KARAKTERISTIK KELUARGA, KESIAPAN MENIKAH ISTRI DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA 3-5 TAHUN
NURLITA TSANIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Keluarga, Kesiapan Menikah Istri dan Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014 Nurlita Tsania NIM I251120121
RINGKASAN NURLITA TSANIA. Karakteristik Keluarga, Kesiapan Menikah Istri dan Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun. Di bimbing oleh EUIS SUNARTI dan DIAH KRISNATUTI Anak merupakan investasi suatu bangsa dan negara yang sangat penting. Menjamin tumbuh kembang anak secara optimal menjadi tugas utama orang tua dan harus dipersiapkan dengan baik bahkan semenjak sebelum menikah. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan anak diantaranya adalah kesiapan menikah kedua orang tua dan karakteristik keluarga. Dampak dari tidak siapnya pasangan ketika memasuki jenjang pernikahan berpengaruh besar terhadap kualitas anak. Kenyataannya banyak diantara pasangan yang hendak menikah yang belum mempersiapkan diri dengan baik untuk menjadi orang tua. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak usia 3-5 tahun. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dan retrospective study. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive di Kelurahan Ratu Jaya dan Bojong Pondok Terong, Kecamatan Cipayung Kota Depok. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret – Juni 2014. Contoh dalam penelitian ini adalah ibu yang baru memiliki satu anak usia 3-5 tahun. Teknik sampling yang digunakan adalah stratified nonproportional random sampling sebanyak 120 orang. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata usia menikah istri dan suami masing-masing yaitu 21,52 tahun dan 26,22 tahun. Usia tersebut sudah melampaui batas ideal usia menikah. Idealnya usia menikah istri ternyata tidak diikuti dengan tingginya tingkat kesiapan menikah istri. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kesiapan menikah istri baru mencapai 64,9 persen. Kesiapan menikah istri yang menikah di usia dewasa lebih baik dibandingkan istri yang menikah muda. Usia anak dan lama pendidikan istri berhubungan positif dengan perkembangan anak. Di lain sisi, usia suami, jarak usia suami dan istri dan lama menikah berhubungan negatif dengan perkembangan anak. Hasil uji pengaruh menunjukkan bahwa jenis kelamin anak, usia anak dan kesiapan menikah berpengaruh positif terhadap perkembangan anak. Pengaruh negatif ditemui antara lama menikah dengan perkembangan anak. Rendahnya perkembangan anak pada istri yang menikah lebih lama berhubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan istri dan pendapatan perkapita. Penelitian ini memberikan implikasi kepada institusi pemberdayaan keluarga baik itu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pemerhati keluarga maupun instansi pendidikan untuk turut serta mensosialisasikan pentingnya aspek kesiapan menikah, usia ideal menikah dan kesiapan menjadi orang tua bagi remaja dalam mengoptimalkan perkembangan anak di masa depan. Orang tua diharapkan lebih peduli terhadap aspek kesiapan menikah seperti intelektual, moral, sosial, emosi, finansial, individu dan mental yang penting dalam membimbing anak-anak remaja sebelum menikah. Selain itu, pemerintah diharapkan semakin mempermudah akses terhadap pendidikan karena pendidikan merupakan salah satu kunci penting atas penundaan usia perkawinan pada remaja. Kata Kunci: kesiapan menikah, perkembangan anak, kesiapan finansial, kesiapan intelektual
SUMMARY NURLITA TSANIA. Family Characteristics, Marital Readiness of Wife and Child Development Aged 3-5 Years. Supervised by EUIS SUNARTI and DIAH KRISNATUTI. Child is one of very important investment for nation. Optimizing child development is the main task of the parents and must be prepared since even before marriage. Many factors influence child development such as marital readiness of parents and family characteristics. Unprepared marriage will impact not only for stability of marriage itself but also greatly affect the quality of children. However, unfortunately many of the couples hadn’t well prepared yet to be a parent before they got marriage. The purpose of this study was to analyze family characteristics, marital readiness of wife and child development aged 3-5 years. Design of this study was a cross sectional and retrospective. Purposive is the way to determine the location. Location was determined in Ratu Jaya and Bojong Pondok Terong Subdistrict, Cipayung District, Depok. Data collection was conducted in March-June 2014. Sample of this study was mother whose only one child aged 3-5 years who married young and adults. Sampling technique used a non-proportional stratified random sampling of 120 people. The results showed the average age of marriage both husband and wife was around 21,52 and 26,22 years. Those aged had passed the limit of ideal marriage age. Although both husband and wife had been married at an ideal age, data showed that the marital readiness of wife only reached around 64,9 percent. Marital readiness of wife who married in adulthood was better than wife who marriage at young. Age of child and length of maternal education were also positively related to child development. On the other hand, husband’s age, age gap between husband and wife and length of marriage were negatively related to child development. The regression analysis showed that sex of the child, age of children, marital readiness had a positive effect on child development. Negative effect was found between length of marriage and child development. Low of child development on wife with longer marriage was related to lack of level education and income per-capita. This study provides implication for family empowerment institution such as government, NGO, family practitioner and educational institution to contribute in socialization of marital readiness, ideal age of marriage and parental readiness for adolescent in order to optimizing child development in the future. Parents need to be more aware about aspect of marital readiness such as intellectual, moral, social, emotional, financial, individual, and mental for teaching their adolescent before marriage. In addition, government is expected to provide an easier access for education because of education is one of the crucial key for delaying marriage in adolescent. Keywords: marital readiness, child development, financial readiness, intellectual readiness
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK KELUARGA, KESIAPAN MENIKAH ISTRI DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA 3-5 TAHUN
NURLITA TSANIA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr.Ir.Dwi Hastuti, M.Sc
Judul Tesis Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: Karakteristik Keluarga, Kesiapan Menikah Istri Dan Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun : Nurlita Tsania : I251120121 : Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof.Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S Ketua
Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.S Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Herien Puspitawati, MSc.,MSc
Dr.Ir.Dahrul Syah, MScAgr.
Tanggal Ujian: 22 September 2014
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia serta rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah karakteristik keluarga, kesiapan menikah dan perkembangan anak usia 3-5 tahun. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, MS. dan Dr. Ir. Diah Krisnatuti MS selaku pembimbing tesis atas bimbingan, doa, motivasi dan arahan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami tercinta atas segala dukungan moral, materil hingga segala pengertiannya selama penulis menyelesaikan tesis ini. Selain itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang dengan ikhlas menjaga cucu terkasih selama penulis berkuliah dan juga kepada kedua mertua yang selalu memberikan dukungan besar kepada penulis. Tak lupa ucapan terima kasih pun penulis sampaikan untuk teman-teman seperjuangan BKKBN IKA 2012 yang selama lebih dari dua tahun ini telah berbagi suka maupun duka bersama. Semoga kita bisa lulus dengan baik dan memberikan yang terbaik untuk instansi BKKBN dan juga kepada teman-teman satu bimbingan Risda Rizkillah, Fitri Meliani, Fitri Apriliana Hakim yang telah saling bantu membantu agar supaya bisa lulus bersama. Sharing dan bantuan kalian sangat berarti. Akhir kata, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan segala informasi yang terdapat didalamnya. Depok, September 2014 Nurlita Tsania
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ........................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... ii PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................................... 1 Perumusan Masalah .............................................................................. 2 Tujuan Penelitian .................................................................................. 4 Manfaat Penelitian ................................................................................ 4 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Keluarga.............................................................................. 4 Teori Struktural Fungsional .................................................................. 5 Teori Perkembangan ............................................................................. 6 Kesiapan Menikah ................................................................................ 7 Pendewasaan Usia Perkawinan............................................................. 9 Masa Kanak-kanak ............................................................................. 10 Perkembangan Anak ........................................................................... 10 Penelitian Terdahulu ........................................................................... 13 KERANGKA PIKIR .................................................................................... 16 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian............................................................ 18 Prosedur Pemilihan Contoh ............................................................... 18 Jenis dan Cara Pengumpulan Data .................................................... 19 Pengolahan dan Analisis Data ........................................................... 20 DEFINISI OPERASIONAL ........................................................................ 21 KESIAPAN MENIKAH ISTRI DAN PERKEMBANGAN ANAK PADA KELUARGA DENGAN ISTRI YANG MENIKAH MUDA DAN DEWASA Pendahuluan ..................................................................................... 24 Metode Penelitian............................................................................. 25 Hasil ................................................................................................. 27 Pembahasan ...................................................................................... 36 Simpulan .......................................................................................... 38
KESIAPAN MENIKAH ISTRI, KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA 3-5 TAHUN Pendahuluan....................................................................................... 40 Metode Penelitian .............................................................................. 42 Hasil ................................................................................................... 43 Pembahasan ....................................................................................... 50 Simpulan ............................................................................................ 53 PEMBAHASAN UMUM ............................................................................ 53 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ............................................................................................ 55 Saran .................................................................................................. 55 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 56 LAMPIRAN ................................................................................................. 62 RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... 67
DAFTAR TABEL
1. Deskripsi kemampuan motorik anak usia 3-6 tahun .............................. 12 2. Penelitian terdahulu ................................................................................ 14
3. Variabel, skala dan pengolahan data ...................................................... 19 4. Model regresi linier berganda ................................................................ 21 5. Sebaran rata-rata dan uji beda berdasarkan karakteristik keluarga ........ 27 6. Sebaran contoh berdasarkan kehamilan di luar nikah ............................ 28 7. Sebaran contoh berdasarkan usia anak (bulan) ...................................... 28 8. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin anak .................................... 29 9. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan menikah istri ........................... 29 10. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan intelektual istri ........................ 30 11. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan sosial istri ................................ 31 12. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan emosi istri................................ 31 13. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan moral istri ................................ 32 14. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan individu istri ............................ 33 15. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan mental istri .............................. 34 16. Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan finansial istri ........................... 34 17. Sebaran contoh berdasarkan kategori kesiapan menikah ....................... 35 18. Sebaran rata-rata perkembangan anak menurut dimensi Perkembangan ........................................................................................ 35 19. Sebaran contoh berdasarkan perkembangan anak.................................. 36 20. Sebaran nilai minimum, maksimum, rata-rata dan standar deviasi karakteristik keluarga ............................................................................. 43 21. Sebaran usia, jenis kelamin dan keikutsertaan pendidikan prasekolah anak ..................................................................................... 43 22. Sebaran nilai rata-rata skor dan persentase aspek kesiapan menikah .... 44 23. Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan finansial dan kesiapan intelektual istri .................................................................. 45 24. Sebaran berdasarkan kategori kesiapan menikah .................................. 45 25. Sebaran rata-rata skor pencapaian perkembangan anak berdasarkan dimensi perkembangan anak .............................................. 46 26. Sebaran anak berdasarkan kategori tingkat perkembangan ................... 46 27. Sebaran koefisien korelasi antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesiapan menikah dan perkembangan anak............. 47 28. Sebaran koefisien korelasi antara dimensi kesiapan menikah dan perkembangan anak .......................................................... 47 29. Sebaran koefisien regresi pengaruh kesiapan menikah terhadap perkembangan anak ................................................................................ 48 30. Sebaran koefisien regresi pengaruh kesiapan menikah dan karakteritik keluarga terhadap perkembangan anak ............................... 49 31. Sebaran koefisien regresi pengaruh karakteristik keluarga dan dimensi kesiapan menikah terhadap perkembangan anak ............... 50
DAFTAR GAMBAR 1. Perencanaan Keluarga ............................................................................ 10 2. Kerangka pikir ........................................................................................ 17 3. Prosedur pemilihan contoh..................................................................... 18 DAFTAR LAMPIRAN 1. Gambaran lokasi penelitian .................................................................... 62 2. Peta lokasi penelitian.............................................................................. 63 3. 4. 5. 6.
Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami .................................... 65 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri ....................................... 65 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan suami .................................................. 65 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan istri ..................................................... 65
7. Dokumentasi penelitian .......................................................................... 66
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Anak merupakan investasi suatu bangsa dan negara yang sangat penting. Menjamin tumbuh kembang anak secara optimal menjadi tugas utama orang tua dan harus dipersiapkan dengan baik bahkan semenjak sebelum menikah. Sunarti (2004) menyatakan bahwa kualitas anak adalah cermin kualitas bangsa dan cermin peradaban dunia. Indikator kesejahteraan suatu masyarakat atau suatu bangsa salah satunya bisa dilihat dari kualitas hidup anak. Hal senada juga disampaikan oleh Yudesti dan Prayitno (2013) yang menyatakan bahwa anak merupakan salah satu aset sumberdaya manusia di masa depan yang perlu mendapat perhatian khusus. Adanya peningkatan dan perbaikan kualitas hidup anak merupakan salah satu upaya yang penting bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Masa-masa yang rentan dari kehidupan seseorang berada pada lima tahun pertama dalam kehidupannya yang merupakan pondasi bagi perkembangan selanjutnya. Anwar (2002) menyatakan apabila pada masa tersebut pertumbuhan dan perkembangan seorang anak berjalan secara optimal diharapkan pada masa dewasa akan tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Usia dini merupakan masa terjadinya kematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulasi (rangsangan) yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan potensi fisik (motorik), intelektual, emosional, sosial, bahasa, seni dan moral spiritual (Widhianawati 2011). Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan anak diantaranya adalah kesiapan menikah kedua orang tua dan faktor karakteristik keluarga. Dampak dari tidak siapnya pasangan ketika memasuki jenjang pernikahan tidak hanya berdampak pada stabilitas perkawinan namun juga berpengaruh besar terhadap kualitas anak. Kenyataannya, banyak diantara pasangan yang hendak menikah lebih memfokuskan diri dalam persiapan hari pernikahan dibandingkan mempersiapkan diri menjadi orang tua. Ghalili et al. (2012) menunjukkan bahwa hanya sedikit dari remaja yang telah mendapat informasi yang cukup mengenai pernikahan dari keluarga maupun lingkungan mereka. Selain itu, tidak sedikit diantara laki-laki maupun wanita yang kurang menyadari perlunya persiapan yang matang sebelum menuju sebuah perkawinan (Maryati et al. 2007). Persiapan sebelum menikah menjadi hal yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan keluarga. Memasuki dunia pernikahan diperlukan sebuah kesiapan (Blood et al. 1978). Penting bagi setiap orang tua untuk dapat memberikan contoh-contoh positif agar anak dapat meniru kebiasaan baik tersebut, sehingga hal ini penting bagi anak dalam rangka pembentukan kepribadian yang baik ke depannya (KPP dan PA 2012). Sebelum menikah, calon pasangan harus memenuhi minimal tiga syarat yaitu mampu memperoleh sumber daya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan perkembangan keluarga, memiliki kualitas sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola keluarga sebagai ekosistem dan memiliki kematangan pribadi untuk menjalankan fungsi, peran dan tugas keluarga (Burgess dan Locke 1960). Kesiapan menikah dianggap penting karena kehidupan pernikahan cenderung berbeda dengan kehidupan saat masih lajang. Sekitar 2-3 tahun di awal pernikahan, beberapa perubahan akan terjadi sehingga
2
pada tahap ini pasangan butuh menyesuaikan diri satu sama lain (Williams et al. 2006). Keutuhan perkawinan harus selalu dijaga, pasangan calon suami istri harus mempunyai bekal yang cukup agar siap dan mampu menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan berumah tangga (Arjoso 1996), salah satunya adalah faktor usia. Keadaan perkawinan antara seseorang yang menikah dengan usia yang belum matang dengan seseorang yang usia sudah matang, akan menghasilkan kondisi rumah tangga yang berbeda. Emosi, pikiran dan perasaan seseorang di bawah usia masih labil, sehingga tidak bisa mensikapi permasalahanpermasalahan yang muncul dalam rumah tangga dengan dewasa, melainkan dengan sikap yang lebih menonjolkan arogansi yaitu sifat yang mementingkan egonya masing-masing (Munir 2003). Dampak dari menikah dini lainnya adalah abortus, perceraian, tidak ada kesiapan untuk berkeluarga, tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan (Maryanti dan Septikasari 2009). Perkawinan usia dini berdampak pada perkawinan itu sendiri dimana tingkat kemandirian dari pasangan tersebut masih rendah, masih rawan dan masih belum stabil sehingga dapat menyebabkan banyak terjadi perceraian. Oleh karena itu, dari perkawinan usia dini tersebut akan sulit untuk memperoleh keturunan yang berkualitas. Selain itu, jika dilihat dari segi kependudukan, perkawinan usia dini mempunyai tingkat fertilitas yang tinggi sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kependudukan (KPP dan PA 2012). Oleh karena itu, penelitian ini dianggap penting untuk dilakukan agar generasi muda, utamanya yang sedang mempersiapkan pernikahan dapat lebih memahami akan pentingnya kesiapan menikah dan karakteristik keluarga bagi perkembangan anak. Perumusan Masalah Di Indonesia, kecenderungan rata-rata usia menikah pertama selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012 menunjukkan rata-rata usia kawin pertama pada kelompok wanita yang sudah menikah berusia 25-49 tahun adalah 20,1 tahun. Angka tersebut mengalami peningkatan dari data SDKI Tahun 2007 sebesar 19,8 tahun. Pendidikan menjadi salah satu indikator seorang wanita menunda menikah, rata-rata usia menikah pertama pada wanita usia 25-49 tahun yang berpendidikan tinggi adalah 22.9 tahun, lebih tua lima tahun dibandingkan yang tidak berpendidikan yaitu 17.2 tahun (SDKI 2012). Data tersebut menunjukkan bahwa generasi muda saat ini semakin menyadari bahwa pernikahan membutuhkan kesiapan yang matang sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Fakta lainnya menunjukkan bahwa secara nasional, sebesar 1,62 persen anak perempuan berusia 10-17 tahun di Indonesia berstatus kawin dan pernah kawin. Sebagian kecil dari jumlah tersebut, 1,54 persen diantaranya berstatus kawin dan 0,08 persen berstatus cerai (cerai hidup dan cerai mati) (BPS 2011). Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, karena dalam usia yang sangat muda anak-anak tersebut sudah mengalami perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati (KPP dan PA 2012). Pernikahan muda yang tidak diiringi persiapan yang matang oleh kedua pasangan tak jarang menimbulkan dampak perceraian. Dalam kurun waktu 2007 hingga 2009, kasus perceraian meningkat dari 157.711 kasus menjadi 223.371
3
kasus (Badilag 2010). Sebagian besar masalah perceraian dipicu oleh adanya suami atau istri yang meninggalkan kewajiban (Sunarti et al. 2012). Selain tingginya tingkat perceraian, angka kelahiran bayi dari remaja perempuan justru mengalami peningkatan. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menyebutkan angka fertilitas remaja (ASFR) pada kelompok usia 15-19 tahun mencapai 48 dari 1.000 kehamilan. Angka rata-rata itu jauh lebih tinggi dibandingkan temuan SDKI 2007 yaitu 35 dari 1.000 kehamilan (SDKI 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa pernikahan muda kemudian menyebabkan pasangan muda harus siap dengan tugas pengasuhan anak pertama yang tidak mudah padahal anak sangat membutuhkan peran orang tua untuk mengoptimalkan tumbuh kembang mereka. Oleh karena itu, pasangan harus memiliki cara yang disepakati bersama mengenai segala hal yang berhubungan dengan perencanaan yang berkaitan dengan anak dan cara pengasuhan (Fowers dan Olson 1989). Lahirnya seorang anak tentu masalah akan bertambah pula. Pertama, masalah ekonomi, yang berarti bertambahnya pengeluaran yang harus pula diimbangi dengan pemasukan yang lebih besar, sedangkan sumber nafkah biasanya justru berkurang, karena istri mengurangi waktu bekerjanya demi mengurus anak. Keadaan juga mengalami perubahan, karena berubahnya jadwal harian dan perhatian yang tidak lagi sepenuhnya dicurahkan ke hubungan suami istri, melainkan kepada si bayi. Perubahan keadaan ini memerlukan pengertian dari suami dan istri (Gunarsa dan Gunarsa 2012). Hal ini menekankan pentingnya calon pasangan untuk mempersiapkan diri secara maksimal sebelum menikah agar mereka mampu menjalankan fungsi, peran dan tugasnya dalam keluarga dengan baik. Kota Depok sebagai lokasi penelitian menunjukkan persentase umur perkawinan pertama yang cukup fluktuatif. Susenas 2003-2009 menunjukkan usia kawin pertama pada tahun 2003 adalah 25,48 tahun, lalu mengalami penurunan pada tahun 2008 yaitu 23,98 tahun dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan kembali menjadi 24,62 tahun. Perkembangan selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa perempuan di Kota Depok sudah mulai menunda perkawinan pertama mereka sampai usia yang lebih matang. Selain itu, angka perceraian Kota Depok pada tahun 2009 pun relatif cukup rendah yaitu 2,70 artinya tiap seratus orang perempuan umur 10-49 tahun yang pernah kawin ada sebanyak 2 orang yang berpisah karena perceraian. Fakta lain menunjukkan bahwa angka perceraian justru cenderung tinggi untuk perempuan pernah kawin pada kelompok umur 2024 tahun yaitu sebesar 3,30. Diperkirakan, tingginya angka perceraian perempuan berumur muda tersebut karena ketidaksiapan mereka dalam menjalani perkawinan (BPS 2010). Penelitian ini dilakukan didasarkan atas fenomena masih rendahnya kesiapan menikah dan kesiapan menjadi orang tua di Indonesia khususnya di Kota Depok. Kedua komponen tersebut sangat penting bagi keutuhan sebuah keluarga. Melihat fenomena diatas, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa?
