ANALISIS GENETIK DAN SELEKSI GENOTIPE UNGGUL PADI SAWAH (Oryza sativa L.) UNTUK ADAPTASI PADA EKOSISTEM DATARAN TINGGI
YUSUF LA’LANG LIMBONGAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Genetik dan Seleksi Genotipe Unggul Padi Sawah (Oryza sativa L.) untuk Adaptasi pada Ekosistem Dataran Tinggi adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, November 2008
Yusuf La’lang Limbongan
ABSTRACT YUSUF LA’LANG LIMBONGAN. Genetic Analysis and Selection of Lowland Rice (Oryza sativa L) Genotypes for Adaptation in Highland Ecosystem. Under supervision of HAJRIAL ASWIDINNOOR, BAMBANG S PURWOKO and TRIKOESOEMANINGTYAS. One of the important factors to ensure the success of rice breeding programs for increasing yield and tolerance to environmental stress condition is selection method. Selection methods will be effective if they are supported by complete knowledge of character inheritance, interrelationship of characters, and selection procedures. The objective of the present research was to develop new plant type of rice spesific to highland ecosystem. This research consisted of 5 stages, i.e. (1) identification of genotype responses to nitrogen, (2) interrelationship between selection characters, (3) inheritance studies of low temperature stress tolerance, (4) selection based on yield and weightedly standardized selection index and (5) genotype performance at different altitudes. Identification of genotype responses to nitrogen has been done by examining responses of parent genotypes to nitrogen at low temperature stress condition. Examination of interrelationship between selective characters was done by testing F2 generation in Sesean (altitude 1500 m above sea level) and in Bogor (altitude 250 m above sea level), then by observing strong correlation of these characters to yield, and estimating direct and indirect effect of growth characters through yield characters. Inheritance study was done by crosses between local variety parents adapted to low temperature stress condition in highland and high yielding variety parents. Performance of six genotype groups (Pl, P2, F1, F1 reciprocal, BCP1, BCP2 and F2) were tested at low temperature stress condition. Selection was applied to 300 lines of F5 generation. Selection was done at non target location (Bogor) and at target location (Rantepao) based on their productivity and on weightedly standardized selection index. Line evaluation was later applied to 30 lines selected from Tana Toraja (20 lines) and from Bogor (10 lines). These lines were then tested at two levels of altitude (Rantepao 750 m above sea level and Sesean 1500 m above sea level). The results showed that yield decreased with increasing N levels under low temperature stress condition. Percentage of fertile spikelets had strong correlation and had high direct effect on yield in Sesean, while panicle length, panicle density and 1000 grain weight had strong correlation to yield in Bogor. No differences between F1 generation and F1 reciprocal generation on aromatic, plant height, flag leaf length, flowering date, days to maturity, panicle density, panicle length, awn length, percentage of fertile spikelets and grain weight per panicle. The effect of genes on low temperature stress characters (aromatic, plant height, flag leaf length, awn length, flowering date, and percentage of fertile spikelets) were additive and dominant, whereas 2 characters namely days to maturity and grain weight per panicle were epistatic. The genotypes selected at non target location were different from genotypes selected at target location. Selection based on yield gave 6 promising highland specific lines i.e IPB115-E-51-1, IPB115-E-RP-2-1, IPB115-E-53-1, IPB117-E-RP-3-1, IPB117-E-RP-10-1 and IPB117-E-RP-6-1. Selection based on weightedly standardized selection index gave 4 promising highland specific lines i.e IPB115-E-52-1, IPB116-E-8-1, IPB117-E-RP-5-1 and IPB116-E-RP-33-1. Key words : additive, dominance, genetic analysis, low temperature stress tolerance,
promising lines, rice, selection index.
RINGKASAN YUSUF LA’LANG LIMBONGAN. Analisis Genetik dan Seleksi Genotipe Unggul Padi Sawah (Oryza sativa L.) untuk Adaptasi pada Ekosistem Dataran Tinggi. (Di bawah bimbingan Hajrial Aswidinnoor, Bambang S. Purwoko dan Trikoesoemaningtyas). Salah satu strategi untuk mengatasi kendala pengembangan padi sawah pada ekosistem dataran tinggi adalah menggunakan varietas unggul yang toleran terhadap cekaman suhu rendah. Oleh karena itu perlu upaya perakitan varietas tersebut melalui program pemuliaan tanaman. Untuk melaksanakan program ini maka diperlukan informasi tentang karakter pertumbuhan dan karakter hasil yang memberikan kontribusi penting dalam produksi, pola pewarisan sifat, seleksi dan pengujian pada lingkungan yang bercekaman suhu rendah. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh informasi tentang pengaruh nitrogen terhadap fertilitas dan hasil padi sawah di dataran tinggi, memperoleh informasi tentang pola pewarisan sifat adaptasi padi sawah terhadap suhu rendah, memperoleh informasi tentang hubungan antara karakter adaptasi terhadap suhu rendah dengan hasil tanaman padi sawah, menduga efektifitas seleksi berdasarkan daya hasil dan indeks terboboti, memperoleh informasi tentang respon galur padi sawah hasil seleksi terhadap ketinggian tempat dan memperoleh galur harapan unggul padi sawah untuk dataran tinggi. Penelitian ini terdiri atas 5 bagian yaitu (1) identifikasi respon genotipe terhadap nitrogen, (2) hubungan antara karakter seleksi, (3) studi pewarisan sifat, (4) seleksi berdasarkan produksi dan berdasarkan ideks terboboti dan (5) pengujian galur terpilih. Dalam identifikasi pengaruh nitrogen dilakukan pengujian respon genotipe tetua terhadap pemupukan nitrogen dengan cekaman suhu rendah. Melalui pengujian pola hubungan antara karakter seleksi dilakukan pengujian generasi F2 pada lingkungan dengan cekaman suhu rendah di dataran tinggi Sesean (ketinggian tempat 1500 m di atas permukaan laut.) dan di Bogor (ketinggian tempat 250 m di atas permukaan laut.), kemudian diamati karakter yang berkorelasi kuat dengan hasil dan menentukan pengaruh langsung komponen tubuh dan komponen hasil dengan hasil, serta pengaruh tidak langsung komponen pertumbuhan yang disalurkan melalui komponen hasil. Studi pewarisan dilakukan dengan persilangan antara tetua varietas lokal yang telah diidentifikasi mampu beradaptasi terhadap cekaman suhu rendah di dataran tinggi dan tetua varietas unggul baru yang memiliki potensi produksi yang tinggi dan berumur genjah. Enam kelompok genotipe (P1, P2, F1, F1 resiprok, BCP1, BCP2 dan F2) diuji pertumbuhan dan daya hasilnya pada kondisi lingkungan bercekaman suhu rendah pada ketinggian tempat 1500 m dpl. Seleksi dilakukan terhadap 300 galur F5 hasil persilangan dari tiga tetua varietas lokal Pulu’ Mandoti, Pinjan dan Lambau dengan tiga tetua varietas unggul baru yaitu Fatmawati, Gilirang dan Sintanur. Seleksi dilakukan pada lokasi non target (Bogor) dan lokasi target (Rantepao) berdasarkan pada produksi dan berdasarkan pada indeks seleksi terboboti. Pengujian galur dilakukan terhadap 30 galur masing-masing 20 galur terpilih dari Tana Toraja dan 10 galur terpilih dari Bogor. Galur-galur tersebut diuji daya hasilnya pada dua level ketinggian tempat yaitu di Rantepao (750 m dpl) dan Sesean (1500 m dpl).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis nitrogen, genotipe dan interaksinya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase gabah bernas dan produksi gebah kering giling (GKG) pada kondisi cekaman suhu rendah. Pengaruh nitrogen dan interaksi nitrogen dan genotipe terutama disebabkan oleh perbedaan respon pada setiap genotipe. Karakter-karakter persentase serbuk sari fertil, umur berbunga dan persentase gabah bernas merupakan karakter utama dalam proses seleksi untuk perakitan padi tipe baru spesifik ekosistem dataran tinggi, sedangkan karakter-karakter yang menentukan hasil pada lingkungan tanpa cekaman suhu rendah adalah jumlah anakan per rumpun, panjang malai dan panjang daun bendera. Terdapat keragaman yang besar pada populasi F2 yang merupakan zuriat hasil persilangan dari tetua-tetua lokal dataran tinggi dan genotipe unggul baru. Nilai heritabilitas populasi F2 arti luas berkisar antara sedang sampai tinggi. Gen yang mengendalikan karakter seleksi untuk sifat toleran terhadap cekaman suhu rendah tersebut terdapat pada gen-gen inti. Karakter-karakter aroma, tinggi tanaman, panjang daun bendera, umur panen, panjang malai, panjang bulu, dan persentase gabah bernas dikendalikan oleh gen additif dominan, sedangkan umur berbunga dan bobot gabah bernas dikendalikan oleh gen aditif, dominan dan interaksi dominan x dominan. Alel dominan untuk karakter aroma, tinggi tanaman, panjang daun bendera, umur panen, jumlah anakan, panjang malai, persentase gabah bernas dan bobot gabah bernas terdapat pada tetua toleran suhu rendah Pulu’ Mandoti, sedangkan pada karakter umur berbunga, dan panjang bulu gen dominan untuk sifat-sifat tersebut terdapat pada tetua peka Fatmawati. Galur-galur terpilih dari hasil seleksi di Rantepao didominasi oleh kelompok galur IPB117 yaitu galur-galur hasil persilangan dari tetua Fatmawati dan Pulu’ Mandoti, sedangkan untuk lokasi seleksi Bogor, galur terpilih didominasi oleh kelompok galur IPB115 yaitu galur-galur hasil persilangan dari tetua Fatmawati dan Lambau. Galur-galur yang diuji memberikan keragaan yang melebihi genotipe pembanding, baik yang diuji di Rantepao maupun di Sesean. Keragaan karakter agronomi galur-galur hasil seleksi dari Toraja berbeda nyata dengan galur-galur hasil seleksi dari Bogor. Karakter persentase gabah bernas, umur panen dan produksi gabah kering giling galur-galur hasil seleksi dari Toraja lebih baik dibandingkan dengan galur-galur hasil seleksi dari Bogor. Keragaan karakter panjang malai dan jumlah malai galur-galur hasil seleksi dari Bogor lebih baik dibandingkan dengan galur-galur hasil seleksi dari Toraja. Seleksi berdasarkan karakter umur panen, jumlah malai, bobot 1000 butir, persentase gabah bernas, panjang malai dan produksi GKG dapat dilakukan sama baiknya di kedua lokasi pengujian. Melalui proses seleksi berdasarkan produksi dan evaluasi diperoleh 6 galur harapan padi tipe baru dataran tinggi yaitu IPB115-E-51-1, IPB117-E-RP-2-1, IPB115-E-53-1, IPB117-E-RP-3-1, IPB117-E-RP-10-1 dan IPB117-E-RP-6-1. Berdasarkan indeks seleksi terboboti diperoleh 4 galur harapan PTB spesifik ekosistem dataran tinggi yaitu IPB115-E-52-1, IPB116-E-8-1, IPB117-E-RP-5-1 dan IPB116-E-RP-33-1 Kata Kunci : padi, dataran tinggi, pewarisan sifat, heritabilitas, indeks seleksi, galur harapan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS GENETIK DAN SELEKSI GENOTIPE UNGGUL PADI SAWAH (Oryza sativa L.) UNTUK ADAPTASI PADA EKOSISTEM DATARAN TINGGI (Genetic Analysis and Selection of Lowland Rice (Oryza sativa L.) Genotypes for Adaptation in Highland Ecosystem)
Oleh YUSUF LA’LANG LIMBONGAN
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Penguji pada Ujian Tertutup
:
Dr. Ir. Ahmad Junaedi, M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka
:
Dr. Ir. Buang Abdullah, M.Sc. Dr. Ir. Iskandar Lubis, MS.
Judul Disertasi
:
Analisis Genetik dan Seleksi Genotipe Unggul Padi Sawah (Oryza sativa L.) untuk Adaptasi pada Ekosistem Dataran Tinggi
Nama
:
YUSUF LA’LANG LIMBONGAN
NRP
:
A 361050051
Program Studi
:
Agronomi
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Anggota
Mengetahui, Ketua Program Studi Agronomi,
Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS.
Tanggal Ujian : 17 November 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus : ..................................
PRAKATA Puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul “Analisis Genetik dan Seleksi Genotipe Unggul Padi Sawah (Oryza sativa L.) untuk Adaptasi pada Ekosistem Dataran Tinggi”. Disertasi ini disusun berdasarkan 5 topik penelitian, yaitu (1) Respon Padi Sawah terhadap Pemupukan Nitrogen dengan Cekaman Suhu Rendah, (2) Analisis Lintas Komponen Pertumbuhan, Komponen Hasil dengan Hasil Tanaman Padi Sawah, (3) Pewarisan Sifat Toleransi Padi Sawah terhadap Cekaman Suhu Rendah (4) Seleksi Genotipe Unggul Berdasarkan Produksi dan Indeks Seleksi dan
(5) Evaluasi Keragaan Galur pada Ekosistem Dataran
Tinggi. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc. dan Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc. selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan motivasi
kepada penulis mulai
perencanaan, pelaksanaan sampai penyelesaian penulisan disertasi ini. Penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Dirjen DIKTI atas beasiswa BPPS yang diberikan, Bupati Tana Toraja dan Dinas Pertanian Kabupaten Tana Toraja yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi.
Terima kasih juga disampaikan kepada Koordinator
Kopertis Wilayah IX Sulawesi, Rektor UKI Toraja yang telah memberikan rekomendasi studi dan membantu pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi. Terima kasih kepada Pengurus YPTKM dan BPS-GT atas bantuan dan dukungan doa.
Kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan dan Ketua Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor. Juga disampaikan terima kasih kepada Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan Agroteknologi, para dosen serta segenap mahasiswa Fakultas Pertanian UKI Toraja atas bantuan, kebersamaan, serta dukungan moral selama penelitian dan penulisan disertasi. Kepada Kepala BPP, PPL serta kelompok tani Sangalla,
x
Rantepao dan Sesean, Kabupaten Tana Toraja yang telah menyiapkan lahan dan membantu dalam proses pelaksanaan penelitian, disampaikan terima kasih. Terima kasih kepada ayahanda Yohanis Limbongan (Alm) dan Ibunda Albertina Rara’ yang telah mendidikku, juga kepada kakak Yakobus S Limbongan, Martha Limbongan, SH, Drs. Daniel Limbongan, Yuliana Limbongan, BSc, Esther Limbongan, BSw, Agustina Limbongan, BSc, Dr. Ir. Jeremia Limbongan, M.Sc, Naomi Limbongan, SE., Frederik S. Limbongan, Damaris Limbongan, Dra. Dina Limbongan, Drs. Benyamin Limbongan, dan Dra. Maria Limbongan (Almh) atas bantuan, semangat dan doanya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada mertua Yohanis Bontong dan Ruth Biu’ serta kakak dan adik ipar atas bantuan dan doanya. Terima kasih kepada istri tercinta Yuliana Bontong yang selalu setia mendampingi serta tiga orang buah hati penulis Joey Sequoiadendron Limbongan, Jose Gigantea Limbongan dan Joel Pascaoryz Limbongan yang selalu memberikan semangat dan motivasi. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang pertanian. Amin. Bogor, November 2008 Yusuf La’lang Limbongan
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tana Toraja, Propinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 21 Juni 1967 dan merupakan anak ke empat belas dari empat belas bersaudara dari ayah Yohanis Limbongan (alm. sejak 1990) dan ibu Albertina Rara’. Penulis telah menikah dengan Yuliana Bontong pada tahun 1994 dan telah dikaruniai tiga orang putra bernama Joey Sequoiadendron Limbongan (13 tahun), Jose Gigantea Limbongan (12 tahun) dan Joel Pascaoryz Limbongan (7 tahun). Penulis menyelesaikan pendidikan SD di Sesean, Kabupaten Tana Toraja pada tahun 1980, SMP di Rantepao pada tahun 1983 dan SMA di Rantepao pada tahun 1986. Pada tahun 1991 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin Makassar. Pada tahun 1994 penulis diangkat sebagai dosen tetap pada Universitas Kristen Indonesia Toraja.
Pada tahun 1996 penulis menjabat sebagai Ketua
Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian UKI Toraja, selanjutnya pada tahun 1998 penulis menjabat sebagai Pembantu Dekan Fakultas Pertanian UKI Toraja. Pada tahun 1999 hingga 2001 penulis mengikuti pendidikan magister sains pada Program Studi Sistem-Sistem Pertanian, kekhususan ilmu tanaman, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Pada tahun 2002 hingga 2005 penulis menjabat sebagai Dekan Fakultas Pertanian UKI Toraja. Sejak tahun 2005 penulis kembali mengikuti pendidikan program doktor pada Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Artikel yang merupakan bagian dari disertasi ini berjudul Pewarisan Sifat Toleransi Padi Sawah (Oryza sativa L) terhadap Cekaman Suhu Rendah telah diterbitkan pada Buletin Agronomi 36(2):111-117 oleh PERAGI dan Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB. Galur-galur harapan spesifik ekosistem dataran tinggi hasil penelitian ini akan diuji multilokasi sebagai prasyarat untuk pelepasan varietas baru.
xii
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ...................................................................................................
ix
DAFTAR ISI ................................................................................................
xii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
xix
PENDAHULUAN........................................................................................... Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. Tanaman Padi ....................................................................................... Pengaruh Nitrogen terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Padi Pengaruh Suhu Rendah ........................................................................ Pendugaan Aksi Gen ............................................................................ Parameter Genetik ................................................................................ Karakter Kuantitatif dan Interaksi Genotipe dan Lingkungan ............. Seleksi dan Kemajuan Genetik ............................................................ RESPON PADI SAWAH TERHADAP PEMUPUKAN NITROGEN DENGAN CEKAMAN SUHU RENDAH .................................................... ABSTRAK ........................................................................................... ABSTRACT ......................................................................................... PENDAHULUAN ............................................................................... Latar Belakang ............................................................................... Tujuan Penelitian .......................................................................... BAHAN DAN METODE .................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ Metode Penelitian .......................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ SIMPULAN ......................................................................................... ANALISIS LINTAS KOMPONEN PERTUMBUHAN, KOMPONEN HASIL DENGAN HASIL TANAMAN PADI SAWAH. ABSTRAK ........................................................................................... ABSTRACT ......................................................................................... PENDAHULUAN ............................................................................... Latar Belakang ............................................................................... Tujuan Penelitian .......................................................................... BAHAN DAN METODE .................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ Metode Penelitian .......................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ SIMPULAN .........................................................................................
1 1 4 4 6 6 8 9 14 15 18 19 24 24 24 25 25 27 27 27 27 29 37 38 38 38 39 39 40 40 40 40 42 55
xiii
PEWARISAN SIFAT TOLERANSI PADI SAWAH TERHADAP CEKAMAN SUHU RENDAH ...................................................................... ABSTRAK ........................................................................................... ABSTRACT ......................................................................................... PENDAHULUAN ............................................................................... Latar Belakang ............................................................................... Tujuan Penelitian .......................................................................... BAHAN DAN METODE .................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ Metode Penelitian .......................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ SIMPULAN ......................................................................................... SELEKSI GENOTIPE UNGGUL BERDASARKAN PRODUKSI DAN INDEKS SELEKSI .............................................................................. ABSTRAK ........................................................................................... ABSTRACT ......................................................................................... PENDAHULUAN ............................................................................... Latar Belakang ............................................................................... Tujuan Penelitian .......................................................................... BAHAN DAN METODE .................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ Metode Penelitian .......................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ SIMPULAN ......................................................................................... EVALUASI KERAGAAN GALUR PADA EKOSISTEM DATARAN TINGGI ........................................................................................................... ABSTRAK ........................................................................................... ABSTRACT ......................................................................................... PENDAHULUAN ............................................................................... Latar Belakang ............................................................................... Tujuan Penelitian .......................................................................... BAHAN DAN METODE .................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ Metode Penelitian .......................................................................... HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ SIMPULAN ......................................................................................... PEMBAHASAN UMUM ............................................................................... SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ Simpulan ................................................................................................. Saran........................................................................................................ DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... LAMPIRAN ...................................................................................................
57 57 57 58 58 60 60 60 60 63 82 83 83 83 84 84 85 85 85 85 86 91 93 93 93 94 94 95 95 95 95 100 116 118 129 129 130 132 141
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1. Temperatur kritis tanaman padi pada setiap fase pertumbuhan ..................... 11 2. Komponen ragam analisis ortogonal polinomial ........................................... 28 3. Kuadrat tengah hasil analisis ortogonal polinomial untuk peubah pollen fertil, panjang daun bendera, umur berbunga, persentase gabah bernas per malai dan produksi GKG. ....................................................................... 29 4. Matriks korelasi antara karakter seleksi ......................................................... 35 5. Analisis ragam dan nilai heritabilitas beberapa karakter pertumbuhan pada 2 level ketinggian tempat ...................................................................... 42 6. Analisis ragam dan nilai heritabilitas beberapa karakter hasil pada 2 level ketinggian tempat .......................................................................................... 43 7. Keragaan komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil (Lokasi Sesean) .......................................................................................................... 44 8. Keragaaan komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil (Lokasi Bogor) ........................................................................................................... 45 9. Korelasi antara komponen pertumbuhan, komponen hasil dengan hasil untuk lokasi Sesean ....................................................................................... 46 10. Korelasi antara komponen pertumbuhan, komponen hasil dengan hasil untuk lokasi Bogor ........................................................................................ 46 11. Umur panen dan akumulasi heat unit genotipe pada dataran tinggi Toraja dan dataran rendah Bogor .................................................................. 48 12. Pengaruh langsung dan tidak langsung antara komponen pertumbuhan, komponen hasil dengan hasil untuk lokasi Sesean ....................................... 51 13. Pengaruh langsung dan tidak langsung antara komponen pertumbuhan, komponen hasil dengan hasil untuk lokasi Bogor......................................... 52 14. Koefisien parameter genetik yang digunakan dalam analisis ...................... 62 15. Uji t rata-rata generasi F1 dan resiproknya (F1R). ........................................ 63 16. Rata-rata dan simpangan karakter pertumbuhan baku tiap generasi. ........... 64 17. Rata-rata dan simpangan baku karakter hasil pada tiap generasi. ................ 65 xv
18. Hasil uji kesesuaian model beberapa karakter pada kondisi cekaman suhu rendah ................................................................................................... 79 19. Pendugaan komponen genetik beberapa karakter seleksi pada kondisi cekaman suhu rendah .................................................................................... 80 20. Pendugaan komponen ragam dan parameter genetik karakter seleksi pada kondisi cekaman suhu rendah ............................................................... 81 21. Galur-galur terpilih dari Toraja dan Bogor berdasarkan produksi dan indeks seleksi terboboti (weightedly standardized selection index). ............ 87 22. Kode galur yang diuji. .................................................................................. 96 23. Analisis ragam gabungan .............................................................................. 98 24. Analisis ragam gabungan antara lokasi Sesean dan Rantepao ...................... 100 25. Pendugaan heritabilitas dan heritabilitas gabungan untuk berbagai karakter seleksi di lokasi Sesean dan Rantepao ............................................ 101 26. Uji kontras ortogonal antara varietas pembanding dengan semua galur pada lokasi Sesean dan Rantepao .................................................................. 102 27. Uji kontras ortogonal antara galur hasil seleksi dari Bogor dengan Toraja pada lokasi Sesean dan Rantepao .................................................................. 103 28 Uji kontras ortogonal antara genotipe pembanding dengan famili galur IPB 117 pada lokasi Sesean dan Rantepao ................................................... 104 29 Uji kontras ortogonal antara genotipe pembanding dengan famili galur IPB 115 pada lokasi Sesean dan Rantepao ................................................... 104 30 Uji kontras ortogonal antara genotipe pembanding dengan famili galur IPB 149 pada lokasi Sesean dan Rantepao ................................................... 105 31 Uji kontras ortogonal antara genotipe pembanding dengan famili galur IPB 116 pada lokasi Sesean dan Rantepao ................................................... 106 32 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 117 dengan famili galur IPB 115 pada lokasi Sesean dan Rantepao ................................................... 106 33 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 117 dengan famili galur IPB 116 pada lokasi Sesean dan Rantepao ................................................... 107 34 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 116 dengan famili galur IPB 115 pada lokasi Sesean dan Rantepao ................................................... 108 35 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 117 dengan famili galur IPB 149 pada lokasi Sesean dan Rantepao ................................................... 108 xvi
36 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 117 seleksi Toraja dengan famili galur IPB 117 seleksi Bogor pada lokasi Sesean dan Rantepao ......... 109 37 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 115 seleksi Toraja dengan famili galur IPB 115 seleksi Bogor pada lokasi Sesean dan Rantepao ......... 110 38 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 116 seleksi Toraja dengan famili galur IPB 116 seleksi Bogor pada lokasi Sesean dan Rantepao ......... 110 39 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 149 seleksi Toraja dengan famili galur IPB 149 seleksi Bogor pada lokasi Sesean dan Rantepao ......... 111 40 Nilai rata-rata karakter umur panen, jumlah malai dan bobot 1000 butir dari 30 galur yang diuji pada lokasi Sesean dan Rantepao ........................... 114 41 Nilai rata-rata karakter panjang malai, persentase gabah bernas dan produksi GKG 30 galur yang diuji pada lokasi Sesean dan Rantepao .......... 115 42 Rata-rata produksi galur-galur terpilih berdasarkan indeks seleksi terboboti dan seleksi berdasarkan produksi .................................................. 116 43 Kontribusi peningkatan produksi galur-galur harapan dibandingkan dengan varietas lokal ..................................................................................... 128
xvii
DAFTAR GAMBAR 1. Bagan alir penelitian ..............................................................................
5
2. Skema pengaruh stres suhu rendah pada sterilitas organ reproduktif tanaman padi (Lee et al. 2001) ................................................................
13
3. Prosedur seleksi untuk perbaikan sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah .............................................................................................
22
4. Hubungan antara dosis nitrogen dengan persentase polen fertil pada 6 genotipe tetua .......................................................................................
30
5. Hubungan antara dosis nitrogen dengan panjang daun bendera pada 6 genotipe tetua .......................................................................................
31
6. Hubungan antara dosis nitrogen dengan umur berbunga pada 6 genotipe tetua ..........................................................................................
32
7. Hubungan antara dosis nitrogen dengan persentase gabah bernas pada 6 genotipe tetua ...............................................................................
33
8. Hubungan antara dosis nitrogen dengan produksi GKG pada 6 genotipe tetua ..........................................................................................
34
9. Hubungan antara polen fertil, panjang daun bendera, umur berbunga dan persentase gabah bernas dengan produksi GKG ..............................
36
10. Hubungan antara karakter umur panen dengan bobot gabah per rumpun ....................................................................................................
47
11. Hubungan antara karakter persentase gabah bernas dengan bobot gabah per rumpun ....................................................................................
48
12. Denah pengaruh langsung komponen pertumbuhan dan pengaruh tidak langsung melalui komponen hasil(lokasi Sesean) ..........................
50
13. Denah pengaruh langsung komponen pertumbuhan dan pengaruh tidak langsung melalui komponen hasil (lokasi Bogor) ..........................
54
14. Sebaran frekuensi aromatik .....................................................................
67
15. Sebaran frekuensi tinggi tanaman ...........................................................
68
16. Sebaran frekuensi panjang daun bendera ................................................
69
17. Sebaran frekuensi umur panen ................................................................
70
18. Sebaran frekuensi umur berbunga...........................................................
71
xviii
19. Sebaran frekuensi jumlah anakan............................................................
72
20. Sebaran frekuensi panjang malai ............................................................
73
21. Sebaran frekuensi panjang bulu ..............................................................
74
22. Sebaran frekuensi persentase gabah bernas per malai ............................
75
23. Distribusi frekuensi tinggi tanaman galur-galur padi sawah pada kondisi cekaman suhu rendah .................................................................
89
24. Distribusi frekuensi umur panen galur-galur padi sawah pada kondisi cekaman suhu rendah ..............................................................................
89
25. Distribusi frekuensi panjang daun bendera galur-galur padi sawah pada kondisi cekaman suhu rendah .........................................................
90
26. Distribusi frekuensi jumlah malai per rumpun galur-galur padi sawah yang diseleksi di Bogor dan Toraja .........................................................
90
27. Distribusi frekuensi bobot 1000 gabah bernas galur-galur padi sawah yang diseleksi di Bogor dan Toraja .........................................................
91
28. Distribusi frekuensi persentase gabah bernas galur-galur padi sawah yang diseleksi di Bogor dan Toraja .........................................................
91
29. Distribusi frekuensi bobot gabah per rumpun galur-galur padi sawah yang diseleksi di Bogor dan Toraja .........................................................
91
30. Suhu maksimum dan minimum pada lokasi Rantepao (A) dan Sesean (B) untuk tahun 2007 ............................................................................ 126
xix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Deskripsi varietas yang dipakai sebagai tetua betina ........................... 142 2. Deskripsi varietas yang dipakai sebagai tetua jantan ........................... 143 3. Koefisien korelasi genetik antara komponen pertumbuhan dengan produksi ................................................................................................ 144 4. Karakter morfologi genotipe-genotipe hasil seleksi dan evaluasi........ 145 5. Data iklim bulanan untuk lokasi Rantepao dan Sesean (Tahun 2007). ................................................................................................... 147 6. Nilai koefisien ortogonal kontras ......................................................... 148
xx
xxi
PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan komoditas strategis yang berperan penting dalam perekonomian dan ketahanan pangan nasional, dan menjadi basis utama dalam revitalisasi pertanian. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, kebutuhan beras pada tahun 2006 mencapai 54.4 juta ton GKG, diproyeksikan masih akan terus meningkat hingga mencapai 65.9 juta ton GKG pada tahun 2025. Jika peningkatan kebutuhan beras tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan produksi yang memadai, maka Indonesia diproyeksikan akan mengalami defisit beras pada dua dekade mendatang (DEPTAN 2005; FAOSTAT 2007 ). Upaya peningkatan produksi melalui perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk mengembangkan varietas yang berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta minat masyarakat. Sejalan dengan berkembangnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, permintaan akan tipe varietas yang dihasilkan juga berbeda-beda. Pengembangan tipe varietas yang berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan kondisi ekosistem tersebut berpengaruh terhadap produktivitas padi sawah nasional seperti dilaporkan BPS (2000). Berhasil tidaknya pengembangan varietas unggul pada usahatani padi ditentukan oleh mau tidaknya petani mengadopsi teknologi tersebut (Pranadji 1984). Menurut Roesmarkan et al. (2002), bahwa pemilihan varietas padi oleh petani pada umumnya berdasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu (1) berdaya hasil tinggi (2) rasa nasi enak sesuai dengan keinginan petani dan permintaan pasar (3) tahan terhadap hama dan penyakit, serta (4) mampu beradaptasi dengan baik di lokasi setempat. Varietas unggul padi akan diadopsi petani jika varietas tersebut menguntungkan dan dapat meningkatkan nilai tambah terhadap sumberdaya lahan yang terbatas. Tujuan akhir dari adopsi varietas unggul tersebut adalah meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi padi dalam rangka ketahanan pangan nasional adalah dengan mengembangkan padi tipe baru (PTB). Padi tipe baru dicirikan oleh batang yang kokoh, malai yang panjang dan lebat 1
jumlah anakan produktif 10-12 dan daun yang lebar berwarna hijau tua. Hal ini memungkinkan tanaman mampu memberikan hasil 30-50% lebih tinggi dari varitas unggul nasional yang ada sekarang. Padi tipe baru dirancang agar fotosintat didistribusikan secara lebih efektif ke malai/gabah. Untuk itu ciri dari PTB yang dikehendaki adalah tinggi tanaman 80-100 cm, batang kuat, jumlah anakan 8-10 (semua bermalai), daun tegak, lebar, tebal dan berwarna hijau tua, malai panjang (jumlah gabah 200-250/malai), umur 100-130 hari, tahan terhadap hama/penyakit utama (Peng et al. 1998). Penelitian di Sukamandi
menunjukkan beberapa varietas seperti PTB
Fatmawati, semi PTB Gilirang, VUB Ciherang, serta varietas hibrida Maro dan Rokan memberi hasil berturut-turut 24.1%, 15.6%, 1.7%, 14.1%, dan 13.5 % lebih tinggi dibandingkan dengan IR-64 (6.6 ton/ha). Sementara di petak demonstrasi pada MT 2003 di lahan petani di Takalar, Sulawesi Selatan, varietas Fatmawati, Gilirang, Ciherang, Cigeulis, Cisantana, Cimelati, dan hibrida Maro serta Rokan yang ditanam dengan pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman dan sumberdaya Terpadu) berturut-turut memberi hasil 31.2%, 12.9%, 15.9%, 12.9%, 2.5%, 8.3%, 24.1%, dan 20.9% lebih tinggi dibandingkan dengan Ciliwung (6.8 t/ha) (Susanto et al. 2003). Varietas unggul yang telah dilepas tersebut umumnya ditujukan untuk budidaya padi pada lingkungan optimal, sehingga tidak memberikan potensi yang maksimal pada lingkungan bercekaman, termasuk lingkungan dengan cekaman suhu rendah di dataran tinggi. Pengujian beberapa VUB (Varietas Unggul Baru) dan galur PTB di dataran tinggi Toraja memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan potensi hasil varietas lokal (Limbongan 2001). Hal ini disebabkan Padi Tipe Baru (PTB) kurang mampu beradaptasi pada lahan dataran tinggi. Suhu rendah dan pemupukan nitrogen adalah faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan meningkatkan kehampaan malai.
Matsuo (1993)
menyatakan bahwa cekaman suhu rendah meningkatkan infertilitas pada fase pembungaan dan pengisian biji.
Menurut Lee (2001) cekaman suhu rendah
memperpanjang fase vegetatif, menyebabkan sterilitas polen, dan menghambat pengisian biji, sehingga umur tanaman menjadi lebih panjang dan persentase gabah hampa per malai lebih tinggi. Suhu rendah selama perkembangan malai 2
pada padi meningkatkan kehampaan malai. Efek suhu rendah tersebut diperburuk oleh aplikasi N (Gunawardena et al. 2003). Ekosistem dataran tinggi ( ketinggian tempat > 700 m di atas permukaan laut) memiliki ciri khusus seperti suhu yang lebih rendah dari 20 oC dan kemiringan lahan yang lebih dari 50%.
Suhu pada ekosistem dataran tinggi
tergantung pada ketinggian tempat sehingga berlaku gradien suhu yaitu berkurangnya suhu 0.6 oC setiap kenaikan tinggi tempat 100 m. Topografi lahan yang miring, menyebabkan mayoritas lahan dataran tinggi dijadikan sebagai ladang, namun di beberapa tempat, dijadikan sebagai areal persawahan dengan metode terassering. Cekaman suhu rendah tidak hanya terjadi di daerah temperate namun juga pada daerah dataran tinggi (Yoshida 1981). Menurut Widjono dan Syam (1982) lahan sawah dataran tinggi di Indonesia meliputi kurang lebih 500.000 ha. Lahan ini tersebar di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Papua. Dengan varietas lokal yang berumur dalam (5 – 6 bulan) dan berdaya hasil rendah, penanaman padi di dataran tinggi hanya dapat dilakukan setahun sekali. Perakitan varietas padi sawah berdaya hasil tinggi dan toleran suhu rendah merupakan alternatif pemecahan masalah pada daerah dataran tinggi dengan cekaman suhu rendah. Pemuliaan padi spesifik dataran tinggi untuk memperbaiki daya hasil tinggi dan kualitas yang diinginkan tidak dapat dilakukan tanpa mengetahui kendali genetik dari sifat ketahanan suhu rendah dan pola pewarisannya. Seleksi akan memberikan respon yang optimal bila menggunakan kriteria seleksi yang tepat. Seleksi berdasarkan produksi biasanya kurang memberikan hasil optimal bila tidak didukung oleh kriteria seleksi lain berupa komponen pertumbuhan dan komponen hasil yang berkorelasi kuat dengan daya hasil. Selain itu, seleksi yang dilakukan di lokasi target akan memberikan daya adaptasi dan produksi yang lebih baik dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan di lingkungan non-target, baik dengan menggunakan indeks seleksi maupun produksi. Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, maka dilakukan studi tentang pengembangan padi sawah yang spesifik untuk ekosistem dataran tinggi.
3
Selain itu, dari penelitian ini diperoleh galur-galur harapan PTB spesifik ekosistem dataran tinggi.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan varietas padi tipe baru yang spesifik untuk ekosistem dataran tinggi. Tujuan Khusus Tujuan khusus serangkaian penelitian ini ialah : 1. Memperoleh informasi tentang respon genotipe padi sawah terhadap pemupukan nitrogen di dataran tinggi, 2. Memperoleh informasi tentang hubungan antara karakter adaptasi terhadap suhu rendah dengan hasil tanaman padi sawah, 3. Memperoleh informasi tentang pola pewarisan sifat adaptasi padi sawah terhadap cekaman suhu rendah, 4. Menduga efektifitas seleksi berdasarkan daya hasil dan indeks terboboti, 5. Memperoleh informasi tentang keragaan galur padi sawah pada ekosistem dataran tinggi. 6. Memperoleh galur harapan unggul padi sawah spesifik ekosistem dataran tinggi. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai pedoman seleksi, evaluasi galur dan perakitan varietas padi tipe baru berdaya hasil tinggi dan spesifik untuk ekosistem dataran tinggi. Ruang Lingkup Penelitian Kegiatan penelitian meliputi lima tahap percobaan yaitu: (1) Respon genotipe padi sawah terhadap pemupukan nitrogen di dataran tinggi, (2) Analisis lintas komponen pertumbuhan, komponen hasil dengan hasil tanaman padi sawah, (3) Pewarisan sifat toleransi padi sawah terhadap cekaman suhu rendah, (4) Seleksi genotipe unggul berdasarkan produksi dan indeks seleksi terboboti (5)
4
Evaluasi keragaan galur pada ekosistem dataran tinggi. Bagan alir disajikan pada Gambar 1. Koleksi plasmanutfah padi sawah lokal dataran tinggi dan VUB
1. Respon genotipe terhadap pemupukan N 2. Pola hubungan antara karakter seleksi
Persilangan
Populasi P1, P2, F1, F1 res, BCP1, BCP2 dan F2 3. Studi pewarisan sifat
Selfing dan seleksi
4. Seleksi genotipe unggul berdasarkan produksi dan indeks terboboti
• Pengaruh tetua betina dan sebaran frekuensi • Pola pewarisan sifat • Pendugaan parameter genetik
• Uji F-ortogonal • Analisis lintas • Analisis regresi dan korelasi
• Karakter seleksi yang sesuai • Dosis N yang tepat untuk ekosistem dataran tinggi
• Seleksi di Bogor dan Toraja • Seleksi produksi dan indeks
5. Evaluasi keragaan genotipe pada ekosistem dataran tinggi
• Anova gabungan • Parameter genetik • F-ortogonal kontras
Galur harapan PTB spesifik ekosistem dataran tinggi
Gambar 1. Bagan alir penelitian 5
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Tanaman padi diklasifikasikan dalam divisio spermatophyta, sub divisio Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae, Ordo Graminales, Famili Gramineae, dan Genus Oryza. Genus Oryza terdiri atas dua spesies budidaya dan sekitar 20 spesies liar (Tateoka 1963). Spesies-spesies tersebut kebanyakan memiliki genom A, B, C, BC, CD, E atau F, H dan J. Spesies padi yang memiliki genom A termasuk dua spesies budidaya dan 5 spesies liar. Spesies budidaya yaitu O. sativa terdiri atas 3 tipe (Japonica, Javanica dan Indica) dan O. glaberrima. Spesies liar diantaranya O. rufipogon, O. glumaepatula, O. longistaminata, O. maridionalis dan O. barthii (Vaughan 1989). Oryza sativa diduga berasal dari daerah hulu sungai di kaki Pegunungan Himalaya dan yang kedua berasal dari Afrika Barat (hulu sungai Niger). Oryza sativa terdiri atas dua jenis yaitu indica dan japonica. Tipe japonica umumnya berumur panjang, postur tinggi namun mudah rebah, paleanya memiliki bulu, bijinya cenderung besar. Tipe indica, sebaliknya, berumur lebih pendek, postur lebih kecil, paleanya tidak berbulu, dan biji cenderung ramping. Walaupun kedua jenis dapat saling membuahi, persentase keberhasilannya rendah. Contoh terkenal dari hasil persilangan ini adalah kultivar IR8, yang merupakan seleksi dari persilangan jenis japonica dan jenis indica. Selain kedua jenis tersebut, dikenal pula sekelompok padi yang tergolong javanica yang memiliki sifat antara dari kedua varietas utama di atas. Varietas javanica hanya ditemukan di Pulau Jawa (Matsuo 1993). Satu set genom padi terdiri atas 12 kromosom. Tanaman padi adalah tanaman diploid sehingga setiap sel padi memiliki 12 pasang kromosom (kecuali sel seksual). Padi merupakan organisme model dalam kajian genetika tumbuhan karena dua alasan yakni kepentingannya bagi umat manusia dan ukuran kromosom yang relatif kecil, yaitu 1.6~2.3 × 108 pasangan basa (base pairs, bp) (Takahashi 1997). Pembentukan varietas padi, baik VUB maupun PTB dilakukan dengan menyilangkan beberapa tetua dari jenis japonica maupun indica, kemudian dari 6
turunan persilangan tersebut dipilih tanaman-tanaman yang mempunyai sifat-sifat yang baik (Susanto et al. (2003). Menurut Khush (1996), landasan pemikiran dalam pembentukan padi tipe baru adalah peningkatan indeks panen (IP) dan produksi biomassa tanaman. Indeks panen adalah perbandingan bobot kering gabah dengan total biomassa tanaman. Indeks panen varietas padi sebelumnya yang berkisar antara 0.45−0.50 diupayakan untuk ditingkatkan menjadi 0.60. Cara yang ditempuh adalah dengan meningkatkan proporsi distribusi fotosintat ke sink dibanding ke source. Caranya adalah dengan meningkatkan sink size, yang meliputi peningkatan jumlah gabah per malai dan translokasi asimilat ke gabah, serta meningkatkan masa pengisian gabah antara lain dengan penundaan senescence daun, memperpanjang masa pengisian biji, dan meningkatkan ketahanan terhadap rebah. Biomassa tanaman ditingkatkan dengan memodifikasi kanopi sehingga pembentukan kanopi dan penyerapan hara berlangsung cepat serta konsumsi karbon berkurang. Karakteristik padi tipe baru menurut Peng et al. (1994) dan Khush (1996) adalah potensi hasil tinggi, malai lebat (± 250 butir gabah/malai), jumlah anakan produktif lebih dari 10 dengan pertumbuhan yang serempak, tanaman pendek (± 90 cm), bentuk daun lebih efisien, hijau tua, senescence lambat, tahan rebah, perakaran kuat, batang lurus, tegak, besar, dan berwarna hijau gelap, sterilitas gabah rendah, berumur genjah (100−130 hari), beradaptasi tinggi pada kondisi musim yang berbeda, IP mencapai 0.60. efektif dalam translokasi fotosintat dari source ke sink (biji), responsif terhadap pemupukan berat, dan tahan terhadap hama dan penyakit. Kendala dalam program pemuliaan padi tipe baru adalah produksi biomassa yang rendah serta tingkat sterilitas yang tinggi (Peng et al. 1998). Hal ini diduga terjadi karena populasi awalnya dibuat dengan menyilangkan padi yang berbeda subspecies (indica x tropical japonica/javanica), sehingga terjadi perbedaan genom dan tidak samanya distribusi kromosom pada keturunannya (Abdullah et al. 2001). Upaya pemecahan masalah dilakukan dengan persilangan sebanyakbanyaknya untuk membentuk populasi dengan memanfaatkan tetua japonica tropik yang memiliki sterilitas malai yang rendah. Populasi dasar padi tipe baru 7
banyak dibentuk dengan memanfaatkan tetua dari subspesies indica dan japonica tropik sehingga latar belakang genetiknya cukup luas. Dengan demikian, stagnasi pada varietas-varietas yang sudah ada diharapkan dapat dipecahkan (Abdullah et al. 2001). Pengaruh Nitrogen terhadap Pertumbuhan dan Produksi Padi Respon hasil padi terhadap pemupukan nitrogen berbeda menurut genotipe, musim dan tingkat toleransi terhadap cekaman suhu rendah. Di daerah Asia tropis basah, respon hasil padi terhadap nitrogen lebih tinggi pada musim kemarau dibandingkan dengan pada musim hujan. Ekotipe tanaman juga mempengaruhi respon hasil gabah terhadap pemupukan nitrogen. Genotipe dengan perawakan yang pendek dan umur genjah lebih responsif terhadap pemupukan nitrogen dibandingkan dengan genotipe berperawakan tinggi dan berumur dalam (Barrel et al. 1997) Nitrogen yang tinggi meningkatkan luas daun sehingga mengurangi penetrasi cahaya ke dalam tajuk tanaman.
