1
RANCANGAN
LAPORAN SINGKAT RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI III DPR RI DENGAN KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA (KOMNAS HAM) --------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, PERUNDANG-UNDANGAN, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari/tanggal Waktu Tempat Acara
: : : : : : : : :
2016-2017 I Terbuka Rapat DengarPendapat Kamis, 13 Oktober 2016 Pukul 11.00 – 13.15 WIB Ruang Rapat Komisi III DPR RI Membicarakan mengenai : Evaluasi terhadap kinerja Komnas HAM hingga bulan Agustus 2016. Penerimaan dana dan bentuk kerja sama yang dilakukan oleh Komnas HAM dengan Organisasi Luar Negeri dan Non-Governmental Organization (NGO). Konflik horizontal yang terjadi di masyarakat dan sejauhmana peran Komnas HAM dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut. Tindak lanjut atas Kesimpulan pada Rapat Dengar Pendapat sebelumnya tanggal 18 April 2016. Kelemahan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Opini TMP (Tidak Menyertakan Pendapat/disclaimer of Opinion) yang diberikan oleh BPK RI atas hasil Audit Laporan Keuangan Komnas HAM Tahun 2015. KESIMPULAN/KEPUTUSAN
I. PENDAHULUAN Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Konas HAM dibuka pukul 11.00 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J. Mahesa, SH, MHdengan agenda tersebut di atas.
2 II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN 1. Beberapa hal yang disampaikan Komisi III DPR RI kepada Komnas HAM, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Sesuai dengan Tugas dan Wewenang Komnas HAM berdasarkan Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, meminta penjelasan Ketua Komnas HAM terkait evaluasi terhadap kinerja Komnas HAM hingga Bulan Agustus 2016. 2) Meminta penjelasan terkait : a. Penerimaan dana dan bentuk kerjasama yang dilakukan oleh Komnas HAM dengan Organisasi Luar Negeri dan Non-Governmental Organization (NGO) dalam mendukung dan merealisasikan programprogram kerja Komnas HAM. b. Hasil pemantauan Komnas HAM terhadap berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh aparat dalam kurun waktu dua tahun terakhir. c. Strategi yang diterapkan oleh Komnas HAM agar rekomendasi yang dihasilkan dapat dijalankan secara efektif dan memberikan hasil yang optimal terhadap penegakan HAM di Indonesia beserta penjelasan tentang hasil pengkajian dan penelitian peraturan perundang-undangan yang berpotensi memicu terjadinya pelanggaran HAM. 3) Meminta laporan terkait dengan konflik horizontal yang terjadi di masyarakat seperti aksi separatis yang terjadi di daerah Yogyakarta dan kasus-kasus yang menarik perhatian publik lainnya serta sejauhmana peran Komnas HAM dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut. 4) Meminta penjelasan Ketua Komnas HAM terkait dengan tindak lanjut atas Kesimpulan pada Rapat Dengar Pendapat sebelumnya tanggal 18 April 2016, khususnya mengenai progress penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu beserta strategi yang akan diterapkan dan hambatan yang terjadi, mengingat masih banyak kasus yang belum terselesaikan. 5) Meminta penjelasan terkait : a. Kelemahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, apakah perlu ada percepatan pembahasan revisi UU tersebut mengingat pengaturan tentang Komnas HAM masih terbatas. b. Apakah perlu ada UU tentang Komnas HAM secara terpisah sebagaimana pernah disampaikan oleh Pimpinan Komnas HAM Periode 2007-2012. c. Apakah Komnas HAM dapat menyiapkan draft/rancangan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebelum akhir tahun 2016. 6) Meminta penjelasan terkait : a. Opini TMP (Tidak Menyertakan Pendapat / Disclaimer of Opinion) yang diberikan oleh BPK RI atas hasil audit Laporan Keuangan Komnas HAM Tahun 2015. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dan sejauhmana upaya penyelesaian terkait dengan opini BPK tersebut. b. Langkah-langkah pembenahan apa saja yang telah dan akan dilakukan terhadap permasalahan tersebut (pembenahan secara struktural dan pemberian sanksi terhadap pihak yang teridentifikasi melakukan pelanggaran).
3 c. Terkait opini disclaimer dari BPK, bagaimana tanggapan dan tindaklanjut Pimpinan Komnas HAM terkait hal tersebut. d. Dimana peran dan kehadiran Komnas HAM terkait maraknya penggusuran beberapa waktu terakhir, utamanya di DKI Jakarta (misalnya penggusuran di Bukit Duri), ucapan SARA Gubernur DKI Jakarta yang menodai umat Islam terkait surat Al-Maidah ayat 51. e. Terkait pembahasan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,bagaimana relevansi dan kritisasi Komnas HAM terkait beberapa rancangan undang-undang yang berkaitan dengan potensi pelanggaran HAM. Dimana sumbang saran dan kontribusi Komnas HAM. f. Dalam hal peran dan fungsi Komnas HAM, apakah cukup dengan kewenangan yang dimiliki sekarang sesuai UU No. 39 tahun 1999 atau membutuhkan tambahan kewenangan, utamanya dalam mencakup kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. g. Bagaimana peran Komnas HAM terkait hilangnya dokumen TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) Kasus Munir. h. Terkaitlaporan Komnas HAM terutama berkaitan kinerja, profesionalisme dan kelemahan Komnas HAM dalam menjawab isu-isu Komnas HAM kalah „populis‟ dibanding LSM HAM lain seperti Kontras dll. i. Bahwa Komisioner Komnas HAM diduga terlalu sibuk sendiri, Inilah permasalahannya utama di Komnas HAM. j. Terkait isu hukuman mati, narkoba dan lain sebagainya, isu-isu penting itu tidak dikerjakan dengan baik bahkan tidak terdengar statement komisioner Komnas HAM dimedia. k. Mempertanyakan kehadiran komisioner Komnas HAM yang selalu tidak lengkap dalam setiap Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI. Kemana komisioner yang lainnya. l. Meminta Ketua Komnas HAM untuk bisa menjaga soliditas dan mengatur komisioner lainnya. m. Terkait reklamasi di Teluk Jakarta, apakah Komnas HAM telah menyusun rekomendasi dan kajian terkait dugaan pelanggaran HAM tersebut.Apa kesimpulan sementara yang didapat. 