107
WACANA TEORITIK DESENTRALISASI MENUJU PEMERINTAHAN DAERAH YANG OTONOM ANDI KASMAWATI Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar Abstrak: Kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, merupakan suatu kebijakan yang dapat digunakan dalam memberikan peran dan partisipasi pemerintah daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan, oleh karena itu pemerintah harus merumuskan suatu pedoman dalam menyerahkan urusan pemerintahan berdasarkan perundang-undangan yang ada, berupa norma, standar, kriteria, dan prosedur sehingga pemerintah daerah dapat menjalankan urusan yang telah diserahkan dengan baik. Selain itu kebijakan desentralisasi sebagai suatu bentuk kebijakan pemerintah yang dapat membentuk otonomi daerah, karena melalui desentralisasi pemerintah daerah memperoleh kewenangan dan otonomi yang luas dengan mengurus urusan yang telah diserahkan sebagaimana tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan PP No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Kata Kunci: Desentralisasi, Membentuk otonomi Daerah PENDAHULUAN Konsekwensi dari Negara Republik Indonesia sebagai negara Kesatuan adalah pada pemerintahan tidak boleh ada negara dalam negara atau tidask boleh ada daerah provinsi yang merasa dirinya bersifat negara (negara bagian). Oleh karena itu pemerintahan dalam negara kesatua, residual power berada pada pemerintah (pemerintah pusat), yang berarti bahwa kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah berdasarkan atas pelimpahan atau penyerahan dari pemerintah. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesaia Tahun 1945 pada pasal 18 ayat (1) ditegaskan bahwa: ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan ketentuan pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tesebut, menunukkan bahwa dalam negara kesatuan
RI terdapat pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang. Pengaturan tentang pemerintahan daerah dituangkan dalam undang-undang no. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut pemerintah daerah diberi otonimi yaitu: hak dan wewenang, serta kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat. Menurut Jimly Asshiddiqie (2007: 395-396) “Pemberian hak dan kewenangan oleh pemerintah kepada pemerintah daerah merupakan suatu keharusan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini didasarkan pada asas otonomi dan asas desentralisasi, dimana dalam setiap undang– undang pemerintahan daerah senantiasa memuat kebijakan tersebut. Bahkan sejak sebelum kemerdekaan, sudah banyak peraturan yang dibuat untuk mengatur mengenai persoalan pemerintahan di daerah dan persoalan yang berkaitan dengan desentralisasi. Sejak tahun 1903 sampai sekarang sudah ada 14 peraturan perundangundangan yang pernah dibuat, salah satu
108 __________ Wacana Teoritik Desentralisasi Menuju Pemerintahan Daerah yang Otonom. Andi Kasmawati
pilihan kebijakan yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang–undangan tersebut adalah kebijakan desentralisasi pemerintahan daerah yang sejak dulu dianggap sebagai sesuatu yang niscaya.” Lebih lanjut Koiruddin (2005: 1) mengemukakan bahwa: “Sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan, asas desentralisasi menjadi panduan utama akibat ketidak mungkinan sebuah negara yang wilayahnya luas dan penduduknya banyak untuk mengelola manajemen pemerintahan secara sentralistik. Dalam asas desentralisasi juga terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan partisipasi masyarakat dalam menjalankan pembangunan. Bahkan asas desentralisasi menjadi semangat utama bagi negara–negara yang menyepakati demokrasi sebagai landasan gerak utamanya.” Berkaitan dengan hal tersebut Bowman dan Hampton dalam Koiruddin (2005:1) menegaskan bahwa: ”Tidak ada satupun pemerintahan dari suatu negara dengan wilayah yang sangat luas dapat menentukan kebijakan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijakan dan program–programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi. Dengan demikian urgensi pelimpahan kebutuhan atau penyerahan sebagian kewenangan pemerintah, baik dalam konteks politis maupun secara administratif, kepada organisasi atau unit diluar pemerintah (pusat) menjadi hal yang sangat penting untuk menggerakkan dinamika sebuah pemerintahan.” Pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh para ilmuan atau prktisi yang berkaiatan dengan pemerintahan dan kebijakan desentralisasi sebagai suatu kebijakan dalam melimpahkan kewenangan kepada pemerintah daerah belum dapat direalisasikan dengan baik, hal ini masih perlu pengkajian secara mendalam apakah konsep desntralisasi dapat berjalan dengan baik pada Negara Kesatuan Republik Indonesia? Karena penerapan konsep desntralisasi yang merupakan penyerahan kewenangan dari pemerintah kepada
pemerintah daerah masih ditemukan wacana yang kontradiktif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Diantaranya adalah: desentralisasi dapat menimbulkan bahaya, seperti pandangan Vito Tanzi (2000), Bird dan Vaillancourt (1998) dalam Jean-Jacques Dethier. (2000).: (http://unpan/un.org/intradoc/groups/public/d ocuments/APCITY/UNPAN 2424,pdf,) mengemukakan 3 (tiga) bahaya desentralisasi yaitu; Pertama, dapat mempertajam ketegangan politik antar wilyah, jika wilayahwilayah ini memiliki tingkat pendapatan yang berbeda secara signifikan. Kedua, ketika desentralisasi memisahkan tanggungjawab pembiayaan dari belanja administrasi, maka masalah pajak dan pembelanjaan semakin meningkat. Ketiga, masalah kontrol pembelanjaan dapat timbul (bahkan lebih rumit dalam sistem desentralisasi dari pada sistem terpusat). Dampak lain dari desntralisasi sebagaimana dikemukakan Blair, 2000; Crook dan Manon, 1998; Crook dan Sverrisson, 2001; Dreze dan Sen, 1996; Manor, 1999; Moore dan Putzet, 1999: 15) dalam Sutoro Eko: (www.ire yogya.org/sutoro/desentralisasi pembangunan desa.pdf. 2008). mengemukakan bahwa: “Salah satu bahya desentralisasi adalah bahwa: “desentralisasi mungkin haya memberdayakan elite local dan yang lebih buruk lagi mengekalkan kemiskinan dan ketimpangan. Beberapa peneliti meragukan, apakah pengenalan prinsip-prinsip demokrasi akan mengatasi faktor historis dan kultur yang mengekalkan kesetaraan politik.” Berdasarkan kondisi tersebut penulis tertarik untuk mengurai “Bagimanakah kebijakan desentralisasi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah?” BEBERAPA PANDANGAN TEORI DESENTRALISASI Menurut Smith dalam M.R. Khairul Muluk (2005:2) “Desentralisasi saat ini telah
