KARAKTERISTIK IBU HAMIL DENGAN HIV DI RSUP SANGLAH DENPASAR PERIODE TAHUN 2005-2010
dr. Made Bagus Dwi Aryana, SpOG (K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA / RSUP SANGLAH DENPASAR 2012
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Human Immunodeficiency Virus ialah RNA virus yang termasuk lentivirus famili retrovirus, menyerang komponen sistem imun manusia, yakni sel limfosit T-CD4, makrofag, dan sel langerhans. Infeksi dari virus ini akan menyebabkan kadar sel CD4 semakin lama semakin menurun melalui mekanisme tertentu. Pada saat kadar CD4 mencapai kadar kurang dari 200 sel/mm³, maka terjadilah kegagalan fungsi dari sistem imun sebagai proteksi, yang pada akhirnya akan membuat tubuh lebih mudah terserang infeksi oportunistik dan keganasan, keadaan inilah yang disebut dengan AIDS (Nasronudin, 2007).
Pada tahun 2007, berdasarkan United Nations Programme on HIV/AIDS dan World Health Organization, diperkirakan terdapat 33 juta orang yang terinfeksi HIV/ AIDS (Aquired Immunodeficiency Syndrome), 2,7 juta dengan kasus baru infeksi HIV dan 2 juta kasus kematian yang terkait dengan HIV (Cunningham FG dkk,2010). Human Immunodeficiency Virus (HIV) bisa ditularkan melalui berbagai cara. Cara penularan HIV terbesar di Indonesia adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom ataupun melalui penggunaan jarum suntik tidak steril di kalangan pengguna narkoba. Salah satu faktor penularan lainnya adalah melalui penularan HIV dari ibu HIV-positif kepada bayi yang dikandungnya, atau yang populer dalam istilah bahasa Inggris “Mother to Child HIV Transmission (MTCT)” (Depkes RI,2005). Wanita usia reproduksi yang terinfeksi dengan HIV semakin meningkat jumlahnya di seluruh dunia. Di Amerika Serikat dengan 1,2 juta penduduknya yang terkena HIV, 25% nya adalah wanita. Di daerah sub sahara Afrika, 76 % penduduknya yang terinfeksi adalah wanita. Kecenderungan ini akan meningkatkan jumlah wanita hamil yang terinfeksi HIV (Psaros C dkk,2009)
Prevalensi HIV pada perempuan di Indonesia sebesar 16%, tetapi karena mayoritas (92,54%) merupakan usia reproduksi aktif (15-35 tahun), maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV akan meningkat (Ronoatmojo S dkk, 2008) Pelayanan PMTCT semakin menjadi perhatian dikarenakan epidemi HIV/AIDS di Indonesia meningkat dengan cepat (jumlah kasus AIDS pada akhir triwulan II 2008 adalah 12,686 kasus). Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi (Prevention of moher to child transmission of HIV = PMTCT) merupakan sebuah upaya yang penting dengan alasan : sebagian besar perempuan HIV positif berada dalam usia reproduksi aktif, lebih dari 90% kasus bayi yang terinfeksi HIV ditularkan melalui proses dari ibu ke bayi (Depkes RI,2008). Di negara maju, risiko seorang bayi tertular HIV dari ibunya sekitar 2% karena tersedia layanan optimal pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. Tetapi di negara berkembang atau negara miskin, tanpa adanya akses intervensi, risikonya antara 25% - 45%. Dewasa ini semakin maju upaya intervensi untuk mengurangi risiko penularan HIV ke bayi dari ibu yang diketahui HIV positif. Kemajuan ini membawa harapan. Tetapi, untuk mencegah bayi agar tidak terinfeksi HIV tidak cukup hanya memfokuskan perhatian kepada perempuan hamil yang telah terinfeksi HIV. Sebaiknya, dilakukan upaya-upaya sebelum itu, seperti strategi untuk mencegah perempuan agar tidak terinfeksi HIV, ataupun strategi mengurangi risiko penularan HIV ke bayi jika terdapat perempuan yang tidak mengetahui dirinya terinfeksi HIV (Depkes RI,2005). Dampak buruk dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila : (1) Terdeteksi dini, (2) Terkendali (Ibu melakukan perilaku hidup sehat, Ibu mendapatkan ARV profilaksis secara teratur, Ibu melakukan ANC secara teratur, Petugas kesehatan menerapkan pencegahan infeksi sesuai Kewaspadaan Standar), (3) Pemilihan rute persalinan yang aman (seksio sesarea), (4) Pemberian PASI (susu formula) yang memenuhi persyaratan, (5) Pemantauan ketat tumbuh-kembang bayi & balita dari ibu dengan HIV positif, dan (6)
Adanya dukungan yang tulus, dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi dan keluarganya (Depkes RI,2008).
1.2 Identifikasi Masalah Bagaimana karakteristik ibu hamil dengan HIV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode tahun 2005-2010 Berapa jumlah kasus ibu hamil dengan HIV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode tahun 2005 – 2010? Bagaimana gambaran klinis ibu hamil dengan HIV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode tahun 2005 – 2010? Bagaimana cara persalinan dan luaran janin ibu hamil dengan HIV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode tahun 2005 – 2010?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui bagaimana karakteristik ibu hamil dengan HIV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar dalam periode tahun 2005 – 2010. 1.3.2. Tujuan Khusus Mengetahui jumlah kejadian ibu hamil dengan HIV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode tahun 2005 – 2010 Mengetahui karakteristik ibu hamil dengan HIV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode tahun 2005 – 2010 Mengetahui gambaran klinis ibu hamil dengan HIV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode tahun 2005 – 2010 Mengetahui cara persalinan ibu hamil dengan HIV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode tahun 2005 – 2010
Mengetahui luaran janin ibu hamil dengan HIV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah periode tahun 2005 – 2010?
1.4 Manfaat Penelitian Data – data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar bila dilakukan penelitian mengenai ibu hamil dengan HIV lebih lanjut. Juga dapat digunakan sebagai data dasar untuk melakukan evaluasi mengenai karakteristik ibu hamil dengan HIV, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk mengoptimalkan pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil dengan HIV khususnya terhadap program PMTCT.
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1
HIV sebagai Etiologi AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) menyerang sistem imun tubuh. Tubuh yang sehat memiliki perlawanan alami terhadap penyakit dan infeksi. Aktivasi sistem imun diperlukan pada setiap infeksi untuk membantu tubuh melenyapkan patogen penyebab penyakit, hal ini tidak terjadi pada orang yang terinfeksi HIV. Sekumpulan gejala yang muncul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh ini dikenal sebagai AIDS (Moir dkk.2008). HIV adalah virus sitopatik diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus Lentivirus. Berdasar strukturnya, HIV termasuk famili retrovirus, termasuk virus RNA dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Secara morfologik HIV berbentuk bulat dan terdiri atas bagian inti (core) dan selubung (envelope). Melalui mikroskop elektron, dapat terlihat bahwa HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang dibentuk oleh dua protein utama envelope virus gp 120 di sebelah luar dan gp 41 yang terletak pada transmembran (Abbas, 2010).
