1
KESIAPAN MENIKAH DAN PELAKSANAAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA PRASEKOLAH
INE RAHMATIN
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
3
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan Tugas Perkembangan Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2011
Ine Rahmatin NIM. I24070032
5
ABSTRACT Ine Rahmatin. Marital Readiness and Preschool Family Developmental Task. Supervised by Euis Sunarti and Megawati Simanjuntak. The aims of this research were to analyze the difference of marital readiness between husband and wife and the influence of marital readiness towards preschool family developmental task. The research was conducted in Bubulak, Bogor, West Java where the location was determined by purpossive method. Ninety preschool families were chosen by simple random sampling method. Primary data was collected by interviewing the respondent with questionnaire. Data was analyzed by using descriptive, T-test, correlation analysis, and regression analysis. Result of this study showed that the husband’s marital readiness was higher than the wife’s. A significant correlation was found not only in husband’s marital readiness (intelectual, emotion, personality, financial, and mental dimensions) and family developmental task, but also in wife’s marital readiness (intelectual, emotion, and financial dimensions) and family developmental task. In addition, marital readiness of husband and wife had a significant influence toward family developmental task. Child development also influenced by family developmental task. Keywords: marital readiness, family developmental task, preschool family, child development ABSTRAK Ine Rahmatin. Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan Tugas Perkembangan Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah. Dibimbing oleh Euis Sunarti dan Megawati Simanjuntak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan kesiapan menikah antara suami dan istri, serta menganalisis pengaruh kesiapan menikah terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah. Penelitian dilakukan di Kelurahan Bubulak, Bogor, Jawa Barat, dimana lokasi ditentukan dengan metode purposive. Contoh dipilih secara acak sederhana yaitu sebanyak 90 keluarga dengan anak pertama usia prasekolah. Pengambilan data dilakukan dengan teknik wawancara dengan menggunakan kuesioner. Data dianalisis dengan analisis deskriptif, uji beda T-test, korelasi, dan regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam hal kesiapan menikah dimana kesiapan menikah suami lebih tinggi dibandingkan istri. Hubungan yang signifikan tidak hanya ditemukan pada hubungan kesiapan menikah suami (aspek kesiapan intelektual, emosi, individu, finansial, dan mental) dengan tugas perkembangan keluarga, tetapi juga pada hubungan kesiapan menikah istri (aspek kesiapan intelektual, emosi, dan finansial) dengan tugas perkembangan keluarga. Selain itu, kesiapan menikah suami dan istri berpengaruh terhadap tugas perkembangan keluarga. Perkembangan anak dipengaruhi oleh tugas perkembangan keluarga. Kata kunci: kesiapan menikah, tugas perkembangan keluarga, keluarga dengan anak prasekolah, perkembangan anak
7
RINGKASAN INE RAHMATIN. Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan Tugas Perkembangan Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah. Dibimbing oleh Euis Sunarti and Megawati Simanjuntak. Pernikahan atau perkawinan dapat dikatakan sebagai jalan untuk menyatukan dua individu yang berbeda. Namun memasuki dunia pernikahan diperlukan sebuah kesiapan. Kesiapan menikah menjadikan pasangan suami istri lebih percaya diri untuk menempuh kehidupan baru setelah pernikahan yaitu menjalankan fungsi, peran, dan tugas dalam membangun sebuah keluarga yang diinginkan. Kelahiran seorang anak sering merupakan saat kritis dalam perkawinan. Hal ini disebabkan oleh perubahan peran yang drastis yang harus dilakukan oleh orangtua. Saat lahirnya anak pertama, dalam beberapa hal kedua orangtua anak merasa belum mampu berperan sebagai orangtua, karena memerlukan banyak perubahan perilaku, nilai, dan peranan yang harus dijalankannya. Oleh karena itu, kesiapan menikah dari setiap pasangan sangat diperlukan, sehingga nantinya dapat melaksanakan tugas perkembangan keluarga dengan baik. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis kesiapan menikah dan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi kesiapan menikah dan pemenuhan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah; (2) Menganalisis hubungan antara kesiapan menikah dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah; (3) Menganalisis perbedaan kesiapan menikah antara suami dan istri; (4) Menganalisis pengaruh kesiapan menikah terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah; dan (5) Menganalisis pengaruh pelaksanaan tugas perkembangan keluarga terhadap perkembangan anak. Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi antara cross sectional study dan retrospective study. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive yaitu di kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Jawa Barat. Pengambilan data dilakukan pada bulan Juni hingga Juli 2011. Contoh dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anak pertama usia prasekolah (3-5 tahun) yaitu sebanyak 90 keluarga yang ditentukan secara acak sederhana. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga, kesiapan menikah setiap pasangan, tugas perkembangan keluarga, dan perkembangan anak yang diperoleh melalui hasil wawancara dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif dan inferensia, yaitu uji korelasi pearson, uji beda independent samples t-test, dan regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh contoh termasuk ke dalam keluarga kecil dengan rataan jumlah anggota keluarga adalah 3 orang. Rata-rata usia suami adalah 32,94 tahun dan usia istri adalah 28,08 tahun. Ratarata usia anak pertama contoh adalah 48,24 bulan. Untuk usia menikah, rataan usia menikah suami sebesar 27,81 tahun, sedangkan rataan usia menikah istri sebesar 22,96 tahun. Berdasarkan lama pendidikan, rata-rata suami menempuh pendidikan selama 9,74 tahun sedangkan istri menempuh pendidikan selama 8,84 tahun. Rata-rata pendapatan keluarga adalah Rp 1.540.000 per bulan. Rata-rata pendapatan per kapita keluarga adalah Rp 482.000 per bulan. Berdasarkan hasil uji beda rataan t-test terdapat perbedaan yang nyata dimana usia suami lebih tinggi daripada istri (p<0,01), usia menikah suami lebih tinggi
8
daripada istri (p<0,01), dan lama pendidikan suami lebih tinggi daripada istri (p<0,05). Hampir separuh suami bekerja sebagai buruh dan hampir seluruh istri tidak bekerja (ibu rumah tangga). Kesiapan menikah dari setiap pasangan suami istri diukur dari ketujuh aspek kesiapan, yaitu kesiapan intelektual, emosi, sosial, moral, individu, finansial, dan mental. Secara umum suami dan istri telah memenuhi lebih dari 50 persen item kesiapan menikah dari seluruh aspek. Hanya kesiapan finansial saja dimana suami dan istri telah memenuhi kurang dari 50 persen item kesiapan finansial. Hasil uji beda menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata dimana kesiapan intelektual, sosial, dan individu pada suami lebih tinggi dibandingkan pada istri. Kemudian kesiapan emosi pada istri lebih tinggi dibandingkan suami. Secara keseluruhan, terdapat perbedaan kesiapan menikah antara suami dan istri, dimana kesiapan menikah suami lebih tinggi daripada istri (p<0,01). Tugas perkembangan keluarga merupakan tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam setiap tahapan keluarga. Pada penelitian ini, tugas perkembangan keluarga dibagi menjadi dua bagian yaitu tugas perkembangan keluarga dimensi anak dan tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua. Pencapian tugas perkembangan keluarga dimensi anak, keluarga contoh telah memenuhi rata-rata 82,5 persen, sedangkan untuk tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua, keluarga contoh telah memenuhi rata-rata 66,9 persen. Secara keseluruhan, dengan menggabungkan dari ke dua bagian tersebut, maka diketahui pencapaian pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dimana keluarga contoh telah memenuhi rata-rata 74,2 persen dari seluruh item tugas perkembangan keluarga. Perkembangan anak contoh diukur dengan menggunakan instrumen Bina Keluarga Balita (BKB). Dimensi perkembangan yang diukur terdiri dari motorik kasar, motorik halus, bahasa pasif, bahasa aktif, kognitif, kemandirian, dan kemampuan bergaul. Secara umum rataan pencapaian perkembangan anak usia 36-48 bulan adalah sebesar 68,7 persen. Selain itu, untuk anak usia 48-60 bulan rataan pencapaian perkembangannya sebesar 80,6 persen. Terdapat perbedaan yang nyata dimana perkembangan anak usia 48-60 bulan lebih tinggi dibandingka anak usia 38-48 bulan (p<0,01). Uji korelasi Pearson dilakukan untuk mengetahui hubungan kesiapan menikah suami dan istri dengan tugas perkembangan keluarga. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kesiapan menikah suami dan kesiapan menikah istri memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga (p<0,01). Hal tersebut berarti semakin tinggi kesiapan menikah suami dan istri maka pelaksanaan tugas perkembangan keluarga akan semakin baik. Namun jika aspek kesiapan menikah suami dihubungan dengan tugas perkembangan keluarga diketahui bahwa kesiapan intelektual (p<0,01), emosi (p<0,05), individu (p<0,05), finansial (p<0,05), dan mental suami (p<0,05) memiliki hubungan yang nyata dan postif dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga. Hal tersebut bararti, semakin tinggi kesiapan intelektual, emosi, individu, finansial, dan mental suami, maka tingkat pelaksanaan tugas perkembangan keluarga akan semakin baik. Sedangkan untuk aspek kesiapan menikah istri diketahui bahwa kesiapan intelektual (p<0,01), emosi (p<0,05), dan finansial istri (p<0,01) memiliki hubungan nyata dan positif dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga. Semakin tinggi kesiapan intelektual, emosi, dan finansial istri maka pelaksanaan tugas perkembangan keluarga akan semakin tinggi pula. Uji regresi linear berganda digunakan untuk melihat variabel yang berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa kesiapan menikah suami dan istri berpengaruh
9
positif signifikan (p<0,01) terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga. Setiap kenaikan satu satuan standar deviasi kesiapan menikah suami, maka akan menaikkan tugas perkembangan keluarga sebanyak 0,358 satuan standar deviasi. Begitu pula dengan kesiapan menikah istri, dimana setiap kenaikan satu satuan standar deviasi kesiapan menikah istri, maka akan menaikkan 0,318 satuan standar deviasi tugas perkembangan keluarga. Pencapaian perkembangan anak yang baik tidak terlepas dari dukungan keluarga sebagai pihak yang paling dekat dengan anak. Keluarga yang telah melaksanakan tugas perkembangan keluarganya dengan baik, diduga akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Untuk itu dilakukan uji regresi linear berganda untuk melihat apakah pelaksanaan tugas perkembangan keluaga berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa tugas perkembangan keluarga dimensi anak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan anak (p<0,01), namun selain itu tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua juga berpengaruh terhadap perkembangan anak (p<0,1). Setiap kenaikan satu satuan standar deviasi tugas perkembangan keluarga dimensi anak, maka akan menaikkan 0,423 satuan standar deviasi perkembangan anak. Sedangkan setiap kenaikan satu satuan standar deviasi tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua, maka akan menaikkan 0,203 satuan standar deviasi perkembangan anak. Kata kunci: kesiapan menikah, tugas perkembangan keluarga, keluarga dengan anak prasekolah, perkembangan anak
11
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang
mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
13
KESIAPAN MENIKAH DAN PELAKSANAAN TUGAS PERKEMBANGAN KELUARGA DENGAN ANAK USIA PRASEKOLAH
INE RAHMATIN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
15
Judul Nama
: Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan Tugas Perkembangan Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah : Ine Rahmatin
NIM
: I24070032
Disetujui,
Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S Pembimbing I
Megawati Simanjuntak, SP, M.Si Pembimbing II
Diketahui,
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Tanggal Lulus:
17
PRAKATA Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Rasa syukur juga penulis haturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi motivator kehidupan bagi penulis. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang begitu besar kepada: 1. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S dan Megawati Simanjuntak, SP, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan begitu banyak masukan, bimbingan, dan perbaikan yang positif sehingga dapat menyempurnakan penyelesaian skripsi ini. 2. Dr. Ir. Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan, perbaikan, dukungan, dan semangat kepada penulis, serta Ir. Moh. Djemdjem Djamaludin, M.Sc sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan saran selama penulis menjalankan studi di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. 3. Orangtua yang tiada henti mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Ayahanda Endang Herlita dan Ibunda Rohmah yang selalu mendoakan dan memotivasi penulis untuk terus berkarya dan berprestasi. Saudara penulis Adeng Hendarsyah, Neneng Laelawati, Ratih Winarti, Cecep Faturohman, dan Wawan Herawan, serta keluarga besar yang selalu memberikan dukungan serta semangat yang tiada henti mengalir. 4. Para aparat desa, Ketua RW/RT, dan kader posyandu Kelurahan Bubulak atas bantuan, kemudahan, dan kerjasama yang diberikan dalam proses pengambilan data. 5. Teman-teman satu bimbingan; Restystika, Fitri Sari, Lia Nurjanah, dan Rini Hastuti atas kerjasama, perhatian, dukungan, dan semangat dalam menjalani setiap tahap penyelesaian skripsi ini bersama-sama dalam suka maupun duka, serta para sahabat; Dinda Ayu, Karina, Tuty, Mustika Dewanggi, dan teman-teman IKK 44 yang selalu saling memberikan semangat, motivasi, doa, serta sebuah kebersamaan yang sangat indah selama masa perkuliahan. 6. Kepada semua pihak yang belum disebutkan namanya yang telah memberikan kontribusi dalam penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Bogor, Desember 2011 Ine Rahmatin
19
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .................................................................................................. iii DAFTAR TABEL ........................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 Latar Belakang .......................................................................................... Perumusan Masalah ................................................................................. Tujuan Penelitian ...................................................................................... Kegunaan Penelitian .................................................................................
1 3 5 5
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 7 Keluarga .................................................................................................... Tugas Pekembangan Keluarga ................................................................. Kesiapan Menikah ..................................................................................... Anak Usia Prasekolah ............................................................................... Penelitian Terdahulu .................................................................................
7 8 11 16 18
KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................................. 21 METODE PENELITIAN ................................................................................. 25 Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian ........................................................ Teknik Pemilihan Contoh .......................................................................... Jenis dan Cara Pengumpulan Data ........................................................... Pengolahan dan Analisis Data .................................................................. Definisi Operasional ..................................................................................
25 25 26 26 29
HASIL ............................................................................................................ 31 Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................................... Karakteristik Contoh .................................................................................. Kesiapan Menikah ..................................................................................... Tugas Perkembangan Keluarga ................................................................ Perkembangan Anak ................................................................................. Hubungan antara Usia Menikah dan Lama Pendidikan dengan Kesiapan Menikah ..................................................................................... Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Tugas Perkembangan Keluarga .................................................................................................... Hubungan antara Kesiapan Menikah dengan Tugas Perkembangan Keluarga .................................................................................................... Pengaruh Kesiapan Menikah terhadap Pelaksanaan Tugas Perkembangan Keluarga ........................................................................... Pengaruh Tugas Perkembangan Keluarga terhadap Perkembangan Anak ..........................................................................................................
31 31 37 47 51 53 53 54 55 55
20 Halaman PEMBAHASAN ............................................................................................. 57 Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 61 SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 63 Simpulan ................................................................................................... 63 Saran ........................................................................................................ 64 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 65 LAMPIRAN .................................................................................................... 69
21
DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1 Variabel penelitian, skala data, dan kategori data ................................. 27 2
Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga ........................................ 31
3
Sebaran contoh berdasarkan usia ......................................................... 32
4
Sebaran contoh berdasarkan usia menikah .......................................... 32
5
Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan .................................. 33
6
Sebaran contoh berdasarkan kategori lama pendidikan ....................... 34
7
Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan ....................................... 34
8
Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga .............................. 35
9
Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita keluarga ............. 36
10 Sebaran usia dan jenis kelamin anak contoh ........................................ 36 11 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan intelektual ..... 37 12 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan intelektual ....... 38 13 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan emosi ............ 39 14 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan emosi ............. 39 15 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan sosial ............ 40 16 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan sosial .............. 41 17 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan moral ............. 41 18 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan moral .............. 42 19 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan individu ......... 43 20 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan individu ........... 44 21 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan finansial ........ 44 22 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan finansial .......... 45 23 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan mental ........... 45 24 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan mental ............ 46 25 Sebaran contoh berdasarkan komposit kesiapan menikah ................... 47 26 Sebaran contoh berdasarkan item tugas perkembangan keluarga dimensi anak ........................................................................................ 48 27 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dimensi anak ....................................... 48 28 Sebaran contoh berdasarkan item tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua .................................................................................. 49 29 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua ................................. 50 30 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat pelaksanaan tugas perkembangan keluarga ....................................................................... 50
22 Halaman 31 Sebaran rataan skor pencapaian perkembangan anak contoh berdasarkan dimensi perkembangan untuk anak usia 36-48 bulan ....... 51 32 Sebaran rataan skor pencapaian perkembangan anak contoh berdasarkan dimensi perkembangan untuk anak usia 48-60 bulan ....... 52 33 Sebaran anak contoh berdasarkan kategori tingkat perkembangan anak ...................................................................................................... 52 34 Sebaran koefisien korelasi anatara usia menikah dan lama pendidikan dengan kesiapan menikah .................................................. 53 35 Sebaran koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dengan tugas perkembangan keluarga .............................................................. 53 36 Sebaran koefisien korelasi antara variabel kesiapan menikah dengan tugas perkembangan keluarga ................................................. 54 37 Sebaran koefisien regresi kesiapan menikah suami dan istri terhadap tugas perkembangan keluarga ............................................... 55 38 Sebaran koefisien regresi tugas perkembangan keluarga terhadap perkembangan anak .............................................................. 56
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian ............................................................... 23 2 Kerangka penarikan contoh penelitian .................................................. 25
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1 Peta lokasi penelitian ............................................................................ 71 2 Dokumentasi penelitian ......................................................................... 72
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan. Sudah menjadi fitrah manusia yang mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya serta mencari pasangan hidupnya. Hal ini yang dapat menyebabkan setiap laki-laki dan perempuan mendambakan pasangan hidup untuk dapat saling melengkapi, mengasihi, dan saling menyempurnakan satu sama lain, sehingga muncul suatu perasaan yang tenang, senang, tentram, damai, dan bahagia yang akan dirasakan bersama pasangannya (Martyastanti 2009). Seorang individu yang telah menemukan pasangan hidup pastinya akan melanjutkan kejenjang yang lebih serius yaitu berkomitmen untuk menikah dan membangun sebuah keluarga. Menikah merupakan masa yang sangat penting dalam siklus kehidupan manusia (Martyastanti 2009). Pengertian menikah sama halnya dengan pengertian perkawinan. Undang-undang perkawinan No 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menikah menurut Hogg (2002) diacu dalam Putri (2010) adalah menemukan pasangan yang cocok untuk diajak berkomitmen dalam menjalani kehidupan bersama dimasa-masa selanjutnya dan untuk memiliki keturunan. Memasuki dunia pernikahan diperlukan sebuah kesiapan (Blood 1978). Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap mengasuh anak (Duvall & Miller 1985). Selain itu kesiapan
menikah
juga
mencangkup
aspek
kematangan
kepribadian,
ketersediaan finansial, dan kualitas sumberdaya manusia yang memadai (Burgess & Locke 1960). Kesiapan menikah menjadikan pasangan suami-istri lebih percaya diri untuk menempuh kehidupan baru setelah pernikahan yaitu menjalankan fungsi, peran, dan tugas dalam membangun sebuah keluarga yang diinginkannya. Kesiapan menikah adalah ketika laki-laki dan perempuan telah menyelesaikan tugas perkembangan remajanya, dan secara fisik, emosi, tujuan,
2
finansial, dan pribadinya telah siap untuk menanggung tanggung jawab setelah menikah (Duvall 1971). Pasangan suami-istri yang telah memiliki kesiapan menikah yang baik kemudian berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga, hurus siap untuk dapat menjalankan fungsi, peran dan tugasnya dalam keluarga. Selain
itu,
individu
perkembangannya
juga
harus
disetiap
mampu
tahapan
untuk
melaksanakan
perkembangan
keluarga.
tugas Tugas
perkembangan merupakan tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam kehidupan setiap individu, apabila individu berhasil dalam tugas tersebut maka akan membawa keberhasilan untuk menyelesaikan tugas berikutnya (Havighurst dalam Hurlock 1980). Tugas perkembangan berasal dari dua hal utama, yaitu kematangan fisik dan tekanan budaya (Duvall 1971). Proses kematangan ditandai oleh kematangan potensi-potensi dari dalam diri individu, baik secara fisik maupun psikis untuk terus maju menuju perkembangan secara maksimal (Rizal 2008). Pada pelaksanaan tugas perkembangan dibutuhkan tingkat kematangan diri individu baik secara fisik maupun psikis yang dapat dipersiapkan sebelum menikah. Pasangan suami-istri yang telah memiliki kematangan diri diharapkan dapat
melaksanakan
tugas
perkembangan
individu
maupun
tugas
perkembangan keluarganya dengan baik. Tugas perkembangan merupakan tanggung jawab yang harus dicapai oleh keluarga dalam setiap tahap perkembangannya. Kelahiran seorang anak dalam keluarga menimbulkan perubahanperubahan dalam organisasi keluarga. Fungsi-fungsi sebagai pasangan suami istri harus dibedakan untuk memenuhi tuntutan baru dalam hal perawatan dan pengasuhan anak dalam keluarga. Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia diantara dua sampai enam tahun (Hurlock 1980). Pasangan suami-istri dengan anak usia prasekolah memiliki kewajiban dalam pemenuhan tugas perkembangan keluarga pada tahapan ini. Orangtua sebagai peran utama dalam merawat anak perlu menyadari mengenai tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada tahap ini agar tahapan tersebut dapat dilalui dengan sukses. Peran dan tugas orangtua yang memiliki anak dalam keluarganya lebih kepada bagaimana orangtua mampu berinteraksi serta merawat dan mengasuh anaknya dengan baik, sehingga pertumbuhan dan perkembangannya dapat tercapai secara optimal (Hurlock 1980).
