KEHAMILAN ABDOMINAL
dr. Pius Made Mawan, SpOG
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2013
BAB 1 PENDAHULUAN
Kehamilan abdominal adalah bentuk kehamilan yang jarang terjadi namun memberi risiko yang sangat tinggi baik morbiditas dan mortalitas terhadap janin maupun ibu. Keadaan ini merupakan salah satu bentuk yang paling serius dari kehamilan ektopik. Kehamilan abdominal lanjut merupakan salah satu bentuk kehamilan ektopik yang berlanjut, dimana hasil konsepsi tumbuh di luar rongga uterus. Kehamilan abdominal dibedakan menjadi dua yaitu kehamilan abdominal primer dan sekunder. Disebut kehamilan abdominal primer jika implantasi pertama kali terjadi diperitoneum, sedangkan kehamilan abdominal sekunder jika implantasi pertama di tuba kemudian mengalami abortus selanjutnya reimplantasi ke permukaan peritoneum.1-4 Angka
kejadian
kehamilan
abdominal
berbeda-beda,
Rahman
dkk,
mendapatkan angka kejadian 1 diantara 130.200 kelahiran. Di Amerika Serikat antara tahun 1970-1983 terdapat 10,9 kehamilan abdominal/100.000 kelahiran hidup dan 9,2 kehamilan abdominal /1000 kehamilan ektopik. Faktor risiko dari kehamilan abdominal sama seperti kehamilan ektopik.5 Kehamilan abdominal berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas ibu yang tinggi, dengan risiko kematian 7 sampai 8 kali lebih besar dibandingkan dengan kehamilan ektopik tuba dan 90 kali lebih besar dari kehamilan intrauterin. Terjadi morbiditas dan mortalitas perinatal yang tinggi, biasanya akibat pertumbuhan yang terganggu dan anomali kongenital seperti hipoplasia paru janin, deformitas tekanan dan asimetris wajah dan ekstrimitas. Insiden kelainan kongenital sebesar 20 sampai 40 %.3,6 Pada kehamilan abdominal, janin berkembang pada cavum peritoneum, plasenta berkembang pada permukaan organ abdomen seperti peritoneum pelvis, ligamentum latum, uterus, omentum dan usus. Struktur organ tersebut bereaksi dengan pertumbuhan pembuluh darah untuk mensuplai plasenta. Perlekatan plasenta yang lemah menyebabkan terjadinya perdarahan retroplasenta dan perdarahan intra abdominal yang mengancam janin dan ibu. Insufisiensi plasenta menjadi penyebab kematian janin aterm jika tidak dilahirkan secara operasi laparotomi. Mengingat
morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada kehamilan abdominal sebaiknya kehamilan segera diakhiri dengan pembedahan, namun pada kehamilan abdominal lanjut beberapa ahli mencoba dilakukan konservatif sampai menunggu pematangan paru janin. Tindakan konservatif dilakukan apabila usia kehamilan diatas 24 minggu, janin hidup tanpa kelainan mayor dan implantasi plasenta pada organ peritoneum jauh dari hepar dan lien serta perawatan yang baik terhadap ibu dirumah sakit yang tersedia pelayanan tranfusi darah.3 Pada tindakan laparotomi, manajemen plasenta merupakan tantangan tersendiri, dimana harus dipersiapkan dan direncanakan secara baik. Pada kesempatan ini kami ingin mengangkat sari pustaka tentang kehamilan abdominal yang saat ini merupakan kasus yang sangat jarang tapi memberi risiko yang sangat tinggi baik morbiditas dan mortalitas terhadap janin maupun ibu.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kehamilan abdominal adalah merupakan bagian dari kehamilan ekstrauterin atau kehamilan ektopik yaitu ovum yang terfertilisasi berimplantasi pada jaringan selain endometrium. Kehamilan abdominal dibedakan menjadi dua yaitu kehamilan abdominal primer dan sekunder.1,4,7 Kehamilan abdominal primer adalah: implantasi pertama kali dan satu-satunya terjadi pada permukaan peritoneum. Kehamilan abdominal sekunder adalah: implantasi pertama kali terjadi di dalam ostium tuba, kemudian mengalami abortus dan mengalami reimplantasi ke dalam permukaan peritoneum. Kehamilan abdominal sekunder adalah jauh lebih sering dan terjadi akibat abortus atau ruptur tuba, atau lebih jarang akibat implantasi dalam abdomen setelah ruptura uteri.4,7 2.2 Epidemiologi Insiden kehamilan abdominal bervariasi dari 1 dalam 372 sampai 1 dalam 9.714 kelahiran hidup. Kehamilan abdominal berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dengan risiko kematian 7 sampai 8 kali lebih besar dari kehamilan ektopik tuba dan 90 kali lebih besar dari kehamilan intrauterin. Terdapat laporan yang sporadis dari kehamilan abdominal aterm. Bila terjadi morbiditas dan mortalitas perinatal adalah tinggi, biasanya sebagai akibat restriksi pertumbuhan dan anomali kongenital seperti hipoplasia paru janin, deformitas tekanan, dan asimetri wajah dan ekstremitas. Insiden anomali kongenital sebesar 20% sampai 40% .7,8 2.3 Patogenesis Pada kehamilan abdominal sekunder, plasenta yang sedang bertumbuh setelah trofoblastnya menembusi dinding tuba, masih mempertahankan hubungannya dengan tuba tetapi lambat laun merambah dan berpindah implantasinya ke serosa atau organ lain disekitarnya. Sementara itu fetus yang terlepas keluar tuba melalui ruptur tuba atau melalui ostium abdominal tuba pada kejadian abortus tuba berkembang terus dalam rongga peritoneum. Dalam keadaan demikian plasenta bertempat didaerah tuba dan pada bagian belakang dari ligamentum latum dan uterus. Kehamilan abdominal
