ABSTRAK
“Nilai-nilai Pendidikan Islam Yang Terkandung Dalam Ibadah Zakat” Zakat adalah salah satu rukun Islam yang merupakan ibadah kepada Allah dan sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan dalam wujud mengkhususkan sejumlah harta atau nilainya dari milik perorangan atau badan hukum untuk diberikan kepada yang berhak dengan syarat-syarat tertentu, untuk mensucikan dan mempertumbuhkan harta serta jiwa pribadi para wajib zakat, meningkatkan pembangunan. Dalam zakat ini terkandung nilai-nilai pendidikan didalamnya yaitu berupa pendidikan rohani, pendidikan jasmani serta pendidikan sosial. Pada pendidikan rohani zakat meliputi manifestasi
syukur atas nikmat allah, pensucian jiwa,
pengendalian diri, membina muslim yang bertakwa, pendidikan jasmani berupa yang berhubungan dengan kesehatan mental dan pada pendidikan sosial berupa zakat dan tanggung jawab sosial, mendidik berinfak dan memberi, mewujudkan rasa solidaritas dan kasih sayang antara sesama manusia, dan mewujudkan keadilan sosial. Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam ibadah zakat, tanpa disadari dengan zakat juga dapat mempersatujkan jurang pemisah antara kelompok kaya dengan golongan miskin sehingga tercipta kerukunan antar keduanya yang menciptakan masyarakat yang adil, tentram dan aman.
i
KATA PENGANTAR
G¡+Ýo 2Ù{´ ¯2lµo Al-hamdulillah, segala puji bagi Allah SWT penulis panjatkan sebagai ungkapan
rasa syukur atas segala limpahan nikmat, rahmat dn hidayah-Nya
kepada penulis, sehingga dengan kudrat dan iradat-Nya penulis dapay menyelesaikan karya karya ilmiah atau skripsi yang sederhana ini dengan baik sebagai prasyrat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan Islam. Skripsi ini berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Islam yang terkandung dalam ibadah zakat. Sholawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada teladan umat manusia pilihan, Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia untuk mengikuti petunjuk dan risalah yang dibawanya yakni menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat yang hakiki. Menyadari bahwa dalam menghantarkan penyelesaikan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dukungan serta bantuan baik moril maupun materil kepada penulis, sudah menjadi kepatutan sebagai ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya, penulis sampaikan kepada semua pihak atau orang-orang yang berjasa yaitu kepada : 1. Drs. Dede Rosyada, MA, Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. 2. Drs. Abdul Fatah Wibisono, MA, Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Drs. Safiuddin Shiddiq, M.Ag Sebagai Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Drs. Safiuddin Shiddiq, M.Ag dan Drs. Rusdy, sebagai pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran, saran dan kritik untuk membimbing penulis hingga terselesainya tugas penulisan skripsi ini. 4. Bapak dan Ibu dosen serta civitas akademika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
ii
wacana keilmuan selama penulis melakukan studi, hingga diselesaikannya penulisan skripsi ini. 5. Ibunda Suciyani dan Ayahanda Hajiran serta kakak dan adik tercinta: Yusuf dan Hamidah dan keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta doa restuntya kepada penulis. 6. Pimpinan beserta staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis menyediakan berbagai literatur yang snagat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini. 7. Rekan-rekan kuliah angkatan 2005 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam, khususnya kelas B. 8. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah berjasa membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir, penulis berdoa semoga Allah SWT membalas jasa dan amal baik mereka. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. Amin
Jakarta,
Desember 2009
Penulis
iii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................
i
KATA PENGANTAR..............................................................................
ii
DAFTAR ISI.............................................................................................
iv
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..................................................
1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .........
3
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ......................
4
D. Metodologi Penelitian .....................................................
5
1. Sumber Data..............................................................
5
2. Pengelolaan Data.......................................................
5
3. Analisa Data ..............................................................
5
4. Variabel Penelitian ....................................................
6
5. Teknik Pengumpulan Data........................................
6
PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Pendidikan Agama Islam ..............................