Gambar 2.1: Morfologi Virus HIV-1 (Abbas, 2010) 2.2
Epidemiologi
Wanita usia reproduksi yang terinfeksi dengan HIV semakin meningkat jumlahnya di seluruh dunia. Di Amerika Serikat dengan 1,2 juta penduduknya yang terkena HIV, 25% nya adalah
wanita. Di daerah sub sahara Afrika, 76 % penduduknya yang terinfeksi adalah wanita. Kecenderungan ini akan meningkatkan jumlah wanita hamil yang terinfeksi HIV (Psaros C dkk,2009) Prevalensi HIV pada perempuan di Indonesia sebesar 16%, tetapi karena mayoritas (92,54%) merupakan usia reproduksi aktif (15-35 tahun), maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan HIV akan meningkat (Ronoatmojo S dkk, 2008). BerdasarkanDitjen PP & PL Kemenkes RI tahun 2011 jumlah HIV diIndonesia berdasarkan kelompok umur periode 1 April 1987-30 Juni 2011 didapatkan kelompok umur 15-19 tahun sebanyak 821 kasus, kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 12288 kasus, kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 8342 kasus, kolompok umur 40-49 tahun sebanyak 2529 kasus. Data kasus infeksi HIV/AIDS di Indonesia periode 1 April 1987-30 Juni 2011 adalah 26483 kasus, dengan jumlah kematian sebesar 5056 orang, dengan jumlah wanita yang terinfeksi HIV sebesar 7255 orang. Menurut faktor risiko penularan infeksi HIV/AIDS, jumlah kasus terbanyak adalah pada heteroseksual (14513 kasus), pemakai narkoba suntik (9587 kasus), homoseksual (768 kasus), tranfusi darah (53 kasus), 742 kasus pada masa perinatal, dan tidak diketahui 820 kasus. Di Bali sampai Juni 2011 didapatkan 1747 kasus HIV.(Ditjen PP & PL Kemenkes RI.2011). 2.3
Klasifikasi
Terdapat berbagai klasifikasi/stadium klinis HIV/AIDS antara lain (Depkes RI. 2003) Tabel 2.1. Klasifikasi klinis dan CD4 menurut CDC CD4 Total
Kategori Klinis %
A
B
C
(Asimtomatik, Infeksi Akut)
(Simtomatik)
(AIDS)
≥ 500/ml
≥ 29 %
A1
B1
C1
200-499
14-28 %
A2
B2
C2
≥ 200
< 14 %
A3
B3
C3
Tabel 2.2. Klasifikasi klinis infeksi HIV menurut WHO
Stadium I II
III
IV
2.4
Gambaran Klinis 1. Asimtomatik 2. Limfadenopati generalisata 3. BB menurun < 10% 4. Kel. Kulit dan mukosa ringan, spt derm. Seboroik,prurigo, onikomikosis, ulkus oral rekuren 5. Herpes zoster – 5 th terakhir 6. Infeksi saluran nafas bagian atas, sinusitis bakterialis 7. BB menurun < 10% 8. Diare kronis > 1 bulan 9. Demam > 1 bulan 10. Kandidiasis orofaringeal 11. Oral hairy leukoplakia 12. TB paru dalam tahun terakhir 13.Infeksi bakterial yang berat, spt pneumonia 14. HIV wasting syndrome, spt CDC 15. P. Pneumocystis carinii 16. Toksoplasmosis otak 17. Diare kriptosporidiosis > 1 bulan 18. Kriptokokosis ekstra pulmonal 19. Retinitis virus sitomegalo 20. H. simplek mukokutan > 1 bulan 21. Leukoensefalopati multifokal progresif 22. Mikosis diseminata 23. Kandidiasis di esofagus 24. Mikobakteriosis atipikal diseminata 25. Septisemia salmonelosis non tifoid 26. TBC di luar paru 27. Limfoma 28. Sarkoma Kaposi 29. Ensefalopati HIV
Skala aktivitas Asimtomatik, aktifitas normal Simtomatik, aktifitas normal
Pada umumnya lemah, aktivitas di tempat tidur < 50%
Pada umumnya sangat lemah, aktivitas di tempat tidur > 50%
Patofisiologi Infeksi HIV
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama, yaitu transmisi melalui mukosa genital, transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik, dan transmisi vertikal dari ibu ke janin. Untuk bisa menginfeksi sel, HIV memerlukan reseptor dan reseptor utama untuk HIV adalah molekul CD4 pada permukaan sel pejamu. Namun reseptor CD4 saja ternyata tidak cukup. Ada beberapa sel yang tidak mempunyai reseptor CD4, tapi dapat diinfeksi oleh HIV. Diperkirakan ada reseptor lain untuk HIV, yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, dan molekul CD26 yang diperkirakan merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virus kedalam sel.
Disamping itu telah ditemukan juga koreseptor kemokin yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses masuknya HIV ke dalam sel yaitu CCR5 dan CXCR4. (Beyrer,dkk., 2010; Caceres, 2008).
Gambar 2.2 Patogenesis Infeksi HIV; mulai masuknya virus sampai menimbulkan infeksi (Schmitt and Gruliow, 2010). Infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada sel-sel yang mempunyai molekul CD4 sebagai reseptor utama yaitu limfosit T, monosit, makrofag dan sel – sel dendritik yang lain. Gp120 yang merupakan glikoprotein permukaan virus yang akan berikatan dengan CD4 (Schmitt and Gruliow, 2010). Gp120 memegang peranan yang sangat penting dalam patogenesis infeksi HIV. Apabila ikatan antara Gp120 dan CD4 dapat dicegah, maka virus HIV tidak akan dapat masuk ke dalam sel. (Williamson, et al., 2006). Kemudian Gp120 akan berinteraksi dengan koreseptor yang tertanam dalam membran sel dan terpapar dengan peptid dari Gp41 dan mulailah terjadi fusi antara virus dan membran sel. Setelah fusi, internal virion core akan dilepaskan ke sitoplasma sebagai suatu kompleks ribonukleoprotein (Schmitt and Gruliow, 2010). Sel yang merupakan target utama HIV adalah sel yang mempunyai reseptor CD4, yaitu limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) dan monosit/makrofag. Beberapa sel lainnya yang dapat
terinfeksi yang ditemukan secara in vivo atau in vitro adalah megakariosit, epidermal langerhans, periferal dendritik, folikular dendritik, mukosa rektal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikroglia, astrosit, sel tropoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal. Diperkirakan ada reseptor lain untuk HIV, yaitu Fc reseptor untuk virion yang diliputi antibodi, atau galactosyl ceramide. Terakhir ditemukan molekul CD26 yang diperkirakan merupakan koreseptor untuk terjadinya fusi sel dan masuknya virion setelah terjadi binding (Schmitt and Gruliow, 2010). Segera setelah infeksi HIV, sebagian virus yang bebas maupun yang berada dalam sel – sel CD4 T yang terinfeksi akan mencapai kelenjar limfe regional dan akan merangsang imunitas seluler dan humoral dengan cara antara lain merekrut limfosit – limfosit. Pengumpulan sel limfosit ini justru akan menyebabkan sel – sel CD4 yang terinfeksi akan semakin banyak dan mengalami kerusakan. Monosit dan limfosit yang terinfeksi akan menyebarkan virus ke seluruh tubuh. (Schmitt and Gruliow, 2010).
2.5
Cara Penularan HIV Dari Ibu ke Bayi
Kita masih belum mengetahui secara persis bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi.Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Hal iniditunjukkan dalam gambar berikut ( Green WC,2009) Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi HIV. Yang paling mempengaruhi adalah viral load (jumlah virus yang ada di dalam darah ibunya). Oleh karena itu, salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral load yang tidak dapat terdeteksi – seperti juga ART untuk siapa pun terinfeksi HIV. Viralload penting pada waktu melahirkan. Seperti ditunjukkan pada gambar, penularan dapat terjadi dalam kandungan. Hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan pada plasenta, yang seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV. Kerusakan tersebut dapat memungkinkan darah ibu mengalir pada janin.
Kerusakan pada plasenta dapat disebabkan oleh penyakit lain pada ibu, terutama malaria dan TB ( Green WC,2009).
Gambar 2.3 Mekanisme penularan dari ibu ke bayinya merupakan proses yang komplek antara virulensi virus, faktor ibu dan faktor janin. (NSI: non-syncytium-inducing, SI: syncytium-inducing) (Green WC, 2009) Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan, karena bayi tersentuh oleh darah dan cairan vagina ibu waktu melalui saluran kelahiran. Jelas, jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu faktor risiko untuk penularan. Juga intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi, misalnya vakum, dapat meningkatkan risiko. Karena air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV, juga ada risiko penularan HIV melalui menyusui. Faktor risiko lain termasuk kelahiran premature (bayi lahir terlalu dini) dan kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko menunjukkan satu hal yang terpenting adalah mengawasi kesehatan ibu ( Green WC,2009).
2.6 Faktor Risiko Penuranan HIV Dari Ibu ke Bayi Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi:
2.5.1. Faktor ibu dan bayi a.
Faktor ibu Plasma jumlah virus (viral load) seorang ibu dengan HIV merupakan prediktor yang kuat sebagai sumber penularan.Peningkatan jumlah penularan pada wanita dengan infeksi HIV primer muncul ketika plasma jumlah virus yang aktif berada pada titik tertinggi (peak). Sedikitnya penularan terjadi pada plasma HIV dengan viral load< 1000 copi/mL, tanpa memperhatikan apakah ibu tersebut sedang atau belum mendapatkan ARVZidovudine (Grace C, 1996). Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV yang tinggi pada menjelang ataupun saat persalinan. Status kesehatan dan gizi ibu juga mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai risiko penularan yang lebih besar, terlebih jika jumlah CD4 kurang dari 200 (Pratomo H dkk,2006). Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita infeksi menular seksual atau infeksi reproduksi lainnya maupun malaria, maka kadar HIV akan meningkat (Pratomo H dkk,2006). Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat kadar CD4 yang kurang dari 200 serta adanya masalah pada ibu seperti mastitis, abses, luka di puting payudara. Risiko penularan HIV pasca persalinan menjadi meningkat bila ibu terinfeksi HIV ketika sedang masa menyusui bayinya (Pratomo H dkk,2006).
b.
Faktor bayi a.
Prematuritas
Beberapa pusat penelitian telah memaparkan tentang hubungan prematuritas terhadap infeksi
HIV.Sebagai
contoh
status
HIV
maternal
menjembatani
prematuritas
kehamilan.Ryder dan teman-teman pada tahun 1989 di Zaire, menggaris bawahi tentang prematuritas sebesar 13% pada wanita HIV dan 3% pada kelompok control. Goedert dan teman-teman, tahun 1989 ,melakukan studi prospektif terhadap 687 wanita terinfeksi HIV didapatkan 60% bayi premature terinfeksi HIV dibanding 22% bayi cukup hari yang terinfeksi HIV dari ibu positif HIV. Pada kesimpulannya bahwa prematuritas sangat berhubungan dengan defisiensi imun termasuk defek sel-T dan cepatnya perjalanan penyakit virus non-HIV (Grace C dkk, 1996; Joseph P dkk, 2000; Stiehm R, 1998; Bongertz V,2001) b.
