KERJA SURFAKTAN DALAM PEMATANGAN PARU BAYI PRETERM
dr. Ketut Suardana, Sp.OG
BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR 2013
BAB I PENDAHULUAN
Dahulu, imaturitas paru seringkali menjadi penyebab kematian bayi preterm yang baru lahir. Dengan penatalaksanaan klinis intensif yang ada saat ini permasalahan fungsi paru tidak lagi menjadi permasalahan perawatan pada sebagian besar bayi preterm baru lahir. Penatalaksanaan tersebut meliputi pemberian kortikosteroid antenatal untuk memicu percepatan maturasi paru janin, tehnik ventilator neonatal yang terus berkembang, dan pemberian terapi surfaktan. Pemahaman mengenai proses pematangan paru harus mencakup anatomi, fisiologi, biologi sel dan molekuler. Meskipun secara anatomi dan fisiologi perkembangan paru telah amat dipahami oleh ilmuwan, namun kemajuan di bidang genetika dan biologi telah membuka suatu jendela pemahaman yang lebih luas mengenai proses yang mendasari pematangan paru tersebut. Membran hyalin sudah seringkali disebutkan dalam kaitannya dengan penyebab kematian respiratorik pada abad keduapuluh. Namun sesungguhnya tidak ada kemajuan bermakna dalam hal pemahaman mengenai maturitas paru hingga pada tahun 1959 Avery dan Mead menemukan adanya kaitan antara kegagalan pernapasan dengan berkurangnya kadar surfaktan pada ekstrak paru bayi yang meninggal akibat 1
respiratory distress syndrome (RDS). Ketika hubungan antara atelektasis, membran hialin dan kadar surfaktan dipublikasikan, serangkaian penelitian berikutnya bermunculan yang utamanya memfokuskan pada sistem surfaktan. Salah satu 1
penelitian yang bermanfaat secara klinis dipublikasikan oleh Gluck dan rekan pada tahun 1971. Gluck dan rekan meneliti mengenai rasio lesitin – sfingomyelin (L/S) pada cairan amnion untuk memprediksi kejadian RDS pada bayi preterm. Menyusul kemudian penemuan mengenai manfaat pengukuran fosfatidilgliserol (FG) sebagai tes untuk menilai maturitas paru. Efek pematangan kortikosteroid terhadap sistem yang sedang berkembang ditemukan pada akhir tahun 1960 dan baru pada tahun 1972 Liggins dan Howie mendemonstrasikan adanya penurunan insiden RDS setelah pemberian kortikosteroid pada ibu hamil.
1, 2, 3
Surfaktan paru merupakan materi kompleks yang terdiri dari lipid dan protein yang disekresi oleh pneumosit tipe II yang melapisi alveoli. Sel ini mulai muncul pada sekitar usia kehamilan 21 minggu dan mulai memproduksi surfaktan pertamakali antara minggu ke 28 dan 32 kehamilan. Surfaktan memegang peranan penting dalam fisiologi paru. Komponen fosfolipid dalam surfaktan, dipalmitoyl phosphatidylcholine (DPCC), menurunkan tegangan permukaan dari cairan yang melapisi alveoli. Molekul DPCC mengandung bagian hidrofilik yang terdapat pada lapisan cairan alveoli, dan bagian hidrofobik yang mengarah ke lumen alveoli. Sifat molekul-molekul DPCC cenderung saling menolak satu sama lain, sehingga melawan gaya tegangan permukaan yang memiliki arah gaya ke dalam lumen alveoli menyebabkan alveoli cenderung untuk menjadi kolaps. Melalui mekanisme tersebut surfaktan membantu mempertahankan stabilitas ukuran alveoli, menurunkan tegangan permukaan dari alveoli. Efek netto dari mekanisme ini adalah konsistensi diameter dan stabilitas alveoli. Fungsi lain surfaktan berkaitan dengan imunologi
yaitu melindungi paru dari cedera dan infeksi yang disebabkan oleh partikel atau mikroorganisme yang terhirup saat bernafas.
4,5
Terapi surfaktan pada paru imatur pertamakali didemonstrasikan pada model hewan pada tahun 1970 oleh Enhörning dan Robertson dan pada tahun 1980 Fujiwara dan rekan berhasil mendemonstrasikannya pada manusia.
1
Sebagai konsekuensi
terhadap temuan tersebut adalah semakin berkembangnya riset mengenai terapi surfaktan untuk bayi dengan RDS dan penyakit paru neonatus lainnya. Surfaktan akhirnya mendapat persetujuan pertamakalinya untuk digunakan sebagai terapi untuk RDS
pada
tahun
1990.
Pemahaman
mengenai
surfaktan
memungkinkan
pengembangan continuous positive airway pressure (CPAP) untuk mempertahankan kapasitas fungsional residual (functional residual capacity) pada bayi dengan RDS. Kemajuan riset mengenai terapi surfaktan pada kasus RDS dan penyakit paru neonatus lainnya telah memberikan manfaat yang besar terhadap luaran bayi yang dilahirkan.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Struktur Paru Organogenesis paru dapat dibagi menjadi lima tahapan yang berbeda. Tahapan awal meliputi fase embrionik (hari ke 26 hingga 52) dan fase pseudoglanduler (hari ke 52 hingga akhir minggu ke-16 kehamilan) yang berikutnya adalah fase kanalikuler (17 hingga 26 minggu kehamilan), fase sakuler (26 hingga 36 minggu kehamilan) dan terakhir adalah fase alveoler (36 minggu sampai 24 bulan postnatal).
1, 6
Gambar 2.1 Perkembangan Morfologi Paru Manusia (dikutip dari Jobe, 2009).
7
2.1.1 Fase embrional Pada fase embrional paru pertama kali muncul sebagai sebuah ventral bud yang terpisah dari esofagus dan kaudal dari sulkus laringotrakheal. Celah antara bud paru
dan esofagus akan semakin dalam, disertai dengan semakin memanjangnya bud dan mesenkim dan semakin terpisah membentuk calon bronkhi. 2.1.2 Fase pseudoglanduler Fase ini dicirikan dengan pembelahan yang cepat membentuk 15 hingga 20 saluran udara. Saluran udara yang terbentuk dilapisi oleh selapis sel kuboid yang kaya akan glikogen. Diferensiasi sel berlangsung secara sentrifugal dimana pada bagian distal tubulus dilapisi oleh sel yang semakin tidak terdiferensiasi. Pembuluh darah arteri dan paru juga berkembang seiring dengan perkembangan saluran udara. Di akhir fase pseudoglanduler saluran udara, arteri dan vena telah berkembang menyerupai pola yang ditemukan pada paru dewasa. Pada fase ini pula diafragma terbentuk dan memisahkan rongga dada dan abdomen, kegagalan penutupan akan menyebabkan hernia diafragma dan hipoplasia paru. 2.1.3 Fase kanalikuler Fase kanalikuler, antara 17 hingga 26 minggu kehamilan, menunjukkan perubahan dari paru yang praviabel menjadi paru yang berpotensi viabel dengan kemampuannya untuk melakukan pertukaran gas. Perubahan utama yang terjadi pada fase ini adalah terbentuknya asinus, diferensiasi epitel dengan pembentukan sawar udara-darah (airblood barrier) dan dimulainya sintesis surfaktan di sel tipe II. Asinus muncul sebagai sebuah jonjot di bagian distal saluran udara yang berasal dari sebuah bronkiolus terminalis. Perkembangan asinus merupakan tahapan penting dalam kemampuan paru untuk melakukan pertukaran gas di masa berikutnya.
Lapisan mesenkim yang melapisi sekitar saluran udara awalnya miskin akan vaskularisasi menjadi lebih kaya akan pembuluh darah. Pada fase ini juga terbentuk daerah permukaan calon tempat terjadinya pertukaran gas. Diferensiasi epitel dicirikan oleh penipisan dari proksimal ke distal dengan perubahan sel dari epitel kuboid menjadi epitel tipis yang melapisi rongga saluran udara. Saluran udara ini semakin bertambah dalam hal panjang dan diameter dengan perubahan mesenkim yang menjadi semakin kaya akan vaskularisasi. Setelah usia kehamilan 20 minggu sel kuboid yang kaya akan glikogen ini akan mulai membentuk badan lamellar dalam sitoplasmanya menandakan dimulainya produksi surfaktan. 2.1.4 Fase sakuler Fase ini merupakan fase perkembangan paru pada janin yang dianggap viabel yaitu pada usia kehamilan 26 hingga 36 minggu. Sakulus merupakan struktur terminal dari paru janin, yang terdiri dari tiga tahapan pembentukan, yaitu bronkiolus repiratorik, duktus alveolaris, baru kemudian terjadi septasi sekunder dari sakulus yang akanmembentuk alveoli. Pada fase ini ruang udara meningkat dari 65.000 pada usia kehamilan 18 minggu menjadi hingga 4 juta pada usia kehamilan 32-36 minggu. Mikrosvaskularitas juga meningkat, yang berarti terjadi peningkatan area tempat pertukaran gas.
Gambar 2.2 Percabangan Saluran Udara, Usia Janin dan Jumlah Cabang Selama 7 Perkembangan Paru (dikutip dari Jobe, 2009). . 1.5 Fase alveoler Alveolarisasi dimulai pada usia kehamilan 32 hingga 36 minggu dari sakulus terminalis dengan munculnya septa yang mengandung kapiler, serat elastin, dan kolagen. Sakulus dan alveoli yang baru terbentuk secara cepat mengalami septaseptasi membentuk 100 juta aleveoli pada aterm dan sekitar 500 juta alveoli pada orang
dewasa.
