KESIAPAN MENIKAH, PEMENUHAN TUGAS DASAR, DAN TUGAS KRISIS PADA KELUARGA ANAK PRASEKOLAH
RESTYSTIKA DIANESWARI
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis pada Keluarga Anak Prasekolah adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2011
Restystika Dianeswari NIM I24070043
ABSTRACT Restystika Dianeswari. Marital Readiness, Basic Task, and Crisis Task Fulfillment in Preschool Families. Supervised by Euis Sunarti. The aimed of this research was to analyze the difference, correlation, and influence of marital readiness, basic task and crisis task fulfillment in preschool families. Ninety preschool families (children age three, four, and five years old) was chosen by simple random sampling in Bubulak, Bogor, East Java. This study showed a difference among marital readiness of husband and wife, where husband had higher score than wife. There was no significant correlation between marital readiness of husband, wife, and basic task of the family but positive correlation was found between husband’s marital readiness (intellectual, emotional, and social dimenssion), wife’s marital readiness (intellectual dimenssion) and family crisis task. Husband’s marital readiness (intelectual and social readiness dimension) had a positif influence toward family crisis task. Keywords : basic task, crisis task, marital readiness, preschool, family ABSTRAK Restystika Dianeswari. Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis pada Keluarga Prasekolah. Dibimbing oleh Euis Sunarti. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan, hubungan, dan pengaruh kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga prasekolah. Sebanyak 90 keluarga prasekolah (anak umur tiga, empat, dan lima tahun) dipilih di Desa Bubulak, Bogor, Jawa Barat dengan teknik simple random sampling. Penelitian ini menunjukkan perbedaan antara kesiapan menikah suami dan istri dengan nilai kesiapan menikah suami yang lebih tinggi daripada istri. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kesiapan menikah suami, istri, dan pemenuhan tugas dasar keluarga tetapi hubungan yang positif terdapat diantara kesiapan menikah suami (dimensi intelektual, sosial, dan emosi), kesiapan menikah istri (dimensi kesiapan intelektual) dan pemenuhan tugas krisis keluarga. Kesiapan menikah suami (dimensi intelektual dan sosial) memiliki pengaruh positif terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga. Kata kunci: tugas dasar, tugas krisis, kesiapan menikah, keluarga prasekolah,
RINGKASAN RESTYSTIKA DIANESWARI. Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis pada Keluarga Prasekolah. Dibawah bimbingan EUIS SUNARTI. Perkembangan sosial yang pesat dan kompleks menuntut keluarga untuk beradaptasi agar lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan tersebut. Untuk itu, individu yang akan menikah harus melakukan persiapan-persiapan sebelum berkeluarga agar menghasilkan keluarga yang sukses. Kesuksesan keluarga dapat dinilai melalui kesiapan menikah dari individu dan kemampuan keluarga dalam menjalankan tugas, fungsi, dan peran dalam keluarga. Fungsi keluarga mencakup tiga tugas yang merupakan langkah awal menuju kesuksesan keluarga, yaitu tugas dasar, perkembangan, dan krisis. Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah mengidentifikasi tingkat kesiapan menikah suami dan istri, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah; menganalisis perbedaan kesiapan menikah suami dan istri pada keluarga anak prasekolah; menganalisis hubungan kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah; dan menganalisis pengaruh kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah. Penelitian ini menggunakan disain cross setional study dengan waktu pengambilan data dari bulan Juni hingga Juli 2011. Penelitian ini dilakukan di Desa Bubulak, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Bogor, Jawa Barat yang dipilih dengan metode purposive. Teknik pengambilan contoh dilakukan dengan simple random sampling dengan jumlah contoh sebanyak 90 keluarga dengan anak prasekolah. Data yang digunakan adalah data primer dengan bantuan kuesioner untuk membantu contoh dalam melakukan recall kesiapan menikahnya, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis keluarga, sedangkan data sekunder didapatkan dari monografi desa. Kemudian, data dianalisis secara deskriptif dan inferensia, yaitu uji hubungan Pearson, uji beda t-test, dan uji linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lama menikah suami dan istri adalah 5,13 tahun dengan usia menikah rata-rata suami adalah 27, 81 tahun dan 22,94 tahun untuk istri. Perbedaan yang signifikan terdapat pada umur menikah suami dan istri (p<0,01). Usia suami dan istri saat ini rata-rata adalah 32,94 dan 28,08 tahun. Lama pendidikan suami lebih tinggi daripada istri yaitu selama 9,74 tahun, sedangkan istri selama 8,84 tahun. Perbedaan yang signifikan terdapat antara lama pendidikan suami dan istri (p<0,05). Hampir separuh suami bekerja sebagai buruh (buruh bangunan, pabrik, dan penjaga warung) dan hampir seluruh istri tidak bekerja (ibu rumah tangga). Rata-rata pendapatan per kapita keluarga adalah Rp 482.000 dan masih terdapat 13,3 persen keluarga yang masih berada dibawah garis kemiskinan perkotaan di Provinsi Jawa Barat tahun 2010 menurut BPS. Kesiapan menikah diukur melalui tujuh dimensi, yaitu kesiapan intelektual, sosial, emosi, moral, individu, finansial, dan mental. Dari tujuh dimensi tersebut, istri memiliki nilai yang lebih tinggi daripada suami hanya dalam kesiapan emosinya saja. Hal ini dikarenakan kemampuan perempuan dalam menjaga hubungan interpersonal dan mengekspresikan emosi yang lebih baik daripada laki-laki. Secara keseluruhan, rata-rata kesiapan suami lebih tinggi daripada istri dan terdapat perbedaan kesiapan menikah diantara keduanya (p<0,05).
Tugas dasar merupakan hal paling utama yang harus dipenuhi oleh keluarga. BKKBN menyebutkan terdapat lima aspek yang menjadi kebutuhan dasar, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Untuk pendidikan tidak dimasukkan ke dalam pernyataan karena anak-anak pada keluarga contoh belum memasuki pendidikan formal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dapat memenuhi 96,2 persen pernyataan mengenai pemenuhan tugas dasar. Tiga pernyataan yang belum dipenuhi secara sempurna oleh keluarga, yaitu memiliki atap dan dinding yang kokoh (95,6%), memiliki pakaian yang berbeda untuk setiap kegiatan (91,1%), dan melakukan KB di klinik bagi istri (87,8%). Tugas krisis merupakan periode krusial bagi keluarga yang terjadi sepanjang tahap perkembangan keluarga. Krisis ini terjadi ketika keluarga tidak mampu memenuhi tugas perkembangannya karena ketiadaan sumberdaya dalam keluarga. Terdapat dua krisis pada masa prasekolah, yaitu hilangnya privasi antara suami dan istri serta ketidakmampuan suami dan istri melakukan koping terhadap waktu, energi, dan perhatian terhadap kebutuhan kritis anak prasekolah. Keluarga dapat memenuhi rata-rata hampir separuh pernyataan mengenai tugas krisis (43,6%) dari 15 pernyataan mengenai tugas krisis. Sebanyak 80 persen keluarga mendapatkan dukungan pengasuhan dari keluarga. Hanya 20 persen ayah yang tidak memiliki waktu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan. Hasil uji korelasi Pearson tidak menunjukkan adanya hubungan antara kesiapan menikah dan tugas dasar. Hubungan yang positif ditunjukkan pada kesiapan menikah suami terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga (p<0,05). Apabila dilihat dari dimensi kesiapan menikah, terdapat hubungan antara kesiapan intelektual, emosi, dan sosial suami serta pemenuhan tugas krisis keluarga. Begitupula dengan kesiapan intelektual istri yang berhubungan dengan pemenuhan tugas krisis keluarga (p<0,05). Kesiapan intelektual yang tinggi akan memberikan akses lebih baik bagi keluarga untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang lebih tinggi. Kesiapan sosial dan emosi diperlukan untuk mendapatkan dukungan dari keluarga, teman, dan kerabat lainnya dalam memenuhi tugas krisis keluarga. Hasil uji pengaruh menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kesiapan intelekual dan sosial suami terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga (p<0,05). Setiap kenaikan satu poin kesiapan intelektual suami, maka akan menaikkan pula pemenuhan tugas krisis keluarga sebanyak 0,262 poin. Begitupula dengan kesiapan sosial suami, setiap kenaikan satu poin kesiapan sosial suami maka akan menaikkan pula 0,313 poin pemenuhan tugas krisis keluarga. Model dalam penelitian ini menjelaskan 13,9 persen pengaruh kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam penelitian. Kesiapan sosial diperlukan bagi anggota keluarga untuk mendapatkan dukungan supaya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam keluarga.
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memeperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KESIAPAN MENIKAH, PEMENUHAN TUGAS DASAR, DAN KRISIS PADA KELUARGA ANAK PRASEKOLAH
RESTYSTIKA DIANESWARI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul
: Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis pada Keluarga Prasekolah
Nama
: Restystika Dianeswari
NIM
: I24070043
Disetujui,
Dr. Ir. Euis Sunarti, MS Dosen Pembimbing
Diketahui,
Dr.Ir.Hartoyo, M.Sc Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Tanggal Lulus:
i
PRAKATA Alhamdulillahirobbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat, hidayah, serta nikmatNya kepada penulis sehingga penelitian yang berjudul “Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis pada Keluarga Anak Prasekolah” dapat diselesaikan. Sepanjang penulisan skripsi ini, penulis tentunya dikelilingi oleh orangorang yang sangat berjasa. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Euis Sunarti, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing penulis. Terima kasih atas motivasi, nasehat, serta ilmu-ilmu yang diberikan selama bimbingan. 2. Dosen pembimbing akademik Dr. Ir. Hartoyo M.Sc atas kesediaannya memberikan masukan selama masa perkuliahan. Bapak Ir. M.D. Djamaludin M.Sc dan Ibu Alfiasari SP, M.Si sebagai dosen penguji atas saran yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik 3. Orangtua, Sri Nadiroh dan Soetodo Soetomo, dan adik, Restartika Dianastari, yang selalu memberikan doa, motivasi, arahan, cinta, kasih sayang, dan pengertian kepada penulis selama ini. 4. Pihak-pihak yang secara langsung telah membatu penulis dalam penyelesaian penelitian ini (Kader dan RW setempat) . 5. Teman sebimbingan, Ine Rahmatin, Lia Nurjanah, Fitri Sari, dan Rini Hastuti atas dukungan yang besar yang diberikan dari awal hingga selesainya skripsi ini. Putri Nilam Kencana, Husfani A. Putri, Cefti Lia Permatasari, Nadia Nandana Lestari, Ruri Setianti, Anita Saufika, Dini Aprilia, Nadia Naomi, Restu Dwi Prihatina, Agus Surachman, dan teman-teman IKK angkatan 44 lainnya yang bersedia memberikan motivasi hingga penyusunan skripsi ini selesai.
Bogor, November 2011
Restystika Dianeswari
i
DAFTAR ISI PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................................ Rumusan Masalah ....................................................................................... Tujuan .......................................................................................................... Kegunaan penelitian ....................................................................................
1 3 5 6
TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan Menikah ....................................................................................... Keberfungsian Keluarga .............................................................................. Tugas Dasar ................................................................................................. Tugas Krisis ................................................................................................. Tugas Perkembangan ..................................................................................
7 9 10 11 14
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................ 15 METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu ........................................................................ Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ............................................................ Jenis dan Cara Pengumpulan Data .............................................................. Pengolahan dan Analisis Data ..................................................................... Definisi Operasional ....................................................................................
17 17 18 20 22
HASIL PENELITIAN ...................................................................................... Gambaran umum lokasi penelitian .............................................................. Karakteristik Keluarga ................................................................................ Kesiapan menikah ....................................................................................... Tugas Dasar ................................................................................................. Tugas Krisis ................................................................................................. Hubungan umur menikah, pendidikan, serta kesiapan menikah suami dan istri ............................................................................................................... Hubungan karakteristik keluarga, pemenuhan tugas dasar dan tugas krisis keluarga ....................................................................................................... Hubungan kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis keluarga ...................................................................................................... Pengaruh umur menikah dan pendidikan terhadap kesiapan menikah ........ Pengaruh kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga ....
25 25 25 29 40 31 44 46 47 50 51
PEMBAHASAN ............................................................................................. 52 Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 57 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ..................................................................................................... 59 Saran ........................................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 61 RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... 65
i
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Variabel dan responden yang digunakan dalam kuesioner .............. 19 2
Variabel, skala data, dan kategori skor ............................................ 20
3
Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga .................................. 26
4
Sebaran contoh berdasarkan usia saat ini.............................................. 27
5
Sebaran contoh berdasarkan umur menikah ..................................... 27
6
Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan.................................. 28
7
Sebaran keluarga berdasarkan garis kemiskinan BPS ...................... 29
8
Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan intelektual ......................................................................................... 27
9
Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan intelektual contoh ................ 31
10
Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan emosi ................................................................................................. 31
11
Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan emosi contoh ....................... 32
12
Sebaran suami dan istri berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan sosial .................................................................................. 33
13
Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan sosial contoh ........................ 34
14
Sebaran suami dan istri berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan moral .................................................................................. 34
15
Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan moral contoh ....................... 35
16
Sebaran suami dan istri berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan individu .............................................................................. 36
17
Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan individu contoh ................... 37
18
Sebaran suami dan istri berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan finansial ............................................................................. 38
19
Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan finansial contoh ................... 38
20
Sebaran suami dan istri berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan mental ................................................................................ 39
21
Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan mental contoh ...................... 40
22
Sebaran keluarga berdasarkan pemenuhan tugas dasarnya .............. 41
23
Sebaran keluarga berdasarkan pemenuhan tugas krisisnya .............. 42
24
Sebaran koefisien korelasi kesiapan menikah, umur menikah, dan pendidikan suami .............................................................................. 45
ii
25
Sebaran koefisien korelasi kesiapan menikah, umur menikah, dan pendidikan istri .................................................................................. 46
26
Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis .............................................................. 47
27
Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga dan dimensi pemenuhan tugas krisis keluarga ...................................................... 47
28
Sebaran koefisien korelasi kesiapan menikah, tugas dasar, dan tugas krisis keluarga .......................................................................... 48
29
Sebaran koefisien korelasi kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis keluarga......................................................... 48
30
Sebaran koefisien korelasi dimensi kesiapan menikah dan tugas krisis keluarga ................................................................................... 49
31
Sebaran koefisien regresi umur menikah dan pendidikan terhadap kesiapan menikah suami ................................................................... 50
32
Sebaran koefisien regresi umur menikah dan pendidikan terhadap kesiapan menikah istri ....................................................................... 51
33
Sebaran koefisien regresi kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga .......................................................................... 51
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Faktor penyebab perceraian tahun 2001 ............................................... 4 2 Kerangka pemikiran Analisis Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis pada Keluarga Prasekolah .................. 16 3
Metode penarikan contoh penelitian .................................................... 18
4 Sebaran contoh berdasarkan lama menikah .......................................... 26 5 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ................................................. 28 6 Sebaran contoh berdasarkan kesiapan menikahnya.............................. 40
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan sosial yang semakin kompleks menuntut keluarga untuk dapat beradaptasi secara cepat (Sunarti 2007). Duvall (1971) menjelaskan bahwa perubahan ini berdampak pada kondisi, kesempatan, masalah, janji, dan tantangan baru bagi keluarga sehingga sumberdaya yang ada di keluarga bertambah. Diperlukan sebuah keluarga yang fleksibel dalam menghadapi kondisi ini agar terhindar dari krisis. Maka dari itu, individu yang akan menikah harus mempersiapkan diri untuk memasuki pernikahan agar tercipta keluarga yang tahan terhadap perkembangan yang semakin kompleks. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Individu yang telah menikah tentunya menginginkan sebuah keluarga yang sukses. Sukses maksudnya dapat menyelesaikan dengan baik masalah atau krisis yang terjadi selama tahap kehidupan keluarga sehingga menjadi lebih berdaya. Kesuksesan keluarga dapat dilakukan dengan melihat kesiapan menikah dari individu tersebut (Gunarsa dan Gunarsa 2002). Kesiapan menikah diartikan dalam Duvall (1971) sebagai laki-laki dan perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan secara fisik, emosi, tujuan, keuangan, dan pribadi telah siap untuk bertanggung jawab dalam komitmen pernikahan. Menurut Hill, Oesterle, dan Hawkins (2004), sebagai seorang dewasa muda yang akan menikah setidaknya harus mencapai kematangan fisik, psikologis dan emosi, keterampilan hidup, perilaku yang sesuai, hubungan sosial dan keluarga yang sehat, telah menyelesaikan pendidikan, memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan, dan lebih tidak mementingkan kepentingan pribadi. Hurlock (1980) menyebutkan persiapan pernikahan termasuk dalam keterampilan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, mengatur keuangan kelaurga, dan pendidikan seks. Syarat minimal bagi calon pasangan untuk menuju pernikahan mencakup tiga hal, yaitu mampu memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan perkembangan keluarga, memiliki kualitas sumberdaya manusia yang memadai untuk mengelola
2
keluarga sebagai ekosistem, dan memiliki kematangan pribadi untuk menjalankan fungsi, peran, dan tugas keluarga (Burgess dan Locke 1960). Untuk itu, dapat dirangkum bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi sebuah pernikahan yaitu, usia, pendidikan, dan perencanaan karir (Knox 1985). Penelitian yang dilakukan Rutledge (1968) diacu dalam Olson dan Fowers (1986) menyebutkan bahwa menyiapkan pernikahan merupakan upaya untuk mencegah perceraian. Sebagai upaya pencegahan, seseorang dapat melakukan hal-hal seperti mengetahui faktor-faktor yang dapat menghambat kesuksesan menikah, masingmasing individu mengukur hubungan dengan pasangan lainnya, dan melakukan intervensi terhadap pasangan yang bermasalah (Olson & Fowers 1986). Kesuksesan keluarga juga dapat dilihat dari kemampuan keluarga menjalankan fungsi, peran, dan tugas keluarga. Fungsi keluarga dapat dijalankan melalui tiga tugas, yaitu tugas dasar, krisis, dan perkembangan (Epstein dalam COPMI 2003). Tugas–tugas ini merupakan langkah awal untuk mencapai keberfungsian keluarga yang juga menjadi syarat kesuksesan keluarga. Tugas dasar, tugas yang pertama kali dipenuhi oleh sebuah keluarga. Menurut BKKBN, sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan merupakan hal dasar yang harus dicapai keluarga. Tugas perkembangan, merupakan serangakaian kewajiban yang harus dipenuhi oleh seseorang maupun keluarga selama kehidupannya yang akan mempengaruhi keberhasilan pada tugas perkembangan selanjutnya. Terakhir adalah tugas krisis, yaitu bagaimana keluarga dapat berhadapan dengan krisis atau masalah yang dialaminya. Kemampuan keluarga dalam menghadapi krisis menutut adanya peran yang jelas dalam keluarga. Dijelaskan oleh Peterson (2009) bahwa beberapa peneliti setuju peran yang jelas dalam keluarga berhubungan dengan kemampuan keluarga untuk berhadapan dengan kehidupan yang modern saat ini, krisis yang tidak dapat terprediksi, dan perubahan yang biasa terjadi dalam keluarga untuk mencapai keluarga yang sukses. Krisis ini akan terjadi ketika keluarga tidak mampu memenuhi pemenuhan tugas perkembangan keluarganya. Pada level tertentu keluarga akan rentan terhadap masalah, namun ada kalanya keluarga juga akan tahan terhadap masalah. Keluarga yang hidup pada zaman dan perkembangan yang kompleks, akan memberikan tekanan yang lebih pada
3
keluarga sehingga krisis keluarga juga lebih kompleks. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa untuk memprediksi sebuah keluarga akan rentan atau tidak terlihat dari pemenuhan tugas dasarnya (Duvall 1971). Krisis terjadi sepanjang masa tahap perkembangan keluarga, termasuk masa anak prasekolah. Pada umumnya, pada tahap keluarga ini suami dan istri mulai merencanakan untuk menambah anak. Duvall (1971) menyebutkan bahwa bertambahnya anggota keluarga dapat menyebabkan krisis pada keluarga. Apabila dalam masa ini hadir anggota keluarga baru, maka perhatian untuk anak prasekolah akan berkurang. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menyebutkan bahwa perkembangan anak usia prasekolah mulai berubah dari otonomi ke inisiatif sehingga anak mulai banyak bertanya dan terlibat dalam lingkungan sosial. Orangtua perlu memperhatikan anak pada usia ini karena masa ini merupakan awal terbentuknya pribadi anak. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar dan krisis dalam keluarga. Rumusan Masalah Pernikahan merupakan hal yang diinginkan oleh setiap orang, khususnya ketika mereka telah memasuki usia dewasa muda. Dewasa muda yang akan menikah paling tidak harus mencapai kematangan-kematangan yang disesuaikan dengan kesiapan dirinya untuk menikah seperti kematangan fisik, psikologis dan emosi, keterampilan hidup, perilaku yang sesuai, hubungan sosial dan keluarga yang sehat, telah menyelesaikan pendidikan, memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan, dan lebih tidak mementingkan kepentingan pribadi (Hill, Oesterle, dan Hawkins 2004). Tidak
semua
orang
memperhatikan
kesiapan-kesiapan
menjelang
pernikahan yang mungkin akan berdampak pada perceraian. Indonesia termasuk negara yang memiliki angka perceraian cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Peradilan Agama (2011) menyebutkan angka perceraian di Indonesia menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2009 tercatat terdapat 250.000 kasus perceraian. Dibandingkan tahun 2008, kasus perceraian pada tahun 2009
4
meningkat sebanyak 50.000 kasus. Penyebab perceraian dikelompokkan menjadi empat masalah pada tahun 2007, yaitu: 1.