4
2. Seberapa besar perbedaan karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa? 3. Adakah pengaruh karakteristik keluarga dan kesiapan menikah istri terhadap perkembangan anak usia 3-5 tahun? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri, perkembangan anak usia 3-5 tahun. Tujuan Khusus Tujuan Penelitian ini secara khusus adalah untuk: 1. Menganalisis karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa 4. Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa 2. Menganalisis pengaruh karakteristik keluarga dan kesiapan menikah istri terhadap perkembangan anak usia 3-5 tahun
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya yaitu: 1. Sebagai bahan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu keluarga mengenai hubungan karakteristik keluarga dan kesiapan menikah terhadap perkembangan anak usia 3-5 tahun 2. Sebagai tambahan informasi baik untuk individu maupun untuk orang tua mengenai pentingnya kesiapan menikah agar memperoleh perkembangan anak yang optimal 3. Sebagai bahan pengembangan program pendewasaan usia perkawinan dan program sosialisasi stimulasi tumbuh kembang anak yang lebih baik lagi yang dilakukan oleh pemerintah atau instansi terkait. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Keluarga Keluarga adalah unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi masyarakat dan negara. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan, minum dan sebagainya (Puspitawati 2013). Keluarga yang menjadi fokus dalam penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga dengan anak usia 3-5 tahun memiliki tugas-tugas tertentu yang harus dipenuhi untuk menjamin tumbuh kembang anak
5
yang maksimal. Klein dan White (1996) menyatakan keluarga menjadi beberapa pengertian diantaranya: (1) keluarga terbentuk hingga jangka waktu yang panjang dibandingkan kelompok sosial lainnya; (2) keluarga merupakan intergenerasi; (3) keluarga terdiri baik karena hubungan biologis namun juga karena legalisasi hukum (adopsi dsb); (4) faktor biologis dalam keluarga maupun adopsi anak secara legal di mata hukum merupakan aspek yang menghubungkan mereka kepada organisasi kekerabatan yang semakin besar. Keluarga memiliki beberapa ciri khas dan juga tugas-tugas yang harus dipenuhi. Mattessich dan Hill (1987) dalam Zeitlin et al. (1995) menyatakan bahwa keluarga adalah kelompok yang berhubungan dengan kekerabatan, tempat tinggal ataupun kedekatan secara emosional dan menjadikan mereka kepada empat bentuk sistemik diantaranya saling ketergantungan satu sama lain (hubungan intim), memelihara batasan-batasan terseleksi, kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan dan memelihara identitas mereka sepanjang waktu, serta melakukan beberapa tugas keluarga seperti pemeliharaan fisik, sosialisasi, edukasi, kontrol sosial dan perilaku seksual, memelihara moral dan motivasi keluarga untuk melakukan yang terbaik di dalam maupun diluar keluarga, akuisisi anggota keluarga yang dewasa dengan pembentukan formasi kemitraan seksual, dan melepas anggota keluarga yang remaja ketika beranjak dewasa. Teori Struktural Fungsional Perspektif teoritis struktural fungsional pada awalnya dikembangkan untuk menganalisis keadaan sosial kemasyarakatan secara umum. Para sosiolog generasi pertama pada akhir abad ke-18 dan kurun waktu abad ke-19, mulai memikirkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan “bagaimana dan mengapa suatu masyarakat bisa ada?” “Faktor-faktor apa yang dapat mempersatukan masyarakat?”. Selain itu, ketidaksetujuan pada pemikir sosial abad ke-19 terhadap paham utilitarianism timbul, karena melihat kenyataan yang sebaliknya, dimana ketertiban sosial justru semakin kacau setelah faham utilitarianism semakin besar mewarnai kehidupan masyarakat. Kenyataan yang demikian telah membuka peluang timbulnya pemikiran baru tentang bagaimana tatanan masyarakat yang tertib dan harmonis dapat diwujudkan. Sehingga pendekatan struktural fungsional digunakan untuk menganalisis struktur sosial masyarakat. Pendekatan ini muncul bersamaan dengan semakin mapannya ilmu biologi, terutama yang berkaitan dengan struktur biologi kehidupan. Struktur biologi organisme hidup terdiri dari elemen-elemen yang saling terkait walaupun berbeda fungsi. Perbedaan fungsifungsi tersebut ternyata diperlukan, terutama untuk saling melengkapi agar suatu sistem kehidupan yang berkesinambungan dapat terwujud (Megawangi 1999). Parson dan Bales (1955) dalam Megawangi (1999) membagi dua peran orangtua dalam keluarga yaitu peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak dan peran emosional dan ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mancari nafkah untuk kelangsungan hidup seluruh anggota keluarga sedangkan peran emosional ekspresif adalah peran pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antaranggota keluarga atau antarindividu di luar keluarga. Levy (1949)
6
dalam Megawangi (1999) menyatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang lebih besar lagi. Berikut ini prasyaratan struktural yang harus dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi: (1) diferensiasi peran: harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam keluarga; (2) alokasi solidaritas: distribusi relasi antaranggota keluarga menurut cinta, kekuatan dan intensitas hubungan; (3) alokasi ekonomi: distribusi barang-barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan; (4) alokasi politik: distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggungjawab atas setiap tindakan keluarga; (5) alokasi integrasi dan ekspresi: distribusi teknik atau cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku yang memenuhi tuntutan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga. Teori Perkembangan Teori perkembangan merupakan teori yang menjelaskan perubahan, baik yang terjadi pada individu atau kelompok. Individu, kelompok, dan masyarakat mengalami perkembangan melalui tahapan-tahapan yang terjadi sepanjang waktu. Menurut Klein & White (1996), ada beberapa asumsi dalam paradigma teori perkembangan, yaitu: - Proses perkembangan merupakan proses yang tidak bisa dielakkan dan juga sangat penting dalam memahami keluarga. Keluarga dan individu mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu melalui serangkaian tahapan perkembangan yang sama dan menghadapi titik transisi dan tugas-tugas perkembangan serupa. Memahami keluarga harus mempertimbangkan tantangan yang dihadapi dalam setiap tahapnya, seberapa baik mereka menyelesaikannya dan seperti apa transisi ke tahap berikutnya. - Keluarga di analisis pada berbagai tingkat. Keluarga terdiri pada tingkat analisa yang berbeda-beda. Pertama, keluarga ditinjau sebagai kelompok sosial. Kedua, keluarga ditinjau dari hubungan seperti hubungan suami istri, orangtua dan anak. Ketiga, keluarga ditinjau dari individunya sebagai anggota keluarga. Keluarga dapat dipandang sebagai homogenous agregat cluster yang terstrukturkan oleh kelas sosial dan etnis. - Keluarga di pengaruhi oleh semua tingkat analisis. Keluarga dipengaruhi oleh berbagai tingkat analisa termasuk norma sosial dari masyarakat yang lebih luas dan norma sosial dari kelompok tertentu - Keluarga merupakan kelompok semi-tertutup dan semipermeable. Keluarga memiliki batasan-batasan yang jelas biasanya ditandai secara spasial oleh lingkungan rumah atau tempa tinggal namun sesungguhnya batasan-batasn tersebut dapat diserapi oleh pengaruh dari masyarakat yang lebih luas. - Waktu adalah multidimensional. Asumsi ini mengatakan bahwa “waktu” sesungguhnya tergantung dari cara mendefinisikan, memahaminya dan bahwa “waktu: bergerak ke depan dan tidak dapat kembali lagi. Teori perkembangan keluarga merupakan multilevel theory yang berhubungan dengan individualis dan institusi keluarga. Hal-hal yang sering dibahas pada teori ini adalah konsep perkembangan tugas (the Development of
7
task) sepanjang siklus kehidupan keluarga (Family Life Cycle). Tahapan perkembangan keluarga menurut Duvall dan Miller (1985) ada 8 tahap yaitu: (1) tahapan perkawinan (marriage couple); (2) tahapan mempunyai anak (childbearing); (3) tahapan anak berumur prasekolah; (4) tahapan anak berumur sekolah dasar; (5) tahapan anak berumur remaja; (6) tahapan anak lepas dari orang tua; (7) tahapan orang tua umur menengah; dan (8) tahapan orang tua umur manula. Penelitian ini memiliki fokus pembahasan pada keluarga tahap tiga yaitu keluarga dengan anak berumur prasekolah namun ditinjau juga dari kesiapan kedua orang tua sebelum menikah. Pada fase ini, suami dan istri berbagi peran dan tugas untuk menjalankan fungsi pengasuhan, pemeliharaan dan pendidikan anakanaknya usia prasekolah. Mulai dipikirkan perencanaan keuangan untuk investasi anak dalam hal kesehatan dan pendidikan serta jaminan sosial anak. Pendidikan karakter sejak usia dini sudah menjadi keharusan bagi peran ayah dan ibu (Puspitawati 2012). Kesiapan Menikah Kesiapan menikah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk mengindikasikan persiapan penting apa saja yang dapat seseorang lihat sebelum mereka merasa siap untuk menikah. Teori horizon pernikahan menyatakan kesiapan menikah tidak hanya berarti seperti diatas namun juga mengenai keyakinan individu yang membuat mereka siap untuk menikah (Olson 2008). Rapaport dalam Duvall dan Miller (1985) menyatakan kesiapan menikah adalah kemampuan individu untuk menyandang peran barunya, yaitu sebagai suami atau istri, dan berusaha untuk terlibat dalam pernikahannya serta mampu memasukkan pola-pola kepuasan yang diperolehnya sebelum menikah ke dalam kehidupan pernikahan. Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga dan siap mengasuh anak (Duvall dan Miller 1985). Kesiapan Menikah adalah penting untuk dipelajari karena membentuk dasar dalam menentukan keputusan dengan siapa harus menikah, kapan harus menikah, mengapa menikah dan perilaku perkawinan nanti (Larson dan Lamont 2005). Keadaan “kesiapan” seperti yang disebutkan Holman dan Li (1997) adalah suatu keadaan diluar persiapan tindakan yang membentuk dan mengarahkan tindakan. Oleh karena itu, kesiapan dapat digunakan untuk menjelaskan dan memperkirakan jenis khusus dari tindakan. Kesiapan menikah menurut Larson (1988) merupakan evaluasi subjektif dari kesiapan seseorang untuk mengambil tanggung jawab dan tantangan pernikahan. Kesiapan menikah adalah kemampuan seseorang untuk mengembangkan proses seleksi pasangan. Dengan demikian, kesiapan menikah adalah kunci indikator perilaku perkawinan dan waktu transisi dalam pernikahan. Kesiapan dalam sebuah perkawinan sangat diperlukan baik dari segi kehidupan sosial, ekonomi, fisiologis, maupun psikologis. Kesiapan sosialekonomi berkaitan dengan bagaimana individu berani membentuk keluarga melalui perkawinan dengan segala tanggung jawabnya dalam menghidupi
8
keluarga dan menjadi penyangga bagi keluarga. Kesiapan dari segi fisiologis atau badaniah sangat diperlukan karena untuk melakukan tugas atau kewajiban dari perkawinan itu sendiri dibutuhkan kesiapan jasmani yang cukup matang dan sehat (Maryati et al. 2007). DeGenova (2008) memaparkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan menikah pada individu, seperti usia saat menikah, level kedewasaan dari pasangan yang akan menikah, waktu menikah, motivasi untuk menikah, kesiapan untuk eksklusivitas seksual, emansipasi emosional dari orang tua, tingkat pendidikan dan pekerjaan. Rapaport (1963) dalam Duvall dan Miller (1985) menyatakan seseorang dinyatakan siap untuk menikah apabila memenuhi kriteria diantaranya (1) memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri; (2) Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang banyak; (3) Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan seksual; (4) Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim; (5) Memiliki kelembutan dan kasih sayang kepada orang lain; (6) Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain; (7) Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan harapan; (8) Bersedia berbagi rencana dengan orang lain; (9) Bersedia menerima keterbatasan orang lain; (10) Realistik terhadap karakteritik orang lain; (11) Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi; dan (12) Bersedia menjadi suami atau istri yang bertanggung jawab. Perkawinan adalah suatu hal yang serius, sehingga memerlukan persiapan yang matang, khususnya dalam kematangan fisik dan kematangan mental. Pasangan calon suami istri harus mempunyai bekal yang cukup, agar siap dan mampu menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan berumah tangga untuk menjaga keutuhan perkawinan (Arjoso 1996). a) Kedewasaan Fisik Berdasarkan agama, seorang wanita dianggap dewasa setelah mendapatkan menstruasi dan seorang pria dianggap dewasa pada waktu ia sudah mengalami ejakulasi. Selain itu, ilmu kedokteran juga membuktikan bahwa kehamilan dibawah usia 20 tahun adalah kehamilan dengan risiko tinggi dengan kemungkinan tingginya angka kematian, baik bagi bayi maupun bagi ibunya, sehingga dianjurkan agar kehamilan itu terjadi setelah seorang wanita berusia paling sedikit 20 tahun. b) Kedewasaan Sosial Di Indonesia, pada umumnya pria memegang peranan penting dalam rumah tang. Begitu terjadi perkawinan, maka suami harus mengambil tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga dengan mencari nafkah untuk keluarga dan menjadi pelindung bagi keluarganya. Oleh karena itu, seorang calon pengantin pria dituntut mempunyai kesanggupan untuk mempunyai penghasilan tertentu, masa depan yang jelas, mempunyai tempat tinggal dengan perlengkapannya dan lain-lain. Persyaratan-persyaratan tersebut jelas tidak dapat dipenuhi oleh seorang pria remaja, kecuali dengan dukungan orang tua atau keluarganya namun, keadaan demikian akan menjadi masalah karena berarti rumah tangga yang demikian menjadi tidak mandiri. Pada umumnya seorang pria mencapai kedewasaan sosial pada usia 25 tahun, sehingga dianjurkan seorang pria
9
menikah pada usia 25-30 tahun. Persyaratan sosial buat seorang wanita tidak seberat persyaratan sosial untuk seorang pria. Setelah seorang wanita menikah dan hamil atau melahirkan, ia sudah berubah status menjadi seorang ibu. c) Kepribadian yang mantap Kepribadian yang dewasa dan mantap merupakan faktor utama untuk mencapai suatu perkawinan yang bahagia. Kepribadian yang dewasa ditunjukkan oleh kemampuan seorang untuk menilai diri sendiri secara objektif, sehingga ia mengetahui kelebihan-kelebihan dan kekurangan-kekurangan, juga ia mempunyai citra yang benar tentang dirinya sendiri. Seseorang yang berkepribadian mantap akan memilih pasangan yang dianggap cocok betul dengan jalan hidupnya, bisa mengisi kekurangan-kekurangan dan dapat memberikan dorongan kearah cita-cita yang sudah ditetapkan. Pilihan pasangan yang didasarkan kepribadian yang mantap tidak mudah berubah dan perkawinan yang dibina dapat kekal abadi sampai akhir hayat. Perlu diketahui, bahwa pembentukan kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh masa kanakkanaknya, terutama pada usia di bawah lima tahun dan melalui proses perkembangan bertahun-tahun, sehingga pada usia remaja, kepribadiannya sudah nampak selanjutnya dimantapkan oleh pengalaman-pengalaman hidupnya. Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) Program pendewasaan usia perkawinan adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan yaitu usia 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan pertama pun terjadi pada usia yang cukup dewasa bahkan harus diusahakan apabila seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka penundaan kelahiran anak pertama harus dilakukan. Pendewasaan Usia Perkawinan merupakan bagian dari program keluarga berencana nasional. Program PUP memberikan dampak pada peningkatan umur kawin pertama yang pada giliriannya akan menurunkan Total Fertility Rate (TFR). Tujuan program pendewasaan usia perkawinan adalah memberikan pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga, mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi serta menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Tujuan PUP seperti ini berimplikasi pada perlunya peningkatan usia kawin yang lebih dewasa. Program PUP dalam program KB bertujuan meningkatkan usia kawin perempuan pada umur 21 tahun. Program pendewasaan usia perkawinan dan perencanaan keluarga merupakan kerangka dari program pendewasaan usia perkawinan. Kerangka ini terdiri dari tiga masa reproduksi, yaitu: 1) Masa menunda perkawinan dan kehamilan, 2) Masa menjarangkan kehamilan dan 3) masa mencegah kehamilan. Kerangka ini dapat dilihat seperti bagan dibawah ini (BKKBN 2008):
10
20 THN
Masa menunda perkawinan dan kehamilan
35 THN
Masa menjarangkan kehamilan
Masa mencegah kehamilan
Gambar 1 Perencanaan Keluarga Masa Kanak-Kanak Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan – saat dimana individu relatif tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Masa kanak-kanak dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan, yakni kira-kira usia dua tahun sampai saat anak matang secara seksual, kira-kira tiga belas tahun untuk wanita dan empat belas tahun untuk pria. Periode awal masa kanak-kanak berlangsung dari usia dua sampai enam tahun dan periode akhir dari enam sampai tiba saatnya anak matang secara seksual. Sebagian orang tua menganggap awal masa kanakkanak sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit. Para pendidik menyebutnya sebagai usia prasekolah untuk membedakannya dari saat dimana anak dianggap cukup tua, baik secara fisik dan mental, untuk menghadapi tugastugas pada saat mereka mulai mengikuti pendidikan formal. Para ahli psikologi menyebutnya dengan usia kelompok, usia menjelajah, usia bertanya dan usia meniru serta usia kreatif (Hurlock 1980). Gunarsa dan Gunarsa (2012) menyebut periode anak sekitar usia 3 tahun dan berjalan sampai kira-kira anak berumur 5 tahun sebagai masa krisis kedua. Sering kali, masa ini ditandai dengan sikap-sikap negatif, penentangan, atau dengan istilah bahasa Jerman, periode Trots-alter. Bagi ahli psikologi, masa ini dianggap sebagai masa krisis pertama. Pada masa ini, anak mulai memperlihatkan tingkah laku yang sungguh “mengesalkan” orang tua. Segala permintaan orang lain ditolaknya. Apabila anak disuruh makan, mandi bahkan berjabatan tangan atau memberi salam selalu dijawabnya dengan kata “tidak”. Anak berada dalam masa dimana ia sedang memperkembangkan diri untuk melepaskan diri dari orang tua. Masa krisis ini juga memerlukan pemikiran khusus orang tua karena mereka juga turut mengalami penambahan persoalan, baik sehubungan dengan bertambahnya anak maupun kelakuan sang anak. Perkembangan Anak Perkembangan merupakan sesuatu proses yang mula-mula global, massif, belum terpecah atau terperinci, dan kemudian semakin lama semakin banyak, berdiferensiasi dan terjadi integrasi yang hierarkis (Gunarsa 2008). Menurut Negel
11
(1957) dalam Gunarsa (2008), perkembangan merupakan pengertian dimana terdapat struktur yang terorganisasikan dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu, dan karena itu bilamana terjadi perubahan struktur baik dalam organisasi maupun dalam bentuk, akan mengakibatkan perubahan fungsi. Perkembangan (development) adalah pola perubahan yang dimulai sejak pembuahan, yang berlanjut sepanjang rentang hidup. Kebanyakan perkembangan melibatkan pertumbuhan, meskipun juga melibatkan penuaan. Saat ini, pandangan Barat mengenai anak-anak menyatakan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang unik dan sangat hidup, yang meletakkan dasar penting bagi tahuntahun dewasa dan jelas berbeda dari tahun-tahun dewasa tersebut. Masa kanakkanak tidak lagi dilihat sebagai periode menunggu yang tidak nyaman di mana orang dewasa harus bertoleransi terhadap kebodohan anak-anak. Sebagai gantinya, kita melindungi anak dari tekanan dan tanggung jawab pekerjaan orang dewasa melalui hukum perburuhan anak (Santrock 2007). Anak menjalani proses perkembangan dengan pengaruh lingkungan alam yang benar-benar asli maupun pengaruh lingkungan alam yang sudah diubah oleh lingkungan sosial, juga pengaruh linkungan sosial itu sendiri. Ia akan berkembang menjadi seorang manusia dewasa yang lebih tangkas dalam menghadapi dan mengatasi tuntutan lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Proses ini meliputi penambahan ketangkasan, pengolahan dan pengamalan ilmu sepanjang masa hidupnya (Gunarsa dan Gunarsa 2012). Menurut Depkes (2006) aspek-aspek perkembangan anak yang perlu dipantau diantaranya adalah: 1. Gerak kasar atau motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh melibatkan otototot besar seperti duduk, berdiri dan sebagainya 2. Gerak halus atau motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat seperti mengawasi sesuatu, menjimpit, menulis dan sebagainya 3. Kemampuan bicara dan bahasa adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan untuk memberikan respons terhadap suara, berbicara, berkomunikasi, mengikuti perintah, dan sebagainya 4. Sosialisasi dan kemandirian adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak (makan sendiri, membereskan mainan setelah selesai bermain), berpisah dengan ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya dan sebagainya. Anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training) dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya). Berikut ini beberapa perkembangan anak usia prasekolah (Yusuf 2000): 1. Perkembangan Fisik Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya. Meningkatnya pertumbuhan tubuh baik menyangkut ukuran berat dan tinggi,
12
maupun kekuatannya memungkinkan anak untuk dapat lebih mengembangkan keterampilan fisiknya dan eksplorasi terhadap lingkungannya dengan tanpa bantuan dari orangtuanya. Perkembangan fisik anak sangat memerlukan gizi yang cukup, baik protein, vitamin, mineral dan karbohidrat. Perkembangan fisik anak ditandai juga dengan berkembangnya kemampuan dan keterampilan motorik, baik yang kasar maupun yang lembut. Kemampuan motorik tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: Tabel 1 Deskripsi kemampuan motorik anak usia 3-6 tahun Usia 3-4 Tahun
4-6 Tahun
Kemampuan Motorik Kasar 1. Naik Turun Tangga 2. Meloncat dengan dua kaki 3. Melempar bola 1. Meloncat 2. Mengendarai sepeda anak 3. Menangkap bola 4. Bermain olahraga
Kemampuan Motorik Halus 1. Menggunakan krayon 2. Menggunakan benda/alat 3. Meniru bentuk (meniru gerakan orang lain) 1. Menggunakan pensil 2. Menggambar 3. Memotong dengan gunting 4. Menulis huruf cetak
2. Perkembangan Intelektual Menurut Piaget, perkembangan kognitif pada usia ini berada pada periode praoperasional,, yaitu tahapan dimana anak belum mampu menguasai operasi mental secara logis. Periode ini ditandai dengan berkembangya representasional atau “symbolic function” yaitu kemampuan menggunakan sesuatu untuk merepresentasikan (mewakili) sesuatu yang lain degan menggunakan symbol (kata-kata, gesture/bahasa gerak dan benda). Berikut beberapa perkembangan periode praoperasional: (1) mampu berpikir dengan menggunakan symbol; (2) berpikirnya masih dibatasi oleh persepsinya. Mereka meyakini apa yang dilihatnya, dan hanya terfokus kepada satu atribut/dimensi terhadap satu objek dalam waktu yang sama; (3) cara berpikirnya masih kaku tidak fleksibel. Cara berpikirnya terfokus kepada keadaan awal atau akhir dari suatu transformasi, bukan kepada transformasi itu sendiri yang mengantarai keadaan tersebut; (4) Anak sudah mulai mengerti dasar-dasar mengelompokkan sesuatu atas dasar satu dimensi, seperti atas kesamaan warna, bentuk dan ukuran. 3. Perkembangan Emosional Pada usia 4 tahun, anak sudah mulai menyadari akunya, bahwa akunya (dirinya) berbeda dengan bukan aku (orang lain atau benda). Kesadaran ini diperoleh dari pengalamannya, bahwa tidak setiap keinginannya dipenuhi oleh orang lain atau benda lain. Beberapa jenis emosi yang berkembang pada masa anak,, yaitu sebagai berikut: takut, cemas, marah, cemburu, kegembiraan, kasih sayang, phobi dan ingin tahu.