Kecepatan
pembentukan
alveoli
maksimal
terjadi
pada
antarausiakehamilan 36 minggu hingga beberapa bulan setelah lahir dan selesai pada sekitar usia 2 tahun. Jika proses alveolarisasi terganggu kemungkinan terjadi efek buruk jangka pendek dan jangka panjang pada fungsi paru bayi baru lahir. Sejumlah
tindakan intervensi klinis dan bahan kimia diketahui dapat mengganggu proses alveolarisasi. Hiperoksia, hipoksia dan ventilasi mekanis dapat mempengaruhi alveolarisasi. Glukokortikoid dapat menyebabkan terhentinya proses alveolarisasi. Glukokortikoid menyebabkan abnormalitas permanen pada alveoli dan pembuluh darah pada tikus percobaan. Glukokortikoid yang diberikan pada monyet percobaan pada fase sakuler mengurangi mesenkim dan membuat paru tampak lebih matur, namun pada saat mencapai aterm paru memiliki volume gas yang lebih rendah dan jumlah alveoli yang lebih sedikit. Sedangkan pada domba pemberian glukokortikoid dosis tunggal atau berulang menyebabkan penurunan jumlah alveoli dan peningkatan ukuran alveoli setelah terjadi persalinan preterm. Namun pada saat aterm jumlah alveoli
ditemukan
normal,
menunjukkan
perkembangan alveoli adalah dimungkinkan.
bahwa
pemulihan
dari
inhibisi
1,7,8,9
2.2 Fisiologi Pernapasan Neonatus Saat bayi dilahirkan dan sirkulasi fetoplasenta berhenti berfungsi, bayi tersebut mengalami perubahan fisiologi yang besar sekali dalam waktu yang sangat cepat. Dalam beberapa menit setelah lahir, sistem pernapasan harus mampu memberikan oksigen dan mengeliminasi karbondioksida. Kelangsungan hidup bayi tersebut tergantung pada kecepatan dan keteraturan pertukaran oksigen dan karbondioksida antara lingkungan barunya dan sirkulasi paru-paru yang terisi cairan harus diisi dengan udara, udara harus dipertukarkan dengan gerakan pernapasan yang tepat, dan mikrosirkulasi yang baik harus diciptakan di sekitar alveoli tersebut.
Segera setelah lahir, pola pernapasan bergeser dari satu inspirasi episodik dangkal, yang khas pada pernapasan janin, menjadi pola inhalasi lebih dalam dan teratur. Sekarang jelas bahwa aerasi paru-paru neonatus bukan inflasi dari suatu struktur yang kolaps, melainkan pergantian cepat cairan bronkhial dan alveoli dengan udara. Percobaan pada domba, dan diperkirakan juga pada bayi manusia, cairan alveoli yang tersisa setelah kelahiran dibersihkan melalui sirkulasi paru dan pada tingkat yang lebih kecil, melalui sistem limfatik paru. Karena cairan digantikan dengan udara, terdapat pengurangan cukup besar kompresi vaskuler paru dan selanjut, menurunkan tahanan aliran darah. Dengan menurunnya aliran cairan darah arteri pulmonalis, duktus arteiosus normalnya menutup. Penutupan foramen ovale lebih variabel. Tekanan negatif yang tinggi pada rongga dada diperlukan untuk menghasilkan suplai udara pertama kali ke dalam alveoli yang terisi cairan. Normalnya, dari pernapasan pertama setelah lahir ini, secara progesif lebih banyak udara residual berkumpul di dalam paru-paru, dan setiap pernapasan berikutnya, diperlukan tekanan pembukaan paru-paru, yang lebih rendah. Pada bayi aterm normal, pada sekitar pernafasan kelima, perubahan tekanan-volume yang dicapai pada setiap respirasi sangat serupa dengan orang dewasa normal. Surfaktan menurunkan tegangan permukaan alveoli oleh karena itu mencegah terjadinya kolaps paru pada setiap ekspirasi. Tidak adanya surfaktan yang cukup menyebabkan timbulnyaRDS dengan cepat.
10
Von Neergard pada tahun 1929 membandingkan kurva-kurva tekanan volume paru-paru yang dikembangkan dengan udara, dengan paru-paru yang dikembangkan dengan suatu larutan gum Arab. Dari hasil penelitian ini, ia menyimpulkan bahwa kekuatan yang meningkatkan deflasi atau kolapsnya paru-paru yang mengandung udara adalah kekuatan yang terutama dihasilkan oleh tegangan permukaan pada sekat udara saringan pada alveolus (Dikutip dari Parmigiani & Solari, 2003). Clements pada tahun 1957 menemukan bahwa suatu bahan yang menghasilkan tegangan permukaan terdapat di dalam ekstraks-ekstraks salin dari bahan cucian paru. Disimpulkan bahwa sifat-sifat permukaan aktif dari alveoli dapat dihubungkan dengan komponen-komponen suatu kompleks lipoprotein, yaitu surfaktan (Dikutip dari Halliday, 2008).
2.2.1 Tegangan permukaan Pada medium cair, molekul-molekul di dalamnya saling tarik menarik satu sama lain sehingga satu molekul akan mengalami gaya tarik menarik dari berbagai arah. Namun ketika zat cair mengalami kontak dengan udara, molekul di permukaan hanya akan mendapat gaya tarik dari sisi-sisi samping dan ke dalam serta gaya tarik yang lemah dari udara . Sebagai hasilnya seluruh molekul yang ada di permukaan akan mengalami netto traksi ke arah bawah.
Gambar 2.3 Gaya Tarik Menarik Antar Molekul dan Tegangan Permukaan. Molekul air di bagian dalam akan mengalami gaya tarik menarik dengan molekul sekelilingnya, namun molekul air di permukaan akan mengalami netto gaya berupa gaya tarik ke dalam ( Dikutip dari Possmayer, 2011 ).
11
Pada kondisi ini suatu usaha diperlukan untuk memindahkan molekul dari posisinya yang lebih dalam ke arah permukaan. Pada air, besarnya usaha atau energi yang diperlukan untuk memindahkan sejumlah molekul ke arah permukaan sejauh 1 cm pada suhu
37 ͦ C adalah sebesar
2
70 mJ/cm
2
2
atau 70 erg/cm . Model yang
menggambarkan kondisi ini dapat dijelaskan dengan contoh gelembung yang ditiupkan dalam air. Perbedaan tekanan di antara sisi-sisi permukaan gelembung tersebut digambarkan dengan rumus Young dan Laplace : P = 2γ / r
Dimana P adalah tekanan, satuannya adalah dalam milinewton per meter persegi ( 2
mN/ m ), r adalah radius, satuannya dalam meter, dan γ adalah tegangan permukaan satuannya dalam milinewton per meter (mN/ m). Karena adanya gaya
tarik terhadap molekul yang ada di permukaan, gaya yang lain pada lapisan permukaan
bekerja
menolak
ekspansi
dari
gelembung
dan
karenanya
mengkontraksikan area permukaan. Gaya kontraktil ini disebut dengan tegangan permukaan dan memiliki nilai sebesar 70 mN/ m atau 70 dyne/ cm pada air dengan ͦ
suhu 37 C. Tegangan permukaan dapat berubah apabila ditambahkan substansi tertentu pada zat cair. Karena adanya ikatan hidrogen, air memiliki nilai γ yang tinggi. Nilai γ ethanol lebih rendah daripada air. Pada larutan air – ethanol, molekul air berinteraksi dengan ethanol dengan kekuatan yang lebih lemah dibandingkan dengan sesama molekul air, dan ikatan hidrogen berkurang. Karenanya molekul ethanol pada permukaan larutan ini akan mengalami gaya tarik ke dalam yang lebih lemah dibandingkan molekul air. Penggantian sebagian area permukaan air dengan molekul ethanol menyebabkan berkurangnya γ. Perbedaan besar gaya tarik menarik pada permukaan antara molekul air dan ethanol juga menimbulkan efek lainnya. Karena molekul ethanol pada permukaan mengalami gaya tarik ke dalam lebih kecil sehingga akumulasi molekul ethanol akan naik ke area permukaan. Dengan meningkatnya konsentrasi ethanol di permukaan akan menyebabkan semakin menurunnya tegangan permukaan dari larutan. Sebaliknya penambahan natrium klorida pada air akan menyebabkan sedikit peningkatan γ, kemungkinan akibat molekul air memiliki gaya tarik menarik yang kuat dengan ion natrium dan klorida. Sehingga molekul air membutuhkan energi potensial yang lebih besar untuk mempertahankan permukaan.
Istilah tegangan permukaan biasanya digunakan pada antar-muka zat cairudara; sedangkan interfacial tension adalah istilah yang digunakan pada antar-muka zat lainnya. Molekul-molekul di permukaan memiliki energi potensial yang relatif lebih besar dibandingkan molekul di bawahnya. Semua molekul yang terdapat di permukaan mengalami gaya tarik ke arah bawahnya. Arah gaya ini adalah tegak lurus permukaan. Sehingga jelas kondisi paling stabil terjadi pada area permukaan yang kecil. Beberapa ahli lain mendefinisikan γ adalah besarnya usaha yang dibutuhkan untuk mengekspansi area permukaan. Pemahaman yang lain menggambrkan γ adalah sebagai lapisan elastis yang terdiri dari molekul-molekul yang ada di permukaan, dimana gaya tarik molekul-molekul tersebut ke arah bawah bersifat melawan ekspansi dan bekerja mengecilkan area permukaan. Gaya kontraktil ini menimbulkan perbedaan tekanan diantara gelembung atau alveoli, yang besarnya sama dengan dua kali tegangan permukaan dibagi radius.
