AGRONOMI RATUN GENOTIPE-GENOTIPE PADI POTENSIAL UNTUK LAHAN PASANG SURUT
SUSILAWATI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ”Agronomi Ratun GenotipeGenotipe Padi Potensial Untuk Lahan Pasang Surut” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber infomasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Maret 2011
Susilawati NIM A161060141
ABSTRACT SUSILAWATI. Agronomy of Ratoon in Rice Genotypes Potential for Tidal Swamp Land. Under supervision of BAMBANG S PURWOKO as chairman, HAJRIAL ASWIDINNOOR, EDI SANTOSA as members of the advisory committee. Ratoon is re-growth of rice plant after the main crop which can be harvested when it bears good panicles. Ratoon can be beneficial for its additional yield with low input and hence efficient in time, labor and cost. Hybrid and new plant type varieties have the advantage in morphology, physiology and yield. Ratoon production can be affected by genotypes and cultural practices. Thus, suitable genotypes and production technology should be identified. The objectives of the study were to evaluate and obtain rice genotypes with high ratoon potential and determine some factors contributing to high ratoon production. Five studies were conducted as follows (1) Performance of new plant type varieties and lines in ratoon system, (2) Evaluation of ratooning ability of hybrid and inbred rice varieties, (3) Effect of cutting height on ratoon production, (4) The role of nutrient N, P and K on the growth and development of ratoon, and (5) Effect of water level during reproductive periods on ratoon agronomy and physiology. The results showed that among 18 genotypes of new plant type of rice, there were three genotypes having high ratoon potential namely Cimelati with ratoon production of 52.8% of the main crop, IPB106-F-8-1 (54.7%) and IPB106-F-10-1 (110.2%). Hybrid varieties showed higher vigor than inbred varieties and correlated well with ratoon yield. Among the twelve hybrid and inbred rice varieties, two hybrid varieties, i.e. Hipa-5 and Rokan yielded ratoon 75.9% and 99.3% of the respective main crops. From the first two studies, five genotypes were selected for field test (Hipa-5, Rokan, Cimelati, IPB106-F-8-1 and IPB106-7-47-DJ-1. IPB106-7-47-Dj-1 replaced IPB106-F-10-1 since the latter seed was not available. In the field test, cutting height of 10 cm above the ground was the best for IPB106-7-47-Dj-1 and IPB106-F-8-1 lines, with the highest production of ratoon 1.5 t/ha (35.4% of main crop) and 2.1 t/ha (45.8% of main crop), respectively. Cutting height of 20 cm was shown to increase ratoon growth, vigor and uniformity of ratoon. Cutting height 20 cm was the best for Cimelati new plant type, Hipa-5 and Rokan hybrid varieties, with production 3.0 t/ha (57.2% of main crop), 2.8 t/ha (60.1%) and 2.2 t/ha (52.7%), respectively. Almost all the genotypes responded to N fertilization either in combination with P or K. There were three genotypes which obtained the highest ratoon yield at 45 kg/ha N + 27 kg/ha P2O5 (D1), i.e. IPB106-7-47-Dj-1 and IPB106-F-8-1 and Rokan varieties at 1.6 t/ha, 1.8 t/ha and 2.9 t/ha, respectively. Two other varieties produced the highest ratoon yield at level of fertilization 45 kg/ha N + 30 kg/ha K2O (D2), i e. Hipa-5 and Cimelati (2.8 t/ha and 3.0 t/ha, respectively). Study on water level showed that for IPB106-F-8-1 level of water 0 cm - 2 cm increased the number of grain of main crop and ratoon with total up to 200 grains/panicle, and increased the number of filled grain of ratoon. The level of water 2 cm increased the content of sucrose and total chlorophyll, but only Hipa-5 varieties was significantly different. Ratoon yield of Hipa-5 varieties was about 66.0% of the main crop yield. In general, ratoon developed within 2-7 days after harvest, with
4
2-4 leaves/tiller. Ratoon harvest in the field was about 10 days shorter than in the greenhouse. Key words : agronomic characters, applied fertilizer, cutting height, hybrid and inbred varieties, new plant type, ratooning ability
RINGKASAN SUSILAWATI. Agronomi Ratun Genotipe-Genotipe Padi Potensial untuk Lahan Pasang Surut. Dibimbing oleh BAMBANG S. PURWOKO, HAJRIAL ASWIDINNOOR, EDI SANTOSA. Ratun merupakan rumpun tanaman padi yang tumbuh kembali menghasilkan anakan baru yang dapat dipanen jika menghasilkan malai berisi. Keunggulan ratun ialah memberikan tambahan produksi padi per musim tanam, hemat input produksi, biaya, tenaga, dan waktu persiapan tanam. Varietas-varietas hibrida dan padi tipe baru (PTB) memiliki keunggulan secara morfologi, fisiologi dan hasil. Kemampuan tunggul bekas panen dalam menghasilkan tunas-tunas baru ratun perlu dievaluasi dari genotipe-genotipe tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan memperoleh genotipe padi dengan potensi ratun tinggi, sekaligus mendapatkan paket teknologi pengelolaan ratun dengan produksi tinggi. Penelitian ini dituangkan dalam lima tahap, dimana penelitian 1 dan 2 dilakukan paralel di rumah kaca, penelitian 3 dan 4 dilakukan paralel di lapangan, dan penelitian 5 dilaksanakan di rumah kaca. Penelitian meliputi (1) Keragaan varietas dan galur-galur harapan padi tipe baru dalam sistem ratun, (2) Evaluasi kemampuan menghasilkan ratun beberapa padi varietas hibrida dan inbrida, (3) Studi tinggi pemotongan panen tanaman utama terhadap produksi ratun, (4) Peran Hara N, P dan K pada pertumbuhan dan perkembangan ratun beberapa genotipe padi, dan (5) Pengaruh tinggi penggenangan air selama periode generatif terhadap ratun. Hasil penelitian menunjukkan kemampuan menghasilkan ratun berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif tanaman sebelum panen. Varietas padi tipe baru memiliki pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dan menghasilkan ratun lebih tinggi dibandingkan galur-galur PTB lainnya. Tunas-tunas ratun mulai berkembang 2-7 hari setelah panen, dengan jumlah 2-4 daun per batang. Jumlah gabah 38.0-228.2 butir/malai, dan bobot biji/rumpun 10.4-31.2 g/rumpun. Ratarata umur panen ratun adalah 68 hari setelah panen tanaman utama. Dari 18 genotipe yang diuji, terpilih varietas Cimelati dengan produksi 52.8% terhadap tanaman utamanya, 54.7% galur IPB106-F-8-1 dan 110.2% IPB106-F-10-1. Faktor penentu keberhasilan ratun antara lain vigoritas tunggul setelah panen tanaman utama. Hasil penelitian membuktikan varietas hibrida memiliki vigor yang lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida. Dari 12 varietas padi hibrida dan inbrida yang diuji, tidak ada varietas inbrida yang terpilih, karena saat pertumbuhan sebagian ratun tumbuh tidak konsisten dan terdapat kematian ratun. Varietas hibrida Hipa-5 dan Rokan dengan umur panen 69 hari menghasilkan ratun 75.9% dan 99.3% hasil tanaman utama, dan terpilih untuk diuji lanjut di lapangan. Secara morfologi kedua varietas ini menghasilkan banyak anakan ratun yang banyak. Anakan ratun mulai berkembang dari buku bagian atas dengan jumlah anakan lebih dari satu secara bersamaan. Akibatnya, batang terlihat lemah dan mudah patah. Ketika ratun sudah berumur > 15 hari, anakan ratun menjadi lebih kokoh dan hijau, dan menghasilkan malai yang lebat. Tinggi pemotongan 20 cm meningkatkan jumlah gabah isi pada varietas Hipa-5 dan Rokan, mempercepat pertumbuhan tunas ratun hingga 1.5 cm/hari dan meningkatkan keseragaman pertumbuhan ratun varietas PTB Cimelati, hibrida
Hipa-5 dan Rokan. Tinggi pemotongan 20 cm nyata meningkatkan hasil ratun varietas Rokan hingga 3.0 t/ha atau 57.2% hasil tanaman utama. Terdapat perbedaan karakter tinggi tanaman galur PTB IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-81, antara di rumah kaca dan di lapangan. Ketika di rumah kaca karakter tinggi tanaman kedua galur tersebut > 150 cm, tetapi saat ditanam di lapangan tanaman lebih rendah dan normal atau sekitar 98.5 cm – 108.5 cm. Kedua galur ini menghasilkan ratun masing-masing 2.1 t/ha (45.8% dari tanaman utama) dan 1.5 t/ha (35.4% dari tanaman utama) pada tinggi pemotongan 10 cm di atas tanah. Rata-rata umur panen ratun di lapangan 55 hari. Hasil ratun tergolong tinggi atau hampir setara dengan produktivitas padi lokal yang ditanam di lahan pasang surut. Pemupukan N baik yang dikombinasikan dengan P maupun K, memberikan nilai karakter pertumbuhan yang sama baiknya, dan lebih baik jika dibandingkan ratun yang dipupuk tanpa N. Terdapat tiga genotipe yang menghasilkan ratun tertinggi dengan pemupukan 45kg/ha N + 27 kg/ha P2O5 (D1), yaitu galur IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1 serta varietas hibrida Rokan. Produksi masing-masing secara berurutan adalah 1.6 t/ha, 1.8 t/ha dan 2.9 t/ha. Varietas Cimelati dan Hipa-5 menghasilkan ratun tertinggi pada pemupukan 45kg/ha N + 30 kg/ha K2O (D2), dengan hasil ratun masing-masing 2.8 t/ha dan 3.0 t/ha. Produksi semua genotipe berkisar antara 38.1% - 56.6% terhadap tanaman utama, dengan umur ratun berkisar 51-59 hari. Penggenangan air 0 – 2 cm pada fase generatif tanaman utama memacu pertumbuhan tunas dan jumlah anakan ratun semua genotipe. Pada galur IPB106F-8-1 penggenangan 0 cm dan 2 cm nyata meningkatkan jumlah gabah total dan jumlah gabah isi ratun hingga > 200 butir/malai dan berbeda dengan penggenangan dan genotipe lainnya. Dihasilkan kandungan klorofil total varietas Hipa-5 yang berbeda pada penggenangan 2 cm. Hasil ratun varietas Hipa-5 sebesar 66.0% hasil tanaman utama. Kata Kunci : genangan air, hibrida, hasil, inbrida, pemupukan, ratun, dan tinggi pemotonga.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
AGRONOMI RATUN GENOTIPE-GENOTIPE PADI POTENSIAL UNTUK LAHAN PASANG SURUT
SUSILAWATI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Iskandar Lubis., MS Dr. Ir. Ahmad Junaedi., MSi
Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. M.A.Chozin, M.Agr Dr. Ir. Hasil Sembiring, MSc
Judul Disertasi Nama Mahasiswa Nomor Pokok
: Agronomi Ratun Genotipe-Genotipe Padi Potensial Untuk Lahan Pasang Surut : Susilawati : A161060141
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang S Purwoko, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Anggota
Dr. Edi Santosa, SP, M.Si. Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Agronomi,
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S.
Tanggal ujian : 8 Februari 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah
Tanggal lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2007 adalah “Agronomi Ratun Genotipe-Genotipe Padi Potensial Untuk Lahan Pasang Surut”. Disertasi ini disusun berdasarkan lima topik penelitian yaitu (1) Keragaan varietas dan galurgalur harapan padi tipe baru (PTB) dalam sistem ratun, (2) Evaluasi kemampuan menghasilkan ratun beberapa padi varietas hibrida dan inbrida, (3) Studi tinggi pemotongan panen tanaman utama terhadap produksi ratun, (4) Peran Hara N, P dan K pada pertumbuhan dan perkembangan ratun beberapa genotipe padi, dan (5) Pengaruh tinggi penggenangan air selama periode generatif terhadap ratun. Sebanyak satu topik penelitian telah dipublikasikan pada Jurnal Agronomi Indonesia Vol. 38(2), Desember 2010 berjudul ” Keragaan varietas dan galurgalur harapan padi tipe baru dalam sistem ratun”. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc, Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc dan Dr. Edi Santosa, SP, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan motivasi kepada penulis mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai penyelesaian penulisan disertasi ini. Penghargaan dan terima juga penulis sampaikan kepada Badan Litbang Pertanian dan Kegiatan Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang telah memberikan beasiswa dan membantu menyediakan dana penelitian, sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Disamping itu, penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Fakultas Pertanian IPB, Ketua Program Studi Agronomi dan seluruh staf pada Departemen Agronomi dan Hortikultura yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk studi dan memberikan ilmunya selama penulis mengikuti kuliah di Program Studi Agronomi IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Buang Abdullah, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Soewarno, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Satoto, M.Si dari Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi dan KP Muara, yang telah menyediakan dan memberikan benih untuk penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada bapak Adang dan seluruh staf rumah kaca, saudara Gazali Rahman, bapak Kepala Desa Dadahup A-2 Kabupaten Kapuas dan anggota Kelompok Tani yang telah banyak membantu selama penelitian di lapangan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat, yang banyak memberikan semangat, teman seangkatan Rr Sri Hartati, Yenny Bahtiar, Indrastuti Apri Rumanti, dan keluarga besar Forum Mahasiswa Pasca Sarjana Agronomi, atas kebersamaanya dalam suka maupun duka. Semoga Allah SWT yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih melimpahkan rakhmat, hidayah dan ridhoNya kepada kita semua. Penghargaan dan rasa terima kasih yang dalam penulis sampaikan kepada ayah, ibu, suami, dan anak-anak serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang pertanian.
Bogor, Maret 2011
Susilawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Martapura, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan pada tanggal 17 Juli 1967, sebagai anak ke tiga dari pasangan
bapak H.
Muhammad Aini Yahya (Alm) dan Ibu Hj. Rusminah Ahyad. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru, lulus pada tahun 1993. Pada tahun 2000, penulis diterima di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2002.
Kesempatan untuk
melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Agronomi IPB diperoleh pada tahun 2006.
Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, dan bergabung dalam kelompok pengkaji Sumber Daya, dengan bidang penelitian dan pengkajian Sistem Usahatani Terpadu di Lahan Pasang Surut. Selama mengikuti program S3 penulis menjadi Sekretaris Forum Mahasiswa Pasca Sarjana Agronomi Periode 2007-2008. Sebuah artikel ilmiah telah diterbitkan dengan judul ” Keragaan varietas dan galur-galur harapan padi tipe baru dalam sistem ratun” pada Jurnal Agronomi Indonesia Vol. 38(2), Desember 2010.
Selain itu satu artikel ilmiah dengan judul ” Evaluasi kemampuan
menghasilkan ratun padi varietas hibrida dan inbrida”, telah diikutkan dalam Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah, yang dilaksanakan IPB dan akan diterbitkan melalui Jurnal atau media lain yang ditentukan pihak penyelenggara. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program penelitian S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR........................................................................... PENDAHULUAN................................................................................ Latar Belakang............................................................................ Tujuan Penelitian......................................................................... Hipotesis......................................................................................
xix 1 1 4 4
TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... Ratun Tanaman Padi................................................................... Fisiologi untuk Meningkatkan Roduktivitas Padi-Ratun........... Ratun Padi di Lahan Pasang Surut.............................................
6 6 8 10
KERAGAAN VARIETAS DAN GALUR-GALUR HARAPAN PADI TIPE BARU DALAM SISTEM RATUN.................................. Abstrak........................................................................................ Abstract....................................................................................... Pendahuluan................................................................................ Bahan dan Metode....................................................................... Waktu dan Tempat Penelitian............................................ Bahan Penelitian................................................................. Metode Penelitian............................................................... Pelaksanaan Penelitian....................................................... Hasil dan Pembahasan ................................................................ Karakter Pertumbuhan........................................................ Komponen Produksi ........................................................ Nilai Duga Ragam Genetik Tanaman Utama.................... Kemampuan Menghasilkan Ratun..................................... Simpulan.....................................................................................
12 12 12 14 15 15 15 16 17 18 18 21 24 27 28
KEMAMPUAN MENGHASILKAN RATUN BEBERAPA PADI VARIETAS HIBRIDA DAN INBRIDA………………………….. Abstrak........................................................................................ Abstract....................................................................................... Pendahuluan................................................................................ Bahan dan Metode....................................................................... Waktu dan Tempat Penelitian............................................ Bahan Penelitian................................................................. Metode Penelitian............................................................... Pelaksanaan Penelitian....................................................... Hasil dan Pembahasan ............................................................... Karakter Agronomi Tanaman Utama dan Ratun................ Kemampuan Menghasilkan Ratun..................................... Simpulan......................................................................................
30 30 30 31 32 32 32 33 33 34 34 38 40
STUDI TINGGI PEMOTONGAN TANAMAN UTAMA TERHADAP PRODUKSI RATUN.................................................... Abstrak........................................................................................ Abstract....................................................................................... Pendahuluan................................................................................ Bahan dan Metode....................................................................... Waktu dan Tempat Penelitian............................................ Bahan Penelitian................................................................. Metode Penelitian............................................................... Pelaksanaan Penelitian....................................................... Hasil dan Pembahasan ............................................................... Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Utama di Lahan Pasang Surut....................................................................... Pengaruh Tinggi Pemotongan terhadap Produksi Ratun.................................................................................. Pengaruh Tinggi Pemotongan terhadap Pertumbuhan Tunas Ratun........................................................................ Simpulan......................................................................................
42 42 42 43 44 44 44 45 45 46 46 48 51 53
PERAN HARA N, P DAN K PADA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN RATUN BEBERAPA GENOTIPE PADI.........
54
Abstrak........................................................................................ Abstract....................................................................................... Pendahuluan................................................................................ Bahan dan Metode....................................................................... Waktu dan Tempat Penelitian............................................ Bahan Penelitian................................................................ Metode Penelitian............................................................... Pelaksanaan Penelitian....................................................... Hasil dan Pembahasan................................................................ Pengaruh Pemupukan terhadap Perkembangan Akar....... Nisbah Tajuk Akar............................................................. Simpulan......................................................................................
54 54 56 57 57 57 57 58 59 64 66 68
PENGARUH TINGGI PENGGENANGAN AIR SELAMA PERIODE GENERATIF TERHADAP HASIL RATUN.................... Abstrak........................................................................................ Abstract....................................................................................... Pendahuluan................................................................................ Bahan dan Metode....................................................................... Waktu dan Tempat Penelitian............................................ Bahan Penelitian................................................................. Metode Penelitian............................................................... Pelaksanaan Penelitian....................................................... Hasil dan Pembahasan................................................................. Peubah Vegetatif dan Generatif......................................... Komponen Hasil.................................................................
69 69 69 70 72 72 72 72 72 74 74 75
Kandungan Klorofil dan Sukrosa Daun............................. Berat Kering Jerami dan Hasil Ratun................................. Simpulan.....................................................................................
77 79
PEMBAHASAN UMUM.....................................................................
82
SIMPULAN DAN SARAN..................................................................
92 92 93 94
Simpulan...................................................................................... Saran............................................................................................ DAFTAR PUSTAKA...........................................................................
81
DAFTAR TABEL No
Halaman
1
Analisis ragam dan parameter genetik
16
2
Komponen pertumbuhan tanaman utama dan ratun 18 genotipe Padi di rumah kaca, KP Cikabayan Bogor, 2008........................
19
3
Komponen produksi tanaman utama dan ratun 18 genotipe padi di rumah kaca, 2008............................................................
22
4
Berat 1000 butir dan hasil tanaman utama dan ratun 18 genotipe padi di rumah kaca, 2008..............................................
24
5
Hasil analisis ragam dan ragam genetik karakter agronomi 18 genotipe PTB...............................................................................
26
6
Persen hasil tanaman utama terhadap ratun sembilan genotipe padi potensi ratun tinggi..............................................................
28
7
Kriteria potensi ratun tinggi, sedang dan rendah berdasarkan produksi relatif dan riil................................................................
33
8
Karakter agronomi tanaman utama dan ratun padi varietas hibrida dan inbrida......................................................................
35
9
Kriteria hasil ratun berdasarkan bobot gabah per rumpun........................................................................................
39
10
Karakter pertumbuhan tanaman utama dan ratun lima genotipe padi dengan tinggi pemotongan 10, 20 dan 30 cm dari permukaan tanah di lahan pasang surut Kapuas, 2008................
47
Pengaruh tinggi pemotongan terhadap hasil dan komponen hasil ratun lima genotipe padi di lahan pasang surut , Kapuas 2008.............................................................................................
49
12
Karakter pertumbuhan tanaman utama dan ratun pada beberapa tingkat dosis pemupukan.............................................................
60
13
Komponen hasil dan hasil lima genotipe padi yang diberi perlakuan pupuk..........................................................................
62-63
14
Pengaruh pemupukan terhadap panjang akar, jumlah akar dan berat kering akar ratun lima genotipepadi pada fase reproduktif dan pemasakan di lahan pasang surut.........................................
65
15
Bobot kering tajuk, akardan nisbah tajuk akar ratun lima genotipe padi saat pertumbuhan generatif...................................
67
16
Karakter pertumbuhan ratun pada berbagai tinggi genangan air.................................................................................................
75
17
Komponen jumlah gabah total dan jumlah gabah isi lima genotipe padi..............................................................................
76
11
18
Hasil analisis kandungan pigmen dalam bobot segar daun ratun pada perlakuan tinggi genangan air............................................
79
19
Hubungan bobot kering brangkasan ratun terhadap hasil pada beberapa tinggi genangan...........................................................
80
20
Produksi ratun 15 genotipe padi terhadap produksi tanaman utama...........................................................................................
85
21
Hasil analisis tanah Desa Petak Batuah Dadahup A-2 Kapuas.........................................................................................
87
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1
Diagram alir penelitian.....................................................
5
2
Klaster 18 genotipe padi dalam menghasilkan ratun berdasarkan Hierarchial Cluster Analysis berdasarkan skoring peubah vegetatif...................................................
27
3
Grafik waktu keluar ratun, jumlah anakan ratun dan hasil ratun..........................................................................
39
4
Tunas ratun pada pemotongan 10 cm di atas permukaan tanah..................................................................................
52
5
Ratun varietas Hipa-5 pada tinggi pemotongan 10, 20 dan 30 cm dan pertumbuhan Ratun pada 20 hst...............
52
6
Pertumbuhan dan produksi tanaman utama dan ratun varietas padi tipe baru, hibrida dan inbrida.......................
83
7
Penampilan tanaman utama, tinggi pemotongan panen dan kondisi ratun di lahan pasang surut...........................
88
PENDAHULUAN Latar Belakang Padi merupakan komponen utama dalam sistem ketahanan pangan nasional. Rata-rata peningkatan produksi padi nasional beberapa tahun terakhir masih rendah, yaitu 2.2 - 2.3 persen per tahun. Berdasarkan angka ramalan III bulan November 2010, produksi padi nasional tahun 2010 meningkat hingga 2.5 persen dan diprediksi mencapai 65.9 juta ton gabah kering giling (GKG), atau setara dengan beras sebanyak 36.9 juta ton (Suswono 2010). Berdasarkan angka tetap tahun 2009 produktivitas padi nasional 4.99 t/ha GKG (BPS 2010). Padahal dengan laju pertumbuhan penduduk yang mencapai 1.49% dan laju konsumsi beras nasional 1.34% per tahun, rata-rata produktivitas padi nasional seharusnya minimal 6.0 t/ha (Makarim dan Suhartatik 2006; Suswono 2010). Upaya meningkatkan produktivitas padi terus dilakukan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan ratun. Ratun atau Singgang (Jawa) atau Turiang (Sunda) yaitu rumpun tanaman padi yang tumbuh kembali setelah dipanen. Keuntungan penerapan ratun adalah cepat, mudah dan murah serta dapat meningkatkan produktivitas padi per unit area dan per unit waktu (Nair dan Rosamma 2002).
Penerapan budidaya padi dengan sistem ratun melalui
memanfaatkan varietas berdaya hasil tinggi, diduga dapat memberi andil dalam meningkatkan produktivitas padi nasional. Secara genetik dilaporkan bahwa padi-padi lokal yang memiliki kekerabatan dengan spesies padi liar memiliki sifat ratun dan anakan sekunder. Spesies padi liar Oryza perennis Moench adalah nenek moyang dari Oryza sativa L. yang banyak ditemukan di Asia terutama di habitat lahan rawa. Spesies ini memiliki tipe perennial dengan potensi ratun yang tinggi dan mampu menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang banyak (Oka 1974). Demikian juga dengan Oryza minuta, yang jumlah anakan produktifnya dapat mencapai > 50 anakan setelah terbentuk anakan sekunder, sedangkan Oryza nivara dan Oryza glumaepatula mencapai > 20 anakan. Padi jenis ini, pada pertanaman awal jumlah anakannya sedikit, biasanya kurang dari sepuluh, disusul oleh anakan sekunder, sehingga jumlah anakan menjadi banyak (Suhartini et al. 2003).
Secara morfologi, ratun berbeda dengan tanaman utamanya, terutama jumlah anakan produktif yang umumnya lebih sedikit, dan batang lebih pendek (Vergara et al. 1988). Ratun yang dihasilkan dari buku yang lebih tinggi keluar lebih cepat dibanding yang tumbuh dari buku yang lebih rendah. Jumlah gabah per malai ratun yang fertil lebih sedikit, sedangkan ratun yang muncul dari buku yang lebih rendah menghasilkan jumlah gabah per malai yang lebih banyak, dengan persen fertil yang lebih tinggi (Vergara et al. 1988). Produksi ratun bervariasi, yaitu berkisar 0.7-5.8 t/ha. Beberapa varietas padi yang menghasilkan ratun lebih dari 2 t/ha banyak dilaporkan berkembang di India dan Filipina seperti varietas Tillak Kachari (hasil ratun 5.0 t/ha), Achra 108/1 (4.8 t/ha), Milbuen 5 (5.6 t/ha), IR28 (2.1 t/ha), dan IR42 (2.9 t/ha) (Krishnamurthy 1988). Faktor penentu keberhasilan ratun lainnya adalah vigor tunggul setelah panen tanaman utama, yang erat kaitannya dengan cadangan hasil proses fotosintesis. Aktivitas fotosintesis menentukan jumlah energi yang masuk dan tersimpan dalam sistem tanaman yang dapat dimanfaatkan (Marschner 1995). Penyimpanan hasil fotosintesis ke bagian akar dan batang sangat diperlukan, agar batang tanaman padi yang telah dipanen (tunggul) tetap berwarna hijau. Dengan demikan asimilat yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan tunas ratun (Vergara et al. 1988; Chauhan et al. 1989; Gardner et al. 1991; Wu et al. 1998). Terdapat hipotesis bahwa jika akumulasi karbohidrat berlangsung lama, maka potensi produksi ratun dapat ditingkatkan. Hal ini dapat dicapai dengan menunda penuaan daun. Status karbohidrat saat panen dan kemampuan ratun merupakan kesatuan yang sangat erat (Vergara et al. 1988). Pengaruh faktor lain terhadap potensi ratun belum banyak diinformasikan. Saat ini informasi tentang ratun pada tanaman padi mulai berkembang dan tidak terbatas pada padi liar atau padi-padi lokal saja (Anonim 2006). Studi ratun pada padi varietas hibrida, inbrida maupun padi tipe baru (PTB) banyak dilakukan di China, sedangkan di Indonesia informasi tentang ratun masih sangat terbatas. Padahal beberapa varietas berdaya hasil tinggi, berumur pendek, toleran cekaman biotik dan abiotik telah banyak dihasilkan di Indonesia, seperti varietas Hipa-4, Hipa-5 Rokan, Ciherang, Batanghari, Cimelati, Fatmawati, Inpari-3, dan Inpara (Suprihatno et al. 2007).
Varietas padi tersebut baik hibrida, inbrida termasuk PTB, memiliki keunggulan yang berbeda-beda. Varietas padi hibrida memiliki vigor yang tinggi, hasil 15-20% lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida, namun benih padi hibrida hanya dapat digunakan untuk satu musim tanam sehingga setiap kali tanam harus menggunakan benih baru. Varietas inbrida produksi tinggi, mutu beras baik dan tahan hama dan penyakit. Selain itu terdapat varietas-varietas yang memiliki keunggulan spesifik antara lain toleran keracunan Fe dan Al serta toleran rendaman, sehingga cocok dikembangkan pada lahan rawa (Sembiring dan Widiarto 2007). Keunggulan PTB yang dihasilkan selain tahan terhadap hama dan penyakit, juga menghasilkan malai yang lebat dan bernas, dengan morfologi daun tegak dan hijau serta sistem perakaran dalam, sehingga secara fisiologi akan berkorelasi dengan hasil (Khush 1995; Abdullah et al. 2005). Pemanfaatan lahan pasang surut yang tersebar luas di Indonesia, sangat prospektif sebagai pengganti terbatasnya lahan subur di Jawa dan Bali. Beberapa varietas padi yang dihasilkan memiliki kesesuaian untuk dikembangkan di lahan pasang surut. Teknologi ratun juga sangat potensial dikembangkan, mengingat terdapat kebiasaan petani di lahan pasang surut yang membiarkan rumpun padi yang telah dipanen (tunggul) sebagai ratun, khususnya pada
padi lokal.
Berubahnya pola tanam menjadi padi unggul-padi lokal, tidak banyak mengubah kebiasan petani dalam berusahatani. Petani tetap membiarkan bekas pertanaman setelah panen, sampai panen ratun dilakukan baru mengolah tanah untuk tanam berikutnya (Hadrani, komunikasi pribadi 2007). Permasalahan usahatani padi di lahan pasang surut seperti tingkat kemasaman tinggi, kesuburan tanah rendah, adanya lapisan pirit, dan adanya periode genangan (air pasang) secara berangsur telah mampu diatasi. Dalam
rangka
mendapatkan
informasi
tentang
ratun
dan
upaya
meningkatkan potensi ratun secara optimal, diperlukan serangkaian penelitian yang diawali dengan seleksi genotipe padi dan pengelolaannya. Selain itu dilakukan juga studi agronomi dan fisiologi untuk meningkatkan peran faktor lainnya dalam menghasilkan ratun, seperti pemupukan, tinggi pemotongan panen tanaman utama dan pengelolaan air. Bagan alur penelitian disajikan pada Gambar 1.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Penelitian bertujuan untuk memperoleh genotipe padi dengan potensi ratun tinggi, mendapatkan paket teknologi pengelolaan yang dapat meningkatkan produksi ratun, dan mengetahui karakter-karakter agronomi, morfologi dan fisiologi yang mempengaruhi produksi ratun. Tujuan Khusus 1. Mengevaluasi dan mendapatkan genotipe padi yang memiliki potensi ratun tinggi. 2. Meningkatkan produktivitas ratun melalui pemupukan dan pengaturan tinggi pemotongan tunggul di tingkat lapang serta pengelolan air. 3. Mendapatkan informasi agronomi ratun pada beberapa ketinggian air. Hipotesis 1. Terdapat genotipe padi yang mampu menghasilkan ratun dengan produktivitas tinggi. 2. Diperlukan hara N, P dan K untuk meningkatkan produksi tanaman utama dan ratun di lapangan. 3. Terdapat tinggi pemotongan tunggul dan penggenangan setelah panen tanaman utama yang memacu dan meningkatkan produksi ratun.
