
Lampiran 12 Analisis sidik ragam konsentrasi Isobutirat SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel 0.05
Kel
2
0.250
0.125
Perl Galat
3 6
1.261 1.725
0.420 0.288
Total
11
3.236
1.46
4.76
0.01
9.78
84
Lampiran 13 Analisis sidik ragam konsentrasi n-Butirat SK
db
JK
KT
Kel Perl
2 3
18.373 24.054
9.187 8.018
Galat
6
61.939
10.323
Total
11
104.367
F hitung
F tabel 0.05
0.78
0.01
4.76
9.78
Lampiran 14 Analisis sidik ragam konsentrasi Isovalerat SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel 0.05
Kel Perl
2 3
0.698 1.004
0.349 0.335
Galat
6
2.039
0.340
Total
11
3.740
0.98
0.01
4.76
9.78
Lampiran 15 Analisis sidik ragam rasio A:P SK
db
JK
KT
Kel
2
0.771
0.386
Perl Galat
3 6
0.584 1.468
0.195 0.245
Total
11
2.823
F hitung
F tabel 0.05
0.80
4.76
0.01 9.78
Lampiran 16 Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan organik pada inkubasi 0 jam SK
db
JK
KT
F hitung
F tabel
0.05 Kel
3
13.542
4.514
Perl Galat
3 9
133.988 41.172
44.663 4.575
Total
15
188.702
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0 R1
9.898 2.149
a b
R2 R3
4.820 3.793
ab b
BNT 0.01
4.92
9.76
3.86
0.01 6.99
85
Lampiran 17 Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan organik pada inkubasi 24 jam SK
db
JK
KT
3 3
27.914 368.288
9.305 122.763 5.324
F hitung
F tabel 0.05
Kel Perl Galat
9
47.918
Total
15
444.120
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0 R1
19.708 8.766
a b
R2 R3
9.868 11.693
b b
BNT 0.01
4.51
23.06
0.01
3.86
6.99
Lampiran 18 Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan organik pada inkubasi 48 jam SK
db
JK
KT
Kel
3
353.016
117.672
Perl Galat
3 9
429.854 81.645
143.285 9.072
Total
15
864.516
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0 R1
35.234 22.248
a b
R2 R3
24.771 23.313
b b
BNT 0.01
6.92
F hitung
F tabel
0.05 15.79
3.86
0.01 6.99
86
Lampiran 19 Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan kering pada inkubasi 0 jam SK
db
JK
KT
3 3
12.674 176.225
4.225 58.742 6.641
F hitung
F tabel 0.05
Kel Perl Galat
9
59.767
Total
15
248.665
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0 R1
11.291 2.408
a b
R2 R3
4.446 5.051
b b
BNT 0.01
5.92
8.85
0.01
3.86
6.99
Lampiran 20 Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan kering pada inkubasi 24 jam SK
db
JK
KT
Kel
3
35.854
11.951
Perl Galat
3 9
293.883 34.674
97.961 3.853
Total
15
364.412
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0 R1
19.708 8.766
a b
R2 R3
9.868 11.693
b b
BNT 0.01
4.51
F hitung
F tabel
0.05 25.43
3.86
0.01 6.99
87
Lampiran 21 Analisis sidik ragam dan uji BNT degradasi bahan kering pada inkubasi 48 jam SK
db
JK
KT
3 3
324.721 308.000
108.240 102.667
Galat
9
100.495
11.166
Total
15
733.216
Perlakuan
Rataan
Notasi
R0 R1
32.683 21.670
a b
R2 R3
23.554 22.783
b b
BNT 0.01
7.68
F hitung
F tabel 0.05
Kel Perl
9.19
0.01
3.86
6.99
Lampiran 22 Analisis sidik ragam protein mikrob SK
db
JK
KT
Kel Perl
2 3
8241.228 419.795
4120.614 139.932
Galat
6
6642.489
1107.081
Total
11
15303.511
F hitung
F tabel 0.05
0.13
4.76
0.01 9.78
88
Lampiran 23 Analisis sidik peragam dan uji BNT pertambahan bobot badan harian SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY 805.514 12895.143 13700.657
YY 3509.829 22090.857 25600.686
Y terkoreksi terhadap X db
JK
29 33 4
KT
11464.084 13914.345 2450.261
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
