1
Dokumen Kependudukan; Pemenuhan Hak Dan Pelaksanaan Kewajiban Warga Negara
Policy
BRIEF 2
Warga negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Pasal 26, ayat (1) UUD 1945
Dokumen
kependudukan
instrumen
penting
merupakan
dalam
salah
pembangunan
satu suatu
negara. Data penduduk tidak hanya digunakan oleh negara untuk menjamin layanan dasar akan tetapi juga dalam perencanaan pembangunan. Sejak tahun 2011
pemerintah
pembenahan dengan
telah
terhadap
meluncurkan
berupaya
untuk
adminsitrasi KTP
melakukan
kependudukan
elektronik
yang
masa
berlakunya seumur hidup. Walaupun demikian, hingga hari ini masih banyak kelompok rentan, kelompok minoritas, sulit
untuk
maupun
komunitas
mendapatkan
diberbagai wilayah.
transjender
dokumen
yang
kependudukan
Dampaknya, kelompok-kelompok
ini seringkali tidak dapat mengakses layanan dasar yang disediakan oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Bahkan mereka seringkali harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk mendapatkan dokumen kependudukan yang seharusnya diberikan oleh negara tanpa dipungut biaya.
Dalam
diktum
UU
No
23
Tahun
2014
disebutkan
bahwa dalam rangka mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional, negara berkewajiban
3
memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk dan atau warga negara Indonesia yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. penting
Peristiwa
kependudukan
atau
peristiwa
yang dimaksud dalam UU No 23 Tahun
2014 adalah kejadian yang dialami penduduk yang harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan kartu keluarga, kartu tanda penduduk dan atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah-datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap. Sedangkan peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, serta perubahan status kewarganegaraan. Berdasarkan titik pijak tersebut, maka negara wajib dan menjamin setiap penduduknya memiliki identitas kependudukan.
Penataan tidak
administrasi
hanya
berguna
kependudukan untuk
(adminduk)
memberikan
identitas
hukum kepada setiap penduduk, akan tetapi juga terkait dengan akses penduduk dalam mendapatkan program perlindungan sosial ataupun pelayanan publik yang dimiliki atau yang disyaratkan oleh pemerintah. Misalnya program yang terkait dengan penyediaan layanan dasar kesehatan dan pendidikan, pengurusan penerbitan surat izin usaha, NPWP, maupun
4
layanan
perbankan.
Pada
tahun
2011,
pemerintah
melalui
Kementerian
Dalam Negeri telah memulai penataan basis data adminduk. Salah satunya adalah dengan kebijakan untuk melakukan digitalisasi dokumen kependudukan melalui Kartu Tanda Penduduk elektronik (E-KTP) yang berlaku seumur hidup, serta mengumpulkan informasi yang
lebih
lengkap
mengenai
data
perseorangan.
Dalam UU No 23 Tahun 2014 data perseorangan yang dikumpulkan adalah
data
sebanyak golongan
31
jenis
darah,
data.
Diantaranya
agama/kepercayaan,
difabel fisik/difabel mental, kepemilikan akta lahir, sidik jari, iris mata, tanda tangan, maupun informasi yang terkait dengan aib seseorang.
Walaupun pemerintah telah berupaya menjalankan amanat UU 23 Tahun 2014, untuk memberikan jaminan terhadap identitas hukum bagi setiap warga negara. Namun dalam kenyataannya masih dijumpai banyak penduduk yang belum memiliki dokumen kependudukan. Misalnya kepemilikan akta kelahiran dan kartu tanda penduduk. Kondisi ini menyebabkan penduduk tersebut tidak dapat mengakses layanan maupun program yang dijalankan oleh pemerintah. Data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kependudukan & Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri pada Bulan November Tahun 2015 menyebutkan dari sekitar 83,5 juta anak dari total populasi 255,6 juta penduduk Indonesia, hanya 36,75 % anak yang memiliki akta kelahiran. Sisanya sebesar
5
63,25 % atau sebesar 53,8 juta anak tidak memiliki akta kelahiran. Disisi lain, penduduk Indonesia yang wajib memiliki KTP tetapi tidak memiliki KTP sebanyak 23.475.000
jiwa.
Disinyalir
jumlah
penduduk
yang
tidak memiliki KTP tersebut berada diwilayah terpencil, terisolir ataupun susah dijangkau. 1
Selain
disebabkan
karena
persoalan
kendala
geografis dalam pengurusan dokumen kependudukan, layanan adminduk ditingkat daerah seringkali belum memperhatikan secara
khusus
masyarakat hidupnya yang
kondisi dimiliki
adat
yang
dan oleh
masyarakat.
memiliki
berpindah-pindah,
menganut
karakteristik
kepercayaan
Misalnya
karakteristik
kelompok yang
yang
yang
masyarakat
berbeda
dari
kepercayaan mayoritas penduduk, serta masyarakat yang memiliki karakteristik khusus seperti
kelompok
transjender. Kelompok transjender atau yang lebih dikenal ditingkat masyarakat sebagai waria, seringkali sulit memperoleh KTP. Bahkan tidak jarang kelompok transjender
seringkali
mendapatkan
perlakuan
diskriminatif dan merendahkan harkat dan martabatnya sebagai manusia maupun sebagai warga negara yang seharusnya dilindungi oleh negara, ketika melakukan pengurusan KTP.
Salah satu persoalan yang sering dikeluhkan oleh komunitas transgender dalam pengurusan KTP adalah aparatur pemeritah yang mempermasalahkan identitas dan ekspresi gender mereka yang berbeda dengan
6
jenis kelamin yang tertulis di KTP.
Misalnya jenis
kelaminnya adalah laki-laki (tertulis jenis kelamin adalah laki-laki) dan identitas dan ekspresi gendernya adalah perempuan, tidak jarang saat pengurusan KTP, aparatur pemerintah
yang
bertugas
memberikan
ceramah,
nasihat, bahkan perlakuan yang tidak menyenangkan agar
yang
bersangkutan
mengikuti
norma
dan
kepatutan berdasarkan jenis kelaminnya. Kondisi ini dapat diduga menjadi salah satu sebab rendahnya kepemilikan KTP pada komunitas transjender.
Pada tahun 2014, Sanggar Swara melakukan survey terhadap komunitas waria muda yang berusia dibawah 30 tahun yang tinggal di ibukota negara. Hasil survei tersebut menunjukkan hanya 34% yang memiliki KTP, sedangkan sisanya sebesar 66% tidak memiliki KTP. Kebanyakan komunitas tranjender yang didampingi oleh Sanggar Swara telah bekerja dalam usia yang sangat muda dan meninggalkan bangku pendidikan dasar lebih awal dibandingkan dengan anak-anak lain. Faktor-faktor yang mendorong mereka meninggalkan rumah dan bangku pendidikan diusia yang masih sangat muda cukup beragam, diantaranya disebabkan oleh perlakuan yang bersifat perudungan (bullying) ataupun diskriminasi
dari
keluarga
maupun
di
masyarakat.
Bentuk-bentuk perudungan yang kerap dialami oleh kelompok transjender seringkali terkait dengan ekspresi jender yang dianggap tidak sesuai dengan peran jender yang umum di masyarakat yaitu laki-laki maskulin dan 1
Direktur Jenderal Kependudukan & Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.