Salah satu pasangan meninggalkan kewajiban. Masalah ini terdiri dari salah satu pasangan tidak bertanggung jawab, masalah ekonomi keluarga, dan perkawinan yang dipaksa.
2.
Perselisihan terus menerus yang disebabkan ketidakharmonisan pribadi, gangguan pihak ketiga, dan faktor politis.
3.
Masalah moral yang terdiri atas masalah poligami yang tidak sesuai peraturan, cemburu yang berlebihan, dan krisis akhlak.
4.
Kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan Gambar 1 perceraian yang paling tinggi terjadi karena
ketidakharmonisan pasangan suami istri yang mencapai 55.093 kasus.
Gambar 1 Faktor penyebab perceraian tahun 2007 Sumber : Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama 2008
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2010), sumbangan paling besar terhadap perceraian adalah pernikahan dini. Pada tahun 2009, ketua KPAI menyatakan bahwa terdapat 34 persen pernikahan dini di Indonesia. Pernikahan dini menjadi pemicu perceraian dikarenakan kematangan usia seorang individu yang dibawah umur 18 tahun dirasa belum cukup. Kasus ini terjadi karena seseorang tidak mampu untuk mengembangkan kemampuannya sehingga tidak ada pilihan lain selain menikah. Pernikahan dini tidak hanya terjadi pada masayarakat bawah saja, namun sudah mulai merambah ke masyarakat kota yang
5
sebenarnya memilliki kapasitas untuk mengembangkan kemampuannya. Namun tidak hanya pernikahan dini saja yang menyebabkan masalah perceraian. Komisi Penyiaran Indonesia (2011) menyebutkan bahwa tayangan Infotainment yang menampilkan serentetan kasus perceraian yang dilakukan oleh artis-artis juga mempengaruhi perkawinan masyarakat Indonesia. Perceraian ini akan terjadi ketika keluaga tidak mampu menyelesaikan krisis yang ada di keluarga. Krisis pada masa prasekolah yaitu ketidakmampuan keluarga dalam melakukan koping terhadap perhatian, waktu, dan energi terhadap kebutuhan anak usia prasekolah (Duvall 1971). Bertambahnya anggota keluarga akan menimbulkan krisis bagi anak prasekolahnya berupa kurangnya perhatian orangtua akan kebutuhan anak. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menyebutkan bahwa orangtua perlu perhatian ekstra terhadap anak prasekolah karena pada masa inilah pribadi anak terbentuk. Krisis lain yang pada umunya terjadi pada masa ini adalah hilangnya privasi antara suami dan istri dapat merenggangkan hubungan diantaranya. Hubungan yang renggang ini akan mengakibatkan perceraian apabila suami dan istri tetap tidak kompak dalam urusan rumah tangganya. Perceraian akan memberikan dampak tersendiri bagi perkembangan anak seperti kehilangan salah satu orangtua, kehilangan sumber ekonomi, minimnya stimulasi pengasuhan dari orangtua, dan banyaknya konflik antara orangtua akibat perceraian (Hughes 2009). Bedasarkan rumusan di atas, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Seberapa besar tingkat kesiapan menikah contoh? 2. Seberapa besar tingkat pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis keluarga? 3. Adakah perbedaan pada tingkat kesiapan menikah suami dan istri? 4. Adakah hubungan dan pengaruh antara kesiapan menikah dengan pemenuhan tugas dasar dan tugas krisis keluarga?
6
Tujuan Tujuan umum Penelitian ini memiliki tujuan umum untuk menganalisis kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah. Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain: 1. Mengidentifikasi tingkat kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah 2. Menganalisis perbedaan tingkat kesiapan menikah antara suami dan istri 3. Menganalisis hubungan antara kesiapan menikah dengan pemenuhan tugas dasar dan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah 4. Menganalisis pengaruh kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis pada keluarga anak prasekolah.
Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini menyediakan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat, terutama keluarga, mengenai pemenuhan tugas dasar dan krisis serta keterkaitannya dengan kesiapan menikah. Bagi pemerintah atau institusi terkait, penelitian ini dapat menjadi masukan untuk membuat program yang sesuai bagi keluarga untuk membawa keluarga kepada kesuksesan keluarga. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengatahuan baru dalam bidang keluarga, khususnya kesiapan menikah dan pemenuhan tugas dasar dan krisis pada tahap keluarga prasekolah.
7
TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah Duvall (1971) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah laki-laki maupun perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan siap secara fisik, emosi, finansial, tujuan, keuangan, dan kepribadian untuk bertanggung jawab dalam pernikahannya. Komitmen bagi mereka yang ingin menikah timbul dari keterkaitan emosi, salah satunya rasa cinta. Namun tidak semua orang yang sangat ingin menikah memiliki kesiapan-kesiapan sebelum menikah (Blood 1962). Knox (1985) menyebutkan tiga faktor yang mempengaruhi kesiapan menikah, yaitu umur, pendidikan, dan rencana karir. Lain halnya dengan Rice (1983) yang menyebutkan bahwa dari beberapa penelitian didapatkan bahwa faktor yang menentukan seseorang siap atau tidak menikah antara lain usia, lamanya pasangan saling mengenal, kematangan sosial, motivasi untuk menikah, pengertian cinta menurut pasangan, kesiapan pasangan dan kemauan untuk tanggung jawab dalam pernikahan, kesiapan untuk setia terhadap satu pasangan, kesiapan emosi untuk menjadi orangtua, telah menyelesaikan pendidikan, serta kesiapan dan kemauan orangtua untuk menikahkan anaknya. Usia merupakan faktor yang paling penting dalam mengukur kesiapan menikah menurut Rice (1983). Maka dari itu, seseorang yang menikah pada usia muda memiliki masalah dan ketidakpuasaan dibandingkan seseorang yang menikah pada usia lebih tua (Lee 1977 diacu dalam Rice 1983). Berkebalikan dengan penelitian yang dilakukan Oktaviani (2010) yang menyebutkan bahwa umur berhubungan negatif dengan pengetahuan yang dimiliki mengenai pernikahan. Semakin tua usia seseorang saat menikah, semakin
sedikit pula
pengetahuan yang dimilikinya yang diduga karena keterpaparan informasi yang masih sedikit dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Selain usia, faktor lain yang diperlukan dalam mengenali pasangan yakni menyadari perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh pasangan karena perbedaan inilah yang mengganggu ketenangan dan suasana aman dalam berkeluarga (Gunarsa dan Gunarsa 2002). Sebelum memasuki gerbang pernikahan, individu harus menyiapakan beberapa kesiapan. Apabila tidak menyiapakan keterampilan-leterampilan tersebut maka akan berdampak pada gagalnya fungsi keluarga. Dijelaskan dalam Burgess
8
dan Locke (1960) bahwa seseorang yang akan menikah harus memenuhi sumberdaya ekonomi, sumberdaya manusia, dan kematangan pribadinya. Menurut Rapaport dalam Duvall (1971), terdapat sepuluh kriteria kesiapan menikah, antara lain: 1.
Siap untuk menjadi pasangan setia
2.
Siap untuk berubah dari kehidupan yang bebas menjadi hubungan yang mendalam dengan pasangannya
3.
Memiliki kelembutan dan kasih sayang untuk pasangannya
4.
Peka terhadap emosi dan kehidupan orang lain
5.
Berbagi keintiman dengan orang lain
6.
Menyatukan rencana yang dimilikinya dengan pasangannya
7.
Memiliki penilaian yang realistis mengenai pasangannya
8.
Berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan kehidupan keluarganya kelak
9.
Memiliki rancangan atau rencana mengenai masalah keuangan
10.
Siap untuk menjadi istri atau suami Blood (1962) menyebutkan bahwa kedewasaan emosi adalah konsep yang
paling penting dalam kesiapan seseorang untuk menikah. Artinya, ketika seseorang sudah mencapai kematangan emosinya maka ia telah mencapai masa kedewasaannya. Namun, tidak semua orang yang telah dewasa adalah orang yang matang secara emosi. Perbedaan kematangan emosional inilah yang menyebabkan wanita lebih siap menjalankan peran dan tugasnya dirumah, sedangkan pria lebih mencari sukses di luar rumah (Gunarsa dan Gunarsa 2002). Seseorang dikatakan matang secara emosi ketika telah mengembangkan kemampuan untuk membangun dan menjaga hubungan personal (Blood 1962). Kedewasaan akan datang sendirinya sebagai hasil dari keberhasilan dalam bersosialisasi di rumah maupun diluar rumah (peer group, sekolah, tempat kerja, dan pasangan). Seseorang yang sudah matang akan memungkinkan dirinya untuk menghasilkan pernikahan dan pengasuhan yang sukses pula. Blood (1962) mengukur kematangan emosi dari empati, stabilitas, dan tanggung jawab. Namun adapula seseorang yang sudah matang secara emosi namun tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam kehidupan remajanya tapi sudah siap untuk menikah. Tidak hanya kematangan emosi, kematangan sosial pun menjadi aspek kesiapan
9
menikah. Blood (1962) mengartikan kematangan sosial sebagai salah satu aspek kesiapan menikah yang berasal dari terpenuhinya aspek-aspek kehidupan seorang remaja. Kematangan sosial dapat terlihat dari seberapa lama mengenal orang lain dan memiliki kehidupan yang mandiri. Mengenal orang lain merupakan salah satu cara untuk mematangkan sosial seorang remaja. Bagi remaja yang hanya mengenal sedikit orang, akan lebih lama merasa cocoknya karena masih mencari kepribadian baru dari temannya. Mengenal tidak hanya dari banyaknya orang yang dikenal, tapi juga kemampuan untuk bersosialisasi dengan orang lain. Saat seseorang sudah matang secara emosi dan sosial, maka ia dapat melanjutkan hubungannya dengan pasangan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Duvall dan Miller (1985) mengatakan bahwa ketika seseorang siap untuk
menikah
maka
ia
harus
sudah
menyelesaikan
semua
tugas
perkembangannya yang sesuai dengan umur pada saat ia akan menikah. Pernikahan memiliki tiga fungsi penting menurut Landis dan Landis (1970), yaitu menyediakan keadaan fisik untuk anak dan keluarga, mengembangkan kepribadian secara alami seperti menyediakan fasilitas untuk anak agar dapat sukses dalam kehidupan sosialnya, dan mempertemukan emosi antara orangtua dan anak dalam keluarga. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui alasan seseorang
menikah.
Bagi
perempuan
didapatkan
alasan
seperti
untuk
mendapatkan rasa aman dalam keuangan, dukungan emosi, dan prestis. Alasan menikah bagi laki-laki antara lain menciptakan kehidupan normal, kehidupan rumah, dan kepemimpinan. Keberfungsian Keluarga Konsep keberfungsian keluarga pertama kali muncul untuk melakukan terapi pada keluarga dan salah satu model keberfungsian keluarga yang digunakan hingga saat ini adalah McMaster Model of Family Functioning. Model ini menggunakan teori struktural fungsional yang mellihat keluarga sebagai suatu sistem sosial namun lebih menekankan pada fungsi keluarga seperti menyediakan kebutuhan fisik dan psikologi keluarga (Toly 2009). Megawangi (2005) mengatakan bahwa teori struktural fungsional merupakan sebuah pendekatan yang dikembangkan oleh sosiolog yang diterapkan dalam keluarga. Teori ini dikembangkan pada abad ke-20 oleh William F. Ogburn dan Talcot Parson, dua
10
orang sosiolog ternama. Pendekatan ini mengakui adanya keberagaman dalam masyarakat yang menjadi sumber dalam struktur masyarakat. Model fungsi keluarga McMaster merupakan model yang menggunakan pendekatan struktur dan organisasi. Toly (2009) menyebutkan fokus pada model ini ada tiga, yaitu tugas dasar seperti makan dan rumah, tugas perkembangan yang terjadi selama tahap perkembangan hidup keluarga, dan tugas krisis seperti cara keluarga dalam menangani masalah. Sejalan dengan model fungsi keluarga McMaster, the procces of family functioning, dikembangkan dari teori sistem yang menjelaskan bahwa fungsi keluarga merupakan kemampuan keluarga dalam menyelesaikan tugas dasar, krisis, dan perkembangan karena fokus dalam model ini adalah penyelesaian ketiga tugas tersebut baik secara fisik, biologi, maupun sosial. Model ini mengidentifikasi tujuh objek yang dapat menunjukkan berhasilnya keluarga dalam menyelesaikan tugas dasar, krisis, dan perkembangan. Tujuh objek tersebut adalah penyelesaian tugas, peran yang jelas, komunikasi, interkasi langsung dalam keluarga, keterlibatan, pengawasan, serta nilai dan norma (Trangkasombat 2006). Perbedaan dalam model ini dengan model McMaster adalah model ini digunakan untuk memahami tentang keluarga sedangkan McMaster untuk terapi keluarga. Tugas Dasar merupakan hal-hal dasar yang perlu dipenuhi oleh keluarga. kebutuhan ini termasuk dalam istirahat, tidur, makan, minum, sex, dan oksigen. Menurut Maslow (1970), manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhannya yang paling rendah, yaitu kebutuhan dasar, sebelum memenuhi kebutuhan yang paling tinggi, yaitu aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan ini umumnya muncul ketika ada sebuah motivasi dari luar (lapar, haus, panas, atau dingin) sehingga muncul kebutuhan. Misalnya saat seseorang lapar, maka ia akan mencari cara apapun yang dapat memenuhi memenuhi rasa laparnya. Selama belum terpenuhi kebutuhannya, maka ia akan selalu memikirkan keinginannya. Setelah terpenuhinya salah satu kebutuhan, maka kebutuhan lainnya akan mucul dan begitu seterusnya (Maslow 1970). Setiap orang dapat dan berkeinginan untuk mencapai tingkat aktualisasi diri, namun sering terhambat dengan kejadiankejadian ditingkat paling rendah. Kejadian seperti perceraian atau kehilangan
11
pekerjaan menjadi penyebab hambatan individu untuk menuju ke tingkat selanjutnya. BKKBN membagi kategori kesejahteraan keluarga ke dalam tiga tingkatan, yaitu pra KS, KS I, KS II, KS III, dan KS III plus. Keluarga pra KS adalah keluarga yang hanya dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarga saja yang termasuk dalam sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Keluarga KS I adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologis. Keluarga KS II adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan pengenbangannya, sedangkan KS III adalah keluarga yang belum dapat memberikan suambangan maksimal kepada masyarakat. Keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan semua kebutuhan merupakan keluarga dengan golongan KS III plus. Tugas
Krisis
merupakan
periode
krusial
pada
setiap
tahapan
perkembangan keluarga. Sunarti (2007) menjelaskan bahwa krisis keluarga datang saat masalah yang diterima keluarga lebih banyak dari sumberdaya dan perilaku koping keluarga. Sumberdaya yang digunakan untuk koping berupa fisik dan materi
(pendapatan,
peralatan,
ruang,
tabungan,
kesehatan,
pendidikan,
pengalaman, ide, dan intelektual), integrasi keluarga (komunikasi, tujuan, nilai, loyalitas, dan kerjasama), dan kemampuan adaptasi keluarga dalam menghadapi masalah atau krisis. Sumberdaya didapatkan keluarga dari keluarga besar dan teman yang berupa dukungan, bantuan, serta kemampuan pemecah masalah (Smart dan Smart 1980). Masalah atau stressor yang menghadang keluarga diharapkan dapat meningkatkan keterampilan dan sumberdaya yang dimiliki keluarga. Keberhasilan keluarga dalam menghadapi krisis dipengaruhi kemampuan keluarga dalam menghadapi masalah/krisis sebelumnya. Stressor merupakan kejadian atau transisi yang mempengaruhi kehidupan keluarga, seperti perceraian, kematian, atau kesulitan lainnya yang membuat keluarga semakin dalam keadaan yang sulit. Namun tidak semua stressor akan berdampak buruk pada kehidupan keluarga, tergantung dari tipologi keluarga, sumberdaya, kemampuan koping strategi dan penyelesaian masalah, harapan, serta kerentanan keluarga.