2. Penjelasan dan jawaban Ketua Komnas HAM diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI menjelaskan mengenai kinerja Komnas HAM dari bulan Januari sampai dengan Agustus 2016. Dalam hal itu, Ketua Komnas HAM antara lain menyampaikan: Pelaksanaan Fungsi Pengkajian dan Penelitian Sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang Komnas HAM sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM telah melakukan pengkajian dan penelitian antara lain : a. Kajian Korupsi dan HAM dalam Sektor Kehutanan. Penelitian ini menyimpulkan: tindak pidana korupsi yang terjadi di sektor kehutanan berdampak pada pelanggaran HAM bagi masyarakat yang hidup dari sumber daya hutan. Tindak pidana korupsi di sektor
4
kehutanan ditujukan untuk memperoleh hak pemanfaatan kawasan hutan dan/atau izin usaha perkebunan (yang berasal dari pelepasan kawasan hutan) mengakibatkan terlanggarnya hak milik atas tanah masyarakat, termasuk hak pengelolaan tanah, yang kemudian berdampak pula pada hak-hak asasi masyarakat lainnya, seperti hak atas kesejahteraan termasuk hak atas pekerjaan, hak memperoleh informasi, hak menyampaikan pendapat, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan hak atas rasa aman. terjadinya pelanggaran HAM yang dialami oleh masyarakat yang hidup dari sumber daya hutan dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi. Pelanggaran HAM pada sektor kehutanan, khususnya hak memperoleh informasi bagi masyarakat membuka peluang masyarakat kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hak-haknya, khususnya hak milik atas tanah. Pelanggaran terhadap hak memperoleh informasi terhadap masyarakat ini juga membuka peluang bagi pihak lain, dalam hal ini perusahaan di sektor kehutanan dan perkebunan untuk memperoleh dan memanfaatkan informasi dalam rangka memperoleh hak pemanfaatan kawasan hutan dan/atau izin usaha perkebunan (yang berasal dari pelepasan kawasan hutan). Namun dalam upaya tersebut, terdapat perusahaan-perusahaan yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan modus suap kepada oknum pejabat Pemerintah. hingga saat ini KPK dan Pengadilan Tipikor baru mampu membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi dengan modus suap dan terjadinya kerugian keuangan Negara. Ini mengindikasikan bahwa pada titik ini kedua lembaga tersebut baru menghitung kerugian negara dalam aspek biaya akuntansi (accounting cost) saja.Sementara, kerugian perekonomian negara termasuk di dalamnya kerugian hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob), KPK dan Pengadilan Tipikor belum mampu membuktikan kesemua kerugian tersebut. Di sisi yang lain, kerugian hak asasi manusia (human rights cost) akibat tindak pidana korupsi di sektor kehutanan masih belum menjadi perhatian kedua lembaga tersebut ketimbang biaya ekonomi, sosial, dan lingkungan. penegakan hukum atas tindak pidana korupsi pada sektor kehutanan dengan modus suap yang dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) yang mempidana para terpidana tindak pidana korupsi belum mampu memulihkan hak-hak asasi masyarakat yang terlanggar akibat tindak pidana korupsi dimaksud. Hak milik atas tanah masyarakat berikut hak-hak lainnya yang terlanggar tidak mampu dipulihkan walaupun pelaku tindak pidana korupsi di sektor kehutanan sudah dipidana dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Penegakan hukum atas tindak pidana korupsi pada sektor kehutanan yang dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum,
5 yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) yang menjatuhkan pidana kepada para terpidana tindak pidana korupsi belum mampu memulihkan hak-hak asasi masyarakat yang terlanggar akibat tindak pidana korupsi dimaksud. Hak milik atas tanah masyarakat berikut hak-hak lainnya yang terlanggar tidak mampu dipulihkan walaupun pelaku tindak pidana korupsi di sektor kehutanan sudah dipidana dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan yang menghimpun pandangan para ahli pidana melalui wawancara mendalam, seminar, dan diskusi kelompok terfokus, studi kasus, serta diskusi intensif oleh Tim Kajian Komnas HAM. b. Penelitian Indikator Kerugian HAM Akibat Tipikor di Sektor Kehutanan yang Mampu Memulihkan Hak-hak Asasi Masyarakatyang dilanggar. Penelitian Indikator Kerugian HAM Akibat Tipikor di Sektor Kehutanan yang Mampu Memulihkan Hak-hak Asasi Masyarakat dimulai pada September 2016. c. Perlindungan HAM dalam Buku Kesatu RKUHP Kajian ini menggunakan metode kualitatif yang menghimpun pandangan para ahli pidana melalui wawancara mendalam, seminar, dan diskusi kelompok terfokus, serta diskusi intensif oleh Tim Kajian Komnas HAM. d. Kajian Perlindungan HAM dalam Buku Kedua RKUHP Kajian Perlindungan HAM dalam Buku Kedua RKUHP akan dimulai pada awal November 2016. Hal ini disebabkan karena padatnya agenda pengkajian dan penelitian lainnya.Kajian ini ditargetkan selesai pada akhir Desember 2016. Kajian ini menggunakan metode kualitatif dengan yang menghimpun