KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI DAN STABILITAS GENOTIPE PADI PADA EKOSISTEM DATARAN TINGGI
SHERLY RAHAYU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaan Karakter Agronomi dan Stabilitas Genotipe Padi pada Ekosistem Dataran Tinggi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Sherly Rahayu NRP. A 253100171
ABSTRACT
SHERLY RAHAYU. Agronomic Traits Performance and Stability of Rice Genotypes in Highland Ecosystem. Supervised by HAJRIAL ASWIDINNOOR and DESTA WIRNAS.
Rice is the most important staple food in the world. Development of rice cultivation area is needed to increase rice productivity through expanding of marginal land especially in high-elevation areas of Indonesia. Temperature, solar radiation and rainfall influence rice yield by directly affecting the physiological processes involved in grain production. The effects of abiotic stress on grain yield and yield components vary with growth stage, depending on variety and weather condition. The major constraint of rice cultivation in high elevation area is lack of cold tolerance varieties. The objectives of this research were to obtain the information of agronomic traits performance and stability of rice genotypes to be adapted in highland across three different high-elevations (700, 900 and 1200 m above sea level). The rice genotypes derived from mutation induction and hybridization treatment were cultivated in dry season (2011) and rainy season (2011/2012). Forty rice genotypes were used in dry season cultivation across two different high-elevations (700 and 1200 m above sea level). Twenty five rice genotypes were selected based on agronomic trait performance and grain yield in dry season and then cultivated in rainy season across three different highelevations (700, 900 and 1200 m above sea level). Four stability analysis methods i.e. Finlay- Wilkinson, Eberhart – Russel, Francis - Kannenberg and AMMI were applied to analyze the stability of promising lowland rice lines. The results showed that the difference of high elevations had influenced on yield in dry season due to low air temperature (15ºC) during flowering period while there was no significantly effect in rainy seasons across three different high elevation areas. A minimum daily air temperature below 17°C in flowering period caused high unfilled grain numbers, low filled grain percentage, reduced grain weight, low panicle numbers, incomplete panicle extension, extended maturity date, extended grain filling period and low yield which varied among genotypes. Stability analysis indicated that some promising rice lines well adapted in different high altitudes areas. There were 12 rice lines stable based on Finlay Wilkinson method, Eberhart and Russell method (6 rice lines), Francis and Kannenberg method (16 rice lines) and AMMI models revealed three stable rice lines. The OS30-199 mutant line produced the highest yield (4,69 ton/ha) among genotypes observed which highly significant over check variety, Sarinah (3,42 ton/ha). Keywords: rice, low temperature, agronomic trait, stability, high elevation
RINGKASAN
SHERLY RAHAYU. Keragaan Karakter Agronomi dan Stabilitas Genotipe Padi pada Ekosistem Dataran Tinggi. Dibimbing oleh HAJRIAL ASWIDINNOOR dan DESTA WIRNAS. Beras merupakan sumber makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di dunia. Produksi beras perlu terus ditingkatkan untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk. Upaya untuk meningkatkan produktivitas padi dapat dilakukan dengan perluasan areal tanam dengan memanfaatkan kawasan dataran tinggi. Faktor penghambat budidaya padi di dataran tinggi yaitu sebagian besar kultivar yang ditanam merupakan padi lokal yang memiliki karakter agronomi yang kurang menguntungkan, seperti berumur dalam, tanaman yang tinggi, dan produksi yang rendah. Berbagai faktor lingkungan turut mempengaruhi pertumbuhan dan hasil padi di kawasan dataran tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh ketinggian tempat terhadap keragaan karakter agronomi dan produktivitas genotipe padi serta mengetahui daya adaptasi dan stabilitas galur padi dataran tinggi. Penelitian dilakukan selama dua musim tanam. Musim tanam pertama (MK 2011) dilakukan di dua ketinggian tempat (700 m dpl dan 1200 m dpl) menggunakan 40 genotipe padi, sedangkan musim tanam kedua (MH 2011/2012) dilakukan di tiga ketinggian tempat (700 m dpl, 900 m dpl dan 1200 m dpl) menggunakan 25 genotipe yang dipilih berdasarkan keragaan karakter agronomi dan hasil pada musim tanam pertama. Galur yang digunakan merupakan hasil persilangan dan mutasi induksi. Analisis stabilitas dilakukan menggunakan metode Finlay- Wilkinson, Eberhart – Russel, Francis – Kannenberg dan AMMI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketinggian tempat mempengaruhi keragaan karakter panjang malai, umur tanaman, jumlah gabah bernas, persentase gabah isi, lama pengisian dan produksi GKG pada musim kemarau dengan adanya cekaman suhu rendah (suhu minimum rata-rata 15°C) di ketinggian 1200 m dpl. Nilai karakter tinggi tanaman yang lebih tinggi, umur panen yang lebih genjah, lama pengisian biji yang lebih cepat dan jumlah gabah bernas yang lebih banyak terdapat di ketinggian 700 m dpl disebabkan oleh kondisi lingkungan yang lebih optimum untuk pertumbuhan tanaman. Produksi genotipe padi sawah tidak menunjukan perbedaan yang nyata di ketiga ketinggian tempat pada musim hujan dengan suhu minimum di atas 17ºC. Semua karakter memiliki pengaruh genotipe yang berbeda nyata, kecuali karakter jumlah anakan produktif yang tidak berbeda nyata di ketinggian 900 m dpl dan 1200 m dpl, sehingga karakter ini tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan cekaman lingkungannya. Semua karakter agronomi yang diamati memiliki nilai koefisien keragaman tergolong rendah di ketinggian 700 m dpl. Nilai koefisien keragaman yang tinggi terdapat pada karakter jumlah anakan produktif dan karakter jumlah gabah bernas di ketinggian 900 m dpl. Koefisien keragaman yang rendah dihasilkan pada kondisi lingkungan optimum dan sebaliknya terjadi pada lingkungan bercekaman. Karakter utama yaitu jumlah gabah bernas, memiliki nilai koefisien keragaman pada kategori sedang hingga tinggi di tiga ketinggian tempat.
Korelasi negatif tingkat cekaman suhu rendah dengan keragaan karakter agronomi terdapat pada karakter tinggi tanaman, jumlah gabah bernas per malai, persentase gabah bernas, panjang malai dan bobot 1000 butir. Korelasi positif tingkat cekaman suhu rendah terjadi pada karakter jumlah anakan produktif. Sedangkan pada karakter panjang daun bendera, umur berbunga dan umur panen, nilai rata-rata tertinggi terdapat pada ketinggian 900 m dpl. Beberapa karakter agronomi yang memiliki korelasi positif sangat nyata yang sama di ketiga ketinggian yaitu karakter jumlah anakan produktif dengan produksi GKG, panjang malai dengan panjang daun bendera, karakter umur berbunga dengan bobot 1000 butir, serta karakter persentase gabah isi dengan jumlah gabah bernas dan produksi GKG. Karakter yang memiliki pengaruh langsung bernilai positif yang besar dan sama di ketiga ketinggian tempat yaitu karakter jumlah anakan produktif, persentase gabah bernas dan bobot 1000 butir, dapat diindikasikan bahwa karakter-karakter tersebut memiliki kontribusi besar terhadap hasil di ekosistem dataran tinggi. Galur OS-30-199 memiliki rata-rata hasil paling tinggi di lima lingkungan pengujian yaitu 4,69 ton/ha. Produksi mencapai nilai optimal dengan suhu minimum di atas 18°C dan lama penyinaran yang optimal pada musim kemarau. Terjadi penurunan angka produksi GKG sebesar 2,5 ton/ha di ketinggian 700 m dpl pada kondisi lama penyinaran yang lebih sedikit pada musim hujan. Hasil analisis stabilitas mengindikasikan bahwa terdapat beberapa galur yang stabil pada pengujian di lima lingkungan. Berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Francis dan Kannenberg, sebanyak enam belas genotipe yang diuji mempunyai nilai CV yang rendah sehingga dapat dikatakan stabil. Berdasarkan metode Finlay Wilkinson, galur C4-30-21. C8-10-25, IPB117-F-20, RB-10-95, RB- 10-98, KN-20-124, KN-20-127, PK-20-133, C3-10-171, OS-30199, KK-10-249 dan CM-20-251 dikategorikan stabil karena memiliki nilai bi yang tidak berbeda nyata dengan satu. Galur RB-30-82, KN-30-186, Kuning, dan IPB97-F-13 beradaptasi baik pada lingkungan optimal, sedangkan galur KN-10111, PK-30-131, Randah Batu Hampa dan varietas pembanding Sarinah memiliki daya adaptasi baik pada ketinggian 1200 m dpl pada MK 2011. Berdasarkan metode Eberhart dan Russel (1966), galur IPB117-F-20, RB-10-95, C3-10-171, OS-30-199, KK-10-249 dan CM-20-251 dikategorikan stabil karena memiliki nilai bi tidak berbeda nyata dengan 1 dan nilai Sdi mendekati 0. Berdasarkan metode AMMI, diketahui bahwa galur KN-10-111, KN-20-124 dan RB-10-98 merupakan galur yang stabil. Galur KK-10-249 adaptif di ketinggian 900 m dpl. Galur C4-30-21, RB-10-95 dan KN-20-127 spesifik untuk ketinggian 700 m dpl pada MK, sedangkan pada MH galur RB-30-82, IPB-117-F20 dan C3-10-171 memiliki daya adaptasi yang lebih baik. Galur PK-20-133 stabil di ketinggian 1200 pada MH sedangkan galur OS-30-199 dan Sarinah stabil pada lingkungan dengan suhu terendah pada MK.
Kata kunci: padi, suhu rendah, karakter agronomi, stabilitas, dataran tinggi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI DAN STABILITAS GENOTIPE PADI PADA EKOSISTEM DATARAN TINGGI
SHERLY RAHAYU
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Sintho Wahyuning Ardie, SP, M.Si
Judul Tesis
: Keragaan Karakter Agronomi dan Stabilitas Genotipe Padi pada Ekosistem Dataran Tinggi
Nama
: Sherly Rahayu
NRP
: A253100171
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc Ketua
Dr. Desta Wirnas, SP, M.Si Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 28 Desember 2012
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur hanyalah milik Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini berjudul Keragaan Karakter Agronomi dan Stabilitas Genotipe Padi pada Ekosistem Dataran Tinggi. Penulis
mengucapkan
terima
kasih
yang
setinggi-tingginya
yang
disampaikan kepada: 1. Dr. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc dan Dr. Desta Wirnas, M.Si selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, dukungan dan perhatian. 2. Dr. Sintho Wahyuning Ardie, SP, M.Si selaku dosen penguji luar komisi pada ujian akhir tesis, Dr. Trikoesoemaningtyas M.Sc selaku ketua program mayor PBT, serta dosen-dosen di Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan selama menempuh pendidikan di IPB. 3. Kementrian Riset dan Teknologi sebagai sponsor biaya pendidikan dalam Program Beasiswa Pascasarjana 2010 dan Prof (R). Dr. Mugiono (Alm) sebagai penanggung jawab dana DIPA BATAN untuk penelitian ini. 4. Keluarga Bapak H. Adang, Bapak Dadang, Bapak H. Nono dan Bapak Oma sebagai pemilik lahan sawah yang digunakan dalam penelitian ini serta bantuan dan kerjasama yang telah diberikan selama penelitian berlangsung. 5. Ibu Hj. Nemmi, Ayah H. Imran, adik-adik tercinta (Ayub Ilfandy, MS; Ilhamdy, SE; dan Yashinta Rahayu) serta keluarga besar, atas dukungan, semangat dan limpahan doa sehingga pendidikan ini dapat diselesaikan dengan baik. 6. Suami tercinta, Faisal, SE dan anak-anak yang paling dicintai dan disayangi Khaira Nasyitha Faisal dan Syafiq Abrar Faisal atas doa, semangat, kerjasama dan perhatian yang besar dan tulus yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan di IPB.
7. Teman-teman PBT S2 dan S3 angkatan 2010 atas kekompakan, kerjasama dan perhatian yang telah diberikan serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian pendidikan, penelitian dan penyusunan tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
Bogor, Januari 2013
Sherly Rahayu
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bukittinggi, pada tanggal 12 Juli 1981. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari ayah H. Imran dan Ibu Hj. Nemmi. Penulis telah menikah dengan Faisal, SE pada tahun 2007 dan telah dikaruniai sepasang buah hati bernama Khaira Nasyitha Faisal dan Syafiq Abrar Faisal. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 01 Bukittinggi dan sekolah menengah pertama di SMPN 10 Bandung. Tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 5 Bandung. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) jurusan Bioteknologi Tumbuhan, Fakulti Sains dan Teknologi, Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 2004. Tahun 2006 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf peneliti di kelompok Pemuliaan Tanaman, Bidang Pertanian, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Jakarta.
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Respon tanaman padi terhadap variasi suhu pada setiap fase pertumbuhan Genotipe padi dataran tinggi yang digunakan dalam penelitian ............... Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan karakter agronomi genotipe padi pada masing-masing lokasi................................................................ Analisis ragam gabungan model acak (5 lingkungan)………………….. Analisis ragam pengaruh genotipe, lokasi, dan interaksi GxE terhadap komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi dataran tinggi… Nilai rata-rata karakter tinggi tanaman, umur berbunga dan umur panen genotipe padi dataran tinggi di ketinggian 1200 m dpl dan 700 m dpl pada .......................................................................................................... Genotipe padi dataran tinggi yang digunakan dalam penelitian pada MH 2011/2012…................................................................................................ Analisis ragam karakter agronomi genotipe padi dataran tinggi di tiga lokasi dengan perbedaan ketinggian tempat............................................... Korelasi antar karakter agronomi galur padi dataran tinggi di ketinggian 700 m dpl ………………………………………………… ………….. Korelasi antar karakter agronomi galur padi dataran tinggi di ketinggian 900 m dpl………………………………………………………………… Korelasi antar karakter agronomi galur padi dataran tinggi di ketinggian 1200 m dpl ….…………………………………………………………… Parameter genetik komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian……………………….. Pengaruh langsung dan tidak langsung antara komponen pertumbuhan, komponen hasil terhadap hasil di ketinggian 700 m dpl............................. Pengaruh langsung dan tidak langsung antara komponen pertumbuhan, komponen hasil terhadap hasil di ketinggian 900 m dpl............................. Pengaruh langsung dan tidak langsung antara komponen pertumbuhan, komponen hasil terhadap hasil di ketinggian 1200 m dpl........................... Analisis ragam pengaruh genotipe, lokasi, dan interaksi G x E terhadap komponen hasil dan hasil padi dataran tinggi …………………………… Rata-rata produksi GKG galur padi dataran tinggi di lima lingkungan....... Parameter stabilitas hasil GKG genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian…………………………………………………….. Analisis ragam AMMI genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian.....................................................................................................
6 25 26 28 29
24 48 51 55 55 55 56 59 60 61 69 74 75 78
DAFTAR GAMBAR
1
Halaman Bagan alir tahapan penelitian…………………………………………… 4
2
Skema siklus angiosperma tanaman ……………………………………
3
Suhu maksimum dan minimum di ketinggian 700 m dpl dan 1200 m dpl pada MT 1 dan MT 2……………………………………………………
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
7 29
Karakter jumlah gabah bernas per malai (A) persentase gabah bernas (B) pada genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan ............. ……. .
33
Karakter jumlah gabah bernas per malai genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian…………………………………………..... Karakter persentase gabah bernas genotipe padi dataran tinggi di lima
34
lingkungan pengujian …………………………………………………..
35
Diagram curah hujan di ketinggian 700 m dpl dan 1200 m dpl selama dua musim tanam................................................................................... 36 Karakter jumlah anakan produktif genotipe padi di lima lingkungan.... 37 Karakter jumlah anakan produktif genotipe padi berdasarkan lingkungan 37 Lama penyinaran matahari selama musim tanam pada ketinggian 700 m dpl dan 1200 m dpl………………………………….………………….. 38 Distribusi frekuensi karakter panjang malai genotype padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian..................................................................... 39 Karakter panjang daun bendera genotipe padi dataran tinggi berdasarkan lingkungan………….……………………………………………………. 40 Karakter panjang daun bendera genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian……………………………………………………. 41 Distribusi frekuensi karakter bobot 1000 butir genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian …………………….……………… 42 Karakter bobot 1000 butir genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian……………………………………………………………..…. 43 Distribusi frekuensi karakter produksi GKG genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian…………………………………….……. . 70 Hasil genotipe padi dataran tinggi berdasarkan lingkungan di lima lingkungan pengujian…………………………………………………… 71 Hasil GKG genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian.. 72 2 Interpretasi parameter bi dan Sdi pada analisis stabilitas di lima lingkungan……………………………………………………………… 76 Biplot AMMI genotipe padi dataran tinggi pada lima lingkungan......... 79
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Data Klimatologi pada Ketinggian 700 m dpl........................................... 99 2 Data Klimatologi pada Ketinggian 1200 m dpl…………………………. 100
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap persediaan makanan pokok salah satunya beras, merupakan permasalahan yang masih belum dapat teratasi. Peningkatan produksi padi dapat dicapai melalui pengelolaan budidaya yang tepat. Keberhasilan budidaya tanaman padi ditentukan oleh jenis kultivar yang digunakan dan areal pertanaman. Kedua faktor ini berperanan penting dalam upaya peningkatan produktivitas. Berdasarkan data produktivitas padi, pada tahun 2007 produktivitas mencapai 4,71 ton/ha, tahun 2008 sampai 2010 meningkat menjadi masing-masing 4,89 ton/ha, 4,99 ton/ha dan 5,02 ton/ha, tetapi pada tahun 2011 mengalami penurunan dengan produktivitas 4,94 ton/ha (BPS 2012). Salah satu penyebab menurunnya produktivitas padi di Indonesia merupakan dampak konversi lahan sawah yang berlangsung pada tahun tertentu dan tidak hanya menyebabkan hilangnya peluang produksi pada tahun yang bersangkutan tetapi juga pada tahun-tahun berikutnya, atau bersifat kumulatif. Selama kurun 1981-1998 diperkirakan peluang produksi padi yang hilang akibat konversi lahan sawah sekitar 233 juta ton gabah per tahun atau hampir setara dengan volume impor beras yang jumlahnya sekitar 1,5 juta ton per tahun (Irawan et al. 2000). Berbagai kendala ditemukan dalam rangka melestarikan dan meningkatkan produksi padi di Indonesia. Salah satunya, keterbatasan lahan pertanian yang turut menjadi faktor penghambat budidaya tanaman padi. Berbagai kawasan dengan kondisi yang beragam terus dikembangkan untuk menjadi lahan yang potensial bagi penanaman padi, di antaranya daerah dataran tinggi yang merupakan sebagian besar kawasan di Indonesia. Salah satu pendekatan yang telah dikaji untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah adalah melalui pendekatan varietas unggul (Balitpa 2003). Namun demikian hasil yang diperoleh masih belum optimal. Di Indonesia padi ditanam seluas 500,000 ha dengan ketinggian lebih dari 500 m dpl, dan biasa diselingi dengan tanaman hortikultura. Sebagian besar kultivar yang digunakan merupakan padi lokal yang berumur 6-7 bulan. Penanaman galur-galur varietas unggul padi sawah diharapkan mampu meningkatkan produktivitas sehingga sistem usaha tani akan lebih kompetitif
2
dibandingkan dengan komoditas tanaman semusim lainnya khususnya pada kawasan dataran tinggi. Ekosistem dataran tinggi mempunyai rata-rata suhu selama musim pertumbuhan bervariasi pada kisaran 20-38°C. Sementara itu, tanaman padi sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu. Suhu rendah akan menginisiasi terbentuknya malai, sedangkan jika suhu di bawah 15°C di malam hari dapat menyebabkan buliran steril. Suhu di atas 21°C pada saat pembungaan dibutuhkan untuk antesis dan penyerbukan (Lee 2001). Tingkat toleransi tanaman padi terhadap berbagai cekaman lingkungan sangat dipengaruhi oleh genotipe. Kultivar yang toleransi terhadap suhu rendah dapat tumbuh sampai pada ketinggian 1230 m dpl. Padi dapat bertahan sampai ketinggian 2300 m dpl di Filipina dan Himalaya Barat. Kultivar yang toleran terhadap iklim dingin secara morfologi tidak berbeda dengan kultivar lainnya. Tanaman padi dapat bertahan pada suhu 12°C pada tingkat semai, 15-17°C suhu malam hari selama inisiasi malai dan suhu 21°C selama antesis (Shibata 1979). Berbagai cara telah ditempuh untuk melakukan perbaikan sifat agronomis tanaman yang sangat berpengaruh terhadap angka produksi. Di antaranya dengan menambah variasi genetik tanaman dengan menggunakan teknik mutasi dan persilangan. Pemuliaan tanaman dengan mutasi induksi merupakan cara yang efektif untuk memperkaya plasma nutfah yang sudah ada dan sekaligus untuk perbaikan varietas (Micke et al. 1990). Pemuliaan mutasi sangat bermanfaat untuk perbaikan beberapa sifat tanaman saja dengan tidak merubah sebagian besar sifat tanaman aslinya (Amano 2004). Pemuliaan dengan metode persilangan bertujuan untuk menggabungkan semua karakter baik ke dalam satu genotipe baru, memperluas keragaman genetik dan memanfaatkan vigor hibrida (Syukur et al. 2009) Perakitan varietas padi sawah berdaya hasil tinggi dan toleran suhu rendah merupakan alternatif pemecahan masalah pada daerah dataran tinggi dengan cekaman suhu rendah. Pengaruh cekaman suhu pada beberapa ketinggian tempat di dataran tinggi dapat memberikan perbedaan angka produksi padi bagi setiap galur yang diuji. Hal ini merupakan faktor yang esensial untuk dipelajari secara lebih mendalam dalam kerangka menghasilkan varietas padi dataran tinggi
3
dengan berbagai level ketinggian tempat maupun ketinggian tempat yang spesifik untuk memperoleh hasil yang optimal.
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memperoleh galur harapan padi dataran tinggi dengan produktivitas tinggi. Tujuan khusus penelitian yang ingin dicapai adalah : 1) Memperoleh informasi mengenai pengaruh ketinggian tempat terhadap produktivitas genotipe padi dataran tinggi 2) Mempelajari keragaan karakter agronomi genotipe padi pada ekosistem dataran tinggi 3) Mendapatkan informasi tentang stabilitas dan daya adaptasi genotipe padi dataran tinggi pada tiga level ketinggian tempat.
Hipotesis Penelitian Hipotesis pada penelitian ini adalah: 1)
Terdapat variabilitas genetik yang tinggi dari genotipe padi dataran tinggi hasil persilangan dan mutasi induksi
2)
Terdapat genotipe padi dataran tinggi yang dapat beradaptasi pada beberapa level ketinggian tempat
3)
Terdapat perbedaan daya hasil diantara genotipe padi yang diuji pada tiga level ketinggian tempat
4)
Ketinggian tempat berpengaruh terhadap hasil/produktivitas padi.
4
Kerangka Pemikiran Daya adaptasi tanaman sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman. Adanya interaksi di antara genotipe dan lingkungan menghasilkan perbedaan fenotipe tanaman. Berbagai faktor lingkungan yang dapat menyumbangkan pengaruh yang signifikan di antaranya ketinggian tempat yang dapat dikaitkan dengan perbedaan suhu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dipelajari interaksi antara beberapa genotipe padi dataran tinggi hasil mutasi induksi dan persilangan terhadap tiga level ketinggian tempat serta melakukan analisis stabilitas galur-galur padi dataran tinggi. Alur/kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Genotipe Padi untuk Target Dataran Tinggi Hasil Mutasi dan Rekombinasi
Studi Keragaaan Genotipe Padi pada Cekaman Suhu Rendah di Dua Ketinggian (700 dan 1200 m dpl) (Percobaan 1)
Studi Interaksi G x E dan Stabilitas pada Tiga Ketinggian (700, 900 dan 1200 m dpl) (Percobaan 2)
Galur/Genotipe Kandidat Unggul untuk Dataran Tinggi
Gambar 1 Bagan alir tahapan penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Padi Tanaman padi termasuk ke dalam divisio spermatophyta, sub divisio Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae, Ordo Graminales, Famili Gramineae, dan Genus Oryza. Terdapat dua spesies budidaya yaitu Oryza sativa dan Oryza glaberrima. Oryza sativa ditanam oleh banyak negara di dunia tetapi Oryza glaberrima hanya ditanam di sebagian besar Afrika Barat. Oryza sativa kemudian diklasifikasikan menjadi tiga sub spesies berdasarkan distribusi secara geografi dan karakter morfologi yaitu japonica, indica, dan javanica (Takahashi 1984). Padi memiliki jumlah kromosom bervariasi diantara 24-48 dengan n=12. Berdasarkan perpasangan kromosom pada fase meiosis, padi mempunyai genom: AA, BB, CC, EE dan FF untuk spesies diploid dan BBCC dan CCDD untuk spesies tetraploid. Spesies padi diploid 2n=24 telah dibudidayakan pada berbagai kondisi lingkungan. O. sativa banyak dibudidayakan di Asia Tenggara dan Asia Selatan dan spesies O. rufipogon dan O. nivara yang merupakan tetua dari O. glaberrima banyak dibudidayakan di Afrika Barat (Vaughan 1989). Tipe japonika mempunyai karakter agronomis seperti berumur lebih panjang, struktur tanaman tinggi, mempunyai bulu pada ujung gabah, dan biji berukuran agak besar. Sedangkan tipe indica mempunyai ciri sebaliknya yaitu umur tanaman lebih genjah, biji berukuran lebih kecil dan ramping, tanaman pendek dan tidak berbulu pada bagian palea. Javanica memiliki ciri diantara keduanya (Matsuo et al. 1995). Pertumbuhan tanaman dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahapan pertumbuhan vegetatif, reproduktif dan pengisian biji atau tahap pematangan. Tahapan vegetatif dimulai dari perkecambahan, kemunculan daun,
hingga
membentuk anakan. Pemanjangan batang, munculnya daun bendera, fase bunting, heading dan pembungaan termasuk pada tahapan reproduktif, sedangkan tahapan pengisian biji merupakan tahapan pematangan yang merupakan akhir dari pertumbuhan padi. Bagian vegetatif terdiri dari tiga bagian yaitu akar, batang dan daun (Counce et al. 2000).
6
Pertumbuhan padi sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, terutama suhu. Respon padi terhadap variasi suhu pada fase pertumbuhan (Yoshida 1977) disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Respon tanaman padi terhadap variasi suhu pada setiap fase pertumbuhan Fase Pertumbuhan Perkecambahan Bibit Perakaran Pemanjangan daun Pembentukan anakan Inisiasi malai Diferensiasi malai Antesis Pematangan biji
Rendah 10 12-13 16 7-12 9-16 15 15-20 22 12-18
Temperatur Kritis (°C) Tinggi Optimum 45 20-35 35 25-30 35 25-28 45 31 33 25-31 38 35 30-33 30 20-23
Fotoperiode pertama dilaporkan oleh Garner dan Allard (1920), dan kemudian tanaman dikelompokan pada tiga kategori berdasarkan respon fotoperiode yaitu: tanaman hari pendek, hari panjang dan hari netral. Setiap tanaman memiliki fotoperiode yang berbeda.
Sebagian besar kultivar padi
merupakan tanaman hari pendek yang memiliki fotoperiode sensitif. Terjadi penundaan fase berbunga pada kultivar yang memiliki fotoperiode sensitif apabila lama penyinaran tidak optimum. Selain fotoperiode, intensitas cahaya dan suhu juga mempengaruhi fase berbunga pada tanaman padi (Vergara & Chang 1985). Fase awal pembentukan mikrospora merupakan tahapan reproduktif yang paling sensitif terhadap cekaman suhu rendah. Polen yang terhasil dapat menjadi abnormal apabila mengalami cekaman suhu rendah. Proses penghasilan polen seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.
