RANCANGAN
LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA KOMISI III DPR-RI DENGAN DIRJEN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM RANGKA PEMBAHASAN DIM RUU TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------(BIDANG HUKUM, HAM DAN KEAMANAN) Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Sifat Jenis Rapat Hari/tanggal Waktu Tempat Acara
: 2015-2016 : III : : Terbuka : Rapat Panja : Senin, 18 Januari 2016 : Pukul 10.50 s.d. 13.05 WIB : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Melanjutkan Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undangiiiiundang Hukum Pidana (KUHP).
KESIMPULAN/KEPUTUSAN I. PENDAHULUAN Rapat Panja dibuka pada pukul 10.50 WIB oleh Wakil Ketua Komisi III DPR RI, DR. Benny K. Harman, SH dengan agenda rapat sebagaimana tersebut diatas.
II. POKOK-POKOK PEMBICARAAN 1. Pimpinan Rapat Panja meminta penjelasan kepada Pemerintah terhadap beberapa materi substansi yang ditugaskan kepada pemerintah untuk merumuskan dan mereformulasi kembali diantaranya sebagai berikut : DIM No. 109 sampai dengan 122 diformulasi ulang dengan catatan untuk dipertimbangkan korban yang belum berumur 16 tahun yang berada di bawah pengampuan menjadi delik umum. Pemerintah minta waktu untuk konsolidasi terkait DIM No. 125 s.d DIM No. 155. DIM No. 162 dan 163 dirumuskan dan direlokasi kembali penempatannya oleh Pemerintah. DIM 164 (Pasal 54), dirumuskan dan direlokasi kembali penempatannya oleh Pemerintah. DIM No. 190 s.d DIM No. 197A akan dirumuskan ulang. DIM No. 198 s.d DIM No. 202 akan dirumuskan ulang dan disesuaikan penempatannya.
DIM 212 sampai dengan DIM 215 2. Berkenaan dengan pertanyaan yang disampaikan Pimpinan Panja, Pemerintah meminta waktu untuk melakukan konsolidasi terhadap beberapa substansi yang ditugaskan kepada Pemerintah guna merumuskan dan mereformulasi kembali rumusan-rumusan DIM yang telah menjadi catatan bersama. 3. Beberapa DIM RUU tentang KUHP yang dilakukan pembahasan, diantaranya sebagai berikut: 1. DIM No. 215 (Pasal 65) Pasal 65 Jika narapidana melarikan diri maka masa selama narapidana melarikan diri tidak diperhitungkan sebagai waktu menjalani pidana penjara. F-PDIP memberikan catatan bahwa Pasal 65 tidak perlu ada, atau dihapuskan. Untuk apa perlu aturan atau ketentuan hukum bagi hal yang sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sudah jelas bila narapidana melarikan diri, tentu masa pelariannya tidak akan diperhitungkan sebagai waktu menjalani pidana penjara. Disetujui PANJA 18-1-2016, dengan catatan: Pemerintah akan merumuskan ulang. 2. DIM No.216 Bagian Kedua Pidana
Disetujui Panja 18-1-2016
3. DIM No.217 Paragraf 1 Jenis Pidana
Disetujui Panja 18-1-2016
4. DIM No.218 dan 224 Pasal 66 (1) Pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial. (2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana, kecuali pidana bagi anak. F-PDIP menyampaikan catatan sebagai berikut : 1. Pasal 66 tentang Pidana Pokok mencantumkan hal baru sebagai pidana, yakni kerja sosial. Akan tetapi, pada praktek atau
2
penerapannya kelak tentu bakal menimbulkan banyak kendala/masalah. 2. Pasal 66 sampai dengan Pasal 69 RUU KUHP mengintrodusir jenis pemidanaan baru, seperti pengawasan, pidana kerja sosial, pembayaran ganti kerugian, pemenuhan kewajiban adat, dan tindakan. Jenis pemidanaan baru ini perlu dijelaskan secara detail dan diantisipasi penerapannya kelak. Pencermatan ini juga penting dilakukan agar maksud dan tujuan semula dari pemberlakuan jenis pemidanaan baru itu tak terabaikan. 3. Akan halnya pidana denda, yang menggunakan enam kategori dalam RUU KUHP, juga harus mempertimbangkan perubahan nilai uang antara lain karena inflasi, jenis tindak pidana ataupun akibat dari tindak pidana yang dilakukan pelaku. Dan untuk jenis pemidanaan yang bukan pidana penjara, seharusnya tidak dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana yang benar-benar membahayakan masyarakat, ataupun terhadap pelaku kejahatan kerah putih atau orang berdasi (white collar crime), atau kejahatan yang menimbulkan kerugian sangat besar. 4. Jenis pidana tutupan pernah diterapkan pada tahun 1946. Ketika itu, Mohammad Yamin dan kawan-kawan dituduh mengatur penculikan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Mereka dikenakan pidana tutupan, karena adanya perlakuan khusus terhadap mereka sebagai pejuang kemerdekaan tahun 1945. Kini, tentu pidana tutupan tidak relevan lagi. Apalagi sekarang berlaku sistem pemasyarakatan, bukan sistem penjara. FPKS berpandangan hukuman mati tetap sebagai hukuman pokok. Kemudian juga perlu dipertimbangkan mengenai urutan jenis pidana pokok, mulai dari yang ringan sampai yang ke berat, agar terlihat politik hukum pidana bukan semata-mata untuk pembalasan. a. pidana kerja sosial b. pidana denda c. pidana pengawasan d. pidana tutupan e. pidana penjara f. pidana mati F-PKS mengusulkan untuk urutan sebagaimana di atas, selanjutnya perlu dijelaskan apa itu pidana tutupan? Dan masih relevankah diberlakukan?. Serta perlu dijelaskan apa itu pidana pengawasan? F.PPP mengusulkan Meskipun pidana mati dalam Pasal 67 dinyatakan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus, namun karena pidana mati diakui sebagai pidana pokok, maka seharusnya tetap dicantumkan dalam Pasal 66 ini F.Gerindra mengusulkan ada tambahan huruf (a) dan huruf a awal menjadi huruf b. Pidana mati perlu disebut sebagai bentuk pidana pokok, sebelum ia dijelaskan sifat khususnya dalam Pasal 67 (DIM No. 225). Perlu dilakukan reformulasi dan rekonstruksi ulang terhadap pasal-pasal yang berkaitan dengan pidana. Diusulkan untuk pidana mati dimasukkan dalam jenis pidana pokok.
