RANCANGAN
LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL (BPHN) DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari/tanggal Waktu Tempat Acara
: : : : : : : : :
2015-2016 III Terbuka Rapat Panja Senin, 7 Maret 2016 Pukul 10.55 s.d. 16.40 WIB Ruang Rapat Komisi III DPR RI Penjelasan Pemerintah terhadap hasil rekonstruksi dan reformulasi rumusan pasal-pasal yang ada dalam Buku I RUU KUHP KESIMPULAN/KEPUTUSAN
I. PENDAHULUAN Rapat Panja dibuka pada pukul 10.55 WIB, diskors pukul 10.57 WIB, dan dilanjutkan kembali pukul 11.10 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, DR. Benny K. Harman, SH dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas. II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN Pemerintah menyampaikan hasil rekonstruksi dan reformulasi rumusan pasalpasal yang ada dalam Buku I RUU KUHP, diantaranya sebagai berikut: 1. DIM No. 416 (Bagian Ketiga) Bagian Ketiga Tindakan 2. DIM No. 417 (Pasal 103 ayat (1)) Pasal 103 (1) Setiap orang yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, dapat dikenakan tindakan berupa: Fraksi GOLKAR mengusulkan Dalam hal khusus atau tertentu pengenaan tindakan ini tidak hanya berlaku kepada Pasal 42 dan 41 namun juga harus diperluas bagi korban penyalahguna narkotika dan psikotropika. Jenis
tindakan harus di tambah dengan tindakan rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga. perlu di perluas dan identifikasi jenis tindakan lainnya dengan tindakan rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga. Fraksi GERINDRA mengusulkan F-HANURA : perlu di perluas dan identifikasi jenis tindakan lainnya dengan tindakan rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga Dalam hal khusus atau tertentu pengenaan tindakan ini tidak hanya berlaku kepada Pasal 42 dan 41 namun juga harus diperluas bagi korban penyalahguna narkotika dan psikotropika. jenis tindakan harus di tambah dengan tindakan rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga rumusan baru penambahan dalam Pasal 103 “huruf d rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga) Terhadap usul F-Golkar dan F-Hanura, Pemerintah berpendapat bahwa rehabilitasi dan/atau perawatan di lembaga dalam Pasal 103 merupakan bagian dari tindakan yang hanya dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok. Sedangkan tindskan rehabilitasi dan/atau perawatan di lembaga tidak bisa diberikan kepada korban penyalahguna narkotika dan psikotropika, karena tidak menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental atau disabilitas mental lainnya yang sulit untuk disembuhkan. Sehingga rumusan Pasal 103 ayat (1) tetap. 3. DIM No. 418 (Pasal 103 ayat (1) huruf a) a. perawatan di rumah sakit jiwa; Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 103 ayat (1) huruf a tetap. 4. DIM No. 418A F-GERINDRA mengusulkan ada tambahan huruf. Diadaptasi dari UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. a. konseling perubahan perilaku; Terhadap usulan baru dari F-Gerindra, Pemerintah bersedia membahas lebih lanjut di dalam PANJA dan TIMUS. 5. DIM No. 419 b. penyerahan kepada pemerintah; atau F-GERINDRA : Nomor huruf disesuaikan. Terhadap usulan F-Gerindra, Pemerintah berpendapat menunggu hasil kesepakatan dalam DIM No. 417 dan DIM No. 418A (Pasal 103 ayat (1)). 6. DIM No. 420 c. penyerahan kepada seseorang. 2
F-GERINDRA : . Nomor huruf disesuaikan. Terhadap usulan F-Gerindra, Pemerintah berpendapat menunggu hasil kesepakatan dalam DIM No. 417 dan DIM No. 418A (Pasal 103 ayat (1)). 7. DIM No. 420A F-NASDEM mengusulkan substansi baru, dalam hal khusus atau tertentu pengenaan tindakan ini hanya berlaku kepada Pasal 42 dan 41 namun juga harus diperluas bagi korban penyalahguna narkotika dan psikotropika. Jenis tindakan harus ditambah dengan tindakan rehabilitasi; dan/atau perawatan dilembaga. Rumusan baru, Penambahan dalam Pasal 103 “huruf d” rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga. Fraksi Golkar mengusulkan rumusan baru penambahan dalam pasal 103 “huruf d rehabilitasi; dan/atau perawatan di lembaga) 8. DIM No. 421 (Pasal 103 ayat ( 2)) (2) Tindakan yang dapat dikenakan bersama sama dengan pidana pokok berupa: F-PPP menjelaskan Jika penjatuhan putusan pengenaan tindakan ini juga hanya di kenakan dengan pidana pokok maka pengenaan tindakan ini masih sangat sempit ruang lingkupnya. ketentuan ini belum menjangkau konsep penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, bagaimana dengan nasib pasal-pasal tindak pidana terkait dengan rehablitasi narkotika dan psikotripika yang di atur dalam ketentuan Buku II atau UU narkotika bahkan dalam konteks narkotika seharusnya jenis tindakan ini bisa diberikan secara tunggal tanpa harus mengikuti pidana pokok lainnya F-HANURA : Jika penjatuhan putusan pengenaan tindakan ini juga hanya di kenakan dengan pidana pokok maka pengenaan tindakan ini masih sangat sempit ruang lingkupnya. ketentuan ini belum menjangkau konsep penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, Bagaimana dengan nasib pasal-pasal tindak pidana terkait dengan rehablitasi narkotika dan psikotripika yang di atur dalam ketentuan Buku II atau UU narkotika Dalam konteks narkotika seharusnya jenis tindakan ini bisa diberikan secara tunggal tanpa harus mengikuti pidana pokok lainnya Terhadap usul dari F-PPP dan F-Hanura, Pemerintah berpendapat bahwa untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijtbaarheid) yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum pidana yang berlaku, dan secara subjektif, kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya. Untuk dapat dikatakan bahwa seseorang mampu bertanggungjawab adalah faktor akal yang dapat membedakan 3
perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Konsep RUU KUHP membatasi penjatuhan tindakan secara tunggal hanya kepada orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga rumusan Pasal 103 ayat (2) tetap. 9. DIM No. 422 (Pasal 103 ayat ( 2) huruf a) a. pencabutan surat izin mengemudi; Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 103 ayat (2) huruf a tetap. 10. DIM No. 423 (Pasal 103 ayat ( 2) huruf b) b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 103 ayat (2) huruf b tetap. 11. DIM No. 424 (Pasal 103 ayat ( 2) huruf c) c. perbaikan akibat tindak pidana; Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 103 ayat (2) huruf c tetap. 12. DIM No. 425 (Pasal 103 ayat ( 2) huruf d) d. latihan kerja; Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 103 ayat (2) huruf d tetap. 13. DIM No. 426 (Pasal 103 ayat ( 2) huruf e) e. rehabilitasi; dan/atau Fraksi NASDEM mengusulkan dimasukkan dalam pasal 103 bagian d F-HANURA : di masukkan dalam pasal 103 bagian d, di pindahkan ke dalam pasal 103 bagian d. Pemerintah menyampaikan bahwa terhadap usul F-Nasdem dan F-Hanura, sudah dijelaskan pada DIM No. 417 (Pasal 103 ayat (1)). Sehingga rumusan Pasal 103 ayat (2) huruf e tetap. 14. DIM No. 427 (Pasal 103 ayat ( 2) huruf f) f. perawatan di lembaga. F-HANURA mengusulkan di masukkan dalam pasal 103 bagian d Pemerintah menyampaikan bahwa terhadap usul F-Hanura, sudah dijelaskan pada DIM No. 417 (Pasal 103 ayat (1)). Sehingga rumusan Pasal 103 ayat (2) huruf f tetap. 15. DIM No. 428 ( Pasal 104) Pasal 104
4
Dalam menjatuhkan putusan yang berupa pengenaan tindakan, wajib diperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 104 tetap. 16. DIM No. 429 ( Pasal 105 ayat (1)) Pasal 105 (1) Putusan tindakan berupa perawatan di rumah sakit jiwa dijatuhkan setelah pembuat tindak pidana dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan yang bersangkutan masih dianggap berbahaya berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli rujukan pemerintah F-PKS mengusulkan substansi “Dokter ahli rujukan pemerintah” Terhadap usul dari F-PKS, Pemerintah setuju dengan usul tersebut dan bersedia membahas lebih dalam TIMUS dan TIMSIN. 17. DIM No. 430 (Pasal 105 ayat (2)) (2) Pembebasan dari tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dikenakan, jika yang bersangkutan dianggap tidak berbahaya lagi dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli. 18. DIM No. 431 (Pasal 106 ayat (1)) Pasal 106 (1) Tindakan penyerahan kepada pemerintah, bagi orang dewasa dilakukan demi kepentingan masyarakat. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 106 ayat (1) tetap. 19. DIM No. 432 (Pasal 106 ayat (2)) (2) Dalam putusan hakim ditentukan tempat dan bagaimana tindakan harus dijalankan. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 106 ayat (2) tetap. 20. DIM No. 433 (Pasal 107 ayat (1)) Pasal 107 (1) Tindakan berupa penyerahan kepada seseorang, dapat dikenakan kepada pembuat tindak pidana dewasa. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 107 ayat (1) tetap. 21. DIM No. 434 (Pasal 107 ayat (2)) (2) Tindakan penyerahan kepada seseorang, bagi orang dewasa dilakukan demi kepentingan masyarakat.
5
Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 107 ayat (2) tetap. 22. DIM No. 435 (Pasal 107 ayat (3)) (3) Dalam putusan hakim ditentukan tempat dan bagaimana tindakan harus dijalankan. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 107 ayat (3) tetap. 23. DIM No. 436 (Pasal 108 ayat (1)) Pasal 108 (1) Tindakan berupa pencabutan surat izin mengemudi dikenakan setelah mempertimbangkan: Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 108 ayat (1) tetap. 24. DIM No. 437 (Pasal 108 ayat (1) huruf a) a. keadaan yang menyertai tindak pidana yang dilakukan Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 108 ayat (1) huruf a tetap. 25. DIM No. 438 (Pasal 108 ayat (1) huruf b) b. keadaan yang menyertai pembuat tindak pidana; atau Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 108 ayat (1) huruf b tetap. 26. DIM No. 439 (Pasal 108 ayat (1) huruf c) c. kaitan pemilikan surat izin mengemudi dengan usaha mencari nafkah. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 108 ayat (1) huruf c tetap 27. DIM No. 440 ( Pasal 108 ayat (2)) (2) Jika surat izin mengemudi dikeluarkan oleh negara lain maka pencabutan surat izin mengemudi dapat diganti dengan larangan menggunakan surat izin tersebut di wilayah negara Republik Indonesia. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 108 ayat (2) tetap. 28. DIM No. 441 ( Pasal 108 ayat (3)) (3) Jangka waktu pencabutan surat izin mengemudi berlaku antara 1 (satu) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun. F-DEMOKRAT mengusulkan Frase lima tahun terlalu lama.
6
Jangka waktu pencabutan surat izin mengemudi berlaku antara 1 (satu) tahun sampai dengan 2 (dua) tahun. Terhadap usul dari F-Demokrat, Pemerintah berpendapat bahwa rumusan ini mengenai jangka waktu minimum dan maksimum pencabutan tersebut, yang disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan. 29. DIM No. 442 ( Pasal 109 ayat (1)) Pasal 109 (1) Tindakan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dapat berupa uang, barang, atau keuntungan lain. SUBSTANSI F-DEMOKRAT mengusulkan sebaiknya mendapat Izin dari ketua pengadilan agar penyidik tidak bertindak sewenang-wenang. Pasal 109 (1) Tindakan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dapat berupa uang, barang, atau keuntungan lain harus mendapat izin dari ketua pengadilan Terhadap usul dari F-Demokrat, Pemerintah berpendapat mekanisme perampasan keuntungan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana tercantum dalam DIM No. 455 (Pasal 114). F-PAN mengusulkan Setelah frasa “atau keuntungan lain” ditambah frasa “yang dapat disetarakan dengan uang” Yang dapat disetarakan dengan uang misalnya; saham, Surat Utang Negara, voucher dan hadiah. Pasal 109 (1) Tindakan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dapat berupa uang, barang, atau keuntungan lain yang dapat disetarakan dengan uang. Terhadap usul dari F-PAN, Pemerintah berpendapat bahwa tidak perlu karena sudah dijabarkan di dalam DIM No. 443 (Pasal 109 ayat (2)). 30. DIM No. 443 ( Pasal 109 ayat (2)) (2) Jika hasil keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berupa uang maka pembuat tindak pidana dapat mengganti dengan sejumlah uang yang ditentukan oleh hakim. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 109 ayat (2) tetap. 31. DIM No. 444 ( Pasal 110) Pasal 110 Tindakan berupa perbaikan akibat tindak pidana dapat berupa penggantian atau pembayaran harga taksiran kerusakan sebagai akibat tindak pidana tersebut. F-PKS meminta Penentuan taksiran harga harus diperjelas.
7
Terhadap usul dari F-PKS, Pemerintah berpendapat bahwa penentuan harga taksiran akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana tercantum dalam DIM No. 455 (Pasal 114). 32. DIM No. 445 (Pasal 111 ayat (1)) Pasal 111 (1) Dalam mengenakan tindakan berupa latihan kerja, wajib dipertimbangkan: Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 101 ayat (1) tetap. 33. DIM No. 446 (Pasal 111 ayat (1) huruf a) a. kemanfaatan bagi pembuat tindak pidana; Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 111 ayat (1) huruf a tetap. 34. DIM No. 447 (Pasal 111 ayat (1) huruf b) b. kemampuan pembuat tindak pidana; dan Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 111 ayat (1) huruf b tetap. 35. DIM No. 448 (Pasal 111 ayat (1) huruf c) c. jenis latihan kerja. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 111 ayat (1) huruf c tetap. 36. DIM No. 449 (Pasal 111 ayat (2)) (2) Dalam menentukan jenis latihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib diper¬hatikan latihan kerja atau pengalaman kerja yang pernah dilakukan dan tempat tinggal pembuat tindak pidana. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 111 ayat (2) tetap. 37. DIM No. 450 (Pasal 112 ayat (1)) Pasal 112 1. Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang: Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 112 ayat (1) tetap. 38. DIM No. 451 (Pasal 112 ayat (1) huruf a) a. kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau F-PKS mengusulkan ditambahkan kecanduan pornografi. Kecanduan pornografi, alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau.
8
Terhadap usul F-PKS, Pemerintah perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut mengenai: 1. Parameter atau batasan kecanduan pornografi? 2. Apakah ada bentuk atau penanganan rehabilitasi kecanduan pornografi? 39. DIM No. 452 (Pasal 112 ayat (1) huruf b) b. mengidap kelainan seksual atau yang mengidap kelainan jiwa. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 112 ayat (1) huruf b tetap. 40. DIM No. 453 ( Pasal 112 ayat (2)) (2) Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik pemerintah maupun swasta. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 112 ayat (2) tetap. 41. DIM No. 454 ( Pasal 113) Pasal 113 Tindakan perawatan di lembaga harus didasarkan atas sifat berbahayanya pembuat tindak pidana yang melakukan tindak pidana tersebut sebagai suatu kebiasaan. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 113 tetap. 42. DIM No. 455 (Pasal 114) Pasal 114 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 114 tetap. 43. DIM No. 456 (Bagian Keempat) Bagian Keempat Pidana dan Tindakan bagi Anak 44. DIM No. 457 (Paragraf 1) Paragraf 1 Pidana bagi Anak 45. DIM No. 458 (Pasal 115 ayat (1)) Pasal 115 (1) Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan. F-HANURA : Meskipun sesuai dengan UU SPPA, standar umur pidana anak di Indonesia terlalu rendah, sesuai dengan rekomendasi Komite Hak Anak PBB ke Indonesia, maka harusnya usia pertanggungjawaban anak dinaikkan menjadi minimal berusia 14 tahun.
