Kerajaan Islam Pasai Aceh Dan Peranannya Dalam Menaklukkan
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit (Kajian Terhadap Peran Walisongo Dalam Islamisasi Jawa)
Sinopsis Proposal Desertasi Ph.D. Bidang Studi Sejarah Islam Asia Tenggara Al-Ustadz Dr. Hilmy Bakar Almascaty, MBA & Karangan Tersiar
2008 - 2009
Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 1
Abstrak Sejarah adalah cerminan masa lalu sebuah bangsa yang menjadi spirit dalam membangun kegemilangan masa kini dan juga masa depan. Bangsa yang tidak memiliki masa lalu, akan sulit untuk menentukan masa depannya, atau terpaksa mengkait-kaitkan dengan sejarah masa lalu bangsa lain. Bangsa besar seperti Amerika yang tidak memiliki sejarah masa lalu, terpaksa mengaitkan sejarah kegemilangan bangsanya dengan dunia Eropa bahkan dengan imperium Romawi, demi untuk mengabsahkan keberadaan dan jati diri bangsanya. Sebuah bangsa yang tidak mengetahui sejarah masa lalunya sama dengan seseorang yang tidak mengetahui asal usul nenek moyangnya. Bangsa Aceh memiliki sejarah agung, terutama setelah agama Islam menyinarinya dengan hidayah dan petunjuk Allah menuju kegemilangan peradaban. Pada satu episode sejarah Islam di Asia Tenggara, bangsa Aceh telah menjadi pelopor kebangkitan sebuah peradaban baru yang berdasarkan kepada ajaran Islam. Aceh pernah menjadi bintang Islam di Timur yang melahirkan peradaban IslamMelayu, gabungan dari kearifan peradaban lokal dengan keagungan peradaban Islam yang telah berkembang di Arab, Afrika, Asia Tengah, Persia, India bahkan Cina dan Jepang. Karena letak geografis Aceh di ujung utara pulau Sumatra yang sangat strategis sebagai wilayah transit para pedagang internasional dengan peradaban yang mereka kembangkan. Kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Jeumpa, Perlak, Lamuri, Pidie, Pasai, Aceh Darussalam dan lainnya telah menjadi pelopor Islamisasi di Asia Tenggara. Kerajaan Islam Pasai yang bangkit bersamaan dengan kehancuran pusat-pusat peradaban Islam di dunia Arab dan Afrika pada pertengahan abad 13 M (1258 M), telah menjadi pusat pengkajian Islam tingkat tinggi di Asia Tenggara dan mempelopori gerakan Islamisasi yang menghubungkan dunia Islam Arab, India dengan dunia Islam Cina. Kerajaan Pasai di bawah pemerintahan para Sultan yang alim seperti Sultan Malik al-Saleh, Sultan Malik al-Zahir, Sultan Malik al-Zahir II telah berkembang menjadi Kerajaan Islam yang makmur dan menjadi tempat berkumpul para Ulama, Maulana, Auliya dan Cendekiawan Muslim dari seluruh penjuru dunia. Pada masa inilah intensitas Islamisasi ke tanah Jawa mengalami puncaknya, terutama setelah bangkitnya para pendakwah yang kemudian dikenal dengan Wali Sembilan (Wali Songo). Gerakan Wali Songo yang dipelopori keluarga besar Maulana Sayyid Hussein Jamadil Kubra (Maulana Hussein al-Akbar) yang didukung oleh para Sultan dan kerabat istana Pasai telah berhasil mendirikan beberapa Kerajaan Islam sebagai perwakilan Kerajaan Pasai dari Indo-Cina, Thailand, Malaya, Borneo, Celabes, Sulu, Mindanao sampai Maluku. Prestasi terbesar Kerajaan Pasai dan gerakan Wali Songo adalah keberhasilannya dalam meruntuhkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit sebagai pelindung utama Hindu dan penghalang Islamisasi di Nusantara dengan mendirikan Kerajaan Islam Demak sebagai pusat baru pemerintahan di tanah Jawa yang berdasarkan ajaran Islam. Para Penggerak Wali Songo yang telah menjadi petinggi dan penasihat spiritual Demak selanjutnya Cirebon dan Banten terbukti tetap memelihara hubungan dengan Kerajaan Islam Pasai. Ketika Kerajaan Pasai dalam ancaman penjajah Portugis, gabungan armada Islam di bawah komando Demak-Cirebon-Banten mengadakan ekspedisi Jihad I & II ke Malaka dipimpin Sultan II Demak bernama Pati Unus yang syahid di Malaka dan selanjutnya dipimpin Maulana Fadhilah Khan AlPasee (Fatahillah Tubagus Pasai), putra Ulama besar Pasai Makhdum Patakan Ibrahim. Akhirnya Portugis dapat dikalahkan Sang Pangeran Pasai di Sunda Kelapa (Jakarta). Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 2
Urgensi Kajian Peran Pasai Dalam Islamisasi Jawa Para peneliti sejarah, khususnya di wilayah Aceh kurang memberi perhatian terhadap peranan Kerajaan Islam Pasai dalam gerakan Islamisasi di Jawa. Lebih khusus pada peranan Kerajaan Islam Pasai sebagai pusat Islamisasi di Asia Tenggara yang telah mempengaruhi geo-politik di tanah Jawa dengan runtuhnya Kerajaan Hindu terbesar Majapahit yang selama ini menjadi patron utama masyarakat Hindu Jawa dalam menentang Islamisasi. Para peneliti, baik dari kalangan orientalis Belanda maupun Inggris lebih terfokus pada penelitian dan diskusi masalah proses Islamisasi yang terjadi di wilayah Aceh sebagaimana yang dilakukan oleh Snouck maupun Raffles dan para peneliti sesudahnya seperti Arnold dan Van Leur. Para peneliti lokal seperti al-Attas, Hasymi, Zuhri dan Hamka masih merespon teori yang dikemukakan pendulunya sekitar masalah masuknya Islam di wilayah Aceh. Namun sampai saat ini belum ada yang mengadakan penelitian secara mendalam tentang peranan Kerajaan Pasai dalam meruntuhkan Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa dengan segala dampak politisnya yang telah mengakibatkan terjadinya proses Islamisasi besar-besaran kepada masyarakat Jawa. Sementara para peneliti di Jawa sendiri masih mendiskusikan asal usul para penggerak Wali Songo, sehingga menimbulkan kerancuan sejarah kaum Muslimin. Diharapkan dengan adanya pengkajian dan penelitian masalah peran Kerajaan Pasai melalui gerakan para pendakwahnya yang dikenal dengan Wali Songo, maka akan dapat mengoreksi beberapa teori tentang Islamisasi, peran Pasai dan asal usul Wali Songo yang masih menjadi polemik di kalangan ahli sejarah Asia Tenggara. Dengan mengemukakan beberapa fakta, data dan teori baru yang bersumber dari berbagai rujukan, diharapkan teori tentang peranan Pasai dalam meruntuhkan Majapahit dapat diterima sebagai sebuah teori ilmiah. Dengan demikian sejarah Islam di Asia Tenggara dapat diluruskan dan mendekati kebenarannya. Pembatasan Kajian Kajian ini tidak meliputi sejarah Islamisasi di seluruh Asia Tenggara yang diperkirakan rentang waktunya sejak pertengahan abad ke VII M, atau di masa Khalifah Islamiyah sampai dengan abad ke XIII M. Namun kajian yang dilakukan hanya dibataskan di sekitar sejarah Kerajaan Islam Pasai yang didirikan oleh Sultan Malik al-Saleh (w.1297) dan peristiwa yang terjadi setelahnya, terutama pada masa pemerintahan Sultan Malik al-Zahir II yang ditengarai sebagai patron utama gerakan Islamisasi tanah Jawa yang kemudian hari di kenal dengan Wali Songo. Namun untuk memperkuat argumen, kajian juga dilakukan terhadap beberapa peristiwa yang berkaitan, seperti teori Islamisasi awal di Asia Tenggara, teori perkembangan Kerajaankerajaan Islam di Thaialand, Malaya, Pilipina Selatan, dan tentunya di Sumatra dan Tanah Jawa. Lebih khusus kajian ini dibataskan pada sejarah dan peranan para penggerak Wali Sembilan, seperti Sayyid Hussein Jamadil Kubra, Maulana Malik Ibrahim, Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel) dan beberapa anggota Wali Songo yang memiliki hubungan dengan Kerajaan Islam Pasai dan pendirian Kerajaan Islam Demak yang telah menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit. Di samping itu dikemukakan pula sejarah hidup beberapa tokoh penting dalam sejarah penaklukan Majapahit ini seperti Putri Jempa Dharawati, Raden Patah anak Brawijaya V dan Syarif Hidayatullah serta hubungannya dengan proses Islamisasi di tanah Pasundan yang telah melahirkan Kerajaan Islam Cirebon dan Banten. Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 3
Latar Belakang Para kolonialis dengan segala ambisinya sebagai penjajah telah merancang berbagai strategi untuk tetap menjadikan bangsa jajahannya sebagai masyarakat yang bodoh, tertinggal, terbelakang dan tidak memiliki harkat dan martabat. Salah satu cara efektif yang dilakukannya adalah dengan memanipulasi sejarah bangsa yang dijajahnya, memisahkannya dari pengetahuan generasi muda sebagaimana dinyatakan Prof. Ismail R. Faruqi. Peninggalan-peninggalan agung nenek moyang mereka dibawa kabur, dirampok bahkan dihancurkan agar generasi muda tidak memiliki jati diri lagi. Itulah sebabnya bangsa-bangsa penjajah, baik Inggris, Pertogis maupun Belanda telah membawa semua bukti peninggalan kegemilangan Islam di Asia Tenggara ke Eropa dengan alasan pengembangan pengetahuan. Bangsa yang tidak mengetahui masa lalunya, maka tidak akan memiliki masa depan, seperti ungkapan TS. Elliot, ”masa lalu dan masa kini akan menjadi kelanjutan masa depan”. Dengan program tersistematis para penjajah dengan perangkatnya telah berupaya menghapuskan tapak-tapak kegemilangan sejarah kaum Muslimin masa lalu. Contoh terdekat adalah seperti yang dilakukan penjajah Belanda terhadap pusat pemerintahan Kerajaan Islam Pasai yang diketahui pernah menjadi pusat gerakan Islamisasi di Asia Tenggara yang telah melahirkan Kerajaan Islam dari Campa, Patani, Kelantan, Malaka, Palembang, Demak, Cirebon, Banten, Makassar, Bugis, Borneo, Sulu, Mindanao sampai Maluku dan Fak-Fak di Papua. Setelah menguasai Aceh, penjajah Belanda merubah Pusat Kerajaan Pasai di sekitar daerah Geudong Aceh Utara menjadi pusat pembuangan dan penampungan penderita penyakit menular seperti lepra. Secara otomatis wilayah ini ditinggalkan penduduk dan menjadi kota mati, yang mengakibatkan punahnya peninggalan sejarah akibat tidak terawat. Pada saat yang sama para cendekiawan penjajah Belanda seperti Snouck mengadakan penelitian mendalam terhadap sejarah dan budaya Aceh sampai ke Mesir dan Mekkah dengan tujuan utama membalikkan fakta dan menyembunyikan kebesaran Pasai. Snouck telah mengeluarkan sebuah teori Islamisasi di sekitar Aceh, yang dikatakannya bermula pada abad ke 12 dan 13 M. Dengan teorinya ini seakanakan Snouck ingin menyatakan bahwa Islamisasi di Nusantara bermula seratus tahun sebelum ketibaan penjajah Barat yang membawa agama Kristen. Padahal fakta menyatakan bahwa sejak awal abad ke 8 M, Islam telah bertapak dan memiliki sebuah Kerajaan Islam di Jeumpa (Bireuen Aceh) pada tahun 770 M. Sementara bukti terkini menyebutkan bahwa sebelum Islam tiba, para pedagang Arab telah bermukim di sepanjang pantai utara pulau Sumatra dan ketika Islam dibawa oleh Nabi Muhammad langsung tersebar di kalangan pedagang Arab yang sudah hilir mudik selama lebih 500 tahun sebelum kedatangan Islam. Para penjajah atau bonekanya akan menjalankan politik belah bambu, satu diangkat yang satunya diinjak, pecah belah lalu menguasai. Sebagaimana yang mereka telah lakukan kepada kaum Muslimin di Nusantara. Bangsa terbesar Muslim Nusantara dipecah belah dengan pendekatan kesukuan dengan meniupkan fanatisme jahiliyah menggantikan ghirah Islamiyah yang telah disemai para Ulama terdahulu yang telah membuahkan ukhuwah (persaudaran) Islam. Bangsa yang tidak mau takluk dibawah jajahannya, diadu domba dengan saudaranya seagamanya sendiri. Penjajah kafir Belanda telah mengadu domba bangsa Padang dengan bangsa Aceh yang samasama diketahui sebagai pilar utama Islam Nusantara. Bangsa Padang direkrut menjadi Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 4
tentara Belanda yang terkenal dengan Pasukan Marsose, lalu mereka diperintahkan untuk memerangi bangsa Aceh yang tidak mau tunduk kepada penjajah. Terjadilah pertumpahan darah sesama Muslim, yang satu menjadi antek Belanda dan yang satu sebagai pejuang yang berjihad melawan kezaliman Belanda. Berapa banyak mujahidien fie sabilillah di Aceh yang dibantai pasukan Marsose yang didirikan oleh antek Belanda bernama M. Syarief, tokoh Padang yang akhirnya mendapat medali penghargaan tertinggi dari Ratu Belanda karena berhasil membantai saudara Muslimnya di Aceh. Dengan pendekatan kajian ilmiah, masyarakat Nusantara yang sudah tumbuh berkembang dengan keagungan peradabannya sejak beribu-ribu tahun lalu, digambarkan oleh para sejarawan kolonial sebagai sebuah bangsa bar-bar, nomaden, seperti keadaan orang-orang Papua di Lembah Baliem saat ini, yang telanjang dan tinggal di pohon-pohon. Padahal kenyataannya sangat jauh berbeda. Karena masyarakat Nusantara adalah salah satu rumpun bangsa tua yang telah berhasil membangun sebuah entitas budaya dan peradabannya sendiri, sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Dari penemuan peninggalan-peninggalan situs sejarah dan benda-benda yang menyertainya dapat diketahui bahwa di wilayah Aceh sekarang misalnya pernah tumbuh berkembang sebuah peradaban yang digerakkan oleh para Raja dari Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha seperti Kerajaan Indra Pura, Indra Purba, Indra Patra dan lain-lainnya. Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatera sudah dikenal dengan Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Claudius Ptolemeus, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah ini dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemeus menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri yang menjadi jalan ke Tiongkok, sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Disebutkan pula bahwa kapur barus yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir untuk dipergunakan bagi pembalseman mayat pada zaman kekuasaan Firaun sejak Ramses II atau sekitar 5000 tahun lalu. Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, atau ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Sumatera mencari emas, kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Para pedagang Nusantara sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi. Dalam kitab Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Raja Solomon, raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang berada dibawah kekuasaannya. Emas didapatkan dari negeri Ophir. Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya” (al-ardha l-lati barak-Na fiha). Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah ? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera. Kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemeus pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan asumsi bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya King Solomon. Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 5
Perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi.
Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan. Sebuah penelitian ilmiah yang ditulis Prof. Robert Dick-Read berjudul The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Time yang dipublikasikan pada tahun 2005 telah membuktikan hubungan yang erat antara Nusantara, terutama pulau Sumatra dengan benua Afrika sejak abad ke 5 masehi dengan kapal layar. Penelitian ini telah memberikan bukti -bukti mutakhir tentang penjelajahan para pelaut Nusantara di abad ke 5, atau 2 abad sebelum datangnya Islam. Artinya sebelum Islam datang telah terjadi hubungan yang sangat erat antara dunia Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 6
Arab sebagai laluan ke Afrika dengan Nusantara, termasuk wilayah Aceh sekarang. Peradaban dan teknologi yang berkembang di Romawi, Yunani maupun Mesir, Persia dan India secara otomatis mempengaruhi perkembangan masyarakat Sumatra yang menjadi laluan transit menuju pusat peradaban di sebelah timur seperti Cina dan Jepang. Ini artinya peradaban masyarakat di ujung barat Sumatra yang sekarang dikenal dengan Aceh adalah diantara peradaban tua di wilayah Nusantara. Namun belum banyak bukti yang dapat dikemukakan tentang kegemilangan masa lalu peradaban Aceh, yang menurut beberapa penelitian para ahli disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (i) belum diadakannya menggalian terhadap situs sejarah purba secara serius dan menyeluruh akibat pertimbangan politik ataupun konflik berkepanjangan (ii) hilangnya situs-situs penting, terutama dipinggir laut akibat terjadinya beberapa kali gelombang tsunami, sebagaimana tsunami 26 Desember 2004 lalu yang menghancurkan kota-kota purba Aceh yang umumnya dipinggir pantai yang berhadapan langsung dengan tsunami (iii) adalah menjadi tradisi sebagian masyarakat Aceh untuk memusnahkan peninggalan sejarah apabila sudah tidak dikehendaki penguasanya, contoh terdekat adalah pembakaran buku-buku ilmiyah karya Hamzah Fansuri dan ulama aliran Wujudiyah di depan Masjid Baiturrahman atas perintah Sultan Iskandar Tsani berdasarkan fatwa Syekh Nuruddin al-Raniri, atau pembakaran Istana Super Megah yang didirikan Sultan Iskandar Muda, Darud Dunya akibat terjadinya pemberontakan pada masa Sultanah Inayat Syah. Dan terakhir adalah bumi hangus Istana pada zaman Sultan Muhammad Daud Syah agar jangan sampai dikuasai penjajah Belanda. Keadaan revolusioner dan dinamis yang terjadi di Aceh dari waktu ke waktu sepanjang 500 tahun terakhir telah memecah konsentrasi para pemimpin dan cendekiawan Aceh dalam memelihara peninggalan sejarahnya sehingga banyak yang terbengkalai, hilang, musnah bahkan sengaja dihilangkan dengan alasan keamanan. Penulis beberapa kali mendapatkan alasan ketakutan nara sumber yang memiliki peninggalan berharga berupa manuskrip penting, karena jika diketahui aparat akan diambil dan mereka dituduh sebagai pemberontak atau sparatis. Akibatnya banyak manuskrip-manuskrip penting peninggalan peradaban Aceh tertanam atau hilang. Namun demikian, dari sumber-sumber sekunder dapat diketahui kembali, walaupun masih tingkat awal mula, tentang sejarah kegemilangan Aceh, terutama pada masa pra-Islam. Data-data tersebut sangat penting untuk mengetahui sejauh mana tingkat peradaban dan pengetahuan masyarakat Aceh pra-Islam, baik zaman praHindu-Budha ataupun sebelumnya. Mengingat letak geografi Aceh yang strategis sebagai laluan dalam perjalanan menuju pulau Jawa atau Timur Jauh lainnya dari sumber peradaban tua umat manusia, baik di sekitar Asia Tengah, Timur Tengah ataupun Afrika. Karena di Jawa atau Kalimantan banyak ditemukan peradaban manusia yang telah berusia ratusan ribu tahun. Dari sumber-sumber sekunder, sebagaimana telah disebutkan terdahulu, ternyata Aceh memiliki peranan penting dalam sejarah peradaban manusia. Salah satu bukti otentik yang tidak diragukan adalah perjalanan kapur Barus yang telah menembus peradaban Yunani, Rumawi sampai Mesir klasik. Produk unggulan BarusAceh ini telah menjadi komuditas primadona dunia yang tinggi nilainya, sehingga megantarkan Aceh sebagai salah satu bagian dari kegemilangan dan ketinggian Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 7
peradaban klasik pra-Islam. Tentunya kedatangan manusia-manusia modern pada zaman itu ke Aceh telah membawa perubahan pada pengetahuan dan kebiasaan masyarakat, sebagaimana pengaruh kedatangan para relawan asing manca negara saat ini ke Aceh yang membawa berbagai bentuk pengetahuan, ilmu, budaya dan peradaban yang mempengaruhi pola hidup masyarakat. Kedatangan mereka sudah pasti akan membawa kemajuan dan kemakmuran kepada masyarakat Aceh, dan tidak diragukan bahwa kemakmuran akan mengantarkan kegemilangan peradaban umat manusia seperti apa yang dialami negara-negara maju seperti Amerika, Eropa maupun Jepang, India dan Cina saat ini. Kegemilangan masyarakat Aceh yang telah berkembang pesat sebelum kedatangan Islam dengan pencapaian-pencapaian peradabannya telah memudahkan para pembawa Islam untuk memajukannya secara maksimal. Karena lebih mudah mengajarkan Islam yang sempurna dan menyeluruh kepada orang-orang yang berperadaban, berpengatahuan dan menggunakan akalnya untuk berfikir. Itulah sebabnya, saat ini para pendakwah kita lebih mudah menyebarkan Islam kepada masyarakat modern di Amerika, Eropa ataupun Jepang dari pada masyarakat di pedalaman Papua atau Kalimantan yang masih hidup telanjang dan jauh dari peradaban. Sebagaimana tersebar cerita dikalangan pendakwah, jika di Eropa orangorang bule cerdik-pandai berlomba-lomba meninggalkan gereja dan masuk Islam karena alasan rasional dan sesuai dengan perkembangan zaman, tapi di negeri ini orang-orang bodoh dan tolol bisa diajak masuk gereja karena sebungkus super mie. Sungguh benar sabda Rasul, kebodohan akan membawa kemiskinan dan kemiskinan akan menjadikan orang mudah kepada kekafiran. Masuknya Islam telah mengantarkan masyarakat Aceh, baik pada masa Kerajaan Jeumpa, Perlak, Pasai dan Aceh Darussalam sebagai bagian dari pergerakan internasional pembebasan umat manusia dari belenggu kegelapan yang membawanya sebagai masyarakat berperadaban tinggi berdasarkan nilai-nilai keuniversalan dan keagungan Islam. Dalam Bustanu’l Salatin, Syekh Nuruddin telah menggambarkan bagaimana tingginya pengetahuan dan pemikiran masyarakat Aceh, baik di kalangan para sultan, pejabat negara sampai kepada masyarakat umum sehingga banyak ulama yang datang ke Aceh harus kembali belajar agar cukup pengetahuannya untuk mengajar di tengah masyarakat Aceh yang kosmopolit masa itu. Itulah sebabnya para pemuka Islam menjuluki Aceh sebagai “Serambi Mekkah”, sebagai satu-satunya serambi Mekkah di dunia, yang tidak lain bermakna sebenarnya adalah karena Aceh telah menjadi pusat rujukan ajaran dan fatwa Islam di Nusantara. Tradisi dan peradaban, terutama pemikiran Islam di Aceh sudah berkembang pesat dan bahkan para ulama dan cerdik pandainya memiliki kaliber yang sederajad dengan para ulama Hijaz dan semenanjung Arabia lainnya. Kasus ini dapat dilihat pada diamnya (tawaquf) ulama-ulama Hijaz di Mekkah atas kepemimpinan wanita selama lebih 50 tahun pemerintahan 4 orang Sultanah Aceh atas dukungan fatwa Mufti dan Qadhi Malik alAdhil, Syekh Abdul Rauf al-Singkili (Maulana Syiah Kuala). Hal ini tidak lain untuk mengormati ijtihad beliau yang didasarkan pada pengetahuan mendalam dan luas terhadap ajaran Islam. Setiap utusan Syarief Mekkah yang datang kepada beliau harus mengakui ketinggian ilmunya serta kesahihan ijtihad dan fatwanya sehingga hujjahnya tak terpatahkan. Namun setelah beliau wafat, maka Ketua Mufti Mekkah mengeluarkan fatwa yang memakzulkan (memberhentikan) Sultanah Kamalat Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 8