7
B. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam ............................
10
1. Dasar Yuridis ............................................................
10
2. Dasar Religius ...........................................................
13
3. Dasar Sosial Psikologi ..............................................
17
C. Tujuan Pendidikan Agama Islam ....................................
18
IBADAH ZAKAT A. Pengertian dan Sejarah Zakat Mal ..................................
21
B. Dasar Legalitas Zakat Mal ..............................................
29
C. Macam-macam Zakat Mal ..............................................
38
D. Mustahiq Zakat................................................................
59
E. Tujuann dan Hikmah Zakat.............................................
62
iv
BAB IV
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM IBADAH ZAKAT
BAB V
A. Pendidikan Rohani ..........................................................
66
B. Pendidikan Jasmani.........................................................
75
C. Pendidikan Sosial ............................................................
78
PENUTUP A. Kesimpulan .....................................................................
89
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
91
v
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM IBADAH ZAKAT
Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syrat Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Pendidikan Islam Pada Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Oleh Nur Alfiah NIM. 205011000309
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
vi
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI Skripsi berjudul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM IBADAH ZAKAT” disusun oleh Nur Alfiah dengan nomor induk mahasiswa 205011000309 Jurusan Pendidikan Agama Islam. Telah melalui bimbinga dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan Fakultas.
Jakarta,
Desember 2009
Yang Mengesahkan
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Safiuddin Siddiq, MA NIP. 150 299 477
Drs. Rusydi Jamil NIP. 196212311995031005
vii
LEMBAR PERNYATAAN
Bismillahirrahmanirrahim
Saya yang tertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Nur Alfiah
NIM
: 205011000309
Program Studi : Pendidikan Agama Islam Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Fakultas
: Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Dengan ini menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain,maka saya bersedia menerima sanksi berdasarkan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
Desember 2009 Penulis
Nur Alfiah
viii
ABSTRAK
Nama
:Ahmad Saiful (205011000267)
Fak/Jur
:FITK/PAI
Judul Skripsi :”Aspek-Aspek Pendidikan Islam dalam al-Qur’an (Kajian Tafsir Surat al-Hujurat ayat 11-13)” Sebagai kitab suci yang terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. AlQur’an berisi petunjuk bagi manusia yang ajaran-ajarannya di sampaikan secara variatif dan dikemas sedemikian rupa. Ada yang berupa perintah, larangan, dan nasihat, yang mengandung hikmah dan memuat pesan-pesan yang dapat mengantarkan manusia menuju keimanan kepada Allah SWT. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek pendidikan Islam apa saja yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 11-13. Surat al-Hujurat ayat 11-13 membahas tentang menciptakan suasana yang harmonis antara lingkungan masyarakat serta menghindari terjadinya permusuhan. Sehingga akan tercipta pribadi yang santun sesuai dengan tuntunan al-Qur’an. Untuk memperoleh data yang refresentatif dalam pembahasan skripsi ini, digunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca dan menganalisa buku-buku yang ada relevansinya dengan masalah penelitian. Kemudian diolah sesuai dengan kemampuan penulis. Adapun jenis penelitian dan penulisan skripsi ini adalah kualitatif. Dalam menganalisis data yang telah terkumpul, penulis menggunakan metode content analysis (analisis isi), yaitu, dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan serta menjelaskan makna lafaz yang terdapat di dalamnya, menjelaskan munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungannya. Aspek-aspek pendidikan yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat11-13 meliputi: aspek pendidikan akhlak, antara lain larangan merendahkan orang lain, larangan berburuk sangka, larangan menggunjing, aspek pendidikan taubat dan pendidikan takwa. Adapun aplikasinya dalam pendidikan Islam: larangan merendahkan orang lain dapat dilakukan dengan metode ceramah, kisah, mauidzah, dan keteladanan. Larangan berburuk sangka dapat dilakukan dengan metode keteladanan, nasihat, dan pembiasaan. Larangan menggunjing dapat dilakukan dengan metode keteladanan, nasihat, kisah, dan tarhib. Pendidikan taubat dapat dilakukan dengan pembiasaan dan pemberian nasihat. Pendidikan takwa dapat dilakukan dengan metode ceramah, nasihat, keteladanan, dan metode kisah.