primer amat jarang. Biasanya terjadi abortus dini karena kerusakan pada tempat implantasi akibat perdarahan. 7,9 Kriteria Studdiford untuk menetapkan adanya kehamilan abdominal primer : 1) kedua tuba dan ovarium normal tanpa tanda kehamilan baru atau lama ada disana, 2) tidak ada tanda adanya fistula uteroplasenta, 3) adanya kehamilan yang semata berhubungan dengan permukaan peritoneum dan cukup dini untuk mengeliminir kemungkinan implantasi sekunder setelah nidasi primer dalam tuba.10 2.4 Faktor Risiko Pada dasarnya semua wanita seksual aktif mempunyai risiko untuk mengalami kehamilan abdominal. Apabila tanpa faktor risiko maka kejadian kehamilan abdominal diperkirakan berkisar 1-2%. Tetapi apabila dengan adanya beberapa faktor risiko maka kemungkinan untuk terjadinya kehamilan abdominal sekitar 25%.7 Cunningham dkk, membagi faktor risiko kehamilan ektopik menjadi risiko tinggi, sedang dan rendah. Kehamilan ektopik risiko tinggi adalah riwayat pembedahan tuba, riwayat kehamilan ektopik, pemakaian diethylstilbestrol, riwayat pemakaian AKDR dan adanya kelainan patologis pada tuba. Risiko sedang adalah infertilitas, infeksi organ genetalia dan multipel partner. Sedangkan risiko rendah adalah riwayat operasi abdomen atau pelvis, merokok, dan hubungan seksual kurang dari 18 tahun.7 2.4.1. Penyakit Radang Panggul Penyakit radang panggul adalah peradangan pada organ pelvis bagian atas. Penyakit radang panggul disebabkan multi bakterial dan predisposisinya adalah multi faktorial. Kemungkinan terjadinya radang panggul meningkat bila adanya faktor risiko seperti penyakit hubungan seksual, pemakai kontrasepsi, tindakan instrumentasi dan penderita dengan faktor risiko terjadinya kehamilan ektopik yang meningkat dari tahun ke tahun adalah infeksi tuba karena penyakit riwayat radang panggul sebelumnya.11 Salah satu faktor risiko terjadinya kehamilan ektopik yang meningkat dari tahun ke tahun adalah infeksi tuba karena penyakit hubungan seksual. Infeksi ini mengakibatkan perlekatan dan penyempitan tuba.11,14 Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa akan terjadi peningkatan risiko kehamilan ektopik 7-10 kali pada wanita dengan riwayat infeksi organ genitalia interna. Dimana 12,5-25% akan dijumpai tuba yang tersumbat.13 2.4.2 Pemakaian Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) dan Kontrasepsi Hormonal AKDR dapat mencegah terjadinya kehamilan intra uteri (kurang lebih 99%), namun tidak sama halnya terhadap pencegahan kehamilan tuba. Bahkan sama sekali tidak ada peranan AKDR terhadap terjadinya kehamilan ovarium.11 Mekanisme kerja dari AKDR adalah memperlambat perjalanan sperma dan menghambat kemampuan sperma untuk penetrasi sel telur. Perubahan seluler dan biokimia yang ditimbulkan oleh AKDR terhadap endometrium merupakan mekanisme kontrasepsi semua jenis AKDR. AKDR yang mengandung tembaga (Cuprum) merangsang terjadinya reaksi radang atau reaksi benda asing dalam rahim, juga dikatakan mencegah pertemuan sperma dengan sel telur, mengurangi jumlah dan aktifitas sperma yang mencapai tuba. Teori yang lain ialah perubahan endometrium mungkin dirangsang oleh reaksi radang yang menyebabkan tertundanya siklus hormonal yang normal sehingga menciptakan suasana endometrium yang tidak cocok untuk implantasi.11 Yang perlu menjadi perhatian adalah apakah AKDR menyebabkan kehamilan ektopik atau hanya tidak dapat mencegah kejadian ini. Sampai sekarang hal ini belum jelas. Peningkatan penerimaan AKDR mengakibatkan peningkatan insiden kehamilan ektopik sebesar 4-17%. Menurut Stoval, akseptor IUD mmpunyai risiko 5-10 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita tanpa AKDR. Kontrasepsi ini dapat mencegah kehamilan intra uterin, tetapi tidak untuk kehamilan ekstra uterin. Lamanya pemakaian AKDR juga meningkatkan risiko terjadinya kehamilan ektopik. Risiko terjadinya kehamilan ektopik meningkat 2 sampai 6 kali apabila telah memakai AKDR selama lebih dari 2 tahun.11,12 Riwayat
