TINJAUAN PUSTAKA Asam Lemak Asam lemak adalah senyawa golongan asam karboksilat rantai panjang (RCOOH) yang diperoleh dari proses hidrolisis minyak atau lemak. Gugus fungsi karboksilat asam lemak minyak nabati merupakan bagian aktif molekul yang dapat di transformasi menjadi produk agroindustri intermediet dan hilir untuk keperluan berbagai jenis industri. Komposisi dan derajat kejenuhan/ketidakjenuhan asam lemak dalam minyak-lemak bervariasi bergantung pada sumbernya. Komposisi asam lemak dalam PKO dan minyak kelapa umumnya mirip, namun berbeda dengan CPO-nya. CPO terdiri dari lemak netral sebagai komponen utama, dan sedikit lemak polar. Minyak-lemak
netral terdiri dari trigliserida
atau triasilgriserol (93%),
diasilgliserol (4.5%), monoasilgliserol (0.9%), dan asam lemak bebas (1.5%), sedangkan lemak polarnya terdiri dari fosfolipida (1443 ppm), dan glikolipida (438 ppm). Beberapa sumber minyak nabati dan hewani seperti biji kedelai, biji bunga matahari, biji kapas-kapuk dan minyak ikan yang habitatnya di laut dalam memiliki tingkat ketidakjenuhan yang lebih tinggi dibanding sumber minyak lainnya. Komposisi rata-rata asam lemak minyak hayati ditampilkan pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi asam lemak dominan (%) pada beberapa lemak hayati Asam Jatropa PKO Kelapa Bunga Kedelai CPO Lemak Matahari C12:0 47.8 46.5 0.2 C14:0
0.1
16.3
20.6
-
0.1
1.1
C16:0
14.2
8.4
9.2
-
11
44
C18:0
7.0
2.4
2.9
4.5
4.0
4.5
C18:1
44.7
15.4
7.2
21.1
23.4
39.2
C18:2
32.8
2.4
1.6
66.5
53.2
10.1
Sumber: Akbar E (2009)
Bagi Indonesia, sumber utama asam lemak adalah minyak kelapa sawit, dan minyak kelapa atau kopra. Kelapa sawit dan kelapa merupakan bahan baku utama bagi pengembangan agroindustri berbasis asam lemak dan turunannya. Sebagai penghasil minyak kelapa sawit terbesar didunia, Indonesia menyumbang 50% dari total produksi minyak sawit dunia, dan 26% terhadap total produksi minyak kopra dunia yang akan menjadi jaminan bagi kontinyuitas ketersediaan
pasokan bahan baku agroindustri hilir berbasis minyak. Jumlah produksi minyak sawit dan minyak kelapa di negara penghasil utama disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Perbandingan produksi negara penghasil utama minyak sawit dan minyak kelapa Jumlah Produksi 2011 (x1000 Metric Ton) Negara Kelapa PKO CPO Indonesia 1.54 6.30 23.6 Malaysia
-
4.53
18.00
Filipina
2.60
-
-
Thailand
0.07
0.26
1.29
Nigeria
-
0.67
0.85
India
0.74
-
-
Papua Nugini
0.13
0.14
0.50
Dunia
5.89
12.65
47.67
Sumber:USDA(2011)
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam family Palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion atau minyak, sedangkan nama spesies Guinensis bersal dari kata Guinea, yaitu tempat pertama kali ditemukannya kelapa sawit (Ketaren 1986). Tanaman ini umumnya tumbuh baik di daerah tropis basah dengan curah hujan 1800-2400 mm/tahun, tingkat pencahayaan matahari rata-rata minimum 5 jam/hari, suhu ratarata 28-32 °C, dan musim kemarau tidak lebih dari 90 hari berturut-turut (Ketaren 1986, Boonyaprateeprat W.2010), seperti Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika Barat. Dibanding sumber minyak lainnya, kelapa sawit merupakan tanaman yang tingkat produktivitas tertinggi, sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3. Tingginya produktivitas panen dan masa produksi yang panjang menjadikan kelapa sawit sebagai primadona dalam dunia agribisnis. Tabel 3. Perbandingan tingkat produksi tanaman penghasil minyak Komoditas Palm Oil Kapas/ Kapuk Produksi 3200 556 (kg/Ha)
Bunga Matahari 506
Kelapa 337
Kedelai 325
Kacang Tanah 318
Sumber: Boonyaprateeprat W.2010
Produk utama yang dihasilkan dari kelapa sawit adalah minyak sawit (CPO), dan minyak inti sawit (PKO) yang diperoleh dengan cara ekstraksi 8
pengempaan. Selain CPO dan PKO dihasilkan produk samping seperti tandan kosong sawit dan cangkang sawit yang dapat diolah lebih lanjut menjadi komoditi yang bermanfaat. Neraca bahan yang dihasilkan selama pengolahan tandan buah segar sawit menjadi minyak sawit ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Neraca bahan proses pengolahan minyak sawit (Sumber Boonyaprateeprat W.2010)
Fattyamida Amida (RCONH2) merupakan senyawa yang mempunyai nitrogen trivalen terikat pada suatu gugus karbonil. Seperti asam karboksilat, amida memiliki titik cair dan titik didih yang tinggi karena adanya pembentukan ikatan hidrogen. Amida mampu membentuk ikatan hidrogen intramolekuler selama masih terdapat hidrogen yang terikat pada nitrogen (Fessenden & Fessenden 1999). Reaksi-reaksi pembentukan amida dapat di lihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Reaksi pembentukan amida (Sumber: Fessenden & Fessenden 1999) 9
Fattyamida adalah senyawa turunan asam lemak yang diproduksi dengan cara mereaksikan asam lemak dengan amonia pada suhu dan tekanan tinggi yang diikuti dengan dehidrasi. Di industri oleokimia, fattyamida dapat dibuat dengan mereaksikan asam lemak atau metil esternya dengan amina. Produksi biasanya dilakukan dalam proses tumpak, dimana ammonia dan asam lemak bebas bereaksi pada suhu 200 °C dan tekanan 345-690 kPa selama 10-12 jam. Pada dasarnya, fattyamida tidak larut dalam air, kelarutannya dalam pelarut polar makin rendah dengan bertambah panjangnya rantai alkil. Secara umum fattyamida bersifat stabil oleh pengaruh suhu, oksidasi udara, atau oleh pengaruh asam dan basa encer. Senyawa amida mempunyai banyak kegunaan dalam bidang-bidang tertentu, contohnya sulfonamida yang digunakan dalam pengobatan untuk mengobati bermacam-macam infeksi, antara lain disentri baksiler yang akut, radang usus dan untuk mengobati infeksi yang telah resisten terhadap antibiotik. Selain itu, N-steroil glutamida yang berguna sebagai surfaktan dan antimikroba. Fattyamida pada dasarnya merupakan senyawa yang berkarakter surfaktan, sehingga dapat berfungsi sebagai penurun tegangan permukaan, wetting agent, maupun pembentuk busa. Sebagai produk yang berbasis alam, kebanyakan fattyamida bersifat mudah mengalami biodegradasi di lingkungan dengan tingkat toksisitas
yang
rendah.