Nutrisi Fetus
Nutrisi prenatal yang buruk dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan janin dalam rahim atau intrauterine growth retandation (IUGR). Semua akan menyebabkan menurunnya imunitas selular yang dalam tumbuh kembangnya akan mengalami gangguan termasuk disfungsi organ yang akan memperburuk sistim kekebalan tubuh terutama dalam melawan virus HIV dan infeksi oportunistik yang didapat. Memerlukan perhatian yang lebih dan asupan nutrisi serta tambahan vitamin (Stiehm R, 1998). c.
Fungsi Pencernaan
Fungsi pencernaan pada neonatus memegang peranan penting dalam MIT, sejak infeksi HIV diperkirakan masuk melalui pencernaan saat kelahiran, oleh karena terpapar darah yang terinfeksi, sekresi vagina, cairan amnion dan air susu ibu. Pada sistem pencernaan bayi memiliki keasaman lambung yang rendah, aktifitas enzim pencernaan yang rendah, produksi cairan mukosa yang rendah dan sedikit sekresi dari Ig A yang merupakan sistem kekebalan pada pencernaan untuk melawan kuman yang masuk (Stiehm R, 1998). d.
Respon imun neonatus
Sistem kekebalan tubuh bayi yang baru lahir secara anatomi memiliki defisiensi fungsional, belum terpapar oleh antigen dari luar dan sering mengalami ketidak mampuan
dalam mengkopi agen mayor infeksi. Sistem antibodi pada janin bersifat dorman, digantikan oleh sistem kekebalan tubuh dari Ig G ibu melalui transplasenta dan sekresi IgA dari air susu ibu. Yang paling utama adalah defek selT sehingga berpengaruh pada fungsi nya sebagai produksi sitokin, respon sel T sitotoksik, lambatnya sistem penolakan terhadap sel asing dan tropism terhadap replikasi virus intraselular (Dickover RE dkk, 2001; Bongerta V, 2001). 2.5.2. Faktor Cara Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Seorang ibu yang terinfeksi HIV dengan kehamilan memiliki resiko untuk menularkan HIV ke bayinya, dibagi dalam tiga tahapan waktu yaitu (Dickover RE dkk, 2001); 1. Antepartum: Viral load dari ibu, apakah sudah mendapat terapi anti retroviral, jumlah CD4+, defisiensi vitamin A, co-reseptor mutasi dari HIV, malnutrisi, sedang dalam terapi pelepasan ketergantungan obat, perokok, corionik virus sampling, amniosintesis, berat badan ibu. 2. Intrapartum: Kadar maternal HIV-1 cerviko vaginal, proses persalinan, pecah ketuban kasep, persalinan premature, penggunaan fetal scalp electrode, penyakit ulkus genitalia aktif, laserasi vagina, corioamnionitis, episiotomy. 3. Air susu ibu, mastitis.
2.6
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi Kecenderungan terjadinya peningkataninfeksi HIV pada perempuan dan anak maka
diperlukan berbagai upaya untuk mencegah infeksi HIV pada perempuan, serta mencegah penularan HIV dari ibu hamil ke bayi melalui suatu program yaitu PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV Transmission)
2.6.1 Tujuan Program PMTCT Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi bertujuan untuk (Depkes RI, 2008; Green WC,2009): 1. Mencegah Penularan HIV dari Ibu ke Bayi. Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan oleh penularan dari ibu. Infeksi yang ditularkan dari ibu ini yang akan mengganggu kesehatan anak. Diperlukan upaya intervensi dini yang baik, mudah dan mampu laksana guna menekan proses penularan tersebut. 2. Mengurangi dampak epidemi HIV terhadap Ibu dan Bayi Dampak akhir dari epidemi HIV berupa berkurangnya kemampuan produksi dan peningkatan beban biaya hidup yang harus ditanggung oleh Odha dan masyarakat Indonesia di masa mendatang karena morbiditas dan mortalitas terhadap ibu dan bayi yang tesebut perlu diperhatikan, dipikirkan dan diantisipasi sejak dini. 2.6.2 Bentuk-Bentuk Intervensi PMTCT Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 25 – 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi Depkes, setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil HIV positif yang melahirkan di Indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi diperkirakan akan lahir sekitar 3.000 bayi dengan HIV positif setiap tahunnya di Indonesia.Intervensi tersebut meliputi 4 konsep dasar: (1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif, (2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya, (3) Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif, dan (4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif (Depkes RI, 2008; Green WC, 2009). 1.
Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif Secara bermakna penularan infeksi virus ke neonatus dan bayi terjadi trans plasenta dan Intra partum. Perempuan Odha dapat memberikan keputusan untuk hamil setelah melalui
proses konseling, pengobatan dan pemantauan. Pertimbangan untuk mengijinkan Odha hamil antara lain: apabila daya tahan tubuh cukup baik (CD4 di atas 500), kadar virus (viral load) minimal/ tidak terdeteksi (kurang dari 1.000 kopi/ml), dan menggunakan ARV secara teratur (Depkes RI, 2008; Green WC,2009). 2.
Menurunkan viral load ( kadar virus) serendah-rendahnya Obat antiretroviral (ARV) yang ada sampai saat ini baru berfungsi untuk menghambat multiplikasi virus, belum menghilangkan secara total keberadaan virus dalam tubuh Odha. Walaupun demikian, ARV merupakan pilihan utama dalam upaya pengendalian penyakit guna menurunkan kadar virus. (Depkes RI, 2008; Green WC,2009).
3.
Meminimalkan paparan janin dan bayi terhadap cairan tubuh ibu Persalinan dengan seksio sesarea berencana sebelum saat persalinan tiba merupakan pilihan pada Odha. Pada saat persalinan pervaginam, bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Bayi mungkin juga terinfeksi karena menelan darah atau lendir jalan lahir tersebut (secara tidak sengaja pada saat resusitasi). Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa seksio sesarea akan mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50-66% .Apabila seksio sesarea tidak bisa dilaksanakan, maka dianjurkan untuk tidak melakukan tindakan invasif yang memungkinkan perlukaan pada bayi (pemakaian elektrode pada kepala janin, ekstraksi forseps, ekstraksi vakum) dan perlukaan pada ibu (episiotomi) (Depkes RI, 2008; Green WC,2009). HIV teridentifikasi ada dalam kolustrum dan ASI, menyebabkan infeksi kronis yang serius pada bayi dan anak. Oleh karenanya ibu hamil HIV positif perlu mendapat konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menggunakan susu formula ataupun ASI eksklusif. Untuk mengurangi risiko penularan, ibu HIV positif bisa memberikan susu formula kepada bayinya. Sangat tidak dianjurkan pemberian makanan campuran (mixed feeding), yaitu ASI bersamaan dengan susu formula/ PASI lainnya. Mukosa usus
bayi pasca pemberian susu formula/ PASI akan mengalami proses inflamasi. Apabila pada mukosa yang inflamasi tersebut diberikan ASI yang mengandung HIV maka akan memberikan kesempatan untuk transmisi melalui mukosa usus.Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika terdapat permasalahan pada payudara (mastitis, abses, lecet/luka putting susu) (WHO,2010). 4.
Mengoptimalkan kesehatan ibu dengan HIV positif Melalui pemeriksaan ANC secara teratur dilakukan pemantauan kehamilan dan keadaan janin. Roboransia diberikan untuk suplemen peningkatan kebutuhan mikronutrien. Pola hidup sehat antara lain: cukup nutrisi, cukup istirahat, cukup olah raga, tidak merokok, tidak minum alkohol juga perlu diterapkan. Penggunaan kondom tetap diwajibkan untuk menghindari kemungkinan superinfeksi bila pasangan juga Odha, atau mencegah penularan bila pasangan bukan Odha (Depkes RI, 2008; Green WC,2009)
2.7
Pengaruh HIV Pada Kehamilan
HIV dalam kehamilan tidak meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu, namun memiliki pengaruh yang buruk terhadap bayi. Pada wanita yang terinfeksi HIV, maka sebesar 20% akan mengalami kelahiran prematur dan 24% mengalami PJT dan angka ini dapat lebih besar pada negara berkembang (Cunningham, et al., 2010) tentunya dengan hal ini maka secara tidak langsung akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Penelitian di Eropa memperlihatkan bahwa kehamilan memberikan pengaruh pada progresifitas HIV. Suatu penelitian di Negara industri sebelum obat antiretrovirus tersedia tidak memperlihatkan peningkatan frekuensi prematuritas, berat badan lahir rendah, atau pertumbuhan janin terhambat yang berhubungan dengan HIV. Penelitian pada Negara berkembang menunjukkan peningkatan frekuensi dari lahir premature, berat badan lahir rendah, pertumbuhan janin terhambat,dan lahir mati pada bayi wanita yang terinfeksi HIV
dibandingkan dengan wanita tanpa HIV. Tidak ada penelitian yang menunjukkan peningkatan kelainan pada bayi yang disebabkan dengan infeksi HIV (Wood AJ.2002)
2.8
Tata Laksana Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu ke Bayi
Pada ibu hamil dengan HIV maka diberikan obat antiretroviral (ARV).ARV yang diberikan meliputi nukleosida analog reverse transkriptase inhibitor (Zidovudine, Lamivudine) dan non nukleotida reverse transkriptase inhibitor (Nevirapine) baik diberikan tunggal atau kombinasi dan menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan transmisi ibu ke anak dengan menurunkan replikasi virus dan profilaksis pada bayi selama dan setelah terekspos oleh virus HIV (WHO, 2004). Di RSUP Sanglah, regimen yang digunakan untuk pencegahan transmisi HIV dari ibu ke anak dikutip dari prosedur tetap Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah adalah (Anonim, 2004) : 1. ANC (Ante Natal Care) Dilakukan sesuai standar kehamilan normal dan disertai konseling mengenai penyakitnya. Pencegahan transmisi perinatal dilakukan dengan pemberian obat AZT (Zidovudine) dengan cara : o Dilakukan pemeriksaan CD 4 dan viral load awal o Pemberian AZT (Zidovudine) : Setelah umur kehamilan 14 minggu, dengan dosis 2 kali 300mg/hari, diteruskan selama kehamilan Bila ditemukan dalam kehamilan lanjut, AZT diberikan umur kehamilan 34-36 minggu, selama 4 minggu dengan dosis 2 kali 300mg/hari 2. Persalinan Penanganan medis : AZT diberikan 300mg per oral setiap 3 jam sampai bayi lahir.
