1
PEMBERIAN HAK MILIK ATAS TANAH NEGARA MUH. ARSYAD MAF’UL Dosen Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Abstrak: Pelaksanaan pemberian hak milik atas tanah negara yang selama ini banyak dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Tamalate, jarang terdengar diadanya kegiatan sosialisasi, baik yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat bawah seperti aparat kelurahan dan kecamatan, juga pihak badan pertanahan nasional. Padahal hak milik atas tanah negara semestinya diurus oleh masyarakat yang telah memenuhi ketentuan. Dalam pelaksanaan pemberian hak milik atas tanah, karena beberapa sebab sering mengalami hambatan. Oleh karena itu penting dilakukan upaya identifikasi faktor-faktor penyebab tersebut, yang selanjutnya dapat diajukan cara mengatasinya. Kata Kunci: Pemberian hak milik, Tanah Negara PENDAHULUAN Tanah menurut G. Kartasaputra (1990: 5) adalah: “… tempat kita berpijak dan menopang sebagian besar kehidupan kita dimana hampir sebagian besar rakyat Indonesia menganggap tanah satu-satunya sumber kehidupan.” Hardjowigno dan Nasution (Lopa, 1995: 25) mengungkapkan bahwa: “Dalam ilmu tanah dibedakan antara tanah (soil) dan lahan (land). Tanah diartikan sebagai lapisan bumi yang paling atas, dan atasnya dapat dilakukan berbagai penggunaan yang bukan hanya pada tubuh tanahnya, tetapi juga mencakup ruang angkasa di atasnya. Sedangkan lahan diartikan sebagai faktor-faktor fisik lingkungan seperti lereng, hidrologi, iklim, dan lainnya.” Darmawijaya (Lopa, 1995: 20) mengemukakan bahwa: “Tanah adalah komulasi alam bebas yang menduduki sebagian besar planet bumi yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak sebagai bahan induk dalam keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula.” Lopa (1995: 12) mengungkapan bahwa: “Tanah adalah permukaan bumi yang di atasnya dapat dilakukan berbagai penggunaan yang dapat dihaki oleh seseorang, sedangkan lahan
Supremasi, Volume II Nomor 2, Oktober 2007
adalah tanah garapan yang dimanfaatkan untuk menanamkan tumbuh-tumbuhan.” Dalam masyarakat adat, tanah mempunyai makna yang sangat penting bagi manusia. Hal ini dapat dipahami oleh karena sampai sekarang ini ketergantungan masyarakat terhadap tanah masih relatif tinggi, utamanya bagi masyarakat yang bermukim di pedesaan. Pemahaman masyarakat terhadap tanah tidak selalu sama, masing-masing orang memberi pemahamannya sendiri sesuai dengan rasa keterkaitannya dengan tanah, latar belakang sosial budaya, status sosial dan lain-lain kepentingan yang menyebabkan seseorang membutuhkan sebidang tanah. Misalnya seorang petani, tanah akan lebih dipahami sebagai sumber penghidupan, sebab nasib mereka tergantung pada hasil dari sebidang tanah yang digarap. Ter Haar (1979) mengemukakan bahwa dalam masyarakat adat, tanah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam suatu kelompok masyarakat. Pentingnya kedudukan tanah bagi masyarakat adat disebabkan oleh beberapa hal mengenai pandangan mereka terhadap tanah, yaitu: (1) merupakan tempat tinggal persekutuan; (2) memberi kehidupan kepada persekutuan; (3) merupakan tempat di mana warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan; dan (4) merupakan pula tempat
2
__________________________________Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara, Muh. Arsyad Maf’ul
tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh-roh para leluhur. Berdasarkan rumusan tersebut di atas, bagi masyarakat, konsep tanah pertama-tama dipahami sebagai tempat kelahiran. Di sini tanah bermakna filosofis yang mengikat seseorang dengan tempat di mana ia dilahirkan. Dengan dasar pemikiran seperti di atas, dapat dikemukakan bahwa tanah mempunyai nilai yang sangat tinggi di kalangan masyarakat adat di negara kita yang dikenal sebagai masyarakat agraris. Cara berpikir masyarakat adat adalah suatu segi atau corak khas dari masyarakat yang selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan, di mana manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang sangat erat. Seluruh lapangan hidup diliputi oleh kebersamaan, seperti yang diwujudkan dalam seluruh aspek lapangan hidup dan kehidupan masyarakat. Dengan menyimak rumusan di atas, dalam kehidupan masyarakat adat di negara kita, tanah sebagai hak milik harus berfungsi sosial dengan lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada hak-hak perseorangan. PENGERTIAN HAK MILIK ATAS TANAH Wirjono (1980: 21) mengemukakan: “Hak milik adalah suatu hak tertinggi bagi seseorang atas suatu benda.” Selanjutnya dikatakan, bahwa: “Tanah merupakan benda, yang oleh karena sifatnya dan pentingnya diatur dalam pelbagai peraturan agak lain daripada peraturan untuk benda-benda lain.” Sebelum berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sebelum tanggal 24 September 1960, ada dua golongan besar hak milik atas tanah, yaitu: (1) Hak milik menurut Burgelijk Wetboek yang sering disebut hak eigendom. (2) Hak milik menurut hukum adat, dalam bahasa Belanda lazimnya dinamakan “Inlandsch Bezitrecht”.