Fattyamida
dan
senyawa
turunan
etoksilatnya
diaplikasikan sebagai penguat dan penstabil busa, pengemulsi, detergen, pemodifikasi viskositas, pelumas, zat antistatik, penghambat korosi, dan wetting agent. Selain itu, menurut Brahmana (1994) amida asam lemak digunakan sebagai pelumas pada proses pembuatan resin. Amida tersebut digunakan pada pelumas internal maupun eksternal yang berfungsi mengurangi gaya kohesi dari polimer sehingga meningkatkan aliran polimer pada proses pengolahan. Fattyamina Fattyamina merupakan senyawa turunan asam lemak, olefin, atau alkohol yang dapat disintesis dari sumber alami, atau dari bahan baku petrokimia. Fattyamina komersial dapat tersedia sebagai campuran berbagai rantai karbon, atau rantai khusus dengan panjang rantai yang bervariasi. Fattyamina tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik. Fattyamina adalah suatu basa, sehingga dapat bereaksi dengan asam organik/anorganik membentuk garam. Fattyamina dapat juga dipandang sebagai 10
senyawa turunan ammonia (NH3) dengan mengganti atom hidrogen oleh gugus asil asam lemak. Bergantung jumlah gugus asil penggantinya maka dikenal fattyamina primer, sekunder, dan tersier. Fattyamina dapat diproduksi dari asam lemak melalui fattyamida dan nitril, atau melalui jalur alkohol. Menurut Srinivasa et al. (2003), fattyamina primer dapat dibuat melalui konversi reduksi asil azida dengan katalis Zn/amonium format dalam pelarut metanol pada suhu ruang, sedangkan menurut Furniss et al. (1989), reduktor NaBH4 dapat juga digunakan sebagai pengganti katalis Zn/amonium format dan pelarut metanol. Palmitil amina dapat diperoleh melalui aminasi palmitil alkohol (dengan NH3) dengan katalis Ni dalam medium nheksana pada suhu reaksi 180OC dengan hasil 86%. Ariston dalam Manihuruk (2009) menemukan cara lain pembuatan fattyamina primer melalui reaksi aminasi hidrogenasi langsung terhadap asam lemak dengan amoniak cair dan katalis nikel menurut persamaan reaksi kimia:
Sayang proses tersebut memerlukan tekanan tinggi (200 psi) dan waktu reaksi yang lama (18 jam) serta hanya menghasilkan produk fattyamina primer yang sedikit (16.33%), sedangkan sisanya adalah dekanal sebagai hasil samping. Fattyamina sekunder dapat diproduksi dari fattyamina primer melalui jalur alkilasi langsung dengan alkil halida, atau fattyalkohol. Alkilasi Hofmann dengan alkil halida atau senyawa sejenis seperti dialkil sulfat atau dialkil sulfonat merupakan metode langsung yang sederhana. Namun cara ini sulit untuk mengontrol proses alkilasi lanjutan, sehingga produknya seringkali merupakan campuran dari fattyamina sekunder, tersier, dan garam ammonium kuarterner. Masalah ini biasanya diatasi dengan menambahkan pereaksi fattyamina primer dalam jumlah berlebih (16 kali), yang dilanjutkan dengan pemisahan sisa pereaksi dengan teknik destilasi. Meskipun jarang, alkilasi langsung dengan fattyalkohol dengan kehadiran katalis logam seperti ThO2 atau logam transisi akan menghasilkan fattyamina sekunder. Reaksi tersebut cukup selektif, tetapi memerlukan kondisi suhu reaksi yang cukup tinggi (>200OC). Prasad et al 1992 menyatakan bahwa amina sekunder dapat juga disintesis melalui reduksi amida sekunder dengan NaBH4 dalam medium THF kering dengan kehadiran I2 yang direfluks dalam reaktor terbuka selama 6 jam. Dari berbagai cara sintesis yang 11
dilaporkan, faktor kritis yang sangat mempengaruhi keberhasilan produksi fattyamina adalah jenis reduktor dan faktor lingkungan untuk terjadinya reaksi. Fattyamina dan senyawa turunannya banyak digunakan di berbagai industri. Garam-garam amina terutama garam asetatnya digunakan secara luas sebagai pelumas, penghambat korosi, dan flotation agent. Betain, atau beberapa amina kuarterner banyak digunakan dalam industri produk perawatan diri, seperti dalam sampo, kondisioner, pembusa, atau zat pelembab. Di bidang perminyakan senyawa amina dan turunannya digunakan sebagai zat penghambat korosi, dan pengemulsi. Transformasi Minyak Nabati ke Natural Based Surfactant Transformasi minyak nabati (termasuk CPO dan PKO) menjadi produk agroindustri intermediet dan hilir, umumnya dilakukan melalui modifikasi terhadap gugus fungsi karboksilat dan ikatan rangkapnya membentuk senyawa turunan yang bersifat multifungsi sehingga dapat digunakan untuk keperluan berbagai jenis industri.