penggunaan
kontrasepsi
hormonal,
khususnya
progesteron,
mempunyai insiden kehamilan ektopik 5 kali dan AKDR dengan progesteron meningkatkan risiko kehamilan ektopik 5%, untuk non-medikasi AKDR menjadi
15%. Sedangkan morning after pill yang digunakan untuk mencegah kehamilan, akan meningkatkan risiko kehamilan ektopik menjadi 10 kali. Hal ini disebabkan oleh karena mekanisme kerja hormon progesteron yang memperlambat peristaltik tuba, silia, dan epitel tuba sehingga dapat meningkatkan risiko implantasi hasil konsepsi pada tuba.11 2.4.3. Riwayat Operasi Tuba Falopii. Risiko kehamilan ektopik meningkat pada wanita dengan riwayat operasi pada daerah tuba falopii. Risiko yang tinggi terutama pada pasca operasi rekonstruksi tuba, tetapi bukan pada operasi abdomen atau operasi daerah pelvis yang tidak berhubungan dengan tuba.12 Tetapi penelitian lain menyimpulkan sebaliknya, bahwa beberapa pasien dengan kehamilan ektopik mempunyai riwayat operasi di daerah abdominal. Pada sebuah penelitian didapat bahwa riwayat operasi pada appendiks yang mengalami perforasi dapat sebagai faktor risiko kehamilan ektopik walaupun belum ada penelitian lebih lanjut. Demikian juga operasi histerektomi atau wedge resection dapt menjadi faktor risiko kehamilan ektopik 2-7%.12 Sekitar 13% kehamilan yang terjadi pasca operasi tuboplasti merupakan kehamilan ektopik. Secara umum, tindakan pembedahan pada wanita dengan riwayat infertilitas oleh karena faktor tuba meningkatkan risiko kejadian kehamilan ektopik yaitu 20-50% dari seluruh kehamilan yang berhasil merupakan kehamilan ektopik.11-13 Riwayat operasi sterilisasi, merupakan salah satu faktor risiko terjadi kehamilan ektopik. Hal ini disebabkan oleh karena terjadi rekanalisasi atau pembentukan fistel setelah operasi sterilisasi, yang menyebabkan gangguan perjalanan sperma pada saat pembuahan. Pada tahun pertama setelah sterilisasi, sekitar 6% kegagalan steril akan menjadi kehamilan ektopik, tetapi umumnya kehamilan ektopik akan terjadi 2-3 tahun setelah sterilisasi. Walaupun kejadian kehamilan ektopik setelah tubektomi lebih rendah dibandingkan dengan wanita tanpa kontrasepsi dan akseptor AKDR, namun apabila terjadi kegagalan maka kemungkinan akan terjadi kehamilan ektopik akan lebih besar. Riwayat kehamilan ektopik sebelumnya akan mempunyai risiko terulang 15%.11,12
2.4.4. Riwayat Abortus Tidak didapatkan hubungan yang jelas antara kehamilan ektopik dengan riwayat abortus spontan tetapi apabila abortus terjadi berulang, dua kali atau lebih maka kejadian kehamilan ektopik akan meningkat 2-4 kali.11 Wanita dengan riwayat abortus yang dilakukan induksi akan meningkatkan risiko 10 kali lebih besar untuk kejadian kehamilan ektopik. Diperkirakan tingginya risiko ini adalah akibat trauma atau perusakan uterus sebagai konsekwensi dari prosedur kuretase, yang dapat menyebabkan peradangan atau infeksi asenden tanpa gejala. Keradangan atau lesi, mungkin menyebabkan kerusakan tuba falopii, hambatan transportasi embrio, dan gangguan proses implantasi di uterus, sehingga embrio berimplantasi pada tuba falopii.11 2.4.5. Riwayat dan Dalam Pengobatan Infertilitas Insiden kehamilan ektopik juga meningkat pada wanita dengan riwayat infertilitas oleh karena faktor tuba. Sekitar 13% kehamilan yang terjadi pasca operasi tubaplasti merupakan kehamilan ektopik. Secara umum tindakan pembedahan pada wanita dengan riwayat infertilitas oleh karena faktor tuba, meningkatkan risiko kehamilan ektopik dimana dari seluruh kehamilan yang berhasil 20-50% merupakan kehamilan ektopik. Pemakaian klomifen Sitrat dan Gonadotropin untuk menginduksi ovulasi ternyata dapat pula meningkatkan risiko kejadian kehamilan ektopik sebesar 1,1-9,6%.11,12,13 Sekitar 30-40% infertilitas disebabkan oleh faktor tuba, baik yang berhubungan dengan kerusakan pada tuba maupun penutupan pada tuba. Hal ini berhubungan dengan kemungkinan adanya riwayat infeksi daerah pelvis atau riwayat operasi pada tuba falopii. Infertilitas yang disebabkan oleh riwayat infeksi pelvis cukup tinggi. Kejadian infertilitas oleh karena faktor tuba adalah 12% setelah satu kali, 23 % setelah dua kali dan 54% setelah tiga atau lebih episode infeksi. Kira-kira 50% dari kerusakan tuba tidak dapat diidentifikasi sebagai risiko infertil. Selain itu, faktor peritoneal juga memegang peranan dalam terjadinya kehamilan ektopik. Faktor peritoneal ialah adanya perlekatan antara dinding tuba dan dinding ovarium, yang mana perlekatan ini dapat disebabkan oleh infeksi, pembedahan atau endometriosis.