3
Pasangan yang sejak dari awal sebelum memasuki gerbang pernikahan memiliki kesiapan menikah yang baik seperti kematangan kepribadian, ketersediaan finansial, dan kualitas sumberdaya yang memadai setidaknya akan membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas perkembangan dalam setiap tahapan perkembangan keluarga. Keluarga yang berada pada tahapan keluarga dengan anak prasekolah memiliki tugas-tugas perkembangan yang harus terpenuhi sehingga nantinya akan membawa keberhasilan pada tahapan keluarga selanjutnya. Kesiapan menikah dari setiap pasangan diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pencapaian tugas-tugas perkembangan dalam keluarga. Perumusan Masalah Pernikahan atau perkawinan dapat dikatakan sebagai jalan untuk menyatukan dua individu yang berbeda; laki-laki dengan perempuan, dimana masing-masing individu pastinya memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Pernikahan juga berarti menyatukan dua orang manusia berlainan jenis, kepribadian, sifat, karakter, maupun latar belakangnya. Penyesuaian perlu dilakukan oleh setiap individu dalam sebuah perkawinan, karena hal tersebut merupakan hal yang penting. Dua kepribadian yang berbeda kemudian dipersatukan melalui ikatan perkawinan tentunya akan menimbulkan berbagai masalah yang harus dihadapi bersama (Oktaviani 2010). Banyak fakta yang menunjukkan bahwa pasangan suami-istri yang tidak mampu mengatasi atau menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam keluarga dapat berujung pada perceraian. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI, kasus perceraian yang telah masuk dan diputus oleh pengadilan agama meningkat pada tahun 2007 hingga tahun 2009, dari 157.771 kasus meningkat hingga mencapai 223.371 kasus. Penyebab terbesar pemicu perceraian adalah salah satu pihak; baik suami atau istri, meninggalkan kewajiban (77.528 kasus). Hal tersebut dapat disebabkan kerena pasangan tidak mampu untuk menjalankan perannya dalam keluarga, sehingga dianggap meninggalkan kewajiban dalam keluarga. Misalnya seperti suami yang tidak mampu menjalankan perannya sebagai pencari nafkah utama keluarga atau istri yang tidak dapat menjadi seorang istri atau ibu yang baik bagi anggota keluarganya. Selain itu pemicu perceraian lainnya adalah perselisihan dalam perkawinan, persoalan moral, kekerasan dalam rumah tangga dan pernikahan di bawah umur. Hurlock (1980) menyatakan bahwa perceraian menunjukkan
4
penyesuaian pernikahan yang buruk dan oleh karena itu pasangan suami istri yang bercerai merasa gagal atau tidak mampu membina rumah tangganya. Penyesuaian
pernikahan
sangatlah
penting
karena
pernikahan
merupakan penyatuan dua pribadi yang berbeda. Perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing pasangan sering menjadi pangkal masalah yang dapat mengganggu suasana kebahagiaan dalam keluarga. Upaya dalam mencapai kebahagiaan dalam keluarga dapat dilakukan dengan saling pengertian dan penyesuaian satu sama lain. Kenedi (2005) diacu dalam Oktaviani (2010) menyebutkan salah satu penyebab gagalnya pasangan dalam mempertahankan pernikahan dan mewujudkan kebahagiaan adalah terbatasnya upaya persiapan pernikahan yang dilakukan. Maka ketika akan memasuki kehidupan pernikahan dibutuhkan tingkat kematangan yang lebih tinggi dalam kesiapan pernikahan bagi individu-individu yang akan menjalankannya (Puspitasari 1997). Anak usia prasekolah adalah anak yang berusia pada rentang dua sampai enam tahun. Keluarga dengan anak prasekolah memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan pribadi anak terutama dalam hal perilakunya, karena anak pada usia prasekolah ini masalah yang sering timbul adalah masalah perilaku anak yang lebih menyulitkan daripada masalah perawatan fisik (Hurlock 1980). Keluarga yang berada pada tahapan keluarga dengan anak prasekolah memiliki tugas perkembangan yang harus dilaksanakan, dimana keluarga harus mampu memenuhi tugas-tugas perkembangan tersebut agar keluarga dapat menghadapi tugas perkembangan berikutnya. Pemenuhan tugas perkembangan dalam setiap tahapan perkembangan keluarga memerlukan dukungan baik dari segi materi maupun non materi. Tingkat kesiapan menikah dari setiap pasangan sebelum memasuki kehidupan berkeluarga dapat memberikan kontribusi karena dengan individu yang sudah siap maka akan lebih berkomitmen dalam membangun kehidupan berkeluarga. Meninjau kepada fenomena diatas, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan permasalahan sebagai berikut: 1. Seberapa besar tingkat kesiapan menikah responden dan pemenuhan tugas perkembangan keluarganya? 2. Adakah perbedaan tingkat kesiapan menikah antara laki-laki dan perempuan? 3. Adakah hubungan antara tingkat kesiapan menikah dengan pemenuhan tugas perkembangan keluarga?
5
4. Adakah pengaruh tingkat kesiapan menikah terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga? 5. Adakah pengaruh pelaksanaan tugas perkembangan keluarga terhadap perkembangan anak? Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui kesiapan menikah dan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah. Tujuan Khusus Tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk: 1. Menganalisis
tingkat
kesiapan
menikah
dan
pemenuhan
tugas
perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah, 2. Menganalisis perbedaan tingkat kesiapan menikah antara suami dan istri, 3. Menganalisis hubungan antara tingkat kesiapan menikah dengan pelaksanaan
tugas
perkembangan
keluarga
dengan
anak
usia
prasekolah, 4. Menganalisis pengaruh tingkat kesiapan menikah terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah, dan 5. Menganalisis pengaruh pelaksanaan tugas perkembangan keluarga terhadap perkembangan anak. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya yaitu: 1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi setiap individu mengenai kesiapan menikah atau hal-hal yang harus dipersiapkan ketika akan memasuki gerbang pernikahan dan membina keluarga, 2. Sebagai bahan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu keluarga mengenai hubungan kesiapan menikah dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga, dan 3. Sebagai bahan pembanding dan pengembangan lebih lanjut bagi kegiatan penelitian sejenis yang dilakukan oleh para peneliti lainnya.
7
TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Pengertian keluarga menurut BKKBN adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dengan anaknya, atau ibu dengan anaknya. Menurut Duvall (1971), keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, dan kelahiran yang bertujuan untuk menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial dari masing-masing anggota keluarganya. Selain itu pengertian keluarga menurut Puspitawati (2006) adalah unit sosial ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi; merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan, dan adopsi. Pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga adalah pendekatan struktural-fungsional. Keluarga sebagai sebuah institusi dalam masyarakat mempunyai prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat. Keluarga sebagai sebuah sistem akan mempunyai tugas seperti umumnya dihadapi oleh setiap sistem sosial, seperti menjalankan tugas-tugas,
pencapaian
tujuan,
integrasi
dan
solidaritas,
serta
pola
kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Keluarga sama seperti sistem sosial lainnya, mempunyai karakteristik yang berupa diferensiasi peran dan struktur organisasi yang jelas. Struktur dalam keluarga dianggap dapat menjadikan keluarga sebagai sistem kesatuan (Megawangi 1999). Penerapan teori struktural-fungsional dalam konteks keluarga dapat terlihat dari aspek struktural dan aspek fungsional yang diterapkan. Dilihat dari aspek struktural terdapat tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu yang mengacu pada: (1) Status sosial, (2) Fungsi sosial, dan (3) Norma sosial. Sedangkan dari aspek fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Seseorang dalam sebuah sistem dengan status sosial tertentu, akan tidak lepas dari peranannya yang diharapkan karena status sosialnya, yang semuanya ini berfungsi untuk kelangsungan hidup atau pencapaian keseimbangan pada sistem tersebut (Megawangi 1999). Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi agar sistem tersebut berjalan (Sunarti 2001). Rice dan Tucker (1986) diacu
8
dalam Puspitawati (2006) menyatakan bahwa fungsi keluarga meliputi dua fungsi yaitu: (1) Fungsi ekspresif, yaitu memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan anak termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak, dan (2) Fungsi instrumental, yaitu manajemen sumberdaya keluarga untuk mencapai berbagai tujuan keluarga
melalui
prokreasi
dan
sosialisasi
anak
dan
dukungan
serta
pengambangan anggota keluarga. Selain itu, fungsi keluarga menurut BKKBN terdiri dari delapan fungsi yaitu; fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi, dan pembinaan lingkungan. Menurut Friedman (1998) fungsi keluarga meliputi fungsi afektif, sosialisasi, reproduksi, perawatan atau fisik, dan ekonomi. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, sehingga keluarga memiliki kewajiban untuk dapat memenuhi segala kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi pemenuhan kebutuhan agama, psikologi, makan dan minum, dan lain sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya (Puspitawati 2006). Fungsi keluarga McMaster (MMFF = McMaster Family Functioning) yang diacu dalam Sunarti (2001) membagi tiga area fungsi keluarga. Ketiga area tersebut adalah: (1) Area tugas dasar (penyediaan pangan, uang, transportasi, dan perlindungan); (2) Area tugas perkembangan (berkaitan dengan urutan tahapan perkembangan keluarga); dan (3) Area tugas penuh resiko (berkaitan dengan cara keluarga menangani krisis seperti kecelakaan, sakit dan kehilangan). Namun demikian fungsi utama keluarga adalah menyediakan lingkungan bagi pemeliharaan dan perkembangan dari aspek biologis, sosial dan psikologis anggota keluarganya (Sunarti 2001). Tugas Perkembangan Keluarga Tugas perkembangan merupakan tugas yang muncul pada suatu periode tertentu dalam kehidupan setiap individu, apabila individu berhasil dalam tugas tersebut maka akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa keberhasilan untuk menyelesaikan tugas berikutnya, tetapi apabila gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas berikutnya. Beberapa tugas perkembangan muncul sebagai akibat dari kematangan fisik, tekanantekanan budaya dari masyarakat, serta nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi individual (Havighurst dalam Hurlock 1980).
9
Keluarga memiliki siklus perkembangan sebagaimana layaknya individu. Perkembangan itu terutama dalam hal besarnya keluarga dan kemampuannya (Ali 2010). Siklus kehidupan setiap keluarga mempunyai tahapan-tahapan yang berturut-turut, karena siklus keluarga merupakan cara untuk melihat bagaimana potret kehidupan sebuah keluarga tersebut. Tahapan perkembangan keluarga menurut Duvall (1971) dibagi menjadi delapan tahapan yaitu: Tahap 1 Keluarga baru menikah, Tahap 2 Keluarga “child-bearing” (kelahiran anak pertama), Tahap 3 Keluarga dengan anak prasekolah, Tahap 4 Keluarga dengan anak sekolah, Tahap 5 Keluarga dengan anak remaja, Tahap 6 Keluarga mulai melepas anak sebagai dewasa, Tahap 7 Keluarga usia pertengahan, dan Tahap 8 Keluarga usia lanjut. Masing-masing tahapan perkembangan keluarga memiliki tugas-tugas yang
harus
keberhasilan
terpenuhi untuk
agar
tugas
menimbulkan
perkembangan
kebahagian selanjutnya.
dan Setiap
membawa tahapan
mempunyai tantangan tersendiri dalam pencapaiannya, termasuk pada tahapan keluarga dengan anak prasekolah. Tahapan Keluarga dengan Anak Prasekolah Keluarga dengan anak prasekolah adalah ketika di dalam sebuah keluarga terdapat anak pertama yang berusia antara 2,5 tahun sampai dengan 5 tahun (Duvall 1971). Sedangkan menurut Hurlock (1980) usia anak prasekolah berkisar antara 2 sampai 6 tahun yang disebut sebagai awal masa kanak-kanak. Sebagian besar orangtua menganggap awal masa kanak-kanak sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit. Datangnya masa kanak-kanak atau usia prasekolah, sering terjadi masalah perilaku yang lebih menyulitkan daripada masalah perawatan fisik pada masa bayi. Masalah perilaku lebih sering terjadi pada usia prasekolah karena anak-anak sedang dalam proses pengembangan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan yang pada umumnya kurang berhasil (Hurlock 1980). Berdasarkan teori Erikson anak usia prasekolah termasuk kedalam tahap inisiatif lawan rasa bersalah (initiative vs guilt). Erikson diacu dalam Hurlock (1980) berpendapat bahwa setiap tahap mempunyai dua kemungkinan pemecahan, yaitu positif dan negatif. Kegagalan pada tahap tertentu akan
10
mempengaruhi
tahap-tahap
berikutnya.
Keluarga
sebagai
anggota
dan
lingkungan yang terdekat dengan anak hendaknya dapat menciptakan lingkungan yang mendukung untuk pencapaian perkembangan anak secara optimal. Menurut Abernethy et al dalam Duvall (1971) indikasi seorang anak telah mencapai seluruh tugas perkembangannya adalah bahwa anak secara mental dan emosional telah sehat dan perkembangan fisiknya cenderung baik. Tugas perkembangan yang harus dicapai oleh anak usia prasekolah menurut Duvall yaitu: (1) Terbentuknya rutinitas harian yang sehat dan seimbang antara aktivitas dan istrahat; (2) Terbentuknya pola makan yang baik dan sehat; (3) Menguasai dasar-dasar toilet training; (4) Mengembangkan keterampilan fisik yang sesuai untuk tahap perkembangan motoriknya; (5) Anak dapat berpartisipasi sebagai anggota keluarga; (6) Anak dapat menguasai dirinya yang sesuai dengan harapan orang lain; (7) Mengembangkan keterampilan mengekspresikan emosi secara sehat melalui berbagai pengalaman; (8) Belajar untuk berkomunikasi efektif dengan orang lain; (9) Memiliki kemampuan untuk menghindari situasi yang membahayakan; (10) Belajar menjadi anak yang mandiri; dan (11) Memiliki kemampuan untuk memahami situasi disekitarnya. Duvall berpendapat bahwa keluarga terutama orangtua membantu anak untuk
mencapai
tugas
perkembangannya
melalui
penerimaan
berbagai
peningkatkan keterampilan dan aktifitas fisik anak. Tugas perkembangan orangtua dalam membantu anak untuk mencapai tugas perkembangannya menurut Duvall yaitu: (1) Orangtua senantiasa menciptakan suasana rumah yang mendukung keingintahuan anak; (2) Orangtua senantiasa menciptakan suasana rumah yang penuh kasih sayang; (3) Menciptakan suasana rumah yang penuh maaf; dan (4) Orangtua mengembangkan diri sebagai individu dan pasangan menikah. Selain anak prasekolah yang harus mencapai tugas perkembangannya, orangtua juga harus melaksanakan tugas perkembangannya sebagai pasangan suami-isteri di dalam keluarga. Tugas perkembangan yang harus dicapai orangtua sebagai pasangan suami-isteri menurut Duvall yaitu: (1)
Pasangan
suami-isteri menyediakan tempat, fasilitas, dan peralatan yang memadai; (2) Pasangan suami-isteri merencanakan anggaran dan biaya tidak terduga untuk anak; (3) Berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengasuh anak; (4) Mempertahankan keharmonisan hubungan suami-isteri dan merencanakan masa
11
depan anak; (5) Pasangan suami-isteri mengembangkan komunikasi efektif; (6) Mempererat hubungan dengan keluarga besar; (7) Pasangan suami-isteri dapat menggali sumberdaya di luar rumah untuk membantu dalam pengasuhan anak; dan (8) Dapat menghadapi masalah yang berpegang pada agama. Pencapaian tugas perkembangan pada tahap keluarga dengan anak prasekolah ini sangatlah penting. Jika tugas perkembangan tercapai dengan sukses, maka akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa keberhasilan dalam menghadapi tugas perkembangan selanjutnya. Namun sebaliknya, apabila gagal maka akan mempengaruhi pada pencapaian tugas perkembangan pada tahap berikutnya. Kesiapan Menikah Pengertian Kata dasar pernikahan adalah nikah. Nikah menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi), perkawinan, membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri. Kata nikah memiliki persamaan makna dengan kata kawin. Pengertian pernikahan atau perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu perkawinan dapat dirumuskan sebagai satu aqad pertalian antara dua manusia (laki-laki dan perempuan) yang berisi persetujuan hubungan dengan maksud bersama-sama menyelenggarakan satu penghidupan yang lebih akrab, menurut syarat dan hukum susila yang dibenarkan Tuhan (Latief 1968). Perkawinan bertujuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia, baik lahir maupun batin (Wiyata 1986). Menurut Duvall dan Miller (1985) perkawinan adalah suatu hubungan antara dua orang, laki-laki dan perempuan, yang diketahui oleh umum dan diatur melalui suatu aturan tertentu, serta perkawinan membolehkan terjadinya hubungan seksual, adanya anak yang diasuh oleh orangtua, serta adanya pembagian tugas antara suami dan istri. Pernikahan merupakan tahapan untuk membangun sebuah rumah tangga dan keluarga yang bahagia. Pernikahan diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan cinta dan afeksi, dukungan emosi serta kesetiaan, rasa aman, sebagaimana dalam persahabatan (Cox 1978 diacu dalam Putrini
12
2002). Pernikahan merupakan awal dari terbentuknya keluarga dengan penyatuan dua individu yang berlainan jenis serta lahirnya anak-anak (Papalia, Old, & Feldman 1998). Pernikahan juga dapat diartikan sebagai suatu hubungan jangka panjang dengan orang lain yang dianggap sesuai dengan diri individu itu sendiri untuk mencapai keluarga yang bahagia dan kekal (Putri 2010). Puspitasari (1997) menyebutkan bahwa menikah sama artinya dengan memasuki kehidupan yang sarat dengan tanggung jawab. Individu dituntut untuk dapat mempertahankan sekaligus membangun hubungan interpersonal seumur hidupnya, serta dapat berempati dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Membentuk keluarga yang bahagia tidaklah mudah. Terkadang timbul perselisihan atau kesalahpahaman yang terjadi antara pasangan suami-istri di dalam keluarga, karena hakekatnya pernikahan merupakan penyatuan dua orang manusia yang berlainan jenis, kepribadian, sifat, karakter, maupun latar belakangnya. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa masing-masing partner (suami-istri) adalah manusia biasa yang memiliki perbedaan dan kelemahan (Turner dan Helms 1995 diacu dalam Oktaviani 2010). Maka dari itu untuk dapat membangun sebuah keluarga bahagia diperlukan kesiapan untuk menikah. Kesiapan menurut Corsini (2002) diacu dalam Dewi (2006) adalah berkembang atau mempersiapkan diri dalam belajar dan memperoleh beberapa tugas perkembangan atau keahlian khusus berdasarkan perkembangan fisik, sosial dan intelektual. Menurut Rapaport dalam Duvall dan Miller (1985) kesiapan menikah adalah kemampuan individu untuk menyandang peran barunya, yaitu sebagai suami atau istri, dan berusaha untuk terlibat dalam pernikahannya serta mampu memasukkan pola-pola kepuasan yang diperolehnya sebelum menikah ke dalam kehidupan pernikahan. Kesiapan menikah merupakan keadaan siap atau bersedia dalam berhubungan dengan seorang pria atau wanita, siap menerima tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri, siap terlibat dalam hubungan seksual, siap mengatur keluarga, dan siap mengasuh anak (Duvall & Miller 1985). Kesiapan menikah adalah ketika laki-laki dan perempuan telah menyelesaikan tugas perkembangan remajanya, dan secara fisik, emosi, tujuan, finansial, dan pribadinya telah siap untuk menanggung tanggung jawab setelah menikah (Duvall 1971). Kesiapan menikah juga dapat diartikan sebagai kesediaan individu untuk mempersiapkan diri membentuk suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
13
membentuk keluarga dan rumah tangga yang kekal yang diakui secara agama, hukum, dan masyarakat (Dewi 2006). Jika seseorang telah memiliki kesiapan sebelum pernikahan, maka pernikahan yang bahagia dan kekal akan dapat dicapai oleh pasangan suami istri. Kriteria Kesiapan Menikah Kesiapan menikah merupakan hal yang sangat penting, agar tugas-tugas perkembangan dalam pernikahan dapat terpenuhi (Dewi 2006). Menurut Rapaport (1963) diacu dalam Duvall dan Miller (1985), seseorang dinyatakan siap untuk menikah apabila memenuhi kriteria: (1) Memiliki kemampuan mengendalikan
perasaan
diri
sendiri;
(2)
Memiliki
kemampuan
untuk
berhubungan baik dengan orang banyak; (3) Bersedia dan mampu menjadi pasangan istimewa dalam hubungan seksual; (4) Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim; (5) Memiliki kelambutan dan kasih sayang kepada orang lain; (6) Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain; (7) Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan dan harapan; (8) Bersedia berbagi rencana dengan orang lain; (9) Bersedia menerima keterbatasan orang lain; (10) Realistik terhadap karakteristik orang lain; (11) Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi; dan (12) Bersedia menjadi suami atau istri yang bertanggung jawab. Menurut Sunarti (2001) terdapat tiga prasyarat minimal bagi calon pasangan yang akan berkomitmen membangun sebuah keluarga, dimana ketiga prasyarat tersebut merupakan pengembangan dari model hubungan antar konsep-konsep keluarga. Prasyarat minimal tersebut dapat dikatakan sebagai aspek kesiapan menikah yang harus dipersiapkan oleh individu sebelum memasuki gerbang pernikahan. Ketiga prasyarat tersebut yaitu; (1) Mampu memperoleh sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan perkembangan anggota keluarga; (2) Memiliki kualitas SDM yang memadai untuk mengelola keluarga sebagai ekosistem; dan (3) Memiliki kematang kepribadian untuk menjalankan fungsi, peran dan tugas keluarga1. Kesipan menikah menurut Blood (1978) dibagi menjadi dua bagian, yaitu kesiapan menikah pribadi (personal) dan kesiapan menikah situasional (circumstantial).