Uji/seleksi potensi ratun beberapa genotipe padi : hibrida, unggul, tipe baru dan galur-galur terpilih
Percobaan 1: Keragaan varietas dan galur-galur harapan padi tipe baru dalam sistem ratun
Evaluas ratun pad
Penelitian II : Studi agronomi beberapa genotipe padi penghasil ratun
Percobaan 3 : Kajiantinggi pemotongan panen tanaman utama terhadap produksi ratun
Percobaan 4 : Peran Hara N, P dan K terhadap pertumbuhan dan perkembangan ratunberapa genotipe padi
Studi
P pe
Hasil akhir yang diharapkan Teknologi budidaya padi dengan sistem rat Gambar 1. Diagram alir penelitian
12
TINJAUAN PUSTAKA Ratun Tanaman Padi Ratun tanaman padi merupakan tunas yang tumbuh dari tunggul batang yang telah dipanen dan menghasilkan anakan baru hingga dapat dipanen (Krishnamurthy 1988).
Praktek budidaya tanaman padi-ratun telah lama
dilakukan petani di daerah tropis dan di daerah beriklim sedang (Gardner et al. 1991). Di Indonesia, budidaya ini banyak dilakukan untuk padi lokal yang berumur panjang. Hasil ratun sering disebut sebagai padi singgang atau turiang. Padi lokal yang berumur panjang, setelah panen tanaman utama, akan dibiarkan oleh petani hingga musim tanam tahun berikutnya. Dalam periode tersebut petani akan memanen ratun dalam waktu sekitar setengah dari periode tanaman utama, dengan produksi berkisar antara 40-60% dari panen tanaman utamanya (Vergara et al. 1988). Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari penerapan ratun antara lain : (a) biaya produksi lebih rendah karena tidak perlu pengolahan tanah dan penanaman ulang, (b) pupuk yang dibutuhkan lebih sedikit, yaitu setengah dari dosis yang diberikan pada tanaman utama, (c) umur panen lebih pendek, dan (d) hasil yang diperoleh dapat memberikan tambahan produksi dan meningkatkan produktivitas (Krishnamurthy 1988; Nair dan Rosamma 2002). Kemampuan tanaman padi menghasilkan ratun dapat ditentukan oleh sifat genetik dan lingkungan, seperti ketersediaan air, tingkat kesuburan tanah, sinar matahari, suhu, dan keadaan hama dan penyakit tanaman (Mahadevappa 1988). Secara genetik, setiap jenis padi memiliki kemampuan menghasilkan ratun yang berbeda-beda. Beberapa varietas padi dilaporkan menghasilkan ratun antara 1.43.8 t/ha. Varietas-varietas tersebut adalah IR8 menghasilkan ratun 1.4 t/h di India (Mahadevappa dan Yogeesha 1988), IR 29 menghasilkan ratun 3.8 t/ha di China, IR28 dan IR 42 masing-masing menghasilkan ratun 2.1 t/ha dan 2.9 t/ha di Filipina (Krishnamurthy 1988). Padi hibrida jenis Ai You 4 menghasilkan ratun lebih tinggi yaitu 5.0-5.8 t/ha di China (Anonim 2006). Dari evaluasi yang dilakukan terhadap 57 padi hibrida, diketahui hibrida IR19677-34-2-2-3-3A/IR36 merupakan hibrida yang mampu menghasilkan ratun tertinggi di Filipina (Chauhan 1988).
13
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan menghasikan ratun adalah panjang pemotongan, pemupukan dan pengelolaan air. Panjang pemotongan dapat mempengaruhi jumlah anakan, periode pertumbuhan, vigor ratun dan hasil biji (De Datta dan Bernasor 1988). Pada beberapa genotipe, ratun tumbuh dari ruas yang lebih tinggi, sedang ratun yang tumbuh dari ruas yang rendah atau dekat dengan tanah lebih banyak yang mati daripada yang bertahan hidup. Ditemukan juga ratun tumbuh dari setiap buku yang terdapat pada tunggul. Pemotongan yang lebih tinggi atau jika tanaman utamanya masih tertinggal 2-3 ruas (15-20 cm), dapat mendorong pertumbuhan tunas ratun lebih baik, dan menekan kehilangan hasil (Vergara et al. 1988). Pupuk merupakan salah satu input yang sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan hasil ratun. Beberapa studi membuktikan bahwa pertumbuhan ratun sangat tergantung pada komposisi, waktu pemberian dan tingkat dosis pupuk yang diberikan pada tanaman utama dan tanaman ratun, terutama pupuk N. Pupuk N secara nyata berpengaruh terhadap penampilan tanaman ratun, meningkatkan rumpun dan hasil ratun (McCauley et al. 2006). Di Louisiana USA hasil ratun meningkat, jika N diaplikasikan sebanyak 34-41 kg pada saat 15 hari sebelum panen tanaman utama, dan sebanyak 13.6-20.4 kg N pada saat 15 hari setelah panen (Jason 2005). Pemberian N pada tanaman utama saat 14 hari sebelum panen meningkatkan hasil ratun 10%, tetapi menurunkan hasil tanaman utama (Vergara et al. 1988). Padi hibrida yang dipupuk dengan dosis 96-125 kg N/ha menghasilkan ratun 5.0-5.6 t/ha (Charoen 2003). Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000), unsur N bagi tanaman merupakan unsur penyusun asam amino, asam nukleat, dan klorofil yang bagi tanaman padi sawah dapat mempercepat pertumbuhan (pertambahan tinggi dan jumlah anakan) dan meningkatkan ukuran daun, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi dan kandungan protein gabah. Dengan demikian, unsur N berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, seluruh komponen hasil dan hasil padi sawah. Menurut Witt (1999), pada kondisi normal produksi biomassa padi sangat ditentukan oleh suplai unsur hara N. Kebutuhan unsur hara makro P dan K pada padi sawah sangat tergantung pada suplai unsur hara N. Menurut Harada dan Yamazaki (1993), pertumbuhan akar padi sawah yang mendapat
14
perlakuan pemupukan N jauh lebih berkembang dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemupukan N.
Sebaliknya penggunaan pupuk lain, yaitu P dan K
dilaporkan tidak banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ratun. Di Taiwan P dan K tidak berpengaruh terhadap hasil ratun, dan di Texas P dan K yang diaplikasikan pada tanaman ratun tidak berpengaruh jika tanaman utama menerima cukup pupuk tersebut (McCauley et al. 2006). Pengelolaan air sebelum dan sesudah panen tanaman utama dapat mempengaruhi kemampuan ratun. Secara normal hanya sekitar 60% air yang diperlukan untuk tanaman utama, tetapi ketersediaan air setelah panen sangat penting untuk keberhasilan ratun. Penggenangan selama beberapa hari setelah panen tanaman utama mendorong pertumbuhan ratun dan meningkatkan jumlah malai (McCauley et al. 2006). Waktu penggenangan dan panjang pemotongan dapat mempengaruhi hasil ratun. Penggenangan yang dimulai 4-6 hari setelah panen dengan panjang pemotongan yang lebih rendah, mendapatkan ratun yang lebih baik dibandingkan penggenangan yang dilakukan 1 hari setelah panen dengan panjang pemotongan yanhg sama.
Banyak anakan yang mati ketika
digenangi 5 cm pada panjang pemotongan tepat di atas permukaan tanah.
Di
India dan Taiwan, adanya irigasi pada tanaman ratun menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan yang non irigasi (De Datta dan Bernasor 1988). Fisiologi untuk Meningkatkan Produktivitas Padi - Ratun Proses fisiologi meliputi semua peristiwa di dalam tubuh tumbuhan. Dua proses terpenting yang terjadi pada semua tanaman tingkat tinggi adalah fotosintesis dan respirasi.
Secara sederhana proses fotosintesis adalah proses
pembentukan fotosintat oleh tumbuhan hijau, sedangkan respirasi adalah proses pemanfaatan fotosintat. Secara teori, untuk meningkatkan hasil tanaman, maka fotosintesis harus dimaksimalkan sedangkan respirasi harus diminimalkan (Sharma-Natu dan Ghildiyal 2005). Sinar matahari atau cahaya sangat berperan dalam proses fotosintesis. Dari semua radiasi matahari yang dipancarkan, hanya panjang gelombang yang berada pada kisaran cahaya tampak (400-700 nm) yang dimanfaatkan tumbuhan untuk proses fotosintesis. Dalam fotosintesis terdapat dua tahap utama, yaitu reaksi terang dan reaksi gelap. Reaksi terang terjadi pada grana (granum), dimana energi
15
radiasi diabsorbsi dan digunakan untuk mengkonversi energi cahaya menjadi energi kimia, sehingga menghasilkan senyawa berenergi tinggi yaitu ATP dan NADPH. Pada reaksi gelap, senyawa berenergi tinggi (ATP dan NADPH) yang diperoleh dari reaksi terang dimanfaatkan untuk menambat dan mengubah CO2 menjadi karbohidrat (Taiz dan Zeiger 2002). Tanaman padi yang tergolong tanaman C3, menggunakan ATP dari fotofosforilasi untuk mengubah ribulose-5-phosphat menjadi RuBP (ribulose 1,5 bisphosphate) yang berfungsi untuk menangkap CO2 atmosfer. Siklus photosynthetic carbon reduction (PCR) terdiri atas karboksilasi, reduksi dan regenerasi.
Reaksi karboksilasi menghasilkan 3-phosphoglycerate (3-PGA).
Reaksi ini dikatalis oleh enzim ribulose bisphosphate carboxylase oxygenase (Rubisco), yaitu enzim kunci dalam fotosintesis dan merupakan protein daun yang sangat berlimpah.
ATP dan NADPH hasil reaksi terang, digunakan untuk
mengubah 3-PGA menjadi glukosa dan senyawa organik lainnya. Keseluruhan proses ini disebut siklus Calvin yang berlangsung di sel mesofil (Taiz dan Zeiger 2002; Makino et al. 2000). Total energi yang masuk dan tersimpan dalam sistem tanaman padi tergantung laju fotosintesis per unit area dan luas bagian tanaman yang menerima cahaya (Long et al. 2006). Strategi peningkatan produksi tanaman padi umumnya dirancang untuk memaksimalkan penyerapan cahaya dan meningkatkan penggunaan cahaya. Hal ini dapat ditentukan antara lain oleh : (a) umur tanaman, terutama yang berhubungan dengan daya vigor yang lebih panjang (setelah antesis), (b) bentuk kanopi, (c) kondisi daun, dan (d) kandungan pigmen fotosintesis. Kemampuan memperpanjang umur dan mempertahankan kehijauan daun, akan meningkatkan laju fotosintesis tanaman dan produksi biomassa (Long et al. 2006).
Dalam
hubungannya struktur kanopi, padi dengan sudut daun lebih tegak akan memiliki potensi produksi lebih tinggi dibandingkan yang bersudut daun datar (Long et al. 2006). Selain itu saat cahaya matahari penuh, fotosintesis pada bagian atas kanopi yang tegak akan terjadi secara langsung dan cepat, sehingga jumlah pati yang terbentuk tinggi dan dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan butir pati di kloroplas, serta di batang dan kortek untuk pertumbuhan berikutnya (Murchie et al. 2002).
16
Kondisi tanaman setelah panen tanaman utama menunjukkan bahwa kelebihan asimilat yang tersusun dalam bentuk karbohidrat, lipid, dan protein, akan dimanfaatkan tanaman sebagai cadangan makanan dan sebagian akan ditranslokasikan ke daerah pemanfaatan vegetatif. Akar dan batang pada tunggul adalah bagian pemanfaatan hasil fotosintesis selama pertumbuhan ratun. Proporsi sisa hasil fotosintesis yang dimanfaatkan akar dan batang mempengaruhi pertumbuhan anakan ratun yang akan muncul dari tunggul (Gardner et al. 1991). Jika asimilat tersedia cukup, dan tingkat kesuburan batang dapat dipertahankan, maka tunas ratun dapat muncul antara hari kedua hingga hari kesepuluh setelah panen tanaman utama (De Datta dan Bernasor 1988 ; Charoen 2003). Penundaan penuaan daun dapat meningkatkan karbohidrat tunggul tanaman utama, dan perkembangan ratun menjadi lebih baik (Vergara et al. 1988; McCauley et al. 2006). Jumlah anakan ratun menjadi lebih banyak pada konsentrasi karbohidrat yang tinggi saat panen (Vergara et al. 1988). Ratun Padi di Lahan Pasang Surut Di lahan pasang surut, kebiasaan sebagian besar petani meratun cukup populer.
Walaupun awalnya hanya dilakukan terhadap padi lokal, dengan
berubahnya pola tanam menjadi padi unggul-padi lokal, kebanyakan petani tetap membiarkan bekas pertanaman setelah panen, baik panen padi lokal maupun panen padi unggul, sampai panen ratun dilakukan; baru mengolah tanah untuk tanam berikutnya. Pengamatan terhadap pola tanam padi dua kali setahun yang mulai berkembang di lahan pasang surut, terdapat dua istilah yang berhubungan dengan musim tanam, yang sering disebut “Asep dan Okmar” yang diartikan sebagai musim tanam I dari bulan April hingga September dengan menaman padi unggul dan musim tanam II dari bulan Oktober hingga Maret, petani sering menanam padi lokal. Dalam dua musim, pola yang dilakukan petani adalah : jika petani sudah selesai menaman padi unggul pada awal bulan April, maka panen dapat dilakukan pada pertengahan bulan Juli. Dengan alasan belum turun hujan maka bekas-bekas panen dibiarkan hingga menjelang musim tanam II datang, yaitu bulan Oktober. Dalam periode itu petani akan memanen ratun sekali yaitu pada
17
bulan Agustus hingga pertengahan September. Jadi periode pertumbuhan dan panen ratun adalah Juli – September. Periode pertanaman padi lokal yang cukup panjang dilakukan beriringan dengan pertanaman padi unggul. Lahan-lahan yang ditanami varietas unggul pada bagian pinggir disisakan sekitar 2 meter hingga batas galengan. Lahan sempit ini digunakan untuk melakukan penugalan (yaitu persemaian benih padi lokal dengan cara menaman benih dalam jumlah cukup banyak ke dalam lubang sedalam sekitar 5-10 cm).
Lama tugalan 30-45 hari (umumnya dilakukan pada
pertengahan bulan Mei).
Selanjutnya bibit dari tugalan tersebut dipindahkan
dengan cara menanam kembali sebanyak 3-4 bibit per lubang, yang disebut ampak (umumnya dibiarkan selama 25-35 hari, dan dilakukan pada pertengahan bulan Juni) hingga anakan per rumpun cukup banyak. Beriringan dengan panen padi unggul maka sebagian anakan dari ampak dipisah kembali dan ditanam menjadi anakan lacakan pada seperempat areal yang akan diusahakan. Ini berlangsung selama 70-85 hari. Kemudian bibit lacakan ditanam pada areal tanam sebagai pertanaman MT II yang dimulai pada bulan Oktober (Syafaat et al.
1997).
Sebagian petani ada yang membiarkan lacakan sekaligus pertanaman MT II pada areal yang diusahakan atau tanpa mengalami pemisahan anakan kembali dan langsung ditanam di areal pertanaman yang luas. Jadi pertanaman pada MT II anakan yang ditanam sudah berbatang kokoh dan agak tinggi.
Pada bulan
Oktober, tanaman padi akan mengalami genangan beberapa centimeter dalam waktu yang cukup lama (periode pasang), dan ketika air kering (periode surut), maka padi akan mulai memasuki fase reproduktif, dan akan panen pada bulan Pebruari. Petani akan membiarkan ratun hingga dapat dipanen pada akhir bulan Maret atau April, sambil menyiapkan lahan musim berikutnya. Dalam budidaya ratun, petani umumnya hanya membiarkan tanaman ratun tumbuh apa adanya, tanpa memupuk atau melakukan pemeliharaan lainnya, sehingga produksi rendah dan kadang-kadang sebagian besar hampa. Produksi yang diperoleh berkisar antara 0.5-1.0 t/ha tergantung varietas yang ditanam dan kondisi lahan setelah panen, seperti kelembaban tanah atau ketersediaan air setelah panen tanaman utama (Hadrani, komunikasi pribadi 2007).
18
KERAGAAN VARIETAS DAN GALUR-GALUR HARAPAN PADI TIPE BARU DALAM SISTEM RATUN Performance of New Plant Type Varieties and Lines in Ratoon System ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi 18 varietas dan galur-galur padi tipe baru (PTB) Indonesia dalam menghasilkan ratun. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan karakter jumlah anakan produktif, jumlah gabah total/malai dan jumlah gabah isi/malai, adalah karakter dengan keragaman genetik luas, dengan variasi yang tinggi, sehingga perbaikan potensi ratun cukup baik berdasarkan karakter tersebut. Kemampuan menghasilkan ratun juga berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif tanaman sebelum panen. Varietas PTB memiliki pertumbuhan vegetatif yang lebih baik dan menghasilkan ratun lebih tinggi dibandingkan galur lainnya. Tunas-tunas ratun mulai berkembang 2-7 hari setelah panen, dengan jumlah rata-rata 2-4 daun per batang. Jumlah anakan berkisar antara 6.0-30.0 per rumpun. Jumlah gabah 38.0-228.2 butir/malai, dan bobot biji/rumpun 10.4-31.2 g/rumpun. Rata-rata umur panen ratun adalah 68 hari setelah panen tanaman utama. Pengelompokan kemampuan menghasilkan ratun berdasarkan analisis hirarki menghasilkan tiga kelompok, yaitu sembilan genotipe memiliki potensi ratun tinggi, lima genotipe mempunyai potensi sedang, dan empat genotipe memiliki potensi rendah. Studi ini menunjukkan bahwa ratun berpotensi untuk meningkatkan indeks tanam di Indonesia. Genotipe dengan kemampuan ratun tinggi, perlu dievaluasi lebih lanjut untuk melihat kinerja agronomi di lapangan. Kata kunci : padi tipe baru, kemampuan menghasilkan ratun. ABSTRACT The objective of the experiment was to evaluate 18 varieties and lines of new plant type (NPT) of Indonesia to produce ratoon. The experiment was arranged in randomized complete block design with three replications. Eighteen Indonesian new plant type (NPT) rice genotypes were evaluated for ratooning ability. The results showed the character of the number of productive tillers, the total of grain per panicle and the number of grain fille per panicle, are character with broad genetic diversity, which is a high variation. The ratooning ability of all are good enough based on its character. Ratooning ability was related to the vegetative growth prior to harvest. New plant type varieties and several lines of rice had better vegetative growth, produced was 10.4 to 31.2 g. On average, ratoon was mature 68 days after harvest of the main crop. Grouping using hierarchical cluster analysis resulted in three groups, i.e., nine genotypes had high potential, five genotypes had medium potential, and four genotypes had low potential. This study showed that ratoon is potential to increase planting index in Indonesia. The genotypes need to be evaluated for agronomic performance in high ratoon. Ratoons started to develop 2-7 days after harvest, with an average number of leaf
19
2-4 per tiller. Number of productive tillers and maturity were dependent on genotypes. The number of tiller ranged from 6.0 to 30.0 per hill. The number of grain per panicle was 38.0 to 228.2, and grain weight/hill of ratoon the field. Key words : new plant type, ratooning ability, rice.
20
PENDAHULUAN Peningkatan produktivitas padi dapat dilakukan dengan teknologi budidaya atau dengan menanam varietas padi baru yang memiliki sifat unggul. Alternatif lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas padi adalah dengan memelihara ratun, yakni tunas tanaman padi yang tumbuh dari tunggul yang telah dipanen, sehingga dapat memberikan tambahan produksi (Flinn & Mercado 1988; Islam et al. 2008).
Secara morfologi ratun sangat berbeda dengan tanaman
utamanya. Jumlah anakan produktif umumnya lebih sedikit dan pendek dibanding tanaman utamanya, tetapi beberapa ratun dilaporkan menghasilkan anakan lebih banyak daripada tanaman utamanya (Krishnamurthy, 1988). Keuntungan ratun antara lain memberikan tambahan produksi padi per musim tanam, hemat input produksi, biaya, tenaga, dan waktu persiapan tanam (Nair & Rosamma 2002; Santos et al. 2003). Fenomena ratun tersebut telah menjadi pemikiran banyak ahli (Aswidinnoor et al. 2008). Mahadevappa (1988), mengemukakan bahwa faktor utama yang dapat menentukan kemampuan tanaman padi untuk menghasilkan ratun antara lain : sifat genetik, lingkungan dan praktek budidaya seperti tinggi pemotongan, pemupukan, dan pengelolaan air. Beberapa padi lokal yang memiliki kekerabatan dengan spesies padi liar dilaporkan memiliki sifat ratun dan anakan sekunder yang berpotensi menghasilkan ratun (Suhartini et al. 2003). Demikian juga dengan varietas padi unggul lainnya termasuk PTB, diduga memiliki potensi ratun yang tinggi. Potensi ratun setiap genotipe berbeda-beda dan dapat dipengaruhi kondisi tanaman utamanya, sehingga perlu dipilih dan diseleksi varietas atau genotipe yang memiliki potensi ratun tinggi khususnya pada varietas dan galur-galur padi tipe baru (PTB) (Anonim 2006). Vergara et al. (1988), mendeskripsikan beberapa karakter agronomi yang merupakan prasyarat tanaman ratun, antara lain vigoritas sistem perakaran tanaman utama, dan konsentrasi residu karbohidrat yang tinggi pada batang saat panen tanaman utama. PTB memiliki sifat batang besar dan kokoh, daun tegak, tebal dan hijau tua, perakaran panjang dan lebat, jumlah anakan produktif sedikit (7-12 batang), malai lebih panjang, lebat dan bernas (>300 butir/malai), tinggi tanaman sedang (80-100 cm), serta umur yang sedang (110-130 hari) (Khush
21
1995; Las et al. 2003). Selain itu potensi hasil PTB dapat mencapai 10-25% lebih tinggi dibandingkan varietas unggul yang ada saat ini, sehingga diduga PTB akan mampu menghasilkan ratun dengan produksi tinggi, dan perlu diteliti lebih lanjut. Sistem dan teknologi produksi PTB berbeda dengan varietas unggul biasa (Las et al. 2003). Terdapat beberapa varietas dan galur PTB potensial yang telah dihasilkan Balai Penelitian Padi dan IPB yaitu Ciapus, Cimelati dan Gilirang, Fatmawati BP138E-KN-23, BP-364-MR-33-PN-5-1, BP342B-MR-30-1, BP140F-MR-1, dan BP364B-MR-33-2-PN-2-5-5-1 (Abdullah et al. 2005), serta IPB106-F-7-1, IPB106-F-8-1, IPB106-F-10-1, dan IPB106-F-12-1. Galur-galur tersebut masih memerlukan pengujian lanjutan untuk menentukan teknologi budi daya yang paling tepat, termasuk kajian dan seleksi terhadap potensi ratunnya. Pemanfaatan ratun, dapat meningkatkan indek pertanaman varietas dan galur-galur PTB yang diharapkan mampu menghasilkan ratun tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi beberapa varietas dan galur-galur PTB Indonesia dalam menghasilkan ratun. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2007 – Mei 2008 di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor (± 240 m di atas permukaan laut). Bahan Penelitian Bahan tanaman yang digunakan adalah
18 genotipe padi yang
dikelompokkan menjadi tiga yaitu : (1) Varietas unggul PTB dan semi PTB (Ciapus, Cimelati, Fatmawati, dan Gilirang), (2) galur PTB sawah (IPB106-F-71, IPB106-F-8-1, IPB106-F-10-1, IPB106-F-12-1; BP205D-KN-78-1-8, BP355EMR-45, BP360E-MR-79-PN-2, BP23F-PN-11, dan BP138F-KN-23,), dan (3) galur PTB rawa (B9833C-KA-14, B9858D-KA-55, B9852E-KA-66, B10214FTB-7-2-3, dan IR61241-3B-B-2). Bahan tanaman berasal dari pemulia di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi dan Institut Pertanian Bogor.
22
Metode Penelitian Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan genotipe sebagai perlakuan dan diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 54 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri atas dua ember plastik berwarna hitam dengan satu bibit per ember. Jumlah semua ember yang digunakan sebanyak 108 ember. Ember diisi dengan campuran tanah sawah dan pupuk kandang sapi dengan perbandingan 1 : 1 (v/v), dengan bobot total sekitar 10 kg/ember. Sebelum penanaman, ember digenangi air selama satu minggu, dan air dalam ember dipertahankan setinggi 2 cm. Data diolah dengan program SAS 9.0 (uji F), jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan pada taraf 5%. Untuk mengetahui kemampuan tiap genotipe dalam menghasilkan ratun dilakukan analisis klaster/pengelompokan menggunakan program NTSYS. Peubah untuk analisis klaster meliputi semua karakter pertumbuhan dan karakter produksi. Genotipe-genotipe dalam kelompok kriteria ratun tinggi, dipilih kembali untuk mendapatkan genotipe terbaik yang akan diuji di tingkat lapangan.
Pemilihan dilakukan berdasarkan produksi
tanaman utama dan tanaman ratun serta persen hasil ratun yang tinggi terhadap tanaman utama. Analisis ragam dan parameter genetik dihitung berdasarkan metode yang dipakai Singh and Chaudhary (1979) (Tabel 1). Tabel 1. Analisis ragam dan parameter genetik Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Kuadrat Tengah
Nilai Harapan
Ulangan (r)
r-1
KTr
Genotipe (g)
g-1
KTg
δ2e + rδ2g
(g-1)(r-1)
KTe
δ2e
Galat (e)
. 100%
. 100%
dimana: δ2g = ragam genotipe ; δ2p = ragam fenotipe ; r = ulangan ; kuadrat tengah galat
;
KTe
=
KTg = kuadrat tengah genotipe ; KVG = koefisien
keragaman genetik ; KVP = koefisien keragaman fenotip, dan H2bs = heriabilitas
23
arti luas, yang dikelompokkan dengan mengacu standar oleh Stanfield (1983), yaitu : 0,50 < H2<1,00 = tinggi ; 0,20 < H2<0,50 = sedang ; dan H2 < 0,20 = rendah Pelaksanaan Penelitian Benih disemai dalam bak plastik hingga berumur 15 hari, lalu dipindahkan ke dalam ember plastik yang telah disiapkan. Pupuk urea, SP36, dan KCl diberikan dengan dosis 1.6 g urea (250 kg/ha), 0.6 g SP36 (100 kg/ha) dan 0.9 g KCl (150 kg/ha) per ember. Dosis tersebut sesuai rekomendasi pemupukan padi sawah di wilayah BPP Dramaga, Bogor (Sugiyanta 2008). Setengah dari dosis pupuk urea dan seluruh pupuk SP36 dan KCl diberikan pada saat tanam dan sisa urea diberikan empat minggu setelah tanam.
Ketinggian air dipertahankan
setinggi 5 cm hingga pengisian biji. Menjelang panen, tidak dilakukan penyiraman lagi. Pemberian insektisida hanya dilakukan apabila terdapat gejala serangan organisme pengganggu. Panen dilakukan saat 80% bulir pada malai telah berwarna kuning. Setelah panen tanaman utama dilakukan pemotongan tanaman padi setinggi 10 cm dari permukaan tanah, kemudian dilakukan penggenangan dengan ketinggian 5 cm dari permukaan tanah. Pupuk diberikan dua hari setelah panen tanaman utama dengan dosis setengah dari dosis yang diberikan pada tanaman utama. Tunas yang muncul dari bekas potongan tanaman utama dianggap sebagai ratun jika telah memiliki sedikitnya dua daun membuka sempurna, tanpa membedakan ukuran daun. Data yang diamati dari tanaman utama dan ratun meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah isi, persen gabah hampa, umur berbunga, umur panen, bobot 1000 butir dan hasil.
24
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Pertumbuhan Hasil analisis ragam 18 genotipe yang diamati menunjukkan tinggi tanaman utama berkisar antara 111.3 – 168.3 cm. Terdapat satu varietas PTB dan empat galur PTB sawah yang memiliki tinggi tanaman lebih dari 150 cm, yaitu Cimelati, IPB106-F-7-1, IPB106-F-8-1, IPB106-F-10-1, dan IPB106-F-12-1. Kelima genotipe ini berbeda sangat nyata dengan genotipe lainnya.
Semua
varietas PTB yang diuji menghasilkan tanaman utama yang lebih tinggi dibandingkan deskripsi varietas. Untuk galur yang belum dideskripsikan, hasil yang diperoleh saat ini dapat dijadikan informasi untuk mengetahui kisaran tinggi tanaman setiap genotipe. Ratun memiliki tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan tanaman utamanya yaitu 50.0 – 120.7 cm (Tabel 2). Galur-galur PTB sawah yang tinggi tanaman utamanya lebih dari 150 cm cenderung mengalami kerebahan pada saat pematangan biji, namun hal ini tidak dialami varietas PTB Cimelati.
Secara morfologi varietas Cimelati memiliki
batang yang lebih vigor dan tegak, sehingga lebih tahan terhadap kerebahan dibandingkan galur IPB106-F-7-1, IPB106-F-8-1, IPB106-F-10-1, dan IPB106-F12-1. Demikian halnya dengan ratun, galur IPB106-F-8-1 menghasilkan batang tertinggi yaitu 120.7 cm dan berbeda nyata dengan beberapa genotipe lainnya. Secara genetik, keempat galur PTB sawah asal IPB merupakan hasil persilangan antara varietas padi tipe baru Fatmawati dengan varietas lokal asal Kalimantan yaitu Siam Mutiara. Karakter padi lokal tersebut adalah umur panjang, bentuk tanaman tinggi, batang kecil, jumlah anakan sedikit, bentuk gabah ramping, dan rasa nasi pera (Aswidinnoor et al. 2008). Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000) padi lokal pada tahap awal pertumbuhan mengabsorbsi N lebih cepat dan banyak, sehingga pertumbuhan vegetatif lebih tinggi, tetapi jumlah anakan yang dihasilkan rendah, dan tanaman mudah mengalami kerebahan. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah anakan produktif tanaman utama berkisar antara 12.2 – 39.3 anakan. Jumlah anakan tertinggi dihasilkan galur PTB rawa B10214F-TB-7-2-3 dengan jumlah anakan 39.2. Terdapat beberapa genotipe yang menghasilkan anakan > 25 anakan, yaitu Cimelati, Gilirang, BP23F-PN-11, BP205D-KN-78-1-8, B9833C-KA-14, B9858D-KA-55 dan IR61241-3B-B-2.
Genotipe
Varietas PTB
Galur PTB Sawah
Galur PTB Rawa
Tinggi Tanaman (cm) TU
Jumlah anakan produktif
R
TU
Umur berbunga
R
TU
Ciapus Cimelati Fatmawati Gilirang
127.3 152.3 129.3 132.7
bc a bc b
67.5 76.7 91.3 76.0
abc abc abc abc
21.3 28 18.2 35.2
defgh bcdef fgh ab
9.5 30.0 13.7 5.7
bc a abc c
85.7 70.7 82.0 84.7
ab fg abcd abc
19 19 17 19
IPB106-F-7-1 IPB106-F-8-1 IPB106-F-10-1 IPB106-F-12-1 BP23F-PN-11 BP138F-KN-23 BP205D-KN-78-1-8 BP355E-MR-45 BP360E-MR-79-PN-2
168.3 153.3 154.7 155.3 127.0 125.3 135.0 129.7 111.3
a a a a bc bc b bc c
110.3 120.7 106.0 75.3 64.0 66.0 99.3 57.5 51.0
ab a ab abc bc bc abc bc c
19.3 20.8 12.2 25.2 28.3 22.8 28.3 17.3 18.7
efgh defgh h cdefg bcde defg bcde gh efgh
22.3 9.7 25.0 18.7 6.0 7.5 11.0 6.0 8.5
abc bc ab abc c bc bc c bc
67.7 75.0 77.7 81.7 84.3 87.3 80.0 81.3 82.3
g ef de abcd abc a bcde abcd abcd
20 15 18 18 19 18 17 20 17
B9833C-KA-14 B9852E-KA-66 B9858D-KA-55 B10214F-TB-7-2-3 IR61241-3B-B-2
112.0 129.7 119.7 120.3 124.7
c bc bc bc bc
79.7 59.0 50.0 -
abc bc c
28.2 23.5 34.7 39.2 30.2
bcde defg abc a abcd
9.7 7.0 7.0 -
bc bc bc
79.0 80.0 79.7 81.0 83.7
cde bcde bcde bcde abcd
18 16 14
Ket : - = tanaman tidak menghasilkan ratun; TU = tanaman utama; R = ratun. Angka dalam kolom yang sama yang dikuti dengan huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %.