7
perempuan feminin. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh UNESCO, perudungan yang terjadi diberbagai belahan
dunia
tidak
hanya
terkait
dengan
etnis,
kelompok minoritas, akan tetapi juga pada siswa yang diidentifikasi sebagai LGBT (lesbian, gay, biseksual, & transjender). Tindakan perudungan pada siswa yang teridentifikasi sebagai LGBT tidak hanya dilakukan oleh teman sebaya akan tetapi juga kerap dilakukan oleh guru. Bahkan kerap siswa tersebut mendapatkan tindakan kekerasan dan tidak dilindungi oleh sekolah, hanya karena memiliki ekspresi jender yang berbeda dengan seksnya. Kondisi ini menyebabkan komunitas transjender seringkali tidak melanjutkan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi. 2 Berikut ini adalah profil pendidikan dari komunitas transjender di Jakarta. Grafik 1. Persentase (%) Tingkat Pendidikan Tertinggi Komunitas Transjender Di Jakarta
8
2
Unesco. 2012. Education Sector Responses to Homophobic Bullying.
9
Berdasarkan data tersebut, 56 % tingkat pendidikan utama dari komunitas transjender di Jakarta berada pada tingkat SD & SMP. Jika dilihat dari tingkat usia pada saat pertama kali bekerja di ibukota, rata-rata berada dibawah usia 15 tahun. Dalam UU Adminduk, syarat untuk mendapatkan KTP adalah penduduk yang telah berusia 17 tahun, telah kawin, ataupun pernah kawin. Walaupun komunitas transjender telah menetap cukup
lama
dan
memenuhi
persyaratan
undang-
undang untuk mendapatkan KTP, namun sebagian besar tidak dapat memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Berikut ini adalah profil kepemilikan KTP berdasarkan usia pada komunitas transjender di Jakarta Grafik 2. Persentase (%) Kepemilikan KTP Di Komunitas Transjender Berdasarkan Kelompok Usia
10
Berdasarkan data diatas, jumlah terbesar komunitas transjender yang tidak memiliki KTP berada pada kelompok usia 21-25 tahun sebesar 35.71% dan kelompok usia 26-30 tahun sebesar 22.77%. Salah satu sebab kelompok usia tersebut tidak memiliki KTP adalah tidak dapat memenuhi persyaratan pengurusan KTP yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Misalnya persyaratan surat keterangan pindah, kartu keluarga, serta kutipan akta kelahiran. Bahkan ada beberapa kelurahan yang meminta juga komunitas transjender mengurus surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) dari daerah asal. Persyaratan ini seringkali dirasakan sangat
memberatkan
komunitas
transjender
yang
rata-rata telah meninggalkan daerah asalnya karena mengalami
perlakuan
diskriminatif,
perudungan,
maupun penolakan dari keluarga. Jika harus mengurus dokumen kependudukan tersebut didaerah asalnya, akan membutuhkan dana yang tidak sedikit, sementara mayoritas
komunitas
transjender
bekerja
disektor
informal dan berada pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah.
KV
seorang
mendampingi bahwa
selain
penggiat komunitas sulit
di
Sanggar transjender
memenuhi
Swara
yang
menuturkan
persyaratan
yang
ditetapkan dalam pengurusan KTP karena kendala biaya, juga menggarisbawahi mengenai perbedaan dalam penetapan persyaratan pengurusan KTP yang diberikan
oleh
masing-masing
kelurahan.
Misalnya
saja pengurusan SKCK yang harus diurus di daerah
11
asal.
Jika
didalami,
dokumen
SKCK
sebenarnya
bukan persyaratan dalam pengurusan KTP. Selain itu, komunitas transjender juga seringkali mengalami perudungan terutama yang terkait dengan identitas jender oleh aparatur ditingkat kelurahan. Pemberian syarat
tambahan
dalam
pengurusan
KTP,
seperti
SKCK seringkali dirasakan sebagai salah satu upaya dari aparatur pemerintah ditingkat kelurahan untuk mempersulit pengurusan KTP yang sebenarnya tidak dipungut biaya. Tarif yang harus dikeluarkan oleh komunitas transjender pun cukup beragam, namun biasanya sekitar Rp. 500.000. Dibandingkan dengan harus mengurus kelengkapan dokumen kependudukan di kampung halaman yang juga mengeluarkan biaya yang cukup besar, komunitas transjender biasanya memilih untuk mengurus “KTP Tembak” (pengurusan KTP yang tidak sesuai dengan prosedur) melalui calo 3.
Resiko dengan penggunaan “KTP Tembak” adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang dicantumkan dalam KTP seringkali menggunakan NIK orang lain ataupun
orang
yang
telah
meninggal.
Beberapa
anggota komunitas transjender pernah ditolak oleh pihak bank ketika
membuka rekening bank dengan
menggunakan “KTP Tembak” karena NIK pada KTP tersebut sudah digunakan oleh orang lain. Selain itu, komunitas transjender juga tidak dapat mengakses layanan perlindungan sosial yang disediakan oleh pemerintah. Misalnya program program perlindungan 3
12
Wawancara dengan Vina, Penggiat Sanggar Swara di Jakarta Tanggal 18 Maret 2016
sosial. Tidak memiliki KTP juga berarti kehilangan hak politik dalam pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah.
Tidak semua anggota komunitas transjender memilih mengurus KTP dengan menggunakan jasa calo, ada juga yang mencoba mengurus KTP sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah didaerah asalnya. Pengalaman ini dituturkan oleh Santi (bukan nama sebenarnya) ketika mencoba mengurus administrasi dokumen
kependudukan
didaerah
asalnya.
Namun
karena telah bermukim cukup lama di Jakarta, serta tidak lagi memiliki kerabat atau keluarga, pemerintah desa
di
daerah
asalnya
tidak
dapat
membantu
menerbitkan KTP. Alasannya pemerintah desa tidak lagi memiliki arsip atau catatan yang terkait dengan dirinya. Kondisi ini menyebabkan Santi juga akhirnya mengurus “KTP Tembak” di Jakarta 4.
Berbeda dengan pengalaman komunitas transjender di Jakarta dalam mengurus dokumen kependudukan, komunitas transjender di Aceh relatif lebih mudah dalam mendapatkan KTP. Walaupun demikian, seorang transjender
berinisial
EHA
menuturkan
bahwa
komunitas transjender kerap mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari aparatur pemerintah ditingkat
desa/kelurahan
berupa
sindiran
terhadap
identitas atau ekspresi jender, serta ceramah ceramah
4
Wawancara dengan Santi, Penggiat Sanggar Swara di Jakarta Tanggal 18 Maret 2016
5
Wawancara dengan EHA, komunitas transjender di Aceh Tanggal 19 Maret 2016
13
keagamaan yang tidak berkaitan secara langsung dengan pengurusan dokumen kependudukan 5.
Tidak
memiliki
KTP
juga
menyebabkan
komunitas
transjender juga rentan dan seringkali menjadi objek dari penegakan peraturan daerah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kerap melakukan operasi yustisi yang ditargetkan pada pendatang yang tidak memiliki KTP. Komunitas transjender seringkali terjaring dalam operasi tersebut. Tidak jarang mereka mendapatkan perlakuan buruk,
baik
secara
fisik,
verbal,
serta
pemerasan
dari oknum aparat . Oleh sebab itu, pemerintah dan 6
pemerintah pada
daerah
regulasi
dan
perlu
menciptakan
prosedur
terobosan
pengurusan,
agar
setiap penduduk, khususnya komunitas transjender mendapatkan KTP sebagaimana dijamin oleh regulasi kependudukan. Rekomendasi Perbaikan Kebijakan 1.
