RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT Tahun 13891518 M A.
Latar Belakang
Sebenarnya kerajaan majapahit muncul setelah karajaan singusari mengalami kehancuran, karena akibat dari serangan karajaan Daha. Raja singusari pada waktu itu adalah raja kartanegara sedangkan patihnya adalah Raden Wijaya.Setelah pertarungan kedua belah pihak kerajaan Singusari akhirnya musnah pada tahun 1292[1].Sedangkan Raden W ijaya mundur kearah utara dan mendapatkan perlindungan dari kerajaan Madura.Kemudian raden Wijaya mengatur strategi untuk membalas kerajaan Daha atas kematian martua beliau yaitu raja kartanegara dan dari sinilah terbentuklah kerajaan majapahit. Dengan kerajaan Majapahit yang disahkan oleh Raden Wijaya dengan gelar sebagai Prabu Kertajasa Jayawardana selapas dari kehancuran kerajaan Kendiri yang dimusnahakan oleh pasukan dari china (Tiongkok) oleh Dinasti Ming yang ingin menyerang Prabu Kertanegara namun dapat dipengarui oleh pemerintah Majapahit untuk menyerang Kendiri dan akhirnya kerajaan kendiri di musnahkan. Setelah itu Majapahit berkembang dan muncul sebagai kuasa besar di Asia Tenggara.Mengikut pandangan sarjarah Majapahit mengalami tiga situasi pemerintahan.Pertama
adalah zaman permulaan kedua adalah zaman kegemilangan dan yang terakhir adalah zaman kemerosotan. Zaman kegemilangan adalah semasa Majapahit diperintah oleh Hayam W uruk[2].Dia merupakan anak dari Puteri Djajawisnuwardani dengan Kertawardana. Sebelum kelahiran dia, lahir seorang anak lagi yang akan menjadi nadi kegemilangan Majapahit yaitu Mangkubumi Gajah Mada yang memainkan peranan penting dalam keagungan kerajaan Majapahit. Hayam Wuruk yang mengunakan gelaran Rajasanegara merupakan pemerintahan yang keempat Majapahit yang bermula pada tahun 1328-1389 M. Zaman pemerintahan Hayam W uruk yang dibantu oleh Mangkabuminya Patih Gajah Mada mengalami puncak kegemilangan dimana seluruh kawasan nusantara di bawah naungan kerajaan Majapahit. Dengan bantuan kebijaksanaan dan sumpah Mangkabuminya yang dikenali sebagai sumpah palapa, dimana majapahit dapat menyatukan seluruh kerajaan di Nusantara termasuk Pahang, Palembang, dan Temasik. Namun baliau telah meninggal dunia semasa Majapahit diambang kemegahan, yaitu pada tahun 1363. Setelah kehilang perdana menteri yang bijaksana maka politik kerjaan mengalami perubahan karena jabatan yang dipegang mangkabumi tidak mampu menanganinya.Selanjutnya jabatan
yang dipegang olehnya dibagikan kepada beberapa adipati untuk diperintah.Setelah itu mulai lemah kerajaan Majapahit walaupun tidak lagi menyeluruh namun, sudah mulai ada kepincangan politik.Dan pada tahun 1389 M merupakan titik tolak kemerosotan kerajaan Majapahit apabila Prabu Rajasanegara (Hayam W uruk) telah meninggal dunia.Disini keadaan digambarkan keruntuhan seratus tahun yang tidak dapat membangun lagi.Kemangkatan Hayam W uruk menjadikan kekuasan Majapahit semangkin tidak terkendali akibat bermulanya perebutan tahta kerajaan dan kepincangan politik. Setelah kemangkatan dua tokoh yang agung dalam kegemilangan kerajaan Majapahit yakni Mangkabuminya yang merangkap perdana menteri majapahit Gajah Mada 1364 M dan Hayam Wuruk 1389 M maka era selepas ini dinamakan sebagai zaman kemerosotan majapahit yang akhirnya membawa keruntuhan kerajaan Majapahit. B.
Rumusan Masalah
Bagaimanupun adanya penyebab kerajaan Majapahit mengalami kemorosotan itu dikarenakan adanya beberapa fakor, diantaranya keadaan para pengganti hayam W uruh tidak dapat mengemban jabatannya. Tidak lain adanya perebutan kekuasan oleh para keuruna Hayam Wuruk dan mengakibatkan perang saudara serta adanya perlawan dari daerah kekuasaannya. BAB II
PEMBAHASAN a.
Penyebab Keruntuhan Kerajaan Majapahit
Selepas kemangkatan Hayam W uruk pada tahun 1389 M, maka pemerintahan kerajaan pengganti selanjutnya. Penganti tahta kerajaan sesudah Hayam W uruk adalah Wirakramawardani yang memerintah dari tahun 1389-1429 M merupakan menantu Hayam Wuruk.Pada pemerintahan Wirakramawardani politik kerajaan mulai merosot akibat ketidakpuasan hati dari saudara keturunan Rajasanegara yang membawa kelemahan kerajaan Majapahit[3]. Perang saudara mula meletus akibat Virabumi tidak tunduk terhadap penguasa Majapahit. Perang tercetus, ini mengakibatkan kepincangan politik Majapahit dan menyebabkan daerah kawasan majapahit memecahkan diri.Hal ini dibuktikan dengan pembebasan Palembang dari kekuasaan majapahit.Serta kemunculan Melaka pada kurun ke 15 M. Hal ini menunjukan kelemahan raja Majapahit menyebabkan banyak negeri tidak lagi mengiktiraf kerajaan majapahit dan mencoba untuk membuat kerajaan sendiri[4]. Akibat daripada perang saudara diantara Virabumi dan Wirakramawardani menyebabkan Virabumi terbunuh pada tahun 1406 M dan kota Varabumi ditawan. Namun perang tersebut menyebebkan kematian pegawai China. Hal ini menyebabkan hubungan dengan kerajaan china mulai renggang, walaupun hati
maharaja cina dapat diredakan dengan meminta ganti rugi yang dibayar oleh Wikramawardani untuk menebus kematian pegawai cina dalam perang tersebut.Namun Cina menjaga perhubunganya dengan negeri di timur.Pada tahun 1429 M raja Wikramawardani meninggal dunia dan pemerintahan diwariskan kepada anaknya yaitu Ratu Suhita (1429-1447 M). Pada pemerintah Ratu Suhita terjadi satu pemberontakan yang dipimpin oleh Bhre Daha.Ini menunjukan lemahnya pemerintah yang mengakibatkan pemberontakan untuk mengulingkan kerajaan.Selepas kematian Ratu Suhita pada tahun 1447 M tahta kerajaan dipegang oleh Raja Kertavijaya yang merupakan saudara laki-laki Ratu Suhita. Ekonomi kerajaan Majapahit semangkin lemah akibat kelemahan pemerintah Majapahit sendiri kerana, banyak daerah yang dulunya menjadi nadi ekonomi majapahit mulai tidak berhubungan dengan kota Majapahit seperti kalimantan timur dan pelembang. Setelah pemerintahan Raja Kertavijaya kerajaan Majapahit diperintah oleh Seri Radjasawardana pada tahun 1451-1453 M, namun selepas kematian tiada warisan yang memerintah kerajaan Majapahit dan menyebabkan Majapahit tidak punya pemimpin. Dicatatkan bahwa ketika tahun 1453-1456 M Majapahit tidak mempunyai Raja.Sehingga kemunculan Hiang Purwawisjesa.Namun pada masa pemerintahan Hiang
Purwawisjesa Majapahit memindahkan pusat pemerintahan ke Tumapil.Hiang Purwawisjesa memerintah selama sepuluh tahun (1465-1466). Setelah itu kerajaan Majapahit diperintah oleh beberapa orang raja sehingga, tiga orang raja terakhir yang memimpin tahta kerajaan Majapahit yaitu Bera Widjaja yang berkuasa di Majapahit yang dikenal sebagai Prabu Adipati Udara dan Prabu Maharadja Adipati Unus. Pemerintahan pusat semankin lemah apabila ketenteraan Majapahit mulai lumpuh kerana tidak mampu menepis serangan dari luar lagi, ini menunjukkan betapa lemahnya raja ketika memerintah Majapahit. Perkara ini dibuktikan semasa serangan yang dilakukan oleh demak dalam era pemerintahan Bera Wijaya tidak mampu untuk menepis serangan tersebut yang menyebabkan kota Majapahit di diruntuhkan. Sehubungan dengan itu juga, kelemahan raja-raja Majapahit yang terakhir yakni Bira W ijaya adalah tidak mampu mengawal perairan di selat Melaka. Pemerintah Majapahit ketika itu jelas kelihatan runtuh dan terpaksa membuat perjanjian dengan Melaka.Perjanjian yang di lakukan pada tahun 1518 M adalah peristiwa penting kerana terpaksa melakukan satu perjanjian dengan Melaka. hal ini menunjukan kemerosotan Majapahit apabila melakukan perjanjian dengan pemerintah yang dulunya
dibewah kekuasaan Majapahit. Sebelum Negara Majapahit lenyap di Nusantara juga merupakan akibat serangan dari Demak.Peristiwa ini jelas menunjukan bahwa setelah zaman keemasan era pemerintahan Hayam Wuruk maka pemerintah kerajaan menjadi yang lemah, tidak bijaksana dalam menangani permasalahan politik yang menyebabkan kerajaan mejapahit kehilangan kewibawaan sehingga pemerintah terakhir sebelum dimusnahkann oleh kerajaan Demak.Akhirnya kerajaan Majapahit jatuh dan tidak dapat dibentuk lagi. b.
Keadaan Setelah Gajah Mada dan Hayam W uruk
Kematian gajah mada pada tahun 1364 M adalah titik tolak kemerosotan politik di pusat pemerintahan Majapahit.Sebelum beliau meninggal dunia keadaan Majapahit yang begitu gemilang kerana Majapahit diambang kejayaan.Namun setelah beliau meninggal, maka jabatan beliau tidak ada yang mampu memikul dan terpaksa diserahkan kepada beberapa adipati, ini mengambarkan tiada yang mampu menlanjutkan kedudukan Gajah Madah.Kematian beliau menyedihkan Prabu Hayam W uruk sebelum wafat kerana tiada yang mampu mengantikan kebijaksanaanya. Hal ini menyebabkan jabatan Gajah Mada dipimpin oleh empat orang adipati kerajaan, yaitu Warda Menteri (menteri sapuh), Bernama Pu Tading, Tumenggug
(mantjanegera) Pu Nala, Menteri Anom Patih dan Perdana Menteri. Perkara ini mengambarkan bahwa setelah kemangkatan Gajah Madah, politik kerajaan Majapahit mengalami perubahan yang begitu besar.Majapahit terpaksa berusaha mencari yang terbaik untuk mengantikan jabatan yang ditinggalkan oleh Gajah Mada dan kesan dari kejadian tersebut maka bermulalah kemerosotan Majapahit walaupun tidak lagi nyata hingga kemangkatan Prabu Hayam W uruk. Dalam keadaan Majapahit yang menghampiri kemerosotan, akhirnya bermula setelah kematian Hayam Wuruk pada 1389 M setelah dua puluh lima tahun kematian Gaja Madah. Kematiannya membawa kemerosotan Majapahit setelah tahta kerajaan beliau DIwariskan kepada menantunya yakni Wikramawardana.Hal ini mengakibatkan bibit-bibit pergolakan politik bermula walaupun pada permulaanya tidak berlaku.Sehingga timbul persoalan siapa yang berhak menguasai tahta kerajaan dari anak silirnya Wirabumi. c.
Pergolakan Politik dan Perang Saudara
Faktor lain yang membawa kemerosotan kerajaan majapahit adalah disebabkan oleh perang saudara yang terjadi sesudah kematian Hayam W uruk. Perang saudara yang dikenal sebagai
perang Paregreg itu akibat daripada persoalan warisan pemerintahan yang lebih layak memimpin kerajaan Majapahit.[5]Perang saudara terjadi akibat dari keinginan untuk menduduki tahta kerajaan. Pada masa Hayam W uruk masih hidup, dia telah mewasiatkan bahwa sesudah beliau wafat tahta kerajaan akan diteruskan oleh menantunya yakni Wirakramawardana suami dari puteri Kasumawardani. Namun Hayam W uruk juga meningalkan warisan dari selirnya yang bernama Raja Wirabumi yang ditempatkan disebelah timur Jawa. Maka wujud dua keluarga dari keturunan yang sama. Hal ini menyebabkan berlaku pergolakan politik diantara kuasa pusat yang diperintah oleh W irakramawardana dan kuasa peringkat daerah yang diperintah oleh W irabumi dan akhirnya terjadi perang saudara.[6] Wirabumi tidak patuh terhadap kerajaan pusat kerana Wirakramawardana hanyalah menantu Hayam W uruk, sedangkan Wirabumi adalah anak dari selir dari Prabu Hayam Huruk.Ini merupakan awal W irabumi tidak tunduk kepada kerajaan yang berpusat di Majapahit.Maka setelah pergolakan diantara dua keluarga maka, terjadilah perang saudara pada tahun 1404-1406 M yang dikenal sebagai perang Paregreg. Akibat perang saudara mengakibatakan saling menjatuhkan antara saudara satu dengan yang lainnya.Keadaan ini terbukti
pada Ratu Suhita menaiki tahta kerajaan Majapahit pada tahun 1429M. Pemerintahannya berat sebelah karena golongan yang dulu melawan Wirabumi.Hal ini menunjukandendam dikalangan keluarga pemerintah kerajaan yang mengakibatkan pemerintahan pusat tidak lagi aman. d.
Berdirinya Pecahan Kerajaan Mejapahit
Munculnya Kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah telah mengalahkan pertahanan Majapahit, banyak faktor yang membawa kemenangan Demak terhadap Majapahit. Faktor-faktor yang mempengarui terhadap kemenangan Demak adalah disebabkan oleh, fungsi Demak dapat mengusai perdagangan di dua pelabuhan utama yaitu pelabuhan Japara dan Gerisik.Dengan menguasai pelabuhan, Demak dapat menguasai kawasan dataran penanaman padi yang terbentang luas di kawasan tersebut.Kekuasan kerajaan Demak diteruskan oleh Raden Fateh yakni Pati Yunus dia tidak memerintah lama lalu digantikan oleh saudaranya yaitu Teranggana.Pada pemarintahan Teranggana Demak diambang kegemilangan dan telah mengunakan gelaran sultan. Kemunculan Demak sebagai kerajaan islam di tanah Jawa menyebabkan Majapahit semakin terhimpit dalam situasinya yang semakin dalam. Majapahit tidak mampu mempertahankan kewibawaanya dari semua serangan luar.Pada pemerintahan raja
terakhir Majapahit, yakni Raja Udara pada tahun 1518 M Majapahit diserang oleh Dipati Yunus yang berkuasa di Demak yang meruntuhkan pusat kerajaan Majapahit. Perkara ini menunjukan Majapahit tidak lagi berdaya untuk mempertahankan kerajaanya walaupun di serang kerajaan kecil yang tidak mempunyai pasukan yang banyak, ini mengambarkan kemerosotan Majapahit yang tidak mampu lagi.[7] Selain itu, juga diakibatkan munculnya Melaka pada tahun 1400 M. juga karena faktor kemerosotan dan keruntuhan kerajaan Majapahit. Melaka yang disahkan oleh raja Palembang yaitu Paramiswara merupakan anak Sang Aji yang telah membebaskan diri dari lingkungan kerajaan Majapahit setelah dia berkeyakinan akan dapat mewujudkan kerajaan Sriwijaya. Mulai kelihatan kemerosotannya, dia merupakan wakil kerajaan Majapahit untuk memerintah Palembang disamping itu dia adalah menantu Hayam W uruk.Paramiswara yang telah melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit dengan melakukan penyucian diri yang dikenal sebagai abheseka.Melalui penyucian tersebut Paramiswara telah mengelarkan dirinya sebagai Sri Tri Buana yang membawa makna Maharaja Tiga Buana. Dengan itu Majapahit menyerang paramiswara ketika di Palembang, lalu melarikan diri ke Temasik (pulau Singgapura) untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah temasik yang merupakan wakil
kerajaan Ayudhya di Thailand. Namun beliau akhirnya berpindah ke Muar dimanadia mendapatserangan dari tentera Ayudhya karena beliau telah membunuh pemerintah Temasik ketika menjadi wakil kerjaan Majapahit. Sehingga sampai ke muara di Bertam lalu mendirikan kerajaan disana. Setelah beberapa lama akhirnya Melaka muncul sebagai satu kerajaan yang unggul di selat Melaka dan terkenal sebagai pusat perdagang.Kerajaan Malaka mengukuhkan diri dengan bekerjasama terhadap kerajan Cina, hal ini menyebabkan tidak ada kerajaan lain yang berani menyerang Melaka ketika itu termasuklah Majapahit. Kunjungan wakil Maharaja Yung-Lo ke Melaka pada tahun 1404 M mengukuhkan kedudukan Melaka.Perkara ini menandakan bahwa kerajaan Majapahit telah hilang pengaruh di selat Melaka dalam kegiatan perdagangan.Melaka yang terkenal dengan pelabuhan enterpotnya menyebabkan ekonomi Majapahit sudah menurun kerana pelabuhan yang dibawahi kekuasan Majapahit tidak lagi menjadi perhatian oleh para pedagang kerana pelabuhan di bawah Kerajaan Melaka.