Ratun yang dihasilkan dari setiap genotipe memiliki jumlah anakan produktif lebih sedikit dibandingkan tanaman utamanya yaitu 5.7 – 30.0 anakan. Jumlah anakan produktif tertinggi dihasilkan varietas Cimelati. Terdapat tiga genotipe yang mampu menghasilkan anakan ratun > 20 anakan, yaitu Cimelati, IPB106-F7-1dan IPB106-F-10-1 (Tabel 2). Umur berbunga dan umur panen tanaman utama hampir semua genotipe yang diuji tidak berbeda nyata, kecuali varietas Cimelati dan genotipe IPB106-F7-1 yang berbeda sangat nyata dengan genotipe lainnya. Umur berbunga genotipe IPB106-F-7-1 adalah 67.7 hari dan umur panen 96.0 hari dan tergolong sangat genjah. Menurut Irianto et al. (2009) genotipe tergolong genjah yaitu 105 – 124 hari.
Tanaman ratun memiliki umur panen yang lebih pendek dibandingkan
tanaman utama, yaitu 59.0 – 77.0 hari (rata-rata 68.0 hari). Umur tanaman ratun umumnya lebih pendek dibandingkan tanaman utama, hal ini disebabkan ratun memiliki fase pertumbuhan yang berbeda dengan tanaman utama. Pada tanaman utama terdapat tiga fase pertumbuhan, yaitu fase vegetatif, reproduktif dan pemasakan.
Ratun memiliki dua fase, yaitu
fase
reproduktif dan pemasakan. Kedua fase ini umumnya berlangsung sama pada semua genotipe padi. Fase yang lebih pendek disebabkan munculnya anakan ratun sering diikuti atau bersamaan dengan keluarnya malai atau bunga. Vergara (1995) menyatakan umur tanaman ratun akan berada pada kisaran 65 hari yaitu selama 35 hari untuk fase reproduktif dan 30 hari untuk fase pemasakan. Secara visual tunas ratun mulai keluar pada hari ke-2 hingga hari ke-7, dengan jumlah anakan yang muncul paling banyak terjadi pada hari kelima. Pada hari ketujuh ratun sudah mulai bercabang. Perbedaan waktu keluar ratun dan laju pertumbuhan ratun tampaknya sangat tergantung pada kondisi tunggul tanaman utama. Secara morfologi anakan ratun dapat keluar dari setiap buku sehingga jumlah anakan ratun dapat melebihi tanaman utamanya, namun besar kecilnya batang atau anakan yang dihasilkan sangat tergantung dengan cadangan karbohidrat yang tersisa pada tanaman utama setelah panen (Mahadevappa dan Yogeesha, 1988).
Komponen Produksi Panjang malai tanaman utama berkisar antara 23.9 – 33.1 cm, lebih panjang dibandingkan panjang malai ratun yang berkisar antara 13.0 – 31.0 cm. Galurgalur PTB sawah asal IPB yaitu IPB106-F-7-1; IPB106-F-8-1; IPB106-F-10-1, IPB106-F-12-1 menghasilkan malai yang lebih panjang dibandingkan genotipe lainnya, dan berbeda sangat nyata dengan beberapa genotipe lain khususnya galurgalur PTB rawa. Terdapat genotipe yang panjang malai ratunnya hampir sama dengan tanaman utama yaitu Fatmawati, IPB106-F-8-1, BP205D-KN-78-1-8 dan B9833C-KA-14 (Tabel 2). Keempat genotipe tersebut diduga dapat menghasilkan ratun tinggi, karena panjang malai umumnya berkorelasi dengan jumlah gabah per malai. Zhao-wei (2003) menjelaskan bahwa sebagian besar N pada tunggul dan bagian lain termasuk daun dan selubung batang ratun diangkut ke malai untuk pengisian biji, sehingga panjang malai meningkat dan pengisian butir ratun tinggi. Jumlah gabah total per malai berkisar antara 122.7 – 389.0 butir/malai. Jumlah gabah total tanaman utama galur IPB106-F-7-1, IPB106-F-8-1, IPB106-F10-1, dan IPB106-F-12-1 berkisar antara 296.7-389.0 butir/malai. Hasil ini sesuai dengan kriteria PTB yang diinginkan, yang berkisar antara 250-300 butir/malai. Pada ratun, jumlah gabah total umumnya lebih rendah dibandingkan tanaman utamanya. Terdapat genotipe yang menghasilkan jumlah gabah total ratun > 200 butir/malai, yaitu galur IPB106-F-7-1.
Hal menarik terjadi pada genotipe
BP138F-KN-23, BP360E-MR-79-PN-2, B9852E-KA-66 dan B9858D-KA-55. Keempat genotipe ini menghasilkan jumlah gabah total ratun yang sama atau lebih tinggi dibandingkan tanaman utamanya. Dalam kaitan ini, keempat genotipe tersebut diduga
memiliki stabilitas yang tinggi dalam kemampuannya
menghasilkan biji ratun yang setara dengan tanaman utamanya. Ratun beberapa galur PTB sawah dan varietas PTB secara rata-rata mampu menghasilkan gabah yang lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe lainnya. Jumlah gabah isi tanaman utama berkisar 65.3 - 266.3 butir. Terdapat genotipe yang memenuhi kriteria sebagai padi ideal seperti yang dikemukakan Zhengjin et al. (2005), yaitu menghasilkan jumlah gabah isi per malai lebih dari 160 butir. Genotipe tersebut adalah varietas Ciapus, galur IPB106-F-7-1, IPB106-
Panjang malai (cm)
Genotipe
Varietas PTB
Ciapus Cimelati Fatmawati Gilirang
Galur PTB Sawah
IPB106-F-7-1 IPB106-F-8-1 IPB106-F-10-1 IPB106-F-12-1 BP23F-PN-11 BP138F-KN-23 BP205D-KN-78-1-8 BP355E-MR-45 BP360E-MR-79-PN-2
Galur PTB Rawa
B9833C-KA-14 B9852E-KA-66 B9858D-KA-55 B10214F-TB-7-2-3 IR61241-3B-B-2
28.6 30.7 30.4 27.0
TU abcde abc abcd bcde
14.0 20.3 29.7 21.3
R gh cdefgh ab bcdefgh
33.1 31.4 31.2 32.1 25.8 26.1 26.7 25.0 25.8
a ab ab a de cde bcde e de
28.0 31.0 23.0 27.0 19.0 15.5 24.0 13.5 13.0
abc a abcdef abcd defgh fgh abcde h h
24.0 25.0 23.9 25.5 24.7
e e e e e
22.0 17.5 18.0 -
bcdefg fgh fgh
TU 289.3 abc 208.0 bcd 122.7 d
160.5 158.7 97.7
abc abc abc
TU 172.0 abc 123.3 c 79.3 c
220.0
bcd
98.3
abc
127.7
c
380.3 389.0 296.7 317.3 193.3 180.0 185.7 164.7
a a abc ab bcd bcd bcd bcd
227.8 193.0 139.3 38.0 152.0 183.5 145.3 151.5
a ab abc c abc ab abc abc
263.3 266.3 162.3 171.0 93.0 108.5 96.0 82.7
ab a bc abc c c c c
137.7
cd
145.5
abc
70.2
c
158.3 158.7 177.7 221.0
bcd bcd bcd bcd
77.3 162.5 177.0 -
bc abc ab
68.0 65.3 101.7 146.3
c c c c
223.3
bcd
-
152.0
c
Ket : - = tanaman tidak menghasilkan ratun; TU = tanaman utama; R = ratun. dalam kolom yang sama yang dikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %.
Jumlah gab
Total gabah/malai R
Angka
F-8-1, IPB106-F-10-1, dan IPB106-F-12-1.
Jumlah gabah isi ratun genotipe
BP138F-KN-23, BP205D-KN-78-1-8, B355E-MR-45, BP360E-MR-79-PN-2 dan B9852E-KA-66 lebih tinggi dibandingkan tanaman utamanya (Tabel 3). Fenomena lain yang tampak dari hasil pengamatan adalah tingginya persen gabah hampa, yang berkisar antara 21.6 – 60.1%. Khush (1996) menyatakan terdapat tiga faktor penting yang mempengaruhi proses pengisian biji pada tanaman padi, yaitu : 1) fotosintat yang dihasilkan organ tanaman yang berperan sebagai source, 2) sistem translokasi dari source ke sink, dan 3) akumulasi asimilat pada sink. Pada PTB tingginya gabah hampa diduga disebabkan sink yang terlalu besar dibandingkan source, yang mengakibatkan gangguan pengisian biji, sehingga persen gabah hampa tinggi. Beberapa alasan rendahnya pengisian biji pada PTB adalah rendahnya efisiensi partisi asimilat ke biji, dan terbatasnya seludang pembuluh untuk pengangkutan asimilat ke biji (Kobata dan Iida 2004; Peng et al. 1999).
Suhu yang tinggi selama penelitian, mencapai 43.0 oC diduga turut
mempengaruhi tingginya jumlah gabah hampa.
Suhu tinggi akan memicu
respirasi tinggi menyebabkan hilangnya hasil fotosintesis. Suhu tinggi (31.5 – 36.0 oC) yang terjadi selama pembungaan meningkatkan jumlah polen steril, yang mengakibatkan jumlah gabah hampa tinggi (Matsui et al. 1997). Demikian juga pada fase pemasakan, suhu tinggi antara 32.0 - 40.0 oC menurunkan jumlah gabah dan menekan gabah isi, serta mengurangi kualitas hasil (Zakaria et al. 2002). Genotipe-genotipe yang mampu menghasilkan ratun dengan jumlah gabah tinggi setara dengan tanaman utama, ternyata memiliki persen gabah hampa yang cukup tinggi, walaupun lebih rendah dibandingkan kehampaan pada tanaman utamanya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa faktor pembatas produktivitas dalam pengisian biji tanaman ratun mirip dengan faktor pembatas pengisian biji pada tanaman utamanya. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan produksi pada tanaman ratun dapat didekati dengan tata cara meningkatkan produktivitas pada tanaman utama. Bobot 1000 butir tanaman utama berkisar antara 17.4 g - 30.2 g dan tidak berbeda nyata antar genotipe, kecuali bobot 1000 butir galur BP138F-KN-23 yang nyata berbeda dengan sebagian besar genotipe, dengan bobot 30.2 g.
Pada
varietas Ciapus, Cimelati, Fatmawati dan Gilirang, bobot 1000 butir yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan diskripsi varietas (Suprihatno et al. 2007). Bobot 1000 butir ratun semua genotipe lebih rendah dibandingkan tanaman utama. Genotipe IPB106-F-8-1, BP360E-MR-79-PN-2, dan BP23F-PN-11, menghasilkan bobot gabah ratun 1000 butir yang setara dan lebih tinggi dibandingkan tanaman utamanya (Tabel 4). Tabel 4. Bobot 1000 butir dan hasil tanaman utama dan ratun 18 genotipe padi di rumah kaca, 2008. Genotipe Varietas PTB
Galur PTB Sawah
Galur PTB Rawa
Ciapus Cimelati Fatmawati Gilirang IPB106-F-7-1 IPB106-F-8-1 IPB106-F-10-1 IPB106-F-12-1 BP23F-PN-11 BP138F-KN-23 BP205D-KN-78-1-8 BP355E-MR-45 BP360E-MR-79-PN-2 B9833C-KA-14 B9852E-KA-66 B9858D-KA-55 B10214F-TB-7-2-3 IR61241-3B-B-2
Bobot 1000 butir (g) TU R 23.9 ab 19.6 ab 24.6 ab 19.9 ab 23.8 ab 15.7 cdef 21.4 b 13.0 f 21.3 b 15.2 def 17.4 b 22.0 a 19.7 b 14.1 ef 20.8 b 13.2 f 20.3 b 19.9 ab 30.2 a 20.3 ab 21.9 b 15.2 def 21.2 b 18.9 abc 18.6 b 18.2 bcd 22.9 ab 17.0 bcde 19.4 b 17.1 bcde 23.5 ab 19.1 abc 22.7 ab - 19.0 b - -
Bobot gabah/rumpun (g) TU R 25.6 abc 18.3 bcd 48.2 abc 25.5 abc 26.4 abc 13.2 cd 28.4 abc 15.6 cd 18.4 bc 28.9 ab 32.1 abc 17.6 bcd 28.3 abc 31.2 a 28.4 abc 11.7 d 41.8 ab 13.8 cd 30. 7 abc 12.7 cd 31.5 abc 10.4 D 16.1 c 15.9 Bcd 27.0 abc 16.6 Bcd 48.5 a 11.6 D 24.7 abc 19.4 abcd 37.7 abc 16.0 Bcd 41.9 ab - 29.0 abc - -
Ket : - = tanaman tidak menghasilkan ratun; TU = tanaman utama; R = ratun; HST = hasil setelah tanam; untuk ratun hasil setelah panen tanaman utama. Angka dalam kolom yang sama yang dikuti dengan hurup yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %.
Genotipe yang menghasilkan bobot gabah per rumpun tertinggi adalah B9833C-KA-14 yaitu 48.5 g sedang genotipe BP355E-MR-45 terendah yaitu 16.1 g, dan tidak berbeda nyata antar genotipe. Galur IPB106-F-7-1 dan IPB106F-10-1, mempunyai bobot gabah per rumpun ratun melebihi tanaman utamanya (Tabel 4). Nilai Duga Ragam Genetik Tanaman Utama Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata genotipe terhadap semua karakter yang diamati, dimana karakter-karakter tersebut merupakan tolak ukur pertumbuhan tanaman padi.
Dengan demikian hasil
analisis menunjukkan bahwa faktor genetik berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan tanaman padi. Berdasarkan nilai koefisien keragaman genotipe (KVG), yang merupakan tolak ukur variabilitas genetik tanaman, diperoleh nilai koefisien keragaman genotipe (KVG) masing-masing karakter berkisar antara 4.16-39.60%, yang ditunjukkan oleh karakter umur panen (terendah) dan jumlah gabah isi/malai (tertinggi). Jika mengacu kepada kriteria KVG relatif menurut Mangoendidjoyo (2003), maka nilai tersebut berada pada kisaran rendah ( 0 < x < 25% ) dan agak rendah ( 25% < x < 50% ), tetapi dengan menetapkan nilai relatif berdasarkan hasil KVG yang diperoleh yaitu 0 – 39.60% sebagai nilai absolut, maka nilai absolut tertinggi adalah 39.60% akan sama dengan nilai relatif 100%; sehingga kriteria KVG yang diperoleh adalah rendah (0.0% < x < 9.90%, agak rendah (9.90% < x < 19.80%), cukup tinggi (19.08% < x < 29.70%) dan tinggi (29.70% < x < 39.60%). Berdasakan kriteria ini, maka karakter yang tergolong rendah ditunjukan oleh empat karakter yaitu: umur berbunga, umur panen, bobot 1000 butir dan bobot gabah hampa/malai. Terdapat tiga karakter yang tergolong agak rendah yaitu tinggi tanaman, panjang malai dan jumlah gabah/rumpun (hasil). Dua karakter tergolong cukup tinggi yaitu jumlah anakan produktif dan jumlah gabah total/malai. Karakter yang tergolong tinggi adalah jumlah gabah isi/malai (Tabel 5). Karakter jumlah anakan produktif, jumlah gabah total/malai dan jumlah gabah isi/malai digolongkan sebagai karakter dengan keragaman genetik luas. Hal ini menunjukkan ada variasi yang tinggi dari ketiga karakter, sehingga perbaikan potensi ratun berdasarkan dimanfaatkan
untuk
perbaikan
karakter tersebut cukup baik dan dapat genotipe
potensi
ratun
lebih
lanjut
(Mangoendidjoyo, 2003). Berdasarkan hasil analisis menggunakan ragam genotipe dan ragam fenotipe, diperoleh hasil pendugaan nilai daya waris (heritabilitas) dalam arti luas untuk karakter agronomi, dengan nilai heritabilitas berkisar antara 0.23 – 0.86 (Tabel 5).
Mengacu kepada kriteria Stanfield (1983), maka sebanyak tujuh
karakter menghasilkan nilai heritabilitas yang tergolong tinggi, dan tiga karakter tergolong sedang. Kontribusi ragam genetik terhadap ekspresi karakter dengan golongan tinggi masing-masing adalah 86% untuk umur panen, 84% untuk tingi tanaman, 82% untuk umur berbunga. 76% dan 69% masing-masing untuk jumlah
Tabel 5. Hasil analisis ragam dan ragam genetik karakter agronomi 18 genotipe PTB. Karakter
Rataan
Tinggi tanaman
F hit
MSg
MSe
133.78
7.43 **
790.20
97.55
230.88
Anakan produktif
24.70
4.77 **
170.52
33.21
45.77
Panjang malai
27.24
2.52 *
43.89
15.83
9.35
Jumlah gabah/malai
233.54
2.72 *
16797.34
6661.92
3378.47
10
Jumlah gabah isi/malai
130.50
3.63 *
10915.51
2905.44
2670.02
5
Jumlah gabah hampa/malai
42.86
1.15 *
220.30
181.29
13.00
Umur berbunga
80.20
6.61 **
74.98
10.28
21.57
108.26
8.54 **
67.88
7.02
20.29
Bobot 1000 butir
21.82
1.32 *
25.10
17.89
2.40
Bobot gabah/rumpun (hasil)
33.78
1.32 *
478.15
409.19
22.99
Umur panen
Ket : MSg = kuadrat Kuadrat tengah genotipe, MSe = Kuadrat tengah galat,
σ
2 g
σ g2
= Keragaman genotipe,
σ p2 = Keragaman fenotipe,
KVG = koefisien keragaman genotipe, KVF = Koefisien keragaman fenotipe, H2bs = Heritabilitas, * nyata pada taraf 5 %, ** nyata pada taraf 1 %.
26
30
Kemampuan menghasilkan ratun Analisis klaster menggunakan hierarchical analysis terhadap skor komponen karakter pertumbuhan dan produksi tanaman ratun, diperoleh tiga grup genotipe (Gambar 2), dengan kemampuan menghasilkan ratun tinggi, sedang dan kurang.
Pada grup pertama terdapat sembilan genotipe yang memiliki
kemampuan menghasilkan ratun tinggi yaitu IPB106-F-7-1, IPB106-F-12-1, IPB106-F-8-1,
BP205D-KN-78-1-8,
IPB106-F-10-1,
Gilirang,
Fatmawati,
Cimelati, dan B9833C-KA-14. Sebanyak lima genotipe tergolong menghasilkan ratun sedang, yaitu : BP23F-PN-11, BP355E-MR-45, B9852E-KA-66,
BP360E-MR-79-PN-2,
B9858D-KA-55, dan empat genotipe tergolong kurang atau
tidak menghasilkan ratun, yaitu : BP138F-KN-23, Ciapus, B10214F-TB-7-2-3, dan IR61241-3B-B-2. Pengelompokan
berdasarkan klaster tersebut
dengan penampilan vegetatif dan generatif di rumah kaca.
sejalan
Hal tersebut
disimpulkan dari pertumbuhan yang seragam dan perkembangan tunas yang vigor. Tunas vigor adalah menghasilkan sedikitnya dua daun per anakan ratun.
C
B
A
Gambar 2. Klaster 18 genotipe padi dalam menghasilkan ratun menggunakan Hierarchical Cluster Analysis berdasarkan scoring peubah vegetatif dan generatif (A = tinggi; B = sedang; C = rendah/kurang). Dari sembilan genotipe yang memiliki potensi menghasilkan ratun tinggi, selanjutnya dipilih beberapa genotipe yang akan diuji lebih lanjut di lapangan.
31
Terdapat tiga genotipe yang hasil tanaman utama dan ratunnya tinggi, sehingga persen hasil tanaman utama terhadap ratun juga tinggi atau > 50%.
Ketiga
genotipe tersebut adalah Cimelati, IPB106-F-8-1 dan IPB106-F-10-1 (Tabel 6) Tabel 6. Persen hasil tanaman utama terhadap ratun sembilan genotipe padi potensi hasil ratun tinggi Bobot gabah/rumpun (g) Tanaman Utama (U) Ratun (R)
Kelompok
Genotipe
Varietas PTB
Cimelati Fatmawati Gilirang IPB106-F-7-1 IPB106-F-8-1 IPB106-F-10-1 IPB106-F-12-1 BP205D-KN-78-1-8 B9833C-KA-14
Galur PTB sawah
Galur PTB rawa
48.2 26.4 28.4 18.4 32.1 28.3 28.4 31.5 48.5
abc abc abc bc abc abc abc abc a
25.5 13.2 15.6 28.9 17.6 31.2 11.7 10.4 11.6
abc cd cd ab bcd a d d d
% R/U 52.8 50.1 54.7 157.2 54.7 110.2 41.2 32.9 23.8
Ket : Angka dalam kolom yang sama yang dikuti dengan hurup yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %.
Secara visual tunas-tunas ratun mulai keluar pada hari ke-2 hingga hari ke-7, dengan jumlah anakan yang muncul paling banyak terjadi pada hari kelima.Pada hari ketujuh ratun sudah mulai bercabang. Perbedaan waktu keluar ratun dan laju pertumbuhan ratun tampaknya sangat tergantung pada kondisi tunggul tanaman utama. SIMPULAN Dari 18 genotipe yang diuji, diperoleh sembilan genotipe memiliki kemampuan menghasilkan ratun tinggi, dan sejalan dengan penampilan vegetatif dan generatif di rumah kaca, yaitu : IPB106-F-7-1, IPB106-F-12-1, IPB106-F-81, BP205D-KN-78-1-8, IPB106-F-10-1, Gilirang, Fatmawati, Cimelati, dan B9833C-KA-14. Lima genotipe menghasilkan ratun sedang, yaitu : BP23F-PN11, BP355E-MR-45, BP360E-MR-79-PN-2, B9852E-KA-66, B9858D-KA-55, dan empat genotipe tergolong kurang atau tidak menghasilkan ratun, yaitu : BP138F-KN-23, Ciapus, B10214F-TB-7-2-3, dan IR61241-3B-B-2. Berdasarkan produksi ratun terhadap tanaman utama, maka dari sembilan genotipe terbaik, terpilih tiga genotipe yang memiliki potensi ratun terbaik dan diuji lebih lanjut di lapangan, yaitu Cimelati, IPB106-F-8-1 dan IPB106-F-10-1. Tunas-tunas ratun
32
mulai keluar pada hari ke-2 hingga hari ke-7 setelah panen tanaman utama, dengan jumlah daun 2-4 daun/anakan. Jumlah anakan ratun berkisar 6 – 25 anakan/rumpun, dengan rata-rata umur panen 68 hari.
33
KEMAMPUAN MENGHASILKAN RATUN BEBERAPA PADI VARIETAS HIBRIDA DAN INBRIDA Evaluation of Ratooning Ability of Hybrid and Inbred Rice Varieties ABSTRAK Kemampuan menghasilkan ratun 12 varietas padi hibrida dan inbrida berdasarkan karakter agronomi dievaluasi di rumah kaca. Tujuan penelitian mendapatkan varietas padi hibrida dan inbrida yang memiliki potensi ratun tinggi. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi ratun varietas padi hibrida lebih baik dibandingkan varietas inbrida dengan rata-rata produksi 75.2% dari tanaman utama. Berdasarkan perbandingan antara produktivitas relatif dan produksi riil ratun yang diamati (bobot biji per rumpun), diperoleh enam varietas padi yang tergolong sangat potensial, tiga varietas menengah, dan tiga varietas dianggap rendah. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa varietas padi hibrida memiliki potensi ratun yang tinggi dan berpeluang untuk dikembangkan dalam meningkatkan produktivitas padi dengan sistem ratun. Benih padi hibrida dapat dimanfaatkan untuk dua kali panen. Tunas ratun mulai keluar 5-6 hari setelah panen, dengan 2-4 daun per malai. Jumlah anakan ratun berkisar 5.5-26.0 per rumpun, dengan rata-rata waktu panen adalah 69 hari setelah panen tanaman utama. ABSTRACT The ratooning ability of 12 hybrid and inbred rice varieties was evaluated in green house based on agronomic characters. The purpose of the research was to determine hybrid and inbred rice varieties having high ratoon potential. Experiment was arranged in a randomized block design with three replications. The results showed that hybrid rice varieties had better productivity both main crop and ratoon, with an average yield of ratoon 75.2% of main crops. Based on analysis of relative and real productivity of ratoon, six varieties were considered as high, three varieties were medium, and three varieties were considered as low in ratoon yield. The results indicat that hybrid rice varieties have good potential to improve productivity in a ratoon system. Ratoon growth started at 5-6 days after harvest, with 2-4 leaves per panicle. The number of ratoon tiller ranged from 5.5 to 26.0 per hill. Average time of maturity was 69 days after harvest of the main crop. Key words : agronomic characters, ratooning ability, ratoon system
34
PENDAHULUAN Upaya yang
dilakukan untuk meningkatkan produktivitas padi nasional
antara lain penggunaan varietas padi berdaya hasil tinggi, dan penyediaan input produksi yang murah dan mudah diperoleh, seperti benih, pupuk dan pestisida. Dalam budidaya padi, penggunaan varietas yang diikuti dengan pemberian input produksi yang cukup, secara nyata meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Varietas padi berdaya hasil tinggi antara lain varietas hibrida dan varietas unggul baru (inbrida). Kedua kelompok ini memiliki keunggulan masing-masing, dan dapat meningkatkan indeks pertanaman 2-3 kali per tahun pada sawah beririgasi (Satoto dan Suprihatno 2008). Varietas padi hibrida merupakan keturunan pertama (F1) dari persilangan antara dua galur padi yang berbeda yaitu galur mandul jantan (cytoplasmic male sterile/CMS line) sebagai tetua betina, dengan galur pemulih kesuburan (restorer line) sebagai tetua jantan (Satoto dan Suprihatno 2008). Dengan demikian, sifatsifat varietas padi hibrida ditentukan oleh sifat-sifat kedua tetuanya. Keunggulan padi hibrida adalah hasil yang lebih tinggi dibanding padi inbrida dan vigor tanaman lebih baik sehingga lebih kompetitif terhadap gulma (Virmani et al. 1997). Dari aspek fisiologi, aktivitas perakaran dan area fotosintesis padi hibrida lebih luas, intensitas respirasi lebih rendah dan translokasi asimilat lebih tinggi. Karakteristik morfologi padi hibrida menunjukkan sistem perakaran lebih kuat, anakan banyak, jumlah gabah per malai dan bobot 1000 butir gabah tinggi. Kelemahan padi hibrida antara lain : harga benih mahal, petani harus membeli benih yang baru setiap tanam, karena benih hasil sebelumnya tidak dapat dipakai untuk pertanaman berikutnya, tidak setiap galur atau varietas dapat dijadikan sebagai tetua padi hibrida.
Di sawah irigasi, produksi padi hibrida mampu
meningkatkan produktivitas 10%-15% dibanding padi inbrida (Suprihatno et al. 1994). Varietas unggul (inbrida) merupakan teknologi yang mudah, murah, dan aman dalam penerapan, serta efektif meningkatkan hasil. Varietas inbrida, dihasilkan dari persilangan galur atau tanaman terseleksi (termasuk landrace) dan dilanjutkan dengan persilangan acak selama beberapa generasi (penggaluran) hingga diperoleh galur murni. Teknologi tersebut murah dan mudah karena benih
35
dapat diusahakan sendiri oleh petani, tahan hama dan penyakit serta relatif aman terhadap lingkungan. Menurut Susanto (2003) sebanyak 150 varietas padi inbrida telah dihasilkan dan ditanam pada sekitar 80% total areal padi di Indonesia. Hampir semua genotipe padi, termasuk varietas hibrida dan inbrida, mampu menghasilkan ratun, yaitu rumpun tanaman padi yang telah dipanen dan tumbuh kembali menghasilkan anakan baru (Wu et al. 1998; Nakano dan Morita 2007). Dalam kaitannya dengan perakitan varietas padi di Indonesia, keunggulan varietas dalam menghasilkan ratun dan besarnya produksi yang dapat disumbangkan dari ratun belum banyak diperhatikan, padahal budidaya padi dengan ratun, mensyaratkan input murah dan mudah, serta menguntungkan. Ratun berpotensi meningkatkan produksi hingga 66% per musim tanam jika dilakukan pengelolaan yang baik (Nair dan Rosamma 2002; Santos et al. 2003). Informasi ratun di Indonesia sangat terbatas. Studi-studi tentang ratun padi selama ini telah banyak dilakukan di India, Cina dan Filipina yang memiliki genotipe dan lingkungan atau kondisi iklim yang berbeda dengan di Indonesia. Genotipe atau varietas yang mempunyai kemampuan tinggi perlu diidentifikasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi kemampuan padi varietas hibrida dan inbrida Indonesia dalam menghasilkan ratun, berdasarkan karakter-karakter agronominya. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di rumah kaca Kebun Percobaan IPB, Cikabayan dan di Laboratorium Terpadu, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari bulan September 2007 – Mei 2008. Bahan Penelitian Bahan tanaman yang digunakan adalah 12 genotipe padi yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, yaitu: enam varietas hibrida (Hipa-3, Hipa-4, Hipa-5, Hipa-6, Maro, dan Rokan) dan enam varietas inbrida (Batanghari, Ciherang, IR 42, Margasari, Mekongga dan Sintanur). Deskripsi varietas tersebut telah dibahas oleh Suprihatno et al. (2007).
36
Metode Penelitian Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 12 perlakuan varietas padi, dan diulang tiga kali, sehingga total terdapat 36 satuan percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas dua ember plastik berwarna hitam dan setiap ember ditanam satu bibit. Jumlah ember yang digunakan sebanyak 72 buah. Ember-ember tersebut diisi campuran tanah sawah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 (v/v), dengan bobot total sekitar 10 kg/ember. Data berupa tinggi tanaman, anakan produktif, panjang malai, gabah isi, gabah hampa, umur berbunga, umur panen, bobot 1000 butir dan hasil dari tanaman utama dan ratun, diolah dengan program SAS 9.0 (uji F). Jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%. Untuk mendapatkan kelas ratun tinggi, sedang dan rendah, dibuat kriteria berdasarkan produksi relatif dan produksi riil (Tabel 7). Tabel 7. Kriteria potensi ratun tinggi, sedang dan rendah berdasarkan produksi relatif dan produksi riil. Kriteria Produksi relatif Produksi riil Potensi ratun tinggi
> 50% dari tanaman utama Potensi ratun sedang 30-49% dari tanaman utama Potensi ratun rendah 10-29% dari tanaman utama
> 2 t/ha atau > 12.5 g/rumpun 1-2 t/ha atau 6.25-12.5 g/rumpun < 1 t/ha atau < 6.5 g/rumpun
Pelaksanaan Penelitian Benih disemai dalam bak plastik, hingga berumur 15 hari.