Pengertian hak milik atas tanah menurut Burgelijk Wetboek diatur dalam Pasal 570 sampai 583. Pasal 570 berbunyi: “Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menerapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dengan pembayaran ganti rugi.” Pasal 571 dinyatakan: “Hak milik atas sebidang tanah mengandung didalamnya, mengandung kepemilikan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah.” Sekarang ini, setelah berlakunya UU No.5 Tahun 1960, tinggal hanya satu macam hak milik, yaitu hak milik menurut hukum adat. Karena UU No. 5 Tahun 1960 berdasar hukum adat, maka pengertian hak milik menurut hukum adat juga pengertian menurut UUPA itu. Hak milik dalam UUPA diatur dalam pasal 20 - 27. Pasal 20 UUPA menegaskan: “(1) Hak milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan pasal 6. (2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.” Menurut Efendi Perangin (1986: 236), bahwa: “Ciri khas hak milik adalah hak yang turun temurun terkuat dan terpenuh. Hak yang tidak mempunyai ciri yang tiga itu sekaligus, bukanlah hak milik.” Turun temurun artinya hak milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai, tetapi dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya apabila pemiliknya meninggal dunia. Terkuat menunjukkan: (a) Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi berlainan dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan, yang jangka waktunya tertentu; (b) Hak yang terdaftar dan adanya tanda
3 bukti hak; hak milik yang juga hak kuat, karena terdaftar dan yang empunya diberi tanda bukti hak. Berarti mudah di pertahankan terhadap pihak lain. Terpenuh artinya: (a) Hak milik memberikan wewenang kepada yang empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan hak yang lain; (b) Hak milik bisa merupakan induk daripada hak-hak lainnya, artinya seorang pemiliknya bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang daripada hak milik: menyewakan, membagi-hasilkan, menggadaikan, menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai; (c) Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah yang lain, karena hak milik adalah hak yang paling penuh, sedangkan hak-hak lain itu kurang penuh; (d) Dilihat dari peruntukannya hak milik juga tak terbatas, sedangkan hak guna bangunan untuk keperluan bangunan saja, hak guna usaha terbatas hanya untuk keperluan usaha pertanian. Sedangkan hak milik bisa untuk usaha pertanian dan bisa untuk bangunan. Selama tidak ada pembatasanpembatasan dari pihak penguasa, maka wewenang dari seseorang pemilik, tidak terbatas. Seorang pemilik bebas dalam mempergunakan tanahnya. Seperti kita ketahui, pembatasan itu ada yang secara umum yang berlaku terhadap seluruh masyarakat, diantaranya dirumuskan dalam pasal 6 UUPA, yaitu tanah mempunyai fungsi sosial. Pembatasan itu juga ada yang khusus, yaitu terhadap pemilik tanah yang berdampingan, harus saling menghormati, tidak boleh satu pihak merugikan pihak lain. Dalam hal ini kita mengenal ajaran penyalahgunaan hak (misbruik van recht). Selain itu kita mengenal adanya ciri-ciri hak milik atas tanah, yaitu: (1) Bila diperlukan dapat dijadikan jaminan utang, dengan dibebani hipotik/hak tanggungan atau creditverband. Hanya hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha yang dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotik atau Supremasi, Volume II Nomor 2, Oktober 2007
creditverband. (2) Boleh digadaikan. Hak milik dapat digadaikan.Tanah yang digadaikan itu tidak dijadikan jaminan utang, tetapi tanahnya diserahkan kepada kekuasaan pemegang gadai. (3) Hak milik dapat dialihkan kepada orang lain. Pengalihan hak milik boleh dengan jual beli, hibah, wasiat, tukar-menukar dan lain-lain. (4) Hak milik dapat dilepaskan secara sukarela. Maksud dari pelepasan itu, ialah supaya pihak lain yang membutuhkan tanah itu dapat memohon hak yang sesuai baginya. Pelepasan hak dan permohonan itu ditujukan kepada pemerintah. (5) Hak milik dapat diwakafkan, yang caranya diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977. Yang menyebabkan hak milik dapat diwakafkan ialah karena jangka waktunya yang tidak terbatas. Ciri lain dari hak milik ialah mengenai subjeknya. Berdasarkan pasal 21 ayat (1) hanya warga Indonesia dapat mempunyai hak milik. Termasuk badanbadan tertentu yang memenuhi syarat dan ditetapkan oleh pemerintah. TANAH NEGARA Sebenarnya dalam UUPA tidak dikenal istilah tanah negara.Yang ada adalah hak menguasai negara, tetapi istilah tanah negara hanya untuk menyederhanakan sebutan hak menguasai negara, yang berarti sama saja dengan tanah negara. Sebelum berlakunya UUPA tanggal 24 september 1960 dalam hukum pertanahan kolonial belanda dikenal istilah domein negara, yang berarti negara sebagai pemilik tanah, seperti layaknya individu. Menurut Wirjono (1980: 33) bahwa: “Kalau seseorang menjual tanahnya kepada negara lalu dikatakan tanah milik negara. Dalam hal ini negara sebagai pemilik seperti perseorangan.” Artinya negara dapat mempergunakan tanah itu dapat mengisap kenikmatan dari tanah itu sepenuhnya, serta dapat menyerahkan tanah itu pada orang lain secara penjualan, penukaran, penghibaan dan lain-lain sebagainya.
