28 KESAMAAN HAK ASASI WARGA NEGARA DALAM PELAKSANAAN PERADILAN DI INDONESIA Oleh: Andi Kasmawati Dosen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UNM ABSTRAK: Menurut Konstitusi, negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechts staat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machts staat). Cita-cita filsafat yang telah dirumuskan para pendiri kenegaraan dalam konsep” Indonesia adalah negara hukum” mengandung arti bahwa dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan, kekuasaan tunduk pada hukum sebagai kunci kestabilan politik dalam masyarakat. Dalam negara hukum, hukum merupakan tiang utama dalam menggerakkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu salah satu ciri utama dari suatu negara hukum terletak pada kecenderungannya untuk menilai tindakan-tindakan yang dilakukan dalam masyarakat atas dasar peraturan-peraturan hukum. Kata Kunci: Hak Asasi, Peradilan PENDAHULUAN Karena begitu pentingnya peranan hukum dalam masyarakat, maka hukum tidak boleh meniadakan persamaan hak asasi warga negara dalam hal ini persamaan perlakuan dalam hukum, sebagaimana di muat pada pasal 27 ayat (1) undang-undang dasar 1945 yang berbunyi ” Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” bunyi pasal tersebut memberikan arahan kepada pembentuk hukum, pelaksana hukum dan pengguna hukum dalam masyarakat untuk memahami makna dari persamaan kedudukan warga negara dalam hukum, oleh penulis beranggapan bahwa kesamaan kedudukan tersebut merupakan kesamaan dalam memperoleh perlakuan dalam hukum, yang bermuara pada pencapaian keadilan. Untuk memperoleh keadilan, dalam sistem hukum di Indonesia di
perlukan suatu lembaga peradilan yang dapat digunakan oleh masyarakat yang berperkara. Menurut Mukti Arto (2001 : 53) bahwa oleh sebahagian praktisi hukum mengatakan bahwa pengadilan adalah sebagai instansi bukanlah suatu badan otonom melainkan sebagai bagian dari keseluruhan nilai-nilai dan prosesproses yang bekerja di masyarakat. Ia menerima bahan dan tugas-tugas yang datang dari masyarakat yang kemudian diolah dan menghasilkan produk berupa keputusan. Dalam pengolahan bahan sosial menjadi produk terakhir itu terdapat berbagai faktor dan keadaan yang harus diperhatikan .” Oleh karena itu lembaga pengadilan harus mampu melahirkan suatu keputusan yang seadil – adilnya bagi masyarakat tanpa membeda-bedakan antara satu dengan lainnya. Namun harapan-harapan tersebut baru memiliki makna bila ditegakkan, kenyataan di lapanagan realisasi antara tatanan idealis (law in books) dengan tatanan praktis (law in action) terjadi jurang pemisah (deviasi) yang sangat jauh, yaitu suatu kondisi yang
Jurnal Supremasi Volume I Nomor 2, Oktober 2006: 1 - 84
Kesamaan Hak Asasi Warga Negara dalam Pelaksanaan Peradilan di Indonesia (Andi Kasmawati) 29
saling bertentangan antara keinginan, harapan dan cita-cita (das sollen) dengan kenyataan (das sein). Sehingga benar-benar terjadi sesuatu yang sangat kondusif. Pertentangan antara harapan dan kenyataan tersbut semakin jelas dihadapan kita, diman pada era reformasi ini menjanjikan harapan untuk melaksanakan supremasi hukum demi mencapai keadilan, tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, hal ini dapat kita lihat dari berbagai kasus yang diajukan untuk di proses secara hukum tidak berjalan dengan tuntas, bahkan jelas-jelas tidak lagi menjunjung tinggi asas mengadili menurut hukum dan asas tidak membeda-bedakan orang. Hal ini dapat ditemukan pada kasus mantan presiden Soeharto dalam tuduhan KKN dan penyalahgunaan dana beberapa yayasan yang dibentuknya, tidak dihadirkan di persidangan karena sakit, namun hingga saat ini tidak dapat dilaksanakan proses hukumnya, namun berbeda dengan kasus yang menimpa A.M. Fatwa yang diajukan ke pengadilan dalam kasus poltik, tetap dia di bawa kemuka peresidangan meskipun ia dalam keadaan sakit. Kasus lainnya adalah pencurian sandal yang dituduhkan kepada mantan buruh PT. Osaka Mas Utama yang bernama Hamidan yang dikenal dengan kasus pencurian ”Sandal Bolong” orang yang semacam Hamidan boro-boro bisa mendapatkan pembantaran. Belum lagi vonis dijatuhkan, dia sudah mendekam dalam tahanan Lembaga pemasyarakatan Pemuda Tangerang. Padahal ada tersangka korupsi lain seperti Syamsul Nursalim, Prajogo Pangestu dengan alasan sakit bisa enak-enak tidur dirumah sakit mewah Mount Elisabeth di Singapura. Tentunya masih banyaklagi Kasus-
