KERANGKAKERJA KONSEPTUAL PENGEMBANGAN ASET DESAWISATA A Gima Sugiama Program Studi Manajemen Aset, Politeknik Negeri Bandung (Polban) Jl Gegerkalong Hilir, Bandung email:
[email protected]
Abstrak - Pengembangan desawisata dapat berimplikasi baik dan buruk, karena itu diperlukan kerangkakerja yang tepat. Kajian ini ditujukan untuk merancang kerangkakerja konseptual pengembangan potensi komponen aset desawisata. Kajian fokus pada pengembangan 4 komponen pariwisata yakni atraksi, aksesibilitas, ameniti, dan ansilari. Landasan teori yang diacu adalah pengembangan pemasaran komponen kepariwisataan. Pendekatan yang diterapkan adalah penelitian kualitatif, dan data dikumpulkan melalui observasi, wawancara serta penyebaran angket. Objek kajian empirik mencakup tiga desawisata yakni di Penglipuran Bali, Kertayasa di Pangandaran, dan di Cipatujah Tasikmalaya Jawa Barat. Hasil menujukkan, tidak semua desa dapat dikembangkan menjadi desawisata, meskipun desa tersebut telah menjadi tujuan wisata, karena sebuah desa dapat dikembangkan menjadi desawisata perlu memiliki potensi komponen kepariwisataan yang memdai. Sebuah desawisata yang berhasil dikembangkan dan dapat berkelanjutan adalah desawisata yang berbasis pada konservasi alam dan budaya setempat, selain secara generik memiliki komponen aset pariwisata memadai. Komponen atraksi wisata pedesaan yang berpotensi tinggi dikembangkan adalah keunikan alam dan budaya pedesaan setempat, memiliki prasarana dan sarana aksesibilitas memadai, ameniti yang dapat menyediakan gastronomi dan penginapan berkarakter etnikal setempat, dan untuk ansilari deswisata dikelola profesional oleh masyarakat pribumi desa bersangkutan. Kata kunci: Pengembangan desawisata, komponen aset kepariwisataan *) Makalah ini merupakan satu di antara beberapa hasil Penelitian Strategis Nasional yang dibiayai melalui Program Hibah Kompetisi Nasional – DP2M Dikti, RI untuk periode tahun 2013-2014.
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Kajian Pariwisata diyakini sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Karena itulah kepariwisataan dinilai menjadi elemen penting dalam perekonomian dunia (Esmailzade, 2013, h. 2630). Indonesia sebagai satu di antara negara-negara lain yang memiliki potensi kepariwsataan melimpah turut serta memanfaatkan kepariwisataan untuk meningkatkan perekonomian (Sugiama, 2013). Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (Wisman) ke Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, namun jumlah kunjungan Wisman itu masih jauh lebih rendah daripada ke negara-negara tetangga terutama ke Singapura dan Malaysia (Parekraf, 2013). Indonesia memiliki aset berupa kekayaan alam dan budaya yang dapat menjadi atraksi bagi Wisaman dan Wisnus, termasuk potensi kekayaan komponen kepariwisataan di kawasan pedesaan untuk dijadikan desawisata. Namun pengembangan potensi desawisata tersebut masih belum diberdayakan semaksimal mungkin (Sugiama, 2014). Pengembangan desawisata yang berkelanjutan dapat dijadikan sebagai cara untuk memperbaiki situasi sosio-ekonomi masyarakat pendesaan. Kondisi demikian telah dibuktikan di berbagai tempat termasuk di negara-negara maju (Adamowicz, 2010, h. 181, Miller dkk., 2012, h.2). Pengembangan sebuah desa menjadi kawasan desawisata yang berkelanjutan memerlukan proses pengubahan multidimensional