4
__________________________________Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara, Muh. Arsyad Maf’ul
Disamping pengertian milik negara semacam di atas, di Jawa dan Madura sejak tahun 1870 (pasal 1 Agrarisch Besluit, staatsblaad 1870-118) oleh Raja Belanda sebagai pembentuk undang-undang dan lainlain bagian dari Indonesia sejak tahun 1875 (Algemene Domeinvelklaring, Staatsblaad 1875-199 a) oleh Gubernur Jenderal sebagai pembentuk UU, disebutkan suatu pengertian “Staatdomein” atau “landsdomein”, yaitu semua tanah yang tidak terbukti adanya hak eigendom dari orang lain. Tanah-tanah seperti di atas dapat dimiliki seseorang atau badan hukum yang diberikan oleh negara. Pemberian ini didasarkan atas putusan pengadilan negeri (staatblaad 1872 - 117). Tanah seperti itu dikenal juga dalam masyarakat hukum adat, yaitu yang dikenal dengan hak pertuanan dari persekutuan desa. Tanah ini menurut Wirjoni (1980: 26) tidak melekat pada perseorangan (individu), melainkan pada suatu persekutuan daerah seperti desa di Jawa. Persekutuan daerah ini, merupakan masyarakat kecil yang seperti halnya dengan segala masyarakat, mempunyai pelbagai keperluan hidup bagi para anggotanya secara sebaik-baiknya. Keperluan hidup ini, yang terpenting adalah mengenai hak atas tanah. Persekutuan semacam itu ada di berbagai daerah dalam wujud yang beraneka macam. Persekutuan itu juga mempunyai peraturan mengenai penggunaan atas tanah itu. Tapi peraturan pada pokoknya bermaksud memberikan kekuasaan kepada persekutuan desa guna campur tangan dalam urusan tanah, terutama untuk mencegah jangan sampai rangkaian hubungan antara anggota-anggota persekutuan menguasai tanah dikacaukan oleh anasir-anasir asing. Meskipun tanah dari hak persekutuan merupakan hak suatu masyarakat, akan tetapi tanah itu dapat dimiliki secara perseorangan (individu) oleh anggota masyarakat. Cara untuk mendapatkannya adalah dengan jalan membuka tanah, menguasai dan terus menerus diusahakan.
Pernyataan milik negara (domeinverklaring) dari zaman Belanda ini, sebetulnya sejak Indonesia merdeka dapat dianggap dengan sendirinya tidak berlaku lagi, karena telah diganti dengan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar yang berbunyi sebagai berikut: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Selanjutnya Pasal 2 UUPA menunjuk secara tegas Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dan hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 1 Ayat (1), bahwa bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Ayat (2) Hak menguasai dari negara termasuk dalam Ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: (a) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, pesediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (b) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; (c) Menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. Ayat (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada Ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerderkaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Ayat (4) Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.
5 TUJUAN DAN FUNGSI PENDAFTARAN TANAH Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Jo. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah merupakan realisasi dari Pasal 19 UUPA, yang diharapkan oleh pemerintah dapat menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah yang ada di wilayah negara Republik Indonesia, yang dimiliki oleh orang atau badan hukum. Pasal 19 Ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa untuk menjamian kepastian hukum oleh pemerintah maka diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto (1985: 19) menyatakan: “Jalan untuk mengurangi adanya sengketa-sengketa tanah adalah pendaftaran tanah, sebagaimana dalam kenyataan bahwa dengan pendaftaran telah dirasakan oleh masyarakat akan manfaat dan kepastian hukum serta kepastian hak atas tanahnya.” Kenyataan dalam praktek bahwa bahan pendaftaran tanah sebagai tugas dari keagrarian (terutama bidang pendaftaran hak-hak atas tanah) adalah merupakan tugas yang memerlukan ketekunan, ketelitian dalam pelaksanaannya, hal ini sudah terbukti dengan banyaknya sertifikat yang telah diselesaikan dan dalam kenyataan masih saja dijumpai adanya sengketa-sengketa bahwa pemilikan hak itu dinyatakan tidak benar oleh penggugat. Pasal 1 butir (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah: “...rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada hak
Supremasi, Volume II Nomor 2, Oktober 2007