kasus yang serupa yang dapat memperpanjang daftar urutan pelanggaran terhadap perbedaan perlakuan terhadap warga negara dalam penegakan hukum. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum (Law enforcement officer) dewasa ini muncul sikap anomistik (social anomie) dalam menghadapi penegakan hukum terutam kasus KKN. Sikap ini muncul, karena telah terjadi inkonstitusi dalam praktek yang dipicu oleh penafsiran yang berbeda-beda antara hakim, jaksa, polisi, bahkan oleh penasehat hukumnya. Perbedaan penafsiran tersebut bisa disebabkan oleh adanya kepentingan yang berbeda-beda sehingga usaha kearah ”the real law enforsement” masih menjadi mitos, dikatakan mitos karena kaedah ini tidak sesuai dengan realita dan cenderung membohongi dan mengelabui kenyataan yang dikemas dalam retorika-retorika kosong. Di era reformasi dewasa ini berbagai peraturan perundangundangan yang di bentuk maupun yang mengalami perubahan, menghendaki adanya perbaikan dalam penegakan hukum dan sistem peradilan kita seperti adanya undangundang anti KKN undang-undang no. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan undang-undang no. 4 tahun 2004 tentang kekusaan kehakiman yang menempatkan hakim secara merdeka dalam memproses suatu perkara dengan kebijakankebijakan ”satu atap” merupakan upaya pembaharuan hukum di Indonesia. Namun upaya ini tidak akan bisa berhasil tanpa adanya kesungguhan dari para penegak hukum untuk menjalankan peratuaran perundangundangan yang telah dibuat untuk
30 melindungi warga negara, untuk itulah seorang penegak hukum dalam menjalankan profesinya hendaknya memiliki sedikitnya 3 kecerdasan sebagaimana yang di kemukakan oleh Satjipto Rahardjo (2006 : 16) yaitu : 1) Kecerdasan Rasional, 2) Kecerdasan Perasaan dan 3) Kecerdasan Spiritual. Berpikir secara rasional disebut logis, linier, serial dan tidak ada rasa keterlibatan (dispossionate). Berpikir dengan perasaan mempertimbangkan lingkungan atau habitat sehingga tidak semata-mata menggunakan logika. Berpikir menjadi tidak lagi sederhana seperti berpikir logis, tetapi menjadi lebih kompleks karena memprtimbangkan faktor konteks. Lalu sejak sekitar abad ke 20 muncul model berpikir yang memasuki dimensi kedalaman , yaitu mencari makna dan nilai yang tersembunyi dalam obyek yang sedang ditelaah, ini disebut bepikir spiritual atau kecerdasan spiritual, kecerdasan spiritual amat menarik untuk dikaitkan kepada caracara berpikir dalam hukum, yang pada giirannya mempengaruhi tindakan kita dalam menjalankan hukum. MENGADILI MENURUT HUKUM DENGAN TIDAK MEMBEDABEDAKAN ORANG Dalam Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi : ”Pengadilan Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.” bunyi ayat ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan pengadilan harus berdasarkan atas hukum dan bagi orang yang berperkara siapa pun orangnya tidak dapat dibedakan. Dalam mengurai makna pasal 5 ayat (1) tersebut oleh Bagir Manan dalam sebuah majalah hukum (2005 : 5) ” Mengadili menurut hukum” dan
”tidak membeda-bedakan orang” merupakan dua konsep yang berbeda meskipun erat satu sama lain. Mengadili menurut hukum adalah asas dalam menyelenggarakan peradilan. Walaupun dapat juga diperluas padamisalnya-keputusan administrasi negara, tetapi secara asasi haya berlaku untuk menyelenggarakan peradilan. Dibidang Administrasi negara, penerapan asas memutuskan menurut hukum dapat dikendorkan melalui atau dengan menggunakan asas ”doelmatigheid” (asas manfaat). Demi suatu manfaat yang lebih besar atau karena suatu keterpaksaan (a necessary of compellingend)), asas memetus menurut hukum (rechtsmatigheid) dapat dikendorkan bahkan tidak diterapkan. Tidak demikian dalam proses