11
Sejumlah kejadian sehari-hari yang muncul
akibat fenomena tegangan permukaan dapat ditemukan misalnya pada :
a. Terbentuknya butiran air pada permukaan yang berminyak, misalnya permukaan daun. Air bersifat membentuk ikatan secara lemah dengan minyak (wax) sebaliknya berikatan secara kuat dengan sesama molekul air, jadi air berikatan dan berkelompok membentuk tetesan air. b. Mengambangnya benda yang lebih padat dari air dapat terjadi apabila benda bersifat tidak dapat basah (nonwettable) dan beratnya cukup ringan untuk dapat diangkat oleh gaya yang muncul akibat tegangan permukaan. Misalnya
serangga waterstrider memanfaatkan tegangan permukaan untuk berjalan di atas permukaan kolam. Permukaan air berlaku sebagai lapisan elastis dimana kaki-kaki dari serangga menyebabkan indentasi pada permukaan air, meningkatkan jumlah area permukaan. c. Separasi minyak dan air (dalam hal ini, air dan wax cair) disebabkan oleh tegangan permukaan antara dua cairan yang berbeda.
12
Gambar 2.4 Fenomena Tegangan Permukaan dalam Kehidupan Sehari-hari a. Butiran air di atas daun, b. Serangga waterstrider yang mengambang di atas air, c. Lampu lava ( Dikutip dari Bush, 2007).
12
Pada alveoli berlaku hukum yang serupa. Menurut hukum Laplace gaya yang ditimbukan oleh tegangan permukaan memiliki arah menarik ke dalam, menimbulkan efek kolaps. Sehingga tegangan permukaan pada alveoli dengan radius tertentu harus mendapat perlawanan gaya tekanan transmural yang sesuai. Tekanan ini adalah tekanan transpulmoner. Jika alveoli hanya dilapisi oleh cairan interstisial, maka jumlah tekanan transpulmoner yang dibutuhkan hanya untuk sekedar
mengembangkan paru akan sangat besar. Namun dengan adanya surfaktan tegangan permukaan ini dapat diturunkan.
13
Selama beberapa tahun diduga kemampuan rekoil paru sepenuhnya adalah karena peregangan serat elastin yang terdapat pada parenkima paru. Pada tahun 1929 Von Neergaard menunjukkan bahwa paru yang terisi sepenuhnya oleh air memiliki nilai elastance yang lebih kecil dibandingkan paru yang terisi oleh udara. Ia menyimpulkan bahwa sebagian besar sifat elastic recoil adalah akibat tegangan permukaan yang bekerja pada antar-muka air udara yang melapisi alveoli (Dikutip dari Lumb, 2011). Tegangan permukaan pada antar-muka air udara menghasilkan gaya yang cenderung untuk mengecilkan area antar-muka. Karenanya tekanan gas di dalam gelembung selalu lebih tinggi daripada tekanan di sekitarnya karena permukaan dari gelembung selalu dalam keadaan tegang. Sifat alveoli menyerupai gelembung tersebut, meskipun gas dalam alveoli terhubung dengan lingkungan luar melalui saluran pernapasan. Tekanan di dalam gelembung lebih tinggi daripada tekanan sekitar dengan nilai perbedaan yang bergantung pada tegangan permukaan cairan dan radius dari gelembung berdasar persamaan Laplace.
14
Gambar 2.5 Arah Aliran Gas Alveoli Pada Tegangan Permukaan yang Sama ( Dikutip dari Lumb, 2011).
14
Pada gambar alveoli sebelah kiri menunjukkan tipikal alveoli dengan radius 0,1 mm. Dengan asumsi bahwa lapisan cairan alveoli yang normal memiliki tegangan permukaan 20 mN/ m (= 20 dyn/ cm), tekanan dalam alveoli adalah sebesar 0,4 kPa ( 4 cmH2O ), sedikit lebih rendah daripada tekanan transmural yang normal pada saat FRC. Jika lapisan cairan alveoli memiliki tegangan permukaan yang sama dengan air (72 mN/ m), maka paru akan sangat kaku. Pada gambar alveoli sebelah kanan, memiliki radius hanya 0,05 mm dan persamaan Laplace menyatakan bahwa jika tegangan permukaan kedua alveoli adalah sama besar maka besar tekanan yang dimiliki seharusnya dua kali dari tekanan alveoli sebelah kiri. Maka gas akan cenderung mengalir dari alveoli yang lebih kecil menuju ke alveoli yang lebih besar, dan ini akan menyebabkan paru menjadi tidak stabil. Serupa dengan itu, gaya retraksi dari lapisan alveoli akan
meningkat pada volume paru yang rendah dan menurun pada volume paru yang tinggi, dan ini bertentangan dengan hal yang sesungguhnya terjadi. Mengutip dari Lumb (2011) , Von Neergaard telah mengamati paradoks ini dan ia berkesimpulan bahwa tegangan permukaan dari lapisan cairan alveoli pasti lebih rendah dari yang diduga selama ini dan nilainya bervariasi. Eksperimen 30 tahun kemudian membenarkan hal ini, ketika pada percobaan menunjukkan bahwa ekstrak alveoli memiliki tegangan permukaan yang jauh lebih rendah daripada air dan besarnya bervariasi sesuai proporsi area antar-muka yang dimiliki.
Gambar 2.6 Hubungan Tegangan Permukaan dengan Area Permukaan Relatif ( Dikutip dari Lumb, 2011).
14
Gambar di atas menunjukkan sebuah percobaan menggunakan batang yang mengambang di atas sebuah bak yang berisi ekstrak alveoli. Pada saat batang bergerak kearah kanan, lapisan surfaktan terkonsentrasi dan tegangan permukaan
berubah yang ditunjukkan oleh alat pencatat seperti yang terdapat di sebelah kanan gambar. Pada saat ekspansi, tegangan permukaan meningkat hingga 40 mN/ m, nilai yang mendekati nilai tegangan permukaan plasma, dan pada saat kontraksi tegangan permukaan turun hingga mencapai 19 mN/ m, nilai yang lebih rendah dari cairan tubuh manapun. Hubungan antara tekanan dan luas area adalah berbeda pada saat ekspansi dan kontraksi, dan menggambarkan sebuah loop.
Gambar 2.7 Arah Aliran Gas Alveoli Pada Tegangan Permukaan yang Bervariasi ( Dikutip dari Lumb, 2011).
14
Konsekuensi dari perubahan ini adalah sangat penting. Berbeda dengan gelembung yang terbentuk dari larutan sabun, tekanan di dalam alveoli cenderung menurun apabila radius gelembung berkurang. Pada alveoli sebelah kanan yang memiliki diameter lebih kecil juga memiliki tegangan permukaan yang lebih rendah daripada alveoli sebelah kiri. Gas cenderung untuk mengalir dari alveoli yang lebih besar menuju ke yang lebih kecil sehingga stabilitas paru tetap terjaga.
14
2.2.3 Cairan paru janin Saluran pernapasan janin selalu terisi oleh cairan hingga terjadinya persalinan dan dimulainya ventilasi pertama. Sebagian besar informasi mengenai aspek kuantitas paru janin diperoleh dari janin domba, melalui pemeriksaan sonografi. Paru janin mendekati
aterm
mengandung
cairan
dalam
jumlah
yang
cukup
untuk
mempertahankan volume cairan saluran pernapasan yaitu sekitar 40 ml/kg berat badan, dimana jumlah ini lebih banyak dibandingkan kapasitas napas paksa (forced respiratory capacity) paru yang sudah bernapas. Komposisi elektrolit cairan paru dipertahankan oleh sekresi klorida transepitelial dengan reabsorbsi bikarbonat. Cairan paru janin mengandung sedikit protein karena epitel janin bersifat impermeabel terhadap protein. Transpor aktif Cl
-
dari interstisial ke dalam lumen menghasilkan kecepatan produksi cairan paru sebesar 4 hingga 5 ml/kg per jam. Dengan asumsi berat janin 3 hingga 4 kilogram, produksi cairan paru janin adalah sekitar 400 ml perhari. Jumlah cairan paru yang memadai dibutuhkan dalam perkembangan paru janin yang normal. Cairan paru mengalir secara intermiten menuju trachea bersamaan dengan gerakan nafas janin. Sejumlah cairan ini ditelan dikembali dan sisanya keluar dan bercampur dengan cairan amnion. Tekanan dalam trachea janin melebihi dari tekanan pada cairan amnion sekitar 2 mmHg, sehingga dapat mempertahankan aliran keluar dan sekaligus volume cairan paru janin. Sekresi cairan paru nampaknya merupakan suatu fungsi metabolisme intrinsik dari epitel paru janin yang sedang berkembang karena perubahan tekanan hidrostatik vaskuler, tekanan trachea dan
gerakan napas janin tidak mempengaruhi produksi cairan paru janin secara signifikan. Pembersihan dari cairan paru janin sangat penting pada adaptasi pernapasan neonatus. Produksi cairan paru janin yang aterm dapat secara komplit terhenti dengan pemberian infus epinefrin dalam jumlah yang sama dengan kadar epinefrin yang ditemukan pada saat proses bersalin. Kondisi ini tidak muncul pada paru janin preterm. Namun pembersihan yang diperantarai oleh epinefrin ini dapat distimulasi dengan kombinasi pemberian kortikosteroid dan triiodotironin. Pada janin domba produksi serta volume cairan paru janin dipertahankan hingga onset persalinan. Selama fase aktif dan kala II persalinan jumlah cairan paru janin berkurang, menyisakan sekitar 35% yang nantinya akan diserap dan dikeluarkan dari paru dengan aktivitas bernafas. Sebagian besar dari cairan ini bergerak secara cepat menuju ruang interstisial dan kemudian memasuki pembuluh darah paru, dan kurang dari 20% dikeluarkan melalui jalur limfatik paru. Pembersihan cairan dari ruang interstisial membutuhkan waktu hingga beberapa jam. Pembersihan setelah persalinan terjadi dengan cara transport aktif natrium melalui kanal natrium epitel (epithelial sodium channel / ENaC) yang dapat diblok oleh amiloride. Ablasi genetik sub unit α dari ENaC menyebabkan kematian pada tikus yang baru lahir akibat paru janin yang masih mengandung cairan paru. Permasalahan paru yang bersifat temporer pada bayi seringkali disebabkan oleh penundaan pembersihan cairan paru janin.
