KEPEMIMPINAN ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh HERMANTO NIM 208011000042
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK HERMANTO (NIM: 208011000042). KEPEMIMPINAN ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA. Kata kunci : Kepemimpinan dan Nilai-nilai Pendidikan Islam Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi otomatis diantara pemimpin dan individu-individu yang dipimpin. Permasalahan yang diangkat pada penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung di dalamnya. Abu bakar Ash-Shiddiq merupakan khalifah pertama dalam Khulafa alRasyidin dan ini merupakan anugrah dan keistimewaan yang diberikan Allah kepadanya, yang dilandasi oleh keimanan yang kokoh, telah banyak yang ia lakukan. Ia selalu siaga membela Nabi dalam berdakwah, sebagaimana pembelaanya terhadap kaum muslimin. Kepentingan Rasulullah SAW lebih diutamakan dari pada kepentingan dirinya sendiri. Bahkan dalam segala situasi, ia selalu mendampingi perjuangan Nabi SAW. Kesempurnaan akhlaknya tersebut memberi nilai-nilai pendidikan yang patut kita teladani yang diantaranya; Ketegasan, keberanian, kedermawanan, keadilan, kejujuran, dan kewibawaan. Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu suatu jenis penelitian yang mengacu pada khazanah kepustakaan seperti buku-buku, artikel dan lain-lain. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisis deskriptif yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan dengan membaca, meneliti, menela’ah dan menghimpun dan menganalisa beberapa literature yang ada relevansinya dengan topik pembahasan skripsi. Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq banyak mengandung nilai-nilai pendidikan Islam antara lain: Ketegasan, keberanian, kedermawanan, keadilan, kejujuran dan kewibawaan.
i
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan limpahan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Nilai-nilai Pendidikan Islam yang Terkandung di Dalamnya”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada sang pemimpin umat islam yang telah membawa risalah cahaya Islami, yakni baginda Rasulullah SAW. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi strata satu (S-1) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Banyak sekali rintangan serta hambatan yang penulis rasakan dalam penulisan skripsi ini, namun Alhamdulillah berkat pertolongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, terutama kepada Ayahanda Muhammad Nasir dan Ibunda Siti Arisah tercinta yang telah membiayai kuliah, memberikan do’a, curahan kasih sayang, motivasi dan saran baik secara moril maupun materil sehingga Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan kuliah ini. Selanjutnya penulis perlu menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya terutama kepada: 1.
Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, MA. Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, dan Ibu Hj. Marhamah Shaleh, Lc. MA, selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
3.
Bapak Drs. H. Ghufron Ihsan, MA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing, memberikan saran, arahan, motivasi dan telah meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran di sela-sela kesibukannya dalam penyusunan skripsi ini.
ii
4.
Seluruh Dosen, Staf dan Karyawan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengetahuan, pemahaman dan pelayanan selama melaksanakan studi.
5.
Seluruh Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kemudahan baik selama studi maupun dalam penulisan skripsi.
6.
Orang tua tercinta Muhammad Nasir dan Siti Arisah yang telah membiayai, memberikan motivasi, doa serta kasih sayang hingga terselesainya skripsi ini. Saya mungkin belum bisa membalas kebaikan semuanya itu, saya hanya bisa mengucapkan Syukron katsiron Jazakumullah ahsana jaza. Amiin.
7.
Teman-teman PAI seperjuangan, khususnya kelas B angkatan 2008-2009 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala perhatian, dukungan serta motivasinya. Semoga Allah meridhoi segala usaha dan harapan kita, serta silaturrahmi diantara kita tetap terjalin. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua
pihak atas seluruh bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini semoga Allah SWT senantiasa memberikan sinar terang kepada seluruh hambanya dan semoga aktivitas penulis selalu diberkahiNya dan diberikan hidayah-Nya. Terlepas dari segala kekurangan yang ada, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca, serta penulis juga berharap kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan penulisan selanjutnya.
Jakarta,
April 2014
Hermanto
iii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI ABSTRAKS ....................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
iv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ........................................................................ A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
1
B. Pembatasan Masalah.................................................................
5
C. Perumusan Masalah .................................................................
6
D. Tujuan Penelitian .....................................................................
6
E. Metode Penelitian ....................................................................
7
RIWAYAT HIDUP ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ A. Riwayat Hidup Abu Bakar Ash-Shiddiq sebelum masuk Islam ........................................................................................
8
1. Nama, Nasab, Kuniyah dan Laqab Abu Bakar Ash-Shiddiq ........................................................................
8
2. Kelahiran, Gambaran dan Ciri Fisik Abu Bakar Ash-Shiddiq .........................................................................
9
3. Keluarga Abu Bakar Ash-Shiddiq .......................................
10
4. Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam Masyarakat Jahiliyah ...............................................................................
10
B. Riwayat Hidup Abu Bakar Ash-Shiddiq setelah masuk Islam .........................................................................................
13
1. Keislaman Abu Bakar Ash-Shiddiq.....................................
13
2. Dakwah Abu Bakar Ash-Shiddiq ........................................
15
3. Ujian dan Cobaan yang Dialami Oleh Abu Bakar ...............
16
4. Pembelaan Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada Rasulullah ...... iv
18
C. Riwayat Hidup Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika menjadi Khalifah .............................................................................................
20
1. Proses Pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq ....................
20
2. Masa Kepemimpinan Abu Bakar ........................................
22
3. Wafatnya Abu Bakar-Ash-Shiddiq .....................................
29
BAB III PENGERTIAN, DASAR DAN TUJUAN NILAI PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Nilai Pendidikan Islam ...........................................
31
B. Dasar-dasar Nilai Pendidikan Islam .........................................
34
C. Tujuan Menggali Nilai-nilai Pendidikan Islam ........................
40
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM KEPEMIMPINAN ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ DAN UPAYA IMPLEMENTASINYA DALAM PENDIDIKAN A. Nilai-nilai Pendidikan Islam .....................................................
43
1. Ketegasan .............................................................................
43
2. Keberanian ...........................................................................
45
3. Kedermawanan ....................................................................
49
4. Keadilan ...............................................................................
52
5. Kejujuran .............................................................................
55
6. Kewibawaan ........................................................................
56
B. Implementasi nilai-nilai Pendidikan Islam ...............................
59
1. Ketegasan dalam Mendidik ................................................
59
2. Keberanian dalam Mendidik................................................
62
3. Kedermawanan dalam Mendidik .........................................
65
4. Keadilan dalam Mendidik....................................................
67
5. Kejujuran dalam Mendidik ..................................................
68
6. Kewibawaan dalam Mendidik .............................................
72
v
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ...............................................................................
75
B. Saran .........................................................................................
78
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
79
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kepemimpinan muncul bersama-sama adanya peradaban manusia yaitu sejak zaman nabi-nabi dan nenek moyang manusia. Sejak itulah terjadi kerjasama antar manusia, dan ada unsur kepemimpinan.1 Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain. Keberhasilan seorang pemimpin tergantung kepada kemampuannya untuk mempengaruhinya. Dengan kata lain kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain, melalui komunikasi baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakkan orang-orang tersebut agar dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia mengikuti kehendak pemimpinnya.2 Kepemimpinan dalam Islam didasari oleh kepercayaan, serta menekankan pada ketulusan, integritas dan kepedulian. Kepemimpinan dalam Islam berakar pada kepercayaan dan kesediaan untuk berserah diri kepada Allah yang Maha Pencipta. Semua kembali kepada menjalankan kehendak Tuhan. Kepemimpinan Islam sudah merupakan fitrah bagi setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Manusia diamanati Allah untuk menjadi khalifah Allah (wakil Allah) dimuka bumi, 1
Kartini Kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 28. 2 Pandji Anoraga, Psikologi Kepemimpinan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), Cet. III, h. 2.
1
2
yang bertugas merealisasikan misi sucinya sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Konsep amanah yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah fil ardi menempati posisi sentral dalam kepemimpinan Islam. Logislah bila konsep amanah kekhalifahan yang diberikan kepada manusia menuntut terjalinnya hubungan interaksi yang sebaik-baiknya antara manusia dengan pemberi amanah yaitu dengan mengerjakan semua perintah Allah menjauhi laranganNya, dan ikhlas menerima hukum-hukum atau ketentuannya.3 Gulen sebagai sejarahwan mengungkapkan sebagaimana dikutip oleh Fuad Nashori menyebutkan bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpin yang universal sekaligus unik. Beliau telah menjadi model bagi para pemimpin Islam dan para pengikutnya sepanjang masa. Pemimpin muslim yang sukses selalu berusaha untuk memperoleh pengetahuan praktis dan juga kompetensi untuk dapat diterapkan dalam situasi yang tepat. Masyarakat biasanya akan mengikuti arahan pemimpin apabila mereka percaya bahwa pemimpin tersebut mengetahui apa yang dilakukannya. Di dalam Islam calon pemimpin didorong untuk memiliki berbagai karakter yang baik seperti: kejujuran, kesabaran, kerendahan hati, keluhuran budi, pemahaman diri, kesediaan untuk berkonsultasi atau meminta pendapat orang lain, keadilan, kesederhanaan dan bertanggung jawab.4 Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi otomatis diantara pemimpin dan individuindividu yang dipimpin.5 Nabi Muhammad tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah tidak lama setelah beliau wafat, belum lagi jenazahnya dimakamkan sejumlah tokoh Muhajirin 3
Fuad Nashori, Psikologi Kepemimpinan, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2009) h. 3. Ibid.,h. 5. 5 Kartini Kartono, op.cit., h. 5. 4
3
dan
Anshor
berkumpul
dibalai
kota
Bani
Sa’idah.
Mereka
memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah berjalan cukup lama karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshor sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin. Namun dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi akhirnya Abu Bakar terpilih. Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin dan kepala pemerintahan.6 Pemilihan dan penetapan Abu Bakar sebagai pemimpin dilakukan secara demokratis. Pencalonannya dilakukan oleh Umar bin Khatab kemudian disetujui oleh semua umat Islam. Cara ini dilakukan karena Rasulullah tidak menunjuk pengganti.7 Berdasarkan pengalaman sejarah, beragam latar belakang yang dialami oleh para pemimpin Islam sebelum mereka menduduki kursi kepemimpinan.
Rasulullah memimpin umat Islam atas perintah Allah
secara langsung dengan diutusnya beliau menjadi Nabi dan selanjutnya beliau memperoleh bai’at (janji setia) dari para sahabat. Selanjutnya, para shahabat radhiyallahu ‘anhum yang terpilih menjadi pemimpin pertama yang menggantikan beliau setelah wafat adalah Abu Bakar Ash-shiddiq.8 Ada beberapa faktor yang mendasari terpilihnya Abu Bakar sebagai pemimpin, yaitu: 1.
Menurut pendapat umum yang ada pada zaman itu, seorang khalifah (pemimpin) haruslah berasal dari suku Quraisy; pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad yang berbunyi "al-aimmah min Quraisy" (kepemimpinan itu di tangan orang Quraisy).
6
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008), h. 35. 7
Didin Saefuddin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007),
Cet. I, h. 33. 8
Fuad Nashori, op. cit., h. 14.
4
2.
Sahabat sependapat tentang ketokohan pribadi Abu Bakar sebagai pemimpin karena beberapa keutamaan yang dimilikinya, antara lain adalah laki-laki dewasa pertama yang memeluk Islam, satu-satunya sahabat yang menemani Nabi Muhammad SAW pada saat hijrah dari Makkah ke Madinah dan ketika bersembunyi di Gua Tsur, beliau
ditunjuk oleh
Rasulullah untuk mengimami shalat pada saat beliau sedang uzur, dan Abu Bakar keturunan bangsawan, cerdas, dan berakhlak mulia. 3.
Beliau sangat dekat dengan Rasulullah SAW, baik dalam bidang agama maupun kekeluargaan.9 Abu Bakar dikenal dengan beberapa julukan di antaranya adalah AshShiddiq yang artinya jujur dan membenarkan, karena beliau selalu mengakui dan membenarkan Nabi Muhammad dalam segala hal yang beliau sampaikan. Selain itu sifat Ash-shiddiq selalu menghiasi setiap ucapan dan tingkah lakunya sehari-hari. Kemuliaan dan keutamaan sifat-sifat Abu Bakar membuat bangga para ahli ilmu. Mereka tak dapat menentukan, dari mana harus memulai membahas sifat-sifat utamanya, karena semua dirinya dan segala yang tampak padanya adalah keutamaan. Dengan demikian, dapat digambarkan bahwa Abu Bakar memiliki salah satu sifat utama yang akan senantiasa diingat ketika seseorang menyebutkan namanya Ash-shiddiq. Itulah sifat yang tidak akan pernah bisa dilepaskan dari dirinya. Sifat Ash-shidq (jujur) dan Ash-shiddiq (jujur dan membenarkan) telah menjadi bagian dirinya. Jika nama Abu Bakar disebutkan, sifat jujur pasti disertakan. Keimanan tak dapat dilepaskan dan keduanya melekat pada sosok Abu Bakar.10 Pernyataan tersebut menunjukan bahwa Abu Bakar merupakan sosok yang jujur, dan memiliki keimanan yang kuat yang melekat pada dirinya.
9
Mohd Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 77. 10 Musthafa Murad, Kisah Hidup Abu Bakar Al-Shiddiq, (Jakarta: zaman, 2009), Cet. I, h. 31.
5
Implikasinya terhadap pendidikan Islam adalah dalam pendidikan sangatlah penting adanya sifat kejujuran, dimana kejujuran seorang pendidik itu dapat membentuk karakter siswa untuk lebih baik. Sebagai pemimpin sekaligus sebagai pendidik umat, kepemimpinan Abu Bakar banyak mengandung nilai-nilai pendidikan antara lain kejujuran, keberanian, dan lain sebagainya. Hal ini terlihat ketika pidato pertamanya setelah diangkat menjadi khalifah berbuyi: Aku diangkat menjadi pemimpin kalian, bukan berarti aku orang yang terbaik dari kalian. Kalau aku memimpin dengan baik, maka bantulah aku. Jika aku salah, maka hendaklah kalian meluruskanku. Kejujuran adalah amanat dan kebohongan adalah khianat. Orang lemah diantara kalian adalah orang kuat menurut pandanganku sampai aku menunaikan apa yang menjadi haknya. Orang kuat diantara kalian adalah orang lemah menurut pandanganku hingga aku menggambil hak darinya.11 Gaya pidato kepemimpinan yang dilakukan Abu Bakar As-shiddiq tersebut, memiliki implikasi terhadap pendidikan Islam, bahwa para pendidik yang berfungsi sebagai pemimpin hendaklah bersikap jujur terhadap anak didiknya. Maka guru yang jujur adalah salah satu alternatif yang sangat baik dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan Islam. Pemaparan seperti diataslah yang melatarbelakangi penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam lagi tentang sosok kepribadian dan karakter kepemimpinan Abu Bakar Ash-shiddiq. Dari latar belakang masalah diatas, penulis menuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “KEPEMIMPINAN ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA”.
B.
Pembatasan Masalah Agar pembahasan penelitian ini lebih terarah dan tidak melebar jauh dari ruang lingkup penelitian, maka penulis membatasi masalah ini pada
11
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2007), Cet. 3, h. 8.
6
kepemimpinan Abu Bakar Ash-shiddiq dan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung di dalamnya.
C.
Perumusan Masalah Dengan berpijak dari pemaparan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka inti yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimanakah kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq? 2. Nilai-nilai pendidikan Islam apa sajakah yang terkandung dalam kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq? 3. Bagaimanakah implementasinya terhadap pendidikan?
D. 1.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Adapun tujuan utama dari penelitian penulisan skripsi ini adalah penulis ingin menjelaskan kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung di dalamnya.
2.
Manfaat Penelitian
a. Memperbanyak khazanah pengetahuan di lingkungan lembaga pendidikan khususnya dalam pendidikan islam. b. Menambah khazanah kepustakaan dalam meneliti dan memahami kepemimpinan Abu Bakar dan nilai-nilai pendidikan Islam. c. Memberikan pengetahuan yang lebih mendalam mengenai kepemimpinan Abu Bakar Ash-shiddiq dan nilai-nilai pendidikan Islam.
E.
Metodelogi Penelitian Metode yang digunakan penulis dalam penelitian skripsi ini adalah metode deskriptif analisis, yaitu penulis menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan, yaitu membaca, meneliti, menelaah, menghimpun dan menganalisa beberapa literature dan
7
kepustakaan yang ada relevansinya dengan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan skripsi ini. Sumber data yang penulis gunakan adalah buku-buku yang berkaitan dengan topik pembahasan skripsi, buku-buku tersebut antara lain: 1. Ibrahim al-Quraibi, Tarikh Khulafa’, Jakarta: Qhisti Press, 2009. 2. Husain Muhammad Haikal, Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Solo CV. Pustaka Mantiq, 1994. 3. Ali Muhammad Ash-shalabi, Biografi Abu Bakar As-shiddiq, Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2013. 4. Al- Hafizh Ibnu Katsir, Perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul yang Agung, Jakarta: Darul Haq, 2011. 5. Misbah Em Majidy, Abu Bakar The 1st Khalifah, Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanlema, 2013.
BAB II RIWAYAT HIDUP ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ
A.
Riwayat Hidup Abu Bakar Ash-Shiddiq Sebelum Masuk Islam 1.
Nama, Nasab, Kuniyah dan Laqab Abu Bakar Ash-Shiddiq Abu Bakar lahir di Mekkah dua tahun beberapa bulan setelah tahun
Gajah. Namanya adalah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Amr bin Ka‟ab bin Sa‟ad bin Taim bin Murrah bin Ka‟ab bin Lu‟aib bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimi. Nasab Abu Bakar Ash-Shiddiq bertemu dengan nasab Nabi Muhammad pada kakek keenam yaitu Murrah bin Ka‟ab.1 Ia memiliki nama Kuniyah Abu Bakar (Bakr), dari kata, “Al-Bakr” yang artinya adalah unta yang muda dan kuat. Bentuk jamaknya adalah, “Bikar” dan “abkur”. Orang Arab menyebut Bakr, yaitu moyang sebuah kabilah yang besar. Abu Bakar Ash-Shiddiq memiliki sejumlah nama laqab atau julukan yang kesemuanya menunjukan pengertian luhurnya derajat dan kedudukan serta kemuliaan jejak langkah dan nasab. Diantaranya adalah Al-‘Atiq dan Ash-Shiddiq. Rasulullah SAW menyifatinya dengan “Atiq bin An-nar” (orang yang terbebas dari api neraka), sehingga dia lebih dikenal dengan nama “Atiq”.
1
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Abu Bakar As-shiddiq, (Jakarta: Pustaka Alkausar, 2013), h. 22.
8
9
Ada yang mengatakan bahwa ia dipanggil dengan Atiq karena kebagusan rupanya. Sedangkan gelar Shiddiq, nama julukan ini diberikan oleh Rasulullah kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq karena ia selalu membenarkan dan mempercayai Rasulullah. Umat bersepakat atas julukan Ash-Shiddiq bagi Abu Bakar, karena ia senantiasa langsung membenarkan dan mempercayai Rasulullah tanpa pernah ia bersikap agak bimbang serta senantiasa berkomitmen pada kebenaran dan kejujuran, tanpa pernah melakukan hal-hal yang tidak baik.2
2.