Penanganan obstetri: prosedur di kamar bersalin merupakan tindakan bedah, sehingga sikap penolong dan petugas lainnya harus memenuhi standar kewaspadaan universal.. Persalinan kala I : o Batasi pemeriksaan dalam o Disinfeksi vagina dengan antiseptik o Fase latent hanya diijinkan berlangsung selama 8 jam, bila melebihi 8 jam maka dilakukan bedah sesar o Seksio dipertimbangkan pada beberapa keadaan berikut Kadar CD4 kurang dari 500 Kadar viral load ≥1000 copy/ml saat usia kehamilan 34-36 minggu SC elektif dilakukan pada umur kehamilan 38 minggu. o Hindari amniotomi, kecuali pembukaan lengkap dan akan dilakukan pimpinan persalinan Persalinan kala II o Sedapat mungkin episiotomi dilakukan atas indikasi o Batasi tindakan yang bersifat traumatik bagi ibu dan bayi (vakum, forseps) o Setelah bayi lahir, gunting tali pusat o Darah tali pusat diambil 10ml untk pemeriksaan HIV bayi Persalinan kala III o Persalinan kala III dilakukan sesuai dengan manajemen aktif kala III o Pemeriksaan PA terhadap plasenta Persalinan kala IV o
Sesuai dengan prosedur standar manajemen kala IV Bayi :
Segera setelah bayi lahir, bayi dimandikan dengan sabun antiseptik
Jangan diberikan ASI, berikan susu pengganti ASI
Berikan profilaksis AZT pada bayi (2mg/KgBB) tiap 6 jam dimulai saat umur 8-12 jam sampai 6 minggu
Tabel 2.3. Pemberian obat antiretroviral dalam program PMTCT ditujukan pada situasi klinik (Depkes RI,2009; WHO, 2010) No.
Situasi Klinis
1
Odha dengan indikasi ART dan kemungkinan hamil atau sedang hamil
2
Odha sedang menggunakan ART dan kemudian hamil
3
Odha hamil dan belum ada indikasi ART
4
Odha hamil dengan indikasi ART, tetapi belum menggunakan ARV
Rekomendasi Pengobatan (Rejimen untuk Ibu) AZT (d4T) + 3TC + NVP (hindari EFV) Hindari EFV pada trimester pertama Jika mungkin hindari ARV sesudah trimester pertama Lanjutkan rejimen (ganti dengan NVP atau golongan PI jika sedang menggunakan EFV pad atrimester I) Lanjutkan dgn ARV yg sama selama dan sesudah persalinan AZT mulai 28 minggu + NVP dosis tunggal pada awal persalinan Alternatif Hanya AZT mulai 28 minggu AZT + 3TC mulai 36 minggu, selama persalinan, 1 minggu sesudah persalinan NVP dosis tunggal pada awal persalinan AZT mulai 28 minggu + NVP dosis tunggal pada awal persalinan Alternatif Hanya AZT mulai 28 minggu AZT + 3TC mulai 36 minggu, selama persalinan, 1 minggu sesudah persalinan NVP dosis tunggal pada awal persalinan
5
Odha hamil dengan
OAT yg sesuai tetap diberikan
tuberkulosis aktif
Rejimen untuk ibu Bila pengobatan mulai trimester III: AZT (d4T) + 3TC + EFV Bila belum akan menggunakan ARV: disesuaikan dengan skenario 3
6
Bumil dalam masa persalinan
Tawarkan konseling dan testing dalam
dan tidak diketahui status HIV
masa persalinan; atau konseling dan testing setelah persalinan (ikuti skenario 8) Jika hasil tes positif maka dapat diberikan
NVP dosis tunggal
Bila persalinan sudah terjadi maka ikuti skenario 8; atau
AZT + 3TC pada saat persalinan dilanjutkan
1
minggu
setelah
persalinan 7
Odha datang pada masa
NVP dosis tunggal ditambah
persalinan dan belum
AZT + 3TC pada saat persalinan
mendapat ART
dilanjutkan persalinan
1
minggu
setelah
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif retrospektif.
3.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di poliklinik PMTCT Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar mulai 1 Agustus 2011 sampai 31 Oktober 2011.
3.3. Sampel penelitian Sampel penelitian adalah semua kasus ibu hamil dengan HIV yang datang ke Poli klinik PMTCT RSUP Sanglah Denpasar dalam periode 1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2010.
3.4. Bahan dan cara kerja Data untuk penelitian ini didapatkan dari: 1.
Buku register pasien poli klinik PMTCT RSUP Sanglah Denpasar dari 1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2010.
2.
Catatan medis pasien hamil dengan HIV dari 1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2010.
Data yang diperoleh kemudian disusun dan ditabulasi serta disajikan dalam bentuk tabel dan naratif
3.5. 1.
Definisi operasional variabel Hamil dengan HIV adalah kehamilan yang disertai dengan pemeriksaan
anti-HIV
serum ibu didapatkan hasil positif 2.
Umur adalah umur ibu hamil yang dihitung dari tanggal lahir yang KTP pada saat kunjungan ke poli klinik PMTCT RSUP
tercantum
Sanglah,
dalam
dinyatakan
dalam satuan tahun. 3.
Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan pada usia kehamilan diatas 20
minggu
oleh ibu hamil sebelum kehamilan sekarang. 4.
Daerah asal adalah daerah tempat ibu hamil berdomisili yang tercantum
dalam
rekam medis paisen. 5.
Pekerjaan adalah pekerjaan ibu hamil yang tercantum dalam rekam medis
pasien
6.
Umur kehamilan adalah umur kehamilan dalam satuan minggu dihitung mulai dari hari pertama haid terakhir, atau apabila hari pertama haid terakhir lupa, usia kehamilan dihitung dari ultrasonografi yang dilakukan pada usia kehamilan kurang dari 26 minggu.
7.
Stadium klinis HIV adalah stadium klinis HIV yang ditentukan berdasarkan klasifikasi klinis menurut WHO.
8.
Cara persalinan adalah tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri
kehamilan.
9.
Berat badan bayi adalah berat badan bayi yang dilahirkan dalam satuan
gram.
10.
Status HIV bayi adalah status apakah bayi yang dilahirkan positif HIV
setelah
umur 18 bulan dengan pemerikasaan ELIZA atau Western Blot.
3.6.
Alur penelitian Dilakukan pencatatan nama dan nomor catatan medis pasien yang didapatkan dari
buku register poli klinik PMTCT dari tanggal 1 Januari 2005 sampai 31 Desember 2010.