yang mempengaruhi sistem kehidupan pedesaan bersangkutan (Pugliese, 2001, h. 113). Karena itu, pengembangan sebuah desawisata perlu dilakukan secara terpadu antar berbagai pihak yang terlibat di dalamnya (Sugiama, 2013., Sugiama dkk., 2014). Pengembangan desawisata dapat berimplikasi baik atau buruk, karena itu diperlukan kerangkakerja yang tepat. Untuk menyusun sebuah kerangka kerja kepariwisataan mencakup rangkaian langkah strategis dan teknis kepariwisataan (Mathieson dan Wall dalam Sugiama, 2013, h. 102). Sementara ini, khususnya di Indonesia, pengembangan desawisata masih sangat terbatas dan di beberapa tempat masih belum mengembangkannya berdasarkan prinsip dan konsep kepariwisataan berkelanjutan atau sustainable rural tourism (Sugiama dkk, 2014). Suatu tempat dapat dikembangkan menjadi sebuah desawisata terutama perlu memenuhi 4 (empat) komponen kepariwisataan yang disebut 4A, yakni Atraksi, Aksesibilitas, Ameniti dan Ansilari (Sugiama, 2014, h. 72). Kualitas dan variasi dari masing-masing komponen perlu memenuhi kriteria yang memadai, sehingga dapat menjadi komponen dasar dalam menjamin desawisata berkelanjutan (Sugiama, 2014, h. 108-109). Perumusan kerangka kerja pengembangan sebuah desawisata yang baik adalah kerangka kerja yang berbasis pada potensi yang dimiliki desa bersangkutan (Sugiama, 2014: h. 108-112). Sebuah kerangka kerja yang telah dirumuskan, pada kenyataannya belum tentu dapat berhasil direalisasikan. Beberapa faktor
Proceedings SNEB 2014: Hal. 1
penyebabnya antara lain elaborasi penyusunan kerangka kerja tersebut tidak dirumuskan secara komprehensip. Berkenaan dengan hal tersebut, menarik dikaji mengenai: “Penyusunan Kerangka Kerja Konseptual Pengembangan Aset Desawisata.” 1.2 Pertanyaan dan Tujuan Kajian Berkenaan dengan permasalahan di atas dapat diajukan pertanyaan; “kerangkakerja konseptual yang bagaimanakah untuk pengembangan aset desawisata, agar desawisata tersebut berkelanjutan.” Kajian tersebut dapat menghasilkan konsepsi rangkaian langkah strategis dan teknis yang dapat diterapkan untuk mengembangkan komponen aset desawisata. Rumusan kerangkakerja konseptual tersebut dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan aset desawisata, baik bagi sebuah kawasan yang belum dikembangkan maupun untuk sebuah kawasan pedesaan yang telah menjadi tempat kunjungan wisatawan yang belum dikembangkan menjadi sebuah desawisata di berbagai penjuru di Indonesia. II.
LANDASAN TEORI DAN METODE
2.1 Landasan Teori Kerangkakerja konseptual kepariwisataan dapat beragam antara lain disesuaikan dengan dasar atau basis pengembangan kerangkakerja bersangkutan. Mathieson dan Wall (dalam Sugiama, 2013, h. 102) memberikan gambaran komprehensip mengenai Kerangkakerja Kepariwisataan. Ada tiga elemen dalam pengembangan kepariwisataan yakni: dynamic element, static element, dan consequential element. Elemen dinamik mencakup faktor permintaan yang muncul terhadap layanan kepariwisataan. Beragam layanan yang dibutuhkan wisatawan meliputi penyediaan atrakasi wisata (attraction), prasarana dan sarana transportasi menuju destinasi wisata (accessibility), akomodasi yakni makanan dan minuman, serta transportasi lokal (amenities), layanan penunjang seperti kesehatan, asuransi dan lain-lain. Pengembangan sebuah tempat wisata pada akhirnya dapat menimbulkan dampak baik bagi ekonomi, lingkungan fisik, maupun sosio-budaya masyarakat setempat (Sugiama, 2013). Gambaran kerangkakerja khusus untuk sebuah desawisata tentu perlu dirancang pula secara spesifik. Beberapa hasil studi menujukkan bahwa, pengembangan sebuah destinasi wisata (daerah tujuan wisata) yang cakupannya luas misal sebuah kota tentu berbeda dengan untuk sebuah kawasan desawisata. Untuk itu diperlukan sebuah model pengembangan desawisata yang ideal. Sugiama (2014, h. 105) menyajikan sebuah model umum pengembangan kawasan desawisata yang dimulai dari pendiagnosaan kawasan pedesaan yang prospektif, hingga dikembangkannya menjadi sebuah desawisata berkelanjutan. Model pengembangan kepariwisataan yang tepat adalah Integrated Rural Tourism Development Model (Sugiama, 2014, h. 105).