Kementerian Dalam Negeri perlu menyederhanakan regulasi yang terkait dengan pengurusan dokumen kependudukan bagi kelompok rentan, minoritas, serta
komunitas
komunitas
yang
transjender,
terutama
bagi
mendapatkan
penolakan
dari
keluarga maupun masyarakat ditempat asalnya. 2.
Aparatur pemerintah daerah yang bertugas dalam pengurusan
dokumen
kependudukan
ditingkat
kelurahan/desa dan kecamatan perlu memahami 6
14
UNDP.2013. Hidup Sebagai LGBT Di Asia : Laporan Nasional Indonesia.
standar pelayanan publik yang bebas dari tindakan diskriminasi dan perudungan bagi kelompok rentan, minoritas, maupun kelompok transjender. 3.
Kementerian
Dalam
Negeri
perlu
mengatur
mekanisme integrasi data antar provinsi, kabupaten, maupun
ditingkat
nasional
untuk
memudahkan
pertukaran data vital, terutama data kependudukan agar
memudahkan
pengurusan
identitas
kependudukan diseluruh wilayah Indonesia. 4.
Kementerian Sosial perlu memperbaiki mekanisme pendataan kependudukan yang terkait dengan layanan dasar pada kelompok rentan, kelompok minoritas, maupun transjender yang tidak memiliki dokumen
kependudukan
dan
memfasilitasi
kelompok tersebut untuk mendapatkan dokumen kependudukan. 5.
Kementerian Pendidikan perlu menerapkan standar, mekanisme, serta sanksi yang tegas pada sekolah ataupun tenaga pengajar untuk mencegah dan mengurangi tindakan perudungan yang berbasis pada identitas dan ekspresi jender siswa.
15
Perlindungan Kelompok Minoritas: Tanggungjawab Negara dan Peran Publik
Policy
BRIEF 16
Segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya, wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan Pasal 27 UUD 1945 ayat 1 dan ayat 2
Indonesia adalah negara hukum, dan prinsip penting sebagai
negara
persamaan
hukum
didalam
adalah
hukum,
supremasi
serta
hukum,
penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Namun, masih sering dijumpai pelanggaran terhadap hak-hak minoritas yang telah dijamin oleh konstitusi maupun minoritas atau
undang-undang. dianggap
mengalami
Tidak
sebagai tindakan
jarang
sumber
kelompok
permasalahan
kekerasan,
sehingga
memperjuangkan kepentingannya melalui instrumen hukum dianggap hanya memperburuk kehidupannya. Menegakkan
hukum
yang
melindungi
hak
asasi
kelompok minoritas di Indonesia seperti melakukan hal yang tidak mungkin terjadi.
Salah satu buah dari era reformasi di Indonesia, adalah perubahan terhadap konstitusi negara yang ditandai dengan penghormatan, pengakuan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (UUD 1945 Alenia 1 dan Alenia 4, batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR,
17
Peraturan
Perundang-Undangan).
Jaminan
negara
terhadap hak asasi tersebut, juga ditunjukkan dengan diratifikasinya sejumlah kovenan internasional yang terkait
dengan
perlindungan
hak
asasi
manusia.
Bahkan pemerintah juga melakukan perbaikan dan menyusun beberapa undang-undang yang menjamin hak asasi manusia. Berikut ini adalah sejumlah pasal penting dalam UUD 1945 yang menjamin Hak Asasi Manusia:
1.
Pasal 28, Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang;
2.
Pasal 28 A, Setiap orang berhak untuk hidup, serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya;
3.
Pasal
28
C
ayat
1,
Setiap
orang
berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya
dan
demi
meningkatkan
kesejahteraan manusia; 4.
Pasal 28 D ayat 1, Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang
adil
serta
perlakuan
yang
sama
dihadapan hukum; serta 5.
Pasal 28 G ayat 1, Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
18
dan
harta
benda
yang
di
bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Walaupun demikian, dalam realitasnya negara belum maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap hak
asasi
warganya,
khususnya
pada
kelompok-
kelompok minoritas. Sering dijumpai negara justru abai atau
melakukan
pemihakan
terhadap
kepentingan
kelompok mayoritas karena tekanan-tekanan politik, agama, ataupun kepentingan kelompok tertentu. Salah satu kelompok minoritas di Indonesia yang seringkali mendapatkan perlakuan yang bersifat diskriminatif bahkan cenderung merendahkan martabatnya sebagai manusia adalah kelompok yang memiliki orientasi dan ekspresi seksual yang berbeda atau yang dikenal sebagai kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transjender).
Survei yang dilakukan oleh Yayasan Deni JA & LSI pada tahun 2012, menunjukkan bahwa tindakan intoleransi pada kelompok minoritas tumbuh pesat di masyarakat. Kondisi
ini
juga
mengindikasikan
bahwa
kelompok
minoritas, khususnya LGBT menjadi obyek dari sikap tidak bersahabat di masyarakat. Berikut ini adalah gambaran
mengenai
peningkatan
intoleransi
pada
kelompok minoritas.
19
Grafik 1. Peningkatan Intoleransi & Popularitas Kekerasan Pada Kelompok Minoritas
Berdasarkan data diatas, peningkatan sikap intoleransi atau tingkat penerimaan masyarakat pada kelompok LGBT sangat rendah dibandingkan dengan penganut agama/kepercayaan
atau
ini dikuatkan juga oleh
etnis
yang
berbeda.
Hal
hasil survei mengenai sikap
masyarakat sebanyak 80,6 % yang keberatan memiliki tetangga LGBT. Resistensi dan penolakan masyarakat pada kelompok LGBT, tidak hanya disebabkan oleh meningkatnya kelompok-kelompok masyarakat garis keras yang berbasis pada agama, akan tetapi juga
20
oleh terbitnya sejumlah regulasi ditingkat nasional dan
daerah
yang
menempatkan
kelompok
LGBT
sebagai kelompok yang menyimpang secara seksual, serta
pemberitaan
media
massa
yang
cenderung
menempatkan informasi tentang LGBT secara tidak proporsional 1.
Pada ranah kebijakan dan regulasi yang diinisiasi oleh pemerintah, tidak terdapat kebijakan atau regulasi yang khusus tentang LGBT. Dalam UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, khususnya pada penjelasan pasal 4 ayat 1, disebutkan homoseksual dan lesbian adalah persenggamaan yang menyimpang. Dalam lampiran Peraturan Menteri Sosial No 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan & Pengelolaan Data Penyandang Massalah Kesejahteraan Sosial & Potensi dan Sumber Kesejahteraan lesbian)
Sosial,
dikategorikan
kelompok sebagai
LGBT
(gay,
kelompok
waria,
minoritas
yang mengalami gangguan fungsi sosialnya dengan kriteria mengalami gangguan fungsi sosial, dikriminasi, marjinalisasi,
serta
berperilaku
Berdasarkan
kondisi
tersebut,
seks
menyimpang.
dapat
disimpulkan
bahwa pengaturan terhadap kelompok LGBT sangat parsial dan cenderung memojokkan kelompok LGBT sebagai kelompok yang menyimpang dari kehidupan masyarakat.