7
2.3 Maturitas Paru 2.3.1 Regulasi maturasi paru Berbagai
kondisi
fisik,
kimia
dan
rangsangan
hormonal
dapat
mempengaruhi perkembangan paru serta sintesis dan sekresi fosfolipid. Insiden RDS ditemukan lebih rendah pada bayi yang dilahirkan setelah melalui proses persalinan, baik dilahirkan pervaginam maupun dengan seksio sesarea, dibandingkan dengan bayi yang dilahirkan tanpa melalui proses bersalin pada usia kehamilan yang sama. Jenis kelamin nampaknya juga berpengaruh pada maturasi paru, pada usia kehamilan yang sama laki-laki lebih sering mengalami RDS daripada perempuan. Perbedaan kadar fosfolipid dalam cairan ketuban menunjukkan bahwa maturitas biokimia paru perempuan terjadi lebih awal, kurang lebih 1 minggu, dibandingkan dengan laki-laki. Diabetes maternal juga mempengaruhi maturitas paru, ditemukan insiden RDS yang lebih tinggi pada bayi preterm yang dilahirkan dari ibu dengan diabetes kelas A-C dengan pengontrolan kadar gula yang buruk. Penundaan maturasi paru ini dapat disebabkan oleh hiperglikemia, hiperinsulinemia, derivat asam butirat yang berlebih, atau kombinasi dari ketiga faktor tersebut. Asfiksia akut dengan hipoksia dan asidosis nampaknya juga menghambat produksi surfaktan. Insiden RDS ditemukan lebih tinggi pada bayi kedua gemelli, mungkin hal ini berkaitan dengan asfiksia. Akhirnya faktor familial dan juga riwayat RDS pada kehamilan sebelumnya menempatkan bayi preterm yang dilahirkan berikutnya dengan resiko lebih besar untuk mengalami RDS. Sebaliknya, beberapa kondisi klinis dapat mengakselerasi maturasi paru dan menurunkan insiden RDS. Termasuk diantaranya stress maternal
jangka panjang, misalnya toksemia dan hipertensi, pertumbuhan janin terhambat, infeksi maternal, diabetes kelas F dan R, paparan maternal terhadap heroin. Stres maternal kronik mengakselerasi maturasi paru melalui mekanisme yang melibatkan hormon semisal glukokortikokoid dan katekolamin. Dari temuan eksperimental sintesis surfaktan distimulasi oleh berbagai macam hormon, growth factor, dan faktor transkripsi termasuk diantaranya glukokortikoid, hormon tiroid, thyrotropin-releasing hormone (TRH), prolaktin, cyclicadenosine monophosphate (cAMP), asam retinoat, epidermal growth factor, dan thyroid transcription factor. Diantara faktor-faktor tersebut glukokortikoid paling banyak diteliti. Pemberian glukokortikoid memberikan efek berupa perubahan morfologi yang menandakan terjadinya akselerasi terhadap maturasi paru meliputi alveoli yang membesar, septa interalveoler yang lebih tipis, peningkatan jumlah sel tipe 2, dan jumlah lamellar body di dalamnya. Sebagai tambahan, glukokortikoid juga meningkatkan biosintesis fosfolipid juga protein-protein surfaktan.
15,16
2.3.2 Evaluasi maturitas paru Penilaian maturasi paru janin berdasarkan analisis terhadap fosfolipid pada cairan amnion dimulai pada tahun 1971, ketika Gluck dan rekan melaporkan adanya perubahan konsentrasi fosfolipid selama kehamilan. Dari hasil analisis terhadap cairan amnion yang diperoleh dari amniosentesis pada kehamilan normal dan abnormal, mulai dari usia kehamilan 12 minggu hingga aterm, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar fosfolipid total seiring bertambahnya usia kehamilan dan
peningkatan tajam terjadi pada usia kehamilan 35 minggu. Kadar lesitin dan sfingomyelin hampir serupa hingga usia kehamilan 32 minggu, sementara setelah usia kehamilan setelah itu kadar sfingomyelin terus meningkat sedangkan kadar sfingomyelin justru menurun. Selanjutnya konsep rasio lesitin-sfingomyelin (L/S) muncul dari temuan tersebut. Temuan ini kemudian diikuti oleh berbagai penelitian lainnya mengenai kegunaan klinis dari rasio L/S dalam memprediksi maturitas paru janin. Pada awal Hobbins dan rekan menggunakan kadar lesitin lebih besar dari sfingomyelin sebagai definisi maturasi paru janin dan menemukan bahwa berdasarkan definisi tersebut janin tidak akan mengalami RDS berapapun berat lahirnya. Rasio L/S 2:1 muncul pada sekitar usia kehamilan 35 minggu dan penelitian-penelitian berikutnya melaporkan bahwa kejadian RDS hanya ditemukan pada 2-3% bayi dengan rasio L/S 2:1 atau lebih. Dalam usaha memperbaiki akurasi fosfolipid dalam memprediksi kejadian RDS, fosfolipid lain seperti FG diteliti pada kehamilan normal dan terkomplikasi. FG pertamakali terdeteksi pada usia kehamilan 34-35 minggu dan kadarnya meningkat seiring usia kehamilan. Ditemukannya FG dengan kadar 3% (atau lebih) dari total fosfolipid merupakan prediktor maturasi janin. Mengkombinasikan rasio L/S dengan pengukuran kadar FG meningkatkan akurasi analisis fosfolipid amniotik. Rasio L/S dan pengukuran kadar FG telah menjadi standar baku dalam penentuan maturasi paru janin. Rasio L/S yang matur dan FG yang positif memiliki nilai prediksi negatif mendekati 100%. Namun nilai prediksi positif hanya berkisar 70%. Tes L/S – FG juga memiliki kekurangan lain. Tes ini dikerjakan dengan
metode thin layer chromatography yang membutuhkan banyak waktu dalam pengerjaannya. Adanya darah dan mekonium dapat secara signifikan menurunkan akurasi tes rasio L/S. Karena adanya kekurangan ini maka metode lain untuk menentukan maturitas paru janin terus dikembangkan. Metode yang ideal seharusnya memenuhi syarat dapat dilakukan berulangkali, sederhana secara teknis, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengerjakannya serta memiliki akurasi prediksi positif dan negatif yang tinggi. Namun hingga saat ini metode yang seperti itu masih belum ditemukan. Mengutip dari Mercer (2009), pada tahun 1972 Clements dan rekan melaporkan sebuah tes cepat untuk mendeteksi surfaktan pada cairan amnion yang dikenal dengan tes kocok (shake test). Tes ini berdasarkan kemampuan surfaktan untuk menghasilkan busa stabil dengan adanya ethanol. Tes ini sangat sederhana, tidak memerlukan peralatan khusus, dan bisa didapatkan hasil dalam waktu singkat. Hasil tes dinyatakan matur apabila ditemukan adanya busa pada pengenceran cairan amnion dengan perbandingan 1 : 2, dan dinyatakan imatur apabila tidak ditemukan busa pada pengenceran 1 : 1. Tes kocok sama baiknya dengan rasio L/S dalam memprediksi maturasi paru, namun memiliki angka false imatur yang sedikit lebih tinggi. Serupa dengan rasio L/S berkurang akurasinya apabila terdapat mekonium atau darah. Meskipun tes kocok lebih sederhana dan cepat dibandingkan dengan rasi L/S, namun sebaiknya hanya digunakan untuk penapisan dan hasil tes yang imatur harus dikonfirmasikan dengan rasio L/S – FG.
Mikroviskositas cairan amnion, yang ditentukan dengan pemeriksaan fluorescence polarization juga telah digunakan sebagai tes cepat untuk mendeteksi maturasi paru janin. Cairan amnion memiliki viskositas yang tinggi dan konstan hingga mendekati usia kehamilan 30-32 minggu dimana setelah usia kehamilan tersebut terjadi penurunan drastis yang diikuti penurunan yang lebih perlahan dan konstan hingga usia kehamilan aterm. Hampir serupa dengan tes lainnya pemeriksaan mikroviskositas ini dapat secara akurat memprediksi maturasi paru janin namun seringkali memberikan hasil imatur palsu. Kelebihan dari tes ini adalah mudah dilakukan dan hasil yang didapatkan cepat karena menggunakan alat pemeriksa yang bersifat otomatis, namun sekaligus sebagai kekurangan karena ketersediaan alat yang tidak selalu mudah didapatkan. Metode lain yang juga digunakan untuk evaluasi maturasi paru janin adalah pemeriksaan terhadap komponen protein dari surfaktan. King dan rekan melakukan penilaian terhadap “surfactant associated-protein” yang kini dikenal dengan dengan SP-A, pada cairan amnion mulai dari usia kehamilan 12 minggu hingga aterm. Antara 12-32 minggu tidak ditemukan protein yang dimaksud, namun antara usia 3237 minggu titernya meningkat dan kemudian menjadi stabil. Pola peningkatan ini menyerupai peningkatan kadar fosfolipid pada kehamilan. Kadar SP-A sebesar 3 μg / ml atau lebih secara akurat memprediksikan paru yang matur namun tes ini kurang akurat dalam memprediksikan imaturitas paru (positif palsu yang tinggi). Ketika tes ini dikombinasikan dengan L/S – FG kemampuan untuk memprediksikan imaturitas akan menjadi lebih baik.