Dilakukan penelusuran CM, dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan lembar pengumpul data.Kemudian data ditabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel dan naratif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan dibawah ini :
Buku register kunjungan poli klinik PMTCT
Catatan medis penderita
Koleksi data : lembar pengumpulan data
Tabulasi data dan analisa data
Laporan hasil penelitian
Gambar 3.1 Alur penelitian
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Jumlah Ibu Hamil Dengan HIV di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Tahun 2005 – 2010. Dalam kurun waktu 6 tahun (1 Januari 2005 – 31 Desember 2010) tercatat 102 kasus kehamilan dengan HIV yang didapatkan dari buku register poli klinik PMTCT RSUP Sanglah Denpasar. Dari seluruh jumlah kasus tersebut, kami mendapatkan jumlah kasus ibu hamil dengan HIV pada tahun 2005 sebanyak 4 kasus, pada tahun 2006 sebanyak 6 kasus, pada tahun 2007 sebanyak 15 kasus, pada tahun 2008 sebanyak 13 kasus, pada tahun 2009 sebanyak 28 kasus dan pada tahun 2010 sebanyak 36 kasus. Sementara angka kejadian ibu hamil dengan HIV diRSUP sanglah dapat kami tampilkan dari tahun 2008-2010 yaitu pada tahun 2008 sebanyak 0.45% dan tahun 2009 dan 2010 angka kejadian ibu hamil dengan HIV menetap 2.33%. namun angka kejadian tahyn 2005-2007 tidak dapat kami ketahui karena data register jumlah ibu hamil yang berkunjung ke RSUP Sanglah tidak ditemukan sehingga ini menjadi kelemahan pada penelitian ini. Berdasarkan data kami, jumlah kasus ibu hamil dengan HIV cenderung meningkat dari tahun
ke tahun ini sesuai dengan
laporan komisi penanggulangan AIDS yang
menyatakan terjadi peningkatan kasus HIV di 33 propinsi diIndonesia dari tahun 2000-2009 dimana 74.5% ditemukan pada laki-laki dan 25% ditemukan pada wanita. Sehingga tidak mengherankan bila kasus ibu hanil dengan HIV terus meningkat dari tahun ke tahun (Marhaena,2010). Dan menurut Ditjen PP & PL Kemenkes RI tahun 2011 jumlah HIV diIndonesia periode 1 April 1987-30 Juni 2011 adalah 26483 kasus, dengan jumlah kematian sebesar 5056 orang, dengan jumlah wanita yang terinfeksi HIV sebesar 7255 orang. Jumlah kasus ibu hamil dengan HIV yang cenderung meningkat di RSUP Sanglah mungkin dikarenakan jumlah kasus HIV dimasyarakat yang meningkat dan kesadaran
masyarakat akan bahaya HIV bagi ibu dan bayi yang dilahirkan. Sehingga ibu hamil yang positif HIV datang ke poliklinik PMTCT RSUP Sanglah untuk memeperoleh pelayanan yang optimal untuk ibu hamil sendiri dan untuk bayi yang dilahirkan sehingga penularan HIV ke bayinya dapat dicegah. Tabel 4.1 Jumlah Ibu Hamil Dengan HIV di RSUP Sanglah Tahun 2005-2010 Berdasarkan Jumlah Total Ibu Hamil Dengan HIV Tahun
Jumlah ibu hamil dengan HIV
Persentase
2005
4
3.92 %
2006
6
5.88 %
2007
15
14.70 %
2008
13
12.75 %
2009
28
27.45 %
2010
36
35.30 %
102
100 %
Tabel 4.2 Angka kejadian ibu hamil dengan HIV di RSUP Sanglah tahun 2008-2010 Tahun
Jumlah ibu hamil
Jumlah total ibu hamil
Persentase
dengan HIV 2008
13
2865
0.45%
2009
28
1200
2.33%
2010
36
1543
2.33%
2008-2010
77
5608
1.37%
4.2 Karakteristik Ibu Hamil Dengan HIV
4.2.1 Sebaran Kasus Ibu Hamil Dengan HIV Berdasarkan Umur Ibu Pada penelitian ini, dari 102 ibu hamil dengan HIV didapatkan kehamilan pada umur 15-19 tahun sebanyak 7 kasus (6.86%), untuk umur 20-29 tahun sebanyak 76 kasus (74.51%), untuk umur 30-39 tahun sebanyak 18 kasus (17.65%), dan untuk kelompok umur >40 tahun sebanyak 1 kasus ( 0.98 %). Dari data yang kami peroleh kasus HIV terbanyak terjadi pada umur reproduktif yaitu 20-29 tahun. Dimana hal ini sesuai dengan laporan komisi penanggulangan AIDS yang menyatakan bahwa penularan HIV sudah terjadi lebih awal, dimana umur produktif (15-29 tahun) banyak dilaporkan telah terinfeksi dan menderita AIDS. Berdasarkan laporan Depkes lebih dari 50% kasus AIDS dilaporkan pada umur 15-29 tahun. Dan terbanyak pada umur 2029 tahun (Marhaena,2010). Prevalensi HIV pada perempuan di Indonesia sebesar 16%, dan mayoritas (92,54%) merupakan usia reproduksi aktif (15-35 tahun) (Ronoatmojo S dkk, 2008). Pada penelitian yang dikerjakan di Malawi, diketahui bahwa puncak insiden ibu hamil terinfeksi HIV adalah pada usia 26-30 tahun (Kwiek,dkk.2008). Dari data yang kami peroleh kasus HIV terbanyak terjadi pada umur reproduktif yaitu 20-29 tahun. Hal dapat disebabkan oleh hubungan seksual bebas pada usia dini baik oleh kasus sendiri atau oleh pasangannya, sehingga penyebaran HIV lebih cenderung terjadi pada usia muda. Dapat juga karena pergaulan yang bebas dan makin banyaknya pengguna obatobatan golongan narkotika injeksi dikalangan remaja sehingga meningkatnya resiko HIV pada golongan umur reproduktif. Dan rentang umur ini merupakan kelompok usia subur dimana kehamilan sebagian besar terjadi pada kelompok usia ini Risiko terinfeksi HIV meningkat pada wanita usia muda hal ini terkait dengan infeksi menular seksual yang telah terjadi sebelumnya dan tidak diobati. Pada wanita usia muda tersebut memiliki kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual dengan pria yang lebih
tua, di mana sebagian besar pria tersebut kemungkinan melakukan aktivitas seksual yang berisiko sebelumnya. Tabel 4.3 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan Umur Ibu Umur
Jumlah
Persentase
15-19 Tahun
7
6.86 %
20-29 Tahun
76
74.51 %
30-39 Tahun
18
17.65 %
>40 tahun
1
0.98 %
102
100%
4.2.2 Sebaran Kasus Ibu Hamil Dengan HIV Berdasarkan Daerah Asal Dari hasil penelitian berdasarkan daerah asal ibu hamil dengan HIV didapatkan terbanyak berasal dari Denpasar sebesar 40 kasus ( 39.21%) kemudian Badung sebanyak 17 kasus (16.67%), Karangasem sebanyak 10 kasus (9.80%), Tabanan sebanyak 9 kasus ( 8.82%), Negara sebanyak 7 kasus (6.87%), Gianyar dan Singaraja masing-masing 5 dan 4 kasus, Klungkung sebanyak 3 kasus, bangli sebanyak 1 kasus, dan luar bali sebanyak 6 kasus. Data ini menunjukkan bahwa kasus ibu hamil dengan HIV sudah tersebar diseluruh kabupaten di Bali.Kasus terbanyak berasal dari Denpasar dikarenakan Denpasar merupakan ibukota propinsi Bali sehingga jumlah penduduk yang banyak dan perilaku seksual bebas cenderung banyak terjadi dikota besar sehingga penularan HIV lebih mudah terjadi.Dan poliklinik PMTCT RSUP Sanglah berada di Denpasar, jadi sebagian besar kasus merupakan warga yang berasal dari Denpasar.Sedangkan kasus dari kabupaten lain merupakan kasus rujukan dari masing-masing rumah sakit kabupaten yang belum memiliki poliklinik PMTCT. Ini menunjukkan bahwa HIV telah menyebar diseluruh kabupaten di Bali terutama di Denpasar
Sedangkan kasus dengan daerah asal dari luar Bali merupakan pedatang dari luar bali seperti Banyuwangi, Situbondo, Mojokerto, Pasuruan, Malang yang menetap di Denpasar. Dan diketahui terinfeksi HIV dan hamil saat tinggal diBali.Ini menandakan bahwa infeksi HIV sudah menyebar diseluruh daerah diIndonesia. Tabel 4.4 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan Daerah Asal Daerah Asal
Jumlah
Persentase
Denpasar
40
39.21 %
Badung
17
16.67 %
Singaraja
4
3.92 %
Tabanan
9
8.82 %
Negara
7
6.87 %
Gianyar
5
4.90 %
Karangasem
10
9.80 %
Klugkung
3
2.94 %
Bangli
1
0.98 %
Luar Bali
6
5.89 %
102
100%
4.2.3 Sebaran Kasus Ibu Hamil Dengan HIV Berdasarkan Faktor Risiko Penularan Dari penelitian ini didapatkan faktor risiko penularan HIV pada kasus terbayak disebakan oleh heteroseksual sebanyak 57 kasus (55.90%), suami dan kasus heteroseksual sebanyak 10 kasus (9.80%), suami
heteroseksual dan IDU sebanyak 7 kasus (6.86%),
kasus
heteroseksual dan IDU sebanyak 5 kasus (4.90%), kasus IDU sebanyak 2 kasus (1.96%),suami IDU sebanyak 2 kasus (1.96%), suami
heteroseksual sebanyak 2 kasus
(1.96%), dan tidak diketahui faktor risiko penularan sebanyak 17 kasus (16.66%).
