KERANGKA PIKIR DIBALIK KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS DISKURSUS
Azis Khan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan Indonesia: Sebuah Analisis Diskursus ini adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Desember 2011 Azis Khan E 061060172
ABSTRACT AZIS KHAN. The Mindset behind Indonesian Forest Business Policy: A Discourse Analysis. Under supervision of HARIADI KARTODIHARDJO, SUDARSONO SOEDOMO, and DUDUNG DARUSMAN
By using a discourse analysis, this qualitative research was aimed to better understand the flow of mindset adopted by far in forest utilization policy making processes, especially in the context of natural production forest in the outer island. The discourse drawn from both legal texts available and from the results of indepth interviews as well as internet on-line polling, strongly indicated that the flow of mindset adopted dominantly by far was so called “the forest first”. This was shown by its characteristic, primarily putting the natural forest to be the first and main factor implying that forest are conceived as ecosystems that function on ways depending mainly on their nature and putting such human related aspects as social, politics and economic to be exogenous. As a result, any significant deviation resulted in great and serious damages some of which were irreversible. To avoid such a terrible consequence, some improvement and re-orientation in policy making processes are needed in terms of its quality of both substance and process. In line with this, the “quality” of the discourse needs also to be improved mainly for the purpose to increase people knowledge and experiences, as well as policy space and actor networks. Above all, as all findings are considered to be product and hegemony of power under both Foucault and Gramsci ideas, it is then necessary to collectively realize, break and end the power hegemony first, before executing all reforms identified in this research. To do so, all forest practitioners and foresters have to be out of their usual “box”.
Key words: discourse analysis, minds frame, sustainability, forestry utilization policy.
RINGKASAN AZIS KHAN. Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan Indonesia: Sebuah Analisis Diskursus. Dibimbing HARIADI KARTODIHARDJO, SUDARSONO SOEDOMO dan DUDUNG DARUSMAN Riset kualitatif dengan pendekaatan analisis diskursus ini bertujuan menghimpun pengetahuan dan informasi terkait diskursus yang berkembang dalam kebijakan usaha kehutanan – khususnya di hutan alam produksi di luar Jawa – untuk dapat memahami aliran pemikiran di sebaliknya. Sejumlah produk perundangan terkait usaha kehutanan setingkat UU, PP dan beberapa turunanya telah ditetapkan untuk kemudian dilakukan analisis diskursus, mencakup analisis isi dan narasi. Analisis yang sama juga dilakukan atas hasil dari serangkaian wawancara mendalam dan hasil internet on-line polling. Hasil riset antara lain menunjukkan, bahwa peta diskursus yang dibangkitkan dari teks peraturan perundangan menunjukkan bahwa aliran pemikiran yang ada secara dominan mengerucut ke satu bentuk aliran pemikiran yang memperlihatkan ciri-ciri atau karakteristik yang identik dengan aliran pemikiran the forest first (FF) yang memosisikan sistem alami hutan sebagai faktor utama, lepas dari aspek sosial ekonomi politik karena diposisikan sebagai faktor eksogen. Lepasnya aspek sosial ekonomi politik dari aliran pemikiran itu menegaskan aliran pemikiran itu sebagai sangat bio-centris dan steril dari human being dan jauh dari konsep self-sustaining. Ini tampak dari teks kebijakan yang cenderung berkonsentrasi pada sistem alami hutan, dan lepas dari sistem atau persoalan manusia yang (akan) menjalankannya. Pemanfaatan aliran ini menjadi persoalan, antara lain karena berpontensi menyebabkan kehancuran hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible). Sementara, fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan sejauh ini seolah menggenapkan pembuktian hal potensial ini menjadi hal yang aktual. Antara lain, ditunjukkan semakin meningkatnya biaya transaksi dan ekonomi biaya tinggi di lapangan yang berujung pada meningkatnya tekanan atas sumberdaya hutan. Diskursus yang dibangkitkan dari wawancara mendalam dan internet on-line polling menunjukkan hasil serupa: menganut aliran dengan ciri dan karakteristik yang sama, yakni FF. Ini terutama diperlihatkan komponen kalangan pemerintah dan praktisi bisnis. Komponen akademisi dan masyarakat sipil tergolong pihak yang ”kalah” dalam kontestasi ide, terindikasi karena proses konstruksi kebijakan dan kualitas diskursus yang lemah. “Kekalahan” ini cerminan sempitnya ruang kebijakan, minimnya jaringan aktor pembuat kebijakan, sehingga tidak semua kepentingan dan politik terkontestasikan secara memadai. Aliran pemikiran usaha kehutanan menjadi situasi masalah yang penting tapi luput dari perhatian para pemangku kepentingan kehutanan selama ini. Hal ini dimungkinkan karena rendahnya “kualitas” diskursus sebagai akibat rendahnya pemanfaatan pengetahuan dan pengalaman masyarakat dan absennya mekanisme konstruksi kebijakan yang terbuka, transparan dan bertanggung gugat. Disarankan untuk segera melakukan reorientasi pembaruan kebijakan, termasuk atas hal-hal praktis operasional. Pembaruan perlu lebih diorientasikan pada pelurusan aliran pemikiran; ini mencakup perbaikan kebijakan dari sisi
substansi dan proses serta perbaikan “kualitas” diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan menata aliran pemikiran. Dalam bahasa IDS (2006), diperlukan upaya untuk membuka lebar ruang kebijakan (policy space). Substansi kebijakan perlu diarahkan agar dapat menggambarkan kejelasan tujuan yang ingin dicapai, perilaku siapa yang diharapkan harus berubah, sebabakibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan ke hilir. Pembaruan proses perlu ditekankan pada keterbukaan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan yang ingin dicapai, masalah yang ingin dijawab dan solusi yang ditawarkan. Proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan. Perbaikan kualitas diskursus perlu menyentuh ikhtiar peningkatan kualitas pengetahuan dan pengalaman para pihak pemangku kepentingan. Karenanya, perlu menyentuh sampai pada aspek-aspek pendidikan, riset dan keorganisasian kehutanan, dengan sasaran akhir ditekankan kepada memperkaya ruang diskursus sekaligus ruang kebijakan, dan memperlebar jejaring aktor, sehingga dapat membuka ruang transaksi, negosiasi dan kontestasi lebih memadai. Sekalipun beberapa kelemahan riset ini diyakini juga sebagai poin kekuatan dalam menunjukkan unsur kebaruan, pelurusan kelemahan ini oleh riset-riset lain serupa di masa datang perlu dilakukan dengan semangat “continuously improvement”. Ini mencakup antara lain tapi tidak terbatas pada: penetapan lawas, ketepatan pilihan dan keluasan nara sumber dalam melakukan wawancara mendalam dan pemanfaatan internet online polling. Di atas itu semua, dengan menempatkan hasil riset ini pada pemikiran Foucault tentang diskursus dan kekuasaan dan Gramsci tentang dominasi dan hegemoni kekuasaan, maka baik substansi maupun proses konstruksi kebijakan dan sekaligus aliran pemikiran yang telah berkembang sejauh ini merupakan produk dari hegemoni kekuasaan. Dengan argumentasi ini pula, boleh dikatakan bahwa kerusakan hutan alam dan ketidak lestariannya selama ini adalah produk dari hegemoni kekuasaan. Hal tersebut perlu menjadi kesadaran kolektif. Oleh karena itu, agar berjalan efektif, berbagai langkah dan ikhtiar perbaikan dan pembaruan yang telah teridentifikasi dalam penelitian ini perlu diawali ikhtiar untuk mengurai dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan. Implikasinya, praktisi usaha kehutanan dan rimbawan pada umumnya harus keluar dari “kotak pemikirannnya” yang biasa.
Kata kunci: analisis diskursus , kerangka pikir, kelestarian, kebijakan usaha kehutanan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KERANGKA PIKIR DIBALIK KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN INDONESIA: SEBUAH ANALISIS DISKURSUS
AZIS KHAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Dr Ir Dodik Ridho Nurrochmat, MSc. Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Ir Djuara P Lubis Dr Ir Iman Santoso
PRAKATA
Bersyukur pada kuasaNya, bahwa kegiatan riset dan penulisan disertasi ini akhirnya dapat dirampungkan, setelah mengalami beberapa kali penundaan yang terpaksa sengaja diambil, lebih karena dorongan dan dilema “opportunity lost” di luar sana. Ini dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa penundaan akan berimplikasi pada percepatan penyelesaian masa sekolah doktoral penulis – mendekati pagar maksimalnya. Disertasi ini memuat hasil riset kualitatif – melalui pendekaan diskursus, yang coba menghimpun pengetahuan empiris terkait kerangka pikir dibalik kebijakan usaha kehutanan, khususnya untuk hutan alam produksi di luar Jawa. Akumulasi pengetahuan ini menguatkan penulis untuk menawarkan kesimpulan, bahwa memang ada persoalan kerangka pikir dibalik kebijakan usaha kehutanan yang terindikasi merupakan produk hegemoni kekuasaan selama ini. Apapun capaian kinerja usaha kehutanan sejauh ini menjadi bagian yang tidak lepas dari persoalan ini. Tawaran kesimpulan itu tidak berhenti disini, karena proses menghegemoni kerangka pikir itu ternyata juga tidak mengalami perubahan berarti dalam kurun yang relatif lama, setidaknya dalam penggalan sebelum dan setelah 1998. Dari tawaran kesimpulan inilah dalam disertasi ini pula penulis menawarkan sejumlah rekomendasi yang menurut ukuran penulis cukup operasional dengan latar konsepsi dan argumentasi yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Perhatian, kesabaran dan pengertian yang penuh dari ketiga pembimbing, yakni Prof Hariadi Kartodihardjo, Dr Sudarsono Soedomo dan Prof Dudung Darusman, merupakan kemewahan yang luar biasa dalam bantu proses merampungkan riset dan penulisan disertasi ini. Kepada mereka penulis berterimakasih dan berutang budi, sehinga terimakasih saja rasanya sangat jauh dari cukup. Kemewahan juga diperoleh dari dan karenanya penulis berterimakasih kepada para penguji luar komisi, Dr Soeryo Adiwibowo, Dr Dodik Ridho Nurrochmat, Dr Djuara P Lubis dan Dr Iman Santoso yang telah turut memperkaya dan menggenapkan keyakinan penulis atas substansi disertasi ini. Terimakasih penulis sampaikan pula kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam proses merampungkan riset dan penulisan disertasi ini. Kepada istri dan anak-anak, Eti, Ziza, Afid dan Isal special big thanks to you all for your best supports ever! Akhirnya, semoga disertasi ini bermanfaat dan memiliki kontribusi dalam proses pembaruan kebijakan usaha kehutanan khususnya dan pembangunan kehutanan umumnya. Layaknya hasil riset, disertasi ini dengan segala keterbatasannnya di sana sini, tetap terbuka untuk masukan konstruktif dari siapapun.
Bogor, Desember 2011 Azis Khan
RIWAYAT HIDUP Lahir di Lampung 12 Agustus 1960 dari pasangan Dailami Sutan Nasir (alm) dan Widaningsih, penulis adalah anak pertama dari enam bersaudara. Menyelesaikan Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB pada 1985. Lalu, atas dukungan Bank Dunia menyelesaikan Master bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Department of Forestry and Natural Resources, School of Agriculture, Purdue University, West Lafayette, Indiana, Amerika Serikat pada 1995. Pendidikan doktoral pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Sekolah Pascasarjana IPB ditempuh mulai Agustus 2006 atas biaya sendiri. Setelah mengundurkan diri dan keluar dengan hormat sebagai peneliti pada Pusat Litbang Sosek Departemen Kehutanan pada 1999, selanjutnya bekerja sebagai konsultan sumberdaya alam dan lingkungan pada Natural Resource Management Program yang didanai USAID Jakarta sampai 2004. Terakhir (2005) tercatat sebagai konsultan lepas untuk isu-isu terkait kebijakan, ekonomi dan tata kelola lingkup pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pada Bank Dunia, antara lain bertanggung jawab mengkoordinasikan Analyzing Pathway to Sustainability in Indonesia (APSI) Project, sebuah riset kolaborasi antara AUSAID, CSIRO, ANU (Australia) dengan Bappenas dan sektoral teknis terkait (Indonesia). Sebagai konsultan lepas, bekerja juga dengan beberapa lembaga dan konsultan kehutanan dan sumberdaya alam yang berbasis di luar, seperti AGRECO GEIE (Belgia), ITAD (Inggris) dan NEDWORC (Belanda), ENVIRO (Singapore), serta URS (Australia). Kerja serupa juga dijalin dengan ornop lingkungan Indonesia (WWF Indonesia, The Nature Concervancy, Latin dan Kehati). Menikah dengan Dr Eti Rohaeti pada 1987 dikaruniai Nur Aziza Azis S.Komp (alumni IPB), Haidar Rafid Azis (Mahasiswa Unpad) dan Faishal Tahsiin Azis (Siswa SMP N 4 Bogor).
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ....................................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xix DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................... xxi I.
KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN ....................................................... A. B. C. D. E. F.
II.
1
Latar Belakang .............................................................................................. 1 Konteks Penelitian ......................................................................................... 6 Fokus: Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 8 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 9 Outline Disertasi ............................................................................................ 10 Ringkasan ...................................................................................................... 11
KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI ........................................................ 13 A. Pendahuluan .................................................................................................. B. Kebijakan dan Analisis Diskursus .................................................................. 1. Kebijakan: Definisi dan Pengertian .......................................................... 2. Bentuk Analisis Kebijakan ....................................................................... 3. Diskursus dan Narasi Kebijakan ............................................................... 4. Diskursus dan Bahasa ............................................................................... 5. Analisis Diskursus dan Kerangka Pikir .................................................... C. Diskursus Kelestarian ..................................................................................... 1. Akar Diskursus .......................................................................................... 2. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan (PB) ......................................... 3. Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari ................................... 4. Kondisi Pemungkin Bagi Kelestarian Hutan: Sintesis Teoretik ................ D. Metodologi ..................................................................................................... 1. Kerangka Pendekatan ................................................................................ 2. Bahan Empiris: Dokumen, Wawancara dan online polling....................... 3. Metoda dan Prosedur Analisis Diskursus ................................................. E. Limitasi dan Validasi ..................................................................................... F. Ringkasan .....................................................................................................
13 13 13 15 17 19 20 22 22 25 28 34 35 35 38 41 45 48
III. USAHA KEHUTANAN INDONESIA ............................................................ 51 A. Pendahuluan ................................................................................................... B. Kinerja Usaha Kehutanan Indonesia .............................................................. 1. Kondisi Hutan Alam ................................................................................. 2. Pembalakan/Penebangan Liar ................................................................... 3. Multidimensi Konflik ................................................................................ 4. Deforestasi ................................................................................................ 5. HPH/IUPHHK HA .................................................................................... 6. Produksi .................................................................................................... 7. Kontribusi Kehutanan pada Perekonomian ............................................... C. Kesenjangan Tujuan dan Kenyataan ..............................................................
xv
51 52 52 55 59 61 63 65 70 72
1. Tujuan dan Orientasi Usaha Kehutanan .................................................... 2. Capaian Kinerja: Tidak Lestari, Tidak Menyejahterakan, Tidak Adil ....... 3. Kesenjangan: Masalah Kebijakan ............................................................. D. Kebijakan Usaha Kehutanan .......................................................................... 1. Kebijakan Usaha Kehutanan sebelum 1998 .............................................. 2. Kebijakan Usaha Kehutanan setelah 1998 ................................................ 3. Tonggak Kunci Kebijakan dan implementasi ........................................... E. Ringkasan ......................................................................................................
72 75 77 79 79 81 84 85
IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR .............. 87 A. Pendahuluan ................................................................................................... B. Ikhtisar Kebijakan ........................................................................................... 1. Substansi .................................................................................................... 2. Proses ......................................................................................................... 3. Fenomena: Sintesis Kencenderungan ........................................................ C. Peta Kerangka Pikir ........................................................................................ 1. Keseimbangan Dimensi Organisasi ........................................................... 2. Kuadran Alvesson-Karreman .................................................................... 3. The Forest First vs The Forest Second ...................................................... D. Persepsi Para Pihak: Kontestasi Kerangka Pikir .......................................... 1. Posisi Atas Hutan Alam Produksi Luar Jawa ............................................ 2. Pandangan Atas Usaha Kehutanan ............................................................ 3. Makna Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari ........................ 4. Persepsi atas Kebijakan Usaha Kehutanan ................................................ E. Kualitas Kebijakan Usaha Kehutanan ............................................................. 1. Makna lepas dari Diskursus ....................................................................... 2. Tidak mengubah Perilaku .......................................................................... 3. Teks lepas dari Interaksi Sosial ................................................................. 4. Perubahan Orientasi tidak nyata ................................................................ F. Ringkasan ........................................................................................................ V.
89 90 90 101 105 118 118 120 122 123 123 129 138 146 157 157 160 162 167 168
IMPLIKASI PENTING .................................................................................... 173 A. B. B. C. D. E.
Pendahuluan ................................................................................................... Kebijakan: Perlu Pelurusan Kerangka Pikir ................................................... Tataran Praktis Operasional: Substansi dan Proses ........................................ Kualitas Diskursus: pengetahuan, pendidikan, dan politik ekonomi ............. Metodologis: kelemahan dan sekaligus kebaruan penelitian ......................... Ringkasan .......................................................................................................
173 173 176 180 185 187
VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN ............................ 191 A. Ringkasan Temuan ........................................................................................ 191 B. Kesimpulan ..................................................................................................... 194 C. Saran ............................................................................................................... 196 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 199 LAMPIRAN ................................................................................................................. 201
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Bahan Empiris yang Digunakan dalam Analisis ................................................. 39
2.
Tipologi Peserta Internet On-line Polling............................................................. 40
3.
Tipologi para Narasumber yang diwawancarai ................................................... 41
4.
Kerangka Kebijakan (diadopsi dari Birkland, 2001) ........................................... 45
5
Peta Jalan (Road Map) Awal untuk Penelitian Kualitatif Lanjutan ..................... 46
6
Beberapa Perkembangan Riset Kualitatif Mancanegara ..................................... 47
7.
Luas dan Sebaran Hutan Produksi 2009 (dirinci per Provinsi) ............................ 54
8.
Dugaan Tingkat Illegal Logging di beberapa Negara di Dunia ........................... 56
9.
Frekwensi Konflik Kehutanan per Provinsi (1997-2003) .................................... 60
10.
Besar dan Laju Deforestasi dari Tujuh Pulau Utama Indonesia .......................... 62
11.
Jumlah IUPHHK Aktif (sampai Mei 2010) ......................................................... 64
12.
Jumlah dan Rataan Investasi IUPHHK 2005-2009 ............................................. 66
13.
Produksi Kayu berdasar Sumber Pasokan (%) .................................................... 68
14.
Volume dan Nilai Ekspor Produk Kayu Olahan (2008) ...................................... 69
15.
Volume dan Nilai Impor Produk Kayu (2008) .................................................... 69
16
Kesenjangan antara Tujuan Kebijakan dan Kinerja ............................................. 78
17
Domain Substansi yang diatur UU 5/67 dan UU 41/99........................................ 83
18
Skema Pengusahaan Hutan menurut UU Kehutanan ........................................... 84
19.
Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki Perundangan (sebelum 1998) .............................................................................. 94
20.
Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki Perundangan (setelah 1998) ................................................................................. 99
21.
Perbandingan hak dan kewajiban para pemegang unit usaha .............................. 101
xvii
22.
Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan Bolman dan Deal (1984)........................................................................................ 119
23.
Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan Alvesson Kareman (2000) .................................................................................... 121
24. Peta Diskursus HA Produksi Luar Jawa di kalangan Para Pihak .......................... 127 25.
Peta Diskursus Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak
26.
Peta Diskursus Kelestarian di kalangan Para Pihak ............................................. 144
27.
Peta Diskursus Kebijakan Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak................... 154
28
Kinerja HPH dan Jumlah HPH yang diberi peringatan ........................................ 162
29.
Jumlah (orang dan hari) dalam kegiatan pengawasan dan pemeriksaan pada Unit HPH di Kalimanan Tengah (data 20 HPH: 2009-2010) ...................... 178
30.
Pembidangan dan Eselonisasi di beberapa lembaga ............................................ 182
xviii
................................ 136
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1.
Proses Pembuatan Kebijakan Model Linear (Sutton, 1999) ................................. 16
2.
Kerangka Pendekatan ........................................................................................... 38
3.
Prosedur Analisis Diskursus ................................................................................ 42
4.
Proses konstruksi Kebijakan (Brikland, 2001) .................................................... 44
5.
Kondisi Hutan Alam Produksi 2005 .................................................................... 53
6.
Struktur Kerugian Kehutanan Indonesia 2003-2006 ........................................... 57
7.
Hubungan Korupsi dan Pasokan Kayu Illegal ..................................................... 58
8.
Frekwensi Konflik per Tahun (1997-2003) ......................................................... 60
9.
Perkembangan Unit dan Luas Konsesi IUPHHK HA dalam Dua Dekade Terakhir (1990-2010) ........................................................................................... 64
10.
Sebaran IUPHHK Aktif (per May 2010) ............................................................. 65
11.
Jatah Tebang Tahunan 2006-2008 ....................................................................... 67
12.
Produksi Kayu Bulat Nasional dari HA dan HT (2005-2009).............................. 68
13.
Persen Kontribusi Kehutanan terhadap PDB ........................................................ 71
14.
Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dalam Kuadran Alvesson-Karreman (2000)................................................................................... 122
15.
Posisi Para Pihak atas Kondisi HA dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan ........... 129
16.
Kontestasi para pemangku kepentingan atas isu usaha kehutanan ....................... 137
17.
Posisi Para Pihak atas Kondisi dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan .................. 138
18.
Paradoks kelestarian sebagai barang publik ......................................................... 145
19.
Kontestasi para pihak terkait isu kebijakan usaha kehutanan .............................. 156
20
Nilai Capaian Kinerja dirinci menurut Pro-Program ............................................ 163
21
Tiga kemungkinan “kualifikasi” kebijakan ......................................................... 174
xix
22.
Pola aliran pemikiran dibalik peta diskursus......................................................... 175
23.
Kuadran cara berpikir dalam Pengelolaan SDH: tekno-sentris ........................... 183
xx
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Sintesis Kerangka Teoretik Kelestarian SDH ...................................................... 207
2.
Panduan Wawancara ............................................................................................ 209
3.
Screen-shot On-line Polling – Kebijakan Usaha Kehutanan ............................... 211
4.
Kata Kunci dalam Dimensi Organisasi (Bolman and Deal) ................................ 213
5.
Relasi Narasi, Diskursus dan Kecenderungan Kerangka Pikir ............................ 215
6.
Contoh Analisis Isi – Kasus UUPK 5/67.............................................................. 217
7.
Contoh Hasil Analisis Narasi – Representasi Mana Kelestarian ......................... 221
8
Lintasan Sejarah terkait Usaha Kehutanan Indonesia ......................................... 233
9.
Analisis Narasi menurut hirarki perundangan (UU, PP dan lainnya) ................... 239
10.
Karakteristik Usaha Kehutanan – Hutan Alam Produksi (sebelum dan sesudah 1998) ................................................................................................ 253
11.
Intisari Makna Kelestarian ................................................................................... 257
12.
Kompilasi dan Sintesis Hasil Wawancara ........................................................... 259
13.
Kompilasi dan Síntesis Hasil Internet On-line Polling ........................................ 275
14.
Gambaran Keseimbangan Hak dan Kewajiban Para Pemegang Hak Usaha Kehutanan ................................................................................................ 287
15.
Contoh Transkrip Wawancara ............................................................................. 289
xxi
I. KONTEKS DAN FOKUS PENELITIAN
A. Latar Belakang Dua puluh tahun lalu, Sfeir-Younis (1991) telah menganalisis panjang lebar
aspek
ekonomi
kelestarian
pembangunan
kehutanan
yang
didalamnya dicakup aspek usaha kehutanan. Ia menyinggung dua pendekatan pokok – sebagai kerangka pemikiran atau paradigma – yang berbeda dibalik rancangan program dan kebijakan pembangunan kehutanan 1 . Pendekatan pertama, paradigma ”the forest first”, yang dianggapnya sebagai paling tradisional, menempatkan sistem alami hutan sebagai faktor utama. Hutan dipahami sebagai ekosistem yang fungsinya tergantung terutama kepada sifat alaminya, kondisi lingkungan, dan sifatsifat dari hubungan-hubungan sistem alam yang terlibat. Untuk mencapai kelestarian, praktek-praktek pengelolaan, tingkat laju pemanfaatan, dan upaya konservasi harus didefinisikan secara khusus, kedalam aturan kerja (working rules). Setiap penyimpangan dari sifat-sifat itu (yakni: hukum alam) menyebabkan berbagai kerusakan hutan yang hebat. Beberapa dari kerusakan itu bahkan tidak dapat balik (irreversible). Pencapaian kelestarian dalam pendekatan ini direduksi menjadi sekedar mengikuti serangkaian “aturan kerja” terkait sifat-sifat dan cakupan pemanfaatan dan konservasi hutan. Aturan kerja ini didefinisikan sebatas pengetahuan ilmiah tertentu berbasis sumberdaya hutan, termasuk kapasitasnya untuk tumbuh kembali, laju pertumbutuhan dan laju pembusukan dari berbagai pohon dan vegetasi, interaksi dari spesies tanaman yang terlibat, dan sejenisnya.
Karenanya, kelestarian
pembangunan kehutanan akan tergantung kepada kemampuan masyarakat dalam mematuhi berbagai aturan kerja itu. Aturan-aturan kerja itu melekat dalam resep-resep kebijakan yang secara khusus diterjemahkan kedalam aturan pengelolaan optimal, atau laju maksimum pemanfaatan sumberdaya hutan, misal berupa ”jatah tebang tahunan maksimum yang dibolehkan” 1
Diakui Sfeir-Younis (1991) ada sekitar 600an kegiatan sektor dalam perekonomian termasuk di dalamnya 80an proyek- proyek pembangunan kehutanan yang berhasil dianalisis kinerjanya.
2
(annual allowable cut), ”kelestarian hasil” (sustainable yield), dan sebagainya. Perdebatan tentang kelestarian karenanya disebutkan hanya berputar di seputar legitimasi berbagai aturan kerja itu, yang sering dikaitkan dengan kualitas informasi (ilmiah atau tidak), data tentang sumberdaya (akurat atau tidak),
dan cara mencapai aturan kerja itu
(efisien atau tidak). Dengan pendekatan demikian, pembangunan kehutanan dinilai bersifat monolitik: setiap aspek lain dari proses pembangunan kehutanan adalah eksogen (exogenous). Hal ini merepresentasikan hal negatif, berupa gangguan atas berjalannya hukum alam 2 . Masyarakat tercakup bagian dari gangguan itu.
Penerjemahan pendekatan ini kedalam pembangunan
ekonomi berupa pembuatan bagian-bagian (departemen) kehutanan yang kuat, dilengkapi perangkat dengan baik, dengan tenaga terlatih (tahu aturan-aturan kerja itu), dan siap menegakkan aturan kerja itu (kadangkadang menggunakan kekuatan militer). Di banyak negara berkembang, departemen-departemen kehutanan tradisional secara harfiah bahkan berfungsi sebagai militer: melindungi hutan (menghindari penyimpangan aturan kerja), menyiapkan instrument pemanenan hutan menurut aturan kerja itu (rancangan konsesi), melakukan penelitian dan survey sumberdaya untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang legitimasi aturan kerja dan tanpa kecuali melaksanakan program dan proyek pembangunan.
Dari
pandangan
kelembagaan,
berbagai
bagian
(departemen) ini merupakan ”grand regulators” dari sistem, dan arbitrase tentang alam, pemanfaatan dan konservasi hutan hanya terjadi melalui mekanisme internal yang melekat pada bagian-bagian (departemen) itu. Pasar, harga dan insentif secara umum diposisikan sebagai eksternal (exogenous) terhadap sistem. Titik
terlemah
dalam
pendekatan
ini
disebut
kurangnya
pengetahuan. Jadi, masalah muncul saat legitimasi dari aturan kerja yang diadvokasi, tentang kelestarian misalnya, dipertanyakan. Sementara, 2
Hal ini dilatari keyakinan Sfeir-Younis (1991), bahwa dalam paradigma ini kelestarian tergantung seberapa dekat hukum alam diikuti/dipatuhi dalam eksploitasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan.
3
begitu banyak ekosistem hutan yang kompleks dimana tidak ada konsensus tentang bagaimana mencapai kelestarian. Dibutuhkan jauh lebih banyak lagi aturan kerja dan penelitian sebelum berbagai aturan kerja dibuat untuk melestarikan pembangunan kehutanan. Pendekatan kedua, paradigma ”the forest second”, secara eksplisit mengenali peran yang dimainkan manusia dan sistem sosial ekonomi, sebagai bentuk lain dari modal, dalam mencapai kelestarian. Ini semua yang diposisikan ”eksogen” oleh paradigma pertama. Dalam paradigma kedua ini sistem politik dan sosial ekonomi dipandang sebagai sesuatu yang hakiki (intrinsic) dan penting bagi pembangunan kehutanan lestari. Disebutkan, bahwa berdasar pengalaman, tidak mungkin mencapai kelestarian dalam pembangunan kehutanan tanpa partisipasi nyata dari komunitas dan masyarakat pada umumnya. Ini berlaku tidak hanya kepada pengelolaan dan pemanfaatan hutan, tetapi juga kepada semua bagian suatu program kehutanan. Apa yang sebelumnya dianggap sebagai diluar (exogen) dari berbagai anggapan pembangunan kehutanan, kini menjadi penting untuk diterjemahkan dan diimplementasikan dalam paradigma kedua. Dalam pendekatan kedua ini, modal manusia (human capital) dinilai sebagai objek dan modal alam (natural capital) sebagai subjek dari pembangunan kehutanan. Ini semacam penekanan, bahwa praktis tidaklah mungkin memahami apapun kegiatan kehutanan sekarang tanpa partisipasi semua para pemangku kepentingan potensial (potential benefeciaries). Disebutkan,
bahwa
kelestarian
bukan
lagi
sekedar
penciptaan
keseimbangan diantara alam dan lawas hutan (yakni modal alam) dimaksud.
Pencapaian
pembangunan
hutan
lestari
mensyaratkan
keseimbangan semua bentuk modal yang terlibat dalam proses: fisik, finansial, manusia, alam, kelembagaan dan bahkan budaya. Dalam pendekatan ini pula, ditunjukkan setidaknya ada dua tatanan aturan kerja untuk dioptimalkan: berkaitan dengan sistem alam dan sistem manusia. Tatanan aturan kerja terkait sistem manusia dinilai baru bagi para ahli ilmu alam dan (pembangunan kehutanan) karenanya memerlukan ahli
4
ilmu sosial. Menjadi dilema penting adalah hadirnya satu mekanisme yang dapat memecahkan konflik (bila ada) antara dua tatanan aturan kerja tadi. Konflik yang terkenal adalah bahwa saat orang memanen lebih banyak pohon dari yang seharusnya diatur oleh aturan kerja dari paradigma pertama. Banyak alasan mengapa konflik ini muncul, antara lain dicontohkan karena insentif pasar, perambahan (encroachment) dan konflik pemanfaatan lahan serta property rights.
Untuk memecahkan
konflik ini diusulkan beberapa mekanisme: (a) kembali kepada paradigma pertama dan biarkan negara sebagai ”grand regulator” – pendekatan penegakan hukum; (b) gunakan mekanisme pasar yang diasumsikan mencerminkan kekuatan preferensi dan daya beli individu, dan (c) terima mekanisme kelembagaan berdasarkan hak-hak yang ada dan aturan kerja berbasis komunitas. Semua mekanisme yang disebutkan di atas bermasalah dengan berbagai keterbatasan yang serius. Pengalaman pembangunan sejauh ini dinilai cukup baik dan menyeluruh untuk merefleksikan secara serius berbagai keterbatasan kelembagaan dari paradigma kedua. Penempatan pasar sebagai mekanisme kelembagaan untuk memecahkan konflik antara dua tatanan aturan kerja terbukti tidak efisien dan, dalam banyak kasus, tidak diterima secara sosial. Sementara, kumpulan preferensi dan daya beli individu jarang menghasilkan aturan kerja yang secara sosial optimal. Hal ini dikaitkan dengan contoh yang dikenal sebagai ”tragedy of the common”, sumberdaya
dimana alam
diakhir bersama
persaingan karena 3
mengindikasikan pereferensi sosial .
individu
berbagai
menghancurkan
sinyal
pasar
tidak
Solusinya kemudian, disarankan
untuk (a) memanfaatkan pasar sebagai mekanisme mengatasi konflik, sementara saat yang sama menetapkan hak-hak private atas hutan; dan bila mekanisme pasar tidak diterima, maka alternatifnya (b) penciptaan satu mekanisme konsensus yang dapat menghasilkan aturan kerja yang
3
Disebutkan, bahwa para ekonom sering merujuk kepada fenomena ini sebagai “eksternalitas” atau “kegagalan pasar” yang dalam kasus sumberdaya alam milik bersama – tidaklah selalu dapat diperlakukan dalam cara yang memuaskan.
5
optimal: memberi masyarakat kekuatan untuk memutuskan aturan kerja yang mana yang paling diterima. Sampai disini, analisis Sfeir-Younis (1991) menegaskan, bahwa masing-masing kerangka pemikiran memiliki keterbatasan dan kendala yang pada dasarnya melahirkan tantangan baru untuk pembangunan kehutanan kedepan. Tanpa mendikotomikan secara kaku, kerangka pemikiran pertama digambarkan – bila dianut, akan berakhir dengan kerusakan hutan yang hebat dan bahkan tidak dapat balik (irreversible), terutama bila upaya penegakan aturan kerjanya lemah. Gambaran ini sekaligus membuka rujukan, bahwa kerangka pemikiran kedua menjadi pilihan walau tetap dengan keterbatasan yang penuh tantangan. Bahwa
kecenderungan
manusia
pemikiran pertama, ”the forest first”,
lebih
menganut
kerangka
daripada ”the forest second”
menjadi perhatian dan keprihatinan Kaivo-Oja et al (tt) dan MacCleery (tt) 4 .
Dengan
keprihatinan
itu,
keduanya
menekankan
perlunya
menyeimbangkan keseluruhan bentuk modal dan keterlibatan para pemangku kepentingan dalam mencapai dan bahkan dalam mendefinisikan kelestarian hutan yang tidak lain adalah esensi dari kerangka pemikiran kedua, ”the forest second”, yang ditawarkan Sfeir-Younis. Ruitenbeeck dan Cartier (1998) menegaskan hal senada, bahwa kelestarian harus diletakkan
dalam
dimensi-dimesi
efisiensi
dan
keadilan
dengan
mengkalkulasi hal-hal diluar ”kotak” kehutanan, khususnya terkait isu-isu kebijakan dan kelembagaan. Gluck (1987) bahkan lebih tegas lagi, bahwa sejarah kehutanan diwarnai serangkaian kesemberonoan penanganan hutan, sehingga melahirkan empat doktrin yang secara ideologis identik dengan “the forest first” yang dipandang tidak lagi cocok dengan kekinian dunia kehutanan 5 . Akumulasi pengetahuan di atas bila dikaitkan dengan kinerja pembangunan kehutanan Indonesia sampai saat ini mengundang
4
Dalam bahasa mereka aliran pemikiran “the forest second” lebih menekankan perlu masuknya dimensi kemanusiaan bahkan sampai tingat global pada pendefinisian kelestarian. Lihat “diskursus kelestarian” pada Bab 3. 5 Keempat doktrin itu disebut: timber primacy, sustainable yield, long term, dan absolute standard
6
pertanyaan, kebijakan pembangunan kehutanan Indonesia sejauh ini menggunakan atau menganut aliran kerangka pemikiran yang mana dan seperti apa? Lalu, apa implikasinya bagi pembaruan kebijakan pembangunan kehutanan kedepan? Apakah, dengan demikian, persoalan kerangka pikir termasuk yang perlu masuk agenda pembaharuan? kebijakan usaha an – fokus.. B. Konteks Penelitian Hutan alam produksi Indonesia di Luar Jawa telah dikelola, diusahakan dan dieksploitasi, cukup lama, bahkan sejak zaman penjajahan. Periode 1967-1997 dapat merupakan kurun eksploitasi komersial secara besarbesaran. Dalam kurun itu, hutan alam produksi di Luar Jawa diusahakan dalam bentuk entitas Hak Pengusahaan Hutan (HPH), terutama setelah keluarnya Undang-undang Pokok Kehutanan (UUPK) No. 5/1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang kemudian disusul dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) No. 22/1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Iuran Hasil Hutan IHH). Kedua produk perundangan ini merupakan tonggak awal dari sejarah eksploitasi hutan, khususnya pada periode kemerdekaan. Alasan utama keluarnya kebijakan usaha kehutanan waktu itu lebih karena kebutuhan modal yang begitu besar untuk mengisi kemerdekaan dan melaksanakan pembangunan nasional dan hutan dipandang sebagai sumberdaya alam yang relatif mudah cair (liquid). Investasi di sektor kehutanan mengarus deras dalam kurun ini, terutama setelah diberlakukannya Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing. Arus investasi ini diikuti pula dengan semakin bergairahnya arus investasi di dalam negeri menyusul diterbitkannya Undang-undang Penanaman Modal dalam Negeri (UU-PMDN) UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Selanjutnya, pada 1970 diterbitkan pula dua peraturan pemerintah yang tergolong penentu kinerja usaha kehutanan selanjutnya, yakni PP No. 21/1970 tentang HPH dan Hak Pengusahaan Hasil Hutan (HPHH) dan PP No. 33/1970 tentang Perencanaan Hutan.
7
Usaha kehutanan melalui HPH mengalami ”booming” pada awal 1980an. Tercatat ada sekitar 600an unit HPH beroperasi dengan luas rataan dari puluhan ribu hektar sampai jutaan hektar per unit usaha. Pada periode inilah para pemegang HPH memperoleh hasil finansial yang nyata, terutama melalui ekspor kayu bulat. Sementara, pemerintah memperoleh pendapatan, terutama dari iuran (HPH dan HPHH), Dana Jaminan Reboisasi, terbukanya kesempatan kerja, dan bertumbuhnya berbagai industri kehutanan dalam negeri berbasis kayu dari hulu (log) hingga ke hilir (pengolahan kayu). Pada periode ini pula sektor kehutanan menjadi tulang punggung pemerintah dalam penyediaan dana bagi pembangunan. Pada periode inilah sektor kehutanan mencapai peringkat kedua terbesar kontribusinya dalam perekononomian nasional, setelah minyak dan gas. Dalam periode-periode selanjutnya berbagai capaian di atas mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun baik dalam hal jumlah unit dan luasan HPH maupun skala kontribusi dan peran sektor kehutanan pada perekonomian nasional. Dalam periode lanjutan ini, termasuk dalam era otonomi daerah, berbagai penurunan tersebut bertalitemali dengan fenomena deforestasi dan degradasi hutan alam. Hal ini berimplikasi luas, termasuk atas merosotnya lebih lanjut peran sosialekonomi dan lingkungan dari sumberdaya hutan dan akhirnya berujung pada penilaian tidak lestarinya hutan alam itu sendiri. Fluktuasi dengan kecenderungan menurun ini seolah lepas dari adanya sejumlah proses pembaruan kebijakan kehutanan, termasuk diterbitkannya UU No. 41/1999 (dan turunannya) sebagai pengganti UUPK No. 5/1967. Implikasi ketidak-lestarian hutan alam di atas mengundang beberapa pertanyaan terutama seputar apa, mengapa dan bagaimana sampai hutan alam produksi akhirnya berada pada jalur tidak lestari. Tiga pertanyaan ini penting mengingat landasan penetapan kebijakan usaha kehutanan baik di tingkat UU maupun produk turunannya, khususnya berupa PP, yang justru menempatkan kelestarian sebagai syarat dan bahkan
pembatas
(constraint)
dalam
memosisikan
hutan
alam
sebagaimana selalu tercantum dalam diktum konsideran di hampir
8
berbagai produk UU dan turunannya itu. Bila dikaitkan dengan hasil analisis Sfeir-Younis (1991) sebagaimana dijabarkan pada latar belakang, maka pertanyaan ini mengerucut pada pertanyaan kritis: apakah fenomena ketidak-lestarian di atas adalah bukti bahwa kebijakan usaha kehutanan sejauh ini dibangun menggunakan aliran kerangka pemikiran ”the forest first”? Lalu, apa makna dan implikasinya bagi pembaruan kebijakan usaha kehutanan kedepan?
Apakah persoalan kerangka pikir termasuk yang
perlu masuk agenda pembaharuan kebijakan usaha kehutanan?
C. Fokus: Pertanyaan Penelitian Pertanyaan kritis di atas ditarik sebagai pertimbangan awal penelitian ini untuk berfokus pada kebijakan usaha kehutanan, khususnya untuk hutan alam produksi di Luar Jawa. Dalam bahasa sederhana, mempertanyakan aliran kerangka pemikiran dibalik sebuah kebijakan pada dasarnya identik dengan mempertanyakan diskursus seperti apa yang sesungguhnya telah berkembang baik dalam bentuk teks perundangan maupun percakapan dan interaksi sosial para pihak pemangku kepentingan kehutanan di sebalik proses konstruksi kebijakan itu. Meminjam salah satu ide Foucault dalam Arts and Buizer (2009) maka memahami diskursus identik dengan memahami relasi kekuasaan dan bahkan dinamika proses-proses politik. Dalam bahasa Springate-Baginski dan Soussan (2002) pertanyaan sederhana di atas pada dasarnya adalah upaya untuk memahami (a) proses bagaimana kebijakan dikembangkan dan diterapkan, (b) tujuan-tujuan dan motif dibalik kebijakan – seberapa ia masuk dalam mendekati usaha kehutanan dan/atau fokus pada kelestarian, (c) pengaruh kebijakan atas pencapaian tujuan usaha kehutanan lestari, dan (d) ruang intervensi dalam memengaruhi proses konstruksi maupun implementasi kebijakan. Dalam rumusan Sutton (1999) dan Arts and Buizer (2009) serangkaian upaya memahami berbagai hal di atas tergolong dalam telaah
9
kebijakan dengan pendekatan teori antropologi 6 . Pendekataan demikian fokus pada narasi kebijakan (policy narrative) dan diskursus (discource), terkait fenomena yang sedang (hangat) dibicarakan yang seringkali justru menjadi hambatan dalam melakukan agenda pembaruan kebijakan. Dengan berfokus pada pendekatan analisis diskursus sebagaimana disebutkan diatas, pertanyaan penelitian yang coba ingin dijawab penelitian ini adalah: (a) dapatkah fenomena ketidak lestarian usaha kehutanan menguatkan penilaian bahwa aliran kerangka pikir di balik kebijakan usaha kehutanan sejauh ini adalah memosisikan sistem alami hutan sebagai faktor utama atau ”the forest first”? (b) Seperti apa wujud atau peta diskursus yang menguatkan jawaban atas pertanyaan tersebut dan apa implikasinya? Adakah kecenderungan pergeseran atau bahkan perubahan aliran kerangka pikir? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan uraian mengenai konteks, fokus dan pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini bertujuan menghimpun pengetahuan dan informasi terkait diskursus yang berkembang dalam kebijakan usaha kehutanan untuk memahami aliran kerangka pemikiran di sebaliknya. Secara khusus penelitian ini bertujuan: (a) mengindentifikasi dan menetapkan tonggak kunci kebijakan usaha kehutanan dari bahan empiris yang ada, (b) melakukan analisis diskursus yang mencakup isi (content analysis) dan narasi (narrative) serta analisis kesenjangan (gap analysis) atas berbagai kebijakan itu, (c) membaca, memetakan, dan menarik alur kerangka pikir baik dari teks perundangan maupun teks yang dibangkitkan dari komunikasi, kerangka pemahaman, maupun praktek sosial, yang diduga berpengaruh dalam proses perumusan kebijakan usaha kehutanan, dan (d) melakukan sintesis kerangka teoritik dan konsep kelestarian hutan dan usaha kehutanan sebagai penakar kunci dalam melakukan keseluruhan analisis. 6
Pendekatan teoritis lain dalam rumusan Sutton (1999) adalah pendekatan sosiologi politik, pendekatan hubungan internasional dan pendekatan manajemen. Sementara Arts and Buizer (2009) menegaskan bahwa teori diskursus itu merupakan cabang dari analisis kebijakan.
10
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat (a) sebagai kerangka dasar bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan, khususnya pembaruan aliran kerangka pikir – agar pemahaman pengetahuan berfokus tidak saja pada teks peraturan perundangan, tetapi juga pada komunikasi dan interaksi sosial dimana kebijakan itu direspon dan diimplementasikan, (b) menambah jumlah dan memperkaya khasanah penelitian kebijakan usaha kehutanan, khususnya dengan menggunakan analisis diskursus sebagai pendekatan, dan (c) memosisikan pentingnya perbaikan kerangka pikir yang mendasari diskursus yang berkembang di balik proses konstruksi kebijakan usaha kehutanan. E. Outline Disertasi Penulisan disertasi ini disusun dengan sistimatika sebagai berikut. Setelah mengemukakan konteks dan latar belakang, menetapkan fokus atau pertanyaan
penelitian,
menjelaskan
maksud
dan
tujuan
serta
menggambarkan kemanfaatan penelitian kualitatif ini (BAB I), dilanjut dengan menjabarkan konsep dan teori yang digunakan; mencakup kebijakan, analisis kebijakan, diskursus, hubungan diskursus dengan narasi kebijakan, hubungan diskursus dengan bahasa, hubungan diskursus dengan kerangka pikir dan dilanjut kemudian dengan diskursus kelestarian; yang dari berbagai konsep dan teori ini ditetapkan metodologi penelitian yang mencakup kerangka
pendekatan, bahan empiris yang
digunakan, dan penetapan prosedur analisis diskursus (BAB II). Potret atau snapshot situasi kondisi dan kinerja usaha kehutanan dan kesenjangannya dengan kenyataan serta informasi kebijakan usaha kehutanan itu sendiri disajikan pada BAB III. Selanjutnya disajikan kecenderungan kerangka pikir yang disintesa dari diskursus yang dibangkitkan dari teks peraturan perundangan; kerangka pemikiran ini kemudian dipetakan, sebelum membahas kontestasi persepsi para pihak yang dibangkitkan dari hasil wawancara mendalam dan internet online polling, sebelum akhirnya menakar kualitas kebijakan usaha kehutanan (BAB IV). Dari hasil tersebut dibahas berbagai implikasi pembaruan baik
11
dari sisi kebijakan, praktis-operasional, kualitas diskursus dan metodologis (BAB V). Intisari hasil, kesimpulan dan rekomendasi ditawarkan pada BAB VI. Untuk memudahkan penulisan intisari ini, di setiap Bab telah disiapkan pula ringkasan.
F. Ringkasan Dua kerangka pemikiran yang pernah melandasi berbagai kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan dunia disebutkan Sfeir-Younis (1991), sebagai the forest first (FF) dan the forest second (FS). Dari telaahnya, FF telah menyebabkan kerusakan hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible), terlebih saat aturan kerja yang sangat bio-centris tidak berhasil ditegakkan. Sementara, ada fakta empiris menunjukkan bahwa kinerja usaha kehutanan kita, Indonesia, sejauh ini sangat rendah ditandai antara lain dengan merosotnya peran ekonomi, sosial dan lingkungan sumberdaya hutan alam produksi menyusul berbagai kerusakan hutan dan lahan dengan laju dan magnitude yang relatif tinggi. Mengaitkan dua pengetahuan empiris ini telah mengundang pertanyaan: apakah kebijakan usaha kehutanan kita selama ini dilandasi sepenuhnya dengan aliran FF?. Pertanyaan itu menjadi fokus atau pertanyaan penelitian ini. Pertanyaan
itu identik dengan mempertanyakan diskursus yang telah
berkembang dibalik proses konstruksi kebijakan usaha kehutanan, khususnya hutan alam produksi di Luar Jawa. Diskursus dimaksud mencakup baik yang dibangkitkan dari teks peraturan perundangan maupun hasil percakapan dan interaksi sosial para pemangku kepentingan usaha kehutanan. Melalui analisis diskursus itu pertanyaan penelitian ini coba dijawab. Dengan tujuan menghimpun pengetahuan dan informasi terkait diskursus yang berkembang dalam kebijakan usaha kehutanan, melalui penelitian ini diharapkan dapat dipahami aliran pemikiran di balik kebijakan usaha kehutanan itu yang sekaligus menjawab pertanyan penelitian di atas. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat antara lain
12
sebagai kerangka dasar bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan, khususnya bagi ihktiar pelurusan kerangka pikir.
II. KONSEP, TEORI DAN METODOLOGI
A. Pendahuluan Diskursus dipahami sebagai tatanan kerangka pikir yang mengonstruksi realitas sosial dalam sebuah konteks tertentu – dalam hal ini kebijakan usaha kehutanan lestari. Pada saat situasi hutan dipandang tidak lestari – yang indikasinya begitu kuat muncul dalam diskursus seputar deforestasi dan degradasi hutan, maka pertaruhan mengarah pada substansi dan proses konstruksi kebijakan serta interaksi sosial yang telah terjadi, sekaligus aliran pemikiran yang dominan disebaliknya. Dari arah pertaruhan inilah peta kerangka pikir dibalik kebijakan usaha kehutanan serta tali temalinya dengan ”kualitas” kebijakan dan kinerja usaha kehutanan itu sendiri coba dipahami dan dianalisis dalam penelitian ini dengan berpegang pada konsep dan teori sebagaimana dijabarkan dalam beberapa sub-bab berikut ini.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang
mengeksplorasi diskursus yang telah berkembang dibalik proses konstruksi kebijakan usaha kehutanan di hutan alam produksi di Luar Jawa. Esensi penelitian ini, antara lain menggali dan mengomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan usaha kehutanan yang telah ada (ex-post). Kecenderungan diskursus para pemangku kepentingan usaha kehutanan dieksplorasi melalui pendekatan analisis kebijakan, khususnya pendekatan antropologi yang fokus pada narasi kebijakan dan diskursus. Dari serangkaian kecenderungan narasi kebijakan dan diskursus dapat sekaligus diamati kecenderungan aliran pemikiran para pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses konstruksi kebijakan. B. Kebijakan dan Analisis Diskursus 1. Kebijakan: Definisi dan Pengertian Dalam IDS (2002) digambarkan betapa kata ”kebijakan” yang dikenal begitu saja secara luas ternyata tidak mudah untuk dikenali. Layaknya atas keberadaan seekor gajah, kita tahu saat melihatnya dan tidaklah mudah bagaimana kemudian mendefinisikannya. Digambarkan pula, dengan sederet testimoni, bahwa seorang pembuat kebijakan sekalipun tidak serta merta
14
menjadi kemudian mudah untuk memahami dan mendefinisikan kata ”kebijakan”. Observasi IDS (2002) ini berkaitan secara kuat dan lekat dengan sebuah perkembangan kerangka kerja terkait proses kebijakan. Kerja observasi ini antara lain menemukan adanya hubungan teori antara ilmu pengetahuan (science), keahlian (expertise) dan kebijakan, kepentingan politik, partisipasi publik dan jaringan aktor. Hal disebut terakhir ini memberikan pemahaman bahwa ”kebijakan” adalah proses jalin-menjalinnya dan interkoneksi berbagai hal tadi. Ini setara dengan landasan Sfeir-Younis (1991) saat menawarkan kerangka pemikiran keduanya ”the forest second”. Dalam pemahaman Dunn (2000) analisis kebijakan dipandang sebagai aktivitas intelektual menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini dicapai melalui analisis sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program. Penekanan pada unsur ”tentang” dan ”dalam” mengandung pengertian terkait penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan dalam proses pembuatan kebijakan. Pengetahuan sendiri dipahami Dunn (2000) sebagai kepercayaan tentang kebenaran yang masuk akal (plausibel) ketimbang kepastian. Dalam pemahaman demikian probabilitas statistik, misalnya, diposisikan Dunn sebagai pendukung dalam menegakan klaim pengetahuan yang plausibel. Masih menurut Dunn (2000), analisis kebijakan mengombinasikan dan meneransformasikan substansi dan metode beberapa disiplin (sosial, politik, dll), dan lebih jauh lagi menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah publik tertentu. Tujuan analisis kebijakan melebar melampaui produksi ”fakta”, yakni memproduksi juga informasi mengenai nilai dan serangkaian tindakan yang dipilih. Dengan begitu, analisis kebijakan juga meliputi evaluasi dan rekomendasi kebijakan. Sebagai ilmu terapan, analisis kebijakan diposisikan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan terkait nilai, fakta dan tindakan tadi. Nilai, berkaitan dengan pertanyaan apakah pencapaiannya merupakan tolok ukur utama dalam melihat apakah masalah telah teratasi. Fakta, apakah keberadaannya dapat mengatasi dan meningkatkan pencapaian nilai-nilai.
15
Sementara tindakan, apakah penerapannya menghasilkan pencapaian nilainilai. Untuk menghasilkan itu semua, Dunn (2000) mengenalkan tiga pendekatan, yakni: empiris, valuatif dan normatif yang dapat digunakan salah satu, dua atau seluruhnya. Pendekatan empiris, fokus pada penjelasan sebabakibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Pertanyaannya bersifat faktual (= apakah sesuatu ada?) dan informasi yang dihasilkan bersifat deskripsi. Pendekatan
valuatif
menekankan
pada
penentuan
bobot
kebijakan.
Pertanyaannya berkaitan dengan nilai (= Berapa?) dan tipe informasi yang diperoleh bersifat valuasi. Pendekatan normatif fokus pada rekomendasi serangkaian tindakan di masa depan yang dapat menyelesasikan masalah publik. Pertanyaanya, tindakan apa yang harus dilakukan dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat preskripsi (resep pengobatan). [see THH 671PSL*.*] 2. Bentuk Analisis Kebijakan Bentuk-bentuk analisis kebijakan dikelompokkan Dunn (2000) kedalam tiga kelompok besar: retrospektif (Ex-post), prospektif (Ex-ante) dan integratif. Restropektif fokus pada ”apa yang terjadi” dan ”perbedaan” (gap) apa yang dibuat. Prospektif lebih kepada ”apa yang akan terjadi” dan ”apa yang harus dilakukan”. Integratif merupakan kombinasi keduanya yang fokus pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan dieksekusi. Selain itu, Dunn (2000) meyakini analisis retrospektif mengutamakan hasil-hasil aksi, yang dapat menawarkan kerangka baru dalam memahami proses pembuatan kebijakan, memberi tantangan perumusan masalah, membalik berbagai mitos sosial dan bahkan membentuk opini publik. Sementara itu, Sutton (1999) mengenalkan analisis proses kebijakan dengan sebuah argumen kunci. Dikatakan, bahwa pembuatan kebijakan ”model linier” sekalipun banyak digunakan, tidaklah cukup. Model linear diakui berciri analisis pilihan yang objektif dan adanya pemisahan antara kebijakan dengan implementasi. Sebaliknya, kebijakan dan implementasinya
16
merupakan kekacau-balauan dari serangkaian tujuan-tujuan dan kejadian. Itu, masih menurut Sutton (1999) merupakan hal terbaik atas pemahaman kebijakan dan implementasinya. Dengan argumen ini ia ingin menegaskan bahwa kombinasi berbagai konsep dan alat dari berbagai disiplin dapat digunakan untuk meletakan beberapa tatanan kepada kekacau-balauan kejadian tadi. Kombinasi ini mencakup narasi kebijakan, komunitas kebijakan, analisis diskursus, teori regimes, pengelolaan perubahan (management of change) dan peran dari birokrat jalanan dalam implementasi kebijakan. ”Model linear” disebut Sutton dengan beberapa nama, seperti mainstream, common-sense, rational model, dan sering dipandang secara luas sebagai cara pembuatan kebijakan. Model ini menggariskan pembuatan kebijakan sebagai proses linear pemecahan masalah yang rasional, berimbang, objektif dan analitis. Dalam model demikian, keputusan dibuat dalam serangkaian tahap yang berurut mulai dari identifikasi masalah atau isu, dan berakhir dengan sekumpulan kegiatan untuk memecahkan atau berurusan dengan masalah itu (Gambar 1).
Gambar 1. Proses pembuatan kebijakan Model Linear (Sutton, 1999)
Dibalik model linier ini Sutton (1999) beranggapan bahwa para pembuat kebijakan mendekati isu secara rasional untuk setiap tahapan logis dari proses, dan mempertimbangkan keseluruhan informasi yang relevan. Anggapan lainnya, bila kebijakan tidak berhasil mencapai tujuanya, kesalahan sering kali tidak dialamatkan kepada (kualitas) kebijakan itu sendiri, melainkan kepada kegagalan dalam pelaksanaannya (Juma and Clarke 1995 dalam Sutton, 1999).
17
Kegagalan ini lalu sering dikaitkan, misalnya, kepada kurangnya kemauan politik, miskinnya kerja manajemen, dan kekurangan sumberdaya. Dalam pengamatan Sutton (1999) ada banyak bukti yang menegaskan bahwa model linear semacam ini jauh dari realitas. Keyakinan ini berangkat dari telaahnya, bagaimana ilmu politik, sosiologi, antropologi, hubungan internasional dan pengelolaan bisnis memengaruhi pembuatan kebijakan dan coba membangun sebuah gambaran yang lebih besar dari proses pembuatan kebijakan. Diyakini Sutton (1999), bahwa antropologi – seperti halnya juga ilmu politik dan sosiologi, berfokus pada diskursus pembangunan. Selanjutnya, antropologi,
Sutton
diskursus
(1999)
merinci
pembangunan
bahwa
menjadi
dengan
tema
pendekatan
penting.
Disitu
”diskursus” diposisikan lebih kepada sebuah ansambel berbagai ide, konsep dan kategori yang melalui itu semua pemahaman akan sebuah fenomena dibangun. Dalam posisi demikian, diskursus menetapkan sejumlah masalah, membedakan beberapa aspek dari situasi dan mengesampingkan yang lain. Karena berbagai diskursus yang dominan menata cara-cara mengelompokkan orang dan mendefinisikan masalah, ia memiliki akibat-akibat serius yang bersifat materi dalam proses pembuatan kebijakan. Pendekatan antropologi juga bekerja menganalisis bahasa dan berbagai pernyataan dalam diskusidiskusi kebijakan. Hal ini, sebagaimana dikemukakan Apthorpe (1986 – dalam Sutton, 1999 dan dalam Shore dan Wright,1997) melepas cara-cara dimana kebijakan (mengalami) depolitisasi dan derasionalisasi, serta menjauhkan tanggung jawab dari para pembuat kebijakan dari berbagai keputusan yang dibuatnya. 3. Diskursus dan Narasi Kebijakan Dalam menjelaskan pengaruh diskursus atas proses kebijakan, Sutton (1999) menggambarkan bahwa diskursus berfungsi menyederhanakan masalahmasalah pembangunan yang rumit. Diskursus difungsikan menyampaikan kepedulian beberapa kelompok atas kelompok yang lain. Kepedulian yang dominan dengan dukungan diskursus memastikan isu yang menjadi kepedulian, dimana kebijakannya dibuat, memberikan kerangka dimana
18
berbagai
alternatif dipertimbangkan, memengaruhi opsi yang dipilih dan
dampaknya pada proses implementasi. Yang kemudian menjadi kepedulian utama adalah, apa yang ditanyakan Shore dan Wright (1997), yakni siapa yang memiliki ”kekuatan untuk menentukan”: kerja diskursus-diskursus dominan melalui penyusunan kerangka acuan (TOR) dengan tidak membolehkan atau mengesampingkan pilihan-pilihan lain. Pengaruh diskursus yang begitu melekat pada proses kebijakan itu disarikan Grilo (1997 – dalam Sutton, 1999),
yakni ”diskursus mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan
cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan”. Sutton (1999) juga memperlihatkan perbedaan antara diskursus dan narasi pembangunan. Disebutkan, bahwa berbagai konsep dari diskursus dan narasi pembangunan berbeda, meskipun keduanya memberikan implikasi sebuah dominasi dari proses pembangunan oleh kepedulian/interest tertentu untuk mengekslusi yang lain. Diskursus merupakan konsep yang lebih luas daripada narasi. Diskursus berhubungan dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai pendekatan fundamental akan berbagai isu, sementara narasi lebih kepada satu masalah pembangunan tertentu yang lebih spesifik. Teori diskursus telah pula dikenalkan dalam analisis kebijakan kehutanan. Ini terkait kerja Arts dan Buizer (2009) yang berangkat dari pendekatan kelembagaan-diskursif, dengan menganalisis pengembangan-pengembangan kebijakan kehutanan global sejak awal 1980an. Pilihan atas kasus ini dibuatnya atas pertimbangan-pertimbangan substantif dan pragmatis. Secara pragmatis, kasus ini merupakan pilihannya, karena salah satu dari mereka telah berkecimpung dibidang kehutanan bertahun-tahun lamanya, termasuk turut dalam berbagai negosiasi kebijakan kehutanan yang dialaminya di Parlemen Eropa dalam akhir 1990an. Secara subtantif, dan lebih penting, bagi mereka kasus ini melahirkan materi empiris penting untuk mempelajari klaimklaim paham diskursif-kelembagaan. Menurut Arts dan Buizer (2009) berbagai diskursus baru - termasuk pemahaman-pemahaman baru yang melekat pada konsep-konsep lama - telah benar-benar muncul di lapangan pada tiga dekade terakhir, yakni keanekaragaman hayati, pengelolaan hutan lestari, dan tata-kelola swasta.
19
Kelembagaan diskursif merupakan salah satu penerapan analisis diskursus dari empat pendekatan yang disebutkan Arts dan Buizer (2009), yakni (1) diskursus sebagai komunikasi, (2) diskursus sebagai teks, (3) diskursus sebagai kerangka atau ”frame” dan (4) diskursus sebagai praktek-praktek sosial.
Kelembagaan diskursif merupakan pengembangan yang dilakukan
Arts dan Buizer (2009) dari macam diskursus keempat, yakni praktek-praktek sosial. Dalam pengembangan itu mereka menetapkan setidaknya dua asumsi. Asumsi pertama, berbagai dinamika kelembagaan berasal dari kemunculan ide-ide, konsep-konsep dan narasi baru dalam masyarakat, yang kemudian terlembagakan dalam praktek-praktek sosial sehingga berdampak sosial. Asumsi kedua, ide-ide, konsep-konsep dan narasi yang terlembagakan secara kuat dalam praktek sosial dianggap relevan sekali dalam memahami bagaimana berbagai perubahan kelembagaan terjadi. 4. Diskursus dan Bahasa Pendekatan antropologi juga melihat penggunaan bahasa dalam proses kebijakan itu, sebagaimana telah ditegaskan Sutton (1999). Hal ini disebut “analisis diskursus” tetapi merujuk dalam pengertian diskursus yang berbeda, yakni lebih kepada pengertian percakapan, dialog, bahasa dan pidato sebagaimana juga disebutkan Hawitt (2009). Dari sini berkembang pemahaman Sutton (1999) terkait pemberian label atas kelompok-kelompok (the labelling of groups), pengerangkaan isu yang akan diatasi (the framing issue to be tackled), pembuatan solusi-solusi kebijakan (agar) tampak jelas dan tak perlu dipertanyakan (making policy solutions seem obvious and unquestionable),
dan
mende-politisasi
berbagai
keputusan
kebijakan
(depoliticising policy decisions). Pelabelan atas kelompok dicontohkan dari perencanaan pembangunan yang membuat secara berulang label-label ”kelompok sasaran”, seperti ”miskin pedesaan”, ”petani” atau ”miskin lahan” yang disebut secara berlebihan tapi saat yang bersamaan kurang terdeskripsikan (Wood 1985 dalam Anthrope dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1995). Pelabelan semacam itu memperdaya berbagai kelompok, menyepelekan kerumitan pandangan
20
mereka, rentang kepedulian yang mereka wakili dan keragaman pengalaman mereka. Terkait pengkerangkaan, menyarankan
bahwa
”bingkai”
Gasper (1996 – dalam Sutton, 1999) digunakan
untuk
mengaitkan
cara
pendefinisian masalah-masalah kebijakan, yang menganalisis secara khusus pertimbangan apa yang dicakup dan tidak dicakup. Hajer (1993 - dalam Apthorpe dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1999) menyarankan bahwa pengkerangkaan bekerja untuk membedakan beberapa aspek dari sebuah situasi daripada yang lainnya. Dalam hal ini Apthrope dan Gasper (1996 – dalam Sutton, 1999) menegaskan, bahwa analisis diskursus kebijakan harus menguji pengkerangkaan masalah yang akan ditangani dan hubungannya dengan penyiapan jawaban-jawaban yang ditawarkan. Dalam hal pembuatan solusi kebijakan, Apthrope (1996 – dalam Sutton, 1999) menarik aspek penting lain dari penggunaan bahasa dalam pembuatan kebijakan. Ia menganalisis berbagai dokumen kebijakan tertulis dan menekankan cara kebijakan di tuliskan terkait kegiatan pemecahan masalah agar diperoleh sejumlah langkah pemecahan yang jelas. Digambarkan dimana dokumen menata secara jelas apa-apa yang “yang tak terelakan harus dilakukan”, apa-apa “sebagai alasan” dan tidak dapat dinegosiasikan atau untuk ditawar-tawar. Kebijakan yang mengklaim untuk dicontoh dalam beberapa cara ”terwakili dalam bahasa yang dipilih terutama untuk menarik dan membujuk salah satunya. Hal ini biasanya tidak mengundang atau menerima bantahan, terutama ketika sikap moral tertinggi yang diambil, melainkan oleh setiap trik dan kiasan, yang cirinya bersifat tidak dapat dibantah” (Apthorpe dan Gasper 1996 – dalam Sutton, 1999) 5. Analisis Diskursus dan Kerangka Pikir Dalam pengamatan Hawitt (2009) policy-discourse-ina-plus ak.doc, sebagaimana juga dijelaskan Arts dan Buizer (2009) ada banyak aliran dari analisis diskursus yang mencakup beragam pendekatan metodologis. Menurutnya, beberapa analis yang meneliti bidang-bidang kebijakan publik telah mengembangkan mode-mode pelaksanaan analisis diskursus yang diinspirasi
21
oleh ide-ide Foucault tentang diskursus dan kekuasaan, sebagai sebuah jalan untuk memahami berbagai dinamika proses-proses politik. Ia lalu secara ringkas melacak berbagai pendekatan yang berbeda yang telah dilakukan para analisis kebijakan publik yang terinspirasi Foucault, menata sifat-sifat bahwa berbagai pendekatan itu memiliki poin-point penting dan perbedaan secara umum. Selain itu ia juga mengeksplor atau menggali berbagai implikasi dari penerapan analisis diskursus atas proyek-proyek penelitian dalam bidang studi kebijakan pedesaan, untuk menggambarkan bagaimana berbagai pandangan baru dapat diperoleh melalui sebuah pendekatan analisis diskursus. Sutton (1999) memastikan bahwa analisis diskursus diposisikan penting dalam pendekatan antropologi, sosiologi dan politik. Disebutkan, analisis diskursus merupakan upaya untuk memahami, memecah dan mendekonstruksi diskursus sehingga perspektif yang diangkat kedalam proses pembangunan dapat dipahami. Analisis diskursus bantu mencari pendekatan alternatif dalam penyelesaian masalah kebijakan.
Apthorpe (1986 – dalam Sutton, 1999)
misalnya, menyebutkan ’selalu saja ada alternatif pilihan lain, dimana beberapa diantaranya mungkin tetap dipertimbangkan lagi, bahkan dari beberapa hal lain yang telah ditolak sebelumnya karena alasan tertentu. Jadi mendekonstruksi diskursus untuk tujuan yang konstruktif. Ada juga upaya ambisius untuk menganalisis evolusi historis diskursus, sebagaimana dikatakan Escobar (1995 – dalam Sutton, 1999) antara lain dengan menguraikan struktur sosial mereka, dan mencurahkan berbagai ide yang mereka wakili. Lebih lanjut Sutton (1999) mengerangka pengertian analisis diskursus kedalam dua keadaan. Pertama, saat yang dimaksudkan adalah cara berpikir dan cara berargumentasi yang melibatkan aktivitas politik penamaan dan pengkelasan, maka analisis diskursus coba mengeksplisitkan nilai-nilai dan idelologi-ideologi yang muncul secara implisit dalam diskursus. Kedua, bila yang dirujuk adalah dialog, bahasa, dan percakapan, maka analisis diskursus berhubungan dengan analisis bahasa yang digunakan dalam pembuatan kebijakan; misalnya penggunaan pelabelan dalam berbagai diskusi kebijakan,
22
seperti telah disebutkan di atas, yakni ”petani”, ”miskin desa”, atau ”miskin tanah”. Sementara Hawitt (2009) menjelaskan secara historis, bahwa tradisi analisis diskursus telah ber-evolusi yang bersandar pada berbagai teori sosial, seperti Laclau, Mouffe, Bourdieu dan Foucault. Menurutnya, dan juga dijelaskan Arts dan Buizer (2009) gagasan Foucault tentang diskursus telah digunakan oleh para analis dari berbagai disiplin ilmu. Selanjutnya ia menjelaskan, bawa Analisis Diskursus Kritis (CDA) yang dikembangkan oleh Fairclough (1995) dan lainnya (misalnya van Dijk, 1997) dalam tradisi analisis
diskursus
linguistik,
diskursus
dipahami
dari
teks
dan
komunikasi/berbicara, dengan pemahaman bahwa diskursus dibentuk oleh praktek-praktek dan interaksi sosial. C. Diskursus Kelestarian 1. Akar Diskursus Konsep dan istilah kelestarian berangkat dari berkembangnya diskursus ”pembangunan berkelanjutan” (PB) sebagaimana dicatat oleh Kaivo-oja et al (Tanpa Tahun – sustainability-advanced-analyisis.pdf). Akar dari diskursus PB sebagai isu yang dikenali secara mendunia adalah pengembangan hasil dari konferensi pertama PBB tentang ”Manusia dan Lingkungan” di Stockholm pada 1972 dan dari beberapa studi-studi awal yang begitu berpengaruh (lihat misalnya Carlson 1962, SCEP 1970, Meadows et al 1972). Konsep PB itu sendiri pertama kali menjadi terkenal dalam dokumen World Conservation Strategy yang diterbitkan the World Conservation Union pada 1980 (IUCN 1980). PB dibahas dan dielaborasi secara menyeluruh oleh Komisi Lingkungan dan Pembangunan PBB pada 1987 dalam sebuah laporan yang disebut ”Our Common Future” (WCED, 1987). Tisdel dan Roy (1996PR-GOVERNANCE-SFM.PDF) dalam menjelaskan hubungan tata-kelola dan property rights (PR) menegaskan bahwa kedua hal yang dijelaskan itu saling terkait erat (closely intertwined) dan memengaruhi pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Dalam pemahaman mereka, para ekonom telah cukup lama menyadari pentingnya kedua hal itu
23
untuk memastikan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan kesejahteraan ekonomi. Dalam ilustrasinya Tisdel et al (1996) menekankan bahwa Adam Smith jelas-jelas meyakini bahwa kedua hal dimaksud (PR dan tata-kelola) merupakan langkah awal untuk menjamin kesejahteraan ekonomi negara. Disebutkan, bahwa sekalipun istilah PB tidak begitu populer di zaman Adam Smith, tidak diragukan bahwa dia dan para kawanan ekonom ternama dimasanya, peduli dengan cara mencapai pembangunan dan keberlanjutan dari capaian pembangunan itu. Tisdel et al (1996) mengambil contoh keterkaitan kerja-kerja David Ricardo, Karl Marx dan Stuart Mill. Marx, katanya, peduli atas keberlanjutan sistem pasar kapitalis, sementara Ricardo dan Mill peduli pada cara mengaitkan pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan sumberdaya lahan yang terbatas yang akan membatasai pertumbuhan ekonomi. Ricardo dan Mill bahkan peduli bahwa pertumbuhan ekonomi mungkin tidak akan berlanjut sehingga sistem ekonomi akhirnya akan sampai pada keseimbangan dimana mayoritas populasi hidup pada tingkat subsisten. Dalam keyakinan Tisdel, kebanyakan ekonom, kecuali Marx, berasumsi bahwa sistem private property rights (pada gilirannya) akan berlaku; tanpa (perlu) secara khusus menelaah pengaruh property rights atas kegiatan ekonomi. Etos atau jiwa PB, menurut Kaivo-oja et al (tt), telah disepakati dan mendapat konfirmasi berbagai negara pada Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan PBB (UN, 1993) di Rio de Janeiro pada 1992. PB diekspresikan secara garis besar sebagai sebuah etos dalam sebuah laporan yang disebut Brundtland Report, yakni bahwa ”manusia memiliki kemampuan untuk menjamin bahwa pemenuhan kebutuhannya saat ini tidak mengancam kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri” (WCED, 1987). Dari diskursus selanjutnya, pengertian PB dikonstruksi dalam tiga dimensi: ekonomi, lingkungan dan sosial-budaya. Dalam dimensi lingkungan, PB merujuk pada adaptasi perekonomian dan teknologi atas kendala-kendala dan tantangan lingkungan. Dimensi sosial merujuk pada perlunya memberi perhatian pada penciptaan kesejahteraan bagi keadilan
24
sosial dan solidaritas global daripada kepada isu profit para pemegang saham. Berbagai kebijakan PB, dengan begitu, dipandang harus memberikan prioritas bagi mereka yang miskin, dan untuk mencapai keadilan yang lebih baik, baik dalam generasi (intra-generational equity) maupun antar generasi (intergenerational equity).
Kaivo-oja et al (tt) lalu merinci etos PB kedalam empat pilihan utama, yakni (1) Memerangi kemiskinan, beragam kerugian dan kondisi ekonomi yang tidak seimbang, terutama di negara berkembang; (2) Menghentikan pengurasan sumberdaya dan kerusakan lingkungan dan menerima kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan sebagai sebuah standar kualitas dalam urusan manusia dan kemanusiaan, (3) Mengamankan bagi generasi mendatang kesempatan yang sama dalam hal kesejahteraan dan kebebasan memilih sebagaimana kita nikmati, (4) PB adalah sebuah proses interaksi dalam tiga dimensi yang memberikan sebuah masa depan manusia yang adil dan setara secara sosial, lestari secara lingkungan maupun ekonomi serta secara politik dan cultural bebas dan inovatif.
Dalam sebuah dunia yang serba terbatas, seperti yang kita miliki, dimana populasi manusia diduga dua kali lipat sementara kehilangan dan kerusakan modal alam dalam kondisi (terus) meningkat, menurut Kaivo-oja et al (tt) tantangannya kemudian adalah tingkatan akumulasi pengetahuan. Bila berada dalam keadaaan tidak sinkron dengan masing-masing sumberdaya lainnya, sungguh akan menjadi kendala bagi upaya memenuhi berbagai kebutuhan dasar bagi semua, baik secara periodik maupun spasial. Pada dasarnya, berangkat dari opsi-opsi utama pada etos di atas, (kehidupan) manusia merupakan sebuah evolusi bersama alam dalam menuju masyarakat global yang berkelanjutan berdasar pengembangan kearifan dan pengembangan pengetahuannya; atau sebuah fragmentasi persaingan dari masyarakat dan meruntuhkan sistem pendukung kehidupan – bahkan dalam kasus terburuknya – menghilangkan peradaban. Pilihannya terutama adalah persoalan etika dan
25
sosial budaya, dan di tempat kedua, barulah persoalan yang bersifat teknis dan ekonomis (Malaska, 1971, 1972).
2. Pendekatan Pembangunan Berkelanjutan (PB) Kaivo-oja et al (tt) menganggap pengembangan PB sebagai sebuah arah perubahan dan ini penting untuk dapat memonitor bila sebuah arah pembangunan yang tepat telah ditemukan dan dipelihara. Dari banyak pustaka ia menghimpun sejumlah pendekatan PB, seperti – beberapa yang paling penting – dikemukakan berikut ini. Pendekatan Hick. Pendekatan ini berangkat dari keyakinan bahwa teori pertumbuhan neoklasik telah menyatu dalam kendala-kendala sumberdaya alam dalam doktrin ekonomi (Hicks 1946, Page 1977, Solow 1974 dan Hartwick 1977). Menurut pendekatan ini ide tentang kemajuan atau keberhasilan dinyatakan sebagai konsumsi barang (dan sumberdaya alam) yang tidak menurun dari waktu ke waktu (non-declining consumption). Pendekatan ini dapat dianggap sebagai sebuah penajaman metafor dari PB, menggantikan konsep PB yang dikendala oleh pertumbuhan (Cassier 1946, 1985). Akibatnya dari kepedulian pokoknya ini PB dinyatakan lebih sebagai efisiensi antar-generasi daripada kesempatan yang setara (equal opportunity). Menurut pendekatan ini, konsumsi yang tidak-menurun menurut waktu mungkin saja terjadi, bahkan untuk sebuah kasus perekonomian yang hanya memanfaatkan sumberdaya tak dapat pulih (misal minyak) dalam prosesproses ekonominya. Hartwick (1977) memperlihatkan bahwa sejauh sediaan modal (stock of capital) tidak menurun menurut waktu, konsumsi yang tidakmenurun adalah mungkin. Dalam term teori, sediaan modal dapat dibuat konstan dengan menginvestasikan ulang semua hasil dari ekstraksi sumberdaya alam yang tidak dapat pulih kedalam modal buatan manusia (Hotelling 1931, Kasanen 1982). Mengikuti aturan ini, karena sediaan minyak (salah satu modal alam) berkurang, maka sediaan modal-manusia dibangun untuk menggantikannya. Hasil ini sangat penting untuk membangun ide baru dari ekonomi PB. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi yang kuat tentang dimungkinkannya substitusi antara modal alam dan modal manusia.
26
Pendekatan London. Ini pendekatan berbeda yang menurut Kaivo-oja et al (tt) dikerangka untuk memecahkan masalah keterbatasan manfaat dari substitusi ke kelestarian antara modal alam (Kn) dan modal buatan manusia (Km) (Pearce et al 1990, Klaases and Opschor 1991, Pearce and Turner 1990). Menurut aliran ini beberapa substitusi adalah mungkin antara beberapa elemen dari Kn dan Km, sementara berbagai elemen lainnya dari Kn memberikan hanya jasa-jasa yang tidak dapat disubstitusi bagi perekonomian. Sebagai contoh, ada beberapa spesies tertentu yang harus dilindungi (Turner 1993). Pertanyaan strategis yang penting disini adalah: berapa banyak Kn harus dilindungi? Tiga kemungkinannya: (1) keseluruhannya pada level yang ada, (2) level itu konsisten dengan memelihara elemen-elemen kritis dari Kn, atau (3) jumlah tertentu di antaranya. Problem penting dari pendekatan ini adalah keharusan berasumsi bahwa kita dapat mengukur nilai dari Kn kapan saja. Dalam prakteknya, sulit juga untuk mengukur elemen-elemen berbeda dari Kn dalam satuan fisik dan moneter. Dengan bantuan analisis aliran materi, beberapa
aspek
dari
Kn
telah
dianalisis.
Van
Pelt
(1993)
telah
mengidentifikasi masalah lain terkait konsep sediaan modal alam yang tetap. Ada beberapa pertanyaan terkait agregasi spasial: diantara area geografis mana kita harus pertahankan sediaan konstan? Satu solusinya adalah bekerja dengan data agregasi yang tidak begitu banyak dan lakukan analisis beragam elemen Kn secara terpisah. Namun masalah lain muncul saat tingkat perubahan intrinsik alam diperhitungkan. Pengaruh manusia harus diukur atas tingkat alami perubahan. Alam berubah dari waktu ke waktu. Setidaknya dalam beberapa kasus berbagai laju perubahan ini penting bagi kehidupan yang terus menerus, karena hidup beradaptasi dan bergantung pada alam. Dengan menganggap bahwa persoalan agregasi dari modal alam dapat dipecahkan sedemikian rupa, pendekatan ini mengusulkan aturan bagaimana mencegah deplesi modal alam dibawah beberapa poin dari tingkat tetap yang disyaratkan. Aturan ini berdasarkan pada diskonto nilai moneter dari dampak atau dukungan lingkungan, apakah bersifat biaya, atau manfaat. Dengan begitu,
keseluruhan
PB
direduksi
menjadi
sekedar
perekonomian; kelestariannya sendiri tetap tak terpecahkan.
ekonomi
dan
27
Pearce dan Aktinson (1995) terus mencoba mengembangkan berbagai indikator dan ukuran PB. Definisi yang diterima begitu luas, dalam pengakuan Pearce dan Atkinson (Kaivo-oja et al, tt) adalah pembangunan ekonomi dan sosial per kapita dari waktu ke waktu. Masalahnya, apakah hal itu diukur secara sempit (misal PDB per kapita) atau secara luas (dalam bentuk kesejahteraan ekonomi seperti IPM, kesehatan dan pendidikan dsb). Saat ini kebanyakan peneliti akan lebih suka memilih kriteria yang lebih luas sebagai ukuran yang dianggap relevan. Dalam hal ini Pearce dan Atkinson menambahkan hal penting lain untuk kelestarian, yakni bahwa modal suatu negara seharusnya tidak menurun/berkurang dari waktu ke waktu. Konsep modal yang digunakan mereka sangat luas, termasuk modal fisik, modal manusia dan modal alam. Keluasan konsep modal ini, menurut Pearce dan Atkinson (1995) pernah dikenalkan Orio Giarini, yang disebutnya sebagai ”warisan”, dalam sebuah laporan kepada Club of Rome pada 1978. Aturan terkait apa yang disebut Pearce dan Atkinson sebagai sediaan modal alam yang tetap, memiliki dua varian: aturan terkait kuat dan lemahnya kelestarian. Lemahnya kelestarian terjadi saat sediaan modal total – fisik, manusia, dan alam – tidak berkurang dari waktu ke waktu. Sebuah perekonomian adalah lestari saat tabungannya melebihi depresiasi dari modal alam dan modal manusianya. Dalam varian ini, pembangunan lestari bahkan bila satu komponen (misal modal alam) menurun, yang membuat sediaan modal total tidak berkurang. Agar ini menjadi kriteria yang berguna, maka penting bahwa elemen yang berbeda dari sediaan modal dapat saling menggantikan. Misalnya, bila sebuah kehilangan satu ekosistem tertentu mampu dikompensasi oleh sebuah peningkatan dalam pengetahuan manusia. Artinya, berbagai kehilangan ekonomi dan lingkungan terkait ekosistem tadi lebih dari sekedar setimpal oleh manfaat dalam (peningkatan) modal manusia, sejauh stabilitas dan kelenturan sistem secara keseluruhan tidak tertekan dalam proses substitusi. Varian kedua, kelestarian yang kuat, mengupayakan modal lingkungan (atau modal alam) sebagai tempat khusus. PB dicapai, dalam pengertian yang kuat, bila secara khusus sediaan modal lingkungan negara tidak menurun.
28
Pearce dan Atkinson (1995) mengemukakan bahwa seseorang mungkin saja memodifikasi ketentuan ini. Beberapa bagian dari sediaan modal agaknya menjadi begitu penting, yakni menyediakan jasa-jasa lingkungan yang tak ternilai dan tidak tergantikan bagi kegiatan ekonomi. Bila diistilahkan sebagai modal alam yang kritis, lalu versi modifikasi dari versi PB yang kuat mengharuskan bahwa pembangunan tidak mengakibatkan sediaan modal alam yang kritis menurun menurut waktu. Pearce dan Atkinson menilai pandangannya atas kelestarian dengan data beberapa negara, dan memaparkan bahwa Finlandia adalah sebuah perekonomian yang lestari dalam pemahaman yang lemah, tidak kuat (Pearce dan Atkinson 1995) 3. Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari MacCleery 1 [sustainability-forest-definition.doc] menegaskan bahwa banyak usaha yang telah dan sedang ditempuh untuk mendefinisikan kelestarian hutan atau pengelolaan hutan lestari. Ia yakin, bahwa pengelolaan hutan lestari merupakan sub-set dari PB. Menurutnya, ada setidaknya lima hal penting dalam upaya pendefinisian – baik kelestarian (ekosistem) hutan, maupun pengelolaan hutan lestari: (1) perlu contoh nyata penerapannya, (2) perlu memahami peran dari nilai-nilai kemanusiaan, (3) perlu pendekatanpendekatan yang berorientasi kemanusiaan, (4) perlu pertimbangan skala ekonomi dan sosial, dan (5) paham akan ”self sustaining”. Dalam refleksinya MacCleery merinci posisi pentingnya kelima poin dimaksud sebagaimana disarikan berikut ini. Definisi ”kelestarian” dan aksioma ekosistem itu dibincangkan lebih di tataran akademis, daripada aplikasinya di dunia nyata. Sebaliknya, definisi perlu disertai dengan teladan-teladan yang nyata sehingga dapat dirasakan bahwa sebuah ekosistem (hutan) memenuhi atau menyimpang dari ide kelestarian. Sebagai misal, akankah sebuah ekosistem hutan di suatu tempat yang ditebang secara berlebih dan dibakar pada akhir abad 19, tetapi kemudian pulih, disebut lestari berdasar sebuah definisi tertentu? Apakah 1
Doug MacCleery saat melakukan refleksi atas artikel Dave Iverson dan Zane Cornett “A Definition of Sustainability for Ecosystem Management”. (http://forestry.about.com/gi/o.htm?zi=1/ - tulisan lepas, diakses 8 November 2010)
29
ekosistem (hutan), karenanya, memiliki integritas? Lalu, bagaimana dengan hutan-hutan di Skandinavia yang telah dikelola manusia setidaknya selama enam ratus tahun yang lalu? Tentu saja, kegiatan manusia telah menghabiskan keseluruhan atau kebanyakan suksesi hutan dan telah membuang berbagai sifat spesies dari hutan alam – sebuah kehilangan komponen kekompleksan ekosistem hutan. Namun, dari pandangan lain, berbagai hutan itu telah memperoleh
kembali
aspek-aspek
kompleksitas
ekosistemnya
yang
sebelumnya hilang tadi, sebagaimana dibuktikan oleh pulihnya populasi banyak spesies hidupan liar dan berkembangnya komponen-komponen hutan yang matang. Dalam banyak pandangan, hutan-hutan semacam itu tampak lestari bagi tujuan pengelolaan yang mereka lakukan saat ini, dan juga memiliki kapasitas untuk dikelola untuk tujuan-tujuan lainnya di masa depan, bila memang diperlukan. Pertanyaan MacCleery kemudian, bagaimana ini semua dipertimbangkan dalam sebuah definisi ”kelestarian hutan”? Banyak upaya pendefinisian kelestarian berfokus sebagian besar pada konsep-konsep dan kriteria biologis. Diskursus kesehatan ekosistem dan keanekaan hayati biasanya dituangkan dalam jargon para ahli biologi, ahli lingkungan dan para profesional sumberdaya alam. Yang biasanya tidak terekspresikan adalah sekumpulan nilai sosial dan budaya penting yang justru mereka jadikan dasar. Manusia kadang lupa bahwa ekosistem (hutan) itu bebas nilai – mereka ada apa adanya. Kelestarian hutan dan kesehatan ekosistem keseluruhannya merupakan konstruksi manusia. Adalah manusia yang mendefinisikannya dan menganggapnya bernilai itu. Sementara alam menyediakan konteks biologi dan fisik, adalah manusia yang kemudian memutuskan apa yang harus dicari agar lestari dan dengan biaya berapa. Namun, tidak semua manusia memberikan nilai yang sama baik kepada hutan maupun keanekaan hayati. Lihat saja posisi Amerika dan negara maju lainnya yang hari ini mempertanyakan kondisi hutan hujan tropis di negara berkembang seperti Brazil dimana hutan-hutan itu berada. Saat ini muncul sebuah diskursus intelektual yang menghebat yang sedang berlangsung antara mereka yang mengadvokasi apa yang disebutnya pendekatan-pendekatan ”biocentric” kepada para pengambil keputusan, sebagai lawan atas
30
pendekatan-pendekatan ”anthropogenic”. Sebagai sebuah polemik ini menarik, karena menurut MacCleery dalam banyak hal ini serupa dengan diskursus pilosofis yang terjadi pada abad pertengahan, tentang berapa malaikat dapat menari di atas sebuah peniti atau lencana. Artinya, harus ada kekuatan untuk memutuskan apakah kita menjadi bagian atau terpisah dari dunia nyata. Sebuah pendefinisian kelestarian hutan perlu menimbang ini semua. Terkait pendekatan yang berorientasi kemanusiaan, ada satu pendapat Renh sebagai alternatif. Melalui bukunya, ia sebetulnya menjawab ”Our Common Future” yang disiapkan World Commission on Environment dan Development pada 1987 (biasanya disebut ”Brundtland Report”) yang mendefinisikan PB sebagai ”memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya”. Dalam pencermatan MacCleery, Renh setidaknya mendaftar tiga definisi ”kelestarian”, yakni (1) ”pembangunan dengan pertumbuhan yang tidak melewati jauh kapasitas daya dukung lingkungan”, (2) sebuah kondisi kesejahteraan per kapita lintas generasi yang tidak menurun, (3) jumlah konsumsi yang dapat berlanjut tanpa batas, tanpa merusak sediaan alam – termasuk sediaan modal alam. Dalam pandangan MacCleery ketiga usulan Renh ini, mencerminkan keterkaitan dengan kemanusiaan yang lebih kuat, daripada definisi yang ditawarkan ”Brundtland Report”. Bagi MacCleery yang penting
dalam
upaya
pendefinisian
kelestarian
adalah
bagaimana
mempertemukan sisi alam dan sisi kemanusiaan dalam sebuah rumusan persamaan. Hari-hari ini sering ditunjukkan bahwa ekosistem (hutan) harus dipelajari pada skala atau tingkatan yang berbeda – dari tingkat situs, ke bentang darat, ke tingkat regional, nasional dan global. Namun, bagi MacCleery yang perlu juga menjadi diskursus adalah fakta bahwa saat ini berbagai perekonomian dan masyarakat manusia berkait juga dengan berbagai skala. Berbagai keterkaitan itu memiliki beragam konsekwensi lingkungan yang juga harus dipertimbangkan
dalam
menilai
kelestarian
hutan.