Pengembangan sebuah desawisata perlu diawali dengan mendiagnosa secara umum tingkat potensi kawasan pedesaan untuk dijadikan sebagai desawisata. Pada tahap kedua merupakan proses utama yakni mengukur potensi tiap komponen kepariwisataan yang disebut 4A yakni: Atraksi wisata yang tersedia atau yang dapat disediakan, Aksesibilitas menuju tempat tersebut, penyediaan layanan Ameniti mencakup akomodasi dan transportasi lokal, Ansilari yakni pengelolaan kepariwisataan bersangkutan (Sugiama, 2013., Sugiama, h. 104-106). Menurut Adamowicz, meskipun sebuah kerangkakerja telah disusun sedemikian rupa, namun dalam prakteknya ditemukan terjadi inkonsistensi dalam aplikasinya sebagaimana ditemui dalam studinya di Drawskie Lake District di North-western Poland (Adamowicz, 2010, h.118). Lebih lanjut ia menemukan bahawa, beberapa penyimpangan antara lain ketidak konsistenan terhadap aturan yang telah disusun, adanya infrastruktur yang tidak sesuai kebutuhan, lemahnya koordinasi dan kerjasama antar operator desawisata dengan pihak manajemen, kemudian pelaksanaan program konservasi alam yang tidak mencapai kata sepakat antara lain dengan pihak pemerintahan daerah setempat (Adamowicz, 2010). Kondisi tidak konsistennya terhadap aturan dalam pengoperasian desawisata juga ditemui dalam studi yang dilakukan Gorska di kawasan desawisata di Romania. Ia menemukan meskipun para operator pendukung desawisata diperlukan, namun sebagian dari para pelaku adalah bersifat informal dan tidak terdapftar secara resmi. Hal tersebut menjadi faktor sulitnya mengatur mereka untuk memenuhi peraturan yang berlaku (Gorska, 2013, h. 195). Pengembangan kawasan desawisata dapat mencakup sejumlah pedesaan yang menjadi satuan kawasan wisata. Beragam potensi yang melekat di masing-masing kawasan disajikan untuk dapat mendatangkan berbagai segmen wisatawan. Su dkk telah mengkaji satuan kawasan desawisata di Guilin dan menyatakan bahwa, kemampuan menjaga keberlanjutan desawisata di Guilin mencapai 84,2% dari seluruh kawasan tersebut. Keberhasilan yang makin tinggi dapat dicapai dengan menyusun dan mengimplementasikannya dalam sebuah kerangka kerja yang dinamakan total rural tourism plan (Su dkk, 2013, h. 1992). Su dkk lebih lanjut dalam penelitian sustainable developing ability of Guilin rural tourism tersebut di atas mengelaborasi 4 dimensi yakni: (1) condition for rural tourism development, (2) effect to local economy, (3) effect to local society and culture, (4) effect to local environment. Keseluruhan variabel laten tersebut dijabarkan ke dalam 20 indikator (Su dkk., 2013, h. 1994). Kondisi pengembangan deswisata diukur melalui 6 indikator yakni: penyediaan transportasi, akomodasi, restoran, kekayaan sumberdaya kepariwisataan, kualitas sumberdaya kepariwisataan, dan kombinasi dari sumberdaya kepariwisataan. Dimensi pengaruh pariwisata terhadap ekonomi diukur melalui 6 indikator: atraksi di desawisata,
Proceedings SNEB 2014: Hal. 2
jumlah investasi terhadap desawisata, jumlah pendapatan tahunan dari kepariwisataan, rasio dari investasi tahunan dengan jumlah pendapatan per tahun dari pariwisata, kemampuan mengelola penginapan dalam kawasan desawisata, dan proporsi pendapatan dari kepariwisataan yang digunkan dalam komunitas bersangkutan (Su dkk., 2013, h. 1994). Dimensi pengaruh terhadap sosial dan budaya masyarakat setempat diukur melalui 4 indikator: edukasi tambahan bagi penduduk lokal, pengaruh pariwisata terhadap budaya penduduk lokal, tingkat kepuasan yang diraih penduduk lokal, dan tingkat kepuasan wisatawan yang berkunjung ke desawisata bersangkutan (Su dkk., 2013, h. 1994). Adapun untuk dimensi pengaruh sustainable developing ability of Guilin rural tourism terhadap lingkungan lokal diukur melalui 4 indikator yakni: kualitas udara di lingkungan pedesaan bersangkutan, rasio buangan sisa dan sampah akibat aktivitas kepariwisataan, rasio dari vegetasi lokal yang ada di kawasan pedesaan tersebut (Su dkk., 2013, h. 1994). Pada dasarnya, pengembangan setiap desawisata tidak lepas dari peran serta utama tiga pihak yakni penduduk setempat sebagai host community, pemerintah setempat, dan para pelaku bisnis. Peran mereka dapat