1
Sunarti’s Model
14
1. Kesiapan Pribadi (Personal) a) Kematangan Emosi Konsep penting dalam kesiapan pribadi adalah kematangan emosi. Konsep kematangan emosi adalah konsep normatif dalam psikologi perkembangan yang berarti bahwa seorang individu telah menjadi seorang yang dewasa. Individu yang telah matang secara emosi maka sudah dapat dikatakan dewasa.
Orang
dewasa
adalah
orang
yang
telah
mengembangkan
kemampuannya untuk membangun dan memelihara hubungan pribadi. Kematangan melibatkan dua kemampuan yaitu kemampuan untuk memberi dan menerima. Kematangan orang dewasa dapat dilihat dalam hal empati (kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain), tanggung jawab, dan stabilitas. Orang dewasa yang memutuskan untuk menikah berarti telah sanggup untuk membangun suatu tanggung jawab dan memasuki suatu komitmen. Komitmen jangka panjang merupakan salah satu bentuk tanggun jawab dalam suatu pernikahan, yang dikaitkan dengan stabilitas kematangan. b) Kesiapan Usia Kesiapan usia sama halnya melihat berapakah usia yang cukup untuk menikah.
Pada
dasarnya
usia
dikaitkan
dengan
kedewasaan
atau
kematangan, karena proses untuk menjadi individu yang matang atau dewasa membutuhkan waktu sampai individu tersebut menjadi dewasa secara emosi atau pribadi. Individu yang telah dewasa dari segi usia tentunya akan memutuskan untuk menikah. Kematangan individu merupakan faktor keberhasilan dalam perkawinan. Usia bukan satu-satunya penentu untuk keberhasilan atau kegagalan dalam suatu pernikahan (Duvall 1971). c) Kematangan Sosial Kematangan sosial dapat dilihat dari: 1) Pengalaman berkencan (enough dating), merupakan salah satu sumber kematangan sosial. Pengalaman berkencan yang dilihat dengan adanya keinginan untuk mengabaikan lawan jenis yang tidak dikenal secara dekat, namun membuat komitmen dalam membangun hubungan hanya dengan seseorang yang khusus yang telah dikenal. Saat seseorang merasakan ketidakamanan selama berkencan, maka seseorang tersebut telah siap untuk menikah, sehingga dalam proses berkencannya akan merasa lebih aman.
15
2) Pengalaman hidup sendiri (enough single life), selain seseorang telah cukup melakukan kencan, seseorang juga memerlukan waktu untuk hidup mandiri sementara waktu tanpa harus bergantung kepada orangtua. Seorang individu, khususnya wanita merasa perlu untuk membuktikan pada diri mereka sendiri, orangtua, dan pasangan bahwa mereka mampu untuk mengambil keputusan dan mengatur takdirnya sendiri. d) Kesehatan Emosional Kepribadian manusia begitu kompleks sehingga permasalahan emosional yang dirasakannya juga dapat dalam berbagai bentuk. Permasalahan yang biasanya dimiliki manusia dalam ketidakmampuannya menyesuaikan diri dengan emosional diantaranya adalah kemurungan, kecemasan, merasa tidak aman, curiga, dan lain-lain. Jika hal tersebut berada tetap pada diri seseorang, maka ia akan sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain. e) Kesiapan Model Peran Banyak orang belajar bagaimana menjadi suami dan istri yang baik. Dalam prosesnya seseorang belajar menjadi suami atau istri yang baik dengan melihat dari figur ayah dan ibu mereka. Orangtua yang memiliki figur suami dan istri yang baik dapat mempengaruhi kesiapan menikah anak-anak mereka. Setiap pasangan perlu mengetahui apa saja peran mereka setelah menikah. Peran yang ditampilkan harus sesuai dengan tugas-tugas mereka sebagai suami ataupun istri. 2. Kesiapan Situasional (Circumstantial) a) Kesiapan Finansial (Sumberdaya Keuangan) Penghasilan minimum yang harus dimiliki pasangan bervariasi tergantung kepada standar hidup yang diinginkan. Seseorang menunjukkan kesiapan untuk menikah yang cenderung mengukur sumberdaya mereka dari potensi penghasilannya. Seseorang yang siap secara finansial kemungkinan akan semakin siap juga untuk menikah. b) Kesiapan Waktu Kesiapan waktu dalam kesiapan menikah yaitu proses perencanaan yang diperlukan dalam mempersiapkan proses pernikahan, bulan madu, dan tahun pertama pernikahan. Persiapan rencana pernikahan perlu dipersiapkan dengan matang agar berdampak baik pada awal-awal kehidupan pernikahan.
16
Anak Usia Prasekolah Rentang usia anak prasekolah menurut para ahli berbeda-beda. Menurut Duvall anak prasekolah adalah anak yang berusia pada rentang antara 2,5-5 tahun. Menurut Hurlock usia anak prasekolah berada diantara usia 2-6 tahun, sedangkan menurut Erikson anak prasekolah adalah anak yang berusia 3-5 tahun yang masuk kedalam tahap initiative vs guilt (inisiatif lawan rasa bersalah). Anak usia prasekolah secara umum lebih independen dan berinisiatif untuk mencoba hal baru, mulai menelusuri penggunakan kata dan kalimat, pertumbuhan fisik lebih lamban dari tahun pertama, mulai belajar melompat, menendang, melempar, memegang pensil, menulis, memasang kancing baju, menggunakan resleting, dan menggosok gigi (Maila 2002). Pengertian
perkembangan
menurut
Hurlock
adalah
serangkaian
perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Kematangan adalah terbukanya sifat-sifat bawaan individu, sedangkan pengalaman dapat diartikan sebagai proses belajar dimana belajar adalah perkembangan yang berasal dari latihan dan usaha dari pihak individu. Dua faktor tersebut merupakan faktor penting dari perkembangan (Hurlock 1980). Perkembangan anak sangat bervariasi tergantung individu dan tergantung pada kesempatan untuk belajar dan tumbuh (Duvall 1971). Menurut Evans, Myers, dan Ilfeld (2000) dalam Lestari (2010), perkembangan memiliki beberapa prinsip, salah satunya adalah bahwa perkembangan itu bersifat holistik yang terdiri dari beberapa dimensi yang saling berkaitan. Dimensi perkembangan tersebut yaitu dimensi psikomotorik, kognitif, bahasa, sosial, emosi, dan moral. Terdapat berbagai macam cara untuk mengukur perkembangan anak, salah satunya adalah dengan menggunakan instrumen Bina Keluarga Balita (BKB). Aspek-aspek perkembangan yang diukur dalam instrumen BKB diantaranya yaitu; 1. Perkembangan motorik kasar, yaitu keterampilan bergerak yang dilakukan dengan melibatkan sebagian besar otot-otot tubuh. Dalam keterampilan ini, anak laki-laki biasanya mengungguli anak perempuan, karena anak laki-laki sedikit lebih kuat dan memiliki lebih banyak otot dibandingkan anak perempuan (Papalia & Olds 2008). 2. Perkembangan motorik halus, yaitu keterempilan bergerak yang dilakukan dengan hanya melibatkan sebagian kecil otot tubuh. Dalam keterampilan ini kemampuan anak perempuan selangkah lebih maju dibandingkan anak laki-
17
laki. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan kerangka tulang ataupun karena perbedaan perilaku sosial yang diharapkan lingkungan dari anak laki-laki maupun anak perempuan (Papalia & Olds 2008). 3. Perkembangan bahasa. Bahasa merupakan salah satu bentuk komunikasi baik secara lisan tertulis atau isyarat yang berdasarkan pada simbol-simbol. Komunikasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu; komunikasi aktif dan pasif. Komunikasi aktif adalah kemampuan untuk mengungkapan perasaan, keinginan, dan pikiran melalui kata-kata, sedangkan komunikasi pasif adalah kemampuan untuk mengerti bahasa isyarat dan pembicaraan orang lain. Papalia dan Olds (2008) menyebutkan bahwa perbendaharaan kata anak usia tiga hingga empat tahun adalah sekitar 900-1.200 kata dan meningkat menjadi sebanyak 1.500-2.000 kata ketika berusia empat hingga lima tahun. Saat berusia lima hingga enam tahun, perbendaharaan kata anak menjadi 2.000 hingga 2.500 kata. 4. Perkembangan kognitif, yaitu kemampuan anak dalam hal daya tangkap, daya pikir, daya ingat, dan memecahkan masalah. Kemampuan kognitif anak mulai berkembang pada tahun kedua, terutama kemampuan untuk mengenal dan menggunakan simbol-simbol. Pada akhir tahun keempat, perkembangan fungsi
kemampuan
melihat,
mengendalikan emosi,
kebiasaan
dalam
merespon dan pemahaman simbol sudah berakhir. Namun kemampuan untuk memahami konsep kuantitas seperti membandingkan besaran atau volume mulai berkembang (Papalia & Olds 2008). 5. Perkembangan kemandirian, yaitu kemampuan anak untuk dapat melakukan sendiri hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari atau dapat diartikan sebagai keterampilan untuk membantu diri sendiri. Orangtua yang memberikan kepercayaan dan kebebasan bagi anak untuk mengeksplorasi lingkungan, akan membentuk kepribadian anak menjadi lebih mandiri (Papalia & Olds 2008). 6. Kemampuan bergaul (sosial), yaitu kemampuan anak untuk dapat bergaul atau berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga, orang lain, maupun teman seusianya. Anak usia prasekolah sering disebut sebagai masa prakelompok. Dasar untuk sosialisasi diletakkan dengan meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-teman sebayanya dari tahun ke tahun. Anak yang lebih menyukai interaksi dengan manusia daripada dengan benda akan lebih
18
mengembangakan kecakapan sosialnya sehingga mereka lebih populer daripada anak yang berinteraksi sosialnya terbatas (Hurlock 1980). Penelitian Terdahulu Hasil penelitian yang dilakukan Carroll, Badger, Willoughby, Nelson, Madsen, dan Barry (2009) menunjukkan bahwa kesiapan pernikahan dipandang oleh orang dewasa muncul sebagai proses pengembangan kompetensi interpersonal, membuat komitmen seumur hidup, dan memperoleh kapasitas untuk merawat orang lain. Temuan ini juga menunjukkan bahwa orang dewasa muncul banyak hal menuju kedewasaan dan menjadi siap untuk menikah sebagai dua transisi yang berbeda dalam kehidupan, pertama melibatkan pergeseran dari yang awalnya dirawat oleh orang lain (orangtua) menjadi merawat diri sendiri dan kedua transisi dari perawatan diri sendiri menjadi merawat orang lain (suami atau isteri dan anak). Kematangan emosi merupakan aspek yang penting dalam kesiapan menikah (Blood 1978). Hasil penelitian yang dilakukan Katyal dan Awasthi (2005) menunjukkan bahwa kecerdasan emosi perempuan lebih baik dibandingkan lakilaki. Kecerdasan emosi berhubungan dengan menjaga dan mengekspresikan emosi yang terlihat dari kemampuan empati, tanggung jawab sosial, dan hubungan interpersonal. Perempuan lebih sensitif dalam mengekspresikan emosinya, sehingga perempuan lebih mampu menjaga emosi dan hubungan personalnya daripada laki-laki. Stabilitas perkawinan dan kepuasan dapat diprediksi berdasarkan kualitas hubungan pranikah (Fowers, Montel, & Olson 1996). Penelitian yang dilakukan oleh Fowers, Montel, dan Olson (1996) adalah mengenai empat tipe hubungan pranikah, yaitu tipe penuh vitalitas, harmonis, tradisional, dan berkonflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe hubungan berkonfilk yang paling mungkin untuk bercerai. Tipe penuh vitalitas memiliki tingkat kepuasan tertinggi diikuti oleh tipe harmonis, tradisional, dan berkonflik. Pasangan tradisional lebih kecil kemungkinan untuk bercerai dibandingkan pasangan harmonis, meskipun pasangan harmonis memiliki skor kepuasan yang lebih tinggi sebelum menikah. Gottman dan Levenson (1992) melakukan penelitian terhadap dua kelompok yang berbeda, yaitu pasangan regulasi dan nonregulasi, untuk mengidentifikasi pernikahan.
proses
Diketahui
perkawinan bahwa
terkait
dengan
teori
keseimbangan
dibandingkan
dengan
pasangan
regulasi,
19
pasangan nonregulasi memiliki; (1) masalah pernikahan, (2) kepuasan penikahan lebih rendah, (3) kesehatan yang lebih buruk, (4) amplitudo denyut nadi lebih kecil, (5) penilaian negatif untuk interaksi, (6) ekspresi emosi yang lebih negatif, (7) ekspresi emosional yang kurang positif, (8) lebih keras kepala dan menarik diri dari interaksi, dan (9) resiko yang lebih besar untuk perceraian perkawinan. Larsen dan Olson (1989) menunjukkan pentingnya masa pranikah sebagai dasar untuk pernikahan dan kemampuan mempersiapkan diri untuk mengenali pasangan yang beresiko tinggi sebelum menikah melalui konseling pranikah. Konseling pranikah berpotensi membantu pasangan beresiko tinggi untuk membangun sebuah pernikahan yang lebih memuaskan. Perkembangan anak tidak terlepas dari keberadaan keluarga terutama orangtua. Stimulasi yang diberikan oleh orangtua diyakini memiliki efek sebagai penguat yang berguna untuk perkembangan anak. Hal tersebut merupakan salah satu tugas perkembangan keluarga yang harus dijalankan agar anak dapat mencapai perkembangannya secara optimal. Hasil penelitian Sartono (1996) menyebutkan bahwa pendidikan agama, kasih sayang, perkembangan anak, situasi kondusif, pembentukan kebiasaan, keteladanan, motivasi, bimbingan serta komunikasi merupakan faktor-faktor penting untuk keberhasilan pendidikan anak dalam keluarga. Faktor-faktor tersebut dapat dikatakan merupakan tugas perkembangan yang harus dijalankan oleh keluarga. Pemberian stimulasi yang dilakukan oleh orangtua dan pengasuh dapat mendukung perkembangan anak secara optimal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Briawan (2008) menunjukkan bahwa ibu pada keluarga miskin umumnya kurang perhatian terhadap perkembangan anak, sehingga pemberian stimulasi pada anak masih kurang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kasuma (2001) dalam Briawan (2008) bahwa keadaan ekonomi dapat mempengaruhi pengasuhan orangtua terhadap anaknya. Faktor genetis dan lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Di dalam penelitian yang dilakukan Latifah, Alfiasari, dan Hernawati (2009) faktor-faktor yang dilihat dalam perkembangan anak adalah faktor lingkungan psikososial dan faktor keluarga. Uji regresi yang dilakukan terhadap variabel-variabel tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu atau pengasuh memberikan pengaruh signifikan positif terhadap total skor perkembangan anak.
21
KERANGKA PEMIKIRAN Pernikahan merupakan jalan untuk memulai membangun suatu keluarga yang bahagia, baik lahir maupun batin. Ketika akan memasuki dunia pernikahan diperlukan sebuah kesiapan dari masing-masing pasangan individu. Kesiapan menikah dapat mencakup berbagai macam aspek kehidupan dari diri inividu itu sendiri. Kesiapan menikah merupakan keadaan individu yang siap dan bersedia dalam menjalani hubungan dengan pasangannya, siap menanggung tanggung jawab sebagai seorang suami atau seorang istri setelah menikah, siap untuk mengatur keluarga, serta siap untuk mengasuh anak. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa setiap pasangan harus memiliki kesiapan yang menuntutnya untuk siap menerima tangung jawab dalam membangun suatu keluarga dan siap menyandang peran barunya dalam keluarga. Kesiapan menikah tidak hanya dipersiapkan dari aspek kehidupan manusia, namun faktor usia menikah dan rencana karir atau pekerjaan juga dapat menentukan kesiapan menikah seseorang. Peran individu dalam keluarga sangat berkaitan dengan keberfungsian keluarga, dimana setiap individu memiliki peran berbeda-beda di dalam keluarga dan diharapkan dapat menjalankan peranannya tersebut dengan baik sehingga fungsi-fungsi keluarga dapat terpenuhi. Fungsi keluarga McMaster (MMFF = McMaster Family Functioning) membagi tiga area fungsi keluarga. Ketiga area tersebut adalah: (1) Area tugas dasar; (2) Area tugas perkembangan; dan (3) Area tugas penuh resiko atau dapat disebut juga sebagai tugas krisis. Dari ketiga area tersebut tugas perkembangan keluarga perlu untuk dipenuhi, karena tugas perkembangan keluarga merupakan tugas yang muncul pada setiap siklus kehidupan keluarga. Apabila keluarga berhasil dalam tugas tersebut, maka akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa keberhasilan untuk menyelesaikan tugas perkembangan pada tahapan selanjutnya. Keluarga dengan anak prasekolah memiliki tugas perkembangan yang harus dipenuhi. Tugas tersebut meliputi tugas perkembangan anak, keluarga, dan orangtua sebagai suami-istri. Pasangan yang sejak dari awal telah memiliki kesiapan dari berbagai aspek kehidupan seperti kesiapan pribadi dan kesiapan sumberdaya, maka itu akan membantu keluarga menjalankan fungsi dan perannya dalam keluarga, sehingga nantinya akan terwujud kesejahteraan bagi seluruh anggota keluarga.