Pemberitaan sejumlah media massa terhadap aktivitas Support 1
Group
&
Resource
Center
on
Sexualities
CIPG. 2012. Media & kelompok Rentan Di Indonesia : Empat Kisah.
21
Studies (SGRC) di Universitas Indonesia pada awal tahun 2016, dapat menjadi contoh bagaimana cara pandang mayoritas dalam menyikapi orientasi dan ekspresi seksual yang berbeda ditingkat masyarakat. Aktivitas konseling yang dilakukan oleh SGRC terhadap individu yang mencari informasi dan pengetahuan tentang
orientasi
melakukan
seksualitasnya
indoktrinasi
atau
justru
dianggap
mempromosikan
agar
seseorang menjadi LGBT. Media massa cetak dan televisi juga terkesan tidak memberikan pemberitaan yang proporsional dan memberikan edukasi yang baik pada masyarakat, malah lebih banyak memberikan penghakiman yang berujung pada tindakan kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT. Bahkan Menteri Riset,
Teknologi,
pernyataan
&
yang
Pendidikan
melarang
Tinggi
LGBT
memberikan
masuk
kampus
(walaupun akhirnya pernyataan tersebut dikoreksi).
Respon berbagai pemangku kepentingan terhadap keberadaan
LGBT
dengan
pemberian
stigma,
kekerasan verbal dan fisik, tidak hanya melanggar amanat konstitusi, akan tetapi juga berpotensi sebagai tindakan yang diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. Pada pasal 4 UU No 39 tahun 1999, yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
22
merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Sedangkan definisi dari diskriminasi pada pasal 1 ayat 3 adalah setiap pembatasan, pelecehan, pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan,
atau
penghapusan
pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya 2.
Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan
oleh
Arus
Pelangi 2013, ditemukan fakta bahwa 89,3% kelompok LGBT pernah mengalami berbagai tindakan kekerasan. Setidaknya ada 5 bentuk kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT sebagai berikut3:
1.
Kekerasan psikis adalah bentuk kekerasan yang tidak melibatkan kontak fisik secara langsung, dan bertujuan untuk menimbulkan trauma psikologis, kecemasan, serta depresi pada korban. Misalnya melakukan pesan
penghinaan,
pendek
(SMS)
pelecehan,
yang
pengiriman
bersifat
intimidatif,
perundungan/bully, bahkan penguntitan. 2.
Kekerasan budaya adalah bentuk kekerasan yang terkait dengan penggunaan nilai-nilai dominan baik
2 3
UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Arus Pelangi. 2013. Menguak Stigma, Kekerasan & Diskriminasi Pada LGBT Di
Indonesia : Studi Kasus Di Jakarta, Yogyakarta, & Makassar.
23
dalam aspek sosial, politik, ekonomi, agama, maupun ilmu pengetahuan yang digunakan untuk melakukan subordinasi terhadap kelompok minoritas. Misalnya pemaksaan pada kelompok LGBT untuk menikah dengan
orang
yang
tidak
disukainya
sebagai
bentuk koreksi sosial atas perilaku seksualnya yang dianggap menyimpang. 3.
Kekerasan fisik adalah kekerasan yang melibatkan kontak
langsung
dan
dimaksudkan
untuk
menimbulkan perasaan intimidatif, cedera, ataupun penderitaan pelemparan,
secara
fisik.
pemukulan,
Misalnya serta
melakukan
penyerangan
dengan senjata tajam. 4.
Kekerasan seksual adalah tindakan secara seksual yang tanpa
diarahkan
pada
memandang
seseorang
hubungan
secara
mereka
paksa dengan
korban. Misalnya tindakan pelecehan, perkosaan, penyiksaan seksual. 5.
Kekerasan
ekonomi
adalah
tindakan
yang
dimaksudkan untuk mengontrol, membatasi, atau mengurangi akses sumberdaya ekonomi seseorang. Misalnya Penolakan saat melamar pekerjaan, atau mempersulit kesempatan dalam berusaha sesuai dengan keterampilan yang dimiliki.
Berikut ini adalah data mengenai intensitas jenis kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT dalam penelitian yang dilakukan oleh Arus Pelangi pada tahun 2013.
24
Grafik 2. Jenis Kekerasan yang Dialami oleh Kelompok LGBT
Data diatas menunjukkan bahwa tingkat kekerasan terbesar yang dialami oleh kelompok LGBT adalah kekerasan psikis (79,1%), sedangkan yang terendah adalah kekerasan ekonomi (26,3%). Penelitian ini juga mengungkap
bahwa
pelaku
kekerasan
terhadap
kelompok LGBT cukup beragam, mulai dari tingkat keluarga,
teman,
tetangga,
organisasi
masyarakat,
hingga aparatur pemerintah. Berikut ini adalah pelaku dominan dari berbagai bentuk kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT:
25
Grafik 3. Pelaku Dominan Tindak Kekerasan pada Kelompok LGBT
41.9%
Anggota Keluarga
Pasangan/Pacar
26.5%
Pelanggan/Tamu
23.8%
Pemilik Kos/Kontrakan
11.8%
Preman
11.3%
Teman Non-LGBT
38.5%
Teman Sesama LGBT
21.6%
44.4%
11.3%
26.9%
22.6%
0.0
sumber: Arus Pelangi
kekerasan
27.7%
46.0%
Orang Tidak Dikenal
20.0
psikis
Berdasarkan
76.4%
data
pada
diatas, kelompok
40.0
60.0
budaya
pelaku LGBT
80.0
100.0
fisik
dominan didominasi
120.0
seksual
tindak oleh
anggota keluarga, orang tak dikenal, serta teman non LGBT. Orang tak dikenal (OTD) berada pada 4 area tindak kekerasan (Psikis, Fisik, Seksual, serta Ekonomi), sedangkan anggota keluarga berada pada 3 area tindak kekerasan (psikis, budaya, serta ekonomi), serta teman non LGBT berada pada 3 area tindak kekerasan (psikis, budaya, serta seksual). Perhatian secara khusus perlu diberikan pada OTD dan teman non LGBT yang memiliki tingkat persentase yang cukup tinggi pada kekerasan psikis, fisik, dan seksual. Bentuk kekerasan tersebut tidak hanya meninggalkan trauma
26
140.0
160.0
ekonomi
akan tetapi juga dapat berujung pada penganiayaan fisik yang seharusnya dapat diproses secara hukum. Namun
dalam
realitasnya,
kelompok
LGBT
yang
menjadi korban kekerasan seringkali tidak melaporkan tindakan kekerasan atau tidak dilindungi oleh aparat penegak hukum ketika melaporkan kasus kekerasan. Minimnya
laporan
yang
disampaikan
pada
aparat
penegak hukum dapat dipahami, karena kelompok LGBT kerap mendapatkan stigma dan diskriminasi, bahkan
cenderung
disalahkan
sebagai
penyebab
dari kekerasan. Berikut ini adalah data terkait respon kelompok LGBT terkait dengan tindakan kekerasan yang dialaminya 4.
Grafik 4.Pencarian Bantuan Pasca Tindakan Kekerasan
4
Ibid
27
Dalam beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, penyelenggaraan kegiatan oleh kelompok LGBT, baik yang bersifat pertemuan, konferensi, seminar seringkali mendapatkan ancaman dan pembubaran oleh ormas garis keras. Tidak jarang dalam proses pembubaran tersebut,
berujung
pada
tindakan
vandalis
dan
kekerasan oleh ormas garis keras kepada kelompok LGBT,
walaupun
polisi
berada
di
lokasi
kejadian.