Insiden kehamilan ektopik meningkat pada wanita yang dalam pengobatan infertilitas. Pada wanita nulipara, risiko terjadinya konsepsi pada tuba setelah satu tahun mengadakan hubungan adalah 2,6 kali.11 Tambahan pula wanita infertil yang dalam pengobatan spesifik seperti tuboplasti, induksi ovulasi, dan in Vitro Fertilization (IVF). Pengobatan infertil dengan sistim hormonal seperti khlomiphen sitrat dan Gonadotropin ovulation-induction cycles merupakan predisposisi kehamilan tuba antara 1,1-4,6% konsepsi yang berhubungan dengan induksi ovulasi menyebabkan kehamilan ektopik. Pada pasien ini hasil hysterosalpingografi normal dan tidak ditemukan kelainan tuba intraoperatif. Hiperstimulasi oleh karena tingginya kadar estrogen, mungkin dapat menerangkan terjadinya kehamilan tuba. Kehamilan oleh karena In Vitro Fertilisasi (IVF) dapat menyebabkan kehamilan tuba antara 25%.8 2.4.5 Endometriosis Faktor yang penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis ialah gangguan mobilitas tuba karena fibrosis dan perlekatan jaringan sekitarnya. Unsur unsur ektopik endometrium juga dapat meningkatkan implantasi dalam tuba. Hal ini juga dikatakan dapat meningkatkan risiko terjadinya kehamilan ektopik.12 2.5. Diagnosis Diagnosis dini merupakan hal yang sangat penting dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu. Sering terjadi kesalahan diagnosis dalam kehamilan abdominal. Terjadi kesalahan diagnosis 40-90 %, dimana hanya 40 % kasus yang terdiagnosis sebelum pembedahan. Kehamilan abdominal primer pada trimester pertama tampak seperti pada kehamilan ektopik.4,6 2.5.1 Gejala Klinis Nyeri perut yang berulang pada pasien dengan riwayat infertil, riwayat operasi tuba atau kehamilan ektopik mungkin sebagai suatu pertanda adanya kehamilan abdominal.4 Keluhan yang sering muncul diantaranya nyeri perut, mulai dari nyeri tingkat ringan atau ketidak nyamanan sampai nyeri yang tidak tertahankan, nyeri pada setiap gerakan janin atau tidak ada gerakan janin, mual, muntah perut terasa penuh, kembung, diare dan lemah seluruh tubuh. Pada pemeriksaan didapatkan kelainan letak
(15-20 % kasus), bagian janin mudah teraba. Pada multipara sering kali dirasakan berbeda dari kehamilan sebelumnya dalam ketidaknyaman pada perut dan gerakan janin. Pada sebuah studi ditemukan perdarahan pervaginam dijumpai 9-70% kasus, perdarahan dijumpai berwarna lebih gelap dalam jumlah yang tidak begitu banyak pada usia kehamilan 6- 8 minggu. Hal ini dihubungkan dengan ancaman atau ruptur pada kehamilan ektopik. 4,7 2.5.2 Periksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada sebagai besar kasus dengan kehamilan abdominal sering tidak dijumpai temuan yang spesipik yang mengarah pada suatu diagnosis dari kehamilan abdominal. Pada periksaan abdomen sering ditemukan nyeri tekan, kelainan posisi janin dan mudahnya merasakan bagian janin. Pada pemeriksaan vagina ditemukan servik ukuran lebih keci dan tertutup serta sering terdorong dari tempat semestinya.4 Tabel 2.1 Tanda dan gejala pada beberapa studi kehamilan abdominal.4
Pada pemeriksaan laboratorium sering kali ditemukan anemia yang mungkin didasari oleh terjadinya abortus tuba dan hemodilusi. Anemia transien yang sulit dijelaskan pada awal kehamilan yang mengarah pada ruptur atau abortus tuba. Serum alpha fetoprotein dapat meningkat secara abnormal tanpa alasan yang jelas. 4,8 2.6. Diagnosis Banding11 2.6.1. Salfingitis Salfingitis muncul dengan gejala dan temuan pemeriksaan yang serupa tetapi hasil test kehamilan negatif, leukosit meningkat, dan suhu meningkat.
2.6.2. Abortus Iminens Perdarahan biasanya lebih berat, rasa nyeri biasanya pada perut tengah bawah, nyeri gerak pada serviks mungkin tidak ada. Adanya kista korpus luteum dapat membingungkan diagnosis. 2.6.3. Appendicitis Amenorhea atau perdarahan pervaginam abnormal biasanya tidak ada. Terdapatnya nyeri perut kanan bawah yang menetap dengan demam dan gejala-gejala saluran cerna mengarah pada appendicitis. Nyeri goyang serviks biasanya ringan atau normal. Hasil test kehamilan negatif. 2.6.4. Torsi Ovarium Nyeri pada awalnya intermiten, namun selanjutnya menjadi konstan akibat terganggunya aliran darah. Temuan pemeriksaan dapat meliputi suatu peningkatan leukosit dan suatu massa adneksa yang teraba, tetapi test kehamilan negatif. 2.6.5. Diagnosis banding lainnya Meliputi DUB, kista korpus luteum yang persisten, serta pemakaian IUD yang disertai nyeri dan dismenorhea berat ( nyeri seringkali setempat midline dan hasil test kehamilan negatif), gastroenteritis, infeksi saluran kencing, atau batu saluran kencing pada awal kehamilan dapat juga menyerupai kehamilan ektopik. 2.7. Pemeriksaan Penunjang 2.7.1. Ultrasonografi Diagnosis dapat ditunjang dengan pemeriksaan ultrasonografi namun tidak selalu memberikan diagnosis secara tegas. Bahkan pada beberapa kondisi ideal lebih 50 % kasus diagnosis kehamilan abdominal ini sering terlewatkan pada pemeriksaan ultrasonografi. Mittal dkk, mengusulkan dalam ultrasound obstetrik rutin struktur pertama yang harus divisualisasikan adalah servik, dinding serviks harus diikuti keatas mengelilingi uterus dan kanal endoservik berhubungan dengan cavum amnion. Penyimpangan dari pola normal ini menimbulkan kecurigaan terhadap kehamilan