i
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH “Pendidikan merupakan upaya manusia yang diarahkan kepada manusia lain dengan harapan agar mereka ini, berkat pendidikan (pengajaran) itu kelak menjadi manusia yang saleh, yang berbuat sebagaimana yang seharusnya diperbuat dan menjauhi apa yang tidak patut dilakukannya”. 1 Manusia yang baru lahir dari perut ibunya masih sangat lemah, tidak berdaya dan tidak mengetahui apa-apa. Untuk menjadi hamba Allah yang selalu menyembah-Nya dengan tulus dan menjadi khalifah-Nya di muka bumi, anak tersebut membutuhkan perawatan, bimbingan dan pengembangan segenap potensinya kepada tujuan yang benar. Ia harus dikembangkan segala
1
Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, (Bandung: CV. Diponegoro, 1998), Cet. I, h. 11.
1
2
potensinya ke arah yang positif melaui suatu upaya yang disebut sebagai alTarbiyah, al-Ta’dib, al-Ta’lim, atau yang kita kenal dengan “pendidikan”. 2 “Manusia sebagai makhluk paedagogik membawa potensi dapat dididik dan dapat mendidik. Dengan potensi tersebut manusia mampu menjadi khalifah di bumi, pendukung dan pengembang kebudayaan. Ia dilengkapi dengan fitrah Allah berupa keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia”. 3 Dalam al-Qur’an memuat begitu banyak aspek kehidupan manusia. Tidak ada rujukan yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan alQur’an yang hikmahnya meliputi seluruh alam dan isinya, baik yang tersurat maupun yang tersirat tidak akan pernah habis untuk digali dan dipelajari. Ketentuan-ketentuan hukum yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan alSunnah berlaku secara universal untuk semua waktu,tempat dan tidak bisa berubah karena memang tidak ada yang mampu merubahnya. Al-Qur’an sebagai ajaran suci umat Islam, didalamnya berisi petunjuk menuju arah kehidupan yang lebih baik, tinggal bagaimana manusia memanfaatkannya. Meninggalkan nilai-nilai yang ada didalamnya berarti menanti datangnya masa kehancuran. Sebaiknya kembali kepada al-Qur’an berarti mendambakan ketenangan lahir dan batin, karena ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an berisi kedamaian. Ketika umat Islam menjauhi al-Qur’an atau sekedar menjadikan al-Qur’an hanya sebagai bacaan keagamaan ,maka sudah pasti alQur’an akan kehilangan relevansinya terhadap realitas-realitas alam semesta. Kenyataannya orang-orang di luar Islam lah yang giat mengkaji realitas alam semesta sehingga mereka dengan
2
Syahidin, Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta: CV. Misaka Galiza, 1999), Cet. I, h. 1. 3
Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan, 1999), Cet. III, h. 1.
3
mudah dapat mengungguli bangsa-bangsa lain, padahal umat Islam lah yang seharusnya memegang semangat al-Qur’an. 4 Namun nampaknya melihat fenomena yang terjadi kehidupan umat manusia pada zaman sekarang ini sudah jauh dari nilai-nilai al-Qur’an. Akibatnya bentuk penyimpangan terhadap nilai tersebut mudah ditemukan di lapisan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa yang terjadi, yang menunjukkan penyimpangan terhadap nilai yang terdapat didalamnya. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap pemahaman al-Qur’an, akan semakin memperparah kondisi masyarakat berupa dekadensi moral. Oleh karena itu, untuk memurnikan kembali kondisi yang sudah tidak relevan dengan ajaran Islam, satu-satunya upaya yang dapat dilakukan adalah dengan kembali kepada ajaran yang terdapat didalamnya. Selama ini, para orang tua dan pemikir pendidikan amat perihatin dengan perkembangan pendidikan. Siapakah yang salah jika ada peserta didik berbuat tidak terpuji? Berbagai tindakan kekerasan, kriminal, prostitusi sampai korupsi sudah sampai pada tingkat kebobrokan mental, siapakah yang salah? Dan berbagai kasus tersebut para ahli dan pemikir pendidikan mengkajinya terus menerus. Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa hal itu disebabkan pendidikan Islam (akhlak) tidak diberikan kepada peserta didik. Pendapat itu ada benarnya juga karena sesuai dengan hadis Nabi SAW:
َ اِﻧﻤَﺎ ﺑُﻌِﺛْﺖ ﻷُِﺘﻤﻢَ ﻤَﻜﺎﺮﻢ:ﺳﻠَﻢ َﻗﺎﻞ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟّٰﻠ ُﻪ َ ﻋﻦ اﺑﻲهﺮﻳﺮة ﻋﻦاﻠﻧﺑﻲ 5
4
﴾ اﻻَﺧْﻼﻖ ِ ﴿ﺮﻮاﻩ اﺣﻣد
Muhammad al-Ghazali, Berdialog Dengan Al-Qur’an, (Bandung : Mizan. 1999), Cet.