13
4. Perkembangan Bahasa Perkembangan bahasa anak usia prasekolah dapat diklasifikasikan ke dalam dua tahap yaitu sebagai berikut: Masa ketiga (2.0-2,6) yang bercirikan: a. Anak sudah mulai bisa menyusun kalimat tunggal yang sempurna b. Anak sudah mampu memahami tentang perbandingan c. Anak banyak menanyakan nama dan tempat: apa, dimana dan dari mana d. Anak sudah banyak menggunakan kata-kata yang berawalan dan yang berakhiran Masa Keempat (2,6-6,0) yang bercirikan: a. Anak sudah dapat menggunakan kalimat majemuk beserta anak kalimatnya b. Tingkat berpikir anak sudah lebih maju, anak banyak menanyakan soal waktu-sebab akibat melalui pertanyaan-pertanyaan: kapan, kemana, mengapa dan bagaimana 5. Perkembangan Sosial Pada usia prasekolah (terutama mulai usia empat tahun), perkembangan social anak sudah tampak jelas, karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan social pada tahap ini adalah: (1) anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain; (2) sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan; (3) anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain dan (4) anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain atau teman sebaya. 6. Perkembangan Moral Pada masa ini, anak sudah memiliki dasar tentang sikap moralitas terhadap kelompok sosialnya (orangtua, saudara dan teman sebaya). Melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain, anak belajar memahami tentang kegiatan atau perilaku mana yang baik/boleh/diterima/disetujui atau buruk/tidak boleh/ditolak/tidak disetujui. Berdasarkan pemahamannya itu, maka pada masa ini anak harus dilatih atau dibiasakan mengenai bagaimana dia harus bertingkah laku. Penelitian Terdahulu Saat ini ketersediaan data mengenai persiapan dan kesiapan menikah pasangan yang baru menikah masih sangat terbatas (Holman dan Li 1997; Larson dan Holman 1994). Carrol, Badger, Willoughby, Nelson, Madsen dan Barry (2009) menunjukkan bahwa kesiapan pernikahan dipandang oleh orang dewasa muncul sebagai proses pengembangan kompetensi interpersonal, membuat komitmen seumur hidup dan memperoleh kapasitas untuk merawat orang lain. Selain itu, kesiapan menikah menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan anak. Berikut ini adalah beberapa ringkasan hasil penelitian terkait perkembangan anak dan kesiapan menikah:
14
Tabel 2 Penelitian terdahulu Tahun Penulis Perkembangan Anak 2012 Dewanggi et al.
2011
Hastuti et al.
2009
Hastuti
2010
Hastuti et al.
2009
Latifah et al.
Judul
Hasil
Pengasuhan Orang Tua dan Kemandirian Anak Usia 3-5 Tahun berdasarkan Gender di Kampung Adat Urug
Terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan kemandirian anak. Kemandirian Anak berhubungan dengan umur anak dan pendapatan keluarga. Selain itu, ditemukan perbedaan nyata antara kemandirian anak laki-laki dan anak perempuan. Perkembangan sosial emosi anak berhubungan dengan tingkat pendidikan ibu, usia anak, pengeluaran keluarga dan kualitas lingkungan pengasuhan. Usia anak, stimulasi psikososial di rumah dan sarana prasarana di sekolah berpengaruh signifikan terhadap perkembangan motorik dan kognitif anak pada kedua kelompok penelitian.
Kualitas lingkungan pengasuhan dan Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Balita di Daerah Rawan Pangan Stimulasi Psikososial Pada Anak Kelompok Bermain dan Pengaruhnya Pada Perkembangan Motorik, Kognitif, Sosial Emosi dan Moral/Karakter Anak Nilai Anak, Stimulasi Psikososial, dan Perkembangan Kognitif Anak Usia 2-5 Tahun Pada Keluarga Rawan Pangan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah Kualitas Tumbuh Kembang, Pengasuhan Orang Tua, dan Faktor risiko komunitas Pada Anak Usia Prasekolah Wilayah Pedesaan di Bogor
Perkembangan kognitif anak dipengaruhi positif oleh lama pendidikan ibu, lama partisipasi anak di pendidikan prasekolah, status ekonomi keluarga dan stimulasi psikososial.
Tingkat stress dan kecemasan ibu memberikan pengaruh negatif terhadap kualitas pengasuhan. Terdapat beberapa faktor yang menjadi faktor risiko terhadap perkembangan anak diantaranya rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan dan pengetahuan mengenai pengasuhan.
15
Kesiapan Menikah 2012 Sunarti et al.
Kesiapan Menikah dan Pemenuhan Tugas Keluarga Pada Keluarga Dengan Anak Usia Prasekolah
2012
Ghalili et al.
Marriage Readiness Criteria among young adults of Isfahan: A Qualitative Study
2010
Krisnatuti dan Oktaviani
Persepsi dan Kesiapan Menikah Pada Mahasiswa
2011
Afifah
Perkawinan Dini dan Dampak Status Gizi Pada Anak (Analisis Data Riskesdas 2010)
2013
Gunnels
The Impact of SelfEsteem and Religiousity on the Marital Readiness Criteria of College Students
Kesiapan menikah istri lebih rendah dibandingkan dengan kesiapan menikah suami. Kesiapan menikah suami dan istri berpengaruh terhadap tugas perkembangan keluarga. Tugas perkembangan keluarga dan kesiapan menikah istri berpengaruh terhadap perkembangan anak Hasil penelitian menunjukkan Sembilan kategori utama dalam kesiapan menikah diantaranya: kesiapan usia, fisik, mental, finansial, moral, emosional, sosial kontekstual, interpersonal, dan keterampilan hidup dalam rumah tangga. Remaja dewasa saat ini fokus untuk siap secara finansial kemudian moral sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Pengetahuan tentang pernikahan berhubungan signifikan dengan usia, jenis kelamin dan prestasi akademik. Kesiapan menikah berhubungan signifikan dengan frekuensi memperoleh informasi tentang pernikahan, dan dipengaruhi oleh usia, jumlah penyakit yang diderita, dan cara untuk mengelola rumah tangga. Pernikahan dini dapat mempengaruhi status gizi anaknya yang lahir dan tumbuh kembangnya sehingga menjadi anak pendek. Persentase anak pendek meningkat pada ibu yang menikah pada usia dini. Self esteem dan religiusitas memiliki hubungan signifikan positif dengan kriteria kesiapan menikah.
16
KERANGKA PIKIR Perkembangan anak memiliki beberapa dimensi diantaranya dimensi perkembangan motorik (motorik kasar dan halus), bahasa (aktif dan pasif), kecerdasan (kognitif), kemandirian (kemampuan menolong diri sendiri) dan kemampuan bergaul (sosialisasi). Keseluruhan aspek perkembangan anak tersebut memerlukan stimulasi yang baik dari kedua orang tua dan seluruh anggota keluarga. Perkembangan anak usia dibawah lima tahun menjadi sangat krusial karena masa-masa ini merupakan masa rentan dimana saat tersebut menjadi pondasi bagi perkembangan anak selanjutnya. Karakteristik keluarga dan kesiapan menikah kedua orang tua menjadi dua hal yang penting untuk turut serta mengoptimalkan perkembangan anak usia 3-5 tahun. Karakteristik keluarga seperti usia suami, usia istri, jarak usia antara suami dan istri, pendidikan orang tua, pendapatan perkapita dan lama menikah berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap pasangan harus memiliki kesiapan yang matang dalam berbagai aspek sebelum memasuki jenjang pernikahan baik dari segi usia, pendidikan maupun pekerjaan. Tujuannya tidak hanya agar memperoleh stabilitas perkawinan namun juga agar mampu menghasilkan dan mengasuh anak-anak agar tumbuh dan berkembang dengan optimal. Kesiapan menikah merupakan kemampuan seorang individu dalam menghadapi peran dan fungsi baru yang berbeda dalam sebuah pernikahan. Kesiapan menikah menjadi indikator penting bagi kesuksesan sebuah keluarga. Kesiapan menikah meliputi beberapa aspek penting yang akan sangat mempengaruhi perkembangan anak diantaranya adalah aspek kesiapan intelektual, kesiapan moral, kesiapan sosial, kesiapan emosi, kesiapan individu, kesiapan finansial dan kesiapan mental. Kesiapan intelektual meliputi kesiapan untuk senantiasa mencari berbagai ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan pribadi maupun keluarga. Kesiapan moral meliputi berbagai aspek karakter yang dimiliki seseorang ketika menghadapi berbagai masalah dalam kehidupan. Kesiapan individu terkait kesiapan secara pribadi dalam berbagai hal termasuk masalah kesiapan sebagai orang tua, sebagai pencari nafkah, sebagai individu yang sehat hingga sebagai individu yang mandiri. Kesiapan finansial meliputi berbagai hal spesifik terkait manajemen keuangan seperti memiliki pekerjaan yang tetap, tabungan yang cukup hingga pengetahuan yang baik dalam hal manajemen keuangan. Aspek penting lainnya adalah kesiapan mental yang menggambarkan kesiapan seseorang dalam menghadapi jenjang pernikahan yang tidak akan selalu berjalan mulus. Kesiapan mental ini sangat penting untuk menjaga kestabilan rumah tangga yang ditopang dari mental yang kuat suami maupun istri. Kesiapan sosial menggambarkan kesiapan untuk berinteraksi dengan orang lain. Kesiapan emosi terkait dengan pengelolaan emosi yang sangat penting dalam menghadapi berbagai masalah dalam rumah tangga. Semakin siap calon pasangan ketika menikah maka perkembangan anak akan semakin baik.
Kesiapan Menikah Istri: Kesiapan Intelektual Kesiapan Moral Kesiapan Sosial Kesiapan Emosi Kesiapan Individu Kesiapan finansial Kesiapan Mental
Usia Menikah Istri dan Suami
Karakteristik Anak: Usia Anak Keikutsertaan Sekolah Jenis Kelamin Anak
Karakteristik Keluarga: Pendapatan Perkapita Lama Menikah Jarak Usia Suami dan Istri Usia Suami dan istri Lama pendidikan Pekerjaan
Lingkungan Pengasuhan
Pemenuhan Tugas Keluarga: Tugas Perkembangan Tugas Krisis
PERKEMBANGAN ANAK Motorik Bahasa Kognitif Kemandirian Kemampuan bergaul
Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Gambar 2 Kerangka Pikir Karakteristik Keluarga, Kesiapan Menikah Istri dan Perkembangan Anak Usia 3-5 Tahun
18
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi antara cross sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan hanya pada satu waktu dan retrospective study, yaitu penggalian informasi di masa lalu. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu di Kelurahan Ratu Jaya dan Kelurahan Bojong Pondok Terong, Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Pengumpulan data primer dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2014. Prosedur Pemilihan Contoh Populasi penelitian ini adalah keluarga utuh yang baru memiliki anak pertama usia 3-5 tahun dengan ibu yang menikah muda dan dewasa. Responden penelitian ini adalah: (1) Ibu (istri) yang menikah usia muda dan yang menikah usia dewasa; (2) Baru memiliki anak pertama usia 3-5 tahun; (3) Berasal dari keluarga lengkap (utuh) dan (4) Bersedia dijadikan contoh. Responden tinggal di kawasan kelurahan Bojong Pondok Terong dan Ratu Jaya, Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Pada kelurahan Bojong Pondok Terong dipilih 9 RW, sedangkan kelurahan Ratu Jaya di pilih 7 RW secara purposive. Pemilihan RW tersebut didasarkan atas data jumlah keluarga muda terbanyak yang diperoleh berdasarkan Data Kependudukan Kelurahan. Jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 120 orang. Pengambilan contoh dilakukan secara stratified nonproportional random sampling dengan membedakan dua strata contoh yang menikah muda dan dewasa dengan masingmasing kelompok berjumlah 60 orang. Pembedaan ini didasarkan usia ideal bagi wanita untuk menikah pada program Pendewasaan Usia Perkawinan. Adapun cara pengambilan contoh yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 3: KOTA DEPOK Purposive
KECAMATAN CIPAYUNG Purposive
Kelurahan Bojong Pondok Terong (9 RW)
Kelurahan Ratu Jaya (7 RW)
Muda = 61 Dewasa = 221
Muda = 59 Dewasa = 118
Muda = 30 Dewasa = 30
Muda = 30 Dewasa = 30
Gambar 3 Prosedur pemilihan contoh
Stratified Nonproportional Random Sampling
19
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Variabel, skala dan pengolahan data dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Variabel, skala dan pengolahan data Variabel Karakteristik Keluarga a. Pendapatan Perkapita b.Lama menikah c. Jarak Usia Suami istri d.Kehamilan di luar nikah Karakteristik Suami dan Istri a. Usia b.Usia Menikah c. Lama Pendidikan d.Pekerjaan suami
Jenis Data Rasio Rasio Rasio Ordinal
Rataan Data Rataan Data Rataan Data 1) Hamil; dan 2) Tidak
Rasio Rasio Rasio Nominal
Rataan Data Rataan Data Rataan Data 1)Buruh; 2) Karyawan; 3) PNS; 4) Satpam; 5) Supir; 6) Teknisi; 7)Tidak bekerja; 8) wiraswasta 1)Guru; 2) IRT; 3) karyawan; 4) ART; 5) wiraswasta
e. Pekerjaan istri
Nominal
Karakteristik Anak a. Usia Anak b.Keikutsertaan Sekolah
Rasio Ordinal
c. Jenis Kelamin
Nominal
Kesiapan Menikah Istri a. Kesiapan emosi b.Kesiapan moral c. Kesiapan sosial d.Kesiapan intelektual e. Kesiapan individu f. Kesiapan finansial g.Kesiapan mental Perkembangan Anak a. Motorik b.Bahasa c. Kognitif d.Kemandirian e. Kemampuan bergaul
Pengolahan Data
Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal
Rataan Data 1)Belum Sekolah; dan 2) Sekolah 1)Laki-laki; dan 2) Perempuan
Berdasarkan sebaran data: 1. Rendah : < 60% 2. Sedang : 60-80% 3. Tinggi : > 80%
Berdasarkan sebaran data: 1. Rendah : < 60% 2. Sedang : 60-80% 3. Tinggi : > 80%
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kependudukan dan data monografi lokasi penelitian yang diperoleh dari Kantor Kelurahan dan Kecamatan setempat. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner yang meliputi:
20
1. Karakteristik keluarga dan karakteristik anak 2. Kesiapan menikah istri yang terdiri dari tujuh aspek yaitu kesiapan intelektual, kesiapan emosi, moral, individu, finansial, mental dan sosial. Kuesioner ini merupakan hasil modifikasi Sunarti et al. (2012) yang diperoleh dari Duvall (1971) dan Scott (1965). 3. Perkembangan anak diukur menggunakan instrumen Bina Keluarga Balita (BKB) milik BKKBN yang dibagi kedalam dua kategori usia yaitu usia 3-4 tahun dan 4-5 tahun. Instrumen yang digunakan dalam Bina Keluarga dan Balita dikembangkan oleh para psikolog dari berbagai instrumen yang sudah ada seperti Bayley, Vineland dll. Instrumen ini menjadi lebih praktis untuk diaplikasikan dalam pemantauan tumbuh kembang balita sekalipun bukan kader (Sunarti 2009). Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil wawancara terlebih dahulu dilakukan proses editing, coding, scoring, entering, cleaning dan analyzing. Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak. Secara keseluruhan, kategori pengelompokkan untuk kesiapan menikah, dan perkembangan anak dibedakan menjadi tinggi, sedang dan rendah. Capaian rata-rata skor kesiapan menikah dan perkembangan anak didapatkan dari rumus yang disajikan berikut ini: Y=
X – nilai minimum Nilai Maksimum – nilai minimum
x 100
Keterangan: Y = Skor dalam persen; X = Skor yang diperoleh untuk setiap contoh 2. Analisis uji beda menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa. 3. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga dan kesiapan menikah istri terhadap perkembangan anak. Analisis ini disajikan dalam tiga model diantaranya model pertama menguji pengaruh kesiapan menikah dengan perkembangan anak; model kedua digunakan untuk menguji karakteristik keluarga dan kesiapan menikah terhadap perkembangan anak; model ketiga menguji ketujuh dimensi kesiapan menikah dan karakteristik keluarga terhadap perkembangan anak. Penggunaan tiga model analisis ini bertujuan untuk melihat variabel mana yang memiliki pengaruh kuat dan konsisten terhadap perkembangan anak ketika diuji menggunakan tiga model.
21
Tabel 4 Model regresi linier berganda Variabel Model Equation dependen Perkembangan Y1 = α + β1X1+ε Anak Y2 = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8+ β9X9 + γ1D1 + γ2D2 + γ3D3 + γ4D4 + ε Y3 = α + β1X1a + β1X1b+ β1X1c + β1X1d + β1X1e + β1X1f + β1X1g + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8+ β9X9+ γ1D1 + γ2D2 + γ3D3+ γ4D4 +ε Keterangan: Y1 = Perkembangan Anak = Koefisien regresi β1-9 X1 = Kesiapan Menikah X1a = Kesiapan Intelektual X1b = Kesiapan Sosial X1c = Kesiapan Emosi X1d = Kesiapan Moral X1e = Kesiapan Individu X1f = Kesiapan Finansial X1g = Kesiapan Mental X2 = Usia Suami (tahun) X3 = Usia Istri (tahun) X4 = Lama Pendidikan Suami (tahun) X5 = Lama Pendidikan Istri (tahun) X6 = Lama pernikahan (tahun) X7 = Usia anak (bulan) X8 = Jarak Usia Suami dan Istri (tahun) X9 = Pendapatan per kapita (rupiah) γ1-4 = Koefisien dummy D1 = Jenis kelamin anak (0= l; 1= p) D2 = Keikutsertaan Sekolah Anak (0= belum/tidak sekolah; 1= sekolah) D3 = Usia menikah Istri (0=dibawah 21 tahun; 1= ≥21 tahun) D4 = Usia menikah Suami (0=dibawah 25 tahun; 1= ≥25 tahun) ε = Galat
DEFINISI OPERASIONAL Karakteristik keluarga adalah ciri khas yang dimiliki oleh keluarga responden seperti usia, lama menikah, jarak usia suami dan istri, pendapatan perkapita, pendidikan dsb. Karakteristik anak adalah ciri khas yang dimiliki oleh anak pada keluarga responden seperti usia anak, keikutsertaan sekolah anak maupun jenis kelamin. Pendapatan per kapita adalah jumlah uang per bulan yang diterima ayah atau ibu sebagai upah bekerja dan kemudian dibagi jumlah anggota keluarga. Lama menikah adalah waktu yang dijalani oleh pasangan suami istri semenjak mereka menikah hingga hari wawancara berlangsung.
22
Lama pendidikan adalah waktu yang ditempuh oleh seseorang dalam mengeyam pendidikan dimulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan tingkat pendidikan akhir yang pernah ditempuh. Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan seseorang baik terikat maupun tidak terikat oleh waktu yang disebabkan tuntutan pekerjaan yang menghasilkan upah atau tidak dalam setiap harian, mingguan dan bulanan. Usia menikah muda (istri) adalah usia menikah istri yang masih dibawah 21 tahun berdasarkan batas ideal menikah menurut program Pendewasaan Usia Perkawinan Usia menikah dewasa (istri) adalah usia menikah istri yang sudah diatas sama dengan 21 tahun berdasarkan batas ideal menikah menurut program Pendewasaan Usia Perkawinan Jarak usia suami dan istri adalah jarak usia antara suami dan istri yang diperoleh melalui perhitungan usia suami dikurangi usia istri Kehamilan di luar nikah adalah kehamilan yang terjadi sebelum sepasang suami istri menikah secara resmi menurut hukum negara. Kesiapan menikah adalah hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang individu yang akan menikah yang terdiri atas pemenuhan tugas perkembangannya sebagai remaja dan lainnya yang dapat membantunya dalam kehidupan berkeluarga nantinya. Kesiapan menikah diukur melalui kesiapan emosi, sosial, moral, intelektual, dan kesiapan lainnya (individu, finansial, dan mental Kesiapan emosi adalah potensi diri untuk merasakan, menggunakan, mengkomunikasikan, mengendalikan, mengidentifikasi apa yang dirasakan dalam dirinya. Kesiapan sosial adalah kemampuan untuk bergaul (sosialisasi) atau berhubungan dengan orangtua maupun orang lain di sekitarnya. Kesiapan moral adalah kemampuan seseorang dalam membedakan mana yang baik dan buruk serta mana yang benar dan salah yang menjadi nilai dalam diri manusia Kesiapan finansial adalah kesiapan seseorang menyiapkan diri terkait keuangan sebelum menikah seperti memiliki pekerjaan tetap, tabungan, perhiasan ataupun kendaraan dan mengerti cara mengelola uang dengan baik Kesiapan intelektual adalah kemampuan daya tangkap, daya pikir, dan daya ingat serta memecahkan masalah Kesiapan mental adalah kemampuan seseorang dalam menyiapkan diri untuk menghadapi situasi yang tidak dikehendaki pasca menikah atau siap siaga terhadap risiko (antisipasi) Kesiapan individu adalah kemampuan seseorang untuk meningkatkan potensi individu yang ada dalam dirinya guna kepentingan berkeluarga seperti memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak, pengelolaan keuangan maupun menjaga kesehatan Perkembangan anak adalah proses perubahan anak secara fisiologis dan psikologis yang terdiri dari perkembangan motorik, bahasa, kognitif, kemandirian, dan sosial anak sebagai hasil dari proses kematangan fungsi-fungsi psikis pada diri anak yang diukur dengan menggunakan kuesioner Bina Keluarga Balita (BKB)
23
KESIAPAN MENIKAH ISTRI DAN PERKEMBANGAN ANAK PADA KELUARGA DENGAN ISTRI YANG MENIKAH MUDA DAN DEWASA Marital Readiness Of Wife And Child Development Aged 3-5 Years Within Family Whose Wife Married At Young And Adult Nurlita Tsania, Euis Sunarti, Diah Krisnatuti ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa. Desain penelitian yang digunakan adalah retrospective study dan cross sectional pada 120 contoh dari keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa yang baru memiliki anak pertama berusia 3-5 tahun. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan nyata pada beberapa karakteristik keluarga seperti jarak usia antara suami dan istri dan kejadian kehamilan yang tidak diinginkan. Satu dari empat wanita yang menikah muda memiliki riwayat kehamilan di luar nikah. Tingkat kesiapan menikah pada istri yang menikah muda lebih rendah dibandingkan dengan kesiapan menikah istri yang menikah di usia dewasa. Perbedaan nyata tersebut terdapat pada dimensi kesiapan sosial, emosi dan moral. Perkembangan anak tidak berbeda nyata antara kedua kelompok, namun secara keseluruhan perkembangan anak pada keluarga dengan istri yang menikah muda terkategori sedang dan pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa terkategori baik. Berdasarkan penelitian ini diharapkan institusi pemberdayaan keluarga lebih gencar dalam mensosialisasikan aspek kesiapan menikah, usia ideal menikah, kesehatan reproduksi remaja, dan perkembangan anak kepada para remaja ditingkat sekolah menengah atas maupun perguruan tinggi. Kata kunci: kesiapan menikah, perkembangan anak, menikah muda ABSTRACT This study aimed to analyze the differences family characteristics, marital readiness of wife and development of children aged 3-5 years in a family with a wife who married young and adult. The design of study was retrospective and cross-sectional on a sample of 120 families with a wife who married young and adult who recently had her first child aged 3-5 years. The results showed there were significant differences in some family characteristics such as age gap between husband and wife and the incidence of unwanted pregnancies. 1 in 4 women who married young had a history of pregnancy out of wedlock. Marital readiness of wife who married young is lower than wife who married in adulthood. . There is a noticeable difference in the dimension of social, emotional and moral readiness of wife. Child development was not significantly different between two groups, but overall child development in family with mom married at young was in middle categorized and the other group (married at adult) was in
24
high categorized. According to this study is expected to family empowerment institution to be more frequent in socialization ascpect of marital readiness, ideal age of marriage, reproduction health, and child development for adolcesent in senior high school and university. Keywords: marital readiness, child development, early marriage
PENDAHULUAN Sebesar 1,62 persen anak perempuan berusia 10-17 tahun di Indonesia berstatus kawin dan pernah kawin. Sebagian kecil dari jumlah tersebut, 1,54 persen diantaranya berstatus kawin dan 0,08 persen berstatus cerai (cerai hidup dan cerai mati) (BPS 2011). Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, karena dalam usia yang sangat muda anak-anak tersebut sudah mengalami perceraian baik cerai hidup maupun cerai mati (KPP dan PA 2012). Selain itu, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menyebutkan angka fertilitas remaja pada kelompok usia 15-19 tahun mencapai 48 dari 1.000 kehamilan. Angka rata-rata itu jauh lebih tinggi dibandingkan temuan SDKI 2007 yaitu 35 dari 1.000 kehamilan. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang masih berusia muda justru meningkat. Keutuhan perkawinan harus selalu dijaga, pasangan calon suami istri harus mempunyai bekal yang cukup agar siap dan mampu menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan berumah tangga (Arjoso 1996), salah satunya adalah faktor usia. Keadaan perkawinan antara seseorang yang menikah pada usia yang belum matang dengan seseorang yang usia sudah matang, akan menghasilkan kondisi rumah tangga yang berbeda. Emosi, pikiran dan perasaan seseorang di bawah usia masih labil, sehingga tidak bisa mensikapi permasalahanpermasalahan yang muncul dalam rumah tangga dengan dewasa, melainkan dengan sikap yang lebih menonjolkan arogansi yaitu sifat yang mementingkan egonya masing-masing. Dampak dari menikah dini lainnya adalah akan sulit memperoleh keturunan yang berkualitas, abortus, perceraian, tidak ada kesiapan untuk berkeluarga, tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan (Maryanti dan Septikasari 2009; Munir 2003; KPP dan PA 2012). Memasuki jenjang pernikahan berarti calon pasangan harus siap dengan tugas dan peran baru yang tidak mudah utamanya dalam mengasuh anak. Kehadiran buah hati seringkali menimbulkan masalah tersendiri dalam sebuah keluarga baru apabila tidak ada penyesuaian yang baik antara suami dan istri, terlebih ketika pasangan tersebut belum memiliki kesiapan menikah yang baik. Pasangan harus memiliki cara yang disepakati bersama mengenai segala hal yang berhubungan dengan perencanaan yang berkaitan dengan anak dan cara pengasuhan (Fowers dan Olson 1989). Salah satu faktor penting dalam membuat keputusan untuk menikah dan penentu dalam kepuasan pernikahan adalah kesiapan menikah (Holman et al. 1997). Kesiapan menikah sangat penting untuk dipelajari karena hal ini merupakan dasar dalam membuat keputusan dengan siapa akan menikah, kapan harus menikah, kenapa harus menikah dan perilaku penundaan pernikahan (Larson dan Lamont 2005).