Kelahiran, Gambaran dan Ciri Fisik Abu Bakar Ash-Shiddiq Ulama sudah tidak berselisih lagi bahwa Abu Bakar dilahirkan setelah
tahun gajah. Namun mereka masih berselisih mengenai kapan persisnya kelahiran Abu Bakar. Ada sebagian ulama mengatakan, bahwa Abu Bakar lahir tiga tahun setelah tahun gajah. Ada pula yang mengatakan, dua tahun enam bulan setelah tahun gajah. Dan ada pula yang mengatakan dua tahun beberapa bulan setelah tahun gajah, tanpa menyebutkan jumlah bulannya secara spesifik. Abu Bakar tumbuh dan berkembang dengan mulia dan baik dalam asuhan kedua orang tua yang memiliki kehormatan, kedudukan dan kemuliaan di tengah kaumnya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menjadikan Abu Bakar tumbuh dan berkembang sebagai sosok yang terhormat, mulia dan memiliki kedudukan penting di tengah kaumnya. Adapun mengenai gambaran dan ciri-ciri fisik Abu Bakar, maka ia dideskripsikan sebagai sosok yang bertubuh kurus dan berkulit putih. Aisyah menerangkan ciri fisik Abu Bakar dengan mengatakan, “beliau berkulit putih, kurus, tipis kedua pelipisnya, kecil pinggang, wajahnya selalu berkeringat, berkening lebar memiliki urat tangan yang tampak menonjol
2
Ibid., h. 24.
10
dan selalu mewarnai jenggotnya dengan memakai daun pacar maupun daun pohon al-katam.3
3.
Keluarga Abu Bakar Ash-Shiddiq Bapaknya adalah Utsman bin Amir bin Amr dan memiliki nama
kuniyah Abu Quhafah. Ia masuk Islam pada Fathu Makkah. Ibunda Abu Bakar adalah Salma binti Shakhr bin Amr bin Ka‟ab bin Sa‟ad bin Taim. Nama kuniahnya adalah Ummu Al-Khair. Ia menikahi dengan empat isteri yang memberinya tiga anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Para isteri Abu Bakar itu adalah; Qutailah binti Abd Al-Uzza bin Sa‟ad bin Jabir bin Malik, Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir, Asma‟ binti „Umais bin Ma‟bad bin Al-Harits dan Habibbah binti Kharijah. Dalam pernikahannya Abu Bakar memperoleh tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan yang diantaranya; Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abdullah bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma binti Abu Bakar, Ummu Kultsum binti Abu Bakar. Itulah keluarga Abu Bakar yang diberkahi dan dimuliakan oleh Allah dengan Islam.4
4.
Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam Masyarakat Jahiliyah Sejak kecil Abu Bakar hidup seperti layaknya anak-anak lainnya di
kota Mekah. Tatkala usianya menginjak masa dewasa, kemudian beliau berdagang sebagai penjual kain. Sebagai seorang pedagang kain, Abu Bakar sangat berhasil dalam usahanya sehingga memperoleh keuntungan yang besar. Keberhasilan usaha dagangnya disebabkan oleh kepribadian dan akhlaknya yang mulia, sehingga sangat disenangi orang.5
3
Al- Hafizh Ibnu Katsir, Perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul yang Agung, (Jakarta: Darul Haq, 2011), Cet. VIII, h. 5. 4 Ali Muhammad Ash-Shalabi, op. cit., h. 28. 5 Husain Muhammad Haikal, Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash-Shiddiq, (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1994), Cet. 1, h. 33.
11
Abu Bakar hidup di Mekah al-Mukkaramah dan tidak pernah meninggalkan kota suci itu kecuali untuk urusan dagang. Ia tumbuh sebagai pemuda berakhlak mulia dan memiliki kepribadian yang baik. Selain itu mempunyai harta yang banyak, mempunyai karisma, kebaikan dan keutamaan diantara kaumnya. Abu Bakar memberi sesuatu pada orang yang tidak memilikinya serta kedudukannya tidak bisa dianggap remeh. Abu Bakar dikenal sebagai seorang yang mulia, jujur, baik, pemurah, baik ditengah kaum maupun keluarganya. Semua penduduk Mekkah mengakui hal tersebut. Imam Nawawi menjelaskan, Abu Bakar adalah pemimpin kaum Quraisy di masa Jahiliyah, beliau selalu dilibatkan dalam musyawarah, dan dicintai kaumnya. Ketika Islam datang, Abu Bakar meninggalkan segalanya. Ia masuk Islam secara sempurna, senantiasa menambah wawasannya, menambah kebaikannya sampai beliau meninggal dunia.6 Pada masa jahiliyah, Abu Bakar termasuk salah satu orang Quraisy yang terkemuka, terhormat dan salah satu tokoh terkenal baik. Sebelum munculnya Islam, kemuliaan dan kehormatan di kalangan Quraisy berada di tangan sepuluh orang dari sepuluh marga. Dan beliau keturunan dari bani Taim, Abu Bakar adalah orang yang memegang jabatan yang megurusi alasynaq, yaitu diyat dan denda. Jika ia mengambil alih suatu beban tanggungan diyat atau denda, lalu ia meminta bantuan kepada kaum Quraisy untuk ikut menanggungnya, maka mereka mempercayainya dan meluruskan pengambil alihan tersebut. Namun jika orang lain selain Abu Bakar yang mengambil alih, maka mereka tidak mau membantu. Dalam masyarakat jahiliyah, Abu Bakar termasuk salah satu orang terkemuka, terhormat, terpandang dan terbaik. Abu Bakar dikenal dengan sejumlah hal yang diantaranya adalah: 1.
Ilmu pengetahuan tentang nasab Abu Bakar termasuk salah satu ahli nasab dan pakar tentang berita bangsa Arab. Dalam hal ini, ia memiliki catatan pengalaman dan 6
Ibrahim al-Quraibi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Qhisti Press, 2009), Cet. I h. 110.
12
kapabilitas yang cukup besar, sehingga menjadikan dirinya master atau guru bagi banyak para pakar nasab seperti Uqail bin Abu Thalib dan yang lain. 2.
Perniagaaan Pada masa sebelum Islam, Abu Bakar adalah seorang saudagar. Beliau masuk ke Bushra dari negeri Syam untuk berniaga. Ia terbiasa melintang menjelajahi negeri-negeri yang ada. Ia memiliki modal sebesar empat puluh ribu dirham. Pada masa sebelum Islam Abu Bakar adalah sosok yang dikenal sangat dermawan.
3.
Familiar, menarik, bersahabat dan disukai banyak orang Ibnu Ishaq dalam As-Sirah menuturkan, bahwa mereka sangat menyukai Abu Bakar dan senang kepadanya. Mereka mengakui bahwa beliau adalah sosok yang memiliki keutamaan yang agung dan akhlak yang mulia.
4.
Tidak pernah meminum minuman keras Abu Bakar termasuk orang yang paling menjaga kehormatannnya, sampai beliau mengharamkan minuman keras atas dirinya sendiri sebelum Islam.
5. Tidak menyembah berhala Abu Bakar sama sekali tidak pernah menyembah berhala. Beliau berkata ditengah-tengah sekumpulan para sahabat, “Aku sama sekali tidak pernah menyembah berhala, bahkan sampai aku mulai menginjak akil baligh.7 Demikianlah Abu Bakar dengan keutamaan-keutamaan yang ada pada dirinya. Beliau dikenal sebagai orang yang rendah hati, pemaaf dan dermawan. Beliau juga paling mengerti dengan garis keturunan Arab. Kejujuran, kesucian hatinya serta sikap yang luwes terhadap orang lain membuat ia sukses dalam berbisnis. Abu Bakar telah mengharamkan khamr atas dirinya, beliau tidak pernah meminum minuman haram tersebut setetes pun selama hidupnya. Baik pada masa jahiliyah, maupun setelah beliau 7
Ali Muhammad Ash-Shalabi, op. cit., h. 36.
13
memeluk agama Islam. Abu Bakar juga sama sekali tidak pernah sujud di hadapan berhala. Betapa mulianya Abu Bakar, sosok yang memiliki nilai-nilai yang luhur, akhlak terpuji, watak dan karakter yang mulia dalam masyarakat Quraisy sebelum Islam.
B.
Riwayat Hidup Abu Bakar Ash-Shiddiq Setelah Masuk Islam 1.
Keislaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Keislaman Abu Bakar adalah hasil dari sebuah perjalanan yang
panjang dalam usaha mencari agama yang benar dan selaras dengan fitrah yang lurus dan mampu memenuhi dan hasrat spiritualnya serta sesuai dengan akal yang cerdas serta daya fikir yang tajam. Abu Bakar termasuk orang yang menjaga diri di masa jahiliyah. Dia tidak pernah bersujud kepada berhala dan bahkan berusaha mencari agama yang benar dan sesuai dengan fitrah yang suci. Dengan profesinya sebagai pedagang, beliau sering melakukan perjalanan jauh ke berbagai wilayah. Dalam perjalananya inilah beliau selalu berhubungan dengan penganut berbagai agama demi mencari agama yang paling benar sesuai fitrah manusia.8 Pengetahuan dan wawasan Abu Bakar yang mendalam serta hubungannya yang sangat kuat dengan nabi adalah faktor signifikan yang memotivasi dirinya untuk langsung memenuhi dan menerima dakwah Islam melalui Nabi Muhammad. Baginya, tidaklah sulit untuk mempercayai ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad. Dikarenakan sejak kecil, ia telah mengenal keagungan Rasulullah Saw. Beliau dikenal sebagai sosok yang ramah, jujur, halus, santun dan penuh kesopanan serta memiliki watak dan kepribadian yang baik dan mulia. Ia tidak segan untuk menumbuhkan segenap jiwa dan harta bendanya untuk Islam.9
8
Ibid., h. 42. Ibid., h. 42.
9
14
Suatu kisah seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas‟ud yang diceritakan sendiri oleh Abu Bakar, tentang bagaimana Abu Bakar ashshiddiq memeluk agama Islam. Aku menemui seorang ahli kitab. Ketika ahli kitab ini melihatku, dia berkata „Tampaknya kau berasal dari Haram.‟Aku berkata “Ya, aku dari Haram.” Kemudian ahli kitab itu berkata “Tampaknya kau berasal dari suku Quraisy?” Aku berkata “Ya.” Kemudian dia berkata “Tampaknya kau berasal dari Bani Taim?” Aku berkata “Ya.” Orang tua itu terus menyambung katanya, “Ada satu hal yang hendak aku tanyakan darimu, yaitu tentang diri tuan sendiri. Apakah tak keberatan jika aku lihat perutmu?” “Aku menolak dan bertanya” “Kau harus memberitahuku dulu, kenapa aku harus melihatkan perutku?” Kemudian dia berkata padaku “aku membaca di dalam kitab suci, bahwa seorang nabi akan diutus di Haram, dan dua orang akan bersama nabi ini dan menolongnya di sepanjang waktu. Yang satu adalah anak muda, dan yang kedua adalah orangtua paruh baya. Dan untuk orang yang paruh baya, tubuhnya kurus dan punya kulit yang sangat putih. Dia punya tanda di atas perutnya, dia juga punya tanda di paha kirinya. Aku telah melihat semua tanda yang tersembunyi. Tunjukkan aku perutmu. Aku menunjukkan perutku dan melihat ada tanda di atas perutku. Dia bersumpah demi Tuhan dari Ka‟bah aku bersumpah demi Tuhan dari Ka‟bah bahwa kaulah orangnya yang telah disebutkan dalam kitab suci kami. Kemudian dia memberiku nasihat yang baik. Dan setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku meninggalkan Yaman dan berjalan menuju Makkah al- Mukarramah, dan aku menunggu kedatangan nabi terakhir ini.” Dan ketika dia tahu bahwa nabi terakhir ini tidak lain tidak bukan adalah teman masa kecilnya, yaitu Muhammad bin Abdullah. yang telah menerima wahyu dari Allah, maka tanpa keraguan sedikit pun, Abu Bakar langsung beriman dan mengucapkan kalimat La ilaha ilallah muhammadar rasulullah.10 10
http://www.lampuislam.blogspot.com/2013/08/besarnya-cinta-abu-bakar-ashshiddiq-ra.html.Diakses pada 16 Maret 2014.
15
Tak ada yang membantah, Abu Bakar tergolong pembesar Quraisy di masa Jahiliyah ditengah kaumnya, Abu Bakar dicintai dan terpandang dan punya kedudukan tinggi, karena beliau memiliki akhlak dan etika terpuji, menjauhi adat-adat buruk Jahiliyah yang dilakukan kebanyakan orang. Karakter yang Abu Bakar miliki mendorongnya untuk langsung menerima dakwah baru dari Nabi Muhammad dengan semangat dan penuh kerinduan. Ia seakan mendapatkan mutiaranya yang hilang dan selama ini dinantikan. Abu Bakar termasuk orang yang pertama kali menyambut dan memeluk Islam, membawa panjinya, dan bahu membahu mendakwahkannya bersama Nabi Muhammmad. Abu Bakar memiliki peranan yang besar dalam keislaman beberapa sahabat yang lain. Imam Nawawi menjelaskan, bahwa Allah-lah yang menamakan Abu Bakar melalui lisan Nabi Muhammmad, dengan Nama ash-Shiddiq. Alasan pemberian nama itu adalah karena Abu Bakar segera membenarkan dan terus membenarkan Rasulullah. Abu Bakar tidak pernah menunda-nunda atau menangguhkannya dalam kondisi apapun. Dalam sejarah Islam Abu Bakar telah menorehkan kisah-kisah cemerlang.11
2.
Dakwah Abu Bakar Ash-Shiddiq Sejak hari pertama Abu Bakar sudah bersama-sama dengan
Muhammad
melakukan
dakwah
demi
agama
Allah.
Keakraban
masyarakatnya dengan dia, kesenangannya bergaul dan mendengarkan pembicaraannya, besar pengaruhnya terhadap muslimin yang mula-mula dalam Islam itu. yang mengikuti jejak Abu bakar menerima Islam ialah Usman bin Affan, Abdur-Rahman bin auf, Talha bin ubaidillah, Sa‟ad bin abi waqqas dan zubair bin awam. sesudah mereka yang kemudian menyusul masuk Islam atas ajakan Abu Bakar ialah Abu ubaidah bin jarrah dan banyak lagi yang lain dari penduduk mekah. Abu Bakar membawa para sahabat yang mulia tersebut satu persatu secara sendiri-sendiri, lalu masuk Islam dihadapan Rasulullah. Maka mereka 11
Ibrahim al-Quraibi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Qhisti Press, 2009), Cet. I, h. 112.
16
pun menjadi tiang dan pilar-pilar yang menjadi penyangga pertama dan utama untuk dakwah Islam. Mereka adalah tokoh-tokoh yang menjadi bekal pertama dan utama dalam menguatkan dan memperkokoh posisi Rasulullah. Jejak dan catatan Abu Bakar begitu besar ditengah kaum dan klannya. Abu Bakar adalah sosok yang disukai dan dicintai kaumnya, familiar, bersahabat, mudah diterima, lembut, ramah, orang Quraisy yang paling pakar tentang nasab Quraisy, bahkan ia adalah pakar nasab yang tidak ada duanya pada zamannya. Abu Bakar adalah sosok pemimpin dan pemuka yang dihormati, dermawan dan gemar membantu. Beliau biasa menyediakan jamuan bagi para tamu dalam bentuk yang tidak ada seorangpun yang melakukannya. Disamping itu beliau adalah sosok yang memiliki lisan yang fasih. 12 Demikian setianya Abu Bakar kepada Nabi Muhammad dan agama Islam, sehingga seluruh kekuatan yang dimilikinya semua dikerahkan untuk kepentingan dan kejayaan Islam. Ini tidak hanya ketika ia berada di kota Mekah, tetapi juga pada periode Madinah. Jasa beliau sangat banyak dalam upaya pengembangan ajaran Islam di kota Madinah, terlebih saat ia terpilih sebagai seorang pemimpin Islam yang pertama, yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam.
3.
Ujian dan Cobaan yang Dialami Oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq Seiring berjalannya waktu Abu Bakar terus memotivasi Rasulullah
untuk berdakwah secara terbuka hingga akhirnya Rasulullah menyetujui gagasan Abu Bakar untuk berdakwah secara terbuka dihadapan kaumnya. Rasulullah beserta para sahabatnya kemudian pergi kemasjid haram untuk mensyiarkan risalah Islam. Ditempat tersebut Abu Bakar mengatakan dihadapan publik, menjelaskan inti ajaran Islam dan mengajak kaumnya memeluk agama mulia ini. Utbah bin Rabi‟ah salah seorang diantara kerumunan itu sangat geram mendengar perkataan Abu Bakar. Ialu menemui putra Abu Quhafah ini yang berada persis di samping Rasulullah. Dia mencaci Abu Bakar dan 12
Ali Muhammad Ash-Shalabi, op. cit., h. 47.
17
Rasulullah, bahkan sempat menarik sorban beliau. Melihat hal tersebut, Abu Bakar dengan keras mencegah Utbah. Benturan fisik diantara keduanya pun terjadi. Utbah menghantamkan dua sandalnya ke wajah Abu Bakar, wajah Abu Bakar dipukul terus terusan hingga wajah Abu Bakar membengkak hingga tidak diketahui lagi bentuk hidungnya darah pun mengalir di wajahnya mata hitam Abu Bakar mulai terlihat sayu dan ia pun jatuh pingsan selang berapa saat datanglah segerombolan kabilah Abu Bakar, kabilah Bani Tamim salah satu kabilah yang besar di kalangan kaum Quraisy mereka sangat marah, mereka menyangka Abu Bakar takkan tertolong lagi dan membawanya terlebih dahulu kerumahnya dirumah Abu Bakar, mereka mengatakan pada Ibunya “jika dia hidup, maka berilah dia makan dan minum” kemudian mereka segera berlalu orang-orang dari Bani Tamim tadi langsung mencari dan mendatangi Utbah dan memberi ancaman. “jika Abu Bakar sampai meninggal, kami akan menuntut balas atas kematiannya!!” ucap mereka disana, Abu Bakar baru saja siuman, dan kalimat pertama yang terucap di mulutnya adalah “apa yang terjadi pada Rasulullah ?” mendengar ucapan anaknya yang masih lemas itu sang Ibu berkata “apakah kamu masih mengingatnya ?” dengan pelan Abu Bakar menjawab "demi Allah, aku tidak akan makan atau minum apapun hingga jiwaku tenang dengan keadaan Rasulullah” Abu Bakar memohon pada Ibunya yang saat itu belum masuk Islam agar menemui Fatimah binti AlKhattab untuk menanyakan kabar Rasulullah “Ibu, pergilah ke tempat Ummu Jamil Fatimah binti Al-Khattab dan buatlah diriku tenang dengan menanyakan kabar Rasulullah padanya” sang Ibu pun memenuhi permohonan anaknya ia pergi ke tempat Fatimah binti Al-Khattab. Abu Bakar pun bertanya, “Bagaimana keadaan Rasulullah?, lalu Fatimah menjawab “dia baik-baik saja” meyakinkan Abu Bakar “demi Allah, aku tidak akan makan dan minum hingga aku melihat Rasulullah sendiri” ucapnya sambil mencoba berdiri “tunggulah sebentar” ucap Fatimah melihat Abu Bakar yang sedang berusaha berdiri Abu Bakar pun mulai melangkah namun ia terlalu lemah sehingga tak bisa berjalan karena kemauannya yang
18
keras akhirnya Abu Bakar bersandar pada keduanya hingga sampai di rumah Al-Arqam bin Abi Arqam Abu Bakar sendiri yang mengetuk pintu begitu pintu terbuka terlihatlah Nabi yang dipertanyakannya itu Nabi merasa iba melihat keadaan Abu Bakar, kemudian beliau menuntunnya dan memeluknya Melihat Rasulullah yang khawatir dan kasihan padanya, Abu Bakar berkata “Demi Allah wahai Rasulullah, aku ini tidaklah apa-apa, hanya wajahku saja yang terluka” lirihnya Rasulullah melihat luka diwajahnya. Nabi pun merasa kasihan dan kemudian berdoa untuknya Abu Bakar kemudian berkata “ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada Ibuku!” Rasulullah pun berdoa “ya Allah, berikanlah petunjuk kepada Ibu Abu Bakar.” 13 Begitulah perjuangan Abu Bakar setelah menyatakan dirinya masuk Islam, Abu Bakar menjadi sahabat Rasulullah yang berperan sangat besar dalam penyebaran risalah Islam. Sikapnya yang selalu membela dan mendampingi Rasulullah dari berbagai intimidasi dan hinaan kaum musyrikin, pengorbanan beliau dalam menginfakkan hartanya di jalan Allah, membebaskan budak muslim dari siksaan kaum musyrik, infak beliau dalam persiapan jihad di jalan Allah, keberaniannya dalam berbagai pertempuran dan peperangan, perjalanan beliau menemani Rasululah dalam hijrahnya menuju Madinah, penderitaan yang dialaminya dalam peristiwa tersebut tidak
pernah
menyurutkan
semangat
kesetiaannya
terhadap
Nabi
Muhammad dan agama yang dibawanya. Abu Bakar belajar bahwa Islam adalah amal, dakwah dan jihad. Keimanan baginya tak hanya cukup dengan sekedar percaya belaka, namun lebih dari itu keimanan takkan pernah sempurna sehingga seorang muslim menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah SWT.