BAB III KESIMPULAN Kelemahan pemerintahan raja-raja sesudah Hayam W uruk pada 1369 M merupakan faktor utama membawa kepada kemerosotan dan keruntuhan kerajaan majapahit. Kelemahan pemerintahan untuk mengembangkan dan mempertahankan kerajaan Majapahit menyebabkan keluasan kerajaan majapahit semangkin mengecil.Perkara ini menandakan Majapahit tinggal namanya saja. Majapahit yang tinggal nama keagungannya, setelah seratus tahun selepas Hayam Wuruk kerajaan Majapahit tidak pernah lagi mengembangkan kerajaannya namun sebaliknya, yaitu kerajaan terus jatuh sehingga kehancurnya takluk ditangan Demak. Melalui kelemahan pemerintah Majapahit menyebabkan wilayah-wilayah kekuasaan majapahit membebaskan diri dan yang lebih menyedihkan lagi, ketika wilayah bawahan Majapahit sendiri yang memusnahnya bukan dari kerajaan luar seperti Thailan.Perkara ini menunjukan betapa rapuhnya kerajaan Majapahit setelah mencapai zaman keemasanya. Factor-faktor lain yang menyebabkan keruntuhan Majapahit seperti pergolakan politik dan perang saudara. Malalui peperang sesama pemerintah menyebabkan wujudnya kerajaan baru, kerana dibalik kesibukan dalam perang saudara, kerajaan majapahit memberi ruang kepada daerah bawahannya untuk
mengukuhkan kedudukanya dan ini dibuktikan dengan pembebasan Palembang dari kekuasaan majapahit. Pemerintah Palembang ketika itu Paramiswara telah berkeyakinan untuk menbebaskan diri kerana Majapahit tidak lagi berkuasa atas kerajaan Palembang.Sehingga cita-citanya tercapai setelah perpindahannya ke Melaka pada abad ke 15 M. Islam yang dibawa masuk oleh pedagang dari luar menjadikan agama Hindu mulai pudar dari kalangan penduduk setempat. Perkembangan islam yang tidak mampu disekat oleh pemerintah Majapahit menyababkan agama Hindu hilang di bumi Jawa. Disamping perubahan dasar luar, hubungan dengan Cina juga menjadi penyebab kemorosotan majapahit. Kerajaan Cina telah mengakui Melaka sebagai satu penguasa di selat Melaka dan memberi perlindungan politik di Asia Tenggara. Maka dengan itu perhatian kerajaan Cina terhadap majapahit tidak diperkenankan oleh maharaja Cina karena sudah Melaka menjadi pusat enterpot di Asia Tenggara.Perkara ini jelas menunjukan faktor dalam yang di dukung oleh faktor luar yang menyebabkan kemerosotan dan keruntuhan kerajaan majapahit yang berakhir pada tahun 1526 M.
Rahasia "Sabdo Palon & Noyo Genggong" Suatu hari, Darmo Gandhul bertanya kepada Ki Kalamwadi demikian, “Awal mulanya bagaimana sehingga orang Jawa meninggalkan agama Buddha dan masuk agama Islam ?” Ki Kalamwadi lantas bercerita, “Hal ini perlu diketahui, supaya orang yang tidak tahu bisa mengerti.” Pada jaman dahulu negara Majapahit itu namanya negara Majalengka. Adapun nama Majapahit itu, hanya untuk pasemon, tetapi yang belum tahu riwayatnya menganggap bahwa nama Majapahit itu memang sudah namanya sejak semula. Raja Majalengka yang terakhir bernama Prabu Brawijaya. W aktu itu sang Prabu sedang susah hati. Sang Prabu kawin dengan Putri Cempa, padahal Putri Cempa tadi beragama Islam. Kalau sedang berkasih-kasihan, ia selalu bercerita kepada sang raja tentang keluhuran agama Islam. Setiap bertemu selalu memuji agama Islam sehingga menyebabkan Sang Prabu terpikat dengan agama Islam. Sang Prabu Brawijaya memiliki seorang putra dari istrinya Putri Cina, anak tersebut lahir di di Palembang dan diberi nama Raden Patah. Menurut aturan leluhur dari ayahandanya yang beragama Jawa Buddha, putra raja yang lahir si gunung, namanya adalah Bambang. Jika menurut alur ibu, sesebutannya adalah Kaotiang. Adapun jika orang Arab sebutannya adalah Sayid atau Sarib. Lalu sang Prabu meminta pertimbang sang Patih, menurut sang Patih
maka putra sang Prabu tersebut dinamai Bambang, akan tetapi karena ibunya Cina, lebih baik disebut Babah artinya lahir di negara lain. Negeri Majalengka, pada suatu hari Prabu Brawijaya sedang dihadap Patih serta para madya bala. Patih memberi laporan bahwa baru saja menerima surat dari Tumenggung Kertasana. Isi surat memberi tahu bahwa negeri Kertasan sungainya kering. Sungai yang dari Kediri alirannya menyimpang ke timur. Sebagian surat tadi bunyinya begini, “Disebelah barat laut Kediri, beberapa dusun-dusun rusak. Semua itu terkena sabda ulama dari Arab, namanya Sunan Bonang. Mendengar kata Patih tersebut, Sang Prabu sangat marah. Patih kemudian diutus ke Kertasana, memeriksa keadaan senuanya, penduduk dan hasil bumi yang diterjang air bah ? Serta diperintahkan memanggil Sunan Bonang. Sang Prabu kemudian memerintahkan kepada Patih, orang Arab yang di tanah Jawa diusir pergi, karena membuat kerepotan negara, hanya di Demak dan Ampelgading yang boleh melestarikan agamanya. Selain dua tempat diperintahkan kembali ke negerinya. Jika tidak mau pergi diperintahkan untuk dibunuh, jawab Patih, ” Gusti ! benar perintah Paduka itu, karena ulama Giripura sudah tiga tahun juga tidak menghadap dan tidak mengirim upetti. Mungkin maksudnya hendak menjadi raja sendiri, tidak merasa makan minum di tanah
Jawa. Berarti santri Giri hendak melebihi wibawa Paduka. Namanya Sunan Ainul Yakin, itu nama dalam bahasa Arab, artinya Sunan itu budi, Ainal itu makrifat, Yakin itu tahu sendiri. Jadi maknanya tahu dengan pasti. Dalam bahasa Jawa sama dengan kata Prabu Satmata. Itu nama luhur yang hanya dimiliki Yang Maha Kuasa, maha melihat. Di dunia tidak ada duanya nama Prabu Satmata, kecuali hanya Batara Wisnu ketika bertahta di negeri Medang Kasapta. Mendengar kata Patih, kemudian Sang Prabu memerintahkan untuk memerangi Giri. Orang di Giri geger, tidak kuat menanggulangi amukan prajurit Majapahit. Sunan Giri lari ke Bonang, mencari bantuan kekuatan. Setelah mendapat bantuan , kemudian perang lagi musuh orang Majalengka. Perang ramai sekali, waktu itu tanah Jawa sudah hampir separo yang masuk agama Islam, orang-orang pesisir utara sudah beragama Islam. Adapun yang di selatan masih tetap memakai agama Buddha. Sunan Bonang sudah mengakui kesalahanya, tidak menghadap ke Majalengka. Maka kemudian pergi dengan Sunan Giri ke Demak. Sesampainya di Demak, kemudian memanggil Adipati Demak, diajak menyerang Majalengka. Kata Sunan Bonang kepada Adipati Demak, ” Ketahuilah, sekarang sudah saatnya Kraton Majalengka hancur, umurnya sudah seratus tiga tahun”. Dari penglihatan gaibku yang kuat menjadi raja tanah Jawa,
menggantikan tahta raja hanya kamu. Karena itu hancurkan Kraton Majalengka, tetapi dengan cara halus, jangan sampai kelihatan. Menghadaplah besok Garebeg Maulud, tetapi siapkan senjata perang, nanti kalau semua sudah berkumpul, para sunan dan para bupati dan prajuritnya yang sudah Islam, pasti menurut kepada kamu. Adipati Demak berkata, “Saya takut menyerang negeri Majalengka, karena memusuhi ayah dan rajaku. Apa balasan saya kecuali kesetiaan. Sunan Bonang berkata lagi, “Meskipun musuh ayah dan raja, tidak ada jeleknya, karena itu orang kafir. Kalau membunuh orang kafir Buda kawak, kamu akan mendapatkan ganjaran surga. Sunan Bonang yang sudah dipuji orang sealam semesta, keturunan rasul pemimpin orang Islam semua. Kamu musuh ayah raja, meskipun dosa sekali, hanya dengan satu orang, lagi pula raja kafir. Tetapi bila ayahmu kalah, orang setanah Jawa Islam semua. Yang demikian itu, seberapa pahalamu nanti di hadapan Allah, lipat berkali-kali. Sebenarnya ayahmu itu sia-sia kepada kamu. Buktinya kamu diberi nama Babah, tahu artinya Babah ? Babah itu artinya jorok sekali yaitu saja mati saja hidup, benih Jawa dibawa putri Cina, maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang, manusia keturunan raksasa. Itu memutuskan tali kasih namanya. Ayahandamu pikirnya tetap tidak baik, maka kuanjurkan balaslah dengan halus, artinya jangan sampai ketahuan. Dalam bathin
Sunan Bonang berkata, “Sesaplah darahnya, remuklah tulangnya.” Singkat cerita, tidak lama kemudian para Sunan dan para Bupati sudah berdatangan semua. Kemudian mereka bermusyawarah untuk memperbesar masjid. Setelah jadi, kemudian mereka melakukan shalat berjamaah di Masjid. Setelah selesai shalat kemudian mereka menutup pintu. Semua orang diberitahu oleh Sunan Bonang, bahwa adipati Demak akan menjadi raja Jawa. Untuk itu Majapahit harus ditaklukkan. Mereka semua terbujuk oleh Sunan Bonang yang sangat piawai berbicara itu. Para sunan dan para Bupati sudah mufakat semua, hanya satu yang tidak sepakat, yaitu Seh Siti Jenar, Sunan Bonang marah, maka Seh Siti Jenar dibunuh. Adapun yang diperintahkan membunuh adalah Sunan Giri. Seh Siti Jenar dipenggal kepalanya hingga tewas. Sebelum Seh Siti Jenar tewas, ia meninggalkan suara, “Ingat-ingat ulama Giri, kamu tidak kubalas di akhirat, tetapi kubalas di dunia saja. Kelak apabila ada raja Jawa bersama orang tua, saat itulah lehermu akan kupenggal.” Sang Prabu Brawijaya mendengar laporan Patih sangat terkejut, berdiri mematung seperti tugu. Mengapa putranya dan para ulama datang hendak merusak negara. Sang patih juga tidak habis mengerti, karena tidak masuk akal orang diberi kebaikan
kok membalas kejahatan. Semestinya mereka membalas kebaikan juga, Ki patih tak habis berpikir. Singkat cerita, setelah pasukan Majapahit dipukul mundur oleh pasukan yang dipimpin adipati Demak Raden Patah yang juga Putra Prabu Brawijaya, para ulama dan para bupati, kemudian perjalanan Prabu Brawijaya sampai di Blambangan, karena merasa lelah kemudian berhenti dipinggir mata air. W aktu itu pikiran Sang Prabu benar-benar gelap. Yang dihadapannya hanya dua abdi dalem, yaitu Noyo Genggong dan Sabdo Palon. Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda, dan memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Sabdo Palon ? Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu, bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya. Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga berhasil ketemu dengan sang Prabu diperjalanan, lalu Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu. Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga, “Sahid ! Kamu datang ada apa ? Apa perlunya mengikuti aku ?” Sunan Kalijaga berkata, “Hamba diutus paduka untuk mencari dan menghaturkan sembah sujud kepada paduka di manapun bertemu. Beliau memohon ampun atas kekhilafannya sampai lancang berani merebut tahta paduka, karena terlena oleh darah mudanya yang tidak tahu tata krama
ingin menduduki tahta memerintahkan negeri, disembah para bupati. Sang Prabu Brawijaya bersabda, ” Aku sudah dengar kata-katamu, sahid ! Tetapi tidak aku gagas ! Aku sudah muak bicara dengan santri ! Mereka bicara dngan mata tujuh, lamis semua, maka blero matanya ! Menunduk di muka tetapi memukul di belakang. Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan ke mata, agar buta mataku ini. Setelah mendengar sabda Prabu demikian, Sunan Kalijaga merasa bersalah karena ikut menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat menyesal. Sang Prabu Brawijaya berkata, “Sekarang aku akan ke pulau Bali, bertemu dengan yayi Prabu Dewa Agung di Klungkung. Aku akan beri tahu tingkah Si Raden Patah, menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit. Sunan Kalijaga sangat prihatin, ia berkata dalam hati, “Tidak salah dengan dugaan Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara, tidak tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti tidakkalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi anugrah. Sudah pasti orang Jawa yang belum Islam akan membela raja tua, bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang islam tertumpas dalam peperangan.
Mendengar kemarahan sang Prabu yang tak tertahankan, Sunan Kalijaga merasa tidak bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki sang Prabu sambil menyerahkan senjata kerisnya dengan berkata, apabila sang Prabu tidak bersedia mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu mengetahui peristiwa menjijikan ini. Sang Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga, “Coba pikirkan Sahid ! Alangkah sedih hatiku, orang sudah tua renta, lemah tak berdaya kok akan direndam dalam air”. Suanan Kalijaga memendam senyum dan berkata, “Mustahil jika demikian, besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra paduka memperlakukan sia-sia kepada paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah sekehendak paduka, namun lebih baik jika paduka berkenan berganti syariat Rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika paduka tidak berkenan itu tidak masalah, toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir namanya.
Akhirnya setelah Sunan Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah agama Islam, setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya tidak mempan dipotong, Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang
Prabu dimohon Islam Lahir bathin, karena apabila hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian berkata kalau sudah lahir bathin, maka rambutnya bisa dipotong. Sang Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdo Palon dan Noyo Genggong, “Kamu berdua keberi tahu mulai hari ini aku meninggalkan agama Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati. Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama Rasul dan meninggalkan agama Buddha. Lalu Sado Palon berkata sedih, ” Hamba ini Ratu Dang Hyang yang menjaga tanah Jawa, siapa yang bertahta, mejdi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, terun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun rajaraja Jawa. Hamba jika tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada peperangan saudara musuh saudara, yang nakal membunuh manusia bangsanya sendiri. Sampai sekarang ini umur hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh rajaraja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, sejak pertama menepati agama Buddha. Baru paduka yang berani meninggalkan pedoman luhur Jawa. Kalau hanya ikut-ikutan akan membuat celaka muksa paduka kelak, kata Wikuutama disambut halilintar bersahutan. Prabu Brawijaya disindir oleh Dewata karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan perwujudan keadaan di dunia ditambah tiga hal : (1) rumput Jawan, (2) padi
Randanunut, dan (3) padi Mriyi. Sang Prabu bertanya, “Bagaimana niatmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasulallah dan nama Allah yang sejati !”. Sabdo Palon berkata sedih, ” Paduka masukllah sendiri, hamba tidak tega melihat watak siasia, seperti manusia Arab itu, menginjak-nginjak hukum, menginjak-nginjak tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri. Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri sendiri. Hamba suka agama lama menyebutkan Dewa Yang Maha Lebih. Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan kembali kepada yang suwung, kekosongan ketika aku belum maujud apa-apa, demikianlah tujuan kematianku kelak”. “Itu matinya manusia tak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidup seperti hewan, hanya makan minum dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati”. Sang prabu berkata,”Aku akan muksa dengan ragaku”. Sabdo Palon tersenyum, ” Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas makan badannya, gemuk kebanyakkan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena mati tetapi tidak meninggalkan jasad. Sang Prabu, ” Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa”. Sabdo Palon berkata, “Akhirat, surga, sudah
paduka bawa kemana-mana, dunia manusia itu sudah menguasai alam kecil dalam besar. Paduka akan pergi ke akhirat mana, nanti tersesat lho ! Bila mau hamba ingatkan jangan sampai paduka mendapatkan kemelaratan seperti pengalidan negara. Jika salah menjawab tentu dihukum, ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa Srenggi. Nusa artinya Manusia, Sreng artinya berat sekali, Enggi artinya kerja. Jadi maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi, Apa tidak celaka ! Paduka jangan sampai pulang akhirat, jangan sampai masuk surga, malah tersesat, banyak binatang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya bekerja dengan paksaan, paduka jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud tidak berbentuk. W ujudnya hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, paduka belum kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Saya tidak tahan dekat apalagi paduka, Kangjeng Nabi musa toh tidak tahan melihat Gusti Allah, maka Allah tidak kelihatan hanya Dzatnya yang meliputi semua mahluk. Paduka bibit ruhani bukan malaikat, manusia raganya berasal dari nutfah menghadap Hyang Lata wal Hujwa, jika sudah lama minta yang baru tidak bolakbalik, itulah hidup-mati. Sang Prabu bertanya, “Dimana Tuhan yang Sejati ?”. Sabdo Palon berkata, “Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya,
paduka wujud sifat suksma, sejatinya tunggal budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak terpisahkan, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tentu tidak akan khilaf kepada kata-kata hamba ini”. “Apa kamu tidak mau masuk agama Islam ?” Sabdo Palon berkata sedih, “Ikut agama lama, kepada agama baru tidak !! Kenapa Paduka berganti agama tidak bertanya hamba ? Apakah Paduka lupa nama hamba Sabdo Palon ! “Bagimana ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak boleh kembali kepada agama Buddha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi dan langit “. “Iya sudah, silakan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan, kata Sabdo Palon kepada Prabu Brawijaya. Sang Prabu mendengar kata-kata Sabdo Palon dalam batin merasa sangat menyesal karena telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha. Lama beliau tidak berkata, kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat kata Putri Cempa, yang mengatakan bahwa agama Islam itu kelak apabila mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir. Sado Palon berkata sambil meludah, ” Sejak jaman kuno,bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara, karena perempuan itu utamanya wadah, tidak berwewenang memulai kehendak”. Sabdo Palon banyak-banyak mencaci kepada Sang Prabu. Sabdo Palon berkata bahwa dirinya
akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan kemana ? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada disitu, hanya menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan padang. Sang Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua berpengetahuan, yaitulah yang akan diasuh Sabdo Palon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang Prabu hendak merangkul Sabdo Palon dan Noyo Genggong, tetapi dua orang tadi kemudian musnah. Sang Prabu menyesal dan meneteskan air matanya, kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga, “Besuk negara Blambangan gantilah dengan nama negara Banyuwangi agar menjadi pertanda kembalinya Sabdi Palon ke Tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun kini Sabdo Palon masih dalam alam gaib. Sejak jaman kuno belum pernah ada kerajaan besar seperti Majapahit hancur dengan disengat tawon serta digerogotin tikus saja, dan bubarkan orang sekerejaan hanya dengan karena disantet demit. Hancurnya Majapahit suaranya menggelegar, terdengar sampai ke negara mana-mana. Kehancurannya tersebut karena diserang oleh anaknya sendiri dibantu yaitu wali delapan atau sunan delapan yang disujudi orang Jawa. Sembilannya Adipati Demak, mereka semua memberontak dengan licik.