25
Penelitian yang mengkaji dampak pernikahan dini terhadap perkembangan anak sudah cukup banyak dilakukan di Negara-negara berkembang. Sekalipun demikian, penelitian ini mencoba untuk mengkaji perbedaan tingkat kesiapan menikah istri dan perkembangan anak pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa di wilayah perkotaan yang masih cukup jarang dikaji. Wilayah perkotaan yang identik dengan kemajuan di bidang pendidikan, ekonomi dan sosial nyatanya berdasarkan SDKI (2012) menunjukkan peningkatan jumlah wanita menikah berusia 15-19 tahun menjadi 32 persen dari 26 persen pada tahun 2007. Hal ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di pedesaan, dimana pada tahun 2012 angka pernikahan dini menurun menjadi 58 persen dibandingkan lima tahun sebelumnya yang mencapai angka 61 persen. Oleh karena itu, penelitian ini akan dilakukan di Kota Depok, Jawa Barat yang menunjukkan tingginya angka perceraian pada kelompok wanita usia umur 20-24 tahun yaitu sebesar 3,30. Diperkirakan, tingginya angka perceraian perempuan berumur muda tersebut karena ketidaksiapan mereka dalam menjalani perkawinan (BPS 2010). TUJUAN PENELITIAN Menganalisis perbedaan karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak usia 3-5 tahun pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran akan tingkat kesiapan menikah istri yang menikah muda dan dewasa di wilayah perkotaan. Penelitian ini dapat dijadikan landasan agar program sosialisasi pendewasaan usia perkawinan lebih detail meningkatkan aspek kesiapan menikah yang relatif masih rendah di beberapa wilayah. Selain itu, remaja juga bisa belajar untuk semakin mantap mempersiapkan diri sebelum memutuskan untuk menikah karena konsekuensi menikah tanpa persiapan akan berdampak juga pada perkembangan anak. Sebagai orang tua juga diharapkan semakin peka akan aspek-aspek yang perlu diajarkan kepada buah hati agar semakin siap ketika berencana akan menikah. METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Waktu Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi antara cross sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan hanya pada satu waktu dan retrospective study, yaitu penggalian informasi di masa lalu. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu di Kelurahan Ratu Jaya dan Kelurahan Bojong Pondok Terong, Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Pengumpulan data primer dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2014. Teknik Penarikan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak pertama usia 3-5 tahun yang dikelompokkan menjadi dua yaitu:
26
(1) keluarga dengan istri yang menikah usia muda (2) keluarga dengan istri yang menikah usia dewasa Responden Penelitian ini adalah ibu. Responden tinggal di kawasan kelurahan Bojong Pondok Terong dan Ratu Jaya, Kecamatan Cipayung. Pada kelurahan Bojong Pondok Terong dipilih 9 RW, sedangkan kelurahan Ratu Jaya di pilih 7 RW secara purposive. Pemilihan RW tersebut didasarkan atas data jumlah keluarga muda terbanyak yang diperoleh berdasarkan Data Kependudukan Kelurahan. Jumlah contoh dalam penelitian ini sebanyak 120 keluarga. Pengambilan contoh dilakukan secara stratified nonproportional random sampling dengan membedakan dua strata contoh yang menikah muda dan dewasa dengan masing-masing kelompok berjumlah 60 orang. Pembedaan ini didasarkan usia ideal bagi wanita menikah program Pendewasaan Usia Perkawinan BKKBN. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kependudukan dan data monografi lokasi penelitian yang diperoleh dari Kantor Kelurahan dan Kecamatan setempat. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner yang meliputi karakteristik sosial-demografi keluarga (usia menikah, usia dan tingkat pendidikan, lama menikah, lama pacaran dan kehamilan di luar nikah) dan karakteristik ekonomi keluarga (pekerjaan dan pendapatan); kesiapan menikah istri; dan perkembangan anak (motorik kasar, motorik halus, bahasa pasif, bahasa aktif, kognitif, kemandirian dan kemampuan sosial). Kesiapan menikah terdiri dari tujuh aspek yaitu kesiapan intelektual, moral, emosi, sosial, individu, finansial, dan mental. Instrumen ini merupakan hasil modifikasi Sunarti et al. (2012) yang dikembangkan dari indikator Personal Value Scale (Scott 1965) untuk kesiapan intelektual; Goleman (2007) untuk kesiapan emosi dan sosial; dan Rapaport dalam Duvall (1971) untuk indikator kesiapan individu, finansial dan mental. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kesiapan menikah telah reliable dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,671. Perkembangan anak diukur dengan menggunakan instrumen Bina Keluarga Balita (BKB) dari BKKBN dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,813. Pengolahan dan Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan karakteristik keluarga (usia suami istri, usia menikah suami dan istri, jarak usia antara suami dan istri, lama menikah, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan perkapita), karakteristik anak (jenis kelamin dan usia anak), kesiapan menikah istri dan perkembangan anak. 2. Uji beda digunakan untuk melihat perbedaan karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa. Uji beda dilakukan menggunakan Independent Sample T-test.
27
HASIL PENELITIAN Karakteristik Keluarga Di tinjau dari segi pendidikan, hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara lama pendidikan suami dan istri pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa. Rata-rata lama pendidikan suami pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa mencapai 11 tahun sedangkan lama pendidikan suami pada keluarga dengan istri yang menikah muda berada dibawahnya. Lama pendidikan istri pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa lebih lama dibandingkan yang menikah muda. Tabel 5 Sebaran rata-rata dan uji beda berdasarkan karakteristik keluarga KARAKTERISTIK KELUARGA Pendapatan Perkapita (Rp/bln) Jarak Usia Suami Dan Istri (tahun) Lama pendidikan suami (tahun) Lama pendidikan istri (tahun) Usia suami (tahun) Usia istri (tahun)
USIA MENIKAH Muda Dewasa Rata-rata Rata-rata Rp. 782.667 Rp. 796.500 5,6 3,8 10,6 10,9 9,8 10,5 30,1 33,6 24,5 29,9
P-VALUE
0,879 0,020* 0,375 0,153 0,001** 0,000**
Usia suami dan usia istri berbeda secara nyata pada kedua kelompok penelitian. Rata-rata usia suami pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa lebih tua (34 tahun) dibandingkan rata-rata usia suami pada keluarga dengan istri yang menikah muda (30 tahun). Hal yang sama juga terlihat pada karakteristik istri yang menunjukkan rata-rata usia istri lebih tua pada keluarga dengan istri yang menikah di usia dewasa. Selain itu, jarak usia suami istri antara kedua kelompok penelitian ini pun berbeda secara nyata (p=0,020). Rata-rata jarak usia antara suami dan istri pada keluarga dengan istri yang menikah muda ternyata jauh lebih besar hampir mencapai enam tahun dibandingkan pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa yaitu hanya sekitar empat tahun. Rata-rata pendapatan perkapita antara keluarga dengan istri yang menikah muda lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata pendapatan perkapita keluarga dengan istri yang menikah dewasa yaitu masih dibawah Rp. 800.000, sekalipun tidak berbeda nyata (Tabel 5). Pekerjaan Suami dan istri Pekerjaan suami pada kedua kelompok penelitian cukup variatif. Pada keluarga dengan istri yang menikah muda, jenis pekerjaan suami terbanyak berprofesi sebagai wiraswasta, buruh, dan karyawan. Sedangkan pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa, jenis pekerjaan suami terbanyak berprofesi sebagai karyawan, wiraswasta, dan buruh. Sebagian besar istri baik pada keluarga dengan istri yang menikah muda ataupun dewasa berprofesi sebagai ibu rumah
28
tangga. Sisanya ada yang berprofesi sebagai guru, wiraswasta, karyawan dan pembantu rumah tangga. Kehamilan di Luar Nikah Tabel 6 menunjukkan perbedaan nyata (p=0,007) terhadap jumlah kejadian kehamilan di luar nikah pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa alasan istri menikah muda dapat disebabkan karena sudah terjadi kehamilan sebelum menikah. Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan kehamilan di luar nikah Kehamilan di luar nikah Tidak Iya Median ± std P-value
Usia Menikah Istri Muda (%) Dewasa (%) 78,3 95,0 21,7 5,0 0,22 ± 0,41 0,05 ± 0,22 0,007**
Total % 86,7 13,3 0,13 ± 0,34
Median kejadian kehamilan di luar nikah pada keluarga dengan istri yang menikah muda sebesar 0,22. Hal ini berarti ada satu dari empat istri yang menikah muda telah hamil terlebih dahulu sebelum menikah. Pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa, kejadian kehamilan di luar nikah lebih rendah (0,05) dibandingkan pada keluarga dengan istri yang menikah muda. Hal ini berarti ada satu dari dua puluh istri yang menikah di usia dewasa memiliki riwayat kehamilan di luar nikah. Karakteristik Anak Usia Anak Tabel 7 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara usia anak pada kedua kelompok penelitian. Rata-rata usia anak pada keluarga dengan istri yang menikah muda hampir berusia dua tahun sedangkan pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa adalah lebih dari dua tahun. Secara keseluruhan, rata-rata usia anak adalah 47,88 bulan. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan usia anak (bulan) Usia Anak Usia 3-4 tahun Usia 4-5 tahun Rata-rata ± std Min - maks P-value
Usia menikah istri Muda (%) Dewasa (%) 56,7 50,0 43,3 50,0 47,28 ± 8,42 48,48 ± 8,18 36-67 bulan 0,430
Total % 53,3 46,7 47,88 ± 8,29
29
Jenis Kelamin Anak Secara keseluruhan, jumlah anak yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan yang berjenis kelamin laki-laki. Pada keluarga dengan istri yang menikah muda muda jumlah anak yang berjenis kelamin perempuan juga lebih banyak dibandingkan yang berjenis kelamin laki-laki, sedangkan pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa, jumlah anak sama untuk jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin anak Jenis Kelamin Anak Laki-laki Perempuan
Usia Menikah Istri Muda (%) Dewasa (%) 48,3 50,0 51,7 50,0
Total % 49,2 50,8
Kesiapan Menikah Kesiapan menikah terdiri dari tujuh aspek kesiapan yang terdiri dari kesiapan intelektual, sosial, emosi, moral, individu, finansial dan mental. Kesiapan menikah menjadi indikator kesuksesan sebuah keluarga. Tabel 9 menunjukkan rata-rata pencapaian kesiapan menikah antara keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p=0,010) rata-rata pencapaian kesiapan menikah antara kedua kelompok penelitian. Rata-rata pencapaian kesiapan menikah pada keluarga dengan istri yang menikah muda lebih rendah (63 persen) dibandingkan dengan pencapaian kesiapan menikah pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa (67 persen). Selain itu, hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa tingkat kesiapan menikah istri di kedua kelompok masih relatif rendah karena pencapaiannya masih dibawah 70 persen. Tabel 9 Sebaran rata-rata pencapaian kesiapan menikah istri Kesiapan menikah Kesiapan intelektual Kesiapan sosial Kesiapan emosi Kesiapan moral Kesiapan individu Kesiapan finansial Kesiapan mental Kesiapan menikah istri
Usia menikah istri Muda Dewasa 48,6 49,9 73,3 82,6 62,8 68,3 71,5 78,8 65,8 68,3 45,6 52,9 71,1 68,9 62,7 67,1
P-value 0,742 0,002** 0,032* 0,008** 0,393 0,061 0,691 0,010*
Aspek kesiapan menikah yang memperlihatkan perbedaan nyata antara kedua kelompok penelitian diantaranya aspek kesiapan sosial, emosi dan moral. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapan sosial, emosi dan moral istri yang menikah pada usia dewasa lebih baik dibandingkan dengan istri yang menikah muda
30
sedangkan untuk aspek kesiapan intelektual, individu, finansial dan mental tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara kedua kelompok penelitian. Kesiapan Intelektual Terdapat enam item pernyataan untuk mengukur kesiapan intelektual. Secara umum, istri yang menikah muda dan dewasa pada penelitian ini memiliki kesiapan intelektual yang tergolong rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa memiliki nilai pencapaian yang rendah untuk mengikuti perkumpulan budaya, membaca buku ilmu pengetahuan, mengikuti peristiwa yang menggemparkan dunia dan perkembangan dunia politik. Keseluruhan pencapaian untuk item pernyataan tersebut masih dibawah 50 persen. Kesiapan intelektual seperti memiliki rasa ingin tahu dan mencari berita terbaru pada kedua kelompok penelitian ini, nilai pencapaiannya sudah lebih dari 50 persen. Rasa ingin tahu justru lebih tinggi pada contoh yang menikah muda yaitu sebesar 73 persen sedangkan pada contoh yang menikah dewasa sebesar 70 persen (Tabel 10) walaupun tidak berbeda secara nyata. Tabel 10 Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan intelektual istri Kesiapan Intelektual Memiliki rasa keingintahuan yang tinggi untuk mendalami suatu hal Mengikuti perkumpulan budaya sebagai upaya untuk melestarikan budaya Mencari berita untuk mendapatkan berita terbaru Membaca buku mengenai ilmu pengetahuan Akan mengikuti peristiwa yang menggemparkan dunia, saya akan mengikuti kejadian tersebut hingga selesai Menyukai perkembangan dunia politik
Muda 48,6 73,3
Dewasa 50 70,0
P-value 0,742 0,688
20,0
11,7
0,215
86,7 40,0 45,0
88,3 50,0 45,0
0,785 0,275 1,000
26,7
35,0
0,327
Kesiapan Sosial Kesiapan sosial diukur dengan tujuh item pernyataan. Dari ketujuh item pernyataan kesiapan sosial, keseluruhan responden dari kedua kelompok memiliki pencapaian yang lebih dari 50 persen. Hanya satu item dimana terdapat perbedaan yang cukup nyata diantara kedua kelompok penelitian ini yaitu item “sudah cukup umur untuk menikah”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang menikah muda menyatakan mereka sudah cukup umur ketika menikah sebesar 50 persen dan sisanya sebesar 50 persen lagi menyatakan bahwa sesungguhnya ketika menikah mereka belum cukup umur. Hal ini berarti setengah dari keseluruhan responden yang menikah muda menyadari bahwa sesungguhnya mereka belum cukup siap dalam hal usia ketika menikah.