7
Gambar 2 Skema siklus angiosperma tanaman (Raven & Johnson 2002) dalam Thakur et al. (2010) Untuk
mengembangkan
varietas
padi
dengan
hasil
yang
tinggi,
diindikasikan mempunyai indeks panen 0.6 (60% gabah dan 40% berat tanaman). Padi Tipe Baru yang banyak dikembangkan mempunyai ciri jumlah anakan produktif yang tinggi,
malai panjang (200-250 gabah/malai), tinggi tanaman
berkisar 90-100 cm, batang yang tebal dan kokoh, sistem akar yang vigor dan umur tanaman 100-130 hari. Dengan karakter ini diharapkan lebih banyak energi pada tanaman yang digunakan untuk penghasilan biji sehingga akan meningkatkan hasil sebanyak 20% (Peng et al. 2005).
Ekosistem Dataran Tinggi dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Padi Kondisi lingkungan di Indonesia, khususnya temperatur udara memiliki perbedaan berdasarkan ketinggian tempat. Suhu minimum berkisar pada 12,8°C – 16,6°C di ketinggian 1000 m dpl, sedangkan pada ketinggian 900 m dpl suhu
8
minimum berkisar antara 14,4°C - 21,0°C (Harahap 1979). Terjadi penurunan suhu sebesar 0,6°C setiap kenaikan ketinggian tempat 100 m (Lockwood 1974). Tanaman padi memiliki suhu kritis berkisar 10°C - 20°C terutama pada waktu antesis dan pada fase mikrosporogenesis (Cruz et al. 2006). Selain dipengaruhi oleh suhu, padi dataran tinggi tumbuh sebagai pertanian yang tergantung hujan, membutuhkan curah hujan lebih dari 750 mm di atas periode 3-4 bulan dan tidak bertoleransi terhadap kekeringan. Di Asia Tenggara kebutuhan rata-rata air untuk irigasi padi adalah 1200 mm per sekali tanam atau 200 mm curah hujan per bulan (Harahap 1979). Menurut Darmawan dan Baharsjah (2010) pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan yaitu: a. Curah hujan, besarnya curah hujan mempengaruhi kadar air tanah sehingga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. b. Tinggi dari permukaan laut. Ketinggian suatu tempat mempengaruhi suhu, intensitas cahaya matahari dan curah hujan. c. Keadaan tanah, yang terdiri dari keadaan fisik tanah yang ditentukan oleh tekstur, struktur tanah dan keadaan kimia tanah yang berkaitan dengan kandungan zat hara di dalam tanah. d. Suhu, mempengaruhi kecepatan pertumbuhan maupun sifat dan struktur tanaman. Pertumbuhan tanaman padi memiliki suhu minimum 5°C, suhu optimum 25-30°C dan suhu maksimum berkisar antara 35-40°C. Tetapi suhu kardinal (suhu minimum, suhu optimum dan maksimum) sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman dan berbeda menurut umur tanaman. Fluktuasi suhu udara siang dan malam hari juga berpengaruh terhadap pertumbuhan. e. Cahaya matahari yang terdiri dari intensitas cahaya, kualitas cahaya (panjang gelombang) dan lamanya penyinaran (panjang hari) juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Pengaruh dari ketiga sifat cahaya tersebut terhadap pertumbuhan tanaman adalah melalui pembentukan klorofil, pembentukan stomata, pembentukan antocyanin (pigmen merah), perubahan suhu daun atau batang, penyerapan hara, permeabilitas dinding sel, transpirasi dan gerakan protoplasma.
9
Faktor yang menyebabkan bahaya cekaman suhu rendah terhadap tanaman padi berasal dari temperatur udara yang rendah dan suhu air irigasi yang dingin. Kedua komponen ini dapat digunakan dalam skrining tanaman toleran suhu rendah. Suhu tertentu akan menyebabkan kerusakan bergantung pada genotipe dan fase pertumbuhan padi (Kaneda & Beachell 1974). Mekanisme yang tejadi pada tanaman selama cekaman suhu rendah yaitu terjadinya low temperature photoinhhibition, dimana terhambatnya pemanfaatan cahaya oleh tanaman pada proses fotosintesis. Fotoinhibisi berkaitan langsung dengan kompleks protein fotosistem II (PS II). Untuk mengurangi fenomena ini, maka diperlukan asam lemak tak jenuh phosphatidylglycerol yang terdapat dalam membran tilakoid yang berkaitan dengan kompleks fotosistem II (Taiz & Zeinger 2002). Fotosintesis dalam peranannya pada proses diferensiasi dan perkembangan tanaman yaitu memperbesar kapasitas sink dengan menyediakan bahan dan energi yang diperlukan untuk peningkatan hasil. Setelah pembentukan malai, fotosintesis akan berperanan dalam proses pengisian gabah dengan cara menyediakan karbohidrat (Murata & Nishida 1989). Tekanan yang terjadi pada fotosistem II pada proses fotosintesis, dapat mempengaruhi morfologi tanaman dan ekspresi gen yang terlibat selama aklimasi suhu rendah (Gray et al. 1997). Fase berbunga diatur oleh gen dan faktor lingkungan. Cahaya (fotoperiode dan kualitas cahaya) dan suhu merupakan faktor pengatur utama pada fase pembungaan tanaman. Fotoperiode (panjang hari) merupakan signal lingkungan yang paling penting untuk transisi pembungaan. Tanaman dapat mengenali dan mengukur perubahan panjang hari secara akurat untuk mengatur waktu berbunga. Bahaya cekaman suhu rendah berbeda untuk setiap kultivar, pada suhu 15°C selama 4 hari pada fase awal pembentukan mikrospora meningkatkan sterilitas gabah pada kultivar yang toleran cekaman suhu rendah, sedangkan untuk kultivar yang rentan terhadap cekaman suhu rendah mempunyai suhu kritis pada 17-19 °C. Suhu rendah (12°C) selama dua hari tidak menyebabkan sterilitas, tetapi jika lebih dari 6 hari menyebabkan sterilitas sebesar 100% (Satake 1969).
10
Waktu heading tanaman padi pada suhu rendah (23°C) berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan suhu normal (27°C). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa gen Hd3a dan Hd1 memiliki peran penting selama fase pembungaan. Ekspresi gen Hd3a berkurang pada suhu rendah selama fase berbunga tetapi ekspresi gen Hd1 tidak dipengaruhi oleh perlakuan suhu yang berbeda (23°C dan 27°C). Hal ini mengindikasikan bahwa penekanan ekspresi gen Hd3a oleh suhu rendah menyebabkan terlambatnya waktu pembungaan (Luan et al. 2009). Waktu berbunga adalah tahapan yang paling sensitif terhadap cekaman suhu rendah seperti yang telah dilaporkan oleh Enomoto (1933) dan Sakai (1937). Terao et al. (1940) dalam percobaanya melaporkan bahwa tingkat sterilitas maksimum terjadi pada cekaman suhu rendah pada fase meiosis yang terjadi pada polen dan fase awal pembentukan malai. Penelitian lain menyatakan bahwa tahapan yang paling sensitif terhadap cekaman suhu rendah yaitu pada fase bunting, sekitar 11 hari sebelum heading (Kakizaki 1938). Tanaka (1962) melaporkan bahwa pembungaan akan terhambat apabila suhu maksimum di bawah 25°C dan yang paling mempengaruhi yaitu suhu minimum per hari. Jumlah gabah hampa berkorelasi nyata dengan cekaman suhu rendah. Jumlah polen per anter yang terhasil, lebih sedikit dan ukuran stigma lebih kecil pada cekaman suhu rendah sehingga meningkatkan jumlah gabah hampa (Farrell et al. 2006). Telah dibuktikan bahwa spikelet dan malai merupakan organ yang paling sensitif terhadap cekaman suhu rendah selama fase bunting, terutama anter (Nishiyama et al. 1969). Posisi spikelet pada malai juga turut menentukan tingkat sterilitas pada kondisi suhu rendah, spikelet yang berada pada ujung malai lebih banyak yang steril dibandingkan dengan di bagian bawah (Nishimura 1987). Beberapa gen pada padi seperti Ehd1, Ghd7 dan RID1/ Ehd2/OsId1 yang berperan penting dalam fase berbunga telah dapat diidentifikasi, namun mekanisme molekular respon tanaman terhadap suhu pada fase berbunga masih belum diketahui secara jelas (Li & Jiang 2012). Ketahanan tehadap cekaman suhu rendah dikendalikan oleh 5-7 gen dominan yang bersifat aditif (Toriyama 1962). Cekaman suhu rendah selama tahap reproduksi pada padi dapat mengurangi jumlah gabah, eksersi malai yang tidak sempurna dan meningkatnya sterilitas
11
gabah sehingga berakibat pada berkurangnya hasil (Han et al. 2006). Hal yang serupa disampaikan oleh Lee (2001) yang menyatakan bahwa faktor lingkungan utama yang menyebabkan panjangnya umur tanaman dan
persentase gabah
hampa yang tinggi yaitu besarnya cekaman suhu rendah pada kawasan dataran tinggi yang berakibat pada sterilitas polen, fase vegetatif menjadi lebih panjang dan terhambatnya proses pengisian biji pada tanaman padi. Kultivar yang memiliki ketahanan terhadap cekaman suhu rendah dapat diidentifikasi pada suhu kritis tanaman padi yaitu 19°C. Suhu di bawah 15°C selama fase vegetatif berdampak terhadap klorosis daun, jumlah anakan sedikit dan penundaan waktu berbunga (Jena & Jeung 2004). Bobot 1000 butir dan ukuran gabah lebih kecil pada kondisi cekaman suhu rendah, sedangkan kandungan protein lebih tinggi. Pengaruh cekaman suhu rendah bervariasi untuk setiap genotipe (Zhao et al. 2009). Angka pertumbuhan yang sama diperoleh dengan membandingkan kultivar yang tahan dan rentan cekaman suhu rendah pada tingkat suhu dan durasi perlakuan yang berbeda. Kultivar yang toleran suhu rendah masih dapat tumbuh setelah perlakuan selama 5 hari pada suhu 12-14°C, sedangkan pada kultivar yang rentan suhu rendah angka pertumbuhan yang sama didapatkan setelah diperlakukan dengan suhu 17-20°C selama 4 hari (Nishiyama et al. 1969). Suhu malam di bawah 5°C tidak menyebabkan kerusakan yang berarti. Oleh karena itu, cekaman suhu rendah selama beberapa jam tidak menyebabkan sterilitas. Selain tingkat cekaman suhu rendah, durasi berlangsungnya cekaman suhu rendah juga merupakan faktor yang penting (Kashibuchi 1968). Dua akibat utama yang disebabkan cekaman suhu rendah yaitu sterilitas dan terlambatnya pertumbuhan. Sterilitas merupakan gagalnya penyerbukan yang disebabkan adanya cekaman suhu rendah selama fase bunting dan pembungaan. Sedangkan jenis kerusakan terlambatnya pertumbuhan ditandai dengan matang yang tidak sempurna. Suhu kritis yang menyebabkan sterilitas bervariasi berdasarkan durasi cekaman suhu rendah, perbedaan suhu siang dan malam, kondisi lingkungan sebelum dan sesudah fase kritis, metode dan jumlah pupuk yang digunakan dan jenis kultivar yang digunakan (Matsuo et al. 1995).
12
Bentuk kerusakan pada tanaman padi akibat cekaman suhu rendah berbeda pada suatu daerah dengan daerah lainnya. Seperti di Korea, cekaman suhu rendah berpengaruh terhadap fase bibit dan pematangan, di Nepal dan India suhu rendah berpengaruh terhadap jumlah anakan dan fase berbunga. Di negara tropis dimana penanaman dilakukan secara terasering, perbedaan suhu bergantung pada ketinggian tempat. Oleh karena itu perlu dikembangakan varietas padi dataran tinggi yang spesifik lokasi karena beragamnya kerusakan yang ditimbulkan cekaman suhu rendah pada berbagai fase pertumbuhan yang berdampak terhadap penurunan hasil (Nanda & Seshu 1979). Di Indonesia, penanaman beberapa varietas padi pada ketinggian 700-1000 m dpl, memiliki hasil yang rendah dengan sterilitas tinggi yang disebabkan oleh cekaman suhu rendah selama fase bunting dan berbunga (Harahap 1979). Perbedaan tingkat cekaman suhu rendah akan mempengaruhi hasil dan komponen hasil padi yang ditanam di berbagai kondisi lingkungan, khususnya dengan suhu rendah yang bervariasi (Jiang et al. 2010). Selain cekaman suhu rendah, lama penyinaran juga mempengaruhi sterilitas tanaman. Diperlukan intensitas cahaya yang lebih banyak selama proses fotosintesis untuk menghasilkan tanaman yang baik. Pengaruh cekaman suhu rendah pada proses fotosintesis sangat kecil pada kondisi kurang cahaya, disebabkan karena tingkat reaksi ditentukan oleh fotokimia. Fotosintesis dapat berlangsung optimal pada kisaran suhu 15°C – 30°C. Aktivitas RuBP karboksilase yang terlibat dalam fiksasi CO2 selama proses fotosintesis dapat bereaksi pada kisaran suhu 10 – 40 °C, aktivitas meningkat seiring dengan peningkatan suhu (Ishii et al. 1977). Laju fotosintesis berkurang drastis pada suhu di bawah 18°C dan di atas 33°C, tetapi tidak terdapat perbedaan pada kisaran suhu 18 - 33°C, namun demikian suhu optimum fotosintesis relatif berbeda untuk setiap genotipe (Yamada et al. 1955). Laju fotosintesis dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya; (a) kadar CO2 (b) suhu, apabila intensitas cahaya cukup tinggi, maka suhu semakin tinggi dan laju fotosintesis semakin meningkat (c) cahaya, terdiri dari tiga komponen yaitu intensitas cahaya, kualitas cahaya dan lama penyinaran (d) air tanah (e) kadar O2 (f) kandungan hara dalam tanaman dan (g) kandungan klorofil.
13
Kaitan antara fotosintesis dan respirasi yang berpengaruh terhadap komponen hasil seperti jumlah anakan, jumlah malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi dan bobot gabah telah dipelajari oleh Matsushima 1957. Fotosintesis berfungsi menyediakan bahan dasar yang berkontribusi terhadap setiap komponen hasil, di sisi lain respirasi menyediakan energi yang diperlukan selama tahapan diferensiasi dan pertumbuhan organ pada komponen hasil. Peranan fotosintesis selama periode pembentukan sink dan akumulasi karbohidrat sebagai sumber sink lebih besar dibandingkan peranannya pada periode pertumbuhan. Kurangnya cahaya berdampak terhadap berkurangnya jumlah bunga yang terhasil dan persentase gabah isi (Yoshida 1981). Pengaruh cekaman suhu rendah terhadap tanaman lain juga telah dilaporkan pada sorgum (Yu et al. 2004), tembakau (Kodama et al. 1994) dan strawberi (Rajashekar et al. 1999).
Keragaan Karakter Agronomi Padi Dataran Tinggi Beberapa karakter yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan produksi padi yaitu jumlah malai, kapasitas sink, jumlah gabah total, panjang malai, efisiensi pengisian gabah yang stabil dan potensi hasil yang tinggi (Chen 2008). Tingginya persentase gabah bernas dan jumlah gabah total berkorelasi positif terhadap produksi. Karakter utama yang menentukan produksi di lingkungan dengan cekaman suhu rendah adalah umur tanaman dan persentase gabah bernas. Oleh karena itu perlu ditingkatkan keragaan karakter agronomi diantaranya memiliki umur lebih genjah dan persentase gabah bernas, jumlah malai dan panjang malai yang lebih baik (Rasyad et al. 2012). Daun merupakan organ utama yang berfungsi dalam menghasilkan dan mengangkut asimilat, oleh karena itu permukaan daun yang lebih luas akan menghasilkan gabah yang lebih banyak, disamping itu posisi daun bendera juga memainkan peranan penting terutama tiga daun pertama dengan sudut yang kecil akan berpengaruh terhadap fotosintesis (Chen et al. 2002). Kemampuan membentuk anakan produktif dipengaruhi oleh interaksi antara genotipe dan lingkungan tumbuhnya. Pada ekosistem dataran tinggi, pembentukan anakan padi terhambat diakibatkan oleh suhu dan intensitas cahaya matahari yang
14
rendah (Endrizal 2012). Fageria (2007) melaporkan bahwa kultivar dengan jumlah anakan yang banyak akan lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki anakan sedikit pada lingkungan bercekaman, karena dapat mengimbangi produksi, namun pada lingkungan optimal tidak memiliki pengaruh nyata. Kemampuan tanaman menghasilkan anakan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan malai yang berkorelasi kuat dengan hasil (Miller et al. 1991). Jumlah anakan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti cahaya, suhu, densitas tanaman dan nutrisi (Wu et al. 1998). Kontribusi karakter agronomi lainnya yaitu persentase gabah bernas yang memiliki kontribusi di lingkungan optimal sebesar 4%, sedangkan di lingkungan marginal jauh lebih besar yaitu sebesar 69%, dapat diartikan bahwa karakter persentase gabah bernas merupakan karakter utama di dataran tinggi dengan cekaman suhu rendah. Struktur tanaman yang pendek akan meningkatkan indeks panen dan meningkatkan biomasa hasil (Khush 1999). Kepadatan malai, jumlah gabah per malai, bobot gabah dan jumlah gabah bernas merupakan komponen hasil utama yang berkontribusi terhadap hasil (Fageria 2007).
Pemuliaan Tanaman Padi Berbagai metode pemuliaan tanaman telah digunakan untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman di antaranya dengan teknik persilangan buatan, pemuliaan mutasi dan bioteknologi (Poespodarsono 1988). Program pemuliaan berupaya melakukan perbaikan terhadap keragaan dan produktivitas tanaman padi. Penentuan ideotipe tanaman dalam pemuliaan sangat diperlukan untuk meningkatkan potensi genetik karakter yang diinginkan dengan memodifikasi karakter tersebut secara spesifik (Roy 2000). Hibridisasi (persilangan) pada tanaman padi dapat menyebabkan terjadinya kombinasi alela-alela yang dapat meningkatkan keragaman genetik. Penentuan tetua merupakan tahap yang sangat penting karena akan menentukan keberhasilan dari tujuan perolehan karakter yang diinginkan. Tetua yang digunakan harus memiliki karakter yang diinginkan dan mempunyai adaptasi yang baik. Keragaman yang tinggi dapat dihasilkan dengan menggunakan tetua yang mempunyai kekerabatan yang jauh (Allard 1960).
15
Pemuliaan mutasi terhadap tanaman padi telah dimulai pada tahun 1980. Di beberapa negara teknik ini banyak digunakan untuk menghasilkan tanaman dengan hasil yang lebih baik untuk berbagai karakter dan ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman. Di Cina sebanyak 145 varietas telah dihasilkan sejak 1966 dengan menggunakan sinar gamma dan perbaikan dilakukan terhadap karakter agronomi dan fenotipik kualitas gabah (Carena. 2009). Sebanyak 2541 varietas telah dilepas, sebagian besar dihasilkan dari hasil mutasi induksi. Jenis tanaman yang paling banyak dihasilkan melalui mutasi induksi yaitu sereal (1212 varietas) diikuti oleh kekacangan dan tanaman industri. Padi merupakan tanaman jenis sereal yang terbanyak dihasilkan dari teknik mutasi yaitu sebanyak 525 varietas diikui oleh barley (303 varietas) dan gandum (200 varietas) (Guimaraes 2010). Karakter utama pada padi yang mengalami banyak perubahan yaitu umur panen, tinggi tanaman dan ketahanan terhadap penyakit (Maluszynski et al. 1998).
Korelasi Genetik Karakter Agronomi Koefisien korelasi genetik dapat bernilai positif atau negatif. Korelasi antara dua sifat mengindikasikan bahwa perubahan pada suatu sifat juga turut memberikan andil bagi perubahan lainnya. Terjadi peningkatan keragaan secara bersama-sama bila koefisien bernilai positif dan berbanding terbalik bila koefisien korelasi negatif. Perubahan pada suatu sifat tidak memberikan andil bagi perubahan sifat lainnya jika tidak terdapat korelasi (Steel et al. 1977). Limbongan (2008) melaporkan hasil penelitian tanaman padi pada ketinggian 750 m dpl dan 1500 m dpl. Kedua lokasi memiliki bobot gabah relatif lebih tinggi pada tanaman yang berumur genjah dan hal sebaliknya terjadi pada tanaman yang berumur lebih panjang. Tingginya persentase gabah isi dan jumlah gabah total per malai berkorelasi positif terhadap produksi (Rasyad et al. 2012). Schnier et al. (1990) melaporkan karakter tinggi tanaman dan umur panen berkorelasi negatif dan nyata. Sedangkan karakter panjang malai, persentase gabah isi, dan bobot 1000 butir berkorelasi positif dan nyata terhadap hasil. Hasil berkorelasi kuat dengan persentase gabah isi, tetapi berkorelasi lemah dengan jumlah gabah per malai. Jumlah anakan yang kurang merupakan faktor pembatas
16
bagi pembentukan sink. Jumlah malai per meter per segi merupakan komponen hasil terpenting yang berpengaruh sebesar 89% dari variasi hasil (Jones & Synder 1987). Terdapat pengaruh langsung yang positif di antara karakter jumlah gabah bernas per malai terhadap hasil, namun merupakan pengaruh terpenting kedua setelah pengaruh langsung kepadatan malai. Pengaruh langsung jumlah gabah hampa per malai terhadap hasil bersifat negatif, tetapi bila berasosiasi dengan persentase gabah isi, maka pengaruhnya lebih besar (Gravois & Helms 1992).
Interaksi Genotipe x Lingkungan Adanya interaksi genotipe x lingkungan (G x E) menunjukkan kegagalan genotipe yang diuji memperlihatkan keragaan yang relatif sama dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (Fehr 1987). Informasi menenai GxE sangat berguna dalam menentukan apakah dapat dilakukan pengembangan suatu kultivar di semua lingkungan yang diinginkan atau perlu dilakukan pengembangan kultivar spesifik untuk lingkungan target yang spesifik (Bridges 1989). Urutan relatif suatu varietas akan berubah dari tempat ke tempat dan dari musim ke musim dengan adanya interaksi G x E. Suatu genotipe akan dapat tumbuh dan berproduksi dengan sama baiknya di berbagai tempat atau lingkungan pertumbuhannya jika tidak terdapat interaksi G x E sehingga varietas atau galur dapat dikatakan stabil. Varietas yang stabil sangat penting untuk mengurangi resiko akibat perubahan lingkungan yang sukar diramalkan seperti kesuburan tanah, perubahan cuaca yang menyolok serta serangan hama dan penyakit (Limbongan 2008). Pentingnya interaksi GxE dalam analisis stabilitas telah banyak dilaporkan pada sereal (Saeed & Francis. 1984; Oosterom et al. 1993; Harsanti et al. 2003) dan barley (Ceccarelli 1987) yang menyatakan bahwa suhu rendah sangat mempengaruhi hasil dan komponen hasil pada tanaman barley. Menurut Nasrullah (1981), bahwa interaksi G x E dapat dipergunakan untuk mengukur stabilitas suatu genotipe, karena stabilitas penampilan pada suatu kisaran lingkungan tergantung dari besarnya interaksi tersebut. Pada uji daya hasil galur-galur seringkali terjadi interaksi antara galur dengan lingkungan.
Perbedaan ini dapat
17
mengakibatkan perubahan daya hasil antara suatu tempat dengan tempat lainnya. Mengingat perbedaan hasil sangat dipengaruhi oleh perbedaan genetik dan lingkungan, maka perlu memilih galur-galur yang unggul dengan hasil yang stabil (Sutjihno 1993). Adanya variasi lingkungan tumbuh makro tidak akan menjamin suatu genotipe atau varietas tanaman akan tumbuh baik dan memberikan hasil panen tinggi di semua wilayah dalam kisaran area yang luas, atau sebaliknya. Hal tersebut terkait dengan kemungkinan ada atau tidak adanya interaksi antara genotipe atau genotipe-genotipe tanaman dengan kisaran variasi lingkungan yang luas (Baihaki & Wicaksono 2005). Informasi menenai GxE sangat berguna dalam menentukan apakah dapat dilakukan pengembangan suatu kultivar di semua lingkungan yang diinginkan atau perlu dilakukan pengembangan kultivar spesifik untuk lingkungan target yang spesifik (Bridges 1989). Cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui daya adaptasi suatu genotipe yaitu dengan pengujian galur harapan pada beberapa lingkungan. Hasil analisis variansnya akan menunjukkan besarnya interaksi GxE, sehingga lebih mudah menentukan galur yang ideal (Eberhart & Russel 1966).
Stabilitas dan Adaptabilitas Interaksi G x E dapat digunakan untuk mengukur stabilitas suatu genotipe (Nasrullah 1981), karena stabilitas penampilan pada suatu kisaran lingkungan tergantung dari besarnya interaksi G x E. Stabilitas adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan daya hasil terhadap perubahan kondisi lingkungan. Stabilitas hasil merupakan karakter yang diwariskan melalui daya saing populasi yang secara genetik heterogen (Nor & Cady 1979). Salah satu metode yang dapat digunakan dalam menduga adaptabilitas dan stabilitas fenotipik seperti hasil adalah dengan cara melakukan pengujian berulang pada berbagai lingkungan tumbuh yang bervariasi (Singh & Chaudhary 1979). Lin et al. (1986) membagi konsep stabilitas menjadi tiga tipe. Tipe 1 yaitu suatu genotipe dianggap stabil bila ragam lingkungannya kecil. Stabilitas tipe ini digunakan oleh Francis dan Kannenberg (1978). Tipe 2 yaitu suatu genotipe dikatakan stabil jika respon lingkungan paralel terhadap rata-rata respon semua genotipe percobaan. Tipe 3 yaitu suatu genotipe dikatakan stabil bila kuadrat tengah sisa model regresi pada indeks lingkungan kecil.
18
Pemilihan genotipe untuk lingkungan spesifik didasarkan pada nilai duga interaksi G x E yang nyata, menggambarkan kemampuan suatu genotipe mengekspresikan gen-gen yang menguntungkan pada lingkungan tertentu sehingga diperoleh hasil tinggi. Sebaliknya, pemilihan genotipe yang beradaptasi pada lingkungan luas didasarkan pada nilai duga interaksi G x E yang tidak nyata, yang menggambarkan kemampuan suatu genotipe berpenampilan sama pada kondisi lingkungan berbeda (Baihaki & Wicaksono 2005). Cara yang paling umum dilakukan untuk mengenali galur ideal adalah dengan menguji seperangkat galur harapan pada beberapa lingkungan. Berdasarkan hasil analisis variansnya, akan diketahui interaksi G x E (Eberhart & Russel 1966). Finlay dan Wilkinson (1963) menggunakan koefisien
regresi sebagai
ukuran stabilitas sedangkan Eberhart dan Russel (1966) menggunakan rata-rata jumlah kuadrat simpangan regresi. Shukla (1972) menggunakan besaran yang disebut varians stabilitas untuk menyatakan genotipe yang stabil. Gauch (1992) menggunakan model AMMI untuk menyatakan genotipe stabil berdasarkan gabungan antara analisis ragam dan analisis komponen utama. Adaptabilitas
adalah kemampuan tanaman untuk menyesuaikan diri
terhadap kondisi lingkungan pertumbuhannya.
Tanggapan genotipe terhadap
lingkungannya dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok pertama, yang menunjukkan kemampuan adaptasi pada lingkungan yang luas berarti interaksi G x E kecil.
Kelompok kedua adalah yang menunjukkan kemampuan adaptasi
sempit atau beradaptasi khusus dan berperagaan baik pada suatu lingkungan tetapi berperagaan buruk pada lingkungan yang berbeda, dapat dikatakan memiliki interaksi G x E besar (Soemartono & Nasrullah 1988).
Analisis Stabilitas Finlay dan Wilkinson (bi) Parameter stabilitas Finlay dan Wilkinson diduga dengan menggunakan nilai koefisien regresi tiap genotipe (bi) yang dikelompokkan menjadi tiga : 1. Jika bi ≈ 1, memiliki stabilitas rata-rata. 2. Jika bi > 1, stabilitas berada di bawah rata-rata. Genotipe peka terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi khusus pada lingkungan yang menguntungkan.
