EVALUASI IN VITRO PEMANFAATAN KORO PEDANG (Canavalia ensiformis) DALAM RUMEN DAN PASCA RUMEN MENGGUNAKAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL
LUKMAN MAULANA
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Evaluasi In vitro Pemanfaatan Koro Pedang (Canavalia ensiformis) dalam Rumen dan Pasca Rumen menggunakan Tikus sebagai Hewan Model adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor
Bogor, September 2015
Lukman Maulana D24110082
ABSTRAK LUKMAN MAULANA. Evaluasi In vitro Pemanfaatan Koro Pedang (Canavalia ensiformis) dalam Rumen dan Pasca Rumen menggunakan Tikus sebagai Hewan Model. Dibimbing oleh DWIERRA EVVYERNIE dan DIDID DIAPARI. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi penggunaan Tepung Koro Pedang (TKP) (Canavalia ensiformis) dalam ransum melalui kajian dalam rumen (fermentabilitas dan kecernaan in vitro) dan pasca rumen (performa tikus secara in vivo). Penelitian in vitro dan in vivo menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan berupa: R0 (ransum control), R1 (R0+10% TKP), R2 (R0+20% TKP), R3 (R0+30% TKP), R4 (ransum kontrol+GHR1000). Data dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dan uji Duncan. Hasil penelitian in vitro menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi NH3, KCBK dan KCBO, namun dapat meningkatkan produksi VFA (P<0.01). Hasil penelitian in vivo pada tikus menunjukkan bahwa perlakuan tidak mempengaruhi konsumsi pakan. Penggunaan 20% TKP meningkatkan pertambahan bobot badan sebesar 1.98 g hari-1 (P<0.01) dengan konversi pakan terbaik (P<0.05) dan menghasilkan rasio protein/lemak daging 2.3 kali lipat dari kontrol (P<0.01). Sebagai simpulan yaitu di dalam ransum TKP aman digunakan di dalam rumen ruminansia dan sebaiknya 20% TKP tersebut lolos dari degradasi rumen untuk mencapai performa terbaik. Kata kunci: in vitro, in vivo, koro pedang, kualitas daging, performa, tikus
ABSTRACT LUKMAN MAULANA. Evaluation In vitro the Use of Jack Bean (Canavalia ensiformis) in the Rumen and Post Ruminal Using a Rats as a Model. Supervised by DWIERRA EVVYERNIE and DIDID DIAPARI. The purpose of this study is to evaluate the use of Jack Bean Meal (JBM) (Canavalia ensiformis) in diet through studies in rumen (fermentability and digestibility in vitro) and post ruminal (rat performance by in vivo). In vitro and in vivo studies useds randomized block desaign with 5 treatments of ration: R0 (control diet), R1 (R0+10% JBM), R2 (R0+20% JBM), R3 (R0+30% JBM), R4 (control diet+GHR1000. Data were analyzed by analysis of variance (ANOVA) and Duncan analysis. The results of in vitro studies showed that treatments did not affect NH3, KCBK, and KCBO, but increase the production of VFA (P<0.01). The results of in vivo studies on rats showed that treatments did not affect the consumption diet, the use of 20% addition of JBM increase body weight gain to by 1.98 g day-1 (P<0.01) with the conversion of the best feed (P<0.05) and produce a ratio of protein/fat meat 2.3 fold of control (P<0.01). As conclusion, namely in the diet to 30% JBM safe use in rumen of ruminants and preferably 20% JBM escaped rumen degradation to achieve the best performance. Keywords: in vitro, in vivo, jack bean, meat quality, performances, rat
EVALUASI IN VITRO PEMANFAATAN KORO PEDANG (Canavalia ensiformis) DALAM RUMEN DAN PASCA RUMEN MENGGUNAKAN TIKUS SEBAGAI HEWAN MODEL
LUKMAN MAULANA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini berjudul “Evaluasi In vitro Pemanfaatan Koro Pedang (Canavalia ensiformis) dalam Rumen dan Pasca Rumen menggunakan Tikus sebagai Hewan Model”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ditulis berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dari bulan April hingga September 2014. Koro pedang (Canavalia ensiformis) merupakan salah satu jenis kacangkacangan yang dapat digunakan sebagai bahan pangan sumber protein, akan tetapi belum dimanfaatkan sebagai pakan sumber protein untuk ternak. Komposisi gizi yang terkandung dalam koro pedang sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai pakan sumber protein maupun energi, akan tetapi kandungan gizi yang terlalu tinggi juga akan menimbulkan masalah terutama terhadap performa ternak, sehingga perlu adanya upaya alternatif dalam mengolah koro pedang untuk dijadikan pakan sebagai sumber protein dan energi. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik, saran, dan masukan yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi penyempurnaan di masa mendatang. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2015
Lukman Maulana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN METODE Bahan Alat Lokasi dan Waktu Penelitian Prosedur Rancangan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Fermentabilitas secara In vitro Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Respon Performa Tikus Kualitas Kimia Daging Tikus Keterkaitan In vitro terhadap In vivo SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP UCAPAN TERIMA KASIH
xii xii 1 2 2 2 3 3 6 7 7 8 9 11 12 13 13 13 13 15 19 19
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6
Komposisi pakan Kandungan nutrien pakan penelitian Konsentrasi NH3 dan VFA Kecernaan bahan kering dan bahan organik Nilai rata-rata performa tikus Komposisi kualitas kimia daging tikus
2 2 7 8 10 11
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Hasil analisis ragam konsentrasi NH3 Hasil analisis ragam konsentrasi VFA Hasil uji jarak duncan konsentrasi VFA Hasil analisis ragam KCBK Hasil analisis ragam KCBO Hasil analisis ragam konsumsi pakan Hasil analisis ragam PBBH Hasil uji jarak duncan PBBH Hasil analisis ragam konversi pakan Hasil uji jarak duncan konversi pakan Hasil analisis ragam protein daging Hasil uji jarak duncan protein daging Hasil analisis ragam lemak daging Hasil uji jarak duncan lemak daging Hasil analisis ragam rasio protein dan lemak daging Hasil uji jarak duncan rasio protein dan lemak daging
15 15 15 15 15 16 16 16 16 16 17 17 17 17 17 18
1