abdominal khususnya pada trimester kedua dan ketiga. Beberapa ahli mencoba merumuskan kriteria dugaan kehamilan abdominal sebagai berikut: 8 1. Janin tampak diluar uterus. 2. Gagal menvisualisasi dinding uterus antara janin dan vesika urinaria ibu. 3. Bagian janin tampak dekat dengan dinding abdomen ibu. 4. Posisi janin yang abnormal dan tampak jaringan plasenta diluar uterus. 5. Lokasi plasenta diluar cavum uteri 6. Tidak adanya cairan amnion antara plasenta dengan kepala atau dada janin. Kriteria diatas dirumuskan berdasarkan beberapa laporan kasus yang didiagnosis dengan USG static β-mode dan real-time. Sekarang tehnik statik sudah mulai ditinggalkan dengan adanya perkembangan resolusi ultrasonik yang lebih baik, berikut kriteria yang dinyatakan lebih sesuai untuk tehnik real-time.8 1. Tampak janin diluar uterus yang kosong. Hal ini paling baik ditemukan pada awal kehamilan pada saat organ panggul masih dapat jelas terlihat. 2. Tidak ditemukannya kontinuitas antara kanalis servikalis dan kantong amnion, utamanya pada kehamilan lanjut. 3. Tidak ditemukannya jaringan miometrium disekitar janin. Dinding posterior uterus mungkin sulit diidentifikasi pada kehamilan lanjut, namun hal ini penting karena seringnya implantasi pada cul-de-sac Batas-batas plasenta pada ultrasound adalah penting pada saat merencanakan insisi laparatomi seperti yang diungkapkan oleh Ombele dkk pada laporan kasusnya. Ultrasound, merupakan alat diagnsotik yang paling penting jika ditemukan kemungkinan kehamilan abdominal.4 2.7.2
Radiografi Pada masa lalu radiografi ( X–ray lateral) biasanya digunakan untuk
menunjang diagnosis dengan gambaran seperti tidak adanya bayangan uterus disekitar
janin, bayangan usus ibu bergabung dengan bagian janin pada penampang anteroposterior, dan overlapping tulang belakang ibu dengan bagian kecil janin pada penampang lateral. Saat ini radiografi sering digantikan oleh MRI dan CT scan yang memiliki kemampuan menghasikan gambaran dalam berbagai penampang sehingga lebih akurat dan spesifik daripada USG. Bila janin hidup MRI lebih dipilih karena dapat menghindari radiasi ionisasi. 4 2.7.3 MRI scaning Magnetic Resonance Imaging ( MRI ) merupakan modalitas yang sangat baik dalam mendiagnosis kehamilan abdominal dan menilai area implantasi plasenta dengan menampilkan multislice imaging tanpa penggunaan radiasi pengion. Dapat dipakai sebagai gold standar pada kecurigaan kehamilan abdominal dengan memastikan hubungan antara uterus, plasenta dan janin, serta lokasi plasenta sebelum pembedahan.2,4
Gambar 2.2 MRI: plasenta berinsersi pada dinding posterior uterus.
Seorang radiologis harus melihat dan mengevaluasi beberapa komponen penting sebelum membuat atau menyimpulkan suatu kasus dugaan kehamilan abdominal.8,9 1. Janin: diagnosis definitive extrauterin intraabdominal, posisi janin, orientasi, hubungan dengan uterus, kongenital anomali, fetal hidrop dan lainnya. 2. Plasenta: tempat implantasi, perluasan implantasi, hubungan dengan organ abdominal, sumber arteri penyuplai, perdarahan retroplasenta dan kelainan tali pusat. 3. Uterus: miometrium, cervik dan cavun endometrium serta kemungkinan tempat keluarnya fetus atau embrio 4. Cairan intraabdomen: perdarahan atau cairan amnion yang jernih dan memberi perhatian khusus pada cavum douglas beserta isinya. 5. Serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kelainan ibu. Sebagai kesimpulan dengan menggunakan MRI dapat mendiagnosis kehamilan abdominal secara akurat dan kemungkinan mekanisme seperti kehamilan abdominal sekunder.
Kami
meningkatan
menganjurkan
keberhasilan
untuk
pembedahan
mengunakan pada
kasus
MRI untuk
membantu
kecurigaan
kehamilan
abdominal.10 2.8 Manajemen Pembedahan 2.8.1 Waktu dan Persiapan Pembedahan Mortalitas ibu 7,7 kali lebih tinggi pada kehamilan abdominal dibandingkan dengan kehamilan ektopik tuba dan 90 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan kehamilan intrauterine. Risiko tersebut berhubungan dengan terlambatnya diagnosis dan mismanajemen plasenta.