MacCleery
lalu
mencontohkan kebijakan pengurangan pemanenan kayu di Pacific Barat Laut
31
untuk melindungi populasi burung hantu (spotted owl) yang pada akhirnya tidak menghilangkan dampak dari pemanenan kayu. Kebijakan ini hanyalah memindahkan burung itu ke ekosistem lain. Sementara, kebijakan ini juga menyebabkan meningkatnya harga konsumer untuk produk-produk kayu dan meningkatnya konsumsi barang pengganti kayu, seperti rangka baja, yang membutuhkan lebih banyak energi untuk memproduksinya daripada kayu, sehingga mengeluarkan lebih banyak CO2 ke atmosfir. Kita dengar banyak retorika akhir-akhir ini tentang perlunya berpikir secara holistik – bahwa segala sesuatu itu terkoneksi. Dengungnya adalah ”think globally act locally”. Dalam pemahaman MacCleery dengungan ini menerap secara bersamaan baik kepada aliran dagang dan ekonomi maupun kepada ekosistem alam. Namun yang kita lihat adalah banyak orang bertindak secara lokal dan mengabaikan hal-hal yang sifatnya global. Banyak dari retorika saat ini terkait pengelolaan ekosistem pada hutan alam tertelan akibat ide ini. Kita sebenarnya mengabaikan implikasi-implikasi atas lingkungan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan alam. Itu tentu bukanlah pengelolaan ekosistem (hutan) yang seharusnya. Kecuali dan sampai konsep tentang kelestarian benar-benar meliputi dimensi-dimensi kemanusiaan global dan nasional ini, maka apapun definisi kelestarian pastilah ”terbatas” dan ”sempit”. Seringnya penggunaan kata ”self-organizing” dalam merujuk ke ekosistem, disengaja ataupun tidak telah meningkatkan keseluruhan rentang berbagai citra dan konsep kelestarian. Misalnya pandangan Clemential atas alam sebagai ”superorganism”, yakni ide tentang bagaimana alam mencapai satu keseimbangan bentuk tetapnya, yang imbang dengan ”klimaks” kelompok tanaman (self-sustaining dan self-replicating), menjadi ”tujuan” akhir dan norma dari ”nature’s grand design”. Dalam dosis tertentu, bahkan ekosistem yang begitu rusak sekalipun akan memiliki beberapa dimensi yang dapat disebut sebagai self-organization. Pertanyaan MacCreely lalu, bagaimana seseorang menentukan kapan sesuatu telah menjadi tidak lestari? Lagi, ini kembali ke berbagai tujuan dan nilai-nilai kemanusiaan terkait tentang apa yang ingin dilestarikan dari waktu ke waktu. Apakah motivasi kita mencerahkan kepedulian sendiri (self-interest), atau satu perasaan bahwa
32
semua bentuk kehidupan memiliki hak untuk hadir, kita lah yang menentukan apa yang akan kita cari agar lestari (self sustaining). Untuk mendefinisikan ”kelestarian” secara abstrak agaknya hampir mustahil. Satu dekade lebih lalu Marion Clawson bertanya, ”Hutan untuk siapa dan untuk apa?”. Berbagai pertanyaan yang sama seperti itu juga penting dalam mendefinisikan kelestarian. Sebelum seseorang dapat mendefinisikan, maka ia haruslah bertanya, ”Kelestarian, untuk siapa dan untuk apa?” Begitu pertanyaan itu diangkat, maka tugas menjadi lebih bisa dikelola (manageable), meskipun masih tetap rumit. McCleery curiga bahwa sementara berbagai pertanyaan itu masih relevan hari ini, jawaban kita sekarang mungkin berbeda dengan jawaban saat Clawson pertama kali bertanya. Dan memang belum atau tidak ada konsensus pula untuk itu. Apa mungkin untuk mengembangkan berbagai strategi rasional untuk kelestarian hutan yang melampaui banyak dekade, atau bahkan abad, ketika konsep-konsep kemanusiaan tentang apa yang ingin dilestarikan begitu bersifat ilusi? Kapan pertumbuhan populasi perkotaan begitu terpisah dari pengetahuan tentang apa yang melestarikan mereka secara ekonomi, dan akibat-akibat lingkungan dari pilihan konsumsi mereka? Dan kapan pula dunia ini begitu rumit? Terkait berbagai pertanyaan ini, MacCleery sampai pada tiga poin kesimpulan: Pertama, memahami masa lalu dan memahami bagaimana sampai pada hari ini. Kini begitu banyak pikiran kolektif yang tidak beres pada saat memahami sejarah manusia dan alam dari ekosistem dan peran dalam melestarikan komunitas manusia. Kedua, kuasai data dan informasi yang lebih baik, melalui riset dan inventarisasi hutan, untuk menilai dimana kita hari ini dan untuk membantu kita mengerti akan implikasi-implikasi biologi dan sosial dari berbagai pendekatan alternatif kepada kelestarian hutan pada beragam tingkatan. Ketiga, fleksibel tentang masa depan dengan tetap merespon informasi baru – sering disebut sebagai ”adaptive management” dengan paradigma pengelolaan ekosistem. Namun, harus diwaspadi, yang paling rawan disini adalah merubah ide manusia tentang nilai dan tujuan kelestarian – apa yang
33
dilestarikan. Mengkonstruksi konsensus sosial global tentang nilai/tujuan ini merupakan satu tantangan besar tersendiri. Sementara itu Ruitenbeeck dan Cartier (1998) menggiring kelestarian hutan pada pemahaman beberapa poin penting, yakni (a) rasional bukan sekedar efisiensi ekonomi, menuju keadilan dan kelestarian ekonomi; (b) tetap menimbang kebijakan ekonomi dan kelembagaan yang memengaruhi tegakan – pada saat fokus pada tegakan dan pohon; (c) memerhatikan betul sediaan dan aset sumberdaya hutan (d) siap atas hal-hal tak terduga dan mengupayakan pencegahan dalam pengelolaan hutan; dan (e) rancangan kelestarian tetap sederhana untuk memudahkan penilaian dan penyesuaian. Secara ringkas poin-poin ini menegaskan bahwa kelestarian harus diletakkan dalam dimensi-dimesi efisiensi dan keadilan dengan mengkalkulasi hal-hal diluar ”kotak” kehutanan, khususnya terkait isu-isu kebijakan dan kelembagaan. Dalam pandangan Coase (1960) efisiensi ekonomi adalah efisiensi dari sebuah alokasi ekonomi dengan kehadiran eksternalitas, dimana eksternalitas dapat dipertukarkan saat tidak ada biaya transaksi (zero transaction cost). Maka menurutnya, proses tawar menawar yang berlangsung dalam kondisi demikian akan menuju pada hasil yang efisien, terlepas bagaimana tatanan awal dari property rights. Artinya, proses internalisasi eksternalitas perlu aturan langsung, misal berupa pajak. Namun demikian, ia menegaskan bahwa sampai disini kelestarian hutan baru memenuhi unsur distribusi pendapatan optimal, belum mencakup sifat intrinsik atau karakterik inherent SDH dan kesempurnaan property rights. Karakteristik inherent dalam pandangan Schmid (1987) mencakup: penggunaan yang tidak kompatibel (incompatible use), skala ekonomi (economies of scale), dampak bersama (joint-impacts), biaya transaksi (transaction costs), kelebihan (surpluses), dan fluktuasi pasokan-permintaan (fluctuating supply and demand) - sifat situasional, persoalan fisik dan biologi yang melekat pada barang, bervariasi akibat perubahan teknologi. Dengan kata lain ia menekankan perlunya menimbang ”situasi” dari sisi atribut barang yang
berpengaruh
signifikan
–
ia
menyebutnya
sebagai
”sumber
34
interdependensi”. Dalam kalkulasinya, biaya transaksi tinggi, cenderung tidak lestari. Dengan begitu, pengendalian sumber interdependensi penting untuk menekan biaya transaksi, sekaligus mencapai kelestarian. Sejalan dengan Coase (1960), Libecap (1999) menguatkan bahwa masyarakat dan tatanannya perlu property rights untuk mengontrol akses dan aliran
manfaat
sumberdaya,
terutama
untuk
menghindari
hilangnya
sumberdaya tersebut. Menurutnya, tanpa property rights sumberdaya akan terhambur dalam persaingan kontrol, dan kegiatan-kegiatan yang bersifat pemangsaan serta menekankan pada pemanfaatan jangka pendek. Dengan begitu, property rights penting bagi pencapapaian kelestarian, karena di dalamnya diatur hubungan perilaku yang memiliki sanksi antara para agen ekonomi dalam mengatur akses dan pemanfaatan sumberdaya. 4. Kondisi Pemungkin bagi Kelestarian Hutan: Sintesis Teoretik Dari mulai uraian akar diskursus kelestarian sampai konsep kelestarian sebagaimana diuraikan di atas secara teoretik dapat dikerangka sebuah kondisi pemungkin bagi kelestarian sumberdaya hutan. Kondisi ini dapat dikerangka kedalam (1) penetapan tujuan, (2)
pemosisian para pihak, termasuk (3)
kejelasan siapa berbuat apa, (4) apa yang diatur, bagaimana hal tersebut masing-masing diatur, (5) bagaimana kinerja ditetapkan, serta (6) bagaimana kinerja dicapai. Sebagai sub-set dari PB, menurut MacCleery (tt), kelestarian sumberdaya hutan memikul tujuan ganda: (1) ekonomi pembangunan, khususnya memerangi kemiskinan, (2) lingkungan, terutama menghentikan pengurasan sumberdaya alam dan lingkungan, (3) keadilan-kesejahteraan lintas generasi, dengan memastikan berlangsungnya (4) proses-proses interaksi tiga dimensi: sosial-ekonomi-lingkungan. Tujuan ganda di atas menegaskan pengutamaan orientasi kepentingan publik atas nama pembangunan hutan dan kehutanan yang sekaligus menuntut pembagian peran, fungsi dan tugas – bahkan posisi – para pihak pemangku kepentingan. Hal ini menjadi titik berangkat bagaimana bangunan hubungan para pihak dikonstruksi. Orientasi kepentingan publik yang begitu dominan,
35
menuntut peran pemerintah untuk lebih konsentrasi sebagai regulator bagi komponen pemangku kepentingan hutan lainnya, memastikan hubungan antar komponen pemangku kepentingan dan hubungan mereka dengan sumber daya hutan itu sendiri dengan melibatkan keseluruhan para pihak pemangku kepentingan potential (potential benefeciaries). Lalu, bagaimana wujud agenda yang berkaitan dengan penghentian kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta keadilan-kesejahteraan lintas generasi ditetapkan, menjadi kondisi pemungkin yang juga penting bagi pencapaian kelestarian. Tuntutan pembagian peran, fungsi dan bahkan posisi para pemangku kepentingan pada hakekatnya adalah gambaran pentingnya upaya pemenuhan dua hal sekaligus, yakni (1) kejelasan dan ketegasan property rights, dan (2) dipertimbangkannya karakteristik inherent SDH dalam menata orientasi kepentingan publik dan menekan biaya transaksi. Bila dicermati, kedua hal ini pun merupakan upaya untuk mencapai efisiensi dan sekaligus keadilan antar generasi, dua dimensi kemana sejatinya kelestarian harus diletakkan. Uraian bagaimana kelestarian dan pencapaiannya harus dimaknai baik secara filosofis maupun operasional, sebagaimana dijabarkan di atas, pada dasarnya mengerucut pada perlunya para pihak pemangku kepentingan memastikan kerangka pemikiran sebagaimana telah ditawarkan Sfeir-Younis (1991) antara ”the forest first” atau ”the forest second”. Rincian sintesis teoretik ini selanjutnya dapat dilihat pada Lampiran 1. D. Metodologi 1. Kerangka Pendekatan Berangkat dari uraian kerangka konsep dan teori di atas, penelitian ini mengadopsi bentuk analisis kebijakan retrospektif (ex-post) Dunn (2000) yang fokus pada apa hasil-hasil aksi yang (telah) terjadi (empiris) dan kesenjangan (gap) yang ada – yang secara keseluruhan menggambarkan kualitas sebuah kebijakan dalam konteks tertentu (valuatif). Dengan adopsi ini, hasil analisis juga berupaya menawarkan kerangka baru, terutama terkait pembaruan aliran kerangka pemikiran dalam proses pembaruan pembuatan kebijakan dan perumusan masalah (normatif).
36
Asumsinya adalah, sebagaimana yang dikerangka Sutton (1999), bahwa pembuatan kebijakan, terutama implementasinya tidaklah linear, dan sebaliknya merupakan ”kekacau-balauan” (chaotic) dari serangkaian tujuan dan kejadian. Ia menganggap itulah sisi terbaik dalam memahami apapun kebijakan dan implementasinya. Sejalan dengan pengadopsian asumsi ini, penelitian ini menganggap bahwa (1) para pembuat kebijakan mendekati isu tidak selalu secara rasional untuk setiap tahapan pembuatan kebijakan, (2) tidak selalu mempertimbangkan keseluruhan informasi yang relevan, sehingga (3) bila kebijakan tidak mencapai tujuannya, kesalahan harus dialamatkan kepada kualitas kebijakan dan tidak hanya kepada kegagalan dalam pelaksanaannya seperti disinyalir Juma and Clarke (1995, dalam Sutton, 1999). Sebagai konsekwensi dari pengadopsian asumsi di atas, penelitian ini coba menerapkan analisis diskursus, sebagai salah satu bentuk penerapan multikonsep dan multi-disiplin yang tepat dalam mengurai ”kekacau-balauan” atau ”ketidak-linieran” sebagaimana telah disarankan Sutton (1999). Keyakinan Sutton ini berangkat dari telaahnya, betapa ilmu politik, sosiologi, antropologi, hubungan internasional dan pengelolaan bisnis memengaruhi proses pembuatan kebijakan dan coba membangun sebuah gambaran yang lebih besar dari proses pembuatan kebijakan. Sutton (1999) yakin, bahwa antropologi – seperti halnya juga ilmu politik dan sosiologi, berfokus pada diskursus pembangunan. Diskursus sendiri dipahami Sutton berfungsi menyederhanakan masalah-masalah pembangunan yang rumit. Sebagai konsep kedudukan diskursus lebih luas daripada narasi, karena ia berhubungan dengan cara berpikir, nilai-nilai dan berbagai pendekatan fundamental tentang berbagai isu; sementara, narasi lebih kepada satu masalah pembangunan tertentu yang lebih spesifik. Grilo (1997 – dalam Sutton, 1999), sampai pada posisi
bahwa
”diskursus
(itu)
mengidentifikasi,
membicarakan
dan
memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan”. Dengan berbagai pertimbangan di atas, penelitian ini menerapkan analisis diskursus dengan ciri pendekatan antropologi dengan fokus pada Kebijakan
37
Usaha Kehutanan di Hutan Alam Produksi di Luar Jawa. Pilihan ini lebih berlatar pertimbangan pragmatis dan substantif. Pragmatis, karena peneliti merasa telah cukup lama berkecimpung dalam dunia kehutanan, termasuk berpartisipasi secara intens dan praktis dalam beberapa proses konstruksi kebijakan kehutanan 2 . Pertimbangan substantif lebih karena peneliti menganggap penting untuk dapat menghasilkan materi dan argumen empiris penting dalam mempelajari kerangka pikir dari klaim-klaim ”capaian” usaha kehutanan dibalik diskursus yang berkembang. Fokus pada kerangka pikir lebih didorong karena pertimbangan bahwa kekeliruan kerangka pikir (akan) berakibat lebih fatal dari sekedar kerusakan sumbedaya alam itu sendiri. Penelitian ini sejalan dengan kerja Arts and Buizer (2009) yang menganalisis kebijakan kehutanan global sejak 1980an. Menurutnya, pengelolaan hutan lestari merupakan salah satu diskursus baru yang muncul di tataran global dalam tiga dekade terakhir, selain diskursus keanekaragaman hayati dan tata-kelola swasta. Namun, tidak seperti mereka, penelitian ini lebih banyak pada pilihan diskursus sebagai teks (texts). Disebut ”lebih banyak”, karena dalam beberapa hal analisis diskursus juga berlaku pula pada komunikasi empiris, kerangka (frame) dan praktek sosial, mengingat teks itu sendiri pada hakekatnya – ditarik dari penjelasan Arts and Buizer (2009) – tidak kepas dari sebuah konteks tertentu, yang dapat saja bersumber dari proses komunikasi empiris yang terjadi (communications), kerangka keyakinan (frame) maupun praktek-praktek sosial yang berkembang (social practices). Dengan komunikasi empiris demikian, analisis diskursus dalam penelitian ini pada dasarnya merujuk pula pendekatan analisis diskursus kritis yang diusung Fairclough dan juga van Dijk sebagaimana disebut Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009). Dalam praktek sosial yang sama, selain kerangka pikir, coba dipahami pula relasi kekuasaan dibalik diskursus, yang tidak lain, merupakan ide-ide Foucault tentang diskursus dengan kekuasaan sebagaimana dimaksud Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009) dan juga
2 Antara lain berkontribusi – melalui Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) – dalam penyiapan naskah akademik dalam rangka pembuatan draft naskah “tandingan” bagi draft UU Kehutanan, yang kini menjadi UU 41/1999 tentang Kehutanan; berkontribusi aktif dalam pembahasan terkait kebijakan levy and grant dan land grant college dengan para Staf Ahli Menteri Kehutanan; dan juga dalam pembahasan LOI bidang kehutanan, terkait lelang HPH, provisi sumberdaya hutan, dan dana jaminan kinerja (performance bonds).
38
Mills (1997). Selain relasi kekuasaan Foucault, dari diskursus yang sama coba dipelajari pula sejauh mana hadirnya dominasi atau bahkan hegemoni dalam pemikiran
Gramsci
sebagaimana
dimaksud
Rosengarten
(www.
Marxist.com) 3 Dalam penelitian ini kerangka teoretik kelestarian sebagaimana telah diuraikan di atas – dan rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 1 – digunakan sebagai alat bantu dalam menakar dan memahami diskursus yang telah terjadi terkait arah, tujuan dan orientasi kelestarian hutan dan kebijakan usaha kehutanan. Gambar 2 menujukkan kerangka pendekatan ini secara skematis.
Gambar 2 Kerangka Pendekatan 2. Bahan Empiris: Dokumen, Wawancara, dan On-Line Pooling Bahan empiris untuk penelitian ini terdiri dari dokumen tertulis, dokumen hasil wawancara mendalam dan hasil on-line polling sebagai pengayaan dan sekaligus verifikasi. Dokumen tertulis, terdiri dari peraturan perundangan, peraturan
turunannya
dan
beberapa
dokumen
terkait
lainnya
yang
keseluruhannya mengatur dan atau memiliki keterkaitan substantive dan 3 Disebutkan Rosengerten, bahwa beragam tafsir atas teori hegemoni Gramsci. Namun, teori itu merupakan sebuah teori politik paling penting abad XX yang diangkat Gramsci (1891-1937). Gramsci dipandang sebagai pemikir politik terpenting setelah Marx. Teori ini dibangun atas anggapan pentingnya pikiran atau ide, karena kekuatan fisik belaka dalam kontrol sosial politik tidaklah cukup. Gramsci memosisikan hegemoni sebagai satu bentuk supremasi satu kelompok atau beberapa kelompok atas kelompok lainnya. Agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, namun lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasi mereka. Inilah yang dimaksud Gramsci dengan “hegemoni”. Dengan begitu, hegemoni pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial-politik-ekomomi dengan kerangka yang ditentukan (Gramsci, 1976 dalam www.Marxist.com). (lihat juga www.averroespress.net ).
39
historis dengan kebijakan usaha kehutanan, termasuk di dalamnya sejumlah dokumen surat perjanjian kehutanan (forestry agreement) dan dokumen surat keputusan pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) dan IUPHHK-HA. Dokumen tertulis lainnya mencakup dokumen yang bukan merupakan peraturan perundangan, namun mengandung diskursus penting dan unsur historis yang relevan dengan dan memengaruhi isu kebijakan usaha kehutanan. Bahan empiris ini diperoleh dari berbagai sumber, terutama dari jajaran Kementerian Kehutanan, dan dipilah dalam kurun sebelum dan sesudah 1998 sebagaimana tampak pada Tabel 1. Tabel 1. Bahan Empiris yang digunakan dalam analisis Bahan Empiris Dokumen Peraturan Perundangan
Sebelum 1998 UU No. 5/67; PP 22/67; PP 21/70 (jo PP 18/75) Forestry Agreement (FA); SK HPH
Sesudah 1998 UU 41/99 PP 6/99; PP 34/2002 jo PP 6/2007 jo PP 3/2008, SK IUPHHK
Hasil wawancara berupa pandangan langsung para informan atau narasumber kunci yang mewakili kelompok-kelompok utama para pemangku kepentingan dengan usaha kehutanan, yakni kelompok birokrat, akademisi, praktisi usaha kehutanan, dan masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat. Dalam wawancara diangkat
sejumlah pertanyaan kritis yang disintesa dari hasil
telaah dokumentasi tertulis yang dituangkan dalam beberapa pointer pertanyaan terbuka 4 untuk menggali pandangan umum terkait relasi atas hutan alam, usaha kehutanan, kelestarian dan kebijakan usaha kehutanan. Wawancara pendahuluan dilaksanakan dalam Agustus-September 2010 di Jakarta, Sarolangun (Jambi), Pontianak, Sintang dan Putussibau (Kalimantan Barat). Wawancara pendahuluan fokus pada menghimpun masukan awal yang menguatkan penentuan kunci kebijakan (key policy milestone) terutama dari birokrat, praktisi usaha kehutanan dan beberapa konfirmasi dari masyarakat sipil yang ditemui. Wawancara lanjutan/mendalam dilaksanakan dalam kurun Februari-Mei 2011 di Jakarta, Bogor, Sarolangun (Jambi), dan Samarinda 4
Untuk beberapa kasus, pertanyaan diselipkan dalam perbincangan lain yang topiknya memiliki keterkaitan dan relevansi yang erat, misal pada saat dilakukan FLEGT-SP assessment sewaktu peneliti bekerja sebagai konsultan paruh waktu pada AGRECO G.E.I.E, Brussel; atau saat melakukan beberapa diskusi terfokus sewaktu peneliti menjadi research coordinator pada APSI Project, yang merupakan riset kolaborasi antara CSIRO-AUSAID-WB-Bappenas.
40
(Kalimantan Timur) dengan menghimpun pandangan langsung dari para pemangku kepentingan 5 dengan dipandu pertanyaan sesuai kelompok isu: Hutan Alam Produksi Luar Jawa, Usaha Kehutanan, Kelestarian dan Pengelolaan Hutan Alam produksi, dan Kebijakan Usaha Kehutanan (Lampiran 2). Hasil on-line polling 6
yang dilaksanakan via jaringan internet
diperlakukan sebagai upaya menguatkan dan memperkaya argumen empiris sekaligus
verifikasi
untuk
mengonfirmasi
kebenaran,
koherensi
dan
konsistensi terkait upaya implementasi kebijakan usaha kehutanan. On-line polling
dilaksanakan
dengan
memanfaatkan
Google-Form 7
yang
dilangsungkan dan ditebar di empat mailing-list sekaligus 8 selama sebulan penuh, dimulai 1 April 2011 dan ditutup 30 April 2011 jam 00.00. Daftar pertanyaan on-line polling merupakan versi singkat dari daftar pertanyaan yang digunakan dalam wawancara mendalam dengan kelompok isu yang sama. Screen shot dari format on-line polling dapat dilihat pada Lampiran 3. Berikut adalah tipologi para peserta on-line polling (Tabel 2) dan narasumber wawancara mendalam (Tabel 3) Tabel 2. Tipologi Peserta Internet On-line Polling Kelompok Stakeholders Masyarakat Sipil/NGO Birokrat Akademisi Praktisi Usaha Kehutanan Campuran(1)
% 38,10 19,05 9,52 9,42 14,28
Pengalaman (Th) 1-5 6-10 11-20 21-30 31 dan lebih
Catatan: (1) mengindikasikan diri lebih dari satu komponen stakeholders (2) saat pengisian polling
5
% 4,76 14,29 33,33 38,10 9,52
Domisili (2) Medan Bandarlampung Jakarta Bogor Yogyakarta Samarinda Pangkalan Bun Seattle, WA Hongkong Landskrona,Swedia Baton Rouge, LA Kyoto, JP
% 9,52 4,76 9,52 33,33 4,76 4,76 9,52 4,76 4,76 4,76 4,76 4,76
Karena alasan ketidak sesuaian waktu untuk temua muka, beberapa wawancara dilakukan via skype, yahoo-messenger, dan adapula via email. Daftar narasumber disajikan pada bagian lain. 6 Berupa informasi dan bukti fisik yang digali secara provokatif pro-active dari responden lain, termasuk yang di daerah/lapangan 7 Thanks to Google: https://spreadsheets.google.com/viewform?formkey=dGlqT2hSSXc2cGhkSTVoWVVxd0RDanc6MQ 8 Komunitas rimbawan (
[email protected] ), komunitas tenurial hutan (
[email protected]) , kelompok kerja keuangan kehutanan dan pencucian uang (
[email protected]), serta komunitas alumni kehutanan IPB (
[email protected]). Pemilihan keempat mailing list ini lebih didasarkan pada pengamatan dan keyakinan peneliti, bahwa keempatnya merupakan “kolam pengetahuan dan pengalaman” baik dari sisi empiris, praktis, historis, maupun akademis terkait isu kehutanan umumnya, dan usaha kehutanan khususnya.
41
Tabel 3. Tipologi para Narasumber yang diwawancarai Komponen Stakeholders Birokrat
Masyarakat Sipil/NGO
Posisi saat diwawancarai Mantan Menteri Kehutanan
Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Hubungan antar Lembaga Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Revitalisasi Industri Kehutanan Staf Khusus Menteri Kehutanan Peneliti Senior Bidang Kebijakan Kehutanan, Litbang Dephut Direktur Perencanaan Kawasan Hutan, Ditjen Planologi, Dephut Kasubdit Penataan Ruang Kawasan Hutan Wil II, Ditjen Planologi, Dephut Direktur Bina Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kawasan; Ditjen BUK Kasi Sarpras KHM pada Dinas Kehutanan Kab. Sarolangun, Jambi Direktur Eksekutif (Executive Director)
Catatan Era sebelum dan setelah 1998, masing-masing satu orang Mantan Ditjen BPK, Dephut
Mantan Staf Ahli Menteri Bidang lain Mantan Ditjen Planologi, Dephut Mantan Sekjen Dephut Mantan Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi
NGO nasional (2) dan NGO Internasional Indonesia Program (1) Specialist Pada Donor International Project Akademisi Dosen Fakultas Kehutanan (Jawa Dua orang Profesor, satu dan Luar Jawa) orang mantan dosen bergelar Master Praktisi Usaha Kehutanan Manager Camp di Unit UM di Kalimantan Timur Management anggota APHI Manager Perencanaan di Unit UM di Kalimantan Timur (1) Management dan Kalimantan Barat (1) keduanya anggota APHI Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI) Catatan: Contoh Transkrip Wawancara dapat dilihat pada Lampiran 15.
3. Metoda dan Prosedur Analisis Diskursus Dari bahan empiris yang telah terhimpun (Tabel 1) ditetapkan sejumlah bahan tertulis, terutama produk peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum usaha kehutanan, sebagai kunci kebijakan (key policy milestone) atau sebagai representasi output dari proses kebijakan usaha kehutanan saat itu (ex-post)
42
masing-masing untuk sebelum dan setelah 1998. Sedangkan data dan informasi terkait dengan kondisi, situasi dan kinerja usaha kehutanan dirangkum, disintesa dan diposisikan sebagai representasi output dari implementasi kunci kebijakan itu dan kebijakan turunannya dan atau penopangnya. Terhadap keseluruhan dokumen kunci kebijakan dilakukan telaah dokumen. Sebagai upaya klarifikasi atas hasil dan proses telaah dokumen ini dilakukan pula wawancara mendalam dengan para pihak pemangku kepentingan. Selain wawancara mendalam, untuk penguatan dan pengayaan argumen empiris, dilakukan pula online polling melalui internet. Sementara itu terhadap data dan informasi usaha kehutanan dilakukan pula sintesis untuk memotret (snapshot) sejauh mana kinerja usaha kehutanan selama kedua periode. Potret atau snapshot ini digunakan antara lain dalam menakar seberapa senjang (gap) antara realitas yang terpotret dengan tatanan kebijakan usaha kehutanan sebagaimana tertuang dalam dokumen kunci kebijakan. Aspek kelestarian, termasuk di dalamnya pemosisian hutan alam produksi digunakan sebagai penapis dalam menakar kesenjangan dimaksud. Secara skematik tahapan ini sebagaimana disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Prosedur Analisis Diskursus
43
Analisis diskursus berupa analisis isi dan narasi dilakukan saat melakukan telaah dokumen tertulis maupun hasil percakapan atau wawancara dan hasil polling. Telaah dokumen diawali melalui penyiapan ikhtisar 9 disusul dengan analisis isi dan narasi. Analisis isi merujuk pada Holsti (1969) berupa penarikan inferensia atau simpul atau pokok-pokok pikiran. Dalam analisis isi ini, dilakukan pengkodean (coding) dan kategorisasi untuk masing-masing setiap paragraph dari bahan hasil ihtisar, khususnya untuk teks dokumen kebijakan, kedalam empat dimensi Bolman and Deal (1991) 10 . Hasil akhir pengkodean dapat memberikan gambaran, bahwa dari sisi dimensi keorganisasian, kebijakan usaha kehutanan ada di dimensi mana: rational, human, politics, atau symbolic. Dalam pengkodean digunakan kata kunci yang diadopsi dari Bolman and Deal (1991) sebagaimana tercantum pada Lampiran 4. Hasil pengkodean sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 5. Contoh hasil analisis isi dapat dilihat pada Lampiran 6. Analisis narasi merujuk Bernard (2000) dan Denzin (1989), yakni mencari dan menetapkan pola-pola pokok dalam narasi. Menurut Graffin (1993 dalam Liang dan Lin, 2008) narasi adalah sebuah
bangunan analisis yang
menghimpun berbagai kejadian atau fenomena yang dirangkum kedalam deskripsi singkat. Kerangka teoretik kelestarian digunakan sebagai takaran utama dalam melakukan berbagai analisis ini. Contoh hasil analisis narasi dapat dilihat pada Lampiran 7. Untuk melihat kecenderungan diskursus dan peta kerangka pikir para pihak, dari hasil analisis isi dan narasi di atas dilakukan pula transformasi dan pemetaan hasil kedalam beberapa ilustrasi grafis-kuantitatif, termasuk dalam
9 Dalam membaca, menyarikan dan mensintesa bahan-bahan empiris, peneliti juga menggunakan antara lain Sistim Ikhtisar Dokumen Bahasa Indonesia (SIDoBI) ver 2009 yang merupakan on-line static sofware yang telah dikembangkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta, Indonesia. Untuk pengkodean dan pengkategorian bahan-bahan empiris, terutama hanya beberapa yang berbahasa inggris, digunakan software N-Vivo Ver 2002 buatan QSR International Pty Ltd, Melbourne, Australia. 10 Keempat dimensi itu adalah rasional (rational), kemanusiaan (human), politik (political), dan simbolik (symbolic). Dijelaskan, bahwa dalam dimensi rasional, organisasi digerakan oleh berbagai strategi, dan peran manajemen adalah mensejajarkan berbagai strategi dan struktur dengan lingkungan eksternal. Dalam dimensi manusia, isu sentralnya bagaimana menggabungkan berbagai kebutuhan manusia dengan rasionalitas keorganisasian. Dari dimensi politik, kesenjangan kepentingan dan kelangkaan sumberdaya terpaksa membalikkan politik organisasi. Simbol memainkan peran penting dalam pengalaman manusia. Dalam domain rasional, poin kehidupan itu adalah pilihan. Namun, hidup dalam berbagai organisasi antara lain hanyalah terkait pengambilan keputusan (March/Olsen 1976 dalam Bolman and Deal, 1984). Pembuatan keputusan sering sebagai arena untuk berbagai aksi simbolik. Dengan keempat dimensi ini Bolman and Deal (1984) memastikan ciri sebuah organisasi dalam menjalankan dan menegakan aturan main: seperti apa keseimbangannya dan kira-kira lebih cenderung ke dimensi yang mana.
44
bentuk kuadran dengan absis dan ordinat yang ditarik fenomena atau pokokpokok pikiran yang mencuat dalam isi dan narasi. Diadopsi pula kuadran Alvesson and Karreman (2000) yang dalam penelitian ini dinamai frame B. Alvesson and Karreman (2000) menggunakan dua dimensi (absis dan ordinat) dengan empat kuadran 11 . Untuk melihat kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektifitas pelaksanaannya, khusus dianalisis Dokumen Renstra Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (kini Bina Usaha Kehutanan, BUK) 2005-2009 melalui pendekatan Birkland (2001) yang menekankan aspek proses perancangan kebijakan sebagai akumulasi tiga arus, yani politik, masalah publik dan kebijakan itu sendiri (Gambar 4). Dengan ketiga arus ini Birkland (2001) mengkerangka hubungan tujuan, model sebab-akibat, instrumen, target dan implementasi kebijakan, masing-masing dengan sejumlah pertanyaan (Tabel 4). Dengan berbagai pertanyaan ini hasil analisis diskursus yang sama – selain dipetakan kerangka pikirnya – ditelaah lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektivitas pelaksanaannya. Dari hasil telaah ini ditarik sejumlah rekomendasi terkait langkah dan agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan.
Gambar 4 Proses konstruksi kebijakan (Birkland, 2001)
11
Dimensi pertama (absis) menggambarkan hubungan antara diskursus dengan makna yang merentang dari kondisi rontok (collapsed) di ekstrim kiri – dinamai pula sebagai titik discourse determination, sampai tak ada hubungan sama sekali (unrelated) di ekstreem kanan, titik ini dinamai discourse autonomy. Diantara dua ekstrim ini terdapat dua titik lain segaris yang posisinya proporsional, yakni terkait erat (tightly coupled) di bagian kiri dan terkait longgar (loosely coupled) dikanannya. Dimensi kedua (ordinat) menggambarkan lawas diskursus yang merentang dari diskursus mikro (micro discourse) di ekstrim atas dikenal dengan sebutan kepedulian-jangka pendek (close-range interest) dengan konteks situasional dan lokal (local situational contexts) sampai diskursus mega (mega discourse) di ekstrim bawah disebut sebagai kepedulian jangka-panjang (long-run interest) dengan konteks sistem-makro (macro-system contexts). Diantara kedua ekstrim ini ada dua titik segaris lain yang letaknya proporsional, yakni grand dan meso discourse.
45
Tabel 4. Kerangka Kebijakan (diadopsi dari Birkland, 2001) Komponen Tujuan kebijakan
Penjelasan (Pertanyaan yang perlu diangkat) Apa tujuan kebijakan: menghilangkan masalah? Sekedar mengurangi, tidak menghilangkan? Atau mengatasi masalah agar tidak menjadi lebih buruk? Model Seperti apa model ini? Apakah kita tahu bila yang dilakukan sebab-akibat X, akan dihasilkan Y? Bagaimana kita tahu ini, bagaimana bisa tahu? Instrumen Instrumen apa (saja) yang digunakan agar kebijakan bisa kebijakan dijalankan? Apakah instumen itu cukup mendorong? Apakah instrumen berupa insentif, persuasif atau sekedar informasi? Perlu upaya peningkatan kapasitas? Sasaran Perilaku siapa yang diharapkan berubah? Adakah sasaran kebijakan langsung dan tak langsung? Apakah pilihan rancangan berdasarkan konstruksi sosial dari populasi sasaran? Implementasi Bagaimana kebijakan dilaksanakan? Siapa yang akan menata kebijakan sistem implementasinya? Apakah akan top-down atau bottom up? Mengapa?
E. Limitasi dan Validasi Harus diakui secara jujur, bahwa riset kualitatif sekaligus dengan pendekatan diskursus ini adalah baru bagi peneliti yang sejauh ini lebih banyak bergerak dan bekerja dengan pendekatan yang lebih banyak positivistik-normatif. Lompatan perubahan dalam aliran berpikir ini dan sekaligus dalam cara mendefinisikan dan mendekati persoalan memang menjadi sangat berat. Dengan kondisi demikian, peneliti menyadari penuh bahwa riset ini tidak steril dari berbagai keterbatasan (limitation). Beberapa keterbatasan ini mencakup antara lain tapi mungkin tidak terbatas pada hal-hal (a) cakupan isu yang menjadi entry riset ini, yang begitu luas, sehingga sekalipun metodologinya dapat dibangun memadai, namun saat (b) penentuan metoda analisisnya mendapat kesulitan yang tidak ringan; sehingga sebagai jalan keluar, (c) beberapa metoda yang dirujuk tidak sepenuhnya diikuti secara kaku, mengingat pelaksanaannya pun akhirnya harus kompromi dengan ketersediaan, reliabilitas dan kelengkapan, validitas bahan-bahan empiris resmi yang ontentik dan – tentu saja – waktu yang tersedia. Namun, dengan berbagai keterbatasan di atas penulis telah berupaya untuk tidak tidak mengorbankan validitas hasil riset kualitatif ini. Bahwa tingkat
46
validitas masih belum optimal, dapat diterima, karena proses validasi memang belum dilakukan optimal. Misalnya, beberapa temuan awal tidak semua dikonfirmasi langsung dan konfirmasi ulang yang dilakukan beberapa tidak kembali kepada informan yang sama, tetapi kepada informan dari kelompok dan kualifikasi yang sama. Secara keseluruhan, validasi juga dilakukan terhadap hasil polling dengan pemetaan satu-satu sesuai kelompok para pemangku kepentingan yang teridentifikasi. Proses validasi ini tentu tidak sekuat bila metodanya diikuti secara kaku, misal dengan menggunakan koefisien Cohen’s Kaffa, yakni satu atribut statistik untuk ukuran kualitatif 12 . Dengan keterbatasan itu pula, peneliti memosisikan hasil riset kualitatif ini bukan hal final, tetapi analog dengan sebuah sketsa lukisan di sebuah kanvas yang cukup besar yang sudah mulai tampak gambar besarnya, namun perlu penyempurnaan di tingkat mikro. Harapannya, tentu para peneliti berikutnya di masa datang dapat masuk dengan topik di tingkat mikro untuk menggenapkan sketsa dimaksud. Sebagai gambaran, berikut peta jalan (road map) awal yang mungkin dapat ditempuh dengan beberapa topik penelitian lanjutan untuk menggenapi sketsa makro di atas. (Tabel 5).
Tabel 5. Peta Jalan (Road-map) Awal untuk Penelitian Kualitatif Lanjutan Topik Riset Kelestarian Posisi Hutan Alam Kebijakan Usaha Kehutanan
Opsi Metoda Diskursus dan atau Diskursus analisi kritis dan atau teori hegemoni
Harapan atas hasil riset ini Konfirmasi sekaligus penguatan secara detail kehadiran dominasi dan hegemoni kekuasaan
Sebagai gambaran, dalam Tabel 6 dapat dilihat beberapa riset kualitatif dengan pendekatan antara lain dengan berbagai analisis diskursus seputar kehutanan dan sumberdaya alam dan lingkungan yang telah dilaksanakan di manca-negara yang beberapa diantaranya diacu dalam riset ini.
12
Smeeton (1985) dalam www.wikipedia.com diunduh 6 Maret 2010.
47
Tabel 6. Beberapa Perkembangan Riset Kualitatif Mancanegara Sumber, Judul, Penerbit Reda (2004) Discourse Analysis on the Ethiopian Government’s National Action Program to Combat Desertification. Linkoping Universitet, Sweden
White (2002) A Discourse Analysis of Stakeholders’s understanding of Science in Salmon Recovery Policy. Virginia Polytechnic Institute & State University. Rova (2001) When Regulation Fails: Vendace Fishery in the Gulf of Bothnia. Marine Policy Vol. 25: 323-333
Arts and Buizer (2009) Forests, discourse, institutions: A discursiveinstitutional analysis of global forest governance. Forest Policy and Economics. Vol. 11 (2009): 340-347 Blaikie dan Sussan (2001) Understanding Policy Processes: LivelihoodPolicy Relationships in South Asia. Working Paper 2. Departemen for International Development, UK. Hewitt (2009) Discourse Analysis and Public Policy Research. Paper Series No. 24. Center for Rural Economy Discussion. Newcastle University,
Metoda Analisis Diskursus dengan berbagai rujukan, termasuk Michel Foucault Analisis diskursus konstruktivitist
Sinopsis singkat Dianalisis diskursus dibalik kebijakan yang tertuang dalam rencana aksi pemerintah Etiopia dalam memerangi proses penggurunan.
Analisis Diskursus
Dianalisis hubungan tiga hal sekaligus: karakteristik sumberdaya, kondisi sosial para pihak pemangku kepentingan dengan ikan vendace (Coregonus albula L) di Teluk Bothnia untuk memperoleh gambaran penataan kelembagaan yang diperlukan. 13 Dianalisis bagaimana dan seberapa jauh proses-proses tatakelola dapat dipahami lebih baik melalui analisis diskursus dan antar-muka dari ilmu pengetahuankebijakan. Berfokus hanya pada diskursus, tapi dilakukan dari perspektif kelembagaan.
Analisis DiskursifKelembagaan
Dianalisis pemahaman akan pengetahuan ilmiah yang diekspresikan dalam diskursus formal kebijakan pemulihan ikan salmon di Pasific Barat Laut
Analisis kebijakan dan analisis proses kebijakan
Memahami proses kebijakan, analisis proses kebijakan dan memahami caracara dimana pengaruh berbagai kebijakan pembangunan di Asia Selatan atas mata pencaharian si miskin. Lebih merupakan tinjauan atas pendekatan-pendekatan analisis kebijakan.
Analisis Diskursus sebagai instrumen dari analisis kebijakan
Riset ini coba melacak berbagai perbedaan pendekatan dalam analisis diskursus yang telah dilakukan para analis kebijakan yang terinspirasi Foucault, seting dari sifat pendekatan pendekatan serta hal terpenting dari perbedaan itu dan menarik implikasi dari penerapan analisis diskursus pada proyek-proyek riset kebijakan pedesaan.
13 Telaah konseptual penulis atas makalah ini dapat di lihat pada Jurnal Manajemen Hutan Tropika, Volume XIV No. 1 April 2008
48
Tabel 6. (Lanjutan) Sumber, Judul, Penerbit Guzman (tanpa tahun) Focusing on Forest Not the Trees: A Critical Review of Knowledge and Learning Concepts. Griffit Business School, Griffith University. Australia. Wittmer and Birner (2005) Between Conservation, Ecopopulism, and Developmentalism: Discourse in Biodiversity in Thailand and Indonesia. CGIAR Systemwide Program on Collective Action and Property Rights, IFRI, Washington DC, USA Philips et al (2004) Discourse and Institution. Academy of Management Review 2004 Vol.29 No. 4: 635-652
Metoda Analisis diskursus kritis
Sinopsis singkat Telaah kritis atas pengetahuan dan konsep pembelajaran. Yang ditelaah adalah aspek penting dari asumsi pilosofis yang menonjol seputar isu kekuasaan dan sifat ilmu pengetahuan. Hutan dan kayu, digunakan sekedar analogi dalam telaah.
Diskursus analisis terkait konsep sistem nilai, story line dan koalisi
Riset ini mengkaji peran diskursus dalam kaitan konflik seputar kegiatan konservasi di negara-negara tropis. Riset fokus pada pertanyaan kunci apakah dan seberapa jauh komunitas lokal dibolehkan hidup dan memanfaatkan sumberdaya di dalam areal yang dilindungi. Kasus: Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi (Indonesia) dan Kehutanan Masyarakat di Areal dilindungi (Thailand) Menelaah proses kelembagaan melalui diskursus dan kebahasaaan dengan pertimbangan bahwa bahasa penting bagi proses pelembagaan; pelembagaan terjadi karena aktor berinteraksi dan dapat menerima definisi bersama tentang realitas yang semuanya berlangsung melalui proses-proses berbahasa dalam mendefinisikan dan mengkonstruksi realitas.
Analisis Diskursus
F. Ringkasan Merujuk pada sekumpulan konsep dan teori seputar kebijakan, analisis kebijakan, diskursus dan diskursus kelestarian hutan lestari, kerangka metodologi penelitian ini dirumuskan. Dari konsep dan diskursus kelestarian, telah pula disintesis kerangka teoretik kelestarian, termasuk di dalamya pemosisian hutan alam – sebagai instrumen penakar dalam keseluruhan analisis diskursus yang dilakukan. Peneliti mengadopsi bentuk analisis kebijakan retrospektif (ex-post) yang fokus pada apa hasil-hasil aksi yang (telah) terjadi (empiris) dan kesenjangan (gap) yang ada untuk menggambarkan kualitas sebuah kebijakan dalam konteks tertentu (valuatif) dan sekaligus menawarkan kerangka pembaruan termasuk aliran pemikiran dalam proses pembaruan pembuatan kebijakan. Asumsinya, pembuatan kebijakan terutama implementasinya tidaklah linear,
49
dan sebaliknya merupakan ”kekacau-balauan” (chaotic) dari serangkaian tujuan dan kejadian. Dengan asumsi tersebut, penelitian ini coba menerapkan analisis diskursus, sebagai salah satu bentuk penerapan multi-konsep dan multidisiplin yang dianggap tepat untuk mengurai kondisi chaotic. Diskursus berfungsi menyederhanakan masalah-masalah yang rumit; berhubungan dengan cara berpikir, dengan nilai-nilai dan dengan berbagai pendekatan fundamental tentang berbagai isu. Diskursus juga merupakan upaya mengidentifikasi, membicarakan dan memikirkan cara-cara yang tepat dan legitimate tentang melakukan pembangunan.
Analisis diskursus dalam
penelitian ini berciri pendekatan antropologi dengan fokus pada Kebijakan Usaha Kehutanan di Hutan Alam Produksi di Luar Jawa. Pertimbangannya lebih ke pragmatisme dan substantif. Pragmatis, karena peneliti merasa telah cukup lama berkecimpung dalam dunia kehutanan; substantif lebih karena peneliti menganggap penting untuk dapat menghasilkan materi dan argumen empiris penting terkait kerangka pikir dari klaim-klaim ”capaian” usaha kehutanan dibalik diskursus yang berkembang, sekaligus untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana telah dikemukakan pada Bab I. Memilih kerangka pikir lebih didorong karena pertimbangan bahwa kekeliruan kerangka pikir (akan) berakibat lebih fatal dari sekedar kerusakan sumbedaya alam itu sendiri. Analisis diskursus dilakukan saat melakukan telaah dokumen tertulis maupun hasil percakapan atau wawancara dan hasil polling. Telaah dokumen diawali melalui penyiapan ikhtisar disusul dengan analisis isi dan narasi. Untuk melihat kecenderungan diskursus dan peta kerangka pikir para pihak, dilakukan transformasi dan pemetaan hasil kedalam beberapa ilustrasi grafiskuantitatif, termasuk dalam bentuk kuadran dengan absis dan ordinat yang ditarik dari fenomena atau pokok-pokok pikiran yang mencuat dalam isi dan narasi. Kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektifitas pelaksanaannya dilihat melalui pendekatan proses perancangan kebijakan sebagai akumulasi tiga arus, yani politik, masalah publik dan kebijakan itu sendiri. Ketiga arus ini
50
mengkerangka hubungan tujuan, model sebab-akibat, instrumen, target dan implementasi kebijakan, masing-masing dengan sejumlah pertanyaan. Hasilnya digunakan untuk mendapatkan gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan dan efektivitas pelaksanaannya. Untuk hal ini secara khusus dianalisis Dokumen Renstra Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (kini Bina Usaha Kehutanan, BUK) 2005-2009. Disadari sepenuhnya, bahwa riset ini merupakan hal baru bagi peneliti dan karenanya tidak mungkin steril dari berbagai keterbatasan. Namun begitu, peneliti telah berupaya untuk tetap menjaga validitas hasil riset dimaksud dan memosisikan hasil riset ini sebagai temuan pendahuluan. Peneliti menawarkan semacam
road-map
untuk
kelanjutan
perkembangan riset serupa di mancanegara.
riset
ini
disertai
gambaran
BAB III. USAHA KEHUTANAN INDONESIA
A. Pendahuluan Hutan alam di Indonesia secara historis telah mengalami setidaknya empat periode penguasaan, dari mulai penguasaan oleh para raja-raja, penguasaan oleh penjajah Belanda, penjajah Jepang, dan penguasaan pada masa kemerdekaan (Lampiran 8). Masing-masing periode penguasaan memperlihatkan pendekatan dan orientasi pengelolaan yang berbeda (Dephut, 1986 – SKI). Berbagai pendekatan dan orientasi itu menyiratkan keragaman dalam kerangka berpikir dan orientasi pengelolaan, dari mulai pengelolaan dengan basis kelestarian hasil, eksploitasi untuk alasan modal perang dan membiayai revolusi, sampai kepada menjalankan mandat keramat yang tertuang pada Pasal 33 UUD 1945 – untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam masa
(paska)
kemerdekaan
diberlakukan
Peraturan
Pemerintah (PP) No. 64/1957 tentang Penyerahan sebagian Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan, dan Karet Rakyat
kepada
Daerah-Daerah
Swatantra
Tingkat
I
(Provinsi).
Pemberlakuan PP ini, dapat dianggap sebagai awal mula kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan di Indonesia, terutama hutan alam produksi di Luar Jawa. Melalui PP ini pula secara legal-formal usaha kehutanan di luar Jawa dimulai, ditandai dengan pelimpahan kewenangan pengurusan sumberdaya hutan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Apakah PP ini dapat dianggap pula sebagai tonggak kunci kebijakan yang memengaruhi keseluruhan kelanjutan kebijakan usaha kehutanan, menjadi salah satu poin bahasan di akhir bab ini. Selain itu, dalam bab ini pula diurai gambaran perkembangan kondisi hutan alam dan dinamika dan kinerja usaha kehutanan serta coba dilihat apa yang menjadi masalah kebijakan dibalik kemungkinan kesenjangan antara tujuan kebijakan usaha kehutanan sejauh ini dengan realitas kinerja usaha kehutanan itu sendiri.
52
B. Kinerja Usaha Kehutanan Indonesia 1. Kondisi Hutan Alam Setelah lebih dari lima dekade pengusahaan pada paska kemerdekaan 1 , Hutan Alam Indonesia saat ini menghadapi situasi yang luar biasa suram. Secara kualitatif, situasi ini setidaknya dapat dilihat dari semakin menyusutnya luas kawasan hutan alam produksi dari tahun ke tahun. Data 2005 menunjukkan, bahwa dari 35,26 juta ha luas kawasan hutan alam produksi yang tersisa di Luar Jawa, areal yang masih tersisa dan berhutan hanya tinggal 20,62 juta ha; selebihnya berupa areal tidak berhutan (12,64 juta ha) dan belum terdata (1,99 juta ha) (Dephut, 2006a). Untuk kawasan hutan yang lebih luas lagi, digambarkan bahwa di dalam kawasan hutan dengan luas total sebesar 133,6 juta ha, tutupan hutan atau areal berhutan mencapai 85,96 juta ha (64%) dan areal yang tidak berhutan sebesar 39,1 juta ha (29%) dan sisanya 8,52 juta ha (7%) tidak terdefinisi karena data tidak lengkap (Dephut, 2006a). Tutupan hutan ini oleh banyak pihak telah dijadikan indikator untuk menilai fungsi hutan. Dalam hal ini kawasan hutan tanpa tutupan hutan yang nyata – yang menurut Dephut (2006a) luasnya mencapai 29% dari kawasan hutan tetap – tidak memperlihatkan kinerja terkait fungsi ekonomi sosial dan lingkungan sebagaimana yang diharapkan layaknya dari ”lahan berhutan”. Hal ini di lapangan sering menjadi peluang ”pembenaran” untuk melakukan realokasi wilayah-wilayah tak berhutan kepada penggunaan lain yang dianggap lebih produktif, misalnya perkebunan atau wana-tani (agroforestry). Berbagai alternatif pemanfaatan ini bahkan dipandang telah memperluas tekanan dan ancaman atas hutan alam. Situasi ini jelas akan menambah unsur ketidakpastian akan usaha kehutanan. Keadaan ini diperparah oleh rendahnya kinerja realisasi penataan batas hutan alam yang oleh Hermosilla dan Chip Fay (2006) sampai awal 2005 diklaim
1
Dihitung dari sejak dikeluarkannya PP 64/1957
53
hanya sekitar 12 juta ha (10%); artinya seluas 108 juta ha (90%) kawasan hutan alam belum di tata batas dan dibiarkan tidak pasti 2 . Sementara itu, dalam Renstra 2005-2009 (Dephut, 2006b) diperoleh gambaran kondisi yang relatif lebih lengkap. Disebutkan, bahwa luas kawasan hutan alam produksi setelah proses paduserasi TGHKRTRWP adalah 71,68 juta ha. Dari luasan ini, seluas 41,15 juta ha keadaannya baik; sementara sisanya (16,45 juta ha) kondisinya rusak. Dari luasan 41,45 juta ha yang kondisinya baik itu, seluas 28,27 juta ha diusahakan melalui IUPHHK-HA dan sisanya (12,98 juta ha) menjadi sumberdaya akses terbuka (open access), tidak ada pengelolanya. Sementara itu, dari luasan 16,45 juta ha yang rusak, seluas 9,31 juta ha diusahakan melalu IUPHHK HT dan sisanya (7,14
juta ha) menjadi
sumberdaya akses terbuka, tak berpengelola. Dengan begitu, maka dari luasan 71,68 juta ha hutan alam produksi di Luar Jawa, 28,1 % atau seluas 20,12 juta ha dalam kondisi open access. Dan yang menarik perhatian adalah adanya luasan hutan produksi yang kondisinya baik tapi tidak berpengelola, dengan luas mencapai 12,98 juta ha (Gambar 5)
Rusak
9,31 juta ha (IUPHHK-HT) 7,14 juta ha (open access)
28,27 ha (IUPHHK-HA) 12,98 juta ha (open access)
Baik
Ada pengelola
Tak ada pengelola
Gambar 5. Kondisi Hutan Alam Produksi 2005 (Sumber: Dephut, 2006b)
Data 2009 menunjukkan, total luas hutan alam produksi Luar Jawa sebesar 80,02 juta ha. Dari luasan ini seluas 35,33 juta ha (44,15%) merupakan hutan produksi (HP) sisanya 22 juta ha (27,50%) merupakan hutan produksi terbatas (HPT) dan 22,68 juta ha lainnya (28,34%) merupakan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) (Kemenhut, 2
Hal ini dianggap Hermosila dan Chip Fay (2006) bahwa kawasan hutan negara secara resmi dan de jure saat ini (2006) hanyalah 12 juta Ha, bukan 120 juta ha sebagaimana dipercaya banyak pihak selama ini.
54
2010). Dari total luasan
HP ini tampak bahwa Kalimantan masih
mendominasi luas hutan alam (Tabel 7) Tabel 7. Luas dan Sebaran Hutan Produksi 2009 (dirinci per Provinsi) PROVINSI HPT HP HPK Total HP Aceh 37,300 601,280 638,580 Sumatera Utara 879,270 1,035,690 52,760 1,967,720 Sumatera Barat 246,383 407,849 189,346 843,578 Riau 1,971,553 1,866,132 4,770,085 8,607,770 Kepulauan Riau Jambi 340,700 971,490 1,312,190 Sumatera Selatan 217,370 1,826,993 431,445 2,475,808 Bengkulu 189,075 34,965 224,040 Bangka Belitung 466,090 466,090 Lampung 33,358 191,732 225,090 Bali 6,719 1,907 8,626 Nusa Tenggara Barat 286,700 150,609 437,309 Nusa Tenggara Timur 197,250 428,360 101,830 727,440 Kalimantan Barat 2,445,985 2,265,800 514,350 5,226,135 Kalimantan Tengah 3,400,000 6,068,000 4,302,581 13,770,581 Kalimantan Selatan 126,660 762,188 151,424 1,040,272 Kalimantan Timur 4,612,965 5,121,688 9,734,653 Sulawesi Utara 552,573 168,108 34,812 755,493 Gorontalo Sulawesi Tengah 1,476,316 500,589 251,856 2,228,761 Sulawesi Tenggara 419,244 633,431 212,123 1,264,798 Sulawesi Selatan 494,846 124,024 22,976 641,846 Sulawesi Barat 361,775 65,001 79,735 506,511 Maluku 1,653,625 1,053,171 2,304,932 5,011,728 Maluku Utara Papua 2,054,110 10,585,210 9,262,130 21,901,450 Papua Barat INDONESIA (minus Jawa) 22,003,777 35,330,307 22,682,385 80,016,469 Sumber: Kemenhut (2010). Statistik Ditjen BPK 2009. Jakarta (data diolah)
Kondisi di atas tentu tidak lepas dan berkaitan erat antara lain dengan berbagai situasi masalah yang terjadi di hutan alam produksi di Luar Jawa, terutama terkait pembalakan liar dan multidimensi konflik serta laju dan besaran deforestasi. Tiga situasi masalah ini hampir menjadi hal klise pada tataran diskursus yang berkembang terkait hutan alam produksi Luar Jawa,
55
karena kecenderungannya adalah semakin banyak dibincang, tapi tidak memperlihatkan arah perbaikan yang memadai dari waktu ke waktu 3
2. Pembalakan/Penebangan Liar Pembalakan atau penebangan liar atau lebih dikenal juga dengan istilah illegal logging berkait erat dengan deforestasi, kerusakan dan bahkan kehilangan sumberdaya hutan. Sekalipun diakui banyak pihak sangat sulit untuk menentukan secara pasti, beberapa dugaan terkait besar kegiatan penebangan liar bermunculan dengan kisaran antara 40%-95%. Laporan UNEP pada 2007 menduga bahwa 73% sampai 88% dari kayu yang ditebang di Indonesia berasal dari sumber illegal (BGA, 2010). Sementara dugaan lain menunjukkan angka ini lebih rendah, namun tetap mengejutkan, yakni 40% sampai 55% (HRW, 2009). Dudley et al (1995) dan EIA (2001) dalam Seikh PA (2008) bahkan menduga 95% kayu yang diekspor Indonesia pada awal 1990an diperoleh secara illegal, sementara di pertengahan 1990an hampir 80% pemegang konsesi hutan disebutkan gagal mematuhi aturan; akibatnya diprediksi bahwa antara 70-80% produksi dan impor merupakan kayu illegal. Seikh PA (2008) memberikan ilustrasi dugaan illegal logging di beberapa negara di dunia seperti ditunjukkan Tabel 8 berikut.
Data resmi dari pemerintah tidak cukup kuat memberikan klarifikasi atas kecenderungan angka-angka prediksi di atas. Untuk 2008 diperoleh data resmi pemerintah terkait illegal logging sebesar 14,6 ribu m3 (Dephut, 2008). Namun,tidak disebutkan besaran itu dalam hektar. Demikian pula data 2003, kegiatan illegal logging hanya disebutkan dalam satuan kasus, yakni untuk 2003 terjadi 293 kasus (Dephut, 2005-RPJP), tanpa ada penjelasan sebaran dan luasan masing-masing kasus.
3
Dari pengamatan empiris peneliti dalam berbagai kesempatan menghadiri seminar, lokakarya, diskusi terfokus di berbagai tempat dalam dan luar negeri dengan beragam isu dan topik yang berkaitan dengan hutan alam pada umumnya, baik selama maupun sebelum masa studi.
56
Tabel 8. Dugaan Tingkat Illegal Logging di Beberapa Negara di Dunia Wilayah/Negara Malaysia
Deskripsi Dugaan Sepertiga lebih dari ekspor kehutanan pada 1990an adalah ilegal Kamboja 90% dari pembalakan diduga illegal Laos, Kamboja, Hampir semua kayu ekspor pada awal Thailand dan 1990an illegal. Perkiraan lain antara 40% Filipina 45% INDONESIA 95% ekspor kayu diperoleh secara illegal pada awal 1990an. Pada pertengahan 1990an hampir 84% pemegang konsesi HPH tidak patuh pada hukum dan aturan; diduga 70%-80% produksi hasil hutan dan impor illegal Myanmar Lebih dari separuh ekspor hasi hutan negara tidak jelas (undeclared: i.e illegal) Papua Nugini Beberapa melaporkan penyuapan dan kehilangan moneter akibat illegal logging Filipina 16 juta ha hutan telah berkurang menjadi 70 rb ha, terutama akibat illegal logging Bolivia Deforestasi illegal setidaknya 4 kali atau mungkin 8 kali deforestasi legal Brazil 80% pembalakan di Amazon illegal, dugaan lain berkisar 20-90%, namun umumnya setuju bahwa kejadiannya merata di Amazon Brazil Rusia Sekitar 20% pembalakan hutan di Rusia melanggar hukum. Rusia memiliki 20%-50% produksi hasil hutan dan impor illegal Tanzania Sekitar 500 ribu ha ditebang secara illegal setiap tahun Kamerun Sekitar sepertiga kayu yang diolah untuk pasar setempat diperoleh secara illegal. Liberia Kira-kira 80% pembalakan kayu adalah illegal Ghana Sebanyak sepertiga dari kayu yang dipanen pada 1990an adalah illegal. Diduga 34%60% pembalakan kayu adalah illegal Sumber: Seikh PA (2008).
Sumber Dudley eta 1995 Auer et al 2003 Dudley at al 1995 Dudley et al 1995
World Resource Institute, 1998 Glastra, 1999 Environmental Investigation Agency, 2001 Contreras-Hermosilla, 1997 Dudley et al, 1995
Greenpeace, 2000 Glastra, 1999 Glastra, 1999 Glastra, 1999 Auer et al, 2003
Namun, studi yang dilakukan Chatham House pada 2008 4 menunjukkan bahwa pada 2007 tercatat sekitar 1.439 kasus illegal logging di Indonesia dengan volume kayu illegal mencapai 1,5 juta m3 yang keseluruhan diperkirakan bernilai antara USD 30 juta – USD 110 juta. Data mentah terkait jumlah kasus illegal logging ini diperoleh Chatham House dari kerja Kepolisian RI dalam kurun 2007. Data yang sama diperolehnya dari Dephut hanya 467 kasus untuk tahun yang sama, tanpa 4
Brack, D. Sam Lawson, and MacFaul Larry. 2009. Illegal Logging and Related Trade: 2008 Assessment of The Global Response (Pilot Study). Energy, Environment and Development Program. Chatham House. UK.
57
ada penjelasan dan informasi terkait besaran kubikasi yang setara kayunya (round wood equivalent, RWE) serta perkiraan total nilai moneternya. Kegiatan illegal logging terindikasi pula bertali temali erat dengan korupsi dan salah urus (mismanagement) pengelolaan sumberdaya hutan sebagaimana
ditelaah
HRW
(2009) 5 .
Disebutkan
bahwa
dengan
menggunakan metodologi standar industri telah berhasil diduga bahwa Indonesia mengalami kerugian sekitar USD 2 M per tahun dalam kurun antara 2003 dan 2006 akibat illegal logging, korupsi dan salah urus sumberdaya hutan. Jumlah tersebut mencakup pajak dan royalty yang tidak terhimpun dari kayu illegal, kehilangan pendapatan dari besarnya subsidi semu atas industri perkayuan (termasuk di dalamnya dasar penetapan pajak dari harga kayu dan nilai tukar yang dibuat rendah), serta kehilangan akibat praktek menghindari pajak yang dilakukan para ekportir nakal yang dikenal sebagai “transfer pricing”. HRW mengilustrasikan rincian kerugian ini secara lebih tegas dalam Gambar 6.
Gambar 6 Struktur Kerugian Kehutanan Indonesia 2003-2006 (Sumber: HRW, 2009).
Kerugian finansial dari akibat tali temalinya illegal logging dan korupsi serta kejahatan kehutanan lainnya telah pula dianalisis untuk tingkat dunia oleh Kelompok Bank Dunia, sebagaimana dikemukakan
5
HRW.2009. “Wild Money”: The Human Rights Consequences of Illegal Logging and Corruption in Indonesia’s Forestry Sector. Human Rights Watch. New York, NY 10118-3200 USA.
58
Kishor, N and Tapani Oksanen (2009) 6 . Disebutkan bahwa illegal logging dan beragam kejahatan kehutanan lainnya umum terjadi di banyak bagian lain di dunia dan umumnya melibatkan pemain baik dari negara-negara produsen maupun konsumen. Bank Dunia memerkirakan nilai pasar dari kerugian tahunan akibat illegal logging mencapai sebesar USD 10 M. Menurutnya, angka ini lebih dari 8 kali angka resmi dana bantuan pembangunan internasional yang dialirkan untuk program pembangunan hutan lestari. Disimpulkan, bahwa dibalik ini semua adalah korupsi; dan korupsi telah mendorong terjadinya berbagai kegiatan illegal, khusunya illegal logging skala besar, seperti ditunjukkan Gambar 7. Dari gambar tersebut tampak jelas bahwa dibanding negara lainnya, Indonesia berada pada posisi “paling tinggi” baik untuk tingkat korupsi, maupun jumlah angka kayu bulat yang dicurigai illegal.
Gambar 7. Hubungan Korupsi dan Pasokan Kayu Illegal (Sumber: Kishor, N and Tapani Oksanen, 2009)
6
Kishor, N and Tapani Oksanen. 2006. Combating Illegal Logging and Corruption in the Forestry Sector: Strengthening Forest Law Enforcement and Governance. Enviroment Matters 2006 – Annual Review July 2005-June 2006 (FY 06). The World Bank Group.
59
3. Multidimensi Konflik Hutan alam produksi di Luar Jawa juga diwarnai gejala dan fenomena multidimensi konflik. Itu setidaknya digambarkan oleh FWI/GFW (2002) dan Wulan et al (2004) 7 sebagaimana diuraikan di bawah ini. FWI/GFW (2002) berhasil memetakan sebaran konflik berdasarkan survey. Digambarkan, bahwa penyebab umum konflik antara lain terkait konsesi HPH, penebangan liar, penetapan kawasan lindung dan taman nasional,
pembangunan
hutan
tanaman
dan
perkebunan
sawit.
Ditambahkan, bahwa konflik terjadi lebih sering karena akibat beda pandangan terkait hak atas lahan (land rights issues), pelanggaran atas kontrak perjanjian, dan ketidak jelasan batas kawasan. Diperlihatkan, bahwa konflik menyebar terjadi di keseluruhan pulau utama di Indonesia. Sementara, Wulan et al (2004) memotret profil konflik ini berdasar survey media dalam kurun 1997-2003. Disebutkan, bahwa dari 359 konflik, lebih dari seperempat (27 %) diantaranya terjadi di areal HPH. Dari 359 konflik, 273 (76,04%) diantaranya terjadi di Luar Jawa. Adapun penyebab konflik teridentifikasi setidaknya lima hal: perambahan hutan, pencurian kayu, perusakan lingkungan, tata batas kawasan (akses), dan alih fungsi kawasan. Seperti halnya hasil FWI/GFW (2002), Wulan et al (2004) juga menunjukkan bahwa konflik juga menyebar terjadi di hampir keseluruhan pulau utama (Tabel 9). Sedangkan kecenderungan jumlah atau frekuensi konflik dari tahun ke tahun berfluktuasi, dimana konflik terbanyak terjadi pada 2000 sebanyak 153 kasus. (Gambar 8) Beberapa
kebijakan
pemerintah
terkait
langsung
dengan
keberpihakannya atas kepentingan masyarakat, seperti hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan cadangan pangan, bina desa hutan (BDH) dan pembinaan masyarakat desa hutan (PMDH) yang telah berjalan sejauh ini dinilai tidak berjalan sebagaimana mestinya. Khan (1996) menunjukkan bahwa program BDH yang kini telah mengalami berbagai perubahan (ditingkat aturan) itu, misalnya, masih tetap sulit diimplementasikan,
7
Wulan et al (2004) Analisis Konflik Sektor Kehutanan 1997-2003. Center for International Forestry Research. Bogor.
60
Tabel 9. Frekuensi Konflik Kehutanan per Provinsi (1997-2003) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Provinsi Frekwensi Konflik Persentase (%) Nangroe Aceh Darusasalam 10 2,79 Sumatera Utara 36 10,03 Sumatera Selatan 12 3,34 Riau 19 5,29 Jambi 16 4,46 Kalimantan Timur 109 30,36 Kalimantan Tengah 10 2,79 Jawa Barat 25 6,96 Jawa Tengah 47 13,09 Jawa Timur 14 3,90 Provinsi lain 61 16,99 Total Jawa 86 23,96 Total Luar Jawa 273 76,04 TOTAL INDONESIA 359 100,00 Sumber: Wulan et al (2004) – data diolah ulang, urutan dimodifikasi Frekuensi Konflik per Tahun 35
Jun-03
31
2002
45
Tahun
2001
153
2000 52
1999 29
1998 14
1997 0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Frekuensi Konflik
Gambar 8 Frekwensi Konflik Pertahun (1997-2003) (Sumber: Wulan et al, 2004 – data diolah ulang)
antara lain karena program ini bagi pemegang HPH maupun HTI (waktu itu) pada akhirnya – dan dalam jangka pendek – lebih merupakan beban biaya tambahan (disinsentive) yang tidak ada kaitan langsung baik dengan upaya peningkatan efisiensi ataupun kapasitas produksi HPH/HTI yang bersangkutan. Keadaan ini menguatkan dugaan, bahwa program semacam ini kurang memperhitungkan dan mengantisipasi kedudukan dan karakter HPH/HTI sebagai institusi bisnis yang berorientasi pada perilaku memaksimalkan keuntungan.
61
4. Deforestasi Sementara itu, kebijakam konsesi melalui sistem HPH selama efektif lebih dari tiga dekade terakhir telah menyebabkan juga kehilangan dan kerusakan sumberdaya hutan yang sangat menyedihkan. World Bank (2006c) mencatat bahwa hampir 30% luas hutan produksi kondisinya rusak (deforested) dan laju kerusakan hutan tertinggi terjadi pada hutan alam produksi yang dikelola HPH/IUPHHK. Maka bermunculan berbagai versi angka laju deforestasi hutan Indonesia dengan rentang 700 ribu ha/tahun sampai 3 jutaan ha pertahun. Menurut Gautam et al (2000), merujuk pada hasil beberapa riset saat itu, tingkat kerusakan hutan telah mencapai rata-rata 1,5 juta ha per tahun. Pada 2008, Indonesia bahkan telah masuk Buku Rekor Dunia Guiness dalam hal kerusakan hutan. Disebutkan, dari 44 negara yang secara kolektif menguasai 90% hutan dunia, Indonesia meraih tingkat laju deforestasi tercepat di dunia dengan angka 1,8 juta ha per tahun antara 2000-2005.
Greenpeace
(2007) 8
menyebutkan,
bahwa
rekor
ini
berimplikasi menjadikan Indonesia juga sebagai pencemar gas rumah kaca ketiga di dunia, setelah Amerika dan Cina, dengan besaran 25% emisi gas rumah kaca akibat penggundulan hutan. Seikh PA (2008) memberikan gambaran pula bahwa deforestasi menyumbang seperlima dari emisi gas rumah kaca dunia. Sementara sebuah studi yang disponsori pemerintah Indonesia sendiri memerkirakan bahwa kerusakan hutan Indonesia berkontribusi hampir 80% atas emisi gas rumah kaca nasional. Level itu dinilainya sangat kritis dan menempatkan Indonesia sebagai emiter terbesar ketiga dunia. Namun, data resmi Dephut yang tertuang antara lain dalam Statistik Kehutanan 2007 (Dephut, 2008) mengonfirmasi lain terkait tingginya laju deforestasi ini. Dalam kurun lima tahun (2000-2005) tercatat jumlah deforestasi dari tujuh pulau utama di Indonesia mencapi luasan 5,45 juta ha, dengan laju rata-rata per tahun seluas 1,1 juta ha (Tabel 10) 8
http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/press-releases/indonesia - diunduh 3 Juni 2007
62
Tabel 10. Besar dan Laju Deforestasi dari Tujuh Pulau Utama Indonesia Deforestasi (Ha/th) Pulau 2000/2001 2001/2002 2002/2003 2003/2004 2004/2005 Total Sumatera 259,500 202,600 339,000 208,700 335,700 1,345,500 Kalimantan 212,000 129,700 480,400 173,300 234,700 1,230,100 Sulawesi 154,000 150,400 385,800 41,500 134,600 866,300 Maluku 20,000 41,400 132,400 10,600 10,500 214,900 Papua 147,200 160,500 140,800 100,800 169,100 718,400 Jawa 118,300 142,100 343,400 71,700 37,300 712,800 Bali-NT 107,200 99,600 84,300 28,100 40,600 359,800 INDONESIA 1,018,200 926,300 1,906,100 634,700 962,500 5,447,800 Sumber: Dephut (2008) Statistik Kehutanan Indonesia 2007. Jakarta (diolah)
Rataan 269,100 246,020 73,260 42,980 143,680 142,560 71,960 1,089,560
Berapapun besarnya, deforestasi diakui berdampak merugikan, bahkan dalam jangka panjang dikhawatirkan dapat menghilangkan peradaban manusia, bila kondisinya dibiarkan terus berlanjut. Berbagai kejadian bencana alam yang berulang secara rutin dalam dua dekade terakhir ini seolah telah membuat manusia begitu terbiasa dan akrab dengan banjir, longsor dan kekeringan serta kebakaran hutan. Sebut saja banjir bandang yang datang berulang berbagai wilayah di Sumatera (Walhi, 2003), banjir di Gorontalo dan berbagai wilayah di Sulawesi (Walhi 2006) dan banjir di Kutai Barat, di Samarinda dan wilayah lain di Kalimantan (Kompas 2005) 9 ; tentu dengan besaran, sebaran, dan frekuensi, serta jumlah korban yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Keseluruhan kejadian bencana lingkungan ini memiliki kaitan logisfungsional dengan menyusutnya peran, fungsi dan keberadaan hutan alam akibat deforestasi. Kekhawatiran terkait akan terjadinya peningkatan tekanan lingkungan di Indonesia sebagaimana pernah diungkap Diamond (2005) sebetulnya sudah (cukup lama) terbukti. Selain deforestasi, terjadi pula kerusakan dan kehilangan atau perubahan peruntukan kawasan hutan yang dimungkinkan karena kegiatan seperti tukar menukar kawasan hutan untuk pemanfaatan lain, mutasi kawasan hutan produksi kepada fungsi lain, dan bahkan konversi hutan alam kepada penggunaan lain, terutama pertanian dan perkebunan. Berbagai perubahan ini memang secara resmi telah diatur dan difasilitasi 9
Bahkan pada saat penulisan akhir disertasi bagian ini dilakukan, diberitakan berbagai media cetak dan elektronik nasional bahwa sedang terjadi banjir dan longsor di banyak wilayah di Jawa dan Nusa Tenggara.
63
oleh pemerintah, Cq Kementerian Kehutanan. Sampai 2002, misalnya, tercatat seluas 4,46 juta ha kawasan hutan alam produksi telah berubah peruntukannya menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Pada 2007 luasan ini meningkat menjadi 4,74 juta ha, keseluruhannya melalui keputusan pelepasan oleh menteri (Dephut, 2008). Gautam et al (2000) sampai pada simpulan bahwa penyebab utama penggundulan hutan di Indonesia adalah kepentingan komersialisasi hutan sekala besar yang berujung tidak saja pada ketidak-lestarian tetapi juga ketidak adilan manfaat yang begitu lebar. Demikian pula kesimpulan Kato (2005), yang menyebutkan bahwa penyebab deforestasi
mencakup
penebangan berlebih, kebakaran hutan, transmigrasi dan konversi hutan menjadi lahan pertanian. 5. HPH/IUPHHK HA Selain terjadi pada kondisi luas hutan alam, fluktuasi dengan trend menurun juga tampak pada jumlah unit dan luas konsesi HPH/IUPHHK HA. Data series 20 tahun terakhir (1990/1991 – 2010) menunjukkan fluktuasi menurun seperti ditunjukkan Gambar 9. Tampak bahwa jumlah HPH pada 1990 masih sekitar 557 unit dengan luas konsesi total 68,88 juta ha, dan menurun cukup nyata menjadi 263 unit dengan luas konsesi total sebesar 21,88 juta ha pada 2010. Data lain Dephut (2010) menggambarkan jumlah unit konsesi IUPHHK baik yang aktif maupun tidak aktif sebagaimana dirinci pada Tabel 11. Ilustrasi yang sama ditunjukkan pada Gambar 10. Tampak bahwa pada 2010 dari jumlah unit konsesi IUPHHK sebesar 304 unit dengan mencakup luasan sebesar 25,05 juta ha jumlah yang aktif hanya 263 unit dengan luas sebesar 21,88 juta ha. Selain penurunan unit dan luasan konsesi di atas, situasi masalah juga muncul dari rendahnya kinerja pengelolaan hutan lestari, seperti ditunjukkan Dephut (2006). Disebutkan, bahwa pada 2003 lebih dari 50 %
64
2006
2007
2008
2009
2010*
2007
2008
2009
2010*
2005
2006
2004
2003
2002
2001
2000
1999/2000
1998/1999
1997/1998
1996/1997
1995/1996
1994/1995
1993/1994
1992/1993
1991/1992
1990/1991
700 600 500 400 300 200 100 0 1989/1990
Jumlah (Unit)
Perkembangan IUPHHK - Dua Dekade terakhir (Unit) (a)
Tahun
Perkembangan IUPHHK - Dua Dekade terakhir (Luas) (b) 70 Luas Juta Ha)
60 50 40 30 20 10 2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999/2000
1998/1999
1997/1998
1996/1997
1995/1996
1994/1995
1993/1994
1992/1993
1991/1992
1990/1991
1989/1990
0
Tahun
Gambar 9. Perkembangan Unit (a) dan Luas (b) Konsesi IUPHHK dalam Dua Dekade Terakhir (1990-2010) (Sumber: Dephut. 2010. IUPHHK Aktif (sampai May 2010). Direktorat Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi, Ditjen BPK. Jakarta; Dephut (2000) Statistik Pengusahaan Hutan 1999/2000. Ditjen Pengusahaan Hutan, Dephut. Jakarta)
Tabel 11. Jumlah IUPHHK Aktif (sampai Mei 2010) AKTIF TIDAK AKTIF TOTAL Unit Luas (Ha) Unit Luas (Ha) Unit Luas (Ha) Sumatera 14 668,169 15 805,816 29 1,473,985 Kalimantan 161 11,017,773 14 602,216 175 11,619,989 Sulawesi 19 1,291,760 6 338,160 25 1,629,920 Maluku 27 1,538,029 1 46,066 28 1,584,095 Papua 42 7,362,448 5 1,383,460 47 8,745,908 INDONESIA 263 21,878,179 41 3,175,718 304 25,053,897 Sumber: Dephut. 2010. IUPHHK Aktif (sampai May 2010). Direktorat Bina Rencana Pemanfaatan Hutan Produksi, Ditjen BPK. Jakarta; Provinsi
65
IUPHHK AKTIF PER MAY 2010 (Unit)
IUPHHK AKTIF PER MAY 2010 (Ha) Sumatera 14
Sumatera 668,169
Papua 42 Papua 7,362,448 Kalimantan 11,017,773
Maluku 27
Sulawesi 19 Maluku 1,538,029
Kalimantan 161 Sulawesi 1,291,760
Gambar 10. Sebaran IUPHHK Aktif (per May 2010) unit konsesi IUPHHK memiliki kinerja pengelolaan hutan yang buruk, dan kecenderungan buruk ini akan terus meningkat untuk waktu mendatang. Pada 2004 jumlah unit konsesi yang berkinerja buruk mencapai 60% dan hanya 11 % yang baik, sisanya (29%) masuk kinerja sedang. Namun, data terbaru (2009) mengungkapkan, bahwa sesuai dengan perolehan sertifikasi PHAPL mandatory, tercatat bahwa IUPHHK pemegang sertifikat PHAPL dengan predikat ”baik” dan masih berlaku waktu itu hanya sekitar 17,07% sedangkan yang memperoleh sertifikat dengan predikat ”sedang” yang masih berlaku mencapai 56,10% Dari sertifikat yang masih berlaku ini, tidak ada satu unit IUPHHK HA pun yang mendapat sertifikat dengan predikat ”sangat baik” (Dephut, 2010). Sampai 2009, nilai investasi berupa total aset dari IUPHHK berdasarkan laporan keuangan yang masuk ke Kemenhut tercatat mencapai angka Rp. 68,9 T dengan rataan sebesar Rp. 13,8 T per tahun dalam kurun 2005-2009 (Tabel 12). Angka ini akan jauh lebih besar, seandainya
semua
unit
IUPHHK-HA
menyampaikan
laporan
keuangannya.
6. Produksi Sejalan dengan penurunan jumlah dan luas HPH/IUPHHK-HA, fluktuasi menurun juga terjadi pada produksi hasil hutan kayu, terutama
66
Tabel 12. Jumlah dan Rataan Investasi IUPHHK 2005-2009
Th 2005 2006 2007 2008 2009 Rataan TOTAL
Jumlah IUPHHK yang Lapor (unit) 153 154 151 152 157
Nilai Perolehan (Rp jt) 7,799,093 5,261,655 7,735,561 7,773,625 8,357,074 7,385,402 36,927,008
Nilai Buku (Rp jt) 3,580,397 2,747,301 3,955,352 2,778,354 3,144,373 3,241,155 16,205,776
Total Aset (Rp jt) 15,106,282 14,779,781 17,307,758 9,533,413 12,157,399 13,776,926 68,884,632
Sumber: Kemenhut (2010) – data diolah
kayu bulat. Pada 1990 an produksi tahunan kayu bulat masih sekitar 10 jutaan m3 per tahun dan menurun menjadi sekitar 5,7 jutaan m3 pada 2005.
Penurunan ini juga disebabkan oleh diterapkannya kebijakan
pengurangan produksi kayu bulat tahunan dari hutan alam secara bertahap dan perlahan (soft landing). Melalui kebijakan ini produksi kayu hutan alam pada 2003 mengalami pengurangan sekitar 20% dari angka produksi tahun sebelumnya (KepMenhut 19/2003). Selanjutnya pada 2004 penurunan ditetapkan sekitar 17 % dari angka produksi tahun 2003 (KepMenhut No. 156/2003). Untuk 2005 penurunan ini hanya sekitar 5% saja dari angka produksi 2004 (SK Ditjen BPK No. 195/2004). Data 2008 menunjukkan adanya kenaikan kembali jatah potensi tebangan tahunan, mulai 2006, 2007 dan 2008 berturut menjadi sebesar 8,16 juta m3, 9,10 juta m3 dan 9,10 juta m3 (Dephut, 2009). Data kenaikan ini juga menunjukkan,
bahwa Kalimantan dan Papua merupakan dua wilayah
dengan jatah tebang paling besar terutama pada 2007 dan 2008 (Gambar 11).
67
Jatah Tebang Tahunan 2006-2003 6,000,000
JTT (m3)
5,000,000 4,000,000 3,000,000 2,000,000 1,000,000 Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Wilayah 2006
2007
Nusa Tenggara
Papua
2008
Gambar 11 Jatah Tebang Tahunan 2006-2008 Sumber: Dephut 2009 – data diolah
Data 2008 juga menunjukkan bahwa produksi kayu bulat dari HPH/IUPHK HA hanya mencapai 4,61 juta m3. Sedangkan produksi kayu bulat dari Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) sebesar 2,76 juta m3, lebih dari setengah hasil produksi IUPHHK HA. (Dephut 2009). Dengan mempertimbangkan tingkat konsumsi kayu bulat dan produksi resmi (belum memperhitungkan produk yang tidak dilaporkan dan penyelundupan) maka terdapat kesenjangan yang luar biasa antara kemampuan pasok dan angka permintaan. Misalnya, angka konsumsi kayu, termasuk bubur kertas pada 2004 mencapai total 50,5 juta m3, sementara tingkat produksi resmi untuk tahun yang sama total hanya sebesar 13,5 juta m3.
Jadi, ada sekitar 37 juta m3 kayu yang tidak
dilaporkan dan atau diduga diselundupkan (Dephut 2006). World Bank (2006c) mencatat kesenjangan seperti ini telah berlangsung relatif lama, setidaknya dalam periode 1985-2004. Melihat struktur sumber pasokan kayu bulat, kesenjangan ini diduga akan terus berlangsung, bila penurunan potensi hutan alam tidak diimbangi dengan peningkatan hutan tanaman dan sumber lainnya. Data 2005 menunjukkan, bahwa sumber utama pasokan 54.1 % berasal dari HTI, dan 38 % dari hutan alam (RKT HPH dan IPK) serta lainnya dari Perhutani (6.8 %) dan dari izin syah lainnya/ISL (1.13%) (Dephut, 2006).
Dephut (2010) memberikan
gambaran sumber pasokan ini lengkap untuk kurun 2005-2009 (Tabel 13)
68
Tabel 13. Produksi Kayu berdasar sumber pasokan (%) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009
Hutan Alam Hutan Tanaman Total HPH IPK/ISL Perhutani HTI Sumber Lain 13,64 50,48 0,07 30,97 4,85 100,00 18,92 13,08 0,08 64,46 3,46 100,00 20,00 13,66 0,15 63,99 2,20 100,00 14,47 8,65 0,30 69,73 6,84 100,00 14,16 19,29 0,25 55,22 11,07 100,00
Dephut (2010) juga memberikan ilustrasi besar produksi kayu antara hutan alam (HA) dengan hutan tanaman untuk kurun waktu yang sama (Gambar 12) Produksi Kayu Bulat Nasional 2005-2009 2009
Tahun
2008
2007
HA
HT
Total
2006
2005
-
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
35.00
40.00
Produksi (juta m3)
Gambar 12. Produksi Kayu Bulat Nasional dari HA dan HT (2005-2009) Dari gambar di atas tampak bahwa produksi kayu bulat nasional yang berasal dari sumber HA tampak menurun dari sekitar 20an juta m3 (2005) menjadi sekitar 12 jutaan m3 (2009). Sebaliknya terjadi fluktuasi dengan kecenderungan menaik pada produksi kayu bulat yang berasal dari HT, menyebabkan untuk kurun itu produksi kayu total pun berfluktuasi meningkat. Khusus untuk HA, kesenjangan di atas juga terjadi bersamaan dengan menurunnya jumlah dan luasan HPH/IUPHHK yang cukup nyata, seperti telah di gambarkan di atas, dimana tampak menyusut lebih dari setengahnya dalam kurun dua dekade terakhir (1989/1990-2010). Pada awalnya (1990an) jumlah konsesi hutan alam ini mencapai total hampir 600 unit yang beroperasi pada luasan hutan alam produksi sekitar 60 juta
69
ha. Saat ini (2010) jumlah unit dan luasan konsesi ini menyusut menjadi sekitar 200an unit dengan luas hanya sekitar 20 an juta ha saja. Dengan penyusutan unit dan luasan konsesi ini, di lapangan terjadi peningkatan luasan areal hutan produksi ini yang terlantar tidak dalam wilayah kelola HPH/IUPHHK dan bahkan cenderung menjadi sumberdaya tanpa pemilik (no body’s property) dengan akses terbuka. Sementara itu, volume ekspor dan pemasukan devisa diperoleh dari produk kayu olahan yang diekspor ke berbagai negara seperti: Jepang, Australia, Hongkong, Cina dan Korea Selatan. Volume dan nilai ekspor ini pada 2008 mencapai total USD 3,10 M (Tabel 14). Tabel 14. Volume dan Nilai Ekspor Produk Kayu Olahan (2008) Produk Kayu gergajian Kayu Lapis Bubur Kertas/Pulp Lembaran Veneer Papan partikel Papan serat Total
Volume (Kg) 50,910,120 1,668,337,181 2,615,776,379 11,532,700 4,243,936 180,029,160 4,530,829,476
Nilai (USD) 55,202,968 1,533,456,775 1,422,446,611 30,112,943 1,140,930 56,144,786 3,098,505,013
Sumber: Dephut (2009) – data diolah
Selain mengekspor produk kayu olahan, Indonesia juga melakukan impor kayu bulat dan kayu olahan antara lain dari Cina, Malaysia, Jepang, Selandia Baru, Jerman, Amerika Serikat, Brazil dan Swedia. Pada 2008, volume dan nilai impor ini mencapai nilai USD 1,47 M. (Tabel 15).