9
(1) Anak yang belum mencapai umur 14 (empat belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan Terhadap usulan F-Hanura, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa rumusan dalam Pasal 115 ayat (1) tetap karena sudah disesuaikan dengan Pasal 1 angka 3 UU SPPA, Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Pasal 1 Konvensi Hak Anak dan juga sudah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 115 yang berbunyi: Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi seorang anak yang melakukan tindak pidana. Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak. Seorang anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penyelesaian kasusnya harus didasarkan pada ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. UU Nomor 3 Tahun 1997 ttg Pengadilan Anak mengatur usia pertanggungjawaban pidana adalah 8 tahun dan UU SPPA menaikannnya menjadi 12 tahun. Batas umur maksimum 18 (delapan belas) tahun untuk dapat diajukan ke pengadilan anak, adalah sesuai dengan umur kedewasaan anak, agar bagi mereka dapat diterapkan ketentuan mengenai anak. Penjelasan Pasal 115 Ketentuan ini mengatur tentang batas umur minimum untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bagi seorang anak yang melakukan tindak pidana. Penentuan batas umur 12 (dua belas) tahun didasarkan pada pertimbangan psikologis yaitu kematangan emosional, intelektual, dan mental anak. Seorang anak di bawah umur 12 (dua belas) tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan karena itu penyelesaian kasusnya harus didasarkan pada ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “diversi” adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. 46. DIM No. 459 (Pasal 115 ayat (2)) (2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana. F-DEMOKRAT mengusulkan Frase dan tidak tepat, yang benar adalah sampai. Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana. F-HANURA : Harus juga dipertegas, bahwa kategori anak bertumpu pada usia. Sehingga tidak boleh ada kualifikasi lain seperti status perkawinan. 10
Ditambahkan Pasal Penjelasan Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 14 (empat belas) tahun dan 18 (delapan belas), meskipun sudah kawin berada dibawah usia 18 tahun, yang melakukan tindak pidana. 47. DIM No. 460 (Pasal 116 ayat (1)) Pasal 116 (1) Dengan memperhatikan ketentuan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56, demi kepentingan terbaik bagi anak, pemeriksaan di depan pengadilan dapat ditunda atau dihentikan setelah mendengar pertimbangan penyidik, penuntut umum, dan petugas kemasyarakatan. F-GERINDRA mengusulkan perubahan substansi Pasal 116 (1) Dengan memperhatikan ketentuan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55, demi kepentingan masa depan anak, penyidikan dan/atau pelimpahan berkas perkara ke pengadilan dapat dihentikan oleh penuntut umum dengan izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan, atau pemeriksaan di depan pengadilan dapat ditunda atau dihentikan setelah mendengar pertimbangan penyidik, penuntut umum, dan petugas kemasyarakatan. 48. DIM No. 461 (Pasal 116 ayat (2)) (2) Penundaan atau penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan syarat: F-GERINDRA mengusulkan perubahan substansi (2) Penyidikan dan/atau pelimpahan berkas perkara ke pengadilan, penundaan atau penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan syarat: 49. DIM No. 462 (Pasal 116 ayat (2) huruf a) a. anak tidak akan melakukan tindak pidana; dan/atau 50. DIM No. 463 (Pasal 116 ayat (2) huruf b) b. anak dalam waktu tertentu harus mengganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan-nya. F-GERINDRA mengusulkan perubahan ditambahkan “dan/atau orang tuanya atau walinya” setelah anak. b. anak dan/atau orang tuanya atau walinya dalam waktu tertentu harus mengganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan¬nya. F-DEMOKRAT mengusulkan untuk dihapus Anak masih belum dianggap dewasa sehingga belum dapat bertanggung jawab secara maksimal. F-PKS mengusulkan menambah kata melalui orang tua atau wali. Lebih rasional jika wali atau orang tua yang bertanggung jawab.
11
anak melalui orang tua atau walinya dalam waktu tertentu harus mengganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan-nya. Pemerintah menyampaikan bahwa rumusan Pasal 116 dihapus dengan pertimbangan: 1. UU SPPA tidak mencantumkan mekanisme untuk menunda atau menghentikan perkara dalam pemeriksaan di depan pengadilan. 2. Mekanisme ini dapat diakomodasi dengan Diversi yang dapat dilaksanakan pada setiap tingkat proses peradilan pidana anak. 51. DIM No. 464 (Pasal 117 ayat (1)) Pasal 117 (1) Setiap penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam memeriksa anak wajib mengupayakan diversi. F-DEMOKRAT menjelaskan bahwa Merujuk pada Pasal 1 angka 7 UU 11 tahun 2012, pengertian diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Terhadap rumusan yang diatur dalam Bagian Keempat mengenai Pidana dan Tindakan bagi Anak, Pemerintah telah melakukan pengkajian kembali terhadap rumusan Bagian Keempat ini dengan mengelompokkan substansi yang diatur dalam 3 (tiga) kategori, yakni: a. diversi; b. tindakan; dan c. pidana. Pengelompokkan substansi ini menitikberatkan kepada jenis subtansi dari yang terendah hingga terberat yang dikenakan kepada anak. Pengelompokkan ini berimplikasi kepada perubahan urutan pasal-pasal yang tercantum. Sehingga Pemerintah mengusulkan rumusan dalam Bagian Keempat yang semula mengenai Pidana dan Tindakan bagi Anak diubah menjadi Diversi, Tindakan, dan Pidana bagi Anak. Pengelompokkan pasal-pasal dalam Bagian ini juga harus disesuaikan dengan urutan substansi dengan pengaturan diversi, tindakan, dan pidana. Oleh karena itu Pemerintah mengusulkan reformulasi ulang rumusan dalam Bagian Keempat yang berbunyi sebagai berikut: Paragraf 1 Umum
(1)
Pasal 115 Diversi dilaksanakan pada anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulanggan tindak pidana. (berasal dari Pasal 117)
52. DIM No. 465 (Pasal 117 ayat (2)) (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan.
12
Pemerintah menyampaikan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 116 ayat (2) huruf a tetap. 53. DIM No. 466 (Pasal 117 ayat (2) huruf a) a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan F-HANURA menjelaskan Pasal ini dirinci, tidak hanya secara umum tindak pidana yang diancam di bawah 7 tahun penjara saja, namun untuk semua tidak pidana dan dibuat pengecualiannya untuk beberapa tindak pidana seperti tindak pidana yang diancam dengan pidana 15 tahun penjara atau seumur hidup atau pidana mati, atau tindak pidana lain yang tergolong mendapatkan perhatian publik seperti pembunuhan, pemerkosaan dan lain sebagainya. Meningkatnya seluruh ancaman pidana di berbagai Undang-undang di Indonesia telah mengakibatkan banyak tindak pidana yang ancamannya juga meningkat, hal ini mendorong perlu dilakukannya kategorisasi tindak pidana mana saja yang sebetulnya tidak dapat dilakukan diversi. Pengaturan seperti ini akan mempersempit ruang Diversi bagi anak. Data yang dihimpun ICJR, angka tertinggi tindak pidana yang dilakukan anak adalah pidana pencurian. Terutama Pasal 363 ayat (1) ke-4 KUHP merupakan pasal yang paling sering digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum, dimana pasal ini diancam dengan pidana penjara 7 Tahun, oleh karena apabila syarat Diversi akan dikaitkan dengan syarat dibawah 7 tahun maka potensi angka anak yang tidak dapat dilakukan Diversi akan tinggi. Selain itu tindak pidana lain seperti narkotika yang juga menempati urutan teratas tindak pidana yang paling sering dilakukan anak rata-rata ancaman pidananya diatas 7 tahun, sehingga perlu dirunut ulang, tindak pidana apa saja yang baiknya menjadi tindak pidana yang mana anak tidak dapat dihadapkan pada proses diversi. Perlu juga diingat, untuk kejahatan yang bersifat terorganisir, maka anak harus ditempatkan sebagai korban, seperti dalam tindak pidana narkotika. Terhadap usulan F-Hanura, Pemerintah berpendapat syarat untuk dapat diversi dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA hanya dibatasi untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara paling lama 7 tahun. Apabila ancaman pidana tidak dibatasi dikhawatirkan tujuan pemidaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 RUU KUHP tidak tercapai (khususnya berkaitan dengan rasa keadilan masyarakat). 54. DIM No. 467 b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana. F-HANURA mengusulkan dihapus Ketentuan ini tidak konsisten dengan tujuan sistem peradilan pidana anak, bahwa meskipun melakukan pengulangan tindak pidana, maka anak harus dihindarkan dari proses peradilan pidana, sehingga ketentuan ini tidak lagi relevan. Terhadap usulan F-Hanura, Pemerintah berpendapat bahwa tujuan diberikannya Diversi adalah untuk menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak dan ketentuan ini sudah sejalan dengan Pasal 7 UU SPPA. 13
(2) Tindakan bagi anak hanya berlaku bagi anak yang berumur antara 12 (empat belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun. (3) Pidana bagi anak hanya berlaku bagi anak yang berumur antara 14 (empat belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun. Catatan: Perubahan penempatan ayat dengan perbaikan redaksional. 55. DIM No. 468 (Pasal 118 ayat (1)) Pasal 118 (1) Pelaksanaan diversi wajib memperhatikan: F-DEMOKRAT menjelaskan Politik hukum pemerintah dalam RUU KUHP ini jangan sampai bertentangan dengan politik hukum yang terkandung di dalam UU Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Undang-Undang No.11 Tahun 2012 tersebut merupakan lex specialis dari KUHP, dengan demikian, perlu dipertimbangkan pula, apakah ketentuan yang mengatur anak di dalam RUU KUHP ini perlu diatur atau tidak. Bila memang diatur di dalam RUU KUHP, maka berlaku asas aturan yang baru mengenyampingkan Undang-Undang yang lama (Asas lex posterior derogat legi priori). Di satu sisi, Undang-Undang No.11 Tahun 2012 merupakan lex specialis dari KUHP. Jadi dalam penerapannya bila ada ketentuan yang bersifat kontradiktif menimbulkan kerancuan . Namun, apakah ketentuan menyangkut anak ini akan diberlakukan atau tidak sepenuhnya menjadi kewenangan legislator. F-HANURA menjelaskan Dalam konsep awal Diversi anak, harusnya yang menjadi perhatian paling dasar adalah kepentingan Anak. Diversi secara prinsipil adalah untuk menghindarkan anak dari proses peradilan. Artinya Diversi secara mendasar mengutamakan kepentingan anak agar tidak berhadapan dengan proses peradilan, barulah berbicara mengenai kepentingan korban, meskipun dapat dilakukan secara pararel. a. Kepentingan Anak b. Kepentingan Korban c. Dst d. Dst Terhadap catatan dari F-Hanura, Pemerintah berpendapat bahwa RUU KUHP menganut asas keseimbangan tanpa membedakan Anak sebagai pelaku maupun korban. Untuk itu Pemerintah berpendapat tidak perlu menambahkan frasa “Kepentingan Anak” sehingga substansi tetap dengan perbaikan redaksional mengapus kata “pelaksanaan” kata “Diversi” pada ayat (1) dan menghapus kata “Kesepakatan” sebelum kata “Diversi” pada ayat (2) sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 118 (1) Diversi wajib memperhatikan: a. kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak; c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan 14
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. (2) Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk: a. tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I; a. tindak pidana ringan; b. tindak pidana tanpa korban; atau c. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Penjelasan Pasal 118 Cukup jelas. 56. DIM No. 468A F-PKS mengusulkan dihapus Pada hakekatnya, pelaksanaan diversi ditujukan untuk mengalihkan proses peradilan pidana kepada proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Hal ini ditujukan semata-mata untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak untuk keluar dari sistem peradilan pidana. Setelah perubahan (1) Pelaksanaan diversi wajib memerhatikan a. Kepentingan Anak (pelaku) b. Kepentingan korban Dst..., F-NASDEM menanggapi untuk itu didalam pelaksanaan diversi patut kiranya menambahkan kepentingan anak (pelaku itu sendiri) kedalam halhal yang bersifat wajib untuk dilaksanakannya upaya diversi tersebut, mengingat pelaksanaan diversi ditujukan untuk menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatan sistem peradilan. Penambahan di huruf a. Kepentingan Anak. Dalam konsep awal Diversi anak, harusnya yang menjadi perhatian paling dasar adalah kepentingan Anak. Diversi secara prinsipil adalah untuk menghindarkan anak dari proses peradilan. Artinya Diversi secara mendasar mengutamakan kepentingan anak agar tidak berhadapan dengan proses peradilan, barulah berbicara mengenai kepentingan korban, meskipun dapat dilakukan secara pararel. Setelah perubahan “kepentingan anak” F-PG menanggapi dalam konsep awal Diversi anak, harusnya yang menjadi perhatian paling dasar adalah kepentingan Anak. Diversi secara prinsipil adalah untuk menghindarkan anak dari proses peradilan. Artinya Diversi secara mendasar mengutamakan kepentingan anak agar tidak berhadapan dengan proses peradilan, barulah berbicara mengenai kepentingan korban, meskipun dapat dilakukan secara pararel. 57. DIM No. 469 (Pasal 118 ayat (1) huruf a) a. kepentingan korban; 58. DIM No. 470 (Pasal 118 ayat (1) huruf b) b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak; 15
59. DIM No. 471 (Pasal 118 ayat (1) huruf c) c. penghindaran stigma negatif; 60. DIM No. 472 (Pasal 118 ayat (1) huruf d) d. penghindaran pembalasan; 61. DIM No. 473 (Pasal 118 ayat (1) huruf e) e. keharmonisan masyarakat; dan 62. DIM No. 474 (Pasal 118 ayat (1) huruf f) f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. 63. DIM No. 475 (Pasal 118 ayat (2)) (2) Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk: F-GOLKAR mengusulkan konsep persetujuan korban memang menjadi hal yang sangat penting mengingat prinsip restorative justice, namun dalam kondisi yang sama, porsi korban sangat besar dan cenderung timpang dengan pelaku, karena kesepakatan pasti tidak tercapai apabila korban menolaknya. Proses yang timpang ini pada dasarnya akan terjadi dalam setiap tingkatan peradilan. Dengan konsep ini bisa dipastikan bahwa posisi tersangka atau terdakwa anak ada di posisi tawar yang rendah, sehingga saja tidak menjamin anak untuk dapat menyelesaikan permasalahannya di luar peradilan. Ketentuan ini juga belum mencakup ketentuan yang harus melindungi anak dari kejahatan kejahatan terorganisir dan transnasional crime, dalam dua kejahatan tersebut, anak harus dimaknai sebagai korban. Dibuat interval tindak pidana apa saja yang membutuhkan persetujuan korban, memperhatikan kepentingan korban, dan tanpa persetujuan korban. Misalnya tindak pidana penganiayaan ringan atau pencurian harusnya hanya memperhatikan kepentingan korban tanpa harus meminta persetujuan korban. Penambahan Pasal : a. Tindak pidana anak sebagai korban kejahatan terorganisir dan trans nasionalcrime, b. Tindak pidana anak sebagai Justice Collaborator 64. DIM No. 476 (Pasal 118 ayat (2) huruf a) a. tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I; F-GOLKAR : Harus diperjelas apakah makna dari pasal ini adalah semua kejahatan yang hanya diancam dengan denda kategori I atau semua tidan pidana yang juga dipidana dengan kategori I. Untuk meningkatkan efektifitas Diversi maka baiknya dipakai pengertian bahwa semua kejahatan yang juga dipidana dengan kategori I dan juga tindak pidana-tindak pidana yang hanya dipidana dengan denda. a. tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I; dan atau hanya dengan pidana denda. F-HANURA : Harus diperjelas apakah makna dari pasal ini adalah semua kejahatan yang hanya diancam dengan denda kategori I atau semua tidan 16