Bibit
dipindahkan ke dalam ember yang telah disiapkan, sebanyak satu bibit per ember. Pupuk urea, SP36 dan KCl diberikan dengan dosis 1.6 g urea (250 kg/ha), 0.6 g SP36 (100 kg/ha) dan 1.5 g KCl (150 kg/ha) per ember, sesuai rekomendasi pemupukan padi sawah di wilayah BPP Dramaga, Bogor (Sugiyanta, 2008). Setengah dari dosis pupuk urea dan seluruh pupuk SP36 dan KCl diberikan pada saat tanam, dan sisa urea diberikan pada empat minggu setelah tanam. Penyiraman dilakukan setiap 2-3 hari atau ketika air di permukaan tanah mulai mengering, penambahan air dilakukan sampai ketinggian air sekitar 5 cm. Pemeliharaan dilakukan secara intensif, dan insektisida diberikan apabila terdapat gejala serangan organisme pengganggu.
37
Panen dilakukan saat 80% bulir pada malai berwarna kuning. Setelah panen tanaman utama, dilakukan pemotongan setinggi 10 cm dari permukaan tanah, kemudian dilakukan penggenangan air dengan ketinggian 5 cm. Pupuk urea, SP36 dan KCl diberikan sebanyak setengah dosis tanaman utama, dua hari setelah panen. Tunas dianggap sebagai anakan ratun jika telah memiliki sedikitnya dua daun yang telah membuka sempurna. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakter Agronomi Tanaman Utama dan Ratun Pada fase vegetatif tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif tanaman utama, berkisar antara 125.7-140.0 cm dan 24.7-33.7 anakan untuk varietas hibrida; dan 108.3-141.7 cm dan 16.7-32.7 anakan untuk varietas inbrida. Pada ratun, tinggi tanaman berkisar antara 64.7-95.3 cm dan jumlah anakan produktif 6.7-26.0 untuk varietas hibrida; dan 52.5-105.3 cm dan 5.5-13.3 untuk varietas inbrida. Hasil analisis menunjukkan kedua karakter tesebut tidak berbeda nyata pada semua varietas, kecuali varietas Hipa-6 dan Ciherang (Tabel 8). Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif ratun varietas hibrida lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida, yang keduanya lebih rendah dibandingkan tanaman utama. Kondisi ini mungkin disebabkan perbedaan jumlah asimilat yang tersisa pada tunggul setelah panen tanaman utama. Jika cadangan asimilat tinggi dan tunggul bekas panen tetap vigor, maka tunas-tunas ratun akan muncul menjadi anakan ratun. Sebaliknya jika cadangan asimilat rendah atau kurang, pertumbuhan anakan akan terhambat dan perlu diberikan tambahan hara untuk memacu pertumbuhan tunas ratun. Islam et al. (2008) menyebutkan pemupukan pada tanaman utama dan ratun merupakan suplai hara bagi tanaman yang memacu perumbuhan tunas ratun. Ini sejalan dengan yang dilaporkan Dobermann and Fairhurst (2000), pupuk N dapat memacu pertumbuhan vegetatif, terutama tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif.
Terkait dengan varietas hibrida dan
inbrida Yang et al. (1999) menyebutkan total N yang diserap oleh anakan padi varietas hibrida lebih besar dibandingkan varietas inbrida. Sekitar 15-20% dari total N yang diakumulasikan pada tanaman diserap oleh padi varietas hibrida, sedangkan varietas inbrida hanya menyerap 6-7% dari total N yang diakumulasikan pada tanaman.
unggul. Genotipe Tanaman Ratun Hibrida Hipa-3 Hipa-4 Hipa-5 Hipa-6 Maro Rokan Inbrida Batanghari Ciherang IR42 Margasari Mekongga Sintanur Tanaman Utama Hibrida Hipa-3 Hipa-4 Hipa-5 Hipa-6 Maro Rokan Inbrida Batanghari Ciherang IR42 Margasari Mekongga Sintanur
Tinggi Tan (cm)
Jumlah Anakan Produktif
92.0 85.0 74.7 64.7 95.3 89.0 52.5 70.5 105.3 76.0 74.0
ab abc abc c ab abc c abc a abc abc
11.7 26.0 19.7 6.7 18.7 15.7 6.0 5.5 9.0 13.3 6.5
128.0 133.0 128.7 135.3 125.7 140.0 127.3 119.0 141.7 126.0 108.3 127.0
ab ab ab ab ab a ab bc a ab c ab
24.7 33.7 27.3 30.0 29.3 32.7 32.3 25.7 27.0 21.7 16.7 21.0
bcd a ab d abc bcd d d cd bcd d
Panjang Malai (cm) 18.7 19.7 20.3 14.0 19.3 22.7 18.5 15.5 25.0 22.3 14.5
ab ab ab b ab a ab b a a b
ab 30.0 a a 28.0 ab ab 28.2 ab ab 29.9 a ab 30.3 a a 30.1 a a 25.7 ab ab 27.4 ab ab 26.5 ab ab 26.2 ab b 24.5 b ab 30.7 a Ket : - = tidak menghasilkan ratun. Angka dalam kolom huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %.
Gabah Total 113.0 140.3 176.0 75.3 98.0 203.0 209.0 147.5 173.3 97.7 206.5
ab ab ab b ab a a ab ab ab a
256.3 abcd 253.7 abcd 289.7 ab 314.0 a 264.7 abc 234.7 abcd 187.0 bcde 106.7 e 194.7 bcde 177.3 bcde 152.0 cde 147.3 de yang sama yang
Gabah Isi 65.3 124.7 141.3 62.0 87.7 193.0 108.0 99.0 101.7 44.3 138.5
b ab ab b ab a ab ab ab b ab
163.3 ab 165.3 ab 155.0 ab 193.3 a 158.7 ab 132.0 abc 92.0 bc 53.8 c 112.3 abc 114.3 abc 93.2 bc 113.3 abc dikuti dengan
Gabah Hampa (%)
U Be (
42.2 11.2 19.7 17.7 10.5 4.9 48.3 32.9 41.3 54.6 32.9
ab b ab b b b a ab ab ab ab
18. 18. 15. 20. 18. 21. 18. 15. 19. 19. 20.
36.4 47.6 46.5 38.4 40.1 43.9 50.8 49.7 42.5 19.4 38.6 23.3
abcd ab a ab abc abcd abcd de cde e cde e
82. 80. 78. 83. 81. 82. 73. 81. 81. 84. 80. 89.
42
Panjang malai dan jumlah gabah isi tanaman utama varietas hibrida berkisar antara 28.0-30.3 cm dan 132.0-193.3 butir. Hipa-6 merupakan varietas yang memiliki jumlah gabah terbanyak dalam kelompok hibrida yaitu 193.3 butir. Hasil analisis menunjukkan baik panjang malai maupun jumlah gabah isi dari semua varietas hibrida tidak berbeda nyata.
Demikian juga dengan varietas
inbrida yang menghasilkan panjang malai antara 24.5-30.7 cm, dan jumlah gabah isi antara 53.8-114.3 butir. Pada kelompok inbrida Ciherang memiliki jumlah gabah isi yang paling rendah yaitu 53.8 butir. Jumlah gabah total dan jumlah gabah isi tanaman utama varietas hibrida lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida. Hasil analisis kedua karakter ini tidak berbeda nyata, baik varietas hibrida maupun inbrida tanaman utama dan ratun. Ratun varietas hibrida Rokan menghasilkan jumlah gabah isi setara dengan jumlah gabah isi tertinggi pada tanaman utama yang dihasilkan Hipa-6, dan melebihi jumlah gabah isi tanaman utamanya sendiri.
Hasil ini diduga
berhubungan dengan jumlah asimilat yang dihasilkan dari proses fotosintesis, yang ditranslokasikan ke bagian pengisian biji yang turut menentukan jumlah gabah isi. Menurut Ai-Zhong et al. (2007) sekitar 65-80% dari hasil fotosintesis daun didistribusikan ke ruas kedua dan ketiga ratun, yang berkorelasi positif dengan hasil dan komponen hasil ratun. Nakano et al. (1997) juga melaporkan secara fisiologi padi varietas hibrida memiliki sourse dan sink yang besar, sistem perakaran yang kuat, dan kemampuan menghasilkan biomassa tinggi, sehingga kandungan karbohidrat yang dapat dimanfaatkan tinggi. Umur berbunga tanaman utama varietas hibrida dan inbrida berkisar antara 73.7 – 89.0 hari dan tidak berbeda nyata antar varietas, kecuali varietas Batanghari dengan umur terpendek yaitu 73.7 hari. Demikian juga dengan umur berbunga ratun yang tidak berbeda nyata, baik hibrida maupun inbrida. Umur berbunga ratun lebih cepat dibandingkan tanaman utama yaitu 15.5-21.0 hari setelah penen tanaman utama. Pada ratun bunga dapat muncul bersamaan dengan keluarnya daun, terutama pada tinggi pemotongan yang lebih tinggi, sehingga umur berbunga mencapai 50% sangat cepat.
Kondisi ini terkait dengan fase
pertumbuhan ratun yang tidak melewati fase vegetatif (Vergara 1995).
43
Umur panen tanaman utama varietas hibrida dan inbrida tergolong genjah yaitu berkisar antara 104.3 – 110.3 hari dan tidak berbeda nyata antar varietas. Secara umum umur penen ratun lebih pendek dibandingkan tanaman utama. Umur panen ratun varietas hibrida lebih pendek dibandingkan inbrida, dan berbeda nyata antar varietas (Tabel 8). Rata-rata selisih antara umur berbunga dan umur panen adalah 24 hari untuk tanaman utama dan 47 hari untuk ratun. Dalam pola pertumbuhan tanaman padi yang berasal dari benih/bibit dikenal tiga fase yang salah satunya adalah fase pematangan, yaitu fase pertumbuhan tanaman padi, dimulai dari pembungaan hingga panen. Fase ini umumnya berlangsung selama 30 hari dan relatif sama untuk setiap varietas (Vergara 1995). Pada tanaman utama hal ini tampak terjadi, walaupun terdapat perbedaan waktu enam hari, namun tidak berbeda nyata. Pada tanaman ratun, rata-rata selisih antara umur berbunga dan umur panen semua varietas mencapai 47 hari atau lebih panjang 1.5 kali dari tanaman utama. Hal ini diduga terjadi karena bagian tanaman yang berhubungan langsung dengan proses fotosintesis terbatas. Jumlah daun ratun lebih sedikit (2-4 daun) dan lebih kecil serta batang yang lebih pendek dibandingkan tanaman utama. Akibatnya jumlah karbohidrat tersedia yang diperlukan untuk pengisian biji ratun kurang. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyempurnakan pengisian biji tanaman ratun. Kondisi demikian berhubungan juga dengan bobot gabah isi 1000 butir dan bobot gabah per rumpun (hasil) tanaman ratun yang lebih kecil dibandingkan tanaman utama. Rata-rata bobot gabah isi 1000 butir tanaman utama adalah 21.1 g untuk varietas hibrida dan 21.3 g untuk varietas inbrida. Nilai ini tidak berbeda nyata dan lebih tinggi dibandingkan rata-rata bobot 1000 butir ratun, yang hanya 16.4 g, baik untuk varietas hibrida maupun inbrida. Bobot 1000 butir tanaman utama berbeda nyata antar varietas. Rata-rata bobot gabah per rumpun (hasil) varietas hibrida lebih tinggi hingga 57.2% dibandingkan varietas inbrida, dan berbeda nyata antar varietas. Tingginya perbedaan yang dihasilkan antara varietas hibrida terhadap inbrida, diduga berhubungan dengan karakter lain yang juga meningkat, seperti jumlah anakan produktif dan jumlah gabah isi. Tingginya respon varietas hibrida terhadap pemupukan mungkin turut memacu aktivitas ratun dalam
44
pembentukan anakan, meningkatkan jumlah gabah bernas dan berat biji, sekaligus menekan gabah hampa. Beberapa studi membuktikan bahwa pertumbuhan ratun sangat tergantung dengan komposisi dan tingkat dosis pupuk yang diberikan. Untuk menghasilkan ratun yang baik, maka pemupukan tidak hanya diberikan terhadap tanaman utama, tetapi juga pada tanaman ratun (Zhao-wei et al. 2003). Studi lain menyatakan bahwa hanya N yang secara nyata berpengaruh terhadap penampilan tanaman ratun (McCauley et al. 2003). Pemberian N dapat meningkatkan rumpun dan meningkatkan jumlah bulir per rumpun serta hasil tanaman ratun (De Datta dan Bernasor 1988). Kemampuan Menghasilkan Ratun Dari 12 genotipe yang diuji, berdasarkan pengamatan visual diperoleh delapan varietas padi yang mampu menghasilkan ratun dengan baik. Ini terlihat dari pertumbuhan yang seragam dan perkembangan tunas yang baik, dimana setiap tunas yang muncul akan menghasilkan sedikitnya dua daun per anakan ratun. Dari observasi, semua ulangan mampu menghasilkan ratun (konsisten). Ke-8 varietas tersebut terdiri enam varietas hibrida (Hipa-3, Hipa-4, Hipa-5 Ceva, Hipa-6 Jete, Maro, Rokan) dan dua varietas inbrida (Mekongga dan Margasari). Sebanyak tiga varietas tergolong berpotensi ratun sedang (masing-masing dua ulangan mampu menghasilkan ratun) yaitu : Ciherang, IR42, dan Sintanur. Satu varietas berpotensi menghasilkan ratun kurang atau mengalami kematian setelah panen tanaman utama (tidak muncul anakan ratun) yaitu varietas Batanghari. Walaupun dari pengamatan langsung terdapat varietas yang mengalami kematian, namun dalam analisis berdasarkan karakter hasil dari tanaman utama dan ratun (Tabel 9) tetap dimasukkan. Selanjutnya ditentukan produksi relatif dan produksi riil agar diperoleh klaster varietas padi yang memiliki potensi menghasilkan ratun tinggi, sedang dan rendah.
Hasil analisis menunjukkan
terdapat perbedaan kemampuan tiap varietas dalam menghasilkan ratun. Enam varietas dengan kriteria potensi ratun tinggi, yaitu Ciherang, Hipa-4, Hipa-5, Maro, Rokan dan Sintanur. Tiga varietas tergolong potensi ratun sedang yaitu Hipa-3, Margasari dan Mekongga. Tiga varietas tergolong potensi ratun rendah yaitu Hipa-6, Batanghari dan IR42. Untuk pengujian lebih lanjut di lapangan,
45
dipilih dua varietas yang hasil tanaman utama dan ratunnya seimbang. Selain itu berdasarkan pengamatan langsung menghasilkan ratun secara konsisten yaitu varietas Hipa-5 dan Rokan (Tabel 9). Tabel 9. Kriteria hasil ratun berdasarkan bobot gabah per rumpun. Kelompok Hibrida
Unggul
Genotipe
Hasil tan utama (g)
Hasil tan ratun (g)
% hasil ratun thd utama
Hipa-3 Hipa-4 Hipa-5 Hipa-6 Maro Rokan Batanghari Ciherang IR42 Margasari Mekongga Sintanur
60.10 35.00 59.30 25.80 37.10 45.50 23.10 33.20 41.30 31.70 20.40 32.80
13.50 53.10 45.00 6.50 28.50 45.20 0.00 31.30 9.80 12.60 9.60 28.20
22.46 151.71 75.89 25.19 76.82 99.34 0.00 94.28 23.73 39.75 47.06 85.98
Kriteria Hasil Relatif Riil R T T T T T R S T T T T R R T T R S S S S S T T
Keterangan : T = tinggi; S = sedang ; R = rendah Waktu keluarnya ratun baik varietas hibrida maupun inbrida adalah sama, yaitu pada hari ke-5 dan ke-6, dengan jumlah daun per anakan ratun 2-4 daun. Jumlah anakan ratun yang dihasilkan juga bervariasi (Gambar 3).
Beberapa
varietas menunjukkan semakin banyak jumlah anakan ratun, maka batang ratun cenderung lebih kecil, malai lebih pendek dan bentuk biji lebih kecil dibandingkan ratun yang jumlah anakannya lebih sedikit. Bobot 1000 butir dan 60 50 40 30 20 10
waktu kel ratun (hari)
Jumlah anakan
Sintanur
Mekongga
Margasari
IR-42
Ciherang
Batanghari
Rokan
Maro
Hipa-6
Hipa-5
Hipa-4
Hipa-3
0
Hasil (g) ratun
Gambar 3. Grafik waktu keluar ratun, jumlah anakan ratun dan hasil ratun
46
bobot gabah per rumpun (hasil) tidak berbeda nyata, seperti pada varietas Hipa-4 dan Hipa-5. Jumlah anakan varietas Hipa-5 lebih sedikit dibandingkan Hipa-4, namun bobot 1000 butir dan hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata. Secara genetik sifat hibrida melebihi tetuanya dan memiliki vigor yang lebih baik (Satoto et al. 2009). Ini mengindikasikan bahwa peluang pengembangan varietas hibrida dengan sistem ratun tidak hanya mampu meningkatkan produksi dengan sekali tanam dan dua kali panen, tetapi mampu menekan kebutuhan benih untuk dua kali panen. Selain sifat-sifat unggul hibrida yang telah disebutkan sebelumnya, karakteristik varietas hibrida adalah mampu mempertahankan tanamannya tetap hijau setelah panen tanaman utama (McCauley et al. 2006). Faktor lingkungan yang diduga mempengaruhi kemampuan tanaman utama menghasilkan ratun, adalah suhu. Selama penelitian suhu yang mencapai 43oC, diduga menyebabkan cepatnya penuaan dan pengeringan tanaman setelah panen, sehingga terdapat varietas yang mengalami kematian setelah panen tanaman utama dan tidak menghasilkan ratun. Suhu yang tinggi saat pembungaan dapat menganggu perkembangan polen dan mengurangi hasil secara signifikan. Suhu yang sesuai untuk pertumbuhan ratun berkisar antara 21-29 oC (Chauhan et al. 1989). SIMPULAN Potensi ratun varietas hibrida lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida, dengan rata-rata hasil ratun 75.2% dari hasil tanaman utama. Dari 12 varietas padi yang diuji, terdapat empat varietas hibrida memiliki potensi ratun tinggi (Hipa-4, Hipa-5, Maro, Rokan), satu varietas berpotensi sedang (Hipa-3) dan satu varietas berpotensi rendah (Hipa-6). Pada varietas inbrida terdapat dua varietas yang berpotensi ratun tinggi (Ciherang dan Sintanur), dua varietas yang berpotensi sedang (Margasari dan Mekongga), dan dua varietas yang berpotensi rendah (IR42 dan Batanghari). Tanaman ratun mulai muncul pada hari ke-5 dan ke-6 setelah panen tanaman utama, dengan jumlah daun 2-4 daun/anakan. Jumlah anakan ratun berkisar 5.5 – 26.0 anakan/rumpun, dengan rata-rata umur panen 69.0 hari. Untuk uji lanjut di lapangan terpilih varietas Hipa-5 dan Rokan dengan potensi hasil 75.9% dan 99.3% terhadap tanaman utama.
47
STUDI TINGGI PEMOTONGAN PANEN TANAMAN UTAMA TERHADAP PRODUKSI RATUN The Study of Cutting Height on Main Crop to Rice Ratoon Production ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tinggi pemotongan tanaman utama yang efektif meningkatkan hasil ratun beberapa genotipe padi, dan mendapatkan genotipe yang mampu memberikan hasil ratun tertinggi pada tinggi pemotongan tertentu di lahan pasang surut. Metode yang digunakan adalah rancangan acak kelompok faktorial dengan tiga ulangan. Faktor pertama adalah panjang pemotongan yang terdiri atas 10 cm, 20 cm dan 30 cm dari permukaan tanah. Faktor kedua adalah lima genotipe yang terpilih dari percobaan pertama dan kedua, yaitu : Cimelati, Hipa-5, Rokan, IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi antara genotipe dan tinggi pemotongan berpengaruh terhadap hasil ratun. Tinggi pemotongan 20 cm meningkatkan jumlah gabah isi hampir semua genotipe, mempercepat pertumbuhan tunas ratun hingga 1.5 cm/hari dan meningkatkan vigor serta keseragaman pertumbuhan ratun varietas PTB Cimelati, hibrida Hipa-5 dan Rokan, dengan produksi berurutan 3.0 t/ha (57.2%), 2.8 t/ha (60.1%) dan 2.2 t/ha (52.7%). Pada galur PTB IPB106-747-Dj-1 dan IPB106-F-8-1, tinggi pemotongan terbaik adalah 10 cm di atas tanah, dengan hasil ratun tertinggi masing-masing 2.1 t/ha (45.8%) dan 1.5 t/ha (35.4%) terhadap tanaman utama. Kata kunci : hasil, ratun, tinggi pemotongan ABSTRACT The objectives of the study was to determine the cutting height of main crop to increase yield of rice ratoon, and to select genotypes with high productivity on the tidal swamp land. The method used was a factorial randomized block design with three replications. The first factor was the cutting height of 10 cm, 20 cm and 30 cm from soil surface. The second factor was five genotypes selected from the first and second experiment, namely: Cimelati, Hipa-5, Rokan, IPB106-7-47-DJ-1 and IPB106-F-8-1. The results showed that combination of genotypes and cutting height affected ratoon yield. Cutting height of 20 cm increased the number of filled grain almost all genotypes, increased growth rate of ratoon to 1.5 cm/day and increased growth uniformity of ratoon of Cimelati, Hipa-5 and Rokan varieties, with production 3.0 t/ha (57.2%), 2.8 t/ha (60.1%) and 2.2 t/ha (52.7%) respectively. The cutting height 10 cm above the ground was the best for PTB-747-DJ-1 and IPB106-F-8-1 lines, with the highest yield of ratoon 2.1 t/ha (45.8%) and 1.5 t/ha (35.4%) of the main crop respectively. Key word : cutting height, ratoon, yield
48
PENDAHULUAN Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan padi menghasikan ratun adalah tinggi pemotongan batang tanaman utama. Tinggi pemotongan berkaitan dengan ruas tanaman yang tersisa, dimana pada setiap bukunya terdapat tunas-tunas lateral, yang akan menghasilkan tunas-tunas ratun. Tinggi pemotongan dapat menentukan jumlah tunas yang tumbuh, namun kondisinya sangat dipengaruhi sisa asimilat sebagai cadangan pada batang yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan ratun, dan tingkat vigor ratun (Jichao dan Xiaohui 1996). Tinggi pemotongan juga dapat mempengaruhi jumlah anakan dan hasil biji (Harrel et al. 2009), serta memacu tunas yang dorman untuk tumbuh (Mahadevappa dan Yogeesha 1988). Tinggi pemotongan 15-20 cm dari permukaan tanah (tersisa 2-3 ruas), merupakan pemotongan optimal yang dapat meningkatkan vigor ratun dan mengoptimalkan produksi biji pada malai ratun (Vergara 1988). Santos et al. (2003) membuktikan bahwa tinggi pemotongan yang lebih rendah yaitu 5 cm dari permukaan tanah, dapat menurunkan hasil 12-37% dibandingkan tinggi pemotongan 15 cm. Selain itu, pada pemotongan di atas 20 cm anakan ratun yang dihasilkan lebih cepat keluar, namun jumlah gabah yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan ratun pada pemotongan yang lebih rendah atau optimal. Ratun yang dihasilkan lebih cepat mengalami pematangan dan jumlah gabah yang fertil lebih sedikit. Secara morfologi, ratun beberapa varietas padi tumbuh dari semua buku yang ada pada rumpun, namun ditemukan juga tunas yang keluar dari buku yang tinggi atau yang rendah saja. Ratun yang muncul dari buku lebih tinggi, menghasilkan batang yang kecil sehingga mudah patah.
Adapun ratun yang
muncul dari buku lebih rendah, terlihat seperti kecambah dengan daun yang kecil dan lemah. Sering ditemukan anakan busuk karena terlalu dekat dengan air yang masih menggenangi (Mahadevappa dan Yogeesha 1988; Nakano et al. 2009). Ratun yang muncul dari buku ketiga pertumbuhan dan hasilnya lebih baik dibandingkan ratun yang muncul dari buku yang lebih tinggi (Santos et al. 2003; Nakano et al. 2009).
49
Waktu pertumbuhan ratun juga dapat dipengaruhi oleh tinggi pemotongan. Menurut Rong et al. (2009), pemotongan yang pendek mempercepat keluarnya tunas ratun. Umumnya tunas ratun atau anakan pertama dapat muncul antara hari ke dua hingga hari ke sepuluh setelah panen tanaman utama. Pemotongan yang rendah dapat memperpanjang umur ratun hingga 4 hari (Vergara 1988). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tinggi pemotongan tanaman utama yang efektif meningkatkan hasil ratun dan mendapatkan genotipe yang mampu memberikan hasil ratun tertinggi pada tinggi pemotongan tertentu di lahan pasang surut. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni – Desember 2008, di lahan pasang surut dengan tipe luapan air B, Desa Dadahup A-2, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah, dan Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah, Palangka Raya. Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah lima genotipe padi yang terpilih dari hasil penelitian pertama (tiga genotipe) dan penelitian kedua (dua genotipe) di rumah kaca. Dari penelitian pertama terpilih varietas semi PTB Cimelati dan galur PTB sawah IPB106-F-8-1 dan IPB106-F-10-1. Mengingat benih untuk galur PTB sawah IPB106-F-10-1 tidak tersedia, maka dalam pelaksanaannya galur PTB sawah IPB106-F-10-1 diganti dengan PTB sawah IPB106-7-47-Dj-1 yang saat itu sedang dalam pengujian di lapangan. Galur PTB sawah IPB106-7-47-Dj-1 berasal dari tetua yang sama dan dalam tahap pengujian yang sama dengan galur IPB106-F-10-1. Dari hasil penelitian kedua terpilih varietas hibrida Hipa-5 dan Rokan. Bahan lain yang digunakan adalah kapur dolomit, pupuk buatan (urea, SP-36 dan KCl), pestisida, dan pagar lembaran plastik.
50
Metode Penelitian Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok yang disusun dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah tinggi pemotongan yang terdiri atas 10 cm, 20 cm dan 30 cm dari permukaan tanah. Faktor kedua adalah lima genotipe yang terpilih dari percobaan pertama dan kedua, yaitu : Cimelati, Hipa-5, Rokan, IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1. Jumlah satuan percobaan adalah 45 satuan percobaan. Tanaman ditanam pada plot berukuran 4 m x 5 m, dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Data dari semua peubah yang diamati baik untuk tanaman utama maupun ratun dianalisis ragam dengan uji F, jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5% , diolah dengan program SAS. Pelaksanaan Penelitian Sebanyak lima genotipe padi disemai pada areal persemaian hingga berumur 15 hari. Pada saat bersamaan disiapkan tanah yang diolah secara sempurna dan dibuat plot-plot percobaan dengan ukuran 4 m x 5 m, sebanyak 45 plot dan jarak antar plot 0.5 m. Tanah dikapur dengan dosis 1 t/ha. Bibit yang telah berumur 15 hari setelah semai dipindahkan ke plot-plot percobaan dan ditanam sebanyak 1 bibit per lubang tanam, dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Pupuk untuk tanaman utama diberikan dengan dosis 200 kg urea, 150 kg SP36 dan 100 kg KCl per hektar, sesuai rekomendasi di lokasi setempat.
Pemberian pupuk dilakukan
sebanyak 2 kali yaitu setengah dosis urea, seluruh dosis SP36 dan KCl diberikan sebagai pupuk dasar, dan diaplikasikan 1-2 hari sebelum tanam, sisa setengah dosis urea diberikan pada saat tanaman berumur 40 HST. Saat panen tanaman utama, jerami padi dipotong setinggi 10 cm, 20 cm dan 30 cm dari permukaan tanah. Sesuai perlakuan dua hari setelah panen dilakukan penggenangan air dengan ketinggian 2-5 cm dari permukaan tanah. Pupuk urea, SP-36 dan KCl diberikan secara bersamaan (sekaligus) pada hari ke-5 setelah panen tanaman utama dengan dosis setengah dari dosis tanaman utama yaitu 100 kg/ha urea, 75 kg/ha SP36 dan 50 kg/ha KCl. Pengamatan terhadap tanaman utama dan ratun meliputi karakter pertumbuhan dan karakter produksi.
Peubah yang diamati mengacu kepada
petunjuk pada SES (1996), sebagai berikut : tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai terpanjang (cm); diamati saat stadia masak
51
susu atau menjelang panen. Jumlah anakan, diamati saat stadia bunting. Umur berbunga, diamati jumlah hari saat tanaman berbunga 50%. Jumlah gabah per malai, dihitung total gabah dalam satu malai, baik hampa maupun bernas. Jumlah gabah isi per malai, dihitung dari jumlah gabah yang bernas dalam satu malai. Jumlah gabah hampa per malai, dihitung jumlah gabah kosong dalam satu malai. Bobot 1000 biji, diamati dengan menimbang 1000 butir gabah bernas yang berkadar air 13% – 14%. Pengamatan terhadap semua peubah dilakukan pada lima rumpun tanaman per plot, yang diambil secara diagonal. Bobot produksi per plot, diamati dengan menimbang total gabah isi dalam satu plot tanpa tanaman pinggir, yang berkadar air 14%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Utama di Lahan Pasang Surut Hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman utama menunjukkan galur IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1 nyata berbeda dengan varietas Cimelati dan Hipa-5, tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Rokan. Walaupun di lapangan kedua galur ini lebih tinggi dibandingkan genotipe yang lain, namun lebih rendah dibandingkan tinggi tanaman saat di rumah kaca, yang mencapai 153.3 cm untuk galur IPB106-F-8-1. Sebelumnya dikhawatirkan bahwa genotipe dengan tinggi tanaman > 150 cm akan mengalami kerebahan saat ditanam di lapangan. Adanya Galur IPB106-F-8-1 dan IPB106-7-47-Dj-1, sangat sesuai ditanam di lahan pasang surut dan kerebahan tanaman tidak terjadi.
Demikian halnya dengan
tinggi tanaman ratun, galur IPB106-F-8-1 menghasilkan tanaman yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya pada tinggi pemotongan 10 cm yaitu mencapai 100.9 cm (Tabel 10). Jumlah anakan produktif tanaman utama yang ditanam di rumah kaca lebih banyak dibandingkan yang ditanam di lahan pasang surut. Di lapangan, jumlah anakan produktif tanaman utama semua genotipe berkisar antara 9.0 – 11.6 anakan dan tidak berbeda nyata antar genotipe. Terdapat beberapa varietas yang jumlah anakan produktif ratunnya lebih banyak dibandingkan tanaman utama yaitu varietas PTB Cimelati, hibrida Hipa-5 dan Rokan. Jumlah anakan produktif
Tabel 10. Karakter pertumbuhan tanaman utama dan ratun lima genotipe padi dengan tinggi pemotongan 10, 20 dan 30 cm dari permukaan tanah di lahan pasang surut Kapuas, 2008.