Untuk meminimalisir kematian mendadak akibat
perdarahan intraabdominal sangatlah bijaksana bila intervensi dilakukan sesegera mungkin begitu diagnosis ditegakkan. Tidak ada kontroversi jika kondisi hemodinamik ibu tidak stabil, janin mati atau belum viable ( kurang dari 24 minggu kehamilan), oligohidramnion atau kelainan kongenital berat. Tindakan pembedahan diwajibkan jika keadaan diatas dijumpai. 6,11
Namun beberapa klinisi berpendapat bahwa jika kehamilan berjalan lebih dari 24 minggu, tindakan konservatif sebaiknya diambil sampai menunggu maturitas janin. Setelah 30 minggu, janin yang bertahan hanya 63 % dan 20 % janin dengan deformitas. Perawatan konservative dilakukan apabila memenuhi:2,11 1. Tidak adan kelainan kongenital mayor. 2. Janin hidup 3. Perawatan di rumah sakit dan tersedianya fasilitas transfusi darah. 4. Pemantauan kondisi ibu dan janin yang baik. 5. Implantasi plasenta pada abdomen bawah jauh dari hati dan limpa. Dengan semakin lanjutnya usia kehamilan tentunya diikuti pertumbuhan plasenta serta makin besarnya risiko perdarahan. Persiapan prabedah merupakan hal yang sangat penting mengingat risiko yang paling besar dihadapi dalam pembedahan adalah perdarahan yang hebat. Ketika kita mendiagnosis suatu kehamilan abdominal tahap lanjut persiapan operasi harus dipersiapkan dengan baik. Setidaknya 6 kantong darah yang sudah di cross mathed harus dipersiapkan dan produk darah lainnya harus tersedia.6,12,13 Bertrand dkk, menganjurkan preoperative kateterisi transfemoral dan embolisasi vena selective sebelum tindakan pembedahan. Jika tempat implantasi plasenta telah dipastikan maka tersedia beberapa pilihan. Embolisasi angiografik preoperasi pernah digunakan secara sukses pada sebagian wanita dengan kehamilan abdomen tahap lanjut. Selain itu, dapat dilakukan penggembungan kateter yang telah dimasukan ke dalam arteri uterine untuk mengurangi kehilangan darah intra operasi. Pada kedua cara ini, vaskularisasi implantasi plasenta ektopik mungkin sulit disumbat. Pertimbangan praoperasi lain mencakup persiapan usus, penyediaan produk darah dan ketersediaan tim bedah multidisiplin. Jika tidak tersedia sumber daya yang memadai maka wanita dengan kehamilan abdomen tahap lanjut dianjurkan dirujuk secara elektif ke fasilitas perawatan tersier.6,14
2.8.2 Pembedahan dan Manajemen Plasenta Tujuan utama pembedahan pada kehamilan abdominal adalah melahirkan janin dan penilaian secara cermat tempat implantasi plasenta tanpa memicu perdarahan. Melahirkan janin sering dipersulit oleh keadaan anatomis dan meningkatnya risiko cedera intraoprerasi. Setelah melahirkan janin, implantasi plasenta diteliti dengan cermat karena daerah sekitar akan terdapat banyak pembuluh darah meskipun tidak menginvasi plasenta.15 Insisi midline lebih disukai karena mudah memperluas sampai atas pusat. Kantong amnion mungkin menempel pada dinding abdomen dan organ viscera. Janin sebaiknya dikeluarkan dengan manipulasi seminimal mungkin pada plasenta dan mencegah terjadinya perdarahan. Jika kehamilan abdominal terjadi dimana janin telah lama mati, janin akan mengalami supurasi, kontaminasi bakteri dan terjadinya abses sangat sering terjadi khususnya jika plasenta melekat pada organ intestinal.6,16 Perdarahan hebat sering terjadi pada operasi kehamilan abdominal dikarenakan tidak adanya vasokontriksi pembuluh darah setelah plasenta terlepas. Pada umumnya plasenta melekat pada peritoneum parietalis, mesenterium, dan usus dan tidak terjadi perdarahan jika ditinggal di tempat tersebut. Tali pusat sebaiknya dipotong sedekat mungkin dengan plasenta, membrane yang berlebih dibuang dan abdomen ditutup dengan memasang drainase. Jarang sekali plasenta berimplantasi terbatas pada organ reproduksi sehingga mudah di lepaskan.4,16 Pelepasan plasenta dari tempatnya dihubungkan dengan beberapa faktor seperti lokasi, pembuluh darah penyuplai plasenta, komplikasi yang terjadi dalam pembedahan dan perdarahan intraoperative. Jika pembuluh darah penyuplai teridentifikasi dan dapat terligasi dengan baik maka pengangkatan plasenta disarankan. Pada beberapa kasus, ketika melepaskan plasenta terjadi perdarahan intraabdominal, ligasi pembuluh darah penting seperti arteri iliaka interna dapat dilakukan untuk life saving.4,17 Pengangkatan plasenta sebagian ketika pembuluh darah tidak terindentifikasi dan terligasi dapat menimbulkan perdarahan yang hebat sampai syok. Pada beberapa keadaan plasenta terlepas spontan yang menstimulasi terjadinya sulosio namun pada