31
Tabel 11 Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan sosial istri Kesiapan sosial Sudah cukup umur untuk menikah Kurang cepat dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut Lebih suka menarik diri dari lingkungan baru Menyapa duluan saat ada tetangga baru Mengesampingkan kepentingan untuk mencapai kepentingan bersama Melarang teman untuk bergaul dengan orang lain Kesan pertama terhadap orang lain tercermin dari penampilan
Muda 73,3 50,0 35,0
Dewasa 82,6 95,0 26,7
P-value 0,002** 0,000** 0,327
6,7 86,7 61,7
20,0 86,7 71,7
0,032* 1,000 0,249
10,0 33,3
6,7 21,7
0,513 0,155
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa istri yang menikah dewasa lebih suka menarik diri dari lingkungan baru dibandingkan istri yang menikah muda. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan perbedaan yang nyata (p=0,002) terhadap kesiapan sosial antara istri yang menikah muda dan dewasa. Hal ini menyatakan bahwa kesiapan sosial pada istri yang menikah dewasa memiliki kesiapan sosial yang lebih baik dibandingkan dengan istri yang menikah di usia muda (Tabel 11). Kesiapan Emosi Terdapat sepuluh item pernyataan yang digunakan untuk mengukur kesiapan emosi. Dari sepuluh item pernyataan tersebut, delapan item pernyataan memiliki pencapaian yang lebih dari 60 persen pada kedua kelompok penelitian. Tabel 12 Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan emosi istri Kesiapan emosi Dikhianati oleh pasangan, tidak merasa kecewa Tidak menggerutu saat marah Jika pasangan diganggu oleh orang lain, maka tidak langsung menghampiri orang yang menganggu pasangan Tidak merokok jika stress Mendapat dukungan dari keluarga disegala aktivitas Dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu Jika ada teman yang mengganggu pekerjaan, maka tidak akan menyuruhnya pergi Tidak melempar barang dan berteriak jika merasa kesal dengan beban pekerjaan Saat berbeda persepsi dengan teman, maka segera menyamakan persepsi kami Ikut sedih ketika mendengarkan cerita sedih teman
Muda 62,8 3,3 20,0 60,0
Dewasa 68,3 3,3 21,7 83,3
P-value 0,032* 1,000 0,824 0,004**
95,0 86,7 68,3 83,3
95,0 90,0 75,0 90,0
1,000 0,573 0,422 0,287
75,0
83,3
0,265
56,7
56,7
1,000
80,0
85,0
0,475
32
Dari sepuluh item pernyataan tersebut, delapan item pernyataan memiliki pencapaian yang lebih dari 60 persen pada kedua kelompok penelitian. Item lainnya yaitu ketika dikhianati pasangan tidak akan merasa kecewa dan tidak menggerutu ketika marah memiliki pencapaian yang tidak lebih dari 30 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden akan kecewa ketika dikhianati dan menggeruru ketika marah. Hal lainnya yang berbeda nyata antara kedua kelompok penelitian adalah pada istri yang menikah muda ketika menghadapi kasus dimana pasangan diganggu oleh orang lain, mereka lebih banyak yang akan langsung menghampiri orang yang telah mengganggu pasangan (40 persen) dibandingkan pada istri yang menikah dewasa (hanya sebesar 16,7 persen). Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan perbedaan yang nyata (p=0,032) terhadap kesiapan emosi antara istri yang menikah muda dan dewasa. Hal ini menyatakan bahwa kesiapan emosi pada istri yang menikah dewasa memiliki kesiapan emosi yang lebih baik dibandingkan dengan istri yang menikah di usia muda (Tabel 12). Kesiapan Moral Tabel 13 menunjukkan secara umum kesiapan moral istri yang menikah muda lebih rendah dibandingkan istri yang menikah dewasa (p=0,008). Lebih dari 50 persen responden yang menikah muda maupun yang menikah dewasa selalu menolong orang lain meskipun orang tersebut tidak menyukai mereka, tidak akan mencela orang lain, selalu memikirkan perasaaan orang lain, selalu berkata jujur kepada semua orang, dapat mengontrol perasaannya, tidak pernah mengambil barang orang lain, tidak pernah melakukan bullying kepada junior dan tidak pula suka membeberkan rahasia orang lain. Selain itu, terdapat lebih dari 50 persen contoh dikedua kelompok penelitian yang pernah menyontek. Tabel 13 Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan moral istri Kesiapan moral Selalu menolong orang lain meskipun orang tersebut tidak menyukai Saat ada orang yang dicela, tidak akan ikut mencelanya Memikirkan perasaan orang lain Tidak pernah menyontek saat ujian Selalu berkata jujur kepada semua orang Dapat menyembunyikan perasaan saat senang maupun sedih Saat teman terlibat dalam suatu masalah yang di ketahui tidak akan menceritakan masalah tersebut sejauh pengetahuan akan masalah tersebut dan tetap akan menceritakan apa yang di ketahui Tidak pernah mengambil barang orang Tidak suka menggunakan barang orang tanpa izin Tidak pernah melakukan bulliying terhadap junior Tidakpernah membeberkan rahasia teman
Muda 71,5 76,7
Dewasa 78,8 88,3
P-value 0,008** 0,094
70,0 90,00 63,3 56,7 46,7
83,3 90,0 60,0 71,7 65,0
0,086 1,000 0,710 0,088 0,044*
65,0
68,3
0,701
98,3 91,7 86,7 68,3
95,0 93,3 93,3 78,3
0,314 0,732 0,227 0,219
33
Kesiapan Individu Kesiapan individu diantaranya dilihat dari aspek telah mengenal pasangan dengan baik sebelum menikah hingga telah memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak. Hasil penelitian yang ditunjukkan pada tabel 14 menunjukkan bahwa tak lebih dari 27 persen pada istri yang menikah muda dan 35 persen pada istri yang menikah dewasa yang telah hidup mandiri sebelum menikah. Sebagian besar dari mereka masih hidup bersama-sama dengan orang tua sebelum menikah. Selain itu, tak lebih dari 40 persen dari istri yang menikah muda dan dewasa yang menyatakan bahwa mereka telah memeriksakan kesehatan reproduksinya sebelum menikah. Hal ini menunjukkan jumlah yang cukup rendah, mengingat pemeriksaan kesehatan pranikah adalah penting untuk dilakukan. Tabel 14 Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan individu istri Kesiapan individu Sebagai satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga besar Pasangan yang sudah dipilih merupakan pasangan yang seperti diharapkan Sudah memiliki waktu yang cukup untuk mengenal pasangan Sudah merasa mengenal pasangan dengan baik sebelum menikah Memiliki pengetahuan tentang berkeluarga Memiliki pengetahuan mengenai cara menstimulasi anak dengan benar Memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak Anda akan mengurangi kesenangan pribadi setelah menikah Membiasakan diri untuk melakukan pekerjaan rumah tangga Memeriksakan kesehatan reproduksi sebelum menikah Sebelum menikah, pasangan telah membicarakan mengenai jumlah anak yang diinginkan Sebelum menikah telah hidup mandiri Memiliki keyakinan akan mendapatkan pekerjaan yang layak karena keterampilan yang dimiliki
Muda 66,8 15,0
Dewasa 70,3 15,0
P-value 0,393 1,000
86,7
86,7
1,000
91,7
93,3
0,732
83,3
88,3
0,436
70,0 61,7
76,7 70,0
0,413 0,340
66,7 78,3
70,0 86,7
0,698 0,233
93,3
98,3
0,253
36,7
38,3
0,852
61,7
51,67
0,273
26,7 83,3
35,0 78,3
0,327 0,491
Kesiapan Mental Tabel 15 menunjukkan bahwa kesiapan mental pada istri yang menikah muda mencapai 71 persen sedangkan pada istri yang menikah dewasa sekitar 69 persen. Lebih dari 50 persen istri yang menikah muda maupun yang menikah di usia dewasa telah menyiapkan diri untuk hidup dalam keterbatasan setelah menikah, telah memikirkan bagaimana cara membagi penghasilan yang didapatkannya, telah memikirkan jika kehidupan keluarganya tidak seperti yang
34
diharapkan, juga telah menyiapkan diri untuk kemungkinan hubungan yang kurang baik dengan mertua maupun ketika pasangan melakukan perilaku yang kurang sesuai selama pernikahan dan memiliki anak yang tidak sesuai harapan. Hasil uji beda menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata antara kedua kelompok penelitian pada aspek kesiapan mental. Tabel 15 Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan mental istri Kesiapan Mental Telah menyiapkan diri untuk hidup dalam keterbatasan setelah menikah Telah memikirkan bagaimana cara membagi penghasilan yang didapatkannya untuk dirinya, keluarganya, juga untuk keluarga besar Telah memikirkan jika kehidupan keluarganya tidak seperti yang diharapkan Telah menyiapkan diri untuk kemungkinan hubungan yang kurang baik dengan mertua (misalnya mendapatkan sindiran) Telah menyiapkan diri jika pasangan melakukan perilaku yang tidak sesuai selama pernikahan Telah menyiapkan diri jika memiliki anak tidak seperti yang diharapkan
Muda 71,1 76,7
Dewasa 68,9 68,3
P-value 0,691 0,311
80,0
83,3
0,640
81,7
70,0
0,138
65,0
61,7
0,708
71,7
68,3
0,693
51,7
61,7
0,273
Kesiapan Finansial Kesiapan finansial diukur dengan delapan item pernyataan. Lebih dari 50 persen contoh pada kedua kelompok penelitian telah memiliki pekerjaan tetap, memiliki investasi emas, memiliki pengetahuan cara mengelola uang dan memiliki jejaring yang banyak sebelum menikah. Tabel 16 Sebaran rata-rata capaian (%) kesiapan finansial istri Muda Kesiapan finansial
Dewasa
P-value
45,2
52,9
0,061
Sebelum menikah memiliki pekerjaan tetap Sebelum menikah sudah memiliki rumah sendiri Sebelum menikah memiliki tabungan
58,3 10,0 38,3
75,0 5,0 48,3
0,053 0,302 0,273
Sebelum menikah memiliki investasi emas atau perhiasan Sebelum menikah sudah memiliki kendaraan sendiri Memiliki pengetahuan cara mengelola keuangan
56,7
65,0
0,370
21,7 55,0
26,7 68,3
0,526 0,135
Memiliki jejaring yang banyak Memiliki pendapatan sampingan
85,0 40,0
90,0 45,0
0,412 0,583
Namun, pada aspek memiliki tabungan, rumah sendiri, memiliki kendaraan sendiri dan memiliki pendapatan sampingan pada kedua kelompok penelitian menunjukkan jumlah pencapaian yang masih dibawah 50 persen.
35
Artinya masih sangat terbatas, istri yang telah memiliki rumah, kendaraan dan pendapatan sampingan sebelum menikah (Tabel 16). Tabel 16 menunjukkan bahwa secara umum kesiapan finansial masih relatif rendah pada kedua kelompok penelitian yaitu masih kurang dari 60 persen. Hal ini menunjukkan kesiapan finansial masih menjadi masalah baik pada istri yang menikah muda maupun dewasa. Kesiapan Menikah Secara keseluruhan, pada kedua kelompok penelitian, kesiapan menikah istri mayoritas terkategori sedang (di atas 60 persen). Tak sedikit juga dari contoh yang kesiapan menikah mereka terkategori rendah. Hanya sebagian kecil saja yang sudah terkategori baik atau tinggi. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan kategori kesiapan menikah Kesiapan Menikah Rendah (0-60%) Sedang (60-80%) Tinggi (80-100%) Rata-rata ± std Min - maks P-value
Usia Menikah Istri Muda (%) Dewasa (%) 38,3 21,7 60,0 71,7 1,7 6,7 62,68 ± 9,46 67,12 ± 9,18 39,98-84,75 0,010**
Total % 30,0 65,8 4,2 64,90 ± 9,55
Perkembangan Anak Perkembangan anak dalam penelitian ini dilihat dalam beberapa dimensi perkembangan yaitu motorik (kasar dan halus), bahasa (aktif dan pasif), kecerdasan, kemandirian dan sosial. Tabel 18 menunjukkan bahwa anak dari kedua kelompok penelitian telah mencapai lebih dari 50 persen tugas perkembangan anak. Pencapaian tertinggi terdapat pada perkembangan kemampuan sosial anak. Rata-rata pencapaian kemampuan sosial anak pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan keluarga dengan istri yang menikah di usia dewasa sudah lebih dari 90 persen. Tabel 18 Sebaran rata-rata perkembangan anak menurut dimensi perkembangan Perkembangan Anak Motorik Komunikasi Kecerdasan Kemandirian Sosial Total
Usia Menikah Istri Muda Dewasa Rata-rata ± SD Rata-rata ± SD 73,5 ± 21,0 76,9 ± 19,2 82,3 ± 19,3 86,5 ± 14,7 75,1 ± 24,6 81,8 ± 16,9 57,1 ± 34,2 59,6 ± 33,5 91,1 ± 20,2 94,4 ± 13,9 76,3 ± 14,3 80,8 ± 12,03
P-value
0,350 0,187 0,082 0,687 0,296 0,071
Selain itu, rata-rata pencapaian terendah ada pada dimensi kemandirian, tak lebih dari 60 persen anak pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan
36
dewasa yang mampu memenuhi dimensi kemandirian. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak pada keluarga dengan istri yang menikah muda lebih banyak yang memiliki perkembangan dengan kategori sedang (sekitar 52 persen). Anak pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa sebagian besar (55 persen) memiliki perkembangan dengan kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang menikah pada usia dewasa mayoritas memiliki anak dengan perkembangan baik (Tabel 19). Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan perkembangan anak Perkembangan Anak Rendah (0-60%) Sedang (60-80%) Tinggi (80-100%) Min - maks
Usia Menikah Istri Muda (%) Dewasa (%) 10,0 8,3 51,7 36,7 38,3 55,0 28,57-100
Total % 9,2 44,2 46,7
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa kesiapan menikah istri yang menikah muda lebih rendah dibandingkan istri yang menikah pada usia dewasa. Istri yang menikah muda adalah istri yang menikah dibawah usia 21 tahun. Batasan usia ini didasarkan atas rekomendasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional yang menetapkan batas ideal menikah bagi perempuan adalah diatas 20 tahun (BKKBN 2008). Hasil penelitian ini semakin menguatkan bahwa wanita berusia dibawah 21 tahun hendaknya menunda pernikahan hingga usia yang lebih dewasa dikarenakan kesiapan menikah yang relatif masih rendah. Seorang individu yang masih muda pada umumnya masih belum memiliki kriteria kesiapan untuk menikah. Beberapa penelitian menunjukkan pernikahan pada saat remaja diketahui lebih rentan terhadap perpisahan dan perceraian dibandingkan mereka yang lebih dewasa karena ketidaksiapan mereka untuk menikah. Selain itu, pernikahan dini juga akan membatasi otonomi seseorang, seringkali menghambat pencapaian pendidikan, membatasi kesempatan pekerjaan maupun keamanan secara finansial, seringkali belum memiliki kedewasaan yang dibutuhkan untuk membesarkan anak, mengurangi kemampuan ibu dalam mengasuh anak dengan baik, kemungkinan untuk mengulangi kehamilan, jarang melakukan konsultasi kesehatan selama hamil, tidak memiliki rumah sendiri (Duvall 1971; National Human Services Assembly 2013; Guilbert 2013; Fears 2014; Isaranurug et al. 2006; Mulyana dan Ridwan 2009; Fadlyana dan Larasaty 2009). Perbedaan nyata antara kesiapan menikah istri yang menikah muda dengan dewasa ternyata tidak konsisten dengan hasil penelitian yang menunjukkan tidak adanya perbedaan nyata atas perkembangan anak pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa. Perkembangan anak pada kedua kelompok penelitian relatif sama dan tergolong baik. Hal ini bertentangan dengan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa perkembangan anak dari ibu yang menikah muda akan lebih rendah dibandingkan ibu yang menikah pada usia yang lebih dewasa. Anakanak yang terlahir dari ibu yang masih remaja cenderung untuk memiliki berat badan lahir rendah, prematur, mengalami kematian di usia balita, memiliki
37
indikator kesehatan dan sosial yang rendah, skor kemampuan bahasa yang lebih rendah dan masalah dalam perilaku (Fears 2014; Isaranurug et al. 2006; Dilworth 2006; Logsdon and Koniak-Griffin 2004; Spencer 2001). Rendahnya kemampuan dan perkembangan anak pada keluarga dengan istri yang menikah muda dapat disebabkan karena remaja yang sudah menjadi ibu belum siap dan merasa tertekan dengan banyaknya tanggungjawab yang harus mereka jalankan sehingga mengabaikan fungsi pengasuhan. Beberapa penelitian menunjukkan banyaknya tanggung jawab dan kehamilan pada usia muda menjadi faktor risiko terjadinya depresi pada remaja yang menikah muda (Ahmed et al. 2013). Remaja yang sudah mengalami kehamilan atau bersiap menjadi ibu muda diketahui tiga kali lebih berisiko memiliki gaya insecure attachment seperti kemarahan dan ketakutan dibandingkan mereka yang lebih dewasa ketika hamil. Insecure attachment adalah faktor risiko terhadap depresi baik ketika hamil maupun sesudah anak lahir (Fugueiredo et al. 2006). Pernikahan di usia muda akan mengurangi kemampuan ibu dalam mengasuh anak dengan baik (National Human Services Assembly 2013; Guilbert 2013). Tidak adanya perbedaan tingkat perkembangan anak pada keluarga dengan ibu yang menikah muda dan dewasa dapat disebabkan karena variabel usia anak, tingkat pendidikan ibu dan pendapatan perkapita pada kedua kelompok penelitian sama-sama baik (tidak berbeda nyata). Perkembangan anak disebabkan oleh banyak faktor, tidak semata dipengaruhi oleh usia ibu saat menikah namun dipengaruhi oleh kondisi sosiodemografi, pengasuhan, stimulasi kedua orang tua, pendidikan ibu, dukungan keluarga besar dsb (Dewanggi et al. 2012; Hastuti et al. 2011; Hastuti 2009; Hastuti et al. 2010; Latifah et al. 2009). Dalam penelitian ini, sekalipun usia menikah ibu muda namun karena pendidikan ibu relatif baik, usia anak juga terus bertambah, suami dan keluarga besar memberikan dukungan kepada ibu dalam pengasuhan maka perkembangan anak dapat menjadi baik pula. Gueorgueiva et al. 2001 menunjukkan hal yang sejalan bahwa masalah yang timbul pada anak-anak dari ibu yang remaja bukan hanya disebabkan oleh usia ibu yang masih muda namun dipengaruhi oleh beberapa faktor sosiodemografi lainnya. Tidak adanya perbedaan yang cukup signifikan pada perkembangan anak diketahui karena ibu (baik yang menikah muda maupun dewasa) sama-sama memiliki pengetahuan dan pengalaman membesarkan dan mengasuh anak yang relatif sama, perbedaan yang terjadi lebih karena dukungan dari lingkungan sekitar anak yang berbeda-beda (Lemonda et al.; Sanders dan Morawska 2008; Dilworth 2006). Dukungan dari keluarga memiliki pengaruh positif yang kuat pada ibu yang menikah pada usia muda. Nenek bisa menjadi pengganti peran ibu ketika ibu masih berusia muda dan belum berpengalaman dalam mengasuh anak (Keys 2008). Penelitian ini menunjukkan terdapat satu dari empat istri yang menikah di usia muda memiliki riwayat kehamilan di luar nikah. Penelitian ini semakin menguatkan bahwa salah satu penyebab tingginya pernikahan dini di perkotaan diakibatkan kehamilan diluar nikah. Kehamilan di luar nikah merupakan akibat dari perilaku seksual berisiko pranikah. Dorongan seksual yang tidak terkontrol dengan baik, khususnya pada masa remaja, dapat mendorong terjadinya perilaku seks bebas yang dapat menyebabkan kehamilan (Fatimah dan Cahyono 2013). Remaja hamil yang menikah dalam kondisi sudah hamil terlebih dahulu belum memiliki persiapan yang baik untuk menjalani perkawinan (Ngantung et al. 2012).
38
Pada remaja yang hamil di luar nikah mengalami sebuah kecemasan terhadap nasib masa depan janin yang ada di dalam kandungannya (Uyun dan Saputra 2011). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual pranikah diantaranya gaya hidup, tempat tinggal dan ketidakharmonisan keluarga (Sarwono 2003; Banun dan Setyorogo 2013). Hasil penelitian menunjukkan jarak usia antara suami dan istri pada keluarga dengan istri yang menikah muda lebih besar dibandingkan pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh UNICEF pada beberapa Negara di dunia yaitu perbedaan jarak usia antara suami dan istri memberikan implikasi kepada dinamika kekuatan dalam rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan pola umum pada wanita usia 20-24 yang memiliki suami lebih tua 5 tahun darinya akan cenderung untuk menikah sebelum usia 18 tahun (UNICEF 2005). Kesiapan menikah yang relatif masih rendah pada kedua kelompok penelitian, terlebih pada istri yang menikah muda menunjukkan semakin diperlukannya peningkatan upaya pendewasaan usia perkawinan oleh berbagai institusi yang bergerak di bidang keluarga. Upaya pendewasaan usia perkawinan salah satunya bisa dilakukan dengan memberikan kemudahan akses pendidikan kepada remaja putra dan putri baik di pedesaan dan perkotaan. Pernikahan muda berhubungan dengan rendahnya pencapaian pendidikan. (Ahmed et al. 2013; Fears 2014; Isaranurug et al. 2006). Pendidikan lebih tinggi yang diterima perempuan akan menurunkan kecenderungan keinginan menikah pada usia muda. Meningkatkan akses terhadap pendidikan baik laki-laki dan juga perempuan akan mengurangi gender gaps pada pendidikan dan hal ini merupakan strategi penting untuk mengakhiri praktek pernikahan dini (UNICEF 2005). Selain itu, upaya sosialisasi berupa seminar, konseling maupun diskusi teman sebaya terkait kesiapan menikah sangat diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan remaja akan pentingnya kesiapan menikah terhadap stabilitas perkawinan dan juga tumbuh kembang anak. SIMPULAN Secara umum, terdapat perbedaan nyata antara karakteristik keluarga dan tingkat kesiapan menikah istri pada keluarga dengan istri yang menikah muda dan dewasa. Karakteristik keluarga yang berbeda nyata diantaranya jarak usia suami dan istri, usia suami, usia istri dan riwayat kehamilan di luar nikah. Jarak usia suami istri lebih besar pada keluarga dengan istri yang menikah muda dimana suami memiliki usia 5,6 tahun lebih tua dibandingkan istri sedangkan pada keluarga dengan istri yang menikah dewasa hanya 3,8 tahun. Disamping itu, istri yang menikah muda memiliki riwayat kehamilan diluar nikah yang lebih besar dibandingkan istri yang menikah dewasa. Istri yang menikah pada usia dewasa memiliki kesiapan menikah yang lebih baik dibandingkan istri yang menikah muda. Kesiapan sosial, emosi dan moral istri yang menikah muda lebih rendah dibandingkan istri yang menikah dewasa. Perbedaan nyata terhadap kesiapan menikah istri pada kedua kelompok penelitian, ternyata tidak sama halnya dengan perkembangan anak. Perkembangan anak tidak berbeda nyata diantara kedua kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan anak tidak semata dipengaruhi oleh usia menikah ibu tapi juga oleh faktor sosiodemografi lainnya.