12
McCubbin dan Thompson (1987) menjelaskan bahwa keluarga yang tertimpa krisis dapat terlihat dari kadaan keluarga yang mulai tidak stabil. Untuk mengembalikan kestabilan itu, keluarga akan melakukan trial and error untuk mengurangi ketegangan yang ada dalam keluarga sehingga dapat dikatakan bahwa krisis keluarga merupakan masa transisi keluarga dari situasi yang tidak stabil menjadi situasi stabil dan di dalamnya terdapat usaha keluarga untuk memperbaiki dan
beradaptasi
dengan
perubahan.
Ketidakmampuan
keluarga
dalam
menyesuaikan perilaku terhadap perubahan dalam masyarakat akan menimbulkan ketegangan emosi yang akan berakibat pada perpisahan atau perceraian. Keluarga modern lebih berpengalaman menghadapi krisis daripada keluarga terdahulu karena memiliki karakteristik yang kompleks walaupun tekanan yang dihadapinya lebih besar (Locke dan Burgess 1960). Krisis terjadi disepanjang siklus hidup keluarga dan terjadi ketika keluarga tidak mampu memenuhi tugas perkembangan individu maupun keluarganya (Duvall 1971). Begitupula dengan keluarga anak prasekolah, masing-masing memiliki tugas perkembangan dirinya maupun keluarganya. Krisis pada masa prasekolah umumnya tidak mampu melakukan koping terhadap hilangnya energi, perhatian, dan waktu terhadap kebutuhan anak prasekolah dan hilangnya privacy antara pasangan (Duvall 1971). Penelitian yang dilakukan Lee et al. (2010) menyebutkan bahwa konflik yang terjadi antarpasangan antara lain masalah hubungan dengan pasangan, anak, keuangan, tanggung jawab dalam rumah tangga, kesehatan, keluarga besar, rahasia, dan perpindahan rumah. McCubin (1987) menyebutkan masa parsekolah merupakan masa yang membutuhkan kedisiplinan sehingga anak dapat melakukan kegiatannya secara disiplin. Hurlock (1980) membedakan ke dalam dua kelompok bahaya atau krisis bagi anak usia prasekolah, yaitu dampak psikologis dan fisik. Adapaun yang termasuk dalam bahaya psikologis antara lain bahaya dalam berbicara, emosi, sosial, bermain, perkembangan konsep, moral, penggolongan jenis kelamin, kepribadian, dan hubungan keluarga. Bahaya fisik di antaranya adalah kematian, penyakit, kecelakaan, penampilan fisik yang kurang menarik, dan kegemukan. Tugas Perkembangan merupakan tugas-tugas yang selalu muncul disetiap tahapan perkembangan hidup seseorang atau selama seseorang hidup
13
(Duvall 1971). Pemenuhan tugas-tugas perkembangan ini akan membawa kebahagiaan dan kesiapan seseorang untuk memenuhi tugas perkembangan selanjutnya. Apabila seseorang gagal untuk memenuhi kebutuhannya, maka akan mempengaruhi pemenuhan tugas perkembangan selanjutnya, ketidakbahagiaan, dan ditolak oleh masyarakat (Duvall 1971). Sama seperti tugas krisis, tugas perkembangan membutuhkan dukungan dari pihak lain. Dukungan tersebut umunya datang dari dalam diri individu tersebut, namun dipengaruhi dari apa yang diharapkan oleh orang lain atas perilaku seorang individu tersebut. Permasalahan umumnya terjadi pada pemenuhan tugas perkembangan adalah belum matanganya seseorang, tekanan dari lingkungan, ambisi, dan orientasi nilai (Duvall 1971). Tugas perkembangan sejatinya akan terus dihadapi oleh seseorang selama ia hidup. Maka dari itu, terdapat tugas perkembangan sesuai dengan umur yang diselaraskan dengan pencapaian kematangan/kedewasaan. Duvall (1971) menyebutkan bahwa terdapat empat asumsi mengenai tugas perkembangan. Adapun asumsi tersebut ialah inidvidu menerima perilaku baru yang dihasilkan dari apa yang diharapkan orang lain maupun ketika melihat orang lain lebih dewasa, membentuk konsep diri yang baru, melakukan koping secara efektif terhap permasalahan-permasalahan yang akan dihadapi, dan berkeinginan keras untuk mencapai tugas perkembangan selanjutnya. Tidak perkembangan.
hanya
individu,
Sejalan
dengan
namun tugas
juga
keluarga
memilliki
tugas
perkembangan
individu,
tugas
perkembanagn keluarga akan selalu dihadapi selama rentang hidup keluarga tersebut. Keluarga memiliki tanggung jawab, tujuan, dan tugas perkembangan yang sejalan dengan perkembangan anggota keluarganya. Duvall (1971) mengatakan bahwa tugas perkembangan keluarga muncul ketika anggota keluarga dapat memenuhi semua kebutuhannya dan merasa puas sehingga akan melanjutkan ke tugas perkembangan yang selanjutnya.
15
KERANGKA PEMIKIRAN Menikah merupakan sesuatu yang diinginkan oleh setiap orang, khususnya dewasa muda. Untuk menuju ke pernikahan, persiapan sebelum menikah harus dilakukan. Siap secara fisik, emosi, tujuan, finansial, dan pribadi adalah beberapa hal yang perlu disiapkan bagi seseorang yang akan menikah. Kesiapan-kesiapan tersebut diharapkan dapat membentuk pribadi yang tahan terhadap perkembangan yang kompleks. Kesuksesan keluarga menjadi tujuan dalam setiap pernikahan. Kesuksesan keluarga dapat dilihat dari kesiapan menikah dan kemampuan keluarga dalam menjalankan fungsi, peran, dan tugas keluarga. Tiga tugas dalam fungsi keluarga yang menjadi langkah awal menuju kesuksesan keluarga adalah tugas dasar, perkembangan, dan krisis. Faktor lain yang mempengaruhi kesuksesan keluarga adalah umur, pendidikan, dan pekerjaan. Umur menjadi prediksi seseorang telah matang dan dewasa sehingga dianggap mampu untuk bertanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Pendidikan dan pekerjaan menjadi akses bagi keluarga untuk mendapatkan sumberdaya dalam memenuhi kebutuhan dasar dan krisis keluarga. Semakin tinggi pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin baik sehingga keluarga memiliki pendapatan yang tinggi pula yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kesiapan menikah yang semakin baik diasumsikan memiliki pemenuhan tugas dasar dan tugas krisis yang baik pula. Pemenuhan tugas dasar menjadi langkah awal bagi keluarga untuk memenuhi tugas perkembangan dan krisisnya. Kemampuan keluarga dalam memenuhi tugas perkembangan dan krisisnya terlihat dari pemenuhan tugas dasarnya. Tugas perkembangan dan krisis akan terus ada sepanjang tahap perkembangan kehidupan dan kemampuan keluarga maupun individu dalam memenuhi tugas perkembangan dan krisisnya akan mempengaruhi kesuksesan pemenuhan tugas perkembangan dan krisis selanjutnya. Krisis keluarga terjadi ketika keluarga tidak mampu memenuhi tugas perkembangannya dan apabila ini terus terjadi, maka akan menyebabkan perceraian. Pemenuhan tugas dasar diasumsikan lebih diketahui oleh istri karena pengelolaan rumah tangga dilakukan oleh istri. Waktu yang lebih banyak dihabiskan oleh istri dan anak juga menjadi asumsi bahwa pemenuhan tugas krisis keluarga dan anak lebih diketahui oleh istri.
16
Krisis pada masa prasekolah umumnya ada dua, yaitu hilangnya privasi antara suami dan istri serta ketidakmampuan keluarga dalam melakukan koping waktu, energi, dan perhatian terhadap kebutuhan anak prasekolah. Masa prasekolah merupakan masa terbentuknya pribadi anak. Anak prasekolah memiliki ciri-ciri keras kepala karena sifatnya yang masih egosentris dan insiatif karena rasa ingin tahunya. Untuk itu dibutuhkan bimbingan orangtua agar anak dapat berkembangan dengan optimal.
Kesiapan menikah 1. Kesiapan emosi 2. Kesiapan sosial 3. Kesiapan intelektual 4. Kesiapan moral 5. Kesiapan individu 6. Kesiapan finansial 7. Kesiapan mental
Karakteristik contoh: 1. Usia menikah 2. Usia sekarang 3. Pendidikan 4. Pendapatan 5. Pekerjaan 6. Besar keluarga
Tugas Dasar
Tugas Krisis
Tugas Perkembangan
Variabel yang diteliti Variabel yang tidak ditelliti
Gambar 2 Kerangka pemikiran Analisis Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar dan Tugas Krisis pada Keluarga Prasekolah
17
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan pada satu waktu. Pemillihan tempat dilakukan dengan cara pupossive, yaitu Desa Bubulak. Bubulak dipilih karena dari seluruh Kelurahan di Bogor Barat, Kelurahan Bubulak menjadi satu-satunya kelurahan yang belum berkembang dan memiliki keluarga dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah paling banyak. Penelitian ini dilakukan pada keluarga yang memiliki anak prasekolah di tempat tersebut untuk menganalisis kesiapan menikah suami istri, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis. Waktu pengambilan data dari penentuan contoh hingga wawancara dilaksanakan dari bulan Juni hingga Juli 2011. Jumlah dan Cara Penarikan Contoh Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak prasekolah di Desa Bubulak. Menurut Hurlock (1980) masa awal anak-anak berada pada rentang umur dua hingga enam tahun Tempat yang dipilih untuk menjadi lokasi penelitian adalah RW 01, 02, 03, 06, 07, 08, 09, dan 11 di Desa Bubulak. Lokasi penelitian memiliki 13 RW, namun hanya dipilih delapan Rw saja karena kebanyakan keluarga yang ada lima RW lainnya merupakan rumah orangtua contoh sehingga contoh hanya datang pada saat ada posyandu diadakan. Jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 90 keluarga yang diambil dari delapan RW di Desa Bubulak dengan metode simple random sampling. Jumlah populasi ditentukan dari delapan RW yang sudah dipilih. Kriteria untuk contoh penelitian ini adalah keluarga utuh dengan anak pertama usia prasekolah.
18
Kota Bogor
Purpossive Kecamatan Bogor Barat
Purpossive Kelurahan Bubulak
Purpossive N= 118
Total n= 90
Simple random Sampling
Gambar 3 Metode Penarikan Contoh Penelitian Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui wawancara dengan bantuan kuesioner kepada contoh untuk mengunpulkan karakteristik keluarga, membantu melakukan recall kesiapan menikahnya, pemenuhan tugas dasar dan tugas krisis keluarga. Karakteristik keluarga terdiri dari jumlah anggota keluarga, usia saat menikah, usia saat ini, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan. Kesiapan menikah diukur melalui tujuh dimensi, yaitu intekektual, emosi, sosial, moral, individu, finansial, dan mental. Pengembangan kuesioner diawali dari definisi kesiapan menikah menurut Duvall (1971) yang harus siap secara fisik, emosi, tujuan, finansial, dan pribadi. Definisi dari Duvall kemudian dilanjutkan dengan melihat perkembangan yang harus dicapai sebagai dewasa muda. Menurut Papalia dan Olds (1986) seorang dewasa muda harus dapat mengembangakan kemampuan intelektual, sosial, emosi, dan moralnya. Selain itu, ada kesiapan khusus yang harus dipersiapkan oleh seorang dewasa muda untuk menikah. Untuk kesiapan intelektual dan moral, kuesioner yang digunakan dikembangkan dari Personal Value Scale (Schott1985). Kesiapan emosi dan sosial dikembangakan dari konsep kecerdasan emosi dan keterampilan sosial dalam Goleman (1994). Kesiapan individu, finansial, dan mental dikembangkan dari konsep yang dikemukakan oleh Rapoport dalam Duvall (1971). Kuesioner pemenuhan tugas dasar dikembangkan dari indikator
19
keluarga pra-sejahtera menurut BKKBN, sedangkan pemenuhan tugas krisis dikembangkan dari krisis menurut Duvall (1971) dan Hurlock (1980). Pernyataan mengenai pemenuhan tugas krisis keluarga diturunkan dari tugas perkembangan keluarga, orangtua, dan anak usia prasekolah menurut Duvall (1971). Namun karena ada beberapa kesamaan tugas krisis yang dikembangkan dari Duvall maupun Hurlock, maka beberapa pernyataan digabung agar tidak mengakibatkan overlaping. Instrumen kesiapan menikah dan tugas dasar memiliki nilai cronbach alpha sebesar 0,6. Untuk tugas krisis nilai reliabilitasnya sebesar 0,9. Data sekunder didapatkan dari data monografi desa. Berikut adalah tabel variabel dan responden yang digunakan sebagai alat ukur Tabel 1 Variabel dan responden yang digunakan dalam kuesioner No 1
2
3
4
Variabel Karakteristik keluarga: a. Jenis Kelamin b. Besar keluarga c. Usia d. Pendidikan e. Pekerjaan f. Pendapatan Kesiapan menikah pasangan a. Kesiapan Emosi b. Kesiapan Sosial c. Kesiapan Intelektual d. Kesiapan Moral e. Kesiapan individu f. Kesiapan finansial g. Kesiapan mental Tugas dasar keluarga a. Sandang b. Pangan c. Papan d. Kesehatan Tugas Krisis a. Tugas krisis terkait anak b. Tugas krisis terkait hubungan suami dan istri c. Tugas krisis terkait kesiapan sekolah anak
Responden
Suami Istri
Suami Istri
Istri
Istri
Menurut BKKBN, kebutuhan dasar keluarga antara lain sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Namun indikator menyelesaikan pendidikan hingga sembilan tahun tidak dimasukkan ke dalam item pernyataan karena kriteria keluarga yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah keluarga yang anaknya belum menempuh wajib belajar. Contoh yang akan dijadikan penelitian
20
adalah pasangan suami istri dengan asumsi memiliki kesiapan menikah yang berbeda-beda. Pemenuhan tugas dasar ditanyakan kepada istri dengan asumsi istri lebih banyak dirumah dan pengelolaan rumah tangga yang dipegang oleh istri. Waktu yang dihabiskan oleh istri dan anak juga menjadi asumsi istri lebih mengetahui pemenuhan tugas krisis dalam keluarga. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil wawancara terlebih dahulu dilakukan proses editing, coding, scoring, entering, cleaning, dan analyzing yang menggunakan bantuan program komputer yang sesuai. Karakteistik keluarga dianalisis dengan menggunakan frekuensi dan tabulasi silang. Umur suami dan istri dikelompokkan menurut Hurlock (1980), yaitu dewasa awal, madya, dan akhir. Berdasarkan BKKBN, besar keluarga dapat dikelompokkan menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-6 orang), dan keluarga besar (≥ 7 orang). Pendapatan perkapita keluarga dikategorisasi sesuai dengan pendapatan per kapita di perkotaan Provinsi Jawa Barat menurut BPS tahun 2010 yang kemudian dikelompokkan menjadi baik dan kurang. Secara keseluruhan, kategori pengelompokkan untuk kesiapan menikah, tugas dasar, dan tugas krisis dibedakan menjadi tinggi, sedang, dan rendah. Nilai tersebut didapatkan dari rumus interval kelas yang disajikan berikut ini Interval kelas (A) = skor maksimum (NT) - skor minimum (NR) Jumlah Kelas Adapun variabel, skala, dan kategori skor disajikan pada tabel berikut ini Tabel 2 Variabel, skala data, dan kategori skor No 1
2
Variabel Karakteristik keluarga a. Jenis Kelamin b. Besar keluarga
Skala Data
Kategori skor
Nominal Rasio
[1] Laki-laki; [2] Perempuan [1] Keluarga kecil (≤ 4 orang); [2] Keluarga sedang (5-6); [3] Keluarga besar (≥ 7 orang) [1] Dewasa awal (18-40); [2] Dewasa madya (4060) [0] tidak sekolah; [1-6] SD; [7-9] SMP; [10-12] SMA; [13-16] Sarjana (S1); [17-18] master (S2); [20-23] doktor (S3) [0] tidak bekerja; [1] PNS; [2] karyawan swasta; [3] wiraswasta; [4] buruh; [5] kyai/ustad/guru agama BPS kota di Jawa Barat (2010) [1] ≤ Rp 212.210[2] >Rp 212.210
c. Usia
Rasio
d. Pendidikan
Rasio
e. Pekerjaan
Nominal
f. Pendapatan
Rasio
Kesiapan menikah a. Kesiapan Emosi (10) b. Kesiapan Sosial (7)
Ordinal Ordinal
Rendah (0-3); Sedang (4-7); Tinggi (8-10) Rendah (0-2); Sedang (3-4); Tinggi (5-6)
21
Lanjutan Tabel 2 No
Variabel c. Kesiapan Intelektual (6) d. Kesiapan Moral (11) e. Kesiapan individu (12) f. Kesiapan finansial (8) g. Kesiapan mental (5) 3 Tugas Dasar (7) 4 Tugas Krisis a. Tugas Krisis Anak Prasekolah (10) b. Tugas Krisis Hubungan Suami istri (3) c. Tugas Krisi Kesiapan Memasuki usia Sekolah (2)
Skala Data Ordinal
Kategori skor Rendah (0-2); Sedang (3-4); Tinggi (5-6)
Ordinal
Rendah (0-3); Sedang (4-7); Tinggi (8-11)