Ramalan Sabdo Palon & Noyo Genggong 1. Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara Mojopahit. W aktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya Genggong. 2. Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: “Sabda Palon sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam sekali, sebuah agama suci dan baik.” 3. Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah. 4. Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa. 5. Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.
6. Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widhi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi. 7. Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia. 8. Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya. 9. Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan. 10. Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan. Benar-benar rusak
moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang hari banyak begal. 11. Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa. Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah meninggal dunia. 12. Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya. Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang. 13. Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri. Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya. 14. Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang tertinggal sedikitpun.
15. Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah. Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal dunia. 16. Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segera menghilang sebentar tidak tampak lagi diriya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak. Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah. Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin diubahnya lagi
MITOS SABDO PALON DAN NOYO GENGGONG : INI JAWABANNYA ! Telah banyak bersliweran kabar, informasi, cerita legenda dan hikayat tentang keberadaan abdi dalem Kraton MAJAPAHIT (WILWATIKTA) yang bernama SABDO PALON dan NAYA GENGGONG. Dari yang bersifat sangat halus hingga yang berisi SUMPAH SERAPAH yang bersangkutan di era runtuhnya MAJAPAHIT. Belum lagi terbitnya saduran buku-buku baik berupa ajaran atau ramalan yang mengatas namakan dua abdi ini, tetapi semuanya tidak dapat menunjukkan rujukan asli dari sumber ceritanya. Mengingat seringnya timbul pertanyaan mengenai hal ini di group dan forum W ILWATIKTA (MAJAPAHIT), maka saya berinisiatif untuk menjelaskannya secara tertulis seperti ini agar bila pertanyaan yang sama muncul, rekan-rekan dapat mereferensi jawabannya dari catatan ini. Hal ini didasarkan pada pengalaman pribadi saya, baik ketika menerima ajaran adat maupun ketika saya berkunjung ke beberapa lokasi peninggalan W ILWATIKTA / MAJAPAHIT (di Jawa Timur dan Jawa Tengah). Sesungguhnya penokohan abdi dalem yang bernama SABDO PALON dan NOYO GENGGONG itu adalah nyata dan ada (bukan bersifat ghaib atau klenik). Akan tetapi masyarakat luas
telah tercuci otaknya dengan pola berpikir mistis telah menganggap tokoh ini adalah sejenis mahluk ghaib berjenjang dewata dan mempunyai umur yang abadi. Dan semuanya bertolak belakang dengan penjelasan apa yang saya terima selama ini, hal itu tidak lepas dari kebiasaan saya untuk mendebat (dalam batasan santun) kepada petunjuk leluhur yang saya anggap tidak bisa saya pahami lewat akal pikiran maupun hati nurani. Sehingga para leluhur yang memberi petunjuk berkenan menjelaskan secara lebih terinci guna memberi pemahaman akal dan nurani saya. SABDO PALON dan NOYO GENGGONG belum dikenal dimasa pemerintahan raja pertama SANGRAMA W IJAYA yang berabhiseka SRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA maupun raja kedua DYAH JAYANEGARA yang berabhiseka SRI SUNDARAPANDYADEW A ADHISWARA, di masa itu abdi dalem yang melekat pada keluarga raja adalah Sang SAPU ANGIN dan Sang SAPU JAGAD. Dalam konteks ini nama sesungguhnya dari abdi raja tersebut bukanlah itu, gelar tersebut lebih dekat pada sifat perilaku sang abdi. SAPU JAGAD berkonotasi SAPU = yang membersihkan / yang mengatasi dan JAGAD = masalah-masalah yang bersifat keduniawian, jadi Sang SAPU JAGAD adalah seorang abdi yang piawai dalam ilmu keduniawian dan kanuragan. Sedangkan SAPU ANGIN berkonotasi SAPU = yang
membersihkan / yang mengatasi dan ANGIN = masalah-masalah yang bersifat spiritual / kebathinan, jadi Sang SAPU ANGIN adalah seorang abdi yang piawai dalam hal keagamaan dan spiritual / kebathinan. Begitu abdi ini menduduki jabatan tersebut, maka nama pribadinya akan ditinggalkan dan memakai gelar barunya sebagai SANG SAPU ANGIN dan SANG SAPU JAGAD. Hal ini dapat anda buktikan bila mengunjungi SITIHINGGIL MAJAPAHIT, di belakang posisi raja (SRI KERTARAJASA JAYAWARDHANA dan istri-istrinya) ada bangunan makam SANG SAPU ANGIN dan SANG SAPU JAGAD. Demikian pula lokasi Candi BAJANG RATU tempat abu jenazah SRI SUNDARAPANDYADEW A ADHISWARA (DYAH JAYANEGARA) di kompleks candi juga di temui model makam sejenis. SABDO PALON dan NOYO GENGGONG secara eksplisit baru dikenal pada era pemerintahan raja ke-3 : Prabhu Stri / Rani DYAH TRIBHUWANA W IJAYATUNGGADEWI MAHARAJASA yang berabhiseka SRI TRIBHUW ANATUNGGADEWI MAHARAJASA JAYAW ISNUWARDHANI. Hal ini atas masukan dari Maha Rsi MAUDARA sebagai Mahapatih Dalam Pura, yang merubah karakter sebelumnya menjadi SABDO PALON dan NOYO GENGGONG. Alasannya adalah ketika pemerintahan raja ke-2 banyak terjadi pemberontakan akibat adanya HASUTAN dari orang-orang di dekat raja, sehingga diputuskan untuk membuat
mekanisme steril dan memberi pendampingan berupa tokoh yang mampu memberikan pertimbangan obyektif kepada raja. Sedangkan masalah keamanan raja dan keluarganya diserahkan penuh kepada DHARMAPUTRA dan BHAYANGKARA (semacam paspampres dan pasukan khusus pelindung kotaraja / ibukota). Sama dengan konsep SANG SAPU ANGIN dan SANG SAPU JAGAD, SABDO PALON dan NOYO GENGGONG bukanlah nama asli dari sang abdi tetapi gelar yanf diberikan abdi sesuai karakter tugas yang diembannya. SABDO PALON berkonotasi SABDO = seseorang yang memberikan masukan / ajaran dan PALON = kebenaran yang bergema dalam ruang semesta, jadi SABDO PALON = Seseorang abdi yang berani menyuarakan kebenaran kepada raja dan berani menanggung akibatnya (di murkai raja dll). NAYA GENGGONG berkonotasi NAYA = nayaka atau seseorang abdi raja dan GENGGONG = mengulang-ulang suara, jadi NAYA GENGGONG = Seseorang abdi yang berani mengingatkan raja secara berulang-ulang tentang kebenarandan berani menanggung akibatnya (di murkai raja dll). SABDO PALON bereaksi sebagai abdi yang memberikan pertimbangan sebelum raja mengambil tindakan, sedangkan NAYA GENGGONG adalah abdi yang memberikan teguran apabila raja melakukan kekeliruan dalam berperilaku.
Yang luar biasa dari konsep ini adalah SABDO PALON dan NAYA GENGGONG diambil dari abdi yang BUTA HURUF tetapi mempunyai pemahaman yang mendalam atas tugasnya sebagai pihak yang jadi pertimbangan raja. Alasannya : dengan kondisinya yang buta huruf, akan memperkecil pengaruh dari pihak luar dalam penyampaian pertimbangan ke raja, juga menjadi pertimbangan spiritual bagi raja ..... bahwa ada seseorang biasa (bukan bangsawan) dan buta huruf ptla yang berani menegur raja ..... dan teguran itu membawa suara KEBENARAN, jelas abdi ini adalah mahluk yang mendapat pencerahan dari Tuhan (kata hati sang raja). Maka unsur tertiggi dari dua abdi ini adalah kejujuran, keluguan dan pemahaman yang mendalam atas HUKUM KEBENARAN SEMESTA. Itulah kepangkatan abdi dalem yang terdekat dengan Raja WILWATIKTA (Majapahit) : SABDO PALON dan NAYA GENGGONG. SABDO PALON dan NAYA GENGGONG yang pertama kali ada adalah di era kepemimpinan SRI TRIBHUWANATUNGGADEW I MAHARAJASA JAYAW ISNUWARDHANI. Bisa dibuktikan di petilasan beliau di desa Panggih - Trowulan, disana selain petilasan Maha Rsi MAUDARA juga akan anda temukan petilasan (sekarang dibentuk model makam) dari dua abdi kinasih : SABDO PALON dan NAYA GENGGONG ini. Karena ini konsep
struktural kenegaraan di era itu, hal yang sama juga di warisi oleh raja-raja berikutnya di Majapahit, itulah sebabnya banyak sekali tersebar petilasan yang berkonotasi SABDO PALON dan NAYA GENGGONG. Karena sejumlah beberapa era raja di Majapahit, sebanyak itu pula SABDO PALON dan NAYA GENGGONG ada. Bila didekati secara spiritual, ada pertanyaan : Bisa tidak diasumsikan bahwa SABDO PALON dan NAYA GENGGONG adalah mahluk superior pilihan Tuhan guna menjadi pangemban Raja Majapahit ??? Jawabannya adalah BISA DIANGGAP DEMIKIAN, alasannya : JUJUR, MEMAHAMI HUKUM SEMESTA, TEGUH MENYUARAKAN KEBENARAN, PANDAI WALAUPUN BUTA HURUF, BERASAL DARI RAKYAT KEBANYAKAN, TIDAK SILAU HARTA BENDA MAUPUN JABATAN MESKIPUN DEKAT PENGAMBIL KEPUTUSAN ..... jelas hanya mahluk pilihan yang mampu menduduki derajat ini. Tapi kalau didekati secara MISTIS, bahwa SABDO PALON dan NAYA GENGGONG adalah tokoh sekaliber SEMAR atau Kanjeng Gusti Ratu Ayu KENCANASARI ...... Jawaban saya TIDAK seperti itu kedudukannya dalam tata krama keghaiban ..... malah bisa-bisa orang yang mendapat pangkat SABDO PALON dan NAYA GENGGONG itu bisa disusupi kekuatan spiritual SEMAR atau Kanjeng Gusti Ratu Ayu KENCANASARI.
Sekarang saya akan membicarakan hal yang sedikit rumit, khususnya era keruntuhan Majapahit pada masa pemerintahan : SRI GIRINDRAW ARDHANA. Dibanyak buku yang beredar pada saat ini, tergambar seakan-akan SABDO PALON dan NAYA GENGGONG ketika berpisah / memisahkan diri dengan momongannya / sang Raja mengeluarkan SUMPAH SERAPAH, yang kemudian dikenal luas oleh masyarakat sebagai : Buku SABDO PALON dan NAYA GENGGONG NAGIH JANJI dan dikenal pula sebagai JANGKA SABDO PALON dan NAYA GENGGONG. Saya telah berupaya secara tata lahir maupun tata bathin mencari benang merah karya tulis tersebut dengan kenyataan yang ada. Tetapi berkali-kali mengalami jalan buntu guna menemukan referensi nyatanya, malah cenderung mengarah bahwa karya tersebut dilahirkan di era MATARAM ISLAM oleh salah satu pujangga kratonnya. Yang agak unik ternyata banyak terjadi kemiripan dengan kasus pustaka raja JANGKA SRI AJI JAYABAYA yang muncul ditengah masyarakat tidak dalam bentuk penuh (cuplikan) yang disadur dalam judul JANGKA JAYABAYA MUSSASAR dan beberapa lagi yang menggunakan nama Islam dibelakangnya, padahal kita semua tahu sang Prabhu beragama Hindu-Budha. Dan lagi-lagi mengarah ke pujangga MATARAM ISLAM yang melakukan pensadurannya.
Lepas dari apa yang menjadi motivasinya (apakah bernilai positif ataukah negatif bagi ketokohan SABDO PALON dan NAYA GENGGONG), saya merasa ini karya tulis sadur dari JANGKA JAYABAYA yang dikombinasikan dengan perasaan terluka sebagian masyarakat Jawa atas pertikaian ISLAM dan HINDU yang terjadi saat itu. Mari saya tunjukkan LOGIKA nya, SABDO PALON dan NAYA GENGGONG adalah abdi yang dibuat oleh sistem pemerintahan dengan mengutamakan asas kejujuran dan nilai kebenaran semesta guna mendampingi seorang Raja Majapahit. Dimana di dalam wisudanya mereka berjanji akan senantiasa JUJUR dan TEGUH MENYUARAKAN KEBENARAN BAGI RAJA, DAN AKAN MENGABDI SEUMUR HIDUPNYA GUNA KEJAYAAN NUSANTARA. Maka ketika kejadian mereka menegur raja dengan KERAS atas hal-hal yang dianggap melanggar pranata ..... saya masih bisa terima secara logika, tetapi ketika mereka menyumpah serapah semesta raya yang dapat menimbulkan bencana bagi nusantara ..... nah yang ini saya tidak sependapat / tidak bisa saya terima secara logika. Karena jatidiri mereka telah lebih dari sekedar siap untuk berkorban demi sang raja dan nusantara raya, terus kenapa menghancurkannya dengan sumpah atas perjuangan yang mereka bangun dan pengorbanan para SABDO PALON dan NAYA GENGGONG sebelumnya ???
Disinilah saya mengajak anda semua untuk berpikir panjang dan ber-bersih hati guna memahami kebenaran yang sejati. Ketika diceritakan SABDO PALON dan NAYA GENGGONG mengambil jalannya sendiri dan berpisah dengan raja ..... ini juga hal yang tidak cocok dengan konteks sumpah jabatannya. Setelah mengalami proses perenungan dan mengunjungi lokasi petilasan yang ada khususnya di lereng GUNUNG LAWU, SAYA SECARA PRIBADI MEMPUNYAI PENDAPAT, BAHWA SABDO PALON dan NAYA GENGGONG TIDAK PERNAH BERPISAH DENGAN SRI GIRINDRAW ARDHANA HINGGA AKHIR HAYATNYA. Banyak jejak kebersamaan para beliau dalam pengungsian di tlatah kekuasaan BHRE MATARAM (sepupu sepuh sang raja), dari PENGGING, PANTAI DI PESISIR SELATAN GUNUNG KIDUL, WONOGIRI, LERENG LAWU dan PUNCAK LAWU. Justru pertimbangan dari SABDO PALON dan NAYA GENGGONG lah yang menurut saya mampu menenangkan sang Raja dari gundahnya pikiran, dan memutuskan menjadi Panembahan di Gunung Lawu. SABDO PALON dan NAYA GENGGONG juga yang membimbing proses pelepasan ego raja dan mensucikannya menjadi pertapa di sepanjang lereng hingga puncak Lawu. Kedua tokoh ini justru menjadi kunci bagi sang Raja mencapai pemahaman tertingginya atas kebenaran semesta yang diwedhar di Candi SUKUH dan Candi CETHO, sehingga ketika pencerahan itu terjadi ...... dua abdi ini yang pertama kali
menyembah kepada SRI GIRINDRAWARDHANA dengan memanggilnya sebagai PANEMBAHAN AGUNG. (ada baiknya bagi anda yang juga pelaku spiritual untuk menjejaki kembali / napak tilas perjalanan tersebut ..... setelah itu simpulkan sendiri, apakah saat itu SABDO PALON dan NAYA GENGGONG berpisah ataukah masih tetap bersama-sama dengan momongannya)
MAJAPAHIT, KERAJAAN HINDU ATAU ISLAM? LIHAT FAKTANYA! Jika kita mendengar kata sejarah, tentunya ingat pelajaran SMP atau SMA zaman kita sekolah yang bikin kita ngantuk.. Tapi jangan beranjak dulu, dibawah ini ada sejarah unik dan ganjil yang merupakan salah satu peninggalan sejarah terbesar Indonesia. Kerajaan Majapahit namanya, sejarah dan Fakta unik apakah itu? Yuk kita telaah sama-sama: Seorang sejarawan pernah berujar bahwa sejarah itu adalah versi atau sudut pandang orang yang membuatnya. Versi ini sangat tergantung dengan niat atau motivasisi pembuatnya. Barangkali ini pula yang terjadi dengan Majapahit, sebuah kerajaan maha besar masa lampau yang pernah ada di negara yang kini disebut Indonesia. Kekuasaannya membentang luas hingga mencakup sebagian besar negara yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara. Namun demikian, ada sesuatu yang ‘terasa aneh’ menyangkut kerajaan yang puing-puing peninggalan kebesaran masa lalunya masih dapat ditemukan di kawasan Trowulan – Mojokerto ini.