22
Pencapaian perkembangan anak usia prasekolah tidak terlepas dari peranan lingkungan yang ada disekitarnya termasuk peran orangtua. Orangtua berperan penting dalam pencapaian perkembangan anak karena orangtua merupakan pihak yang paling dekat dengan anak. Orangtua bertanggung jawab untuk memfasilitasi anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Keluarga yang telah mampu menjalankan semua tugas perkembangan pada tahap keluarga dengan anak prasekolah dengan baik maka keluarga juga akan mampu untuk mendukung perkembangan anak. Mempersiapkan diri sebelum memasuki dunia pernikahan dapat menjadi modal dasar untuk menjalani kehidupan keluarga kedepannya. Kesiapan menikah yang akan diteliti meliputi kesiapan intelektual, sosial, emosi, moral, individu, finansial, dan mental. Kesiapan menikah yang dipersiapkan sejak awal akan berimplikasi pada keberfungsian keluarga sehingga keluarga akan mampu menjalankan
tugas-tugas
perkembangan
keluarganya.
Sebagai
indikator
keluarga telah menjalankan tugas perkembangan dengan baik maka dilihat dari pencapaian perkembangan anaknya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
23
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kesiapan Menikah Kesiapan intelektual Kesiapan sosial Kesiapan emosi Kesiapan moral Kesiapan individu Kesiapan finansial Kesiapan mental
Tugas Dasar
Karakteristik Pasangan: 1. Usia Menikah 2. Pendidikan 1. 2. 3. 4. 5.
Karakteristik Keluarga: Usia Orangtua Usia Anak Besar Keluarga Pendapatan Pekerjaan
Tugas Perkembangan Keluarga (TPK) 1. TPK Dimensi Anak 2. TPK Dimensi Orangtua
Perkembangan Anak Usia Prasekolah 1. Motorik Kasar 2. Motorik Halus 3. Bahasa Pasif 4. Bahasa Aktif 5. Kognitif 6. Kemandirian 7. Kemampuan Bergaul
Tugas Krisis
Pencapaian Tugas Perkembangan Keluarga Selanjutnya
Keterangan: Variabel yang diteliti Variabel yang tidak diteliti Gambar 1 Kerangka Pemikiran Kesiapan Menikah dan Pelaksanaan Tugas Pekembangan Keluarga dengan Anak Usia Prasekolah
25
METODE PENELITIAN Disain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Disain yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi antara cross sectional study, yaitu penelitian yang hanya dilakukan pada satu waktu tertentu, dan retrospective study yaitu penggalian informasi dimasa lalu. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive, yaitu di Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat dengan pertimbangan kemudahan akses dalam melakukan penelitian. Untuk pengumpulan data primer dilakukan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Juli 2011. Teknik Pemilihan Contoh Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak usia prasekolah yang tinggal dikawasan Kelurahan Bubulak. Kelurahan Bubulak memiliki 13 Rukun Warga (RW) yang kemudian dipilih delapan RW secara purposive sebagai daerah yang terpilih untuk diambil datanya. Penentuan contoh dilakukan secara purposive dengan kriteria yang sudah ditentukan sebelumnya, yaitu keluarga yang memiliki anak pertama usia prasekolah (3-5 tahun) dan bersedia untuk dijadikan contoh. Jumlah contoh dalam penelitian ini adalah sebanyak 90 keluarga dimana pengambilan contoh dilakukan secara simple random sampling. Responden dalam penelitian ini adalah suami-istri dari keluarga yang menjadi contoh. Adapun cara penarikan contoh yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.
Kecamatan Bogor Barat
Purposive
Kelurahan Bubulak
Purposive
Populasi dari 8 RW N=118 keluarga Simple Random Sampling n=90 keluarga
Gambar 2 Kerangka Penarikan Contoh Penelitian
26
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kependudukan dan data monografi lokasi penelitian yang diperoleh dari kantor kelurahan dan kecamatan setempat. Data primer diperoleh melalui hasil wawancara dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner yang meliputi; 1. Karakteristik sosial-demografi keluarga (usia, besar keluarga dan tingkat pendidikan), dan karakteristik ekonomi keluarga (pekerjaan dan pendapatan); 2. Kesiapan menikah setiap pasangan. Kuesioner untuk mengukur kesiapan menikah suami dan istri, dikembangkan dari aspek kehidupan individu yang meliputi kesiapan intelektual, moral, emosi, dan sosial. Untuk kesiapan intelektual dan moral merupakan pengembangan dari indikator Personal Value Scale (Scott 1965), sedangkan kesiapan emosi dan sosial merupakan pengembangan dari indikator Goleman. Selain itu ditambahkan juga kuesioner kesiapan menikah yang meliputi kesiapan individu, finansial, dan mental dari indikator kesiapan menikah menurut Rapaport dalam Duvall (1971). Kuesioner kesiapan menikah sudah cukup reliabel dengan nilai cronbach alpha 0,636; 3. Tugas perkembangan keluarga (tugas perkembangan keluarga dimensi anak dan tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua). Kuesioner tugas perkembangan keluarga merupakan pengembangan indikator dari Duvall (1971). Kuesioner tugas perkembangan keluarga sudah reliabel dengan nilai cronbach alpha 0,732; 4. Perkembangan anak (motorik kasar, motorik halus, komunikasi pasif, komunikasi aktif, kognitif, kemandirian, dan kemampuan sosial). Kuesioner untuk mengukur perkembangan anak yaitu menggunakan instrumen Bina Keluarga Balita (BKB) dari Badan Koordinasi dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil wawancara kemudian diolah melalui beberapa tahapan yaitu proses editing, coding, scoring, entry, cleaning, serta analyzing dengan menggunakan program komputer yang sesuai. Hasil pengolahan data dianalisis secara deskriptif dan inferensia. Analisis deskriptif yang digunakan antara lain sebaran frekuensi dan tabulasi silang data, sedangkan analisis inferensia yang digunakan yaitu uji hubungan, uji beda dan
27
uji pengaruh. Untuk memperoleh kategori rendah, sedang, dan tinggi digunakan teknik skoring dengan menggunakan rumus interval kelas (Slamet 1993):
Pengelompokan kategori adalah: Rendah : skor minimum ≤ x ≤ skor minimum + IK Sedang : skor minimum + IK < x ≤ skor minimum + 2 IK Tinggi
: x > skor minimum (NR) + 2 IK Mengukur kesiapan menikah dibagi ke dalam beberapa aspek yang terdiri
dari kesiapan intelektual, sosial, emosi, moral serta kesiapan menikah secara umum, yaitu kesiapan individu, finansial, dan mental. Total seluruh pertanyaan yang mengukur kesiapan menikah terdiri atas 60 pernyataan dan diberi skor 0 untuk jawaban tidak, skor 1 untuk jawaban ya. Selanjutnya total skor yang diperoleh distandarisasi sehingga diperoleh skor minimum adalah nol dan skor maksimum adalah 100%. Pengkategorian yang digunakan adalah interval kelas dengan kategori rendah (0-33,3%), sedang (33,4-66,7%), dan tinggi (66,8100%). Tugas perkembangan terdiri dari 28 pernyataan dan diberi skor 0 untuk jawaban tidak, skor 1 untuk jawaban ya. Kemudian skor yang diperoleh distandarisasi sehingga diperoleh skor minimum adalah nol dan skor maksimum adalah
100%.
Kemudian
dikategorikan
kedalam
tiga
kategori
dengan
menggunakan interval kelas, yaitu rendah (0-33,3%), sedang (33,4-66,7%), dan tinggi (66,8-100%). Sedangkan untuk pencapaian
perkembangan anak
menggunakan kategori rendah (<60%), sedang (60-80%), dan tinggi (>80%). Secara rinci pengkategorian data disajikan pada Tabel 1 Tabel 1 Variabel penelitian, skala data, dan kategori data Variabel Penelitian
Skala Data
Karakteristik keluarga a. Besar keluarga
Rasio
b. Umur orangtua
Rasio
Kategori Data Berdasarkan Hurlock (1980): 1. Kecil: ≤ 4 orang 2. Sedang: 5-7 orang 3. Besar: ≥ 8 orang Berdasarkan Hurlock (1980): 1. Dewasa muda: 18-40 tahun 2. Dewasa madya:41-60 tahun 3. Dewasa lanjut: > 60 tahun
28 Lanjutan Tabel 1 Variabel Penelitian c. Tingkat pendidikan
Skala Data Ordinal
Kategori Data Berdasarkan jenjang pendidikan: 1. Tidak tamat SD 2. Tamat SD 3. Tamat SMP 4. Tamat SMA 5. Tamat PT/akademik Berdasarkan wajib belajar 9 tahun: 1. ≤ 9 tahun 2. > 9 tahun
d. Lama pendidikan
Rasio
e. Pendapatan per kapita keluarga
Rasio
Berdasarkan BPS (2011): 1. Baik: > Rp 212.210 2. Kurang: ≤ Rp 212.210
Kesiapan menikah 1. Kesiapan intelektual 2. Kesiapan emosi 3. Kesiapan sosial 4. Kesiapan moral 5. Kesiapan individu 6. Kesiapan finansial 7. Kesiapan mental
Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal
Berdasarkan sebaran data 1. Rendah: 0-33,3% 2. Sedang: 33,4-66,7% 3. Tinggi: 66,8-100%
Tugas Perkembangan Keluarga (TPK) 1. TPK dimensi anak 2. TPK dimensi orangtua
Ordinal Ordinal
Perkembangan anak 1. Motorik kasar dan halus 2. Bahasa pasif dan aktif 3. Kognitif 4. Kemandirian 5. Kemampuan sosial
Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal
Berdasarkan sebaran data 1. Rendah: 0-33,3% 2. Sedang: 33,4-66,7% 3. Tinggi: 66,8-100% Berdasarkan sebaran data 1. Rendah: < 60% 2. Sedang: 60-80% 3. Tinggi: > 80%
Data yang telah diskoring kemudian dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif yang digunakan antara lain sebaran frekuensi dan tabulasi silang. Selain itu dilakukan analisis inferensia yaitu uji statistik untuk melihat hubungan antar variabel, perbedaan tingkat kesiapan menikah antara suami dan istri, dan melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil uji statistik kemudian disajkan dalam bentuk tabel yang kemudian dijelaskan secara deskriptif. Uji statistik yang digunakan adalah: 1. Uji korelasi Pearson, digunakan untuk melihat hubungan antar variabel yang diteliti, yaitu melihat hubungan antara usia menikah dan lama pendidikan suami dan istri dengan kesiapan menikah, hubungan antara karakteristik keluarga dengan tugas perkembangan keluarga, dan hubungan kesiapan menikah dengan tugas perkembangan keluarga.
29
2. Uji beda Independent Samples T-test. Uji beda dilakukan pada seluruh aspek kesiapan menikah yaitu untuk melihat ada tidaknya perbedaan pada masingmasing aspek kesiapan menikah antara suami dan istri. 3. Uji regresi linear berganda, digunakan untuk melihat pengaruh variabel kesiapan menikah terhadap pencapaian tugas perkembangan keluarga. Model regresi linear berganda dapat dirumuskan dalam persamaan berikut:
Keterangan: Y : tugas perkembangan keluarga (skor) a : bilangan konstanta b1, b2 : koefisien regresi X1 : kesiapan menikah suami (skor) X2 : kesiapan menikah istri (skor)
Selain itu uji regresi linear berganda juga digunakan untuk melihat pengaruh tugas perkembangan keluarga terhadap perkembangan anak. Model regresi dapat dirumuskan dalam persamaan berikut:
Keterangan: Y : perkembangan anak (skor) a : bilangan konstanta b1, b2 : koefisien regresi X1 : tugas perkembangan keluarga dimensi anak (skor) X2 : tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua (skor)
Definisi Operasional Contoh adalah keluarga yang memiliki anak pertama yang berusia prasekolah di dalam keluarganya. Responden adalah suami dan istri yang diwawancara pada saat pengumpulan data primer. Besar keluarga adalah jumlah individu yang terikat melalui perkawinan dan ada hubungan darah yang tinggal di bawah satu atap. Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima individu setelah melakukan sebuah pekerjaan sebagai bentuk upah. Lama pendidikan adalah waktu yang ditempuh suami dan istri untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dengan melalui jalur formal yang dikategorikan menjadi ≤ 9 tahun dan > 9 tahun.
30
Lama pernikahan adalah lamanya waktu yang telah ditempuh pasangan suami istri semenjak disahkannya pernikahan hingga saat penelitian ini berlangsung. Pernikahan atau perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang disahkan secara hukum sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia. Kesiapan menikah adalah hal-hal yang dipersiapkan suami dan istri sebelum memasuki gerbang pernikahan dimana kesiapannya diukur dari aspek kesiapan intelektual, emosi, sosial, moral, individu, finansial, dan mental. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami/bapak, istri/ibu dan anak yang dipersatukan melalui ikatan perkawinan, darah, dan adopsi serta tinggal di bawah satu atap yang saling ketergantungan satu sama lain. Tahapan perkembangan keluarga adalah urutan dalam siklus kehidupan keluarga yang dimana setiap urutannya memiliki tugas perkembangan yang harus dicapai untuk mendapatkan kebahagian dalam berkeluarga. Tugas perkembangan keluarga adalah serangkaian kewajiban atau tuntutan yang harus dicapai atau dilaksanakan oleh keluarga pada tahapan keluarga dengan anak prasekolah, sehingga akan membawa kebahagian dalam keluarga dan dasar bagi keberhasilan untuk tahap selanjutnya. Tugas perkembangan anak adalah serangkaian kewajiban atau tuntutan yang harus dicapai oleh anak sesuai dengan usianya sehingga akan membawa kebahagian dan keberhasilan pada tahapan selanjutnya. Tugas perkembangan orangtua (suami-istri) adalah serangkaian kewajiban atau tuntutan yang harus dicapai atau diselesaikan oleh orangtua atau suami istri pada setiap tahapan perkembangannya sebagai individu dan anggota keluarga. Anak Prasekolah adalah individu yang berusia antara 3-5 tahun. Perkembangan anak adalah proses perubahan anak secara fisiologis dan psikologis yang terdiri dari perkembangan motorik, bahasa, kognitif, kemandirian, dan sosial anak sebagai hasil dari proses kematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada diri anak yang diukur dengan menggunakan kuesioner Bina Keluarga Balita (BKB).
31
HASIL Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat. Luas wilayahnya adalah 157,9 Ha. Batas wilayah Kelurahan Bubulak adalah sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Semplak, sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Margajaya, sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Situ Gede, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Sindang Barang. Kelurahan Bubulak berada pada ketinggian 160 m di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2500 mm per tahun. Jarak Kelurahan Bubulak ke pusat pemerintahan (orbitas) tidak begitu jauh, yaitu 6 km ke pusat pemerintahan kecamatan, 9 km ke pemerintahan kota, 129 km ke ibukota provinsi, dan 70 km ke ibukota negara. Pertanahan di Kelurahan Bubulak sebagian besar diperuntukan sebagai ladang yaitu sebanyak 68,3 Ha, pemukiman 47,2 Ha, jalan 16,1 Ha, sawah 8 Ha, dan sisanya diperuntukan sebagai perkuburan, bangunan umum, empang, dan lain-lain. Kelurahan Bubulak memiliki 13 RW dan 49 RT yang dihuni oleh 3.574 kepala keluarga. Jumlah penduduknya adalah sebanyak 13.177 jiwa yang terdiri atas laki-laki sebanyak 6.576 jiwa dan perempuan sebanyak 6.601 jiwa. 2 Karakteristik Contoh Besar keluarga Besar keluarga menunjukkan jumlah individu atau anggota keluarga yang terikat melalui perkawinan, ada hubungan darah, serta tinggal di bawah satu atap. Besar keluarga contoh dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan kategori besar keluarga menurut Hurlock (1980), yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (≥ 8 orang). Hampir seluruh (98,9%) keluarga contoh berada pada ketegori keluarga kecil dan hanya ada satu keluarga yang termasuk ke dalam kategori keluarga sedang (Tabel 2). Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga Keluarga kecil (≤ 4 orang) Keluarga sedang (5-7 orang) Rata-rata ± std Min - Max
2
Jumlah (n=90) Persentase 98,9 89 1 1,1 3,21 ± 0,44 3-5
Data Kependudukan Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor Tahun 2010
32
Usia Usia adalah lamanya waktu hidup yang dijalani oleh seseorang yang dinyatakan dalam tahun. Pada penelitian ini, pembagian rentang usia menggunakan pendapat Hurlock (1980), yaitu dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa akhir (≥ 60 tahun). Hasil uji deskriptif menunjukkan bahwa usia suami dan istri berkisar antara 22 sampai 47 tahun. Pada Tabel 3 disajikan sebaran contoh berdasarkan usia. Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia Usia Dewasa muda (18-40 tahun) Dewasa madya (41-60 tahun) Rata-rata ± std Min - Max P-value
Suami (n=90) n % 94,4 85 5 5,6 32,94 ± 4,40 24 - 47
Istri (n=90) n % 98,9 89 1 1,1 28,08 ± 3,91 22 - 41 0,000***
Total (n=180) n % 96,7 174 6 3,3 30,51 ± 4,82 22 - 47
Ket: *** nyata pada p<0,01
Sebagian besar usia suami (94,4%) dan usia istri (98,9%) berada pada kategori usia dewasa muda. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara usia suami dengan usia istri. Rataan usia suami lebih tinggi daripada rataan usia istri. Rataan usia pada suami sebesar 32,93 tahun, sedangkan rataan usia pada istri sebesar 28,08 tahun. Usia Menikah Usia menikah merupakan usia seseorang ketika menikah dimana batas usia yang diperbolehkan untuk menikah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku disuatu negara. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 6 dan 7, batas usia seseorang yang diperbolehkan untuk menikah adalah untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun, namun jika usia keduanya masih dibawah 21 tahun, maka disyaratkan harus mendapatkan izin dari kedua orangtua. Pada Tabel 4 disajikan sebaran contoh berdasarkan usia menikah. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia menikah Usia Menikah (tahun) < 21 tahun ≥ 21 tahun Rata-rata ± std Min - Max P-value Ket: *** nyata pada p<0,01
Suami (n=90) n % 2 2,2 88 97,8 27,81 ± 4,20 20 - 39
Istri (n=90) n % 21 23,3 69 76,7 22,94 ± 3,70 16 - 36 0,000***
Total (n=180) n % 23 12,8 157 87,2 25,38 ± 4,64 16 - 39
33
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rataan usia menikah suami sebesar 27,81 tahun, sedangkan rataan usia menikah istri sebesar 22,96 tahun. Terdapat perbedaan yang nyata dimana usia menikah suami lebih tinggi daripada istri. Hampir seluruh (97,8%) suami dan dua pertiga (76,7%) istri usia menikahnya diatas 21 tahun. Hal tersebut menjelaskan bahwa usia menikah suami dan istri telah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan. Tingkat Pendidikan Memperoleh ilmu pengetahuan dapat melalui jalur pendidikan, baik secara formal maupun informal. Tingkat pendidikan yang ditamatkan contoh beragam yaitu mulai dari tamat SD hingga lulus Sarjana. Menurut Sumarwan (2002), pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan seseorang dan akan mempengaruhi besar pendapatan yang akan diterimanya. Pada Tabel 5 disajikan sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan. Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak sekolah Tamat SD Tidak tamat SMP Tamat SMP Tidak tamat SMA Tamat SMA Diploma (D1/D3) Sarjana (S1)
Berdasarkan
Suami (n=90) n % 0 0,0 27 30,0 0 0,0 21 23,3 0 0,0 40,0 36 2 2,2 4 4,4
Tabel
5,
Istri (n=90) n % 2 2,2 37,8 34 0 0,0 23 25,6 0 0,0 26 28,9 3 3,3 2 2,2
persentase
terbesar
Total (n=180) n % 2 1,1 61 33,9 0 0,0 44 24,4 0 0,0 34,4 62 5 2,8 6 3,3
suami
menamatkan
pendidikannya hingga tingkat SMA yaitu sebesar 40 persen, sedangkan persentase terbesar istri tingkat pendidikan yang ditamatkan hanya sampai tingkat SD, yaitu sebesar 37,8 persen. Namun masih terdapat istri yang tidak tamat SD (2,2%). Kesulitan dalam hal biaya sekolah merupakan salah satu penyebab putus sekolah sehingga tidak dapat melanjutkan pendidikan ketingkat berikutnya. Lama pendidikan yang dianjurkan oleh pemerintah adalah kewajiban belajar 9 tahun. Berdasarkan peraturan tersebut pembagian lama pendidikan dibagi ke dalam dua kategori, yaitu kurang dari dan sama dengan 9 tahun dan lebih dari 9 tahun. Pada Tabel 6 disajikan sebaran contoh berdasarkan kategori lama pendidikan.