395.313 612.565
1.55
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
A B
1.079 1.295
ab a
C D
0.871 0.725
ab ab
E
0.589
b
BNT
2.70
4.04
0.618
Lampiran 24 Analisis sidik peragam jumlah eritrosit SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY -16.535 329.134 312.600
YY 2.846 57.764 60.610
Y terkoreksi terhadap X db
JK
KT
29 33 64
50.841 54.526 3.685
1.753 0.058
F hitung
0.03
F tabel 0.05
2.70
F tabel 0.01
4.04
89
Lampiran 25 Analisis sidik peragam nilai hematokrit SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY 198.290 428.136 626.426
YY 102.914 286.070 388.984
Y terkoreksi terhadap X db
JK
29 33 4
274.356 364.553 90.197
KT
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
9.461
22.549
2.38
2.70
4.04
Lampiran 26 Analisis sidik peragam kadar hemoglobin SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY 51.538 171.399 222.937
YY 8.769 52.372 61.141
Y terkoreksi terhadap X db
JK
KT
29 33 4
50.494 58.046 7.552
1.741 1.888
F hitung
1.08
F tabel 0.05
2.70
F tabel 0.01
4.04
90
Lampiran 27 Analisis sidik peragam dan uji BNT jumlah leukosit SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY -89.020 751.021 662.001
YY 193.122 1325.659 1518.780
Y terkoreksi terhadap X db
JK
29 33 4
KT
1289.613 1491.496 201.883
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
44.469
50.471
1.13
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
A B
13.011 10.661
ab b
C D
14.799 14.690
ab ab
E
17.996
BNT
2.70
4.04
a
7.313
Lampiran 28 Analisis sidik peragam jumlah neutrofil SK
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
4 30 34
Jumlah Hasil Kali XX 414.457 15647.714 16062.171
XY -95.991 -122.682 -218.673
YY 26.416 184.717 211.132
Y terkoreksi terhadap X db
JK
KT
29 33 4
183.755 208.155 24.401
6.336 6.100
F hitung
0.96
F tabel 0.05
2.70
F tabel 0.01
4.04
91
Lampiran 29 Analisis sidik peragam jumlah limfosit SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY 8.999 858.278 867.277
YY 122.591 822.611 945.202
Y terkoreksi terhadap X db
JK
KT
F hitung
29 33 4
775.534 898.373 122.839
26.743
30.710
F tabel 0.05
1.15
F tabel 0.01
2.70
4.04
Lampiran 30 Analisis sidik peragam jumlah monosit SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX
4 30 34
414.457 15647.714 16062.171
XY 0.497 40.052 40.549
YY 0.884 6.476 7.359
Y terkoreksi terhadap X db
JK
KT
F hitung
29 33 4
6.373 7.257 0.884
0.220 0.221
1.01
F tabel 0.05
F tabel 0.01
2.70
4.04
Lampiran 31 Analisis sidik peragam jumlah eosinofil SK
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
4 30 34
Jumlah Hasil Kali XX 414.457 15647.714 16062.171
XY -21.108 -237.563 -258.671
YY 11.409 119.234 130.643
Y terkoreksi terhadap X db
JK
KT
29 33 4
115.628 126.478 10.850
3.987 2.712
F hitung
0.68
F tabel 0.05
2.70
F tabel 0.01
4.04
92
Lampiran 32 Analisis sidik peragam konsentrasi kolesterol plasma SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY -539.651 -446.546 -986.197
YY 789.603 4230.051 5019.654
Y terkoreksi terhadap X db
JK
29 33 4
KT
4217.308 4959.103 741.795
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
145.424
185.449
1.28
2.70
4.04
Lampiran 33 Analisis sidik peragam dan uji BNT konsentrasi trigliserida plasma SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY -2977.433 -1563.671 -4541.104
YY 28113.814 70803.369 98917.183
Y terkoreksi terhadap X db