dirancang sebagaimana dikenal dalam Triple Helix Model (Sugiama, 2013). Adapun model ideal untuk pengembangan kepariwisataan tersebut adalah model pengembangan desawisata yang mengintegrasikan tiga pihak yakni antara Akademia-Pemerintah-Industri. Ketiga pihak dimaksud perlu melahirkan sebuah organisasi hibrida pengembangan kepariwisataan (Sugiama, 2013, h.4953). Model itu dirancang guna membentuk kerjasama sinergis dalam sebuah organisasi yang disebut “Jaringan tiga pihak dan Organisasi Hibrida Pengembangan Kepariwisataan.” (Sugiama, 2013, h.53., Etzkowitz dkk., 2007., Etzkowitz dan Loet Leydesdorff, 2000, h.111., Leydesdorff, 2000). Wisatawan sebagai pihak yang mendapatkan layanan dari penyedia menjadi penentu, apakah sebuah desawisata itu akan berkelanjutan ataukah tidak. Karena itulah dalam mengukur tingkat sustainabilitasnya perlu mengukur tingkat: (1) kualitas komponen kepariwisataan berupa layanan penyediaan atraksi wisata, aksesibilitas, ameniti, dan ansilari, (2) kepuasan wisatawan, dan (3) loyalitas wisatawan yang bersangkutan (Sugiama, 2011, h. C-11). Studi dari Sugiama tersebut membuktikan bahwa, keempat kualitas komponen kepariwisataan berpengaruh secara positip signifikan pada kepuasan wisatawan, dan semakin tinggi kepuasan wisatawan, maka makin meningkat pula loyalitas wisatawan pada tempat yang dikunjunginya (Sugiama, 2011, h. C-21). 2.2 Metode Penelitian ini termasuk penelitian yang menerapkan pendekatan kualitatif, dengan metode deskriptif (Sugiama, 2008). Teknik pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi yang mencakup (1) wawancara dengan pengelola, pengunjung dan pemerintah setempat, (2) observasi komponen kepariwisataan, dan
(3) penyebaran kuesioner kepada 432 pengunjung. Wawancara dilakukan secara depth interview dengan informan pengelola desawisata, wisatawan, penduduk, dan pemerintah setempat. Ada tiga kawasan pedesaan yang dijadikan objek kajian (1) di Desawisata Penglipuran Bangli, Bali, (2) di Desawisata Kertayasa, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, dan (3) di kawasan desa Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Ketiga tempat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Desawisata Penglipuran adalah desawisata yang telah menjadi tujuan Wisman dan Wisatawan Nusantara (Wisnus) sejak lebih dari 3 dekade lalu. Desawisata ini telah berkembang pesat dari tahun ke tahun yang diindikasikan antara lain oleh jumlah kunjungan Wisman dan Wisnus yang terus meningkat. Adapun Desawisata Kertayasa merupakan kawasan wisata yang memiliki potensi aset pariwisata yang baru mulai dikembangkan, dan baru menjadi tujuan wisatawan domestik dengan hanya menjual layanan wisata body rafting. Kawasan tersebut belum memiliki komponen pariwisata yang lengkap sebagaimana syarat ideal sebuah desawisata. Adapun kawasan Cipatujah adalah area pedesaan yang belum dikembangkan menjadi kawasan desawisata, namun telah menjadi tujuan wisatawan lokal dan domestik sejak lebih dari tiga dekade lalu (Sugiama dkk., 2014). Pengelolaan dan seluruh karakteristik komponen kepariwisataan di masing-masing kawasan pedesaan tersebut dikaji, kemudian dilakukan analisis kritis guna memperoleh gambaran kerangka kerja yang tepat agar desawisata dapat beroperasi secara berkelanjutan. III. PEMBAHASAN Perancangan Kerangkakerja Pengembangan Aset Desawisata dalam kajian ini dilakukan berdasarkan kajian di Penglipuran, Kertayasa dan Cipatujah. 3.1 Pariwisata di Desawisata Penglipuran Desawisata Penglipuran merupakan Desawisata Adat, berlokasi di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, dengan ketinggian 500-600 m di atas permukaan laut. Desa ini berada di kaki Gunung Kintamani, berjarak 5 Km arah utara dari Kota Bangli dan kira-kira 45 Km dari kota Denpasar. Luas Desa Penglipuran adalah 112 Ha, 9 Ha digunakan sebagai pemukiman warga dan sisanya adalah hutan dan tanah tegalan atau ladang. Desawisata Kertayasa telah menjadi tempat tujuan andalan bagi Wisman dan Wisnus di Bali, dan menjadi desawisata unggulan di Kabupaten Bangli. Pengembangan Desawisata Penglipuran didasari oleh kepentingan (1) konservasi alam, dan (2) konservasi budaya. Konservasi tersebut berjalan secara terkendali dengan baik melibatkan pihak masyarakat, pemerintah setempat dan pihak perguruan tinggi. Unggulan atraksi wisata alam adalah hutan bambu sekitar 45 ha yang merupakan milik penduduk dan pemerintah desa setempat. Adapun budaya yang dikonservasi adalah budaya Bali dalam masyarakat setempat. Aset atraksi wisata alam dan budaya