Ordinal
Rendah (0-3); Sedang (4-7); Tinggi (8-12)
Ordinal
Rendah (0-2); Sedang (3-5); Tinggi (6-8)
Ordinal
Rendah (0-1); Sedang (2-3); Tinggi (4-5)
Ordinal
Rendah (0-2); Sedang (3-4); Tinggi (5-6)
Ordinal
Rendah (0-3); Sedang (4-6); Tinggi (7-10)
Ordinal
Rendah (0-1); Sedang (2); Tinggi (3)
Ordinal
Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2)
Data yang telah diskoring kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Data juga dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Uji statistik yang digunakan adalah: a. Uji korelasi Pearson untuk melihat hubungan kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis. b. Uji beda t-test untuk menganalisis perbedaan kesiapan menikah suami dan istri c. Uji regresi linear berganda untuk melihat pengaruh kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis. Pengaruh kesiapan menikah dan tugas dasar tidak dilakukan dalam penelitian ini karena pemenuhan tugas dasar yang seragam sehingga tidak terlihat adanya pengaruh antara kesiapan menikah suami dan istri dengan pemenuhan tugas dasar. Model regresi kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis dapat didefinisikan dalam persamaan sebagai berikut: Pengaruh kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis Y= ẞ0 + ẞ1X11+ ẞ2X12+ ẞ3X13+ ẞ4X14+ ẞ5X15+ ẞ6X16+ ẞ7X17++ ẞ8X21+ ẞ9X22+ ẞ10X23+ ẞ11X24+ ẞ12X25+ ẞ13X26 + ẞ14X27e
22
Keterangan : Y = Pemenuhan tugas dasar X11 = Kesiapan intelektual suami X12 = Kesiapan emosi suami X13 = Kesiapan sosial suami X14 = Kesiapan moral suami X15 = Kesiapan individu suami X16 = Kesiapan finansial suami X17 = Kesiapan mental suami X21 = Kesiapan intelektual istri X22 = Kesiapan emosi istri X23 = Kesiapan sosial istri X24 = Kesiapan moral istri X25 = Kesiapan individu istri X26 = Kesiapan finansial istri X27 = Kesiapan mental istri e = Galat Definisi Operasional Keluarga adalah sekumpulan orang yang terdiri atas suami, istri, dan anak yang dipersatukan oleh pernikahan, hubungan darah atau adopsi Besar keluarga adalah jumlah orang yang berada dalam suatu tumah tangga yang terdiri atas ayah/suami, ibu/istri, anak, dan lainnya yang terikat pernikahan atau adopsi Pendapatan per kapita adalah jumlah uang per bulan yang diterima ayah atau ibu yang bekerja dan kemudian dibagi setiap anggota keluarga Pendidikan
adalah lamanya
seseorang menempuh
jalur formal
untuk
mendapatkan pengetahuan atau ilmu Lama Pernikahan adalah lamanya suami istri membentuk sebuah rumah tanngga Keluarga Prasekolah adalah suami dan istri yang memiliki anak pertama usia tiga sampai lima tahun. Kesiapan Menikah adalah hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang individu yang
akan
menikah
perkembangannya
yang
sebagai
terdiri
remaja
atas
dan
pemenuhan
lainnya
yang
tugas dapat
membantunya dalam kehidupan berkeluarga nantinya. Kesiapan menikah diukur melalui kesiapan emosi, sosial, moral, intelektual, dan kesiapan lainnya (individu, finansial, dan mental)
23
Kesiapan Emosi adalah potensi diri untuk merasakan, menggunakan, mengkomunikasikan, mengendalikan, mendidentifikasi apa yang dirasakan dalam dirinya. Kesiapan Sosial adalah kemampuan untuk bergaul atau berhubungan dengan orangtua maupun orang lain di sekitarnya. Kesiapan Moral adalah kemampuan seseorang dalam membedakan mana yang baik dan buruk serta mana yang benar dan salah yang menjadi nilai absolut dalam diri manusia Kesiapan Intelektual adalah kemampuan daya tangkap, daya pikir, dan daya ingat serta memecahkan masalah Tugas Dasar adalah peubah yang harus dipenuhi oleh keluarga yang menjadi awal pemenuhan tahapan selanjutnya. Tugas Krisis adalah tahapan kritis dalam tahap perkembangan keluarga atau individu yang dicirikan dari ketidakmampuan keluarga atau individu dalam menangani stres dalam kehidupannya karena kekurangan sumberdaya dalam menangani stres tersebut. Tugas krisis diukur melalui indikator yang dikembangkan dari Duvall (1971) dan Hurlock (1980)
25
HASIL PENELITIAN Gambaran umum lokasi penelitian Desa Bubulak, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat menjadi pilihan sebagai lokasi penelitian karena diantara seluruh Kecamatan Bogor Barat, Keluarhan Bubulak menjadi satu-satunya kelurahan yang belum berkembangan dengan jumlah masyarakan menengah ke bawah yang lebih banyak. Berdasarkan data monografi desa, luas kelurahan adalah 157,085 Ha. Luas daerah ini diperuntukkan untuk beberapa hal seperti jalan, sawah, ladang, bangunan umum, pemukiman, jalur hijau, pekuburan, dan lai-lain. Sebanyak 68,265 Ha digunakan sebagai ladang dan 47,2 Ha dijadikan perumahan. Desa Bubulak berada dalam dataran rendah dengan ketinggian 160 meter dari permukaan laut. Batas sebelah utara Keluarahan Bubulak adalah Kelurahan Semplak, sedangkan batas selatannya adalah Kelurahan Margajaya. Batas sebelah barat adalah Keluarhan Situgede dan batas timurnya adalah Kelurahan Sindangbarang. Jarak Kelurahan Bubulak ke pusat pemerintahan kecmatan sejauh 6 km, sedangkan ke pemerintahan pusat kota sejauh 9 km. Desa Bubulak memiliki 13 RW dengan jumlah kepala keluarga per tahun 2010 sebanyak 3437 kepala keluarga dengan jumlah laki-laki sebanyak 6280 orang dan perempuan 6194 orang. Untuk penduduk musiman, terdapat 137 kepala keluarga yang tercatat di Desa Bubulak1. Karakteristik keluarga Besar keluarga BKKBN menyebutkan bahwa keluarga dengan anggota tiga sampai empat orang termasuk dalam kategori keluarga kecil. Hampir seluruh contoh (98,8%) memiliki besar keluarga kecil (Tabel 3). Satu contoh lainnya anggota keluarga sebanyak lima orang. Rata-rata besar keluarga contoh adalah sebesar 3,21 orang atau tiga orang dengan standar deviasi sebesar 0,437.
1
Data monografi Desa Bubulak per tahun 2010
26
Tabel 3 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga
Jumlah
Persentase
Kecil (3-4 orang) Sedang (5-7 orang) Besar (≥ 8 orang) Total
89 1 0 90
98,8 1,1 0 100
Keterangan: Nilai minimum-maksimum : 3-5 Rata-rata±sd besar keluarga contoh : 3,21±0,437
Lama menikah contoh Gambar 4 menunjukkan bahwa hampir setengah contoh (48,9%) menikah selama lima tahun. Satu contoh menikah selama tiga tahun dan terdapat dua contoh yang sudah menikah selama 10 tahun. Lama menikah contoh berada dalam rentang tiga sampai sepuluh tahun. Rata-rata lama menikah contoh adalah 5,13
persentase (%)
tahun dengan standar deviasi sebesar 1,144. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
48,9 24,4
20 2,2
1,1
1,1
2
lama menikah (tahun)
3
4
5
6
7
9
10
Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan lama menikah Usia suami dan istri saat ini Hurlock (1980) membagi usia dewasa kedalam tiga kategori, yaitu dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (40-60 tahun), dan dewasa akhir ( >60 tahun). Terlihat dari Tabel 4 bahwa hampir seluruh suami dan istri (94,4% dan 98,9%) berada dalam rentang usia dewasa muda dengan rentang usia 22 sampai 47 tahun. Rata-rata umur suami saat ini adalah 32,94 tahun, sedangkan umur istri saat ini adalah 28,08 tahun. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara usia suami dan istri dengan nilai p value sebear 0,000.
27
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia saat ini Suami
Kategori
Istri
Jumlah Persentase Jumlah Persentase Dewasa muda (18-40) 85 94,4 89 98,9 Dewasa madya (40-60) 5 5,6 1 1,1 Total 90 100 90 100 Keterangan: Nilai minimum-maksimum umur suami dan istri saat ini : 22-47 Rata-rata±sd umur suami dan istri saat ini : 30,5±4,8 P value : 0,000
Total Jumlah Persentase 174 96,7 6 3,3 180 100
Usia menikah suami dan istri Blood (1962) menyatakan bahwa umur merupakan indikator seseorang sudah matang dan dewasa. Kematangan seseorang yang akan menikah diperlukan untuk membentuk komitmen dalam pernikahan. Undang-undang no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa seseorang diperbolehkan menikah pada usia 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Berdasarkan undang-undang tersebut, terlihat dalam penelitian ini bahwa seluruh laki-laki menikah lebih dari umur 19 tahun dan hanya terdapat satu perempuan (1,1%) yang menikah saat umur 16 tahun (Tabel 5). Perbedaan yang sangat signifikan terdapat antara umur menikah suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0,000. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan umur menikah Kategori
Jumlah
Suami ≤19 tahun 0 >19 tahun 90 Istri ≤16 tahun 1 >16 tahun 89 Keterangan : Nilai minum-maksimum umur menikah suami Rata-rata±sd umur menikah suami Nilai minum-maksimum umur menikah istri Rata-rata±sd umur menikah suami P value
Persentase
Jumlah
Total Persentas
0 100
0 90
0 100
1,1 98,9
1 89
1,1 98,9
: 20-39 : 27,8±4,2 : 16-36 : 22,9±3,7 : 0,000**
Pekerjaan suami dan istri Gambar 5 menjelaskan bahwa 41,1 persen suami bekerja sebagai buruh. Buruh disini antara lain buruh bangunan, buruh pabrik, sopir, dan penjaga warung. Untuk istri, hampir seluruhnya (87,8%) tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga.
persentase (%)
28
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
87,8
41,1 31,1
25,6
1,1
1,1
0
2,2 3,3 3,3 2,2 1,1
Suami
Istri
PNS
Karyawan
Wiraswasta
Buruh
Kyai/guru agama/ustadz
Tidak bekerja/IRT
Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan Lama pendidikan suami dan istri Pendidikan merupakan jalan untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Pendidikan akan memberikan wawasan, pengetahuan, dan membentuk perilaku yang baik2. Pemerintah mewajibkan masyarakat untuk menempuh pendidikan minimal sembilan tahun menurut Undang-undang No. 47 tahun 2008. Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari separuh suami menempuh sekolah formal kurang dari sembilan tahun dengan nilai rata-ata dan standar deviasi sebesar 9,7 dan 2,8. Sama halnya dengan suami, istri juga menempuh pendidikan formal kurang dari sembilan tahun sebanyak 65,6 persen. Rata-rata istri menempuh pendidikan selama 8,84 tahun dengan nilai standar deviasi sebesar 3,1. Terdapat perbedaan pendidikan yang signifikan antara suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0,049. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan lama pendidikan Suami Pendidikan ≤ 9 tahun > 9 tahun
Jumlah 48 42 90
Persentase 53,3 46,7 100
Istri Jumlah 59 31 90
Persentase 65,6 34,4 100
Total Keterangan: Nilai minimal-maksimal lama pendidikan suami dan istri : 0-16 Rata-rata±sd lama pendidikan suami dan istri : 9,3±3,1 P value : 0,049
2
Total Jumlah 107 73 180
Persentase 59,4 40,6 100
http://umum.kompasiana.com/2009/06/30/pendidikan-sebagai-salah-satu-faktor-untuk-meningkatkankualitas-hidup-manusia-bag-1/
29
Pendapatan per kapita Garis kemiskinan wilayah perkotaan di Provinsi Jawa Barat menurut BPS tahun 2010 adalah Rp212 210. Berdasarkan hal tersebut, Tabel 7 menunjukkan bahwa 86,7 persen contoh memiliki pendapatan per kapita di atas garis kemiskinan wilayah perkotaan di Provinsi Jawa Barat menurut BPS 2010. Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan garis kemiskinan BPS Garis Kemiskinan BPS 2010 < Rp 212.210 ≥ Rp 212.210 Total Rata-rata±sd Min-max
Jumlah 12 78 90
Persentase
13,3 86,7 100 482.000 ± 357.654 70.000-1.666.667
Keterangan: Nilai minimal-maksimal pendapatan per kapita contoh : Rp70.000-1.666.667 Rata-rata±sd pendapatan per kapita contoh : Rp482.000±357.654
Kesiapan Menikah Kesiapan menikah diartikan oleh Duvall (1971) sebagai laki-laki dan perempuan yang telah menyelesaikan tugas perkembangan remajanya dan telah siap secara fisik, emosi, finansial, tujuan, dan pribadi siap untuk bertanggung jawab dan menikah. Untuk itu peneliti mengukur kesiapan menikah dari beberapa dimensi, yaitu kesiapan intelektual, emosi, sosial, moral, individu, finanasial, dan mental. Kesiapan Intelektual Kesiapan intelektual meliputi pernyataan tentang kemampuan contoh untuk mendapatkan informasi. Kesiapan intelektual diartikan oleh Papalia dan Olds (1986) sebagai kemampuan seseorang seperti belajar, mengingat, beralasan, dan berpikir. Tabel 8 dapat terlihat bahwa sebagian hampir seluruh istri (94,4%) dapat memenuhi pernyataan mengenai keikutsertaannya dalam mnencari berita yang menggemparkan dunia, seperti berita tsunami di Aceh tahun 2004 hingga selesai. Hal ini terkait dengan pekerjaan istri yang 87,8 persen bekerja sebagai ibu rumah tangga sehingga memiliki waktu untuk mengikuti berita. Kebanyakan istri mendapatkan berita dari sekilas berita saat sedang menonton televisi. Lain halnya dengan 94,4 persen suami yang mencari berita terbaru melalui televisi, surat kabar, maupun internet tapi hanya 84,4 persen saja yang menikuti kejadian yang
30
menggemparkan dunia hingga selesai. Bagi suami, tidak perlu mengikuti berita sampai selesai karena bagi mereka mengetahui berita terbaru saja sudah cukup. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan intelektual No 1 2 3 4 5 6
Pernyataan Saat saya menemukan hal yang baru, saya memiliki rasa keingintahuan yang tinggi untuk mendalami hal tersebut Saya mengikuti perkumpulan budaya sebagai upaya untuk melestarikan budaya Saya mencari berita untuk mendapatkan berita terbaru (melalui surat kabar, televisi, internet) Saya suka membaca buku mengenai ilmu pengetahuan Saat ada peristiwa yang menggemparkan dunia, saya akan mengikuti kejadian tersebut hingga selesai Saya menyukai perkembangan dunia politik Rataan (%)
kesiapan
Suami (%)
Istri (%)
91,1
81,1
44,4
32,2
94,4
85,6
80
71,1
84,4
94,4
54,4 74,8
41,1 67,6
Hasil penelitian yang dilakukan Dopplet dan Wallace (1955) dalam Papalia dan Olds (1986) menunjukkan bahwa kesiapan intelektual dewasa muda akan meningkat pada usia 20-an dan akan menurun setelahnya. Kemampuan ini akan berubah seiring jalannya waktu dan berhubungan dengan aspek motorik dan emosi. Hasil penelitian ini menunjukkan kesiapan intelektual suami lebih tinggi daripada istri dan ada perbedaan yang nyata antara kecerdasa intelektual suami dan istri. Sebuah penelitian yang dilakukan Furnham dan Bunclark (2006) dan Furnham dan Petrides (2004) dalam Sanchez et.al (2008) menyebutkan bahwa laki-laki memiliki nilai kesiapan intelektual yang lebih baik daripada perempuan. Pencapaian kesiapan intelektual suami yang tinggi dapat terlihat dari pendidikan suami yang juga lebih tinggi daripada istri. Pendidikan akan memberikan akses bagi keluarga untuk melakukan salah satu syarat minimal untuk menikah yang disebutkan oleh Burgess dan Locke (1960), yaitu memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga. Semakin tinggi pendidikan maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan akan semakin tinggi juga (Duvall 1971). Pemenuhan
suami
(32,2%)
maupun
istri
(44,4%)
mengenai
keikutsertaannya dalam perkumpulan seni sebagai upaya untuk melestarikan budaya masih rendah. Dilihat dari rata-ratanya, suami dapat memenuhi kesiapan intelektual lebih baik daripada istri. Perbedaan yang signifikan terdapat pada
31
kesiapan intelektual keduanya dengan nilai p-value sebesar 0,020. Secara keselurahan, lebih dari separuh suami berada dalam memiliki kesiapan intelektual yang tinggi dan mayoritas istri berada dalam kategori sedang (Tabel 9). Tabel 9 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan intelektual contoh Suami
Kategori
n 6 34 50 90
Rendah (0-33.3%) Sedang (33.4-66.7%) Tinggi (66.8-100%) Total