pandangan para ahli pidana melalui wawancara mendalam, seminar, dan diskusi kelompok terfokus, serta diskusi intensif oleh Tim Kajian Komnas HAM. e. Tim Perlindungan dan Pemenuhan Hak atas Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana Asap Tim ini merupakan Tim Bentukan Sidang Paripurna Komnas HAM yang melibatkan lintas sub komisi. Penelitian ini sudah selesai pada Agustus 2016.Simpulan dan rekomendasi Penelitian ini sudah disampaikan ke publik melalui konferensi pers pada September 2016. f. Penelitian Perencanaan Pembangunan Berbasis HAM Program ini ditujukan sebagai kajian awal sebelum membuat panduan pererencanaan pembangunan berbasis HAM. Panduan perencanaan pembangunan berbasis HAM memiliki nilai strategis yakni (i) mencegah terjadinya pelanggaran HAM sejak dari perencanaan; (ii) meningkatkan agenda pemenuhan HAM sejak dari perencanaan. Kajian awal ini akan digunakan oleh Tim Penyusun Panduan Perencanaan Pembangunan Berbasis HAM Komnas HAM untuk melihat (i) kesenjangan antara perencanaan pembangunan dengan pelaksanaan di lapangan; dan (ii)
6 kesenjangan antara perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah. Untuk itu, Tim Peneliti memilih tiga lokasi penelitian yaitu Kabupaten Batang, Kabupaten Trenggalek , dan Kota Tanjung Pinang. Tim Peneliti melakukan wawancara mendalam dan diskusi kelompok terfokus dengan pemerintah daerah, akademisi, pegiat LSM, dan tokoh masyarakat. g. Pengembangan Indikator HAM Indikator HAM yang ditargetkan pada tahun anggaran 2016 ini adalah indikator hak atas pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, pekerjaan yang layak, tempat tinggal yang layak, pangan, dan air. Ketujuh indikator HAM tersebut diturunkan dari Komentar Umum (General Comments) Hak-Hak Ekonomi, SosiaL, dan Budaya.Di dalam komentar umum tersebut, terkandung substansi normatif termasuk kewajiban inti minimum (Minimum Core Obligations) dari ketujuh hak yang ditergatkan. h. Pembentukan Mekanisme Pencegahan Penyiksaan Melalui National Prevention Of Mechanism (NPM) Pembentukan NPM sebagai mekanisme pencegahan penyiksaan yang dilakukan oleh 5 lembaga Negara (Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, KOMNAS HAM dan Ombudsman).Capaian kinerja 80%.Target dari kegiatan tersebut adalah MoU dan PKS 5 Lembaga Negara (Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, KOMNAS HAM dan Ombudsman). MoU dan PKS 5 Lembaga Negara (Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, KOMNAS HAM dan Ombudsman) dengan Kementerian Hukum dan HAM. i. Penelitian Implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional Penghapusan Diskriminasi Rasial (Internasional Convention on The Elimination of All Form of Racial Discrimination–selanjutnya disebut CERD) yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999. Salah satu upaya untuk melaksanakan Konvensi tersebut adalah dengan mengintegrasikan isi Konvensi kedalam hukum nasional. Hal tersebut dimaknai, salah satunya, dengan membentuk undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai penghapusan diskriminasi, yakni Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. UU No. 40 Tahun 2008 memberikan mandat baru kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melakukan pengawasan terhadap segala bentuk upaya pengahapusan diskriminasi ras dan etnis. Sebagai bentuk tindak lanjut upaya pengawasan diskriminasi ras dan etnis yang dilakukan Komnas HAM, maka dibentuk suatu tim kajian/penelitian pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2008. Kegiatan peneltian ini dlakukan di 6 wilayah di Indonesia dimana terdapat Kantor Perwakilan Komnas HAM di tiap wilayah dimaksud, antara lain: Aceh, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua. Laporan dari masing-masing wilayah kemudian akan di-compile menjadi sebuah laporan umum: Laporan Penelitian Komnas HAM terkait Pengawasan Pelaksanaan UU No.
7 40 Tahun 2008 tentang DiskriminasiRas dan Etnis. Adapun tema atau kasus diskriminasi yang diteliti antara lain: a. Diskriminasi kebebasan beribadah bagiwarga Tionghoa Penganut Konghucu di Pontianak dan Singkawang; b. Diskriminasi terhadap warga Tionghoa dalam Sektor Pendidikan dan Pekerjaan di Kota Palu; c. Diskriminasi berbasis Agama dan Keyakinan terkait Hak Atas Pendidikan terhadap Suku Noaulu; dan d. Mendorong Pelaksanaan Kebijakan yang berpihak pada Orang Asli Papua di Kabupaten Keerom, Papua. Secara umum, penelitian ini merekomendasikan sejumlah hal antara lain: a. Pemerintah perlu meninjau kembali keberlakuan UU Nomor 40 Tahun 2008 terutama dalam konteks pendekatan berbasis HAM dan amanah dari Konvensi CERD. b. Pemerintah perlu merevisi UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk (terutama terkait pencatatan kolom agama lokal di kartu identitas) yang berdampak pada terhalanginya penikmatan hak-hak bagi kelompok penghayat dan penganut kepercayaan agama lokal. c. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara massif dan sistematis di berbagai tingkat pemerintahan, terutama mengenalkan UU Nomor 40 Tahun 2008 kepada Pemerintah Daerah. Pelaksanaan Fungsi Pendidikan dan Penyuluhan Pelaksanaan mandat dan kewenangan Komnas HAM dibidang Pemajuan HAM dilaksanakan oleh dua Subkomisi yakni Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan HAM dan Subkomisi Pengkajian dan Penelitian HAM. Pelaksanaan Pendidikan dan Penyuluhan HAM pada tahun 2016 ini difokuskan pada 4 (empat) program/kegiatan utama yakni Program Polisi Berbasis HAM, Program Pengarusutamaan Kota Ramah HAM (Human Rights Cities), Sekolah Ramah HAM (SRH) dan Perlindungan terhadap Kelompok Minoritas/Desk Minoritas, selain tetap melakukan upaya pemajuan melalui kampanye, penerbitan, perpustakaan dan penerapan Teknologi Informasi (website Komnas HAM). Penerimaan Pengaduan Dari tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 31 Agustus 2016, Komnas HAM menerima sebanyak 4.644berkas pengaduan. Adapun rinciannya klasifikasi hak terbesar sebagai berikut: No 1 2 3 4 5 6 7