4.
Pembelaan Abu Bakar Ash-Shiddiq kepada Rasulullah. Diantara sifat Abu Bakar yang menjadi kelebihan dan tipikalnya
adalah pemberani. Ia adalah sosok yang tidak takut kepada siapapun dalam 13
Ibid., h. 49.
19
menegakkan kebenaran. Ia sama sekali tidak akan terganggu oleh celaan orang yang mencela dalam usaha membela agama Allah, bekerja untuk kepentingan agama-Nya dan dalam membela Rasul-Nya. Keberanian Abu Bakar ini tergambar ketika Uqbah Ibn Abi Mu‟ith mencekik Nabi Muhammad saat berada di dalam ka‟bah. Imam Bukhari meriwayatkan hadis Urwah ibnu Zubair yang bertanya kepada Abdullah ibn Amr ibn Ash, “ceritakan kepadaku tentang kelakuan paling kasar dari orang musyrik terhadap nabi Muhammad Saw.”14 Abdullah ibn Amr menjawab, ketika beliau melakukan shalat di dalam ka‟bah, tiba-tiba datang Uqbah ibn Abi mu‟ith meletakan selendang di leher Nabi Muhammad dan menariknya dengan kuat tak berselang lama, Abu Bakar datang beliau pun memegang pundak Uqbah untuk menyelamatkan nabi Muhammad Saw. Abu Bakar berkata kepadanya dengan membaca sebuah ayat dalam surat Al-Mu‟min ayat 28, yang artinya: “Akankah kalian membunuh lakilaki yang mengatakan Allah adalah Tuhanku dan datang pada kalian dengan bukti dari Allah.” Lalu mereka pun berpaling dari Rasulullah dan ganti mengeroyok Abu Bakar, memukulinya dan menjambak-jambak rambutnya. Lalu mereka tidak meninggalkannya melainkan dalam keadaan bajunya sobek-sobek semuanya.15 Abu Bakar telah menyirami hatinya dengan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi dirinya. Setelah masuk Islam, ia tidak lagi mempedulikan apapun selain bagaimana supaya panji tauhid berkibar tinggi meskipun seandainya harus di bayar mahal dengan nyawa. Abu Bakar adalah orang yang pertama kali disakiti dan mengalami penderitaan setelah Rasulullah, orang yang pertama kali membela Rasulullah. Dan kisah tersebut menjadi sebuah potret jelas yang menggambarkan tabiat konflik antara yang hak dan bathil, antara petunjuk dan kesesatan dan antara keimanan dan kekafiran juga menggambarkan 14
Ibrahim al-Quraibi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Qhisti Press, 2009), Cet. I, h. 141. Ali Muhammad Ash-Shalabi, op. cit., h. 58.
15
20
penderitaan dan siksaan yang dialami Abu Bakar di jalan Allah. Potret tersebut juga memberikan gambaran tentang ciri-ciri yang jelas tentang kepribadian Abu Bakar yang tiada duanya.
C.
Riwayat Hidup Abu Bakar Ash-Shiddiq Ketika Menjadi Khalifah 1.
Proses Pengangkatan Abu Bakar Menjadi Khalifah Setelah kaum Muslimin dan para sahabat menyadari tentang wafatnya
Rasulullah SAW, maka Abu Bakar dikagetkan lagi dengan adanya perselisihan faham antara kaum Muhajirin dan Anshar tentang siapa yang akan menggantikan Nabi sebagai khalifah kaum Muslimin. Pihak Muhajirin menghendaki dari golongan Muhajirin dan pihak Anshar menghendaki dari golongannya yang memimpin. Situasi yang memanas ini pun dapat diatasi oleh Abu Bakar, dengan cara menampilkan dua orang calon khalifah untuk memilihnya yaitu Umar bin Khattab atau Abu Ubaidah bin Jarrah. Namun keduanya justru menjabat tangan Abu Bakar dan mengucapkan baiat memilih Abu Bakar. Setelah Rasulullah wafat pada tahun 632 M, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama pengganti Nabi Muhammad dalam memimpin negara dan umat Islam. Waktu itu daerah kekuasaan hampir mencakup seluruh Semenanjung Arabia yang terdiri atas berbagai suku Arab. Ada beberapa faktor yang mendasari terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah, yaitu: 1.
Menurut pendapat umum yang ada pada zaman itu, seorang khalifah (pemimpin) haruslah berasal dari suku Quraisy; pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi “al-aimmah min Quraisy” (kepemimpinan itu di tangan orang Quraisy).
2.
Sahabat sependapat tentang ketokohan pribadi Abu Bakar sebagai khalifah karena beberapa keutamaan yang dimilikinya, antara lain: laki-laki dewasa pertama yang memeluk Islam, ia satu-satunya sahabat yang menemani Nabi SAW pada saat hijrah dari Makkah ke Madinah
21
dan ketika bersembunyi di Gua Tsur, ia yang ditunjuk oleh Rasulullah untuk mengimami shalat pada saat beliau sedang uzur, dan ia keturunan bangsawan, cerdas, dan berakhlak mulia. 3.
Beliau sangat dekat dengan Rasulullah SAW, baik dalam bidang agama maupun kekeluargaan16 Sebagai khalifah Abu Bakar mengalami dua kali baiat. Pertama di
Saqifa Bani Saidah yang dikenal dengan Bai’at Khassah dan kedua di Masjid Nabi (Masjid Nabawi) di Madinah yang dikenal dengan Bai’at A’mmah. Seusai acara pembaitan di Masjid Nabawi, Abu Bakar sebagai khalifah yang baru terpilih berdiri dan mengucapkan pidato. la memulai pidatonya dengan menyatakan sumpah kepada Allah SWT dan menyatakan tidak berambisi untuk menduduki jabatan khalifah tersebut. Abu Bakar selanjutnya mengucapkan:
“Aku diangkat menjadi pemimpin kalian, bukan berarti aku orang yang terbaik dari kalian. Kalau aku memimpin dengan baik, maka bantulah aku. Jika aku salah, maka hendaklah kalian meluruskanku. Kejujuran adalah amanat dan kebohongan adalah khianat. Orang lemah diantara kalian adalah orang kuat menurut pandanganku sampai aku menunaikan apa 16
Mohd Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 77 17
22
yang menjadi haknya. Orang kuat diantara kalian adalah orang lemah menurut pandanganku hingga aku mengambil hak darinya. Jika Allah menghendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah akan menjadikan mereka hina dan dihinakan, tidaklah perbuatan kotor menyebar di suatu kaum, melainkan Allah akan menyebarkan malapetaka di tengah-tengah mereka. Untuk itu, taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib mentaatiku. Sekian dari saya dan aku memohon ampunan kepada Allah dan kalian semua. Pidato ini mencerminkan sifat dan karakter Abu Bakar dalam memaknai arti sebuah kepemimpinan.”18 Kandungan pidato Abu Bakar tersebut adalah cermin nyata sifat rendah hati Abu Bakar. Putra Abu Quhafah ini mengakui bahwa dirinya bukanlah orang yang terbaik. Dalam pidatonya juga, menunjukkan garis besar politik yang dilakukan Abu Bakar didalam pemerintahannya. Didalamnya terdapat prinsip kebebasan berpendapat, tuntunan ketaatan rakyat, mewujudkan keadilan dan mendorong berjihad fisabilillah. Abu Bakar berikrar untuk menegakkan nilai-nilai kejujuran dalam segala hal. Beliau memberitakan kepada bawahannya bahwa keberhasilan suatu pemimpin dan kemakmuran rakyatnya hanya bisa diwujudkan jika seorang pemimpin bersikap jujur dalam menjalankan kepemimpinannya dan ini
merupakan
pilar
dasar
untuk
mewujudkan
keberhasilan
dan
kesejahteraan dalam berbangsa dan bernegara adalah menjunjung tinggi kejujuran dan rasa keadilan serta menegakkannya diseluruh aspek kehidupan.19
2.
Masa Kepemimpinan Abu Bakar Pada masa kepemimpinan Abu Bakar ini, pemerintah Islam banyak
mengalami ujian atau cobaan, baik internal maupun eksternal, yang dapat mengancam berlangsungnya kelestarian agama Islam. Sejumlah masalah seperti ridat atau kemurtadan dan ketidak setiaan, munculnya beberapa kafir yang menyatakan dirinya sebagai Nabi, banyaknya orang-orang yang ingkar 18
Syaikh Muhammad Sa‟id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam, (Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2007), Cet. I, h.8 19 Majidy, op. cit., h.143.
23
membayar zakat serta sejumlah pemberontakan kecil yang merupakan bibitbibit perpecahan. Namun berkat dari kepiawaian sang Khalifah semua cobaan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik. Kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Nabi Muhammad SAW, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi wasallam, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah. Abu Bakar selalu menyediakan kesempatan bagi kaum muslim untuk berunding dan menentukan pilihan, inilah peradaban berpolitik dan bernegara beliau. Ia adalah orang yang demokratis, dengan tetap berpedoman pada al-Qur‟an.20 Kebijakan politik yang dihadirkan oleh Abu Bakar pada masa pemerintahannya merupakan sebuah era baru, babak perluasan dakwah Islam setelah sepeninggal Rasulullah SAW dan dinilai sebagai sebuah kemajuan yang signifikan. Maka penulis membagi kepada tiga hal penting yang terjadi pembahasan masa tersebut, diantaranya: a.
Memerangi Kemunafikan dan Kemurtadan Adapun orang murtad pada waktu itu ada dua yaitu pertama, mereka
yang mengaku nabi dan pengikutnya, termasuk di dalamnya orang yang meninggalkan shalat, zakat dan kembali melakukan kebiasaan jahiliyah. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka segala perjanjian dengan Nabi menjadi terputus. Dan mereka merasa tidak terikat lagi dengan agama Islam lalu kembali kepada ajaran agama sebelumnya. Tentang orang-orang yang mengaku dirinya nabi sebenarnya fenomena ini sudah muncul pada masa Nabi, tetapi wafatnya Nabi Muhammad mereka anggap sebagai kesempatan untuk tampil terangterangan. Diantara nabi palsu seperti Musailamah Al Kadzab dari Bani 20
Khalid, Muh. Khalid. Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah. (Bandung: Diponegoro, 1985), h.25.
24
Hanifah, Tulaihah bin Khuwailid dari Bani As'ad Saj'ah Tamimiyah dari Bani Yarbu, dan Aswad al-Insi dari Yaman. Kedua, yaitu mereka yang ingkar zakat, mereka membedakan antara shalat
dan
zakat,
tidak
mau
mengakui
kewajiban
zakat
dan
mengeluarkannya. Mereka berpandangan bahwa zakat itu diberikan kepada Nabi Muhammad. Oleh sebab itu setelah Nabi meninggal, hukum tentang zakat tidak berlaku lagi.21 Dengan realita bahwa terdapat banyak pro-kontra dalam kekhalifahan Abu Bakar pasca sepeninggal Nabi, maka tidaklah aneh jika dalam pemerintahannya Abu Bakar lebih banyak terpakai untuk menstabilkan politik dalam negeri, dengan adanya kemunculan nabi palsu ataupun kelompok-kelompok yang murtad sepeninggal Nabi. Untuk menstabilkan politik dalam negeri di Madinah Abu Bakar mengirim 11 panglima untuk melakukan tugas tersebut, adapun panglima yang dimaksud adalah Khalid bin Walid, Amr bin Ash, Ikrimah bin Abu Jahal, Syurahbil bin Hasanah, Thuraifah bin Hajir, Amr bin Al-Ash, Khalid bin Said bin Al-„Ash, Al-Ala‟ bin Al-Hadhar, Hudzaifah bin Muhshin Al-Ghalfa‟i, Urfajah bin Hartsimah dan Muhajir bin Abu Umayyah. Pembagian pasukan ini sesuai dengan perencanaan yang strategis dan memiliki makna penting, Meskipun kaum murtad berjumlah besar, tapi pemurtadan mereka dapat diatasi tidak lebih dari masa tiga bulan saja hal ini disebabkan karena: pertama, kaum murtad masih terpisah-pisah, semua berada
di
negeri
masing-masing,
mereka
tidak
mampu
untuk
menggalangkan persatuan karena tempat mereka yang berjauhan dan waktu yang tidak memungkinkan untuk mereka menggalang persatuan. Kedua kaum murtad tidak mengetahui bahaya kaum muslimin bagi mereka, dimana kekuatan kaum muslimin mampu untuk memusnahkan seluruh kaum murtad dalam beberapa bulan saja.22
21
Wahyu Ilaihi, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. I, h. 84. 22 Ali Muhammad Ash-Shalabi, op. cit., h. 369.
25
Langkah berani khalifah Abu Bakar dalam memerangi kaum murtad salah satunya yaitu melanjutkan rencana Rasulullah SAW untuk mengirim pasukan Usamah yaitu pasukan umat Islam yang dipimpin Usamah bin Zaid yang diperintahkan Rasulullah sebelum wafat untuk memerangi tentara Romawi. Pada mulanya keinginan Abu Bakar ditentang oleh para sahabat dengan alasan suasana dalam negeri sangat memprihatinkan akibat berbagai kerusuhan yang timbul. Akan tetapi setelah ia meyakinkan mereka bahwa itu adalah rencana Rasulullah SAW, akhirnya pengiriman pasukan itu pun disetujui. Langkah politik yang ditempuh Abu Bakar itu ternyata sangat strategis dan membawa dampak yang positif. Pengiriman pasukan pada saat negara dalam keadaan kacau menimbulkan interpretasi di pihak lawan bahwa kekuasaan Islam cukup tangguh sehingga para pemberontak menjadi gentar. Di samping itu, bahwa langkah yang ditempuh Abu Bakar tersebut juga merupakan taktik untuk mengalihkan perhatian umat Islam dalam perselisihan yang bersifat intern. Dan atas pertolongan Allah SWT Pasukan Usamah berhasil menunaikan tugasnya dengan gemilang. Pasukan Usamah mampu memukul mundur pasukan Romawi. Dengan keberhasilan pasukan Usamah ini memberikan efek yang sangat bagus bagi kondisi politik dalam Negeri dan luar Negeri daulah khilafah, diantaranya yaitu: 1. Menebar kehebatan Daulah Islamiyah di mata umat-umat lain. Sampainya berita-berita kemenangan yang dicapai umat Islam dalam memerangi kelompok orang-orang murtad kepada Persia dan Romawi saat itu, maka kedua Negara ini melihat bahwa bangunan umat baru ini (Islam) menentang fenomena yang muncul dan umat Islam telah berhasil mengatasi ujian-ujian dan meredam gejolak yang terjadi di dalam wilayahnya. Bagi Khalifah Abu Bakar, ini merupakan langkah untuk menyebar kehebatan Daulah Islamiyah. Dan ini merupakan sebuah potret gemilang jihad Islam. 2. Menyiapkan
Jazirah
Arab
sebagai
landasan
ekspansi
Islam.
Kepemimpinan pusat di Madinah dan medan perang adalah diatur oleh
26
pemimpin-pemimpin yang saling memahami, bekerja sama, saling mencintai meskipun dipisahkan oleh jarak yang jauh. Akan tetapi, keseimbangan yang indah antara peranan masing-masing pimpinan pusat dan pemimpin medan perang adalah sangat jelas dan terang. 23 3. Perjalanan dakwah tidak terikat dengan siapapun dan kewajiban mengikuti perintah Nabi Muhammad. Dalam kisah pengiriman pasukan Usamah oleh khalifah Abu Bakar, kita bisa menemukan bahwa Khalifah Abu Bakar menjelaskan dengan ucapan dan tindakan bahwa perjalanan dakwah tidak akan terhenti meski dengan kematian pemimpin makhluk dan imam para nabi dan Rasul Muhammad SAW. Khalifah Abu Bakar membuktikan keberlanjutan perjalanan misi dakwah tersebut dengan segera merealisasikan pemberangkatan misi militer pasukan Usamah. 4. Terjadinya perbedaan pendapat dan sudut pandang seputar perealisasian misi militer pasukan Usamah namun tidak sampai mendorong mereka kepada sikap saling benci, pertengkaran, saling menjauhi dan saling memusuhi atau sampai mengakibatkan terjadinya konflik kekerasan di antara mereka. Tidak ada satu orangpun yang tetap keras pada pendapatnya ketika pendapatnya itu jelas telah terbukti keliru dan batil.24 5. Menghilangkan pemaksaan kepada umat-umat di wilayah yang dikuasai Islam. Diantara simbol politik luar negeri yang dibangun oleh Khalifah Abu Bakar adalah menghilangkan penindasan dari penduduk yang wilayahnya dikuasai oleh Islam. Khalifah tidak memaksa seseorang dari umat atau bangsa lain untuk mengikuti agamanya dengan kekerasan.25 Dari penjelasan yang terurai diatas, dapat disimpulkan bahwasannya Khalifah Abu Bakar adalah seorang pemimpin yang tegas, adil dan bijaksana. Langkah politik yang dijalaninya merupakan langkah strategis dan membawa dampak positif bagi pemerintahan Islam sehingga para pemberontak menjadi gentar, disamping itu juga dapat mengalihkan perhatian umat Islam dari perselisihan yang bersifat intern. 23
Ibid., h. 494. Ibid., h. 319. 25 Ibid., h. 626. 24
27
b. Penghimpunan al-Qur’an Umar bin Khatab kawatir akan gugurnya para sahabat penghafal al Qur‟an yang masih hidup, maka ia lalu datang kepada Abu Bakar memusyawarahkan hal ini. Dalam buku-buku tafsir dan hadist percakapan yang terjadi antara Abu Bakar, Umar dan Zaid bin Tsabit mengenai pengumpulan al-Qur‟an di terangkan sebagai berikut:26 Umar berkata kepada Abu Bakar: “Dalam peperangan Yamamah para sahabat yang hafal al-Qur‟an telah banyak yang gugur. Saya kawatir akan gugurnya para sahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat al-Qur‟an itu perlu di kumpulkan”. Abu Bakar menjawab: “Mengapa aku harus melakukan sesuatu yang tidak di lakukan oleh Rasulullah?" Umar menegaskan: “Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang baik”. Dan ia berulang kali memberikan alasan-alasan kebaikan mengumpulkan alQur‟an ini, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima pendapat Umar itu. Saat itulah khalifah mengutus Zaid bin Tsabit agar segera mengumpulkan semua ayat-ayat suci al-Qur‟an. Kemudian Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata kepadanya: “Engkau adalah seorang yang cerdas yang ku percayai sepenuhnya. Dan engkau adalah seorang penulis wahyu yang selalu di suruh oleh Rasulullah. Oleh karena itu, maka kumpulkanlah ayat-ayat al Qur‟an itu”. Zaid menjawab: “Demi Allah! Ini adalah pekerjaan yang berat bagiku. Seandainya aku di perintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku dari pada mengumpulkan al-Qur‟an yang engkau perintahkan itu”. Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat al-Qur‟an itu Zaid bin Tsabit bekerja amat teliti. Ia mengumpulkan al-Qur‟an dari daun, pelepah kurma, tulang dan juga dari hafalan-hafalan para sahabat. Sekalipun beliau hafal alQur‟an seluruhnya, tetapi untuk kepentingan pengumpulan al-Qur‟an yang 26
Ibid., h. 472.