JK
29 33 4
KT
70647.112 97633.320 26986.208
F hitung
F tabel 0.01
2436.107 6746.552
2.77
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
A B
50.036 50.730
b b
C D
64.256 122.233
b a
E
94.556
BNT
F tabel 0.05
ab
54.130
2.70
4.04
93
Lampiran 34 Analisis sidik peragam konsentrasi HDL plasma SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY 70.937 910.314 981.251
YY 434.933 2651.558 3086.491
Y terkoreksi terhadap X db
JK
29 33 4
KT
2598.600 3026.545 427.945
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
89.607
106.986
1.19
2.70
4.04
Lampiran 35 Analisis sidik peragam dan uji BNT konsentrasi LDL plasma SK
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
4 30 34
Jumlah Hasil Kali
XX 414.457 15647.714 16062.171
XY -147.571 -171.857 -319.429
YY 93.714 226.857 320.571
Y terkoreksi terhadap X db
JK
29 33 4
224.970 314.219 89.249
Perlakuan
KT
Rataan
F hitung
F tabel 0.01
7.758 22.312
2.88
Notasi (0.05)
A
73.672
b
B C
78.070 84.814
ab ab
D E
104.684 90.423
a ab
BNT
F tabel 0.05
28.217
2.70
4.04
94
Lampiran 36 Analisis sidik peragam dan uji BNT kolesterol daging SK
Jumlah Hasil Kali
Db
XX Perlakuan 4 648.700 Galat 15 3239.500 Total 19 3888.200 Perlakuan terkoreksi Y terkoreksi terhadap X
XY -552.074 -740.719 -1292.793
YY 2555.976 4979.133 7535.109
F tabel db
JK
KT
14 18 4
4809.766 7105.266 2295.500
343.555 573.875
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
A B
73.672 78.070
b ab
C D
84.814 104.684
ab a
E
90.423
ab
BNT
28.217
F hitung
F tabel 0.05
1.67
3.11
0.05
5.04
95
Lampiran 37 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan lemak daging SK
Jumlah
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
Hasil Kali XX 239.054 2053.106 2292.161
4 10 14
XY 5.095 -12.725 -7.630
YY 1.453 1.430 2.882
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
9 13 4
1.351 2.857 1.506
0.150
Perlakuan
Rataan
F hitung
0.376
Notasi (0.05)
A
1.026
b
B C
1.729 1.964
ab a
D E
1.765 1.692
a ab
BNT
0.726
2.51
F tabel
F tabel
0.05
0.01
3.63
6.42
96
Lampiran 38 Analisis sidik peragam dan uji BNT asam laurat daging SK
Jumlah
Db
Hasil Kali
XX Perlakuan 4 239.054 Galat 10 2053.106 Total 14 2292.161 Perlakuan terkoreksi Y terkoreksi terhadap X
XY -0.103 0.460 0.357
YY 0.004 0.005 0.009
F tabel db
JK
KT
F hitung
9 13 4
0.005 0.009 0.004
0.001 0.001
0.05
2.09
3.63
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
0.127
b
a
B C
0.143 0.166
ab ab
a a
D E
0.175 0.163
a ab
a a
0.043
0.062
BNT
F tabel 0.01
6.42
97
Lampiran 39 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam miristat SK
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
JK
0.223 3.342 3.120
Perlakuan
Jumlah Hasil Kali
Db XX 239.054 2053.106 2292.161
4 10 14
Y terkoreksi terhadap X F tabel KT F hitung 0.05
F tabel 0.01
0.025 0.780
31.50
3.63
Rataan
Notasi (0.05)
A
1.136
d
B C
2.406 2.264
a ab
D E
2.067 1.670
b c
BNT
XY 9.001 -3.873 5.128
5.925
6.42
YY 3.124 0.230 3.354
db 9 13 4
98
Lampiran 40 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam palmitat SK
Jumlah
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
Hasil Kali XX 239.054 2053.106 2292.161
4 10 14
XY -24.933 -33.696 -58.629
YY 18.709 7.670 26.379
Y terkoreksi terhadap X F tabel db
9 13 4
Perlakuan
JK
7.117 24.879 17.763
Rataan
KT
F hitung
0.05
0.791 4.441
5.62
3.63
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