Klasifikasi / Tema Hak Hak untuk hidup Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan Hak mengembangkan diri Hak memperoleh keadilan Hak atas kebebasan pribadi Hak atas rasa aman Hak atas kesejahteraan
Jumlah berkas 146 11 49 1716 135 401 1804
8 8 9 10 11 12
Hak turut serta dalam pemerintahan Hak perempuan Hak anak Hak tidak diperlakukan diskriminatif Non HAM
54 22 16 20 270
4.644 Jumlah Sedangkan pihak atau lembaga yang diadukan dengan rincian sebagai berikut : No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Klasifikasi Pihak Yang Diadukan Pemerintah pusat (Kementerian) Pemerintah daerah Lembaga legislatif Lembaga negara (Non kementerian) Lembaga peradilan Kepolisian TNI Kejaksaan Lembaga pemasyarakatan dan / atau Rutan Pemerintah negara lain Korporasi BUMN / BUMD Lembaga pelayanan kesehatan Lembaga pendidikan Organisasi Individu - Orang seorang Individu - Pekerja / profesi Kelompok - Masyarakat Kelompok - Masyarakat adat Kelompok - Ras dan etnis Kelompok - Pekerja Individu - Perempuan Individu - Anak Kelompok - Agama dan Penghayat Kepercayaan Tanpa Keterangan Pihak yang Diadukan
Jumlah berkas 401 627 4 84 269 1.461 183 130 35 11 665 252 15 69 32 66 21 40 9 3 1 4 1 2 259
Pelaksanaan Fungsi Pemantauan dan Penyelidikan Selama periode bulan Januari s/d September 2016, Komnas HAM RI telah mengeluarkan 1.561 surat kepada pihak yang diadukan berupa surat rekomendasi berjumlah 188 surat, surat permintaan klarifikasi berjumlah 759 surat, Surat ucapan terima kasih 268 surat, surat tanggapan 296 surat, 30 memorandum, Amicus 2 kasus dan kasus yang ditutup berjumlah 18 kasus. Dari pengaduan yang diterima oleh Komnas HAM RI, pada periode Januari s.d September 2016, ada beberapa pihak/lembaga yang diadukan, diantaranya Polri 716 pengaduan, Pemerintah Daerah 180 pengaduan, Lembaga Peradilan 84 pengaduan, Korporasi 202 pengaduan, Pemerintah Pusat (Kementerian) 80 pengaduan, TNI 68 pengaduan, Kejaksaan 39
9 pengaduan, BUMN/BUMD 56 pengaduan, Individu 14 pengaduan, Lembaga Pendidikan 17 pengaduan, Organisasi 0 pengaduan, Kelompok Masyarakat 13 pengaduan, Lembaga Negara (Non Kementerian) 46 pengaduan, Lembaga Pemasyarakatan dan/Rumah Tahanan Negara 18 pengaduan, Lembaga Pelayanan Kesehatan 9 pengaduan, Pemerintah Negara Lain 6 pengaduan, dan Kelompok Agama 4 pengaduan. Pelaksanaan Fungsi Mediasi Terkait dengan konflik-konflik horizontal (serta potensi konflik) yang terjadi di masyarakat, Komnas HAM juga mengedepankan peran-peran dalam fungsi mediasi. Pelaksanaan fungsi mediasi ini dilakukan dengan beberapa bentuk, diantaranya: Memfasilitasi pertemuan mediasi dengan menghadirkan pihak-pihak yang bersengketa guna mencari opsi penyelesaian. Hal ini diantaranya ditempuh oleh Komnas HAM dalam menindaklanjuti sengketa antara warga Parangkusumo, Kab. Bantul, yang terdampak kebijakan penataan kawasan (lebih dikenal dengan kawasan gumuk pasir). Memfasilitasi pertemuan-pertemuan dengan pendekatan yang bersifat konsultatif. Hal ini diantaranya dilakukan dalam menindaklanjuti sengketasengketa pendirian rumah ibadah (seperti penggunaan mushola AsSyafiiyah di Kota Denpasar, pendirian dan penggunaan tempatpesujudan warga Sapta Dharma di Kabupaten Rembang, serta pemenuhan hak-hak warga penganut Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan), serta sengketa lahan yang melibatkan kelompok warga masyarakat dalam jumlah yang cukup besar (seperti sengketa lahan di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo di Riau, Taman Nasional Kerinci Seblat di Jambi, dan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya di Kalbar). Menyampaikan Rekomendasi kepada instansi Pemerintah terkait. Hal ini dilakukan misalnya dengan mengirimkan rekomendasi kepada Walikota Bandung dan Kapolda Jawa Barat terkait dengan penggunaan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Bandung Timur di Kota Bandung. Penyelidikan dugaan Pelanggaran HAM yang Berat (UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia) Pada saat ini Komnas HAM telah membentuk Tim Ad Hoc penyelidikan terhadap peristiwa pelanggaran HAM yang berat sebagai berikut : 1. Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Berat di Provinsi Aceh Komnas HAM telah membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat di Provinsi Aceh sebanyak 5 (lima) peristiwa, yakni: a. Peristiwa Simpang KKA, Aceh Utara 1999; Komnas HAM telah menyimpulkan dalam peristiwa Simpang KKA terdapat bukti permulaan yang cukup terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan hasil penyelidikan telah diserahkan ke Jaksa Agung. b. Peristiwa Jambu Keupok, Aceh Selatan 2003; Komnas HAM telah menyimpulkan dalam peristiwa Jambu Keupok terdapat bukti permulaan yang cukup terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan hasil penyelidikan telah diserahkan ke Jaksa Agung. c. Peristiwa Rumah Geudong, Pidie periode 1989 – 1998; Sampai dengan saat ini masih dalam proses penyelidikan. d. Peristiwa Timang Gajah, Bener Meriah periode 1998 – 2003; Sampai dengan saat ini masih dalam proses penyelidikan