PENDAHULUAN Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki sumber daya hayati yang melimpah salah satunya tanaman kacang-kacangan. Kacang-kacangan merupakan sumber protein yang memiliki komponen atau senyawa yang dianggap memiliki fungsi-fungsi fisiologis tertentu sebagai pangan fungsional (Pramita 2008). Salah satu tanaman kacang-kacangan yang belum banyak dimanfaatkan di Indonesia yaitu kacang jenis koro pedang (Canavalia ensiformis). Koro pedang secara luas ditanam di Asia Selatan dan Asia Tenggara yang kini telah tersebar di seluruh daerah tropis dan telah ternaturalisasi di beberapa daerah di Indonesia, termasuk wilayah Jawa Tengah (Wahjuningsih dan Saddewisasi 2013). Koro pedang (Canavalia ensiformis) merupakan salah satu jenis kacangkacangan yang dapat digunakan sebagai sumber protein. Kandungan protein kacang koro pedang yaitu 28.51%, lemak 2.57%, dan serat 5.75% (Hasil Analisis Lab. PAU 2014). Melihat kandungan gizinya yang lengkap sangat disayangkan apabila koro pedang tidak dimanfaatkan terutama untuk pakan sebagai pakan sumber protein dan energi, karena saat ini koro pedang hanya dimanfaatkan sebagai bahan pangan alternatif pengganti kedelai dan belum dimanfaatkan sebagai pakan sumber protein dan energi untuk ternak. Komposisi gizi yang terkandung dalam koro pedang sangat memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai pakan sumber protein maupun energi, akan tetapi kandungan gizi yang terlalu tinggi juga akan menimbulkan masalah terutama terhadap performa ternak, sehingga perlu adanya upaya alternatif dalam mengolah koro pedang untuk dijadikan pakan sebagai sumber protein dan energi. Permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan koro pedang adalah adanya zat antinutrisi seperti tanin. Tanin merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman dan disintesis oleh tanaman (Jayanegara dan Sofyan 2008). Kemampuan tanin untuk membentuk kompleks dengan protein berpengaruh negatif terhadap fermentasi rumen dalam nutrisi ternak ruminansia. Tanin dapat berikatan dengan dinding sel mikroorganisme rumen dan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim (Smith et al. 2005). Tanin juga dapat berinteraksi dengan protein yang berasal dari pakan dan menurunkan ketersediaannya bagi mikroorganisme rumen (Tanner et al. 1994). Adanya kandungan zat anti nutrisi seperti tanin disinyalir dapat berpengaruh pada pencernaan ternak, sehingga perlu dilakukan penelitian secara in vitro terlebih dahulu sebelum diberikan langsung pada ternak. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui gambaran dari metabolisme koro pedang tanpa memberikan efek negatif di dalam rumen, karena target yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu ternak pedaging, baik ruminansia kecil maupun ruminansia besar untuk mengetahui seberapa besar pemanfaatan protein yang berasal dari koro pedang dalam meningkatkan massa otot dalam daging. Penelitian ini juga dilakukan terhadap tikus sebagai hewan model untuk mengetahui gambaran penyerapan pasca rumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan tepung koro pedang (Canavalia ensiformis) dalam ransum melalui kajian dalam rumen (fermentabilitas dan kecernaan in vitro) dan pasca rumen untuk melihat efek penyerapan ransum tersebut melalui performa in vivo tikus (Rattus novergicus) sebagai hewan model.
2
METODE Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian yaitu ransum standar tikus dan tepung kacang koro pedang. Adapun bahan lain yang digunakan yaitu larutan Mc Daugall, gas CO2, pepsin, HCl 0.2%, HgCl2 jenuh, NaCO3, asam borat berindikator, larutan HCl 0.5 N, larutan indikator PP (Phenolphtalien), vaselin, NaOH, NaOH 0.5 N, H2SO4. Penelitian ini menggunakan 105 ekor tikus. Tikus yang digunakan merupakan tikus jantan dalam fase pertumbuhan. Tikus dialokasikan ke dalam 5 perlakuan dan dilakukan pengelompokan secara acak ke dalam 3 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 7 ekor tikus. Rataan bobot badan tikus sebesar 117.84±23.52 g. Komposisi pakan disajikan pada Tabel 1 dan kandungan nutrien pakan penelitian disajikan pada Tabel 2. Tabel 1 Komposisi pakan Bahan pakan Jagung halus Pollard CGM CPO Tepung tapioka CaCO3 DCP Premix Garam
Jumlah Penggunaan (%) 56.32 19.29 16.24 3 2.5 1.5 1 0.1 0.05
Tabel 2 Kandungan nutrien pakan kontrol Kandungan Nutrien (%) Bahan BK Abu PK LK SK Ransum Kontrol 88.54 4.25 18.40 5.42 2.35
BETN 58.12
Hasil analisis Laboratorium Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi PAU IPB (2014)
Alat Peralatan yang digunakan untuk in vitro yaitu tabung kaca pyrex volume 100 ml dan tutup karet berventilasi, shaker bath, pipet serologi volume 25 ml, sentrifuge, gas CO2, vortex, cawan porselin, pompa vakum, kertas saring whatman 41, gegep, eksikator, oven 105 ⁰C, tanur listrik, cawan conway, pipet automatic 10-1000μl, finnpippet 1ml, mikroburet 10 ml, stirrer, seperangkat alat destilasi, erlenmeyer, kompor gas, panci press cooker, bulp, pipet volumetrik 5 ml, pipet serologi 5 ml, pipet serologi 1 ml, spoid, rak tabung reaksi dan tisu. Alat yang
3
digunakan selama pemeliharaan tikus yaitu kandang plastik, tempat minum, tempat pakan, dan timbangan. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di beberapa tempat yaitu Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Laboratorium Industri Pakan Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan dan daerah sekitar Kandang C Fakultas Peternakan IPB untuk pemeliharaan. Uji proksimat pakan dan daging tikus di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi PAU, IPB. Penelitian dilaksanakan dari bulan April sampai September 2014. Prosedur Pemeliharaan dan Persiapan Hewan Percobaan Pemeliharaan tikus dilakukan di kandang C Fakultas Peternakan IPB. Penelitian ini menggunakan 105 ekor tikus jantan fase pertumbuhan dengan berat badan rata-rata 117.84±23.52 g. Kandang percobaan dibersihkan setiap 3 hari sekali. Pakan yang diberikan berupa pellet yang diberikan setiap pagi dan sore hari serta air minum diberikan secara ad libitum. Tikus disiapkan dalam kandang yang terpisah berdasarkan perlakuan dan kelompok yang diberikan. Tikus dikelompokkan secara acak dan dilakukan masa adaptasi selama 1 minggu sebelum dilakukan penelitian. Pembuatan Tepung Koro Pedang Tahap pertama dalam pembuatan tepung koro pedang dimulai dari persiapan koro pedang, kemudian dilakukan perendaman. Perendaman dilakukan selama 1 hari bertujuan untuk menghilangkan senyawa