Tabel 15. Volume dan Nilai Impor Produk Kayu (2008) Produk Kayu bulat Kayu gergajian Kayu Lapis Bubur Kertas/Pulp Lembaran Veneer Papan partikel Papan serat Total
Volume (Kg) Nilai (USD) 57,882,756 18,120,503 192,882,447 127,369,826 53,039,416 28,032,870 892,958,546 1,156,307,565 21,185,651 31,991,961 230,718,805 63,972,943 102,228,370 43,553,955 1,550,895,991 1,469,349,623
Sumber: Dephut (2009) – data diolah
70
Dari data ekspor-impor produk kayu 2008 di atas, tampak bahwa neraca perdagangan kayu masih positif, hanya saja nilai impor hampir setengah (47,42%) dari nilai ekspor. Dari macam komoditi kayu, tampak bahwa nilai impor terbesar adalah bubur kertas yang mencapai nilai USD 1.16 M atau 78,70% dari nilai total impor. Tidak ada informasi lebih lanjut, negara mana yang mencerap nilai impor sebesar ini. 7. Kontribusi Kehutanan pada Perekonomian Ekonomi makro nasional antara 1970-1979 tercatat tumbuh rata-rata 7% per tahun. Pada pertumbuhan itu sektor kehutanan memberi andil cukup besar melalui ekspor dan investasi. Pada 1995, misalnya, nilai ekspor sektor ini mencapai USD 16 M dengan jumlah HPH waktu itu 487 unit (Dephut 2006b). Kurang dari 10 tahun kemudian, pada 2003, andil ini mulai menurun. Pada 2003 perolehan devisa sektor kehutanan turun menjadi hanya USD 6,6 M. Angka ini hanyalah 13,7% dari nilai keseluruhan ekspor non-migas saat itu. Angka devisa dimaksud berasal dari kayu lapis, kayu gergajian dan kayu olahan – total USD 2,8 M; kertas dan bubur kertas (USD 2,4 M), mebel (1,1 M) dan sisanya (USD 0,3 M) berasal dari kayu olahan lain. (Dephut, 2006b).
Kecenderungan menurun juga ditunjukkan oleh persen kontribusi sektor kehutanan terhadap besar PDB dalam kurun 1997 – 2006 (BPS, 2007), dimana rata-rata persen kontribusi hanya berkisar di bawah 2% dan bahkan di bawah 1% 10 (Gambar 13)
10
Hal ini diakui pula oleh Kemenhut, misalnya dalam Press Release Pusinfo Kemenhut 25 April 2011. Disebutkan, bahwa sejak 2005 subsektor kehutanan hanya menyumbang 1% terhadap PDB, dan bahkan pada 2009 menurun, hanya sebesar 0,8%. Kecilnya kontribusi subsektor kehutanan terhadap PDB ini disebabkan karena hanya dihitung dari komoditi primer, yaitu kayu bulat, rotan, jasa kehutanan, dll.
71
% Kontribusi Kehutanan terhadap PDB
Kontribusi (%)
2 1.5 1 0.5 0 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
Gambar 13 Persen Kontribusi Kehutanan terhadap PDB Ada hal yang kurang menggembirakan dibalik berapapun kontribusi sektor kehutanan di atas. Sekalipun tumbuh dan memberikan kontribusi yang relatif besar pada pertumbuhan ekonomi nasional, tapi kemudian kecenderungannya terus menurun, namun masyarakat, terutama yang hidup di dalam dan di sekitar hutan tetap miskin. CIFOR (2004) menyebutkan bahwa penduduk miskin di dalam dan di sekitar hutan mencapai
10,2
jutaan
orang.
Disebutkan,
bahwa
hal
tersebut
dimungkinkan, karena pemerintah belum membuka dan memberikan akses masyarakat setempat kepada pemanfaatan hutan produksi, akses kepada sumberdaya keuangan/modal dan hukum. Namun begitu, pemerintah sebetulnya telah menyiapkan dan melaksanakan sejumlah program yang berorientasi kemasyarakatan, seperti PMDH dan program peningkatan usaha masyarakat di sekitar hutan alam produksi. Program PMDH pada 2003 dilaksanakan di 267 desa yang menyerap sekitar 20.542 KK. Sementara kegiatan peningkatan usaha masyarakat di sekitar hutan produksi yang telah dilaksanakan meliputi 27 provinsi. Sayangnya, seperti telah dikemukakan juga di atas, beberapa kebijakan pemerintah semacam ini yang telah berjalan sejauh ini dinilai tidak berjalan sebagaimana mestinya antara lain karena sulit diimplementasikan dan pada akhirnya – dalam jangka pendek – lebih merupakan beban biaya tambahan (disinsentive) yang tidak ada kaitan langsung baik dengan upaya peningkatan efisiensi ataupun kapasitas produksi para pemegang konsesi usaha kehutanan.
72
C. Kesenjangan Tujuan dan Kenyataan 1. Tujuan dan Orientasi Usaha Kehutanan Dari semula, sebagaimana telah pula digariskan dalam UU5/67 beserta UU penopangnya terkait penanam modal (PMA dan PMDN) dan berbagai regulasi turunannya, semangat dan orientasi usaha kehutanan lebih kepada upaya memperoleh dana cair untuk membiayai pembangunan dan melanjutkan revolusi. Pasal 5, 20, dan 33 UUD 45 menjadi landasan konstitusional kegiatan usaha kehutanan sebagai perwujudan: ”usaha bersama atas azas kekeluargaan, dikuasai negara, dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 11 diorientasikan
untuk
tujuan
Itu sebabnya, usaha kehutanan
pembangun
ekonomi
nasional
dan
kemakmuran rakyat dengan berdasar pada berbagai azas tadi, termasuk azas kelestarian hutan dan azas perusahaan. Latar perlunya UU ini bahkan lebih ”heroik”, yakni untuk menjamin kepentingan rakyat dan negara dan untuk menyelesaikan Revolusi Nasional. Ini adalah penegasan, bahwa mengatur hutan penting untuk rakyat dan untuk menuntaskan revolusi. Dengan orientasi demikian, sumberdaya hutan telah diposisikan UU ini sebagai sumber kekayaan alam, karunia Tuhan, dipandang bermanfaat serbaguna, dan mutlak dibutuhkan umat manusia sepanjang masa, bahkan menjadi salah satu unsur basis pertahanan nasional, sehingga harus dilindungi dan dimanfaatkan guna kesejahteraan rakyat secara lestari. Begitulah pandangan yang terbangun saat itu dalam hal memosisikan sumberdaya alam, khususnya hutan alam sebagai faktor utama. Selanjutnya disebutkan pula, bahwa untuk mencapai tujuan seperti dikemukakan di atas, usaha kehutanan dilakukan negara dan dilaksanakan pemerintah, baik pusat maupun daerah berdasar UU yang berlaku. Diatur lebih jauh, bahwa pemerintah dapat melakukan usaha kehutanan itu
11
Dalam amandemen ke empat UUD ini, ditambahkan dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip: kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta keseimbangan ekonomi nasional.
73
bersama pihak lain, termasuk memberikan hak pengusahaan hutan kepada perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta. Dalam UU 41/99 tentang Kehutanan – pengganti UUPK 5/67 – usaha kehutanan diatur dalam konteks yang lebih luas, yakni pengelolaan hutan yang meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan dan konservasi alam. Usaha kehutanan lebih lanjut diatur dan mengerucut dalam kegiatan ”pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan”. Dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan, sebagai rujukan hukum usaha kehutanan, bertujuan memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan lestari. Dalam UU ini, pemanfaatan hutan terbuka untuk semua kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti pada Taman Nasional. Dengan begitu, tampak bahwa usaha kehutanan berada pada rejim pemanfaatan hutan alam produksi. Selain terbuka untuk semua kawasan hutan, UU ini juga mengatur bahwa pemanfaatan hutan produksi dapat mencakup bentuk pemanfaatan yang lebih luas di banding aturan serupa yang telah digariskan dalam UUPK 5/67. Dalam UU 41/99 pemanfaatan hutan produksi (alam) dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Diatur pula, bahwa pemanfaatan hutan produksi ini dilaksanakan masing-masing melalui pemberian izin usaha pemanfaatan: kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu, dan hasil hutan bukan kayu. Selain itu diatur pula izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu 12 Selanjutnya, izin pemanfaatan kawasan, pemungutan kayu dan non kayu dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi; sementara, izin pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan kayu dan non kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, BUMN, dan BUMD. 12
Pasal 28 UU 41/99 tentang Kehutanan
74
Untuk
maksud
pemberdayaan
ekonomi
setempat, pelaksanaannya
diwajibkan bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat. Untuk memenuhi dan bahkan menjamin asas keadilan, pemerataan, dan kelestarian, UU ini mengatur bahwa izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha yang teknis pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah. Sejalan dengan hal ini, UU 41/99 menggariskan pula bahwa para pemegang izin berkewajiban menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya. Sampai disini tampak ada sedikit pergeseran orientasi usaha kehutanan, setidaknya secara teks legal, untuk tujuan yang kurang lebih sama. Pergeseran tampak antara lain pada pemosisian usaha kehutanan sebagai manifestasi pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan alam yang adalah bagian unsur pengelolaan hutan. Pergeseran lainnya adalah terbukanya macam pemanfaatan dan penggunaan kawasan pada apapun kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti Taman Nasional. Pergeseran yang juga tampak adalah keberpihakan kepada masyarakat dalam bentuk kewajiban para pemanfaat sumberdaya hutan ini bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat. Dengan pergeseran orientasi demikian, sumberdaya hutan alam melalui UU 41/99 diposisikan masih sebagai karunia dan bahkan amanah Tuhan, yang disadari dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia. Hutan juga diposisikan sebagai kekayaan yang dikuasai Negara, yang diklaim memberi manfaat serbaguna bagi umat manusia. Dengan pemosisian seperti itu, UU ini menggariskan bahwa hutan wajib disyukuri, dan karenanya wajib diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Inilah gambaran bagaimana teks legal perundangan menempatkan hutan sebagai hal yang utama. Hal lain, melalui UU ini juga muncul pengakuan, bahwa hutan, dengan berbagai posisi legalnya tadi, diakui cenderung menurun kondisinya. Dengan begitu UU ini menggariskan bahwa keberadaan hutan
75
demikian harus dipertahankan secara optimal: ”.......dijaga
daya
dukungnya secara lestari, diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat”. Selanjutnya dengan kerangka itu pula, UU ini menggariskan bahwa pengurusan hutan yang berkelanjutan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional.
Disini,
menampun menjadi kata kunci, bahwa hal-hal diluar hutan masih diposisikan sebagai eksogen (exogenous). Dengan berbagai pergeseran ini pula, UU 41/99 secara tegas menyebutkan bahwa UU 5/67 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8) perlu diganti, karena dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan, dan tuntutan perkembangan keadaan. Pergeseran ini masih menyisakan pertanyaan, apakah perubahan ini dilandasi dan atau berimplikasi pada perubahan aliran kerangka pikir. Bila dicermati teks legalnya, dimana tidak cukup gambaran adanya/terjadinya keterlibatan para pihak pemangku kepentingan potensial (potential benefeciaries), keterlibatan
modal
bentuk
lain
selain
hutan
alam,
dan
masih
diposisikannya hutan alam sebagai hal pokok, maka pergeseran itu sesungguhnya belum mencerminkan perubahan kerangka pikir. Dan dengan alasan yang sama kerangka pikir yang ada masih sangat kental sebagai aliran ”the forest first”. 2. Capaian Kinerja: Tidak Lestari, Tidak Menyejahterakan, Tidak Adil Dari serangkaian kondisi dan situasi hutan produksi alam sebagaimana telah di gambarkan di atas (Sub Bab B dan C), diperoleh pengetahuan bahwa ada sejumlah kecenderungan. Pertama, banyak hal yang terindikasi menurun; dari mulai kualitas produksi dan luas hutan produksi, jumlah konsesi usaha kehutanan baik luas maupun jumlah unit usahanya sampai pada angka perolehan devisa dan secara agregat kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional. Sampai disini, dapat
76
dikatakan peran ekonomi sumberdaya hutan alam menurun. Kedua, berbagai perolehan di sektor ini baik pada saat booming di awal usaha kehutanan (1970an) maupun saat ini (2010) dalam kecenderungannya yang terus menerus menurun, peran sosial sektor kehutanan atas upaya pengentasan kemiskinan tampak tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan, antara lain oleh masih tingginya angka kemiskinan, terutama di dalam dan di sekitar hutan serta semakin berkurangnya daya serap tenaga kerja sektor ini sejalan dengan berbagai kecenderungan penurunan tadi. Disisi lain, berbagai penurunan itu sendiri bisa dipastikan justru menambah jumlah angka pengangguran yang ada. Dengan begitu semakin beralasan, bila muncul penilaian bahwa peran sosial ekonomi sumberdaya hutan alam tidak nyata, terlebih saat dikaitkan dengan konteks ”sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Artinya, tujuan usaha kehutanan untuk menjalankan mandat konstitusional (Pasal 33 UUD 45) dapat dikatakan tidak berhasil. Ketiga, sementara dari sisi lingkungan, gambaran menurunnya kondisi fisik botanis hutan yang tercermin dari berbagai penurunan jumlah luasan dan kualitas hutan alam sebagaimana disinggung di atas dapat dikatakan berujung pada menurunnya peran lingkungan dari sektor ini. Hal ini dikaitkan, misalnya, dengan fenomena ketidakseimbangan alam, antara lain berupa keadaan iklim yang semakin tidak menentu. Keadaan ini dapat dipahami dari situasi anomali lingkungan, dimana iklim yang tidak menentu tadi, sering memperlihatkan fenomena banjir di musim hujan dan kekeringan serta kekurangan air di musim panas. Saat banjir, tak jarang pula disertai erosi tinggi dan pendangkalan sungai bahkan sampai longsor. Periode banjirpun secara alami menjadi lebih sering. Sebaliknya, saat musim kering dimana kekurangan air melanda, di beberapa tempat sering pula terjadi kebakaran hutan. Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan hampir seluruh Kalimantan, merupakan tempat-tempat langganan kebakaran hutan yang pernah terjadi hampir setiap tahun di sana. Keempat, bila berbagai kecenderungan kondisi di atas dipahami secara pragmatis sebagai representasi sebuah capaian kinerja usaha kehutanan dalam hal kesejahteraan, maka dapat pula ditarik pengetahuan bahwa
77
secara sosial ekonomi dan lingkungan usaha kehutanan sejauh ini kurang berhasil – untuk tidak mengatakan gagal – dalam menjalankan mandat keramatnya, sebagaimana tertuang dalam pasal 33 UUD 45: ”....bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kekurang berhasilan ini dapat dianggap sebagai indikasi bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa tidak lestari dan sekaligus tidak mensejahterakan. Bahwa sektor kehutanan pernah memiliki posisi yang baik dalam hal perolehan devisa negara dan kontribusinya atas perekonomian nasional; dan itu berlangsung di tengah tetap miskinnya masyarakat, terutama mereka yang berada di dalam dan di sekitar hutan mengindikasikan, bahwa ada persoalan ketimpangan dalam hal distribusi manfaat dari hutan alam. Artinya, kinerja usaha kehutanan yang dicapai sejauh ini, selain tidak lestari dan tidak mensejahterakan, juga tidak adil. 3. Kesenjangan: Masalah Kebijakan Sementara, baik UU 5/67 maupun penggantinya, UU 41/99, menetapkan tujuan usaha kehutanan sebagai upaya mencapai tujuan pembangun ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat dengan berdasar pada berbagai azas, termasuk azas keadilan, azas kelestarian hutan dan azas perusahaan (UU 5/67); agar diperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan lestari (UU 41/99). Dari kedua versi UU kehutanan ini
”kemakmuran
rakyat”
dan ”kesejahteraan
seluruh
masyarakat” menjadi kata kunci pertama dari setting tujuan kebijakan usaha kehutanan yang telah ditetapkan. ”Kelestarian hutan” dan ”adil dan lestari” menjadi kata kunci kedua yang merupakan predikat yang dikerangka harus melekat pada setting tujuan kebijakan usaha kehutanan itu. Bila berbagai kecenderungan capaian kinerja usaha kehutanan sebagaimana digambarkan diatas ditakar oleh kedua kata kunci terkait setting tujuan kebijakan usaha kehutanan dimaksud, maka tampak adanya kesenjangan (gap) antara tujuan kebijakan yang telah digariskan dalam
78
perundangan dengan capaian kinerja usaha kehutanan. Kesenjangan ini secara kualitiatif disarikan dalam Tabel 16 berikut.
Tabel 16. Kesenjangan antara Tujuan Kebijakan dan Kinerja Setting Tujuan Kebijakan Realitas Kinerja Usaha Kehutanan Pembangun ekonomi nasional • Kualitas produk, produksi dan luas hutan produksi, dan kemakmuran rakyat; jumlah konsesi usaha kehutanan baik luas maupun jumlah unit usahanya, perolehan devisa dan kontribusi Azas keadilan, azas sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional – kelestarian hutan dan azas terus menurun. perusahaan (UU 5/67) Manfaat optimal bagi • Peran sosial sektor kehutanan atas upaya pengentasan kemiskinan tidak signifikan; angka kesejahteraan seluruh kemiskinan, terutama di dalam dan di sekitar hutan masyarakat secara adil dan tetap tinggi, daya serap tenaga kerja kurang. lestari (UU 41/99). • Secara sosial ekonomi dan lingkungan usaha Kata kunci I : ”kemakmuran kehutanan kurang berhasil – untuk tidak mengatakan rakyat” dan ”kesejahteraan gagal – dalam menjalankan mandat keramat pasal 33 seluruh masyarakat” UUD 45. Kata kunci II: ”Kelestarian • Usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa hutan” dan ”adil dan lestari” tidak lestari, tidak mensejahterakan, dan tidak adil.
Ini mengundang pertanyaan terkait bagaimana kesenjangan ini bisa terjadi, bahkan dalam kurun yang begitu lama, atau setidaknya dalam lima dekade. Pertanyaan ini berkaitan setidaknya dengan dua hal terkait masalah kebijakan usaha kehutanan: kegagalan kebijakan itu sendiri dalam mencapai tujuan kebijakan dan bagaimana cara atau kerangka pikir para pihak yang berperan dalam merumuskan kebijakan. Hal pertama lebih berkaitan dengan ”kualitas” kebijakan usaha kehututanan dan hal kedua lebih kepada dinamika diskursus para pihak yang berperan dalam proses konstrruksi kebijakan yang telah berkembang dan mengkristal kedalam teks peraturan perundangan yang mengatur usaha kehutanan. Dengan demikian, menarik pengetahuan tentang dua aspek ini dari bahan empiris yang ada, terutama dari dokumen kebijakan usaha kehutanan, diharapkan dapat sekaligus menjawab pertanyaan ”mengapa” kesenjagan itu hadir untuk waktu yang begitu lama, dan bahkan sampai hari ini.
79
D. Kebijakan Usaha Kehutanan 1. Kebijakan Usaha Kehutanan Sebelum 1998 13 Kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan Indonesia, terutama hutan alam produksi di Luar Jawa, ditandai dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 64/1957 tentang Penyerahan sebagian Urusan Pemerintah Pusat di Lapangan Perikanan Laut, Kehutanan, dan Karet Rakyat kepada Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I (provinsi). Pada Bab 2 Pasal 10 PP 64/1957 ini, diatur bahwa pemerintah di tingkat provinsi memberikan ijin pemanfaatan kayu dalam bentuk: (a) konsesi hutan sampai luasan 10.000 ha dengan jangka konsesi 20 tahun, (b) persil tebangan sampai luasan 5.000 ha selama lima tahun, dan (c) ijin tebang kayu dan dan pemungutan non kayu sampai batas tertentu selama dua tahun. Dengan kewenangan ini Pemerintah Provinsi lalu memungut pajak dan royalti atas hasil panen kayu dan hasil lainnya berdasarkan luas tebangan dan volume pemungutan.
Sekalipun tidak disebutkan
besarannya dalam PP ini secara pasti, sebagian besar dari pungutan itu disetor ke Pemerintah Pusat dan Kabupaten. Setidaknya sampai 1960an pelaksanaan PP tersebut relatif masih belum menimbulkan akibat atau kerusakan berarti pada lahan dan sumberdaya hutan. Kemungkinannya, karena jumlah dan luas areal yang diberikan melalui tiga macam konsesi di atas masih kecil, relatif atas luas hutan yang ada dan tersedia waktu itu, yang sebagian terbesar kondisinya masih perawan (virgin forests). Dengan kata lain, pemberian konsesi saat itu tergolong belum begitu berdampak negatif, termasuk terhadap kehidupan
keseharian
masyarakat
sekitar
hutan.
Demikian
pula,
keberadaan konsesi belum secara nyata memperlihatkan konflik yang serius dengan masyarakat. Sebaliknya, kehadiran konsesi itu justru lebih membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Meski tergolong banyak kewenangan telah dialokasikan kepada Pemerintah Provinsi melalui PP ini, beberapa kewenangan lain, seperti pengalokasian hutan,
13
Pada masa paska kemerdekaan, khususnya setelah 1950an.
80
penetapan hutan, dan perencanaan kehutanan tetap berada pada Pemerintah Pusat. Dengan pemberlakuan Undang-Undang Pokok Kehutanan No. 5/1967 tentang Kehutanan, desentralisasi urusan kehutanan sebagaimana telah diatur dalam PP 64/1957 relatif dipersempit. Saat bersamaan, kewenangan Pemerintah Pusat semakin diperlebar, menandai kembalinya sentralisasai urusan kehutanan. Pada periode inilah sektor kehutanan, dipacu usahanya dan dijadikan andalan bagi pembangunan ekonomi nasional. Peran sentralisasi Pemerintah Pusat semakin menguat, setelah dikeluarkannya
paket
kebijakan
peningkatan
investasi
dengan
pemberlakuan Undang-undang (UU) No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN) serta penerbitan PP 21/70 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan, PP 22/1967 tentang Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan PP 33/70 tentang Perencanan Hutan. Dengan serangkaian aturan ini pemerintah memberikan konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
14
secara besar-besaran pada
kawasan hutan alam produksi dengan total alokasi, waktu itu, mencapai lebih dari 60 juta hektar di seluruh Indonesia. Pada masa inilah eksploitasi dan komersialisasi hutan alam produksi dilakukan besar-besaran. Tujuan utama usaha kehutanan waktu itu adalah, memacu perolehan devisa sekaligus untuk mengatasi kondisi ekonomi nasional yang saat itu dipandang begitu memprihatinkan. Upaya resentralisasi semakin menguat, karena pemerintah pusat mengendalikan hampir keseluruhan kebijakan usaha kehutanan melalui berbagai isntrumen peraturan-perundangan dan perencanaan. Kebijakan pemberian konsesi HPH secara besar-besaran dianggap telah mampu membantu perekonomian nasional dari sisi perolehan devisa dan pembangunan industri kehutanan. Namun, tingkat ekstraksi hutan dan 14
Secara detail operasional pemberian HPH diatur melalui SK Mentan No. 57/1967 tentang Syarat-syarat dan Cara Penyelesaian Permohonan HPH dan SK Menhut No. 254/1968 tentang Pelimpahan Wewenang Penandatanganan Surat Keputusan Pemberian HPH kepada Direktur Jenderal Kehutanan, Departemen Pertanian
81
akumulasinya yang terjadi waktu itu telah merubah bentang alam secara nyata, dimana hutan alam yang semula perawan belantara banyak berubah wujud menjadi hutan sekunder. Angka-angka dan data terkait deforestasi dan kerusakan hutan dan berbagai penurunan kondisi hutan alam sebagaimana telah diuraikan di atas mengonfirmasikan hal ini. Kondisi di atas dikuatkan Gautam et al (2000) yang menekankan bahwa
hutan
menjadi
kontributor
utama
pertumbuhan
ekonomi,
menjadikan Indonesia sebagai pemimpin utama ekspor kayu tropis dunia. Namun, capaian dalam pertumbuhan
ekonomi ini harus ditebus oleh
kerusakan lingkungan akibat kerusakan hutan alam yang cepat dan terus menerus. 2. Kebijakan Usaha Kehutanan Setelah 1998 Resentralisasi urusan dan usaha kehutanan sebagaimana digambarkan di atas terus berlangsung, sampai UUPK 5/67 kemudian digantikan UU 41/1999 tentang Kehutanan dan diberlakukannya UU 22/99 tentang Pemerintah Daerah bersamaan dengan UU 25/99 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dua undang-undang yang disebut terakhir ini kemudian diganti berturut turut dengan UU 32/2004 dan UU 33/2004.
Dalam UU 41/1999 ini, istilah Hak Penguasahaan
Hutan (HPH) berganti nama menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) 15 . Adapun aturan turunannya adalah PP 6/99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi yang masih tetap merujuk UU5/67, yang diubah dengan PP 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP 34/2002 ini telah merujuk UU 41/99, tapi kemudian diganti dengan PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. PP ini pun akhirnya diganti dengan PP 3/2008 tentang
15
Bersamaan dengan penggatian istilah HPH, diganti pula beberapa istilah. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) berganti menjadi IUPHHK-HT, Industri Pengolahan Kayu Hulu (IPKH) menjadi Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK).
82
Perubahan PP 6/2007. Dengan UU dan serangkaian produk peraturan turunannya inilah usaha kehutanan selanjutnya diatur. Dengan berbagai perubahan itu, pergerseran kebijakan tampak antara lain pada ditempatkannya keseimbangan fungsi hutan dan lingkungan hidup.
Namun, prinsip usaha kehutanan selebihnya tidak
bergeser jauh: dengan menjaga lingkungan, hutan alam tetap diusahakan bagi kemakmuran rakyat lintas generasi dalam koridor kelestarian dengan upaya untuk memastikan kelayakan Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi (KPHP) dan pencairan dana jaminan kinerja HPH. Perubahan lain yang relatif signifikan terletak pada upaya untuk lebih melibatkan dan membuka hak dan akses masyarakat dalam usaha kehutanan; dicirikan antara lain dengan menata ulang besaran luas HPH dan struktur kepemilikannya. Latar kebijakan usaha kehutanan juga tidak begitu bergeser, kecuali adanya pengakuan bahwa hutan alam (sudah) cenderung menurun kondisinya dan karenanya diperlukan prinsip keterbukaan, profesionalisme dan tanggung gugat dalam pengelolaan hutan. Hal ini diperlukan untuk menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat, budaya, tata nilai masyarakat berdasarkan norma hukum nasional. Berbagai pergeseran yang muncul pada periode ini dapat dikaitkan sebagai simbol era reformasi kehutanan. Kegiatan usaha kehutanan sendiri mengerucut sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang bertujuan memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan ini antara lain berupa pemanfaatan hasil hutan kayu, dan dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Izin ini diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, dan BUMN/D. Melekat atas hak usaha itu, sejumlah ketentuan dan kewajiban yang harus dipenuhi pemegang IUPHHK. Pergeseran kebijakan usaha kehutanan pada periode ini juga dipengaruhi kebijakan seputar diserahkannya sebagian urusan kehutanan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah melalui pemberlakuan PP
83
62/1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Pemerintah Daerah. Dengan PP ini maka PP 64/1957 sepanjang menyangkut ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam PP 62/1998 dinyatakan tidak berlaku lagi 16 . UU 41/99 mengelaborasi
penyerahan kewenangan ini dengan
menegaskan bahwa pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan penyelenggaraan kehutanan kepada pemerintah daerah. Pelaksanaan penyerahan sebagian kewenangan ini ditujukan bagi upaya meningkatkan efektivitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. 17 Di lapangan, berbagai pergeseran ini ditandai pula dengan menurunnya banyak hal, terutama jumlah unit dan luasan IUPHHK HA atau HPH sebagaimana telah diilustrasikan di atas. Adapun,
dari
sisi
domain
pengaturan,
besar
pergeseran
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Domain Substansi yang diatur UU 5/67 dan UU 41/99 UU 5/1967 UU 41/1999 Ketentuan umum Ketentuan umum Status dan Fungsi Hutan Pengurusan Hutan Pengurusan Hutan Perencanaan Hutan Perencanaan Kehutanan Pengusahaan Hutan Pengelolaan Hutan Perlindungan Hutan LitbangDiklatLuh Pengawasan (kehutanan) Penyerahan Kewenangan Masyarakat Hukum Adat Peran serta masyarakat Gugatan Perwakilan Penyelesaian sengketa kehutanan Ketentuan pidana Ketentuan Pidana Ganti rugi dan sanksi administratif Ketentuan Peralihan Ketentuan Peralihan Ketentuan Penutup Ketentuan Penutup
16 17
Pasal 20 PP 62/1998 Pasal 66 UU 41/99
84
Adapun skema pengaturan pengusahaan hutan alam menurut kedua UU Kehutanan ini, sebagaimana tampak pada Tabel 18. Tabel 18. Skema Pengusahaan Hutan menurut UU Kehutanan Aspek Tujuan
UU 5/67 memperoleh, meningggikan, produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat Kelestarian hutan, perusahaan
Azas Instrumen
Rencana karya/bagan kerja mencakup: penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan.
Pelaksanaan
Dilakukan Negara, dilaksanakan Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah berdasar Undang-undang yang berlaku; pemerintah dapat bersama pihak lain: Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta dapat diberikan hak pengusahaan hutan; Warganegara Indonesia, Badan-badan Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki warganegara Indonesia dapat diberikan hak pemungutan hasil hutan; Pemerintah, perusahaan negara-swasta, badan hukum Indonesia
Para pihak terkait
UU 41/99 Memperoleh manfaat optimal, bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan lestari Keadilan, pemerataan, lestari, dan kepastian usaha Izin usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan; pemanenan dan pengolahan hasil hutan Dilakukan pada semua kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti dan rimba pada TN; Dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dilaksanakan masingmasing melalui pemberian izin usaha. Para pemegang izin berkewajiban menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya Pemerintah pusat-daerah, perusahaan negara-swasta, koperasi.
3. Tonggak Kunci Kebijakan dan Implementasi Memahami berbagai pergeseran di atas, pada dasarnya adalah memahami aspek historis kebijakan usaha kehutanan, untuk menarik pengetahuan sejauh mana kebijakan itu dikerangka dan bagaimana pendekatan kelestarian dalam usaha kehutanan itu dimaknai dan dioperasionalkan dan mendapat penyesuaian dari tataran konsepsi teoretik kedalam tataran praktis dalam kebijakan. Ini adalah akumulasi dari serangkaian kejadian masa lalu yang dianggap penting dalam memosisikan sumberdaya hutan alam produksi. Dengan kerangka demikian maka kedua UU kehutanan sebagaimana telah disinggung di atas dan UU terkait lainnya yang dinilai sebagai penopang bagi berjalannya kedua UU kehutanan ini dapat dianggap sebagai tonggak kunci kebijakan. Salah satu pertimbangannya adalah, karena keseluruhan UU itu dapat merupakan sumber informasi awal dan sekaligus kunci masuk untuk mengetahui dan sekaligus
85
memahami, bagaimana kemudian hutan diposisikan dan usaha kehutanan diatur yang dari kedua hal itu, dapat ditarik pengetahuan bagaimana sesungguhnya kerangka pikir dibalik historis pergeseran kebijakan itu. Sementara peraturan perundangan dan peraturan pelaksanaan setingkat PP dan Keputusan Menteri sebagai penjabaran masing-masing UU Kehutanan itu dalam penelitian ini ditempatkan sebagai upaya implementasi dari usaha kehutanan yang telah digariskan dalam UU di atasnya. Dalam hal ini, data dan informasi terkait kondisi dan situasi hutan alam produksi di Luar Jawa maupun dinamika usaha kehutanan yang telah terjadi diposisikan sebagai output dan sekaligus outcome dari kebijakan usaha kehutanan selama ini. Berbagai kecenderungan penurunan kondisi dan kualitas sumberdaya hutan alam dinilai sebagai dampak. Untuk tujuan penyederhanaan dan untuk memudahkan analisis, tonggak kunci kebijakan ini dipilah dalam penggalan kurun sebelum dan sesudah 1998 sebagaimana telah dijelaskan di bab-bab awal. E. Ringkasan Dalam empat kurun penguasaan dari mulai masa penjajahan sampai era pasca kemerdekaan – termasuk otonomi daerah, pengelolaan hutan alam di Indonesia mengalami beragam pendekatan dan orientasi pengelolaan yang berbeda yang pada hakekatnya menyiratkan seolah-olah ada keragaman dalam kerangka berpikir dan landasan Sekalipun
keseluruhannya
sama-sama
pengelolaan yang digunakan. berpijak
pada
landasan
konstitutional, yakni menjalankan mandat keramat Pasal 33 UUD 1945. Dalam kurun empat periode ini, semangat eksploitatif begitu dominan dan konsisten, bahkan ditengah kondisi dan situasi hutan alam yang telah mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun. Konsistensi ini begitu kuat, sekalipun penurunan kondisi tersebut telah menjadi keprihatinan publik yang meluas dan bahkan perhatian dunia internasional. Fluktuasi yang menurun itu, ditandai antara lain oleh besarnya penyusutan luas kawasan dan potensi hutan alam, maraknya pembalakan liar, multidimensi konflik dan meningkatnya angka deforestasi dan
86
degradasi hutan alam. Akibat tingginya laju deforestasi hutan alam tropis Indonesia tercatat sebagai perusak hutan alam tropis terbesar pada Guinnes Book World of Record dan bersamaan dengan itu sekaligus tercatat sebagai emiter gas rumah kaca terbesar ketiga dunia. Sementara itu, kinerja usaha kehutanan juga ditandai oleh fluktuasi menurun, terutama terkait jumlah luasan dan unit HPH/IUPHHKHA. Keadaan ini diikuti pula oleh penurunan produksi kayu bulat, sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan antara kemampuan pasok dan permintaan. Kesenjangan ini dipenuhi antara lain dari impor kayu yang nilainya mencapai hampir setengah (47.42% pada 2008) dari nilai ekspor kayu Indonesia. Sejalan dengan penurunan ini, kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian pun menurun sampai kurang dari 1%. Kontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan pun relatif kecil. Selain dalam peran sosial ekonomi, penurunan juga terjadi dalam hal peran lingkungan dari hutan alam ditandai dengan fenomena ketidakseimbangan alam, antara lain berupa anomali keadaan iklim yang semakin tidak menentu disertai banjir, kekeringan, longsor dan bencana alam lainnya yang semakin sering terjadi dengan periode yang tidak menentu. Berbagai kecenderungan kondisi menurun di atas menunjukkan bahwa secara sosial ekonomi dan lingkungan kinerja usaha kehutanan sejauh ini kurang berhasil – untuk tidak mengatakan gagal, khususnya dalam menjalankan mandat konstitutional tadi. Dengan alasan yang sama, usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa tidak lestari dan sekaligus tidak mensejahterakan dan juga tidak adil. Artinya, kinerja usaha kehutanan masih belum berhasil menjalankan mandat konstitusionalnya. Gambaran kinerja tersebut mengerucut antara lain dan terutama pada persoalan kebijakan, yakni adanya kesenjangan antara tujuan kebijakan dengan kinerja usaha kehutanan sebagaimana digambarkan diatas. Hal ini berkaitan setidaknya dengan dua hal: kerangka pikir dibalik kebijakan itu dikonstruksi dan sekaligus kualitas kebijakan itu sendiri baik sebelum dan setelah 1998.
87
Dari berbagai pergeseran kebijakan yang ada sebagaimana telah dijabarkan diatas terakumulasi sejumlah pengetahuan, bahwa (a) pemerintah sebagai pihak paling dominan dalam mengkerangka kebijakan usaha kehutanan, termasuk dalam memosisikan sumber daya hutan yang (b) masih ditempatkan sebagai hal utama, (c) keterlibatan masyarakat telah cukup disinggung dalam pergeseran itu, tapi tidak cukup operasional, bagaimana hal itu dapat menjamin partisipasi sesungguhnya para pemangku kepentingan potensial (potential benefeciaries) turut ambil bagian dalam banyak hal terkait usaha kehutanan, dan (c) tidak disinggung bagaimana keterlibatan modal bentuk lain diseimbangkan dengan modal alam, yakni sumberdaya hutan alam, dalam mencapai tujuan usaha kehutanan yang adil, lestari dan menyejahterakan sesuai mandat konstitusi yang melandasinya. Akumulasi pengetahuan demikian mengisyaratkan bahwa aliran kerangka pemikiran dibalik kebijakan usaha kehutanan cenderung masih diseputar ”the forest first”.
88
Halaman ini sengaja dikosongkan – This page intentionally left blank [AK]
BAB IV. KECENDERUNGAN DAN KONTESTASI KERANGKA PIKIR
A. Pendahuluan Dari gambaran kinerja usaha kehutanan sejauh ini, antara lain sebagaimana telah dijabarkan pada Bab 3, diperoleh pengetahuan, bahwa usaha kehutanan memperlihatkan pasang surut dengan kecenderungan menukik menurun karena berbagai sebab (FWI/GFW, 2002). Namun begitu, orientasi dan semangat ekploitasi atas hutan alam relatif tetap, bahkan tampak semakin menguat (Dephut 2007, Dephut 2009). ”Dalam mengiringi dinamika pembangunan Indonesia, peran kawasan hutan menjadi penting dalam mendukung peningkatan ekonomi bangsa. Undangundang telah menetapkan pembagian kawasan hutan untuk dimanfaatkan sesuai fungsinya, yaitu fungsi produksi, lindung dan hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional.” (Dephut 2009; hal 1) ”Fokus utama kebijakan kehutanan di luar Jawa pada tahap awal pembangunan nasional adalah pengumpulan devisa melalui ekspor kayu bulat” (Kehutanan Indonesia: Soedjarwo sampai MS Kaban, Dephut 2007, hal 25)
Sinyal berbagai kerusakan hutan akibat deforestasi dan degradasi hutan alam yang mencapai rentang angka 1 – 2 juta ha per tahun untuk berbagai periode (Worldbank 2006a, Dephut, 2008; Anonimous, 2008) itu tampak tidak membuat kecenderungan eksploitatif ini berubah, relatif terhadap visi dan orientasi pemerintah dalam pemanfaatan hutan alam produksi (Dephut, 2007, Dephut 2009) dan terhadap beberapa pandangan praktisi dan pengamat usaha kehutanan. Berangkat dari situasi ini dan dengan mencermati berbagai isi, substansi dan narasi berbagai peraturan perundangan terkait usaha kehutanan, dalam Bab ini coba digali beberapa kecenderungan diskursus dibalik kebijakan usaha kehutanan. Dari berbagai kecenderungan ini coba dipahami kecenderungan kerangka pikir yang melatari kebijakan usaha kehutanan itu selama ini. Dari kecenderungan inilah selanjutnya dipelajari dan ditarik keterkaitan dengan kinerja usaha kehutanan yang memperihatinkan di satu sisi, dengan semangat dan orientasi usaha yang masih terus eksploitatif di
90
sisi
lain,
yang
sesungguhnya
mencerminkan
semacam
”kualifikasi”
kecenderungan kerangka pikir. Seperti apa kecenderungan itu dan bagaimana serta sejauh mana pandangan para pihak atas situasi yang sama yang digali baik melalui hasil wawancara maupun online polling memberikan semacam konfirmasi atas ”kualifikasi” dimaksud. Betulkah telah terjadi kekeliruan atau bahkan stagnasi kerangka pikir selama ini, khususnya dalam mengkonstruksi kebijakan usaha kehutanan? Seperti apa kekeliruan itu? Lalu apa implikasinya dari semua itu? B. Ikhtisar Kebijakan Contoh lengkap intisari hasil atau ikhtisar isi dan narasi dokumen empiris tertulis yang tersedia dapat dilihat pada Lampiran 6 dan Lampiran 7. Dari ikhtisar ini dirangkum perbandingan antara tingkat perundangan, terutama UU dan PP, dari empat aspek narasi utama: (a) pemosisian hutan alam, (b) pemaknaan kelestarian, (c) pelaksana usaha kehutanan, dan (d) syarat/hak dan kewajiban, sebagaimana hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari ikhtisar ini pula dikonstruksi karakteristik usaha kehutanan sebagaimana disajikan pada Lampiran 10. Sementara, initisari makna kelestarian yang terekpresikan dalam ikhtisar disajikan pada Lampiran 11. Substansi kebijakan usaha kehutanan sebagai rangkaian diskursus, serta perkiraan proses bagaimana kebijakan di konstruksi dipahami melalui keseluruhan hasil ikhtisar ini dan sintesisnya. 1. Substansi Sebelum 1998. UU No. 5/67 tentang UUPK secara tekstual menggariskan landasan usaha kehutanan dengan serangkaian argumen pembuka yang menekankan bahwa: (a) hutan alam sebagai anugerah Tuhan YME, yang diposisikan sebagai (b) sumber kekayaan alam dengan manfaat serba guna, antara lain sebagai basis pertahanan nasional, dan (c) multi-manfaat itu mutlak dibutuhkan umat manusia sepanjang masa, sehingga (d) hutan alam harus dilindungi serta (e) dimanfaatkan secara lestari. Ini diperkuat sebelumnya dengan diterbitkannya UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
91
(PMA), disusul kemudian dengan keluarnya UU No. 6/68 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). ”Tiga serangkai” instrumen UU ini dikenal sebagai tonggak kunci kebijakan, dimulainya usaha besar-besaran di bidang pengusahaan hutan alam produksi Indonesia di luar Jawa. Kegiatan usaha kehutanan sendiri dalam UUPK 5/67 ini secara khusus diatur pada Bab IV, Pasal 13-14. Kelestarian di tingkat UU dimaknai sebagai cara atau instrumen terkait peruntukan, penyediaan, pengadaan, dan penggunaan hutan. Selain itu kelestarian juga dimaknai sebagai dasar/azas mencapai tujuan usaha kehutanan, bersanding dengan azas perusahaan (baca: dimensi ekonomi). Argumen pembuka semacam itu pun muncul dalam perundangan turunannya, yakni dalam PP 22/67 dan PP 21/70 dalam uraian frase yang mirip-mirip, antara lain keyakinan akan hutan alam yang memiliki potensi ekonomi yang perlu segera dimanfaatkan secara maksimal dan lestari atas nama pembangunan nasional dan menyelesaikan revolusi untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat. Di tingkat PP ini kelestarian ditempatkan sebagai koridor atau pembatas dalam pemanfaatan. Pada PP 21/70, misalnya, kelestarian mengerucut pada aturan (a) keharusan bahwa pemanfaatan hutan disertai dokumen perencanaan yang didalamnya dipastikan masuk unsur kelestarian, dan (b) keterlibatan ahli kehutanan dalam pemanfaatan hutan. Pada PP 22/67 hal ini relatif lebih tegas, misal dari sisi pendekatannya yang tersurat jelas dimulai pada argumen pembuka PP ini. ” ..........pengurusan hutan yang bertujuan mencapai manfaat sebesarbesarnya dan serba guna serta lestari memerlukan biaya yang tidak sedikit ......biaya tersebut tidak dapat seluruhnya dibebankan pada APBN.... melainkan harus .... dihasilkan oleh hutan itu sendiri........; demi kelancaran pengusahaan hutan.......; perlu diadakan .....pungutan atas pengusahaan dan hasil hutan..........; pungutan tersebut perlu ditetapkan penggunaannya untuk kepentingan pembiayaan pembangunan daerah dan pembiayaan pembangunan rehabilitasi kehutanan dalam arti yang luas” (PP 22/67, konsideran a-e, Hal 1).
92
Teks kutipan di atas menegaskan bahwa kelestarian didekati dari disiapkannya mekanisme pungutan resmi 1 dimana ada bagian dari jumlah pungutan itu yang harus ”dikembalikan” ke hutan untuk dialokasikan sebagai biaya pembangunan rehabilitasi kehutanan, yang kemudian ditutup dengan teks:
”rehabilitasi
kehutanan
dalam
arti
yang
luas”.
”Teks”
ini
memperlihatkan sebuah ”kelonggaran”, terutama dari sisi konsistensi pada tataran pelaksanaan dan penegakan aturan main itu. Dari ikhtisar isi dan narasi atas puluhan dokumen SK HPH 2 dalam periode ini antara lain tampak bahwa keseluruhan dokumen SK HPH
memiliki
struktur dan urutan teks konsideran dan diktum serta isi lampiran yang relatif sama; didasari pula dengan pertimbangan kunci yang sama, yakni bahwa wilayah hutan yang dimohon untuk diusahakan tidak termasuk hutan lindung dan tidak pula masuk suaka alam atau wilayah untuk penggunaan lain. Perbedaan hanya mencakup nama dan status unit usaha, lokasi hutan yang akan diusahakan, dan tanggal-bulan-tahun pemberian hak dan nomor SK. Dari keseluruhan isi dokumen ini tampak, bahwa hutan alam yang dimohon diposisikan sebagai areal yang dapat diusahakan secara ekonomis sebagai landasan teknis-ekonomis pemeringan izin HPH. Semantara kelestarian diposisikan lebih fokus pada keharusan adanya pembinaan hutan yang didasarkan pada jenis dan susunan diameter tegakan di areal yang diusahakan dengan sistem TPI (dan TPTI) dan adanya kewajiban perusahaan untuk mempertahankan dan meningkatkan kelestarian hutan berupa usaha-usaha mencegah penurunan nilai hutan 3 dan langkah-langkah untuk meningkatkan nilai hutan 4 .
1
Dalam pasal selanjutnya dijelaskan bahwa macam pungutan adalah Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH, License Fee) yang besarnya menurut luas konsesi dan Iuran Hasil Hutan (IHH, royalties) yang besarnya berdasar kubikasi hasil hutan yang dipungut. (Pasal 2 dan 3 PP 22/67) 2 Dari 84 dokumen FA yang terkumpul (1970-1977) setelah diriskan dengan SK HPHnya hanya diperoleh 13 unit HPH mulai tahun 1970 sampai 1977. 3 Mencakup (i) pengamanan tegakan sisa saat penebangan, penyaradan dan pengangkutan untuk menghindari kerusakan tegakan sisa dan erosi melalui penomoran pohon yang akan ditebang dan pohon inti, (ii) penebangan hanya pada pohon ber dia m 50 cm dengan arah rebah yang tepat, (iii) dilarang menebang pada daerah mata air (rad 200 m) dan kiri-kanan sungai (50-100 m). 4 Melaksanakan reboisasi dan permudaan hutan, sesuai ketentuan yang ditetapkan dan sesuai RKPH yang syah.
93
Selanjutnya, kaitan antara SK HPH dengan kontrak kehutanan (Forestry Agreement, FA) diatur dalam Pasal 16 FA 5 . Disebutkan bahwa FA merupakan dasar pengajuan hak usaha, guna mendapatkan fasilitas penanaman modal oleh perusahaan, sebagai syarat memperoleh SK HPH. Berbagai persyaratan dalam FA tetap berlaku, kecuali dikatakan lain dalam SK HPH. Dengan terbitnya SK HPH, FA yang bersangkutan menjadi lampiran yang tak dapat dipisahkan dari SK HPH. Pembatalan SK HPH secara otomatis menyebabkan tidak berlakunya berbagai persyaratan yang tertuang dalam FA. Dalam FA hutan alam ditempatkan sebagai sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, sesuai pasal 33 UUD 45. Tidak dijumpai secara spesifik makna dan ketentuan kelestarian. Namun secara implisit makna kelestarian tertuang dalam Pasal 4 FA, yang disebutkan merupakan ”kemufakatan” antara pemerintah dan perusahaan untuk melaksanakan ketentuan prinsip-prinsip dasar kehutanan 6 . Matriks yang menggambarkan secara ringkas perbandingan keseluruhan keempat aspek narasi di tingkat UU, PP, dan aturan teknis/administrasi dapat dilihat pada Lampiran 9 (a). Intisarinya dapat dilihat pada Tabel 19. Matriks
di
atas
memberikan
sejumlah
makna.
Antara
lain,
kecenderungannya yang tampak adalah bahwa untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke hilir substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit manajemen. Kecenderungan ini menguatkan isyarat, bahwa dominasi aktor pemerintah atas aktor atau para pemangku kepentingan lainnya sulit dibantah. Hal ini tampak terutama dari ketidakseimbangan antara uraian hak dan kewajiban yang dialami para pemegang unit usaha. Selain itu, sulit pula dihindari kesan adanya latar distrust, khususnya dari komponen pemerintah, yang mengundang dugaan lebih lebar adanya ruang politik ekonomi. Ujungnya, atas nama pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat 5
Selain dokumen HPH, dianalisis pula belasan dokumen FA dari masing-masing SK HPH yang sama Ini mencakup pohon yang dilarang ditebang, pengunaan kayu dalam rangka pelaksanaan operasi, cara pemungutan dan pengolahan kayu, pencegahan kebakaran, kerusakan atas milik ”pemerintah” dan pihak ketiga, pelanggaran pihak yang tidak berhak, rencana karya pengusahaan hutan, penggunaan ahli-ahli kehutanan oleh ”perusahaan”, wewenang ”departemen” meninjau kembali target produksi, dan hubungan antara industri hutan dengan jenis-jenis kayu komersial. Ini dapat jadi contoh teori Foucault terkait diskursus dan relasi kekuasaan sebagaimana dimaksud Mills (1997) Hawitt (2009) dan Arts and Buizer (2009). 6
94
Tabel 19. Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki perundangan (sebelum 1998) Aspek narasi Pemosisian Hutan Alam
Kelestarian
UU No. 5/1967 – Kehutanan Garis besar Panduan Filosofis
PP 18/75
PP 6/99*)
Relatif lebih rinci - memuat syarat dan target
Tidak tersurat, karena lebih terkait pergeseran kepemilikan konsesi ke nasional
Relatif lebih rinci lagi – syarat, target, tujuan yang mengerucut ke pengelolaan hutan berkelanjutan
[Tidak tersurat]
[Potensi ekonomi plus syarat dan target lebih rinci untuk tujuan yang lebih mengerucut, plus pertimbangan lintas generasi] Selain cara dan azas/dasar dimaknai pula sebagai batasan, tujuan dan syarat
[Potensi ekonomi, penopang tujuan pembangunan nasional, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tak ada konstrain]
[Potensi ekonomi, plus upaya maksimasi dengan konstrain kelestarian]
Dimaknai beragam: cara, dasar, azas
Selain azas dan dasar dimaknai pula sebagai syarat-kewajiban dan kegiatan
[Cara untuk peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan; azas atau dasar mencapai tujuan usaha kehutanan]
Pelaksana(an) Usaha Kehutanan
PP 21/70
[Syarat-kewajiban pemanfaatan hutan;kegiatan perencanaan, penataan, pengelolaan hutan, pengukuran dan pengujian kayu oleh ahlinya]
Negara cq Pemerintah
Badan hukum Indonesia
[Pemerintah (pusat, daerah) dan pihak lain - usaha bersama di bidang Kehutanan]
[diberi hak pengusahaan hutan oleh Menteri Pertanian]
[Perusahaan negara, daerah dan swasta berhak, sejauh berbadan hukum Indonesia]
[Tidak ada representasi makna kelestarian secara khusus].
Perusahaan milik negara dan swasta nasional berbentuk perseroan terbatas [penyimpangan yang perlu, ditetapkan presiden]
[Batasan pengelolaan dan pembangunan kehutananan berkelanjutan; tujuan dalam pengusahaan hutan dan penerapan dana jaminan kinerja syarat kelayakan bagi KPHP, dan pencairan dana jaminan kinerja HPH] BUMN, BUMD, swasta [Stratifikasi luas: lelang, permohonan, pelimpahan melalui Gubernur]
95
Tabel 19. (Lanjutan) Aspek narasi Hak dan kewajiban
UU No. 5/1967 – Kehutanan Tidak ada uraian hak; pemegang hak wajib meningggikan, produksi hasil hutan [diselenggarakan atas azas kelestarian hutan dan azas perusahaan]
PP 21/70
PP 18/75
PP 6/99*)
Hampir tidak ada uraian hak; poin kewajiban begitu mendominasi
Tidak ada uraian hak dan kewajiban
Kewajiban lebih dominan dari hak
[PP ini yang hanya merubah satu pasal terkait kriteria pemegang]
[Hak terbatas, untuk jangka waktu tertentu pula, dengan kemungkinan perpanjangan]
[tidak kurang dari 10 butir kewajiban yang harus dipenuhi pemegang hak, beberapa diantaranya tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha kehutanan]
[Ada tidak kurang dari 11 butir kewajiban yang harus dipenuhi pemegang izin]
luas; namun apa yang dilakukan dan terjadi di tataran operasional kemudian adalah penggerusan sumberdaya untuk kesejahteraan segelintir: mereka yang memiliki akses politik, kekuasaan dan ekonomi lebih besar! Setelah 1998. Dalam periode ini, kebijakan usaha kehutanan lebih lanjut diatur melalui UU 41/99 tentang Kehutanan, sebagai pengganti UUPK 5/67 yang dengan tegas dinyatakan sudah tidak sesuai lagi dengan prinsip penguasaan dan pengurusan hutan dan tuntuan perkembagan keadaan saat itu. Namun, jauh sebelum penggantian UU ini, terlebih dahulu terjadi penggantian PP 21/70 melalui penerbitan PP 6/99 dengan tetap merujuk UU5/67. Kurang dari setahun setelah penggantian PP 21/70 menjadi PP 6/99, baru kemudian keluar UU 41/99. Lalu, PP 6/99 ini disempurnakan, diganti dengan PP 34/2002 dengan merujuk pada UU 41/99 sampai kemudian diganti dengan PP 6/2007 yang akhirnya diganti dengan PP 3/2008. PP 6/99 sebagai turunan UU 5/67, UU 41/99 dan turunannya, yakni PP-PP diatas merupakan tonggak kunci kebijakan usaha kehutanan pada periode ini 7 .
7
Masih dalam periode ini, UU 41/99 sebetulnya mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Perppu No. 1/2004 tentang Perubahan atas UU 41/99 tentang Kehutanan yang ditetapkan kemudian melalui UU 14/2004 tentang Penetapan Perppu 1/2004 menjadi UU. Sekalipun kedua produk perundangan ini juga menjadi bagian dari tonggak kunci kebijakan usaha kehutanan dalam periode ini, materinya tidak banyak dibahas dalam analisis ini, terutama karena perubahannya terfokus hanya pada perbaikan kepastian usaha pertambangan di kawasan hutan, untuk usaha-usaha pertambangan yang izinnya keluar sebelum pemberlakuan UU 41/99.
96
Perubahan PP 21/70 (jo PP 18/75) menjadi PP 6/99 dengan tetap merujuk pada UU 5/67 lebih ditekankan pada keseimbangan fungsi hutan dan lingkungan hidup, dimana kelestarian dimaknai sebagai batasan bagi dua hal sekaligus:
pengelolaan
hutan
dan
pembangunan
kehutanan
yang
berkelanjutan, yang diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kini dan mendatang. Frase terakhir ini memperlihatkan ”pembaruan” dalam PP 6/99 dimana kriteria kemakmuran sudah ditempatkan pada horison lintas generasi. Argumen pembuka pada UU 41/99 relatif tidak jauh berbeda dengan argumen pembuka pada UUPK 5/67, kecuali adanya tambahan berupa pengakuan bahwa (a) hutan alam (sudah) cenderung menurun kondisinya dan (b) perlu prinsip keterbukaan, profesionalisme dan tanggung gugat dalam pengelolaan hutan; serta (c) perlunya menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat, budaya, tata nilai masyarakat berdasarkan norma hukum nasional. Berbagai teks argumen pembuka tambahan ini menjadi ciri era reformasi kehutanan waktu itu. Kegiatan usaha kehutanan sendiri secara khusus diatur dan mengerucut sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang bertujuan memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan dimaksud antara lain berupa pemanfaatan hasil hutan kayu, dan dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). Izin ini diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, dan BUMN/D. Melekat atas hak usaha itu, sejumlah ketentuan dan kewajiban yang harus dipenuhi pemegang IUPHHK 8 .
Setelah serangkaian teks pengakuan bahwa kondisi hutan alam mengalami penurunan, artinya setelah dua dekade lebih usaha kehutanan dilakukan saat itu, hutan masih tetap dipandang sebagai pontesi ekonomi yang perlu terus
8
antara lain wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat untuk memberdayakan ekonomi masyarakat wajib mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha yang diatur dalam peraturan pemerintah wajib menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya. Hak usaha pemanfaatan hasil hutan dimaksud mencakup penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran yang dalam pelaksanaannya tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.
97
dimanfaatkan secara optimal untuk tujuan pembangunan, sebagaimana tampak pada kutipan berikut. “..... hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa .... merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara ..... memberi manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang;...hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya .... keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat;... pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional”; (UU 41/99 – konsideran a-c)
Amanat UU No. 41/99, khususnya Bab V, VII dan XV, selanjutnya dijabarkan antara lain dalam PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. PP ini sekaligus merupakan pengganti PP 6/99. Dalam PP 34/2002 pemosisian hutan alam tidak dideskripsikan, karena konsideran awal merujuk langsung pada keempat pasal pada UU 41/99 sebagai dasar lahirnya PP ini. Sementara kelestarian dimaknai dan diposisikan sebagai kewajiban para pemegang hak konsesi untuk memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam secara lestari (PHAPL) yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Lebih lanjut, hal ini secara ”operasional” diatur melalui Keputusan Menteri 9 . Dalam periode ini, perubahan kebijakan usaha kehutanan terus bergulir. PP 34/2002 lebih lanjut diganti dengan PP 6/2007. Kalau sebelumnya, kelestarian
diposisikan
sebagai
batasan
terkait
teknis
pelaksanaan
pemanfaatan hutan, dalam PP 6/2007 kelestarian menjadi dasar dalam 9
Keputusan Menteri dimaksud adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 4795/2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) pada Unit Pengelolaan – pengganti KepMenhut 619/93 dengan subjek sama. Disebutkan dengan tegas pada konsideran bahwa PHAPL, bersifat wajib, merupakan proses yang berkelanjutan dalam pencapaian kelestarian sumber daya hutan. Kriteria dan indikator dimaksud mencakup empat kriteria dan 24 indikator: prasyarat (6 indikator), produksi (7), ekologi (6), dan sosial (5).
98
melakukan deregulasi dan debirokratisasi usaha kehutanan yang diarahkan untuk mendorong pertumbuhan investasi usaha kehutanan, percepatan pembangunan hutan tanaman, pengendalian degradasi hutan, dan peningkatan ekonomi nasional. Pertimbangan normatif atas perubahan ini, antara lain adalah karena PP sebelumnya, yakni PP 34/2002, dianggap belum mampu memfasilitasi langkah ke arah berbagai perubahan ini semua, sehingga perlu diganti. Lebih lanjut, kelestarian kemudian mengerucut maknanya menjadi sebagai cara dalam pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). KPHP sendiri diposisikan sebagai entitas rancang bangun unit pengelolaan hutan, melalui pengelompokkan SDH sesuai tipe, fungsi dan potensi ekosistemnya. Saat bersamaan, kelestarian juga dimaknai sebagai cara sekaligus prinsip dalam pemanfaatan hutan yang dipilah kedalam berbagai bentuk usaha pemanfaatan: kawasan, hasil hutan, dan jasa lingkungan. Dalam konteks pemanfaatan hasil hutan kayu, makna kelestarian lebih mengerucut lagi pada upaya menerapkan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungan dimana unit usaha dilakukan.
Pada Lampiran 9 (b) dapat dilihat matriks yang menggambarkan secara rinci perbandingan keseluruhan keempat aspek narasi di tingkat UU, PP, dan aturan teknis untuk kurun setelah 1998. Ringkasannya, dapat dilihat pada Tabel 20.
Seperti halnya kurun sebelum 1998, dalam kurun ini tampak
kecenderungan serupa, yakni untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke hilir substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit manajemen. Artinya, bahwa dari sisi substansi kecenderungan lawas dan kedalaman pangaturan tidak berubah. Implikasinya pun tampak tidak jauh berbeda, baik terkait dominasi pemerintah maupun latar distrust. Magnitude praktek politik ekonomi bahkan tampak semakin marak, karena prakteknya menyebar ke daerah, menyusul euforia reformasi dan masa transisi serta implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Tekanan atas sumberdaya
99
Tabel 20. Ringkasan Narasi Kebijakan dirinci menurut hirarki perundangan (setelah 1998) Aspek narasi Pemosisian Hutan Alam
Kelestarian
Pelaksana(an)Usaha Kehutanan
UU No. 41/1999 – Kehutanan Garis besar dengan uraian relatif lebih rinci Panduan Filosofis [Karunia, amanah dan anugerah Tuhan; ber manfaat serbaguna; dikuasai negara; wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, generasi sekarang dan mendatang; ada pengakuan kondisinya sudah cenderung menurun dan harus dipertahankan] Dimaknai sebagai cara, tujuan, batasan dan kewajiban [Cara menjaga daya dukung, multifungsi hutan, kawasan hutan dan lingkungan, dan mempertahankan keberadaan hutan alam; tujuan, khususnya dari pengurusan dan pengelolaan hutan alam; batasan bagii kepastian usaha; kewajiban bagi para pemegang ijin menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya] Melalui pemberian izin [Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK), diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, BUMN, atau BUMD]
PP 34/2002
PP 6/2007
Tidak ada uraian ini
Tidak ada uraian ini
[Merujuk langsung pada UU 41/99 – khususnya pelaksanaan Bab V, VII dan XV undang-undang tersebut]
[Merujuk langsung UU 41/99 - 4 pasal, yakni Pasal 22, 39, 66, dan 80) yang mendasari lahirnya PP 34/2002]
Lebih dimaknai sebagai kewajiban
Selain cara dan tujuan, dimaknai pula sebagai azas.
[Wajib memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri (Kep Menhut 4795/2002)
[Azas melaksanakan deregulasidebirokratisasi; cara dan prinsip pemanfaatan hutan (kawasan, jasa lingkungan, kayu, non kayu, pemungutan) dan pengelolaan KPH; tujuan dalam rancang bangun unit pengelolaan hutan]
Pemberian izin melalui penawaran-pelelangan
Pemberian izin atas pemohon
[IUPHHK HA, dapat diberikan kepada: perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, dan
[pemberian dilakukan dengan menyeleksi para pemohon izin dan status kawasan hutan yang dimohon; diberikan Menteri
100
Tabel 20. (Lanjutan) Aspek narasi
Hak dan kewajiban
UU No. 41/1999 – Kehutanan
Tidak ada uraian hak, dominan butir-butir kewajiban [Ada setidaknya 4 butir kewajiban pokok terkait kerjasama dengan masyarakat setempat, menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan, membayar iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja serta menyediakan dana investasi pelestarian hutan]
PP 34/2002
PP 6/2007
BUMN atau BUMD; diberikan Menteri berdasarkan rekomendasi Bupati atau Walikota dan Gubernur].
Hak lebih kecil dibanding kewajiban
berdasarkan rekomendasi gubernur dan pertimbangan bupati/walikota; dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN; atau BUMD. Kewajiban jauh lebih dominan dibanding hak
[Berhak melakukan kegiatan sesuai izin yang diperolehnya dan berhak memperoleh manfaat dari hasil usahanya]
[Berhak melakukan kegiatan usaha dan memperoleh manfaat dari hasil usaha sesuai dengan izin]
[Ada sekitar 18 butir kewajiban]
[Ada sekitar 40 butir kewajiban]
.
hutan pun semakin meningkat, misal atas nama peningkatan investasi di daerah dan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) 10 . Khusus dikaitkan dengan setting uraian hak dan kewajiban dalam kurun sebelum dan setelah 1998, sebagaimana tampak pada Tabel 21, dapat diamati bahwa macam dan jenis hak relatif tidak berubah, bahkan esensinya hanya satu: hak memanfaatkan. Kemungkinan tafsirnya yang relatif kuat adalah stigma bahwa pemerintah menghegemoni keseluruhan aspek dan diskursus pengaturan usaha kehutanan. Sementara, tampak pula bahwa butir kewajiban menjadi relatif lebih banyak, lebih rinci, lebih teknis, administratif dan procedural, yang sesungguhnya kurang sepadan dengan kemampuan pengawasan (span of control) dari pemerintah selaku regulator. Ini menjadi isyarat yang menguatkan bahwa daftar kewajiban dikerangka dengan aliran 10
Pengakuan beberapa para pihak pemangku kepentingan di daerah terkait fenomena konversi dan pinjam pakai kawasan hutan alam untuk penggunaan lain, termasuk sawit dan tambang – beberapa FGD di Jambi, Riau, Kaltim dan Kalbar dalam kurun 2010-2011.
101
pemikiran the forest first, sehingga aliran pemikiran ini masih sangat kental dan dominan dalam kurun dimaksud. Sampai disini – dengan menggunakan teori kekuasaan Foucault, dapat ditangkap satu pola, bahwa penetapan berbagai kewajiban itu dan sekaligus pilihan aliran itu merupakan produk dari kekuasaan yang menghasilkan dan menghegemoni pengembangan berbagai pengetahuan terkait yang menjadi sebuah regime ”kebenaran”.
Tabel 21. Perbandingan hak dan kewajiban para pemegang unit usaha Item Hak
s/d 1999 (SK HPH) 1 (3)
1999 keatas (SK IUPHHK-HA) 1 (2)
Makna
Macam dan jenis hak relatif tidak berubah, bahkan esensinya hanya satu: memanfaatkan. Hal ini dapat ditafsir bahwa pemerintah menghegemoni keseluruhan aspek dan diskursus pengaturan usaha kehutanan Kewajiban 9 19 Kewajiban relatif lebih banyak, lebih rinci, lebih teknis, administratif dan procedural, yang sesungguhnya kurang sepadan dengan kemampuan pengawasan (span of control) dari pemerintah selaku regulator. Ini menjadi isyarat yang menguatkan bahwa daftar kewajiban dikerangka dengan aliran pemikiran the forest first. Catatan: Rincian hak dan kewajiban ini dapat dilihat pada Lampiran 14.
2. Proses Dari sisi proses, analisis atas keseluruhan dokumen peraturan perundangan sebelum 1998 yang tersedia memperlihatkan indikasi bahwa tidak dengan jelas adanya interaksi, terlebih interaksi yang berupa transaksi antar para pihak yang berkepentingan dalam menata aturan main atau kebijakan usaha kehutanan. Bahkan siapa saja sesungguhnya pihak yang berinteraksi dan sekaligus bertransaksi terindikasi tidak tegas. Sekalipun, dari teks terdapat gambaran bahwa pihak atau aktor yang disebut dalam aturan main kegiatan usaha kehutanan terdiri dari pemerintah (pusat dan provinsi), pemegang hak, mayarakat pihak ketiga, dan masyarakat adat. Dalam hal ini teks mengindikasikan begitu kuat, bahwa pemerintah tampak begitu dominan didalam menentukan aturan main, sehingga kesan ”sepihak dan mendikte” dalam proses penentuannya sulit dihindari. Dengan demikian, sintesis ini relatif sulit untuk memastikan bagaimana gambaran proses interaksi dan
102
transaksi para pihak dalam mengkonstruksi aturan main ini, selain hanya oleh kelompok pemerintah. Sekalipun, dalam paragraf akhir di bagian penjelasan umum PP 21/70 dikemukakan, bahwa kepentingan yang ditimbang kuat hanya sebatas pemerintah dan pelaku usaha: ”...... Oleh karena itu guna memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan pemberian, hak Pengusahaan Hutan, ketentuan persyaratan dan kewajibankewajiban yang dipandang penting baik dari pihak Pemerintah maupun dari pihak Pengusaha perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.” (Penjelasan Umum, PP 21/70)
Relatif berbeda dengan kurun sebelum 1998, proses perumusan kebijakan usaha kehutanan dalam periode setelah 1998 menunjukkan sejumlah butir perbedaan yang dapat dianggap sebagai upaya perubahan. Kelahiran UU 41/99 ditandai dan bahkan dipicu dengan meningkatnya secara menyolok berbagai inisiatif untuk melakukan perubahan dan pembaruan kebijakan kehutanan, termasuk usaha kehutanan di dalamnya. Situasi demikian muncul menyusul pergantian kepemimpinan nasional pada 1998, dimana banyak kelompok pemangku kepentingan mengusung serangkaian diskursus terkait arah dan substansi perubahan (baca: reformasi) yang perlu dilakukan, khususnya dalam sektor kehutanan. Dalam catatan Dephutbun (1999) dan Kartodihardjo (1999) tuntutan perubahan tersebut menyangkut penyediaan berbagai prakondisi pemungkin yang dianggapnya belum selesai. Ini mencakup antara lain pengukuhan hutan dalam rangka mewujudkan kepemilikan hutan yang legitimate, masalah birokrasi, dan kemampuan pemerintah dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan, masalah peraturan perundangan, masalah ukuran kinerja, evaluasi dan kontrol pelaksanaan usaha kehutanan. Adapun tuntutan pembaruan secara umum waktu itu, dan bahkan cenderung telah menjadi semacam ”tuntutan publik”, tertuju pada dua sasaran pokok: redistribusi manfaat sumberdaya hutan dan meniadakan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di sektor kehutanan. Catatan terkait rangkaian diskursus para permangku kepentingan ini selanjutnya dapat dilihat antara lain dalam Dephutbun (1999), Kartodihardjo (1999) dan Awang (1999).
103
Kurang dari setahun sebelum UU 41/99 lahir, pemerintah (Dephutbun waktu itu) melakukan pembaharuan mendasar dengan menggantikan PP 21/70 dengan PP 6/99 pada 27 Januari 1999 untuk subjek yang sama. Inti perubahan, sebagaimana juga sudah disinggung di atas, mencakup antara lain relokasi besaran luas dan kepemilikan konsesi dan cara perolehan hak (melalui lelang) yang tampaknya untuk menjawab adanya klaim telah terjadinya praktek konglomerasi atau pemusatan luas areal konsesi hanya kepada segelintir orang saat itu. Perubahan ini disambut antusias oleh berbagai kalangan (masyarakat sipil, praktisi, ornop dan akademisi) (Dephutbun, 1999). Berbagai diskursus pun terus bergulir sampai kemudian lahir UU 41/99 pada 30 September 1999. Namun, topik-topik diskursus berkisar pada pembangunan kehutanan secara umum dengan kecenderungan utama pada ”tuntutan” realokasi dan redistribusi manfaat hutan serta memperluas akses masyarakat (adat) atas hutan. Oleh karena itu, UU ini lahir melalui proses yang tergolong alot dengan jangka waktu relatif lama, dan melibatkan banyak kelompok pemangku kepentingan. Suatu situasi yang tidak dijumpai atau tidak terindikasi secara tegas pada proses historis perumusan UU Kehutanan 5/67. Para pemangku kepentingan di atas antara lain mengelompok dalam Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), Komite Reformasi Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan (KRPKP) dan Koalisi untuk Demokratisasi Pengelolaan Sumberdaya Alam (KUDETA). KRPKP sendiri pembentukannya diprakarsai Menhutbun (waktu itu) melalui Kepmenhutbun No. 521/1998 pada 29 Juni 1998. Anggota KRPKP meliputi perwakilanperwakilan dari Dephutbun, perguruan tinggi, LSM, dan asosiasi. Menurut catatan Dephutbun (1999) dan Kartodihardjo (1999) dalam proses pembentukan KRPKP, salah seorang perwakilan LSM tidak bersedia dicalonkan sebagai anggota KRPKP 11 . Berbagai forum ini dengan dukungan para akademisi, berproses aktif antara lain dengan turut mengawal proses pembaruan kehutanan, termasuk perumusan usulan rancangan UU ini. Para pemangku kepentingan dalam FKKM bahkan turut menyiapkan naskah
11 Dari wawancara dengan narasumber yang relevan, tidak diperoleh alasan yang memadai, selain kekhawatiran adanya kooptasi oleh pemerintah, mengingat prakarsa dan legalitas KRPKP melalui Kepmehut.
104
akademik 12 dan bahkan UU Kehutanan tandingan. Munculnya UU Kehutanan tandingan merupakan indikasi tidak semua kepentingan para pihak – pada akhirnya – diakomodasi dalam UU 41/99. Artinya, berbagai diskursus yang mengemuka memang berpengaruh dalam proses konstruksi UU baru itu, namun tidak terejawantahkan dalam ”hasil akhir”. Gambaran historiskronologis ini dapat dijadikan semacam konfirmasi, bahwa teks-teks perundangan pada periode ini, sebetulnya mencerminkan adanya proses interaksi dan bahkan transaksi antar para pemangku kepentingan. Namun hasil akhir teks dan narasi menunjukkan bahwa tidak semua hasil ”transaksi” masuk dalam dokumen akhir produk kebijakan. Beberapa pemangku kepentingan non-pemerintah menamai situasi ini sebagai fenomena ”black box” yang dinilai kental dengan agenda politik ekonomi sektor kehutanan. Dalam proses selanjutnya hal ini mengurangi tingkat kepercayaan publik, setidaknya para pihak pemangku kepentingan yang turut berproses saat itu, kepada pemerintah dalam proses konstruksi kebijakan. Singkatnya, proses kelahiran UU 41/99 ini relatif lebih kaya dari sisi para pihak yang terlibat dan diskursus yang mengemuka yang turut mengkonstruksi kondisi akhir UU ini, relatif terhadap proses perumusan UU 5/67. Berbeda dengan
proses
pembentukan
UU
5/67,
pembentukan
UU
41/99
memperlihatkan perubahan yang relative signifikan baik dari sisi proses maupun substansi seperti telah dijabarkan di atas. Sekalipun, sebagaimana disayangkan banyak pihak, hal ini diwarnai fenomena ”black-box” sebagaimana telah dikemukakan di atas. Fenomena ”black box”, khususnya, dan situasi proses konstruksi kebijakan dalam kedua periode umumnya, tampak konsisten dengan hasil analisis narasi terkait relasi kekuasaan yang menghegemoni sebuah regime kebenaran yang menggiring begitu kuat kepada ciri-ciri aliran the forest first. Sampai disini, kembali, bahwa aliran itu dan keseluruhan diskursus di permukaanya merupakan produk dari hegemoni kekuasaan pemerintah. 12 Jauh sebelum ini, Dephut tanpa diketahui publik secara luas, pernah menyiapkan naskah akademik dan draft penyempurnaan UU 5/67, setidaknya melalui penerbitan Kepmenhut 213/1990 disusul kemudian dengan Kepmenhut 66/1991 dan Kepmenhut 4/93 – dari wawancara awal dengan beberapa tokoh terkait dalam Kepmenhut ini, tidak cukup informasi seberapa jauh naskah akademik dan naskah penyempurnaan masuk dalam proses pembaruan di periode ini, setidaknya dalam RPKP.
105
3. Fenomena: Sintesis Kecenderungan Sebelum 1998. Berbagai argumen pembuka pada UU Kehutanan 5/67 menjadi titik berangkat legalitas dan landasan falsafah kebijakan usaha kehutanan di hutan alam produksi Indonesia yang dimulai (lagi)13 pada 1967. Dibalik serangkaian teks argumen pembuka itu tersirat sebuah kerangka pikir para pihak penyusun kebijakan saat itu, yang begitu yakin dan percaya, bahwa hutan itu dengan segala multi manfaat dan multifungsinya merupakan anugerah, dan karena pertimbangan kepentingan pembangunan – termasuk menyelesaikan revolusi – pantas untuk dimanfaatkan dan dikelola, dengan tetap dilindungi agar lestari. Namun, sampai disini, belum jelas betul bagaimana interaksi dan sekaligus transaksi para pihak sehingga sampai pada ”keyakinan” ini. Dapat dipahami, bila sampai disini pun makna lestari dan macam pendekatannya belum begitu tegas, termasuk untuk mewujudkannya. Padahal, secara tekstual kelestarian dikonstruksi sebagai instrumen kontrol. Namun ditengah situasi ambigu ini, yang tampak relatif jelas dan tegas adalah bagaimana hutan telah diposisikan begitu sentral. Dari teks konsideran PP 22/67 sebagaimana dikutip di bagian awal bab ini, frase ”dalam arti luas” dalam alokasi pungutan mengundang dugaan bahwa alokasi penggunaan hasil pungutan bisa digunakan bukan hanya untuk kembali ke kehutanan sebagaimana teksnya, namun menjadi terbuka untuk penggunaan lain, termasuk mungkin yang sifatnya menyimpang. Misalnya melalui politik-ekonomi atas nama: atas nama rehabilitasi hutan untuk kepentingan ekonomi dan politik pihak tertentu 14 . Dengan begitu, dalam jangka panjang tidak ada jaminan bahwa alokasi itu sungguh-sungguh untuk membangun kembali hutan dan kehutanan. Dugaan ini pernah terbukti terjadi, misalnya pada saat Dana Reboisasi dialokasikan untuk tujuan lain nonkehutanan melalui penerbitan Kepres 42/1994, antara lain untuk membantu industri pesawat terbang IPTN (sekitar IDR 400 milyar) yang produknya lalu
13
Sisipan ”lagi” sekedar menunjukkan, bahwa usaha kehutanan berupa pemberian konsesi HPH sudah berjalan jauh sebelumnya mencapai luas 1.3 juta ha di Jawa, Sumatera dan Kalimantan dengan nilai devisa dari ekspor saat itu mencapai USD 775 ribu pada 1963 sebagaimana ditunjukkan Dephutbun (2007). 14 Beberapa sumber yang tidak berkenan dicantumkan identitasnya menyinggung soal “penarikan” dana DR sebesar IDR 40 T dalam tempo singkat, atas nama gerakan menanam pohon untuk rehabilitasi hutan dan lahan, yang menurutnya justru untuk kepentingan politik terkait pemilu periode tertentu.
106
diimbal beli dengan beras ketan dari Thailand. Dengan Kepres yang sama, DR juga dimanfaatkan untuk keperluan SEA Games (sekitar IDR 35 miliar) dan perusahaan pupuk tablet urea (sekitar IDR 80 miliar) 15 . ”Penyimpangan” ini, menjadi contoh bukti empiris adanya upaya legalisasi intervensi atas arah dan orientasi pelaksanaan kebijakan usaha kehutanan, khususnya dalam upaya rehabilitasi hutan,
yang dilakukan dan bahkan ”disiapkan” pemerintah
sendiri. Antara lain kedalam fenomena semacam ini istilah politik-ekonomi penulis maksudkan. Dari atribut pengetahuan, tampak bahwa dibalik narasi kebijakan di atas, kelestarian hanya didekati dari disiapkannya sejumlah alokasi dana yang dipungut dari dan dikembalikan ke hutan dengan (disadari atau tidak oleh perumus kebijakan) disertai celah (loop hole) yang menjadi titik lemah bagi keterlaksanaan aturan ini secara konsisten. Sekalipun masuk akal secara keilmuan, pendekatan ini relatif tidak lengkap, terutama bila merujuk macam kebenaran/rasionalitas menurut Dunn (2000). Dengan rujukan itu, maka pendekatan ini pada dasarnya baru memenuhi sebatas kebenaran hukum, yakni menyiapkan aspek legalitas bagi upaya kelestarian sebagai instrumen pengendali pemanfaatan hutan. Dengan kata lain, pendekatan ini belum memiliki rasionalitas substantive yang cukup yang idealnya harus mencakup dari mulai (Dunn, 2000) macam kebenaran teknis (pilihan efektifitas), ekonomis (pilihan efisiensi) dan sosial (daya terima sosial). Dari batasan pengetahuan seperti itu, sebagai sebuah aturan main, pendekatan yang dikembangkan tampak tidak lengkap, terutama karena tidak didukung oleh penyiapan
sejumlah
prakondisi
pemungkin,
misal
terkait
jurisdiksi,
representasi dan bahkan interdependensi antar dan pemosisian para pihak yang terlibat atas sumberdaya hutan yang diusahakan. Kondisi demikian dapat merupakan representasi dari situasi tidak terjadinya interaksi atau bahkan transaksi antar para pihak saat berbagai ketentuan ini dikonstruksi kedalam teks-teks aturan. Corak hasil sintesis semacam inipun berlaku identik untuk narasi kebijakan lainnya, terutama bila diamati kecenderungannya yang serupa
15 www.hamline.edu/apakabar/0134.html - diakses 18 Feb 2009; www.tempointeraktif.com – diakses 24 Maret 2009
107
sebagaimana tercantum baik pada PP 21/70 atau bahkan pada UU 5/67 sebagaimana telah disinggung di atas. Dari sisi historis atau proses, atau setidaknya secara sekuen, terbitnya PP 22/67 pun mengundang pertanyaan, karena ia keluar sekitar tiga tahun lebih dulu sebelum PP 21/70 yang khusus mengkerangka HPH dan HPHH itu sendiri. Dalam diktum menimbang, teks dalam PP 21/70 memang merujuk pada PP 22/67. Teks ini memungkinkan untuk ditafsir,
bahwa kerangka
aturan main terkait HPH dan HPHH lebih didorong karena telah adanya lebih dulu aturan struktur pungutan HPH dan hasil hutan, sekalipun dalam PP 22/67 tidak ada mandat untuk mengkerangka lebih lanjut struktur HPH dan HPHH. Namun, dalam konteks kebijakan usaha kehutanan urgensi terbitnya PP 22/67 pun menggantung, karena tidak ada rujukan substantive yang relevan dan menjelaskan pentingnya PP ini, selain cantolan legal, yakni beberapa pasal pada UUD 45, sejumlah TAP MPRS-1966 dan 1967, UUPK 5/67 serta PP 18/65 tentang Pemerintahan Daerah. PP 22/67 tidak pula ada kaitan dengan PP 64/57. Sehingga pertanyaannya, argumen apa dan siapa serta diskursus seperti apa atau setidaknya kejadian-kejadian apa yang telah berlangsung sehingga mendorong diperlukannya semacam respon kebijakan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk PP 22/67; selain memang serangkaian teks argumen pembuka yang sudah tersurat dalam konsideran PP ini. Pertanyaan ini akhirnya berkembang kepada bagaimana proses dan mekanisme kebijakan ini disusun dan siapa saja para pihak yang telah turut berproses selain birokrat pemerintahan saat itu 16 . Hal ini menunjukkan, bahwa jawaban atas ketiga pertanyaan awal IDS (2006) tidak tersedia. Sampai disini, diperoleh pengetahuan, bahwa salah satu karakteristik produk perundangan terkait kebijakan kehutanan, selain tidak tampak adanya interaksi dan transaksi para pihak pemangku kepentingan, para pihak yang terlibat dan kekuatan politik di belakangnnya pun tidak teridentifikasi secara tegas; selain, bahwa komponen birokrasi pemerintah yang tampak begitu mendominasi.
16 Dari wawancara dengan beberapa mantan birokrat yang aktif dimasanya, tidak tergali informasi yang cukup untuk dapat menjawab pertanyaan ini.