28
sangat penting bagi umat Islam itu masih memandang perlu mencocokkan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan di saksikan oleh dua orang saksi. Dengan demikian al-Qur‟an seluruhnya telah di tulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran, dan di ikatnya dengan benar. Tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah di tetapkan oleh Rasulullah. Kemudian di serahkan kepada Abu Bakar. Setelah sepeninggal Abu Bakar mushaf disimpan oleh Umar bin Khatab hingga dia wafat, dan kemudian berada ditangan Hafshah binti Umar.27
c.
Awal Perluasan Wilayah Islam Perluasan wilayah yang dilakukan pada masa pemerintahan Abu
Bakar merupakan pencapaian yang sukses dalam hal perluasan Daulah Islam setelah apa yang dilakukan Rasulullah SAW, dan hal ini terlihat ketika menaklukan wilayah-wilayah lain di masa permulaan khulafa’urasyidin. Dan perluasan wilayah ini sesungguhnya bukan disandarkan pada ketamakan melainkan, melindungi dakwah, menjamin keamanan dan sebagai sarana menyebar pesan besar yang diemban kaum muslimin, yaitu pesan pembebasan umat manusia dan mengarahkan mereka kepada keadilan dan kebenaran Adapun usaha yang ditempuh untuk perluasan dan pengembangan wilayah Islam Abu Bakar melakukan perluasan wilayah ke luar Jazirah Arab. Daerah yang dituju adalah Irak dan Suriah yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Islam. Kedua daerah itu menurut Abu Bakar harus ditaklukkan dengan tujuan untuk memantapkan keamanan wilayah Islam dari serbuan dua adikuasa, yaitu Persia dan Bizantium. Untuk ekspansi ke Irak dipimpin oleh Khalid bin Walid, sedangkan ke Suriah dipimpin tiga panglima yaitu : Amr bin Ash, Yazid bin Abu Sufyan dan Surahbil bin Hasanah.
27
Ibid., h. 473.
29
Memperluas wilayah penyebaran agama Islam ke Hiroh (dijadikan pusat pertahanan dan ibu kota di luar Arab), Anbar dan Persia, Daumatul Jandal, Yarmuk, Syam (pernah dikuasai tentara Romawi), dan Syria. Abu Bakar menugaskan empat panglima perangnya untuk menguasai Syria dari Romawi Timur yang dipimpin oleh Kaisar Heraklius. Mereka adalah Yazid bin Abu Sufyan yang ditugaskan di Damaskus, Abu Ubaidah bin Jarrah ditugaskan di Horns, Amr bin Ash ditugaskan di Palestina, dan Surahbil bin Hasanah di Yordan.28 Masa kekhalifahan Abu Bakar merupakan masa peralihan yang sulit. Dalam masa yang rumit ini, Abu Bakar harus menghadapi berbagai kesulitan berat yang pada awalnya menimbulkan ketakutan di kalangan kaum muslimin. Karena keimanan yang mantap dan pemberian taufiq dari Allah SWT. Umat Islam di bawah kepemimpinan Abu Bakar dapat mengatasi kesulitan besar yang dihadapi. Dipandang dari hitungan waktu memang masa pemerintahan Abu Bakar sangat singkat, tetapi apa yang dicapai Abu Bakar jauh melampaui masa yang tersedia. Masa-masa pemerintahan Abu Bakar sarat dengan amal, jihad dan meninggalkan untuk kita jasa yang sangat bermanfaat.
3. Wafatnya Abu Bakar Ash-Shiddiq Abu Bakar Ash-Shiddiq meninggalkan dunia ini setelah melakukan jihad besar guna menyebarkan agama Allah di seluruh penjuru dunia. Peradaban manusia akan mengenang sosok khalifah ini yang telah membawa panji dakwah Rasulullah setelah wafatnya, menjaga apa yang ditanamkan Rasulullah, memelihara benih-benih keadilan dan kebebasan serta menyiraminya dengan darah para syuhada yang paling suci. Lalu membuahkan hasil yang melimpah yang mampu mewujudkan kemajuan besar sepanjang sejarah dalam bidang ilmu, kebudayaan,dan pemikiran.29
28
Husein Tuanaya,dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Kelas 3A, (Jawa Timur: Wahana dinamika karya, 2004), 15. 29 Ali Muhammad Ash-Shalabi, op. cit., h. 689.
30
Abu Bakar wafat pada hari Senin di malam hari, yaitu tepatnya delapan hari sebelum berakhirnya bulan Jumadil Akhir 13 Hijriyah. Sebelum meninggal, Abu Bakar sakit selama lima belas hari. Sewaktu beliau sakit, Abu Bakar mewasiatkan agar tampuk pemerintahan kelak diberikan kepada `Umar bin Khathab. Abu Bakar memimpin sebagai khalifah selama dua tahun tiga bulan. Beliau wafat pada umur 63 tahun. Di antara wasiat Abu Bakar kepada `Aisyah, “Aku tidak meninggalkan harta untuk kalian kecuali hewan yang sedang hamil, serta budak yang selalu membantu kita membuat pedang kaum muslimin. Oleh karena itu, jika aku wafat, tolong berikan seluruhnya kepada `Umar.” Ketika Aisyah menunaikan wasiat ayahnya itu kepada Umar, maka Umar berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Sesungguhnya dia telah membuat kesulitan (untuk mengikutinya) bagi orang-orang yang menjadi khalifah setelahnya.” Beliau dimakamkan berdampingan dengan makam Rasulullah yang terletak di dalam kamar Aisyah. Beliau pun di shalatkan oleh kaum muslimin yang dipimpin oleh Umar bin Khatab.30
30
Ibid., h. 689.
BAB III PENGERTIAN, DASAR DAN TUJUAN NILAI PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pengertian Nilai Pendidikan Islam “Nilai atau value (bahasa inggris) atau valere (bahasa latin) berarti berguna, mampu, berdaya, berlaku dan kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dihargai dan dapat menjadi objek kepentingan.1 Menurut Steeman “nilai adalah yang memberi makna pada hidup. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang.2 Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku.3 Bagi manusia nilai dijadikan landasan, alasan atau motivasi dalam menetapkan perbuatannya. Dalam realita, nilai-nilai itu dijabarkan dalam bentuk kaidah atau norma atau ukuran sehingga merupakan suatu perintah,
1
Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak ; Peran Moral Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), Cet. II, h. 29. 2 Ibid., h. 29. 3 Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2003), Cet. I, h. 9.
31
32
anjuran, himbauan, kebenaran, kebaikan, keindahan, dan nilai kegunaan merupakan nilai-nilai yang diperintahkan, dianjurkan atau diharuskan.4 Pengertian pendidikan menurut bahasa sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, kata pendidikan berasal dari kata “didik” yang mendapat awalan pen dan akhiran an. Kata tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik.5 Pendidikan
adalah
proses
membimbing
dan
mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan anak didik agar menjadi manusia dewasa sesuai dengan tujuan pendidikan Islam.6 Oemar Muhammad al-Syaibani sebagaimana dikutip A. Fatah Yasin mengatakan bahwa pendidikan Islam merupakan usaha untuk mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses pendidikan, dan perbuatan itu dilandasi oleh nilai-nilai Islam.7 M. Kamal Hasan, sebagaimana dikutip Samsul Nizar, mendefinisikan pendidikan
Islam
adalah
suatu
proses
yang
komperhensif
dari
perkembangan keperibadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi intelektual, spiritual, emosi dan fisik. Sehingga seorang muslim disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan kehadirannya disisi Tuhan di muka bumi ini.8 Menurut
M.
Arifin,
pendidikan
Islam
adalah
suatu
sistem
kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan
4
Sjarkawi, op. cit. h. 31. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), (Jakarta: Gaya Media pratama, 2005), Cet. I, h. 4. 6 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1991), h. 18. 7 A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN Malang Press, 2008), Cet. I, h. 110. 8 Samsul Nizar, M.A., Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Cahaya Media Pratama, 2001), Cet. I, h. 93. 5
33
oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi aspek kehidupan manusia, baik duniawi maupun akhirat.9 Adapun menurut hasil rumusan pendidikan Islam seIndonesia tahun 1960, memberikan pengertian pendidikan Islam: “Sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. Istilah membimbing, mengarahkan, mengasuh, mengajarkan, atau melatih mengandung pengertian usaha mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran sehingga terbentuklah manusia yang berpribadi dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam”.10 Penjelasan mengenai pengertian pendidikan Islam sebagaimana dipaparkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya, beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai hamba Allah dimuka bumi ini, yang berdasarkan ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini berarti terciptanya insan-insan kamil setelah proses pendidikan berakhir. Menurut
undang-undang
tentang
sistem
pendidikan
nasional
dinyatakan bahwa: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. 11
9
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. 4, h. 8. 10 Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet. V, h. 15. 11 Mundzir Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat, (Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2009), Cet. I, h. 284.
34
Adapun nilai-nilai dalam Islam mengandung dua katagori dilihat dari segi normatif, yaitu baik dan buruk serta benar dan salah.12 Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam yang mendukung dalam pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi sesuatu rangkaian
atau
sistem
didalamnya.
Nilai
tersebut
menjadi
dasar
pengembangan jiwa seseorang sehingga bisa memberi hasil yang baik baginya dan masyarakat luas. Dengan menanamkan nilai-nilai pendidikan keimanan, ibadah dan akhlak mulia, diharapkan setiap orang kehidupannnya menjadi terarah baik di dunia maupun di akhirat. Dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan Islam adalah sifat atau halhal yang melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar kehidupan manusia untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu mengabdi kepada Allah SWT.
B.
Dasar-dasar Nilai Pendidikan Islam Yang dimaksud dengan dasar pendidikan adalah pandangan hidup yang mendasari seluruh aktifitas pendidikan. Karena dasar menyangkut masalah ideal dan fundamental, maka diperlukan landasan pandangan hidup yang kokoh dan komperhensif, serta tidak mudah berubah. Hal ini karena telah diyakini memiliki kebenaran yang telah teruji oleh sejarah. Kalau nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang dijadikan dasar pendidikan bersifat relatif dan temporal maka pendidikan akan mudah terombang ambing oleh kepentingan dan tuntutan yang bersifat teknis dan pragmatis.13 Adapun dasar-dasar nilai pendidikan Islam antara lain: a.
al-Qur’an Secara etimologi al-Qur’an berasal dari kata Qara’a, yaqra’u,
Qira’atan atau Qur’anan, yang berarti mengumpulkan (al-Jam’u) dan menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke
12
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet. V,
h. 12. 13
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., h. 59.
35
bagian yang lain secara teratur. Muhammad Salim Muhsin mendefinisikan al-Qur’an dengan: “Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan diriwayatkan kepada kita dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dinilai ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek. Sedang Muhammad Abduh mendefinisikannya dengan: “Kalam mulia yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW, ajarannya mencangkup keseluruhan ilmu pengetahuan.14 Definisi tentang al-Qur’an yang lebih konferhensif, antara lain dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf sebagaimana yang telah dikutip oleh Abuddin Nata sebagai berikut: “al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdullah melalui Ruhul Amin (malaikat Jibril) dengan lafal-lafalnya yang berbahasa Arab dan maknanya yang benar, agar menjadi hujjah (dalil yang kuat) bagi Rasul, bahwa ia memang benar-benar seorang Rasul, menjadi undang-undang bagi manusia, mereka dapat mengambil petunjuk dengan menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah dengan membacanya.15 Dapat penulis pahami bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab yang terang untuk menjelaskan jalan hidup yang bermaslahat bagi umat manusia di dunia dan di akhirat. Al-Qur’an dijadikan sebagai sumber pendidikan Islam yang pertama dan utama karena memiliki nilai absolut yang diturunkan dari Allah. Kemudian Allah menciptakan manusia dan Dia pula yang mendidik manusia yang mana isi pendidikan itu telah termaktub dalam wahyunya. Tidak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan yang luput dari jangkauan al-Qur’an.16 14
Abdul Mujib, et.al., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Ed. Ke-1, Cet. II, h. 32. 15 Abudin Nata, Studi Islam Komperhensif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), Cet. I, h. 28. 16 Abdul Mujib, et al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet. II, h. 32.
36
Adapun
Ayat
yang
menjelaskan
tentang
pendidikan
yaitu,
sebagaimana firman Allah antara lain: 1. QS. Al-An’am ayat 38
Dan Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burungburung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS. Al-An’am: 38). 2. QS. An-Nahl ayat 89
Dan ingatlah suatu hari ketika Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An-Nahl: 89). 3. Al-Alaq ayat 1-5
1. 2. 3. 4. 5.
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
37
Ayat di atas memberikan isyarat bahwa nilai pendidikan Islam diambil dan digali dari sumber otentik Islam, yaitu al-Qur’an. b.
as-Sunnah Dasar yang kedua setelah al-Qur’an adalah as-Sunnah. Pengertian as-
Sunnah menurut para ulama hadis adalah segala sesuatu dari Nabi Muhammad dalam kapasitas beliau sebagai imam yang memberi petunjuk dan penuntun yang memberikan nasehat, yang diberitakan oleh Allah sebagai teladan dan figur bagi kita. Sehingga mereka mengambil segala sesuatu yang berkenaan dengan nabi baik berupa tingkah laku, pembawaan, sabda perbuatan beliau, baik membawa konsekuensi hukum syara atau tidak.17 Telah kita ketahui bahwa diutusnya Nabi Muhammad saw salah satunya untuk memperbaiki moral atau akhlak manusia, sebagaimana sabdanya :
“Sesungguhnya aku diutus tiada lain adalah untuk menyempurnakan akhlak”. (HR. Muslim) as-Sunnah menurut pengertian bahasa berarti tradisi yang biasa dilakukan atau jalan yang dilalui (at-thariqah al-maslukah) baik yang terpuji maupun yang tidak. as-Sunnah adalah “segala sesuatu yang dinukilkan kepada Nabi Muhammad SAW berikut berupa perkataan, perbuatan, taqrirnya ataupun selain dari itu. Termasuk perkataan, perbuatan dan ketetapannnya adalah sifat-sifat atau keadaan dan cita-cita Nabi Muhammad.18 M. Athiyah al-Abrasyi mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Nur uhbiyati, dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad mengatakan bahwa beliau adalah juru didik. Riwayat tersebut ialah pada suatu hari nabi keluar dari rumahnya dan beliau menyaksikan adanya dua pertemuan, dalam 17
Muhammad Ajjaj al-Khathib, Pokok-pokok Ilmu Hadis, Terj. Dari Ushul Hadis oleh Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), Cet. III, h. 2. 18 Mujib, op. cit, h. 38.
38
pertemuan pertama orang-orang yang berdo’a kepada Allah SWT mendekatkan diri kepadanya, dalam pertemuan kedua orang memberikan pelajaran. Setelah itu beliau duduk pada pertemuan kedua ini. Praktek ini membuktikan kepada kita suatu contoh terbaik betapa nabi mendorong orang belajar dan menyebarkan ilmu secara luas dan suatu pujian atas keutamaan juru didik.19 Cerita ini menandakan sebuah bukti bahwa as-sunnah merupakan salah satu dasar pokok pendidikan Islam yang harus menjadi rujukan setiap manusia yang beriman. c.
Ijtihad Ijtihad adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak
terdapat nash al-Qur’an dan sunnah yang jelas tentangnya.20 Menurut Zakiyah Daradjat, ijtihad ialah istilah para fuqaha, yaitu berfikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syariat islam untuk menetapkan atau menentukan suatu syariat islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tapi tetap berpedoman pada al-Qur’an dan sunnah.21 Ijtihad adalah usaha yang dilakukan oleh para ulama (mujtahid) untuk menetapkan atau menentukan sesuatu hukum syari’at Islam terhadap hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah. Hal ini sejalan dengan pendapat Zakiah Daradjat bahwa “landasan pendidikan Islam itu terdiri dari al-Qur’an dan sunnah Nabi yang dapat dikembangkan dengan ijtihad.” Ijtihad dalam hal ini dapat meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan. Namun demikian, ijtihad harus mengikuti kaidah-kaidah
19
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), Cet. III, h.
21. 20
Abu Abdillah, Argumen Alusunnah wal jama’ah, (Jakarta: Pustaka ta’awun, 2011), Cet. II, h. 1. 21 Zakiyah Daradjat, dkk, op. cit., h. 21.
39
yang diatur oleh para mujtahid, tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari al-Qur’an dan sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori baru dari hasil pendidikan harus dikaitkan dengan ajaran Islam yang sesuai dengan kebutuhan hidup. Ijtihad di bidang pendidikan semakin dibutuhkan, sebab ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah hanya sebatas pokok-pokok dan prinsip-prinsip. Bila diperinci, maka perincian itu sekedar contoh dalam menerapkan yang prinsip itu karena sejak diturunkan sampai Nabi Muhammad SAW wafat, ajaran Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang seirama dengan tuntutan perkembangan jaman. Dalam hal ini pemikiran para filsafat, pemimpin dan intelektual muslim yang berijtihad dalam bidang pendidikan menjadi referensi (sumber) pengembangan pendidikan Islam. Hasil pemikiran itu baik dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, fikih Islam, sosial budaya, pendidikan dan sebagainya menyatu sehingga membentuk suatu pemikiran dan konsepsi komprehensif yang saling menunjang khususnya bagi pendidikan Islam. Dalam usaha modernisasi pendidikan Islam, pemikiran kalangan intelektual pembaharu yang dapat dijadikan referensi bagi pengembangan pendidikan Islam.22 Ada pun salah satu contoh ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal yaitu Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan bahwa pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal di bangun atas lima dasar, yaitu sebagai berikut: 1. Al-Nushush dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dari keduanya, ia berpendapat sesuai dengan makna tersurat (manthuq), sementara makna tersiratnya (mafhum) ia abaikan.
22
http://www.tuanguru.com/2011/11/ijtihad-dalam-pendidikan.html. Diakses pada 20 Maret 2014.
40
2. Apabila tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, ia menukil fatwa sahabat dan memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya. 3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunnah. 4. Menggunakan hadits mursal dan dha’if, apabila tidak ada atsar, qaul sahabat, atau ijma yang menyalahinya. 5. Apabila hadits mursal dan dha’if sebagaimana disyaratkan di atas tidak didapatkan, ia menganalogikan (mengqiyaskan). Dalam pandangannya qiyas adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa. 6. Langkah terakhir adalah menggunakan Sadz al-dzara’i.23 Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan akal pikiran dalam menetapkan suatu permasalahan hukum yang belum ditemukan kepastian hukumnya dalam nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Ijtihad ini dilakukan oleh para ulama yang telah memenuhi persyaratan untuk melakukan ijtihad. Dengan adanya ijtihad maka segala permasalahan kehidupan umat Islam termasuk masalah pendidikan menjadi lebih terarah dan dapat diterapkan sebagai suatu landasan hukum dalam menjalani kehidupan.
C.
Tujuan Menggali Nilai-nilai Pendidikan Islam Persoalan pendidikan adalah persoalan yang menyangkut hidup dan kehidupan manusia yang senantiasa terus berproses dalam perkembangan kehidupannya. Diantara persoalan pendidikan yang cukup penting dan mendasar adalah mengenai tujuan menggali nilai pendidikan. Tujuan menggali nilai pendidikan termasuk masalah sentral dalam pendidikan, sebab tanpa perumusan tujuan menggali nilai-nilai pendidikan yang baik maka perbuatan mendidik bisa menjadi tidak jelas, tanpa arah yang baik. Oleh karenanya, masalah tujuan menggali nilai pendidikan menjadi inti dan 23
http://marwajunia.blogspot.com/2012/02/ijtihad-dan-contoh-pemikiran-imamempat.html.Diakses pada 20 Maret 2014.