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.” Tujuan pendaftaran tanah yaitu: (1) Memberikan kepastian objek. Kepastian mengenai bidang teknis yaitu kepastian mengenai letak, luas dan batas-batas tanah yang bersangkutan. (2) Memberikan kepastian hak. Ditinjau dari segi yuridis mengenai status hukumnya, siapa yang berhak atasnya dan ada atau tidaknya hakhak atau kepentingan pihak lain atau pihak ketiga. (3) Memberikan kepastian subjek. Untuk mengetahui dengan siapa harus dihubungi untuk dapat melakukan perbuatanperbuatan hukum secara sah. Pasal 19 Ayat (2) UUPA dikatakan bahwa pendaftaran tanah meliputi: (1) Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah. (2) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut. (3) Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Fungsi diselenggarakannya pendaftaran tanah oleh pemerintah adalah untuk memperoleh alat pembuktian yang kuat dan sah di dalam melaksanakan perbuatan hukum mengenai tanah. Selain itu sertifikat sebagai hasil akhir dari proses pendaftaran tanah dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh kredit di bank. Pelaksanaan pendaftaran tanah di wilayah Indonesia maka berlaku aturan yang menjadi dasar pelaksanaan dalam rangka pendaftaran tanah dan pensertifikatan tanah di seluruh wilayah Indonesia. Aturan hukum ini sangatlah penting dalam pelaksanaan pendaftaran tanah sebagai pedoman dan tuntutan dalam hal pelaksanaan tugas Badan Pertanahan Nasional,bidang pendaftaran tanah. Dasar hukum dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Undang-undang No.5 Tahun 1960 (Undang-undang Pokok Agraria). (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. (3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1995. Dasar hukum pendaftaran tanah dalam Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) sebagai berikut: (a) Pasal
6
__________________________________Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara, Muh. Arsyad Maf’ul
19 ayat (1) UUPA, yang menyatakan untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut Ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (b) Pasal 19 ayat (2) UUPA, menyatakan Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: 1) Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah. 2) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut. 3) Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. (c) Pasal 19 ayat (3) UUPA, menyatakan Pendaftaran diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas, ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. (d) Pasal 19 ayat (4) UUPA, menyatakan dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. (e) Pasal 23 ayat (1) UUPA, menyatakan Hak Milik, demikian juga setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hakhak lain harus didaftarkan menurut ketentanketentuan yang dimaksud dalam pasal 19. (f) Pasal 23 ayat (2) UUPA, menyatakan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut. (g) Pasal 32 ayat (1) UUPA, menyatakan Hak Guna Usaha termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihannya dan penghapusan hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuanketentuan yang dimaksud dalam pasal 19. (h) Pasal 32 (2) UUPA, menyatakan Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya Hak Guna Usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapusnya karena jangka waktu berakhir. (i) Pasal 38 ayat (1) UUPA, menyatakan Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat
pemberiannya, demikian setiap peralihannya dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19 (j) Pasal 38 ayat (2) UUPA, menyatakan Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai penyempurnaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 adalah sebagai berikut: (a) Pasal 1 ayat (6) menyatakan data fisik adalah Keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. (b) Pasal 1 ayat (7) menyatakan Daya Yuridis adalah Keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban yang membebaninya. (c) Pasal 1ayat (8) menyatakan Ajudikasi adalah Kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka proses pendaftaran tanah untuk pertama kali, meliputi pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya. (d) Pasal 1 ayat (9) menyatakan Pendaftaran Tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah atau Peraturan Pemerintah ini. (e) Pasal 1 ayat (10) menyatakan Pendaftaran secara sistematik adalah Kegiatan Pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. (f) Pasal 1 ayat (11) menyatakan Pendaftaran tanah secara
7 Sporadik adalah Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah menurut Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah secara sistematik adalah sebagai berikut: (a) Pasal 1 ayat (1) PMNA Nomor 3 Tahun 1995 menyatakan pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran yang dilakukan serentak yang meliputi semua tanah disuatu wilayah suatu Desa/Kelurahan, baik tanah yang dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah maupun tanah Negara. (b) Pasal 1 ayat (2) menyatakan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan sesuatu bidang tanah tertentu yang disebut dalam pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. (c) Pasal 1 ayat (3) menyatakan pemegang hak atas tanah adalah orang atau badan hukum yang mempunyai hak atas tanah, baik yang tanahnya sudah bersertifikat (Terdaftar) maupun yang belum bersertifikat. (d) Pasal 1 ayat (5) menyatakan pihak lain yang berkepentingan adalah pihak atau pihak lain pemegang hak atas tanah atau kuasanya, baik yang secara fisik menguasai tanah maupun tidak tetapi mempunyai kepentingan atas tanah tersebut. (e) Pasal 1 ayat (7) menyatakan Ajudikasi adalah kegiatan dan proses dalam rangka pendaftaran tanah untuk pertama kali berupa pengumpulan dan penerapan kebenaran data yuridis dan datafisik dan mengenai sebidang tanah atau lebih untuk keperluan pendaftarannya. (f) Pasal 1 ayat (8) menyatakan Data Fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang didaftar, serta bagian bangunan atau bangunan yang ada diatasnya bila dianggap perlu. (g) Pasal 1 ayat (9) menyatakan Data Yuridis adalah Keterangan mengenai status hukum tanah dan bagian tanah dan bagian bangunan yang telah didaftar, pemegang haknya dan pihak lain Supremasi, Volume II Nomor 2, Oktober 2007