Proceedings SNEB 2014: Hal. 3
tersebut terawat dengan baik secara turun-temurun, sehingga dapat menjadi dayatarik bagi wisatawan. Atraksi budaya berupa tata cara kehidupan masyarakat dan sejumlah candi pemujaan di kawasan desa tersebut. Aksesibilitas ke Desawisata Penglipuran dapat dilalui bis wisata dan dalam kondisi baik sepanjang waktu. Kebutuhan akomodasi baik untuk penginapan, makanan dan minuman, serta pemandu wisata dilakukan oleh masyarakat setempat secara terpadu dan terintegrasi. Adapun pengelolaan desawisata dijalankan secara profesional oleh kelompok masyarakat adat dan berada di bawah binaan pemerintah serta asosiasi kepariwisataan setempat. Pengembangan dan pengelolaan desawisata ini didukung penuh dan difasilitasi pemerintah setempat. 3.2 Pariwisata Desa Kertayasa Desa Kertayasa adalah sebuah kawasan wisata yang berada di Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran. Desa ini dapat ditempuh kira-kira 1 jam dari kawasan wisata pantai Pangandaran. Desa Kertayasa memiliki kekayaan alam berupa perbukitan, aliran kali Cijulang. Desa ini mulai dikemabangkan menjadi tempat wisata masih kurang dari satu dekade lalu. Desa tersebut berangsur-angsur dikenal makin luas oleh wisatawan terutama yang berkunjung ke pantai Pangandaran dan Green Canyon Pangandaran. Aliran kali Cijulang yang menjadi tempat wisata Green Canyon adalah aliran yang juga sama dipakai untuk wisata body rafting di Kertayasa. Kawasan pedesaan ini masih dalam proses pengembangan menjadi sebuah desawisata yang merupakan kawasan pesisir. Kawasan ini belum memiliki program konservasi alam dan budaya yang terintegrasi dengan program kepariwisataan setempat. Atraksi wisata yang menjadi andalan adalah wisata body rafting di kali Cijulang. Pengunjung pada atraksi tersebut adalah Wisnus, meskipun ada Wisman namun masih sangat sedikit. Penduduk di desa ini masih belum dapat menyediakan kebutuhan akomodasi yang memadai baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Aksesibilitas yang tersedia cukup memadai untuk dilalui bis wisata hingga mencapai desa tersebut. Adapun pengelolaan kepariwisataan dilakukan melalui Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Kertayasa. Para pengelola ini terdiri dari pemuda setempat yang didukung oleh aparat desa. Permasalahan yang dihadapi perlunya pengembangan Desa Kertayasa menjadi sebuah kawasan desawisata yang berkelanjutan. 3.3 Pariwisata Desa Cipatujah Kawasan desa Cipatujah berada di pantai selatan Kabupaten Tasikmalaya. Kawasan pariwisata ini telah menjadi tempat wisata terutama sejak awal tahun 1980-an. Tempat ini dalam keadaan normal dapat ditempuh kira-kira selama 2 jam berkendaraan dari pusat kota Tasikmalaya. Kepariwisataan di desa ini mengandalkan atraksi wisata pantai sebagaimana umumnya pariwisata di pantai lainnya. Meskipun ada atraksi budaya, namun
atraksi tersebut hanya dilakukan dalam frekuensi sangat jarang antara lain lomba layang-layang dan hampir punah. Atraksi wisata yang tersedia belum memilik keunikan untuk dijadikan sebuah desawisata. Aksesibilitas ke kawasan pariwisata ini cukup memadai untuk dilalui bis pariwisata. Adapun infrastruktur transportasi masih berkualitas sangat rendah untuk sampai pada tempat yang memiliki atrakasi wisata yang potensial dikembangkan. Penyediaan akomodasi bagi wisatawan masih dalam kondisi sangat terbatas. Adapun pengelolaan kepariwisataan dijalankan oleh Pemda setempat. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam penyediaan layanan dan pengelolaan kepariwisataan juga masih sangat rendah. 