IPB106-7-47DJ-1
10 20 30
Utama 103.6 ab 107.7 a 98.5 abcd
Ratun 90.7 bcd 90.9 bcd 91.3 bcd
Jumlah anakan produktif Utama Ratun 10.2 a 7.8 c 10.0 a 8.2 c 9.5 a 9.1 c
IPB106-F-8-1
10 20 30
108.5 107.7 103.0
a a ab
100.9 96.6 95.3
a ab abc
10.9 11.9 9.5
a a a
8.1 7 6.1
c c c
74.0 71.0 72.7
b b b
21.67 21.33 22.00
a a a
99.0 99.0 99.0
d d d
62.00 62.00 62.00
a a a
CIMELATI
10 20 30
91.1 89.1 87.6
cde de e
74.5 74.6 73.3
gh gh h
10.3 9.0 11.5
a a a
13.3 12.5 13.5
ab b ab
81.0 82.0 81.3
a a a
20.00 20.00 19.00
ab ab ab
104.0 104.0 104.0
b b b
52.00 52.00 52.00
a a a
HIPA-5
10 20 30
90.0 94.0 89.8
de bcde de
83.2 80.1 83.6
ef fg ef
11.3 11.6 9.4
a a a
13.9 15.1 16.3
ab ab a
81.3 81.7 81.7
a a a
21.33 21.67 21.67
a a a
110.0 110.0 110.0
a a a
52.00 52.00 52.00
a a a
ROKAN
10 20 30
98.3 103.8 100.7
abcd ab abc
86.1 80.1 90.0
def fg cd
10.4 9.5 10.3
a a a
14 15.1 14.8
ab ab ab
82.0 80.0 82.7
a a a
19.67 18.67 17.33
ab ab b
110.0 110.0 110.0
a a a
49.00 49.00 49.00
a a a
TP (cm)
Tinggi tanaman (cm)
Umur berbunga (hari) Utama Ratun 71.0 b 19.67 ab 71.0 b 20.00 ab 73.0 b 19.33 ab
Umur panen (hari) Utama Ratun 101.0 c 62.00 a 101.0 c 62.00 a 101.0 c 62.00 a
Ket : TP = tinggi pemotongan. Angka dalam kolom yang sama yang dikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %.
53
ketiga varietas ini tidak berbeda nyata antar tinggi pemotongan, tetapi berbeda sangat nyata dengan jumlah anakan produktif galur PTB sawah IPB106-F-8-1 dan IPB106-7-47-Dj-1, pada semua tinggi pemotongan. ratun galur PTB sawah IPB106-7-47-Dj-1 dan
Jumlah anakan produktif
IPB106-F-8-1 lebih
sedikit
dibandingkan varietas PTB dan Hibrida. Jumlah anakan produktif ratun varietas hibrida Rokan, tidak berbeda antara di rumah kaca dan di lapangan, yaitu sebanyak 15 anakan (Tabel 10). Pengaruh Tinggi Pemotongan terhadap Produksi Ratun Panjang malai tanaman utama tidak berbeda nyata antar genotipe dan lebih panjang dibandingkan panjang malai ratun. Jumlah gabah total tanaman utama berkisar antara 126.1 – 205.1 butir/malai, dan tidak berbeda nyata antar genotipe Jumlah ini lebih kecil dibandingkan jumlah gabah total di rumah kaca. Terdapat tiga genotipe yang menghasilkan jumlah gabah total > 150 butir/malai, yaitu galur PTB sawah IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1 dan varietas hibrida Hipa-5. Pengamatan terhadap ratun menunjukkan bahwa tinggi pemotongan 10 cm dari pemukaan tanah meningkatkan jumlah gabah total galur IPB106-F-8-1 (Tabel 10). Sama halnya dengan jumlah gabah total, jumlah gabah isi tanaman utama semua genotipe tidak berbeda nyata antar genotipe.
Pada ratun, tinggi
pemotongan 20 cm meningkatkan jumlah gabah isi varietas Hipa-5 dan Rokan serta berbeda nyata dengan tingi pemotongan dan genotipe lainnya.
Tinggi
pemotongan 30 cm pada varietas Rokan ternyata menurunkan jumlah gabah isi (Tabel 11). Rata-rata jumlah gabah hampa tanaman utama yang ditanam di lahan pasang surut < 50%. Jumlah gabah hampa maksimum antara tanaman utama dan ratun hampir sama yaitu 42.1-46.0%.
Pada ratun tinggi pemotongan 20 cm dari
permukaan tanah nyata menurunkan jumlah gabah hampa semua genotipe yang diuji. Bobot 1000 butir ratun semua genotipe lebih tinggi dibandingkan tanaman utama. Hal ini tidak terjadi pada penelitian sebelumnya di rumah kaca. Pengamatan secara visual di lapangan menunjukkan bahwa malai ratun tampak mulai berisi padat dan bernas setelah adanya genangan air akibat banjir dangkal yang terjadi lebih dari dua hari. Diduga adanya genangan mengoptimalkan
Tabel 11. Pengaruh tinggi pemotongan terhadap hasil dan komponen hasil ratun lima genotipe padi di lahan pasang surut Kapuas, 2008. GENOTIPE IPB106-7-47DJ-1
IPB106-F-8-1
CIMELATI
HIPA-5
ROKAN
10
Panjang Malai (cm) Utama Ratun 26.8 a 20.4 abcd
Gabah total/malai (butir) Utama Ratun 168.3 ab 79.3 bc
Utama 144.7 a
Ratun 57.9 bc
18.8
de
25.8
c
2
20
25.3
a
22.2
ab
180.1
ab
82.8
b
107.9
a
60.7
ab
24.7
bcde
30.5
bc
2
30 10
25
a
21.6
abc
148.0
ab
79.6
bc
98.1
a
51.8
bcd
27.5
bcde
25.8
c
2
26.2
a
23.0
a
175.7
ab
108.0
a
139.6
a
75.7
a
17.9
e
26.5
c
1
20
25.3
a
21.2
abc
138.8
ab
78.5
bc
105.5
a
59.9
ab
22.1
cde
42.0
ab
1
30
25
a
20.0
bcd
132.7
ab
71.1
bc
96.4
a
49.7
bcde
33.5
ab
36.0
abc
1
10
26.1
a
19.6
bcd
136.1
ab
64.2
bc
128.8
a
37.1
de
20.9
cde
33.6
abc
2
20
25.2
a
19.2
cd
146.4
ab
69.3
bc
104.2
a
45.7
bcde
28.6
bcde
46.5
a
2
30
24.8
a
19.6
bcd
138.8
ab
64.7
bc
91.6
a
34.6
de
29.4
bcd
36.9
abc
2
TP
Gabah isi / malai (butir)
%Gabah hampa / malai (butir) Utama Ratun
10
25.4
a
20.1
bcd
205.1
a
73.6
bc
134.6
a
42.4
cde
34.3
ab
29.4
bc
2
20
25.2
a
19.9
bcd
143.8
ab
81.6
b
102.3
a
60.7
ab
40.7
a
33.1
abc
2
30
24.7
a
18.0
d
152.6
ab
53.3
c
88.4
a
34.2
de
36.1
ab
34.5
abc
2
10
25.3
a
18.3
d
126.7
b
65.8
bc
110.0
a
41.7
cde
29.9
abcd
23.7
c
2
20
25.1
a
19.9
bcd
148.1
ab
81.6
b
100.0
a
60.7
ab
30.8
abc
42.3
ab
2
30
24
a
18.1
d
142.2
ab
52.8
c
85.2
a
33.9
e
26.7
bcde
35.2
abc
2
Ket : TP = tinggi pemotongan. Angka dalam kolom yang sama yang dikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %.
54
penyerapan hara dan translokasi asimilat ke bagian pengisisan biji.Jumlah asimilat yang tersedia dan pupuk yang diberikan pada ratun mampu memenuhi kebutuhan ratun. Produksi tanaman utama semua genotipe berkisar antara 3.4 - 5.2 t/ha. Varietas Rokan memberikan hasil tertinggi dengan rata-rata produksi gabah 4.8 t/ha. Hasil analisis menunjukkan produksi ratun galur IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1 berbeda nyata dengan varietas Rokan. Terdapat interaksi antara genotipe dan tinggi pemotongan yang berpengaruh terhadap hasil ratun.Pada penelitian ini galur PTB sawah IPB106-F-8-1 memberikan hasil ratun yang lebih baik ketika dipotong 10 cm di atas tanah, dengan hasil 2.1 t/ha. Sementara varietas hibrida Rokan memberikan hasilratun yang tinggi pada pemotongan 20 cm dari permukaan tanah, dengan hasil 3.0 t/ha. Pada tinggi pemotongan 20 cm dari permukaan tanah, diperoleh hasil ratun tertinggi yaitu 3.0 t/ha dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya. Persen produksi ratun terhadap tanaman utama menunjukkan varietas Hipa-5 dengan tinggi pemotongan 20 cm memberikan hasil sebanyak 60.1%, Rokan sebanyak 57.2%, dan Cimelati 52.7% (Tabel 11). Menurut Harrel et al. (2009), budidaya ratun dengan menggunakan varietas lokal telah berlangsung lama, dan tinggi pemotongan panen berkisar 40-50 cm di atas permukaan tanah. Ketika padi inbrida dan hibrida berkembang, maka tinggi pemotongan panen tanaman utama dikurangi hingga 20 – 25 cm, dan hasil ratun yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan tinggi pemotongan 40-50 cm. Pada lokasi lain tinggi pemotongan padi hibrida 16 - 20 cm, meningkatkan hasil gabah ratun varietas Cocodrie dari 440 kg/ha menjadi 1.42 kg/ha (Harrel et al. 2009). Hasil di atas juga sesuai dengan yang dikemukakan Jones (1993), yang menyatakan terdapat pengaruh tinggi pemotongan terhadap hasil gabah ratun. Tinggi pemotongan yang lebih tinggi atau sekitar dua ruas buku (20 cm) hingga mencapai 40 cm dari permukaan tanah, meningkatkan jumlah anakan ratun dan jumlah gabah isi, terutama jika pemotongan dilakukan lebih cepat atau ketika tingkat kematangan tanaman utama belum mencapai 95%. Pada kondisi demikian ratun tumbuh sangat cepat hingga mencapai rata-rata 1.5 cm per hari (Jichao dan Xiaohui 1996; Yazdpour et al. 2007). Tinggi pemotongan 20 cm dari permukaan tanah, mampu meningkatkan jumlah anakan ratun dan menekan jumlah gabah
55
hampa. Sebaliknya pemotongan yang lebih rendah mengakibatkan tunas atau anakan ratun banyak mengalami kematian. Anakan ratun yang dihasilkan lebih lemah, dan tunggul bekas panen mudah terinjak dan sering mengalami kebusukan karena terlalu dekat dengan air yang masih menggenangi (Calendacion et al. 1992). Dengan demikian tinggi pemotongan yang rendah atau hanya beberapa cm di atas permukaan tanah memberikan hasil ratun yang lebih rendah. Varietas Intan di Karnataka-India, memberikan hasil maksimal pada tinggi pemotongan 50% dari tinggi tanaman utama atau 35 cm di ataspermukaan tanah, ketika tinggi pemotongan dikurangi sebanyak 5 cm maka jumlah gabah isi menjadi berkurang sebanyak 12-37%, dan umur ratun menjadi lebih panjang, yaitu dari 73 hari menjadi 86 hari (Begum et al. 2002). Pengaruh Tinggi Pemotongan terhadap Pertumbuhan Tunas Ratun Secara visual tunas ratun dari tinggi pemotongan 10 cm di atas tanah mulai muncul tunas pada hari kedua setelah panen, sedangkan pada tinggi pemotongan 20 cm dan 30 cm, ratun mulai muncul pada hari keempat. Daun ratun mulai membuka pada hari kelima dan hampir sama pada semua tinggi pemotongan (Gambar 4). Pada tinggi pemotongan 20 cm di atas tanah, tunas ratun mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dan seragam serta terlihat lebih vigor dibandingkan tinggi pemotongan 10 cm dan 30 cm (Gambar 5). Terjadi penambahan tinggi tanaman yang cepat dengan rata-rata 1.0-1.5 cm/hari, terutama untuk varietas hibrida Hipa-5 dan Rokan, yang diamati hingga hari ke-15 setelah panen tanaman utama. Pada pemotongan yang lebih tinggi yaitu 30 cm di atas tanah, tunas-tunas ratun yang muncul lebih lambat.Tunas yang keluar dari buku yang lebih rendah cenderung terlindungi oleh tunggul yang lebih tinggi. Pada pemotongan 10 cm dari permukaan tanah tunas yang keluar lebih lemah dan kecil. Adanya respon tinggi pemotongan tanaman utama terhadap ratun menunjukkan adanya suplai karbohidrat ke daerah pertumbuhan, yang memacu keluarnya tunas ratun. Jichao dan Xiaohui (1996) menjelaskan pemotongan yang lebih tinggi dari permukaan tanah menunjukkan banyaknya jumlah cadangan karbohidrat tersedia dari tanaman utama yang dapat dimanfaatkan ratun. Pendapat ini berbeda dengan hasil pengamatan yang membuktikan bahwa pemotongan yang tinggi tidak selalu berkorelasi dengan keberhasilan ratun untuk
56
a
b
Gambar 4. Tunas ratun dan tinggi pemotongan 10 cm di atas permukaan tanah. a. Tunas ratun yang keluar pada hari ke-2 setelah panen tanaman utama b. Daun ratun telah membuka pada hari ke-5 setelah panen tanaman utama
a
b
c
Gambar 5. Ratun varietas Hipa-5 dari tinggi pemotongan 10 cm (a), 20 cm (b) dan 30 cm (c) (atas) dan pertumbuhan ratun pada 20 hari setelah panen tanaman utama dan tinggi pemotongan yang sama (bawah)
57
tumbuh. Tinggi pemotongan yang lebih tinggi, ternyata dapat menghambat pertumbuhan tunas ratun dan menekan jumlah ratun yang menghasilkan biji. Asimilat yang tersisa pada tunggul yang tinggi, diduga dimanfaatkan bagian tanaman yang tersisa dan sudah tidak produktif, atau tidak dimanfaatkan untuk pembentukan tunas dan biji ratun. Pada tinggi pemotongan yang ideal atau 15-20 cm tunas ratun tumbuh dengan baik, tunas ratun dan bulir pada malai yang terbentuk lebih baik dibandingkan pemotongan yang lebih tinggi. Nakano et al. (2009) jumlah anakan dan malai ratun akan meningkat secara efektif serta persentase tunas ratun yang mati berkurang pada tinggi pemotongan yang ideal yaitu 15-20 cm. SIMPULAN Tinggi pemotongan 10 cm di atas permukaan tanah sesuai untuk galur PTB IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1, dengan produksi ratun sebesar 1.5 t/ha untuk galur IPB106-7-47-Dj-1 dan
2.1 t/ha untuk galur IPB106-F-8-1 atau
masing-masing 35.4% dan 45.8% terhadap tanaman utama. Tinggi pemotongan 20 cm dari permukaan tanah adalah tinggi pemotongan yang ideal untuk varietas PTB Cimelati, hibrida Hipa-5 dan Rokan. Produksi ratun masing-masing adalah : varietas hibrida Rokan dengan poduksi 3.0 t/ha (57.2% tanaman utaman), Hipa-5 2.8 t/ha (60.1% tanaman utama), Cimelati 2.2 t/ha (52.7% tanaman utama). Efektivitas tinggi pemotongan tidak hanya dipengaruhi oleh jarak dari tanah, tetapi juga oleh pertumbuhan morfologi tanaman seperti panjang ruas tanaman padi.
58
PERAN HARA N, P dan K PADA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN RATUN BEBERAPA GENOTIPE PADI The Role of Nutrient N, P and K on The Growth and Development of Ratoon on Rice Genotypes ABSTRAK Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui peran hara dan pemupukan dalam meningkatkan hasil ratun, di lahan pasang surut. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dua faktor dan tiga ulangan. Faktor utama tiga tingkat pemberian pupuk terhadap ratun yaitu D1 = 45 kg N + 27 kg P2O5 per hektar, D2 = 45 kg N + 30 kg K2O per hektar dan D3 = 27 kg P2O5 + 30 kg K2O per hektar. Faktor kedua adalah lima genotipe padi terpilih dari hasil rangkaian penelitian sebelumnya, yaitu varietas PTB Cimelati, hibrida Hipa-5 dan Rokan, serta dua galur PTB sawah yaitu IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1. Pengamatan dilakukan terhadap karakter pertumbuhan dan produksi tanaman utama dan ratun serta terhadap akar ratun. Data dianalisis dengan uji F, jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5% , diolah dengan SAS program. Hasil penelitian menunjukkan baik genotipe maupun dosis pemupukan berpengaruh terhadap hasil ratun. Terdapat tiga genotipe yang menghasilkan ratun tertinggi dengan pemupukan 45 kg/ha N + 27 kg/ha P2O5 (D1), yaitu galur IPB106-7-47Dj-1 dan IPB106-F-8-1 serta varietas hibrida Rokan. Produksi masing-masing adalah 1.6 t/ha, 1.8 t/ha dan 2.9 t/ha. Varietas Cimelati dan Hipa-5 menghasilkan ratun tertinggi pada pemupukan 45 kg/ha N + 30 kg/ha K2O (D2), dengan hasil ratun masing-masing 2.8 t/ha dan 3.0 t/ha. Produksi semua genotipe berkisar antara 38.1-56.6% terhadap tanaman utama. Pemupukan tanpa N (D3) meningkatkan jumlah gabah total dan gabah isi varietas Cimelati dan Hipa-5, meningkatkan berat kering tajuk IPB106-F-8-1, Cimelati, Hipa-5 dan Rokan. Ini membuktikan pupuk N, P dan K berperan penting dalam meningkatkan komponen hasil dan hasil ratun. Kata kunci : dosis pemupukan, hasil, ratun ABSTRACT The objective of the research was to determine the role of nutrient sand fertilizers to improve rice ratoon on tidal swamp land. The study was conducted using a factorial randomized block design and three replications. The first factor was three levels of fertilizer on ratoon i.e. D1 = 45 kg N+27 kg P2O5 per hectare, D2 = 45 kg N+30 kg K2O per hectare and D3 = 27 kgP2O5+30 kg K2O per hectare. The second factor was the five rice genotypes previously selected, i.e. Cimelati, Hipa-5 and Rokan varieties, and two lines of rice i.e. IPB106PTB-7-47DJ-1 and IPB106-F-8-1. The growth and production characters of main crops and ratoon were observed. Data were analyzed with SAS program. The results showed both genotype and dose of fertilizer affected yield of ratoon. There were three genotypes producing the highest ratoon with fertilization 45 kg/ha N + 27 kg/ha P2O5 (D1), i.e. IPB106-7-47-DJ-1 and IPB106-F-8-1 lines and Rokan variety, 1.6 t/ha, 1.8 t/ha and 2.9 t/ha, respectively. Cimelati and Hipa-5 varieties
59
yielded 45 kg/ha N + 30 kg/ha K2O (D2) 2.8 t/ha and 3.0 t/ha, respectively. Production of all genotypes between 38.1-56.6% of the main crop. The total number of spikelet, filled spikelet and seed dry weight of Cimelati and Hipa-5 varieties were increased without N (D3). It was shown that N, P and K fertilizer had important role in increasing yield and yield component of ratoon. Keywords: fertilizer, productivity, ratoon
60
PENDAHULUAN Pupuk merupakan salah satu input penting bagi pertumbuhan dan hasil ratun padi. Beberapa studi menunjukkan bahwa pertumbuhan ratun sangat tergantung pada komposisi dan tingkat dosis pupuk yang diberikan (Jason 2005). Pupuk yang diberikan pada tanaman utama, akan berdampak kepada ratun yang tumbuh berikutnya. Pupuk N merupakan unsur penyusun asam amino, asam nukleat, dan klorofil, yang dapat mempercepat pertumbuhan berupa pertambahan tinggi dan jumlah anakan produktif. Pupuk P berperan dalam memperkokoh tanaman, memacu terbentuknya bunga dan bulir pada malai, memperbaiki kualitas gabah dan meningkatkan akar-akar rambut.
Pupuk K memacu pertumbuhan akar,
memperbaiki kualitas bulir dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit (Dobermann dan Fairhurst 2000). Salah satu pupuk yang diberikan pada tanaman utama dan sangat berpengaruh terhadap hasil ratun adalah N (Islam et al. 2008). N yang diberikan pada tanaman utama, secara nyata meningkatkan tinggi tanaman ratun IR36, meningkatkan jumlah rumpun IR42 dan meningkatkan hasil ratun kedua varietas tersebut (De Datta dan Bernasor 1988). Padi hibrida yang dipupuk dengan dosis 96-125 kg/ha N menghasilkan ratun 5.0-5.6 t/ha (Charoen 2003). Aplikasi N 140 kg/ha meningkatkan hasil sebesar 12.8-16.1% dan kualitas padi meningkat pada aplikasi N 100 kg/ha (Charoen 2003). Di Louisiana hasil ratun meningkat jika N diaplikasikan sebelum dan sesudah panen tanaman utama, dengan dosis 34.0 – 41.0 kg/ha saat 15 hari sebelum panen dan 13.6-20.4 kg/ha saat 15 hari setelah panen (Jason 2005). Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa hanya N yang secara nyata berpengaruh terhadap penampilan dan hasil ratun (McCauley et al. 2006). Jumlah P dan K yang diberikan cukup pada tanaman utama, masih dapat dimanfaatkan oleh ratun. Di Taiwan, P dan K tidak berpengaruh terhadap hasil ratun, dan di Texas P dan K yang diaplikasikan pada ratun menjadi tidak penting jika tanaman utamanya menerima cukup jumlah unsur tersebut (Dobermann dan Fairhurst 2000; McCauley et al. 2003; Witt et al. 1999). Sebaliknya Bahar dan De Datta (1977) menemukan bahwa kinerja ratun sangat dipengaruh oleh dosis P. Adapun Kavoosi et al. (2004) memperoleh hasil
61
gabah tertinggi pada ratun yang dipupuk K dengan dosis 100 kg/ha. Disimpulkan oleh Islam et al. (2008), bahwa respon tanaman ratun terhadap dosis pemupukan sama dengan tanaman utama, baik untuk hasil maupun komponen hasil. Hasil gabah maksimum tanaman utama dan ratun diperoleh pada tingkat dosis pupuk N= 150, P2O5 = 85, K2O = 90, S = 13 dan Zn = 4 kg/ha. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran hara dan pemupukan dalam meningkatkan hasil ratun di lahan pasang surut. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni – Desember 2008, di lahan pasang surut dengan tipe luapan air B, Desa Dadahup A-2, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah, dan Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah. Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah lima genotipe yang sama dengan penelitian III yaitu : varietas semi PTB Cimelati, galur PTB sawah IPB106-F-8-1 dan IPB106-7-47-Dj-1, serta varietas hibrida Hipa-5 dan Rokan. Bahan lain yang digunakan adalah kapur dolomit, pupuk buatan (urea, SP-36 dan KCl), pestisida, dan pagar lembaran plastik. Metode Penelitian Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok yang disusun dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama berupa tiga tingkat pemupukan, yaitu: D1 = 45 kg N + 27 kg P2O5 per hektar (100 kg urea + 75 kg SP36 + 0 kg KCl), D2 = 45 kg N + 30 kg K2O per hektar (100 kg urea + 0 kg SP36 + 50 kg KCl) dan D3 = 27 kg P2O5 + 30 kg K2O per hektar (0 kg urea + 75 kg SP36 + 50 kg KCl).
Faktor kedua adalah
lima genotipe yang terpilih dari percobaan
pertama dan kedua, yaitu : Cimelati, IPB106-7-47-Dj-1, IPB106-F-8-1, Hipa-5 dan Rokan. Jumlah satuan percobaan adalah 45 satuan percobaan. Tanaman ditanam pada plot berukuran 4 x 5 m, dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Data dari semua peubah yang diamati baik untuk tanaman utama maupun ratun dianalisis
62
ragam dengan uji F, jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%. Pelaksanaan Penelitian Sebanyak lima genotipe padi disemai hingga berumur 15 hari. Pada saat bersamaan dilakukan pengolahan tanah secara sempurna dan dibuat plot-plot percobaan dengan ukuran 4 m x 5 m, sebanyak 45 plot dan jarak antar plot 0.5 m. Tanah dikapur dengan dosis 1 t/ha pada saat dua minggu sebelum tanam. Bibit ditanam sebanyak 1 bibit per lubang tanam, dengan jarak tanam 25 x 25 cm. Pupuk diberikan dengan dosis 90 kg N, 45 kg P2O5 dan 60 kg K2O per hektar atau setara 200 kg urea, 150 kg SP36 dan 100 kg KCl per hektar, sesuai rekomendasi di lokasi setempat. Pemberian pupuk dilakukan sebanyak 2 kali yaitu setengah dosis urea, seluruh dosis SP36 dan KCl diberikan sebagai pupuk dasar, dan diaplikasikan 1-2 hari sebelum tanam, sisa setengah dosis urea diberikan pada saat tanaman berumur 40 HST. Untuk tanaman ratun, pemotongan tunggul setinggi 20 cm dari permukaan tanah dan dilakukan bersamaan dengan waktu panen. Pada hari ke-2 lahan digenangi air dengan ketinggian 2-5 cm. Perlakuan pupuk diberikan pada hari ke5 setelah panen tanaman utama dengan tiga tingkat dosis yang diujikan yaitu : D1 = 45 kg N + 27 kg P2O5 per hektar (100 kg urea + 75 kg SP36 + 0 kg KCl), D2 = 45 kg N + 30 kg K2O per hektar (100 kg urea + 0 kg SP36 + 50 kg KCl) dan D3 = 27 kg P2O5 + 30 kg K2O per hektar (0 kg urea + 75 kg SP36 + 50 kg KCl). Pengamatan terhadap tanaman utama dan ratun meliputi karakter pertumbuhan dan karakter produksi.
Peubah pengamatan mengacu kepada
petunjuk pada SES (1996), sebagai berikut : tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai terpanjang (cm); diamati saat stadia masak susu atau menjelang panen. Jumlah anakan, diamati saat stadia bunting. Umur berbunga, diamati jumlah hari saat tanaman berbunga 50%. Jumlah gabah per malai, dihitung total banyaknya gabah dalam satu malai, baik hampa maupun bernas. Jumlah gabah isi per malai, dihitung dari jumlah gabah yang bernas dalam satu malai. Jumlah gabah hampa per malai, dihitung jumlah gabah kosong dalam satu malai. Bobot 1000 biji, diamati dengan menimbang 1000 butir gabah pebernas yang berkadar air 13–14%. Semua peubah tersebut diamati pada lima
63
rumpun tanaman per plot, yang diambil secara diagonal. Selain itu dilakukan juga pengamatan terhadap akar tanaman ratun, yang meliputi panjang akar dan jumlah akar, yang dilakukan pada periode generatif awal ratun (sekitar 15 hari setelah panen tanaman utama), dan saat panen ratun, dengan mengambil dua tanaman per plot. Bobot produksi per plot, diamati dengan menimbang total gabah isi dalam satu plot, berkadar air 14%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap karakter pertumbuhan tanaman utama menunjukkan penampilan kelima genotipe hampir sama dengan penampilan pada pengujian tinggi pemotongan. Tinggi tanaman utama tergolong sedang yaitu berkisar antara 91.8-115.0 cm. Jumlah anakan produktif berkisar 8.7-12.1 anakan, panjang malai 22.4-27.2 cm, dan umur panen 101-118 hari. Semuanya menunjukkan nilai yang lebih rendah dibandingkan hasil pengujian di rumah kaca. Hasil analisis ragam menunjukkan terdapat perbedaaan yang nyata antara genotipe dan tingkat dosis pemupukan terhadap karakter pertumbuhan, komponen hasil dan hasil ratun, dan terdapat interaksi antara keduanya. Tinggi tanaman utama galur IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1 berbeda nyata dengan tiga varietas lainnya, yaitu Cimelati, Hipa-5 dan Rokan. Tinggi tanaman ratun pemberian N sebanyak 45 kg/ha yang dikombinasikan dengan 27 kg/ha P2O5 maupun yang dikombinasikan dengan 30 kg/ha K2O (perlakuan D1 dan D2) pada galur IPB106-F-8-1 berbeda nyata dengan pemupukan tanpa N (D3) (Tabel 12). Pada karakter jumlah anakan produktif terdapat respon yang berbeda antar genotipe terhadap tingkat dosis pemupukan. Hasil analisis menunjukkan jumlah anakan produktif tanaman utama tidak berbeda nyata pada semua genotipe, tetapi pada ratun terlihat pemupukan dengan dosis 45 kg/ha N dan 30 kg/ha K2O (perlakuan D2) memberikan jumlah anakan produktif galur IPB106-7-47-Dj-1 yang lebih tinggi dibandingkan pemupukan D3 dan D1. Pada ratun varietas Cimelati dan Rokan, pemupukan tanpa N (D3) menekan jumlah anakan produktif
Tabel 12. Karakter pertumbuhan tanaman utama dan ratunpada beberapa tingkat dosis pemupukan. Genotipe IPB106-7-47-Dj-1
IPB106-F-8-1
Cimelati
Hipa-5
Rokan
Dosis Pupuk D1 D2 D3 D1 D2 D3 D1 D2 D3 D1 D2 D3 D1 D2 D3
Tinggi tanaman (cm) Utama 112.6 110.5 106.2 115.1 110.9 106.1 94.4 96.2 96.5 99.6 95.3 91.8 105.0 96.6 101.3
ab ab bc a ab bc de de de cd de e bc de cd
Ratun 97.9 94.2 88.5 97.8 95.2 86.5 77.7 79.2 81.6 82.3 77.7 73.3 84.9 84.1 78.2
a abc bcd a ab cde ef ef def de ef f de de ef
Jumlah anakan produktif Utama 11.7 10.7 10.3 10.9 12.1 10.4 12.1 12.7 11.8 11.3 9.4 11.6 11.2 10.3 8.7
ab abc abc abc a abc a a ab ab bc ab abc abc c
Ratun 6.9 9.5 6.7 7.5 7.1 5.9 12.8 12.9 10.5 11.5 15.8 14.9 12.4 13.5 9.9
g ef g fg g g bc bc de cde a ab cd bc e
Umur berbunga (hari) Utama 73.3 74.0 73.7 74.0 73.3 73.0 82.0 81.3 82.3 82.7 82.3 82.0 82.0 82.7 82.7
c c c c c c ab b ab a ab ab ab a a
Ket : Angka dalam kolom yang sama yang dikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %. D1 = 100 kg urea + 75 kg SP36 + 0 kg KCl, D2 = 100 kg urea + 0 kg SP36 + 50 kg KCl, dan D3 = 0 kg urea + 75 kg SP36 + 50 kg KCl.
Ratun 13.7 13.0 14.0 13.0 14.3 14.3 6.3 6.7 4.7 10.0 9.7 7.0 14.7 13.3 13.7
ab ab ab ab ab ab cd cd d ab bc cd a ab ab
U
10 10 10 10 10 10 11 11 11 11 11 11 11 11 11
67
dan nyata lebih rendah dibandingkan pemupukan dengan N, baik yang dikombinasikan dengan P maupun K (D1 dan D2). Jika dibandingkan dengan tanaman utamanya, maka jumlah anakan produktif varietas Cimelati, Hipa-5 dan Rokan setara dan lebih tinggi dibandingkan tanaman utamannya (Tabel 12). Jumlah gabah total tanaman utama > 150 butir/malai. Pada ratun jumlah gabah total tertinggi dihasilkan galur PTB sawah IPB106-7-47-Dj-1 yang dipupuk dengan 45 kg/ha N dan 27 kg/ha P2O5 atau D1.
Empat genotipe lainnya
memberikan hasil terbaik ketika dipupuk dengan N sebanyak 45 kg/ha dan 30 kg/ha K2O atau D2. Pemupukan dengan perlakuan D1 dan D2 lebih baik dibandingkan D3 dalam hal meningkatkan jumlah gabah ratun (Tabel 13). Jumlah gabah isi tanaman utama galur PTB sawah IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1 lebih banyak dibandingkan genotipe lainnya, namun lebih rendah dibandingkan hasil di rumah kaca (Tabel 9).
