KERTAS POSISI MASYARAKAT SIPIL INDONESIA1 G20 dan Menjawab Masalah Ketimpangan, Pengangguran dan Pendanaan: Rangkuman dari Berbagai Usulan Masyarakat Sipil Indonesia Tahun 2014 merupakan tahun ke-6 pertemuan G20 digelar setelah G20 menjadi pertemuan tingkat tinggi yang dihadiri para kepala negara dari 20 anggota. Pertemuan tingkat tinggi pertama berlangsung di Washington DC tahun 2008 yang diprakarsai oleh Presiden George W. Bush dengan agenda memperkuat konsolidasi global untuk mengatasi krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Pertemuan tersebut berhasil menggalang dana dengan adanya kesepakatan pemberian stimulus fiskal untuk bersama-sama mengatasi krisis di AS. Pertemuan tersebut sekaligus menjadikan G20 sebagai the primier forum for international economic cooperation atau sebagai forum utama yang membahas kerjasama ekonomi internasional, menggantikan G8 yang sebelumnya menjadi penentu kebijakan ekonomi global. Namun seiring berjalannya waktu, harapan untuk menjadikan G20 sebagai forum utama kian redup. G20 tidak mengambil banyak peran ketika krisis keuangan mulai melanda Uni Eropa di tahun 2009. Pertemuan G20 di Meksiko tahun 2012 tidak menghasilkan kesepakatan mengenai penyelesaian krisis di Uni Eropa karena Uni Eropa memutuskan untuk menyelesaikan sendiri krisis yang sedang mereka alami. Berikutnya adalah tidak terjadinya koordinasi kebijakan antar anggota G20 seperti yang diharapkan ketika AS secara unilateral mengeluarkan kebijakan pengurangan stimulus, yang mengakibatkan negara-negara emerging termasuk Indonesia menghadapi pelarian modal dan menjadikan nilai rupiah terhadap dollar turun tajam. Ketika beberapa negara seperti Turki dan India menyerukan pentingnya koordinasi terkait dengan kebijakan tersebut sebelum berlangsungnya pertemuan G20 di St Petersburg, Rusia, namun dalam pertemuan puncak, koordinasi kebijkaan tidak dibahas. Belum lagi sikap AS yang tidak mendukung reformasi International Monetary Fund (IMF) yang telah menjadi komitmen G20. Di tengah-tengah kegamangan akan efektivitas dan juga soliditas G20, pemerintah Australia telah menetapkan pertumbuhan yang kuat sebagai prioritas pembahasan di G20. Merujuk pada komunike pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral di Sydney yang berlangsung pada tanggal 22-23 Februari 2014, ditargetkan perekonomian akan tumbuh 2% dalam lima tahun. Pertumbuhan diharapkan akan ditopang oleh peningkatan investasi swasta khususnya infrastruktur agar dapat menyerap tenaga kerja dan mendorong perdagangan. Pertumbuhan juga diharapkan tangguh terhadap goncangan sehingga perlu diperkuat aspek pembiayaan khususnya yang bersumber dari pajak. Diharapkan prioritas tersebut menjawab masalah keuangan dan ekonomi global dan juga menjawab efektivitas G20 sebagai forum kerjasama ekonomi global.
1 Disusun sebagai bahan dialog kebijakan dengan pemerintah sebelum berlangsungnya Civil20 Summit Di Melbourne, Australia, pada bulan Juni 2014.
Pertanyaannya, apakah capaian tersebut sesuai yang diharapkan masyarakat sipil?Apa usulan masyarakat sipil terhadap delegasi pemerintah Indonesia yang hadir dalam pertemuanpertemuan G20? Masyarakat sipil Indonesia mencatat tiga tantangan pembangunan yang dihadapi baik oleh Indonesia maupun negara lain, meliputi tingginya angka ketimpangan, tingginya angka pengangguran, dan juga rendahnya mobilisasi sumber daya domestik. Tiga tantangan inilah yang diharapkan dapat dibahas dipertemuan G20. 1. Pertumbuhan versus ketimpangan Salah satu sasaran utama Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019 yang sedang disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) adalah pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% sampai 8% per tahun. Diharapkan dengan angka pertumbuhan tersebut, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai USD 7.000 pada tahun 2019. Pertumbuhan ekonomi juga menjadi tujuan utama G20 melalui kerangka strong, sustainable and balance growth. Bahkan tahun ini di bawah kepemimpinan Australia, G20 menetapkan target pertumbuhan 2% dalam kurun lima tahun ke depan dan fokus pada pertumbuhan yang kuat. Pada saat yang sama, Indonesia tengah menghadapi problem ketimpangan yang kian meningkat. Rasio gini koefisien mencapai 0,42 ditahun 2013, sebuah angka tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Kajian INFID juga menunjukkan, terjadi percepatan ketimpangan selama dekade terakhir. Hampir semua wilayah seperti desa dengan kota, Jawa dengan luar Jawa, nasional maupun propinsi mengalami percepatan ketimpangan. Tabel 1. Gini Koefisien di Indonesia berdasarkan desa dan kota