keadaan dimana perdarahan tidak terkendali biasanya berasal dari kegagalan pengangkatan plasenta. Untuk melepaskan plasenta memerlukan ligasi pembuluh darah yang memsuplai plasenta dan manipulasi insersi plasenta. Pelepasan plasenta tidak selalu lancar dapat terjadi kegagalan pada 40 % kasus. Kegagalan ini dapat disebabkan tidak semua pembuluh darah dapat terligasi sehingga menimbulkan perdarahan masif dan syok. Perdarahan dari plasenta yang hebat memerlukan penanganan pembedahan yang cepat. Berbagai teknik dapat diterapkan seperti kompresi pada lokasi perdarahan, ligasi pembuluh darah, pembilasan dengan cairan dingin, pemberian obat-obatan koagulan yang berefek sistemik ataupun lokal seperti asam traneksamat, turunan plasminogen, sponge gelatin. Pengangkatan organ tempat melekatnya plasenta ( histerektomi dan atau salpingiooforektomi, reseksi usus dan atau kandung kemih) dapat dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Jika histerektomi telah dilakukan dan perdarahan berlanjut logothepulus pack dapat diletakan pada stomp vagina, dapat digunakan untuk memberikan tekanan pada dinding pelvis dan lokasi perdarahan. Sebagai langkah akhir abdomen dapat dibungkus erat dengan abdominal spone dan ditutup partial. Spone dapat diangkat 48 jam post operatif atau lebih awal jika hemodinamik tidak stabil. 4,17 Plasenta masih berfungsi kurang lebih 50 hari dari operasi dan total absorpsi lengkap mencapai 4 bulan. Ileus, peritonitis, pembentukan abses, perpanjangan waktu rawat inap dan wound dehiscence pernah dilaporkan, yang menyebabkan operasi kedua untuk pengangkatan plasenta. Sebagian peneliti menyarankan plasenta dibiarkan ditempatnya sebagai salah satu pilihan dari dua pilihan yang buruk. Hal ini mengurangi kemungkinan perdarahan akut yang mengancam nyawa, tetapi dengan pengorbanan berupa sekuele jangka panjang. 6,18 Pemasangan drain secara rutin pada pasca operasi kehamilan abdominal tidak dianjurkan karena ditakutkan terjadinya exogenous infeksi. Pemasangan dain dapat dilakukan apabila terjadi perdarahan yang tidak aktif pada pelepasan plasenta. Pemberian antibiotic profilaksis sebaiknya diberikan. Jika plasenta ditinggalkan in situ pemasangan drain profilaksis merupakan kontraindikasi.19,20
2.8.3 Perawatan Pasca Pembedahan Jika plasenta ditinggalkan in situ, komplikasi infeksi, abses, obstruksi sekunder usus sampai perlengketan ditemukan pada setengah penderita. Komplikasi umum yang jarang terjadi dari sisa plasenta adalah reversible hydronefrosis dan prolong persisten preeklamsia post partum.6,21,22 Pemantauan
terhadap
involusi
plasenta
yang
ditinggalkan
dengan
menggunakan USG dan kadar β-hCG serum dan color Doppler. Masa jaringan plasenta diabsorpsi rata-rata dalam 6 bulan, namun pernah juga dilaporkan absorpsi plasenta selama 5 tahun. Untuk mempercepat penyerapan plasenta, dapat diberikan methotrexate dosis tunggal 50 mg/M2. Pemberian methotrexate ini bukannya tanpa masalah , hal ini dapat menyebabkan akumulasi jaringan nekrotik dan pembentukan abses. Namun ada juga penelitian lain yang memberikan methotrexat dengan dosis 50 mg/M2 I.M setiap 3 minggu selama 4 kali pemberian.23,24 2.9 Prognosis Janin dan Ibu Mortalitas ibu bervariasi 0-30 % dari berbagai kasus kehamilan abdominal dan hanya dapat diturunkan dengan diagnosis dini dan ketepatan intervensi. Dengan perencanaan operasi yang matang angka kematian dapat diturunkan dari sekitar 20 persen manjadi kurang dari 5 persen. Penyelamatan janin pada kehamilan abdominal tergantung usia kehamilan. Pada beberapa laporan kasus dilaporkan semua bayi yang lahir setelah 26 minggu dapat bertahan hidup walaupun dengan banyak penyulit. Deformitas yang tersering dijumpai pada janin adalah deformitas wajah atau cranium atau keduanya dan berbagai kelainan sendi. Malformasi tersering adalah defisiensi ekstrimitas dan anomaly susunan saraf pusat.4,25,26
BAB III RINGKASAN
Kehamilan abdominal adalah merupakan bagian dari kehamilan ekstrauterin atau kehamilan ektopik yaitu ovum yang terfertilisasi berimplantasi pada jaringan selain endometrium. Kehamilan abdominal dibedakan menjadi dua yaitu kehamilan abdominal primer dan sekunder.Insiden kehamilan abdominal bervariasi dari 1 dalam 372 sampai 1 dalam 9.714 kelahiran hidup. Kehamilan abdominal berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dengan risiko kematian 7 sampai 8 kali lebih besar dari kehamilan ektopik tuba dan 90 kali lebih besar dari kehamilan intrauterin. Faktor risiko kehamilan abdominal sama dengan kehamilan ektopik. Penegakan diagnosis merupakan tantangan tersendiri dimana hanya 40 % yang terdiagnosis sebelum pembedahan. Tidak ada keluhan dan tanda yang khas yang dijumpai pada kehamilan abdominal, USG dan MRI merupakan modalitas dalam penegakan diagnosis. Penatalaksanaan pembedahan harus sudah dipikirkan begitu diagnosis ditegakan. Ada kalanya tindakan konservatif dilakukan sambil menunggu pematangan paru namun harus memenuhi beberapa persaratan baik ibu, janin, dan letak plasenta. Pembedahan bertujuan untuk mengevakuasi janin dan mengevakuasi plasenta. Komplikasi yang paling ditakutkan adalah perdarahan yang masif dari terlepasnya plasenta sebagian. Sebagian besar ahli penganjurkan meninggalkan plasenta pada tempatnya sebagai satu dari dua pilihan yang buruk. Plasenta masih berfungsi sampai 50 hari pasca pembedahan dan absorsi lengkap setelah 6 bulan, namun pernah dilaporkan sampai 5 tahun. Pemantaun pasca pembedahan jika plasenta ditinggalkan pada tempatnya dengan USG, kadar β hCG dan colour doppler. Methotrexat pernah dicoba untuk mempercepat absorsi plasenta namun sering menimbulkan komplikasi nekrosis yang luas sampai sepsis. Mortalitas ibu bervariasi 0-30 % dari berbagai kasus kehamilan abdominal dan hanya dapat diturunkan dengan diagnosis dini dan ketepatan intervensi. Dengan perencanaan operasi yang matang angka kematian dapat diturunkan dari sekitar 20