Sejak memasuki Sekolah Dasar, kita sudah disuguhi pemahaman bahwa Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu terbesar yang pernah ada dalam sejarah masa lalu kepulauan Nusantra yang kini dkenal Indonesia. Inilah sesuatu yang terasa aneh tersebut. Pemahaman sejarah tersebut seakan melupakan beragam bukti arkeologis, sosiologis dan antropologis yang berkaitan dengan Majapahit yang jika dicerna dan dipahami secara ‘jujur ’ akan mengungkapkan fakta yang mengejutkan tentang Majapahit sekaligus juga mematahkan pemahaman yang sudah berkembang selama ini dalam khazanah sejarah masyarakat Nusantara. ‘Kegelisahan ’ semacam inilah yang mungkin memotivasi Tim Kajian Kesultanan Majapahit dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta untuk melakukan kajian ulang terhadap sejarah Majapahit. Setelah sekian lama berkutat dengan beragam fakta – data arkeologis, sosiologis dan antropolis, maka Tim kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku awal berjudul ‘Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi ’. Buku ini hingga saat ini masih diterbitkan terbatas, terutama menyongsong Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Sejarah Majapahit yang dikenal selama ini di kalangan masyarakat adalah sejarah yang
disesuaikan untuk kepentingan penjajah (Belanda) yang ingin terus bercokol di kepulauan Nusantara. Akibatnya, sejarah masa lampau yang berkaitan dengan kawasan ini dibuat untuk kepentingan tersebut. Hal ini dapat pula dianalogikan dengan sejarah mengenai PKI. Sejarah berkaitan dengan partai komunis ini yang dibuat dimasa Orde Baru tentu berbeda dengan sejarah PKI yang dibuat di era Orde Lama dan bahkan era reformasi saat ini. Hal ini karena berkaitan dengan kepentingan masing-masing dalam membuat sejarah tersebut. Dalam konteks Majapahit, Belanda berkepentingan untuk menguasai Nusantara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Untuk itu, diciptakanlah pemahaman bahwa Majapahit yang menjadi kebanggaan masyarakat Indonesia adalah kerajaan Hindu dan Islam masuk ke Nusantara belakangan dengan mendobrak tatanan yang sudah berkembang dan ada dalam masyarakat. Apa yang diungkapkan oleh buku ini tentu memiliki bukti berupa fakta dan data yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan. Beberapa fakta dan data yang menguatkan kdyakinan bahwa kerajaan Majpahit sesungguhnya adalah kerajaan Islam atau Kesultanan Majapahit adalah sebagai berikut:
1. Ditemukan atau adanya koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’ Koin semacam ini dapat ditemukan dalam Museum Majapahit di kawasan Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Koin adalah alat pembayaran resmi yang berlaku di sebuah wilayah kerajaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sangat tidak mungkin sebuah kerajaan Hindu memiliki alat pembayaran resmi berupa koin emas bertuliskan kata-kata Tauhid. 2. Pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam sistem W ali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah Qadhi atau hakim agama Islam kerajaan Majapahit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Agama Islam adalah agama resmi yang dianut oleh Majapahit karena memiliki Qadhi yang dalam sebuah kerajaan berperan sebagai hakim agama dan penasehat bidang agama bagi sebuah kesultanan atau kerajaan Islam. 3. Pada lambang Majapahit yang berupa delapan sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat. Kata-kata yang
beraksara Arab ini terdapat di antara sinar-sinar matahari yang ada pada lambang Majapahit ini. Untuk lebih mendekatkan pemahaman mengenai lambang Majapahit ini, maka dapat dilihat pada logo Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, atau dapat pula dilihat pada logo yang digunakan Muhammadiyah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Majapahit sesungguhnya adalah Kerajaan Islam atau Kesultanan Islam karena menggunakan logo resmi yang memakai simbol-simbol Islam. 4. Pendiri Majapahit, Raden W ijaya, adalah seorang muslim. Hal ini karena Raden Wijaya merupakan cucu dari Raja Sunda, Prabu Guru Dharmasiksa yang sekaligus juga ulama Islam Pasundan yang mengajarkan hidup prihatin layaknya ajaran-ajaran sufi, sedangkan neneknya adalah seorang muslimah, keturunan dari penguasa Sriwijaya. Meskipun bergelar Kertarajasa Jayawardhana yang sangat bernuasa Hindu karena menggunakan bahasa Sanskerta, tetapi bukan lantas menjadi justifikasi bahwa beliau adalah seorang penganut Hindu. Bahasa Sanskerta di masa lalu lazim digunakan untuk memberi penghormatan yang tinggi kepada seseorang, apalagi seorang raja. Gelar seperti inipun hingga saat ini masih digunakan oleh para raja muslim Jawa, seperti Hamengku Buwono dan Paku Alam Yogyakarta serta Paku Buwono di Solo. Di samping itu,
Gajah Mada yang menjadi Patih Majapahit yang sangat terkenal terutama karena Sumpah Palapanya ternyata adalah seorang muslim. Hal ini karena nama aslinya adalah Gaj Ahmada, seorang ulama Islam yang mengabdikan kemampuannya dengan menjadi Patih di Kerajaan Majapahit. Hanya saja, untuk lebih memudahkan penyebutan yang biasanya berlaku dalam masyarakat Jawa, maka digunakan Gajahmada saja. Dengan demikian, penulisan Gajah Mada yang benar adalah Gajahmada dan bukan ‘Gajah Mada’. Pada nisan makam Gajahmada di Mojokerto pun terdapat tulisan ‘LaIlaha Illallah Muhammad Rasulullah’ yang menunjukkan bahwa Patih yang biasa dikenal masyarakat sebagai Syeikh Mada setelah pengunduran dirinya sebagai Patih Majapatih ini adalah seorang muslim. 5. Jika fakta-fakta di atas masih berkaitan dengan internal Majapahit, maka fakta-fakta berikut berhubungan dengan sejarah dunia secara global. Sebagaimana diketahui bahwa 1253M, tentara Mongol dibawah pimpinan Hulagu Khan menyerbu Baghdad. Akibatnya, Timur Tengah berada dalam situasi yang berkecamuk dan terjebak dalam kondisi konflik yang tidak menentu. Dampak selanjutnya adalah terjadinya perpindahan besar- besaran kaum muslim dari TimurTengah, terutama para
keturunan Nabi yang biasa dikenal dengan‘Allawiyah. Kelompok ini sebagian besar menuju kawasan Nuswantara(Nusantara) yang memang dikenal memiliki tempat-tempat yang eksotis dan kaya dengan sumberdaya alam dan kemudian menetap dan beranak pinak di tempat ini. Dari keturunan pada pendatang inilah sebagian besar penguasa beragam kerajaan Nusantara berasal, tanpa terkecuali Majapahit. Inilah beberapa bukti dari fakta dan data yang mengungkapkan bahwa sesungguhnya Majapahit adalah Kesultanan Islam yang berkuasa di sebagian besar kawasan yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara ini. Sekali lagi terbukti bahwa sejarah itu adalah versi, tergantung untuk apa sejarah itu dibuat dan tentunya terkandung di dalamnya beragam kepentingan. Bisa saja sejarah lahirnya Si Ucok kronologisnya begini menurut saya dengan sudut pandang saya sendiri tentunya, namun akan lain halnya menurut orang lain dengan sudut pandangnya sendiri. Kalau begitu sejarah bisa dimanipulasi dong? jujur, bisa saya katakan ‘iya’.
MAJAPAHIT ADALAH (BUKAN) KESULTANAN ISLAM Melihat tulisan di sini, di sini, di sini, dan di situs-situs lain, termasuk dalam forum forum-forum internet, menjadi motif saya untuk menulis tulisan ini sebagai sikap saya atas inti tulisan tersebut yang menyatakan bahwa Majapahit merupakan kerajaan Islam di Indonesia yang bernama Kesultanan Majapahit. Saya akan mengulas hal-hal yang dijadikan dasar oleh pihak yang menyatakan Majapahit merupakan kerajaan Islam. Pertama, mengenai ditemukan atau adanya koin-koin emas Majapahit yang bertuliskan kata-kata ‘La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah’ Koin Dengan Lafaz Kalimat Tauhid Ulasan saya: Pada tahun 2009, Tim Evaluasi Neo Pusat Informasi Majapahit (Neo PIM) menemukan peninggalan-peninggalan kerajaan Majapahit di situs Trowulan yang salah satunya adalah ribuan mata uang kuno dari Tiongkok. Mata uang tersebut bertuliskan huruf Tiongkok, dan jumlahnya sekitar 60 ribu keping.
Apakah ini menandakan bahwa Majapahit adalah kerajaan yang beragama Konghucu, Taoisme, atau agama apapun yang berasal dari Tiongkok? Atau, apakah Majapahit merupakan kerajaan bawahan (vassal) dari Kekaisaran Tiongkok? Tentu saja bukan. Peninggalan berupa uang koin Tiongkok yang ditemukan di wilayah kerajaan Majapahit pertanda adanya hubungan dagang dengan negeri Tiongkok. Para pedagang dari Tiongkok kerap membawa mata uang negerinya yang terbuat dari emas, perak atau perunggu untuk dibawa ke Majapahit. Hal ini wajar saja mengingat pada zaman tersebut emas, perak, atau perunggu merupakan alat pembayaran yang lazim digunakan dimana saja. Yang membedakan nilainya adalah berat dari emas/perak itu sendiri. Majapahit sendiri mengeluarkan uang lokal yang disebut dengan Gobog. Koin Tiongkok Pada Zaman Majapahit Penemuan koin emas yang bertuliskan kalimat tauhid dengan huruf Arab pun menandakan para pedagang dari Timur Tengah telah menjalin hubungan dagang dengan para pedagang nusantara, khususnya Majapahit. Terlalu tergesa-gesa bila menyimpulkan Majapahit adalah Kerajaan Islam karena
ditemukannya koin emas berlafazkan “La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah”. Penduduk lokal Majapahit mungkin sudah ada yang memeluk Islam yang disebarkan para pedagang/ulama yang datang dari Timur Tengah, tapi tidak dapat disimpulkan bahwa kerajaan Majapahit adalah kerajaan/kesultanan Islam. Kedua, mengenai penemuan pada batu nisan Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang selama ini dikenal sebagai Wali pertama dalam sistem W ali Songo yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa terdapat tulisan yang menyatakan bahwa beliau adalah hakim agama Islam kerajaan Majapahit. Ulasan saya: Pada nisan makam Syeikh Maulana Malik Ibrahim atau Syeikh Maghribi atau Sunan Gresik, terdapat inskripsi yaitu surat alBaqarah ayat 225 (ayat Kursi), surat Ali Imran ayat 185, surat alRahman ayat 26-27, dan surat al-Taubah ayat 21-22 serta tulisan dalam bahasa Arab yang artinya: Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Menteri, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa
dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya(dalam terjemahan lain disebut: terkenal dengan Kakek Bantal-red). Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridhaNya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah. Tidak ada dalam inskripsi tersebut yang menyatakan bahwa beliau adalah hakim agama Islam di kerajaan Majapahit. Terjemahan Sultan dan Menteri dalam inskripsi tersebut menurut Macchi Suhadi yang mengacu pada pendapat Usman bin Yatim bin Abdul Halim Nasir ditujukan untuk Sultan Samudera Pasai, karena menurutnya nisan Maulana Malik Ibrahim berasal dari Pasai karena memiliki kemiripan dengan nisan makam sultansultan dari Samudera Pasai. Tjandrasasmita (1983:283) malah berpendapat bahwa kuat dugaan bahwa sultan dan menteri yang berduka dengan meninggalnya Maulana Malik Ibrahim itu berasal dari Gujarat dan Samudera pasai, yang mengirimkan jirat dan nisan beserta pertulisannya tersebut, sebagai tanda hormat kepadanya. Kalau memang perkataan Sultan dan Menteri itu merujuk kepada Majapahit, mengapa di peninggalan Majapahit seperti di candicandi, tidak menggunakan huruf Arab? Batu nisan yang ada di makam Maulana Malik Ibrahim jelas dibuat oleh orang/pihak yang mengenal beliau. Yang jelas,
inskripsi tersebut menceritakan bahwa yang dimakamkan bukanlah orang sembarangan. Maulana Malik Ibrahim selain dikenal sebagai ulama, beliau juga terkenal sebagai pedagang, dan ahli pengobatan. Kalau memang ada para bangsawan/raja Majapahit yang mengenal beliau, atau bahkan menganut agama Islam karena beliau, bukan berarti menandakan bahwa kerajaan Majapahit merupakan Kerajaan Islam. Lebih-lebih bila tulisan dalam nisan Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai bukti bahwa beliau adalah menteri dari Majapahit. Pertanyaan saya adalah, kalau Maulana Malik Ibrahim memang benar seorang menteri di Majapahit, terus kenapa? Kita bandingkan dengan negeri Tiongkok. Mengapa tidak ada yang menarik kesimpulan yang menyatakan bahwa kekaisaran Tiongkok pada masa lalu adalah negara Islam? Padahal kekaisaran Tiongkok memiliki Laksamana Cheng Ho, seorang muslim asli Tiongkok, pemimpin armada laut dalam ekspedisi pelayaran Tiongkok, juga merupakan kasim di negeri itu. Ketiga, perihal lambang Majapahit yang berupa delapan sinar matahari terdapat beberapa tulisan Arab, yaitu shifat, asma, ma’rifat, Adam, Muhammad, Allah, tauhid dan dzat. Ulasan saya:
Dibawah ini adalah gambar yang dianggap bukti bahwa pada lambang Majapahit terdapat tulisan Arab:
Bandingkan dengan gambar yang ini yang juga gambar lambang Majapahit:
Pada gambar pertama, seolah-olah huruf arab tersebut merupakan huruf yang benar-benar tercetak pada artefak Surya Majapahit. Menurut saya, huruf Arab yang diberi penekanan pada gambar tersebut tidak lebih merupakan persepsi yang dipaksakan oleh pihak yang menganggap Majapahit merupakan kerajaan Islam. Hal ini tidak dapat diterima begitu saja sebagai bukti bahwa Majapahit merupakan kerajaan Islam. Ini seperti foto tentang misteri monster danau Loch Ness. Foto di samping ada yang menganggap sebagai foto penampakan makhluk misterius yang ada di danau Loch Ness, dan ada yang menganggap sebagai foto biasa yang menganggap hal itu mungkin saja batu atau kayu yang ada di danau tersebut. Akibat foto ini, sudah banyak uang yang dikeluarkan untuk ekspedisi mengungkap misteri makhluk misterius danau Loch Ness karena meyakini kalau foto tersebut benar-benar
merupakan penampakan dari monster yang ada di danau tersebut. Tetapi… Pada tahun 1994, misteri tentang foto tersebut terungkap. Foto tersebut adalah rekayasa. Foto itu adalah foto mainan kapal selam yang di atasnya ditempel mainan ular naga laut (bentuk leher memanjang). Selama 60 tahun foto tersebut dipercaya sebagai bukti keberadaan monster danau Loch Ness. Keempat, pendapat yang menyatakan pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah seorang muslim. Hal ini karena Raden W ijaya merupakan cucu dari Raja Sunda, Prabu Guru Dharmasiksa yang sekaligus juga ulama Islam Pasundan. Ulasan saya: Saya sungguh tidak tahu atas dasar apa ada pendapat yang menyatakan bahwa pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah seorang muslim dan Prabu Guru Dharmasiksa adalah seorang ulama Islam. Hingga kini, saya belum menemukan sumber otentik, bahkan cerita rakyat sekalipun yang menyatakan Raden Wijaya serta Prabu Guru Dharmasiksa adalah seseorang yang menganut agama Islam.