Gunawardena et al. (2001)
mengemukakan bahwa salah satu cara mengurangi dampak cekaman suhu rendah pada tanaman padi adalah dengan penggenangan untuk mengurangi cekaman yang dialami oleh tanaman pada malam hari, jika suhu minimum air 3 – 4 oC lebih tinggi dari suhu udara. Gunawardena et al. (2003) mendemonstrasikan dengan membatasi jumlah malai per rumpun sebanyak 2 malai per rumpun menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah polen fertil per antera dan mengurangi persentase sterilitas malai. Pemberian nitrogen meningkatkan indeks panen dan memperlambat pembentukan malai. Jumlah malai per meter persegi dan jumlah biji per malai meningkat dengan penambahan dosis nitrogen, sehingga asimilat tidak cukup untuk pengisian biji yang berakibat pada tingginya persentase gabah hampa. Tanaman berperawakan tinggi lebih lambat berbunga dibandingkan tanaman berperawakan pendek jika dosis nitrogen tinggi. Kultivar dengan umur pendek lebih responsif terhadap N pada lingkungan dengan radiasi tinggi (Singh dan Kumar 2001). Sterilitas malai berkorelasi positif dengan suhu udara minimum selama pertumbuhan mikrospora dan selama pembungaan. Sterilitas malai bertambah 1.7 8
persen jika suhu udara minimum berkurang sebesar 1 oC selama fase pembungaan. Lebih dari 1000 butir polen dibutuhkan untuk menekan sterilitas malai sebesar 10 % (Ball dan Singh 1996). Waktu tanam yang tepat dan penggunaan kultivar yang sensitif terhadap fotoperiode dapat meminimalkan bahaya cekaman suhu rendah selama fase reproduktif (Farrell et al. 2006). Suhu udara di bawah 15 oC selama fase vegetatif menyebabkan klorosis daun, mengurangi jumlah anakan dan memperlambat pembungaan. Temperatur 19 oC merupakan temperatur kritis untuk mengidentifikasi genotipe toleran suhu rendah. Suhu rendah memberikan efek negatif terhadap perkembangan malai (Jena dan Jeung 2004). Pengaruh Suhu Rendah Banyak perubahan fisiologis yang terjadi pada kondisi tanaman tercekam oleh suhu rendah. Perubahan tersebut meliputi variasi aktivitas enzim, akumulasi senyawa tertentu, perubahan komposisi membran, dan induksi gen-gen spesifik. Stres suhu rendah berkaitan dengan peningkatan kandungan prolin dan akumulasi ABA pada kultivar yang toleran suhu rendah. Pada kultivar yang toleran terhadap suhu rendah, 86% asam lemak bebas merupakan asam lemak tak jenuh di mana 71% berupa asam linolenik. Pada tanaman yang sensitif kandungan asam lemak tak jenuh hanya mencapai 31% dan sejumlah besar 9-oxo-nonanoic acid (Cattivelli et al. 1992) Mekanisme biokimia yang terjadi pada kondisi suhu rendah berkaitan dengan fungsi membran biologis, khususnya membran sel dan membran organel. Membran biologis umumnya merupakan kompleks lipida-protein, yang menyusun membran fosfolipid bilayer, protein aktif seperti enzim, dan protein struktural membran. Stres suhu rendah meningkatkan konsentrasi Reactive Oxygen Species (ROS), yang berpengaruh negatif terhadap membran lipid, protein dan asam nukleat (Apel dan Hirt 2004). Aktivitas respirasi tanaman mengalami penghambatan pada kondisi tercekam suhu rendah akibat lemahnya membran mitokondria.
Pada
kenyataannya tanaman tropikal lebih sensitif terhadap cekaman suhu rendah dibandingkan dengan tanaman sub tropika, yang ditandai oleh tingginya kandungan asam lemak jenuh pada fosfolipid membran pada tanaman tropika. 9
Asam lemak tak jenuh umumnya memiliki titik lebur yang lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak jenuh.
Sebagai konsekuensinya, fosfolipid
yang mengandung asam lemak jenuh lebih tinggi, memiliki fase transisi suhu yang tinggi dibanding fosfolipid yang mengandung asam lemak jenuh yang lebih sedikit (Murata dan Nishida 1984). Menurut Tajima et al. (1995), rasio asam lemak tak jenuh dengan asam lemak jenuh pada fosfolipid membran sel daun tanaman padi lebih rendah dibandingkan dengan pada tanaman barley dan rumput-rumputan subtropis.
Selanjutnya dikemukakan bahwa tidak ada
perbedaan komposisi asam lemak dari fosfolipid tanaman padi kultivar Indica dan Japonica. Murata dan Nishida (1984) menyatakan bahwa di antara fosfolipid membran, fosfatidil gliserol mengandung asam lemak jenuh paling tinggi dan mengakibatkan kepekaan terhadap cekaman suhu rendah. Protein merupakan komponen utama penyusun membran yang bersifat stabil pada suhu rendah dan akan mengalami denaturasi pada kondisi suhu tinggi. Namun demikian, peneliti menemukan bahwa enzim tidak aktif bekerja pada kondisi suhu rendah bahkan dapat pula mengalami denaturasi sehingga melepaskan ikatan hidrofobik antara rantai samping polipeptida (Ishii 1995). Pada kondisi suhu rendah, pemanfaatan cahaya oleh tanaman melalui proses fotosintesis akan terhambat dan fenomena ini dikenal dengan low temperature photoinhibition. Fotoinhibisi berkaitan langsung dengan kompleks protein fotosistem II.
Asam lemak tak jenuh phosphatidylglycerol dalam
thylakoid membran mengurangi low temperature photoinhibition pada kompleks fotosistem II (PS II). Hal serupa juga dilaporkan pada Cyanobacteria. Daun tanaman yang tercekam suhu rendah akan mengalami hambatan dalam proses fotosintesis, translokasi fotosintat, laju respirasi dan sistesis protein (Taiz dan Zeiger 2002). Menurut Lee (2001), temperatur kritis untuk tanaman padi biasanya di bawah 20 oC dan bervariasi menurut fase pertumbuhan disajikan pada Tabel 1. Pada stadia vegetatif tanaman padi, temperatur yang lebih rendah dari o
15 C mengurangi tinggi tanaman, pertumbuhan akar, dan berat kering tanaman. Hue (1978) melaporkan bahwa jenis Japonica lebih toleran terhadap suhu rendah 10
dibandingkan dengan Indica, yang memerlukan suhu 2.5oC – 3.0oC lebih tinggi dibandingkan dengan Japonica. Lee et al. (1987) melaporkan bahwa pada kondisi stres suhu rendah, persentase gabah bernas per malai lebih tinggi pada padi tipe Japonica dibandingkan dengan Indica. Selama stadia generatif, masa bunting merupakan fase yang paling sensitif terhadap suhu rendah, terutama 10 hari sebelum munculnya malai. Suhu rendah berpengaruh terhadap fase mikrospora, terutama 10 hingga 11 hari sebelum munculnya malai. Tabel 1 Temperatur kritis tanaman padi pada setiap fase pertumbuhan Fase pertumbuhan Perkecambahan
T Kritis (oC) 10
Perkecambahan terhambat dan kerdil
Fase Bibit
13
Pertumbuhan terhambat, klorosis dan pembusukan
Gejala
bibit Vegetatif
15
Menghambat perakaran dan pertumbuhan Memperlambat pembentukan malai
Reproduktif
17
Terhambatnya perkembangan malai, degenerasi malai, terganggunya meiosis dan pembentukan polen, terhambatnya heading.
Pembentukan
17
Malai
Malai kerdil, terhambatnya pertumbuhan anter dan penyerbukan
Pemasakan
14
Gangguan pengisian malai dan mempercepat penuaan daun
Murata dan Nishida (1989), melakukan observasi dengan memberikan perlakuan suhu rendah pada anther tanaman padi, dan melaporkan terjadinya reduksi gula. Selain itu juga terjadi penurunan aktivitas peroksidase dalam sel parenkim dan peningkatan peroksidase dalam sel tapetum dan floem. Masa pembungaan tanaman padi merupakan masa yang paling sensitif terhadap cekaman suhu rendah terutama terjadinya sterilitas pada bunga. Sterilitas tertinggi dicapai jika stres suhu rendah terjadi pada fase meiosis pada gemetogenesis polen serta fase awal pembentukan mikrospora. Temperatur kritis di mana sterilitas terjadi bervariasi tergantung pada durasi suhu rendah, perbedaan 11
suhu siang dan suhu malam, kondisi lingkungan sebelum dan sesudah fase kritis, metode dan jumlah pupuk yang diaplikasikan serta kultivar yang dipakai (Nishiyama 1992). Pada kultivar padi sawah yang toleran terhadap suhu rendah, persentase steril lebih rendah dibandingkan dengan kultivar yang peka, namun perlakuan suhu rendah selama beberapa jam tidak mempengaruhi fertilitas. Temperatur pada malam hari setinggi 5 oC tidak berpengaruh nyata terhadap sterilitas. Pada suhu rata-rata yang sama, persentase sterilitas lebih kecil jika perbedaan suhu siang dan suhu malam kecil (Lee et al. 1987). Gejala yang biasa ditemukan akibat cekaman suhu rendah di Korea, adalah terhambatnya perkecambahan, pertumbuhan bibit dan pertumbuhan akar serta terjadinya klorosis pada daun. Tanaman padi sangat sensitif terhadap suhu rendah selama
tahap
reproduktif,
terutama
terhambatnya
pembentukan
perkembangan malai serta terganggunya pembentukan polen.
dan
Menjelang
pemasakan, suhu rendah menghambat pengisian biji dan mempercepat proses senescense daun (Lee et al. 1987). Hasil penelitian Matsuo (1995) menunjukkan bahwa pada kondisi terkontrol dan suhu 10 oC, perkecambahan padi sangat rendah dibandingkan dengan pada suhu 12 oC dan 15 oC. Laju perkecambahan jenis Japonica lebih tinggi dibandingkan dengan jenis Indica pada kondisi tercekam suhu rendah. Menurut Matsuo (1997) toleransi tanaman padi terhadap suhu rendah dikontrol oleh gen dominan dengan efek aditif dan merupakan assosiasi 4 – 7 gen mayor. Faktor genetik pada sifat toleran suhu rendah bukan di sitoplasma tetapi di nukleus, sehingga tidak ada pengaruh tetua betina (Jun et al. 1987). Nishiyama (1992) mempelajari proses pertumbuhan anther pada kondisi stres suhu rendah selama anthesis dan pembentukan malai dan menyimpulkan bahwa stress suhu rendah menyebabkan berkurangnya panjang anther 15% pada tahap pembungaan. Protein anther dan aktivitas respirasi berkurang 50 %, tetapi tidak terjadi perubahan pada pH dan kuoisien respirasi. Berkurangnya kandungan protein dan aktivitas respirasi meningkatkan sterilitas anther. Skema hipotetik tentang terjadinya sterilitas akibat suhu rendah disajikan pada Gambar 1.
12
Suhu rendah Gangguan metabolisme gula dan fosfat (peningkatan gula non-reduksi dan kandungan pati, pengurangan Pi dan aktivitas fosfatase)
Penghambatan translokasi hara dari tapetum ke mikrospora
Penghambatan pertumbuhan mikrospora
Penambahan konsentrasi gula dan tekanan turgor di tapetum Dilatasi tapetal
Penghambatan dalam pertumbuhan dan formasi polen Anther abnormal
Sterilitas
Gambar 2 Skema pengaruh cekaman suhu rendah pada sterilitas organ reproduktif tanaman padi (Lee et al. 2001).
Status hara nitrogen juga sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi pada kondisi cekaman suhu rendah. Lee et al. (2001) melaporkan bahwa suhu rendah menghambat rasio pengisian biji dengan penambahan nitrogen. Pemberian nitrogen pada fase pembentukan malai dan pada fase pembentukan daun bendera meningkatkan sterilitas malai. Pemberian bahan organik, kompos jerami dan pupuk kandang meningkatkan kondisi fisiologis padi dan mengurangi efek suhu rendah, terutama di daerah pegunungan. Pengurangan dosis pupuk nitrogen dan peningkatan aplikasi bahan organik meningkatkan hasil tanaman padi sawah pada kondisi tercekam suhu rendah. 13
Pendugaan Aksi Gen Aksi gen adalah bagaimana gen mengendalikan ekspresi fenotipe. Ekspresi fenotipe ditentukan oleh interaksi yang terjadi, baik interaksi alelik maupun interaksi non alelik (Crowder 1988). Mather dan Jink (1982); Wricke dan Weber (1986) membuat sketsa nilai genetik sebagai berikut : Genotipe
A2A2
Nilai genetik:
m
-d
0
h
A1A2 A1A1
+d
Di mana : m = parameter ini menunjukkan gabungan pengaruh seluruh gen-gen yang sama pada kedua tetua kecuali gen yang diamati (A1/A2). Digunakan sebagai titik awal pengukuran nilai suatu genotipe. d = parameter yang menunjukkan perbedaan nilai antara dua genotipe yang homozigot.
Mempunyai nilai penambahan/pengurangan yang tetap dari
nilai m dan merupakan komponen aditif . h = parameter yang menunjukkan penyimpangan nilai genotipe heterozigot dari nilai tengah kedua tetua (m) dan merupakan komponen dominan. Dengan menggunakan ketiga parameter tersebut, maka nilai genetik suatu genotipe dapat diduga sebagai berikut : Jika hanya satu gen, ⎯P1
= m +d
⎯P2
= m - d , dan
⎯F1
= m +h
Jika lebih dari satu gen , maka ⎯P1
= m + [d]
⎯P2
= m - [d] , dan
⎯F1
= m + [h]
dimana [d] = Σd (Wricke dan Weber 1986) 14
Dari persamaan di atas, dapat diduga nilai ketiga parameter m, [d] dan [h] sebagai berikut : m=
P1 + P2 2
[d] =
P1 − P2 2
P1 adalah tetua dengan nilai tengah lebih tinggi. [h]= ⎯F1 - m Ketiga parameter dapat digunakan untuk menduga rata-rata dari generasi F2, BCP1, dan BCP2. Generasi F2 adalah hasil selfing dari generasi F1, maka ratarata generasi F2 dapat diduga sebagai berikut : Genotipe F2
A1A1
A1A2
A2A2
Frekuensi
¼
½
¼
Nilai Genotipe
m +d
m+h
m-d
Nilai rata-rata genotipe ⎯F2 : ⎯F2 = ¼ (m+d) + ½ (m+h) + ¼ (m –d) = m+½h,
atau untuk sejumlah gen menjadi
⎯F2 = m + ½ [h] Dengan cara yang sama dapat diduga rata-rata generasi BCP1 dan BCP2 adalah sebagai berikut : ⎯BCP1
= m + ½ [d] + ½ [h]
⎯BCP2
= m – ½ [d] + ½ [h]
Asumsi pendugaan menurut Allard (1960) adalah 1) kedua tetua homozigot, 2) pola pewarisan diploid, 3) tidak ada keterpautan gen, 4) tidak ada pengaruh tetua betina, 5) tidak ada interaksi antara genotipe dengan lingkungan, 6) interaksi hanya terjadi antara dua gen dengan dua alela. Parameter Genetik
Keragaman (σ2) Menurut Falconer (1981), keragaman fenotipe (σ2p) suatu sifat biasanya disusun oleh keragaman genotipe (σ2g), keragaman lingkungan (σ2e) dan interaksi
15
antara genotipe dan lingkungan (σ2ge).
Sehingga keragaman fenotipe dapat
dituliskan sebagai berikut : σ2p = σ2g + σ2e + σ2ge Nilai genotipe (G) tersusun atas komponen aditif (A) yang merupakan nilai pemuliaan, dominan (D) dan epistatik (I), dan dinyatakan sebagai : G = A + D + I, sehingga nilai fenotipe secara umum dapat dituliskan sebagai : P = A + D + I + E + GE. Nilai epistatik (I) merupakan gabungan dari komponen interaksi aditif x aditif, aditif x dominan dan dominan x dominan. Keragaman genotipe menjadi perhatian utama pemulia tanaman, namun seberapa besar penampakan suatu sifat disebabkan oleh keragaan genotipe dan keragaman lingkungan, merupakan kajian yang penting dalam seleksi suatu sifat tanaman. Poehlman dan Sleper (1996) menyatakan bahwa efektifitas seleksi pada tanaman dengan hasil tinggi dalam suatu populasi campuran bergantung pada : a) tingkat di mana keragaman hasil dalam populasi adalah hasil faktor genetik yang diteruskan ke turunannya dan b) seberapa besar keragaman hasil disebabkan oleh lingkungan di mana tanaman itu ditumbuhkan. Heritabilitas (h2) Heritabilitas didefinisikan sebagai nisbah antara ragam genotipe dengan ragam fenotipe, dengan dua batasan pengertian.
Apabila heritabilitas
mempertimbangkan keragaman genetik total yang dikaitkan dengan keragaman fenotipe, maka dikatakan heritabilitas dalam arti luas. Apabila hanya melihat bagian aditif dari keragaman genetik dalam kaitannya dengan keragaman fenotipe disebut sebagai heritabilitas dalam arti sempit (Roy 2000). Konsep heritabilitas memiliki kegunaan dalam menentukan derajat perbedaan fenotipe yang dihasilkan dari penyebab genotipik (Johnsons dan Frey 1967).
Nilai heritabilitas merupakan pernyataan kuantitatif faktor keturunan
dibandingkan dengan faktor lingkungan dalam memberikan penampilan akhir. Dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa dengan heritabilitas dapat diketahui keragaman dari suatu sifat tertentu apakah disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan (Fehr 1987). Seleksi terhadap karakter yang heritabilitasnya tinggi dapat dilakukan pada generasi awal. Malik et al. (1988) melakukan seleksi jumlah gabah per malai 16
lebih efektif mulai dari generasi bersegregasi, seperti generasi turunan F2 – F4. Kasno (1987) menegaskan bahwa dalam program pemuliaan tanaman yang seleksinya
dilakukan
serentak
untuk
beberapa
karakter,
akan
sangat
menguntungkan apabila nilai heritabilitas semua karakter adalah tinggi. Korelasi Genetik antara Karakter Analisis korelasi genetik merupakan prosedur yang mampu mendeteksi adanya hubungan linear antara dua sifat (Singh dan Chaudary 1979). Koefisien korelasi genetik dapat bernilai positif atau negatif. Bila terdapat korelasi antara dua sifat, maka perubahan pada suatu sifat juga turut memberikan andil bagi perubahan sifat lainnya, di mana terjadi peningkatan keragaan secara bersamasama bila koefisien korelasi bernilai positif, dan berbanding terbalik bila koefisien korelasi bernilai negatif. Bila tak ada korelasi, maka perubahan pada suatu sifat tidak memberikan andil bagi perubahan sifat lainnya (Steel et al. 1997). Permadi et al. (1993) mendefinisikan korelasi sebagai suatu analisis untuk mengukur derajat keeratan hubungan antara sifat-sifat. Falconer dan Mackay (1996) menyatakan bahwa nilai korelasi fenotipe adalah nilai derajat keeratan hubungan antara dua sifat yang langsung diukur, sedangkan nilai korelasi genotipe adalah nilai derajat keeratan hubungan antara total rata-rata pengaruh dari gen yang yang dikandungnya. Menurut Singh dan Chaudary (1979), jika hubungan sebab akibat didefinisikan dengan baik, hal tersebut memungkinkan untuk menyajikan seluruh sistem peubah dalam bentuk diagram, yang dikenal dengan diagram koefisien lintas.
Dalam hal ini bila peubah Y( faktor akibat) merupakan fungsi dari
berbagai komponen (faktor sebab) serta diasumsikan bahwa faktor-faktor tersebut memperlihatkan tipe hubungan satu dengan yang lain. Menurut Mayo (1980), analisis koefisien lintas merupakan suatu bentuk regresi linier yang dilaksanakan pada sistem tertutup. Pengaruh langsung jumlah gabah hampa per malai terhadap hasil bersifat negatif, tetapi bila berasosiasi dengan kepadatan malai, maka pengaruhnya menjadi lebih besar (Gravois dan Helms
1992).
Bobot gabah berhubungan
positif langsung terhadap hasil, kecuali bila populasi tanaman terlalu tinggi. Kepadatan malai merupakan faktor terpenting dalam mempengaruhi hasil padi. 17
Walaupun kemasakan seragam, tetapi pengisian malai tidak optimum, maka hasil yang optimal tidak dapat dicapai (Dewey dan Lu 1989). Hasil penelitian Zen (1995) pada tanaman padi gogo menunjukkan bahwa korelasi genotipik dan fenotipik nyata dan searah antara jumlah gabah per malai dengan jumlah malai per meter persegi, tinggi tanaman dan hasil, begitu pula antara umur panen dengan jumlah gabah per malai dan tinggi tanaman. Dengan demikian, seleksi berdasarkan karakter-karakter tersebut dapat dilakukan serentak. Karakter Kuantitatif dan Interaksi Genotipe dan Lingkungan
Sifat-sifat yang diekspresikan tanaman dibedakan atas sifat kuantitatif dan sifat kualitatif. Sifat kualitatif adalah sifat yang dapat diklasifikasikan secara tegas atau diskret dan dikendalikan oleh gen sederhana (gen tunggal), sedangkan sifat kuantitatif tidak dapat diklasifikasikan secara tegas karena dikendalikan oleh banyak gen yang masing-masing memberikan kontribusi kepada sifat yang dikendalikan itu, sehingga kalau dibuat sebarannya akan bersifat kontinyu (Crowder 1988) Hampir seluruh sifat yang bernilai ekonomis penting yang umumnya menjadi pusat perhatian pemulia tanaman tidak dikendalikan oleh satu gen seperti pada pewarisan sifat kualitatif. Hal ini berarti bahwa sifat-sifat itu dikendalikan oleh banyak gen yang menunjukkan ciri seperti pada pewarisan sifat kuantitatif. Adanya interaksi genotipe x lingkungan menunjukkan kegagalan genotipe yang diuji memperlihatkan keragaan yang relatif sama dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (Fehr 1987). Pada pengembangan varietas bagi lingkungan target, perlu pertelaan lingkungan target dalam kaitannya dengan beberapa parameter yang bersifat umum seperti wilayah geografis, tipe tanah, sistem budidaya tanaman dan ketinggian tempat, atau bahkan dalam cakupan yang lebih kecil keragaman lingkungan akan tetap ditemukan. Interaksi Genotipe x Lingkungan (GEI) merupakan hasil kegagalan genotipe untuk menunjukkan keragaan yang sama pada setiap lingkungan yang berbeda, pertimbangan besarnya pengaruh GEI merupakan salah satu dasar ilmiah akan perlunya pemuliaan tanaman partisipatif (Sobir 2005).
18
Menurut Roy (2000) bahwa studi interaksi genotipe x lingkungan pada tingkat genetik bertujuan untuk : 1. Menentukan besarnya kontrol genetik dari interaksi genotipe x lingkungan, 2. Mengidentifkasi aksi gen dan interaksinya dan menentukan kontribusi relatif dalam rangka prediksi pada tiap generasi 3. Menentukan besarnya pangaruh gen dari satu lokus terhadap keragaan dan kepekaan lingkungan pada karakteristik fenotipe yang sama dan tidak sama. 4. Menentukan besarnya pengaruh gen sealel dalam mengendalikan keragaan dan kepekaan terhadap lingkungan dari tiap karakter sebagai respon terhadap variabel lingkungan yang sama dan dari karakter yang sama terhadap variabel lingkungan yang berbeda. 5. Memetakan informasi itu ke dalam bentuk formula untuk memprediksi kepekaan dari beberapa karakter pada beberapa variabel dalam tiap generasi respon dan respon korelatif. Dalam pemuliaan tanaman partisipatif, upaya mendapatkan varietas yang superior pada lingkungan spesifik, dilakukan dengan eksploitasi GEI repeatable, melalui dua pendekatan (Elings et al. 2001) yaitu: a.
Eksploitasi
adaptasi
lokal.
Lingkungan
marginal
lebih
beragam
dibandingkan lingkungan optimum, sehingga diperlukan varietas/genotipe yang memiliki daya adaptasi lebih spesifik pada lingkungan target. Varietas hasil seleksi di lingkungan lokal pada umumnya lebih baik penampilannya
pada
lingkungan
target
dibanding
varietas
yang
dikembangkan untuk lingkungan dengan daya adaptasi luas. b. Eksploitasi adaptasi spesifik. Toleransi terhadap cekaman spesifik, seperti kekeringan, toleransi terhadap kekurangan N, yang dibutuhkan pada lingkungan tertentu akan lebih baik diidentifikasi pada lingkungan target dengan bantuan seleksi oleh petani dibandingkan seleksi di kebun percobaan peneliti. Seleksi dan Kemajuan Genetik
Seleksi didefinisikan sebagai kegiatan untuk meningkatkan frekuensi gen bagi sifat yang menjadi tujuan perbaikan dalam program pemuliaan tanaman 19
(Falconer dan Mackay 1996). Dalam kegiatan seleksi tanaman, ada dua hal yang sangat penting untuk perbaikan sifat dari tanaman yaitu 1) seleksi dapat bekerja efektif hanya bila terdapat perbedaan genotipe pada populasi seleksi, 2) seleksi tidak dapat menciptakan keragaman. Seleksi pada tanaman menyerbuk sendiri bertujuan untuk meningkatkan frekuensi genotipe superior dari generasi ke generasi. Beberapa metode seleksi yang dikembangkan untuk tanaman menyerbuk sendiri antara lain metode seleksi massa, metode bulk, metode back cross, metode pedigree, metode galur murni, dan single seed descent (Fehr 1987). Karakter seleksi dapat bersifat tunggal atau majemuk.
Bila kita akan
menggunakan beberapa karakter sebagai kriteria seleksi, terdapat tiga pendekatan yaitu seleksi tandem, seleksi bebas (independent culling) dan seleksi berdasarkan indeks. Seleksi tandem adalah tipe seleksi di mana seleksi dilakukan untuk satu karakter sehingga karakter tersebut dapat diperbaiki pada tingkat yang dapat diterima kemudian seleksi untuk karakter lain pada populasi dengan karakter yang telah diperbaiki sebelumnya.
Pemilihan
secara bebas melibatkan pemilihan
bersama lebih dari satu karakter. Tingkat pemilihan ditentukan untuk masingmasing karakter. Jika nilai fenotipe dari unit kriteria tidak memenuhi harapan untuk tiap karakter lainnya, unit seleksi tersebut dibuang dengan mengabaikan nilai-nilai fenotipe untuk karakter lain. Seleksi indeks merupakan fungsi linear dari nilai-nilai fenotipe dari berbagai karakter yang diukur pada unit kriteria tertentu (Baker 1997) Untuk mengetahui apakah suatu sifat atau beberapa sifat tertentu yang sebelumnya tidak bernilai ekonomis itu dapat dipilih sebagai indikator seleksi terhadap suatu sifat penting yang akan diseleksi, maka pemulia tanaman perlu mengetahui ada tidaknya hubungan antara sifat-sifat itu dengan sifat ekonomis yang menjadi tujuan pemuliaan tanaman. Menurut Falconer (1981), seleksi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Seleksi langsung umumnya menggunakan hasil ekonomis
tanaman sebagai kriteria utama dan dilaksanakan pada lingkungan yang menjadi target program pemuliaan tanaman. Bila X merupakan lingkungan marginal dan A merupakan karakter seleksi dengan respon seleksi Rx, dan kita dapat menyeleksi 20
karakter A pada lingkungan optimum dengan respon seleksi CRx, maka efisiensi seleksi tidak langsung dirumuskan sebagai berikut : CRx hy = rG Rx hx
di mana rG merupakan koefisien korelasi genetik antara Ax dan Ay, hx dan hy merupakan akar dari heritabilitas karakter A pada kedua lingkungan. Formula ini menunjukkan bahwa heritabilitas merupakan aspek yang penting, di mana jika diperoleh heritabilitas yang sama maka nilai CRx/Rx =rG, sehingga CRx/Rx akan mencapai nilai maksimum pada saat rG =1. Nilai heritabilitas yang sama pada kedua lingkungan menunjukkan kestabilan karakter seleksi. Seleksi untuk adaptasi lokal hanya dapat dilakukan pada lingkungan tertentu yang menjadi target pemuliaan, sehingga varietas dengan daya adaptasi tinggi untuk lingkungan tersebut didapatkan, maka varietas tersebut umumnya kurang baik untuk lingkungan lainnya. Oleh karena lingkungan lokal relatif kecil cakupannya maka akan menghadapi masalah dalam proses pengujian yang kurang beragam, sehingga secara statistika ketelitian seleksi berbasis lingkungan sempit (terbatas) akan rendah karena pengaruh GE non-repeatable, sehingga keberhasilan pemuliaan akan sangat tergantung kepada peneliti/petani penyeleksi dalam identifikasi genotipe unggul, melalui sifat-sifat dengan GE non-repeatable kecil (Sobir 2003). Keuntungan seleksi adaptasi lokal adalah kesesuaian varietas yang dihasilkan dengan kondisi setempat dan kebutuhan petani, sedangkan kerugiannya adalah rendahnya efektifitas seleksi terutama untuk sifat-sifat dengan heritabilitas rendah yang hanya dapat dievaluasi dengan baik pada lingkungan yang lebih beragam (Almekinders dan Elings 2001). Pada kondisi lingkungan spesifik, seperti cekaman yang dihadapi di banyak daerah atau sistem budidaya tertentu, maka seleksi untuk adaptasi spesifik akan lebih sesuai. Pada kondisi ini GEI non-repeatable dapat diatasi dengan pengulangan seleksi pada banyak lokasi yang mirip, untuk menghasilkan ketelitian yang tinggi dalam evaluasi genotipe. Pendekatan ini disebut sebagai multiple-environment testing (MET), yang karena mencakup banyak lokasi
membutuhkan suatu koordinasi terpusat. Keuntungan pendekatan ini adalah 21
seleksi yang efektif untuk sifat-sifat dengan heritabilitas rendah, kerugiannya adalah apabila seleksi lebih dititikberatkan pada penampilan dan produktivitas tanaman dalam MET, kekhasan lokal dan kepentingan petani setempat akan terabaikan, sehingga varietas yang dihasilkan kurang beradaptasi pada lingkungan lokal (Zuraida dan Sumarno 2003). Generasi P1 x P2
Persilangan Seleksi individu
F1 Seleksi malai yang fertilitasnya baik F2
Bulk
F3
Bulk
F4
Bulk
Penanaman pada lingkungan bercekaman suhu rendah
Seleksi malai toleran suhu rendah Progeni F5
Seleksi galur
F6
Galur
Uji hasil pendahuluan
Uji kualitas
Galur
Uji hasil
Uji kualitas
Pengujian galur F7
Gambar 3 Prosedur seleksi untuk perbaikan sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah. Kemajuan genetik didasarkan pada parubahan rata-rata keragaan populasi pada setiap siklus seleksi. Satu siklus seleksi meliputi pembentukan populasi bersegregasi, perkembangan genotipe, evaluasi genotipe, seleksi genotipe superior dan penggunaannya pada seleksi genotipe (Fehr 1987). Kemajuan seleksi adalah 22
beda rata-rata sesudah seleksi dan rata-rata sebelum diseleksi. Besarnya kemajuan seleksi adalah : ∆G = k.σp h2 (h2 = σ2a/σ2p atau σ2g/σ2p), di mana k adalah intensitas seleksi, σp adalah galat baku fenotipik dan h2 adalah heritabilitas. Kemajuan genetik dapat ditingkatkan dengan meningkatkan intensitas seleksi,
mempercepat
waktu
seleksi,
meningkatkan
keragaman
genetik,
memahami interaksi genotipe x lingkungan serta memperbanyak ulangan dan lingkungan seleksi (Falconer
1972).
Prosedur seleksi untuk perbaikan sifat
toleransi terhadap cekaman suhu rendah (Sasaki 1982) disajikan pada Gambar 3. Untuk memaksimalkan kemajuan genetik dapat dilakukan dengan menentukan kriteria seleksi yang memberikan kemajuan seleksi terbaik. Pada umumnya kriteria yang digunakan dalam seleksi didasarkan pada hasil ekonomis tanaman. Namun kriteria ini dipandang memiliki heritabilitas yang relatif rendah karena merupakan karakter kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen dan sangat terpengaruh oleh lingkungan sehingga menurunkan kemajuan genetik yang diperoleh (Trikoesoemaningtyas et al. 2004).
23
RESPON PADI SAWAH TERHADAP PEMUPUKAN NITROGEN DENGAN CEKAMAN SUHU RENDAH
ABSTRAK Kegiatan pemuliaan tanaman padi (Oryza sativa L.) pada masa yang akan datang diarahkan pada perakitan kultivar baru yang bermasukan rendah dan spesifik lokasi. Rendahnya hasil padi di Indonesia terutama disebabkan kultivar yang ditanam petani tidak efisien dalam penyerapan unsur hara pada kondisi lingkungan pertumbuhan yang bercekaman. Studi efisiensi penyerapan nitrogen pada tanaman padi sudah banyak dilakukan, namun demikian studi tentang efisiensi penyerapan nitrogen pada kondisi cekaman suhu rendah pada tanaman padi sawah belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon genotipe padi sawah terhadap nitrogen dalam kondisi cekaman suhu rendah di dataran tinggi. Percobaan ini dilaksanakan di Sesean, Kabupaten Tana Toraja dengan ketinggian tempat 1500 m di atas permukaan laut dan suhu ratarata 15 oC. Percobaan dirancang dalam pola Rancangan Acak Kelompok yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama terdiri atas 3 taraf dosis N (tanpa N, 50 kg N/ha dan 100 kg N/ha) dan faktor kedua terdiri atas kultivar Pulu’ Mandoti, Pinjan, Lambau, Fatmawati, Sintanur dan Gilirang. Hasil percobaan menunjukkan bahwa nitrogen, varietas dan interaksinya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase polen fertil, persentase gabah bernas dan produksi GKG, sedangkan interaksi antara nitrogen dan genotipe tidak nyata terhadap panjang daun bendera dan umur berbunga. Analisis korelasi menunjukkan adanya korelasi positif nyata antara komponen pertumbuhan (persentase polen fertil, panjang daun bendera dan umur berbunga) dengan komponen hasil (persentase gabah bernas dan produksi GKG), di mana koefisien korelasi berkisar antara sedang sampai tinggi. Kata kunci : padi, efisiensi penyerapan nitrogen, cekaman suhu rendah
ABSTRACT Breeding of rice (Oryza sativa L.) in the future is directed toward development of new cultivars specific to target location with low input technologies. Low productivity of rice in Indonesia is especially caused by cultivars inefficient in absorbing nutrient elements under stress environmental condition. Study of nitrogen responses of rice has been widely conducted, however study of nitrogen responses at low temperature stress condition in rice field in highland is rarely conducted. The objective of this experiment was to study the response of genotypes to nitrogen under low temperature stress condition. This experiment was done in Sesean rural area, Tana Toraja Regency, South Sulawesi at 1500 m above sea level and mean temperature 18 oC. Experiment was designed in Completely Randomized Block Design with two factors. The first factor comprised of 3 levels of Nitrogen dose (N0 = control, N1=50 kg N / ha and N2 = 100 kg N / ha) and the second factor was cultivar i.e. Pulu' Mandoti, Pinjan, Lambau, Fatmawati, Sintanur and Gilirang. The results showed that at low temperature stress condition, nitrogen, cultivar and its interaction gave significant 24
effect on percentage of pollen fertility, percentage of filled spikelet and weight of filled grain per spikelet, while in interaction of nitrogen and cultivar did not give significant effect on the flag leaf length and flowering date variables. Rice yield decreased with increasing N levels under low temperature stress condition. There were significant positive correlations between growth components (percentage of pollen fertility, flag leaf length and flowering date) and yield components, where the correlation coefficient was in the medium to high range. Key words : rice, nitrogen absorbtion efficiency, low temperature stress
PENDAHULUAN Latar Belakang
Kegiatan pemuliaan tanaman padi (Oryza sativa L.) pada masa yang akan datang diarahkan pada perakitan kultivar baru berpotensi hasil tinggi sebaiknya juga diarahkan pada kultivar baru yang bermasukan rendah dan spesifik lokasi. Rendahnya hasil padi di Indonesia terutama disebabkan kultivar yang ditanam petani tidak efisien dalam penyerapan unsur hara pada kondisi lingkungan pertumbuhan yang bercekaman.
Studi efisiensi penyerapan nitrogen pada
tanaman padi sudah banyak dilakukan, namun demikian studi tentang efisiensi penyerapan nitrogen pada kondisi cekaman suhu rendah pada tanaman padi sawah belum banyak dilakukan. Jagau (2000) melaporkan tanaman padi gogo dengan cekaman aluminium menunjukkan bahwa galur-galur inefisien nitrogen memiliki efisiensi penggunaan nitrogen yang lebih rendah dibandingkan dengan galur efisien. Kultivar padi lokal dataran tinggi seperti Pulu’ Mandoti, Pinjan dan Lambau merupakan padi unggul lokal yang toleran terhadap cekaman suhu rendah di dataran tinggi, aromatik dan efisien terhadap pemanfaatan nitrogen, namun ketiga kultivar ini berumur panjang dan produksinya rendah.