10,16,17
2.4 Surfaktan Paru Secara umum pengertian surfaktan adalah suatu senyawa percampuran yang dapat menurunkan tegangan permukaan (atau tegangan antar permukaan) antara dua zat cair atau antara zat cair dengan zat padat. Surfaktan dapat bekerja sebagai deterjen, agen pembasah (wetting agent), emulsifier, agen pembusa (foaming agent) atau dispersan.
Gambar 2.8 Diagram Skematik Surfaktan ( Dikutip dari Bush, 2007 ).
12
Surfaktan biasanya merupakan suatu senyawa organik yang bersifat ampifilik, yaitu mempunyai bagian hidrofobik (pada bagian ekor) sekaligus bagian hidrofilik (bagian kepala). Sehingga sebuah surfaktan mengandung kedua komponen yang bersifat tidak larut air (larut minyak) dan juga komponen larut air. Surfaktan akan menyebar di air dan menyerap pada antarmuka udara dan air (atau minyak dan air pada percampuran minyak dan air). Bagian hidrofobik surfaktan dapat keluar dari
zat cair menuju udara atau minyak, sementara bagian hidrofilik masih tetap berada dalam zat cair. Keberadaan surfaktan pada permukaan suatu zat akan merubah sifat dari permukaan air pada antarmukanya dengan udara atau minyak. Dalam industri aplikasi surfaktan terdapat pada produk rumah tangga seperti : deterjen, cat, zat perekat, tinta, wax, herbisida, insektisida, kosmetik (shampo, conditioner), alat 12
pemadam kebakaran dan lain-lain.
Gambar 2.9 Struktur Unit Fungsional Paru ( Dikutip dari http://embryology.med.unsw.edu.au/embryology ).
18
Surfaktan paru merupakan kompleks lipoprotein yang bersifat surface-active yang disintesis oleh sel alveolar tipe II. Protein dan lipid yang terkandung dalam surfaktan juga memiliki bagian hidrofilik dan hidrofobik. Dengan melakukan aktivitas penyerapan pada antarmuka cairan-udara alveoli, dimana bagian hidrofilik
menghadap zat cair dan ekor hidrofobik menghadap udara, komponen lipid utama sufaktan yaitu dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) menurunkan tegangan permukaan. 2.4.2 Komposisi surfaktan Surfaktan adalah percampuran kompleks antara fosfolipid dan protein yang disintesis di sel alveolar tipe 2. Fosfolipid utama penyusun surfaktan adalah fosfatidilkolin (FK, disebut juga lesitin), yang menyusun sekitar 80-85% fosfolipid, dan fosfatidilgliserol (FG) yang menyusun sekitar 8-11%. Sekitar separuh fosfatidilkolin berada dalam bentuk tidak terdesaturasi.
Gambar 2.10 Komposisi Surfaktan. Komponen utama adalah fosfatidilkolin tersaturasi. Protein surfaktan berkontribusi 16 sekitar 8% dari massa surfaktan (Dikutip dari Mercer, 2009 ).
Pada sekitar 80-90% kehamilan terjadi peningkatan bermakna fosfolipid total paru, dimana peningkatan ini sebagian besar terjadi akibat peningkatan FK. Peningkatan aktivitas permukaan ekstrak paru, serta distensibilitas dan stabilitas paru juga muncul pada saat ini.
17
Selain fosfolipid, sebagai komponen penyusun
surfaktan, telah diidentifikasi jugaempat surfactant-related proteins. Surfactan protein A (SP-A) adalah protein yang terglikosilasi dengan berat molekuler 28-36 kDa. SP-A merupakan bagian dari sistem imun innate paru dan studi terbaru menunjukkan
bahwa
pada
tikus
defisiensi
SP-A
mengakibatkan
mudah
terjadinyainfeksi paru dan sistemik pada pemberian bakteri intratrakeal termasuk bakteri streptokokus grup B. Dua protein hidrofobik dengan ukuran yang lebih kecil, SP-B dan SP-C, dengan berat molekuler 4 dan 8 kDa, berperan penting dalam fungsi surface-active dari surfaktan. Sedangkan SP-D merupakan protein lectin-likedan serupa dengan SP-A, berperan penting dalam sistem pertahanan terhadap infeksi.
19,20,21
2.4.2 Metabolisme surfaktan Sel epitel alveolar tipe II dan makrofag merupakan dua sel yang bertanggungjawab dalam jalur (pathway) utama metabolisme surfaktan. Jalur sintesis dan sekresi pada sel tipe II merupakan serangkaian proses biokimia kompleks yang menghasilkan pelepasan lipid, SP-B dan SP-C dari lamellar body ke alveolus melalui eksositosis.
Gambar 2.11 Pembentukan dan Metabolisme Surfaktan. Lamellar body dibentuk di sel tipe II dan disekresi secara eksositosis ke dalam cairan yang melapisi alveoli. Materi yang dilepaskan kemudian diubah menjadi myelin tubuler (MT) dan ini merupakan sumber lapisan permukaan tipis fosfolipid. Surfaktan diambil kembali melalui endositosis oleh makrofag alveoli dan sel tipe II. N : Nukleus, RER : Retikulum Endoplasma Kasar, CB : Composite Body ( Dikutip dari Barret et al, 2010 )
22
Surfaktan diproduksi oleh sel epitel alveoli tipe II. Lamellar body, organela yang mengandung fosfolipid, dibentuk di dalam sel tipe II ini dan disekresikan ke dalam lumen alveoli melalui mekanisme eksositosis. Tabung lemak yang disebut tubuler myelin terbentuk dari bagian lamellar yang menjorok, yang pada prosesnya kemudian membentuk lapisan fosfolipid.Setelah disekresikan, fosfolipid melapisi alveoli dengan bagian ekor yang bersifat hidrofobik menghadap lumen alveoli. Tegangan permukaan berubah secara berbanding terbalik dengan jumlah fosfolipid per unit area, molekul surfaktan bergerak saling menjauh satu sama lain pada saat
alveoli meregang selama inspirasi dan hal ini mengakibatkan tegangan permukaan meningkat dan sebaliknya tegangan permukaan menurun ketika molekul saling mendekat yaitu pada saat terjadi ekspirasi. Sebagian dari kompleks lipid-protein dari surfaktan diambil kembali oleh sel tipe II melalui proses endositosis untuk dipergunakan kembali.
15
Pembentukan lapisan tipis fosfolipid utamanya difasilitasi oleh komponen protein pada surfaktan.SP-A adalah glikoprotein berukuran besara dan memiliki beberapa fungsi, termasuk regulasi pengambilan surfaktan oleh sel tipe II.SP-B dan SP-C merupakan protein dengan ukuran yang lebih kecil yang memfasilitasi pembentukan lapisan fosfolipid monomolekuler. SP-D menyerupai SP-A merupakan glikoprotein. Fungsi utamanya tidak diketahui, namun seperti anggota kelompok protein kolektin lainnya diduga berperan dalam innate immunity saluran pernapasan dan alveoli. Sekresi surfaktan distimulasi melalui beberapa mekanisme.Pemberian ß agonis memberikan respon pada sel tipe II berupa peningkatan sekresi surfaktan. Purin seperti adenosine trifosfat (ATP) merupakan stimulant yang kuat terhadap sekresi surfaktan dan mungkin penting untuk sekresi surfaktan pada saat lahir.Sekresi surfaktan juga distimulasi oleh adanya peregangan mekanis seperti misalnya distensi paru dan hiperventilasi. Sekresi surfaktan yang muncul pada saat dimulainya ventilasi mengikuti lahirnya bayi kemungkinan berasal dari kombinasi antara efek meningkatnya katekolamin dan peregangan paru. Meskipun secara umum jalur sintesis surfaktan sudah diketahui, namun detail mengenai bagaimana komponen dari
surfaktan berkondensasi dengan SP-B dan SP-C untuk membentuk kompleks lipoprotein surfaktan didalam lamellar body masih belum sepenuhnya dipahami.
22
2.4.3 Efek fisiologis surfaktan pada paru preterm 2.4.3.1 Mempertahankan stabilitas alveoli Alveoli secara tradisional digambarkan sebagai bidang berbentuk bola dimana surfaktan berfungsi untuk mempertahankan ukurannya. Namun dalam kenyataannya alveoli sebenarnya berbentuk prismatik atau polygonal dengan permukaan yang datar dengan lekukan dimana dinding-dinding saling bersilangan. Lebih lanjut, alveoli bersifat interdependen dimana struktur mereka ditentukan oleh bentuk dan elastisitas dinding alveoli lain yang saling bersinggungan.