Tidak jarang polisi justru mengambil sikap untuk tidak melindungi terancam,
kepentingan justru
kelompok
menekan
minoritas
kelompok
LGBT
yang untuk
menghentikan kegiatannya. Pola ini juga ditemukan tidak
hanya
pada
kegiatan
yang
dilakukan
oleh
kelompok LGBT, akan tetapi juga kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh kelompok minoritas seperti kelompok Syiah, Ahmadiyah, bahkan umat Kristiani.
Pembatasan
aktivitas
dan
kebebasan
berekspresi
oleh kelompok minoritas oleh aparat penegak hukum, sebenarnya tidak sejalan dengan amanat Nawacita yang menjadi paradigma pembangunan pemerintahan Joko Widodo & Jusuf Kalla. Setidaknya ada dua Nawacita yang terkait dengan perlindungan kepada kelompok minoritas, yaitu Nawacita pertama yang menegaskan peran negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, serta Nawacita sembilan yang menegaskan peneguhan kebhinekaan
dan
memperkuat
restorasi
sosial
Indonesia melalui kebijakan pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang dialog warga.
28
Mengutip
Lipsky
(1970),
polisi
dapat
dipandang
sebagai birokrat pada tingkat bawah yang ‘mewakili’ pemerintah dihadapan masyarakat. Oleh sebab itu, kegagalan polisi dalam mengelola konflik-konflik yang melibatkan
kelompok
minoritas
juga
harus
dilihat
sebagai ketidakmampuan atau ketidakinginan negara dalam menangani persoalan ini. Dukungan negara tidak hanya terlihat dari tersedia atau tidak tersedianya regulasi yang menjamin hak kelompok minoritas, akan tetapi juga bagaimana aparatur negara baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun kepolisian bertindak untuk menjamin hak-hak kelompok minoritas 5.
Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan tindakan minoritas
intoleransi baik
berkespresi,
atas
maupun
kepada dasar
berbagai agama,
berkesenian.
kelompok kebebasan
Laporan
dari
beberapa organisasi masyarakat sipil yang memantau situasi dan kondisi implementasi hak asasi manusia yang terkait dengan kelompok minoritas memberikan catatan terhadap 2 tahun pemerintahan Joko Widodo & Jusuf Kalla sebagai berikut :
5
Panggabean, Rizal & Ihsan Ali Fauzi. 2014. Pemolisian Konflik Agama Di Indonesia.
PUSAD Paramadina, MPRK UGM & The Asia Foundation.
29
Grafik 5. Pelanggaran Kebebasan Beragama & Berekspresi Di Indonesia Periode 2014-2015
Data diatas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang cukup signifikan pada pelanggaran kebebasan beragama dan berekspresi.
Wahid Institute bahkan
mencatat, 2 bulan setelah Presiden Joko Widodo dilantik pada terjadi 14 kasus pelanggaran kebebasan beragama 6. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat mencatat instusi kepolisian dan organisasi masyarakat sebagai
pihak
yang
paling
sering
melakukan
pembatasan terhadap kebebasan kelompok minoritas untuk berekspresi 7. Oleh sebab itu, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla perlu menunjukkan kerja nyata dalam perbaikan kondisi hak asasi manusia, terutama pada penghormatan, perlindungan, pemenuhan, serta penegakkan hak asasi manusia pada kelompok minoritas. 6
Alamsyah M Dja’far. 2015. Intoleransi Pada Era Jokowi. Diakses melalui website www.wahidinstitute.org pada pukul 10.00 tanggal 1 April 2016 7
30
Elsam. 2015. Kasus Kebebasan Berekspresi Tahun 2014. Diakses melalui website www.multimedia.elsam.or.id
Rekomendasi Kebijakan 1.
Kepolisian Republik Indonesia bersama jajarannya ditingkat daerah wajib menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam UU No 39 tahun 1999, khususnya terhadap kelompok minoritas dan rentan.
2.
Mendorong institusi Kepolisian Republik Indonesia dan
jajarannya
untuk
meningkatkan
kapasitas
aparaturnya terutama yang terkait dengan pelayanan hukum, dan pemahaman instrumen orientasi seksual dan identitas jender yang berbasis hak asasi manusia 3.
Kepolisian
perlu
menyeimbangkan
tindakan
penegakan hukum dan menjaga ketertiban dengan mengedepankan penegak
profesionalisme
hukum,
pandangan
yang
serta
sebagai
menghindari
berprasangka
aparat
sikap
buruk
dan
terhadap
kelompok minoritas di masyarakat. 4.
Media massa perlu menyediakan ruang pemberitaan yang
proporsional
dan
bersifat
edukasi
kepada
masyarakat tentang kelompok-kelompok minoritas. 5.
Pemerintah daerah perlu melakukan evaluasi terhadap kebijakan dan regulasi yang secara tidak langsung dapat memicu masyarakat untuk melakukan tindakan kekerasan/vandalisme
pada
kelompok-kelompok
minoritas. 6.
Pemerintah daerah dan kepolisian perlu bekerjasama dalam pencegahan tindakan kekerasan/vandalisme yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu pada kelompok-kelompok minoritas.
31
Regulasi Diskriminatif & Ujian Keberagaman Di Indonesia
Policy
BRIEF 32
Amandemen
Undang
Undang
Dasar
1945
secara
khusus pada Bab XA memasukkan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam menjamin hak-hak indvidu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada pasal 28D disebutkan
Setiap
orang
berhak
atas
pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Selain itu, pada pasal 28I ayat 2 disebutkan dengan tegas bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan
perlindungan
dari
perlakuan
yang bersifat diskriminatif. Walaupun demikian, dalam realitas
kehidupan
sehari-hari,
kerap
ditemukan
berbagai tindakan, kebijakan, bahkan regulasi yang dibuat oleh pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah yang secara langsung ataupun tidak langsung memberikan dampak diskriminatif kepada kelompok minoritas.
Selain
itu,
perlakuan
yang
diskriminatif
tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi juga oleh kelompok masyarakat tertentu yang bersifat pembatasan, pelarangan, maupun tindakan kekerasan pada kelompok minoritas.
Beberapa
kelompok
mendapatkan
minoritas
perlakuan
yang
yang
seringkali
diskriminatif
bahkan
mengalami tindakan kekerasan adalah kelompok agama minoritas, perempuan, serta kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender). Bahkan dalam beberapa catatan persitiwa pada awal tahun 2016, upaya yang dilakukan oleh beberapa organisasi masyarakat (ormas)
33
keagamaan tidak sekedar melakukan pembatasan dan pelarangan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh kelompok minoritas, akan tetapi juga pada forum-forum diskusi yang diinisiasi oleh civitas akademika. Tidak jarang kepolisian sebagai representasi negara yang seharusnya memberikan rasa aman dan perlindungan kepada kelompok minoritas, seringkali justru melakukan pembiaran atas aksi vandalis yang dilakukan oleh ormas tersebut.
Tindakan aksi vandalis yang dilakukan oleh berbagai ormas,
tidak
hanya
menghilangkan
kebebasan
berekspesi yang dijamin oleh konstitusi, akan tetapi juga menghilangkan peran negara dan merendahkan kewibawaan pemerintah yang melaksanakan mandat konstitusi.