108
Kutipan terkait Penjelasan Umum PP 21/70 di atas mengisyaratkan seolah adanya proses interaksi berupa ”kemufakatan” terkait ketentuan persyaratan dan kewajiban-kewajiban dimaksud antara pemerintah dengan pihak pengusaha. Setidaknya ada proses komunikasi, negosiasi dan tawar menawar kepentingan – dalam bentuk rangkaian diskursus – antar kedua pihak yang turut mengkonstruksi aturan main itu. Namun, sejauh ini tidak dijumpai dokumen yang mendukung hal tersebut. Terlebih untuk memotret diskursus dari kelompok masyarakat lainnya (akademisi, masyarakat adat, dan ornop). Demikian pula dalam Dephut (2007) terutama pada awal-awal 1960an-1980 tidak dijumpai satu potongan narasipun yang mengindikasikan adanya rangkaian diskursus dan interaksi yang melibatkan keseluruhan para pemangku kepentingan terkait dengan usaha kehutanan, selain dari sisi pemerintah. Dengan begitu, inisiatif dan dorongan mengusahakan hutan alam produksi dapat dianggap datang lebih banyak dari pemerintah dan dalam perspektif mayoritas pemerintah sendiri. Demikian pula konsep dan pendekatan kelestarian serta pemosisian hutan alam di dalamnya. Kondisi empiris demikian dapat ditafsir, bahwa detail aturan main yang ada lebih mencerminkan kebutuhan dari sisi pemerintah untuk menyiapkan aturan, belum merupakan harmonisasi dan kristalisasi kebutuhan aktor lain, termasuk para pelaku dan pelaksana kebijakan; atau kebutuhan objektif menjawab masalah usaha kehutanan itu sendiri. Karakteristik ini semakin menegaskan bahwa aliran pemikiran dibalik kebijakan usaha kehuatan masih di seputar the forest first dalam pandangan Sfeir-Younis (1991). Penyempurnaan PP 21/70 melalui penerbitan PP 18/75 pun tidak merubah secara signifikan arah kebijakan usaha kehutanan dan juga pemaknaan atas kelestarian dan pemosisian hutan alam dalam kebijakan itu sendiri. Ini dimungkinkan, mengingat fokus perubahan hanya pada satu pasal terkait penegasan bahwa modal asing sekedar pelengkap modal nasional dan sejalan dengan itu memberikan peran lebih besar kepada perusahaan nasional untuk mengusahakan HPH, karena dipandang telah mampu. Namun, tidak dijumpai diskursus yang mengaitkan relevansi perubahan ini dengan hal yang lebih mendasar bagi tatanan usaha kehutanan lestari, misal gambaran apakah
109
penegasan entitas menjadi lebih nasional, terkait dengan penataan hak kepemilikan (property rights) sebagai kondisi pemungkin bagi pencapaian kelestarian. Sampai disini, terakumulasi pengetahuan bahwa pemerintah, memicu sendiri argumen bahwa hutan memiliki potensi ekonomi, diperlukan untuk menopang tujuan pembangunan nasional termasuk menuntaskan revolusi, untuk kesejahteraan masyarakat. Pemerintah pula memosisikan kelestarian sebagai cara/azas/landasan/dasar/tujuan terkait peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan bagi kepentingan memelihara dan melindungi multifungsi hutan. Semua ini dimungkinkan, karena tidak teridentifikasinya proses interaksi dan transaksi dengan pihak lain, selain pemerintah. Merujuk pada konsep policy as an argument yang dikemukakan Sutton (1999) maka fenomena demikian memperlihatkan situasi bahwa rumusan akhir kebijakan tidak berangkat dari debat para pihak, pemerintah hanya melakukan dan mengakumulasi klaim, tanpa ada yang (berani) mengkritiknya, tidak tampak adanya proses komunikasi dan kontestasi ide, beradu info,
fakta dan idelologi – atau bahkan teori - antar para pihak
pemangku kepentingan. Tidak tampak pula seberapa jauh peran ilmuwan kehutanan memiliki kontribusi dalam proses. Merujuk kembali kepada macam kebenaran/rasional Dunn (2000) maka macam kebenaran yang dominan dibalik narasi kebijakan ini adalah kebenaran hukum, bunyi pasal-pasal, yakni karena yang dipenuhi baru sebatas kebutuhan untuk membuat dan menjalankan aturan, belum menyentuh kebutuhan dan masalah pihak lain (terutama para pemegang konsesi) dan kebutuhan dan masalah objektif usaha kehutanan di lapangan. Sejalan dengan konsep kebijakan sebagai argumen di atas, kebenaran itu sendiri belum didukung kebenaran lainnya seperti teknis, ekonomis dan terutama penerimaan sosial. Lalu, yang kemudian menonjol adalah posisi politik pemerintah dalam upaya mengatur dan mengawasi pihak yang diawasi (pemegang konsesi) alias command and control bahkan sampai di tingkat unit usaha. Masyarakat lain, khususnya masyarakat adat yang ada di dalam dan di sekitar hutan sekedar “diikutsertakan”. Sementara hal mendasar dari
110
kelestarian tidak cukup gamblang dan lengkap diatur, selain bahwa ia diposisikan sebagai bagian instrumen pengelolaan yang ”diwajibkan” dalam kegiatan usaha kehutanan. Dari sisi proses – dengan menimbang kebijakan sebagai argumen – aktor atau policy network yang turut mengkerangka kebijakan menjadi kurang teridentifikasi secara lengkap, selain hanya komponen pemerintah yang begitu dominan mengatur dan melakukan kontrol di seputar hutan, dalam artian yang sangat teknis silvikultur. Sementara, praktisi usaha kehutanan selaku pihak yang dikontrol, posisi politisnya diposisikan sebagai pihak yang ”lemah” atau subordinat. Dengan posisi demikian, semakin tegas bahwa substansi dan narasi kebijakan usaha kehutanan dalam periode ini merupakan hegemoni atau monopoli hasil konstruksi aktor pemerintah. Himpunan pengetahuan diatas menjadi penting terlebih bila dikaitkan dengan masih hadirnya sejumlah isu kontemporer, antara lain, mengapa pemerintah pada saat itu belum mempertimbangkan dan menyelesaikan berbagai persoalan terkait masyarakat, terutama yang hidup di dalam dan di sekitar hutan, khususnya dalam hal hak dan aksesnya. Telah disebutkan di atas, bahwa pengaturan ”interdependensi” antara pemegang konsesi dengan masyarakat yang lebih memosisikan masyarakat sebagai pihak pinggiran: sepanjang diakui masih ada, dan hanya berhak memungut hasil hutan bukan kayu, itupun ditakar hanya untuk keperluan sendiri dan sejauh tidak mengganggu kegiatan usaha HPH 17 . Pengetahuan yang satu ini menegaskan bahwa teks dan narasi kebijakan yang ada telah berhasil menggiring diskursus bahwa, begitulah rupa pemahaman “hutan dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam perkembangannya, masih dalam periode ini (sebelum 1998), muncul indikasi perubahan dalam bangunan ”interdependensi” yang memengaruhi seolah ada peta policy network tadi. Ini tampak, terutama saat munculnya konglomerasi yang menurut (Brown, 1999) dimungkinkan karena hadirnya “sinergi politik” antara pemerintah dan pengusaha. Sudah menjadi pengetahuan umum saat itu, bahwa pada penggalan periode ini pengaruh 17
Tercantum dengan jelas pada hampir keseluruhan dokumen FA dan SK HPH
111
dunia usaha cukup kuat memengaruhi proses perumusan kebijakan usaha kehutanan yang telah menjadi hegemoni pemerintah. Hal ini mendapat semacam konfirmasi langsung dari salah seorang Menteri Kehutanan di era ini 18 : ”.......bukan apa-apa dik, tekanan politik waktu itu sudah sangat membebani birokrasi...bayangkan saja...kalau posisi direktur saja presiden yang harus menentukan....karena kepentingan bisnis dibaliknya....” (Wawancara, Lebak Bulus, 21 Mei 2011). Fenomena konglomerasi di atas ditandai juga terutama dengan adanya kebijakan ”peningkatan kapasitas industri dalam negeri” melalui ”integrasi vertikal industri perkayuan” menyusul larangan ekspor log pada 1985 (Brown, 1999). Fenomena ini memang memperlihatkan adanya peningkatan posisi politis praktisi dunia usaha kehutanan dalam memengaruhi kebijakan industri kehutanan. Namun, ”perbaikan” posisi politis ini, tidak kondusif dan sebaliknya justru membuat semakin lemahnya kebijakan usaha kehutanan lestari. Sebagai misal, bisa diingat kebijakan terkait integrasi vertikal – diwajibkannya para pemegang konsesi HPH memiliki unit industri. Dalam pelaksanaannya, melalui integrasi vertikal, kayu dihargai begitu murah disatu sisi dan disisi lain ia harus dipanen lebih banyak dan lebih cepat, sesuai target pemenuhan industri perkayuan. Dengan begitu, ”perbaikan” posisi politis para praktisi usaha kehutanan dalam proses perumusan kebijakan usaha kehutanan, kurang – untuk mengatakan tidak – memiliki kontribusi pada perbaikan arah dan substansi kebijakan usaha kehutanan, termasuk dalam penyelesaian halhal mendasar yang menjadi isu kontemporer sebagaimana juga di singgung di atas, seperti soal hak kepemilikan, akses mayarakat di dalam dan di sekitar hutan; terlebih soal pelurusan klaim hutan dikusasai negara yang dalam prakteknya cenderung dipersempit menjadi ”dikuasai” pemerintah. Terkait makna kelestarian sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 FA, sebagaimana dikutip di atas, pendekatannya sudah masuk ditataran teknis dimana urut-urutan terkait hal-hal apa yang harus, yang boleh dan tidak boleh dilakukan relatif jelas. Namun, ciri-ciri bahwa itu semua dibangun dengan 18
“Konfirmasi” ini menguatkan hadirnya dominasi dan sekaligus hegemoni dalam pengertian Gramsci sebagaimana dimaksud Eriyanto (2005) dalam diskursus usaha kehutanan selama ini.
112
kerangka pikir administratif di baliknya, sulit dihilangkan. Dari atribut pengetahuan, dibalik narasi ini, masih tampak jelas ada kekurang lengkapan terkait rasionalitas aturan main. Aturan main yang ada, baru sampai pada kebenaran hukum, belum didukung oleh kebenaran lainnya seperti ekonomi, kebenaran sosial dan bahkan kebenaran teknik. Kembali, bahwa kondisi ini, ”konsisten” dengan situasi tidak teridentifikasinya, terutama dari teks yang dianalisis, proses interaksi dan bahkan transaksi antar para pihak pemangku kepentingan dengan usaha kehutanan saat aturan dikonstruksi. Dengan begitu, tampak bahwa aturan main terkait kelestarian disini lebih bersifat ”daftar” larangan, keharusan, dan cara serta upaya penegasan kembali wewenang pemerintah untuk terus melakukan kontrol di tingkat unit usaha – command and control within administrative domain. Dengan karakteristik narasi kebijakan semacam ini, tampak bahwa pemaknaan kelestarian di tingkat FA dari sisi atribut pengetahuan, tidak jauh berbeda, yakni hanya sebatas kebenaran hukum tanpa ada sedikitpun tanda-tanda adanya macam kebenaran lainnya sebagaimana dimaksud Dunn (2000). Dengan karakteristik itu pula, interaksi yang ada lebih menggambarkan pengaturan sebagai sekedar ”instruksi” – dari pemerintah atas pemegang unit usaha – daripada proses transaksi antar keduanya. Keseluruhan hal ini menunjukkan pula, bahwa aliran the forest first tampak begitu dominan dan itu merupakan produk dari relasi kekuasaan dalam pemahaman Foucault sebagaimana dijelaskan Arts and Buizer (2009) dan Hawitt (2009). Setelah 1998. Ditempatkannya istilah kemakmuran dalam horison lintas generasi dapat dianggap sebagai poin ”pembaruan” pada PP 6/99 dan merupakan suatu terminologi yang tidak secara tegas dan tersurat digunakan dalam PP sejenis yang lama dan telah ada sebelumnya. Namun, melalui PP ini, prinsip usaha kehutanan selebihnya tidak bergeser jauh: dengan menjaga lingkungan, hutan alam tetap diusahakan bagi kemakmuran rakyat lintas generasi dalam koridor kelestarian. Dalam hal ini makna kelestarian lebih mengerucut sebagai instrumen tidak saja dalam pemanfaatan hutan, tapi mencakup pula upaya memastikan kelayakan Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi (KPHP) dan pencairan dana jaminan kinerja HPH (performance
113
bonds). Perubahan lain yang relatif signifikan terletak pada upaya untuk lebih melibatkan dan membuka hak dan akses masyarakat dalam usaha kehutanan; dicirikan antara lain dengan menata ulang besaran luas HPH dan struktur kepemilikannya. Hal terakhir ini merupakan respon atas tuntutan sebagian kelompok masyarakat untuk memecah konglomerasi yang terjadi sebelumnya di satu sisi; dan tuntutan untuk melaksanakan demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam di sisi lainnya, sejalan dengan terjadinya gerakan reformasi di segala bidang saat itu. Gerakan reformasi itu sendiri muncul, menyusul pergantian kepemimpinan nasional kala itu. Sekalipun mengalami sedikit perubahan, teks argumen pembuka pada UU 41/99 tetap memberikan isyarat bahwa kecenderungan kerangka pikir para pihak penyusun kebijakan saat itu, dibalik narasi kebijakan yang ada, relatif tidak berubah: hutan sebagai sentra yang mengindikasikan kentalnya aliran pemikiran the forest first. Sekalipun mengakui kondisi hutan menurun, mereka tetap yakin dan percaya, bahwa hutan (yang tersisa) itu dengan segala multi manfaat dan multifungsinya masih dipandang pantas untuk (terus) dimanfaatkan dan dikelola secara optimal, dengan tetap dijaga daya dukungnya secara lestari. Kerangka pikir demikian muncul, apalagi kalau bukan karena pertimbangan kepentingan (melanjutkan) pembangunan, dengan memosisikan kelestarian sebagai instrumen pembatas. Pada saat yang sama pemerintah sebenarnya menegaskan kembali, perihal penguasaan hutan oleh negara dengan wewenang pemerintah 19 untuk memastikan pencapaian kelestarian. Terkait hal ini, perubahan tampak pula pada pemaknaan kelestarian.
Disini
kelestarian
sebagai
pembatas,
didekati
dari
diberlakukannya sejumlah ketentuan dan kewajiban bagi pemegang hak seperti diuraikan di atas, ditambah pula kewajiban lain: membayar iuran izin usaha, provisi sumberdya hutan, dana reboisasi dan dana jaminan kinerja. Adapun pengertian operasional terkait kelestarian ini lebih lanjut dirujuk pada peraturan pemerintah tersendiri. 19 Tentunya penguasaan dan wewenang untuk (a) mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, (b) menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, dan (c) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan (Pasal 4 ayat 2 UU 41/99).
114
Sampai disini, keseluruhan teks dan narasi kebijakan yang dianalisis terkait proses penataan aturan main kelestarian di atas tidak mencerminkan adanya interaksi yang intens antar para aktor pemangku kepentingan dalam usaha kehutanan. Terlebih transaksi antar para pihak dimaksud. Bahkan para pihak yang berinterkasi pun, tidak cukup tegas, selain bahwa pemerintah begitu dominan mengkonstruksi aturan main bagi unit usaha. Dengan begitu, maka apapun aturan main terkait usaha kehutanan lestari yang tertuang dalam teks dan narasi yang ada, lebih merupakan perspektif pemerintah yang tampaknya steril dari proses transaksi dan negosiasi dengan para pemangku kepentingan lainnya. Sementara, dari substansi pengaturan, aturan main kelestarian yang ada tampak masih bersifat begitu administratif dengan memosisikan hutan sebagai sentra. Terlebih dari narasi itu tidak diperoleh gambaran seberapa jauh keterlaksanaan, efektivitas dan efisiensi dari aturan main itu di tingkat implementasi. Telah disinggung di muka, bahwa melalui PP 34/2002 kelestarian diposisikan sebagai kewajiban para pemegang hak konsesi untuk memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam secara lestari (PHAPL) yang secara teknis diatur tersendiri dalam keputusan menteri. Namun, seperti fenomena lainnya sebagaimana telah digambarkan di atas, teks-teks dan narasi kebijakan yang ada tidak memperlihatkan gambaran adanya interaksi dan transaksi yang cukup intens antara para aktor pemangku kepentingan dalam proses mengkonstruksi aturan main. Sementara, aktor utama yang terlibat dalam interaksi, tetap masih pemerintah yang begitu dominan mengatur pemegang unit usaha. Dengan memahami lebih jauh jenis dan deskripsi masing-masing indikator kelestarian, maka sulit dihindari munculnya pandangan bahwa indikatorindikator itu sangat teknis, cenderung administratif, prosedural, lebih bersifat disinsentif, dan mempersempit – bahkan menutup – ruang kreativitas unit usaha pemegang konsesi, justru dalam mewujudkan PHAPL dengan cara dan pendekatannya sendiri. Keharusan pemenuhan kriteria dan indikator kelestarian ini semakin berat, manakala PHAPL ini bersifat wajib (mandatory) disatu sisi, dan disisi lain kapasitas dan kapabilitas pemerintah untuk
115
menegakkan penerapan PHAPL ini relatif kurang memadai 20 . Situasi empiris ini semakin menegaskan setidaknya tiga hal: (a) di atas nama perubahan, pemerintah tetap dominan dalam menata aturan main, termasuk membangun pendekatan kelestarian, sehingga (b) teks dan narasi kebijakan tetap bukanlah wujud dari pertarungan atau kontestasi ide, teori dan pemikiran antar para pemangku kepentingan – atau setidaknya antara pemerintah dengan pemegang hak, dan oleh karena itu bisa ditafsir, bahwa (c) kebenaran yang terkandung dalam substansi aturan main masih pada tingkatan kebenaran hukum terkait bunyi pasal demi pasal. Dengan begitu, pemerintah pada hakekatnya menempatkan kelestarian itu sebagai eksternal bagi pemegang unit usaha, seolah hanya pemerintah yang lebih tahu dan lebih berkepentingan dengan kelestarian itu. Dalam kondisi demikian, maka keharusan (mandatory) penilaian kinerja PHAPL dengan memanfaatkan jasa penilaian pihak ketiga (Lihat daftar perundangan di catatan kaki No. 20) semakin meningkatkan disinsentif bagi unit usaha, karena jelas-jelas akan menambah komponen dan besar biaya operasional, tanpa ada gambaran akan berpengaruh atas tingkat keuntungan usaha. Disamping itu, ketimpangan yang lebar antara hak dan kewajiban pemegang unit usaha dalam menjalankan usahanya, menjadi faktor disinsentif lainnya: hak hanya atas komoditas kayu, sementara kewajibannya, selain terkait operasional usaha kehutanan, mencakup pula hampir keseluruhan komponen pengelolaan wilayah konsesi secara lestari (Lampiran 14). Situasi demikian juga terungkap Ismanto (2010) dalam penelitiannya. Situasi itu tidak sejalan dengan semangat perubahan paradigmatik yang sedang diangkat saat itu. Secara keseluruhan, dari sisi substansi, perubahan signifikan – setidaknya secara tekstual – terjadi pula pada paradigma pengelolaan yang tidak lagi berorientasi kayu tapi lebih pada hutan sebagai ekosistem dengan membuka ruang usaha dan ruang keterlibatan masyarakat dan masyarakat tempatan secara lebih luas dalam usaha kehutanan. Sayangnya, dalam penelitian 20 Dicerminkan antara lain dari keluarnya Kepmenhut 208/2003 dan 299/2003, disusul kemudian dengan Kepmenhut 128/2005, 303/2005 dan Permenhut P.65/2006 – keseluruhannya terkait pelaksanaan penilaian dan sertifikasi PHAPL Mandatory, dimana pemerintah memercayakan kepada pihak ketiga (LPI mampu menurut akreditasi pemerintah) untuk melakukan penilaian kinerja PHAPL, sebagaimana diatur dalam Kepmenhut 4795/2002.
116
Ismanto (2010) diketahui bahwa perubahan paradigmatik itu tidak secara nyata terjadi. Namun, karena teks dan narasi yang ada tidak juga memberikan cukup indikasi
terkait
proses
interaksi
dan
transaksi
para
pihak
dalam
mengkonstruksi aturan main, sebagaimana dapat dijumpai pada perubahan PP 34/2002 menjadi PP 6/2007, maka berbagai argumen ”perubahan” ini lebih cenderung sebagai perspektif pemerintah yang masih tetap dominan. Diskursus dan klaim perubahan substansi aturan terus berlanjut dalam periode ini. PP 34/2002 mengalami perombakan sekitar 38 pasal melalui pemberlakuan PP 3/2008. Adapun motivasi perubahan terutama untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan hutan, dengan fokus merubah ketentuan pengaturan tata hutan, rencana pengelolaan hutan dan pemanfaatan hutan. Hal yang disebut terakhir ini menegaskan, bahwa ketentuan usaha kehutanan, termasuk aspek yang diubah melalui PP 3/2008 ini. Setidaknya, macam atau lapangan izin usaha menjadi lebih banyak, termasuk pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan pemanfaatan kayu yang berlatar restorasi. Namun, dalam diskursus berkembang pandangan, bahwa arah perubahan demikian lebih dilatari oleh keinginan memecah kebuntuan terkait akses usaha tambang di hutan lindung; khususnya terkait perizinan kuasa pertambangan sebelum pemberlakuan UU 41/99 21 . Bagaimana sampai rumusan akhirnya menjadi seperti yang tertuang dalam teks dan narasi yang ada, kembali bahwa kecenderungannya lebih kepada dominasi perspektif pemerintah, karena tidak tergambar proses interaksi dan transaksi – setidaknya antar pemerintah dengan unit usaha – dalam mengkonstruksi aturan main dimaksud. Dalam arah perubahan tersebut, pemaknaan kelestarian sendiri tidak beranjak banyak dan justru cenderung semakin menukik pada hal-hal teknikal, mekanistis-instrumentatif dan administratif. Instrumentatif, karena bila merujuk Swiercz and Ross (2003) itu adalah identik dengan bias yang menggambarkan bahwa unit usaha diposisikan sekedar instrumen untuk mencapai tujuan utama dari manajemen, yakni mengontrol pihak lain dan lingkungan untuk meraih manfaat. Dengan rujukan yang sama, maka 21
Dari serangkaian diskusi dengan Ikatan Ahli Geologi Indonesia di Jakarta
117
fenomena pemerintah yang masih tetap begitu dominan sebagai pengontrol dan peran gandanya sebagaimana muncul dalam sintesa-sintesa di atas sebelumnya, yakni sebagai grand regulator sekaligus eksekutor identik dengan bias executive centric. Demikian pula – akibatnya – dominasi perspektif pemerintah dalam mengkonstruksi poin-poin aturan main masih sangat kuat. Artinya, di tingkat PP esensi kebijakan sebagai ruang kontestasi, tarik-menarik, kompromi dan negosisasi kepentingan para pihak pemangku kepentingan usaha kehutanan masih belum terwujud. Dengan kata lain, masih sulit untuk mengelak dari penilaian bahwa orientasi dan substansi aturan belum merupakan kristalisasi kesepakatan dan ketidak sepakatan dalam mensinergikan kebutuhan, menata tujuan dan mengatasi masalah usaha kehutanan secara bersama antar para pihak pemangku kepentingan usaha kehutanan. Ironisnya, situasi itu terjadi justru pada periode dimana keterbukaan dan keberanian para pihak pemangku kepentingan untuk menyampaikan aspirasi perubahan mulai menyeruak, menyusul gerakan reformasi pasca momentum pergantian kepemimpinan orde baru saat itu (1998). Pengetahuan ini dapat membantu memahami dan memperkuat penjelasan atas klaim bahwa perubahan tekstual dan narasi memang terjadi, tapi tidak menyentuh hal-hal fundamental, terlebih saat teks dan narasi kebijakan terkait kelestarian coba ditapis dengan kerangka teoritis kelestarian; bahwa apa yang tampak sebagai perubahan itu tetap tidak menjawab atau bahkan menyinggung isu-isu kontemporer terkait hak dan akses masyarakat (property rights), informasi terkait karakteristik SDH (sumber interdependencies), termasuk pandangan atas status hutan alam sebagai aset (paradigma usaha kehutanan). Kelestarian, karenanya, masih tetap diposisikan sebagai hal ”yang datang dari aturan pemerintah” sehingga bersifat eksternal bagi pelaku usaha kehutanan dan para pemangku kepentingan lainnya. Hal ini dimungkinkan, karena proses konstruksi aturan main tidak melalui proses interaksi dan transaksi yang cukup di satu sisi; dan disisi lain, diskursus yang terjadi tidak sepenuhnya memengaruhi proses konstruksi dimaksud sebagaimana layaknya. Situasi dimana diskursus tidak memengaruhi proses konstruksi kebijakan dapat
118
mengundang pertanyaan, apakah ini pengecualian dari pendapat Talja (1997) yang
memahami
diskursus
sebagai
tatanan
kerangka
pikir
yang
mengkonstruksi realitas sosial. Pemahaman lain atas situasi itu adalah, apapun wujud kelestarian yang dikonstruksi, keberadaannya masih cukup jauh dari konsep self-sustaining sebagaimana dimaksudkan Mac Cleery (tt) maupun Kaivo-Oja et al (tt). Selanjutnya,
fenomena
keterkaitan
antara
narasi,
diskursus
dan
kecenderungan kerangka pikir untuk periode sebelum dan setelah 1998 secara ringkas dapat dilihat pada Lampiran 5. Kembali kepada pada Talja (1997) dimana diskursus dipahami sebagai tatanan kerangka pikir yang mengkonstruksi realitas sosial dalam sebuah konteks tertentu, maka berbagai kecenderungan diskursus yang mengemuka sebagaimana digambarkan diatas pada hakekatnya adalah kecenderungan kerangka pikir dari para pihak yang terlibat dalam diskursus. Kecenderungan ini dapat kemudian dipetakan. Seperti apa wujud peta kerangka pikir ini tergantung pada pendekatan yang digunakan. C. Peta Kerangka Pikir 1. Keseimbangan Dimensi Organisasi Dengan mengacu pada pendekatan Bolman dan Deal (1984) berbagai kecenderungan
kerangka
pikir
sebagaimana
diilustrasikan
di
atas,
sesungguhnya memperlihatkan peta keseimbangan dimensi organisasi usaha kehutanan. Dengan pendekatan ini, dimensi keorganisasian kehutanan lebih dialamatkan kepada institusi kehutanan pemerintah cq departemen yang mengurusi kehutanan dalam kedua periode 22 , antara lain dan terutama karena alasan ia sebagai pemain dominan berperan ganda: sebagai grand regulator dan juga sebagai wasit dan sekaligus eksekutor dalam usaha kehutanan. Dengan menggunakan ”kata kunci” yang telah dikembangkan dalam pendekatan ini (Lampiran 4) diperoleh gambaran keseimbangan dimensi
22 Instusi untuk kedua periode: Departemen Kehutanan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, kembali Departemen Kehutanan
119
organisasi baik untuk priode sebelum dan setelah 1998, sebagaimana dirinci dalam Tabel 22.
Tabel 22. Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan pendekatan Bolman dan Deal (1984) Pendekatan Bolman and Deal (1984)
Dimensi Sebaran kata kunci baik untuk periode sebelum dan sesudah 1998 (Lampiran 4) memperlihatkan kecenderungan kerangka lebih ke dimensi simbolik untuk kedua periodik.
Catatan Organisasi dimaksud lebih tertuju kepada institusi kehutanan pemerintah cq departemen yang mengurusi kehutanan (lihat catatan kaki 21)
Makna dimensi ini menegaskan beberapa hal terkait organisasi:
Organisasi lebih memosisikan diri (secara dominan) pada proses pengambilan keputusan, yang tak ubahnya sebagai arena aksi simbolik, relatif terhadap hasil akhir dari putusan yang diambil.
• Tidak berangkat dari sebuah strategi yang memadai; • Peran manajemen menyeimbangkan ’strategi’ dan ’struktur’ dengan lingkungan eksternal kurang; • Tidak cukup kuat dan tegas dalam mensinergikan berbagai kebutuhan para pihak dengan rasionalitas keorganisasian yang tidak memadai tadi. • Tidak merespon secara seksama kesenjangan kepentingan dan kelangkaan sumberdaya hutan.
Dalam keseimbangan yang lebih pada dimensi simbolik,
baik untuk
periode sebelum dan setelah 1998, organisasi kehutanan pada dasarnya memperlihatkan beberapa makna, antara lain sebagaimana dikemukakan di bawah ini. Pertama, sebagai organisasi, departemen yang mengurus kehutanan, sebagaimana juga tercermin dari narasi kebijakan yang ada, tidak berangkat dari sebuah strategi yang memadai, sekalipun seolah ada peran manajemen untuk menyeimbangkan ’strategi’ dan ’struktur’ dengan lingkungan eksternal. Kedua, dari narasi kebijakan yang sama tampak bahwa departemen tidak cukup kuat dan tegas dalam mensinergikan berbagai kebutuhan para pihak dengan rasionalitas keorganisasian yang tidak memadai tadi. Ketiga,
120
departemen
tidak
merespon
secara
seksama
persoalan
kesenjangan
kepentingan dan kelangkaan sumberdaya hutan dan seolah lepas dari politik organisasinya. Keempat, departemen lebih suka memosisikan diri (bahkan secara dominan) pada proses pengambilan keputusan, yang dengan karakteristik yang ada – misal kuatnya kesan resistensi, maka berbagai langkah pengambilan keputusan tak ubahnya sebagai arena aksi simbolik, relatif terhadap hasil akhir dari putusan yang diambil. Salah seorang Menteri Kehutanan di era setelah 1998 ini kurang lebih berujar hal senada:
” Ya itu juga persoalan....bahwa semua yang muncul sekarang saya kira erat kaitannya dengan adanya kekeliruan cara pikir. Gejalanya, pembangunan kehutanan tidak pernah fokus, ganti menteri ganti kebijakan.... ada anggapan kalau jadi menteri tidak merubah, tidak buat aturan, dia merasa tidak melakukan apa-apa. Sehingga, istilahnya, tidak gatal pun digaruk. Padahal menurut saya tidak begitu.” (Wawancara, Bogor, Mei 2011) Pandangan di atas memperoleh dukungan ”politis” dari Ketua Mahkamah Konstitusi Machfud MD yang jauh sebelumnya juga berpandangan kurang lebih senada: "Saya melihat munculnya UU yang kadang kala tumpang tindih itu karena menteri-menteri genit. Artinya, kalau menjadi menteri harus membuat UU meski UU sudah ada, ingin diubah. Pokoknya biar ada tandanya dia jadi menteri itu buat UU. Itu sebabnya Prolegnas (Program Legislasi Nasional) di DPR jadi menumpuk. Karena setiap menteri usulkan UU ini, tanpa jelas urgensinya. Apa naskah akademiknya, bahwa itu perlu" (DetikNews, 23 Februari 2010: ”Ketua MK: UU Tumpang Tindih karena Para Menteri Kegenitan”. Diakses 14 Mei 2010) 23
2. Kuadran Alvesson-Karreman Dengan menggunakan pendekatan Alvesson and Karreman (2000) kerangka pikir sebagaimana dibahas di atas memperlihatkan longgarnya hubungan diskursus (loosely coupled) dengan makna usaha kehutanan, khususnya terkait representasi kelestarian. Hal ini dicirikan dari lebarnya kesenjangan antara 23
Masih dalam kesempatan dan berita yang sama, Ketua MK memberi contoh, UU yang tumpang tindih akibat ulah para menteri, seperti UU Kehutanan, yang sudah diatur oleh UU Sumber Daya Alam dan di UU Agraria. UU (Kehutanan) itu dikeluarkan tanpa studi kelayakan yang jelas.
121
narasi kebijakan dan pengetahuan disebaliknya yang merepresentasikan makna kelestarian (Lampiran 11) dengan kerangka teoretik kelestarian (Lampiran 1). Dengan kata lain, dengan merujuk Birkland (2001) ada kesenjangan antara teks kebijakan usaha kehutanan dengan interaksi sosial bagaimana teks ini direspon dan diimplementasikan para pihak. Secara ringkas tampak pula bahwa, kerangka pikir dibalik narasi kebijakan yang ada justru luput dari keharusan mengatur dan menyiapkan hal-hal mendasar atau kondisi pemungkin bagi tercapainya kelestarian. Di samping itu, dari unsur ukuran atau lawasnya, diskursus yang terjadi tergolong diskursus meso, antara lain dicirikan orientasi praktisnya yang cenderung mendekati kepentingan jangka pendek dan teknikal (close-range interest), misalnya diskursus kelestarian begitu mengerucut kepada pemenuhan hal teknik dan administratif di tingkat unit usaha (Tabel 23). Tabel 23. Peta Kerangka Pikir dibalik Kebijakan Usaha Kehutanan dengan pendekatan Alvesson dan Karreman (2000) Pendekatan Alvesson and Karreman (2000).
Uraian Longgar (loosely coupled), hubungan diskursus dengan makna usaha kehutanan, khususnya terkait representasi kelestarian. Lawas diskursus tergolong diskursus meso; antara lain karena orientasi praktisnya cenderung jangka pendek (close-range interest),
Catatan Narasi kebijakan luput dari keharusan mengatur dan menyiapkan hal-hal mendasar atau kondisi pemungkin bagi tercapainya kelestarian. Diskursus kelestarian begitu mengerucut kepada pemenuhan hal teknik dan administratif di tingkat unit usaha Berdasarkan dua dimensi ini, peta kerangka pikir kedua periode terletak pada radian II A (Gambar 14)
Berdasarkan dua dimensi ini, yakni hubungan diskursus dan makna serta lawas diskursus itu sendiri, maka transformasi peta kerangka pikir untuk kedua periode ini berada pada posisi kuadaran dua, kurang lebih sebagaimana ditunjukkan lingkaran A pada Gambar 14.
122
II
I A
I
Gambar 14.
II
Kerangka Pikir Kebijakan Usaha Kehutanan dalam Kuadaran Alvesson-Karreman (2000)
3. The Forest First vs The Forest Second Selain dengan dua pendekatan di atas, kerangka pemikiran di balik teks kebijakan usaha kehutanan juga dilihat dari pandangan Sfeir-Younis (1991). Dengan pendekatan ini, beberapa sintesis dan bahasan di atas sudah sampai pada penilian bahwa aliran pemikiran the forest first begitu dominan, dimana teks mengindikasikan secara kuat bahwa fisik-botanis dan ekosistem hutan alam menjadi sentra perhatian dan sekaligus sebagai ruang kebijakan (policy space). Hal ini dapat diamati baik dari perspektif dan pemosisian hutan alam, pemaknaan kelestarian maupun kerangka hak dan kewajiban para pemegang unit usaha sebagaimana telah dijabarkan di atas. Akumulasi pengetahuan diatas semakin menguatkan pemaknaan bahwa aliran pemikiran di balik kebijakan usaha kehutanan yang ada yang cenderung pada aliran the forest first dapat diposisikan sebagian bagian dari kompleksitas usaha kehutanan selama ini. Terlebih bila dikaitkan dengan kinerja usaha kehutanan sebagaimana telah dibahas dalam bab terdahulu. Dengan memaknai seperti itu, maka salah satu opsi penyelesaian masalah usaha kehutanan perlu coba didekati dari pelurusan aliran kerangka pikir. Dalam hal ini perlu
123
diupayakan pergeseran dari aliran the forest first ke the forest second, dimana perhatian dan orientasi tidak sekedar pada fisik-botanis-ekosistem hutan saja, tetapi seimbang dengan situasi kondisi sosial-politik-ekonomi dan lingkungan. Bagaimana ini dapat dilakukan, perlu masuk pada soal perbaikan proses konstruksi kebijakan yang benar-benar ditopang unsur governance yang baik.
D. Persepsi Para Pihak: Kontestasi Kerangka Pikir Persepsi para pihak telah dijaring melalui dua pendekatan, yakni wawancara mendalam dan internet on-line polling.
Sebagaimana dapat dilihat pada
Lampiran 2 dan Lampiran 3, penjaringan perspesi didekati dengan empat kelompok pertanyaan seputar (a) Hutan Alam Produksi di Luar Jawa, (b) Usaha Kehutanan, (c) Kelestarian dan Pengelolaan Hutan Alam Produksi, dan (d) Kebijakan Usaha Kehutanan. Khusus untuk internet on-line polling, selain keempat kelompok ini ditambahkan pula kelompok untuk mengetahui identitas singkat para peserta polling. Seperti apa dan seberapa jauh persepsi para pihak pemangku kepentingan ini 24 mengonfirmasikan, menegasikan dan menambah-kurangkan berbagai kecenderungan dan pemetaan kerangka pikir yang telah diuraikan di atas dapat dilihat pada rincian hasil dan sintesis pada Lampiran 12 (Wawancara) dan Lampiran 13 (Polling). Kedua lampiran ini sekaligus merupakan bagian dari wujud interaksi sosial sebagaimana dimaksud Birkland (2001). Secara ringkas peta posisi dan persepsi para pihak ini dijelaskan di bawah ini. 1. Posisi atas Hutan Alam Produksi Luar Jawa Diskursus seputar hutan alam produksi luar Jawa lebih memperlihatkan refleksi atas situasi, kondisi, faktor penyebab dan alternatif solusi. Dari kelompok birokrat teridentifikasi antara lain bahwa hutan tidak termanfaatkan dan tidak terkelola secara optimal; tidak ada konsep makro pengelolaan hutan yang holistik dan terintegrasi yang diakui para pihak pemangku kepentingan; pemanfaatan yang tidak terkontrol (uncontrolled use), undervalued, 24
Yang diwawancarai dan mengisi internet on-line polling dalam penelitian ini sebagaimana dimaksud kan pada Tabel 2 dan 3.
124
penghamburan (wasting assets) dan masih kentalnya masalah ketidakpastian kawasan. Adapun penyebabnya teridentifikasi kelompok ini, antara lain kesalahan kebijakan, termasuk tidak sinkronnya kebijakan lain (nonkehutanan) dengan kehutanan. Kehutanan bahkan dinilai telah menyudutkan sektor kehutanan lebih sebagai masalah atau penghambat pembangunan (bagi sektor lain). Muncul opsi solusi dari kelompok ini, antaralain perlunya moratorium (usaha kehutanan) secara ketat, penataan ulang pengeoloaan mulai di tingkat UM dan perlunya meninjau penetapan dan alokasi fungsi hutan dengan menimbang kehadiran keseluruhan fungsi, tidak hanya fungsi produksi. Dari sisi kebijakan, perbaikan perlu kembali ke peraturan perundangan, terutama dengan menghilangkan berbagai unsur disinsentif. Dengan refleksi demikian kelompok ini masih melihat hutan alam memiliki keunggulan dalam banyak hal, terutama dari sisi sifat khas, manfaat multi fungsinya, keanekaan hayati serta kualitas hasil hutan, terutama kayu – yang tidak dapat begitu saja tergantikan hutan tanaman. Dengan begitu, diyakini hutan alam dapat tetap dimanfaatkan, tanpa perlu didikotomikan dengan hutan tanaman, karena dianggap dapat berjalan seiring. Ditekankan, hutan tanaman lebih sebagai jalan keluar – antara lain dalam mengurangi tekanan atas hutan alam. Pembenahan kebijakan perlu terutama untuk memastikan bisa bersinerginya kebijakan kehutanan dengan sektor lain, terutama dalam hal isu kepastian kawasan, dalam rangka antisipasi pasar. Saat dikaitkan dengan fenomena masih jalannya beberapa pelaku usaha ditengah sulitnya situasi usaha kehutanan, kelompok ini berkeyakinan bahwa hal itu lebih karena korsa rimbawan – disebut berkait erat dengan profesionalisme, integritas, konsistensi dan keterbukaan; lalu institusi dan manajemen usaha kehutanan – dikaitkan dengan efisiensi, komitmen, profesionalisme, antisipatif dan inovasi yang keseluruhannya diakui dapat mengatasi kesulitan dimaksud. Manipulasi, akal-akalan dan praktek curang dan mencuri adalah fenomena lain yang oleh kelompok ini disebut sebagai faktor dibalik upaya mengatasi situasi itu saat korsa rimbawan dan persoalan-persoalan institusi dan manajemen usaha kehutanan dimaksud tidak tersedia secara memadai.
125
Dalam refleksinya, kelompok akademisi lebih tertuju pada kondisi, tidak muncul unsur penyebab dan dampak. Disebutkan, bahwa kondisi hutan alam produksi di luar Jawa porak poranda, tidak ada penataan dan bahkan tidak ada konsep besar dan menyeluruh (grand design) tentang pembangunan kehutanan. Konsep usaha kehutanan (yang ada) pun tidak jelas. Tidak ada perencanaan pengelolaan hutan alam produksi yang lengkap, menyeluruh dengan target yang jelas dan tegas. Perencanaan yang ada, bukanlah rencana pengelolaan, bahkan bukan pula rencana usaha kehutanan itu senciri. Sejauh ini yang terjadi merupakan kekerasan atas sumberdaya hutan, bahkan sumberdaya alam. Bagi kelompok ini hutan alam maupun hutan tanaman bukan isu penting. Diyakini, isunya justru pada penataan makro menyeluruh bagi keduanya; keduanya ada masalah; hutan tanaman pun hingga kini tidak dikelola secara baik sehingga cenderung gagal. Sementara revitalisasi hutan alam seiring membangun hutan tanaman, seharusnya menjadi solusinya. Terkait situasi usaha kehutanan yang sulit, kelompok ini lebih melihat pemerintah dan pelaku usaha itu sendiri sebagai sebab. Pemerintah dinilai kurang mampu dalam menyeimbangkan tari-menarik kepentingan. Pelaku usaha dianggap berlaku curang dan manipulatif dalam mengatasi kesulitan itu. Upaya pelaku usaha untuk merasionalisasi usahanya dalam perencanaan usahanya (busines plan) terkendala ketepatan dan kualitas data dan informasi yang tersedia. Dengan berbagai situasi-kondisi seperti ini, semangat memanfaatkan HA masih tetap relatif tinggi, seolah mengubur realita situasikondisi fisik-botanis fungsi dan manfaat hutan alam yang disadarinya sudah menurun dengan nyata. Manfaat dan pemanfaatan hutan alam produksi dengan peluang yang dianggap masih besar menjadi kecenderungan reflek kelompok praktisi bisnis. Manfaat kayu menjadi bagian yang dianggap logis dengan tetap merujuk pada kemungkinan manfaat lain, termasuk restorasi ekosistem. Itu disadari sekalipun disebut adanya fenomena lapangan yang menyimpang, seperti hadirnya fenomena land-banking alias spekulasi lahan dibalik motif memperoleh izin usaha, kondisi-potensi yang tidak sehebat dulu, berbagai ketidakpastian yang menghebat, termasuk yang bersumber dari banyaknya
126
aturan dan ketidak konsistenan dalam aturan dan manajemen dengan perubahan yang sangat cepat.
Harapan atas masa depan Indonesia lebih
tertuju pada tidak adanya pembiaran atas hutan alam, terlebih konversi legal, sehingga hutan tanaman diyakini sebagai jawaban, selain penghentian sementara pemanenan hutan alam (moratorium pemanenan). Dibalik keyakinan ini ada kepercayaan bahwa hutan alam memiliki banyak keunggulan yang tidak dapat ditemui pada hutan tanaman. Untuk itu, diperlukan sejumlah prakondisi pemungkin, antara lain konsistensi pemerintah dalam mengkonstruksi dan implementasi kebijakan. Terkait situasi usaha kehutanan yang sulit, kelompok ini memberikan gambaran bahwa ketelanjuran menjadi faktor penentu usaha kehutanan bisa tetap jalan, selain masih kuatnya dukungan modal, plus komitmen terhadap buyer untuk terus memasok bahan baku; sehingga sekalipun kembang kempis dan margin keuntungan tipis, sekedar bertahan hidup – usaha kehutanan jalan terus. Namun, dipertanyakan oleh kelompok ini, seberapa lama kondisi semacam ini bisa bertahan ( ditanyakan angka 30 tahun?). Dijawab pula, bahwa kembali peran pemerintah yang dinilainya tidak memiliki konsistensi yang memadai dalam mengkonstruksi dan mengimplementasikan kebijakan usaha kehutanan. Reflek kelompok masyarakat sipil lebih tertuju pada kondisi realitas lapangan dengan meyakini, bahwa dengan dominan produk kayu, hutan alam produksi di luar Jawa kondisinya saat ini paling rusak di antara hutan lainnya. Reflek lainnya, disebut antara lain bahwa hutan alam produksi belum terkelola dengan baik. Hal ini dikaitkan antara lain dengan banyaknya wilayah yang open akses, sehingga hutan alam menurun dalam banyak hal, termasuk kondisi-potensi. Dengan begitu, kelompok ini menilai, bahwa penurunan illegal logging diyakini lebih karena tidak adanya lagi kayu di hutan untuk ditebas dan bukan karena membaiknya kondisi atau kinerja penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan illegal logging. Namun, seperti kelompok lainnya, kelompok ini masih memosisikan hutan alam sebagai andalan. Kehadiran hutan tanaman tak lebih sebagai pembenar dari ketidak mampuan memilah sumber bahan baku kayu dari HA. Hutan tanaman terutama untuk
127
tujuan bahan baku bubur kayu dan kertas diwaspadai akan mengancam peningkatan konversi hutan alam baik yang legal maupun ilegal. Alasanya, agar hutan alam dan hutan tanaman bisa jalan seiring. Kelompok ini mempertanyakan pengertian kata “sulit” saat digambarkan adanya pelaku usaha yang tetap jalan ditengah kesulitan usaha kehutanan. Menurut mereka sulit dapat berarti benar-benar merugi atau sekedar pengurangan tingkat keuntungan – dengan kata lain dalam kondisi sesulit apapun, masih tetap untung. Berbagai kemungkinan pengertian ini juga dikaitkan fakta bahwa tantangan usaha kehutanan telah mengalami perubahan yang sebelumnya “longgar” menjadi “ketat” – yang sebelumnya terbiasa boros lalu harus berhemat yang berimplikasi pada pengurangan keuntungan yang disepadankan dengan terminologi “sulit”. Bagi kelompok ini adanya fenomena pelaku usaha yang tetap jalan walau dalam kondisi sulit terkait beberapa
kemungkinan
dari
mulai
kemampuan
antisipatif,
adaptif,
berkomitmen sampai berlaku curang. Diskursus para pihak terkait hutan alam produksi di Luar Jawa sebagaimana diuraikan di atas, secara ringkas ditunjukkan dalam matriks berikut (Tabel 24). Tabel 24. Peta Diskursus HA Produksi Luar Jawa di kalangan Para Pihak Komponen Para pihak Birokrasi
Reflek atas HA Prod. Luar Jawa Situasi-Kondisi, Dampak, Solusi
Masa Depan Indonesia: HA vs HT HA tetap unggul HT sebagai jalan keluar; tidak perlu dikotomi
Akademisi
Kondisi, Solusi
HA vs HT bukan isu Keduanya perlu penataan makro menyeluruh
Praktisi Bisnis
Situasi-Kondisi
Maspil/NGO
Kondisi
HA unggul Jangan ada pembiaran HA HT adalah jawabnya HA tetap andalan HT ancaman berupa konversi (legal) HA
Usaha kehutanan sulit, tetap jalan. Faktor apa? Korsa rimbawan Institusi dan manajemen bisnis Komitmen pelaku usaha Pemerintah tidak mampu menyeimbangkan tarik menarik kepentingan Pelaku usaha curang dan manipulatif Semangat memanfaatkan HA masih cukup tinggi Pelaku usaha masih untung Punya komitmen untuk tetap lanjut Mempertanyakan kata “sulit”; merugi atau sekedar keuntungan yang berkurang Sulit karena tantangan yang telah berubah
128
Matriks di atas menunjukkan, bahwa keseluruhan para pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam penelitian ini memperlihatkan reflek atas hutan alam yang hampir serupa, keseluruhannya menyoal situasi dan kondisi hutan alam itu. Dibanding dua kelompok yang lain, kelompok birokrat dan akademisi menyoal pula kemungkinan solusi atas situasi dan kondisi itu. Sementara hanya kelompok birokrat yang mengaitkan situasi dan kondisi itu dengan beragam dampak. Hampir semua kelompok masih mengunggulkan dan mengandalkan HA untuk terus diusahakan dengan alasan jangan ada pembiaran atas HA dan HT adalah jawabannya (Praktisi Bisnis). HT juga dianggap sebagai jalan keluar, sehingga tidak perlu dikotomi HA vs HT (Birokrat). Namun ada juga yang memosisikan HT sebagai ancaman terjadinya praktek konversi legal (Masyarakat Sipil/NGO). Berbeda dengan tiga kelompok lainnya, kelompok akademisi melihat HA dan HT bukan lah isunya, karena keduanya sama-sama memerlukan penataan makro yang menyeluruh. Terkait terus jalannya usaha kehutanan dalam situasi sulit, kecuali kelompok masyarakat sipil, keseluruhan kelompok mengaitkannya dengan kemampuan, korsa, komitmen dan semangat individu pelaku usaha dan hanya kelompok birokrat yang juga menyoal institusi dan manajemen usaha.
Tampak bahwa pada saat melihat dan memosisikan hutan alam
produksi di luar Jawa, hampir keseluruhan kelompok tidak menyinggung secara tegas dimensi kemanusiaan atau aspek sosial politik dan ekonomi, termasuk saat merefleksikan situasi dan kondisi hutan alam. Hal ini memberikan implikasi, bahwa diskursus yang berkembang menegaskan orientasi kerangka pikir yang masih mengutanakan perhatian pada aspek sumberdaya hutan sebatas ekosistem (the forest first) Dari matriks yang sama (Tabel 24) pula, posisi para pihak atas HA Produksi Luar Jawa dapat dipetakan kedalam kuadaran di bawah ini (Gambar 15) dimana absis menggambarkan rentang kondisi hutan alam (baik vs rusak) dan
ordinat
menggambarkan
rentang
kelanjutan
atas
pengelolaan/
pemanfaatan/eksploitasi HA (berlanjut vs tidak berlanjut). Gambar tersebut menunjukkan bahwa diskursus seputar hutan alam produksi di luar Jawa juga mengerucut pada kuadran yang diarsir. Ini
129
semacam konfirmasi empiris baik atas kondisi hutan alam produksi di Luar Jawa, maupun kemungkinan langkah lanjut atas usaha kehutanan. Posisi ini menjelaskan pula alasan tidak berubahnya semangat eksploitatif atas HA sekalipun dalam kesadaran semua pihak pula, bahwa kondisinya rusak sebagaimana terindikasi dari realitas kinerja kehutanan (Bab III) maupun beberapa narasi kebijakan sebagaimana dikemukakan di awal Bab IV ini. Usaha HA- Lanjut
Baik
Rusak Usaha HA-tidak lanjut
Gambar 15.
Posisi Para Pihak atas Kondisi HA dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan
2. Pandangan atas Usaha Kehutanan Diskursus yang muncul terkait usaha kehutanan dalam kelompok birokrat memosisikan fenomena ekonomi biaya tinggi (EBT) sebagai bukan faktor penting bagi jalannya kegiatan usaha kehutanan, sejauh pelaku usaha mampu melakukan efisiensi, inovasi, antisipasi dan atau diversifikasi dengan praktek usaha lain yang dengan mengeksekusi berbagai (salah satu, beberapa atau semuanya) cara itu keuntungan usaha kehutanan masih signifikan. Diskursus lain, masih dalam kelompok ini, adalah bahwa EBT bukan faktor, karena si pelaku usaha terbiasa mengambil jalan pintas dengan ”berani membayar lebih dari seharusnya” oknum petugas. Ini dipandang sebagai cerminan upaya kompensasi dari buruknya kualitas komunikasi antara pelaku usaha dengan si petugas tadi. Selain unsur ”komunikasi” dengan petugas, EBT juga disebutsebut bersumber dari hadirnya klaim-klaim dari ”masyarakat adat”. EBT bukan faktor juga dikaitkan dengan adanya fenomena spekulan tanah, gejala
130
land-banking, jual beli izin, dan fokus-target investasi yang berorientasi ke pulp dan kertas dengan nilai investari terbesar. Saat dikaitkan dengan fakta rontoknya banyak HPH, kelompok ini memandang baik pemerintah maupun pelaku usaha sebagai faktor, dimana diakui pemerintah begitu dominan. Disamping itu distorsi lapangan yang semakin besar dan beragam, serta kondisi (potensi) sumberdayanya yang sudah menurun dianggap juga sebagai faktor lain. Dari sisi pemerintah kelompok ini lebih melihat dari ketidakpastian kawasan dan usaha yang terus meningkat, karena alasan pemerintah tidak memiliki sasaran dan target yang jelas, terjebak dengan kemauan mengatur dengan memproduksi banyak aturan, tapi implementasi dan penegakan aturan itu lemah. Disamping itu, ketidak
harmonisan
hubungan
pusat-daerah
dalam
konstruksi
dan
implementasi kebijakan yang tidak menimbang secara memadai faktor manusia dan tidak antisipatif atas demand lahan dan perizinan, sehingga melahirkan antara lain kegiatan konversi yang tidak terencana serta illegal logging, termasuk isu yang mengemuka dalam diskursus kelompok ini. Masih dari sisi pemerintah, kelompok ini menyorot pula upaya pemulihan governance melalui antara lain penilaian usaha oleh pihak ketiga independen dan sertifikasi mandatory SFM serta tekanan pasar atas kebutuhan untuk meningkatkan daya saing. Dari sisi pelaku usaha diskursus dalam kelompok ini melihat faktor etos kerja dan etika usaha para pelaku usaha – antara lain kurang antisipatif atas perubahan dalam banyak hal yang cukup nyata. Disebutkan, logika dan perencanaan bisnis pelaku usaha cenderung terpaku pada kondisi dan situasi lama untuk sesuatu yang sebetulnya sudah banyak berubah. Saat ditanya apakah usaha kehutanan sejauh ini berhasil, kelompok ini hampir keseluruhannya menilai tidak berhasil, bahkan beberapa terangterangan mengatakan gagal, walau disampaikan secara malu-malu dengan dibungkus istilah ”fifty-fifty”, ”kurang berhasil”, ”tidak cukup berhasil”, ”saya tidak bisa pastikan itu” atau dengan sekedar balik bertanya ”ukuran keberhasilan itu apa?”. Takaran yang digunakan pun macam-macam, namun share kehutanan atas perekonomian yang semakin menurun lebih banyak
131
disebut, yang kemudian minta dikompensasikan angka kerusakan lingkungan dan hutan itu sendiri, sehingga secara keseluruhan dipertanyakan dampaknya atas kesejahteraan sosial. Dalam arus pemikiran semacam itu muncul pragmatisme, bahwa apapun capaian itu merupakan konsekwensi logis dari usaha kehutanan yang belum berjalan ideal di lapangan, sehingga apapun dampak kerusakan dianggapnya sebagai sebuah pilihan yang terpaksa. ”Fifty-fifty lah. Pragmatis saja, deforestasi itu konsekwensi logis dari adanya usaha kehutanan yang belum berjalan ideal di lapangan, sehingga deforestasi seolah jadi sebuah pilihan yang terpaksa....Yang penting bagaimana merehabilitasi dan memanfaatkan lahan terdeforestasi, termasuk memberi kesempatan bagi kebutuhan lain (pangan, masyarakat) tentu dengan bersinergi dengan para pihak pemangku kepentingan lainnya; perlu sinergi antar sektor”. (Sekjen Dephut era setelah 1998; Wawancara 29 Maret 2011). Dalam diskursusnya, kelompok ini mengidentifikasi sejumlah hal yang dinilai sebagai akar masalah. Hal ini mencakup mulai dari profesionalisme rimbawan yang tidak lagi jadi panglima, terutama dalam manajemen hutan. Lalu, ketidakpastian hukum dan usaha, termasuk perlindungannya, semangat ekstraktif, dulu-dulu adanya subsidi legal berupa ”tax holiday”, ketiadaan komitmen para pihak atas kepentingan yang lebih besar. Hal disebut terakhir ini lalu dikaitkan dengan ketiadaan common values, tidak disiapkannya semacam ”champion” perubahan, hingga ketiadaan leadership. Kesalahan dalam menetapkan masalah, desentralisasi yang belum selesai, kelembagaan pemerintah masih sangat lemah juga dinilai sebagai akar masalah, selain juga penegakan hukum dan kultur terhadap implementasi regulasi yang tidak penuh. Lalu, kepentingan politik yang sudah sangat membebani birokrat dan berbagai kendala non teknis seperti kepastian kawasan dalam usaha kehutanan dan bagi masyarakat sekitar hutan yang telah lebih dulu ada di areal konsesi usaha, yang kemudian mengundang beragam konflik. Diakui kelompok ini bahwa terhadap banyak hal-hal non teknis ini, pemerintah tidak sama sekali menyentuhnya di lapangan dan bahkan penyelesainnya sering diserahkan pada pelaku usaha. Kelompok ini lall menawarkan beragam opsi solusi, mulai dari penegakan hukum untuk keluar dari berbagai ketidakpastian, sampai
132
menjadikan profesi kehutanan sebagai basis manajemen kehutanan dan manajemen Kementerian Kehutanan. Diskursus dalam kelompok akademisi memosisikan EBT sebagai faktor yang oleh para pelaku usaha umumnya direspon dengan perilaku manipulatif. Diskursus selanjutnya mengerucut pada faktor penyebab munculnya EBT yang harus diperhatikan kemudian. Misalnya, tidak terantisipasinya tarik menarik kepentingan dan masih adanya inkonsistensi kebijakan dan lemahnya upaya penegakan hukum, sehingga diperlukan keberanian pemerintah untuk melakukan penataan yang lebih mendasar. Melihat fakta banyaknya HPH yang rontok, kelompok ini melihat faktor pemerintah lebih dominan. Disebutkan, pemerintah reaktif, tidak antisipatif, dan tidak memiliki perencananaan serta strategi pengelolaan yang menyeluruh. Hal ini dinilainya karena ketiadaan konsep makro pembangunan hutan, yang diduga melahirkan banyak kebijakan yang tidak tepat bagi pelaku usaha yang akhirnya meningkatkan ketidakpastian dan ketidakteraturan dalam banyak hal. Ketiadaan komitmen pelaku usaha untuk melaksanakan kebijakan tadi secara disiplin diposisikan kelompok ini sebagai faktor rontoknya HPH dari sisi pelaku usaha. Dengan penilaian demikian, kelompok ini melihat bahwa ketidak berhasilan usaha kehutanan sejauh ini lebih disebabkan kondisi kehutanan yang dinilainya semrawut, kualitas hutan yang terus menurun, sehingga hutan tidak lagi menarik dan bahkan dianggapnya menghambat pembangunan sektor lain. Dari sisi perolehan devisa, kelompok ini menilai usaha kehutanan berhasil, walau diakuinya ada ”bocor”. Namun penilaian ini dianggap gagal, terutama saat ditimbang dengan hal keadilan sosial-ekonomi masyarakat. Diluar itu semua, masih dalam kelompok ini, muncul sanggahan bahwa soalnya bukan ”berhasil atau tidak berhasil”, tapi lebih kepada praktek pengelolaan yang disebutnya masih ”primitif”. Ini dikaitkan antara lain dengan tidak adanya jaminan jangka panjang dalam usaha kehutanan, sebagai akibat dari ketidaan perencanaan yang holistik. Dalam kepercayaan kelompok ini, akar masalahnya adalah ketiadaan konsep dan perencanaan (pembangunan kehutanan) yang holistik, ketiadaan sinergi internal Dephut, dimana Sekjen dipandang kurang berperan, sementara peran dan fungsi BiroCan yang lebih
133
pada perencanaan administratif organisasi Kemenhut, bukan perencanaan kehutanan. Sebagai regulatory agent yang sering sekaligus mempersonifikasi negara, menguasai kawasan hutan oleh Dephut disinggung kelompok ini juga sebagai akar masalah. Dapat dipahami, kalau kemudian diskursus dalam kelompok ini akhirnya menawarkan solusi dari mulai adanya konsep dan perencanaan kehutanan makro dan holistik, reformasi birokrasi sampai revitalisasi desentralisasi. Bagi kalangan praktisi bisnis, EBT merupakan beragam pungutan liar dan sejenisnya. Kalangan ini memosisikan EBT bukan sebagai faktor bagi kelangsungan usaha kehutanan karena sudah diantisipasi kedalam struktur biaya perusahaan, baik dalam rangka efisiensi maupun diversifikasi. Alasannya, sejauh masih diperoleh margin keuntungan yang signifikan, atau sekalipun merugi, masih dapat jaminan pasokan bahan baku kayu, terutama bagi pelaku usaha yang terintegrasi dengan industri perkayuan. Terkait fakta rontok dan bergugurannya HPH, kelompok ini menilai pemerintah dan pelaku usaha sebagai faktor. Pemerintah diposisikan secara tegas lebih dominan, antara lain disebut karena tidak mampu menjamin kepastian usaha, misalnya terkait penatagunaan lahan yang sering berubah mendadak tanpa kompromi atas nama RTRWP-TGHK. Dan diakui korbannya adalah HPH. Pemerintah juga dinilai terlalu banyak mengatur sehingga mempersempit ruang gerak pelaku usaha, meningkatkan biaya transaksi dengan kandungan ekonomi biaya tinggi. Pemerintah juga diposisikan sebagai pihak yang tidak konsisten dan tidak memiliki visi kehutanan kedepan, sehingga cenderung tidak fokus dan tampak berkeinginan untuk memuaskan semua pihak. Dari sisi pelaku usaha sebagai faktor, antara lain disebut sifat dasar pelaku usaha yang secara pragmatis tetap memaksimalkan keuntungan dengan orientasi jangka pendek. Ditegaskan, pelaku usaha sendiri sangat pasif, dan benar-benar tidak lebih dari sekedar operator. Selain karena faktor pemerintah dan pelaku usaha, diskursus dalam kelompok ini juga menguatkan, bahwa potensi HA sendiri sudah menurun, sehingga skala ekonomi usaha pun menurun. Oleh kalangan ini, usaha kehutanan sejauh ini dinilai tidak berhasil dan bahkan penilaian gagal cukup mendominasi. Alasannya mulai dari kondisi
134
fisik-botanis serta potensi hutan alam yang anjlok, konflik multidimensi yang tidak berkesudahan, serta share atas PDB yang disebutnya selalu lebih kecil dari 2%. Rontok dan bergugurannya jumlah unit dan luasan HPH juga masuk pertimbangan kelompok ini sebagai indikator kegagalan usaha kehutanan selama ini. Khusus terkait konflik multidimensi, kekecewaan dialamatkan kelompok ini ke Dephut, yang disebutnya ”membiarkan” pelaku usaha menghadapi sendiri menyelesaikan konflik yang sebetulnya bukan urusan pelaku usaha. Rendahnya penegakan hukum, ketidak-jelasan kontrol dalam proses perizinan dan pembinaan, ketiadaan enabling conditions, khususnya perundangan yang tidak membebani telah diangkat sebagai akar masalah dalam diskursus di kelompok ini. Akar masalah lainnya, antara lain minimnya dukungan dan insentif dari pemerintah, terutama dari sisi penyederhanaan prosedur dan regulasi – bahkan sebaliknya terlalu banyak yang diatur, termasuk hal-hal yang sebetulnya menjadi domain pelaku usaha itu sendiri, sehingga mempersempit ruang gerak si pelaku usaha; sementara sifat aturannya sendiri dinilai mengundang masalah dan meningkatkan biaya transaksi, tidak konsisten dan cenderung membebani, misal dengan beragam pungutan atau penciptaan PNBP baru. Sehingga, di lapangan kalaupun banyak permintaan izin baru, lebih dikarenakan kegiatan spekulasi tanah (land politics). Dalam diskursus diangkat pula bahwa ada faktor ketidakmauan dari pemerintah untuk berubah. Sedangkan satu-satunya opsi solusi yang ditawarkan kelompok ini adalah melakukan deregulasi. Kelompok
masyarakat
sipil
meyakini
EBT
bukan
faktor
bagi
kelangsungan usaha kehutanan, karana ia ada dari dulu. Bukan faktor, sejauh pelaku usaha memiliki etos kerja dan etika bisnis dengan kompensasi mencari harga tinggi di pasar, dan atau melakukan berbagai aksi negatif, seperti menebang di luar blok tebangan, dan atau menebang di areal yang belum waktunya. Bukan faktor, karena EBT juga sudah diantisipasi di dalam stuktur biaya yang ada yang kadang besarannya dikompromikan dengan buyers saat menetapkan harga penjualan. Melihat fakta rontok dan bergugurannya HPH, kelompok ini melihat baik pelaku usaha maupun pemerintah sebagai faktor. Untuk pelaku usaha disebutkan kurang pandai mengelola situasi dan
135
perubaannya sekaligus, sehingga tidak mampu beradaptasi serta cenderung memandang bahwa iklim usaha sudah tidak lagi menguntungkan, sehingga lari ke bisnis lain non kehutanan.
Untuk sisi pemerintah disebutkan bahwa
sebagai “land-owner” memang memfasilitasi perubahan peruntukan lahan yang berdampak pada pengurangan areal konsesi. Pemerintah juga memperketat penegakan hukum, namun pengawasannya lemah dan dinilai jutsru tidak benar-benar melakukan pengelolaan hutan dengan baik. Potensi HA sendiri disinggung sudah menurun. Kesejahterakan masyarakat, kecilnya kontribusi atas perekonomian, dan kerusakan hutan menjadi alasan kelompok ini dalam menilai ketidak berhasilan usaha kehutanan sejauh ini. Diakui, bahwa perbaikan usaha kehutanan
berjalan
paralel
dengan
usaha
perusakannya,
sehingga
(kehancuran?) tinggal soal waktu saja. Diskursus dalam kelompok ini kemudian mengharuskan adanya keberanian otoritas kehutanan untuk bertindak secara revolusi(oner), tidak lagi evolusi....”keburu habis semua”, kilahnya!.
Sementara,
distribusi
manfaat,
tata-kelola
yang
semakin
menyuburkan KKN, lemahnya penegakan hukum, dan kerangka kebijakan pemerintah yang tidak kondusif bagi usaha kehutanan dianggap kelompok ini sebagai akar masalah. Akar masalah lainnya, antara lain disebut minimnya akses masyarakat dan kekurangmampuannya bersaing dalam usaha kehutanan serta orientasi yang masih kuat ke ekonomi (perolehan devisa), dan penghargaan masyarakat atas sektor kehutanan yang begitu rendah. Demikian pula, dari sisi pelaku usaha, ketiadaan etika bisnis pun diangkat sebagai akar masalah. Solusi yang diajukan kelompok ini adalah melakukan re-orientasi dan pembenahan tata kelola. Secara ringkas posisi para pihak dalam memandang usaha kehutanan sebagaimana tampak pada matriks dalam Tabel 25. Intisari dari matriks di atas adalah bahwa kecuali kelompok praktisi bisnis dan masyarakat sipil, para pemangku kepentingn tidak melihat EBT sebagai faktor dengan berbagai alasan. Sementara keseluruhan kelompok para pemangku kepentingan ini melihat pemerintah tetap sebagai pihak yang paling dominan sebagai regulator. Semua kelompok pula setuju bahwa kinerja usaha
136
Tabel 25. Peta Diskursus Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak Komponen Para pihak Birokrasi
Ekonomi Biaya Tinggi (EBT) EBT bukan faktor, respon positif dan negatif
Faktor rontoknya HPH Pemerintah (dom), pelaku usaha, gangguan lapangan, dan potensi SDH
Kinerja Usaha Kehutanan Tidak berhasil (share kehutanan, kerusakan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat)
Akademisi
EBT Faktor, respon negatif
Pemerintah (dom) dan pelaku usaha
Tidak berhasil (kondisi kebijakan semrawut, share kehutanan, kerusakan lingkungan, kesejahteraan)
Praktisi Bisnis
EBT Faktor, respon positif
Pemerintah (dom), pelaku usaha, gangguan lapangan, dan potensi SDH
Maspil/NGO
EBT bukan faktor, respon positif dan negatif
Pemerintah (dom), pelaku usaha, gangguan lapangan, dan potensi SDH
Tidak berhasil (potensi hutan alam, konflik multidimensi, share kehutanan, rontok dan bergugurannya (HPH) Tidak berhasil (share kehutanan, kerusakan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat)
Akar Masalah Profesionalisme rimbawan tidak lagi panglima, ketidakpastian hukum, semangat ekstraktif, ketiadaan komitmen para pihak atas kepentingan yang lebih besar, ketiadaan common values, tidak ada ”champion” perubahan, ketiadaan leadership, salah menetapkan masalah, dan desentralisasi belum selesai. Opsi solusi: penegakan hukum, jadikan profesi kehutanan sebagai basis manajemen kehutanan dan manajemen Kementerian Kehutanan. ketiadaan konsep dan perencanaan (pembangunan kehutanan) yang holistik, ketiadaan sinergi internal Dephut, personifikasi negara oleh pemerintah. Opsi solusi :ada konsep dan perencanaan kehutanan makro dan holistik, reformasi birokrasi, revitalisasi desentralisasi. Penegakan hukum rendah, kontrol dalam proses perizinan dan pembinaan tidak jelas, ketiadaan enabling conditions, minimnya dukungan dan insentif dari pemerintah, ketidakmauan dari pemerintah untuk berubah. Opsi solusi: deregulasi. Distribusi manfaat, tata-kelola, penegakan hukum, kebijakan pemerintah tidak kondusif, minimnya akses masyarakat, orientasi ekonomi (devisa), penghargaan atas sektor kehutanan. Opsi solusi: reorientasi pembenahan tata kelola.
kehutanan sejauh ini jauh dari berhasil. Pada saat mengangkat akar masalah dan alternatif solusi, semua kelompok lebih fokus pada persoalan kapasitas pelaku usaha dan kapasitas pemerintah, kualitas dan kinerja tata kelola dan minimnya akses masyarakat serta orientasi eksploitasi yang keseluruhannya berangkat dari dan berujung pada sumberdaya hutannya. Demikian pula saat
137
menawarkan opsi solusi hampir keseruhan berangkat dari hutan sebagai sentral, tidak disinggung misalnya soal pasar, harga, dan macam insentif atau keseimbangan beragam bentuk modal dalam usaha kehutanan. Kondisi demikian semakin menegaskan bahwa diskursus para pemangku kepentingan masih diseputar sumberdaya hutan dan menempatkan hutan sebagai titik sentral yang mengindikasikan bahwa aliran kerangka pemikiran masih diseputar “the forest first”. Intisari ini secara skematis, sebagaimana tampak pada Gambar 16.
Gambar 16. Kontestasi para pemangku kepentingan atas isu usaha kehutanan Gambar 16 memperlihatkan, bahwa dalam memandang kinerja usaha kehutanan pemerintah (G) berada pada situasi benturan kepentingan; sementara bisnis (B) tampak paling paham masalah dan alternatif solusi, tetapi juga tidak lepas dari benturan kepentingan. Akademisi (A) paham tentang masalah dan punya opsi solusi tapi masih ditataran makro-ideologis; sementara masyarakat sipil/LSM (L) sama-sama memahami masalah dan solusi, namun sama-sama lebih banyak ditataran ideologis dan lebih mengarah kepada isu-isu advokasi terkait akses mayarakat atas sumberdaya hutan. Matriks di atas juga menegaskan, bahwa para pihak, kecuali praktisi bisnis, sama-sama melihat EBT bukan faktor bagi kelangsungan usaha kehutanan, dan kalaupun ada, fenomena rontoknya HPH itu lebih disebabkan oleh pemerintah secara dominan, sebagaimana juga tercermin dalam “daftar”
138
akar masalah. Hal ini memberikan isyarat bahwa para pihak memosisikan diri pada keyakinan bahwa usaha kehutanan dapat terus berjalan sekalipun semua pihak pula menilai bahwa kinerja usaha kehutanan sejauh ini tidak berhasil (untuk tidak mengatakan gagal). Posisi ini bila ditempatkan dalam bentuk kuadran, maka kontestasi mengerucut dan berada pada wilayah yang diarsir (Gambar 17.)
Usaha Kehutanan tidak berhasil
Usaha Kehutanan berhasil
Usaha Kehutanan - Lanjut
Usaha Kehutanan-tidak lanjut
Gambar 17. Posisi Para Pihak atas Kondisi dan Keberlanjutan Usaha Kehutanan
3. Makna Kelestarian Hutan dan Pengelolaan Hutan Lestari Hampir keseluruhan diskursus dalam kelompok birokrat menempatkan pelestarian HA sebagai masuk akal dari sisi bisnis. Kelestarian dipahami sebagai menjalankan dengan benar dan konsisten sistem silvikultur yang ada. Kelestarian itu instrumen untuk menjawab persoalan distribusi. Kelestarian dipandang perlu komitmen dan orientasi untuk kelestarian. Dipertanyakan pula, pelaku usaha mana yang kegiatan usahanya tidak ingin langgeng. Makna kelestarian juga dikerucutkan sebagai upaya melaksanakan program rehabilitasi yang disayangkannya tidak begitu diminati masyarakat, karena jenis tanamannya yang lambat tumbuh. Di tengah arus pemikiran seperti itu muncul pula pandangan bahwa
masuk akal tidak selalu berarti akan
dilakukan. Hal terakhir ini dikaitkan dengan pandangan bahwa kelestarian itu tidak
menarik,
sehingga
tidak
ada
komitmen;
sementara
dalam
pelaksanaannya (pun) dipandang sering tidak ada pengawasan dan monitoring, tidak profesional. Hal ini diduga karena berpikir jangka pendek, tidak punya
139
idealisme kelestarian, hanya berpikir nebang, jiwa spekulan pencari untung jangka pendek yang hobi mencari jalan pintas, sehingga si pelaku berperilaku hit and run. Terlebih, iklim usaha yang disiapkan pemerintah tidak mendukung dan cenderung belum bisa memberikan kepastian hukum kepada para pelaku usaha kehutanan. Namun, kelompok ini pun melihat kelestarian sebagai kebutuhan semua pihak dan karenanya harus jadi pijakan bersama. Realisasinya dinilai lain dan malah tampak sebaliknya; penyebabnya antara lain tidak ada kesadaran para pihak dan tidak paham memaknai pentingnya nilai hutan; hampir semua pihak berpikir jangka pendek alias
berpikir
primitif. Dalam arus pemikiran seperti ini, muncul pandangan bahwa kelestarian itu domain pemerintah untuk mewujudkannya, lainnya tinggal bersinergi saja. Kalangan ini mengusung beragam makna tentang kelestarian. Disebutkan bahwa kelestarian itu (keadaan dimana) semua fungsi hutan itu tetap dari waktu ke waktu secara progresif, termasuk fungsi ekonomi, dengan perspektif, pikiran dan orientasi jangka panjang. Kelestarian juga harus mengandung perspektif keuntungan secara dinamis dan adanya kepastian bahwa ada bagian dari keuntungan itu yang dikembalikan ke hutan. Oleh kalangan ini kelestarian juga dimaknai sebagai value yang harus dipegang secara konsisten (oleh para pihak pemangku kepentingan). Bagi pemerintah, kelestarian itu identik dengan memenuhi amanat Pasal 33 UUD 45, sehingga melekat kewajiban bagi pemerintah untuk menunjang pencapaian kelestarian itu dengan memastikan bahwa manfaat terdistribusi secara benar, terlaksananya kegiatan rehabilitasi dan terciptanya kepastian, kemantapan dan keamanan kawasan. Dalam penilaian kelompok ini kinerja usaha kehutanan sejauh ini mengerucut kedalam tiga hal: setuju tidak lestari, ragu-ragu, dan tidak setuju bahwa tidak lestari. Setuju, karena fakta empiris menguatkan penilaian itu, misal disebutkan bahwa saat ini mencari kayu di hutan sudah susah, sehingga potensi tidak memadai lagi. Yang ragu menggunakan argumen yang beragam, seperti ”tidak sepenuhnya setuju”, ”penilaian ini relatif”, ”tidak ada jawaban pasti”, ”antara setuju dan tidak setuju, fifty-fifty lah”. Pertimbangannya pun beragam. Lestari tidak lestari itu menjadi pilihan dan hasilnya adalah
140
konsekwensi, sehingga tidak lestari menjadi pilihan yang terpaksa. Argumen lain, fakta empiris menunjukkan bahwa usaha kehutanan sampai sekarang tetap jalan, namun tidak bisa dipastikan apakah ini indikasi kelestarian. Lestari tidak lestari ini relatif, karena sekalipun banyak HA rusak, tapi tidak begitu saja dinilai sebagai tidak lestari. Pertimbangannya, banyak pula HT, termasuk HTI yang bertumbuh dan luasannya meningkat atau dengan menimbang keberadaan HL dan konservasi, yakin HA kita masih lestari. Adapun argumen yang mengatakan tidak setuju bahwa HA produksi kita tidak lestari bersandar pada pertimbangan bahwa dari sisi potensi tingkat panen kita selama ini masih di bawah skala lestari. Deforestasipun tidak bisa dijadikan indikasi ketidaklestarian, karena ratenya sekarang sudah mengecil. Bila alasan potensinya, per ha nya menurun, kita punya Silin yang dengan TPTJ mampu meningkatkan produktivitas 10 kali lipat, jadi isunya bukan lestari-tidak lestari. ”Kalau alasan lestari dikaitkan dengan angka deforestasi, angka itu sekarang jauh menurun....Data FAO 2010 menyebutkan deforestasi kita tinggal 500 ha/tahun, jadi sudah kecil, tidak bisa jadi alasan tidak lestari...Sementara dari sisi potensi, dari standing stock kita punya potensi sekitar 25 juta m3/tahun; dan jatah tebang kita ditetapkan sekitar 9 jt m3/th. Jadi isunya bukan soal kelestarian, itu kan (level) konservatif banget... Katakanlah isu soal potensi, kita punya Silin, yang dengan TPTJ mampu meningkatkan 10 x produktivitas hutan biasa.” (Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional – era setelah 1998; Wawancara, 2 Mei 2011).
Kalangan akademisi, menilai kelestarian dari sisi bisnis masuk akal bagi sebagian pengusaha, yang orientasinya jangka panjang dan multi-manfaat. Namun bagi sebagian besar pengusaha lainnya (dianggap tidak masuk akal, sehingga) tidak melaksanakan, termasuk dalam menyiapkan perencanaan tapak. Ini menjadi alasan kuat bagi kelompok ini, bahwa pendekatan atur dan awasi (command and control) dinilai masih relevan dan perlu. Tidak masuk akal manakala pertimbangannya adalah sifat bisnis yang berorientasi untung besar dengan pengorbanan kecil dalam waktu secepatnya. Muncul pula pandangan bahwa kelestarian itu adalah investasi jadi bukan saja masuk akal, tapi memang sesuatu yang harus dilakukan. Pelaku usaha yang tidak melaksanakan kelestarian dinilai kelompok ini lebih karena tidak ada
141
komitmen dan profesionalisme serta sifat dasar sebagai saudagar; sementara dari sisi pemerintah tidak ada pengawalan dan kebijakan yang yang tepat. Kelompok ini juga meyakini bahwa kelestarian adalah kebutuhan semua pihak dan bukan sekedar instrumen beroleh pasar dan atau insentif harga, tapi mementingkan pula fungsi dan manfaat lain dari hutan. Pandangan lain meyakini kelestarian sebagai kebutuhan akademisi, karena merekalah yang selalu bicara soal kelestarian, untuk mengukuhkan dan aktualisasi posisi akademisnya. Penekanan dari kelompok ini adalah bahwa kelestarian bukan kebetuhan Kemenhut, karena fakta tidak ada pengawalan untuk menjamin pencapaian kelestarian itu di lapangan dan di tataran implementasi. Kelompok ini memaknai kelestarian sebagai kelestarian hasil dan kelestarian usaha dengan
perspektif
jangka
panjang,
progresif,
terus
menerus
dan
menguntungkan baik secara ekonomi maupun finansial. Oleh karena itu untuk mewujudkannya kalangan ini memandang perlu adanya dukungan akan kemantapan kawasan, tidak ada penebangan berlebih dan (ada) penanaman kembali. Kelompok ini menilai, bahwa HA produksi tidak lestari, karena ”fakta menunjukkan demikian”. Pertimbangan lainnya, karena data laju dan besaran kerusakan hutan dan lahan serta adanya kencenderungan penurunan luas dan kemampuan HA untuk mendukung kehidupan manusia yang populasi dan kompleksitas persoalannya terus meningkat.
Bagai kalangan praktisi bisnis, pelestarian HA produksi dipandang masuk akal, sejauh pencapaiannya tidak mengurangi penerimaan atau keuntungan dan memang dapat diwujudkan sendiri dan tidak sekedar melaksanakan ketentuan dan regulasi pemerintah. Dalam argumen lain disebutkan, pemerintah tak perlu banyak mengatur secara detail dan rinci; tidak (perlu) banyak faktor yang ditentukan oleh pemerintah, agar capaian kinerja sepenuhnya dalam kontrol pelaku usaha. Tidak masuk akal, manakala pencapapaian kelestarian mencakup urusan untuk tidak ribut dengan masyarakat sekitar. Hal ini dikaitkan dengan fakta bahwa pelaku usaha banyak mengalami tekanan, termasuk dari pemerintah yang begitu saja menyerahkan persoalan kepada pelaku usaha, misal dalam penyelesaian konflik. Layanan
142
pemerintah sendiri dinilai minim – untuk mengatakan tidak ada. Untuk beberapa kasus pemerintah justru minta dilayani, seperti terjadi di Pemda. Sementara ditegaskan pula bahwa tidak ada itu kelestarian hutan (SFM), karena yang ada baru kelestarian bisnis. Pandangan lain di kelompok ini menyebutkan, bahwa kelestarian itu mahal, terutama saat pelaku usaha tidak mampu menekan perambahan di areal konsesinya dan tidak ada jaminan dari pemerintah untuk tidak terjadi perambahan. Kelestarian itu sendiri dipahami sebagai sekedar memaksimalkan “compliance” – sekedar melaksanakan apa yang pemerintah atur. Pelaku usaha cenderung menjauh dari kelestarian dan bertindak dalam kerangka keuntungan jangka pendek, karena aturan (pemerintah) yang berubah terus. Dalam pandangan kelompok ini, melestarikan HA merupakan kebutuhan semua pihak, minimal secara teori, karenanya perlu dukungan semua pihak pula. Namun faktanya semua pihak pula tidak peduli, termasuk perusahaan yang hanya memenuhi (compliance) kelestarian menurut ketentuan atau regulasi pemerintah. Dengan begitu diskursus di kalangan ini juga menyebutkan kelestarian itu bukan kebutuhan siapa-siapa. Menyadari bagaimana kelestarian (banyak) diatur pemerintah, kalangan ini melihat bahwa kelestarian itu seolah milik pemerintah, pelaku usaha dan lainnya tinggal melakukan apa yang telah digariskan. Namun muncul pula pandangan dikalangan ini, bahwa kelestarian (sebenarnya) kebutuhan pelaku usaha, karenanya pemerintah sesungguhnya tidak perlu banyak mengatur. Dalam diskursusnya kalangan ini lebih pragmatis-realistis dalam memaknai kelestarian. Disebutkan bahwa kelestarian itu adalah (keadaan dimana) usaha jalan terus, mampu memasok kebutuhan bahan baku (kayu) terus menerus tanpa jeda, dengan tetap memerhatikan aspek lingkungan dan sosial budaya. Nilai hutannya sendiri – sebagai arus manfaat, berlanjut dan meningkat secara progresif. Kelompok ini pun seluruhnya berpandangan setuju bahwa HA kita tidak lestari. Alasannya, luas dan produktivitas HA produksi menurun drastis oleh berbagai sebab empiris (konversi ke kebun dan tambang dan pinjam pakai kawasan), selain bahwa jumlah dan luasan konsesi HPH telah jauh berkurang serta fakta lain terkait tingginya angka kerusakan
143
hutan dan lahan. Alasan lain, karena fakta bahwa semua pihak tidak peduli dengan kelestarian, termasuk perusahaan yang (terpaksa) hanya sekedar memenuhi kelestarian menurut aturan pemerintah. Kalangan masyarakat sipil menegaskan bahwa yang masuk akal itu kelestarian usaha. Kelestarian hutan (SFM) dianggapnya masih utopis. Namun ini tidak sejalan dengan pandangan lain yang juga muncul dalam diskursus di kalangan ini, bahwa bagi pelaku usaha yang punya dan menjalankan etika usaha, kelestarian usaha berarti harus pula melestarikan hutannya. Disitulah pelestarian HA dipandang masuk akal, karena kelestarian bagaimanapun adalah menjalankan banyak faktor, yang antara lain disebut sebagai faktor kunci, yakni melestarikan hutan. Terkait fenomena banyak pelaku usaha yang tidak melaksanakan kelestarian, sekalipun dipandang masuk akal, kelompok ini sampai pada penilaiana bahwa hal itu disebabkan karena ketidakmampuan dalam mensiasati, orientasi dan komitmennya rendah, atau memang tujuannya sekedar hit and run, atau ada opsi lain yang lebih menarik. Usaha kehutanan baru sebatas kayu dan hanya kayu yang dihargai, hutannya tidak dihargai sebagai asset; kelestarian, karenanya tidak masuk hitungan. Sementara ditegaskan oleh kelompok ini, bahwa performance bond tidak dapat diandalkan, karena pemerintah terlalu banyak mengatur (tapi) dengan kontrol lemah
sehingga
mengundang
banyak
ketidakpastian
dan
perilaku
menyimpang. Diskursus di kalangan ini sampai pada penilaian bahwa kelestarian itu kebutuhan semua pihak, utamanya generasi mendatang, sehingga disebut juga sebagai kebutuhan negara, sebagai pelaksanaan mandat Pasal 33 UUD 45, antara lain agar manfaat SDA bisa lestari lintas generasi. Dengan pemahaman seperti itu diajukan syarat bahwa kebijakan yang ada tidak membebani atau meningkatkan ruang dan biaya transaksi. Adapun kelestarian sendiri dimaknai dalam perspektif jangka panjang, lintas generasi, dimana ketiga pilar fungsi hutan, tidak hilang, tetap terjaga, dan kualitasnya tidak menurun. Hampir keseluruhan narasumber di kelompok ini setuju bahwa sejauh ini HA produksi bukan saja tidak lestari, tetapi kondisinya rusak parah, indikasinya dari
144
deforestasi yang terus meningkat dan hilangnya hampir keseluruhan fungsi hutan baik sosial, ekonomi, dan lingkungan. Peta diskursus para pihak terkait makna kelestarian tersebut diatas secara ringkas disajikan pada matriks Tabel 26. Tabel 26. Peta Diskursus Kelestarian di kalangan Para Pihak Komponen Para pihak Birokrasi
Akademisi
Praktisi Bisnis
Maspil/NGO
Kelestarian masuk akal Masuk akal
Mengapa tidak dilakukan
Kelestarian kebutuhan siapa
Makna kelestarian
HA kita tidak lestari
Tidak menarik, tidak ada komitmen, iklim usaha tidak mendukung
Kebutuhan semua pihak, harus jadi pijakan bersama
Semua fungsi hutan tetap dari waktu ke waktu secara progresif, dengan perspektif keuntungan jangka panjang
Setuju karena faktanya,
Masuk akal bagi sebagian pelaku usaha
Tidak ada komitmen dan profesionalisme dari pelaku usaha
Masuk akal
Pelaku usaha banyak tekanan termasuk dari pemerintah, layannan pemerintah minim,
Kelestaria n usaha masuk akal; SFM masih utopis
Kebutuhan semua pihak, terutama akademisi
Pemerintah kurang mengawal
Tidak ada kelestarian SFM, yang ada baru kelestarian usaha, kelestarian itu mahal, sekedar compliance apa yang diatur pemerintah Pelaku usaha kurang siasat, kurang orientasi, kurang komitmen, memang tujuannya sekedar hit and run Pemerintah terlalu banyak ngatur dengan kontrol lemah
Kebutuhan semua pihak, setidaknya secara teori, perlu dukungan semua pihak pula Faktanya, bukan kebutuhan siapasiapa, karena semua pihak tidak peduli, termasuk pelaku usaha Kebutuhan semua pihak, terutama generasi mendatang; jadi kebutuhan negara sesuai mandat Pasal 33 UUD 45
Sebagai values yang harus dipegang konsisten Kelestarian hasil dan usaha jangka panjang dan progresif, terus menerus menguntungkan Usaha jalan terus tanpa jeda, tetap memerhatikan aspek lingkungan, sosial dan budaya. Nilai hutan berlanjut, meningkat secara progresif. Tiga pilar fungsi hutan tidak hilang, tetap terjaga, kualitas tidak menurun, dalam jangka panjang dan lintas generasi
Ragu-ragu, karena relatif, Tidak setuju, karena tingkat panen masih di bawah skala lestari
Setuju, karena faktanya
Setuju, karena luas dan potensi telah jauh menurun
Setuju, karena kerusakan hutan makin parah
145
Tabel di atas secara ringkas menunjukkan, bahwa keseluruhan kelompok para pemangku kepentingan melihat bahwa melestarikan hutan alam adalah masuk akal untuk bisnis dan dibutuhkan siapa saja, sekalipun ada yang mereduksi pemaknaannya lebih pragmatis menjadi sekedar kelestarian usaha (Masyarakat Sipil/NGO). Kuatnya indikasi bahwa sekalipun kelestarian masuk akal tapi banyak yang tidak melakukan, hampir keseluruhan kelompok melihat dari sisi pelaku usaha dan pemerintah sebagai faktor dalam memosisikan hutan alam; tidak disinggung, misalnya faktor terkait pasar, harga dan insentif yang relevan. Gambaran para pemangku demikian juga mengindikasikan, bahwa diskursus dan aliran pemikiran masih cenderung di seputar ekosistem hutan dan menempatkan hutan sebagai hal utama. Bila dikaitkan dengan fakta empiris, bahwa hutan alam produksi tidak lestari, maka tampak adanya paradoks yang memosisikan kelestarian dan ikhtiar melestarikan hutan alam sebagai barang publik: tidak jelas siapa pemliknya dan siapa penanggung-jawabnya, namun semua pihak memerlukannya. Posisi paradoks ini dapat dilustrasikan sebagaimana tampak pada Gambar 18.
Gambar 18. Paradoks kelestarian sebagai barang publik Gambar 18. memperlihatkan relasi kontestasi antara pemerintah (G) dengan praktisi bisnis (B) terkait klaim dan makna kelestarian baik dari sisi hukum, teori, dan praktek: kelestarian masuk akal, dan diperlukan semua pihak. Dalam kontestasi itu, fakta empiris tidak lestarinya hutan alam produksi bagi praktisi bisnis diyakini lebih karena persoalan terkait iklim usaha, komitmen, profesionalisme dan intervensi pemerintah. Akademisi (A) dan
146
masyarakat sipil/LSM (L) melakukan interaksi – masing-masing searah – kepada keduanya (B dan G). 4. Persepsi atas Kebijakan Usaha Kehutanan Kelompok Birokrat menekankan pentingnya sebuah kebijakan dari sisi proses dan substansi kebijakan. Dari sisi proses disebut beberapa poin penting antara lain komunikasi, terbuka, dibangun berdasar common value, mekanisme pengambilan keputusan tegas, melibatkan sebanyak mungkin para pemangku kepentingan, membangun kesepakatan publik untuk kesejahteraan publik, menangkap suara publik dan para pakar terutama yang berpengalaman dan memiliki kredibilitas yang baik, penegakannya tegas dan adil.
Dari sisi
substansi hal penting yang diangkat adalah fokus, tidak kaku, berangkat dari masalah yang ingin dijawab, memastikan pemantapan kawasan, membuka peluang sistem usaha baru (tak hanya kayu), diakui multi sektor, maksudtujuan jelas, konsisten, berdasar pada kerangka yang jelas, tidak reaktifkasuistis, menjawab persoalan dari mulai tingkat lokal, regional, nasional, bahkan internasional, namun tidak juga sekedar menjawab persoalan, tetapi juga antisipatif, penuh idealisme, berdasar pada hal-hal ilmiah dan mulai dengan pilot, sebelum digeneralisasi. Saat dihadapkan pada analogi resep vs diagnosa 25 , kelompok ini berpandangan beragam. Disebutkan bahwa kondisi yang ada mengindikasikan secara kuat, bahwa diagnosa keliru-resep tidak disebut; diagnosa keliru-resep salah; diagnosa tepat-resep salah; resep tepat, karena diagnosa tepat. Masih dengan analogi itu, kelompok ini yakin bahwa situasi kebijakan usaha kehutanan saat ini identik dengan fakta bahwa (proses) pengobatan tidak kontinyu, sekedar percobaan, penyakitnya sendiri komplikasi. Sementara diakui, bahwa pelaku diagnosa (semakin) banyak, hampir setiap orang melakukan diagnosa berdasar kepentingan masing-masing, hasil diagnosa banyak, sehingga bagaimana resep dibuat menjadi tidak jelas. Analogi lainnya adalah, (terlepas dari ada tidaknya diagnosa) resep dokter berganti terus, tidak jelas mana yang pasti. 25
Untuk lebih jelasnya, lihat poin 4.2 pada panduan wawancara pada Lampiran 2.