Saat ini,
diperkirakan 500.000 ha lahan sawah di Indonesia terletak di dataran tinggi (>750 m dpl.) dan sebagian besar terletak di Sulawesi, Sumatera, dan Papua. Padi tipe baru Fatmawati, padi aromatik Sintanur, dan semi aromatik Gilirang merupakan padi unggul yang berproduksi tinggi dan berumur pendek namun kurang mampu beradaptasi terhadap cekaman suhu rendah di dataran tinggi.
25
Untuk memfiksasi gen yang dimiliki oleh kultivar-kultivar tersebut di atas, terlebih dahulu perlu diketahui respon genotipe tersebut terhadap pemupukan nitrogen sebelum dilakukan studi pewarisan sifat yang berkaitan dengan toleransi terhadap cekaman suhu rendah. Status hara nitrogen sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi pada kondisi cekaman suhu rendah. Lee (2001) melaporkan bahwa suhu rendah menghambat rasio pengisian biji dengan penambahan nitrogen. Pemberian nitrogen pada fase pembentukan malai dan pada fase pembentukan daun bendera meningkatkan sterilitas malai. Pemberian bahan organik, kompos jerami dan pupuk kandang meningkatkan kondisi fisiologis padi dan mengurangi efek suhu rendah, terutama di daerah pegunungan. Pengurangan dosis pupuk nitrogen dan peningkatan aplikasi bahan organik meningkatkan hasil tanaman padi sawah pada kondisi tercekam suhu rendah. Peningkatan sterilitas malai pada padi sangat berkaitan dengan intensitas cekaman suhu rendah selama perkembangan anter dan polen.
Pada kondisi
cekaman suhu rendah, level N yang tinggi menurunkan hasil (Heenan 1984). Pengaruh nitrogen terhadap sterilitas malai, bervariasi tergantung pada level nitrogen, tingkat cekaman suhu rendah selama perkembangan malai, terutama selama tahap perkembangan mikrospora jika kultivar padi sangat sensitif terhadap cekaman suhu rendah.
Aplikasi nitrogen meningkatkan jumlah anakan dan
jumlah malai per rumpun, dan sebaliknya mengurangi jumlah polen fertil per anter, sehingga meningkatkan kehampaan malai pada kondisi suhu rendah (Gunawardena 2003). Sobir (2003) menyatakan bahwa seleksi untuk adaptasi lokal hanya dapat dilakukan pada lingkungan tertentu yang menjadi target pemuliaan, sehingga varietas dengan daya adaptasi tinggi untuk lingkungan tersebut tersebut umumnya kurang baik untuk lingkungan lainnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui respon genotipe padi sawah terhadap nitrogen pada kondisi cekaman suhu rendah di dataran tinggi.
26
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang respon genotipe padi sawah terhadap nitrogen dalam kondisi cekaman suhu rendah di dataran tinggi.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian
Percobaan ini dilaksanakan di Sesean, Kabupaten Tana Toraja dengan ketinggian tempat 1500 m di atas permukaan laut (dpl) dan suhu rata-rata 18 oC, pada bulan Februari hingga Juli 2007. Metode Penelitian
Percobaan dirancang dalam pola Rancangan Acak Kelompok yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah dosis nitrogen terdiri atas 3 taraf N (N0 = tanpa N, N1=50 kg N/ha dan N2 =100 kg N/ha) dan faktor kedua adalah kultivar terdiri atas kultivar Pulu’ Mandoti, Pinjan, Lambau, Fatmawati, Sintanur dan Gilirang (deskripsi masing-masing genotipe disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2), sehingga terdapat 18 kombinasi perlakuan.
Masing-masing
kombinasi perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Benih masing-masing genotipe ditanam pada plot dengan ukuran 2 m x 1.5 m. Jarak tanam yang digunakan adalah 20 cm x 20 cm. Untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman, tiap petak diberi campuran sekam padi dan pupuk kandang kerbau dengan dosis 3 ton/ha, 100 kg/ha TSP dan 100 kg/ha KCl. Karakter yang diamati adalah : 1. Polen fertil diukur dengan 1%(b/v) larutan I2KI (Iodine Potassium Iodide). Contoh untuk serbuk sari diambil paling sedikit dari 10 bunga dari satu individu tanaman pada stadia heading dan difiksasi dengan alkohol 70 %. Tiga buah anter diambil dari bunga dan ditempatkan pada kaca objek, kemudian serbuk sari dikeluarkan dengan menggunakan jarum dalam larutan I2KI. Melalui pengamatan dengan mikroskop pada perbesaran 40x, polen yang tidak berwarna dan cerah merupakan polen yang steril dan polen yang fertil berwarna hitam. Persentase serbuk sari steril merupakan rasio dari jumlah serbuk sari steril terhadap jumlah total serbuk sari yang diamati. 27
2. Panjang daun bendera diukur daun bendera yang terbuka sempurna, 3. Umur berbunga dicatat dalam hari sejak semai sampai 50% berbunga, 4. Persentase gabah bernas dihitung jumlah gabah isi dan jumlah gabah pada malai. Persentase gabah bernas diperoleh dengan membandingkan jumlah gabah isi dengan jumlah gabah per malai dikali 100%. 5. Produksi gabah kering giling (GKG) ditimbang pada kadar air 14%. Data dianalisis berdasarkan analisis F ortogonal polinomial seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Komponen ragam analisis ortogonal polinomial Sumber keragaman
db
Varians
F hit
Kelompok
(r-1)
M10
M10/M2
Nitrogen
(n-1)
M9
M9/M2
N Linear
(n-1)/2
M8
M8/M2
N Kuadratik
(n-1)/2
M7
M7/M2
Genotipe
(g-1)
M6
M6/M2
Interaksi
(n-1)(g-1)
M5
M5/M2
GN Linear
(n-1)(g-1)/2
M4
M4/M2
GN Kuadratik
(n-1)(g-1)/2
M3
M3/M2
Galat
r(n-1)(g-1)
M2
Total
(rng-1)
M1
Untuk mengetahui keeratan hubungan antara karakter seleksi, maka dilakukan analisis korelasi berganda. Koefisien korelasi antara karakter xi dan xj ditentukan melalui formula sebagai berikut : rxixj =
n∑ xixj − (∑ xi)(∑ xj )
{n∑ x
2 i
}{
− (∑ xi ) 2 n∑ x 2j − (∑ x j ) 2
Keterangan : r = koefisien korelasi Xi = karakter ke-i
}
n = jumlah sampel Xj = karakter ke-j
28
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis ortogonal polinomial disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 tersebut menunjukkan bahwa nitrogen, varietas dan interaksinya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase polen fertil. Uji F-kontras polinomial menjelaskan bahwa pengaruh tunggal nitrogen dan interaksi antara nitrogen dan genotipe, terutama disebabkan oleh respon linear. Tabel 3 Kuadrat tengah hasil analisis ortogonal polinomial untuk peubah polen fertil, panjang daun bendera, umur berbunga, persentase gabah bernas per malai dan produksi GKG Sumber keragaman
Kuadrat Tengah Umur % gabah berbunga bernas 21.91 tn 3.88 tn
Kelompok
% pollen fertil 1.34 tn
Pjg daun bendera 65.06 tn
Nitrogen
695.79 **
180.50 **
491.69 **
622.67 **
1.56 **
N Linear
1390.05**
342.25 **
841.00 ** 1238.10**
3.07 **
1.54 tn
18.75 tn
142.37 **
7.24 tn
0.06 tn
290.71 ** 2968.64** 2153.14**
5.56 **
N Kuadratik
Produksi GKG 0.02 tn
Varietas
2061.29**
Interaksi
37.81 **
14.28 tn
9.64 tn
55.59 **
0.18 **
GN Linear
54.81 **
18.45 tn
11.60 tn
81.74 **
0.25 **
GN Kuadratik
20.80 tn
10.11 tn
7.68 tn
29.44 **
0.11 **
10.55
10.53
17.53
11.05
0.03
Galat
Keterangan : tn = tidak berpengaruh nyata pada taraf 0.05 ** = Berpengaruh nyata pada taraf 0.01 Gambar 4 menunjukkan bahwa respon negatif tanaman terhadap pemupukan N terjadi pada genotipe Pulu’ Mandoti, respon genotipe Lambau dan Pinjan relatif sama, yakni terjadi peningkatan persentase polen fertil dengan penambahan N 50 kg/ha kemudian konstan pada penambahan dosis N lebih lanjut menjadi 100 kg/ha. Hal yang sama juga terjadi pada genotipe Fatmawati yakni terjadi respon yang konstan dengan penambahan dosis N hingga 100 kg/ha, namun nilai persentase polen fertil pada genotipe ini lebih rendah.
Respon
genotipe Sintanur dan Gilirang yang positif terhadap pemupukan N berarti bahwa 29
untuk pembentukan polen fertil yang optimal pada genotipe ini sebaiknya dipupuk N minimal 100 kg/ha. Persentase polen fertil pada genotipe yang toleran suhu rendah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan polen fertil pada genotipe yang tidak toleran. Nilai persentase polen fertil tertinggi dicapai pada
genotipe Pulu’ Mandoti tanpa
pemupukan nitrogen yang berarti bahwa genotipe ini tidak responsif terhadap N. Varietas Lambau yang diberi perlakuan nitrogen 100 kg/ha, memberikan persentase polen fertil tertinggi, berbeda nyata dengan varietas yang peka terhadap suhu rendah, namun tidak berbeda nyata dengan persentase polen fertil pada varietas yang toleran suhu rendah lainnya (Pinjan dan Pulu’ Mandoti). Nilai persentase polen fertil terendah dicapai pada varietas Sintanur yang tidak diberi pupuk nitrogen.
Polen fertil (P. Mandoti) = 0.0353N + 76.356
Polen Fertil (%)
100
2
R = 0.36 tn
80 60 40
Polen fertil (peka) = 0.138N+ 45.322
20
2
R = 0.91 **
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Dosis nitrogen (kg/ha) P.Mandoti
Pinjan
Lambau
Fatmawati
Sintanur
Gilirang
Gambar 4 Hubungan antara dosis nitrogen dengan persentase polen fertil pada 6 genotipe tetua. Suhu udara di sekitar malai dan suhu lingkungan perakaran meningkatkan sterilitas pada tanaman padi, apabila suhu rendah berlangsung pada stadia perkembangan mikrospora (Gunawardena dan Fukay 2005). Efek nitrogen berbeda menurut kondisi suhu lingkungan pertumbuhan tanaman padi.
Suhu
rendah menyebabkan penurunan yang tajam pada fertilitas malai dengan penambahan nitrogen.
Pemberian N pada stadia pembentukan malai,
meningkatkan sterilitas (Sasaki dan Wada
1975).
Shiga (1977) melaporkan 30
bahwa pemberian N pada stadia pembentukan malai meningkatkan sterilitas. Pemupukan N pada fase pertumbuhan daun bendera dengan cekaman suhu rendah juga mengurangi polen fertil. Analisis polinomial ortogonal menunjukkan bahwa nitrogen dan varietas memberikan pengaruh yang sangat nyata sedangkan interaksinya tidak nyata terhadap panjang daun bendera. Respon genotipe terhadap pemupukan nitrogen bersifat linear. Genotipe Pulu’ Mandoti memperlihatkan respon yang konstan pada pemberian N 50 kg/ha dan respon yang positif pada peningkatan dosis N 100 kg/ha. Respon kelima genotipe lainnya relatif sama di mana terjadi respon yang positif pada pemupukan N 50 kg/ha dan konstan pada penambahan N 100 kg/ha (Gambar 5). P. Daun Bendera (toleran) = 0.0633N + 43.167 Panjang daun bendera (cm)
60
2
R = 0.93**
50 40 30 20
P. Daun bendera (peka) = 0.1233N + 28.944
10
R = 0.83 **
2
0 0
20
40
60
80
100
Dosis nitrogen (kg/ha) P.Mandoti
Pinjan
Lambau
Fatmawati
Sintanur
Gilirang
Gambar 5 Hubungan antara dosis nitrogen dengan panjang daun bendera pada 6 genotipe tetua. Daun bendera pada genotipe yang toleran suhu rendah Pulu’ Mandoti lebih panjang dibandingkan dengan daun bendera pada genotipe toleran lainnya yaitu Lambau dan Pinjan dan genotipe yang tidak toleran. Daun bendera terpanjang dicapai pada dosis 100 kg/ha nitrogen, berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian nitrogen tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan 50 kg/ha nitrogen. 31
Uji F-kontras ortogonal menunjukkan bahwa nitrogen dan genotipe memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap umur berbunga sedangkan interaksi antara genotipe dan nitrogen tidak berpengaruh nyata. Respon genotipe terhadap pemupukan nitrogen bersifat linear. Respon semua genotipe yang diuji relatif sama di mana terjadi respon yang positif pada pemupukan N 50 kg/ha dan konstan pada penambahan N 100 kg/ha (Gambar 6).
Umur berbunga pada
genotipe yang toleran suhu rendah Pulu’ Mandoti, Lambau dan Pinjan lebih panjang dibandingkan dengan umur berbunga pada genotipe yang tidak toleran suhu rendah yaitu Fatmawati, Sintanur dan Gilirang. Umur Berbunga (toleran) = 0.08N + 116.56 2
R = 0.87**
Umur Berbunga (hari)
140 120 100 80 60
Umur berbunga (peka) = 0.0967N + 85.611
40
2
R = 0.97 **
20 0 0
20
40
60
80
100
Dosis nitrogen (kg/ha) P.Mandoti
Gambar 6
Pinjan
Lambau
Fatmawati
Sintanur
Gilirang
Hubungan antara dosis nitrogen dengan umur berbunga pada 6 genotipe tetua.
Umur berbunga akan lebih lambat dengan penambahan dosis nitrogen pada semua genotipe yang diuji.
Umur berbunga terpanjang dicapai pada
pengaruh tunggal dosis 100 kg/ha nitrogen, berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian nitrogen tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan 50 kg/ha nitrogen. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan dosis nitrogen pada kondisi cekaman suhu rendah pada tanaman padi menyebabkan umur tanaman menjadi lebih panjang atau masa berbunga akan terlambat akibat tingginya akumulasi nitrogen di dalam organ tanaman. Genotipe Pinjan memberikan umur berbunga terpanjang, berbeda nyata dengan semua genotipe yang tidak toleran suhu rendah namun tidak 32
berbeda nyata dengan genotipe toleran lainnya. Genotipe berumur genjah lebih responsif terhadap pemupukan nitrogen dibandingkan dengan genotipe umur dalam (Om et al. 1996; Barrel et al. 1997). Kultivar dengan umur pendek lebih responsif terhadap N pada lingkungan dengan radiasi tinggi (Shimazaki et al. 1963; Singh dan Kumar 2001). Analisis F-ortogonal polinomial menunjukkan bahwa nitrogen, genotipe dan interaksinya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase gabah bernas. Pengaruh nitrogen dan interaksi nitrogen dan genotipe terutama disebabkan oleh perbedaan respon yang linear. Gambar 7 menunjukkan bahwa
Persentase gabah bernas (%)
genotipe Pulu’ Mandoti menunjukkan respon yang negatif terhadap pemupukan N. Persentase gabah bernas (toleran) = -0.0079N + 74.494
90 80
2
R = 0.01 tn
70 60 50 40 30 20
Persentase gabah bernas (peka) = 0.1569N + 35.144 2
R = 0.96 **
10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Dosis nitrogen (kg/ha) P.Mandoti
Pinjan
Lambau
Fatmawati
Sintanur
Gilirang
Gambar 7 Hubungan antara dosis nitrogen dengan persentase gabah bernas pada 6 genotipe tetua. Persentase gabah bernas pada genotipe yang toleran suhu rendah Pulu’ Mandoti, Pinjan dan Lambau lebih tinggi dibandingkan dengan persentase gabah bernas pada genotipe yang tidak toleran suhu rendah Fatmawati, Gilirang dan Sintanur. Persentase gabah bernas akan semakin meningkat dengan penambahan dosis nitrogen namun kenaikannya tidak nyata.
Hal ini menunjukkan bahwa
penambahan dosis nitrogen pada kondisi cekaman suhu rendah pada tanaman padi menyebabkan terjadinya peningkatan kehampaan malai. Genotipe Pulu’ Mandoti memberikan persentase gabah bernas tertinggi, berbeda nyata dengan semua 33
genotipe yang tidak toleran suhu rendah namun tidak berbeda nyata dengan genotipe toleran lainnya. Analisis F-ortogonal polinomial menunjukkan bahwa nitrogen, genotipe dan interaksinya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap produksi GKG. Pengaruh nitrogen dan interaksi nitrogen dan genotipe terutama disebabkan oleh perbedaan respon yang linear. Gambar 8 menunjukkan bahwa genotipe Pulu’
Produksi GKG (ton/ha)
Mandoti menunjukkan respon yang negatif terhadap pemupukan N.
Produksi GKG (toleran) = -0.0012N + 3.9058 R2 = 0.06 tn
4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
Produksi GKG (peka) = 0.0072N + 2.0442 2
R = 0.93 ** 0
20
40
60
80
100
Dosis nitrogen (kg/ha)
P.Mandoti
Gambar 8
Pinjan
Lambau
Fatmawati
Sintanur
Gilirang
Hubungan antara dosis nitrogen dengan produksi GKG pada 6 genotipe tetua.
Produksi GKG pada genotipe yang toleran suhu rendah Pulu’ Mandoti, Pinjan dan Lambau lebih tinggi dibandingkan dengan produksi GKG pada genotipe yang tidak toleran suhu rendah Fatmawati, Gilirang dan Sintanur. Produksi GKG akan semakin meningkat dengan penambahan dosis nitrogen namun kenaikannya tidak nyata.
Produksi GKG pada pengaruh tunggal dosis
100 kg/ha nitrogen, berbeda nyata dengan perlakuan tanpa pemberian nitrogen tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan 50 kg/ha nitrogen. Genotipe Pulu’ Mandoti memberikan produksi GKG 3.9 ton/ha lebih tinggi dibandingkan dengan semua genotipe yang tidak toleran suhu rendah. Untuk memutuskan karakter seleksi mana yang paling sesuai terutama dikaitkan dengan kegiatan seleksi untuk perbaikan sifat efisiensi nitrogen dan 34
toleransi terhadap cekaman suhu rendah, maka perlu ditentukan korelasi antara peubah tersebut dengan komponen hasil. Sifat-sifat yang berkorelasi searah akan memudahkan seleksi sebab dapat dilakukan sekaligus. Matriks korelasi (Tabel 4) menunjukkan
bahwa
terdapat
korelasi
positif
nyata
antara
komponen
pertumbuhan (persentase polen fertil, panjang daun bendera dan umur berbunga) dengan komponen hasil (persentase gabah bernas dan produksi GKG). Hal ini menjelaskan bahwa pertumbuhan vegetatif yang baik dan pembungaan serta penyerbukan yang optimal akan meningkatkan hasil tanaman pada kondisi cekaman suhu rendah. Tabel 4 Matriks korelasi antara karakter seleksi Karakter Seleksi Panjang Daun Bendera(PDB) Umur Berbunga(UB) % Gabah Bernas(PGB) Produksi GKG
Polen fertil PDB
UB
PGB
0.542 ** 0.958 **
0.424 **
0.998 **
0.552 **
0.952 **
0.994 **
0.570 **
0.942 **
0.999 **
Keterangan : ** = nyata pada r>0.01 Regresi respon antara persentase polen fertil, umur berbunga, panjang daun bendera dan persentase gabah bernas per malai dengan produksi GKG, disajikan pada Gambar 9. Gambar 9 menunjukkan bahwa karakter persentase polen fertil, umur berbunga dan persentase gabah bernas per malai masing-masing memiliki koefisien determinasi (R2) yang cukup tinggi dengan nilai masingmasing 0.98; 0.88 dan 0.97, sedangkan panjang daun bendera R2 = 0.32. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi polen fertil, umur berbunga dan persentase gabah bernas per malai semakin tinggi pula produksi GKG. Kenaikan itu nampak dalam persamaan regresi pada setiap karakter, di mana untuk karakter persentase polen fertil diperoleh persamaan regresi y = 0.0517x + 0.2932, panjang daun bendera diperoleh persamaan y = 0.0736x + 0.3465, umur berbunga diperoleh persamaan y = 0.0427x – 1.4779, dan persentase gabah bernas y = 0.0509x + 0.0238.
35
4.5
y = 0.0517x - 0.2932 R2 = 0.98
4.0
y = 0.0736x + 0.3465 R2 = 0.3244
4.0 P r o d u k s i G K G (to n /h a )
P r o d u k s i G K G ( t o n /h a )
4.5
3.5
3.5
3.0
3.0 2.5
2.5
2.0
2.0
1.5
1.5
1.0
1.0
0.5
0.5
0.0
0.0
0
20
40
60
80
100
0
10
Pollen Fertil (%)
30
40
50
60
Panjang Daun Bendera (cm)
4.5
4.5 y = 0.0427x - 1.4779 R2 = 0.888
4.0
y = 0.0509x + 0.0238 R2 = 0.975
4.0
3.5
P ro d u k s i G K G ( t o n /h a )
P r o d u k s i G K G (to n / h a )
20
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5
3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5
0.0
0.0
0
50
100
Umur Berbunga(hari)
150
0
20
40
60
80
100
Persentase Gabah Bernas (%)
Gambar 9 Hubungan antara polen fertil, panjang daun bendera, umur berbunga dan persentase gabah bernas dengan produksi GKG. Menurut Toriyama (1994) terdapat korelasi positif yang nyata antara sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah dengan tinggi tanaman, panjang malai, dan jumlah biji per malai dan korelasi negatif nyata antara toleransi terhadap cekaman suhu rendah dengan jumlah anakan dan jumlah malai. Sasaki (2001) melaporkan adanya korelasi negatif antara toleransi cekaman suhu rendah dengan jumlah malai atau kepadatan malai dan korelasi positif nyata antara toleransi 36
cekaman suhu rendah dengan persentase anakan, namun demikian tidak ada korelasi yang nyata antara toleransi suhu rendah dengan kualitas dan panjang malai.
SIMPULAN Hasil percobaan menunjukkan bahwa nitrogen, varietas dan interaksinya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase polen fertil, persentase gabah bernas dan produksi GKG, sedangkan untuk parameter panjang daun bendera dan umur berbunga, interaksinya tidak nyata. Pengaruh nitrogen dan interaksi nitrogen dan genotipe terutama disebabkan oleh perbedaan respon yang linear.
Terdapat korelasi positif nyata antara komponen pertumbuhan
(persentase polen fertil, panjang daun bendera, umur berbunga dan persentase gabah bernas) dengan produksi GKG, di mana koefisien korelasi berkisar antara sedang sampai tinggi.
37
ANALISIS LINTAS KOMPONEN PERTUMBUHAN, KOMPONEN HASIL DENGAN HASIL TANAMAN PADI SAWAH
ABSTRAK Upaya perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk menciptakan varietas yang berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta minat masyarakat. Seleksi dalam rangka perakitan kultivar padi sawah membutuhkan informasi tentang hubungan antara karakter pertumbuhan dan hasil tanaman padi sawah. Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari pola hubungan antara komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil tanaman padi sawah di dataran rendah dan dataran tinggi. Percobaan dilaksanakan di Kecamatan Sesean, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan dan University Farm, Sawah Babakan, Bogor. Sidik lintas dilakukan menggunakan material genetik yang diperoleh dari generasi F2 dari kombinasi persilangan Fatmawati x Lambau, Gilirang x Lambau dan Sintanur x Lambau. Hasil percobaan menunjukkan bahwa nilai heritabilitas setiap karakter berkisar antara kategori sedang sampai tinggi. Karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan per rumpun, panjang malai, persentase gabah bernas dan bobot 1000 butir berkorelasi positif dan nyata dengan produksi GKG di Sesean. Umur panen berkorelasi negatif tetapi tidak nyata dan panjang bulu berkorelasi positif tidak nyata. Untuk lokasi Bogor, karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan, panjang malai dan bobot 1000 butir berkorelasi positif dan nyata dengan produksi GKG. Pengaruh langsung yang besar ditunjukkan oleh karakter persentase gabah bernas di Sesean sedangkan di Bogor, pengaruh langsung yang bernilai besar ditunjukkan oleh karakter panjang daun bendera, jumlah anakan dan panjang malai. Karakter tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun dan panjang malai mempunyai pengaruh tidak langsung yang besar melalui karakter persentase gabah bernas di Sesean. Untuk lokasi Bogor, pengaruh tidak langsung jumlah anakan per rumpun disalurkan melalui karakter panjang bulu, panjang malai dan persentase gabah bernas. Kata kunci: korelasi, heritabilitas, pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung
ABSTRACT Breeding rice cultivars in Indonesia considers various characters including high yield and adaptiability to condition of ecosystem, social, culture, and public interest. Selection for breeding lowland rice cultivars requires information on the relationship between growth characters and productivity. The objective of this research was to study the relationship between growth component, yield component and productivity of lowland rice in low and high altitude ecosystem. This study was conducted in Sesean, Tana Toraja, South Sulawesi and University Farm, Sawah Babakan, Bogor. Path analysis has been applied to genetic material obtained from F2 generation of crossing between Fatmawati x Lambau, Gilirang x Lambau and Sintanur x Lambau. The result showed that the heritability of characters ranged from medium to high. Plant height, flag leaf length, number of panicles per hill, panicle length, percentage of fertile spikelets and 1000 grain 38
weight were significant and positively correlated with grain yield in Sesean. On the other hand, grain yield has negative correlation to days to maturity character and positively correlated to awn length but both were not significant. In Bogor, plant height, flag leaf length, number of panicles, panicle length and 1000 grain weight were significant and positively correlated with grain yield. High direct effect was shown by percentage of fertile spikelet character in Sesean while in Bogor, high direct effect was shown by flag leaf length character, number of panicles and panicle length. Plant height, number of panicle per hill and panicle length has high indirect effect via percentage of fertile spikelet character in Sesean. In Bogor, significant indirect effect of number of panicles per hill through awn length character, panicle length and percentage of fertile spikelets was observed. Key words : heritability, correlation, direct effect, indirect effect
PENDAHULUAN Latar Belakang Perakitan varietas padi sawah berdaya hasil tinggi dan toleran suhu rendah merupakan alternatif pemecahan masalah pada daerah dataran tinggi akibat cekaman suhu rendah (Bahar et al. 1998). Pemuliaan padi untuk daya hasil tinggi dan sifat kualitatif yang diinginkan tidak dapat dilakukan tanpa mengetahui perangkat genetik pengendali sifat. Metode genetika kuantitatif membantu pemulia dalam mengkombinasikan gen pengendali sifat yang berasal dari varietas yang beragam. Salah satu strategi pemuliaan untuk mendapatkan varietas unggul pada tanaman menyerbuk sendiri seperti padi adalah efisiensi seleksi. Seleksi akan memberikan respon yang optimal bila menggunakan karakter seleksi yang tepat. Seleksi berdasarkan daya hasil biasanya kurang memberikan hasil optimal bila tidak didukung oleh karakter seleksi lain berupa komponen pertumbuhan dan komponen hasil yang berkorelasi kuat dengan daya hasil. Analisis lintas merupakan bentuk analisis struktural yang membahas hubungan kausal antara variabel-variabel dalam sistem tertutup. Dari analisis koefisien lintas ini dapat diketahui pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung antara peubah bebas dengan peubah respon. Koefisien lintas dapat dihitung melalui persamaan regresi berganda atau melalui persamaan simultan dari variabel korelasi antara variabel bebas (Cohen 2003).
Korelasi antara 39
variabel bebas tersebut dapat berupa korelasi fenotipik, korelasi genotipik maupun korelasi lingkungan.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil tanaman padi sawah dengan cekaman suhu rendah.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan dilaksanakan di Sesean, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan yang berada pada ketinggian tempat 1500 m dpl. dan University Farm, Sawah Babakan, Bogor (ketinggian tempat 250 m dpl.). Percobaan dilaksanakan pada bulan Februari hingga Juli 2007.
Metode Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAK yang terdiri atas 3 ulangan.
Sebagai perlakuan adalah generasi F2 dari kombinasi persilangan
Fatmawati x Lambau, Gilirang x Lambau, Sintanur x Lambau. Ukuran petakan 2 m x 1.5 m dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Jumlah sampel yang diamati sebanyak 100 rumpun setiap petakan. Dosis pupuk yang digunakan adalah 110 kg Urea/ha, 100 kg/ha TSP dan 100 kg/ha KCl. Komponen pertumbuhan yang diamati yaitu tinggi tanaman (X1), panjang daun bendera (X2), umur panen (X3), jumlah anakan per rumpun (X4), dan komponen hasil
yang diukur yaitu panjang malai (X5), panjang bulu (X6),
persentase gabah bernas per malai (X7), bobot 1000 butir (X8) dan karakter yang mewakili hasil yaitu bobot gabah per rumpun (Y) yang ditimbang pada KA 14%. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan 4 prosedur analisis : 1. Analisis ragam dan heritabilitas dalam arti luas untuk mengetahui besarnya sumbangan pengaruh genotipe terhadap fenotipe. Pendugaan heritabilitas arti luas dihitung berdasarkan analisis varians menurut metode yang dikemukakan oleh Singh dan Chaudhary (1979).
40
H=
σ g2 × 100% σ p2
Kriteria nilai heritabilitas menurut Stanfield (1983) sebagai berikut : 0.50
Covg ij
σ giσ gi
3. Analisis Koefisien Lintas (Path Coefficient Analysis) untuk mengetahui pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung komponen pertumbuhan dan komponen hasil terhadap hasil.
Analisis lintas berdasarkan
persamaan simultan digunakan rumus sebagai berikut (Singh dan Chaudary 1979) :
⎡ r11 ⎢r ⎢ 21 ⎢ ... ⎢ ⎢⎣rp1
r12 r22 ... rp 2
... r1 p ⎤ ⎡ C1 ⎤ ⎡ r1 y ⎤ ... r2 p ⎥⎥ ⎢⎢ C 2 ⎥⎥ ⎢⎢r2 y ⎥⎥ = ... ... ⎥ ⎢ ... ⎥ ⎢ ... ⎥ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ... rpp ⎥⎦ ⎢⎣C p ⎥⎦ ⎢⎣ rpy ⎥⎦
Rx
Ci
Ry
Berdasarkan persamaan di atas, nilai Ci (pengaruh langsung) dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Gaspersz 1989) : Ci = R x−1 R y Di mana : Rx = matriks korelasi antara peubah bebas R x−1 = Invers matriks Rx Ci = vektor koefisien lintasan yang menunjukkan pengaruh langsung setiap peubah bebas yang telah dibakukan terhadap peubah tak bebas Ry =vektor koefisien korelasi antara peubah bebas Xi (i=1, 2, ...p)
41
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat keragaman yang nyata dan sangat nyata untuk karakter pertumbuhan pada kedua lingkungan pengujian, kecuali pada karakter jumlah anakan per rumpun di lokasi pengujian Bogor, tidak nyata (Tabel 5). Untuk karakter hasil menunjukkan bahwa terdapat karagaman yang nyata pada semua karakter hasil di lokasi Sesean sedangkan untuk lokasi Bogor, keragaman yang nyata terdapat pada karakter panjang malai dan bobot gabah per rumpun (Tabel 6). Tabel 5 Analisis ragam dan nilai heritabilitas beberapa karakter pertumbuhan pada 2 level ketinggian tempat Sumber keragaman X1 X2 X3 X4 Sesean ( 1500 m dpl.) Kelompok 230.56 tn 0.66 tn 2.21 tn 0.26 tn Genotipe 276.98 * 38.76 ** 133.36 ** 5.18 ** Galat 80.65 1.60 0.51 0.05 2 h 0.66 0.89 0.99 0.97 Bogor (250 m dpl.) Kelompok 108.09 * 2.25 tn 2.15 tn 0.03 tn Genotipe 60.74 * 120.90 ** 52.61 ** 1.14 tn Galat 13.17 1.95 1.13 0.23 h2 0.73 0.95 0.94 0.57 Keterangan : tn=tidak nyata, *=nyata, P>0.01, **=nyata, P<0.01, X1= tinggi tanaman, X2= panjang daun bendera, X3= umur panen, X4= jumlah anakan per rumpun. Heritabilitas sangat menentukan keberhasilan seleksi untuk lingkungan yang sesuai, karena heritabilitas dapat memberi gambaran apakah suatu sifat lebih dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor lingkungan (Kasno 1993). Hasil pendugaan nilai heritabilitas untuk setiap karakter disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6.
Tabel-tabel tersebut menunjukkan bahwa nilai heritabilitas setiap
karakter pada kedua lokasi berkisar antara kategori sedang sampai tinggi. Pada lokasi Sesean, nilai heritabilitas tertinggi dicapai pada umur panen (0.99) dan panjang bulu (0.98). Nilai heritabilitas pada karakter bobot gabah bernas relatif lebih rendah dibandingkan dengan nilai heritabilitas pada karakter lainnya. Untuk lokasi Bogor, nilai heritabilitas tertinggi pada panjang daun bendera (0.95) dan 42
umur panen (0.94). Nilai heritabilitas terendah pada karakter persentase gabah bernas dan panjang bulu. Hal ini memperlihatkan bahwa keragaman yang ditampilkan oleh setiap karakter yang diamati, disebabkan oleh faktor genetik. Dengan demikian karakter-karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, umur panen, jumlah anakan, panjang malai, bobot 1000 butir dapat dipakai sebagai kriteria seleksi simultan untuk perbaikan sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah. Zen (1995) memperoleh nilai duga heritabilitas yang tinggi pada semua karakter pada tanaman padi gogo, kecuali persentase gabah bernas. Tabel 6.
Analisis ragam dan nilai heritabilitas beberapa karakter hasil pada 2 level ketinggian tempat
Sumber keragaman X5 X6 X7 X8 Y Sesean (1500 m dpl.) Kelompok 0.28 tn 0.19 tn 14.95 tn 14.95 tn 2.72 tn Genotipe 10.80 ** 6.17 ** 128.15 * 128.15 ** 119.22 * Galat 0.26 0.05 10.33 10.33 8.25 h2 0.93 0.98 0.79 0.94 0.63 Bogor (250 m dpl.) Kelompok 0.27 tn 0.16 tn 1.05 tn 1.05 tn 2.20 tn Genotipe 15.62 ** 0.45 tn 8.41 tn 8.41 tn 94.45 * Galat 0.82 0.11 2.73 2.73 8.25 h2 0.86 0.49 0.41 0.60 0.58 Keterangan : tn=tidak nyata, *=nyata, P>0.01, **=nyata, P<0.01, X5= panjang malai, X6= panjang bulu, X7= persentase gabah bernas, X8= bobot 1000 butir, Y= bobot gabah per rumpun. Konsep heritabilitas memiliki kegunaan dalam menentukan derajat perbedaan fenotipe yang dihasilkan dari penyebab fenotipik (Johnsons and Frey 1967).
Nilai heritabilitas merupakan pernyataan kuantitatif faktor keturunan
dibandingkan dengan faktor lingkungan dalam memberikan penampilan akhir. Dengan demikian, melalui nilai heritabilitas dapat diketahui keragaman dari suatu sifat tertentu apakah disebabkan oleh faktor genetik ataukah lingkungan. Seleksi terhadap karakter yang heritabilitasnya tinggi dapat dilakukan pada generasi awal. Malik et al.(1988) melakukan seleksi jumlah gabah per malai lebih efektif mulai dari generasi bersegregasi, seperti generasi turunan F2 – F4. Kasno (1993) menegaskan bahwa dalam program pemuliaan tanaman yang seleksinya 43
dilakukan serentak untuk beberapa karakter, akan sangat menguntungkan apabila nilai heritabilitas karakter adalah tinggi. Tabel 7 menunjukkan bahwa pada lokasi pengujian Sesean, tinggi tanaman persilangan Fatmawati x Lambau (F x L) lebih tinggi dibandingkan dengan Sintanur x Lambau (S x L ) tetapi tidak berbeda dengan Gilirang x Lambau (G x L). Panjang daun bendera S x L berbeda nyata dengan F x L tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan dengan G x L. Umur panen F x L lebih genjah dan berbeda nyata dengan G x L tetapi tidak berbeda nyata dengan S x L. Jumlah anakan G x L lebih sedikit dan berbeda nyata dengan F x L dan S x L. S x L menghasilkan malai yang lebih panjang berbeda nyata dengan F x L dan G x L. Bulu pada S x L lebih panjang dibandingkan dengan G x L dan F x L. Persentase gabah bernas tertinggi dicapai pada S x L berbeda nyata dengan F x L dan G x L. Bobot 1000 butir dan bobot gabah per rumpun S x L lebih tinggi dibandingkan dengan F x L dan G x L, Tabel 7 Keragaaan komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil (Lokasi Sesean) Populasi F2 BNJ FxL GxL SxL Tinggi tanaman 139.43 a 127.01 b 128.45 ab 12.96 Panjang daun bendera 30.77 b 35.91 a 37.69 a 3.65 Umur panen 123.32 a 131.44 b 132.12 b 2.06 Jumlah anakan 7.28 a 5.25 b 7.71 a 0.63 Panjang malai 28.97 b 30.05 b 32.66 a 1.48 Panjang bulu 2.52 b 0.75 c 3.59 a 0.64 Persentase gabah bernas 58.20 b 57.56 b 69.18 a 9.28 Bobot 1000 butir 29.51 b 28.10 c 31.39 a 1.18 Bobot gabah per rumpun 22.49 b 24.62 b 34.32 a 8.29 Keterangan : F x L=Fatmawati x Lambau, G x L=Gilirang x Lambau; S x L=Sintanur x Lambau; nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada setiap baris, tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Karakter
Pada lokasi pengujian Bogor, tinggi tanaman silangan Fatmawati x Lambau lebih tinggi dibandingkan dengan G x L tetapi tidak berbeda dengan S x L. Daun bendera F x L lebih pendek dan berbeda nyata dengan S x L dan G x L. Umur panen F x L lebih genjah dan berbeda nyata dengan F x L dan S x L. Jumlah anakan S x L lebih banyak namun tidak berbeda nyata dengan F x L. Malai pada F x L lebih panjang dan berbeda nyata dengan G x L dan S x L. 44
Karakter panjang bulu, persentase gabah bernas dan bobot 1000 butir pada ketiga kombinasi persilangan tidak berbeda nyata. Bobot gabah F x L lebih tinggi dan berbeda nyata dengan S x L (Tabel 8). Pada lokasi Sesean, fenotipe S x L nampak lebih baik dibandingkan dengan kedua silangan lainnya, baik pada karakter persentase gabah bernas per malai, bobot gabah per rumpun maupun bobot 1000 butir, namun karakter bulu lebih panjang dibandingkan dengan G x L dan F x L. Munculnya karakter berbulu pada generasi semua kombinasi persilangan, menunjukkan bahwa telah terjadi segregasi antara tetua-tetua persilangan.
Untuk lokasi Bogor, penampilan
karakter-karakter hasil pada silangan F x L cenderung lebih baik dibandingkan dengan G x L dan S x L. Tabel 8 Keragaaan komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil (Lokasi Bogor) Populasi F2 BNJ FxL GxL SxL Tinggi tanaman 144.20 a 139.80 ab 138.02 b 5.24 Panjang daun bendera 42.42 a 32.23 b 30.77 b 4.03 Umur panen 115.05 b 120.35 a 123.32 a 3.07 Jumlah anakan 6.24 a 7.33 a 7.28 a 1.39 Panjang malai 33.31 a 29.92 b 28.97 b 2.61 Panjang bulu 2.99 a 3.41 a 2.64 a 0.98 Persentase gabah bernas 72.55 a 71.24 a 69.22 a 4.77 Bobot 1000 butir 31.40 a 29.13 a 28.84 a 2.98 Bobot gabah per rumpun 32.98 a 24.27 ab 22.49 b 8.29 Keterangan : F x L=Fatmawati x Lambau, G x L=Gilirang x Lambau; S x L=Sintanur x Lambau; nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada setiap baris, tidak berbeda nyata pada taraf 0.05. Karakter
Untuk mencapai tujuan seleksi yang efektif perlu pula diketahui korelasi antara karakter agronomi, komponen hasil dan hasil, sehingga seleksi terhadap satu karakter atau lebih sekaligus dapat dilaksanakan. Analisis korelasi genotipik antara komponen pertumbuhan dan komponen hasil dengan hasil menunjukkan bahwa untuk lokasi Sesean karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan per rumpun, panjang malai, persentase gabah bernas dan bobot 1000 butir berkorelasi positif dan nyata dengan bobot gabah per rumpun.