Pada ratun galur PTB sawah
IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1 pemupukan N dengan dosis 45 kg/ha N yang dikombinasikan dengan 27 kg/ha P2O5 (D1) meningkatkan jumlah gabah isi, tetapi secara statistik tidak berbeda nyata. Secara umum persen gabah hampa tanaman utama lebih rendah dibandingkan ratun. Pemupukan N pada ratun, baik yang dikombinasikan dengan P maupun K (D1 dan D2) menekan persen gabah hampa ratun semua genotipe, kecuali pada varietas Rokan. Pada varietas yang sama pelakuan pupuk tidak nyata secara statistik, ini menunjukkan unsur N, P dan K diperlukan sama bagi setiap genotipe. Diperolehnya hasil ratun yang lebih baik ketika diberi perlakuan N baik yang dikombinasi dengan P maupun K.Galur IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-81 serta varietas hibrida Rokan menghasilkan ratun tertinggi dengan pemupukan 45kg/ha N + 27 kg/ha P2O5 (D1), dengan produksi masing-masing adalah 1.6 t/ha, 1.8 t/ha dan 2.9 t/ha.Varietas Cimelati dan Hipa-5 menghasilkan ratun tertinggi pada pemupukan 45kg/ha N + 30 kg/ha K2O (D2), dengan hasil ratun masingmasing 2.8 t/ha dan 3.0 t/ha.Produksi semua genotipe berkisar antara 38.1% 56.6% terhadap tanaman utama (Tabel 13).
Tabel 13. Komponen hasil dan hasil lima genotipe padi yang diberi perlakuan pemupukan. GENOTIPE IPB106-7-47-Dj-1
IPB106-F-8-1
Cimelati
Hipa-5
Rokan
Dosis Pupuk D1 D2 D3 D1 D2 D3 D1 D2 D3 D1 D2 D3 D1 D2 D3
Panjang malai (cm) Utama Ratun 26.3 26.0 27.2 25.1 24.9 26.9 26.3 26.2 26.2 25.3 23.2 26.0 24.1 22.4 25.0
ab abc a abcd abcd ab ab ab ab abc cd abc bcd d abcd
21.5 19.2 18.4 21.1 21.3 18.6 18.9 20.0 19.5 17.9 19.8 18.1 18.8 18.4 18.5
a abcd cd abc ab cd abcd abcd abcd d abcd d bcd cd cd
Gabah total/malai (butir) Utama Ratun 193.0 abc 81.7 a 164.4 abcde 60.1 abc 212.2 a 56.6 bcd 177.6 abcde 74.9 abc 165.1 abcde 76.2 abc 196.7 ab 54.7 cd 176.2 abcde 56.6 bcd 185.9 abcd 68.0 abc 163.9 abcde 62.1 abc 179.0 abcde 55.6 bcd 138.9 cde 76.9 ab 156.1 abcde 65.8 abc 123.9 e 50.3 d 150.6 bcde 54.8 cd 133.5 de 50.2 d
Ket : Angka dalam kolom yang sama yang dikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %. D1 = 100 kg urea + 75 kg SP36 + 0 kg KCl, D2 = 100 kg urea + 0 kg SP36 + 50 kg KCl, dan D3 = 0 kg urea + 75 kg SP36 + 50 kg KCl.
diberi perlakuan pemupukan. GENOTIPE IPB106-7-47-Dj-1
IPB106-F-8-1
Cimelati
Hipa-5
Rokan
Dosis Pupuk D1 D2 D3 D1 D2 D3 D1 D2 D3 D1 D2 D3 D1 D2 D3
% Gabah hampa/malai (butir) Utama Ratun 16.1 bcd 27.5 bc 12.0 d 19.4 d 15.0 bcd 27.3 bc 13.5 cd 25.5 cd 19.4 bcd 30.6 bc 20.7 abcd 31.1 bc 23.6 abc 24.8 abc 28.3 ab 27.9 b 20.1 bcd 24.5 bcd 31.5 ab 27.8 b 33.9 a 28.9 b 27.3 abcd 31.6 bc 29.1 abc 50.8 a 26.8 abcd 37.1 bc 37.3 a 41.2 ab
Bobot 1000 butir Utama 20.37 de 20.85 de 20.54 de 20.34 de 19.29 e 20.44 de 28.61 a 27.88 a 28.31 a 25.19 bc 24.90 bc 25.57 b 25.46 b 23.62 c 21.56 d
Ket : Angka dalam kolom yang sama yang dikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %. D1 = 100 kg urea + 75 kg SP36 + 0 kg KCl, D2 = 100 kg urea + 0 kg SP36 + 50 kg KCl, dan D3 = 0 kg urea + 75 kg SP36 + 50 kg KCl.
Ratun 21.05 c 20.52 c 20.55 c 20.42 c 20.58 c 20.30 c 27.79 a 27.79 a 27.11 ab 25.16 b 27.56 ab 25.68 b 27.29 ab 25.67 b 26.31 ab
6
Respon genotipe terhadap pemupukan dipengaruhi oleh tingkat dosis dan jenis pupuk yang diberikan.
Hasil ratun beberapa genotipe lebih baik pada
perlakuan D1 dan D2, dan lebih baik dibandingkan ratun yang dipupuk tanpa N (D3). Ini menunjukkan pupuk N penting untuk perbaikan karakter pertumbuhan dan karakter produksi ratun. Jumlah anakan produktif ratun yang meningkat pada perlakuan D1 dan D2, tentu diikuti bertambahnya jumlah daun dan bagian tanaman hijau lainnya seperti batang, yang mungkin meningkatkan laju proses fotosintesis. Menurut Zhao-wei et al. (2003) aplikasi N pada tanaman utama memacu terbentuknya tunas dan anakan ratun. Sekitar sepertiga dari serapan N yang diendapkan pada batang tanaman utama, secara bertahap diangkut dan dimanfaatkan untuk pembentukan tunas dan anakan ratun (Zhao-wei et al. 2003). Islam et al.(2008) melaporkan aplikasi N pada ratun meningkatkan akumulasi N pada daun dan batang ratun yang terbentuk. Selanjutnya sebanyak 57-76% akan ditranslokasikan ke bagian pembentukan bunga dan dimanfaatkan untuk pembentukan bulir ratun. Sumber N baik yang berasal dari tunggul dan bagian lain tanaman utama maupun dari daun dan batang ratun akan dimanfaatkan untuk pembentukan biji (Zhao-wei et al. 2003). Terdapat peningkatan jumlah anakan ratun varietas Hipa-5 pada perlakuan D3 dibanding D1 dan D2 (Tabel 13). Ini menunjukkan respon genotipe terhadap pupuk P dan K dalam meningkatkan komponen produksi ratun. Menurut Zhong et al. (2005) terdapat peran P dan K dalam pertumbuhan dan perkembangan ratun. Unsur P dan K yang diaplikasikan pada ratun akan diabsorpsi dan didistribusi ke bagian reproduktif tanaman ratun. Dalam kaitan ini unsur K pada ratun lebih berperan dalam pembentukan karbohidrat, meningkatkan aktivitas enzim (Rosmarkam dan Yuwono 2002) dan menghasilkan batang produktif.Unsur P selain memacu pembungaan dan pembentukan biji, juga meningkatkan jumlah gabah per malai.Keduanya secara bersama-sama merangsang pengisian biji, meningkatkan ukuran dan bobot biji, sehingga dapat meningkatkan hasil gabah dan bulir gabah yang bernas (De Datta 1981). Pengaruh Pemupukan terhadap Perkembangan Akar Pengamatan terhadap akar ratun yang dilakukan pada fase reproduktif dan pemasakan menunjukkan bahwa perbedaan genotipe dan tingkat dosis pupuk
berpengaruh terhadap karakter panjang akar, jumlah akar dan bobot kering akar. Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa panjang akar dan jumlah akar ratun pada fase reproduktif lebih panjang dan lebih banyak dibandingkan fase pemasakan.Ini terjadi pada semua tingkat dosis pemupukan dan genotipe. Pada fase reproduktif pemupukan dengan dosis 45 kg/ha N dan 27 kg/ha P2O5 (D1) panjang akar galur IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1, tidak berbeda nyata dengan varietas hibrida Hipa-5 dan Rokan, kecuali dengan Cimelati yang berbeda nyata.Pada fase pemasakan pemupukan 45 kg/ha N dan 30 kg/ha K2O (D2) terdapat galur IPB106-7-47-Dj-1 yang berbeda nyata dengan Cimelati.Hal ini menunjukkan pemupukan N sangat berperan dalam pertumbuhan ratun. Menurut Slaton et al. (1990) pemupukan N memacu perkembangan akar rambut sehingga meningkatkan penyerapan, hara selanjutnya meningkatkan jumlah gabah isi. Panjang akar meningkat hingga mencapai tingkat pertumbuhan maksimum pada saat reproduksi awal hingga inisiasi malai. Pada fase ini panjang akar dapat meningkat hingga 54%, tetapi kemudian menurun selama proses pengisian biji. Tabel 14. Pengaruh pemupukan terhadap panjang akar, jumlah akar dan bobot kering akar ratun lima genotipe padi pada fase reproduktif dan pemasakan di lahan pasang surut. Genotipe
Dosis Pupuk
IPB106-7-47-Dj-1
IPB106-F-8-1
Cimelati
Hipa-5
Rokan
D1 D2 D3
Panjang akar (cm) Reproduktif 25.2 23.3 19.5
a abc abcde
Pemasakan 21.2 18.7 18.2
a abc abcd
Jumlah akar Reproduktif 209.2 167.2 141.3
bc bc c
Pemasakan 133.5 94. 7 127.2
abcd cd abcd
D1
21.3
abcd
19. 7
a
196.2
bc
86.3
D2 D3
24.0 19.5
ab abcde
18. 3 19.5
abcd ab
222.5 245.3
bc abc
105.5 156.3
d bcd ab
D1 D2
15. 7 17.3
de cde
15. 7 12.8
abcd d
186.2 153.0
bc c
133.2 147.5
abcd abc
D3
17.2
cde
13.3
cd
267.0
ab
139.8
abcd
D1
19.3
abcde
16.2
abcd
220. 7
bc
164.0
a
D2 D3
16.2 17.8
de bcde
16.0 13.8
abcd bcd
217.2 163.0
bc bc
135.5 123.3
abcd abcd
D1 18.2 bcde 17.2 abcd 342.3 a 142.8 abc D2 18.3 bcde 17.3 abcd 218.7 bc 158.5 ab D3 14.5 e 16.5 abcd 179.3 bc 129.2 abcd Ket : Angka dalam kolom yang sama yang dikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %. D1 = 100 kg urea + 75 kg SP36 + 0 kg KCl, D2 = 100 kg urea + 0 kg SP36 + 50 kg KCl, dan D3 = 0 kg urea + 75 kg SP36 + 50 kg KCl.
Pupuk P yang diaplikasikan pada ratun dapat meningkatkan fotosintesis dan pertumbuhan akar ratun (Gardner et al. 1991). Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah akar ratun varietas Rokan pada fase reproduktif meningkat pada perlakuan D1 dan tertinggi diantara genotipe lainnya, yaitu sebanyak 342.2 akar per rumpun, namun tidak berbeda dengan perlakuan D3 pada genotipe IPB106-F-8-1 dan Cimelati. Hasil ini diduga terjadi karena pengaruh pupuk N dan P yang diaplikasikan pada ratun.Adapun pada fase pemasakan, pemupukan D1 menekan jumlah akar galur IPB106-F-8-1 sehingga berbeda nyata dengan genotipe lainnya. Hirasawa (1999) menyatakan bahwa jumlah akar dan bobot kering akar dipengaruhi oleh fase pertumbuhan dan pola distribusi bervariasi antar genotipe (Tabel 14). Nisbah Tajuk Akar Hasil pengamatan menunjukkan pemupukan N dan P dengan dosis 45 kg/ha N dan 27 kg/ha P2O5 (D1) meningkatkan bobot kering tajuk varietas PTB Cimelati dan varietas hibrida Rokan dan berbeda nyata dengan perlakuan D2. Sebaliknya pada level D2 dan D3 tidak ada perbedaan antar genotipe dalam hal bobot kering tajuk. Untuk bobot kering akar, pemupukan 45 kg/ha N dan 27 kg/ha P2O5 (D1) meningkatkan bobot kering akar varietas Rokan, sehingga berbeda nyata dengan perlakuan D2. Pada level D2 tidak terjadi perbedaan antar genotipe dalam hal bobot kering akar. Adapun perlakuan pemupukan tanpa N (D3) meningkatkan bobot kering akar galur IPB106-7-47-Dj-1 dan berbeda nyata dengan perlakuan D2. Hal yang menarik pada pengamatan ini adalah diperolehnya nisbah tajuk akar tertinggi pada pemupukan tanpa N (perlakuan D3) yang terjadi pada varietas Cimelati, dan terendah pada galur IPB106-7-47-Dj-1 yang berbeda sangat nyata antar keduanya. Kondisi ini membuktikan bahwa pemupukan tanpa N atau pemupukan P dan K turut berperan meningkatkan bobot kering tajuk dan menurunkan bobot kering akar, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan diaplikasi N. Penurunan bobot kering akar berkisar antara 9.19%-27.59% untuk IPB106-F-8-1, 29.34%-32.47% untuk Cimelati dan 21.73%-24.87% untuk Hipa-5, dari pemupukan dengan N (D1 dan D2) (Tabel 15).
Tabel 15. Bobot kering tajuk, akar dan nisbah tajuk akar ratun lima genotipe padi saat pertumbuhan generatif Bobot kering Bobot kering Nisbah tajuk (g) akar (g) Tajuk/Akar 11.86 bc 2.35 bcd IPB106-7-47-Dj-1 5.04 ab 5.51 ab 10.25 bc 1.86 cd 2.92 b 12.40 bc 4.25 ab IPB106-F-8-1 D1 10.58 bc 2.32 bcd 4.55 ab D2 11.42 bc 1.85 cd 5.51 ab D3 9.93 bc 1.68 d 5.91 ab Cimelati D1 16.23 ab 2.71 bcd 5.99 ab D2 9.37 c 2.59 bcd 3.62 ab D3 13.06 bc 1.83 cd 7.14 a Hipa-5 D1 14.79 bc 3.74 abcd 3.96 ab D2 11.96 bc 3.59 abcd 3.33 ab D3 12.43 bc 2.81 bcd 4.42 ab Rokan D1 21.62 a 5.38 a 4.02 ab D2 14.43 bc 2.64 bcd 5.47 ab D3 12.06 bc 3.86 abc 3.12 ab Ket : Angka dalam kolom yang sama yang dikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5 %. Genotipe
Dosis pupuk D1 D2 D3
Interaksi antara genotipe dan dosis pemupukan berpengaruh terhadap produktivitas biomassa ratun. Tingkat serapan akar terhadap pupuk khususnya N tergantung pada luas permukaan akar. Dilaporkan bahwa luas permukaan akar sangat dipengaruhi total panjang akar, dan terdapat hubungan linear antara bobot kering tajuk terhadap panjang akar pada berbagai tahap pertumbuhan varietas padi yang berbeda. Diameter akar padi hampir semua varietas padi adalah sama (Shin 1989). Peningkatan nisbah tajuk akar terjadi karena perubahan partisi fotosintat ke tajuk dan akar, dan memunculkan dugaan bahwa pemberian pupuk pada ratun meningkatkan kapasitas sink dan source genotipe padi terutama pada fase reproduktif, dan memacu perkembangan akar seperti cabang-cabang akar, panjang akar, dan meningkatkan volume akar, yang pada akhirnya meningkatkan hasil ratun (Jing-sheng et al. 1999).
SIMPULAN Pemupukan dengan dosis 45 kg/ha N + 27 kg/ha P2O5 (D1), varietas Rokan menghasilkan ratun sebesar 2.9 t/ha dan berbeda nyata dengan galur IPB106-7-47Dj-1 dan IPB106-F-8-1, dengan produksi ratun masing-masing adalah 1.6 dan 1.8 t/ha. Pada pemupukan D2 atau 45 kg/ha N + 30 kg/ha K2O (D2), menghasilkan ratun tertinggi yaitu 3.0 t/ha dan 2.8 t/ha masing-masing untuk varietas Hipa-5 dan Cimelati, yang berbeda nyata dengan galur IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F8-1. Produksi ratun semua genotipe berkisar antara 38.1-56.6% terhadap tanaman utama.
PENGARUH TINGGI PENGGENANGAN AIR SELAMA PERIODE GENERATIF TERHADAP HASIL RATUN Effect of Water Level During Generative Periods to Rice Ratoon Production ABSTRAK Penelitian bertujuan mengevaluasi tinggi genangan air selama periode generatif terhadap hasil ratun, dan mendapatkan informasi fisiologi dalam meningkatkan produktivitas ratun. Penelitian dilaksanakan dengan rancangan acak kelompok dua faktor dan tiga ulangan. Faktor utama tiga tingkat genangan air yaitu : 0 cm (macak-macak), 2 cm (basah) dan 5 cm (tergenang). Faktor kedua adalah lima genotipe padi terpilih dari hasil penelitian sebelumnya, yaitu varietas Cimelati, hibrida Hipa-5 dan Rokan, serta dua galur PTB sawah yaitu IPB106-747-Dj-1 dan IPB106-F-8-1. Pengamatan dilakukan terhadap karakter pertumbuhan dan produksi tanaman utama dan ratun, serta fisiologi ratun berupa kandungan sukrosa dan klorofil daun. Data dianalisis dengan uji F, jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%. Hasil menunjukkan penggenangan 0-2 cm, meningkatkan pertumbuhan, hasil dan komponen hasil ratun, serta meningkatkan kandungan klorofil total dan sukrosa daun. Bobot kering jerami meningkat dan berkorelasi dengan hasil ratun dengan R2= 0.315. Pada penggenangan 0-2 cm galur IPB106-F-8-1, menghasilkan jumlah gabah total dan gabah isi > 200 butir/malai, serta bobot kering jerami yang tinggi. Pada penggenangan 2 cm kandungan klorofil total dan sukrosa daun tinggi, tetapi hanya varietas Hipa-5 yang nyata meningkat dan berbeda, dengan hasil ratun sebesar 66.0% terhadap tanaman utama. Kata kunci : klorofil, produksi ratun, sukrosaABSTRACT The objectives of the study were to evaluate the height of water level during reproductive periods to ratoon, and to determine physiologica information in order to improve the productivity of ratoon. The research used two-factor in a randomized block design with three replications. The first factor was three-level of water, i.e. : 0 cm, 2 cm and 5 cm. The second factor was rice genotypes i.e. Cimelati, Hipa-5, Rokan, IPB106-7-47-Dj-1 and IPB106-F-8-1. Observations were conducted on characters of growth and production of main crops and ratoon, and observations on the physiology of ratoon (sucrose and chlorophyll content). Data were analyzed by ANOVA and DMRT at 5% level, using SAS program. The results showed that level of water 0 cm and 2 cm, increased growth characters, yield and yield components of ratoon, and increased total content of chlorophyll and leaf sucrose. Dry mass was increased and correlated with the ratoon yield with R2=0.315. At level of water 0 cm and 2 cm, IPB106-F-8-1, resulted in total grain and filled grain more than 200 grains/panicle and straw dry weight was also higher than those of 5 cm water level. At 2 cm water level, Hipa-5 had the highest total chlorophyll and chlorophyll b. However, each sucrose was not affected by water level treatment. Key words: chlorophyll, rice-ratoon production, sucrose
PENDAHULUAN Padi adalah tanaman semi aquatic, dapat tumbuh dengan baik dari fase bibit hingga fase dewasa pada kondisi air tersedia, bahkan pada saat terjadi genangan. Tanaman padi dapat ditanam di beberapa ekosistem, seperti dataran rendah, irigasi, tadah hujan, air dalam, dan pasang surut. Respon tanaman terhadap defisit air tergantung pada intensitas dan lamanya kondisi tersebut dialami serta fase pertumbuhan tanaman.
Pada tanah sawah penggenangan dapat menyebabkan
berbagai perubahan sifat kimia dan biologi tanah yang mempengaruhi ketersedian dan penyerapan hara oleh padi sawah. Perubahan sifat kimia tersebut hampir selalu dipengaruhi oleh proses reduksi-oksidasi secara biologis sebagai akibat dari kurangnya oksigen. Oksigen dalam air genangan yang mencapai tanah atau sedikit di bawah permukaan tanah, dengan cepat digunakan oleh mikroorganisme untuk berbagai reaksi kimia.
Pada tanah masam, pengenangan dapat menyebabkan
kenaikan pH (Hardjowigeno 2003).
Secara normal jumlah air yang diperlukan tanaman padi per hektar berbedabeda sesuai genotipe dan fase petumbuhannya. Padi sawah memerlukan air cukup banyak dan genangan air diperlukan untuk menekan pertumbuhan gulma. Pada padi varietas unggul, tinggi genangan air umumnya 50-75 mm, dengan maksimum genangan air sekitar 150 mm. Pada padi lokal genangan air yang diperlukan lebih tinggi yaitu 100-120 mm. Pemberian air atau penggenangan secara bertahap (terputus) dapat mengubah iklim mikro di sekitar tanaman, seperti meningkatkan kelembaban tanah dan mengurangi fluktuasi suhu pada siang dan malam hari (Rohmat dan Suardi 2007). Pada fase vegetatif pemberian air selama 2 sampai 3 hari sebelum tanam, bertujuan mempermudah pemberian pupuk dasar dan mempermudah penanaman. Pada fase primordia tinggi genangan 7-10 cm, tujuannya agar kelembaban dan suhu tanaman terjaga dan proses pembentukan bakal malai tidak terganggu. Memasuki
fase generatif khususnya fase pemasakan, kebutuhan air mulai berkurang bahkan harus dikeringkan ketika 2 minggu sebelum panen, agar pemasakan malai padi merata dan pematangan biji lebih cepat (Rohmat dan Suardi 2007). Kondisi ini
penting untuk mewujudkan keadaan lingkungan optimal bagi tanaman padi, sehingga dapat memperbaiki perkembangan akar, meningkatkan ketersedian hara,
mengubah morfologi dan fisiologi padi, yang mendukung berlangsungnya proses fotosintesis dengan baik (Marschner 1995). Pada usahatani padi dengan sistem ratun, kelangsungan proses fotosintesis sangat ditentukan oleh keadaan tunggul tanaman yang masih tersisa setelah panen tanaman utama, demikian juga dengan daya vigor dari sistem perakarannya. Tunggul yang vigor merupakan prasyarat untuk keberhasilan tanaman ratun. Hal ini dapat dipengaruhi oleh genotipe tanaman dan faktor lingkungan lainnya seperti kelembaban, suhu dan cahaya. Ratun akan menghasilkan tunas jika keadaan tunggul setelah panen tetap hijau (Charoen 1993), dan diperlukan ketersediaan air untuk mempertahankan daya vigor pada tunggul setelah panen (Dawn 2001). Pengelolaan air sebelum dan setelah panen tanaman utama mempengaruhi daya hasil ratun (Jason 2005). Dalam hubungannya dengan tinggi pemotongan panen, Jason (2005) dan Nakano et al. (2009), menjelaskan bahwa apabila penggenangan air dilakukan sebelum panen tanaman utama, yang diberikan macak-macak, maka tinggi pemotongan panen tanaman utama umumnya rendah atau 5 cm dari permukaan tanah. Keadaan ini cukup memacu pertumbuhan tunas ratun. Penggenangan berikutnya terhadap ratun dapat dilakukan ketika tunas ratun telah mencapai 10-15 cm, sebab jika dilakukan segera setelah panen tanaman utama dapat mengakibatkan tunggul tergenang dan mengalami kematian (Jason 2005; Nakano et al. 2009). Sebaliknya apabila lahan dikeringkan menjelang panen, tinggi pemotongan tunggul umumnya lebih tinggi atau sekitar 15 cm dari permukaan tanah. Dengan demikian penggenangan terhadap ratun dapat dilakukan segera setelah panen tanaman utama dan tunggul tidak tenggelam. Tunggul yang tersisa terlihat tetap hijau dan vigor, serta nyata mempercepat pertumbuhan tunas ratun dan menghasilkan pertumbuhan yang seragam (Jason 2005). Penggenangan dapat membantu pergerakan hara dalam tanah, sehingga mudah diserap oleh akar. Penggenangan juga meningkatkan translokasi asimilat dari tunggul tanaman utama ke bagian lain terutama ke bagian pembentukan tunas-tunas ratun (Jason 2005).
Ratun yang kekurangan air mengakibatkan
tunggul kering dan tidak mampu menghasilkan tunas-tunas ratun. Pada fase yang
lebih lanjut kekurangan air menyebabkan malai yang dihasilkan hampa (Dawn, 2001). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tinggi genangan air selama periode generatif terhadap pertumbuhan dan produksi ratun, serta mendapatkan informasi fisiologi dalam meningkatkan produktivitas ratun. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2009 – Juli 2010, di rumah kaca Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm, IPB Bogor (± 240 meter di atas permukaan laut), dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor. Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah lima genotipe padi yang sama dengan pengujian sebelumnya yaitu : varietas semi PTB Cimelati, varietas hibrida (Hipa-5 dan Rokan), dan galur PTB sawah (IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1). Bahan lainnya adalah tanah, pupuk kandang, pupuk urea, SP36, dan KCl. Bahan tanaman berasal dari pemulia tanaman padi pada Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, dan IPB. Metode Penelitian Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dua faktor dengan tiga ulangan. Faktor pertama berupa tiga tingkat genangan air yaitu 0 cm, 2 cm dan 5 cm. Faktor kedua lima genotipe padi yaitu : varietas semi PTB Cimelati, varietas hibrida Hipa-5 dan Rokan, dan galur PTB sawah IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106F-8-1. Jumlah satuan percobaan adalah 5 x 3 x 3 = 45. Data dari semua peubah yang diamati baik untuk tanaman utama maupun ratun dianalisis ragam dengan uji F, jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5%. Pelaksanaan Penelitian Benih kelima genotipe padi yang akan diuji disemai dalam bak plastik berisi tanah subur hingga berumur 15 hari. Bibit dipindahkan ke dalam ember plastik hitam yang berisi tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1 (v : v), dengan jumlah tanah sekitar 10 kg/ember. Bibit ditanam di ember yang berisi
tanah dalam kondisi macak-macak, dengan jumlah satu bibit per ember. Pupuk urea, SP36, dan KCl diberikan dengan dosis 1.6 g urea (250 kg/ha), 0.6 g SP36 (100 kg/ha) dan 0.9 g KCl (150 kg/ha) per ember. Dosis tersebut sesuai rekomendasi pemupukan padi sawah di wilayah BPP Dramaga, Bogor (Sugiyanta, 2008). Setengah dari dosis pupuk urea dan seluruh pupuk SP36 dan KCl diberikan pada saat tanam dan sisa urea diberikan empat minggu setelah tanam. Penyiraman tanaman utama dilakukan secara berselang setiap dua hari dengan ketinggian air 2 cm hingga memasuki fase pemasakan (gabah mulai berisi dengan cairan seperti susu). Pada fase pemasakan tanaman utama (gabah matang susu, gabah setengah matang, gabah matang penuh) pemberian air mulai diatur sesuai perlakuan yaitu 0 cm, 2 cm dan 5 cm, yang diberikan secara berselang yaitu setiap dua hari hingga panen ratun. Pemberian insektisida hanya dilakukan apabila terdapat gejala serangan organisme pengganggu. Panen tanaman utama dilakukan apabila bulir pada malai telah berwarna kuning mencapai 80%. Setelah panen tanaman utama dilakukan pemotongan tanaman padi hingga tersisa tunggul setinggi 20 cm dari permukaan tanah, sesuai tinggi pemotongan yang terpilih dari penelitian sebelumnya. Penyiraman atau pemberian air diberikan sesuai perlakuan yaitu 0 cm, 2 cm dan 5 cm, yang diberikan secara berselang setiap dua hari hingga panen ratun. Pupuk diberikan dua hari setelah panen tanaman utama dengan dosis 100 kg urea/ha urea dan 75 kg SP-36/ha atau setara dengan 45 kg N dan 27 kg P2O5 per hektar, setara dengan 0.6 g urea/ember dan 0.5 g SP-36/ember. Tunas yang muncul dari bekas potongan tanaman utama dianggap sebagai ratun jika telah memiliki sedikitnya dua daun membuka sempurna, tanpa membedakan ukuran daun. Pengamatan terhadap tanaman utama dan ratun meliputi karakter pertumbuhan dan karakter produksi mengacu kepada petunjuk pada SES (1996), sebagai berikut : tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung malai terpanjang (cm); diamati saat stadia masak susu atau menjelang panen. Jumlah anakan produktif yang diamati setelah keluar panen, atau jumlah anakan total yang diamati saat stadia bunting. Umur berbunga, diamati jumlah hari saat tanaman berbunga 50%. Jumlah gabah per malai, dihitung total keberadaan gabah dalam satu malai, baik hampa maupun bernas.
Jumlah gabah isi per malai,
dihitung dari jumlah gabah yang bernas dalam satu malai. Jumlah gabah hampa per malai, dihitung jumlah gabah kosong dalam satu malai. Bobot 1000 biji (gram), diamati dengan menimbang 1000 butir gabah bernas yang berkadar air 13–14%.
Pengukuran kehijauan daun digunakan alat Soil Plant Analysis
Development (SPAD-502). Khusus pada ratun, dilakukan pengamatan fisiologi daun. Daun yang diamati diambil saat ratun berumur 3 minggu setelah panen tanaman utama atau masa reproduktif aktif. Jumlah daun yang diambil sebanyak dua daun per rumpun dan daun yang diambil adalah daun kedua dari atas atau di bawah daun bendera. Analisis dilakukan terhadap kandungan sukrosa dan klorofil daun ratun baik klorofil total, klorofil a maupun klorofil b. Teknik pelaksanaan mengacu kepada Yoshida et al. (1976). HASIL DAN PEMBAHASAN PeubahVegetatif dan Generatif Hasil analisis menunjukkan tinggi tanaman ratun dan jumlah anakan produktif setiap genotipe tidak berbeda nyata baik pada penggenangan 0, 2 dan 5 cm. Terdapat varietas yang berbeda nyata pada penggenangan 2 cm, yaitu Hipa-5 yang berbeda nyata dengan IPB106-F-8-1. Secara statistik jumlah anakan produktif semua genotipe tidak berbeda nyata, walaupun hasil pengamatan menunjukkan jumlah anakan produktif yang dihasilkan hampir semua genotipe tinggi, terutama pada penggenangan 2 cm. Jumlah anakan yang banyak atau > 35 anakan dihasilkan varietas Rokan, Hipa-5 dan Cimelati, yang terjadi pada penggenangan 2 cm. Untuk umur berbunga, terdapat interaksi antara tinggi genangan dan genotipe.
Tinggi penggenangan 0 cm mempercepat umur berbunga genotipe
IPB106-F-8-1 dan Hipa-5. Umur panen tidak berbeda nyata antar genotipe (Tabel 16). Penggenangan yang baik atau yang diberikan secara berselang dan macakmacak dapat mempengaruhi iklim mikro tanaman.