1, 4
Pada saat alveoli mengalami
kolaps maka alveoli di sekitarnya akan teregang oleh alveoli tersebut. Lebih lanjut lagi sebagai respon terhadap regangan, maka alveoli di sekitarnya akan menarik alveoli yang mengalami kolaps, gaya ekspansi yang ditimbulkan akan menjaga alveoli yang kolaps agar kembali terbuka.
23
Gambar 2.12 Hubungan Interdependen Alveoli. ( Dikutip dari Sherwood, 2011 ).
23
Untuk mempertahankan stabilitas alveoli surfaktan harus merubah tegangan permukaan sesuai dengan perubahan ukuran alveoli pada saat ekspirasi dan inspirasi. Penjelasan sederhana dari kerja surfaktan adalah selama ekspirasi, yaitu pada saat area permukaan alveoli mengecil, maka molekul-molekul surfaktan akan merapat dan menjadi lebih padat, ini akan menimbulkan efek yang lebih besar terhadap tegangan permukaan berupa penurunan tegangan permukaan. Sebenarnya pada keadaan nyata, mekanismenya jauh lebih kompleks dan belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Penjelasan klasik yang dikenal dengan hipotesis “squeeze out’’, yaitu pada saat lapisan tunggal surfaktan (surfactant monolayer) terkompres, fosfolipid yang kurang stabil terperas keluar dari lapisan, sedangkan jumlah molekul DPCC yang stabil meningkat, dimana DPCC ini memiliki kerja yang lebih signifikan dalam hal menurunkan tegangan permukaan. Fosfolipid surfaktan in vivo terdapat dalam bentuk lapis tunggal dan lapis majemuk (multilayer), dan dimungkinkan pada beberapa bagian di alveoli lapisan surfaktan berubah-ubah diantara dua bentuk tersebut sesuai perubahan ukuran alveoli selama proses respirasi.
14
Surfaktan juga menjaga saluran pernapasan agar tidak terisi oleh cairan, sehingga mengakibatkan obstruksi lumen. Jika alveoli kolaps atau terisi cairan, bentuk alveoli yang berdekatan juga akan mengalami perubahan berupa distorsi, overdistensi atau juga mengalami kolaps. Jika tekanan positif diberikan pada paru yang mengalami defisiensi surfaktan maka alveoli yang lebih normal akan cenderung mengalami overekspansi dan alveoli yang lebih kurang normal (yang lebih sedikit mengandung surfaktan) akan mengalami kolaps, menciptakan paru yang
mengembang secara tidak seragan. Pemberian terapi surfaktan dapat menormalkan ukuran dari alveoli.
1, 4
2.4.3.2 Menurunkan tegangan permukaan Kemampuan surfaktan untuk menurunkan tegangan permukaan berasal dari komponen fosfolipid yang dikandungnya. Fosfolipid memiliki bagian hidrofilik dan sekaligus bagian hidrofobik. Prinsip dari fosfolipid ini bersifat tidak larut, berada dalam dispersi cairan dalam bentuk agregat seperti liposom. Kutub fosforilkolin berinteraksi dengan air, sementara bagian hidrofobik bergerak menuju arah udara. Interaksi antara molekul-molekul ini lebih lemah dibandingkan interaksi tarik menarik antar molekul air. Pada kasus ethanol, lipid ini akan menurunkan tegangan permukaan dengan jalan menggeser air dari permukaan. Efek surfaktan pada paru preterm yang kekurangan surfaktan ditunjukkan oleh hubungan tekanan-volume pada saat kuasi-statis inflasi dan deflasi. Jumlah tekanan yang dibutuhkan untuk membuka unit paru berkaitan dengan radius kurva dan tegangan permukaan meniskus cairan yang terdapat pada saluran udara pada unit tersebut. Jika terdapat defisiensi surfaktan maka tegangan permukaan akan menjadi tinggi dan bervariasi. Paru yang tidak mengembang terdiri dari saluran udara yang berisi cairan dengan radius yang berbeda. Unit yang mengandung saluran udara dengan radius yang besar dan tegangan permukaan yang rendah akan membuka terlebih dahulu sehingga inflasi yang terjadi berbeda dengan paru yang yang
mengalami defisiensi surfaktan. Paru preterm yang mengalami defisiensi surfaktan tidak akan terjadi inflasi sebelum tekanan melebihi 25 cm H2O. Pemberian surfaktan akan menimbulkan efek berupa penurunan tajam pada opening pressure hingga sekitar 15 cm H2O. Pemberian surfaktan tidak merubah radius dari saluran udara, berkurangnya opening pressure disebabkan oleh adsorbsi surfaktan ke meniscus. Inflasi terjadi lebih seragam karena tegangan permukaan yang rendah membuat aerasi lebih tidak bergantung pada ukuran saluran udara.Lebih banyak unit yang terbuka pada tekanan yang lebih rendah dan juga lebih sedikit terjadi overdistensi pada unit yang sudah terbuka.
1, 4, 13
Gambar 2.13 Hubungan Tekanan-Volume Saat Inflasi dan Deflasi pada Paru Kelinci Preterm yang Mengalami Defisiensi Surfaktan dan yang Diberikan Terapi Surfaktan ( Dikutip dari Grenache, 2006 )
Panah pada kurva menunjukkan arah inflasi-deflasi. Sebagai kontrol adalah paru kelinci preterm berusia 27 hari. Paru yang mengalami defisiensi surfaktan dicrikan dengan tekanan pembukaan yang tinggi, volume maksimal yang rendah pada saat tekanan 35 cm H2O, dan kurangnya stabilitas pada saat deflasi pada saat tekanan rendah. Sebaliknya paru kelinci preterm yang diberikan terapi surfaktan merubah secara signifikan hubungan tekanan-volume.
17
Efek signifikan surfaktan
terhadap paru yang mengalami defisiensi surfaktan adalah peningkatan 2.5 kali volume maksimal pada tekanan 35 cm H2O. Pada penelitian, tekanan lebih dari 35 cm H2O akan menyebabkan ruptur pada paru dengan defisiensi surfaktan. Selain itu peningkatan volume paru juga berarti peningkatan luas permukaan sehingga terjadi pertukaran gas yang lebih baik.Sebagai tambahan surfaktan juga memberikan stabilitas yang lebih baik pada keadaan paru deflasi. Paru yang kekurangan surfaktan akan mengalami kolaps pada tekanan transpulmoner yang rendah. Sedangkan paru yang diberikan terapi surfaktan dapat mempertahankan 36% volume paru pada saat deflasi hingga tekanan serendah 5 cm H2O.
16
2.4.3.3 Reduksi ultra-filtrasi Selain menurunkan tegangan permukaan secara keseluruhan dan menciptakan stabilitas alveolar, surfaktan juga mencegah terjadinya udem paru. Darah yang mengalir melalui alveoli yang kaya akan jaringan kapiler, seperti pada capillary bed lain yang ada pada tubuh, berlaku hukum Starling. Yaitu, filtrasi cairan melalui dinding kapiler menuju jaringan interstisial bergantung pada gradient tekanan
hidrostatik. Apabila tidak terdapat surfaktan, untuk mengembangkan alveoli, tekanan transpulmoner harus meningkat hingga mencapai -28 cm H2O, ini akan menyebabkan net gradient tekanan yang bekerja dengan arah keluar. Namun dengan adanya surfaktan, tegangan permukaan akan menurun, sehingga mengurangi tekanan transpulmoner yang dibutuhkan, akibatnya net gradien tekanan akan bekerja kearah dalam dan menjaga interstisial alveoli tetap kering.
13
2.5 Steroid Antenatal dan Pematangan Paru Bayi Preterm Kortikosteroid yang diberikan pada ibu dengan risiko persalinan preterm secara signifikan menurunkan insiden respiratory distress syndrome (RDS) pada bayi baru lahir, utamanya jika persalinan terjadi dalam waktu 7 hari setelah pemberian steroid. Cochrane review terhadap 21 penelitian (melibatkan 3885 wanita dan 4269 bayi) menunjukkan pemberian kortikosteroid antenatal menurunkan risiko kematian bayi sebesar 31%, RDS 44% dan intraventricular haemorrhage sebesar 46%. Kortiosteroid antenatal juga berkaitan dengan penurunan kejadian necrotising enterocolitis, kebutuhan akan alat bantu pernapasan, perawatan intensif dan infeksi
sistemik dalam 48 jam pertama kehidupan dibandingkan dengan kelompok pasien tanpa terapi atau placebo. Tidak didapatkan adanya efek samping dari pemberian steroid antenatal ini. Hasil yang signifikan pada luaran bayi diperoleh apabila persalinan terjadi setidaknya 48 jam setelah pemberian steroid dan pada usia kehamilan di atas 24 minggu.
24
Pemberian kortikosteroid sebelum paru matang akan memberikan efek berupa peningkatan sintesis fosfolipid surfaktan pada sel pneumosit tipe II dan memperbaiki tingkat maturitas paru. Kortikosteroid bekerja dengan menginduksi enzim lipogenik yang dibutuhkan dalam proses sintesis fosfolipid surfaktan dan konversi fosfatidilkolin tidak tersaturasi menjadi fosfatidilkolin tersaturasi, serta menstimulasi produksi antioksidan dan protein surfaktan (SP-A hingga SP-D). Efek fisiologis glukokortikoid pada paru meliputi peningkatan komplians dan volume maksimal paru, menurunkan permeabilitas vaskuler, meningkatkan pembersihan cairan paru, maturasi struktur parenkim, memperbaiki fungsi respirasi, serta memperbaiki respon paru terhadap pemberian terapi surfaktan post natal. Betamethasone dan dexamethasone adalah kortikosteroid sintetis kerjapanjang dengan potensi glukokortikoid yang serupa dan efek mineralokortikoid yang tidak bermakna. Adanya perbedaan dalam hal ikatan dengan albumin, transfer plasenta dan afinitas pada reseptor kortikosteroid, maka dibutuhkan dosis kortisol, kortison, hidrokortison, prednisone dan prednisolon yang lebih tinggi untuk mencapai ekuivalensi dosis yang sama dengan dexamethasone dan betamethasone pada janin.