pidana yang juga dipidana dengan kategori I. Untuk meningkatkan efektifitas Diversi maka baiknya dipakai pengertian bahwa semua kejahatan yang juga dipidana dengan kategori I. Dan juga tindak pidana-tindak pidana yang hanya dipidana dengan denda.tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I; dan atau hanya dengan pidana denda. 65. DIM No. 477 (Pasal 118 ayat (2) huruf b) b. tindak pidana ringan; 66. DIM No. 478 (Pasal 118 ayat (2) huruf c) c. tindak pidana tanpa korban; atau 67. DIM No. 479 (Pasal 118 ayat (2) huruf d) d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. F-GOLKAR mengusulkan Pembedaan kerugian berdasarkan nilai upah minimum provinsi akan mengakibatkan perbedaan perlakuan terhadap anak berdasarkan provinsi. Dan lagi, akan terdapat beberapa permasalahan tehknis penentuan kerugian, misalnya dalam hal anak melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian di lebih dari satu provinsi. Atas dasar kepentingan anak maka standar yang dipakai baiknya standar tertinggi upah minimum tertinggi provinsi di Indonesia, bukan berdasarkan masing-masing provinsi d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum tertinggi provinsi di Indonesia. F-PPP mengusulkan perubahan rumusan, Pembedaan kerugian berdasarkan nilai upah minimum provinsi akan mengakibatkan perbedaan perlakuan terhadap anak berdasarkan provinsi. Dan lagi, akan terdapat beberapa permasalahan tehknis penentuan kerugian, misalnya dalam hal anak melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian di lebih dari satu provinsi. Atas dasar kepentingan anak maka standar yang dipakai baiknya standar tertinggi upah minimum tertinggi provinsi di Indonesia, bukan berdasarkan masing-masing provinsi. d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum tertinggi provinsi di Indonesia. F-HANURA mengusulkan Pembedaan kerugian berdasarkan nilai upah minimum provinsi akan mengakibatkan perbedaan perlakuan terhadap anak berdasarkan provinsi. Dan lagi, akan terdapat beberapa permasalahan tehknis penentuan kerugian, misalnya dalam hal anak melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian di lebih dari satu provinsi. Atas dasar kepentingan anak maka standar yang dipakai baiknya standar tertinggi upah minimum tertinggi provinsi di Indonesia, bukan berdasarkan masing-masing provinsi e. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum tertinggi provinsi di Indonesia. 68. DIM No. 479A F-HANURA mengusulkan penambahan ayat (2) huruf f f. Tindak pidana anak sebagai korban kejahatan terorganisir dan trans nasional crime, 17
Ditambahkan penjelasan dalam hal “Tindak pidana anak sebagai korban kejahatan terorganisir” : Dalam hal anak sebagai pelaku dalam kejahatan terorganisir, anak harus ditempatkan sebagai korban. Misalnya sebagai kurir narkotik dll. 69. DIM No. 479B F-HANURA mengusulkan penambahan ayat (2) huruf g g. Tindak pidana anak sebagai Justice Collaborator. Juga perlu ditambahkan ketentuan dalam hal anak menjadi Justice Collaborator 70. DIM No. 480 ( Pasal 119) Pasal 119 Ketentuan mengenai pemberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 dan Pasal 142, tidak berlaku terhadap anak yang melakukan pengulangan tindak pidana. 71. DIM No. 481 ( Pasal 120 ) Pasal 120 Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk: 72. DIM No. 482 (Pasal 120 huruf a) a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali; atau 73. DIM No. 483 (Pasal 120 huruf b) b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan. Pemerintah berpendapat bahwa penempatan substansi dalam Pasal 119 dan Pasal 120 tidk tepat dikelompokan dalam bagian mengenai Diversi, Tindakan, dan Pidana karena Pasal 119 mengatur mengenai pengecualian terhadap pengulangan tindak pidana, sehingga Pasal 119 diusulkan untuk dihapus dan Pasal 120 mengatur substansi pertanggungjawaban pidana bagi Anak sehingga akan direformulasi ulang oleh Pemerintah dan diusulkan untuk ditempatkan dalam ketentuan pertanggungjawaban pidana setelah Pasal 42. 74. DIM No 484 ( Pasal 121) Pasal 121 Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap anak berupa: Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 121 tetap. 75. DIM No. 485 (Pasal 121 huruf a) a. pidana pokok; dan
18
Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 121 huruf a tetap. 76. DIM No. 486 (Pasal 121 huruf b) b. pidana tambahan. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 121 huruf b tetap. 77. DIM No. 487 ( Pasal 122) Pasal 122 Pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 huruf a terdiri atas: Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 122 tetap. 78. DIM No. 488 (Pasal 122 huruf a) a. pidana peringatan; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf a tetap. 79. DIM No. 489 (Pasal huruf b) b. pidana dengan syarat: Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf b tetap. 80. DIM No. 490 (Pasal 122 huruf b angka 1) 1. pembinaan di luar lembaga; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf b angka 1 tetap. 81. DIM No. 491 (Pasal 122 huruf angka 2) 2. pelayanan masyarakat; atau Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf b angka 2 tetap. 82. DIM No. 492 (Pasal 122 huruf b angka 3) 3. pengawasan. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf b angka 3 tetap. 83. DIM No. 493 (Pasal 122 huruf c) c. pelatihan kerja;
19
Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf c tetap. 84. DIM No. 494 (Pasal 122 huruf d) d. pembinaan dalam lembaga; dan Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf d tetap. 85. DIM No. 495 (Pasal 122 huruf e) e. penjara. Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 122 huruf e tetap. 86. DIM No. 496 ( Pasal 123) Pasal 123 Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 huruf b terdiri atas: Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 123 tetap. 87. DIM No. 496A F-GERINDRA mengusulkan Penambahan ayat (a) baru. a. perampasan barang hasil tindak pidana; atau Terhadap usulan F-Gerindra, Pemerintah berpendapat bahwa “perampasan barang hasil tindak pidana” secara otomatis oleh aparat penegak hukum. Sehingga Pemerintah berpendapat usulam baru dari F-Gerindra tidak perlu dicantumkan. 88. DIM No. 497 (Pasal 123 huruf a) a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 123 tetap. 89. DIM No. 498 (Pasal 123 huruf b) b. pemenuhan kewajiban ada F-GOLKAR mengusulkan dihapus, kewajiban adat tidak dikenal dalam sistem pemidanaan di Indonesia, harus diperhatikan dengan sangat hati-hati karena bisa berakibat melanggar prinsip pemidaan untuk anak itu sendiri. Apabila tidak dapat dipastikan mengenai bentuk-bentuk dan batasan apa saja terkait kewajiban adat, maka lebih baik dihapus. F-GERINDRA mengusulakn untuk diubah Lihat Pasal 68 ayat (1) huruf e. Setelah perubahan b. pemenuhan kewajiban adat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. F-DEMOKRAT mengusulkan dihapus
20
Pemenuhan kewajiban adat patut untuk dihapuskan karena di samping pelaku pidana adalah anak, diperlukan kodivikasi lebih lanjut tentang pengaturan ketentuan mengenai hukum adat itu sendiri. F-PKS mengusulkan dihapus Dalam konteks indonesia, kewajiban adat perlu diperhatikan kelebihan dan kekurangan secara lebih seksama, hal ini dikarenakan terdapatnya perbedaan peraturan yang justru bisa saja memberikan ekses negatif kepada anak itu sendiri. Padahal tujuan dari sanksi adat tidak untuk memberikan penderitaan kepada seseorang, akan i lebih ditujukan kepada proses rehabilitasi dan upaya menetralisasi goncangan yang ditimbulkan karena pelanggaran hukum adat, namun tidak jarang ekses dari hukum adat memberikan perlakuan yang dapat menimbulkan rasa malu kepada pelaku sehingga apabila diterapkan pada kasus anak dapat menimbulkan efek yang lebih buruk. F-PPP mengusulkan dihapus F-NASDEM : Kewajiban adat tidak dikenal dalam sistem pemidanaan di Indonesia, harus diperhatikan dengan sangat hati-hati karena bisa berakibat melanggar prinsip pemidaan untuk anak itu sendiri. Apabila tidak dapat dipastikan mengenai bentuk-bentuk dan batasan apa saja terkait kewajiban adat, maka lebih baik dihapus. F-HANURA : Kewajiban adat tidak dikenal dalam sistem pemidanaan di Indonesia, harus diperhatikan dengan sangat hati-hati karena bisa berakibat melanggar prinsip pemidaan untuk anak itu sendiri. Apabila tidak dapat dipastikan mengenai bentuk-bentuk dan batasan apa saja terkait kewajiban adat, maka lebih baik dihapus.
Terhadap usulan seluruh fraksi kecuali F-PDIP, Pemerintah mengusulkan pembahasan mengenai substansi ini menunggu hasil pembahasan pada DIM No. 13 (Pasal 2 RUU KUHP) dan DIM No. 57 (Pasal 12 RUU KUHP) yang dipending oleh PANJA. Namun Pemerintah mengusulkan penjelasan Pasal 124 yang berbunyi sebagai berikut: Penjelasan: Pasal 124 Pidana tambahan bagi Anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa karena ciri dan sifat serta kekhususan Anak yang harus di lindungi oleh negara. 90. DIM No. 499 (Pasal 124) Pasal 124 Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 124 tetap.
21
91. DIM No. 500 ( Pasal 125 ayat (1)) Pasal 125 (1) Pidana dengan syarat merupakan pidana yang penerapannya dikaitkan dengan syarat khusus yang diten-tukan dalam putusan. F-DEMOKRAT menjelas bahwa ketentuan tentang pidana dengan syarat hanya diberlakukan terhadap anak dan tidak pada orang dewasa. Ketentuan yang tegas terkait pidana dengan syarat yang diberlakukan pada subjek hukum pidana yang sudah dewasa patut dikhawatirkan menimbulkan terjadinya pelanggaran terhadap asas kesamaan di hadapan hukum. Adanya potensi terjadinya penyalahgunaan dalam jabatan yang dilakukan aparat penegak hukum juga akan menjadi masalah tersendiri, terkait penerapan Pasal ini. Terkecuali, untuk kasus-kasus pidana yang menyangkut perkara narkotika dan anak yang pemidanaannya dilakukan di luar lembaga pemasyarakatan atau sebuah Panti. Setelah perubahan Pidana dengan syarat merupakan pidana yang penerapannya dikaitkan dengan syarat khusus yang ditentukan dalam putusan dalam perkara anak dan dalam perkara penyalahgunaan narkotika. pemerintah menyatakan menambahkan frasa dalam perkara anak seharusnya tidak perlu karena akan membatasi hakim dalam menangani perkara, pemerintah mengusulkan Terhadap usulan F-Golkar, Pemerintah berpendapat usulan untuk menambahkan frasa ”dalam perkara anak dan dalam perkara penyalahgunaan narkotika” tidak perlu karena pengaturan ini khusus diberlakukan bagi anak. Selain itu penambahan frasa ini akan membatasi hakim dalam menjatuhkan pidana. Pidana dengan syarat ini dijatuhkan oleh hakim sebagai alternatif dari putusan pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 tahun dan sejalan dengan Pasal 73 ayat (1) UU SPPA. 92. DIM No. 501 ( Pasal 125 ayat (2)) (2) Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 125 ayat (2) tetap. 93. DIM No. 502 ( Pasal 126 ayat (1)) Pasal 126 (1) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan berupa pembinaan di luar lembaga. Pemerintah menjelaskan bahwa Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 126 ayat (1) tetap. 94. DIM No. 503 ( Pasal 126 ayat (2)) (2) Tempat pelaksanaan pembinaan di luar lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikan dalam putusan Hakim dengan memperhatikan kebutuhan anak
22
Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 126 ayat (2) tetap. 95. DIM No. 504 (Pasal 126 ayat (3)) (3) Tempat pembinaan di luar lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan lembaga pendidikan dan pembinaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau panti tertentu yang ditunjuk dalam putusan hakim. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 127 ayat (1) tetap. 96. DIM No. 505 (Pasal 127 ayat (1)) Pasal 127 (1) Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan : Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 127 ayat (1) tetap. 97. DIM No. 506 (Pasal 127 ayat (1) huruf a) a. mengikuti program bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina; F-DEMOKRAT : Pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan dalam pelaksanaannya perlu diawasi agar tidak terjadi penyimpangan prosedur, sehingga upaya pembinaan dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Di samping itu, pengawasan terhadap prosedur juga diperlukan sebagai bentuk bagian peran lembaga penegak hukum dalam menjalankan fungsinya berkaitan dengan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice sistem) Setelah perubahan a. mengikuti program bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina, dengan diawasi oleh hakim pengawas atau pejabat berwenang. Terhadap usulan F-Demokrat, Pemerintah berpendapat frasa “dengan diawasi oleh hakim pengawas atau pejabat berwenang” tidak perlu karena proses pengawasan terhadap pidana dengan syarat dilakukan oleh penuntut umum serta dilakukan pembimbingan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Pejabat pembina melaporkan secara hasil pelaksanaan pidana dengan syarat kepada Pembimbing Kemasyaratan. Selain itu pelaksanaan pidana bagi anak berdasarkan DIM No. 536 (Pasal 135 RUU KUHP) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. 98. DIM No. 507 (Pasal 127 ayat (1) huruf b) b. mengikuti terapi di rumah sakit jiwa; atau Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 127 ayat (1) huruf b tetap. 99. DIM No. 508 (Pasal 127 ayat (1) huruf c)
23
c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 127 ayat (1) huruf c tetap. 100. DIM No. 509 (Pasal 127 ayat (2)) (2) Jika selama pembinaan, anak melanggar syarat syarat khusus seba¬gai¬mana dimaksud dalam Pasal 125, maka pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 127 ayat (2) tetap. 101. DIM No. 510 (Pasal 128 ayat (1)) Pasal 128 (1) Dalam hal putusan hakim berupa pelayanan masyarakat, jaksa anak dan pembimbing kemasyarakatan menempatkannya dalam lembaga pelayanan publik, baik milik pemerintah maupun swasta yang telah dikan berdasarkan hasil penelitian kemasyarakatan yang diawali dengan asesmen resiko dan asesmen kebutuhan anak. Pemerintah menjelaskan bahwa Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 128 ayat (1) tetap. 102. DIM No. 511 (Pasal 128 ayat (2)) (2) Selama masa pemidanaan pelayanan masyarakat, anak berada dalam lingkungan keluarga, dengan ketentuan segala persyaratan pembinaan yang telah diputus oleh pengadilan wajib dilaksanakan oleh anak dengan pendampingan dari orang tua/walinya. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 128 ayat (2) tetap. 103. DIM No. 512 (Pasal 128 ayat (3)) (3) Pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 128 ayat (3) tetap. 104. DIM No. 513 (Pasal 129 ayat (1)) Pasal 129 (1) Dalam hal putusan hakim berupa mengikuti pembinaan berupa pidana pengawasan, jaksa anak dan pembimbing kemasyarakatan menempatkan anak dalam lembaga pengawasan.
24
Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 129 ayat (1) tetap. 105. DIM No. 514 (Pasal 129 ayat (2)) (2) Pidana pengawasan yang dapat dijatuhkan kepada anak paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 129 ayat (2) tetap. 106. DIM No. 515 (Pasal 130 ayat (1)) Pasal 130 (1) Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 huruf c diselenggarakan oleh: Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 130 ayat (1) tetap. 107. DIM No. 516 (Pasal 130 ayat (1) huruf a) a. pemerintah; atau Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 130 ayat (1) huruf a tetap. 108. DIM No. 517 (Pasal 130 ayat (1) huruf b) b. pemerintah bekerja sama dengan swasta. F-DEMOKRAT mengusulkan Pihak swasta yang diberikan kepercayaan harus benar-benar memiliki kompetensi dan secara sah memiliki kewenangan dalam menjalankan tugasnya tersebut berdasarkan ketentuan yang berlaku Setelah perubahan Pemerintah bekerja sama dengan swasta yang secara sah ditunjuk berdasarkan prosedur ketentuan peraturan atau undang-undang yang berlaku Keterangan Pemerintah penambahan frase yang secara sah ditunjuk berdasarkan prosedur ketentuan peraturan sebaiknya tidak perlu dicantumkan karena apa yang diusulkan oleh F.Demokrat akan dicantumkan dalam PP Terhadap usul perubahan F-Demokrat, Pemerintah berpendapat bahwa penambahan frasa “yang secara sah ditunjuk berdasarkan prosedur ketentuan peraturan atau undang-undang yang berlaku” tidak diperlukan karena tata cara pelaksanaan pidana bagi anak berdasarkan DIM No. 536 (Pasal 135 RUU KUHP) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. 109. DIM No. 518 (Pasal 130 ayat (2)) (2) Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pad hari kerja dan tidak mengganggu hak belajar anak.