3.4 Diskusi Prospek Desawisata. Tidak semua kawasan pedesaan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi sebuah desawisata, karena sebuah kawasan dapat menjadi deswisata perlu memenuhi kualitas komponen kepariwisataan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sugiama (2013), komponen kepariwisataan yang perlu disediakan di desawisata meliputi atraksi wisata yang unik, aksesibilitas yang memadai, ameniti (layanan akomodasi) yang sesuai harapan wisatawan, dan ansilari yang dijalankan secara profesional oleh pengelola organisasi yang berasal dari masyarakat setempat (Sugiama, 2013). Dengan demikian pada tahap awal dalam kerangka pengembangan aset desawisata adalah mendiagnosa secara umum potensi kepariwisataan yang melekat dalam kawasan desa bersangkutan. Sustainable Rural Tourism. Deswisata yang terjaga keberlanjutannya adalah pedesaan yang mampu memelihara dengan baik semua komponen kepariwisataan. Pengembangan sebuah kawasan pedesaan yang akan dijadikan desawisata berkelanjutan (sutainable rural tourism) perlu mengalami proses perjalanan panjang. Hal ini sesuai dengan hasil riset Zhang yang menurutnya, perlu serangkaian langkah strategis dan teknis untuk mewujudkannya termasuk kebutuhan pelatihan teknis layanan wisatawan bagi masyarakat setempat (Zhang, 2013, h. 5). Sebuah kawasan pedesaan yang berpotensi tinggi untuk dijadikan desawisata adalah yang memiliki program konservasi alam dan budaya masyarakat setempat. Dengan demikian tingkat keberlanjutan desawisata yang terjamin adalah melalui konservasi alam maupun budaya setempat. Dari studi ini menujukkan, desawisata yang ideal adalah yang berakar pada kesadaran masyarakat setempat mengenai pentingnya konservasi alam, budaya dan kepariwisataan. Komponen Kepariwisataan. Empat komponen kepariwisataan yang perlu dirancang dalam sebuah desawisata yakni atraksi, aksesibilitas, ameniti, dan ansilari. Beragam atrakasi baik alam maupun budaya dapat disajikan untuk pengunjung. Atraksi buatan manusia atau kejadian (event) tertentu juga dapat dijadikan atraksi, misal olah raga sebagaimana studi yang dilakukan Wang dan Yanting (2014, h. 27).
Proceedings SNEB 2014: Hal. 4
Pengelolaan Desawisata. Semua pihak dalam pengelolaan desawisata perlu memiliki persepsi sama mengenai pengembangan desawisata yang berkalanjutan, dan berupaya memiliki persepsi sama untuk memelihara kawasan bersangkutan agar tetap terjaga (Bruyere dkk., 2009., h. 49). Pedesaan prospektif untuk kepariwisataan Aset alam pedesaan
Aset budaya pedesaan
Konservasi alam
Konservasi budaya
Atraksi wisata
Ameniti
Pengemban gan aset desawisata
Aksesibilita s
Organ i-sasi kepari wisataan Penye -dia paket perjal an-an wisata
Peny e-dia Atrak si wisat a Integrasi pemasar an aset desawisa ta Penye -dia pengi napan
Ansilari
Penye dia Layan an transp or-tasi Penye -dia maka n-an dan minu man
IV. KESIMPULAN DAN IMFLIKASI
Desawisata baru Dampak kepariwisat aan Ekonomi
Lingkungan fisik
menjaga keamanan dan keselamatan, serta memperkuat perencanaan produk layanan desawisata bersangkutan. Berkenaan dengan hal tersebut, semua kompnen kepariwisataan yang tersedia di desawisata perlu dipasarkan dengan menggunakan strategi pemasaran dan promosi yang tepat secara terintegrasi (Bruyere dkk., 2009., h. 49). Dampak Kepariwisatan. Setiap pengembangan desawisata yang tepat adalah mencapai tujuan terutama diharapkan berdampak pada kehidupan ekonomi antara lain membuka kesempatan kerja, menekan urbanisasi, dan mempertinggi pendapatan penduduk. Pariwisata diyakini sebagai salah satu alat untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu dapat menjaga lingkungan fisik, serta sosial dan budaya sertempat (Sugiama, 2014). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Kani dan Saleh bahwa, kepariwisataan dapat menyediakan beragam kesempatan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan setempat. Beragam fasilitas umumnya tumbuh dan terus bertambah baik kualitas maupun kuantitasnya sejalan dengan perkembangan kepariwisataan di desa bersangkutan (Kani dan Saleh, 2013, h. 261). Karena itulah kepariwisataan dinilai menjadi elemen penting dalam perekonomian dunia (Esmailzade, 2013, h. 2630). Kawasan pedesaan yang berpotensi dapat dibangun menjadi sebuah desawisata yang dapat menumbuhkan kehidupan perekonomian, memelihara lingkungan fisik, dan sosio-budaya yang melekat di desa bersangkutan (Eamailzade, 2013, h. 2630., Sugiama, 2013).