10 e. Peristiwa Bumi Flora, Aceh Timur 1998; Belum dilakukan penyelidikan menunggu selesainya penyelidikan kedua kasus diatas. 2. Peristiwa Paniai, Papua Komnas HAM mengalami kendala dalam pelaksanaan penyelidikan di lapangan sehubungan dengan adanya penolakan warga untuk dimintai keterangan sebelum dibukanya ke public hasil penyelidikan yang dilakukan oleh TNI dan Polri. 3. Peristiwa Dukun Santet Sidang Paripirna Komnas HAM RI telah menerima dan memutuskan pembentukan Tim Ad Hoc guna melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap dugaan pelanggaran HAM yang berat pada peristiwa pembantaian dukun santet 1998-1999 di Banyuwangi. 2) Penerimaan Dana dan Bentuk Kerjasama Yang Dilakukan oleh Komnas HAM dengan Organisasi Luar Negeri dan Non-Governmental Organization (NGO) dalam Mendukung dan Merealisasikan Program Kerja Komnas HAM. Pada tahun anggaran 2016 ini Komnas HAM tidak menerima bantuan dana hibah dalam bentuk uang dari Organisasi Luar Negeri dan Non-Governmental Organization (NGO) dalam Mendukung dan Merealisasikan Program Kerja Komnas HAM. Adapun bentuk kerjasama yang diterima dari lembaga donor adalah dalam bentuk program kegiatan kerjasama antara lain dalam pelaksanaan inkuiri nasional tentang Masyarakat Adat, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan serta Perlindungan terhadap para Pembela HAM (human rights defenders). 3) Hasil pemantauan Komnas HAM terhadap berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh aparat dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir. Berdasarkan data Komnas HAM Tahun 2015, berkas pengaduan yang masuk adalah 8.249, dengan pihak terbanyak yang diadukan berdasarkan 5 (lima)peringkat teratas adalah: (1) kepolisian 2.734 berkas, (2) korporasi 1.231 berkas, (3) pemerintah daerah 1.011 berkas, (4) lembaga peradilan 640 berkas, dan (5) pemerintah pusat/kementerian 548 berkas. Dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir, komposisi tersebut tidak berbeda jauh. Berdasarkan data tersebut, Komnas HAM telah mengeluarkan 4.093 surat rekomendasi dan 1.193 diantaranya terkait kinerja POLRI (637 rekomendasi dan 556 tanggapan) Tingkatan Kepolisian yang paling banyak diadukan secara berturut-turut adalah Polres, Polda, Polsek, dan Mabes Polri. 4) Konflik horizontal yang terjadi di masyarakat dan mendapat atensi public serta peran KOMNAS HAM dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut. Adapun berbagai konflik horizontal yang ditangani oleh Komnas HAM dan menjadi perhatian public antara lain : a. Pengepungan dan Tindakan Rasisme terhadap Mahasiswa Asal Papua di Asrama Mahasiswa asal Papua di Yogyakarta (Kasus Separatis) Komnas HAM telah memaparkan hasil temuan pemantauan melalui konferensi pers dan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait. b. Kasus Kerusuhan Tanjung Balai, Sumatera Utara
11 Temuan faktanya adalah: Bahwa komunikasi/kata-kata yang disampaikan Sdri. Meliana (41 Thn) kepada Sdri. Ibu Uwo pada sekitar 1 (satu) minggu sebelum hari kejadian pada tanggal 29 Juli 2016 termasuk komunikasi lanjutan antara Sdri. Uwo dengan Sdri. Heriyanti serta Bpk Kasidi merupakan kata-kata verbal yang tidak bertendensi negatif serta tidak dimaksudkan atau didasarkan pada rasa kebencian terhadap etnis dan Agama tertentu; Bahwa terjadi distorsi informasi yang dilakukan dan disebarluaskan oleh oknum-oknum tertentu yang merupakan upaya provokasi untuk memancing amarah komunitas Umat Muslim yang berorientasi pada terciptanya kebencian atas dasar etnis dan Agama di Tanjung Balai; Bahwa aparat intelijen tidak mampu melakukan deteksi dini adanya potensi konflik SARA selama sekitar 1 (satu) minggu sejak terjadinya komunikasi Sdri. Meliana dengan Sdri. Uwo, Sdri. Heriyanti, dan Sdr. Kasidi hingga terjadinya peristiwa perusakan dan pembakaran rumah ibadah dan rumah milik Sdri. Meliana di Tanjung Bali; Bahwa aparat kepolisian melakukan beberapa kelalaian dalam peristiwa perusakan dan pembakaran rumah ibadah di Tanjung Balai antara lain ; 1. Ketidaksiapsiagaan baik itu Kepolisian Resor Tanjung Balai maupun Kepolisian Resor yang berbatasan dengan Kota Tanjung Balai dalam mengantisipasi kerusuhan massa yang berbau SARA; 2. Penanggung jawab keamanan belum mampu mengorganisir kekuatan internal aparat keamanan dan tidak mampu mengendalikan amuk massa di Kota Tanjung Balai; 3. Aparat keamanan lamban mengantisipasi amuk massa sehingga menyebabkan rusak dan terbakarnya 15 (lima belas) bangunan yang terdiri dari rumah ibadah dan rumah pribadi. Kehadiran aparat keamanan ke lokasi rumah ibadah setelah 1 s/d 2 jam pasca perusakan dan pembakaran. c. Kasus Penangkapan dan Penganiayaan Polres Karo terhadap Masyarakat Desa Lingga Temuan faktanya adalah : 1. Komnas HAM RI menemukan adanya penganiayaan yang mengakibatkan 1 (satu) orang warga meninggal dunia a.n. Abdi Purba, 1 (satu) orang kritis a.n. Ganefo Tarigan, dan 19 orang lukaluka. 2. Komnas HAM RI menemukan adanya pengrusakan terhadap harta benda milik warga Desa Lingga antara lain rumah dan kendaraan bermotor. 3. Komnas HAM RI menemukan adanya serangan yang dilakukan secara sadar dan sengaja oleh aparat keamanan. Selain itu penganiayaan dan pengrusakan juga menciptakan ketakutan pada warga Desa Lingga. 4. Komnas HAM RI menemukan fakta adanya protes atas pembangunan relokasi warga pengungsi erupsi Gunung Sinabung, dimana pengembang menutup jalan akses masuk Desa Lingga dan ke Desa Kabanjahe.