41
dasar yang sangat penting dalam menentukan isi dan arah pendidikan yang diberikan. “Tujuan adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan. Karena itu tujuan pendidikan Islam yaitu sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang yang melaksanakan pendidikan Islam.”24 Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan Islam memiliki kejelasan tujuan yang hendak dicapai. Banyak dari para ahli mengkaji dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi tujuan pendidikan tersebut. Hal ini biasa dimengerti karena tujuan pendidikan mempunyai kedudukan yang amat penting.25 Menurut Omar al-Toumy al-Syaibani sebagaimana dikutip oleh Jalaludin menggariskan bahwa tujuan menggali nilai pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al-karimah. Tujuan ini sejalan dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kenabian, yaitu membimbing manusia agar berakhlak mulia. Kemudian akhlak mulia dimaksud, diharapkan tercermin tingkah laku individu dalam hubungannya lingkungannya.
dengan
Allah,
diri
sendiri,
sesama
manusia
serta
26
Menurut Abuddin Nata bahwa tujuan menggali nilai-nilai pendidikan Islam itu adalah: 1.
Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Allah di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas-tugas memakmurkan dan mengola bumi sesuai dengan kehendak Tuhan.
2.
Mengarahkan manusia agar seluruh pelaksanaan tugas kekhalifahannya dimuka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah, sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
24
Nur Uhbiyati, op. cit. h. 29. Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
25
45. 26
Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002), Cet. II,
h.92.
42
3.
Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.
4.
Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan yang semua ini dapat
dipergunakan
guna
mendukung
tugas
pengabdian
dan
kekhalifahannya. 5.
Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.27 Menurut Ibnu Khaldun sebagaimana dikutip Muhammad A’thiyah al-
Abrasyi, tujuan menggali nilai-nilai pendidikan Islam adalah: 1.
Membentuk hamba-hamba Allah yang dapat melaksanakan kewajibankewajibannya kepada Allah.
2.
Membentuk manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak dan bermanfaat bagi orang lain.28 Dengan demikian dapat disimpulkan dan dipahami bahwa tujuan
pendidikan Islam, yaitu merupakan penggambaran nilai-nilai Islami yang hendak diwujudkan dalam pribadi manusia didik pada akhir dari proses tersebut. Dengan kata lain perwujudan nilai-nilai Islami dalam pribadi peserta didik guna mewujudkan pribadi yang beriman, bertaqwa dan berilmu.
27
Abuddin Nata, FilsafatPendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h.
106. 28
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), Cet. I, h. 23.
BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DAN IMPLEMENTASINYA YANG TERKANDUNG DALAM KEPEMIMPINAN ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ
Pada masa pemerintahannya, Abu Bakar menunjukkan garis besar politik kebijaksanaan. Fakta historis menunjukkan bahwa pemerintahan Abu Bakar banyak menuai keberhasilan, baik keberhasilan internal maupun eksternal. Dan terdapat pula nilai-nilai potif dari aspek pendidikan Islam yang diajarkan oleh khalifah Abu Bakar. Untuk itu penulis akan menggali nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam kepemimpinannya. Penulis sangat berharap kiranya dari nilai-nilai pendidikan serta implementasinya dalam pengajaran yang akan menjadi pembahasan dapat bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu terutama dalam kaitannya dengan pembinaan pendidikan, adapun nilai-nilai pendidikan tersebut meliputi pendidikan ketegasan, keberanian, kedermawanan, keadilan, kejujuran dan kewibawaan.
A.
Nilai-nilai Pendidikan Islam 1.
Ketegasan Meskipun kaumnya mengenal Abu Bakar sebagai pribadi yang lemah
lembut, santun, dan murah hati, Abu Bakar di kenal bersifat tegas, yang merupakan sifat terpuji yang dimilikinya. Salah satu ketegasan Abu Bakar yaitu ketika Fuja‟ah telah mengkhianati amanah, menipu Abu Bakar dan 43
44
kaum muslimin dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Jarang orang marah seperti marahnya orang yang tertipu lebih-lebih penipuan yang mengakibatkan pengkhianatan dan penumpahan darah. Fuja‟ah datang kepada Abu Bakar meminta sejumlah senjata untuk memerangi kaum murtad. Dengan senjata itu ia menyerang kaum muslimin yang tidak bersalah dan mengacau di sepanjang jalan dengan merampok, merampas dan menumpahkan darah. Ketika ia tertawan, maka Abu Bakar menetapkan hukuman yang setimpal baginya, yaitu melemparkannya ke dalam api. Dengan demikian kita dapat mengetahui ketegasan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ketegasan Abu Bakar juga terbukti dalam menciptakan stabilitas kehidupan umat Islam. Perbaikan sosial yang dilakukan Abu Bakar ialah mengamankan tanah Arab dari para penyeleweng (orang-orang murtad, nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat). Di masa awal pemerintahan Abu Bakar, diwarnai dengan berbagai kekacauan dan pemberontakan, seperti munculnya orang-orang murtad, orang-orang yang mengaku dirinya Nabi, pemberontakan dari beberapa kabilah Arab dan banyaknya orang-orang yang ingkar membayar zakat. Diantara orang-orang yang mengaku dirinya menjadi nabi yang paling berbahaya ialah Musailamah Al- Kazzab dari bani Hanifah di al Yamamah. Musailamah ini telah mengaku menjadi nabi semenjak Rasulullah masih hidup. Ada juga Al-Aswad al „Ansi di Yaman, dan Thulaihah ibn Khuwailid dari Bani Asad. Diantara pengikut-pengikut nabi-nabi palsu itu banyak yang mengetahui kepalsuan dan kesesatan nabi-nabi palsu itu, namun mereka mau mendukung dan menggabungkan diri kepada nabi-nabi palsu itu, hanyalah agar mereka jadi kuat untuk menghadapi quraisy yang hendak memonopoli kekuasaan di tanah Arab.1 Mereka mengira, bahwa Abu Bakar adalah pemimpin yang lemah, sehingga mereka berani membuat kekacauan. Pemberontakan kabilah 1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
h. 3.
45
disebabkan oleh anggapan mereka bahwa perjanjian perdamaian yang dibuat bersama Nabi SAW bersifat pribadi dan berakhir dengan wafatnya Nabi SAW, sehingga mereka tidak perlu lagi taat dan tunduk kepada penguasa Islam yang baru. Orang-orang yang enggan membayar zakat hanyalah karena kelemahan iman mereka. Maka Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat dan kaum muslimin menentukan apa tindakan yang harus diambil dalam mengatasi kesulitan-kesulitan ini. Kemudian dengan tegas, dinyatakannya seraya bersumpah, bahwa beliau akan memerangi semua golongan yang telah meneyeleweng dari kebenaran, seperti kaum murtad, mengaku jadi nabi, ataupun yang tidak mau membayarkan zakat, sehingga semuanya kembali kepada kebenaran, atau beliau gugur sebagai syahid dalam memperjuangkan kemuliaan agama Allah. Dan kemudian ini disambut dan didukung kuat oleh golongan terbesar dari kaum muslimin atau oleh seluruh kaum muslimin. Dan orang-orang Quraisy menyerahkan putera-putera mereka untuk menjalankan perintah Abu Bakar ini.2 Sungguh merupakan keputusan tegas beliau dalam memerangi kaum murtad. Ketegasan Abu Bakar terhadap kaum murtad tidaklah santai, tidak ada tawar-menawar di dalamnya, dan tidak ada keramahan. Selamat dan kekalnya agama ini dalam aspek kesuciannya, kemurniannya, dan keasliannya adalah berkat jasa keagungan Abu Bakar Ash-Shiddiq, tentu dengan mendapatkan pertolongan Allah Swt. Setelah para pemberontak tersebut berhasil dikalahkan, tanah Arab pun bersatu kembali dan bertambah kuat berpegangan kepada ajaran Allah.
2. Keberanian Dibalik sikapnya yang ramah dan murah hati, Abu Bakar sejatinya adalah seorang pemberani terutama dalam membela kebenaran atau pun mereka yang terzalimi. Beliau juga seorang yang cerdas dan paling diterima 2
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Khusna, 1983), h.
226.
46
pendapatnya. Diantara sikap kepahlawanan yang dianggap sebagai kebanggaan yang disematkan dalam diri Abu Bakar adalah keberanian menghadapi setiap orang yang menghalanginya di jalan dakwah, serta pertolongan yang telah diberikannya pada Nabi Muhammad. Keberanian Abu Bakar salah satunya adalah ketika Uqbah Ibn Abi Mu‟ith mencekik nabi Muhammad saat berada di dalam ka‟bah. Imam Bukhari meriwayatkan hadis Urwah ibnu Zubair yang bertanya kepada Abdullah ibn Amr ibn Ash, “ceritakan kepadaku tentang kelakuan paling kasar dari orang musyrik terhadap nabi Muhammad saw.” Abdullah ibn Amr menjawab, ketika beliau melakukan shalat di dalam ka‟bah, tiba-tiba datang Uqbah ibn Abi Mu‟ith meletakan selendang di leher Nabi Muhammad dan menariknya dengan kuat tak berselang lama, Abu Bakar datang beliau pun memegang pundak Uqbah untuk menyelamatkan Nabi Muhammad saw.3 Abu Bakar berkata kepadanya dengan membaca sebuah ayat yang artinya:
“Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki Karena dia menyatakan: Tuhanku ialah Allah padahal dia Telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. (QS. Al-Mu‟min: 28). Sebagai bukti lain keberanian Abu Bakar yaitu ketika beliau menyuarakan kebenaran. Saat kaum Yahudi Madinah mulai terang-terangan bersikap terhadap perkembangan Islam yang kian mendapat tempat di hati penduduk Madinah, Abu Bakar perlu mendatangi mereka dipusat perkumpulannya yaitu bait Al-Midras, untuk melakukan dialog keagamaan dengan mereka.
3
Ibrahim al-Quraibi, Tarikh Khulafa‟, (Jakarta: Qhisti Press, 2009), Cet. I, h. 141.
47
Saat berada di Bait Al-Midras, Abu Bakar melihat orang-orang Yahudi yang sedang berkumpul termasuk Finhas juga tokoh penting Yahudi lainnya bernama Asya‟, Saat bertemu Abu Bakar berkata: “Binasahlah kau wahai Finhas, takutlah kepada Allah dan masuklah agama Islam “Demi Allah engkau telah mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dia datang di tengah-tengah kalian untuk membawa kebenaran dari Allah dan kalian mengetahui nama Muhammad telah tertulis dalam kitab Taurat dan Injil.” Ini adalah salah satu keberanian Abu Bakar seorang yang berani menyuarakan kebenaran di hadapan musuh-musuh Allah. Beliau berani berkata tegas kepada pendeta Yahudi itu karena sudah menghalangi dakwah Islam. Kaum Yahudi mengetahui bahwa akan hadir seorang Nabi Allah bernama Nabi Muhammad sebagaimana yang tercantum dalam kitab suci Taurat. Akan tetapi mereka sengaja menyembunyikan fakta tersebut. Itulah watak dasar kaum Yahudi yang menyembunyikan kebenaran suka berkhianat, berbohong serta angkuh.4 Di medan perang pun beliau diakui keberaniannya serta memiliki jiwa patriotik yang tidak tertandingi, realita tersebut diakui para sahabat dan tidak ada satu pun yang memungkiri keberaniannya. Muhammad bin Aqil menuturkan, “suatu hari saat kami berkumpul bersama para sahabat, tiba-tiba Ali bin Abi Thalib berbicara dihadapan orang banyak, siapakah orang yang paling berani diantara umat ini? semua yang hadir menjawab serentak, andalah orang yang paling berani wahai putra Abu Thalib! Siapapun tau, anda paling pandai memainkan pedang dan selalu tampil gemilang mengalahkan musuh-musuh Allah.” Usai mendengar jawaban mereka, Ali bin Abi Thalib berkata tegas, “Mungkin kalian menilai seperti itu karena tidak ada satu pun diantara kalian yang mampu mengungguli permainan pedangku atau mengalahkanku saat bertanding pedang. Bisa saja kalian menilai diriku orang paling berani karena setiap pedang selalu terbelah menjadi dua saat bertanding denganku.
4
Misbah Em Majidy, Abu Bakar The 1st Khalifah,(Bandung: PT. Syigma Examedia Arkanlema, 2013), h. 89.
48
Akan tetapi, sejujurnya aku katakan kepada kalian bahwa orang yang paling berani diantara umat ini adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Orang-orang lantas bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, apa alasan anda menyebut Abu Bakar sebagai orang paling berani diantara kita, wahai putra Abu Thalib? Ali menjawab, “Dalam sebuah peperangan kami mendirikan tenda untuk didiami Rasulullah. Kemudian diantara kami saling bertanya, siapakah yang akan mengawal Rasulullah ditenda ini agar tidak terjadi sesuatu kepadanya? Demi Allah, tidak ada seorangpun yang berani menerima tawaran tersebut kecuali Abu Bakar. Ketika pasukan kafir mendekati tenda Rasul, Abu Bakar dengan sigap menghunuskan pedangnya dan menghabisi setiap pasukan musuh yang mendekati tenda Rasul. Oleh sebab itu menurutku, Abu Bakarlah yang paling pemberani.5 Tetapi apa yang menghilangkan kekaguman kita tidak mengubah penghargaan kita atas keberaniannya tampil ke depan umum dalam situasi ketika orang masih serba menunggu, ragu dan sangat
berhati-hati.
Keberanian Abu Bakar ini patut sekali kita hargai, mengingat dia pedagang, yang demi perdagangannya diperlukan
perhitungan guna menjaga
hubungan baik dengan orang lain serta menghindari konfrontasi dengan mereka, yang akibatnya berarti menentang pandangan dan kepercayaan mereka. Ini dikhawatirkan kelak
akan berpengaruh buruk terhadap
hubungan dengan para relasi itu. Dengan uraian tersebut di atas sikap keberanian yang dimiliki Abu Bakar Ash-Shiddiq mengajarkan kita arti dari keberanian. Keberanian adalah alat dari pada alasan diri secara keseluruhan untuk membuat diri kita melawan atau memerangi musuh nyata dalam diri kita untuk merebut hak dan kewajiban kita, menawarkan sebuah pergerakan yang kuat menjadi lebih kuat lebih pintar dan lebih percaya diri, percaya pada kemampuan kita membuat suatu pergerakan membangkitkan semangat hidup pergerakan serikat pemberontak untuk memerangi pribadi diri sendiri, seakan berperang
5
Ibid., h. 179.
49
melawan hawa nafsu, berjuang melawan nafsu diri sendiri suatu kekuatan lahiriah dengan kontak batin yang bersatu dalam satu tujuan.
3. Kedermawanan Di antara sahabat nabi Muhammad Abu Bakar adalah yang paling dermawan dan paling banyak memberikan sumbangan untuk perjuangan di jalan Allah. Ketika masuk Islam, hartanya sangat banyak dan semuanya di infaqkan untuk kepentingan dakwah, demi memuliakan kalimat Allah dan membantu perjuangan Nabi Muhammad Saw. Salah satu kedermawanan Abu Bakar yaitu, pada tahun ke-6 Hijriah, Rasulullah mendapat informasi penting bahwa raja Romawi, telah bersekutu dengan kabilah-kabilah Arab yang dipelopori kaum Nasrani dari suku Judzam untuk menghancurkan Islam. Mereka akan menyerang Hijaz dengan target utama membunuh Muhammad. Kaisar Romawi ini mengerahkan ratusan ribu pasukannya untuk melenyapkan Islam dibumi. Rasulullah kemudian menyiapkan pasukan Islam untuk bergerak menuju Tabuk untuk menghadapi serangan pasukan Romawi. Sejarah mewartakan tingkat kesulitan yang dihadapi kaum muslim dalam perang Tabuk sangatlah besar, yaitu letak geografis wilayah Tabuk yang jauh dari Madinah. Kondisinya yang sangat gersang dan situasi kehidupan yang sangat sulit di daerah tersebut. Sebelum berangkat Rasulullah menjelaskan secara terperinci tentang kondisi dan tugas berat yang dihadapi kaum muslim dalam pertempuran melawan musuh Islam yang jumlahnya ratusan ribu.6 Umar bin Khattab menuturkan, “Saat perang Tabuk, Rasulullah menyerukan kepada kaum muslim untuk mengumpulkan dana untuk membiayai perang besar melawan imperium Romawi dan para sekutunya. Umar segera menemui Rasulullah dan menyerahkan separuh dari seluruh harta yang aku miliki untuk perjuangan Islam. Usai menerimanya, Rasul 6
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Abu Bakar Ash-shiddiq, (Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2013), h.58.
50
berkata, “Berapa yang kausisakan untuk keluargamu, wahai putra AlKhatab? Aku menjawab sebanyak yang aku serahkan kepadamu, wahai utusan Allah.” Kemudian, datang Abu Bakar Ash-Shiddiq menyerahkan seluruh harta miliknya untuk perjuangan Islam. Setelah menerimanya, Rasul bertanya, “Berapa yang kau sisakan untuk keluargamu, wahai putra Abu Quhafah? Abu Bakar menjawab, Aku sisakan untuk keluargaku Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, aku tidak akan mampu mengungguli Abu Bakar dalam berbuat kebaikan.” Sikap kedermawanannya juga ditunjukkan ketika Abu Bakar membeli seorang budak bernama Bilal. Ketika itu keadaan kaum muslimin mendapat gangguan, intimidasi, teror serta kekerasan yang dilancarkan oleh orangorang musyrikin terhadap Rasulullah dan para sahabat. Dengan itu mereka dapat memalingkan kaum muslimin dari akidah keislaman serta itu pun merupakan bentuk dari luapan kebencian dan kemarahan orang-orang musyrikin terhadap Islam. Bilal misalnya, ia mengalami penyiksaan yang luar biasa, sementara ia tidak memiliki orang yang bisa menopangnya, tidak memiliki kaum atau klan yang bisa melindunginya. Orang seperti Bilal ini ditengah masyarakat Jahiliyah Mekkah tidak memiliki nilai apa-apa, tidak memiliki peran dalam kehidupan melainkan hanya melayani, patuh dan diperjual belikan. Jika orang seperti Bilal ternyata memiliki pendapat, pemikiran, dakwah atau posisi, maka dalam masyarakat Jahiliyah Mekkah dianggap sebagai sebuah kejahatan yang menggoncangkan pilar-pilar dan sendi-sendi tatanan masyarakat Jahiliyah Mekkah. Ketika majikannya Umayah bin Khalaf mengetahui hal itu, maka ia pun mulai mengambil langkah antara mengintimidasi dirinya dan terkadang membujuknya. Namun Umayyah bin Khalaf tidak mendapati dari diri Bilal melainkan keteguhan sikap dan pendirian serta tidak bersedia untuk kembali ke belakang kepada kekafiran, kejahiliyahan dan kesesatan.