Kondisi demikian, dapat
membuat tanah menjadi lembab dan memungkinkan lebih banyak oksigen yang tersedia bagi pertumbuhan tanaman dan akar, dibandingkan tanah yang padat dan
kering. Menurut Catling (2002) akar berpengaruh terhadap pertumbuhan bagian atas tanaman. Selanjutnya Gardner et al. (1991) menjelaskan ketersediaan air diperlukan tanaman untuk perbesaran luas daun, sehingga meningkatkan fotosintesis. Penggenangan setinggi 5 cm dapat membuat akar sulit tumbuh dan menyebar serta kekurangan oksigen. Akibatnya jumlah anakan yang dihasilkan lebih sedikit (Berkelaar 2001). Tabel 16. Karakter pertumbuhan ratun pada berbagai tinggi genangan air Tinggi genangan (cm)
Genotipe
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah Anakan produktif
Umur berbunga (hari)
Umur panen (hari
IPB106-7-47-Dj-1
0 2 5
100. 7 106.0 97.0
abcd abc abcd
22.3 16.0 20.7
a a a
19.7 17.0 18.0
abc bcd abcd
53.3 54.0 54.7
ab ab ab
IPB106-F-8-1
0 2 5
101.0 114. 7 109.3
abcd a ab
20.0 12.3 16.0
a a a
10.7 13.7 20.0
e de ab
56.3 53.0 53.0
a ab ab
Cimelati
0 2
81.3 96.3
bcd abcd
23.7 35.3
a a
16.3 18.3
bcd abcd
55.3 54.7
ab ab
5
92.0
abcd
16.0
a
16.0
bcd
57.0
a
0 2
75.5 82.0
d bcd
22.0 35.3
a a
11.0 18.3
e abcd
56.0 53.3
a ab
5
77.3
cd
23.3
a
22.3
a
52.3
ab
0
87.0
abcd
13.0
a
15.0
abcd
53.0
ab
2 5
90.0 91.3
abcd abcd
39.0 21.3
a a
14.7 18.7
cde abcd
51.7 53.7
b ab
Hipa-5
Rokan
Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.
Komponen Hasil Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
penggenangan
selama
periode
reproduktif berpengaruh terhadap jumlah gabah total dan jumlah gabah isi per malai tanaman utama dan ratun. Untuk jumlah gabah total per malai tanaman utama, Rokan dan IPB106-7-47-Dj-1 menghasilkan jumlah gabah total tertinggi pada penggenangan macak-macak atau 0 cm. Pada level ini galur IPB106-7-47Dj-1 nyata berbeda dengan penggenangan 5 cm, dan jumlah gabah total varietas Rokan nyata meningkat dan lebih tinggi pada penggenangan 0 cm dibandingkan penggenangan 2 cm dan 5 cm. Pada penggenangan 0 cm kedua genotipe tersebut (IPB106-7-47-Dj-1 dan Rokan) berbeda nyata dengan varietas Cimelati dan Hipa-
5. Demikian juga dengan ratun, penggenagan 0 cm nyata meningkatkan jumlah gabah total ratun genotipe IPB106-7-47-Dj-1, IPB106-F-8-1, Cimelati dan Hipa-5, sedangkan pada Rokan jumlah gabah total meningkat pada penggenangan 2 cm (Tabel 17). Tabel 17. Komponen jumlah gabah total dan jumlah gabah isi lima genotipe padi Genotipe
Tinggi Genangan (cm)
IPB106-7-47-Dj-1
0
241.7
ab
198.3
bc
102.3
abc
112.7
bc
IPB106-F-8-1
2 5 0 2 5
194.3 112.3 219.3 211.3 165.0
abcd e abcd abc cde
87.0 176.3 263.0 251.7 120.0
gh bcd a a efg
111.3 39.7 99.7 77.3 110.7
ab d abc abcd ab
58.7 130.3 203.0 211.7 80.3
cde b a a bc
0 2 5 0
157.3 155.3 108.3 129.3
cde cde e de
142.7 79.3 57.0 205.0
def gh h b
37.7 63.7 45.0 35.3
d bcd d d
88.0 17.3 22.0 130.0
bc e de b
2 5 0 2 5
161.0 174.3 250.3 164.0 149.0
cde bcde a cde cde
156.3 79.3 100.0 151.7 105.3
bcde gh fgh cde efgh
62.7 52.7 55.0 99.3 117.3
bcd cd cd abc a
74.0 17.3 96.0 101.0 71.3
c e bc bc cd
Cimelati
Hipa-5
Rokan
Total gabah/malai Utama
Gabah isi/malai
Ratun
Utama
Ratun
Ket. : Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% berdasarkan uji wilayah berganda Duncan. Hasil analisis juga menunjukkan, penggenangan 5 cm nyata menurunkan jumlah gabah isi tanaman utama galur IPB106-7-47-Dj-1. Pada ratun penggenangan 5 cm menurunkan jumlah gabah isi galur IPB106-F-8-1 dan Hipa5. Sebaliknya penggenangan yang lebih rendah yaitu 0 cm meningkatkan jumlah gabah isi genotipe Cimelati, Hipa-5, IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1. Adapun penggenangan 2 cm pada galur IPB106-7-47-Dj-1 berbeda nyata dengan penggenangan 5 cm. Jika dibandingkan dengan tanaman utama, terlihat beberapa genotipe yang ratunnya menghasilkan jumlah gabah total dan jumlah gabah isi yang setara bahkan lebih tinggi dibandingkan tanaman utama. Pada penggenangan 0-2 cm ratun galur IPB106-F-8-1 menghasilkan jumlah gabah total dan gabah isi tertinggi dibandingkan genotipe lainnya. Malai yang dihasilkan juga lebih panjang
dibandingkan genotipe lainnya. Untuk varietas hibrida Hipa-5, walaupun jumlah gabah total dan jumlah gabah isi ratun tidak setinggi galur IPB106-F-8-1, tetapi penggenangan 0 cm dan 2 cm tetap memberikan hasil ratun yang lebih tinggi dibandingkan penggenangan 5 cm (Tabel 17). Studi lain menjelaskan hubungan antara distribusi hasil fotosintesis pada daun dengan kemampuan menghasilkan ratun, yang menyebutkan sekitar 65% 80% dari hasil fotosintesis daun didistribusikan ke ruas kedua dan ketiga tanaman ratun, yang berkorelasi positif dengan hasil dan komponen hasil ratun (Ai-zhong et al. 2007). Dalam hubungannya dengan varietas pada hibrida, Xiaobin (2004) menjelaskan rata-rata fotosintesis dan akumulasi bobot kering padi varietas hibrida lebih tinggi dibandingkan varietas inbrida. Persentase bahan yang terdapat pada batang setelah panen tanaman utama (tunggul) secara nyata dan positif berkorelasi dengan butir matang,
jumlah gabah isi, dan jumlah gabah total.
Translokasi cadangan yang tersisa di tunggul bagian bawah tinggi, dan terus meningkat dari awal pengisian biji hingga pematangan. Hasil penelitian menunjukkan redistribusi cadangan pada awal pengisian penting untuk menghasilkan biji yang bernas atau padat.
Selain itu meningkatnya rasio
karbohidrat/butir sebelum fase pembungaan dapat mempercepat transfer karbohidrat yang dapat digunakan berbagai aktivitas penting berupa pengisian biji, menekan gabah hampa dan meningkatkan gabah yang bernas (Zhenqi et al. 2007). Kandungan Klorofil dan Sukrosa Daun Dari hasil analisis yang dilakukan dengan mengekstraksi daun ratun di laboratorium, diketahui bahwa tinggi genangan air tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil dan sukrosa daun ratun semua genotipe, baik klorofil a, b maupun klorofil total, kecuali varietas Hipa-5. Interaksi antar genotipe menunjukkan penggenangan 0 cm pada galur IPB106-7-47-Dj-1 dan varietas Hipa-5 berbeda nyata dengan galur IPB106-F-8-1. Adapun penggenangan air 2 cm tidak berbeda nyata terhadap kandungan klorofil daun ratun semua genotipe, baik klorofil a, klorofil b maupun klorofil total, kecuali varietas Hipa-5. Pada varietas Hipa-5, penggenangan air 2 cm dari permukaan tanah nyata
meningkatkan kandungan klorofil a, klorofil b dan klorofil total dibandingkan penggenangan 5 cm. Jumlah klorofil a lebih tinggi dibandingkan klorofil b (Tabel 18). Klorofil a dan b berperan dalam proses fotosintesis tanaman. Menurut Lee et al. (2004) peningkatan kandungan klorofil a dan klorofil b menyebabkan kemampuan tanaman dalam menangkap cahaya lebih tinggi, sehingga fotosintesis lebih tinggi. Klorofil b berfungsi sebagai antena fotosintetik yang mengumpulkan cahaya. Peningkatan kandungan klorofil b yang pada kondisi ternaungi berkaitan dengan peningkatan protein klorofil sehingga akan meningkatkan efisiensi fungsi antena fotosintetik pada Light Harvesting Complex II (LHC II). Penyesuaian tanaman terhadap radiasi yang rendah juga dicirikan dengan membesarnya antena untuk fotosistem II. Membesarnya antena untuk fotosistem II akan meningkatkan efisiensi pemanenan cahaya (Hidema et al. 1992). Klorofil b yang berfungsi sebagai antena yang mengumpulkan cahaya untuk kemudian ditransfer ke pusat reaksi. Pusat reaksi tersusun dari klorofil a. Energi cahaya akan diubah menjadi energi kimia di pusat reaksi yang kemudian dapat digunakan untuk proses reduksi dalam fotosintesis (Taiz dan Zeiger 2002). Respon yang berbeda pada varietas Hipa-5 terhadap tinggi genangan dan perubahan kandungan klorofil, menunjukkan adanya interaksi antara keduanya. Penggenangan 2 cm meningkatkan kandungan klorofil a, b dan klorofil total varietas Hipa-5 dan berbeda nyata dengan penggenangan 5 cm. Untuk kandungan sukrosa daun, penggenangan air tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan sukrosa, baik antar tinggi genangan maupun antar genotipe. Kandungan sukrosa daun ratun semua varietas yang diuji secara statistic tidak berbeda nyata baik antar tinggi genangan maupun antar genotipe. Rata-rata kandungan sukrosa daun pada penggenangan 2 cm dari permukaan tanah adalah 6.84 mg/g bobot basah. Galur PTB IPB106-7-Dj-7-1 memiliki kandungan sukrosa total sebanyak 8.87 mg/g bobot basah (Tabel 18).
Tabel 18. Hasil analisis kandungan pigmen dalam bobot segar daun ratun pada perlakuan tingi genangan air. Genotipe
Tinggi Genangan (cm)
Klorofil a (μmol/100 cm2)
Klorofil b (μmol/100 cm2)
Klorofil total (μmol/100 cm2)
Sukrosa
IPB106-7-47-Dj-1
0 2 5
4.47 3.07 3.26
ab abc abc
1.49 0.83 0.88
ab abc abc
5.96 3.91 4.14
a abc abc
6.15 8.87 7.63
a a a
IPB106-F-8-1
0 2 5
1.55 2.78 2.74
c abc abc
0.30 0.92 0.71
c abc abc
1.85 3.70 3.44
c abc abc
7.08 5.41 6.65
a a a
Cimelati
0 2 5
2.90 2.48 2.84
abc abc abc
0.93 0.73 0.81
abc abc abc
3.83 3.21 3.65
abc abc abc
7.50 8.55 7.79
a a a
Hipa-5
0 2 5
3.93 4.63 2.21
abc a bc
1.40 1.58 0.59
ab a bc
5.33 6.21 2.80
ab a bc
5.91 8.34 5.19
a a a
Rokan
0 2 5
3.38 3.68 2.38
abc abc abc
0.97 1.31 0.58
abc ab bc
4.35 4.99 2.96
abc abc abc
6.27 6.18 7.08
a a a
Ket. : Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% berdasarkan uji wilayah berganda Duncan. Batang tanaman padi setelah dipanen (tunggul) dapat disebut sebagai bagian tanaman yang dorman. Tunggul harus tetap bertahan dan sehat, terutama daya tumbuh sistem perakarannya. Kondisi tunggul menunjukkan bahwa jika asimilat tersedia cukup, dan tingkat kesuburan batang dan akar dapat dipertahankan, maka tunas baru dari ratun atau anakan pertama dapat tumbuh antara hari kedua hingga hari kesepuluh setelah panen tanaman utama (De Datta dan Bernasor 1988). Ketersediaan air melalui penggenangan setelah panen tanaman utama, diduga berperan penting dalam membantu pergerakan karbohidrat yang tersisa pada tunggul tanaman.
Karbohidrat pada tunggul dapat dimanfaatkan bagian lain
tanaman, termasuk untuk merangsang pertumbuhan tunas baru, menghasilkan daun dan anakan ratun (Dawn 2001; Jason 2005). Bobot Kering Jerami dan Hasil Ratun Hasil pengamatan terhadap bobot kering jerami ratun menunjukkan bahwa hampir semua tinggi genangan tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering jerami semua genotipe, kecuali pada varietas Rokan.
Penggenangan 2 cm nyata meningkatkan bobot kering jerami Rokan dan berbeda nyata dengan penggenangan 0 cm. (Tabel 19). Bobot gabah per rumpun (hasil) tanaman utama lebih tinggi pada penggenangan 0-2 cm, namun secara statistik tidak berbeda nyata, kecuali pada varietas Hipa-5. Penggenangan 0 cm pada varietas Hipa-5 berbeda nyata dan lebih tinggi dibandingkan penggenangan 5 cm, dan berbeda juga dengan galur IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1.
Penggenangan 2 cm
pada varietas Hipa-5 hanya berbeda dengan galur IPB106-7-47-Dj-1. Pada penggenangan 5 cm tidak terdapat perbedaan antara genotipe dalam hal bobot gabah/rumpun tanaman utama (Tabel 18).
Pada ratun, hasil
pengamatan menunjukkan tidak ada perbedaan antar tinggi genangan dan antar genotipe dalam hal bobot gabah per rumpun (hasil) ratun. Tabel 19. Hubungan bobot kering brangkasan ratun terhadap hasil pada beberapa tinggi penggenangan Tinggi Bobot kering Bobot Gabah/ Bobot genangan Jerami ratun rumpun tan gabah/rumpun (cm) (g) utama (g) ratun (g) IPB106-7-47-Dj-1 0 18.0 c 17.9 cd 16.4 abc 2 38.2 abc 17.4 d 17.0 abc 5 27.8 bc 19.6 bcd 12.6 c IPB106-F-8-1 0 43.7 abc 15.9 d 14.8 bc 2 64.5 ab 23.3 abcd 17.1 abc 5 24.8 bc 15.5 d 15.0 bc Cimelati 0 28.3 bc 23.5 abcd 15.5 abc 2 41.8 abc 28.2 ab 19.9 ab 5 21.4 bc 19.9 abcd 14.1 bc Hipa-5 0 35.3 abc 29.0 a 17.1 abc 2 36.6 abc 27.1 abc 18.1 abc 5 48.5 abc 18.5 cd 16.3 abc Rokan 0 28.9 bc 20.1 abcd 19.1 ab 2 73.9 a 24.4 abcd 21.4 a 5 38.1 abc 21.2 abcd 18.2 abc Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5% berdasarkan uji wilayah berganda Duncan. Genotipe
Menurut Mawaki et al. (1990), penggenangan akan mengubah morfologi dan fungsi sistem perakaran untuk berkembang dengan baik atau sebaliknya. Menurut Dapeng (1994) respon genotipe terhadap penggenangan berbeda-beda.
Pada varietas
hibrida Shanyouming
86, penggenangan
menyebabkan sistem perakaran yang dihasilkan sangat berkembang dan berkorelasi dengan hasil tanaman utama dan ratun yang tinggi. Sebaliknya pada varietas Teyou 70 penggenangan menyebabkan sistem akar hanya berkembang pada tanaman utama saja, tetapi fungsinya menurun tajam setelah tanaman memasuki fase generatif, sehingga hasil ratun sangat rendah (Dapeng 1994). Hasil ratun varietas Hipa-5 pada penggenangan 0 cm dan 2 cm adalah 59.0% dan 66.8% terhadap hasil tanaman utama. SIMPULAN Penggenangan 0-2 cm berpengaruh terhadap komponen hasil dan hasil tanaman utama dan ratun.
Pada tanaman utama penggenangan air 0 cm
mempercepat umur berbunga varietas Hipa-5 dan galur IPB106-F-8-1 serta meningkatkan jumlah gabah total dan gabah isi varietas Rokan dan galur IPB1067-47-Dj-1. Pada ratun, penggenangan 0 cm meningkatkan jumlah gabah total dan gabah isi varietas Cimelati, Hipa-5 dan galur IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-81. Penggenangan 2 cm meningkatkan jumlah gabah total dan gabah isi varietas Rokan. Produksi ratun varietas Hipa-5 pada penggenangan 0 cm dan 2 cm adalah 59.0% dan 66.8% terhadap hasil tanaman utama.
PEMBAHASAN UMUM Sebagian besar perakitan varietas padi saat ini bertujuan untuk menghasilkan varietas yang berpotensi hasil tinggi, berumur pendek, dan tahan serangan hamapenyakit. Perakitan varietas tersebut sering diikuti upaya perbaikan sifat-sifat agronomi lain. Secara morfologi varietas unggul hibrida, unggul inbrida dan inbrida tipe baru (PTB) memiliki daun yang lebih tegak, warna daun dan batang yang lebih hijau, dan jumlah anakan sedang sampai banyak. Seperti pada varietas hibrida, tanaman mampu menghasilkan bobot kering yang tinggi, sehingga jumlah gabah isi tinggi (Xiaobin 2004). Beberapa varietas inbrida diadaptasikan pada berbagai ekosistem, seperti lahan dengan Fe dan Al tinggi, serta toleran rendaman, sehingga cocok dikembangkan pada lahan rawa (Suprihatno et al. 2007). Demikian juga dengan varietas PTB walaupun memiliki jumlah anakan yang terbatas, tetapi memiliki sistem perakaran yang dalam, dan mampu menghasilkan malai yang lebat dan bernas (Khush 1995). Evaluasi potensi ratun padi tipe baru, hibrida dan inbida yang dilakukan secara paralel di rumah kaca menunjukkan terdapat pengaruh genotipe. Genotipe yang tinggi dalam menghasilkan ratun secara morfologi memiliki ciri daun tegak dengan warna lebih hijau dan batang lebih besar, dan tunggul tetap hijau serta vigor. Dari 18 genotipe padi tipe baru yang diuji pada penelitian I, terdapat sembilan genotipe yang mampu menghasilkan ratun baik. Kelompok genotipe tersebut adalah IPB106-F-7-1, IPB106-F-12-1, IPB106-F-8-1, BP205D-KN-78-18, IPB106-F-10-1, Gilirang, Fatmawati, Cimelati, dan B9833C-KA-14. Dari 12 varietas hibrida dan inbrida yang diuji pada penelitian II, terdapat enam varietas yang memiliki potensi ratun tinggi, yaitu varietas Hipa-4, Hipa-5, Maro, Rokan, Ciherang dan Sintanur. Secara agronomi tinggi tanaman ratun lebih pendek dibandingkan tanaman utamanya, demikan juga dengan jumlah anakan dan komponen hasil serta hasil. Namun demikian ada beberapa genotipe yang menghasilkan jumlah anakan dan jumlah gabah isi ratun yang setara atau lebih tinggi dibandingkan tanaman utamanya.
250 200 150 100 50 0 PM %GH GI
P PM %GH GI
HIBRIDAINBRIDA Utamaa PTB
PM M %GH GI
CPS IPB Ratun CPS BP CPRw
G Gambar 6. Pertumbuhan P n dan produkksi tanaman utama dan rratun varietaas padi tipe b baru dan gallur PTB, varrietas hibridaa dan inbridaa. TT = tinggi t tanaman, JA AP= jumlah aanakan produuktif, PM =ppanjang malaai, GH = g gabah hampa, GI = gabaah isi. CPS IP PB = calon P PTB sawah asal IPB, C BP = caalon PTB saawah asal BB CPS B Padi, CPRw w = calon PT TB rawa Hasil pengamatan p n menunjukkkan tunas-tu unas ratun m mulai berkem mbang 2-7 h hari setelah h panen, deengan jumlaah rata-rata 2-4 daun per batang g.
Secara
m morfologi raatun yang keeluar dari tuunggul setiap p genotipe bberbeda-bedaa. Anakan r ratun sebagiian besar geenotipe mulaai keluar darri ruas-ruas bagian baw wah tunggul y yang vigor. Anakan yang y dihasilkkan terlihat lemah atauu menyerupaai tanaman b bibit yang baru b muncul dari benih. Selanjutny ya tunas lainn keluar darii ruas yang l lebih tinggi, namun annakan yang terbentuk lebih l pendeek dari yangg pertama. D Dengan ting ggi pemotonngan 20 cm dari permukkaan tanah, dihasilkan 2-3 2 anakan r ratun baru, dari setiaap tunggul tanaman utama u yang vigor.
P Pada akhir
p pertumbuhan n maksimal diikuti denggan keluarnyya malai. Struktu ur pertumbuuhan yang beerbeda terjaddi pada varieetas hibrida Rokan dan b beberapa geenotipe yangg tanaman uutamanya menghasilkan m n jumlah annakan yang b banyak. An nakan ratun yang y keluar ddimulai darii ruas bagiann bawah, nam mun batang a atau tunas ratun r tumbuhh miring ataau menyampping. Hal ttersebut didu uga karena a adanya ham mbatan dengaan padatnya tunggul. Peertumbuhan yang miringg membuat b batang anakan ratun meenyentuh tannah, dan secaara perlahan memacu peertumbuhan a akar lateral baru b yang teerus memanj njang menggapai tanah. Pada akhirnnya anakan r ratun terlihaat seperti tanaaman baru yyang berdiri sendiri s dan ttumbuh lebihh subur. Varietaas hibrida Hipa-5 H dan R Rokan menu unjukkan polla yang berb beda ketika j jumlah anakkan tanaman utama dan kkeadaan tungggul normal (tidak terlallu banyak). H Hampir sem mua anakan ratun r varietaas hibrida Hipa-5 H keluarr dari ruas yang y paling
atas atau ruas ketiga dari permukaan tanah (pada pemotongan 20 cm), dengan jumlah anakan yang muncul dapat lebih dari satu secara bersamaan. Akibatnya, batang terlihat lemah dan mudah patah. Ketika ratun sudah berumur > 15 hari maka anakan ratun menjadi lebih kokoh dan hijau, dan menghasilkan malai yang lebat dan panjang menyerupai tanaman utama.
Pada varietas hibrida Rokan,
anakan hanya muncul dari ruas-ruas bagian atas. Tunas yang keluar lebih awal umumnya lebih vigor sehingga tampak seperti tanaman induk. Selanjutnya, dari buku yang lain akan keluar lagi 2-3 anakan, dengan pola pertumbuhan seperti tanaman utama. Daun bendera ratun varietas Rokan panjang sehingga banyak yang menutupi malai. Sebagian besar malai yang dihasilkan Rokan lebih panjang. Posisi atau letak anakan yang muncul dari tunggul diduga berhubungan dengan sumber nutrisi pada tunggul atau yang diserap akar.
Semakin dekat
dengan sumber nutrisi semakin cepat anakan ratun muncul dan semakin vigor. Secara umum tunas ratun yang muncul dari buku bagian bawah yang dekat dengan tanah tumbuh lebih vigor, yang diduga mengandung asimilat yang lebih besar dibandingkan posisi di atasnya. Selain itu terdapat genotipe yang tunas ratunnya muncul dari buku bagian atas (ruas ke -3 pada tinggi pemotongan 20 cm). Keadaan ini diduga karena sisa asimilat yang terdapat pada seluruh tunggul, memacu pertumbuhan tunas pada setiap buku. Hal ini terlihat pada varietas hibrida, yang diketahui memiliki vigor yang lebih tinggi dibandingkan genotipe lainnya. Menurut Yagang et al. (1998) jumlah gabah dan bobot kering jerami ratun varietas hibrida yang muncul dari buku kedua dari atas, lebih banyak dibandingkan yang lainnya. Jika ratun yang muncul dari buku kedua dari atas tersebut dipupuk dengan N, maka hasil ratun 5080% dari tanaman utamanya. Dari total bahan kering yang tersimpan dalam tunggal, sekitar 80% diangkut ke anakan ratun dan diakumulasi sebagai bahan kering ratun. Hal ini menjadi penting, karena tunas ratun yang tumbuh pada fase awal dapat dijadikan kunci untuk mendapatkan hasil gabah yang tinggi, tentunya dengan menjaga ketinggian tunggul (tinggi pemotongan) yang mampu mempertahankan tunas dan kemampuan menyimpan asimilat (Yagang et al. 1998).
Dari sembilan genotipe yang memiliki kemampuan ratun tinggi hasil penelitian I dan enam genotipe hasil penelitian II, selanjutnya dianalisis kembali untuk mendapatkan sedikitnya lima genotipe padi yang diuji lebih lanjut di lapangan.
Kriteria tersebut terdiri dari : yaitu potensi ratun tinggi, apabila
produksi relatif ratun > 50% dari produksi tanaman utama, dan produksi riil > 2 t/ha atau > 12.5 g/rumpun. Kriteria sedang apabila produksi relatif mencapai 3049% dari tanaman utama, dengan produksi riil 1-2 t/ha atau 6.25-12.2 g/rumpun. Kriteria rendah jika produksi relatif ratun hanya 10-29% dari tanaman utama dan produksi riil < 1 t/ha atau < 6.25 g/rumpun (Tabel 20). Tabel 20. Produksi ratun 15 genotipe padi terhadap produksi tanaman utama. Hasil Kelompok Hibrida
Inbrida Galur IPB
Tipe baru
Calon PTB CalonPTB Rawa
Utama
Ratun
Hipa-4 Hipa-5 Ceva Maro Rokan Ciherang Sintanur IPB106-F-7-1 IPB106-F-8-1 IPB106-F-10-1 IPB106-F-12-1 Fatmawati Gilirang Cimelati
35.0 59. 7 37.1 45.5 33.2 32.8 18.4 32.2 51.6 51.7 26.4 48.4 48.2
53.1 45.0 28.5 45.2 31.3 28.2 28.9 17.6 34.5 8.4 13.3 5. 6
Hasil Ratun/ Utama (%) 152.0 75.9 76.8 99.3 94.3 86.0 157.2 54.7 66.8 16.2 50.1 11.5
BP205D-KN-78-1-8 B9833C-KA-14
31.5 38.5
25.1 10.3 11.2
52.1 32.2 29.1
Genotipe
Kriteria Hasil Relatif
Riil
T T T T T T T T T T T R T
T T T T T T T T T R T R
S S
T S S
Ket : T = Tinggi, S = sedang, R = rendah Hasil penelitian I dan II menunjukkan produksi ratun tinggi diperoleh kelompok genotipe yang secara agronomi dan morfologi lebih vigor, yaitu kelompok varietas hibrida dan kelompok galur PTB asal IPB diikuti kelompok genotipe lainnya (Tabel 20). Selain itu kedua kelompok genotipe ini didukung oleh sistem perakaran yang berkembang dan sangat penting dalam menunjang potensi ratun tinggi, seperti pada galur PTB (Peng et al. 1999), dan tingginya laju proses fotosintesis dan akumulasi berat kering pada varietas hibrida (Hui-jie 2005). Tabel 20 menunjukkan bahwa terpilih lima genotipe yang memenuhi kriteria hasil tinggi, baik hasil relatif maupun riil. Kelima genotipe tersebut adalah
varietas hibrida Hipa-5 Ceva dan Rokan, Galur PTB IPB106-F-8-1 dan IPB106-747-Dj-1 dan varietas PTB Cimelati.
Pengujian lapangan dilakukan di lahan
pasang surut Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah. Secara umum kendala usahatani padi di lahan pasang surut adalah tingkat kemasaman tanah tinggi, keracunan pirit dan kesuburan tanah yang rendah. Akibatnya produktivitas padi di lahan pasang surut rendah. Untuk meningkatkan hasil ratun di lahan pasang surut, didekati dengan perbaikan sistem usahatani ratun berupa pengaturan tinggi pemotongan panen tanaman utama dan aplikasi dosis pupuk pada ratun. Secara agronomi, tinggi pemotongan panen yang berbeda-beda memberikan pengaruh yang bervariasi terhadap genotipe dan karakter yang diamati. Secara statistik hasil tanaman utama semua genotipe tidak berbeda nyata pada semua level pemotongan. Pada ratun, tinggi pemotongan 10 cm meningkatkan hasil galur IPB106-F-8-1 dan berbeda nyata dengan pemotongan 30 cm. Adapun pemotongan 20 cm nyata meningkatkan hasil ratun varietas Rokan hingga diperoleh hasil 3.0 t/ha (Tabel 11). Pada level tersebut hasil ratun berbeda nyata dengan tinggi pemotongan 10 cm dan 30 cm, serta berbeda nyata dengan semua genotipe.
Hasil serupa dilaporkan Ting-jiea et al. (2005), yang melakukan
penelitian dengan empat taraf tinggi pemotongan yaitu 10, 20, 30 dan 40 cm terhadap galur Pei'ai64S/E32.Tunas ratun nyata meningkat pada pemotongan yang lebih tinggi (40 cm), tetapi karakter tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah gabah per malai ratun lebih rendah dibandingkan dengan tinggi pemotongan lebih rendah. Pada tinggi pemotongan 40 cm hasil ratun lebih rendah dibandingkan tinggi pemotongan 10, 20 dan 30 cm (Yazdpour et al. 2007). Secara morfologi, pengamatan di lapangan menunjukkan anakan ratun yang tumbuh dari tunggul dengan tinggi pemotongan 20 cm lebih seragam dan vigor. Daun ratun yang keluar berwarna hijau tua dan tegak. Pada pemotongan yang lebih rendah atau 10 cm di atas permukaan tanah, anakan ratun yang keluar terlihat lebih kecil dan lemah seperti bibit yang baru tumbuh dari benih, sedangkan pada pemotongan yang lebih tinggi atau 30 cm, anakan ratun yang keluar sulit dibedakan dengan tunggul yang masih hijau dan tinggi. Bahkan terdapat tunggul yang melindungi dan menghambat anakan ratun yang keluar.
Pemotongan 10 cm di atas permukaan tanah pada galur PTB IPB106-F-8-1 dan IPB106-7-47-Dj-1, menghasilkan ratun sebesar 2.1 t/ha dan 1.5 t/ha. Sementara varietas lainnya yaitu PTB Cimelati, hibrida Hipa-5 dan Rokan menghasil ratun tertinggi pada pemotongan 20 cm dari permukaan tanah, dengan hasil masing-masing 2.2 t/ha, 2.8 t/ha dan 3.0 t/ha. Pada tinggi pemotongan 20 cm dari permukaan tanah, diperoleh hasil ratun tertinggi yaitu 3.0 t/ha untuk varietas hibrida Rokan (Tabel 11). Kondisi berbeda terjadi ketika lahan mengalami genangan akibat banjir. Pada kondisi demikian ratun tampak tidak mengalami hambatan dan gabah lebih berisi serta bernas, namun umur panen menjadi lebih panjang 1-14 hari dibandingkan dengan uji pendahuluan yang dilakukan di lahan yang sama (Gambar 7). Belum optimalnya hasil padi di lahan pasang surut, terutama disebabkan tingginya cekaman lingkungan, seperti kemasaman tanah yang sangat tinggi (pH 3-4), kahat hara makro (Ca, P, K dan Mg), dan miskinnya unsur hara dalam tanah. Selain itu terdapat senyawa pirit (FeS2) pada lapisan tanahnya, yang jika teroksidasi karena kekeringan akan mengakibatkan hancurnya kisi-kisi mineral liat dan menghasilkan ion Al3+, Fe2+ dan SO42+ yang beracun bagi tanaman (Suriadikarta 2005). Demikian dengan hasil analisis tanah di lokasi penelitian menunjukkan rendahnya unsur-unsur hara makro yang tersedia dalam tanah (Tabel 21). Tabel 21. Hasil analisis tanah Desa Petak Batuah Dadahup A-2 Kabupaten Kapuas Sifat tanah pH
Nilai 3.25 – 4.27
Kriteria Sangat masam
C-org (%)
1.27 – 5.61
Rendah
N-tot (%)
0.14 – 0.45
Sedang
21.74 – 24.25
Sedang
K2O (mg/100 gr)
8.42 – 9.13
Rendah
Mg (me/100 gr)
0.45 – 1.47
Rendah
K (me/100 gr)
0.16 – 0.30
Rendah
P-tsd(ppmP.Bray-1)
Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengendalikan kahat hara makro sekaligus menekan keracunan besi di lahan pasang surut adalah melakukan perbaikan lingkungan tumbuh tanaman melalui pemberian ameliorasi dan pemupukan (Suriadikarta 2005). Pada kegiatan ini ameliorasi dilakukan dengan memberikan kapur dolomit sebanyak 1 t/ha, dan pemupukan diberikan pada tanaman utama dengan dosis sesuai dengan rekomendasi setempat. Bagi ratun, pupuk antara lain sebagai suplai hara yang dapat memacu pertumbuhan tunastunas dan memperbaiki kualitas akar.