25
Pemerintah menjelaskan bahwa Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 130 ayat (2) tetap. 110. DIM No. 519 (Pasal 130 ayat (3)) (3) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun. Pemerintah menjelaskan bahwa Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 130 ayat (3) tetap. 111. DIM No. 520 (Pasal 130 ayat (4)) (4) Pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk jangka waktu paling singkat 1 (satu) jam dan paling lama 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari sesuai dengan putusan hakim dengan memperhatikan kebutuhan anak. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 130 ayat (4) tetap. 112. DIM No. 521 (Pasal 130 ayat (5)) (5) Pidana pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja yang sesuai dengan usia anak. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 130 ayat (5) tetap. 113. DIM No. 522 (Pasal 131 ayat (1)) Pasal 131 (1) Anak dijatuhi pidana berupa pembinaan dalam lembaga wajib ditempatkan dalam tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan sesuai dengan putusan hakim. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 131 ayat (1) tetap. 114. DIM No. 523 (Pasal 132 ayat (2)) (2) Tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan merupakan tempat atau lembaga yang memiliki tempat tinggal bagi Anak. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 131 ayat (2) tetap. 115. DIM No. 524 (Pasal 132 ayat (3)) (3) Dalam hal tempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memiliki sarana pendidikan, Balai Pemasyaraktan dapat bekerja sama dengan: Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 131 ayat (3) tetap. 26
116. DIM No. 525 (Pasal 132 ayat (3) huruf a) a. lembaga pendidikan; F-DEMOKRAT menjelaskan Lembaga pendidikan yang dipercaya merupakan lembaga yang memiliki kompetensi yang sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang atau peraturan lainnya. Setelah perubahan a. lembaga pendidikan yang memiliki kompetensi sesuai persyaratan yang ditentukan Undang-Undang dan ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku; Terhadap usul perubahan F-Demokrat, Pemerintah berpendapat bahwa penambahan frasa “yang memiliki kompetensi sesuai persyaratan yang ditentukan Undang-Undang dan ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku” tidak diperlukan karena tata cara pelaksanaan pidana bagi anak berdasarkan DIM No. 536 (Pasal 135 RUU KUHP) akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. 117. DIM No. 526 (Pasal 132 ayat (3) huruf b) b. lembaga keagamaan; atau Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 131 ayat (3) huruf b tetap. 118. DIM No. 527 (Pasal 132 ayat (3) huruf c) c. lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan Anak. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 131 ayat (3) huruf c tetap. 119. DIM No. 528 ( Pasal 132 ayat (1)) Pasal 132 (1) Pembinaan dalam lembaga dilaksanakan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 132 ayat (1) tetap. 120. DIM No. 529 ( Pasal 132 ayat (2)) (2) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu per dua) dari lamanya pembinaan dalam lembaga dan anak tersebut berkelakuan baik, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. F-DEMOKRAT megusulkan penambahan Frasa “Kecuali terhadap anak yang telah melakukan lebih dari satu kali tindak pidana yang sama” ditujukan sebagai bentuk pemberian efek jera terhadap pelaku pidana anak yang memiliki kecenderungan melakukan tindak pidana sebagai karakter. Setelah perubahan Kecuali terhadap anak yang telah melakukan lebih dari satu kali tindak pidana yang sama, anak yang telah menjalani 1/2 (satu per dua) dari 27
lamanya pembinaan dalam lembaga dan anak tersebut berkelakuan baik, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat. Terhadap usul perubahan F-Demokrat, Pemerintah berpendapat bahwa frasa “Kecuali terhadap anak yang telah melakukan lebih dari satu kali tindak pidana yang sama” pada DIM No. 529 (Pasal 132 ayat (2)) tidak dicantumkan karena proses pemberian Pembebasan Bersyarat merupakan bagian dari pembinaan sedangkan residive merupakan pertimbangan penjatuhan putusan oleh hakim. 121. DIM No. 530. ( Pasal 133 ayat (1)) Pasal 133 (1) Pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. F-DEMOKRAT mengusulkan Penambahan frasa “melihat sikap batin dan atau kondisi anak setelah melakukan tindak pidana tersebut” karena sebelum mempidana anak tersebut bisa dipertimbangkan aspek perbuatan terkategori sebagai perbuatan yang masih dapat dibina di dalam atau di luar penjara. Setelah perubahan Pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir, dengan melihat sikap batin dan atau kondisi anak setelah melakukan tindak pidana tersebut. Pemerintah menjelasan : frase melihat sikap batin sebaiknya tidak perlu dicantumkan karena sikap batin akan sulit, pemerintah mengusulkan Terhadap usul perubahan F-Demokrat, Pemerintah berpendapat bahwa frasa “melihat sikap batin dan atau kondisi anak setelah melakukan tindak pidana tersebut” tidak diperlukan karena mengukur sikap batin dan atau kondisi anak setelah melakukan tindak pidana sangat sulit dan akan bersifat subjektif. Pendekatan dalam pemidanaan terhadap anak ditujukan kepada pelidungan, kepentingan terbaik terhadap anak serta kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang anak. Upaya perampasan kemerdekaan bagi anak merupakan upaya terakhir dalam proses peradilan pidana. 122. DIM No. 531 ( Pasal 133 ayat (2)) (2) Pidana penjara bagi anak dilaksanakan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 133 ayat (2) tetap.
123. DIM No. 532 ( Pasal 133 ayat (3)) (3) Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
28
Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 133 ayat (3) tetap. 124. DIM No. 533 ( Pasal 134 ayat (1)) Pasal 134 (1) Pidana penjara diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan keke¬rasan. F-PPP memberikan catatan Tidak ditemukan terminologi “pidana berat” dalam RKUHP Indonesia, hal ini dapat berakibat multi tafsir. F-NASDEM menjelaskan Tidak ditemukan terminologi “pidana berat” dalam KUHP Indonesia, hal ini dapat berakibat multi tafsir. Pidana yang disertai dengan kekerasan juga harus dibatasi, pidana dengan kekerasan dalam rentang ancaman pidana berapa tahun saja dapat diterapkan, sebab ada pidana dengan kekerasan yang mana anak masih dapat diberikan bentuk pidana lain, seperti penganiayaan ringan. Ada baiknya lebih merinci pidana apa saja yang menjadi prioritas pidana penjara, sehingga hakim dan jaksa tidak ragu dalam melakukan penuntutan atau menjatuhkan pidana. Merinci tindak pidana apa saja yang layak dipidana, dengan memperhatikan konsep kepentingan anak. Semakin banyak tindak pidana yang tidak perlu di penjara, semakin baik. F-HANURA : Merinci tindak pidana apa saja yang layak dipidana, dengan memperhatikan konsep kepentingan anak. Semakin banyak tindak pidana yang tidak perlu di penjara, semakin baik. Tidak ditemukan terminologi “pidana berat” dalam KUHP Indonesia, hal ini dapat berakibat multi tafsir. Pidana yang disertai dengan kekerasan juga harus dibatasi, pidana dengan kekerasan dalam rentang ancaman pidana berapa tahun saja dapat diterapkan, sebab ada pidana dengan kekerasan yang mana anak masih dapat diberikan bentuk pidana lain, seperti penganiayaan ringan. Ada baiknya lebih merinci pidana apa saja yang menjadi prioritas pidana penjara, sehingga hakim dan jaksa tidak ragu dalam melakukan penuntutan atau menjatuhkan pidana. Setelah perubahan Menambahkan penjelasan pada pasal 134 ayat (1) mengenai rincian tindak pidana apa saja yang layak dipidana, dengan memperhatikan konsep kepentingan anak. Terhadap usul perubahan F-PPP, F-Nasdem, dan F-Hanura, Pemerintah bersedia membahas secara lebih mendalam mengenai terminologi yang tepat sebagai padanan frasa “pidana yang berat”. 125. DIM No. 534 (Pasal 134 ayat (2)) (2) Pidana pembatasan kebebasan penjara yang dijatuhkan terhadap Anak paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.
29
Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 134 ayat (2) tetap. 126. DIM No. 535 (Pasal 134 ayat (3)) (3) Ancaman pidana minimum khusus untuk pidana penjara tidak berlaku terhadap anak. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 134 ayat (3) tetap. 127. DIM No. 536 (Pasal 135) Pasal 135 Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana pokok bagi anak diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pemerintah berpendapat substansi ini digabungkan dengan ketentuan dalam Pasal 138 karena pendelagasian kewenangan mengatur kepada Peraturan Pemerintah telah didelegasikan oleh UU tentang SPPA, sehingga Pasal 136 diusulkan dihapus. 128. DIM No.537 (Pasal 136 ayat (1)) (1) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat dapat dijatuhkan oleh hakim dengan memperhatikan hukum adat yang hidup dalam masyarakat tempat anak berdomisili. F-GERINDRA megusulkan diubah, ditambah “atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” dan “dan hukum”. Setelah perubahan Pasal 136 (1) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dapat dijatuhkan oleh hakim dengan memperhatikan hukum adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat tempat anak berdomisili. F-DEMOKRAT mengusulkan dicabut Perlu diatur lebih lanjut ketentuan hukum adat dalam bentuk hukum positif sehingga tidak menimbulkan kondisi ketidakpastian hukum atas frasa “hukum adat” tersebut. F-PKS mengusulkan dihapus seorang warga adat yang melakukan pelanggaran tak seharusnya menerima sanksi ganda baik hukum negara maupun hukum adat. Ini dikarenakan, dalam memutuskan suatu perkara hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti, dan mehamami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, sehingga apabila itu merupakan amanat dari hukum adat maka proses tersebut cukup diselesaikan melalui mekanisme adat saja. F-NASDEM mengusulkan dihapus Penggunaan pidana adat utamanya untuk anak harus diperhatikan secara hati-hati. Batasan dan pengaturan terkait pidana adat selama ini tidak dirinci secara jelas sehingga dapat mengancam kepentingan anak.
30
F-HANURA mengusulkan dihapus karena Penggunaan pidana adat utamanya untuk anak harus diperhatikan secara hati-hati. Batasan dan pengaturan terkait pidana adat selama ini tidak dirinci secara jelas sehingga dapat mengancam kepentingan anak. Terhadap usulan fraksi F-Gerindra, F-Demokrat, F-PKS, dan F-Nasdem, dan FHanura, Pemerintah mengusulkan pembahasan mengenai substansi ini menunggu hasil pembahasan pada DIM No. 13 (Pasal 2 RUU KUHP) dan DIM No. 57 (Pasal 12 RUU KUHP) yang dipending oleh PANJA. 129. DIM No. 538 (Pasal 136 ayat (2)) (2) Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memang merupakan tindak pidana menurut hukum adat setempat. F-GERINDRA mengusulkan diubah. Frasa “pidana pokok” diganti “pidana tambahan” dan ditambah “atau menurut hukum yang hidup dalam masyarakat” di bagian akhir ayat. Setelah perubahan (2) Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pidana tambahan yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memang merupakan tindak pidana menurut hukum adat atau menurut hukum yang hidup dalam masyarakat setempat. F-DEMOKRAT mengusulkan dihapus Setelah perubahan Sama dengan Pasal 136 ayat (1) F-PPP mengusulkan dihapus Pemerintah menjelaskan bahwa terhadap usulan belum memutuskan karena menunggu hasil DIM No.13 dan DIM No.57 yang sementara ini dipending oleh panja, terkait pidana tambahan bagi anak. Terhadap usulan F-Gerindra, F-Demokrat, F-PPP, Pemerintah mengusulkan pembahasan mengenai substansi ini menunggu hasil pembahasan pada DIM No. 13 (Pasal 2 RUU KUHP) dan DIM No. 57 (Pasal 12 RUU KUHP) yang dipending oleh PANJA. 130. DIM No. 539 (Pasal 136 ayat (3)) (3) Kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat diganti dengan pidana pelatihan kerja atau pidana ganti kerugian, jika kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh anak. F-DEMOKRAT mengusulkan dicabut Setelah perubahan Sama dengan Pasal 136 ayat (1) F-PPP mengusulkan dihapus F-HANURA mengusulkan dihapus karena Pasal ini menunjukkan inkonsistensi dari pembentuk Undang-Undang, dimana pada dasarnya ada alternatif pidana lain masih dapat diterapkan dari pada pidana adat 31
Terhadap usulan fraksi F-Demokrat, F-PPP, dan F-Hanura, Pemerintah mengusulkan pembahasan mengenai substansi ini menunggu hasil pembahasan pada DIM No. 13 (Pasal 2 RUU KUHP) dan DIM No. 57 (Pasal 12 RUU KUHP) yang dipending oleh PANJA. Namun Pemerintah mengusulkan perubahan substansi pada ayat (3), yang berbunyi sebagai berikut: (3) Dalam hal kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat tidak dilaksanakan atau tidak dipenuhi oleh Anak, diganti dengan pidana pelatihan kerja atau pidana ganti kerugian. 131. DIM No. 540 Paragraf 2 Tindakan bagi Anak 132. DIM No. 541 ( Pasal 137) Pasal 137 Setiap anak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 dapat dikenakan tindakan: Pemerintah menjelaskan bahwa terhadap usulan belum memutuskan karena menunggu hasil DIM No.13 dan DIM No.57 yang sementara ini dipending oleh panja, terkait pidana tambahan bagi anak. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 137 tetap. 133. DIM No. 542 a. pengembalian kepada orang tua/wali; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 137 huruf a tetap. 134. DIM No. 543 b. penyerahan kepada seseorang; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 137 huruf b tetap. 135. DIM No. 544 c. perawatan di rumah sakit jiwa; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 137 huruf c tetap. 136. DIM No. 545 d. perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 137 huruf d tetap.