19
3. Jika bi < 1, stabilitas berada di atas rata-rata. Genotipe beradaptasi pada lingkungan marginal.
Analisis Stabilitas menurut Eberhart dan Russel (1966) Eberhart dan Russel (1966) menggunakan parameter koefisien regresi (bi) dan simpangan regresi (Sdi2). Suatu genotipe dikatakan stabil jika kuadrat tengah sisa dari model regresi pada indeks lingkungannya kecil. Indeks lingkungan adalah rata-rata hasil dari semua genotipe pada masing-masing lokasi dikurangi rataan total dari semua genotipe di semua lokasi.
Analisis Stabilitas menurut Francis dan Kannenberg (1978) Francis dan Kannenberg (1978)
menggunakan parameter
koefisien
keragaman (CVi) untuk masing-masing galur sebagai parameter stabilitas dan keragaman genotipe terhadap lingkungan. Kriteria nilai koefisien keragaman menurut Moedjiono dan Mejaya (1994) yaitu rendah (0 < x < 25%), agak rendah (25% < x < 50%), cukup tinggi (50% < x < 75%), dan tinggi (75% < x < 100%). Nilai CVi yang semakin kecil menunjukan bahwa genotipe tersebut lebih stabil pada lingkungan yang diuji.
Analisis Stabilitas AMMI Model AMMI (Additive Main Effects and Multiplicative Interaction) menggabungkan analisis ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan analisis komponen utama ganda dengan pemodelan bilinier bagi pengaruh interaksi. Model AMMI dapat digunakan untuk menganalisis percobaan lokasi ganda. Asumsi yang mendasari pengujian ini adalah perlakuan dan lingkungan bersifat aditif, ragam yang homogen dan galat bebas (Mattjik dan Sumertajaya 2008). Gauch (1992) menggunakan model AMMI dengan menyatakan genotipe yang stabil berdasarkan gabungan antara analisis ragam dan analisis komponen utama. Genotipe yang stabil dapat digambarkan dengan model biplot (Yang 2000). Model AMMI secara lengkap: Ygen = μ+αg+βe+∑√λnφgnρen+δge+εgen Keterangan: g=1,2,…,a; e=1,2,…,b; n=1,2,…,m
20
Parameter √λn adalah nilai singular untuk komponen bilinier ke-n. Pengaruh ganda genotipe ke-g melalui komponen bilinier ke-n dilambangkan dengan φgn, dan ρen merupakan pengaruh ganda lokasi ke-e melalui komponen bilinier ke-n.
Asumsi-asumsi yang mendasari analisis ragam adalah galat
percobaan menyebar saling bebas mengikuti sebaran normal dengan ragam homogen
(εijk
~
N
(0,σ2ε)
(Mattjik
dan
Sumertajaya
2008).
21
KERAGAAN GENOTIPE PADI DATARAN TINGGI PADA EKOSISTEM DATARAN TINGGI (Performance of The Highland Rice Genotypes in Highland Ecosystem) Sherly Rahayu1,2, Desta Wirnas3 dan Hajrial Aswidinnoor3,*
ABSTRACT Low temperature stress is common for rice grown in temperate regions and high elevations in the tropics. However, another environment stress in high altitudes which has the significant influences on plant growth is less of light intensity. They affected plant growth and yield through decreasing of yield component. The objective of this research was to obtain the information of agronomic traits performance of rice genotypes to be adapted in highland across three different high-elevations (700, 900 and 1200 m above sea level). The rice genotypes derived from mutation induction and hybridization treatment were cultivated in dry season (2011) and rainy season (2011/2012). The results showed that most of the agronomic traits had higher significant environment effect ranged from 29,86% for percentage of grain filled numbers to 76,74% for grain filled periods, than genotype effect and GxE interactions effect while all components were highly significant among all measured agronomic traits. A minimum daily air temperature below 17°C in flowering period caused high grain unfilled numbers, low grain filled percentage, reduced grain weight, low panicle numbers, incomplete panicle extension, extended maturity date, extended grain filling period and low yield. Some mutant lines had more tolerance through improved agronomic traits than parents in low temperature stress. Key words: rice, agronomic traits, low temperature
PENDAHULUAN Beras merupakan salah satu makanan pokok dunia yang mengandung 35% 60% kalori. Beras dikonsumsi oleh lebih dari tiga miliar penduduk di dunia sehingga berperan penting dalam ketahanan pangan dunia (Jing & Chang 2012). Di Indonesia peningkatan kebutuhan beras merupakan permasalahan yang masih belum dapat teratasi. Tahun 2007 produktivitas padi telah mencapai 4,71 ton/ha, tahun 2008 sampai 2010 meningkat menjadi masing-masing 4,89 ton/ha, 4,99 ton/ha dan 5,02 ton/ha, tetapi pada tahun 2011 mengalami penurunan menjadi 4,94 ton/ha (BPS 2012).
1 Mahasiswa S2 Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian , IPB 2 Staf Peneliti, Bidang Pertanian, PATIR, BATAN, Jakarta 3 Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB * Penulis untuk Korespondensi (Coresponding Author), email:
[email protected]
22
Penurunan produktivitas padi merupakan dampak konversi lahan sawah yang berlangsung pada tahun tertentu dan tidak hanya menyebabkan hilangnya peluang produksi pada tahun yang bersangkutan, tetapi juga pada tahun-tahun berikutnya, atau bersifat kumulatif. Selama kurun 1981-1998 diperkirakan peluang produksi padi yang hilang akibat konversi lahan sawah sekitar 233 juta ton gabah per tahun atau hampir setara dengan volume impor beras sebesar 1,5 juta ton per tahun (Irawan et al. 2000). Untuk
mengembangkan
varietas
padi
dengan
hasil
yang
tinggi,
diindikasikan mempunyai indeks panen 0.6 (60% gabah dan 40% bobot tanaman). Padi Tipe Baru yang banyak dikembangkan mempunyai ciri diantaranya; tinggi tanaman berkisar 90-100 cm, malai panjang (200-250 gabah per malai, batang yang tebal dan kokoh, sedikit anakan tidak produktif, sistem akar yang vigor dan umur tanaman berkisar 100-130 hari. Melalui karakter ini diharapkan lebih banyak energi pada tanaman yang digunakan untuk penghasilan biji sehingga akan meningkatkan hasil sebanyak 20% (Peng et al. 2005). Berdasarkan angka pertumbuhan penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 diperlukan peningkatan produksi padi sebesar 40% (Khush 2005). Upaya peningkatan produksi melalui perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk mengembangkan varietas yang berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan kondisi ekosistem, sosial budaya, serta minat masyarakat. Sejalan dengan berkembangnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, permintaan akan tipe varietas yang dihasilkan juga berbeda-beda. Pengembangan tipe varietas yang berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan kondisi ekosistem tersebut berpengaruh terhadap produktivitas padi sawah nasional (Limbongan 2008). Di Indonesia padi ditanam seluas 500,000 ha dengan ketinggian lebih dari 500 m dpl, dan biasa diselingi dengan tanaman hortikultura. Sebagian besar kultivar yang digunakan merupakan padi lokal yang berumur 6-7 bulan. Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa dengan penanaman beberapa varietas padi pada ketinggian 700-1000 m dpl, diperoleh hasil yang rendah dengan sterilitas tinggi yang disebabkan oleh cekaman suhu rendah selama fase bunting dan berbunga. Informasi lain yang diperoleh yaitu pada ketinggian 1,000 m dpl
23
suhu minimal berkisar pada 12,8°C – 16,6°C. Sedangkan pada ketinggian 900 m dpl suhu minimum berkisar antara 14,4°C - 21,0°C (Harahap 1979). Beberapa cara telah ditempuh untuk melakukan perbaikan karakter agronomis yang berkontribusi terhadap hasil tanaman padi agar adaptif pada ekosistem dataran tinggi. Di antaranya dengan menambah variasi genetik tanaman dengan menggunakan teknik mutasi dan persilangan. Pada penelitian sebelumnya telah diperoleh galur-galur padi hasil persilangan dan mutasi induksi untuk adaptasi pada dataran tinggi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari keragaan genotipe padi pada ekosistem dataran tinggi dan memperoleh informasi mengenai pengaruh ketinggian tempat terhadap produktivitas genotipe padi dataran tinggi.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei 2011 sampai dengan bulan April 2012. Musim tanam pertama (MT 1) dilakukan pada musim kemarau (MK 2011) di dua lokasi yaitu Banjaran, Kabupaten Bandung dengan ketinggian 700 m dpl, dan Boyongbong, Kabupaten Garut dengan ketinggian 1200 m dpl. Musim tanam kedua (MT 2) dilakukan pada musim hujan (MH 2011/2012) di tiga lokasi yaitu Banjaran (700 m dpl), Ciburuy (900 m dpl) dan Boyongbong (1200 m dpl). Waktu penanaman di setiap lokasi berselang 1 minggu. Materi genetik yang digunakan pada MT 1 disajikan pada Tabel 2. Dua puluh lima genotipe yang dipilih berdasarkan keragaan dan hasil pada MT 1 digunakan sebagai materi genetik pada MT 2. Penelitian di setiap lokasi dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan 3 ulangan dan genotipe menjadi perlakuan. Satuan percobaan berupa plot yang berukuran 2 m x 5 m. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Penanaman dilakukan setelah benih semaian berumur 21 hari. Bibit ditanam sebanyak satu bibit per lubang. Tanaman dipupuk dengan dosis 110 kg.ha-1 Urea, 100 kg.ha-1 SP36 dan KCl 100 kg.ha-1 pada umur 10 HST dan pemupukan kedua pada umur 30 HST. Pemeliharaan tanaman dilakukan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pertanaman di lapangan. Pada umur 4 minggu setelah tanam (MST), dilakukan penyiangan pertama dan penyiangan
24
kedua dilakukan pada umur 8 MST. Panen dilakukan pada saat tanaman telah matang fisiologis, sesuai dengan galur yang diuji, yang ditandai dengan menguningnya bulir gabah.
Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap karakter-karakter agronomi berikut: 1. Tinggi tanaman, diukur dari pangkal batang sampai ujung malai tertinggi. 2. Jumlah anakan produktif, dihitung setelah fase pembungaan penuh. 3. Jumlah gabah bernas per malai, merupakan rata-rata jumlah gabah bernas dari tiga rumpun tanaman contoh. 4. Jumlah gabah total (isi dan hampa) per malai, merupakan rata-rata jumlah gabah total dari 3 rumpun tanaman contoh. 5. Umur berbunga (hari stelah semai/HSS), dihitung jumlah hari dari waktu semai sampai lebih dari 50 % tanaman telah mengeluarkan malai dalam setiap petak. 6. Umur panen, jumlah hari dari waktu semai hingga matang (85% butir dalam malai sudah matang). 7. Lama pengisian biji, dihitung dari selisih umur panen dan umur berbunga. 8. Panjang malai, diukur dari pangkal hingga ujung malai. 9. Panjang daun bendera, diukur dari pangkal hingga ujung daun bendera. 10. Persentase gabah bernas per malai, dihitung dengan membandingkan jumlah gabah isi dengan jumlah gabah total per malai dikali 100%. 11. Bobot 1000 biji, ditimbang 1000 butir gabah pada kadar air 13 %. 12. Hasil (ton/ha), dihitung berdasarkan hasil per plot.
25 Tabel 2 Genotipe padi dataran tinggi yang digunakan dalam penelitian No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Genotipe
C4-30-21 C8-10-25 RB-30-82 RB-10-89 RB-10-95 RB-10-98 KN-10-111 KN-20-124 KN-20-127 PK-30-131 PK-20-133 C3-10-171 KN-30-186 OS-30-197 OS-30-199 KG-30-241 KK-10-249 CM-20-251 IPB97-F-13-1-1 IPB117-F-14-2 IPB117-F-20 IPB117-F-14 IPB117-F-14-4-1 IPB102-92-1-1 IPB117-F-80-2 IPB117-F-7-7 IPB117-F-7-2 IPB117-F-15-4 IPB107-F-13 Ciburuy 3 Ciburuy 4 Ciburuy 8 Osog Ketan Gajih Kuning Kutu Randah Batu Hampa Kuriek Kusuik Ceredek Merah Sarinah
Dosis Radiasi (kGy)
Generasi
0.3 0.1 0.3 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.3 0.2 0.1 0.3 0.3 0.3 0.3 0.1 0.2
M5 M5 M5 M5 M5 M5 M5 M5 M5 M5 M5 M5 M5 M5 M5 M5 M5 M5 Galur murni F7 F7 F7 F7 Galur murni F7 F7 F7 F7 F7
Induk/Tetua
Ciburuy 4 Ciburuy 8 Randah Batu Hampa Randah Batu Hampa Randah Batu Hampa Randah Batu Hampa Kuning Kuning Kuning Kutu Kutu Ciburuy 3 Kuning Osog Osog Ketan Gajih Kuriek Kusuik Ceredek Merah IPB6-d-10s-1-1x Fatmawati Pulu Mandoti x Fatmawati Pulu Mandoti x Fatmawati Pulu Mandoti x Fatmawati Pulu Mandoti x Fatmawati FatmawatixIPB6-d-10s-1-1 Pulu Mandoti x Fatmawati Pulu Mandoti x Fatmawati Pulu Mandoti x Fatmawati Pulu Mandoti x Fatmawati Siam Sapat x Fatmawati Padi Lokal Dataran Tinggi Padi Lokal Dataran Tinggi Padi Lokal Dataran Tinggi Padi Lokal Dataran Tinggi Padi Lokal Dataran Tinggi Padi Lokal Dataran Tinggi Padi Lokal Dataran Tinggi Padi Lokal Dataran Tinggi Padi Lokal Dataran Tinggi Padi Lokal Dataran Tinggi Varietas Pembanding
26
Pengolahan Data Data yang dianalisis melalui software SAS dengan tahapan berikut : 1. Analisis ragam pada masing-masing lokasi Sidik ragam digunakan untuk melihat keragaman yang terdapat di antara genotipe padi pada masing-masing lokasi (Tabel 3) dilakukan mengikuti metode yang dikemukakan oleh Singh dan Chaudhary (1979) dan Falconer (1989). Jika terdapat beda nyata maka dilakukan uji Dunnet pada taraf α0.05 (5%). Tabel 3 Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan karakter agronomi genotipe padi pada masing-masing lokasi Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Ulangan Genotipe (G) Galat
(r-1) (g-1) (r-1)(g-1)
Kuadrat Tengah M2 M1
Nilai Harapan σ2e + rσ2g σ2e
Keterangan: r = banyaknya ulangan, l = lingkungan, g = banyaknya genotipe, σ2g= ragam genotipe, 2e = ragam galat 2. Analisis ragam gabungan Analisis kehomogenan ragam dilakukan sebelum analisis ragam gabungan dengan memanfaatkan software data MINITAB 14. Analisis ragam gabungan dilakukan untuk mengetahui pengaruh lokasi terhadap percobaan (Tabel 4). Model linier RAKL (Gomez dan Gomez 1985) : Yijk = μ + Lk + βi/k + Gj + (LG)kj + εijk Keterangan : Yijk = nilai pengamatan dari ulangan ke-i, genotipe ke-j, lingkungan ke-k Μ
= nilai rataan umum
Lk
= pengaruh lingkungan ke-k
βi/k
= pengaruh ulangan ke-i dalam lingkungan ke-k
Gj
= pengaruh genotipe ke-j
(LG)kj = pengaruh interaksi lingkungan ke-k dengan genotipe ke-j εijk
= pengaruh galat percobaan pada lingkungan ke-k, genotipe kej,ulangan ke-i. i=1,2,3; j=1,2,3,…,12; k=1,2,3,4; i=1,2,3
27
Tabel 4 Analisis ragam gabungan model acak Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
Nilai Harapan
Lokasi (L)
l-1
M5
σ2e + g σ2 r / l + gr σ2 l
Ulangan/Lingkungan
l (r-1)
M4
σ2 e + g σ2 r / l
Genotipe (G)
(g-1)
M3
σ2e + r σ2 gl + rl σ2 g
GenotipexLingkungan
(g-1)(l-1)
M2
σ2e + r σ2gl
Galat
l (g-1)(r-1)
M1
σ2 e
Keterangan : r = banyaknya ulangan, l = lingkungan, g = banyaknya genotipe, σ2g = ragam genotipe, σ2gl = ragam interaksi, 2e = ragam galat, σ2l = ragam lingkungan
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis ragam pengujian pada tiga level ketinggian tempat menunjukkan adanya pengaruh genotipe, lingkungan dan interaksi genotipe x lingkungan (GxE) untuk setiap karakter agronomi yang diamati (Tabel 5). Kontribusi pengaruh genotipe, lokasi dan interaksi GxE dihitung dari hasil sidik ragam ANOVA pada persentase jumlah kuadrat masing-masing komponen terhadap jumlah kuadrat keseluruhan komponen percobaan. Pengaruh lingkungan merupakan yang paling dominan dengan nilai rata-rata (37,35%) diikuti oleh pengaruh interaksi GxE dan pengaruh genotipe masingmasing sebesar 23,59% dan 20,21%. Karakter yang paling dipengaruhi oleh lingkungan yaitu tinggi tanaman, panjang malai, umur panen, umur berbunga, persentase gabah isi, jumlah gabah bernas per malai, lama pengisian dan produksi GKG berkisar antara 29,86% - 76,74%. Karakter jumlah anakan produktif, panjang daun bendera, jumlah gabah total per malai lebih dipengaruhi oleh interaksi GxE masing-masing 30,13%, 34,29% dan 31,90%. Adanya interaksi genotipe
x
lingkungan
menunjukan
kegagalan
genotipe
yang
diuji
memperlihatkan keragaan yang relatif sama dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (Fehr 1987).
28
Tabel 5 Analisis ragam pengaruh genotipe, lokasi, dan interaksi GxE terhadap komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi dataran tinggi
Karakter Produksi
KT Genotipe
JK (%) Genotipe
KT Lingkungan
JK (%) Lingkungan
KT GxE
JK(%) GxE
7,18*
21,83
86,39*
43,78
1,66*
17,89
TT
910,71*
22,90
8845,09*
37,07
146,86*
14,77
JAP
141,16*
14,71
1400,55*
24,83
72,08*
30,13
PM
17,02*
10,15
460,81*
45,52
9,86*
23,54
PDB
87,93*
17,05
588,45*
19,01
44,69*
34,29
UB
258,02*
25,43
3228,73*
53,04
36,78*
14,19
UP
46,84*
11,30
1560,86*
62,78
25,79*
24,89
2447,88*
26,22
16730,38*
29,86
665,46*
27,91
SB
43,78*
45,52
53,99*
10,26
6,59*
25,31
GI
5401,91*
13,82
60146,94*
32,16
2667,09*
28,06
17175,76*
26,25
49549,36*
13,17
5395,50*
31,90
225,59*
7,29
4572,50*
76,74
112,56*
10,15
PGI
GTO LP Rata-rata
20,21
37,35
23,39
Keterangan: TT=Tinggi Tanaman (cm); JAP=Jumlah Anakan Produktif; PM=Panjang Malai (cm); PDB= Panjang Daun Bendera (cm); UB=Umur Berbunga (HSS); UP=Umur Panen (HSS); PGI= Persentase Gabah Isi, SB=Bobot 1000 butir; GI=Gabah Isi; GTO=Gabah Total, LP=Lama Pengisian biji. *) berpengaruh nyata berdasarkan uji F pada taraf kesalahan 5%.
Karakter agronomi yang diamati memiliki pengaruh genotipe berkisar antara 7,29% pada karakter lama pengisian biji hingga 45,52% pada karakter bobot 1000 butir. Produksi dipengaruhi oleh genotipe sebesar 21,83%, pengaruh interaksi GxE sebesar 17,89% dan lokasi sebesar 43,78%. Karakter gabah bernas, jumlah anakan produktif, panjang daun bendera, panjang malai dan umur panen memiliki nilai persentase pengaruh interaksi GxE hampir dua kali besarnya pengaruh genotipe. Karakter lama pengisian dan persentase gabah bernas memiliki pengaruh genotipe yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengaruh interaksi GxE. Sedangkan karakter bobot 1000 butir dan umur berbunga lebih dipengaruhi oleh genotipe dengan nilai dua kali pengaruh interaksi GxE. Jiang et al (2010) melaporkan bahwa karakter umur berbunga sangat dipengaruhi oleh genotipe. Berbeda dengan karakter jumlah gabah bernas, jumlah
29
anakan produktif, bobot 1000 butir dan persentase gabah isi yang lebih dipengaruhi oleh interaksi GxE pada pengujian di beberapa lingkungan dengan cekaman suhu rendah menggunakan beberapa genotipe toleran suhu rendah. Karakter-karakter
yang
memiliki
pengaruh
genotipe
yang
lebih
besar
dibandingkan interaksi GxE mencerminkan bahwa karakter tersebut memiliki keragaan yang lebih stabil pada berbagai lingkungan di ekosistem dataran tinggi. Pengaruh genotipe, lingkungan dan interaksi genotipe x lingkungan mempunyai andil yang besar terhadap fenotipe tanaman. Faktor lingkungan yang paling dominan mempengaruhi pertumbuhan padi di kawasan dataran tinggi adalah cekaman suhu rendah yang fluktuatif (Gambar 3).
MT1 (MK 2011)
MT2 (MH 2011/2012) Max (700 m dpl) Max (1200 m dpl)
Suhu (°C)
Min (700 m dpl) Min (1200 m dpl)
Gambar 3 Suhu maksimum dan minimum di ketinggian 700 m dpl dan 1200 m dpl pada MK 2011 dan MH 2011/2012. Sumber: BMKG Bandung Penanaman pada dua lokasi dengan ketinggian yang berbeda pada MK menghasilkan nilai karakter agronomi yang bervariasi di antara galur (Tabel 6). Pada karakter tinggi tanaman terdapat perbedaan nyata diantara genotipe yang diuji dengan varietas pembanding. Rata-rata karakter tinggi tanaman di ketinggian 700 m dpl lebih tinggi dibandingkan dengan ketinggian 1200 m dpl masingmasing 108,9 cm dan 100,64 cm. Sarinah sebagai varietas pembanding memiliki tinggi tanaman yang hampir sama pada kedua lokasi.
30
Tabel 6 Nilai rata-rata karakter tinggi tanaman, umur berbunga dan umur panen genotipe padi dataran tinggi di ketinggian 700 dan 1200 m dpl pada MK Genotipe
TT (cm) 1200 (m dpl)
TT (cm) 700 (m dpl)
UB (HSS) 1200 (m dpl)
UB (HSS) 700 (m dpl)
UP (HSS) 1200 (m dpl)
UP (HSS) 700 (m dpl)
LP (Hari) 1200 (m dpl)
LP (Hari) 700 (m dpl)
C4-30-21
99,56
97,72
90*
109*
140
129
50
20
C8-10-25
105,00
113,52*
98*
109*
148
129
50
20
RB-30-82
117,44
107,38*
98*
122*
147
141
49
19
RB-10-89
128,22*
119,53*
98*
109*
145
129
47
20
RB-10-95
93,89
89,45
98*
109*
143
129
45
20
RB-10-98
112,22
112,13*
98*
119*
145
139
47
20
KN-10-111
101,67
89,05
98*
119*
143
138
45
19
KN-20-124
95,56
95,62
103*
119*
148
138
45
19
KN-20-127
93,89
97,69
98*
109*
142
129
44
20
PK-30-131
89,22
90,70
103*
109*
147
129
44
20
PK-20-133
102,22
96,66
103*
109*
147
129
44
20
C3-10-171
100,00
93,12
98*
109*
143
129
45
20
KN-30-186
94,11
98,78
98*
109*
142
129
44
20
OS-30-197
137,32*
150,10*
103*
122*
149
142
46
20
OS-30-199
98,22
96,90
98*
109*
143
129
45
20
KG-30-241
135,00*
126,74*
103*
122*
148
141
45
19
KK-10-249
96,22
94,34
99*
109*
142
129
43
20
CM-20-251 Ciburuy 3
96,33
95,10
98*
109*
142
128
44
19
102,44
103,60
140*
140*
>160
>160
>40
>40
Ciburuy 4
98,13
97,47
135*
138*
>160
>160
>40
>40
Ciburuy 8
112,78*
138,89*
137*
138*
>160
>160
>40
>40
Osog
139,37*
144,62*
145*
140*
>160
>160
>40
>40
Ketan Gajih
116,22*
121,69*
141*
141*
>160
>160
>40
>40
Kuning
101,33
101,89
98*
119*
140
137
42
18
Kutu
101,00
104,33
136*
119*
>160
137
>40
18
Randah Bt Hampa
106,22
99,29
98*
109*
140
130
42
21
Kuriek Kusuik
98,11
92,09
135*
122
>160
138
>40
16
Ceredek Merah
90,89
87,86
107
122
148
139
41
17
IPB97-F-13-1-1
87,00
90,95
103*
119*
147
135
44
16
IPB117-F-14-2
88,78
95,14
107
IPB117-F-20
87,22
92,64
IPB117-F-14
87,67
91,20
IPB117-14-4-1
82,67
87,77
IPB102-92
82,67
82,20
108
IPB117-F-80-2
92,00
87,31
98*
IPB117-F-7-7
87,11
87,01
104*
IPB117-F-7-2
87,11
91,80
98*
IPB117-F-15-4
92,11
97,45
Sarinah
87,67
87,47
Rata-rata
100,64
108,90
122
147
139
40
17
119*
138
134
41
15
108
122
147
139
39
17
107
122
147
138
40
16
122
147
137
39
15
119*
134
134
36
15
122
145
137
41
15
122
134
139
36
17
108
122
147
138
39
16
108
122
142
137
34
15
107
120
144
135
37
15
97*
Keterangan:*)berbeda nyata dengan varietas pembanding (Sarinah) berdasarkan Uji Dunnet pada taraf kesalahan 5%. TT=Tinggi Tanaman; UB=Umur Berbunga; UP=Umur Panen; LP=Lama Pengisian Biji.