persen manjadi kurang dari 5 persen. Penyelamatan janin pada kehamilan abdominal tergantung usia kehamilan. Untuk janin dilaporkan usia kehamilan diatas 30 minggu hanya mampu bertahan 63 % dengan 20 % mengalamideformitas. Deformitas yang tersering dijumpai pada janin adalah deformitas wajah atau cranium atau keduanya dan berbagai kelainan sendi. Malformasi tersering adalah defisiensi ekstrimitas dan anomaly susunan saraf pusat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gupta P., Sehgal A., Huria A., Mehra R., Secondary Abdominal Pregnancy and its Associated Diagnosis and Operative Dilemma: Three case report. Journal of Medical Case report 2009,3: 7382. 2. Worley K.C., Hnat M.D., Cunningham F.G., Advanced extrauterine pregnancy: diagnostic and therapeutic challenges,
American journal of
Obstetrics & Gynaecology. 2008, 198: 297.e1-297.e7 3. Afroz L., Chowdhury S., Mazhar S., Diagnostic Dilemma in Abdominal Pregnancy- A Case Report, Journal of Bangladesh College of Physicians and Surgeon, Vol.27, No.3. September 2007. 4. Ramphal S.R., Moodley J., Advanced Extrauterine Pregnancy. Current Obsterics & Gynaecology, 1998 (8): 90-95. 5. Farhat N., Roohi M., Full Term Secondary Abdominal Pregnancy. Professional Med J Jun 2006;13(2) 330-332. 6. Bentrand G., Ray C.L., Emond L.S., Dubois J., Leduc., Imaging in management of Abdominal Pregnancy: A Case Report and Review of the Literature, J Obstetrics & Gynaecology Canada, 2009;31(1): 57-62. 7. Cunningham F.G., Leveno K.J., Bloom S.L., Hauth J.C., Rause D.J., Spong C.Y.,2010. Ectopic Pregnancy. In Williams Obstetrics Ed 23th , United States of America: A Division of the McGraw-Hill Companies, 2010; pp 238-256. 8. Moodley J., Ramphal S.R., 1998, Advanced Extrauterine Pregnancy, Current obsteretrics & Gynaecology,1998, (8), pp 90-95. 9. Hall J.M., Manning N., Tingey W.R., Chamberlain P., Anternatal Diagnosis of Late Abdominal Pregnancy Using Ultrasound and Magnetic R esonance Imaging: a Case Report of Successful Outcome, Ultrasound Obstet. Gynecol. 7 (1996) 289-292. 10. Dastur N.A., Tank P.D., Treating Hemorrhage from secondary Abdominal Pregnancy: Then and Now, Post Partum Hemorrhage: 427-431.
11. Pearson J., Rooyen J.N., Ectopic Pregnancy. In The Johns Hoppkins Manual of Gynecology and Obstetrics Second Edition,2002. Philadelhia, PA 19106 USA.p: 305-13. 12. Nunyalulendho D.N., Einterz E.M., Advance Abdominal Pregnancy: Case Report and Review of 163 case reported since 1946. Rural and Remote Health 8: (online),2008. Available from : http://www.rrh.org.au 13. Fylstra D.L., Ectopic Pregnancy not within the ( distal) Fallopian Tube: etiology, diagnosis, and treatment. American Journal of Obstertics & Gynaecology. April 2012, 289-299. 14. Kim M.J., Baej.Y., Seong W.J., Lee Y.S., Sonographic Diagnosis of a Viable Abdominal Pregnancy with Planned delivery After Fetal Lung Maturation. Jounal of Clinical Ultrasound, Vol 00, No. 0, Month 2012 15. Koo H.S., Bae J.Y., Koong M.K., Laparoccopic management of early Primary peritoneal pregnancy: a case report. The Korean Society for Reproductive Medicine, 2011; 38(2): 109-114. 16. Coltar A.M., Usaf C., Extrauterine Pregnancy: A Historical Review. Current Surgery, Vol. 57(5), September 2000, 484-492. 17. Sant C.L., Andersen P.E., Misdiagnosed uterine Rupture of an Advance Cornual Pregnancy. Case report in Radiology, Vol 2012, Article ID 289103, 4 pages. 18. Idama T.O., Tuck C.S., Ellerington M.C., Travis S., Survival of Cornual (interstitial) Pregnancy. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology, 84( 1999), 103-105. 19. Lockhat F., Corr P., Ramphal S., Moodley J., The value of magnetis Resonance Imaging in Diagnosis and Management of Extrauterine Abdominal Pregnancy. Clinical Radiology (2006)61, 264-269. 20. Horsfield D., Wingate J., Riley P.L., Magnetic Resonance Imaging in Pregnancy. The college of Radiographers (1999)5,45-47. 21. Mittal S.K., Singh N., Verma A.K., Kulkarni C.D., Fetal MRI in Preoperative Diagnosis and assessment of Secondary Abdominal Pregnancy: a rare sequel of previous caesarean section, Diagnostic and Interventional Radiology, 2012; 18;496-502.
22. Ara S., Awais N., Abdominal Pregnancy; a Diagnostic Dilema. Professional Med J July-Sep 2011;18(3) 479-484. 23. Anderson P.M., Opfer E.K., Busch J.M., Magann E., An Early Abdominal Wall Pregnancy Successfully treated With Ultrasound Guided Intralesional Methotrexate: a Case Report. Obstertrics and Gynaecology International, vol 2009, Article ID 247452, 3 page. 24. Kepkep N., Ersoy U., Ukur M.G., The use of the Determination of The placental Location in Advanced Abdominal Pregnancy Before Surgical Approach. 25. Dahab A.A., Aburras R., Shawkat W., Babgi R., Full-term Extrauterine Abdominal Pregnancy: a Case Report. Journal of Case report 2011,5:531. 26. Staszewicz W., Marty F., Bettchat V., Damage Control Surgery by Keeping the Abdomen Open During Pregnancy: favorable outcome, a case report. World Journal of Emergency Surgery, 2009, 4: 33.