Senyawa multifungsi tersebut dikenal dengan nama
surface active agent (surfactant) atau zat aktif permukaan (Rosen 2004). Natural based surfactant adalah istilah yang ditujukan bagi surfaktan yang berasal dari bahan alami pertanian seperti minyak-lemak, karbohidrat, atau protein, sedangkan biosurfaktant, yaitu surfaktan yang disintesis melalui aktifitas mikroorganisme (Coupland K 1992). Kedua istilah ini seringkali digunakan untuk membedakannya dengan surfaktan konvensional yang umumnya berasal dari hasil derivatisasi minyak bumi. Sebagai bahan multifungsi, surfaktan digunakan secara luas pada industri logam, otomotif, cat, tekstil, pengeboran minyak, pestisida, farmasi, kosmetik, pangan, dan lain-lain, melalui aksinya sebagai penurun tegangan permukaanantarmuka, pengemulsi, agen pembasah, pembentuk busa, anti statik, atau sebagai detergen. Senyawa pelumas dan aditifnya termasuk kelompok surfaktan dengan memanfaatkan sifatnya sebagai agen pembasah, pengemulsi dan sebagai detergen sehingga dapat mengontrol viskositas dan pembasahan pada permukaan/antarmuka logam yang akan berdampak pada peningkatan kinerja pelumas. Minyak nabati dapat dijadikan sebagai building block dalam sintesis natural based surfactant secara komersil. Lintas sintesis yang diterapkan dapat menghasilkan surfaktan nonionik, amfoterik, kationik, atau anionik. Strategi 12
sintesisnya dapat dilakukan dengan cara langsung dari trigliseridanya, dari monodigliserida, dari asam lemaknya, atau dari turunan asam lemaknya seperti fattyalkohol, fattyamida, atau fattyamina. Dengan cara-cara tersebut, dapat dihasilkan surfaktan yang cocok untuk berbagai kebutuhan. Berikut adalah beberapa penelitian skala laboratorium atau skala komersil yang telah dilakukan dalam konversi minyak nabati (termasuk minyak sawit) menjadi senyawa kelompok natural based surfactant sebagai produk agroindustri intermediet dan hilir. Trigliserida minyak nabati secara umum dapat bereaksi langsung dengan pereaksi polar seperti amina, alkanolamina, polyol, dan sebagainya, menghasilkan surfaktan dengan membebaskan gliserol. Reaksi antara trigliserida dengan dietanolamina menghasilkan alkil dietanolamida. Alkanolamida ini merupakan suatu surfaktan yang digunakan secara ekstensif sebagai foam booster (peningkatpenguat busa) untuk surfaktan anionik dalam shampo. Reaksi pembentukannya ditampilkan pada Gambar 3. O
R
O
O
O
(R = C8 - C16)
R
OCOR Diethanolamine O +
3 R
GLYSEROL
N (CH2CH2OH)2
Gambar 3 Reaksi pembentukan fattyamida dari trigliserida Mono-digliserida yang merupakan hasil hidrolisis parsial trigliserida, selain berfungsi sebagai surfaktan juga dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam sintesis derivat surfaktan lainnya. Reaksinya dengan fosfor pentaoksida (P2O5) menghasilkan suatu ester asam fosfat, yang akan menjadi garam amonium fosfatida setelah dinetralisasi dengan amonia. Garam amonium fosfatida adalah surfaktan yang diproduksi secara komersil dan berfungsi sebagai plastisizer dalam confectionary dan sebagai pigment dispersan dalam kosmetik. Jalur sintesisnya ditampilkan pada Gambar 4. Sintesis surfaktan secara langsung dari trigliseridanya akan menghasilkan surfaktan dengan gugus hidrofob yang sesuai dengan bahan awalnya, sehingga 13
seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan fungsi yang khusus. Oleh karena itu dalam kebanyakan kasus, untuk mengontrol karakter produk surfaktan yang dihasilkan, sintesis komersil dilakukan melalui bahan dasar individual asam lemak hasil hidrolisis trigliserida. O
Soybean diglyceride
R
O
OH OCOR
O
O
P2O 5
P R
O
OH
O OH OCOR O
O
P R
O
O O
O 2N H 4 +
OCOR
Gambar 4 Jalur sintesis garam ammonium posfatida dari gliserida nabati.