12 d. Kasus Meninggalnya 2 (dua) orang Warga Sipil yang berujung pada Bentrokan antara Warga dengan Aparat Polres Kep. Meranti tanggal 25 Agustus 2016 Perkembangan terkini, telah dilakukan pemeriksaan di Polda Riau terhadap 38 orang anggota Kepolisian Resort Kepulauan Meranti yang diperiksa dan 10 orang masyarakat sipil dan telah ditetapkan 4 (empat) sebagai Tersangka dan 17 (tujuh belas) orang masuk dalam Pelanggaran Kode Etik atas peristiwa meninggalnya Sdr. Apri Adi Pratama dan masih dimungkinan untuk bertambah. Sedangkan terkait meninggalnya Sdr. Is Rusli masih dilakukan pemeriksaan terhadap barang bukti 8 (delapan) senjata yang di dalam SOP seharusnya berisikan peluru hampa dan karet. Selain itu, kondisi mulai kondusif di Kab. Kepulauan Meranti. e. Peristiwa Bentrokan Warga Desa Sarirejo Komnas HAM menemukan adanya 10 fakta dalam peristiwa tersebut yang berujung pada kesimpulan adanya 4 (empat) dugaan pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut, yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak atas rasa aman, dan hak atas kepemilikan. Komnas HAM telah memaparkan hasil temuan pemantauan melalui konferensi pers dan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait. f. Sengketa antara Warga Parangkusumo, Kab. Bantul Menyampaikan Rekomendasi kepada instansi Pemerintah terkait.Hal ini dilakukan, misalnya dengan mengirimkan rekomendasi kepada Walikota Bandung dan Kapolda Jawa Barat terkait dengan penggunaan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Bandung Timur di Kota Bandung. 5) Tindak Lanjut Kesimpulan RDP 18 April 2016 Berkenaan Proses penyelesaian pelanggaran HAM kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu beserta strategi yang akan diterapkan. Komnas HAM berpandangan bahwa penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia meliputi pemenuhan beberapa elemen penting untuk menghapus impunitas yaitu hak atas keadilan, hak untuk tahu atas peristiwa yang terjadi, hak atas pemulihan serta jaminan ketidakberulangan.Komnas HAM berpandangan bahwa, untuk Indonesia, proses itu memerlukan konsensus, penyelesaian tidak merupakan jalan tunggal, namun dilakukan secara bertahap dengan memulai agenda yang paling mungkin serta dilaksanakan oleh orang/lembaga yang kredibel. Jalan yudisial untuk memenuhi hak atas keadilan mengalami kemandekan. Kasus-kasus yang diselidiki oleh Komnas HAM belum ada tindak lanjut. Komnas HAM berpandangan bahwapemenuhan hak korban atas pemulihan tidak dapat menunggu dan secara prinsipil harus dilakukan oleh negara dengan segara dan harus dikedepanka. Penetapan, pengungkapan peristiwa dan pengakuan secara terbuka oleh negara menjadi syarat yang mendahului pemulihan. Oleh karena sifat kemendesakan dan harus dilakukannya secara segera, maka proses awal penyelesaian hak asasi manusia ini harus dirumuskan dalam bentuk kebijakan politik yang secara prosedur tidak memakan waktu lama. Masukan dari korban dan tokoh serta setelah melakukan pembicaraan dengan Ketua DPR, Pimpinan MPR, Jaksa Agung dan Menkopolhukam, semua memmiliki kesepahaman tentang perlunya segera ditempuh langkah kebijakan politik penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia.
13 RPJMN 2015-2019 memuat ketentuan mengenai penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang memuat dua dimensi penting tentang penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu: a). Bahwa penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu merupakan hasil konsensus nasional; b). Dilaksanakan dengan adanya pengungkapan pelanggaran HAM di masa lalu dan pemulihan hak korban. RPJMN ini dapat merupakan wujuud dan dasar pengambilan kebijakamn politik bagi penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu.Komnas HAM memandang bahwa penyelesaian pelanggaran masa lalu sebagaimana dinyatakan dalam RPJMN merupakan bagian dari pelaksanaan ketentuan Pasal 47 UU No. 26 Tahun 2000.Bahwa penyelesaian pelanggaran masa lalu yang terjadi sebelum diundangkannya dapat diselesaikan melalui KKR yang dibentuk berdasarkan UU.Namun demikian, Putusan MK menyatakan dapat dilakukannya pengungkapan kebenaran dan langkah lanjutan tidak hanya berdasar UU namun juga dapat dilakukan berdasar atas kebijakan politik.Putusan MK dapat dipandang pula sebagai dasar hukum yang kuat untuk Presiden mengambil langkah melaksanakan ketentuan RPJMN guna penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. 6) Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia/Amandemen UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kinerja dan pelaksanaan kewenangan Komnas HAM tidak efektif akibat kelemahan, dan/atau kekurangan, dan/atau ketiadaan ketentuan sejumlah aspek dalam UU 39/1999. Aspek-aspek termaksud menyangkut format peraturan perundang-undangan konstitutif, ketentuan mengenai keanggotaan, dan posisi hukum (legal standing). Hal lain yang juga penting adalah aspek pematuhan pelaksanaan kewenangan oleh pihak lain yang bersangkutan, pelaksanaan rekomendasi, imunitas anggota, pemanggilan paksa, kerjasama subregional, regional, dan internasional, serta tugas lain yang mungkin diberikan. Pada soal sekretariat adalah masalah administratif-finansial dan serta keberadaan institusi HAM di daerah. Beberapa kelemahan dan ketiadaan ketentuan sejumlah aspek dalam UU 39/1999 yang mengakibatkan ketidak efektifan pelaksanaan kewenangan meliputi beberapa hal, antara lain: a. UU 39/1999 memang menetapkan bahwa Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya" (Pasal 1 angka 7). Namun, karena keberadaan Komnas HAM tidak didasarkan pada UUD 1945 sehingga dalam hal terjadinya sengketa kewenangan antara Komnas HAM dan lembaga negara lain, seperti Pemerintah (termasuk Kejaksaan Agung) dan DPR, sengketa demikian, stricto sensu, tidak akan dapat diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat "MK").1Dalam praktik pemanggilan oleh Komnas HAM kepada sejumlah pihak untuk memberikan keterangan atau kesaksian sering kali tidak efektif. Di sinilah diperlukan adanya posisi hukum (legal standing) yang sekarang tidak dimiliki oleh Komnas HAM. Bukan hanya memantapkan peluang penyelesaian sengketa kewenangan dengan lembaga negara lain melalui MK, posisi hukum juga penting agar pelaksanaan fungsi pemantauan Komnas HAM dalam hal pemanggilan