16.180
b
ab
B C
15.581 16.368
b b
b ab
D E
17.739 18.556
ab a
ab a
1.666
2.394
BNT
F tabel 0.01
6.42
99
Lampiran 41 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam palmitoleat SK
Jumlah
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
Hasil Kali XX 239.054 2053.106 2292.161
4 10 14
XY 9.026 7.715 16.740
YY 12.782 6.924 19.707
Y terkoreksi terhadap X F tabel db
JK
9 13 4
6.895 19.585 12.689
Perlakuan
Rataan
KT
F hitung
0.05
0.766 3.172
4.14
Notasi (0.05)
3.63
Notasi (0.01)
A
3.632
b
b
B C
5.158 5.862
ab a
ab ab
D E
5.959 6.136
a a
ab ab
1.640
2.356
BNT
F tabel 0.01
6.42
100
Lampiran 42 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam stearat SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 239.054 2053.106 2292.161
4 10 14
XY -9.470 -6.277 -15.747
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
F hitung
9 13 4
0.396 1.412 1.016
0.044 0.254
F tabel
F tabel
0.05
0.01
5.77
3.63
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A B
3.076 2.420
a b
a b
C D
2.392 2.749
b ab
b ab
E
2.879
a
ab
0.393
0.565
BNT
6.42
YY 1.105 0.415 1.520
101
Lampiran 43 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam oleat SK
Jumlah
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
Hasil Kali XX 239.054 2053.106 2292.161
4 10 14
XY -62.350 -67.359 -129.709
YY 99.108 17.569 116.677
Y terkoreksi terhadap X F tabel db
JK
9 13 4
15.359 109.337 93.978
23.494
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
20.743
b
ab
B C
16.269 18.515
c bc
b b
D E
20.948 23.768
b a
ab a
2.448
3.517
BNT
KT
F hitung
0.05
F tabel 0.01
1.707 13.77
3.63
6.42
102
Lampiran 44 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam linoleat SK
Jumlah
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
4 10 14
Hasil Kali XX 239.054 2053.106 2292.161
XY -85.414 -29.884 -115.298
YY 120.172 21.863 142.035
Y terkoreksi terhadap X
F hitung
F tabel
F tabel 0.01
JK
9 13 4
21.428 136.235 114.808
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
20.157
a
a
B C
12.172 13.047
c c
b b
D E
15.228 16.199
bc b
b ab
2.891
4.154
BNT
KT
0.05
db
2.381 28.702
12.06
3.63
6.42
103
Lampiran 45 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam linolenat SK
Jumlah
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
Hasil Kali XX 239.054 2053.106 2292.161
4 10 14
XY -3.711 0.495 -3.215
YY 0.253 0.067 0.320
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
9 13 4
0.067 0.315 0.249
0.007
Perlakuan
Rataan
F hitung
0.062
Notasi (0.05)
F tabel
F tabel
0.05
0.01
8.39
3.63
Notasi (0.01)
A
1.181
a
a
B C
0.829 0.822
b b
b b
D E
0.918 0.913
b b
b b
0.161
0.232
BNT
6.42
104
Lampiran 46 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan asam arakidonat SK
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
Jumlah Hasil Kali XX 239.054 2053.106 2292.161
4 10 14
XY -6.045 7.405 1.360
YY 1.839 0.472 2.310
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
F hitung
9 13 4
0.445 2.310 1.865
0.049 0.466
F tabel
F tabel
0.05
0.01
9.43
3.63
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
1.851
a
a
B C
1.065 0.849
b b
b b
D E
1.004 1.016
b b
b b
0.417
0.599
BNT
6.42
105
Lampiran 47 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan EPA SK
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
Jumlah Hasil Kali XX 239.054 2053.106 2292.161
4 10 14