glukosianida (HCN) yang terkandung dalam koro pedang. Selanjutnya dicuci dan ditiriskan. Koro pedang yang sudah ditiriskan kemudian dilakukan perebusan selama 30 menit. Koro pedang yang sudah direbus, ditiriskan kembali untuk diproses ke tahap selanjutnya yaitu pengovenan. Pengovenan dilakukan selama 2 hari dalam oven bersuhu 60 °C. Koro pedang yang sudah di oven kemudian digiling dan disaring untuk mendapatkan tepung koro pedang. Pengambilan Cairan Rumen Cairan rumen yang digunakan pada penelitian ini yaitu cairan rumen sapi PO yang diambil dari LIPI Cibinong. Proses pengambilan cairan rumen dimulai dari persiapan termos sebagai wadah untuk cairan rumen. Termos diisi dengan air panas terlebih dahulu sehingga suhunya mencapai 39 °C kemudian ditutup. Setelah cairan rumen tersedia, air di dalam termos dibuang, kemudian diisi dengan cairan rumen. Sebelum dimasukkan ke dalam termos, cairan rumen disaring kemudian diperas terlebih dahulu menggunakan kain kasa. Fermentasi In vitro Fermentasi in vitro dilakukan menggunakan metode Tilley dan Terry (1963). Ransum perlakuan ditimbang sebanyak 0.5 g dimasukkan ke dalam tabung fermentor yang ditambahkan 40 ml larutan McDougall dan 10 ml cairan
4
rumen. Sampel diinkubasi selama 4 jam untuk diambil supernatannya sebagai bahan analisis konsentrasi ammonia (NH3) dan VFA total. Analisis Konsentrasi Ammonia (NH3) Analisis konsentrasi NH3 digunakan teknik mikrodifusi Conway (Department of Dairy Science 1969). Bibir cawan conway diolesi dengan vaselin. Cairan supernatan sampel serta Na2CO3 diambil masing-masing 1 ml diletakkan pada bagian samping cawan, sedangkan asam borat berindikator diletakkan di bagian tengah cawan. Cawan conway yang sudah siap ditutup rapat, larutan Na2CO3 di campur dengan supernatan hingga merata dengan cara cawan tersebut digoyangkan dan dimiringkan. Sampel diinkubasi selama 8-24 jam untuk kemudian dititrasi dengan H2SO4 sampai terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi merah muda. Analisis Konsentrasi Volatile Fatty Acid (VFA) Analisis konsentrasi VFA dilakukan dengan menggunakan metode Destilasi Uap (Department of Dairy Science 1969). Pengukuran VFA dimulai dengan mengambil cairan supernatan sebanyak 5 ml dan H2SO4 sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung destilasi. Tabung erlenmeyer yang telah diisi 5 ml NaOH 0.5 N diletakkan pada bagian bawah kondensor untuk menampung ±250 ml cairan hasil destilasi. Setelah cairan destilasi terisi sebanyak ±250 ml, ditetesi cairan Phenolptalein (PP) sebanyak 2 tetes dan titrasi dengan KCl 0.5 N sampai warna berubah dari merah jambu menjadi bening. Pengukuran Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik Pengukuran bahan kering dan bahan organik dilakukan dengan metode Tilley dan Terry (1963) yang menggunakan residu supernatan dari hasil fermentasi. Sampel hasil fermentasi selama 48 jam diangkat. Endapan sampel di sentrifuge 3500 rpm selama 15 menit. Cairan bening yang berada pada bagian atas dibuang. Endapan tersebut ditambahkan dengan 50 mL larutan pepsin. Cairan yang sudah tercampur diinkubasi kembali selama 48 jam tanpa menggunakan tutup karet berventilasi. Setelah 48 jam endapan+pepsin disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman 41 yang dibantu menggunakan alat pompa vakum. Residu yang tidak tersaring disimpan pada cawan porselen yang telah diketahui bobotnya. Cawan yang berisi residu tersebut dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 °C selama 8-24 jam. Setelah dikeluarkan dari oven, cawan tersebut dimasukkan ke dalam eksikator untuk didinginkan dan ditimbang beratnya untuk menghitung kecernaan bahan kering. Selanjutan cawan tersebut dimasukkan ke dalam tanur 600 °C selama 6 jam, setelah itu keluarkan kembali dari tanur dan dimasukkan ke dalam eksikator. Cawan ditimbang untuk memperoleh data abu sampel yang digunakan untuk pengukuran kecernaan bahan organik. Konsumsi Pakan Pakan diberikan 2 kali dalam sehari yaitu pagi dan sore hari, sedangkan pengambilan sisa pakan dilakukan pada sore hari. Konsumsi pakan dicatat setiap hari dengan menimbang jumlah yang diberikan dan sisa pakan. Rumus yang digunakan :
5
Konsumsi pakan (g) = Jumlah yang diberikan (g) – sisa pakan (g) Pertambahan Bobot Badan Harian Pertambahan bobot badan harian ini diketahui dengan mengukur bobot badan awal per minggu dan bobot badan akhir per minggu. Pengukuran berat badan tikus dilakukan setiap minggu selama pemeliharaan. Rumus yang digunakan yaitu : PBBH (g/hari) =
Bobot badan akhir/minggu (g) - Bobot badan awal /minggu (g) Lama pemeliharaan selama seminggu (hari)
Konversi Pakan Konversi pakan dihitung dengan cara jumlah konsumsi pakan dalam sehari dibagi pertambahan bobot badan harian (PBBH) dengan rumus perhitungan sebagai berikut : Konversi pakan = [
Konsumsi pakan (g) Pertambahan bobot badan harian (g/hari)
] x 100 %
Analisis Kimia Daging Analisis kimia daging yang diamati pada penelitian ini yaitu bahan kering, protein, dan lemak daging yang mengacu pada AOAC 1984. Perhitungan rasio protein dan lemak daging dihitung dengan cara jumlah kandungan protein daging dibagi dengan jumlah kandungan lemak daging. Kadar Protein (AOAC 1984) Kadar protein menggunakan metode Kjeldahl (AOAC 1984). Sampel daging sebanyak 0.25 g (X) dimasukkan kedalam labu Kjeldahl 100 ml, kemudian ditambahkan 0.25 g katalis selenium dan 25 ml H2SO4 pekat. Campuran tersebut dipanaskan di atas pembakar Bunsen, kemudian di destruksi hingga jernih dan berwarna hijau kekuningan. Larutan dimasukkan ke dalam labu penyulingan untuk diencerkan dengan 300 ml air bebas N, kemudian ditambah dengan batu didih dan NaOH 33%. Labu penyulingan kemudian dipasang pada alat penyulingan dengan cepat hingga 2/3 cairan dalam labu penyulingan menguap dan ditangkap oleh larutan H2SO4 berindikator dalam labu Erlenmeyer. H2SO4 yang berlebih di dalam labu Erlenmeyer dititar dengan NaOH 0.3 N (Z ml) sampai terjadi perubahan warna menjadi biru kehijauan lalu dibandingkan dengan titar blanko (Y ml). Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar protein = [
(Y-Z) x N x 0.014 x titar NaOH x 6.25 X
] x 100 %