Ziatuddinsyah pada 1699 dengan hujjah bahwa syari’at Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin negara. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw telah berkata: ”Sebaik-baik kamu pada zaman jahiliyah, akan menjadi sebaik-baik manusia setelah memeluk Islam”. Ini adalah sebuah ungkapan yang telah menjadi kenyataan dalam sejarah kegemilangan Islam yang telah dipimpin Rasulullah saw. Pada zaman pra-Islam, banyak sekali tokoh-tokoh berpotensi, seperti Umar bin Khattab dan Khalid bin Walid yang secara terangterangan menentang Islam pada awal perkembangannya. Umar sendiri sempat mau membunuh Nabi Muhammad karena dianggapnya sebagai sumber perpecahan masyarakat Mekkah, namun akhirnya masuk Islam setelah membaca lembaran alQur’an yang dirampasnya dari adiknya yang sudah lebih dahulu masuk Islam. Setelah memeluk Islam, Umar adalah salah seorang pembela Islam yang berani dan telah menjadi Khalifah yang menyebarkan Islam ke seluruh pelosok dunia. Demikian pula dengan Khalid yang sempat memimpin kaum musyrikin melawan Nabi Muhammad sehingga kaum Muslim mengalami kekalahan di perang Uhud. Namun setelah Khalid masuk Islam, akhirnya dia digelar dengan ”Pedang Allah” yang telah menumbangkan kekuasaan-kekuasaan besar seperti Romawi dan Parsia. Masyarakat Arab sendiri sebelum kedatangan Islam adalah masyarakat yang terbelakang dari segi peradaban dan pengetahuan jika dibandingkan dengan bangsabangsa lainnya, baik Mesir, Rumawi ataupun Persia. Bahkan al-Qur’an sendiri menyebut masyarakat Arab di sekitar Mekkah sebagai Ummiyun, masyarakat yang tidak memiliki peradaban dan kekuasaan. Dalam sejarah disebutkan bahwa masyarakat Arab di sekitar Mekkah jika terjadi musim kemarau panjang, mereka terkadang menjadi pengungsi dan pengemis di sekitar Kerajaan-kerajaan besar seperti Mesir, Habsyah ataupun Parsia. Masyarakat Arab pra-Islam digambarkan sebagai sebuah suku bangsa kecil yang terpecah belah, miskin lagi terbelakang dengan hidup yang berpindah-pindah. Namun berkat Islam, bangsa yang kecil dan tidak diperhitungkan ini, dalam waktu kurang dari 30 tahun sejak kebangkitan Nabi Muhammad, telah menjadi sebuah bangsa besar yang menggetarkan semua super power, dan akhirnya sejarah membuktikan bahwa semua super power itu tunduk kepada masyarakat ummy yang telah mendapatkan pencerahan dan kekuatan spiritualitas dari keagungan nilainilai Islam. Selanjutnya umat Islam menjadi mercusuar peradaban manusia, yang menghubungkan peradaban klasik paganis menjadi peradaban modern rasionalis. Hal inilah yang terjadi pada masyarakat Aceh. Jika sebelum Islam mereka adalah sebuah bangsa yang sudah berperadaban maju, maka kedatangan Islam akan mendorong lebih kencang kemajuan dan pencapaian peradaban mereka sebagaimana dicatat sejarah. Jika sebelum Islam masyarakat Aceh hanya sebuah kerajaan-kerajaan kecil dibawah perlindungan Kerajaan Hindu seperti Sriwijaya, maka setelah Islam datang menyinari masyarakat Aceh, mereka bangkit menjadi sebuah kekuatan baru yang pada akhirnya menjadi pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara. Termasuk menjadi sebab utama tumbang dan lenyapnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, baik di Sumatra, Semenanjung Melayu, Kalimantan, Jawa, Sulawesi sampai ke Maluku dan Papua serta sampai di Sulu dan Mindanao yang telah mapan selama ribuan tahun. Pusat Islamisasi Nusantara Aceh digerakkan oleh Kerajaan-Kerajaan Islam silih berganti yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Dimulai dari berdirinya Kerajaan Islam Jeumpa pada tahun 770 M oleh Sasaniah Salman, yang dilanjutkan Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 9
perannya oleh Kerajaan Islam Perlak tahun 805 M yang didirikan anak Raja Islam Jeumpa bernama Meurah Syahr Nawi dikembangkan keponakannya Maulana Abdul Aziz Syah dan keturunannya, disambung oleh Kerajaan Pasai pada abad XII yang didirikan keturunan Raja Jeumpa dan Perlak bernama Meurah Silu atau Sultan Malik al-Salih. Dan seterusnya yang mulai mendapat kegemilangan pada masa Kerajaan Aceh Darussalam yang menggabungkan semua Kerajaan Islam Aceh, menggapai puncaknya keagungannya pada zaman Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607-1636 M yang menguasai seluruh pulau Sumatra dan Semenanjung Malaya serta menjadi pelindung Kerajaan-Kerajaan Islam lainnya, baik di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku sampai Sulu-Mindanao. Demikian pula para Sultan Aceh ikut berperan aktif mendirikan Kerajaan Islam Jawa terbesar, baik Demak, Mataram maupun Banten. Kerajaan Islam Perlak dan Pasai secara teratur dan berkala telah mengirimkan para pendakwah Islam ke tanah Jawa yang digerakkan oleh para ulama keturunan Nabi Muhammad silih berganti. Yang paling terkenal adalah sebuah gerakan Islamisasi dengan nama Wali Sembilan atau Wali Songo yang dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim (Syekh Maghribi) bersama beberapa keluarga dekat dan keponakannya seperti Sunan Ampel, Sunan Drajad, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati dan lainnya yang memiliki satu jalur keturunan dan bermuara pada Imam Ja’far Sadiq. Penaklukan mereka terhadap Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang dominan masa itu, tidak dilakukan secara perang konfrontatif mengingat kuatnya Majapahit. Penyebaran Islam dilakukan melalui jalur perdagangan, perubahan sosial-budaya, pendidikan, dakwah dan yang paling strategis melalui jalur perkawinan. ***************** Teori Islamisasi Asia Tenggara Khususnya Di Wilayah Aceh: Jeumpa, Perlak & Pasai Sehubungan dengan proses Islamisasi, khususnya di wilayah Aceh sekarang, ada beberapa teori yang hingga kini masih sering didiskusikan, baik oleh sarjanasarjana Barat maupun kalangan intelektual Islam sendiri. Salah satunya adalah teori masuknya Islam ke Aceh dari Gujarat, disebut juga sebagai Teori Gujarat. Teori ini berasal dari seorang orientalis asal Belanda yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk menghancurkan Islam di Aceh yang tidak mampu dijajah Belanda. Orientalis ini bernama Snouck Hurgronje, yang demi mencapai tujuannya, ia mempelajari bahasa Arab dan Islam dengan sangat giat sampai ke Mesir dan Mekkah, mengaku sebagai seorang Ulama Muslim, dan bahkan mengawini seorang Muslimah, anak seorang tokoh di zamannya. Teori yang diusung oleh Snouck ini mengatakan Islam masuk ke Nusantara, termasuk Aceh dari wilayah-wilayah di anak benua India seperti Gujarat, Bengali. Ironisnya Teori ini masih dipakai dalam buku-buku sejarah sampai sekarang yang menjadi buku pegangan bagi para pelajar kita, dari tingkat sekolah dasar hingga lanjutan atas, bahkan di beberapa perguruan tinggi. Dalam L’arabie et les Indes Neerlandaises, Snouck menyebutkan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India. Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 10
kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah, karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam. Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya. Teori Gujarat yang dikembangkan bahkan dipaksakan Snouck bersama antekanteknya ini telah memberikan pengaruh yang besar terhadap sejarah dan jati di bangsa Aceh selanjutnya. Pengkerdilan ini telah memutuskan mata rantai spiritualitas keislaman yang telah berurat berakar pada tradisi, budaya dan peradaban Aceh sebagai tapak awal Islamisasi Nusantara. Dampak psikologis yang paling kentara adalah kesan bahwa Aceh adalah salah satu wilayah yang baru tersentuh Islam, yang maknanya bahwa perkembangan peradaban Islam di Aceh baru beberapa abad. Untuk mendekonstruksi sejarah sekaligus menguak kepalsuan Teori Gujarat yang disampaikan antek penjajah Snouck ini, ada beberapa teori yang ingin penulis sampaikan, diantaranya adalah: a. Teori Mekkah (Arab) Salah satu teori Islamisasi Aceh yang paling populer dan memiliki kekuatan fakta adalah teori yang dikembangkan oleh para pakar dan cendekiawan Muslim dan mendapat dukungan di kalangan cendekiawan non Muslim, teori ini di kenal dengan Teori Mekkah (Arab). Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, SMN. Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka. Arnold menyatakan para pedagang Arab menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan kitab `Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X. Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir. Sementara cendekiawan senior Nusantara, SMN. AlAttas menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding dengan Arabia. Al-Attas menyebutkan bahwa bukti paling penting yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 11
Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu. Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Namanama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab. Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. Hamka dalam pidatonya di acara Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958, melakukan koreksi terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII. Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara. Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold dan Van Leur.
Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 12
b. Teori Campa (Jeumpa) Versi Raffles Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java, menyebutkan bahwa Campa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Campa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Campa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”. Jeumpa (Campa) biasanya dihubungkan dengan sebuah peristiwa pada zaman kerajaan Majapahit, terutama pada masa pemerintahan Brawijaya V yang memiliki seorang istri yang dikenal dengan ”Puteri Campa”. Ada yang berpendapat bahwa Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang keponakannya yang dikenal dengan Sunan Ampel di Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah Kerajaan Hindu-Jawa Majapahit. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Aceh. Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke VIII Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar). Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya. Berdasarkan silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 Hijriah atau tahun 770 Masehi dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ?) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludang dan memiliki beberapa anak, antara lain Shahri Poli, Shahri Tanti, Shahri Nawi, Shahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian pakar sejarah Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, Shahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Shahri Banun, anak Maha Raja Parsia terakhir. Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 13
Mengenai keberadaan Shahri Nawi ini, disebutkan oleh Syekh Hamzah Fansuri. Syekh ini adalah Ulama Sufi dan sastrawan terkenal Nusantara yang berpengaruh dalam pembangunan Kerajaan Aceh Darussalam, yang juga merupakan guru Syamsuddin al-Sumatrani yang dikenal sebagai Syekh Islam Kerajaan Aceh Darussalam pada masa Iskandar Muda. A. Hasymi menyebutkan beliau juga adalah paman dari Maulana Syiah Kuala (Syekh Abdul Rauf al-Fansuri al-Singkili). Syekh Fansuri dalam beberapa kesempatan menyatakan asal muasalnya dan hubungannya dengan Shahri Nawi. Diantaranya syair : Hamzah ini asalnya Fansuri Mendapat wujud di tanah Shahrnawi Beroleh khilafat ilmu yang ’ali Daripada ’Abd al-Qadir Jilani Hamzah di negeri Melayu, Tempatnya kapur di dalam kayu Dari rangkaian syair ini, maka jelaslah bahwa ada hubungan antara bumi Shahrnawi (Shahr Nawi) dengan Fansur yang menjadi asal muasal kelahiran Syekh Hamzah Fansuri dan tempat yang terkenal kafur Barus. Sebagaimana disebutkan di atas, Shahrnawi atau Syahr Nawi adalah anak daripada Pangeran Salman (Sasaniah Salman) yang lahir di daerah Jeumpa, di Aceh Bireuen saat ini. Syahrnawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Islam Perlak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Perlak pada tahun 805 yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz. Kerajaan Islam Perlak selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Islam Pasai dan mendapat kegemilangannya pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Maka tidak mengherankan jika Syekh Hamzah Fansuri, mengatakan kelahirannya di bumi Sharhnawi yang merupakan salah seorang generasi pertama pengasas Kerajaan-Kerajaan Islam Aceh yang dimulai dari Kerajaan Islam Jeumpa. Menurut beberapa data dan analisis yang akan dikemukakan nanti, bahwa hubungan antara Kerajaan-Kerajaan Islam di Aceh berkaitan satu dengan lainnya. Pernyataan Syekh Hamzah Fansuri ini juga menjadi hujjah yang menguatkan teori bahwa Jeumpa, asal kelahiran Shahrnawi adalah Kerajaan Islam pertama di Nusantara. c. Teori Hubungan Dagang Arab-Cina Peter Bellwood dalam Reader in Archaeology Australia National University, telah melakukan banyak penelitian arkeologis di Polynesia dan Asia Tenggara. Bellwood menemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa sebelum abad kelima masehi, beberapa jalur perdagangan utama telah berkembang menghubungkan kepulauan Nusantara dengan Cina. Dia menulis “Museum Nasional di Jakarta memiliki beberapa bejana keramik dari beberapa situs di Sumatera Utara. Selain itu, banyak barang perunggu Cina, yang beberapa di antaranya mungkin bertarikh akhir masa Dinasti Zhou (sebelum 221 SM), berada dalam koleksi pribadi di London....”. Sifat perdagangan pada zaman itu di Nusantara dilakukan antar sesama pedagang, tanpa ikut campurnya kerajaan, jika yang dimaksudkan kerajaan adalah pemerintahan dengan raja dan memiliki wilayah yang luas. Sebab kerajaan Budha Sriwijaya yang berpusat di selatan Sumatera baru didirikan pada tahun 607 Masehi (Wolters 1967; Hall Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 14
1967, 1985). Tapi bisa saja terjadi, “kerajaan-kerajaan kecil” yang tersebar di beberapa pesisir pantai sudah berdiri, walau yang terakhir ini tidak dijumpai catatannya. Perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur darat, yang juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah Masehi. Seringnya terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan darat, terutama di sekitar di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan TimurBarat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim, untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapalkapal Sumatra telah mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya, pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika. Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, maka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra. Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai, termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan. Adanya jalur perdagangan utama dari Nusantara—terutama Sumatera dan Jawa—dengan Cina juga diakui oleh sejarahwan G.R. Tibbetts. Bahkan Tibbetts-lah orang yang dengan tekun meneliti hubungan perniagaan yang terjadi antara para pedagang dari Jazirah Arab dengan para pedagang dari wilayah Asia Tenggara pada zaman pra Islam. Tibbetts menemukan bukti-bukti adanya kontak dagang antara negeri Arab dengan Nusantara saat itu. “Keadaan ini terjadi karena kepulauan Sumatra telah menjadi tempat persinggahan kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar ke negeri Cina sejak abad kelima Masehi,”
Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 15
Sebuah dokumen kuno asal Tiongkok juga menyebutkan bahwa menjelang seperempat tahun 700 M atau sekitar tahun 625 M—hanya berbeda 15 tahun setelah Rasulullah menerima wahyu pertama atau sembilan setengah tahun setelah Rasulullah berdakwah terang-terangan kepada bangsa Arab—di sebuah pesisir pantai Sumatera sudah ditemukan sebuah perkampungan Arab Muslim yang masih berada dalam kekuasaan wilayah Kerajaan Budha Sriwijaya. Temuan ini diperkuat Prof. Dr. HAMKA yang menyebut bahwa seorang pencatat sejarah Tiongkok yang mengembara pada tahun 674 M telah menemukan sekelompok bangsa Arab yang membuat kampung dan berdiam di pesisir Barat Sumatera. Ini sebabnya, HAMKA menulis bahwa penemuan tersebut telah mengubah pandangan orang tentang sejarah masuknya agama Islam di Tanah Air. HAMKA juga menambahkan bahwa temuan ini telah diyakini kebenarannya oleh para pencatat sejarah dunia Islam di Princetown University di Amerika. Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin. Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan. Para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton. Setelah abad ke-7 M, Islam sudah berkembang pesat, misalnya menurut laporan sejarah negeri Tiongkok bahwa pada tahun 977 M, seorang duta Islam bernama Pu Ali (Abu Ali) diketahui telah mengunjungi negeri Tiongkok mewakili sebuah negeri di Nusantara (Kerajaan Islam Perlak). d. Teori Barus-Fansur Aceh Barus-Fansur adalah tempat yang dikaitkan dengan penghasil kayu kamper sebagai penghasil kapur (kamfer atau al-kafur dalam bahasa Arab) terdapat dalam banyak sumber asli Arab, Persia, dan China dalam berbagai buku perjalanan, botani, kedokteran, dan pengobatan. Kapur, yang dalam bahasa Latin disebut camphora, merupakan bagian dalam (inti) kayu kamfer yang padat berisi minyak yang harum. Masyarakat pra-Islam telah mengenal kafur yang masyhur itu, hal ini dibuktikan dengan penemuan penggunaan kata kafur yang disebut berkali-kali dalam syair-syair Arab sebelum lahirnya Nabi Muhammad SAW. Dalam karya dua orang sejarawan, Ibn al-Atir (wafat tahun 1233 M), dan Ibn alBaladuri (wafat tahun 1473) tercatat bahwa pada tahun 16 H/637 M, sewaktu perebutan ibu kota Dinasti Sassanid, yaitu Ctesiphon, orang-orang Arab menemukan kamper/kafur yang dikira garam di antara rempah-rempah dan wangi-wangian. Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 16
Ibn Gulgul, abad ke-10 M, seorang ahli biobibliografi dan ilmu kedokteran dari Andalusia, mencata kafur atau kamfer dalam 63 bahan obat-obatan baru yang belum dikenal sebelumnya sebagai obat, kecuali hanya pewangian dan alat-alat ritual semata di agama-agama paganisme. Ibn Sarabiyun pada abad ke-10 juga mulai memperkenalkan zat yang sangat ampuh ini. Ibn al-Baytar yang mengutip Ishaq ibn Imran yang hidup awal abad ke-9 M juga melakukan hal yang sama. Ketiganya melalui serangkaian eksperimen yang dilakukan berhasil menjelaskan berbagai fungsi dan kegunaan kafur dengan berbagai campuran untuk khasiat yang berbeda-beda. Fungsinya dalam berbagai bentuk olahan diantaranya adalah, sebagai balsem, penghobatan kandung empedu, radang hati, demam tinggi, berbagai penyakit mata, sakit kepala akibat liver, memperkuat organ dan indra, mengontrol syaraf, pembiusan alami, pendarahan, menguatkan gigi, dan lain-lain. Al-Kindi, salah seorang intelektual Arab, menyebutkan kapur barus sebagai salah satu unsur penting untuk membuat wangi-wangian. Sekitar abad ke-8, kapur barus merupakan salah satu dari lima rempah dasar dalam ilmu kedokteran Arab dan Persia. Empat unsur yang lain adalah kesturi, ambar abu-abu, kayu gaharu, dan safran. Pada zaman Abbasiyah, hanya orang kaya dan para pemimpin saja yang menggunakan pewangi dari air kapur barus untuk cuci tangan selepas perjamuan makan. Ibnu Sina atau yang dalam literatur Eropa dikenal sebagai Aveceena, dalam bukunya yang terkenal tentang ensiklopedia pengobatan dan obat-obatan, al-Qanun Fi al-Tib, mencatat manfaat kamfer sebagai obat penenang dan mendinginkan suhu badan yang tinggi. Kamfer juga dipakai sebelum dan sesudah pembedahan, sebagai obat liver, obat diare, sakit kepala, mimisan, dan sariawan. Aviceena menulis: "Jika kafur dipakai sedikit, maka obat ini dapat membantu menenangkan, karena bahan ini dingin. Kadang kala obat ini menurunkan suhu badan yang tinggi akibat badan kurang sehat karena lemah. Efek yang menguatkan dan menenangkan ini disertai efek harumnya. Efek pendinginannya dikurangi dengan kasturi dan ambar, dan kekeringannya dikurangi dengan minyak wangi dan pelunaknya, misalnya minyak cengkeh dan minyak bunga berwarna ungu lembayung. Kafur merupakan penangkal racun, khususnya racun panas. Berkat kafur pikiran menjadi lebih tajam dan terang; oleh karena itu kafur menguatkan dan menyenangkan. Efeknya serupa ambar kuning, tetapi lebih kuat dan lebih bermanfaat." Selain bangsa Arab, bangsa Persia juga berdatangan untuk meneliti kegunaan kafur dari Fansur ini. Buku tertua mengenai ilmu kedokteran yang ditulis dalam bahasa Persia adalah buku Muwaffak al-Din Abu Mansur Ali al-Harawi (abad ke-10 M), yang berjudul Kitab al-Abniya 'an haqa'iq al-Adwiya [Buku mengenai dasar dan kebenaran obat-obatan asli]. Dalam bukunya yang berjudul Hidayat al-muta'alimin fi al-tibb (Panduan untuk mahasiswa ilmu kedokteran), al-Bukhori (abad ke-10) seorang mahasiswa Harawi dan dokter terkenal al-Razi (abad ke-9 dan 10 M) berhasil mengembangkan kafur dalam berbagai bentuk resep, sebanyak 31 resep. Salah satunya adalah dalam penanggulanagn penularan penyakit pes. Orang-orang Yunani telah terlibat secara intens dalam pengembangan ilmu kedokteran. Salah satu buku yang berhasil ditemukan seperti catatan Actius dari Amide dari abad ke-6 dan ke-7 M, menyebutkan kafur dalam karyanya Libri Medicinales. Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 17
Salah satu surat pertama dari riga surat karya al-Kind yang berjudul al-rasail alhikmiyya fi asrul al-ruhaniyya [Risalah-risalah Hukum tentang Rahasia-Rahasia Batin], dikatakan bahwa kafur milik Devi Venus dan digunakan dalam pengasapan yang dipersembahkan kepadanya. "Allah Yang Maha Kuasa telah menciptakan Venus dari cahaya dan kecerahan; Venus memberi kebaikan dalam semua posisinya … di antaranya batu maha yang dimilikinya; dalam badan manusia, perut dan usus yang dimilikinya; dalam abjad tiga huruf yang dimilikinya ('ain, ha dan kaf); di antara bahan murni untuk pengasapan yang dimilikinya terdapat: ambar abu-abu, qust, tanaman fagara, kafur, bunga mawar kering, laudanum." Dijelaskan di Alf Layla wa layla (Seribu Satu Malam) oleh Sindbad, sang petualang yang terkenal: "Sesudah bangun keesokan harinya, kami pergi melewati gunung-gunung tinggi ke Pulau Riha yang kaya dengan pohon kafur. Setiap pohon dapat membayangi lebih dari 100 orang. Puncak pohonnya ditoreh dan air yang mengalir darinya dapat mengisi beberapa wadah. Kafur mulai menetes dan tetesannya mirip lem. Sesuadah itu kafur tidak meleleh lagi dan pohonnya menjadi kering." Riha adalah berarti kafur yang bermutu tinggi yang berarti al-Kafur al-Fansuri. Jadi Pulau Riha yang dimaksud adalah daerah Fansur. Kapur barus juga dipakai untuk memandikan jenazah sebelum dikuburkan. Variasi penggunaan kapur barus ini menyebabkan nilai jualnya sangat tinggi. Manfaat kapur barus ini kemudian menyebar ke Yunani dan Armenia karena pada periode tersebut ilmu kedokteran dari Arab dan Persia menjadi acuan dunia. Di akhir abad ke-4 M, istilah "P'o-lu" yang berarti Barus mulai dikenal oleh Bangsa Cina. Istilah ini diketahui sebagai rujukan kepada seluruh wilayah utara Sumatera. Barulah pada akhir abad ke-9, seorang ahli geografi Arab, Ibn Khurdadhbih menyebutkan nama Ram(n)i: "Di belakang Serendib terletak daerah Ram(n)I, dimana hewan badak dapat ditemukan… Pulau ini menghasilkan pohon bambu dan kayu Brazil, akar-akar yang dapat digunakan sebagai obat anti racun-racun mematikan…Di negeri ini juga tumbuh pohonpohon kapur yang tinggi," Kira-kira pada abad yang sama, sebuah buku Akhbar al-Sin wa al-Hind juga menyebutkan nama Ramni: "Ramni (yang) terdapat didalamnya gajag-gajah dalam jumlah yang banyak berserta kayu Brazil dan bambu. Pulau itu dikelilingi oleh dua lautan..Harkand dan dan Salahit" . Nama Ramni atau Ram(n)I, kemungkinan besar, dengan melihat peta dan posisi Sri Lanka atau Serendib, adalah Sumatera bagian utara dan lebih tepatnya lagi timur laut Aceh. (The sea of Harkand was the Bay of Bengal. Salaht (or Salahit) is believed to be derived from the Malay word selat or Straits, i.e., what is now known as the Selat Melaka). Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M, saat dia menjelaskan penguasa Maharaja Zabaj (Sriwijaya) menyebut juga Ranmi: "nama pulau tersebut adalah Rami (Ramni) yang luasnya delapan ratus parasangs (From the Persian farsakh, it was approximately 3 Y2 miles in extent) di daerah tersebut. Di sana dapat ditemukan kayu Brazil, kapur dan tumbuhan lainnya." Pada tahun 943, Masudi mencatat: “Kira-kira seribu parasangs (dari Serendib) masih terdapat sebuah pulau yang bernama Ramin (yakni Ramni) yang dihuni dan diperintah oleh raja-raja. Daerah tersebut penuh dengan tambang emas, dan dekat dengan tanah Fansur, yang menjadi asal kapur fansur, yang hanya dapat ditemukan di Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 18