Jenis dan tingkat dosis pupuk dapat
memberikan respon yang berbeda terhadap ratun (Islam et al. 2008).
Tanaman utama menjelang panen
Tinggi pemotongan ratun dengan 10, 20 dan 30 cm
Kondisi ratun dan panen ratun yang tergenang Gambar 7. Penampilan tanaman utama (atas), tinggi pemotongan panen (tengah, berurutan dari kiri ke kanan 10,20, 30 cm) dan kondisi ratun di lahan pasang surut. Tinggi tanaman ratun galur IPB106-F-8-1 yang dipupuk dengan dosis 45 kg N + 27 kg P2O5 per hektar dan 45 kg N + 30 kg K2O per hektar (D1 dan D2) berbeda nyata dengan pemupukan tanpa N (D3). Untuk jumlah anakan produktif, galur IPB106-7-47-Dj-1 nyata lebih tinggi dibandingkan pemupukan D3 dan D1
pada pemupukan
45 31kg N + 30 kg K2O per hektar (D2).
pemupukan tanpa N (D3)
Sebaliknya
menekan jumlah anakan produktif ratun varietas
Cimelati dan Rokan, dan nyata lebih rendah dibandingkan pemupukan dengan N, baik yang dikombinasikan dengan P maupun K (D1 dan D2). Jika dibandingkan dengan tanaman utamanya, maka jumlah anakan produktif varietas Cimelati, Hipa-5 dan Rokan setara dan lebih tinggi dibandingkan tanaman utamannya (Tabel 12). Hal ini membuktikan pupuk N mutlak diperlukan untuk meningkatkan hasil dan komponen hasil ratun, baik yang dikombinasikan dengan P maupun K. Dalam kaitan ini N dapat berfungsi sebagai penyusun asam amino triptofan yaitu bahan dasar utama pembentukan auksin yang berperan dalam pemanjangan sel pada jaringan meristem. N juga berfungsi dalam penyusun adenine, yaitu bahan dasar pembentukan sitokinin yang berperan untuk pembelahan dan pembentukan tunas yang mengakibatkan jumlah daun dan anakan menjadi lebih banyak (Gardner et al. 1991. Selain itu N juga berperan dalam penyusun protein dan protoplasma, yang sangat penting bagi pembentukan enzim-enzim yang berfungsi sebagai katalisator bagi banyak reaksi pada fotosintesis. Apabila pupuk yang diberikan mampu diserap dengan baik oleh akar, maka fotosintesis dapat berlangsung dengan baik. Hasil analisis tanah menunjukkan ketersedian hara P dan K dalam tanah rendah.
Pemberian P dan K mutlak diperlukan untuk menyeimbangkan
ketersediaan hara dalam tanah yang dapat diserap tanaman. Respon padi terhadap pupuk P dan K tinggi, karena P dan K
yang diabsorpsi tanaman akan
didistribusikan ke bagian sel hidup terutama pada bagian reproduktif tanaman, seperti merangsang perkembangan anakan, pembentukan biji, meningkatkan jumlah gabah per malai, pembungaan dan pembentukan biji (Rosmarkam dan Yuwono 2002). Pemupukan dan genotipe berpengaruh terhadap panjang akar, jumlah akar dan bobot kering akar. Galur IPB106-7-47-Dj-1 dan PTB IPB106-F-8-1 ternyata menghasilkan akar yang lebih panjang dibandingkan genotipe lainnya, pada semua tingkat dosis pupuk. Bahkan dengan dosis pemupukan 45 kg N + 27 kg P2O5 per hektar (D1), galur IPB106-7-47-Dj-1, menghasilkan akar terpanjang
diantara genotipe lainnya yaitu 25.17 cm. Secara genetik kedua galur tersebut merupakan hasil persilangan dari padi-padi lokal yang dicirikan memiliki akar yang panjang, padat dan dalam. Pemupukan meningkatkan vigor akar, sehingga akar menebar secara vertikal. N memacu akar rambut dan meningkatkan jumlah gabah isi. Pada varietas hibrida Rokan dan Hipa-5, pemupukan dengan dosis 45 kg N + 27 kg P2O5 per hektar (D1), meningkatkan jumlah akar dan bobot kering akar. Islam et al. (2008) menyebutkan bahwa total N yang diserap varietas hibrida lebih banyak dibandingkan varietas inbrida, yaitu mencapai 15-20%. Pengaruh N inilah yang diduga mendorong meningkatnya jumlah akar per tanaman, yang umumnya diikuti meningkatnya bagian tajuk tanaman, dalam hal ini terjadi peningkatan jumlah anakan produktif ratun varietas hibrida Ratun hingga 20.16% dibandingkan perlakuan tanpa N. Bobot kering akar, bobot kering tajuk dan nisbah tajuk-akar nyata berubah dengan adanya perlakuan pemupukan. Pemupukan dengan dosis 45 kg N + 27 kg P2O5 per hektar (D1) meningkatkan bobot kering tajuk dan bobot kering akar serta hasil varietas PTB Cimelati, hibrida Hipa-5 dan Rokan, sehingga lebih tinggi dibandingkan pemupukan lainnya (D2 dan D3). Sebaliknya, galur IPB106-7-47Dj-1 menghasilkan bobot kering tajuk dan bobot kering akar terbesar pada pemupukan 27 kg P2O5 + 30 kg K2O per hektar (D3) atau tanpa N. Pengamatan terhadap ratun menunjukkan bahwa pada fase kritis tanaman, yaitu saat pembentukan anakan, inisiasi malai maupun saat pengisian biji, penggenangan air dapat memenuhi kebutuhan air yang cukup bagi ratun untuk berkembang normal. Pada fase tersebut penggenangan air secara macak-macak (0 cm) hingga sedang (2 cm) meningkatkan jumlah anakan semua genotipe yang diuji, dengan anakan tertinggi dihasilkan varietas hibrida Rokan. Demikian juga saat fase kritis lainnya yang dapat dilihat dari banyaknya jumlah gabah isi yang dihasilkan. Hampir semua genotipe menghasilkan jumlah gabah isi maksimal pada penggenangan 0-2 cm, kecuali galur IPB106-7-Dj-7-1 yang menghasilkan jumlah gabah isi tertinggi pada penggenangan 5 cm. Terdapat perbedaan respon antar genotipe yang diuji. Keragaan tersebut diduga berkaitan dengan morfologi dan fisiologi genotipe.
Adanya dugaan terhadap galur IPB106-7-Dj-7-1 yang telah dijelaskan sebelumnya berasal dari padi lokal spesifik lahan rawa, yang diduga memiliki sistem perakaran yang lebih dalam. Morfologi demikian turut berperan dalam meningkatkan menyerapan air tanah selama pertumbuhan, sehingga turut menentukan kelancaran proses fotosintesis yang menghasilkan gabah (Suardi 2002). Selain itu diduga galur IPB106-7-Dj-7-1 memiliki tersendiri yang berbeda dengan varietas lainnya, berupa kemampuan bertahan pada kondisi genangan air > 2 cm. Galur-galur demikian umumnya mampu bertahan hingga satu bulan pada kondisi tergenang (Catling 1992). Adanya kantung udara (aerenchyma) pada akar membantu tanaman melakukan pertukaran gas antara akar dan tunas (tajuk). Pada penggenangan 0-2 cm ratun varietas hibrida Rokan menghasilkan bobot kering jerami tertinggi yaitu 73.9 g dan menjadikan Rokan sebagai varietas yang mampu menghasilkan ratun tertinggi dengan bobot gabah per rumpun (hasil) mencapai 21.4 g (Tabel 18). Fenomena menarik terjadi pada galur IPB106F-8-1, dimana jumlah gabah isi per malai yang dihasilkan > 200 butir (Tabel 16). Malai yang dihasilkan lebih panjang dibandingkan genotipe lainnya, dan bobot kering jerami juga tinggi yaitu 64.50 g atau tertinggi kedua setelah varietas hibrida Rokan (Tabel 18). Ini mengindikasikan besarnya jumlah source tersedia yang dapat dimanfaatkan ratun galur IPB106-F-8-1, namun produksi gabah per rumpun (hasil) rendah. dimanfaatkan
Ini diduga terdapat hasil proses fotosintesis yang tidak atau
ditranslokasikan
ke
daerah
pengisian
biji,
tetapi
ditranslokasikan ke bagian pemanfaatan lain, termasuk ke bagian penyimpanan seperti batang. Secara umum prospek pengembangan usahatani sistem ratun di lahan pasang surut dapat memberikan hasil dan menjadi pilihan usaha tani yang menguntungkan. Jika selama ini pola usahatani adalah padi lokal-padi unggul dengan produksi padi lokal sekitar 2.0-2.5 t/ha dan padi unggul 4.0-4.5 t/ha, maka dengan ratun akan diperoleh tambahan hasil sekitar 0.8-1.2 t/ha ratun dari padi lokal dan 2.2-3.0 t/ha ratun dari padi unggul (hibrida, inbrida atau PTB), sehingga akan diperoleh tambahan produksi per musim tanam.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Peningkatan produksi padi yang efisien dapat dilakukan dengan memelihara ratun, yakni tunas tanaman padi yang tumbuh dari tunggul yang telah dipanen. Evaluasi potensi ratun terhadap 30 genotipe padi Indonesia yang terdiri atas : kelompok varietas hibrida, inbrida, galur-galur harapan padi tipe baru dan varietas PTB, yang dilakukan secara paralel di rumah kaca dan dikaji di lapangan mendapat kesimpulan sebagai berikut : 1. Potensi ratun dipengaruhi genotipe. Terdapat dua varietas hibrida (Hipa-5 dan Rokan), dua galur padi tipe baru (IPB106-F-8-1 dan IPB106-7-Dj-7-1) dan satu varietas semi PTB Cimelati memiliki potensi ratun terbaik di rumah kaca, yaitu 52.8-75.2% terhadap tanaman utama. 2. Produktivitas ratun berbeda-beda dan dipengaruhi oleh tinggi pemotongan, pemupukan dan pengelolaan air. 3. Tinggi pemotongan 10 cm dari permukaan tanah terbaik untuk galur PTB IPB106-7-47-Dj-1 dan IPB106-F-8-1, dengan produksi ratun 1.5 t/ha dan 2.1 t/ha. Pada varietas semi PTB Cimelati, hibrida Hipa-5 dan Rokan, tinggi pemotongan 20 cm adalah yang terbaik, dengan produksi ratun masing-masing varietas adalah 2.2 t/ha (52.7% hasil tanaman utama) untuk Cimelati, 2.8 t/ha (60.1% hasil tanaman utama) untuk Hipa-5 dan 3.0 t/ha (57.2% hasil tanaman utama) untuk varietas Rokan. 4. Pemupukan N dan P sebanyak 45 kg N/ha + 27 kg P2O5/ha (D1), menghasilkan ratun tertinggi untuk galur IPB106-7-47-Dj-1, IPB106-F-8-1 dan varietas hibrida Rokan, dengan produksi masing-masing adalah 1.6 t/ha, 1.8 t/ha dan 2.9 t/ha, sedangkan pada pemupukan 45 kg N/ha + 30 kg K2O/ha (D2), hasil ratun varietas Hipa-5 mencapai 3.0 t/ha dan varietas Cimelati 2.8 t/ha. 5. Penggenangan air 2 cm nyata meningkatkan kandungan klorofil total varietas Hipa-5, dan tidak berpengaruh terhadap kandungan sukrosa daun.
Saran 1. Untuk penelitian ke depan perlu dipertimbangkan tinggi pemotongan berdasarkan jumlah buku yang tersisa pada tunggul sebagai titik tumbuh ratun, karena setiap genotipe menghasilkan panjang ruas yang berbeda. 2. Mekanisme dan keragaman kemampuan antar genotipe dalam menghasilkan ratun perlu diteliti lebih lanjut, antara lain dengan cadangan nutrisi dan faktorfaktor hormonal, sehingga diperoleh idiotipe padi unggul untuk menghasilkan ratun. 3. Teknologi budidaya ratun di lahan-lahan sub-optimal menguntungkan, apabila dapat memanfaatkan varietas-varietas yang memiliki keunggulan secara morfologi dan fisiologi.
DAFTAR PUSTAKA Abdullah B, Tjokrowidjojo S, Kustianto B, Darajat AA. 2005. Pembentukan padi varietas unggul tipe baru. Penelitian Pertanian. 24(1): 1-7. Ai-zhong L, Dong-sheng Z, Nai-mei TU, Wen-xin Z., Yang-xian L. 2007. Relationship between distribution of photosynthesis production of flag leaf of main crop and yield of ratooning rice. J Guangdong Agric Sci 23(4): 2734. [Anonim]. 2006. Hybrid Ratoon Management. Heading 2006 RiceTech. Aswidinnoor H, Sabran M, Masganti, Susilawati. 2008. Perakitan Varietas Unggul Padi Tipe Baru dan Padi Tipe Baru-Ratun Spesifik Lahan Pasang Surut Kalimantan untuk Mendukung Teknologi Budidaya Dua Kali Panen Setahun. Laporan Hasil Penelitian KKP3T. Institut Pertanian Bogor. 44 Hal. Bahar FA, De Datta SK. 1977. Prospects of increasing tropical rice production. J Agron. 69: 536-540. Begum MK, Hasan KM, Hossama SMA. 2002. Effect of culm cutting height and nitrogen fertilization on the yield on ratoon late Boro rice. Pakistan J Agron 1(4): 136-138. Berkelaar D. 2001. The system of rice intensification-SRI. Bulletin Echo Development Notes. Echo Inc.17391 Durance Rd.North Ft. Myer F133917 USA. [BPS] RI. 2010. Berita Resmi Statistik : Produksi Padi, Jagung dan Kedelai (Angka Tetap Tahun 2009 dan Angka Ramalan II tahun 2010). www.bps.go.id. [28 Januari 2011]. Catling D. 2002. Rice in Deep Water. IRRI, Los Banos. Philippines. Calendacion I.N., Dennis P, Carrity, Keith T. 1992. Lock-lodging: a new technology for ratoon rice crop. J Crop Science 17(1): 1-10. Charoen T. 2003. Ratoon cropping of lodged stubble. The Office of Agricultural Research and Development Region 5, Sapaya District, Chainat Province,17150 Thailand. Chauhan J.S. 1988. Use of ratooning in hybrid rice. Di dalam: Smith W.H., V. Kumble, E.P. Cervantes, editor. Rice Ratooning, IRRI, Los Banos. Philippines. hlm 151-154. Chauhan, JS, Lopez FSS, Vergara BS. 1989. Genetic analysis of ratooning ability of rice (Oryza sativa L.). Euphytica 40: 97-102.
Dapeng. 1994. Prospects of increasing tropical rice production through ratooning. J Agron 69:536-540. Dapeng Z, Jiang H, Chen X, Huang C dan Xu X. 2004. Effects of grapevine training systems on canopy microclimate, net photosynthesis and transpiration. J Acta Hort Sinica. 2: 11-19. Dawn B, 2001. Integrated Rice Management System for Ratoon Production. Di dalam: Rice Production Guidelines. Bulletins. Texas Agriculture Experiment Station. B-6131: 02-12. De Datta SK. 1981. Principle and Practices of Rice Production. Jhon Wley. New York. De Datta SK, Bernasor. 1988. Agronomic principles and practice of rice ratooning. Di dalam: Smith W.H., V. Kumble, E.P. Cervantes, editor. Rice Ratooning, IRRI, Los Banos. Philippines. hlm 163-176. Dobermann A, Fairhurst T. 2000. Rice nutrient disorders and nutrient management. Potash and Phosphate Institute of Canada and International Rice Research Institute. Oxford Geographic Printers Pte Ltd. Canada, Philiphine. hlm 35-43. Flinn JC, Mercado MD. 1988. Economic perspectives of rice ratooning. Di dalam: Smith W.H., V. Kumble, E.P. Cervantes, editor. Rice Ratooning, IRRI, Los Banos. Philippines. hlm 17-29. Gardner B, Pearce, Mitchell RL. 1991. Physiology of Crop Plants. The Iowa State University. Harada J, Yamazaki K. 1993. Morphology and development of root. Di dalam: T. Matsuo, and K. Hoshikawa, editor. Science of the Rice Plant. Morphology, Food and Agricultural Policy Research Centre. Tokyo 1: 133186. Hardjowigeno, H. S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Persindo. Jakarta
Harrel DL, Jason AB, Sterling B. 2009. Evaluation of main-crop stubble height on ratoon rice growth and development. Field Crops Research 114 (2009): 396–403. Hidema J, Makino A, Takahiko M, Kunihiko O. 1991. Photosynthetic characteristics of rice leaves aged under different irradiances from full expansion through senescence. J Plant Pyhsiol. 97(4): 1287-1293. Hirasawa T. 1999. Physiological tolerance of water deficit. Di dalam O. Ito, J.O’Toole and B Hardy, editor. Genetic Improvement of Rice for WaterLimited Environment. IRRI. Los Banos. hlm 89-98.
Hui-jie Y, Jing-sheng Z, Zhao-wei J, Yi-zhen L, Chuan-ying, Shang-shou Z. 2005. The sink structure character of super high-yielding ratooning rice. J Agric Sci. 3(6): 01 – 11. [IRRI]. 1996. Standard Evaluation System for Rice. The International Rice Testing Program (IRTP). IRRI Los Banos, Philippines.
Irianto SG, Suyamto, Baehaki, Abdurachman S, Sembiring H, Hendarsih, Samaullah MY, Sasmita P, Suprihatno B, Wardana IP, Suharna. 2009. Peningkatan Produksi Padi Melalui Pelaksanaan IP Padi 400. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Islam MS, Hasannuzzaman M, Rukonuzzaman. 2008. Ratoon rice response to different fertilizer doses in irrigated condition. J Agric Conspect Sci 73-4 (2008): 197-202. Jason B, 2005. It's not too early to plant for ratoon rice crop. LSU AgCenter's Rice Research Station in Crowley, Los Angles.
Jichao Y, Xiaohui S. 1996.
Effect of cutting node and leaves retained on the mother stem on rice ratooning. J Sichuan Agric Univ. 4 (7): 42-53.
Jing-sheng Z, Wen L, Zhao-wei J, Yi-zhen L. 1999. Root developmental morphology for super high yielding rice. Fujian J Agric Sci. 1(03): 03-10. Jones DB. 1993. Rice ratoon response to main crop harvest cutting height. Agron J. 85:1139-1142. Kavoosi M, Moghadam R, Masoud A, Rahmatollah S, Yosef G, Ebrahim A, Mehrdad M, Govad Y, Mohammad K, Abed M.. 2004. Requirement of rice ratoon to macroelements (nitrogen and potassium) in Guilan paddy fields. No. IR2006000617. Rice Reseach Institute of Iran. Khush GS. 1995. Modern varieties their real contribution to food supply. Geo J. 35(3): 275-284. Khush GS. 1996. Prospect of approaches to increasing the genetic yield potential of rice. Di dalam: RW Heardt and M. Hosain editor. Rice Research Asia Progress Priorities. IRRI-CAB International, Philippines. hlm 59-71. Kobata T, Iida K. 2004. Low grain ripening in the new plant type rice due to shortage of assimilate supply. New Directions for a Diverse Planet:
Proceedings of the 4th International Crop Science Congress. Brisbane, Australia [26 Sep – 1 Oct 2004]. Krishnamurthy. 1988. Rice ratooning as an alternative to double cropping in Asia. Di dalam: Smith W.H., V. Kumble, E.P. Cervantes. (Eds.) Rice Ratooning, IRRI, Los Banos. Philippines. hlm 3-15. Las I, Abdullah B, Darajat A. 2003. Padi Tipe Baru dan Padi Hibrida Mendukung Ketahanan Pangan. Balai Penelitian Tanaman Padi. http://iaard.go.id. [12 Septermber 2010]. Lee YJ, Yang CM, Hong KY, Hsu FH. 2004. Modeling climatic effects on forage production of Acroceras macrum. J Crop Environ. Bioinformat. 1:3946. Long S P, Xin-Guang Z, Shawna L, Naidu, Donald R. 2006. Can improvement in photosynthesis increase crop yields? Plant, Cell and Environment (2006) 29: 315–330. Mahadevappa, 1988. Rice ratooning practices in India. Di dalam: Smith W.H., V. Kumble, E.P. Cervantes, editor. Rice Ratooning, IRRI, Los Banos. Philippines. hlm 69-78. Mahadevappa M, Yogeesha HS. 1988. Rice ratooning breeding, agronomic practice, and seed production potential. Di dalam: Smith W.H., V. Kumble, E.P. Cervantes. (Eds.) Rice Ratooning, IRRI, Los Banos. Philippines. hlm 177-186. Makarim AK, Suhartatik E. 2006. Budidaya padi dengan masukan in situ menuju perpadian masa depan. Iptek Tanaman Pangan 1(1) : 19-29. Makino A, Hiromi N, Takahida M, Takiho S, Naoki Y. 2000. Photosynthesis, plant growth and N application in transgenic rice plant with decreased Rubisco under CO2 enrichment. J Exp Bot 51: 383-389. Mangoendidjoyo W. Yogyakarta.
2003.
Dasar-Dasar Pemulian Tanaman.
Kanisius.
Marschner 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. 2nd Ed. Academic Press Harcourt Brace and Company, London. Matsui T, Namuco OS, Ziska LH, Horie T. 1997. Effect of high temperature and CO2 concentration on spikelet sterility in indica rice. Field Crops Research. 51(3): 213-219. Mawaki M, Morita S, Suga T, Iwata, Yumazaki K. 1990. Effect of shading on root system morphology and grain yield of rice plant. (Oryza sativa L.). Japan J Crop Sci. 59: 89-94.
McCauley N, Turner FT, Way MO, Vawter LJ. 2006. management. RiceTech.
Hybrid Ratoon
Murchie EH, Hubbart S, Yizhu C , Peng S, Horton P. 2002. Acclimation of rice photosynthesis to irradiance under field conditions. J Plant Physiol. 10 :1104-11098. Nair AS, Rosamma CA. 2002. Character association in ratoon crop of rice (Oryza sativa L.). J Trop Agric 40 (2): 1-3. Nakano H, Makino A, Mae T. 1997. The effect of elevated partial pressures of CO2, on the relationship between photosynthetic capacity and N content in rice leaves. J Plant Physiol. 115: 191-198. Nakano H, Morita S. 2007. Effects of twice harvesting on total dry matter yield of rice. J Field Crops Res. 101: 269-275. Nakano H, Morita S, Kitagawa H, Takana. 2009. Effect of cutting height and trampling over stubbles of the first crop on dry matter yield in twice harvest of forage rice. J Plant Prod Sci. 12(1): 124-127. Oka HI. 1974. Experimental studies on the origin of cultivated rice. Di dalam : Symposium on Origin of Cultivated Plants: XIII International Congress of Genetics. http://www.genetics.org. hlm 475-486 [Diunduh : 10 Februari 2011]. Peng S, Cassman KG, Virmani SS, Sheehy J, Khush GS. 1999. Yield potential trends of tropical rice since release of IR8 and the challenge of increasing rice yield potential. J Crop Sci. 39:1552-1559. Rohmat D, Suardi N. 2007. Kajian Aspek Pemberian Air dan Mekanisme Pemberian Hara Pada Budidaya Padi Lokal-Pola SRI. Paper Seminar KNIICID. Bandung. Rong Z, Xiao-ping L, Shang Z, Chuan-ying Z, Zhao-wei J. 2009. Growth characteristics of stem axiliary buds on ratoon rice. Fujian J Agric Sci. 3(1): 21 – 34. Rosmarkam, Yuwono NT. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta. Santos AB, Fageria NK, Prabhu A.S. 2003. Rice ratooning management practices for higher yields. Communication Soil Science. J Plant Anal 34: 881-918. Satoto, Suprihatno B. 2008. Pengembangan padi hibrida Indonesia. J Iptek Tanaman Pangan. 3 (1): 27-40. Satoto, Sutaryo B, Suprihatno B. 2009. Prospek pengembangan varietas padi hibrida. BB Padi Online [Diunduh 12 Desember 2010].
Sembiring H, Widiarta IN. 2007. Inovasi teknologi padi menuju swasembada beras berkelanjutan. Makalah pada Simposium Tanaman Pangan V. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Sharma-Natu P, Ghildiyal MC. 2005. Potential targets for improving photosynthesis and crop yield. Current Sci. 88 : 12 (1918 – 1928). Shin JC. 1989. Characterization of root distribution of rice cultivars and the response of root growth to planting density in relation to shoot growth and grain yield. Ph.D. thesis, Seoul National University. Singh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetics Analysis. Kalyani Publ. New Delhi. 304p. Slaton NA, Beyrouty CA, Wells BR, Norman RJ, Gbur E E. 1990. Root growth and distribution of two short-season rice genotypes. J Plant and Soil. 121(2): 269-278. Stanfield, W.D. 1983. Theory and Problems of Genetics, 2nd edition. Schain.s Outline Series. Mc.Graw Hill Book Co. New Delhi. Suardi S. 2002. Perakaran padi dalam hubungannya dengan toleransi tanaman terhadap kekeringan dan hasil. J Litbang Pertanian. 21(3) : p 100-107. Sugiyanta 2008. Studi ketersediaan hara dan kesesuaian karakteristik varietas padi sawah pada teknik budidaya organik dan bermasukan luar rendah. (Disertasi). Departemen Agronomi dan Hortikultura. Faperta. IPB. Suhartini T, Somantri IH, Abdullah B. 2003. Rejuvenasi dan karakterisasi plasma nutfah spesies padi liar. Buletin Plasma Nutfah 9(1): 16–25. Suprihatno B, et al. 2007. Deskripsi Varietas Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Padi. Sukamandi. Suprihatno B, Sutaryo B, Silitonga TS. 1994. Hybrid rice research in Indonesia. Di dalam: Virmani, editor. Hybrid Rice Technology : New Development and Future Prospect. Selected papers from the International Rice Research Conference. IRRI, Manila, Philippines. hlm 195-205. Suriadikarta DA. 2005. Pengelolaan lahan sulfat masam untuk usaha pertanian. J Litbang Pertanian, 24(1): 36-45. Susanto. 2003. Perkembangan varietas unggul padi menjawab tantangan zaman. http://www.litbang.deptan.go.id. [Diunduh 11 Juli 2010]. Suswono. 2010. Produksi padi tahun 2010 (Aram III) diperkirakan meningkat 2,46 persen. http://www.deptan.go.id. [12 Desember 2010].
Syafaat N, Bahri S, Suastika DS. 1997. Alokasi lahan optimal untuk calon transmigrasi pada pengembangan padi dengan pola sawit dupa di lahan rata sau juta hektar di Kalimantan Tengah. J Ekonomi dan Keuangan Indonesia, XIV(2): 263-276. Taiz L, Zieger E. 2002. Plant Physiology. Sinauer Associates. Inc. Publisher, Massacussetts.
Ting-jiea J, Zhen-xieb Nai-meib. 2005.
Effect of stubble height on ratooning properties of Pei’ai64S/E32. J Hunan Agri 4(01): 2132
Vergara BS, Lopez FS, Chauhan JS. 1988. Morphology and physiology of ratoon rice. Di dalam: Smith W.H., V. Kumble, E.P. Cervantes, editor. Rice Ratooning, IRRI, Los Banos. Philippines. hlm.31-40. Vergara BS. 1995. A farmer’s primer on growing rice. IRRI, Los Banos Philiphina. Virmani SS, Viraktamath BC, Casal CL, Toledo RS, Lopez M.T., Manalo JO. 1997. Hybrid Rice Breeding Manual. IRRI, Los Banos. The Philippines. Witt C, Dobermann A, Abdurachman S, Gines HC, Guanghua W, Nagarajan R, Satawathananont S, Son TT, Sy Tan P, Van Tem L, Smhaban, Olk DC. 1999. Internal nutrient efficiencies of irrigated lowland rice in tropical and subtropical Asia. Field Crops Res. 63:113–138. Wu LT, Wilson AM. Mc Clung. 1998. Contribution of rice tillers to dry matter accumulation and yield. Agron J 90(3): 317-323. Xiaobin L. 2004. Characteristics of carbohydrate transfer of stem and sheath and grain-filling in two-line hybrid rice. J Anhui Agric Sci. 5(11): p 11-27.
Yagang, Huang Y, Li Yizhen, 1998.
Morpho physiological effect of stubble in grain yield formation course of ratoon rice. Fujian J Agric Sci. (04)1: 38-49.
Yang X, Zhang Ni JW. 1999. Characteristics of nitrogen nutrition in hybrid rice. Mini Reviews. IRRI, Manila. Philippines. hlm 5-8. Yazdpour H, Shiranirad AH, Mobaser HR. 2007. Examination of the harvesting time and cutting height on yield and yield components of rice ratoon (Oryza sativa L.) Taroom Hashemi variety. J Agric Sci 13(1):151-161. Yoshida S, Forno DA, Cock JH, Gomez KA. 1976. Laboratory Manual for Physiological Studies of Rice 3rd edition IRRI. Los Banos, Philippines. 83p.
Zakaria S, Matsuda T, Tajima S, Nitta Y. 2002. Effect of high temperature at ripening stage on the reserve accumulation in seed in some rice cultivars. Plant Prod Sci 5(2): 160-168 Zhao-wei J, W-Xiong L, Y-zhen L, Chuan-ying Z, Hua-an X. 2003. Effects of nitrogen fertilizer rates on uptake and distribution of nitrogen in ratoon rice. Fujian J Agric Sci. (02)1: 14-29. Zhengjin XU, Wenfu C, Longbu Z, Shouren Y. 2005. Design principles and parameters of rice ideal panicle type. Chinese Science Bulletin. 50(19):2253-2256. Zhenqi L, Zenye M, Dapeng, Shufen Z. 2007. First cropping rice ratoon of nitrogen application model. J Anhui Agricultural Sciences. 1(13): 117-122. Zhong X, Peng S, Wang F, Huang N. 2005. Using heterosis and hybrid rice to increase yield potential in China. Di dalam: Toriyama K., K.L. Heong,
and B. Hardy. Proceedings Rice is life: Scientific Perspectives for the 21st Century. IRRI, Manila. Philippines. hlm 138-140.