Kadar Lemak (AOAC1984) Pengukuran lemak menggunakan metode Soxhlet (AOAC 1984). Sebanyak 5 g sampel daging dibungkus menggunakan kertas saring kemudian dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet dengan alat kondensor diletakkan dibawahnya. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya. Pelarut tersebut kemudian didestilasi dan ditampung kembali. Abu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 ºC hingga konstan dan
6
didinginkan dalam desikator. Labu beserta lemak ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan persamaan berikut : Kadar lemak = [
Berat lemak (g) Berat sampel (g)
] x 100 %
Rancangan dan Analisis Data Perlakuan Penelitian in vitro dan in vivo teridiri atas 5 perlakuan, dengan susunan ransum in vitro maupun in vivo sebagai berikut: R0 = Kontrol negatif (ransum kontrol) R1 = R0+10% tepung koro pedang R2 = R0+20% tepung koro pedang R3 = R0+30% tepung koro pedang R4 = Kontrol positif (ransum kontrol + GHR1000) Rancangan Percobaan Rancangan percobaan untuk penelitian in vitro menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 3 kali periode pengambilan cairan rumen sebagai kelompok. Penelitian in vivo menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan dan 3 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 7 ekor tikus jantan fase pertumbuhan dengan rataan bobot badan 117.84±23.52 g. Data dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) menggunakan software statistical package for social science (SPSS) 16.0. Jika diperoleh perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan (Steel dan Torrie 1995). Model linear analisis ragam yaitu: Yij= μ +Ti + βj+ εij Keterangan : Yij : Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j μ : Nilai rataan umum Ti : Pengaruh perlakuan ke-i βj : Pengaruh kelompok ke-j εij : Error perlakuan ke-i dan kelompok ke-j Peubah yang Diamati Peubah yang diamati pada penelitian in vitro adalah konsentrasi NH3, VFA, kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan bahan organik (KCBO), sedangkan pada penelitian in vivo yaitu konsumsi pakan, pertambahan bobot badan harian, konversi pakan, dan kualitas kimia daging tikus seperti bahan kering, protein, lemak serta rasio protein/lemak daging tikus.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Fermentabilitas secara In vitro Fermentabilitas ransum secara in vitro dapat diukur dengan meggunakan pengukuran konsentrasi amonia (NH3) dan Volatile Fatty Acid (VFA). Pengukuran fermentabilitas tersebut merupakan salah satu faktor penentu kualitas suatu bahan pakan. VFA merupakan sumber energi utama bagi ternak yang dihasilkan dari proses fermentasi pakan dalam rumen (Orskov dan Ryle 1990), sedangkan amonia merupakan sumber nitrogen utama yang sangat penting untuk sintesis protein mikroba (Sakinah 2005). Hasil pengukuran konsentrasi NH3 dan VFA dapat dilihat pada Tabel 3.
Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4
Tabel 3 Konsentrasi NH3 dan VFA Peubah NH3 VFA ---------------------- mM ---------------------5.41±0.86 106.28±5.81b 5.82±0.71 111.09±3.32b 5.95±1.89 121.89±5.64ab 7.51±0.33 144.71±6.31a 5.48±0.38 107.82±6.10b
R0 = ransum kontrol, R1 = R0 + 10 % tepung koro pedang, R2 = R0 + 20 % tepung koro pedang, R3 = R0 + 30 % tepung koro pedang, R4 = ransum kontrol + GHR1000. Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01).
Konsentrasi Amonia (NH3) Penambahan koro pedang di dalam ransum tidak memberi pengaruh terhadap konsentrasi NH3. Hal ini menunjukkan bahwa semua perlakuan memberikan produksi amonia yang sama. Amonia diproduksi bersama peptida dan asam amino yang akan digunakan oleh mikroba rumen dalam pembentukan protein mikroba (McDonald et al. 2002). Rataan konsentrasi NH3 yang didapatkan pada penelitian ini yaitu sebesar 6.03 mM. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kisaran optimum NH3 dalam rumen berkisar 6-21 mM. Kadar NH3 pada penelitian ini masih rendah, hal ini menunjukkan bahwa amonia yang terbentuk digunakan lebih banyak untuk pertumbuhan mikroba rumen. Kandungan protein koro pedang sebesar 28.51%, sehingga semakin tinggi level koro pedang yang ditambahkan, semakin tinggi pula kandungan protein dalam ransum. Tingginya kandungan protein dalam ransum pada penelitian ini seharusnya dapat meningkatkan konsentrasi NH3, namun konsentrasi NH3 yang didapat masih tergolong rendah. Rendahnya konsentrasi NH3 mencerminkan protein ransum sulit terdegradasi dalam rumen. Adanya kandungan zat antinutrisi pada koro pedang seperti tanin diduga dapat mengikat protein sehingga menghambat proses kecernaan. Menurut Agbede dan Aletor (2005) kandungan tanin pada koro pedang sebesar 900 mg. Tanin memiliki pengaruh negatif dalam proses kecernaan terhadap degradasi protein, tanin akan berinteraksi untuk menghambat proses degradasi protein (Getachew et al. 2008).
8
Konsentrasi Total Volatile Fatty Acid (VFA) Penambahan koro pedang dalam ransum dapat meningkatkan produksi VFA sangat nyata (P<0.01). Produksi VFA menggambarkan degradibilitas bahan organik di dalam rumen, seperti karbohidrat dan protein kasar. Mikroba rumen mendegradasi bahan organik tersebut menjadi asam asetat, propionat dan butirat yang merupakan asam lemak rantai pendek komponen VFA. Konsentrasi VFA yang semakin meningkat seiring dengan penambahan koro pedang dalam ransum yang semakin tinggi. Ransum dengan penambahan koro pedang 30% menunjukkan tingkat konsentrasi VFA yang paling tinggi diantara perlakuan lain (Tabel 3). Hal ini diduga karena adanya penambahan persentasi karbohidrat dari koro pedang dalam ransum, sehingga semakin tinggi level koro pedang yang ditambahkan dalam ransum, semakin baik untuk dijadikan sumber energi karena karbohidrat yang terkandung masih mudah dicerna. Menurut Arora (1986) makanan yang memiliki karbohidrat tinggi menghasilkan asetat dan propionat yang tinggi pula sehingga akan meningkatkan jumlah VFA total, selain itu VFA hasil fermentasi karbohidrat oleh mikroba rumen akan dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi. Hasil konsentrasi VFA dalam penelitian ini berada pada selang 106.28141.71 mM. Menurut Sutardi (1979) kadar VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal rumen adalah 80-160 mM. Hasil tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi VFA pada penelitian masih berada pada kisaran normal.
Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik Kecernaan merupakan gambaran dari tingkat konsumsi ternak, sehingga dapat dilihat seberapa banyak bahan makanan yang dikonsumsi oleh ternak yang akan diserap oleh tubuh. Hasil pengukuran KCBK dan KCBO dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kecernaan bahan kering dan bahan organik Peubah Perlakuan KCBK KCBO ---------------------- % ---------------------R0 79.24±0.33 75.02±0.63 R1 80.84±0.32 76.09±0.48 R2 81.70±2.59 77.08±1.07 R3 82.00±0.76 77.23±0.71 R4 78.48±1.97 74.51±1.64 R0 = ransum kontrol, R1 = R0 + 10 % tepung koro pedang, R2 = R0 + 20 % tepung koro pedang, R3 = R0 + 30 % tepung koro pedang, R4 = ransum kontrol + GHR1000.
Kecernaan Bahan Kering Penambahan koro pedang di dalam ransum tidak berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan koro pedang sampai level 30% dalam ransum dapat dicerna sama baiknya dengan ransum tanpa penambahan koro pedang, sehingga dengan penambahan koro pedang tidak
9
mengganggu kecernaan ransum dalam rumen. Semakin tinggi koro pedang yang ditambahkan dalam ransum maka semakin tinggi nilai kecernaannya, sehingga koro pedang bisa dijadikan sebagai pakan sumber protein dan energi yang mudah terdegradasi. Nilai kecernaan bahan kering (KCBK) yang didapatkan sangat tinggi yaitu pada kisaran 78.48% sampai 82.00% (Tabel 4). Tingginya nilai kecernaan suatu bahan pakan maka zat gizi yang diserap oleh tubuh semakin tinggi dan kualitas bahan pakan tersebut pun semakin berkualitas (Putri 2006), sehingga ransum pada penilitian ini tergolong ransum dengan kualitas yang baik karena nilai kecernaannya cukup tinggi. Kecernaan Bahan Organik Penambahan koro pedang di dalam ransum tidak berpengaruh terhadap kecernaan bahan organik. Hal ini menunjukkan bahwa bahan organik dari ransum yang ditambahkan koro pedang dapat dicerna sama baiknya dengan ransum tanpa penambahan koro pedang. Nilai kecernaan bahan organik (KCBO) tidak begitu berbeda jauh dengan nilai kecernaan bahan kering. Nilai kecernaan bahan organik pada penelitian ini berada pada kisaran 74.51% sampai 77.23%. Semakin tinggi suatu nilai kecernaan bahan organik, semakin tinggi pula bahan organik yang akan diserap (Halimah 2014). Kecernaan bahan organik dipengaruhi oleh serat kasar yang ada pada ransum, apabila kandungan serat kasar semakin tinggi maka bahan organik yang tercerna semakin rendah karena pencernaan serat kasar tergantung pada mikroba rumen (Amalia 2012). Penambahan koro pedang dalam ransum masih bisa ditambahkan sampai level 30%, sehingga penambahan pada level tersebut masih aman digunakan tanpa memberikan efek negatif di dalam rumen. Hal ini dilihat dari tingkat degradasi bahan kering dan bahan organik tertinggi diperoleh pada level 30%, sehingga koro pedang dapat dikatakan masih bisa meningkatkan efektifitas fermentasi dalam rumen sampai level tersebut.
Respon Performa Tikus Parameter performa yang diamati selama penelitian yaitu konsumsi pakan, pertambahan bobot badan harian (PBBH), dan konversi pakan. Data penelitian disajikan pada Tabel 5. Konsumsi Pakan Kebutuhan gizi pada ternak dipenuhi melalui ransum yang dikonsumsi untuk memperoleh produksi yang optimal. Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan koro pedang di dalam ransum tidak berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Hal ini menunjukkan tingkat kesukaan tikus terhadap ransum yang ditambahkan koro pedang hampir sama dengan kontrol. Ransum kontrol negatif maupun positif memiliki nilai konsumsi yang sama tinggi jika dibandingkan dengan ransum yang ditambahkan koro pedang 10% sampai 30%, namun ransum dengan penambahan koro pedang menunjukkan tingkat konsumsi yang sama besar, baik dengan penambahan 10%, 20%, dan 30%.
10
Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4
Tabel 5 Nilai rata-rata performa tikus Peubah Konsumsi PBBH -------- g/ekor/hari -------13.97±0.03 1.09±0.12c 12.72±1.37 1.96±0.28a 13.15±1.14 1.98±0.35a 12.83±1.03 1.51±0.19b 13.33±0.83 1.53±0.21b
Konversi Pakan ---- % ---12.81±1.54b 6.48±0.97a 6.64±1.33a 8.49±1.37a 8.71±1.62a
R0 = ransum kontrol, R1 = R0 + 10 % tepung koro pedang, R2 = R0 + 20 % tepung koro pedang, R3 = R0 + 30 % tepung koro pedang, R4 = ransum kontrol + GHR1000. Huruf yang berbeda menunjukkan perbandingan pada kolom yang sama.
Tabel 5 memperlihatkan bahwa penggunaan koro pedang dengan level yang berbeda tidak terlalu berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Kandungan protein koro pedang yang tinggi diduga mampu meningkatkan palatabilitas ternak sehingga laju pencernaan akan semakin cepat. Penambahan koro pedang dengan level 10% sampai 30% memperlihatkan penurunan dari ransum kontrol. Hal ini disebabkan karena koro pedang memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, seperti protein, lemak, serat, dan kandungan gizi lainnya. Kandungan karbohidrat koro pedang sebesar 50.8% (Doss et al. 2011). Tingginya energi dalam ransum menentukan banyaknya ransum yang dikonsumsi, semakin tinggi energi ransum maka konsumsinya semakin menurun. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) Pertambahan bobot badan diukur untuk mengetahui kualitas bahan pakan yang digunakan, diperoleh melalui pengukuran bobot badan yang dilakukan pada periode tertentu. Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan koro pedang dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian yang sangat nyata (P<0.01). Pertambahan bobot badan sangat dipengaruhi oleh jumlah dan kandungan nutrisi pakan yang dikonsumsi. Penambahan koro pedang dengan level 10% dan 20% memberikan pengaruh pertambahan bobot badan harian yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain, namun pada saat ditambahkan 30% koro pedang terjadi penurunan pertambahan bobot badan harian. Hal ini diduga karena adanya zat antinutrisi yaitu tanin yang dapat mengikat protein. Pada penambahan 10% sampai 20% koro pedang kandungan tanin belum cukup dalam mengikat protein sehingga protein masih bisa terdegradasi, namun jika ditambahkan 30% koro pedang kandungan tanin akan semakin tinggi, tingginya kandungan tanin pada level tersebut sudah mampu mengikat protein sehingga protein menjadi tidak dapat digunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan jaringan. Penambahan koro pedang yang efektif yaitu pada level 10% sampai 20% dengan hasil yang diperoleh sebesar 1.96 g hari-1 dan 1.98 g hari-1, apabila ditambahkan dengan level yang lebih tinggi akan sama dengan kontrol.