109 tampil secara universal dan diakomadasi dalam berbagai pandangan yang berbeda. Untuk memahami arti penting dari pemerintah daerah (local government), tentunya perlu disimak perkembangan teoritik dari berbagai persfektif yang ada dalam memandang pemerintahan daerah, keberadaan pemerintah daerah yang merupakan konsekwensi dari desentralisasi mendapat penafsiran dari teori-teri sosial yaitu: Teori Demokrasi Liberal, Teori Pilihan Publik dan Teori Marxis, sebagaimana dipaparkan sebagai berikut: 1. Pandangan Teori Demokrasi Liberal. Dalam prsfektif teori demokrasi liberal, desentralisasi mendapat dukungan karena mampu mendukung demokrasi pada dua tingkatan. Pertama: Ia memberikan konteribusi positif bagi perkembangan demokrasi nasional, karena local government itu mampu menjadi sarana bagi pendidikan politik rakyat dan memberi pelatihan bagi kepemimpinan politik, serta mendukung penciptaan stabilitas politik. Dalam pandangan ini Hossein (2000) dalam Khairul Muluk (2005:2) mempertegas bahwa: Dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa dalam mengambil keputusan atas dasar partisipasasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol langsung oleh pemerintah (pusat). Oleh karena itu, kaitannya dengan demokrasi sangat erat. Kedua: Local government mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat (locality). Sebagaimana diinginkan. Lebih lanjut dikemukakan Hossein (2001) dalam M.R. Khairul Muluk (2005:2) bahwa: “Local government dan Local otonomi tidak dicerna sebagai daerah atau pemerintah daerah, tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan dan kepentingan yang menjadi perhatian keduanya bersifat lokalitas karena basis patokannya lokalitas tersebut bukan bangsa.” Menurut Norton (1997) dalam M.R. Khairul Muluk (2005:2) “Makna lokalitas ini juga tercermin dalam berbagai
istilah diberbagai Negara yang merujuk pada maksud yang sama, seperti Commune di Prancis, Gemeinde di Jerman, Gemente di Belanda, dan Municipio di Spanyol, yang kemudian menyerupai Municipality di Amerika Serikat.” Manfaatnya bagi masyarakat setempat adalah adanya political equality, accountability, dan responsiveness. Pandangan senada dikemukakan oleh Antaft dan Novack (1998) dalam M.R. Khairul Muluk (2005:3) yang mengungkapkan bahwa: “Manfaat dari local government ini dalam beberapa hal yakni: accountability, responsiveness, apportuinity for experimentation, public chois, spread of power, and democratic values”. 2. Pandangan Teori Pilihan Publik Bahasan teori berikutnya adalah menyangkut penafsiran teori pilihan publik tentang desentralisasi yang menunjukkann adanya dukungan ahli ekonomi. Dalam teori ini para ahli menganggap bahwa: Desentralisasi merupakan media yang penting guna meningkatkan kesejahteraan pribadi. Dalam interpretasi ekonomi, Stoker dalam M.R. Khairul Muluk (2005:3) mengemukakan melalui public chois theory menyatakan bahwa: “Desentralisasi merupakan medium penting dalam meningkatkan kesejahteraan pribadi melalui pilihan public. Menurut presfektif ini, individu-individu diasumsikan akan memilih tempat tinggalnya dengan membandingkan berbagai paket pelayanan dan pajak yang ditawarkan oleh berbagai kota yang berbeda. Individu yang rasional akan memilih tempat tinggal yang akan memberikan paket yang terbaik.” Dari perspektif inilah dapat diperoleh manafaat dari pemerintah daerah, pertama adanya daya tanggap public terhadap preferensi individual (public responsiveness to individual preferences). Barang dan pelanyanan public yang ditawarkan pemerintah daerah tidak seperti swasta, semua akan dinikmati oleh seluruh pennduduk yang relevan sehingga konsumsi oleh satu penduduk tidak akan mengurangi
110 __________ Wacana Teoritik Desentralisasi Menuju Pemerintahan Daerah yang Otonom. Andi Kasmawati
jatah penduduk yang lain, kedua pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan akan barang-barang public (the demandfor public goods). Demand dalam preferensi pasar swasta lebih muda diketahui melalui kemauan untuk membayar, akan tetapi dalam politik ia sulit diidentifikasi karena relasi yang rumit antra barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik, partisipasi, dan kepemimpinan. Desentralisasi mampu menyelesaikan persoalan ini dengan meningkatkan jumlah unit-unit pemerintahan dan derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan public, ketiga desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih baik dalam menyediakan penaawaran barang-barang public (the suplay of public goods). Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelanyanan dan barang public tersentralisasikan. Semakin besar oraganisasinya, maka semakin besar pula kecenderungan untuk memberikan pelanyanan. Semaikin monopolistis suatu pemerintah maka semakin kecil insentif dan inovatifnya, berdasarkan teori, yurisdiksi terfragmentasi akan lebih memberikan kepuasan kepada konsumen dari pada kewenangan yang terkonsolidasi. Desentralisasi akan memberikan antar yurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam memberikan keputusan kepada public atas penyediaan barang dan lanyanan. 3. Pandangan Teori Marxist Penafsiran Marxist terhadap desentralisasi, menurut pendukung teori ini, desentralisasi mengakibatkan adanya Negara pada tingkat local, mereka menempatkan desentralisasi sebagai obyek dialektika hubungan antar susunan pemerintahan dan menuduh bahwa desentralisasi tidak akan mampu mencipatakan kondisi demokratis di tingkat local karena terhambat oleh faktor, ekonomi, poltik, dan ekologi. Interpretasi Marxist tampaknya masih cenderung memandang Negara sebagai suatu kesatuan