Fansur dengan jumlah yang besar dalam tahun-tahun yang penuh dengan topan dan gempa bumi. 'Ajaib al-Hind', yang ditulis tahun 1000 M, menjelaskan banyak referensi mengenai Lambri. Muhammad ibn Babishad melaporkan: ”Di Pulau Lamuri terdapat zarafa yang tingginya tidak terkira. Dikatakan bahwa pelaut-pelaut yang terdampar di Fansur, terpaksa harus pindah ke Lamuri. Mereka mengungsi di waktu malam karena takut dengan zarafa; karena mereka tidak muncul di siang hari… Di pulau ini juga terdapat semut-semut raksasa dalam jumlah besar, terutama di kawasan Lamuri ”.... "Lububilank, yang merupakan sebuah teluk, (Tibbetts identifies this with Lho' Belang Raya (Telok Balang), 5°32f N, 95°17' E. Ibid., p. 141) terdapat orang-orang yang memakan manusia. Orang-orang kanibal ini mempunyai ekor, dan menghuni tanah antara Fansur dan Lamuri." Lambri dalam karya para ahli geografi Arab tidak dijelaskan lebih lanjut. Ramni juga disebutkan oleh Biruni pada tahun 1030. Nama tersebut juga ditulis dalam teks Dimashqi di tahun 1325 dalam buku Cowan,"Lamuri," hal. 421. Satu-satunya sumber India menyebutkan Lambri dalam transkrip Tanjore dari Bangsa Tamil dalam pemerintahan Rajendra Cola, dimana nama "Ilamuridesam yang sangat murka terlibat dalam perang" disebutkan bersama toponim lain sebagai daerah target-target penggempuran mereka pada tahun 1025. Ahli geografi Cina Chou Ch'u-fei menulis, pada tahun 1178, nama Lan-li dimana kapal-kapal dari Canton atau Guangdong sering merapat sambil menunggu bulan purnama untuk memudahkan mereka berlayar menuju Lautan India tepatnya Sri Lanka dan India. Hampir lima puluh tahun kemudian, Chau Ju-kua menyebut Lan-wu-li, dan melaporkan bahwa; "Hasil-hasil produksi kerajaan Lan-wu-li adalah kayu sapan (Brazilwood (Caesalpinia sappan, Linn.), gading gajah dan rotan putih. Penduduknya menyukai perang dan sering menggunakan panah beracun. Dengan angin utara, pelaut dapat berlayar selama dua puluh hari ke Silan…." Dia selanjutnya mendukung informasi yang diberikan oleh Chou Ch'u-fei: ”Ta-shi terletak di Timur Laut dari Ts'uan-chou dengan jarak yang sangat jauh, jadi kapal-kapal asing kesulitan untuk melakukan pelayaran langsung. Setelah kapal-kapal tersebut meninggalkan Ts'uan-chou mereka akan berlayar terlebih dahulu selama empat puluh hari ke Lan'li, dimana mereka akan menyempatkan diri untuk berdagang. Tahun berikutnya akan kembali ke laut, dengan dukungan angin mereka akan menghabiskan enam puluh hari untuk melanjutkan perjalanan. Marco Polo, sekembalinya dari Cina ke Eropa tahun 1292, menyebutkan, selain Perlak yang sudah memeluk Islam, nama Lambri bersama lima kerajaan kafir lainnya. Dia menulis bahwa; "Penduduknya penyembah berhala, dan menyebut dirinya hamba Kaan yang agung. Mereka memiliki kapur dalam jumlah yang besar dan sejumlah spesis lainnya. Mereka juga memiliki kayu brazil dalam jumlah yang besar…" Di tahun 1284 dan juga tahun 1286, Lambri dilaporkan mengirimkan upeti kepada Dinasti Yuan di China. Seorang musafir Persia, Rashiduddin, pada tahun 1310 menulis bahwa para saudagar dari berbagai negara sering datang ke Lamori, dan pada tahun 1323, Friar Odoric dari Pordenone menjelaskan bahwa Lambri merupakan pusat perdagangan di Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 19
mana para saudagar dari negara-negara yang sangat jauh, dan kapur, emas dan pohon gaharu juga tersedia. Di sini dia kehilangan pandangan terhadap bintang utara. Wang Ta-yuan pada tahun 1349, menulis tentang Nan-wu-li, yang katanya: ”Tempat ini merupakan pusat perdagangan yang sangat penting di Nan-wu-li. Pegunungan raksasa bak gelombang terdapat dibelakangnya, terletak di pinggiran laut Jih-yueh wang yang sangat diragukan di sana ada tanah. Penduduk setempat hidup di sepanjang bukit, setiap keluarga tinggal di rumah masing-masing. Masing-masing lelaki dan wanita menggulung rambut mereka dalam sanggul di atas namun membiarkan bagian atas tubuh mereka terbuka, dan bagian bawah dibungkus sarung. Buminya sangat tandus, panennya sangat jarang, dan iklimnya sangat panas. Sebagai kebiasaan, mereka tunduk kepada bajak laut seperti orang-orang di Niu-tan-his (Tumasek). Komoditas lokal adalah sarang burug, cangkang kura-kura, cangkang penyu dan kayu laka, yang sangat bermutu dalam hal aroma. Komoditas yang biasanya diperdagangkan di sini adalah emas, perak, aksesoris besi, bunga mawar, muslin merah, kapur, porcelin dengan desain biru dan putih dan lain-lain.” Pada tahun 1365, Kronik Jawa, Negarakrtagama, menggambarkan Lamuri sebagai negara yang tergantung kepada Majapahit. Ma Huan yang menulis pada awal tahun 15 M, menyebutkan Nan-po-li, yang dikunjungi oleh kapal induk dinasti Ming, dengan nakhoda Cheng Ho: ”Kerajaan ini terletak di samping laut, dan penduduknya terdiri dari hanya seribu keluarga. Semuanya Muslim, dan mereka sangat jujur dan tulus. Di bagian timur teritori itu, terletak sebuah negeri bersama Li-tai, dan di bagian barat dan utara terletak lautan luas; jika anda pergi ke selatan, terdapat pegunungan; dan di bagian selatan pegunungan tersebut terletak lagi lautan. Ma Huan juga menyebutkan nama Pulau Wei, sebuah pulau sekitar sembilan mil lauty di lepas pantai Timur Laut Aceh yang juga terdapat pelabuhan alami yang bagus, sekarang terdapat pelabuhan Sabang. Pulau Wei sering disebutkan dalam sumber-sumber sejarah dan dalam terjemahan bahasa Cina bernama "pulau Hat". Ch'ieh-nan-mao, sebuah daerah penghasil kayu gaharu. Ma Huan menggambarkan Pulau Wei: ”Terletak di arah laut Timur Laut Lambri, dimana terdapat pegunungan raksasa yang sangat curam, yang dapat dicapai dengan setengah hari perjalanan; namanya pegunungan Mao. Di bagian barat pegunungan ini, juga, terdapat lautan luas; ini namanya Samudra Barat yang disebut Samudra Nan-moli, kapal-kapal yang datang dari Samudra dari arah barat berlabuh di sini, dan mereka melihat pegunungan ini sebagai petunjuk arah. Di laut yang dangkal, sekitar dua cang dalamnya, di pinggir pegunungan, tumbuh pohon-pohon laut; penduduk di sana mengumpulkannya dan menjualnya sebagai komoditas yang berharga. Ini namanya karang. Kerajaan ini tunduk kepada jurisdiksi kerajaan Nan-po-li. Awal abad ke-16 M, Tome Pires memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai lokasi Lambri. Dia mengatakan bahwa; "Aceh merupakan negara pertama di bagian pulau Sumatera, dan Lambri benar-benar di bagian kanannya, yang terletak menjorok ke darat dan tanah Biar (45) terletak antara Aceh dan Pidie, dan sekarang negeri-negeri ini tunduk kepada Aceh dan memerintah di kedua wilayah tersebut dan dialah raja satu-satunya di sana. Raja ini adalah Moo…". Istilah Lambri dan beberapa versi lainnya biasanya ditujukan kepada seluruh pantai utara Aceh, nampaknya hal tersebut di atas menunjukkan pada titik tertentu yang menjadi informasi kepada pelayaran yang aman dari ombak Teluk Bengal, sebuah Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 20
sumber air segar. Buku Hikayat Atjeh juga memberikan petunjuk. Pada halaman 17 dari manuskrip tersebut, diterbitkan oleh Teuku Iskandar, terdapat sebuah petunjuk mengenai Lambri, "teluk Lambri". Chau Ju-kua tidak menyebutkan kapur diperdagangkan di Lambri, tapi diduga bahwa Ujung Pancu dan Kuala Pancu di Lhok Lambro dekat banda Aceh kemungkinan besar sangat berhubungan dengan Fansur. Kapal-kapal yang harus memutar di Ujung Pancu, harus melalui Lambri ke Barus. Nama Lambri dan Barus, makanya, sering dibingungkan dalam pelayaran kuno karena eratnya kedua kota ini. Sementara Chia Tan yang menulis buku pada era awal abad ke-8, menyebutkan pelabuhan P'o-lu, merupakan daerah yang kaya dengan emas, mercury dan kapur. Pelabuhan tersebut merupakan titip kepergian bagi kapal-kapal yang datang dari Sriwijaya barat melalui Samudera India ke Sri Langka. f. Teori Kaafuro Dalam al-Qur’an Hubungan erat Aceh-Melayu dengan dunia Arab juga dapat ditelusuri dari beberapa kata di dalam al-Qur’an. Sebagaimana diketahui al-Qur’an adalah kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantaraan malaikat Jibril as sejak pertama diangkat menjadi Nabi di Gua Hira’ sampai beliau wafat di Madinah pada tahun 10 Hijriah. Sampai saat ini tidak ada satupun manusia yang dapat menyanggah bahwa al-Qur’an dengan segala kemukjizatannya bukan berasal dari Allah Sang Pencipta. Karena mana mungkin seorang yang buta huruf seperti Nabi Muhammad dapat membuat sebuah kitab agung yang memiliki gaya bahasa Arab tertinggi dan tidak mampu dijangkau oleh seorang pujangga teragung sekalipun. Karena al-Qur’an bukan hanya kitab sastra, tapi kitab hukum, undangundang, pengetahuan, politik dan seterusnya yang disampaikan dengan untaian indah. Terlalu banyak makhluk yang tertegun dengan keindahan al-Qur’an. Telah disepakati para Ulama, bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, sebagaimana dinyatakan al-Qur’an sendiri. Namun bahasa Arab al-Qur’an adalah bahasa Arab tertinggi yang telah melahirkan gramatika bahasa Arab kontemporer. Para ulama juga berpendapat ada beberapa kata al-Qur’an yang bukan berasal dari bahasa Arab asli, namun bahasa non Arab yang sudah banyak digunakan dan dimengerti oleh masyarakat Arab. Salah satu bahasa Aceh-Melayu yang sudah tersebar di dunia Arab, termasuk Mesir sejak zaman kekuasaan Ramses (Fir’aun) adalah kafur. Sebagaimana dijelaskan terdahulu dalam teori kafur Barus, bahwa kafur min barus adalah sebuah komuditas mewah wangi-wangian yang berasal dari inti kayu kamfer yang dalam bahasa latin dikenal dengan champora. Tidak diragukan bahwa penghasil terbesar kapur zaman itu adalah wilayah yang terletak di ujung barat pulau Sumatera, yang sekarang berada di wilayah Aceh. Bahkan dalam teori terdahulu telah disebutkan banyak dalil tentang Barus-Fansur awal, yang berada di sekitar Lamuri-Aceh. Pada al-Qur’an surat al-Insan (76) ayat ke 5 menyebutkan: Sesungguhnya orangorang yang berbuat kebajikan akan meminum dari gelas, minuman yang dicampur kafur. Kebanyakan mufassirin dalam tafsirnya masing-masing seperti Ibn. Abbas, Jalalain, alQurthubi, Ibn Katsir dan lain-lainnya, mengartikan kafur sebagai campuran dari minuman yang merehatkan, nikmat, yang dapat membuat tenang dan biasanya dijadikan obat. Walaupun ada yang menyebutkan sebagai nama mata air di syurga. Pendapat pertama lebih banyak dirujuk mengingat penggunaan kafur yang sudah Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 21
umum sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian dan bahan perisa di dunia Arab praIslam seperti di Alexenderia Mesir dan lainnya. Namun hampir semuanya sepakat bahwa kata ini bukan asli bahasa Arab, sebagaimana disebutkan Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab karena tidak ditemukan dalam bahasa Arab Jahiliyah atau bahasa Arab purba. Maka dengan demikian, tidak diragukan bahwa kata kafur yang dimaksudkan al-Qur’an adalah kapur dari Barus sebagai lambang kemewahan pada zaman itu . Kata "kafur", menurut Karel Steenbrink, secara pasti bukan istilah Arab. Akar kata "kafara" bisa berarti menghindari atau tidak berterima kasih. Sedangkan kata "kafur", yang berarti kapur barus atau kamper, berasal dari bahasa Melayu. Steenbrink menyimpulkan bahwa kata "kafur" bukan hanya penghubung secara etimologis antara al-Qur'an dan Nusantara, tetapi juga komoditi yang sejak abad ke-7 telah dibawa oleh pedagang Muslim dari Nusantara. Dengan terdapatnya kata kafur di dalam al-Qur’an, maka dapat diartikan bahwa daerah penghasil kafur yang paling populer di seluruh dunia, seperti Barus, Fansur, Lamri dan sekitarnya di wilayah Aceh, tentu telah berhubungan erat dengan masyarakat tempat al-Qur’an diturunkan, yaitu masyarakat Arab. Saking populernya kafur dalam masyarakat Arab sebagai sebuah simbol kenikmatan, sehingga dimasukkan sebagai kata dalam al-Qur’an. Jika kita boleh mengambil hikmah dimasukkannya kata kafur ke dalam al-Qur’an, Sang Sumber al-Qur’an mudahmudahan bermaksud untuk memberi perhatian dan kehormatan pada asal benda ini, Aceh, sebagai kawasan yang memiliki peranan penting dalam penyebaran agama-Nya. Dan memang sejarah telah membuktikan bahwa Aceh telah menjadi tapak persemaian penting Islam di Nusantara yang telah melahirkan Kerajaan-Kerajaan Islam yang sangat berpengaruh dalam proses Islamisasi dan menggusur peran Hindu-Budha. f. Teori Korespondensi Khalifah Abdul Aziz-Raja Sri Indravarman Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid sebagaimana dikutip Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah Umar bin Abdul Azis yang terkenal adil tersebut. “Dari Raja di Raja [Malik al Amlak] yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga cucu seribu raja; yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah; yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil; kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,” Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 Hijriah atau 718 Masehi. Tak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Nusantara. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 22
kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara. g. Teori Kerajaan Islam Perlak Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Shahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat Muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar Muslim dengan wanitawanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah. Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747. Revolusi ini di pimpin Abdullah bin Mu'awiyah yang masih keturunan Ja'far bin Abi Thalib. Bin Mu'awiyah telah menguasai kawasan luas selama dua tahun (744-746) dan mendirikan istana di Istakhrah sekaligus memproklamirkan dirinya sebagai raja Madian, Hilwan, Qamis, Isfahan, Rai, dan bandar besar lainnya. Akan tetapi ia kemudian dihancurkan pasukan Muruan di bawah pimpinan Amir bin Dabbarah tahun 746 dalam pertempuran Maru Sydhan. Kemudian banyak pengikutnya yang melarikan diri ke Timur Jauh. Para ahli sejarah berpendapat, mereka terpencar di semenanjung Malaysia, Cina, Vietnam, dan Sumatera, termasuk ke Perlak. Pendapat Wan Hussein Azmi itu diperkaya dan diperkuat sebuah naskah tua berjudul Idharul Haqq fi Mamlakatil Ferlah w'l-Fasi, karangan Abu Ishak Makarni alFasy, yang dikemukakan Prof. A. Hasjmi. Dalam naskah itu diceritakan tentang pergolakan sosial-politik di lingkungan Daulah Umayah dan Abbasiyah yang kerap menindas pengikut Syi'ah. Pada masa pemerintahan Khalifah Makmun bin Harun alRasyid (813-833), seorang keturunan Ali bin Abi Thalib, bernama Muhammad bin Ja'far Shadiq bin Muhammad Baqr bin Zaenal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, memberontak terhadap Khalifah yang berkedudukan di Baghdad dan memproklamirkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Makkah. Khalifah Makmun berhasil menumpasnya. Tapi Muhammad bin Ja'far Shadiq dan para tokoh pemberontak lainnya tidak dibunuh, melainkan diberi ampunan. Makmun menganjurkan pengikut Syi'ah itu meninggalkan negeri Arab untuk meluaskan dakwah Islamiyah ke negeri Hindi, Asia Tenggara, dan Cina. Anjuran itu pun lantas dipenuhi. Sebuah Angkatan Dakwah beranggotakan 100 orang pimpinan Nakhoda Khalifah yang kebanyakan tokoh Syi'ah Arab, Persia, dan Hindi ---termasuk Muhammad bin Ja'far Shadiq--- segera bertolak ke timur dan tiba di Bandar Perlak pada waktu Syahir Nuwi menjadi Meurah (Raja) Negeri Perlak. Syahir Nuwi kemudian menikahkan Ali bin Muhammad bin Ja'far Shadiq dengan adik kandungnya, Makhdum Tansyuri. Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 23
Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H dilantik menjadi Raja dari kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Dari beberapa teori di atas, dapatlah disimpulkan bahwa proses Islamisasi ke Aceh sudah terjadi sejak awal perkembangannya, ketika Nabi Muhammad saw masih hidup yang dilakukan oleh para saudagar Arab yang memang sudah hilir mudik berdagang dari Mesir, Aden, Muscat, Parsia, Gujarat ke Cina melalui Barus-Fansur yang dipastikan terletak di ujung barat pulau Sumatera. Para saudagar Arab pra-Islam diketahui sudah memiliki perkampungan di sekitar pesisir pulau Sumatera, terbentang dari Barus-Fansur, Jeumpa, Perlak sampai di Palembang pada zaman Kerajaan Hindu Sriwijaya. Islamisasi Aceh mengalami puncaknya pada zaman Khalifah al-Rasyidin, terutama di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab yang gencar mengirimkan para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam sampai ke negeri Cina, pada sekitar awal abad ke VII Masehi. Cina menjadi tujuan dakwah para Khalifah berkaitan dengan sebuah hadits Nabi yang populer: tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Karena Cina pada zaman itu telah mencapai keemasaanya, sebagaimana Rumawi, Yunani ataupun Mesir dan Parsia sebagai pusat-pusat perdagangan, peradaban dan kemakmuran dunia yang jejaknya masih terekam jelas pada peta jalur sutera (silk road). Jalur ini kemudian dipindahkan ke jalur laut karena berkembang pesatnya teknologi kelautan dengan kapal-kapalnya yang mampu berlayar lama. Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia yang merupakan utusan resmi Khalifah atau para pedangan profesional Islam yang memang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Aceh, sebagai daerah persinggahan dalam perjalanan menuju Cina. Hubungan yang sudah terbina sejak lama, yang melahirkan asimiliasi keturunan Arab-Aceh di sekitar pesisir ujung pulau Sumatra, telah memudahkan penyiaran Islam dengan bahasa asal mereka, yaitu bahasa Arab yang dengan al-Qur’an diturunkan. Pengaruh bahasa Aceh-Melayu dalam al-Qur’an dapat dijumpai pada kata kafuro, yang tidak pernah ada dalam bahasa Arab pra-Islam. Hubungan baik antara masyarakat Aceh dengan pendatang dari Arab telah mendorong tumbuhnya perkampungan yang membesar menjadi Kerajaan-Kerajaan Islam sebagai pengganti Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha. Kerajaan Islam pertama di Aceh, yang juga merupakan Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Islam Jeumpa yang didirikan oleh salah satu keturunan Nabi Muhammad yang melarikan diri dari Persia bernama Sasaniah Salman al-Parsi pada tahun 154 Hijriah atau sekitar tahun 770 Masehi. Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat Islamisasi di Nusantara, khususnya Aceh. Salah seorang Pangeran Jeumpa, Shahrnawi, yang namanya disebut oleh Syekh Hamzah Fansuri, menjadi pelopor pedirian Kerajaan Islam Perlak pada tahun 805 Masehi, dan mengangkat anak saudaranya, Maulana Abdul Aziz cicit dari Imam Ja’far Sidiq sebagai Sultan pertama Kerajaan Perlak pada tahun 840 M. Maka jelaslah kebohongan Teori Gujarat, atau teori tentang masuknya Islam dari Gujarat pada abad ke 12 dan 13 M yang dipopulerkan Snouck bersama antek-anteknya. Karena ternyata Islam berkembang sejak awal abad ke VII Masehi, lebih awal 600 tahun dari yang dikemukakan Teori Gujarat Snouck. ********************** Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 24
Putri Jeumpa Mayang Seludang: Maha Ratu Islam Pertama Asia Tenggara Menurut penelitian terkini para ahli sejarah, diketahui bahwa sebelum datangnya Islam pada awal abad ke 7 M, Dunia Arab dengan Dunia Melayu-Sumatra sudah menjalin hubungan dagang yang erat sejak 2000 tahun SM atau 4000 tahun lalu. Hal ini sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak geografisnya yang sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab. Di antara pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan adalah Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan. Komuditas ini telah melambungkan wilayah asalnya dalam jajaran kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang seperti kedudukan Paris saat ini yang terkenal dengan inovasi minyak wangi mewahnya. Peta jalur perdagangan Zaman Khalifah Abbasiyah (7-8 M)
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke ”Pintou Rayeuk” (pintu besar). Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 25
Sekitar awal abad ke 8 Masehi datanglah seorang pemuda tampan yang dikenal dengan Shahrianshah Salman al-Farisi atau Sasaniah Salman Al-Farisi sebagaimana disebut dalam Silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao dan juga disebutkan dalam Silsilah RajaRaja Aceh Darussalam oleh Dinas Kebudayaan NAD. Sebagian ahli sejarah menghubungkan silsilah Pangeran Salman dengan keturunan dari Sayyidina Hussein ra cucunda Nabi Muhammad Rasulullah saw yang telah menikah dengan Puteri Maharaja Parsia bernama Syahribanun. Dari perkawinan inilah kemudian berkembang keturunan Rasulullah yang telah menjadi Ulama, Pemimpin Spiritual dan Sultan di Dunia Islam, termasuk Nusantara, baik di Aceh, Pattani, Sumatera, Malaya, Brunei sampai ke Filipina dan Kepulauan Maluku. Dikisahkan Pangeran Salman memasuki pusat Kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga dengan segala awak, perangkat dan pengawal serta muatannya yang datang dari Parsi untuk berdagang dan utamanya berdakwah mengembangkan ajaran Islam, sebagai sebuah misi utama para keturunan Rasulullah saw. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Sang Pangeran sangat tertarik dengan kemakmuran, keindahan alam dan keramahan penduduknya. Selanjutnya beliau tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam yang telah menjadi anutan nenek moyangnya di Parsia. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Apalagi beliau adalah seorang Pangeran dari negara maju Parsia yang terkenal kebesaran dan kemajuannya masa itu. Keutamaan dan kecerdasan yang dimiliki Pangeran Salman yang tentunya telah mendapat pendidikan terbaik di Parsia negeri asalnya, sangat menarik perhatian Meurah Jeumpa dan mengangkatnya menjadi orang kepercayaan Kerajaan. Karena keberhasilannya dalam menjalankan tugas-tugasnya, akhirnya Pangeran Salman dinikahkan dengan puteri Raja dan dinobatkan menjadi Raja menggantikan bapak mertuanya. Setelah menjadi Raja, wilayah kekuasaannya diberikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di Persia yang bernama ”Champia”, yang artinya harum, wangi dan semerbak. Sejak saat Kerajaan Islam Jeumpa terkenal dan berkembang pesat menjadi kota perdagangan dan transit bagi pedagangpedagang Arab, Cina, India dan lainnya. Kerajaan Jeumpa menjadi maju dan makmur sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Sumatra bahkan Nusantara. Shahrianshah Salman al-Farisi memproklamirkan Kerajaan Islam Jeumpa pada tahun 156 H atau sekitar tahun 770 an M. Maka tidak diragukan, Kerajaan Jeumpa adalah Kerajaan Islam pertama di seluruh Nusantara. Tentu di balik kesuksesan Pangeran Salman membangun dan memimpin Kerajaan Jeumpa, di dukung oleh seorang Maha Ratu yang sangat berperan, karena sebagaimana pepatah menyebutkan di setiap keberhasilan lelaki, pasti ada perempuan yang mendukung keberhasilannya. Siapakah wanita agung yang telah mendukung kegemilangan Maha Raja Jeumpa yang berhasil sebagai pendiri Kerajaan Islam pertama di Nusantara ini? Menurut Silsilah Sultan Melayu dan Silsilah Raja Aceh, beliau tidak lain adalah Putri Manyang Seuludang atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna Keumala, anak Meurah Jeumpa yang cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa. Putro Jeumpa inilah yang telah mendukung karir dan perjuangan suaminya sehingga Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 26