45
Tabel 9 Korelasi antara komponen pertumbuhan, komponen hasil dengan hasil untuk lokasi Sesean X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 Y
X1 X2 0.08 tn 0.18 tn -0.34** 0.32** 0.02 tn 0.32** 0.47** 0.33** 0.03 tn 0.35** 0.25* 0.32** 0.24* 0.33** 0.29*
X3
X4
X5
0.12 tn -0.21* 0.09 tn 0.15 tn 0.21 * 0.30 ** -0.10 tn 0.72 ** 0.35 ** -0.01 tn 0.25 * 0.52 ** -0.15 tn 0.60 ** 0.33 **
X6
X7
X8
0.14 tn 0.24 * 0.12 tn
0.39 ** 0.81**
0.34 **
Keterangan : tn=tidak nyata, *=nyata, P>0.01; **=nyata, P<0.01; X1=tinggi tanaman, X2=panjang daun bendera, X3=umur panen, X4=jumlah anakan per rumpun, X5=panjang malai, X6=panjang bulu, X7=persentase gabah bernas, X8 = bobot 1000 butir, Y=bobot gabah per rumpun. Untuk lokasi Bogor, karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan, panjang malai dan bobot 1000 butir berkorelasi positif dan nyata dengan bobot gabah per rumpun (Tabel 10). Umur panen berkorelasi negatif dan nyata (r=-0.40) di lingkungan optimal Bogor dan berkorelasi negatif tidak nyata (r= -0.15) di lingkungan bercekaman suhu rendah Sesean. Tabel 10 Korelasi antara komponen pertumbuhan, komponen hasil dengan hasil untuk lokasi Bogor X1 X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8
Y
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
0.21 * -0.13 tn -0.48 ** 0.20 * -0.07 tn 0.04 tn 0.41 ** 0.58 ** -0.33 ** 0.003 tn 0.16 tn 0.01 tn 0.03 tn 0.01 tn 0.28 * 0.26 * 0.29 * -0.10 tn -0.004 tn 0.63 ** 0.23 * 0.37 ** 0.43 ** -0.17 tn 0.03 tn 0.82 ** 0.24 * 0.76 ** 0.29 * 0.35 ** -0.40 ** 0.48 ** 0.36 ** -0.06 tn 0.19 tn 0.29 *
Keterangan : tn=tidak nyata, *=nyata, P>0.01; **=nyata, P<0.01; X1=tinggi tanaman, X2=panjang daun bendera, X3=umur panen, X4=jumlah anakan per rumpun, X5=panjang malai, X6=panjang bulu, X7=persentase gabah bernas, X8 = bobot 1000 butir, Y=bobot gabah per rumpun. Karakter persentase gabah bernas sangat mempengaruhi produksi di lingkungan bercekaman, sedangkan di lingkungan optimal pengaruhnya terhadap 46
bobot gabah per rumpun relatif kecil. Dengan demikian, karakter umur panen dan persentase gabah bernas merupakan karakter yang pengaruhnya terhadap bobot gabah per rumpun tergantung pada intensitas cekaman suhu rendah. Di lokasi dataran tinggi Sesean, bobot gabah pada genotipe berumur genjah semakin meningkat kemudian menurun pada genotipe dengan umur panen 120 hingga 130 hari yang digambarkan dengan persamaan kuadratik y=-0.1366X2+31.721X-1807 dengan koefisien determinasi 12%. Untuk lokasi dataran rendah Bogor, genotipe berumur genjah memberikan bobot gabah yang relatif lebih tinggi dan menurun sejalan dengan pertambahan umur panen genotipe (Gambar 10).
Bobot gabah per rumpun (g)
100 90 80
Sesean Bogor
2
y(B) = 0.046x - 11.82x + 780.92 2
R = 0.1651
70 60
2
50 y (S)= -0.1366x + 31.721x - 1807.7 2
R = 0.1202
40
Sesean
30 Bogor
20 10 0 90
100
110
120
130
Umur panen (hari)
Gambar 10 Hubungan antara karakter umur panen dengan bobot gabah per rumpun. Hasil ini disebabkan oleh perbedaan akumulasi panas (heat unit) dengan adanya perbedaan ketinggian tempat. Menurut Yoshida (1981), konsep heat unit menggambarkan laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman menunjukkan hubungan yang linear dengan suhu. Sebagai contoh, jika diperlukan 100 hari sejak perkecambahan hingga pembungaan pada temperatur rata-rata harian 20 oC, heat unit bernilai 2000 derajat hari (20oC x 100 hari). Berdasarkan Tabel 11, akumulasi heat unit di Bogor sejak tanam hingga panen mencapai 2270 derajat hari pada Fatmawati x Lambau, 2422 derajat hari pada Gilirang x Lambau dan 2514 derajat hari pada Sintanur x Lambau, lebih 47
tinggi dibandingkan dengan heat unit di daerah dataran tinggi Sesean, berturutturut dengan heat unit 2126 derajat hari pada Fatmawati x Lambau, 2286 derajat hari pada Gilirang x Lambau dan 2306 derajat hari pada Sintanur x Lambau.
Heat unit bervariasi menurut umur panen genotipe. Genotipe berumur genjah memerlukan heat unit yang lebih kecil dibandingkan dengan genotipe berumur dalam. Sejak semai hingga panen tanaman padi membutuhkan heat unit sekitar 2000 hingga 4000 derajat hari (Yoshida 1981). Tabel 11 Umur panen dan akumulasi heat unit genotipe pada dataran tinggi Toraja dan dataran rendah Bogor Bogor (250 m dpl.) Umur panen Heat unit --- hari ----- --derajat hariFatmawati x Lambau 115 2270 Genotipe
Sesean (1500 m dpl.) Umur panen Heat unit --- hari ----- --derajat hari123 2126
Gilirang x Lambau
120
2422
131
2286
Sintanur x Lambau
123
2514
132
2306
Bobot gabah per rumpun (g)
100 90 80
Sesean
2
y(S) = -0.0087x + 1.899x - 55.059 2
Bogor
R = 0.6894
70 60 50 40
y = 0.4834x - 7.7422 R2 = 0.0362
30 20 10 0 10.0
30.0
50.0
70.0
90.0
Persentase gabah bernas (%)
Gambar 11 Hubungan antara karakter persentase gabah bernas dengan bobot gabah per rumpun. Gambar 11 menunjukkan bahwa persentase gabah bernas memberikan kontribusi terhadap keragaman hasil sebesar 69 % dengan hubungan bersifat 48
kuadratik di dataran tinggi Sesean, sedangkan di dataran rendah Bogor, persentase gabah bernas memberikan kontribusi terhadap keragaman hasil hanya sebesar 4 % yang memberikan petunjuk bahwa di dataran tinggi dengan cekaman suhu rendah, karakter persentase gabah bernas merupakan karakter utama. Nilai korelasi tidak dapat menggambarkan secara tuntas mengenai hubungan kausal antara karakter dengan hasil karena selain terdapat pengaruh langsung suatu karakter terhadap karakter hasil, juga terdapat pengaruh tidak langsung melalui karakter lainnya. Berdasarkan asumsi ini, diperlukan analisis lintas. Dengan melakukan analisis lintas maka nilai korelasi antara peubah bebas dan peubah tak bebas dapat dipisahkan menjadi pengaruh langsung suatu peubah dan pengaruh tidak langsung melalui peubah lainnya (Gaspersz 1989). Nilai koefisien lintas yang menunjukkan pengaruh langsung (C) dan nilai Z yang menunjukkan pengaruh tidak langsung melalui peubah bebas terhadap bobot gabah bernas dapat dilihat pada Gambar 12 dan Gambar 13 . Gambar 12 menunjukkan bahwa untuk lokasi Sesean dengan 8 karakter mampu menjelaskan ragam produksi sebesar 77%. Pengaruh karakter lain yang tidak dimasukkan dalam diagram lintas (pengaruh sisaan) sebesar 23%. Dari 28 nilai koefisien korelasi antara karakter seleksi terdapat 18 nilai korelasi yang nyata, ini menandakan bahwa ada kolinearitas antara nilai Xi. Pengaruh langsung yang besar ditunjukkan oleh karakter persentase gabah bernas. Karakter umur panen, panjang malai dan panjang bulu memberikan pengaruh langsung yang negatif, tetapi mempunyai pengaruh tidak langsung yang besar melalui persentase gabah bernas, sehingga pengaruh tidak langsungnya perlu dipertimbangkan. Peran relatif setiap karakter terhadap produksi dapat diukur dari besarnya pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung. Dari Tabel 12 dapat diketahui bahwa tinggi tanaman menunjukkan pengaruh langsung dan pengaruh total masing-masing bernilai 0.071 dan 0.336, sedangkan pengaruh tidak langsungnya melalui persentase gabah bernas cukup besar (0.252). Demikian juga dengan jumlah anakan dan panjang malai mempunyai pengaruh langsung yang kecil dan pengaruh tidak langsungnya melalui persentase gabah bernas masing-masing bernilai 0.512 dan 0.250.
49
X1 0.32
0.071 X2
0.33
0.078 0.47
X4 0.075
Y
-0.006
0.35
-0.21 X5
0.25 0.24
0.21 0.249 0.706 Sisaan
0.72 X7 0.25
0.32
0.010 X8
Keterangan : X1= tinggi tanaman, X2= panjang daun bendera, X4= jumlah anakan per rumpun, X5= panjang malai, X7= persentase gabah bernas, X8=bobot 1000 butir , Y= bobot gabah per rumpun. Gambar 12 Denah pengaruh langsung komponen pertumbuhan dan pengaruh tidak langsung melalui komponen hasil (lokasi Sesean).
50
komponen hasil dengan hasil untuk lokasi Sesean
Karakt er
Pengaru h Langsun g (C)
Pengaruh tidak langsung melalui peubah Total Z1
Z2 0.00
X1
0.071
Z3
Z4 -
7 0.014 0.00
X2 X3 X4
0.078 -0.076 0.075
0.01
0.01
3
5
0.02
0.02
0.02 X5
-0.006
3 0.02
X6
-0.017
4 0.02
X7
0.706
5 0.02
X8
0.010
0.026
3
-
Z7
Z8
-
0.00
-
-
0.00
-
-
9 0.001 0.004 0.071 -
-
0.02 6 0.016 -
6 0.012 0.02 8 0.008 0.02 5 0.001
-
3 0.02
-
-
0 0.113 3 0.623 5 0.332 0.00
0.102 -
9 0.001 0.007 0.02
0.00
0.00
0.005 0.250
7 0.001 0.03
3 0.293
0.00
0.001 0.005 0.512 0.02
3 0.336 0.00
2 0.003 0.001 0.182
5 0.009
0.02
Z6
4 0.002 0.006 0.252 0.00
6
3
0.02
Z5
2 0.152 0.00 4 0.802
-
5 0.001 0.014 0.003
0.073
Pengaruh Sisaan 0.249 Keterangan :
X1=tinggi tanaman, X2=panjang daun bendera, X3=umur panen, X4=jumlah anakan per rumpun, X5=panjang malai, X6=panjang bulu, X7=persentase gabah bernas, X8 = bobot 1000 butir, Y=bobot gabah per rumpun.
komponen hasil dengan hasil untuk lokasi Bogor Karak ter
Pengaruh langsung (C)
Pengaruh tidak langsung melalui peubah Z1
Z2
Z3
Z4
Z5
Z6
Z7
Z8
Tota l
X1
0.073
0.02
0.03
0.09
0.05
0.01
0.00
0.02
0.29
5
8
8
6
9
3
2
8
X2
X3
0.121
-0.290
-
0.0
0.14
0.03
0.07
0.00
0.00
0.02
0.34
15
1
6
9
1
4
6
8
-
-
-
-
-
-
-
0.0
0.01
0.02
0.04
0.00
0.00
0.01
0.35
10
6
0
5
1
1
0
2
X4
0.481
-
0.0
0.02
0.01
0.00
0.03
0.00
0.00
0.47
15
5
2
0
3
0
2
8
X5
0.137
0.0
0.05
0.09
0.13
0.03
0.00
0.04
0.46
30
0
5
5
3
8
8
9
X6
-0.119
0.0
0.01
0.00
0.30
0.03
0.00
0.01
0.25
12
9
9
2
2
3
4
4
X7
X8
0.012
0.059
0.0
0.03
0.02
0.39
0.03
0.09
0.04
0.46
19
1
2
2
3
1
5
5
-
-
0.0
0.04
0.04
0.17
0.00
0.02
0.00
0.32
28
5
8
1
8
3
4
5 0.22
Pengaruh Sisaan
8
Fenomena yang sama diperoleh dari hasil analisis korelasi di mana korelasi antara tinggi tanaman, jumlah anakan dan panjang malai dengan produksi bernilai positif dan nyata masing-masing bernilai 0.33, 0.60 dan 0.33 (Tabel 9). Dengan demikian karakter-karakter yang berperan secara tidak langsung harus dipertimbangkan.
Tampaknya pada kondisi cekaman suhu rendah, pengaruh
karakter agronomi terhadap produksi disalurkan melalui persentase gabah bernas. Berdasarkan penjelasan di atas maka karakter-karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan, panjang malai, panjang bulu dan persentase gabah bernas perlu dipertimbangkan sebagai kriteria seleksi secara simultan. Seleksi terhadap suatu karakter dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung.
Seleksi tidak langsung terhadap suatu karakter perlu
dilakukan karena seleksi terhadap karakter tersebut lebih mudah dilakukan dan dapat dilakukan lebih awal. Persyaratan untuk dapat melakukan seleksi tidak langsung jika karakter itu memiliki korelasi kuat dengan produksi.
Untuk
lingkungan bercekaman suhu rendah di Sesean, karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera dan jumlah anakan perlu dipertimbangkan sebagai kriteria seleksi tidak langsung, karena dapat dilakukan lebih awal. Gambar 13 menunjukkan bahwa untuk lokasi Bogor dengan 8 karakter mampu menjelaskan ragam produksi sebesar 78%. Pengaruh sisaan yang tidak dapat dijelaskan oleh model sebesar 22%. Dari 28 nilai koefisien korelasi antara karakter seleksi terdapat 16 nilai koefisien korelasi yang nyata, menunjukkan adanya kolinearitas pada setiap karakter. Pengaruh langsung yang bernilai besar ditunjukkan oleh karakter panjang daun bendera, jumlah anakan dan panjang malai.
Karakter umur panen dan panjang bulu juga mempunyai pengaruh
langsung yang besar dan nilainya negatif, tetapi pengaruh tidak langsungnya melalui jumlah anakan cukup besar, sehingga pengaruh tidak langsungnya perlu dipertimbangkan.
53
X1 0.073
0.41 X2
0.121
-0.290
Y
0.481
0.58 X3
0.43
-0.33 0.24
X4
0.228 0.137
Sisaan
0.26 X5
0.37
0.059 X8
Keterangan : X1= tinggi tanaman, X2= panjang daun bendera, X3= umur panen, X4= jumlah anakan per rumpun, X5= panjang malai, X8=bobot 1000 butir, Y= bobot gabah per rumpun. Gambar 13
Denah pengaruh langsung komponen pertumbuhan dan pengaruh tidak langsung melalui komponen hasil (lokasi Bogor).
Dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa pengaruh langsung dan pengaruh total karakter tinggi tanaman masing-masing bernilai 0.073 dan 0.298, panjang daun bendera bernilai 0.121 dan 0.348 dan jumlah anakan 0.481 dan 0.478. Karakter-karakter tersebut mempunyai pengaruh tidak langsung yang relatif kecil. Hasil ini sesuai dengan analisis korelasi (Tabel 10). Jika pengaruh totalnya besar tetapi pengaruh langsungnya negatif atau relatif kecil maka karakter-karakter yang berperan secara tidak langsung harus dipertimbangkan (Dewey dan Lu 1989; Nasution 2008). 54
Pengaruh langsung dan pengaruh total untuk karakter panjang bulu masing-masing bernilai -0.119 dan 0.254, persentase gabah bernas 0.012 dan 0.465, bobot 1000 butir bernilai masing-masing 0.059 dan 0.325. Ketiga karakter ini mempunyai pengaruh tidak langsung yang cukup besar melalui karakter jumlah anakan, sehingga pengaruh tidak langsungnya perlu dipertimbangkan. Tinggi tanaman dan umur panen berkorelasi negatif nyata. Jumlah malai per rumpun, persentase gabah bernas per malai, bobot 1000 butir gabah dan diameter gabah berkorelasi positif nyata, sedangkan panjang malai berkorelasi positif tetapi tidak nyata terhadap hasil gabah kering panen (Limbongan 2001). Hasil gabah berkorelasi kuat dengan jumlah malai per luas area. Hasil gabah berkorelasi kuat dengan kepadatan malai, tetapi berkorelasi lemah dengan jumlah gabah per malai. Jumlah anakan yang kurang merupakan faktor pembatas bagi formasi sink (Schnier et al. 1990). Hasil gabah berkorelasi positif tetapi tidak nyata dengan kepadatan malai dan berkorelasi negatif tetapi tidak nyata dengan total bunga per malai. Jumlah malai per meter persegi merupakan komponen hasil terpenting, di mana menentukan 89% dari variasi hasil (Jones dan Sinder 1987). Terdapat pengaruh positif langsung jumlah gabah bernas per malai terhadap hasil, namun merupakan pengaruh terpenting kedua setelah pengaruh langsung kepadatan malai. Pengaruh langsung jumlah gabah hampa per malai terhadap hasil bersifat negatif, tetapi bila berasosiasi dengan kepadatan malai, maka pengaruhnya menjadi lebih besar (Gravois dan Helms 1992). Bobot gabah berhubungan positif langsung terhadap hasil, kecuali bila populasi tanaman terlalu tinggi. Kepadatan malai merupakan faktor terpenting dalam mempengaruhi hasil padi.
Walaupun kemasakan seragam, tetapi kepadatan malai tidak optimum,
maka hasil yang optimal tidak dapat dicapai (Dewey dan Lu 1989).
55
SIMPULAN Terdapat keragaman yang besar dalam populasi F2 hasil persilangan Fatmawati x Lambau, Gilirang x Lambau dan Sintanur x Lambau. Kriteria nilai heritabilitas pada semua komponen pertumbuhan dan komponen hasil umumnya tinggi.
pada
Nilai heritabilitas setiap karakter berkisar antara kategori
sedang sampai tinggi. Karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan per rumpun, panjang malai, persentase gabah bernas dan bobot 1000 butir berkorelasi positif dan nyata dengan bobot gabah per rumpun di Sesean. Umur panen berkorelasi negatif tetapi tidak nyata dan panjang bulu berkorelasi positif tidak nyata. Untuk lokasi Bogor, karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan, panjang malai dan bobot 1000 butir berkorelasi positif dan nyata dengan bobot gabah per rumpun. Pengaruh langsung yang besar ditunjukkan oleh karakter persentase gabah bernas di Sesean sedangkan di Bogor, pengaruh langsung yang bernilai besar ditunjukkan oleh karakter panjang daun bendera, jumlah anakan dan panjang malai. Karakter tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun dan panjang malai mempunyai pengaruh tidak langsung yang besar melalui karakter persentase gabah bernas di Sesean. Untuk lokasi Bogor, pengaruh tidak langsung jumlah anakan per rumpun disalurkan melalui karakter panjang bulu, panjang malai dan persentase gabah bernas. Pengaruh langsung pada semua komponen pertumbuhan lebih kecil dibandingkan dengan pengaruh tidak langsungnya melalui komponen hasil.
56
PEWARISAN SIFAT TOLERANSI PADI SAWAH TERHADAP CEKAMAN SUHU RENDAH
ABSTRAK Salah satu faktor penentu keberhasilan program pemuliaan tanaman padi dalam rangka peningkatan produksi dan toleransi terhadap cekaman lingkungan adalah metode seleksi. Seleksi akan efektif bila ditunjang oleh pengetahuan yang lengkap mengenai pola pewarisan sifat genetik. Informasi tentang pola pewarisan sifat merupakan dasar untuk menetapkan metode pemuliaan tanaman dan teknik seleksi yang akan digunakan. Percobaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pola pewarisan sifat adaptasi padi sawah terhadap cekaman suhu rendah. Percobaan dilaksanakan di IPB Bogor dengan suhu rata-rata 26.5 oC dan Sesean, Kabupaten Tana Toraja, Propinsi Sulawesi Selatan dengan ketinggian tempat 1500 m dpl., suhu rata-rata 18 oC dengan jenis tanah podzolik merah kuning (PMK). Material genetik yang dipakai yaitu P1, P2, F1, F2, BCP1 dan BCP2 dari persilangan antar tetua Pulu’ Mandoti dan Fatmawati, silang balik dan selfing dipergunakan untuk studi pewarisan sifat pada kondisi tercekam suhu rendah. P1, P2, F1 dan F1 resiproknya ditanam sebanyak 10 tanaman, BCP1 dan BCP2 ditanam sebanyak 20 tanaman, sedangkan F2 sebanyak 100 tanaman. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tetua toleran terbukti memiliki pertumbuhan dan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan tetua peka. Tidak ada perbedaan antara F1 dan F1 resiprokal pada semua karakter yang diuji. Pada umumnya penampilan untuk semua karakter yang diuji, tetua toleran suhu rendah (Pulu’ Mandoti) lebih baik dibandingkan dengan tetua peka (Fatmawati). Nilai rata-rata generasi F1 berada di antara kedua tetua dan menyebar lebih luas. BCP1 juga memiliki sebaran yang lebih luas dibandingkan kedua tetua dan F1, tetapi sebaran BCP2 lebih sempit dibandingkan dengan kedua tetua dan F1. Generasi F2 menyebar lebih luas dan rata-ratanya berada di antara kedua tetua. Berdasarkan uji kebaikan suai, model genetik m [d] [h] paling sesuai untuk semua karakter kecuali umur berbunga, dimana model yang sesuai adalah m [d] [h] [i] [j]. Nilai heritabilitas arti sempit dan heritabilitas arti luas berkisar antara rendah sampai tinggi. Berdasarkan nilai derajat dominansi, peran gen aditif lebih besar dibanding gen dominan. Nilai parameter F negatif dicapai pada umur berbunga dan panjang bulu, sedangkan pada karakter lainnya, nilai F positif
Kata kunci : toleransi suhu rendah, silang balik, resiprok, heritabilitas arti luas, heritabilitas arti sempit
ABSTRACT Selection method is one of the most important factors in determining the success of rice breeding programs. Selection method will be effective if it is supported by a complete knowledge of genetic character inheritance. The objective of this study was to investigate the information of inheritance pattern of rice adaptability to low temperature stress condition. The experiment was conducted in both Sesean rural area, Toraja Regency, South Sulawesi (1500 m above sea level, mean temperature 18 oC, Podzolic soil type) and at Bogor Agricultural University. This experiment was done in January 2006 until July 2007. The result showed 57
that the tolerant parents grew better and gave higher yield than those of sensitive ones. There were no significant differences between F1 and F1 reciprocal for all characters. Tolerant parents were more superior than sensitive parents in all characters observed. Mean of F1 generation was in between tolerance and sensitive parents. BCP1 mean was distributed wider than its parents and F1 generation, whereas BCP2 had smaller distribution than its parents and F1 generation. F2 generation was distributed wider than the average of both parents. The m [d] [h] genetic model was the most suitable for all characters except flowering date and weight of filled grain were suited with m [d] [h] [l] model. Broad sense and narrow sense heritability ranged between low to high. Based on the degree of dominance, additive effect was higher than dominant effect. The negative F value was reached on flowering date and awn length; whereas F value was positive on other characters.
Key words : low temperature stress tolerance, backcross, reciprocal, broad sense heritability, narrow sense heritability
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembentukan atau perbaikan varietas padi sawah yang beradaptasi pada daerah dataran tinggi yang memiliki cekaman suhu rendah dapat dilakukan dengan merakit keragaman genetik karakter toleransi terhadap cekaman suhu rendah di dalam populasi genotipe yang akan diperbaiki atau dibentuk. IRRI (1986) melaporkan bahwa sekitar 7 juta hektar padi sawah ditanam di dataran tinggi dengan cekaman suhu rendah di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Pewarisan sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah telah banyak dilaporkan pada tanaman padi (Sakai 1949; Sawada 1978; Nishiyama 1992; Pereira et al. 1997) namun hasilnya tidak konsisten. Aspek yang telah diteliti dalam kaitannya dengan pewarisan sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah pada tanaman padi sudah cukup banyak. Menurut Lee (2001) cekaman suhu rendah berpengaruh pada tahap perkecambahan dan pertumbuhan bibit; menghambat pertumbuhan akar, daun dan tinggi tanaman; memperlambat pembungaan dan pembentukan malai; terganggunya meiosis, pembentukan polen dan penyerbukan; terganggunya pertumbuhan dan pengisian malai. Pada tanaman padi sawah, toleransi suhu rendah terutama diperlukan pada 58
tahap perkecambahan, pertumbuhan anakan, pembentukan malai dan pembungaan, tergantung pada ketinggian tempat dan letak lintang (IRRI 1986). Nishimura (1987) melaporkan adanya korelasi positif nyata antara sifat toleransi suhu rendah dengan karakter tinggi tanaman, panjang bulu, panjang malai dan jumlah biji per malai. Lee et al. (1987) melaporkan bahwa pada kondisi stres suhu rendah, persentase gabah bernas per malai lebih tinggi pada padi tipe Japonica dibandingkan dengan Indica. Gen pembawa sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah dapat diprediksi jumlahnya.
Shimono et al. (2001) melaporkan
bahwa faktor pengendali genetik untuk sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah tidak dikendalikan gen sitoplasma tetapi oleh gen-gen yang terdapat dalam inti. Heritabilitas untuk sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah sangat tinggi pada generasi awal, sehingga dia menduga bahwa toleransi terhadap cekaman suhu rendah dikontrol oleh gen-gen dominan dengan pengaruh aditif (Shimono et al. 2007). Salah satu faktor penentu keberhasilan program pemuliaan tanaman padi dalam rangka peningkatan produksi dan toleransi terhadap cekaman lingkungan adalah teknik seleksi.
Toleransi suhu rendah pada tanaman padi merupakan
karakter yang penting, yang mana merupakan salah satu masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam pemuliaan tanaman (Sasaki 1982). Cekaman suhu rendah pada tanaman padi terjadi selama fase pertumbuhan mulai dari fase perkecambahan hingga pemasakan (Toriyama dan Inoue
1984).
Cekaman suhu rendah diklasifikasikan atas 3 tipe : 1) tipe penghambatan tumbuh yaitu keterlambatan pembentukan malai, 2) tipe malai steril yaitu berkurangnya hasil karena malai hampa akibat cekaman suhu rendah selama fase pembentukan malai hingga pembungaan, 3) tipe kombinasi keduanya (Toriyama 1994). Seleksi untuk perbaikan sifat akan efektif bila ditunjang oleh pengetahuan yang lengkap mengenai pola pewarisan sifat. Informasi tentang pola pewarisan sifat merupakan dasar untuk menetapkan metode pemuliaan tanaman yang akan digunakan untuk merakit kultivar padi sawah yang toleran terhadap suhu rendah di dataran tinggi.
59
Tujuan Penelitian Percobaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pola pewarisan sifat adaptasi padi sawah terhadap cekaman suhu rendah.
Hasil
percobaan ini diharapkan menjadi sumber informasi untuk keperluan seleksi galur-galur harapan padi sawah yang toleran terhadap cekaman suhu rendah.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penanaman tetua dan persilangan untuk memperoleh generasi F1, BCP1, BCP2 dan F2 dilaksanakan pada September 2005 hingga Desember 2006 di Bogor dan studi pewarisan sifat dilaksanakan di Sesean, Kabupaten Tana Toraja pada bulan Februari hingga Juli 2007, yang berada pada ketinggian tempat 1500 m dpl. dan suhu rata-rata 18 oC.
Metode Penelitian Tetua Fatmawati (P1), tetua Pulu’ Mandoti (P2) dan sebagian benih F1, ditanam dalam ember plastik berkapasitas 10 liter yang telah diisi sekam : tanah : pupuk organik dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Tetua Pulu’ Mandoti ditanam terlebih dahulu dari pada tetua Fatmawati. Penanaman dilakukan secara periodik (staggered planting) dengan perbedaan waktu tanam 5 hari, untuk mendapatkan waktu berbunga yang sama, sehingga dapat dilakukan persilangan antara kedua tetua dan resiproknya. Sebagian benih F1 disilang-balikkan ke tetua Fatmawati dan Pulu’ Mandoti dan sisanya disimpan untuk membentuk populasi F2. Kastrasi, pengumpulan polen dan persilangan dilakukan pada saat kedua tanaman tetua dan F1-nya telah membentuk malai dan belum menyerbuk sendiri, yang ditandai dengan belum mekarnya bunga. Bunga yang telah disilangkan, diisolasi dengan kantong yang terbuat dari kertas minyak untuk mencegah penyerbukan silang dan kontaminasi, kemudian diberi label sesuai dengan tetua betina dan tetua jantan yang menjadi sumber serbuk sari yang digunakan. Material genetik yang diperoleh melalui persilangan-persilangan yaitu P1, P2, F1, F2, BCP1 dan BCP2 dari persilangan antar kedua tetua, silang balik dan selfing dipergunakan untuk studi pewarisan sifat pada kondisi tercekam suhu 60
rendah di Sesean, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan (ketinggian tempat 1500 m dpl.) . P1, P2, F1 dan F1 resiproknya ditanam 10 tanaman, BCP1 dan BCP2 ditanam sebanyak 20 tanaman, sedangkan F2 sebanyak 100 tanaman. Benih tetua P1, P2, F1, F2, BCP1 dan BCP2 masing-masing disemaikan di dalam ember plastik. Setelah bibit berumur 25 hari, kemudian dipindahtanamkan ke dalam media tanam dari potongan bambu satu ruas berukuran panjang 30 cm yang telah diisi dengan campuran tanah, sekam dan pupuk kandang kerbau. Setiap media tanam ditanami dengan 1 bibit.
Karakter yang Diamati Karakter populasi P1, P2, F1, F1res, F2, BCP1 dan BCP2 yang diamati : 1. Aromatik dilakukan berdasarkan metode Sood dan Siddiq (1978) dengan prosedur sebagai berikut : daun padi dipotong dengan ukuran 5 mm, ditimbang sebanyak 2 g. Potongan daun tersebut dimasukkan ke dalam
petridish, kemudian ditambahkan larutan 10 ml KOH 1.7 % kemudian ditutup dan dibiarkan selama 10 menit pada suhu kamar. Sampel daun yang menghasilkan aroma merupakan sampel yang aromatik. Aromatik merupakan rasio antara jumlah sampel yang menghasilkan aroma dengan jumlah sampel yang diamati pada masing-masing generasi. 2. Umur berbunga dicatat dalam satuan hari sejak semai hingga tanaman membentuk malai. 3. Umur panen dicatat dalam satuan hari sejak semai hingga matang (85% butir dalam malai sudah matang). 4. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai ujung malai tertinggi (tidak termasuk bulu). 5. Panjang bulu diukur dalam cm dari 10 butir gabah sampel. 6. Panjang daun bendera diukur dari pangkal hingga ujung daun bendera. 7. Panjang malai diukur mulai dari leher hingga ujung malai. 8. Bobot gabah bernas per malai ditimbang pada KA 14%.
Analisis Data Analisis genetik dari data karakter yang diamati dilakukan sebagai berikut : 61
Sebaran Frekuensi dan Pengaruh Tetua Betina. Rata-rata, ragam dan galat baku ditentukan dari tabel sebaran frekuensi. Uji pengaruh tetua betina ditentukan berdasarkan uji t terhadap rata-rata F1 dan F1 resiproknya. Jika tidak terdapat perbedaan yang nyata di antara nilai tengah F1 dan resiproknya, berarti tidak ada pengaruh tetua betina (maternal effect).
Pendugaan Parameter Genetik Data P1, P2, F1, F2, BCP1 dan BCP2 dianalisis dengan Joint Scaling Test (Mather dan Jinks 1971), dengan tujuan untuk menduga parameter rata-rata (m), pengaruh aksi gen aditif (d), pengaruh aksi gen dominan (h) dan interaksinya, menganalisis beberapa generasi secara bersama-sama, serta menguji model dengan uji kebaikan terboboti (weightedly goodness of fit). Tabel 14 Koefisien parameter genetik yang digunakan dalam analisis Generasi P1 P2 F1 F2 BCP1 BCP2
m 1 1 1 1 1 1
[d] 1 -1 0 0 ½ -½
Parameter Genetik [h] [i] 0 1 0 1 1 0 ½ 0 ½ ¼ ½ ¼
[j] 0 0 0 0 ¼ ¼
[l] 0 0 1 ¼ ¼ ¼
Model hipotetik aksi gen dengan epistasis mempunyai 6 parameter yaitu : m = pengaruh rata-rata, [d] = pengaruh aksi gen aditif, [h] = pengaruh aksi gen dominan, [i] = pengaruh interaksi aditif x aditif, [j] = pengaruh interaksi aditif x dominan dan [l] = pengaruh interaksi dominan x dominan. Model yang diuji dengan 6 generasi adalah: m [d] , m [d] [h], m [d] [h] [i], m [d] [h] [i] [j], m [d] [h][j], m [d] [h] [i] [l], m [d] [h][l], m [d] [h] [j] [l]. Nilai koefisien untuk parameter genetik model menurut Mather dan Jinks (1971; Wricke & Weber (1986) disajikan pada Tabel 14. Pendugaan komponen ragam genetik dan nilai heritabilitas menggunakan model yang dikemukakan oleh Allard (1960), sebagai berikut: Vp (ragam fenotipe) = VF2 =1/2D+1/4D+1/4D+E VE(ragam lingkungan) =(VP1+VP2+VF1)/3 1/2D(aditif)=2VF2-(VB1 + VB2) 62
1/4H(dominan)=VB1 + VB2 –VF2 –VE H2bs(heritabilitas arti luas) =Vg/Vp=(1/4H+1/2D)/Vp H2ns(heritabilitas arti sempit)=Va/Vp=(1/2D)/Vp
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Tetua Betina Pengaruh tetua betina yang diuji dengan uji t antara rata-rata F1 dan F1 resiproknya tidak menunjukkan perbedaan antara F1 dan F1 resiprok pada semua karakter yang diuji (Tabel 15). Tabel 15 Uji t rata-rata generasi F1 dan resiproknya (F1R) Tinggi Panjang daun Umur Umur Jumlah tanaman bendera panen berbunga anakan F1 169.7 45.0 113.6 81.7 7.8 F1 res 172.2 45.1 117.0 85.0 9.3 T 0.488 tn 0.960 tn 0.215 tn 0.210 tn 0.272 tn Tabel 15 (Lanjutan) Panjang Panjang Persentase Bobot gabah Persentase Generasi malai bulu gabah bernas bernas aromatik F1 33.4 5.3 84.9 61.5 23 F1 res 36.1 4.8 84.1 61.2 44 t 0.191 tn 0.484 tn 0.842 tn 0.924 tn 0.217 tn Keterangan : t(0.975; 9) = 2.26 ; tn = tidak nyata. Generasi
Hal ini menjelaskan bahwa gen yang mengendalikan karakter seleksi untuk sifat toleran terhadap suhu rendah tersebut terdapat pada gen-gen inti.
Sebaran Frekuensi Rata-rata aromatik pada kondisi cekaman suhu rendah masing-masing generasi disajikan pada Tabel 16. Pada umumnya aromatik tetua toleran suhu rendah (P2) lebih tinggi dibandingkan dengan tetua peka (P1). Nilai rata-rata generasi F1 berada di antara kedua tetua dan menyebar lebih luas. BCP1 juga memiliki sebaran yang lebih luas dibandingkan dengan kedua tetua dan F1, tetapi BCP2 lebih kecil dari kedua tetua dan F1. Generasi F2 menyebar lebih luas dan rata-ratanya berada di antara kedua tetua (Gambar 14), hal ini menunjukkan adanya peran aksi gen resesif. Sifat aromatik pada tanaman padi dikontrol oleh gen resesif tanpa efek sitoplasma (Wu dan Huang 1998). Song et al. (1991) menganalisis aromatik dengan menggunakan larutan 1.7% KOH, melaporkan bahwa sifat aromatik dikontrol oleh gen resesif dan tidak terdapat efek maternal. 63
Tabel 16 Rata-rata dan simpangan baku karakter pertumbuhan tiap generasi Generasi
P1 P2 F1 BCP1 BCP2 F2
X S2 X S2 X S2 X S2 X S2 X S2
Persentase aromatik ---- % --19.00 121.11 90.00 222.22 23.00 423.33 73.00 474.74 24.50 499.74 51.00 756.57
Tinggi Panjang daun Umur Umur Jumlah tanaman bendera panen berbunga anakan ----------- cm -------------- hari -------118.00 36.70 107.90 76.90 7.80 13.56 18.01 2.99 5.43 3.96 174.40 38.80 153.90 123.90 7.30 36.27 51.73 8.32 8.32 4.90 169.70 45.10 113.60 81.70 7.80 77.79 21.21 18.27 11.79 8.18 155.35 36.95 115.45 89.55 6.55 172.34 41.63 119.00 336.79 5.52 144.00 39.80 116.25 79.50 9.55 315.16 20.38 141.78 25.74 9.42 132.45 36.39 116.10 87.42 7.68 308.03 35.43 194.58 284.97 9.57
Pada umumnya tinggi tanaman tetua toleran suhu rendah (P2) lebih tinggi dibandingkan dengan tetua peka (P1). Nilai rata-rata generasi F1 berada di antara kedua tetua dan lebih dekat ke tetua P2. BCP1 dan BCP2 juga memiliki sebaran yang lebih luas dibandingkan kedua tetua dan F1 tetapi lebih dekat ke tetua P2. Generasi F2 menyebar lebih luas dan rata-ratanya berada di antara kedua tetua (Gambar 15). Hal ini menunjukkan adanya peran aksi gen dominan.
Sifat
toleransi terhadap cekaman suhu rendah dikontrol oleh gen dominan (Futsuhara dan Toriyama 1966). Peran aksi gen dominan ini dapat dijelaskan pada gambar sebarannya dan pada pendugaan komponen ragam. Pada umumnya daun bendera pada tetua toleran suhu rendah (P2) lebih pendek, tetapi tidak berbeda secara nyata dibandingkan dengan tetua peka (P1). Nilai rata-rata generasi F1 lebih dekat ke tetua P1. BCP1 memiliki sebaran yang lebih luas dibanding kedua tetua dan F1 tetapi lebih dekat ke tetua P2, sedangkan BCP2 lebih dekat ke tetua P1. Generasi F2 menyebar lebih luas dan rata-ratanya lebih kecil dari tetua P1 (Gambar 16). pada F1, F1 resiprokal dan BCP2 nilai rata-ratanya melebihi tetua superiornya sehingga terdapat peluang untuk memilih individu-individu yang melebihi tetuanya yang mengalami segregasi transgresif. Individu F2 menyebar diantara kedua tetua yang tidak memperlihatkan perbedaan 64
sifat yang nyata, dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sifat panjang daun bendera pada kondisi cekaman suhu rendah dikendalikan oleh gen-gen minor. Umur tanaman tetua toleran suhu rendah (P2) lebih panjang dibandingkan dengan tetua peka (P1). Nilai rata-rata generasi F1 berada di antara kedua tetua dan lebih dekat ke tetua P1. BCP1 memiliki sebaran yang lebih luas dari pada kedua tetua dan F1 tetapi lebih dekat ke tetua P2, sedangkan BCP2 lebih dekat ke tetua P1. Generasi F2 menyebar lebih luas dan rata-ratanya berada di antara kedua tetua (Gambar 17), namun lebih dekat ke tetua P1. Hal ini menunjukkan adanya peran aksi gen dominan, dimana umur pendek dominan terhadap umur panjang. Peran aksi gen dominan ini dapat dijelaskan pada gambar sebarannya dan pada pendugaan komponen ragam. Rata-rata jumlah anakan pada kondisi cekaman suhu rendah masingmasing generasi disajikan pada Tabel 16. Pada umumnya jumlah anakan pada tetua toleran suhu rendah (P2) lebih banyak, dan berbeda secara nyata dibandingkan dengan tetua peka (P1). Nilai rata-rata generasi F1 berada di antara P1 dan P2. BCP1 memiliki sebaran yang lebih luas dibanding kedua tetua dan F1 tetapi lebih dekat ke tetua P1, sedangkan BCP2 lebih dekat ke tetua P2. Tabel 17 Rata-rata dan simpangan baku karakter hasil pada tiap generasi Generasi
P1 P2 F1 BCP1 BCP2 F2
X S2 X S2 X S2 X S2 X S2 X S2
Panjang Panjang malai bulu --------------- cm ------------33.90 1.10 6.54 1.43 32.90 5.00 7.88 2.44 33.40 5.30 8.71 1.34 33.00 4.25 6.95 4.09 31.55 3.90 7.94 5.67 32.13 3.61 12.32 5.74
Persentase gabah bernas ------ % -----43.47 25.25 82.00 577.73 84.90 74.10 61.40 120.57 41.66 296.51 72.51 318.40
Bobot gabah bernas ----- g ------59.4 59.82 80.10 107.21 61.50 52.94 51.25 37.88 60.50 133.42 31.46 126.94
65
Generasi F2 menyebar lebih luas dan rata-ratanya berada diantara tetua P1 dan P2 tetapi lebih dekat ke tetua P1 (Gambar 19), sehingga jumlah anakan pada kondisi cekaman suhu rendah dikendalikan oleh gen-gen minor. Rata-rata panjang malai pada kondisi cekaman suhu rendah masingmasing generasi disajikan pada Tabel 18. Pada umumnya panjang malai tetua toleran suhu rendah (P2) lebih pendek dibandingkan dengan tetua peka (P1). Nilai rata-rata generasi F1 berada di antara kedua tetua. BCP1 dan BCP2 juga memiliki sebaran yang lebih luas dari pada kedua tetua dan F1 tetapi lebih dekat ke tetua P1. Generasi F2 menyebar lebih luas dan rata-ratanya berada di antara kedua tetua, hal ini menunjukkan adanya peran aksi gen epistatik. Peran aksi gen epistatik ini dapat dijelaskan pada gambar sebarannya dan pada pendugaan komponen ragam genetik (Gambar 20). Rata-rata panjang bulu pada kondisi cekaman suhu rendah masing-masing generasi disajikan pada Tabel 17. Pada umumnya panjang bulu tetua toleran suhu rendah (P2) lebih panjang dibandingkan dengan tetua peka (P1). Nilai rata-rata generasi F1 sama dengan tetua P1. BCP1 dan BCP2 juga memiliki sebaran yang lebih luas dari pada kedua tetua dan F1 tetapi lebih dekat ke tetua P1. Generasi F2 menyebar lebih luas dan rata-ratanya berada di antara kedua tetua (Gambar 21), hal ini menunjukkan adanya peran aksi gen dominan. Peran aksi gen dominan ini dapat dijelaskan pada gambar sebarannya dan pada pendugaan komponen ragam genetik. Pada umumnya persentase gabah bernas pada tetua toleran suhu rendah (P2) lebih tinggi, dan berbeda secara nyata dibandingkan dengan tetua peka (P1). Nilai rata-rata generasi F1 berada lebih tinggi dari tetua P1 dan P2. BCP1 dan BCP2 memiliki sebaran yang lebih luas dan berada diantara kedua tetua dan F1. Generasi F2 menyebar lebih luas dan rata-ratanya lebih kecil dari tetua P1 dan P2 tetapi lebih dekat ke tetua P1(Gambar 22). Individu F2 menyebar diantara kedua tetua namun lebih dekat ke tetua P2, dengan demikian dapat dikatakan bahwa persentase gabah bernas pada kondisi cekaman suhu rendah dikendalikan oleh gen-gen minor.