Pemerintahan
Presiden
Joko
Widodo
&
Jusuf Kalla secara tegas dalam nawacita pertama menyebutkan tentang peran negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, serta Nawacita sembilan yang menegaskan peneguhan kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan pendidikan kebhinekaan dan menciptakan ruang dialog warga. Namun diusia pemerintahan Presiden Joko Widodo & Jusuf Kalla, terjadi peningkatan pelanggaran terhadap kebebasan
berekspresi
maupun
pada
kelompok
minoritas. Berikut ini adalah data yang dikumpulkan dari berbagai sumber tentang pelanggaran kebebasan berekspresi,
kebebasan
beragama,
maupun
pada
kelompok minoritas lainnya selama tahun 2014-2016.
34
Grafik 1. Peningkatan Pelanggaran Kebebasan Berekspresi & Kebebasan Beragama Pada Periode 2014-2016
Berdasarkan
data
diatas,
terlihat
bahwa
sejak
pemerintahan Presiden Joko Widodo & Jusuf Kalla telah terjadi pelanggaran pada kebebasan beragama maupun
kebebasan
berekspresi.
Bahkan
pada
tahun 2015 hingga awal tahun 2016 menunjukkan kecenderungan meningkatnya pelanggaran terhadap kebebasan diwakili
berekspresi.
oleh
institusi
Respon kepolisian
pemerintah adalah
yang
dengan
mengeluarkan surat edaran tentang ujaran kebencian (hate speech) pada bulan oktober 2015. Surat edaran tersebut ditujukkan pada seluruh institusi kepolisian di Indonesia untuk menangani maupun mencegah provokasi ataupun tindakan yang bersifat diskriminatif, kekerasan, penghilangan nyawa, ataupun konflik sosial. Surat edaran tersebut juga menyebutkan dengan rinci berbagai komunitas yang berpotensi menjadi
35
korban ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, jender, difabel, maupun kelompok yang memiliki perbedaan orientasi seksual.
Walaupun
surat
edaran
ujaran
kebencian
telah
disertai dengan panduan langkah-langkah maupun instrumen penegakan hukum yang dapat digunakan terhadap
pelaku,
namun
tindakan
pelanggaran
terhadap kebebasan berekspresi terus bermunculan dan para pelaku yang melakukan tindakan kekerasan tidak mendapatkan sanksi hukum atas tindakan yang dilakukan. Kondisi ini menyebabkan Indonesia dalam dua yang
tahun tidak
terakhir
dikategorikan
sepenuhnya
bebas,
sebagai
negara
walaupun
sistem
pemerintahannya menganut asas demokrasi. Freedom House salah satu institusi yang menyusun indeks kebebasan dunia meletakkan posisi Indonesia dalam status tidak sepenuhnya bebas pada tahun 2014 & 2015. Hal ini terlihat dari indikator hak politik dan kekebasan sipil yang tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam upaya menjamin kebebasan masyarakat sipil dalam berserikat dan berekspresi 1. Otonomi & Regulasi yang Diskriminatif Sejak tahun 1999, relasi pemerintah pusat dan daerah mengalami
perubahan
fundamental
yang
ditandai
dengan disahkannya undang undang tentang otonomi 1
36
Freedom In The World Report 2015-2016. Freedom House.
daerah. Pada prinsipnya pemberian otonomi kepada pemerintah daerah dimaksudkan untuk mendekatkan layanan
dan
mengembangkan
kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Otonomi tidak
yang
hanya
diberikan
mencakup
pada
pemerintah
pemilihan
kepala
daerah daerah,
mengelola aparatur daerah, mengelola kekayaan dan memungut pajak di daerah, akan tetapi juga mengatur dan
mengurus
sendiri
urusan
pemerintahannya.
Termasuk didalamnya adalah menyusun kebijakan dan regulasi sesuai dengan kewenangan yang diberikan. Kewenangan yang diberikan pada pemerintah daerah untuk mengurusi pemerintahannya bagaikan pisau bermata dua, disatu sisi dapat melahirkan bebagai inovasi kebijakan pembangunan, akan tetapi tidak jarang juga memunculkan kebijakan atau regulasi yang bersifat diskriminatif. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mencatat maraknya peraturan daerah (perda) yang diskriminatif selama penerapan otonomi daerah sebagai berikut:
37
Grafik 2. Perkembangan Kebijakan & Perda Diskriminatif Di Indonesia
Sejumlah perda yang dianggap diskriminatif oleh Komnas Perempuan tidak hanya terkait dengan pembatasan hak kemerdekaan berekspresi, kriminalisasi, kepastian hukum yang terkait dengan perempuan, akan tetapi juga meliputi kelompok minoritas agama/keyakinan, serta kelompok LGBT. Kebijakan daerah yang diskriminatif tidak hanya melanggar prinsip-pronsip dalam konstitusi UUD
1945
yang
bersifat
non
diskriminasi,
akan
tetapi tanpa disadari menjadi sarana pelembagaan diskriminasi. Kebijakan tersebut tidak hanya mengikat secara hukum, tetapi seringkali digunakan oleh para
38
pelaku yang terlibat dalam kekerasan untuk melakukan tindakan
kekerasan
ataupun
diskriminasi
pada
kelompok minoritas . 2
UU No 39 Tahun 1999 mendefinisikan diskriminasi sebagai setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan
atau
penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya 3. Salah
satu
tindakan
pembatasan,
pelecehan,
dan
kekerasan atas dasar identitas jender adalah pada kelompok
LGBT.
Jauh
sebelum
perdebatan
yang
intensif tentang LGBT pada awal tahun 2016 tentang kasus SGRC Universitas Indonesia, kelompok ini telah mendapatkan perlakuan yang diskriminatif serta tidak mendapatkan
perlindungan
hukum
yang
memadai
ketika hak dasarnya sebagai manusia dilanggar.
Jika diamati, regulasi yang berada ditingkat nasional maupun daerah tidak memberikan pengaturan secara khusus kepada kelompok LGBT. Namun kelompok ini seringkali diasosiasikan ataupun mendapatkan stigma yang dilembagakan dalam berbagai regulasi sebagai 2
Komnas Perempuan.2010. Atas Nama Otonomi Daerah : Pelembagaan Diskriminasi
Dalam Tatanan Negara Bangsa Indonesia. 3
UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
39
individu yang menyimpang, tidak bermoral, bermasalah, serta diasosiasikan terlibat dalam kegiatan negatif seperti prostitusi. Dalam Peraturan Menteri (Permen) Sosial No 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan & Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial,
mendefinisikan
individu
yang
dikategorikan
sebagai PMKS sebagai individu yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan, korban bencana, korban tindakan kekerasan, korban eksploitasi, korban diskriminasi, serta memiliki masalah sosial yang meliputi kemiskinan, ketunaan
ketelantaran, sosial,
dan
kecacatan,
keterpencilan,
penyimpangan
perilaku.