serta beban-beban yang ada di atasnya. (h) Pasal 1 ayat (10) menyatakan Peta Dasar Pendaftaran Tanah adalah peta yang memuat titik dasar teknik dan semua atau sebagian unsur geografis seperti sungai, jalan, bangunan dan batas fisik bidang tanah. (i) Pasal 1 ayat (11) menyatakan Titik Dasar Teknik adalah Titik tetap yang mempunyai koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam sistem tertentu yang berfungsi sebagai titk kontrol atau titik ikat untuk keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas. (j) Pasal 1 ayat (12) menyatakan Pendaftaran adalah Peta yang menggabarkan bidang-bidang tanah yang batas-batasnya telah ditetapkan oleh panitia ajudikasi untuk keperluan pendaftaran hak. Peraturan Pendaftaran tanah di atas, merupakan pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik menurut Peraturan Menteri Negara Agararia Nomor 3 Tahun 1995, yang hanya berlaku di wilayah yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Peraturan tersebut merupakan Peraturan Pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun1961 tentang Pendaftaran Tanah. Parlindungan (1990: 4) melihat bahwa: “Salah satu agenda permasalahan tanah yang sangat menonjol dewasa ini adalah masalah pendaftaran tanah, dimana sampai saat ini Pemerintah belum optimal melaksanakan perintah pasal 19 ayat (1) UUPA”. Untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah di Indonesia, kepada pemerintah diwajibkan untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Demikian ketentuan yang termaktub dalam pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang PokokPokok Agraria (UUPA) merupakan landasan dasar dan utama di dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia dan jika diteliti secara mendalam tentang isi lengkap dari ketentuan pasal 19 Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) ini menyebutkan hal-hak sebagai berikut: (1)
8
__________________________________Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara, Muh. Arsyad Maf’ul
Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi: (a) Pengukuran, Perpetaan dan pembukuan tanah, (b) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut. (c) Pemberian Surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. (3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Negara Agraria. (4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat (1) di atas dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Parlindungan (1994: 11) menyebutkan “Pendaftaran berasal dari kata Cadastre (Bahasa Latin, Kadaster) yang merupakan suatu istilah teknik untuk suatu rekord (Rekaman), menunjukkan pada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap suatu bidang tanah”. Perkembangan selanjutnya mengenai pendaftaran tanah di Indonesia dikenal dua macam Kadaster, yaitu: (1) Kadaster pajak (Fiscal Kadaster) merupakan Kadaster yang bertujuan untuk keperluan pemungutan pajak atas tanah. (2) Kadaster Hak (Recht Kadaster) merupakan kadaster yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum atas hak-hak tanah. Budi Harsono (1994: 63) memberikan definisi pendaftaran tanah: “Suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah secara terus-menerus dan teratur berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengelolaan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum
dibidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan peralihannya.” Pengumpulan data atau keterangan tertentu mengenai tanah tertentu meliputi 2 (dua) bidang yaitu: (1) Data fisik mengenai tanahnya, meliputi = lokasinya, batasbatasnya, luas bangunan dan tanaman yang ada di atasnya. (2) Data Yuridis mengenai haknya yang meliputi = haknya apa, siapa pemegang haknya, ada atau tidak adanya pihak lain. Pendaftaran Tanah menurut pasal 19 Ayat (2) UUPA meliputi: (a) Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah. (b) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut. (c) Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. PP. No.24 Tahun 1997, Bab I ayat (1) pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terusmenerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar. Pendaftaran tanah ini, sesuai dengan perintah dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada ayat (1) di atas, telah diterbitkan (diberlakukan) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 10 Tahun 1961 dan terakhir dicabut dan diberlakukan PP. No. 24 tahun 1997 serta PMNA/KBPN No.3 Tahun 1997 yang ada pada pokoknya menunjukkan bahwa pendaftaran tanah ini adalah pendaftaran tanah yang bersifat rechts kadaster bukan Fiscoal Kadaster ataupun dalam pengertian yang lain, yaitu sebagai wirschaftlichen kadaster (Bachtiar Effendie, 1993:15). Pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasarkan UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) ini termasuk kedalam ruang lingkup atau kategori recht kadaster yang pada intinya memiliki tujuan untuk memberikan suatu bentuk kepastian hukum dan kepastian hak atas tanah serta termasuk juga meliputi beberapa hal sebagai berikut (Parlindungan, 1990: 113): (1) Untuk