dan tidak terpisah-pisah antar wilayah geografisnya. Ketidak berpihakan penafsiran Marxist terhadap desentralisasi dapat dilihat dari urain berikut: Pertama, pandangan ini melihat bahwa pemabian wilayah dalam konteks desentralisasi hanya akan menciptakan kondisi terjadinya akumulasi modal sehingga muncul kembali kaum kapitalis. Kedua, desentralisasi juga akan memengaruhi konsumsi kolektif sehingga akan dipolitisasi. Konsumsi kolektif dimaksudkan untuk memberikan pelanyanan atas dasar kepentingan semua kelas, desentralisasi hanya akan mengahasilkan ketidak adilan baru dalam konsumsi kolektif antar wilayah. Ketiga, meskipun pada dasarnya demokrasi akan menempatkan mayoritas dalam pemerintahan daerah (yang berarti seharusnya kelas pekerja yang mendominasi), tetapi ada banyak cara yang bias dilakukan oleh kaum kapitalis yang menghalang-halangi munculnya kelas pekerja dalam pemerintahan. Keempat, dalam kaitanya dengan hubungan antar pemerintahan, maka pemerintah daerah hanya menjadi perpanjagan tangan aparat pemerintah (pusat) untuk menjaga kepentingan monopoly capital. Dalam bidang perncanaan, desentralisasi juga tidak akan pernah menguntungkan daerah-daaerah pinggiran dan membiarkannya dengan melindungi daerah kapitalis. Desentralisasi juga menghindarkan redistribusi keuangan dan pajak dari daerah bnayak daerah miskin. Desentralisasi hanya akan menghilangkan tanggungjawab kaum borjuis terhadap daerah-daaerah yang tertekan. Kelima, terdapat berbagai rintangan mengenai bagaimana demokrasi local akan berjalan dengan suasana desentralisasi. Rintangan ini mencakup aspek ekologis, politik, dan ekonomi yang menyebabkan demokrasi ditingkat local hanya akan mengalami kegagalan. Menurut pandangan Marxist, semua ini hanya akan dapat ditanggulangi
111 oleh sentralisasi yang redistribusi dan keadilan.
bertujuan
untuk
TERBENTUKNYA PEMERINTAHAN DAERAH Menurut Hanif Nurholis (2005:1) “Pemerintahan Daerah (local government) yang kita kenal sekarang ini berasal dari perkembangan praktek pemerintahan di Eropa pada abad 11 dan 12. Pada saat itu muncul satuan-satuan wilayah ditingkat dasar yang secara alamiah membentuk suatu lembaga pemerintahan. Pada awalnya satuan-satuan wilayah tersebut merupakan suatu komunitas swakelola dari sekelompok penduduk. Satuan-satuan wilayah tersebut diberi nama municipal (kota), county (kabupaten), Commune/gementee (desa). Mungkin fenomena tersebut mirip dengan satuan komunitas asli penduduk Indonesia yang disebut dengan desa (Jawa), nagari (Sumatera Barat), huta (Sumatera Utara), marga (Sumatera selatan), gampong (Aceh), kampung (Kalimantan Timur), dan lain-lain.” Untuk Sulawesi Selatan dikenal dengan Desa, Kampong, Wanua (Bugis), Bonto (Makassar), Lembang (Toraja). Dan lain-lain. Pada dasarnya konsep pemerintahan daerah menurut Ball at al (1989) Sarundajang (2002: 23) “muncul karena dari kesadaran bahwa: Bahasa menunjukkan kenyakinan dan praktek para pelaku politik. Misalnya bahasa Perancis, Commune, bukan berarti organisasi yang dikendalikan oleh wakil-wakil rakyat terpilih, tetapi suatu komunitas swakelola dari sekelompok penduduk suatu wilayah.” Menurut Bourjal dan Bodard (1984) dalam Sarundajang (2002: 23) “Ide mendasar tentang Commune tersebut adalah suatu pengelompokan alamiah dari penduduk yang tinggal pada suatu wilayah tertentu, dengan kehidupan kolektif yang dekat, dan memiliki kesamaan minat dan perhatian yang bermacam-macam. Pengertian daerah menurut Manan dalam Sarundajang (2002:23) dikemukakan
bahwa: “Di Indonesia, pengertian yang sejenis berlaku untuk desa setidaknya sebelum pemberlakuan UU. No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Desa tidak merupakan organisasi pemerintahan perwakilan tetapi lebih sebagai suatu komunitas yang berkelompok secara alamiah pada suatu wilayah tertentu dan dikendalikan oleh tradisi dan budaya yang berlaku dan dipraktekkan penduduknya.” Dalam hal terbentuknya pemerintahan Daerah Hoessin (2001 c) dalam M.R.Khairul Muluk (2005: 9) mengemukakan bahwa:“Desentralisasi mencakup dua elemen pokok, yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom tersebut. Dari kedua elemen tersebut lahirlah Local government yang didefinisikan oleh United Nation (dalam Alderfer 1965: 178) sebagai a political subdivision of a nation or (in federal system) state which is constituted by law and has substansial control of local affairs, including the power to impose taxes or exact labor for prescribeld purposes. The governing body of such an entity is elected or otherwise locally selected. “ Definisi tersebut mengisyaratkan adanya perbedaan pemerintahan daerah antara sistem federal dan kesatuan. Seperti dicontohkan oleh Benyamin Hoessein (1999) dalam M.R.Khairul Muluk (2005: 9) ”Tentang Indonesia sebagai Negara kesatuan (eenheidstaat) tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Hal ini berarti daerah otonom yang dibentuk tidak akan memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan seperti Negara bagian dalam sistem federalisme.” Selanjutnya Kranenburg dalam M.R. Khairul Muluk (2005:9) mengungkapkan bahwa: ”Daerah otonom dalam Negara Kesatuan tidak akan memiliki pouvoir constituent. Menurut Hans Antov dalam M.R.Khairul Mulik (2005:9) “Prinsip dalam Negara kesatuan adalah the powers held by local and regional organs have been received from above, and can be withdrawn