IV, h. 21. Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Beirut: Dar alFikr, 1991), Jilid II, h. 381. 5
4
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, Ia bersabda: ”Sesungguhnya aku diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak”. (HR.Ahmad) Seperti yang dikemukakan oleh Quraish Shihab: “manusia yang dibina adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya menghasilkan ilmu. Pembinaan jiwanya menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya menghasilkan ketrampilan. Dengan penggabungan unsur-unsur tersebut, terciptalah makhluk dwi dimensi dalam satu keseimbangan, dunia dan akhirat, ilmu dan iman. Itu sebabnya dalam pendidikan Islam dikenal istilah Adab Al-Din dan Adab al-Dunya”. 6 Al-Quran merupakan dasar ideal dari pendidikan Islam, isinya sangat luas dan dalam, yang semuanya itu mengarah dan meningkatkan kehidupan manusia ke tingkat yang lebih baik dan sempurna. Dengan kata lain, semua ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an pada akhirnya mengarahkan supaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan cara berbagai aktivitas yang berguna bagi kehidupan umat manusia pada umumnya. Dengan memakai dasar al-Qur’an, maka pendidikan Islam harus mengarah kepada terciptanya manusia yang seimbang antara kehidupan dunia dan akhirat, dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Untuk membina kepribadian yang sejalan dengan fitrah manusia, yaitu “fitrah tauhid, akidah iman kepada Allah dan atas dasar kesucian dan tidak ternoda” 7 sebagaimana ditujukan oleh al-Qur-an dan al-Sunnah, diperlukan proses pendidikan Islam yang terarah dan bertujuan yaitu mengarahkan manusia kepada titik optimal kemampuannya. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah terbentuknya kepribadian yang bulat dan 6
M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1994), Cet. XIX, h.
7
Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1991), Cet. II,
173.
h. 148.