Sebagai contoh, asam oleat dari trigliserida nabati dapat direaksikan dengan sorbitol membentuk sorbitan monooleat melalui esterifikasi yang diikuti dengan dehidrasi (Gambar 5). Sorbitan monooleat adalah suatu monoester yang diperdagangkan dengan kandungan antara 25-35%, bahan ini merupakan emulsifier yang excellent dan digunakan secara luas pada berbagai industri makanan, dan kosmetik. Sorbitan monooleat sangat potensil dibuat dari minyak sawit, karena kandungan asam oleat dalam minyak sawit cukup tinggi sekitar 40%. OH
OH Sorbitol
HO OH
OH
OH
HO
OH
RCOOH/NaOH (Catalyst) O O
O
Sorbitol mono-oleate R
OH
Gambar 5 Jalur sintesis sorbitan monooleat dari asam oleat. Fattyalkohol dan fattyamina sebagai derivat pertama asam lemak minyak nabati, juga dapat diderivatisasi lebih lanjut. Fattyalkohol dapat dikonversi menjadi ester sulfat, ester fosfat, sulfosuksinat,
etoksilat, atau propoksilat,
sedangkan fattyamina dapat dikonversi menjadi garam amonium kuarterner, 14
oksida-oksida amina, atau senyawa ditiokarbamat. Surfaktan ester sulfosuksinat diproduksi dari fattyalkohol dengan anhidrida maleat membentuk hemimaleat yang dapat mengalami adisi ikatan rangkapnya dengan penambahan natrium sulfit. Ester sulfosuksinat adalah suatu surfaktan anionik yang digunakan pada formula shampo sebagai detergen yang sangat populer karena sifatnya yang aman terhadap kulit dan mata. Rute sintesanya ditampilkan pada Gambar 6. O OH
RCH2OH + O
O
O
R
O O
O O
Na2SO3 R
O SO3
O
Gambar 6 Sintesis dinatrium monoalkil sulfosuksinat dari fatty alkohol. Potensi lain pemanfaatan minyak nabati dalam industri hilir nonpangan adalah penggunaannya sebagai bahan dasar dalam pembuatan aditif bahan bakar dan minyak pelumas. Beberapa zat aditif yang ditambahkan ke dalam bahan bakar akan berfungsi misalnya sebagai detergen dalam gasoline, peningkat bilangan cetane dalam minyak diesel, pencegah korosi, dan sebagai peningkat lubrisitas. Bahan-bahan tersebut ditambahkan dalam jumlah sedikit, untuk fungsi detergen sekitar 200 ppm, untuk peningkat bilangan cetane antara 0,1 – 0,5%, sekitar 50 ppm untuk pencegah korosi dan peningkat lubrisitas, dan sekitar 1% untuk fungsi antifriksi. Pelumas dan Aditif Pelumas Pelumasan adalah suatu cara untuk memperkecil gesekan dan keausan dengan menempatkan suatu lapisan tipis (film) fluida di antara permukaanpermukaan yang bergesekan (Masjuki et al. 1999), sementara pelumas dapat diartikan sebagai suatu zat yang berada atau disisipkan di antara dua permukaan yang bergerak secara relatif agar mengurangi gesekan antar permukaan tersebut. Proses pelumasan merupakan hal yang tak terelakkan pada fenomena permukaan dan antarmuka. Dua permukaan yang salah satu bergerak terhadap yang lain, atau masing-masing saling bergerak senantiasa akan menimbulkan friksi (gesekan). Dalam konteks mesin dan pengerjaan logam, peristiwa friksi sedapat mungkin dihindari karena akan menimbulkan panas, keausan, dan akan 15
mengurangi energi mesin. Dalam sistem transmisi tenaga pada mesin otomotif, adanya friksi akan terjadi kehilangan energi kinetik yang berdampak pada peningkatan konsumsi bahan bakar. Dampak lain dari friksi, adalah konversi energi menjadi panas/kalor sehingga mesin mengalami over heated. Pelumas atau cairan pelumas ditambahkan diantara kedua permukaan logam untuk mereduksi gesekan yang ditimbulkan pada saat bergerak-saling bergerak. Pelumas adalah jenis minyak dan atau gemuk lumas yang digunakan untuk menghindari terjadinya solid friction atau pergesekan antara dua permukaan metal yang saling bergerak, dan berfungsi sebagai media pendingin bagian-bagian yang panas sehingga mesin dapat bekerja optimal sekaligus mengurangi terjadinya keausan pada mesin. Pelumas merupakan bahan tambahan utama bagi beroperasinya mesin secara optimal. Pelumas dapat berupa minyak mineral, gemuk, serbuk halus logam, air, atau senyawa yang sejenis. Serbuk halus logam Zn dapat berfungsi sebagai zat antiseize, sedangkan serbuk grafit atau serbuk molibdenum disulfida dapat berfungsi untuk mengurangi friksi. Pelumas harus berfungsi sebagai medium hidraulik, pendingin dalam mesin dan luar mesin, dan sebagai pengambil kotoran dalam mesin, melindungi keausan, mencegah terbentuknya deposit, mencegah masuknya udara, mencegah timbulnya busa, serta melindungi korosi. Tidak ada jenis pelumas yang cocok dan mempunyai kinerja yang baik untuk seluruh proses pelumasan. Oleh karena itu, untuk memperoleh kinerja yang optimal dari suatu jenis pelumas diperlukan informasi tentang sistem pelumasan yang akan dilakukan. Ada 3(tiga) hal yang memerlukan sistem pelumasan yaitu: bearing (bantalan), cylinder, dan gear. Pelumas untuk bearing seperti pada proses pelumasan batas (boundary lubrication) akan memerlukan prasyarat viskositas pelumas yang berbeda dengan yang diperlukan pada sistem cylinder dan gear. Selain itu variabel operasional seperti suhu, tekanan dan pembebanan, dan kecepatan pergerakan atau putaran juga akan memerlukan persyaratan yang berbeda. Pelumas yang akan diaplikasikan pada sistem pelumasan suhu tinggi, dan tekanan-pembebanan yang besar maka diperlukan pelumas yang relatif lebih berat, agar viskositasnya masih cocok untuk menahan friksi pada kondisi tersebut. Sementara itu, bagi pelumas yang akan digunakan pada sistem kecepatan perputaran tinggi maka diperlukan pelumas yang lebih ringan agar viskositasnya sesuai dengan kebutuhan akselerasi dan kecepatan. 16