Kelompok lesbian, gay, serta waria dalam peraturan tersebut dianggap sebagai PMKS yang mengalami gangguan keberfungsian sosial akibat diskriminasi dan marjinalisasi, serta rentan mengalami masalah sosial. Bahkan dalam salah satu kriteria disebutkan bahwa kelompok ini berperilaku seks menyimpang 4. Menariknya, dalam penjelasan pasal 7 ayat 1 UU No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang dijadikan acuan oleh Permensos No 8 Tahun 2012 tentang kriteria masyarakat yang mengalami disfungsi sosial sama sekali tidak menyebutkan mengenai lesbian, gay dan waria sebagai kelompok yang diklasifikasi mengalami disfungsi sosial.
Kebijakan atau peraturan ditingkat daerah seringkali memasukkan 4
kelompok
LGBT
ketika
melakukan
Permensos No 8 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan & Pengelolaan Data
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial.
40
pengaturan persoalan
yang sosial
persoalan
berkaitan
dengan
ditingkat
masyarakat.
prostitusi,
penyelesaian
pemberantasan
Misalnya penyakit
masyarakat, serta gelandangan dan pengemis. Aspek yang sering menjadi sorotan dalam perda yang terkait dengan kelompok LGBT adalah definisi yang seringkali digunakan cenderung memberikan stigma bahwa setiap orang yang memiliki orientasi seksual yang berbeda adalah pelaku tuna susila. Misalnya Perda No 13 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Maksiat Di Provinsi Sumatera Selatan. Dalam perda tersebut, kata maksiat didefinisikan masyarakat
sebagai yang
setiap
merusak
perbuatan
sendi-sendi
anggota kehidupan
sosial kemasyarakatan dan melanggar norma-norma agama, kesusilaan, adat istiadat, dan norma hukum yang berlaku. Homoseksual dan lesbian dikategorikan sebagai perbuatan maksiat, bersama dengan beberapa jenis perbuatan lain seperti prostitusi, zinah, sodomi, perkosaan, pelecehan seksual, porno & pornografi, judi, minum minuman keras, serta penyalahgunaan zat psikotropika.
Selain itu, regulasi ini juga tidak menjelaskan kapan dan pada saat apa seorang dikatakan melakukan perbuatan
maksiat.
Khusus
untuk
kelompok
LGBT
apakah dengan menyandang status orientasi seksual yang berbeda ataukah pada saat melakukan hubungan seks sesama jenis dikategorikan sebagai perbuatan maksiat? Disisi lain tafsir yang terlalu luas tentang perbuatan maksiat yang berdasarkan norma agama,
41
adat-istiadat, kesusilaan, dan hukum menyebabkan kelompok LGBT rentan terhadap tindakan kekerasan dari pihak lain yang menafsirkan perbuatan maksiat sesuai dengan interpretasi yang dimilikinya. Kondisi ini tanpa disadari oleh pemerintah dapat menjadi instrumen oleh sekelompok masyarakat lain dalam melakukan kekerasan dan diskriminasi pada kelompok lainnya 5.
Selain motif untuk menjaga ketertiban sosial, motif lainnya
yang
daerah
adalah
sering
digunakan
motif
oleh
menegakan
pemerintah
aturan
agama.
Perda yang sering dijumpai dalam penegakan aturan agama biasanya terkait dengan tata busana, hingga pengaturan kehidupan sosial berbasis pada ketentuan agama.
Padahal,
dalam
undang-undang
tentang
pemerintahan daerah telah dipisahkan dengan tegas kewenangan pemerintah pusat dan pemintah daerah. Pada pasal 10 UU No 23 Tahun 2014 urusan pemerintahan dibagi atas tiga bagian yaitu urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, serta urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut menjadi kewenangan pemerintan pusat terdiri dari urusan
politik
luar
negeri,
pertahanan,
keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sedangkan
pemerintah
daerah
menyelenggarakan
urusan yang terkait dengan pelayanan dasar ataupun yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Misalnya penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, pekerjaan
42
umum dan penataan ruang, maupun perhubungan 6. Selain itu, pada pasal 250 UU No 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa perda dan peraturan kepala daerah (perkada) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
kepentingan lanjut
umum,
kepentingan
terganggunya
yang
dan/atau
umum
kerukunan
yang antar
lebih
tinggi,
kesusilaan.
Lebih
dimaksud warga
meliputi
masyarakat,
akses pelayanan publik, ketentraman dan ketertiban umum,
kegiatan
kesejahteraan
ekonomi
rakyat,
serta
untuk
meningkatkan
diskriminasi
terhadap
suku, agama dan kepercayaan, ras, antar golongan, dan jender. Jika perda dan perkada bertentangan dengan ketentuan diatas, maka peraturan tersebut dapat dibatalkan oleh Menteri dalam Negeri untuk perda/perkada yang dibuat oleh pemerintah provinsi. Sedangkan untuk pembatalan perda/perkada ditingkat kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Data yang dimiliki oleh Komite Pemantau Otonomi Daerah
(KPPOD)
menunjukkan
jumlah
perda
yang
dibatalkan meningkat dari tahun ke tahun. Berikut ini adalah statistik mengenai perda yang dibatalkan dalam 5 tahun terakhir.
43
Grafik 3. Jumlah Perda yang Dibatalkan dalam Periode 2010-2014
Pada
tahun
2015,
mengidentifikasi
Kementerian
3000
perda
Dalam
yang
Negeri
dikategorikan
sebagai perda bermasalah. Namun sebagian besar perda bermasalah yang dibatalkan oleh pemerintah pusat
terkait
dengan
pengurusan
ijin
investasi,
retribusi, dan kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi
nasional.
Perda
ataupun
perkada yang terkait dengan kebijakan diskriminasi terutama
pada
kelompok
minoritas
belum
banyak
mendapat perhatian dari pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
44
Pembiaran terhadap perda yang diskriminatif kepada kelompok minoritas, khususnya pada kelompok LGBT tidak hanya terkait dengan perlakuan yang diskriminatif akan
tetapi
juga
terkait
dengan
interpretasi
dan
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat untuk menegakkan perda tersebut. Berbagai temuan kajian menemukan pasal-pasal yang terkait dengan penegakan aturan tidak hanya dilakukan oleh aparatur pemerintah (satuan polisi pamong praja) akan tetapi juga oleh masyarakat. Bahkan pada temuan perda diskriminatif di beberapa daerah, peran masyarakat tidak
sekedar
berperan
dalam
memantau
atau
melaporkan hal-hal yang dilarang oleh perda, akan tetapi juga berperan aktif dalam mengatasi persoalan tersebut. Kondisi ini disinyalir sebagai salah satu dampak dari meningkatnya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat (ormas). Hal ini dituturkan oleh seorang penggiat hak-hak kelompok minoritas yang bermukim di Provinsi Aceh sebagai berikut: 7
Pemerintah
Aceh
telah
memberlakukan
Qanun
No
6 tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat. Ringkasnya qanun ini mengatur tentang perbuatan yang dilarang serta penegakan hukum islam terhadap orang yang melanggar perbuatan serta
peraturan zina,
bercumbu
disahkan
dalam
tersebut,
pasal
7
minum
qanun
minuman
dengan ikatan yang
tersebut. keras,
pasangan
pernikahan. memiliki
Misalnya perjudian,
yang
belum
Dalam
qanun
dampak
terhadap
Wawancara dengan penggiat hak-hak kelompok minoritas di Aceh.