Penularan HIV terjadi melalui perilaku yang beresiko seperti penggunaan jarum suntuik yang tidak steril pada kelompok pengguna narkotika, perilaku seksual yang tidak aman baik pada hubungan hetroseksual maupun homoseksual. Dari data yang kami dapatkan penularan yang banyak terjadi karena hubungan seksual yang tidak aman dan berganti-ganti pasangan (heteroseksual) baik oleh ibu hamil sendiri atau oleh pasangannya. Dimana hal ini sesuai dengan laporan komisi penanggulangan AIDS yang menyatakan bahwa proporsi penularan HIV melalui hubungan seksual (heteroseksual maupun homoseksual) sangat mendominasi mencapai 60%. Sedangkan melalui jarum suntik sebesar 30% dan sebagian kecil melalui kehamilan, tranfusi darah dan pajanan saat bekerja (Marhaena,2010). Cara penularan ini sesuai juga dengan yang disampaikan oleh (Ditjen PP & PL Kemenkes RI tahun 2011 menurut faktor risiko penularan infeksi HIV/AIDS, jumlah kasus terbanyak adalah pada heteroseksual. Tabel 4.5 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan Faktor Risiko Penularan Faktor risiko penularan
Jumlah
Persentase
Hetero seksual
57
55.90 %
IDU + Heteroseksual
5
4.90 %
IDU
2
1.96 %
Suami IDU
2
1.96 %
Suami Heteroseksual
2
1.96 %
Suami Heteroseksual + IDU
7
6.86 %
Suami dan kasus heteroseksual
10
9.80 %
Tidak tahu
17
16.66 %
102
100 %
4.2.4 Sebaran Kasus Ibu Hamil Dengan HIV Berdasarkan Pekerjaan
Dari data penelitian ini didapatkan 82 kasus (80.39%) tidak bekerja dimana kasus adalah ibu rumah tangga. Sebanyak 18 kasus ( 17.65%) merupakan wanita tuna susila(WTS), sebagai tata usaha sebanyak 1 kasus (0.98 %), 1 kasus bekerja sebagai perawat (0.98%). Pada penelitian kami 80.39% kasus tidak bekerja, kemungkinan sebagian besar merupakan ibu rumah tangga, dimana kemungkinan penularan HIV didapat dari suami pasien atau dari pasangan sebelumnya. Pada penelitian kami dapatkan 1 kasus merupakan seorang perawat atau tenaga kesehatan namun tidak diketahui faktor risiko penularan HIV seperti heteroseksual maupun peggunaan narkotika baik pada kasus maupun suami.Ini menunjukkan bahwa risiko sebagai tenaga kesehatan besar kemungkinan terinfeksi HIV.Sehingga diperlukan general precaution dalam bekerja. Pekerjaan memiliki pengaruh pada perbedaan penyebaran HIV di populasi. Poundstone dkk (2004) menyatakan bahwa pendapatan masyarakat merupakan prediktor terkuat dalam peningkatan kasus AIDS.
Diketahui pada penelitian yang dikerjakan di
Barbados bahwa hampir sebagian besar ibu hamil dengan HIV/AIDS adalah tidak bekerja. Hal yang sama juga terjadi di Malawi, di mana sebagian besar ibu hamil terinfeksi HIV adalah tidak bekerja (Kwiek dkk, 2008). Tabel 4.6 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan Pekerjaan Pekerjaan
Jumlah
Persentase
Tidak bekerja
82
80.39 %
Wanita Tuna Susila
18
17.65 %
Tata Usaha
1
0.98 %
Perawat
1
0.98 %
102
100 %
4.2.5 Sebaran kasus ibu hamil dengan HIV berdasarkan jumlah persalinan Dari hasil penelitian didapatkan terbanyak kasus ibu hamil dengan HIV merupakan multiparitas. Dimana terbanyak kasus merupakan para 1 sebanyak 48 kasus (47.06%), para 2
sebanyak 23 kasus (22.55%), para 3 sebanyak 2 kasus (1.96%) dan para 5 sebanyak 1 kasus (0.98%). Sedangkan Nulipara sebanyak 28 kasus (27.45%) . Kasus terbanyak merupakan para 1 ini sesuai dengan hasil penelitian kami berdasarkan kelompok umur dimana terbanyak merupakan wanita dengan rentang umur 2029 tahun, dimana rentang usia ini merupakan usia subur untuk medapatkan kesuburan. Tabel 4.7 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan Jumlah Persalinan Paritas
Jumlah
Persentase
0
28
27.45 %
1
48
47.06 %
2
23
22.55 %
3
2
1.96 %
4
0
0.00 %
5
1
0.98 %
102
100%
4.2.6 Sebaran Kasus Ibu Hamil Dengan HIV Berdasarkan Asal Rujukan Dari data yang kami dapatkan sebanyak 83.34% merupakan kasus rujukan, dimana penderita telah dinyatakan positif HIV sebelum ke poliklinik PMTCT. Dimana 42.16% merupakan rujukan langsung dari klinik VCT RSUP Sanglah Sebanyak 17 kasus (16.66%) merupakan rujukan yayasan (YKP) 8 kasus (7.85%) rujukan Spesialis Obstetri, 5 kasus (4.90%) rujukan VCT Merpati, 3 kasus (2.95%) rujukan RSUD Badung. Masing-masing 2 kasus (1.96%) dari RSUD Negara, Spesialis penyakit dalam, dan RSUD Klungkung. Masing-masing 1 kasus ( 0.98%) rujukan RSU Wangaya, RSUD Tabanan, RSUD Bangli. Dan 17 kasus (16.66%) bukan merupakan kasus rujukan. Kasus ibu hamil dengan HIV ini sebagian besar merupakan kasus rujukan mugkin dikarenakan program PMTCT belum tersebar diseluruh kabupaten di Bali. Sehingga pasien
dirujuk ke poliklinik PMTCT RSUP Sanglah untuk pengawasan dan penanganan kehamilan dan persalinan sehingga penularan HIV baik dari ibu ke bayi maupun dari ibu ke petugas kesehatan dapat dicegah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai menyadari bahaya HIV pada kehamilan, dan pentingnya terapi ARV pada ibu hamil dengan HIV. Tabel 4.8 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan Asal Rujukan Asal Rujukan
Jumlah
Persentase
VCT RSUP
43
42.16%
SpOG
8
7.85 %
YKP
17
16.66 %
RSUD Negara
2
1.96 %
VCT Merpati
5
4.90 %
RSU Wangaya
1
0.98 %
SpPD
2
1.96 %
RSUD Badung
3
2.95 %
RSUD Tabanan
1
0.98 %
RSUD Bangli
1
0.98 %
RSUD Klungkung
2
1.96 %
Tidak dirujuk
17
16.66 %
102
100 %
4.3 Gambaran klinis 4.3.1 Sebaran Kasus Ibu Hamil Dengan HIV Berdasarkan Umur Kehamilan Saat Datang Pertama Kali ke Poli klinik PMTCT Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Dari data yang kami dapatkan ibu hamil dengan HIV yang datang kepoli klinik PMTCT RSUP Sanglah terbanyak pada umur kehamilan > 28 minggu sebanyak 49 kasus (48.04%). Umur kehamilan 12-28 minggu sebanyak 40 kasus (39.21%), dan umur kehamilan ≤ 12 minggu sebanyak 13 kasus (12.75%).