112 __________ Wacana Teoritik Desentralisasi Menuju Pemerintahan Daerah yang Otonom. Andi Kasmawati
through new legislation, without any need for consent from the communes or provinces concernd.” Menurut K.G. Whear dalam M.R. Kherul Muluk (2005:9) “ Dalam Negara Federal, kewenangan pemerintah federal justru berasal dari neagara bagian yang dirumuskan dalam konstitusi federal. Kewenangan daerah otonom juga erasal dari Negara bagian, bukan dari pemerintah federal dan dirumuskan dalam undang-undang negara bagian. Hubungan antara negara bagian dengan pemerintah federal bersifat koordinasi dan independen, sedangkan hubungan antara derah otonom dengan pemerintah (pusat) untuk negara kesatuan sama dengan hubungan antar daerah otonom dengan negara bagian dalam sistem federal yang bersifat subordinasi dan dependent. Berkaitan dengan pemerintahan daerah Benyamin Hoessin (2001 b) dalam M.R.Khairul Muluk (2005:10) mengemukakan bahwa: ”Local government merupakan sebuah konsep yang dapat mengandung tiga arti. Pertama, berarti pemerintah local yang seringkali dipertukarkan dengan local authority yang mengacu pada organ, yakni council dan mayor dimana rekruitmen pejabatnya didasarkan pada pemilihan. Kedua, mengacu pada pemerintahan local yang dilakuka oleh pemerintah local. Arti kedua ini lebih mengacu pada fungsi. Dalam menentukan fungsi yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, terdapat dua prinsip yang lazim dipergunakan yaitu the ultra viers doctrine yang menunjukkan bahwa pemerintah daerah dapat bertindak pada hal-hal tertentu atau memberikan pelanyanan tertentu saja. Fungsi atau urusan pemerintahan bagi pemerintah daerah dirinci sedangkan fungsi pemerintahan yang tersisa menjadi kompetensi pemerintah (pusat). Prinsip general competence atau open end arrangement. Merupakan kebalikan dari prinsip the ultra viers doctrine, pemerintah daerah harus melakukan apa saja yang dipandang perlu dalam memenuhi kebutuhan
daerahnya sebagaimana yang ditentukan oleh para pengambil keputusan di daerah itu. Pemerintah (pusat) telah mempunyai urusan atau fungsi yang terinci, sementara sisanya merupakan fungsi atau urusan yang menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Ketiaga, bermakna otonom, lebih lanjut Hoessin (2001 c) dalam M.R.Khairul Muluk (2005: 10) menjelaskan bahwa: “Pembentukan daerah otonom yang secara simultan merupakan kelahiran status otonomi berdasarkan atas aspirasi dan kondisi obyektif dari masyarakat yang berada diwilayah tertentu sebagai bagaian dari bangsa dan wilayah nasional. Masyarakat yang menuntut otonomi melalui desentralisasi menjelma menjadi daerah otonom sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berwenang mengatur dan menangani urusan pemerintahan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.” Menuerut Hanif Nurholis (2005:2) “Dalam perkembangannya satuan-satuan komunitas, tersebut dimasukkan kedalam sistem administrasi negara dari suatu negara yang berdaulat. Untuk kepentingan administrasi, satuan-satuan komunitas tersebut lalu ditentukan kategori-kategorinya, batas-batas geografisnya, kewenagannya dan bentuk kelembagaannya. Melalui keputusan politik, satuan komunitas tersebut dibentuk menjadi unit organisasi formal dalam sistem administrasi negara pada tingkat local, sesuai dengan kepentingan politik negara yang bersangkutan, organisasi pemerintahan daerah dipilah menjadi dua: satuan organisasi perantara dan satuan organisasi dasar. Seperti di Prancis satuan organisasi perantara adalah departemen dan satuan organisasi dasar adalah Commune. Di Indonesia satuan organisasi perantara adalah provinsi, sedangkan satuan oragnisasi dasar adalah kota, kabupaten, dan desa. Berkaitan dengan pandangan tersebut, Stoker dalam Hanif Nurholis (2005:2) berpendapat bahwa: ”Munculnya pemerintahan daerah moderen berkaitan erat dengan fenomena industrialisasi yang
113 melanda Inggris pada abad ke 18. Industrialisasi menyebabkan perpindahan penduduk dari desa ke kota secara besarbesaran. Urbanisasi tersebut mengakibatkan berubahnya corak wilayah. Munculnya wilayah-wilayah baru terutama di kota-kota dan pinggiran koata yang sangat padat dengan ciri khas perkotaan. Menurut Sarundajang (2002:22) “Istilah pemerintahan daerah berasal dari Yunani dan Latin Kuno yaitu: Kinotes (komunitas) dan demos (rakyat atau distrik).” Dalam perkembanannya, pemerintah daerah kemudian dipandang sebagai unit organisasi pemerintahan berbasis geografis tertentu yang dalam suatu negara berdaulat, seperti Indonesia. Konsep Pemerintahan Daerah menurut UU. No. 5 Th. 1974 yang telah di ubah menjadi UU. No. 22 Th. 1999, kemudian dirubah lagi menjadi UU. No. 32 Th. 2004, mengacu pada pemerintahan berbasis wilayah dan penduduk tertentu yang berhak mengurus dan mengatur sendiri urusan–urusan yang telah diserahkan kepadanya oleh pemerintah diatasnya. Adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah lebih diatas kepada pemerintah dibawahnya, maka apa yang telah digariskan dalam UU. No. 5 Th. 1974, UU. No. 22 Th. 1999, dan UU. No. 32 Th. 2004, merupakan refleksi dari Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Philipus dalam Titik Triwulan Tutik (2007:177) dikemukakan bahwa: “Dalam Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia menganut pola pembagian kekuasaan negara yaitu: Pembagian kekuasaan negara secara horisontal dan secara vertikal. Kekuasaan negara secara Horisontal adalah pembagian kekuasaan negara kepada organ yang dalam ketatanegaraan, kita sebut lembaga negara, pembagaian kekuasaan secara vertikal adalah pembagaian kekuasaan negara antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Disamping kedua kekuasaan yang secara