16
Rejimen pemberian kortikosteroid yang direkomendasikan oleh Royal
College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) tahun 2010 adalah 2 dosis bethametasone 12 mg berjarak 24 jam dari dosis pertama, diberikan intramuskuler atau 4 dosis dexamethasone 6 mg tiap 6 jam, diberikan intramuskuler. Masih menurut rekomendasi dari RCOG setiap klinisi sepatutnya menawarkan pemberian
terapi kortikosteroid antenatal ini pada setiap wanita dengan risiko persalinan preterm dengan usia kehamilan 24 minggu + 0 hari hingga 34 minggu + 6 hari.
25
2.6 Terapi Surfaktan pada Respiratory Distress Syndrome (RDS) Terapi surfaktan telah menjadi standar perawatan pada bayi preterm dengan respiratory distress syndrome (RDS), penggunaannya juga semakin sering pada bayi yang mendekati aterm dan aterm dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Di Amerika Serikat insiden prematuritas meningkat. RDS menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi preterm, utamanya pada bayi dengan extremely low birth weight < 1000 gram. Insiden RDS berbanding terbalik dengan usia kehamilan. Dengan semakin rutinnya penggunaan steroid prenatal, insiden dan juga tingkat severitas RDS telah menurun secara bermakna hingga hampir 50% pada beberapa tahun terakhir. RDS terjadi pada sekitar 50% bayi yang lahir < 30 minggu, dan hanya pada 25% bayi yang lahir di atas 30 minggu. Terapi
surfaktan
terbukti
menurunkan
kejadian
luaran
buruk
berupa
bronchopulmonary dysplasia (BPD) dan kematian pada bayi preterm dengan RDS.
26
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) bukanlah penyebab tersering penyebab kegagalan napas pada bayi near-term dan bayi aterm yang baru lahir yang dirawat pada neonatal intensive care unit (NICU). ARDS seringkali merupakan dampak sekunder dari meconium aspiration syndrome (MAS), pneumonia kongenital, ARDS yang diinduksi sepsis, pneumonia viral, perdarahan pulmoner dan defisiensi SP-B komplit atau parsial. Pada kondisi-kondisi tersebut inaktivasi atau
disfungsi surfaktan merupakan faktor penyebab utama. Mekanisme utama inaktivasi surfaktan pada ARDS diantaranya dengan berkurangnya sintesis dan sekresi oleh pneumosit tipe II atau inhibisi langsung fungsi surfaktan oleh zat-zat seperti mekonium, darah, protein serum atau protein dari cairan udem. Terapi surfaktan eksogen menunjukkan bermanfaat pada 70% pasien ARDS.
26,27
Fujiwara dan rekan-rekan pertamakali melaporkan pada tahun 1980 bahwa pemberian surfaktan pada saluran pernapasan memberikan efek perbaikan oksigenasi pada bayi dengan RDS berat. Penggunaan surfaktan untuk RDS untuk penggunaan klinis secara luas terjadi pada tahun 1990 setelah sejumlah penelitian uji klinis. Tiga surfaktan yang dibuat dari paru babi atau sapi saat ini tersedia di Amerika Serikat.Sifat dari surfaktan buatan ini berbeda dengan surfaktan alami dalam hal komposisi dan fungsi dikarenakan mereka memiliki komposisi protein dan fosfolipid yang diubah sehingga memiliki karakter biofisik yang berbeda pula. Pada bayi dengan RDS, alveoli dan jaringan sekitarnya berukuran kecil dan perlahan-lahan ukurannya bertambah setelah lahir. Terapi surfaktan secara cepat meningkatkan jumlah baik alveoli maupun jaringan sekitarnya karena surfaktan eksogen yang diberikan akan diambil oleh sel tipe II dan kemudian diproses untuk kemudian diresekresi. Surfaktan eksogen yang diberikan akan bertahan di paru dan tidak cepat mengalami degradasi. Dosis terapi surfaktan eksogen yang diberikan tidak menyebabkan umpan balik negatif berupa hambatan sintesis fosfatidilkolin ataupun protein surfaktan endogen.Hingga saat ini tidak ditemukan adanya konsekuensi metabolik atau perubahan fungsi paru dengan pemberian terapi surfaktan.Tidak
terdapat perbedaan yang bermakna secara klinis diantara beberapa jenis surfaktan yang digunakan dalam terapi RDS. Surfaktan telah diujikan penggunaannya pada dua situasi : pada bayi preterm dengan resiko terjadinya RDS segera setelah lahir, dan pada bayi yang memang sudah mengalami RDS. Kedua strategi pemberian tersebut sama-sama secara efektif menurunkan derajat severitas gejala pernapasan dan kematian bayi.Strategi pengobatan ini mungkin tidak berpengaruh pada kejadian komplikasi atau luaran bayi aterm dengan RDS namun pengobatan dini akan sangat bermanfaat pada bayi imatur dengan berat kurang dari 1 kilogram. Pada praktik klinis, perbedaaan kedua strategi pengobatan ini menjadi kurang jelas karena saat ini terapi diberikan segera setelah lahir dan ketika tanda-tanda distres napas baru mulai nampak.Pemberian terapi surfaktan tidak boleh mempengaruhi pemberian bantuan resusitasi neonatus dan stabilisasi awal. Strategi perawatan di dalamnya juga harus melibatkan penggunaan continuous positive end-expiratory pressure.
16
2.7 Jenis Preparat Surfaktan Eksogen Sejumlah surfaktan eksogen telah melewati uji pre klinis dan klinis dalam penggunaannya pada RDS dan ARDS. Secara umum preparat surfaktan dibagi menjadi empat kategori berdasarkan apoprotein yang dikandung. Yaitu : (1) Whole surfactant yang berasal dari cairan amnion manusia, mengandung kedua protein yaitu protein hidrofobik dan hidrofilik. (2) Modified natural surfactants yang diperoleh dari sapi atau babi yang mengandung protein hidrofobik surfaktan SP-B dan SP-C. (3) Surfaktan sintetis yang mengandung simplified peptides atau analog
protein surfaktan rekombinan (misalnya : Surfaxin dan Venticute) and (4) Surfaktan sintetik bebas protein yang hanya mengandung fosfolipid dan bahan aditif (misalnya ALEC dan Exosurf).
Tabel 2.1 Preparat Surfaktan yang Digunakan Preklinik dan di Klinik ( Dikutip dari Zuo et al, 2008).
28
Diantara preparat surfaktan tadi, cairan amnion manusia yang paling sedikit dikomersialkan karena keterbatasan sumber bahan. Surfaktan sintetik bebas protein menjadi kurang popular karena performa klinis yang kurang memuaskan. ALEC yang dillisensi di Inggris, telah ditarik dari pasar. Exosurf tidak lagi tersedia untuk pasar Amerika. Baik uji preklinik pada hewan coba maupun dalam praktik klinis menunjukkan bahwa preparat surfaktan yang berasal dari hewan bersifat superior dibanding preparat sintetik. Namun preparat modified natural surfactants ini juga memiliki sejumlah keterbatasan. Keterbatasan utamanya diantaranya adalah adanya
variasi komposisi antar produk dan potensi resiko transmisi mikroba. Sebagai tambahan, kandungan protein yang terdapat di dalam preparat ini dapat sangat rendah dibandingkan dengan surfaktan endogen. Karena pertimbangan imunologis, maka kandungan preotein hidrofilik, yaitu protein SP-A dan SP-D, telah dihilangkan selama proses purifikasi pada saat diproduksi. Hal ini dikarenakan SP-A dan SP-D merupakan glikoprotein multimerik, berbeda dengan protein hidrofobik SP-B dan SP-C yang memiliki berat molekul rendah, memiliki potensi untuk menimbulkan potensi bahaya reaksi imunologi. Kandungan protein hidrofobik pada berbagai preparat surfaktan bervariasi namun jumlahnya jauh lebih rendah daripada surfaktan endogen. Aktivitas in-vitro dari berbagai preparat yang berasal dari hewan dan juga sensitifitasnya terhadap inhibisi sangat bervariasi secara signifikan, kemungkinan berkaitan dengan perbedaan konten protein pada masing-masing produk. Yang perlu dicatat adalah meskipun terdapat perbedaan biofisik yang nyata dan keunggulan secara klinis preparat surfaktan yang berasal dari hewan dibandingkan preparat yang lain namun tidak ditemukan perbedaan statistik dalam hal mortalitas atau hari perawatan di NICU. Keterbatasan lain dari preparat surfaktan yang berasal dari hewan adalah harganya yang relatif mahal, yaitu sekitar US$500 per dosis untuk bayi prematur. Mahalnya harga preparat ini berkaitan dengan mahalnya harga untuk menjamin terjaganya mutu produk dan juga biaya uji klinik yang tinggi. Pada saat merawat pasien dengan ARDS sangat dibutuhkan surfaktan dalam jumlah yang besar, dosis multipel dengan suplai yang berkelanjutan. Hal ini membuat biaya untuk melakukan
terapi surfaktan menjadi relatif mahal. Analisis sosioekonomi menunjukkan bahwa terapi surfaktan bersifat cost-effective hanya bila dilakukan pada negara maju. Pada negara-negara berkembang terapi surfaktan hanya digunakan pada keadaan tertentu karena tingginya harga surfaktan. Contohnya di India insiden RDS adalah sekitar 712% pada bayi baru lahir dan ini berkaitan dengan tingginya angka mortalitas karena kurangnya perawatan tersier termasuk terapi surfaktan. Di Cina, terapi surfaktan telah diperkenalkan pada praktik sehari-hari namun terbatas hanya pada kawasan-kawasan tertentu di negara tersebut yang telah memiliki kondisi ekonomi yang baik. Tingginya harga surfaktan telah membatasi penggunaannya secara luas di berbagai negara. Untuk itu di masa mendatang diperlukan penelitian lanjutan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak akan preparat surfaktan dengan harga yang lebih murah.