66
P1
5
4 2
2
2
1
0
P2
Frekuensi
6
5
4 2 2
1
1
1
0
F1
Frekuensi
5
4
4
3
3 2
1
1
1
1 0
BCP1 6
5
5
Frequency
5 4
3
3
3
2
2
2
1
1 0
BCP2 10
8 7
Frekuensi
8 6
3
4 2 2 0
F2 20 15 Frekuensi
Frekuensi
6
15 9
10 5
12
10
13 9
7
9 6
7
90
100
3
0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
Ba ta s ba w a h se la ng pe rse nta se a roma (%)
Gambar 14 Sebaran frekuensi aromatik. 67
Frequency
P1 6
4
4
2
1
2
3
0 90
100
110
120
130
140
150
160
170
180
190
200
P2 7
Frequency
8 6 4 1
2
1
1
0
F1
Frequency
6
5
4 2
2
2
1
0
BCP1
Frequency
10
8 6
5
3
2
1
0
BCP2
Frequency
6 4 4
4
4
3 2
2
1
1
1
0
Frequency
F2 40
24
20
3
6
100
110
14
18
19
14 1
1
170
180
0 90
120
130
140
150
160
190
200
Batas baw ah selang tinggi tanaman (cm)
Gambar 15 Sebaran frekuensi tinggi tanaman. 68
P1
Frekuensi
4
3
3
2
2
2 1
1
1
1 0
P2 Frekuensi
4
3
3
2
2
2 1
1
1
1 0
F1
Frekuensi
4
3
3
3 2
2
2 1 0
BCP1
Frekuensi
8
6
6 3
4
3 1
1
2
1
2
2
1
0
BCP2
Frekuensi
10
8 6
5
3
2
1 0
Frekuensi
F2 40 20
20 0
0
1
6
20
23
26
29
27 14
14
8
4
5
1
44
47
50
53
0 32
35
38
41
Batas bawah selang panjang daun bendera (cm)
Gambar 16 Sebaran frekuensi panjang daun bendera. 69
P1
Frekuensi
8
6
6 3
4
1
2 0
Frekuensi
P2 8
10 5
1
1
0
Frekuensi
F1 10
6 3
5
1
0
BCP1 5
Frekuensi
6
4
4
3
3
3
2 2 0
BCP2 Frekuensi
10 6
7
4
5
3
0
Frekuensi
F2 44
60 40 20 0
15
7 80
90
100
110
120
6
10
15
130
140
150
3 160
170
Batas bawah selang umur panen
Gambar 17 Sebaran frekuensi umur panen.
70
P1 8 Frekuensi
6 6 4
3
2
1
0 P2
Frekuensi
5
4
4
3
3 2
1
1
1
1
0
0
F1
Frekuensi
6 5
5 4
4 3 2
1
1 0
BCP1 Frekuensi
5
4
4
3
3
3
2
2
1
2 1
2 1
1
1 0
BCP2 Frequency
6
5 4
4
4
3 2
2
1
1
0
Frequency
F2 30 20 10
20
24
9
6
11
10
3
2
8
6
1
0
0
120
125
130
0 70
75
80
85
90
95
100
105
110
115
Batas baw ah selang umur berbunga (hari)
Gambar 18 Sebaran frekuensi umur berbunga. 71
P1 Frequency
2.5
2
2
2
2
2 1.5
1
1
1 0.5 0
P2 Frequency
8
6
6 4
2 1
2
1
0
F1 Frequency
5
4
4 3
2
2
1
1
1
1
1 0
BCP1 Frequency
6
5 4
4
3
4 3
2
1
0
BCP2 7
Frequency
8 5
6
4 4 2
2
2 0
Frequency
F2 60
46
40 9
20
19
17
7
2
12
14
0 2
4
5
8
10
16
18
20
Batas bawah selang jumlah anakan
Gambar 19 Sebaran frekuensi jumlah anakan. 72
P1 Frequency
8
6
6 3
4
1
2 0
P2 Frequency
8
6
6 4
2
2
2 0
F1 Frequency
8
6
6 4
2 1
2
1 0
0
0
BCP1 Frequency
10
8
8 5
6 4
4
2
1
2 0
BCP2 Frequency
10
8
8 6
5
4
4
2
1
2 0
Frequency
F2 80 60 40 20 0
58 30
10
15
20
25
30
35
9
1
0
1
1
40
45
50
55
60
Batas bawah selang panjang malai (cm)
Gambar 20 Sebaran frekuensi panjang malai. 73
P1 Frekuensi
8
6
6 3
4
1
2 0
P2 Frekuensi
4
3
3
2
2
2
2
1
1 0
F1
Frekuensi
5
4
4
3
3 2
1
1
1
1 0
BCP1 Frekuensi
5
4
4
4
3
3
2
2
2
2
1
1
1
1 0
BCP2 Frekuensi
6
5
4 2 2
1
2 1
1
2 1
1
1
1
1
1
0
F2 19
Frekuensi
20 15
14
19
13 10
10
9
7 5
3
5
1
0 0
0.5
1 1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
5
5.5
6
6.5
7
7.5
8
8.5
9
9.5 10
Batas bawah selang panjang bulu (cm)
Gambar 21 Sebaran frekuensi panjang bulu. 74
P1 Frequency
4
3
3
2
2
2
1
1
1
1 0
P2 Frequency
4
3
3
2
2
1
1
1
1
1
1 0
F1 4 Frequency
3 3
2
2
2 1
1
1
1
0
0
BCP1 Frequency
5
4
4
3
3
3 2
2
1
3 2
1
1
1 0
BCP2 Frequency
6
5 4
4
3 2
2
2 1
1
1
1
1
1
F2
1
2
0
2
1 100
1
95
1
90
2
85
2
80
45
40
35
30
25
20
15
5
10
4
75
7
2
70
10
8
65
16
60
16
55
13 12
50
20 15 10 5 0 0
Frequency
0
Batas bawah selang persentase gabah bernas per malai (%)
Gambar 22 Sebaran frekuensi persentase gabah bernas per malai. 75
Analisis Rata-rata Generasi Analisis rata-rata generasi dengan Uji Skala Gabungan mendapatkan parameter genetik dugaan.
Berdasarkan parameter genetik dugaan tersebut
dilakukan uji kebaikan suai (goodness of fit test) untuk menentukan model genetik yang paling sesuai. Ada delapan model genetik yang telah diuji, yaitu m [d] , m [d] [h], m [d] [h] [i], m [d] [h] [i] [j], m [d] [h][j],
m [d] [h] [i] [l], m [d] [h][l],
dan m [d] [h] [j] [l]. Model genetik lengkap digenik m [d] [h] [i] [j] [l] tidak dapat diuji karena parameter penduga hanya 6 (P1, P2, F1, BCP1, BCP2 dan F2), sementera yang diduga ada 6 parameter, sehingga derajat bebasnya sama dengan nol. Nilai χ2 uji kesesuaian model genetik untuk semua karakter seleksi disajikan pada Tabel 18. Berdasarkan uji kesesuaian model tersebut, model genetik m [d] [h] paling sesuai untuk karakter yang diuji, kecuali umur berbunga dan bobot gabah bernas, model yang sesuai adalah m [d] [h] [l]. Hal ini menunjukkan bahwa karakter-karakter aromatik, tinggi tanaman, panjang daun bendera, umur panen, panjang malai, panjang bulu, dan persentase gabah bernas dikendalikan oleh gen aditif dominan. Shimono et al. (2007) melaporkan bahwa toleransi terhadap cekaman suhu rendah dikontrol oleh gen-gen dominan aditif. Karakter umur berbunga dan bobot gabah bernas dikendalikan oleh gen aditif-dominan dan interaksi gen (epistasi), sehingga pendugaan ragam kedua karakter tersebut tidak terlepas dari bias di mana nilai yang sebenarnya dapat lebih besar atau lebih kecil dari nilai yang diduga. Pendugaan parameter genetik dapat dilakukan dengan baik jika tidak ada interaksi gen atau tautan gen (Allard 1960). Besarnya pengaruh interaksi terhadap komponen ragam dugaan sangat tergantung pada bentuk interaksi gennya.
Hasil analisis model genetik menunjukkan
komponen genetik [h] dan [l] mempunyai tanda yang berlawanan yang menandakan terjadinya interaksi duplikat epistasi.
Adanya interaksi duplikat
epistasi akan menyebabkan nilai D yang diduga lebih besar dari yang sebenarnya dan nilai H lebih kecil dari nilai yang sebenarnya.
Adanya interaksi gen
memberikan petunjuk penting bahwa seleksi untuk perbaikan sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah sebaiknya dilakukan secara simultan dengan menggunakan indeks seleksi terboboti.
76
Berdasarkan model genetik yang sesuai maka komponen genetik dari masing-masing model tersebut ditentukan berdasarkan uji skala gabungan (Tabel 19). Komponen aditif [d] memberikan sumbangan yang sangat nyata terhadap karakter aromatik, tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, panjang malai, persentase gabah bernas dan bobot gabah bernas.
Komponen dominan [h]
memberikan sumbangan yang sangat nyata terhadap karakter aromatik, tinggi tanaman, panjang daun bendera, umur berbunga, umur panen, dan bobot gabah bernas. Komponen dominan x dominan [l] memberikan sumbangan yang sangat nyata pada umur berbunga dan bobot gabah bernas. Nishimura dan Hamamura (1993) melaporkan bahwa gen toleransi cekaman suhu rendah merupakan gen dominan lengkap di mana pewarisan sifat toleransi suhu rendah merupakan karakter kuantitatif.
Gen toleransi cekaman suhu rendah merupakan lewat
dominan (Shimono et al. 2001).
Pereira et al. (1997) melaporkan bahwa
pewarisan sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah adalah aditif dominan di mana gen pengendali terdapat di dalam inti. Hasil pendugaan komponen ragam dan parameter genetik disajikan pada Tabel 20. Nilai heritabilitas arti luas (h2bs) berkisar antara sedang sampai tinggi yaitu 48% hingga 97%. Nilai heritabilitas arti luas tertinggi diperoleh dari umur berbunga yaitu 97% dan nilai heritabilitas arti luas paling rendah dicapai pada karakter panjang daun bendera yakni 48%. Nilai heritabilitas arti luas untuk karakter umur panen 95%, persentase bernas 88%, tinggi tanaman 87%, panjang bulu 75%, aromatik 73%, jumlah anakan dan bobot gabah bernas 59%, panjang malai 57% dan panjang daun bendera 48%. Sementara untuk heritabilitas arti sempit (h2ns) mempunyai nilai yang berkisar antara rendah sampai tinggi. Nilai heritabilitas arti sempit yang tinggi didapatkan pada umur berbunga 71%, umur panen 64%, persentase gabah bernas 63%, aromatik 57%, panjang malai 54%; nilai heritabilitas arti sempit yang sedang didapatkan pada bobot gabah bernas 45%, tinggi tanaman 38 %, jumlah anakan 30%, panjang bulu 24%, dan nilai heritabilitas yang rendah pada panjang daun bendera 15%. Nilai heritabilitas yang tinggi mengindikasikan karakter tersebut kurang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sehingga proses seleksi untuk karakter tersebut dapat dilakukan pada generasi awal.
Nilai heritabilitas yang rendah sampai sedang menunjukkan 77
penampilan karakter tersebut lebih dipengaruhi kondisi lingkungan, sehingga seleksi hanya akan efektif bila dilakukan pada generasi lanjut. Besarnya sumbangan ragam aditif terhadap ragam genetik dapat dilihat dari proporsi h2ns dengan h2bs. Jika nilai rasio h2ns dengan h2bs besar, berarti sumbangan ragam aditif terhadap faktor genetik lebih besar dibandingkan dengan ragam dominan. Rasio h2ns/h2bs yang bernilai cukup besar dicapai pada panjang malai, aromatik, bobot gabah bernas, umur berbunga dan persentase gabah bernas. Hal ini menunjukkan bahwa karakter-karakter tersebut lebih dikendalikan oleh gen aditif dibandingkan dengan gen dominan. Hasil ini sesuai dengan uji skala gabungan yang menunjukkan bahwa ragam genetik lebih dipengaruhi oleh ragam aditif. Menurut Falconer (1981), ragam aditif dapat difiksasi melalui seleksi. Seleksi terhadap karakter yang dikendalikan oleh banyak gen dengan ragam aditif tinggi dilakukan pada generasi lanjut, sehingga metode seleksi yang sesuai adalah metode bulk atau single seed descent. Derajat dominansi, √(H/D), yang bernilai lebih dari satu menunjukkan peran gen dominan lebih besar dari gen aditif pada karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, umur panen, jumlah anakan dan panjang bulu, sedangkan untuk karakter lainnya nilai derajat dominansi lebih kecil dari satu yang menunjukkan peran gen aditif lebih besar dari gen dominan.
Tanda pada
parameter F dapat digunakan sebagai petunjuk distribusi dan arah alel dominan pada kedua tetua (Kearsey
1993).
Jika nilai F positif maka alel dominan
kebanyakan berada pada tetua P1, sebaliknya jika F negatif maka kebanyakan alel dominan terdapat pada tetua P2. Nilai F positif dicapai pada aromatik, tinggi tanaman, panjang daun bendera, umur panen, jumlah anakan, panjang malai, persentase gabah bernas dan bobot gabah bernas menunjukkan bahwa untuk karakter-karakter tersebut, alel dominan terdapat pada tetua toleran suhu rendah Pulu’ Mandoti, sedangkan pada karakter umur berbunga, dan panjang bulu nilai F negatif, berarti gen dominan untuk sifat-sifat tersebut terdapat pada tetua peka Fatmawati.
78
Tabel 18
Hasil uji kesesuaian model beberapa karakter pada kondisi cekaman suhu rendah
Karakter Persentase aromatik Tinggi tanaman Panjang daun Bendera Umur panen Umur berbunga Panjang malai Panjang bulu Persentase bernas Bobot gabah
m[d]
m[d][h]
m[d][h][i]
m[d][h][j]
m[d][h][l]
m[d][h][i][j] m[d][h][i][l] m[d][h][j][l]
9.077 *
7.142tn
8.776
9.905
6.656
7.110
6.655
6.685
15.434**
3.967tn
3.992
4.213
3.558
4.173
3.494
2.496
14.155**
0.766tn
4.050
1.574
0.141
1.018
0.080
0.402
21.832**
2.447tn
2.327
84.417
1.872
1.886
1.919
1.927
62.328** 18.106**
746.274**
569.674**
4.026 tn
3.178tn
5.708**
4.058**
10.311**
0.266tn
2.647
1.073
0.051
0.104
0.055
0.177
15.257**
0.546tn
0.537
2.367
0.542
0.696
0.574
0.493
18.357**
6.781tn
33.475
84.107
10.118
11.414
8.616
9.176
11.211**
8.147** 826.148** 10.249** 3.830 tn 2.616 tn 1.673 tn 5.661 ** m = nilai tengah; d= pengaruh aditif; h=pengaruh dominan; i=pengaruh interaksi aditif x aditif; j=pengaruh aditif x dominan; l=pengaruh interaksi dominan x dominan; tn =tidak nyata, P>0.05;* = nyata P<0.05; **=nyata P<0.01.
Tabel 19
Pendugaan komponen genetik beberapa karakter seleksi pada kondisi cekaman suhu rendah
Karakter seleksi Tinggi tanaman Panjang daun bendera Umur panen
Model Komponen genetik + galat baku geneti k yang m d h i j l sesuai m [d] - [h] 140.41+3.48* 22.15+3.48* 26.85+8.91* * * * m [d] 8.78+3.51** 0.75+3.51** 4.06+6.13** - [h]
-
m [d] [h]
Umur berbunga
m [d] [h][l]
Panjang malai
m [d] [h]
63.20+1.67** 100.32+1.85* * 90.95+20.67* *
17.68+1.67* * -23.10+1.84 **
Panjang bulu Persentas e bernas Bobot gabah
m [d] [h] m [d] [h] m [d] [h][l]
8.39+1.57 ** 3.16 +0.87 ** 51.83+6.57 **
19.79+3.59* * - 1.30+1.49 tn 2.50 +0.89 ** 20.34+6.70 **
Persentas e aromatik
m [d] [h]
51.83+8.91 **
-20.34+6.70 **
7.41+4.47 - ** - - 96.14+20.27 ** -9.06+20.88 - tn
77.53+20.6 6 ** -
0.78+3.36 tn 2.74 + 1.47 tn 64.76+27.96 ** 22.81+20.41 **
- - - 56.99+27.4 3 ** - -
-
m = nilai tengah; d= pengaruh aditif; h=pengaruh dominan; i=pengaruh interaksi aditif x aditif; j=pengaruh aditif x dominan; l=pengaruh interaksi dominan x dominan; tn =tidak nyata, P>0.05;* = nyata P<0.05; **=nyata P<0.01.
Tabel 20 Pendugaan komponen ragam dan parameter genetik karakter seleksi pada kondisi cekaman suhu rendah
Param eter genetik
Persentase aromatik
E
255.56
Tingg i tanan aman
Panjan g daun bender a
42.54
30.32
257.1 D
1077.32
1
17.71
675.3 H
616.08
6
75.98
Ju % Um Umu mla Panj gaba ur r h ang Panj h pan berb ana mal ang bern en unga kan ai bulu as 9.8 5.6 43.8 6
8.51
8 7.71 1.74
256
414.
.76
85
1
8 3.41
254
301.
15.
14.3
.93
69
8.4 19.4
6
Bobot gabah bernas 76.18
439.
80 2.59
8
16. 22.3
-
43 165.15 350. 86 101.28
335.1 F
946.99
7
33.08
165
90.8
.95
5
1.0 H/D
0.76
1.62
2.07
0
0.73
0.87
0.48
5
0.85
0.57
0.38
0.15
45 292.38
7 0.36 2.05
0.89
0.78
0.88
0.59 0.45
0.5 0.97
0.6 h2ns
0 5.90
1.3
0.9 h2bs
62
461.
9 0.57 0.75 0.3
4
0.71
0 0.54 0.24
0.63
66.
73.3
51. 93.7 32.1
71.4
82
3
h2ns / h2bs (%)
77.76
43.23
31.80
57
6
6
7
76.53
Keterangan : E = pengaruh lingkungan, D= Pengaruh aditif, H= pengaruh dominan, F= pengaruh interaksi, h2bs = heritabilitas arti luas, h2ns = heritabilitas arti sempit.
SIMPULAN Tetua toleran memiliki pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tetua peka. Tidak ada perbedaan antara F1 dan F1 resiprokal pada semua karakter yang diuji.
Pada umumnya penampilan untuk semua
karakter yang diuji, tetua toleran suhu rendah (Pulu’ Mandoti) lebih baik dibandingkan dengan tetua peka (Fatmawati).
Nilai rata-rata karakter tinggi
tanaman, umur berbunga, umur panen dan aromatik generasi F1, BCP1 dan BCP2 berada di antara kedua tetua. Generasi F2 menyebar lebih luas dan rata-ratanya berada di antara kedua tetua.
Untuk karakter panjang daun bendera, jumlah
anakan, panjang bulu dan persentase gabah bernas, nilai rata-rata F1 melebihi kedua tetua; BCP1, BCP2 dan F2 berada di antara kedua tetuanya. Rata-rata panjang malai generasi F1 dan BCP1 berada di antara kedua tetua tetapi rata-rata BCP2 dan F2 lebih kecil dari kedua tetuanya. Rata-rata bobot gabah bernas generasi F1 dan BCP2 berada di antara kedua tetua, sedangkan generasi BCP2 dan F2 lebih kecil dari kedua tetua. Model genetik m [d] [h] paling sesuai untuk semua karakter kecuali umur berbunga dan bobot gabah bernas, di mana model yang sesuai adalah m [d] [h] [l]. Nilai heritabilitas arti sempit dan heritabilitas arti luas berkisar antara rendah sampai tinggi. Peran gen dominan lebih besar dari gen aditif pada karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, umur panen, jumlah anakan dan panjang bulu, sedangkan karakter lainnya peran gen aditif lebih besar. Nilai parameter F negatif terdapat pada umur berbunga dan panjang bulu, sedangkan pada karakter lainnya nilai F positif.
82
SELEKSI GENOTIPE UNGGUL BERDASARKAN PRODUKSI DAN INDEKS SELEKSI
ABSTRAK Seleksi untuk adaptasi terhadap cekaman suhu rendah dapat dilakukan pada lingkungan optimum yang merupakan seleksi lingkungan tak langsung, dan seleksi di lingkungan target. Seleksi pada lingkungan target diharapkan dapat meningkatkan ketepatan dugaan nilai heritabilitas. Penelitian ini bertujuan untuk menduga efektifitas seleksi berdasarkan daya hasil dan indeks terboboti. Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi yaitu di Kecamatan Rantepao, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan yang berada pada ketinggian tempat 750 m dpl. dan di University Farm, Sawah Babakan, Bogor, Jawa Barat. Material yang digunakan dalam penelitian ini adalah galur-galur padi F6 hasil seleksi dari 5 kombinasi persilangan. Sejumlah 300 galur F6 hasil seleksi dari F5 dan 6 genotipe tetua sebagai genotipe cek (Pulu’ Mandoti, Lambau, Pinjan, Fatmawati, Sintanur dan Gilirang). Hasil penelitian menunjukkan bahwa galur-galur yang diuji menampilkan keragaman yang besar untuk semua karakter seleksi. Galurgalur yang terpilih dari kedua lingkungan seleksi (Bogor dan Toraja) memperlihatkan bahwa baik yang diseleksi berdasarkan produksi ataupun seleksi berdasarkan indeks seleksi, memiliki perbedaan dari segi superioritasnya. Galur yang terpilih pada lingkungan target (Toraja) banyak diperoleh dari galur-galur yang berasal dari persilangan tetua toleran suhu rendah Pulu’ Mandoti dengan tetua rentan Fatmawati yaitu galur-galur famili IPB117, sedangkan galur-galur yang terpilih pada lingkungan non target (Bogor) banyak diperoleh dari galurgalur yang berasal dari persilangan Lambau dan Fatmawati (famili IPB115).
Kata Kunci : galur, indeks seleksi, indeks terboboti
ABSTRACT Selection for adaptation to low temperature stress can be done at optimum environmental condition as indirect selection, and in target area. Selection at target location is expected to be able to increase the accuracy of heritability value. The objective of this experiment was to identify the selection effectiveness based on yield and weightedly standardized selection index. This experiment was conducted in two locations: in Rantepao, Tana Toraja, South Sulawesi and in University Farm, Sawah Babakan, Bogor, West Java. F6 lines selected from 5 cross combinations were used as materials in this research. Three hundred lines of F6 generation selected from F5 and 6 parents (Pulu ' Mandoti, Lambau, Pinjan, Fatmawati, Sintanur and Gilirang) were used. The result showed that the tested lines produced high variances for all selection characters. Selected lines from both selection areas (Bogor and Toraja) showed that the lines which had been selected based on yield and on selection index, had differences on their superiority. Lines selected at target area (Toraja) were predominated by lines derived from crossing between low temperature tolerant parent Pulu ' Mandoti and sensitive parent 83
Fatmawati (set of relatives IPB117), while lines selected at non target area (Bogor) were predominated by descendants of cross between Lambau and Fatmawati ( set of relatives IPB115).
Key words : line, selection index, weightedly index
PENDAHULUAN Latar Belakang Lingkungan seleksi turut menentukan strategi dalam seleksi tanaman yang toleran terhadap lingkungan bercekaman. Cecarelli et al. (1998) mengemukakan bahwa berkaitan dengan lingkungan untuk seleksi terdapat 3 macam strategi, yaitu (1) seleksi pada lingkungan optimum (2) seleksi pada lingkungan target (3) seleksi pada lingkungan optimum dan lingkungan target secara bergantian. Seleksi untuk adaptasi terhadap cekaman suhu rendah dapat dilakukan pada lingkungan optimum yang merupakan seleksi lingkungan tak langsung, dan seleksi di lingkungan target. Menurut Sasaki (1982) prosedur seleksi untuk sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah dapat dilakukan pada generasi F4 atau F5 dengan mempertimbangkan beberapa karakter penciri suhu rendah. Seleksi pada lingkungan target diharapkan dapat meningkatkan ketepatan dugaan nilai heritabilitas. Hal ini disebabkan setiap faktor yang merupakan komponen dari lingkungan bagi tanaman dapat berpotensi mempengaruhi perbedaan penampilan dari genotipe yang diuji.
Faktor-faktor tersebut ada yang bersifat dapat
diperkirakan, yang biasanya dapat dikendalikan misalnya kesuburan tanah, jarak tanam dan sebagainya dan ada yang tidak dapat diperkirakan, seperti curah hujan, suhu dan kelembaban (Fehr 1987). Keragaan populasi pada kondisi lingkungan seleksi yang yang berbeda menyebabkan perbedaan respon seleksi. Seleksi akan memberikan respon yang optimal bila menggunakan kriteria seleksi yang tepat. Seleksi berdasarkan daya hasil biasanya kurang memberikan hasil optimal bila tidak didukung oleh kriteria seleksi lain berupa komponen pertumbuhan dan komponen hasil yang berkorelasi kuat dengan daya hasil. Oleh karena itu diperlukan metode seleksi simultan dengan mempertimbangkan beberapa karakter sekaligus. Salah satu bentuk seleksi simultan adalah indeks seleksi. Seleksi ini bertujuan untuk memaksimalkan nilai genetik rata-rata dalam populasi seleksi.
Pembobotan dilakukan berdasarkan tingkat kepentingan 84
ekonomis tiap karakter (Roy 2000). Selain itu, seleksi yang dilakukan di lokasi target akan memberikan daya adaptasi dan produksi yang lebih baik dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan di lingkungan non-target, baik dengan menggunakan indeks seleksi maupun produksi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menduga efektifitas seleksi pada lokasi target dan lokasi non target berdasarkan daya hasil dan indeks terboboti.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Rantepao, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan yang berada pada ketinggian tempat 750 m dpl. dengan suhu rata-rata 23 oC dan di University Farm, Sawah Babakan, Bogor, Jawa Barat yang berada pada ketinggian tempat 250 m dpl. dengan suhu rata-rata 26.5 oC Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2007 hingga Januari 2008.
Metode Penelitian Material genetik diperoleh dari persilangan antara 3 tetua lokal dan 3 padi unggul baru yang dilakukan di Sawah Babakan, Bogor pada bulan September 2005. Generasi F1 hingga generasi F3 ditanam dan diseleksi di Bogor sejak Januari 2006 hingga Februari 2007. Sebahagian benih F4 dari masing-masing kombinasi persilangan ditanam dan dibulk pada musim hujan (Maret 2007 hingga Juni 2007) di BPP Sangalla, Kabupaten Tana Toraja dan sebagian ditanam di Bogor. Sejumlah 300 galur F5 famili IPB 115 (Fatmawati x Lambau), IPB 116 (Fatmawati x Pinjan), IPB 117 (Fatmawati x Pulu’ Mandoti), IPB 124 (Gilirang x Lambau) dan IPB 149 (Sintanur x Lambau) ditanam dalam barisan yang diantarai oleh 6 barisan genotipe cek (Pulu’ Mandoti, Lambau, Pinjan, Fatmawati, Sintanur dan Gilirang). Panjang baris 4 meter dan jarak dalam baris 20 cm. Pupuk yang digunakan adalah 3 ton/ha pupuk organik, 110 kg/ha Urea, 100 kg/ha TSP dan 100 kg/ha KCl. Pada umur 4 minggu setelah tanam, dilakukan penyiangan pertama dan penyiangan kedua pada umur 8 minggu setelah tanam. Panen dilakukan pada saat tanaman telah matang fisiologis, sesuai dengan galur yang diuji, yang ditandai
85
dengan menguningnya butir gabah termasuk butir-butir gabah yang terletak pada bagian pangkal malai. Karakter seleksi diamati berdasarkan panduan sistem karakterisasi dan evaluasi tanaman padi (Deptan 2003) sebagai berikut : 1. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai ujung malai tertinggi (tidak termasuk bulu). 2. Umur panen dicatat dalam hari sejak semai hingga matang (85% butir dalam malai sudah matang). 3. Umur berbunga dicatat dalam hari sejak semai hingga tanaman membentuk malai. 4. Panjang daun bendera diukur dari pangkal hingga ujung daun bendera. 5. Jumlah malai per rumpun dihitung jumlah malai yang terbentuk per rumpun 6. Bobot 1000 butir gabah bernas ditimbang 1000 butir gabah pada kadar air 14%. 7. Persentase gabah bernas per malai dihitung jumlah biji bernas kemudian dibagi dengan jumlah biji pada malai dikalikan 100%. 8. Bobot gabah per rumpun ditimbang bobot gabah dari 10 rumpun tanaman sampel. Seleksi langsung dan seleksi tidak langsung berdasarkan hasil dan indeks seleksi terboboti, di mana pembobot disesuaikan dengan nilai ekonomi, nilai korelasi genotipik dan besarnya sumbangan pengaruh langsung dan tidak langsung tiap komponen terhadap hasil. Pembobot ekonomi yang dipakai untuk masing-masing karakter yaitu tinggi tanaman (-1), umur panen (-1), umur berbunga (-1), panjang daun bendera (+1), jumlah malai per rumpun (+1), bobot 1000 butir gabah bernas (+1), persentase gabah bernas per malai (+2), dan produksi (+5).
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 21, galur-galur yang terpilih dari kedua lingkungan seleksi (Bogor dan Toraja) memperlihatkan bahwa baik yang diseleksi berdasarkan produksi maupun seleksi berdasarkan indeks seleksi, memiliki
86
perbedaan dari segi superioritasnya. dilakukan
berdasarkan
produksi
dan
Seleksi untuk perbaikan hasil dapat seleksi
secara
simultan
dengan
mempertimbangkan beberapa karakter yang disesuaikan dengan korelasi genetik antara karakter dengan produksi GKG (Lampiran 3). Berdasarkan sumbangan tiap karakter terhadap produksi, maka karakter utama yang dapat dijadikan sebagai karakter seleksi simultan yaitu tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, jumlah malai, bobot 1000 butir gabah bernas dan persentase gabah bernas. Hasil seleksi dengan mempertimbangkan karakter hasil dan indeks seleksi terboboti di Toraja terpilih 20 galur masing-masing 9 galur terpilih melalui kedua metode seleksi, 6 galur terpilih melalui indeks seleksi terboboti dan 5 galur terpilih berdasarkan produksi. Tabel 21 Galur-galur terpilih dari Toraja dan Bogor berdasarkan produksi dan indeks seleksi terboboti (weightedly standardized selection index) Seleksi Toraja Seleksi Bogor Prod GKG Bobot gabah KA 14% Nomor genotipe Nomor galur (ton/ha) (g/rumpun) pi pi IPB117-E-RP-2-1 7.6 IPB115-E- 51-1 82 IPB117-E-RP-48-1 i 3.8 IPB115-E-53-1 pi 83 IPB117-E-RP-6-1 pi 6.6 IPB115-E-52-1 pi 77 pi pi 6.7 IPB117-E-16-1 77 IPB117-E-RP-3-1 IPB117-E-RP-7-1 pi 5.8 IPB116-E-8-1 pi 61 5.8 IPB149-E-10-1 pi 58 IPB117-E-RP-1-1 pi IPB117-E-RP-10-1 pi 7.3 IPB149-E-18-1 pi 58 i i IPB117-E-RP-22-1 3.5 IPB116-E-2-1 58 3.7 IPB116-E-6-1 p 55 IPB117-E-RP-16-1 i IPB117-E-RP-5-1 pi 6.6 IPB149-E-6-1 p 54 pi IPB115-E-RP-6-1 4.0 IPB117-E-11-1 54 5.0 IPB149-E-16-1 42 IPB117-E-RP-4-1 i 3.5 IPB117-E-19-1 39 IPB117-E-RP-36-1 i 5.8 IPB116-E-10-1 37 IPB149-E-RP-7-1 pi IPB117-E-RP-35-1 i 3.1 IPB116-E-29-1 35 IPB117-E-RP-12-1 p 6.0 IPB117-E-1-1 35 6.2 IPB116-E-3-1 34 IPB117-E-RP-49-1 p IPB117-E-RP-56-1 p 4.5 IPB116-E-7-1 28 4.5 IPB116-E-31-1 27 IPB116-E-RP-21-1 p IPB117-E-RP-11-1 p 3.8 IPB116-E-3-1 27 ip Keterangan : = Galur terpilih berdasarkan indeks terboboti dan produksi, i = Galur terpilih berdasarkan indeks seleksi terboboti, p = Galur terpilih berdasarkan produksi.
87
Galur dengan produksi tertinggi adalah IPB117-E-RP-2-1 dan IPB117-ERP-10-1. Galur-galur yang terpilih melalui indeks seleksi terboboti memberikan produksi yang lebih rendah, tetapi memiliki keunggulan lain pada karakter pertumbuhan dan komponen hasil. Hal ini menunjukkan bahwa nomor galur yang terpilih berdasarkan indeks terboboti dan berdasarkan produksi pada kedua lokasi, pada umumnya sama, karena dalam proses seleksi berdasarkan indeks terboboti, hasil diboboti dengan 5 kali. Hasil seleksi dengan mempertimbangkan karakter hasil dan indeks seleksi terboboti di Bogor terpilih 10 galur masing-masing 7 galur terpilih melalui kedua metode seleksi, 1 galur terpilih melalui indeks seleksi terboboti dan 2 galur terpilih berdasarkan produksi. Galur dengan produksi tertinggi adalah IPB115-E51-1 dan IPB115-E-53-1. Dengan demikian, galur yang terpilih pada lingkungan target (Toraja) umumnya didominasi oleh galur-galur yang berasal dari persilangan tetua rentan suhu rendah Fatmawati dengan tetua toleran Pulu’ Mandoti yaitu famili galur IPB117, sedangkan galur-galur yang terpilih pada lingkungan non target (Bogor) umumnya didominasi oleh zuriat hasil persilangan dari Fatmawati dan Lambau (famili galur IPB115). Galur-galur yang diuji menampilkan karakter tinggi tanaman yang berkisar antara 130 hingga 160 cm.
Fenotipe ini berada di antara tetua-tetua betina
Fatmawati, Gilirang dan Sintanur (+115 cm) dengan tetua-tetua jantan Pulu’ Mandoti, Lambau dan Pinjan (+175 cm), yang menunjukkan bahwa sifat tinggi pada galur yang diuji diwariskan dari tetua jantan yang dominan terhadap sifat pendek dari tetua betina (Gambar 23). Galur yang diuji menampilkan karakter umur panen yang berkisar antara 115 hingga 125 hari, yang menunjukkan bahwa sifat umur pendek yang ditampilkan oleh galur-galur yang diuji yang diwariskan dari tetua betina (+ 110 hari) dominan terhadap sifat umur panjang dari tetua jantan (+ 155 hari) (Gambar 24).
88
Frekuensi
70 60 50 40 30 20 10 0
63
59
23 10 0 100
115
130
145
160
3
0
175
190
Tinggi tanaman (cm)
Gambar 23 Distribusi frekuensi tinggi tanaman galur-galur padi sawah pada kondisi cekaman suhu rendah. Berdasarkan parameter panjang daun bendera, populasi galur yang diuji didominasi oleh galur dengan panjang daun bendera yang berkisar antara 35 hingga 45 cm, yang berada di antara panjang daun bendera pada tetua betina (46 cm) dan rata-rata panjang daun bendera pada tetua jantan (Gambar 25). 100 78
Frekuensi
80
56
60 40 20 0
10
9 0
0
100
105
110
115
120
125
3
2
130
135
Umur Panen (hari)
Gambar 24 Distribusi frekuensi umur panen galur-galur padi sawah pada kondisi cekaman suhu rendah. Distribusi frekuensi jumlah malai per rumpun (Gambar 26) menunjukkan bahwa jumlah malai rata-rata sebanyak 10 – 15 malai. Jumlah malai pada galurgalur hasil seleksi dari Bogor relatif lebih banyak dibandingkan dengan jumlah malai pada galur-galur hasil seleksi dari Toraja.
89
60
51
Frequency
50
40
40 26
30 17
20 10
1
4
20
25
16 2
1
55
60
0 30
35
40
45
50
Panjang daun bendera (cm)
Gambar 25 Distribusi frekuensi panjang daun bendera galur-galur padi sawah pada kondisi cekaman suhu rendah. Berdasarkan pada bobot 1000 butir gabah bernas, populasi didominasi oleh galur dengan bobot 1000 butir yang berkisar antara 28 hingga 32 gram untuk kedua lokasi seleksi. Rata-rata bobot 1000 butir gabah galur yang diseleksi dari Rantepao melebihi bobot 1000 butir galur-galur hasil seleksi dari Bogor (Gambar 27). 140 115
Frekuensi
120 91
100 80
Bogor
60
R. Pao
40 20
25
20
14
18
12
3
2
0 5
10
15
20
25
30
Jumlah malai per rumpun
Gambar 26 Distribusi frekuensi jumlah malai per rumpun galur-galur padi sawah yang diseleksi di Bogor dan Toraja. Berdasarkan pada persentase gabah bernas, populasi didominasi oleh galur dengan persentase gabah bernas yang berkisar antara 85 hingga 90 persen (Gambar 28). Persentase gabah bernas galur-galur hasil seleksi dari Rantepao melebihi persentase gabah bernas galur-galur hasil seleksi dari Bogor.
90
70 58
Frekuensi
60
50 51
50
42
40
Bogor
30
R. Pao
23 24
20 10
14 3
9
5
3
9
6
3
0 22
24
26
28
30
32
34
36
38
Bobot 1000 butir (g)
Gambar 27 Distribusi frekuensi bobot 1000 gabah bernas galur-galur padi sawah yang diseleksi di Bogor dan Toraja. 70
59 61
60
44 46
F re k u e n s i
50 40
Bogor 26
30
R. Pao
17
20 10
1
1
1
1
1
1
2
3
4
5
3
3
8
6
7
0 45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
Pe rse nta se ga ba h be rna s (%)
Gambar 28 Distribusi frekuensi persentase gabah bernas galur-galur padi sawah yang diseleksi di Bogor dan Toraja. Berdasarkan pada bobot gabah per rumpun, populasi didominasi oleh galur dengan bobot gabah yang berkisar antara 20 hingga 40 gram per rumpun (Gambar 29).