berhasil mengembangkan sebuah Kerajaan Islam yang berwibawa, yang selanjutnya telah melahirkan Kerajaan Islam di Perlak, Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam. Tidak semua Puteri Raja menjadi pendukung keberhasilan suaminya, bahkan ada yang menjadi penyebab kehancurannya. Ingatlah sosok Cleopatra, Sang Maha Ratu Mesir yang penuh intrik dan telah menghancurkan karir Penakluk Agung Yulius Ceaser. Karena Yulius menikahi Cleopatra, maka karirnya sebagai Penguasa Agung atau Kaisar Agung Romawi hancur, dia dikhianati oleh pendukung dan pemujanya, bahkan rakyatnya sendiri melecehkannya karena membawa Cleopatra ke Romawi. Akhirnya Yulius yang diagungkan dipecat senat Romawi bahkan dibantai oleh anggota Senat dihadapan dewan terhormat tersebut tanpa pembelaaan. Demikian pula yang telah menimpa Anthony, pengganti Yulius karena nekad menikahi Cleopatra, karirnya hancur dan bunuh diri di Mesir akibat intrik Cleopatra yang penuh tipu daya. Putri Manyang bukanlah Cleopatra yang penuh intrik dan tipudaya, walaupun sama-sama Maha Ratu yang memiliki kekuasaan besar terhadap Kerajaan dan rakyatnya. Jika Cleopatra menggunakan kekuasaan, kecantikan dan kecerdasannya untuk memperdaya Yulius dan Anthony serta menghancurkannya, namun Putro Jeumpa ini menggunakannya untuk mendukung kesuksesan suaminya tercinta Pangeran Salman. Bersama suaminya, Sang Maha Ratu Jeumpa ini bahu membahu memajukan Kerajaannya sehingga menjadi sebuah Kerajaan yang terkenal di dunia internasional dan menjadi kota persinggahan para pedagang-pedagang dari Arab, Parsia, Cina, India dan lainnya. Apalagi geografi Jeumpa sangat strategis yang berdekatan dengan Barus, Lamuri, Fansur yang lebih dahulu berkembang di ujung barat pulau Sumatra. Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan tapak bangunan istana dan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Semua ini tentu menggambarkan kemakmuran dan kemajuan dari Kerajaan Jeumpa 14 abad silam. Maha Ratu Manyang bukan hanya berhasil menjadi pendamping suaminya dalam membangun Kerajaan Jeumpa, tetapi juga berhasil menjadi seorang pendidik agung yang telah melahirkan anak-anak yang melanjutkan perjuangannya menyebarkan dakwah Islamiyah. Sebagai seorang ibu, sudah sepatunya Maha Ratu Jeumpa ini dibanggakan, karena telah berhasil mencetak pemimpin-pemimpin agung untuk agama dan bangsanya. Sang Maha Ratu dikaruniai beberapa orang anak yang menjadi Raja dan Ratu yang sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah pengembangan Islam Nusantara. Anak beliau bernama Syahri Poli adalah pendiri dari Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidier di wilayah Pidie sekarang yang wilayah kekuasaannya sampai ujung barat Sumatera. Syahri Tanti mengembangkan kerajaan yang selanjutnya menjadi asas perdirinya Kerajaan Samodra-Pasai. Syahri Dito, yang melanjutkan mengembangkan Kerajaan Jeumpa. Syahri Nuwi menjadi Meurah dan pendiri dari Kerajaan Perlak. Sementara putrinya Makhdum Tansyuri adalah ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, Maulana Abdul Aziz Syah yang diangkat pada tahun 840 Masehi. Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 27
Kecerdasan dan kecantikan Putri Jeumpa ini telah diwariskan kepada keturunannya yang menjadi lambang keagungan putri-putri Islam yang berjiwa penakluk dalam memperjuangkan tegaknya Islam di bumi Nusantara. Tidak diragukan bahwa Putri Manyang Seuludang telah menjadi inspirasi bagi perjuangan para Ratu dan putro-putro Jeumpa sesudahnya. Dari keturunan beliaulah telah berkembang puteri-puteri Jeumpa yang terkenal kecantikan dan kecerdasannya ke seluruh kerajaan di Nusantara. Puteri-puteri Jeumpa telah menjadi lambang kewibawaan para Ratu Islam di istana-istana Perlak, Pasai, Malaka bahkan sampai Majapahit sekalipun. Itulah sebabnya dalam perjalanan sejarah Aceh, senantiasa dipenuhi dengan wanita-wanita agung yang berjiwa patriotik dan penakluk serta membuat sejarah kegemilangannya masing-masing yang tidak pernah dicapai oleh wanita-wanita lainnya di Nusantara, bahkan di negeri Arab sekalipun. Dalam sejarah Aceh selanjutnya, tidak diragukan Putri Jeumpa Manyang Seuludang telah memberikan inspirasi kepada anak keturunannya, dan telah melahirkan wanita-wanita agung yang sangat berpengaruh dan memiliki kharisma serta kecantikan. Di antaranya adalah Maha Ratu Kerajaan Perlak bernama Makhdum Tansyuri (ibunda Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan Perlak pertama), Maha Ratu Kerajaan Perlak Pertama Makhdum Khudawi (putri Shahr Nuwi dan istri Maulana Abdul Aziz Syah), Maha Ratu Kerajaan Pasai bernama Nahrishah, Maha Ratu Darwati (Dhawarawati) yang menjadi Maha Ratu Majapahit (ibunda Raden Fatah, Sultan Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa bernama Demak), Maha Ratu Tajul Alam Safiatuddin yang menjadi Maha Ratu Kerajaan Aceh Darussalam. Di samping itu ada yang menjadi panglima agung yang ditakuti musuh, seperti Laksamana Malahayati, Tjut Nyak Dhien, Tjut Muetia dan lain-lainnya. Sepatutnya wanita-wanita agung inilah yang menjadi teladan bagi mereka yang memperjuangkan emansipasi wanita di Serambi Mekah ini. Bahwa kenyataannya, sebelum Barat melaungkan emansipasi, wanita-wanita Aceh telah menikmati kesetaraannya secara maksimal sebagai seorang Maha Ratu dan Panglima Tertinggi di bawah naungan kesempurnaan ajaran Islam, ketika wanita-wanita Barat masih dianggap sebagai budak pemuas oleh kaum lelakinya. Wajarlah jiwa wanita-wanita Barat itu menuntut haknya, tapi kenapa wanita Aceh membeo mengikutinya? Itulah paradoksnya, terkadang kita bangga dengan budaya dan sejarah asing namun melupakan keagungan budaya dan sejarah sendiri. *************************** Sekilas Tentang Kerajaan Islam Pasai Kerajaan Islam Pasai yang juga terkenal dengan Samodra Pasai adalah sebuah Kerajaan Islam di pesisir utara pulau Sumatra. Bahkan menurut ahli sejarah, perkataan Sumatra sendiri berasal dari perkataan Samodra, yang dalam loghat Arab berbunyi Samutra, dan ketika bangsa Eropa datang menyebutnya dengan Sumatra. Sejak itulah pulau besar ini disebut dengan Sumatra yang juga menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Samodra yang berpusat di Pasai. Sementara asal kata Pasai ada yang berpendapat berasal dari bahasa Aceh Pase (pasir) atau pohon Pase. Namun penelitian yang lebih mendekati, bahwa Pasai berasal dari kata Parsi (Persia), yang Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 28
dilogatkan dalam bahasa masyarakat lokal Aceh sebagai Pasee. Hal ini berkaitan dengan banyaknya orang-orang dari Persia yang bermukim menempati wilayah Pasai masa itu, sehingga dinamakan dengan Pasee sebagai kebiasaan orang dulu untuk menamakan kampung halamannyanya jika menempati wilayah baru. Seperti di Kedah ada kampung Aceh, atau di beberapa tempat terdapat nama kampung Melayu, kampung Bugis atau kampung Jawa. Pendapat kata Pasai berasal dari Parsia ini dikuatkan dengan beberapa bukti sejarah, seperti hubungan erat Kerajaan Pasai dengan Persia masa itu. Demikian pula makam-makam para Sultan Pasai sangat mirip dengan makam-makam di Persia, bahkan ditemukan huruf Arab-Persia dan beberapa ukiran dan relief yang berbau Persia. Pada makam Sultan Malik al-Saleh dan makam Sultanah Nahrishah sendiri ditemukan beberapa kalimat dalam bahasa Persia dengan tulisan kaligrafi Arab-Persia. Demikian pula silsilah para Sultan di Pasai, sebagaimana juga Sultan di Perlak menyambung dengan Pangeran dari Persia bernama Syahriansyah Salman al-Parisi yang memiliki anak Shahr Nuwi dan menjadi Sultan di Perlak, yang menjadi nenek moyang para Sultan di Pasai. Dengan demikian tidak diragukan bahwa kata Pasai (Pasee) berasal dari kata Persia. Secara silsilah kekeluargaan, tidak diragukan bahwa Kerajaan Islam Pasai adalah kelanjutan dari Kerajaan Islam Perlak yang terlebih dahulu telah didirikan oleh Meurah Shahri Nuwi putra Sharianshah Salman al-Farisi (Raja Islam Jeumpa tahun 770 M di Bireuen). Dimana Kerajaan Perlak mulai mengalami kejayaan sejak dipimpin oleh Maulana Abdul Aziz Syah pada tahun 225 H atau 840 M. Salah seorang keturunan dari Sultan Perlak dari garis Shahri Nuwi, yang dikenal dengan Sultan Malik al-Salih (w. 1297 M) yang digelar sebagai Meurah Silu mengembangkan sebuah kawasan perdagangan baru di antara Kerajaan Jeumpa dengan Kerajaan Perlak, kemudian berkembang menjadi kekuatan politik baru dengan berdirinya Kerajaan Islam Pasai. Perkembangan yang cepat Kerajaan Pasai pada akhirnya menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak yang mulai menurun peranannya pada awal abad ke 13 Masehi. Di sini perlu diluruskan beberapa legenda yang menyatakan bahwa Meurah Silu bukan terlahir sebagai seorang Muslim, namun dia menganut Islam sesudah menjadi Raja Pasai sebagaimana yang dinyatakan dalam Sejarah Melayu berdasarkan kepada hikayat Raja-Raja Pasai yang diragukan kredibilitasnya. Realitas ini sungguh bertentangan dengan fakta sejarah, karena jelas silsilah Meurah Silu (Malik al-Salih) menyambung kepada keturunan Ahlul Bayt, diperkirakan menyambung dengan Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidah Fatimah binti Muhammad saw. Fakta ini diperkuat oleh peristiwa kedatangan Nakhoda Khalifah yang dipimpin oleh Sayyid Muhammad Diba’i bin Imam Ja’far Ash-Shaqid bin Imam Muhammad Al-Baqir, diterima baik oleh Shahir Nuwi di Perlak, bahkan anak Sayyid Muhammad bernama Sayyid Ali dikawinkan dengan Saudara Shahr Nuwi bernama Makhdum Tansyuri yang melahirkan Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah. Adapun silsilah Sultan Malik al-Saleh (Meurah Silu) adalah: Sultan Malik alSaleh (Meurah Silu) putra Meurah Makhdum Malik Ahmad (Raja Jeumpa) putra Meurah Makhdum Ahmad (Raja Samalanga) putra Meurah Makhdum Malik Ibrahim (Raja Jeumpa) putra Meurah Makhdum Malik Masir (Raja Isak-Gayo II) putra Muerah Makhdum Malik Isak (Raja pertama Isak-Gayo) putra Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah (Sultan Perlak VII) putra Sultan Makhdum Alaiddin Muhammad Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 29
Amin Syah (Sultan Perlak VI) putra Sultan Makhdum Alaiddin Abdulkadir Syah (Sultan Perlak V) putra Meurah Makhdum Ahmad (Perdana Menteri Perlak pada masa Sultan Perlak II, Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdurrahman Syah) putra Meurah Makhdum Bahrum (Perdana Menteri Perlak pada masa Sultan Perlak I, Sultan Alaiddin Maulana Sayyid Abdul Aziz Syah) putra Meurah Shahri Nuwi (pendiri Perlak) putra Sahriansyah Salman al-Parisi (Raja Islam pertama Jeumpa) yang datang dari Persia. Menurut ahli sejarah beliau adalah keturunan dari Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali, cucu Nabi Muhammad saw yang dilahirkan di Persia dan menjadi Raja di Jeumpa Bireuen. Penelitian para ahli sejarah Ahlul Bayt, seperti Tun Suzanna dari Malaysia menyimpulkan bahwa ada 2 gelombang kedatangan keturunan Nabi saw ke Nusantara. Yang pertama langsung dari Persia, umumnya keturunan dari Imam Ja’far Shadiq yang telah menjadi petinggi di Kerajaan Persia dengan menggunakan gelar Syah (Shah), dan di Aceh dikenal dengan Syahri seperti yang digunakan oleh Pangeran Salman al-Parisi kepada anak-anaknya Shahri Nuwi, Shahri Poli, Shahri Dito, Shahri Duli. Sementara keturunan Shahri Nuwi selanjutnya menggunakan gelar Makhdum kepada keturunannya. Sementara gelombang kedua yang datang dari Yaman atau Hadramaut dari keturunan Muhammad Isa al-Muhajir, sudah menggunakan gelar Sayyid dengan tambahan dibelakang marga seperti Jamalullail, Al-Habsyi, Al-Idrus dan lainnya. Dengan demikian jelas bahwa Sultan Makhdum Malik al-Salih adalah salah seorang Ahlul Bayt Nabi Muhammad yang memiliki hubungan dekat dengan para Sultan Kerajaan Perlak maupun Jeumpa yang menjadi penggerak Islamisasi Nusantara. Itulah sebabnya tidak mengherankan apabila Sultan Malik al-Salih begitu tampil memimpin Kerajaan Pasai, kemudian memproklamirkannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara menggantikan peranan Kerajaan Perlak atau sebelumnya Kerajaan Jeumpa. Sebelumnya Pasai adalah sebuah perkampungan yang menjadi bandar transit bagi para pedagang yang menggunakan kapal layar dari negeri Arab menuju Cina ataupun sebaliknya. Namun dengan kemunculan Kerajaan Pasai pada awal abad 13 Masehi yang dipimpin Sultan Malik al-Salih, telah terjadi perubahan drastis dalam lalu lintas perdagangan di selat Malaka. Aceh yang dahulunya dikenal sebagai daerah penghubung, kini menjadi lebih aktif dalam perdagangan. Kerajaan Pasai menjadi pusat perdagangan dalam mengekspor hasil-hasil hutan dan pertanian. Komuditas Lada adalah diantara hasil pertanian yang sangat digemari oleh orang-orang Eropa, Arab dan Cina, yang telah menaikkan nama Kerajaan Pasai di seluruh dunia yang mendorong hadirnya saudagar-saudagar asing dari seluruh dunia. Berbagai kapal dagang dari seluruh dunia datang membawa bermacam-macam dagangan untuk diperjual-belikan di pelabuhan Pasai. Di bawah kepemimpinan Sultan Malik al-Salih yang memiliki kemampuan besar kepemimpinan serta berpegang teguh pada ajaran Islam, Kerajaan Pasai berkembang pesat bukan hanya sebagai bandar pelabuhan yang mengimpor berbagai komuditas di kawasan Selat Malaka pada saat itu, namun beliau mendorong rakyatnya menguasai berbagai teknologi. Dan terbukti masyarakatnya tergolong memiliki teknologi yang maju, khususnya dalam teknologi pertanian. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai menjadi salah satu negeri pengekspor berbagai bentuk hasil pertanian, seperti lada, bawang, semangka, pisang, tebu, jeruk dan lain-lainnya. Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 30
Pasai Sebagai Pusat Khilafah Islamiyah Bersamaan dengan kebangkitan Kerajaan Islam Pasai sekitar tahun 1250an M, pusat-pusat Khilafah Islamiyah yang berada di Bagdad, Persia, dan sekitarnya sedang mengalami masa-masa tersulit akibat penyerangan demi penyerangan yang dilakukan oleh pasukan bar-bar Mongolia yang dipimpin Jenghis Khan yang terkenal sadis dan haus darah. Setelah berhasil menguasai daratan Cina, maka pasukan bar-bar Mongolia Jenghis Khan menyerang pusat-pusat peradaban Islam yang tengah mengalami kelalaian akibat kemegahan yang mereka alami. Pada mulai tahun 1258 M, Bagdad sebagai pusat Khilafah Islamiyah jatuh ke tangan tentara Mongol dan mengalami penghancuran demi penghancuran. Para ahli sejarah menggambarkan Sungai Tigris dan Eufrat berubah menjadi hitam bercampur merah akibat darah kaum muslimin dan tinta dari buku-buku yang mengandung peradaban Islam yang mengalir ke sungai tersebut. Sementara pasukan Mongol tidak berhenti sampai di Bagdad, namun terus menguasai wilayah-wilayah Islam lainnya. Dan hampir semua dunia Islam Arab bertekuk lutut kepada kekejaman tentara bar-bar Mongol. Bahkan tentara bar-bar berhasil menguasai pusat-pusat peradaban Barat di Roma, Yunani dan lainnya. Itulah sebabnya Jenghis Khan dijuluki sebagai penakluk terbesar dengan wilayah jajahan 4 kali lebih besar dari jajahan yang dilakukan Alexander The Great (Iskandar Zulkarnain) ataupun penaklukan Muslim. Keadaan ini telah mendorong hijrah besar-besaran kaum muslimin, baik para pemimpin, ulama, cendekiawan, ilmuawan dan lainnya ke negeri muslim yang lebih aman dari pembantaian tentara Jenghis Khan. Salah satu pilihan terbaik adalah berhijrah ke Kerajaan Islam Pasai yang memang sudah menjadi bagian penting dari jaringan Khilafah Islamiyah yang diwariskan turun temurun oleh Kerajaan Islam di Sumatra sejakan zaman Khalifah Umar bin Khattab. Apalagi sebelumnya, para Raja Muslim di Sumatra, termasuk di Pasai adalah berasal dari negeri Arab dan Persia yang memiliki hubungan kekerabatan dengan para penguasa di tanah Arab, terutama yang memiliki garis keturunan dengan Bani Quraisy, baik keturunan Rasulullah (Ahlul Bayt), Bani Umayyah ataupun Abbasyiah. Dengan datangnya para pemimpin, ulama, cendekiawan, ilmuawan dan lainnya ke Pasai, maka secara otomatis Pasai bangkit menjadi sebuah kekuatan baru di Pulau Sumatra. Kedatangan para Muslim dari Bagdad dan pusat-pusat peradaban Islam disekitarnya seperti Samarkand, Bukhara dan lainnya telah memberikan kedudukan baru kepada Pasai sebagai sebuah pusat pertumbuhan peradaban Islam di kawasan alam Asia Tenggara, yang terbentang dari Sumatra, Semenanjung Melayu, Borneo, Cilabes, Mindanao, Maluku samp ai ke Australia dan Kepulauan Hawai. Kepemimpinan Sultan Malik al-Saleh yang didukung oleh kaum muslimin terbaik yang hijrah ke Pasai telah membangkitkan Kerajaan Pasai menjadi pusat sentral kekuatan dunia Islam di sebelah timur, baik kekuatan politik, ekonomi sekaligus sebagai pusat kebangkitan peradaban Islam, sebagai kelanjutan dan kesinambungan dari peradaban Islam yang telah berkembang di dunia Arab, baik Syam, Persia, Bagdad dan lainnya. Dan akhirnya, dengan kemajuan-kemajuan yang digapainya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Kerajaan Islam Pasai menjadi Pusat Khilafah Islamiyah yang menggantikan peranan Bagdad, terutama sebagai pusat pengembangan kekuatan politik, pertahanan, ekonomi dan peradaban. Realitas inilah yang telah Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 31
mengkwatirkan Kerajaan Hindu Jawa-Majapahit sehingga berniat untuk menyerang dan menaklukkan Pasai. Namun menaklukkan Pasai di puncak kegemilangannya dengan sumber daya manusia unggul dari penjuru dunia, bukanlah perkara mudah. Kegagalan Majapahit dalam menaklukkan Pasai inilah yang selanjutnya mendorong para pemimpin Kerajaan Pasai untuk menaklukkan Majapahit yang semakin melemah. Pada tahap awal, menaklukkan Jawa-Majapahit bukanlah menjadi prioritas dari Kerajaan Islam Pasai yang kini telah menjadi Pusat Khilafah Islamiyah di timur. Prioritas utama adalah menyelamatkan dunia Muslim Arab, khususnya Mekkah alMukarramah dari ancaman pasukan bar-bar Mongol yang haus darah. Sekaligus mengkonsolidasi kekuatan dunia Muslim dengan menggalang kerjasama dengan para pemimpin Islam, baik di dunia Arab, Persia sampai ke daratan Cina kecil. Berkat persatuan aliansi Kerajaan Islam di Dunia Arab, Persia dan Cina dengan pusat kordinasi di Pasai, maka kekuatan Mongolpun dapat dijinakkan, sekaligus mengislamkan pemimpinnya, Timur Lank, cucu dari Jenghis Khan. Dan sejak saat itu, kekuatan Islam terbentang dari dunia Afrika, Arab, Persia, Asia Tengah, Mongolia sampai ke Cina, dan tentu Pasai sebagai salah satu poros kekuatan di Asia Tenggara yang dikenal bangsa Arab dengan bilad Tahta Jawi atau Negeri Bawah Angin, yang akhirnya sisebut Jawi saja atau Jawa sekarang. Kebesaran dan kemegahan Kerajaan Islam Pasai, yang dikenal dengan Samudra Pasai, juga telah mempengaruhi nama dari pulau yang sekarang bernama Sumatra. Sebagaimana diterangkan terdahulu, Samudra, jika dibaca dengan lidah asing akan terdengar sebagai Samutra, yang akhirnya berevalusi menjadi Sumatra, yang menjadi sebutan bagi pulau besar sebelah barat, yang terbentang sepanjang Salahit atau Selat, yang sekarang dinamakan dengan Selat Malaka. Letak georafi Kerajaan Pasai yang strategis, yang di dukung oleh alamnya yang subur, digerakkan oleh masyarakat kosmopolit dizamannya yang berhijrah pasca kejatuhan Bagdad serta dukungan kebijakan penguasa, telah mengantarkan Pasai menjadi salah satu bintang kebangkitan Islam di timur. Kebesaran nama Pasai telah mendorong kedatangan para cerdik pandai Muslim dari negeri Arab, Persia, India dan lainnya untuk membangun kekuatan baru, baik secara politik maupun ekonomi. Sepeninggal Sultan Malik al-Salih, Kerajaan Pasai berkembang dengan pesatnya di bawah kepemimpinan keturunan beliau yang tetap menjalankan kebijakan yang telah digariskan para pendahulunya, bahwa Pasai sebagai penggerak dan pusat Islamisasi Nusantara. Ibnu Batutah, seorang musafir dan peneliti sosial asal Maroko telah mengunjungi Kerajaan Pasai antara tahun 1345-1346 Masehi. Dia menyebutkan dalam catatannya bahwa kerajaan ini sudah maju dalam perdagangan; hubungan dagang telah diadakan secara luas dengan Tiongkok dan India. Sultan Malik al-Zahir, yang memerintah Kerajaan Pasai pada waktu itu, adalah seorang sultan yang saleh lagi sangat taat kepada agama. Ia bermazhab Syafie dan sangat gemar mengadakan pertemuan ilmiah, dengan para ulama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah agama. Setiap hari jum’at ia pergi ke masjid dengan berjalan kaki. Ibnu Batutah juga menyebutkan sejumlah ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir Daulasa dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan ahli hukum Tajudin dari Isfahan. Pengamatannya menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai dalam kemakmuran dan kedamaian yang luar biasa. Hal ini dibuktikan ketika Sultan Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 32