31
Nilai rata-rata umur panen di ketinggian 1200 m dpl lebih panjang dibandingkan dengan varietas pembanding, berbeda dengan di ketinggian 700 m dpl yang memiliki umur panen lebih singkat dibandingkan varietas pembanding selama ± 2 hari. Galur IPB117-F-80-2 dan IPB97-F-7-2 berumur paling genjah di ketinggian 700 m dpl, sedangkan di ketinggian 700 m dpl galur CM-20-251 merupakan yang paling genjah dengan umur panen 128 HSS. Sebanyak lima dari sepuluh padi lokal yang diuji mempunyai umur panen >160 hari di kedua lokasi. Padi Kutu dan Kuriek Kusuik dapat dipanen pada umur 137 hari di ketinggian 700 m dpl tetapi berumur dalam di ketinggian 1200 m dpl. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua padi lokal ini peka terhadap suhu rendah. Tanaman padi sangat sensitif terhadap suhu rendah selama fase reproduktif sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan dan perkembangan malai serta berdampak terhadap pengisian biji dan mempercepat proses senescence daun (Lee et al. 1987). Waktu berbunga lebih awal terjadi di ketinggian 1200 m dpl dengan umur rata-rata 107 hari, sedangkan di ketinggian 700 m dpl memerlukan rata-rata 120 hari untuk berbunga. Masa pengisian biji lebih singkat terjadi di ketinggian 700 m dpl yaitu dengan rata-rata 15 hari, berbeda dengan di ketinggian 1200 m dpl yang memiliki lama pengisian rata-rata 37 hari. Karakter umur tanaman yang panjang pada padi lokal dataran tinggi dengan umur panen > 160 hari, telah dapat diperbaiki dengan dihasilkannya beberapa galur mutan yang berumur lebih genjah. Fase berbunga diatur oleh gen dan faktor lingkungan yang terdiri dari cahaya (fotoperiode dan kualitas cahaya) serta temperatur udara. Fotoperiode merupakan signal lingkungan yang paling penting untuk transisi pembungaan. Tanaman dapat mengenali dan mengukur perubahan panjang hari secara akurat untuk mengatur waktu berbunga. Perbedaan suhu yang ekstrim pada siang dan malam hari di kawasan dataran tinggi dapat menginduksi pembungaan pada tanaman padi (Satake 1969). Tanaka (1962) melaporkan bahwa pembungaan akan terhambat apabila suhu maksimum berada di bawah 25°C terutama dengan adanya suhu minimum selama beberapa hari. Jumlah gabah bernas tertinggi dihasilkan di ketinggian 700 m dpl pada kedua musim tanam (Gambar 4A). Tingkat cekaman suhu rendah di bawah batas
32
kritis dengan suhu minimum 15°C menyebabkan rendahnya jumlah gabah bernas di ketinggian 1200 m dpl pada MK. Peningkatan suhu minimum ± 2 °C pada MH berkorelasi positif dengan meningkatnya jumlah gabah bernas yang berkontribusi pada peningkatan produksi di ketinggian 1200 m dpl. Jumlah gabah bernas yang hampir sama diperoleh pada ketinggian 900 m dpl. Sterilitas tanaman padi di dataran tinggi dipengaruhi oleh temperatur udara yang rendah dan lama penyinaran matahari yang lebih singkat (Nishiyama et al. 1969). Galur OS-30-199 memiliki rata-rata jumlah gabah bernas tertinggi (249 butir per malai) yang berbeda nyata dengan varietas pembanding serta diatas nilai ratarata per lokasi yaitu 147 butir per malai di ketinggian 1200 m dpl (data tidak ditampilkan). Galur CM-20-251 dan RB-10-98 memiliki jumlah gabah total paling banyak di ketinggian 1200 m dpl dan berbeda nyata dengan varietas pembanding. Jumlah gabah total tertinggi terdapat pada galur OS-30-199 (270 butir per malai) yang memiliki nilai di atas rata-rata yaitu 172 butir per malai di ketinggian 700 m dpl. Suhu rendah menyebabkan berkurangnya jumlah gabah bernas dan meningkatnya jumlah gabah hampa. Sterilitas spikelet akibat cekaman suhu rendah terjadi pada waktu perkembangan malai, namun besarnya tingkat sterilitas bergantung kepada genotipe tanaman (Shimono et al. 2007). Karakter persentase gabah bernas memiliki keragaman yang tinggi dengan nilai yang relatif rendah di ketinggian 1200 m dpl pada MK, namun terjadi peningkatan pada musim hujan (Gambar 4B). Persentase gabah bernas tertinggi terdapat di ketinggian 700 m dpl pada MK, namun terjadi penurunan pada MH yang disebabkan oleh lama penyinaran yang berkurang dan berpengaruh pada proses fotosintesis yang kurang optimal. Persentase gabah bernas di ketinggian 900 m dpl memilki nilai di antara kedua lokasi lainnya. Galur C8-10-25, C3-10-171, RB-10-95, PK-30-131, KN-30-186 dan OS-30199 memiliki keragaan karakter agronomi yang lebih baik dibanding induknya (padi lokal dataran tinggi). Karakter yang mengalami perubahan yaitu umur panen, tinggi tanaman dan jumlah gabah bernas per malai yang berkorelasi positif dengan produksi.
33
100
A
250
Persentase Gabah bernas (%)
Gabah bernas (bulir/malai)
300
200 g 150 i 100
B
75
p g i
50
25
50 0
0 Ban1
Ban2
Boy1 Lokasi
Boy2
Cib
Ban1
Ban2
Boy1
Boy2
Cib
Lokasi
Gambar 4 Karakter jumlah gabah bernas per malai (A) persentase gabah bernas (B) pada genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan Keterangan: Ban= Banjaran (700 m dpl), Boy= Boyongbong (1200 m dpl), Cib=Ciburuy (900 m dpl), 1 dan 2=MT (MK dan MH)
Nishimura (1987) melaporkan terdapat korelasi positif yang nyata antara sifat toleransi suhu rendah dengan karakter tinggi tanaman, panjang malai dan jumlah biji per malai. Keragaman genetik dari genotipe yang digunakan menghasilkan keragaan yang berbeda pada karakter jumlah gabah bernas dan persentase gabah bernas pada lima lingkungan pengujian. Galur IPB97-F-13 memiliki keragaman yang luas di lima lingkungan pengujian, sedangkan galur C3-10-171 memiliki keragaman yang sempit dengan jumlah gabah bernas yang rendah (Gambar 5). Galur IPB117-80-2, IPB117-7-7, dan IPB117-F-15-4 memiliki keragaman yang luas untuk karakter jumlah bernas, namun terdapat nilai yang rendah pada lingkungan dengan cekaman suhu rendah di ketinggian 1200 m dpl. Karakter persentase gabah bernas bervariasi di antara genotipe yang diuji pada lima lingkungan pengujian (Gambar 6). Galur CM-20-251 memiliki keragaman karakter persentase gabah isi yang luas dan memiliki nilai yang tinggi pada lingkungan tertentu. Galur IPB117-80-2, IPB117-7-7 dan IPB117-F-15-4 juga memiliki keragaman yang luas, namun terdapat nilai yang rendah pada ketinggian 1200 m dpl. Galur KN-20-124, KN-30-186 dan Kuning memiliki keragaman yang sempit dan nilai yang tinggi pada lima lingkungan pengujian.
34
Limbongan (2008) melaporkan bahwa persentase gabah bernas dan produksi lebih baik pada lingkungan 750 m dpl dibandingkan 1500 m dpl. Persentase gabah bernas sangat mempengaruhi produksi di lingkungan bercekaman, namun di lingkungan optimal memiliki pengaruh yang tidak nyata. Karakter umur panen dan persentase gabah bernas merupakan karakter yang pengaruhnya terhadap produksi tergantung pada intensitas cekaman suhu rendah.
Gabah bernas (bulir/malai)
300
g i
250 200 150 100 50 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Galur
Gambar 5 Karakter jumlah gabah bernas per malai genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian Keterangan: 1
Sarinah
(G1)
10
PK-30-131 (G10)
18
Kutu
2
C8-10-25
(G2)
11
PK-20-133 (G11)
19
Randah BtHmp (G19)
3
RB-30-82
(G3)
12
C3-10-171 (G12)
20
Kuriek Kusuik (G20)
4
IPB117-F 20 (G4)
13
KN-30-186 (G13)
21
IPB97-F-13
5
RB-10-95
(G5)
14
OS-30-199 (G14)
22
IPB117-80-2
(G22)
6
RB-10-98
(G6)
15
KK-10-249 (G15)
23
IPB117-7-7
(G23)
7
KN-10-111 (G7)
16
CM-20-251 (G16)
24
IPB117-F-15-4 (G24)
8
KN-20-124 (G8)
17
Kuning
25
C4-30-21
9
KN-20-127 (G9)
(G17)
(G18)
(G21)
(G25)
35
Persentase Gabah bernas (%)
100
p g i
75
50
25
0 1
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
2
20 21 22 23 24 25
3
4
5
6
7
8
9
Galur
Gambar 6 Karakter persentase gabah bernas genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian Keterangan: 1
Sarinah
(G1)
10
PK-30-131 (G10)
18
Kutu
2
C8-10-25
(G2)
11
PK-20-133 (G11)
19
Randah BtHmp (G19)
3
RB-30-82
(G3)
12
C3-10-171 (G12)
20
Kuriek Kusuik (G20)
4
IPB117-F 20 (G4)
13
KN-30-186 (G13)
21
IPB97-F-13
5
RB-10-95
(G5)
14
OS-30-199 (G14)
22
IPB117-80-2
(G22)
6
RB-10-98
(G6)
15
KK-10-249 (G15)
23
IPB117-7-7
(G23)
7
KN-10-111 (G7)
16
CM-20-251 (G16)
24
IPB117-F-15-4 (G24)
8
KN-20-124 (G8)
17
Kuning
25
C4-30-21
9
KN-20-127 (G9)
(G17)
(G18)
(G21)
(G25)
Cekaman lingkungan pada ekosistem dataran tinggi berasal dari temperatur udara yang rendah dan suhu air yang dingin, sehingga dapat digunakan dalam skrining tanaman padi yang toleran suhu rendah. Kondisi ini menyebabkan jumlah polen yang terhasil lebih sedikit dan ukuran stigma lebih kecil sehingga meningkatkan jumlah gabah hampa (Farrell et al. 2006). Tanaman yang toleran cekaman suhu rendah memiliki umur yang lebih genjah, persentase gabah bernas lebih tinggi, serta jumlah malai dan panjang malai yang lebih baik (Rasyad et al. 2012). Kontribusi persentase gabah isi di lingkungan optimal hanya sebesar 4%, sedangkan di lingkungan marginal jauh lebih tinggi yaitu sebesar 69%, dapat diartikan
bahwa karakter persentase gabah isi merupakan karakter utama di
36
ekosistem dataran tinggi yang dipengaruhi oleh cekaman suhu rendah, namun demikian genetik tanaman merupakan faktor utama yang menentukan keragaan karakter ini (Wang & Li 2005). Kondisi lingkungan di dataran tinggi pada ketinggian 1200 m dpl memilki tingkat curah hujan yang lebih rendah pada musim kemarau, namun curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan di ketinggian 700 m dpl terjadi pada musim hujan (Gambar 7). Hal ini berpengaruh terhadap pertumbuhan padi di ketinggian 1200 m dpl dengan indikasi meningkatnya persentase jumlah gabah bernas per malai yang mempunyai kontribusi terhadap produksi pada musim hujan.
MT 2 (MH 2011/2012)
Curah Hujan (mm)
MT 1 (MK 2011)
Gambar 7 Diagram curah hujan di ketinggian 700 m dpl dan 1200 m dpl selama dua musim tanam. Sumber: BMKG Bandung Kerusakan yang diakibatkan cekaman suhu rendah juga telah dilaporkan oleh Shibata (1979), yang menyatakan bahwa pengaruh cekaman suhu rendah beragam bergantung pada fase pertumbuhan yang mengalami cekaman suhu rendah. Kerusakan dikategorikan pada penundaan pertumbuhan dan sterilitas. Kepadatan malai, jumlah gabah per malai, bobot gabah dan jumlah gabah bernas merupakan komponen hasil utama yang bertanggung jawab terhadap tingginya keragaman hasil (Fageria 2007). Keragaman genotipe yang digunakan berpengaruh pada keragaan karakter jumlah anakan produktif (Gambar 8). Galur PK-30-131, C8-10-25, OS-30-199 dan Sarinah. memiliki keragaan karakter jumlah anakan produktif yang tinggi dan lebih stabil pada lima lingkungan pengujian. Galur C3-10-171, KK-10-249, CM20-251, KN-20-124 dan Kuning
berinteraksi dengan lingkungan yang
37
diindikasikan oleh keragaan yang berbeda pada lingkungan yang diuji. Keragaman yang tinggi pada karakter jumlah anakan produktif per rumpun terdapat di ketinggian 1200 m dpl pada MK (Gambar 9). Genotipe padi yang digunakan menunjukkan keragaan yang tidak berbeda nyata pada MH untuk ketiga lokasi (ketinggian 700 m dpl, 900 m dpl dan 1200 m dpl). Rata-rata jumlah anakan produktif tertinggi terdapat di ketinggian 700 m dpl pada MK, diikuti oleh ketinggian 1200 m dpl pada MK dan MH, ketinggian 900 m dpl pada MH dan ketinggian 700 m dpl pada MH.
Jumlah anakan produktif (anakan/rumpun)
50
40
j a p
30
20
10
0 1
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
2
21
22
23
24
25
3
4
5
6
7
8
9
Galur
Gambar 8 Karakter jumlah anakan produktif genotipe padi di lima lingkungan
Jmlah anakan produktif (anakan/rumpun)
50
j a p
40
30
20
10
0 700 m dpl (MK)
Ban1
700 m dpl (MH)
Ban2
1200 m dpl (MK)
Boy1
1200 m dpl (MH)
Boy2
900 m dpl (MH)
Cib
Lokasi
Gambar 9 Karakter jumlah anakan produktif genotipe padi berdasarkan lingkungan
38
Fageria (2007) melaporkan bahwa kultivar dengan jumlah anakan yang lebih banyak, akan lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki anakan sedikit di lingkungan yang mempunyai cekaman, karena tanaman yang memiliki anakan lebih banyak akan dapat mengimbangi angka produksi, namun tidak memiliki pengaruh yang nyata pada lingkungan yang optimal. Kemampuan tanaman menghasilkan anakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pembentukan malai yang berkorelasi kuat dengan hasil (Miller et al. 1991). Jumlah anakan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti cahaya, suhu, densitas tanaman dan nutrisi (Wu et al. 1998). Keragaan karakter jumlah anakan produktif sangat dipengaruhi oleh Heat Unit. Hal ini diindikasikan oleh tingginya nilai karakter jumlah anakan produktif pada MK di kedua ketinggian tempat (Gambar 10). MT 1 (MK 2011)
MT 2 (MH 2011/2012)
Bulan
Gambar 10 Lama penyinaran matahari selama musim tanam pada ketinggian 700 m dpl dan 1200 m dpl. Sumber: BMKG Bandung Selain cekaman suhu rendah, lama penyinaran juga mempengaruhi sterilitas tanaman. Berkurangnya sinar matahari dapat mengurangi laju fotosintesis dan menyebabkan suhu tanah dan air menjadi rendah. Tanaman yang mengalami cekaman suhu rendah mempunyai tingkat sterilitas yang berbeda bergantung pada intensitas matahari. Tanaman yang kekurangan sinar matahari memiliki sterilitas yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang mendapatkan cukup sinar matahari pada kondisi suhu rendah yang sama (5-10°C) (Satake et al. 1969).
39
Karakter panjang malai memiliki distribusi frekuensi yang menyebar normal pada ketinggian 1200 m dpl (Gambar 11). Rata-rata karakter panjang malai dengan distribusi frekuensi tertinggi terdapat di ketinggian 700 m dpl pada MK. Distribusi karakter panjang malai terendah terdapat di ketinggian 1200 m dpl pada MK, dapat diartikan bahwa cekaman suhu rendah berpengaruh terhadap perkembangan malai, tetapi tidak berbeda nyata dengan MH pada suhu minimum rata-rata 17°C. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perkembangan malai menjadi terhambat pada suhu di bawah 17°C. Karakter panjang malai di ketinggian 900 m dpl memiliki distribusi frekuensi diantara di ketinggian 700 m
900 m dpl (MH)
dpl dan 1200 m dpl.
C i b
P e r c e n t
50 40 30 20 10 0
1200 m dpl (MK)
12
B o y 1
P e r c e n t
50
P e r c e n t
50
P e r c e n t
50
P e r c e n t
50
14
16
18
20
22
24
26
28
30
32
34
24
26
28
30
32
34
24
26
28
30
32
34
pm
40 30 20 10
1200 m dpl (MH)
0
B o y 2
40 30 20 10 0
700 m dpl (MK)
12
B a n 1
14
16
18
20
22 pm
40 30 20 10
700 m dpl (MH)
0
B a n 2
40 30 20 10 0 12
14
16
18
20
22
Panjang Daun Bendera pm (cm)
Gambar 11 Distribusi frekuensi karakter panjang malai genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian
40
Karakter panjang daun bendera sangat dipengaruhi oleh lama penyinaran matahari dan temperatur udara. Seperti yang disajikan pada Gambar 12, nilai ratarata panjang daun bendera lebih baik pada MK dibanding dengan MH di ketinggian 700 m dpl, hal serupa terjadi pada ketinggian 1200 m dpl. Keragaan karakter panjang daun bendera lebih baik pada suhu optimum dibandingkan dengan suhu rata-rata minimum yang rendah (<17°C). Keragaman genotipe yang digunakan mempengaruhi keragaan karakter panjang daun bendera di lima lingkungan pengujian (Gambar 13). Rasyad et al. (2012) melaporkan bahwa karakter panjang daun bendera pada genotipe yang toleran lebih pendek tetapi tidak berbeda nyata dengan yang peka. Sebagai organ utama, daun berfungsi dalam pengangkutan asimilat. Oleh karena itu permukaan daun yang lebih luas akan menghasilkan gabah yang lebih banyak, disamping itu posisi daun bendera terutama tiga daun pertama dengan sudut yang kecil juga berperan penting pada proses fotosintesis (Chen 2002).
Panjang Daun Bendera (cm)
50
p d b
40
30
20
10 700 m dpl (MK) Ban1
700 m dpl (MH) Ban2
1200 mBoy1 dpl (MK)
1200 mBoy2 dpl (MH)
900 m dpl (MH) Cib
Lokasi
Gambar 12 Karakter panjang daun bendera genotipe padi dataran tinggi berdasarkan lingkungan
41
Panjang Daun Bendera (cm)
50
p d b
40
30
20
10 1
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
2
20
21
22
23
24
25
3
4
5
6
7
8
9
Galur
Gambar 13 Karakter panjang daun bendera genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian Karakter Bobot 1000 butir sangat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama cekaman suhu rendah. Bobot 1000 butir paling rendah terdapat di ketinggian 1200 m dpl pada kedua musim tanam. Berbeda dengan ketinggian 700 m dpl yang memiliki bobot 1000 butir yang tinggi pada kedua musim, sedangkan pada ketinggian 900 m dpl, memiliki bobot 1000 butir diantara kedua ketinggian pada musim yang sama (Gambar 14). Dapat diartikan bahwa karakter bobot 1000 butir mengalami penurunan nilai pada suhu minimum di bawah 19°C, dengan indikasi bahwa pada suhu minimum 19°C di ketinggian 700 m dpl tidak mengalami perbedaan bobot 1000 butir disbanding dengan suhu minimum di atas 20°C pada MH.
700 m dpl (MK)
42
B a n 1
P e r c e n t
50
P e r c e n t
50
P e r c e n t
50
40 30 20 10
700 m dpl (MH)
0
900 m dpl (MH)
B a n 2
C i b
40 30 20 10 0 18.75
20.25
21.75
23.25
24.75
26.25
27.75
29.25
30.75
32.25
26.25
27.75
29.25
30.75
32.25
26.25
27.75
29.25
30.75
32.25
40 sb
30 20 10
1200 m dpl (MK)
0
B o y 1
P e r c e n t
50
P e r c e n t
50
18.75
20.25
21.75
23.25
24.75
40
sb
30 20 10
1200 m dpl (MH)
0
B o y 2
40 30 20 10 0 18.75
20.25
21.75
23.25
24.75
Bobot 1000 butir sb (gram)
Gambar 14 Distribusi frekuensi karakter bobot 1000 butir genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian Genotipe yang diuji menunjukan keragaman karakter bobot 1000 butir di lima lingkungan pengujian (Gambar 15). Galur C4-30-21 memiliki bobot 1000 butir yang stabil rendah. IPB117-F-20 memiliki bobot 1000 butir yang stabil tinggi, sedangkan genotipe yang memiliki bobot 1000 butir stabil sedang yaitu OS-30-199 dan KK-10-249. Fotosintesis dalam peranannya pada proses diferensiasi dan perkembangan
tanaman yaitu memperbesar kapasitas sink
dengan menyediakan bahan dan energi yang diperlukan untuk peningkatan hasil. Setelah pembentukan malai, fotosintesis akan berperanan dalam proses pengisian gabah dengan cara menyediakan karbohidrat (Murata 1989).
43
32.5
Bobot 1000 butir (gr)
30.0
s b
27.5 25.0 22.5 20.0 17.5 1
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
2
20 21 22 23 24 25
3
4
5
6
7
8
9
Galur
Gambar 15 Karakter bobot 1000 butir genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian Jiang et al.(2010) melaporkan bahwa suhu rendah memiliki dampak terhadap karakter agronomi tanaman diantaranya; berkurangnya panjang malai, jumlah gabah bernas, gabah total
dan bobot 1000 butir serta menyebabkan
tingginya jumlah gabah hampa. Pengaruh terhadap jumlah anakan produktif, jumlah gabah bernas dan jumlah gabah total bervariasi bergantung pada genotipe yang diuji. Jenis kerusakan akibat cekaman suhu rendah yang biasa ditemukan yaitu perkecambahan yang rendah, pertumbuhan bibit lambat, perubahan warna daun, lambatnya pertumbuhan vegetatif yang ditandai dengan berkurangnya tinggi tanaman dan jumlah anakan, terlambatnya waktu heading, pengisian malai yang tidak sempurna, waktu berbunga lebih lama, degenerasi spikelet, matang tidak sempurna, serta sterilitas dan bentuk gabah yang tidak normal (Kaneda & Beachell 1974). Upaya untuk meningkatkan produksi padi pada ekosistem dataran tinggi (Nishiyama 1985) dapat dilakukan melalui; (a) pemilihan kultivar, ketahanan suatu kultivar terhadap cekaman suhu rendah bervariasi bergantung kepada jenis cekaman yang dihasilkan seperti; sterilitas pada fase bunting, sterilitas pada fase berbunga dan pemasakan yang tidak sempurna (b) pemilihan musim tanam yang tepat, perlu dihindari suhu kritis pada fase bunting dan berbunga (c) pengaturan penanaman, diperlukan kualitas bibit yang baik, akar yang kuat, pemupukan yang
44
tepat dengan tidak menambahkan nitrogen yang terlalu banyak pada fase bunting dan dengan penambahan fosfat yang tepat dapat mengurangi sterilitas. Penggunaan genotipe dengan perbedaan umur lebih dari dua minggu menjadi kendala dalam memperoleh data karakter pertumbuhan, karakter komponen hasil dan hasil. Disarankan untuk penelitian selanjutnya agar dilakukan pemilihan terhadap genotipe yang akan digunakan dengan memperhatikan umur tanaman di berbagai lingkungan tumbuh sehingga diharapkan dapat dilakukan pengamatan dan diperoleh data yang lengkap untuk semua karakter agronomi tanaman.
KESIMPULAN Komponen genotipe, lingkungan dan interaksi genotipe x lingkungan memiliki pengaruh yang berbeda nyata untuk setiap karakter agronomi yang diamati. Pengaruh lingkungan paling dominan (37,35%) diikuti oleh pengaruh interaksi GxE (23,59%) dan pengaruh genotipe (20,21%). Karakter yang paling dipengaruhi oleh lingkungan yaitu tinggi tanaman, panjang malai, umur panen, umur berbunga, jumlah gabah bernas, lama pengisian dan produksi GKG. Pengaruh genotipe berkisar antara 7,29% (lama pengisian biji) hingga 45,52% (bobot 1000 butir). Karakter yang sangat dipengaruhi oleh cekaman suhu rendah di ketinggian 1200 m dpl pada MK dengan suhu minimum di bawah 17°C yaitu; karakter panjang malai, jumlah gabah bernas, persentase gabah isi, bobot 1000 butir, jumlah anakan produktif, umur panen, lama pengisian dan produksi GKG. Karakter agronomi yang dipengaruhi oleh penyinaran matahari dengan indikasi memiliki keragaan yang kurang baik di ketinggian 700 m dpl dan ketinggian 1200 m dpl pada MH yaitu karakter panjang daun bendera, lama pengisian, umur berbunga dan umur panen. Beberapa galur mutan menunjukkan keragaan karakter agronomi yang lebih baik dibanding induknya (padi lokal) di ekosistem dataran tinggi.
45
HUBUNGAN ANTARA KOMPONEN PERTUMBUHAN, KOMPONEN HASIL DENGAN HASIL GENOTIPE PADI DI TIGA LEVEL KETINGGIAN TEMPAT (Correlation of Growth and Yield Components on Yield of Rice Genotypes under Three Different Altitudes ) Sherly Rahayu1,2, Desta Wirnas3 dan Hajrial Aswidinnoor3,*
ABSTRACT The primary environmental factor which causes weather damage is basically low temperatures. It causes yield lost through decreasing of the yield components. This study was aimed to evaluate the phenotypic correlation and broad sense heritability related to low temperature stress condition. Experimental design was randomized complete block design with three replications. The experiment was conducted in rainy season (2011/2012) at three different altitudes areas (Banjaran with 700 m above sea level, Ciburuy with 900 m above sea level and Boyongbong with 1200 m above sea level) used 25 rice genotypes. The result indicated that there were a similar positive correlation of agronomic trait which highly significant for all locations i.e tiller numbers with grain yield, panicle length with flag leaf length, flowering date with grain weight and grain filled percentage with grain filled number and also grain yield. Most of the yield components had broad sense heritability with high category ranged from 0,51 for filled grain numbers to 0,86 for flowering date. Key words: rice, correlation, agronomic trait, low temperature
PENDAHULUAN Berbagai kendala ditemukan dalam rangka melestarikan dan meningkatkan produksi padi di Indonesia. Salah satunya, keterbatasan lahan pertanian yang turut menjadi faktor penghambat budidaya tanaman padi. Berbagai kawasan dengan kondisi yang beragam terus dikembangkan untuk menjadi lahan yang potensial bagi penanaman padi di antaranya daerah dataran tinggi yang merupakan sebagian besar kawasan di Indonesia. Suatu pendekatan yang telah dikaji untuk meningkatkan produktivitas lahan sawah adalah melalui pendekatan varietas unggul (Balitpa 2003) namun hasil yang didapatkan belum optimal.
1 Mahasiswa S2 Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian , IPB 2 Staf Peneliti, Bidang Pertanian, PATIR, BATAN, Jakarta 3 Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB * Penulis untuk Korespondensi (Coresponding Author), email:
[email protected]
46
Di Indonesia lahan dataran tinggi dengan kemiringan > 15% diperkirakan 25,5 juta (Las et al. 1993). Kurang kondusifnya kondisi lingkungan yang meliputi suhu rendah, keterbatasan air, lama penyinaran yang cenderung lebih singkat serta curah hujan yang sedikit memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan padi di kawasan dataran tinggi. Ekosistem dataran tinggi mempunyai rata-rata suhu selama musim pertumbuhan bervariasi dari 15-38°C. Temperatur kritis untuk tanaman padi biasanya di bawah 20°C dan bervariasi menurut fase pertumbuhan. Pada stadia vegetatif tanaman padi, temperatur yang lebih rendah dari 15°C dapat mengurangi tinggi tanaman, pertumbuhan akar dan bobot kering tanaman (Lee 2001). Pengaruh nyata juga terjadi pada karakter panjang malai dan jumlah gabah yang mengalami penurunan (Long et al. 2006). Suhu rendah selama fase reproduksi menyebabkan struktur dan fungsi organ reproduksi menjadi abnormal dan berdampak terhadap proses penyerbukan (Mahajan & Tuteja 2010). Cekaman suhu rendah merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi padi di beberapa negara. Pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas padi yang toleran suhu rendah merupakan pendekatan yang efektif dan bernilai ekonomi untuk menyelesaikan permasalah ini (Jun et al.
2008). Beberapa
karakter yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan produksi padi yaitu jumlah malai, kapasitas sink, jumlah gabah total, panjang malai, efisiensi pengisian gabah yang stabil, dan potensi hasil yang tinggi (Chen 2008). Korelasi antar karakter agronomi dengan hasil perlu dipelajari lebih mendalam karena akan menentukan arah pemuliaan untuk menghasilkan varietas dengan potensial hasil yang tinggi pada lingkungan optimal maupun marginal. Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memperoleh informasi mengenai korelasi antar komponen pertumbuhan, komponen hasil dengan hasil genotipe padi dataran tinggi serta mengetahui nilai heritabilitas setiap karakter agronomi pada pengujian tigal level ketinggian tempat.
47
METODE PENELITIAN Pelaksanaan Penelitian dilaksanakan pada musim hujan 2011/2012 mulai bulan Oktober 2011 sampai dengan bulan April 2012 di tiga lokasi yaitu Banjaran (700 m dpl), Ciburuy (900 m dpl) dan Boyongbong (1200 m dpl). Waktu penanaman di setiap lokasi berselang 1 minggu. Materi genetik yang digunakan terdiri dari dua puluh lima genotipe yang telah di seleksi berdasarkan keragaan karakter agronomi dan hasil pada MK 2011 (Tabel 7). Penelitian di setiap lokasi dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan 3 ulangan dan genotipe menjadi perlakuan. Satuan percobaan berupa plot yang berukuran 2 m x 5 m. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, setelah benih semaian berumur 21 hari. Bibit ditanam sebanyak satu bibit per lubang. Tanaman dipupuk dengan dosis 110 kg.ha -1 Urea, 100 kg.ha-1 SP36 dan KCl 100 kg.ha -1. Pemeliharaan tanaman disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pertanaman di lapangan. Panen dilakukan pada saat tanaman telah matang fisiologis, sesuai dengan galur yang diuji, yang ditandai dengan menguningnya bulir gabah.