34
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan kategori lama pendidikan Lama Pendidikan (tahun) ≤ 9 tahun > 9 tahun Rata-rata ± std Min - Max P-value
Suami (n=90) n % 53,3 48 42 46,7 9,74 ± 2,97 6 - 16
Istri (n=90) n % 65,6 59 31 34,4 8,84 ± 3,12 0 - 16 0,049**
Total (n=180) n % 59,4 107 73 40,6 9,29 ± 3,07 0 - 16
Ket: ** nyata pada p<0,05
Berdasarkan Tabel 6, diketahui bahwa lebih dari setengah (53,3%) suami dan istri (65,6%) menempuh pendidikan selama kurang dari dan sama dengan 9 tahun. Berdasarkan hasil uji beda rataan t-test, terdapat perbedaan dimana pendidikan suami lebih tinggi dibandingkan istri. Menurut Rachmawati (2009), semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin baik keadaan sosial ekonomi dan kemandirian keluarga. Semakin tinggi pendidikan, maka semakin besar peluang kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik dengan pendapatan yang lebih tinggi. Pekerjaan Pekerjaan pada suami dan istri sangat beragam. Pada dasarnya pekerjaan
merupakan
kegiatan
yang
bernilai
ekonomi
sehingga
dapat
menghasilkan uang sebagai upah dari pekerjaan tersebut. Jenis pekerjaan dapat menentukan besarnya pendapatan yang diterima. Secara umum pekerjaan contoh meliputi PNS, karyawan, wiraswasta, buruh, pembantu rumah tangga (PRT), serta guru ngaji (ustad). Pada Tabel 7 disajikan sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan. Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan Jenis Pekerjaan PNS Karyawan Wiraswasta Buruh Pembantu rumah tangga Kyai/ustad/guru ngaji Tidak bekerja (IRT)
Suami (n=90) n % 1 1,1 28 31,1 23 25,6 41,1 37 0 0,0 1 1,1 0 0,0
Istri (n=90) n % 2 2,2 3 3,3 3 3,3 0 0,0 2 2,2 1 1,1 87,8 79
Total (n=180) n % 3 1,7 31 17,2 26 14,4 37 20,6 2 1,1 2 1,1 43.9 79
Jenis pekerjaan suami yang memiliki persentase terbesar adalah bekerja sebagai buruh, yaitu sebesar 41,1 persen, diikuti dengan karyawan (31,1%), dan wiraswasta (25,6%). Umumnya suami bekerja sebagai buruh bangunan yang mendapatkan upah harian atau upah bulanan. Kemudian untuk istri, sebagian besar (87,8%) istri adalah ibu rumah tangga (IRT) yang lebih memilih
35
mengalokasikan waktunya untuk keluarga dan berada di rumah. Namun ada sebagian kecil istri yang bekerja sebagai PNS (2,2%), karyawan (3,3%), dan wiraswasta (3,3%), tetapi istri yang bekerja tersebut tetap dapat menjalankan tugasnya sebagai ibu di dalam keluarganya. Pendapatan Keluarga Pendapatan adalah imbalan yang diterima oleh seseorang sebagai upah dari pekerjaan yang telah dilakukannya. Pendapatan keluarga merupakan penjumlahan dari pendapatan setiap anggota keluarga yang bekerja, kemudian dikelompokan
berdasarkan
interval
kelas
dari
sebaran
data.
Tabel
8
menunjukkan bahwa lebih dari setengah (52,2%) keluarga contoh memiliki pendapatan ≤ Rp 1.224.000. Rataan pendapatan yang dimiliki oleh keluarga contoh adalah sebesar Rp 1.540.000. Menurut Nurulfirdausi (2010), pendapatan keluarga bergantung pada kualitas dan kuantitas sumberdaya yang dimiliki. Hal tersebut berarti semakin tinggi kualitas dan semakin banyak anggota keluarga yang bekerja maka semakin besar pendapatan yang diperoleh. Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga Pendapatan Keluarga (rupiah) ≤ Rp 1.224.000 Rp 1.224.001 – Rp 2.168.000 Rp 2.168.001 – Rp 3.112.000 Rp 3.112.001 – Rp 4.056.000 ≥ Rp 4.056.001 Rata-rata ± std Min - Max
Jumlah (n=90) 47 27 6 3 7
Persentase
52,2 30,0 6,7 3,3 7,8 1.540.000 ± 1.186.064 280.000 - 5.000.000
Pendapatan Per kapita Pendapatan per kapita keluarga dihitung dengan cara membagi total pendapatan keluarga dengan jumlah anggota keluarga. Garis Kemiskinan Jawa Barat tahun 2010 (BPS 2010) berada pada angka Rp 212.210. Dengan mengacu pada Garis Kemiskinan Jawa Barat 2010, keluarga contoh dibagi ke dalam dua kategori, yaitu keluarga dengan pendapatan per kapita kurang dari dan sama dengan Rp 212.210 digolongkan ke dalam keluarga miskin, sedangkan untuk keluarga dengan pendapatan per kapita lebih besar dari Rp 212.210 digolongkan ke dalam kategori keluarga tidak miskin. Pada Tabel 9 disajikan sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita keluarga.
36
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita keluarga Pendapatan (Rp/kpt/bln) Miskin (≤ 212 210) Tidak miskin (> 212 210) Rata-rata ± std Min - Max
Jumlah (n=90) Persentase 12 13,3 78 86,7 482.000 ± 357.654 70.000 – 1.666.667
Ket: GK Jawa Barat (2010)
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa sebesar 86,7 persen keluarga contoh tergolong ke dalam kategori tidak miskin dengan pendapatan per kapita lebih dari Rp 212.210. Sedangkan sebesar 13,3 persen keluarga contoh tergolong kategori miskin. Besarnya pendapatan per kapita keluarga tergantung pada besarnya pendapatan keluarga dan jumlah anggota keluarga, semakin besar pendapatan keluarga namun jumlah anggota keluarga sedikit maka pendapatan per kapita keluarga akan tinggi. Karakteristik Anak Menurut Duvall (1971) tahapan keluarga dengan anak usia anak prasekolah adalah ketika di dalam sebuah keluarga terdapat anak pertama yang berusia antara 2,5 tahun sampai dengan 5 tahun. Adapun kisaran usia anak contoh dalam penelitian ini adalah antara 36 sampai 60 bulan atau usia 3 sampai 5 tahun. Lebih dari setengah (56,7%) anak contoh berusia antara 49 sampai 60 bulan dan sisanya sebesar 43,3 persen anak contoh berusia antara 36 sampai 48 bulan. Anak contoh yang diikutsertakan dalam penelitian ini lebih dari setengahnya berjenis kelamin perempuan (55,6%) dan sisanya sebesar 44,4 persen anak contoh berjenis kelamin laki-laki (Tabel 10). Semua anak contoh merupakan urutan anak pertama di dalam keluarga, karena contoh dalam penelitian ini adalah keluarga dengan anak pertama usia prasekolah. Tabel 10 Sebaran usia dan jenis kelamin anak contoh Kategori Usia (bulan) 36-48 49-60 Rata-rata ± std Min – Max Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Jumlah (n=90)
Persentase
39 51
43,3 56,7
48,24 ± 7,70 36 - 60 Jumlah (n=90) Persentase 40 44,4 55,6 50
37
Kesiapan Menikah Pernikahan atau perkawinan dapat dikatakan sebagai jalan untuk menyatukan dua individu yang berbeda. Aspek kesiapan menikah dilihat berdasarkan dimensi perkembangan manusia. Dalam penelitian ini, kesiapan menikah dari setiap pasangan suami dan istri diukur dari ketujuh aspek kesiapan, yaitu kesiapan intelektual, emosi, sosial, moral, individu, finansial, dan mental. Kesiapan Intelektual Intelektual lazim disebut dengan inteligensi. Menurut Wechsler (1958) dalam Trihandini (2005), inteligensi adalah keseluruhan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk dapat bertindak secara terarah dan berfikir secara bermakna. Terdapat enam item pernyataan untuk mengukur kesiapan intelektual suami dan istri. Hampir setengah dari suami (44,4%) dan istri (32,2%) sebelum menikah mereka kurang tertarik mengikuti perkumpulan budaya sebagai upaya untuk melestarikan budaya. Selain itu, hanya sebesar 54,4 persen suami dan 41,1 persen istri menyukai perkembangan dunia politik dan sisanya menyatakan tidak memiliki ketertarikan mengenai dunia politik (Tabel 11). Alasan yang paling banyak diungkapkan oleh contoh mengenai hal tersebut adalah baik sebelum atau sesudah menikah mereka tidak begitu paham akan dunia politik. Namun untuk hal yang lainnya, lebih dari tiga perempat baik suami maupun istri memiliki rasa keingintahuan yang tinggi akan sesuatu hal baru, suka mencari berita melalui media, membaca buku, dan mengikuti kejadian suatu peristiwa hingga selesai, sehingga hanya sebagian kecil contoh saja yang tidak memiliki ketertarikan tentang hal-hal tersebut. Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan intelektual No
Item Pernyataan
Suami (n=90)
Istri (n=90)
1
Memiliki rasa keingintahuan yang tinggi untuk mendalami hal yang baru Mengikuti perkumpulan budaya sebagai upaya untuk melestarikan budaya Mencari berita untuk mendapatkan berita terbaru Suka membaca buku mengenai ilmu pengetahuan Akan mengikuti peristiwa yang menggemparkan dunia hingga selesai Menyukai perkembangan dunia politik
91,1
81,1
44,4
32,2
94,4 80,0
85,6 71,1
84,4
94,4
54,4
41,1
2 3 4 5 6
Lebih dari setengah (55,6%) suami kesiapan intelektualnya tergolong ke dalam kategori tinggi, sedangkan untuk istri lebih dari setengahnya (52,2%) termasuk kategori sedang (Tabel 12). Berdasarkan rataan pencapaian, secara
38
umum suami dan istri telah memenuhi lebih dari 65 persen item kesiapan intelektual. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan terdapat perbedaan nyata antara kesiapan intelektual suami dan istri (p=0,020), dimana kesiapan intelektual suami lebih tinggi dibandingkan dengan istri. Hal ini juga didukung dengan tingkat pendidikan yang ditamatkan suami dengan persentase terbanyak adalah tamatan SMA, sedangkan tingkat pendidikan yang ditamatkan istri persentase terbanyak hanya sampai tamat SD. Memiliki kesiapan intelektual yang baik dapat membantu seseorang dalam mendapatkan pekerjaan. Menurut Papalia,
Old,
dan
Fieldman
(2008),
bersamaan
dengan
meningkatnya
pertumbuhan kognitif, pendidikan mengembangkan peluang pekerjaan dan kemungkinan mendapatkan uang. Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan intelektual Kategori Tingkat Kesiapan Intelektual Rendah (0-33,3%) Sedang (33,4-66,7%) Tinggi (66,8-100%) Rata-rata ± std Min - Max P-Value
Suami (n=90) n % 6 6,7 34 37,8 55,6 50 74,82 ± 21,09 16,7 - 100
Istri (n=90) n % 8 8,9 52,2 47 35 38,9 67,59 ± 20,20 0 – 100 0,020**
Ket: ** nyata pada p<0,05
Kesiapan Emosi Kematangan emosi merupakan aspek yang penting dalam kesiapan menikah (Blood 1978). Terdapat sepuluh item pernyataan untuk mengukur kesiapan emosi suami dan istri. Sebagian besar (81,1%) suami dan lebih dari separuh (57,8%) istri akan merasa kecewa jika dikhianati oleh pasangannya, kemudian lebih dari dua pertiga (75,6%) istri akan menggerutu ketika marah dan hanya 66,7 persen suami yang melakukan hal tersebut. Dalam keadaan stres, sebesar 71,1 persen suami akan merokok, sedangkan hanya 1,1 persen istri akan merokok jika dalam keadaan stres. Kurang dari 60 persen suami dan istri akan menghampiri orang yang telah mengganggu pasangannya, menyuruh pergi seseorang yang mengganggu pekerjaannya, melempar barang dan berteriak jika mereka merasa kesal dengan beban pekerjaan, dan akan segera menyamakan persepsi jika terdapat perbedaan persepsi dengan temannya dengan alasan untuk menghindari perselisihan. Selain itu, hampir seluruh suami dan istri selalu mendapatkan dukungan dari keluarga disegala aktivitasnya dan juga mampu untuk menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu (Tabel 13).
39
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan emosi No
Item Pernyataan
1 2 3
Merasa kecewa saat dikhianati oleh pasangan Akan menggerutu ketika marah Jika pasangan diganggu oleh orang lain, maka akan langsung menghampiri orang yang mengganggu tersebut Akan merokok jika stres Mendapat dukungan dari keluarga disegala aktivitas Dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu Jika ada teman yang mengganggu pekerjaan, maka akan langsung menyuruhnya pergi Akan melempar barang dan berteriak jika merasa kesal dengan beban pekerjaan Ketika berbeda persepsi dengan teman, maka akan segera menyamakan persepsi tersebut Ikut sedih ketika mendengarkan cerita sedih teman
4 5 6 7 8 9 10
Suami (n=90) 81,1 66,7
Istri (n=90) 57,8 75,6
55,6
10,0
71,1 93,3 98,9
1,1 93,3 95,6
42,2
47,8
31,1
23,3
58,9
42,2
73,3
81,1
Tabel 14 menunjukkan bahwa lebih dari separuh (54,4%) suami memiliki tingkat kesiapan emosi yang tergolong sedang, sedangkan tiga perempat (75,6%) istri memiliki tingkat kesiapan emosi yang tinggi. Berdasarkan rataan pencapaian, secara umum suami dan istri telah memenuhi lebih dari 60 persen item kesiapan emosi. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kesiapan emosi antara suami dan istri, dimana kesiapan emosi istri lebih tinggi dibandingkan suami. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Katyal dan Awasthi (2005) dimana kecerdasan emosi perempuan lebih baik daripada laki-laki. Perempuan lebih menjaga emosi dan hubungan personalnya daripada laki-laki. Pada umumnya perempuan jauh lebih ekspresif secara emosi, namun dalam sejumlah situasi, perempuan dapat menyeimbangkan ekspresivitas dengan pembatasan dalam mempresentasikan diri (Goleman 2007). Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan emosi Kategori Tingkat Kesiapan Emosi Rendah (0-33,3%) Sedang (33,4-66,7%) Tinggi (66,8-100%) Rata-rata ± std Min - Max P-Value
Suami (n=90) n % 0 0,0 54,4 49 41 45,6 63,89 ± 12,87 40 - 90
Istri (n=90) n % 1 1,1 21 23,3 75,6 68 71,22 ± 11,30 30 – 90 0,000***
Ket: *** nyata pada p<0,01
Kesiapan Sosial Psikolog Edward Thorndike (1920) dalam Goleman (2007) merumuskan kecerdasan sosial sebagai kemampuan memahami dan mengelola orang lain. Terdapat tujuh item pernyataan untuk mengukur kesiapan sosial suami dan istri.
40
Berdasarkan Tabel 15, lebih dari 60 persen suami dan istri ketika memutuskan untuk menikah mereka sudah merasa cukup umur, lebih suka menarik diri dari lingkungan baru, akan menyapa duluan saat ada tetangga baru, akan mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama. Selain itu, kurang dari 61 persen suami dan istri kurang cepat dalam menyelesaikan masalah dengan pasangannya dan dapat menilai seseorang dari kesan pertama yang tercermin dari penampilannya. Kesan tersebut terlihat seperti tidak menghormati terhadap orang baru, dimana penilaian hanya dilihat dari penampilan saja. Hanya sebagian kecil suami (11,1%) dan istri (20%) yang melarang temannya untuk bergaul atau berteman dengan orang lain, sehingga sebagian besar suami dan istri membebaskan temannya untuk menjalin hubungan pertemanan dengan yang lain. Tabel 15 Sebaran contoh berdasakan item pernyataan kesiapan sosial No
Item Pernyataan
1 2
Sudah cukup umur untuk menikah Kurang cepat dalam menyelesaikan masalah dengan pasangannya
3 4 5
Lebih suka menarik diri dari lingkungan baru Akan menyapa duluan saat ada tetangga baru Akan mengenyampingkan kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama Melarang teman dekat untuk bergaul dengan orang lain Melihat kesan pertama terhadap orang lain tercermin dari penampilan
6 7
Suami (n=90) 90,0
Istri (n=90) 85,6
60,0
52,2
60,0 86,7
78,9 88,9
84,4
67,8
11,1
20,0
61,1
58,9
Lebih dari separuh (60%) suami memiliki kesiapan sosial yang tinggi, sedangkan 54,4 persen istri memiliki kesiapan sosial yang sedang (Tabel 16). Berdasarkan rataan pencapaian, secara umum suami dan istri telah memenuhi lebih dari 60 persen item kesiapan sosial, dengan rataan kesiapan sosial suami sebesar 66,98 persen, sedangkan rataan kesiapan istri sebesar 61,75 persen. Hasil uji beda rataan t-test, terdapat perbedaan tingkat kesiapan sosial antara suami dan istri, dimana kesiapan sosial pada suami lebih tinggi dibandingkan istri. Ketepatan empati merupakan kecakapan paling esensial dari kecerdasan sosial. Perempuan cenderung lebih baik dalam dimensi empati daripada laki-laki (Goleman 2007). Namun hal tersebut tidak sejalan dengan hasil penelitian ini dimana kesiapan sosial suami lebih tinggi daripada istri. Usia dan tipe pertanyaan merupakan faktor yang lebih signifikan dibandingkan perbedaan jenis kelamin (Jaffee & Hyde 2000 dalam Papalia, Olds, & Fieldman 2008).