11
Konversi Pakan Konversi pakan merupakan perbandingan antara jumlah konsumsi dengan produksi yang dicapai pada periode tersebut. Nilai konversi pakan berkaitan dengan tingkat konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan (Fachrudin 2007). Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan koro pedang dapat menurunkan konversi pakan secara nyata (P<0.05). Perlakuan tanpa penambahan koro pedang (R0) memiliki nilai konversi pakan paling tinggi di antara perlakuan lain dan nilai konversi pakan paling rendah yaitu pada penambahan 10% dan 20% tepung koro pedang dengan nilai yang saling mendekati yaitu sebesar 6.48% dan 6.64%. Semakin rendah nilai konversi pakan, semakin baik karena jumlah pakan yang dihabiskan untuk menghasilkan berat tertentu adalah sedikit (Pascual 1989). Hal ini membuktikan bahwa ransum dengan level 10% dan 20% tepung koro pedang mempunyai kualitas pakan yang baik di antara perlakuan yang lain karena nilai dari kedua perlakuan tersebut tidak berbeda jauh.
Kualitas Kimia Daging Tikus Hasil analisis mengenai kualitas kimia daging selama penelitian seperti protein dan lemak memberikan perbedaan yang nyata (P<0.05), sedangkan rasio protein/lemak daging tikus memberikan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). Data hasil analisis kimia daging dapat dilihat pada Tabel 6.
Perlakuan R0 R1 R2 R3 R4
Tabel 6 Komposisi kualitas kimia daging (% BK) Peubah BK Protein Lemak ------------------------ % -----------------------23.32±0.37 74.74±0.76a 16.78±0.98c 27.12±0.66 65.23±1.48b 12.19±1.27b 21.72±1.45 74.96±4.06a 7.46±1.41a 22.26±0.23 79.22±1.20a 14.47±0.46b 23.65±1.56 78.99±3.94a 13.35±0.60b
Rasio P/L 4.46±0.21b 5.39±0.68b 10.18±1.38a 5.48±0.26b 5.84±0.55b
R0 = ransum kontrol, R1 = R0 + 10 % tepung koro pedang, R2 = R0 + 20 % tepung koro pedang, R3 = R0 + 30 % tepung koro pedang, R4 = ransum kontrol + GHR1000. Huruf yang berbeda menunjukkan perbandingan pada kolom yang sama.
Penambahan koro pedang dalam ransum memberikan perbedaan yang nyata terhadap kandungan protein daging (P<0.05). Kandungan protein daging yang didapat pada penilitian ini berkisar antara 65.23% - 79.22%. Menurut Anggorodi (1994), komponen bahan kering daging terbesar adalah protein yaitu sebesar 75% - 80%. Deposisi protein daging pada penelitian ini dinyatakan sebagai massa protein daging. Protein yang terdeposisi ke dalam daging merupakan protein selisih dari yang terserap dan yang dimanfaatkan oleh tubuh, protein yang tidak dimanfaatkan untuk perbaikan jaringan akan dideposisi ke dalam daging menjadi tinggi (Jamilah et al. 2013). Penambahan koro pedang dalam ransum dapat menurunkan kadar lemak daging (P<0.05). Kandungan lemak daging selama
12
penelitian berkisar 7.46% - 16.78%. Kadar lemak daging yang paling rendah yaitu pada penambahan koro pedang 20%, hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan koro pedang sebesar 20% merupakan penambahan yang paling efektif dalam menurunkan kadar lemak daging. Hal ini tentu sangat positif, karena konsumen cenderung memilih daging dengan kadar lemak yang rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju sintesis dan degradasi protein tidak seimbang, dilihat dari rasio protein dan lemak daging yang sangat berbeda nyata (P<0.01). Perhitungan ratio protein/lemak daging tikus bertujuan untuk mengetahui perbandingan antara protein dan lemak dalam daging tikus. Ratio protein/lemak daging yang paling tinggi adalah ransum dengan penambahan 20% tepung koro pedang yaitu 2.3 kali lipat lebih besar dari kontrol dengan nilai 10.18, sedangkan untuk perlakuan yang lain memberikan pengaruh yang sama. Menurut Lawrie (2003) komposisi daging ruminansia dengan pakan sesuai kebutuhan ternak mempunyai komposisi 75% air, 19% protein, dan 2.5% lemak. Komposisi tersebut menujukkan bahwa rasio protein/lemak daging ruminansia yaitu sebesar 7.6, sehingga rasio protein/lemak daging yang didapat pada penilitian ini lebih tinggi dibanding rasio protein/lemak daging pada umumnya. Tingginya rasio protein/lemak dalam daging tikus selama penelitian memperlihatkan bahwa ransum yang diberikan dengan level 20% tepung koro pedang cukup berkualitas sehingga mampu meningkatkan rasio protein/lemak daging (Tabel 6). Pakan sumber protein dapat digunakan untuk menghasilkan massa protein yang tinggi sehingga akan berdampak pada rasio protein/lemak daging. Hal ini membuktikan bahwa koro pedang bisa dikonsumsi oleh ternak terutama ternak pedaging sebagai ransum sumber protein untuk meningkatkan produksi daging dengan kualitas yang lebih baik, namun pemberian koro pedang yang terlalu tinggi tidak mampu semuanya termanfaatkan di dalam tubuh tikus, sehingga penambahan koro pedang sebesar 20% merupakan penambahan yang paling optimal, apabila ditambakan lebih dari 20% akan menghasilkan nilai yang hampir sama dengan kontrol.
Keterkaitan In vitro terhadap In vivo Serangkaian penelitian pemanfaatan koro pedang dalam ransum telah dilakukan di laboratorium dan di kandang melalui in vitro dan in vivo. Hasil menunjukkan adanya peningkatan produksi VFA dan pertambahan bobot badan harian seiring dengan penambahan koro pedang dalam ransum. Ransum dengan penambahan koro pedang 30% menunjukkan tingkat konsentrasi VFA yang paling tinggi diantara perlakuan lain, sehingga level tersebut merupakan level yang optimal untuk menghasilkan energi bagi ternak. Hal ini mengindikasikan ransum yang ditambahkan 30% koro pedang apabila diberikan ke ternak dapat meningkatkan nilai energi metabolisme dalam proses penggemukan (Arora 1986), sehingga energi yang digunakan selain untuk hidup pokok juga digunakan untuk pertumbuhan. Semakin tinggi level koro pedang yang ditambahkan dalam ransum, semakin baik untuk dijadikan sumber energi. Hal ini terbukti dengan meningkatnya pertambahan bobot badan harian pada tikus ketika diberikan ransum yang ditambahkan koro pedang, namun pada saat ditambahkan 30% koro pedang mengalami penurunan pertambahan bobot badan harian. Hal ini diduga
13
karena adanya kandungan tanin yang semakin meningkat, sehingga tanin tersebut sudah bisa mengikat protein pakan yang tidak bisa dicerna oleh ternak non ruminansia. Tanin dapat berikatan dengan protein mukosa usus sehingga sangat mempengaruhi penyerapan nutrien (Butler dan Rogler 1992).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Tepung koro pedang dapat digunakan sampai 30% di dalam ransum ruminansia. Selanjutnya diperlukan upaya agar 20% tepung koro pedang dalam ransum sebaiknya tersedia di dalam alat pencernaan pasca rumen untuk diserap, supaya dapat menghasilkan performa ternak terbaik dengan kualitas daging terbaik yang tinggi protein. Saran Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan koro pedang kepada ternak langsung dengan level yang sama.