14 untuk memberikan kesaksian atau keterangan kepada Komnas HAM dapat lebih efektif. b. Pemantauan bertujuan memperoleh data, informasi, dan fakta terdapat atau tidak pelanggaran HAM dalam peristiwa yang bersangkutan. Pasal 89 ayat (3) UU 39/1999 menetapkan berbagai tindak yang dapat dilakukan oleh Komnas HAM dalam pelaksanaan fungsi pemantauan. Salah satu kewenangan Komnas HAM adalah melakukan pemanggilan. Ketiadaan ketentuan dalam UU 39/1999 yang menetapkan kewajiban para pihak untuk memenuhi panggilan, menyerahkan bukti kepada, atau memberi persetujuan kepada Komnas HAM dapat mengakibatkan ketidakpastian berlanjutnya proses atau berhasil baiknya penyelidikan dan pemeriksaan dalam rangka pemantauan. c. Komnas HAM memiliki kewenangan mengeluarkan rekomendasi. Rekomendasi Komnas HAM tidak memiliki nyali karena tiadanya posisi hukum (legal standing) UU 39/1999 tentang HAM tidak menetapkan kewajiban pada pejabat negara atau pejabat pemerintah untuk memberi penjelasan kepada Komnas HAM dalam hal mereka tidak mau (unwilling) atau tidak dapat (unable) melaksanakan isi rekomendasi Komnas HAM. Tindak lanjut, yakni penyampaian rekomendasi bagi diambilnya tindakan yang tepat untuk penegakan HAM, tidak dicantumkan sebagai bagian Pasal 89 ayat (3), yang mengatur pelaksanaan fungsi pemantauan, melainkan dalam Pasal 89 ayat (4) yang mengatur pelaksanaan fungsi mediasi, yakni dalam Pasal 89 ayat (4) huruf d dan (c) Penempatan ketentuan mengenai penyampaian rekomendasi kepada pihak yang tepat sebagai tindak lanjut pelaksanaan penyelidikan dan pemeriksaan dalam rangka pemantauan di bawah ayat yang mengatur mediasi, nyata merupakan kekeliruan, bukan saja sistematis melainkan juga konseptual. d. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, Anggota Komnas HAM antara lain harus mengeluarkan pendapat, memberikan keterangan, membuat tanggapan, atau membuat pernyataan secara lisan atau tertulis. Dapat terjadi bahwa ucapan atau tulisan anggota Komnas HAM itu, walaupun dilakukan dalam kapasitas dan dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewajiban Komnas HAM sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dianggap oleh suatu pihak sebagai tindak pencemaran nama baik. Karena itu dapat terjadi pihak yang bersangkutan dapat melakukan gugatan hukum terhadap anggota Komnas HAM yang bersangkutan. Keadaan demikian atau kemungkinan timbulnya keadaan demikian, akan mengganggu pelaksanaan tugas para anggota Komnas HAM dan juga mengganggu kemandirian Komnas HAM. UU 39/1999 memang sudah memuat ketentuan yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM untuk meminta Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa “sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” terhadap seseorang yang tidak datang memenuhi panggilan atau menolak memberikan keterangannya kepada Komnas HAM (Pasal 95). Namun, tujuan Pasal 95 UU 39/1999 tersebut, yakni hadirnya seseorang memenuhi panggilan Komnas HAM atau pemberian keterangan yang diperlukan tidak akan tercapai karena kerancuan dan, bahkan, pelemahan yang diakibatkan oleh penjelasan Pasal 95.
15 e. Efektifitas pelaksanaan kewenangan Komnas HAM bergantung pula pada dukungan administrasi dan keuangan. UU 39/1999 menampakkan adanya kekosongan (lakuna) yang sangat tidak menguntungkan bagi pelaksanaan kegiatan operasional Komnas HAM. Tidak ada ketentuan dalam UU 39/1999 mengenai masalah pegawai atau staf Komnas HAM, termasuk ketentuan mengenai status, fungsi, pertanggungjawaban, dan sistem perekrutan mereka. Begitu banyak dan penting aspek kepegawaian Komnas HAM yang perlu diatur. Pengaturan administratif semua staf Komnas HAM dilakukan menurut peraturan perundang-undangan dan pengaturan lain yang berlaku bagi pegawai negeri sipil (PNS) umumnya. Tidak ada kebijakan (policy) tunggal bagi pengaryaan (employment) staf di Komnas HAM. f. UU 39/1999 mengatur pula tentang keberadaan Perwakilan Komnas HAM. Komnas HAM dapat membentuk perwakilan. Keberhasilan upaya mewujudkan tujuan Komnas HAM ditentukan pula oleh keberadaan perwakilan Komnas HAM di daerah. Namun, kondisi yang menyangkut Perwakilan Komnas HAM di Daerah menunjukkan fungsi PerwakilanPerwakilan harus dikoreksi untuk memastikan terwujudnya dengan sebaikbaiknya, penghormatan, pemajuan, perlindungan, serta penegakan HAM di Indonesia. Mengingat luasnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) serta sifat tidak dapat dibagi-baginya dan sifat saling bergantungnya HAM, maka pembentukan Perwakilan Komnas HAM di daerah, tepatnya di setiap provinsi, merupakan keharusan (mandatory), meskipun realisasinya dapat dilakukan secara bertahap menurut priotitas urgensinya serta, sudah tentu, ketersediaan anggaran yang bersangkutan. g. Di samping itu, dalam perkembangannya sepanjang 1999 (pada saat disahkan UU 39/1999) sampai dengan 2016 terjadi beberapa perkembangan hukum yang cukup signifikan. Dua instrumen hukum internasional diratifikasi oleh pemerintah RI. Pada 30 September 2005, pemerintah RI telah meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) yang dituangkan dalam UU 11/2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Sejalan dengan perkembangan hukum pada hampir satu dasa warsa ini, serta besarnya harapan dan tuntutan masyarakat bagi penyelesaian berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berkembang, UU 39/1999 tentang HAM yang semula mengatur tentang Norma HAM dan Komnas HAM sebagai organ sekaligus, kemudian dianggap perlu untuk diubah ke dalam dua pokok pengaturan, yakni UU yang mengatur tentang norma HAM secara khusus dan UU yang fokus mengatur tentang Komnas HAM sebagai organ.Berbagai ketentuan hukum tersebut sebenarnya dengan sendirinya secara otomatis sudah menjadi hukum positif yang berlaku, dengan demikian tidak ada signifikansi dengan pengaturan HAM yang ada dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dengan demikian, dalam rangka penguatan kelembagaan Komnas HAM yang sudah berusia 23 tahun sehingga sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada, Komnas HAM mengusulkan agar perlunya pengaturan kelembagaan Komnas HAM sendiri secara terpisah.