Dari 102 kasus terbanyak dirujuk kepoliklinik PMTCT RSUP Sanglah pada trimester kedua dan ketiga untuk pengawasan kehamilan lebih lanjut dan untuk pemberian terapi anti retroviral untuk mencegah penularan dari ibu ke bayi. Sebanyak 13 kasus telah datang pada umur kehamilan ≤ 12 minggu, kemungkinan kasus telah diketahui HIV sebelum hamil dan telah mendapat terapi ARV sebelum hamil. Tabel 4.9 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan Umur kehamilan Saat Datang Pertama Kali Ke Poli Klinik PMTCT Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Umur Kehamilan
Jumlah
Persentase
≤ 12 minggu
13
12.75 %
12-28 minggu
40
39.21 %
>28 minggu
49
48.04 %
102
100 %
4.3.2 Sebaran Kasus Ibu Hamil Dengan HIV Berdasarkan Umur Kehamilan Saat Pertama Kali Mendapatkan Terapi ARV. Dari 102 kasus didapatkan pemberian ARV terbanyak pada umur kehamilan > 28 minggu sebanyak 62 kasus (60.78%), umur kehamilan 12-28 minggu sebanyak 15 kasus (14.70%), umur kehamilan ≤ 12 minggu sebnyak 18 kasus (17.65%). Dan 7 kasus (6.87%) belum mendapatkan ARV sampai kehamilan diakhiri. Umur kehamilan saat pertama kali diberikan terapi ARV terbanyak setelah umur kehamilan 28 minggu, karena kebanyakan kasus diketahui positif HIV setelah trimester kedua dan ketiga dan belum pernah mendapatkan terapi ARV sebelumnya sehingga sesuai dengan pedoman pemberian ARV pada ODHA hamil dengan indikasi ARV dan pada ODHA hamil belum indikasi ARV diberikan ARV berupa AZT mulai 28 minggu + NVP dosis tunggal pada awal persalinan atau hanya AZT mulai 28 minggu atau AZT + 3TC mulai 36
minggu, selama persalinan dan 1 minggu sesudah persalinan atau NVP dosis tunggal pada awal persalinan(Depkes RI,2009; WHO,2010) Sebanyak 18 kasus telah mendapatkan ARV umur kehamilan ≤ 12 minggu, dikarenakan kasus telah diketahui HIV sebelum kehamilan dan telah mendapatkan ARV sebelum kehamilan. Sedangkan 7 kasus belum mendapatkan ARV sampai tindakan untuk mengakhiri kehamilan dilakukan karena kasus belum diketahui status HIV saat tindakan dilakukan. Pada data kami dapatkan 62 kasus mendapat ARV pada umur > 28 minggu, dari 62 kasus tersebut terdapat 11 kasus mendapat ARV pada umur kehamilan > 38 minggu ini berarti bahwa kasus tersebut mendapatkan ARV yang tidak optimal dimana ARV dikatakan optimal bila diberikan sekurangnya selam 4 minggu sebelum tindakan dilakukan. Tabel 4.10 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan Umur kehamilan Saat Pertama Kali Mendapatkan Terapi ARV Umur Kehamilan
Jumlah
Persentase
≤ 12 minggu
18
17.65 %
12-28 minggu
15
14.70 %
>28 minggu
62
60.78 %
Belum mendapat ARV
7
6.87 %
102
100 %
4.3.3 Sebaran Kasus Ibu Hamil Dengan HIV Berdasarkan Umur Kehamilan Saat Tindakan Dilakukan. Dari data yang diperoleh tindakan untuk mengakhiri kehamilan terbanyak dilakukan pada umur kehamila 37-40 minggu sebanyak 65 kasus (65%), 15 kasus (15%) saat umur kehamilan 28-37 minggu, 7 kasus (7%) saat umur kehamilan < 20 minggu, 6 kasus (6%) saat umur kehamilan >40 minggu, dan 2 kasus (2%) saat umur kehamilan 20-28 minggu.
Dari data yang kami peroleh kelahiran terbanyak terjadi pada umur kehamilan 37-40 minggu, dari rentang 37-40 minggu terbanyak tindakan untuk mengakhiri kehamilan dilakukan pada umur kehamilan 38 minggu sebanyak 46 kasus. Hal ini sesuai dengan The Committee on Obstetric Practice of the American College of Obstetric and Gynecology yang merekomendasikan bahwa semua wanita terinfeksi HIV, tanpa melihat apakah mereka sudah mendapat atau tidak terapi antirerovirus harus ditawarkan seksio sesaria terjadwal pada kehamilan 38 minggu dan sebelum pecah ketuban.(Fernandes AD,2000). Tabel 4.11 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan Umur kehamilan Saat Tindakan Umur Kehamilan
Jumlah
Persentase
< 20 minggu
8
8%
20-28 minggu
1
1%
28-37 minggu
15
15 %
37-40 minggu
70
65 %
> 40 minggu
6
6%
100
100 %
4.3.4 Sebaran Kasus Ibu Hamil Dengan HIV Berdasarkan Stadium Klinis HIV Dari 102 kasus kami dapatkan 69 kasus (67.66%) merupakan HIV stadium I, 11 kasus (10.78%) HIV stadium II, 2 kasus (1.96%) dengan HIV stadium III, 20 kasus ( 19.60%) stadium IV. Dari data yang kami dapatkan penentuan stadium klinis HIV ditentukan berdasarkan Kriteria WHO, dan didapatkan 67.66% merupakan HIV stadium I. Pada Odha asimptomatik (Stadium I), diagnosa HIV/AIDS sangatlah sulit ditegakkan secara klinis. Oleh sebab itu kualitas pemeriksaan antenatal amatlah penting, sehingga deteksi dini dan pengawasan terhadap ibu-ibu hamil dengan resiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS sebisa mungkin dapat dikerjakan.
Infeksi HIV sampai menimbulakan gejala AIDS memerlukan waktu kuarang lebih 8 tahun.Pada seseorang yang teinfeksi HIV ada masa Jendela/window period merupaka masa dimana seseorang yang sudah terinfeksi HIV, namun pada pemeriksaan antibodi di dalam darahnya masih belum ditemukan/negatif.Masa jendela ini biasanya berlangsung 3 bulan sejak infeksi awal. (Depkes RI 2008) Tabel 4.12 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan Stadium Klinis Stadium
Jumlah
Persentase
I
69
67.66%
II
11
10.78 %
III
2
1.96 %
IV
20
19.60 %
102
100 %
4.4 Cara Persalinan dan Luaran Bayi. 4.4.1 Sebaran Kasus Ibu Hamil Dengan HIV Berdasarkan Tindakan Yang Dilakukan Dari 100 kasus yang dilakukan tindakan untuk mengakhiri kehamilan kami dapatkan 58 kasus (58%) dilakukan seksio sesaria (SC), 25 kasus (25%) dilakukan SC+MOW, 8 kasus (8%) partus spontan pervaginam, 4 kasus (4%) dilakukan Kuretase, 3 kasus (3%) dilakukan Suction Steril, 1 kasus (1%) dilakukan salfingectomi dan 1 kasus (1%) dilakukan cunam mouseauc. Dari data yang kami dapatkan 83 kasus dilakukan seksio sesaria elektif, hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang menyarankan bahwa seksio sesaria dapat memiliki efek yang penting dalam mengurangi kejadian transmisi HIV dari ibu ke anak, dan juga mengindikasikan bahwa dibandingkan cara persalinan lainnya seksio sesaria yang dilakukan sebelum persalinan dan sebelum pecah ketuban (seksio sesaria elektif) secara bermakna mengurangi kejadian transmisi HIV perinatal. Wanita terinfeksi HIV harus disarankan seksio
sesaria terjadwal untuk mengurangi kejadian transmisi jauh dari yang dapat dicapai hanya dengan terapi ZDV saja (Minkoff HL,2001) Pada data kami didapatkan 8 kasus lahir spontan pervaginan dikarenakan pasien datang ke VK kebidanan RSUP Sanglah dalam keadaan inpartu dan masuk dalam kala II. Dimana 3 kasus dengan partus premature dan 1 kasus dengan KJDR dimana kasus ini belum mendapatkan terapi ARV. Sedangkan 4 kasus dengan kehamilan aterm saat pertama kali datang ke RSUP sanglah dalam keadaan inpartu dan belum diketahui status HIV. Tabel 4.13 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan Tindakan Yang Dilakukan Tindakan yang dilakukan
Jumlah
Persentase
SC
58
58 %
SC + MOW
25
25 %
Spontan
8
8%
Kuretase
4
4%
Cunam mouseauc
1
1%
Suction steril
3
3%
Salfingectomi
1
1%
100
100 %
4.4.2 Sebaran Kasus Ibu Hamil Dengan HIV Berdasarkan Berat Badan Bayi Yang Dilahirkan Dari data yang kami dapatkan 75 kasus (73.53%) berat badan bayi yang dilahirkan > 2500 gram, 17 kasus ( 16.66%) berat badan lahir 1000-2500 gram, 2 kasus (1.96%) berat lahir 5001000 gram. 8 kasus (7.85%) berat lahir < 500 gram dimana kasus ini merupakan kasus abortus dan telah dilakukan kuretase. Pada data kami dapatkan 17 kasus dengan berat badan lahir 1000-2500 gram, hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan pada wanita dengan HIV didapatkan sebesar
20% akan mengalami kelahiran prematur dan 24% mengalami PJT dan angka ini dapat lebih besar pada negara berkembang (Cunningham dkk. 2010) tentunya dengan hal ini maka secara tidak langsung akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Penelitian pada Negara berkembang menunjukkan peningkatan frekuensi dari lahir premature, berat badan lahir rendah, pertumbuhan janin terhambat,dan lahir mati pada bayi wanita yang terinfeksi HIV dibandingkan dengan wanita tanpa HIV. (Wood AJ.2002) Tabel 4.14 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan berat badan bayi Berat badan lahir
Jumlah
Persentase
< 500 gram
8
7.85 %
500-1000 gram
2
1.96 %
1000-2500 gram
17
16.66 %
>2500 gram
75
73.53 %
102
100 %
4.4.3 Sebaran Kasus Ibu Hamil Dengan HIV Berdasarkan Status HIV Bayi. Dari 94 bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir > 500 gram, didapatkan status HIV berupa 39 kasus (41.50%) non reactive, 1 kasus (1.06%) reactive, 10 kasus (10.64%) meninggal, 7 kasus (7.44%) lost to follow up, 37 kasus (39.36%) belum diperikasa status HIV karena belum berumur 18 bulan sampai data ini dikumpulkan. Diagnosis serologis untuk bayi baru lahir sulit ditegakkan karena adanya transpor antibodi HIV maternal, sehingga diagnosis infeksi HIV pada bayi sering tertunda karena antibodi IgG maternal dapat menembus plasenta dan bertahan sampai 18 bulan. Cara pemantauan terhadap bayi di lakukan dengan uji PCR HIV-RNA yang dikonfirmasi kembali dengan pemeriksaan anti HIV saat berumur 1 tahun 6 bulan (18 bulan) (Cole FS. 1998).