9 memungkinkan orang-orang yang mempunyai tanah dengan mudah untuk dapat membuktikan bahwa dialah yang berhak atas sebidang tanah, apa status hak yang dipnyainya, letak tanah dan luas tanah. (2) Untuk memungkinkan kepada siapapun guna mengetahui hal-hal yang ia ingin ketahui berkenaan dengan sebidang tanah, misalnya kepada para calon pembeli, calon kreditur dan sebagainya. PP. No.24 Tahun 1997, dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pendaftaran tanah bertujuan: (a) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak rumah lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang yang bersangkutan. (b) Untuk menyediakan informasi kpada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah didaftar. (c) Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Adanya pendaftaran tanah tersebut seseorang dapat dengan mudah mendapat keterangan berkenaan dengan sebidang tanah, seperti hak apa yang dipunyai, berapa luas lokasi tanah, apakah dibebani hak tanggungan. Inilah yang dikategorikan dalam ruang lingkup azas publisitas yang dikenal dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Dilihat perihal pendaftaran tanah atau dikenal dengan nama cadastre adalah istilah yang bersifat teknis untuk record (rekaman). Istilah Cadastre berasal dari bahasa latin yang berarti Capistrum yang menunjukan suatu register atau capite yang merupakan istilah yang dipergunaka pada zaman Romawi untuk pajak tanah. Kadaster atau Record ini dipergunakan sebagai istilah pendaftaran hak atas tanah yang mengandung arti pendaftaran oleh pemerintah terhadap semua tanah atau semua barang tak bergerak, terutama untuk tujuan pajak dan kepentingan Supremasi, Volume II Nomor 2, Oktober 2007
dalam hal peralihan hak milik dan hak-hak kebendaan lain. Demikian Cadastre merupakan alat yang tepat dalam memberikan uraian dan identifikasi dari tanah dan berfungsi sebagai bentuk countinous recording (rekaman yang berkesinambungan) dari hak-hak atas tanah dan juga harus menujukkan sifat yang terbuka untuk umum (public record ) (Parlindungan, 1990 : 12). Hal ini penting, terutama jika kita kaitkan dengan salah satu asas dalam pendaftaran tanah, yakni asas publisitas dan merupakan asas yang sangat penting dari pendaftaran tanah. Diperhatikan secara mendalam terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 ini yang secara explisit menerangkan dua hal pokok yang sangat mendasr didalam substansinya, yaitu: (1) Kategori Kelompok Yuridis: yaitu mengenai hak apa, siapa pemiliknya, peralihan dan pembebanannya. (2) Kategori Kelompok Teknis: yaitu hal-hal mengenai letak tanah, besarnya, lusanya dan penunjukan secara jelas batas-batasnya. Kegiatan disini antara lain dilakukannya pengukuran, pemetaan yang nantinya akan menghasilkan peta pendaftaran tanah yang telah dilaksanakan. Terdapat beberapa misi pokok Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang antara lain: (1) Penyederhanaan dalam proses dan tata laksana operasional dari pelaksanaan Pendaftaran Tanah. (2) Prioritas penyelesaian pendaftaran tanah bagi tanahtanah eks B.W, tanah-tanah konsensi rajaraja. (3) Antisipasi terjadinya pemalsuan sertifikat hak atas tanah dan sertifikat ganda. (4) Percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah yang disesuaikan dengan target pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. (5) Perubahan Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah ini (PP.No. 24 Tahun 1997), diharapkan kepada masyarakat akan lebih terdorong mendaftarkan tanahnya, sehingga konsekuensi positif yang nyata, yakni tercapainya target Pendaftaran tanah di Indonesia dapat direalisasikan secara optimal oleh pemerintah sesuai pasal 19 ayat (1)
10 __________________________________Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara, Muh. Arsyad Maf’ul Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). (6) Mengenai optimalisasi dari pelaksanaan pendaftaran tanah, maka tingkat keberhasilannya sangat banyak tergantung pada dua hal menjadi persoalan pokok, yaitu (Maria SW. Sumarjono, 1995: 12): (a) Pada sistem Pendaftaran Tanah yang dipergunakan disuatu negara, (b) Institusi Penyelenggara. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah sangat tergantung pada sistem yang dipergunakan dalam iplementasi dari pendaftaran tanah yang dipergunakan, khususnya yang dilakukan di beberapa negara antara lain (Parlindungan, 1989: 130): Sistem Torrens; ditilik sesuai dengan namanya, sistem ini pertama kali diciptakan oleh Sir Robert Torrens di Australia Selatan. Sistem Torrens ini lebih dikenal dengan nama aslinya The Real Property Act atau Torrens Act yang mulai berlaku di Australia Selatan sejak 1 Juli 1958. Dewasa ini Pendaftaran Tanah dengan sistem Torrens ini dipergunakan Di Aljazair, India, Singapura, Tunisia, Kongo, Spanyol, Norwegia, Malaysia, Kepulauan Fiji, Canada, Yamaica, dan Trinidad. Dalam penyelenggaraan Pendaftaran Tanah dari sistem Torrens ini menyelidiki hal-hal sebagai berikut: (1) Obyek yang akan didaftarkan jelas. (2) Pejabat yang berwenang yakin bahwa dapat diberikan kepada si pemohon. (3) Tidak terdapat sengketa atas tanah yang dimohon hak tersebut. (4) Tidak ada yang menyangkal bukti atas hak yang dimiliki oleh si pemohon itu. Sementara itu dalam Pendaftaran Tanah yang mempergunakan sistem Torrens ini beberapa keuntungan (kelebihan) dalam pelaksanaannya, khususnya dalam mewujudkan bentuk kepastian hak dan kepastian hukum, yaitu sebagai berikut, (Parlindungan, 1990: 19): (1) Menempatkan biaya yang tidak dapat diduga. (2) Meniadakan pemeriksaan yang berulangulang. (3) Mengadakan kebanyakan rekaman. (4) Melindungi semua kesulitan-kesulitan yang tidak disebutkan dalam sertifikat. (5) Meniadakan kepalsuan. (5) Secara tegas