147
Dari penilaian kelompok ini, hampir semua pihak memiliki pengaruh atas proses perumusan atau perubahan kebijakan. Disebutkan, yang paling berpengaruh antara lain: masyarakat terpapar dampak kebijakan, DPR, pemerintah, NGO, pengusaha, forester. Namun ini semua (pihak yang paling berpengaruh) menjadi tidak jelas saat ada ”black-box”. Adapun masalah yang banyak memengaruhi (proses perumusan/perubahan kebijakan) adalah masalah pemerintah sendiri, masalah pengusaha, dan (masalah) bagaimana mencapai kemakmuran rakyat. Diluar itu semua, disebutkan bahwa yang paling berpengaruh itu adalah kelompok-kelompok yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya adalah swasta besar!. ”......Pihak yang paling dominan memengaruhi, tidak bisa merujuk hanya pada kelompok pemangku kepentingan tertentu, tapi lebih kepada mereka yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya swasta besar” (Staf Khusus Menteri Kehutanan era setelah 1998; Wawancara 29 Maret 2011) Semua nara sumber dalam kelompok ini melihat ada persoalan cara pikir dalam proses perumusan dan perubahan kebijakan usaha kehutanan. Namun indikator yang digunakan bermacam-macam. Ada yang mengaitkan dengan tidak terbuka, kurang mampu mengaitkan peran hutan dengan pembangunan nasional, kurang antisipatif, cenderung otoriter, sepihak, top down, pandangan lebih jangka pendek, tidak memiliki perspektif jangka panjang, tidak fokus, ego rimbawan, terjebak di hal-hal teknikal dan cenderung apolitik, lurus-lurus saja. Persoalan cara pikir lain, antara lain disebut keterjebakan hanya sekedar menjalankan aturan, walau sadar aturanya itu sendiri tidak tepat atau bahkan keliru – sementara, untuk hal substansi yang secara objektif perlu dan dibutuhkan, tidak dilakukan (pengaturan), karena tidak ada aturan ( di atas) nya. Persoalan lainnya disebutkan pula, pemerintah pembawaannya mau mengatur, yang diatur bahkan hal-hal teknis. Ada pula yang mengaitkan persoalan cara pikir ini dengan desentralisasi yang belum tuntas, sehingga banyak pihak (di daerah) yang ragu melangkah dalam menjalankan peraturan.
148
Atau ada pula yang mengaitkan dengan soal tupoksi 26 institusi yang disebutnya ”memengaruhi cara berpikir”. ”..... Ada, karena ada Tupoksi. Tupoksi itulah yang memengaruhi cara pikir. Sementara mekanisme sendiri kita punya Biro Hukum, yang bisa jadi ada conflicting saat bicara substansi. Untuk substansi A bisa saja biro hukum mengartikan dan mendeskripsikan B, sehingga formulasi substansi kebijakan awal tidak tercapai. Soal black-box bisa saja ada, tapi bukan tanggung jawab dan bukan kapasitas saya untuk masuk kesana. (Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional, Kemenhut, era setelah 1998; Wawancara 2 Mei 2011) Perbaikan kebijakan menurut kelompok ini, sekecil apapun ada, walau masih banyak kelemahan, dan tidak signifikan. Adanya perubahan ditunjukkan, terutama dalam hal niat, cara pikir, orientasi dan landasan akademik-ilmiah yang lemah. Perbaikan juga tampak setidaknya pada adanya usaha untuk mendefinisikan dan memastikan tujuan, yang dulu tidak ada. Dari sisi proses kelompok ini melihat telah melibatkan cukup banyak para pihak pemangku kepentingan. Dari isu yang muncul, isu masyarakat dan lingkungan pun sudah cukup kuat, lebih karena spirit yang melatari waktu itu ”hutan lestari, rakyat sejahtera”. Dari sisi substansi, perubahan ke arah perbaikan dinilai ada, terkait pembenahan governance, fokus dan proritas. Diakui pula, perubahan kerangka pikir juga terjadi, (terindikasi dari) banyak generasi baru yang masuk dengan pengetahuan barunya. Dicontohkan, muncul banyak ide penetapan jatah tebang, prinsip-prinsip standard atas pelaksanaan REDD+ 27 dan lain-lain; diakui itu semua menunjukkan digunakannya ilmu dalam konstruksi kebijakan. Pengakuan lain, ada pula perubahan kerangka pikir, terkait gagasan untuk segera bergeser ke HT, atau bahkan hutan campuran; sementara untuk komoditi juga mengalami pergeseran, tak hanya kayu; lalu pengaturan kawasan kini tidak dapat bertahan seperti dulu, karena harus menimbang ada sektor lain. Sementara pandangan lain di kelompok ini menunjukkan, bahwa kurun setelah 1998 lebih banyak konsolidasi manajemen kehutanan lalu softlanding dan penurunan kuota jatah tebangan. 26
Kepanjangan dari Tugas Pokok dan Fungsi. Fenomena keraguan ini diperoleh, antara lain pada saat diskusi dengan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, 20 Juli 2011 dan APHI Komda Jambi 21 Juli 2011. 27 Sebuah inisiatif global yang menguat dalam kurun tiga tahun terakhir ini terkait upaya global mengurangi emisi gas rumah kaca melalui pengurangan tingkat deforestasi dan kerusakan hutan.
149
Dalam mengindentifikasi hal terpenting dari kebijakan kelompok akademisi tidak banyak menyinggung proses. Dari sisi substansi disebutkan bahwa hal terpenting adalah: berangkat dari konsep yang jelas, sehingga masalah yang ingin dijawab pun jelas, fokus pada keseimbangan tarik-menarik kepentingan antar para pihak pemangku kepentingan, (fokus) perhatian (hendaknya) tidak sekedar pada aspek yuridis, sosiologis dan filosofis, tetapi pada aspek penting mencapai tiga pilar kelestarian dan identitas budaya. Sementara terkait analogi resep vs diagnosa, kelompok ini meyakini diagnosa dan resep salah, alasannya karena tidak ada konsep; sehingga resep dan diagnosa bisa terjadi masing-masing ataupun bersamaan. Pandangan lain, diagnosa lemah, dimungkinkan karena keterbatasan kapasitas (SDM dan teknologi), dan kekurang seriusan. Atau resep keliru, dimungkinkan karena kepentingan politik yang dominan, sehingga keliru pula di tingkat implementasi. Kalangan ini melihat pemerintah atau penguasa dan pengusaha dinilai paling memengaruhi proses perumusan atau perubahan kebijakan, terutama sebelum masa reformasi. Selain kedua pihak ini, diakui pula bahwa masyarakat sipil seperti akhir-akhir ini, turut memengaruhi, namun masih semu. Dalam diskursus muncul pula pemikiran, bahwa pemerintah identik dengan politikus yang lebih menyuarakan kepentingan politik baik lokal, regional, nasional maupun internasional. Pelaku usaha identik dengan menyuarakan kepentingan ekonomi. Sementara kepentingan akan lingkungan dan sosial lebih disuarakan secara dominan oleh masyarakat sipil/LSM. Sementara akademisi diposisikan sebagai pihak yang diperlukan oleh keseluruhan para pihak ini, sehingga diyakini idealnya tidak mengusung kepentingan praktis tertentu. Keseluruhan narasumber di kelompok ini melihat bahwa ada persoalan kerangka pikir di balik proses perumusan dan perubahan kebijakan. Indikasinya antara lain, cenderung dominan positivistik, tanpa menimbang realitas secara memadai, tidak mengakar ke pengetahuan lokal, memandang hutan sekedar sumberdaya input produksi, memprioritaskan kepentingan ekonomi, hutan adalah sumberdaya dapat diperbaharui baik secara alam
150
maupun manusia, sehingga tidak perlu khawatikan. Dengan keyakinan demikian, kelompok ini memandang tidak ada perubahan baik kualitas kebijakan maupun kerangka pikir di baliknya, karena esensinya sama saja. Yang merasa ada perubahan menunjukkan bahwa sebelum 1998 orientasi dan keberpihakan kepada masyarakat dan lingkungan relatif kurang, lebih banyak pada pelaku usaha dan industri kehutanan. Setelah 1998 kondisinya terbalik, namun tidak melemahkan keragaan dunia usaha dan industri kehutanan. Perubahan lain dinilai kelompok ini dari spririt dan orientasi kepada masyarakat, pemisahan urusan admin dengan teknis melalui KPH, dan hutan dipandang sebagai multifungsi. Seperti halnya kelompok akademisi, kelompok praktisi bisnis tidak banyak menyoal proses dalam melihat hal terpenting dari kebijakan. Kelompok ini memandang bahwa substansi kebijakan hendaknya mampu mengakomodasi kepentingan secara keseluruhan, mengutamakan kemandirian pelaku usaha, memberlakukan pendekatan dan kontrol berbasis hasil/dampak (outcomebased), berorientasi ke penyempurnaan besar dan alokasi pungutan resmi, tidak membebani dan bahkan bila perlu membebaskan pelaku usaha, mengatur yang memang perlu diatur, aturan tidak terlalu teknis. Lalu kelompok ini berharap pula agar (para pihak, khususnya pembuat kebijakan) belajar dari pengalaman, dan lebih menegaskan target yang ingin dicapai. Menanggapi analogi resep vs diagnosa, kelompok ini menilai baik resep maupun diagnosa keliru. Diakui, diagnosa kadang akal-akalan dan manipulatif, sementara dari situ resep dibangun. Resep dibuat tanpa diagnosa, sehingga sering hal yang diatur bukan yang diperlukan, karena aturan (sudah) terlalu detail, sehingga apa yang tertulis dan apa yang berjalan berbeda. Penilaian lain, diagnosa keliru, sehingga resep apapun tidak manjur. Diyakini kelompok ini, bahwa pemerintah cukup dominan memengaruhi proses perumusan dan perubahan kebijakan, tapi tidak disertai pengawasan yang memadai, sehingga pelaku usaha merasa tidak pernah diajak dalam proses selain saat sosialisasi, itupun aturannya sudah jadi. Dan hal demikian diakuinya terus berlangsung hingga kini, sehingga pemerintah dinilai tidak pernah belajar dari pengalaman. Kalaupun ada pihak lain yang dilibatkan, ia
151
tidak memiliki pengaruh langsung pada perbaikan substansi aturan, sehingga tetap saja mengundang banyak peluang terjadinya moral hazard. Pandangan lain, pemerintah kini lebih pro perusahaan tambang dan abai atas pelaku usaha kehutanan; dulu, 1970-90an, terutama zamannya Bob Hasan mereka mendengar pelaku usaha kehutanan, bahkan didikte perusahaan kehutanan. “.....Aturan terakhir Kemenhut justru terlihat pro perusahaan tambang. Usulan pengusaha hutan tidak didengar sama sekali. Begitu juga saran dari masyarakat dan akademisi. Dulu (1970-90an) mereka mendengar suara pengusaha. Bahkan didikte pengusaha. Terutama jamannya Bob Hasan. Sebetulnya suara siapapun asal itu upaya konsisten mencapai kelestarian hutan -- ya itu yg harus dipilih...bukan karena kepentingan sesaat....”(Praktisi Usaha Kehutanan, Deputy Direktur Ekskutif APHI, Wawancara 6 Juni 2011) Keseluruhan narasumber di kelompok ini menilai ada persoalan cara pikir. Disebutkan beberapa indikasi, antara lain rimbawan dianggap tidak mengerti bisnis, sehingga perlu diatur pemerintah, profitabilitas sering dianggap lebih penting dibanding kompetensi, apa yang harus diatur hanyalah untuk aturan itu sendiri, dan aturan itu sendiri akhirnya, tidak konsisten. Indikasi lain, ada kerangka pikir yang datang dari luar, sehingga banyak aturan yang tidak perlu tapi dipaksakan, karena datang dari luar. Disebutkan sebagai contoh adalah IHMB 28 . Kelompok ini secara dominan melihat bahwa tidak ada perbaikan kebijakan usaha kehutanan, baik perbaikan substansi maupun persoalan kerangka pikir. Bahkan muncul penilaian, bahwa (kekacauan substansi) semakin menjadi-jadi, makin parah, dan terpuruk; antara lain karena makin tidak jelas dan multitafsir, termasuk tafsir antara pusat-daerah, akibatnya mengundang lebih banyak pihak lain untuk turut mengurusi kayu yang ujungujungnya membebani biaya operasional usaha dan mendongkrak pos biaya entertainment di lapangan. Satu-satunya pandangan dari kelompok ini yang menilai ada perubahan pun (diujung) melengkapinya dengan label ”tidak tampak jelas”
hasil dan dampak perbaikan, mungkin karena tidak ada
perubahan dalam cara berpikir, termasuk penilaian yang inkonsisten.
28
Yang dimaksud adalah kebijakan inventarisasi hutan menyeluruh berkala – IHMB
152
Dalam melihat kebijakan, kelompok masyarakat sipil tidak menyinggung proses sama sekali. Dari sisi substansi disebutkan, bahwa hal penting dari kebijakan antara lain mampu menciptakan kondisi yang bermanfaat untuk semua pihak, jangka waktu panjang, memberi akses ke masyarakat, antisipatif atas kondisi lapangan, mampu menyelesaikan persoalan, dapat dijalankan, tidak bertele-tele, jelas kepentingan dan urgensinya, dan memiliki fungsi kontrol. Selain itu, perlu didukung upaya penegakan dan monitoring implementasinya. Terhadap analogi resep vs diagnosa kelompok ini berpandangan beragam: diagnosa benar-resep salah; diagnosa salah-resep jadinya asal-asalan. Ditegaskan bahwa salah resep, karena tidak mampu mendiagnosa. Diakui kalaupun diagnosa benar, resep dibuat menyimpang atau bahkan bertolak belakang. Jadi – menurut kelompok ini, ada kesengajaan disitu. (Karena) diagnosa salah, resep salah, aturan yang keluar sering sekedar menjawab symptom. Dengan penilaian demikian, kelompok ini berpandangan, bahwa yang keliru pikirannya, yakni hanya dari perspektif pengusaha dengan orientasi keuntungan jangka pendek.
Siapapun pihak yang merumuskan
kebijakan, sebaiknya tidak didominasi oleh pemikiran dan orientasi demikian. Pihak yang paling pengaruh dalam perumusan/perubahan kebijakan menurut kelompok ini adalah pihak yang tingkat kepentingannya lebih menonjol, mereka bergerak lebih dominan, baik bersamaan maupun sendirisendiri. Namun sering pula, mereka yang memiliki kepentingan yang sama tidak sejalan. Yang terjadi kemudian, pemerintah lebih dominan, karena langkah atau eksekusi akhir ada di mereka. Sebelum reformasi, dominasi ini bersiombiosa dengan dunia usaha, sehingga tejadi kolaborasi penguasapengusaha. Diakui, masyarakat tidak dilihat dan akademisi cenderung hanya dijadikan sekedar legitimasi. Untuk beberapa kasus, dominansi ini bergeser. Saat isunya adalah pelepasan lahan, besaran jatah tebang, sistem silvikultur, pengusaha tampak lebih dominan. Untuk isu timber legality dan illegal logging, masuk pula masyarakat madani dan program kerjasama (donor) internasional turut berpengaruh.
153
Diakui pula oleh kelompok ini, bahwa ada persoalan cara pikir dalam kebijakan usaha kehutanan. Disebutkan, bahwa kebijakan harus (selalu) dari pemerintah, proses dan transparansi sering dianggap tidak penting, yang penting buat dulu aturan, urusan mengakomodasi lainnya belakangan dalam sosialisasi. Indikasi lain, tahu persoalan tahu obatnya, tapi tidak melakukan tindakan, dan tindakan yang dilakukan adalah hal lain karena alasan konflik kepentingan (akan merugikan yang bersangkutan sendiri). Pandangan pragmatis dari kelompok ini lebih merujuk pada kekakacau-balauan kehutanan sekarang ini yang merupakan signal dari kekacau balauan pikiran.
Kelompok ini melihat tidak ada perbaikan baik dalam cara pikir maupun kualitas kebijakan. Disebutkan keduanya tidak banyak berubah; sekalipun proses agak berkembang – melibatkan lebih banyak pihak, ada konsultasi publik yang relatif lama, namun sayang masih diwarnai fenomena ”black box”, sehingga banyak pihak merasa tidak terwakili. Ditunjukkan pula, dari aspek pengelolaan saja, UU 5/67 dan 41/99 tidak jauh berbeda, yakni pengelolaan domain pemerintah dan konsesi yang diberikan sebatas pemanfaatan. Sementara cara pikir tetap saja, tidak berubah sama sekali. Diakuinya, sebelum 1998 apa yang baik menurut Bob Hasan, jadilah kebijakan. Setelah 1998, masyarakat madani lebih vocal, karema banyak donor ikut campur, sehingga isu nya pun tergantung apa yang dibawa si donor. ”Hampir tidak ada. Tidak jauh-jauh dari aspek pengeloaan saja, UU 5/67 dengan 41/99 tidak jauh berbeda, pengelolaan domain pemerintah, konsesi yang diberikan sebatas pemanfaatan. Tidak merubah apa-apa, sama saja pola HPH. Sementara pengawasan tetap saja lemah.” (Direktur Eksekutif sebuah LSM; Wawancara 3 Mei 2011)
Selanjutnya, peta diskursus kebijakan usaha kehutanan di kalangan para pihak secara ringkas disajikan sebagaimana matriks pada Tabel 27.
154
Tabel 27. Peta Diskursus Kebijakan Usaha Kehutanan di kalangan Para Pihak Komponen Para pihak
Hal ter-penting dari kebijakan
Analogi Resep vs Diagnosa
Birokrasi
Proses dan substansi
Resep tidak disebut – diagnosa keliru
Proses: Komunikasi, terbuka, berdasar common values, mekanisme tegas, partisipatif Substansi: Fokus, tidak kaku, berangkat dari dan antisipatif atas masalah, maksud dan tujuan serta solusi yang jelas
Akademisi
Praktisi Bisnis
Maspil/NGO
Substansi: Berangkat dari konsep yang jelas, fokus pada keseimbang-an kepentingan
Substansi: Akomodasi keseluruhan kepentingan, utamakan kemandirian pelaku usaha, atur yang perlu diatur, tidak mengatur terlalu teknis Substansi: Mencipatkan akses/kondisi bermanfaat untuk semua pihak, tidak cepat berubah, antisipatif atas kondisi lapangan dan memiliki fungsi kontrol
Diagnosa keliruresep salah Diagnosa tepatresep salah Diagnosa tepatresep tepat Pelaku diagnosa banyak, bingung membuat resep, penyakitnya komplikasi Diagnosa dan resep salah, karena ketiadaan konsep;
Pihak & Masalah paling berpengaruh dalam kebijakan Kelompokkelompok yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya adalah swasta besar.
Diagnosa kadang akal-akalan dan manipulatif, Resep dibuat tanpa diagnosa Diagnosa keluru, shg resep apapun tidak manjur Diagnosa benar, resep salah Diagnosa salah, resep asal-asalan Diagnosa benar, resep dibuat menyimpang
Perbaikan kebijakan
Ada. Kurang terbuka, tidak antisipatif, otoriter, sepihak, top down, jangka pendek, sekedar menjalankan aturan,
Sekecil apapun ada, hanya masih banyak kelemaha n dan tidak signifikan
Ada; terindikasi dominannya positivistik, minim realitas, tidak mengakar pada pengetahuan lokal, melihat hutan semata input produksi
Tidak ada perbaikan , baik kualitas kebijakan maupun kerangka pikir
Masalah pemerintah, bagaimana mencapai kemakmuran rakyat Pemerintah dan pengusaha, lalu masyarakat sipil. Masalah politik dan ekonomi
Keduanya keliru
Ada persoalan cara pikir dalam konstruksi kebijakan
Pemerintah, namun pengawasan kurang Masalah tidak teridentifikasi
Pemerintah dan pihak yang tingkat kepentingannya paling menonjol; Dominasi bergeser menurut isu
Masalah ekonomi lebih menonjol Ada. Rimbawan dianggap tidak mengerti bisnis, sehingga harus diatur pemerintah, profitabilitas lebih penting daripada kompetensi; aturan sendiri tidak konsisten Ada. Kebijakan harus selalu dari pemerintah, proses dan transparansi tidak penting, tau persoalan tau obat, tapi tidak bertindak. Kacau-balaunya hutan saat ini cermin dari kekacaubalauan pikiran
Tidak ada. Malah semaki menjadi parah dan terpuruk;
Tidak ada, pengelola an domian pemerinta h dan pelaku usaha sebatas pemanfaa tan
155
Tabel diatas memperlihatkan, bahwa aspek terpenting dari kebijakan dilihat sedikit berbeda. Kecuali kelompok birokrat (G), keseluruhan kelompok lain hanya melihat substansi sebagai hal terpenting dari sebuah kebijakan. Hanya kelompok birokrat yang mementingkan pula proses, selain substansi. Dari sisi substansi hampir keseluruhan mengaitkan perlunya menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan para pihak. Beberapa yang lain menekankan perlunya berangkat dari antisipasi masalah (G), konsep yang jelas (akademisi, A), kemandirian pelaku usaha dan tidak teknikal (praktisi bisnis, B) dan menciptakan akses manfaat (masyarakat sipil, L). Hampir keseluruhan kelompok memberikan ilustrasi bahwa pada dasarnya yang terjadi sejauh ini proses pembuatan/pembaruan kebijakan lebih didasarkan pada diagnosa dan resep yang keliru. Sementara itu, pihak dan masalah yang dianggap paling dominan oleh hampir keseluruhan kelompok adalah pemerintah dan masalahnya pun masalah pemerintah. Dan hal ini diakui pula oleh kelompok birokrat yang notabene kesehariannya adalah anasir pemerintah. Ada pula yang scara khusus menyebutkan bahwa pihak yang dominan adalah para pihak yang memiliki akses dan power yang besar, termasuk swasta besar (Birokrat) atau pihak yang kepentingannya paling menonjol (Masyarakat Sipil/NGO). Hampir keseluruhan kelompok, termasuk birokrat, melihat bahwa ada persoalan cara pikir dalam pembuatan/pembaruan kebijakan usaha kehutanan. Ini terkait antara lain dengan persoalan proses pembuatan kebijakan yang sepihak, top down, jangka pendek dan sekedar menjalankan aturan dari para pembuat kebijakan (Birokrat) atau tidak mengakar pada pengetahuan lokal dan menempatkan hutan sebagai sekedar input produksi (Akademisi) atau anggapan bahwa pelaku usaha tidak mengerti bisnis, sehingga perlu diatur pemerintah (Praktisi bisnis). Hal lain disinggung pula antara lain bahwa kebijakan itu harus dari pemerintah, sementara proses dan transparansi tidak penting. Isyarat yang kuat dari tabel di atas adalah, bahwa hampir keseluruhan kelompok para
156
pemangku kepentingan menilai bahwa sejauh ini tidak ada perubahan cara pikir berarti dalam proses pembuatan/perubahan kebijakan. Dari keseluruhan diskursus yang berkembang tampak bahwa cara pikir yang tidak berkembang itu dapat dibaca sebagai semacam konfirmasi, bahwa para pihak, memosisikan pemerintah sebagai yang dominan, tanpa disinggung sama sekali bagaimana pentingnya keterlibatan para pemangku kepentingan potensial lainnya atau soal keseimbangan semua bentuk modal dalam usaha kehutanan. Di atas itu semua, kontestasi ini menunjukkan, bahwa di tengah diskursus yang berkembang berbagai pengetahuan dan pengalaman praktis para pihak tampaknya tidak hadir dan digunakan secara penuh dalam praktek keseharian – the absence of knowledge in practice. Kontestasi ini secara skematik sebagaimana tampak pada Gambar 19.
Gambar 19. Kontestasi para pihak terkait isu kebijakan usaha kehutanan
Dengan demikian, terindikasi kuat, bahwa selain soal fenomena ketidak hadiran secara penuh pengetahuan yang dimiliki para pihak di tataran praktis, diskursus yang ada juga masih berorientasi kuat atas sumberdaya hutan sebagai hal sentral. Artinya, aliran kerangka pemikiran masih kental pada “the forest first”.
157
E. Kualitas Kebijakan Usaha Kehutanan 1. Makna lepas dari Diskursus Di atas terakumulasi pengetahuan bagaimana beragam “peta” kerangka pikir baik yang dibangkitkan dari hasil telaah isi dan narasi kebijakan usaha kehutanan maupun dari penjaringan persepsi melalui wawancara mendalam dan internet online polling. Beragam “peta” tersebut pada dasarnya sekaligus memberikan gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan yang ada. Dalam pendekatan Alvesson and Karreman (2000) kualitas itu berkaitan dengan lepasnya makna dari diskursus yang terakumulasi dalam teks kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan klaim-klaim atau pengakuan yang merepresentasikan kelestarian usaha kehutanan. Lawas diskursus yang berkembang sebatas kelas “mezo”, memperlihatkan kekurang-sungguhan dan ketidak-konsistenan antara apa yang menjadi tujuan kebijakan (niat) dengan apa yang akhirnya tertuang dalam teks dalam mengkerangka (framing) usaha kehutanan di satu sisi dengan penyiapan instrumen dan strategi pencapaian kelestarian disisi lain. Lepasnya makna dari diskursus juga teridentifikasi dari persepsi dan sekaligus posisi para pihak atas empat hal sebagaimana telah dijelaskan di atas, yakni: (a) hutan alam produksi Luar Jawa, (b) Usaha Kehutanan, (c) Kelestarian hutan dan pengelolaan hutan alam lestari, serta (d) Kebijakan usaha kehutanan. Persepsi dan posisi atas hutan alam hampir keseluruhan komponen para pihak menunjukkan setuju bahwa kondisinya rusak parah dengan beragam argumen dan ilustrasi empiris di baliknya. Namun, kondisi ini tidak sama sekali menghentikan semangat mereka untuk tetap melanjutkan memanfaatkan hutan alam
sebagaimana sebelumnya (Gambar 17) dan dengan tetap
mengandalkan kelestarian sebagai constraint. Situasi ini identik dengan dan dapat dianggap sebagai “konfirmasi” atas situasi yang dijadikan pembuka Bab ini. Konfirmasi ini dapat dipahami sebagai penegas, bahwa teks dan narasi kebijakan yang ada bukanlah wujud dari sebuah interaksi sosial, dimana pertarungan atau kontestasi ide, teori dan pemikiran antar para pemangku kepentingan – atau setidaknya antara pemerintah dengan pemegang hak,
158
berlangsung. Dengan kata lain, ini adalah situasi yang bantu menggambarkan adanya gap antara teks dan interaksi sosialnya. Hal demikian dapat ditafsir bahwa kebenaran yang terkandung dalam tekstual substansi aturan main masih pada tingkatan kebenaran hukum terkait bunyi pasal demi pasal.
Lepasnya makna dari diksursus juga dapat dijumpai pada saat para pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud pada catatan kaki No. 24 memosisikan dan memaknai kelestarian. Di sini bahkan dapat dipahami bahwa lawas diskursus terkait kelestarian merentang dari dimensi mega – kelestarian ditempatkan sebagai mandat pencapaian Pasal 33 UUD 45 – ke dimensi mikro – kelestarian sebagai hal-hal teknikal dan administratif-prosedural yang harus dipenuhi pemegang unit usaha – dan akhirnya mengerucut pada dimensi meso, dimana kelestarian tak lebih sebagai daftar keharusan di tingkat unit managemen yang bagi pemegang konsesi usaha, eksternal sifatnya: sekedar menjalankan keharusan atau aturan yang telah ditetapkan pemerintah (compliance based). Seberapapun lawas diskursus yang mengemuka, para pihak pemangku kepentingan, kecuali beberapa narasumber di komponen pemerintah, semuanya setuju bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi Luar Jawa tidaklah lestari. Poin ini menjadi hal ironis lainnya, manakala dikaitkan dengan pandangan para pihak ini untuk tetap melanjutkan usaha kehutanan di hutan alam (Gambar 15 dan 17). Poin inipun menguatkan lepasnya makna diskursus, seperti juga dijumpai pada persepsi dan posisi para pihak atas kebijakan usaha kehutanan (Tabel 27). Tanpa
bermaksud
melakukan
simplifikasi
atau
menyederhanakan
persoalan yang tergambar berat ini, uraian terakhir di atas, dalam bahasa sederhana dapat disebutkan bahwa para pihak pemangku kepentingan sekalipun mengakui tiga hal tidak perform (kondisi hutan alam, kinerja usaha kehutanan, dan kualitas kebijakan) namun semangatnya masih kuat untuk tetap melanjutkan usaha kehutanan hutan alam produksi di luar Jawa dengan alasan dan bahkan jargon yang kurang lebih tidak berubah: pembangunan ekonomi, sesuai mandat Pasal 33 UUD 45.
159
Kembali ke persepsi dan posisi para pihak atas kelestarian, sebetulnya ada yang lepas atau setidaknya kurang lengkap dari persepsi dan penarikan posisi para pihak atas kelestarian, yakni persoalan opportunity cost.
Dengan
mengasumsikan secara ekstrim, bahwa pemerintah lepas 100 % dan tidak campur tangan atas pengelolaan dan pengurusan hutan alam dan keseluruhan pengelolaan hutan alam produksi di Luar Jawa di berikan kepada pihak swasta, maka menjadi pertanyaan menarik seberapa jauh hutan alam ini akan lestari. Dengan asumsi demikian, maka swasta sebagai pelaku usaha tetap akan memaksimalkan keuntungannya dengan merujuk terutama pada tingkat bunga bank komersial sebagai patokan. Dengan asumsi tidak ada values (tata nilai, norma) lain, maka si pengusaha secara matematis akan mengambil keputusan dalam keadaan dimana total laju penebangan lestari (Δv/v ) dengan perubahan harga hasil tebangan (Δp/p) per tahun lebih besar dari bunga bank komersial (r) 29 . Keadaan ini akan tetap jadi pegangan para pelaku usaha sekalipun berada pada kondisi ketidak pastian, sejauh koefisien ketidakpastian itu (sebut saja δ) tidak mengganggu laju keuntungannya dan in total tidak lebih kecil dari tingkat bunga bank komersial tadi. 30 Dengan frame ini maka kebijakan penetapan laju pertumbuhan hutan alam pertahun (MAI) sebesar 1 m3 per ha per tahun oleh pemerintah sebagai dasar penetapan jatah tebang tahunan akan menjauh dari capaian kelestarian, karena laju tebangan (dalam masa konsesi misal 40 tahun) hanya sebesar 2.5% jauh lebih kecil dari tingkat bunga bank saat itu (15-18%) atau bahkan dengan tingkat bunga bank komersial yang berlaku sekarang (5-6%). Kondisi ini bisa jadi alasan kuat, mengapa kelestarian – sekalipun diakui masuk akal, tapi tidak dilakukan oleh beberapa unit usaha. Hal ini sekaligus menjadi penegas, bahwa usaha kehutanan hutan alam produksi di Luar Jawa tidak mungkin lestari. Inilah salah satu gambaran yang lebih konkret terkait kualitas kebijakan usaha kehutanan sekaligus pemahaman terkait argumen makna lepas dari diskursus. Apakah ini sebuah jawaban bahwa kebijakan usaha kehutanan salama ini dinilai tidak berhasil mengubah perilaku ke arah kelestarian?
29 30
Dalam notasi matematis hal ini dituliskan sebagai (Δv/v+Δp/p) > r…..(01) Dalam notasi matematis: δ(Δv/v+Δp/p) > r …..(02)
160
2. Tidak mengubah Perilaku Kualitas kebijakan juga terindikasi kuat tidak mampu mengubah perilaku menuju ke kelestarian usaha, lebih karena persoalan kerangka pikir dibalik kebijakan itu dibuat. Ini ditelaah Kartodihardjo (1998). Menurutnya, kebijakan usaha kehutanan hutan alam produksi di Indonesia tidak terlepas dari rangkaian konsep dan asumsi yang digunakan sebagai landasannya. Dalam pengamatannya atas sejumlah isi peraturan perundangan usaha kehutanan (sampai 1998), diperoleh gambaran kerangka pemikiran yang digunakan untuk menetapkan kebijakan pelestarian hutan, yakni meletakkan hutan (natural capital) sebagai faktor utama. Dengan begitu, hutan dikonsepsikan sebagai suatu ekosistem yang mempunyai fungsi alami dan tergantung dari tipe ekologis dan karakteristik hubungan makluk hidup yang ada di dalamnya. Pelestarian hutan – dalam pemikiran demikian – tergantung dari keseimbangan sistem alami di dalam hutan itu sendiri. Ruang kebijakan (policy space) bagi pelestarian hutan disebutnya berada dalam lingkungan internal hutan yang dianalisis. Dengan demikian, pemanfaatan dan pelestarain hutan memerlukan banyak jenis peraturan kerja (biasanya berupa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis) karena adanya perbedaan tipe ekosistem hutan dan banyaknya jenis kegiatan yang harus dilakukan oleh para pengelola hutan. Pandangan Kartodihardjo (1998) ini menegaskan, begitulah kerangka pikir dibalik kebijakan pengelolaan dan usaha kehutanan. Karena kerangka pikir itulah mengapa pemerintah begitu banyak membuat aturan dan berbagai aturan itu kebanyakan di tataran adminstratif dan teknikal. Pandangan ini juga turut menjelaskan mengapa lawas diskursus seputar usaha kehutanan mengerucut ke dimensi meso. Merujuk pada kerangka pikir demikian, keberhasilan pelestarian hutan, karenanya sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah menghasilkan peraturan kerja yang tepat dan kemampuan para pengelola hutan untuk dapat mengerti dan melaksanakannya. Dalam pendekatan ini perdebatan mengenai upaya pelestarian hutan selalu diseputar peraturan kerja yang tidak benar akibat dari permasalahan penerapan keilmuan atau keabsahan data yang digunakan (Kartodihardjo, 1998). Dengan pandangan ini, ia melihat, bahwa
161
pembangunan kehutanan dilaksanakan secara monolitik, yang mana setiap aspek lain dari pembangunan yang berpengaruh terhadap kinerja pengusahaan hutan dianggap sebagai faktor eksogen. Selanjutnya, dalam kalkulasi Kartodihardjo, 1998) kerangka pemikiran sebagaimana digambarkan di atas mendorong upaya menjadikan pemerintah sebagai agen pembangunan yang kuat, dengan peralatan yang lengkap, sumber-daya manusia (human capital) yang terdidik dan terlatih, dan siap untuk menjalankan tugas agar seluruh peraturan kerja dapat dilaksanakan. Dengan kerangka pemikiran seperti ini, dapat dipahami kalau kegiatan pengamanan hutan dilakukan pemerintah dengan pendekatan seperti militer sebagaimana fenomena kehadiran Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC). Pandangan ini adalah gambaran lain dari adanya hegemoni atau dominasi pemerintah dalam penetapan kebijakan usaha kehutanan. Sehingga negara dikatakan sebagai “grand regulators” dimana pemanfaatan dan konservasi hutan dilaksanakan melalui pengorganisasian mekanisme internal di dalam tubuh organisasi pemerintah dengan menerbitkan peraturanperaturan yang banyak jumlahnya. Mekanisme pasar, harga, dan insentif dianggap Kartodihardjo (1998) dan Sfeir-Younis (1991) sebagai faktor eksogen. Hal disebut terakhir ini adalah jawaban, mengapa opportunity cost tidak masuk pertimbangan dalam proses konstruksi kebijakan. Dalam keyakinan Kartodihardjo (1998) kebijakan yang dibangun dengan landasan dan kerangka pemikiran demikian tidak memungkinkan mampu merubah perilaku para pemangku kepentingan, khususnya para pelaku usaha agar beperilaku menuju ke usaha kehutanan lestari. Hal ini dikuatkan temuannya bahwa (a) peraturan perundangan yang ada telah mereduksi kebijakan pengelolaan hutan menjadi sekedar pengaturan manajemen pengusahaan hutan, (b) keberadaan karakteristik dan konflik kepentingan aktor-aktor yang terlibat seperti pemegang HPH, masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, pemerintah, sampai saat ini belum teratasi, (c) nilai opportunity cost dari modal yang digunakan dalam usaha kehutanan tidak diperhitungkan dalam penetapan besaran jatah tebangan tahunan, melainkan cukup didasarkan pada ukuran fisik yang tetap (fixed) yaitu asumsi riap kayu
162
di hutan, luas dan rotasi tebang, serta faktor eksploitasi dan faktor keamanan, sehingga perilaku pelaku usaha dalam pengambilan keputusan yang dipengaruhi oleh faktor moneter tidak diakomodasikan, (d) banyaknya jumlah peraturan yang berisi tentang prosedur teknik dan adminis-trasi pelaksanaan pekerjaan telah menyebabkan peraturan perundangan usaha kehutanan hutan tak lebih sebagai penjabaran implementasi teknologi daripada implementasi institusi; (e) kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah untuk mendukung akurasi peraturan kerja; sementara pemerintah berkewajiban melaksanakan pengawasan agar pemegang HPH mematuhi peraturan; padahal kegiatan usaha kehutanan, khususnya perlindungan hutan, menjadi sangat tergantung pada kemampuan pengawasan yang dilakukan pemerintah, dan kenyataannya kemampuan pemerintah untuk melaksanakan pengawasan sangat terbatas. Terkait keyakinannya itu, Kartodihardjo (1998) menunjukkan capaian kinerja usaha kehutanan yang rendah dicirikan dari prosentase capaian kinerja dan banyaknya peringatan yang diberikan Departemen Kehutanan saat itu, sebagaimana digambarkan tabel berikut ini. Tabel 28. Kinerja HPH dan Jumlah HPH yang diberi peringatan Tahun 1989/1990 1990/1991 1991/1992 1992/1993 1993/1994 1994/1995 1995/1996
Baik 4,2 20,7 18,5 19,2 4,0 10,55 21,35
Kinerja (%) Sedang 39,5 56,0 57,8 61,6 61,9 71,11 69,19
Kurang 56,3 23,3 23,7 19,2 34,1 18,34 9,46
Peringatan (unit HPH) I II III 307 53 10 409 160 21 416 168 32 424 174 38 475 220 65 30 24 12 140 86 33
Sumber: Kartodihardjo (1998) – dimodifikasi
3. Teks lepas dari interaksi sosial – Renstra Dephut Dengan mempelajari Dokumen Rencana Strategis (RENSTRA) Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan (BPK, kini BUK) Departemen Kehutanan 2005-2009 31 , diperoleh pula gambaran kualitas kebijakan usaha kehutanan 31
Penelitian terpisah pada 2010, dimana penulis turut terlibat langsung dalam keseluruhan kegiatan penelitian ini. Hasilnya telah dituangkan dalam jurnal pada Pusat Litbang Kebijakan Kehutanan dan Perubahan Iklim, Badan Litbang Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
163
dalam periode ini. Dalam RENSTRA dicakup informasi, antara lain terkait kondisi yang diharapkan, permasalahan, serta kinerja kelembagaan lingkup bina produksi kehutanan. Hasil evaluasi internal Ditjen BUK dan UPTnya didaerah memperlihatkan bahwa nilai rata-rata kinerja capaian program lingkup BPK sebesar 7,46 dalam skala 0-9 dimana 0 adalah tidak berhasil dan 9 berhasil. Capaian kinerja untuk keseluruhan PRO program lingkup Ditjen BPK sebagaimana disajikan dalam Gambar 20.
Nilai Capaian Program
Program
Pro Env Pro Poor Pro Job Pro Growth -
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
6.00
7.00
8.00
9.00
Skor
Gambar 20. Nilai Capaian Kinerja dirinci menurut Pro Program Capaian hasil tersebut di atas tidak terlepas dengan persoalan kinerja RENSTRA sebagai produk kebijakan. Seberapa jauh capaian kinerja produk kebijakan ini ditunjukkan oleh hasil evaluasi eksternal yang fokus pada masalah kehutanan yang terjadi dalam kurun renstra, khususnya 2006-2008, dan 2010. Masalah kehutanan 2006-2008 mencakup berbagai peraturan perundangan terkait isu kawasan hutan, perencanaan, silvikultur, produksi, peredaran hasil hutan, industri, pungutan dan iuran, serta pasokan. Analisis isi atas berbagai perundangan dalam kurun ini memperlihatkan sejumlah situasi masalah dalam hal implementasinya di lapangan. Implementasi ini terindikasi masalah hukum dan inefisiensi serta ekonomi biaya tinggi. Sintesa atas situasi masalah itu menunjukkan bahwa: (1) Pola pikir hutan alam digunakan dalam mengatur hutan tanaman ditunjukkan antara lain banyaknya persyaratan hutan alam diterapkan pada hutan tanaman. Misalnya pemberian tanda pada tunggak di hutan alam harus diterapkan juga pada hutan tanaman yang secara teknis harus bebas tunggak agar dapat ditanami kembali; (2) Pola pikir hutan di Jawa
164
diterapkan untuk mengatur hutan di Luar Jawa, padahal alas titel pemilikan lahan di luar Jawa berbeda dengan alas titel pemilikan lahan di Jawa. Akibatnya, hutan rakyat di luar Jawa tidak dapat diakui sebagai hutan rakyat; (3) Ketiadaan visi, sehingga sifat aturan menjadi reaktif dan tidak antisipatif. Misalnya kewajiban melampirkan bukti tanda terima laporan realisasi produksi sebagai syarat pengesahan RKT sebagai respon terhadap ketidaksiapan pejabat menjawab pertanyaan mengenai jumlah produksi yang diajukan oleh pihak lain; (4) Kedudukan suatu prosedur sering tidak tegas – contoh adalah RKT. Di satu sisi RKT dikatakan bukan sebagai ijin, tetapi di sisi yang lain RKT perlu disahkan oleh pejabat; tanpa RKT sah, pekerjaan di lapangan tidak dapat dilaksanakan tanpa menghadapi konsekuensi yang berat. Masalah lain, konflik dengan peraturan lainnya terutama peraturan yang lebih tinggi, kesulitan mengimplementasikan, sehingga menimbulkan biaya, menimbulkan keterlambatan, hingga kemungkinan tersangkut masalah hukum. Implementasi peraturan karenanya berjalan sering dengan manipulasi. Akibatnya, birokrasi pemerintah menjadi kurang nyaman dan aman dalam bekerja; sebaliknya dunia usaha merasakan hambatan dan akhirnya inefisiensi yang luar biasa. Sementara itu, keterkaitan antara peraturan dengan pengelolaan hutan lestari yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat menjadi kurang terperhatikan. Dari evaluasi masalah selama kurun 2010, diperoleh beberapa pokok temuan, antara lain bahwa empat syarat keberlanjutan, yakni keuntungan dan distribusinya, kepastian areal dan usaha, serta penegakan hukum: (a) belum mendukung usaha kehutanan, (b) kebijakan pengusahaan hutan cenderung membebani dan tidak menyelesaikan masalah, (c) HPH/IUPHHK berkinerja buruk dan kurang modal, (d) proses pengawasan lebih pada aspek pelaksanaan, bukan outcome-based, (e) urusan pelayanan publik relatif tidak berubah, dan (f) situasi governance belum mendukung. Selama periode renstra 2005-2009 ada berbagai kebijakan yang diturunkan menjadi sejumlah peraturan baru maupun revisi peraturan lama dalam lingkup program Ditjen BPK. Berbagai peraturan ini diharapkan lembaga ini dapat menjadi jalan keluar atas masalah-masalah pokok dalam pelaksanaan usaha
165
kehutanan. Hasil analisis isi atas berbagai peraturan ini memperlihatkan beberapa memenuhi harapan tersebut dan beberapa yang lain belum memberikan sesuai yang diharapkan. Dengan pendekatan Birkland (2001) khususnya terkait syarat kebijakan dan implementasinya (Tabel 4), sintesa atas hasil analisis ini sampai pada pengetahuan tentang faktor penentu efektivitas pelaksanaan peraturan usaha kehutanan, antara lain: (a) Kejelasan tujuan adanya suatu peraturan – seperti mencapai sesuatu kondisi atau target tertentu, misalnya pengelolaan hutan lestari; membuka kesempatan usaha baru; memenuhi syarat administrasi, misalnya adanya mandat peraturan yang lebih tinggi; (b) Sikap dan perilaku siapa yang diharapkan berubah agar tujuan kebijakan dapat dicapai. Hal ini penting dalam penyelesaian masalah. Secara umum hal ini ditentukan oleh pertimbangan manfaat dan korbanan, informasi tentang peraturan dan interpretasi atas peraturan tersebut, serta pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, (c) Memahami sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu. Misalnya apabila banyak usaha kehutanan melanggar peraturan (Y), apa penyebabnya (X). Bagaimana dapat dipastikan bahwa apabila X dihilangkan atau diminimumkan, maka Y akan berkurang. Apa asumsi dan syarat-syarat agar perlakuan terhadap X menentukan perubahan terhadap Y; (d) apa instrumen kebijakan yang akan dipilih dan diterapkan agar peraturan layak dijalankan: ukuran kinerja, prosedur, standar, jangka waktu ijin, tarif, hak dan kewajiban, insentif, denda, pengembangan kapasitas dan lain-lain.; (e) Siapa dan bagaimana program dan kegiatan untuk memecahkan masalah-masalah yang menentukan dapat tidaknya peraturan dijalankan, termasuk kesiapan prasyarat berjalannya peraturan, baik berupa bahan-bahan maupun kegiatan atau pelayanan unit kerja atau lembaga tertentu.
Berdasarkan faktor-faktor penentu itu, dapat ditunjukkan bahwa (a) dari sisi faktor eksternal untuk mencapai kinerjanya, Ditjen BPK memiliki ketergantungan atas capaian kinerja unit kerja lain di dalam lingkup Departemen Kehutanan selain Ditjen BPK dan capaian kinerja unit kerja atau lembaga lain di luar Departemen Kehutanan. Ketergantungan ini merupakan titik kritis pelaksanaan dan pencapaian kinerja kebijakan usaha kehutanan.
166
Selain itu (b) proses pembuatan peraturan, termasuk proses pembuatan teksnya masih lemah dalam menentukan hubungan antara tujuan peraturan, masalah dan solusi, meskipun semua peraturan yang ada telah sejalan dengan koridor hukum yang ada. Ini dimungkinkan antara lain karena belum terbukanya proses pembuatan peraturan. Keterbukaan tersebut penting dilakukan mengingat isi peraturan seringkali diubah hanya karena kurangnya pemahaman mengenai kondisi di lapangan maupun persoalan administrasi, akibat pembahasan yang kurang komprehensif. Lalu (c) monitoring dan evaluasi – dalam pelaksanaan program dan kegiatan setiap bidang (Sub Direktorat Jenderal) belum diikuti oleh ukuran kinerja, monitoring maupun pengendalian secara tepat, efisien dan efektif, termasuk bagi pelaksana kebijakan (misal Dinas Kehutanan, UPT) maupun pelaku usaha kehutanan (misal swasta, koperasi); dan (d) interaksi sosial - pelaksanaan kebijakan yang tertuang di dalam peraturan juga sangat tergantung pada informasi dan interpretasi peraturan tersebut oleh pelaksana kebijakan dan pelaku usaha kehutanan serta interaksinya.
Khusus terkait interaksi sosial disebut terakhir di atas, hasil evaluasi eksternal sampai pada peniliaian bahwa teks kebijakan usaha kehutanan masih lepas dari interaksi sosialnya. Hal ini diperkuat oleh hasil evaluasi internalnya sendiri yang menunjukkan (a) lebih berfokus pada lingkup tertentu seputar aspek administratif yang cenderung membatasi substansi program dan kegiatan; sehingga kinerja program cenderung tidak ada kaitan dengan outcome yang diharapkan pihak lain; (b) substansi program lebih didasarkan pada masalah yang dirumuskan pembuat kebijakan (Ditjen BPK) yang umumnya terkait masalah-masalah administrasi dan konsistensi hukum dan bukan masalah-masalah yang dihadapi pelaksana kebijakan (misal Dinas, UPT) maupun pelaku usaha kehutanan (misal swasta, koperasi); dan (c) kuatnya orientasi pada kepentingan administratif telah mempersempit hubungan antara pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan pelaku usaha kehutanan, terutama dalam penetapan instrumen agar suatu peraturan dapat secara efektif dijalankan.
167
4. Perubahan orientasi tidak nyata Dengan menggunakan pendekatan struktur-perilaku-kinerja, Ismanto (2010) antara lain menelaah perubahan insitusi pengelolaan hutan alam, terutama usaha kehutanan. Struktur yang diamati adalah adalah sejumlah aturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dalam dalam kurun 10 tahun, 19972007. Perubahan UU 5/67 tentang Pokok-pokok Kehutanan menjadi
UU
41/99 tentang Kehutanan menjadi titik berangkat penelitiannya. Dalam tafsirnya, perubahan di tingkat UU ini merupakan wujud perubahan institusi, termasuk re-orientasi pengelolaan hutan alam produksi. Namun perubahan ini dianggap tidak berhasil memperbaiki situasi, seperti kontribusi sektor kehutanan atas PDRB yang terus menurun sejak 1993 dan laju deforestasi yang positif terus meningkat. Ismanto (2010) memberikan gambaran hasil penelitiannya, antara lain bahwa visi perubahan di tingkat UU, khususnya dalam hal orientasi – dari hasil kayu ke multi hasil – belum terlaksana dan bahkan cenderung tidak nyata. Ia menyayangkan karena hal itu terjadi justru ditengah-tengah gencarnya pemberian berbagai izin pemanfaatan hutan alam. Menurutnya, perubahan tidak nyata karena tidak ada aturan yang mengarahkan pada tindakan optimasi. Dalam keyakinan Ismanto (2010) UU merupakan entitas membangun organisasi dan domain kebijakan sebagai organisasi makro pada domain publik. Sementara di tingkat pengelolaan provinsi dan kabupaten disebut sebagai organisasi makro dan meso pada domain publik. Lalu, pengelolaan di tingkat unit merupakan organisasi mikro pada domain quasi publik. Dalam hirarki demikian, pemanfaat (authorized user) merupakan organisasi mikro pada domain privat. Dalam pengamatan Ismanto (2010) beragam tingkatan peraturan ini campur baur, sehingga struktur, hirarkhi dan kebijakan cenderung mengambangkan prakondisi penting dari usaha kehutanan, yakni kelengkapan regime kepemilikan dan status tegakan hutan alam sebagai asset. Dalam hal ini ia lalu merujuk pada logika pengurusan hutan menurut UU: mulai dengan penetapan status kepemilikan, fungsi pokok, unit pengelolaan-
168
pemanfaatan serta perizinan. Dalam pengamatannya, pemerintah lepas dari dan tidak menggunakan logika ini. Ditunjukkan, bahwa peraturan yang lahir lebih awal adalah seputar perijinan pemanfaatan. Ini menjadi rujukan bagi peraturan lain yang terbit kemudian. Hal ini menurutnya, mengabaikan kebutuhan pengaturan syarat perlu dan telah menimbulkan bias yang terus melebar, termasuk mengabaikan hutan hak, dan menyebabkan orientasi lebih pada urusan mikro. Selain logika diatas, disebutkan pula bahwa UU pun secara umum menyiapkan institusi yang efektif, dimana ketidak jelasan status kepemilikan dan asset, misalnya,
dapat diperjelas dengan aturan pelaksanaan. Namun
dalam telaahnya, aturan pelaksanaan ini secara keseluruhan membuat institusi menjadi tidak efektif. Dicontohkan pula bahwa ketidak jelasan hak dan asset menyebabkan batas antara pemilik, pengelola, penyewa dan pengguna tidak dapat dipisahkan, sehingga de facto di lapangan telah terjadi kekosongan institusi pengelolaan hutan. Masih dari sisi pemerintah, Ismanto (2010) juga melihat bahwa pemerintah tidak cukup menguasai informasi, sehingga terjadi situasi ketidak seimbangan penguasaan informasi (asimetric information) dengan para pelaku usaha. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah mengalihkan tanggung jawab pengelolaan hutan kepada pemegang IUPHHK yang sebetulnya berstatus “hanya” sebagai pengguna dengan sejumlah kewajiban pengelolaan hutan. Akhirnya disebutkan, bahwa pemerintah dengan demikian bertindak tidak saja sebagai regulator dan wasit, tetapi sekaligus juga sebagai pemain. Dengan status seperti itu, aturan-aturan lahir banyak menimbulkan konflik dan biaya transaksi yang tinggi, illegal dan merugikan. Dalam situasi yang kompleks seperti itu, pemerintah ternyata tidak cukup informasi untuk menjalankan kewenangannya, sehingga kinerja pemerintah dalam penegakan aturan lemah. F. Ringkasan Berbagai argumen pembuka pada teks kedua UU Kehutanan dan masingmasing peraturan turunannya semakin memperjelas, bahwa kerangka pikir yang
menjadi
landasan
dibalik
kebijakan
usaha
kehutanan
adalah
169
memosisikan hutan alam sebagai isu sentral. Artinya, hutan alam dipandang sebagai suatu ekosistem multimanfaat, sehingga pengusahaannya secara lestari harus dilaksanakan dengan dikerangka agar tetap menjaga keseimbangan sistem alami hutan alam itu. Dengan begitu, ruang kebijakan (policy space) bagi usaha kehutanan lestari pun berada sebatas pada lingkup internal hutan alam itu (bio-centris). Latar aliran pemikiran seperti telah ini mendorong pemanfaatan dan usaha kehutanan lestari memerlukan banyak jenis peraturan kerja yang sangat teknikal karena alasan perbedaan kondisi dari satu ekosistem hutan ke ekosistem lainnya; selain juga karena relatif banyaknya jenis kegiatan yang harus dilakukan oleh para pelaku usaha. Namun dalam pelaksanaan, aturannya itu sendiri diposisikan seragam one size fit all. Dengan kerangka berpikir seperti di atas dapat dipahami mengapa pemerintah begitu sering membuat (termasuk merubah, menyempurnakan) banyak aturan dan berbagai aturan itu kebanyakan lebih di tataran administratif dan teknikal sebagaimana berkembang dalam diskursus di atas. Hal ini tampak misalnya pada bagaimana kelestarian dimaknai dan diposisikan. Lalu, dapat dipahami pula mengapa lawas diskursus seputar usaha kehutanan mengerucut kepada dimensi meso dalam pendekatan Alvesson-Karreman (2000). Keseluruhan argumen dalam kerangka pikir ini dapat juga diposisikan sebagai penjelas mengapa spirit eksploitatif atas hutan alam dari waktu ke watu dalam kurun lima dekade dengan empat periode penguasaan ini konsisten dan menguat.
Dari sisi proses tidak teridentifikasi dengan jelas wujud interaksi, terlebih interaksi yang berupa transaksi antar para pihak yang berkepentingan dalam menata aturan main usaha kehutanan. Siapa saja sesungguhnya pihak yang berinteraksi dan sekaligus bertransaksi tidak terindikasi secara tegas. Dari teks terdapat gambaran bahwa pihak atau aktor yang disebut dalam aturan main kegiatan usaha kehutanan terdiri dari pemerintah (pusat dan provinsi), pemegang hak, mayarakat pihak ketiga, dan masyarakat adat. Teks mengindikasikan begitu kuat, bahwa pemerintah tampak begitu dominan didalam menentukan aturan main, sehingga kesan sepihak dalam proses
170
penentuan itu sulit dihindari. Relatif sulit pula untuk memastikan bagaimana gambaran proses interaksi dan transaksi para pihak dalam mengkonstruksi aturan main ini. Sampai disini, relatif sulit untuk dapat menjawab secara gamblang tiga pertanyaan yang diusung IDS (2006). Fenomena tidak teridentifikasinya proses interaksi dan transaksi di atas memperlihatkan situasi bahwa rumusan akhir kebijakan tidak berangkat dari debat para pihak. Pemerintah hanya melakukan dan mengakumulasi klaim, tidak tampak adanya proses komunikasi dan kontestasi ide, beradu info, fakta dan idelologi – atau bahkan teori – antar para pihak pemangku kepentingan. Tidak tampak pula seberapa jauh ilmuwan (kehutanan) diberi peran dalam proses. Maka, macam kebenaran yang dominan dibalik narasi kebijakan ini baru sebatas kebenaran hukum, bunyi pasal-pasal, dan yang dipenuhi baru sebatas kebutuhan untuk membuat dan menjalankan aturan, belum menyentuh kebutuhan dan masalah pihak lain (terutama para pemegang konsesi) dan kebutuhan dan masalah objektif usaha kehutanan di lapangan.
Reflek para pihak pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam penelitian ini atas hutan alam, mencerminkan kerangka pikir yang kurang lebih sama. Hampir keseluruhan dari mereka menempatkan hutan alam sebagai isu sentral dengan beragam alasan, termasuk yang senada dengan fenomena di atas. Lebih dari itu diskusrus yang berkembang memosisikan juga hutan alam produksi “layak” untuk terus diusahakan.
Reflek para pemangku kepentingan tersebut di atas menguat, bersamaan dengan kesadaran mereka juga bahwa hutan alam produksi saat ini telah rusak dengan beragam ilustrasi kualitatif. Bukan itu saja, hampir keseluruhan para pihak juga menyadari bahwa usaha kehutanan di hutan alam produksi sejauh ini disadari tidak berhasil, hutannya tidak lestari. Para pihak juga mengakui bahwa tidak ada perubahan kebijakan dalam dua kurun (sebelum dan sesudah 1998) kearah yang lebih baik. Mereka berpandangan, kebijakan kehutanan dalam periode itu dinilai sama saja, tidak ada perubahan atau perbaikan berarti.
171
Para pemangku kepentingan pun memperlihatkan kerangka pikir yang unik. Di satu sisi hampir keseluruhan dari mereka menempatkan hutan alam sebagai isu sentral dengan beragam alasan dan karenanya memandang “layak” untuk terus diusahakan; disisi lain mereka mengakui juga tiga hal: hutan alam produksi Luar Jawa kondisinya sudah rusak parah, kinerja usaha kehutanan lestari tidak baik, hutan alamnya sendiri diakui tidak lagi lestari. Ini menjadi pengetahuan bagaimana diskursus lepas dari makna. Pengetahuan ini sekaligus menegaskan bahwa pengetahuan para pihak tidak hadir dalam tataran praktis, termasuk saat mengkonstruksikan kebijakan. Khusus dalam menilai kebijakan usaha kehutanan, para pemangku kepentingan melihat bahwa yang terpenting dari kebijakan adalah adanya proses diagnosa atas realitas objektif lapangan sebelum kebijakan dikonstruksi atau dieksekusi. Maka, kesenjangan antara teks aturan dimana kebijakan ditetapkan dan interaksi sosial bagaimana kebijakan itu di respon dan diimplementasikan, dapat dipersempit atau dihilangkan. Selain bahwa masih adanya kesenjangan antara teks aturan dengan interaksi sosialnya, kualitas kebijakan juga berkaitan dengan lepasnya makna dari diskursus, dan sejauh ini tidak mampu mendorong perubahan perilaku, termasuk perilaku para pihak menuju ke kelestarian. Corak keseluruhan diskursus, baik yang dibangkitkan dari teks perundangan maupun yang “berkontestasi “ dalam wawancara dalam polling, memperlihatkan beberapa situasi. Kentalnya relasi kuasa yang dilakukan komponen pemerintah untuk memproduksi pengetahuan yang mendominasi pemakanaan atas keseluruhan aspek usaha kehutanan, khususnya melalui pendekatan regulasi. Saat yang sama, komponen pemerintah memproduksi dan menetapkan regim kebenaran, yang dari ciri-cirinya kental berasosiasi dengan aliran the forest first. Aliran inilah yang oleh komponen pemerintah melalui proses dominasi dan hegemoni (dalam pendekatan Gramsci) digiring agar “khalayak” mengikutinya. Diskursus dengan corak ini sekaligus menjawab tiga pertanyaan kunci IDS (2006) terkait bagaimana diskursus telah berkembang – dan diproduksi, siapa sesunggunya aktor yang paling berpengaruh dalam konstruksi atau memproduksi kebijakan, dan bagaimana
172
lintasan politik-ekonomi saat kebijakan diproduksi. Dengan demikian, diskursus usaha kehutanan di kalangan para pihak dan apapun corak aliran pemikiran disebaliknya adalah produk dari relasi kuasa dan sekaligus hegemoni kekuasaan yang terjadi selama ini.
BAB V. IMPLIKASI PENTING
A. Pendahuluan Beragam kecenderungan dan peta serta kontestasi kerangka pikir di balik diskursus dan kebijakan usaha kehutanan telah berhasil dibangkitkan, dikompilasi dan disintesis. Bab ini coba menarik beberapa implikasi penting dan relevan dilihat dari sisi kebijakan itu sendiri, aspek praktis-operasional, corak dan kualitas diskursus dan posisi metodologis dibalik kegiatan penelitian kualitatif ini.
B. Kebijakan: Pelurusan kerangka pikir, melepas hegemoni Sintesis terhadap hasil kompilasi kerangka pikir, baik atas teks perundangan maupun hasil wawancara dan polling sebagaimana telah dijabarkan secara rinci dan panjang lebar pada Bab IV, sampai pada pembuktian awal dan sekaligus menjawab salah satu pertanyaan penelitian ini, bahwa kebijakan usaha kehutanan yang ada sejauh ini dilahirkan dengan kerangka pemikiran “the forest first” sebagaimana dimaksud Sfeir-Younis (1991) 1 dan kental dengan pengutamaan kayu (timber primacy) dengan konsep kelestarian hasil dalam pendekatan Gluck (1987). Sekedar untuk pendalaman, sintesis berikut coba menguatkan pembuktian awal ini. Dari peta diskursus dan kontestasi para pihak (Bab IV), dapat dibangkitkan tiga kemungkinan “kualifikasi” kebijakan: (1) kebijakan (P) lahir dilandasi aliran pemikiran baik “the forest first” (FF) maupun “the forest second” (FS) – meminjamn pendekatan Sfeir-Younis (1991); asumsinya kualitas diskursus para pihak pemangku kepentingan memang menguatkan kedua aliran ini, (2) kebijakan lahir lebih kental dengan aliran “the forest first”, sekalipun – asumsinya, kedua macam aliran ini memiliki kekuatan yang relatif sama dalam diskursus para pihak pemangku kepentingan, namun aliran “the forest second” akhirnya sebagai pihak yang “kalah” dalam kontestasi dan 1 Senada pula dengan pendekatan Kaivo-Oja (tt) dan McCreely (tt) yang keduanya “komplain” terhadap diksursus kelestarian yang sangat bio-centris steril dari human being – lihat Bab I
174
diskursus, (3) sama seperti poin kedua, namum penyebabnya lebih karena dalam diskursus tidak muncul secara kuat aliran “the forest second”. Ketiga kemungkinan ini dapat diilustrasikan sebagaimana Gambar 21.
Gambar 21. Tiga kemungkinan “kualifikasi” kebijakan
Hasil kompilasi peta diskursus dan kontestasi para pihak pemangku kepentingan yang terlibat dalam penelitian ini juga memperlihatkan pola, dimana pemerintah (G) dan praktisi bisnis (B) begitu kental menggunakan aliran FF. Dalam hal ini pemerintah telah memosisikan hukum atau aturan itu sebagai alat pemaksa (driving force instrument); sementara praktisi bisnis melihat hal itu dan memosisikan pemerintah tak lebih sebagai “grand regulator”.
Hanya akademisi (A) dan masyarakat sipil/LSM (L) yang
mengusung isu-isu di luar hutan, yakni terkait sosial-ekonomi-politik dan hukum. Sementara dalam sintesis sebelumnya pun telah disinggung, bahwa pemerintah begitu dominan dan lalu disusul praktisi bisnis; sementara para akademisi dan masyarakat sipil/LSM cenderung kurang diperhitungkan, terutama pada awal-awal usaha kehutanan mengalami booming kayu (19701980an). Pola ini secara skematis, tampak pada Gambar 22.
175
G
B A,L
Hukum alat pemaksa (driving force instrument)
Grand regulator
Forest First (FF)
Sosial, Ekonomi, Politik, Hukum
Forest Second (FS)
Gambar 22. Pola aliran pemikiran dibalik peta diskursus
Bila ketiga peluang “kualifikasi” kebijakan yang ada (Gambar 21) dan pola aliran pemikiran yang mengemuka dalam diskursus (Gambar 22) kita coba tumpang-tindihkan (superimpose), maka segmen kualitas kebijakan yang ada jatuh pada opsi kedua, yakni teks kebijakan dilandasi secara kuat oleh aliran pemikiran “the forest first” (FF), karena aliran kedua (FS) sekalipun muncul dalam diskursus (terutama pasca 1998) masih terlalu lemah untuk memenangi kontestasi. Kemungkinannya karena ia muncul sebatas symbol dan diskursusnya sendiri lepas dari makna sebagaimana saat peta diskursus itu coba ditapis dengan pendekatan Bolman and Deal (1985) dan Alvesson dan Karreman (2000). Apa yang salah dengan aliran pemikiran FF? Kembali ke Sfeir-Younis (1991), maka jawabannya adalah ketidaklengkapan (incompleteness) faktor yang ditimbang dan masuk dalam (teks) kebijakan usaha kehutanan, terutama karena sifat aliran ini yang disebut sebagai monolitik bio-centris – yang menganggap hal-hal di luar hutan sebagai eksogen. Dalam analisis SfeirYounis (1991) konsep monolitik bio-centris ini menyebabkan kehancuran hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible). Fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan menggenapi pengetahuan ini: pengadopsian aliran pemirikiran FF menjadi penyebab – atau setidaknya secara fenomenologis – memperlihatkan keterkaitan yang erat dengan kinerja usaha kehutanan yang memprihatinkan dan diklaim keseluruhan para pihak yang berpartisipasi dalam penelitian ini sebagai rusak dan tidak lestari.
176
Akumulasi pengetahuan di atas memberikan implikasi bahwa meluruskan dan menata ulang kerangka atau aliran pemikiran menjadi sebuah kebutuhan bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan. Dalam bahasa sederhana dapat dibangun argumen: bila kebijakan usaha kehutanan sejauh ini lebih dilandasi aliran FF dan ini dihadapkan dengan fakta empiris kegagalan kinerja usaha kehutanan dalam mengusung mandat konstitusional sebagaimana tercantun dalam Pasal 33 UUD 45, maka aliran pemikiran apapun yang menjadi landasan proses konstruksi kebijakan itu perlu diubah. Dari akumulasi pengetahuan dan bangunan situasi masalah yang ada sejauh ini, maka arah perubahan ini setidaknya perlu mencakup dua hal pokok, yakni terkait hal-hak praktis operasional dan teoretis. Hal pertama lebih banyak berkaitan dengan perbaikan kebijakan dari sisi substansi dan proses. Hal kedua lebih berkaitan dengan perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan merubah aliran pemikiran. Namun, berbagai perbaikan ini hampir mustahil dapat dilakukan efektif, terutama bila abai atas sejumlah isyarat, bahwa corak diskursus yang ada dan sekaligus corak aliran pemikiran disebaliknya justru merupakan produk dari dominasi dan hegemoni kekuasaan – dalam pengertian Gramsci, selama ini. Dengan mengkalkulasi isyarat ini, maka mengurai dan melepas hegemoni manjadi syarat pemungkin untuk melakukan pelurusan kerangka pikir dan lainnya.
C. Tataran Praktis-Operasional: benahi substansi dan proses Hal-hal praktis-operasional dari sisi substansi dan proses dapat dibangkitkan antara lain dari narasi kebijakan yang dirinci per hirarki perundangan sebagaimana ringkasan dan sintesisnya tercantum dalam Tabel 17 dan Tabel 18 pada Bab IV. Merujuk pada hirarki itu dapat diamati, masalah substansinya sesungguhnya ada dimana? Betulkah pada tingkatan UU tidak ada masalah, melainkan di tingkat PP?. Atau masalahnya justru sudah ada dimulai di tingkat UU. Menjawab pertanyaan ini adalah menarik ulang argumen yang menyertai ringkasan narasi kebijakan (Tabel 19 dan Tabel 20). Disebutkan, bahwa kecenderungannya untuk masing-masing aspek narasi, sebelum ke hilir substansi aturan sudah relatif rinci, semakin teknis, sangat administratif
177
prosedural, dan fokus lebih tertuju pada wilayah kelola terkecil atau unit manajemen, biofisik hutan. Artinya, semakin ke hilir fokus dan orientasi pengaturan semakin menempatkan bio-fisik hutan sebagai faktor utama. Ini jelas ciri dari aliran pemikiran FF. Kecenderungan ini menegaskan, bahwa di tingkat UU fokus dan orientasi pengaturan masih cukup lebar, setidaknya relatif masih menjangkau hal-hal diluar biofosik hutan, misalnya bicara kesejahteraan, keadilan dan pemerataan saat memosisikan hutan alam produksi dan memaknai kelestarian hutan. Namun, baik di hulu maupun di hilir keduanya sama-sama masih mengundang kemungkinan situasi masalah, terutama di tataran rumusan dan implementasi. Di hulu, di tingkat UU, fokus dan orientasi relatif terbuka, sehingga sangat mungkin melahirkan multi tafsir dengan rentang yang cukup lebar. Penyimpangan tafsir sangat mungkin terjadi, tergantung kepada seberapa luas dan serius para pemangku kepentingan berpartisipasi dalam mengkonstruksi aturan atau kebijakan dimaksud. Penyimpangan tafsir juga sangat mungkin disebabkan karena kualitas diskursus dari para pemangku kepentingan. Pengalaman praktis dan latar pengetahuan para pemangku kepentingan sangat berperan dalam menentukan kualitas diskursus. Dalam bahasa IDS (2006) hal ini semua pada akhirnya akan sangat menentukan kualitas jaringan aktor, ruang kebijakan dan sekaligus kepedulian politik. Ketersediaan formula dan mekanisme proses perumusan kebijakan yang dapat memastikan perumusan kebijakan melibatkan para pemangku kepentingan sehingga terjadi proses interaksi, negosiasi, debat dan kontestasi ide antar para pemangku, akan sangat menentukan seberapa jauh suatu tafsir menjadi kepedulian dan bahkan aksi bersama (collective concern and actions). Ditingkat hilir, PP dan seterusnya, dimana substansi aturan cenderung semakin terlalu rinci, terlalu teknis, dan administratif prosedural sangat memungkinkan juga melahirkan sejumlah situasi masalah. Setidaknya peluang mereduksi maksud dan tujuan dibuatnya aturan. Penyimpangan tafsir ditingkat ini pun seringkali berakhir tidak saja dengan peningkatan biaya transaksi tetapi juga dengan beragam moral hazard yang akhirnya melahirkan ekonomi biaya tinggi. Penyimpangan tafsir di tingkat ini juga sering menimbulkan
178
inefisiensi dan ketidakefektifan administrasi. Analisis terhadap dokumen renstra Ditjen BPK Kemenhut dan juga studi yang dilakukan DKN (2008) menunjukkan bahwa ada lebih dari seratus peraturan-perundangan diduga telah berakibat pada ekonomi biaya tinggi, hambatan atas pemahaman dalam implementasi perundangan itu, dan minimnya efisiensi dan efektivitas administrasi usaha kehutanan. Sehingga, yang terjadi kemudian, banyak proses yang harus dilakukan yang secara fungsional tidak lagi relevan dan bermanfaat. Berikut, sekedar contoh ril yang terjadi di lapangan, dicuplik dan diolah ulang dari studi yang dilaksanakan APHI Komda Kalimantan Tengah 2 , terkait isu pengawasan dan pembinaan yang dialami para pemegang unit usaha (20 HPH data tahun 2009 dan 2010) sebagaimana diilustrasikan intisarinya pada Tabel 29.
Tabel 29. Jumlah (orang dan hari) dalam kegiatan pengawasan dan pemeriksaan pada Unit HPH di Kalimanan Tengah (data 20 HPH: 2009-2010) Rentang Rataan Rentang dan Rataan jumlah Frekuensi pengawasan pengawas dan lama pengawasan per HPH/th pengawasan/th per tahun 58 ; 6 – 172 (orang/HPH/th) Kemenhut+UPT 0 – 17 kali 2,85 kali 98; 15 – 270 (hari/HPH/th) Pemerintah Provinsi 0 – 18 kali 6,7 kali Kabupaten/Kota 0 – 21 kali 6,4 kali Non-kehutanan 0 – 4 kali 1,0 kali Biaya pengawasan per HPH/th dengan asumsi IDR 700 ribu/HOK, maka: Skenario tinggi 172 orang x 270 hari x IDR 700.000 IDR 32,51 M /th Skenario rendah 6 orang x 15 hari x IDR 700.000 IDR 63 juta /th Skenario rataan 58 orang x 98 hari x IDR 700.000 IDR 3,98 M/Th Aktor Pengawas
Data dan informasi pada Tabel 29 menunjukkan, bahwa dari 20 HPH, data 2009 dan 2010, diperoleh gambaran biaya yang dikeluarkan oleh pemegang unit usaha (HPH) pertahun sebesar IDR 32,5 M (tertinggi) dan IDR 60 juta (terendah) dan rata-rata HPH mengeluarkan tidak kurang dari IDR 3,98 M setiap tahunnya untuk keiatan pengawasan ini. Yang menarik, selain besaran angkanya, adalah bergesernya fungsi dan tujuan aturan dari pengawasan itu menjadi bagian dari – dan memperbesar – biaya transaksi yang mendongkrak 2
APHI (2010) Pemeriksaan Kegiatan Pengusahaan Hutan di Provinsi Kalimantan Tengah. APHI Komda Kalimantan Tengah.
179
ekonomi biaya tinggi. Ini dimungkinkan, antara lain karena substansi aturan yang semakin detail, teknikal dan administratif itu yang di tataran implementasi
bisa
bergeser
seperti
itu.
Angka
ini
tentu,
belum
memperhitungkan "kontribusi" HPH yang resmi yang sering diklaim relatif kecil terhadap PDB. Begitulah salah satu fenomena empiris dari kinerja kebijakan usaha kehutanan itu, bahkan sampai saat ini. Sampai disini diperoleh pengetahuan, bahwa dari tataran praktis operasional pembenahan kebijakan usaha kehutanan perlu didekati dari dua sisi baik dari substansi maupun proses. Dari sisi substansi perubahan perlu diarahkan agar substansi kebijakan menggambarkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai oleh lahirnya kebijakan itu, siapa yang diharapkan harus berubah perilakunya untuk mencapai tujuan kebijakan itu, sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Melihat bangunan dan situasi masalah sebagaimana dijelaskan diatas, maka perubahan substansi semacam ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan kehilir. Dari sisi proses, maka pembaruan perlu ditekankan pada keterbukaan proses pembuatan kebijakan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan, masalah dan solusi. Untuk itu, maka proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan; misalnya melalui mekanisme semacam public hearing, termasuk melakukan penilaian oleh pihak ketiga independen (independent third party) atas kriteria dan indikator penilaian kinerja, program dan kegiatan. Dengan pemahaman, bahwa pelaksanaan kebijakan juga sangat ditentukan oleh informasi dan interpretasi para pemangku kepentingan atas substansi kebijakan itu (Birkland, 2001, IDS, 2006), maka berbagai arah perubahan ini selayaknya perlu dukungan perbaikan pula dari sisi kualitas diskursus. Persoalannya, kembali bahwa kualitas diskursus ini terindikasi kuat merupakan produk dari proses hegemoni kekuasaan. Maka, pembenahannya
180
praktis memerlukan ikhtiar untuk mengurai dan melepas hegemoni kekuasaan ini. D. Kualitas Diskursus: pengetahuan, pendidikan dan politik ekonomi Dari peta diskursus dan gambaran kontestasi para pihak sebagaimana telah diuraikan dalam Bab IV, dapat dipahami secara kualitatif seberapa dalam kualitas diskursus yang dapat diidentifikasi. Dari kecenderungan aliran pemikiran yang melandasi teks kebijakan dan kontestasi persepsi dari para pemangku kepentingan, yang keduanya cenderung mengkristal kepada aliran FF, maka kualitas diskursus, terutama yang memenangi kontestasi waktu itu, dapat dipahami tidak terlalu jauh dari hutan sebagai faktor utama. Maka ruang kebijakan dan jejaring aktor serta kepedulian politik para pemangku kepentingan hanya berputar diseputar hutan dalam pengertian yang sempit bio-centris, monolitik. Melihat siapa aktor yang paling menentukan dibalik proses kebijakan yang ada, maka pemerintah teridentifikasi kuat sebagai yang dominan dan diklaim para pihak sebagai grand regulator. Dari pengetahuan ini, semakin dapat dibayangkan betapa kualitas diskursus menjadi sangat terhegemoni oleh pandangan-pandangan “sepihak” dan cenderung “mendikte” dari pemerintah 3 . Dari sisi inilah, dengan kualitas diskursus yang ada, sumberdaya hutan dengan bahasa dan orientasi bio-centris yang kental, masuk agenda politik ekonomi (orang-orang) pemerintah. Kecenderungan ini dapat diamati, misalnya dari deskripsi historis terkait usaha kehutanan Indonesia, sebagaimana disarikan dalam Lampiran 8. Intisari sejarah kehutanan tersebut menunjukkan setidaknya tiga hal, diskursus yang berkembang, aktor pemangku kepentingan yang sesungguhnya terlibat dan sangat menentukan kebijakan kehutanan, serta lintasan (pathways) politik ekonomi dalam usaha kehutanan. Ketiga hal ini, tidak lain hal yang ditanyakan IDS (2006). Dalam diskursus tampak bahwa hutan sejak awal (1819 – saat penetapan pemangkuan hutan kayu) diposisikan sebagai komoditi ekonomi dan sekaligus alat politik. Dalam kurun yang sama, semangatnya 3
Untuk ujisilang hal ini, lihat dan dalami setidaknya masing-masing satu PP, SK Menteri, FA, dan SK HPH, selami mulai dari pemilihan teks, penggunaan kalimat, rasa bahasa dan penetapan unsur-unsur hak dan kewajiban dalam usaha kehutanan. Akan tampak, bahwa pemangku usaha, masyarakat sipil dan akademisi nyaris tidak memiliki ruang dan peran menentukan dalam kebijakan, terutama dalam kurun sebelum 1998.
181
tampak jelas dan konsisten, yakni eksploitatif, bahkan sampai saat ini. Secara ekonomi, kehutanan menjadi sumber keuangan negara setidaknya sejak 1938 saat Djatibedrifj dilebur menjadi dienstvak melalui produksi kayu dengan pembentukan afdeling baru untuk tujuan ekplorasi hutan. Secara politik, tampak jelas, bahwa diskursusnya adalah memosisikan pendapatan negara dari hutan
bagi
kepentingan
peperangan
dan
perjuangan
(1819-1945),
menuntaskan revolusi (1945-1949) dan mengisi kemerdekaan (1960an). Dengan demikian, lintasan kebijakan usaha kehutanan tidak terlepas dari lintasan historis perjuangan politik dan kemerdekaan (Lampiran 8). Selama kurun itu, tampak jelas bahwa kebijakan kehutanan lebih sebagai aturan atau hukum yang lebih difungsikan oleh kekuasaan sebagai alat pemaksa, meminjam istilah Gramsci, dalam nuansa law enforcement. Dari sisi aktor, yang paling berpengaruh tampak jelas dari lintasan sejarah ini adalah pemerintah, baik pemerintahan penjajah, orde perjuangan, orde lama, bahkan orde baru, termasuk orde reformasi. Dalam kekuatan pengaruh itu, penataan hutan menjadi semacam regim pemanfaatan dalam bangunan logika pemerintah, bukan merupakan kesepakatan sebagai sebuah bangsa; dan tidak sedikit yang tidak sepakat dengan regim yang ada, tapi terindikasi kebanyakan akhrinya kompromi dan permisif sebagai sesuatu yang “sudah terlanjur”. Terlanjur jadi wujud HPH, jadi Taman Nasional dan lain-lain. Inilah situasi yang menguatkan, bahwa kekuasaan telah memproduksi, menempatkan dan menggiring satu regim kebenaran agar diikuti masyarakat kebanyakan. Ini sejalan dengan pemikiran Foucault. Dalam perjalanannya, karena lintasan historisnya tidak lepas dari sejarah bangsa ini, maka kehutanan dan usaha kehutanan tidak luput dari kepentingan politik-ekonomi para penguasa dan pemerintah dari waktu ke waktu. Saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan Jepang (8 Maret 1942), pengelolaan dan organisasi kehutanan berganti nama menjadi ringyoo tyuoo zimusyo, dengan kebijakan kehutanan yang pokok waktu itu ekploitasi hutan untuk memproduksi kayu demi kelangsungan dan memenangkan peperangan. Lalu, memuncaknya ketegangan agresi Belanda kedua (19 Desember 1949) telah memosisikan hutan sebagai sumber produksi dan pertahanan, sehingga
182
pemerintah saat itu mengeluarkan PP 59/1948 tentang Militerisasi Jawatan Kehutanan. Dalam kurun ini tercatat produksi kehutanan sebesar hampir 700 ribu m3 (kayu pertukangan) dan 5,7 juta sm (kayu bakar). Dalam lintasan ini, terminologi kelestarian hutan dan usaha kehutanan hampir sama sekali tidak diusung dalam diskursus, kecuali pada kurun 1960an, dimana untuk mengantisipasi kerusakan hutan saat itu diagendakan “pembinaan” hutan berupa reboisasi dan penanggulangan tanah-tanah kosong. Sementara kelestarian saat itu baru dimaknai sebatas perlindungan flora-fauna, sehingga kegiatannya lebih banyak berupa perlindungan dan pengawetan alam dan ekspedisi. Intisari sekuen lintasan ini secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 8. Sekalipun tidak secara gamblang dapat dilihat, sekuen dari lintasan historis ini menggambarkan pula corak dan sekaligus kualitas diskursus. Sulit untuk membantah, bahwa warna diskursus yang ada dalam kurun itu sangat kental FF, bahkan orientasinya pun sangat timber primacy. Seperti apapun kualitas diskursus ini sangat dipengaruhi setidaknya oleh latar pengetahuan dan pengalaman para pihak yang berpartisipasi dalam diskursus, yang dari sekuen historis yang ada tampak lebih didominasi oleh komponen pemangku pemerintah. Artinya, latar pengetahuan dan pengalaman pemerintah menjadi pertanyaan penting, seperti apa persisnya dan seberapa jauh; lalu adakah halhal yang bersifat kontestasi inovasi yang muncul dalam diskursus yang ada? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat menelusuri paling tidak “diskursus” yang terjadi di dunia riset, pendidikan dan keorganisasian kehutanan saat ini, yang secara ringkas disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30. Pembidangan dan Eselonisasi di beberapa lembaga Lembaga Pendidikan – Fahutan IPB*)
Pembidangan/Eselonisasi Manajemen Hutan, Hasil Hutan, Konservasi SDH dan Ekowisata, Silvikultur Riset – Balitbang Kemenhut**) Administrasi, Konservasi dan Rehabilitasi, Peningkatan Produktivitas, Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Perubahan Iklim & Kebijakan Organisasi – BUK Administrasi, Rencana Pemanfaatan dan Usaha Kemenhut**) Kawasan, Usaha Hutan Alam, Usaha Hutan Tanaman, Pengolahan dan Pemasaran Hasil hutan Sumber: *) Panduan Program Sarjana 2010; IPB **) Kepmenhut P 40/2010
183
Tabel 30 mengindikasikan bahwa unsur pembidangan sebagai bagian diskursus, tampak tidak memuat aspek sosial, ekonomi dan hukum secara memadai. Telaah lebih lanjut pada tingkatan di bawah pembidangan tersebut menghasilkan gambaran serupa dan kalau pun ada maka lawasnya sangat kecil, yakni di eselon paling bawah (riset dan keorganisasian) dan di tingkat mata ajaran (pendidikan). Indikasi ini memberikan gambaran lawas pengetahuan dan sekaligus alasan, kecilnya peluang membicarakan atau mengusung soal sosial, ekonomi dan hukum kedalam ruang diskursus dan sekaligus ke dalam ruang kebijakan (policy space). Dengan demikian, tingkat kebenaran argumen yang terbangun dalam diskursus pun akan cenderung mengerucut kebanyakan pada kebenaran pada tataran teknis dan hukum, dan belum merupakan kebenaran substansial yang, dalam pendekatan Dunn (2000), juga memerlukan dukungan kebenaran ekonomis dan pengakuan atau penerimaan sosial (social acceptability). Apakah situasi ini mewakili penilaian bahwa kini dan saat itu pemerintah didominasi orang-orang atau rimbawan yang tekno-centris, selain bio-centris? Jawabannya iya, setidaknya menurut Kartodihardjo (2006). Berangkat dari pembahasan pengelompokkan cara berpikir – epistemologi dan ontologi – ia menarik dua garis silang yang saling berpotongan, sumbu vertikal untuk kelompok epistemologi dan yang horisontal untuk ontologi, sehingga menghasilkan empat kuadran (Gambar 23).
Reductionism
IV: Doa
III. Kelestarian Ekologi
I: Transfer Teknologi
II Pengelolaan Ekosistem
Holism
Constructivism
Positivism
Gambar 23. Kuadran cara berpikir dalam Pengelolaan SDH: tekno-sentris (Sumber: Kartidihardjo 2006)
184
Dijelaskan, bahwa kerangka pikir rimbawan berada pada kuadran I (diarsir) dengan label “transfer teknologi” untuk menunjukkan, bahwa: (a) kuadran ini memang kuadran tekno-sentrik, yang mewakili (b) orang yang pemikirannya didasarkan pandangan epistemik – positivistik-reduksionis, dimana (c) dalam pengembangan teknologi orang ini masih bertumpu pada paket teknologi hasil pengembangan pakar dengan cara pikir linear, yang umumnya (d) menekankan keharusan berbuat sesuatu, sesuai pedoman, standar, dan sebaliknya tidak mengendalikan perilaku 4 pihak-pihak melalui pendekatan insentif-disinsentif, sehingga (e) ilmu dan teknologi dianggap netral dan sulit menerima fakta bahwa transfer teknologi mengandung unsur politik disebaliknya. Karakteristik pemikiran seperti ini senada dengan aliran pemikiran FF yang disebut Sfeir-Younis (1991) yang memosisikan hutan sebagai faktor utama (bio-centris) seolah steril dari hal lain sehingga diposisikan sebagai eksogenus. Hal ini senada pula dengan bahasan Kaivo-Oja (tt) dan McCleery (tt) pada saat diamatinya bahwa kebanyakan orang mendefinisikan kelestarian hutan yang dalam kalkulasinya hanya seputar biocentris, lepas dari unsur human being dan tidak mengenal apa yang mereka sebut sebagai self-sustaining. Uraian
di
atas
dapat
merupakan
akumulasi
pengetahuan,
yang
menekankan menuntun dan menentukan dalam hal apa dan kearah mana perbaikan kualitas diskursus perlu dilakukan. Aspek pendidikan, riset dan keorganisasian kehutanan, misalnya, dapat merupakan sasaran awal pembaruan itu, dengan keyakinan bahwa kualitas pendidikan, riset dan organisasi teknis yang baik dan berkualitas, pada akhirnya akan sangat menentukan kualitas pengetahuan para pemangku kepentingan dan publik secara umum. Saat yang sama, kualitas diskursus diharapkan akan relatif lebih baik. Namun, saat disadari bahwa apapun corak dan kualitas diskursus serta aliran pemikiran yang tampak, adalah produk kekuasaan, maka berbagai upaya perbaikan dan pembaruan tersebut hampir mustahil dilakukan sejauh
4 Di tingkat ini, sangat mungkin untuk muncul fenomena abai (ignorance) atas realitas perilaku para pihak pemangku kepentingan usaha kehutanan.