Pengamatan 1. Tinggi tanaman, diukur dari pangkal batang sampai ujung malai 2. Jumlah anakan produktif, dihitung setelah fase pembungaan penuh. 3. Umur berbunga, dihitung jumlah hari dari waktu semai sampai lebih dari 50 % tanaman telah mengeluarkan malai dalam setiap petak. 4. Umur panen, jumlah hari dari waktu semai hingga matang. 5. Panjang malai, diukur dari pangkal hingga ujung malai. 6. Panjang daun bendera, diukur dari pangkal hingga ujung daun bendera. 7. Persentase gabah bernas per malai, dihitung dengan membandingkan jumlah gabah isi dengan jumlah gabah total per malai dikali 100%. 8. Bobot 1000 biji (g). 9. Hasil (ton/ha), dihitung per plot.
48
Tabel 7 Genotipe padi dataran tinggi yang digunakan dalam penelitian pada MH 2011/2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Genotipe C4-30-21 C8-10-25 RB-30-82 RB-10-95 RB-10-98 KN-10-111 KN-20-124 KN-20-127 PK-30-131 PK-20-133 C3-10-171 KN-30-186 OS-30-199 KK-10-249 CM-20-251 IPB97-F-13 IPB117-F-20 IPB117-80-2 IPB117-7-7 IPB117-F-15-4 Kuning Kutu Randah Batu Hampa Kuriek Kusuik Sarinah
Dosis Radiasi (kGy) 0.3 0.1 0.3 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.3 0.2 0.1 0.3 0.3 0.1 0.2
Generasi M6 M6 M6 M6 M6 M6 M6 M6 M6 M6 M6 M6 M6 M6 M6 Galur murni F8 F8 F8 F8
Induk/Tetua Ciburuy 4 Ciburuy 8 Randah Batu Hampa Randah Batu Hampa Randah Batu Hampa Kuning Kuning Kuning Kutu Kutu Ciburuy 3 Kuning Osog Kuriek Kusuik Ceredek Merah IPB6-d-10s-1-1 x Fatmawati Pulu Mandoti x Fatmawati Pulu Mandoti x Fatmawati Pulu Mandoti x Fatmawati Pulu Mandoti x Fatmawati Padi Lokal Dataran Tinggi Padi Lokal Dataran Tinggi Padi Lokal Dataran Tinggi Padi Lokal Dataran Tinggi Varietas Pembanding
Pengolahan Data Data yang telah direkapitulasi dianalisis melalui perangkat lunak SAS dengan tahapan berikut :
1.
Analisis ragam pada masing-masing lokasi Sidik ragam digunakan untuk melihat keragaman yang terdapat diantara
genotipe. Analisis ragam setiap karakter genotipe padi pada masing-masing lokasi dilakukan mengikuti metode yang dikemukakan oleh Singh dan Chaudhary (1979) dan Falconer (1989).
2.
Analisis ragam gabungan Analisis ragam gabungan dilakukan untuk mengetahui pengaruh lingkungan.
49
3.
Studi keragaman dengan melibatkan G x E Menurut Hallauer dan Miranda (1995), ragam fenotipik ( p2 ), ragam
genotipik ( g2 ), ragam interaksi ( g2l ) dihitung sebagai berikut:
p2
2 = g + ( gl2 / l) + ( e2 / rl)
g2
= (M3 – M2) / rl
gl2
= (M2 – M1) / r
e2
= M1/rl
Menurut Sing dan Chaudhary (1979) nilai duga heritabilitas dan kriterianya dihitung dengan menggunakan rumus : 2 hbs
g2 p2
Kriteria nilai heritabilitas (Stanfield 1983): h2> 0.5 (heritabilitas tinggi), 0.2 > h2 > 0.5 (heritabilitas sedang), h2 < 0.2 (heritabilitas rendah). Koefisien keragaman genetik diduga berdasarkan ragam genotipik ( g2 ). Standar deviasi ragam genetik dapat menentukan luas atau sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter menggunakan rumus berikut:
2 g
2
=
(rl ) 2
M 32 M 22 (Hallauer dan Miranda 1995). db 2 db 2 gl g
g2 > 2 : keragaman genetik luas; g2 < 2 : keragaman genetik sempit. 2 g
2 g
Keterangan : M3= kuadrat tengah genotipe; M2= kuadrat tengah genotipe x lokasi; R= banyaknya ulangan; L= banyaknya lokasi; dbg= derajat bebas genotipe; dbgl = derajat bebas genotipe x lokasi
4.
Korelasi Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui karakter yang berkaitan
dengan karakter utama, yaitu untuk memperbaiki respon ikutan dalam penerapan seleksi tak langsung. Analisis korelasi dihitung berdasarkan (Gaspersz 1992):
50
rxy
n xiyi ( xi )( yi ) [n x ( xi ) 2 ][(n yi2 ( yi ) 2 ] 2 i
Keterangan: rxy = korelasi variabel X dan Y; n= jumlah objek pengamatan; x= nilai
variabel X; dan y=nilai variabel Y
5.
Analisis Lintasan (path analysis) Analisis lintasan digunakan untuk mengetahui kontribusi suatu variabel
bebas terhadap variabel respon apakah berpengaruh langsung atau tidak langsung. Analisis lintasan berdasarkan persamaan simultan (Gasperz 1992) seperti berikut: r 11r 12 r 1 p C 1 r 1 y r 21r 22 r 20 C 2 r 2 y rp1rp 2 rpp C 3 rpy Rx C Ry
Keterangan: Rx = matriks korelasi antar variabel bebas dalam model regresi berganda yang memiliki p buah variabel bebas sehingga merupakan matriks dengan elemnen-elemen Rxixj (i,j=1,2,...,p)
C = vektor koefisien lintasan yang menunjukan pengaruh langsung dari setiap variabel bebas yang telah dibakukan Ry = vektor koefisien korelasi antar variabel bebas Xi (i=1,2,...p) dan variabel tak bebas Y
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian genotipe padi pada tiga ketinggian tempat menghasilkan perbedaan keragaan karakter agronomi. Semua karakter agronomi yang diamati memiliki pengaruh genotipe yang berbeda nyata (P <0.0001) di ketinggian 700 m dpl. Koefisien keragaman tergolong rendah berkisar antara 0.44% pada karakter umur panen hingga 17.78% pada karakter jumlah gabah bernas (Tabel 8). Nilai koefisien keragaman dengan kategori sedang terdapat pada karakter jumlah anakan produktif sebesar 23,19% dan karakter gabah bernas per malai sebesar 27,54% di ketinggian 900 m dpl. Karakter agronomi yang memiliki
51
keragaman diantara genotipe yang tidak berbeda nyata di ketinggian 1200 m dpl yaitu jumlah anakan produktif dan panjang malai. Karakter jumlah gabah bernas memiliki koefisien keragaman yang tergolong sedang (33.77%) sedangkan karakter agronomi lainnya memiliki koefisien keragaman yang tergolong rendah. Ketinggian tempat berkait erat dengan suhu dan berkorelasi negatif terhadap pertumbuhan tanaman. Karakter
tinggi tanaman berkorelasi positif
dengan penurunan suhu. Semakin tinggi suatu tempat, memiliki suhu yang semakin rendah dan menyebabkan berkurangnya tinggi tanaman. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 8, tinggi tanaman rata-rata yaitu 121,39 cm (di ketinggian 700 m dpl), 109,9 cm (di ketinggian 900 m dpl) dan 100,33 cm (di ketinggian 1200 m dpl). Jumlah gabah bernas terbanyak terdapat di ketinggian 700 m dpl (155 butir per malai), sedangkan di ketinggian 900 m dpl dan 1200 m dpl memiliki rata-rata jumlah gabah bernas yang sama, masing-masing 91 butir per malai. Berbeda dengan jumlah anakan produktif, pada ketinggian 1200 m dpl memiliki jumlah anakan paling banyak (23 anakan per rumpun) diikuti oleh ketinggian 900 m dpl dan 700 m dpl. Karakter panjang daun bendera di ketinggian 900 m dpl lebih panjang (33,39 cm) dibandingkan dengan ketinggian 700 m dpl (31,16 cm) dan ketinggian 1200 m dpl (27,19 cm). Persentase gabah bernas juga menunjukkan korelasi positif dengan suhu rendah. Semakin rendah suhu maka persentase gabah bernas semakin berkurang, seperti dapat dilihat pada Tabel 8, untuk ketinggian 700, 900 dan 1200 m dpl masing-masing memiliki persentase gabah bernas sebesar 77,17%; 65,37% dan 63,03%. Hal serupa terjadi pada karakter panjang malai dan bobot 1000 butir. Nilai rata-rata panjang malai yang tinggi terdapat di ketinggian 700 m dpl (26,25 cm) diikuti ketinggian 900 m dpl (25,15 cm) dan ketinggian 1200 m dpl (22,67 cm). Terdapat perbedaan pengaruh ketinggian tempat terhadap umur berbunga dan umur panen. Umur berbunga dan umur panen yang paling dalam terdapat di ketinggian 900 m dpl yaitu 116 (HSS) dan 146 HSS sedangkan di ketinggian 700 m dpl memiliki rata-rata umur berbunga dan umur panen masing-masing 111 HSS dan 139 HSS, namun di ketinggian 1200 m dpl memiliki umur berbunga dan umur panen yang lebih genjah dibandingkan dengan ketinggian 900 m dpl, yaitu 114 HSS dan 140 HSS.
52
52
Tabel 8 Analisis ragam karakter agronomi genotipe padi dataran tinggi di tiga lokasi dengan perbedaan ketinggian tempat Sumber Keragaman
TT
GI
JAP
PDB
PGI
PM
SB
UB
UP
62.27 tn
321.79 tn
56.52**
7.99 tn
269.61*
4.37 tn
2.58 tn
11.16tn
2.41tn
585.02**
4398.87**
44.98**
46.35**
485.56**
12.93**
13.89**
50.14**
17.2**
82.21
759.33
9.77
9.24
82.79
1.56
2.76
0.67
0.39
7.47
17.78
16.44
9.76
11.79
4.71
6.68
0.73
0.44
Rata-rata
121.39
155.01
19.01
31.16
77.17
26.25
24.91
111.6
139.57
Sumber Keragaman
TT
Lokasi Banjaran (700 m dpl) Kelompok Genotipe Galat KK
GI
JAP
PDB
PGI
PM
SB
UB
UP
Lokasi Ciburuy (900 m dpl) Kelompok
543.72**
729.91tn
34.12 tn
26.86 tn
41.05 tn
0.67 tn
0.84 tn
14.25**
3.16*
Genotipe
390.5**
4290.79**
27.99 tn
53.89**
1501.93**
6.26**
25.32**
175.69 tn
56.76**
73.92
633.09
19.52
13.91
44.94
1.19
1.89
6.21
0.67
7.82
27.54
23.19
11.17
10.26
4.34
5.88
2.13
0.56
109.9
91.35
19.05
33.39
65.37
25.15
23.39
116.81
146.04
Galat KK Rata-rata Sumber Keragaman
TT
GI
JAP
PDB
PGI
PM
SB
UB
UP
Lokasi Boyongbong (1200 m dpl) 57.23 tn
2530.12 tn
69.97*
27.12 tn
308.41 tn
0.95 tn
2.02 tn
220.17**
0.16 tn
217.16**
3573.05**
20.04 tn
39.11**
1283.39**
4.93 tn
6.48*
32.43 tn
46.8**
Galat
62.6
951.39
18.99
14.53
135.83
4.28
3.46
18.89
0.24
KK
7.89
33.77
18.56
14.02
18.49
9.12
8.08
3.8
0.35
100.33
91.33
23.48
27.19
63.03
22.67
23.03
114.29
140.64
Kelompok Genotipe
Rata-rata
Keterangan: TT=tinggi tanaman (cm), GI = gabah bernas, JAP=jumlah anakan produktif, PDB=panjang daun bendera (cm), PGI=persentase gabah bernas, PM=panjang malai (cm), SB=bobot 1000 butir (g), UB= umur berbunga, UP=umur panen, KK=koefisien keragaman, tn=tidak berbeda nyata, *)=berbeda nyata, P<0.05, **)=berbeda nyata, P<0.01
53
Korelasi antara karakter agronomi sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan genotipe. Karakter tinggi tanaman memiliki korelasi negatif dan sangat nyata dengan karakter persentase gabah bernas (-0,32) dan jumlah gabah bernas (-0,61) serta berkorelasi positif dan nyata dengan karakter umur berbunga (0,27) di ketinggian 700 m dpl. Karakter jumlah anakan produktif berkorelasi positif dan nyata dengan produksi GKG (0,81) dan berkorelasi negatif dan nyata dengan karakter panjang malai (-0,42) dan bobot 1000 butir (-0,58) dapat dikatakan bahwa di ketinggian 700 m dpl, semakin banyak jumlah anakan maka produksi semakin meningkat tetapi terjadi penurunan bobot 1000 butir dan panjang malai. Korelasi positif dan nyata terdapat pada karakter panjang malai dengan beberapa karakter yaitu; panjang daun bendera (0,64), umur berbunga (0,33) dan bobot 100 butir (0,56), namun berkorelasi negatif dengan persentase gabah bernas (-0,63) dan produksi GKG (-0,55) (Tabel 9). Karakter umur berbunga memiliki nilai korelasi yang sama namun berbanding terbalik dengan karakter persentase gabah bernas (-0,37) dan bobot 1000 butir (0,37). Dapat diartikan bahwa, penundaan umur berbunga menyebabkan persentase gabah bernas semakin rendah tetapi bobot 1000 butir semakin meningkat. Tidak terdapat korelasi yang nyata pada karakter umur panen dengan karakter agronomi lainnya. Karakter persentase gabah bernas menentukan produksi GKG, hal ini ditunjukan dengan korelasi yang positif dan sangat nyata di antara dua karakter (0,69) dan gabah bernas (0,32) tetapi berkorelasi negatif dan nyata dengan bobot 1000 butir (-0,36). Nilai korelasi antar dua karakter yang semakin mendekati +1 atau -1 mengindikasikan semakin dekatnya hubungan diantara kedua karakter tersebut (Mattjik dan Sumertajaya 2008). Karakter tinggi tanaman berkorelasi positif dan sangat nyata dengan karakter umur panen (0,30), persentase gabah bernas (0,47) dan produksi GKG (0,50), tetapi berkorelasi negatif dan nyata dengan bobot 1000 butir (-0,32) di ketinggian 900 m dpl (Tabel 10). Panjang malai berkorelasi negatif dan nyata dengan persentase gabah bernas (-0,47) dan produksi GKG (-0,33). Dapat diartikan bahwa semakin panjang malai maka semakin tinggi jumlah gabah hampa dan terjadi penurunan angka produksi. Serupa dengan di ketinggian 700 m dpl, dimana umur panen tidak memiliki korelasi yang nyata dengan karakter agronomi
54
lainnya. Persentase gabah bernas memiliki korelasi negatif dan sangat nyata dengan bobot 1000 butir (-0,75) tetapi berkorelasi positif dan sangat nyata dengan jumlah gabah bernas dan produksi GKG masing-masing 0,65 dan 0,74. Sebagian besar karakter agronomi memiliki hubungan korelasi yang tidak nyata di ketinggian 1200 m dpl (Tabel 11). Korelasi positif dan nyata hanya terdapat pada karakter tinggi tanaman dengan jumlah gabah bernas (0,40), jumlah anakan produktif terhadap produksi GKG (0,32), karakter panjang malai dengan panjang daun bendera (0,38), umur berbunga dengan bobot 1000 butir (0,31), persentase gabah bernas dengan jumlah gabah bernas (0,58) dan produksi GKG (0,83). Korelasi negatif dan nyata hanya terdapat pada karakter tinggi tanaman terhadap jumlah anakan produktif (-0,25). Karakter jumlah anakan produktif, jumlah gabah bernas dan persentase gabah bernas memiliki kontribusi yang besar terhadap produksi di lingkungan dengan cekaman suhu rendah di ketinggian 1200 m dpl pada MK 2011. Fageria (2007) melaporkan bahwa kultivar dengan jumlah anakan yang banyak akan lebih baik dibandingkan dengan yang memiliki anakan sedikit pada lingkungan bercekaman, karena dapat mengimbangi produksi, namun pada lingkungan optimal tidak memiliki pengaruh nyata. Kemampuan tanaman menghasilkan anakan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan malai yang berkorelasi kuat dengan hasil (Miller et al. 1991). Jumlah anakan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti cahaya, suhu, densitas tanaman dan nutrisi (Wu et al. 1998). Karakter persentase gabah bernas merupakan karakter utama pada lingkungan dengan cekaman suhu rendah, yang memiliki kontribusi di lingkungan optimal sebesar 4%, sedangkan di lingkungan marginal jauh lebih besar yaitu sebesar 69%, sehingga (Khush 1999). Keeratan hubungan diantara dua karakter lebih banyak terdapat di ketinggian 700 m dpl. Beberapa karakter agronomi memiliki korelasi positif sangat nyata yang sama di ketiga lokasi yaitu diantara karakter jumlah anakan produktif dengan produksi GKG, panjang malai dengan panjang daun bendera, karakter umur berbunga dengan bobot 1000 butir, karakter persentase gabah bernas dengan jumlah gabah bernas dan produksi GKG.
55
Tabel 9 Nilai koefisien korelasi karakter agronomi galur padi dataran tinggi di ketinggian 700 m dpl JAP PM PDB UB UP PGI SB GI PRO
TT
JAP
PM
PDB
UB
UP
PGI
SB
GI
0,25* -0,03tn -0,06tn 0,27* 0,21tn -0,32** -0,16* -0,61** 0,07tn
-0,42** -0,26tn -0,06tn 0,04tn 0,29* -0,58** -0,20tn 0,81**
0,64** 0,33** -0,10tn -0,63** 0,56** 0,21tn -0,55**
0,15tn -0,15tn -0,43** 0,41** 0,21tn -0,35**
0,58** -0,37** 0,37** -0,25* -0,04tn
0,09tn -0,02tn -0,13tn 0,18tn
-0,36** 0,32** 0,69**
0,17tn -0,37**
0,01tn
Keterangan: TT=Tinggi Tanaman; JAP=Jumlah Anakan Produktif; PM=Panjang Malai; PDB= Panjang Daun Bendera; UB=Umur Berbunga; UP=Umur Panen; PGI=Persentase Gabah Isi; SB=Bobot 1000 butir;GI=Gabah Isi.*)berkorelasi nyata pada taraf 5%; **)berkorelasi nyata pada taraf 1%.
Tabel 10 Nilai koefisien korelasi karakter agronomi galur padi dataran tinggi di ketinggian 900 m dpl TT JAP PM PDB UB UP PGI SB GI JAP PM PDB UB UP PGI SB GI PRO
0,04 tn -0,13 tn 0,12 tn 0,05 tn 0,30** 0,47** -0,32** 0,16 tn 0,50**
0,09 tn 0,11 tn 0,19 tn 0,07 tn -0,13tn 0,08 tn -0,05tn 0,48**
0,32** 0,04 tn -0,11 tn -0,47** 0,56** -0,19 tn -0,33**
-0,30** -0,30** 0,09 tn -0,02 tn 0,09 tn 0,10 tn
0,75** -0,26* 0,30** -0,11 tn 0,03 tn
-0,10 tn 0,15 tn 0,07 tn 0,14 tn
-0,75** 0,65** 0,74**
-0,48** -0,45**
0,50**
Keterangan: TT=Tinggi Tanaman; JAP=Jumlah Anakan Produktif; PM=Panjang Malai;PDB= Panjang Daun Bendera ; UB=Umur Berbunga; UP=Umur Panen; PGI=Persentase Gabah Isi; SB=Bobot 1000 butir;GI=Gabah Isi. *)berkorelasi nyata pada taraf 5%; **)berkorelasi nyata pada taraf 1%.
Tabel 11 Nilai koefisien korelasi karakter agronomi galur padi dataran tinggi di ketinggian 1200 m dpl TT JAP PM PDB UB UP PGI SB GI JAP PM PDB UB UP PGI SB GI PRO
-0,25* 0,08 tn 0,21 tn 0,19 tn -0,05 tn 0,23 tn 0,17 tn 0,40** 0,15 tn
-0,03 tn -0,20 tn -0,14 tn 0,16 tn -0,11 tn -0,19 tn -0,19 tn 0,32**
0,38** 0,13 tn 0,06 tn -0,20 tn -0,08 tn 0,22 tn -0,17 tn
0,14 tn 0,16 tn -0,03 tn 0,11 tn 0,25* -0,09 tn
0,09 tn -0,01 tn 0,31** -0,12 tn 0,03 tn
0,16 tn -0,07 tn -0,12 tn 0,29*
0,04 tn 0,58** 0,83**
0,02 tn 0,16 tn
0,38**
Keterangan: TT=Tinggi Tanaman; JAP=Jumlah Anakan Produktif; PM=Panjang Malai; PDB= Panjang Daun Bendera; UB=Umur Berbunga; UP=Umur Panen; PGI=Persentase Gabah Isi; SB=Bobot 1000 butir;GI=Gabah Isi.*) berkorelasi nyata pada taraf 5%; **) berkorelasi nyata taraf 1%.
56
Perbandingan antara besaran ragam genotipe dengan besaran total ragam fenotipe suatu tipe dinyatakan oleh nilai heritabilitas. Nilai ini dapat menjelaskan seberapa besar peranan suatu genotipe terhadap fenotipe tanaman di lapangan dibandingkan dengan faktor lingkungan (Fehr 1987). Karakter jumlah anakan produktif, panjang malai, panjang daun bendera dan umur panen mempunyai nilai heritabilitas sedang yang berkisar antara 0,42–0,49. Karakter lainnya memiliki nilai heritabilitas tinggi yang berkisar 0,5 - 0,86 (Tabel 12). Tabel 12 Parameter genetik komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi dataran tinggi di tiga ketinggian tempat Karakter Produksi TT JAP PM PDB UB UP PGI SB GI GTO LP
2G 0,37 50,92 4,61 0,48 2,88 14,75 1,40 118,83 2,48 182,32 785,35 7,54
2GL 0,38 27,48 15,33 2,26 9,95 10,43 8,47 175,93 1,58 471,11 1180,92 35,57
2P 0,48 60,71 9,41 1,13 5,86 17,20 3,12 163,19 2,92 360,13 1145,05 15,04
h2BS 0,77 t 0,84 t 0,49 s 0,42 s 0,49 s 0,86 t 0,45 s 0,73 t 0,85 t 0,51 t 0,69 t 0,50 t
KKG (%) 16,51 t 6,81 ar 9,44 ct 2,82 r 5,44 ar 3,43 r 0,84 r 16,59 t 6,64 ar 11,66 ct 16,47 t 9,43 ct
KKF (%) 18,80 7,43 13,48 4,32 7,75 3,71 1,26 19,44 7,20 16,39 19,88 13,32
Keterangan: σ2G=Ragam genotipe, σ2GL=Ragam GxE, σ2P=Ragam fenotipe, h2BS=Heritabilitas dalam arti luas (t tinggi, s sedang, r rendah), KKG=Koefisien keragaman genetik (%) (ct cukup tinggi, t tinggi, ar agak rendah, r rendah), KKF=Koefisien keragaman fenotipe (%), x=nilai rata-rata. TT=Tinggi Tanaman; JAP=Jumlah Anakan Produktif; PM=Panjang Malai; PDB= Panjang Daun Bendera; UB=Umur Berbunga; UP=Umur Panen; PGI=Persentase Gabah Isi; SB=Bobot 1000 butir; GI=Gabah Isi.
Nilai KKG dapat mengukur keragaman genetik suatu sifat dan dapat membandingkan keragaman genetik berbagai sifat tanaman. Karakter dengan KKG relatif rendah dan agak rendah digolongkan sebagai sifat variabilitas genetik sempit dan karakter dengan kriteria KKG relatif cukup tinggi dan tinggi digolongkan sebagai karakter variabilitas genetik luas (Murdaningsih et al. 1990). Nilai KKG yang tinggi terdapat pada karakter produksi, persentase gabah isi dan jumlah gabah total masing-masing 16,51%, 16,59% dan 16,47%. Karakter jumlah anakan produktif, gabah bernas dan lama pengisian memiliki nilai KKG dengan kategori cukup tinggi. Karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera dan bobot 1000 butir tergolong agak rendah, sedangkan karakter lainnya seperti panjang malai, umur berbunga dan umur panen
57
mempunyai nilai KKG pada kategori rendah yang berkisar 0,84 - 3,43. Nilai KKF menggambarkan keragaman fenotipe, nilai KKF berkisar antara 3,71% (umur berbunga) sampai dengan 19,88% (jumlah gabah total per malai). Karakter yang memiliki korelasi nyata dilanjutkan dengan analisis lintasan (path way analysis) untuk mengetahui besarnya kontribusi karakter tersebut terhadap hasil. Analisis lintasan berisi informasi pengaruh langsung dan tidak langsung antara variabel bebas dan variabel respon (Singh dan Chaudary 1979). Hasil analisis lintasan untuk lokasi di ketinggian 700 m dpl menunjukkan bahwa terdapat pengaruh langsung yang besar dan bernilai positif terhadap hasil pada karakter jumlah anakan produktif (0,79), persentase gabah bernas (0,61) dan bobot 1000 butir (0,30) (Tabel 13). Nilai pengaruh langsung karakter jumlah anakan produktif sebesar 0,79 dapat diartikan bahwa setiap kenaikan satu simpangan baku jumlah anakan produktif akan menaikkan hasil sebesar 0,79 simpangan baku. Nilai koefisien korelasi sangat nyata untuk karakter panjang malai terhadap hasil, tetapi memiliki pengaruh langsung dengan nilai yang rendah (-0,03) serta pengaruh total yang tinggi (-0,55). Hal ini dapat dijelaskan bahwa terdapat pengaruh tidak langsung karakter panjang malai melalui karakter agronomi lainnya yaitu pada karakter jumlah anakan produktif (-0,33) dan persentase gabah bernas (-0,33). Karakter bobot 1000 butir memiliki pengaruh langsung yang besar dan bernilai positif terhadap hasil (0,30) dan pengaruh tidak langsung yang besar dan bernilai negatif melalui karakter jumlah anakan produktif (-0,46) mengindikasikan bahwa kontribusi karakter bobot 1000 butir bernilai besar terhadap hasil secara langsung, selain itu juga disalurkan melalui jumlah anakan produktif yang dihasilkan lebih sedikit (Tabel 13). Pengaruh langsung yang besar dan bernilai positif terhadap hasil di ketinggian 900 m dpl terdapat pada karakter jumlah anakan produktif (0,58), umur panen (0,14), persentase gabah bernas (0,98) dan bobot 1000 butir (0,26) (Tabel 14). Karakter tinggi tanaman memiliki nilai koefisien korelasi yang tinggi terhadap hasil (0,50) seperti yang disajikan pada Tabel 10, namun memiliki pengaruh langsung yang rendah (0,05) dan pengaruh tidak langsung yang besar yang disalurkan melalui karakter persentase gabah bernas (0,46). Nilai koefisien
58
korelasi karakter bobot 1000 butir yang bernilai negatif terhadap hasil (-0,45) (Tabel 10) berbeda dengan nilai pengaruh langsung karakter tersebut terhadap hasil (0,26). Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya pengaruh tidak langsung yang besar dan bernilai negatif yaitu melalui karakter persentase gabah bernas (-0,74). Hal serupa dengan karakter jumlah gabah bernas yang memiliki pengaruh langsung yang sangat rendah (-0,01) tetapi memiliki pengaruh total yang besar (0,50) yang disalurkan melalui karakter persentase gabah bernas sebesar 0,63. Karakter persentase gabah bernas memiliki kontribusi besar secara tidak langsung yang bernilai positif maupun negatif terhadap hasil melalui karakter lainnya. Terdapat beberapa karakter yang memiliki pengaruh langsung yang besar dan bernilai positif di ketinggian 1200 m dpl, yaitu karakter jumlah anakan produktif (0,44) dan persentase gabah bernas (0,90). Hal ini konsisten dengan nilai korelasi antar karakter tersebut terhadap hasil yang memiliki hubungan yang erat seperti yang disajikan pada Tabel 11. Hanya terdapat satu karakter yang memiliki pengaruh tidak langsung yang besar terhadap hasil yaitu persentase gabah bernas melalui jumlah gabah bernas (0,52) (Tabel 15). Analisis lintasan pada tiga lokasi dengan ketinggian yang berbeda mengindikasikan bahwa di ketinggian 700 m dpl terdapat lebih banyak karakter yang memiliki pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap hasil. Terdapat tiga karakter yang memiliki pengaruh langsung yang besar dan bernilai positif serta sama di ketiga ketinggian tempat yaitu karakter jumlah anakan produktif, persentase gabah isi dan bobot 1000 butir.