32
137. DIM No. 546 e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 137 huruf e tetap. 138. DIM No. 547 f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau 139. DIM No. 548 g. perbaikan akibat tindak pidana. Usulan F-PPP bahwa Ketentuan ini tidak jelas, apa yang dimaksud dengan perbaikan? Usulan F-NASDEM bahwa Ketentuan ini tidak jelas, apa yang dimaksud dengan perbaikan? Usulan F-HANURA bahwaKetentuan ini tidak jelas, apa yang dimaksud dengan perbaikan? Terhadap usul dari F-PPP, F-Nasdem, dan F-Hanura, Pemerintah setuju untuk memperjelas dengan menambahkan penjelasan Pasal 137 huruf g serta penyempurnaan pengacuan pasal karena pengenaan tindakan bagi anak tidak hanya disebabkan oleh ketentuan dalam Pasal 41 dan Pasal 42 sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 121 (berasal dari Pasal 137) (1) Setiap Anak dapat dikenakan tindakan berupa: a. pengembalian kepada orang tua/wali; b. penyerahan kepada seseorang; c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial; e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; f. pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan paling lama 1 (satu) tahun. Penjelasan Pasal 121 huruf g Yang dimaksud dengan “perbaikan akibat tindak pidana” misalnya memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh tindak pidananya dan memulihkan keadaan sesuai dengan sebelum terjadinya tindak pidana” 140. DIM No. 549 ( Pasal 138) Pasal 138 Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 141. DIM No. 550 Bagian Kelima Faktor yang Memperingan dan Memperberat Pidana 33
Catatan: Pasal 103 s.d Pasal 138 diselaraskan dengan UU SPPA. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Bagian Kelima tetap. 142. DIM No. 551 ( Pasal 139) Pasal 139 Faktor yang memperingan pidana meliputi: a. percobaan melakukan tindak pidana; F-GOLKAR mengusulkan ketentuan ini mengakibatkan bagi pembuat pidana percobaan mendapat keringan dua kali. Pada pasal 21 pidana percobaan telah diberikan keringanan, ½ (satu per dua) dari maksimum pidana yang diancamkan. Sehingga harusnya percobaan sudah tidak masuk kategori diringankan pidananya. Harus dipertimbangkan juga peringanan pidana dalam hal terpidana merupakan justice collaborator, ini merupakan konsep harmonisasi dengan perlindungan saksi dan korban Setelah perubahan huruf a di hilangkan dan menambahkan ketentuan Justice Collaborator F-PPP mengusulkan dirubah rumusannya : Ketentuan ini mengakibatkan bagi pembuat pidana percobaan mendapat keringan dua kali. Pada pasal 21 pidana percobaan telah diberikan keringanan, ½ (satu per dua) dari maksimum pidana yang diancamkan. Sehingga harusnya percobaan tidak lagi masuk kategori peringan pidanan. Harus dipertimbangkan juga peringanan pidana dalam hal terpidana merupakan justice collaborator, ini merupakan konsep harmonisasi dengan perlindungan saksi dan korban Setelah perubahan Terdakwa menjadi justice collaborator F-NASDEM menjelaskan ketentuan ini mengakibatkan bagi pembuat pidana percobaan mendapat keringan dua kali. pada pasal 21 pidana percobaan telah diberikan keringanan, ½ (satu per dua) dari maksimum pidana yang diancamkan. sehingga harusnya percobaan sudah tidak masuk kategori diringankan pidananya. Harus diatur juga peringanan pidana dalam hal terpidana merupakan justice collaborator, ini merupakan konsep harmonisasi dengan perlindungan saksi dan korban huruf a di hilangkan F-HANURA mengusulkan huruf a di hilangkan ketentuan ini mengakibatkan bagi pembuat pidana percobaan mendapat keringan dua kali. pada pasal 21 pidana percobaan telah diberikan keringanan, ½ (satu per dua) dari maksimum pidana yang diancamkan. sehingga harusnya percobaan sudah tidak masuk kategori diringankan pidananya. Harus dipertimbangkan juga peringanan pidana dalam hal terpidana merupakan justice collaborator, ini merupakan konsep harmonisasi dengan perlindungan saksi dan korban Setelah perubahan 34
Pasal 139 Faktor yang memperingan pidana meliputi : Pemerintah menjelaskan: - Bahwa dalam Bab II mengenai Percobaan tidak ada 2 kali pemberian keringan hukuman karena dalam Pasal 21 mengatur mengenai pengurangan hukuman yang disebabkan oleh ketidakmampuan alat atau korban. - Pengaturan mengenai justice collaborator diatur di dalam hukum acara (KUHAP). 143. DIM No. 551A F-NASDEM mengusulkan sustansi baru menambahkan ketentuan Justice Collaborator F-PG mengusulkan sustansi baru Menambahkan ketentuan Justice Collaborator F-HANURA mengusulkan sustansi baru Menambahkan ketentuan Justice Collaborator Terhadap usulan dari F-Nasdem, F-PG, dan F-Hanura untuk menambahkan substansi di dalam Pasal 139 mengenai Justice Collaborator, Pemerintah dapat memepertimbangkan untuk memasukkan Justice Collaborator sebagai faktor yang memperingan pidana dalam ketentuan ini dan dibahas dalam TIMUS. 144. DIM No. 552 pembantuan terjadinya tindak pidana; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Bagian Kelima tetap. 145. DIM No. 553 penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Bagian Kelima tetap. 146. DIM No. 554 tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil; F-DEMOKRAT menjelaskan Bagaimana bila tindak pidana dilakukan oleh wanita hamil, karena perbuatan pidana tersebut merupakan tabiat ? Hal tersebut tentunya justeru menjadi hal-hal yang memberatkan karena pelaku tindak pidana terkategori sebagai residivis. Setelah perubahan tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil, sepanjang tindak pidana tersebut belum pernah dilakukan; Terhadap usul perubahan dari F-Demokrat, Pemerintah berpendapat bahwa penambahan frasa “sepanjang tindak pidana tersebut belum pernah dilakukan” tidak diperlukan karena kondisi psikologis wanita hamil yang menyebabkan perilaku yang tidak atau kurang rasional, sehingga dimungkinkan bagi wanita 35
hamil untuk mengulangi perbuatan pidana yang dilakukan. Hal ini sudah tercantum dalam penjelasan Pasal 139. F-PAN : Setelah frasa wanita hamil, ditambah frasa, wanita menyusui, dan/atau perempuan kepala keluarga. Keringanan hukuman juga harus diberikan kepada wanita menyusui dan perempuan kepala keluarga agar emenuhan hak azasi anak yang menjadi tanggungjawabnya dapat terpenuhi dan kesehatan reproduksinya dapat terpelihara. Setelah perubahan d. tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil; Terhadap usul perubahan dari F-PAN, Pemerintah berpendapat bahwa penambahan frasa “wanita menyusui, dan/atau perempuan kepala keluarga” tidak diperlukan karena wanita menyusui atau perempuan sebagai kepala keluarga (single parent) tidak ada objek hukum yang dilindungi, dengan kata lain bagi wanita hamil terdapat objek hukum yang dilindungi yakni si calon bayi sehingga diperlukan faktor yang memperingan pidana untuk mengurangi dampak yang akan timbul terhadap si calon bayi. 147. DIM No. 555 pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan; F-NASDEM mengusulkan Harus dipertimbangkan mengenai konsep restitusi oleh pelaku kejahatan. F-HANURA mengusulkan Menambahkan klausa restitusi Harus dipertimbangkan mengenai konsep restitusi oleh pelaku kejahatan. Pemerintah mengusulkan : tidak perlu ditambahkan kata restitusi. Terhadap usul perubahan dari F-Nasdem dan F-Hanura, Pemerintah berpendapat tidak perlu ditambahkan kata “restitusi” karena dalam ketentuan Pasal 139 huruf e adalah peristiwa hukum sebelum putusan hakim dijatuhkan. 148. DIM No. 556 f. tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat; F-HANURA meminta penjelasan maksud ”kegoncangan jiwa yang hebat” Apabila termasuk dasar pemaaf pidana , maka dikeluarkan dari dasar peringan. Karena akan menimbulkan duplikasi Menjadi suatu pertanyaan ”apakah kegoncangan jiwa yang hebat `merupakan bagaian dari dasar peringan atau merupakan bagian dari dasar pemaaf” Dasar pemaaf salah satunya ialah: mensyaratkan adanya kegoncangan jiwa yang hebat. Oleh karenanya kegoncangan jiwa seperti apa yang dimaksud dalam pasal ini. Apabila termasuk dasar pemaaf, maka seharusnya pasal ini dikeluarkan dalam rumusan dasar peringan Menambahkan penjelasan pasal ini mengenai maksud dari “kegoncangan jiwa yang hebat” 36
Terhadap pertanyaan dari F-Hanura, Pemerintah akan berkosultasi dengan psikiater atau ahli termasuk perbuatan nyata yang dapat dikategorikan kegoncangan jiwa yang hebat. 149. DIM No. 557 g. tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 139 huruf g tetap. 150. DIM No. 558 h. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. F-DEMOKRAT mengusulkan untuk dihapus Frasa “faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat” tidak bisa dijadikan ukuran dalam hal penegakan hukum dan dapat menimbulkan gap dengan hukum positif. Hukum yang hidup di dalam masyarakat biasanya lebih menekankan kepada sanksi yang bersifat moral. Namun, bila hukuman yang diberikan kepada anggota masyarakat tersebut merupakan bagian dari tindak pidana di dalam suatu ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan, tak ada alasan pemaaf maupun pembenar yang dapat dijadikan pertimbangan untuk menghukum pelaku pemberi hukuman itu sendiri. Sebagai contoh seperti budaya Carok (MADURA) atau Sirr Na pa‟ce dalam (MAKASAR) tidak dapat dibenarkan di dalam hukum positif yang berlaku di negara kita. F-NASDEM menjelaskan bahwa Rumusan ini tidak jelas, tidak memberikan perincian jelas apa yang dimaksud dengan faktor lain dan apa saja batasan atas hukum yang hidup dalam masyarakat F-HANURA mengusulkan tidak perlu diatur Rumusan ini tidak jelas, tidak memberikan perincian jelas apa yang dimaksud dengan faktor lain dan apa saja batasan atas hukum yang hidup dalam masyarakat Terhadap usulan F-Demokrat, F-Nasdem, dan F-Hanura, Pemerintah bersedia membahas lebih lanjut dan mengusulkan pembahasan mengenai substansi ini menunggu hasil pembahasan pada DIM No. 13 (Pasal 2 RUU KUHP) dan DIM No. 57 (Pasal 12 RUU KUHP) yang dipending oleh PANJA. 151. DIM No. 559 ( Pasal 140 ayat (1)) Pasal 140 (1) Peringanan pidana adalah pengurangan 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana maksimum maupun minimum khusus untuk tindak pidana tertentu. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 140 ayat (1) tetap.
37
152. DIM No. 560 ( Pasal 140 ayat (2)) (2) Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup, maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun. SUBSTANSI F-DEMOKRAT mengusulkan dihapus Pada ketentuan menyangkut pidana mati dan seumur hidup sebaiknya tidak dicantumkan lagi maksimum pidana penjaranya. Terhadap usulan dari F-Demokrat, Pemerintah mengusulkan penyempurnaan rumusan untuk dibahas dalam PANJA atau TIMUS yang berbunyi sebagai berikut: (2) Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati peringanan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan maksimum penjara seumur hidup. (2A) Untuk tindak pidana yang diancam pidana penjara seumur hidup peringanan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan maksimum pidana penjara 15 (lima belas) tahun. 153. DIM No. 561 ( Pasal 140 ayat (3)) (3) Berdasarkan pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan. F-DEMOKRAT mengusulkan dihapus Demi kepastian hukum, agar dipertimbangkan kembali peringanan pidana terhadap putusan yang sudah incraht. F-PKS mengusulkan diubah, tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat nengara dan penegak hukum memiliki dampak yang lebih luas, seharusnya mereka memberikan keteladanan setelah perubahan a. Pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat negara, penegak hukum, pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan Terhadap usul perubahan dari F-Demokrat, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 140 ayat (3) sebagai pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan putusan, sehingga terhadap putusan yang sudah memperoleh kekuatan tetap mekanisme perubahan pidana diatur dalam Pasal 58 RUU KUHP. 154. DIM No. 562 (Pasal 141) Pasal 141 Faktor yang memperberat pidana meliputi: a. pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan; F-PKS mengusukan dihapus
38
tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat nengara dan penegak hukum memiliki dampak yang lebih luas, seharusnya mereka memberikan keteladanan setelah perubahan a. Pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pejabat negara, penegak hukum, pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan; F-HANURA mengusukan dihapus ketentuan ini mengakibatkan bagi pembuat pidana mendapatkan pemberatan sebanayak dua kali. Bukankah pemberatan dalam norma ini tercantum langsung dalam delik-delik spesifik yanga ada. Dalam delik spesifik akan kejahatan TP pegawai negeri ketentuan pidananya sudah diperberat 1/3. Seharusnya rumusan akan hal ini tidak perlu dicantumkan dalam Buku I. Namun langsung diatur pada delik yang bersangkutan. Pemerintah menjelaskan terhadap usulan tersebut pemerintah dapat menerima dan siap untuk dibahas dalam Timus Pemberatan pidana tidak berlaku apabila dalam pasal-pasal tertentu sudah dikenakan peringanan dan pemberatan pidana. Terhadap usulan dari F-PKS, Pemerintah dapat menerima dan siap membahas dalam TIMUS. 155. DIM No. 563 b. penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana; F-HANURA mengusukan dihapus Setelah perubahan ketentuan ini mengakibatkan bagi pembuat pidana mendapatkan pemberatan sebanayak dua kali. Bukankah pemberatan dalam norma ini tercantum langsung dalam delik-delik spesifik yanga ada. Seharusnya rumusan akan hal ini tidak perlu dicantumkan dalam Buku I. Namun langsung diatur pada delik yang bersangkutan. Pemerintah menjelaskan bahwa terhadap usulan dari F-Hanura, sudah dijelasakan pada DIM No. 562 (Pasal 141 huruf a). 156. DIM No. 564 c. penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana; F-HANURA mengusukan dihapus Setelah perubahan ketentuan ini mengakibatkan bagi pembuat pidana mendapatkan pemberatan sebanayak dua kali. Bukankah pemberatan dalam norma ini tercantum langsung dalam delik-delik spesifik yanga ada. Seharusnya rumusan akan hal ini tidak perlu dicantumkan dalam Buku I. Namun langsung diatur pada delik yang bersangkutan Pemerintah menjelaskan bahwa terhadap usulan dari F-Hanura, sudah dijelasakan pada DIM No. 562 (Pasal 141 huruf a).
39
157. DIM No. 565 d. tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun; F-GERINDRA mengusulkan diubah. Frasa “bersama-sama dengan” diubah menjadi “dengan mengikutsertakan”. Lihat Pasal 95 huruf a (DIM No. 388) Setelah perubahan a. tindak pidana yang dilakukan orang dewasa dengan mengikutsertakan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun; F-HANURA mengusulkan dihapus Setelah perubahan ketentuan ini mengakibatkan bagi pembuat pidana mendapatkan pemberatan sebanayak dua kali. Bukankah pemberatan dalam norma ini tercantum langsung dalam delik-delik spesifik yanga ada. Seharusnya rumusan akan hal ini tidak perlu dicantumkan dalam Buku I. Namun langsung diatur pada delik yang bersangkutan. Terhadap usulan F-Gerindra, Pemerintah dapat menerima dan mengusulkan penyempurnaan rumusan untuk dibahas dalam PANJA atau TIMUS yang berbunyi sebagai berikut: d. tindak pidana yang dilakukan orang dewasa dengan mengikutsertakan dan/atau bersama sama anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun; 158. DIM No. 566 e. tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama sama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana; F-GERINDRA mengusulkan diubah. “Bersekutu” diganti dengan “permufakatan”; dan “bersama-sama” diganti dengan “penyertaan”. Disesuaikan dengan istilah yang digunakan dalam Bab II Bagian Kesatu KUHP Buku I. Setelah perubahan b. tindak pidana yang dilakukan secara permufakatan, penyertaan, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana; Pemerintah: dapat menerima usul dibahas dalam Timus F-NASDEM mengusulkan dihapus Poin ini baiknya diatur berdiri sendiri di masing-masing delik pidana, sehingga menjadi bagian unsur dari suatu tindak pidana. Pada dasarnya pun sudah diatur dalam perbarengan dan beberapa delik. Perlu untuk memperjelas unsur dan pengertian dari cara yang kejam, agar tidak diartikan secara meluas. F-HANURA mengusulkan dihapus Poin ini baiknya diatur berdiri sendiri di masing-masing delik pidana, sehingga menjadi bagian unsur dari suatu tindak pidana. Pada dasarnya pun sudah diatur dalam perbarengan dan beberapa delik. Perlu untuk memperjelas unsur dan pengertian dari cara yang kejam, agar tidak diartikan secara meluas.
40
Terhadap usulan dari F-Gerindra, Pemerintah bersedia membahas lebih dalam di dalam PANJA atau TIMUS. Terhadap usulan dari F-Nasdem dan F-Hanura, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar faktor yang memperberat pidana disebutkan secara umum dalam Buku Kesatu sehingga tidak lagi diperlukan pengulanggan konsep pemberatan dalam tiap-tiap delik, oleh karena itu Pasal 141 huruf e masih diperlukan. 159. DIM No. 567 f. tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 141 huruf f tetap. 160. DIM No. 568 g. tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 141 huruf g tetap. 161. DIM No. 569 h. pengulangan tindak pidana; atau F-HANURA mengusulkan dihapus Setelah perubahan ketentuan ini mengakibatkan bagi pembuat pidana mendapatkan pemberatan sebanayak dua kali. Bukankah pemberatan dalam norma ini tercantum langsung dalam Pasal tersendiri. Untuk apa dicantumkan ? Pemerintah menjelaskan bahwa terhadap usulan F-Hanura sudah dijelaskan pada DIM No. 562 (Pasal 141 huruf a). 162. DIM No. 570 i. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat. F-DEMOKRAT mengusulkan dihapus Setelah perubahan Sepanjang Frasa “bersumber dari hukum yang hidup di dalam masyarakat” sebaiknya dihapus F-NASDEM Rumusan ini tidak jelas, tidak memberikan perincian jelas apa yang dimaksud dengan faktor lain dan apa saja batasan atas hukum yang hidup dalam masyarakat. F-HANURA : Rumusan ini tidak jelas, tidak memberikan perincian jelas apa yang dimaksud dengan faktor lain dan apa saja batasan atas hukum yang hidup dalam masyarakat. Terhadap usulan dari F-Demokrat, F-Nasdem, dan F-Hanura, Pemerintah bersedia membahas lebih lanjut dan mengusulkan pembahasan mengenai
41
substansi ini menunggu hasil pembahasan pada DIM No. 13 (Pasal 2 RUU KUHP) dan DIM No. 57 (Pasal 12 RUU KUHP) yang dipending oleh PANJA. 163. DIM No. 571 ( Pasal 142) Pasal 142 Pemberatan pidana adalah penambahan 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana. F-HANURA meminta penjelasan Setelah perubahan Apakah maksud dari pasal ini hanya sebagai penegasan, karena sebenarnya disetiap rumusan delik sudah hada pemberatannya. Tidak perlu dikumpulkan menjadi satu pasal seperti ini. Pemerintah menjelaskan bahwa terhadap usulan F-Hanura sudah dijelaskan pada DIM No. 562 (Pasal 141 huruf a) 164. DIM No. 572 ( Pasal 143 ayat (1)) Pasal 143 (1) Jika dalam suatu perkara terdapat faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama sama maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3 (satu p er tiga). F-GERINDRA mengusulkan tanpa ayat, karena ayat (2) dihapus. Setelah perubahan Pasal 143 Jika dalam suatu perkara terdapat faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama sama maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga). Pemerintah menjelaskan bahwa terhadap usulan dari F-Gerindra, Pemerintah menungu hasil pembahasan pada DIM No. 573 (Pasal 143 ayat (2)). 165. DIM No. 573 ( Pasal 143 ayat (2)) (2) Berdasarkan pertimbangan tertentu, hakim dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai peringanan dan pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). F-GERINDRA mengusulkan dihapus F-DEMOKRAT mengusulkan dihapus Setelah perubahan Frasa “Pertimbangan tertentu” tidak secara tegas memberikan penafsiran sehingga multitafsir sehingga rawan disalahgunakan. Frasa tersebut bisa menjadi sangat subjektif dan memberikan diskresi tanpa penjelasan lebih lanjut sehingga dapat menimbulkan proses yang menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan jabatan F-NASDEM mengusulkan harus diperjelas apa yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu”. Dalam penjelasan dijelaskan bahwa Pertimbangan tertentu dalam ketentuan ini tergantung dari keyakinan Hakim.