185
tidak mengurai dan membongkar hegemoni kekuasaan yang telah berlangsung selama ini. E. Metodologis: kelemahan dan sekaligus kebaruan penelitian Sebagaimana telah diantisipasi diawal dan dijelaskan di muka, bahwa riset ini tidak steril dari kelemahan. Dalam pengamatan penulis, di tataran metodologis, penelitian ini setidaknya mengandung tiga hal baru yang bisa jadi titik lemah. Pertama, bagi penulis melaksanakan riset kualitatif ini merupakan hal baru, sekaligus pengalaman pertama kali, termasuk dalam penggunaan pendekatan analisis diskursus, terlebih dalam memilih dan memastikan teori dan pendekatan sosial yang digunakan sebagai landasan. Sejauh ini analisis diskursus yang telah digunakan berada pada wilayah Foucault, karena riset ini coba mendeteksi juga hubungan diskursus dengan relasi kekuasaan melalui proses produksi pengetahuan sebagai suatu regim kebenaran untuk digiring menjadi kebenaran “khalayak”. Disisi lain, saat yang sama, analisis diskursus ini juga masuk wilayah van Dijk, karena yang dianalisis bukan sekedar teks, tapi juga coba mendeteksi bagaimana teks diproduksi. Disamping itu, analisis diskursus ini juga berada di wilayah pendekatan Fairclough, karena coba menghubungkan teks dengan konteks yang lebih luas, yakni usaha kehutanan. Tipologi ini menegaskan bahwa pengertian diskursus itu sendiri dalam penelitian ini mencakup sebagaimana yang dimaksud Arts and Buizzer (2009) yakni, teks, komunikasi, frame dan praktek sosial. Harus diakui secara jujur, perlu ikhtiar yang ekstra lebih untuk shifting dari kebiasaan berpikir riset kuantitatif ke riset kualitatif ini. Kedua, analisis diskursus dengan fokus kebijakan usaha kehutanan Indonesia, terlebih dengan konteks hutan alam produksi di luar Jawa, juga merupakan hal baru atau setidaknya penulis sejauh ini belum menemukan hasil riset sejenis yang relevan dan dapat dijadi rujukan. Ketiga, yang diteliti berupa aliran kerangka pikir dibalik diskursus yang dibangkitkan dari dokumen peraturan perundangan terpilih – terkait kebijakan usaha kehutanan – dan perspesi para pihak yang berkepentingan untuk isu yang sama yang dijaring dari wawancara mendalam dan on-line polling.
186
Beberapa riset kualitatif dengan pendekatan analisis diskursus sejauh ini – dan beberapa dijadikan rujukan riset ini, dilakukan di luar Indonesia dan umumnya untuk non kehutanan, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, seks, dan linguistik-kepustakaan. Adapun untuk kehutanan, lebih banyak pada area non-usaha kehutanan, seperti konservasi, perlindungan, kehutanan secara umum dan lawasnya biasanya lintas negara dan atau dalam kerangka membahas isu kehutanan global. Untuk sumberdaya alam lain dan isu lingkungan dijumpai pula riset serupa dengan fokus perikanan untuk mengantisipasi kepunahan jenis-jenis ikan tertentu (Lihat Tabel 6). Pengalaman
pertama
kali
untuk
melakukan
hal-hal
baru,
tentu
berimplikasi pada ketidak-mungkinan untuk terbebas dari kelemahan. Beberapa kelemahan dalam riset ini yang mungkin dijumpai dalam pengamatan penulis, antara lain berkaitan dengan penetapan lawas: lawas usaha kehutanan nasional bisa jadi terlalu luas, sehingga perlu kasus yang jauh lebih spesifik; atau sebaliknya lawas usaha kehutanan itu sendiri terlalu sempit untuk menjangkau persoalan sesungguhnya dari pengelolaan hutan secara umum. Kemungkinan kelemahan lain adalah ketepatan pilihan nara sumber dalam melakukan wawancara mendalam yang dikalkulasi sebagai aktor penentu-berpengaruh. Terlebih bila ditakar oleh IDS (2006) dimana keluasan jejaring seorang aktor akan turut menentukan keluasan, keragaman dan kedalaman pengetahuan dan pengalamannya yang keseluruhannya dapat berimplikasi pada ruang kebijakan yang dapat dibangunnya dalam diskursus. Penulis tetap melihat ini sebagai titik lemah, sekalipun dalam riset hal ini telah diantisipasi dengan internet polling untuk menjangkau dan memperkaya perspektif dan keragaman nara-sumber serta sekaligus menjaga hasil riset ini tetap valid. Berbagai titik lemah ini bagi penulis akhirnya justru dirasakan jadi kekuatan, setidaknya untuk menunjukkan bahwa apa yang telah coba dilakukan memang memiliki unsur kebaruan baik dari sisi metodologis, metoda yang digunakan, subjek dan objek penelitian dan termasuk sejumlah pengetahuan yang dapat dihimpun dan diakumulasi dari riset ini. Hal ini dilatari keyakinan, bahwa riset apapun, termasuk riset kualitaif dengan
187
pendekatan diskursus ini tidak berhenti disini dan perlu terus berlanjut dengan semangat “continuously improvement”. Sejalan dengan keyakinan itu, penulis memosisikan hasil riset ini sebagai bukan hal final dan lebih sebagai pendahuluan bagi riset-riset lanjutan. Untuk itu penulis juga menawarkan semacam road-map untuk kelanjutan penelitian ini sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5. Dalam keyakinan itu pula, penulis berharap hasil riset ini – dengan segala kelemahannya tadi – tetap dapat memiliki kontribusi bagi khazanah pengembangan riset-riset kualtitatif dengan pendekatan diskursus; sementara hasilnya diharapkan dapat menjadi tawaran bagi kerangka dan agenda pembaruan kebijakan kedepan, khususnya dalam ikhtiar pelurusan kerangka pikir dan justifikasi untuk melepas hegemoni kekuasaan. Implikasi lain yang juga penting dari hasil riset ini adalah terkait objektivitas dan netralitas penulis. Bila hasil riset ini dirasakan dan terkesan tidak objektif dan tidak netral, maka itu sesungguhnya sebagai bagian dari konsekwensi logis dari keputusan penulis mengambil jenis riset kualitatif. Riset jenis ini menegaskan bahwa objektivitas itu intersubjektif, sehingga realitas itu tidaklah tunggal. Disamping itu, dalam riset ini peneliti memang dituntut untuk tidak berjarak dan bahkan harus “berlebur” dengan subjek dan objek yang diteliti 5 . F. Ringkasan Peta diskursus dan kontestasi para pihak pemangku kepentingan yang berkontribusi dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa teks kebijakan usaha kehutanan lebih dilandasi oleh aliran pemikiran the forest first (FF) yang kental dengan pengutamaan kayu (timber primacy) dengan konsep kelestarian hasil. Pemanfaatan aliran ini menjadi persoalan, karena beberapa sebab. Salah satunya, sifat aliran pemikiran ini yang begitu dominan menimbang hutan sebagai faktor utama yang menguatkan bahwa aliran pemikiran ini monolitik bio-centris – antara lain menganggap hal-hal di luar sistem alami hutan dianggap
sebagai
eksogen.
Beberapa
rujukan
menyebutkan,
penggunaan aliran pemikiran ini menyebabkan kehancuran 5
bahwa
hutan yang
Lihat misalnya Casebeer and Marja (1997) – www.phac-aspc.ca/publicat/sdic-mmc diunduh 14 Juni 2009.
188
bahkan tidak dapat balik (irreversible). Sementara, fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan sejauh ini seolah menggenapkan pembuktian ini. Hal ini memberikan beberapa implikasi penting, setidaknya terhadap upaya dan orientasi pembaruan kebijakan, termasuk hal-hal praktis operasional terkait substansi dan proses perumusan kebijakan, dan kualitas diskursus. Hasil yang sama juga berimplikasi atas metodologi riset ini. Dari sisi kebijakan, bagaimanapun meluruskan dan menata ulang kerangka atau aliran pemikiran perlu jadi agenda pembaruan dan perubahan kebijakan usaha kehutanan. Ini mencakup perbaikan kebijakan dari sisi substansi dan proses serta perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan menata aliran pemikiran. Substansi kebijakan perlu diarahkan agar dapat menggambarkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai oleh lahirnya kebijakan itu, siapa yang diharapkan harus berubah perilakunya untuk mencapai tujuan kebijakan itu, sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Perubahan substansi semacam ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan kehilir. Pembaruan proses perlu ditekankan pada keterbukaan dalam pembuatan kebijakan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan, masalah dan solusi. Untuk itu, maka proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan; misalnya melalui public hearing, dan penilaian oleh pihak ketiga independen (independent third party). Arah perbaikan kualitas diskursus perlu menyentuh ikhtiar peningkatan kualitas pengetahuan dan pengalaman para pihak pemangku kepentingan. Untuk itu maka perbaikan perlu menyentuh sampai pada aspek-aspek pendidikan, riset dan organisasi kehutanan. Sasaran akhirnya perlu ditekankan kepada membuka lebar dan memperkaya ruang diskursus sekaligus ruang kebijakan dan saat yang sama memperlebar jejaring aktor, sehingga dapat membuka ruang transaksi, negosiasi dan kontestasi.
189
Berbagai implikasi perlunya pembaruan di atas hampir dapat dipastikan tidak akan efektif, manakala berbagai diskursus yang terjadi dan aliran pemikiran disebaliknya tidak lain merupakan produk dari hegemoni kekuasaan. Dengan begitu, agar efektif, maka mengurai dan melepas hegemoni dimaksud menjadi keniscayaan. Beberapa kelemahan riset yang teridentifikasi bagi penulis justru dirasakan jadi kekuatan; setidaknya untuk menunjukkan bahwa apa yang telah coba dilakukan memang memiliki unsur kebaruan. Diyakini, riset ini akan terus berlanjut dengan semangat “continuously improvement”. Dengan keyakinan itu, riset ini diharapkan tetap dapat memiliki kontribusi bagi khazanah pengembangan riset-riset kualitatif dengan pendekatan diskursus disatu sisi; dan – disisi lain – menjadi tawaran yang baik bagi bagi agenda pembaruan kebijakan usaha kehutanan kedepan, khususnya dalam ikhtiar pelurusan kerangka pikir dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan.
190
Halaman ini sengaja dikosongkan – This page intentionally left blank [AK]
BAB VI. RINGKASAN TEMUAN, KESIMPULAN DAN SARAN
A. Ringkasan Temuan Beberapa temuan pokok penelitian setiap bab telah disajikan dalam ringkasan di bagian akhir masing-masing bab. Berikut, intisari temuan pokok tersebut. 1. Dari mulai masa penjajahan sampai era pasca kemerdekaan, pengelolaan hutan alam di Indonesia mengalami beragam pendekatan dan orientasi pengelolaan yang berbeda yang pada hakekatnya menyiratkan seolah-olah ada keragaman dalam kerangka berpikir dan landasan
pengelolaan yang digunakan.
Sekalipun, keseluruhannya sama-sama berpijak pada landasan konstitutional, yakni menjalankan mandat keramat Pasal 33 UUD 1945. Dalam kurun itu pula, semangat eksploitatif begitu dominan dan konsisten, bahkan ditengah kondisi dan situasi hutan alam yang telah mengalami fluktuasi dengan kecenderungan menurun. Konsistensi ini begitu kuat, sekalipun penurunan kondisi tersebut telah menjadi keprihatinan publik yang meluas dan bahkan telah menjadi perhatian dunia internasional. 2. Usaha kehutanan di hutan alam produksi di luar Jawa secara sosial ekonomi dan lingkungan dipandang kurang berhasil – untuk tidak mengatakan gagal – dalam menjalankan mandat keramat pasal 33 UUD 45. Usaha kehutanan itu bahkan di klaim tidak lestari, tidak mensejahterakan, dan tidak adil. 3. Sekalipun seolah-olah ada keragaman dalam kerangka berpikir dan landasan pengelolaan yang digunakan, peta diskursus yang dibangkitkan dari teks perundangan menunjukkan bahwa aliran pemikiran yang ada dan dominan mengerucut ke satu bentuk aliran pemikiran yang stagnan dalam kurun itu, bahkan sampai saat ini. Tidak tampak ada perubahan kerangka pikir yang berarti dalam kurun yang sama, bahkan terindikasi lebih tidak menentu. 4. Dari unsur-unsur bagaimana hutan alam diposisikan, kelestarian dimaknai, usaha kehutanan ditetapkan, dan kebijakan untuk semua itu dikonstruksi, tampak bahwa aliran pemikiran yang stagnan itu memperlihatkan ciri-ciri atau karakteristik (a) memosisikan sistem alami hutan alam sebagai faktor utama, dan karenanya (b) kelestarian hutan dimaknai lebih sebagai daftar kewajiban dan atau aturan kerja yang harus dijalankan, (c) ikhtiar pencapaian kelestarian
192 direduksi sebatas menjalankan silvikultur, (d) hasil hutan kayu menjadi orientasi pokok kebijakan usaha kehutanan, dan (e) substansi kebijakan didominasi perspektif dan bangunan logika pemerintah yang cenderung teknikal, administratif prosedural, jangka pendek, dan lawas menukik pada unit manajemen, (f) proses konstruksi
kebijakan dimonopoli pemerintah,
tidak tampak ada proses interaksi para pemangku kepentingan lain yang bersifat transaksi, negosiasi, dan kontestasi ide-pemikiran-pengalaman praktis. 5. Ciri dan karakteristik aliran diatas merupakan juga ciri aliran pemikiran the forest first (FF) yang dimaksud Sfeir-Younis (1991), dimana sistem alami hutan diposisikan sebagai faktor utama, sehingga pengelolaan hutan dan usaha kehutanan bersifat monolitik, yakni hal-hal diluar sistem alami hutan dianggap sebagai faktor eksogen; dengan ciri yang juga lebih beorientasi kayu dengan konsep pengaturan hasil lestari dalam perspektif jangka panjang, maka aliran itu pun identik dengan doktrin yang diprihatinkan Gluck (1987) sebagai doktrin usang; 6. Lepasnya aspek sosial politik dari aliran pemikiran itu, terutama dalam mendefinisikan kelestarian hutan telah dipermasalahkan pula oleh Kaivo-Oja et al (tt) dan MacCleery (tt); mereka menyebut aliran demikian sangat terpusat pada aspek biologi (bio-centris) yang steril dari unsur sosial kemanusia an (human being) dan jauh dari konsep kemandirian (self-sustaining) 7. Kalaupun teks peraturan-perundangan memperlihatkan menyebut dan memasukan aspek-aspek sosial, politik dan ekonomi, maka dengan menggunakan pendekataan Bolman and Deal (1984) dapat diperlihatkan bahwa itu semua hanya sekedar symbol yang penyebabnya dipertegas dalam pendekatan Alvessoon dan Karreman (2000) sebagai lepasnya makna dari diskursus. 8. Diskursus yang dibangkitkan dari wawancara mendalam dan internet on-line polling menunjukkan hasil serupa. Para pemangku kepentingan yang berpartisipasi dalam penelitian ini memperlihatkan menganut aliran dengan ciri dan karakteristik yang sama. Ini diperlihatkan terutama dari komponen pemerintah dan praktisi bisnis; hanya komponen akademisi dan masyarakat sipil/LSM yang mengusung pula isu-isu sosial-politik kedalam diskursusnya; menimbang dan mengusung isu-isu ini dalam pendekatan Sfeir-Younis (1991)
193 disebut sebagai aliran pemikiran the forest second (FS), yang sekaligus merupakan opsi penting dalam menyoal aliran pemikiran the forest first (FF). 9. Bagaimanapun, diskursus yang diusung kalangan komponen akademisi dan masyarakat sipil ini dapat merupakan “representasi” dari ruang publik dalam kurun dimana berbagai peraturan perundangan itu dikonstruksi. Bila hal ini dilacak dari substansi peraturan perundangan usaha kehutanan yang ada, yang notabene dilandasi aliran pemikiran berciri the forest first, maka dapat dikatakan bahwa komponen akademisi dan masyarakat sipil tergolong pihak yang “kalah” dalam kontestasi ide – kalau proses kontestasi itu ada! 10. “Kekalahan” komponen akademisi dan masyarakat sipil dimungkinkan setidaknya oleh dua hal: proses konstruksi kebijakan yang tertutup dan statebased sifatnya dan ”kualitas” diskursus yang lemah. Meminjam pemikiran IDS (2006) rendahnya ”kualitas” diskursus ini mencerminkan sempitnya ruang kebijakan, minimnya jaringan aktor para pembuat kebijakan, sehingga tidak terkontestasikannya secara memadai keseluruhan kepentingan dan politik kedalam ruang transaksi dan negosiasi dalam proses konstruksi kebijakan. 11. Berbagai temuan pokok di atas menegaskan, bahwa aliran pemikiran usaha kehutanan adalah situasi masalah yang penting dan luput dari perhatian para pemangku kepentingan kehutanan. Situasi masalah aliran pemikiran sangat mungkin disebabkan karena rendahnya kualitas diskursus. Rendahnya kualitas diskursus sangat ditentukan setidaknya dua hal terkait pengetahuan dan pengalaman masyarakat dan absennya mekanisme konstruksi kebijakan yang terbuka, transparan dan bertanggung gugat. 12. Tingkat pengetahuan dan pengalaman masyarakat, dapat dilihat dari sempit dan terbatasnya kosa-kata dan perbendaharaan isu yang diusung dalam diskursus. Dari perbendaharaan isu dan kosa kata yang ada dan digunakan dalam dunia pendidikan, riset, dan keorganisasian (Fahutan IPB, Litbang Kemenhut dan Ditjen BUK) terindikasi kuat bahwa kesempatan membincang aspek-aspek sosial ekonomi politik dalam kaitan usaha kehutanan dan hutan secara umum kecil sekali. 13. Fenomena di atas berimplikasi kepada kenyataan bahwa tingkat kebenaran yang mengemuka dalam diskursus lebih didominasi oleh kebenaran teknikal dan hukum, padahal kebenaran yang plausible menurut Dunn (2000) perlu juga dukungan kebenaran dari sisi ekonomi, politik dan penerimaan sosial.
194 Fenomena ini telah menyebabkan absennya sejumlah pengetahuan dan pemanfaatan pengetahuan dalam tataran praktis (the absence of knowledge in practice) manakala kebijakan dikonstruksi. 14. Persoalan absennya sejumlah pengetahuan dan pemanfaatannya dalam tataran praktis merupakan persoalan besar, karena berkaitan erat dengan persoalan kompetensi kepepimpinan (leadership competence) 15. Di atas itu semua (top of the top) dan manakala keseluruhan butir-butir temuan pokok diatas, ditempatkan pada pemikiran Foucault tentang diskursus dan kekuasaan, dimana diskursus adalah proses siklik memproduksi pengetahuan dan regime kebenaran untuk tujuan melanggengkan kekuasaan (Mills, 1997), maka baik substansi maupun proses konstruksi kebijakan dan sekaligus aliran pemikiran yang berkembang merupakan produk kekuasaan dan sekaligus proses dominasi dan hegemoni kekuasaan dalam pemahaman Gramsci. Maka, dengan akumulasi pengetahuan ini, aliran pemikiran yang tejadi yang terindikasi kuat the forest first dan sekaligus “kualitas” diskursus dan pengetahuan para pemangku kepentingan yang minim sejauh ini, tidak lain adalah produk dari hegemoni kekuasaan.
Dengan argumentasi ini, boleh
dikatakan bahwa kerusakan hutan alam dan ketidak lestariannya pun adalah produk kekuasaan. 16. Temuan sebagaimana dideskripsikan dalam butir 15 itu pada dasarnya menegaskan bahwa berbagai langkah dan ikhtiar perbaikan dan pembaruan sebagaimana telah teridentifikasi dalam butir-butir temuan pokok diatas hampir mustahil dapat dijalankan efektif, tanpa diawali ikhtiar untuk mengurai dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan. Sebagai salah satu implikasi penting dari penegasan ini antara lain adalah bahwa praktisi usaha kehutanan dan rimbawan harus segera keluar dari “kotak pemikirannnya” yang biasa.
B. Kesimpulan 1. Peta diskursus yang dibangkitkan dari teks perundangan menunjukkan bahwa aliran pemikiran yang ada secara dominan mengerucut ke satu bentuk aliran pemikiran yang memperlihatkan ciri-ciri atau karakteristik yang identik dengan aliran pemikiran the forest first; peta diskursus yang sama juga identik
195 dengan empat doktrin yang dianggap usang – antara lain beorientasi kayu dengan konsep pengaturan hasil lestari dalam perspektif jangka panjang. 2. Lepasnya aspek sosial politik ekonomi dari aliran pemikiran itu memosisikan dan menegaskan aliran pemikiran itu sebagai sangat bio-centris dan steril dari human being dan jauh dari konsep self-sustaining. Pemanfaatan aliran ini menjadi persoalan, antara lain karena berpontensi menyebabkan kehancuran hutan yang bahkan tidak dapat balik (irreversible). Sementara, fakta empiris terkait kinerja usaha kehutanan Indonesia sejauh ini seolah menggenapkan pembuktian hal potensial ini menjadi hal yang aktual. 3. Diskursus yang dibangkitkan dari wawancara mendalam dan internet on-line polling menunjukkan hasil serupa: menganut aliran dengan ciri dan karakteristik yang sama, yakni FF, terutama yang diperlihatkan komponen pemerintah dan praktisi bisnis. Komponen akademisi dan masyarakat sipil yang mengusung diskursus FS tergolong pihak yang ”kalah” dalam kontestasi ide. 4. Proses konstruksi kebijakan dan ”kualitas” diskursus yang lemah terindikasi sebagai penyebab ”kekalahan” – ini cerminan sempitnya ruang kebijakan, minimnya jaringan aktor pembuat kebijakan, sehingga tidak semua kepentingan dan politik terkontestasikan secara memadai. 5. Aliran pemikiran usaha kehutanan adalah situasi masalah yang penting dan luput dari perhatian para pemangku kepentingan kehutanan selama ini. Hal ini dimungkinkan karena rendahnya ”kualitas” diskursus sebagai akibat minimnya
pengetahuan dan pengalaman masyarakat dan absennya
mekanisme konstruksi kebijakan yang terbuka, transparan dan betanggung gugat. 6. Keseluruhan butir kesimpulan di atas, bila ditempatkan pada pemikiran Foucault tentang diskursus dan kekuasaan,
maka baik substansi maupun
proses konstruksi kebijakan dan sekaligus aliran pemikiran yang telah berkembang sejauh ini merupakan produk kekuasaan. Dalam pemahaman Gramsci hal itu juga merupakan proses dominasi dan hegemoni kekuasaan. Dengan argumentasi ini pula, boleh dikatakan bahwa kerusakan hutan alam dan ketidak lestariannya selama ini adalah produk kekuasaan. 7. Maka, agar berjalan efektif, berbagai langkah dan ikhtiar perbaikan dan pembaruan yang telah teridentifikasi dalam penelitian ini perlu diawali ikhtiar
196 untuk mengurai dan sekaligus melepas hegemoni kekuasaan. Implikasinya, praktisi usaha kehutanan dan rimbawan pada umumnya harus keluar dari “kotak pemikirannnya” yang biasa.
C. Saran 1. Perlu agenda pembaruan dan atau perubahan kebijakan yang diorientasikan pada pelurusan aliran pemikiran; ini mencakup perbaikan kebijakan dari sisi substansi dan proses serta perbaikan kualitas diskursus sebagai konsekwensi logis dari keperluan menata aliran pemikiran. 2. Substansi kebijakan perlu diarahkan agar dapat menggambarkan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai, siapa yang diharapkan harus berubah perilaku, sebab-akibat terjadinya sesuatu atau situasi tertentu yang menjadi kepentingan dibalik kebijakan, instrumen yang akan digunakan, dan program serta kegiatan untuk memastikan kebijakan bisa berjalan efektif. Perubahan substansi semacam ini diperlukan, baik di tingkat UU, terlebih di tingkat PP dan ke hilir. 3. Pembaruan proses perlu ditekankan pada keterbukaan, termasuk proses pembuatan teksnya untuk menguatkan hubungan antara tujuan, masalah dan solusi. Artinya, proses penetapan kinerja, program dan kegiatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi para pemangku kepentingan, khususnya pembuat, pelaku dan pelaksana kebijakan. 4. Perbaikan kualitas diskursus perlu menyentuh ikhtiar peningkatan kualitas pengetahuan dan pengalaman para pihak pemangku kepentingan. Karenanya, perlu
menyentuh
keorganisasian
sampai
kehutanan,
pada
aspek-aspek
dengan
sasaran
pendidikan,
akhir
riset
ditekankan
dan
kepada
memperkaya ruang diskursus sekaligus ruang kebijakan, dan memperlebar jejaring aktor, sehingga dapat membuka ruang transaksi, negosiasi dan kontestasi lebih memadai. 5. Sekalipun beberapa kelemahan riset ini diyakini juga sebagai poin kekuatan karena menunjukkan unsur kebaruan, pelurusan kelemahan ini oleh riset-riset lain yang serupa
di masa datang perlu dilakukan dengan semangat
“continuously improvement”. Ini mencakup antara lain tapi tidak terbatas pada: penetapan lawas, ketepatan pilihan dan keluasan nara sumber dalam melakukan wawancara mendalam dan pemanfaatan internet online polling.
197 6. Di atas itu semua (top of the top), perlu agenda konkret mengurai sekaligus melepas dulu hegemoni kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2008. Deforestation in Indonesia referred in the Guinness Book in: http://news.worldwild.org/deforestation-in-indonesia (diakses 2 Mei 2008). Andiko. 2008. Merambah Belukar Kebijakan, Catatan Perjalanan UUK. Tulisan lepas/blog - http://andiko2002.multiply.com/journal/item/19 - diakses 15 Feb 2009) Arts,
Bass and Marleen Buizer. 2009. Forests, Discourse, Institutions: A Discursive-Institutional Analysis of Global Forest Governance. Forest Policy and Economics, 11 (2009) 340-347.
Atje, Raymond and Kurnya Roesad. 2004. Who Should Own Indonesia’s Forests? Exploring The Links Between Economic Incentives, Property Rights And Sustainable Forest Management. Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Working Paper Series: WPE 076. CSIS Jakarta. Alvesson, M., & Karreman, D. (2000). Varieties of discourse: On the study of organizations through discourse analysis. Human Relations, 53(9), 11251149. Audenhove, Leo Van. 2007. Expert Interviews and Interview Techniques for Policy Analysis. SMIT Studies on Media, Information and Telecommunication IBBT Interdisciplinary Institute on Broadband Technology. Vrije Universitet, Brussel. Awang, San Afri. 1999. Inkonsistensi Undang-undang Kehutanan. Jurnal Manajemen Hutan Edisi Khusus. Bigraf Publishing. Yogyakarta. Bernard, H.R. 2000. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Thousand Oaks. (In White, 2002). Birkland, Thomas. 2001. An Introduction to the Policy Process: Theories, concepts and models of Public Policy Making. M.E. Sharpe. New York. Bishop TJ (Ed.). 1999. Valuing Forests: A Review of Methods and Applications in Developing Countries. IIED, London. Bolman and Deal . 1984. Reframing Organizations. In White 2002. A Discourse Analysis of Stakeholders’ Understandings of Science in Salmon Recovery Policy. Virginia Polytechnic Institute & State University. Blakcburg, Virginia. USA. Brown, David W. 1999. Addicted to Rent: Corporate and Spatial Distribution of Forest Resources in Indonesia: Implications for Forest Sustainability and
200
Government Policy. DFID/Indonesia-UK Tropical Forest Management Program, Report # PFM/EC/99/06. Jakarta. Canon, Jim. 1999. Participatory Economic Valuation of Natural of Natural Resources in the Togean Island. USAID-NRM/EPIQ Program. Jakarta. Caves R, 1987. American Indudtry: Structure Conduct Performance. 6th Ed. Foundation of Modern Economics Series. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. Coase, Ronald. H. 1999. The Firm, the Market and The Law. The University of Chicago Press. Chicago and London. Coase, Ronald. H. 1960. The Problem of Social Costs. The Journal of Law and Economics 3 (October 1960): 1-44. The University of Chicago Press. Chicago. Costanza, R. 2001. Visions, Values, Valuation, and the Need for an Ecological Economics. Bio Science Volume 51 # 6, June 2001. Denzin, N. K. 1989. Interpretive Biography. Thousand Oaks Sage Publications. In Liang, 2008. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 1986. Sejarah Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan RI, Jakarta. [DEPHUT] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Nuansa dan Harapan Reformasi Kehutanan dan Perkebunan: Perjalanan 250 Hari Menuju Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan dan Berkeadilan. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan 2006. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2006a. Rencana Strategis Kementrian/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009 (Penyempurnaan). Jakarta. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2006b. Kajian Kebijakan Prioritas: Operasionalisasi dan Implementasinya dalam Program dan Kegiatan Departemen Kehutanan. Jakarta. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2007. Kehutanan Indonesia: Soedjarwo sampai M.S. Kaban. Pusat Informasi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. [DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2008. Eksekutif Data Strategis Kehutanan 2008. Departemen Kehutanan. Jakarta.
201
[DEPHUT] Departemen Kehutanan. 2009. Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan. Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Departemen Kehuanan. Jakarta. Diamond, J. 2005. Collapse: How Societes Choose to Fail or Survive. Penguin Books. London. Dunn, William. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi 2 Bahasa Indonesia. Gadjahmada University Press. Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar analisis Teks Media. LKIS. Yogyakarta. Ellsworth, Lynn (2002). A Place in the World: Tenure Security and Community Livelihood, a Literature Review. Forest Trends, Washington, DC. Ford Foundation, New York. FWI/GFW. 2002. The State of the Forest: Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch Indonesia, and Washington DC: Global Forest Watch Gautam. Madhur. Uma Lela, Hariadi Kartodihardjo. Azis Khan. Erwinsyah. Saeed Rana. 2000. Indonesia: The Challenges of World Bank Involvemen in Forests. Evaluation Country Case Study Series. World Bank Operations Evaluation Department. The World Bank. Washington, DC. Gluck, Peter. 1987. Social Values in Forestry. Ambio. Vol. 16. No. 2/3, Forestry (1987). Pp. 158-160. Gray, John A (2002) Forest Concession Policies and Revenue System: Country Experience and Policy Changes for Sustainable Tropical Forestry. World Bank Technical Paper No. 522-Forest Series. The World Bank, Washington DC. Hawitt, Sally. 2009. Discourse Analysis and Public Policy Research. Discussion Paper Series No. 24. 2009. Center for Rural Economy. Newcastle University. Hermosilla, Arnoldo Contreras and Chip Fay. 2005. Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform: Issues and Framework for Action. Forest Trend. Hinrich, A and Azis Khan. 2006. Support to Informal Consultations in Indonesia on Voluntary Partnership Agreement. The EC, Jakarta. [HRW] Human Resource Watch.2009. “Wild Money”: The Human Rights Consequences of Illegal Logging and Corruption in Indonesia’s Forestry Sector. Human Rights Watch. New York, NY 10118-3200 USA.
202
Holsti, O. R. 1969. Content Analysis for the Social Sciences and Humanities. In Liang, Neng and Shu Lin. 2008. Erroneous Learning from the West? A Narrative Analysis of Chinese MBA Cases Published in 1992, 1999 and 2003. Management International Review. Gabier Verlag 2008. Ismanto, Agus Djoko. 2010. Pengaruh Perubahan Institusi terhadap Respon Pemerintah dan Perusahaan, dan Kinerja Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan Alam Produksi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Insitute of Development Studies (IDS). (2006). Understanding Policy Processes. A Review of IDS Research on the Environment. The University of Sussex. Brighton BN1 9RE, UK. International Institute for Environment and Development (IIED). 1995). The Hidden Harvest: The value of Wild Resources in Agricultural Systems, IIED, London. ITTO. 2005. SFM Tropics: Status Of Tropical Forest Management. International Timber Trade Organization. Tokyo, Japan. Jones, Pip. 2003. Pengantar Teori-teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme. Dari Introducing Social Theory. Alih Bahasa Achmad Fedyani Saifuddin. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Kaivo-oja, Jari. Jyrki Luukkanen, and Pentti Malaska. Tanpa Tahun. Advanced Sustainability Analysis (White paper, unpublished). Sustainabilityadvanced-analysis.pdf Kartodihardjo, H. 1998. Peningkatan Kinerja Pengusahaan Hutan Produksi melalui Kebijakan Penataan Kelembagaan. Desertasi. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kartodihardjo, H. 1999. Belenggu IMF dan World Bank. Hambatan Struktural Pembaharuan Kebijakan Pembangunan Kehutanan di Indonesia. Kartodihardjo, H. 2006. Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan Kehutanan: Studi Tiga Kasus. Jurnal Manajemen Hutan Volume XII No. 3. September-Desember 2006. Kartodihardjo, H. 2006. Ekonomi dan Institusi Pengelolaan Hutan: Telaah Lanjut Implementasi Kebijakan Usaha Kehutanan. Ideas, Bogor. Kompas.
2005. Sejumlah Wilayah di Kalimantan Banjir. http:/www.kompas.com/kompas-cetak/0504/06/daerah/ 668596.html (diakses 12 Nov 2007)
203
Liang, Neng and Shu Lin. 2008. Erroneous Learning from the West? A Narrative Analysis of Chinese MBA Cases Published in 1992, 1999 and 2003. Management International Review. Gabier Verlag 2008. Libecap, Gary D. 1999. Contracting for Property Rights. Kar Eller Center and Department of Economics University of Arizona. Tucson, Arizona. MacCleery, Doug. Tanpa Tahun. A Definition of Sustainability for Ecosystem Management. (White Paper, Unpublihsed).http://forestry.about.com/gi/o htm?zi=1 Meyer, Neil (ed). (No Year). Property Rights: A Primer. College of Agricultural and Life Sciences. University of Idaho. Mills, Sara. 1997. Discourse. One of The New Critical Idiom Series. RoutledgeTaylor and Francis Group. London and New York. North, Douglas C. 1990. Institutions, Institutionals Change and Economic Performance. Political Economy of Institutions and Decisions. Cambridge University Press. Phillips, Nelson. Thomas B Lawrence and Cynthia Hardy. 2004. Discourse and Institutions. Academy of Management Review 2004, Vol. 29, No. 4, 635– 652. Reda, Aster Asgedom 2004. Discourse Analysis on the Ethiopian Government’s National Action Program to Combat Desertification. Linkoping Universitet. Sweden. Resosudarmo, Budy P. (ed). 2005. The Politics and and Economics of Indonesia’s Natural Resources. Institue of Southeast Asian Studies. Singapore. Ruitenbeek, Jack and Cynthia Cartier. 1998. Rational Exploitations: Economic Criteria and Indicators for Sustaianble Managemant of Tropical Forests. CIFOR. Bogor. Schmid, A. Allan (1987). Property, Power and Public Choice. An Inquiry into Law and Economics. 2nd Ed. Sfeir-Younis, A. 1991. The Economics of Sustainability in Forestry Development. Proceeding 2 Discussion Area Sector A-B. The 10th World Forestry Congress. Paris, France. Sheikh, Pervaze A. 2008. Illegal Logging: Background and Issues. CRS Report for Congress. Congressional Research Service. USA
204
Shore, Cris and Susan Wright. 1997. Anthropology of Policy. Critical Perspective on Governance and Power. European Association of Social Anthropologists. Routledge. London and New York. Springate-Baginski, O. and Soussan, J. (2002) A Methodology for Policy Process Analysis: Policy-Livelihood Relationships in South Asia -Working Paper 9, SEI, York Strausz, Roland. 1997. Delegation of Monitoring in a Principal-agent relationship. Review of Economic Studies 64: 337-357. Sutton, Rebeca. 1999. The Policy Process: An Overview. Overseas Development Institute. Portland House. Stag Place. London. Swiercz, P.M. and Ross, K.T. 2003. Rational, Human, Political, and Symbolic Text in Harvard Business School Cases: A Study of Structure and Content, Journal of Management Education, 0, 2003, pp. 1–24. Talja. 1997. Analyzing Qualitative Interview Data: The Discourse Analytic Method. University of Tampere, Finland (White Paper). Tisdell, Clem and Kartik Roy. 1996. Governance, Property Rights and Sustaianble Resource Use: Analysis with Indian Ocean Rim Examples. Department of Economics, The University of Queensland. Brisbane 4072. Walhi.
2003. Tragedi Bohorok: Bencana Kemanusiaan. http: walhi.or.id/kampanye/ bencana/banjir (diakses 14 November 2009)
Walhi. 2006. Banjir Landa Konawe Sulawesi Tenggara: Puuhan Rumah Hanyut dan Ambruk. http: walhi.or.id/kampanye/ bencana/banjir (diakses 14 November 2009) White, Andy. Xiufang Sun. Kerstin Canby cs 2006. China and the Global Market for Forest Proudcts. Forest Trend, CIFOR, Rights and Resources Institute, and Center for Chinese Agricultural Policy. Washington DC. White, Dave D. 2002. A Discourse Analysis of Stakeholders’ Understandings of Science in Salmon Recovery Policy. Virginia Polytechnic Institute & State University. Blakcburg, Virginia. USA. World Bank. 1995. The Economic of Long Term Management of Indonesia’s Natural Forests. The World Bank, Jakarta. World Bank. 2006a. Sustaining Indonesia’ Forests: Strategy for The World Bank, 2006 – 2009. The World Bank Office, Jakarta. Jakarta.
205
World Bank. 2006b. Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmen-tal Benefits: Strategic Options for Forest Assistance in Indonesia. The World Bank Office, Jakarta. Jakarta. Wulan, Yuliana Cahya, Yurdi Yasmi, Christian Purba dan Eva Wollenberg. 2004. Analisis Konflik Sektor Kehutanan 1997-2003. Center for International Forestry Research. Bogor.
207
Lampiran 1. Sintesis Kerangka Teoretik Kelestarian SDH Perspektif Pembangunan berkelanjutan (PB)
Deskripsi PB sebagai akar diskursus Kelestarian sub-set dari PB Etos/jiwa PB: “kemampuan
Sintesis Teoretik Prinsip/etos/jiwa PB adalah spirit atau nafas kelestarian hutan – menjamin kesempatan yang sama dalam dan antar generasi, melalui: • Memerangi kemiskinan • Menghentikan pengurasan SDA dan lingkungan • Proses tiga dimensi – sosial, ekonomi dan lingkungan
Tata-kelola dan property rights (PR)
Dua hal yang saling terkait erat (intertwined) dan memengaruhi pemanfaatan SDA yang berkelanjutan (Tisdel dan
Menjadi kesadaran para ekonom, bahwa tata kelola dan PR penting dalam memastikan kelestarian hutan dan kesejahteraan ekonomi
Kelangkaan/ keterbatasan
Manusia berevolusi dengan alam menuju kelestarian melalui pengembangan kearifan, pengetahuan; atau bersaing dengan alam meruntuhkan kehidupan atau bahkan menghilangkan peradaban
Akumuluasi pengetahuan menjadi tantangan tersendiri – harus menjadi fokus kelestarian Persoalan etika dan sosial budaya lebih utama daripada persoalan yang bersifat teknis dan ekonomis
Kuat – modal lingkungan tidak menurun dari waktu ke waktu
Pembangunan tidak menyebabkan sediaan modal alam yang kritis menurun dari waktu ke waktu. Modal alam dipahami sebagai jasa-jasa lingkungan yang tidak ternilai dan tidak tergantikan dengan kegiatan/nilai ekonomi
Lemah – sediaanmodal total (fisik, manusia dan alam) tidak menurun dari waktu ke waktu
Sebuah perekonomian dinilai lestari bila tabungan melebihi depresiasi dari total modal alam dan modal manusia. Bila satu komponen modal menurun, masih tetap lestari, sejauh sediaan modal dapat saling menggantikan, sehingga berimplikasi pada adanya peningkatan pengetahuan manusia; Ada lima hal penting dalam pendefinisian kelestarian hutan dan pengelolaan hutan lestari • nyata - ada contoh penerapannya • memahami peran dari nilai-nilai kemanusiaan • pendekatan-pendekatan berorientasi kemanusiaan • menimbang skala ekonomi dan sosial, dan • ”self sustaining”.
untuk menjamin bahwa pemenuhan kebutuhannya saat ini tidak mengancam kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri” (WCED, 1987).
Roy, 1996)
(Malaska, 1971, 1972 – dalam Kaivo-oja,tt)
Aliran posisi kelestarian
(Pearce dan Atkinson, 1995 dalam Kaivo-oja, tt)
Makna kelestarian
Banyak usaha, telah dan sedang ditempuh, menarik makna, dan mendefinisikan kelestarian hutan dan pengelolaan hutan lestari; konsep kemanusiaan dan realitas lapangan penting (MacCleery, tt)
208
Kelestarian harus diletakkan dalam dimensidimesi efisiensi dan keadilan dengan mengkalkulasi hal-hal diluar ”kotak” kehutanan, khususnya terkait isu-isu kebijakan dan kelembagaan.
(Ruitenbeeck dan Cartier, 1998)
Kelestarian mengandung makna efisiensi ekonomi, khususnya dari sebuah alokasi ekonomi dengan kehadiran eksternalitas (Coase, 1960)
Karakteristik inherent atau atribut barang, penting bagi pencapaian kelestarian (Schmid, 1987) Perlu property rights untuk mengontrol akses dan aliran manfaat sumberdaya menghindari hilangnya sumberdaya. (Coase, 1960; Libecap (1999)
Memaknai kelestarian secara (a) rasional bukan sekedar efisiensi ekonomi, tapi menuju keadilan dan kelestarian ekonomi; (b) tetap menimbang kebijakan ekonomi dan kelembagaan yang memengaruhi tegakan; (c) memerhatikan betul sediaan dan aset sumberdaya hutan, (d) siap atas hal-hal tak terduga dan mengupayakan pencegahannya; dan (e) rancangan kelestarian tetap sederhana untuk memudahkan penilaian dan penyesuaian. Biaya transaksi (transaction cost) penting – berpengaruh dalam mengatasi eksternalitas; eksternalitas dapat dipertukarkan saat tidak ada biaya transaksi (zero transaction cost) – saat mana tawar menawar memungkinkan untuk menuju hasil yang efisien, terlepas bagaimana tatanan awal property rights; proses internalisasi eksternalitas perlu aturan langsung, berupa pajak. Sampai disini kelestarian hutan baru memenuhi unsur distribusi pendapatan optimal – belum mencakup sifat intrinsik atau karakteristik inherent SDH dan kesempurnaan property rights. Karakteristik inherent atau atribut barang sering disebut sumber independensi, terdiri dari incompatible use, economies of scale, joint-impacts, transaction costs, surpluses, dan fluctuating supply and demand Property rights penting bagi pencapapaian kelestarian, di dalamnya diatur hubungan perilaku yang memiliki sanksi antara para agen ekonomi dalam mengatur akses dan pemanfaatan sumberdaya. Tanpa property rights sumberdaya akan terhambur dalam persaingan kontrol, dan kegiatan-kegiatan yang bersifat pemangsaan serta menekankan pada pemanfaatan jangka pendek.
209
Lampiran 2. Panduan Wawancara
FORM – Q4U
GENERAL
PANDUAN WAWANCARA • KEBIJAKAN USAHA KEHUTANAN • HUTAN ALAM PRODUKSI LUAR JAWA 1. Seputar Hutan Alam Produksi di Luar Jawa 1. Apa reflek anda, begitu mendengar “Hutan Alam Produksi Luar Jawa? 2. Masa depan (hutan) Indonesia adalah hutan tanaman, hutan alam produksi di luar Jawa tidak lagi dapat diharapkan. Setuju? Pertimbangannya? 3. Fakta menunjukkan bahwa dalam situasi relatif sulit seperti saat ini – sebagaimana diakui beberapa pelaku usaha, masih ada pengelola hutan alam produksi yang mampu bertahan. Faktor apa yg menentukan? 2. Seputar Usaha Kehutanan – hutan alam produksi di Luar Jawa 1. Usaha kehutanan faktanya menanggung beban ekonomi biaya tinggi. Usaha kehutanan tersebut ada yg bertahan dan ada yg tidak. Ekonomi biaya tinggi bukan faktor penentunya ? 2. Dengan telah bangkrutnya usaha ratusan IUUPHHK-HA – dari 600an unit (1980an) menjadi hanya tinggal seratusan saja (2011) – hal tersebut lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari sisi pemerintah atau sisi pengusaha ? 3. Melihat realitasnya, apakah usaha kehutanan sejauh ini, dipandang berhasil? Alasannya? 4. Kalau tidak, akar masalahnya? Apa opsi solusinya 3. Seputar Kelestarian dan Pengelolaan Hutan Alam Produksi 1. Apakah pelestarian hutan alam produksi tidak masuk akal dari pandangan bisnis ? 2. Apabila masuk akal, mengapa sebagian besar tidak melakukannya? 3. Lalu, kebutuhan siapa kelestarian hutan alam produksi itu sesungguhnya? 4. Menurut anda sendiri, apa makna kelestarian sesungguhnya? 5. Setuju dengan penilaian bahwa hutan alam produksi LJ tidak lestari? 4. Seputar Kebijakan Usaha Kehutanan 1. Apa hal terpenting dari kebijakan usaha kehutanan? 2. Apabila kebijakan adalah resep dokter dan persoalan usaha kehutanan adalah gejala penyakit; yang terjadi sejauh ini, apakah diagnosa penyakitnya yang keliru atau resepnya yang keliru? Alasannya? 3. Pembuatan dan perubahan kebijakan usaha kehutanan sejauh ini lebih dipengaruhi oleh pelaku usaha, masyarakat sipil/LSM, akademisi, atau pemerintah sendiri? Diskursus apa yang diusungnya secara dominan? 4. Apakah ada persoalan cara pikir dari pihak-pihak yang berperan membuat dan mengubah kebijakan tersebut? Bisa disebutkan beberapa contoh? 5. Bila periode kebijakan usaha kehutanan dipenggal menjadi sebelum dan sesudah 1998, apakah sudah ada perbaikan kebijakan secara berarti? Dalam hal apa?
210
Halaman ini sengaja dikosongkan – This page intentionally left blank [AK]
211
Lampiran 3. Screen-shot On-line Polling – Kebijakan Usaha Kehutanan
212
213
Lampiran 4. Kata Kunci dalam Dimensi Organisasi (Bolman and Deal, 1991)
Rational Analisis Birokratik Struktur Rantai Perubahan Kompensasi Konsisten Efisiensi Fakta Formalisasi Satuan Kerja fungsional Spesifikasi tujuan Panduan Logika/alur logis Pengukuran Mekanikal Model Urutan Optimisasi Ketelitian Prediksi Prosedur Regulasi Rutin Pemb Kebijak scr ilmiah Sekeunsial Teknologi Informasi Standar
Human Apresiasi Aspirasi Sikap Kompetensi Kreativitas Hasrat Hubungan sosial Emosi Harapan Pengalaman Paras Perasaan Perilaku Individu Kelompok Informal Keahlian interpersonal Intuisi Kesetiaan Motivasi Kepribadian Personal Hubungan Rekognisi Keahlian Tim Semangat Tim Training
Political Tawar-menawar Koalisi Konflik Keragaman kepentingan Terus terang -fair Wlyh-abu dr otoritas semu Pengaruh Lingkaran dalam Penunggangan Aksi-reaksi legal Negosiasi Nuansa Aktivitas partai Iklim politik Kebijakan Kekuasaan Opini publik Rumor Tanggung-jawab sosial Ancaman Campur tangan pemeritah Perilaku agen Suap
Symbol Keyakinan Komitmen Budaya Iklim Drama Etika Eufemisme Kepercayaan Kebiasaan Humor Ideal Interpretasi Ikatan kekeluargaan Makna Metafor Moral Mitos Norma Filosofi Sandiwara Reputasi Ritual Keagamaan Ritual Gala/besar Nilai Visi Pengetahuan takterucap Tradisi Spiritualitas Kapitalisme Sosialisme Keadilan-wajar Keselarasan Hasil coding - sebelum 1998; Hasil coding – setelah 1998; hasil coding – kedua kurun
214
Halaman ini sengaja dikosongkan – This page intentionally left blank [AK]
215
Lampiran 5. Relasi Narasi, Diskursus dan Kecenderungan Kerangka Pikir (coding) (a) Sebelum 1998 Narasi Kebijakan
Diskursus
Kerangka Pikir
Pemosisian dan pandangan atas hutan alam
Hutan alam sebagai anugerah Tuhan YME, sumber kekayaan alam dengan manfaat serba guna, antara lain sebagai basis pertahanan nasional,
Begitu yakin dan percaya, bahwa karena hutan itu dengan segala multi manfaat dan multifungsinya merupakan anugerah, dan karena pertimbangan kepentingan pembangunan – termasuk menyelesaikan revolusi – pantas untuk dimanfaatkan dan dikelola, dengan tetap dilindungi agar lestari.
Hutan dengan multi-manfaat itu mutlak dibutuhkan umat manusia sepanjang masa, sehingga harus dilindungi dan dimanfaatkan secara lestari Hutan alam memiliki potensi ekonomi yang perlu segera dimanfaatkan secara maksimal dan lestari dalam rangka pembangunan nasional dan menyelesaikan revolusi untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Keyakina Ritualreligi, harmoni, visi
Catatan: • Belum jelas apa makna lestari dan macam apa pendekatanan untuk mewujudkannya. Artinya, narasi kebijakan dan kerangka pikir dibaliknya sesungguhnya mencerminkan belum dipenuhinya kebenaran substantive sebagaimana dimaksud Dunn (2000)
Konsep dan pendekatan kelestarian
Kelestarian sebagai koridor atau pembatas dalam pemanfaatan, namum tidak tampak secara rinci gambaran keterlaksanaannya, selain disiapkannya mekanisme pungutan dimana ada bagian dari jumlah pungutan itu yang harus ”dikembalikan” ke hutan untuk dialokasikan sebagai biaya pembangunan rehabilitasi kehutanan dalam arti luas
Kelestarian adalah keharusan, dalam pemanfaatan hutan adanya dokumen perencanaan yang didalamnya dipastikan masuk unsur kelestarian, serta keterlibatan ahli kehutanan dalam pemanfaatan hutan.
Norma, Nilai, Visi,
Catatan: • Mengisyaratkan betapa kelestarian mengalami simplifikasi menjadi sebatas ”keharusan administratif dan mekanistis” • Pendekatan baru memenuhi sebatas kebenaran hukum, menyiapkan aspek legalitas bagi upaya kelestarian sebagai instrumen pengendali pemanfaatan; pendekatan belum memiliki rasionalitas substantive sebagaimana dimaksud (Dunn, 2000) • Pendekatan tidak lengkap, tidak didukung penyiapan sejumlah prakondisi pemungkin, misal terkait jurisdiksi, representasi dan bahkan interdependensi antar para pihak yang terlibat atas sumberdaya hutan yang diusahakan
(b) Setelah 1998 Narasi Kebijakan Pemosisian dan pandangan atas hutan alam
Diskursus
Kerangka Pikir
Hutan alam sebagai karunia, amanah dan anugerah Tuhan YME; salah satu penyangga kehidupan, sumber kemakmuran rakyat; memberi manfaat serbaguna bagi umat manusia, dikuasai Negara cenderung menurun kondisinya; perlu prinsip keterbukaan, profesionalisme dan tanggung gugat dalam pengelolaan hutan; serta perlunya menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat, budaya, tata nilai masyarakat berdasarkan norma hukum nasional.
Setelah diktum pengakuan bahwa kondisi hutan alam mengalami penurunan, artinya setelah dua dekade lebih usaha kehutanan dilakukan, hutan masih tetap dipandang sebagai pontesi ekonomi yang perlu dimanfaatkan secara optimal untuk alasan pembangunan.
Dengan menjaga lingkungan hutan alam tetap diusahakan bagi kemakmuran rakyat lintas generasi dalam koridor kelestarian.
Usaha kehutanan tetap sebagai pemanfaatan hutan yang bertujuan memperoleh manfaat optimal bagi kesejahteraan seluruh
Keyakin Makna, interpret norma, sosialism harmoni
216
Narasi Kebijakan
Diskursus
Kerangka Pikir
Prinsip usaha kehutanan tidak bergeser jauh: dengan menjaga lingkungan, hutan alam tetap diusahakan bagi kemakmuran rakyat lintas generasi dalam koridor kelestarian.
masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.
Catatan: • Setidaknya secara tekstual, term kelestarian masih melekat dalam narasi kebijakan. Namun, tetap masih belum jelas apa makna lestari dan macam apa pendekatan untuk mewujudkannya, terutama dikaitkan relevansinya dengan kondisi hutan yang diakui sudah menurun. Artinya, fokus pembaruan sebagaimana terungkap dalam narasi kebijakan dan kerangka pikir dibaliknya tetap belum menyentuh kebenaran substantive sebagaimana dimaksud Dunn (2000)
Konsep dan pendekatan kelestarian
Kelestarian sebagai batasan – bagi dua hal sekaligus: pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, yang diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kini dan mendatang Kelestarian mengerucut sebagai instrumen tidak saja dalam pemanfaatan hutan, tapi mencakup pula upaya memastikan kelayakan Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi (KPHP) dan pencairan dana jaminan kinerja HPH. Perubahan lain yang relatif signifikan terletak pada upaya untuk lebih melibatkan dan membuka hak dan akses masyarakat dalam usaha kehutanan dicirikan antara lain dengan menata ulang besaran luas HPH dan struktur kepemilikannya.
Kelestarian adalah keharusan dalam pemanfaatan hutan adanya dokumen perencanaan yang didalamnya dipastikan masuk unsur kelestarian, serta keterlibatan ahli kehutanan dalam pemanfaatan hutan. Kelestarian akhirnya dimaknai dan diposisikan sebagai kewajiban para pemegang hak konsesi untuk memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari (PHAPL) yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi.
Catatan: • Dalam euforia perubahan, pemaknaan kelestarian ternyata tidak beranjak banyak dan di tingkat pelaksanaan justru cenderung semakin menukik pada hal-hal teknikal, mekanistis-instrumentatif dan administratif. Sulit dihindari munculnya pandangan bahwa indikator-indikator kelestarian sangat teknis, cenderung administratif, lebih bersifat disinsentif, dan mempersempit – bahkan menutup – ruang kreativitas unit usaha pemegang konsesi dalam mewujudkan PHAPL. Terlebih pemenuhan kriteria dan indikator ini bersifat mandatory. • Pendekatannya sendiri masih tetap sebatas memenuhi kebenaran hukum, menyiapkan aspek legalitas bagi upaya kelestarian sebagai instrumen pengendali pemanfaatan; pendekatan belum memiliki rasionalitas substantive sebagaimana dimaksud (Dunn, 2000) • Pendekatan masih belum lengkap terkait penyiapan sejumlah prakondisi pemungkin, misal terkait jurisdiksi, representasi dan bahkan interdependensi antar para pihak yang terlibat atas sumberdaya hutan yang diusahakan
Visi, norma, nilai, keadilan
217
Lampiran 6. Contoh Analisis Isi – Kasus UUPK 5/1967 Hal Argumen pembuka
Kerangka Isi Deskripsi Hutan karunia Tuhan, sumber kekayaan alam, ber manfaat serbaguna, mutlak dibutuhkan umat manusia sepanjang masa, salah satu unsur basis pertahanan nasional - harus dilindungi dan dimanfaatkan guna kesejahteraan rakyat secara lestari; [pandangan atas SDH] Peraturan-peraturan dalam bidang hutan dan Kehutanan sebagian besar berasal dari Pemerintah jajahan, bersifat kolonial dan beraneka ragam coraknya - tidak sesuai lagi dengan tuntutan Revolusi; [aturan perlu diperbaharui] Untuk menjamin kepentingan rakyat dan Negara dan untuk menyelesaikan Revolusi Nasional diperlukan Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan pokok tentang Kehutanan yang bersifat nasional - dasar bagi penyusunan Peraturan Perundangan dalam bidang hutan dan Kehutanan [mengatur hutan penting untuk rakyat dan menuntaskan revolusi – setting tujuan kebijakan] Dasar: UUD45 (psl 5 ayat 1, psl 20 dan 33); 4 TAP MPR(S) II/1960, VI/1965, XXIII/1966, XXXIII/1967. Persetujuan DPRGR
Putusan Ketentuan Umum Perencanaan Hutan Pengurusan Hutan Pengusahaan Hutan Perlindungan Hutan Ketentuan Pidana Ketentuan Peralihan Ketentuan Penutup
Siapa mengatur siapa
Menetapkan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. 5 pasal, 17 ayat - pendefinisian hutan, hasil hutan, kehutanan, kawasan hutan, dan menteri. [Bab I] 3 pasal 6 ayat – [Bab II] 4 pasal 6 ayat [Bab III] 2 pasal 7 ayat [Bab IV] 4 pasal 6 ayat [Bab V] 1 pasal 3 ayat [Bab VI] 2 pasal masing-masing 1 ayat [Bab VII] 1 pasal 1 ayat [Bab VIII] [ in total : 8 Bab 22 pasal 48 ayat ] Cakupan Isi Presiden dengan persetujuan DPR-GR (melalui menteri) mengatur (para pemangku kepentingan hutan dan kehutanan) terkait perencanaan, pengurusan, pengusahaan dan perlindungan hutan
Apa yang diatur Ketentuan umum
Bagaimana diatur Ditetapkan batasan terkait hutan, hasil hutan, kehutanan, kawasan hutan, dan menteri yang diserahi urusan kehutanan (pasal 1); lalu penegasan pengertian hutan berdasar kepemilikan (pasal 2), fungsi (pasal 3), peruntukkan (pasal 4), dan penguasaan serta pendelegasian wewenang (pasal 5).
Perencanaan Hutan
Pembuatan rencana umum oleh pemerintah, terkait peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan secara serba guna dan lestari untuk seluruh wilayah Indonesia – untuk kepentingan pengaturan tata air, produksi hasil hutan dan pemasarannya termasuk ekspor, sumber matapencaharian, perlindungan alam hayati, transmigrasi, pertanian, peternakan dan manfaat umum lainnya (Pasal 6) Jaminan untuk beroleh manfaat di atas, menteri menetapkan wilayah tertentu sebagai kawasan hutan dengan luas cukup letak tepat berdasar rencana penggunaan tanah (ditentukan pemerintah berupa rencana umum pengukuhan hutan). Rencana umum ini memuat tujuan, perincian, dan urgensi sebagai pertimbangan menetapkan HL, HP, HSA
218
dan/atau HW (Pasal 7)
Pengurusan Hutan
Untuk mengetahui modal kekayaan hutan alam di seluruh Indonesia, diselenggarakan inventarisasi hutan, untuk keperluan perencanaan pembangunan proyek-proyek kehutanan secara nasional dan menyeluruh. Agar lestari dan tertib, disusun suatu rencana karya atau bagan kerja untuk jangka waktu tertentu, didahului dengan penataan hutan (Pasal 8). Ditujukan mencapai manfaat sebesarbesarnya secara serbaguna dan lestari, langsung maupun tak langsung – upaya membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Panca Sila; berdasar rencana umum dan rencana karya tersebut pada pasal 6 dan 8. Mencakup 5 kegiatan: mengatur melaksanakan (perlindungan, pengukuhan, penataan, pembinaan, pengusahaan, dan penghijauan); mengurus (HSA, HW, membina margasatwa dan perburuan); melaksanakan (penelitian hutan, hasil hutan, manfaat hutan, sosial ekon, masy sekitar hutan); mengatur, menyelenggarakan (penyuluhan, pendidikan kehutanan) (pasal 9) Membentuk kesatuan pemangkuan hutan dan kesatuan pengusahaan hutan (untuk menjamin pengurusan hutan sebaik-baiknya); pengurusan hutan negara dilaksanakan badan pelaksana – pelaksanaan diatur lebih lanjut oleh menteri. (Pasal 10) Pengurusan hutan milik oleh pemiliknya, dengan bimbingan menteri, terikat bab 3 sampai bab 5. Pengurusan yang bertentangan dengan hal ini dapat dituntut. (Pasal 11) Pemerintah Pusat dapat menyerahkan sebagian dari wewenangnya di bidang Kehutanan kepada Pemerintah Daerah dengan Peraturan Pemerintah. (Pasal 12)
Pengusahaan Hutan
Bertujuan memperoleh, meningggikan, produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat; diselenggarakan berdasar azas kelestarian hutan dan azas perusahaan – menurut rencana karya/bagan kerja mencakup: penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. (Pasal 13) Dilakukan Negara dan dilaksanakan Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah berdasar Undang-undang yang berlaku; pemerintah dapat bersama pihak lain menyelenggarakan usaha bersama di bidang Kehutanan; Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta dapat diberikan hak pengusahaan hutan; Warganegara Indonesia, Badan-badan Hukum Indonesia yang seluruh modalnya dimiliki warganegara Indonesia dapat diberikan hak pemungutan hasil hutan; pemberian hak tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (Pasal 14)
Perlindungan Hutan
Perlu agar secara lestari hutan dapat memenuhi fungsinya sebagaimana tersebut dalam pasal 3; Perlindungan meliputi usaha-usaha untuk: mencegah, membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, mempertahankan ,menjaga hak-hak Negara atas hutan dan hasil hutan; agar terlaksana rakyat diikutsertakan; pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 15) Pemburuan swasta liar diatur dengan Peraturan Perundangan (tersendiri), dengan mengindahkan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang ini (Pasal 16) Pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota- anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam Undangundang ini. (Pasal 17)
219
Untuk menjamin perlindungan hutan dan Kehutanan, kepada petugas Kehutanan sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus; pelaksanaannya diatur bersama Menteri dan Menteri Panglima Angkatan Kepolisian. (Pasal 18) Ketentuan pidana
Peraturan pelaksanaan Undang-undang ini dapat memuat sanksi pidana berupa hukuman pidana penjara atau kurungan dan/atau denda; segala hasil hutan terkait dengan atau digunakan untuk melakukan tindak pidana dapat disita untuk Negara; Tindak pidana tersebut menurut sifat perbuatannya dapat dibedakan kedalam kejahatan dan pelanggaran. (Pasal 19)
Ketentuan Peralihan
Hutan yang telah ditetapkan sebagai Hutan Tetap, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, berdasarkan Peraturan Perundangan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang ini, dianggap telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan dengan peruntukkan dan fungsi sesuai dengan penetapannya. (Pasal 20) Sambil menunggu keluarnya peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini, segala peraturan dan perundang-undangan di bidang Kehutanan yang telah ada sebelumnya, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa Undang-undang ini serta diberi tafsiran sesuai dengan itu. (Pasal 21)
Penutup
Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Pokok Kehutanan" dan mulai berlaku pada hari diundangkan. (Pasal 22)
220
Halaman ini sengaja dikosongkan – This page intentionally left blank [AK]
221
Lampiran 7. Contoh Hasil Analisis Narasi – Representasi Makna Kelestarian Instrumen Kebijakan UU No. 5/1967 – Kehutanan
Ringkasan Ikhtisar Representasi Narasi Makna Kelestarian Begitu kuat konsideran bahwa hutan sebagai sumberdaya yang berpotensi ekonomi dan karenanya diorientrasikan menopang tujuan pembangunan nasional, termasuk di dalamnya menyelesaikan revolusi – untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. (Konsideran) Kelestarian sebagai cara terkait peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan untuk seluruh wilayah Indonesia – untuk kepentingan pengaturan tata air, produksi hasil hutan dan pemasarannya termasuk ekspor, sumber matapencaharian, perlindungan alam hayati, transmigrasi, pertanian, peternakan dan manfaat umum lainnya (Pasal 6) Kelestarian sebagai dasar/azas untuk mencapai tujuan usaha kehutanan - memperoleh, meningggikan, produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat; menurut rencana karya/bagan kerja mencakup: penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Azas ini disandingkan dengan azas perusahaan (baca:
Hal-hal Prinsip Sebelum 1998 Peruntukkan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan digariskan untuk mencapai tujuan ekonomi nasional dan menyelesaikan revolusi bagi kemakmuran rakyat dengan tetap memberikan keuntungan finansial bagi unit usaha kehutanan (dimensi sosial ekonomi) dan harus ditempatkan sejalan dengan kepentingan memelihara dan melindungi multifungsi hutan (dimensi lingkungan). Dengan kata lain, capaian tujuan ekonomi nasional untuk sebesar kemakmuran rakyat ditempatkan pada pada koridor kelestarian sumberdaya hutan. Kelestarian dimaknai dan diposisikan dalam banyak sudut – dari mulai sebagai dasar atau azas, cara dan syarat untuk mencapai tujuan tersebut di atas; Lebih lanjut kelestarian diposisikan sebagai tujuan pengelolan hutan melalui pengaturan perlindungan hutan yang mencakup upaya pencegahan dan pembatasan kerusakan hutan alam oleh berbagai sebab manusia dan non manusia dan juga alam; termasuk kedalam perlindungan adalah menjaga hak negara atas hutan dan hasil hutan;
Norma yang berkembang
Diskursus terkait
Memanfaatkan hutan bukanlah hal tabu, sejauh diorientasikan untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional – menyejahterakan masyarakat; di satu sisi dan menjaga kelestarian sumberdaya hutannya disisi lain
Hutan sebagai “mother nature”, dipahami memiliki potensi ekonomi tinggi untuk menopang tujuan pembangunan nasional dan bahkan menyelesaikan revuolusi untuk menyejahterakan masyarakat;
Ada rencana karya/bagan kerja pemanfaatan hutan mencakup penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengelolaan dan pemasaran hasil yang diarahkan untuk mencapai dua hal sekaligus: kelestarian sumberdaya hutan dan tujuan pembangunan nasional. Azas kelestarian dan azas perusahaan ditempatkan sejajarseimbang
Kelestarian dipahami beragam dan cenderung multi-tafsir namun umumnya diposisikan sebagai azas/dasar/landasan dan tujuan dalam pengelolaan hutan, khusunya usaha kehutanan; Kelestarian juga dipahami sebagai tujuan, antara lain dengan mengatur langkahlangkah perlindungan hutan yang harus dilakukan para pemegang konsesi; masyarakat lebih sebagai objek yang diikut sertakan; kurang tegas apakah tujuan ini adalah tujuan objektif pengelolaan hutan atau tujuan yang diprovokasi oleh pemerintah sendiri? Diskursus juga menyentuh posisi, peran dan fungsi pemerintah dalam menggariskan berbagai aturan main pengelolaan hutan, khususnya usaha kehutanan yang terkesan kuat sekali, begitu memonopoli; disoal pula posisi pemerintah yang merangkap antara regulator (menyiapkan dan menegakkan) aturan main dan sekaligus pemain (player) antara lain banyaknya pengesahan pemerintah bagi banyak hal yang harus dilakukan para pemegang konsesi usaha kehutanan
222
dimensi ekonomi (Pasal 13) Untuk keperluan tersebut di atas diatur perlindungan hutan - usahausaha untuk: mencegah, membatasi kerusakan-kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit; mempertahankan ,menjaga hak-hak Negara atas hutan dan hasil hutan; agar terlaksana rakyat diikutsertakan; pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 15)
untuk hal ini, mayarakat diposisikan sebagai “diikut sertakan”
Menjadi pertanyaan dalam diskursus, apakah sifat monopoli dalam substansi dan proses pengaturan serta peran ”ganda” pemerintah sebagai penjabaran dari argumn ”hutan dikuasai negara dan pelaksanaannya dipercayakan kepada pemerintah”.
Sintesa: pemerintah memicu sendiri argumen bahwa hutan memiliki potensi ekonomi, diperlukan untuk menopang tujuan pembangunan nasional termasuk menuntaskan revolusi; pemerintah pula memosisikan kelestarian sbg cara/azas/dasar/tujuan terkait peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan bagi kepentingan memelihara dan melindungi multifungsi hutan. Merujuk pada policy sebagai argument (Sutton, 1999) maka fenomena demikian memperlihatkan situasi bahwa kebijakan tidak berangkat dari debat para pihak, pemerintah hanya melakukan klaim, tanpa ada yang mengkritiknya, tidak tampak adanya proses komunikasi ide, beradu info, fakta dan idelologi. Merujuk pada lima macam kebenaran/rasional Dunn (2000) maka macam kebenaran yang dominan dibalik narasi kebijakan ini adalah kebenaran hukum, yakni karena yang dipenuhi baru kebutuhan menjalankan hukum. Lalu, yang menonjol adalah posisi politik pemerintah dalam upaya mengatur dan mengawasi pihak yang diawasi (pemegang konsesi). Masyarakat lain, khususnya masyarakat adat yang ada di dalam dan di sekitar hutan sekedar “diikutsertakan”. Sementara hal prinsip dari kelestarian tidak cukup gamblang, selain bahwa ia diposisikan sebagai instrumen pengelolaan dan usaha kehutanan. Dari sisi proses – melihat kebijakan sebagai argumen – aktor atau policy network yang turut mengkerangka kebijakan menjadi kurang teridentifikasi secara lengkap, selain pemerintah yang begitu dominan mengatur dan melakukan kontrol, sementara praktisi usaha kehutanan selaku pihak yang dikontrol posisi politisnya diposisikan lemah. Dengan posisi demikian, semakin tegas bahwa substansi kebijakan ini merupakan monopoli hasil konstruksi aktor pemerintah. Pengetahuan ini bisa menjadi penting dalam membahas, antara lain isu kontemporer: mengapa pemeritah pada saat itu belum mempertimbangkan dan menyelesaikan berbagai persoalan terkait masyarakat, terutama yang hidup di dalam dan di sekitar hutan, terutama dalam hal hak dan aksesnya. Pengetahuan yang sama bisa menegaskan bahwa narasi kebijakan telah berhasil menggiring diskursus bahwa, begitulah pemahaman “hutan dikusasi negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam perkembangannya muncul indikasi perubahan peta policy network, terutama saat munculnya konglomerasi yang menurut (Brown, 1999) muncul karena “sinergi politik” antara pemerintah dan pengusaha. (Lanjutkan dengan gap analysis atas kerangka teoretik kelestarian) PP 21/70 PP ini antara lain fokus pada Pemanfaatan hutan harus disertai Penekanan bahwa usaha kehutanan Kelestarian sebagai syarat pemanfaatan hutan (konsideran dan kelestarian baik sebagai azas/dasar/ dokumen perencanaan diposisikan penting untuk didukung oleh Rencana memastikan masuknya penjelasan umum), azas (Pasal 1), landasan maupun cara dalam landasan/azas/dasar kelestraian untuk unsur kelestarian dan dasar (Pasal 8 ayat 1 dan pemanfaatan hutan yang harus mencapai tujuan sebagaimana digariskan Keterlibatan ahli kehutanan dalam penjelasannya) terejawantahkan kedalam UU; karenanya usaha kehutanan lestari lebih pemanfaatan hutan perencanaan, penataan, tampak sebagai upaya untuk memenuhi Kelestarian sebagai kegiatan usaha pengelolaan hutan, serta kebutuhan berjalannya UU kehutanan terutama yang mencakup pengukuran dan pengujian kayu perencanaan, penataan, Seperti apa kelestarian, masih sangat oleh ahli kehutanan;
223
pengelolaan hutan dan pengukuran serta pengujian kayu yang harus dilaksanakan oleh ahli kehutanan – (penjelasan)
PP 18/75
Kelestarian sebagai syarat dan kewajiban pemegang hak sebagaimana tercantum dalam SK HPH dan yang diatur tersendiri dengan peraturan lainnya (penjelasan) Tak ada representasi makna kelestarian. Dengan pertimbangan bahwa modal asing sekedar pelengkap (konsideran), HPH, hanya diberikan kepada perushaan nasional baik negara maupun swasta (Pasal 1)
Kelestarian lebih sebagai instrumen “kontrol” pemerintah atas yang dikontrol (pemegang konsesi)
normatif karena terus dirujuk kepada SK HPH dan peraturan pemerintah tersendiri Dalam mengatur usaha kehutanan pemerintah lebih banyak menentukan; pemegang konsesi dan masyarakat lainnya, termasuk masyarakat adat sebagai pihak yang harus tunduk pada ”kemauan” pemerintah – termasuk posisi dan tatanan kelestarian
Melalui PP ini pemerintah secara Pemegang konsesi hanya Tidak ada gambaran lebih jauh terkait khusus menegaskan bahwa modal perusahaan nasional. diskursus yang relevan dengan usaha asing hanya pelengkap dari modal kehutanan lestari, termasuk gambaran nasional ; ini alasan untuk apakah penegasan entitas menjadi lebih memberikan peran lebih besar nasional, terkait dengan penataan hak hanya kepada perusahaan nasional kepemilikan (property rights) untuk mengusahakan HPH; alasan lain perusahaan nasional sudah dipandang mampu. Sintesa: Fenomena bahwa pemerintah masih sebagai pemicu utama tentang pentingnya usaha kehutanan lestari masih menonjol dalam kandungan PP ini. Aturan ini, sebagai tindak lanjut UU 5/67 – menunjukkan kesan bahwa substansinya dibuat lebih untuk memenuhi kebutuhan penjabaran UU di atasnya, antara lain karena tidak tampak dalam ”konsideran” dan pasal-pasal selanjutnya, bahwa ada kebutuhan atau kepentingan atau setidaknya perspektif pihak lain terakomodasi di dalamnya; poin-poin aturan main – pada akhirnya – sepenuhnya sebagai perspektif dan inisiatif yang datang dari pemerintah. Apakah perspektif tersebut adalah juga perspektif para pemegang konsesi tidak tampak dalam narasi kebijakan yang ada. Terlebih, apakah kebutuhan dan kepentingan masyarakat, termasuk masyarakat, adat sudah diperimbangkan dalam narasi kebijakan. Adanya perubahan entitas perusahaan yang diposisikan hanya untuk perusahaan nasional, antara lain karena alasan modal asing sekedar pelengkap, tidak memperlihatkan adanya upaya penataan dan pemastian hak-hak kepemilikan. Sampai disini pemerntah tetap sebagai motor penentuan aturan main dan sekaligus pelaksana aturan usaha kehutanan dan kelestariannya. Pemerintah tetap pada posisi super principal dan pemegang konsesi sebagai marginal agent relatif terhadap kuasa dan peran politik dalam proses bagaimana aturan itu dikonstruksi. Masyarakat sendiri, yang pada hekekatnya sebagai genuine principal, justru ditempatkan sebagai objek yang ”diikut-sertakan” dalam aturan main yang ada.. Kembali pada peran ganda pemerintah baik sebagai regulator maupun eksekutor aturan main mengaburkan posisinya sebagai the real principal. Sehingga muncul penilaian, bahwa dalam usaha kehutanan yang telah terjadi adalah bukan hubungan ”principal-agent” melainkan hubungan ”agent to agent” didepan masyarakat sebagai principal sejati. FA diperlukan sebagai ”modal” untuk dapat Forestry Agreement (FA) Kelestarian sebagai ”kemufakatan” Kandungan prinsip dasar sangat Tidak menebang sembarang pohon kredit; sementara kredit bisa membantu antara pemerintah dan perusahaan teknikal. Dapat dipahami, melihat Menjalankan aturan yang sudah untuk melaksanakan ketentuan status dokumen yang juga dokumen ditetapkan pemerintah yang mempermudah proses mendapatkan SK. prinsip-prinsip dasar kehutanan: terangkum sebagai prinsip dasar teknis Diskursus ini kembali menguatkan adanya fenomena bahwa aturan dibuat (dan pohon yang dilarang ditebang, pengunaan kayu dalam Kelestarian dirangkum sebagai dimufakati) tak lebih sebagai upaya rangka pelaksanaan operasi, cara pemungutan dan prinsip dasar, hasil pemufakatan, pemenuhan kebutuhan aspek legalitas, pengolahan kayu, pencegahan kebakaran, kerusakan atas milik ”pemerintah” dan pihak ketiga, pelanggaran yang harus mencakup berbagai finansial dan administrasi; apakah ia pihak yang tidak berhak, rencana karya pengusahaan syarat dan keharusan dalam memenuhi kebutuhan objektif kegiatan hutan, penggunaan ahli-ahli kehutanan oleh ”perusahaan”, wewenang ”departemen” meninjau
224
SK-HPH
kembali target produksi, dan hubungan antara industri hutan dengan jenis-jenis kayu komersial]
pemanfaatah hutan, khususnya kegiatan terkait usaha kehutanan
Kelestarian sebagai kegiatan pembinaan hutan yang didasarkan pada jenis dan susunan diamater tegakan di areal yang diusahakan dengan sistem TPI (dan TPTI) dan mencegah penurunan nilai hutan dan meningkatkan nilai hutan.
Di sini pengaturan lebih teknis lagi dengan memosisikan kelestarian sebagai bagian kegiatan pembinaan hutan berdasar jenis pohon dan susunan diameter dengan sistem silvikultur TPI dan atau TPTI Prinsip lain, perlu meningkatkan nilai hutan dan mencegah penurunan nilai hutan
pemanfaatan hutan itu sendiri, tidak begitu tampak. Ada kegiatan pembinaan hutan berupa penerapan silvikultur TPI dan atau TPTI Ada kegiatan terkait peningkatan nilai hutan dan pencegahan penurunan nilai hutan
Diskursus dibalik kandungan aturan ini, antara lain kuatnya persepsi para pihak, bahwa sebagai pemegang konsesi, pengusaha sekedar menjalankan hampir semua urusan teknis yang telah digariskan pemerintah;
Perlunya peningkatan nilai hutan dan mencegahnya dari penurunan serta unsur pembinaan hutan lainnya, semata-mata dilakukan untuk memenuhi ketentuan pemerintah, selaku pembuat peraturan, bukan bagian dari kepentingan objektif pengusaha. Ini mencerminkan, bahwa aspek kelestarian diposisikan sebagai urusan eksternal bagi unit usaha, sehingga maknanya adalah bahwa kelestarian adalah apa yang digariskan pemerintah. Artinya, ruang kreativitas dan inovasi unit usaha sangat sempit – untuk mengatakan tidak ada Sintesa: Sulit dihindari penilaian bahwa orientasi pengaturan usaha kehutanan, khususnya aspek kelestarian dinilai sangat teknikal dan administratif. Begitu dominannya orientasi semacam itu, sehingga tidak begitu tegas apakah aturan itu dibuat untuk memenuhi kepentingan objektif kegiatan usaha kehutanan dan pemegang konsesi di tataran operasional. Yang kemudian tampak, adalah indikasi bahwa aturan main dibuat untuk memenuhi kebutuhan peraturan di atasnya dan kebutuhan pembuat peraturan itu sendiri. Salah satu akibatnya, adalah pemosisian kelestarian sebagai unsur eksternal bagi unit usaha. Dengan kata lain, makna dan tatanan kelestarian – bagi unit usaha – adalah sekedar apa-apa yang terkait hal teknis dan administratif yang harus dijalankan sesuai yang digariskan pemerintah. Kondisi ini mengaburkan klaim, bahwa substansi aturan sebagai ”kemufakatan” antara pemerintah dan pengusaha. Dokumen FA dan SK HPH tidak cukup memperlihatkan adanya proses pemufakatan dimaksud. Hal ini dapat menjadi ciri yang menegaskan bahwa aturan main yang dihasilkan tak lebih sebagai hubungan antara pembuat aturan (yang sekaligus pemain dan kontrol) yang memiliki kekuasaan besar disatu sisi, dengan unit usaha sebagai yang diatur yang sama sekali tidak memiliki kuasa. Sementara itu posisi, peran dan keterliatan masyarakat tidak masuk dalam aturan main, selain ia sebagai subjek yang diberi hak pemungutan sangat terbatas – sejauh tidak mengganggu unit usaha. Point terakhir ini dapat dibaca sebagai salah satu alasan, mengapa dalam periode ini masyarakat tidak cukup diatur – dan bahkan tidak diselesaikan – secara tuntas dan terbiarkan menjadi isu kontemporer, yang belakangan memancing banyak reaksi dari para pihak. Sesudah 1998 PP 6/99 – muncul lebih Penekanan pada fungsi hutan dan Sebagai PP pengganti, prinsip tidak Usahakan hutan secara lestari dan Sorotan atas PP 21/70 agar lebih awal (Januari 1999) dari lingkungan hidup, kelestarian bergeser jauh: hutan dan lingkungan pastikan kemakmuran rakyat lintas menempatkan intended benefeciaries lebih UU 41/99 (Desember dimaknai sebagai batasan – tetap diusahakan bagi kemakmuran generasi terwujud. luas, terkait atas isu hak dan akses atas 1999) dan masih mendukung dua hal sekaligus: rakyat lintas generasi dalam koridor hutan dan hasil hutan selain kelompok usaha Kelestarian menjadi instrument, menginduk pada UU 5/67 pengelolaan hutan dan kelestarian; besar dan keadilan dari sisi distribusi tidak saja untuk pemanfaatan hutan, manfaat pembangunan kehutanan yang Kelestarian bermakna jamak, baik tapi mencakup pula kelayakan berkelanjutan, diarahkan untuk
225
sebesar-besar kemakmuran rakyat, kini dan mendatang; Dalam pengusahaan hutan, bersama azas perusahaan, kelestarian dimaknai sebagi azas bagi pemanfaatan hutan – penanaman, pemeliharaan dan pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Dimaknai sebagai syarat kelayakan bagi KPHP Sebagai syarat – dalam mekanisme pencairan dana jaminan kinerja HPH
sebagai batasan, azas, syarat, dan tujuan – terutama terkait pemanfaatan hutan, kelayakan KPHP dan pencairan dana jaminan kinerja HPH dan pengusahaan serta pemungutan hasil hutan Kelestarian sebagai azas, berdampingan dengan azas-azas lain, mencakup azas rasionalitas, optimalitas, keseimbangan ekosistem, dan keadilan.
KPHP, pencairan dana jaminan kinerja HPH; Kalau sebelumnya azas kelestarian berdampingan hanya dengan azas perusahaan, disiini berdampingan pula dengan azas-azas lain: rasionalitas, optimalitas, keseimbangan ekosistem dan keadilan
Proses pemberian HPH perlu perubahan, antara lain melalui lelang – ini lebih didiorong pula dari intervensi asing, khususnya IMF melalui lettter of intent (LOI) 1998, khsusnya perlunya pelaksanaan lelang bagi proses pemberian HPH dan perlunya mekanisme dana jaminan kinerja.
HPH diberikan dengan dua cara: lelang (luas >= 50.000 ha) dan pemberian biasa (di bawah 50.000 ha).
Dimaknai sebagai azas, bersamaan dengan azas lain (rasionalitas, optimalitas, keseimbangan ekosistem, dan keadilan). Sebagai tujuan – dalam pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan Sebagai cara – dalam pengusahaan hutan melalui KPHP Sebagai tujuan – melalui penerapan dana jaminan kinerja HPH Dana jaminan kinerja merupakan hal baru bersamaan dengan proses pemberian HPH dengan cara lelang untuk luasan di atas 50.000 ha. Luas di bawahnya melalui proses pemberian biasa (Pasal 7) Sintesa: Diskursus atas PP 21/70 agar berubah dan lebih menempatkan intended benefeciaries lebih luas, terkait atas isu hak dan akses atas hutan dan hasil hutan alam selain kelompok usaha
226
besar serta keadilan dari sisi distribusi manfaat begitu menguat. Ini menyusul tuntutan reformasi 1998 dimana diskursus pengelolaan hutan alam umumnya dan usaha kehutanan khususnya cukup marak dan melibatkan banyak komponen para pihak pemangku kepentingan dan bahkan tekanan luar (IMF) melalui LOInya. Tuntutan juga ditekankan pada proses pemberian HPH agar melalui lelang dan perlunya disiapkan instrumen dan mekanisme dana jaminan kinerja (performance bonds) dalam usaha kehutanan. Berbagai tuntutan perubahan ini beberapa tampak tercermin dalam substansi PP pengganti. Namun masih belum bisa dikatakan bahwa keseluruhan tuntutan dalam diskursus yang mengemuka terakomodasi dalam konstruksi substansi peraturan baru. Bagaimana proses dalam mengakomodasi itu pun tidak tampak dan tidak teridentifikasi dengan jelas. Namun, apapun perubahannya, prinsip bahwa hutan alam perlu terus dimanfaatkan dalam koridor kelestarian tetap menjadi orientasi utama dalam pengelolaan hutan alam – tentu melalui usaha kehutanan. Tidak teridentifikasinya proses konstruksi pembaruan aturan main ini menyisakan fenomena bahwa pemerintah tetap menjadi pihak yang dominan dalam pengakhiran kerangka dan substansi aturan main. Bahkan peran ganda pemerintah, yakni sebagai regulator dan sekaligus eksekutor, masih sangat dominan. Representasi makna kelestarian bahkan tidak mengalami “perbaikan”, manakala pembaruan dalam proses pemberian HPH, fragmentasi luas HPH menurut wilayah dan adanya instrument dana jaminan kinerja, tidak berimplikasi langsung pada perbaikan aturan hak-hak kepemilikan, termasuk status hutan sebagai aset unit usaha. Pembaruan dimaksud juga tidak menyentuh hak dan akses masyarakat atas sumberdaya hutan secara lebih tegas. UU 41/99 Diakui hutan sebagai karunia, Tujuan ekonomi nasional bagi Pengusahaan hutan tetap sebagai Hutan sebagai ”mother nature” mendapat amanah dan anugerah Tuhan YME kemakmuran rakyat lintas generasi, basis tujuan pembangunan ekonomi penekanan lebih dalam hal manfaatnya yang – kekayaan memberi manfaat tetap diletakan pada pemanfaatan nasional; dijalankan dalam koridor beragam yang ditujukan bagi sebesarserbaguna bagi umat manusia; sumberdaya hutan, juga tetap dalam kelestarian besarnya kemakmuran rakyat lintas generasi; dikuasai Negara; wajib disyukuri, koridor kelestarian. diurus, dan dimanfaatkan secara Menjaga daya dukung hutan, Muncul ”pengakuan” bahwa kondisi hutan Koridor kelestarianpun memiliki optimal, dijaga kelestariannya untuk mempertahankan keberadaan hutan menurun, sehingga keberadaannya perlu makna yang jamak, baik ia sebagai sebesar-besar kemakmuran rakyat, secara optimal dipertahankan (jangan sampai punah), cara, tujuan, maupun kewajiban; bagi generasi sekarang maupun termasuk dijaga daya dukungnya secara Pengurusan dan pengelolaan hutan generasi mendatang; lestari; Apapun maknanya, kelestarian – tata hutan, rencana pengelolaan, Diakui pula hutan, sebagai salah dimaksudkan untuk menjaga daya pemanfaatan dan penggunaan Selanjutnya, hutan perlu diurus dan satu penentu sistem penyangga dukung hutan dan mempertahankan kawasan hutan sampai pemanenan diusahakan oleh para pihak dengan sejumlah kehidupan, sumber kemakmuran keberadaannya secara optimal – dipastikan dilakukan secara lestari; kriteria: berahlak mulia, adil, arif, bijaksana, rakyat, cenderung menurun khusunya dalam pengurusan dan terbuka, profesional dan bertanggung-gugat. kondisinya; harus dipertahankan pengelolaan hutan, lebih khusus lagi secara optimal dan dijaga daya dalam tata hutan, rencana dukungnya secara lestari, diurus pengelolaan hutan, pemanfaatan, dengan akhlak mulia, adil, arif, dan penggunaan kawasan hutan bijaksana, terbuka, profesional, serta lingkungannya, bahkan sampai serta bertanggung-gugat. urusan pemanenan hasil hutan.
Kelestarian sebagai cara – menjaga daya dukung, mempertahankan keberadaannya secara optimal; berwawasan mendunia, menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat
Ada pengembangan dalam hal wawasan dengan penekanan lebih menduinia, lebih menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat dengan tetap berdasar pada norma hukum nasional.