peradilan. Hakim wajib mengadili menurut hukum, suatu peradilan yang dilakukan tidak menurut hukum adalah batal demi hukum (null and, van rechtswege nieting).” Lebih lanjut dijelaskan bahwa Konsep ”tidak membeda-bedakan orang” tidak haya berlaku untuk menyelenggarakan peradilan, melainkan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Pembuat undangundang secara asasi tidak boleh membuat undang-undang yang membeda-bedakan orang, penyelenggara pemerintahan dalam memberi pelanyaanan dan menetapkan putusan juga tidak boleh membeda-bedakan orang, penyimpangan asas tidak membedabedakan orang dapat dibenarkan walaupun atas dasar yang sangat terbatas yaitu apa bila secara nyata ditunjukkan (clear evidence) membeda-bedakan orang tersebut demi suatu keadilan dan manfaat bagi mereka yang dibedakan. Sebagaimana disebutkan bahawa, meski pun berbeda, asas mengadili
Jurnal Supremasi Volume I Nomor 2, Oktober 2006: 1 - 84
Kesamaan Hak Asasi Warga Negara dalam Pelaksanaan Peradilan di Indonesia (Andi Kasmawati) 31
menurut hukum dan asas tidak membeda-bedakan orang erat satu sama lain. Dua asas ini sama-sama berakar dari konsep-konsep demokrasi, negara bedararkan hukum secara lebih spesifik juga berakar pada konsep hak asasi manusia. Selain itu, asas mengadili menurut hukum dan asas tidak membeda-bedakan orang mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum. Dua tujuan ini pun dengan tingkat tertentudapat berseberangan satu sama lain. Sudah menjadi takdir, manusia berbeda-beda. Memberlakukan sama demi suatu kepastian, sedangkan mereka dalam keadaan berbeda dapat menimbulkan ketidak adilan. Sebaliknya terlalu berpihak kepada keadilian yang berbeda-beda dapat menimbulkan ketidak pastian. Disinilah peranan besar Hakim yang harus menjain keseimbangan antara tuntutan keadilan dan kepastian dalam proses untuk menemukan kepuasan (satisfaction) pencari keadilan atau masyarakat pada umumnya. Berkaitan dengan keadilan, dan kepastian hukum dalam rangka pencapaian kepuasan bagi pencari keadilan, dewasa ini dikalangan masyarakat dianggap rendah, asas mengadili menurut hukum acapkali dijadikan sasaran untuk menyudutkan hakim yang dipandang tidak menghanyati asas keadilan yang hidup dalam masyarakat . Demi keadilan, hakim tidak dibenarkan hanya menerapkan hukum sebagai ”legal justice”, melainkan wajib mengutamakan ”Moral Justice” atau ”Social justice” . Para penentut menghendaki hakim membumikan halhal yang selama ini merupakan debat Pada tataran filsafat dan teori hukum, menjadi suatu yang konkrit pada wujud putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Hakim-apabila
perlu-wajib mengesampingkan atau meninggalkan hukum, demi memuaskan rasa keadilan masyarakat, tetapi adapula kecaman lain bagi hakim. Hakim didakwa dalam penerapan hukum menjadi sumber ketidak pastian hukum antara laian karena tidak ada konsistensi dalam penerapan hukum. Kepastian hukum adalah antara lain kepastian menurut hukum. Lagi-lagi penerapan hukum dihadapkan pada hal-hal yang pada tingkatan tertentu bertentangan satu sama lain. Tuntutan keadilan pada tingkat tertentu dapat bertentangan dengan kepastian hukum. Walaupun demikian, perlu disadari oleh hakim, meskipun dalam dua aspek dalam tingkatan tertentu dapat bertentangan satau sama lain tersebut, sama-sama mengandung kebenaran. Hakim harus mengartikan kepastian hukum sebagai kepastian yang adil, dan keadilan tidak lain yang berkepastian. Dari berbagai wacana dan keluhan atas penyelenggaraan pengadilan, asas mengadili menurut hukum lebih banyak dipersoalkan dibanding asas tidak membeda-bedakan orang. Antara lain karena asas mengadili menurut hukum sekaligus memuat aspek-aspek substantib dan prosedural, sedangkan asas tidak membeda-bedakan orang pada umumnya hanya menyangkut aspek substantib yaitu : jaminan ”equal treatment” atau ”equality before the law”. Aspek prosedural menyangkut hal-hal seperti independensi, fair trial, dan impertiality. Aspek substantif menyangkut hal-hal seperti hukum yang sudah usang, kurang mencerminkan rasa keadilan dan lain sebagainya. Pandangan Bagir Manan (2005 : 6) tentang Bunyi pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 yang menyatukan dua konsep atau asas tersebut dapat menimbulkan salah pengetian. Secara gramatikal bunyi pasal 5 ayat (1)