42
Ada perbedaan mendasar mengenai formulasi menjatuhkan pidana dengan “keyakinan pidana”, konsep ini tidak dapat disatukan karena keyakinan hakim berada di domain hakim untuk menentukan apakah seseorang bersalah atau tidak, sedangkan ketentuan mengenai meringankan dan memberatkan adalah mekanisme lanjutan ketika seseorang terbukti bersalah. Mengembalikan kewenangan untuk menggunakan formulasi meringankan dan memberatkan pidana berdasarkan keyakinan hakim adalah bentuk inkonsisten dari mekanisme pengaturan ini. F-HANURA : Harus diperjelas apa yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu”. Dalam penjelasan dijelaskan bahwa Pertimbangan tertentu dalam ketentuan ini tergantung dari keyakinan Hakim. Ada perbedaan mendasar mengenai formulasi menjatuhkan pidana dengan “keyakinan pidana”, konsep ini tidak dapat disatukan karena keyakinan hakim berada di domain hakim untuk menentukan apakah seseorang bersalah atau tidak, sedangkan ketentuan mengenai meringankan dan memberatkan adalah mekanisme lanjutan ketika seseorang terbukti bersalah. Mengembalikan kewenangan untuk menggunakan formulasi meringankan dan memberatkan pidana berdasarkan keyakinan hakim adalah bentuk inkonsisten dari mekanisme pengaturan ini. Terhadap usul dari F-Gerindra, F-Demokrat, F-Nasdem, dan F-Hanura, Pemerintah berpendapat bahwa faktor-faktor yang memperingan dan memperberat pidana merupakan dasar pengurangan atau penambahan ancaman hukum yang bersifat fakultatif berdasarkan keyakinan hakim. Pemberian tersebut didasarkan kepada kewenangan hakim sebagai entitas resmi yang independen. Tentunya pemberian tersebut tidak sewenang-wenang karena harus secara normatif dan berdasarkan fakta dipersidangan. 166. DIM No. 574 Bagian Keenam Perbarengan F-PDIP memberikan catatan Perbarengan seharusnya ada pada Bab II Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Buku Kesatu, pada Bagian II Pertanggungjawaban Pidana, sebelum Paragraf 6 Pengulangan. Sebab, Perbarengan dan Pengulangan termasuk faktor-faktor Pemberatan (Penambahan) Pidana. Sedangkan Perbantuan pada Penyertaan (Paragraf 5, Bagian Kesatu Tindak Pidana, Bab II, Buku Kesatu) termasuk faktorfaktor Peringanan (Pengurangan) Pidana. Pemerintah menjelaskan bahwa: - Perlu ditambahkan dalam penjelasan untuk F-PDIP untuk perbuatan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracth). - Untuk F-PD, Pemerintah berpendapat jika suatu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana 43
Jika suatu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang berbeda-beda maka yang dijatuhkan pidana yang terberat. 167. DIM No. 575 ( Pasal 144 ayat (1)) Pasal 144 (1) Jika suatu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana. F-PDIP menerangkan Pasal 144 sampai dengan Pasal 151 . Setelah perubahan Catatan: Pasal 144 sampai dengan Pasal 151 tentang Perbarengan, Perlu penegasan pada masalah perbarengan atau gabungan tindak pidana (samenloop), yang dapat dikenakan penambahan pidana sebesar sepertiga dari maksimum pidana terberat. Pada perbarengan, antara satu tindak pidana dan tindak pidana lainnya belum ada yang diputus berkekuatan hukum (inkracht). Masalah ini berkaitan pula dengan (RUU) KUHAP, mana kala berbagai tindak pidana itu dilakukan pelaku di beberapa daerah berbeda. Contohnya, aneka kasus perampokan di sejumlah daerah yang pernah dilakukan Slamet Gundul. Menurut KUHAP, seharusnya Slamet Gundul disidangkan di salah satu pengadilan negeri di salah satu daerah tempat kejadian perkara yang diperkirakan paling banyak saksinya. Pada prakteknya, ternyata Slamet Gundul diadili lebih dari sekali di beberapa pengadilan yang berbeda. F-DEMOKRAT mengusulkan perubahan: Jika suatu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana dengan ancaman hukuman yang terberat. Penjelasan Pemerintah: Perlu ditambahkan dalam penjelasan untuk F-PDIP untuk perbuatan yang belum memperoleh kekuatan hukum (inkracth). Untuk F-PD, Pemerintah berpendapat jika suatu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana Jika suatu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang berbeda-beda maka yang dijatuhkan pidana yang terberat. 168. DIM No. 576 ( Pasal 144 ayat (2)) (2) Jika suatu perbuatan diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus maka hanya dikenakan aturan pidana khusus. F-DEMOKRAT mengusulkan perubahan Jika suatu perbuatan diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus maka pemidanaan yang diberikan adalah ancaman hukuman yang terberat. Pemerintah menjelaskan bahwa rumusannya Tetap. 44
169. DIM No. 577 ( Pasal 145 ayat (1)) Pasal 145 (1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang saling berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut dan diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana. Pemerintah menjelaskan bahwa rumusannya Tetap. 170. DIM No. 578 ( Pasal 145 ayat (2)) (2) Jika tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan pidana yang berbeda maka hanya dijatuhkan pidana pokok yang terberat. F-GERINDRA mengusulkan perubahan Setelah perubahan Dalam Penjelasan perlu dimasukan : Apabila ancaman pidana pokok yang terberat adalah pidana penjara, sedangkan ada korban yang dirugikan, maka terdakwa diminta untuk menyelesaikan pembayaran ganti kerugian sebelum putusan hakim dijatuhkan. Pemerintah menjelaskan bahwa rumusannya Tetap. 171. DIM No. 579 ( Pasal 145 ayat (3)) (3) Ketentuan mengenai penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tindak pidana memalsu atau merusak mata uang dan menggunakan uang palsu atau uang yang dirusak tersebut. F-GERINDRA mengusulkan dihapus Setelah perubahan Ketentuan ayat ini merupakan salah satu contoh dari tindak pidana perbarengan dalam ayat (1), karena itu substansi ayat ini sebaiknya dimasukkan ke dalam Penjelasan ayat (1) di atas. F-PKS mengusulkan dihapus Pada bagian ini berbicara tentang kontek tindak pidan perbarengan bukan berbicara tentang jenis tindak pidana sehingga tidak sinkron dengan pembahasan diatasnya. Kenapa tiba2 muncul Pemerintah menjelaskan bahwa rumusannya tetap 172. DIM No. 580 ( Pasal 146 ayat (1)) Pasal 146 (1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang harus dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan diancam dengan pidana pokok yang sejenis maka hanya dijatuhkan satu pidana. Pemerintah menjelaskan bahwa rumusannya Tetap 173. DIM No. 581 ( Pasal 146 ayat (2)) (2) Maksimum pidana untuk tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah maksimum pidana yang diancamkan pada 45
tindak pidana tersebut i tidak melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga). 174. DIM No. 582 ( Pasal 147 ayat (1)) Pasal 147 (1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang harus dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka pidana dijatuhkan adalah semua jenis pidana untuk masing-masing tindak pidana, i tidak melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga). Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 147 ayat (1) tetap. 175. DIM No. 583 ( Pasal 147 ayat (2)) (2) Perhitungan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada lamanya maksimum pidana penjara pengganti pidana denda. Pemerintah menjelaskan bahwa Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 147 ayat (2) tetap. 176. DIM No. 584 ( Pasal 147 ayat (3)) (3) Jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana minimum maka minimum pidana untuk perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah pidana minimum khusus untuk masing-masing tindak pidana, i tidak melebihi pidana minimum khusus terberat ditambah 1/3 (satu per tiga). Pemerintah menjelaskan bahwa Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 147 ayat (2) tetap. 177. DIM No. 585 ( Pasal 148) Pasal 148 Jika dalam perbarengan tindak pidana dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka tidak boleh dijatuhi pidana lain, kecuali pidana tambahan, yakni: Pemerintah menjelaskan bahwa Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 148 tetap. 178. DIM No. 586 a. pencabutan hak tertentu; Pemerintah menjelaskan bahwa semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 148 huruf a tetap. 179. DIM No. 587 b. perampasan barang tertentu; dan/atau
46
Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 148 huruf b tetap. 180. DIM No. 588 c. pengumuman putusan hakim. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 148 huruf c tetap. 181. DIM No. 589 ( Pasal 149 ayat (1)) Pasal 149 (1) Jika terjadi perbarengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 dan Pasal 147 maka penjatuhan pidana tambahan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 149 ayat (1) tetap. 182. DIM No. 590 a. pidana-pidana pencabutan hak yang sama dijadikan satu, dengan ketentuan: Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a tetap. 183. DIM No. 591 1. lamanya paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, lebih daripada pidana pokok yang diancamkan atau yang dijatuhkan; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a angka 1 tetap. 184. DIM No. 592 2. apabila pidana pokok yang diancamkan hanya pidana denda, lamanya paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a angka 2 tetap. 185. DIM No. 593 b. pidana-pidana pencabutan hak yang berlainan, dijatuhkan sendiri-sendiri untuk tiap tindak pidana tanpa dikurangi Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 149 ayat (1) huruf b tetap. 186. DIM No. 594 c. pidana-pidana perampasan barang tertentu atau pidana pengganti dijatuhkan sendiri-sendiri untuk tiap tindak pidana tanpa dikurangi. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 149 ayat (1) huruf c tetap. 47
187. DIM No. 595 (Pasal 149 ayat (2) (2) Lamanya pidana penjara pengganti atau pidana pengawasan pengganti tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun. F-GERINDRA meminta penjelasan terkait Pidana pengawasan pengganti? Pemerintah menjelaskan bahwa rumusannya Tetap, kerena sudah diatur di dalam Pasal 85 ayat (2) huruf b RUU KUHP 188. DIM No. 596 ( Pasal 150 ayat (1)) Pasal 150 (1) Perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis, ditentukan menurut urutan jenis pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2), pidana mati harus dipandang sebagai pidana yang terberat. Catatan : Pidana mati disinkronisasi dengan pasal 66 RUU KUHP 189. DIM No. 597 ( Pasal 150 ayat (2)) (2) Dalam hal hakim dapat memilih antara beberapa pidana pokok, hanya pidana yang terberat yang digunakan sebagai dasar perbandingan. F-PKS meminta penjelasan maksud hanya pidana yang terberat yang digunakan sebagai dasar perbandingan 190. DIM No. 598 ( Pasal 150 ayat (3)) (3) Perbandingan beratnya pidana pokok yang sejenis, ditentukan menurut maksimum ancaman pidananya. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 150 ayat (3) tetap. 191. DIM No. 599 ( Pasal 150 ayat (4)) (4) Perbandingan lamanya pidana pokok, baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis, ditentukan berdasarkan maksimum ancaman pidananya. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 149 ayat (1) tetap. 192. DIM No. 600 ( Pasal 151) Pasal 151 Jika seseorang setelah dijatuhi pidana dan dinyatakan bersalah lagi melakukan tindak pidana lain sebelum putusan pidana itu dijatuhkan maka pidana yang terdahulu diperhitungkan terhadap pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan perbarengan dalam Bab ini seperti apabila tindak pidana itu diadili secara bersamaan. F-GOLKAR meminta perlu adanya pembatasan bahwa pidana penjara selama waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan daripada dua puluh tahun berturut-turut Setelah perubahan
48
Penambahan frase; ”Perlu adanya pembatasan bahwa pidana penjara selama waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan daripada dua puluh tahun berturut-turut” F-HANURA mengusulkan penambahan frase; ”Perlu adanya pembatasan bahwa pidana penjara selama waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan daripada dua puluh tahun berturut-turut” Setelah perubahan Perlu adanya pembatasan bahwa pidana penjara selama waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan daripada dua puluh tahun berturut-turut Bahwa Pemerintah tidak keberatan jika melakukan perubahan ini dengan menambahkan menjadi 2 ayat Rumusan ayat (2) jika seseorabg setealh dijatuhi pidana dan dinyatakan bersalah lagi melakukan tidndak pidana lain sebelum putusan iu dijatuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pidana yang dijatuhkan sebelumnya telah mencapai maksimum pidana maka hakim cukup menyatakan berdalah tanpa diikuti pemidanaan. Pemerintah menjelaskan bahwa rumusannya Tetap (lihat Pasal 70 ayat (2) RUU KUHP). 193. DIM No. 601 BAB IV GUGURNYA KEWENANGAN PENUNTUTAN DAN PELAKSANAAN PIDANA Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Bab IV tetap. 194. DIM No. 602 Bagian Kesatu Gugurnya Kewenangan Penuntutan F-DEMOKRAT mengusulkan Frasa “Penuntutan” perlu penafsiran lebih lanjut karena terminologi penuntutan bisa diartikan sebagai proses setelah penyidikan. Dalam konteks Pasal ini, maksud dari Frasa “penuntutan” dimaksud apakah proses setelah “penyidikan” atau penuntutan secara umum, dalam arti proses pemidanaan dari mulai tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Bila terminologi tersebut mencakup semua tahapan tersebut, frasa “penuntutan” sebaiknya diganti dengan istilah lain. Frasa “penuntutan” juga dapat bermakna proses yang dilakukan oleh penuntut umum (bukan oleh penyidik/penyidikan) Setelah perubahan Gugurnya Kewenangan Proses Hukum Pemidanaan Pemerintah menjelaskan bahwa Kata penuntutan sudah bersifat umum dan sudah dipergunakan oleh aparat penegak hukum. 195. DIM No. 603 (Pasal 152) Pasal 152 49
Kewenangan penuntutan gugur, jika: a.telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum F-GOLKAR menjelaskan untuk kejahatan HAM yang berat harus diperhatikan bahwa terdapat peradilan khusus, sehingga dapat terjadi kemungkinan adanya asas ne bis in idem dalam hal pelaku sebelumnya sudah diadili dalam peradilan militer dan peradilan umum, sehingga tidak dapat diadili di pengadilan ham. Perlu ditambahkan ketentuan bahwa kewenangan penunututan gugur jika telah telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum , tidak berlaku dalam hal terdakwa diajukan dalam pengadilan khusus untuk kejahatan ham yang berat Setelah perubahan Pasal 152 Kewenangan penuntutan gugur, jika: a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum , kecuali dalam hal terdakwa diajukan dalam pengadilan khusus untuk kejahatan ham yang berat; F-NASDEM menjelaskan untuk kejahatan ham yang berat harus diperhatikan bahwa terdapat peradilan khusus, sheingga dapat terjadi kemungkinan adanya asas ne bis in idem dalam hal pelaku sebelumnya sudah diadili dalam peradilan militer dan peradilan umum, sehingga tidak dapat diadili di pengadilan ham. Perlu ditambahkan ketentuan bahwa kewenangan penunututan gugur jika telah telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum , tidak berlaku dalam hal terdakwa diajukan dalam pengadilan khusus untuk kejahatan ham yang berat. Pasal 152 Kewenangan penuntutan gugur, jika: a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum , kecuali dalam hal terdakwa diajukan dalam pengadilan khusus untuk kejahatan ham yang berat; Pemerintah: Asas ne bis in idem tidak diperbolehkan dalam hukum internasional (ICCPR Pasal 14 ayat (7)) yang telah diratifikasi oleh RI dengan UU No. 12 Tahun 2005, dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39 Tahun 1999 ttg HAM, dalam Pasal 19 Statuta Roma, dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. F-HANURA menjelaskan untuk kejahatan ham yang berat harus diperhatikan bahwa terdapat peradilan khusus, sehingga dapat terjadi kemungkinan adanya asas ne bis in idem dalam hal pelaku sebelumnya sudah diadili dalam peradilan militer dan peradilan umum, sehingga tidak dapat diadili di pengadilan ham. Perlu ditambahkan ketentuan bahwa kewenangan penunututan gugur jika telah telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum , tidak berlaku dalam hal terdakwa diajukan dalam pengadilan khusus untuk kejahatan ham yang berat Setelah perubahan Pasal 152 Kewenangan penuntutan gugur, jika: telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum , kecuali dalam hal terdakwa diajukan dalam pengadilan khusus untuk kejahatan ham yang berat; Terhadap usulan dari F-Golkar, F-Nasdem, dan F-Hanura, Pemerintah berpendapat bahwa asas ne bis in idem tidak diperbolehkan dalam hukum internasional (ICCPR Pasal 14 ayat (7)) yang telah diratifikasi oleh RI dengan UU No. 12 Tahun 2005, dalam Pasal 18 ayat (5) UU 39 Tahun 1999 ttg HAM,
50