menyatakan dasar haknya. (8) Tetap memeliharah sistem tersebut tanpa menambahkan pada transaksi yang dibebankan kepada pihak pemohon yang mendaftarkan haknya. (9) Meniadakan suatu alas hak yang abadi oleh karena menjamin tanpa batas. Manfaat dari penggunaan sistem pendaftaran tanah positif ini, antara lain: (1) Adanya kepastian dari Buku Tanah. (2) Peranan aktif dari pejabat balik nama. (3) mekanisme kerja dalam proses penerbitan sertifikat tanah mudah dimengerti oleh umum. Apabila sistem positif ini kita hubungkan dengan pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria dan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 sebagai peraturan pelaksanaannya, maka sistem positif ini tidak diterapakan secara eksplisit dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia. Implementasi dari sistem positif yang dipergunakan dalam pendaftaran tanah dewasa ini hanya dilaksanakan di negara Jerman dan Swiss dengan beberapa ciri khusus dalam pelaksanaannya, terutama penekannya pada mekanisme kerja dari lembaga penyelenggara di lapangan (Bachtiar Effendi, 1993:49). Sistem Pendaftaran Tanah negatif, menunjukkan ciri bahwa apa yang tercantum di dalam sertifikat tanah adalah dianggap benar sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar) di muka pengadilan. Ciri pokok dari sistem negatif adalah bahwa pendaftaran hak atas tanah tidaklah merupakan jaminan orang yang terdaftar dalam Buku Tanah merupakan pemegang hak atas tanah tersebut. Dengan kata lain Buku Tanah dapat saja berubah sepanjang pihak yang berkeberatan dapat membuktikan bahwa dialah pemilik yang sebenarnya melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (pasti). Mariam Darus Badrulzaman (1985:44), mengemukakan: “Hak dari nama yang terdaftar ditentukan oleh hak dari pemberi hak dari pemberi hak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan satu mata rantai. Menyelidiki apakah pemberi hak
11 sebelumnya (rechtsvoorganger) mempunyai wewenang menguasai (beschikkingbe voegdheid) atau tidak, berkaitan dengan bagaimana cara orang yang terdaftar itu memperoleh haknya, apakah telah memenuhi ketentuan Undang-Undang atau tidak. Inilah yang perlu diselidiki terhadap peristiwaperistiwa hukum yang mendahului penyerahan hak atas tanah tersebut.” Sistem negatif dikenal asas peralihan hak yang dikenal dengan “Memo Plus Yuris”, yakni melindungi pemegang hak atas tanah yang sebenarnya dari tindakan orang lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh si pemegang hak sebenarnya. UUPA menganut sistem pendaftaran tanah dengan menggunakan sistem negatif ini. Sistem negatif ini terlihat jelas dalam PP.NO. 10 Tahun 1961 dan ini juga dapat ditelusuri beberapa landasan hukum yang menguatkan hal ini, yaitu makna dari bunyi pasal 19 ayat (1), (2), (3), Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang selengkapnya menyebutkan sebagai berikut: (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan Pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi: (a) Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah. (b) Pendaftaran hak-hak atas tanah, peralihan hak-hak tersebut. (c) Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang kuat. (3) Pendaftaran Tanah diselenggarakan dengan mengingatkan keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria. Pasal 19 ayat (2) huruf c UndangUndang Pokok Agraria yang merupakan dasar hukum pendaftaran tanah tersebut dapat kita ketahi bahwa dengan didaftarkannya hak-hak atas tanah, akan diberikan sertifikat tanah sebagai tanda bukti bahwa pemegang hak atas tanah yang berlaku alat pembuktian yang kuat dan dikategorikan sebagai akata autentik. Supremasi, Volume II Nomor 2, Oktober 2007
Ketentuan pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA tersebut dengan sistem-sistem pendaftaran tanah, maka akibat hukum dari ketentuan pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA lebih mendekati dengan sistem pendaftaran tanah sistem negatif. Dengan perkataan lain, bahwa sistem pendaftaran tanah yang terkandung di dalam substansi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah menganut sistem negatif bertendensi positif. Hal ini jelas terlihat dalam PP No. 10 Tahun 1961. Beberapa perdebatan sistem pendaftaran tanah yang dianut dalam UUPA, maka pada prinsipnya Boedi Harsono (1997: 86) menyatakan bahwa: “Mengenai kriterium pembeda sistem positif dan negatif, di kalangan para ahli tidak ada pendapat yang seragam, kecuali yang ditegaskan dalam PP 10 Tahuin 1961 yang tegas menyatakan penggunaan sistem negatif. Perbedaan tersebut pada dasarnya merupakan perbedaan sudut pandang dalam melakukan interprestasi pasal 19 UUPA.” CARA MENDAPATKAN HAK MILIK ATAS TANAH Pasal 22 UUPA, bahwa: (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagaimana yang dimaksud dalam Ayat (1) Pasal ini ini hak milik terjadi karena: (a) Penetapan pemerintah menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. (b) Ketentuan undang-undang. Jadi hak milik terjadi karena: (1) Menurut ketentuan hukum adat. (2) Menurut ketentuan undang-undang. (3) Menurut penetapan pemerintah. Terjadinya hak milik menurut ketentuan undang-undang agraria, tidak melalui suatu pertumbuhan, tetapi terjadi seketika pada tanggal 24 september 1960. Begitu UUPA berlaku terciptalah hak milik baru. Cara terjadinya hak milik yang lazim adalah, cara yang ketiga ini, yaitu pemberian atau yang diberikan oleh pemerintah dengan suatu penetapan. Yang boleh memberikan