51
Umayyah bin Khalaf pun membawa Bilal ke tengah gurun dan memanggangnya di bawah panasnya terik matahari lalu diletakkannya pula sebongkah batu besar di atas dadanya. Kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq pun pergi ke lokasi penyiksaan kemudian membebaskan dengan membeli budak tersebut lalu memerdekakannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq membeli bilal dengan harga tujuh uqiyyah atau empat puluh uqiyyah emas.7 Demikianlah Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sosok pemberi kebebasan dan pemerdeka budak-budak, menyambung silaturahim, orang yang dikenal gemar membantu orang yang sedang kesulitan, tertimpa musibah dan kesusahan. Hatinya sungguh dipenuhi dengan kelembutan, belas kasih dan sayang kepada orang-orang yang lemah. Ia tidak segansegan menginfakkan hartanya dalam jumlah yang cukup besar demi mendapatkan Ridha Allah SWT. Bukan seberapa banyak nominal yang disumbangkan atau sebesar apa materi yang telah diberikan, melainkan dalam ketulusan yang jernih dan niat yang utuh membelanjakan harta dijalan Allah, kesediaan untuk berbagi, ketulusan membantu perjuangan Islam, itulah yang akan membawa para pelakunya kepada kemuliaan dan derajat luhur disisi Allah, seperti yang tercermin dalam diri Abu Bakar Ash-Shiddiq.8 Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa pada masa jahiliyah, Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah seorang saudagar. Ia terbiasa menjelajahi negri-negri yang ada untuk berniaga. Ia memiliki modal sebesar empat puluh ribu dirham. Saat ia masuk Islam semuanya dibelanjakan untuk perjuangan Rasul, terutama untuk memerdekakan para hamba sahaya yang disiksa majikannya karena memeluk agama Islam serta keperluan perjuangan Islam lainnya. Begitulah kedermawanan Abu Bakar yang menginfaqkan seluruh hartanya di jalan Allah dengan ikhlas beramal demi kepentingan perjuangan 7
Ibid., h.58. Majidy, op. cit., h. 107.
8
52
Islam sehingga Rasulullah pun memberikan jaminan yang besar di akhirat. Kita dapat mengambil pelajaran dari sikap dan keteladanan Abu Bakar yang tidak rakus terhadap harta kekayaan. Meski ia adalah seorang khalifah, namun tetap memilih hidup sederhana demi menjaga amanah.
4. Keadilan Abu Bakar adalah sosok yang menjadi contoh dan teladan dalam keadilannya yang begitu menawan hati, memukau akal pikiran. Keadilan dalam pandangan Abu Bakar adalah sebuah dakwah praktis yang bisa menjadi media yang efektif untuk membuka hati manusia untuk beriman. Abu Bakar benar-benar mempraktikkan keadilan diantara manusia dalam hal pemberian, meminta mereka supaya membantu dan mendukung dirinya dalam menegakkan keadilan, serta menawarkan dirinya untuk diqishos dalam sebuah kasus dalam hal ini menunjukkan sikap adil dan rasa takut kepada Allah. Peradilan pada era Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan kepanjangan dari wajah peradilan pada periode kenabian (masa Rasulullah). Hal itu termanifetasikan dalam bentuk komitmen total terhadap peradilan pada masa Rasulullah, meniru manhajnya, semaraknya nuansa tarbiyah diniyah, keterikatan dengan iman dan akidah, lebih mengedepankan kontrol agama. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Al-Ash, bahwasannya Abu Bakar pada suatu hari jum‟at berdiri lalu berkata, “Jika kita memasuki waktu pagi, maka tolong bawa kesini zakat Unta, kami akan membaginya dan tidak boleh ada satu orangpun yang masuk menemui kami kecuali harus dengan izin. Lalu ada seorang perempuan berkata kepada suaminya, ambil dan bawalah khitam (tali untuk mengikat dan mengendalikan Unta). Lalu si suami pun datang, Kemudian mendapati Abu Bakar dan Umar bin Khatab telah memasuki ke tempat Unta. Ia pun ikut masuk bersama beliau berdua. Melihat hal tersebut, Abu Bakar Ash-Shiddiq langsung menoleh dan berkata, “kenapa kamu ikut masuk? kemudian Abu Bakar mengambil tali
53
yang dibawa orang itu kemudian memukulnya. Setelah selesai membagi zakat unta, maka orang tersebut dipanggil dan mengembalikan kepadanya tali itu, Abu Bakar berkata, “silahkan balaslah aku, karena tadi aku telah memukulmu.” Lalu Umar bin Khatab berkata, sungguh demi Allah orang itu tidak boleh membalas dan jangan jadikan hal itu sebagai kebiasaan yang diikuti. Abu Bakar berkata, maka siapakah yang akan menyelamatkanku dari pembalasan Allah pada hari kiamat? Umar bin Khatab berkata, buat hatinya Ridha dan senang. Kemudian Abu Bakar memerintahkan kepada pembantunya menemui orang itu sambil membawa seekor Unta dan kain penutupnya serta uang sebanyak lima dinar, sehingga hati orang itu pun Ridho dan senang.9 Sebagai bukti lain keadilan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah kebijakan meningkatkan kesejahteraan umum dan perekonomian. Abu Bakar membentuk lembaga “Baitul Mal”, semacam kas negara atau lembaga keuangan. Pengelolaannya diserahkan kepada Abu Ubaidah, sahabat Nabi Saw yang digelari “amin al-ummah” (kepercayaan umat). Abu Bakar menerapkan prinsip kesamarataan yaitu kebijakan dalam membagi sama rata hasil rampasan perang (ghanimah). Dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab yang menginginkan pembagian dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan yang dikemukakan Abu Bakar adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam adalah akan mendapat balasan pahala dan Allah SWT di akhirat. Karena itulah biarlah mereka mendapat bagian yang sama yakni, memberikan jumlah yang sama kepada semua sahabat dan tidak membeda-bedakan antara sahabat, antara budak dan orang merdeka, bahkan antara pria dan wanita. Sehingga harta Bait al-Mal tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama karena langsung di distribusikannya.10 Disinilah dapat kita renungkan betapa keadilan Sang Khalifah Abu Bakar dapat berhasil ditegakkan seperti meningkatnya pendapatan kaum 9
Ali Muhammad Ash-Shalabi, op. cit.,h. 249. Moh Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 77. 10
54
muslimin serta mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun yang dibiarkan dalam kemiskinan. Sebagai bentuk keadilannya menjadi khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq menerapkan praktek akad perdagangan yang sesuai dengan prinsip syariah. Menerapkan beberapa kebijakan umum, antara lain sebagai berikut:11 1. Menegakan hukum dengan memerangi mereka yang tidak mau membayar zakat. 2. Tidak menjadikan ahli badar (orang-orang yang berjihad pada perang Badar) sebagai pejabat negara. 3. Tidak mengistimewakan ahli Badar dalam pembagian kekayaan negara. 4. Mengelolah barang tambang (rikaz) yang terdiri dari emas, perak, perunggu, besi, dan baja sehingga menjadi sumber pendapatan negara. 5. Menetapkan gaji pegawai berdasarkan karakteristik daerah kekuasaan masing-masing. 6. Tidak merubah kebijakan Rasulullah SAW dalam masalah jizyah. Demikianlah nilai utama kemanusiaan yang dibawa oleh Islam melalui sosok teladan Abu Bakar Ash-shiddiq. Beliau adalah sosok yang mengajarkan tegaknya keadilan. Sebagai pemimpin Abu Bakar Ash-Shiddiq berhasil mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial rakyat dengan mengolah zakat, infak dan sadaqoh yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah harta rampasan perang dan jizyah dari warga negara non-muslim. Ia memperhatikan skurasi penghitungan zakat. Hasil penghitungan zakat dijadikan sebagai pendapatan negara yang disimpan dalam Baitul Mal dan langsung di distribusikan seluruhnya pada kaum muslimin. Putusan-putusan hukum
peradilan ini menjadi bahan kajian dan
rujukan para peneliti, menjadi pusat perhatian fuqaha, menjadi sumber referensi hukum-hukum syara‟, sumber berbagai ijtihad hukum peradilan serta sumber pendapat-pendapat fikih di berbagai masa.
11
http://muanhinata.multiply.com . Diakses pada 10 Februari 2014.
55
5. Kejujuran “Kejujuran adalah amanah dan kebohongan adalah khianat.” Hal ini adalah cermin sifat kejujuran dan sikap amanah. Abu Bakar memberi contoh bahwa seorang pemimpin harus bersikap jujur dan teguh memegang amanah yang dipercayakan rakyat kepada dirinya. Kejujuran seorang pemimpin adalah pintu utama untuk menyentuh hati seluruh rakyatnya serta meraih kepercayaan mereka. Pemimpin yang istiqomah memegang amanah umatnya akan mampu mengantarkan rakyatnya menuju kehidupan yang damai dan sejahtera. Sebaliknya, pemimpin yang bersikap tidak amanah akan membawa rakyatnya kepada kehidupan yang penuh kekacauan, jauh dari kesejahteraan, dan tertinggal dari umat yang lainnya.12 Prinsip kejujuran Abu Bakar tersebut juga menjadi landasan garis kebijakannya dalam memimpin umat, yaitu bahwa kejujuran dan keterbukaan antara pemimpin dan rakyat adalah asas hubungan di antara keduanya. Prinsip dasar ini memiliki kontribusi dan pengaruh yang sangat penting bagi kekuatan dan soliditas umat, karena telah tertancap kuat jembatan kepercayaan antara umat dan pemimpinnya. Ini adalah sebuah moral atau etika politik yang bertolak dari seruan Islam kepada kejujuran dan kebenaran. Tidak disangsikan lagi bahwa barangsiapa mencermati dan merenungi kata-kata Abu Bakar Ash-Shiddiq tersebut, maka ia pasti akan mendapatkan bahwa dia adalah memang benar-benar sosok pemimpin yang prisoner, karena ia memang benar-benar meniti jejak dan jalan Nabi yang mulia.13 Dari Kata-kata Abu Bakar Ash-Shiddiq di atas mengenai prinsip “kejujuran adalah amanat” dapat penulis pahami bahwa Khalifah Abu Bakar sangat menekankan kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun berbuat, bahkan hal ini merupakan amanah dari Allah Swt. Kejujuran adalah salah satu nilai terpenting dan paling yang harus dimiliki setiap orang. Orang jujur sangat hati-hati terhadap hak dan kewajiban. Mereka akan 12
Ali Muhammad Ash-Shalabi, op. cit., h. 255. Ibid., h. 255.
13
56
enggan mengambil yang bukan haknya, memanipulasi untuk tujuan tidak baik. Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak-hak orang lain. Sebab kejujuran sebagaimana yang telah kita uraikan diatas juga akan menumbuh kembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan dan kedisiplinan dalam hidup dan bekerja.
6. Kewibawaan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah pimpinan golongan Ash-Shiddiqun dan sebaik-baiknya orang shaleh setelah para Nabi dan Rasul. Ia adalah sosok sahabat Rasulullah yang paling utama, paling alim dan paling mulia secara mutlak. Rasulullah bersabda tentang dirinya, “Seandainya aku ingin mengambil seorang khalil, niscaya Abu Bakarlah orangnya, akan tetapi ia adalah saudaraku dan sahabatku.” Umar bin Al-Khathab memberikan sebuah pernyataan testimonial tentang Abu Bakar Ash-Shiddiq, “Anda adalah pemimpin kami, sosok yang paling baik di antara kami dan orang yang paling dicintai oleh Rasulullah di antara kami” Ali bin Abu Thalib ketika ditanya oleh puteranya Muhammmad bin Al-Hanafiyyah, “Siapakah orang yang paling baik setelah Rasulullah?” Maka ia menjawab, “Abu Bakar Ash-Shiddiq.” Sesungguhnya kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah lembaran yang kemilau dari sejarah Islam yang menyilaukan setiap sejarah dan mengunggulinya. Tidak ada sejarah umat-umat lain yang membuat sebagian saja dari apa yang termuat dalam sejarah Islam berupa kemuliaan, keluhuran, ketulusan, jihad dan dakwah demi memperjuangkan prinsipprinsip dan nilai-nilai luhur.14 Dalam masyarakat Jahiliyah, Abu Bakar Ash-Shiddiq termasuk salah satu orang yang terkemuka, terhormat, terpandang dan terbaik. Ibnu Ishaq dalam As-Sirah menuturkan, bahwa mereka sangat menyukai Abu Bakar Ash-Shiddiq dan senang kepadanya. Mereka mengakui bahwa ia adalah 14
Ibid ., h. 11.
57
sosok yang memiliki keutamaan yang agung dan akhlak yang mulia. Mereka biasa datang kepadanya, meminta bantuan menyangkut apa yang menimpanya. Mereka merasa nyaman dan akrab dengannya karena pengetahuannya, perniagaannya dan sikapnya yang familiar dan bersahabat. Abu Bakar Ash-Shiddiq memiliki sebuah keistimewaan yang membuat dirinya disukai banyak orang Arab, yaitu ia tidak pernah mencela nasab siapapun dan tidak suka menyebutkan aib, cacat, kekurangan dan kejelekan orang lain. Abu Bakar Ash-Shiddiq termasuk salah satu ahli nasab dan pakar tentang berita-berita bangsa Arab. Dalam hal ini, ia memiliki catatan pengalaman dan kapabilitas yang cukup besar, hingga menjadikan dirinya master atau guru bagi banyak para pakar nasab seperti Uqail bin Abu Thalib dan yang lainnya.15 Abu bakar termasuk orang yang paling menjaga kesucian diri pada masa Jahiliyah, sampai-sampai ia mengharamkan minuman keras atas dirinya sendiri sebelum Islam.16 Ada orang bertanya kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, “Apakah anda menenggak minuman keras pada masa Jahiliyah?” Lalu Abu Bakar AshShiddiq menjawab, A‟udzu billah!” lalu dikatakan kepadanya, “Kenapa?” lalu ia berkata “Aku memelihara kehormatku dan menjaga martabat dan muru‟ahku. Karena orang yang minum khamar, maka ia adalah orang yang menyia-nyiakan dan mengabaikan kehormatan, martabat dan murua‟ahnya. Demikianlah, akhlaknya yang terpuji, akalnya yang cerdas dan cemerlang serta fitrahnya yang lurus, normal dan sehat menjadikan dirinya sosok yang anti terhadap setiap hal yang mengurangi muru‟ah dan mengurangi kehormatan dari perbuatan-perbuatan dan moral masyarakat Jahiliyah yang berlawanan dengan fitrah yang lurus dan sehat serta bertentangan dengan akal yang sehat dan kedewasaan. Karena itu, tidak aneh jika sosok yang
15
Ibid.,h. 36. Ibid.,h. 38.
16
58
akhlaknya seperti itu langsung bergabung dengan parade dakwah kebenaran dan langsung menempati posisi terdepan.17 Rafiq Al-Azhm memberikan catatan tentang potret kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq pada masa Jahiliyah seperti berikut, “Sungguh seseorang yang lahir dan tumbuh di tengah lingkungan paganisme yang dipenuhi berhala dan arca-arca dimana tidak ada agama yang menjadi pengekang dan pengontrol dan tidak pula syari‟at yang menjadi pembimbing, penuntun dan pemandu jiwa, namun ia tetap memiliki keutamaan seperti itu, tetap memiliki idealisme dan kekokohan dalam memegang teguh „iffah dan muru‟ah, maka sungguh sudah sepantasnya orang seperti itu menerima Islam dengan sepenuh hati, menjadi orang yang pertama beriman kepada sang petunjuk dan pembimbing para hamba, bergegas masuk Islam untuk membuat orang-orang yang sombong, angkuh dan inad (keras kepala) menjadi geram dan terhina, menjadi orang yang menyiapkan, membuka dan memuluskan jalan mendapat petunjuk dan panduan dengan agama Allah yang lurus yang mencerabut akar-akar perbuatan tercela dan hina dari jiwa orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan panduan dengan petunjuk dan tuntunan agama-Nya serta yang memegang teguh tali agama-Nya yang kokoh. Betapa mulianya Abu Bakar Ash-Shiddiq, karena ia adalah sosok yang memuat nilai-nilai yang luhur, akhlak terpuji, watak dan karakter yang mulia dalam masyarakat Quraisy sebelum Islam. Penduduk Makkah memberikan kesaksian dan testimoni keunggulannya atas yang lain dalam akhlak, nilai-nilai dan keteladanan. Tidak diketahui ada satu orang pun dari kaum Quraisy yang mencela Abu Bakar Ash-Shiddiq, menilai negatif dirinya, memiliki pandangan miring tentang dirinya, melecehkannya dan menghina dirinya, sebagaimana yang mereka perbuat terhadap orang-orang Mukmin yang lemah. Di mata mereka, Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak memiliki aib dan cacat kecuali keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. 17
Ibid.,h. 39.
59
Beliau dikenal dengan baik sebagai sosok yang ramah, halus, santun dan penuh kesopanan serta memiliki watak yang baik dan mulia. Demikian pula, Abu Bakar Ash-Shiddiq telah mengenal beliau dengan baik sebagai sosok yang jujur, amanah dan berakhlak mulia yang menjadikan beliau tidak pernah melakukan kebohongan terhadap manusia, apa lagi terhadap Allah. Abu Bakar Ash-Shiddiq sudah barang tentu memiliki perhatian besar terhadap keluarganya. Maka, Asma‟, Aisyah, Abdullah, Ummu Ruman dan pembantunya yang bernama Amir bin Fuhairah pun masuk Islam. Sifat-sifat terpuji, keutamaan-keutamaan yang agung dan akhlak yang mulia yang terjelma pada kepribadian Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi faktor efektif yang menjadikan orang-orang tertarik ketika diajak kepada Islam.18 Dengan demikian dapat penulis pahami bahwa Abu Bakar AshShiddiq sungguh merupakan salah satu imam dan pemimpin yang menggambarkan garis perjalanan hidup dan jejak langkah mereka kepada manusia serta menjadi teladan yang ucapan dan perbuatan mereka diikuti dan diteladani oleh manusia dalam kehidupan ini. Sirah dan sejarah perjalanan hidup Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan salah satu sumber dan referensi paling kuat dalam bidang keimanan, emosi dan semangat keislaman yang benar serta pemahaman yang benar dan lurus tentang Islam.
B.
Implementasi Nilai-nilai Pendidikan 1.
Ketegasan dalam Mendidik Mendidik anak, idealnya harus sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW
begitu pun teladan dari khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang telah mengajarkan kita tentang penerapan sikap tegas dalam menjalankan kedisiplinan. Dalam kegiatan pembelajaran, pendidik terkadang perlu menunjukkan kelembutan, namun sewaktu-waktu pula dibutuhkan ketegasan dalam
18
Ibid.,h. 40.
60
sikapnya. Dalam Al-Qur‟an surat An-Nahl: 125 Allah SWT berfirman yang artinya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.(QS. AnNahl: 125). Ketegasan sikap dan tindakan dalam mendidik anak sangat diperlukan karena berpengaruh besar terhadap sikap dan kebiasaan anak didik kelak. Tegas bukan berarti keras atau galak, tetapi mampu menyeimbangkan antara kasih sayang dan kedisiplinan bagi anak. Ketegasan berarti sikap dan tindakan yang menerapkan kedisiplinan, dengan menegakkan aturan yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan anak didik itu sendiri. Cara ini perlu digunakan untuk mendidik anak agar mengenal arti tanggung jawab dan disiplin sejak dini. Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah merupakan salah satu faktor dominan dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku siswa. Di sekolah seorang siswa berinteraksi dengan para guru yang mendidik dan mengajarnya. Sikap teladan, perbuatan dan perkataan para guru yang dilihat dan didengar serta dianggap baik oleh siswa dapat meresap masuk begitu dalam ke dalam hati sanubarinya dan dampaknya kadang-kadang melebihi pengaruh dari orang tuanya di rumah. Sikap dan perilaku yang ditampilkan guru tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari upaya pendisiplinan siswa di sekolah. Adapun usaha-usaha yang merupakan proses dalam meningkatkan kedisiplinan adalah sebagai berikut :
61
1. Kesadaran diri Sebagai pemahaman bahwa disiplin dipandangnya penting bagi kebaikan dan keberhasilan dirinya. Kesadaran diri akan menjadi motif yang kuat bagi terwujudnya kedisiplinan. 2. Loyalitas dan Ketaatan Loyalitas dan ketaatan merupakan langkah penerapan atas peraturanperaturan yang mengatur perilaku seseorang. Hal ini sebagai lanjutan diri adanya kesadaran diri. Tekanan dari luar dirinya sebagai usaha untuk mendorong dan menekan agar disiplin dilaksanakan pada diri seseorang, sehingga peraturan-peraturan yang ada dapat diikuti dan dipraktekkan. 3. Keteladan Perbuatan dan tindakan lebih besar pengaruhnya dibandingkan hanya sekedar dengan kata-kata. Oleh karena itu contoh dan teladan disiplin kepala sekolah dan para guru sangat berpengaruh terhadap kedisiplinan pada siswa. Mereka lebih mudah meniru dari apa yang mereka lihat, dibandingkan hanya sekedar mendengar. Lagi pula hidup banyak dipengaruhi oleh peniruan-peniruan terhadap apa yang dianggapnya baik dan patut ditiru. 4. Penegakkan Hukum Hukuman sebagai usaha untuk menyadarkan, mengoreksi dan meluruskan perilaku yang salah sehingga anak kembali pada perilaku yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. 5. Lingkungan yang Disiplin. Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang. Bila seorang anak berada pada lingkungan yang berisiplin, kemungkinan besar ia akan tumbuh menjadi anak yang disiplin. Mewujudkan lingkungan yang disiplin. Disiplin dapat juga dibentuk melalui proses latihan dan kebiasaan. Artinya, mempraktikkan disiplin secara berulang-ulang dan membiasakan dalam prilakunya sehari-hari.