39
KESIAPAN MENIKAH ISTRI, KARAKTERISTIK KELUARGA, DAN PERKEMBANGAN ANAK USIA 3-5 TAHUN Marital Readiness Of Wife, Family Characteristics, And Child Development Aged 3-5 Years Nurlita Tsania, Euis Sunarti, Diah Krisnatuti ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh antara kesiapan menikah dan karakteristik keluarga terhadap perkembangan anak usia 3-5 tahun. Penelitian ini menggunakan desain penelitian retrospective study dan cross sectional pada 120 contoh yang dipilih secara stratified nonproportional random sampling di dua kelurahan di Kota Depok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum pencapaian kesiapan menikah masih dibawah 65 persen. Dua dimensi kesiapan menikah yaitu kesiapan intelektual dan finansial istri tercatat masih berada dibawah 50 persen. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa kesiapan menikah istri yang rendah akan menurunkan perkembangan anak. Di lain sisi, lama pendidikan istri dapat meningkatkan kesiapan menikah istri dan perkembangan anak. Uji regresi menunjukkan pengaruh positif jenis kelamin, usia anak dan kesiapan menikah (kesiapan intelektual dan individu) terhadap perkembangan anak. Sebaliknya, semakin lama menikah kedua orangtua, perkembangan anak justru semakin menurun. Penelitian ini memberikan implikasi kepada institusi pemberdayaan keluarga baik itu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan pemerhati keluarga untuk mensosialisasikan aspek kesiapan menikah dan usia ideal menikah kepada para remaja. Sosialisasi kesiapan menikah dan tumbuh kembang anak diharapkan semakin ditingkatkan pada keluarga balita dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah. Hal ini mengingat rendahnya tingkat pendidikan dan pendapatan berhubungan erat dengan rendahnya kualitas anak. Sejalan dengan hal tersebut maka pemerintah diharapkan semakin menggalakkan program pengentasan kemiskinan dan juga program wajib belajar. Kata kunci: kesiapan intelektual, kesiapan finansial, lama menikah ABSTRACT This study aimed to analyze the influence of marital readiness of wife, family characteristics to child development aged 3-5 years. The design of study was a retrospective and cross sectional of 120 samples who selected by stratified non-proportional simple random sampling in two sub district in Depok. Overall, results showed that attainment of wife’s marital readiness was still below 65 percent. Two of marital readiness dimension, intellectual and financial readiness, which was still below 50 percent. The results of the correlation showed that lack of marital readiness could reduce child development. On the other hand, maternal length of education could enhance both marital readiness and also child development. The results of regression showed that positive influence of sex of children, age of children, and marital readiness (intellectual and individual
40
readiness) to child development. Beside that development of children is negatively influenced by length of marriage. This study provides implication for family empowerment institution such as government, NGO, and family practitioners to socialize aspect of marital readiness and ideal age of marriage for adolescent. Socialization of marital readiness and child growth and development is expected to focus on infant’s family with low of level education and income. Lack of level education and income percapita relates to low of child quality. Furthermore, government needs to enhance the program of poverty alleviation and compulsory education. Keywords: intellectual readiness, financial readiness, length of marriage PENDAHULUAN Setiap pasangan yang menikah tentunya mengharapkan pernikahannya dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan, namun seiring berjalannya waktu tak sedikit masalah yang timbul kemudian menjadikan perceraian sebagai jalan keluar terbaik. Tren angka perceraian di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, persentase penduduk berumur 10 tahun keatas berstatus cerai hidup mengalami kenaikan 2,08 persen (BPS 2010). Mahkamah Agung (MA) mencatat pada tahun 2010 terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia (Aryajaya 2011). Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya kesiapan ekonomi yang berujung kepada masalah ekonomi, ketidakharmonisan dalam keluarga karena ketidakdewasaan pasangan, salah satu pasangan meninggalkan kewajiban, awal perkawinan yang kurang baik, kurangnya kemampuan mengkomunikasikan dan menyelesaikan masalah dengan baik (Mahayanti 2013; Pujiastuti dan Lestari 2008; Harris 2012; Aryajaya 2011) menjadi masalah inti yang banyak dialami pasangan yang telah menikah. Apabila ditelaah lebih jauh, permasalahan tersebut bersumber dari kurangnya kesiapan menikah pasangan ketika memasuki jenjang pernikahan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ghalili et al. (2012) yang menunjukkan bahwa hanya sedikit dari remaja yang telah mendapat informasi yang cukup mengenai pernikahan dari keluarga maupun lingkungan mereka. Selain itu, tidak sedikit diantara laki-laki maupun wanita yang kurang menyadari perlunya persiapan yang matang sebelum menuju sebuah perkawinan (Maryati et al. 2007). Tak ada satupun keluarga yang berharap akan terjadinya perceraian dalam pernikahan dan setiap keluarga baru tentunya menginginkan pernikahannya langggeng dan bahagia. Pada kenyataannya masalah di dalam pernikahan pasti akan ditemui dan dihadapi sehingga kesiapan menikah kedua pasangan mutlak harus dimiliki untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Persiapan sebelum menikah menjadi hal yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan keluarga. Sebelum menikah, calon pasangan harus memenuhi minimal tiga syarat yaitu mampu memperoleh sumber daya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan perkembangan keluarga, memiliki kualitas sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola keluarga sebagai ekosistem dan memiliki kematangan pribadi untuk menjalankan fungsi, peran dan tugas keluarga (Burgess and Locke 1960). Kesiapan menikah dianggap penting karena kehidupan pernikahan
41
cenderung berbeda dengan kehidupan saat masih lajang. Sekitar 2-3 tahun di awal pernikahan, beberapa perubahan akan terjadi sehingga pada tahap ini pasangan butuh menyesuaikan diri satu sama lain (Williams et al. 2006). Kesiapan menikah yang baik dari kedua pasangan akan meminimalisir terjadinya ketidakstabilan dalam keluarga bahkan mengurangi risiko terjadinya perceraian. Ketidakstabilan dalam keluarga akibat minimnya kesiapan menikah akan menimbulkan efek besar terhadap anak. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ketidakstabilan keluarga mempengaruhi perkembangan sosial emosi dan perilaku anak. Efek dari konflik perceraian menimbulkan kerusakan yang sulit diperbaiki khususnya pada anak dan menurunkan kemampuan kognitif anak usia balita (Sandstrom dan Huerta 2013; Kim 2011; Fagan dan Churchill 2012; Craige et al. 2012). Oleh karena itu, kesiapan menikah berupa kemampuan untuk mengatasi konflik, berkomunikasi yang baik dan siap secara ekonomi maupun mental menjadi bagian yang harus dimiliki oleh setiap calon pasangan. Penelitian ini dilakukan di Kota Depok untuk menganalisis pengaruh kesiapan menikah terhadap perkembangan anak usia 3-5 tahun. Kota Depok tercatat memiliki jumlah angka perceraian pada tahun 2009 yang relatif cukup rendah yaitu 2,70 artinya tiap seratus orang perempuan umur 10-49 tahun yang pernah kawin ada sebanyak 2 orang yang berpisah karena perceraian. Fakta lain menunjukkan bahwa angka perceraian justru cenderung tinggi untuk perempuan pernah kawin pada kelompok umur 20-24 tahun yaitu sebesar 3,30. Diperkirakan, tingginya angka perceraian perempuan berumur muda tersebut karena ketidaksiapan mereka dalam menjalani perkawinan (BPS 2010). Tingginya jumlah pasangan muda yang bercerai akibat ketidaksiapan mereka dalam menjalani perkawinan mengindikasikan bahwa banyak diantara pasangan muda yang sesungguhnya belum menyadari akan aspek-aspek kesiapan menikah yang seharusnya mereka persiapkan sebelum memutuskan untuk menikah. Selain itu, masih sangat terbatasnya penelitian yang menghubungkan kesiapan menikah dengan perkembangan anak menjadi alasan berikutnya yang mendasari dilakukannya penelitian ini. TUJUAN PENELITIAN Menganalisis pengaruh antara kesiapan menikah istri, karakteristik keluarga, dan perkembangan anak usia 3-5 tahun MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi bagi remaja, orang tua maupun institusi bidang keluarga terkait aspek kesiapan menikah yang berhubungan dengan perkembangan anak. Remaja diharapkan dapat lebih memahami aspek-aspek apa saja yang harus mereka persiapkan sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Orang tua diharapkan dapat menjadikan informasi terkait kesiapan menikah untuk membimbing dan mengarahkan buah hati yang beranjak dewasa agar anak-anak dapat lebih mengerti betapa pentingnya kesiapan menikah terhadap perkembangan anak. Selain itu, institusi pemerintah bidang keluarga juga dapat menggunakan hasil penelitian sebagai landasan dalam menyempurnakan program Pendewasaan Usia Perkawinan.
42
METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi antara cross sectional study, yaitu penelitian yang dilakukan hanya pada satu waktu dan sebagian lainnya menggunakan retrosprective study, yaitu penggalian informasi di masa lalu. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu di Kelurahan Ratu Jaya dan Kelurahan Bojong Pondok Terong, Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Waktu penelitian terdiri dari persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan penulisan laporan terhitung mulai bulan Januari – Agustus 2014. Teknik Penarikan Contoh Populasi penelitian ini adalah keluarga utuh yang baru memiliki anak pertama usia 3-5 tahun di Kelurahan Ratu Jaya dan Bojong Pondok Terong Kecamatan Cipayung Kota Depok. Responden Penelitian ini adalah ibu. Jumlah contoh sebanyak 120 orang diambil dari 16 RW dengan metode stratified nonproportional random sampling. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kependudukan dan data monografi lokasi penelitian yang diperoleh dari Kantor Kelurahan dan Kecamatan setempat. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner yang meliputi (1) karakteristik keluarga; (2) kesiapan menikah istri dengan menggunakan instrumen hasil modifikasi Sunarti et al. (2012) yang dikembangkan dari indikator Personal Value Scale (Scott 1965) untuk kesiapan intelektual; Goleman (2007) untuk kesiapan emosi dan sosial; dan Rapaport dalam Duvall (1971) untuk indikator kesiapan individu, finansial dan mental. Instrumen yang digunakan untuk mengukur kesiapan menikah telah reliable dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0.671; (3) perkembangan Anak (motorik kasar, motorik halus, komunikasi pasif, komunikasi aktif, kognitif, kemandirian dan kemampuan bergaul) menggunakan instrumen Bina Keluarga Balita (BKB) dari BKKBN dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0.813. . Pengolahan dan Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan karakteristik keluarga (usia suami istri, usia menikah suami dan istri, jarak usia antara suami dan istri, lama menikah, lama pendidikan, dan pendapatan perkapita), karakteristik anak (jenis kelamin, keikutsertaan sekolah anak dan usia anak), kesiapan menikah istri dan perkembangan anak. 2. Analisis hubungan untuk melihat hubungan antara karakteristik keluarga, kesiapan menikah istri dan perkembangan anak usia 3-5 tahun. 3. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk menganalisis pengaruh karakteristik keluarga dan kesiapan menikah istri terhadap perkembangan anak usia 3-5 tahun.
43
HASIL Karakteristik Keluarga Tabel 20 menunjukkan data deskriptif karakteristik keluarga. Secara umum, usia suami dan usia istri saat ini berada pada kategori dewasa muda (usia diatas 25 tahun) dengan perbedaan usia antara suami dan istri lebih dari empat tahun. Pada saat menikah, baik usia suami maupun istri telah melewati batas ideal untuk menikah namun masih ada diantaranya yang menikah muda maupun menikah pada usia yang telah dewasa. Lama pendidikan suami dan istri sudah melampaui wajib belajar Sembilan tahun dan menunjukkan pendidikan yang cukup baik pada keduanya. Pendapatan perkapita keluarga berada diatas Rp. 700.000. Tabel 20 Sebaran nilai minimum, maksimum, rata-rata dan standar deviasi karakteristik keluarga Karakteristik Keluarga Usia suami (tahun) Usia istri (tahun) Jarak usia suami dan istri (tahun) Usia menikah suami (tahun) Usia menikah istri (tahun) Lama menikah (tahun) Lama pendidikan suami (tahun) Lama pendidikan istri (tahun) Pendapatan perkapita (Rp/bln)
MinimumMaksimum 19-53 20-42 (-7)-(22) 14-49 16-36 2-25 6-16 4-16 90.000- 4.000.000
Rata-rata ± Standar Deviasi 31,9 ± 5,8 27,2 ± 4,6 4,7 ± 4,4 26,2 ± 5,4 21,5 ± 3,7 5,7± 3,5 10,8 ± 2,2 10,1 ± 2,3 789.583 ± 496.162
Karakteristik Anak Tabel 21 menunjukkan karakteristik anak yang meliputi usia anak, jenis kelamin dan keikutsertaan sekolah. Sekitar 47 persen anak yang diamati dalam penelitian ini berusia 49-67 bulan dan sisanya sekitar 54 persen berada pada rentang usia 36-48 bulan. Tabel 21 Sebaran usia, jenis kelamin dan keikutsertaan pendidikan prasekolah anak Kategori Usia (bulan) 36-48 bulan 49-67 bulan Rata-rata ± std Min - maks Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Keikutsertaan Sekolah Belum sekolah Sekolah (PAUD/TK/TPA)
Jumlah (n=120)
%
64 56
53,3 46,7 47,9 ± 8,3 36-67 bulan
59 61
49,2 50,8
82 38
68,3 31,7
44
Jumlah anak yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak sekitar 51 persen dibandingkan laki-laki yang hampir mencapai 50 persen. Sebanyak 32 persen anak tercatat tengah menempuh pendidikan prasekolah sedangkan sisanya dinyatakan belum bersekolah. Kesiapan Menikah Istri Aspek kesiapan menikah ditinjau dari tujuh aspek yaitu aspek intelektual, sosial, emosi, moral, individu, finansial dan mental istri. Tabel 22 memperlihatkan bahwa secara keseluruhan istri telah memenuhi lebih dari 50 persen pernyataan kesiapan menikah. Apabila ditinjau per dimensi kesiapan menikah, terdapat beberapa dimensi yang pencapaiannya masih rendah (dibawah 50 persen) namun juga ada yang pencapaiannya sudah berada diatas 70 persen. Pencapaian aspek kesiapan menikah istri yang tertinggi berada pada aspek kesiapan sosial (78 persen selanjutnya adalah kesiapan moral (75 persen), kesiapan individu (67 persen), kesiapan emosi (66 persen sedangkan dimensi yang pemenuhannya masih rendah adalah kesiapan finansial dan kesiapan intelektual. Hal ini menunjukkan bahwa secara finansial maupun intelektual masih belum dipersiapkan istri dengan baik sebelum menikah padahal keduanya merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya dibandingkan aspek kesiapan menikah lainnya. Tabel 22 Sebaran nilai rata-rata skor dan persentase aspek kesiapan menikah Kesiapan Menikah Kesiapan intelektual Kesiapan sosial Kesiapan emosi Kesiapan moral Kesiapan individu Kesiapan finansial Kesiapan mental Total
Rata-rata 2,9 5,4 6,5 8,3 8,7 2,0 2,1 35,9
% 49,3 77,9 65,6 75,1 67,0 49,3 69,0 64,9
Tabel 23 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan finansial dan intelektual istri. Penelitian ini menunjukkan bahwa istri yang telah memiliki tabungan sebelum menikah tidak lebih dari 45 persen sisanya sekitar 57 persen menyatakan dirinya tidak memiliki tabungan sebelum menikah. Selain itu, tidak lebih dari 62 persen istri yang menyatakan bahwa mereka telah memiliki pengetahuan cara mengelola uang. Sisanya sebesar 38 persen menyatakan bahwa mereka belum memiliki pengetahuan cara mengelola uang sebelum menikah. Selain masih rendahnya capaian kesiapan finansial istri, kesiapan intelektual istri juga dianggap masih rendah (pencapaian dibawah 50 persen). Hal ini ditunjukkan pada tabel 25 yang menyatakan bahwa masih sangat sedikit sekali (16 persen dari responden) yang mengikuti perkumpulan budaya sebelum mereka menikah. Selain itu, ada sebanyak 55 persen responden yang menyatakan tidak suka membaca buku ilmu pengetahuan dan mengikuti informasi perkembangan berita internasional sebelum menikah. Padahal kedua hal tersebut merupakan item penting untuk meningkatkan kesiapan intelektual responden sebelum menikah.
45
Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan finansial dan kesiapan intelektual istri Item pernyataan kesiapan finansial Memiliki pekerjaan tetap Memiliki rumah sendiri Memiliki tabungan Memiliki investasi emas/perhiasan Memiliki kendaraan sendiri Memiliki pengetahuan cara mengelola keuangan Memiliki jejaring yang banyak Memiliki pendapatan sampingan Item pernyataan kesiapan intelektual Memiliki rasa keingintahuan yang tinggi untuk mendalami suatu hal Mengikuti perkumpulan budaya sebagai upaya untuk melestarikan budaya Mencari berita untuk mendapatkan berita terbaru (melalui surat kabar, televisi, internet) Membaca buku mengenai ilmu pengetahuan Saat ada peristiwa yang menggemparkan dunia, akan mengikuti kejadian tersebut hingga selesai Menyukai perkembangan dunia politik
% 66,7 7,5 43,3 60,8 24,2 61,7 87,5 42,5 % 71,7 15,8 87,5 45,0 45,0 30,8
Secara keseluruhan, sebaran contoh berdasarkan kategori kesiapan menikah (Tabel 24) menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen responden terkategori memiliki tingkat kesiapan menikah yang sedang (66 persen) dan tak lebih dari lima persen yang dinyatakan sudah memiliki tingkat kesiapan menikah yang tinggi. Tabel 24 Sebaran berdasarkan kategori kesiapan menikah Kesiapan Menikah Rendah (0-60%) Sedang (60-80%) Tinggi (80-100%) Rata-rata ± std Min – maks
Jumlah 36 79 5
% 30,0 65,8 4,2 64,9 ± 9,5 39,9-84,7
Perkembangan Anak Dimensi perkembangan anak yang diukur menggunakan instrumen Bina Keluarga Balita (BKB). Dimensi perkembangan yang pemenuhannya masih rendah pada kedua kelompok anak usia 36-48 bulan dan 48-67 bulan adalah dimensi kemandirian, masing-masing sekitar 71 persen dan 44 persen. Persentase pencapaian perkembangan tertinggi pun sama pada kedua kelompok anak usia 3648 bulan dan 48-67 bulan yaitu pada dimensi sosial atau kemampuan bergaul (92 persen dan 94 persen). Hasil penelitian juga menunjukkan perbedaan nyata diantara kedua kelompok usia anak tersebut dimana perkembangan motorik dan kecerdasan anak usia 48-67 bulan lebih baik dibandingkan anak usia 36-48 bulan,
46
sedangkan untuk dimensi kemandirian, kelompok anak usia 36-48 bulan lebih baik dibandingkan anak usia 48-67 bulan (Tabel 25). Tabel 25 Sebaran rata-rata skor pencapaian perkembangan anak berdasarkan dimensi perkembangan anak Dimensi Perkembangan Motorik Bahasa Kecerdasan Kemandirian Sosial Perkembangan Anak Total
Usia Anak 36-48 bulan (%) 48-67 bulan (%) 71,6 79,2 86,9 81,6 72,7 85,1 71,1 43,7 91,7 94,0 76,9 80,4
P-value 0,042* 0,095 0,001** 0,000** 0,456 0,161
Tabel 26 menunjukkan tingkat perkembangan anak yang dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Secara keseluruhan rata-rata tingkat perkembangan anak dalam penelitian ini masih dibawah 80 persen. Tak lebih dari 44 persen anak usia 36-48 bulan dan sebanyak 50 persen anak usia 4867 bulan tergolong memiliki tingkat perkembangan kategori tinggi. Hanya sebagian kecil yang tergolong memiliki tingkat perkembangan rendah. Tabel 26 Sebaran anak berdasarkan kategori tingkat perkembangan anak Kategori Perkembangan Anak Rendah (0-60%) Sedang (61-80%) Tinggi (81-100%) Rata-rata ± std Minimum-Maksimum
Anak usia 36-48 bulan % 9,4 46,9 43,8 76,9 ±13,8 28,6 -100
Hubungan antara karakteristik perkembangan anak
Anak usia 48-67 bulan % 8,9 41,1 50,0 80,4 ± 1,4 42,9 -100
keluarga,
kesiapan
Total % 9,2 44,2 46,7 78.5 ± 13,7 28,6 -100
menikah,
dan
Beberapa variabel karakteristik keluarga dan karakteristik anak memiliki hubungan dengan perkembangan anak (Tabel 27). Berdasarkan hasil uji korelasi menunjukkan bahwa beberapa karakteristik keluarga berhubungan kuat dengan kesiapan menikah dan perkembangan anak. Usia anak (p<0,05) dan lama pendidikan istri (p<0,01) memiliki hubungan positif dengan perkembangan anak, sedangkan usia suami (p<0,05), jarak usia antara suami dan istri (p<0,05) dan lama menikah (p<0,01) diketahui memiliki hubungan negatif dengan perkembangan anak (Tabel 27). Selain itu, kesiapan menikah berhubungan positif dengan perkembangan anak dengan angka koefisien korelasi 0,383. Hal ini berarti, semakin tinggi tingkat kesiapan menikah istri maka semakin baik pula tingkat perkembangan anak. Usia menikah istri (p<0,01) dan lama pendidikan istri (p<0,05) berhubungan positif dengan kesiapan menikah istri.
47
Tabel 27 Sebaran koefisien korelasi antara karakteristik keluarga, karakteristik anak, kesiapan menikah dan perkembangan anak X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
X10
X1 X2 X3
1 .664** .615**
1 -.181*
1
X4
-.031
-.002
-.038
X5
.411**
.617** -.110
-.005
1
X6
.810**
.317** .731**
-.028
-.202*
1
X7
.446**
.676** -.126
.004
-.163
X8
-.195*
-.047
-.207*
.119
-.150
.585** -.114
1 .080
X9
-.187*
-.031
.213*
.087
-.253**
1
-.113
-.055
-.055
-.223**
.202* .069
.520**
X10 .132 X11 -.009
-.035 .003
.151
.273**
1
.079
-.095
.021
-.100
.215**
.008
1
-.071
-.182*
.203*
-.274**
.196* .173
.137
X12 -.196*
.057 -.030
.158
.270**
.067
.383**
1
1
Keterangan: * Signifikan pada p<0.05; **signifikan pada p<0.01 X1= Usia Suami; X2= Usia Istri; X3= Jarak Usia Suami dan Istri; X4= Usia Anak; X5= Lama Menikah; X6= Usia menikah suami; X7= Usia menikah istri; X8=Lama Pendidikan Suami; X9= Lama Pendidikan Istri; X10= Pendapatan Perkapita; X11= Kesiapan Menikah, dan X12= Perkembangan Anak
Semakin baik tingkat kesiapan menikah istri maka perkembangan anak akan secara positif meningkat. Hasil uji hubungan yang khusus menguji per dimensi kesiapan menikah dengan perkembangan anak diperoleh hasil bahwa semakin tinggi tingkat kesiapan intelektual, sosial, individu dan finansial contoh maka akan semakin baik perkembangan anak (Tabel 28). Tabel 28 Sebaran koefisien korelasi antara dimensi kesiapan menikah dan perkembangan anak
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8
X1 1 -.019 .029 -.021 .345** .067 .230* .309**
X12
X11
X2 1 .317** .202* .039 .092 -.008 .211**
X3
1 .230* .12 .003 -.018 .124
X4
1 .038 -.039 -.034 .063
X5
1 .171 .272** .251**
X6
X7
1 .082 .217**
1 .115
X8
1
Keterangan: * Signifikan pada p<0.05; **signifikan pada p<0.01 X1= Kesiapan Intelektual; X2= Kesiapan Sosial; X3= Kesiapan Emosi; X4= Kesiapan Moral; X5= Kesiapan Individu; X6= Kesiapan Finansial dan X7= Kesiapan mental
Pengaruh Karakteristik Keluarga, karakteristik anak dan dimensi kesiapan menikah terhadap perkembangan anak Karakteristik keluarga, karakteristik anak dan kesiapan menikah memiliki pengaruh terhadap perkembangan anak. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan tiga model analisis. Model pertama menguji variabel utama kesiapan menikah terhadap perkembangan anak; model kedua menguji variabel utama kesiapan menikah dan karakteristik keluarga serta anak terhadap perkembangan anak; dan model ketiga menguji dimensi kesiapan menikah (tujuh aspek) dan karakteristik keluarga serta anak terhadap perkembangan anak.
1
48
Analisis model pertama (Tabel 29) menguji pengaruh kesiapan menikah terhadap perkembangan anak. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa kesiapan menikah berpengaruh positif terhadap perkembangan anak. Nilai adjusted R square yang diperoleh sebesar 14 persen dengan nilai beta 0,383. Hal ini menunjukkan bahwa sebesar 14 persen perkembangan anak dipengaruhi oleh kesiapan menikah, sisanya sebesar 86 persen dipengaruhi oleh variabel lainnya. Selanjutnya, setiap kenaikan satu satuan kesiapan menikah, perkembangan anak akan juga meningkat sebesar 0,383. Hal ini menegaskan bahwa semakin baik tingkat kesiapan menikah istri maka perkembangan anak pun akan semakin baik. Tabel 29 Sebaran koefisien regresi pengaruh kesiapan menikah terhadap perkembangan anak
Variabel Konstanta Kesiapan Menikah F Sig R Square Adjusted R Square
Koefisien Tidak Terstandarisasi Terstandarisasi (B) (β) 42.871 0,550 0,383 20,311 0,000 0,147 0,140
Sig. 0,000 0,000**
Analisis regresi model kedua bertujuan untuk menguji pengaruh variabel utama kesiapan menikah dan karakteristik keluarga serta anak terhadap perkembangan anak. Hasil uji regresi menunjukkan nilai adjusted R square sebesar 27,5 persen (tabel 30). Hal ini memiliki arti bahwa sebesar 27,5 persen perkembangan anak dipengaruhi oleh kesiapan menikah dan karakteristik keluarga serta anak, sisanya sebesar 72,5 persen dipengaruhi oleh variabel lainnya yang tidak diuji dalam penelitian ini. Lama menikah berpengaruh negatif dengan perkembangan anak dengan nilai beta -0,286. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama pernikahan kedua orang tua, perkembangan anak justru semakin menurun. Setiap naik satu kesatuan lama menikah kedua orang tua, perkembangan anak justru menurun sebesar 0,259. Jenis kelamin anak berpengaruh positif dengan perkembangan anak. Hal ini berarti anak yang berjenis kelamin perempuan memiliki perkembangan yang lebih baik dibandingkan anak laki-laki. Hasil uji regresi model ketiga menunjukkan nilai Adjusted R Square sebesar 0,284. Angka ini berarti sebesar 28,4 persen perkembangan anak dapat dijelaskan oleh karakteristik keluarga, karakterisik anak dan dimensi kesiapan menikah. Sisanya sebesar 71,6 persen dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Terdapat perbedaan hasil pada model kedua dengan ketiga, pengaruh usia anak terhadap perkembangan anak yang awalnya tidak muncul di model kedua, kemudian muncul pada model ketiga. Selebihnya, secara konsisten variabel jenis kelamin anak, lama menikah, dan kesiapan menikah (kesiapan intelektual dan kesiapan individu) berpengaruh terhadap perkembangan anak (Tabel 31).