12 __________________________________Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara, Muh. Arsyad Maf’ul hak milik hanya pemerintah. Seorang pemegang hak atas tanah lainnya tidak boleh memberikan hak milik. Tanah yang boleh diberikan oleh pemerintah dengan hak milik itu ialah tanah negara, jadi tidak ada pihak lain selain negara di atasnya. Proses lahirnya hak milik dan hakhak lain, terdapat aturannya dalam dua peraturan Dalam Negeri (PMDN), yaitu: (a) PMDN No. 3 tahun 1973 berjudul : Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata- cara pemberian hak atas tanah; (b) PMDN No. 1 tahun 1977 berjudul: Tata cara permohonan dan penyelesaian pemberian hak atas bagian-bagian tanah hak pengelolaan serta pendaftaran. PENUTUP Persoalan krusial yang selama ini menjadi agenda utama permasalahan dalam pendaftaran tanah di Indonesia: (1) Pendaftaran Tanah di Indonesia sampai saat ini dilakukan oleh berbagai instansi, sehingga hal ini menimbulkan berbagai masalah proses pendaftaran tanah, antara lain: (a) Badan Pertanahan Nasional (BPN), (b) Bakorsurtanal, (c) Topografi Angkatan Darat, (d) Pertambangan, (e) Departemen Keuangan, (f) Departemen Pertanian atas tanah perkebunan, perikanan dan peternakan. (2) Perihal eksistensi dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), apakah dapat diajukan di depan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). (3) Perihal bagaimana memberikan penilaian atas tanah yang tidak tersurat, tetapi dikuasai oleh sebuah keluarga sejak zaman Hindia Belanda malahan ada yang sebelum penjajahan, tetapi tidak ada bukti-bukti suratnya. (4) Tanah-tanah adat yang bersurat, tetapi diakui dalam sistem hak pertanahan di masyarakat hukum adat itu sebagai tanah adat, baik yang masih dikuasai secara terus menerus ataupun diduduki oleh orang lain dengan persetujuan ataupun dengan suatu penggarapan secara ilegal. (5) Tanah-tanah yang diduduki oleh rakyat dari tanah-tanah yang dikuasai oleh negara. (6) Tanah-tanah yang diduduki oleh rakyat dari tanah-tanah
yang ada atas haknya, baik adat maupun tanah eks B.W ataupun tanah-tanah eks tanah partikulir, tanah-tanah yang berstatus HGU. (7) Tanah-tanah eks B.W yang pemiliknya masih berhak memperoleh pembaharuan/perpanjangan haknya. (8) Tanah-tanah eks B.W yang pemiliknya orang asing namun tanahnya sekarang diduduki oleh rakyat ataupun telah menjadi perkampungan. (9) Tanah-tanah yang dahulu konsensi dari rajaraja. Berdasarkan PMDN No. 3 tahun 1973 dan PMDN No. 1 tahun 1997, maka prosedur dan tata cara pemberian hak milik atas tanah dapat dibagi sebagai berikut: (1) Mengajukan permohonan. (2) Pemeriksaan tanah. (3) Pengeluaran Surat Keputusan Pemberian hak milik. (4) Memberi batas tanah. (5) Membayar uang pemasukan. (6) Mendaftarkan hak. (7) Membuat surat ukur. (8) Membuat buku tanah. (9) Menyerahkan sertifikat. DAFTAR PUSTAKA Amiruddin
& Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Budi Harsono. 1995. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan. Bambang Waluyo. 1991. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika. Bachtiar Effendi. 1982. Kumpulan Tulisan tentang Hukum Tanah. Bandung: Alumni. Effendi Perangin. 1994. Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. G. Kartasaputra. 1990. Masalah Pertanahan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Irawan Soerodjo. 2003. Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia. Surabaya: Arkola.
13 I Wayan Suandra. 1994. Hukum Pertanahan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Maria S.W. Sumarjono. 1995. Pendaftaran Tanah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mariam Darus Badrulzaman. 1985. Bab-bab Tentang Hipotik. Bandung: Alumni. Parlindungan A.P. 1992. Berakhirnya HakHak Atas Tanah. Bandung: CV. Mandar Maju. Ramli Zein. 1994. Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA. Jakarta: Rineka Cipta. Rusmadi Murad. 1997. Administrasi Pertanahan Pelaksanaannya dalam Praktek. Bandung: Mandar Maju. Sudaryo Soimin. 1994. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: Sinar Grafika. Soeprapto R. 1986. Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktek. Jakarta: CV. Mutasari. Wirjono Peodjodikoro. 1980. Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda. Jakarta: PT. Intermasa. Y. W. Sunindhia, dkk. 1988. Pembaharuan Hukum Agraria, Beberapa Pemikiran. Jakarta: PT. Bian Aksara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan Beberapa Ketentuan UndangUndang Pokok Agraria. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 30 Tahun 1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat.
Supremasi, Volume II Nomor 2, Oktober 2007