DAFTAR PUSTAKA Agbede JO, Aletor VA. 2005. Studies of the chemical composition and protein quality evaluation of differently processed Canavalia ensiformis and Mucuna pruriens seed flours. JFCA. 18:89-103. Amalia S. 2012. Pengaruh level penggunaan cassabio dalam konsentrat terhadap fermentabilitas dan kecernaan ransum ruminansia (in vitro) [skrispi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Anggorodi R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta (ID): PT Gramedia AOAC. 1984. Official Methods of Analysis. Association of Official analytical Chemist. Washington DC (US). Pub. Arora SP. 1986. Pencernaan Mikroba pada Rumen. Yogyakarta (ID): UGM Press. Butler LG, Rogler JC. 1992. Biochemical mechanism of the antinutrional effects of tannins. Di dalam: Chi-Tang H, Chang YL, Mou-Tuan H, editor. Phenolic Compound in Food and Their Effects on Health I. Whasington DC (USA): American Chemical Soc. Pp. 298-304. Department of Dairy Science. 1969. General Laboratory Procedures. Madison (US): University of Wisconsin. Doss A, Pugalenthi M, Vadivel V. 2011. Nutrional evaluation of wild jack bean (Canavalia ensiformis DC) seeds in different location of South India. World Applied Sciences Journal. 13(7):1606-1612.
14
Fachrudin A. 2007. Pengaruh taraf penggunaan bungkil biji jarak pagar (Jairopha curcus) dalam ransum terhadap penampilan produksi mencit (Mus musculus) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Getachew G, Pittrof W, Putnam DH, Dandekar A, Goyal S, De Peters EJ. 2008. The influence of addition of gallic acid, tannic acid, or quebracho tannins to alfafa hay on in vitro rumen fermentation and microbial protein synthesis. Anim Feed Sci Tech. 140: 444-461. Halimah SF. 2014. Daya hidup mikroorganisme rumen dan kecernaan in vitro ransum yang mengandung kara benguk (Mucuna pruriens) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jamilah, Suthama N, Mahfudz LD. 2013. Production performance and immune responses of broilers given single step down diet with inclution of citric acid as acidifier. JITV 18(4): 251-257. Jayanegara A, Sofyan A. 2008. Penentuan aktivitas biologis tanin beberapa hijauan secara in vitro menggunakan ‘hohenheim gas test’ dengan polietilen glikol sebagai determinan. Med Pet. 31(1):44-52. Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Edisi Kelima. Parakkasi A, penerjemah. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. McDonald P, Edwards R, Greenhalgh J. 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. New York (US): Ashford Colour Press. Orskov ER. Ryle M. 1990. Energy Nutrition in Ruminant. London (GB): Elsevier Pascual FP. 1989. Nutrition and Feeding of Penaeus monodon. Tigbauan (PH): SEAFDEC Aquaculture Department. Pramita DS. 2008. Pengaruh teknik pemanasan terhadap kadar asam fitat dan aktifitas antioksidan koro benguk (Mucuna pruriens), koro glinding (Phaseolus lunatus), dan koro pedang (Canavalia ensiformis) [skripsi]. Surakarta (ID): Universitas Sebelas Maret. Putri HA. 2006. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum yang diberi urea molasses multinutrient block atau suplemen pakan multinutrien [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sakinah D. 2005. Kajian suplementasi probiotik bermineral terhadap produksi VFA, NH3, dan kecernaan zat makanan pada domba [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Smith AH, Zoetendal E, Mackie RI. 2005. Bacterial mechanism to overcome inhibitory effects of dietary tannins. Microb Ecol. 50:197-205. Steel GD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Sutardi T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktifitas ternak. Prosiding seminar penelitian dan penunjang peternakan. Bogor (ID): LPP Deptan 2:91-103. Tanner GJ, Moore AE, Larkin PJ. 1994. Proanthocyanidins inhibit hydrolysis of leaf proteins by rumen microflora in vitro. BR J Nutr. 74:947-958. Tilley JMA, Terry RA. 1963. A two-stage technique for the in vitro digestion of forage crops. British (GB): J British Grassland Soc. 18:104-111. Wahjuningsih SB, Saddewisasi W. 2013. Pemanfaatan koro pedang pada aplikasi produk pangan dan analisis ekonominya. Riptek. 7(2):1-10.
15
Lampiran 1 Hasil analisis ragam konsentrasi NH3 SK DB JK KT F hitung F 0.05 Total 14 13.35 0.95 Perlakuan 4 8.81 2.20 2.38 3.84 Kelompok 2 1.85 0.93 2.75 4.46 Galat 8 2.69 0.34 S=signifikan; SS=sangat signifikan; TS=tidak signifikan Lampiran 2 Hasil analisis ragam konsentrasi VFA SK DB JK KT F hitung Total 14 3356.71 239.76 Perlakuan 4 3068.26 767.06 14.94 Kelompok 2 102.71 51.35 2.01 Galat 8 204.34 25.54 S=signifikan; SS=sangat signifikan; TS=tidak signifikan
F 0.01
Ket
7.01 8.65
TS TS
F 0.05
F 0.01
Ket
3.84 4.46
7.01 8.65
SS TS
Lampiran 3 Hasil uji jarak duncan konsentrasi VFA Subset Perlakuan N 1 2 R3 3 144.71 R2 3 121.89 R1 3 R4 3 R0 3 Sig. 1.000 1.000 Lampiran 4 Hasil analisis ragam KCBK SK DB JK KT F hitung Total 14 50.41 3.60 Perlakuan 4 28.28 7.07 3.33 Kelompok 2 4.25 2.13 0.95 Galat 8 17.88 2.23 S=signifikan; SS=sangat signifikan; TS=tidak signifikan
3
111.08 107.83 106.28 0.297
F 0.05
F 0.01
Ket
3.84 4.46
7.01 3.84
TS TS
Lampiran 5 Hasil analisis ragam KCBO SK DB JK KT F hitung F 0.05 25.77 Total 14 1.84 4 17.58 4.40 Perlakuan 3.06 3.84 2 2.87 1.44 Kelompok 2.16 4.46 8 5.32 0.66 Galat S=signifikan; SS=sangat signifikan; TS=tidak signifikan
F 0.01
Ket
7.01 3.84
TS TS
16
Lampiran 6 Hasil analisis ragam konsumsi pakan SK DB JK KT F hitung F 0.05 Total 14 12.81 0.92 Perlakuan 4 2.92 0.73 1.45 3.84 Kelompok 2 1.01 0.50 0.45 4.46 Galat 8 8.88 1.11 S=signifikan; SS=sangat signifikan; TS=tidak signifikan Lampiran 7 Hasil analisis ragam PBBH SK DB JK KT F hitung F 0.05 Total 14 2.24 0.16 Perlakuan 4 1.65 0.41 10.97 3.84 Kelompok 2 0.29 0.14 3.86 4.46 Galat 8 0.30 0.04 S=signifikan; SS=sangat signifikan; TS=tidak signifikan
F 0.01
Ket
7.01 8.65
TS TS
F 0.01
Ket
7.01 8.65
SS TS
Lampiran 8 Hasil uji jarak duncan PBBH Perlakuan
N
R2 R1 R4 R3 R0 Sig.