32 seolah-olah hanya membatasi substansi memutus menurut hukum dalam kaitan tidak membeda-bedakan orang. Memutus menurut hukum tidak ada kaitan dengan keharusan dengan tidak membeda-bedakan orang. Seperti diutarakan terdahulu, asas memutus menurut hukum dan asas tidak membeda-bedakan orang adalah dua asas yang berbeda dan bediri sendiri. Mestinya bunyi pasal 5 ayat (1) berbunyi ”Pengadilan mengadili menurut hukum, tidak berpihak, dan tidak membeda-bedakan orang karena alasan ras, etnik, agama, atau latar belakang. KONSEP MENJALANKAN HUKUM DENGAN KECERDASAN SPIRITUAL Konsep ini diangkat untuk menambah wacana dalam menciptakan suatu kondisi stabilitas dan keseimbangan antara keputusan yang ditetapkan dengan rasa keadilan dalam masyarakat demi penegakan hukum dan kepastian hukum. Beranjak dari fenomena penegakan hukum dalam menerapkan konsep mengadili menurut hukum dan konsep tidak membeda-bedakan orang yang dalam realisasi penegakan hukumnya membutuhkan kepandaian bagi penegak hukum agar apa yang diputuskan dapat menciptakan rasa keadilan dan kepastian bagi penegak hukum maupun masyarakat. Dalam praktek mengadili menurut hukum, ada tiga kemungkinan peran hakim dalam menerapkan hukum, menutu Bagir Manan (2004 : 11) yaitu : 1. Hakim sekadar menjdi mulut undang-undang, meskipun ajaran hakim sebagai mulut undangundang telah ditinggalkan tapi masih ada kemungkinan kepetusan hakim yang sekadar meletakkan ketentuan undang-undang dalam sutu peristiwa konkrit.
Perbedaannya, dimasa paham legisme, hakim sebagai mulut undang-undang merupakan suatu kewajiban . Sekarang walaupun hakim menjadi mulut undangundang, semata-mata karena kebebasan menemukan hukum dalam kaitan dengan suatu peristiwa konkrit. Dalam praktek hal semacam ini akan sangat jarang terjadi. 2. Hakim sebagai penterjemah aturan hukum yang ada. Sebagai penterjemah, hakim bertugas menemukan hukum , baik melaluin penafsiran , konstruksi maupun penghalusan hukum. Kewajiban ini tumbuh karena aturan yang ada tidak jelas atau karena suatu peristiwa hukum tidak persis sama dengan lukisan dalam undangundang. 3. Hakim sebagai pembentuk undangundang (rechschepper, judge made law). Hukum yang dibentuk hakim dapat berupa hukum baru , melengkapi hukum yang ada atau memberi makna baru terhadap hukum yang sudah ada, tugas membentuk hukum dapat terjadi karena hukum yang ada belum (cukup) mengatur, atau hukum yang ada telah usang. Dari ketiga tugas hakim dalam praktek peradilan membebankan hakim pada kondisi yang memerlukan kecerdasan spiritual selain kecerdasan rasional dan kecerdasan perasaan, sebagaimana telah diungkapkan pada bagian pendahuluan. Menurut penulis kecerdasan itu sepatutnya dilandasi oleh norma-norma yang ada dalam masyarakat, atau norma yang tumbuh dalam masyarakat (the living law) sesuai perkembangan dan kebutuhannya. Kecerdasan intelektual memang cerdas, tetapi amat tertarik patokan dan amat melekat pada program yang telah dibuat (fixed program) sehingga
Jurnal Supremasi Volume I Nomor 2, Oktober 2006: 1 - 84
Kesamaan Hak Asasi Warga Negara dalam Pelaksanaan Peradilan di Indonesia (Andi Kasmawati)
menjdi deterministik. Berpikir menjadi suatu finite game. Berpikir dengan perasaan sedikit lebih maju, karena tidak semata-mata menggunakan logika tetapi bersifat konstektual. Berbeda dengan keduanya, kecerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan (rule-bound), juga tidak hanya bersifat kontekstual, tetapi ingin keluar dadi situasi yang ada dalam usaha untuk mencari kebenaran, makna, atau nilai yang lebih dalam. Dengan demikian, berpikir menjadi sesuatu infinite game. Ia tidak ingin diikat dan dibatasi patokan yang ada, tetapi ingin melampaui dan menembus situasi yang ada (transendental). Kecerdasan spiritual tidak berhenti menerima keadaan dan beku , tetapi kreatif