Istri
% 6.7 37.8 55.6 100
n 8 47 35 90
% 8.9 52.2 38.9 100
Total n % 14 7.8 81 45 85 47.2 180 100
Kesiapan Emosi Kesiapan
emosi
diartikan
sebagai
kemampuan
seseorang
dalam
mengontrol, mengendalikan, dan mengevaluasi emosi. Papalia dan Olds (1986) mendefinisikan kesiapan emosi adalah kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan dunia, orang lain, dan perasaan. Kesiapan emosi dinilai Blood (1962) sebagai konsep penting dalam kesiapan menikah karena konsep ini sebagai tanda bahwa seseorang telah masuk pada masa dewasa. Hampir seluruh suami (98,9%) dan istri (95,6%) dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan sebanyak 93,3 persen suami dan istri mendapatkan dukungan dari keluarga disegala aktivitas saat sebelum menikah (Tabel 10). Terdapat satu istri yang merokok, baik dalam aktivitas sehari-harinya maupun saat sedang stres. Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan emosi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Pernyataan Saat saya dikhianati oleh pasangan, saya akan merasa kecewa Saya tidak menggerutu saat marah Apabila pasangan saya diganggu oleh orang lain, saya tidak akan menghampiri Saya tidak merokok saat stres Saya mendapat dukungan dari keluarga disegala aktivitas saya Saya dapat menyelesaikan pekerjaan saya tepat waktu Jika ada teman yang mengganggu pekerjaan saya, maka saya akan menyuruhnya pergi dengan baik-baik Saya tidak pernah melempar barang dan berteriak jika saya merasa kesal dengan beban pekerjaan Saat saya berbeda persepsi dengan teman saya, maka saya segera menyamakan persepsi kami Saya ikut sedih ketika mendengarkan cerita sedih teman saya Rataan (%)
Suami (%)
Istri (%)
81,1
57,8
33,3
24,4
44,4
90
28,9
98,9
93,3
93,3
98,9
95,6
57,8
52,2
68,9
23,3
58,9
42,2
73,3 63,9
81,1 71,2
Tabel 10 terlihat bahwa suami dapat memenuhi pernyataan kesiapan emosi rata-rata enam pernyataan (63,9%), sedangkan istri rata-rata tujuh pernyataan
32
(71,2%). Pernyataan yang pemenuhannya masih rendah oleh suami adalah merokok saat sedang setres maupun dalam aktivitas sehari-hari karena suami yang tidak merokok hanya tiga dari sepuluh orang (28,9%). Untuk istri, pernyataan yang pemenuhannya masih rendah adalah tidak melempar barang saat sedang marah. Sebanyak 76,7 persen istri yang melempar barang saat marah. Terlihat pada penelitian ini bahwa kesiapan emosi istri lebih baik daripada suami dan ada perbedaan yang signifikan antara kesiapan emosi suami dan istri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Awasthi dan Katyal (2005) menghasilkan kesiapan emosi wanita lebih baik daripada laki-laki. Penemuan ini diduga karena kesiapan emosi berhubungan dengan menjaga dan mengekspresikan emosi yang terlihat dari kemampuan
empatinya,
tanggung
jawab
sosialnya,
dan
hubungan
interpersonalnya. Selain kemampuannya untuk menjaga emosi dan hubungan personalnya, kesiapan emosi dipengaruhi oleh lingkungan masyarakatnya dan kepribadiannya. Perempuan lebih sensitif dalam mengekspresikan emosinya terhadap orangtua, kerabat, dan peer group sehingga saat seorang perempuan lebih menjaga emosi dan hubungan personalnya daripada laki-laki, maka kesiapan emosinya pun baik. Lebih dari tiga perempat istri memiliki kesiapan emosi dalam kategori tinggi dan lebih dari separuh suami berada dalam kategori sedang (Tabel 11). Kesiapan emosi suami dan istri berbeda dengan nilai p-value seesar 0,000. Tabel 11
Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan emosi contoh
Kategori Rendah (0-33.3%) Sedang (33.4-66.7%) Tinggi (66.8-100%) Total
Suami n 0 49 41 90
% 0 54,4 45,6 100
Istri n 1 21 68 90
% 1,1 23,3 75,6 100
Total n % 1 0,5 70 38,9 109 60,6 180 100
Kesiapan Sosial Selain kesiapan emosi, Blood (1962) menyebutkan seseorang yang telah dewasa secara emosi belum tentu memiliki kehidupan sosial remaja yang cukup untuk siap menikah. Kesiapan sosial, desebutkan pula oleh Blood (1962), sebagai aspek kesiapan menikah yang mendasari pemenuhan kehidupan sosial remaja. Sebanyak 90 persen suami menyatakan sudah cukup umur untuk menikah. Tidak ada ukuran yang tepat untuk menentukan usia menikah (Tabel 12). Menurut UU no. 1 tahun 1974, umur yang tepat untuk menikah bagi laki-laki adalah 19 tahun,
33
sedangkan untuk perempuan adalah16 tahun. Namun, umur tersebut terlalu dini untuk melangsungkan pernikahan, menurut BKKBN. Hampir 90 persen istri akan menyapa terlebih dahulu tetangga baru yang ada di lingkungan rumahnya saat sebelum menikah. Kesiapan sosial suami dan istri berbeda dengan nilai p value sebesar 0,038. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa kesiapan sosial suami lebih baik daripada istri dan terdapat perbedaan yang nyata antara kesiapan sosial suami dan istri. Pernyataan yang masih rendah pemenuhannya adalah menilai seseorang saat pertama kali bertemu. Menurut Carli (2001) kesiapan sosial itu ditentukan oleh beberapa hal, yaitu jumlah laki-laki dan perempuan dalam satu grup yang sedang berinteraksi, cara berkomunikasi, dan isi pembicaraan (hal yang mengandung unsur feminin atau maskulin). Papalia, Olds, dan Feldman (2008) menyebutkan bahwa laki-laki lebih menyukai pembicaraan mengenai olahraga dan permainan yang kompetitif, sedangkan perempuan lebih suka menceritakan pengalamnnya. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan sosial No 1 2
3 4 5 6 7
Pernyataan Saya sudah cukup umur untuk menikah Ketika saya sedang bermasalah dengan pasangan, saya cepat dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebur Saya cepat beradaptasi dengan lingkungan baru Saya akan menyapa duluan saat ada tetangga baru Saya akan mengenyampingkan kepentingan saya untuk mencapai kepentingan bersama Saya tidak pernah melarang teman saya untuk berteman dengan orang lain Saya tidak langsung menilai seseorang dari penampilan Rataan (%)
Suami (%) 90
Istri (%) 85,6
40
47,8
40 86,7
21,1 88,9
84,4
67,8
88,9
80
38,9
41,1
66,9
61,7
Berdasarkan kelas interval, kesiapan sosial dibagi ke dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Mayoritas suami (60%) memiliki untuk kesiapan sosial dalam kategori tinggi, sedangkan lebih dari separuh istri (54,4%) memiliki kesiapan sosial dalam kategori sedang. Tabel 13 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan sosial contoh Kategori Rendah (0-33.3%) Sedang (33.4-66.7%) Tinggi (66.8-100%) Total
Suami n 1 35 54 90
% 1,1 38,9 60 100
Istri n 4 49 37 90
Total % 4,4 54,4 41,1 100
n 5 85 90 180
% 2,8 47,2 50 100
34
Kesiapan Moral Kesiapan moral diartikan sebagai kemampuan seseorang menilai apakah sesuatu itu baik atau buruk. Masa dewasa muda memiliki tahap perkembangan moral yang paling tinggi, yaitu post conventional menurut Kohlberg. Tahap ini dibagi dua, yaitu social contract dan universal ethical principles. Social contract adalah moral yang ditentukan oleh hak-hak manusia, sedangkan universal ethical principles adalah moral yang diasumsiakn adanya prinsip universal dan nurani sebagai pedoman kebajikan. Papalia dam Olds (1986) menyebutkan bahwa perkembangan moral dewasa muda berfungsi sebagai fungsi pribadi, sosialisasi, dan pengalaman moral. Hampir seluruh contoh, baik suami (96.7%) dan istri (94.4%), akan menolong orang yang tidak disukainya. Sebanyak 94,4 persen istri akan ikut mencela orang lain walaupun hanya bercanda dan 24,4 persen istri pernah melakukan bullying terhadap juniornya baik secara verbal maupun non verbal (Tabel 14). Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan moral No 1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11
Pernyataan Saya selalu menolong orang lain meskipun orang tersebut tidak menyukai saya Saat ada orang yang dicela, saya tidak ikut mencela Saya selalu memikirkan perasaan orang lain Saya pernah menyontek saat ujian Saya selalu berkata jujur kepada semua orang Saya dapat menyembunyikan perasaan saya saat senang maupun sedih Saat teman saya terlibat dalam suatu masalah yang saya ketahui, saya akan menceritakan masalah tersebut sejauh pengetahuan saya Saya tidak pernah mengambil barang orang Saya tidak pernah menggunakan barang orang tanpa izin Saya tidak pernah melakukan bullying terhadap junior saya Saya tidak pernah membeberkan rahasia teman saya Rataan (%)
Suami (%)
Istri (%)
96,7
94,4
37,8 41,1 65,6 93,3
5,6 37,8 60 93,3
32,2
36,7
46,7
53,3
65,6
68,9
62,2
65,6
55,6
75,6
56,7 59,4
45,6 57,9
Hasil rataan pada Tabel 14 menunjukkan bahwa suami dapat memenuhi pernyataan kesiapan moral lebih baik daripada istri. Dari 11 pernyataan, suami dapat memenuhi ata-rata 59,4 persen pernyataan sedangkan istri memenuhi ratarata 57,9 persen pernyataan. Pernyataan yang belum dapat dipenuhi dengan baik oleh suami maupun istri adalah ketidakmampuannya menyembunyikan perasaan saat senang atau sedih (Tabel 14). Kesiapan moral suami dan istri tidak memiliki
35
perbedaan dengan nilai p value sebesar 0,464. Peneltian yang dilakukan oleh Walker
(1984)
mendukung
penelitian
ini
yang
menunjukkan
bahwa
perkembangan moral baik laki-laki maupun perempuan tidak berbeda (Papalia dan Olds 1986). Gilligan (1977) menemukan bahwa moral perempuan lebih baik pada perhatian atau kepekaannya kepada lingkungan, sedangkan laki-laki lebih lebih baik pada moral justice (Podolskiy 2008). Berdasarkan kategori, lebih dari separuh suami (64,4%) dan lebih dari tiga perempat istri (76,7%) berada pada kategori sedang (Tabel 15). Tabel 15 Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan moral contoh Kategori Rendah (0-33.3%) Sedang (33.4-66.7%) Tinggi (66.8-100%) Total
Suami n 4 58 28 90
% 4,4 64,4 31,2 100
Istri n 1 69 20 90
Total % 1,1 76,7 22,2 100
n 5 127 48 180
% 2,7 70,6 26,7 100
Kesiapan Individu Blood (1962) menjelaskan bahwa kebanyakan orang belajar menjadi istri dan suami secara otomatis. Dalam proses pendewasaannya mereka belajar untuk menjadi suami dari ayahnya dan menjadi istri dari ibunya. Apabila orangtua mereka berhasil memberikan contoh yang baik untuk anak-anaknya, maka keberhasilan rumah tangga anaknya dapat terjamin. Salah satu yang perlu disiapkan untuk menikah adalah siap untuk mengasuh anak. Lebih dari separuh ibu sudah mengerti cara mengasuh anak karena latar belakangnya yang pernah mengasuh adik, tetangga, ataupun pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga (Tabel 16). Namun sisanya mengandalkan pengalaman masa lalunya saat diasuh oleh orangtua mereka. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menjelaskan bahwa banyak orangtua yang tidak menyiapkan diri untuk mendidik atau mengasuh anaknya dan mengandalkan pengalaman masa lalunya sehingga mereka menggunakan anak mereka sebagai “kelinci percobaan”. Tabel 16 memperlihatkan bahwa sebanyak 87,8 persen suami telah mengetahui pendidikan mengenai berkelaurga baik dari konseling pra nikah, sharing dengan teman-teman, maupun modelling dari orangtuanya. Lebih dari sepertiga suami (33.3%) adalah pencari nafkah utama dalam keluarga. Begitupula dengan istri, sebanyak 5,6 persen adalah pencari nafkah utama dalam keluarga.
36
Sebelum menikah, hampir seluruh istri melakukan pekerjaan rumah tangga. Hal ini mungkin dikarenakan wanita yang sering pekerjaan domestik dibandingkan publik. Hampir seperlima istri (17,8%) istri yang secara aktif mencari pengetahuan reproduksi, kehamilan, dan kelahiran sebelum menikah. Hal yang sama terjadi dengan suami yang hanya 38,9 persen yang memeriksakan kesehatan reproduksi sebelum menikah (Tabel 16). Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan individu No 1 2 3 4
5 6 7 8 9
10 11 12
Pernyataan Sebagai satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga besar Pasangan yang sudah dipilih merupakan pasangan yang seperti diharapkan Sudah memiliki waktu yang cukup untuk mengenal pasangan Memiliki pengetahuan tentang berkeluarga (peran, fungsi, dan tugas setiap anggota keluarga dalam keluarga) Memiliki pengetahuan mengenai cara menstimulasi anak dengan benar Memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak Anda akan mengurangi kesenangan pribadi setelah menikah Membiasakan diri untuk melakukan pekerjaan rumah tangga Anda memeriksakan kesehatan reproduksi sebelum menikah (Bapak) Anda memiliki pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, kehamilan, dan kelahiran (Ibu) Sebelum menikah, pasangan telah membicarakan mengenai jumlah anak yang diinginkan Sebelum menikah Anda telah hidup mandiri (terpisah dari orangtua) Anda memiliki keyakinan akan mendapatkan pekerjaan yang layak karena keterampilan yang dimiliki Rataan (%)
Suami (%)
Istri (%)
33,3
5,6
72,2
61,1
83,3
63,3
87,8
85,6
64,4
67,8
68,9
61,1
78,9
71,1
75,6
95,6
38,9
17,8
52,2
52,2
54,4
23,3
63,3
30
64,4
52,9
Istri dapat memenuhi rata-rata 52,9 persen pernyataan atau setara rata-rata delapan pernyataan dan suami dapat memenuhi rata-rata enam pernyataan dari 12 pernyataan yang diajukan mengenai kesiapan individu. Pernyataan yang pemenuhannya masih rendah adalah memeriksakan kesehatan reproduksi sebelum menikah. Perbedaan yang signifikan ada diantara kesiapan individu suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0.000. Berdasarkan kategori, hampir separuh suami (44,4%) berada pada kategori sedang dan tinggi, sedangkan hampr tiga per empat istri (72,2%) berada pada kategori sedang (Tabel 17). Secara keseluruhan,
37
Tabel 17 menunjukkan bahwa kesiapan individu dari seluruh contoh berada pada kategori sedang (58,3%). Tabel 17
Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan individu contoh
Kategori Rendah (0-33.3%) Sedang (33.4-66.7%) Tinggi (66.8-100%) Total
Suami n 10 40 40 90
% 1,2 44,4 44,4 100
Istri n 18 65 7 90
Total % 20 72,2 7,8 100
n 28 105 47 180
% 15,6 58,3 26,1 100
Kesiapan Finansial Masalah finansial akan terus ada selama kehidupan berkeluarga. Masalah tersebut meningkat pada masa awal pernikahan dan akan terus meningkat hingga masa awal anak-anak. Pasangan yang memiliki masalah dalam masa awal anakanak akan mendorong orangtua untuk membantu pasanngan tersebut. Keluarga yang memiliki pendidikan dan pekerjaan yang tinggi, keluarga yang fleksibel, dan komunikasi yang baik memiliki manajemen keluarga yang baik, pilihan yang lebih baik, dan rencana untuk masa depan keluarga. Penelitian yang dilakukan Hunt dan Eshlemen tahun 1967 di Michigan menemukan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh seseorang yang masih sekolah atau kuliah lebih memiliki masalah finansial dibandingkan seseorang yang menikah saat kemampuan finansialnya telah stabil (Duvall 1971). Ketidakmampuan finansial tersebut membuat orangtua akhirnya ikut campur dalam masalah keluarga. Menurut Blood (1962), pernikahan yang sukses salah satunya apabila memiliki finansial yang baik dan tercermin dari kepemilikan tabungan baik di bank maupun menyimpan sendiri.
Tabel 13
memperlihatkan bahwa hampir tiga per empat suami (72,2%) memiliki tabungan, sedangkan istri hanya 42,2 persen saja. Baik suami maupun istri telah bekerja sebelum menikah. Lebih dari tiga per empat istri (76,7%) telah memiliki pekerjaan tetap, sisanya ada yang membatu orangtuanya bekerja atau selesai sekolah langsung menikah. Demikian pula dengan 84,4 persen suami yang telah memiliki pekerjaan tetap dan sisanya mengikuti usaha turun menurun keluarga.