227
yang berdasarkan pada norma hukum nasional; Kelestarian sebagai tujuan – khususnya dari pengurusan dan pengelolaan hutan alam, lebih khusus lagi dalam tata hutan dan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan; dan sebagai cara dalam menjaga multifungsi hutan, kawasan hutan dan lingkungannya Dalam pemanfaatan hutan, kelestarian dimaknai sebagai batasan bersamaan dengan aspek kepastian usaha; khususnya dalam pemanenan dan pengolahan hasil hutan yang tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari; sebagai kewajiban bagi para pemegang ijin - menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya; Sintesa: Hutan sebagai anugrah TYME alias ”mother nature”, memiliki multi fungsi dan multi manfaat dan karenanya perlu dijaga dan dimanfaatkan sebaik-baiknya secara bijak-lestari untuk sebesar-besar kesejahteraan masyakat masih tetap menjadi argumen keramat dalam membuka UU baru ini. Sekalipun, di dalamnya sudah ada tambahan berupa orientasi akan keadilan ”lintas generasi” dalam konteks distribusi manfaat dan pengakuan bahwa hutan alam kondisinya sudah sangat menurun sehingga harus dijaga keberadaannya (dari kerusakan lebih lanjut dan kepunahan). Dari diskursus yang berkembang tampak bahwa konstruksi UU baru ini diwarnai perdebatan antar para pihak yang berkepentingan, melibatkan akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Satu hal yang sulit teridentifikasi pada proses konstruksi UU 5/67(termasuk dalam wawancara mendalam dan observasi???) . Perdebatan juga masuk wilayah tidak saja kontestasi informasi dan ideologi, tetapi juga berangkat dari realitas kondisi kehutanan saat itu yang sama-sama dipahami sebagai ”memprihatinkan” terutama dari sudut pandang peran ekonomi sosial dan lingkungan hutan alam yang tidak imbang dan tidak adil. Arah perubahan ini tampak pula dalam hal bagaimana kelestarian kemudian dimaknai dan direpresentasikan lebih lanjut. Dalam hal ini kelestarian direpresentasikan sebagai landasan tidak saja dalam pengurusan dan pengelolaan hutan – tata hutan, rencana pengelolaan, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sampai pemanenan, tetapi juga dalam menjaga daya dukung hutan, mempertahankan keberadaan hutan secara optimal. Representasi kelestarian demikian merupakan bagian dari klaim bahwa hutan tetap dapat terus dimanfaatkan secara optimal dan lestari. Dibandingkan dengan situasi konstruksi UU 5/67, maka proses konstruksi UU ini memperlihatkan perubahan signifikan relatif terhadap luasnya diskursus yang berlangsung dan banyaknya pihak yang terlibat dalam diskursus. Namun, hal ini masih menyisakan pertanyaan apakah keluasan diskursus dan pihak yang terlibat ini benar-benar mengkonstruksi poin-poin aturan main dalam UU baru ini. Dari narasi kebijakan yang ada, beberapa klaim perubahan tampak diakomodasi, namun masih cukup kuat indikasi bahwa dalam prosesnya perspektif pemerintah tetap masih memonopoli dalam pengakhiran dokumen UU.Setidaknya ini dicerminkan dari munculnya UU tandingan. Dari narasi pula tampak bahwa peran ganda pemerintah baik sebagai regulator maupun eksekutor masih cukup dominan. Demikian pula orientasi pemerintah sebagai pengontrol atas unit usaha termasuk dalam urusan teknisdi tingkat unit usaha masih cukup dominan. Dengan begitu, masih sulit untuk mengelak penilaian bahwa substansi UU masih monopoli perspektif pemerintah yang cenderung untuk lebih memenuhi kebutuhan peraturan dan sekalgus pembuat aturan. Dengan begitu, sulit pula dihindari penilaian bahwa substansi aturan main yang ada dalam UU ini belum merupakan paduan atau bahkan kristalisasi
228
perspektif dan kepentingan para pihak pemangku kepentingan usaha kehutanan. PP 34/2002
Kelestarian sebagai kewajiban memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari (Pasal 15 ayat 2) mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi (Pasal 15 ayat 3) yang diatur dengan Keputusan Menteri (Pasal 15 ayat 4): Kep Menhut 4795/2002: Kelestarian bersifat wajib, merupakan proses yang berkelanjutan dalam pencapaian kelestarian sumber daya hutan Memenuhi empat kriteria 24 indikator: prasyarat (6 indikator), produksi (7), ekologi (6), dan sosial (5) (Lampiran): prayarat: kepastian kawasan, komitmen unit usaha, kesehatan unit usaha, tegakan minimal sesuai kerangka hukum dan kebijakan, kecukupan sdm, kapasitas dan mekanisme perencanaan produksi: prosentasi hutan – rencana blok tebangan, tingkat pemanenan lestari, ketersediaan prosedur dan implementasi (evaluasi implementasi panduan, penilaian dan inventarisasi tegakan sisa), penerapan RIL, kesehatan finansial perusahaan, volume dan luasan panen per tipe hutan, tingkat investasi dan reinvestasi (pengelolaan hutan, admin, litbang dan sdm) ekologi: data kawasan dilindungi, ketersedian prosedur dan implementasi (perambahan, kebakaran, penggembalaan, pembaakan ilegal), ketersediaan prosedur dan imlementasi pengelolaan flora, ketersediaan prosedur dan implementasi identifikasi flora-fauna, ketersediaan dan implementasi pengelolaan flora dan fauna (luasan hutan produksi yang tidak rusak dan tidak terganggu, perlindungan species flora-fauna jarang, langka, terancam punah, perlindungan flora-fauna khas) sosial: kejelasan luas dan batas unit usaha dan kawasan masyarakat adat/setempat, jenis dan jumlah
Usaha kehutanan wajib memenuhi kriteria PHL baik dari aspek ekonomi, sosial dan ekologi PHL adalah proses terus menerus dalam pencapaian kelestarian sumberdaya hutan Memenuhi keseluruhan indikator yang digariskan
Keseluruhan dimensi kelestarian harus tercapai dengan pemenuhan semua 24 indikator
Dengan memenuhi keseluruhan kriteria dan indikator yang digariskan, ”narasi kebijakan” ini yakin bahwa kelestarian dapat dicapai secara terus menerus Tidak tergambar dalam narasi ini sebetulnya kelestarian itu kepentingan dan kebutuhan siapa; dari apa yang digariskan pemerintah tampaknya memosisikan kelestarian lebih sebagai kepentingannya – tercermin bahwa kelestarian bersifat wajib. Dari sini dapat diperoleh pengetahuan bahwa kelestarian diposisikan sebagai eksternal atas unit usaha; Dalam posisi seperti itu, maka diskursus siapa yang memperoleh manfaat terbesar dari makna kelestarian yang ada seolah tidak pernah disinggung; padahal dengan pendekatan BC-ratio kelestarian akan menjadi insentif, bila penerapannya masih memungkinkan ratio itu lebih besar dari satu baik untuk unit usaha maupun masyarakat dan pemerintah (extended/social BC ratio)
229
perjanjian dengan masyarakat secara setara, perencanaan dan implementasi pengelolaan hutan mempertimbangkan masyarakat adat/setempat, peningkatan peran serta masyarakat adat/setempat ekonomi berbasis hutan
PP 6/2007
Merujuk 4 pasal pada UU 41/99 (22, 39, 66, 80) – diundangkan PP 34/2002 Kelestarian sebagai azas dalam melaksanakan deregulasidebirokratisasi – untuk mendorong pertumbuhan investasi, percepatan pembangunan hutan tanaman, pengendalian degradasi hutan, dan peningkatan ekonomi nasional (PP 34/2002 dianggap belum mampu memfasilitasi ini semua, sehingga perlu diganti) Kelestarian sebagai cara - dalam pengelolaan KPH Kelestarian sebagai tujuan – dalam rancang bangun unit pengelolaan hutan (pengelompokan SDH sesuai tipe ekosistem dan potensi) Kelestarian sebagai cara – dalam pemanfaatan hutan (selain optimal dan adil); namun pemanfaatan dipilah kedalam pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (Pasal 17) Kelestarian sebagai prinsip – dalam pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud Pasal 17. (usaha
Konsep kelestarian menjadi dasar pula untuk melakukan deregulasi dan debirokratisasi – untuk tujuan mendorong pertumbuhan investasi, percepatan pembangunan hutan dan pengendalian degradasi hutan dan – akhirnya – peningkatan ekonomi nasional. Ini semua tidak mampu difasilitasi,sehingga diatur lebih lanijut dengan PP baru ini, dimana: Kelestarian adalah cara dalam pengelolaan KPHP – sebagai rancang bangun unit pengelolaan hutan, melalui pengelompokkan SDH sesuai tipe ekosistem potensinya; cara sekaligus prinsip dalam pemanfaatan hutan yang dipilah kedalam berbagai bentuk; Kelestarian dimaknai pula dengan melaksanakan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya
Kelestarian harus menjadi dasar penataan ulang aturan dan birokrasi dalam mencapai tujuan KPHP adalah representasi kelestarian Kelestarian menjadi cara dan sekaligus prinsip dalam pemanfaatan hutan – pemanfaatan hasil hutan kayu di hutan alam
Usaha kehutanan khusunya dan pengelolaan hutan alam umunya – setelah sekian lama berjalan – dipandang memerlukan langkah deregulasi (penyederhanaan aturan) dan debirokratisasi (penyederhanaan urusan birokrasi). Ini dilandasi oleh panjangnya urusan administrasi dalam mengurus izin usaha kehutanan sebelumnya yang sering menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi yang dalam banyak kasus berimplikasi pada meningkatknya tekanan atas hutan alam. Diskursus ini diakhiri dengan munculnya konsep KPHP yang tampak sebagai pengejawantahan langkah pembaharuan mencapai kelestarian Dalam diskursus keadaan tersebut tidak banyak dikaitkan dengan upaya menekan ongkos transaksi – sebagai salah satu komponen yang mengatur kesalingtergantungan (interdpendency) antar para pihak pemangku kepentingan dalam usaha kehutanan. Per teori ongkos transaksi adalah instrumen untuk mengontrol efisiensi penggunaan SDA.
230
pemanfaatan kawasan, usaha pemanfaatan jasling, usaha pemanfaatan kayu di dalam hutan alam dst) [Usaha kehutanan diatur khusus pada Pasal 34 ayat 1.b; Pasal 35 ayat 1; meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, penanaman, pemelihara-an, pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah ditetapkan]. Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya. (Pasal 34 ayat 2) Sintesa: Diskursus dan klaim perubahan substansi aturan berlanjut di tingkat PP. Setelah PP 6/99 – yang telah mengandung substansi perubahan relatif signifikan atas PP sejenis sebelumnya – dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan PP 34/2002. Demikian pula PP 34/2002 ini mengalami perombakan sekitar 38 pasal melalui pemberlakuan PP 3/2008. Namun, pemaknaan kelestarian tidak beranjak banyak dan justru cenderung semakin menukik pada hal-hal teknikal dan administratif . Posisi pemerintah sebagi pengontrol dan peran gandanya sebagaimana muncul dalam sintesa-sintesa di atas masih tetap tidak mengalami perubahan sama sekali. Demikian pula – akibatnya – dominasi perspektif pemerintah dalam poin-poin aturan main masih sangat kuat. Artinya di ingkat PP esensi kebijakan sebagai ruang tarik-menarik, kompromi dan negosisasi kepentingan para pihak pemangku kepentingan masih belum terwujud. Dengan kata lain masih sulit untuk mengelak penilaian bahwa substansi aturan belum merupakan kristalisasi kesepakatan dan ketidak sepakatan dalam menata tujuan dan mengatasi masalah usaha kehutanan. Pengetahuan ini dapat membantu penjelasan atas klaim bahwa perubahan memang terjadi, tapi tidak menyentuh hal-hal fundemantal dan tetap tidak menjawab isu-isu kontemporer terkait hak dan akses masyarakat, informasi terkait karakteristik SDH, termasuk status hutan alam sebagai aset. Kelestarian masih ditempatkan sebagai hal ”yang datang dari aturan pemerintah” dan eksternal bagi unit usaha kehutanan. SK IUPHHK-HA Kelestarian dimaknai sebagai cara Kelestarian adalah menjalankan apa yang Kelestarian, adalah memenuhi etat Kelestarian adalah cara (Beberapa dokumen, dan tujuan sebagaimana dimaksud diharuskan pemerintah dalam aturan terkait yang tercantum dalam SK dan pemanfaatan hutan alam produksi termasuk perpanjangan) dalam konsideran “membaca”. Cara jalankan 21 kewajiban lainnya yang secara optimal; dicapai melalui menunjukkan pada pemanfaatan terkait pengaturan jatah tebang tahunan sumberdaya hutan yang juga harus (etat) baik berdasar luas maupun optimal; kubikasi kayu; etat ini sering disebut secara eksplisit dalam setiap Hal diatas dicapai dengan mengatur dokumen sebagai syarat kelestarian. jumlah etat luas dan volume per Agar berada pada koridor tahun – ada yang disebutkan
231
eksplisit langsung sebagai ”syarat” kelestarian ada juga yang tidak.
kelestarian, ada rata-rata 21 kewajiban yang harus dipenuhi unit usaha - mayoritas sebagai upaya pemenuhan admin.;
Ada rata-rata 21 kewajiban yang harus dipenuhi pemegang IUPHHKHA agar usaha kehutanannnya Hak bersifat tetap, tidak dapat berada pada koridor kelestarian dipindah-tangankan tanpa persetujuan menteri. dalam perspektif pemerintah – Sintesa: Makna kelestarian semakin sempit, semakin teknis: penuhi apa yang menjadi kewajiban teknis dan administratif unit usaha sebagaimana digariskan pemerintah.
232
Halaman ini sengaja dikosongkan – This page intentionally left blank [AK]
233
Lampiran 8. Lintasan Sejarah terkait Usaha Kehutanan Indonesia Tahun 1819
1865 1869
1897-1908
1908-1920
1920
1926
1929
1938
1942-1945
Deskripsi Keputusan Komjen Hindia Belanda 9 Januari 1819 No. 4 penetapan pemangkuan hutan kayu dan ambtenar untuk menjalankannya – keseluruhannya untuk wilayah Jawa Pembentukan Jawatan Kehutanan – Reglemen Hutan Penetapan organisasi kedinasan kehutanan baru, houtvester dengan personil lebih tangguh – keseluruhannya untuk wilayah JawaMadura (13 boschdistrict masing-masing dikepalai houtvester) Diundangkan reglemen hutan baru untuk masa depan hutan jati lebih baik; untuk melindungi hutan dari kerusakan akibat manusia, Kepala KPH dibantu polisi hutan, mantri dan boschwachter; dalam reglemen ini diatur, bahwa luas houtvesterij harus diantara 2.500 – 10.000 ha. Kebutuhan houtvester mendesak terkait antara luasan hutan dan tanggung jawab pengelolaan, sehingga dipandang perlu dibantu boschopzeiner yang cemerlang, yakni hoopdopzeiner Rancangan reorganisasi karena fungsi dan pembagian kerja KKPH kurang sempurna, masa depan personil hutan rendahan dan houtvester suram. Pendirian Djatibedrijf sebagai bagian dari Boschwezen, dorongan dari Direktur Departemen Pertanian saat itu – terbuka bagi pemerintah membuka cabang aparatur negara berciri perusahaan dari mulai pos dan telekomunikasi, jawata kereta api, dinas pelabuhan perusahaan karet, semuanya menjadi perusahaan negara. Reorganisasi KKPH, dimana pengawasan tertinggi Jawatan Kehutanan menjadi berada pada Direktur Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan yang kemudian menjadi Departemen Perekonomian – membawahi, antara lain Dinas Hutan Luar Jawa, berpangkat adviseur. Djatibedrifj dan Dinas Kayu Rimba di Jawa dan Madura dilebur menjadi Dienstvak atau inspeksi pemangkuan di Jawa (Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan Malang); di Luar Jawa (Sumatera di Medan, Borneo di Banjarmasin, dan Timur Raya di Makasar; dibentuk pula afdeling baru, yakni Ekplorasi Hutan dan Perencanaan 8 Maret 1942 Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang; pengelolaan dan organisasi kehutanan boschwezen berganti nama menjadi ringyoo tyuoo zimusyo, sebatas Jawa-Madura; pekerjaan di semua kantor-kantor boschwezen diserahkan kepada tenaga Indonesia; awal Jepang berkuasa pengelolaan hutan dilaksanakan pegawai-pegawai Indonesia, namun dengan Jepangisasi berangsur menjadi oleh pegawai Jepang – eksploitasi hutan dilakukan untuk memproduksi kayu demi kelangsungan dan memenangkan peperangan; kebutuhan hasil hutan utama waktu itu kayu bakar untuk industri dan kereta api, dan kayu pertukangan untuk
234
keperluan militer di darat dan di laut. Per 1944 produksi kayu di Sumatera mencapai 730 ribu m3 kayu bulat kasar.
1945-1949
Usaha pelestarian tidak ada, kalaupun ada sebatas kebetulan – misal suatu tempat karena sering didatangi orang-orang Jepang, karena keindahan alam yang memiliki nilai ritual atau karena menjadi sumber air panas; di tempat-tempat semacam ini biasa dibuat pesanggarahan, sehingga dapat turut terjaga. 1 Oktober 1945 – Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan kepada Pemerintah RI; 22 Oktober 1945 Inggris masuk Bogor dan menduduki Bogor (8 Desember 1945) dan terjadi pertempuran, beberapa kantor pemerintah diduduki, termasuk Kantor Besar Jawatan Kehutanan; Usaha kehutanan dan pemanfaatan hutan pada kurun ini diorientasikan kepada pengadaan produksi (kayu pertukangan dan kayu bakar) untuk memenuhi kebutuhan rakyat, Jawatan Kereta Api, kepentingan perjuangan merebut kemerdekaan, serta instansi pemerintah;
1950-1959
Memuncaknya ketegangan agresi Belanda kedua (19 Desember 1948) menempatkan fungsi hutan sebagai sumber produksi dan pertahanan semakin penting dan vital, sehingga pemerintah mengeluarkan PP 59/1948 tentang Militerisasi Jawatan Kehutanan. Dalam kurun ini tercatat produksi kehutanan sebesar 699.261 m3 (kayu pertukangan) dan 5,7 juta sm (kayu bakar) RIS ditolak, NKRI berdiri kembali pada 17 Agustus 1950; Jawatan Kehutanan pun menjadi satu kembali dengan tugas yang tidak mudah: mengurus dan mengusahakan hutan demi kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Usaha kehutanan dan pemanfaatan hutan ditandai dengan upaya Jawatan Kehutanan mempertinggi produksi dan rasionalisasi di lapangan eksploitasi hutan melalui perluasan dan modernisasi perlengkapan. Dalam kurun ini didirikan enam buah penggergajian di Jawa (Cepu, Brumbung, Bojonegoro, Saradan, Madiun, dan Benculuk) dan tiga penggergajian di Luar Jawa (Samarinda, Balikpapan, dan Pontianak). Dalam kurun ini pula dilakukan mekanisasi penyaradan kayu dan pengolahan lahan. Tercatat produksi kayu dalam kurun ini sebesar 19,3 juta m3 (kayu pertukangan, kayu bulat kasar), 15,1 juta m3 (kayu bakar, setara kayu bulat kasar) dan 3,6 juta m3 (arang, setara kayu bulat kasar). Angka kerusakan hutan di Jawa dalam kurun yang sama tercatat 17% (500 ribuan ha) akibat perluasan tebangan tanpa perhitungan dan juga akibat penyerobotan tanah; sementara penanaman kembali hutan-hutan itu (reboisasi) hampir tidak. Terminologi kelestarian hutan masih di seputar pelestarian alam dalam
235
1960-1965
pengertian perlindungan flora fauna. Kurun ini ditandai serangkaian peristiwa politik, termasuk Pemilu I untuk memilih anggota DPR dan memilih anggota Konstituante, Dewan Pembentuk UUD, sampai peristiwa pembebasan Irian Barat dan penumpasan gerombolan pengacau keamanan dan petualang-petualang politik. Usaha kehutanan dan pemanfaatan hutan dalam kurun ini ditujukan untuk memenuhi ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 dan Deklarasi Ekonomi, melalui pendirian Perhutani sebagai perusahaan negara yang diposisikan bersifat self-liquidating (mampu membiayai sendiri, tidak memberatkan anggaran belanja negara). Dalam kurun ini, area Perhutani baru mencakup sebagian Jawa Barat, keseluruhan hutan di DI Yogyakarta, sebagian Kalimantan Barat, sebagian Sulawesi Selatan, Sebagian Sumatera Selatan, sebagian Sumatera Utara, dan beberapa Kelompok Hutan di Irian Barat. Adapun target finansial kala itu sebesar USD 52,5 ribu yang mendorong Perhutani menempuh kebijakan intensifikasi eksploitasi hutan Jati di Jawa dengan titik berat pada produksi kayu gergajian dengan tujuan ekspor. Sejalan ini dikembangkan sejumlah industri berbasis kayu, termasuk pulp kertas, korek api, potlot dan kayu lapis. Pengembangan industri kayu lapis dipadukan dengan pembangunan Jalan Lintas Sumatera (”Trans Sumatera Highway”).
1965-1983
Berbagai kerusakan hutan tetap diantisipasi dengan melakukan ”pembinaan” hutan, berupa program-program reboisasi dan penanggulangan tanah-tanah kosong. Kelestarian hutan masih dimaknai sebatas perlindungan flora-fauna, sehingga bentuk kegiatannya lebih bersifat perlindungan dan pengawetan alam dan ekspedisi ke beberapa daerah untuk meneliti berbagai habitat fauna (antara lain komodo, orang utan, banteng, dan badak). Pra Pelita Kurun ini ditandai dengan kelesuan politik ekonomi Orla dan lahirnya Orba dengan Kabinet Ampera (1966-1968) dengan mengembangkan strategi fase rehabilitasi dan stabilisasi kondisi mental-psikologis politik ekonomi. Dibidang kehutanan, ditandai dengan diselenggarakannya berbagai rapat kerja, antara lain Rapat Kerja Kehutanan 1966 di Kaliurang, Yogyakarta. Melalui raker ini disepakati bahwa untuk menghadapi dan mengatasi situasi politik-ekonomi waktu itu perlu tindakantindakan menyeluruh yang pragmatis, rasional, ekonomis, atas titik-titik strategis. Hal ini dimaknai sebagai menerapkan kebijakan dan program kerja hasil Musyawarah Kerja Departemen Kehutanan 1964 dimana landasan idiil penunaian tugas rimbawan ditetapkan, yakni - antara lain: ”Hutan adalah anugerah Tuhan
236
Yang Maha Esa, berupa sumber kekayaan serbaguna sebagai manifestasi dari sifat Maha Murah serta Maha Kasih dari Tuhan Yang Maha Esa sendiri”. Selanjutnya lahir kebijakan Orba dengan sikap, tekad dan itikad mengabdi kepada rakyat dengan meletakkan landasan pokok pengelolaan dan pemanfaatan hutan sebagai salah satu sektor ekonomi potensial menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga perlu memedomani Pancasila dan UUD 45, terutama Bab XIV pasal 33. Sementara landasan pelaksanaan program mengacu pada TAP MPRS No. XXIII/1966. Karena pertimbangan keterbatasan dana, pengalaman, dan penguasaan teknologi pemerintah orba menetapkan UU No.1/1967 tentang Penanaman Modal Asing yang mengarah pada intensifikasi pemanfaatan sumberdaya alam, berupa hutan alam yang merupakan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat. Ini melahirkan landasan kerja dan sekaligus landasan hukum berupa penetapan UU No. 5/67 tentang Undang-undang Pokok Kehutanan disusul dengan penetapan UU No. 6/1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri antara lain untuk mengurangi dominas asing akibat penetapan UU No. 1/1967. Usaha kehutanan dan pemanfaatan hutan di kurun ini ditandai dengan pemberian konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pembagian areal untuk perusahaan besar (asing) dan lokal. Syaratsyarat dan pedoman pemberian konsesi diatur dalam SK Mentan No. 57/8/1967 dan SK Mentan No. 25/4/1968. Dengan kebijakan ini ditetapkan, bahwa untuk setiap propinsi 70-80 % areal hutan alam diberikan kepada pengusaha besar dan sisanya (20-30%) untuk pengusaha kecil. Untuk mengatasi pengurangan kawasan hutan dan degradasi fungsi hutan dilakukan program penghutanan kembali (reboisasi) dan rehabilitasi areal kritis dalam bentuk penghijauan dan pengawetan tanah. Kegiatan reboisasi dalam kurun ini mencapai luasan 216,3 ribu ha; sedangkan untul rehabilitasi mencapai 172,1 ribu ha (penghijauan) dan 82 ribu ha (pengawetan tanah). Terminologi kelestarian hutan mengalami sedikit perkembangan, selain perlindungan flora fauna, juga dilakukan pendekatan silvikultur, polisional dan kemasyarakatan. Pelita I Ditandai dengan berbagai rapat kerja nasional Ditjen Kehutanan pada 1969, 1971 dan 1972; intinya mengkonstruksi kebijakan kehutanan Pelita I dimana titik berat pembangunan diletakan pada pertanian dan perkebunan, dimana didalamnya dicakup sub sektor kehutanan. Dalam kebijakan ini hutan alam Indonesia dicatat pada angka 120 juta ha, dimana 20 juta ha diantaranya dianggap produktif dan 18 juta ha lainnya dinilai dapat dikonversi. Untuk tujuan ekspor, eksploitasi hutan secara besar-besaran hutan alam Luar Jawa ditargetkan 12 juta m3 per tahun dengan rencana kenaikan menjadi 15 juta m3 tahun berikutnya. Raker 1971
237
menghasilkan berbagai sasaran pokok seputar Penyusunan Rencana Induk Kehutanan, peningkatan pengawasan pengusahaan hutan, peningkatan reboisasi dan rehabilitasi hutan dengan tujuan membantu pendirian industri hasil hutan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perlindungan dan pengawetan alam. Raker 1972 menetapkan sasaran pokok peningkatan pengawasan terhadap penyusunan rencana karya pengusahaan hutan, percepatan pelaksanaan industri perkayuan terpadu, dan peningkatan ekspor barang setengah jadi. Usaha kehutanan meningkat pesat dalam kurun ini. Tercatat 642 unit perusahaan dengan total luasan 60,7 juta ha pada akhir Pelita I; 180 unit diantaranya (17,3 juta ha) sudah dengan SK HPH dan 88 unit lainnya (7,2 juta ha) masih dalam taraf forestry agreement (FA) dan sisanya dalam proses penyelesaian admin awal. Orientasi pembinaan dan pelestarian hutan masih relatif sama dengan kurun sebelumnya. Pelita II Kebijakan pokok kehutanan dalam kurun ini ditetapkan dalam TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang GBHN. Dengan titik berat pembangunan agraris, tujuan dalam rencana induk kehutanan ditetapkan untuk penciptaan iklim yang baik untuk pertumbuhan industri hasil hutan, dan untuk mewujudkan azas kelestarian manfaat hutan sebagai renewable natural resources. Adapun kegiatannya mencakup pembinaan areal dan potensi, pengembangan dan pembinaan sumber alam, pemanfaatan hutan, dan penyempurnaan aparatur. Kegiatan pemanfaatan hutan terdiri antara lain perencanaan hutan, eksploitasi hutan, industri dan pemasaran. Pesatnya usaha kehutanan digambarkan oleh semakin meningkatnya investasi (asing) yang tertanam dalam kurun ini. Sampai akhur 1979 tercatat USD 1,32 M dan IDR 500 juta yang sudah tertanam melalui SK HPH, sementara yang baru dalam bentuk persetujuan Mentan senilai USD 48,4 juta dan pada taraf FA sebesar USD 48,35 juta. Pembinaan hutan masih seputar reboisasi dan rehabilitasi. Sedangkan kelestarian hutan disinggung dalam bentuk program penyelamatan hutan, tanah dan air. Sementara pelestarian alam masih dalam kerangka perlindungan flora fauna. Pelita III Sebagaimana tertuang dalam TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN, pembangunan kehutanan dalam kurun ini diarahkan untuk
238
meningkatkan prakondisi usaha swasembada pangan, memberi dukungan terhadap industri hasil hutan, meningkatkan pemeliharaan sumber alam, dan pembangunan secara terpadu dan serasi dalam rangka mendukung pembangunan daerah dan wilayah. Karenanya, kegiatan perencanaan, pengurusan, pengusahaan dan perlindungan hutan secara keseluruhan diarahkan kepada peningkatan manfaat baik kuantitatif maupun kualitatif. Hasil-hasil Kongres Kehutanan sedunia ke VIII dijadikan bahan penunjang dalam penyelenggaran pembangunan kehutanan. Dalam usaha kehutanan, tercatat ada penurunan realisasi produksi kayu bulat dalam kurun ini akibat kebijakan SK bersama tiga menteri (SKBTM), yakni mendorong pembangunan industri dalam negeri. Dengan kebijakan ini tercatat bahwa 74 % realisasi produksi kayu bulat diolah di dalam negeri. Sementara sampai Februari 1984 kapasitas terpasang industri kayu mencapai 18,7 juta m3 per tahun, sehingga kebutuhan bahan baku kayu bulat sekitar 38,6 juta m3 per tahun. Dari 521 pemegang HPH luas tebangan baru mencapai 746,8 ha dengan volume tebangan sebesar 22,2 juta m3. Sampai disini disebutkan pula bahwa pemeliharaan hutan produksi baik hutan alam maupun tanaman belum dilaksanakan. Dalam Pelita I sampai III telah dilakukan pengawasan pengusahan hutan HPH melalui Proyek Pengendalian Pembinaan Pengusahaan Hutan (Proyek P3H). Sumber: Departemen Kehutanan (1986) Sejarah Kehutanan Indonesia.
239
Lampiran 9 . Analisis Narasi menurut hirarki perundangan (UU, PP dan lainnya) (a) Sebelum 1998 Aspek narasi Pemosisian Hutan Alam
UU No. 5/1967 – Kehutanan Sebagai sumberdaya yang berpotensi ekonomi dan karenanya diorientrasikan menopang tujuan pembangunan nasional, termasuk menyelesaikan revolusi –untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. [Potensi ekonomi, penopang tujuan pembangunan nasional, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat]
Kelestarian
Cara terkait peruntukan, penyediaan, pengadaan dan penggunaan hutan untuk seluruh wilayah Indonesia Dasar/azas untuk mencapai tujuan
PP 21/70
PP 18/75
PP 6/99*)
Potensi kekayaan alam, perlu segera dimanfaatkan secara maksimal dan lestari untuk Pembangunan Ekonomi Nasional; agar maksimal perlu Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan secara maksimal pula; untuk itu perlu PP tentang HPH&HPHH dalam rangka Pelaksanaan UU
Tersirat sama, tidak tersurat, karena isi pokok PP ini hanya perubahan Pasal 9 dari PP 21/70 – kepemilikan konsesi lebih ke nasional
Karunia Tuhan Yang Maha Esa, warisan kekayaan alam, perlu dimanfaatkan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab sesuai kemampuan daya dukungnya; memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup guna mendukung pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kini dan mendatang;
[Tidak tersurat]
[Sama, plus upaya maksimasi dan konstrain kelestarian]
Syarat pemanfaatan hutan (konsideran dan penjelasan umum), azas dan juga dasar Kegiatan usaha kehutanan terutama yang mencakup perencanaan,
Tak ada representasi makna kelestarian. Sekedar penegasan bahwa HPH hanya diberikan kepada perusahaan nasional baik negara maupun swasta (Pasal 1)
Batasan, mendukung dua hal sekaligus: pengelolaan hutan dan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, diarahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,
Forestry Agreement (FA) Sumberdaya alam untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia sesuai Pasal 33 UUD 45
SK-HPH
”kemufakatan” antara pemerintah dan perusahaan untuk melaksanakan ketentuan prinsipprinsip dasar kehutanan:
Sebagai kegiatan pembinaan hutan yang didasarkan pada jenis dan susunan diamater tegakan di areal yang diusahakan dengan sistem TPI (dan TPTI) dan mencegah penurunan
pohon yang dilarang
Areal yang diiminta pemohon dapat diusahakan secara ekonomis, karenanya (kepada pemohon) dapat diberikan hak pengusahaan hutan
240
usaha kehutanan. Azas ini disandingkan dengan azas perusahaan (baca: dimensi ekonomi Untuk keperluan tersebut di atas diatur perlindungan hutan.
kini dan mendatang;
penataan, pengelolaan hutan dan pengukuran serta pengujian kayu yang harus dilaksanakan oleh ahli kehutanan
Azas pemanfaatan hutan, bersamaan dengan azas lain (rasionalitas, optimalitas, keseimbangan ekosistem, dan keadilan).
Sebagai syarat dan kewajiban pemegang hak sebagaimana tercantum dalam SK HPH dan yang diatur tersendiri dengan peraturan lainnya
Syarat kelayakan bagi KPHP, dan pencairan dana jaminan kinerja HPH Tujuan – dalam pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan; dan dalam penerapan dana jaminan kinerja HPH Cara – dalam pengusahaan hutan melalui KPHP
Pelaksana(an) Usaha Kehutanan
Dilakukan Negara dan dilaksanakan Pemerintah (pusat maupun daerah) Pemerintah dapat bersama pihak lain menyelenggarakan usaha bersama di
Pemegang HPH adalah Badan Hukum Indonesia yang diberi Hak Pengusahaan Hutan oleh Menteri Pertanian.
Diberikan kepada perusahaan milik negara, perusahaan swasta nasional berbentuk perseroan terbatas – penyimpangan yang perlu, ditetapkan presiden
Diberikan melalui Penawaran dalam pelelangan; untuk luas dibawah 50 rb ha dapat diberikan dengan cara permohonan; luas dibawah 10 rb ha dilimpahkan ke
ditebang, pengunaan kayu dalam rangka pelaksanaan operasi, cara pemungutan dan pengolahan kayu, pencegahan kebakaran, kerusakan atas milik ”pemerintah” dan pihak ketiga, pelanggaran pihak yang tidak berhak, rencana karya pengusahaan hutan, penggunaan ahli-ahli kehutanan oleh ”perusahaan”, wewenang ”departemen” meninjau kembali target produksi, dan hubungan antara industri hutan dengan jenis-jenis kayu komersial.
nilai hutan dan meningkatkan nilai hutan.
Izin usaha kehutanan diberikan pemerintah dalam bentuk SK HPH berdasar beberapa kesanggupan ”perusahaan” atas sejumlah kewajiban yang ditetapkan ”pemerintah”
”Pemerintah” mengatur pemberian HPH kepada unit usaha kehutanan berupa perseroan terbatas atau perusahaan daerah (”Perusahaan”) yang akan melaksanakan
241
bidang Kehutanan
Gubernur Ka Daerah Tk I
Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta dapat diberikan hak pengusahaan hutan
Dilaksanakan dalam bentuk kesatuan pengusahaan hutan produksi. Diberikan kepada BUMN, BUMD, perusahaan swasta nasional dan koperasi; dengan pertimbangan pendapat Gubernur Ka Daerah Tk I
Warganegara dan Badan-badan Hukum Indonesia dapat diberikan hak pemungutan hasil hutan;
Bila terhadap areal hutan yang akan diberikan HPH terdapat kegiatan non kehutanan, Menteri melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
Pemberian hak tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Syarat/Hak dan kewajiban
Meningggikan, produksi hasil hutan; diselenggarakan atas azas kelestarian hutan dan azas perusahaan – tercantum dalam
usaha kehutanan di lokasi yang diusulkan.
Ditetapkan oleh Menteri Pertanian Biaya dibebankan kepada pihak pemohon, diserahkan kepada Instansi yang
Tidak ada, karena sifat PP ini yang hanya merubah satu pasal terkait kriteria pemegang
HPH tidak merupakan kepemilikan hak atas lahan hutan Hak diberikan untuk jangka waktu 20 tahun
pemerintah” menetapkan (dan ”perusahaan” menyanggupi dan menyetujui): kerangka pemberian hak usaha,
Merupakan kewajiban lain HPH untuk menyusun ruang lingkup kerja, rencana investasi perusahaan dan wewenang
242
rencana karya/bagan kerja mencakup: penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan.
diserahi tugas/ wewenang mengurus Kehutanan - berupa: biaya survey, uang muka, pelaksanaan).
plus daur tanaman pokok, dapat diperpanjang bila kinerjanya baik, bila tidak diserahkan ke pelaku lain
Bayar IHPH, IHH dan pembayaran lainnya.
Wajib melaksanakan sistem silvikultur yang ditetapkan menteri sesuai lokasi
Membuat RKPH (terdiri dari RKT, RKL, RKPH) – RKT harus disetujui Mentan dua bulan sebelum penebangan, RKL harus disetujui Mentan satu tahun setelah keluar SK HPH, RKPH untuk seluruh jangka waktu pengusahaan hutan harus disetujui Mentan tiga tahun setelah keluar SK HPH Mengelola areal nya berdasar RKPH; Mentaati segala ketentuan bidang kehutanan yang ditetapkan pemerintah Mentaati segala ketentuan dibidang
Wajib membayar IHPH, PSDH, dan DR Wajib menyediakan dana jaminan kinerja (dapat dicarikan kembali bila kinerja terbukti baik, sesuai ketentuan yang berlaku) Wajib membuat RKPH paling lambat 18 bulan sejak SK HPH, membuat RKL, RKT dan AMDAL. Wajib melaksanakan penataan batas areal kerja dan penataan hutan dengan kompartemenisasi Wajib melaksanakan
meliputi pemberian izin, wewenang ”pemerintah” memasukai areal kerja; peraturanperaturan tambahan/pelengkap; dan jaminan perusahaan. Kewajiban-kewajiban pokok perusahaam: pengembangan dan pemanfaatan sumbersumber hutan dan pelaksanaan pengembangan dan pengusahaan; ketentuan prinsipprinsip dasar kehutanan mencakup pohon yang dilarang ditebang, pengunaan kayu dalam rangka pelaksanaan operasi, cara pemungutan dan pengolahan kayu, pencegahan kebakaran, kerusakan atas milik ”pemerintah” dan pihak ketiga, pelanggaran pihak yang tidak berhak, rencana karya pengusahaan hutan,
”departemen” untuk merevisi tahap-tahap dan kwantita tiap bentuk operasi, kerjasama perusahaan dengan pihak ketiga, jaringan jalan, dan hak lintas. Wajib membayar Iuran HPH dan IHH didasarkan atas luas areal kerja dan harus dibayar penuh sebagai syarat keluar SK HPH; ”perusahaan” harus menebang dan menggunakan semua jenis kayu yang dapat diperdagangkan dari areal kerjanya; bila gagal, ”perusahaan” diwajibkan membayar IHH atas kayu yang masih berdiri. Wajjib menyediakan likid (liquiditas) serta mengimpor mesin dan equipement dan menetapkan kriteria investasi; serta penentuan rincian teknis dan harga
243
perburuhan menurut peraturan yang berlaku Memperkerjakan secukupnya tenagatenaga ahli Kehutanan yang memenuhi persyaratan menurut penilaian Mentan bidang perencanaan dan penataan, pengelolaan hutan, pengukuran dan pengujian kayu. Mendirikan Industri Pengelolaan Hasil Hutan di Indonesia sebagaimana dinyatakan RKPH yang syah. Menertibkan pelaksanaan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan anggotaanggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada (tidak mengganggu
pengusahaan hutan berdasar RK dan mentaati segala ketentuan bidang (usaha) kehutanan yang berlaku Wajib memberdayakan masyarakat desa di dalam dan di sekitar hutan Melaksanakan kegiatan nyata di lapangan berdasar bagan kerja – dalam waktu 180 hr sejak SK HPH Mempekerjakan secukupnya tenaga profesional bidang pengusahaan hutan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan Menatausahakan kegiatan HPH dengan baik sesuai SAK yang berlaku Wajib mengelola areal kerja HPH berdasar
penggunaan ahli-ahli kehutanan oleh ”perusahaan” wewenang ”departemen” meninjau kembali target produksi, dan hubungan antara industri hutan dengan jenis-jenis kayu komersial Mendirikan industri hutan yang diintegrasikan secara penuh
equipment; Wajib menggunakan TK Indonesia, program recruiting dan training, tenagatanaga lain, perlakuan yang sama, dan penggunaan TK bebas G30S/PKI – selain itu, untuk beberapa kasus diwajibkan pula memenuhhi jumlah minimum TK Indonesia
Wajib menyimpan dan memelihara di Kantor Pusatnya di Indonesia pembukuan, berbagai laporan, arsip, surat, dan dokumen yang keseluruhannya menggambarkan tingkat pemenuhan ”perusahaan” atas kewajiban yang digariskan dalam FA;
Bersama pemerintah wajib mengkerangka kerjasama dengan masyarakat adat termasuk pembangunan fasilitas umum.
”pemerintah” berhak sepenuhnya memeriksa berbagai dokumen itu termasuk menyalin dan menyimpulkan;
Wajib menyetor uang jaminan sebesar USD 11.250 – syarat penandatanganan SK HPH – uang ini disimpan ”pemerintah”
Wajib melindungi flora dan fauna dan objekobjek lainnya yang ditetapkan pemerintah
244
pelaksanaan pengusahaan hutan; harus seijin pemegang HPH, pendekatan musyawarah dengan bimbingan dan pengawasan Dinas Kehutanan; didalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan). Memberikan semua data dan bantuan kepada petugaspetugas yang melaksanakan pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk itu maupun petugaspetugas Kehutanan.
RK-RKnya dan mentaati segala ketentuan perundangan yang berlaku
”perusahaan” wajib menyediakan dengan biaya sendiri bahanbahan itu pada waktu dan tempat yang diminta ”pemerintah” secara tertulis; Perusahaan wajib menyediakan atas biaya sendiri staf dan pegawai yang diminta ”pemerintah” untuk membicarakan keuangan ”perusahaan” dan lainnya. Dalam 120 hari tahun fiscal perusahaan harus menyerahkan neraca tiap ahir tahun, rincian keuntungan dan kerugian sepanjang tahun termasuk rincian dan sumber dan permintaan dana sepanjang tahun dan disyahkan akuntan yang ditunjuk dan disetuji bersama;
selama berlakunya janga waktu FA (termasuk pembaharuannya) ”Departemen” berhak melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan fisik dan admin ”perusahaan” dan ”perusahaan” wajib memberikan fasilitas dan bantuan secukupnya agar pengawasan tertib dan efektif ”departemen” menetapkan prosedur dan peraturan pengawasan terkait perencanaan, laporan, pemeriksanaan lapangan tentang pengusahaan hutan ”perusahaan” wajib menggunakan cara dan alat ukur yang dinyatakan resmi oleh ”departemen” terkait pengukuran hasil produksi, pengolahan, angkut dan perdagangan;
245
Dengan ditandatanganinya FA ”perusahaan” terikat melaksanakan semua ketentuan yang tercantum dalam FA dan peraturanperaturan yang berlaku mengenai pengusahaan hutan
*) Masuk dalam kurun ini, karena masih merujuk UUPK 5/67.
(b) Setelah 1998 Aspek narasi Pemosisian Hutan Alam
UU No. 41/1999 – Kehutanan Sebagai karunia, amanah dan anugerah Tuhan YME – ber manfaat serbaguna; dikuasai Negara; wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, generasi sekarang dan mendatang Cenderung menurun
PP 34/2002
PP 6/2007
SK IUPHHK-HA
Merujuk langsung pada UU 41/99 – khususnya pelaksanaan Bab V, VII dan XV undangundang tersebut
Merujuk langsung UU 41/99 - 4 pasal, yakni Pasal 22, 39, 66, dan 80) yang mendasari lahirnya PP 34/2002
Sebagai sumber daya alam yang mempunyai potensi ekonomi, perlu dimanfaatkan secara optimal dan lestar i bagi kepentingan pembangunan ekonomi nasional.
246
Kelestarian
kondisinya; harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggunggugat. Cara – menjaga daya dukung, multifungsi hutan, kawasan hutan dan lingkungan, dan mempertahankan keberadaan hutan alam Sebagai tujuan – khususnya dari pengurusan dan pengelolaan hutan alam Sebagai batasan bersamaan dengan aspek kepastian usaha
Pelaksana Usaha Kehutanan
Sebagai kewajiban bagi para pemegang ijin - menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya; Pemanfaatan hasil hutan kayu
Sebagai kewajiban memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari (Pasal 15 ayat 2) mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi (Pasal 15 ayat 3) yang diatur dengan Keputusan Menteri (Pasal 15 ayat 4): (Kep Menhut 4795/2002)
Pemanfaatan hutan produksi
Sebagai azas melaksanakan deregulasidebirokratisasi Sebagai cara dan prinsip - dalam pemanfaatan hutan (kawasan, jasling, kayu, non kayu, pemungutan) dan pengelolaan KPH,
Sebagai cara dan tujuan pemanfaatan sumberdaya hutan yang juga harus optimal - mengatur jumlah etat luas dan volume per tahun Menjalankan rata-rata 21 kewajiban yang harus dipenuhi pemegang IUPHHKHA
Sebagai tujuan – dalam rancang bangun unit pengelolaan hutan (sesuai tipe ekosistem dan potensi)
IUPHHK HA adalah izin usaha yang
Badan usaha (kebanyakan
247
dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) – diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS, BUMN, atau BUMD
diselenggarakan melalui pemberian izin, yakni IUPHHK HA IUPHHK HA dapat diberikan kepada: perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, dan BUMN atau BUMD IUPHHK HA diberikan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi Bupati atau Walikota dan Gubernur - melalui penawaran dalam pelelangan.
diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu di hutan alam, dengan cara permohonan – pemberian dilakukan dengan menyeleksi para pemohon izin dan status kawasan hutan yang dimohon
perseroan) pemegang IUPHHK HA atas areal hutan tertentu dengan luasan tertentu pada kelompok hutan tertentu di wilayah administrasi Kab/Provinsi tertentu di Indonesia
IUPHHK HA diberikan Menteri berdasarkan rekomendasi gubernur dengan pertimbangan dari bupati/walikota. IUPHHK HA dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, BUMS Indonesia, BUMN; atau BUMD.
Syarat/Hak dan kewajiban
Wajib kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat Wajib menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya Wajib membayar iuran
Berhak melakukan kegiatan sesuai izin yang diperolehnya dan berhak memperoleh manfaat dari hasil usahanya. Wajib membuat rencana kerja untuk seluruh areal kerja
Berhak melakukan kegiatan dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya sesuai dengan izin yang diperolehnya. Menyusun rencana kerja untuk seluruh
Pemegang izin berhak melakukan kegiatan sesuai izin dan berhak memperoleh manfaat dari hasil usahanya. Membuat dan menyerahkan RKUPHHK HA untuk seluruh areal kerja
248
izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja Wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan
selama jangka waktu berlakunya izin. Melaksanakan kegiatan nyata di lapangan selambatlambatnya 3 (tiga) bulan sejak diberikan izin Melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 3 bulan sejak diberikan izin usaha Membuat laporan kegiatan secara periodik Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya dari gangguan keamanan Menata-usahakan keuangan kegiatan usahanya sesuai standar akuntansi kehutanan yang berlaku; Mempekerjakan tenaga profesional bidang kehutanan dan tenaga lain yang
areal kerja sesuai jangka waktu berlakunya izin berdasarkan rencana pengelolaan hutan yang disusun oleh KPH; Melaksanakan kegiatan nyata di lapangan untuk paling lambat 1 (satu) tahun Melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 1 (satu) tahun sejak diberikan IUPHHK HA Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya; Menata-usahakan keuangan kegiatan usahanya sesuai standar akuntansi kehutanan yang berlaku Mempekerjakan tenaga profesional bidang kehutanan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai
selama jangka waktu berlakunya izin selambatnya 1 (satu) tahun sejak izin diberikan; Membuat dan menyerahkan RKL UPHHK HA 3 (tiga) bulan sejak RKUPHHK disahkan; Membuat dan menyerahkan RKTUPHHK HA sesuai dengan pedoman yang ditetapkan selambatnya 2 (dua) bulan sebelum RKT tahun berjalan; Melakukan sistem silvikultur TPTI sesuai lokasi dan jenis tanaman yang dikembangkan; Melakukan penatausahaan hasil hutan sesuai ketentuan yang berlaku; Melakukan penatausahaan keuangan kegiatan
249
memenuhi persyaratan sesuai kebutuhan; Membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
kebutuhan
Membayar Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan ( IIUPH );
Menggunakan peralatan pemanfaatan hasil hutan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Membuat RKUPHHK untuk seluruh areal kerja selama jangka waktu berlakunya izin selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah izin diberikan; Membuat RKL yang pertama selambatlambatnya 3 (tiga) bulan sejak (RKUPHHK) disahkan; Membuat RKT diajukan selambatlambatnya 2 (dua) bulan sebelum RKT tahun berjalan habis Melakukan penatausahaan hasil hutan
Melaksanakan sistem silvikultur sesuai dengan kondisi setempat
Membayar iuran atau dana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Melakukan kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat, paling lambat 1 (satu) tahun setelah diterimanya izin. Menyusun rencana kerja usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (RKUPHHK) jangka panjang untuk seluruh areal kerja, paling lambat 1 (satu) tahun setelah izin diberikan –
usahanya sesuai standar akuntansi kehutanan yang berlaku (PSAK 32); Menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada industri primer hasil hutan; Melakukan kegiatan secara nyata dan bersungguh-sungguh dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak diberikan izin ini; Menggunakan peralatan kerja yang jumlah dan atau jenisnya sesuai dengan izin; Melakukan pengukuran dan pengujian hasil hutan kayu sesuai ketentuan yang berlaku; Melakukan kerjasama dengan Koperasi masyarakat setempat paling lambat 1 (satu) tahun setelah diterimanya izin -
250
Melakukan pengukuran atau pengujian hasil hutan Membayar DR Melaksanakan sistem silvikultur sesuai lokasi dan jenis tanaman yang dikembangkan Menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada industri primer hasil hutan. Wajib melakukan kerjasama dengan koperasi masyarakat setempat paling lambat 1 (satu) tahun setelah diterimanya izin – berupa penyertaan saham, atau kerjasama usaha pada segmen kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan, .
disusun untuk jangka 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan rencana pengelolaan jangka panjang KPH; dievaluasi setiap 5 (lima) tahun oleh pemegang izin dan dilaporkan kepada Kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. Menyusun rencana kerja tahunan (RKT) berdasarkan RKUPHHK Mengajukan RKT paling lambat 2 (dua) bulan sebelum RKT berjalan – bila RKT memenuhi kriteria dan indikator yang ditetapkan Menteri, pemegang IUPHHK HA dapat melakukan self approval Melakukan penatausahaan hasil hutan; Melakukan
dapat berupa penyertaan saham dan atau kerjasama dalam usaha pada segmen kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam; Melaksanakan kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan kemampuan sendiri meliputi pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil. Mematuhi peraturan Melaksanakan penataan batas areal kerja paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diberikan izin, dan diselesaikan dalam waktu 3 (tiga) tahun dan selanjutnya ditetapkan areal kerjanya;
251
pengukuran atau pengujian hasil hutan; Menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada industri primer hasil hutan; dan Menyampaikan laporan kinerja secara periodik kepada Menteri. Dilarang: menebang kayu yang melebihi toleransi target sebesar 5% dari total target volume yang ditentukan RKT; menebang kayu yang melebihi toleransi target sebesar 3% dari volume per jenis kayu yang ditetapkan dalam RKT; menebang kayu sebelum RKT disahkan; menebang kayu untuk pembuatan koridor sebelum ada izin atau tidak sesuai dengan izin pembuatan koridor; menebang kayu
Melaksanakan permudaan secara alami atau buatan dan pemeliharaan hutan; Membuat dan menyampaikan laporan sesuai ketentuan yang berlaku; Melaksanakan perlindungan hutan di areal kerjanya dari gangguan keamanan; Membayar PSDH dan DR hasil hutan kayu; Mempekerjakan tenaga profesional di bidang kehutanan, dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku; Membantu pengembangan sosial budaya dan ekonomi (kesejahteraan) masyarakat yang berada di dalam atau
252
dibawah batas diameter yang diizinkan; menebang kayu diluar blok tebangan yang diizinkan; menebang kayu untuk pembuatan jalan bagi lintasan angkutan kayu di luar blok RKT, kecuali dengan izin dari pejabat yang berwenang; dan/atau meninggalkan areal kerja. Membayar DR dan PSDH berdasar laporan hasil produksi
di sekitar areal kerjanya; Memperlancar petugas yang mengadakan bimbingan, pengawasan dan penelitian; Mematuhi dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam lampiran dan peraturan perundangan yang berlaku.
253
Lampiran 10. Karakteristik Usaha Kehutanan – Hutan Alam Produksi (sebelum dan sesudah 1998 Struktur dan Tipologi Usaha Kehutanan Landasan Hukum Tujuan
Sebelum 1998
Sesuah 1998
UU 5/67; PP 22/67; PP 21/70; PP 18/75; FA; dan SK HPH Memperoleh, meningggikan, produksi hasil hutan guna melanjutkan revolusi nasional dan pembangunan ekonomi nasional untuk kemakmuran rakyat
UU 41/99; PP 6/99; PP 34/2002; PP 6/2007; SK IUPHHK-HA Memperoleh manfaat optimal, bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara adil dan lestari; dilakukan pada semua kawasan hutan, kecuali cagar alam dan zona inti dan rimba pada Taman Nasional
Mengatur hutan penting untuk rakyat dan menuntaskan revolusi
Azas
• Kelestarian • Perusahaan
Cakupan Kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Sebagai dasar atau azas, cara dan syarat untuk mencapai tujuan usaha kehutanan - memperoleh, meningggikan, produksi hasil hutan guna pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran rakyat
Konsep Kelestarian
Mewujudkan keberadaan sumberdaya hutan yang berkualitas tinggi, memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan ekologi yang maksimum dan lestari, serta menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata, khususnya terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan. • Kelestarian fungsi • Perusahaan – kepastian usaha • Rasionalitas • Optimalitas • Keseimbangan ekosistem • Keadilan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan Sebagai dasar atau azas, cara dan syarat untuk mencapai tujuan ekonomi nasional bagi kemakmuran rakyat lintas generasi; dan untuk menjaga daya dukung hutan dan mempertahankan keberadaannya secara optimal tidak melebihi daya dukung hutan secara lestari. Sebagai instrument, tidak saja untuk pemanfaatan hutan, tapi mencakup pula kelayakan KPHP, dan pencairan dana jaminan kinerja HPH Pelaksanaan KPHP
254
Status Hak Pengusahaan
Pemberian oleh Menteri berdasarkan permohonan dan setelah mendengar pendapat Gubernur/Kepala Daerah Propinsi yang bersangkutan
Pemberian (< 50.000 ha) Lelang (> = 50.000 ha) Strata luas max pemilikan menurut wilayah propinsi dan nasional Diberikan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur Kepala Daerah Tk I Pemberian di bawah 10.000 ha menjadi kewenangan gubernur HPH tidak merupakan kepemilikan hak atas lahan hutan Dapat dipindahtangankan atau dijaminkan kepada pihak lain – sepanjang haknya masih berlaku – dengan melaporkan sebelumnya kepada Menteri Areal HPH tidak dapat digunakan sebagai jaminan Izin tidak dapat dipindah-tangankan tanpa persetujuan menteri; pemegang konsensi dilarang mengontrakan atau menyerahkan seluruh kegiatan usahanya tanpa izin tertulis menteri; izin bukan merupakan hak kepemilikan atas kawasan hutan; areal hutan tidak dapat dijadikan agunan
Luas (jangka waktu)
Tak ada pembatasan luas, namun harus sesuai dengan RKPH (20 tahun dengan kemungkinan perpanjangan, selama tidak bertentangan dengan kepentingan umum)
Luas bervariasi, (20 tahun, dapat diperbaharui sesuai kinerja) Max 100.000 ha/pemegang hak/propinsi, kecuali Irian Jaya (200.000 ha/pemegang hak) Max 400.000 ha/pemegang hak/Indonesia Berlaku untuk per individu perusahaan atau groupnya.
Pemegang Hak
Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta; dan Campuran pemerintah-swasta; kemudian diubah menjadi:
Koperasi, Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
Perusahaan milik negara dan perusahaan swasta nasional berbentuk perseroan terbatas Bentuk Hak
Melakukan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil,
Melakukan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan,
255
pengolahan dan pemasaran hasil hutan;
pengolahan, dan pemasaran hasil hutan
Penebangan dengan tebang pilih berdasar kelestarian hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan
Mengusahakan hutan di dalam kawasan hutan produksi: terdiri dari penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil, pengolahan dan pemasaran hasil hutan. Penebangan kayu, permudaan dan pemeliharaan hutan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan Pemanenan, pengayaan, penanaman, pemelihara-an, pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah ditetapkan
Kewajiban
1. Membayar IHPH, IHH dan pembayaran lainnya; 2. Membuat RKPH (terdiri dari RKT, RKL, RKPH) 3. Mengelola areal nya berdasar RKPH 4. Mengadakan pemudaan secara alami atau buatan dan pemeliharaan hutannya 5. Mentaati segala ketentuan bidang kehutanan yang ditetapkan pemerintah; 6. Mentaati segala ketentuan dibidang perburuhan; 7. Memperkerjakan secukupnya tenaga-tenaga ahli Kehutanan yang memenuhi persyaratan menurut penilaian Menteri Pertanian; 8. Sungguh-sungguh mendirikan Industri Pengelolaan Hasil Hutan di Indonesia sebagaimana dinyatakan RKPH yang disyahkan.; 9. Memberikan semua data dan bantuan kepada petugaspetugas yang melaksanakan pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk itu maupun petugas-petugas Kehutanan;
1. Melaksanakan sistem silvikultur yang ditetapkan oleh Menteri sesuai lokasi dan jenis tanaman yang akan dikembangkan. 2. Membayar: IHPH, PSDH, dan DR – dipungut di areal kerja 3. Menyediakan Dana Jaminan Kinerja Hak Pengusahaan Hutan 4. Membuat RKPH (terdiri dari RKT, RKL, RKPH) 5. Membuat Amdal 6. Penataan batas areal kerja dan penata-gunaan hutan dengan kompartemenisasi 7. Memberdayakan masyarakat desa di sekitar dan atau di dalam hutan 8. Mentaati segala ketentuan yang berlaku di bidang pengusahaan hutan sesuai peraturan yang berlaku 9. Mempekerjakan secukupnya tenaga profesional di bidang pengusahaan hutan dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai dengan kebutuhan pengusahaan hutan 10. Menatausahakan kegiatan HPH dengan baik sesuai dengan ketentuan Standar
256
Sanksi
10. Tidak boleh menangkap dan mengeluarkan margasatwa dan tumbuh-tumbuhan yang dilindungi 11. Kewajiban finansiil: semua biaya yang dibebankan kepada pemohon sejak masuknya surat permohonan sampai dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Pertanian
Akuntansi Keuangan yang berlaku 11. Mengelola areal kerja HPH berdasarkan berbagai rencana karya, serta mentaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Sanksi pidana, berupa penjara/kurungan badan dan/atau denda – dikategorikan dalam tindak kejahatan dan pelanggaran; segala hasil hutan terkait dengan atau digunakan untuk melakukan tindak pidana dapat disita untuk Negara
Sanksi pidana dan administratif sebgaimana dirinci Pasal 78 UU 41/99 - dikategorikan dalam tindak kejahatan dan/atau pelanggaran; Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dirampas untuk Negara
Sanksi admin: pengurangan luas konsesi sampai pencabutan hak. Posisi dan relasi para pemangku kepentingan usaha kehutanan
Pemerintah – begitu dominan sebagai pengontrol, initiatortegulator, pelaksana Pemegang HPH – lebih sebagai pelaksana yang dikontrol; Masyarakat – lebih sebagai objek marginal, keberadaanya diakui sepanjang masih ada, sebatas hak pungut atas hasil hutan sejauh tidak mengganggu konsesi HPH
Status Hutan Alam
Dikuasai negara dan dilaksanakan pemerintah; akses masyarakat terbatas/dibatasi; hutan tidak diperlakukan sebagai asset oleh pemegang hak Pemerintah vs Pemegang Hak Pemegang Hak vs Hutan dan faktor produksi (tenaga kerja, investasi, dll) Masyarakat vs Pemegang Hak
Fokus pengaturan interdependensi
Pemerintah – dominan sebagai pengontrol, initiator, pelaksana Pemegang HPH – lebih sebagai pelaksana yang dikontrol; Masyarakat – masih sebagai objek, keberadaanya diakui sepanjang masih ada, hak relatif melebar, tidak sebatas hak pungut – antara lain berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan; Tetap dikuasai negara, akses masyarakat relatif lebih terbuka – hutan tetap tidak diperlakukan sebagai asset oleh pemegang hak Pemerintah vs Pemegang Hak Pemegang Hak vs Hutan Masyarakat vs Pemegang Hak
257
Lampiran 11. Intisari Makna Kelestarian Periode [Proses dan Diskursus] Sebelum 1998 [Proses bagaimana diskursus para pemangku kepentingan berpengaruh tidak tampak, cenderung tertutup dan topdown: diskursus pemerintah dominan]
Makna dan Representasi Kelestarian (Discourse) syarat pemanfaatan hutan (konsideran dan penjelasan umum), azas (Pasal 1), dan dasar (Pasal 8 ayat 1 dan penjelasannya) – PP 21/70 kegiatan usaha kehutanan terutama yang mencakup perencanaan, penataan, pengelolaan hutan dan pengukuran serta pengujian kayu yang harus dilaksanakan oleh ahli kehutanan – (penjelasan PP 21/70) syarat dan kewajiban pemegang hak sebagaimana tercantum dalam SK HPH dan yang diatur tersendiri dengan peraturan lainnya (penjelasan PP 21/70) pembinaan hutan yang didasarkan pada jenis dan susunan diamater tegakan di areal yang diusahakan dengan sistem TPI (dan TPTI) dan mencegah penurunan nilai hutan dan meningkatkan nilai hutan (SK HPH) ”kemufakatan” antara pemerintah dan perusahaan untuk melaksanakan ketentuan prinsip-prinsip dasar kehutanan. [pohon yang dilarang ditebang, pengunaan kayu dalam rangka pelaksanaan operasi, cara pemungutan dan pengolahan kayu, pencegahan kebakaran, kerusakan atas milik ”pemerintah” dan pihak ketiga, pelanggaran pihak yang tidak berhak, rencana karya pengusahaan hutan, penggunaan ahli-ahli kehutanan oleh ”perusahaan”, wewenang ”departemen” meninjau kembali target produksi, dan hubungan antara industri hutan dengan jenis-jenis kayu komersial] – (Forestry Agreement).
Setelah 1998 [Proses relatif terbuka, melibatkan berbagai kelompok kepentingan, namum diskursus tidak
Poin Sintesa: Diskursus di atas mencerminkan minimnya kebenaranan substantive. Sebaliknya, kebenaran/rasional hukum tampak lebih dominan, dibanding tiga kebenaran lainnya, yakni teknis, ekonomis dan sosial. Artinya, jenis pengetahuan dibalik diskursus itu relatif minimal, tercermin pula dari lebarnya kesenjangan dengan poin-poin kerangka teoretik (Lampiran 2.1). Hal ini semakin tegas, bila diamati secara seksama berbagai istilah yang digunakan dan perspektif yang dibangun dalam diskursus. kewajiban memenuhi kriteria dan indikator pengelolaan hutan secara lestari (Pasal 15 ayat 2) mencakup aspek ekonomi, sosial dan ekologi (Pasal 15 ayat 3) yang diatur dengan Keputusan Menteri (Pasal 15 ayat 4) – PP 34/2002
258
terdeteksi per kelompok, diskursus pemerintah masih relatif dominan]
bersifat wajib, merupakan proses yang berkelanjutan dalam pencapaian kelestarian sumber daya hutan (KepMenhut 4795/2002) Memenuhi empat kriteria 24 indikator: prasyarat (6 indikator), produksi (7), ekologi (6), dan sosial (5) (Lampiran KepMenhut 4795/2002) prayarat: kepastian kawasan, komitmen unit usaha, kesehatan unit usaha, tegakan minimal sesuai kerangka hukum dan kebijakan, kecukupan sdm, kapasitas dan mekanisme perencanaan produksi: prosentasi hutan – rencana blok tebangan, tingkat pemanenan lestari, ketersediaan prosedur dan implementasi (evaluasi implementasi panduan, penilaian dan inventarisasi tegakan sisa), penerapan RIL, kesehatan finansial perusahaan, volume dan luasan panen per tipe hutan, tingkat investasi dan reinvestasi (pengelolaan hutan, admin, litbang dan sdm) ekologi: data kawasan dilindungi, ketersedian prosedur dan implementasi (perambahan, kebakaran, penggembalaan, pembaakan ilegal), ketersediaan prosedur dan imlementasi pengelolaan flora, ketersediaan prosedur dan implementasi identifikasi flora-fauna, ketersediaan dan implementasi pengelolaan flora dan fauna (luasan hutan produksi yang tidak rusak dan tidak terganggu, perlindungan species flora-fauna jarang, langka, terancam punah, perlindungan flora-fauna khas) sosial: kejelasan luas dan batas unit usaha dan kawasan masyarakat adat/setempat, jenis dan jumlah perjanjian dengan masyarakat secara setara, perencanaan dan implementasi pengelolaan hutan mempertimbangkan masyarakat adat/setempat, peningkatan peran serta masyarakat adat/setempat ekonomi berbasis hutan
Poin Sintesa: Diskursus di atas sekalipun muncul dalam situasi yang sudah lebih relatif terbuka, dimana para pihak yang terlibat dalam diskursus relatif lebih banyak, masih tampak minimnya kebenaranan substantive. Kebenaran/rasional hukum masih tampak lebih dominan, dibanding tiga kebenaran lainnya: teknis, ekonomis dan sosial. Jenis pengetahuan dibalik diskursus pun masih minimal, terutama kalau ditapis dengan poin-poin kerangka teoretik (Lampiran 2.1), dimana istilah yang digunakan dan perspektif yang dibangun dalam diskursus masih begitu senjang.