dalam Pasal 19 Statuta Roma, dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 196. DIM No. 604 b.terdakwa meninggal dunia; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 152 huruf b tetap. 197. DIM No. 605 c.daluwarsa; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 152 huruf c tetap. 198. DIM No. 606 d. telah ada penyelesaian di luar proses; F-PDIP : Pasal 152 Huruf d. kata-kata “telah ada penyelesaian di luar proses” harus diperjelas. Bisa diperjelas, misalnya, diubah menjadi katakata “telah ada penyelesaian di luar proses peradilan pidana”. Bisakah pula ketentuan hukum tentang wewenang penuntutan gugur ini diberlakukan pada proses penyelesaian delik atau tindak pidana adat? Dengan demikian, perkara atau pelaku tindak pidana adat yang sudah diproses menurut forum hukum adat dan dijatuhkan sanksi hukum adat, tidak perlu lagi diproses melalui peradilan pidana. F-DEMOKRAT Penyelesaian di luar proses agar dipertimbangkan sebelum memasuki tahap penuntutan. Adapun bila telah memasuki tahap penuntutan ada penyelesaian di luar proses, maka faktor-faktor tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam putusan yang akan meringankan bagi pembuat pidana. Setelah perubahan Telah ada penyelesaian di luar proses hukum, terkecuali sebelum memasuki tahap penuntutan. F-PKS meminta penjelasan Bagaimana batasan dan ukuran Penyelesaian di luar proses ? F-PPP meminta penjelasan Maksud penyelesain di luar proses ini harus di perjelas. Apa saja hal hal penyelesaian di luar proses yang mengakibatkan penuntutan menjadi gugur? apakah karena ada proses mediasi penal, diversi, ataukan karena proses “bergain” terkait pelaku yang berkolaborasi F-HANURA harus ada penjelasan khusus Setelah perubahan maksud penyelesain di luar proses ini harus di perjelas. Apa saja hal hal penyelesaian di luar proses yang mengakibatkan penuntutan menjadi gugur?apakah karena ada proses mediasi penal, diversi, ataukan karena proses “bergain” terkait pelaku yang berkolaborasi Penjelasan Pemerintah bahwa tidak keberatan menambahkan penyelesaikan diluar proses peradilan Setuju dengan usulan F-PDIP, yang pada dasarnya telah menampung usulan dari fraksi-fraksi lain, sehingga rumusan diubah menjadi: d. telah ada penyelesaian di luar proses peradilan pidana; 51
Penjelasan: Penyelesaian diluar proses peradilan pidana dalam ketentuan ini meliputi tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I dan penyelesaian delik adat. catatan : perlu diatur mengenai batasan Pemerintah menjelaskan bahwa Setuju dengan usulan F-PDIP, yang pada dasarnya telah menampung usulan dari fraksi-fraksi lain, sehingga rumusan diubah menjadi: d. telah ada penyelesaian di luar proses peradilan pidana; Penjelasan: Penyelesaian diluar proses peradilan pidana dalam ketentuan ini meliputi tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I dan penyelesaian delik adat. 199. DIM No. 607 e. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II; F-DEMOKRATmengusulkan Frasa “Sukarela” dihapus, karena hakikat hukum pidana bersifat memaksa. Putusan tentang adanya pidana denda harus dilaksanakan, bukan dengan cara sukarela. Setelah perubahan maksimum pidana denda dibayar bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II F-PKS meminta penjelasan , apakah pengembalian ganti rugi menghapus pidana? dan Bagaiamana cara mengukur tingkat kesukarelaan. Penjelasan Pemerintah bahwa ketentuan ini merupakan perwujudan pendekatan keadailan restorative justice for criminal matters melalui keputusan majelis umum Nomor 44.25 Tahun 2000 PBB mendorong agar negara-nagara anggota PBB memanfaatkan pendekatan keadilan restorative dalam penyelesaian pidana. Basic princeiple on the use of restorative justice programmes in criminal matters (United Nations Economic and Social Council) Hal ini juga selaras dengan kearifan lokal yang masih ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia. Pemerintah dapat menjelaskan bahwa ketentuan ini merupakan perwujudan pendekatan keadilan restorative (justice for criminal matters) melalui keputusan majelis umum Nomor 44.25 Tahun 2000 PBB mendorong agar negara-nagara anggota PBB memanfaatkan pendekatan keadilan restorative dalam penyelesaian pidana. Basic princeiple on the use of restorative justice programmes in criminal matters (United Nations Economic and Social Council) Hal ini juga selaras dengan kearifan lokal yang masih ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia. 200. DIM No. 608 52
f. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 152 huruf f tetap. 201. DIM No. 609 g. Presiden memberi amnesti atau abolisi; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 152 huruf g tetap. 202. DIM No. 610 h. penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian; F-DEMOKRAT mengusulkan Ketentuan ini agar dipertimbangkan untuk diterapkan. Adapun soal isu tentang perjanjian Indonesia dengan negara lain, sudah sepatutnya bisa digugurkan dengan mengacu kepada norma yang diatur di dalam pasal ini, mengingat ada asas teritorial. Diketahui, di dalam asas tersebut hukum berlaku bagi semua orang atau pun barang yang berada di wilayah negara tersebut. Jika ketentuan Pasal ini diterapkan, bisa terkategori terjadi penyimpangan terhadap asas teritorial, bahkan bisa menjadi preseden lumpuhnya wibawa hukum yang berlaku pada suatu negara. Setelah perubahan Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana di wilayah Indonesia berdasarkan perjanjian yang dibuat antara ke dua negara. Terhadap usulan F-Demokrat, Pemerintah dapat menjelaskan: 1. Asas teritorial yang berlaku disetiap negara. 2. Asas ini dapat dikecualikan terhadap perjanjian antar negara Selain itu untuk memperjelas rumusan Pemerintah mengusulkan penghapusan frasa “penuntutan dihentikan karena” karena gugurnya kewenangan penuntutan yang disebabkan oleh kondisi dalam huruf h tidak menghentikan penuntutan akan tetapi hanya memindahkan penuntutan ke negara lain. Sehingga rumusan sebagai berikut: h. penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian internasional; 203. DIM No. 611 i. tidak adanya pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali untuk tindak pidana pengaduan; ata F-DEMOKRAT mengusulkan Ketentuan ini perlu disesuaikan kembali di dalam hukum acara. Mengingat ketentuan Pasal ini juga mengandung ketentuan hukum yang bersifat pidana formil (hukum acara) Setelah perubahan 53
tidak adanya pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali untuk tindak pidana pengaduan, sepanjang sebelum berkas belum memasuki tahap penuntutan; atau Terhadap usulan dari F-Demokrat, Pemerintah berpendapat sudah diakomodir di dalam penjelasan Pasal 152 huruf i dan Pasal 31 RUU KUHP. 204. DIM No. 612 j. ada pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung. F-PKS meminta penjelasan Kriteria Deponeering harus di pertimbangkan secara baik berdasarkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, sehingga perlun batasan seponering jaksa yang menyangkut kepentingan umum, Catatan: pengertian Deponering dan Seponering Terhadap pertanyaan dari F-PKS, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa: 1. Depoonering merupakan tindakan Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum yang merupakan pelaksanaan asas oportunitas, dan tidak dapat di praperadilankan. 2. Seponering merupakan tindakan penghentian penuntutan karena alasan teknis yuridis atau kepentingan terdakwa (anak usia 12 sampai dengan sebelum 18 tahun) yang merupakan kewenangan Jaksa dan dapat di praperadilankan. 205. DIM No. 613 ( Pasal 153 ayat (1)) Pasal 153 (1) Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf e dan huruf f serta biaya yang telah dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, dibayarkan kepada pejabat yang berwenang dalam jangka waktu yang telah dikan. F-DEMOKRAT meminta penjelasan : Ketentuan ini layak untuk diatur lebih lanjut ke dalam peraturan pelaksanaannya, yang menuyangkut pejabat berwenang berikut proses pelaksanaanya F-PKS meminta penjelasan mengapa harus membayar, kenapa tidak digratiskan? dan bagaimana mekanisme penetapan jangka waktu Terhadap pertanyaan dari F-PKS, Pemerintah bersedia membahas dan masuk dalam penjelasan Pasal 153 ayat (1). 206. DIM No. 614 (Pasal 153 ayat (2)) (2) Jika dijatuhi pidana perampasan maka barang yang dirampas harus diserahkan atau harus dibayar menurut taksiran pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika barang tersebut sudah tidak berada dalam kekuasaan terpidana. F-PKS mengusulkan diubah “Taksiran pejabat sejumlah harga yang berlaku umum” Harus ada stadanrdisasi Taksiran agar tidak menimbulkan tawar menawar seperti jual beli. Setelah perubahan
54
Jika dijatuhi pidana perampasan maka barang yang dirampas harus diserahkan atau harus dibayar menurut taksiran pejabat sejumlah harga yang berlaku umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika barang tersebut sudah tidak berada dalam kekuasaan terpidana Terhadap usulan F-PKS, Pemerintah: 1. Dapat menerima dan masuk dalam penjelasan mengenai pejabat yang dapat menaksir. 2. Mengenai aturan pelaksanaan agar diatur di dalam Peraturan Jaksa Agung. 207. DIM No. 615 ( Pasal 153 ayat (3)) (3) Jika pidana diperberat karena pengulangan maka pemberatan tersebut berlaku sekalipun kewenangan menuntut pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan lebih dahulu gugur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Pasal 152 huruf c dan huruf d. F-PDIP memberikan catatan Penjelasan Pasal 153 Ayat (3) perlu dikoreksi. Sebab, terjadi kesalahan dengan merujuk Pasal 153 huruf c. Padahal, seharusnya merujuk Pasal 152 huruf c. Terhadap catatan dari F-PDIP, Pemerintah bersedia membahas dalam Timsin. 208. DIM No. 616 ( Pasal 154) Pasal 154 Seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam satu perkara yang sama, jika untuk perkara tersebut telah ada putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum . F-DEMOKRAT menjelaskan bahwa Berlaku asas nebis in idem yang mengandung arti, seseorang tidak dapat dipidana dalam putusan perkara pidana yang sama atau sebelumnya. Terhadap pertanyaan dari F-Demokrat, Pemerintah berpendapat sudah sesuai dengan rumusan pasal dan penjelasan. 209. DIM No. 617 (Pasal 155) Pasal 155 Jika putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 berasal dari hakim luar negeri maka terhadap orang yang melakukan tindak pidana yang sama tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal: F-PKS meminta penjelasan , Apa maksud Hakim Luar Negeri dan Mengapa hanya putusan yang berasal dari hakim luar negeri? Terhadap pertanyaan dari F-PKS, Pemerintah berpendapat: 1. Hakim luar negeri adalah hakim dari pengadilan di luar negeri yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang didakwakan kepada orang yang sama; 2. putusan hakim dalam negeri sudah diatur di dalam Pasal 154 (DIM No. 616). 3. Usulan perbaikan untuk dibahas dalam Timus, yakni:
55
Jika putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 dijatuhkan oleh pengadilan di luar negeri maka terhadap orang yang melakukan tindak pidana yang sama tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal: 210. DIM No. 618 (Pasal 155 huruf a) a. putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 155 huruf a tetap. 211. DIM No. 619 (Pasal 155 huruf b) b. telah selesai menjalani pidana, mendapatkan grasi yang membebaskan terpidana dari kewajiban menjalani pidana, atau pidana tersebut daluwarsa. F-PKS meminta penjelasan apa kriteria daluwarsanya suatu pidana? Penjelasan Pemerintah bahwa sudah diatur di dalam DIM No. 620 ( Pasal 156 ayat (1)) Pasal 156 (1) Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa: F-DEMOKRAT mengusulkan Frasa “penuntutan” diubah, karena bisa ditafsirkan sebagai tahapan setelah penyidikan Setelah perubahan Kewenangan proses mempidanakan gugur karena daluwarsa ; F-HANURA mengusulkan ditambaha pasal : Ketentuan Pasal 156 tidak berlaku dalam hal kejahatan pelanggaran ham yang berat Setelah perubahan Perlu ditambahkan Pasal baru setelah pengaturan dalam pasal 156. Yaitu mengenai pengaturan bahwa gugurnya kewenangan penututan karena daluwarsa tidak berlaku untuk pelanggaran ham yang berat (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang). Konsep ini adalah konsep universal yang juga diberlakukan dalam hukum Indonesia, bahwa penuntutan untuk pidana pelanggaran ham yang berat tidak mengenal daluwarsa. Lihat Pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000. Terhadap pertanyaan dari F-PKS, Pemerintah bahwa ketentuan tersebut sudah diatur di dalam Pasal 162 ayat (4) (DIM No. 645) 212. DIM No. 620 (Pasal 156 ayat (1)) Pasal 156 (1) Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa: F-DEMOKRAT : Frasa “penuntutan” diubah, karena bisa ditafsirkan sebagai tahapan setelah penyidikan Setelah perubahan Kewenangan proses mempidanakan gugur karena daluwarsa; F-HANURA : DITAMBAHKAN PASAL :
56
Ketentuan Pasal 156 tidak berlaku dalam hal kejahatan pelanggaran ham yang berat Setelah perubahan Perlu ditambahkan Pasal baru setelah pengaturan dalam pasal 156. Yaitu mengenai pengaturan bahwa gugurnya kewenangan penututan karena daluwarsa tidak berlaku untuk pelanggaran ham yang berat (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang). Konsep ini adalah konsep universal yang juga diberlakukan dalam hukum Indonesia, bahwa penuntutan untuk pidana pelanggaran ham yang berat tidak mengenal daluwarsa. Lihat Pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000. Pemerintah menjelaskan bahwa: Terhadap usul rumusan dari F-Demokrat dan F-Hanura, Pemerintah berpendapat rumusan tetap, karena pengecualian terhadap pasal ini dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Pasal 218 RUU KUHP (DIM No. 730). 213. DIM No. 621 Pasal 156 huruf a a. sesudah lampau waktu 1 (satu) tahun untuk tindak pidana yang dilakukan dengan percetakan; F-PKS meminta penjelasan mengapa muncul frase “tindak pidana yang dilakukan dengan percetakan”? Pemerintah:tidak bekeratan huruf a ditiadakan dan Bersedia membahas lebih mendalam. Terhadap usulan dari F-PKS, Pemerintah bersedia membahas lebih mendalam. 214. DIM No. 622 b. sesudah lampau waktu 2 (dua) tahun untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda atau semua tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 156 ayat (1) huruf b tetap. 215. DIM No. 623 c. sesudah lampau waktu 6 (enam) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 156 ayat (1) huruf c tetap. 216. DIM No. 624 (Pasal 156 huruf d) d. sesudah lampau waktu 12 (dua belas) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 (tiga) tahun F-HANURA mengusulkan Perlu ada penambahan golongan baru yang sebelumnya ”lebih dari 3” menjadi ” 3 tahun sampai dengan 7 tahun”. Huruf berikutnya baru mengatur 7 tahun sampai dengan lebih. 57
Setelah perubahan Permasalahan penentuan gradasi yang terlalu tinggi dari poin yang sebelumnya kurang dari tiga tahun hanya 6 tahun, i setelah 3 tahun langsung menjadi dua belas. Perlu ada pembagian tambahan tidak langsung gradasinya naik setinggi ini. Terhadap usul mendalam.
dari F-Hanura,
Pemerintah
bersedia
membahas
lebih
217. DIM No. 625 e. sesudah lampau waktu 18 (delapan belas) tahun untuk tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. 218. DIM No. 626 ( Pasal 156 ayat (2)) (2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, tenggang waktu gugurnya kewenangan menuntut karena daluwarsa menjadi 1/3 (satu per tiga). Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 156 ayat (2) tetap. 219. DIM No. 626A F-NASDEM mengusulkan penambahan pasal baru Perlu ditambahkan Pasal baru setelah pengaturan dalam pasal 156. Yaitu mengenai pengaturan bahwa gugurnya kewenangan penututan karena daluwarsa tidak berlaku untuk pelanggaran ham yang berat (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang). F-GOLKAR mengusulkan Perlu ditambahkan Pasal baru setelah pengaturan dalam pasal 156. Yaitu mengenai pengaturan bahwa gugurnya kewenangan penututan karena daluwarsa tidak berlaku untuk pelanggaran ham yang berat (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang). Konsep ini adalah konsep universal yang juga diberlakukan dalam hukum Indonesia, bahwa penuntutan untuk pidana pelanggaran ham yang berat tidak mengenal daluwarsa. Lihat Pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000 Penambahan pasal : Ketentuan Pasal 156 tidak berlaku dalam hal kejahatan pelanggaran ham yang berat F-HANURA mengusulkan penambahan pasal Ketentuan Pasal 156 tidak berlaku dalam hal kejahatan pelanggaran ham yang berat Perlu ditambahkan Pasal baru setelah pengaturan dalam pasal 156. Yaitu mengenai pengaturan bahwa gugurnya kewenangan penututan karena daluwarsa tidak berlaku untuk pelanggaran ham yang berat (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang). Konsep ini adalah konsep universal yang juga diberlakukan dalam hukum Indonesia, bahwa penuntutan untuk pidana pelanggaran ham yang berat tidak mengenal daluwarsa. Lihat Pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000.