tegas disampaikan melalui interpretasi sistematik, masih terdapat kekuasaan lain yaitu Kedaulatan.” Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan dalam konteks negara kesatuan sebagai mana diatur dalam konstitusi negara yaitu Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia, hal ini telah diuraikan pada bagian terdahulu, demikian pula halnya dengan kedaulatan. Menurut Kusnardi dan Bintang R. Saragih dalam Titik Triwulan Tutik (2007:179) “Disebut Negara Kesatuan apabila kekuasaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak sama dan tidak sederajat. Kekuasaan pemerintah pusat merupakan kekuasaan yang menonjol dalam negara, dan tidak ada saingannya dari badan legislatif pusat dalam membentuk undang–undang. Kekuasaan pemerintahan di daerah bersifat derivat (tidak langsung) dan sering berbentuk otonomi luas.” Konsep negara Kesatuan bila dikaitkan dengan hakikat desentralisasi, maka dalam negara kesatuan semua urusan negara menjadi wewenang sepenuhnya dari pemerintah. Kalau negara yang bersangkutan menggunakan asas desentralisasi dimana pada daerah–daerah dibentuk pemerintahan lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, kepadanya dapat diserahkan urusan–urusan tertentu untuk diurus sebagai urusan rumah tangganya sendiri. MAKNA DESENTRALISASI SEBAGAI BENTUK PELIMPAHAN KEWENANGAN Menurut Smith dalam Kahairul Muluk (2005:8) “Desentralisasi dalam arti sempit adalah devolusion yang berkaitan dengan dua hal. Pertama adanya subsidi territori dari suatu negara yang mempunyai ukuran otonomi, subsidi territori ini memiliki self governing melalui lembaga politik yang memilki akar dalam wilayah sesuai batas
114 __________ Wacana Teoritik Desentralisasi Menuju Pemerintahan Daerah yang Otonom. Andi Kasmawati
yridiksinya. Wilayah ini tidak diadministrasikan oleh agen-agen pemerintah diatasnya, tetapi diatur oleh lembaga-lembaga yang dibentuk secara politis di wilayah tersebut. Kedua lembaga tersebut akan direkruit secara demokratis, berbagai keputusan direkruit secara demokratis. Menurut Rondenelly dalam Koiruddin (2005:2) “Desentralisasi dalam arti luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah baik kepada pemerintah daerah maupun kepada pejabat pemerintah yang ditugaskan di daerah.” Dalam hal kewenangan tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah, konsep tersebut dikenal dengan devolusi. Apabila sebuah kewenangan dilimpahkan kepada pejabat–pejabat pusat yang ditugaskan di daerah, hal tersebut dikenal dengan konsep dekonsentrasi.” Selanjutnya Rondinelli dalam Koiruddin (2005:3) dengan tegas menyatakan bahwa: “Desentralisasi merupakan: The transfer of delegation of legal and autority to plan, make decision and manage publik fungtion form the central govermental its agencies to field organization of those agencies, subordinate units of government, semi autonomous publik coparation, area wide or regional development autorities; functionnal autorities, autonomous local government, or non-governmental organizations. Desentralisasi adalah pemindahan wewenang, perencanaan, pembuatan keputusan, dan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi–organisasi lapangannya, unit–unit pemerintah daerah, organisasi–organisasi setengah suatantra– otorita, pemerintah daerah dan non pemerintah daerah. Menurut Koiruddin (2005:3) Pernyataan tersebut memberikan isyarat bahwa desentralisasi dapat dilakukan melaui empat bentuk yaitu:
1. Dekonsentrasi wewenang administratif 2. Delegasi kepada penguasa otorita 3. Devolusi kepada pemerintah daerah 4. Pemindahan fungsi dari pemerintah kepada swasta. Dengan demikian desentralisasi ini dapat dipilih minimal dalam tiga pemahaman besar yaitu: dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang hanya merupakan penyerahan tanggungjawab kepada daerah. Sedangkan delegasi hanya merupakan kewenangan pembuatan keputusan dan manajemen untuk menjalankan fungsi–fungsi politik tertentu pada organisasi tertentu. Dan devolusi merupakan wujud konkrit dari desentralisasi politik (political desentralization). Lebih lanjut Rondinelli dkkdalam Khairul Muluk (2005:6) mengungkapkan lebih luas lagi mengenai jenis desentralisasi, yakni “deconsentration (penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggungjawab administrasi kepada tingkat yang lebih rendah dalam kementrian atau badan pemerintah), delegation (perpindahan tanggungjawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi diluar struktur birokrasi regular dan hanya dikontrol oleh pemerintah (pusat) secara tidak langsung), devolution (pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan subnasional dengan aktivitas yang secara subtansial berada diluar control pemerintah, dan privatization (memberikan semua tanggungjawab atas fungsi-fungsi kepada organisasi nonpemerintah atau perusahaan swasta yang independent dari pemerintah).” Selain itu Khairul Muluk (2005:6) mengungkapkan pula bahwa: “bentuk desentralisasi ada lima macam, yakni: 1)Privatization, 2) deregulation of private service provision, 3) devolution to local government,4) delegation to public enterprises or publicly regulated private enterprises, and 5) deconcentration central government bureaucracy.” Cohen dan