Pelumas yang diproduksi saat ini umumnya merupakan fraksi destilat dari minyak bumi. Menurut Keppres No. 18/1988, lembaga yang berwenang melakukan produksi pelumas di Indonesia adalah Pertamina. Sejak tahun 1996, melalui SK Dirjen Migas partisipasi swasta dalam memproduksi pelumas mulai diijinkan, dengan syarat mereka harus melakukan proses hidrotreating dan atau extracting, dan masih terbatas untuk pelumas sintetik saja. Bahan pelumas terdiri dari base oil ditambah dengan zat-zat kimia terpilih tertentu yang disebut aditif. Berdasarkan mekanisme kerjanya, dikenal dua jenis pelumas yaitu lubricating oil (pelumas) dan grease oil (gemuk). Gemuk adalah pelumas yang dipadatkan atau semi padat dengan sabun metalik atau non sabun metalik yang berfungsi mengurangi gesekan dan keausan komponen, dan digunakan untuk pelumasan bagian terbuka, sebagai bearing, chassis, tuas, sambungan. Suatu gemuk sebaiknya mempunyai sifat fisik dengan spesifikasi viskositas tinggi, pour point rendah (tidak membeku pada suhu dingin), volatilitas rendah, stabil terhadap panas dan oksidasi, dan indek viskositas tinggi (perubahan viskositas akibat efek suhu rendah). Base oil atau pelumas dasar adalah bagian terbesar dari pelumas, biasanya merupakan hasil pengolahan lanjut dari long residu yang dihasilkan pada proses destilasi minyak mentah dalam unit CDU (crude distilling unit). Ada dua jenis pelumas dasar yaitu parafinik base oil yang tersusun dari hidrokarbon rantai lurus dan naptenik base oil yang berbasis naftalena. Berdasarkan indeks viskositasnya, base oil digolongkan menjadi: a. High viscosity index (HVI): memiliki indeks viskositas diatas 80, diperoleh dari parafinic crudes dengan cara solvent refining sperti HVI 60, HVI 650, OD 300, Proma 80. b. Medium Viscosity index (MVI): memiliki indeks viskositas antara 40-80, diperoleh dari parafinic atau naptenic. c. Low viscosity index (LVI): memiliki indeks viskositas < dari 40, diperoleh dari naptenic, seperti Promor 80, 100PVO. Aditif pelumas adalah senyawa kimia yang bila ditambahkan kedalam pelumas akan meningkatkan unjuk kerja pelumas seperti yang diharapkan. Aditif adalah senyawa kimia tertentu yang berguna untuk meningkatkan mutu minyak lumas atau gemuk. Aditif konvensional biasanya merupakan unsur kimia seperti Ba, Ca, senyawa fosfor, sulfur, klorin, Zn, Pb, Mo, minyak silikon (siliconfats), 17
polimer, dan soap like compounds. Fungsi utama aditif di antaranya sebagai detergen (pemisah kotoran), viskositas indeks improver, anti friksi, dan menurunkan titik beku (pour point depresant). Bahan-bahan tersebut ditambahkan dalam jumlah sedikit, untuk fungsi detergen sekitar 200 ppm, untuk peningkat bilangan cetane antara 0,1-0,5%, sekitar 50 ppm untuk pencegah korosi dan peningkat lubrisitas, dan sekitar 1% untuk fungsi anti friksi. Martin.J-M (2000) melaporkan ada efek sinergi antar aditif antiwear Zn-dithioposfat dengan aditif pemodifikasi friksi Mo-ditiokarbamat jika ditambahkan sebagai campuran dalam sistem pelumas. Pertamina memasok aditif pelumas dari Shell International Petroleum Company, dan Mobil Oil Chemical Corporation, dan semuanya impor. Industri yang memproduksi aditif pelumas diantaranya adalah Chevron, Esso Chemical, Shell Chemical, Lubrizol, Edwin Copper, Nalco-Exxon, Texaco Fuel Additives. Saat ini kebanyakan pelumas setidaknya mengandung zat tambahan antioksidan untuk meningkatkan stabilitas dan meningkatkan performa mesin. Sejak oksidasi diidentifikasi sebagai penyebab utama penurunan kualitas pelumas, hal ini menjadi aspek yang sangat penting untuk meningkatkan stabilitas oksidasi dengan adanya kehadiran antioksidan dalam pelumas. Oksidasi merupakan proses yang berbahaya yang biasanya menyebabkan menurunnya performa pelumas, memperpendek usia pelumas, dan hal yang paling ekstrim adalah dapat merusak mesin. Oksidasi ditandai dengan adanya interaksi hidrokarbon pada pelumas dasar dengan oksigen dan adanya panas, dan prosesnya dapat meningkat cepat dengan kehadiran logam transisi seperti cobalt, besi, nikel, dan lainnya (Rudnick 2009). Aditif antioksidan ditambahkan untuk mencegah oksidasi dan pembentukan lumpur sehingga mesin tetap bersih.
Banyak senyawa yang dapat digunakan
sebagai aditif pelumas, diantaranya logam ditiokarbamat, amina, senyawa fenolik, dan logam ditiofosfat (Gogoi & Sonowal 2005). Lintas sintesis aditif detergen untuk minyak pelumas umumnya cukup kompleks, memerlukan tiga atau lebih tahapan proses. Aditif ini umumnya mempunyai bobot molekul relatif tinggi berkisar 300-3000, yang dibentuk dari ekor rantai alkil yang panjang untuk memudahkan kelarutan dalam pelumas dasar, dan satu atau lebih gugus kepala polar yang berfungsi untuk menarik deposit kotoran. Beberapa bahan yang dapat dijadikan prezatnya adalah poliisobutilena, anhidrida maleat, polialkilenoksida, alkohol, amina, poliamina, urea, etilen oksida, 18
propilen oksida, C12 alkil fenol. Salah satu produknya yang menggunakan prezat C12 alkil fenol, strukturnya ditampilkan pada Gambar 7. O C12H25
O-(CH-CH2-O)x-CH-CH2-O C NH-CH2-CH2-NH2 X=4-8
Gambar 7 Detergen untuk aditif bahan bakar dengan prekursor C12 alkil fenol. BASF memproduksi aditif detergen untuk bahan bakar dengan nama Tetronic tetraoleat, dari bahan mentah asam oleat minyak kedelai yang ditransformasi menjadi oleoyl klorida, kemudian direaksikan dengan produk intermediet tetronic menjadi tetraester dengan strukur seperti ditampilkan pada Gambar 8. Penggabungan sumber amonia kedalam aditif berbasis minyak kedelai diduga akan menurunkan tingkat emisi gas NOX dan bahan partikulat halus (<2,5 mikron) sehingga lebih menguntungkan sehubungan dengan aspek lingkungan. R
R
R = CH3-CH-CH2-O-(CH2-CH2-O)n-OC-C17H33
N-CH2-CH2-N R
R
Gambar 8 Tetronic tetraoleat,suatu aditif bahan bakar dari asam oleat minyak kedelai.