Lepas dari itu, Raden Wijaya dipercaya merupakan anak dari Dyah Lembu Tal. Beberapa sumber memiliki redaksi yang berbeda tentang Dyah Lembu Tal, yaitu: a. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, Lembu Tal atau Dyah Singamurti adalah putri dari Mahisa Campaka, putra Mahisa W onga Teleng, putra Ken Arok, pendiri Kerajaan Singhasari. Lembu Tal menikah dengan Rakeyan Jayadarma, putra Prabu Guru Darmasiksa raja Kerajaan Sunda-Galuh yang memerintah tahun 1175-1297. Dari perkawinan itu lahir Raden Wijaya. b. Menurut Negarakertagama, Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki, anak dari Narasinghamurti. Keterangan dalam Negarakertagama diperkuat oleh prasasti Balawi yang diterbitkan oleh Raden Wijaya sendiri pada tahun 1305 M. Dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku sebagai anggota asli Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang menurut Pararaton didirikan oleh Ken Arok, penguasa pertama Kerajaan Singhasari. Jadi, keterangan tentang Raden Wijaya yang merupakan cucu dari Dharmasiksa sendiri masih perlu diteliti. Mungkin saja Raden Wijaya memang cucu Dharmasiksa seperti yang tercantum dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara. Raden Wijaya dibawa
pergi oleh Lembu Tal dari Sunda dan akhirnya menetap kembali di Singasari. Untuk meyakinkan legitimasinya di Majapahit, Raden Wijaya menggunakan silsilah yang ia buat dari garis keturunan Singasari. Sebagaimana raja-raja Mataram Islam yang menggunakan silsilah hingga ke Nabi Adam untuk memperkuat legitimasinya. Atau malah, Raden Wijaya sama sekali tidak memiliki darah Sunda? Ini merupakan kajian yang masih harus diteliti kebenarannya. Adapun Prabu Guru Dharmasiksa sendiri memang terkenal akan ajarannya yaitu Amanat Galunggung yang intinya merupakan amanat yang bersifat pegangan hidup, amanat tentang perilaku negatif, dan amanat tentang perilaku positif. Tidak ada redaksional yang mengarah kepada kesimpulan bahwa Dharmasiksa adalah seorang muslim. Amanat Galunggung sendiri dipercaya merupakan khazanah lokal budaya Sunda yang berasal dari agama Sunda Wiwitan (agama Sunda Kuno). Mengenai Gajah Mada sendiri, ada yang mengatakan kalau itu adalah gelar. Pada masa itu, memang lazim digunakan namanama hewan sebagai gelar seperti Prabu Gajah Agung, Lembu Agung, Lembu Tal, Gajah Kulon, Kebo Anabrang, dan lain-lain. Belum dapat dipastikan apakah Gajah Mada benar-benar nama asli atau bukan. Hanya saja, kesimpulan bahwa Gajah Mada adalah Gaj Ahmada sungguh sangat lucu. Apakah arti Gaj itu?
Lalu, mengapa dengan mudahnya memenggal nama Gajah Mada menjadi Gaj Ahmada? Mengapa tidak Ga Jahmada, Gajahma Da? Atau G.Ajah Mada? Adapun mengenai gelar pada Raden Wijaya yang bukan justifikasi bahwa dia adalah seorang Hindu, masih bisa saya terima. Tapi, bila harus membandingkan Kertarajasa Jayawardhana (gelar Raden Wijaya) dengan Sultan Hamengkubuwono, itu jelas berbeda. Bisa saja seorang muslim memakai gelar dengan Bahasa Sanskerta seperti Kertarajasa Jayawardhana, tetapi tidak bagi non muslim yang menggunakan gelar Sultan. Sultan adalah gelar identitas kekuasaan dan keagamaan, sama seperti Paus pada agama Katholik dan Tahta Suci Vatikan. Kesultanan merupakan bentuk pemerintahan khas Islam, seperti pada Banten, Aceh, Ternate, dan yang lainnya. Pada masa sekarang, mungkin seperti Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Brunei Darussalam contohnya. Bila sang Sultan sudah tidak Islam, maka Kesultanan pun berubah menjadi, Kekaisaran Brunei, atau Republik Ngayogyakarto. Untuk menjelaskan bahwa Sultan adalah suatu gelar identitas, saya ajukan pertanyaan sederhana.
Sultan Henry XIV dengan Paus Yazid III. Menurut anda, manakah di antara mereka yang seorang muslim? Kelima, tentang keturunan Arab yang banyak menjadi penguasa di Nusantara. Ulasan saya: Memang ada kerajaan di Nusantara yang didirikan oleh seorang keturunan Arab Islam, contohnya adalah Kesultanan Perlak di Aceh (840-1292). Tetapi, saya bertanya singkat saja: Siapakah pendiri Majapahit? Sudah tentu Raden Wijaya yang berasal dari Nusantara sendiri (kalau tidak Jawa, ya Sunda. Lihat ulasan keempat di atas). Di luar kelima hal yang dianggap sebagai bukti di atas, ada yang berpendapat seperti ini: “jika Majapahit adalah kerajaan besar yang beragam Buddha atau Hindu, harusnya sampai saat ini agama terbesar di nusantara ini tentunya Buddha dan Hindu. karena yang namanya keyakinan itu pasti mengakar kuat. Tapi kenyataannya agama terbesar sampai saat ini dari sejak nusantara sampai sekarang adalah Islam. Ini pararel dengan kenyataan bahwa Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama yang masih eksis berdiri sampai sekarang walapun sudah 60 tahun. dan itu baru organisasi, bukan sebuah
kerajaan besar. Apalagi tentunya jika dibandingkan dengan kerajaan sebesar Majapahit. tentunya itu akan mewarisi ideologi/agama yang kuat. kenapa tidak Buddha atau Hindu yang besar? Melainkan Islam?” Menurut saya pendapat di atas menafikan fakta sejarah yaitu munculnya kerajaan-kerajaan Islam di seluruh Indonesia, dari Aceh hingga Maluku, baik sezaman dengan Majapahit, maupun setelah Majapahit runtuh. Tentu hal ini, berpengaruh pada cepatnya penyebaran Islam di Indonesia. Perlu diketahui, saat Majapahit runtuh, tidak ada kerajaan non-Islam (Hindu-Buddha) di Indonesia yang pengaruhnya sebesar atau melebihi Majapahit. Kita ambil contoh negara India. Sebelum Republik India resmi berdiri, India pernah berada dalam pemerintahan Mughal, suatu pemerintahan Islam dari abad 16 hingga 19. Peninggalannya yang terkenal adalah Taj Mahal, bangunan bercorak Islam yang menjadi kebanggaan masyarakat India. Tapi kini, nyatanya India adalah negara dengan populasi Hindu terbanyak di dunia. Menurut saya, pendapat yang menyatakan bahwa Islam berkembang sejak zaman Majapahit itu mungkin saja benar, tetapi kesimpulan bahwa Majapahit merupakan Kesultanan Islam adalah kesimpulan yang terburu-buru dan perlu diteliti lagi kebenarannya
Arkeolog dan ahli naskah tanggapi klaim Majapahit sebagai kerajaan Islam Sebuah hasil kajian yang menyimpulkan Kerajaan Majapahit merupakan Kesultanan Islam dipertanyakan oleh arkeolog senior
dan
ahli
naskah
kuno,
karena
dianggap
tidak
berdasarkan bukti-bukti yang kuat. Mereka kemudian mengusulkan agar kajian itu dibahas bersama para ahli di bidangnya sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya. Hasil kajian sebenarnya sudah dibukukan dengan judul Majapahit, Kerajaan Islam: Fakta Mengejutkan, pada 2010 lalu namun belakangan kembali menjadi sorotan di media sosial setelah seseorang mengutip keterangan dari buku tersebut. Secara garis besar, kutipan itu menyebutkan bahwa Majapahit merupakan Kesultanan Islam dan Maha Patih kerajaan itu, Gadjah Mada, memiliki nama asli Gaj Ahmada dan beragama Islam. Namun arkeolog senior Mundardjito -yang pernah melakukan penelitian di situs peninggalan Kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur- mengatakan klaim itu tidak memiliki bukti-bukti ilmiah yang kuat.
"Kok semuanya jadi di-Islam-Islamkan. Padahal, candi-candinya, reliefnya, semuanya enggak (Islam)," kata Mundardjito kepada BBC Indonesia, Minggu (18/06) sore. Menurutnya, secara stastitik, jumlah cagar budaya yang berupa bangunan dan arca -yang tersebar luas di kawasan yang diyakini merupakan peninggalan kerajaan Majapahit- semuanya bersifat Hindu-Buddha. "Benda-benda tidak bergerak itu tersebar sampai ke daerah Malang dan sebagainya, dan bangunannya jumlahnya ratusan, dan bentuknya bukan masjid, tapi (bersifat) Hindu-Buddha," jelas Mundardjito. Adanya benda-benda cagar budaya itu, lanjutnya, merupakan bukti yang tidak bisa dibantah. Sebaliknya, bukti-bukti tulisan atau cerita lisan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. "Kalau benda itu wujudnya ada, itu 'kan bukti. Tapi kalau, misalnya, (tulisan) di koran, itu 'kan tertulis. Dan itu bisa saja dipakai untuk analisa untuk kepentingan macam-macam," katanya lebih lanjut. Mundardjito juga mengkritik klaim penulis buku tersebut yang -antara lain- mendasarkan kesimpulannya berdasarkan temuan koin Majapahit bertuliskan La Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah.
"Mata uang yang Islam itu cuma kecil, dan itu (benda) bergerak. Bisa dibawa siapa saja. Mata uang Cina juga banyak (ditemukan di situs Trowulan), ribuan jumlahnya," katanya. Mundardjito mengakui memang ada temuan makam-makam Islam di beberapa tempat di situs Trowulan, tetapi tidak berarti kerajaan Majapahit adalah Kesultanan Islam, seperti diklaim penulis buku tersebut. "Makam-makam itu memang makam Islam, tetapi jumlahnya tidak banyak dan baru muncul setelah tahun-tahun berikutnya," jelasnya. Karena itulah, demikian Mundardjito, temuan sejarah baru harus memiliki
bukti
yang
sahih,
relevan,
serta
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Apa tanggapan penulis buku? Hari Minggu (18/06), BBC Indonesia telah menghubungi penulis buku
tersebut,
Herman
Sinung
Janutama,
melalui
laman
Facebooknya, tetapi belum ditanggapi. Buku Majapahit, Kerajaan Islam: Fakta Mengejutkan (2010) disusun dan diterbitkan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah, Kota Yogyakarta. Namun demikian, dalam wawancara dengan Tirto.id (Minggu, 18/06), Herman secara garis besar mengatakan bahwa kesimpulan Majapahit adalah Kerajaan Islam didasarkan riset pada cerita lisan dan rujukan pada manuskrip kuno.
"Bagi orang Jawa yang masih menjalankan tradisi, Majapahit tidak pernah bukan Islam," katanya kepada Tirto.id. Dia juga menyebut bahwa bukunya didasarkan kritik metodologi terhadap studi sejarah mainstream atau arus utama, yaitu dengan merambah manuskrip yang jarang menjadi referensi kajian soal Majapahit. Herman kemudian mengaku dirinya menerapkan cara pandang berbeda dari para filolog dan sejarawan modern dalam pembacaan manuskrip Jawa. Tentang sosok Gadjah Mada, Herman mengklaim bahwa sang Maha Patih Majapahit adalah penganut Islam, dengan berdasarkan catatan silsilahnya. Namun demikian, dalam komentarnya yang dikutip laman Facebook milik Wakil Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta, Ashad Kusuma Djaya, sang penulis mengaku dirinya tidak pernah menyebut Gadjah Mada dengan sebutan Gaj Ahmada. Kepada Tirto.id, Ketua Tim Kajian Kesultanan Majapahit, Ryanto Tri Nugroho, juga mengatakan pihaknya mengklaim memiliki dasar kuat walau metode riset dan kesimpulannya berkebalikan dengan studi sejarah dan antropologi mainstream.
Kritikan dari ahli naskah kuno Dihubungi secara terpisah, ahli filologi atau naskah kuno dari Universitas Gadjah Mada, Irawan Djoko Nugroho, mengatakan sejak awal mengkritik kehadiran buku karya Herman Sinung Janutama tersebut. Irawan menyebut bahwa Herman menggunakan data Jawa baru untuk melihat sejarah Jawa kuno. "Kalau
data
Jawa
kuno,
kita
orientasinya
ke
sumber Pararaton, Negara Kertagama, kemudian prasasti-prasasti. Nah, ketiga data tersebut menunjukkan bahwa Majapahit itu Hindu, bukan Islam," kata Irawan kepada BBC Indonesia. Dia menduga, Herman menggunakan data dan sumber baru yang disebutnya tidak merujuk kepada data-data yang lama. "Dalam kajian filologi, teks baru tidak dapat merevisi teks lama. Namun teks lama dapat merevisi teks baru, karena dimungkinkan dalam teks baru timbul penambahan-pemabhana dari para penyalin," papar Irawan. Irawan -penulis buku Majapahit Peradaban Maritim - juga menganggap Herman Sinung tidak menggunakan data sejarah resmi, yaitu yang sudah diakui oleh standar penulisan sejarah di Indonesia. "Penulisan sejarah di Indonesia standarnya kan, pertama, data-data prasasti, kemudian data-data kakawin, data-data sejarah pendukung
lainnya, kemudian didukung data-data dari Cina, kemudian data-data dari Arab," jelasnya. Semua data itu, lanjutnya, menyebut bahwa Majapahit bukanlah kerajaan Islam. "Bahkan, data dari Arab sendiri menyatakan ketika orang Arab datang ke Majapahit, itu mengatakan bahwa Raja Majapahit masih orang kafir. Jadi bukan Muslim," tambahnya. Bagaimanapun
agar
tim
penulis
buku
tersebut
diharapkan
menjelaskan hasil kajiannya di depan para ahli di bidang tersebut. "Minta saja orangnya untuk bicara di depan para ahlinya," kata Mundardjito. Usulan itu juga didukung oleh Irawan. "Intinya, kita bukan untuk saling menjatuhkan, tapi untuk saling belajar."