Sosial & budaya
Pengendali an dampak kepariwisat aan
Gambar Kerangka Kerja Pengembangan Desawisata Berbasis Potensi Aset Kepariwsataan Masyarakat Setempat (Sumber: Sugiama, 2014) Agar sebuah deswisata dapat berkelanjutan, berbagai pelatihan dibutuhkan di antaranya pemahaman mengenai pentingnya kepariwisataan, keterampilan penduduk dalam melayani wisatawan sebagai host, kemampuan dalam memasarkan khususnya untuk promosi kepariwisataan, serta pentingnya menanamkan kesadaran dan kemampuan menjaga desawisata agar keberlanjutan, menyusun beragam aturan, peningkatan kemampuan dalam
Kesimpulan. Tidak semua tempat wisata di kawasan pedesaan dapat dijadikan desawisata, karena kawasan tertentu tidak memenuhi kriteria komponen aset kepariwisataan yang memadai. Pengembangan desawisata berkelanjutan (sustainable rural tourism), memerlukan kerangka kerja pengembangan aset desawisata yang berbasis dan berakar pada kesadaran konservasi alam dan budaya masyarakat setempat. Komponen atraksi wisata pedesaan yang berpotensi tinggi dikembangkan adalah keunikan alam dan budaya pedesaan setempat, memiliki prasarana dan sarana aksesibilitas memadai, ameniti yang dapat menyediakan gastronomi, penginapan berkarakter etnikal setempat, dan untuk ansilari deswisata dikelola profesional oleh masyarakat pribumi (host) desa bersangkutan. Pengelolaan desawisata yang berkelanjutan yakni yang dilakukan secara profesional melalui organisasi pemasaran dan layanan kepariwisataan yang berasal dari masyarakat setempat, serta didukung penuh oleh pemerintahan dan asosiasi kepariwisataan setempat. Jika aset desawisata dikembangkan melalui kerangka kerja yang tepat maka diharapkan dapat berdampak positif pada ekonomi, kondisi lingkungan fisik, sosial dan budaya masyarakat pedesaan bersangkutan. Imflikasi Manajerial. Setiap deswisata yang akan dikembangkan memerlukan langkah strategis dan teknis yang tepat. Karena itu diperlukan kerangka
Proceedings SNEB 2014: Hal. 5
kerja pengembangan deswisata yang terintegrasi. Selain itu, perlu melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku utama pengelolaan kepariwisataan. Pengelolaan organisasi layanan kepariwisataan yang bekerlanjutan perlu diwahani dalam organisasi yang profesional dengan tenaga berasal dari masyarakat setempat, misal dikelola oleh sebuah BUMDES (Badan Usaha Milik Desa) atau Kelurahan dan masyarakat adat, serta organisasi kepemudaan. Pengelolaan desawisata perlu didukung oleh peran serta pihak pemerintahan setempat, para akademisi, pebisnis dan asosiasi kepariwisataan secara terintegrasi dan terpadu, sehingga dapat lebih menjamin tingkat keberlanjutan desawisata tersebut. REFERENSI Adamowicz, Joanna (2010), Towards Synergy Between Tourism and Nature Conservation. The Challenge for the Rural Regions: the Case of Drawskie Lake District, Poland, Versita, Europ. Countrys; Vol. 3· 2010; p. 118-131. Bruyere, Brett L., Adam W Beh dan Geoffrey Lelengula, (2009), Differences in Perceptions of Communication, Tourism Benefits, and Management Issues in a Protected Area of Rural Kenya, Environmental Management, Vol. 43., pp. 49–59 Esmailzade, Aliakbar, (2013), Factor Analysis of Rural Tourism Development from Villagers Viewpoint in Chaharmahalva Bakhtiari Province (Case study: Yancheshmeh Village), International Journal of Agriculture and Crop Sciences, Vol. 5., Num 21., pp. 2630-2633 