Aditif peningkat bilangan cetane minyak diesel yang efektif adalah senyawa golongan nitrat dan peroksida. Senyawa 2-etil heksil nitrat (EHN) dan ditersier butil peroksida (DTBP) adalah aditif peningkat bilangan cetane yang terkenal. Penambahan 0,1-0,5% EHN atau DTBP dapat meningkatkan cetane number antara 5-10. Selain itu, adapula isopropilnitrat, isoamil nitrat, isoheksil nitrat, dodecyl nitrat. Aditif peroksida dapat pula dikembangkan dari derivat asam lemak minyak kedelai. Tingginya kandungan asam oleat dalam minyak kedelai dan minyak sawit dapat dijadikan sebagai bahan dasar peroksida, misalnya adalah pembentukan dioleyl peroksida, atau asam peroleat. Sayang senyawa terakhir sangat reaktif sehingga tidak dapat disimpan lama. Bentuk epoksi dari asam lemak minyak kedelai yang telah diaplikasikan sebagai pemlastis mungkin dapat dikembangkan menjadi senyawa peningkat bilangan cetane. 19
Senyawa-senyawa yang biasa digunakan sebagai aditif inhibitor korosi dan lubrikasi,
berdasarkan
tingkat
penurunan
efektifitasnya,
yaitu
golongan
organofosfat, asam organokarboksilat dan garam-garamnya, golongan amida (RCONHR), dan golongan ester RCOOR’, dengan panjang rantai R = 12-18. Tampak bahwa derivatisasi asam lemak minyak nabati (C12- C18) berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk hilirnya berupa aditif peningkat bilangan cetane. Senyawa kompleks dari logam Mo dengan ligan monokarboksilat, monoalkilasi alkilena diamin, dan gliserida dilaporkan merupakan aditif multifungsi dalam sistem pelumasan (Gatto et al. 2003). Sementara itu McConnachie et al. (2003) menyatakan bahwa senyawa kompleks trinuklir Mo dengan ligan ditiokarbamat dapat diproduksi secara insitu dalam sistem pelarut polar seperti toluena, tetrahydrofuran, dimetil formamida, metanol, atau air. Dalam
penelitian
ini,
pembentukan
senyawa
kompleks
logam-
alkilditiokarbamat dari minyak sawit yang dihipotesakan sebagai aditif multifungsi dengan mengambil analogi dan bertitik tolak pada mimik dari senyawa seng dialkil/aril ditiokarbamat yang telah lazim digunakan sebagai boundary lubrication additive. Ditiokarbamat Ditiokarbamat adalah senyawa organosulfur yang spektrum aplikasinya cukup luas (Kaludjerovic et al. 2002). Sudah lebih dari enam puluh tahunan turunan senyawa ini disintesis dan diproduksi sejak ditemukan pertama kali pada awal tahun 1940 sebagai fungisida dan pestisida, sedangkan aktifitasnya sebagai antioksidan mulai diketahui pada tahun 1960, dan sejak itu senyawa ditiokarbamat diaplikasikan untuk pelumas (Rudnick 2009). Golongan senyawa ini telah dimanfaatkan diantaranya sebagai akselerator pada proses vulkanisasi, antioksidan, dan sebagai pestisida (fungisida dan herbisida). Golongan senyawa ini dilaporkan memiliki aktifitas antivirus seperti terhadap human rhinovirus, enterovirus,dan influenzavirus. Ditiokarbamat adalah ligan bidentat bermuatan negatif (-1), sehingga berperan sebagai ligan pendonor elektron apabila membentuk kompleks organologam yang diduga berperan dalam mengontrol kekuatan hidrofilitas dalam peranannya sebagai aditif pelumas. Tergantung ion logam pusatnya, geometri senyawa ditiokarbamat
dapat
berbentuk
tetrahedral,
hexagonal,
kompleks logamatau
oktahedral
(Kaludjerovic et al. 2002). 20
Senyawa ditiokarbamat merupakan senyawa organosulfur yang mudah membentuk kompleks dengan ion logam, dan apabila dalam bentuk terkoordinasi dengan suatu logam, maka akan memiliki lingkup aplikasi yang luas. Aplikasi senyawa ini dibidang otomotif adalah sebagai zat tambahan pelumas, dibidang pertanian digunakan sebagai pestisida (insektida dan fungisida), dibidang geologi sebagai akselarasi dalam vulkanisasi, dalam bidang farmasi sebagai antioksidan (Kaludjerovic et al. 2002, Gogoi & Sonowal 2005) dan memiliki aktivitas biologi sebagai antibakteri dan antijamur (Husain et al. 2010). Logam ditiokarbamat heterosiklik yang yang dilaporkan berpotensi sebagai pestisida dan antioksidan misalnya potassium (1,1-dioxothiolan-3-yl)-dithiocarbamate efektif sebagai fungisida selektif (Vasiliev & Polackov 2000). Grossiord et al (1998) dalam Asthana P (2006) menyatakan bahwa metilen-bis-(di-n-butilditiokarbamat) merupakan aditif antiwear yang sangat baik dan memiliki sifat antioksidan yang baik. Senyawa ini digunakan pada gear oils dan pelumas gemuk. Griffo & Keshavan (2007) menggunakan zat tambahan yang berfungsi sebagai antifriksi dan antiwear dalam “high performance rock bit grease” berupa Pbdiamilditiokarbamat, Mo-di-n-butilditiokarbamat, Zn-ditiokarbamat, dan Sbditiokarbamat. Namun demikian, kebanyakan aplikasi senyawa alkilditiokarbamat yang dilaporkan adalah menggunakan alkil rantai pendek. Jalur produksi senyawa kompleks logam-dialkilditiokarbamat rantai panjang disajikan pada Gambar 9, sedangkan identitas spektrum IR senyawa ditiokarbamat diberikan pada Tabel 4. Selain melalui jalur proses karbamasi amina yang sering digunakan, produksi organo-karbamat dapat juga dilakukan melalui reaksi tandem tiga komponen dari amina, CO2, dan alkilhalida dengan kehadiran Cs2CO3 dan tetrabutilammonium iodida (Salvatore et al.2001)