mengadakan acara pernikahan putra beliau yang menggambarkan kebesaran dan kemewahan istana Kerajaan Pasai. Perkembangan pesat Kerajaan Pasai yang telah mengantarkan kemakmuran dan kebesaran masyarakatnya, dan terutama kemampuannya sebagai pelopor dan penggerak Islamisasi di Nusantara, telah menimbulkan hasud dan dengki kerajaankerajaan lainnya, terutama kerajaan Budha Thailand yang bekerjasama dengan kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang telah merancang penyerangan dan penghancuran Kerajaan Pasai dengan berbagai cara agar melemahkan semangat Islamisasi di Nusantara. Pada pertengahan abad ke 14 Masehi Kerajaan Majapahit melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Pasai yang mendapat perlawanan hebat dari para mujahidin Pasai yang telah mendapat pendidikan kerohanian dari para Wali, sehingga banyak menimbulkan korban di kedua belah pihak. Bahkan dikabarkan, Mahapatih Gadjah Mada yang memimpin penyerangan ke Pasai telah menjadi korban dan terbunuh ketika melarikan diri. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai tetap eksis dan bangkit kembali menjadi salah satu Kerajaan Islam yang terkuat di Asia Tenggara. Kemakmuran dan kebesaran Pasai dalam abad-abad berikutnya, bukan saja telah menjadikannya sebagai pusat penyebaran agama Islam dengan mengirimkan para muballigh ke tempat-tempat yang diperlukan, terutama ke Patani, Malaka, Borneo, Jawa sampai Mindanao dan Maluku. Tetapi juga sebagai pusat pengajian tinggi Islam di mana berkumpul berbagai ulama dan sarjana yang mengajar dan membahas masalah-masalah agama serta menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang muncul dan datang dari daerah-daerah sekitar Asia Tenggara. Disebutkan dalam Sejarah Melayu bahwa seorang ulama sufi dari Mekkah, Syekh Abu Ishak telah menulis sebuah buku berjudul Durr al-Manzum, yang terdiri dari dua bab, pertama tetang zat Allah dan kedua tentang sifat Allah. Atas anjuran muridnya Maulana Abu Bakar, kitab tersebut ditambah bab ketiga tentang af’al Allah (perbuatan Allah). Kemudian Maulana Abu Bakar membawa kitab tersebut ke Sultan Malaka, Sultan Mansyur Syah. Sultan menerima kitab tersebut dengan upacara khusus kebesaran seperti menyambut tamu kehormatan Kerajaan. Selanjutnya kitab tersebut dikirim ke Pasai untuk diberi penjelasan lebih mendalam oleh seorang ulama Pasai bernama Makhdum Patakan. Pemahaman keislaman para Sultan, Ulama, Cendekiawan dan rakyat Pasai pada saat itu berkembang pesat, yang tidak hanya membahas aspek-aspek fiqih dan hukum semata, namun sudah mencapai pembahasan yang bersifat ”esoterik” sebagaimana yang dibuktikan dengan beberapa jawaban Ulama Pasai bernama Makhdum Muda kepada Sultan Malaka yang telah mengutus Tun Bija Wangsa. Kebesaran dan kemakmuran Kerajaan Pasai akhirnya telah mengantarkannya sebagai pusat rujukan dan pengembangan pemikiran Islam di timur jauh, tempat berkumpul para Ulama dan Cendekiawan membahas masalah-masalah keagamaan dan tentunya sebagai pusat pendidikan tingkat tinggi keislaman. Itulah sebabnya Kerajaan Pasai dianggap oleh daerah-daerah lain di Nusantara sebagai pusat rujukan dan fatwa yang berwenang dalam menyelesaikan masalah-masalah agama. Hal ini memang sangat memungkinkan, sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah, bahwa di Kerajaan Pasai telah tinggal beberapa jenis Ulama dan Cendekiawan, seperti ahli hukum Islam, para penyair, para hukama (ahli filsafat) dan lain-lain. Peran sentral Kerajaan Pasai sebagai motor penggerak Islamisasi di Nusantara, terutama menjelang abad ke 15 Masehi semakin menonjol, sehingga banyak menarik Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 33
minat para Cendekiawan Muslim dari seluruh penjuru dunia untuk datang. Di antara tokoh yang nantinya sangat berpengaruh dalam Islamisasi Nusantara, khususnya Islamisasi Jawa yang masih di bawah dominasi Kerajan Hindu-Budha, adalah Saiyid Hussein Jamadul Kubra dengan dua orang anaknya, Maulana Ishak dan Maulana Malik Ibrahim yang datang dari derah Samarkand, Parsia. Kedatangan tokoh-tokoh Ulama dan Cendekiawan besar dunia Islam, baik dari Yaman, Hadramaut, Maroko (Maghribi), Persia maupun India dan lain-lainnya, benar-benar telah menjadikan Pasai sebagai poros baru peradaban Islam, khususnya dalam pengembangan pemikiran keislaman atau selanjutnya berperan dalam melahirkan gerakan-gerakan seperti Wali Sembilan yang telah mengislamkan tanah Jawa dengan pendekatannya yang khas. Gerakan Auliya Sikureng (Wali Sembilan) Kerajaan Islam Pasai Bumi Aceh sangat terkenal dengan bumi para auliya. Namun tidak banyak di antara orang-orang Aceh sendiri yang dapat menyebutkan nama-nama para wali yang telah berperan mengembangkan Islam sehingga menjadikan Aceh sebagai bangsa maju dan besar, sehingga menjadi pelopor dalam dakwah Islamiyah. Ironisnya, ada di antara auliya yang berasal dari tanah Aceh, namun tidak dikenal oleh bangsa asalnya, namun sangat terkenal di tanah Jawa. Misalnya Wali Sembilan, auliya sikureung, yang di tanah Jawa sangat terkenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka adalah para tokoh penggerak Islamisasi di Nusantara yang telah berperan aktif dalam pendirian Kerajaan Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan JawaHindu Majapahit, simbol kemegahan masyarakat Hindu Jawa. Disamping itu mereka juga telah mendirikan Kerajaan Islam dari Pattani, Champa, Kelantan, Brunei, Sulu, Mindanao, Pontianak, Banten, Makassar sampai Maluku dan Fak-Fak Papua. Namun tidak banyak yang mengetahui, dari manakah asal para auliya ini dan dimanakah pusat gerakan mereka dalam mengislamisasikan Nusantara. Sampai sekarang banyak para peneliti, baik yang Muslim dan non Muslim berbeda pendapat tentang asal-usul mereka. Ada yang menyatakan mereka berasal dari negeri Cina, Turki, Bukhara (Rusia) dan lain-lainnya sehingga menimbulkan kekeliruan sejarah yang berdampak buruk pada kebenaran sejarah Islam yang sepatutnya menjadi teladan dan pengajaran generasi masa kini. Maka untuk meluruskan kekeliruan tersebut, diperlukan sebuah penelitian menyeluruh terhadap peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan sejarah para wali ini. Gerakan Wali Sembilan Awal Wali Sembilan awal, adalah para wali yang telah berperan menggerakkan dakwah Islamiyah terutama sebelum lahirnya gerakan Wali Sembilan (Wali Songo) yang terkenal di tanah Jawa. Menurut sejarahnya, para wali ini sangat berperan dalam mendorong lahirnya gerakan dakwah Islamiyah yang telah melahirkan gerakan Wali Songo. Boleh dikatakan bahwa wali sembilan awal ini pelopor dan peristis terbentuknya gerakan yang nantinya dikenal dengan Wali Songo. Bahkan mereka adalah kakek, bapak atau guru daripada Wali Songo yang telah berhasil mendirikan Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri Kerajaan Hindu Majapahit. Di tanah Jawa memang sejarah mereka tidak banyak beredar sehingga nama mereka tidak dikenal luas, kecuali beberapa orang seperti Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 34
Sayyid Jamaluddin al-Husein dan Maulana Malik Ibrahim. Tapi di Champa, Pattani, Kelantan dan Semenanjung Malaya nama mereka sangat terkenal, bahkan keturunan mereka sampai sekarang menjadi Sultan di Malaysia. Karena dalam tulisan ini hanya membahas peranan para wali di sekitar Kerajaan Pasai dan yang berperan atau berhubungan dengan gerakan Wali Songo di tanah Jawa, maka penulis hanya membatasinya dengan tokoh-tokoh yang hidup disekitar Pasai dan memiliki peranan langsung dengan Wali Songo. Menurut penelitian penulis, mereka yang dapat dikategorikan sebagai Wali Sembilan Awal adalah: (1).Sayyid Jamaluddin Syah Jalal, (2).Sayyid Qamaruddin Syah Jalal, (3).Sayyid Majduddin Syah Jalal, (4).Sayyid Tsanauddin Syah Jalal, (5).Maulana Malik Ibrahim, (6).Maulana Sayyid Ibrahim Sayyid Jamaluddin, (7).Sayyid Wan Abdullah Sayyid Jamaluddin (Wan Bo/Raja Champa), (8).Sayyid Ali Nurul Alam Sayyid Jamaluddin (Raja Kelantan), (9). Sultan Malik Al-Zahir II (Sultan Pasai). Sayyid Jamaluddin Kubra (Maulana Sayyid Akbar-Sayyid Hussein Jamadil Kubra) Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Sayyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudarasaudaranya (wali no 1 sd no 6) konon telah mengembara ke Asia Tenggara..... Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Aceh (Pasai) dan Kamboja, Pattani kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula anaknya, Sayyid Ibrahim (wali no 6) ditinggalkan di Aceh (Pasai) untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Sayyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”. Inilah tokoh utama Wali Sembilan Awal, atau yang menjadi jalan lahirnya Wali Sembilan atau Wali Songo yang terkenal di tanah Jawa. Sayyid Syah Ahmad atau ayahanda Sayyid Jamaluddin adalah seorang Gubernur di zaman Maharaja India dari Kesultanan Delhi yang bernama Sultan Muhammad Taghlug yang memerintah pada tahun 1325-1351. Beliau adalah keturunan dari Sayyid Ahmad Isa Al-Muhajir dari jalur Sayyid Abdul Malik Alawi yang lahir di kota Qasam, Hadramaut yang berhijrah ke India dan mendapat kedudukan terhormat di Kesultanan Islam India masa itu. Pada pertengahan abad 14 M, anak Sayyid Syah Ahmad yang bernama Sayyid Jamaluddin Al-Hussein meninggalkan India untuk mengembangkan dakwah Islamiyah ke sebelah timur, menuju Kerajaan Islam Pasai yang telah berkembang menjadi pusat Islamisasi Nusantara dan telah menggantikan peranan Bagdad yang hancur lebur akibat penyerangan tentara bar-bar Mongolia. Adapun silsilah lengkap Sayyid Jamaluddin adalah : Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin Muhammad Syahib Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bini Al-Syeikh Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin ‘Isa Al-Rumi bin Muhammad Naqib bin ‘Ali Al-Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Hussein bin Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW. Rombongan Sayyid Jamaluddin tiba di Kerajaan Islam Pasai diperkirakan pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir II antara tahun 1360an M. Pada masa inilah Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 35
masa-masa puncak kegemilangan Kerajaan Islam Pasai yang terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai Kerajaan Samodra yang berpusat di Pasai. Kegemilangnnya Kerajaan Samodra telah mempengaruhi nama dari pulau tempat Kerajaan Islam ini, Sumatera, (Samodra-Samotra(arab)-Sumatera(eropa). Rombongan para Sayyid dari Kerajaan Islam Tughlug India ini mendapat sambutan dan penghormatan besar di Kerajaan Islam Pasai, karena mereka adalah para Ulama dan Maulana yang menjadi guru pengajaran Islam. Apalagi Sultan Malik al-Zahir II dan ayahandanya, Sultan Malik al-Zahir atau kakeknya Sultan Malik al-Saleh adalah keturunan dari para Sultan Perlak (Maulana Abdul Aziz Syah) dan Raja Jeumpa (Syahir Nawi-Shahriansyah Salman) yang kedua-dunya bertemu pada jalur Ja’far Shadiq, cucu dari Sayyidina Hussein bin Fatimah binti Rasulullah saw. Menurut catatan Ibn Batutah dalam Rihlah Ibnu Batutah, jilid II, hal. 185-187 dan 209-210, Sultan Malik al-Zahir II, yang memerintah Kerajaan Pasai pada waktu itu, adalah seorang sultan yang saleh lagi sangat taat kepada agama dan sangat gemar mengadakan pertemuan ilmiah, dengan para ulama untuk berdiskusi tentang masalahmasalah agama. Setiap hari jum’at ia pergi ke masjid dengan berjalan kaki. Ibnu Batutah juga menyebutkan sejumlah ulama menjadi pembesar istana, antara lain: Amir Daulasa dari Delhi, Qadi Amir Said dari Shiraz dan ahli hukum Tajudin dari Isfahan. Pengamatannya menyimpulkan bahwa pada saat itu, Kerajaan Pasai dalam kemakmuran dan kedamaian yang luar biasa. Hal ini dibuktikan ketika Sultan mengadakan acara pernikahan putra beliau yang menggambarkan kebesaran dan kemewahan istana Kerajaan Pasai. Itulah sebabnya mengapa rombongan Sayyid Jamaluddin dan Maulana Malik Ibrahim mendapat sambutan dan penghormatan luar biasa oleh Sultan dan para petinggi Kerajaan Pasai. Karena memang sebelumnya hubungan antara Pasai dengan Delhi, sebagai negeri asal rombongan Sayyid Jamaluddin, sudah terhubung rapat yang dibuktikan dengan adanya ulama besar dari Delhi di Kerajaan Pasai, Maulana Amir Daulasa sebagaimana disebutkan Ibnu Batutah. Mungkin saja kedatangan Sayyid Jamaluddin merupakan sebuah kelanjutan muhibbah antara Pasai dan Delhi. Maka tidak mengherankan apabila Sayyid Jamaluddin memilih Pasai sebagai tujuannya, karena kebesaran Pasai sudah menjadi legenda di Kerajaan Delhi. Sebagaimana kedudukan Maulana Amir Daulasa pada Kerajaan Pasai, maka tidak diragukan bahwa Sayyid Jamaluddin dengan rombongannya, termasuk Grand Master gerakan Wali Songo di tanah Jawa, Maulana Malik Ibrahim, juga mendapat kedudukan terhormat di Kerajaan Pasai. Mereka telah menjadi tokoh-tokoh utama dan sentral yang mempengaruhi kebijakan Kerajaan Islam Pasai, khususnya pada zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir II, atau penggantinya Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Peranan mereka bukan hanya sebagai tokoh agama saja, tapi juga mengurusi masalah-masalah politik internasional, membangun jaringan politik internasional yang menghubungkan antara dunia Arab, Parsia, India, Cina dengan dunia Islam Nusantara yang berpusat di Kerajaan Islam Pasai. Di antara fokus mereka adalah mengembangkan kekuasaan Kerajaan Islam Pasai ke seluruh Nusantara agar menjadi patron bagi Kerajaan Islam di seluruh Nusantara. Karena dengan semakin besarnya kekuasaan dan wilayah Kerajaan Pasai akan mempermudah gerakan Islamisasi Nusantara, termasuk startegi jitu untuk meredam perkembangan Kerajaan Budha Thailand di sebelah barat dan Kerajaan Hindu Majapahit di sebelah timur. Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 36
Sayyid Jamaluddin menikah dengan salah seorang puteri di Kerajaan Pasai yang dikenal dengan ”Putri Jeumpa”, yang juga saudara ipar dari Sultan Malik al-Zahir II, Sultan Pasai. Jadi Sayyid Jamaluddin dengan Sultan Malik al-Zahir II sepengambilan (biras). Pernikahan Sayyid Jamaluddin ini melahirkan putera yang bernama Sayyid Ibrahim al-Akbar (bukan Maulana Malik Ibrahim). Selanjutnya Sayyid Ibrahim mendapat pendidikan dari Maulana dan Ulama Kerajaan Pasai. Beliau menikah dengan kerabat bangsawan Kerajaan Pasai, yang dikenal dengan julukan ”Putri Jeumpa” bernama Candra Wulan. Puteri inilah bersaudara dengan ”Puteri Jeumpa” dari kerabat Kerajaan Pasai yang terkenal bernama Darwati (Dwarawati) yang menjadi Maha Ratu dari Raden Brawijaya V dari Kerajaan Jawa-Majapahit. Perkawinan Sayyid Ibrahim dengan Putri Candra Wulan telah melahirkan dua orang putera yang menjadi Ulama besar, yaitu Maulana Sayyid Ishaq yang menjadi Ulama dan penasihat utama Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin, dan beliau juga sekaligus ayahanda dari Raden Paku atau Sunan Giri, anggota Wali Songo. Putra yang lain adalah Maulana Sayyid Rahmatullah yang di tanah Jawa terkenal dengan Raden Sayyid Rahmat atau Sunan Ampel yang menjadi pemimpin utama Wali Songo di tanah Jawa. Beliau lahir pada tahun 1401 M di lingkungan istana Kerajaan Pasai. Setelah mempersiapkan diri dengan berbagai perlengkapan dakwah di Kerajaan Islam Pasai, maka berangkatlah ke arah barat, Sayyid Jamaluddin Syah Jalal bersama beberapa Maulana untuk mengislamkan negeri Siam (Thailand), Cina Kecil dan Semenanjung Melayu. Beliau berhasil mengislamkan beberapa kawasan seperti Champa, Senggora, Pattani, Kelantan, Kedah dan sekitarnya. Kemudian beliau mendirikan Kerajaan Islam di Champa dan mengangkat anaknya bernama Wan Bo atau Wan Abdullah menjadi Sultan Champa pertama. Selanjutnya beliau mendirikan Kerajaan Islam di Pattani dan Kelantan. Walaupun secara politik beliau tidak dapat menaklukkan Kerajaan Budha Siam (Thailand) yang memiliki kekuatan besar, namun beliau telah meletakkan dasar-dasar dakwah Islamiyah di wilayah tersebut. Di Kelantan Sayyid Jamaluddin menikah dan memiliki putra bernama Sayyid Ali Nurul Alam. Sementara Sayyid Ali Nurul Alam memiliki dua orang putera yang menjadi Sultan, yaitu Syarif Hidayatullah yang dibesarkan di Pasai dan menjadi Sultan Kerajaan Islam Banten-Jawa Barat pertama dan Sultan Ba’abullah yang menjadi Sultan TernateMaluku. Selanjutnya Sayyid Jamaluddin berangkat ke Majapahit mendukung perjuangan Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu mengembangkan dakwah. Setelah beberapa lama beliau ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”. Maulana Malik Ibrahim bin Sayyid Husein Jamadil Kubra Adapun Wali Sembilan Awal yang berdakwah ke timur (Jawa-Majapahit) adalah Maulana Malik Ibrahim. Beliau adalah tokoh paling senior dan Grand Master dalam gerakan para Wali yang di tanah Jawa dikenal dengan Wali Songo. Pada awal abad ke 14, beliau berangkat ke tanah Jawa dan memusatkan gerakan dakwahnya di daerah pelabuhan sekitar kota Gresik dan Tuban Jawa Timur, berdekatan dengan pusat Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit. Namun dakwahnya tidak mendapat sambutan akibat besarnya pengaruh Kerajaan Hindu-Majapahit terhadap rakyatnya, karena Raja Majapahit dianggap titisan Dewa oleh rakyatnya, sehingga mereka tidak berani untuk menentang atau berbeda pendapat dengan Maha Raja. Maulana Malik hanya dapat Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 37
mengislamkan rakyat jelata dari kasta rendah, sementara kalangan istana Majapahit menolak dakwahnya. Sebagai seorang pejuang dan pendakwah Islam kawakan sekaligus sebagai utusan Kerajaan Islam Pasai, Maulana Malik tidak pernah berputus asa untuk berdakwah. Beliau bersama dengan para pendakwah lainnya mendirikan pusat Islamisasi dan pendidikan seperti sistem pondok pesantren untuk mendidik para pendakwah Islam Gresik Tuban Jawa Timur. Beliau juga mempelajari seluk beluk masyarakat Jawa secara mendalam, dan berkesimpulan bahwa dakwah Islam akan mudah diterima apabila telah dianut oleh kalangan Kerajaan Majapahit. Maka atas nama Kerajaan Pasai beliau datang sebagai utusan diplomatik sekaligus sebagai pendakwah Islam. Beliau juga merancang agar salah seorang Puteri Kerajaan Pasai terbaik yang sudah muslimah dan bertaraf kader dakwah dapat menjadi Permaisuri Kerajaan Majapahit. Tujuannya jelas agar Sang Puteri Pejuang ini dapat memberi jalan bagi perkembangan dakwah Islamiyah ke dalam istana Kerajaan Hindu-Majapahit kelak. Maka bersama-sama dengan para alim ulama dan Sultan, diputuskan Puteri terbaik itu jatuh pada Putri Jeumpa Darwati (Dwarawati), saudara ipar dari Sayyid Ibrahim al-Akbar atau saudara ibunda Maulana Sayyid Rahmatullah (Sunan Ampel). Dipilihnya Putro Dwarawati sebagai pejuang garda terdepan dakwah Islamiyah ke jantung kekuatan Kerajaan Hindu terbesar Majapahit, tentu bukan asal-asalan, tapi tentu dengan pertimbangan fatwa agama dan politik tingkat tinggi. Karena tidak dimungkinkan seorang wanita muslimah untuk menikah dengan seorang Hindu. Tapi fatwa telah diputuskan oleh Ulama dan Maulana dari Kerajaan Pasai dengan pertimbangan fiqh yang lebih luas dan tingkat tinggi, demi untuk kepentingan dakwah dan perkembangan Islam. Berkat diplomasi ulungnya, maka Raden Prabu Brawijaya V, Maha Raja Majapahit menikah dengan Putro Darwati (Dwarawati), Puteri Jeumpa yang telah menjadi keluarga besar Kerajaan Islam Pasai. Pernikahan ini telah melahirkan Raden Fatah yang kelak menjadi Sultan Islam pertama di tanah Jawa. Setelah Raden Fatah lahir, maka Putro Darwati meninggalkan istana Majapahit menuju Kerajaan Islam Palembang untuk membesarkan anaknya dengan suasana yang Islam agar kelak menjadi pemimpin Islam di tanah Jawa. Maulana Malik Ibrahim meninggal tahun 1419 di Gresik, Tuban Jawa Timur. Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling awal,'' tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi. Peran terbesar dari Wali Sembilan Awal ini adalah memperkuat sistem di Kerajaan Islam Pasai sehingga menjadi sebuah Kerajaan yang menjadi poros dan pusat Islamisasi di Nusantara. Kehadiran mereka memperkuat Kerajaan Islam Pasai yang sudah mulai mengalami kegemilangan di zaman Sultan Malik al-Saleh dan penggantinya Sultan Malik al-Zahir. Dengan pengetahun dan pengalaman yang mereka miliki di Kerajaan Delhi, para wali telah menjadi guru bagi bangsawan Pasai. Demikian pula, mereka telah berhasil mendirikan perwakilan atau jaringan Kerajaan Pasai di Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 38
Champa (Kambodia), Pattani, Senggora (Thailand), Kedah, Kelantan, Malaka (Malaya) dan sampai ke Borneo dan Sulu-Mindanao di Filipina. Walaupun mereka tidak berhasil menaklukkan Kerajaan Budha Siam (Thailand), namun mereka sudah mengepung Kerajaan Budha ini dari sebelah barat dengan berdirinya Kerajaan Champa dan dari sebelah timur dengan berdirinya Kerajaan Pattani dan Senggora. Sehingga Kerajaan Budha Siam akan berpikir panjang untuk menyerang kembali Kerajaan Pasai sebagai jantung Islamisasi Nusantara. Maka tugas untuk menyempurnakan dakwah dan perjuangan mereka kini diembankan kepada generasi sesudah mereka yang di kemudian hari di kenal dengan Wali Songo. Wali Sembilan – Wali Songo di Tanah Jawa Istilah Wali Songo sangat populer di tanah Jawa, namun para ahli berbeda pendapat tentang asal usul mereka. Perbedaan ini terjadi karena kesalahan dalam memahami Jeumpa di wilayah Aceh (Bireuen) sebagai Champa yang berada di Kamboja. Akibatnya banyak penyimpangan sejarah yang terjadi. Bahkan kemudian ada yang menyimpulkan bahwa para wali berasal dari Cina. Di antara ahli sejarah yang berpendapat ”Champa” sebagai asal para Wali juga merupakan wilayah yang terkenal dan berpengaruh pada proses Islamisasi Nusantara adalah Jeumpa di Aceh, seperti TS. Rafless, Prof. Hamka dan Prof. Saifuddin Zuhri, Prof. A. Hasymi dan lain-lainnya. Dengan pemahaman ini, maka sejarah dapat diluruskan sebagaimana adanya. Pendapat yang menyatakan bahwa para Wali, terutama Raden Rahmat (Sunan Ampel) berasal dari Champa di Kambodia, perlu diluruskan dengan beberapa fakta, diantaranya adalah: Keadaan Champa Kambodia ketika zaman Maulana Rahmatillah (awal abad 15 M) sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru dunia. Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalahmasalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi. Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab. Menurut beberapa catatan, Champa di Kambodia sedang di perintah oleh Ch? B?ng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah) seorang Raja terkuat dan terakhir Champa. Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim atau Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia masa ini dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya. Beliau berhasil menyatukan dan mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377. Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho . Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390. Tidak banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi tidak didapat bekas-bekas kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 39
pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka. Tidak mungkin seorang ulama besar dapat lahir dalam suasana yang tidak kondusif seperti di Kambodia masa itu. Maka tidak diragukan bahwa Wali Sembilan Awal, Sayyid Hussein Jamadil Kubra, Maulana Malik Ibrahim ataupun Sayyid Ibrahim, ayahanda Maulana Rahmatullah, menjadikan Kerajaan Islam Pasai yang sudah berkembang pesat sebagai pusat pengajaran Islam menjadi basis awal perjuangan mereka dalam mengislamisasikan Nusantara. Apalagi diketahui para Sultan sejak Sultan Malik alSalih adalah orang-orang yang alim dan taat beragama serta memiliki komitmen yang kuat terhadap penyebaran dakwah Islamiyah. Kerajaan Islam Pasai yang sudah menjadi patron kerajaan-kerajaan Islam yang baru berdiri di wilayah Nusantara sangat berkepentingan untuk membantu dakwah Islamiyah para Wali, disamping sebagai tuntutan agama sekaligus menjadi strategi untuk mempertahankan eksistensi kerajaan Islam dari gangguan penyerangan Kerajaan Hindu Majapahit yang berambisi menguasai Kerajaan Pasai. Kepentingan Sultan Pasai dan para Wali bertemu pada satu titik utama, mengislamkan Majapahit atau memeranginya sehingga menjadi wilayah taklukan Kerajaan Islam Pasai. Gerakan dakwah Islamiyah yang juga sekaligus merupakan gerakan penaklukan kerajaan-kerajaan Hindu Nusantara dilakukan secara simultan dan teristematis oleh para Wali dan pengikutnya dengan dukungan penuh penguasa Pasai. Kebutuhan logistik para Wali sampai militer didukung oleh Kerajaan Pasai. Bahkan para Sultan dari kerajaan-kerajaan Islam yang baru berdiri, seperti di Champa, Pattani, Kelantan sampai Sulu, Mindanao, Banten, Makassar dan Maluku adalah para kerabat dekat istana Pasai yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan para Wali. Akhirnya memang gerakan dakwah Islamiyah para Wali menyatu dengan misi perluasaan wilayah kekuasaan Kerajaan Islam Pasai. Sebuah langkah strategis dan jenius yang telah menjadikan Nusantara sebagai wilayah Islam terbesar di dunia sampai saat ini. Jadi para Wali yang agung dan mulia ini bukan hanya mengajarkan ajaran agama semata sebagaimana difahami kebanyakan orang. Tapi mereka benar-benar telah menegakkan Islam secara menyeluruh sesuai dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya. Mereka bukan hanya memahami Islam sebagai sebuah ritual kerohanian semata, tetapi mereka menegakkan Islam menjadi sebuah sistem sosial dan pemerintahan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang menegakkan syareat Islam secara bertahap sesuai pemahaman masyarakat zamannya. Maulana Rahmatillah bin Sayyid Ibrahim (Sunan Ampel) Gerakan dakwah Islamiyah Wali Sembilan Awal yang digerakkan Sayyid Hussein Jamadil Kubra, yang selanjutnya diteruskan Maulana Malik Ibrahim yang telah wafat tahun 1419 di Gresik, Tuban Jawa Timur ke wilayah timur Pasai, dari Palembang dan tanah Jawa seterusnya dilanjutkan oleh para sahabat dan muridnya yang datang silih berganti dari Kerajaan Pasai. Diantara penggantinya yang paling menonjol adalah anak keponakannya bernama Maulana Rahmatullah, anak dari Sayyid Ibrahim yang dikenal di tanah Jawa dengan Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Beliau lahir pada tahun 1401 M di lingkungan istana Kerajaan Pasai dari pernikahan Sayyid Ibrahim bin Sayyid Jamaluddin al-Hussein dengan seorang Putri bangsawan Jeumpa di kerajaan Pasai yang bernama Chandra Wulan. Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 40
Adapun silsilah keturunan Maulana Rahmat (Sunan Ampel) adalah : Maulana Rahmatullah bin Sayyid Ibrahim bin Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin Muhammad Syahib Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Al-Syeikh Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin ‘Isa Al-Rumi bin Muhammad Naqib bin ‘Ali AlUraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Hussein bin Sayyidatina Fatimah (Sayyidina Ali bin Abi Thalib) binti Rasulullah SAW. Maulana Rahmatullah atau Raden Rahmat yang terkenal di Jawa dengan Sunan Ampel mendapat pendidikan terbaik dengan sistem terbaik dan termaju saat itu di Kerajaan Islam Pasai, tempat beliau dilahirkan dan dibesarkan. Karena pada saat itu Kerajaan Pasai sudah berkembang menjadi sebuah Kerajaan Islam yang kuat dan maju serta makmur. Kemajuan dan kemakmuran inilah yang telah mendorong datangnya para ulama dan cendekiawan seluruh dunia, apalagi para Sultan Pasai adalah orangorang yang alim dan saleh yang sangat berminat pada pengembangan agama Islam. Pada awal abad ke 15 M, Kerajaan Pasai telah berkembang menjadi pusat pengajian tinggi Islam yang berhubungan langsung dengan pusat-pusat peradaban Islam di Makkah, Mesir, Persia, India, Andalusia dan lainnya. Di bawah asuhan para ulama, auliya dan cendekiawan besar di Kerajaan Pasai, Maulana Rahmat yang terkenal cerdas menjadi seorang ulama dan auliya yang disegani dan sangat diandalkan dalam penyebaran dakwah Islamiyah, khususnya ke tanah Jawa untuk meneruskan perjuangan kakeknya, Sayyid Hussein ataupun pamannya, Maulana Malik Ibrahim. Setelah mendapat pendidikan di Kerajaan Islam Pasai, Maulana Rahmat berdakwah di pulau Sumatera, bersama dengan para auliya lainnya telah mengislamkan Kerajaan Palembang. Selanjutnya Maulana Rahmat berhijrah pada tahun 1443 M ke Jawa. Kehadirannya membawa perubahan besar dalam dakwah Islamiyah di tanah Jawa. Karena kharisma dan ketinggian ilmunya, beliau sangat disegani oleh para petinggi Majapahit. Pada saat yang sama, saudara ibunya, Dwarawati sudah menjadi Maha Ratu Majapahit, yang semakin memudahkan gerakan dakwahnya. Bahkan bibinya inilah yang mengundang Maulana Rahmat datang ke Kerajaan Majapahit di tanah Jawa, karena kerajaan Hindu besar ini tengah mengalami masa-masa krisis yang ditimpa kemunduran akibat perpecahan, perang saudara, perbuatan amoral yang melanda masyarakat. Diharapkan dengan kehadiran Maulana Rahmat dengan ketinggian ajaran moralitas Islam keadaan dapat diperbaiki dan mengembalikan wibawa dan kegemilangan Majapahit. Dengan senang hati Maulana Rahmat datang berdakwah ke Majapahit, apalagi tujuan utama beliau adalah untuk mendirikan sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa sebagai ekspansi Kerajaan Islam Pasai, yang sekaligus dapat menjadi penaung gerakan Islamisasi khususnya di tanah Jawa dan sekitarnya. Namun seruannya untuk menjadikan Kerajaan Hindu-Majapahit sebagai Kerajaan Islam tidak mendapat sambutan dari Maha Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Maka beliau memulai gerakan besarnya dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam dengan sistem pondok pesantren di Ampeldenta Surabaya. Dalam perjalanannya menuju Ampeldenta dari Majapahit, Maulana Rahmatullah berdakwah kepada masyarakat luas dan mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat Jawa yang tengah merindukan jalan kebenaran. Dengan pendekatan dakwahnya yang khas, beliau telah mendapatkan murid dan pengikut setia Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 41
yang banyak. Karena ketinggian ilmu pengetahuan dan pengaruhnya yang besar, Bupati Tuban menikahkan beliau dengan putrinya dan Maulana Rahmatullah mendapatkan gelar Raden. Gelar bangsawan yang akan memudahkan dakwahnya di tengah-tengah masyarakat Jawa yang masih sangat feodal dan kental dengan budaya Hindu yang masih memakai sistem kasta. Lembaga pendidikan Islam model pondok pesantren yang didirikan Maulana Rahmatullah, berkembang pesat dan dijadikan sebagai basis untuk menggerakkan dakwah Islamiyah, terutama untuk mengislamisasikan tanah Jawa yang masih mayoritas beragama Hindu dan Budha. Di lembaga pendidikan ini diajarkan bukan hanya pelajaran agama dan moral saja, namun juga mengajarkan berbagai pengetahuan yang berkembang masa itu, termasuk ilmu pemerintahan dan ilmu kemiliteran. Karena terbukti kemudian lulusan lembaga pendidikan ini adalah para pemimpin kerajaan dan panglima-panglima perang yang berpengaruh dalam menaklukkan beberapa kerajaan Hindu. Di antara murid terkemuka Maulana Rahmatullah adalah Raden Fatah yang juga saudara sepupunya, yaitu anak dari Putroe Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V. Di samping itu beliau juga mendidik anak-anaknya sendiri serta beberapa pemudapemuda Islam lainnya yang kelak menjadi Sunan, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri dan lainnya. Setelah gerakan dakwahnya berkembang pesat dan pengikutnya bertambah banyak, Raden Rahmat membentuk sebuah gerakan yang beranggotakan para ulama dan auliya, dimana gerakan ini dikenal dengan Wali Songo atau Wali Sembilan. Gerakan Wali Sembilan dianggotai oleh : (1).Maulana Rahmatullah bin Sayyid Ibrahim (Raden Rahmat atau Sunan Ampel), (2).Maulana Makhdum Ibrahim bin Maulana Rahmatullah (Sunan Bonang), (3).Maulana Syarifuddin Hasyim bin Maulana Rahmatullah (Sunan Drajat), (4).Maulana Jaafar Sadiq bin Maulana Rahmatullah (Sunan Kudus), (5).Maulana Ahmad Hassan bin Maulana Rahmatullah (Sunan Lamongan), (6).Maulana Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq (Sunan Giri), (7).Syarif Hidayatullah bin Sayyid Ali Nurul Alam (Sunan Gunung Jati), (8).Raden Mas Syahid (Sunan Kalijaga menantu Maulana Rahmatullah) dan (9).Raden Umar Said (Sunan Muria). Para Wali yang sangat dekat dan menjadi kerabat istana Kerajaan Pasai ini, setelah berdakwah dan memiliki pengikut setia, akhirnya mempersiapkan berdirinya sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa. Sebagaimana tradisi masyarakat Jawa yang menghormati Maha Raja dan keturunannya, maka Raden Rahmat mempersiapkan murid, anak menantu, saudara sepupu dari jalur ibunya yang juga anak dari Raden Brawijaya V, Maha Raja Majapahit bernama Raden Fatah yang telah dididiknya di Pondok Pesantren Ampeldenta Surabaya sebagai calon Sultan dari Kerajaan Islam pertama di Jawa. Sebagai seorang Pangeran atau Prabu Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat wilayah kekuasaan sendiri di wilayah Majapahit. Maka Raden Fatah diberikan wilayah kekuasaan di Bintaro Demak. Setelah mendapat dukungan kuat, Para Wali Sembilan di bawah pimpinan auliya dan kerabat Kerajaan Pasai, Maulana Raden Rahmat atau Sunan Ampel memproklamasikan berdirinya Kerajaan Islam Demak sebagai Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa dan mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan Kerajaan Islam Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah pada tahun 1481 M. Selanjutnya Kerajaan Islam Demak menjadi patron kepada Islamisasi di pusat kekuasaan Kerajaan Hindu Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 42
terbesar dan termegah, Majapahit. Berdirinya Kerajaan Demak telah melemahkan Majapahit yang terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Maka tamatlah riwayat Kerajaan Hindu-Majapahit dan digantikan perannya oleh Kerajaan Demak yang menyebarkan Islam ke tanah Jawa. Akhirnya tercapailah cita-cita agung para auliya di Pasai untuk menaklukkan Kerajaan Hindu terbesar oleh kader terbaiknya Maulana Rahmat dan murid-muridnya. Darawati : Putri Jeumpa Pejuang Pasai Penakluk Majapahit Tidak banyak yang mengenal apalagi mengetahui sejarah hidup Darwati (Dharawati), seorang Putro Jeumpa yang secara tidak langsung bertanggungjawab atas penaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit. Sejarah agung kehidupannya dapat dikenal dengan mengungkap misteri keberadaan seorang putri yang di tanah Jawa di kenal dengan ”Putri Champa”. ”Putri Champa” biasanya dihubungkan dengan istri Prabu Brawijaya V yang dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bernama Anarawati atau Dwarawati (Darawati) yang beragama Islam. Ada yang berpendapat bahwa putri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada salah seorang keponakannya yang lahir di Pasai yang dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit. Menurut Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java menyebutkan bahwa Champa bukan terletak di Kambodia, tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”, karena penyebutannya inilah banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah Kambodia dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Aceh. Keadaan Jeumpa di sebelah barat pada masa kegemilangan Kerajaan Pasai menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru dunia. Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalahmasalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi. Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab. Jeumpa terkenal dengan putri-putrinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Aceh sendiri sampai saat ini terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan. Sampai saat ini Jeumpa masih menyisakan kecantikan putri-putrinya yang sekarang berada di sekitar Kabupaten Bireuen. Pada masa kegemilangan Pasai, istilah putri Jeumpa (Champa) sangat populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Putri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan kecerdasannya. Putri Manyang Seuludang, Permaisuri Raja Muslim pertama Jeumpa asal Persia, Shahrianshah Salman al-Parisi, yang juga ibunda Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 43
kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Putri Jeumpa lainnya, Putri Makhdum Tansyuri (anak Pengeran Salman-Manyang Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan Nakhoda Khalifah, Maulana Ali bin Muhammad bin Ja’far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak. Putri Makhdum Khudawi, anak Shahr Nuwi dan istri Maulana Abdul Aziz Syah. Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Aceh Darussalam. Demikian pula keturunan Syahri Nuwi dari Sultan Perlak bergelar Makhdum juga disebut sebagai Putri Jeumpa, karena beliau lahir di Jeumpa. Kecantikan dan kecerdasan putri-putri Jeumpa sudah menjadi legenda di antara pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan sampai ke Jawa. Itulah sebabnya kenapa Maharaja Majapahit, Barawijaya V sangat mengidam-idamkan seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana mabok kepayangnya sang Prabu ketika bertemu dengan Putri Jeumpa yang datang bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi Pasai yang datang untuk berdakwah ke pusat Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit. Pada masa hidup Putri Darwati dari Jeumpa, Kerajaan tempatnya tinggal di Pasai sudah menjadi pusat Islamisasi Nusantara dan sangat berkepentingan untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit karena ia adalah satu-satunya penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa secara menyeluruh. Maka para Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah menyusun strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang telah dikuasai Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini, terbukti dengan mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang bernama Laksamana Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit. Maka ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan Pasai. Grand Master Wali Sembilan (Aulia Sikurueng), Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan senior para pendakwah yang berpusat di Kerajaan Pasai, menemukan sebuah cara yang dianggap bijak, yaitu melalui jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah iparnya yang bernama Dwarawati atau Putri Jeumpa yang cantik jelita dan cerdas tentunya, dengan Prabu Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang Bapak Para Wali Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan beliau yang tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak perkawinan Putri Jeumpa Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya. Mungkin pertimbangan Maulana Malik Ibrahim menikahkan iparnya Putri Jeumpa berdasarkan ijtihad beliau setelah mengadakan penelitian panjang terhadap tradisi dan budaya orang Jawa yang sangat menghormati dan patuh bongkokan kepada Raja atau Pangeran yang selama ini dianggap sebagai titisan para Dewata, sebagaimana cerita-cerita pewayangan di Jawa. Jika ada seorang Raja atau Pangeran yang masuk Islam, maka akan mudah bagi perkembangan Islam. Karena Jawa adalah salah satu daerah yang sangat sulit diislamkan sampai saat itu, mengingat kuatnya dominasi Kerajaan Hindu Majapahit. Itulah sebabnya, ketika Putri Jeumpa telah hamil, dia ditarik dari istana Majapahit, dihijrahkan ke wilayah Islam lainnya, kabarnya ke Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 44
Kerajaan Melayu Palembang. Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Putri Jeumpa kembali ke Jawa Timur, tapi bukan ke istana Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, ke tempat anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk mendidik Raden Fatah agar menjadi pemimpin Islam. Setelah dewasa, karena masih Raden Pangeran Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat jabatan, dan beliau diangkat sebagai seorang Bupati di sekitar Demak. Saat itulah para Wali Sembilan yang sudah mapan mendeklarasikan sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka orangorang Jawapun dengan cepat mengikuti agamanya dan membela perjuangannya sebagaimana dicatat sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi. ”Darwati Putri Jeumpa Penakluk Majapahit” ini adalah wanita luar biasa. Dia adalah seorang ibu yang tabah, besar hati, penyayang namun mewarisi semangat perjuangan yang tidak kalah hebat dengan wanita-wanita agung Aceh seperti Laksamana Malahayati, Tjut Nya’ Dhien, Tjut Mutia dan lainnya. Bagaimana tidak, dia harus berpisah jauh dari lingkungannya ke tanah Jawa yang asing baginya, tiada handai tolan, hidup dilingkungan masyarakat Jawa-Hindu yang berbeda budaya dan tradisi dengan negeri asalnya, bahkan ada yang menyatakan suaminyapun masih beragama Hindu dalam tradisi Kerajaan Majapahit yang feodalis. Namun karena para Ulama-Pejuang sekelas Maulana Malik Ibrahim atas dukungan para Sultan Muslim menugaskannya berdakwah dengan caranya, wanita agung inipun ikhlas melakoni peran perjuangannya. Demi kelanjutan agamanya, dia rela meninggalkan kegemerlapan istana Majapahit sebagai permaisuri agung untuk memastikan putranya dapat pendidikan terbaik agar menjadi seorang pemimpin Islam di Jawa. Raden Fatah kecil mendapat kasih sayang serta bimbingan ibundanya bersama para Wali yang dipimpin sepupunya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang juga dilahirkan di Kerajaan asal ibunya. Putri Darwati dari Jeumpa telah sukses gemilang menjalankan tugas agamanya, dia seorang ibu pendidik agung (madrasat al-kubra), pejuang suci (mujahidah fi sabilillah), pendakwah Islam (da’i) sekaligus sebagai penyebab (asbab) keruntuhan sebuah dinasti Hindu terbesar yang menjadi lambang keagungan dan kebesaran Jawa, dengan Mahapatih sadis Gadjah Mada itu. Dari sisi manapun kita nilai, wanita ini adalah wanita besar, namun terhijab peran agungnya oleh wanita selir Jawa sekelas RA. Kartini, seorang selir Bupati Rembang yang dijadikan tokoh wanita hanya karena bisa bahasa penjajah Belanda dan dekat dengan penjajah kaphe. Siapa Kartini jika disandingkan dengan Ratu Tajul Alam Syafiatuddin, Sultanah Aceh yang memimpin masyarakat kosmopilit masa itu dan memiliki kekuasaan seluruh Sumatra dan Semenjang Melayu? Maulana Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq (Sunan Giri) Perkawinan Sayyid Ibrahim bin Sayyid Hussein Jamadil Kubra dengan Putri Jeumpa di Pasai bernama Candra Wulan telah melahirkan dua orang putera yang menjadi Ulama besar di Kerajaan Islam Pasai, yaitu Maulana Sayyid Rahmatillah yang di tanah Jawa terkenal dengan Raden Sayyid Rahmat atau Sunan Ampel yang menjadi pemimpin utama Wali Songo di tanah Jawa. Yang satunya bernama Maulana Sayyid Ishaq yang menjadi Ulama dan penasihat utama Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Beliau adalah juga sekaligus ayahanda dari Raden Paku Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 45
atau di tanah Jawa di kenal dengan Sunan Giri, salah satu anggota Wali Songo yang sangat berperanguh di tanah Jawa. Jadi Sunan Giri adalah anak keponakan dari Maulana Rahmatillah atau Sunan Ampel yang menjadi pemimpin dan penggerak utama gerakan dakwah Islamiyah yang terkenal dengan Wali Songo dan telah berhasil mendirikan Kerajaan Islam Demak yang meruntuhkan dominasi Kerajaan Hindu Majapahit. Nama asli Sunan Giri adalah Maulana Ainul Yakin, yang lahir dan dibesarkan di Kerajaan Pasai, karena ayahandanya Maulana Ishaq adalah tokoh dan Ulama besar di Kerajaan Islam Pasai. Namun menurut Babat Tanah Jawi, Maulana Ainul Yakin atau Sunan Giri lahir di tanah Jawa dari perkawinan Maulana Ishaq dengan Puteri Raja Blambangan. Walaupun beliau lahir di Jawa, namun ayahanda beliau, Maulana Ishaq adalah bagian dari Kerajaan Pasai yang tengah mengatur startegi menaklukkan Kerajaan Hindu-Majapahit dan mempersiapkan berdirinya Kerajaan Islam di Jawa. Adapun silsilah keturunan Maulana Ainul Yakin (Sunan Giri) adalah : Maulana Ainul Yakin (Sunan Giri) bin Maulana Ishaq bin Sayyid Ibrahim bin Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin Muhammad Syahib Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Al-Syeikh Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin ‘Isa Al-Rumi bin Muhammad Naqib bin ‘Ali Al-Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Hussein bin Sayyidatina Fatimah (Sayyidina Ali bin Abi Thalib) binti Rasulullah SAW. Sunan Giri atau Maulana Ainul Yakin mendapat pendidikan di pesantren yang dipimpin oleh pamannya Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel) di Ampel Denta Surabaya bersama-sama dengan para calon wali dan sultan di tanah Jawa. Menurut beberapa catatan sejarah, pesantren Ampel Denta bukan hanya mengajarkan pelajaran agama saja kepada para santrinya, tapi termasuk ilmu-ilmu duniawi, seperti ilmu perang, ilmu pemerintahan, bahkan sampai kepada ilmu batin yang berlandaskan pada ajaran Islam, yang juga dikenal dengan ilmu tasawwuf atau ilmu mistik. Karena para wali akan berhadapan dengan pemuka-pemuka Hindu yang terkenal dengan ilmu sihirnya. Di tanah Jawa ilmu ini dikenal dengan ilmu karamah yang akan didapatkan oleh para wali untuk mengalahkan ilmu sihir, sebagaimana Nabi Musa as mengalahkan ahli sihirnya Fir’aun.Itulah sebabnya setiap wali memiliki karamah sendiri-sendiri yang telah dianugrahkan Allah SWT kepada mereka. Menurut Babat Tanah Jawi, setelah Maulana Ainul Yakin belajar di Ampel Denta pernah kembali ke negeri Pasai untuk melanjutkan pelajaran keislaman tingkat tingginya kepada ayahandanya Maulana Ishaq dan beberapa Maulana dan Ulama yang berada di Kerajaan Islam Pasai. Setelah beberapa tahun belajar di lembaga pendidikan Islam Pasai, beliau berniat untuk melanjutkan pelajaran ke Mekkah, namun disarankan ayahandanya yang juga guru serta ulama terkemuka Kerajaan Pasai, Maulana Ishaq agar segera pulang kembali ke tanah Jawa. Maka setelah mendapat bekal pengetahuan yang memadai, Maulana Ainul Yakin kembali ke Ampel Denta untuk membantu perjuangan pamannya Maulana Rahmatillah dalam menggerakkan dakwah Islamiyah kepada masyarakat Jawa yang masih kental berpegang kepada ajaran Hindu. Dan sejak saat itu Maulana Ainul Yakin belajar dan mengajar kembali di Ampel Denta Surabaya. Setelah mendapat pendidikan dan bekal pengetahuan yang cukup di pesantren Ampel Denta, maka Maulana Rahmatillah mengirim keponakan sekaligus muridnya, Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 46