16 Sekiranya Komisi III DPR.RI menyepakati usulan Komnas HAM dimaksud, maka Komnas HAM sanggup untuk menyelesaikan naskah akademis dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komnas HAM sebelum akhir 2016. 7) Tindak Lanjut Hasil Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan terhadap keuangan Komnas HAM Tahun Anggaran 2015 dengan memberikan opini Tidak Menyertakan Pendapat (TMP)/Disclaimer of Opinion. Sehubungan dengan hal tersebut Komnas HAM menyampaikan permohonan maaf dan hal ini menjadi kesempatan bagi Komnas HAM untuk melakukan perubahan yang mendasar dalam pengelolaan keuangan. Ini adalah pembelajaran yang sangat bermakna bagi Komnas HAM untuk memperbaikinya baik dari penyusunan dan penyajian wajar laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan dan pengendalian intern yang memadai untuk menyusun Laporan Keuangan yang bebas dari kesalahan penyajian material, baik yang disebabkan oleh kecurangan maupun kesalahan. Terhadap temuan tersebut, Komnas HAM telah melakukan pembenahan diri dan menindaklanjuti rekomendasi BPK. 8) Beberapa penjelasan tambahan Ketua Komnas HAM, diantaranya adalah sebagai berikut : Terkait penggusuran di Bukit Diri, Komnas HAM berada dalam posisi yang berhadapan dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama. Demikian pula dengan kasus Waduk Pluit, penggusuran Pasar Ikan, dan reklamasi di Teluk Jakarta. Dalam hal ini Komnas HAM membentuk tim untuk menyusun rekomendasi-rekomendasi dan melakukan konferensi pers dengan media untuk menjelaskan sikap dan posisi Komnas HAM. Terkait reklamasi di Teluk Jakarta, Komnas HAM memang belum sampai pada kesimpulan akhir, namun dari fakta-fakta yang didapat oleh Komnas HAM di lapangan ditemukan kuat indikasi pelanggaran HAM yang terjadi oleh Pemprov DKI Jakarta khususnya terhadap masyarakat pesisir di daerah Utara Jakarta. Dalam hal tugas pemantauan dan mediasi, kantor perwakilan Komnas HAM berfungsi untuk mendekatkan Komnas HAM dengan masyarakat utamanya dengan warga masyarakat di daerah. Terkait dengan hilangnya dokumen TGPF Munir, Komnas HAM baru melakukan diskusi secara informal namun telah ada hal berkembang diantara komisioner Komnas HAM yakni pemerintah perlu melakukan langkah-langkah untuk mendapat kembali dokumen penting tersebut. Komnas HAM melihat, „hilangnya‟ dokumen tersebut patut diduga pemerintah abai dan tidak menganggap penting kasus Munir dan publik berhak mendapatkan informasi yang haknya dijamin UU. Itulah posisi Komnas HAM sementara terkait hal tersebut. Terkait penyelesaian pelanggaran HAM berat, Komnas HAM dalam bulan ini telah melakukan beberapa kali pertemuan dengan kementerian terkait dan Komnas HAM melihat upaya non-judicial perlu dikedepankan dibanding pendekatan judicial, namun segala kemungkinan tetap dapat dilakukan. Terkait PP 99 tentang hak untuk mendapatkan remisi, bagi Komnas HAM ini menjadi diskusi yang mendalamt. Bagi Komnas HAM, remisi adalah hak
17 bagi narapidana, namun tidak menciderai semangat pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah. Terkait kasus Mary Jane, Komnas HAM telah mengirimkan surat kepada Presiden untuk meninjau kembali dan melihat sisi lain dari hukuman mati tersebut. Terkait kasus asap dan kebakaran lahan, Komnas HAM melihat kebakaran lahan dan asap yang terjadi di tahun yang lalu adalah peristiwa pelanggaran HAM. III. KESIMPULAN Setelah mendengar saran, pendapat dan pandangan Anggota Komisi III DPR RI, kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Komnas HAMsebagai berikut: 1. Komisi III DPR RI mendesakKomnas HAM segera menindaklanjuti opini disclaimer BPK atas LHP - LKPP Komnas HAM Tahun 2015 dan menyajikan laporan keuangan yang transparan dan akuntabel sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dan pengendalian intern yang memadai agar kedepan tidak ada lagi opini disclaimer terhadap hasil pemeriksaan dan laporan keuangan Kementerian dan Lembaga serta meminta Ketua Komnas HAM untuk membangun soliditas yang kuat didalam internal Komnas HAM. 2. Komisi III DPR RI mendesak Komnas HAM untuk segera melakukan pembenahan struktural dan kelembagaan serta meningkatkan profesionalisme dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan memperkuat Komnas HAM melalui revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan membuka peluang untuk perumusan RUU tentang Komnas HAM dalam Prolegnas. 3. Komisi III DPR RI meminta seluruh Komisioner Komnas HAM wajib menghadiri setiap Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI. Rapat ditutup Pukul 13.15 WIB