Tabel 13 Pengaruh langsung dan tidak langsung antara komponen pertumbuhan, komponen hasil terhadap hasil di ketinggian 700 m dpl Variabel bebas dibakukan Pengaruh langsung
Pengaruh tidak langsung melalui variabel Zi
Z1
Z3 0.00
Z4 0.00
Z5 0.02
Z6 0.01
Z7 -0.19
Z8 -0.05
Z9 0.00
Pengaruh Total 0.07
Z1
0,08
-
Z2 0.20
Z2
0,79
0.02
-
0.01
0.00
0.00
0.00
0.18
-0.17
0.00
0.81
Z3
-0,03
0.00
-0.33
-
0.00
0.03
0.00
-0.38
0.17
0.00
-0.55
Z4
0,01
0.00
-0.20
-0.02
-
0.01
0.00
-0.26
0.12
0.00
-0.35
Z5
0,09
0.02
-0.04
-0.01
0.00
-
0.02
-0.22
0.11
0.00
-0.04
Z6
0,03
0.02
0.03
0.00
0.00
0.05
-
0.05
-0.01
0.00
0.18
Z7
0,61
-0.03
0.23
0.02
0.00
-0.03
0.00
-
-0.11
0.00
0.69
Z8
0,30
-0.01
-0.46
-0.02
0.00
0.03
0.00
-0.22
-
0.00
-0.37
Z9
0,01
-0.05
-0.15
-0.01
0.00
-0.02
0.00
0.19
0.05
-
0.01
Keterangan: Z1=tinggi tanaman, Z2=jumlah anakan produktif, Z3=panjang malai, Z4=panjang daun bendera, Z5=umur berbunga, Z6=umur panen, Z7=persentase gabah bernas, Z8=bobot 1000 butir dan Z9=gabah bernas. 59
60
60
Tabel 14 Pengaruh langsung dan tidak langsung antara komponen pertumbuhan, komponen hasil terhadap hasil di ketinggian 900 m dpl Pengaruh tidak langsung melalui variable Zi Z3 Z4 Z5 Z6 Z7
Variabel bebas Pengaruh dibakukan langsung
Z1
Z2
Z1
0.05
-
0.02
0.00
0.00
0.00
0.04
Z2
0.58
0.00
-
0.00
0.00
0.00
Z3
-0.04
-0.01
0.05
-
0.00
Z4
0.00
0.01
0.06
-0.01
Z5
-0.01
0.00
0.11
Z6
0.14
0.02
Z7
0.98
Z8 Z9
Z8
Z9
Pengaruh Total
0.46
-0.08
0.00
0.50
0.01
-0.13
0.02
0.00
0.48
0.00
-0.02
-0.46
0.14
0.00
-0.33
-
0.00
-0.04
0.09
-0.01
0.00
0.10
0.00
0.00
-
0.10
-0.25
0.08
0.00
0.03
0.04
0.00
0.00
-0.01
-
-0.09
0.04
0.00
0.14
0.02
-0.08
0.02
0.00
0.00
-0.01
-
-0.19
0.00
0.74
0.26
-0.02
0.05
-0.02
0.00
0.00
0.02
-0.74
-
0.00
-0.45
-0.01
0.01
-0.03
0.01
0.00
0.00
0.01
0.63
-0.12
-
0.50
Keterangan: Z1=tinggi tanaman, Z2=jumlah anakan produktif, Z3=panjang malai, Z4=panjang daun bendera, Z5=umur berbunga, Z6=umur panen, Z7=persentase gabah bernas, Z8=bobot 1000 butir dan Z9=gabah bernas.
Tabel 15 Pengaruh langsung dan tidak langsung antara komponen pertumbuhan, komponen hasil terhadap hasil di ketinggian 1200 m dpl Pengaruh tidak langsung melalui variable Zi Variabel Pengaruh bebas langsung dibakukan 0.06 Z1
Z1
Z2
Z3
Z4
Z5
Z6
Z7
Z8
Z9
Pengaruh total
-
-0.11
0.00
0.00
0.00
0.00
0.20
0.04
-0.03
0.15
Z2
0.44
-0.01
-
0.00
0.00
0.00
0.01
-0.10
-0.04
0.02
0.32
Z3
0.05
0.00
-0.01
-
-0.01
0.00
0.01
-0.17
-0.02
-0.02
-0.17
Z4
-0.02
0.01
-0.09
0.02
-
0.00
0.01
-0.02
0.02
-0.02
-0.09
Z5
0.00
0.01
-0.06
0.01
0.00
-
0.01
-0.01
0.06
0.01
0.03
Z6
0.09
0.00
0.07
0.00
0.00
0.00
-
0.14
-0.01
0.01
0.29
Z7
0.90
0.01
-0.05
-0.01
0.00
0.00
0.01
-
0.01
-0.05
0.83
Z8
0.21
0.01
-0.09
0.00
0.00
0.00
-0.01
0.04
-
0.00
0.16
Z9
-0.08
0.02
-0.08
0.01
-0.01
0.00
-0.01
0.52
0.00
-
0.38
61
Keterangan: Z1=tinggi tanaman, Z2=jumlah anakan produktif, Z3=panjang malai, Z4=panjang daun bendera, Z5=umur berbunga, Z6=umur panen, Z7=persentase gabah bernas, Z8=bobot 1000 butir dan Z9=gabah bernas.
62
Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama seperti yang dilaporkan oleh Limbongan (2008), bahwa analisis korelasi untuk jumlah anakan produktif bernilai positif dan nyata dengan produksi. Pada kondisi cekaman suhu rendah, pengaruh karakter agronomi terhadap produksi disalurkan melalui persentase gabah bernas. Pengaruh langsung yang bernilai besar ditunjukan oleh karakter jumlah anakan produktif. Kontribusi karakter persentase gabah bernas di lingkungan optimal 4% sedangkan di lingkungan marginal 69%, berarti karakter persentase gabah isi merupakan karakter utama di dataran tinggi dengan cekaman suhu rendah (Wu et al. 1998). Jiang et al. (2010) melaporkan bahwa korelasi diantara karakter agronomi pada cekaman suhu rendah terjadi pada karakter umur berbunga yang berkorelasi erat dan positif dengan panjang malai, jumlah gabah hampa, dan jumlah gabah total. Jumlah gabah hampa berkorelasi kuat positif dengan jumlah gabah total dan berkorelasi negatif nyata dengan jumlah gabah bernas dan bobot 1000 butir. Cekaman suhu rendah pada fase reproduksi dapat mengurangi jumlah gabah, eksersi malai yang tidak sempurna dan meningkatnya sterilitas gabah yang berakibat pada berkurangnya hasil (Thakur et al. 2010). Faktor lingkungan utama yang menyebabkan panjangnya umur tanaman dan persentase gabah hampa yang tinggi yaitu besarnya cekaman suhu rendah pada kawasan dataran tinggi yang berakibat pada sterilitas polen, fase vegetatif menjadi lebih panjang dan terhambatnya proses pengisian (Lee 2001). Terdapat korelasi yang positif diantara sterilitas malai dengan suhu udara minimum yang terjadi selama pertumbuhan mikrospora dan fase pembungaan. Sterilitas malai akan meningkat sebanyak 1.7% apabila terjadi penurunan suhu minimum di dataran tinggi sebesar 1°C selama fase pembungaan. Oleh karena itu untuk menekan sterilitas malai sebesar 10% diperlukan lebih dari 1000 butir polen (Cruz et al. 2006).
63
KESIMPULAN Keeratan hubungan diantara dua karakter lebih banyak di ketinggian 700 m dpl. Karakter agronomi yang memiliki korelasi positif sangat nyata yang sama di ketiga lokasi yaitu antara karakter jumlah anakan produktif dengan produksi GKG, panjang malai dengan panjang daun bendera, karakter umur berbunga dengan bobot 1000 butir, serta karakter persentase gabah bernas dengan jumlah gabah bernas dan produksi GKG. Karakter jumlah anakan produktif, panjang malai, panjang daun bendera dan umur panen mempunyai nilai heritabilitas arti luas pada kategori sedang yang berkisar antara 0,42 - 0,49. Karakter lainnya memiliki nilai heritabilitas tinggi yang berkisar 0,51 - 0,86. Terdapat lebih banyak karakter yang mempunyai pengaruh
langsung
maupun tidak langsung yang besar terhadap hasil di ketinggian 700 m dpl, sedangkan di ketinggian 900 m dpl dan 1200 m dpl, hanya beberapa karakter yang memiliki pengaruh yang besar terhadap hasil. Karakter yang memiliki pengaruh langsung bernilai positif yang besar dan sama di ketiga ketinggian tempat yaitu karakter jumlah anakan produktif, persentase gabah bernas dan bobot 1000 butir.
64
65
ANALISIS STABILITAS DAN ADAPTABILITAS GALUR PADI DATARAN TINGGI DI LIMA LINGKUNGAN (Stability and Adaptability Analysis of Highland Rice Genotypes across Five Different Environments) Sherly Rahayu1,2, Desta Wirnas3 dan Hajrial Aswidinnoor3,*
ABSTRACT Crop performance is determined by its genetic factors, environment factors and genetic x environment interaction. In this study, twenty lowland rice genotypes were cultivated across five different environments with three different high altitudes areas. The objective of the research was to evaluate the genotype x environment interactions for low temperature tolerance. The significant G x E interactions in all measured agronomic traits were detected. Four stability analysis methods were applied to analyze the stability of promising lowland rice lines. The OS-30-199 line produced the highest yield (4,69 ton/ha) among genotypes observed which highly significant over check variety, Sarinah (3,42 ton/ha). The AMMI analysis revealed KN-10-111, KN-20-124 and RB-10-98 lines were the most stable genotypes across environments evaluated. IPB117-F-20, RB10-95, C3-10-171, OS-30-199, KK-10-249 and CM-20-251 lines were classified as stable lines by Finlay- Wilkinson, Eberhart - Russel and Francis - Kannenberg yield stability test. RB-30-82, KN-30-186, Kuning, and IPB97-F-13 genotypes had the optimal environments adapted. KN-10-111, PK-30-131, Randah Batu Hampa and Sarinah genotypes were widely cultivated in marginal environments. KK-10249 line was specific in 900 m above sea level area, C4-30-21, RB-10-95 and KN20-127 lines adapted in 700 m above sea level area (dry season) whereas B-3082, IPB117-F-20 and C3-10-171 lines specific in rainy season. PK-20-133 line had stability in 1200 m above sea level area (rainy season) while OS-30-199 and Sarinah genotypes more stable in dry season with low temperatures stress condition. The difference of high elevations had influenced on yield in dry season due to low air temperature (15ºC) during flowering period while there was no significantly effect in rainy seasons across three different high elevation areas. Key words: rice, yield stability, low temperature, high altitudes
PENDAHULUAN Sebagian besar dari varietas unggul yang telah dilepas dapat tumbuh dengan optimal pada lingkungan yang subur namun tidak demikian dengan lingkungan yang marginal seperti kawasan dataran tinggi. Diperlukan penelaahan lingkungan
1 Mahasiswa S2 Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian , IPB 2 Staf Peneliti, Bidang Pertanian, PATIR, BATAN, Jakarta 4 Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB * Penulis untuk Korespondensi (Coresponding Author), email:
[email protected]
66
target untuk pengembangan varietas dalam kaitannya dengan beberapa parameter yang bersifat umum seperti wilayah geografis, tipe tanah, sistem budidaya tanaman dan ketinggian tempat atau bahkan dalam cakupan yang lebih kecil keragaman lingkungan akan tetap ditemukan (Limbongan 2008). Tanaman padi dapat bertahan di suhu 12°C pada tingkat semai, 15-17°C suhu malam hari selama inisiasi malai dan suhu 21°C selama antesis. Belum ada bukti tentang pengaruh langsung dari ketinggian tempat terhadap pertumbuhan padi, namun demikian kultivar yang bertoleransi terhadap iklim dingin secara morfologi tidak berbeda dengan kultivar lainnya (Guimaraes 2010). Adaptabilitas dan stabilitas suatu genotipe sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Melalui interaksi G x E, stabilitas penampilan genotipe pada suatu kisaran lingkungan dapat diukur (Nasrullah 1981).
Stabilitas adalah
kemampuan tanaman untuk mempertahankan daya hasil terhadap perubahan kondisi lingkungan. Stabilitas hasil merupakan karakter yang diwariskan melalui daya saing populasi yang secara genetik heterogen (Nor & Cady 1979). Salah satu metode yang dapat digunakan dalam menduga adaptabilitas dan stabilitas fenotipik seperti hasil adalah dengan cara melakukan pengujian berulang pada berbagai lingkungan tumbuh yang bervariasi (Singh & Chaudhary 1979). Informasi menenai GxE sangat berguna dalam menentukan apakah dapat dilakukan pengembangan suatu kultivar di semua lingkungan yang diinginkan atau perlu dilakukan pengembangan kultivar spesifik untuk lingkungan target. (Bridges 1989). Stabilitas suatu genotipe dapat diukur dengan menggunakan beberapa metode diantaranya; parameter koefisien keragaman (CVi) (Francis dan Kannenberg 1978), koefisien regresi (Finlay dan Wilkinson 1963), rata-rata jumlah kuadrat simpangan regresi (Eberhart dan Russel 1966) dan Gauch (1992) yang menggunakan model AMMI untuk menyatakan genotipe stabil berdasarkan gabungan antara analisis ragam dan analisis komponen utama. Tanggapan genotipe terhadap lingkungannya dikelompokkan menjadi dua yaitu; (1) kelompok yang menunjukkan kemampuan adaptasi pada lingkungan yang luas, memiliki interaksi G x E kecil. (2) kelompok yang menunjukkan kemampuan adaptasi sempit atau beradaptasi khusus dan berperagaan baik pada suatu lingkungan tetapi berperagaan buruk pada lingkungan yang berbeda
67
dikategorikan interaksi G x E besar (Soemartono & Nasrullah 1988). Interaksi GxE bersifat kompleks karena bervariasinya komponen-komponen faktor lingkungan (Allard & Bradsaw 1964). Perakitan varietas padi sawah berdaya hasil tinggi dan toleran suhu rendah merupakan alternatif pemecahan masalah pada daerah dataran tinggi dengan cekaman suhu rendah. Pengaruh cekaman suhu pada beberapa ketinggian tempat di dataran tinggi dapat memberikan perbedaan angka produksi bagi setiap galur yang ada secara signifikan. Perbedaan hasil sangat dipengaruhi oleh perbedaan genetik dan lingkungan, oleh karena itu perlu memilih galur-galur yang unggul dengan hasil yang stabil (Sutjihno 1993). Hal ini merupakan faktor yang esensial untuk dipelajari secara lebih mendalam dalam kerangka menghasilkan varietas padi dataran tinggi pada semua level ketinggian tempat maupun ketinggian yang spesifik untuk memperoleh hasil yang optimal melalui pemanfaatan lahan sub optimal. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mempelajari stabilitas galur padi dataran tinggi dan mendapatkan informasi tentang daya adaptasi genotipe padi dataran tinggi pada tiga level ketinggian tempat.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei 2011 sampai dengan bulan April 2012. Musim tanam pertama dilakukan pada musim kemarau 2011 di dua lokasi yaitu Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dengan ketinggian 700 m dpl, dan di Kecamatan Boyongbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat dengan ketinggian 1200 m dpl. Musim tanam kedua dilakukan pada musim hujan 2011/2012 di tiga lokasi yaitu Kecamatan Banjaran (700 m dpl), Kecamatan Ciburuy (900 m dpl) dan Kecamatan Boyongbong (1200 m dpl). Materi genetik yang digunakan merupakan genotipe yang memiliki keragaan karakter agronomi yang baik dan hasil di lima lingkungan pengujian yang terdiri dari lima belas galur mutan padi dataran tinggi yaitu C4-30-21, C8-10-25, RB30-82, RB-10-95, RB-10-98, KN-10-111, KN-20-124, KN-20-127, PK-30-131, PK-20-133, C3-10-171, KN-30-186, OS-30-199, KK-10-249, CM-20-251, dua galur hasil persilangan yaitu IPB117-F-20 dan IPB97-F-13 serta dua padi lokal
68
dan satu varietas nasional sebagai pembanding yaitu padi Kuning, Randah Batu Hampa dan Sarinah. Penelitian di setiap lokasi dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan 3 ulangan dan genotipe menjadi perlakuan. Satuan percobaan berupa plot yang berukuran 2 m x 5 m. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, setelah benih semaian berumur 21 hari. Bibit ditanam sebanyak satu bibit per lubang. Pemeliharaan tanaman dilakukan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pertanaman di lapangan. Panen dilakukan pada saat tanaman telah matang fisiologis. Analisis data yang dilakukan diantaranya analisis ragam untuk setiap lokasi, dilanjutkan dengan analisis ragam gabungan setelah dilakukan uji kehomogenan ragam. Jika terdapat beda nyata maka dilakukan uji Dunnet pada taraf α0.05 (5%). Pendugaan parameter kestabilan dilakukan menggunakan empat metode pendekatan stabilitas hasil yaitu, Finlay dan Wilkinson (1963), Eberhart dan Russel (1966), Francis dan Kannenberg (1978), serta analisis AMMI (Additive Main Effect Multiplicative Interaction).
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi lingkungan mempunyai pengaruh yang besar terhadap keragaan karakter agronomi dan hasil suatu genotipe pada lingkungan tertentu. Kontribusi faktor penentu pertumbuhan yang berasal dari genotipe, lingkungan dan interaksi genotipe x lingkungan (G x E) memiliki pengaruh terhadap fenotipe tanaman. Adanya interaksi G x E menunjukan kegagalan genotipe yang diuji memperlihatkan keragaan yang relatif sama dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (Fehr 1987). Pengujian di lingkungan dengan ketinggian yang berbeda telah menghasilkan analisis ragam yang berpengaruh nyata untuk setiap karakter agronomi yang berkaitan dengan komponen hasil dan hasil (Tabel 16).
69
Tabel 16 Analisis ragam pengaruh genotipe, lokasi, dan interaksi G x E terhadap komponen hasil dan hasil padi dataran tinggi Karakter
Produksi
KT
F-Hit
KT
F-Hit
KT
F-Hit
Genotipe
Genotipe
Lingkungan
Lingkungan
GxE
GxE
7,181
13,46**
86,385
161,99**
1,663
3,12**
PG
2447,879
17,78**
16730,38
121,53**
665,455
4,83**
SB
43,776
23,63**
53,989
29,15**
6,599
3,56**
GI
5401,914
4,31**
60146,94
47,97**
2667,088
2,13**
GTO
17175,76
9,27**
49549,36
26,74**
5395,495
2,91**
Keterangan: PG= Persentase Gabah bernas, SB=Bobot 1000 butir; GI=Gabah Isi; GTO=Gabah Total, **) berpengaruh nyata berdasarkan uji F pada taraf kesalahan 5%.
Produksi GKG sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Distribusi frekuensi produksi GKG untuk semua genotipe yang diuji berdistribusi normal di ketinggian 700 m dpl pada MH, dan di ketinggian 1200 m dpl pada MK dan MH (Gambar 16). Distribusi dengan frekuensi tertinggi terdapat di ketinggian 700 m dpl pada MK dapat diartikan bahwa produksi mencapai nilai optimal pada suhu minimum di atas 18°C dan lama penyinaran yang optimal pada musim kemarau. Terjadi penurunan angka produksi GKG di ketinggian 700 m dpl dengan kondisi lama penyinaran yang lebih sedikit pada musim hujan. Terjadi peningkatan produksi GKG pada MH di ketinggian 1200 m dpl seiring dengan meningkatnya suhu minimum sebesar ± 2°C di atas 17°C, tetapi dengan distribusi yang hampir sama dengan MK disebabkan keragaman genotipe yang cukup besar sehingga berpengaruh terhadap produksi GKG. Distribusi frekuensi produksi GKG dengan nilai rata-rata yang paling tinggi pada MH terdapat di ketinggian 900 m dpl diikuti oleh ketinggian 700 m dpl dan 1200 m dpl. Pentingnya interaksi GxE dalam analisis stabilitas telah dilaporkan pada tanaman sereal (Saeed and Francis. 1984; Oosterom et al. 1993) dan barley (Ceccarelli 1987).
P e r c e n t
50
700 m dpl (MK)
70
B A N 7 0 0
P e r c e n t
50
C I B 9 0 0
P e r c e n t
50
B A N 1
40 30 20 10
900 m dpl (MH)
700 m dpl (MH)
0
40 30 20 10 0 0.6
1.8
3
4.2
40
5.4
6.6
7.8
9
5.4
6.6
7.8
9
5.4
6.6
7.8
9
pro
30 20 10 0 50
1200 m dpl (MK)
0.6
P e r c e n t
B O Y 1 2 0 0
P e r c e n t
50
B O Y 1
1.8
3
4.2 pro
40 30 20 10
1200 m dpl (MH)
0
40 30 20 10 0 0.6
1.8
3
4.2
pro Produksi GKG (ton/ha)
Gambar 16 Distribusi frekuensi karakter produksi GKG genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian Pengaruh dari tingginya keragaman genotipe padi terhadap produksi GKG terdapat di ketinggian 700 m dpl pada MK (Gambar 17), sedangkan keragaman yang sempit terdapat diketinggian 900 m dpl pada MH. Beberapa genotipe memiliki angka produksi GKG rendah di ketinggian 1200 m dpl pada MK yang disebabkan oleh suhu yang berada di bawah batas kritis untuk pertumbuhan padi. Angka produksi GKG yang rendah juga terdapat di ketinggian 1200 m dpl pada MH yang mungkin disebabkan lama penyinaran yang kurang optimal pada musim hujan sehingga menyebabkan laju fotosintesis menjadi lambat selama proses pengisian biji.
71
10
Produksi GKG (ton/ha)
8
p r o
6
4
2
0 1200 m dpl (MH) BOY1200
900CIB900 m dpl (MH)
700 mBAN700 dpl (MH)
1200 mBOY1 dpl (MK)
700 BAN1 m dpl (MK)
Lokasi
Gambar 17 Hasil genotipe padi dataran tinggi berdasarkan lingkungan di lima lingkungan pengujian Limbongan (2008) menyatakan bahwa adanya interaksi G x E ditandai oleh tanggapan suatu kultivar yang berbeda di setiap lingkungan. Dengan adanya interaksi G x E, maka urutan relatif suatu varietas akan berubah dari tempat ke tempat dan dari musim ke musim. Suatu genotipe akan dapat tumbuh dan berproduksi dengan sama baiknya di berbagai tempat atau lingkungan pertumbuhannya jika tidak terdapat G x E, sehingga galur dapat dikatakan stabil. Varietas yang stabil sangat diperlukan untuk mengurangi resiko akibat perubahan lingkungan yang sukar diramalkan seperti kesuburan tanah, perubahan cuaca yang menyolok serta serangan hama dan penyakit. Pengaruh genotipe padi terhadap produksi GKG di lima lingkungan pengujian sangat bervariasi (Gambar 18). Galur IPB117-80-2 memiliki angka produksi GKG dengan kisaran paling rendah. Galur C3-10-171 memiliki keragaman produksi GKG yang tinggi dengan nilai rata-rata yang sedang. Padi Kuning dan galur OS-30-199 memiliki nilai produksi yang stabil pada lima lingkungan dan memiliki produksi tertinggi pada lingkungan tertentu. Galur PK20-133 memiliki keragaman tertinggi pada lima lingkungan pengujian.
72
10.0
p r o
Produksi GKG (ton/ha)
7.5
5.0
2.5
0 1
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
2
20 21 22 23 24 25
3
4
5
6
7
8
9
Galur
Gambar 18 Hasil GKG genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian Keterangan: 1.Sarinah
6. RB-10-98
11.PK-20-133
16.CM-20-251
21.IPB97-F-13
2. C8-10-25
7.KN-10-111
12.C3-10-171
17.Kuning
22.IPB117-F-80-2
3. RB-30-82
8.KN-20-124
13.KN-30-186
18.Kutu
23.IPB117-F-7-7
4. IPB117-F 20
9.KN-20-127
14.OS-30-199
19.Randah BtH
24.IPB117-F-15-4
5. RB-10-95
10. PK-30-131
15.KK-10-249
20.Kuriek Kus
25.C4-30-21
Pengaruh genotipe merupakan penyumbang terbesar dalam keragaman kemudian disusul oleh lokasi dan interaksi lingkungan dengan genotipe, pada pengujian beberapa kultivar padi lokal dataran tinggi, untuk melihat stabilitas hasil genotipe pada lingkungan yang berbeda (Rasyad et al. 2012). Galur KN-20-127 memiliki produksi yang paling tinggi di ketinggian 1200 m dpl yaitu 4,67 ton/ha diikuti oleh 7 galur lainnya yang memiliki nilai yang berbeda nyata dengan varietas pembanding berkisar pada 3,03 – 4,65 ton/ha (Tabel 17). Galur- galur yang diuji memiliki angka produksi berkisar antara 4,37 – 7,20 ton /ha, nilai ini di atas angka produksi varietas pembanding yaitu 3,57 ton/ha di ketinggian 700 m dpl. Data produksi pada tiga lokasi dengan ketinggian yang berbeda menggambaran bahwa galur-galur yang diuji dapat tumbuh dengan baik pada lingkungan yang optimal yang diindikasikan oleh hasil yang baik pada ketinggian 700 m dpl, sedangkan pada ketinggian 1200 m dpl hanya galur-galur
73
tertentu yang dapat mempunyai potensi hasil yang baik dibandingkan dengan varietas pembanding. Temperatur yang cenderung lebih rendah pada ketinggian di atas 1000 m dpl merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya produksi di ketinggian 1200 m dpl. Temperatur kritis dapat menyebabkan terjadinya sterilitas malai, tetapi bergantung pada durasi suhu rendah, kondisi lingkungan, perbedaan suhu siang dan malam, komposisi pupuk yang digunakan serta genotipe yang dipakai (Nishiyama 1969). Tiga galur yang mempunyai angka produksi yang stabil untuk ketiga lokasi yaitu KN-20-124, OS-30-199 dan KK-10-249 dengan produksi berkisar antara 3,28 – 7,10 ton/ha berbeda nyata dengan varietas pembanding. Terjadi penurunan rata-rata produksi pada musim tanam kedua (musim hujan) di ketinggian 700 m dpl sebesar 2,5 ton/ha. Nilai rata-rata produksi pada musim tanam kedua lebih rendah dibandingkan dengan varietas pembanding yang memiliki produksi 3,3 ton/ha. Chen et al. (2002) melaporkan bahwa diperlukan intensitas cahaya yang lebih banyak selama proses fotosintesis untuk menghasilkan tanaman yang baik. Tanaman yang kekurangan sinar matahari memiliki sterilitas yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang mendapatkan cukup sinar matahari pada perlakuan cekaman suhu rendah yang sama yaitu 510°C (Satake 1969a). Terjadi peningkatan rata-rata produksi sebesar 0,45 ton/ha pada musim hujan di ketinggian 1200 m dpl. Nilai rata-rata produksi lebih tinggi di ketinggian 900 m dpl dibandingkan dengan ketinggian 700 m dpl dan 1200 m dpl pada musim tanam yang sama yaitu sebesar 3,86 ton/ha.