38
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan finansial No Pernyataan 1 Sebelum menikah Anda memiliki pekerjaan tetap 2 Sebelum menikah Anda sudah memiliki rumah sendiri 3 Sebelum menikah Anda memiliki tabungan 4 Sebelum menikah Anda memiliki investasi emas atau perhiasan 5 Sebelum menikah Anda sudah memiliki kendaraan sendiri 6 Memiliki pengetahuan cara mengelola keuangan (dari buku, internet, televisi) 7 Memiliki jejaring yang banyak 8 Memiliki pendapatan sampingan Rataan (%)
Suami (%) 84,4
Istri (%) 76,7
7,8
1,1
72,2
42,2
20
64,4
35,6
8,9
55,6
70
52,2 50 47,2
74,4 16,7 44,3
Hasil nilai rataan pada Tabel 18 menunjukkan bahwa suami dan istri dapat memenuhi pernyataan kesiapan finansial rata-rata hampir setengah dari pernyataan (47,2% dan 44,3%). Pernyataan yang masih sedikit dapat dipenuhi oleh suami dan istri adalah kepemilikan rumah. Hanya hampir sepersepuluh suami dan 1,1% istri yang menyiapkan rumah sebagai tempat tinggal setelah menikah. Sisanya masih menumpang di rumah orangtua dan mengontrak. Tidak ada perbedaan kesiapan finansial antara suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0.384. Kategori skor pada Tabel 19 menunjukkan bahwa suami dan istri berada dalam kategori sedang (57,8% dan 60%). Tabel 19
Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan finansial contoh
Kategori Rendah (0-33.3%) Sedang (33.4-66.7%) Tinggi (66.8-100%) Total
Suami n 24 52 14 90
% 26,7 57,8 15,5 100
Istri n 28 54 8 90
Total % 31,1 60 8,9 100
n 52 106 22 180
% 28,9 58,9 12,2 100
Kesiapan Mental Kesiapan mental perlu dipersiapkan karena menurut Gunarsa dan Gunarsa (2002), dalam kehidupan berumah tangga tentunya sering menemukan ketidakcocokan antara apa yang disukai dan apa yang tidak disukai oleh pasangan. Maka dari itu, setiap pasangan suami istri harus menjadi tim yang kuat dalam menanggulangi perbedaan tersebut sehingga tidak membawa pada perpisahan. Sebelum menikah terdapat syarat yang sebaiknya diajukan sendiri maupun kesepakatan bersama karena akan berdampak pada kesiapan mental pasangan yang akan menikah. Menurut Napolitano, Furstenberg, dan Kefalas (2005)
39
kesiapan mental dalam pernikahan termasuk dalam menerima aturan-aturan dalam hubungan pernikahan dan melakukan perjanjian sebagai suami dan istri yang dibuat saat pernikahan. Chairy (2006) mengatakan bahwa kesiapan mental adalah hal yang pertama kali harus disiapkan oleh pasangan yang akan menikah. Pernyataan yang sudah dapat dipenuhi dengan baik oleh suami maupun istri yaitu siap apabila pendapatan keluarga tidak hanya untuk keluarganya saja. Penelitian menunjukkan bahwa istri lebih tidak siap apabila hidup dalam keterbatasan daripada suami. Sebanyak 67,8 persen istri siap untuk hidup terbatas dibandingkan suami yang lebih dari empat perlimanya (82,2%) siap jika harus hidup dalam keterbatasan. Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan pemenuhan item pernyataan kesiapan mentalnya No 1 2
3
4
5
Pernyataan Sebelum menikah, Anda telah menyiapkan diri untuk hidup dalam keterbatasan setelah menikah Sebelum menikah, Anda telah memikirkan bagaimana cara membagi penghasilan yang didapatkannya untuk dirinya, keluarganya, juga untuk keluarga besar Sebelum menikah, Anda telah menyiapkan diri untuk kemungkinan hubungan yang kurang baik dengan mertua (misalnya mendapatkan sindiran) Sebelum menikah, Anda telah menyiapkan diri jika pasangan melakukan perilaku yang sesuai selama pernikahan Sebelum menikah, Anda telah menyiapkan diri jika memiliki anak tidak seperti yang diharapkan Rataan (%)
Suami (%)
Istri (%)
82,2
67,8
94,4
90
61,1
60
67,8
53,3
62,2
67,8
73,6
67,8
Suami dapat memenuhi pernyataan rata-rata hampir tiga perempatnya (73,6%) dari lima pernyataan yang diajukan mengenai kesiapan mental. Pernyataan yang belum dapat dipenuhi oleh suami dengan baik adalah ketidaksiapan hubungan dengan mertua. Istri sudah dapat memenuhi rata-rata lebih dari setengah pernyataan (67,8%). Pernyataan yang belum dapat memenuhi oleh istri dengan baik adalah ketidaksiapannya atas perilaku pasangan yang tidak diharapkan. Dilihat dari kategori skor, lebih dari separuh contoh (55%) berada dalam kategori tinggi untuk kesiapan mentalnya. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kesiapan mental suami dan istri dengan nilai p value sebesar 0,150.
40
Tabel 21
Sebaran kategori skor berdasarkan kesiapan mental contoh
Kategori Rendah (0-33.3%) Sedang (33.4-66.7%) Tinggi (66.8-100%) Total
Suami n 3 34 53 90
Istri
% 1,7 18,9 29,4 100
n 9 35 46 90
Total % 10 38,9 51,1 100
n 12 69 99 180
% 6,7 38,3 55 100
Secara keseluruhan, kesiapan menikah suami lebih baik daripada istri. Suami dapat memenuhi rata-rata 63,2 persen dari 59 pernyataan kesiapan menikah, sedangkan istri memenuhi rata-rata 59,6 persen pernyataan kesiapan menikah. Hanya dalam kategori kesiapan emosi saja istri memiliki tingkat kesiapan yang lebih baik daripada suami. Sebagian besar suami maupun istri memiliki kesiapan menikah dalam kategori sedang. Perbedaan yang signifikan antara suami dan istri ditunjukkan dengan nilai p value sebesar 0,008.
persentase (%)
63,2
59,6
kesiapan menikah suami
istri
Gambar 6 Sebaran contoh berdasarkan kesiapan menikahnya Tugas Dasar Tugas dasar merupakan bagian-bagian yang harus dipenuhi oleh keluarga mapun individu sebelum memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya (Maslow 1970). Menurut BKKBN, kebutuhan dasar yang harus dipenuhi keluarga antara lain kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Berikut adalah tabel pemenuhan tugas dasar keluarga di lokasi penelitian.
41
Tabel 22 Sebaran keluarga berdasarkan pemenuhan tugas dasarnya No 1 2 3 4 5 6 7
Pernyataan Memiliki ketersediaan makanan Anggota keluarga makan minimal dua kali sehari Memilliki rumah yang permanen Memiliki atap dan dinding yang kokoh Memiliki pakaian yang berbeda untuk setiap kegiatan Pergi ke dokter/klinik/bidan saat ada anggota keluarga yang sakit Melakukan KB di rumah sakit/klinik/bidan Rataan (%)
Pemenuhan (%) 100 100 100 95,6 91,1 98,9 87,8 96,2
Tabel 22 memperlihatkan bahwa seluruh keluarga menyediakan makanan untuk makan sehari-hari dan tidak ada anggota keluarga yang makan kurang dari dua kali. Seluruh keluarga juga menempati rumah permanen, baik masih mengontrak, rumah sendiri, maupun masih tinggal dengan orangtua atau mertua. Hampir seluruh contoh membawa anggota keluarga yang sedang sakit ke dokter, klinik, maupun bidan terdekat. Namun ada satu keluarga yang masih menggunakan obat tradisional. Seluruh keluarga di lokasi penelitian rata-rata hampir memenuhi seluruh pernyataan mengenai tugas dasar keluarga. Dari tujuh pernyataan mengenai pemenuhan tugas dasar, terdapat tiga peryataan yang dapat dipenuhi dengan sempurna oleh keluarga, yaitu ketersediaan makanan, makan lebih dari dua kali sehari, dan memiliki rumah permanen. Terdapat empat keluarga yang atap rumahnya masih terbuat dari anyaman bambu ataupun asbes, bahkan masih ada yang tidak memiliki loteng, lantainya masih dari tanah, dan dindingnya hanya tersusun dari batako putih yang rapuh (belum diplester). Hampir seluruh keluarga (91,1%) memiliki baju yang berbeda untuk setiap kegiatan dan sisanya tidak memiliki baju untuk acara yang berbeda. Delapan keluarga hanya membeli baju setahun sekali, saat lebaran. Sebanyak 87,8 persen ibu melakukan KB, sisanya tidak melakukan karena penyakit (kista dan miom), tidak cocok, dan keyakinan bahwa KB dapat menghambat rezeki untuk mendapatkan anak. Tugas Krisis Tugas krisis adalah periode krusial dalam setiap tahapan perkembangan keluarga karena kurangnya sumberdaya (Sunarti 2007). Dalam penelitian, tugas krisis dibagi menjadi tiga, yaitu tugas krisis terkait anak, hubungan suami istri,
42
dan kesiapan sekolah anak. Berikut adalah tabel item pernyataan tugas krisis keluarga prasekolah di lokasi penelitian. Tabel 23 Sebaran keluarga berdasarkan pemenuhan tugas krisisnya No Pernyataan Tugas krisis anak 1 Tidak mengabaikan anak karena bicaranya yang belum jelas 2 Tidak menyalahkan anak saat terjatuh 3 Tidak membiarkan anak di depan televisi 4 Tidak membiarkan anak menangis 5 Melakukan sebagian besar pengasuhan sendiri 6 Mendapatkan dukungan pengasuhan 7 Membaca buku tentang pengasuhan 8 Tidak membiarkan anak gemuk 9 Tidak membiarkan anak buang air sembarangan 10 Mengatur keadaan rumah yang layak untuk perkembangan anak Tugas krisis hubungan suami dan istri 11 Memiliki privasi untuk menjaga hubungan dengan pasangan 12 Memiliki waktu untuk melakukan pengasuhan dan pekerjaan rumah (khusus ayah) 13 Memiliki waktu untuk merawat diri Tugas krisis kesiapan sekolah anak 14 Memiliki biaya untuk sekolah anak 15 Memiliki kesempatan untuk menstimulasi anak Rataan (%)
Pemenuhan (%) 11,1 24,4 36,7 56,7 41,1 80 37,8 13,3 51,1 25,5 26,7 80 27,8 74,4 67,8 43,6
Sebanyak 88,9 persen ibu masih sering mengabaikan anak karena bicaranya yang belum jelas. Namun, saat menangis lebih dari setengah ibu tidak membiarkan anaknya. Sebanyak duapuluh persen ibu tidak mendapatkan dukungan untuk mengasuk karena tinggalnya yang berjauhan atau tidak ingin merepotkan orangtua sehingga setengah ibu memilih untuk meminta bantuan baby sitter maupun saudara kandungnya. Sisanya melakukan pengasuhan sendiri (Tabel 23). Masa prasekolah merupakan masa yang sibuk sehingga 72,2 persen ibu tidak sempat untuk merawat diri atau punya waktu luang untuk dirinya. Akibatnya, waktu yang dimiliki istri untuk menjaga hubungan dengan suami hanya dimiliki oleh 26,7 persen istri (Tabel 23). Waktu yang digunakan untuk menjaga hubungan suami dan istri sebatas pergi kondangan bersama atau mengobrol di malam hari saat anak sudah tidur. Gunarsa dan Gunarsa (2002) menjelaskan bahwa partisispasi suami dalam keluarga, baik merawat, mendidik, dan menjaga anak dapat mempererat hubungan suami istri. Namun, karena kesibukan di luar rumah, suami dan istri sering mengacuhkan waktu yang sebenarnya dapat digunakan untuk memupuk rasa keakraban. Hal tersebut terlihat
43
dari 20 persen ayah yang tidak memiliki waktu untuk mengurus anaknya karena kelelahan bekerja atau menyerahkan pekerjaan rumah tangga kepada istrinya. Usia prasekolah merupakan usia persiapan untuk masuk ke sekolah formal. Terdapat 37,8 persen anak yang belum sekolah karena beberapa alsan, salah satunya belum cukup umur untuk masuk PAUD. Namun, umur bukan alasan anak tidak sekolah. Sebelum masuk PAUD, ibu memasukkan anaknya ke TPA sebagai persiapan masuk PAUD. Hampir sama dengan PAUD, di TPA anak mulai mengenal angka, warna, dan ditambah dengan membaca iqra’. Terdapat 30 persen anak yang mengikuti TPA, sedangkan terdapat 31,1 persen anak yang sudah masuk PAUD, dan hanya satu anak yang sudah masuk TK. Tentunya kerjasama antara sekolah dan keluarga diperlukan agar anak benar-benar siap masuk ke sekolah dasar. Namun hanya terdapat 32,2 persen ibu yang menstimulasi anak agar siap untuk sekolah. Ibu yang tidak sempat menstimulasi anak memiliki alasan seperti sibuk bekerja, anaknya yang tidak mau mengulangi pelajaran di PAUD/TPA/TK, memiliki adik yang masih bayi atau usia balita, dan sedang hamil sehingga lebih terkonsentrasi dengan kehamilannya. Secara umum, tugas krisis keluarga dalam lokasi penelitian ini dalam kategori sedang. Dari 15 pertanyaan tersebut, keluarga dapat memenuhi rata-rata 43,6 persen pernyataan atau rata-rata enam pernyataan mengenai tugas krisis. Tugas krisis merupakan periode-periode krusial dalam keluarga yang terjadi sepanjang tahap perkembangan keluarga. Hampir separuh pernyataan mengenai tugas krisis dapat dipenuhi oleh keluarga dari pernyataan yang diharapkan. Kemampuan keluarga dalam menghadapi krisis dalam keluarga, biasanya dapat terlihat dari teori ABCX family crisis model yang dikembangkan oleh McCubbin dan Thompson (1987). Model ini fokus terhadap stressor yang datang pada keluarga, sumberdaya keluarga, dan kemampuan keluarga dalam menghadapi stressor. Terdapat tujuh komponen dalam model ini, yaitu stressor, kerentanan keluarga, tipe keluarga (rhytmic, regenerative, resilience, atau traditionalistic families), sumberdaya dalam keluarga, kemampuan keluarga dalam menghadapi stressor, respon keluarga dalam bentuk pemecehan masalah atau koping strategi, dan penyesuaian keluarga sebagai bentuk akhir dari kemampuan keluarga dalam menerima stressor (krisis keluarga atau tidak).
44
Krisis terjadi ketika stressor mulai mengganggu kestabilan keluarga. Kemampuan keluarga dalam menghadapi stressor tergantung dari sumberdaya keluarga.