80
71
70
62
Frekuensi
60
49
50
43
Bogor
40
Toraja
30 13 15
20 10
4
4
8
12 4
1
5
1
4
3
1
0 10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Bobot gabah per rumpun (g)
Gambar 29 Distribusi frekuensi bobot gabah per rumpun galur-galur padi sawah yang diseleksi di Bogor dan Toraja.
SIMPULAN Galur-galur yang diuji menampilkan keragaman yang besar untuk semua karakter seleksi. Galur-galur yang terpilih dari kedua lingkungan seleksi (Bogor dan Toraja) memperlihatkan bahwa baik yang diseleksi berdasarkan produksi 91
ataupun seleksi berdasarkan indeks seleksi, memiliki perbedaan dari segi superioritasnya. Galur yang terpilih pada lingkungan target (Toraja) didominasi oleh galur-galur yang berasal dari persilangan tetua peka suhu rendah Fatmawati dengan tetua toleran Pulu’ Mandoti yaitu galur-galur IPB117, sedangkan galurgalur yang terpilih pada lingkungan non target (Bogor) didominasi galur-galur yang berasal dari persilangan tetua peka Fatmawati dan tetua toleran Lambau (IPB115).
92
EVALUASI KERAGAAN GALUR PADA EKOSISTEM DATARAN TINGGI
ABSTRAK Penampilan suatu tanaman ditentukan oleh faktor genetik, faktor lingkungan dan interaksi genotipe dan lingkungan. Faktor genetik diwariskan dari generasi ke generasi sehingga faktor ini menjadi perhatian utama para pemulia tanaman. Tujuan percobaan ini untuk memperoleh informasi tentang respon galur padi sawah hasil seleksi terhadap cekaman suhu rendah dan memperoleh galur harapan unggul padi sawah untuk diujicoba lebih lanjut di dataran tinggi. Percobaan dirancang dalam pola Rancangan Acak Kelompok (3 ulangan) dengan ketinggian tempat yang berbeda yaitu Rantepao (750 m dpl.) dan Sesean (1500 m dpl.). Material genetik yang digunakan dalam percobaan ini adalah 30 galur padi F6 dan 2 genotipe pembanding. Hasil percobaan menunjukkan bahwa terdapat keragaman yang besar pada sejumlah galur yang diuji pada dua level ketinggian tempat. Interaksi genotipe dan lingkungan tidak berpengaruh terhadap semua karakter yang diuji. Galur-galur yang diseleksi mempunyai keragaan yang lebih baik dibandingkan dengan genotipe pembanding. Galur-galur hasil seleksi dari Toraja memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan galur-galur hasil seleksi dari Bogor. Berdasarkan seleksi terhadap produksi terpilih 6 galur harapan PTB dataran tinggi yaitu IPB115-E-51-1, IPB117-E-RP-2-1, IPB115-E-53-1, IPB117-E-RP-3-1, IPB117-E-RP-10-1 dan IPB117-E-RP-6-1. Berdasarkan indeks seleksi terboboti terpilih 4 galur harapan yaitu IPB115-E-52-1, IPB116-E8-1, IPB117-E-RP-5-1 dan IPB116-E-RP-33-1.
Kata kunci : galur harapan, interaksi genotipe dan lingkungan, indeks seleksi.
ABSTRACT Crop performance is determined by its genetic factors, environmental factors and genetic-environmental interactions. Genetic factors are inherited from generation to generation, so that these factors become the main point of interest to the breeders. The objectives of this study were to obtain information on responses of lowland rice to low temperature stress condition and to obtain promising lines of lowland rice. Experiment was designed in Completely Randomized Block Design (3 replications) at two different altitudes (Rantepao with 750 m above sea level and Sesean with 1500 m above sea level). Genetic materials used in this experiment were 30 lines of F6 and 2 control genotypes. The result showed that there were high variances at two levels of altitudes. Genotype-environmental interactions had no significant effect on all characters. Genotypes selected from non target location were different from genotypes selected at target location. Selection based on yield gave 6 promising highland specific lines i.e IPB115-E51-1, IPB115-E-RP-2-1, IPB115-E-53-1, IPB117-E-RP-3-1, IPB117-E-RP-10-1 and IPB117-E-RP-6-1. Selection based on weightedly standardized selection index gave 4 promising highland specific lines i.e IPB115-E-52-1, IPB116-E-8-1, IPB117-E-RP-5-1 and IPB116-E-RP-33-1.
Key words : promising line, genotype-environmental interaction, selection index. 93
PENDAHULUAN Latar Belakang Penampilan suatu tanaman ditentukan oleh faktor genetik, faktor lingkungan dan interaksi genotipe dan lingkungan (Roy 2000). Faktor genetik diwariskan dari generasi ke generasi sehingga faktor ini menjadi perhatian utama para pemulia tanaman.
Interaksi genotipe dan lingkungan juga penting bagi
pemulia tanaman (Baihaki 2000).
Adanya interaksi genotipe dan lingkungan
ditandai dengan tanggapan varietas untuk sesuatu sifat seperti hasil dan komponen hasil yang berbeda-beda di setiap lingkungan. Dengan adanya interaksi genotipe dan lingkungan, maka urutan relatif suatu varietas akan berubah dari tempat ke tempat dan dari musim ke musim. Jika tidak terdapat interaksi genotipe dan lingkungan, suatu kultivar padi atau tanaman serealia lainnya akan dapat tumbuh dan berproduksi dengan sama baiknya di berbagai tempat atau lingkungan pertumbuhannya. Pada kondisi demikian, maka varietas atau galur bersifat stabil. Varietas yang stabil sangat penting untuk mengurangi resiko akibat perubahan lingkungan yang sukar diramalkan seperti kesuburan tanah, perubahan cuaca yang menyolok serta serangan hama dan penyakit. Pentingnya interaksi genotipe dan lingkungan dapat dilihat pada distribusi varietas baru pada berbagai lokasi dan perbaikan manajemen untuk meningkatkan hasil dan membandingkan hasil antara varietas lokal dan varietas baru dalam suatu percobaan tunggal (Mattjik 2005). Analisis interaksi genotipe dan lingkungan dapat dimanfaatkan untuk mendukung program seleksi terhadap sifat toleransi cekaman lingkungan ataupun cekaman terhadap hama dan penyakit. Analisis interaksi genotipe dan lingkungan telah dilakukan oleh beberapa peneliti pemuliaan tanaman pada berbagai tanaman budidaya, namun pemahaman yang terinci mengenai interaksi genotipe tanaman padi sawah dengan kondisi lingkungan bercekaman suhu rendah, masing belum banyak dipublikasikan. Informasi tentang interaksi genotipe dan lingkungan
dapat dipakai sebagai
pedoman seleksi untuk sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah di dataran tinggi.
94
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang respon galur padi sawah hasil seleksi terhadap ketinggian tempat yang berbeda dan memperoleh galur harapan unggul padi sawah spesifik untuk ekosistem dataran tinggi.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi yaitu Rantepao (ketinggian tempat 750 m dpl.) dan Sesean (1500 m dpl.). Data iklim untuk kedua lokasi pengujian disajikan pada Lampiran 5. Penelitian berlangsung pada bulan Februari 2008 hingga Juli 2008.
Metode penelitian Material genetik yang digunakan dalam percobaan ini adalah 30 galur padi F6 hasil seleksi berdasarkan produksi dan berdasarkan indeks seleksi dan 2 genotipe pembanding yaitu Pulu’ Mandoti dan Fatmawati. Kode galur yang diuji disajikan dalam Tabel 22 dan deskripsi karakter morfologi (Lampiran 4). Percobaan dirancang dalam pola Rancangan Acak Kelompok (3 ulangan) dengan ketinggian tempat yang berbeda yaitu Rantepao (750 m dpl.) dan Sesean (1500 m dpl.). Benih galur F6 terpilih disemai di Rantepao secara terpisah untuk menghindari pencampuran antar galur. Setelah bibit berumur 21-25 hari setelah semai, kemudian dipindahtanamkan ke areal pertanaman di Rantepao dan Sesean. Ukuran plot 4 x 2 m (8 m2) dengan jarak tanam 20 x 20 cm dan jarak antara tiap plot 40 cm. Jumlah bibit per lubang adalah 1 – 3 disesuaikan dengan banyaknya bibit yang tersedia untuk setiap galur. Dosis pupuk yang digunakan yaitu 3 ton/ha pupuk organik, 110 kg/ha Urea, 100 kg/ha TSP dan 100 kg/ha KCl. Pupuk TSP dan urea diberikan pada saat tanaman berumur 1 minggu dan pupuk KCl diberikan pada umur 30 hari sesudah tanam. Adapun cara pemberian adalah dengan menaburkan pupuk di sekitar
95
barisan tanaman. Untuk keperluan pengendalian hama tikus dan burung, dipakai teknologi tradisional bertenaga air yang disebut tongkaran. Pada umur 4 minggu setelah tanam, dilakukan penyiangan pertama dan penyiangan kedua pada umur 8 minggu setelah tanam. Panen dilakukan pada saat matang, sesuai dengan galur yang diuji, yang ditandai dengan menguningnya butir gabah termasuk butir-butir gabah yang terletak pada bagian pangkal malai. Tabel 22 Kode galur yang diuji Kode galur
Tetua
IPB115-E- 51-1 IPB115-E- 52-1 IPB115-E- 53-1 IPB115-E-RP-2-1 IPB115-E-RP-6-1 IPB116-E- 2-1 IPB116-E- 6-1 IPB116-E- 8-1 IPB116-E-RP-21-1 IPB116-E-RP-33-1 IPB117-E-16-1 IPB117-E-RP-1-1 IPB117-E-RP-10-1 IPB117-E-RP-11-1 IPB117-E-RP-12-1 IPB117-E-RP-16-1 IPB117-E-RP-2-1 IPB117-E-RP-22-1 IPB117-E-RP-3-1 IPB117-E-RP-35-1 IPB117-E-RP-36-1 IPB117-E-RP-4-1 IPB117-E-RP-48-1 IPB117-E-RP-5-1 IPB117-E-RP-6-1 IPB117-E-RP-7-1 IPB149-E-6-1 IPB149-E-10-1 IPB149-E-18-1 IPB149-E-RP-7-1
Fatmawati dan Lambau Fatmawati dan Lambau Fatmawati dan Lambau Fatmawati dan Lambau Fatmawati dan Lambau Fatmawati dan Pinjan Fatmawati dan Pinjan Fatmawati dan Pinjan Fatmawati dan Pinjan Fatmawati dan Pinjan Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Fatmawati dan Pulu’ Mandoti Sintanur dan Lambau Sintanur dan Lambau Sintanur dan Lambau Sintanur dan Lambau
96
Karakter yang diamati adalah : 1. Umur panen dihitung jumlah hari sejak semai hingga panen 2. Panjang malai diukur mulai dari leher hingga ujung malai 3. Jumlah malai per rumpun dihitung jumlah malai yang terbentuk per rumpun 4. Bobot 100 butir gabah bernas ditimbang 100 butir gabah pada kadar air 14%. 5. Persentase gabah bernas per malai dihitung jumlah biji bernas kemudian dibandingkan dengan jumlah biji pada malai dikalikan 100%. 6. Uji aroma menggunakan metode organoleptik dengan prosedur sebagai berikut : 100 g beras dari masing-masing genotipe dikukus hingga matang, kemudian dimasukkan ke dalam mangkuk kecil. Nasi yang telah matang tersebut diberikan kepada 10 orang panelis untuk pengamatan aroma. Skor aroma ditentukan berdasarkan panduan sistem karakterisasi tanaman padi (DEPTAN 2003) sebagai berikut : Kode
Keterangan
0
Tidak wangi
1
Sedikit wangi
2
Wangi
7. Produksi gabah/ ha pada kadar air 14%. Model rancangan yang digunakan yaitu model umum Rancangan Kelompok Teracak : Yij = µ + αi +βj+ εijk Keterangan : Yijk = nilai pengamatan dari ulangan ke-i, genotipe ke-j dan lokasi ke-k µ = nilai rataan umum αi = pengaruh populasi ke-i βj = pengaruh ulangan ke-j εijk= pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i ulangan ke-j
97
Untuk mengetahui pengaruh lokasi penelitian, maka dilakukan analisis gabungan di tiap lokasi percobaan. Model linear Rancangan Acak Kelompok dengan pola gabungan adalah sebagai berikut (Gomez dan Gomez 1985): Yij = µ + Lk +βi/k+ Gj+ (LG)kj + εijk Keterangan : Yijk = nilai pengamatan dari ulangan ke-i, genotipe ke-j dan lokasi ke-k µ = nilai rataan umum Lk = pengaruh lokasi ke-k βi/k =pengaruh ulangan ke-i dalam lokasi ke k Gj = pengaruh genotipe ke-j (LG)kj = pengaruh interaksi lokasi ke-k dan genotipe ke-j εijk= pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i, ulangan ke-j dan lokasi ke-k Data yang dikumpulkan dianalisis dengan prosedur sebagai berikut : 1. Analisis ragam gabungan. Model analisis ragam disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Analisis ragam gabungan SK Kelompok (r) Genotipe (g) Lokasi GXL Galat
dF (r-1) (g-1) (l-1) (g-1)(l-1) gl(r-1)
Total
rgl-1
MS MSr MSg MSl MSgxl MSe
E(MS) σe2+ rσ2GL + rlσ2G σe2+ rgσ2L σe2+rσ2GL σ e2
2. Uji F-ortogonal kontras. Kontras yang diuji terdiri atas 14 kontras ber-db tunggal yaitu : (1) Genotipe pembanding (Fatmawati dan Pulu’ Mandoti) vs semua galur, (2) Galur seleksi Bogor vs galur seleksi Toraja, (3) Genotipe pembanding (Fatmawati dan Pulu’ Mandoti) vs famili galur IPB117, (4) Genotipe pembanding (Fatmawati dan Pulu’ Mandoti) vs famili galur IPB115, (5) Genotipe pembanding (Fatmawati dan Pulu’ Mandoti) vs famili galur IPB149, (6) Genotipe pembanding (Fatmawati dan Pulu’ Mandoti) vs famili galur IPB116, (7) famili galur IPB117 vs famili galur IPB115, (8) famili galur IPB117 vs famili galur IPB116, (9) famili galur IPB116 vs famili galur IPB115, (10) famili galur IPB117 vs famili galur IPB149, (11) famili galur
98
IPB117R vs famili galur IPB117B, (12) famili galur IPB115R vs famili galur IPB115B, (13) famili galur IPB116R vs famili galur IPB116B, dan (14) famili galur IPB149R vs famili galur IPB149B. Koefisien kontras disajikan pada Lampiran 6. 3. Pendugaan heritabilitas Pendugaan heritabilitas arti luas dihitung berdasarkan analisis varians menurut metode yang dikemukakan oleh Singh dan Chaudhary (1979). h2 =
σ g2 × 100% σ p2
h2S =
h2R =
σ g2 S σ p2 S
× 100%
σ g2 R × 100% σ p2 R
h2gab =
σ g2 gab × 100% σ p2 gab
σ2g = ragam genotipik σ2p = ragam fenotipik 4. Koefisien karagaman genotipik ⎛ g⎞ ⎟ × 100% KVG = ⎜ ⎜ X ⎟ ⎝ ⎠ g = akar kuadrat ragam genotipik x = nilai tengah contoh
5. Untuk memperoleh informasi tentang hubungan genetik antara lingkungan seleksi, digunakan koefisien korelasi genetik dengan rumus :
CRx hy = rG Rx hx rG = koefisien korelasi genetik CRx = korelasi respon seleksi pada lokasi Sesean dan lokasi Rantepao. Rx = respon seleksi langsung pada lokasi Sesean hy = akar dari heritabilitas karakter A pada lingkungan Rantepao hx = akar dari heritabilitas karakter A pada lingkungan Sesean 99
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Lingkungan Seleksi
Analisis ragam gabungan dari kedua lokasi menunjukkan bahwa terdapat keragaman yang besar pada sejumlah galur yang diuji; lokasi berpengaruh sangat nyata terhadap umur panen, persentase gabah bernas per malai dan produksi GKG. Sementara itu interaksi genotipe dan lingkungan tidak berpengaruh nyata terhadap semua karakter yang diuji (Tabel 24). Tabel 24 Analisis ragam gabungan antara lokasi Sesean dan Rantepao Sumber keragaman Lokasi Galur Interaksi Galat
Karakter seleksi Umur % gabah Panjang Jumlah Bobot Produksi panen bernas malai malai 1000 butir GKG 10061.42** 2947.23** 3121.74** 4.84 tn 1216.62** 34.24 ** 69.42** 122.95** 23.50** 237.21** 21.16** 12.01** 8.07 tn 4.48 tn 4.12 tn 3.95 tn 1.63 tn 0.21 tn 7.72 6.91 3.35 5.67 2.06 0.12
tn =tidak nyata, P>0.05; **=nyata P<0.01. Hasil ini menunjukkan bahwa umur panen, bobot 1000 butir, persentase gabah bernas, panjang malai dan produksi GKG sangat dipengaruhi oleh lokasi dan genotipe, sedangkan jumlah malai per rumpun hanya dipengaruhi oleh galur. Berdasarkan sumbangan keragaman yang diberikan oleh masing-masing sumber keragaman terlihat bahwa pengaruh lokasi merupakan penyumbang terbesar, kemudian disusul oleh genotipe dan interaksi genotipe dan lingkungan. Sementara itu, jumlah malai per rumpun hanya dipengaruhi oleh genotipe. Jika dilihat dari besarnya sumbangan keragaman, ternyata pengaruh genotipe merupakan penyumbang terbesar kemudian disusul oleh lokasi dan interaksi genotipe dan lingkungan. Dengan melihat keragaman genetiknya saja, sangat sulit untuk mempelajari suatu karakter. Untuk itu, diperlukan parameter genetik lain, yaitu heritabilitas dan kemajuan genetik. Fehr (1987) menyatakan bahwa heritabilitas adalah salah satu alat ukur dalam sistem seleksi yang efisien yang dapat menggambarkan efektifitas seleksi genotipe berdasarkan penampilan fenotipenya.
100
Penentuan lingkungan tumbuh yang cocok untuk seleksi suatu karakter dapat dilakukan dengan cara membandingkan nilai-nilai parameter genetik di setiap lingkungan.
Penentuan lingkungan tumbuh yang cocok untuk seleksi
berdasarkan nilai heritabilitas tertinggi, dapat menimbulkan bias, karena heritabilitas tidak menggambarkan kemajuan genetik yang sebenarnya dari karakter yang bersangkutan. Karena itu perlu dilakukan identifikasi di salah satu lingkungan yang mendekati kondisi seleksi di lingkungan gabungan. Bila nilai perbandingan heritabilitas antara satu lingkungan dengan lingkungan gabungan mendekati satu, maka lingkungan tersebut paling sesuai untuk seleksi karakter yang bersangkutan (Baihaki 2000). Tabel 25 menunjukkan bahwa semua karakter yang diuji pada kedua lokasi memberikan proporsi nilai heritabilitas yang mendekati satu, sehingga seleksi berdasarkan karakter umur panen, jumlah malai, bobot 1000 butir, persentase gabah bernas, panjang malai dan produksi GKG dapat dilakukan sama baiknya di kedua lokasi pengujian. Nilai heritabilitas tidak memberikan gambaran kemajuan genetik yang sebenarnya mengenai yang diharapkan terjadi pada bahan genetik, tetapi dapat memberikan petunjuk sederhana tentang besar kecilnya pengaruh faktor genetik dan lingkungan terhadap suatu populasi (Dudley dan Moll 1969). Fehr (1987) menyatakan bahwa jika nilai heritabilitas dipadukan dengan nilai kemajuan genetik dari seleksi akan lebih bermanfaat dalam meramalkan hasil akhir program seleksi. Tabel 25
Pendugaan heritabilitas dan heritabilitas gabungan untuk berbagai karakter seleksi di lokasi Sesean dan Rantepao
Karakter Umur panen Jumlah malai Bobot 1000 butir Persentase gabah bernas Panjang malai Produksi
h2 Sesean Rantepao 0.742 0.933 0.562 0.846 0.985 0.491
0.817 0.938 0.911 0.907 0.992 0.676
h2 gab 0.566 0.884 0.63 0.764 0.929 0.472
h2S/h2gab 1.31 1.06 0.89 1.11 1.06 1.04
h2R/h2 gab 1.44 1.06 1.45 1.19 1.07 1.43
101
Keragaman Genetik
Uji F-kontras ortogonal (Tabel 26) menunjukkan bahwa untuk lokasi Sesean, rata-rata umur panen, jumlah malai, bobot 1000 butir dan persentase gabah bernas semua genotipe yang diuji tidak berbeda nyata dengan genotipe pembanding, sedangkan untuk karakter panjang malai dan produksi GKG genotipe yang diuji melebihi genotipe pembanding. Untuk lokasi Rantepao, ratarata jumlah malai, bobot 1000 butir, persentase gabah bernas dan panjang malai semua genotipe yang diuji tidak berbeda nyata dengan genotipe pembanding, sedangkan karakter umur panen dan produksi GKG genotipe yang diuji melebihi produksi GKG pada genotipe pembanding. Tabel 26 Uji kontras ortogonal antara varietas pembanding dengan semua galur pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) KT Rata-rata P S 4.86 tn 139.0 125.6 0.37 tn 7.7 13.4 2.56 tn 27.5 30.7
Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata P S 353.60 ** 137.0 116.2 0.90 tn 12.3 13.6 0.13 tn 30.0 27.0
Umur panen Jumlah malai Bobot 1000 butir Persentase gabah 14.25 73.8 73.0 16.74 tn 79.9 79.0 bernas tn Panjang malai 15.51 ** 29.3 26.9 0.69 tn 31.7 32.1 Produksi GKG 0.65 ** 2.5 3.3 0.91 ** 2.8 3.7 Keterangan : tn =tidak nyata, **=nyata pada taraf 1%, P=pembanding, S= semua galur
Apabila galur diuji pada lingkungan bercekaman suhu rendah, ternyata umurnya relatif sama dengan genotipe pembanding namun jika diuji di lingkungan dengan intensitas cekaman yang lebih rendah umur galur yang diuji relatif lebih genjah dibandingkan dengan genotipe pembanding. Uji kontras ortogonal (Tabel 27) menunjukkan bahwa umur panen, jumlah malai, bobot 1000 butir, persentase gabah bernas, panjang malai dan produksi GKG galur-galur hasil seleksi dari Toraja berbeda nyata dibandingkan dengan galur-galur hasil seleksi dari Bogor pada kedua lokasi pengujian. Galur-galur hasil seleksi dari Toraja menunjukkan umur yang lebih genjah dibandingkan dengan galur-galur hasil seleksi dari Bogor dengan perbedaan umur 3-4 hari untuk kedua lokasi pengujian. Galur-galur hasil seleksi dari Bogor menghasilkan malai 102
yang lebih banyak dan lebih panjang serta bobot 1000 butir yang lebih besar tetapi umur panen lebih panjang, persentase gabah bernas lebih rendah serta produksi GKG yang lebih rendah, untuk galur-galur yang diuji di Sesean maupun di Rantepao. Hasil ini menunjukkan bahwa galur hasil seleksi dari lokasi target lebih baik dibandingkan dengan galur-galur hasil seleksi dari lokasi non target. Produksi GKG yang lebih tinggi pada galur-galur hasil seleksi dari lokasi target terutama disebabkan umur panen yang lebih cepat dan persentase gabah bernas yang lebih tinggi. Dengan demikian, karakter utama yang menentukan hasil GKG adalah umur tanaman dan persentase gabah bernas. Tabel 27 Uji kontras ortogonal antara galur hasil seleksi dari Bogor dengan Toraja pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi Umur panen Jumlah malai Bobot 1000 butir
Sesean (1500 m dpl.) Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata KT Rata-rata B T B T 635796.23 ** 127.6 124.5 545456.03 ** 118.6 114.9 8910.23 ** 16.0 12.3 9272.03 ** 20.2 10.2 29763.43 ** 28.1 26.5 38756.01 ** 32.3 29.9
Persentase 200161.25 63.9 77.6 238249.58 ** 71.6 82.7 gabah bernas ** Panjang malai 29454.14 ** 27.7 26.5 42033.61 ** 33.4 31.4 Produksi GKG 425.57 ** 3.3 3.6 562.10 ** 3.8 3.7 Keterangan : tn =tidak nyata, **=nyata pada taraf 1%, B= Bogor, T= Toraja Hasil uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa karakter jumlah malai, panjang malai dan produksi GKG famili galur IPB 117 berbeda nyata dengan genotipe pembanding pada lokasi pengujian Sesean, sedangkan untuk lokasi pengujian Rantepao, karakter umur panen dan produksi GKG berbeda nyata dengan genotipe pembanding. Keragaan karakter lainnya relatif sama dengan genotipe pembanding (Tabel 28). Pada umumnya keragaan famili galur IPB 117 lebih baik dibandingkan dengan genotipe pembanding. Produksi GKG yang lebih tinggi pada galur IPB 117 terutama disebabkan umur yang lebih genjah, jumlah malai yang lebih banyak dan lebih panjang.
103
Tabel 28 Uji kontras ortogonal antara genotipe pembanding dengan famili galur IPB 117 pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) KT Rata-rata P IPB117 1.35 tn 139.0 124.3 12.36 * 7.7 10.6 1.71 tn 27.5 26.4
Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata P IPB117 251.77 ** 137.0 114.6 3.73 tn 12.3 10.7 0.02 tn 30.0 29.9
Umur panen Jumlah malai Bobot 1000 butir Persentase gabah 21.45 73.8 77.7 11.66 tn 79.9 82.7 bernas tn Panjang malai 10.79 * 29.3 26.6 0.03 tn 31.7 31.6 Produksi GKG 0.15 * 2.5 3.5 1.72 ** 2.8 3.9 Keterangan : tn =tidak nyata, *=nyata pada taraf 5%, **=nyata pada taraf 1%, P= pembanding (Fatmawati dan Pulu’ Mandoti) Hasil uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa karakter umur panen, jumlah malai, persentase gabah bernas dan produksi GKG famili galur IPB 115 berbeda nyata dengan genotipe pembanding pada lokasi pengujian Sesean, sedangkan untuk lokasi pengujian Rantepao, karakter-karakter yang diuji berbeda nyata dengan genotipe pembanding, kecuali karakter panjang malai relatif sama (Tabel 29).
Tabel 29 Uji kontras ortogonal antara genotipe pembanding dengan famili galur IPB 115 pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) KT Rata-rata P IPB115 8.45 * 139.0 125.9 30.42 ** 7.7 20.1 0.64 tn 27.5 28.2
Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata P IPB115 149.42 ** 137.0 117.1 39.20 ** 12.3 17.9 3.68 * 30.0 31.7
Umur panen Jumlah malai Bobot 1000 butir Persentase gabah 113.03 73.8 64.3 88.67 * 79.9 71.4 bernas ** Panjang malai 0.45 tn 29.3 28.7 6.05 tn 31.7 33.9 Produksi GKG 0.15 * 2.5 3.5 1.93 ** 2.8 4.1 Keterangan : tn =tidak nyata, *=nyata pada taraf 5%, **=nyata pada taraf 1%, P= pembanding (Fatmawati dan Pulu’ Mandoti) Keragaan famili galur IPB 115 lebih baik dari genotipe pembanding. Produksi GKG galur-galur IPB 115, 1 ton/ha lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe pembanding. Produksi GKG yang lebih tinggi terutama disebabkan
104
umur panen yang lebih genjah, jumlah malai yang lebih banyak, bobot 1000 butir yang lebih tinggi dan persentase gabah bernas yang lebih tinggi. Hasil uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa karakter umur panen dan jumlah malai famili galur IPB 149 berbeda nyata dengan genotipe pembanding pada lokasi pengujian Sesean, sedangkan untuk lokasi pengujian Rantepao, karakter umur panen dan jumlah malai berbeda nyata dengan genotipe pembanding.
Keragaan karakter lainnya relatif sama dengan genotipe
pembanding. Produksi GKG famili galur IPB 149 relatif sama dengan produksi GKG genotipe pembanding namun demikian, umur famili galur IPB 149 lebih genjah dan jumlah malai yang lebih banyak (Tabel 30). Tabel 30 Uji kontras ortogonal antara genotipe pembanding dengan famili galur IPB 149 pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) KT Rata-rata P IPB149 19.20 ** 139.0 127.3 10.80 * 7.7 16.1 0.40 tn 27.5 28.0
Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata P IPB149 134.41 ** 137.0 117.4 39.68 ** 12.3 18.1 3.32 tn 30.0 31.7
Umur panen Jumlah malai Bobot 1000 butir Persentase gabah 9.01 73.8 71.1 4.83 tn 79.9 77.9 bernas tn Panjang malai 5.63 tn 29.3 27.2 1.93 tn 31.7 33.0 Produksi GKG 0.36 tn 2.5 2.6 0.10 tn 2.8 3.1 Keterangan : tn =tidak nyata, *=nyata pada taraf 5%, **=nyata pada taraf 1%, P= pembanding (Fatmawati dan Pulu’ Mandoti) Hasil uji kontras ortogonal (Tabel 31) menunjukkan bahwa karakter umur panen, persentase gabah bernas, panjang malai dan produksi GKG famili galur IPB 116 berbeda nyata dengan genotipe pembanding pada lokasi pengujian Sesean, sedangkan untuk lokasi pengujian Rantepao, karakter umur panen dan produksi GKG berbeda nyata dengan genotipe pembanding. Keragaan karakter lainnya relatif sama dengan genotipe pembanding. Produksi GKG yang lebih tinggi pada famili galur IPB 116 dibandingkan dengan
genotipe pembanding disebabkan umur panen yang lebih genjah dan malai yang lebih panjang sekalipun persentase gabah bernas relatif lebih rendah.
105
Tabel 31 Uji kontras ortogonal antara genotipe pembanding dengan famili galur IPB 116 pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) KT Rata-rata P IPB116 24.20 ** 139.0 127.7 3.47 tn 7.7 15.110.6 0.18 tn 27.5 27.1
Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata P IPB116 99.76 ** 137.0 119.1 6.81 tn 12.3 14.7 2.71 tn 30.0 31.5
Umur panen Jumlah malai Bobot 1000 butir Persentase gabah 36.76 73.8 68.4 22.36 tn 79.9 75.6 bernas * Panjang malai 12.80 * 29.3 26.1 0.56 tn 31.7 31.1 Produksi GKG 0.12 * 2.5 2.8 0.28 ** 2.8 3.3 Keterangan : tn =tidak nyata, *=nyata pada taraf 5%, **=nyata pada taraf 1%, P= pembanding (Fatmawati dan Pulu’ Mandoti) Hasil uji kontras ortogonal (Tabel 32) menunjukkan bahwa karakter umur
panen, jumlah malai, bobot 1000 butir, persentase gabah bernas dan panjang malai famili galur IPB 117 berbeda nyata dengan famili galur IPB 115 pada lokasi pengujian Sesean dan Rantepao, sedangkan produksi GKG famili galur IPB 117 dan famili galur IPB 115 tidak berbeda nyata. Tabel 32 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 117 dengan famili galur IPB 115 pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata KT Rata-rata IPB117 IPB115 IPB117 IPB115 15.01 * 124.3 125.9 33.49 * 114.6 117.1 355.88 ** 10.6 20.1 298.29 ** 10.7 17.9
Umur panen Jumlah malai Bobot 1000 18.85 26.4 28.2 19.38 ** 29.9 butir ** Persentase 1027.18 77.7 64.3 729.10 ** 82.7 gabah bernas ** Panjang 26.77 ** 26.6 28.7 31.56 ** 31.6 malai Produksi GKG 0.00 tn 3.5 3.5 0.11 tn 3.9 Keterangan : tn =tidak nyata, *=nyata pada taraf 5%, **=nyata pada taraf 1%
31.7 71.4 33.9 4.1
Walaupun produksi GKG relatif sama pada kedua famili galur, namun famili galur IPB 115 menghasilkan malai yang lebih banyak dan lebih panjang serta bobot 1000 butir yang lebih tinggi, sedangkan famili galur IPB 117
106
menghasilkan persentase gabah bernas yang lebih tinggi dan umur yang lebih genjah. Hasil uji kontras ortogonal (Tabel 33) menunjukkan bahwa karakter umur panen, jumlah malai, persentase gabah bernas dan produksi GKG famili galur IPB 117 berbeda nyata dengan famili galur IPB 116 pada lokasi pengujian Sesean. Untuk pengujian di Rantepao, karakter umur panen, jumlah malai, bobot 1000 butir, persentase gabah bernas dan produksi GKG famili galur IPB 117 berbeda nyata dengan famili galur IPB 116. Produksi GKG famili galur IPB 117 lebih tinggi dibandingkan dengan famili galur IPB 116 disebabkan oleh umur yang lebih genjah dan persentase gabah bernas yang lebih tinggi. Tabel 33 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 117 dengan famili galur IPB 116 pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata KT Rata-rata IPB117 IPB116 IPB117 IPB116 66.87 ** 124.3 127.7 111.68 ** 114.6 119.1 122.23 ** 10.6 15.1 89.53 ** 10.7 14.7 2.95 tn 26.4 27.1 14.60 ** 29.9 31.5
Umur panen Jumlah malai Bobot 1000 Persentase 496.46 77.7 68.4 288.27 ** gabah bernas ** Panjang malai 1.08 tn 26.6 26.1 1.53 tn Produksi GKG 2.30 ** 3.5 2.8 2.26 ** Keterangan : tn =tidak nyata, **=nyata pada taraf 1%
82.7
75.6
31.6 3.9
31.1 3.3
Hasil uji kontras ortogonal (Tabel 34) menunjukkan bahwa semua karakter agronomi dari famili galur IPB 116 berbeda nyata dengan famili galur IPB 115 pada lokasi pengujian Sesean. Untuk lokasi Rantepao, karakter jumlah malai, persentase gabah bernas, panjang malai dan produksi GKG famili galur IPB 116 berbeda nyata dengan famili galur IPB 115.
Hasil ini menunjukkan bahwa
keragaan famili galur IPB 115 lebih baik dibandingkan dengan famili galur IPB 116 yang disebabkan oleh umur yang lebih genjah, malai yang lebih banyak dan lebih panjang, bobot 1000 butir yang lebih tinggi walaupun persentase gabah bernas 4% lebih rendah.
107
Tabel 34 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 116 dengan famili galur IPB 115 pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata KT Rata-rata IPB116 IPB115 IPB116 IPB115 12.15 * 127.7 125.9 15.00 tn 119.1 117.1 40.02 ** 15.1 20.1 40.02 ** 14.7 17.9
Umur panen Jumlah malai Bobot 1000 4.52 27.1 28.2 0.22 tn 31.5 butir * Persentase 62.62 68.4 64.3 65.93 * 75.6 gabah bernas * Panjang malai 25.35 ** 26.1 28.7 30.82 ** 31.1 Produksi GKG 1.59 ** 2.8 3.5 2.22 ** 3.3 Keterangan : tn =tidak nyata, *=nyata pada taraf 5%, **=nyata pada taraf 1%
31.7 71.4 33.9 4.1
Hasil uji kontras ortogonal (Tabel 35) menunjukkan bahwa karakter agronomi kecuali panjang malai dari famili galur IPB 117 berbeda nyata dengan famili galur IPB 149 pada lokasi pengujian Sesean. Untuk lokasi Rantepao, semua karakter famili galur IPB 117 berbeda nyata dengan famili galur IPB 149. Produksi GKG pada famili galur IPB 117 lebih tinggi dibandingkan dengan famili galur IPB 149 akibat umur panen yang lebih genjah dan persentase gabah bernas yang lebih tinggi walaupun jumlah malai galur IPB 149 lebih banyak dan bobot 1000 butir yang lebih tinggi. Tabel 35 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 117 dengan famili galur IPB 149 pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata KT Rata-rata IPB117 IPB149 IPB117 IPB149 43.80 ** 124.3 127.3 36.85 * 114.6 117.4 170.41 ** 10.6 16.1 261.08 ** 10.7 18.1
Umur panen Jumlah malai Bobot 1000 13.53 26.4 28.0 15.34 ** 29.9 butir ** Persentase 211.50 77.7 71.1 114.29 ** 64.3 gabah bernas ** Panjang malai 1.72 tn 26.6 27.2 9.63 * 31.6 Produksi GKG 3.64 ** 3.5 2.6 3.19 ** 3.9 Keterangan : tn =tidak nyata, *=nyata pada taraf 5%, **=nyata pada taraf 1%
31.7 77.9 33.0 3.1
Hasil uji kontras ortogonal (Tabel 36) menunjukkan bahwa karakter umur panen, jumlah malai, bobot 1000 butir gabah dan persentase gabah bernas famili
108
galur IPB 117 hasil seleksi dari Toraja berbeda nyata dengan famili galur IPB 117 hasil seleksi dari Bogor pada lokasi pengujian Sesean. Untuk lokasi Rantepao, karakter jumlah malai, bobot 1000 butir gabah dan persentase gabah bernas famili galur IPB 117 hasil seleksi dari Toraja berbeda nyata dengan famili galur IPB 117 hasil seleksi dari Bogor. Produksi GKG famili galur IPB 117 hasil seleksi dari Bogor relatif sama dengan famili galur IPB 117 hasil seleksi dari Toraja sekalipun umur panen dan persentase gabah bernas famili galur IPB 117 hasil seleksi dari Toraja lebih baik dibandingkan dengan famili galur IPB 117 hasil seleksi dari Bogor. Tabel 36 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 117 seleksi Toraja dengan famili galur IPB 117 seleksi Bogor pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) KT Rata-rata
Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata
IPB117 IPB117 (Toraja) (Bogor)
Umur panen Jumlah malai Bobot 1000 butir
21.76 ** 77.47 ** 12.97 **
124.1 10.6 26.2
128.0 10.3 29.2
IPB117 IPB117 (Toraja) (Bogor)
21.76 tn 63.34 ** 22.61 **
Persentase 106.14 78.2 69.6 138.97 ** gabah bernas ** Panjang malai 0.94 tn 26.5 27.3 3.21 tn Produksi GKG 0.01 tn 3.5 3.5 0.03 tn Keterangan : tn =tidak nyata, **=nyata pada taraf 1%
114.4 10.3 29.7
118.3 17.0 33.7
83.4
73.4
31.5 4.9
33.0 4.0
Hasil uji kontras ortogonal (Tabel 37) menunjukkan bahwa karakter jumlah malai, persentase gabah bernas, panjang malai dan produksi GKG famili galur IPB 115 hasil seleksi dari Toraja berbeda nyata dengan famili galur IPB 115 hasil seleksi dari Toraja pada lokasi pengujian Sesean. Untuk lokasi Rantepao karakter jumlah malai, bobot 1000 butir gabah, panjang malai dan produksi GKG famili galur IPB 115 hasil seleksi dari Toraja berbeda nyata dengan famili galur IPB 115 hasil seleksi dari Bogor. Produksi GKG famili galur IPB 115 hasil seleksi dari Bogor lebih tinggi dibandingkan dengan famili galur IPB 115 hasil seleksi dari Toraja disebabkan jumlah malai lebih banyak, bobot 1000 butir lebih tinggi, dan malai yang lebih panjang.
109
Tabel 37 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 115 seleksi Toraja dengan famili galur IPB 115 seleksi Bogor pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) KT Rata-rata
Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata
IPB115 IPB115 (Toraja) (Bogor)
IPB115 IPB115 (Toraja) (Bogor)
Umur panen 0.94 tn 125.5 126.2 1.61 Jumlah malai 301.61 ** 17.5 22.7 301.61 Bobot 1000 3.19 27.4 28.7 17.79 butir tn Persentase 148.68 69.7 60.7 33.79 gabah bernas ** Panjang malai 28.80 ** 26.3 30.3 43.02 Produksi GKG 9.48 ** 2.1 4.4 12.75 Keterangan : tn =tidak nyata, **=nyata pada taraf 1%
tn **
116.5 10.2
117.4 23.1
**
29.9
33.0
tn
74.0
69.7
** **
31.0 2.5
35.9 5.1
Hasil uji kontras ortogonal (Tabel 38) menunjukkan bahwa karakter jumlah malai, persentase gabah bernas dan produksi GKG famili galur IPB 116 hasil seleksi dari Toraja berbeda nyata dengan famili galur IPB 116 hasil seleksi dari Toraja pada lokasi pengujian Sesean.