74
Tabel 17 Rata-rata produksi GKG galur padi dataran tinggi di lima lingkungan 700 m dpl 700 m dpl 1200 m dpl 1200 m 900 m dpl (MK) (MH) (MK) dpl (MH) (MH) 6,72** 3,37 2,87 3,31 3,85 C4-30-21 4,53 3,54 0,90 3,32 3,64 C8-10-25 5,72 2,11** 4,65** 2,06 3,50 RB-30-82 4,98 1,91** 2,12 3,26 3,16 IPB117-F-20 5,40 3,74 2,87 4,18 3,79 RB-10-95 5,17 3,10 3,22** 2,48 4,67 RB-10-98 4,40 3,03 3,03** 3,73 3,39 KN-10-111 6,43** 2,63 4,02** 3,04 3,83 KN-20-124 5,97 3,85 4,67** 1,28** 3,79 KN-20-127 4,37 3,51 2,63 3,40 3,43 PK-30-131 6,38** 2,49 2,83 4,46 4,98 PK-20-133 6,07** 3,85 2,78 4,16 3,72 C3-10-171 7,20** 3,50 2,62 3,03 4,30 KN-30-186 7,02** 3,60 4,27** 4,34 4,23 OS-30-199 6,67** 3,60 3,28** 4,04 3,96 KK-10-249 5,57 3,11 2,00 2,19 3,73 CM-20-251 7,93** 3,89 2,67 3,54 3,72 Kuning 5,78 4,42 3,78** 5,19 4,13 Randah Batu Hampa 6,18** 2,87 0,73 2,25 3,22 IPB97-F-13 3,57 3,95 1,88 3,56 4,13 Sarinah 5,80 3,30 2,89 3,34 3,86 Rata-rata Keterangan: **) berbeda nyata dengan varietas pembanding (Sarinah) berdasarkan Uji Genotipe
Ratarata 4,02 3,19 3,61 3,09 4,00 3,73 3,52 3,99 3,91 3,48 4,23 4,12 4,13 4,69 4,31 3,32 4,35 4,66 3,05 3,42 3,84 Dunnet
pada taraf kesalahan 5%.
Analisis Stabilitas menurut Finlay dan Wilkinson (1963) Salah satu metode yang sering digunakan dalam analisis stabilitas yaitu metode Finlay-Wilkinson melalui pendekatan nilai bi. Metode ini menggunakan parameter koefisien regresi (bi) antara rata-rata suatu genotipe dengan rata-rata umum semua genotipe yang diuji dan semua lingkungan pengujian. Genotipe dengan nilai bi > 1, bi = 1, dan bi < 1 berturut-turut mempunyai stabilitas di bawah rata-rata, setara rata-rata, dan di atas rata-rata. Galur-galur dengan stabilitas di bawah rata-rata menunjukkan galur tersebut peka terhadap perubahan lingkungan, sehingga beradaptasi baik pada lingkungan yang menguntungkan. Galur-galur yang memiliki stabilitas di atas rata-rata tidak sensitif terhadap perubahan lingkungan, karena itu beradaptasi pada lingkungan yang marginal (sub optimum). Pengujian pada lima lingkungan menunjukan bahwa galur C4-30-21, C8-1025, IPB117-F-20, RB-10-95, RB-10-98, KN-20-124, KN-20-127, PK-20-133, C310-171, OS-30-199, KK-10-249 dan CM-20-251 memiliki nilai bi yang tidak
75
berbeda nyata dengan 1 dan dikategorikan stabil. Galur RB-30-82, KN-30-186, Kuning, dan IPB97-F-13 mempunyai nilai bi>1 dan berbeda nyata sehingga dapat dikatakan galur-galur ini stabil pada lingkungan optimal. Galur KN-10-111, PK30-131, Randah Batu Hampa dan varietas pembanding Sarinah memiliki nilai bi<1 sehingga dapat beradaptasi baik pada lingkungan marginal (Tabel 18).
Tabel 18 Parameter stabilitas hasil GKG genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian Genotipe C4-30-21 C8-10-25 RB-30-82 IPB117-F-20 RB-10-95 RB-10-98 KN-10-111 KN-20-124 KN-20-127 PK-30-131 PK-20-133 C3-10-171 KN-30-186 OS-30-199 KK-10-249 CM-20-251 Kuning Randah Batu Hampa IPB97-F-13 Sarinah
Rata2 (t/ha) 4,10 4,23 3,19 3,09 3,99 3,73 3,52 3,99 3,91 3,47 3,61 4,17 4,13 4,69 4,31 3,32 4,35 4,58 3,05 3,42
CVi (%) 20,31 33,17 13,31 18,57 10,81 20,22 8,97 21,19 40,45 8,28 39,52 11,43 4,56 12,54 7,23 13,1 10,14 15,28 18,05 28,03
Sdi2
bi r ar r r r r r r ar r ar r r r r r r r r ar
1,29 0,87 2,87 0,97 0,73 0,81 0,44 1,11 0,89 0,49 0,88 0,99 1,58 1,07 1,15 1,21 1,76 0,62 1,68 0,28
tn tn ** tn tn tn * tn tn * tn tn ** tn tn tn ** * ** *
0,69 1,12 0,01 0,34 0,19 0,56 0,10 0,72 2,50 0,08 2,05 0,22 0,19 0,35 0,10 0,19 0,19 0,49 0,30 0,92
Keterangan: CVi=Koefisien keragaman genotipe (ar agak rendah, r rendah); bi=Koefisien regresi genotipe; *) berbeda nyata dengan 1 pada α=0,05 dimana bi<1; **) berbeda nyata dengan 1 pada α=0,05 dimana bi>1; tn= tidak berbeda nyata dengan 1 pada α=0,05), Sdi2= Deviasi dari regresi kuadrat tengah.
Analisis Stabilitas menurut Eberhart dan Russel (1966) Eberhart dan Russel (1966) menggunakan parameter koefisien regresi (bi) dan simpangan regresi (Sdi2). Suatu genotipe dikatakan stabil jika kuadrat tengah sisa dari model regresi pada indeks lingkungannya kecil. Indeks lingkungan adalah rata-rata hasil dari semua genotipe pada masing-masing lokasi dikurangi rataan total dari semua genotipe di semua lokasi. Sebanyak tiga belas dari dua puluh genotipe yang diuji memiliki simpangan regresi kecil (mendekati nol) berkisar antara 0,01 – 0,49.
76
Galur IPB117-F-20, RB-10-95, C3-10-171, OS-30-199, KK-10-249 dan CM-20-251 memiliki nilai bi tidak berbeda nyata dengan satu dengan nilai simpangan regresi mendekati 0 sehingga dapat dikatakan stabil berdasarkan metode Eberhart dan Russel. Hasil interpretasi parameter bi terhadap Sdi2 dapat menggambarkan bahwa galur RB-30-82 mempunyai stabilitas hasil tinggi pada lingkungan optimal. Galur KN-20-127 dan PK-20-133 mempunyai stabilitas hasil rendah. Sarinah sebagai varietas pembanding stabil pada lingkungan sub optimum (marginal). Lima galur yang diuji memiliki stabilitas hasil GKG yang tinggi (Gambar 19).
3,5
bi > 1 (beradaptasi pada lingkungan optimal) 3 RB-30-82
2,5
Stabilitas hasil tinggi
bi
Kuning
1,5
1
0,5
IPB-97-F-13 KN-30-186
CM-20-251 OS-30-199
KK-10-249
C4-30-21 KN-20-124
IPB-117-F-20 C3-10-171 RB-10-98 RB-10-95 Randah Batu Hampa PK-30-131 KN-10-111
KN-20-127
PK-20-133
C8-10-25
Stabilitas hasil rendah
2
Sarinah
bi < 1 (beradaptasi pada lingkungan marginal) 0 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Sdi2
Gambar 19 Interpretasi parameter bi dan Sdi2 pada analisis stabilitas di lima lingkungan Analisis Stabilitas menurut Francis dan Kannenberg (1978) Francis dan Kannenberg (1978) menggunakan parameter koefisien keragaman (CVi) untuk masing-masing galur sebagai parameter stabilitas dan keragaman genotipe terhadap lingkungan. Kriteria nilai koefisien keragaman menurut Moedjiono dan Mejaya (1994) yaitu rendah (0 < x < 25%), agak rendah (25% < x < 50%), cukup tinggi (50% < x < 75%), dan tinggi (75% < x < 100%). Nilai CVi yang semakin kecil menunjukan bahwa genotipe tersebut lebih stabil
77
pada lingkungan yang diuji. Enam belas genotipe yang diuji mempunyai nilai CV yang rendah yang berkisar antara 4,56% – 21,19 % sedangkan Sarinah sebagai varietas pembanding mempunyai nilai CV yang digolongkan agak rendah yaitu 28,03 % (Tabel 18).
Analisis Stabilitas Model AMMI Model AMMI mampu menerangkan stabilitas dengan menggabungkan analisis ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan analisis komponen utama ganda dengan pemodelan bilinier bagi pengaruh interaksi (Mattjik dan Sumertajaya 2008). Model AMMI dapat menduga besarnya pengaruh komponen genotipe, lokasi dan interaksi G x E, sehingga stabilitas dan adaptabilitas suatu genotipe dapat dilihat melalui biplot AMMI (Suwarto & Nasrullah 2011). Analisis ragam AMMI dari 20 genotipe di lima lingkungan pengujian menunjukkan seluruh pengaruh utama (genotipe dan lingkungan) berpengaruh nyata, demikian juga dengan pengaruh interaksi keduanya. Hal ini menunjukkan adanya respon yang berbeda dari suatu genotipe pada lingkungan yang berbeda (Tabel 19). Kontribusi terhadap keragaman setiap komponen yang terdiri dari lingkungan (49,23%), genotipe (10,61%) dan interaksi GxE (23,91%) memiliki nilai peluang nyata berturut-turut 0,00; 0,002 dan 0,02.
Hal ini menunjukan
bahwa lingkungan memiliki kontribusi keragaman terbesar, diikuti oleh interaksi G x E dan genotipe. Kontribusi keragaman pengaruh interaksi G x E yang mampu diterangkan oleh masing-masing komponen adalah sebesar 43,65%; 28,71%; 19,46%; dan 8,19%. Hasil analisis ragam AMMI menunjukkan bahwa terdapat dua komponen yang nyata dengan nilai F sebesar 3,88 dan 2,80 serta nilai peluang nyata sebesar 0,004 dan 0,02. Hal ini menunjukkan bahwa data produksi GKG genotipe padi dataran tinggi dalam penelitian ini dapat diterangkan dengan menggunakan model AMMI2. Model AMMI2 mampu menerangkan keragaman pengaruh interaksi sebesar 72,36%.
78
Tabel 19 Analisis ragam AMMI genotipe padi dataran tinggi di lima lingkungan pengujian Sumber Keragaman
db
Lingkungan Ulangan/ lingkungan Genotipe Genotipe/ lingkungan IAKU1 IAKU2 IAKU3 IAKU4 Galat
4
JK
KT
F hit
Nilai P
Kontribusi terhadap keragaman (%)
310,14
77,53
78,35*
0,000
49,23
10 19
9,89 66,84
0,99 3,52
1,28 4,56*
0,317 0,002
1,57 10,61
76 22 20 18 16 190
150,63 65,75 43,24 29,32 12,33 92,41
1,98 2,99 2,16 1,63 0,77 0,49
2,57* 3,88* 2,80* 2,11
0,019 0,004 0,020 0,069
23,91
Kontribusi terhadap keragaman GxE (%)
43,65 28,71 19,46 8,19 14,67
Total 299 629,92 100 100 Keterangan: JK=Jumlah Kuadrat, KT=Kuadrat Tengah, db=derajat bebas, Nilai P= Peluang, *) berpengaruh nyata pada taraf 5%, IAKU=Interaksi Analisis Komponen Utama.
Analisis komponen ragam yang berpengaruh terhadap interaksi GxE dan lingkungan juga telah dilaporkan oleh Rasyad et al. 2012, terhadap beberapa kultivar padi lokal untuk melihat stabilitas hasil pada lingkungan yang berbeda. Analisis yang sama juga telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh genotipe dan interaksi G x E terhadap konsentrasi Fe pada gabah. Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa lingkungan, genotipe dan interaksi GxE berpengaruh nyata terhadap konsentrasi Fe pada bulir padi setelah dilakukan pengujian di beberapa lokasi (Suwarto & Nasrullah 2011). Genotipe dikatakan stabil apabila berada dekat dengan sumbu koordinat atau titik nol (0,0). Genotipe yang berada jauh dari sumbu tetapi berdekatan dengan garis lokasi tergolong genotipe yang spesifik lokasi karena mampu beradaptasi pada lokasi tersebut. Galur KN-10-111, KN-20-124 dan RB-10-98 merupakan galur yang stabil karena mampu mempertahankan hasil pada lima lingkungan pengujian (Gambar 20). Galur KK-10-249 adaptif di ketinggian 900 m dpl. Galur C4-30-21, RB-10-95 dan KN-20-127 spesifik di ketinggian 700 m dpl pada MK, sedangkan pada musim hujan galur RB-30-82, IPB117-F-20 dan C3-10-171 memiliki daya adaptasi yang lebih baik. Galur PK-20-133 dapat beradaptasi baik di ketinggian 1200 m dpl pada MH. Sedangkan galur OS-30-199 dan Sarinah
79
stabil pada lingkungan dengan suhu terendah yaitu di ketinggian 1200 m dpl pada MK 2011.
2
Boy1 1 13 Boy2
10
0 11
18 2 Cib 16 Ban2
14 20
17 15
19
6
43
7
8 9
1 5
12
-1
Ban1
-2 -2
-1
0
1
2
Dimension 1 (43.6%)
Gambar 20 Biplot AMMI genotipe padi dataran tinggi pada lima lingkungan Keterangan: 1. C4-30-21
8. KN-20-124
15. KK-10-249
2. C8-10-25
9. KN-20-127
16. CM-20-251
3. RB-30-82
10. PK-30-131
17. Kuning
4. IPB117-F-20
11. PK-20-133
18. Randah Bt Hampa
5. RB-10-95
12. C3-10-171
19. IPB97-F-13
6. RB-10-98
13. KN-30-186
20. Sarinah
7. KN-10-111
14. OS-30-199
Menurut Nasrullah (1981), bahwa interaksi genotipe dan lingkungan dapat dipergunakan untuk mengukur stabilitas suatu genotipe, karena stabilitas penampilan pada suatu kisaran lingkungan tergantung dari besarnya interaksi tersebut. Pada uji daya hasil galur-galur seringkali terjadi interaksi antara galur dengan lingkungan. Perbedaan ini dapat mengakibatkan perubahan daya hasil antara suatu tempat dengan tempat lainnya. Mengingat perbedaan hasil sangat dipengaruhi oleh perbedaan genetik dan lingkungan, maka perlu memilih galur-galur yang unggul dengan hasil yang stabil (Sutjihno 1993). Informasi menenai interaksi GxE sangat berguna dalam menentukan apakah dapat dilakukan pengembangan suatu kultivar di semua
80
lingkungan yang diinginkan atau perlu dilakukan pengembangan kultivar spesifik untuk lingkungan target yang spesifik (Bridges 1989).
KESIMPULAN Galur OS-30-199 memiliki rata-rata hasil paling tinggi di lima lingkungan pengujian yaitu 4,69 ton/ha. Produksi mencapai nilai optimal pada suhu minimum di atas 18°C dan lama penyinaran yang optimal pada musim kemarau. Berkurangnya lama penyinaran pada musim hujan menyebabkan penurunan angka produksi GKG di ketinggian 700 m dpl sebesar 2,5 ton/ha. Peningkatan produksi GKG terjadi di ketinggian 1200 m dpl pada MH seiring dengan meningkatnya suhu minimum sebesar ± 2°C di atas 17°C. Berdasarkan metode Finlay dan Wilkinson, galur C4-30-21, C8-10-25, IPB117-F-20, RB-10-95, RB- 10-98, KN-20-124, KN-20-127, PK-20-133, C3-10171, OS-30-199, KK-10-249 dan CM-20-251 dikategorikan stabil. Galur RB-3082, KN-30-186, Kuning, dan IPB97-F-13 stabil pada lingkungan optimal. Galur KN-10-111, PK-30-131, Randah Batu Hampa dan varietas pembanding Sarinah beradaptasi baik di ketinggian 1200 m dpl pada MK 2011. Galur IPB117-F-20, RB-10-95, C3-10-171, OS-30-199, KK-10-249 dan CM-20-251 stabil berdasarkan metode Eberhart dan Russel. Menurut metode yang dikembangkan oleh Francis dan Kannenberg, sebanyak enam belas genotipe yang diuji mempunyai nilai CV yang rendah yang berkisar antara 4,56% – 21,19 % sehingga dapat dikategorikan stabil, sedangkan Sarinah sebagai varietas pembanding mempunyai nilai CV yang digolongkan agak rendah yaitu 28,03 %. Berdasarkan model AMMI, keragaman pengaruh interaksi dapat diterangkan menggunakan model AMMI2 sebesar 72,36% dan menggambarkan bahwa galur KN-10-111, KN-20-124 dan RB-10-98 merupakan galur yang stabil. Galur KK-10-249 adaptif di ketinggian 900 m dpl. Galur C4-3021, RB-10-95 dan KN-20-127 spesifik untuk ketinggian 700 m dpl pada MK, sedangkan pada musim hujan galur RB-30-82, IPB-117-F-20 dan C3-10-171 memiliki daya adaptasi yang lebih baik. Galur PK-20-133 stabil di ketinggian 1200 pada MH sedangkan galur OS-30-199 dan Sarinah stabil pada lingkungan dengan suhu terendah pada MK.
81
PEMBAHASAN UMUM
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan selama cekaman suhu rendah diantaranya; (a) faktor fisiologi, faktor lingkungan sebelum dan sesudah fase penting pertumbuhan dapat mempengaruhi tingkat sterilitas dan (b) faktor genetik (Darmawan & Baharsjah 2010). Keragaan setiap karakter agronomi yang diuji pada kondisi lingkungan yang kompleks, menunjukan keragaman yang tinggi. Hasil analisis ragam pengujian pada tiga level ketinggian tempat menunjukkan pengaruh genotipe, lingkungan dan interaksi genotipe x lingkungan (GxE) berbeda nyata untuk setiap karakter agronomi. Pengaruh lingkungan merupakan yang paling dominan diikuti oleh pengaruh interaksi GxE dan pengaruh genotipe. Karakter yang paling dipengaruhi oleh lingkungan yaitu tinggi tanaman, panjang malai, umur panen, umur berbunga, jumlah gabah bernas, lama pengisian dan produksi GKG Nilai karakter tinggi tanaman yang lebih tinggi, umur panen yang lebih genjah, lama pengisian biji yang lebih cepat dan jumlah gabah bernas yang lebih banyak terdapat di ketinggian 700 m dpl disebabkan oleh kondisi lingkungan yang lebih optimum untuk pertumbuhan tanaman.
Lama penyinaran diduga
berpengaruh terhadap karakter jumlah anakan produktif dan panjang malai. Nilai distribusi karakter panjang malai terendah terdapat di ketinggian 1200 m dpl pada MK, dapat diartikan bahwa cekaman suhu rendah berpengaruh terhadap perkembangan malai. Farrell (2006) menyatakan bahwa genotipe yang rentan akan mengalami keterlambatan pembentukan malai selama terjadinya peningkatan cekaman suhu rendah pada waktu antesis. Regresi linier antara pengisian gabah dengan durasi cekaman suhu rendah, mengindikasikan bahwa peningkatan durasi suhu rendah berdampak terhadap kehampaan gabah. Telah dilaporkan juga bahwa dengan suhu 17°C selama tiga hari dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman, dampak yang ditimbulkan beragam berdasarkan genotipe dan tahapan reproduksi tanaman. Suhu minimum 15°C pada fase berbunga di ketinggian 1200 m dpl berdampak terhadap rendahnya jumlah gabah bernas. Peningkatan suhu ± 2 °C pada MH memberikan pengaruh yang cukup nyata terhadap peningkatan jumlah
82
gabah bernas. Ketinggian tempat berkorelasi negatif dengan karakter jumlah gabah bernas. Karakter panjang daun bendera sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari dan temperatur udara. Karakter Bobot 1000 butir sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat yang diindikasikan oleh nilai bobot 1000 butir paling rendah diperoleh di ketinggian 1200 m dpl pada kedua musim tanam. Berbeda dengan ketinggian 700 m dpl yang memiliki bobot 1000 butir yang tinggi pada kedua musim, sedangkan pada ketinggian 900 m dpl, bobot 1000 butir memiliki nilai diantara kedua ketinggian pada musim yang sama. Kerusakan yang disebabkan oleh cekaman suhu rendah diantaranya berkurangnya perkecambahan, pertumbuhan bibit menjadi lambat, perubahan warna bibit, jumlah anakan sedikit, pertumbuhan terhambat, perubahan warna daun pada periode anakan, penundaan waktu heading, keluar malai tidak sempurna, sterilitas, gabah yang tidak matang penuh dan Hie-imochi (penyakit blas yang disebabkan oleh suhu dingin) (Nishiyama 1985). Korelasi negatif tingkat cekaman suhu rendah dengan keragaan karakter agronomi terdapat pada karakter tinggi tanaman, jumlah gabah bernas per malai, persentase gabah bernas, panjang malai dan bobot 1000 butir. Korelasi positif tingkat cekaman suhu rendah terjadi pada karakter jumlah anakan produktif. Sedangkan pada karakter panjang daun bendera, umur berbunga dan umur panen, nilai rata-rata tertinggi terdapat pada ketinggian 900 m dpl. Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan adalah lama penyinaran, makin sedikit tanaman mendapat sinar matahari makin lambat umur berbunga. Pada umumnya padi yang ditanam di dataran tinggi memiliki umur panjang disebabkan karena suhu dan intensitas cahaya matahari yang rendah (Endrizal 2012). Intensitas cahaya memainkan peranan penting selama pengisian gabah (Rasyad et al. 2012). Terdapat beberapa karakter agronomi yang memiliki korelasi positif sangat nyata yang sama di ketiga ketinggian yaitu diantara karakter jumlah anakan produktif dengan produksi GKG, panjang malai dengan panjang daun bendera, karakter umur berbunga dengan bobot 1000 butir, serta karakter persentase gabah bernas dengan jumlah gabah bernas dan produksi GKG, sehingga dapat dikatakan bahwa keragaan karakter – karakter tesebut tidak dipengaruhi oleh ketinggian
83
tempat. Kerusakan yang diakibatkan cekaman suhu rendah juga telah dilaporkan oleh Shibata (1979) yang menyatakan bahwa pengaruh cekaman suhu rendah beragam bergantung pada fase pertumbuhan yang mengalami cekaman suhu rendah. Kerusakan dikategorikan pada penundaan dan sterilitas. Penundaan bermaksud terhambatnya proses pematangan yang berdampak terhadap hasil dan kualitas gabah, dimulai dari kecambah, pertumbuhan, akar, anakan, malai dan pematangan. Suhu rendah menyebabkan berkurangnya jumlah gabah dan meningkatnya jumlah gabah hampa (Matsuo 1993). Karakter yang memiliki pengaruh langsung bernilai positif yang besar dan sama di ketiga ketinggian tempat yaitu karakter jumlah anakan produktif, persentase gabah bernas dan bobot 1000 butir, sedangkan karakter yang memiliki pengaruh tidak langsung yang sama yaitu karakter persentase gabah bernas melalui karakter jumlah gabah bernas per malai. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter-karakter tersebut memiliki kontribusi besar terhadap hasil di ekosistem dataran tinggi Hal serupa dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Limbongan (2008) yang menyatakan bahwa persentase gabah bernas memiliki pengaruh langsung yang besar terhadap hasil khususnya di lingkungan bercekaman. Karakter umur panen dan persentase gabah bernas merupakan karakter yang pengaruhnya terhadap produksi tergantung pada intensitas cekaman suhu rendah. Bobot gabah relatif lebih tinggi pada tanaman yang berumur genjah dan bobot gabah semakin menurun pada tanaman yang berumur lebih panjang. Karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan per rumpun, panjang malai, persentase gabah bernas dan bobot 1000 butir berkorelasi positif dan nyata dengan bobot gabah per rumpun di dataran tinggi. Semua karakter memiliki pengaruh genotipe yang berbeda nyata, kecuali karakter jumlah anakan produktif yang tidak berbeda nyata di ketinggian 900 m dpl dan 1200 m dpl, dapat diartikan bahwa hanya karakter jumlah anakan produktif yang tidak dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan cekaman lingkungannya. Semua karakter agronomi yang diamati memiliki nilai koefisien keragaman tergolong rendah di ketinggian 700 m dpl. Nilai koefisien keragaman
84
yang tinggi terdapat pada karakter jumlah anakan produktif dan karakter jumlah gabah bernas di ketinggian 900 m dpl. Koefisien keragaman yang rendah dihasilkan pada kondisi lingkungan optimum dan sebaliknya terjadi pada lingkungan bercekaman. Karakter utama yaitu jumlah gabah bernas, memiliki nilai koefisien keragaman pada kategori sedang hingga tinggi di tiga ketinggian tempat. Gomez & Gomez (1995) melaporkan bahwa nilai koefisien keragaman yang kecil mengandung arti bahwa keragaman yang ditimbulkan dari kesalahan atau faktor yang tidak bias dikendalikan kecil. Sebaliknya makin tinggi nilai koefisien keragaman makin rendah ketelitian percobaan tersebut. Terdapat lebih banyak karakter yang berpengaruh nyata secara langsung maupun tidak langsung terhadap hasil di ketinggian 700 m dpl, sedangkan di ketinggian 900 m dpl dan 1200 m dpl, hanya beberapa karakter yang memiliki keeratan korelasi dengan hasil. Limbongan (2008) melaporkan bahwa karakter umur panen, bobot 1000 butir dan panjang malai berbeda nyata pada ketinggian 750 m dpl dan 1500 m dpl. Jumlah anakan produktif, persentase gabah isi dan produksi lebih baik pada ketinggian 750 m dpl dibandingkan 1500 m dpl. Hal ini disebabkan beberapa galur yang diuji kurang mampu beradaptasi pada kondisi cekaman suhu rendah sepanjang tahun di lokasi pada ketingggian 1500 m dpl dengan kisaran suhu 13°C sampai dengan 19°C, sementara untuk lokasi dengan ketinggian 750 m dpl suhu berkisar antara 19°C sampai dengan 25°C yang berada di atas suhu kritis untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Galur OS-30-199 memiliki rata-rata hasil paling tinggi di lima lingkungan pengujian yaitu 4,69 ton/ha. Produksi mencapai nilai optimal dengan suhu minimum di atas 18°C dan lama penyinaran yang optimal pada musim kemarau. Terjadi penurunan angka produksi GKG sebesar 2,5 ton/ha di ketinggian 700 m dpl pada kondisi lama penyinaran yang lebih sedikit pada musim hujan. Berkurangnya sinar matahari akan mengurangi laju fotosintesis dan menyebabkan suhu tanah dan air rendah. Tanaman yang berada pada kondisi cekaman suhu rendah mempunyai tingkat sterilitas yang berbeda pada intensitas matahari yang berbeda. Tanaman yang kekurangan sinar matahari memiliki
85
sterilitas yang tinggi dibandingkan tanaman yang mendapatkan cukup sinar matahari pada cekaman suhu rendah yang sama yaitu 5-10°C (Satake 1969). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karakter jumlah anakan produktif, panjang malai, panjang daun bendera dan umur panen mempunyai nilai heritabilitas sedang sedangkan karakter lainnya memiliki nilai heritabilitas tinggi. Singh (2011) melaporkan bahwa koefisien keragaman, heritabilitas dan persentase kemajuan genetik dari setiap genotipe yang diuji terhadap gabah per malai, hasil, bobot 1000 butir dan tinggi tanaman berkaitan dengan peningkatan hasil pada padi. Kriteria nilai heritabilitas setiap karakter berkisar antara kategori sedang sampai tinggi. Nilai KKG yang tinggi terdapat pada karakter produksi, persentase gabah isi dan jumlah gabah total. Karakter jumlah anakan produktif, gabah bernas dan lama pengisian memiliki nilai KKG dengan kategori cukup tinggi, sedangkan karakter lainnya seperti panjang malai, umur berbunga dan umur panen mempunyai nilai KKG pada kategori rendah. Interaksi G x E bersifat kompleks karena bervariasinya komponenkomponen faktor lingkungan. Interaksi GxE merupakan perbedaan yang tidak tetap diantara genotipe-genotipe yang ditanam dalam satu lingkungan ke lingkungan yang lain (Allard dan Bradsaw 1964).