MENCARI JEJAK ISLAM MASA SILAM DI TROWULAN Perjalanan “Roadshow Peradaban Islam”, yang penulis (Susiyanto) jalani mendampingi DR. Adian Husaini, MA merupakan bagian darh rangkaian dakwah dalam memberikan informasi secara luas terhadap masyarakat Islam terkait dengan paham-paham menyimpang dari Barat. Perjalanan tersebut dimulai pada 29 April dan rencananya akan berlangsung hingga 9 Mei 2009. Dalam Roadshow ini turut mendampingi beliau adalah penulis (Susiyanto), M. Muslih (bagian dokumentasi), dan Pak Muslim (driver). Sebenarnya roadshow ini merupakan rangkaian dari kegiatan tasyakuran dan orasi ilmiah atas diraihnya program Doktor oleh Dr. Adian Husaini, MA dari International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Malaysia. Dalam roadshow ini kami telah mengunjungi sejumlah kota di Pulau Jawa. Mulai dari Ponorogo, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Jember, Malang. Gresik, Semarang, dan selanjutnya Bandung. Di sela-sela perjalanan dakwah, kami menyempatkan diri mengunjungi situs-situs bersejarah. Salah satunya adalah wilayah Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur yang menyimpan sejumlah peninggalan yang diindikasikan sebagai warisan Majapahit dan Islam. Tepat pada 6 Mei 2009 sekitar pukul 10.00 WIB kami tiba di situs Candi Wringin Lawang. Situs yang kami kunjungi
selanjutnya adalah Museum Trowulan yang berfungsi sebagai Pusat Informasi Majapahit dan makam Tralaya. Tulisan ini akan mengungkapkan perjalanan yang kami lakukan terkhusus dalam penelusuran jejak Majapahit tersebut. GAPURA WRINGIN LAWANG Situs Majapahit yang pertama kami kunjungi adalah situs Gapura Wringin Lawang. Bangunan ini memiliki bentuk candi bentar (terbelah dua) yang terbuat dari batu bata. Pondasinya berbentuk persegi panjang dengan ukuran 11,5 x 13 m. Dengan tinggi bangunan sekitar 15, 5 m dan menghadap Timur-Barat dengan azimuth 2790. Jarak antara kedua belahan candi adalah 3,5 m. Menurut informasi yang penulis dapatkan candi ini pernah mengalami pemugaran dalam beberapa kali tahun anggaran. Diperkirakan bagunan ini memiliki fungsi sebagai sebuah pintu gerbang dari suatu kompleks. Namun kompleks apa yang dimaksud tersebut, sampai hari ini masih sukar dipastikan. KOLAM SEGARAN Dalam perjalanan antara Gapura Wringin Lawang menuju Museum Trowulan kami melewati situ (kolam atau danau) kuno buatan yang biasa disebut Kolam Segaran. Bentuk kolam ini adalah persegi panjang dengan tepian yang terbuat dari batubata, ciri khas bangunan pada zaman Majapahit. Kolam tersebut
berukuran 375 x 125 m. seadangkan tinggi dinding kolam 3, 16 m dengan lebar 1,6 m. Sangat mungkin kolam inilah yang diceritakan sebagai telaga dalam Negarakertagama Pupuh 7: 5.3. MUSEUM TROWULAN Banyak informasi yang bisa diakses melalui museum ini terkait keberadaan Majapahit. Akan tetapi sebenarnya cukup sedikit untuk dapat digunakan dalam merekonstruksi sejarah majapahit apalagi krolonogi kebesarannya. Museum ini bany`k menyimpan barang-barang seperti gerabah, terakota, pecahan celengan, jaladwara, lingga-yoni, prasasti, patung, dan sebagainya. Patung Airlangga yang digambarakan sebagai perwujudan Wisnu (avatar) yang mengendarai garuda juga dapat ditemui di sini. Termasuk di dalam koleksi museum ini adalah se bentuk pecahan keramik wajah manusia yang selama ini dikenal dalam buku-buku sejarah kita diindikasi sebagai wajah Gajah Mada. Jelas, sebenarnya sulit dipastikan bahwa wajah gemuk dan terkesan teguh tegap tersebut sukar dipastikan sebagai wajah sang mahapatih terkenal Majapahit. Museum Trowulan juga tidak memberikan keterangan apa pun terkait pecahan gerabah tersebut. Padahal sejumlah gerabah yang lain selalu diiringi dengan catatan tertulis yang mencukupi. Beberapa ilmuwan bahkan mengungkapkan bahwa wajah dalam gerabah tersebut merupakan pecahan dari celengan (tabungan berbentuk hewan
atau manusia) yang banyak ditemukan dalam penggalian di Trowulan. Jadi bukan wajah Gajah Mada sebagaimana sering diklaim dalam buku Sejarah di Indonesia. Sedangkan keberadaan tokoh Gajah Mada sendiri, sebenarnya kurang menyakinkan sebab hanya didasarkan kepada beberapa cerita babad yang oleh sejarawan sering ditolak sebagai sumber sejarah. MAKAM TRALAYA Perjalanan selanjutnya kami lanjutkan ke situs makam Tralaya. Tepatnya di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Di situs ini terdapat petilasan walisanga dan makam Sunan Ngundung (Maulana Utsman Haji) yaitu ayah dari Sunan Kudus (Ja’far Shadiq). Pada bagian lain kompleks ini kami juga menemukan kompleks pemakaman kuno yang berasal dari jaman Majapahit. Terdiri dari 7 (tujuh) buah makam. Manariknya dalam batu nisannya hampir serupa terdapat lambang ”Sinar Majapahit” sek aligus kalimat tauhid berbunyi ”Laa ilaha ilallah” pada sisi sebaliknya. Ketujuh makam tersebut sering dihubungkan dengan legenda tentang beberapa abdi dan punggawa Majapahit yang telah memeluk agama Islam yaituPangeran Natasurya, Patih Natakusuma, Gajah Permada, Sabda Palon, Naya Genggong, Mbah Poloputri, dan Emban Kinasih. Kesemuanya adalah muslim yang mengabdi di istana Majapahit. DR. L.C. Damais
menyebutkan bahwa makam tersebut memiliki angka tahun antara 1368-1611 M. Versi lain menyebutkan bahwa salah satu makam tersebut diketahui sebagai hastana dari seorang yang bernama Zainuddin. Versi penelitian lain meyebutkan bahwa salah satu makam tersebut adalah kuburan dari Puteri Kencana Wungu dan Dewi Anjasmara. Keduanya adalah puteri –puteri Majapahit yang telah menganut Islam. Walaupun terdapat sejumlah versi tentang nama jenazah yang dikuburkan namun tidak diragukan bahwa ketujuh makam tersebut adalah makam dari penganut agama Islam dari era Majapahit. Perlu diketahui bahwa keberadaan makam Tralaya merupakan salah satu bukti tentang keberadaan komunittas muslim di dalam kota Majapahit. Bahkan dalam Kidung Sunda digambarkan bahwa pada era Perang Bubat diceritakan tentang keberadaan Masjid Agung di Majapahit. Kisah tentang Perang Bubat tersebut adalah peristiwa dimana raja sunda menyerahkan putrinya kepada raja Hayam W uruk sebagai istri namun berakhir tr`gis dengan terbunuhnya sang Raja Sunda dan Puterinya akibat politik dominatif dan hegemonik yang dilakukan Gajah Mada. Dalam Kidung Sunda disebutkan bahwa maharaja Sunda yang mengantarkan mempelai mengutus 4 orang duta dan diiringi pengawalan 300 orang punggawa sementara sisa pasukannya menunggu di gelanggang Bubat. Utusan tersebut masuk ke ibu
kota Majapahit dan berjalan ke arah selatan sampai Masjid Agung yang terletak di Palawiyan, selanjutnya berjalan ke arah timur dan selatan ke arah Kepatihan. Sedangkan pasukan Majapahit berjalan ke masjid Agung menantikan utusan Sunda. Namun keberadaan Masjid agung tersebut belum dapat ditemukan kembali sebagaimana sebagian besar situs-situs Majapahit lainnya. Dalam kitab Ying Yai Shing Lan karya dokumentasi Ma Huan (sekretaris Laksamana Cheng Ho), disebutkan bahwa sudah terdapat komunitas muslim di ibu kota Majapahit
TEORI MASUKNYA ISLAM KE NUSANTARA Meskipun persoalan ini bukan hal baru, namun mendiskusikannya kembali akan selalu memberi manfaat, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak pernah mengenal titik terminasi. Kemungkinan sejarah selalu terbuka untuk ditulis ulang didasarkan pada beberapa hal, di antaranya adalah ditemukannya data baru, berkembangnya teori dan metodologi yang membuka peluang dilakukannya interpretasi baru (reinterpretasi), dan sudut pandang kajian yang berbeda. Mempelajari Islam di Indonesia secara historis. Ciri kajian historis adalah meletakkan objek peristiwa yang dikaji dalam ruang waktu yang temporaltiasnya ditetapkan. Dengan kajian seperti itu akan tergambarkan perjalanan suatu peristiwa sejarah secara prosesual. Dalam hal ini, Islam di Indonesia (Islam in Indonesia) atau Islam Indonesia (Indonesia Islam, indonesische Islam) menjadi objek yang dikaji. Perlu sekilas dikomentari mengenai kemungkinan munculnya varian peristilahan: Islam Indonesia (Indonesia Islam/Islam of Indonesia, indonesische Islam), Islam di Indonesia (Islam in Indonesia), orang Islam di Indonesia (Indonesian muslim). Variasi frase-frase tersebut membawa konsekuensi tersendiri. Islam Indonesia mengandung arti Islam ala Indonesia, Islam bergaya
Indonesia, atau Islam lokal Indonesia. Islam di Indonesia artinya Islam yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia. Orang Islam di Indonesia artinya adalah orang Islam – dengan
berbagai dimensi kehdi upan yang melekat
pada orang Islam itu (sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya -- dengan beragam tampilannya yang ada di Indonesia. Peristilahan-peristilahan tersebut akan berhadapan vis a vis dengan dengan nilai-nilai normatif Islam itu sendiri. Bukankah Islam itu mestinya hanya satu versi, versi Nabi Muhammad saw. Dimana pun Islam berada, ya... Islam sebagaimana diturunkan Allo h kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril. Mengkaji sejarah masuknya Islam ke Indonesia bisa mengacu pada lima pertanyaan pokok sejarah yang dikenal dengan rumus 5 W 1 H, yaitu: where, when, who, what, why, how (dimana, kapan, siapa, apa, mengapa, dan bagaimana). Berdasarkan pada pertanyaan-pertanyaan inilah makalah ini akan disusun. Where Pertanyaan where ini mengacu pada tempat, yakni dari kota/negara mana agama Islam yang disebarkan di Nusantara itu berasal serta di tempat mana di Nusantara yang pertama
kali dimasuki Islam. Mengenai persoalan tempat asal datangnya Islam ini terdapat banyak pendapat, yaitu:
1. Anak Benua India Sarjana pertama yang mengemukakan pendapat ini adalah Pijnappel dari Universitas Leiden (GJW. Drewes, 1968: 439-440). Dia mengitkan asal-muasal Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i berimigrasi dan menetap di wilayah India, kemudian orangorang India yang membawa Islam ke Nusantara. Pendapat ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje (1924: 7). Ia berpendapat bahwa begitu Islam berpijak kokoh di beberapa kota pelabuhan Anak Benua India, banyak di antara muslim India bertindak sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengan dengan Nusantara. Mereka datang ke Nusantara sebagai para penyebar Islam pertama. Baru kemudian disusul oleh orang-orang Arab yang melanjutkan penyebaran Islam di Nusantara. Moquette (19, seorang sarjana Belanda lainnya, berpendapat bahwa tempat asal Islam di Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan pendapatnya ini pada peninggalan artefak berupa
batu nisan yang ada di Pasai, kawasan utara Sumatera, terutama yang bertanggal 17 Dzulhijjah 831 H atau 27 September 1428 M. Batu nisan yang ia amati memiliki kemiripan dengan batu nisan lain yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (wafat 822/1419) di Gresik, Jawa Timur. Kedua jenis batu nisan itu ternyata memiliki bentuk yang sama dengan batu nisan yang ada di Cambay, Gujarat, India. Berdasarkan hal tersebut, Moquette berkesimpulan bahwa batu nisan di Gujarat diperuntukkan bukan hanya bagi kepentingan lokal, tapi juga diimpor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam dari sana. Pendapat Moquette tersebut mendapat dukungan dari para sarjana lain seperti: Kern, Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall. Mereka ini sependapat dengan Moquette, dalam hal Gujarat sebagai tempat datangnya Islam di Nusantara, tentu saja dengan beberapa tambahan.
2. Bengal Kesimpulan Moquette ditentang oleh Fatimi. Ia berpendapat bahwa mengaitkan seluruh batu nisan yang ada di Pasai,
termasuk batu nisan Maulana Malik al-Saleh, dengan Gujarat adalah keliru. Menurut penelitiannya, bentuk dan gaya batu nisan Malik al- Saleh berbeda sepenuhnya dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat dan batu-batu nisan lain yang ditemukan Nusantara. Fatimi berpendapat bentuk dan gaya batu nisan itu justru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Oleh karenanya, seluruh batu nisan itu hampir dipastikan berasal dari Bengal. Dalam kaitan dengan data artefak ini, Fatimi mengkritik para ahli yang mengabaikan batu nisan Siti Fatimah bertanggal 475/1082 yang ditemukan di Leran, Jawa Timur. Teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Bengal bisa dipersoalkan lebih lanjut termasuk berkenaan dengan adanya perbedaan madzhab yang dianut kaum muslim Nusantara (Syafi’i) dan mazhab yang dipegang oleh kaum muslimin Bengal (Hanafi).
3. Pantai Coromandel Pendapat bahwa Gujarat sebagai tempat asal Islam di Nusantara mempunya i kelemahan-kelemahan tertentu. Kelemahan itu ditemukan oleh Marrison. Ia berpendapat bahwa meskipun batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi berasal dari Gujarat, atau dari
Bengal, itu tidak lantas berarti Islam juga datang berasal dari tempat batu nisan itu diproduksi. Marrison mematahkan teori Gujarat ini dengan menunjuk pada kenyataan bahwa pada masa Islamisasi Samudera Pasai, yang raja pertamanya wafat tahun 698/1297, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setahun kemudai n (699/1298) Cambay, Gujarat ditaklukkan kekuasaan muslim. Jika Gujarat adalah pusat Islam, yang dari tempat itu para penyebar Islam datang ke Nusantara, maka pastilah Islam telah mapan dan berkembang di Gujarat sebelum kematian Malik al-Saleh, yakni sebelum tahun 698/1297. Marrison selanjutnya mencatat, meski lasykar muslim menyerang Gujarat beberapa kali – masing-masing tahun 415/1024, 574/1178, dan 595/1197 – raja Hindu di sana mampu mempertahankan kekuasaannya hingga 698/1297. mempertimbangkan semua iin, Marrison mengemukakan pendapatnya bahwa Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, melainkan dibawa oleh para penyebar Muslim dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13.
4. Arab Teori yang dikemukakan oleh Marrison mendukung pendapat yang disampaikan oleh Arnold yang menulis jauh sebelum Marrison. Arnold berpendapat bahwa Islam dibawa ke Nusantara
antara lain juga dari Coromandel dan Malabar. Pendapatnya ini didasarkan pada persamaan madzhab fiqh di antara kedua wilayah tersebut. Mayoritas muslim di Nusantara adalah pengikut madzhab Syafi’i, yang juga cukup dominan di wilayah Coromandel dan Malabar. Menurut Arnold, para pedagang dari Coromandel dan Malabar mempunyai peranan penting dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Sejumlah besar pedagang ini mendatangi pelabuhan-pelabuhan dagang dunia Melayu- Indonesia dimana mereka ternyata tidak hanya terlibat dalam perdagangan, tetapi juga dalam penyebaran Islam. Akan tetapi, menurut Arnold, Coromandel dan Malabar bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tetapi juga dari Arabia. Dalam pandangannya, para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Asumsi bahwa pedagang Arab turut serta dalam penyebaran Islam mempertimbangkan fakta yang disebutkan sumber-sumber Cina, bahwa menjelang akhir perempat abad ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian orangorang Arab ini dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita lokal, sehingga membentuk nekleus sebuah komunitas Muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal.
Menurut Arnold, anggota-anggota komunitas Muslim ini juga melakukan kegiatan-kehiatan penyebaran Islam. Pendapat bahwa Islam juga dibawa langsung oleh orang Arab diakui oleh Crawfurd, walaupun ia menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum muslim yang berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
5. Dari Mesir dan Hadhramaut Keijzer memandang Islam di Nusantara berasal dari Mesir. Pendapatnya ini didasarkan pada pertimbangan kesamaan kepemelukan penduduk Muslim di kedua wilayah kepada madzhab Syafi’i. „Teori Arab“ ini juga dianut oleh Niemann da de Hollander dengan sedikit catatan. Mereka bukan dari Mesir, melainkan dari Hadhramaut. Sebagian ahli Indonesia setuju dengan teori Arab ini. Dalam seminar yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang kedatangan Islam ke Indoneisa disimpulkan bahwa Islam ke Indonesia langsung dari Arab, tidak dari India; bukan pada abad ke-12 atau ke-13, melainkan pada abad pertama hijrah atau abad ke-7 Masehi.
Who Di antara para penyebar pertama Islam di Jawa adalah Maulana Malik Ibrahim. Ia dilaporkan mengislamkan kebanyakan wilayah pesisir utara Jawa, dan bahkan beberapa kali mencoba membujuk raja Hindu-Buddha Majapahit, Wikramawardhana (berkuasa 788-833/1386-1429) agar masuk Islam. Akan tetapi, hanya setelah kedatangan Raden Rahmat, putera seorang dai Arab di Campa, Islam memperoleh momentum di istana Majapahit. Ia digambarkan mempunyai peran menentukan dalam islamisasi Pulau Jawa dan dipandang sebagai pemimpin para wali sanga dengan gelar Sunan Ampel, karena di Ampel ia mendirikan sebuah pusat keilmuan Islam. Pada saat keruntuhan Majapahit, terdapat seorang Arab lain, Syekh Nur al-Din Ibrahim bin Maulana Izrai,lyang kemudian lebih dikenal dengan julukan Sunan Gunung Jati. Ia kemudian memapankan diri di Kesultanan Cirebon. Seorang sayyid terkenal lainnya di Jawa adalah Maulana Ishak yang dikirim Sultan Pasai utnuk mencoba mengajak penduduk Blambangan, Jawa Timur, masuk Islam. Dari uraian di atas, maka dapat diambil empat tema pokok. Pertama, Islam dibawa lengsung dari Arab; kedua, Islam dipekrenalkan oleh para guru dan pneyiar “profesional”, yakni mereka yang memang khusus bermaksud menyebarkan
Islam; ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan keempat, kebanyakan para penyebar Islam ini datang ke Nusantara pada abd ke-12 dan ke-13. Mengenai tema yang terakhir ini mungkin benar bahwa Islam sudah diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama hijriah, sebagaimana dikemukakan oleh Arnold, tetapi hanyalah setelah abad ke ke-12 pengaruh Islam kelihatan lebih nyata. Karena itu, proses Islamisasi nampaknya mengalami akselerasi antara abad ke-12 dan ke-16. Kebanyakan sarjana Barat berpendapat bahwa para penyebar petrama Islam di Nusantara adalah para pedagang Muslim yang menyebarkan Islam sembari melakukan perdagangan di wilayah ini. Elaborasi lebih lanjut dari teori ini adalah bahwa para pedagang muslim tersebut melakukan perkawinan dengan wanita setempat. Dengan pembentukan keluarga muslim ini maka nukleus komunitas-komunitas muslim pun tercipta, yang pada gilirannya memainkan andil besar dalam penyebaran Islam. Selanjutnya dikatakan, sebagian pedagang ini melakukan melakukan perkawinan dengan keluarga bangsawan lokal sehingga memungkinkan mereka atau keturunan mereka pada akhirnya mencapai kekuasaan politik yang dapat digunakan untuk penyebaran Islam.