62
Dengan latihan dan membiasakan diri, maka disiplin akan terbentuk pada diri siswa.19 Dari pengertian diatas dapat disimpulkan. Kedisiplinan guru dan tenaga kependidikan (pegawai) adalah sikap penuh kerelaan dalam mematuhi semua aturan dan norma yang ada dalam menjalankan tugasnya sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap pendidikan anak didiknya. Karena bagaimana pun seorang guru atau tenaga kependidikan (pegawai), merupakan cermin bagi anak didiknya dalam sikap atau teladan, dan sikap disiplin guru dan tenaga kependidikan (pegawai) akan memberikan warna terhadap hasil pendidikan yang jauh lebih baik. Dengan disiplin dimaksudkan sebagai upaya untuk mengatur perilaku anak dalam mencapai tujuan pendidikan, karena ada perilaku yang harus dicegah atau dilarang, dan sebaliknya, harus dilakukan. Pembentukan disiplin pada saat sekarang bukan sekedar menjadikan anak agar patuh dan taat pada aturan dan tata tertib tanpa alasan sehingga mau menerima begitu saja, melainkan sebagai usaha mendisiplinkan diri sendiri (self discipline). Artinya ia berperilaku baik, patuh dan taat pada aturan bukan karena paksaan dari orang lain atau guru melainkan karena kesadaran dari dirinya.
2.
Keberanian dalam Mendidik Pada umumnya pendidikan bertujuan untuk mewujudkan manusia
yang berbudi pekerti yang baik, cerdas, dewasa dalam berfikir, dewasa dalam bertindak serta mampu dalam memecahkan persoalan hidup dan kehidupan yang dijalaninya dengan kata lain pendidikan memberikan bekal kepada generasi agar dapat hidup mandiri tanpa membebani kepada orang lain di sekitarnya. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dalam pendidikan sangat dibutuhkan adanya sikap keberanian. Keberanian dalam pendidikan maksudnya adalah keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang 19
Tulus Tu‟u, Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Belajar, (Jakarta: Gramedia, Wiasarana Indonesia, 2004), h. 48.
63
baik dalam pendidikan. Dalam hal ini pendidikan mempunyai kewajiban untuk menumbuhkan rasa percaya diri kepada anak didik. Rasa percaya diri pada anak didik perlu ditanamkan dan dikembangkan sejak awal mengenal pendidikan, karena dengan memiliki rasa percaya diri anak didik berani untuk mengungkapkan dan mengutarakan pendapat mereka mengenai pendidikan yang diterimanya. Adapun upaya untuk melatih anak didik dalam keterampilan komunikasi di kelas seperti menyampaikan pesan atau tanggapan terhadap pesan guru dengan baik, melalui bahasa lisan atau tulisan. Untuk itu mereka harus dilatih dan guru harus memfasilitasinya. Hunt sebagaimana dikutip oleh Dede Rosyada menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut: 1. Siswa harus dilatih keterampilan membaca dalam konteks memahami pesan-pesan tertulis yang terdapat dalam bacaan. 2. Siswa dilatih untuk mau dan mampu berbicara dengan baik, mereka harus terus didorong untuk berbicara dan senantiasa memiliki sesuatu yang sangat penting untuk disampaikan kepada guru, sehingga dia terlatih untuk menyampaikan pendapat dan pandangannya dengan baik. 3. Guru harus menyediakan kesempatan bagi siswa untuk membiasakan menyampaikan pandangan, pendapat atau berbagai pertanyaan, baik dengan menggunakan bahasa tulis maupun lisan, sehingga mereka terus terlatih untuk menyusun bahasa lisannya. 4. Guru juga harus menata ruang kelas yang mendukung proses komunikasi kelas dengan baik, sehingga siswa terus terdorong untuk melakukan komunikasi verbal dengan gurunya. 5. Guru juga harus dengan sabar mendengarkan penyampaian mereka, atau mempelajari bahasa tulis mereka memberi feed back untuk perbaikan kedepan.20 Dengan demikian dapat penulis pahami bahwa dengan keterampilan guru dalam menciptakan iklim komunikatif diharapkan siswa dapat 20
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset). h.152.
64
berpartisipasi aktif untuk mengeluarkan pendapatnya, mengembangkan imajinasinya dan daya kreativitasnya. Adapun keberanian seorang guru yaitu ketia ia berani menghadapi tantangan baru dan bersedia menghadapi resiko kegagalan. Ia senantiasa penasaran untuk mencoba hal-hal baru. Dalam konteks pembelajaran, guru yang kreatif akan membuka diri pada bentuk dan model-model pembelajaran yang baru. Ia akan menganalisis apakah metode baru tersebut dapat membuat pembelajaran menjadi lebih efektif, jika tidak, ia akan mencari metode lain apa yang harus digunakan dengan kata lain ia berani melakukan eksperimen atau uji coba. Apakah itu uji coba model-model pembelajaran atau pun pola komunikasi dengan siswa. Intinya uji keberanian ini dibutuhkan untuk membuka hal-hal baru yang positif, guna meningkatkan kemampuan dan kapabilitas dirinya sebagai guru.21 Dengan demikian guru yang menerapkan nilai keberanian dalam sikap dan tindakannya yaitu guru yang berusaha menemukan cara-cara baru untuk menemukan potensi atau bakat siswanya. Guru yang tidak pernah puas dengan pembelajaran yang dilaksanakannya. yang bisa menciptakan sebuah pembelajaran yang dapat menarik perhatian siswa agar termotivasi belajar. Dia selalu melakukan refleksi diri melalui penelitian Tindakan Kelas (PTK) di kelasnya sendiri. Selalu saja ada ide-ide yang cemerlang membuatnya menemukan sistem pembelajaran dengan berbagai model. Bahkan, dia mampu membuat media pembelajarannya sendiri untuk membantu para peserta didiknya menerima materi pelajaran dengan baik. Keberhasilan seorang guru yang kreatif terletak pada pemahaman siswa setelah menerima materi pelajaran yang diberikan.
21
Rudiana, 9 Karakter Guru Menyenangkan Berbasis Ramah Otak, (Bandung: Smile‟s Indonesia Insitute, 2012), h. 134.
65
3.
Kedermawanan dalam Mendidik Sebagai seorang guru patut meneladani sikap kedermawanan Sang
Khalifah. Guru yang dermawan tidak akan menganggap tugasnya tersebut sebagai kewajiban semata yang harus dilaksanakan, melainkan sebuah ruang dimana ia bisa memberikan yang terbaik dari dirinya berdasarkan semangat pengabdian.22 Guru yang dermawan selalu mengajar dengan hati, penuh ketulusan dan kepedulian. Guru yang dermawan akan menjadi sosok yang jujur, sabar dan kerja keras dalam menerima benih lalu menumbuhkan sesuai potensinya sehingga menjadi bermanfaat bagi pihak lain.23 Guru yang mendalami dan menerapkan nilai kedermawanan, senantiasa bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah Swt. Visi dan misinya sangat jauh ke depan, tidak sebatas sampai akhir kehidupan dunia saja, tapi sampai kehidupan akhirat. Ia menyadari betul bahwa segala kreativitas dan pengabdiannya akan dibalas oleh Tuhan dengan yang setimpal. Oleh karena itu, prinsip kerja yang diembannya adalah mengerjakan sesuatu tanpa pamrih, semata-mata hanya mengharap ridha Tuhan. Kedermawanan guru dalam membimbing dan mengajar siswanya merupakan sumber kekuatan para siswa dalam mencapai potensi dan citacita mereka. Indikator kedermawanan atau ketulusan dalam memberi menurut Sukadi sebagaimana yang dikutip oleh Rudiana dalam bukunya yaitu: 1. Guru yang dermawan adalah guru yang bekerja dengan semangat tinggi. 2. Guru yang dermawan adalah guru yang mengayomi seluruh siswanya. 3. Guru yang dermawan adalah ia sabar dalam mengantarkan para siswa meraih cita-citanya.
22
Ibid., h. 112. Ibid., h. 108.
23
66
4. Guru yang dermawan adalah guru yang bekerja atas panggilan jiwa, bukan karena imbalan. Imbalan baginya merupakan hal yang wajar ia terima, bukan sumber motivasi utama. 5. Guru yang dermawan adalah ia tidak pernah mengharapkan pujian dari sesama. 6. Guru yang dermawan adalah guru yang bekerja dengan gembira (senang), dengan kata lain, ia menikmati pekerjaannya. 7. Guru yang dermawan adalah guru yang bahagia ketika siswanya menjadi orang sukses dan berhasil.24 Guru yang seperti ini, maka ia tidak akan mengeluh, meski ketika mengajar banyak persoalan yang ditemuinya. Segala sesuatunya terasa ringan. Ia menikmati pekerjaannya. Guru yang dermawan akan menemukan kenyataan bahwa siswanya merasa nyaman dengan kehadirannya. Rasa nyaman inilah yang nantinya membuat para siswa menikmati pembelajaran dikelas.25 Dari paparan diatas dapat penulis simpulkan bahwa, dalam konteks pendidikan karakter, salah satu hal yang penting adalah penguatan karakter kedermawanan sosial. Agar kemudian generasi yang dihasilkan dari proses pendidikan kita adalah generasi yang bukan hanya unggul dalam hal kompetensi, tapi juga sosok yang peduli serta dermawan. Guru yang dermawan ialah seseorang yang membawa perubahan positif dalam perilaku siswa tidak hanya dengan penyampaian pengetahuan, tetapi juga dengan keteladanan sikap yang ditunjukkan karena esensinya mengajar mencakup pelajaran tentang nilai-nilai hidup, tentang semangat, dan juga bagian dari pendidikan karakter. Dengan menampilkan sikap keteladanan (sikap dermawan) seorang guru, maka akan terpancar energi positif diantara pendidik dan anak didik yang mana ini akan membuat anak didik merasa nyaman dan suasana pembelajaran pun akan menjadi positif dan menyenangkan. 24
Ibid., h. 110. Ibid., h. 112.
25
67
4.
Keadilan dalam Mendidik Dalam pendidikan sikap keadilan sangat penting dimiliki oleh seorang
pendidik, karena pendidik merupakan salah satu pilar penegak keadilan. Maka, menjadi pendidik yang adil adalah sebuah keniscayaan. Agar dapat menjadi pendidik yang adil maka tiga hakikat keadilan sebagaimana yang tersebut sebelumnya harus diimplementasikan dalam proses pembelajaran dengan anak didik. 1. Perlakukan yang sama Pembelajaran harus mampu memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik secara adil dan merata (tidak diskriminatif), sehingga mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Keadilan dalam pembelajaran merupakan kewajiban guru dalam pembelajaran, dan hak peserta didik untuk memperoleh pembelajaran yang maksimal dari guru. Untuk menjadi guru yang adil maka langkah pertama adalah memberikan pembelajaran kepada seluruh siswa tanpa kecuali dengan kualitas yang sama.26 2. Adil dalam keseimbangan Proses pembelajaran bertujuan menghasilkan output yang sebaikbaiknya. Siapapun anak didik yang terlibat dalam proses pembelajaran diharapkan menjadi lulusan yang berkualitas. Dalam kontek inilah, adil dalam keseimbangan dapat diterapkan oleh guru yang ingin menjadi guru yang adil. Anak didik tidak mempunyai kecerdasan yang sama. Masingmasing dari mereka memiliki tingkat kecerdasan dan daya tangkap yang bervariasi.
Bahkan
diantara
mereka
ada
anak
yang tergolong
berkebutuhan khusus. Terhadap mereka, tentu guru harus memberikan “perlakuan khusus” kepada anak didik yang mempunyai daya tangkap dan kecerdasan rendah, siapapun yang ingin menjadi guru yang adil, maka
ia
harus
memberikan
perhatian
lebih
dan
memberikan
pembelajaran dengan intensitas dan kualitas yang lebih pula. Mereka 26
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 28.
68
harus diperlakukan “berbeda” dengan anak-anak yang berkecerdasan tinggi. Demikian juga terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan yang cukup dalam memberikan pembelajaran kepada mereka. 3. Adil dalam hak-hak individu Anak didik diciptakan Allah dengan segala keberbedaan antara satu dan yang lainnya. Mereka mempunyai potensi, bakat, minat dan kecenderungan yang berbeda. Tentu saja dalam kontek ini, hak-hak yang harus mereka dapatkan menjadi berbeda. Oleh karenanya, guru harus dapat memfasilitasi segala keberbedaan yang dimiliki anak didik. Dengan memberikan fasilitas yang memadai maka anak didik akan berkembang sesuai dengan potensi, bakat, minat dan kecenderungan mereka. Apabila dalam mengarahkannya tidak sesuai dengan potensi, bakat, minat dan kecenderungan anak didik, maka itu merupakan tindakan memaksakan kehendak dan tindakan ketidak adilan.27 Dapat penulis pahami bahwa guru harus selalu mengedepankan keadilan berbagi, artinya setiap siswa memiliki kesempatan atau peluang yang sama. Namun juga diharapkan guru tidak menyamaratakan pandangannya. Guru sadar bahwa setiap siswa adalah individu yang memiliki keunikan tertentu. Dalam kondisi tertentu siswa dalam menyelesaikan sebuah tugas memiliki cara tempuh yang bervariasi. Guru juga mampu memberikan pola keseimbangan diatas searah dengan karakter siswa yang ada. Guru yang adil harus mampu memberikan penghargaan yang pantas dan spontanitas atas kreasi yang dibuat oleh siswa.
5.
Kejujuran dalam Mendidik Sikap
kejujuran
seorang
Abu
Bakar
Ash-Shiddiq
dapat
diimplementasikan dalam pendidikan. Pendidik memberikan pengaruh yang kuat pada karakter siswanya. Karakter terpenting yang harus diberikan pada 27
http://www.pak-sodikin.com/menjadi-guru-yang-adil/. Diakses pada 10 Februari
2014.
69
siswa sebagai bekal kehidupannya kelak adalah kejujuran. Jujur adalah suatu karakter yang berarti berani menyatakan keyakinan pribadi, menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran tercermin dalam prilaku yang diikuti dengan hati yang lurus (ikhlas), berbicara sesuai dengan kenyataan, berbuat sesuai bukti dan kebenaran. Dengan demikian kejujuran merupakan salah satu unsur kekuatan spiritual, akhlak mulia, serta kepribadian. Kejujuran adalah investasi sosial yang harus dimiliki dan ditulari oleh guru untuk menimbulkan kepercayaan dari murid, orang tua dan masyarakat. Oleh karena itu, kejujuran harus menjadi senjata yang paling ampuh bagi guru dalam menjalankan tugas profesinya sehingga nilai-nilai kejujuran itu dapat ditanamkan dalam diri siswa atau peserta didik. Melihat uraian di atas, maka kemudian muncullah sebuah pertanyaan, sejauh mana peran guru dalam membangun tradisi kejujuran? Hal ini menjadi sangat urgens ketika seorang guru belum mampu menunjukkan pribadi yang jujur dalam kehidupan kesehariannya, maka akan sulit bagi guru menanamkan nilai-nilai kejujuran pada peserta didiknya. Karena segala aktifitas yang dilakukan guru terutama di sekolah, akan menjadi cerminan (contoh) bagi muridnya, jika kemudian guru tidak jujur baik ucapan maunpun tindakannya, maka jangan harap anak didiknya mempunyai sifatsifat kejujuran utamanya dalam proses belajar mengajar.28 Sesungguhnya peran guru dalam membangun tradisi kejujuran dilingkungan sekolah sangat penting dan luas. Di anggap sangat penting karena
guru
adalah
fasilitator
anak-anak
didiknya
dalam
proses
pembelajaran, saat proses itulah peran-peran guru menanamkan tradisi kejujuran kepada siswa-siswinya. Contoh sederhana peran guru dalam membangun tradisi kejujuran kepada murid-muridnya, yaitu berkomunikasi secara jujur merupakan keterampilan dialogis yang amat penting. Dengan keterampilan ini guru dapat menyatakan perasaannya mengenai perasaan siswa dengan cara yang demikian rupa sehingga siswa dapat menerima 28
http://cakslamet.blogspot.com/2012/02/peran-guru-dalam-membanguntradisi.html.Diakses pada tanggal 12 Februari 2014.
70
pesan tanpa ada rasa ketersinggungan. Untuk dapat mewujudkan keterampilan ini para guru harus mau memahami dan mampu menyatakan perasaan yang sesungguhnya pada siswa. Keterampilan kejujuran dapat membantu untuk berbagi perasaan terhadap apa yang dikatakan atau dilakukan siswa dan tetap menjaga hubungan baik. Respon yang diberikan oleh guru terhadap ungkapan siswa yang bersifat jujur adalah respon dengan cara yang ikhlas dan jujur secara emosional dan secara langsung menyatakan perasaan sendiri. Misalnya ketika pembelajaran sedang berlangsung, tiba-tiba ada seorang siswa yang memotong pembicaraan guru, maka respon guru yang terbaik adalah: “Betul ungkapanmu itu benar, akan tetapi sebaiknya kamu menunggu sampai Bapak selesai bicara supaya ungkapanmu dapat membantu pembicaraan kita.29 Contoh
lainnya
yaitu
ketika
ulangan,
seorang
guru
harus
menyampaikan secara jujur agar tidak menyontek, baik kepada temannya maupun pada buku catatan, pesan itu disampaikan dengan bahasa yang sederhana yang bisa ditangkap anak didiknya dan itu harus dilakukan secara berkelanjutan dan tidak pernah berhenti menyampaikan pesan-pesan moral. Sehingga pada akhirnya terwujudlah rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Kemudian keluasan guru dalam membangun budaya kejujuran dilingkungan akademiknya, dapat dilihat dengan tugas utama seorang guru yaitu; 1. Mendidik, dalam persfektif ini pentingnya guru mengembangkan keterpaduan kualitas manusia (anak didiknya) pada semua dimensinya yang merupakan manifestasi dari iman, ilmu, dan amal. 29
Mohamad Surya, Psikologi Guru Konsep dan Aplikasi, (Bandung: Alfabeta, 2013),
h. 340.