Interaksi tersebut penting
diketahui karena dapat mempengaruhi kemajuan seleksi dan sering menyulitkan dalam pemilihan varietas-varietas unggul dalam suatu pengujian varietas. Sejumlah prosedur statistik telah dikembangkan untuk menganalisis interaksi G x E, khususnya stabilitas hasil terhadap lingkungan (Eberhart & Russel 1966). Berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Francis dan Kannenberg, sebanyak enam belas genotipe yang diuji mempunyai nilai CV yang rendah sehingga dapat dikatakan stabil. Berdasarkan metode Finlay Wilkinson, galur C430-21. C8-10-25, IPB117-F-20, RB-10-95, RB- 10-98, KN-20-124, KN-20-127, PK-20-133, C3-10-171, OS-30-199, KK-10-249 dan CM-20-251 dikategorikan stabil karena memiliki nilai bi yang tidak berbeda nyata dengan satu. Galur RB30-82, KN-30-186, Kuning, dan IPB97-F-13 beradaptasi baik pada lingkungan optimal, sedangkan galur KN-10-111, PK-30-131, Randah Batu Hampa dan varietas pembanding Sarinah memiliki daya adaptasi baik pada ketinggian 1200 m
86
dpl pada MK 2011. Berdasarkan metode Eberhart dan Russel (1966), galur IPB117-F-20, RB-10-95, C3-10-171, OS-30-199, KK-10-249 dan CM-20-251 dikategorikan stabil karena memiliki nilai bi tidak berbeda nyata dengan 1 dan nilai Sdi mendekati 0. Berdasarkan
metode
AMMI,
keragaman pengaruh
interaksi dapat
diterangkan menggunakan model AMMI2 sebesar 72,36%. Melalui biplot dapat diketahui bahwa galur KN-10-111, KN-20-124 dan RB-10-98 merupakan galur yang stabil. Galur KK-10-249 adaptif di ketinggian 900 m dpl. Galur C4-30-21, RB-10-95 dan KN-20-127 spesifik untuk ketinggian 700 m dpl pada MK, sedangkan pada MH galur RB-30-82, IPB-117-F-20 dan C3-10-171 memiliki daya adaptasi yang lebih baik. Galur PK-20-133 stabil di ketinggian 1200 pada MH sedangkan galur OS-30-199 dan Sarinah stabil pada lingkungan dengan suhu terendah pada MK. Analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data percobaan dua faktor perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan dan lingkungan bersifat aditif, sedangkan pengaruh interaksi di modelkan dengan model bilinier. Asumsi yang mendasari pengujian ini adalah perlakuan dan lingkungan bersifat aditif, ragam yang homogen dan galat bebas. (Mattjik et al. 2011). Analisis komponen ragam yang berpengaruh terhadap interaksi GxE dan lingkungan juga telah dilakukan oleh Rasyad et al. (2012) terhadap beberapa kultivar padi lokal untuk melihat stabilitas hasil pada lingkungan yang berbeda. Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa seluruh karakter berbeda nyata pada pengaruh interaksi GxE, lingkungan, dan genotipe kecuali untuk panjang malai. Sedangkan jumlah anakan produktif tidak berbeda nyata untuk semua genotipe yang diuji (Rasyad et al. 2012).
87
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Cekaman suhu rendah (15°C) pada fase berbunga menyebabkan terhambatnya
perkembangan
malai,
berkurangnya
jumlah
anakan
produktif, penundaan waktu panen, tingginya jumlah gabah hampa, berkurangnya bobot 1000 butir dan rendahnya produksi. 2. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap produksi di musim kemarau pada suhu minimum di bawah 17°C terutama di ketinggian 1200 m dpl, sedangkan di musim hujan, produksi tidak berbeda nyata pada tiga ketinggian tempat (700 m dpl, 900 m dpl dan 1200 m dpl). 3. Karakter agronomi yang memiliki korelasi positif sangat nyata yang sama di ketiga ketinggian tempat yaitu di antara karakter jumlah anakan produktif dengan produksi GKG, panjang malai dengan panjang daun bendera, karakter umur berbunga dengan bobot 1000 butir, serta karakter persentase gabah isi dengan jumlah gabah bernas dan produksi GKG, sehingga dapat dikatakan bahwa karakter tersebut memiliki hubungan yang erat pada ekosistem dataran tinggi. 4. Karakter agronomi yang memiliki pengaruh langsung yang besar terhadap hasil dan bernilai positif serta sama di ketiga ketinggian tempat yaitu karakter jumlah anakan produktif, persentase gabah isi dan bobot 1000 butir, dapat diartikan bahwa karakter-karakter tersebut memiliki kontribusi yang besar terhadap hasil di ekosistem dataran tinggi. 5. Materi genetik hasil mutasi induksi memiliki keragaan yang lebih baik di ekosistem dataran tinggi yang diindikasikan oleh nilai produksi yang lebih tinggi. 6. Beberapa galur hasil persilangan yang berasal dari tetua padi tipe baru (PTB) dapat mempertahankan jumlah gabah bernas > 150 butir per malai di ekosistem dataran tinggi, namun jumlah anakan yang sedikit (10-15 anakan per rumpun) belum dapat memberikan kontribusi terhadap
88
peningkatan angka produksi. 7. Hasil analisis stabilitas mengindikasikan bahwa terdapat beberapa galur yang stabil pada pengujian di lima lingkungan. Berdasarkan metode Finlay Wilkinson terdapat 12 galur yang stabil, metode Eberhart dan Russel (6 galur stabil), metode Francis dan Kannenberg (16 galur stabil) dan berdasarkan model AMMI dinyatakan terdapat tiga galur yang stabil. 8. Galur IPB117-F-20, RB-10-95, RB-10-98, KN-10-111, KN-20-124, C310-171, OS-30-199, KK-10-249 dan CM-20-251 merupakan galur yang stabil dan potensial untuk dikembangkan di ekosistem dataran tinggi. Saran Galur-galur yang adaptif pada ekosistem dataran tinggi, dengan memiliki kategori
stabil
berdasarkan
beberapa
metode
analisis
dikembangkan menjadi galur harapan padi dataran tinggi.
stabilitas,
dapat
89
DAFTAR PUSTAKA Allard RW. 1960. Principle of Plant Breeding. New York: John Wiley & Sons. Allard RW, Bradshaw AD. 1964. Implication of genotype environment interaction in applied plant breeding. Crop sci. 4:503-507. Amano E. 2004. Practical suggestions for mutation breeding. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA). Mutation Breeding Project. Baihaki A, Wicaksono N. 2005. Genotype x environment interaction, adaptability and stability of yield in development of new high yielding plant varieties in Indonesia. Zuriat. 16:1-8. Balitpa. 2003. Laporan Tahunan 2003. Balai Penelitian Tanaman Padi. BPS. 2012. Data Padi. http:///www.bps.go.id. [5 Oktober 2012]. BMKG. 2012. Data Klimatologi tahun 2011-2012 Daerah Jawa Barat. Bandung. Bridges WC. 1989. Analysis of plant breeding experiment with heterogeneous variance using mixed model equation. Di dalam: Applications of Mixed Models in Agriculture and Related Dicipline. Southern Cooperative Series Bulletin No. 343. Baton Rouge, LA: Lousiana Agricultural Experiment Station: 145–151. Carena JM. 2009. Cereals. Springer. USA. Ceccarelli S. 1987. Yield potential and drought tolerance of segregating populations of barley in contrasting environments. Euphytica. 36: 265-273. Chen Y et al. 2002. Effect of flag leaf orientation on its photosynthetic capacity in rice. J Plant Physiol Mol Biol. 28(5): 396–398. Chen YM. 2008. Yield structure and super high-yielding techniques in super rice. Acta Agric Jiangxi. 20(2): 20–22. Counce PA, Keisling TC, dan Mitchell A J. 2000. A uniform, objective, and adaptive system for expressing rice development. Crop Sci. 40:436–443. Cruz RP, Kothe SC, Carlos LC. 2006. Cold tolerance of rice in controlled environment. Sci Agric. 63 (3): 255-261. Darmawan J, Baharsjah. 2010. Dasar-Dasar Fisiologi Tanaman. Jakarta: SITC. Eberhart SA, Russel WA. 1966. Stability parameter for comparing varieties. Crop sci. 6:36-40.
90
Endrizal, Bobihoe J. 2012. Pengujian Beberapa Galur Unggulan Padi Dataran Tinggi di Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi. Artikel. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Jambi. Enomoto N. 1933. Studies on the effect of low temperatures at the anthesis stage on grain ripening in rice plants. Di dalam: Matsuo T. Kumazawa K. Ishii R. Ishihara K. Hirata H, editor. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Fageria NK. 2007. Yield physiology of rice. J. Plant Nutr. 30:843–879. Falconer DS. 1989. Introduction to Quantitative Genetics. New York: John Willey and Sons. Farrell TC, Fox KM, Williams RL, Fukai S. 2006. Genotypic variation for cold tolerance during reproductive development in rice: Screening with cold air and cold water. Field Crops Res. 98:178–194. Fehr WR. 1987. Principles of Cultivar Development. Vol 1. Theory and Technique. New York-London: Collier Macmillan Pulb. Finlay KW, Wilkinson GN. 1963. The analysis of adaptation in a plant breeding program. Aust J Agric Res. 13:742-754. Francis TR, Kannenberg LW. 1978. Yield stability studies in short-season maize. A descriptive method for grooping genotypes. Can J Plant Sci. 58:10291034. Garner WW, Allard HA. 1920. Effect of the relative length of day and night and other factors of the environment on growth and reproduction in plants. Agric Res. 18: 553–606. Gaspersz V. 1992. Teknik analisis dalam penelitian percobaan. Bandung: Tarsito. Gauch HG. 1992. Statistical Analysis of Regional Yield Trials: AMMI Analysis of Factorial Designs. Amsterdam: Elsevier Science Publishers. Gomez KA, Gomez AA. 1985. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua. Jakarta: UI Press. Gravois KA, Helms RS. 1992. Path analysis of rice yield and yield components as affected by seeding rate. Agron J. 84: 1-4. Gray GR, Chauvin LP, Sarhan F, Huner PA. 1997. Cold Acclimation and Freezing Tolerance. Plant Physiol. 114:467-474. Guimaraes EP. 2010. Rice breeding. Di dalam: Carena MJ, editor. Cereals. USA: North Dakota State University
91
Hallauer AR, Miranda JB. 1995. Quantitative Genetics in Maize Breeding. Ed ke2. USA: AmesIowa State Univ. Press. Han LZ et al. 2006. QTL Analysis of Some Agronomic Traits in Rice Under Different Growing Environments. Agric Sci in China. 5(1): 15-22.
Harsanti L, Hambali, Mugiono. 2003. Stability and adaptability of 10 mutant lines of lowland rice based on yield evaluation in twenty locations for two planting seasons. Zuriat. 14:1-7. Harahap. 1979. Breeding strategy for cold tolerance rices. Report of a Rice Cold Tolerance Workshop. IRRI. Philippines. Irawan et al. 2000. Perumusan Model Kelembagaan Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Ishii RR, Ohsugi R, Murata Y. 1977. The effect of temperature on the rates of photosynthesis, respiration and the activity of RuDP carboxilase in barley, rice and maize leaves. Di dalam: Matsuo T, Kumazawa K, Ishii R, Ishihara K, Hirata H, editor. 1995. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center Jena KK, Jeung JU. 2004. Evaluation and identification of cold tolerant rice genotypes by cold water irrigation stress. IRRN 29: 54-55. Jiang et al. 2010. Genotype × environment interactions for chilling tolerance of rice recombinant inbred lines under different low temperature environments.Field Crops Res. 117(3):226-236. Jing F, Chang YJ. 2012. Research Advances in High-Yielding Cultivation and Physiology of Super Rice. Rice Sci. 19(3): 177−184. Jones DB, Synder GH. 1987. Seeding rate and row spacing effects on yield and yield component of ratoon rice. Agron J. 79: 36-38. Jun XD, Yang HX, Yu Z, De YK. 2008. Over-Expression of ICE1 Gene in Transgenic Rice Improves Cold Tolerance. Rice Sci. 15(3): 173–178 Kakizaki Y. 1938. A concept on developmental physiology and cultivation of rice plants. Di dalam: Matsuo T. Kumazawa K. Ishii R. Ishihara K. Hirata H, editor. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Kaneda C, Beachell HM. 1974. Response of indica-japonica rice hybrids to low temperature. SABRAO J. 6(1):17-32.
92
Kashibuchi H. 1968. Reports on the test of fertilizer effects of phosphatic fertilizer. Di dalam: Matsuo T. Kumazawa K. Ishii R. Ishihara K. Hirata H, editor. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Khush GS. 1999. Green revolution: Preparing for the 21st Century. Genome. 42:646–655. Khush GS. 2005. What it will take to feed 5.0 billion rice consumers in 2030. Plant Mol. Biol. 59:1–6. Khush GS. 1996. Prospects and approaches to increasing the genetic yield potential of rice. Di dalam: Everton RI, Herdt RW, Hossain M, editor. Rice research in Asia: Progress and Priorities. Philippines: IRRI. Kodama H, Hamada T, Horiguchi G, Nishimura M, Iba K. 1994. Genetic Enhancement of Cold Tolerance by Expression of a Gene for Chloroplast [omega]-3 Fatty Acid Desaturase in Transgenic Tobacco. Plant Physiology. 105 (2): 601-605 Las IP. Wahid YS, Baharsyah, Darwis SN. 1993. Tinjauan iklim dataran tinggi Indonesia. Potensi kendala dan peluang dalam mendukung pembangunan pertanian pada PJPT II. Seminar sehari tentang iklim. Padang 6 Pebruari 1993. Lee MH, Park DJ, Rho SK, Lee JH, Park RK. 1987. Varietal differences in low temperature damage at the reproductive, heading and ripening stages of the rice plant. Research Report on Phytotron Experiment, II. Suwon, Korea, Nat Crop Exp Stat. Hal 38-59. Lee MH. 2001. Low temperature tolerance in rice: The Korean Experience. ACIAR. Proceeding. Philipines: International Rice Research Institute (IRRI). Li SY, Jiang LW. 2012. Molecular Regulatory Network of Flowering by Photoperiod and Temperature in Rice. Rice Sci. 19(3): 169−176. Limbongan Y. 2008. Analisis genetik dan seleksi genotipe unggul padi sawah (Oryza sativa L.) untuk adaptasi pada ekosistem dataran tinggi [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lin CS, Binns, Lefkovich LP. 1986. Stability analysis. Where do we stand?. Crop sci. 26: 894-899. Lockwood JG, 1974. World Climatology. An environmental approach. Di dalam: Yoshida S, editor. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. Phillippines: International Rice Research Institute (IRRI).
93
Long ZH et al. 2006. QTL Analysis of some agronomic traits in rice under different growing environments. Agri Sci. 5(1): 15-22. Luan WJ et al. 2009. The effect of the crosstalk between photoperiod and temperature on the heading-date in rice. Plos One. 4(6): e5891. Mahajan S, Tuteja N. 2010. Cold, salinity and drought stresses: An overview. Arch of Biochem and Biophy. 444(2): 139-158. Maluszinski M, Ahloowalia BS, Sigurbjornsson B. 1998. Application of in vivo and in vitro mutation techniques for crop improvement. Euphytica. 85: 303. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2008. Perancangan Percobaan: dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor. IPB Press. Mattjik AA, Sumertajaya IM, Hadi IF, Wibawa GN. 2011. Pemodelan AMMI: Kini dan yang akan Datang. Bogor. IPB Press. Matsuo T. 1993. Factors and mechanism causing cool weather damage. Di dalam: Matsuo T, Hoshikawa K, editor. Science of the Rice Plant (Morphology). Ed ke-1. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Hal 776-790. Matsuo T, Kumazawa K, Ishii R, Ishihara K, Hirata H. 1995. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Matsushima S. 1957. Analyses of developmental factors determining yield and yield prediction in lowland rice. Di dalam: Matsuo T, Kumazawa K, Ishii R, Ishihara K, Hirata H, editor. 1995. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Micke AB, Donini, Maluszynski M. 1990. Induced mutation for crop improvement. Mutation Breeding Review. 7: 1-41. Miller BC, Hill JE, dan Roberts SR. 1991. Plant population effects on growth and yield in water-seeded rice. Agron J. 83:291–297. Moedjiono MJ, Mejaya. 1994. Variabilitas genetik beberapa karakter plasma nutfah jagung koleksi Balittas Malang. Zuriat 5(2):27-32. Murata N, Nishida I. 1989. Lipids in Relation to Chilling Sensitivity of Plants. Japan: CRC Press. Murdaningsih HK, Baihaki A, Satari G, Danakusuma T, Permadi AH. 1990. Variasi genetik sifat-sifat tanaman bawang di Indonesia. Zuriat. 1(1):32-36.
94
Nanda, Seshu. 1979. Breeding strategy for cold tolerance rices. Report of a Rice Cold Tolerance Workshop. IRRI. Philippines. Nasrullah. 1981. A modified procedure for identifying wide stability. Agric Sci. 546:153-159. Nishimura M. 1987. Genetic studies on cold tolerance in rice. Jpn J Breed. 19: 286- 292. Nishiyama I, Ito N, Hayase N, Satake T. 1969. Effects of temperature and depths of irrigation water on the protection from sterility caused by low air temperature at the meiotic stage o f rice plants. Di dalam Matsuo T, Kumazawa K, Ishii R, Ishihara K, Hirata H, editor. 1995. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Nishiyama I. 1985. Physiology of cool-weather damage to rice plants. Di dalam: Matsuo T. Kumazawa K. Ishii R. Ishihara K. Hirata H, editor. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Nor KM, Cady FB. 1979. Metodology for identifying wide stability in crops. Agron J. 71:556-559. Oosterom EJ, Kleijn D, Ceccarelly S, Nachit MM .1993. Genotype by environment interaction of barley in the Mediterranean Region. Crop Sci. 33: 669-674. Peng S, Cassman KG, Virmani SS, Sheehy J, Khush GS. 2005. Yield potential of tropical rice since the release of IR8 and the chalengge of increasing rice yield potential. Crop Sci. 39:1552-1559. Poespodarsono S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Bogor: PAU IPB. Rajashekar CB, Zhou H, Marcum KB, Prakash O. 1999. Glycine betaine accumulation and induction of cold tolerance in strawberry (Fragaria X ananassa Duch.) plants. Plant Sci. 148 (2): 175-183. Rasyad A, Manurung GM, David AVS. 2012. Genotype x environment interaction stability of yield components among rice genotypes in Riau province, Indonesia. SABRAO J. 44 (1): 102-111. Raven PH, Johnson GB. 2002. Plant Reproduction. In: Biology. McGraw-Hill. Di dalam: Thakur P, Kumar S, Malik JA, Berger, Nayyar H. 2010. Cold stress effects on reproductive development in grain crops: An overview. Env and Expl Botany. 67(3):429-443.
95
Roy D. 2000. Plant Breeding. Analysis and Exploitation of Variation. New Delhi: Narosa Publishing House. Saeed M, Francis CA, Rajewski JF.1984. Maturity effect on genotypic environment interaction in grain sorghum. Agron. J. 76: 55-58. Sakai K. 1937. Impediment of cell division for microspore formation in rice plants at low temperature conditions. Di dalam: Matsuo T. Kumazawa K. Ishii R. Ishihara K. Hirata H, editor. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Satake T, Nishiyama I, Ito N, Hayase H. 1969a. Male sterility caused by cooling treatment at the meiotic stage in rice plants. Di dalam: Matsuo T, Kumazawa K, Ishii R, Ishihara K, Hirata H, editor. 1995. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Satake T. 1969. Research on cold injury of paddy rice plants in Japan. Jpn Agric Res. 4: 5–10. Schnier HF et al. 1990. Nitrogen economy and canopy carbon dioxide assimilation of tropical lowland rice. Agron J. 82:451-459. Shukla GK. 1972. Some statistical aspects of partitioning genotype environmental componenets of variability. Heredity. 29:237-245. Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetical Analysis. Kalyani Publication. Stanfield WD. 1983. Theory and Problems of Genetic. Ed ke-2. New York: McGraw-Hill. Steel RGD, Torrie JH, Dickey DA. 1977. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. Ed ke-3. New York: Mc Graw-Hill Companies Inc. Shibata M. 1979. Rice improvement for cold tolerance in Indonesia. Report of a Rice Cold Tolerance Workshop. IRRI. Philippines. Shimono H, Okada M, Kanda E, Arakawa I. 2007. Low temperature-induced sterility in rice: Evidence for the effects of temperature before panicle initiation. Field Crops Res. 101(2): 221-231. Soemartono dan Nasrullah. 1988. Biotechnology UGM.
Genetika Kuantitatif.
Yogyakarta: PAU-
Sumarno I, Ismail G. 2000. Konsep usahatani ramah lingkungan. Di dalam: Prosiding Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan.
96
Konsep dan Strategi Peningkatan Produksi Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Hal. 55-74. Sutjihno 1993. Analisis Statistik Uji Daya Hasil Padi Menggunakan Model AMMI. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Pangan. Suwarto, Nasrullah. 2011. Genotype × environment interaction for iron concentration of rice in Central Java of Indonesia. Rice Sci. 18(1): 75−78. Syukur M, Sujiprihati S, Yunianti R. 2009. Pemuliaan Tanaman. Bogor: Sekolah pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tanaka A. 1962. Nutrient absorbtion by rice root under submerged conditions. Di dalam: Matsuo T, Kumazawa K, Ishii R, Ishihara K, Hirata H, editor. 1995. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. Ed ke-3. Massachusetts: Sinauer Associates Inc. Publishers. Takahashi, N. 1984. Differentiation of ecotypes in Oryza sativa L. p. 31–67. dalam S. Tsunoda and N. Takahashi (ed.) Biology of Rice. Japan Scientific Societies Press, Elsevier, Amsterdam. Terao H, Otani Y, Shirai M, Yamazaki M. 1940. Physiological studies of the rice plant with special reference to the crop failure because by the occurance of unreasonable lor temperatures. Di dalam: Matsuo T. Kumazawa K. Ishii R. Ishihara K. Hirata H, editor. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Thakur P, Kumar S, Malik JA, Berger, Nayyar H. 2010. Cold stress effects on reproductive development in grain crops: An overview. Env and Expl Botany. 67(3):429-443. Toriyama K. 1962. Studies on the low temperature tolerance of rice cultivars, with special reference to testing methods and incidences of delayed heading. Di dalam: Matsuo T. Kumazawa K. Ishii R. Ishihara K. Hirata H, editor. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Vaughan DA. 1989. The genus Oryza L. Current status of taxonomy. IRRI Res Paper Ser. 138:1-21. Vergara BS, Chang TT. 1985. The Flowering Response of The Rice Plant to Photoperiod. IRRI. Phillippines. Wang Y, Li J. 2005. The plant architecture of rice (Oryza sativa). Plant Mol. Biol. 59:75-84.
97
Wu G, Wilson LT, McClung AM. 1998. Contribution of rice tillers to dry matter accumulation and yield. Agron. J. 90:317–323. Yamada N, Murata Y, Osada A, Iyama J. 1955. Photosythesis of rice plants. Di dalam: Matsuo T, Kumazawa K, Ishii R, Ishihara K, Hirata H, editor. 1995. Science of The Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Yang J, Sears RG, Gill BS, Paulsen GM. 2000. Quantitative and molecular characterization of heat tolerance in hexaploid wheat. Euphytica. 126: 275–282. Yoshida S & Hara T. 1977. Effects of air temperature and light on grain filling of an indica and a japonica rice under controlled environmental conditions. Di dalam : Yoshida S, editor. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. Phillippines: International Rice Research Institute (IRRI). Yoshida S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. Phillippines: International Rice Research Institute (IRRI). Yu et al. 2004. Analysis of cold tolerance in sorghum under controlled environment conditions. Field Crops Res. 85: 21–30. Zhao GZ et al. 2009. Effect of Cold-Water Irrigation on Grain Quality Traits in japonica Rice Varieties from Yunnan Province. Rice Sci. 16(3): 201-209.
98
99
LAMPIRAN
Lampiran 1 Data Klimatologi pada Ketinggian 700 m dpl Bulan
Temperatur Udara Rata-
Curah
Rata
Hujan
LPM (%)
Lembab Nisbi (%)
Minimum
Maksimum
(mm)
Mei
19,8
29.0
193.4
60
80
Juni
18,7
29.3
117.6
74
75
Juli
18,5
29.0
77.2
79
74
Agustus
18,2
29.8
3.1
85
69
September
18,3
30.4
102.8
77
69
Oktober
20,1
30.4
103.6
63
73
November
20.3
28.5
321.4
41
83
Desember
20.8
29.4
259.0
49
79
Januari
20.9
28.0
82.9
41
78
Februari
20.4
28.4
303.7
58
79
Maret
20.3
28.8
155.5
56
75
April
20.0
28.8
290.8
56
81
Jumlah
236.3
349.8
2011.0
739.0
915
Rata-rata
19.7
29.2
167.58
62
76
Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Bandung. LPM=Lama Penyinaran Matahari
100
Lampiran 2 Data Klimatologi pada Ketinggian 1200 m dpl Bulan
Temperatur Udara Rata-
Curah
Rata
Hujan
LPM (%)
Lembab Nisbi (%)
Minimum
Maksimum
(mm)
Mei
17.3
24.5
182.5
45
87
Juni
15.8
24.5
22.3
49
83
Juli
15.5
24.1
36.5
62
83
Agustus
14.9
24.9
1.9
85
78
September
15.5
25.5
7.5
76
77
Oktober
16.9
26.3
142.9
66
80
November
17.2
24.3
504.9
36
88
Desember
17.9
25.5
320.5
44
84
Januari
17.1
24.5
133.2
31
86
Februari
17.1
25.6
247.5
42
85
Maret
17.1
24.6
171.7
46
83
April
17.0
25.3
178.2
47
87
Jumlah 199.3 299.6 1949.6 629 1001 Rata-rata 16.61 24.97 162.47 52.42 83.42 Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Bandung. LPM=Lama Penyinaran Matahari
101
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL…….………………………………………………………..xiv DAFTAR GAMBAR ..……………………………………………….…………xvi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………..xvii PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 Latar Belakang ............................................................................................. 1 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 3 Hipotesis Penelitian ...................................................................................... 3 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 5 Tanaman Padi ............................................................................................... 5 Ekosistem Dataran Tinggi dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Padi .... 7 Keragaan Karakter Agronomi Padi Dataran Tinggi ..................................... 13 Pemuliaan Tanaman Padi............................................................................ 14 Korelasi Genetik Karakter Agronomi.......................................................... 15 Interaksi Genotipe x Lingkungan ................................................................ 16 Stabilitas dan Adaptabilitas......................................................................... 17 KERAGAAN GENOTIPE PADI DATARAN TINGGI PADA EKOSISTEM DATARAN TINGGI ......................................................................................... 21 ABSTRACT ............................................................................................... 21 PENDAHULUAN ...................................................................................... 21 METODE PENELITIAN ........................................................................... 23 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 27 KESIMPULAN .......................................................................................... 44 HUBUNGAN ANTARA KOMPONEN PERTUMBUHAN, KOMPONEN HASIL DENGAN HASIL GENOTIPE PADI DI TIGA LEVEL KETINGGIAN TEMPAT .................................................................................. 45 ABSTRACT ............................................................................................... 45 PENDAHULUAN ...................................................................................... 45 METODE PENELITIAN ........................................................................... 47 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 50 KESIMPULAN .......................................................................................... 63
102
ANALISIS STABILITAS DAN ADAPTABILITAS GALUR PADI DATARAN TINGGI DI LIMA LINGKUNGAN ............................................. 655 ABSTRACT ............................................................................................. 655 PENDAHULUAN .................................................................................... 655 METODE PENELITIAN .......................................................................... 677 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 688 KESIMPULAN……………………………………………………………..80 PEMBAHASAN UMUM ................................................................................ 811 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 877 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 899 LAMPIRAN ...................................................................................................... 98