28
BAB III RINGKASAN
Pada mamalia seluruh permukaan alveolar parunya dilapisi oleh lapisan tipis kontinyu yang disebut alveolar lining layer yang di dalamnya mengandung surfaktan paru. Surfaktan paru merupakan materi kompleks yang terdiri dari lipid dan protein yang disekresi oleh pneumosit tipe II yang melapisi alveoli. Sel ini mulai muncul pada sekitar usia kehamilan 21 minggu dan mulai memproduksi surfaktan pertamakali antara minggu ke 28 dan 32 kehamilan. Surfaktan memegang peranan penting dalam fisiologi paru.. Fosfolipid utama penyusun surfaktan adalah fosfatidilkolin (disebut juga lesitin) dan fosfatidilgliserol. Protein komponen penyusun surfaktan terdiri dari empat surfactant-related proteins, yaitu dua protein hidrofilik (SP-A dan SP-D) dan dua protein hidrofobik (SP-B dan SP-C). Fungsi utama dari lapisan surfaktan ini adalah menurunkan tegangan permukaan pada antar-muka air udara lapisan cairan alveoli, sehingga mekanisme normal pernapasan dapat terus berlangsung. Kedua, adalah mempertahankan stabilitas alveoli dan mencegah alveoli menjadi kolaps. Ketiga, surfaktan dapat mencegah terjadinya udem paru. Fungsi tambahan lain adalah berkaitan dengan imunologi yaitu melindungi paru dari cedera dan infeksi yang disebabkan oleh partikel atau mikroorganisme yang terhirup saat bernafas Defisiensi atau disfungsi surfaktan menyebabkan penyakit pernapasan yang berat. Respiratory distress syndrome (RDS) pada neonatus merupakan bentuk
penyakit akibat defisiensi surfaktan yang sering ditemukan dan ini berkaitan erat dengan prematuritas. RDS merupakan suatu kondisi pada bayi premature yang memberi gambaran klinis berupa peningkatan usaha napas, penurunan komplians paru, atelektasis yang nyata (kolaps alveoli) dengan gambaran penurunan FRC, gangguan pertukaran gas dan udem interstisial yang luas. Terapi surfaktan secara cepat meningkatkan jumlah baik alveoli maupun jaringan interstisial sekitarnya. Surfaktan eksogen yang diberikan akan diambil oleh sel tipe II dan kemudian diproses untuk kemudian diresekresi. Surfaktan eksogen yang diberikan akan bertahan di paru dan tidak cepat mengalami degradasi. Dosis terapi surfaktan eksogen yang diberikan tidak menyebabkan umpan balik negatif berupa hambatan sintesis fosfatidilkolin ataupun protein surfaktan endogen.Hingga saat ini tidak ditemukan adanya konsekuensi metabolik atau perubahan fungsi paru dengan pemberian terapi surfaktan. Kemajuan riset mengenai terapi surfaktan pada kasus RDS dan penyakit paru neonatus lainnya telah memberikan manfaat yang besar terhadap luaran bayi yang dilahirkan. Namun tingginya harga preparat surfaktan telah membatasi penggunaannya secara luas di berbagai negara. Untuk itu di masa mendatang diperlukan penelitian lanjutan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak akan preparat surfaktan dengan harga yang lebih murah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Jobe AH. Lung Development and Maturation. In : (Martin R, Fanaroff A, Walsh M) Neonatal Perinatal Medicine : Diseases of Fetus and Infant, 8 Mosby Elsevier : 2006; 407-18
th
edition,
2.
Halliday HL. Surfactants : Past, Present and Future. Journal of Perinatology 2008; 28 :47-56
3.
Parmigiani S, Solari E. The Era of Pulmonary Surfactant from Laplace to Nowadays. Acta Bio Medica 2003; 74: 69-75
4.
Goerke J. Pulmonary Surfactant : Functions and Molecular Composition. Biochimica et Biophysica Acta 1998; 1408: 79-89
5.
Stoelting RK, Hilier SC. The Lungs. In : Handbook of Pharmacology and nd Physiology in Anesthetic Practice, 2 Edition, Lippincott Williams & Wilkins ; 2006 : 898 - 913
6.
Burri P. Structural Aspects of Postnatal Lung Development – Alveolar Formation and Growth. Biol Neonate 2006; 89 : 313-22
7.
Jobe, AH. Fetal Lung Development and Surfactant. In : (Creasy RK, Resnik R, Iams JD, Lockwood CJ, Moore TR) Creasy & Resnik’s Maternal-Fetal th Medicine, 6 edition, Saunders Elsevier ; 2009: 193-205
8.
Post M, Copland I. Overview of Lung Development. Acta Pharmacol Sin 2002; 23 : S 4-7
9.
Sadler TW. Respiratory System. In : Langman’s Medical Embriology, 8 edition, Lippincott Williams & Wilkins ; 2000: 275-84
th
10. Alibasya MA. Pemeriksaan untuk Memprediksikan Maturitas Paru Janin. Referat. Universitas Sriwijaya. Palembang. 2005
11. Possmayer F. Physicochemical Aspects of Pulmonary Surfactant. In : (Polin R, th Fox W, Abman S) Fetal and Neonatal Physiology, 4 edition, Volume 1, Elsevier Saunder ; 2011: 1094 - 1114 12. Bush JW. MIT Lecture Notes on Surface Tension. Massachusetts Institute of Technology. Retrieved April 1, 2007.
13. Human Physiology Hub Pages. Surfactant Lowering Pulmonary Surface Tension. Available from : http://hubpages.com/hub/Surfactant-LoweringPulmonary-Surface-Tension. Accessed : 10/ 11/2013 14. Lumb AB. Elastic Forces and Lung Volume. In : Nunn’s Applied Respiratory th
Physiology, 7 edition, Elsevier ; 2011 : 255 - 319 15. Gross I, Bizzarro MJ. Fetal Lung Development and Amniotic Fluid Analysis. In rd : (Reece A, Hobbins JC) Clinical Obstetrics : The Fetus & Mother, 3 edition, Blackwell Publishing; 2007: 85-92 16. Mercer BM. Assesement and Induction of Fetal Pulmonary Maturity. In : (Creasy RK, Resnik R, Iams JD, Lockwood CJ, Moore TR) Creasy & Resnik’s th
Maternal-Fetal Medicine, 6 edition, Saunders Elsevier ; 2009: 421-31 17. Grenache DG, Gronowski AM. Fetal Lung Maturity. Clinical Biochemistry 2006; 39(1) : 1-10 18. UNSW Embryology. Respiratory Alveoli. Available from : http://embryology.med.unsw.edu.au/embryology/index.php?title=File:Respirator y_histology_03.jpg. Accessed : 15/ 12/ 2013 19. Schurch S, Lee M, Gehr P. Pulmonary Surfactant : Surface Properties and Function of Alveolar and Airway Surfactant. Pure and Apll Chem 1992; 64(11) : 1745-50 20. Hills BA. An Alternative View of The Role(s) of Surfactant and The Alveolar Model. J App.Physiol. 1999; 87(5): 1567-83
21. Griese M. Pulmonary Surfactant in Health and Human Lung Disease : State of the Art. Eur Respir J. 1999; 13: 1455-76 22. Barret K, Brooks H, Boitano S, Barman S. Respiratory Physiology. In : Ganong’s Review Medical Phisiology, 23 608
rd
edition, McGraw-Hill; 2010: 587-
23. Sherwood, L. The Respiratory System. In : Human Physiology : From Cells to th System, 7 edition, Brooks Cole ; 2010 : 461 – 511 24. Peebles D. Management of Preterm Premature Ruptured Membranes. In : (Norman J, Greer I, eds.) Preterm Labour : Managing Risk in Clinical Practice, Cambridge University Press ; 2005: 171-91 25. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Antenatal Corticosteroids to Reduce Neonatal Morbidity and Mortality. In : Green-top Guideline, vol. 7; 2010 : 1-13 26. Ramanathan R. Surfactant Therapy in Preterm Infants with Respiratory Distress Syndrome and in Near-Term or Term Newborns with Acute RDS. Journal of Perinatology. 2006; 26 :, S51–S56 27. Ramanathan R. Choosing a Right Surfactant for Respiratory Distress Syndrome Treatment. Neonatology. 2009; 95: 1–5 28. Zuo Y, Veldhuizen RA, Neumann AW, Petersen NO, Possmayer F. Curren Perspectives in Pulmonary Surfactant - Inhibition, Enhancement and Evaluation. Biochimica et Biophysica Acta. 2008; 1947-1977