Maulana Ainul Yakin ke wilayah yang berdekatan dengan Kerajaan Majapahit, di suatu tempat yang bernama Giri. Maka sejak saat itu Maulana Ainul Yakin, anak daripada Maulana Ishaq salah seorang ulama besar Kerajaan Pasai, mendapat gelar sebagai Sunan Giri. Beliau mengajar dan mengembangkan ajaran Islam kepada penduduk yang masih banyak memeluk agama Hindu. Dakwahnya seringkali dihalang-halangi oleh para pengikut Hindu yang didukung oleh Kerajaan Majapahit ataupun lainnya. Itulah sebabnya para wali senantiasa memusatkan perhatian agar segera mendirikan sebuah kerajaan Islam sebagai patron dakwah Islamiyah di tanah Jawa. Sunan Giri termasuk anggota Wali Songo yang berperan aktif menggerakkan dakwah Islamiyah kepada masyarakat Jawa, sehingga pengikutnya sangat banyak dan memiliki pengaruh luas yang membuat Prabu Brawijaya Maha Raja Majapahit bimbang. Dalam buku Babat Tanah Jawi diceritakan sebuah kisah tentang ketakutan Raja Majapahit terhadap Sunan Giri dalam sebuah judul : Runtuhnya Majapahit. Sang Raja Brawijaya mendengar kabar, bahwa banyak orang takluk kepada Sunan Giri. Patih Gajah Mada (?) diutus mendatangi Sunan Giri. Orang-orang di sana geger. Waktu itu Sunan Giri sedang menulis, terkejut mendengar berita didatangi musuh, bermaksud merusak Giri. Alat tulis yang digunakan untuk menulis lalu dibuang serta berdoa kepada Allah. Kalam (alat tulis) yang dibuang tadi lalu menjadi keris dan dapat mengamuk sendiri. Orang-orang dari Majapahit banyak yang tewas. Sisanya lari pulang kembali ke Majapahit. Kebenaran cerita Babad ini, hanya Allah yang tahu. Namun tidak diragukan bahwa Sunan Giri adalah salah seorang Wali Allah yang berjuang menegakkan Islam di tengah-tengah masyarakat mayoritas Hindu yang didukung oleh sebuah Kerajaan besar dan kuat dengan tentara yang banyak. Persis seperti ketika Nabi Musa as menghadapi Fir’aun. Maka pada saat seperti itu karamah dan bantuan Allah akan turun kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Namun Sang Sunan dengan gerakan Wali Songo bukan hanya sibuk berdakwah dan berdoa saja, tapi bahkan beliau juga menjadi panglima perang yang gagah perkasa dalam melawan tentara-tentara Hindu Majapahit ataupun Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya seperti Kerajaan Daha, Blambangan dan Pajang. Setelah memiliki pengikut yang banyak, maka Sunan Ampel bersama dengan para Wali, termasuk Sunan Giri mempersiapkan pendirian sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa. Daerah yang dipilih sebagai pusat Kerajaan Islam adalah di Demak Bintaro, sebuah tanah subur di sebelah barat Surabaya. Maka atas dukungan para Raden dan masyarakat Islam di seluruh tanah Jawa, Wali Songo memproklamirkan berdirinya Kerajaan Islam Demak yang dipimpin Raden Fatah pada tahun 1481 M. Sejak saat itu dakwah Islamiyah di tanah Jawa sudah memiliki pelindung yang kuat, sehingga para juru dakwah dan ulama dengan bebas dapat menjalankan misi pengembangan agamanya. Demikian pula Kerajaan Demak dengan dukungan dari para wali telah mengadakan ekspansi besar-besaran untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan Hindu lainnya di tanah Jawa sehingga agama Islam tersebar luas. Prestasi terbesar Kerajaan Islam Demak yang sekaligus merupakan jaringan dari Kerajaan Islam Pasai adalah keberhasilannya meruntuhkan Kerajaan Majapahit sebagai patron terbesar agama Hindu. Kehadiran dan perkembangan Kerajaan Demak yang mendapat dukungan dari para Wali Songo yang dipimpin Sunan Ampel (Maulana Rahmatillah) telah menimbulkan perpecahan di kalangan Kerajaan Majapahit, yang akhirnya menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang dengan mudah dapat ditaklukkan oleh Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 47
kekuatan Demak. Selanjutnya Demak menggantikan peranan Kerajaan Majapahit sebagai Kerajaan yang menguasai tanah Jawa, namun dengan berdasarkan ajaran Islam. Sunan Giri atau Maulana Ainul Yakin bin Maulana Ishaq adalah seorang Wali dan Ulama Ahlul Bayt yang mengikuti tradisi nenek moyang mereka dalam menyebarkan agama Islam walau sampai ke hujung dunia sekalipun. Tradisi Ahlul Bayt yang telah melahirkan Kerajaan-Kerajaan besar Islam di seluruh dunia, termasuk di Aceh seperti Kerajaan Jeumpa yang didirikan Shahrianshah Salman ataupun Kerajaan Perlak oleh Maulana Sayyid Abdul Aziz Syah.. Tradisi yang telah melahirkan pengorbanan Sayyidina Husein dalam menentang kezaliman penguasa dan menegakkan kebenaran Islam. Tradisi pengorbanan untuk kepentingan Islam dan ummatnya yang terus mengalir kepada generasi sesudahnya, sebagai garda terdepan Islam sebagaimana disebutkan sebuah Hadits riwayat Muslim: Rasulullah saw bersabda :Berpengteguhlah kepada Kitab Allah (al-Qur’an dan Sunnah) dan itrah-ku (keturunanku), niscaya engkau tidak akan tersesat selamanya. Perintah agama inilah yang telah mendorong Maulana Ainul Yakin (Sunan Giri) dan juga para wali dan ulama ahlul bayt lainnya melanglang buana, meninggalkan tanah leluhurnya, baik generasi awal di tanah Arab ataupun tanah Persia dan India sehingga mereka sampai di bumi Aceh, termasuk di Kerajaan Islam Pasai. Generasi selanjutnya, seperti Maulana Rahmatillah dan Maulana Ainul Yakin dituntut pula untuk meninggalkan tanah kelahirannya di Pasai yang sudah maju dan makmur menuju tanah Jawa yang penuh dengan kekafiran dan kemusyrikan. Namun tugas agama yang mereka emban untuk menyelamatkan umat manusia telah mendorong mereka berhijrah ke tanah Jawa mengembangkan ajaran Islam. Inilah jalan hidup dan perjuangan yang telah mereka wirisi turun termurun sebagai kewajiban agama yang wajib ditegakkan. Perjuangan dakwah Islamiyah yang dilakukan oleh Sunan Giri lebih mudah dan leluasa jika dibandingkan dengan para pendahulunya seperti saudara kakeknya Maulana Malik Ibrahim ataupun pamannya Maulana Rahmatillah yang telah merintis Islamisasi di tanah Jawa. Karena pada zaman Sunan Giri, Kerajaan Islam Demak sudah ada yang menjadi patron dakwah Islamiyah, yang akan memudahkan langkah perjuangannya menyebarkan ajaran Islam. Demikian pula masyarakat Jawa sudah banyak yang memeluk agama Islam. Selanjutnya Maulana Ainul Yakin mengembangkan kota Giri sebagai sebuah pusat pendidikan dan dakwah Islamiyah yang cukup maju di Jawa sebagai kelanjutan dan jaringan perjuangan para pendahulunya di pesantren Ampel Denta Surabaya ataupun kelanjutan dari misi Kerajaan Islam Pasai sebagai penaung utama gerakan Islamisasi di seluruh Nusantara. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, Sunan Giri adalah seorang Wali yang memiliki banyak sekali karamah dan keutamaan sehingga masyarakat yang tadinya beragama Hindu berbondong-bondong masuk Islam. Bahkan setelah beliau wafatpun karamahnya masih tetap ada sebagaimana dikisahkan dalam Babat Tanah Jawi; Sesudah beberapa waktu lamanya, Sunan Giri meninggal dunia........ Prabu Brawijaya lalu memerintahkan kepada Gajah Mada (?) bersama para putranya untuk merebut Giri. Sunan Prapen (cucu Sunan Giri) menghadapi bala tentara Majapahit itu, tetapi kalah..... Putra Mahkota Majapahit pergi ke makam sunan yang sudah lama meninggal. Lalu memerintahkan untuk membongkar makam itu. Bala-tentara Majapahit segera bekerja membongkar makam, tetapi mereka semua jatuh terkapar. Penjaga makam yang pincang diperintah untuk Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 48
menggali..... Setelah tanah kuburan sudah dibongkar, papan tutup peti mati lalu dibuka. Lebah yang tak terkira banyaknya keluar dari dalam kuburan, naik memenuhi angkasa. Suaranya gemuruh seperti langit runtuh. Lebah-lebah itu lalu menyerang bala tentara Majapahit, mereka lari tunggang langgang mencari hidup.Sampai di kerajaan Majapahit, lebah itu masih mendesak. Prabu Brawijaya beserta bala tentaranya meninggalkan kota, mengungsi jauh karena tidak mampu menolak desakan lebah tersebut.Lebah itupun kembali ke asalnya dan Prabu Barawijaya berjanji dan berniat tidak akan berbuat jahat lagi terhadap sunan di Giri. Raden Fatah: Ujung Tombak Walisongo Menaklukkan Majapahit Bagi masyarakat Hindu-Majapahit, tidak ada tokoh yang dibenci dan dicaci sedemikian hebatnya, selain Raden Fatah (Raden Patah) yang dituduh sebagai anak durhaka yang melawan orang tua dan menentang tradisi Hindu nenek moyangnnya, bahkan dituduh meruntuhkan kehebatan peradabannya sendiri di Kerajaan Majapahit yang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Hindu. Raden Fatah dianggap bertanggung jawab bersama para Wali Songo mengubur peradaban Hindu-Jawa yang diangung-agungkan selama berabad-abad dan menggantikannya dengan tradisi dan peradaban Islam. Itulah sebabnya pribadi agung ini senantiasa difitnah dan didiskreditkan, bahkan segaja disamarkan sejarah hidupnya yang agung dan mulia, dituduh sebagai anak haram dan durhaka oleh mereka yang dendam terhadap keberhasilan proses Islamisasi tanah Jawa. Sebenarnya Raden Fatah adalah anak dari Maha Raja Majapahit Brawijaya V. Menurut Babat Tanah Jawi, ibunya adalah seorang puteri yang berasal dari Cina yang sangat cantik dan menjadi istri dari Prabu Brawijaya V, sehingga menimbulkan kecemburuan Permaisuri Kerajaan yang berasal Cempa (Jeumpa) bernama Darwati (Dharawati). Ketika sedang hamil, putri Cina tersebut diusir dari Istana Majapahit atas permintaan Permaisuri, diberikan kepada Aria Damar di Kerajaan Palembang, dan Raden Patah lahir di Palembang. Namun cerita Babat ini perlu dikritisi kebenarannya. Permaisuri Prabu Brawijaya V yang dikatakan berasal dari Cempa, bernama Darwati (Dharawati), sebenarnya adalah Puteri Jeumpa dan seorang Muslimah yang taat, seorang wanita pejuang dari Pasai yang dikirim oleh Maulana Malik Ibrahim dan para Wali di Pasai untuk memberikan jalan kepada dakwah Islamiyah di Kerajaan Majapahit. Wanita mulia ini rela berpisah dari sanak saudaranya dan berjuang di garda terdepan masyarakat Hindu-Majapahit, meninggalkan kepentingan pribadinya demi untuk pengembangan dakwah Islamiyah. Apakah wanita agung ini memiliki akhlak yang buruk dan perangai jahat sehingga rela mengusir saudaranya sendiri, apalagi Puteri Cina itu juga diketahui seorang Muslimah? Disinilah kejanggalan cerita Babat Tanah Jawi yang ditulis oleh cendekiawan Jawa ini.Bahkan sudah masuk kepada dataran fitnah terhadap seorang Muslimah pejuang agung Puteri Jeumpa Darwati yang memang diketahui memberikan dukungan terhadap Islamisasi Majapahit dan perlindungan terhadap para pendakwah Islam dari Pasai yang menyebarkan Islam. Wanita agung ini adalah saudara ibunda Maulana Rahmatillah (Raden Rahmat/Sunan Ampel), beliaulah juga yang mengundang dan memberikan dukungan kepada Sunan Ampel ini berdakwah ke tanah Jawa. Putri Jeumpa Darwati adalah kerabat dan kader Kerajaan Islam Pasai yang ditugaskan untuk memberikan jalan kepada proses Islamisasi Majapahit, atau minimal mencegah ambisi Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 49
Majapahit untuk menyerang Kerajaan Pasai. Tidak mungkin seorang Muslimah yang sudah mengedepankan kepentingan Islam akan berbuat keji seperti itu. Itulah sebabnya, sejarah yang dikemukakan Babat Tanah Jawi, yang menjadi referensi utama masyarakat Jawa harus ditelaah ulang karena mengandung banyak sekali kejanggalan. Yang menjadi pertanyaan, kenapa dan bagaimana Raden Patah dapat menjadi murid utama dan menantu dari Sunan Ampel, darimanakah hubungan ini? Apakah ini terjadi dengan sendirinya dan apa hubungannya dengan grand strategi para Wali Pasai dalam menaklukkan Kerajaan Majapahit? Jika memang benar puteri Cina yang tidak jelas identitasnya itu telah melahirkan Raden Patah, maka Permaisuri Darwati adalah diantara orang yang telah merancang kepergian puteri Cina ini dari Majapahit menuju Kerajaan Islam Palembang mitra dari Kerajaan Islam Pasai saat itu, karena disana sudah ada keponakannya Maulana Rahmatillah yang menjadi Ulama. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Jawa sangat patuh kepada Rajanya yang mereka anggap titisan para Dewa. Untuk menaklukkan Majapahit secara totalitas, harus digerakkan oleh keturunan dari Maha Raja Majapahit sendiri. Itulah sebabnya sebelum lahir putra mahkota ini, diungsikan ke Kerajaan Islam dengan harapan akan lahir dan besar sebagai seorang Muslim. Maka Raden Patahpun lahir di Palembang dan menjadi seorang Muslim yang taat serta berguru kepada Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel), dan menjadi murid setianya yang ikut ke Ampel Denta Surabaya. Menurut sumber lain, Raden Patah sebenarnya memiliki hubungan dengan Sunan Ampel dan juga para Wali Songo, sehingga mendapat kedudukan yang mulia dan terhormat di kalangan mereka. Bahkan Raden Patah dijadikan menantu oleh Maulana Rahmatillah. Itulah sebabnya ada yang menghubungkan bahwa sebenarnya yang dikatakan sebagai Puteri Cina itu adalah Puteri Jeumpa (Campa) Darwati sendiri. Karena sejarah hidup Putri Darwati yang menjadi Permaisuri Majapahit tidak banyak ditulis di Jawa, termasuk di Babat Tanah Jawi. Kisah hidup dan perjuangannya menjadi misterius dan tidak dikenal luas oleh masyarakat Jawa. Itulah sebabnya kemudian ada ahli sejarah yang menghubungkan bahwa Puteri Cina itu adalah Puteri Darwati yang berasal dari Cempa (Jeumpa). Apalagi di banyak manuskrip Jawa, istilah Cempa sering diidentikkan dengan Cina. Ketika kecil, Raden Patah juga dikenal dengan nama Pangeran Jin Bun, sebuah nama Cina, yang kemudian mengelirukan banyak orang tentang asalnya dari Cina. Boleh saja nama ini adalah nama panggilan atau nama samaran untuk menghindar dari hasad orang-orang Majapahit yang percaya kepada ramalan bahwa Majapahit akan diruntuhkan oleh salah seorang keturunan Majapahit sendiri, sebagaimana disebutkan Babat Tanah Jawi. Raden Patah mendapat pendidikan dari Maulana Rahmatillah dan para ulama di Kerajaan Islam Palembang sebelum beliau hijrah ke tanah Jawa. Ketika Maulana Rahmatillah sudah mendirikan pesantren di Ampel Denta Surabaya, Raden Patah ikut menyusul ke tanah Jawa dan tinggal di Ampel Denta berguru kepada Maulana Rahmatillah atau Sunan Ampel. Setelah memiliki pengetahuan yang memadai, Raden Patah diperintahkan gurunya untuk mengembangkan dakwah Islamiyah ke sebelah barat, kawasan hutan dan tanah subur yang bernama Bintara. Di daerah ini Raden Patah mendirikan pesantren dan mengajarkan Islam, banyak masyarakat yang Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 50
memeluk Islam dan tinggal bersamanya sehingga Bintara menjadi ramai dan berkembang menjadi kota baru. Babat Tanah Jawi menceritakan perkembangan Bintara: Prabu Brawijaya mendengar berita bahwa ada orang yang bertempat tinggal di hutan Bintara, terkenal di mana-mana tentang kebesaran pedukuhan dan kesaktiannya. Raja memanggil para menteri untuk menanyakan benar-tidaknya kabar itu. Adipati Terung memang benar adanya berita itu. Sang Prabu lalu memerintahkan untuk memanggilnya……Raden Patah segera berangkat ke Majapahit. Sang Prabu sangat gembira, jatuh hatinya kepada Raden Patah sebab rupanya sangat mirip sang Prabu. Lalu diakui sebagai putra, diangkat menjadi adipati Bintara, serta diberi abdi sepuluh ribu orang….. Lama-lama pedukuhan Bintara (Demak) menjadi semakin gemah-ripah (makmur-sejahtera). Setelah memiliki pengikut yang banyak, maka sudah saatnya para Wali dan pengikutnya untuk mendirikan sebuah Kerajaan Islam di tanah Jawa sebagai pendukung gerakan dakwah Islamiyah dan sekaligus menjaga Islam dan pengikutnya dari gangguan Kerajaan Hindu, terutama Majapahit. Karena Bintara yang dipimpin Raden Patah telah berkembang pesat, maka para Wali memutuskan untuk mendirikan kerajaan Islam di Bintara, yang dinamakan dengan Kerajaan Islam Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa dan mengangkat Raden Patah sebagai Sultan Kerajaan Islam Demak dengan gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah pada tahun 1481 M. Selanjutnya Kerajaan Islam Demak menjadi patron kepada Islamisasi di pusat kekuasaan Kerajaan Hindu terbesar dan termegah, Majapahit. Berdirinya Kerajaan Demak telah melemahkan Majapahit yang terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Tentang keruntuhan Majapahit, Babat Tanah Jawi dalam Runtuhnya Majapahit, menceritakan bagaimana proses runtuhnya kerajaan Hindu terbesar di tanah Jawa tersebut akibat dari penyerangan yang dilakukan oleh para Wali dan Sultan Demak. Diceritakan bahwa seluruh kaum muslimin dari penjuru Jawa telah berkumpul di Bintara-Demak dengan kekuatan yang sangat besar. Lalu mereka berangkat menuju pusat Kerajaan Majapahit. Semuanya lalu bersama berangkat ke Majapahit. Banyaknya barisan tak terhitung. Kota Majapahit dikepung. Orang Majapahit banyak takluk kepada adipati Bintara, tak ada yang berani menyambut perang…Dikisahkan selanjutnya Prabu Brawijaya meninggalkan istana dan Kerajaan Majapahit akhirnya takluk dan runtuh oleh Kerajaan Islam Demak. Keruntuhan Majapahit oleh Kerajaan Islam Demak, telah mengakhiri kejayaan Kerajaan Hindu di tanah Jawa. Sejak saat itu pusat kekuasaan di tanah Jawa telah beralih dari Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Islam Demak. Islamisasi di tanah Jawa terus dijalankan oleh para Wali dan murid-muridnya yang mendirikan banyak pondok pesantren di seluruh tanah Jawa. Sejak berdirinya Kerajaan Islam Demak, maka telah berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam lainnya di tanah Jawa yang berafialiasi ke Kerajaan Demak. Pada saat yang sama, hubungan antara Kerajaan Demak dengan Kerajaan Palembang, dan khususnya dengan Kerajaan Islam Pasai semakin erat. Karena para petinggi, khususnya para Sunan yang memegang kendali spiritual di Kerajaan Demak adalah anak dan cucu dari para petinggi dan ulama di Kerajaan Pasai. Akhirnya memang tidak dapat dibantah bahwa Kerajaan Islam Pasai telah memiliki peran sentral dalam mengembangkan dakwah Islamiyah di Nusantara, terutama dalam melahirkan gerakan para Wali yang telah mendirikan Kerajaan Islam Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 51
dan meruntuhkan dominasi Kerajaan Hindu-Majapahit. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Raden Patah adalah ujung tombak Kerajaan Islam Pasai melalui Wali Songo dalam meruntuhkan Kerajaan Hindu-Majapahit yang telah menyerang Pasai sebelumnya. Sunan Gunung Jati: Melanjutkan Misi Pasai Di Tanah Jawa Setelah Sayyid Hussein Jamadil Kubra menyerahkan tugas dakwahnya kepada anaknya Sayyid Ibrahim (ayahanda Maulana Rahmatillah/Sunan Ampel) di Pasai, maka beliau berangkat berdakwah menuju barat untuk menahan serangan Kerajaan Budha Thailand (Siam) yang sangat berambisi menaklukkan Kerajaan Islam Pasai. Beliau berdakwah di wilayah yang sekarang dikenal dengan Senggora di wilayah Patani, Thailand selatan dan Kelantan di Malaysia. Beliau menikah dengan seorang puteri raja Patani dan mendapat anak bernama Maulana Ali Nurul Alam, yang menjadi ayahanda kepada Sayyid Abdullah atau dikenal dengan Wan Bo, Raja pertama Kerajaan Islam untuk wilayah Champa, Senggora, Patani dan Kelantan. Menurut Babat Cirebon, ketika Sayyid Abdullah berada di Mekkah, bertemu dengan seorang puteri dari Kerajaan Pajajaran bernama Rara Santang putri Prabu Siliwangi, kemudian mereka menikah dan mempunyai anak yang sempat belajar ke Kerajaan Pasai dan memperdalam ilmu di Ampel Denta bernama Syarif Hidayatullah. Di tanah Jawa beliau dikenal dengan Raden Sunan Gunung Jati yang menjadi anggota dari Wali Songo. Beliau lahir sekitar tahun 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M Adapun silsilah keturunan Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah : Syarif Hidayatullah bin Sayyid Abdullah bin Maulana Ali Nurul Alam bin Jamaluddin AlHusain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra ) bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi Amal Al-Faqih bin Muhammad Syahib Mirbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Al-Syeikh Ubaidillah bin Ahmad Muhajirullah bin ‘Isa Al-Rumi bin Muhammad Naqib bin ‘Ali Al-Uraidhi bin Jaafar As-Sadiq bin Muhammad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Hussein bin Sayyidatina Fatimah (Sayyidina Ali bin Abi Thalib) binti Rasulullah SAW. Sebagai seorang keturunan para Maulana dan Ulama Ahlul Bayt, Raden Syarif Hidayatullah mewarisi ketinggian pengetahuan keislaman yang telah dikembangkan nenek moyangnnya, sekaligus memiliki kecendrungan spiritual yang sangat tinggi, terutama dari kakek buyutnya Syekh Maulana Akbar (Sayyid Husien al-Akbar) yang terkenal sebagai tokoh sufi di Nusantara. Ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi maupun Ampel Denta, beliau meneruskan pelajarannya kepada Maulana dan Ulama ke Kerajaan Islam Pasai sebagai tempat pengajian tinggi Islam di Nusantara saat itu. Para Ulama dan Maulana di Pasai sendiri pada saat itu adalah kerabat beliau juga. Selanjutnya beliau meneruskan ke Timur Tengah, terutama Mekkah dan Madinah. Ada juga yang menyebutkan beliau belajar sampai Mesir, Bagdad, Persia dan India. Dalam usia muda Syarif Hidayatullah sudah menguasai ilmu keislaman yang tinggi, sekaligus memiliki kekuatan spiritual (karamah). Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana, saudara ibunda Syarif Hidayatullah, membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayatullah mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 52
dibentuk itu setelah saudara ibundanya wafat. Beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Maulana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I. Sebagai seorang Maulana yang berpengaruh di sekitar Cirebon Jawa Barat, Syarif Hidayatullah yang sudah dikenal dengan Sunan Gunung Jati ikut bersama para Wali Songo memproklamasikan Kerajaan Islam Demak pada tahun 1481. Ada yang berpendapat bila Syarif Hidayatullah keturunan Syekh Maulana Akbar dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Cempa yang terkenal dengan nama Puteri Dharawati (Darwati) yang menjadi Permaisuri Maharaja Brawijaya V di Kerajaan Majapahit. Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di seluruh tanah Jawa menggantikan peranan Majapahit yang sudah runtuh dan bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan dari Kerajaan Islam Demak. Hal ini terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon. Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Maulana Rahmatillah atau Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan dalam Wali Sembilan. Agama Islam akan disebarkan di seluruh tanah Jawa dengan Demak sebagai pusat pemerintahan. Pada saat yang sama para Wali tetap menjalin hubungan dengan Kerajaan Islam Pasai sebagai sentral gerakan Islamisasi di Asia Tenggara. Dalam banyak riwayat dan babad, Syarif Hidayatullah dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik yang memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Beliau ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya. Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut. Setelah pendirian Kerajaan Islam Demak, antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit dalam perjuangan dakwah Islam di tanah Jawa, baik bagi Syarif Hidayatullah di Cirebon Jawa Barat maupun Raden Patah di Demak Jawa Timur. Karena pada masa ini proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Hindu Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Kerajaan Hindu Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur), yang diperparah oleh gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara. Awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Malaka dan Pasai, Raja Pakuan merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayatullah yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan. Di saat yang genting inilah Syarif Hidayatullah berperan membimbing Sultan Demak II Pati Unus, pengganti Raden Patah yang juga menantunya dalam pembentukan armada perang gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di Jawa dengan misi utama mengusir Portugis di Malaka yang mengancam kedaulatan Kerajaan Islam Pasai. Namun armada perang ini dikalahkan oleh Portugis dan Pati Unus syahid di selat Malaka. Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayatullah merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 53