41
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan sosial Kategori Tingkat Kesiapan Sosial Rendah (0-33,3%) Sedang (33,4-66,7%) Tinggi (66,8-100%) Rata-rata ± std Min - Max P-Value
Suami (n=90) n % 1 1,1 35 38,9 60,0 54 66,98 ± 16,68 28,6 - 100
Istri (n=90) n % 4 4,4 54,4 49 37 41,1 61,75 ± 14,96 28,6 – 100 0,038**
Ket: ** nyata pada p<0,05
Kesiapan Moral Nilai moral adalah standar moral, sebuah konsep individu tentang relasi ideal yang digunakan untuk menilai benar atau salah dari sebuah relasi aktual yang dialami atau dihayati (Scott 1965). Terdapat 11 item pernyataan untuk mengukur kesiapan moral suami dan istri. Berdasarkan Tabel 17, hampir seluruh suami dan istri akan selalu menolong orang lain meskipun orang tersebut tidak disukainya dan selalu berkata jujur kepada semua orang. Kemudian lebih dari setengah suami (58,9%) dan istri (62,2%) tergolong egois, karena tidak pernah memikirkan perasaan orang lain. Kurang dari 55 persen suami istri pernah mengambil barang orang lain, menggunakan barang orang lain tanpa izin, pernah melakukan bullying terhadap junior, pernah tidak sengaja membeberkan rahasia teman, dan menceritakan kembali masalah temannya pada orang lain. Selain itu lebih dari 60 persen suami dan istri ketika ada seseorang yang dicela maka mereka akan ikut mencelanya, pernah nyontek saat ujian, dan tidak dapat menyembunyikan perasaannya ketika senang maupun sedih. Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan moral No
Item Pernyataan
Suami (n=90)
Istri (n=90)
1
Selalu menolong orang lain meskipun orang tersebut tidak disukainya Saat ada orang yang dicela, maka akan ikut mencelanya walaupun hanya bercanda Tidak pernah memikirkan perasaan orang lain Pernah menyontek saat ujian Selalu berkata jujur kepada semua orang Tidak dapat menyembunyikan perasaan ketika senang maupun sedih Saat teman terlibat dalam suatu masalah, dimana masalah tersebut diketahuinya dan jika ada seseorang yang bertanya maka akan menceritakan masalah tersebut sejauh pengetahuannya Pernah mengambil barang orang Suka menggunakan barang orang tanpa izin Pernah melakukan bullying terhadap junior Tidak sengaja membeberkan rahasia teman
96,7
94,4
62,2
94,4
58,9 65,6 93,3
62,2 60,0 93,3
67,8
63,3
53,3
46,7
34,4 37,8 44,4 43,3
31,1 34,4 24,4 54,4
2 3 4 5 6 7
8 9 10 11
42
Lebih dari setengah (64,4%) suami tingkat kesiapan moralnya tergolong sedang. Begitu pula dengan istri, dua pertiganya (76,7%) memiliki kesiapan moral yang sedang (Tabel 18). Berdasarkan rataan pencapaian, secara umum suami dan istri telah memenuhi lebih dari 55 persen item kesiapan moral. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan moral antara suami dan istri. Hal tersebut sejalan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Carl Gilligan bahwa hasil risetnya tidak mendukung pembedaan pandangan moral antara perempuan dan laki-laki (Papalia, Olds, & Feldman 2008). Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan moral Kategori Tingkat Kesiapan Moral Rendah (0-33,3%) Sedang (33,4-66,7%) Tinggi (66,8-100%) Rata-rata ± std Min - Max P-Value
Suami (n=90) n % 4 4,4 64,4 58 28 31,1 59,39 ± 15,25 18,2 - 100
Istri (n=90) n % 1 1,1 76,7 69 20 22,2 57,88 ± 12,30 27,3 – 81,8 0,464
Kesiapan Individu Kesiapan individu merupakan hal-hal yang dipersiapkan oleh individu secara pribadi sebelum menikah. Terdapat 12 item pernyataan untuk mengukur kesiapan individu suami dan istri. Berdasarkan Tabel 19, sepertiga (33,3%) suami sebelum menikah merupakan satu-satunya pencari nafkah di dalam keluarga besarnya dan hanya sebagian kecil (5,6%) istri yang kondisinya sama seperti itu. Lebih dari 60 persen suami istri mengungkapkan bahwa pasangan yang dipilihnya telah sesuai dengan yang diharapkan, sudah merasa cukup mengenal pasangannya selama masa pacaran, telah memiliki pengetahuan tentang berkeluarga, memiliki pengetahuan mengenai cara menstimulasi anak yang
benar, memiliki pengetahuan tentang
perkembangan anak,
akan
mengurangi kesenangan pribadi setelah menikah, dan telah membiasakan diri melakukan pekerjaan rumah tangga. Selain itu, kurang dari 55 persen suami istri sebelum menikah telah membicarakan jumlah anak yang diinginkan, telah hidup mandiri terpisah dari orangtua, dan memeriksakan kesehatan reproduksi ke bidan atau rumah sakit serta memiliki pengetahuan tentang kesehatan reproduksi, kehamilan, dan kelahiran. Memiliki keyakinan untuk mendapatkan pekerjaan dengan keterampilan yang dimiliki hanya diyakini oleh lebih dari
43
separuh (63,3%) suami, sedangkan hanya 30 persen istri memiliki keyakinan mengenai hal tersebut. Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan individu No
Item Pernyataan
1 2
Sebagai satu-satunya pencari nafkah dalam keluarga besar Pasangan yang sudah dipilih merupakan pasangan yang seperti diharapkan Sudah memiliki waktu yang cukup untuk mengenal pasangan Memiliki pengetahuan tentang berkeluarga (peran, fungsi, dan tugas setiap anggota keluarga dalam keluarga) Memiliki pengetahuan mengenai cara menstimulasi anak dengan benar Memiliki pengetahuan tentang perkembangan anak Akan mengurangi kesenangan pribadi setelah menikah Membiasakan diri untuk melakukan pekerjaan rumah tangga Memeriksakan kesehatan reproduksi sebelum menikah dan memiliki pengetahuan tentang kesehatan kehamilan, dan kelahiran Sebelum menikah, pasangan telah membicarakan mengenai jumlah anak yang diinginkan Sebelum menikah telah hidup mandiri (terpisah dari orangtua) Memiliki keyakinan akan mendapatkan pekerjaan yang layak dengan keterampilan yang dimiliki
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12
Suami (n=90) 33,3
Istri (n=90) 5,6
72,2
61,1
83,3
63,3
87,8
85,6
64,4
67,8
68,9 78,9
61,1 71,1
75,6
95,6
38,9
17,8
52,2
52,2
54,4
23,3
63,3
30,0
Sebanyak 44,4 persen suami termasuk pada tingkat kesiapan individu yang tergolong sedang dan tinggi karena pada tingkat tersebut memiliki persentase yang sama. Sedangkan dua pertiga (72,2%) istri memiliki kesiapan individu yang tergolong sedang (Tabel 20). Berdasarkan rataan pencapaian, secara umum suami dan istri telah memenuhi lebih dari 50 persen item kesiapan individu dengan rataan kesiapan individu suami sebesar 64,44 persen dan rataan kesiapan individu istri sebesar 52,87 persen. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan terdapat perbedaan tingkat kesiapan individu antara suami dan istri, dimana kesiapan individu suami lebih tinggi dibandingkan istri. Salah satu syarat bagi calon pasangan yang akan menikah menurut Burgess dan Locke (1960) adalah memiliki kematangan kepribadian untuk menjalankan fungsi, peran, dan tugas keluarga. Menurut Blood (1978), seseorang belajar menjadi suami atau istri yang baik dengan melihat dari figur ayah dan ibu mereka. Suami yang belajar dari figur ayah yang baik akan mempengaruhi kesiapan menikahnya.
44
Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan individu Kategori Tingkat Kesiapan Individu Rendah (0-33,3%) Sedang (33,4-66,7%) Tinggi (66,8-100%) Rata-rata ± std Min - Max P-Value
Suami (n=90) n % 10 11,1 44,4 40 44,4 40 64,44 ± 19,18 25 – 100
Istri (n=90) n % 18 20,0 72,2 65 7 7,8 52,87 ± 15,41 16,7 – 83,3 0,000***
Ket: *** nyata pada p<0,01
Kesiapan Finansial Kesiapan finansial merupakan kesiapan individu dari segi materi untuk dapat membiayai kehidupan keluarganya nanti. Terdapat delapan item pernyataan untuk mengukur kesiapan finansial suami dan istri. Berdasarkan Tabel 21, lebih dari 50 persen suami dan istri telah memiliki pekerjaan sebelum menikah, memiliki pengetahuan cara mengelola keuangan, dan memiliki jejaring yang banyak. Hanya sebagian kecil suami (7,8%) dan istri (1,1%) sebelum menikah telah memiliki rumah sendiri. Kepemilikan tabungan sebelum menikah hanya dimiliki oleh 72,2 persen suami dan 42,2 persen istri. Lebih dari separuh (64,4%) istri dan hanya 20 persen suami ketika sebelum menikah memiliki investasi dalam bentuk emas atau perhiasan. Memiliki kendaran sebelum menikah hanya dimiliki oleh sebagian kecil istri (8,9%), namun sepertiga (35,6%) suami sudah memiliki kendaraan sendiri ketika sebelum menikah. Separuh suami (50%) dan sebagian kecil istri (16,7%) sebelum menikah memiliki pendapatan sampingan sehingga mendapatkan uang tambahan selain dari upah pokok yang didapatnya. Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan finansial No
Item Pernyataan
1 2 3 4 5 6
Sebelum menikah sudah memiliki pekerjaan Sebelum menikah sudah memiliki rumah sendiri Sebelum menikah memiliki tabungan Sebelum menikah memiliki investasi emas atau perhiasan Sebelum menikah sudah memiliki kendaraan sendiri Memiliki pengetahuan cara mengelola keuangan (dari buku, internet, televisi) Memiliki jejaring yang banyak Memiliki pendapatan sampingan
7 8
Suami (n=90) 84,4 7,8 72,2 20,0 35,6
Istri (n=90) 76,7 1,1 42,2 64,4 8,9
55,6
70,0
52,2 50,0
74,4 16,7
Tingkat kesiapan finansial suami, lebih dari separuhnya (57,8%) berada pada kategori sedang begitu pula dengan istri. Sebesar 60 persen istri tingkat kesiapan finansial tergolong sedang (Tabel 22). Berdasarkan rataan pencapaian,
45
secara umum suami istri telah memenuhi lebih dari 40 persen item kesiapan finansial, dengan rataan kesiapan finansial suami sebesar 47,22 persen dan istri sebesar 44,31 persen. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan finansial antara suami dan istri. Menurut Blood (1978), seseorang menunjukkan kesiapan untuk menikah yang cenderung mengukur sumberdaya mereka dari potensi penghasilannya. Seseorang yang siap secara finansial kemungkinan akan semakin siap juga untuk menikah. Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan finansial Kategori Tingkat Kesiapan Finansial Rendah (0-33,3%) Sedang (33,4-66,7%) Tinggi (66,8-100%) Rata-rata ± std Min - Max P-Value
Suami (n=90) n % 24 26,7 57,8 52 14 15,6 47,22 ± 22,78 0 – 100
Istri (n=90) n % 28 31,1 60,0 54 8 8,9 44,31 ± 22,03 0 – 100 0,384
Kesiapan Mental Terdapat lima item pernyataan untuk mengukur kesiapan mental suami dan istri. Sebagian besar suami dan istri sebelum menikah telah memikirkan bagaimana cara membagi penghasilan yang didapat untuk dirinya, keluarganya, juga untuk keluarga besarnya. Selain itu, lebih dari 50 persen suami dan istri telah menyiapkan diri untuk tinggal bersama mertua, telah menyiapkan diri jika pasangan berprilaku yang diluar dugaan, dan telah menyiapkan diri jika anak yang diasuh berprilaku yang tidak diharapkan. Sebesar 82,2 persen suami dan 67,8 persen istri telah menyiapkan diri untuk kemungkinan hidup dalam keterbatasan setelah menikah (Tabel 23). Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan kesiapan mental No
Item Pernyataan
1
Sebelum menikah, telah menyiapkan diri untuk hidup dalam keterbatasan setelah menikah Sebelum menikah, telah memikirkan bagaimana cara membagi penghasilan yang didapatkannya untuk dirinya, keluarganya, juga untuk keluarga besar Sebelum menikah, telah menyiapkan diri untuk tinggal bersama mertua dan kemungkinan memiliki hubungan yang kurang nyaman saat tinggal bersama mertua Sebelum menikah, telah menyiapkan diri jika pasangan berperilaku diluar dugaan yang bersifat negatif atau yang tidak diharapkan Sebelum menikah, telah menyiapkan diri jika anak yang diasuh berprilaku yang tidak diharapkan
2
3
4
5
Suami (n=90)
Istri (n=90)
82,2
67,8
94,4
90,0
61,1
60,0
67,8
53,3
62,2
67,8
46
Menikah bukan saja harus siap secara fisik, namun juga harus siap secara mental. Banyak harapan-harapan yang ingin dicapai oleh setiap pasangan suami istri ketika berkeluarga, namun tidak semua harapan itu terwujudkan sesuai dengan keinginan. Lebih dari separuh suami (58,9%) dan istri (51,1%) tingkat kesiapan mentalnya berada pada kategori tinggi (Tabel 24). Berdasarkan rataan pencapaian, secara umum suami dan istri telah memenuhi lebih dari 65 persen item kesiapan mental. Kedewasaan merupakan ciri dari kesiapan menikah. Menurut Blood (1978) kedewasaan yang ideal adalah mereka yang memiliki fisik dan mental yang kuat lebih diutamakan dibandingkan dengan kedewasaan sosial. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan tingkat kesiapan mental antara suami dan istri. Tebel 24 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kesiapan mental Kategori Tingkat Kesiapan Mental Rendah (0-33,3%) Sedang (33,4-66,7%) Tinggi (66,8-100%) Rata-rata ± std Min – Max P-Value
Suami (n=90) n % 3 3,3 34 37,8 58,9 53 73,56 ± 24,87 0 – 100
Istri (n=90) n % 9 10,0 35 38,9 51,1 46 67,78 ± 28,55 0 – 100 0,150
Secara keseluruhan, kesiapan menikah yang diukur dari ketujuh aspek kesiapan diketahui bahwa lebih dari separuh (67,8%) suami dan dua pertiga (87,8%) istri tingkat kesiapan menikahnya tergolong sedang (Tabel 25). Berdasarkan rataan pencapaian kesiapan dari ketujuh aspek tersebut, secara umum suami dan istri telah memenuhi lebih dari 55 persen item kesiapan menikah dengan rataan pencapaian kesiapan menikah suami adalah sebesar 62,15 persen dan istri sebesar 58,54 persen. Hasil uji beda rataan t-test menunjukkan terdapat perbedaan tingkat kesiapan menikah antara suami dan istri, dimana kesiapan menikah suami lebih tinggi dibandingkan istri. Ross (1995) dalam Papalia, Olds, dan Feldman (2008), berpendapat bahwa manfaat yang didapatkan dari keterikatan perkawinan adalah wanita mendapat dukungan dari segi ekonomi sedangkan pria mendapat dukungan dari segi emosional. Berdasarkan
pernyataan
tersebut,
tersirat
bahwa
laki-laki
harus
lebih
mempersiapkan diri baik dari segi umur maupun pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik karena laki-laki merupakan pencari nafkah utama dalam keluarga, sehingga manfaat yang didapat oleh wanita dari seorang laki-laki adalah dukungan dari segi ekonomi.
47
Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan komposit kesiapan menikah Kesiapan Menikah Rendah (0-33,3%) Sedang (33,4-66,7%) Tinggi (66,8-100%) Rata-rata ± std Min - Max P-Value
Suami (n=90) n % 0 0,0 58,9 53 37 41,1 63,20 ± 9,96 37,3 – 83,1
Istri (n=90) n % 0 0,0 78,9 71 19 21,1 59,58 ± 8,12 39 – 74,6 0,008***
Ket: *** nyata pada p<0,01
Tugas Perkembangan Keluarga Tugas perkembangan merupakan tugas-tugas yang akan selalu muncul pada setiap tahapan perkembangan seorang individu (Duvall 1971). Keluarga memiliki siklus perkembangan sebagaimana layaknya individu. Siklus kehidupan keluarga mempunyai tahapan-tahapan yang berurutan. Setiap tahapan keluarga memiliki tugas perkembangan keluarga yang akan selalu muncul selama rentang kehidupan keluarga, termasuk pada tahapan keluarga dengan anak usia prasekolah. Dalam penelitian ini tugas perkembangan keluarga terdiri dari dua dimensi, yaitu tugas perkembangan keluarga dimensi anak dan tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua. Tugas Perkembangan Keluarga Dimensi Anak Terdapat 13 item pernyataan mengenai tugas perkembangan keluarga dimensi anak. Lebih dari 75 persen contoh membiasakan anaknya untuk tidur siang setiap hari, makan secara mandiri tanpa dibantu, berinteraksi dengan anak dengan cara memancing anak untuk menceritakan kegiatan yang telah dilakukannya, mengajarkan tata cara buang air yang benar, mengajarkan anak untuk berbagi dan bergantian mainan dengan temannya, mengajarkan bagaimana mengekspresikan emosi yang baik, mengenalkan kepada anak berbagai benda atau situasi yang berbahaya, mengajak anak secara rutin ke taman bermain, dan selalu mendampingi ketika anak sedang mewarnai. Namun, kurang dari 75 persen contoh memberikan tanggung jawab kepada anak untuk membereskan mainannya sendiri, membiasakan anak untuk dapat menutup resleting dan mengancingkan baju, membiasakan anak untuk memakai bajunya sendiri, dan mengajarkan anak mengenai ciri-ciri perbedaan laki-laki dan perempuan secara sederhana (Tabel 26).