Besarnya
stressor
dan
tahap
perkembangan
keluarga
akan
mempengaruhi kelentingan keluarga yang kemudian rentan atau tidaknya keluarga ditentukan oleh tipe keluarga. Tipe keluarga resilience tidak akan menimbulkan krisis bagi keluarga karena keluarga menjadi fleksibel ketika masalah datang. Kekuatan, sumberdaya, dan kemampuan keluarga mengartikan stres akan mempengaruhi pemecahan masalah dan koping strategi yang dilakukan keluarga. Krisis atau tidaknya keluarga akan ditentukan dari kekuatan, sumberdaya, dan kemampuan keluarga dalam mengartikan sters tersebut. Keluarga yang resilience (rentan) adalah keluarga yang mampu mengelola tekanan yang diukur dari fleksibitas dan kelekatan keluarga. Tipe keluarga ini menjadi komponen utama untuk menjadikan keluarga yang sehat, kuat dan menunjang keberfungsian keluarga. Keluarga tipe ini dapat dikatakan memiliki pola adaptasi yang baik dan ditunjukkan dengan kepuasan keluarga, perkembangan anak, pernikahan, dan lingkungan sekitar. Hubungan Umur Menikah, Pendidikan serta Kesiapan Menikah Suami dan Istri Hubungan yang signifikan (p<0,05) terdapat diantara kesiapan menikah suami, umur, dan pendidikan (Tabel 24). Semakin tinggi umur dan pendidikan suami maka kesiapan menikahnya pun semakin baik. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bayer (1968) menemukan bahwa semakin cepat seseorang menikah maka kesiapannya juga semakin rendah. Pendidikan merupakan aset yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Pendidikan dan pendapatan yang tinggi akan meminimalisasi perceraian keluarga (Papalia, Olds, dan Feldman 2008). Blood (1962) menjelaskan bahwa umur adalah indikasi seseorang telah dewasa. Hasil penelitian ini juga didukung oleh Knox (1985) bahwa pendidikan, usia, dan pekerjaan adalah tiga hal yang dapat mempengaruhi kesiapan menikah. Hubungan yang sangat signifikan (p<0,01) juga terdapat diantara umur menikah suami dengan kesiapan finansialnya (Tabel 24). Ini berarti semakin tinggi umur menikah suami maka kesiapan finansial suami juga akan semakin
45
baik. Duvall (1971) menyatakan bahwa seseorang yang menikah muda mungkin masih bergantung dengan orangtua. Terlihat pada penelitian ini bahwa sebagian besar contoh masih bergantung dengan orangtua sehingga kesiapan finansialnya juga belum stabil. Kesiapan intelektual, emosi, dan kesiapan individu suami berhubungan positif sangat signifikan (p<0,01) dengan pendidikan (Tabel 24). Artinya semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi pula kesiapan intelektual, emosi, dan kesiapan individunya untuk mempersiapkan pernikahan. Secara total, kesiapan menikah suami berhubungan sangat signifikan (p<0,01) dengan umur dan pendidikan (Tabel 24). Tabel 24 Sebaran koefisien korelasi kesiapan menikah, umur menikah, dan pendidikan suami Kesiapan menikah Kesiapan intelektual Kesiapan emosi Kesiapan sosial Kesiapan moral Kesiapan individu Kesiapan finansial Kesiapan mental Total kesiapan menikah suami
Umur menikah 0,202 0,095 -0,08 0,083 0,198 0,356** 0,102 0,283**
Pendidikan 0,362** 0,358** 0,047 0,007 0,210* 0,166 -0,071 0,289**
*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01
Sama dengan suami, kesiapan finansial istri memiliki hubungan signifikan positif (p<0,05) dengan umur menikah (Tabel 25). Umur menikah istri yang semakin tinggi menyebabkan kesiapan finansial yang tinggi pula. Begitupula dengan kesiapan intelektual dan emosi memiliki hubungan yang sangat signifikan (p<0,01) dengan pendidikan (Tabel 25). Selain itu, kesiapan finansial juga berhubungan nyata dengan pendidikan. Itu artinya semakin tinggi pendidikan maka kesiapan intelektual, emosi, dan kesiapan finansialnya juga semakin baik. secara keseluruhan terdapat hubungan positif signifikan (p<0,05) antara pendidikan dan kesiapan menikah istri (Tabel 25). Tidak ada hubungan yang signifikan (p>0,05) antara kesiapan menikah istri dan umurnya. Kesiapan menikah istri yang seragam diduga menjadi sebab tidak adanya hubungan kesiapan menikah dan umurnya. Duvall (1971) menjelaskan bahwa pernikahan yang dilakukan terlalu dini lebih rentan terhadap perceraian dan perpisahan. Mendukung apa yang disebutkan oleh Duvall (1971), Papalia dan Olds (1986)
menyebutkan pernikahan yang terlalu cepat akan
berdampak pada karir, keikutsertaan dalam sekolah, pengembangan diri pasangan,
46
dan mengahambat hubungan pasangan dengan orang lain. Sebaliknya, bagi yang tidak terlalu cepat menikah mereka lebih memiliki kesempatan untuk mencapai kesuksesan dalam pernikahannya. Selain umur, Duval (1971) menyebutkan faktor lainnya yang menentukan kesuksesan keluarga, yaitu kepribadian, pendidikan, latar belakang pacaran, tunangan, alasan untuk menikah, terjadinya kehamilan, status sosial, sikap orangtua terhadap pernikahan, dan keadaan ekonomi. Tabel 25 Sebaran koefisien korelasi umur menikah, pendidikan, dan kesiapan menikah istri Kesiapan menikah Kesiapan intelektual Kesiapan emosi Kesiapan sosial Kesiapan moral Kesiapan individu Kesiapan finansial Kesiapan mental Total kesiapan menikah istri *signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01
Umur menikah 0,063 -0,117 0,187 -0,057 -0,028 0,217* 0,040
Pendidikan 0,362** 0,209* 0,060 0,027 -0,065 0,351** 0,001
0,094
0,266*
Hubungan Karakteristik Keluarga, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis Kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tidak terlepas
dari
kemampuan
keluarga
dalam
mencari
sumberdaya
untuk
memenuhinya. Burgess dan Locke (1960) mengatakan bahwa salah satu syarat menikah adalah mampu memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pada penelitian ini, pendidikan suami berhubungan signifikan (p<0,05) dengan pemenuhan tugas dasar keluarga (Tabel 26). Semakin tinggi pendidikan suami maka kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya akan semakin baik. Pendidikan merupakan aset yang dapat digunakan untuk mendapatkan sumberdaya untuk keluarga. Menurut Duvall (1971) pendidikan yang tinggi akan memberikan kesempatan bagi keluarga untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik. Tabel 26
Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis
Karakteristik keluarga Jumlah anggota keluarga Lama menikah Umur menikah suami Umur menikah istri Umur suami
Tugas dasar -0,135 0,127 0.122* 0.080* 0.150*
Tugas krisis -0,073 -0,073 -0,074 0,099 -0,089
47
Umur istri Pendidikan suami Pendidikan istri Penghasilan
0.113* 0.257* 0.105* 0.070*
Pemenuhan *signifikan pada taraftugas p<0,05krisis **signifikan pada taraf p<0,01
0,072 0,185 0,125 0,030
keluarga dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu tugas
krisis terkait anak, hubungan suami istri, dan kesiapan sekolah anak. Uji hubungan pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan (p<0,05) antara pendidikan suami dan pemenuhan tugas krisis kesiapan sekolah anak (Tabel 27). Semakin tinggi pendidikan suami maka pemenuhan akan krisis terkait kesiapan sekolah anak pun dapat terpenuhi sehingga suami dapat mendukung kesiapan anak untuk sekolah dengan sumberdaya uang. Tabel 27 Sebaran koefisien korelasi karakteristik keluarga dan dimensi pemenuhan tugas krisis keluarga Karakteristik keluarga
Tugas krisis Anak
Jumlah anggota keluarga Lama menikah Umur menikah suami Umur menikah istri Umur suami Umur istri Pendidikan suami Pendidikan istri Penghasilan
-0,139 -0,038 -0.180 0.019 -0.181 0.006 0.037 0.000 -0.004
Tugas krisis hubungan suami dan istri 0,101 -0,024 0.128 0.183 0.116 0.166 0.190 0.184 0.004
Tugas krisis kesiapan sekolah anak -0,034 -0,104 0.018 0.040 -0.010 0.008 0.246* 0.155 0.091
*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01
Hubungan Kesiapan Menikah, Pemenuhan Tugas Dasar, dan Tugas Krisis Keluarga Berdasarkan hasil uji hubungan (Tabel 28), terlihat bahwa kesiapan menikah suami berhubungan signifikan (p<0,05) dengan pemenuhan tugas krisis keluarga. Artinya, semakin tinggi kesiapan menikah suami maka pemenuhan tugas krisis keluarganya pun semakin baik. Semakin tinggi kesiapan menikah suami, maka kemampuan akan mendapatkan sumberdaya juga semakin baik sehingga tugas krisis pun dapat terpenuhi. Tabel 28
Sebaran koefisien korelasi kesiapan menikah, tugas dasar, dan tugas krisis keluarga
Kesiapan menikah Kesiapan menikah suami Kesiapan menikah istri *signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01
Tugas dasar -0,021 0,074
Tugas krisis 0,223* -0,028
48
Hasil uji hubungan pearson memperlihatkan bahwa tidak ada indikator kesiapan menikah suami dan istri yang berhubungan nyata dengan tugas dasar (Tabel 29). Hubungan yang positif signifikan terdapat diantara kesiapan intelektual, sosial, dan emosi suami dengan pemenuhan tugas krisis keluarga. Semakin tinggi ketiga kesiapan tersebut, maka pemenuhan tugas krisis pun semakin baik. Hubungan positif signifikan juga terdapat pada kesiapan intelektual istri dengan pemenuhan tugas krisis keluarga. Kesiapan intelektual suami dan istri menjadi aset untuk memperoleh sumberdaya keluarga. Semakin tinggi kesiapan intelektual suami maka pendidikan suami juga semakin baik yang nantinya menjadi kesempatan untuk mendapatkan pendapatan dan pekerjaan yang baik (Duvall 1971). Oppenheim (1969) mejelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pekerjaan dan pendidikan. Semakin tinggi pendidikan maka pekerjaan yang didapatkan akan semakin baik. Pemenuhan kebutuhan krisis juga tidak terlepas dari adanya dukungan dari keluarga maupun teman (Smart dan smart 1980). Kesiapan emosi dan sosial suami dapat digunakan sebagai aset untuk mendapatkan dukungan dalam memenuhi tugas krisis keluarga. Tabel 29 Sebaran koifeisen korelasi dimensi kesiapan pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis keluarga Dimensi kesiapan Menikah Kesiapan menikah suami Kesiapan intelektual Kesiapan emosi Kesiapan sosial Kesiapan moral Kesiapan individu Kesiapan finansial Kesiapan mental Kesiapan menikah istri Kesiapan intelektual Kesiapan emosi Kesiapan sosial Kesiapan moral Kesiapan individu Kesiapan finansial Kesiapan mental *signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01
menikah,
Tugas krisis keluarga
Tugas dasar
0,258* 0,226* 0,291** -0,021 0,096 -0,017 0,132
-0,132 0,052 -0,043 0,022 -0,091 0,063 0,069
0,216* -0,053 0,020 0,011 -0,192 0,012 -0,028
0,105 0,142 0,130 0,012 -0,117 0,024 0,061
Tabel 30 menunjukkan bahwa kesiapan intelektual suami berhubungan sangat signifikan (p<0,01) dengan pemenuhan dimensi tugas krisis (dimensi anak, hubungan suami istri, dan kesiapan sekolah anak). Ini berarti semakin tinggi
49
kesiapan intelektual suami, maka pemenuhan akan tugas krisis (anak, hubungan suami dan istri, serta kesiapan sekolah anak) juga semakin baik. Kesiapan mental suami juga berhubungan signifikan (p<0,05) dengan pemenuhan tugas krisis kesiapan sekolah anak. Semakin tinggi kesiapan mental suami maka pemenuhan akan tugas krisis kesiapan sekolah anak juga semakin baik. Ini berkaitan dengan kemampuan suami untuk membagi penghasilannya untuk sekolah anak, kebutuhan rumah tangga, dan kebutuhan pribadinya. Tabel 30
Sebaran koefisien korelasi dimensi kesiapan menikah dan tugas krisis keluarga
Dimensi kesiapan menikah
Tugas krisis terkait anak
Kesiapan menikah suami Kesiapan intelektual Kesiapan emosi Kesiapan sosial Kesiapan moral Kesiapan individu Kesiapan finansial Kesiapan mental Kesiapan menikah istri Kesiapan intelektual Kesiapan emosi Kesiapan sosial Kesiapan moral Kesiapan individu Kesiapan finansial Kesiapan mental *signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01
Tugas krisis terkait hubungan suami dan istri
Tugas krisis terkait kesiapan sekolah anak
0,999** 0,214* 0,284** -0,022 0,017 -0,101 0,099
0,998** 0,129 0,084 0,057 0,057 0,105 0,134
0,999** 0,060 0,237* -0,081 0,180 0,044 0,216*
0,081 -0,028 -0,017 0,063 -0,207 -0,063 -0,025
0,246* -0,088 0,074 -0,136 -0,032 0,125 0,000
0,181 0,005 0,011 0,055 -0,088 0,028 -0,029
Pengaruh Umur Menikah dan Pendidikan terhadap Kesiapan Menikah Berdasarkan
penjelasan
Knox
(1985)
bahwa
kesiapan
menikah
dipengaruhi oleh umur, pendidikan, dan karir. Hasil uji regresi berganda (Tabel 31) menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan (p<0,05) antara kesiapan menikah suami dan umur menikah. Setiap kenaikan satu standar deviasi umur menikah maka akan menaikkan pula kesiapan menikahnya sebesar 0,251 standar deviasi. Begitupula dengan pendidikan, tedapat pengaruh yang sangat signifikan dengan kesiapan menikah. Setiap kenaikan pendidikan satu standar deviasi maka akan menaikkan pula kesiapan menikah suami sebanyak 0,261 standar deviasi. Model dalam penelitian menjelaskan 12,9 persen pengaruhnya
50
dengan variabel independen dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam model.
Tabel 31
Sebaran koefisien regresi umur menikah dan pendidikan terhadap kesiapan menikah suami
Variabel Umur menikah menikah Pendidikan suami R2 Adjusted R2 Sig *signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01
Kesiapan menikah suami Beta tidak Beta terstandarisasi terstandarisasi 0,351 0,251 0,516 0,261 0,149 0,129 0,001
Sig 0,014* 0,010**
Berbeda dengan apa yang dikemukakan Knox (1985) bahwa umur menikah berpengaruh terhadap kesiapan menikah, tidak ada pengaruh yang signifikan antara umur menikah istri terhadap kesiapan menikahnya. Ini diduga karena istri tidak menyiapkan diri seperti yang dilakukan suami. Mereka lebih banyak bergantung pada suami, orangtua, ataupun mertua. Pengaruh yang signifikan (p<0,05) terdapat pada pengaruh pendidikan istri terhadap kesiapan menikah istri. Setiap kenaikan standar deviasi pendidikan istri akan menaikkan 0,258 standar deviasi kesiapan menikah istri. Model ini menjelaskan 5,2 persen pengaruhnya dengan variabel independen. Sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti (Tabel 32). Tabel 32
Sebaran koefisien regresi umur menikah dan pendidikan terhadap kesiapan menikah istri
Variabel Umur menikah menikah Pendidikan istri R2 Adjusted R2 Sig *signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01
Kesiapan menikah istri Beta tidak Beta terstandarisasi terstandarisasi 0,061 0,047 0,396 0,258 0,073 0,052 0,037
Sig 0,655 0,016*
Pengaruh Kesiapan Menikah terhadap Pemenuhan Tugas Krisis Berdasarkan hasul uji regresi (Tabel 33) menunjukkan bahwa ada pengaruh sangat signifikan
(p<0,01) antara kesiapan sosial suami terhadap
pemenuhan tugas krisis keluarga dengan nilai beta 0,262. Artinya setiap kenaikan
51
satu standar deviasi kesiapan menikah akan menaikkan pula pemenuhan tugas krisis keluarga sebesar 0,262 standar deviasi. Terdapat pengaruh yang signifikan (p<0,05) juga antara kesiapan intelektual suami terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga dengan nilai beta 0,313. Artinya setiap kenaikan satu standar deviasi kesiapan menikah akan menaikkan 0,313 standar deviasi pemenuhan tugas krisis keluarga. Model ini menjelaskan 13,9 persen pengaruh dimensi kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga, sedangkan sisanya (86,1%) dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak diteliti dalam model. Tabel 33
Sebaran koefisien regresi dimensi kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis keluarga
Dimensi kesiapan menikah Kesiapan intelektual suami Kesiapan emosi suami Kesiapan sosial suami Kesiapan moral suami Kesiapan individu suami Kesiapan finansial suami Kesiapan mental suami Kesiapan intelektual istri Kesiapan emosi istri Kesiapan sosial istri Kesiapan moral istri Kesiapan individu istri Kesiapan finansial istri Kesiapan mental istri R2 Adjusted R2 Sig
*signifikan pada taraf p<0,05 **signifikan pada taraf nyata p<0,01
Tugas krisis Beta tidak Beta terstandarisasi terstandarisasi 0,463 0,262 0,306 0,176 0,601 0,313 -0,175 -0,131 -0,106 -0,109 -0,086 -0,070 0,160 0,089 0,215 0,116 -0,161 -0,081 0,098 0,046 -0,018 -0,011 -0,202 -0,167 -0,057 -0,045 -0,015 -0,009 0,275 0,139 0,026
Sig 0,034 0,112 0,008 0,237 0,411 0,549 0,427 0,320 0,444 0,686 0,917 0,129 0,684 0,934
53
PEMBAHASAN Perkembangan zaman yang semakin tidak menentu dan kompleks menuntut keluarga untuk dapat beradaptasi (Sunarti 2007). Dibutuhkan sebuah keluarga yang fleksibel agar tetap bertahan menghadapi zaman yang kompleks saat ini. Untuk membentuk keluarga yang kuat diperlukan individu yang kuat pula, maka itu seseorang yang akan menikah harus melakukan kesiapan sebelum menikah. Kesiapan menikah merupakan salah satu cara keluarga untuk mencapai kesuksesan keluarga (Gunarsa dan Gunarsa 2002). Kesiapan menikah diartikan oleh Duvall (1971) sebagai laki-laki dan perempuan yang telah menyelesaikan tugas perkembangan remajanya dan secara fisik, emosi, tujuan, keuangan, dan pribadi siap untuk berkomitmen serta bertangngung jawab dalam membentuk keluarga. Kesiapan menikah ditentukan oleh tiga hal menurut Knox (1985) yaitu umur menikah, pendidikan, dan pekerjaan. Penelitian menunjukkan bahwa umur menikah contoh berada dalam kategori dewasa muda menurut Hurlock (1980). Umur menikah merupakan indikasi seseorang sudah dewasa dan matang (Blood 1962) sehingga mampu untuk membangun dan menjaga hubungan personal. Lama pendidikan yang ditempuh oleh suami lebih tinggi daripada istri. Lama pendidikan suami rata-rata diatas sembilan tahun dan rata-rata lama pendidikan istri masih dibawah sembilan tahun. Pendidikan merupakan aset yang dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Keluarga yang memiliki pendidikan lebih baik maka memiliki pendapatan yang tinggi, demikian sebaliknya (Duvall 1971). Oppenheim (1969) menyebutkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dan pekerjaan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin tinggi pula (Duvall 1971). Pada penelitian ini, hampir setengah suami bekerja sebagai buruh dan hampir seluruh istri bekerja sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaan akan menentukan pendapatan keluarga. Oppenheim (1969) menjelaskan bahwa pendapatan ditentukan oleh dua hal, yaitu umur dan pekerjaan. Hampir seluruh contoh memiliki pendapatan perkapita diatas garis kemiskinan BPS kota di Jawa Barat tahun 2010. Pada penelitian ini, hampir seluruh contoh memiliki keluarga kecil dengan rata-rata anggota keluarga tiga orang sehingga keluarga di lokasi
54