mengangkat Tubagus Pasai dikenal dengan Fatahillah, untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di Jawa. Ketika Raja Pakuan mengundang Portugis ke Sunda Kelapa, maka saatnya bagi tentara Muslim menyerang mereka. Maka pada tahun 1527 bulan Juni armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari tentara gabungan Islam. Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah. Sebelum wafat, Syarif Hidayatullah menuntaskan tugas dakwahnya dengan menguasai Kerajaan Pajajaran, menawan Pakuan ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 atau setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayatullah memberikan 2 opsi. Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masingmasing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang yang dikenal dengan suku Baduy. Pati Unus: Dari Jawa Memerangi Portugis Membela Pasai Nama asli Pati Unus adalah Raden Maulana Abdul Qadir bin Muhammad Yunus. Beliau dijuluki dengan Raden Adipati bin Yunus, dan orang Jawa menyingkat menjadi Pati Unus. Beliau juga terkenal dengan gelar Pangeran Sabrang Lor, artinya Pangeran Sebrang Lautan, karena beliau adalah Panglima besar yang memimpin langsung penyerangan penjajah Portugis di Malaka dan sekitarnya yang mulai mengancam eksistensi pusat Islamisasi Asia Tenggara di Kerajaan Islam Pasai bersamasama dengan aliansi angkatan perang dari Demak, Cirebon, Banten, Palembang, Makassar, Malaka dan tentunya Pasai. Pati Unus lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tahun 1480 dan menjadi Sultan Demak ke 2 pengganti Raden Patah dengan gelar Sultan Akbar Al-Fattah 2. Adapun silsilah Pati Unus adalah Maulana Abdul Qadir (Raden Pati Unus) bin Syekh Muhammad Yunus bin Syekh Khaliqul Idrus (Abdul Khaliq Al-Idrus) bin Syekh Muhammad Al-Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al-Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madinah) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al-Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar Hadramawt Syekh Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam. Imam Faqih Muqaddam seorang Ulama besar sangat terkenal di abad 12-13 M yang merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad, Sayyidus Syuhada Imam Husayn putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra. Dari pihak ibu, Pati Unus masih berhubungan dengan para Maulana dan Ulama Pasai, terutama Maulana Sayyid Hussein Jamadil Kubra (Maulana Akbar). Menurut beberapa riwayat, kakek Pati Unus yang bernama Syekh Khalikul Idrus (Abdul Khaliq Al-Idrus) menikah dengan puteri Maulana Akbar di Kerajaan Islam Pasai. Itulah sebabnya Pati Unus masih memiliki darah Pasai karena ayahandanya (Maulana Syekh Muhammad Yunus) diperkirakan lahir dan mendapat pendidikan di Pasai dan Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 54
ditugaskan menjadi Maulana di daerah Jepara Jawa Tengah untuk membantu saudara sepupu dari pihak ibunya, Maulana Rahmatillah atau Sunan Ampel. Pati Unus lahir dan besar dalam lingkungan Ahlul Bayt yang sudah menjadi para Ulama dan Maulana di Kerajaan Islam Demak. Beliau tumbuh dan belajar di tengahtengah pusat Islamisasi di tanah Jawa dan pada masa-masa puncak kejayaan Islam yang ditinggalkan oleh para Wali yang datang dari Kerajaan Islam Pasai, terutama Maulana Rahmatillah yang lahir di Pasai dan meninggal di Ampel Surabaya. Kejayaan Demak telah mempengaruhi kepribadian dan kepemimpinan Pati Unus sehingga menjadi seorang pemuda yang alim, cerdas serta berani. Itulah sebabnya Raden Patah, Sultan Demak I, mengangkatnya menjadi menantu dan ketika akan wafat mewasiatkan agar Pati Unus menggantikan beliau sebagai Sultan Kerajaan Islam Demak II atas persetujuan Para Wali yang pada saat itu dipimpin oleh Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Berkat pendidikan orang tuanya yang Maulana dan para guru-gurunya, terutama Maulana Syarif Hidayatullah, Pati Unus tumbuh menjadi seorang panglima perang yang gagah berani dan diangkat menjadi bupati di Jepara. Namun berkat kepribadiannya yang menonjol, gabungan antara seorang Maulana, panglima perang dan administratur pemerintahan, karirnya terus menanjak dan diangkat menjadi Panglima angkatan perang Kerajaan Islam Demak pada zaman Raden Patah. Keutamaan yang dimilikinya pula telah memikat hati para Wali dan Sultan sehingga Maulana Abdul Qadir atau Pati Unus kemudiaan dinobatkan menjadi Sultan dari Kerajaan Islam Demak. Setelah Raden Abdul Qadir beranjak dewasa di awal 1500-an beliau diambil mantu oleh Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri Raden Patah, Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahiran beliau sendiri). Karena ayahanda beliau (Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus (atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggil beliau dengan yang lebih mudah Pati Unus. Untuk mempererat hubungan dengan CirebonBanten, Pati Unus menikah lagi dengan Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati tahun 1511. Kemudian Pati Unus diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang merupakan Pemimpin Spiritual umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati yang telah menjadi pemimpin tertinggi para Wali tanah Jawa. Gelar Pati Unus yang baru adalah Senapati Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Tidak diragukan bahwa Kerajaan Islam Demak, Cirebon dan Banten di tanah Jawa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Kerajaan Islam Pasai sebagai pusat Islamisasi di Asia Tenggara. Itulah sebabnya ketika penjajah kafir Portugis pada tahun 1511 menguasai Kerajaan Malaka dan mengancam eksistensi Kerajaan Islam Pasai, maka para Wali, Sultan dan petinggi Kerajaan Islam Demak mengatur strategi untuk menyerang penjajah kafir Portugis di Malaka. Di bawah kordinasi Kerajaan Islam Demak, angkatan mujahidin Islam dari Demak, Bugis, Makassar, Maluku-Ambon, Cirebon, Banten, Palembang, Patani, Tanah Malaya dan tentunya dari Pasai dan sekitar Aceh membentuk angkatan mujahidin gabungan untuk melakukan operasi Jihad ke Malaka. Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 55
Maka tahun 1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan angkatan mujahidin balik kembali ke tanah Jawa. Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan yang lebih baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal. Tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I, atas restu para Wali beliau berwasiat agar mantunya Pati Unus diangkat menjadi Sultan Demak berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus atau Raden Sayyid Abdul Qadir bin Yunus, Adipati wilayah Jepara yang garis nasab (Patrilineal)-nya adalah keturunan Ahlul Bayt menjadi Sultan Demak II bergelar Sultan Alam Akbar At-Tsaniy. Penjajah Portugis terus melakukan penaklukan demi penaklukan di sekitar Kerajaan Islam Pasai untuk mempermudah penguasaan Pasai sekaligus untuk meredam Islamisasi di Asia Tenggara dengan menguasai jantung kekuasaannya di Pasai. Pada saat yang sama, akibat serangan demi serangan yang dilakukan Portugis, Kerajaan Pasai semakin lemah, apalagi Kerajaan Pidier di sebelah barat telah bersekutu dengan Portugis. Dalam keadaan yang mencekam ini, salah satu jaringan Kerajaan Islam di ujung barat Sumatra, memproklamirkan berdirinya sebuah kerajaan baru pada tahun 1514 yang bernama Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Akhirnya Pasai jatuh ke Portugis pada tahun 1521, dan selanjutnya peranan Pasai sebagai pusat Islamisasi Nusantara digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang sudah semakin kuat. Kejatuhan Pasai ke tangan penjajah kafir Portugis telah menimbulkan kesedihan mendalam pada para petinggi Demak, Cirebon, Banten dan jaringan Kerajaan Islam lainnya. Terutama Pati Unus yang kini telah menjadi Sultan Demak. Beliau tidak rela tanah leluhurnya di Pasai terjajah oleh kaum kafir. Pada tahun itu juga, 1521, Pati Unus dengan kekuatan 375 kapal perang yang telah selesai dibangun di Wajo Sulawesi siap kembali berjihad melawan kafir Portugis membebaskan Pasai dan Malaka. Walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan segala kemewahan, kemudahan dan kehormatan dari kehidupan istana tanah Jawa bahkan ikut pula 2 putra beliau yang masih sangat remaja. Demi Islam, Sang Sultan Demak sendiri memimpin armada perang yang terdiri dari gabungan jaringan kerajaan Islam. Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati Sarjawala, Sultan Demak II. Armada perang Islam yang sangat besar berangkat ke Malaka dan Portugis pun sudah mempersiapkan pertahanan menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar pula yang mencuat dari benteng Malaka. Ketika mendarat di Malaka, kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam. Beliau gugur sebagai Syahid karena berperang melawan penjajah kafir dan kewajiban membela kaum Muslim yang tertindas. Sebagian pasukan Islam yang berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat hampir 3 hari 3 malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis, karena itu sampai sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat di tahun 1521 ini. Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 56
Armada Islam gabungan yang menderita banyak korban kemudian memutuskan mundur kembali ke tanah Jawa untuk membangun kekuatan dan strategi baru. Sementara jihad demi jihad terus dilanjutkan para mujahidin Islam terhadap penjajah kafir Portugis di bawah komando Kerajaan Aceh Darussalam yang bangkit menjadi bintang baru Islam di ujung barat Sumatra, sebagai kelanjutan Kerajaan Islam Pasai. Setelah Pati Unus gugur sebagai syahid di Malaka, maka komando armada gabungan Islam di tanah Jawa diambil alih oleh Fadhlulah Khan yang terkenal dengan julukan Tubagus Pasai atau Sang Pangeran Pasai atau Falathehan alias Fatahillah yang diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai Panglima Armada Gabungan yang baru. Sang Maulana gagah perkasa, Sayyid Abdul Qadir bin Syekh Muhammad Yunus, Adipati Yunus, Pati Unus dengan gelar Sultan Akbar Al-Fattah Al-Tsany sudah menunaikan tugasnya, dan kembali kehadirat Illahi sebagai syuhada dalam membela agama, kaum muslimin dan tanah leluhurnya di Pasai. Fatahillah: Pangeran Pasai Pendiri Jakarta Fatahillah adalah gelar yang diberikan kepada Maulana Fadhilah Khan Al-Pasee yang telah berhasil merebut pelabuhan Sunda Kelapa dari penjajah Portugis pada bulan juni 1527. Setelah direbutnya kota itu dinamakannya dengan Jaya Karta atau Kota Kemenangan (al-Fath), yang sekarang dikenal dengan Jakarta ibukota negara Indonesia. Sementara penjajah Portugis mengenalnya dengan nama Falatehan. Pribadinya yang memikat, cerdas, alim dan pemberani telah menjadikannya sebagai tokoh legendaris di Asia Tenggara. Sampai-sampai orang Malaya mengakuinya sebagai tokoh legenda Laksamana Hang Tuah dari Kerajaan Malaka pada masa Sultan Mahmud Syah yang memerintah kesultanan Malaka pada tahun 1488-1511 yang menjabat sebagai Panglima Pengawal Selat Malaka. Maulana Fadhilah lahir di Kerajaan Islam Pasai sekitar tahun 1471, itulah sebabnya beliau bergelar Fadhilah Khan Al-Pasee yang di tanah Jawa disebuat sebagai Tubagus Pasee atau Pangeran dari Pasai. Beliau lahir dari lingkungan kerabat istana Kerajaan Pasai dari pihak ibu, sementara ayahadanya adalah seorang Petinggi Pasai, Ulama dan Maulana yang terkenal dengan gelar Maulana Makhdum Patakan Ibrahim yang hidup pada masa pemerintahan Ratu Nahrishah (1424) sampai Sultan Mudzafar Syah (1497). Dalam sejarah Melayu, ayah beliau ini terkenal sebagai penterjemah kitab Durrul Manzum, karya Abu Ishaq ulama Mekkah yang diserahkan kepada Sultan Malaka Sultan Mansyur Syah dan meminta bantuan raja Pasai Sultan Muzafar Syah (wafat 1497) menerjemahkan kitab tersebut. Tugas ini dilakukan oleh Ulama besar Pasai Makhdum Patakan Ibrahim, ayahanda Maulana Fadhilah. Sementara Makhdum Patakan adalah cucu dari Maulana Sayyid Hussein Jamadil Kubra. Secara lengkap silsilah beliau adalah: Maulana Fadhilah Khan (Fatahillah) bin Maulana Makhdum Nuruddin Ibrahim Patakan bin Sayyid Maulana Alam Baraqat Syekh Maulana Ismail bin Sayyid Hussein Jamadil Kubra (Maulana Akbar Hussien) dan seterusnya yang bersambung sampai dengan Sayyidina Hussein bin Sayyidina Ali ra, cucu Nabi Muhammad saw. Jadi sebenarnya beliau juga adalah keluarga satu buyut dari Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel) dan juga Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 57
Maulana Fadhilah hidup dan berkembang di penghujung masa kegemilangan Kerajaan Pasai dengan segala kelimpahan dan kemakmurannya dan menjadi penaung bagi kerajaan-kerajaan Islam yang baru berkembang di Nusantara. Beliau belajar di bawah asuhan para Ulama dan Maulana yang menjadi rujukan utama kaum Muslimin dan sebagai pusat pengkajian Islam tingkat tinggi dengan sistem zawiyah yang kemudian di tanah Jawa di kenal dengan pesantren. Karena Maulana Fadhilah adalah anak seorang Maulana terkemuka Pasai, Maulana Makhdum Ibrahim Patakan, maka wajarlah jika ayahandanya mengharapkan beliau menjadi Ulama kelak. Namun Sang Pangeran lebih cendrung tumbuh sebagai seorang panglima gagah perkasa. Setelah beranjak dewasa, Maulana Fadhilah hilir mudik berlayar dari Pasai ke Malaka. Ketenaran ayahandanya di Malaka sebagai Ulama besar Pasai telah menempatkannya di dalam lingkungan istana Malaka. Apalagi di Malaka Pangeran Pasai muda ini dengan gagah perkasa memperlihatkan kepiawaiannya sebagai pendekar ulung yang mampu menggerakan Jong (perahu layar) dan dengan lincah memburu setiap perompak yang mengacau di Selat Malaka. Maka tak mengherankan bila banyak para petinggi kerajaan, baik Pasai ataupun Malaka merasa hormat dan segan kepada Pangeran Pasai ini. Pada usinya yang ke 24, pada tahun 1495/6 diangkat menjadi Hulubalang Malaka oleh Sultan Mahmud Syah (1488 – 1528). Selanjutnya Maulana Fadhilah Sang Pangeran Pasai ini mendapat gelar Laksamana Hang Tuah, Panglima Pengawal Selat Malaka. Naskah Cina menyebutkan, bahwa Kaisar pernah memberikan hadiah khusus kepada Hang Tuah, karena keberhasilannya menyelamatkan kapal-kapal dagang Cina dari perompak di selatan Selat Malaka. Setelah 15 tahun berkarier sebagai Laksamana Hang Tuah, Fadhilah berhenti tahun 1508, dan pada tahun 1509 Sang Pangeran kembali ke Pasai tanah kelahirannya. Sekembalinya di Pasai, Sang Pangeran memperdalam pengetahuan keislaman kepada para Ulama, Maulana dan Auliya yang mendapat tempat terhormat di Kerajaan Pasai. Kecerdasan dan ketekunan yang didukung oleh garis keturunan (genetik unggul) telah mengantarkan Sang Pangeran sebagai seorang Maulana terkemuka di Pasai dengan kedudukan tinggi. Disebutkan ketika pasukan gabungan Islam pimpinan Pati Unus (Adipati bin Yunus atau Maulana Abdul Qadir) menyerang Malaka pada tahun 1513 yang sudah dikuasai Portugis sejak 1511, Maulana Fadhilah ikut andil sebagai salah seorang Panglima perang. Kegagalan mengalahkan Portugis pada ekspedisi Jihad I ini telah membulatkan tekad Sang Pangeran muda ini untuk belajar lebih giat menguasai teknologi perang. Karena Portugis memiliki teknologi perang yang canggih sehingga gabungan angkatan Islam kalah. Pasai tidak cukup baginya, dan atas dukungan Sultan dan para Ulama Pasai, sekitar tahun 1516 beliau berangkat memperdalam pengetahuan ke Gujarat India, tempat asal usul moyangnya, Maulana Syah Jalal Al-Akbar dan turunannya yang menjadi Petinggi Kerajaan Thaglug. Di Gujarat beliau mendapat gelar sebagai Maulana Fadhilah Khan. Selanjutnya beliau mengembara belajar menuju pusat-pusat ilmu Islam dan teknologi seperti Mekkah, Madinah, Mesir, Baghdad, Samarkand dan Turki. Di Turki beliau mempelajari teknologi persenjataan, terutama pembuatan meriam. Sang Pangeran dalam perjalanan belajarnya, diriwayatkan pernah ikut berperang bersama pasukan Turki sebagai salah seorang Panglima untuk menduduki Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 58
Konstantinopel. Setelah pasukannya berhasil menduduki Konstantinopel dan merubahnya menjadi Istambul, nama beliau sangat terkenal. Beliau diundang pulang untuk bergabung untuk membesarkan Kesultanan Demak di tanah Jawa. Maulana Fadhilah diundang para pemimpin Wali Songo yang masih paman-pamannya sendiri agar bisa membawa para ahli pembuat meriam untuk bergabung dengan Kesultanan Demak dalam menghadapi Portugis. Tidak satupun kerajaan di Nusantara di masa itu yang memiliki tekhnologi pembuatan meriam. Setelah 5 tahun belajar ke penjuru dunia, Maulana Fadhilah Khan pulang ke Pasai pada tahun 1521. Namun pada saat itu peperangan tengah berkecamuk yang dipicu oleh ambisi penjajah Portugis, sehingga kapal beliau tidak dapat berlabuh di Pasai dan langsung ke Palembang-Bengkulu sebagai pusat baru perlawanan kaum muslimin di sebelah timur. Sementara di barat berpusat pada Kerajaan Aceh Darussalam yang baru diproklamasikan oleh Sultan Ali Mughayyat Syah pada tahun 1514. Selanjutnya Maulana Fadhilah melanjutkan pelayarannya ke tanah Banten, tempat pamannya yang sudah menjadi Pemimpin Spiritual (Aulia) Kerajaan Islam Demak-Cirebon-Banten bernama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, sebagai mana yang diungkapkan dalam buku catatan pelayaran Achmad Ghulam Khaan yang ditulis tahun 946 Hijriah atau 1539 M, dan ditulis ulang oleh Musthafa Khaan, India 1973. Kedatangan Maulana Fadhilah Khan Pangeran Pasai ke tanah Jawa disambut gembira oleh armada gabungan tentara Islam yang tengah mempersiapkan ekspedisi Jihad II untuk membebaskan Malaka dari penjajah Portugis yang dipimpin langsung oleh Sultan II Kerajaan Demak, Pati Unus. Sunan Gunung Jati sebagai Pemimpin tertinggi spiritual Wali Songo menunjuk Fadhilah Khan Al-Pasee sebagai Wakil Panglima angkatan perang gabungan Demak, Cirebon, Banten, Makassar, Palembang, Pasai, Malaka, Aceh dan lainnya. Pasukan berangkat dari pelabuhan Demak Jawa dengan kekuatan 375 kapal perang. Pada kesempatan ini Maulana Fadhillah Khan dianugrahi gelar Raden Hidayat Tubagus Pasai dari Kerajaan Banten dan Wong Ageng Pasai dari Kerajaan Demak. Ternyata ekspedisi Jihad II mengalami kekalahan telak setelah berperang 3 hari 3 malam, Sultan Demak II Pati Unus bersama 2 putranya syahid di Malaka. Komando tertinggi diambil alih Maulana Fadhilah dan memerintahkan pasukan mundur kembali ke tanah Jawa. Kekalahan ini telah memberi pengaruh mendalam kepada Tubagus Pasai Fadhullah Khan terhadap penjajah Portugis. Setelah Armada Gabungan kembali ke tanah Jawa, beliau diangkat menjadi pengganti Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam Gabungan tanah Jawa dan dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati dengan putri beliau, Ratu Ayu janda Pati Unus untuk memperkuat kekerabatan. Beliau menetap di Kerajaan Cirebon-Banten bersama dengan sisa-sisa pasukan perangnya untuk mengatur kembali strategi mengalahkan Portugis. Beliau ditugaskan mertuanya Maulana Syarif Hidayatullah memperkuat koalisi Kerajaan Islam di Jawa, terutama Demak-Cirebon-Banten dalam menghadapi Kerajaan Hindu Pakuan-Galuh-Pajajaran. Kegagalan ekspedisi Jihad II di Malaka 1521 membuat kerajaan-kerajaan Islam di tanah Jawa, terutama Demak-Cirebon-Banten mengambil sikap defensif dan memancing Portugis untuk datang menyerang ke tanah Jawa. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba jua setelah Kerajaan Hindu Galuh berkoalisi dengan penjajah Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 59
Portugis. Bulan Juni 1527, Portugis yang telah merasa diatas angin mencoba menguasai pelabuhan Sunda Kelapa di wilayah Jakarta Utara sekarang. Dengan persiapan yang matang, gabungan armada Islam dibawah pimpinan Maulana Fadhullah Khan Tubagus Pasai, Wong Ageng Pasai langsung meluluhlantakkan penjajah kafir Portugis bersama pasukan dan antek-anteknya. Kemenangan besar berada di pihak Islam, Maulana Fadhullah Khan atau Tubagus Pasai diberi gelar baru Fatahillah, yang berarti Kemenangan Allah SWT. Kemenangan besar ini kemudian dirayakan sebagai hari lahir Jayakarta dan kemudian disebut Jakarta sampai sekarang (22 Juni 1527). Setelah kemenangan ini Maulana Fadhullah Khan, Tubagus Pasai, Wong Ageng Pasai atau Fatahillah diangkat Sunan Gunung Jati sebagai Penasehat Agung Kesultanan Cirebon-Banten yang kini tengah berusia mendekati 60 tahun. Kota Jayakarta diserahkan ke menantu Fadhullah Khan, anak Maulana Hasanuddin atau cucu Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang bergelar Tubagus Angke. Setelah wafatnya Tubagus Angke diserahkan kepada putra beliau Pangeran Jayakarta yang kemudian pada 1619 karena kalah dalam konflik dengan VOC-Belanda, meninggalkan Jayakarta yang dibumihanguskan. Akhir perjalanan panjang hidup Sang Pangeran Pasai yang gagah dan berani ini, sepanjang 40 tahun lebih, memilih tugas menyiarkan agama Islam sebagai da'i, pembimbing spiritual dan menjadi ulama dan maulana di Tanah Pasundan di Jawa Barat. Beliau sangat terkenal sebagai seorang Maulana yang menguasai ajaran-ajaran tasawwuf, namun beliau juga bergandeng bahu dengan Syarif Hidayatullah menaklukkan kerajaan-kerajaan Hindu yang tersisa di Jawa Barat sebagai penasihat dan pemimpin spiritual bagi Sultan-sultan muda Kerajaan Islam. Demikian pula bersama dengan Syarif Hidayatullah, Maulana Fadhilah Khan Tubagus Pasai ikut andil menaklukkan Kerajaan Sunda-Pakuan di wilayah Bogor Jawa Barat pada tahun 1568, atau dua tahun sebelum beliau wafat. Maulana Fadhilah Khan Al-Pasee, Tubagus Pasee, Wong Ageng Pasee, Fatahillah Al-Pasee putra Maulana Makhdum Patakan Ibrahim seorang ulama besar sufi yang hidup dimasa kejayaan Kerajaan Islam Pasai, juga dikenal dengan Maulana Fatahillah ibnu Sayyid Kamil Maulana Mukhdum Ibrahim (Makhdum Patakan Ibrahim) Rahmattullah ibnu Syeikh Nuruddin Ibrahim Maulana Ismail, wafat di tanah Pasundan Jawa Barat, tepatnya di Cirebon pada tahun 1570 dalam usia hampir 100 tahun. Beliau di makamkan berdampingan dengan keluarga, sahabat dan gurunya, seorang Auliya dan Maulana, Syarif Hidayatullah yang sudah wafat mendahului beliau dua tahun di komplek pemakaman Sunan Gunung Jati, di Gunung Sembung Cirebon.
Kerajaan Islam Pasai & Penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit
Hal. 60