Tabel 4.15 Sebaran Kasus Ibu Hamil dengan HIV Tahun 2005 – 2010 Berdasarkan Status HIV bayi Status HIV bayi
Jumlah
Persentase
Non reactive
39
41.50 %
Reactive
1
1.06 %
Meninggal
10
10.64 %
Lost to follow up
7
7.44 %
Belum diperiksa
37
39.36 %
94
100 %
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah didapatkan dalam kurun waktu 6 tahun (1 Januari 2005 – 31 Desember 2010) tercatat 102 kasus kehamilan dengan HIV. Dengan angka kejadian dari tahun 2008 sebesar 0.45% dan tahun 2009 dan 2010 angka kejadian ibu hamil dengan HIV menetap 2.33%. Dari 102 kasus tersebut terbanyak ditemukan pada kelompok umur 20-29 tahun sebanyak 76 kasus (74.51%), sesuai dengan laporan komisi penanggulangan AIDS yang menyatakan bahwa penularan HIV sudah terjadi lebih awal, dimana usia produktif (15-29 tahun) banyak dilaporkan telah terinfeksi dan menderita AIDS. Kasus terbanyak berasal dari Denpasar sebesar 40 kasus (39.21%). Faktor risiko penularan HIV terbayak disebabkan oleh hubungan seksual yang tidak aman (heteroseksual) baik oleh pasien sendiri ataupun oleh suami pasien, dan faktor risiko yang lain adalah IDU baik oleh pasien maupun suami pasien dimana ini berhubungan dengan penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Pekerjaan memiliki pengaruh pada perbedaan penyebaran HIV di populasi. Dimana sebagian besar kasus tidak bekerja dan merupakan ibu rumah tangga. Didapatkan kasus ibu hamil dengan HIV terbanyak merupakan multiparitas. Dan terbanyak merupakan kasus rujukan, baik dari klinik VCT RSUP Sanglah, dari yayasan, rujukan Spesialis Obstetri, rujukan spesialis penyakit dalam dan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Dari gambaran klinis kasus hamil dengan HIV kami dapatkan ibu hamil dengan HIV yang datang kepoli klinik PMTCT RSUP Sanglah pertama kali terbanyak pada umur kehamilan > 28 minggu. ARV telah diberikan terbanyak pada umur kehamilan > 28 minggu. Tindakan untuk mengakhiri kehamilan terbanyak dilakukan pada umur kehamilan 37-40
minggu. Dan stadium klinis HIV berdasarka Kriteria WHO terbanyak merupakan HIV stadium I. Dimana pada Odha asimptomatik (Stadium I), diagnosa HIV/AIDS sangatlah sulit ditegakkan secara klinis. Oleh sebab itu kualitas pemeriksaan antenatal amatlah penting, sehingga deteksi dini dan pengawasan terhadap ibu-ibu hamil dengan resiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS sebisa mungkin dapat dikerjakan. Tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan sebagian besar kasus dilakukan seksio sesaria elektif, hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang menyarankan bahwa seksio sesaria dapat memiliki efek yang penting dalam mengurangi kejadian transmisi HIV dari ibu ke anak. Dan sebagian besar kasus lahir dengan berat badan bayi > 2500 gram. Dan 94 bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir > 500 gram, didapatkan status HIV berupa 39 kasus (41.50%) non reactive, 1 kasus (1.06%) reactive, 10 kasus (10.64%) meninggal, 7 kasus (7.44%) lost to follow up.
5.2 Saran Untuk melengkapi data penelitian deskriptif retrospektif diperlukan catatan register kunjungan pasien dan rekam medis pasien. Karena keterbatasan data yang tersedia disebabkan oleh pencatatan yang belum lengkap dan penyimpanan data yang belum baik sehingga banyak data yang tidak dapat ditampilkan dalam penelitian ini.Sehigga diperlukan system pencatatan dan penyimpanan data yang baik sehingga tidak ada data yang hilang.
DAFTAR PUSTAKA Abbas, AK. Lichtman, AH.2010. Congenital and Acquired Immunodefeciencies. In:Cellular and Molecular Immunology:The Immune System in Defense and Disease 6th ed. W.B. Sauders company, 2010 : 476-488. Anonim, 2004.Kehamilan dengan infeksi human Immunodefisiensi virus. In: Prosedur tetap pelayanan Obstetri dan GInekologi FK UNUD/RSUP Sanglah, Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah/FK UNUD. Beyrer, C., Baral, S.D., Walker, D., Wirtz, A.L., 2010. The Expanding Epidemics of HIV Type 1 Among Men Who Have Sex With Men in Low and Middle-Income Countries: Diversity and Consistency. Epidemiology Reviews. 32:137-51. Bongertz V. 2001. Vertical Human Immunodeficiency Virus Type 1-HIV-1-Transmission. A Review. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Jainero;96(1):1-14. Caceres, C.F., Konda, K., Segura, E.R., 2008. Epidemiology of male same-sex behaviour and associated sexual health indicators in low- and middle-income countries: 2003-2007 estimates. Sexually Transmitted Infection. 84 (I): 149-156. Cole FS.(1998).Fetal/newborn HIV infection. In: Avery’s diseases of newborn. 7th Ed.. Philadelphia.p. 453-466. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spoong CY. 2010. Sexually Transmitted Diseases. In: William Obstetrics. 23 ed. New York: McGraw-Hill;. p. 13101317. Ditjen PP & PL Kemenkes RI.2011. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. (serial online), [cited 2011 Feb. 23]. Available from: URL: http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf Depkes RI Dirjen P2M & Penyehatan Lingkungan.2003. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan Bagi ODHA. Depkes RI, 2005. Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV Dari Ibu Ke Bayi. Depkes RI. 2008. Modul Pelatihan Pencegahan Penularan HIVdari Ibu ke Bayi. Dickover RE, Eileen M.2006. Role of Maternal Autologous Neutralizing Antibody in Selective Perinatal Transmission of Human Immunodeficiency Virus, Type 1 Escape Variants. Journal of Virologi;80(13):6525-33. Fernandez AD, McNeeley DF. 2000. Management of the infant born to a mother infected with human immunodeficiency virus type 1(HIV-1): Current concepts. Am J of Perinatology;17:429-435 Green WC. 2009. Latar belakang dan masalah umum. Dalam: Green WC (eds). HIV,kehamilan, dan kesehatan perempuan. Yayasan spiritia, Jakarta:4-6.
Grace CJ, Kreiss J.1996. Mother-to-child Transmission of Human Immunodeficiency Virus Type 1. In: Epidemiologic Reviews; vol.18(2).p.149-157 Joseph P. Mc.Gowan, Sanjiv S. Syah.2000.Prevention of Perinatal HIV Transmission During Pregnancy. Journal of Antimicrobial Chemotherapy;46:657-68 Marhaena.2010. Situasi HIV dan AIDS di Indonesia. Dalam: Komisi Penanggulangan AIDS. Minkoff HL.2001. Prevention of mother-to-child transmission of HIV. Clinical Obstetrics and Gynecology;44:210-225 Moir, S., Chun, T.W., Fauci, A.S., 2008.Immunology and Pathogenesis of Human Immunodeficiency Virus infection. In: Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, et al., editors. Sexually Transmitted Diseases. 4th ed. New York: McGraw-Hill. 341-58. Nasronudin, 2007.HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial.Airlangga University Press. Psaros C, Geller PA, Aaron E.2009.The importance of identifying and treating depression in HIV infected pregnant women: a review. J. Psychosom. Obstet. Gynaecol; 30(4):275-281. Ronoatmojo S, Riono P, Setyahadi MI, Saroyo YB, Muktiarti D, Kusumowardhani D, et al. 2008.Pencegahan Penularan HIV/AIDS Dari Ibu Ke Bayi Panduan Bagi Petugas Kesehatan. PB Ikatan Dokter Indonesia. Schmitt, W., & Gruliow, R., 2010.Disease of the Immune System. In: Kumar, Abbas, Fausto, et al editors. Robbins and Cotran Pathologic Basic of Diseases. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. Stiehm R. 1998.Newborn Factors in Maternal-Infant Transmission of Padiatrie HIV Infection. Journal of Nutrition;22:3166 Stephen A. Spector. 2001. Mother–to-infant transmission of HIV-1; The placenta Fights Back. The Journal of Clinical Investigations;107(3):287-94. WHO. 2010.Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infection in Infants, Rekomendations for a public health approach. WHO. 2010.HIV and Invant Feeding, Principles and recommendations for infant feeding in the context of HIV and a summary of evidence. Williamson MP, McCormick TG, Nance CL, Shearer WT, 2006. Epigallocatechin gallate, the main polyphenol in green tea, binds to the T-cell receptor, CD4: potential for HIV-1 therapy. J Allergy Clin Immunol 118:1369-74. Wood AJ. 2002. Management of Human Immunodeficiency Virus Infection in Pregnancy. In: N Engl J Med. Vol.346, p.1879-1891.