XY 7.484 5.346 12.831
YY 0.972 0.222 1.195
Y terkoreksi terhadap X
db
JK
KT
F hitung
9 13 4
0.208 1.123 0.915
0.023 0.229
F tabel
F tabel
0.05
0.01
9.87
3.63
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A B
0.149 0.872
c a
b a
C D
0.640 0.481
ab b
a ab
E
0.325
bc
ab
0.285
0.410
BNT
6.42
106
Lampiran 48 Analisis sidik peragam dan uji BNT kandungan DHA SK
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
Jumlah Hasil Kali XX 239.054 2053.106 2292.161
4 10 14
XY 15.226 9.313 24.539
YY 5.106 1.754 6.859
Y terkoreksi terhadap X db
JK
KT
9 13 4
1.712 6.597 4.885
0.190
F hitung
F tabel 0.05
6.42
3.63
1.221
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
1.687
b
b
B C
3.062 2.199
a b
a ab
D E
1.837 1.391
b b
b b
0.817
1.174
BNT
F tabel 0.01
6.42
Lampiran 49 Analisis sidik peragam dan uji BNT konsumsi bahan kering SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY 30.297 395.635 425.932
YY 12.286 50.323 62.608
Y terkoreksi terhadap X db
JK
KT
29 33 4
40.319 51.314 10.994
1.390 2.749
F hitung
1.98
F tabel 0.05
2.70
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A B
11.095 11.497
ab a
a a
C D
10.152 10.592
ab ab
a a
E
10.010
BNT
b
a
1.293
1.743
F tabel 0.01
4.04
107
Lampiran 50 Analisis sidik peragam dan uji BNT kecernaan bahan kering SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY 61.669 -18.409 43.260
YY 71.115 30.623 101.738
Y terkoreksi terhadap X db
JK
KT
29 33 4
30.601 101.622 71.021
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
1.055
17.755
16.83
2.70
4.04
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
94.170
a
ab
B C
94.582 94.148
a a
a ab
D E
92.894 90.674
b c
b c
1.127
1.518
BNT
Lampiran 51 Analisis sidik peragam konsumsi protein SK
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
4 30 34
Jumlah Hasil Kali XX 414.457 15647.714 16062.171
XY -1.389 45.430 44.041
Y terkoreksi terhadap X db
JK
KT
29 33 4
0.505 0.592 0.087
0.017 0.022
F hitung
1.25
F tabel 0.05
2.70
F tabel 0.01
4.04
YY 0.076 0.637 0.712
108
Lampiran 52 Analisis sidik peragam dan uji BNT kecernaan protein SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY 93.309 66.880 160.188
YY 147.889 116.146 264.035
Y terkoreksi terhadap X db
JK
29 33 4
KT
115.860 262.438 146.577
F hitung
F tabel 0.05
F tabel 0.01
3.995
36.644
9.17
2.70
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A B
86.208 87.884
ab ab
a a
C D
87.284 85.344
a b
a a
E
82.045
c
b
2.192
2.954
BNT
4.04
Lampiran 53 Analisis sidik peragam dan uji BNT konsumsi lemak SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY 10.141 38.507 48.648
Y terkoreksi terhadap X db
JK
KT
29 33 4
0.461 2.376 1.915
0.016
Perlakuan
0.479 Rataan
F hitung
F tabel 0.05
30.11 Notasi (0.05)
2.70
4.04
Notasi (0.01)
A
1.371
a
a
B
1.427
a
a
C
0.897
c
b
D
1.048
b
b
E
0.871
d
b
0.138
0.186
BNT
F tabel 0.01
YY 1.967 0.556 2.523
109
Lampiran 54 Analisis sidik peragam dan uji BNT kecernaan lemak SK
Jumlah Hasil Kali
Db
Perlakuan Galat Total Perlakuan terkoreksi
XX 414.457 15647.714 16062.171
4 30 34
XY 693.142 -357.971 335.171
YY 6744.101 547.594 7291.695
Y terkoreksi terhadap X db
JK
KT
29 33 4
539.405 7284.701 6745.296
F hitung
F tabel 0.05
18.600
1686.324
90.66
2.70
Perlakuan
Rataan
Notasi (0.05)
Notasi (0.01)
A
96.034
a
a
B C
95.637 89.843
a b
ab b
D E
76.886 59.425
c d
c d
4.730
6.374
BNT
F tabel 0.01
4.04