dan membebaskan. Dalam kreatifitasnya , ia mungkin bekerja dengan mematahkan patokan yang ada (rule–breaking) sekaligus mmembentuk yang baru (rule-making). Kecerdasan spiritual samasekali tidak menyingkirkan kedua model yang lain (Rasional dan Perasaan) tetapi meningkatkan kualitasnya sehingga mencapai tingkat yang oleh Zohra dan Marsall dalam Satjipto Raharjo (2006 : 18) adalah ”kecerdasan sempurna” (ultimate intelligence). Sekiranya sampai saat ini tidak ada perubahan terhadap cara berpikir dalam hukum yang bersifat positivistisdogmatis yang dapat disejajarkan dengan berpikir berdasarkan kecerdasan rasional yang bersifat datar, logis dan mendasarkan pada peraturan formal, maka hukum akan ketinggalan dan menjadikan praktek hukum sebagai ”fosil” yang kurang bermanfaat bagi masyarakat. Dalam perkembangan berpikir sekarang sudah berubah, juga dalam ragam berpikir manusia, seperti yang terjadi dalam psikologi (dan Psikiatri). Cara berpikir untuk memecahkan persoalan yang diterima sebagai
33
”kecerdasan sempurna” adalah berpikir spiritual, yang mencari dan mempertanyakan makna itu sebagaimana dikatakan Zohra dan Marshall dalam Satjipto Rahardjo (2006 : 21) ”.... Kesadaran spiritual menggugah rasa moral kita, dengan memberikan suatu kemampuan untuk mengendaikan ketentuan yang kaku lewat pengertian (understanding) dan rasa keterlibatan.” Dilandasi oleh cara berpikir dengan kecerdasan sempurna secara optimis kita mencoba bangkit dari keterpurukan oleh Satjipto Rahardjo (2006 : 21) mengemukan tiga hal yang perlu dilakuakan yaitu : 1. Penggunaan kecerdasan spiritual untuk bangun daru keterpurukan hukum, memberi pesan penting kepada kita untuk berani mencari jalan baru (rule breaking) dan tidak membeiarkan diri terkekang cara menjalankan hukum yang lama dan tradisional yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan. 2. Pencarian makna lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara hukum , kita semua dalam kapasitas masing-masing ( sebagai hakim, jaksa, birokrat, advokat, pendidik, dan lain-lain) didorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih dalam. 3. Hukum hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian, dan semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita yang sedang menderita. Segala daya dan upanya hendaknya dilakukan untuk bangun dari keterpurukan dan sekali ini kita mencoba dengan menggugat cara berfikir selama ini banyak mendatangkan rasa susah. Sudah semestinya hukum merupakan
34 institusi yang berfungsi untuk menjadikan bangsa kita, merasa sejahtera dan bahagia. PENUTUP Kesamaan hak asasi warganegara dalam pelaksanaan peradilan di Indonesia dapat dilihat pada UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi segala warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, lebih khusus lagi dalam Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: Mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan-bedakan orang. Kedua konsep ini tidak dapat terwujud bila kita tetap berada pada tataran paham “postivisme dogmatik” yang terkungkung pada Law in Books namun harus berada pada tataran Law in Action, dengan berpatokan pada hukum yang “progresif”. Penegak hukum dalam menjalankan profesinya dalam mengadili pihak bersengketa menjalankan hukum sesuai asas “mengadili menurut hukum” membutuhkan “kecerdasan sempurna” (ultimate intellegence) yang merupakan pengembangan dari kecerdasan rasional, kecerdasan perasaan dan kecerdasan spritual, demi tercapainya kepastian hukum, keadilan dan kepuasan masyarakat.
Kajian, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Bagir Manan. 2005. Mengadili Menurut Hukum (artikel), PERADILIAN Majalah Hukum tahun XX. No.238. Juli 2005, Jakarta Pusat Satjipto Rahrdjo. 2006. Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.
DAFTAR PUSTAKA Ali Aspandi. 2002. Menggugat Sistem Hukum Peradilan Indonesia Yang Penuh Pastian, Lembaga KSHI, Surabaya. Al. Wisnubroto. 1997. Hakim dan Pengadilan di Indonesia dalam beberapa aspek Jurnal Supremasi Volume I Nomor 2, Oktober 2006: 1 - 84