3
Bahwa terhadap jenis-jenis pidana seperti pidana pengawasan, pidana kerja sosial, hukumannya seperti apa dan bagaimana cara melaksanakannya. Meminta kepada Pemerintah merumuskan kembali. Sebagai catatan, Pemerintah meminta Pasal 72 dibahas secara khusus. Dipending Panja, 18-1-2016. Catatan : Pasal 66, Pasal 68, Pasal 70 s.d Pasal 81, dan Pasal 88 dirumuskan ulang oleh Pemerintah terkait dengan jenis pidana dan pelaksanaan pidana. 5. DIM No.225 (Pasal 67) Pasal 67 Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. F-PDIP menyampaikan catatan sebagai berikut: Pasal 67 yang masih mencantumkan pidana mati sangat perlu dicermati secara kritis. Sebab: 1. Apa yang dimaksud dengan frasa “bersifat khusus”? Ini bisa menimbulkan beragam interpretasi. Karena tidak menegaskan kekhususan jenis tindak pidana seperti apa yang harus mendapatkan pidana mati. Ini tentu bisa berpotensi melanggar asas lex certa (asas kejelasan rumusan). 2. Pidana (hukuman) mati menjadi paradoksal dengan tujuan pemidanaan, sebagaimana diatur pada Pasal 55. 3. Pidana mati melanggar hak hidup sebagai non derogable rights, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat 1 UUD 1945, Pasal 3 dan Pasal 5 DUHAM, dan Pasal 6 International Covenant Civil dan Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. 4. Pasal 28I ayat 1 UUD 1945: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” 5. Pasal 3 dan Pasal 5 DUHAM Pasal 3 “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu” Pasal 5 “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina”
6. Pasal 6 ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005, sebagai berikut:
4
1. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang. 2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang. 3. Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus difahami, bahwa tidak satupun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apapun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida. 4. Setiap orang yang telah dijatuhi hukuman mati berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus. 5. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dibawah usia 18 tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung. Tidak satupun dalam pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini. 6. Tidak ada satupun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini. Bila pidana mati tetap “dipaksakan” untuk diberlakukan dan dicantumkan pada RUU KUHP, seyogyanya rumusan Pasal 67 direvisi menjadi sebagai berikut : 1. “Pidana mati merupakan pidana pokok terberat dan terakhir yang dijatuhkan terhadap tindak pidana paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat terjadinya tindak pidana dan selalu diancamkan secara alternatif” 2. “Penjatuhan pidana mati harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan memperhatikan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56” F-PD meminta frasa ini dicabut. Frasa selalu “diancamkan secara alternatif” ini patut dinilai bertentangan dengan rasa keadilan dan kepastian hukum sebagai tujuan dari hukum itu sendiri. Selain itu, tujuan hukum untuk efek jera khususnya terhadap kejahatan-kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dapat tidak tercapai bila pidana mati dilaksanakan secara alternatif. Melihat kondisi kejahatan luar biasa yang terus mengalami peningkatan, sepatutnya pidana mati bisa dilaksanakan lebih tegas, tanpa ampun. 5
F-PKS mengusulkan Pendalaman seharusnya tetap dimasukkan dalam Pasal 66, dan perlu diperdalam mengapa harus selalu diancamkan secara alternatif? F.PAN mengusulkan agar tetap masukan dalam pasal 66 pidana pokok. Pada prinsipnya semua setuju terhadap pencantuman pidana mati dalam KUHP yang akan datang. Pidana mati dicantumkan dalam salah satu jenis pidana pokok. Meminta kepada pemerintah agar merumuskan jenis-jenis tindak pidana khusus apa yang dapat dipidana mati. Apakah masuk dalam pidana pokok atau pidana khusus. Rumusan Pasal 67 disempurnakan, menjadi sebagai berikut: Pasal 67 Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Disetujui PANJA, 18-1-2016.
III. KESIMPULAN/KEPUTUSAN Rapat Panja Komisi III DPR RI dengan Pemerintah dalam rangka pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyepakati beberapa hal sebagai berikut : Pasal 65 Jika narapidana melarikan diri maka masa selama narapidana melarikan diri tidak diperhitungkan sebagai waktu menjalani pidana penjara. Disetujui PANJA 18-1-2016. Catatan: Dirumusukan ulang Pemerintah. Bagian Kedua Pidana Disetujui PANJA 18-1-2016. Paragraf 1 Jenis Pidana Disetujui PANJA, 18-1-2016.
Pasal 66 (1) Pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial.
6
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana, kecuali pidana bagi anak. DIPENDING PANJA, 18-1-2016. Catatan: Pasal 66, Pasal 68, Pasal 70 s.d Pasal 81, dan Pasal 88 dirumuskan ulang oleh Pemerintah terkait dengan jenis pidana dan pelaksanaan pidana. Pasal 67 Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Disetujui PANJA, 18-1-2016. Rapat ditutup pukul 14.10 WIB
7