115 Peterson (1999 dalam Kahirul Muluk (2005:6) mengemukakan Pengertian desentralisasi tersebut terbagi dalam deconcentration, devolution, dan delegation (yang mencakup pula privatization).” Pandangan lain tentang desentralisasi dikemukakan oleh J.H.A. Logemann (1954) dalam Hanif Nurholis (2005:3) yaitu: “Desentralisasi adalah Pertama, keputusan alokasi diambil pada puncak organisasi, sedangkan keputusan pelaksanaan dilakukan pada jenjang-jenjang lebih rendah (dekonsentrasi). Kedua, keputusan alokasi dan keputusan pelaksanaan semuanya diserahkan sepenuhnya pada jenjang-jenjang organisasi yang lebih rendah (desentralisasi). Berdasarkan uraian ini Logemann memasukkan dekonsentrasi dalam desentralisasi. Dengan demikian desenralisasi memiliki arti yang luas, sehingga Ia membagi desentralisasi menjadi dua macam: 1. Dekonsentrasi atau desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisatie) yaitu pelimpahan kekuasaan dari alat perelengkapan Negara tingkat lebih atas kepada bawahannya guna melancarkan pekerjaan didalam melaksanakan tugas pemerintahan. Misalnya pelimpahan menteri kepada gubernur, dari gubernur kepada bupati/walikota dan seterusnya secara berjenjang. Desentralisasi semacam ini rakyat atau lembaga perwakilan rakyat daerah tidak ikut campur atau dibawabawa. 2. Desentralisasi ketatanegaraan (staatkundige decentralisatie) yang sering juga disebut desentralisasi politik, yaitu pelimpahan kekuasaan perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurde bevoerheid) kepada daerah otonom di dalam lingkungannya. Dalam desentralisasi politik seperti ini rakyat, dengan menggunakan dan memanfaatkan saluransaluran tertentu (perwakilan) ikut serta didalamnya pemerintahan dengan batas wilayah daerah masing-masing, desentralisasi ini dibedakan atas dua yaitu:
a. Desentralisasi territorial (territoriale decentralisatie) yang penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (autonomie) batas pengaturannya adalah daerah. Desentralisasi territorial mengakibatkan adanya otonomi pada daerah yang menerima penyerahan. b. Desentralisasi fungsional (fungcionale decentralisatie) yaitu pelimpahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu. Batas pengaturan tersebut adalah jenis fungsi.” Bayu Suryaningrat dalam Hanif Nurholis (2005:5) membagi desentralisasi atas: 1. Desentralisasi jabatan (ambtelijke decentraliasatie), yaitu pemudaran kekuasaan atau lebih tepat pelimpahan kekuasaan dari atasan kepada bawahannya dalam rangka kepegawaian untuk meningkatkan kelancaran pekerjaan. Oleh karena itu desentralisasi disebut juga desentralisasi. 2. Desentralisasi kenegaraan (staatcunde decentralisastie) yaitu penyerahan kekuasaan untuk mengatur daerah dalam lingkungannya untuk mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara. Dalam desentralisasi ini daerah secara lengsung mempunyai kesempatan untuk turut serta dalam penyelenggaraan Pemerintahan di daerahnya Pendapat lainya dari A.H.Manson (Hoessein) dalam Hanif Nurholis (2005:5) membagi desentralisasi menjadi dua yaitu desentralisasi politik dan desentralisasi administratif/ birokrasi. Desentralisasi politik disebut juga dengan devolusi sedangkan desentralisasi administratif disebut juga dengan dekonsentrasi. Dalam kepustakaan Amerika Serikat, Harold F. Aldufer (1064: 176) dalam M.R. Khairul Muluk (2005:5) mengungkapkan bahwa: Terdapat dua prinsip umum dalam membedakan bagaimana pemerintah (pusat)
116 __________ Wacana Teoritik Desentralisasi Menuju Pemerintahan Daerah yang Otonom. Andi Kasmawati
mengalikasikan kekuasaannya kebawah, pertama, dalam bentuk deconcentrasion yang semata-mata menyusun unit administrasi atau field station, baik itu tunggal ataupun ada dalam hirarki, baik itu terputus maupun tergabung, dengan perintah mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan atau bagaimana mengerjakannya. Tidak ada kebijakan yang dibuat pada tingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental yang diambil, badan-badan pusat yang memiliki semua kekuasaan dalam dirinya, sementara pejabat lokal merupakan bawahan sepenuhnya dan mereka hanya menjalankan perintah. Kedua dalam bentuk decentralization, unit-unit lokal ditetapkan dengan kekuasaan tertentu atas bidang tugas tertentu. Mereka dapat menjalankan penilaian, inisiatif, dalam pemerintahannya sendiri. Menurut Chemma dan Rondinelli Desentralisai adalah suatu teori pemerintahan yang sangat rasional. Paling tidak ada 14 alasan, sebagimana yang dikemukakan, yaitu: 1. Desentralisasi ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan pembangunan yang besifat sentralistik 2. Desentarlisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit seperti prosedur terstruktur dari pemerintah pusat 3. Desentralisasi memberikan fungsi yang dapat meningkatkan pemahaman pejabat daerah atas pelanyanan publik yang diemban 4. Desentraliasai akan mengakibatkan terjadinya penetrasi yang lebih baik dari pemerintah pusat bagi daerah terpencil , dimana sering rencana pemerintah tidak dipahami masyarakat setempat atau dihambat oleh elit lokal 5. Desentraliasasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis keagamaan dalam perencanaan pembangunan 6. Desentralisasi dapat meningkatkan kemampuan maupun kapasitas
pemerintahan serta lembaga privat di daerah 7. Desentaralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan di pusat dengan tidak lagi mereka menjalankan tugas rutin 8. Desentralisasi dapat menyediakan struktur dimana berbagai departemen di pusat dapat di koordinasi secara efektif bersama dengan pejabat daerah dan sejumlah NGOs (Non Government Organizations) 9. Desentralisasi digunakan untuk mengembangkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program 10. Desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan berbagai aktifitas yang dilakaukan elit lokal yang kerap tak simpatik dengan program pembangunan 11. Desentralisasi dapat mengantarkan pada administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovatif, dan kreatif. 12. Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen memungkinkan pemimpin daerah meningkatkan pelanyanan secara efektif di tengah masyarakat terisolasi 13. Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyartakat di daerah 14. Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan barang dan jasa di tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah Berbagai alasan tersebut itulah sehingga studi tentang desentralisasi memiliki perkembangan yang cukup pesat. Studi tentang desentralisasi ditunjukan untuk mencari upaya–upaya merealisasikan gagasan besar desentralisasi kedalam pemerintahan yang memiliki ciri spesifik masing-masing. Mengenai urgensi desentralisasi, Romeo B. Ocampo dalam Koiruddin (2005:6) mengemukakan bahwa: “Decentralization and local autonomy may be better understuud against the apposite tendency of centralization. Excesessive centalization or centralism, is by definition bad for any