49
Tabel 30 Sebaran koefisien regresi pengaruh kesiapan menikah dan karakteritik keluarga terhadap perkembangan anak
Variabel Konstanta Karakteristik anak Keikutsertaan sekolah (0=tidak sekolah; 1=sekolah) Usia anak (bulan) Jenis kelamin (0=lakilaki;1=perempuan) Karakteristik keluarga Usia istri (tahun) Jarak usia suami dan istri (tahun) Lama menikah (tahun) Pendapatan perkapita (Rp/bln) Lama pendidikan suami (tahun) Lama pendidikan istri (tahun) Kesiapan menikah istri Usia menikah Usia menikah istri (0=<21 tahun; 1=≥21 tahun) Usia Menikah suami(0=<25 tahun; 1=≥25 tahun) F Sig R Square Adjusted R Square
Koefisien Tidak Terstandarisasi Terstandarisasi (B) (β) 33,850
Sig. 0,032
2,659
0,091
0,320
0,280 6,428
0,170 0,236
0,060 0,005**
0,134 -0,230
0,045 -0,074
0,787 0,521
-1,133 9,690E-7
-0,286 0,035
0,047* 0,687
-0,353
-0,058
0,536
0,688
0,117
0,240
0,437
0,305
0,000**
1,312
0,048
0,725
3,457
-0,118
0,345
4,757 0,000 0,348 0,275
Kesiapan menikah (kesiapan intelektual dan kesiapan individu) memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan anak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik tingkat kesiapan menikah istri, utamanya dalam aspek kesiapan intelektual dan kesiapan individu maka perkembangan anak pun akan semakin baik. Sementara itu, hasil uji regresi pada model ini juga menunjukkan variabel jenis kelamin, usia anak dan lama pernikahan yang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Jenis kelamin dan usia anak memiliki pengaruh positif signifikan terhadap perkembangan anak. Artinya anak yang berjenis kelamin perempuan memiliki perkembangan yang lebih baik dibandingkan anak laki-laki usia 3-5 tahun. Semakin meningkat usia anak maka perkembangan anak akan semakin baik. Pengaruh negatif ditemukan antara lama pernikahan dengan perkembangan anak dengan nilai beta -0,326. Hal ini berarti setiap kenaikan satu satuan lama menikah maka perkembangan anak akan menurun sebesar 0,326.
50
Tabel 31 Sebaran koefisien regresi pengaruh karakteristik keluarga dan dimensi kesiapan menikah terhadap perkembangan anak Variabel Konstanta Karakteristik anak Keikutsertaan sekolah (0=tidak sekolah; 1=sekolah) Usia anak (bulan) Jenis kelamin (0=lakilaki;1=perempuan) Karakteristik keluarga Usia istri (tahun) Jarak usia suami dan istri (tahun) Lama menikah (tahun) Pendapatan perkapita (Rp/bln) Lama pendidikan suami (tahun) Lama pendidikan istri (tahun) Kesiapan menikah Kesiapan intelektual Kesiapan sosial Kesiapan emosi Kesiapan moral Kesiapan individu Kesiapan finansial Kesiapan mental Usia menikah Usia menikah istri (0=<21 tahun; 1=≥21 tahun) Usia Menikah suami(0=<25 tahun; 1=≥25 tahun) F Sig R Square Adjusted R Square
Koefisien Tidak Terstandarisasi Terstandarisasi (B) (β) 30,951
Sig. 0,063
3,255
0,111
0,232
0,302 6,622
0,183 0,243
0,045* 0,005**
0,184 -0,223
0,062 -0,072
0,713 0,541
-1,290 1,181E-6
-0,326 0,043
0,025* 0,625
-0,416
-0,069
0,468
0,510
0,087
0,393
0,117 0,126 0,064 0,011 0,161 0,033 0,013
0,197 0,156 0,066 0,012 0,192 0,051 -0,030
0,027* 0,085 0,443 0,890 0,032* 0,553 0,727
0,460
0,017
0,905
3,021
-0,109
0,391
3,628 0,000 0,393 0,284
Keterangan: *signifikan pada p<0.05, **signifikan pada p<0.01
PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kesiapan menikah istri dan karakteristik keluarga terhadap perkembangan anak. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang kuat antara kesiapan menikah istri dan karakteristik keluarga terhadap perkembangan anak. Hasil penelitian
51
menunjukkan bahwa tingkat kesiapan menikah istri masih relatif rendah khususnya kesiapan finansial dan kesiapan intelektual. Sebagian besar istri belum mempersiapkan diri dalam hal finansial seperti menabung, memiliki perhiasan atau investasi lainnya hingga mencari ilmu terkait pengelolaan uang sebelum menikah. Padahal, kesiapan finansial menjadi indikator penting kesuksesan pernikahan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sunarti et al. (2012) yang menyatakan bahwa dimensi kesiapan menikah istri yang pemenuhannya masih rendah adalah kesiapan finansial. Kesiapan finansial hanya dipenuhi kurang dari 50 persen istri. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah ekonomi (suami belum memiliki pekerjaan, di-PHK, atau suami meninggalkan kewajiban) menjadi dominasi penyebab perceraian yang terjadi di Indonesia (Mahayanti 2013; Pujiastuti dan Lestari 2008; Harris 2012; Muhammad 2009). Banyak keluarga yang mengalami kesulitan untuk mengatasi ketidakstabilan ekonomi (Abanyam 2013; Olson dan Defrain 2002; Sandstrom dan Huerta 2013). Memiliki pendapatan yang rendah pada awal-awal kehidupan anak menjadi prediktor yang kuat terhadap rendahnya kognisi anak dibandingkan anak pada keluarga dengan pendapatan yang lebih baik. Ketidakstabilan ekonomi mempengaruhi perkembangan anak sejak dini (Sandstrom dan Huerta 2013). Motif ekonomi menyebabkan istri mengajukan gugat cerai kepada suami. Kesiapan finansial istri pada prinsipnya dapat membantu keluarga ketika menghadapi masalah terkait ekonomi keluarga, ketika suami tengah mengalami masalah dalam pemenuhan nafkah maka istri yang sudah siap secara finansial dapat membantu perekonomian keluarga sementara suami berusaha mencari pekerjaan lainnya. Sinergitas antara suami dan istri sangat diperlukan dalam pernikahan. Puspitawati (2012) menekankan pentingnya kemitraan gender (antara suami dan istri) dengan saling mengerti, saling menyayangi dengan komitmen dan dedikasi tinggi membentuk dan membangun keluarga sampai hari tua. Apabila ada konflik, maka selalu dicari cara pemecahan masalah bersama dengan mengedepankan tujuan keutuhan bersama keluarga. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa semakin lama pendidikan istri maka semakin baik tingkat kesiapan menikah dan perkembangan anak. Meningkatkan pendidikan pada perempuan dapat menunda pernikahan hingga usia yang lebih dewasa sehingga seiring waktu wanita bisa mempersiapkan diri dengan baik sebelum memutuskan untuk menikah. Beberapa hasil penelitian menunjukkan istri yang menikah di usia muda cenderung berpendidikan rendah sehingga belum mempersiapkan diri dengan baik ketika memasuki jenjang pernikahan (Erulkar 2013; Mulyana dan Ridwan 2009; Nasrin dan Rahman 2012). Pendidikan tidak hanya berguna untuk menyempurnakan tingkat kesiapan menikah perempuan namun juga bermanfaat dalam mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Hal ini dikarenakan intelektualitas seorang ibu sangat penting dalam pengasuhan anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu berhubungan positif dengan perkembangan anak. Sejalan dengan penelitian ini, Rahmaulina dan Hastuti (2008) menyatakan semakin tinggi pengetahuan ibu mengenai gizi dan tumbuh kembang anak maka perkembangan kognitif anak semakin baik pula. Berbagai penelitian lain juga menunjukkan bahwa lama pendidikan ibu memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan kognitif, bahasa,
52
sosial emosi dan perkembangan anak secara keseluruhan (Hastuti et al. 2010; Hastuti et al. 2011; Latifah et al. 2009; Ardila et al. 2005). Uji korelasi selanjutnya menunjukkan semakin muda usia suami maka perkembangan anak semakin baik. Hal ini dapat disebabkan karena keterlibatan suami yang berusia muda dalam pengasuhan anak kemungkinan lebih besar dibandingkan ayah yang berusia lebih tua. Selain itu, hasil uji korelasi menunjukkan bahwa semakin tua usia suami, lama pendidikan suami lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa suami yang lebih muda memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik sehingga dapat mengasuh anak dengan lebih baik dibandingkan yang berpendidikan rendah. Keterlibatan ayah dalam pengasuhan sangat baik bagi perkembangan anak. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ayah yang terlibat dalam pengasuhan dan kegiatan bermain dengan anak usia balita memiliki anakanak dengan skor IQ yang tinggi, kapasitas bahasa, kognitif, kemampuan bergaul, kemampuan sosial dan perilaku yang baik (Pruett 2000; Howard et al. 2006; Pougnet E et al. 2011; Kato et al. 2002; Allen dan Daly 2007). Berdasarkan hasil analisis regresi dengan menggunakan tiga model, diperoleh hasil yang menguatkan bahwa jenis kelamin anak, lama menikah dan kesiapan menikah (kesiapan intelektual dan kesiapan individu) berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hanya pada model regresi ketiga yang memunculkan pengaruh positif usia anak terhadap perkembangan anak. Variabel yang terkait dengan karakteristik anak adalah jenis kelamin dan usia anak. Anak perempuan memiliki perkembangan yang lebih baik dibandingkan anak laki-laki. Hal ini sejalan dengan berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa terdapat pengaruh jenis kelamin terhadap perkembangan motorik, fisik, emosi maupun intelektualitas anak (Cho, Holditch-Davis dan Miles 2010; Preuschoff 2006 dalam Puspitawati 2012). Usia anak berpengaruh positif terhadap perkembangan anak. Semakin bertambah usia anak, maka perkembangannya semakin baik juga. Penelitian ini sejalan dengan berbagai penelitian yang menunjukkan hasil serupa bahwa usia anak berpengaruh positif terhadap kemandirian, perkembangan sosial emosi serta perkembangan motorik dan kognitif anak (Dewanggi et al. 2012; Hastuti et al. 2011; Hastuti 2009) Faktor lain yang juga memiliki pengaruh adalah lama menikah. Istri yang menikah lebih lama memiliki anak dengan perkembangan yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena berbagai hal diantaranya faktor pendidikan dan pendapatan perkapita. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa istri yang menikah lebih lama tercatat memiliki lama pendidikan dan pendapatan perkapita yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan anak yang rendah pada istri yang menikah lebih lama berhubungan dengan pendidikan istri dan pendapatan perkapita yang juga rendah. Sebagaimana pembahasan sebelumnya yang menyatakan bahwa pendidikan istri berpengaruh kuat terhadap perkembangan anak. Selain itu, pendapatan memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan anak (Hastuti et al 2010; Latifah et al 2009). Pendapatan yang rendah pada awal-awal kehidupan anak menjadi prediktor yang kuat terhadap rendahnya kognisi anak dibandingkan anak pada keluarga dengan pendapatan yang lebih baik. Ketidakstabilan ekonomi mempengaruhi perkembangan anak sejak dini (Sandstrom dan Huerta 2013). Oleh karena itu, peningkatan pendidikan dan perbaikan pendapatan keluarga harus terus diupayakan untuk menjamin tumbuh kembang anak yang optimal.
53
Berdasarkan penelitian ini usia menikah istri ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan anak. Hal ini bertentangan dengan hipotesis dalam penelitian ini yaitu semakin dewasa usia menikah istri maka perkembangan anak akan semakin baik. Tidak adanya pengaruh signifikan antara usia menikah istri dengan perkembangan anak sejalan dengan penelitian Gueorgueiva et al. (2001) yaitu anak-anak dari ibu yang masih muda (remaja) mengalami lebih banyak masalah selama menempuh pendidikan di Taman KanakKanak, namun ketika variabel lain dimasukkan dalam analisis seperti pendidikan ibu, status pernikahan, tingkat kemiskinan dan ras, maka pengaruh tersebut menghilang. Hal ini mengindikasikan bahwa masalah yang timbul pada anak-anak dari ibu yang remaja bukan disebabkan oleh usia ibu yang masih muda namun dipengaruhi oleh beberapa faktor sosiodemografi lainnya juga. Hal sebaliknya menunjukkan bahwa ibu yang lebih dewasa secara konsisten mempengaruhi perkembangan pendidikan anak. Penelitian ini memberikan implikasi kepada institusi pemberdayaan keluarga baik itu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, pemerhati keluarga maupun instansi pendidikan untuk turut serta mensosialisasikan pentingnya aspek kesiapan menikah, usia ideal menikah dan kesiapan menjadi orang tua bagi remaja dalam mengoptimalkan perkembangan anak di masa yang akan datang. Orang tua juga diharapkan dapat lebih peduli terhadap aspek kesiapan menikah seperti intelektual, moral, sosial, emosi, finansial, individu dan mental yang penting dalam membimbing anak-anak remaja mereka sebelum menikah. SIMPULAN Rata-rata usia menikah istri (21,5 tahun) dan suami (26,2 tahun) telah melampaui batas ideal. Kesiapan menikah istri secara umum termasuk dalam kategori sedang, namun untuk dimensi kesiapan finansial dan intelektual masih tergolong rendah.Usia anak dan lama pendidikan istri memiliki hubungan positif dengan perkembangan anak sedangkan usia suami, jarak usia antara suami dan istri, dan lama menikah memiliki hubungan negatif dengan perkembangan anak. Selain itu, usia menikah istri dan lama pendidikan istri berhubungan positif dengan kesiapan menikah istri. Perkembangan anak dipengaruhi positif oleh usia anak, jenis kelamin dan kesiapan menikah (kesiapan individu dan kesiapan intelektual) namun pengaruh negatif ditemukan antara lama menikah dengan perkembangan anak. Istri yang menikah lebih lama memiliki perkembangan anak yang lebih rendah. Perkembangan anak yang rendah berhubungan dengan rendahnya pendidikan istri dan pendapatan perkapita keluarga pada istri yang menikah lebih lama.
PEMBAHASAN UMUM Pernikahan merupakan ikatan suci antara sepasang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Keluarga yang bahagia dan sejahtera dapat dibentuk apabila suami dan istri memiliki tingkat kesiapan menikah yang baik. Kesiapan menikah menjadi salah satu indikator kesuksesan keluarga. Sekalipun demikian, saat ini masih banyak calon pasangan suami dan
54
istri yang belum mempersiapkan diri dengan baik sebelum menikah. Hasil penelitian menunjukkan secara umum kesiapan menikah istri masih dibawah 65 persen dan kesiapan menikah istri semakin rendah ketika istri menikah pada usia muda. Aspek kesiapan menikah istri yang relatif masih rendah baik pada istri yang menikah muda dan dewasa adalah kesiapan intelektual dan kesiapan finansial. Semakin rendah tingkat kesiapan menikah istri maka perkembangan anak akan menurun. Penelitian ini memberikan implikasi bahwa meningkatkan kesiapan menikah istri merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin tumbuh kembang anak yang optimal. Beberapa kriteria kesiapan menikah yang penting untuk menciptakan pernikahan yang berkualitas dan juga mencegah perceraian diantaranya (1) meningkatkan kapasitas keluarga (contoh: laki-laki harus mampu untuk memenuhi kebutuhan keuangan keluarga dan perempuan harus mampu untuk mengasuh anak); (2) kemampuan interpersonal (mampu untuk mendiskusikan segala perasaannya); (3) mengikuti norma yang berlaku (hanya memiliki satu pasangan yang sah) dan (4) tanggung jawab personal (mandiri secara finansial) Badger (2005). Nelson (2009) menyatakan bahwa pada beberapa waktu lalu, pernikahan dianggap sebagai sumber keamanan keuangan namun saat ini, mandiri secara finansial menjadi prasyarat penting dalam kriteria kesiapan menikah. Mempersiapkan pernikahan saja tidaklah cukup jika kemudian tidak diimbangi dengan menjaga keharmonisan keluarga. Banyak masalah yang timbul terkait dengan perkembangan anak dipengaruhi salah satunya oleh ketidakharmonisan keluarga. Perkembangan anak pada lima tahun pertama menjadi sangat penting karena ada yang berpendapat bahwa 90% koneksi terbentuk pada usia ini (Cramer dalam Megawangi et al. 2010). Anwar (2002) menyatakan apabila pada masa tersebut pertumbuhan dan perkembangan seorang anak berjalan secara optimal diharapkan pada masa dewasa akan tumbuh menjadi manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, menjamin kesiapan menikah yang baik dan kemudian menjaga keharmonisan keluarga mutlak dilakukan oleh setiap keluarga apabila tidak maka masalah dalam perkembangan anak akan terjadi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin lama menikah maka perkembangan anak justru semakin menurun. Hal ini berhubungan dengan rendahnya pendidikan dan pendapatan perkapita pada istri yang menikah lebih lama. Perbaikan kualitas pendidikan dan pengentasan kemiskinan mutlak harus terus ditingkatkan untuk menjamin tumbuh kembang anak yang optimal. Penelitian selanjutnya sangat diperlukan untuk semakin melengkapi studi terkait kesiapan menikah dan hubungannya dengan perkembangan anak. Penelitian ini membatasi lingkup penelitian yang meneliti pihak istri saja dan dilakukan di salah satu wilayah di Kota Depok. Penelitian sejenis dapat dilakukan dengan ruang lingkup yang lebih luas seperti meneliti tingkat kesiapan menikah suami, dilakukan di wilayah pedesaan maupun dapat dilakukan untuk studi perbandingkan di berbagai kota-kota besar yang memiliki masalah besar terkait remaja seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, atau Medan. Penelitian semacam ini akan sangat bermanfaat dalam penyusunan kebijakan pendewasaan usia perkawinan utamanya dalam menyiapkan remaja sebelum menikah dan sekaligus memotret tingkat kesiapan menikah pasangan muda di Indonesia yang masih sangat cukup jarang diteliti.
55
SIMPULAN Rata-rata usia suami dan istri saat ini berada pada kategori dewasa muda (usia diatas 25 tahun) dengan jarak usia suami dan istri berkisar 4,7 tahun. Ratarata lama menikah suami dan istri adalah 5,7 tahun. Rata-rata lama pendidikan istri dan suami berada diatas 10 tahun. Rata-rata usia menikah istri dan suami sudah menunjukkan usia ideal untuk menikah dimana istri menikah diatas 21 tahun dan suami menikah diatas usia 25 tahun. Kesiapan menikah istri yang menikah dewasa lebih baik dibandingkan istri yang menikah muda. Lebih dari 50 persen istri memiliki tingkat kesiapan yang sedang dan terdapat 30 persen istri dengan tingkat kesiapan menikah yang rendah. Selain itu, tak lebih dari 4,2 persen istri yang tergolong memiliki kesiapan menikah yang tinggi. Artinya hanya sebagian kecil istri yang memiliki tingkat kesiapan menikah yang tinggi. Perkembangan anak dipengaruhi kuat oleh kesiapan menikah istri. Semakin baik tingkat kesiapan menikah istri maka perkembangan anak akan meningkat. Lebih dari 46 persen anak terkategori memiliki perkembangan yang tinggi, sebanyak lebih dari 44 persen anak memiliki perkembangan yang sedang. Hanya sedikit dari keseluruhan anak (dibawah 10 persen) dengan tingkat perkembangan anak yang rendah. Tingkat perkembangan anak pada penelitian ini menunjukkan skor yang cukup baik yaitu diatas 78 persen. SARAN Dari hasil penelitian ini dapat dikemukakan beberapa saran diantaranya: 1. Kesiapan menikah istri yang relatif rendah dalam aspek kesiapan intelektual dan finansial membutuhkan kontribusi dari berbagai pihak seperti: - Pemerintah, LSM dan pemerhati keluarga diharapkan dapat lebih gencar mensosialisasikan pentingnya aspek kesiapan menikah (intelektual, sosial, emosi, moral, individu, mental dan finansial) kepada para remaja berupa kegiatan seminar pra nikah, pelatihan finansial bagi remaja, dan iklan di media massa. - Orang tua diharapkan dapat lebih intensif membimbing anak remaja yang beranjak dewasa dalam mempersiapkan diri sebelum menikah. Diskusi antara orang tua dan anak seputar pengaturan finansial, pengasuhan anak yang baik maupun membina keluarga yang harmonis sangat diperlukan agar para remaja dapat lebih memahami pentingnya berbagai aspek kesiapan menikah yang mungkin tidak mereka peroleh di sekolah. 2. Tingkat kesiapan menikah istri yang menikah muda lebih rendah dibandingkan istri yang menikah dewasa menjadikan wacana yang penting bagi remaja untuk menunda pernikahan sampai usia yang cukup ideal. Pemerintah utamanya BKKBN, Kementerian Agama dan Kemendikbud diharapkan dapat semakin gencar mensosialisasikan usia ideal menikah bagi pria (25 tahun) dan wanita (diatas 20 tahun). Hal ini sangat penting agar remaja yang belum mencapai usia ideal tersebut diharapkan lebih fokus untuk mempersiapkan diri dengan baik sebelum memutuskan untuk menikah. 3. Lama pendidikan istri berhubungan positif dengan kesiapan menikah dan perkembangan anak. Oleh karena itu, pemerintah harus semakin mempermudah
56
akses terhadap pendidikan baik kepada remaja pria maupun wanita. Pendidikan diketahui merupakan kunci penting bagi penundaan usia perkawinan. 4. Semakin lama menikah maka perkembangan anak semakin menurun. Rendahnya perkembangan anak pada istri yang menikah lebih lama berhubungan dengan pendidikan dan pendapatan perkapita yang rendah. Oleh karena itu berbagai upaya perlu dilakukan oleh: - Institusi pemberdayaan keluarga, LSM, dan pemerhati keluarga dapat meningkatkan pembinaan pada keluarga balita dengan pendidikan dan pendapatan perkapita yang rendah. Pembinaan terkait peningkatan informasi seputar pertumbuhan dan perkembangan anak dan pemberdayaan ekonomi keluarga sangat penting untuk membantu mereka dalam mengasuh anak yang lebih baik dan sejahtera. Program Bina Keluarga Balita BKKBN dapat lebih ditekankan pada kelompok ini. - Pemerintah diharapkan dapat terus mensosialisasikan program wajib belajar dan upaya pengentasan kemiskinan harus terus dilakukan untuk menjamin keluarga memiliki ketahanan dari segi pendidikan dan ekonomi sehingga perkembangan anak dapat optimal. 5. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat meneliti tingkat kesiapan menikah istri dan juga suami secara bersamaan, hal ini untuk memperoleh hasil yang lebih komprehensif. Selain itu, penelitian sejenis dapat dilakukan di wilayah pedesaan dengan jumlah pernikahan dini cukup tinggi maupun di kota-kota besar dengan masalah remaja yang cukup kompleks. Hal ini sangat penting untuk melihat pengaruh kesiapan menikah terhadap perkembangan anak sehingga mampu menghasilkan rekomendasi kebijakan yang lebih tepat sasaran dan kuat. DAFTAR PUSTAKA [BKKBN] Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. 2008. Pendewasaan Usia Perkawinan dan Hak-Hak Reproduksi Bagi Remaja Indonesia. Jakarta (ID): Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Depok. 2010. Indikator Kesejahteraan Masyarakat (INKESRA) Kota Depok Tahun 2010. Depok (ID): BAPPEDA dan BPS [BPS] Badan Pusat Statistik, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Departemen Kesehatan, dan Macro Internasional. 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Calverton, Maryland, USA: BPS and Macro International. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2011. Jakarta: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. Jakarta (ID): [Depkes] Departemen Kesehatan RI dan JICA. 2000. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta (ID): [KPP&PA] Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2012. Profil Anak Indonesia 2012. Jakarta(ID): CV. Miftahur Rizky.