3 3 3 3 3
Subset 2
1 1.98 1.96
3
1.53 1.50 0.90
1.08 1.00
0.85
Lampiran 9 Hasil analisis ragam konversi pakan SK DB JK KT F hitung 98.49 Total 14 7.04 79.29 19.82 Perlakuan 4 4.63 8.56 4.28 Kelompok 2 3.22 Galat 8 10.64 1.33 S=signifikan; SS=sangat signifikan; TS=tidak signifikan
F 0.05
F 0.01
Ket
3.84 4.46
7.01 8.65
S TS
Lampiran 10 Hasil uji jarak duncan konversi pakan Perlakuan
N
R1 R2 R3 R4 R0 Sig.
3 3 3 3 3
Subset 1 6.48 6.64 8.49 8.71 .053
2
12.81 1.000
17
Lampiran 11 Hasil analisis ragam protein daging SK DB JK KT F hitung F 0.05 292.93 Total 9 256.75 64.19 Perlakuan 4 8.66 6.39 7.41 7.41 Kelompok 1 1.03 7.71 28.77 7.19 Galat 4 S=signifikan; SS=sangat signifikan; TS=tidak signifikan
F 0.01
Ket
15.98 21.20
S NS
Lampiran 12 Hasil uji jarak duncan protein daging Subset Perlakuan R3 R4 R2 R0 R1 Sig.
N 2 2 2 2 2
1 79.22 78.99 74.96 74.74
2
65.24 1.00
0.18
Lampiran 13 Hasil analisis ragam lemak daging SK DB JK KT F hitung F 0.05 Total 9 101.33 Perlakuan 4 96.21 24.05 9.74 6.39 Kelompok 1 2.47 2.47 3.74 7.71 Galat 4 2.64 0.66 S=signifikan; SS=sangat signifikan; TS=tidak signifikan
F 0.01
Ket
15.98 21.20
S NS
Lampiran 14 Hasil ujia jarak duncan lemak daging Perlakuan
N
R2 R1 R4 R3 R0 Sig.
2 2 2 2 2
1 7.45
Subset 2
3
12.18 13.55 14.47 1.00
0.05
Lampiran 15 Hasil analisis ragam rasio protein dan lemak daging SK DB JK KT F hitung F 0.05 F 0.01 Total 9 43.15 Perlakuan 4 40.37 10.09 20.21 6.39 15.98 Kelompok 1 0.78 0.78 1.56 7.71 21.20 Galat 4 2.00 0.50 S=signifikan; SS=sangat signifikan; TS=tidak signifikan
16.78 1.00
Ket SS NS
18
Lampiran 16 Hasil uji jarak duncan rasio protein dan lemak daging Subset Perlakuan N 1 R2 2 10.18 R4 2 R3 2 R1 2 R0 2 Sig. 1.00
2 5.84 5.48 5.39 4.46 0.13
19
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 September 1992. Penulis merupakan anak ke-enam dari tujuh bersudara dari pasangan Bapak H. Ujang (Alm) dan Ibu Eryeti. Penulis mulai menempuh pendidikan formal di SDN Tegal Jaya 02 pada tahun 1999-2005. Pendidikan dilanjutkan di SMPN 1 Kemang pada tahun 2005-2008. Pendidikan lanjutan menengah atas di MAN 1 Kota Bogor pada tahun 2008-2011. Penulis diterima di IPB melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM) IPB pada tahun 2011 dan diterima di Program Studi Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Koran Kampus IPB sebagai reporter pada tahun 2011-2013, Himpunan Mahasiswa Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) sebagai staf biro Keilmuan dan Teknologi pada tahun 2012-2013, dan staf biro Keilmuan dan Keprofesian pada tahun 2013-2014. Penulis merupakan penerima beasiswa Bank Mandiri (Mandiri Education) periode 2011-2013. Penulis juga mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta (PKM KC) sebagai ketua dengan judul “Poucowpants” Teman Setia Peneliti Ilmu Nutrisi dalam Pengumpulan Feses, dan Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKM P) sebagai anggota dengan judul Peningkatan Produktivitas Daging dengan Penambahan Feed Additive Herbal Melalui Pemanfaatan Tepung Koro Benguk dan Koro Pedang yang didanai oleh Direktorat Pendidikan Tinggi pada tahun 2014. Penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengelolaan Kesehatan Ternak Tropis (PKTT) semester genap tahun akademik 2014-2015.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya hingga tugas akhir ini dapat terselesaikan. Terima kasih penulis sampaikan kepada DIKTI yang telah mendanai penelitian ini pada Program Kreativitas Mahasiswa tahun 2014. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Dwierra Evvyernie, MS MSc dan Dr Ir Didid Diapari, MSi selaku pembimbing skripsi atas bimbingan, pelajaran dan motivasi yang telah diberikan. Kepada Dr rer nat Nur Rochmah Kumalasari, SPt MSi selaku dosen pembahas seminar tanggal 23 Januari 2015. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Ir Muhammad Agus Setiana, MS dan Ir Hj Komariah, MSi selaku dosen penguji sidang pada tanggal 31 Agustus 2015. Penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Dian selaku teknisi Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian ini berlangsung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada almarhum Ayahanda H. Ujang dan Ibunda Eryeti serta keluarga yang selalu menjadi penyemangat bagi penulis. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada rekan sepenelitian dan sebimbingan (Adah dan Gresy), seluruh anggota Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, serta seluruh sahabat INTP 48 (Desolator) atas segala bantuan dan dukungannya.