Why (motif) Van Leur (1955: 72, 110-6) percaya bahwa motif ekonomi dan politik sangat penting dalam masuk Islamnya penduduk Nusantara. Dalam pendapatnya, para penguasa pribumi yang ingin meningkatkan kegiatan-kegiatan perdagangan di wilayah kekuasaan mereka menerima Islam. Dengan begitu mereka mendapatkan dukungan para pedagang muslim yang menguasai sumber-sumber ekonomi. Sebaliknya, para penguasa memberi perlindungan dan konsesi-konsesi dagang kepada para pedagang muslim. Dengan konversi mereka kepada Islam, para penguasa pribumi di Nusantara dapat berpartisipasi secara lebih ekstensif dan menguntungkan dalam perdagangan internasional yang mencakup wilayah sejak Laut Merah ke Laut Cina. Lebih jauh, dengan itu dapat mengabsahkan dan memperkuat kekuasaan mereka, sehingga mampu menangkis jaringanjaringan kekuasaan Majapahit. Schrieke (1955: 232-7) tidak percaya bahwa perkawinan antara para pedagang dengan para keluarga bangsawan menghasilkan konversi kepada Islam dalam jumlah besar. Ia pun menolak bahwa kaum pribumi pada umumnya termotivasi masuk Islam karena penguasa mereka telah memeluk Islam. Menurutnya adalah ancaman Kristen yang mendorong penduduk Nusantara untuk masuk Islam dalam jumlah besar. Menurut dia, penyebaran
dan ekspansi Islam merupakan hasil dari semacam pertarungan antara Islam dan Kristen untuk mendapatan penganut-penganut baru di kawasan ini. A.H. Johns (1961: 10-23) berpendapat bahwa para sufi pengembara yang terutama melakukan penyiaran Islam di kawasan ini. Para sufi ini berhasil mengislamkan jumlah besar penduduk Nusantara. Faktor utama keberhasilan konversi adalah kemampuan para sufi menyajikan Islam dalam kemasan yang menarik, khususnya dengan menekankan kesesuaian dengan Islam atau kontinuitas, ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. Johns berpendapat bahwa banyak sumber lokal mengaitkan pengenalan Islam ke kawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan karakteristik sufi yang kental. Berkat otoritas karismatik dan kekuatan magis mereka, sebagian guru sufi dapat mengawini putri-putri bangsawan Nusantara dan memberikan kepada anak-anak mereka gengsi darah bangsawan dan sekaligus aura keilahian atau karisma keagamaan. Konsekuensi dari hal tersebut adalah Islam tidak dapat dan tidak menancapkan akarnya di kalangan penduduk negara-negara Nusantara atau mengislamkan para penguasa mereka sampai Islam disiarkan di Nusantara sampai abad ke-13.
Teori sufi ini disokong oleh Fatimi (1963: 94-8), misalnya, yang memberikan argumen tambahan. Ia antara lain menunjuk kepada sukses yang sama dari kaum sufi dalam mengislamkan jumlah besar penduduk Anak Benua India pada periode yang sama. Mengapa gelombang sufi pengembara ini baru aktif sejak abad ke-13? Johns berpendapat bahwa tarekat sufi tidak menjadi ciri cukup dominan dalam perkembangan dunia muslim sampai jatuhnya Baghdad ke tangan lasykar Mongol pada 656/1258. Ia mencatat bahwa setelah kejatuhan kekhalifahan Baghdad, kaum sufi memainkan peran kian penting dalam memelihara keutuhan dunia Islam dengan menghadapi tantangan kecenderungan pengepingan kawasan-kawasan kekhalifahan ke dalam wilayah-wilayah linguistik Arab, Persia, dan Turki. Adalah pada masa-masa ini tarekat sufi secara bertahap menjadi institusi yang stabil dan disiplin, dan mengembangkan afiliasi dengan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan, yang turut membentuk masyarakat urban (HAR. Gibb, 1955: 130). Afiliasi ini memungkinkan para guru dan murid sufi memperoleh sarana pendukung untuk melakukan perjalanan dari pusat-pusat dunia Islam ke wilayah-wilayah periferi, membawa keimanan dan ajaran Islam melintasi berbagai batas bahasa, dan dengan demikian mempercepat proses ekspansiIslam. Dengan latar
belakang semacam inilah maka sumber-sumber lokal memberi informasi tentang kedatangan berbagai syaikh, sayyid, makdum, guru dan semacamnya dari Timur Tengah atau tempattempat lain ke wilayah-wilayah mereka. Teori sufi ini berhasil membuat korelasi antara peristiwaperistiwa politik dan gelombang konversi kepada Islam. Meski peristiwa-peristiwa poliltik merefleksikan hanya secara tidak langsung pertumbuhan massal masyarakat muslim, orang tak dapat mengabaikan mereka, karena semua itu mempengaruhi perjalanan masyarakat– masyarakat muslim di bagian-bagian lain dunia muslim. Teori ini juga berhasil membuat korelasi penting antara konversi dengan pembentukan dan perkembangan institusi-institusi Islam yang akhirnya membentuk dan menciptakan ciri khas masyarakat tertentu sehingga ia benar-benar dapat disebut sebagai masyarakat muslim. Yang terpenting diantara institusi-institusi ini adalah madrasah, tarekat sufi, dan kelompok-kelompok dagang dan kerajinan tangan.
Sejarah Kerajaan Majapahit Secara harfiah kerajaan Majapahit adalah suatu kerajaan yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan berpusat di pulau Jawa bagian timur tepatnya di daerah Tarik, Sidoarjo, Jawa Timur. Kerajaan ini pernah menguasai sebagian besar pulau Jawa, Madura, Bali, dan banyak wilayah lain di Nusantara. 1. Asal-usul Kerajaan Majapahit Sesudah Singasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290, Kubilai Khan dari Cina tertarik pada kekuasaan Majapahit yang meningkat. Namun pada tahun 1293, seorang pemberontak dari Kediri bernama Jayakatwang sudah membunuh Kertanegara. Kertarajasa atau Raden Wijaya, yaitu anak menantu Kertanegara, kemudian bersekutu dengan orang Mongol untuk melawan Jayakatwang. Setelah Jayakatwang meninggal ia menyuruh pasukan mongol untuk kembali dengan cara paksa. Pada tahun 1923 itu pula, Raden Wijaya membangun sebuah kerajaan yang kemudian ia beri nama ”Majapahit”. 2. Letak Kerajaan Majapahit Pada tahun 1293 Raden Wijaya membangun Keraton Majapahit pada sekitar daerah Tarik, Sidoarjo (Tawa Timur)
Pada tahun 1350 Kerajaan Majapahit Dipindahkan ke daerah Trowulan, pada masa Raja Hayam Wuruk 3. Sumber Sejarah Majapahit Dari sumber sejarah Majapahit dapat disimpulkan menjadi dua sumber yaitu Kitab Sastra dan Kronik Cina
Dari Kitab Sastra a. Kitab Pararaton menceritakan tentang raja-raja Singosari juga menjelaskan tentang raja-raja Majapahit b. Prasasti Butak Mengisahkan peristiwa keruntuhan Singasari dan perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan Majapahit. c. Kitab Kutaramanawa Berisikan tentang aturan hukum di Majapahit.
d. Kitab Negarakertagama
Kitab ini ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 yang menjelaskan tentang keadaan kota Majapahit, daerah jajahannya dan perjalanan Hayam Wuruk mengelilingi daerah kekuasaannya. e. Kitab Usaha Jawa,dll menjelaskan tentang penaklukan pulau Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar.
Dari Kronik Cina a. Buku Ying Yai Menceritakan tentang keadaan masyarakat dan kota Majapahit tahun 1418 b. Masa Dinasty Ming Menceritakan tentang stuktur dan filsafat Majapahit pada tahun 1368-1643 c. Berita Portugis (1518) Yang menceritakan tentang budaya Majapahit.
4. Raja-Raja Majapahit -
Raden Wijaya
-
Jayanegara
-
Tribuwana Tunggadewi
-
Hayam Wuruk
-
Ratu Kusumawardani
-
Dewi Suhita
-
Bhre Tumapel
-
Bhre Kahuripan, dll.
Raden Wijaya Raden Wijaya adalah raja pertama yang memimpin Majapahit, bergelar Kertarajasa Jaya Wardana, ia memimpin Majapahit dari tahun 1293-1309 M. Beliau menikah dengan ke empat puteri Kertanegara yaitu: Dyah Dewi Tribuwaneswari (permaisuri), Dyah Dewi Narendraduhita, Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Dyah Dewi Gayatri. Langkah Raden Wijaya mengawini putri-putri Kertanegara diduga berlatar belakang politik, agar tidak terjadi perebutan kekuasaan. Jayanegara Setelah Raden Wijaya meninggal, tahta digantikan oleh Jayanegara atau Kala Gemet pada tahun 1309, beliau merupakan raja yang lemah, sehingga banyak terjadi pemberontakan. Pada saat ini Gajah Mada memegang jabatan sebagai Kepala Bhayangkari.
Beberapa pemberontakan yang terjadi yaitu: -
Pemberontakan Ronggolawe, dapat diatasi
-
Pemberontakan Lembu Sora, dapat dipadamkan.
-
Pemberontakan Nambi, dapat diatasi
-
Pemberontakan Kuti pada tahun 1319, yang kemudian
dapat diatasi berkat jasa Gajah Mada dan atas jasanya tersebut Gajah Mada diangkat sebagai Patih Kahuripan. Pada tahun 1321 Gajah Mada diangkat menjadi Patih Daha. Raja Jayanegara pada tahun 1328 meninggal dunia karena dibunuh Tanca (dokter istana). Gajah Mada turun tangan untuk membunuh Tanca. Pada masa awal ini memang terjadi banyak pergolakan. Tribuwana Tunggadewi Karena Jayanegara tidak mempunyai putra, tahta seharusnya jatuh ketangan Gayatri. Karena Gayatri memilih menjadi Biksuni, maka Tribuwanatunggadewi putrinya ditunjuk sebagai wakil dan diangkat menjadi raja ketiga bergelar Tribuwanatunggadewi Jayawisnuwardani pada tahun 1328. Pada zaman kekuasannya, Gajah Mada diangkat sebagai patih Majapahit. Pada saat pelantikan ia mengucapkan sebuah sumpah yang kemudian dikenal dengan nama “Sumpah Palapa”. Ini
adalah awal permulaan zaman keemasan Majapahit. Namun pada tahun 1350 Gayatri wafat, maka Tribuwana tunggadewi yang merupakan wakil ibunya segera turun tahta, menyerahkan tahtanya kepada putranya yaitu Hayam Wuruk. Hayam W uruk Di bawah pemerintahan Hayam W uruk pada tahun 1350-1387, Majapahit mencapai zaman keemasannya. Cita-cita Gajah Mada yang diucapkan lewat Sumpah Palapa, yang disebut pula sebagai Wawasan Nusantara II dapat tercapai. Wilayah Majapahit, hampir sama dengan wilayah Republik Indonesia, maka Majapahit disebut sebagai Negara Maritim Nasional II. Berikut ini adalah peta kekuasaan Majapahit. Ratu Kusumawardani Kusumawardani merupakan putri Hayam Wuruk yang kemudian diangkat menjadi raja pada tahun 1389-1429 M. Pada masa pemerintahannya terjadi perang saudara antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana yang disebut “perang Paregreg”. Yang kemudian berakhir dengan terbunuhnya Wirabhumi.
Sedangkan raja-raja yang lain tidak terlalu dijelaskan secara detil pada sumber-sumber sejarah Majapahit, karena raja-raja yang lain tidak terlalu penting kedudukannya di Kerajaan Majapahit. Raja-raja itu meliputi : -
Dewi Suhita (1429-1447 M)
-
Bhre Tumapel (1447-1451 M)
-
Bhre Kahuripan (1451-1453 M)
-
Purwawisesa (1457-1467 M)
-
Pandan Salas (1467-1478 M)
5. Keruntuhan Majapahit Runtuhnya Kerajaan Majapahit disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor itu meliputi : a. Faktor Politik Dalam negeri, kesatuan Majapahit itu berkat kekuatan Gajah Mada, tetapi setelah Gajah Mada Meninggal, banyak daerah Cina yang otonom tak membayar pajak dan meninggalkan Majapahit.
b. Faktor Ekonomi Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, sudah mulai berdirinya kerajaan-Kerajaan yang bercorak agama islam. Karena itu, para pengikut Majapahit sudah mulai meninggalkan Majapahit sedikit demi sedikit untuk berpindah ke kerajaan Islam tersebut. c. Faktor Agama Perbedaan ideologi, Penyebaran Islam di Asia Tenggara, melalui jalur perdagangan yang lebih dulu terpengaruh adalah bandar, maka bandar Majapahit beragama Islam, tetapi Majapahit masih Hindu. Para Bandar pun menentang Majapahit dan meninggalkan Majapahit. d. Faktor perselisihan -
Sebelum Majapahit runtuh terjadi perang saudara (perang
paregreg) pada tahun 1405-1406 antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Yang akhirnya Wirabhumi meninggal dunia. -
Terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun
1450-an. -
Pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang
bangsawan pada tahun 1468.
6. Peninggalan Majapahit Ketika Majapahit mengalami keruntuhan, majapahit meninggalkan beberapa peninggalan. Peninggalan-peninggalan itu di kelompokan menjadi 2 macam, yaitu : -
Bangunan Candi-candi
-
Karya sastra
Salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit yang sampai ke kita adalah Candi. Candi berasal dari kata ”Candhika grha” atau ”Candigrha” yang berarti rumah untuk dewi candi. Berikut ini adalah beberapa satu contoh candi : 1) Candi Tikus : Candi Tikus terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kec. Trowulan. 2) Candi Sukuh : Candi ini terletak di Desa Berjo,Kec. Ngargoyoso, Kab.Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berfungsi sebagai tempat pemujaan. 3) Candi Surawana : Candi ini terletak di Desa Canggu, Kec.Plemah, Kab.Kediri. bangunan ini terbuat dari bahan batu andhesit.
4) Candi Brahu : Candi ini terletak di dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kec.Trowulan. Candi ini diperkirakan dibangun pada abad ke 15 M. Dan candi ini berfungsi sebagai tempat pemujaan. 5) Candi Minakjingga : Candi Minakjingga terletak di dukuh Unggahan, Desa Temon, Kec. Trowulan. Candi ini disebut pula ”Sanggar Pamelengan”. Fungsi dari candi ini adalah sebagai tempat pemujaan. 6) Candi Rimbi : Candi Rimbi terletak di Desa Pulosari, Kec. Bareng, Kab.Jombang. Candi ini merupakan peninggalanKerajaan Majapahit yang di bangun sekitar abad ke 14. 7) Candi Kontes : Candi ini terletak di Desa Kontes, Kec. Gandusari, Kab. Blitar. Candi Kontes dibangun pada tahun 1300 dan 1301. 8) Candi Kedaton 9) Candi
Jago : Candi ini berupa sebuah makam
seseorang yang bernamaRangg awuni yang terletak di desa Tumpang dekat Malang.
10)Candi Penataran 11)Candi Jedong, dll.
7. Karya Sastra Saat Majapahit runtuh, Majapahit tidak hanya Meninggalkan budaya materi yang berupa candi-candi tetapi Majapahit juga meninggalkan peninggalan yang berupa karya–karya sastra. Karya Sastra itu meliputi : 1. Negarakertagama Kitab ini ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 yang menjelaskan tentang keadaan kota Majapahit, daerah jajahannya dan perjalanan Hayam Wuruk mengelilingi daerah kekuasaannya. 2. Pararaton menceritakan tentang raja-raja Singosari juga menjelaskan tentang raja-raja Majapahit. 3. Sutasoma Kitab ini ditulis oleh Mpu Tantular. Kitab ini berisikan tulisan Bhineka Tunggal Ika yang kemudian dijadikan sebagai semboyan Bangsa Indonesia.
4. Lubdakha, dll.
Peninggalan Majapahit Candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang pertama adalah Candi Sukuh. Candi ini terletak di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Karanganyar-Jawa Tengah. Berbeda dengan candicandi peninggalan kerajaan Majapahit lainnya, Candi Sukuh dianggap memiliki bentuk yang tidak lazim. Di sekitar reruntuhan bangunan ini banyak ditemukan objek Yoni
yang
menjadi
Lingga
perlambang
dan
seksualitas.
2. Candi Cetho Candi Cetho terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar- Jawa Tengah. Salah satu candi peninggalan Kerajaan Majapahit ini diperkirakan berasal dari masa akhir keruntuhan kerajaan Majapahit sebelum menjelang keruntuhannya atau tepatnya sekitar abad ke 15 Masehi. Candi ini ditemukan pada 3. Candi Pari Candi Pari adalah candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Sidoarjo - Jawa Timur. Candi yang diperkirakan dibangun pada masa
pemerintahan Prabu Hayam W uruk (1350-1389 M) ini terletak sekitar 2 km arah
Barat
panas
Brantas.