48
Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan item tugas perkembangan keluarga dimensi anak No
Item Pernyataan
1 2
Menyuruh anak untuk tidur siang setiap hari Membiasakan anak untuk makan sendiri tanpa dibantu (disuapin) Memberikan tanggungjawab kepada anak untuk membereskan mainannya sendiri Memancing anak untuk menceritakan kegiatan seharihari yang telah dilakukannya Mengajarkan pada anak tata cara buang air yang benar Membiasakan anak untuk dapat menutup resleting dan mengancingkan bajunya sendiri Mengajarkan pada anak untuk belajar berbagi dan bergantian mainan dengan temannya Mengajarkan kepada anak bagaimana cara mengekspresikan emosi yang baik, misal; jika sedang marah tidak boleh merusak mainan Mengenalkan kepada anak berbagai benda/situasi yang membahayakan (api, tempat yang tinggi, binatang, dll) dan menjelaskan bagaimana cara menghindari situasi tersebut Membiasakan anak untuk memakai bajunya sendiri tanpa harus dibantu Mengajarkan kepada anak mengenai ciri-ciri perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sederhana Mengajak anak ke taman bermain (lapangan) secara rutin untuk sekedar bermain-main disana misal setiap seminggu sekali Selalu mendampingi anak ketika anak sedang mewarnai buku bergambarnya
3 4 5 6 7 8
9
10 11 12
13
Sebagian
besar
(85,6%)
contoh
tingkat
Jumlah (n=90) 88
Persentase 97,8
80
88,9
61
67,8
84
93,3
83
92,2
66
73,3
80
88,9
75
83,3
87
96,7
59
65,6
56
62,2
78
86,7
69
76,7
pelaksanaan
tugas
perkembangan keluarga dimensi anak tergolong ke dalam kategori tinggi, namun masih terdapat 1,1 persen contoh yang masih tergolong rendah (Tabel 27). Berdasarkan
rataan
pencapaian,
secara
umum
pelaksanaan
tugas
perkembangan keluarga contoh telah memenuhi lebih dari 80 persen item tugas perkembangan keluarga dimensi anak. Rataan pencapaian tugas perkembangan keluarga dimensi anak contoh adalah sebesar 82,56 persen. Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dimensi anak Kategori Tugas Perkembangan Keluarga Dimensi Anak Rendah (0-33,3%) Sedang (33,4-66,7%) Tinggi (66,8-100%) Rata-rata ± std Min - Max
Jumlah (n=90)
Persentase
1 12 77
1,1 13,3 85,6 82,56 ± 15,63 30,8 – 100
49
Tugas Perkembangan Keluarga Dimensi Orangtua Terdapat 15 item pernyataan mengenai tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua. Berdasarkan Tabel 28, lebih dari 75 persen contoh telah melaksanakan
tugas
perkembangan
keluarga
dimensi
orangtua
seperti
menyediakan APE untuk anak, dengan sengaja menyisihkan uang untuk biaya anak masuk sekolah, berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengasuh anak, menciptakan komunikasi yang lancar, jelas, dan mudah dipahami oleh anggota keluarga lain, mengajak anak berkunjung ke rumah nenek kakek atau saudara lain secara rutin, memanggil anggota keluarga dengan sapaan sayang, menciptakan suasana penuh maaf, menjalin komunikasi baik dengan tetangga, dan membaca seluruh isi buku panduan stimulasi anak seperti buku posyandu. Namun, kurang dari 25 persen contoh, memiliki waktu khusus untuk pergi berdua saja tanpa anak, mendekatkan diri kepada Tuhan ketika menghadapi masalah, dan memiliki buku panduan stimulasi untuk anak. Lebih dari separuh contoh membacakan buku cerita atau dongeng yang edukatif kepada anak dan memiliki waktu khusus untuk menyalurkan hobi disela-sela pengasuhan. Hanya sepertiga contoh yang memiliki chart atau daftar stimulasi untuk anak. Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan item tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua No
Item Pernyataan
1 2
Menyediakan Alat Permainan Edukatif (APE) untuk anak Dengan sengaja menyisihkan uang dari total pendapatan untuk biaya anak masuk sekolah Membacakan buku cerita/dongeng yang edukatif untuk anak Berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengasuh anak Bapak dan Ibu meluangkan waktu khusus untuk pergi berdua saja tanpa anak Bapak dan Ibu menciptakan komunikasi yang lancar, jelas, dan mudah dipahami oleh anggota keluarga Bapak dan Ibu mengajak anak berkunjung ke rumah orangtua/saudara lain setiap seminggu sekali Memanggil anggota keluarga dengan sapaan “sayang” atau dengan kata-kata manis lainnya Menciptakan suasana penuh maaf dengan membiasakan mengucapkan maaf kepada anggota keluarga lain ketika melakukan kesalahan Memiliki waktu khusus untuk menyalurkan hobi diselasela waktu pengasuhan Menjalin komunikasi yang baik dengan tetangga Ketika menghadapi masalah berat salah satu jalan yang dilakukan untuk menenangkan diri adalah dengan mendekatkan diri (beribadah) kepada Tuhan YME Memiliki buku panduan stimulasi untuk anak
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12
13
Jumlah (n=90) 74
Persentase 82,2
69
76,7
50
55,6
81
90,0
22
24,4
89
98,9
89
98,9
69
76,7
77
85,6
45
50,0
90
100
20
22,2
21
23,3
50 Lanjutan Tabel 28 Item Pernyataan
No 14 15
Memiliki chart/daftar stimulasi yang harus distimulan kepada anak Membaca seluruh isi buku panduan Posyandu
Jumlah (n=90)
Persentase
33
36,7
74
82,2
Tingkat pencapaian tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua lebih dari separuh (56,7%) contoh termasuk ke dalam kategori sedang, namun masih terdapat satu keluarga contoh yang tingkat pencapaiannya masih tergolong rendah (Tabel 29). Berdasarkan rataan pencapaian, secara umum contoh telah memenuhi lebih dari 60 persen item tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua, dengan rataan pencapaian sebesar 66,89 persen. Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua Kategori Tugas Perkembangan Keluarga Dimensi Orangtua Rendah (0-33,3%) Sedang (33,4-66,7%) Tinggi (66,8-100%) Rata-rata ± std Min - Max
Jumlah (n=90)
Persentase
1 51 38
1,1 56,7 42,2 66,89 ± 13,90 33,3 – 93,3
Secara keseluruhan, dengan menggabungkan dari ke dua bagian tugas perkembangan yang telah dibahas sebelumnya, maka diketahui tingkat pencapaian tugas perkembangan keluarga contoh. Sebagian besar (82,2%) keluarga contoh pencapaian tugas perkembangan keluarganya tergolong tinggi (Tabel 30). Berdasarkan rataan pencapaian, secara umum contoh telah memenuhi lebih dari 70 persen item tugas perkembangan keluarga dengan rataan pencapaian sebesar 74,17 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga contoh telah berhasil memenuhi segala tugas perkembangan keluarga dengan baik yang sesuai dengan tahap perkembangan keluarganya. Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat pelaksanaan tugas perkembangan keluarga Tugas Perkembangan Rendah (0-33,3%) Sedang (33,4-66,7%) Tinggi (66,8-100%) Rata-rata ± std Min - Max
Jumlah (n=90)
Persentase
0 16 74
0,0 17,8 82,2 74,17 ± 12,99 35,7 – 96,4
51
Perkembangan Anak Perkembangan merupakan suatu proses yang bersifat multidimensi, integral, berkelanjutan, interaksi, dan terpola (Sunarti 2004). Alat ukur yang digunakan untuk mengukur perkembangan anak usia 3-5 tahun adalah dengan menggunakan instrumen Bina Keluarga Balita (BKB). Dimensi perkembangan yang diukur dalam instrumen tersebut adalah perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa pasif, bahasa aktif, kognitif, kemandirian, dan kemampuan sosial. Dimensi perkembangan ini menunjukkan kompetensi khusus yang menekankan pada fungsi tertentu (Sunarti 2004). Pada Tabel 31 disajikan sebaran rataan skor pencapaian perkembangan anak contoh berdasarkan dimensi perkembangan untuk anak usia 36-48 bulan. Tabel 31 Sebaran rataan skor pencapaian perkembangan anak contoh berdasarkan dimensi perkembangan untuk anak usia 36-48 bulan (n=39) Dimensi Perkembangan (jumlah pernyataan) Motorik kasar (9) Motorik halus (7) Bahasa pasif (5) Bahasa aktif (5) Kognitif (11) Kemandirian (4) Kemampuan bergaul (3) Perkembangan anak total (44)
Rataan Skor
Persentase Skor
6,03 3,64 3,97 3,62 7,72 2,51 2,74 30,23
67,0 52,0 79,4 72,4 70,2 62,8 91,3 68,7
Berdasarkan Tabel 31 terlihat bahwa anak contoh usia 36-48 bulan telah memenuhi lebih dari 50 persen item perkembangan dari seluruh dimensi. Berdasarkan rataan pencapaian perkembangan anak usia 36-48 bulan, secara umum rataan perkembangannya sebesar 68,7 persen. Hal ini berarti anak contoh telah memenuhi 68,7 persen item perkembangan anak atau sama halnya dengan telah memenuhi rata-rata 30 item pernyataan perkembangan dari 44 total pernyataan yang ada. Jumlah item pernyataan perkembangan anak dalam instrumen
BKB
untuk
setiap
rentang
usia
berbeda,
namun
dimensi
perkembangan yang diukur tetap sama yaitu terdiri dari tujuh dimensi perkembangan. Anak keluarga contoh selain yang berusia 36-48 bulan, terdapat juga anak keluarga contoh yang berusia 48-60 bulan. Pada Tabel 32 disajikan sebaran rataan skor pencapaian perkembangan anak contoh berdasarkan dimensi perkembangan untuk anak usia 48-60 bulan.
52
Tabel 32 Sebaran rataan skor pencapaian perkembangan anak contoh berdasarkan dimensi perkembangan untuk anak usia 48-60 bulan (n=51) Dimensi Perkembangan (jumlah pernyataan) Motorik kasar (3) Motorik halus (3) Bahasa pasif (5) Bahasa aktif (5) Kognitif (7) Kemandirian (2) Kemampuan bergaul (3) Perkembangan anak total (28)
Rataan Skor
Persentase Skor
2,82 2,12 4,31 4,02 5,71 1,00 2,82 22,57
94,0 70,7 86,2 80,4 81,6 50,0 94,0 80,6
Pencapaian perkembangan anak contoh usia 48-60 bulan telah memenuhi lebih dari 50 persen item perkembangan dari seluruh dimensi. Berdasarkan rataan pencapaian perkembangan anak usia 48-60 bulan, secara umum rataan perkembangannya sebesar 80,6 persen. Hal ini berarti anak contoh telah memenuhi 80,6 persen item perkembangan anak atau sama halnya dengan telah memenuhi rata-rata 23 item pernyataan perkembangan dari 28 total pernyataan yang ada (Tabel 32). Tingkat perkembangan anak dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu rendah (<60%), sedang (60-80%), dan tinggi (>80%). Secara umum, persentase terbesar tingkat perkembangan anak contoh usia 36-48 bulan berada pada kategori sedang, sedangkan untuk anak usia 48-60 bulan berada pada kategori tinggi. Namun secara keseluruhan rataan pencapaian perkembangan anak contoh adalah sebesar 75,45 persen, yang artinya bahwa anak contoh telah memenuhi 75,45 persen item perkembangan anak. Hal ini juga menunjukkan bahwa perkembangan anak contoh sudah cukup baik meskipun masih terdapat 15,6 persen anak contoh yang perkembangannya masih tergolong rendah. Berdasarkan hasil uji beda rataan t-test, terdapat perbedaan yang nyata dimana perkembangan anak usia 48-60 bulan lebih tinggi dibandingkan anak usia 36-48 bulan dengan nilai p-value 0,000 (Tabel 33). Tabel 33 Sebaran anak contoh berdasarkan kategori tingkat perkembangan anak Kategori Tingkat Perkembangan Anak Rendah (<60%) Sedang (60-80%) Tinggi (>80%) Rata-rata ± std Min - Max P-Value Ket: *** nyata pada p<0,01
Usia 36-48 bulan (n=39) n % 8 20,5 64,1 25 6 15,4 68,71 ± 12,49 40,9 – 90,9
Usia 48-60 bulan (n=51) n % 6 11,8 13 25,5 62,7 32 80,61 ± 13,28 42,9 – 96,4 0,000***
Total (n=90) n % 14 15,6 42,2 38 42,2 38 75,45 ± 14,17 40,9 – 96,4
53
Hubungan antara Usia Menikah dan Lama Pendidikan dengan Kesiapan Menikah Karakteristik pasangan yang dianalisis hubungan dengan tingkat kesiapan menikah adalah usia menikah dan lama pendidikan. Berdasarkan hasil uji korelasi ditemukan bahwa variabel usia menikah suami dan lama pendidikian suami berhubungan nyata dan positif dengan kesiapan menikah suami. Hal ini berarti, semakin tinggi usia menikah dan pendidikan suami, maka kesiapan menikah suami akan tinggi pula. Sedangkan untuk kesiapan menikah istri, variabel lama pendidikan istri memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan kesiapan menikah istri. Semakin tinggi pendidikan istri maka kesiapan menikah istri akan semakin baik. (Tabel 34). Tabel 34 Sebaran koefisien korelasi antara usia menikah dan lama pendidikan dengan kesiapan menikah Variabel Usia menikah suami (tahun) Lama pendidikan suami (tahun) Variabel Usia menikah istri (tahun) Lama pendidikan istri (tahun)
Kesiapan Menikah Suami *** 0,286 *** 0,295 Kesiapan Menikah Istri 0,094 ** 0,266
Ket: ** nyata pada p<0,05, *** nyata pada p<0,01
Hubungan antara Karakteristik Keluarga dengan Tugas Perkembangan Keluarga Karakteristik keluarga seperti besar keluarga, lama nikah, usia ketika menikah, usia responden, lama pendidikan, serta besar pendapatan keluarga dilakukan uji hubungan dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga. Berdasarkan hasil uji korelasi diketahui bahwa lama pendidikan suami dan istri memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga (Tabel 35). Hal tersebut berarti semakin tinggi pendidikan suami dan istri, maka tingkat pelaksanaan tugas perkembangan keluarga akan semakin baik. Tabel 35 Sebaran koefisien korelasi antara karakteristik keluarga dengan tugas perkembangan keluarga Karakteristik Keluarga Besar keluarga Lama nikah Usia menikah ayah Usia ayah Usia menikah ibu Usia ibu Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pendapatan Ket: *** nyata pada p<0,01
Tugas Perkembangan Keluarga 0,067 0,188 0,074 0,119 0,027 0,081 0,420*** 0,443*** 0,033
54
Hubungan antara Kesiapan Menikah dengan Tugas Perkembangan Keluarga Seluruh aspek kesiapan menikah dilakukan uji hubungan dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga. Berdasarkan Tabel 36 diketahui bahwa terdapat hubungan yang nyata dan positif antara kesiapan menikah suami dari aspek kesiapan intelektual, emosi, individu, finansial, dan mental suami dengan pencapaian tugas perkembangan keluarga. Hal tersebut bararti, semakin tinggi kesiapan intelektual, emosi, individu, finansial dan mental suami, maka pelaksanaan tugas perkembangan keluarga akan semakin baik. Selain itu, variabel kesiapan menikah istri yang memiliki hubungan nyata dan positif dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga adalah variabel kesiapan intelektual, emosi, dan finansial istri. Hal tersebut berarti semakin tinggi kesiapan intelektual, emosi, dan finansial istri maka semakin baik pula pelaksanaan tugas perkembangan keluarganya. Selain itu, hasil uji korelasi juga menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan nyata antara kesiapan menikah suami istri dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga. Hal tersebut berarti semakin tinggi kesiapan menikah suami istri maka pelaksanaan tugas perkembangan keluarga akan semakin baik (Tabel 36). Tabel 36 Sebaran koefisien korelasi antara variabel kesiapan menikah dengan tugas perkembangan keluarga Variabel Kesiapan Menikah Suami/Ayah: Kesiapan Intelektual Kesiapan Emosi Kesiapan Sosial Kesiapan Moral Kesiapan Individu Kesiapan Finansial Kesiapan Mental Istri/Ibu: Kesiapan Intelektual Kesiapan Emosi Kesiapan Sosial Kesiapan Moral Kesiapan Individu Kesiapan Finansial Kesiapan Mental Kesiapan menikah suami Kesiapan menikah istri Ket: ** nyata pada p<0,05, *** nyata pada p<0,01
Tugas Perkembangan Keluarga 0,294*** 0,221** 0,163 0,046 0,258** 0,211** 0,239** 0,378*** 0,220** 0,005 -0,060 0,077 0,314*** 0,199 0,374*** 0,336***
55
Pengaruh Kesiapan Menikah terhadap Pelaksanaan Tugas Perkembangan Keluarga Uji regresi linear berganda digunakan untuk melihat variabel yang berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga. Variabel bebas yang diuji pengaruhnya terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga yaitu kesiapan menikah suami dan istri. Berdasarkan Tabel 37 diketahui bahwa kesiapan menikah suami dan kesiapan menikah istri berpengaruh signifikan terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga (p<0,01). Setiap kenaikan satu satuan standar deviasi kesiapan menikah suami, maka akan menaikkan tugas perkembangan keluarga sebanyak 0,358 satuan standar deviasi. Begitu pula dengan kesiapan menikah istri, dimana setiap kenaikan satu satuan standar deviasi kesiapan menikah istri, maka akan menaikkan 0,318 satuan standar deviasi tugas perkembangan keluarga. Pelaksanaan tugas perkembangan keluarga akan semakin baik jika kesiapan menikah suami dan istri semakin tinggi. Hasil uji regresi diperoleh nilai adj R square sebesar 0,224. Artinya sebesar 22,4 persen faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tugas perkembangan keluarga dapat dijelaskan oleh model dan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain. Tabel 37 Sebaran koefisien regresi kesiapan menikah suami dan istri terhadap tugas perkembangan keluarga Variabel Bebas Konstanta Kesiapan menikah suami (skor) Kesiapan menikah istri (skor) F 2 R Adj R Square Sig
Tugas Perkembangan Keluarga β β Sig (tidak terstandarisasi) (terstandarisasi) 0,219 4,005 0,000*** 0,222 0,358 0,001*** 0,242 0,318 13,821 0,241 0,224 0,000***
Ket: *** nyata pada p<0,01
Pengaruh Tugas Perkembangan Keluarga terhadap Perkembangan Anak Pencapaian tingkat perkembangan anak yang baik tidak terlepas dari dukungan keluarga sebagai pihak yang paling dekat dengan anak. Keluarga yang telah melaksanakan tugas perkembangan keluarganya dengan baik, diduga akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Untuk itu dilakukan uji regresi linear berganda untuk melihat apakah pelaksanaan tugas perkembangan keluarga berpengaruh terhadap perkembangan anak. Variabel bebas tugas
56
perkembangan keluarga meliputi tugas perkembangan keluarga dimensi anak dan tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua. Tabel 38 Sebaran koefisien regresi tugas perkembangan keluarga terhadap perkembangan anak Variabel Konstanta Tugas Perkembangan Keluarga Dimensi Anak (skor) Tugas Perkembangan Keluarga Dimensi Orangtua (skor) F 2 R 2 Adj R Sig
Koefisien β β (tidak terstandarisasi) (terstandarisasi) 29,919
Sig 0,000
2,952
0,423
0,000***
1,380
0,203
0,061*
20,202 0,317 0,301 0,000***
Ket: * nyata pada p<0,1, *** nyata pada p<0,01
Hasil uji regresi menunjukkan bahwa tugas perkembangan keluarga dimensi anak berpengaruh signifikan terhadap perkembangan anak (p<0,01), namun selain itu tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua juga berpengaruh terhadap perkembangan anak (p<0,1). Setiap kenaikan satu satuan standar deviasi tugas perkembangan keluarga dimensi anak, maka akan menaikkan 0,423 satuan standar deviasi perkembangan anak. Sedangkan setiap kenaikan satu satuan standar deviasi tugas perkembangan keluarga dimensi orangtua, maka akan menaikkan 0,203 satuan standar deviasi perkembangan anak. Perkembangan anak akan semakin baik jika keluarga dapat melaksanakan tugas perkembangan keluarga dimensi anak dan dimensi orangtua yang dilakukan dengan baik pula. Nilai adj R square yang didapat dari hasil uji regresi adalah sebesar 0,301. Itu artinya sebesar 30,1 persen variabel tugas perkembangan keluarga berpengaruh terhadap perkembangan anak, dan sisanya yaitu sebesar 69,9 dipengaruhi oleh variabel lain (Tabel 38).
57
PEMBAHASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesiapan menikah dan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah. Penelitian ini dilakukan pada keluarga yang memiliki anak pertama usia prasekolah (3-5 tahun). Hal tersebut didasari oleh pemikiran bahwa kelahiran seorang anak pertama sering merupakan saat kritis dalam perkawinan, karena terjadi perubahan peran yang drastis yang harus dilakukan oleh orangtua (Hurlock 1980). Untuk itu, diperlukan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh setiap pasangan sebelum menikah. Memiliki kesiapan sebelum menikah merupakan salah satu perencanaan yang sebaiknya dilakukan oleh setiap calon pasangan suami istri. Perencanaan merupakan tindakan yang dilakukan sebelum melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan sesuai dengan standar yang diinginkan (Deacon & Firebaugh 1988). Kesiapan menikah merupakan salah satu cara keluarga untuk mencapai kesuksesan keluarga (Gunarsa 2002). Memiliki perencanaan sebelum menikah dapat membantu individu atau pasangan suami istri dalam mencapai tujuan keluarga yang diinginkan yaitu kesuksesan keluarga. Perencanaan yang dilakukan oleh setiap calon pasangan suami istri sebelum menikah dapat berupa kesiapan-kesiapan dari berbagai dimensi perkembangan manusia, seperti kesiapan intelektual, emosi, sosial, moral, individu, finansial, dan mental. Kesiapan-kesiapan tersebut merupakan aspek kesiapan yang diukur kepada setiap pasangan suami istri di dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian, kesiapan menikah suami dan istri yang dilihat dari ketujuh aspek kesiapan menikah diketahui bahwa secara umum suami dan istri telah memenuhi lebih dari separuh item kesiapan menikah dari seluruh aspek kesiapan. Hasil uji beda menunjukkan bahwa kesiapan menikah suami lebih tinggi dibandingkan istri. Jika dilihat dari ketujuh aspek kesiapan, yang memiliki perbedaan kesiapan antara suami dan istri hanya pada aspek kesiapan intelektual, emosi, sosial, dan individu. Kesiapan intelektual, sosial, dan individu suami lebih tinggi daripada istri, sedangkan kesiapan emosi istri lebih tinggi dibandingkan suami. Ross (1995) dalam Papalia, Olds, dan Feldman (2008) berpendapat bahwa manfaat yang didapatkan dari keterikatan perkawinan adalah wanita mendapat dukungan dari segi ekonomi sedangkan pria mendapat dukungan dari segi emosional. Oleh karena itu, kesiapan suami lebih tinggi karena suami merupakan pencari nafkah utama di dalam keluarga.