Untuk lokasi Rantepao, karakter
jumlah malai, bobot 1000 butir gabah, persentase gabah bernas, panjang malai dan produksi GKG famili galur IPB 116 hasil seleksi dari Toraja berbeda nyata dengan famili galur IPB 116 hasil seleksi dari Bogor. Produksi GKG famili galur IPB 116 hasil seleksi dari Toraja lebih tinggi dibandingkan dengan famili galur IPB 116 hasil seleksi dari Bogor karena persentase gabah bernas yang relatif lebih tinggi. Tabel 38 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 116 seleksi Toraja dengan famili galur IPB 116 seleksi Bogor pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) KT Rata-rata IPB116 IPB116 (Toraja) (Bogor)
Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata IPB116 IPB116 (Toraja) (Bogor)
Umur panen 0.27 tn 127.5 127.9 4.05 tn 118.2 119.7 Jumlah malai 101.25 ** 14.5 15.6 101.25 ** 10.2 17.7 Bobot 1000 2.76 26.3 27.6 8.73 ** 30.2 32.4 butir tn Persentase 522.72 78.6 61.6 301.45 ** 83.4 70.5 gabah bernas ** Panjang malai 2.01 tn 25.5 26.6 9.80 * 29.7 32.0 Produksi GKG 0.16 * 3.0 2.7 0.18 * 3.5 3.2 Keterangan : tn =tidak nyata, *=nyata pada taraf 5%, **=nyata pada taraf 1%
110
Hasil uji kontras ortogonal (Tabel 39) menunjukkan bahwa karakter jumlah malai dan persentase gabah bernas famili galur IPB 149 hasil seleksi dari Toraja berbeda nyata dengan famili galur IPB 149 hasil seleksi dari Toraja pada lokasi pengujian Sesean. Untuk lokasi Rantepao, karakter bobot 1000 butir gabah dan persentase gabah bernas famili galur IPB 149 hasil seleksi dari Toraja berbeda nyata dengan famili galur IPB 149 hasil seleksi dari Bogor. Produksi GKG famili galur IPB 149 hasil seleksi dari Toraja relatif sama dengan famili galur IPB 149 hasil seleksi dari Bogor. Tabel 39 Uji kontras ortogonal antara famili galur IPB 149 seleksi Toraja dengan famili galur IPB 149 seleksi Bogor pada lokasi Sesean dan Rantepao Karakter seleksi
Sesean (1500 m dpl.) KT Rata-rata
Rantepao (750 m dpl.) KT Rata-rata
IPB149 IPB149 (Toraja) (Bogor)
IPB149 IPB149 (Toraja) (Bogor)
Umur panen 0.67 tn 123.3 128.7 2.04 tn 113.0 118.9 Jumlah malai 10.67 * 22.3 14.0 0.38 tn 9.3 21.0 Bobot 1000 2.77 29.5 27.6 4.17 * 33.1 31.2 butir tn Persentase 247.71 81.6 67.5 138.74 ** 89.0 74.1 gabah bernas ** Panjang malai 4.17 tn 29.3 26.4 6.00 tn 34.3 32.6 Produksi GKG 0.02 tn 2.4 2.7 0.02 tn 3.1 3.1 Keterangan : tn =tidak nyata, *=nyata pada taraf 5%, **=nyata pada taraf 1% Interaksi Genotipe dan Lingkungan
Keragaan karakter agronomi dari 30 galur yang diuji pada lokasi Sesean dan Rantepao (Tabel 40 dan Tabel 41) menunjukkan bahwa umur panen semua galur yang diuji lebih genjah dibanding Pulu’ Mandoti. Namun demikian, hanya 4 galur yang lebih genjah dibanding Fatmawati yaitu IPB117-E-RP-16-1, IPB117E-RP-2-1, IPB117-E-RP-35-1 dan IPB117-E-RP-36-1.
Galur-galur tersebut
semuanya merupakan hasil seleksi dari Rantepao. Galur-galur hasil seleksi dari Bogor yaitu IPB115-E-51-1, IPB115-E-52-1, IPB115-E-53-1, dan IPB117-E-16-1, serta galur-galur hasil seleksi dari Toraja yaitu IPB117-E-RP-1-1, IPB117-E-RP-10-1, IPB117-E-RP-2-1, IPB117-E-RP-31,
IPB117-E-RP-5-1,
IPB117-E-RP-6-1,
dan
IPB117-E-RP-7-1,
mampu
111
memberikan hasil gabah yang melebihi kultivar pembanding Fatmawati dan Pulu’ Mandoti. Produksi tertinggi dicapai pada galur IPB 117-E-RP-2-1 dan IPB 117E-RP-10-1 yang dievaluasi di Rantepao dengan hasil rata-rata 5-6 ton GKG/ha melebihi produksi kultivar pembanding Fatmawati (3.6 ton/ha) dan Pulu’ Mandoti (3.4 ton/ha). Hasil ini dimungkinkan karena galur-galur tersebut telah mewarisi sifat adaptasi di dataran tinggi dari tetua lokal dan sifat produksi tinggi dari varietas unggul baru. Uji t terhadap rata-rata setiap peubah antara lokasi Rantepao dan Sesean menunjukkan bahwa rata-rata umur panen di lokasi Rantepao berbeda nyata dengan umur panen di lokasi Sesean untuk semua genotipe yang diuji, demikian juga dengan bobot 1000 butir gabah isi dan panjang malai, sedangkan jumlah malai, persentase gabah bernas per malai, dan produksi GKG, umumnya lebih baik pada lokasi Rantepao dibandingkan dengan pada lokasi Sesean, tetapi perbedaannya tidak nyata. Hal ini disebabkan beberapa galur yang diuji kurang mampu beradaptasi pada kondisi cekaman suhu rendah sepanjang tahun di lokasi Sesean yang berada pada ketinggian tempat 1500 m di atas permukaan laut dengan kisaran suhu 13oC sampai dengan 19 oC, sementara itu untuk lokasi Rantepao yang berada pada ketinggian tempat 750 m dpl. dengan suhu berkisar antara 19 oC sampai dengan 25 oC masih lebih tinggi dari suhu kritis untuk pertumbuhan dan produksi tanaman. Menurut Lee (2001), temperatur kritis untuk tanaman padi biasanya di bawah 20 oC dan bervariasi menurut fase pertumbuhan. Pada stadia vegetatif tanaman padi, temperatur yang lebih rendah dari 15oC mengurangi tinggi tanaman, pertumbuhan akar, dan berat kering tanaman. Gunawardena (2003) melaporkan bahwa jenis Japonica lebih toleran terhadap suhu rendah dibandingkan dengan Indica, yang memerlukan suhu 2.5oC – 3.0 oC lebih tinggi dibandingkan dengan Japonica. Lee et al. (1987) melaporkan bahwa pada kondisi stres suhu rendah, persentase gabah bernas per malai lebih tinggi pada padi tipe Japonica dibandingkan dengan Indica. Selama stadia generatif, masa bunting merupakan fase yang paling sensitif terhadap suhu rendah, terutama 10 hari sebelum munculnya malai. Suhu rendah berpengaruh terhadap fase mikrospora, terutama 10 hingga 11 hari sebelum munculnya malai.
112
Suhu rendah selama perkembangan mikrospora menyebabkan sterilitas jantan sehingga mempengaruhi perkembangan polen (Sasaki 1982). Pada fase perkembangan reproduktif padi, yaitu periode 10–12 hari sebelum heading sangat sensitif terhadap cekaman suhu rendah. Sterilitas yang disebabkan oleh suhu rendah tergantung pada fase perkembangan dan lamanya malai mengalami suhu rendah (Shimono et al. 2001) Jumlah malai per rumpun yang diperoleh dari pengujian di Rantepao lebih banyak dibandingkan dengan jumlah malai per rumpun yang diperoleh dari pengujian di Sesean.
Bobot 1000 butir relatif sama di kedua lingkungan
pengujian. Ini berarti bahwa bobot 1000 butir tidak banyak berubah jika ditanam di lingkungan yang berbeda. Dengan kata lain, pengaruh faktor lingkungan terhadap karakter ini sangat kecil dibandingkan dengan faktor genetiknya. Persentase gabah bernas galur-galur yang diuji umumnya melebihi persentase gabah bernas genotipe pembanding Fatmawati tetapi lebih rendah dari Pulu’ Mandoti.
Hal ini disebabkan oleh
cekaman suhu rendah yang terjadi pada fase sensitif tanaman terutama pada fase penyerbukan dan pengisian biji. Antesis merupakan periode sensitif terhadap cekaman suhu rendah karena suhu rendah dapat menghambat jumlah serbuk sari yang diterima oleh putik. Jika tanaman padi diperhadapkan pada suhu yang berbeda selama perkembangan mikrospora, sterilitas malai berkorelasi negatif dengan panjang anther dan jumlah serbuk sari (Nishiyama 1992). Suhu rendah selama fase reproduktif mengurangi jumlah serbuk sari per anther di bawah level kritis yang dibutuhkan untuk penyerbukan efektif pada tanaman menyerbuk sendiri, akibat berkurangnya asimilat yang tersedia untuk perkembangan mikrospora (Gunawardena et al. 2005).
113
Tabel 40 Nilai rata-rata karakter umur panen, jumlah malai dan bobot 1000 butir dari 30 galur yang diuji pada lokasi Sesean dan Rantepao
Genotipe
Umur panen (hari) SS RP X
Jumlah malai SS
RP
X
IPB115-E- 51-1 125 117 121.0 21.7+ 21.3+ 21.5 IPB115-E- 52-1 126 115 120.5 23.7+ 23.3+ 23.5 IPB115-E- 53-1 128 121 124.2 25.0+ 24.7+ 24.9 IPB115-E-RP-2-1 128 118 123.0 10.0 9.7 9.9 IPB115-E-RP-6-1 123 115 119.0 11.0 10.7 10.9 IPB116-E- 2-1 131 121 125.8 14.3+ 14.0 14.2 IPB116-E- 6-1 123 113 118.3 21.3+ 21.0+ 21.2 IPB116-E- 8-1 129 125 127.2 18.3+ 18.0 18.2 IPB116-E-RP-21-1 128 120 124.0 10.7 10.3 10.5 IPB116-E-RP-33-1 127 116 121.7 10.3 10.0 10.2 IPB117-E-16-1 128 118 123.2 17.3+ 17.0 17.2 IPB117-E-RP-1-1 123 113 117.7 12.3 12.0 12.2 IPB117-E-RP-10-1 129 116 122.7 12.7 12.3 12.5 IPB117-E-RP-11-1 124 113 118.7 9.0 8.7 8.9 IPB117-E-RP-12-1 128 126 127.0 8.3 8.0 8.2 IPB117-E-RP-16-1 122+ 112 117.3 10.3 10.0 10.2 IPB117-E-RP-2-1 121+ 115 117.8 15.3+ 15.0 15.2 IPB117-E-RP-22-1 125 115 119.7 9.7 9.3 9.5 IPB117-E-RP-3-1 123 114 118.2 12.3+ 12.7 12.5 IPB117-E-RP-35-1 123 111+ 116.8 8.7 9.0 8.9 IPB117-E-RP-36-1 119+ 109+ 114.3 7.0 7.3 7.2 IPB117-E-RP-4-1 124 113 118.7 11.3 11.7 11.5 IPB117-E-RP-48-1 125 115 120.0 8.3 8.7 8.5 IPB117-E-RP-5-1 127 117 122.0 9.7 11.7 10.7 IPB117-E-RP-6-1 125 115 119.7 7.0 8.7 7.9 IPB117-E-RP-7-1 123 113 118.0 6.7 9.3 8.0 IPB149-E-6-1 127 118 122.7 14.0+ 14.7 14.4 IPB149-E-10-1 128 118 123.0 21.3+ 22.0+ 21.7 IPB149-E-18-1 131 121 125.7 22.3+ 26.3+ 24.3 IPB149-E-RP-7-1 123 113 118.2 7.7 9.3 8.5 117.5 Fatmawati 123 112 13.3 18.3 15.8 168.5 P. Mandoti 175 162 11.0 12.2 11.6 122.0 13.0 14.0 13.5 Rata-rata 127 117 38.62 11.57 S2 gabungan -0.05tn 3.214* t hitung += melebihi kedua genotipe pembanding, tn =tidak nyata, P>0.05;*
Bobot 1000 Butir (g) SS
RP
X
29.5 28.2 28.4 27.0 27.8 27.8 28.0 26.9 24.7 26.7 29.2 24.7 26.1 23.8 23.5 25.4 28.9 24.9 28.2 24.9 24.8 26.4 24.5 26.6 29.2 25.4 26.0 28.7 28.0 29.5 27.5 31.2 27.0
33.3+ 33.6+ 32.9+ 27.9 31.9 32.8 32.4+ 31.9 28.8 31.6 33.7+ 28.7 30.4 27.8 27.1 29.9 34.1+ 29.2 32.8+ 27.0 28.8 31.2 28.2 29.1 32.6+ 29.0 29.4 32.3 31.9 33.1+ 30.0 32.3 31.0 3.95 -3.93*
31.4 30.9 30.7 27.5 29.9 30.3 30.2 29.4 26.8 29.2 31.5 26.7 28.3 25.8 25.3 27.7 31.5 27.1 30.5 26.0 26.8 28.8 26.4 27.9 30.9 27.2 27.7 30.5 30.0 31.3 28.8 31.8 29.0
= nyata P<0.05 ;
SS= Sesean; RP= Rantepao
114
Tabel 41 Nilai rata-rata karakter panjang malai, persentase gabah bernas dan produksi GKG 30 galur yang diuji pada lokasi Sesean dan Rantepao
Genotipe
Panjang malai (cm) SS RP X
Persentase gabah bernas (%) SS
RP
X
IPB115-E- 51-1 32.3+ 38.7+ 35.5 61.0 71.5 66.3 IPB115-E- 52-1 30.3+ 35.7+ 33.0 61.7 70.5 66.1 IPB115-E- 53-1 28.3 33.3+ 30.8 59.3 67.1 63.2 IPB115-E-RP-2-1 25.3 29.3 27.3 60.2 62.6 61.4 IPB115-E-RP-6-1 27.3 32.7 30.0 79.3 85.5 82.4 IPB116-E- 2-1 28.0 34.3 31.2 59.8 64.4 62.1 IPB116-E- 6-1 24.7 28.0 26.4 59.6 71.3 65.4 IPB116-E- 8-1 27.0 33.7+ 30.4 65.3 75.6 70.5 IPB116-E-RP-21-1 25.7 29.7 27.7 76.7 81.5 79.1 IPB116-E-RP-33-1 25.3 29.7 27.5 80.5 85.3 82.9 IPB117-E-16-1 27.3 33.0+ 30.2 69.6 73.4 71.5 IPB117-E-RP-1-1 28.0 30.3 29.2 75.9 80.2 78.1 IPB117-E-RP-10-1 25.7 31.0 28.4 83.4 86.8 85.1 IPB117-E-RP-11-1 28.0 33.3+ 30.7 73.8 79.3 76.5 IPB117-E-RP-12-1 25.3 27.3 26.3 81.2 85.1 83.1 IPB117-E-RP-16-1 28.3 35.0+ 31.7 75.0 80.4 77.7 IPB117-E-RP-2-1 27.7 32.7+ 30.2 80.2 85.2 82.7 IPB117-E-RP-22-1 25.7 29.3 27.5 75.2 82.8 79.0 IPB117-E-RP-3-1 23.7 29.0 26.4 79.2 84.4 81.8 IPB117-E-RP-35-1 27.7 32.7+ 30.2 75.7 79.4 77.6 IPB117-E-RP-36-1 26.3 31.7 29.0 79.9 86.0 83.0 IPB117-E-RP-4-1 25.0 29.7 27.4 77.7 86.3 82.0 IPB117-E-RP-48-1 28.0 34.0+ 31.0 80.0 84.6 82.3 IPB117-E-RP-5-1 26.7 33.0+ 29.9 75.5 80.4 77.9 IPB117-E-RP-6-1 27.1 33.7+ 30.4 81.2 85.3 83.3 IPB117-E-RP-7-1 24.7 29.7 27.2 79.7 84.1 81.9 IPB149-E-6-1 26.7 33.0+ 29.9 66.7 77.3 72.0 IPB149-E-10-1 26.0 31.0 28.5 62.6 68.8 65.7 IPB149-E-18-1 26.7 33.7+ 30.2 73.3 76.3 74.8 IPB149-E-RP-7-1 29.3 34.3+ 31.8 81.6 89.0 85.3 76.8 Fatmawati 29.3 31.7 30.5 73.8 79.9 92.7 P. Mandoti 25.3 26.4 25.9 92.3 93.1 76.8 Rata-rata 27.0 31.9 29.4 74.4 79.3 4.77 21.56 S2 gabungan -4.17* -0.94 tn t hitung += melebihi kedua genotipe pembanding, tn =tidak nyata, P>0.05;*
Produksi GKG (ton/ha) SS
RP
X
4.7+ 3.6+ 5.0+ 1.7 2.5 2.6 2.3 3.3 3.4 2.6 3.5+ 4.2+ 5.3+ 2.9 4.5+ 1.9 5.3+ 1.8 4.9+ 2.1 2.2 1.7 1.7 4.3+ 4.9+ 4.3+ 2.8 2.5 2.7 2.4
5.5+ 4.1+ 5.8+ 1.7 3.2 3.2 2.6 3.7 3.8 3.1 4.0+ 5.0+ 6.1+ 3.2 5.1+ 2.2 6.3+ 2.0 5.6+ 2.3 2.1 1.8 2.0 4.6+ 5.5+ 4.9+ 3.2 3.1 3.0 3.1
5.1 3.8 5.4 1.7 2.9 2.9 2.5 3.5 3.6 2.9 3.8 4.6 5.7 3.1 4.8 2.0 5.8 1.9 5.2 2.2 2.1 1.8 1.9 4.4 5.2 4.6 3.0 2.8 2.9 2.7
3.4 3.2 3.3
3.8 3.5 3.8 2.11 -0.99 tn
3.6 3.4 3.5
= nyata P<0.05 ;
SS= Sesean; RP= Rantepao Melalui proses seleksi terpilih 6 galur harapan dengan hasil terbaik yaitu IPB115-E-51-1, IPB117-E-RP-2-1, IPB115-E-53-1, IPB117-E-RP-3-1, IPB117E-RP-10-1 dan IPB117-E-RP-6-1. Berdasarkan indeks seleksi terboboti terpilih 4 115
galur harapan yaitu IPB115-E-52-1, IPB116-E-8-1, IPB117-E-RP-5-1 dan IPB116-E-RP-33-1 (Tabel 42). Galur-galur ini diharapkan menjadi galur harapan yang toleran terhadap cekaman suhu rendah di dataran tinggi dan akan diuji lebih lanjut untuk merakit varietas yang spesifik untuk ekosistem dataran tinggi. Tabel 42 Rata-rata produksi galur-galur terpilih berdasarkan indeks seleksi terboboti dan seleksi berdasarkan produksi Lokasi seleksi Bogor
Toraja
Nomor galur IPB115-E- 51-1 IPB115-E- 53-1 IPB115-E- 52-1 IPB116-E- 8-1 IPB117-E-RP-3-1 IPB117-E-RP-10-1 IPB117-E-RP-6-1 IPB117-E-RP-2-1 IPB117-E-RP-5-1 IPB116-E-RP-33-1
Metode seleksi Produksi Produksi WINDEX WINDEX Produksi Produksi Produksi Produksi WINDEX WINDEX
Produksi GKG (ton/ha) 5.1 5.4 3.8 3.5 5.2 5.7 5.2 5.8 4.4 2.9
Keterangan wangi
wangi wangi wangi
SIMPULAN Terdapat keragaman yang besar pada sejumlah galur yang diuji pada dua level ketinggian tempat. Interaksi genotipe dan lingkungan tidak berpengaruh terhadap semua karakter yang diuji.
Galur-galur yang diseleksi mempunyai
keragaan yang lebih baik dibandingkan dengan genotipe pembanding. Galur-galur hasil seleksi dari Toraja memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan galur-galur hasil seleksi dari Bogor. Produksi famili galur IPB 117 lebih tinggi dibandingkan dengan produksi famili galur IPB 115, IPB 116 dan IPB 149. Seleksi berdasarkan karakter umur panen, jumlah malai, bobot 1000 butir, persentase gabah bernas, panjang malai dan produksi GKG dapat dilakukan sama baiknya di kedua lokasi pengujian. Seleksi berdasarkan produksi terpilih 6 galur harapan PTB dataran tinggi yaitu IPB115-E-51-1, IPB117-E-RP-2-1, IPB115-E53-1, IPB117-E-RP-3-1 IPB117-E-RP-10-1 dan IPB117-E-RP-6-1 dengan produksi berturut-turut 5.1, 5.8, 5.4, 5.2, 5.7 dan 5.2 ton GKG/ha lebih tinggi dibandingkan dengan produksi varietas lokal Pulu’ Mandoti (3.4 ton GKG/ha) dan 116
Fatmawati (3.6 ton GKG/ha). Berdasarkan indeks seleksi terboboti diperoleh 4 galur harapan PTB spesifik ekosistem dataran tinggi yaitu IPB115-E-52-1, IPB116-E-8-1, IPB117-E-RP-5-1 dan IPB116-E-RP-33-1 dengan produksi berturut-turut 3.8, 3.5, 4.4 dan 2.9 ton GKG/ha. Semua galur terpilih lebih genjah dibandingkan dengan varietas lokal.
Galur IPB 116-E-RP-33-1 memberikan
produksi yang lebih rendah dari pada varietas pembanding namun pemilihan galur tersebut didasarkan pada adanya karakter khusus untuk sifat adaptasi lokal yakni adanya bulu pada gabah, aromatik, dan kerontokannya sulit namun umurnya genjah sehingga sesuai untuk dijadikan sebagai padi ikat yang berumur genjah.
117
PEMBAHASAN UMUM Pada dasarnya program pemuliaan tanaman padi tipe baru diarahkan untuk mendapatkan genotipe yang mempunyai potensi hasil tinggi, malai lebat, jumlah anakan produktif lebih dari 10 dengan pertumbuhan serempak, tanaman pendek (+ 90 cm), bentuk daun lebih efisien, hijau tua, senescense lambat, tahan rebah, perakaran kuat, batang lurus, tegak, besar dan berwarna hijau gelap, kehampaan gabah rendah, berumur genjah (100 – 130 hari), beradaptasi pada kondisi musim yang berbeda, indeks panen mencapai 0.60 dan efektif dalam translokasi fotosintat (Khush 1996). Karakter PTB yang masih perlu diperbaiki adalah persentase gabah bernas, rasa nasi, aroma serta kemampuan berproduksi maksimal pada kondisi lingkungan bercekaman, termasuk kemampuan beradaptasi pada lingkungan bercekaman suhu rendah di dataran tinggi. Untuk merakit genotipe padi tipe baru yang mampu beradaptasi di lingkungan dataran tinggi dan tetap memiliki karakteristik PTB, diperlukan informasi tentang respon genotipe tetua terhadap pemupukan nitrogen di dataran tinggi, hubungan antara karakter adaptasi suhu rendah dengan produksi, pola pewarisan sifat adaptasi padi sawah terhadap cekaman suhu rendah, metode seleksi dan strategi evaluasi galur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis nitrogen, genotipe dan interaksinya memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase gabah bernas dan produksi GKG pada kondisi cekaman suhu rendah. Pengaruh nitrogen dan interaksi nitrogen dan genotipe terutama disebabkan oleh perbedaan respon pada setiap genotipe yaitu respon linear negatif pada Pulu’ Mandoti dan respon linear positif pada genotipe lainnya. Genotipe Fatmawati, Gilirang dan Sintanur memberikan persentase gabah bernas dan produksi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan kelompok genotipe toleran. Pada kondisi cekaman suhu rendah, hasil gabah pada kultivar yang sensitif terhadap cekaman suhu rendah berkurang dengan penambahan dosis N (Lee 2001; Gunawardena dan Fukay 2005). Suhu rendah selama perkembangan malai pada padi meningkatkan kehampaan malai dan efek suhu rendah tersebut diperburuk oleh aplikasi N (Gunawardena et al. 2005).
118
Analisis ortogonal polinomial terhadap karakter adaptasi suhu rendah dari 3 plasmanutfah lokal dataran tinggi dan 3 genotipe unggul baru, menunjukkan bahwa populasi tetua mempunyai keragaman yang besar pada semua karakter penciri suhu rendah dan mampu berproduksi optimal dengan dosis nitrogen yang rendah. Hal ini membuka peluang untuk merakit PTB dataran tinggi dengan memanfaatkan plasma nutfah padi lokal dan genotipe unggul baru sebagai tetua. Untuk mengetahui hubungan antara karakter seleksi dilakukan analisis korelasi antara karakter penciri suhu rendah dengan produksi GKG. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa karakter persentase polen fertil, umur berbunga dan persentase gabah bernas mampu menjelaskan 80–90% keragaman hasil, sedangkan panjang daun bendera hanya mampu menjelaskan keragaman hasil sebesar 50%. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter-karakter persentase polen fertil, umur berbunga dan persentase gabah bernas dapat dipakai sebagai karakter utama dalam proses seleksi untuk perakitan padi tipe baru spesifik ekosistem dataran tinggi. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai keragaman, hubungan antara karakter pertumbuhan, karakter hasil dengan produksi serta besarnya proporsi faktor genetik pada fenotipe F2 zuriat hasil persilangan, juga dilakukan analisis ragam, heritabilitas dan analisis korelasi berganda.
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa terdapat keragaman yang besar pada populasi F2 yang merupakan zuriat hasil persilangan dari tetua-tetua lokal dataran tinggi dan genotipe unggul baru. Keragaman yang ditampilkan oleh karakter pertumbuhan dan hasil tersebut merupakan sumbangan dari faktor genetik yang ditunjukkan oleh nilai heritabilitas arti luas yang berkisar antara sedang sampai tinggi. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa pada lingkungan bercekaman suhu rendah di Sesean, karakter-karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan, panjang malai, persentase gabah bernas dan bobot 1000 butir berkorelasi kuat dengan hasil gabah, sedangkan pada lingkungan optimal di Bogor, karakterkarakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan per rumpun, panjang malai dan bobot 1000 butir berkorelasi positif dan nyata dengan hasil. Sementara itu, karakter umur panen berkorelasi negatif dan nyata, sedangkan karakter persentase gabah bernas berkorelasi lemah dengan hasil.
119
Koefisien korelasi perlu diuraikan lebih lanjut menjadi pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung melalui karakter lainnya, mengingat adanya beberapa karakter yang tidak berkorelasi dengan hasil.
Hasil analisis lintas
menunjukkan bahwa pada lingkungan dengan cekaman suhu rendah di Sesean, pengaruh langsung yang tinggi terhadap hasil hanya terdapat pada persentase gabah bernas dengan nilai 0.71, sedangkan pengaruh karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, jumlah anakan dan panjang malai disalurkan melalui karakter bobot gabah bernas. Hal ini menunjukkan bahwa bobot gabah bernas berperan sangat penting terhadap produksi pada lingkungan dengan cekaman suhu rendah di dataran tinggi. Hasil ini memperkuat simpulan Heenan (1984) bahwa karakter utama yang dipengaruhi oleh cekaman suhu rendah pada fase reproduktif tanaman padi adalah sterilitas malai. Pada lingkungan optimal di Bogor, pengaruh langsung yang bernilai besar terdapat pada karakter panjang daun bendera jumlah anakan per rumpun dan panjang malai. Pengaruh langsung persentase gabah bernas bernilai kecil terhadap produksi.
Pengaruh karakter jumlah anakan
disalurkan melalui karakter panjang bulu, persentase gabah bernas dan bobot 1000 butir. Hal ini menunjukkan bahwa karakter-karakter utama yang menentukan hasil pada lingkungan tanpa cekaman suhu rendah adalah jumlah anakan per rumpun, panjang malai dan panjang daun bendera. Jika tanaman padi diperhadapkan pada kondisi suhu rendah selama perkembangan mikrospora, sterilitas malai berkorelasi negatif dengan panjang anther dan jumlah sebuk sari (Nishiyama 1992).
Sterilitas malai berkorelasi
negatif dan nyata dengan jumlah polen per anther pada periode awal perkembangan reproduktif (Gunawardena 2003). Untuk mempelajari pewarisan sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah, maka dibuat persilangan yang melibatkan tetua yang toleran terhadap cekaman suhu rendah yaitu Pulu’ Mandoti dan tetua yang peka yaitu Fatmawati. Penilaian tingkat toleransi berdasarkan pada komponen pertumbuhan dan komponen hasil. Berdasarkan uji kesamaan rata-rata populasi F1 dan F1 resiprok menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara populasi F1 dan F1 resiproknya. Hal ini menjelaskan bahwa gen yang mengendalikan karakter seleksi untuk sifat toleran terhadap cekaman suhu rendah tersebut terdapat pada gen-gen inti, dengan
120
demikian tidak ada pengaruh maternal pada semua karakter, sehingga karakterkarakter tersebut dapat dipakai untuk studi pewarisan sifat. Hasil studi pewarisan sifat dengan 6 generasi (P1, P2, F1, BCP1, BCP2 dan F2) mengindikasikan bahwa model genetik m [d] [h] paling sesuai untuk karakter yang diuji, kecuali pada umur berbunga dan bobot gabah, model yang sesuai adalah m[d][h][l]. Hal ini menunjukkan bahwa karakter-karakter aromatik, tinggi tanaman, panjang daun bendera, umur panen, panjang malai, panjang bulu, dan persentase gabah bernas dikendalikan oleh gen aditif-dominan, sedangkan umur berbunga dan bobot gabah bernas dikendalikan oleh gen aditif, dominan dan interaksi dominan x dominan. Shimono et al. (2007) melaporkan bahwa toleransi terhadap cekaman suhu rendah dikontrol oleh gen-gen aditif-dominan. Komponen aditif [d] memberikan sumbangan yang sangat nyata terhadap karakter aromatik, tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, panjang malai, persentase gabah bernas dan bobot gabah bernas, sehingga kegiatan seleksi untuk karakter-karakter ini sebaiknya dilakukan pada generasi lanjut.
Komponen
dominan [h] memberikan sumbangan yang sangat nyata terhadap karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, umur berbunga, umur panen, dan bobot gabah bernas. Komponen dominan x dominan [l] memberikan sumbangan yang sangat nyata pada umur berbunga dan bobot gabah bernas. Nishimura dan Hamamura (1993) melaporkan bahwa gen toleransi cekaman suhu rendah merupakan gen dominan lengkap di mana pewarisan sifat toleransi suhu rendah merupakan karakter kuantitatif.
Gen toleransi cekaman suhu rendah merupakan lewat
dominan (Shimono 2001). Pereira (1997) melaporkan bahwa pewarisan sifat toleransi terhadap cekaman suhu rendah adalah aditif dominan di mana gen pengendali terdapat di dalam inti. Pada tanaman padi gogo dengan cekaman aluminium dilaporkan juga bahwa sifat efisiensi N (Jagau 2000), efisiensi P (Swasti 2002), dan efisiensi K (Trikoesoemaningtyas 2002) dikendalikan tidak hanya oleh gen aditif-dominan tetapi juga oleh interaksi aditif x aditif dan dominan x dominan serta merupakan sifat kuantitatif yang dikendalikan oleh sekelompok gen pada inti dan pewarisannya tidak dipengaruhi oleh tetua betina.
121
Nilai heritabilitas arti luas (h2bs) berkisar antara sedang sampai tinggi yaitu 48% hingga 97%.
Nilai heritabilitas arti luas tertinggi diperoleh dari umur
berbunga yaitu 97% dan nilai heritabilitas arti luas paling rendah dicapai pada karakter panjang daun bendera yakni 48%. Nilai heritabilitas arti luas untuk karakter umur panen 95%, persentase bernas 88%, tinggi tanaman 87%, panjang bulu 75%, aromatik 73%, jumlah anakan dan bobot gabah bernas 59%, panjang malai 57% dan panjang daun bendera 48%. Sementara untuk heritabilitas arti sempit (h2ns) mempunyai nilai yang berkisar antara rendah sampai tinggi. Nilai heritabilitas arti sempit yang tinggi didapatkan pada umur berbunga 71%, umur panen 64%, persentase gabah bernas 63%, aromatik 57%, panjang malai 54%; nilai heritabilitas arti sempit yang sedang didapatkan pada bobot gabah bernas 45%, tinggi tanaman 38 %, jumlah anakan 30%, panjang bulu 24%, dan nilai heritabilitas yang rendah pada panjang daun bendera 15%. Nilai heritabilitas yang tinggi mengindikasikan karakter tersebut kurang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sehingga proses seleksi untuk karakter tersebut dapat dilakukan pada generasi awal.
Nilai heritabilitas yang rendah sampai sedang menunjukkan
penampilan karakter tersebut lebih dipengaruhi kondisi lingkungan, sehingga seleksi hanya akan efektif bila dilakukan pada generasi lanjut. Besarnya sumbangan ragam aditif terhadap ragam genetik dapat dilihat dari proporsi h2ns dengan h2bs. Jika nilai rasio h2ns dengan h2bs besar, berarti sumbangan ragam aditif terhadap faktor genetik lebih besar dibandingkan dengan ragam dominan. Rasio h2ns/h2bs yang bernilai cukup besar dicapai pada panjang malai, aromatik, bobot gabah bernas, umur berbunga dan persentase gabah bernas. Hal ini menunjukkan bahwa karakter-karakter tersebut lebih dikendalikan oleh gen aditif dibandingkan dengan gen dominan. Hasil ini sesuai dengan uji skala gabungan yang menunjukkan bahwa ragam genetik lebih dipengaruhi oleh ragam aditif. Menurut Falconer (1981), ragam aditif dapat difiksasi melalui seleksi. Seleksi terhadap karakter yang dikendalikan oleh banyak gen dengan ragam aditif tinggi dilakukan pada generasi lanjut, sehingga metode seleksi yang sesuai adalah metode bulk atau single seed descent. Derajat dominansi, √(H/D), menunjukkan peran gen dominan lebih besar dari gen aditif pada karakter tinggi tanaman, panjang daun bendera, umur panen,
122
jumlah anakan dan panjang bulu.
Tanda pada parameter F dapat digunakan
sebagai petunjuk distribusi dan arah alel dominan pada kedua tetua (Kearsey 1993). Jika nilai F positif maka alel dominan kebanyakan berada pada tetua P1, sebaliknya jika F negatif maka kebanyakan alel dominan terdapat pada tetua P2. Nilai F positif dicapai pada karakter aromatik, tinggi tanaman, panjang daun bendera, panjang bulu, jumlah anakan, panjang malai, persentase gabah bernas dan bobot gabah bernas menunjukkan bahwa untuk karakter-karakter tersebut, alel dominan terdapat pada tetua lokal Pulu’ Mandoti, sedangkan pada karakter umur berbunga, dan umur panen nilai F negatif, berarti gen dominan untuk sifat-sifat tersebut terdapat pada tetua Fatmawati. Berbagai metode seleksi dapat digunakan dalam program pemuliaan tanaman padi, namun perlu pula dipertimbangkan arah dan tujuan seleksi dilakukan. Jika seleksi hanya mempertimbangkan satu atau dua karakter saja digunakan seleksi tandem.
Namun demikian, seleksi ini kurang bermanfaat
apabila terdapat korelasi yang negatif antara karakter seleksi.
Berdasarkan
analisis korelasi dan analisis lintas bahwa terdapat hubungan yang negatif antara beberapa karakter seleksi.
Dengan demikian, pemilihan karakter seleksi
sebaiknya mempertimbangkan nilai ekonomi dari karakter yang akan digunakan dalam seleksi. Di samping itu, seleksi dapat juga dilakukan secara simultan, berdasarkan beberapa karakter sekaligus dengan weightedly standardized
selection index.
Metode seleksi ini lebih rumit pelaksanaannya tetapi dapat
bermanfaat untuk mencegah hilangnya karakter-karakter tertentu yang penting dari populasi seleksi. Seleksi terhadap 300 galur berdasarkan indeks seleksi terboboti dan berdasarkan produksi, terpilih 20 galur terbaik dari seleksi yang dilakukan di Rantepao yaitu IPB117-E-RP-1-1, IPB117-E-RP-10-1, IPB117-E-RP-11-1, IPB117-E-RP-12-1, IPB117-E-RP-16-1, IPB117-E-RP-2-1, IPB117-E-RP-22-1, IPB117-E-RP-3-1, IPB117-E-RP-35-1, IPB117-E-RP-36-1, IPB117-E-RP-4-1, IPB117-E-RP-48-1, IPB117-E-RP-5-1, IPB117-E-RP-6-1, IPB117-E-RP-7-1, IPB116-E-RP-21-1, IPB116-E-RP-33-1, IPB115-E-RP-2-1, IPB115-E-RP-6-1, dan IPB149-E-RP-7-1 dan 10 galur dari hasil seleksi yang dilakukan di Bogor yaitu IPB115-E- 51-1, IPB117-E-16-1, IPB115-E- 52-1, IPB115-E- 53-1, IPB116-
123
E- 2-1, IPB116-E- 6-1, IPB116-E- 8-1, IPB149-E-6-1, IPB149-E-10-1,
dan
IPB149-E-18-1. Galur-galur terpilih dari hasil seleksi di Rantepao didominasi oleh famili galur IPB117 yaitu galur-galur hasil persilangan dari tetua Fatmawati dan Pulu’ Mandoti, sedangkan untuk lokasi seleksi Bogor, galur terpilih didominasi oleh famili galur IPB115 yaitu galur-galur hasil persilangan dari tetua Fatmawati dan Lambau. Persentase gabah bernas pada semua galur yang diuji pada umumnya melebihi persentase gabah bernas pada Fatmawati, namun lebih rendah dibandingkan persentase gabah bernas genotipe lokal Pulu’ Mandoti. Hal ini disebabkan galur yang diuji belum mampu beradaptasi secara optimal pada lingkungan dataran tinggi dengan cekaman suhu rendah sehingga tingkat sterilitas polen dan gabah masih lebih tinggi dibandingkan dengan kultivar lokal yang telah beradaptasi dengan baik. Hasil ini memperkuat kesimpulan Nishiyama (1992) bahwa suhu rendah selama perkembangan mikrospora menyebabkan sterilitas jantan sehingga mempengaruhi perkembangan polen. Pada fase perkembangan reproduktif padi, yaitu periode 10–12 hari sebelum pembentukan malai sangat sensitif terhadap cekaman suhu rendah. Sterilitas yang disebabkan oleh suhu rendah tergantung pada fase perkembangan dan lamanya malai mengalami suhu rendah. Antesis merupakan periode sensitif terhadap cekaman suhu rendah, jika suhu rendah dapat menghambat jumlah serbuk sari yang diterima oleh putik. Jika tanaman padi diperhadapkan pada suhu yang berbeda selama perkembangan mikrospora, sterilitas malai akan berkorelasi negatif dengan panjang anther dan jumlah serbuk sari. Galur-galur yang terpilih berdasarkan indeks seleksi terboboti dan berdasarkan produksi baik yang diseleksi di lingkungan target (Toraja) maupun hasil seleksi dari lingkungan non target (Bogor) dievaluasi keragaannya pada dua lokasi target dengan intensitas cekaman suhu rendah yang berbeda.
Lokasi
Rantepao yang berada pada ketinggian tempat 750 m dpl. dan Sesean yang berada pada ketinggian tempat 1500 m dpl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter umur panen, persentase gabah bernas dan produksi sangat dipengaruhi oleh lokasi dan genotipe.
124
Berdasarkan sumbangan keragaman yang diberikan oleh masing-masing sumber keragaman terlihat bahwa pengaruh lokasi merupakan penyumbang terbesar, kemudian disusul oleh genotipe dan interaksi genotipe dan lingkungan. Secara umum keragaan genetik di lingkungan Rantepao lebih tinggi dibandingkan dengan di Sesean, sekalipun tidak terdapat interaksi antara genotipe dan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh tingginya intensitas cekaman suhu rendah di lokasi Sesean yang berada pada ketinggian tempat 1500 meter di atas permukaan laut dengan kisaran suhu 13oC sampai dengan 19 oC (Gambar 30 dan Lampiran 4). Dengan rumus yang dikemukakan oleh Uchijima (1976) dapat dihitung indeks pendinginan (cooling index) sebagai berikut : Q = (20 – θ0) N Di mana 20 = suhu kritis (oC) θ0 = suhu rata-rata harian N = jumlah hari dengan θ0≤ 20 Berdasarkan rumus tersebut, diperoleh nilai cooling index untuk Sesean sebesar 386 derajat hari dan Rantepao sebesar 87 derajat hari yang mengindikasikan bahwa tingkat cekaman suhu rendah yang dialami oleh tanaman di Sesean lebih tinggi dibandingkan dengan Rantepao sehingga persentase gabah hampa lebih tinggi.
Hasil ini memperkuat simpulan Yoshida (1981) bahwa
cooling index berkorelasi positif dengan tingkat kehampaan malai. Suhu yang rendah menyebabkan terganggunya keseimbangan proses metabolisme tanaman seperti respirasi, fotosintesis, translokasi fotosintat dan absorbsi hara. Menurut Lee (2001), temperatur kritis untuk tanaman padi adalah 20 oC dan bervariasi menurut fase pertumbuhan dan tingkat toleransi genotipe terhadap cekaman suhu rendah. Pada stadia vegetatif tanaman padi, temperatur yang lebih rendah dari 15oC mengurangi tinggi tanaman, pertumbuhan akar, dan berat kering tanaman. Nishiyama (1992) melaporkan bahwa temperatur kritis yang berpengaruh pada sterilitas bervariasi tergantung pada durasi cekaman suhu rendah, perbedaan suhu siang dan malam, kondisi lingkungan sebelum dan sesudah tahap kritis, metode dan jumlah pupuk yang diaplikasikan dan tingkat toleransi genotipe.