Etzkowotz, Henry., James Dzisah, Marina Ranga and Chunyan Zhou (2007), The triple helix model of innovation: University-industry-government interaction, Tech Monitor Jan-Feb 2007 Gilbert, S. (2006). Finding a balance: Heritage and tourism in Australian rural communities. Rural Society, 16, 186–198. Gorska, Maria Miruna Radan, (2013), Destinations without regulations: Informal practices in Romanian Rural Tourism, Journal of Comparative Research in Anthropology and Sociology, Vol. 4, No. 2., p. 195-225. Kani, Aliakbar Najfi dan Saleh Arekhi, (2013), The role of Tourism in Rural Areas Development with Emphasis on Hydrotherapy (Case study: Larijan District in Amol Township), International Journal of Agriculture and Crop Sciences, Vol. 6., Num. 5., pp. 261-267. Lietaer, Bernard (20013), Sustaining cultural vitality in a globalizing world: the Balinese example, International Journal of Social Economics, Vol. 30 No. 9, 2003pp. 967-984 Miller, Evonne; Kimberley Van Megen and Laurie Buys, (2012), Diversifi cation for sustainable development in rural and regional Australia:How local community leaders conceptualise the impacts and opportunities from agriculture, tourism and mining;
Management Pty Ltd. Rural Society journal; 22(1): p. 2–16. Parekraf (2013), Parekraf (2013), Data Kunjungan Wisatawan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sumber: http://web. Parekraf.go.id Pugliese, P. (2001). Organic farming and sustainable rural development: A multifaceted and promising convergence. Sociologia Ruralis, Vol. 41 No. 1, p. 112–130. Su, Weibin., Dallen J Timothy dan Qingliang Feng, (2013), Study on Sustainable Ability of Rural Tourism in Guilin City, Journal of Applied Sciences, Vol 13, No. 11, p. 1992-1999. Sugiama, A Gima (2014), Pengembangan Bisnis dan Pemasaran Aset Pariwisata, Edisi 1, Guardaya Intimarta, Bandung. Sugiama, A Gima., Jann Hidajat, dan Tomy Adrianto, (2014), Implementasi Strategi Integrasi Pemasaran Desawisata untuk Meningkatkan Kunjungan Wisatawan dan Pendapatan Masyarakat Miskin Pedesaan, Laporan Penelitian Stranas Th ke 2, Politeknik Negeri Bandung Sugiama, A Gima (2013), Manajemen Aset Kepariwisataan: Pelayanan Berkualitas agar Wisatawan Puas dan Loyal, Edisi 1, Guardaya Intimarta, Bandung. Sugiama, A Gima (2013), Kerangka Kerja Pengembangan Aset Pariwisata Berdasarkan Model Triple Helix: (Hubungan AkademiaIndustri-Pemerintah), Jurnal Orasi Binis, Jurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang, Edisi X, November 2013, h. 37-56. Sugiama, A Gima S, (2011), Developing Model of Agri-trourism based on Tourism Quality Components that Influencee Tourist Satisfaction and Loyalty (Case of Service in Bandung), Proceeding-International Seminar on Scientific Issues and Trends (ISSIT)-2011, BSI Univesity, Yogyakarta. Sugiama, A Gima, (2008), Metode Riset Bisnis dan Manajemen, Guardaya Intimarta, Bandung. Wang, Xianyi dan yanting Long, (2014), Development and Research on Rural Regional Characteristic Sport Tourism Industry: A Case Study of Southern Jiangxi Province, Asian Agriculture Research Journal, Vol. 6., Num. 5., pp. 27-30. Zhang, Jiannhong, (2013), The Issues facing the Sustainable Development of Rural Tourism and the Path Selection, Asian Agricultural Research Journal, Vol. 5., Num. 9., pp. 5-7. ---agisu---
Proceedings SNEB 2014: Hal. 6
Proceedings SNEB 2014: Hal. 7