58
Menurut Knox (1985) terdapat tiga faktor yang menentukan kesiapan menikah, yaitu usia menikah, pendidikan, dan rencana karir. Pada dasarnya usia dikaitkan dengan kedewasaan atau kematangan (Blood 1978). Berdasarkan hasil uji hubungan ditemukan bahwa usia menikah suami dan lama pendidikian suami berhubungan nyata dan positif dengan kesiapan menikah suami. Hal ini berarti, semakin tinggi usia menikah dan lama pendidikan suami, maka kesiapan menikah suami akan tinggi pula. Selain itu, lama pendidikan istri juga memiliki hubungan yang nyata dan positif dengan kesiapan menikah istri, sehingga kesiapan menikah istri akan semakin tinggi apabila tingkat pendidikannya semakin tinggi pula. Menurut Blood (1978), kesiapan usia pada dasarnya dikaitkan dengan kedewasaan atau kematangan. Kedewasaan atau kematangan merupakan faktor keberhasilan dalam perkawinan. Pasangan suami istri yang telah memiliki kesiapan menikah yang baik kemudian berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga tentunya harus siap untuk dapat menjalankan fungsi, peran, dan tugas dalam keluarga termasuk melaksanakan tugas perkembangan keluarga. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pencapaian pelaksanaan tugas perkembangan keluarga contoh secara umum telah memenuhi lebih dari dua pertiga dari seluruh item tugas perkembangan keluarga. Keberhasilan dalam pelaksanaan tugas perkembangan keluarga saat ini akan menimbulkan kebahagian dan menjadi modal awal untuk membawa keberhasilan dalam menghadapi tugas berikutnya. Belum matangnya seseorang, tekanan lingkungan,
ambisi,
dan orientasi nilai
merupakan
permasalahan umum yang terjadi dalam pelaksanaan tugas perkembangan (Duvall 1971). Keberhasilan dalam pelaksanaan tugas perkembangan keluarga tidak terlepas dari dukungan suami dan istri dalam menjalankan fungsi, peran, dan tugasnya masing-masing di dalam keluarga. Pendekatan teori sosiologi yang diterapkan dalam institusi keluarga adalah teori struktural fungsional. Pendekatan teori ini melihat bahwa keluarga merupakan sebuah sistem sosial yang memiliki struktur dan pengaturan peran yang jelas (Megawangi 1999). Adanya struktur dan diferensiasi peran yang jelas dalam keluarga akan membuat keluarga dapat mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan tugas perkembangan keluarga, karena masing-masing individu memiliki tugas dan fungsi yang jelas dengan status sosialnya sebagai suami-istri atau ayah-ibu di dalam keluarga.
59
Terdapat dua fokus dalam tugas perkembangan, yaitu kedewasaan atau kematangan dan budaya (Duvall 1971). Proses kematangan ditandai oleh kematangan potensi-potensi dari dalam diri individu secara fisik dan psikis untuk terus maju menuju perkembangan secara maksimal (Rizal 2008). Pada pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dibutuhkan tingkat kematangan dari suami istri yang dapat dipersiapkan sebelum menikah dari berbagai aspek kehidupan manusia. Berdasarkan hasil uji hubungan, diketahui bahwa aspek kesiapan menikah suami, yaitu kesiapan intelektual, emosi, individu, finansial, dan mental memiliki hubungan yang positif dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga. Selain itu, aspek kesiapan menikah istri yang memiliki hubungan yang positif dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga adalah aspek kesiapan intelektual, emosi, serta finansial. Tugas perkembangan keluarga merupakan tanggung jawab yang harus dicapai oleh keluarga dalam setiap tahap perkembangannya. Untuk itu dibutuhkan kesiapan dan kematangan dari
setiap
pasangan
suami
istri
sebelum
menikah,
sehingga
tugas
perkembangan keluarga dapat tercapai dengan sukses. Kesiapan yang dilakukan pasangan suami istri sebelum menikah dapat memberikan kontribusi dalam pelaksanaan perkembangan keluarga. Dengan individu yang matang, dewasa, serta siap dari berbagai aspek perkembangan manusia tidak menutup kemungkinan untuk memberikan kontribusi dalam pelaksanaan tugas pekembangan keluarga. Pasangan suami istri yang siap dan berkomitmen
untuk
membina
keluarga,
tentunya
akan
mampu
untuk
menjalankan fungsi, peran, dan tugasnya masing-masing di dalam keluarga. Berdasarkan hasil uji pengaruh diketahui bahwa kesiapan menikah suami dan istri berpengaruh signifikan terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga. Pelaksanaan tugas perkembangan keluarga akan semakin baik jika tingkat kesiapan menikah suami dan istri semakin tinggi. Komitmen jangka panjang merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dalam suatu pernikahan yang dikaitkan dengan stabilitas kematangan (Blood 1978). Individu yang telah matang atau dewasa tentunya akan memutuskan untuk menikah, sehingga kesiapan menikah setiap pasangan suami istri dimana kematangan secara fisik maupun psikis dapat membantu pasangan suami istri dalam melaksanakan tugas perkembangan keluarganya dengan baik. Kesuksesan keluarga dalam pelaksanaan tugas perkembangan keluarga tidak menutup kemungkinan akan memberikan dukungan dalam pencapaian
60
perkembangan anak. Perkembangan anak sangat bervariasi tergantung individu dan tergantung pada kesempatan untuk belajar dan tumbuh (Duvall 1971). Dalam penelitian ini pencapaian perkembangan anak contoh rata-rata telah memenuhi lebih dari dua pertiga item perkembangan anak. Terdapat perbedaan yang signifikan dimana perkembangan anak usia 48-60 bulan lebih tinggi daripada anak usia 36-48 bulan. Namun masih terdapat anak yang tingkat perkembangannya tergolong rendah. Status gizi dan kesehatan, kematangan dan pembelajaran, serta lingkungan pengasuhan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan anak (Sunarti 2004). Pencapaian perkembangan anak yang optimal tidak terlepas dari dukungan keluarga sebagai lingkungan yang paling dekat dengan anak. Lingkungan yang secara langsung dapat berinteraksi dengan anak dalam perspektif ekologi dari Bronfenbenner adalah lingkungan mikrosistem yang merupakan lingkungan terdekat dimana anak tinggal. Lingkungan yang termasuk ke dalam lingkungan mikrosistem yaitu keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga (Puspitawati 2006). Masalah perilaku lebih sering terjadi pada anak usia prasekolah karena anak-anak sedang dalam proses pengembangan kepribadian (Hurlock 1980). Peran keluarga sangatlah penting dalam pengembangan kepribadian anak, sehingga keluarga dituntut untuk mampu melaksanakan tugas perkembangan keluarga dengan baik. Keluarga yang telah melaksanakan tugas perkembangan keluarganya dengan baik akan berpengaruh terhadap perkembangan anak, karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dengan anak serta merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas perkembangan anak. Hal tersebut didukung dengan hasil uji regresi linear berganda. Ditemukan bahwa tugas perkembangan keluarga yang terdiri dari dua dimensi yaitu tugas perkembangan keluarga dimensi anak dan dimensi orangtua berpengaruh terhadap perkembangan anak. Menurut
Hurlock
(1980),
perkembangan tiap-tiap
anak
pada
dasarnya
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor pembawaan dan faktor lingkungan. Keluarga adalah termasuk ke dalam faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan anak, karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dengan anak. Pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dimensi anak dan dimensi orangtua memiliki pengaruh terhadap perkembangan anak, sehingga dapat diperkirakan bahwa tingkat perkembangan anak akan semakin baik jika keluarga melaksanakan tugas perkembangan keluarga dengan baik pula.
61
Keterbatasan Penelitian Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Hasil penelitian tidak dapat digeneralisasikan pada seluruh keluarga dengan anak usia prasekolah di Indonesia karena hanya dilakukan pada satu wilayah saja; (2) Belum ditemukannya alat ukur kesiapan menikah dan tugas perkembangan keluarga yang baku mengakibatkan penelitian ini menggunakan alat ukur yang dirancang sendiri berdasarkan teori-teori yang relevan; (3) Salah satu tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kesiapan menikah suami dan istri yang digali dengan menggunakan metode retrospektif, dimana kelemahan dari metode ini adalah data atau informasi yang diperoleh sangat tergantung pada kemampuan suami dan istri untuk mengingat kembali ke masa lalu sehingga sangat mengandalkan daya ingat suami dan istri saja; (4) Penelitian ini juga hanya dilakukan pada satu kawasan saja dimana karakteristik sosial ekonomi keluarganya sama, sehingga tidak dapat melihat keberagaman kesiapan menikah dan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga pada kelas sosial ekonomi keluarga yang berbeda.
63
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian menunjukkan kesiapan menikah suami dan istri pada keluarga contoh yang diukur dari ketujuh aspek kesiapan, diketahui bahwa suami dan istri contoh telah memenuhi lebih dari separuh item kesiapan menikah dari aspek kesiapan intelektual, emosi, sosial, moral, individu, dan mental. Hanya aspek kesiapan finansial saja dimana suami dan istri contoh telah memenuhi kurang dari separuh item kesiapan finansial. Sedangkan untuk pencapaian tugas perkembangan keluarga, diketahui bahwa keluarga contoh telah memenuhi lebih dari dua pertiga item tugas perkembangan keluarga. Kesiapan menikah antara suami dan istri pada keluarga dengan anak usia prasekolah memiliki perbedaan yang nyata, dimana kesiapan menikah suami lebih tinggi daripada kesiapan menikah istri. Untuk setiap aspek kesiapan menikah yang memiliki perbedaan yang nyata antara suami dan istri adalah kesiapan intelektual, emosi, sosial, dan individu. Aspek kesiapan intelektual, sosial, dan individu pada suami lebih tinggi dibandingkan pada istri. Kemudian kesiapan emosi pada istri lebih tinggi dibandingkan suami. Kesiapan menikah yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah adalah kesiapan menikah suami dan kesiapan menikah istri. Semakin tinggi kesiapan menikah suami dan istri maka pelaksanaan tugas perkembangan keluarga akan semakin baik. Jika ketujuh aspek kesiapan menikah dihubungkan dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga, maka aspek kesiapan intelektual, emosi, individu, finansial, dan mental suami memiliki hubungan yang signifikan dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga. Selain itu, kesiapan menikah istri yang memiliki hubungan dengan pelaksanaan tugas perkembangan keluarga yaitu kesiapan intelektual, emosi, dan finansial istri. Variabel yang berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dengan anak usia prasekolah adalah kesiapan menikah suami dan kesiapan menikah istri. Pelaksanaan tugas perkembangan keluarga akan semakin baik jika kesiapan menikah suami dan istri semakin tinggi. Selain itu, hasil uji pengaruh menunjukkan bahwa pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dimensi anak dan dimensi orangtua memiliki pengaruh terhadap pencapaian perkembangan anak. Perkembangan anak akan semakin baik jika keluarga melaksanakan tugas perkembangan keluarganya dengan baik pula.
64
Saran Memiliki kesiapan sebelum menikah sangat diperlukan bagi setiap individu ketika akan memasuki gerbang pernikahan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesiapan menikah suami dan istri pencapiannya masih separuh dari seluruh aspek kesiapan menikah yang ada. Maka dari itu sebaiknya pemerintah lebih meningkatkan sosialisasi mengenai pentingnya konseling pranikah sehingga calon pasangan yang hendak menikah mengetahui apa saja yang harus dipersiapkan sebelum menikah dari berbagai aspek kehidupan manusia. Pada penelitian ini kelas sosial ekonomi keluarga dapat dikatakan seragam. Bagi penelitian selanjutnya untuk menghasilkan analisis yang lebih baik, maka diharapkan dapat melihat kesiapan menikah dari pasangan suami istri pada kelas sosial ekonomi yang berbeda. Bagi setiap individu atau pasangan suami istri, memiliki pengetahuan berkeluarga (fungsi, peran, dan tugas keluarga) sebelum menikah sangatlah penting, karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan tugas perkembangan keluarga dipengaruhi oleh kesiapan menikah dari setiap pasangan suami istri.
65
DAFTAR PUSTAKA Ali Z. 2010. Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran EGC. Katyal S, Awasthi E. 2005. Gender Differences in Emotional Intelligence Among Adolescents of Chandigarh. Jurnal Human Ecology, Vol 17 Iss: 2. pp: 153155. Carroll JS, Badger S, Willoughby BJ, Nelson LJ, Madsen SD, Barry CMN. 2009. Ready or Not?: Criteria for Marriage Readiness Among Emerging Adults. Journal of Adolescent Research, Vol. 24 Issue 3, p349-375, 27p, 3 Charts. [Badilag] Badan Peradilan Agama. 2008. Grafik Penyebab Perceraian di Peradilan Agama Tahun 2007. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama. www.badilag.net [terhubung berkala]. [8 Maret 2011] Blood, Margaret, Bob. 1978. Marriage (3rd ed.). New York (US): Free Press. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Booklet Agustus 2010: Indonesia dalam Angka. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. Briawan D, Herawati T. 2008. Peran Stimulasi Orangtua Terhadap Perkembangan Anak Balita Keluarga Miskin. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Vol 1 No 1. Burgess EW, Locke HJ. 1960. The Family Second Edition. New York (US): American Book Company. Deacon RE, Firebaugh FM. 1988. Family Resources Management. Allymd and Bacon, inc: United State of America. Dewi IS. 2006. Kesiapan Menikah pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja [Skripsi]. Medan: Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara. Dini NR. 2010. Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Kepatuhan dan Kemandirian Santri Remaja di Pondok Pesantren Asshiddiqiyah [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Duvall EM. 1971. Family Development (4th ed). New York (US): J. B. Lippincott Company. Duvall EM, Miller BC. 1985. Marriage and Family Development (6th ed). New York (US): Harper & Row Publishers. Fowers BJ, Montel KH, Olson DH. 1996. Predicting Marital Success For Premarital Couple Types Based on PREPARE. Journal of Marital and Family Therapy, Vol. 22, No. 1, 103-119. Friedman MM. 1998. Family Nursing: Research, Theory & Practise. United States of America (US): Appleton and Lange. Goleman D. 2009. Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ. Heryana T, penerjemah. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. . 2007. Social Intelligence: Ilmu Baru tentang Hubungan AntarManusia. Imam HS, penerjemah. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.
66
Gottman JM, Levenson RW. 1992. Marital Processes Predictive of Later Dissolution Behavior, Physiology, and Health. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 63, No. 2, 221-233. Gunarsa YSD. 2002. Asas-asas Psikologi Keluarga Idaman. Jakarta (ID): Gunung Mulia. Hastuti D. 2008. Pengasuhan: Teori dan Prinsip serta Aplikasinya di Indonesia. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Hurlock EB. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Knox D. 1985. Choices in Relationship. Minnesota (US): West Publising. Larsen AS, Olson DH. 1989. Predicting Marital Satisfaction Using PREPARE: A Replication Study. Journal of Marital and Family Therapy, Vol 15, No. 3, 311-322. Latief M. 1968. Ilmu Perkawinan. Jakarta: Widjaya Djakarta. Latifah M, Alfiasari, dan Hernawati N. 2009. Kualitas Tumbuh Kembang, Pengasuhan Orangtua dan Faktor Risiko Komunitas Pada Anak Usia Prasekolah Wilayah Pedesaan di Bogor. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Vol 2 No 2. Lestari R. 2010. Pengaruh Fungsi Pengasuhan Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah Korban Bencana Gempa Bumi di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Maila A. 2002. Otak Anak dan Pendidikan Budi Pekerti. Buletin PAUD 1:1:21 Martyastanti D. 2009. Penyesuaian Diri dalam Pernikahan pada Pasangan yang Dijodohkan [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Megawangi R. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Bandung (ID): Mizan Pustaka. Nurulfirdausi K. 2010. Analisis Pengaruh Kontribusi Ekonomi Perempuan Dan Manajemen Keuangan Keluarga terhadap Kesejahteraan Keluarga Pada Keluarga Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Kasus Di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Oktaviani V. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi dan Kesiapan Menikah pada Mahasiswa [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Papalia DE, Olds SW. 2008. Human Development. United States of America: McGraw-Hill Inc. Papalia DE, Olds SW, Feldman RD. 1998. Human Development (7th ed). United States of America (US): Mc. Graw Hill Companies. Papalia DE, Old SW, Feldman RD. 2008. Human Development (Psikologi Perkembangan) Edisi ke-9. Jakarta (ID): Kencana Puspitasari A. 1997. Adaptasi Alat Ukur Kesiapan Perkawinan California Marriage Readiness Evaluation (adaptasi, uji reliabilitas dan validitas pada
67
kelompok sampel dewasa muda) [Skripsi]. Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Puspitawati H. 2006. Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah Terhadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) di Kota Bogor [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Putri SO. 2010. Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja [Skripsi]. Medan: Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara. Putrini A. 2002. Pengambilan Keputusan untuk Menikah dan Tidak Menikah Saat Masa Kuliah pada Mahasiswi [Skripsi]. Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Rachmawati A. 2009. Strategi Koping dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Subjektif Pada Keluarga Penerima Program Keluarga Harapan (PKH) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Rizal AS. 2008. Hubungan Kematangan Pribadi Terhadap Tingkat Motivasi Belajar Siswa di SMP Islam Jabung [Skripsi]. Malang: Fakultas Psikologi, Universitas Islam Negeri. Sartono KE. 1996. Antisipasi Dampak Siaran Terhadap Pola Pendidikan Anak dalam Keluarga. Jurnal Cakrawala Pendidikan No. 1 Tahun XV. Scott WA. 1965. Values and Organizations: A Study of Fraternities and Sororities. Chicago (US): Rand mcNally. Sumarwan U. 2002. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Bogor (ID): Ghalia Indonesia. Sunarti E. 2001. Studi Ketahanan Keluarga dan Ukurannya: Telaah Kasus Pengaruhnya Terhadap Kualitas Kehamilan [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. . 2004. Mengasuh dengan Hati: Tantangan yang Menyenangkan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Trihandini FM. 2005. Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus di Hotel Horison Semarang) [Tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2007. Bandung (ID): Citra Umbara. Wiyata L. 1986. Pandangan Wanita tentang Perkawinan sebagai Institusi Sosial. Jakarta (ID): Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial Jakarta.
69
LAMPIRAN
71
Lampiran 1 Peta lokasi penelitian
72
Lampiran 2 Dokumentasi penelitian
73
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Subang pada tanggal 13 Agustus 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara yang juga merupakan buah cinta dari pasangan
Endang
menyelesaikan
Herlita
prasekolah
dan di
Rohmah.
Taman
Penulis
Kanak-Kanak
Negeri Pembina Subang pada tahun 1995, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri Gentra Maksekdas hingga tahun 2001. Masih ditahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Subang yang dilanjutkan dengan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Subang hingga lulus pada tahun 2007. Penulis lulus seleksi dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB tahun 2007 (USMI 2007). Penulis memilih mayor Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, dan minor Manajemen Fungsional, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah aktif pada organisasi kemahasiswaan, yaitu menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Keluarga dan Konsumen (HIMAIKO) sebagai staf Divisi Human Resources pada tahun 2009-2010. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan yang diadakan di dalam lingkup kampus seperti menjadi staf Divisi Logstrans Family and Consumer Day, Divisi Medis acara Conference of Human Ecology Student of Indonesia, serta berbagai kegiatan lainnya. Pada tahun 2010, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Gunungsari, Kecamatan Pagaden, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Penulis juga mendapatkan beasiswa Pengembangan Prestasi Akademik (PPA) pada tahun 2009-2011.