penelitian termasuk keluarga kecil, menurut BBKBN. Lama menikah contoh ratarata 5,13 tahun dengan usia suami dan istri termasuk dalam kategori dewasa muda (Hurlock 1980). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata suami memiliki kesiapan yang lebih tinggi daripada istri. Hanya pada kesiapan emosi saja suami memiliki nilai yang lebih rendah daripada istri. Namun dilihat dari keseluruhan kesiapan menikahnya suami memiliki kesiapan yang lebih baik daripada istri dan terdapat perbedaan yang nyata diantara kesiapan keduanya. Salah satu dari tiga syarat minimal untuk menikah yang dijelaskan oleh Burgess dan Locke (1960), yaitu mampu memenuhi sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga, diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarti (2001). Penelitian tersebut menjelaskan bahwa kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan ekonominya akan membawa keluarga pada ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga dalam penelitian Sunarti (2001) dibagi dalam tiga kategori, yaitu ketahanan fisik, sosial, dan psikologis. Ketahanan fisik diartikan sebagai tingkat pemenuhan kebutuhan seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Ketahanan fisik memiliki indikator untuk membangun ketahanan tersebut, yaitu pendapatan perkapita dan satu orang atau lebih anggota keluarga bekerja untuk mendapatkan sumberdaya ekonomi yang mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan fisik keluarga. Kemampuan untuk mendapatkan sumberdaya ekonomi merupakan salah satu yang harus dipersiapkan oleh individu sebelum menikah agar kebutuhankebutuhan keluarganya dapat terpenuhi. Untuk memperoleh sumberdaya ekonomi dapat dilakukan dengan bekerja. Bekerja menjadi prediksi kematangan seseorang dan dapat mendatangkan kepercayaan diri, kepuasan, dan ekspresi diri (Sunarti 2001). Ketahanan sosial meliputi persepsi dan harapannya dalam hubungan lingkungan sosial. Ketahanan sosial berkaitan dengan optimalisasi fungsi keluarga dan fungsi tersebut berkaitan dengan kematangan pribadi pasangan. Kematangan pribadi merupakan syarat minimal yang dipersiapkan oleh pasangan yang akan menikah (Burgess dan Locke 1960) dan konsep yang penting sebelum menikah (Blood 1962). Ketahanan psikologis merupakan kemampuan anggota keluarga untuk mengelola emosinya untuk mendapatkan konsep diri yang baik (Sunarti
55
2001). Indikator ketahanan psikologis yaitu pengendalian emosi dan konsep diri. Blood (1962) menjelaskan bahwa kesiapan emosi menjadi indikator kematangan seseorang dan menjadi konsep penting sebelum menikah. Ketahanan keluarga ini juga menjadi ciri bahwa keluarga telah mencapai kesuksesannya. Tugas dasar merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh individu dalam keluarga (Maslow 1970). BKKBN menyebutkan kebutuhan dasar bagi keluarga antara lain kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Pemenuhan tugas dasar ini tidak terlepas dari sumberdaya ekonomi yang digunakan utuk memenuhi kebutuhan tugas dasarnya (Burgess dan Locke 1960). Upaya keluarga untuk mencapai kehidupan berkualitas ditentukan oleh sumberdaya keluarga dan kemampuan keluarga dalam mengelolanya. Maka itu, keluarga hendaknya memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola sumberdaya agar dapat memenuhi kebutuhan materi-energi-informasi yang dibutuhkan keluarga (LPPM 2009). Kemampuan keluarga memenuhi kebutuhan dasarnya akan terlihat dari kemampuan keluarga dalam memenuhi tugas lainnya, termasuk tugas krisis (Duvall 1971). Keluarga di lokasi penelitian dapat memenuhi rata-rata hampir setengah pernyataan mengenai tugas krisis. Krisis akan terjadi tergantung dari sumberdaya, kekuatan, dan kemampuan kelurga dalam mendefinisikan tugas krisis tersebut (McCubbin dan Thompson 1987). Hasil uji hubungan menunjukkan bahwa tidak ada indikator kesiapan menikah maupun kesiapan menikah total yang berhubungan nyata dengan tugas dasar keluarga (p>0,05). Ini diduga karena pemenuhan tugas dasar yang seragam. Namun hasil uji hubungan antara pendidikan dan karakteristik keluarga menunjukkan bahwa pendidikan suami berhubungan nyata dengan tugas dasar (p<0,05). Ini berkaitan dengan kemampuan keluarga dalam mengakses sumberdaya agar dapat digunakan dengan optimal. Hubungan yang signifikan (p<0,05) terdapat pada total kesiapan menikah suami dan pemenuhan tugas krisis keluarga. Semakin tinggi kesiapan menikah suami maka pemenuhan tugas krisis pun semakin baik. Apabila dilihat dari uji hubungan dimensi kesiapan menikah dan pemenuhan tugas krisis secara total, dimensi kesiapan intelektual, sosial, dan emosi berhubungan signifikan dengan pemenuhan tugas krisis (p<0,05). Kesiapan intelektual istri juga berhubungan signifikan (p<0,05) dengan tugas krisis keluarga
56
secara total. Kesiapan intelektual yang tinggi merupakan modal keluarga untuk mendapatkan sumberdaya yang lebih baik lagi. Sumberdaya yang didapatkan kepala keluarga membuat keluarga lebih sejahtera. Sumberdaya manusia menurut Deacon dan Firebaugh (1988) adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Sumberdaya manusia juga mencakup pengetahuan, perasaan, dan keterampilan yang merupakan kapasitas seorang manusia. Kesiapan sosial dan emosi, digunakan suami untuk mencari dukungan dalam pemenuhan tugas krisis keluarga. Dukungan diperlukan keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam keluarga (Smart dan Smart 1980). Sumberdaya yang tidak seimbang dengan permintaan akan menyebabkan krisis. Untuk itu diperlukan sebuah koping yang mengacu pada usaha individu untuk memenuhi permntaan (Sunarti 2001). Apabila dilihat dari dimensi kesiapan menikah dan tugas krisis, kesiapan intelektual berhubungan sangat signifikan (p<0,01) terhadap tugas krisis terkait anak, hubungan suami istri, dan kesiapan sekolah anak. Semakin tinggi kesiapan intelektual suami, maka pemenuhan ketiga tugas krisis tersebut pun akan semakin baik. Terdapat hubungan yang nyata (p<0,05) antara tugas krisis anak dengan kesiapan sosial dan emosi suami dan hubungan yang nyata (p<0,05) juga terdapat antara kesiapan sosial dan kesiapan mental suami dengan pemenuhan tugas krisis yang terkait kesiapan anak sekolah. Baik kesiapan intelektual suami dan istri berhubungan nyata dengan pemenuhan tugas krisis terkait hubungan suami dan istri. Hal ini dimungkinkan semakin tinggi pendidikan maka pengetahuan akan keluarga dan anak juga semakin tinggi sehingga dapat meminimalisasi krisis antara suami dan istri. Locke dan Burgess (1960) menyebutkan bahwa terdapat dua macam krisis antara suami dan istri, yaitu perbedaan konsep yang dipegang oleh masing-masing individu dan perbedaan konsep rumah tangga saat ini atau yang akan datang. Perbedaan konsep rumah tangga saat ini dan yang akan datang termasuk dalam pengasuhan anak, pendidikan agama, istri yang bekerja, konsep hubungan sosial dengan lawan jenis, dan nilai kehidupan. Hasil uji linear berganda menunjukkan bahwa umur menikah dan pendidikan suami berpengaruh signifikan (p<0,05) dengan kesiapan menikahnya. Ini sejalan dengan apa yang dijelaskan Knox (1985) bahwa umur menikah,
57
pendidikan, dan karir adalah hal-hal yang menentukan kesiapan menikah seseorang. Begitupula dengan pendidikan istri yang berpengaruh signifikan (p<0,05) terhadap kesiapan menikahnya. Namun, umur menikah istri tidak berpengaruh signifikan dengan kesiapan menikahnya. Diduga kesiapan menikah yang dilakukan istri tidak semaksimal apa yang dilakukan suami. Apabila dilakukan uji pengaruh dimensi kesiapan menikah terhadap pemenuhan tugas krisis, ternyata kesiapan intelektual dan sosial suami berpengaruh signifikan terhadap pemenuhan tersebut. Kesiapan intelektual suami menjadi aset berupa pengetahuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi (LPPM 2009). Semakin tinggi pengetahuan yang dimiliki keluarga, maka kesempatan untuk mendapatkan mendapatkan pekerjaan dan pendidikan yang lebih baik juga terbuka (Duvall 1971). Keterbatasan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang baru dikembangkan sehingga sulit untuk mendapatkan instrumen kesiapan menikah dengan metode recall yang kemudian dapat dihubungkan dengan pemenuhan tugas krisis dan dasar kelularga. Instrumen-instrumen yang ada pada penelitian ini perlu dikembangkan agar menjadi instrumen yang lebih valid dan reliabel lagi. Keterbatasan lainnya terlihat dari lokasi penelitian yang memiliki karakteristik sosial ekonomi yang sama sehingga hasil dari penelitian ini pun seragam. Diharapkan agar penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian mengenai kesiapan menikah di sosial ekonomi yang berbeda sehingga lebih terlihat perbedaan dan pemenuhannya.
59
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh keluarga termasuk dalam keluarga kecil dengan rata-rata lama menikah selama lima tahun. Saat menikah, baik suami maupun istri termasuk dalam dewasa muda, begitu pula dengan suami dan istri sekarang. Rata-rata istri menempuh pendidikan kurang dari sembilan tahun, seperti yang ditentukan oleh pemerintah sebagai wajib belajar, sedangkan suami rata-rata telah sekolah lebih dari sembilan tahun. Hampir separuh suami bekerja sebagai buruh (buruh bangunan, pabrik, dan penjaga warung) dan hampir seluruh istri tidak bekerja. Masih ada keluarga yang memiliki pendapatan per kapita dibawah pendapatan per kapita menurut BPS wilayah perkotaan di Provinsi Jawa Barat tahun 2010. Kesiapan menikah dilihat dari tujuh dimensi, yaitu kesiapan intelektual, emosi, sosial, moral, individu, finansial, dan mental. Baik suami dan istri dapat memenuhi rata-rata lebih dari separuh pernyataan mengenai tujuh dimensi tersbut. Dari ketujuh dimensi, istri memeiliki nilai yang lebih tinggi daripada suami hanya dalam kesiapan emosinya saja. Terdapat perbedaan yang signifikan antara kesiapan menikah suami dan istri secara signifikan, dengan nilai suami lebih tinggi daripada istri. Tugas dasar keluarga dikembangkan dari indikator keluarga pra-KS
menurut
BKKBN.
Keluarga
dapat
memenuhi
hampir
seluruh
pernyataannya mengenai tugas dasar dari tujuh pernyataan mengenai tugas dasar. Untuk tugas krisis, keluarga hanya dapat memenuhi rata-rata hampir separuh pernyataan. Uji hubungan pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kesiapan menikah suami maupun istri dengan pemenuhan tugas dasar keluarga. Namun tidak dengan tugas krisis, terdapat hubungan kesiapan intelektual, emosi, dan sosial suami serta kesiapan intelektual istri berhubungan dengan tugas krisis. Uji linear beerganda menunjukkan bahwa kesiapan intelektual suami dan istri serta kesiapan sosial suami berpengaruh nyata terhadap tugas krisis keluarga. Pengaruh tidak terdapat pada kesiapan menikah istri terhadap pemenuhan tugas krisis istri yang diduga karena kesiapan istri yang seragam.
60
SARAN Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan untuk beberapa pihak antara lain 1.
Untuk calon pasangan yang akan menikah, sebaiknya aktif dalam mencari pengetahuan untuk meningkatkan kesiapan menikah. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa umur dan pendidikan berhubungan dengan kesiapan menikah, sehingga masyarakat hendaknya memiliki pendidikan yang tinggi agar memiliki kesiapan menikah yang baik. Bagi laki-laki, sebaiknya meningkatkan kesiapan-kesiapan menikahnya, khususnya untuk kesiapan intelektual dan sosial sebagai dukungan untuk pemenuhan tugas krisis keluarga. Begitupula dengan perempuan, sebaiknya meningkatkan kesiapan menikahnya, khususnya untuk kesiapan intelektual.
2.
Untuk lembaga pemerintah dan non pemerintah terkait agar menyediakan layanan bagi calon pasangan, salah satunya konseling pra nikah. Peningkatan sosialisasi terkait kesiapan menikah supaya dilakukan agar calon pasangan sadar dan mulai meningkatkan kesiapan menikahnya.
3.
Bagi perguruan tinggi agar melakukan kajian lebih lanjut mengenai kesiapan menikah agar dapat menjadi rujukan apa saja yang harus disiapkan bagi calon pasangan
4.
Untuk penelitian selanjutnya dapat mengembangkan lebih lanjut instrumen kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis sehingga mendapatkan instrumen yang memiliki validitas dan reliabilitas yang lebih baik pula. Selain itu, sebaiknya dilakukan penelitian pada dua sosial ekonomi yang berbeda sehingga perbedaan kesiapan menikah, pemenuhan tugas dasar, dan tugas krisis lebih terlihat.
61
DAFTAR PUSTAKA Awasthi E dan Katyal S. 2005. Gender Differences in Emotional intelligence Among adolescents of Chandigarh. J. Human Ecology vol 17 Iss: 2. pp: 153-155 Badilag [Badan Peradilan Agama]. 2011. Penyebab Terbesar Timbulnya Perceraian: Salah Satu Pihak Meninggalkan Kewajiban. http://www.badilag.com [terhubung berkala]. [14 Maret 2011] Bayer A E. 1968. Early Dating and Early Marriage. Journal of Marriage and the Family vol November. pp 628-632 Blood R O. 1962. Marriage. New York (US): The Free Press BPS [Badan Pusat Statistika]. 2010. Booklet Agustus 2010: Indonesia dalam Angka. Badan Pusat Statistika: Jakarta Burgess dan Locke, 1960. The Family Second Edition. New York (US): American Book Company Carli L L. 2001. Gender and Social Influences. Journal of Social Issues, Vol 57 Iss: 4. pp. 725-741 Chairy L S. 2066. Psikologi Perkawinan (Disampaikan pada Kursus Perkawinan Paroki Santo Paulus). Depok. Fakultas Psikologi. Universitas Indonesia COPMI [Children Of Parents with Mental Illness]. 2003. Parents, Career, and Family: Family Functioning http://www.copmi.net.au [terhubung berkala]. [21 Maret 2011] Deacon R E, Firebaugh F M. 1988. Family resource Managament: Principle and Application Second Edition. United States of America (US). Allyn and Bacon Inc Duvall E M. 1971. Family Develoment Fourth Edition. Philadelphia, New York (US): J.B Lippincott Company Duvall, Miller. 1985. Marriage and Family Development Sixth Edition. New York (US): Hapter and Row Publisher Goleman D. 1994. Emotional intelligence: why it can matter than IQ. USA (US): Bantan books Gunarsa dan Gunarsa. 2002. Asas-asas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta (ID): Gunung Mulia Hawkins J D. Oesterle S, dan Hill K G. 2004. Successful Young Adult Development. Social Development Research Group, University of Washington
62
Hughes R. 2009. The effects of Divorce on Children. http://parenting247.org [terhubung berkala]. [21 Maret 2011] Hurlock. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta (ID): Erlangga Knox D. 1985. Choices in Relationship. 1985. USA (US): West Publising KPI [Komisi Penyiaran Indonesia]. 2011. Infotaiment Pemicu Perceraian. http://www.kpi.go.id [terhubung berkala]. [14 Maret 2011] KPAI [Komisi Perlindungan Anak Indonesia]. 2010. Pernikahan dini sebagai pemicu perceraian [terhubung berkala]. [14 Maret 2011] Landis, Landis. 1970. Personal Adjustment, Marriage, and Family Living Fifth Edition. New York (US): Prentice Hall Lee WY, ng Lung WY, Cheung BKL, Yung JW. 2010. Capturing Children’s Response to Parental Conflict and Making Use of it. Family Process. Vol 49. Iss 1. pp: 43-57 Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat [LPPM]. 2009. Pengembangan Model Ecovillage: Pembangunan Kawasan Perdesaan serta Sumbangan Pertanian bagi Peningkatan Kualitas Hidup Penduduk Perdesaan (naskah akademis). Editor: Euis Sunarti. Bogor (ID): Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat-IPB Maslow A H. 1970. Motivation and Personality Second Edition. London (GB): Harper and Row McCubbin H I, Thompson A. 1987. Family Assesment Inventories for Research and Practice. Madison (US): Universityof Wincosin Megawangi R. 2007. Membiarkan Berbeda. Bandung (ID): Mizan Pustaka Napolitano L, Furstenberg F, Kefalas M. 2005. Marriage is More than Being Together: The Meaning of Marriage Among Young Adults in United States. Working Paper. Network on Transition to Adulthood Research Network. Oktaviani V. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi dan Kesiapan Menikah pada Mahasiswa [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Olson DH, Fowers BJ. 1986. Predicting Marital Success with PREPARE: A Predictive Validity Study. Journal of Marital and Family Therapy vol 12. Iss 4. pp: 403-413 Oppenheim. 1969. The Family as Consumers. New York (US): The MacMillan Company
63
Papalia D E, Olds S W. 1986. Human Development Third Edition. New York (US): Mc Graw Hill Papalia DE, Old SW, Feldman RD. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan) Edisi ke-9. Jakarta (ID): Kencana Peterson R. 2009. Families First: Keys to Successful Family Functioning Family Roles. http://pubs.ext.vt.edu/350/350-093/350-093.pdf [terhubung berkala]. [5 Desember 2010] Podolsky O. 2008. Moral Competence of Contemporary Adolescents: Technology-Based Ways of Measurements [disertasi]. Rusia: der Wirtschaft- und Verhaltenwissenschaftlichen Fakultat der AlbertLudwigs Universitat Rice F P. 1983. Contemporary Marriage. Massachusetts (US): Allyn and Bacond Inc Sanchez-Nunez M. Triniad, Fernandez-Berrocal Pablo, Montanes Juan, Latorre Jose Miguel. 2008. Does emotional intelligence depend on gender? The socialization of emotional competencies in men and women and its implications. Electric Journal of Research in educational Psychology No 15 Vol 6 (2) halaman 454-474 Sunarti E. 2001. Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus Pengaruhnya terhadap Kualitas Kehamilan [disertasi]. Fakultas Gizi Masyarakat Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor ________. 2007. Theorical and Methodological Issues on Family Resilience (Presented at Senior Official Forum, Part of East Asian Ministerial Forum on Families). Bali. Departement of Family and Cosumer Science. Faculty of Human Ecology. Bogor Agricultural University Smart L S, Smart M S. 1980. Families Developing Relationship Second Edition. London (GB) Toly V A B. 2009. Normalization and Family Functioning in Families with a Child Who is Technology Dependent [disertasi]. Frances Payne Bolton School of Nursing Case Western Reserve University Trankasombat U. 2006. Family Functioning in the Families of Psychiatric Patients: A Comparison with Nonclinical Families. Journal of Med Assoc Thai 89(11):1946-1951
65
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 17 April tahun 1989, merupakan anak pertama dari pasangan Soetodo Soetomo dan Sri Nadiroh. Lima tahun kemudian, penulis mendapatkan seorang adik perempuan dengan nama Restartika Dianastari. Penulis menamatkan Sekolah Dasar dan Menengah Pertama di Madrasah Pembangunan UIN Jakarta pada tahun 2001 dan 2004. Tahun 2007 penulis menamatkan sekolah menengah atasnya di SMAN 46 Jakarta dan ditahun yang sama penulis mengikuti jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia. Selama kuliah, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) sebagai sekretaris English Club (periode 2008-2009) dan Ketua English Club (2009-2010). Selain itu, penulis juga aktif pada beberapa kepanitiaan, seperti divisi acara COHESI (Conference of Human Ecology in Indonesia), divisi publikasi dan dokumentasi BONJOUR (Be a Good in Journalistic), divisi penanggung jawab kelompok pada Masa Perkenalan Fakultas dan Departemen (MPF/MPD), divisi acara dan humas pada acara FnC day (Family and Consumer Day), dan kepanitiaan lainnya yang diselenggarakan di fakultas maupun departemen. Penulis aktif sebagai Asisten Guru di Labschool Pendidikan Karakter IPB-ISFA hingga bulan November 2011.