Sumber: Arief Anshory Yusuf, diolah dari Susenas (2013)
Tabel 2. Gini koefisien berdasarkan Jawa dan Luar Jawa
Sumber: Arief Anshory Yusuf, diolah dari Susenas (2013)
Berbagai kebijakan di tingkat nasional yang mendorong melebarnya ketimpangan telah diidentifikasi masyarakat sipil seperti kebijakan perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit yang memberikan dukungan yang minim bagi petani skala kecil dibandingkan petani skala besar atau bahkan korporasi telah mendorong ketimpangan semakin lebar. Demikian halnya dengan kebijakan perbankan yang menerapkan penjaminan bagi pemberian kredit, sementara pemerintah tidak memberikan dukungan yang cukup bagi pelaku usaha kecil mengakibatkan sektor mikro kesulitan mendapatkan akses kredit. Menurut catatan OXFAM (2014), dalam tiga dekade terakhir ketimpangan global juga kian lebar. Jumlah kekayaan 1% penduduk dunia paling kaya sebesar USD 110 triliun atau 65 kali total kekayaan setengah dari jumlah penduduk dunia. Sementara setengah dari jumlah penduduk dunia memiliki kekayaan sama dengan 85 orang paling kaya di dunia. 2. Investasi dan Penyediaan Lapangan Kerja G20 menetapkan investasi swasta terutama untuk pembangunan infrastruktur sebagai salah satu penggerak pertumbuhan. Investasi swasta diharapkan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja melalui kerjasama pemerintah dengan swasta (Public Private Partnership). Indonesia yang saat ini menjadi Ketua Kelompok Kerja untuk Investasi dan Infrastruktur di G20, telah menjadi pengagas utama mengenai pentingnya infrastruktur menjadi agenda G20. Indonesia berharap dengan masuknya agenda infrastruktur dapat menjawab problem pembangunan infrastruktur di dalam negeri.
Sementara itu, data di bawah ini menunjukkan investasi belum maksimal dalam menyerap angkatan kerja. Hal ini bisa dilihat dari tabel di bawah ini di mana perkembangan investasi terhadap PDB Indonesia yang berkisar 30% dalam tiga tahun terakhir belum menjamin meningkatnya lapangan kerja. Penyerapan lapangan kerja hanya sebesar 1,14 juta orang ditahun 2012, terus menurun dari tahun sebelumnya dan berbanding terbalik dengan investasi yang kian meningkat. Tabel 3: Perbandingan perkembangan investasi dengan penyerapan tenaga kerja
Sumber: Erani Yustika, diolah dari BI 2014
Khusus untuk investasi asing langsung (foreign direct investment), selain kontribusinya terhadap penyediaan lapangan kerja yang tidak sesuai harapan, investasi asing malah memberi keuntungan yang tinggi bagi investor. Data yang diambil dari Eurodad, sebuah lembaga masyarakat sipil di Eropa yang membidani isu pembiayaan untuk pembangunan, mencatat investasi asing langsung di negara-negara berkembang yang keluar dalam bentuk selisih keuntungan lebih besar dibanding investasi yang masuk. 3. Mobilisasi Sumber Daya Domestik Pembiayaan pembangunan merupakan salah satu tantangan yang perlu mendapat perhatian baik G20 maupun pemerintah. Krisis yang melanda Uni Eropa mendorong pengetatan fiskal, meskipun langkah sebaliknya dilakukan AS dan Jepang dengan melakukan pelonggaran moneter. Namun bagi emerging countries termasuk Indonesia, pembiayaan pembangunan terutama untuk program-program sosial dan belanja infrastruktur merupakan salah satu persoalan yang perlu dipecahkan. Salah satu usulan G20 dalam meningkatkan kapasitas fiskal anggota G20 adalah melalui kerjasama mendukung realisasi agenda aksi Base Erosian and Profit Shifting (BEPS) yang dirintis. Ini merupakan agenda aksi berupa kerjasama multilateral yang lebih luas untuk menangkal upaya-upaya penghindaran pajak melalui pengalihan keuntungan yang masif. Pencegahan hanya bisa dilakukan melalui kerjasama perpajakan yang konkret, mengikat, dan terukur.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dan tujuan investasi utama juga mengalami persoalan dengan penerimaan pajak. Jika diukur dengan tax ratio atau perbandingan penerimaan pajak terhadap PDB, tax ratio Indonesia adalah 13,3%. Angka ini jauh di bawah ratarata tax ratio lower middle-income countries yang mencapai 17.7%. Artinya, secara teoretik defisit penerimaan pajak Indonesia adalah 4.4% dari PDB atau sekitar Rp 375 trilyun. Rendahnya tax ratio Indonesia dipengaruhi beberapa hal, antara lain (i) masih rendahnya kapasitas otoritas pajak memungut pajak, (ii) tingginya pengaruh sektor informal economy yang belum terintegrasi dalam sistem perpajakan nasional, (iii) tingginya tax avoidance (penghindaran pajak).