57
Abanyam N L. 2013. The Effect of High Bride Price on Marriage in Nigeria. Journal onf Inter-Disciplinary Studies. 3(1):85-91 Afifah T. 2011. Perkawinan Dini dan Dampak Status Gizi Pada Anak (Analisis Data Riskesdas 2010). Gizi Indon 2011, 34(2): 109-119. Ahmed S, Khan S, Alia M, Noushad S. 2013. Psychological Impact evaluation of early marriages. International Journal of endorsing health sciences research. 1(2): 84-86 Allen S, Daly K. 2007. The Effect of Father Involvement: An Updated Research Summary of the Evidence. Father Involvement Research Alliance: University of Guelph. Anwar F. 2002. Model Pengasuhan AnakBawah Dua Tahun Dalam MeningkatkanStatus Gizi dan Perkembangan Sosial [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Arjoso S. 1996. Persiapan Menuju Perkawinan yang Lestari. Jakarta (ID): Pustaka Antara. Aryjaya R. 2011. Mengapa Perceraian di Indonesia meningkat?. Mahkamah Agung Republik Indonesia. www.badilag.net. Badger S. 2005. Ready Or Not? Perceptions Of Marital Readiness Among Emerging Adults. [thesis]. Brigham Young University. Banun FOS, Setyo S. 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual pranikah pada mahasiswa semester V STIKes X Jakarta Timur 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan. 5(1) Blood, Margaret, & Bob. 1978. Marriage (3rd ed). New York: Free Press Burgess EW, Locke HJ. 1960. The Family. Second Edition. New York: Carrol JS, Badger S, Willoughby BJ, Nelson LJ, Madsen SD, Barry CMN. 2009. Ready or not?: Criteria for marriage readiness among emerging adults. Journal of Adolescent Research, Vol. 24 Issue 3, p349-375, 27p. 3 charts Cho J, Holditch-Davis D, Miles MS 2010. Effects of Gender on the health and development of medically at-risk infants. J Obstet Gynecol Neonatal Nurs. 39(5): 536-549. doi: 10.111/j. Craigie, Terry-Ann L., Jeanne Brooks-Gunn, Jane W. 2012. A Penny Saved Is Mobility Earned: Advancing Aconomic Mobility Through Savings. Economic Mobility Project, Pew Charitable Trusts. Washington DC: DeGenova M.K. 2008. Intimate Relationships, Marriage & Families (7th ed). New York: McGraw-Hill Dewanggi M, Hastuti D, Hernawati N. 2012. Pengasuhan Orang Tua dan Kemandirian Anak Usia 3-5 Tahun berdasarkan Gender di Kampung Adat Urug. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen. 5(1):19-28. Dilworth T. 2006. Literature Review: Poverty, Homelessness and Teenage Pregnancy. Canada: First Step Housing Project Inc. Duvall E, Miller C. M. 1985. Marriage and Family Development 6thed. New York: Harper & Row Publisher. Duvall EM. 1971. Family Development. Fourth edition. United States of America: J.B. Lippincot Company. Erulkar A. 2013. Early Marriage, Marital Relations and Intimate Partner Violence in Ethiopia. International Perspectives on Sexual and Reproductive Health. 39(1):6-13
58
Fadlyana E, Larasaty S. 2009. Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya. Sari Pediatri. 11 (2): 136-140. Fagan P F, Churchill A. 2012. The Effect of Divorce on Children. Marriage and Religion Research Institute. Washington DC Fatimah D, Cahyono R. 2013. Pemenuhan Aspek-aspek Kepuasan Perkawinan Pada Remaja Perempuan yang mengalami Kehamilah Pranikah. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. 2(1). Fears CS. 2014. Teenage Pregnancy Prevention: Statistics and Programs. Congressional Research Service. Fiese BH, Tomcho TJ, Douglas M, Josepths K, Poltrock S, Baker T. 2002. A Review of 50 Years of Research on Natural Occuring Family Routines and Rituals: Cause for Celebration?. Syracuse University. Journal of Psychology. 16(4): 381-390. Figueiredo B, Bifulco A, Pacheco A, Costa R, Magarinho R. 2006. Teenage pregnancy, attachment style, and depression: A Comparison of teenage and adult pregnant women in a Portuguese series. Attachtment & Human Development. 8(2):123-138 Fowers B J, Olson D H. 1989. Enrich Marital Inventory: A Discriminant Validity and Cross-Validity Assesment. Journal of Marital and Family Therapy. 15(1). Ghalili Z, Etemadi O, Ahmadi S, Fatehizadeh M, Abedi M. 2012. Marriage Readiness Criteria Among Young Adults of Isfahan: A Qualitative Study. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business. 4(4). Gueorguieva R, Carter R L, Ariet M, Roth J, Mahan C S, Resnick M B. 2001. Effect of Teenage Pregnancy on educational Disabilities in Kindergarden. American Journal of Epidemiology. 154(3). Guilbert N. 2013. Early Marriage, Women Empowerment And Child Mortality: Married Too Young To Be A Good Mother?. Document de travall UMR DIAL. Gunarsa S. 2008. Dasar dan Teori Perkembangan Anak. Cetak 9. Gunung Mulia: Jakarta Gunarsa YS, Gunarsa S. 2012. Psikologi Untuk Keluarga. Jakarta (ID): Libri Gunnels MJ. 2013. The Impact of Self-Esteem and Religiousity on the Marital Readiness Criteria of College Students. Honors Theses. The University of Southern Mississippi. The Aquial Digital Community. Harris A. 2012. Faktor-faktor penyebab terjadinya cerai gugat dan permasalahannya di Kota Jambi. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. Hastuti D, Alfiasari, Chandriyani. 2010. Nilai Anak, Stimulasi Psikososial, dan Perkembangan Kognitif Anak Usia 2-5 Tahun Pada Keluarga Rawan Pangan di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen. 3(1):27-34. Hastuti D, Fiernanti DYI, Guhardja S. 2011. Kualitas Lingkungan Pengasuhan dan Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Balita di daerah Rawan Pangan. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen. 4(1):57-65. Hastuti D. 2009. Stimulasi Psikososial Pada Anak Kelompok Bermain dan Pengaruhnya Pada Perkembangan Motorik, Kognitif, Sosial Emosi, dan
59
Moral/ Karakter Anak. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, Januari 2009, p : 41-56. Vol. 2. No. 1 Holman T B, Li, B. D. 1997. Premarital factors influencing perceived readiness for marriage. Journal of Family Issues. 18 (2):124-144. Howard K S, Lefever J E B, Borkowski J G, Whitman T L. 2006. Father’s Influence in the lives of Children With Adolescent Mothers. Journal of Family Psychology. 20(3):468-476 Hurlock. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta (ID): Erlangga Isaranurug S, Mo-suwan L, Choprapawon C. 2006. Differences in SocioEconomic Status, Services Utilization, and Pregnancy Outcomes between teenage and adulth mothers. Journal Medical Association Thailand. 89(2). Kato K, Ishii-Kuntz M, Makino K, Tsuchiya M. 2002. The impact of Paternal involvement and maternal childcare anxiety on Sociability of threeyears olds. Two Cohort Comparison. Japanese Journal of Developmental Psychology. 13(1):30-41. Keys D. 2008. Optimizing Wellbeing: Young Mothers’ Participation In Parents’ Group. Melbourne School of population health. The university of Melbourne. Kim H S. 2011. Consequences of Parental Divorce For Child Development. American Sociological Review. 76(3):487-511. SAGE Klein DM, White JM. 1996. Family Theories An Introduction. New Delhi: SAGE Publications. International Education and Professional Publisher. Krisnatuti D, Oktaviani V. 2010. Persepsi dan Kesiapan Menikah Pada Mahasiswa. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen. 4(1): 30-36 Larson H, Lamont C. 2005.The relationship of childhood sexual abuse to the marital attitudes and readiness for marriage of single young adult women. Journal of Family Issues, 26: 415-432. Larson JH, Holman TB. 1994. Premarital prediction of marital quality and stability. Family Relations. 43:228-237. Larson JH. 1988. Factors influencing college students perceived readiness for marriage. Family perspective. 22(2): 145-157. Latifah M, Alfiasari, Hernawati N. 2009. Kualitas Tumbuh Kembang, Pengasuhan Orang Tua, dan Faktor Risiko Komunitas Pada Anak Usia Prasekolah Wilayah Pedesaan di Bogor. Jurnal Ilmu keluarga dan Konsumen. 2(2):143-153. Lemonda C S, Shannon J, Spelmann M. 2002. Low-Income Adolescent Mothers’ Knowledge about Domains of Child Development. Infant Mental Health Journal. 23(1-2): 88-103. Logsdon MC, Koniak-Griffin D. 2004. Social Support in postpartum adolescents: guidelines for nursing assessments and interventions. Journal of Obstetric, Gynecologic and Neonatal Nursing. 34:761-768 Mahayanti I R. 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat perceraian keluarga usia produktif menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi hukum Islam. Universitas Mataram. Maryanti D, Septikasari M. 2009. Buku Ajar Kesehatan Reproduksi Teori dan Praktikum. Yogyakarta: Nuha Medika
60
Maryati H, Alsa A, Rohmatun. 2007. Kaitan Kematangan Emosi Dengan Kesiapan Menghadapi Perkawinan Pada Wanita Dewasa Awal di Kecamatan Semarang Barat. Jurnal Psikologi Proyeksi. 2(2):25-35. Megawangi R, Dewi R, Jusung FY, Kusharto MHR. 2010. Membangun Karakter Anak Melalui Brain-Based Parenting (Pola Asuh Ramah Otak). Depok: Indonesia Heritage Foundation. Megawangi R. 1999. Membiarkan berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung (ID): Mizan Pustaka Muhammad B H A. 2009. Perceraian dan Perubahan Sosial di Kabupaten Bungo. Kontekstualitas. 26(2). Mulyana N, Ridwan I. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan usia menikah muda pada wanita dewasa muda di kelurahan mekarwangi kota Bandung. Jurnal Kesehatan Kartika STIKES A.Yani. Munir AS. 2003. Kedewasaan Perkawinan Dalam Undang-Undang Perkawinan Indonesia. Bandung (ID): Mizan Nasrin S O, Rahman K M M. 2012. Factors affecting early marriage and early conception of women: A Case of Slum areas in Rajshahi City, Bangladesh. International Journal of Sociology and Anthropology. 4(2)54-62. National Human Services Assembly. 2013. Breaking the cycle of poverty in young family. Research Report. Nelson LJ. 2009. The role emerging adult and parental financial behaviours, criteria and assistance on the marital horizon of emerging adults. [thesis]. Brigham Young University. Ngantung G N. 2012. Penyesuaian Perkawinan Pada Mahasiswi yang menikah karena hamil di luar nikah. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga. Olson C D. 2008. Sooner or later? Parent’s marital horizons for their emerging adult children. (Master’s Thesis, Brigham Young University) Retrieved from: http://contentdm.lib.byu.edu/ETD/image/etd2296.pdf Olson D H , Defrain J. 2002. Marriage And The Family Diversity And Strengths. California: Mayfield Publishing Company. Pougnet E, Serbin L A, Stack D M, Schwartzman A E. 2011. Father’s Influence on Children’s Cognitive and Behavioral Functioning: A Longitudinal Study of Canadian Families. Canadian Journal of Behavioral Science. 43(3):173-182. Pruett K. 2000. Father-need. New York: Broadway Books Stenberg Pujiastuti R D, Lestari S. 2008. Dinamika Psikologis Terjadinya Perceraian Pada Perempuan Bercerai. Indigenous. Jurnal Ilmiah Berkala Psikologi. 10(2):16-27. Puspitawati H. 2012. Gender dan Keluarga. Bogor(ID): IPB Press. Puspitawati H. 2013. Pengantar Studi Keluarga. Bogor (ID): IPB Press Rahmaulina ND, Hastuti D. 2008. Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Gizi dan Tumbuh Kembang Anak Serta Stimulasi Psikososial dengan Perkembangan Kognitif Anak Usia 2-5 Tahun. Jurnal Ilmu Keluarga Dan Konsumen. 1(2). Sanders M, Morawska A. 2008. Can Changing Parental Knowledge, Dysfunctional Expectations and Attributions, and Emotion Regulation
61
Improve Outcomes for Children. Encyclopedia on Early Childhood Development. University of Queensland Australia. Sandstrom H, Huerta S. 2013. The Negative Effects of Instability on Child Development: A Research Syntesis. Urban Institute. Santrock JW. 2007. Perkembangan Anak. Edisi Kesebelas. Jilid I. Jakarta (ID): Erlangga Sarwono SW. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta (ID): PT. Raja Grafindo Silberberg S. 2001. Searching For Family Resilience. Family Matters. 58: 52-57. Spencer N. 2001. The Social Patterning Of Teenage Pregnancy. Journal of Epidemiology and Community Heatlh. 55(1): 55 Sunarti E, Simanjuntak M, Rahmatin I dan Dianeswari R. 2012. Kesiapan Menikah dan Pemenuhan Tugas Keluarga Pada Keluarga dengan anak usia prasekolah. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen. Agustus 2012, p: 110-119 Vol 5 No. 2 ISSN: 1907-6037 Sunarti E. 2004. Mengasuh Dengan Hati Tantangan Yang Menyenangkan. Jakarta(ID): Elex Media Komputindo. Sunarti E. 2008. Peningkatan Ketahanan Keluarga Dan Kualitas Pengasuhan Untuk Meningkatkan Status Gizi Anak Usia Dini. Media Gizi dan Keluarga. 32(2):65-72. Sunarti E. 2009. A Study of Plantation Women Workers : Socio Economic Status, Family Strength, Food Security, and Children Growth and Development. ISBN 978-979-15786-2-2 UNICEF. 2005. Early Marriage: A Harmful Traditional Practice. The United Nations Children’s Fund. Uyun Z dan Saputra N W. 2011. Kecemasan Pada Remaja Hamil di Luar Nikah. Ishraqi. 10(1). Widhianawati. 2011. Pengaruh Pembelajaran Gerak dan Lagu Dalam Meningkatkan Kecerdasan Musikal dan Kecerdasarn Kinestetik Anak Usia Dini (Studi Eksperimen Kuasi Pada Anak Kelompok Bermain Mandiri SKB Sumedang). Edisi Khusus No. 2. Agustus 2011. ISSN 1412-565X. William B K, Sawyer S C, Wahlstrom C M. 2006. Mariages, Families & Intimate Relationship : A Practical Introduction Boston; Pearson Education. Inc NewYork: Random House. Yudesti, Prayitno. 2013. Perbedaan Status Gizi Anak SD Kelas IV dan V di SD Unggulan (06 Pagi Makasar) dan SD NonUnggulan (09 Pagi Pinang Ranti) Kecamatan Makasar Jakarta Timur Tahun 2012. Jurnal Ilmiah Kesehatan. 5(1). Yusuf S. 2000. Psikologi Perkembangan anak dan remaja. PT Remaja Rosdakarya. Bandung Zeitlin ME, Megawangi R, Kramer EM, Colleta ND, Babatunde ED dan Gorman D. 1995. Strengthening The Family: Implication For International Development. New York (USA): United Nations University Pr
62
Lampiran 1 Gambaran umum lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan pada dua lokasi kelurahan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Cipayung Kota Depok. Kelurahan Pertama adalah Kelurahan Ratu Jaya. Kelurahan ini memiliki luas wilayah ±237,890 Ha dengan batas wilayah sebelah utara adalah Kelurahan Depok Kecamatan Pancoran Mas; Sebelah Timur adalah Kali Ciliwung; Sebelah Selatan adalah Kelurahan Bojong Pondok Terong dan Sebelah Barat adalah Kelurahan Cipayung. Jumlah Penduduk di Kelurahan Ratu Jaya sampai akhir bulan Desember 2013 tercatat 23.315 jiwa terdiri dari 11.485 jiwa penduduk laki-laki; 11.830 jiwa penduduk perempuan dan 7.840 kepala keluarga serta jumlah penduduk miskin di wilayah ini mencapai 832 keluarga. Penduduk di wilayah kelurahan ini memiliki jenis pekerjaan yang cukup bervariasi namun terdapat tiga jenis pekerjaan terbanyak yaitu buruh (8762 orang), pegawai swasta (7129 orang) dan pedagang (3562 orang) sisanya adalah TNI/POLRI, PNS, petani dan pengrajin industri kecil. Kelurahan kedua adalah Kelurahan Bojong Pondok Terong. Kelurahan ini memiliki luas wilayah ±186,328 Ha dengan batas wilayah sebelah Utara adalah Kelurahan Ratu Jaya; Sebelah Timur adalah Kelurahan Pondok Jaya; Sebelah Selatan adalah Kelurahan Pabuaran dan Sebelah Barat adalah Kelurahan Cipayung Jaya. Jumlah Penduduk di Kelurahan Bojong Pondok Terong sampai akhir bulan Desember 2013 tercatat 27.106 jiwa terdiri dari 14.567 jiwa penduduk laki-laki; 12.539 jiwa penduduk perempuan dan 6.782 kepala keluarga serta jumlah penduduk miskin di wilayah ini mencapai 1.195 keluarga. Penduduk di wilayah kelurahan ini memiliki jenis pekerjaan yang cukup bervariasi namun jenis pekerjaan terbanyak yaitu pegawai swasta (6845 orang), wiraswasta (5086), pedagang (2852 orang) dan petani (2580 orang) sisanya adalah TNI/POLRI, PNS, purnawirawan dan lainnya.
63
64
Lampiran 3 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami Tingkat Pendidikan Tamat SD Tidak Tamat SMP Tamat SMP Tidak Tamat SMA Tamat SMA Diploma (D3) Sarjana (S1)
Usia Menikah Istri Muda (%) Dewasa (%) 11,7 8,3 1,7 0 25 23.3 1,7 0 56.7 61.7 3,3 3,3 0 3.3
Total % 10 0,8 24,2 0,8 59,2 3,3 1.7
Lampiran 4 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan istri
Tingkat Pendidikan Tamat SD Tamat SMP Tidak Tamat SMA Tamat SMA Diploma (D3) PGTK Sarjana (S1)
Usia Menikah Istri Muda (%) Dewasa (%) 11,7 10,0 43,3 43,3 1,7 0 43,3 35,0 0 5,0 0 1,7 0 5,0
Total % 10,8 43,3 0,8 39,2 2,5 0,8 2,5
Lampiran 5 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan suami
Pekerjaan Buruh Karyawan PNS Satpam Supir Teknisi Wiraswasta
Usia Menikah Istri Muda (%) Dewasa (%) 30,0 11,7 20,0 46,7 0 1,7 5,0 5,0 1,7 5,0 0 3,3 41,7 28,3
Total % 20,8 33,3 0,8 3,3 3,3 1,7 35,0
Lampiran 6 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan istri Pekerjaan Guru Karyawan Ibu Rumah Tangga Pembantu RT Wiraswasta
Usia Menikah Istri Muda (%) Dewasa (%) 0 3,3 8,3 1,7 88,3 83,3 0 1,7 3,3 10,0
Total % 1,7 5,0 85,8 0,8 6,7
65
Lampiran 7 Dokumentasi penelitian
66
67
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1987 dan merupakan putri ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Ismanu dan Siti Pangestu. Penulis menikah dengan Saga Hayyu Suyanto Putra, S.T. pada tanggal 12 Maret 2011 dan dianugerahi satu orang putra bernama Liga Haddaf Saga Putra yang lahir pada tanggal 1 Februari 2012. Penulis menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Sukmajaya V Depok, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 3 Depok, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Depok dan melanjutkan Strata 1 pada tahun 2004-2008 di Fakultas Kesehatan Masyarakat jurusan Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Depok. Lulus dari FKM UI, pada tahun yang sama yaitu tahun 2008, penulis diterima bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat sebagai penyusun masalah kesehatan reproduksi pada Direktorat Kesehatan Reproduksi BKKBN Pusat sampai dengan saat ini. Pada Tahun 2012, BKKBN Pusat memberikan Beasiswa S2 Dalam Negeri kepada penulis pada prodi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak Institut Pertanian Bogor (IPB). Prestasi yang pernah ditorehkan penulis antara lain: menjadi ketua umum Badan Semi Otonom Koperasi Mahasiswa FKM UI pada Tahun 2006-2007, peringkat ke-4 mahasiswa berprestasi FKM UI tahun 2007, penerima beasiswa DIKTI leadership hingga lulus perkuliahan dan lulus dengan predikat cumlaude pada Strata 1 FKM UI serta menjadi salah satu pemenang pada Call for Papers Prakarsa Conference 2011 di Jakarta, Indonesia mengenai Pembiayaan MDGs untuk Indonesia dan dipresentasikan di Hotel Santika Jakarta pada tanggal 15-16 Juni 2011.