45
kelompok LGBT terkait dengan khalwat 8, liwath 9
dan
musahaqah 10. Khusus untuk liwat & musahaqah kami tidak keberatan karena memang aturan itu sudah jelas sebagaimana pengaturan tentang zina, namun yang kami
permasalahakan
adalah
Implementasi
Qanun
Jinayat yang dilakukan oleh waliyatul hisbah (polisi syariah)
seringkali
melanggar
hak
asasi
manusia.
Misanya ketika ada teman teman LGBT yang sedang berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu, atau bahkan ketika sedang membeli makanan seringkali ditangkapi oleh polisi syariah dengan tuduhan melakukan kegiatan yang
bertentangan
dengan
syariat
islam.
Bahkan
teman teman transjender yang memiliki usaha salon kecantikan seringkali juga tidak luput dari operasi polisi syariah yang seringkali menuduh salon kecantikan tersebut
digunakan
untuk
kegiatan
yang
dilarang
oleh Qanun Jinayat. Selain itu, ketika teman teman tranjender
yang
ingin
memperpanjang
izin
usaha
salon seringkali dipersulit oleh pemerintah daerah, padahal syarat perijinan telah dipenuhi. Akibatnya mata pencaharian mereka terganggu. Hal ini diyakini sebagai bentuk pengusiran secara tidak langsung oleh pemerintah daerah kepada kelompok LGBT.
8
Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara dua
orang yang berbeda jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan dengan kereleaan kedua belah pihak yang mengarah pada perbuatan zina. 9
Liwath adalah perbuatan seorang laki-laki dengan cara memasukkan zakarnya kedalam
dubur laki-laki lainnya dengan kerelaan kedua belah pihak. 10
Musahaqah adalah perbuatan dua orang wanita atau lebih dengan cara saling
menggosok gosokkan anggota tubuh atau faraj untuk memperoleh rangsangan (kenikmatan) seksual dengan kerelaan kedua belah pihak.
46
Penerapan regulasi yang diskriminatif ditingkat daerah, tidak
hanya
menyebabkan
disharmoni
ditingkat
masyarakat akan tetapi juga berpotensi melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusi UUD 1945 maupun dalam Undangundang Hak Asasi Manusia yang telah ditetapkan. Dalam
kajian
yang
dilakukan
oleh
Demos
(2000),
beberapa qanun yang telah disahkan di Aceh berpotensi melanggar pasal 17 & 19 Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil
Politik
khususnya
yang
terkait
dengan
pengakuan terhadap prinsip kesetaraan bagi semua orang dan kebebasan berskpresi, termasuk identitas jender seseorang melalui pakaian dan perilaku, dan kebebasan
bergerak
dan
bertemu
diruang
publik
tanpa takut adanya pelecehan atau penyerangan terhadap
dirinya 11.
Jika
dilihat
kembali
pada
nota
kesepahaman yang ditandantangani oleh Pemerintah Indonesia dengan perwakilan Gerakan Aceh Merdeka sebagai syarat pemberian otonomi khusus, maka pada bagian pembentukan peraturan perundang-undangan disebutkan bahwa legislatif Aceh akan merumuskan ketentuan prinsip
hukum
universal
bagi hak
Aceh
asasi
berdasarkan
manusia
prinsip-
sebagaimana
tercantum dalam kovenan internasional Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai hak-hak sipil politik dan mengenai hak hak ekonomi dan sosial budaya 12.
Peraturan daerah memiliki beberapa fungsi sebagai berikut: 11
Demos. 2011. Analisis Qanun Qanun Aceh Berbasis Hak Asassi Manusia.
12
Nota Kesepahaman antara Pemerintah Indonesia & Gerakan Aceh Merdeka pada
tanggal 15 Agustus 2005.
47
1.
Instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan konstitusi UUD 1945 dan undang-undang tentang pemerintahan daerah.
2.
Merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu peraturan daerah tunduk dan tindak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi.
3.
Penampung kekhususan dan keragaman daerah serta
penyalur
aspirasi
masyarakat
di
daerah,
namun dalam pengaturannya tetap pada koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia 4.
Alat
pembangunan
dalam
meningkatkan
kesejahteraan daerah.
Untuk memenuhi fungsi tersebut, Kementerian Hukum & Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) menegaskan bahwa penyusunan peraturan daerah harus memenuhi asas hukum sebagai berikut 13:
1.
Asas pengayoman yaitu setiap materi perundangundangan perlindungan
harus dalam
berfungsi
memberikan
rangka
menciptakan
ketentraman di masyarakat. 2.
Asas kemanusiaan yaitu setiap materi peraturan perundang
undangan
harus
mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan 13
48
Kemenkum HAM. 2011. Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah.
penduduk Indonesia secara proporsional. 3.
Asas
kesamaan
pemerintahan,
kedudukan
yaitu
setiap
dalam
hukum
&
materi
peraturan
perundang undangan tidak boleh berisi hal hal yang
bersifat
membedakan
berdasarkan
latar
belakang agama, suku ras, golongan, jender, atau status sosial. 4.
Asas keadilan yaitu setiap peraturan perundangundangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi seluruh rakyat warga negara tanpa kecuali.
5.
Asas ketertiban dan kepastian hukum yaitu setiap materi perundang-undangan harus menimbulkan ketertiban
dalam
masyarakat
melalui
jaminan
adanya kepastian hukum.
Sesuai dengan Pasal 245 UU No 23 tahun 2014, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri sebenarnya memiliki tugas untuk melakukan kajian
atau
evaluasi
terhadap
usulan
rancangan
peraturan daerah yang diusulkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Hanya saja ruang lingkup evaluasi yang disediakan oleh regulasi terbatas pada aspek Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD),
APBD,
Perubahan
APBD,
Pajak
Daerah, Retribusi, dan Tata ruang Daerah. Kondisi ini menyebabkan regulasi-regulasi yang tidak berpihak pada penegakan hak asasi manusia kurang mendapat perhatian
dari
Kemendagri.
Selain
itu,
pemerintah
49
cenderung
mengambil
langkah
aman
terkait
dengan kepentingan politik untuk tidak melakukan konfrontasi secara terbuka dengan kelompok tertentu dalam
masyarakat
dibanding
mengambil
kebijakan
untuk menyelesaikan akar masalah dikriminasi dan pelanggaran
hak
asasi
manusia
pada
kelompok
minoritas. Rekomendasi Kebijakan 1.
Kementerian
Dalam
Negeri
dan
Kementerian
Hukum & HAM perlu melakukan analisis secara cermat
terhadap
rancangan
peraturan
daerah
dan peraturan daerah yang diskriminatif kepada kelompok minoritas. 2.
Kementerian Hukum & HAM perlu mengintensifkan sosialisasi mekanisme penyusunan peraturan pada pemerintah daerah yang lebih sensitif terhadap penghormatan, perlindungan, pemenuhan, serta penegakan hak asasi manusia.
3.
Kementerian peraturan diskriminasi
Dalam daerah dan
Negeri yang
perlu
membatalkan
terbukti
berpotensi
melakukan
menyebabkan
pelanggaran hak asasi manusia pada kelompok minoritas. 4.
Pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah perlu melibatkan masyarakat, organisasi masyarakat sipil, maupun kelompok minoritas yang mendapatkan dampak dari pengesahan peraturan daerah, terutama dalam proses pembahasan dan
50
perumusan peraturan daerah. 5.
Analisis perundang undangan yang berasal dari Kementerian Hukum & HAM perlu dilibatkan dalam penyusunan regulasi ditingkat daerah.
51