58
Terhadap usulan baru dari F-Nasdem, F-PG, dan F-Hanura, Pemerintah sudah menjelskan dalam DIM No. 620. Sebagai catatan dalam Pasal 156, untuk kasus tindak pidana Narkoba masuk dalam kategori extra ordinary crime 220. DIM No. 627 ( Pasal 157) Pasal 157 Daluwarsa dihitung sejak tanggal sesudah perbuatan dilakukan, kecuali: Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 157 tetap.
221. DIM No. 628 a. tindak pidana pemalsuan atau merusak mata uang, daluwarsa dihitung 1 (satu) hari berikutnya sejak tanggal setelah orang yang bersang¬kutan menggunakan mata uang palsu atau yang dirusak untuk melakukan pembayaran; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 157 huruf a tetap. 222. DIM No. 629 b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 570, Pasal 571, Pasal 572, Pasal 573, dan Pasal 576 daluwarsa dihitung 1 (satu) hari berikutnya sejak tanggal setelah korban tindak pidana dilepaskan atau mati sebagai akibat langsung dari tindak pidana tersebut. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 157 huruf b tetap. Sebagai catatan perlu di cek kembali rumusan tentang daluarsa. 223. DIM No. 630 (Pasal 158 ayat (1)) Pasal 158 (1) Tindakan penuntutan menghentikan tenggang waktu daluwarsa. F-PPP meminta penjelasan apa yang dimaksud dengan penuntutan, apakah dimulainya penyidikan oleh penyidik yang berwenang atau penuntutan oleh JPU dengan pelimpahan perkaranya ke Pengadilan Setelah perubahan Tindakan penyidikan menghentikan tenggang waktu daluwarsa. F-HANURA mengusulkan sebaiknya bukan” penuntutan ”1” penyidikan” Pasal ini menimbulkan suatu permasalahan besar: ”Kapan dalam proses pidana dikatakan suatu penuntutan, apakah ketika polisi menetapkan seseoarang menjadi tersangka, maka daluwarsanya belum hilang ??. ” Sebaiknya daluwarsa didasarkan bukan oleh penuntutan i penyidikan. Hal ini agar penyidik lebih professional dalam menangani suatu perkara yang berlarut-larut, karena dibebani adanya daluwarsa. Kalau tidak 59
penyidik dapat mengendapkan suatu perkara hanya ditahap penyidikan, tanpa menyerahkannya. Setelah perubahan Pasal 158 (1) Tindakan penyidikan menghentikan tenggang waktu daluwarsa. Terhadap usul dari F-PPP dan F-Hanura, Pemerintah berpendapat bahwa istilah penuntutan dalam RUU KUHP berbeda dengan istilah penuntutan dalam KUHAP. Dalam RUU KUHP istilah penuntutan dapat diartikan suatu proses dari dimulainya penyidikan sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan. Oleh karena Pemerintah bersedia untuk mensinkronisasikan istilah penuntutan dalam RUU KUHP dengan RUU KUHAP.
224. DIM No. 631 (Pasal 158 ayat (2)) (2) Penghentian tenggang waktu daluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal setelah tersangka mengetahui atau diberitahukan mengenai penuntutan terhadap dirinya yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. F-GERINDRA meminta penjelasan Bagaimana kriteria tersangka mengetahui adanya penuntutan? Misal: dianggap mengetahui apabila diumumkan di media cetak, atau surat pemberitahuan disampaikan kepada keluarga/ahli waris? F-PPP mwminta perubahan Setelah perubahan (2) Penghentian tenggang waktu daluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal setelah tersangka mengetahui atau diberitahu mengenai penyidikan terhadap perkaranya yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. F-HANURA mengusulkan sebaiknya penyidikan, untuk menghilangkan perkara yang digantung Terhadap pertanyaan dari F-Gerindra dan F-Hanura, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa proses penuntutan dimulai pada saat proses penyidikan dimulai.
225. DIM No. 632 ( Pasal 158 ayat (3)) (3) Apabila penuntutan dihentikan maka mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. F-PKS meminta penjelasan apa maksud tenggang daluawarsa baru. Ayat ini memberi celah bagi penuntut untuk dapat “mempermainkan” suatu kasus tindak pidana F-PPP mengusulkan Penggantian kata ”penuntutan” dengan ”penyidikan” F-HANURA mengusulkan diubah menjadi penyidikan Setelah perubahan (3) Apabila penyidikan dihentikan maka mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.
60
Terhadap pertanyaan dari F-PKS dan usulan dari F-PPP dan F-Hanura, Pemerintah berpendapat menunggu hasil kesepakatan pada DIM No. 630 (Pasal 158 ayat (1). 226. DIM No. 633 ( Pasal 159) Pasal 159 Apabila penuntutan dihentikan untuk sementara waktu karena ada sengketa hukum yang harus diputuskan lebih dahulu maka tenggang waktu daluwarsa penuntutan menjadi tertunda sampai sengketa tersebut mendapatkan putusan. F-PPP mengusulkan Penggantian kata ”penuntutan” dengan ”penyidikan” Setelah perubahan Penggantian kata ”penuntutan” dengan ”penyidikan” F-HANURA :Ubah menjadi penyidikan Setelah perubahan Pasal 159 Apabila penyidikan dihentikan untuk sementara waktu karena ada sengketa hukum yang harus diputuskan lebih dahulu maka tenggang waktu daluwarsa penuntutan menjadi tertunda sampai sengketa tersebut mendapatkan putusan. Terhadap pertanyaan dari F-PKS dan usulan dari F-PPP dan F-Hanura, Pemerintah berpendapat menunggu hasil kesepakatan pada DIM No. 630 (Pasal 158 ayat (1). 227. DIM No. 634 Bagian Kedua Gugurnya Kewenangan Pelaksanaan Pidana Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam judul Bagian Kedua tetap. 228. DIM No. 635 ( Pasal 160) Pasal 160 Kewenangan pelaksanaan pidana gugur, jika: Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 160 tetap. 229. DIM No. 636 a. terpidana meninggal dunia; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 160 huruf a tetap. 230. DIM No. 637 b. daluwarsa eksekusi ; Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 160 huruf b tetap. 231. DIM No. 638 c. terpidana mendapat grasi dan amnesti; 61
Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 160 huruf c tetap. 232. DIM No. 639 d. rehabilitasi; atau F-NASDEM mengusulkan Ketentuan ini harus diperjelas, bahwa rehabilitasi menghapuskan pidana pokok. Tanggapan terhadap F-Nasdem, Pemerintah berpendapat bahwa Pasal 103 ayat (2) RUU KUHP, rehabilitasi merupakan salah satu bentuk tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok. Rehabilitasi sebagai salah satu bentuk tindakan yang ditujukan untuk memperbaiki atau memulihkan kondisi pelaku. Apakah rehabilitasi benar dapat menghilangkan pidana pokok ? karena ada kemungkinan rehabilitasi dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok. Pasal 103 ayat (2) bahkan menyebutkan bahwa rehabilitasi dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok. Pemerintah mengusulkan rehabilitasi dihapus. 233. DIM No. 640 e. penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain. F-DEMOKRAT :Bagaimana dengan keberlakuan asas teritorial ? Perlu ditegaskan, bahwa dalam konteks pelaksanaan pidana ke negara lain adalah menyangkut pelaku tindak pidana adalah warga negara asing yang negaranya terikat dengan perjanjian ekstradisi dengan negara kita Setelah perubahan penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke negara lain, yang pelaku pidananya adalah warga negara dari suatu negara yang terikat dalam suatu perjanjian dengan negara Indonesia Catatan : perlu ditambahkan untuk pendalaman gugurnya penuntutan dan pelaksanaan pidana terhadap yang sakit permanen Terhadap usul dari F-Demokrat, Pemerintah berpendapat bahwa ini adalah satu tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan perjanjian antar negara. Catatan Penjelasan Pasal 160 huruf e: Kewenangan Republik Indonesia untuk melaksanakan pidana seorang terpidana menjadi gugur karena Indonesia telah menyerahkan narapidana kepada negara lain berdasarkan perjanjian penyerahan narapidana (Transfer of Sentenced Persons). 234. DIM No. 641 ( Pasal 161) Pasal 161 Jika terpidana meninggal dunia maka pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan yang telah disita dapat dilaksanakan. 235. DIM No. 642 ( Pasal 162 ayat (1)) Pasal 162 (1) Kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur karena daluwarsa, setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa 62
kewenangan menuntut ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 162 ayat (1) tetap. 236. DIM No. 643 ( Pasal 162 ayat (2)) (2) Tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan pidana harus melebihi lamanya pidana yang dijatuhkan. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 162 ayat (2) tetap. 237. DIM No. 644 ( Pasal 162 ayat (3)) (3) Pelaksanaan pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu daluwarsa. F-PDP memberikan catatan : Pasal 162 Ayat (3): Harus diperjelas: kenapa tenggang waktu daluwarsa untuk pelaksanaan pidana seumur hidup tidak diatur? Padahal, pada Pasal 156 Ayat (1) huruf e. disebutkan bahwa Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa sesudah lampau 18 (delapan belas) tahun yang tindak pidananya diancam pidana seumur hidup. Terhadap pertanyaan dari F-PDIP, Pemerintah berpendapat sudah diatur di dalam Pasal 162 ayat (4) (DIM No. 645). 238. DIM No. 645 ( Pasal 162 ayat (4)) (4) Jika pidana mati diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 (91) ayat (2) maka kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena daluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut sebagai¬mana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut. F-DEMOKRAT mengusulkan mencabut. Setelah perubahan Penerapan ketentuan daluwarsa setelah lewat waktu untuk pidana yang patut diancam dengan hukuman pidana mati, bisa menghapuskan esensi keadilan sebagai tujuan dari hukum itu sendiri. Karena itu, patut dipertimbangkan, menyangkut daluwarsa terkait ketentuan ini Terhadap usulan dari F-Demokrat, Pemerintah berpendapat tetap, karena perlu ada ketentuan daluwarsa. 239. DIM No. 646 ( Pasal 163 ayat (1)) Pasal 163 (1) Tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan pidana dihitung sejak tanggal putusan hakim dapat dilaksanakan.
63
Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 163 tetap. 240. DIM No. 647 ( Pasal 163 ayat (2)) (2) Apabila narapidana melarikan diri sewaktu menjalani pidana maka tenggang waktu daluwarsa dihitung sejak tanggal narapidana tersebut melarikan diri. F-DEMOKRAT mengusulkan perubahan Setelah perubahan Terhadap narapidana yang melarikan diri, tidak berlaku ketentuan daluwarsa Terhadap usulan dari F-Demokrat, Pemerintah berpendapat tetap, karena perlu ada ketentuan daluwarsa. 241. DIM No. 648 ( Pasal 163 ayat (3)) (3) Apabila pembebasan bersyarat terhadap narapidana dicabut maka tenggang waktu daluwarsa dihitung 1 (satu) hari sejak tanggal pencabutan. Pemerintah menjelaskan bahwa Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 163 ayat (3) tetap. 242. DIM No. 649 ( Pasal 163 ayat (4)) (4) Tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan pidana ditunda selama: Pemerintah menjelaskan bahwa Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 163 ayat (4) tetap. 243. DIM No. 650 a. pelaksanaan pidana tersebut perundang-undangan; atau
ditunda
berdasarkan
peraturan
Pemerintah menjelaskan bahwa Karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 164 ayat (4) huruf a tetap. 244. DIM No. 651 b. terpidana dirampas kemerdekaannya meskipun pencabutan kemerdekaan tersebut berkaitan dengan putusan pidana lain. Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga rumusan dalam Pasal 164 ayat (4) huruf b tetap. 245. DIM No. 729 (BAB VI ATURAN PENUTUP) Pemerintah menjelaskan bahwa karena semua fraksi berpendapat tetap sehingga judul Bab IV tetap. 246. DIM No. 730 (Pasal 218) 64
Pasal 218 Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang. F-PKS: PENDALAMAN - ketentuan ini menunjukkan model kodifikasi yang akan di anut oleh RUU KUHP, apakah RUU KUHP kedepan masih menginginkan pengaturan pidana di luar Kodifikasi KUHP atau tidak, dari rumusan “berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang” - ini berarti situasi kodifikasi KUHP masih membuka peluang pengaturan di luar KUHP, sama seperti yang di anut dalam sistem pengaturan pidana saat ini F-NASDEM : ketentuan ini menunjukkan model kodifikasi yang akan di anut oleh RUU KUHP, apakah RUU KUHP kedepan masih menginginkan pengaturan pidana di luar Kodifikasi KUHP atau tidak, dari rumusan “berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang” ini berarti situasi kodifikasi KUHP masih membuka peluang pengaturan di luar KUHP, sama seperti yang di anut dalam sistem pengaturan pidana saat ini. Perlu dipertimbangkan lebih jauh implikasi ini jika RUU KUHP tidak cukup mampu menampung seluruh pengaturan pidana dan asas-asasnya baik di buku I maupun di buku II maka , tindak pidana yang sudah baik berada di luar KUHP pada saat ini tidak perlu di masukkan atau di paksa di masukkan dalam RUU KUHP seperti tindak pidana korupsi, narkotika, HAM berat, money laundering, TPPU dan lain sebagainya. F-HANURA : Perlu di pertimbangkan lebih jauh implikasi ini jika RUU KUHP tidak cukup mampu menampung seluruh pengaturan pidana dan asas-asasnya baik di buku I maupun di buku II maka tindak pidana yang sudah baik berada di luar KUHP pada saat ini tidak perlu di masukkan atau di paksa di masukkan dalam RUU KUHP seperti tindak pidana korupsi, narkotika, HAM berat, money laundering, TPPU dan lain sebagainya, sehingga Pasal 218 dapat di gunakan atau tidak. Dalam perkembangan Hukum Pudana Modern, selain dikenal istilah Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus, juga dikenal “Administratif Penal Law” atau Hukum Pidana Administratif, yakni peraturan dalam bentuk UndangUndang yang memuat ketentuan norma bersifat administrasi dan karena untuk memperkuat atau menjamin lebih ditaati dalam pelaksanaannya, maka ditetapkan jenis Sanksi Pidana, selain Sanksi Administratif. Dalam konteks 65
“Kodifikasi” Hukum Pidana kita, sebaiknya untuk peraturan perundangundangan pidana di luar KUHP, katagorinya adalah „Hukum Pidana Khusus‟ dan „Hukum Pidana Administratif‟, dengan catatan : Hukum Pidana Khusus dapat diterapkan asas „Lex Specialis Derogat Lex Genaralis‟, artinya : dapat menyimpangi Ketentuan-ketentuan Umum dakam BUKU I RUU KUHP, seperti soal rumusan sistem sanksinya dan sebagian pengaturan Hukum Acara atau Hukum pidana formilnya. Tetapi untuk Hukum Pidana Administratif, tidak boleh menerapkan asas „Lex Specialis Derogat Lex Genaralis‟ terhadap Ketentuan Umum Buku I RUU KUHP karena pada hakikatnya Hukum Pidana Administratif hanya boleh memuat norma yang bersifat pengaturan administrasi dan pencantuman Sanksi Pidana hanya untuk memperkuat atau menjamin lebih ditaati dalam pelaksanaan undang-undang tersebut. Pemerintah menjelaskan: Alternatif rumusan: (1) Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang. (2) Perkecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Hak Asasi Manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. Penjelasan: Ketentuan ini dimasudkan agar beberapa produk peraturan perundangundangan yang mengatur aspek pemidanaan tidak boleh menderitakan dan merendahkan martabat manusia sehingga tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan (misalnya hukum cambuk). 247. Pimpinan rapat menyampaikan bahwa untuk DIM No. 652 terkait dengan Bab V Pengertian Istilah, tidak perlu disampaikan saat ini namun disampaikan kembali pada saat pembahasan Buku Kedua.
III. PENUTUP Rapat Panja diskors pukul 16.40 WIB dan akan dilanjutkan kembali pada hari Selasa, 8 Maret 2016 pukul 10.00 WIB
66
67