Gambar 9 Reaksi pembentukan kompleks Zn-dialkilditiokarbamat. 21
Tabel 4 Pita serapan penting spektrum IR pada senyawa alkylditiocarbamate No
Bilangan Gelombang
Gugus
1
1680– 1640 (cm-1)
2
1530–1430 (cm-1)
3
1001 (cm-1)
C-S
4
Sekitar 1000 (cm-1)
C-S
5
Sekitar 2400- 2650 (cm-1)
S-H
6
Daerah sidik jari
Keterangan
CN C
S2C–NR2 & tipe pita serapan medium-kuat Bebas
N
Jika 1 pita serapan kuat bidentat, jika 2 pita serapan monodentat Pita serapan kuat
M-C, M-S
Tipe pita serapan dari lemah sampai kuat
*Sumber dari Trifunović et al. (2002), & Kaludjerovic et al. (2002), Shahzadi et al. (2006) Adsorpsi atau reaksi permukaan/antarmuka antara komponen-komonen pelumas, khususnya aditif pada pelumasan batas dengan permukaan logam-logam yang saling kontak merupakan kunci untuk menekan keausan dan friksi. Dengan demikian, jika ditemukan model molekul yang dapat teradsorpsi atau dapat melakukan reaksi permukaan/antarmuka dengan logam secara efektif, maka akan berfungsi efektif pula dalam menekan keausan, friksi, dan akan memperlambat proses
oksidasi
dari
pelumas
secara
keseluruhan.
Efektivitas
interaksi
permukaan/antarmuka molekul diantara dua permukaan logam tersebut, pada prinsipnya dapat diperoleh dengan mengatur derajat hidrofilitas dan hidrofobisitas bagian molekul aditif tersebut melalui modifikasi dan transformasi gugus fungsinya. Faktor polaritas relatif suatu molekul aditif memegang peran utama agar dapat teradsorpsi atau membentuk lapisan film yang efektif pada permukaan logam. Dalam penelitian ini, desain dan modifikasi/sintesis difokuskan pada gugus fungsi karbonil ke gugus ditiokarbamat dan secara simultan efek polaritas yang berhubungan dengan shear strength divariasikan melalui gugus fungsi ikatan rangkap, dan panjang rantai alkil asam lemaknya (Maleque et al. 2000). Variasi tersebut dan hubungannya dengan pembentukan film yang optimal merupakan fenomena yang akan dikaji dan dibuktikan dalam penelitian ini. Aditif pada sistem pelumasan merupakan komponen pelumas yang penting terutama untuk sistem-sistem pelumasan, seperti pengerjaan logam (rolling oil, cutting oil), fluida transmisi, gear oil (automotif dan industri), dan fluida hidraulik. Dalam sistem pelumasan batas, fenomena friksi dan wear/seizure terutama 22
bergantung pada shearing forces komponen-komponen pelumas relatif terhadap dua permukaan logam yang saling kontak, dan fenomena ini dapat direduksi oleh adanya aditif yang ditambahkan. Mekanisme kerja dari aditif ini adalah adsorpsi atau reaksi membentuk lapisan film pada permukaan logam sehingga kontak logam-logam direduksi. Lapisan film yang terbentuk tersebut mempunyai shear strength yang lebih rendah dibanding logam sehingga proses lubrikasi berjalan lancar (O’Brien 1983; Studt 1989). Pada awalnya, formulasi aditif yang berhubungan dengan fenomena sistem pelumasan batas difokuskan pada sistem pelumasan industri, terutama kaitannya dengan masalah tekanan ekstrim. Namun sejumlah studi mengkonfirmasikan bahwa, terdapat kondisi-kondisi tekanan ekstrim dalam sistem pelumasan engine selama cold cranking, percepatan sekonyong-konyong, beban-beban berat dan temperatur ekstrim (Oil Extreme 2003). Dari fenomena ini, kemasan aditif dalam pelumas engine dengan memasukkan unsur aditif pelumasan batas, telah menjadi pertimbangan akhir-akhir ini. Senyawa-senyawa yang digunakan sebagai aditif pada sistem pelumasan batas meliputi organosulfur atau kombinasi sulfur oksigen, organoklorin, organosulfur-klorin, organo fosfor, organo fosfor-sulfur, ester dari asam lemak, dan berbagai senyawa organologam (Ramney 1980; Nachtman & Kalpakjian 1985; Rizvi 1992; Hong et al.1993). Disamping itu, senyawa-senyawa diakrilat dan turunannya dengan formula umum STR4 juga telah diperkenalkan sebagai aditif pada sistem pelumasan batas (Takagi et al. 2001). Dari berbagai aditif untuk sistem pelumasan batas turunan fosfat, maka senyawa Zn-dialkilditiofosfat adalah yang paling umum digunakan, namun karena pertimbangan lingkungan terhadap senyawa-senyawa fosfor akhir-akhir ini, maka senyawa-senyawa dialkilditiokarbamat digunakan sebagai alternatif pengganti senyawa dialkilditiofosfat tersebut. Pengembangan komplek logam-ditiokarbamat sebagai aditif pelumas menggantikan aditif ditiofosfat dan aditif konvensional campuran senyawa sulfur, posfat dengan logam ternyata menunjukkan kinerja anti friksi yang lebih baik. Stabilitas komplek logam-ditiokarbamat memungkinkan penggunaannya pada sistem suhu tinggi tanpa mengalami degradasi. Senyawa komplek logam-ditiokarbamat yang dilaporkan memiliki kinerja mengurangi friksi dan meningkatkan stabilitas koefisien friksi adalah Zn-Mo23