71
2. Mengajar, dimaknai sebagai suatu proses yang dilakukan guru dalam membimbing, membantu dan mengarahkan peserta didik untuk memiliki pengalaman belajar. Posisi ini sangat memungkinkan bagi guru untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti dengan terus melakukan pembinaan tingkah laku dan akhlak mulia sebagaimana penjabaran dari sifat shidiq (jujur), pembinaan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam sebagai perwujudan dari sifat fathonah (kecerdasan), pembinaan sikap mental yang mantap dan matang sebagai penjabaran dari sifat amanah dan kemudian pembinaan keterampilan kepemimpinan yang visioner dan bijaksana sebagai bentuk penjabaran dari tabligh. 3. Melatih, dalam konteks ini seorang guru mempunyai tanggungjawab yang luas melatih ketrampilan dan kecakapan kepada peserta didiknya, yang diwujudkan dengan bentuk konkrit dalam proses kehidupan seharihari, misalnya melatih kedisiplinan, kejujuran, baik perkataan maupun perbuatan kepada peserta didiknya, dan tentunya adalah keteladanan (contoh) yang ditunjukkan oleh sikap disiplin dan kejujuran, artinya sikap dari dirinya sendiri (guru), utamanya disiplin dalam mengajar, kejujuran dalam perkataan, perbuatan dan tindakan. 4. Menilai dan mengevaluasi. Dalam menilai dan mengevaluasi setiap anak didik seorang guru harus mengedepankan nilai obyektifitas dan kejujuran, karena ini menyangkut masa depan anak didiknya. Jika guru sudah tidak obyektif dan jujur dalam penilaian dan pengevaluasiaan, maka sesungguhnya guru sudah membunuh karakter anak bangsa dan merusak tatanan pendidikan. Kemudian keluasan berikutnya adalah peran guru dalam membangun tradisi kejujuran dengan teman profesi, harus diakui secara jujur tidak semua guru peduli terhadap nilai-nilai kejujuran, sehingga sangat penting memberikan wawasan akan pentingnya kejujuran dalam kehidupan seharihari, baik jujur dalam perkataan, perbuatan maupun tindakan. Sungguh sangat ironis jika anak didiknya diajarkan kejujuran, sementara gurunya sendiri tidak memberikan teladan yang baik, bahkan merusak tradisi yang
72
sudah mengakar kepada peserta didikanya. Anak didik akan semakin baik, cerdas, berkarakter, guru semakin termotivasi untuk mengajar dengan disiplin, lembaga akan terhormat dan bermartabat secara akademik diakui eksistensinya, kalau dalam lembaga tersebut secara intern menanamkan budaya kejujuran dalam semua aspek, jadi tidak perlu ada kekhawatiran anak didik pada endingnya tidak berhasil dalam menempuh ujian akhir.30 Dengan demikian dapat penulis pahami bahwa seorang guru harus transparan dan jujur. Karakter ini sangat penting, mengingat beberapa alasan pertama, kejujuran akan memudahkan guru dan siswanya berinteraksi sedekat mungkin, kedua, kejujuran memungkinkan guru untuk memberi umpan balik yang belum tergali. Dalam pembelajaran membutuhkan contoh secara langsung bagi anak atau siswa, dan apabila di sekolah contoh tersebut adalah para guru pembimbing. Tidak mungkin anak akan jujur apabila dalam diri para pengajar terdapat sifat ketidak jujuran yang nantinya baik langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh pada anak didik. Dapat dipahami kejujuran itu tidak hanya bagi guru saja yang notabennya berperan langsung dengan siswa tapi juga semua unsur aktivitas akademik mulai dari kepala sekolah yang merupakan leader dari segala keputusan dan kebijakan sampai pada cleaning service. Dan dapat dikatakan bahwa kejujuran itu meliputi atau menyelimuti semua sistem yang ada.
6.
Kewibawaan dalam Mendidik Salah satu aspek keefektifan kinerja seorang guru adalah unsur
kewibawaan dan profesional. Kewibawaan merupakan syarat bagi terjadinya interaksi antara pendidik dengan peserta didik yang bersifat pedagogis dalam proses pendidikan. Kewibawaan sangat diperlukan dalam berbagai bentuk interaksi seseorang yang mengandung aspek saling mempengaruhi dalam kehidupan keluarga, kepemimpinan, pendidikan, manajemen, jasa 30
http://cakslamet.blogspot.com/2012/02/peran-guru-dalam-membanguntradisi.html.Diakses pada tanggal 12 Februari 2014.
73
dan organisasi. Dalam hubungan ini para guru memerlukan kewibawaan dalam intereaksi dengan siswa yang menjadi peserta didiknya untuk melaksanakan fungsi profesinya secara efektif. Para pendidik memerlukan kewibawaan dalam interaksi dengan peserta didik dalam melaksanakan fungsi-fungsi kependidikannnya. Banyak faktor yang mempengaruhi kewibawaan seorang. Secara umum ada empat unsur yang ikut menentukan kewibawaan seseorang antara lain: 1. Memiliki keungggulan. Dalam dunia akademik kewibawaan akan banyak ditentukan oleh keunggulan
penguasaan
akademik.
Seorang
guru
akan
diakui
kewibawaannya karena penguasaan ilmu pengetahuan yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam tugas keguruan, diperlukan keunggulan dalam berbagai aspek yang berkaitan dengan tugas-tugas seorang guru. Dengan kata lain, keunggulan atau kelebihan dalam bidang keguruan akan menentukan kualitas kewibawaan seorang guru. Menurut undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, kewibawaan ditentukan oleh kualitas kompetensinya yang meliputi kompetensi pribadi, sosial, pedagogik dan profesional. 2. Memiliki rasa percaya diri. Rasa percaya diri banyak mempengaruhi penampilan diri seseorang. Dengan kepercayaan diri yang kuat seseorang akan tampil lebih meyakinkan dan berwibawa sehingga dapat mempengaruhi orang lain. 3. Ketepatan dalam pengambilan keputusan. Bentuk dan mutu keputusan yang diambil oleh seseorang akan banyak menentukan kewibawaan. Makin tepat seseorang mengambil keputusan terutama dalam situasi yang kritis, maka ia akan dapat pengakuan kewibawaannya. 4. Tanggungjawab atas keputusan yang telah diambilnya. Setiap keputusan yang telah diambil seseorang akan menimbulkan berbagai konskuensi baik yang bersifat positif maupun negatif. Pengambil
74
keputusan seyogianya akan bertanggung jawab keputusan yang telah dibuatnya. Menghindari tanggung jawab terhadap keputusan yang telah diambil, akan mengurangi kewibawaan seseorang, dan sebaliknya, keberanian menghadapi berbagai tanggung jawab atas keputusan yang telah diambilnya dan dapat meningkatkan kewibawaan. Seperti yang dikemukakan diatas dapat penulis pahami bahwa kewibawaan seorang guru erat sekali kaitannya dengan kepribadian secara keseluruhan,
karena
kualitas
kepribadian
banyak
ditentukan
oleh
kewibawaan yang ditampilkannya. Kewibawaan ini sangat diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan (dalam keluarga, masyarakat, organisasi dan lain sebagainya), agar dapat mewujudkan dirinya secara tepat sesuai dengan tugas dan peranannya. Penampilan kewibawaan ini sangat terkait dengan peran-peran dimana dan kapan guru itu berada, seperti dalam menerima siswa, berhadapan dengan orang tua, pergaulan dengan rekan guru, berhadapan dengan atasan dan mengerjakan tugas, dan lain sebagainya.
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Dari uraian diatas, penulis mengambil beberapa kesimpulan yang perlu diungkapkan. Diantara kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan di sini adalah: 1.
Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah seorang pemimpin sekaligus pendidik umat. Sebagai seorang pemimpin Abu Bakar memiliki karakter kepemimpinan yang dibutuhkan untuk seorang pemimpin, antara lain: ketegasan, keberanian, kedermawanan, keadilan, kejujuran
dan
kewibawaan. 2.
Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang harus diteladani di antaranya: a. Ketegasan Abu Bakar dikenal bersifat tegas dalam mengambil keputusan untuk memerangi kaum pemberontak dan pembangkang (orang-orang murtad, nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat). b. Keberanian Diantara sikap kepahlawanan yang dianggap sebagai kebanggaan yang disematkan dalam diri Abu Bakar adalah keberanian, yaitu ketika menghadapi setiap orang yang menghalanginya di jalan dakwah. Abu
75
76
Bakar tidak mengenal rasa takut dan gentar serta mempunyai ketabahan dan kemauan yang keras. c. Kedermawanan Di antara sahabat Nabi Muhammad Abu Bakar adalah yang paling dermawan yang paling banyak memberikan sumbangan untuk perjuangan di jalan Allah. Hartanya sangat banyak dan semuanya di infaqkan untuk kepentingan dakwah. d. Keadilan Abu Bakar adalah sosok yang menjadi contoh dan teladan dalam keadilannya yang begitu menawan hati, memukau akal pikiran. Keadilan dalam pandangan Abu Bakar adalah sebuah dakwah praktis yang bisa menjadi media yang efektif untuk membuka hati manusia untuk beriman. e. Kejujuran “Kejujuran adalah amanah dan kebohongan adalah khianat.” Pidato Abu Bakar tersebut merupakan cermin sifat kejujuran dan sikap amanah Abu Bakar dalam menegakkan nilai-nilai kejujuran dalam segala hal. Abu Bakar diberi gelar "ash-Shiddiq" karena menjadi orang yang selalu jujur dan membenarkan segala yang datangnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. f. Kewibawaan. Sosok Abu Bakar Ash-Shiddiq telah menjadi pemimpin yang berwibawa. Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak memiliki aib dan cacat kecuali keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Abu Bakar AshShiddiq termasuk salah satu orang yang terkemuka, terhormat, terpandang dan terbaik. Sehingga banyak orang sangat menyukai dan senang kepadanya. Adapun Implementasi nilai-nilai tersebut dalam pendidikan Islam sebagai berikut: 1. Ketegasan Abu Bakar berimplementasi terhadap pendidikan. Ketegasan sikap dan tindakan dalam mendidik anak sangat
77
diperlukan karena berpengaruh besar terhadap sikap dan kebiasaan anak didik kelak. Ketegasan berarti sikap dan tindakan yang menerapkan kedisiplinan, dengan menegakkan aturan yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan anak didik itu sendiri. Cara ini perlu digunakan untuk mendidik anak agar mengenal arti tanggungjawab dan disiplin sejak dini. 2. Sikap keberanian Abu Bakar Ash-Shiddiq dapat diimplementasikan dalam pendidikan. Keberanian seorang guru yaitu ketika ia berani menghadapi tantangan baru dan bersedia menghadapi resiko kegagalan. Ia senantiasa penasaran untuk mencoba hal-hal baru. Dalam konteks pembelajaran, guru yang kreatif akan membuka diri pada bentuk dan model-model pembelajaran yang baru. 3. Menjadi seorang guru yang dermawan tidak akan menganggap tugasnya
tersebut
sebagai
kewajiban
semata
yang
harus
dilaksanakan, melainkan sebuah ruang dimana ia bisa memberikan yang terbaik dari dirinya berdasarkan semangat pengabdian. 4. Pembelajaran harus mampu memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik secara adil dan merata (tidak diskriminatif), sehingga mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Keadilan dalam
pembelajaran
pembelajaran,
dan
merupakan hak
peserta
kewajiban didik
untuk
guru
dalam
memperoleh
pembelajaran yang maksimal dari guru. 5. Pendidik memberikan pengaruh yang kuat pada karakter siswanya. Karakter terpenting yang harus diberikan pada siswa sebagai bekal kehidupannya kelak adalah kejujuran. Kejujuran adalah investasi sosial yang harus dimiliki dan ditulari oleh guru untuk menimbulkan kepercayaan dari murid, orang tua dan masyarakat. Oleh karenaitu, kejujuran harus menjadi senjata yang paling ampuh bagi guru dalam menjalankan tugas profesinya sehingga nilai-nilai kejujuran itu dapat ditanamkan dalam diri siswa atau peserta didik.
78
6. Abu Bakar Ash-Shiddiq telah menjadikan suritauladan bagi seorang pendidik. Bahwa salah satu aspek keefektifan kinerja seorang guru adalah unsur kewibawaan dan profesional. Adapun faktor yang mempengaruhi kewibawaan seorang pendidik yaitu keunggulan penguasaan akademik, Memiliki rasa percayadiri, Ketepatan dalam pengambilan keputusan dan Tanggung jawab atas keputusan yang telah diambilnya.
B.
Saran Dari kesimpulan diatas, penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat menjadi salah satu upaya konstruktif dalam menerapkan nilai-nilai pendidikan Islam. 1.
Hendaklah nilai-nilai pendidikan dalam kepemimpinan Abu Bakar AshShiddiq dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun dalam pergaulan dirumah serta lingkungan masyarakat.
2.
Hendaknya para pendidik di sekolah menganjurkan para peserta didiknya untuk melengkapi bacaan-bacaan mereka yang positif dan bernuansa Islami dalam hal ini mengenai kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Akhirnya penulis mengucapkan Alhamdulillah atas selesainya
penulisan skripsi ini, karena hanya dengan pertolongan Allah dan petunjukNya serta motivasi dari semua kalangan akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Hanya kepada Allah SWT penulis berdoa dan memohon pertolonganNya, semoga penulis senantiasa ditunjuki ke jalan yang benar dan lurus serta mendapat RidhoNya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Abu, Argumen Alusunnah waljama’ah, (Jakarta: Pustakata ’awun, Cet. II, 2011. Anoraga, Pandji, Psikologi Kepemimpinan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. III, 2001. Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers, Cet. I, 2002. Arifin M., Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IV, 2009. Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. V, 2010. Ash-Shalabi, Ali Muhammad, Biografi Abu Bakar As-shiddiq, Jakarta: Pustaka Al-kausar, 2013. Fuad, Mohd Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Haikal, Husain Muhammad, Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Solo: CV. Pustaka Mantiq, Cet. I, 1994. Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006. Katsir, Al-Hafizh Ibnu, Perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul yang Agung, Jakarta: Darul Haq, Cet. VIII, 2011. Al-Khathib, Muhammad Ajjaj, Pokok-pokok Ilmu Hadis, Terj. Dari Ushul Hadis oleh Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. III, 1998. Ilaihi, Wahyu, Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. I, 2007. Jalaludin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. II, 2002. Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
79
80
Khalid, Muh. Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, Bandung: Diponegoro, 1985. Mujib, Abdul et.al., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. II, 2008. Mursi, Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, Cet. III, 2007. Mulyasa, E, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2011. Murad, Musthafa, Kisah Hidup Abu Bakar Al-Shiddiq, Jakarta: zaman Mursi, 2009. Nashori, Fuad, Psikologi Kepemimpinan, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2009. Nata, Abuddin, Studi Islam Komperhensif, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. I, 2011. , Filsafat Pendidikan Islam , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. , Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana, Cet. I, 2003. , Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. I, 2005. Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Cahaya Media Pratama, Cet. I, 2001. Al-Quraibi, Ibrahim, Tarikh Khulafa’, Jakarta: Qhisti Press, Cet. I, 2009. Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta: Fajar Interpratama Offset. Rudiana, 9 Karakter Guru Menyenangkan Berbasis Ramah Otak, Bandung: Smile’s Indonesia Insitute, 2012. Saefuddin, Didin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I, 2007. Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, Jakarta: PT. Bumi Aksara, Cet. II, 2008. Shofan, Moh., Pendidikan Berparadigma Profetik, Jogjakarta: IRCiSoD, Cet. I, 2004.
81
Suparta, Mundzir, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat, Jakarta: Asta Buana Sejahtera, Cet. I, 2009. Surya, Mohamad, Psikologi Guru Konsep dan Aplikasi, Bandung: Alfabeta, 2013. Syalabi., A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Khusna, 1983. Tuanaya, Husein, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Kelas 3A, Jawa Timur: Wahana dinamika karya, 2004. Tu’u, Tulus, Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Belajar, Jakarta: Gramedia, Wiasarana Indonesia, 2004. Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1991. , Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. III, 2005. Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. , Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. Yasin, A. Fatah, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, Yogyakarta: UIN Malang Press, 2008. http://www.pak-sodikin.com/menjadi-guru-yang-adil/. http://www.lampuislam.blogspot.com/2013/08/besarnya-cinta-abu-bakar-ashshiddiq-ra.html. http://www.tuanguru.com/2011/11/ijtihad-dalam-pendidikan.html http://marwajunia.blogspot.com/2012/02/ijtihad-dan-contoh-pemikiran-imamempat.html
UJI REFERENSI
No 1
2
Pengarang
Judul Buku
Halaman
Halaman
Skripsi
Referensi
1
28
Kartini
Pemimpin dan
Kartono
Kepemimpinan
Pandji
Psikologi Kepemimpinan
1
2
Anoraga 3
Fuad Nashori
Psikologi Kepemimpinan
2
3-5
4
Badri Yatim
Sejarah Peradaban Islam
3
35
5
Didin Saefuddin
Sejarah Peradaban Islam
3
33
6
Mohd
Perkembangan
4
77
Fachruddin
Kebudayaan Islam
4
31
5
8
8
11-689
10
5
10
33
Fuad 7
8
Musthafa
Kisah Hidup Abu Bakar
Murad
Al-Shiddiq
Syaikh
Tokoh-tokoh Besar Islam
Muhammad
Sepanjang Sejarah
Sa’id Mursi
9
Ali
Biografi Abu Bakar As-
Muhammad
shiddiq
Ash-Shalabi 10
Al- Hafizh
Perjalanan Hidup Empat
Ibnu Katsir
Khalifah Rasul yang Agung
11
Husain
Khalifah Rasulullah Abu
Muhammad
Bakar Ash-Shiddiq
Haikal
12
Tarikh Khulafa’
11
110
مكتبةغريب.أواللخلفاء
22
60
Khalid, Muh.
Mengenal Pola
23
25
Khalid.
Kepemimpinan Umat dari
24
84
29
15
31
29-31
Ibrahim alQuraibi
13
عبدالرحمنالشرقاو ى
14
Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah 15
Wahyu Ilaihi
Pengantar Sejarah Dakwah
16
17
Husein
Sejarah Kebudayaan
Tuanaya,dkk
Islam Kelas 3A
Sjarkawi
Pembentukan Kepribadian Anak ; Peran Moral Intelektual, Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri
18
Abuddin Nata
Manajemen Pendidikan
31
9
19
Abuddin Nata
Filsafat Pendidikan Islam
32
4
20
Nur Uhbiyati
Ilmu Pendidikan Islam
32
18
21
A. Fatah Yasin
Dimensi-dimensi
32
110
32
93
33
8
Pendidikan Islam 22
Samsul Nizar
Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam
23
M. Arifin
Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan pendekatan Interdisipliner
24
Muzayyin
Filsafat Pendidikan Islam
33
15
Mundzir
Perubahan Orientasi
33
284
Suparta
Pondok Pesantren
Ilmu Pendidikan Islam
35
32
Arifin 25
Salafiyah Terhadap Perilaku Keagamaan Masyarakat
27
Abdul Mujib, et.al
28
Abudin Nata
Studi Islam Komperhensif
35
28
29
Muhammad
Pokok-pokok Ilmu Hadis
37
2
Ajjaj alKhathib 30
Nur Uhbiyati
Ilmu Pendidikan Islam
38
21
31
Abu Abdillah
Argumen Alusunnah wal
38
1
jama’ah 32
Abuddin Nata
Filsafat Pendidikan Islam
41
45
33
Jalaludin
Teologi Pendidikan
41
92
34
Armai Arief
Pengantar Ilmu dan
42
23
Metodologi Pendidikan Islam 35
Badri Yatim
Sejarah Peradaban Islam
44
3
36
A. Syalabi
Sejarah dan Kebudayaan
45
226
62
48
63
152
Islam 37
Tulus Tu’u
Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Belajar
38
Dede Rosyada
Paradigma Pendidikan Demokratis
39
Rudiana
9 Karakter Guru
64
112-134
Menyenangkan Berbasis Ramah Otak 40
E. Mulyasa
Menjadi Guru Profesional
67
28
41
Mohamad
Psikologi Guru Konsep
70
340
Surya
dan Aplikasi
Dosen Pembimbing
Drs. H. Ghufron Ihsan, MA. NIP. 195305091981031006