125
30
A
25
25
20
20 Suhu (oC)
Suhu (oC)
30
15 10
Tmin
B
15 10
Tmax T. Kritis
5
Tmin
5
Tma x T. Kr it is
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Bulan
Bulan
Gambar 30 Suhu maksimum dan minimum pada lokasi Rantepao (A) dan Sesean (B) untuk tahun 2007. Untuk memperoleh informasi mengenai keragaan galur-galur berdasarkan kombinasi tetua dan lingkungan seleksi dilakukan analisis ortogonal kontras. Uji F-kontras ortogonal menunjukkan bahwa galur-galur yang diuji memberikan keragaan yang melebihi genotipe pembanding, baik yang diuji di Rantepao maupun di Sesean. Keragaan karakter agronomi galur-galur hasil seleksi dari Toraja berbeda nyata dengan galur-galur hasil seleksi dari Bogor.
Karakter
persentase gabah bernas, umur panen dan produksi GKG galur-galur hasil seleksi dari Toraja lebih baik dibandingkan dengan galur-galur hasil seleksi dari Bogor. Keragaan karakter panjang malai dan jumlah malai galur-galur hasil seleksi dari Bogor lebih baik dibandingkan dengan galur-galur hasil seleksi dari Toraja. Hal ini mengindikasikan bahwa keragaan galur-galur yang diseleksi di lokasi target lebih baik dibandingkan dengan keragaan galur-galur hasil seleksi dari lokasi non target. Seleksi untuk adaptasi spesifik hanya dapat dilakukan pada lingkungan tertentu yang menjadi target pemuliaan, sehingga apabila varietas dengan daya adaptasi tinggi untuk lingkungan tersebut didapatkan, maka varietas tersebut umumnya kurang baik untuk lingkungan lainnya (Sobir 2005) Keragaan famili galur IPB 117 melebihi famili galur IPB 115, IPB 116 dan IPB 149 pada kedua lokasi pengujian.
Hal ini disebabkan tingginya
persentase gabah bernas pada famili galur IPB 117 yang merupakan zuriat dari kultivar lokal Pulu’ Mandoti. Diduga bahwa genotipe lokal Pulu’ Mandoti memiliki sifat toleran terhadap cekaman suhu rendah akibat adanya sifat-sifat 126
adaptasi fisiologis seperti komposisi membran sel yang didominasi oleh asam lemak tak jenuh.
Hasil ini sesuai dengan hasil percobaan respon genotipe
terhadap pemupukan nitrogen di dataran tinggi, di mana Pulu’ Mandoti memiliki keragaan agronomi yang melebihi genotipe lainnya.
Asam lemak tak jenuh
umumnya memiliki titik lebur yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak jenuh. Sebagai konsekuensinya, fosfolipid yang mengandung asam lemak jenuh lebih tinggi memiliki fase transisi suhu yang tinggi dibanding fosfolipid yang mengandung asam lemak jenuh yang lebih sedikit (Tajima et al. 1995). Pada kultivar yang toleran terhadap suhu rendah, 86% asam lemak bebas merupakan asam lemak tak jenuh di mana 71% berupa asam linolenik. Pada tanaman yang sensitif kandungan asam lemak tak jenuh hanya mencapai 31% dan sejumlah besar 9-oxo-nonanoic acid (Cattivelli et al. 1992). Keragaman
genetik
umumnya
lebih
besar
dibandingkan
dengan
keragaman lingkungan dan keragaman interaksi genetik dan lingkungan. Semua karakter yang diuji pada kedua lokasi memberikan proporsi nilai heritabilitas yang mendekati satu, sehingga seleksi berdasarkan karakter umur panen, jumlah malai, bobot 1000 butir, persentase gabah bernas, panjang malai dan produksi GKG dapat dilakukan sama baiknya di kedua lokasi pengujian. Nilai heritabilitas tidak memberikan gambaran kemajuan genetik yang sebenarnya mengenai yang diharapkan terjadi pada bahan genetik, tetapi dapat memberikan petunjuk sederhana tentang besar kecilnya pengaruh faktor genetik dan lingkungan terhadap suatu populasi (Dudley dan Moll 1969). Melalui proses seleksi terpilih 6 galur harapan dengan hasil terbaik yaitu IPB115-E-51-1, IPB117-E-RP-2-1, IPB115-E-53-1, IPB117-E-RP-3-1, IPB117E-RP-10-1 dan IPB117-E-RP-6-1. Berdasarkan indeks seleksi terboboti terpilih 4 galur harapan yaitu IPB115-E-52-1, IPB116-E-8-1, IPB117-E-RP-5-1 dan IPB116-E-RP-33-1. Galur IPB117-E-RP-3-1, IPB117-E-RP-6-1 dan IPB115-E52-1 merupakan galur-galur harapan wangi. Selain itu, semua galur yang diuji mempunyai kisaran umur panen 109–126 hari di Rantepao dan 119–131 hari di lokasi sesean. Hal ini memungkinkan untuk meningkatkan intensitas tanam dari satu kali per tahun menjadi 2 atau bahkan 3 kali per tahun. Dengan demikian produktivitas lahan per tahun dapat ditingkatkan dengan menanam galur harapan
127
IPB117-E-RP-2-1,
IPB117-E-RP-10-1,
IPB115-E-53-1,
IPB117-E-RP-6-1
berturut-turut dengan kontribusi peningkatan hasil sebesar 241%, 235%, 218%, 206% dan 206% dibandingkan dengan varietas lokal (Tabel 43). Selain itu galurgalur ini juga potensial untuk dibudidayakan di areal persawahan dataran tinggi maupun di daerah subtropis. Galur-galur ini diharapkan menjadi galur harapan yang toleran terhadap cekaman suhu rendah di dataran tinggi dan akan diuji lebih lanjut untuk merakit varietas yang spesifik untuk ekosistem dataran tinggi. Moeljopawiro (2002) menyatakan bahwa pemilihan karakter yang digunakan dalam seleksi harus didasarkan pada nilai ekonomi dari karakter tersebut. Tabel 43 Kontribusi peningkatan produksi galur-galur harapan dibandingkan dengan varietas lokal Nomor galur
Umur Panen (hari)
Intensitas Produksi tanam GKG per tahun (ton/ha)
Produksi per tahun (ton/ha)
Kenaikan Hasil (%)
IPB115-E- 51-1
121
2
5.1
10.2
200
IPB115-E- 53-1
124
2
5.4
10.8
218
IPB115-E- 52-1
121
2
3.8
7.6
124
IPB116-E- 8-1
127
2
3.5
7
106
IPB117-E-RP-3-1
118
2
5.2
10.4
206
IPB117-E-RP-10-1
123
2
5.7
11.4
235
IPB117-E-RP-6-1
120
2
5.2
10.4
206
IPB117-E-RP-2-1
118
2
5.8
11.6
241
IPB117-E-RP-5-1
122
2
4.4
8.8
159
IPB116-E-RP-33-1
122
2
2.9
5.8
71
Pulu’ Mandoti
168
1
3.4
3.4
-
128
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada kondisi cekaman suhu rendah, peningkatan dosis nitrogen menurunkan persentase gabah bernas dan produksi GKG untuk varietas lokal, sedangkan untuk varietas unggul baru, peningkatan dosis nitrogen tidak mempengaruhi persentase gabah bernas dan produksi GKG. Respon genotipe terhadap pemupukan nitrogen bersifat linear negatif pada kultivar lokal (Pulu’ Mandoti) dan linear positif pada kultivar unggul baru. Terdapat keragaman yang besar pada populasi F2 yang merupakan zuriat hasil persilangan dari tetua-tetua lokal dataran tinggi dan genotipe unggul baru. Nilai heritabilitas arti luas populasi F2 berkisar antara sedang sampai tinggi. Persentase polen fertil, umur berbunga dan persentase gabah bernas merupakan karakter utama dalam proses seleksi untuk perakitan padi tipe baru toleran suhu rendah pada ekosistem dataran tinggi, sedangkan pada lingkungan optimal karakter utama yang menentukan hasil adalah jumlah anakan per rumpun, panjang malai dan panjang daun bendera. Gen yang mengendalikan karakter seleksi untuk sifat toleran terhadap cekaman suhu rendah terdapat pada gen-gen inti dan pewarisannya tidak dipengaruhi tetua betina. Karakter-karakter aromatik, tinggi tanaman, panjang daun bendera, umur panen, panjang malai, panjang bulu, dan persentase gabah bernas dikendalikan oleh gen aditif dominan, sedangkan umur berbunga dan bobot gabah bernas dikendalikan oleh gen aditif, dominan dan interaksi dominan x dominan. Peran gen aditif lebih besar dibandingkan dengan peran gen dominan. Galur-galur yang terpilih dari seleksi yang dilakukan di dataran rendah (Bogor) berbeda dengan galur-galur hasil seleksi dari dataran tinggi (Toraja). Galur-galur unggul terpilih dari hasil seleksi di dataran tinggi banyak diperoleh dari famili IPB117 (Fatmawati x Pulu’ Mandoti), sedangkan galur unggul terpilih dari hasil seleksi di dataran rendah banyak diperoleh dari famili IPB115 (Fatmawati x Lambau). Galur-galur yang diuji pada lingkungan dataran tinggi memberikan keragaan yang melebihi kultivar lokal. Produksi GKG galur-galur hasil seleksi
129
dari dataran tinggi lebih baik dibandingkan dengan galur-galur hasil seleksi dari dataran rendah jika pengujian dilakukan di dataran tinggi.
Persentase gabah
bernas lebih tinggi dan umur panen lebih genjah diperoleh dari galur-galur hasil seleksi dari dataran tinggi (Toraja) dibandingkan dengan galur-galur hasil seleksi dari dataran rendah (Bogor). Karakter panjang malai dan jumlah malai galurgalur hasil seleksi dari Bogor lebih baik dibandingkan dengan galur-galur hasil seleksi dari Toraja. Seleksi berdasarkan karakter umur panen, jumlah malai, bobot 1000 butir, persentase gabah bernas, panjang malai dan produksi GKG dapat dilakukan sama baiknya di kedua lokasi pengujian. Keragaan galur-galur terpilih berdasarkan produksi berbeda dengan galur-galur terpilih berdasarkan indeks seleksi. Melalui proses seleksi dan pengujian terhadap 300 galur berdasarkan produksi diperoleh 6 galur harapan PTB dataran tinggi yaitu IPB115-E-51-1, IPB117-E-RP-2-1, IPB115-E-53-1, IPB117-E-RP-3-1, IPB117-E-RP-10-1 dan IPB117-E-RP-6-1 dengan produksi berturut-turut 5.1, 5.8, 5.4, 5.2, 5.7 dan 5.2 ton GKG/ha lebih tinggi dari produksi varietas lokal Pulu’ Mandoti (3.4 ton GKG/ha) dan Fatmawati (3.6 ton GKG/ha). Berdasarkan indeks seleksi terboboti diperoleh 4 galur harapan PTB spesifik ekosistem dataran tinggi yaitu IPB115-E-52-1, IPB116-E-8-1, IPB117-E-RP-5-1 dan IPB116-E-RP-33-1 dengan produksi berturut-turut 3.8, 3.5, 4.4 dan 2.9 ton GKG/ha. Semua galur terpilih lebih genjah dibandingkan dengan varietas lokal.
Saran
1. Dosis pupuk nitrogen maksimum untuk budidaya tanaman padi di dataran tinggi adalah 50 kg/ha. 2. Seleksi untuk perbaikan sifat padi spesifik ekosistem dataran tinggi sebaiknya dilakukan pada generasi lanjut dan dilakukan di lokasi target program pemuliaan. 3. Seleksi berdasarkan indeks sebaiknya melibatkan karakter tinggi tanaman, umur tanaman, bobot 1000 gabah, persentase gabah bernas dan produksi.
130
4. Pengujian keragaan galur pada ekosistem dataran tinggi (ketinggian tempat >700 m dpl.) dapat dilakukan pada salah satu level ketinggian tempat di dataran tinggi. 5. Perlu dilakukan pengujian multilokasi di beberapa areal persawahan dataran tinggi terhadap galur-galur harapan PTB yang terpilih untuk melengkapi data adaptabilitas dalam rangka memenuhi persyaratan pelepasan varietas.
131
DAFTAR PUSTAKA Abdullah B, Brar DS, Carpena AL. 2001. Introgression of biotic resistance genes from Oryza minuta J.S. Presl. Ex C.B. Presl. into new plant type of rice (O. sativa L). Bogor : Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Allard RW. 1960. Principles of Plant Breeding. New York: John Wiley and Sons Inc. Almekinders CJM, Elings A. 2001. Collaboration of farmers and breeders: Participatory crop improvement in perspective. Euphytica 122: 425–438. Apel K, Hirt H. 2004. Reactive oxygen species: metabolism, oxidative stress, and signal transduction. Annu Rev Plant Biol 55:373-379. Bahar H, Rusdi E, Zen S. 1998. Pendugaan kriteria seleksi padi sawah dataran tinggi. Zuriat 9:71 – 76. Barrel AK, Garside AL, Fukay S, Reid DJ. 1997. Seasons and plant type affect the response of rice yield to nitrogen fertilization in a semi arid tropical environment. Aust J Agr Res 49:179 – 180 [BPPP] Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Bank Pengetahuan Padi Indonesia. CD-ROM. Bogor: Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. BPS [Badan Pusat Statistik]. 2000. Statistik Indonesia 1999. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Baihaki A. 2000. Teknik Rancang dan Analisis Penelitian Pemuliaan [Diktat Kuliah]. Bandung: Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran. 91 hal. Baker RJ. 1997. Quantitative Genetics. University of Saskatchewan. Cattivelli L, Crosatti C, Grossi M, Murelli C, Rizza F, Stancab AM. 1992. Physiological and molecular response of barley to cold and drought stress. Italy: Instituto Sperimentale per la Cerealicoltura, Sezione di Fiorenzuola d’Arda. Cohen J. 2003. Applied multiple regression/correlation analysis for the behavioral sciences. New Jersey: Mahwah. Ceccarelli S. 1994. Specific adaptation and breeding for marginal condition. Euphytica 77:205 -219.
132
Crowder LV. 1988. Genetika Tumbuhan. Alih Bahasa: Kusdiarti L, Soetarso. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. DEPTAN [Departemen Pertanian]. 2003. Panduan sistem karakterisasi dan evaluasi tanaman padi. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Komisi Plasma Nutfah. DEPTAN [Departeman Pertanian]. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis padi. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Dewey DR, Lu KH. 1989. A correlation and path coefficient analysis of components of crested wheatgrass seed production. Agron J 51:515-518. Elings A, Almekinders CJM, Stam P. 2001. Introduction: Why focus the thinking on participatory plant breeding? Euphytica 122: 423–424. Falconer DS, Mackay TFC. 1996. Introduction to Quantitative Genetics (Ed 4). Harlow UK: Adison-Wesley Longman. FAOSTAT. 2007. Database. Food and Agriculture Organization of the United Nations. http://faostat.fao.org/site [13 Agustus 2008] Farrell TC, Fox KM, Williams RL, Fukai S, Reinke RF, Lewin LG. 2001. Temperature constraints to rice production in Australia and Laos: A shared problem. ACIAR Proceedings. Farrell TC, Fox KM, Williams RL, Fukai S. 2006. Genotypic variation for cold tolerance during reproductive development in rice: screening with cold air and cold water. Field Crop Res. 98: 178 – 194. Fehr WR. 1987. Principles of Cultivar Development. Vol 1. Technique. New York-London: Collier Macmillan Publ.
Theory and
Gaspersz V. 1989. Metode Perancangan Percobaan. Bandung: Armico. Gomez KA, Gomez AA. 1985. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Jakarta: Universitas Indonesia. 698 hal. Gravois KA, Helms RS. 1992. Path analysis of rice yield and yield components as affected by seeding rate. Agron J 84:1-4. Gunawardena, Fukai S, Blamey FPC. 2003. Low temperature induced spikelet sterility in rice. I. Nitrogen fertilization and sensitive reproductive period. Aust J Agric Res 54: 937 -947. Gunawardena, Fukai S. 2005. Low temperature induced spikelet sterility in rice. Aust J Agric Res 54(10): 947 – 956.
133
Heenan DP. 1984. Low temperature induced floret sterility in rice cultivars Calrose and Inga as influenced by N supply. Aust J Exp Agr 34:917-919. Hoshikawa K. 1993. Theory and practices of raising paddy rice seedlings for mechanized transplanting. Di dalam : Matsuo, Hoshikawa K, editor. Science of the Rice Plant (Morphology). Ed ke-1. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. Hue, H.
1978. Studies on physiological and ecological characteristics of indica/japonica rice varieties. Res Rep Agri 4:1 – 48.
IRRI. 1986. Rice Genetics. Proceedings of the International Rice Genetic Symposium. Philipines: IRRI. Ishii R. 1995. Protecting substances of enzyme. Di dalam: Matsuo T, Kumasawa K, Ishii R, Ishikara K, Hirata H, editor. Science of the Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo : Food and Agriculture Policy Research Center; 1995. hlm 534 -539 Jagau Y. 2000. Fisiologi dan pewarisan efisiensi nitrogen dalam keadaan tercekam aluminium pada padi gogo (Oryza sativa L) [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jena KK, Jeung JU. 2004. Evaluation and identification of cold tolerant rice genotypes by cold water irrigation stress. IRRN 29: 54 – 55. Johnson GR and Frey KJ. 1967. Heritabilities of quantitative attributes of oats (Avena sp.) at varying level of environmental stress. Crop Sci. 7:43-46 Jones DB, Synder GH. 1987. Seeding rate and row spacing effects on yield and yield component of ratoon rice. Agron J 79: 36-38. Jun BT, Kim JI, Cho SY. 1987. Studies on the inheritance of quantitative characters in rice. VIII. Analysis on the low temperature germination in diallel cross of F\2\ generation. Kor J Breed. 19:240-244. Kasno A. 1993. Pendugaan parameter genetik sifat-sifat kuantitatif kacang tanah (Arachis hypogaea L Merr.) pada beberapa lingkungan tumbuh dan penggunaannya dalam seleksi. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kearsey MJ. 1993. Biometrical Genetics in Breeding. London: Chapman and Hall. hlm 163 – 183 Khush GS. 1996. Prospects and approaches to increasing the genetic yield potential of rice. Di dalam: Everson RI, Herdt RW, Hossain M, editor. Rice Research in Asia: Progress and Priorities. Philippines: IRRI.
134
Las I. 2002. Alternatif inovasi teknologi peningkatan produktivitas dan daya saing padi. Sukamandi: Balai Penelitian Tanaman Padi. Lee MH, Park DJ, Rho SK, Lee JH, Park RK. 1987. Varietal differences in low temperature damage at the reproductive, heading and ripening stages of the rice plant. Research Report on Phytotron Experiment, II. Suwon, Korea, Nat Crop Exp Stat. hlm 38–59. Lee MH. 2001. Low temperature tolerance in rice: The Korean Experience. ACIAR. Proceedings. Philipines: International Rice Research Institute (IRRI). Limbongan YL. 2001. Interrelasi komponen pertumbuhan dan hasil beberapa galur dan varietas padi sawah di dataran tinggi. [Tesis]. Makassar: Universitas Hasanuddin. Malik S, Aguilar AM, Vergara BS. 1988. Inheritance of high density grain rice. IRRN. 13(6): 8 – 9. Mashur. 2004. Padi Tipe Baru (PTB), padi masa depan di NTB. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB. http//:www. padi tipe baru.htm. dok. [1 Nopember 2006]. Mather K, Jinks JL. 1971. Biometrical Genetics. London: Chapman and Hall Ltd 382 hal. Matsuo T. 1993. Factors and mechanism causing cool weather damage. Di dalam: Matsuo T, Hoshikawa K, editor. Science of the Rice Plant (Morphology). Ed ke-1. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. hlm 776 -790. Matsuo T. 1995. Factors and mechanism of chilling injury. Di dalam: Matsuo T, Kumasawa K, Ishii R, Ishihara K, Hirata H, editor. Science of the Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. hlm 798-804. Mattjik AA. 2005. Interaksi genotipe dan lingkungan dalam penyediaan sumberdaya unggul [Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Biometrika]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 124 hal. Mayo O. 1980. The Theory of Plant Breeding. Oxford: Clarendon Press. Mc Intosh MS. 1983. Analysis of combined experiments. Agron J 7:153 – 155. Moeljopawiro S. 2002. Optimizing selection for yield using selection index. Zuriat 13: 35-42.
135
Moon BY, Higashi S, Gombos Z, Murata N. 1995. Unsaturation of chloroplastic membrane lipids protects photosynthesis against low temperature photoinhibition in transgenic tobacco plants. Proc Natl Acad Sci USA 92: 6219 – 6223. Murata N, Wada H, Sakamoto T, Tasaka Y, Gombos Z, Moon BY, Deshnium P, Los DA, Hayashi H. 1984. Genes for fatty acid desaturates and choline oxidase are responsible for tolerance to low temperature and salinity stresses in cyanobacteria and plant. Japan: National Institute for Basic Biology, Okazaki. Murata N, Nishida I. 1989. Lipids in relation to chilling sensitivity of plants. Japan: CRC Press. hlm 181 – 199. Nasution MA. 2008. Analisis parameter genetik dan pengembangan kriteria seleksi bagi pemuliaan nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) di Indonesia. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nishida M. 1994. Origin and evolution of terrestrial plant. Di dalam : Matsuo T, Kumasawa K, Ishii R, Ishikara K, Hirata H, editor. Science of the Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center; 1995. Nishimura M. 1987. Genetics studies on cold tolerance in rice. Jpn J Breed 19:286 – 292. Nishimura M, Hamamura K. 1993. Diallel analysis of cool tolerance at the booting stage in rice varieties from Hokkaido. Jpn J Breed 43:557-566. Nishiyama I. 1992. Damage due to Extreme Temperatures. Jpn J Breed 33:357361. Om H, Katyal SK, Diman SD. 1996. Response of rice hybrid PMS2A/IR31802 to seedling vigor and N level in Haryana, India. IRRN 2:48 Peng S, Khush GS, Visperas R, and Evangelista A. 1998. Progress in increasing grain yield by breeding a new plant type. Philippines: IRRI. Pereira CR, Sandra CKM, Federizzi LC. 1997. Inheritance of rice cold tolerance at the germination stage. http://www.scielo.br/pdf/gmb/v29n2/ a20v29n2.pdf. [3 Februari 2008]. Permadi C, Baihaki A, Murdaningsih HK, Warsa T. 1993. Korelasi sifat komponen hasil terhadap hasil genotipe-genotipe F1 dan F1 resiprokal lima tetua kacang hijau dalam persilangan dialil. Zuriat 4:45-49. Poehlman JM, Sleper DA. 1996. Breeding Field Crops. 4th Edition. Iowa: Iowa State University Press.
136
Pranadji T. 1984. Partisipasi petani dalam program pengembangan teknologi tanaman pangan. Bogor: Forum Penelitian Agro Ekonomi, Pusat Penelitian Agro Ekonomi 3 :28 – 35 Roesmarkan S, Suwono, Suyamto. 2002. Varietas unggul padi tahan tungro Bondoyudo dan Kalimas. Prosiding Seminar dan Ekspose Teknologi BPTP Jawa Timur. hlm 107 – 111. Roy D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. New Delhi: Narosa Publishing House. Sakai K. 1949. Effects of deep-flood irrigation on grain yield of rice plants in a cool summer year. Agric Hortic 24:405–408. Sasaki K, Wada S. 1975. Effect of nitrogen, phosporic acid and potassium apply on the incidence of sterility in rice plant. Japan: Proceedings of the Crop Science Society of Japan 44: 250 – 254. Sasaki K. 1982. Selection procedures for breeding highly cold tolerant rice cultivars. Di dalam : Matsuo T, Hoshikawa K, editor. Science of the Rice Plant (Genetics). Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center; 1995. Sasaki K. 2001. Effect of a low temperature on several characteristics of rice seedlings. Jpn J Crop Sci 70(2):226-233. Sawada R. 1978 Inheritance of panicle exsertion in Oryza sativa under low temperature. Di dalam : Matsuo, T, Hoshikawa K, editor. Science of the Rice Plant. Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center ; 1993. Shiga 1977. Methods of applying nitrogen fertilizers for higher yields in the cool temperature region, top-dreesing of nitrogen at the panicle formation and flag leaf emergence stages of rice plants. Res Bull of Hokk Natl Agric Exp Stat. 117:31-44. Shimazaki Y, Satake T, Watanabe K. 1963. Studies on the growth and nutrient absorption of the rice plant reared with cool water irrigation during its early growth stage. Hokkaido: Res Bull of Hokk Natl Agric Exp Stat. 80:1–12. Shimono H, Hasegawa HT, Iwama K. 2001. Quantitative expression of developmental processes as a function of water temperature in rice (Oryza sativa L.) under a cool climate. J Fac Agric Hokkaido Univ 70:29–40.
137
Shimono H, Okada M, Kanda E, Arakawa I. 2007. Low temperature-induced sterility in rice: Evidence for the effects of temperature before panicle initiation. Field Crops Res 101:221-231. Sigh RK, Chaudhary BD. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. New Delhi: Kalyani Publisher. Singh AK, Kumar A. 2001. Response of promising rice genotypes to nitrogen levels in irrigated lowlands. IRRN 2: 49 Schnier, HF, Dingkuhn M, De Datta SK, Mengel K, Wijangco E, Javellana C. 1990. Nitrogen economy and canopy carbon dioxyde assimilation of tropical lowland rice. Agron J 82:451-459. Sobir. 2005. Pemuliaan Tanaman Partisipatif (PTP) dan percepatan perakitan varietas. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Song S, Hong MC, Hsu AN. 1991. Studies on rice quality on Taiwan Provincial Agriculture. Taiwan: Taichung DAIS. Sood BC, Siddiq EA. 1978. A rapid technique for scent determination in rice. Indian. J Genet 38: 268 - 271 Stanfield WD. 1991. Genetika Ed ke-2. Penerjemah :Apandi M, Hardy LT. Jakarta: Erlangga. Steel RGD, Torrie JH, Dickey DA. 1977. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. Ed ke-3. New York: Mc Graw-Hill Companies Inc. Steele KA, Virk DS, Prasad SC, Kumar R, Singh DN, Gangwar JS, Witcombe JR. 2002. Combining PPB and Marker-assisted Selection: Strategies and Experiences with Rice. Italy: The Quality of Science in Participatory Plant Breeding Workshop at IPGRI. Susanto U, Daradjat AA, Suprihatno B. 2003. Perkembangan pemuliaan padi di Indonesia. http://www.pustaka-deptan.go.id/publication/ p3223036. [23 Agustus 2006]. Swasti E. 2002. Fisiologi dan pewarisan sifat efisiensi hara fosfor pada padi gogo dalam keadaan tercekam aluminium. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Taiz L, Zeiger E. Plant Physiology (Third ed). 2002. Massachusetts: Sinauer Associates Inc. Publishers.
138
Tajima K, Amemiya A, Kabaki N. 1995. Physiological studies on growth inhibition in rice plant as effected by low temperatures. Di dalam: Matsuo T, Kumasawa K, Ishii R, Ishikara K, Hirata H, editor. Science of the Rice Plant (Physiology). Ed ke-2. Tokyo : Food and Agriculture Policy Research Center. Takahashi N. 1997. Inheritance of seed germination and dormancy. Di dalam : Matsuo T, Futsuhara Y, Kikuchi F, Yamaguchi H, editor. Science of the Rice Plant (Genetics). Tokyo: Food and Agriculture Policy Research Center. hlm 348-359. Tateoka T. 1963. Taxonomic studies of Oryza. III. Key to the species and their enumeration. Bot Mag Tokyo 76: 165–173. Toriyama K, Inoue K. 1984. The effect of micrometeorological elements on sterility due to cool injury in rice plants: An application of simulation model for the prediction of canopy climate. Jpn J Crop Sci. 53:387–395. Toriyama K. 1994. Studies on estimation of nitrogen mineralization pattern of lowland rice field and nitrogen fertilizing model for rice plant. Agric Exp Stn 36:147–198. Trikoesoemaningtyas. 2002. Fisiologi dan pewarisan sifat efisiensi kalium dalam keadaan tercekam aluminium pada padi gogo (Oryza sativa L). [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Trikoesoemaningyas, Wirnas D, Sopandie D, Takano T. 2004. Development of selection criteria for the selection of shade-tolerant soybean lines. Proceeding of the 3rd Seminar Toward Harmonization between Banten. Banten: Development and Environmental Conservation in Biological Production. Uchijima T. 1976. Some aspects of the relation between low air temperature and sterile spikelet numbers in rice plants. J Agric Meteorol. 31:199-202. Vaughan DA. 1989. The genus Oryza L. Current status of taxonomy. IRRI Res Paper Ser. 138:1–21. Wada, S. 1992. Cool Damage in Rice Plants. Tokyo: Youkenndo. 261 hal. Welsh JR. 1981. Fundamental of Plant Genetics and Breeding. Colorado: Colorado State University. John Wiley & Sons, Inc. Widjono A, Syam M. 1982. Penelitian pemuliaan padi dataran tinggi. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan,
139
Wricke G, Weber WE. 1986. Quantitative Genetics and Selection in Plant Breeding. New York : Walter de Gruyter. Wright S. 1934. The method of path coefficients. Ann Math Stat 5:161-215. Wu SZ, Huang CW. 1998. Breeding for superior quality aromatic rice varieties in China. Agric Sci 3: 5-6. Yamamoto T, Nishimura M. 1986. Relation between the tolerance to the sterility type of cool injury and the amount of bleeding water in rice plants. Jpn J Breed. 36: 147-154. Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. International Rice Research Institute (IRRI), Manila, Philippines, 81–82. Zen S. 1995. Heritabilitas, korelasi genotipik dan fenotipik karakter padi gogo. Zuriat 6: 1-2 Zuraida N, Sumarno. 2003. Partisipasi petani dalam pemuliaan tanaman dan konservasi plasma nutfah secara ’on farm’. Zuriat 14 (2) : 67-76.
140
141
Lampiran 1 Deskripsi varietas yang dipakai sebagai tetua betina Sifat Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna daun telinga Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Jumlah gabah/malai Kerebahan Tekstur nasi Kadar amilosa Bobot 1000 butir Hasil Anjuran tanam
Fatmawati Cere 105 – 115 hari Tegak 95 – 110 cm 8 – 14 batang Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau tua Berbulu halus Tegak Sedang panjang Kuning bersih Sedang Lebat (200-300 butir) Sedang Pulen 23% 29 gr 6 – 9 t/ha (GKG) Baik ditanam di lahan sawah dataran rendah sp sedang (ketinggian 600 m dpl).
Sintanur Cere 120 hari Tegak 120 cm Banyak Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau Kasar Tegak sampai miring Medium atau sedang Kuning bersih Sedang Sedang Agak tahan Pulen dan enak 18% 27,4 gr 6 – 7 t/ha (GKP) Sesuai untuk sawah irigasi dataran rendah sampai ketinggian < 500 m dpl.
Gilirang Cere 110-120 hari Tegak 100-110 cm 10 – 11 batang hijau Hijau tua Kuning kotor tidak berwarna Hijau, tepi daun tua berkilau Bagian atas kasar, bawah permukaan halus Tegak sedang panjang Kuning kotor Sedang Sedang Tahan rebah Sedang 23,93% 26,5 – 27,5 gr (KA 14%) 3,6 – 5,6 t/ha (GKP) Sesuai untuk sawah irigasi dataran rendah sampai ketinggian < 500 m dpl.
142
Lampiran 2 Deskripsi varietas yang dipakai sebagai tetua jantan Sifat Golongan Umur tanaman Bentuk tanaman Tinggi tanaman Anakan produktif Warna kaki Warna batang Warna daun telinga Warna lidah daun Warna daun Muka daun Posisi daun Daun bendera Bentuk gabah Warna gabah Kerontokan Jumlah gabah/malai Kerebahan Tekstur nasi Aromatik Bobot 1000 butir Hasil Adaptasi
Pulu’ Mandoti Japonica 145 – 155 hari Tegak 150 – 190 cm 10 – 20 batang ungu ungu Tidak berwarna ungu bergaris Hijau tua Berbulu halus miring bulat berbulu panjang Ungu Sulit sedang Tahan Pulen Wangi 34 gr 2 – 3 t/ha (GKG) lahan sawah dataran tinggi
Lambau Japonica 160 hari Tegak 170 cm 12-15 batang Hijau Hijau Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau berbulu halus Tegak sampai miring bulat berbulu panjang Kuning bersih Sulit Sedang Tahan Pulen Agak wangi 35 gr 3 t/ha (GKG) sawah dataran tinggi
Pinjan Japonica 156 hari Tegak 160-185 cm 10 – 11 batang hijau Hijau tua Kuning tidak berwarna Hijau berbulu halus miring hingga terkulai bulat berbulu pendek Kuning Sulit Sedang agak tahan Sedang wangi 34 gr 3 t/ha (GKG) sawah dataran tinggi
143
Lampiran 3. Koefisien korelasi genetik antara komponen pertumbuhan dengan produksi. Karakter seleksi
Tinggi Tanaman
Umur panen
Umur berbunga
Panjang daun bendera
Jumlah malai
Umur panen
0.56 **
Umur berbunga
0.58 **
0.94 **
Panjang daun bendera Jumlah malai
-0.11 tn 0.05 tn
-0.28 * -0.12 tn
-0.27 * -0.10 tn
0.01 tn
Bobot 1000 butir
-0.05 tn
-0.11 tn
-0.08 tn
0.07 tn
0.37 **
Persentase gabah bernas Produksi GKG
-0.16 tn -0.20 *
-0.04 tn -0.25 *
0.00 tn -0.24 *
-0.03 tn 0.08 tn
-0.01 tn 0.21 *
Keterangan : tn = tidak nyata, * = nyata P<0.05, ** = nyata P<0.01
Bobot 1000 butir
Persentase gabah bernas
0.55 ** 0.23 *
0.33 **
144
Lampiran 4 Karakter morfologi genotipe-genotipe hasil seleksi dan evaluasi Genotipe
IPB115-E- 51-1 IPB115-E- 52-1 IPB115-E- 53-1 IPB115-E-RP-2-1 IPB115-E-RP-6-1
Permukaan daun tidak berambut tidak berambut tidak berambut tidak berambut tidak berambut
Warna Daun
Warna kaki
Sudut daun
Sudut daun bendera
Warna ligule
bulu
Warna bulu
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
IPB116-E- 2-1
sedang
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
IPB116-E- 6-1
sedang
hijau
hijau
tegak
terkulai
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
IPB116-E- 8-1
sedang
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
IPB116-E-RP-21-1
sedang
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
IPB116-E-RP-33-1
sedang
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
berbulu panjang berbulu panjang
kuning jerami kuning jerami
IPB117-E-16-1
sedang
hijau
hijau
tegak
tegak
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
IPB117-E-RP-1-1
tidak berambut
hijau tua
ungu
tegak
tegak
bergaris ungu
tidak berbulu
tidak berbulu
warna lemma/palea
aroma
kuning jerami kuning jerami kuning jerami kuning jerami kuning jerami kuning jerami kuning jerami kuning jerami kuning jerami kuning jerami kuning jerami
Tidak wangi
ungu
wangi Tidak wangi Tidak wangi wangi Tidak wangi Tidak wangi Tidak wangi wangi wangi Tidak wangi Tidak wangi
145
Lampiran 4 (lanjutan) Genotipe
Permukaan daun
Warna Daun
Warna kaki
Sudut daun
Sudut daun bendera
IPB117-E-RP-10-1
sedang
IPB117-E-RP-16-1
sedang
hijau tua hijau
hijau
tegak
tegak
putih
tidak berbulu
hijau
tegak
sedang
putih
IPB117-E-RP-2-1
sedang
hijau
ungu
tegak
tegak
IPB117-E-RP-22-1
berambut
hijau
hijau
tegak
IPB117-E-RP-3-1
sedang
hijau
hijau
IPB117-E-RP-35-1
sedang
hijau
IPB117-E-RP-36-1
sedang
IPB117-E-RP-4-1
warna lemma/palea
aroma
tidak berbulu
kuning jerami
wangi
berbulu panjang
kuning jerami
kuning jerami
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
kuning jerami
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
kuning jerami
tegak
tegak
bergaris ungu
tidak berbulu
tidak berbulu
ungu
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
kuning jerami
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
kuning jerami
sedang
hijau
ungu
tegak
tegak
bergaris ungu
tidak berbulu
tidak berbulu
kuning jerami
IPB117-E-RP-48-1
berambut
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
berbulu panjang
kuning jerami
kuning jerami
IPB117-E-RP-5-1
sedang
hijau
hijau
tegak
tegak
bergaris ungu
tidak berbulu
tidak berbulu
ungu
IPB117-E-RP-6-1
sedang
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
kuning jerami
IPB117-E-RP-7-1
sedang tidak berambut tidak berambut tidak berambut tidak berambut
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
kuning jerami
hijau
hijau
tegak
terkulai
putih
berbulu panjang
kuning jerami
kuning jerami
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
kuning jerami
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
kuning jerami
wangi Tidak wangi Tidak wangi wangi Tidak wangi Tidak wangi Tidak wangi wangi Tidak wangi Tidak wangi wangi Tidak wangi Tidak wangi Tidak wangi
hijau
hijau
tegak
sedang
putih
tidak berbulu
tidak berbulu
kuning jerami
IPB149-E-b-6-1 IPB149-E-10-1 IPB149-E-18-1 IPB149-E-RP-7-1
Warna ligule
bulu
Warna bulu
wangi
146
Lampiran 5 Data iklim bulanan untuk lokasi Rantepao dan Sesean (Tahun 2007) No
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jumlah Rata-rata
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Rantepao CH(mm)
**
1080 514 772 408 689 243 142 57 15 21 242 654 4837 403.1
**
Hh(hari)
*
Rh(%)
Sesean *
Tmin
*
Tmax
T rata2
26 18 27 25 23 12 7 9 3 6 21 23
85 79 84 81 84 83 81 76 76 78 85 87
19 18 19 22 20 22 21 21 22 20 20 19
25 24 26 27 25 27 25 26 27 25 26 24
22.0 21.0 22.5 24.5 22.5 24.5 23.0 23.5 24.5 22.5 23.0 21.5
16.7
81.6
21.6
25.6
22.9
CH(mm)
Keterangan : ** : Sumber: Dinas Pertanian Kab. Tana Toraja (2007). *: Data kelembaban (RH) dan suhu diukur dengan Portable Termohigrometer dan Termometer max-min.
**
956 580 763 352 556 345 98 65 24 18 186 724 4667 388.9
Hh(hari)
**
Rh(%)* Tmin* Tmax*
T rata2
26 15 24 21 25 15 10 8 5 11 20 24
89 91 87 88 89 86 87 85 84 92 90 90
13 14 13 15 16 17 17 18 19 14 14 15
17 19 18 19 20 23 21 22 24 19 22 20
15.0 16.5 15.5 17.0 18.0 20.0 19.0 20.0 21.5 16.5 18.0 17.5
17.0
88.2
15.4
20.3
17.9
147
Lampiran 6 Nilai koefisien ortogonal kontras Koefisien Kontras (Ci) C x all
BxT
Cx117
Cx115
Cx149
Cx116
117x115
117x116
116x115
117x149
117Rx117
115Rx115
116Rx116
149Rx149
1
2
0
1
0
0
16
0
1
0
0
-2
0
0
1
2
0
1
0
0
16
0
1
0
0
-2
0
0
1
2
0
1
0
0
16
0
1
0
0
-2
0
0
1
1
0
1
0
0
16
0
1
0
0
3
0
0
1
1
0
1
0
0
16
0
1
0
0
3
0
0
1
2
0
0
0
1
0
16
-1
0
0
0
2
0
1
2
0
0
0
1
0
16
-1
0
0
0
2
0
1
2
0
0
0
1
0
16
-1
0
0
0
2
0
1
1
0
0
0
1
0
16
-1
0
0
0
-3
0
1
1
0
0
0
1
0
16
-1
0
0
0
-3
0
1
2
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
15
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
148
Lampiran 6 (lanjutan) Koefisien Kontras (Ci) C x all
BxT
Cx117
Cx115
Cx149
Cx116
117x115
117x116
116x115
117x149
117Rx117
115Rx115
116Rx116
149Rx149
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
1
1
0
0
0
-5
-5
0
-1
-1
0
0
0
1
2
0
0
1
0
0
0
0
4
0
0
0
1
1
2
0
0
1
0
0
0
0
4
0
0
0
1
1
2
0
0
1
0
0
0
0
4
0
0
0
-1
1
1
0
0
1
0
0
0
0
4
0
0
0
-1
-31
0
-16
-5
-4
-5
0
0
0
0
0
0
0
0
149