Lapindo
Laut
semburan
pusat
lumpur
4. Candi Jabung Candi Jabung terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Probolinggo-Jawa Timur. Meski hanya terbuat dari susunan batu bata merah, bangunan candi ini nyatanya dapat bertahan lintas zaman. Saat lawatannya keliling Jawa Timur di tahun 1359, Raja Hayam W uruk diperkirakan pernah menyinggahi candi peninggalan Kerajaan Majapahit ini. 5. Gapura Wringin Lawang Gapura Wringin Lawang terletak di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan, Mojokerto- Jawa Timur. Terbuat dari bata merah, bangunan yang tingginya 15,5 meter ini diperkirakan dibangun di abad ke 14 Masehi. Gaya arsitektunya yang mirip dengan candi Bentar, membuat banyak ahli yang berspekulasi dan menyebut jika bangunan ini merupakan pintu gerbang untuk memasuki kediaman Mahapatih Gajah Mada. 6. Gapura Bajang Ratu Gapura Bajang Ratu terletak di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Mojokerto-Jawa Timur. Diperkirakan, bangunan
peninggalan Kerajaan Majapahit ini dibangun pada abad ke-14 Masehi. Dalam kitab Negarakertagama, gapura ini disebutkan berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam sebuah bangunan suci yang memperingati wafatnya Raja Jayanegara. Candi Brahu Candi Brahu adalah salah satu candi peninggalan Kerajaan Majapahit yang terletak di kawasan situs arkeologi Trowulan, tepatnya berada di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto-Jawa Timur. Dalam prasasti yang dibuat Mpu Sendok disebut bahwa Candi Brahu berfungsi sebagai tempat pembakaran jenazah raja-raja Majapahit. 8. Candi Tikus Candi Tikus Sama seperti Candi Brahu, Candi Tikus juga terletak di ini terletak di situs arkeologi Trowulan, tepatnya berada di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto-Jawa Timur. Candi peninggalan sejarah Kerajaan Majapahit ini dinamai candi tikus karena diawal penemuannya, warga melihat bangunan ini menjadi sarang bagi tikus-tikus liar. Candi Surawana terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kediri-Jawa Timur. Tepatnya berada sekitar 25 km timur laut Kota Kediri. Candi yang sesungguhnya bernama Candi Wishnubhawanapura ini dibangun di abad 14 Masehi.
Pembangunannya ditujukan untuk memuliakan Bhre Wengker. Bhre Wengker adalah seorang raja dari Kerajaan Wengker – kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Majapahit
Menelusuri Rancang Bangun Perahu Pada Masa Kerajaan Majapahit Sangat menarik untuk melakukan kajian tentang budaya bahari dan perahu- perahu yang digunakan oleh masyarakat Jawa pada masa Kerajaan Mapapahit, . hal ini mengingat bahwa kerajaan ini dipercaya memiliki wilayah yang demikian luas di Kepulauan Nusantara. Perahu- perahu dan armada laut yang memadai tentu sangat dibutuhkan untuk menjamin transportasi jalur laut yang lancar dan aman, untuk menjaga stabilitas ekonomi dan politiknya. Permasalahan pertama adalah sampai sejauh ini tidak ditemukan gambaran yang konkrit tentang bentuk- bentuk perahu yang lazim digunakan pada era itu, baik pada tulisan- tulisan sastra kuno, prasasti, maupun pahatan- pahatan di dinding candi. Berbeda dengan masa Mataram Kuno, yang berkaitan dengan kerajaan bahari Sriwijaya di Sumatra, peradaban ini yang setidaknya meninggalkan jejak bentuk- bentuk perahu- perahu mereka di Jawa pada pahatan relief candi Borobudur, sementara Majapahit yang bisa jadi lebih bersifat agraris seperti membisu dalam hal budaya baharinya. Masa Majapahit tidak meninggalkan bentuk dan gambaran yang jelas tentang perahu- perahunya
Permasalahan kedua adalah menentukan pada satu kurun waktu pada masa Majapahit, di mana akan dilakukan penelitian tentang budaya baharinya dan dicari bentuk – bentuk perahu yang digunakannya, mengingat bahwa kerajaan ini mempunyai rentang waktu dari pertama berdiri sampai benar- benar runtuh sekitar 225 tahun. Satu jangka waktu yang cukup bagi satu teknologi perkapalan untuk berevolusi. Penulisan ini dimaksudkan sebagai bahan diskusi awal dan studi pendahuluan untuk masuk lebih dalam pada penelitian tentang bentuk – bentuk perahu dan teknologi bahari yang dipakai pada masa Kerajaan Majapahit Kerajaan Majapahit didirikan oleh Wijaya, pada tahun 1293 di satu tempat yang disebutkan sebagai “Hutan Orang Trik”. Pada masa sekarang ini ada satu desa yang bernama Tarik, di Sidoarjo. Apakah tempat ini berkaitan dengan “ Hutan Orang Trik”, yang dibangun oleh W ijaya, belum dapat ditentukan lebih lanjut. Masa keemasan Kerajaan Majapahit terjadi pada pemerintahan Rajasanagara – Hayam W uruk tahun 1350 -1389. Pemahaman masa kini tentang seputar masa keemasan Majapahit ini, bersandar kepada uraian di dalam Kakawin Desawarnnana – Negarakretagama - oleh Prapanca. Saat itu, Politik pemerintahan
negara Majapahit dapat dikatakan sepenuhnya ada di tangan Patih Amangku Bhumi Gajah Mada [Muljana, 2005]. Masa akhir Majapahit tidak bisa dilihat dengan benar- benar jelas. Berita- berita orang Eropa, masih menuliskan tentang keberadaan Kerajaan Majapahit sampai tahun 1518. Pemberitaan dari tahun 1518 oleh Duarte Barbosa, menceritakan tentang penguasa Mapapahit yang bernama Patih Udara. Antonio Pigafetta, pada tahun 1522 menulis tentang masa akhir Majapahit dengan Rajanya yang bernama Pati Unus [Djafar, 2012]. Kita pahami bahwa Pati Unus yang meninggal tahun 1521, adalah penguasa Demak tahun 1518- 1521 menggantikan Raden Patah. Dua berita itu mengindikasikan terjadi perubahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak pada sekitar tahun 1518 sampai 1521. Rentang waktu Kerajaan Majapahit dari pertamakali didirikan sampai benar- benar runtuh adalah sekitar 225 tahun. Gambar 1. Wijaya - Kertarajasa Jayawardhana di patungkan sebagai Harihara, dari Candi Simping – Sumberjati - Blitar – Tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Foto : Samodra
Mahapatih Gajah Mada, sebagaimana disebutkan dalam Pararaton, mengucapkan janji untuk memperluas wilayah Majapahit , yang dikenal sebagai Sumpah Amukti Palapa.
“ Ia Gajah Mada,Patih Amangkubumi, akan amukti palapa; Kecuali telah menaklukan Nusantara. Saya akan amukti palapa, sampai mengalahkan Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, sampai itu tercapai saya akan amukti palapa. …Bersatu setelah menaklukan Dompo, Sunda, maka ia Gajah Mada mukti palapa.” Menurut Negarakretagama pupuh 13 dan 14 [Muljana, 2005], wilayah Majapahit meliputi wilayah di Kepulauan Nusantara dan di Semenanjung Melayu. Di sebelah timur Pulau Jawa disebutkan wilayah terjauh adalah; Maluku, Seram dan Timor. Di Semenanjung Melayu disebutkan meliputi; Langkasuka, Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dungun, Tumasik, Klang, Kedah, Jerai. Meski bukti- bukti adanya Pemerintahan Majapahit tidak selalu dapat diperoleh pada tempat- tempat yang disebutkan itu, Negarakretagama dengan tegas menyebut wilayah tersebut
sebagai bagian dari Majapahit dan membedakannya dengan Wilayah Negara Sahabat. Setidak-tidaknya dapat dipahami bahwa telah terdapat ide tentang kesatuan wilayah pada Kepulauan Nusantara pada masa itu.
Gambar 2. Surya Majapahit, Simbol Kerajaan Majapahit dari Candi Rimbi – Wonosalam Tersimpan di Museum Trowulan. Foto : Samodra Jawa adalah sebuah pulau yang terletak di antara gugusan pulaupulau di Nusantara. Menilik lokasi geografisnya, pemahaman akan teknologi perahu dan teknik pelayaran bagi orang Jawa dapat dikatakan sebuah keniscayaan. Pelayaran dan jalur transportasi laut adalah urat nadi kehidupan yang berpengaruh secara langsung bagi hajat hidup bangsa- bangsa yang bermukim di kepulauan. Tidak banyak bisa diketahui tentang perahu Jawa pada masa silam. Meski banyak disebut dalam penuturan naskah- naskah kuno, Gambaran tentang tentang perahu Jawa masih tetap samar- samar.
Deskripsi visual yang paling jernih tentang perahu Jawa pada masa lampau bisa dilihat di panel- panel relief Candi Borobudur dan Candi Penataran
Perahu Candi Borobudur Borobudur adalah sebuah candi atau Monumen Buddha terbesar di dunia yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Candi berbentuk stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi. Tidak ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi pada masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, yang dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Ada sebelas pahatan perahu berbagai ukuran di Candi Borobudur. Perahu- perahu Borobudur ini tidak tampak mirip dengan perahu di Indonesia saat ini, akan tetapi secara umum dapat dikatakan menyerupai perahu Kora- Kora [ Horridge, 1986]
Gambar 3. Perahu Candi Borobudur - Panel Pahatan Relief Candi – In Situ. Foto : Samodra
Panel pahatan menunjukkan sebuah perahu yang berlayar di lautan. Perahu terlihat menggunakan cadik, berlayar tiang ganda dan memiliki tiang layar tiga kaki (Tripod). Perahu memiliki bentuk yang simetri antara haluan dan buritan. Perahu menggunakan Kemudi Dayung (Lateral Rudders) di bagian buritan yang tampak terlihat sedang dikendalikan oleh awaknya. Awak perahu digambarkan sibuk dengan layar terkembang. Sebuah layar di haluan (Spritsail) terlihat sedang berkembang dengan seorang awak sedang menanganinya.
Gambar 4. Perahu Candi Borobudur - Panel Pahatan Relief Candi – In Situ. Foto: Samodra
Panel pahatan juga menunjukkan sebuah perahu yang berlayar di lautan. Perahu berlayar tiang tunggal dan memiliki tiang layar berkaki tiga (Tripod). Bentuk perahu terlihat berbeda dengan perahu pada gambar 3. Cadik tidak teridentifikasi dengan jelas, kecuali melalui seorang awak perahu yang agaknya berdiri di samping perahu, bertumpu pada cadiknya. Gambar ikan besar di haluan perahu, tampaknya mengindikasikan bahwa perahu sedang berlayar di laut lepas. Juru mudi tampak mengendalikan perahunya di bagian buritan. Perahu digambarkan sedang berlayar kemungkinan tidak jauh dari bandar. Sebuah perahu kecil terlihat di haluannya. Gambar 6. Perahu Candi Borobudur - Panel Pahatan Relief Candi – In Situ. Foto : Samodra Perahu tidak bercadik dan memiliki atap pelindung cuaca. Sebuah Kemudi Dayung terlihat di buritannya. Kemungkinan perahu ini sedang menyusuri sungai atau danau. Candi Palah atau lebih dikenal dengan nama Candi Penataran adalah sebuah gugusan candi bersifat keagamaan Hindu Siwa yang terletak di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi terbesar di Jawa Timur ini terletak di
lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter di atas permukaan laut. Diperkirakan candi ini awal dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri sekitar tahun 1200 Masehi . Gambar 7. Perahu Candi Penataran- Panel Pahatan Relief Candi – In Situ. Foto : Samodra Gambar di atas banyak di deskripsikan sebagai sebuah perahu yang memperlihatkan struktur yang masih kabur dan perlu diidentifikasi lebih lanjut. Gambar 8. Perahu Candi Penataran- Panel Pahatan Relief Candi – In Situ. Foto: Samodra Gambar perahu ini menunjukkan sebuah perahu kecil, kemungkinan perahu nelayan yang tampaknya sedang di dayung di Danau atau di Sungai. Gambar 9. Perahu Candi Penataran- Panel Pahatan Relief Candi – In Situ. Foto : Samodra Perahu Candi Borobudur. Layar Persegi dan Tiang Layar Kaki Tiga (Tripod). Bentuk Perahu tersebut dikatakan mendekati bentuk perahu Kora- Kora – Seperti Gambar 10. Di bawah ini
Gambar 10. Model Perahu Kora- Kora dari Sulawesi – No. A4752 Weber Collection – Tropenmuseum, Amsterdam [Horride, 1986]
Gambar 11. Perahu Pencalang, Banyuwangi 1830 [Paris, 1992] Pada perahu pencalang yang dijumpai di Banyuwangi tahun 1830an, tampak terlihat hiasan pucuk tiang layar dan tiang layar kaki tiga yang masih menyerupai perahu Candi Borobudur. Sementara perahu pencalang pada gambar 12. di bawah memiliki layar yang masih membawa ciri layar perahu Borobudur. Demikian juga sistem kemudinya.
Gambar 12. Perahu Pencalang dari abad pertengahan ke XIX. Model dari Museum Ethnology, Leiden [Horridge, 1986] Sebagai negara besar di Kepulauan Nusantara, bandar- bandar Majapahit tentu ramai dengan perdagangan yang melewati jalur laut. Perahu- perahu niaga akan sibuk berlalu- lalang. Pelabuhan- pelabuhan penting pada masa Majapahit diantaranya adalah: Gresik; Sidhayu; Tuban, Surabhaya, Pasuruhan dan
Canggu. Bukti- bukti keberadaan pelabuhan -pelabuhan niaga tersebut disebutkan dalam berbagai prasasti, Kitab- kitab kuno dan berita- berita yang ditulis para musafir. Namun, keberadaan pelabuhan- pelabuhan tersebut tidak sertamerta disertai dengan deskripsi yang gambling tentang perahuperahu pada masa itu, yang dipakai untuk berniaga di pelabuhanpelabuhan tersebut. Indikasi samar- samar tentang jenis perahu yang dipakai orang Majapahit dapat diambil dari Kidung Sunda [Berg, 1927]. Semua Naskah Kidung berasal dari Bali namun tidak dapat dipastikan apakah ditulis di Bali atau di Jawa. Pengarang tidak diketahui, kemungkinan ditulis sesudah tahun 1540. Meskipun Kidung Sunda adalah sepenuhnya karya Sastra yang tidak bisa dijadikan pegangan sejarah, tetapi, kisah yang diceritakannya kemungkinan berasal dari fakta sejarah. Pupuh I Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar.
Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak dari Sunda disertai banyak sekali iringan. Mereka berlayar dengan 200 perahu besar dengan banyak perahu- perahu kecil yang menyertai Jumlah keseluruhan perahu- perahu tersebut setidaknya 2000 buah Namun sebelum rombongan bangsawan Sunda ini naik ke perahu, mereka melihat ada pertanda buruk. Perahu yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “Jung Tatar, yang semenjak Perang W ijaya secara umum memang banyak dipakai.” (bait 1. 43a.) Penyebutan Jung Tatar pada kidung ini, mengindikasikan bahwa ada jenis Jung Lain atau setidaknya perahu jenis lain yang secara politik dan psikologis tidak mengingatkan orang pada konflik di awal berdirinya Kerajaan Majapahit Jung Jawa Pada Akhir Masa Kerajaan Majapahit Dari beberapa naskah, didapat sedikit penjelasan tentang bentuk dari Jung Jawa. Catatan paling utama di dapat dari orang- orang Portugis yang secara langsung terlibat konflik dengan Pasukan Ekspesidi dari jawa pada tahun 1511. Gaspar Correia, menceritakan tentang pertempuran antara sebuah Jung Jawa melawan kapal- kapal Portugis. Kapal Flor de
la Mar berjenis Nau atau Carrack, yang disebutkan dalam deskripsi Gaspar Correia terlibat langsung dalam konflik tersebut dapat menjadi acuan dasar. Gambar 13. Kapal Portugis Flor de la Mar .Gambar dari W ikipedia
Kapal Flor De La Mar Nama Kapal
:
Flor de la Mar
Galangan
:
Galangan Kapal Lisbon, Portugis
Masa Aktif
:
Tahun 1502 sampai tahun 1511
Penjelasan
:
Tenggelam karena badai di
perairan Sumatra Klas / Jenis
:
dengan tiga tiang layar Displasemen Ukuran Utama
:
Nau atau Carrack, :
400 tons
Panjang 36 meter, Lebar 8 meter,
Tinggi tidak tercatat Deskripsi Jung Jawa Jung Jawa dideskripsikan oleh Gaspar Correia, sebagai berbeda dengan kapal – kapal Portugis, dengan ukuran sangat tinggi dan sangat lebar bila dibandingkan dengan kapal Flor De La Mar.
Lambung Jung Jawa terdiri dari empat lapis papan dengan dua Kemudi Dayung (Lateral Rudder) di kiri dan kanan perahu Detil lebih lanjut tentang Jung Jawa ini tidak didapat dengan jelas.
Penutup Sejauh ini dari data yang ada dapat dilihat bahwa jejak Perahu Borobudur masih terlihat pada Perahu Pencalang Jawa sampai sekitar awal abad ke XIX. Jejak tersebut masih terlihat pada Bentuk Layar dan pada Tiang Layarnya, serta pada sistem kemudi lateralnya. Dengan demikian patut diduga bahwa pada masa Majapahit bentuk- bentuk ini tentu secara umum masih banyak dijumpai. Sampai saat ini belum ditemukan bukti bahwa bentuk lambung Perahu Borobudur, masih dipakai sampai masa Majapahit. Pada masa Majapahit, setidaknya pada periode akhir, terdapat jenis perahu yang disebut dengan Jung Jawa. Untuk menentukan bentuk dari Jung Jawa pada masa akhir Majapahit ini diperlukan penelitian lebih lanjut.