ditiokarbamat, (Nakanishi et al. 2000). Kombinasi Mo dengan gugus amina, alkohol, phosphine, eter, asam karboksilat rantai panjang
yang membentuk
komplek mono-trinuklir Mo juga dilaporkan memiliki aktifitas sebagai aditif multi fungsi pada sistem pelumasan (Stiefel et al. 2001, Gatto et al. 2003). Saat ini kebanyakan pelumas setidaknya mengandung zat tambahan antioksidan untuk meningkatkan stabilitas dan meningkatkan performa mesin. Sejak oksidasi diidentifikasi sebagai penyebab utama penurunan kualitas pelumas, hal ini menjadi aspek yang sangat penting untuk meningkatkan stabilitas oksidasi dengan adanya kehadiran antioksidan dalam pelumas. Oksidasi merupakan proses yang berbahaya yang biasanya menyebabkan menurunnya performa pelumas, memperpendek usia pelumas, dan hal yang paling ekstrim adalah dapat merusak mesin. Oksidasi ditandai dengan adanya interaksi hidrokarbon pada pelumas dasar dengan oksigen dan adanya panas, dan prosesnya dapat meningkat cepat dengan kehadiran logam transisi seperti cobalt, besi, nikel, dan lainnya (Rudnick 2009). Aditif antioksidan ditambahkan untuk mencegah oksidasi dan pembentukan lumpur sehingga mesin tetap bersih.
Banyak senyawa yang dapat digunakan
sebagai aditif pelumas, diantaranya logam ditiokarbamat, amina, senyawa fenolik, dan logam ditiofosfat (Gogoi & Sonowal 2005).
Analisis Nilai Tambah Nilai tambah (added value) merupakan salah satu kriteria dalam perancangan dan pengembangan suatu produk. Menurut Gittinger (1985), nilai tambah adalah jumlah nilai ekonomi yang tercipta atau ditimbulkan dari suatu kegiatan yang dilakukan di dalam setiap satuan produksi dalam perekonomian. Nilai tambah dapat juga berarti suatu nilai yang tercipta dari kegiatan dengan cara mengubah input pertanian menjadi produk pertanian, atau nilai yang tercipta dari kegiatan mengolah hasil pertanian menjadi produk akhir. Keunggulan kompetitif suatu produk agroindustri dapat diciptakan dengan menerapkan konsep peningkatan nilai tambah dengan mengolah bahan baku menjadi produk dengan proses tertentu yang dikendalikan. Proses diversifikasi produk alam atau upaya peningkatan nilai guna suatu bahan dasar menjadi produk maju memiliki peluang peningkatan nilai tambah yang besar. Semakin rumit dan semakin maju teknologi yang digunakan dalam melakukan proses diversifikasi produk alam sehingga meningkatkan nilai guna bahan tersebut, semakin tinggi 24
pula nilai tambah yang tercipta dan biasanya akan memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibanding harga bahan awalnya (Gumbira-Sa’id & Intan, 2000). Salah satu metode yang dapat diadopsi untuk melakukan perhitungan nilai tambah adalah metode Hayami dan Kawagoe (1993). Pengukuran nilai tambah dengan menggunakan metode Hayami dan Kawagoe (1993) dilakukan dengan menghitung nilai tambah produk yang diakibatkan oleh pengolahan dan tidak memasukkan penggunaan tenaga kerja dan faktor produksi yang lain. Jika faktor tenaga kerja dimasukkan maka nilai yang didapatkan adalah keuntungan perusahaan dan bukan nilai tambah dari suatu proses. Metode Hayami dan Kawagoe yang digunakan untuk menghitung nilai tambah dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 5. Nilai tambah yang diperoleh dengan metode ini lebih mewakili besarnya nilai tambah yang diterima dari kegitan pengolahan. Tabel 5 Model perhitungan nilai tambah dari Hayami dan Kawagoe (1993) No. I.
II
III
Peubah Output, input dan harga 1. Output (kg/th) 2. Bahan baku (kg/th) 3. Tenaga kerja (HOK/th) 4. Faktor Konversi (1:2) 5. Koefisien tenaga kerja (HOK/kg) 6. Harga output (Rp/kg) 7. Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK)
Perhitungan A B C d = a/b e = c/b F G
Pendapatan dan keuntungan 8. Harga bahan baku (Rp/kg) 9. Sumbangan input lain (Rp/kg) 10.Niali output (Rp/kg) 11. a. nilai tambah (Rp/kg) b. Rasio nilai tambah (%) 12. a. Imbalan tenaga kerja (Rp/kg) b. Bagian tenaga kerja (%) 13. a. Keuntungan (Rp/kg) b. Tingkat keuntungan (%)
H I j = dxf k = j-i-h l(%) = k/j x 100 % m = exg n (%) = m/k x 100% o = k-m p(%) = o/j x 100%
Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi 14. Marjin Keuntungan (Rp/kg)
q = j-h
a. Pendapatan tenaga kerja (%)
r (%) = m/q x 100 %
b. Sumbangan input lain (%)
s (%) = i/q x 100%
c. Keuntungan perusahaan (%)
t (%) = o/q x 100% 25