117 organism and organization. Decentralization is olso natural tendenciy that may accur with centralism, simultaneously or artelnately ..... under a centralist regime, of course, there is hardly, if any local autonomy . Central Control stifles any initiative, discretion or self reliance that to begin with their identity having been suppressed by the dominance or prinacy of the control government.” Desentralisasi dengan segala kelebihan dan kelemahannya, telah melahirkan bayak sekali antusiasme baru bagi pemerintahan terutama di negara–negara berkembang yang pada umumnya memiliki sejarah pengelolaan pemerintahan yang sentralistik. Wacana desentralisasi berkembang seiring dengan kebutuhan mereka untuk menata sistem pemerintahannya menjadi lebih baik. Adapun devolusi adalah suatu istilah yang pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1994, Nathan (1999) dalam Koiruddin (2005:44) sedangkan Putara (1999) menamakannya Revolusi Devolusi. Secara konseptual istilah devolusi sendiri sudah mulai dikenal kurang lebih dua dekade sebelumnya. PBB misalnya, pada tahun 1962 mengartikan desentralisasi dalam (1) dekonsentrasi juga disebut desentralisasi administrasi; dan (2) devolusi sering juga disebut sebagai desentralisasi demokrasi atau politik, yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada badan perwakilan yang dipilih melalui perwakilan lokal. Devolusi adalah kemapuan unit pemerintah yang mandiri dan independen Putra (1999) dalam Koiruddin (2005:44) mengemukakan bahwa: disini pemerintah pusat harus melepaskan fungsi–fungsi tertentu untuk menciptakan unit–unit pemerintahan yang baru yang otonom yang berada diluar kontrol langsung pemerintah pusat. Cirinya adalah : 1) unit pemerintah lokal yang otonom dan mandiri, 2) kewenangan pemerintah pusat kecil, dan 3) pengawasannya tak langsung, pemerintah
lokal memiliki status atau legitimasi hukum yang jelas untuk mengelola sumber daya dan mengembangkan pemerintah lokal sebagai lembaga yang mandiri dan independen.” Sherwood dalam Koiruddin (2005:7) menyatakan bahwa: “Devolusi berarti peralihan kekuatan ke unit–unit geografis pemerintah lokal yang terletak diluar struktur komando formal pemerintah pusat. Konsep tersebut disebut desentralisasi. Jadi devolusi menggambarkan konsep–konsep pemisahan, dari berbagai struktur dalam sistem politik secara keseluruhan.” Desentralisasi dan Devolusi merupakan dua fenomena berbeda, dan mereka akan menggunakan desentralisasi untuk menggambarkan pola hubungan wewenang intra-oraganisasi dan devolusi untuk menggambarkan pola hubungan inter organisasi. Menurut Putara (1999) dalam Koiruddin (2005:8-9) Ciri–ciri devolusi adalah : 1. Pemerintah lokal harus diberi otonomi dan kebebasan dan dianggap sebagai level terpiasah yang mana tidak memperoleh kontrol langsung dari pemerintah pusat. 2. Unit–unit lokal harus memiliki batas– batas geografis yang ditetapkan secara hukum dan jelas dimana mereka (unit–unit tersebut) menerapkan wewenannya dan melaksanakan fungsi–fungsi publik 3. Pemerintah lokal harus diberi status lembaga dan wewenang untuk meningkatkan sumber–sumber guna melaksanakan fungsi–fungsi khusus. 4. Devolusi mencerminkan kebutuhan untuk menciptakan pemerintah lokal sebagai lembaga, dalam makna bahwa lembaga ini dianggap oleh penduduk lokal sebagai organisasi yang menyediakan lanyanan yang memenuhi kebutuhannya dan sebagai unit–unit pemerintah yang memiliki pengaruh. 5. Devolusi merupakan suatu rancangan dimana terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara pemerintah lokal
118 __________ Wacana Teoritik Desentralisasi Menuju Pemerintahan Daerah yang Otonom. Andi Kasmawati
dan pemerintah pusat; yaitu pemerintah lokal memiliki kemampuan untuk saling berinteraksi dengan unit–unit lain dalam sistem pemerintahan yang merupakan bagiannya. Menurut Abdul Wahab dalam Koiruddin (2005:10) Devolusi atau yang dikenal dengan konsep desentralisasi politik yang dijalankan oleh suatu negara utamanya yang diekspresikan dalam bentuk kebijakan pemberian otonomi yang semakin besar pada daerah (greater lokal autonomy) jelas tidak akan pernah berlangsung mulus, terjadi dalam waktu seketika, apalagi dalam status sosial politik yang vakum. Alotnya proses implementasi kebijakan otonomi daerah, dalam maknanya yang sesungguhnya, bukanlah hasil kerja politik berbaik hati dari penguasa pusat. Di Indonesia pemberian makna tentang desentralisasi dapat dilihat dalam UU. No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah Bab. I Ketentuan Umum pasal 1 dikemukakan bahwa: Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, selanjutnya pada pasal 12 ayat (1) yang berbunyi: Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang di desentralisasikan. Pengertian tentang desentralisasi sebagaimana dikemukan diatas menegaskan bahwa ada pendelegaisan atau pemeberian kewenangan anatar pemerintah kepada pemerintah daerah sesuai peraturan perundang– undangan. Dilihat dari esensi tujuan, maka desentralisasi dimaksudkan untuk menumbuh kembangkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pembangunan dan pelayanan. Tujuan ini hanya akan tercapai jika pemerintah daerah dapat membiayai pelaksanaan seluruh