PERBANDINGAN TAX RATIO INDONESIA DENGAN NEGARA – NEGARA LAIN
Keterangan: *Hasil kalkulasi Perkumpulan Prakarsa dengan Pendekatan Tax Ratio dalam arti luas Sumber: IMF 2011 (diolah)
Struktur penerimaan pajak Indonesia juga masih memprihatinkan. Sebagaimana tampak dalam tabel, penerimaan pajak masih didominasi oleh penerimaan PPh dan PPN. PPh Badan masih mendominasi dan jauh di atas penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Orang Pribadi. Ini menunjukkan belum terpenuhinya keadilan pajak yang didasarkan pada prinsip kemampuan membayar (ability to pay). Indonesia masih bergantung pada pajak tidak langsung (PPN) dan belum optimalnya kontribusi wajib pajak badan dan orang pribadi dalam membayar pajak. Struktur penerimaan pajak yang adil seharusnya terdiri dari penerimaan PPh Orang Pribadi yang paling besar, lalu PPN, dan PPh Badan.
Grafik Struktur Penerimaan Pajak 2006 – 2012 1,200.00 1,000.00 800.00
Penerimaan Pajak
600.00
PPh 21
PPh PPh 25/ 29 OP
400.00
PPh Badan PPN
200.00 0.00 2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Indikasi ini dapat dilihat pada tax ratio sektoral di bawah, yang menunjukkan tax ratio sektor perkebunan/kehutanan adalah yang terendah, lalu konstruksi dan pertambangan. Tidak dimungkiri, tiga sektor ini merupakan sektor yang kompleks dan umumnya melibatkan struktur bisnis lintas-batas (multinasional). Table 9. Tax Ratio Sektoral 2008-2012 Klasifikasi Lapangan Usaha
Tahun 2008
Pertanian, Perkebunan, Kehutanan
2009
2010
2011
2012
1.8
1.7
1.4
1.3
1.2
12.6
5.7
8.1
8.1
6.3
9.7
10.8
11.2
12.5
12.6
15.5
14.0
19.1
20.0
13.5
Konstruksi
4.3
3.6
3.5
3.8
3.2
Perdagangan, Hotel dan Restoran
9.7
9.5
9.6
10.4
10.3
Pengangkutan dan Komunikasi
10.6
8.4
7.9
7.5
7.1
Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan
19.4
19.7
19.8
18.3
18.0
5.4
5.3
4.5
4.5
4.2
Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih
Jasa-jasa
Sumber: Ditjen Pajak dan BKF Kemenkeu (diolah)
Dengan demikian mobilisasi sumber pendanaan domestik yang bertumpu pada penerimaan pajak membutuhkan dukungan yang besar dan konkret dari berbagai pihak. Selain peningkatan kapasitas otoritas pemungut pajak, kerjasama internasional yang lebih konkret dan efektif dibutuhkan untuk menangkal praktik penghindaran pajak lintas-batas melalui skema transfer pricing, hybrid mismatch arrangement, dan digital economy. Forum G20 adalah forum yang tepat dan strategis untuk mendorong realisasi kerjasama perpajakan internasional yang lebih baik.
I.
Usulan Masyarakat Sipil
Tiga tantangan tersebut diharapkan menjadi prioritas G20. Sebab bagi masyarakat sipil, pertumbuhan yang kuat tidak akan berarti apa-apa jika menyisahkan masalah ketimpangan, pengangguran, dan juga keterbatasan pendanaan. Pertumbuhan yang kuat membutuhkan syarat yaitu menjawab tiga tantangan tersebut. Oleh karena itu, menurut masyarakat sipil tiga tantangan tersebut harus dijawab dengan kebijakan sebagai berikut: 1. Mendorong pembangunan yang inklusif melalui: a. Memberi prioritas kebijakan ekonomi bagi pelaku usaha kecil terutama perempuan dan anak muda yang bergerak di sektor informal (UMKM) dan juga petani skala kecil agar berdaya secara ekonomi. b. Meningkatkan peran sektor keuangan pada penguatan ekonomi riil. c. Meningkatkan investasi pada pembangunan sosial dengan meningkatkan belanja untuk pendidikan dan kesehatan. d. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan ekonomi. 2. Investasi yang menyerap angkatan kerja a. Memastikan investasi memberi nilai tambah bagi penguatan industri di dalam negeri dan penciptaan lapangan kerja yang layak. b. Investasi tidak hanya didasarkan pada value for money tapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. c. Memberi prioritas pembangunan infrastruktur dasar seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sanitasi. 3. Mendorong peningkatan kerjasama perpajakan a. Pertukaran informasi (exchange of information) tanpa syarat. Pembentukan forum perpajakan multinasional dan regional. b. Revisi terhadap Panduan Transfer Pricing dan Tax Treaty Model.
---000---