259
Lampiran 12. Kompilasi dan Sintesus Hasil Wawancara (1) Diskursus Seputar Hutan Alam Produksi Luar Jawa 1.1. Reflek atas HA Produksi Luar Jawa Birokrat Teridentifikasi reflek terkait situasi-kondisi, faktor penyebab, dampak, dan alternatif solusi. Terkait situasi dan kondisi hutan disinggung: tidak termanfaatkannya dan tidak terkelolanya secara optimal hutan alam produksi, ketiadaan konsep makro pengelolaan hutan yang holistik dan terintegrasi yang diakui para pihak pemangku kepentingan, pemanfaatan yang tidak terkontrol (uncontrolled use), undervalued, penghamburan (wasting assets) dan masih kentalnya masalah ketidakpastian kawasan. Terkait faktor penyebab antara lain, kesalahan kebijakan, termasuk tidak sinkronnya kebijakan lain (non-kehutanan) dengan kehutanan yang bahkan dinilai telah menyudutkan sektor kehutanan lebih sebagai masalah atau penghambat pembangunan (bagi sektor lain). Terkait opsi solusi muncul antaralain perlunya moratorium (usaha kehutanan) secara ketat, penataan ulang pengeoloaan mulai di tingkat UM dan perlunya meninjau penetapan dan alokasi fungsi hutan dengan menimbang kehadiran keseluruhan fungsi, tidak hanya fungsi produksi. Dari sisi kebijakan, perbaikan perlu kembali ke peraturan perundangan, terutama dengan menghilangkan berbagai unsur disinsentif. [BIR]
Akademisi Secara reflek kelompok ini lebih tertuju pada kondisi, tidak muncul unsur penyebab dan dampak. Disebutkan, bahwa kondisi HAP di luar Jawa porak poranda, tidak ada penataan dan bahkan tidak ada konsep besar dan menyeluruh (grand design) tentang pembangunan kehutanan. Sejalan dengan reflek ini, konsep usaha kehutanan pun tidak jelas. Dinilai pula bahwa tidak ada perencenaan pengelolaan HAP yang lengkap, menyeluruh dengan target yang jelas dan tegas. Perencanaan yang ada, bukanlah rencana pengelolaan, bahkan bukan pula rencana usaha kehutanan itu senciri. Yang sejauh ini terjadi merupakan kekerasan atas sumberdaya hutan, bahkan sumberdaya alam. [AKA]
Praktisi Bisnis Manfaat dan pemanfaatan dengan peluang yang dianggap masih besar menjadi kecenderungan reflek kelompok ini. Manfaat kayu menjadi bagian yang dianggap logis dengan tetap merujuk pada kemungkinan manfaat lain, termasuk restorasi. Itu disadari sekalipun disebut adanya fenomena lapangan yang menyimpang, seperti hadirnya land-banking, kondisipotensi yang tidak sehebat dulu, berbagai ketidakpastian yang menghebat, termasuk yang bersumber dari ketidak konsistenan dalam aturan dan manajemen dengan perubahan yang sangat cepat. [BIS]
Masyarakat Sipil/NGO Reflek lebih tertuju pada kondisi realitas lapangan. Disebutkan, bahwa dengan dominan produk kayu, hutan alam produksi di luar Jawa kondisinya saat ini paling rusak di antara hutan lainnya. Reflek lainnya, belum terkelola dengan baik, banyak wilayah yang open akses, sehingga menurun dalam banyak hal, termasuk kondisipotensi. Dengan begitu, penurunan illegal logging diyakini lebih karena tidak adanya lagi kayu untuk ditebas dan bukan karena membaiknya kondisi atau kinerja penegakan hukum. [MASI]
Praktisi Bisnis Jangan ada pembiaran atas HA, terlebih konversi. Jawabannya antara adalah
Masyarakat Sipil/NGO HA masih diposisikan sebagai andalan. HT tak lebih sebagai pembenar dari
1.2. Masa Depan Indonesia: HA vs HT Birokrat HA unggul dalam banyak hal (rnci) – dapat tetap dimanfaatkan; tidak perlu
Akademisi HA, HT bukan isu. Isunya penataan makro menyeluruh bagi keduanya;
260
didikotomikan dengan HT; dapat berjalan seiring; HT sebagai jalan keluar – antara lain dalam mengurangi tekanan atas HA. Perlu pembenahan kebijakan memastikan bisa bersinergi dengan sektor lain, terutama dalam hal isu kepastian kawasan, dalam rangka antisipasi pasar. Yang tidak setuju memberikan sejumlah alasan, antara lain keunggulan HA dari hutan tanaman, baik dari sisi sifat khas, manfaat multi fungsinya, keanekaan hayati serta kualitas hasil hutan, terutama kayu – yang tidak dapat begitu saja tergantikan HT. Ketidak setujuan juga diarahkan pada upaya mendikotomi HA dan HTI yang dipandangnya justru dapat dibangun sejalan dan bersinergi dengan keunggulan masing-masing [BIR]
keduanya ada masalah; HT pun hingga kini tidak dikelola secara baik sehingga cenderung gagal. Revitalisasi HA seiring membangun HT adalah solusinya. Æ HA tetap lanjut diusahakan seiring-sejalan dengan HT [AKA]
HT. Atas HA yang ada menghentikan memanen HA juga pilihan, selain moratorium. Pertimbangannya HA memiliki banyak keunggulan yang tidak dapat ditemui pada HT. Namun apapun pilihannya, diperlukan sejumlah prakondisi pemungkin, antara lain konsistensi pemerintah dalam mengkonstruksi dan implementasi kebijakan. [BIS]
ketidak mampuan memilah sumber bahan baku kayu. HT terutama untuk tujuan bahan baku bubur kayu dan kertas mengancam meningkatkan konversi HA. Hal terakhir ini perlu diwaspadai, sehingga HA dan HT bisa jalan seiring. [MASI}
Praktisi Bisnis Masih relatif untung dan komitmen untuk lanjut, karena ketelanjuran sudah masuk, serta masih kuatnya dukungan modal, plus komitmen terhadap buyer untuk terus memasok bahan baku, sehingga sekalipun kembang kempis dan margin keuntungan tipis, sekedar bertahan hidup – jalan terus. Sekalipun, dipertanyakan pula, seberapa lama kondisi semacam ini bisa bertahan (
Masyarakat Sipil/NGO Diskursus dalam kelompok ini mempertanyakan pengertian “sulit” – sebagai cermin keraguan, saat kata sulit diangkat para praktisi bisnis. Hal ini lalu dikaitkan dengan kemungkinan pengertian “sulit” sebagai benar-benar merugi atau sekedar berkurang tingkat keuntungan. Artinya masih tetap untung. Hal yang sama dikaitkan pula dengan fakta, bahwa tantangan usaha
1.3. Kondisi sulit, usaha kehutanan tetap jalan. Faktor apa? Birokrat Dari sisi korsa rimbawan (profesionalisme, integritas, konsistensi, keterbukaan); dari sisi institusi dan manajemen bisnis (efisiensi, komitmen, profesionalisme, antisipasi, inovasi). Komitmen usaha untuk tetap lanjut tinggi, walau dengan tersendat, lebih karena ”nilai” dari izin, keterkaitan dengan pasokan untuk industri di groupnya (terintegrasi),
Akademisi Peran pemerintah, kurang mampu dalam menyeimbangkan tari-menarik kepentingan. Pelaku usaha berlaku curang dan manipulatif. Upaya pelaku usaha untuk merasionalisasi usahanya dalam perencanaan usahanya (busines plan) terkendala ketepatan dan kualitas data dan informasi yang tersedia. Dengan berbagai situasi-kondisi seperti ini, semangat memanfaatkan HA masih
261
bukan karena fanatisme mengusahakan hutan alam produksi secara lestari. Manipulasi, akal-akalan dan praktek curang dan mencuri adalah fenomena lain yang disebut sebagai faktor dibalik situasi itu. [BIR]
tetap relatif tinggi, seolah mengubur realita situasi-kondisi fisik-botanis fungsi dan manfaat hutan alam yang disadarinya sudah menurun dengan nyata. [AKA]
disebut angka 30 tahun?). Kembali, jawabannya dilarikan kepada peran pemerintah yang dinilainya tidak memiliki konsistensi yang memadai dalam mengkonstruksi dan mengimplementasikan kebijakan usaha kehutanan. [BIS]
kehutanan sudah berubah, yang aturan pelaksanaannya sebelumnya longgar, berubah menjadi ketat...yang sebelumnya terbiasa boros lalu harus berhemat dan ini berimplikasi pada pengurangan keuntungan yang disepadankan dengan terminologi “sulit”. Bagi yang tetap jalan, diskursus kelompok ini melihat beberapa kemungkinan dari mulai kemampuan pelaku usaha untuk antisipatif, adaptif, punya komitmen, sampai berlaku “cheating”. [MASI]
(2) Diskursus Seputar Usaha Kehutanan – Hutan Alam Produksi Luar Jawa 2.1. Apakah Ekonomi Biaya Tinggi (EBT) faktor? Birokrat Diskursus dalam kelompok ini memosisikan EBT sebagai bukan faktor penting bagi jalannya kegiatan usaha kehutanan, selama pelaku usaha mampu melakukan efisiensi, inovasi, antisipasi dan atau diversifikasi dengan praktek usaha lain yang dengan mengeksekusi berbagai cara itu keuntungan usaha kehutanan masih signifikan. EBT bukan faktor, karena si pelaku usaha terbiasa mengambil jalan pintas dengan ”berani membayar lebih dari seharusnya” oknum petugas. Ini adalah cerminan upaya kompensasi dari buruknya kualitas komunikasi
Akademisi EBT diposisikan faktor yang direspon dengan perilaku manipulatif. Diskursus dalam kelompok ini lebih berfokus pada faktor penyebab munculnya EBT yang harus diperhatikan kemudian. Ini antara lain dikaitkan dengan tidak terantisipasinya tarik menarik kepentingan, sehingga diperlukan keberanian pemerintah untuk melakukan penataan yang lebih mendasar. Hal lain, masih adanya inkonsistensi kebijakan dan lemahnya upaya penegakan hukum. [AKA]
Praktisi Bisnis Kelompok ini menguraikan EBT sebagai macam-macam pungutan liar dan sejenisnya. Memosisikan EBT bukan sebagai faktor bagi kelangsungan usaha kehutanan karena sudah diantisipasi kedalam struktur biaya perusahaan, baik dalam rangka efisiensi maupun diversifikasi. Motifnya sejauh masih diperoleh margin keuntungan yang signifikan, atau sekalipun merugi, masih dapat jaminan pasokan bahan baku kayu, terutama bagi pelaku usaha yang terintegrasi dengan industri perkayuan. [BIS]
Masyarakat Sipil/NGO EBT diyakini kelompok ini sebagai bukan faktor kelangsungan usaha kehutanan, karana ia ada dari dulu. EBT bukan faktor, sejauh pelaku usaha memiliki etos kerja dan etika bisnis dengan kompensasi mencari harga tinggi di pasar, dan atau melakukan berbagai aksi negatif. Disebutkan sebagai aksi negatif, antara lain: menebang di luar blok tebangan, dan atau menebang di areal yang belum waktunya. EBT juga sudah diantisipasi di dalam stuktur biaya yang ada yang kadang besarannya dikompromikan dengan buyers saat menetapkan harga
262
antara pelaku usaha dengan si petugas tadi. Selain unsur ”komunikasi” dengan petugas, EBT juga disebut-sebut bersumber dari hadirnya klaim-klaim dari masyarakat adat. EBT bukan faktor juga dikaitkan dengan adanya fenomena spekulan tanah, gejala landbanking, jual beli izin, dan fokus-target investasi yang berorientasi ke pulp dan kertas dengan nilai investari terbesar. [BIR]
penjualan. Pertimbangan lain, sudah menjadi rahasia umum, bahwa pelaku usaha hanya sekedar pengumpul kayu, yang melakukan penebangan adalah kontraktor yang memperkerjakan buruh sangat murah. Dengan begitu, kelompok ini merujuk biaya suap dan sewa alat sebagai sumber EBT.. [MASI]
2.2. HPH rontok, faktor siapa? Birokrat Keduanya sebagai faktor (dengan kecenderungan pihak pemerintah digambarkan lebih dominan) dan distorsi lapangan yang semakin besar dan beragam yang membuat ruang gerak pelaku usaha semakin sempit serta kondisi potensi sumberdayanya yang memang sudah menurun drastis. Dari sisi pemerintah, ketidakpastian (kawasan dan usaha) meningkat, karena pemerintah tidak memiliki sasaran dan target yang jelas, terjebak dengan kemauan mengatur dengan memproduksi banyak aturan, tapi implementasi dan penegakan aturan itu lemah. Disamping itu, ketidak harmonisan hubungan pusat-daerah dalam konstruksi dan implementasi kebijakan yang tidak menimbang
Akademisi Faktor pemerintah disebut secara lebih dominan. Pemerintah reaktif, tidak antisipatif, tidak memiliki perencananaan dan strategi pengelolaan yang menyeluruh (karena ketiadaan konsep makro pembangunan hutan) melahirkan banyak kebijakan yang tidak tepat bagi pelaku usaha, sehingga akhirnya meningkatkan ketidakpastian dan ketidakteraturan dalam banyak hal. Ketiadaan komitmen pelaku usaha untuk melaksanakan kebijakan tadi secara disiplin diposisikan sebagai faktor rontoknya HPH dari sisi pelaku usaha. [AKA]
Praktisi Bisnis Keduanya sebagai faktor, dan pemerintah diposisika secara tegas lebih dominan. Dari sisi pemerintah antara lain disebut tidak mampu menjamin kepastian usaha, misalnya terkait penataagunaan lahan yang sering melakukan perubahan dadakan tanpa kompromi atas nama RTRWPTGHK yang sering menjadi korban adalah HPH. Dibsebutkan, bahwa APL melonjak (menjadi sekitar 55 juta ha) dan upaya konversi HP ke HPK meningkat pula menjadi sekitar 22,8 juta ha. Pemerintah juga dinilai terlalu banyak mengatur sehingga mempersempit ruang gerak pelaku usaha, meningkatkan biaya transaksi dengan kandungan ekonomi biaya tinggi. Pemerintah juga diposisikan
Masyarakat Sipil/NGO Keduanya. Pelaku usaha: kurang pandai mengelola situasi dan perubaannya sekaligus, sehingga tidak mampu beradaptasi. Disebutkan pula, bahwa pelaku usaha cenderung memandang bahwa iklim usaha sudah tidak lagi menguntungkan, sehingga bagi yang tidak committed lari ke bisnis lain non kehutanan. Dari sisi pemerintah disebutkan bahwa sebagai “land-owner” memang memfasilitasi perubahan peruntukan lahan yang berdampak pada pengurangan areal konsesi. Pemerintah juga memperketat penegakan hukum, namun pengawasannya lemah dan dinilai jutsru tidak benar-benar melakukan pengelolaan hutan dengan baik.. Potensi HA sendiri disinggung sudah
263
secara memadi faktor manusia dan tidak antisipatif atas demand lahan dan perizinan, sehingga melahirkan antara lain kegiatan konversi yang tidak terencana serta illegal logging. Masih dari sisi pemerintah, disebut pula upaya pemulihan governance melalui antara lain penilaian usaha oleh pihak ketiga independen dan sertifikasi mandatory SFM serta tekanan pasar atas kebutuhan untuk meningkatkan daya saing. Dari sisi pelaku usaha diskursus ini melihat faktor etos kerja dan etika usaha antara lain kurang antisipatif atas perubahan dalam banyak hal yang cukup nyata. Pelaku usaha dilihat cenderung logika dan perencanaan bisnisnya terpaku pada kondisi dan situasi lama untuk sesuatu yang sebetulnya sudah banyak berubah. [BIR]
sebagai tidak konsisten dan tidak memiliki visi kehutanan kedepan sehingga cenderung tidak fokus dan tampak berkeinginan untuk memuaskan semua pihak. Dari pelaku usaha sebagai faktor, antara lain disebut sifat dasar pelaku usaha untuk secara pragmatis tetap memaksimalkan keuntungan dengan orientasi jangka pendek. Ditegaskan, pelaku usaha sendiri sangat pasif, dan benar-benar tidak lebih dari sekedar operator. Selain karena faktor pemerintah dan pelaku usaha, diskursus dalam kelompok ini juga menguatkan, bahwa potensi HA sendiri sudah menurun, sehingga skala ekonomi pemanfaatan pun menurun. [BIS]
menurun. [MASI]
Praktisi Bisnis Penilaian tidak berhasil dan bahkan gagal cukup mendominasi diskursus di kelompok ini. Alasannya mulai dari kondisi fisik-botanis serta potensi HA yang anjlok, konflik multidimensi yang tidak berkesudahan, serta share atas PDB yang disebutnya selalu lebih kecil dari 2%. Rontok dan bergugurannya jumlah unit dan luasan HPH juga
Masyarakat Sipil/NGO Hal-hal terkait mensejahterakan masyarakat, kecilnya kontribusi atas perekonomian, dan kerusakan hutan menjadi alasan kelompok ini dalam menilai ketidak berhasilan usaha kehutanan sejauh ini. Diakui, bahwa perbaikan usaha kehutanan berjalan paralel dengan usaha perusakannya, sehingga (kehancuran?) tinggal soal
2.3. Usaha Kehutanan sejauh ini berhasil? Birokrat Dominan memosisikan tidak berhasil bahkan terang-terangan mengatakan gagal; walau beberapa menyampaikan secara malu-malu, dengan menggunakan istilah ”fifty-fifty”, ”kurang berhasil”, ”tidak cukup berhasil”, ”saya tidak bisa pastikan itu” atau sekedar balik menanyakan ”ukuran keberhasilan itu apa?”. Penapis yang
Akademisi Ketidakberhasilan lebih dikaitkan dengan kondisi kehutanan yang dinilainya semrawut, menurunnya kualitas hutan, sehingga hutan tidak lagi menarik dan bahkan dianggapnya menghambat pembangunan sektor lain. Dari sisi perolehan devisa, walau ”bocor” dianggap berhasil, namun gagal saat ditimbang dengan hal
264
digunakan pun macam-macam, namun share kehutanan atas perekonomian yang semakin menurun lebih banyak disebut, yang kemudian minta dikompensasikan angka kerusakan lingkungan dan hutan itu sendiri, sehingga secara keseluruhan dipertanyakan dampaknya atas kesejahteraan sosial. Dalam arus pemikiran semacam itu muncul pragmatisme, bahwa apapun capaian itu merupakan konsekwensi logis dari usaha kehutanan yang belum berjalan ideal di lapangan, sehingga apapun dampak kerusakan menjadi sebuah pilihan yang terpaksa. [BIR]
keadilan sosial-ekonomi. Diluar itu semua, muncul sanggahan bahwa soalnya bukan ”berhasil atau tidak berhasil”, tapi lebih kepada praktek pengelolaan yang disebutnya masih ”primitif”. Hal ini dikaitkan dengan tidak adanya jaminan jangka panjang dalam usaha kehutanan, sebagai akibat dari ketidaan perencanaan yang holistik.. [AKA]
masuk sebagai indikator kegagalan usaha kehutanan selama ini. Khusus terkait konflik multidimensi, kekecewaan dialamatkan ke Dephut, yang disebutnya ”membiarkan” pelaku usaha menghadapi sendiri menyelesaikan konflik yang sebetulnya bukan urusan pelaku usaha. [BIS]
waktu saja. Diskursus dalam kelompok ini kemudian mengharuskan adanya keberanian otoritas kehutanan untuk bertindak secara revolusi(oner), tidak lagi evolusi....”keburu habis semua”, kilahnya! [MASI]
Akademisi Ketiadaan konsep dan perencanaan yang holistik, ketiadaan sinnergi internal Dephut (Sekjen kurang berperan dalam hal sinergi ini; peran dan fungsi BiroCan yang lebih pada perencanaan adminitratif organisasi Kemenhut, bukan perencanaan kehutanan). Sebagai regulatory agent yang sering sekaligus mempersonifikasi negara, menguasai kawasan hutan oleh Dephut disebut sebagai akar masalah. Dengan demikian diskursus dalam kelompok ini menawarkan solusi dari mulai
Praktisi Bisnis Rendahnya penegakan hukum, ketidakjelasan kontrol dalam proses perizinan dan pembinaan, ketiadaan enabling conditions, khusunya perundangan yang tidak membebani telah diangkat sebagai akar masalah dalam diskursus yang berkembang di kelompok ini. Akar masalah lainnya disebutkan pula, antara lain minimnya dukungan dan insentif dari pemerintah, terutama dari sisi penyederhanaan prosedur dan regulasi – bahkan sebaliknya terlalu banyak yang diatur, termasuk hal-hal yang sebetulnya menjadi domain
Masyarakat Sipil/NGO Diskursus kelompok ini mengangkat sisi distribusi manfaat, tata-kelola yang semakin menyuburkan KKN, lemahnya penegakan hukum, dan kerangka kebijakan pemerintah yang tidak kondusif bagi usaha kehutanan sebagai akar masalah. Disamping itu diangkat pula aspek minimnya akses masyarakat dan kekurangmampuannya bersaing dalam usaha kehutanan serta orientasi yang masih kuat ke ekonomi (perolehan devisa), dan penghargaan masyarakat atas sektor kehutanan yang begitu rendah. Ketiadaa etika bisnis pun
2.4. Akar masalahnya apa? Birokrat Sebagai akar masalah antara lain disebutkan dari mulai profesionalisme rimbawan yang tidak lagi jadi panglima, terutama dalam manajemen hutan. Lalu, ketidakpastian hukum dan usaha, termasuk perlindungannya, semangat ekstraktif, dulu-dulu adanya subsidi legal berupa ”tax holiday”, ketiadaan komitmen para pihak atas kepentingan yang lebih besar. Hal disebut terakhir ini lalu dikaitkan dengan karena ketiadaan common values, tidak disiapkannya semacam ”champion” perubahan, hingga
265
ketiadaan leadership. Kesalahan dalam menetapkan masalah, desentralisasi yang belum selesai, kelembagaan pemerintah masih sangat lemah juga dinilai sebagai akar masalag. Akar masalah lainnya disebut juga penegakan hukum dan kultur terhadap implementasi regulasi yang tidak penuh, lalu kepentingan politik yang sudah sangat membebani birokrat dan berbagai kendala non teknis seperti kepastian kawasan dalam usaha kehutanan dan bagi masyarakat sekitar hutan yang telah lebih dulu ada di areal konsesi usaha yang kemudian mengundang beragam konflik. Dalam diskursus kelompok ini diakui bahwa terhadap banyak hal-hal non teknis ini, pemerintah tidak sama sekali menyentuhnya di lapangan dan bahkan penyelesainnya sering diserahkan pada pelaku usaha. Diskursus dalam kelompok ini juga menawarkan beragam opsi solusi, mulai dari penegakan hukum untuk keluar dari berbagai ketidakpastian, sampai menjadikan profesi kehutanan sebagai basis manajemen kehutanan dan manajemen Kementerian Kehutanan. [BIR]
adanya konsep dan perencanaan kehutanan makro dan hilistik, reformasi birokrasi sampai revitalisasi desentralisasi. [AKA]
pelaku usaha itu sendiri, sehingga mempersempit ruang gerak si pelaku usaha; sementara sifat aturannya sendiri dinilai mengundang masalah dan meningkatkan biaya transaksi. Terkait peraturan, dalam diskursus di kelompok ini muncul penilaian, bahwa peraturannya tidak konsisten dan cenderung membebani, misal dengan beragam pungutan atau penciptaan PNBP baru. Sehingga, di lapangan kalaupun banyak permintaan izin baru, lebih dikarenakan kegiatan spekulasi tanah (land politics). Hal yang menarik, dalam diskursus diangkat bahwa ada faktor ketidakmauan dari pemerintah untuk berubah. Satusatunya opsi solusi yang ditawarkan adalah melakukan deregulasi. [BIS]
diangkat sebagai akar masalah. Solusi yang diajukan adalah melakukan reorientasi dan pembenahan tata kelola. [MASI]
(3) Diskursus Seputar Kelestarian dan Pengelolaan Hutan Lestari – Hutan Alam Produksi Luar Jawa
266
3.1. Kelestarian masuk akal bagi pengusaha? Birokrat Hampir keseluruhan diskursus menempatkan pelestarian HA sebagai masuk akal dari sisi bisnis. Pertimbangannya pun beragam: kelestarian itu menjalankan dengan benar dan konsisten sistem silvikultur yang ada, kelestarian itu instrumen untuk menjawab persoalan distribusi, memiliki komitmen dan orientasi untuk kelestarian itu sendiri, dan pelaku usaha mana yang kegiatan usahanya tidak ingin langgeng. Namun ada pula yang mengerucutkan kelestarian sebagai upaya melaksanakan program rehabilitasi yang dinilainya tidak begitu diminati masyarakat, karena jenis tanamannya yang lambat tumbuh. Agar masuk akal, disarankan jenis tanaman yang disukai masyarakat yang umumnya cepat tumbuh. Di tengah arus pemikiran seperti itu muncul pula pandangan bahwa masuk akal tidak selalu berarti akan dilakukan. [BIR]
Akademisi Masuk akal bagi sebagian pengusaha, yang orientasinya jangka panjang dan multi-manfaat. Namun bagi sebagian besar pengusaha lainnya tidak melaksanakan, termasuk dalam menyiapkan perencanaan tapak. Ini menjadi alasan kuat bahwa pendekatan atur dan awasi (command and control) masih relevan dan perlu. Tidak masuk akal manakala pertimbangannya adalah sifat bisnis yang berorientasi untung besar dengan pengorbanan kecil dalam waktu secepatnya. Yang menarik muncul pandangan bahwa kelestarian itu adalah investasi jadi bukan saja masuk akal, tapi memang sesuatu yang harus dilakukan. [AKA]
Praktisi Bisnis Bagai kalangan ini, pelestarian HA produksi masuk akal, sejauh pencapaiannya tidak mengurangi penerimaan atau keuntungan. Pertimbangan lain yang muncul dalam diskursus adalah sejauh penerapannya dapat diwujudkan sendiri dan tidak sekedar melaksanakan ketentuan dan regulasi pemerintah. Pemerintah tak perlu banyak mengatur secara detail dan rinci, sehingga tidak banyak faktor yang ditentukan oleh pemerintah, sehingga capaian kinerja sepenuhnya dalam kontrol pelaku usaha. Tidak masuk akal, manakala pencapapaian kelestarian terkait urusan untuk tidak ribut dengan masyarakat sekitar. [BIS]
Masyarakat Sipil/NGO Kalangan ini lebih menegaskan bahwa yang masuk akal itu kelestarian usaha. Kelestarian hutan (SFM) dianggapnya masih utopis. Namun ini tidak sejalan dengan pandangan lain yang juga muncul dalam diskursus di kalangan ini, bahwa bagi pelaku usaha yang punya dan menjalankan etika usaha, kelestarian usaha berarti harus pula melestarikan hutannya. Disitulah pelestarian tadi masuk akal, karena kelestarian bagaimanapun adalah menjalankan banyak faktor, yang antara lain disebut sebagai faktor kunci, yakni melestarikan hutan. [MASI]
Praktisi Bisnis Pelaku usaha banyak mengalami tekanan, termasuk dari pemerintah yang begitu saja menyerahkan persoalan kepada pelaku usaha, misal dalam penyelesaian konflik. Layanan
Masyarakat Sipil/NGO Tidak mampu mensiasati, orientasi dan komitmennya rendah, atau memang tujuannya sekedar hit and run, ada opsi lain yang lebih menarik. Usaha kehutanan baru sebatas kayu dan hanya
3.2. Bila masuk akal, mengapa tidak dilakukan? Birokrat Tidak menarik, tidak ada komitmen, tidak ada pengawasan dan monitoring, tidak profesional, berpikir jangka pendek, tidak punya idealisme kelestarian, hanya berpikir nebang,
Akademisi Dari sisi pelaku usaha, tidak ada komitmen dan profesionalisme serta sifat dasar sebagai saudagar; sementara dari sisi pemerintah tidak ada pengawalan dan kebijakan yang yang
267
jiwa spekulan pencari untung jangka pendek yang hobi mencari jalan pintas, sehingga berperilaku hit and run. Iklim usaha yang disiapkan pemerintah tidak mendukung dan cenderung belum bisa memberikan kepastian hukum kepada para pelaku usaha kehutanan. [BIR]
tepat. [AKA]
pemerintah sendiri dinilai minim – untuk mengatakan tidak ada; untuk beberapa kasus pemerintah justru minta dilayani, seperti terjadi di Pemda. Sementara ditegaskan pula bahwa tidak ada itu kelestarian hutan (SFM), karena yang ada baru kelestarian bisnia. Pandangan lain menyebutkan, bahwa kelestarian itu mahal, terutama saat pelaku usaha tidak mampu menekan perambahan di areal konsesinya dan tidak ada jaminan dari pemerintah untuk tidak terjadi perambahan. Kelestarian itu sendiri dipahami sebagai sekedar memaksimalkan “compliance” – sekedar melaksanakan apa yang pemerintah atur. Pelaku usaha cenderung menjauh dari kelestarian dan bertindak dalam kerangka keuntungan jangka pendek, karena aturan (pemerintah) yang berubah terus. [BIS]
kayu yang yang dihargai, hutannya tidak dihargai sebagai asset, kelestarian, karenanya tidak masuk hitungan. Sementara ditegaskan, bahwa performance bond tidak dapat diandalkan, karena pemerintah terlalu banyak mengatur dengan kontrol lemah sehingga mengundang banyak ketidakpastian dan perilaku menyimpang. [MASI]
Praktisi Bisnis Kebutuhan semua pihak, minimal secara teori, karenanya perlu dukungan semua pihak pula. Namun faktanya semua pihak pula tidak peduli, termasuk perusahaan yang hanya memenuhi (compliance) kelestarian menurut ketentuan atau regulasi pemerintah. Dengan begitu diskursus di kalangan ini juga menyebutkan
Masyarakat Sipil/NGO Diskursus di kalangan ini sampai pada penilaian bahwa kelestarian itu kebutuhan semua pihak, utamanya generasi mendatang, sehingga disebut juga sebagai kebutuhan negara, sebagai pelaksanaan mandat Pasal 33 UUD 45, antara lain agar manfaat SDA bisa lestari lintas generasi. Dengan pemahaman seperti itu diajukan syarat
3.3. Kelestarian itu kebutuhan siapa? Birokrat Kebutuhan semua dan karenanya harus jadi pijakan bersama – realisasinya lain, malah tampak sebaliknya; penyebabnya antara lain tidak ada kesadaran para pihak dan tidak paham memaknai pentingnya nilai hutan; hampir semua pihak berpikir jangka pendek alias berpikir primitif. Ditengah arus pemikiran seperti ini, muncul
Akademisi Kebutuhan semua pihak – bukan sekedar instrumen beroleh pasar dan atau insentif harga, tapi mementingkan pula fungsi dan manfaat lain dari hutan. Pandangan lain meyakini kelestarian sebagai kebutuhan akademisi, karena merekalah yang selalu bicara soal kelestarian, untuk mengukuhkan dan aktualisasi posisi akademisnya. Bukan
268
pandangan bahwa kelestarian itu domain pemerintah untuk mewujudkannya, lainnya tinggal bersinergi saja. [BIR]
kebetuhan Kemenhut, karena fakta tidak ada pengawalan untuk menjamin pencapaian kelestarian itu di lapangan dan di tataran implementasi [AKA]
kelestarian itu bukan kebutuhan siapasiapa. Menyadari bagaimana kelestarian (banyak) diatur pemerintah, kalangan ini melihat bahwa kelestarian itu seolah milik pemerintah, pelaku usaha dan lainnya tinggal melakukan apa yang telah digariskan. Namun muncul pula pandangan dikalangan ini, bahwa kelestarian (sebenarnya) kebutuhan pelaku usaha, karenanya pemerintah sesungguhnya tidak perlu banyak mengatur. [BIS]
bahwa kebijakan yang ada tidak membebani atau meningkatkan ruang dan biaya transaksi. [MASI]
Akademisi Kalangan ini memaknai kelestarian sebagai kelestarian hasil dan kelestarian usaha dengan perspektif jangka panjang, progresif, terus menerus dan menguntungkan baik secara ekonomi maupun finansial. Oleh karena itu kalangan ini memandang perlu adanya dukungan akan kemantapan kawasan, tidak ada penebangan berlebih dan penanaman kembali untuk dapat mewujdukan kelestarian dimaksud. [AKA]
Praktisi Bisnis Kalangan ini dalam diskursusnya tampak lebih pragmatis-realistis dalam memaknai kelestarian. Disebutkan bahwa keleatarian itu adalah usaha jalan terus, mampu memasok kebutuhan bahan baku (kayu) terus menerus tanpa jeda, dengan tetap memerhatikan aspek lingkungan dan sosial budaya. Nilai hutannya sendiri – sebagai arus manfaat, berlanjut dan meningkat secara progresif. [BIS]
Masyarakat Sipil/NGO Dalam perspektif jangka panjang, lintas generasi, ketiga pilar fungsi hutan, tidak hilang, tetap terjaga, dan kualitasnya tidak menurun. [MASI]
3.4. Makna kelestarian itu apa? Birokrat Kalangan ini dalam diskursusnya memunculkan beragama makna tentang kelestarian. Disebutkan bahwa kelestarian itu semua fungsi hutan itu tetap dari waktu ke waktu secara progresif, termasuk fungsi ekonomi, dengan perspektif, pikiran dan orientasi jangka panjang. Kelestarian juga harus mengandung perspektif keuntungan secara dinamis dan adanya kepastian bahwa ada bagian dari keuntungan itu yang dikembalikan ke hutan. Oleh kalangan ini kelestarian juga dimaknai sebagai value yang harus dipegang secara konsisten (oleh para pihak pemangku kepentingan). Bagi pemerintah, kelestarian itu identik dengan memenuhi amanat Pasal 33
269
UUD 45, sehingga melekat kewajiban bagi pemerintah untuk menunjang pencapaian kelestarian itu dengan memastikan bahwa manfaat terdistribusi secara benar, terlaksananya kegiatan rehabilitasi dan terciptanya kepastian, kemantapan dan keamanan kawasan. [BIR]
3.5. Usaha kehutanan kita tidak lestari, se7? Birokrat Kalangan ini mengelompok kedalam tiga pandangan dalam menjawab pertanyaan di nomor ini: setuju tidak lestari, ragu-ragu, dan tidak setuju bahwa tidak lestari, masing-masing dengan argumen dan pertimbangannya. Setuju, karena fakta empiris menguatkan penilaian itu, misal bahwa saat ini mencari kayu di hutan sudah susah, sehingga potensi tidak memadai lagi. Yang ragu menggunakan argumen yang beragam, seperti ”tidak sepenuhnya setuju”, ”penilaian ini relatif”, ”tidak ada jawaban pasti”, ”antara setuju dan tidak setuju, fiftyfifty lah”. Pertimbangannya pun beragam. Lestari tidak lestari itu menjadi pilihan dan hasilnya adalah konsekwensi, sehingga tidak lestari menjadi pilihan yang terpaksa. Argumen lain, fakta empiris menunjukkan bahwa usaha kehutanan
Akademisi Diskursus di kelompok ini tidak banyak dan keseluruhannya setuju bahwa HA produksi kita tidak lestari, dengan bersandar pada argumen ”fakta menunjukkan demikian”. Pertimbangan lainnya, karena data laju dan besaran kerusakan hutan dan lahan serta adanya kencenderungan penurunan luas dan kemampuan HA untuk mendukung kehidupan manusia yang populasi dan kompleksitas persoalannya terus meningkat. [AKA]
Praktisi Bisnis Dalam diskursusnya, kelompok ini pun seluruhnya berpandangan setuju bahwa HA kita tidak lestari. Alasannya, luas dan produktivitas HA produksi menurun drastis oleh berbagai sebab empiris (konversi ke kebun dan tambang dan pinjam pakai kawasan), selain bahwa jumlah dan luasan konsesi HPH telah jauh berkurang serta fakta lain terkait tingginya angka kerusakan hutan dan lahan. Alasan lain, karena fakta bahwa semua pihak tidak peduli dengan kelestarian, termasuk perusahaan yang (terpaksa) hanya sekedar memenuhi kelestarian menurut aturan pemerintah. [BIS]
Masyarakat Sipil/NGO Hampir keseluruhan menyatakan setuju bahwa HA produksi kita tidak lestari. Pertimbangannya hutan makin rusak parah, indikasinya dari deforestasi yang terus meningkat, hilangnya hampir keseluruhan fungsi hutan baik sosial, ekonomi, dan lingkungan. Namun, muncul pandangan lain, bahwa secara peraturan HA kita akan lestari. [MASI]
270
sampai sekarang tetap jalan, namun tidak bisa dipastikan apakah ini indikasi kelestarian. Lestari tidak estari ini relatif, karena sekalipun banyak HA rusak, tapi banyak pula HT, termasuk HTI yang bertumbuh dan luasannya meningkat atau dengan menimbang keberadaan HL dan konservasi, yakin HA kita masih lestatri. Adapun argumen yang mengatakan tidak setuju bahwa HA produksi kita tidak lestari bersandar pada pertimbangan bahwa dari sisi potensi tingkat panen kita selama ini masih di bawah skala lestari. Deforestasipun tidak bisa dijadikan indikasi ketidak-lestarian, karena ratenya sekarang sudah mengecil. Bila alasan potensinya per ha nya menurun, kita punya Silin yang dengan TPTJ mampun meningkatkan produktivitas 10 kali, jadi isunya bukan lestari-tidak lestari. [BIR]
(4) Diskursus Seputar Kebijakan Usaha Kehutanan – Hutan Alam Produksi Luar Jawa 4.1. Hal terpenting dari kebijakan? Birokrat Proses: komunikasi, terbuka, dibangun berdasar common value, mekanisme pengambilan keputusan tegas, melibatkan sebanyak mungkin para pemangku kepentingan, membangun kesepakatan publik untuk kesejahteraan publik, tangkap para suara pakar dan suara publik terutama yang berpengalaman dan memiliki kredibilitas yang baik, penegakannya tegas dan
Akademisi Proses tidak disebut. Substansi: berangkat dari konsep yang jelas, sehingga masalah yang ingin dijawab pun jelas, fokus pada keseimbangan tarik-menarik kepentingan antar para pihak pemangku kepentingan,
Praktisi Bisnis Proses tidak disinggung. Substansi: aomodasi kepentingan secara keseluruhan, utamakan kemandirian pelaku usaha, pendekatan dan kontrol berbasis hasil/dampak (outcomebased), orientasi ke penyempurnaan
Masyarakat Sipil/NGO Proses tidak disinggung sama sekali. Substansi: mampu menciptakan kondisi yang bermanfaat untuk semua pihak, jangka waktu panjang, memberi akses ke masyarakat, antisipatif atas kondisi lapangan dan mampu menyelesaikan
271
adil. Substansi: fokus, tidak kaku, berangkat dari masalah yang ingin dijawab, memastikan pemantapan kawasan, membuka peluang sistem usaha baru (tak hanya kayu), diakui multi sektor, maksud-tujuan jelas, konsiste, berdasar pada kerangka yang jelas, tidak reaktif-kasuistis, menjawab persoalan dari mulai tingkat lokal, regional, nasional, bahkan internasional, namun tidak sekedar menjawab persoalan, tetapi juga antisipatif, penuh idealisme, berdasar pada halhal ilmiah dan mulai dengan pilot, sebelum digeneralisasi. [BIR]
perhatian tidak sekedar pada aspek yuridis, sosiologis dan filosofis, tetapi pada aspek penting mencapai tiga pilar kelestarian dan identitas budaya. [AKA]
besar dan alokasi pungutan resmi, tidak membebani dan bahkan bila perlu membebaskan pelaku usaha, atur yang memang perlu diatur, aturan tidak terlalu teknis, belajarlah dari pengalaman, tegaskan target yang ingin dicapai! [BIS]
persoalan, dapat dijalankan, tidak bertele-tele, kepentingan dan urgensinya jelas, memiliki fungsi kontrol. Perlu didukung upaya penegakan dan monitoring implementasinya. [MASI]
Akademisi Diagnosa dan resep salah, karena tidak ada konsep; bisa terjadi masing-masing ataupun bersamaan. Diagnosa lemah, dimungkinkan karena keterbatasan kapasitas (SDM dan teknologi), kekurang seriusan. Resep keliru, dimungkinkan karena kepenringan politik yang dominan, sehingga keliru di tingkat implementasi. [AKA]
Praktisi Bisnis Keduanya keliru. Diagnosa kadang akal-akalan dan manipulatif, sementara dari situ resep dibangun. Resep dibuat tanpa diagnosa, sehingga sering hal yang diatur bukan yang diperlukan, karena aturan terlalu detail, sehingga apa yang tertulis dan apa yang berjalan berbeda. Diagnosa keliru, sehingga resep apapun tidak manjur. [BIS]
Masyarakat Sipil/NGO Diagnosa benar, resep salah; diagnosa salah, resep jadinya asal-asalan. Salah resep, karena tidak mampu mendiagnosa. Diagnosa benar, resep dibuat menyimpang atau bahkan bertolak belakang. Jadi ada kesengajaan disitu. Diagnosa salah, resep salah, aturan yang keluar sering sekedar menjawab symptom. Yang keliru pikirannya, hanya dari perspektif pengusaha dengan orientasi keuntungan jangka pendek. Siapapun piha yang merumuskan kebijakan, sebaiknya tidak didominasi oleh pemikiran dan orientasi demikian. [MASI]
4.2. Resep vs Diagnosa... Birokrat Diagnosa keliru, resep tidak disebut; diagnosa keliru, resep salah; diagnosa tepat, resep salah; resep tepat, karena diagnosa tepat; Pengobatan tidak kontinyu, sekedar percobaan, penyakitnya sendiri komplikasi. Pendiagnosa banyak, hampir setiap orang melakukan diagnosa berdasar kepentingan masing-masing, hasil diagnosa banyak, bagaimana resep dibuat menjadi tidak jelas. Resep dokter berganti terus, tidak jelas mana yang pasti. [BIR]
4.3. Pihak dan Masalah paling berpengaruh dalam pembuatan/perubahan kebijakan... Birokrat
Akademisi
Praktisi Bisnis
Masyarakat Sipil/NGO
272
Hampir semua pihak berpengaruh. Namun yang paling berpengaruh disebutkan, antara lain: masyarakat terpapar dampak kebijakan, dpr, pemerintah,NGO, pengusaha, forester.. Namun ini semua menjadi tidak jelas saat ada ”black-box”, Adapun maslaah yang banyak memengaruhi adalah masalah pemerintah sendiri, pengusaha, dan bagaimana mencapai kemakmuran rakyat. Diluar itu semua, disebutkan bahwa yang paling berpengaruh itu adalah kelompok-kelompok yang memiliki akses dan power besar, termasuk di dalamnya adalah swasta besar! [BIR]
Kalangan ini melihat pemerintah atau penguasa dan pengusaha dinilai paling berpengaruh, terutama sebelum reformasi. Selainnya, seperti akhirakhir ini, masyarakat sipil turut memengaruhi, namum masih semu. Dalam diskursus muncul pula pemikiran, bahwa pemerintah identik dengan politikus yang menyuarakan kepentingan politik baik lokal, regonal, nasional maupun internasional. Pelaku usaha identik dengan menyuarakan kepentingan ekonomi. Sementara kepentingan dominan akan lingkungan dan sosial lebih disuarakan masyarakat sipil/LSM. Sementara akademisi diposisikan sebagai pihak yang diperlukan oleh keseluruhan para pihak ini, sehingga idealnya tidak mengusung kepentingan praktis tertentu. [AKA]
Pemerintah cukup dominan, tapi tidak disertai pengawasan yang memadai, pelaku usaha merasa tidak pernah diajak dalam proses selain saat sosialisasi, itupun aturannya sudah jadi. Dan itu terus berlangsung hingga kini, sehingga tampaknya pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman. Kalaupun ada pihak lain yang dilibatkan, tidak memiliki pengaruh langsung pada perbaikan substansi aturan, sehingga tetap saja mengundang banyak peluang terjadinya moral hazard. Pandangan lain menyebutkan, pemerintah kini lebih pro perusahaan tambang dan abai atas pelaku usaha kehutanan; dulu, 1970-180an , terutama zamannya Bob Hasan mereka mendengan pelaku usaha kehutanan, bahkan didikte perusahaan. [BIS]
Yang paling pengaruh adalah pihak yang tingkat kepentingannya lebih menonjol, mereka bergerak lebih dominan, baik bersamaan maupun sendiri-sendiri. Namun sering pula mereka yang memiliki kepentingan yang sama tidak sejalan. Yang tejadi kemudian, pemerintah lebih dominan, karena langkah akhir ada di mereka. Sebelum reformasi, dominasi in bersiombiosa dengan dunia usaha, sehingga tejadi kolaborasi penguasapengusaha. Masyarakat tidak diihat dan akademisi cenderung hanya dijadikan sekedar legitimasi. Untuk beberapa kasus, dominansi ini bergeser. Saat isunya adalah pelepasan lahan, besaran jatah tebang, sistem silvikultur, pengusaha tampak lebih dominan. Untuk isu timber legality dan illegal logging, masuk pula masyarakat madani dan program kerjasama (donor) internasional turut berpengaruh. [MASI]
Praktisi Bisnis Semuanya menyatakan ada persoalan cara pikir. Beberapa indikasi disebutkan, antara lain rimbawan dianggap tidak mengerti bisnis, sehingga perlu diatur pemerintah, profitabilitas sering dianggap lebih
Masyarakat Sipil/NGO Ada persoalan cara pikir: kebijakan harus (selalu) dari pemerintah, proses dan transparasni sering dianggap tidak penting, yang penting buat dulu aturan, urusan mengakomodasi lainnya belakangan dalam sosialisasi. Indikasi
4.4. Adakah persoalan cara pikir.... Birokrat Semua melihat ada persoalan cara pikir, namun indikator yang digunakan bermacam-macam. Ada yang mengaitkan dengan tidak terbuka, kurang mampu mengaitkan peran hutan dengan pembangunan nasional, kurang
Akademisi Keseluruhan melihat bahwa ada persoalan kerangka pikir. Indikasinya antara lain, cenderung dominan positivistik, tanpa menimbang realitas secara memadai, tidak mengakar ke pengetahuan lokal, memandang hutan
273
antisipatif, cenderung otoriter, sepihak, top down, pandangan lebih jangka pendek, tidak memiliki perspektif jangka panjang, tidak fokus, ego rimbawan, terjebak di hal-hal teknikal dan cenderung apolitik, lurus-lurus saja. Persoalan cara pikir lain, antara lain disebut keterjebakan hanya sekedar menjalan aturan, walau sadar aturanya itu sendiri tidak tepat atau bahkan keliru – sementara, untuk hal substansi yang secara objektif perlu dan dibutuhkan, tidak dilakukan (pengaturan), karena tidak ada aturan ( di atas) nya. Persoalan lainnya disebutkan pula, pemerintah bawaannya mau ngatur, yang diatur bahkan hal-hal teknis. Ada pula yang mengaitkan persoalan cara pikir ini dengan desentralisasi yang belum tuntas, sehingga banyak pihak yang ragu melangkah dalam menjalankan peraturan. Atau ada pula yang mengaitkan dengan soal tupoksi institusi yang disebutnya ”memengaruhi cara berpikir”. [BIR]
sekedar sumberdaya input produksi, memprioritaskan kepentingan ekonomi, hutan adalah sumberdaya dapat diperbaharui baik secara alam maupun manusia, sehingga tidak perlu khawatikan, [AKA]
penting dibanding kompetensi, apa yang harus diatur hanyalah untuk aturan itu sendiri, dan aturan itu sendiri akhirnya, tidak konsisten. Indikasi lain, ada kerangka pikir yang datang dari luar, sehingga banyak aturan yang tidak perlu tapi dipaksakan, karena datang dari luar. Disebutkan sebagai contoh adalah IHMB. [BIS]
lain, tahu persoalan tahu obatnya, tapi tidak melakukan tindakan, dan tindakan yang dilakukan adalah hal lain karena alasan konflik kepentingan (akan merugikan yang bersangkutan sendiri). Yang pragmatis, indikasinya lebih merujuk pada kekakacau-balauan kehutanan sekarang ini yang merupakan signal dari kekacau balauan pikiran. [MASI]
Praktisi Bisnis Didominasi oleh pandangan tidak ada perubahan, baik perbaikan substansi maupun persoalan kerangka pikir. Bahkan dinilai semakin menjadi-jadi,
Masyarakat Sipil/NGO Tidak banyak berubah, proses agak berkembang – melibatkan lebih banyak pihak, ada konsultasi publik yang relatif lama, namun sayang masih
4.5. Adakah perubahan kebijakan pra dan paska 1998 Birokrat Perbaikan kebijakan, sekecil apapun ada, tapi dinilai masih banyak kelemahan, dan tidak signifikan. Adanya perubahan ditunjukkan, terutama dalam hal niat, cara pikir, orientasi dan landasan akademik-
Akademisi Tidak ada perubahan baik kualitas kebijakan maupun kerangka pikir, karena esensinya sama saja. Ada perubahan; sebelum 1998 orientasi dan
274
ilmiah yang lemah. Perbaikan juga tampak setidaknya pada adanya usaha untuk mendefinisikan dan memastikan tujuan, yang dulu tidak ada. Dari sisi proses telah melibatkan cukup banyak para pihak pemangku kepentingan. Dari isu yang muncul, isu masyarakat dan lingkungan pun sudah cukup kuat, lebih karena spirit yang melatari waktu itu ”hutan lestari, rakyat sejahtera”. Dari sisi substansi, perubahan ke arah perbaikan ada, terkait pembenahan governance, fokus dan proritas. Perubahan kerangka pikir juga terjadi, banyak generasi baru yang masuk dengan pengetahuan barunya. Muncul banyak ide penetapan jatah tebang, prinsip-prinsip standard atas pelaksanaan REDD+ dan lain-lain, itu semua menunjukkan digunakannya ilmu dalam konstruksi kebijakan. Ada pula perubahan kerangka pikir, terkait gagasan untuk segera bergeser ke HT, atau bahkan hutan campuran; sementara untuk komoditi juga mengalami pergeseran, tak hanya kayu; lalu pengaturan kawasan kini tidak dapat bertahan seperti dulu, karena harus menimbang ada sektor lain. Sementara pandangan lain menunjukkan, bahwa kurun setelah 1998 lebih banyak konsolidasi manajemen kehutanan lalu soft-landing dan penurunan kuota jatah tebangan. [BIR]
keberpihakan kepada masyarakat dan lingkungan relatif kurang, lebih banyak pada pelaku usaha dan industri kehutanan. Setelaj 1998 kondisinya terbalik, namun tidak melemahkan keragaan dunia usaha dan industri kehutanan. Perubahan lain dinilai dari spririt dan orientasi kepada masyarakat, pemisahan urusan admin dengan teknis melalui KPH, dan hutan dipandang sebagai multifungsi. [AKA]
makin parah, dan terpuruk; antara lain karena makin tidak jelas dan multitafsir, termasuk antara pusatdaerah, akibatnya mengundang lebih banyak pihak lain untuk turut mengurusi kayu yang ujung-ujungnya membebani biaya operasional usaha dan mendongkrak pos biaya entertainment. Satu-satunya pandangan yang menilai ada perubahan pun melengkapinya dengan label ”tidak tampak jelas” hasil dan dampak perbaikan, mungkin karena tidak ada perubahan dalam cara berpikir, termasuk penilaian inkonsisten. [BIS]
diwarnai fenomena ”black box”, sehingga banyak pihak merasa tidak terwakili. Hampir tidak ada perubahan; dari aspek pengelolaan saja, UU 5/67 dan 41/99 tidak jauh berbeda, yakni pengelolaan domain pemerintah dan konsesi yang diberikan sebatas pemanfaata. Sementara cara pikir tetap saja, tidak berubah sama sekali. Sebelum 1998 apa yang baik menurut Bob Hasan, jadilah kebijakan. Setelah 1998, masyarakat madani lebih vocal, katrena banyak donor ikut campur, sehingga isu nya pun tergantung apa yang dibawa si donor. [MASI]
275
Lampiran 13. Kompilasi dan Sintesis Hasil Internet On-line Polling (1) Diskursus Seputar Hutan Alam Produksi Luar Jawa 1.1. Masa Depan Indonesia: HA vs HT Maspil/NGO
Birokrat
Bagi yang setuju, hutan tanaman lebih diposisikan sebagai upaya penghentian kegiatan eksploitasi dan konversi hutan alam, karena kondisinya yang saat ini dinilai telah rusak dan berkurang (luasnya). Yang setuju juga menekankan pertimbangan, bahwa PHAL sejauh ini hanya sebatas slogan di tengah realitas menghebatnya pembukaan kebun di kawasan-kawasan yang diklaim negara sebagai hutan alam produksi. Yang setuju menekankan pertimbangan bukan karena potensinya yang menurun karena kerusakan hutan alam itu, tapi lebih karena sistem atau disebut juga rejim konsesi hutan alam yang ada saat ini – disebut sebagai sentralistik, sekala besar – tidak lagi relevan, terutama bila dikaitkan dengan perkembangan sos-pol, khususnya terkait upaya demokratisasi dan desentralisasi SDA dalam kurun satu dekade terakhir ini. Bagi yang tidak setuju, pertimbangannya lebih diarahkan kepada makna, bahwa hutan tanam cenderung dan bahkan akan menjadi kesepakatan justru untuk meningkatkan proses menghabiskan hutan alam yang masih tersisa. Pertimbangan lain, karena menguatnya kecenderungan, bahwa hutan tanaman itu justru masa depan bagi konglomerat para pengusaha pulp dan kertas (disebut beberapa pengusaha pulp kertas kelas kakap). Dengan pertimbangan ini disarankan agar untuk pulp dan kertas seharusnya dari HTI, bukan dari hutan alam dan yang melanggar ketentuan ini agar ditindak tegas. Dari pertimbangan ini, tampak keyakinan bahwa hutan alam masih punya harapan, bila dikhusukan untuk kayu pertukangan sebagaimana diorientasikan diawal dan jauh sebelumnya. Baik bagi yang setuju maupun tidak setuju, ada beberapa pertimbangan agar memang hutan tanaman dapat menjadi harapan. Antara lain, hutan tanaman tidak hanya dikhususkan untuk pulp dan kertas, tetapi juga untuk kayu pertukang dalam menopang plymill dan woodworking. Pengelolaannya sebaiknya tidak monokultur, untuk menghindari perubahan keseimbangan ekosistem, dan diorientasikan sebagai recovery kondisi hutan alam. Adapun, hutan alam masih bisa diharapkan sejauh pemanfaatannya tidak diperuntukkan untuk kayu pertukangan, tapi difokuskan pada hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan, jadi hutan alam dan hutan tanaman dapat berjalan seiring. [MASI] Bagi yang setuju, pertimbangannya antara lain karena hutan alam sudah tidak dapat lagi diharapkan, selain karena sudah dibagi habis kedalam hak konsesi (HPH) yang diyakini (saat ini keadaanya) sudah dipanen habis, kawasan ini pun tidak dapat lagi dipanggil sebagai hutan produksi alam, tetapi hutan tanaman saja. Pertimbangan lainnya, karena kemantapan kawasan hutan tidak tuntas, tidak ada jaminan jangka panjang, pengamanan sulit; sementara upaya serius dari pelaku usaha sangat rendah; demikian pula pengawasan, dinilai masih sangat kurang. Di atas itu semua dinilai bahwa regulasi masih kurang aplikatif. Bagi yang tidak setuju, hutan alam harus tetap dipertahankan, untuk produksi kayu yang terbatas sekalipun, karena banyak hal yang tidak mungkin didapat dari hutan tanaman,
276
Akademisi
Praktisi Usaha Kehutanan
Campuran
misal dari aspek ekosistem dan keanekaan hayati. [BIR] Keseluruhan tidak setuju dengan pertimbangan yang hampir sama, dari sisi pengelolaannya. Disebutkan bahwa hutan tanaman dan hutan alam berbedar dari sisi pengelolaan dan Indonesia memiliki kekuatan di kedua macam hutan ini. Keduanya harus saling melengkapi, karena kombinasi keduanya dapat merupakan masa depan Indonesia. Pertimbangan lain, konversi hutan alam ke hutan tanaman dan atau perkebunan mahal (ongkos segalanya). Hutan alam di luar Jawa harusnya mampu dikelola (lebih baik) melalui PHL [AKA] Bagi yang setuju, menawarkan semacam syarat, agar hutan alam dipertahankan dan ditingkatkan kualitas tegakannya sebagai kawasan konservasi keanekaan hayati, kalaupun menebang, dengan penebangan yang terkontrol. Yang tidak setuju, menegaskan bahwa hutan alam dan tanaman memiliki peran masing-masing. Disebutkan, bahwa hutan alam berperan dalam banyak fungsi (sosek lingkungan dan sumber plasma nutfah. Sementara hutan tanaman didorong oleh pertimbangan besar kebutuhan kayu. [BIS] Yang setuju melihat hutan tanaman memang mampu menopang tidak hanya fungsi ekologis, tetapi juga fungsi sosial dan ekonomi rakyat, dan bahkan keamanan pangan berbasis hutan. Pertimbangan lain, hutan tanaman bisa jadi harapan bila dikelola dengan baik dan benar dengan dukungan kebijakan dan regulasi yang kondusif dengan PHL. Namun demikian, bagi yang setuju, hutan alam masih dipandang memiliki harapan, bila hal-hal yang menjadi penghambar mencapaian PHL dapat diatasi. Tanpa memperlihatkan persetujuan/ketidak setujuannya, masa depan hutan Indonesia lebih ditentukan oleh kemampuan para pihak dalam menerapkan pengelolaan ekosistem yang menyeluruh, tidak parsial, dengan menyesuaikan pendekatannya.[CAMP]
1.2. Kondisi sulit, usaha kehutanan tetap jalan. Faktor apa? Maspil/NGO
Yang berpandangan positif melihat bahwa pelaku usaha memiliki akses pasar global dengan harga premium, misalnya melalui skema sertifikasi. Atau si pelaku usaha memiliki cukup banyak rimbawan profesional diposisiposisi kunci yang relatif patuh terhadap peraturanyang ada, sehingga secara keseluruhan pemilik saham serta manajemennya tidak tamak, sehingga mampu dan mau melakukan produksi sesuai dengan areal RKTnya. Sifat pelaku usaha semacam ini disebutnya sebagai “industrialisa yang punya komitmen”. Selain komitmen, diakui pula bahwa faktor yang menopang adalah faktor lingkungan sosial dan masyarakat di sekitar areal konsesinya. Pandangan yang tidak positif meyakini pelaku usaha melakukan sejumlah tindakan curang, seperti mencuri, atau menebang tidak dilaporkan, atau kalaupun dilaporkan maka laporannya dimanipulasi dengan jenis dan jumlah kayu yang menyebabkan PSDH dan DR yang harus dibayar menjadi jauh lebih rendah. Atau melakukan praktek yang disebutnya sebagai “pat-gulipat” dengan para aparat berwenang. Dalam pandangan kelompok ini pula pelaku usaha yang bertahan disebabkan ia adalah pemain lama yang sudah terlanjur dan pemain baru yang tidak mengerti. Disebutkan, untuk pemain lama ada kasus si pelaku usaha melepaskan kegiatan usaha itu sebagian maupun
277
Birokrat
Akademisi Praktisi Usaha Kehutanan Campuran
seluruhnya (dan mengalihkannya ke entitas usaha lain). Bagi pandangan kelompok ini, karakter pelaku usaha seperti itu dianggap sebagai pemburu rente dan tidak punya komitmen atas usaha kehutanan. Bagi yang di posisi netral, pelaku usaha yang bertahan, disebabkan karena terpaksa harus bertahan dengan menerapkan berbagai siasat dalam mengatasi berbagai kesulitan yang justru datang dari luar kehutanan, misalnya beragam pungutan liar, antara lain dipaksa untuk turut membiayai pilkada. [MASI] Pandangan positif menilai bahwa pelaku usaha yang bertahan disebabkan memiliki komitmen dan konsistensi dalam berusaha, dan bagus dalam pengaturan hasil. Atau mereka yang memiliki proses yang padu antara panen dan industri dengan dukungan ketersediaan dana yang memadai untuk dapat menjaga keseimbangan proses yang padu tadi yang dilandasi kesungguhan pengelolaan karena dorongan kepentingan keberlanjutan industrinya. Hal lain, dukungan pemda dalam hal kepastian penggunaan lahan memberikan pengaruh relatif nyata pula untuk bertahan. Yang negatif cenderung melihatnya sebagai akibat perilaku curang, misal dengan menjarah hutan lindung. [BIR] Diyakini bahawa regulasi pemerintah yang dinilainya bersifat insentif, yang diakui berimbas positif pula pada pasar komoditi, menjadi faktor mengapa pelaku usaha dapat bertahan dalam kondisi sulit. [AKA] Secara positif diyakini bahwa konsistensi baik dalam hal niat, manajem maupun instrumen adalah faktor bagi pelaku usaha untuk terus bertahan. Selain itu diyakini pula bahwa perlindungan birokrat daerah merupakan faktor lainnya. [BIS] Dari sisi positif diyakini bahwa faktornya adalah selain manajemen yang efisien, konsistensi dari pemilik dan pengelola usaha dan keyakinan bahwa bahwa pengelolaan hutan alam yang dilakukan secara profesional masih dapat memberikan keuntungan ekonomi dan ekologi. walaupun dalam kondisi ketatanegaraan yang sulit. Faktor lain yang diyakini adalah SFM dan tipologi lokasi UM yang relatif rendah dari sisi kerawanan lingkungan dan sosialnya. Leadership dan visi para pelaku usaha dan pemiliknya juga merupakan faktor yang dapat mengatasi berbagai halangan atau hambatan. [CAMP]
(2) Diskursus Seputar Usaha Kehutanan – Hutan Alam Produksi Luar Jawa 2.1. Apakah Ekonomi Biaya Tinggi (EBT) faktor? Yang menganggap EBT adalah faktor – dimana tidak ada satu pelaku usahapun yang mampu menghindar – Maspil/NGO cenderung mengaitkan dengan konsekwensi logisnya, seperti menebang melebihi RKT, bahkan pembabatan dan tekanan atas hutan diluar kemampuan alam hutan untuk memperbaiki diri. Yang EBT bukan faktor menunjukkan bahwa EBT sebagai hal biasa terjadi akibat kongkalikong dan “urusan tau-sama tau” untuk menghindari sejumlah kewajiban terhadap negara, masyarakat dan lingkungan. Ini terus berlangsung selama pelaku usaha masih tetap memperoleh keuntungan dan dengan petugas bersifat saling menguntungkan. Dengan sifat saling menguntungan ini mereka cenderung saling menutupi upaya kongkalikongnya itu. [MASI]
278
Birokrat
Akademisi Praktisi Usaha Kehutanan Campuran
EBT bukan faktor, karena alasan orientasi baik pelaku usaha maupun petugas yang sekedar untuk keuntungan jangka pendek. Alasan lain, para pelaku usaha memang sudah menikmati keuntungan besar dari periode usaha sebelumnya, sehingga EBT yang dihadapi hanya sebatas mengurangi tingkat keuntungan relatif terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh sebelumnya. [BIR] EBT faktor, lebih khusus dianggap faktor disinsentif. Tidak tersedia cukup alasan. [AKA] EBT bukan faktor, selama SDM dan sistem usaha kehutanan koruptif, EBT menjadi “hal biasa”, terlebih saat semua pihak larut dalam sistem yang korup ini. [BIS] EBT faktor dan beban yang tidak bisa dihindari dan karenanya harus disiasati oleh pelaku usaha, agar tetap dapat menguntungkan. [CAMP
2.2. HPH rontok, faktor siapa? Yang menganggap karena faktor pemerintah meyakini bahwa menurunnya jumlah dan luasan konsesi HPH karena Maspil/NGO
Birokrat
Akademisi
pemerintah dianggap tidak mampu mengelola hutan, tidak bertangung jawab atas berbagai izin yang telah diberikan, pemerintah gagal total dalam memantau dan mengevaluasi ijin yang diberikan melalui mekanisme persetujuan RKT. Disebutkan, RKT lebih banyak ditentukan oleh besarnya suap, bukan atas pantauan Kemenhut dan Dinas Kehutanan atas kondisi riil lapangan. Yang menilai karena faktor pelaku usaha, mengaitkannya dengan unsur kesengajaan pelaku usaha melihat usaha kehutanan yang semakin tidak semenarik dulu lagi, sehingga cenderung melakukan pelanggaran yang mengakibatkan dicabut pemerintah. Yang menilai karena faktor keduanya (pemerintah dan pelaku usaha), menganggap bahwa kedua pihak punya andil dan kontribusi, dimana pelaku usaha lebih beriperilaku sebagai pedagang tanpa rencana usaha yang memadai dan pemerintah dinilai sering gonta-ganti aturan, lemah dalam pengawasan dan tidak memiliki strategi bahkan pemerintah cenderung dianggap sebagai “pemeras”. [MASI] Yang menilai pemerintah sebagai faktor, mengaitkan dengan ketidak siapan pemerintah untuk berdemokrasi secara benar, khususnya dalam konteks desentralisasi yang telah membuka akses setiap pihak ke kawasan hutan berlomba mencari rente sebanyak-banyaknya yang membuat usaha kehutanan per pelaku usaha akhirnya tidak ekonomis lagi bahkan sampai bangkrut. Bagi yang menilai faktor kedua-duanya (pemerintah dan pelaku usaha) punya andil, mengaitkannya dengan fakta bahwa pelaku usaha tidak memiliki kepedulian jangka panjang dan sekedar mengandalkan mental pedagang, bukan pengusaha sejati. Sementara pemerintah, tidak efisien dalam melaksanakan tugas. [BIR] Akademisi melihat lebih karena keduanya dengan porsi 70% pemerintah 30 % pelaku usaha. Pelaku usaha yang sebelumnya besar dan kuat akhirnya kolapse karena salah urus dan terlalu berkonsentrasi kedalam pengembangan bisnis di luar kehutanan. Disamping itu karena ketiadaan sinergi dari pemerintah. [AKA]
279
Praktisi Usaha Kehutanan Campuran
Selain pemerintah dan pelaku usaha yang dinilai keduanya “serakah”, disebutkan pula faktor lain, yakni sistem yang cukup luas dan sistem pengetahuan yang dinilainya tidak dibangun secara sejati. Sementara para pakar pun dinilai tidak jujur. Akibatnya usaha kehutanan “hidup segan, mati tak mau”. Pelaku usahanya sendiri dinilai cenderung mempertahankan status quo dan uangnya diinvestasikan ke sektor non-kehutanan. [BIS] Yang menganggap pelaku usaha sebagai faktor menilai bahwa pelaku usaha tidak inovatif, tidak punya visi, tidak memiliki komitmen pengelolaan hutan jangka panjang, tidak mampu menghadapi tantangan dan hambatan, sehingga bangkrut. Tidak disediakan cukup alasan bagi yang menempatkan pemerintah sebagai faktor. [CAMP]
(3) Diskursus Seputar Kelestarian dan Pengelolaan Huta Lestari – Hutan Alam Produksi Luar Jawa 3.1. Kelestarian masuk akal bagi pengusaha? Maspil/NGO
Birokrat
Akademisi
Praktisi Usaha Kehutanan Campuran
Pelestarian hutan alam produksi masuk akal karena alasan ia akan menentukan pula kelestarian usaha kehutanan. Pengelolaan dan regulasi yang baik dan benar serta umumnya tata kelola yang baik, menjadi syaratnya. Namun dalam situasi yang sulit seperti sekarang, hal ini tidak mudah dibuktikan. Kesulitan ini merujuk pada dua hal, yakni dari sisi regulasi pemerintah dan pelaksanaannya (tata kelola) serta perilaku praktisi pengusaha dan pemilik yang hanya berorientasi keuntungan jangka pendek, ekstraktif-eksploitatif dan – karenanya – abai atas pelestarian hutan alam. Diskursus yang tergali dari jawaban atas pertanyaan bagian ini menguatkan fenomena ini. [MASI] Pelestarian hutan alam perlu waktu dan modal besar, bertolak belakang dengan “hitungan bisnis” dimana keuntungan harus diperoleh secepatnya. Karenanya bagi pelaku dan pemilik usaha, pelestarian hutan alam – sekalipun masuk akal bila prakondisi yang diciptakan pemerintah memadai, cenderung sulit diimplemantasikan. Prakondisi dimaksud merujuk pada kejelasan peraturan dan pelaksanannya (tata kelola) dan pasar lokal yang kompetitif. [BIR] Dengan hitungan ekonomi finansial, pelestarian hutan alam sangat masuk akal. Keadaan bertolak belakang, lebih karena persoalan mental pelaku usaha: berpikir sempit, mengambil sebanyak-banyaknya keuntungan, abai atas pelestarian hutan alam dan bahkan atas kelestarian usahanya. Mental demikian dirujuk lebih khusus pada pelaku usaha “karbitan” dan pemerintah daerah. [AKA] Bagi pelaku usaha yang serius dan bukan pencari rente, pelestarian hutan alam adalah sangat masuk akal. Namun dalam pelaksanaan aspek pelestarian hutan alam tergantung kepada peluangnya dan pelaku usaha memanfaatkan peluang itu. [BIS] Hampir sama dengan sintesis untuk Kelompok MASPIL, pelestarian hutan alam perlu waktu, karena karkateristik
280
usaha kehutanan itu sendiri yang disebutkan memerlukan waktu lama. Hanya bagi pelaku usaha yang berorientasi ekstraktif-eksploitatif serta berkarakter hit and run yang menempatkan pelestarian hutan alam sebagai tidak masuk akal. Pelaku usaha dengan visi-misi pengelolaan hutan alam produksi, pelestarian hutan alam masuk akal. [CAMP]
3.2. Bila masuk akal, mengapa tidak dilakukan? Maspil/NGO
Birokrat
Akademisi Praktisi Usaha Kehutanan Campuran
Alasannya karena tidak adanya sistem penalti dan penghargaan, sehingga yang jujur dan berlaku curang dihargai sama, bahkan dalam beberapa kasus yang curang lebih disukai: “karena angpaunya ke kantong para petugas kehutanan, polisi dan jaksa lebih banyak”. Alasan lain , lebih karena keseriusan dari investasi walau sering dihambat oleh ekonomi biaya tinggi, sehingga pelestarian hutan walau masuk akal tapi alhirnya tidak menguntungkan. Pandangan negatif melihat pelaku usaha yang kurang akal atau berpikiran jangka pendek dan sekedar ingin cepat kaya dan tak ingin repot mengikuti aturan merupakan faktor mengapa pelestarian hutan tidak dilakukan. Faktor lain yang juga penting adalah fakta bahwa hukum bisa dinegosiasikan. [MASI] Faktor finansial berupa kebutuhan besar aliran kas dalam pengembalian yang relatif lama merupakan faktor untuk kasus ini, selain karena pelaku usaha sendiri keinginannya serba “instant”. Faktor lain lebih karena beban biaya sosial yang memberatkan ditengah ketidak jelasan peraturan dan pelaksanaanya – aturan yang tumpang tindih dll. Kesungguhan yang kurang, juga merupakan faktor. [BIR] Faktornya lebih karena berbagai disinsentif berupa tata-kelola yang buruk, termasuk di dalamnya lemahnya kontrol pemerintah yang akhirnya meningkatkan beban ekonomi biaya tinggi bagi pelaku usaha dalam pelestarian hutan alam. [AKA] Latar pemikiran dan orientasi keuntungan sebesarnya dalam jangka pendek melalui cara-cara yang sembarangan, merupakan faktor yang mendorong pelaku usaha tidak melaksanakan hal yang masuk akal baginya: pelestarian hutan alam yang jadi konsesinya. [BIS] Perilaku oportunis dengan mengutamakan kepentingan jangka pendek di tengah tata-kelola kepemerintahan yang buruk, ditunjukkan antara lain ambigu dan korup merupakan faktor, yang menyebabkan minimnya kepastian usaha, sehingga secara keseluruhan usaha kehutanan menjadi kurang menarik bagi upaya menghimpun keuntungan dan pelestarian hutan alam itu sendiri sekaligus. [CAMP]
3.3. Kelestarian itu kebutuhan siapa? Pelestarian hutan alam merupakan kebutuhan semua pihak, termasuk masyarakat adat yang hidupnya secara fisik Maspil/NGO jelas-jelas berinteraksi dan bergantung akan sumberdaya hutan alam. Beberapa menyebutkan secara khusus sebagai kebutuhan para pelaku usaha untuk keberlanjutan usahanya; dan kebutuhan para rimbawan dan bahkan pecinta
281
Birokrat Akademisi Praktisi Usaha Kehutanan
Campuran
lingkungan yang begitu fanatik, sehingga mempersempit makna pelestarian sebagai “tidak boleh menebang”. [MASI] Pelestarian hutan alam diyakini sebagai kebutuhan semua pihak baik karena alasan pemenuhan kebutuhan kayu dan kondisi ekosistem secara terus menerus atau karena alasan-alasan terkait kepentingan lintas generasi. [BIR] Pelestarian menjadi kebutuhan “seluruh insan Indonesia” baik untuk kepentingan ekonomi maupun lingkungan. Secara khusus disebutkan sebagai kebutuhan pengusaha dan pemerintah karena alasan hutan alam memiliki keunggulan kompetitif akibat kelangkaan di negara lain. [AKA] Pelestarian hutan alam diyakini sebagai kebutuhan pelaku usaha, pemerintah, komunitas lokal, pembela lingkungan dan akademisi. Bagi pelaku usaha untuk mendapatkan hasil berupa kayu, non dan jasa ; sementara bagi pemerintah untuk beroleh pajak, perekonomian; bagi komunitas lokal keberadaan fisik hutannya itu sendiri. Sedangkan bagi akademisi untuk keperluan riset. Ada pula yang meyakini, bahwa jawaban atas pertanyaan ini akan sangat subjektif dan bisa jadi sekedar utopis, karena tak cukup waktu untuk bisa disingkap secara tuntas. [BIS] Pelestarian hutan adalah kebutuhan semua pihak. Masyarakat, pemerintah, pelaku usaha, serta konsumen (hasil hutan) diyakni merupakan pihak yang membutuhkan pelestarian hutan alam, dengan alasan masing-masing. Masyarakat butuh, untuk tujuan beroleh manfaat yang terus menerus; selain alasan bahwa dampak yang timbul dari kerusakan hutan alam mereka sendiri yang akan menanggung, termasuk biaya untuk mengatasinya. Bagi pemerintah, karena alasan kewajiban untuk menyejahterakan masyarakat termasuk untuk mengatasi dampak ketidak-lestarian yang terjadi. Bagi pelaku usaha, terutama yang visioner, karena alasan pemenuhan kebutuhan bahan baku (kayu) yang terus menerus. [CAMP]
3.4. Makna kelestarian itu apa? Kelestarian dimaknai sebagai proses pengambilan hasil berupa incrementnya, bukan pokoknya. Kelestarian Maspil/NGO
Birokrat Akademisi Praktisi Usaha
dimaknai pula dari sisi ekonomi, yakni menguntungkan pelaku usaha, sumber pendapatan pemerintah, manfaat bagi masyarakat sekitar hutan, dan habitat bagi kehidupan hewan di sekitarnya. Makna kelestarian diyakini pula sebagai perolehan hasil dan jasa yang optimum yang menyejahterakan. Kelestraian diartikan pula sebagai “pengelolaan hutan yang tidak dimonopoli pemerintah, apalagi swasta”. Kelestraian juga diyakini berdimensi lintas generasi. [MASI] Makna kelestarian adalah mendapatkan kayu dalam jumlah cukup, harga terjangkau dengan tetap dapat menikmati hasil hutan non kayu dan jasa lainnya. Kelestarian dimaknai sebagai pengelolaan yang bertanggung jawab dalam menjamin keberlangsungan pasokan bahan baku [BIR] Kelestarian dimaknai sebagai “selalu tersedia sepanjang masa” yang dilandasi oleh konsep pengelolaan yang baik yang mempertimbangkan ketiga pilar ekonomi-ekologi-sosial dan etika moral yang baik. [AKA] Makna kelestarian diyakini secara fisik sumbernya ada, kelihatan, terasa manfaatnya dan menguntungkan banyak
282
Kehutanan Campuran
pihak, sehingga usaha dapat terus bergulir. [BIS] Kelestarian dimaknai sebagai proses – pengelolaan lahan hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang ditetapkan bersama para pihak pemangku kepentingan atas pemanfaatan hasil dan jasa hutan secara terus menerus tanpa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Kelestarian juga dimaknai sebagai ekosistem yang dapat menyangga kebutuhan pokok manusia, tanpa mengorbankan daya dukung. Makna lainnya adalah pembebasan ragam gagasan dan tata-laksana pengelolaan hutan dimana para pihak terkait dilibatkan langsung dalam memadukan batasan-batasan pemanfaatan dalam lingkup ekosistem yang sehat. [CAMP]
(4) Diskursus Seputar Kebijakan Usaha Kehutanan – Hutan Alam Produksi Luar Jawa 4.1. Resep vs Diagnosa Kekeliruan diagnosa cenderung dikaitkan dengan sifat pembuatan kebijakan yang dinilainya top-down, sementara Maspil/NGO
Birokrat
para pembuat kebijakannya sendiri yang kebanyakan di Jakarta dinilai tidak mengerti lapangan. Kekeliruan diagnosa juga dianggap sebagai sebuah kesengajaan agar resepnya otomatis keliru. Disebutkan, bahwa seharusnya tidak terjadi kekeliruan diagnosa, seandainya para pembuat kebijakan memohon masukan para pihak yang dinilainya paham kehutanan, seperti akademisi/PT, LSM, pelaku dan penggiat usaha kehutanan. Secara substantive kekelirian diagnosa juga dikaitkan dengan cara pandang para pembuat kebijakan, antara lain: (a) melihat hutan sebagai kumpulan pohon tanpa manusia, pohon sebagai penghasil kayu saja sebagai satu-satunya pemberi nilai ekonomi terhadap hutan - kekeliruan ini menciptakan monopoli rimbawan (forester) mengurusi hutan tanpa melibatkan ilmu pengetahuan lain, khusus ilmu-ilmu sosial; karenanya urusan usaha kehutanan dipersempit menjadi sekedar silvikultur; (b) Menciptakan ekonomi kayu sebagai sumber pendapatan nasional untuk meraup devisa dari pasar luar negeri; akibatnya usaha kehutana kemudian dikuasai oleh pedagang eksportir yang berkongsi dengan penguasa dan politisi, dan (c) akibat kekeliruan itu ekonomi non-kayu dan jasa lingkungan yang menopang kehidupan ekonomi lokal hancur oleh ekonomi kayu domestik dan internasional; akibatnya ekonomi lokal mengalami marjinalisasi dan bahkan menimbulkan pelanggaran HAM atas masyarakat adat yang hidupnya tergantung dengan hutan dengan multi-produk dan multi-jasa lingkungan. Dari berbagai kekeliruan usaha kehutana itu disimpulkan bahwa usaha kehutanan yang ada selama 40 tahun terakhir ini dinilai sebagai kecelakaan sejarah akibat kesalahan pemerintah memahami dan menjalankan kebijakan ekonomi di sektor kehutanan. Hal ini menguatkan penilaian lain yang menyebutkan bahwa yang keliru justru para pembuat kebijakan. Namun, ada juga yang berpandangan, bahwa tidak ada kekeliruan terkait diagnosa dan resepnya. Kekeliruan lalu dikaitkan dengan sifat manusia yang serakah. [MASI] Salah satu pandangan yang mengemuka adalah, bukan soal diagnosa dan resep, tapi penanganan soal kehutanan yang tidak tuntas dan tidak pernah sesuai dengan permasalahan. Namun mengemuka pula pandangan bahwa
283
Akademisi Praktisi Usaha Kehutanan Campuran
kekeliruan terjadi pada keduanya – diagnosa dan sekaligus resepnya. Pandangan lain menyebutkan, bahwa kalaupun diagnosa dan resep relatif tidak keliru, masih tersisa persoalan pada enforcementnya karena kebijakan yang memang sulit diimplementasikan dan karena para enforcer nya yang justru jadi penyakitnya. [BIR] Pandangan pokok yang mengemuka adalah kompleksitas persoalan yang bukan sebatas fenomena kekeliruan diagnosa dan resep, melainkan sifat dokter dan penyakitnya itu sendiri, serta mahalnya “apapun resep” yang harus ditebus alias dijalankan! [AKA] Kekeliruan diagnosa dipandang lebih karena integritas dan komitmen pembuat kebijakannya, sehingga sering resep yang keluar pun keliru. Pandangan lain mengaitkan dengan kompleksitas permasalahan yang tidak mungkin ditangani hanya dengan satu “resep”, sehingga disarankan bahwa sebaikna diagnosa itu berorientasi pada upaya pencegahan. [BIS] Mengemuka pandangan bahwa, sejauh ini justru tidak terjadi proses mendiagnosa atas permasalahan dan bahkan tidak pernah menyiapkan “resep”. Diduga para pembuat kebijakan sekedar coba membawa “kebijakan” yang dipasok dari luar dengan tujuan sekedar melihat reaksinya. Pandangan lain mengaku ada diagnosa namun keliru atau ada juga pandangan bahwa hasil diagnosa sering diabaikan. Ada pula yang mengingatkan, bahwa tidak semua persoalan kehutanan dapat diselesaikan dengan kebijakan! [CAMP]
4.2. Pihak dan Masalah paling berpengaruh dalam pembuatan/perubahan kebijakan... Yang yakin bahwa penguasa yang paling berpengaruh dalam proses konstruksi kebijakan memberikan beragam Maspil/NGO
Birokrat
pertimbangan. Antara lain, karena pemerintah memiliki logikanya sendiri tapi lupa tugasnya untuk mengatur relasi antar para aktor, yang terjadi bahkan berbagai tindakan kolutif dengan pengusaha dan lembaga donor internasional. Hal ini dipandang sebagai simbol bahwa Dephut melakukan tindakan yang disebutnya sebagai “kolonialisasi” atas masyarakat adat melalui kebijakan usaha kehutanan, khususnya pemberikan konsesi HPH. Dalam situasi seperti ini, masyarakat sipil menjadi pihak yang paling lemah, sehingga kecil pengaruhnya dalam proses konstruksi kebijakan. Yang meyakini bahwa pelaku usaha yang paling berpengaruh, mengaitkan pertimbangannya dengan tindakan lobilobi pengusaha melalui asosiasi, terlebih saat pengurus asosiasi merupakan mantan pejabat Dephut yang menjadi komisaris di HPH/HTI, sehingga dapat dipahami kalau kemudian kebijakan yang dikonstruksi cenderung menguntungkan pelaku usaha. Ada yang tidak peduli dengan siapa pihak yang paling berpengaruh, tapi ia menyoroti bahwa kebijakan yang dibuat oleh para regulator itu kayak di awang2, tidak bisa diterapkan [MASI] Pelaku usaha diyakini sebagai pihak yang paling berpengaruh, pertimbangannya antara lain dari sisi besarnya konversi hutan (yang telah terjadi) yang tujuannya lebih banyak untuk tujuan ekonomi semata. Sebaliknya yang yakin bahwa pemerintah atau birokrat yang paling berpengaruh, memberikan pertimbangan bahwa kepentingan yang diusung cenderung nama baik pribadi alias kredit personal. Tanpa pertimbangan, ada pula yang meyakini bahwa pelaku usaha dan LSM masih cukup dominan. [BIR]
284
Akademisi Praktisi Usaha Kehutanan Campuran
Tidak secara spesfik menunjukkan salah satu pihak tertentu yang paling memengaruhi, namun secara normatif menyarankan perlunya para pihak pemangku kepentingan (akademisi, pemerintah, pakar dan pelaku usaha) bersama-sama membuat peraturan yang bagus dan dapat dijalankan. [AKA] Diyakini bahwa kejadiannya sangat kasuistik, misal keluarnya satu kebijakan hanya karena setelah “bisik-bisik” dengan diplomat asing yang tentu membawa kepentingan tertentu, sehingga yang tampak dominan adalah “transaksinya”. Disimpulkannya, itu semua terjadi akibat tidak adanya grand design. [BIS] Tidak muncul secara spesifik pihak yang paling berpengaruh. Jawaban lebih pada sifat-sifat kebijakan yang ada sejauh ini. Antara lain disebutkan bahwa banyak kebijakan kehutanan yang tidak dipahami kalangan pemerintah sendiri, khususnya eselon yang tidak terlibat dalam penyusunan draft akhir kebijakan. Kebijakan yang diangkat cenderung yang populis, namun sekedar untuk citra bagi ”kendaraan politiknya”. Penilaian lain, kebijakan lebih fokus pada urusan legal aspek, tanpa pernah menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Bahkan muncul penilaian bahwa yang paling memengaruhi konstruksi sebuah kebijakan justru adalah kecenderungan dan situasi politik, bukan aktornya. [CAMP]
4.3. Adakah persoalan cara pikir .... Beberapa “kehadiran” cara pikir dikaitkan antara lain para pembuat kebijakan merasa diri benar, keliru dalam Maspil/NGO
Birokrat
Akademisi Praktisi Usaha Kehutanan Campuran
memahami “penguasaan negara atas hutan”, sehingga ia bertindak “sebagai pemilik” yang seolah punya kebebasan untuk menjual dan menggadaikan, lebih karena untuk kepentingan sendiri dan golongannya. Kekeliruan cara pikir juga dikaitkan dengan cara memandang hutan dan masyarakat. Secara spesifik kekeliruan cara pikir dicontohkan dengan P38/2009 dan aturan turunannya yang disebutnya sebagai “sangat menguntungkan pengusaha”. Selain kekeliruan cara pikir, diangkat pula ketidak-selarasan cara pikir, seperti dicontohkan bahwa antara apa yang dipikirkan NGO (mempertahankan hak masyarakat asli) tidak selaras dengan apa yang dipikirkan para pembuat kebijakan, misal tidak dipikirkan bagaimana upaya meningkatkan perekonomian masyarakat setempat. [MASI] Diakui ada soal cara pikir yang dikaitkan dengan penetapan jangka waktu usaha, nilai ekonomi, rate of return dan ketiadaan penetapan fungsi hutan yang dominan. Cara pikir lain dikaitkan dengan ketidak-pahaman akan permasalahan secara menyeluruh. Disamping itu fenomena kuatnya pengaruh konsumen atas pemberlakuan sertifikasi PHL dan sertifikasi produk, dinilai pula sebagai persoalan cara pikir. [BIR] Persoalan cara pikir ditunjukkan dengan fenomena “gonta-ganti aturan” dalam kurun yang singkat, dimana satu aturan dengan lainnya sering tumpang tindih. [AKA] Cara pikir yang dianggap dominan adalah tindakan melakukan lobi untuk pencapaian suatu tujuan, misal untuk kebun, atau untuk konservasi flora-fauna tertentu secara spesifik, sehingga melahirkan dan meningkatkan banyak dan biaya transaksi. [BIS] Melakukan perubahan sistim silvikultur tanpa analisis menyeluruh atas sistim sebelumnya yang juga belum dilaksnakan sepenuhnya, dianggap sebagai kasus persoalan cara pikir. Persoalan cara pikir juga dipahami sebagai
285
konflik cara pikir dari para pihak yang berkepentingan. [CAMP]
4.4. Adakah perubahan kebijakan pra dan paska 1998 Sintesis: Yang meyakini tidak ada perubahan kebijakan dan cara pikir menggenapkan pertimbangannya dengan Maspil/NGO
Birokrat
Akademisi Praktisi Usaha Kehutanan
Campuran
hal-hal terkait kepentingan ekonomi masyarakat adat atau yang membebaskan masyarakat adat dari pengesampingan, pemarginalan oleh negara melalui izin konsesi HPH di wilayah-wilayah adat. Hal ini dikuatkan dengan menunjukkan masih terjadinya konflik yang dianggapnya menjadi momok yang sejauh ini belum ada mekanisme penyelesaiannya yang efektif. Diyakini seandainya mekanisme penyelesaian konflik ini tidak ditemukan, maka usaha kehutanan akan mati selamanya. Pertimbangan lain juga dikaitkan dengan makin parahnya kerusakan hutan, dengan mempertanyakan secara kritis kebjakan-kebijakan izin pinjam pakai tambang di lahan KBK atau bahkan di hutan lindung. Yang percaya ada perubahan mengaitkan pertimbangannya dengan kebebasan berpendapatn LSM dan masyarakat sipil, adanya lembanga pemantau independen serta berjalannya sertifikasi dan pemantauan pengelolaan hutan oleh lembaga independen, dan masyarakat sudah diberi peluang mengelola hutan seperti HTR, HKm, dan hutan desa. [MASI] Yang menjawab tidak ada perubahan mengaitkan pertimbangannya dengan tetap dan semakin merosotnya kawasan hutan. Dinilainya bahwa yang terjadi justru kemunduran. Yang menjawab ada perbaikan mengaitkan pertimbangannya dengan adanya penyempurnaan tata niaga kayu serta adanya keterlibatan daerah dan masyarakar untuk tata usaha kayu. Namun disayangkannya situasinya sudah berubah, dimana kayu sudah sulit dicari dan mahal. [BIR] Diyakini ada perubahan, misalnya terindikasi dari berjalannya kegiatan sertifikasi dan adanya beberapa IUPHHK yang tersertifikasi FSC. Yang menjawab belum ada perubahan, tidak memberikan pertimbangannya. [AKA] Periodisasi dianggap tidak relevan, karena pertimbangan aktor dan teks peraturan yang dihasilkannya sama saja, perilaku transaksional masih sama; balik bertanya terkait ada tidaknya pergantian PNS Kehutanan secara menyeluruh sebagai “syarat” kemungkinan perubahan dimaksud. Sementara ada yang yakin ada perubahan kebijakan ke arah perbaikan berarti setelah 1998 lalu 2004 dan semakin berarti setelah2009 yang dinilainya menjadi alasan untuk tetap optimis. [BIS] Hampir keseluruhan meyakini tidak ada perubahan dengan alasan justru semakin memburuk, yang diduganya akibat kekuatan (ril) pemerintah yang dinilai melemah, terutama dalam menetapkan target dan sasaran yang ingin dicapai. Bahkan ketiadaan perubahan ini dianalogikan sebagai “ lepas dari sarang harimau, masuk mulut buaya”. Kalau pun dianggap ada perubahan maka itu dinilainya hanya terjadi di bajunya, isinya tetap, atau perubahan hanya terjadi ditataran sekunder dan tersier. Perubahan dimaksud dianggapnya tidak menyentuh soal-soal primer seperti tenurial. [CAMP]
286
Halaman ini sengaja dikosongkan – this page intentionally left blank [AK]
287
Lampiran 14. Keseimbangan Hak dan Kewajiban Para Pemegang Hak Usaha Kehutanan Dasar SK HPH
Deskripsi Hak Menebang kayu, mengangkut, serta memasarkannya dengan rincian sesuai dengan perjanjian antara departemen dengan pemegang hak (FA)
SK IUPHHKHA
Melakukan kegiatan sesuai dengan izin yang tertuang dalam SKnya; dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya itu dengan jatah produksi hasil hutan kayu tahunan tertentu sesuai tercantum dalam SK
Deskripsi Kewajiban 1. Membayar IHPH, IHH dan mematuhi ketentuam FA 2. Melaksanakan sendiri usaha kehutanan itu 3. Membangun prasarana eksploitasi hutan 4. Membangun industri pengolahan kayu 5. Melaksanakan pengurusan dan pengamanan hutan sebaikbaiknya di wilayah kerjanya, meliputi permudaan hutan, pencegahan erosi dan banjir, kebakaran hutan, pemeliharaan mata air, perlindungan dan pengawasan pemburuan. 6. Bekerja menurut RK yang disyahkan Ditjen Kehutanan 7. Memperkerjakan pegawai yang ahli dalam usaha kehutanan 8. Mematuhi dan memberikan bantusan seluas-luasnya kepada para petugas yang oleh menteri diberi wewenang untuk bimbingan dan pengawasan 9. Mulai bekerja sungguh-sungguh paling lambat 180 hari dari keluarnya SK (Dalam Lampiran SK HPH – yang dirujuk dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan – kewajiban ini lebih rinci lagi menjadi 22 poin keharusan dan kewajiban) 1. Membuat dan menyerahkan: a. RKUPHHK untuk seluruhan areal kerja selama jangka waktu berlaku paling lambat 1 tahun sejak izin diberikan b. RKLUPHHK pada hutan alam tiga bulan sejak RKUPHHK syah c. RKTUPHHK pada hutan alam sesuai dengan pedoman, selambatnya dua bulan sebelum RKT tahun berjalan. 2. Melakukan sistem silvikultur TPTI sesuai lokasi dan jenis tanaman yang dikembangkan. 3. Melakukan piñata-usahaan hasil hutan sesuai ketentuan yang berlaku 4. Melaksanakan penata-usahaan keuangan kegiatan usahanya sesuai standar akuntansi kehutanan yang berlaku (PSAK 32) 5. Menyediakan dan memasok bahan baku kayu kepada industri primer hasil hutan 6. Melakukan kegiatan secara nyata dan bersungguh-sungguh dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) har i sejak izin diterbitkan 7. Menggunakan peralatan ker ja yang jumlah dan atau jenisnya sesuai dengan izin 8. Melakukan pengukuran dan pengujian hasil hutan kayu sesuai ketentuan yang berlaku 9. Melakukan ker jasama dengan Koperasi masyarakat setempat paling lambat 1 (satu) tahun sejak izin diterbitkan - dapat berupa penyertaan saham dan atau ker jasama dalam usaha pada segmen kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam 10. Melaksanakan kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dengan kemampuan sendiri, meliputi pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan,
288
11.
12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
pengamanan, pengolahan dan pemasaran hasil hutan kayu sesuai RK, RKL dan RKT yang disahkan, serta mematuhi peraturan perundang-undangan yang ber laku Melaksanakan penataan batas areal ker ja paling lambat 3 (tiga) bulan sejak izin diterbitkan, diselesaikan dalam waktu 3 (tiga) tahun dan selanjutnya ditetapkan sebagai areal ker ja definitif. Melaksanakan permudaan secara alami atau buatan dan pemeliharaan hutan Membuat dan menyampaikan laporan sesuai ketentuan yang berlaku Melaksanakan per lindungan hutan di areal ker janya dar i gangguan keamanan Membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) atas hasil hutan kayu Mempekerjakan tenaga profesional di bidang kehutanan, dan tenaga lain yang memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku Membantu pengembangan sosial budaya dan ekonomi (kesejahteraan) masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar areal ker janya Memper lancar petugas yang mengadakan bimbingan, pengawasan dan penelitian Mematuhi dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam lampiran Keputusan ini dan peraturan perundangan yang ber laku
289
Lampiran 15. Contoh Transkip Wawancara
Transkrip No. Tipe Informan Waktu Tempat
: : : : :
13 [BIR] Wawancara STR (kesepakatan untuk tidak menyebut nama secara penuh) 2 Mei 2011; 09.10-10.15 (Durasi: 65 menit) Kantor Informan di Jakarta
Setelah menjelaskan maksud dan tujuan wawancara, peneliti memulai dengan menggali reflek informan atas hutan alam produksi di Luar Jawa Luas arealnya, potensi tinggi, tapi tak punya blue print pengelolaan. Tak punya konsep makro yang holistik dan diakui para pihak atau sektor lain. Sementara..... intervensi luar sektor cukup tinggi, dan internal sektor bermasalah. Maka..... masa depan kehutanan suram, sehingga perlu pembenahan. Untuk pembenahan, kita baru punya UU 41/99 dan PP Ppnya.....itu saya kira masih kurang. Peneliti memancing adanya pendapat bahwa masa depan Indonesia adalah HT, bukan lagi HA, informan menjawab singkat Setuju saja kalau frame dan targetnya memang menghasilkan kayu dari tanaman cepat tumbuh. Tapi, tidak setuju sepenuhnya, karena HA masih cukup menjanjikan dan memiliki nilai komparatif yang tinggi yang tidak dapat dijumpai di HT...artinya HA masih dapat diandalkan, sejauh resiko dan ketidak pastian bisa ditangani dengan baik serta enabling conditions lainnya bisa dipenuhi. Saat diangkat suatu situasi sulit, termasuk adanya EBT, tapi usaha kehutanan jalan terus, informan menjelaskan.... Yang dapat tetap jalan terus itu diduga lebih karena mereka terkait dan butuh dengan hal-hal ril terkait kepastian pasok bahan baku, misal untuk bahan baku pulp dan kertas atau untuk HTI karet...yang yang lainnya masih pertanyaan besar, saya tidak mau mengeneralisir. Soal EBT....lihat internal bisnis HPH lah. Ada unsur spekulasi tanah dan jual beli izin di sana. Bagaimanapun itu fakta. Ada yang menyebutnya sebagai land-banking ...ya spekulasi atas tanah dan macem-macem istilahnya di lapangan. Atau kalaupun ada yang betul serius, itu karena memang mereka fokus target pada HTI pulp dan kertas. Investasi terbesar di sana. Dalam situasi seperti itu, EBT bagi mereka bukanlah faktor... Saat digambarkan adanya fenomena bangkrut dan berkurangnya jumlah HPH Itu lebih karena persoalan governance ya, dan itu tidak hanya terkait pemerintah. Namun memang dari sisi pemerintah sendiri dapat disebut antara lain ia terjebak dengan keinginan untuk selali mengatur, senang sekali mengatur, seolah-olah masalah bisa selesai dengan membuat aturan. Itu yang saya rasakan....sementara
290
di sisi lain, penegakkan dalam pelaksanaan aturan saya akui sangat sangat lemah. You tahu itu lah dilapangan...banyak contohnya. Peneliti memohon konfirmasi, dengan begitu apakah usaha kehutanan sejauh ini berhasil... Ya kalau melihat banyaknya indikator yang terus menurun, usaha kehutanan boleh dikatakan gagal atau halusnya kurang berhasil lah. Untuk kembali bangkit, saya kira kita, terutama pemerintah.....perlu kembali ke pembenahan policy ....khususnya untuk menata ulang input-output-proses; dan dalam menata itu, bagaimanapun pembenahan atau bahkan menghadirkan kondisi pemungkin menjadi keniscayaan....ya diperlukan begitu. Peneliti lalu menanyakan akar masalah dan opsi solusi dari informan Saya melihat besarnya ketidakpastian, sehingga resiko di usaha kehutanan sangat tinggi, bisa jadi salah satu akar masalah. Mana ada orang mau invest pada entitas usaha yang resiko dan ketidakpastiannya tinggi? Betul ngga?. Ini bagaimanapun berkaitan dengan sejarah. Dulu kurun 70an hampir semua pengusaha dan birokrat terlena dan asyik dengan kenyamanan...dengan keenakan, dimana saat itu you tahu sendiri lah hasil kayu melimpah, sementara kendala tidak terpikir sama sekali .... atau sedikit sekali dipikirkan. Sehingga UU 5/67 itu, jelas semangat pelaksanaannya begitu ekstraktif. Jawa dengan PHT nya memiliki manajemen hutan yang lengkap baik unit maupun administrasinya. PHT bisa jadi contoh ya, kalau bicara solusi. Luar Jawa settingnya melulu tebangan, dan unsur pengelolaannya lebih pada administrasi atau tata usaha kayu (TUK), bukan pengelolaan hutan alam secara utuh dan menyeluruh. Jadi instrumen pengelolaan dari sisi pemerintah ya hanya TUK itulah di Luar Jawa. Jadi...KPH yang ada waktu itu ya sebatas menjalankan TUK, dan ada beberapa kasus, dimana KPH itu lintas kabupaten. Lalu...belakangan...KPH dihilangkan pemerintah, antara lain karena alasan adanya fenomena ”bupati penguasa tunggal” yang memaksa KPH untuk mengalah dan rela dihilangkan ..... sesaat sebelum Kanwil bubar. Saat dikonfirmasi apakah kelestarian dan melestarikan hutan alam masuk akal bagi HPH, informan menjawab singkat sekali Ya masuk akal dong. Tapi ...dalam pelaksanaannya...itu tidak selalu berarti akan dilakukan. Masuk akal tapi tidak dilaksanakan ...ehmm.... ini lebih soal komitmen si pelaku, dalam hal ini si perusahaan ..... dan iklim usaha yang disiapkan pemerintah tidak mendukung untuk si perusahaan melaksanakan kelestarian hutan konsesinya. Lalu... kebutuhan siapa kelestarian itu...dan apa makna kelestarian bagi informan... Pada hakekatnya, kelestarian itu kebutuhan semua pihak, kebutuhan bangsa ini lho. Tapi bahwa realisasinya lain, atau malah tampak sebaliknya, itu persoalan yang sama-sama berat kita hadapi saat ini. Perlu terobosan...yang saya sendiri
291
belum tahu persis apa. Adapun makna....makna kelestarian itu...yang pokok adalah memanfaatkan potensi yang ada....yang artinya tidak under-utilize ya... tentu dengan kepastian jangka panjang untuk usaha terus berlanjut, dengan tingkat untung terus meningkat, lalu pastikan juga ada bagian keuntungan yang dikembalikan ke hutan. Mau pake teori apa saja....itu maknanya saya kira. Dengan makna itu, seberapa jauh informan menilai kelestarian HA Produksi di Luar Jawa... Kalau melihat dan mendengar riuh rendahnya klaim angka kerusakan hutan, memang seolah benar bahwa hutan kita tidak lestari. Padahal kalau kita kembali telusuri potensi yang ada, dan apa yang ril kita panen, panenan kita itu masih dibawah skala lestari kok. Potensi standing stock kita ada 50 M m3 setara dengan 150 jt m3/tahun, sementara jatah tebang tahunan kita kan saat ini dibatasi hanya 9 juta m3/tahun itupun rilnya hanya tercerap antara 5-6 juta m3. Itu pengakuan dari beberapa pelakunya lho ya. Ini artinya ....secara keseluruhan...tingkat ekstraksi kita masih konservatif. Harusnya masih lestari lah. Sementara itu kok ngomong moratorium......ini benar benar politik. Seputar hal kunci suatu kebijakan, informan menjawab relatif singkat... Kalau ditanya faktor kunci dari suatu kebijakan....ya ia haruslah fokus, tidak kaku tentu saja, dan harus berangkat dari isu serta masalah yang benar dan yang benarbenar ingin dijawab. Tapi....masalahnya siapa.....harus jelas pula. Saat diberi ilustrasi antara resep dan diagnosa dalam analogi atas proses kebijaan kehutanan.... salah, bahkan Menurut yang saya amati sejauh ini.......resep berantakan....dan ....karenanya diagnosa keliru. Makronyapun tak jelas: sistem atau regime pengelolaan kita ini mau ke mana, liberal alias private atau BUMN. Itu kan sampai sekarang ini kan tidak jelas. Disebut mau dukung private, tapi juga tidak kondusif.....terbukti banyak private yang bergelimpangan. Sementara saat yang sama....BUMN tidak begitu diperhatikan, malah terkesan dipreteli atau malah dimatikan...saya ngga tahu persis. Jadi tidak jelas lagi....Soal keterkaitan semua ini dengan klaim bahwa menteri jabatan politis, boleh-boleh saja, karena bagaimanapun itu tidak bisa dipungkiri, setidaknya untuk saat ini, tapi ya sebaiknya pertimbangkan menteri dengan kompentensi yang baik. Informan lalu menjelaskan, terkait pihak dan masalah yang paling berpengaruh dalam pembuatan dan atau perubahan kebijakan Jujur saja....forester atau rimbawan termasuk yang tidak diuntungkan dengan situasi yang berkembang sekarang ini, termasuk dengan beragam isu lingkungan yang memperoleh posisi politik di ruang publik. Sementara ..... leadership dari pimpinan birokrasi kondisinya lemah; nah sementara itu hampir semua pihak terjebak dengan kenyamanan booming kayu yang saya sebut tadi, sehingga banyak yang lupa untuk memperhatikan ”rumahnya” sendiri. Masalah kebijakan
292
tak jelas, sehingga perlu diperjelas dan dipertegas dan perlu terlembagakan secara baik dulu, sebelum yang lain lain. Jadi yang paling memengaruhi ....ya isu yang mencuat dan mendapat tempat secara politis di ruang publik. Begitu saya kira ya. Terkait adanya kemungkinan kekeliruan cara pikir... Kemungkinan kekeliruan, bagaimanapun, tetap ada saja. Misalnya saja, keterjebakan dengan sekedar menjalankan aturan......walau sadar bahwa substansi aturannya secara objektif tidak tepat ..... atau bahkan keliru. Sementara lucunya, untuk hal substansi yang secara objektif perlu dan dibutuhkan, tidak dilakukan...tidak dibuat aturannya.... karena alasan klasik....tidak ada aturan di atasnya dan sebagainya. Keterjebakan seperti ini bukan saja menghambat proses pelaksanaan kebijakan, tetapi juga kualitas akhir kebijakannya itu sendiri. Dalam hal ada tidaknya perbaikan kebijakan selama ini, informan menilai... Ada. Setidaknya dari adanya usaha untuk mendefine dan memastikan tujuan. Dulu tidak ada. Saat mau ditutup....diujung wawancara...informan melepas sejumlah isu yang menurutnya masih terkait erat dengan berbagai jawabannya tadi..... Tunggu...melengkapi jawaban-jawaban tadi....sebenarnya harus diakui.....pemerintah tidak tahu dan tidak punya konsep pengelolaan sumberdaya hutan, dari dulu sampai sekarang. Tidak jelas arah utama kemana: swasta atau BUMN. Swasta bergelimpangan, BUMN seperti saya sebut tadi ....apa ...dipreteli atau bahkan sengaja dimatikan, sehingga akibatnya di lapangan banyak kawasan hutan menjadi sumberdaya terbuka....no body’s properties begitu orang-orang bilang. Jadi kehutanan kita mau kemana? Itu satu hal... Sementara peraturan perundangan jelas mengatur mandat baik nasional...provinsi...maupun kabupatan, bahkan sampai inventarisasi sampai tingkat UM. UM harusnya fokus pada pembentukan KPH, jadi tidak hanya sistem hutannya....dan ini semua menjadi dasar untuk PHL. Jadi, sekali lagi, andalan kita apa, swasta atau BUMN... itu harus clear dulu di awal. KPH sebagai unit manajemen terkait sebenarnya telah diatur dalam PP6/1999 dan telah pula didukung aspek legal ini oleh Keputusan Permendagri, namun memang belum selesai dilakukan dan perlu dilanjut.....karena itu saya yakin.....menyelesaikan ini (KPH maksudnya) dapat menyelesaikan banyak hal lainnya....thus....KPH adalah harapan terakhir, setelah jelas di awal kita ini mau kemana....mau pake regim apa.... Selanjutnya informan menambahkan penjelasan sebelum wawancara benar-benar diakhiri...
293
KPH merupakan kebijakan di bawah Ditjen BUK ....dulu BPK ya...yang mengundang ulang pemastian pilihan yang sata sebut tadi: swasta vs BUMN atau sama saja, atau kombinasi keduanya. Mari kita lihat kondisinya.... Kondisi swasta saat ini....daya saing drop, banyak capaian menurun, kecuali pulp dan kertas, total kontribusi kepada GDP negatif. Negatif artinya apa?....Sehingga nyaris tidak ada investasi baru untuk sektor kehutanan. Hal ini terkait setidaknya dengan empat hal...pertama benefit dan risk tidak terfasilitasi dengan baik, sehingga ROI kecil, daya saing rendah, sekalipun masih memiliki keuntungan komparatif yang tinggi; singkatnya tidak ada manajemen resiko, dan peraturan perundangan yang ada hampir tidak ada yang mengatur ini semua.; sementara itu ... ini kedua.... persaingan antar komoditas (hutan vs sawit vs tambang, misalnya) sangat luar biasa; dalam persaingan ini komoditas kehutanan atau bisnis di kehutanan dikenali perlu modal besar, tapi untung kecil sehingga opprtunity costnya besar; sementara bisnis di sawit atau tambang kondisinya sebaliknya, terutama karena dukungan kebijakan yang jelas, ada instrumen pendanaan semacam KUR dan sebagainya.....ehmmm ketiga ya....ketiga...... permainan mafia komoditi non kehutanan sangat marak dan ini tidak dapat dijangkau oleh peraturan perundangan yang ada Peneliti menyelipkan pertanyaan .....atau ini justru marak, karena peraturan perundangan yang lemah? ....bisa juga.....sehingga jaminan dukungan bahan baku kayu dalam jangka panjang terhadap industri kehutanan menurun drastis; keempat.....ini terakhir....pemerintah tidak sanggup menegakkan property rights (PR) karena tidak ada penegakan hukum yang langsung dan mampu mendasari PR – sebagai pengakuan sosial di lapangan, sekaligus sebagai representasi sinergi pemerintahmasyarakat-dan dunia usaha. Antara lain menimbang keempat hal ini, posisi KPH sebetulnya menjadi faktor daya ungkit .....leverage factor.....yang baik untuk melakukan pembenahan, terutama dalam menata PR, karena saat PR tak terdefinisi dengan baik, seperti saat ini, artinya resiko usaha meningkat, tak ada orang tertarik untuk melakukan investasi. Di Cina, usaha sawit sudah berkembang bahkan sampai ada pasar sekundernya. Hal lain....yang masih relevan dengan jawaban-jawaban tadi ya...terkait pasar dan pengelolaan hutan....pemerintah perlu penguatan dalam hal legality dan CoC (maksudnya lacak balak), dibarengi dengan penyederhanaan aturan terkait – peraturan di luar ini, yang tak perlu, dihapus saja, untuk menurunkan biaya transaksi. Lalu...harus jelas juga siapa yang paling kompeten dalam memastikan legalitas, apakah pihak ketiga? Yang tahu dengan persis barang dan asal-usulnya itu pastilah pemilik konsesi atau KKPH, dari mulai RKU, petak tebang, sampai ukuran diamater.....ibarat dokter, dia paling syah untuk mengatakan penyakit seorang pasien. Begitulah posisi pemilik konsesi dalam hal legalitas. Jadi soal kompetensi, dia yang paling kompeten untuk mengatakan legalitas, bukan yang lain.....nah persoalannya...bagaimana sistem mewadahi ini....
294
TUK itu terus terang hanya mempermudah manajemen internal, persis seperti Palu Tok di Perhutani, untuk menuju SFM dan membuka pasar, termasuk pasar di luar sana. Namun dalam pelaksanaanya ini justru menambah ketidakpastian, sehingga menurunkan gairah berinvestasi. Dalam kaitan ini SVLK itu pun secara filosofis salah, karena SVLK itu lebih sebagai internal (maksudnya Kemenhut) demand kepada masyarakat internasional, terkait penanganan kegiatan illegal di kehutanan, khusunya illegal logging. Belajar dari kasus Cina.....tampak segalanya jelas: sistem dan leadership jelas dan mendukung, reformasi agraria 1990an dilakukan di bidang kehutanan pun jelas dan tegas, ada kebijakan subsidi untuk menekan resiko usaha, masyarakat jelas kalau buka usaha atau jual beli konsesi, jelas harus berurusan dengan siapa. Jadi banyak kejelasan...terutama dalam pelaksanaannya...Nah menarik pelajaran dari itu semua, untuk usaha kehutanan kedepan.....perlu dipertimbangkan alternatif HTR dalam kawasan menjadi semacam HGU Kayu Rakyat; perlu diperjelas pendefinisian bahwa hasil hutan itu harus legal, dasarnya apa? SKAU itu dasarnya apa? P 55? P 55 dasarnya apa? Hapus sajalah SKAU itu, karena hanya sekedar urusan administrasi yang malah membebani. Informan akhirnya menegaskan kesimpulannya... Jadi ...kalau boleh saya simpulkan kira-kira begini....Kebijakan harus direform, harus ikut dan memenuhi momentum perubahan...iya dong...ya ngga. Lalu, perlu perbaikan leadership untuk setiap pimpinan unit kerja dari bawah sampai ke atas...selain itu...perlu disain waktu proses planologi, terutama masalah kawasan, misalnya terkait konflik Kalteng dan Riau dengan isu perkebunan sawit besarbesaran. Ini perlu ditangani secara khusus. Artinya .....perlu win-win solution baik terkait dengan sektor lain, maupun dengan pemerintah daerah; sehingga ini menjadi momentum yang baik untuk melakukan penataan pengelolaan hutan dan sekaligus usaha kehutanan...sehingga diharapkan bisa bersinergi dengan sektor lain. Terus terang hal ini pernah di rekomendasikan oleh Tim Terpadu, bahkan kepada DPR, dan mendapat persetujuan Kejaksaan Agung, namun terbentur di Dephut-1....katanya karena pertimbangan perspektif Presiden.....Nah ini contoh persoalan leadership tadi. Gitu ya...cukup untuk hari ini ya...