kewenangan yang diserahkan kepadanya. Berkaitan dengan hal tersebut perlu adanya keselarasan antara kewenangan yang diserahkan, sumber–sumber penerimaan yang dimiliki dan kewajiban untuk membiayainya. Selain itu tujuan desentralisai adalah juga merupakan upaya untuk menciptakan kemampuan unit pemerintah secara mandiri dan independen. Pemerintah pu harus rela melepaskan fungsi–fungsi tertentu untuk menciptakan unit–unit pemerintahan yang baru yang otonom dan berada diluar kontrol langsung pemerintah. Dengan kewenangan pemerintah yang sangat kecil dan hanya berhubungan dengan hal–hal tertentu saja, maka pemerintah hanya memainkan peran pengawasan dan koordinasi. Abdul Wahab dalam Koiruddin (2005:4) Sementara itu pemerintah lokal, secara absah akan memiliki wilayah yang jelas, status atau legitimasi hukum yang jelas untuk mengelola sumber daya dan mengembangkan pemerintah lokal sebagai institusi mandiri dan independen. Hal ini ditujukan guna memperkuat kemampuan masyarakat dibawahnya, yang secara teoritik jelas akan berada langsung dibawah wewenang kekuasaan pemerintah lokal dari pada pemerintah (pusat). Pada aspek peneyelenggaraan desentralisasi, terdapat tiga kelompok besar hubungan yang terjalin sebagaimana dikemukakan Safri Nugraha dkk. Safri Nugraha (http://www.admsc.ui.edu/?PID =20062007013050&act=detpublication) Pertama yaitu Hubungan vertikal yang terpecah menjadi hubungan antara pemerintah dan provinsi dan hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota. Kedua Hubungan diagonal yaitu hubungan antar provinsi tertentu dengan kabupaten/kota diwilayah provinsi lainnya. Ketiga Hubungan Horisontal yaitu hubungan yang dapat terjadi pada hubungan antar provinsi dan hubungan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi yang bertetangga.
119 Hubungan–hubungan tersebut secara faktual terjadi sebagai akibat dari bekerjanya sistem (jaringan) sosial organisasi sebagai akibat dari hakikat desentralisasi yang menciptakan adanya hubungan antar organisasi. Banyaknya daerah otonom baik provinsi maupun kabupaten/kota yang ada menambah kompleksitas bekerjanya hubungan–hubungan tersebut. Seringkali hubungan yang terjalin bekerja secara alamiah semata, karena adanya beberapa motif sosial ekonomi dengan lingkup yang beragam. PENUTUP Secara teoritik desentralisasi merupakan suatu wacana yang sangat tepat untuk menyelenggarakan pemerintahan secara efektif dan efisien, karena dengan desentaralisasi mampu mendekatkan pelanyanan dan partisipasi pemerintah daerah dan masyarakat dalam menjalankan pemerintahan sebagaimana diatur dalam undang-undang no. 32 tahun 2004 dan peraturan pemerintah no. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Disamping itu desentralisasi mengandung makna demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam perundang-undangan tersebut secara tegas ditur mengenai urusan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah dan urusan yang menjadi urusan pemerintah. Penyerahan urusan dari pemerintah kepada pemerintah daerah, sebagai konsekwensi dari penerapan kebijakan desentralisasi, memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan melalui otonomi luas, adanya penyerahan kewenangan tersebut mengisyarakatkan hubungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah, sebagai suatu hubungan vertikal dimana pada tingkat pemerintah merumuskan petunjuk pelaksanaan urusan
pemerintahan berupa Norma, Strandar, Kriteria dan Prosedur, Selain itu pemerintah juga berperan sebagai pengawas dan pelaksana evaluasi penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan pemerintah daerah sebagai subordinat dari pemerintah yang berperan menjalankan urusan pemerintahan di daerah. Penerapan kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sangat urgen untuk dilaksanakan mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, kekayaan alam yang banyak, dan penduduk yang begitu bersar, kondisi ini sangat potensial sebagai sumber daya apabila dikelola dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat yang memiliki komitmen yang tinggi bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera. DAFTAR PUSTAKA Hanif Nurholis, 2005 Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daearah, PT. Gasindo, Jakarta Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer Jakarta Barat Koiruddin, 2005 Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, Averroes Press Jakarta M.R. Khairul Muluk, 2006. Desentralisasi dan Pemerintah Daerah, Bayumedia, Jakarta. Safri Nugraha, dkk. Pemahaman dan sosialisasi penyusunan Rancangan Undang–Undang Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, tersedia dalam: http://www.admsc.ui.edu/?PID=2 0062007013050&act=detpublicati on diakses 12 Nopember 2007 Sarungdajang, 2002. Pemerintahan Daerah Diberbagai Negara, Tinjauan Khusus Pemerintahan Daerah Di
120 __________ Wacana Teoritik Desentralisasi Menuju Pemerintahan Daerah yang Otonom. Andi Kasmawati
Indonesia: Perkembangan Kondisi dan Tantangan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Sutoro Eko, diakses pada website: wwwireyogya.org/sutoro/desentra lisasi pembangunan desa. pdf.diakses 13 Nopember 2008. Titik Triwulan Tutik dkk, 2007, Ilmu Hukum, Bungarampai Hakikat Keilmuan, Suatu tinjauan dari Filsafat Ilmu, Prestasi Pustaka, Jakarta. Vito Tanzi at, al (2000) dalam Jean-Jacques Dethier. Some Remarks on Fiscal Decentralization and Governance. Paper for presentation at the Comfrenc on decentralization Sequencing, Jakarta, Indonesia March 20, 2000. dikunjungi pada website: http://unpan/un.org/intradoc/grou ps/public/documents/APCITY/U NPAN 2424,pdf, diakses 12 Nopember 2008 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian urusan antara Pemerintah, Pemerintah daerah Provinsi, Pemerintah daerah Kabupaten/Kota.