5
utuh sebagai umat manusia individual dan sosial serta hamba Allah SWT yang mengabdikan diri kepada-Nya. Di dalam al-Quran terdapat perilaku yang terpuji yang hendaknya diaplikasikan umat manusia dalam kehidupan sehari-hari.Karena akhlak mulia merupakan barometer terhadap kebahagiaan,keamanan dan ketertiban dalam kehidupan manusia dan dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan tiang berdirinya umat,sebagaimana salat sebagai tiang agama Islam.Dengan kata lain apabila rusak akhlak suatu umat maka rusaklah bangsanya. Melihat fenomena yang terjadi, nampaknya di zaman sekarang ini aspek- aspek pendidikan Islam khususnya akhlak mulia adalah hal yang mahal dan sulit diperoleh, terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap aspek-aspek pendidikan Islam maupun nilai akhlak yang terdapat dalam alQur’an serta besarnya pengaruh lingkungan. Manusia hanya mengikuti dorongan nafsu dan amarah saja untuk mengejar kedudukan dan harta benda dengan caranya sendiri, sehingga ia lupa akan tugasnya sebagai hamba Allah SWT.Tidak dapat dipungkiri juga bahwa kemerosotan akhlak terjadi akibat adanya dampak negatif dari kemajuan di bidang tekhnologi yang tidak diimbangi dengan keimanan dan telah menggiring manusia kepada sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai al-Qur’an. Namun hal ini tidak menafikan bahwa manfaat dari kemajuan tekhnologi itu jauh lebih besar daripada mudharatnya. Masalah di atas sudah barang tentu memerlukan solusi yang diharapkan mengantisipasi perilaku yang mulai dilanda krisis moral itu. Tindakan preventif perlu ditempuh agar dapat mengantarkan manusia kepada terjaminnya moral generasi bangsa yang dapat menjadi tumpuan dan harapan bangsa serta dapat menciptakan dan sekaligus memelihara ketentraman dan kebahagiaan di masyarakat. Mengingat pentingnya pendidikan Islam bagi terciptanya kondisi lingkungan yang harmonis, diperlukan upaya serius untuk menanamkan
6
nilai-nilai tersebut secara intensif. Pendidikan Islam berfungsi sebagai panduan bagi manusia agar mampu memilih dan menentukan suatu perbuatan dan selanjutnya menetapkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kalau dipelajari sejarah bangsa Arab sebelum Islam datang, maka akan ditemukan suatu gambaran dari sebuah peradaban yang sangat rusak dalam hal akhlak dan tatanan hukumnya. Seperti pembunuhan, perzinahan dan penyembahan patung-patung yang tak berdaya. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai atau aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam al-Qur’an.Begitu juga halnya fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat sekarang ini, terutama di kalangan elit politik, banyak terjadi halhal yang menyimpang dari norma agama,seperti saling menghina, saling menuduh, dan merendahkan satu sama lain. Di antara mereka ada yang rela menghalalkan segala cara demi mempertahankan harga diri, partai, maupun organisasinya tanpa menghiraukan benar dan salah menurut agama. Padahal setiap hari Jum’at khatib selalu mengingatkan kaum muslimin untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Apakah kaum muslim sudah lupa, tidak memahami dan tidak mengamalkan ajaran al-Qur’an lagi? Padahal di dalam al-Qur’an jelas ditegaskan tentang semua larangan tersebut. Penulis melihat bahwa Q.S. al-Hujurat:11-13 memiliki kandungan (makna) tentang pendidikan Islam yang sangat dalam. Di antara kandungan yang terdapat didalamnya adalah pendidikan akhlak antara lain larangan merendahkan orang lain, larangan ghibah (menggunjing), larangan suudzdzan, pendidikan taubat, dan pendidikan takwa kepada Allah SWT. Ayat tersebut sangat penting dan perlu digali lebih dalam untuk dijadikan rujukan dan pedoman bagi umat muslim dalam rangka pembelajaran, pembentukan serta pembinaan pendidikan Islam. Penulis tertarik untuk menggali, membahas dan mendalami lebih jauh tentang ayat tersebut sebagai judul skripsi, meskipun sudah ada yang menulis judul yang sama pada skripsi terdahulu. Akan tetapi penulis berbeda dengan penulis terdahulu, di
7
skripsi ini akan dibahas lebih lengkap dan terperinci tentang kandungan ayat demi ayat. Penulis melihat pada skripsi terdahulu pembahasan kandungan ayatnya dikaji secara global dan garis besarnya saja. Atas pertimbangan di atas, maka penulis mengangkat permasalahan tersebut dan dituangkannya dalam skripsi dengan judul “ASPEK-ASPEK PENDIDIKAN ISLAM DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN TAFSIR QS. AL-HUJURAT:11-13)”.
B. IDENTIFIKASI, PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis menyajikan permasalahan yang muncul sehingga dapat diidentifikasikan sebagai berikut: a. Aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS. AlHujurat: 11-13. b. Aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS. Al-Hujurat: 11-13. c. Azas pendidikan Islam yang terkandung dalam QS. Al-Hujurat: 11-13. 2. Pembatasan Masalah Melihat permasalahan yang terdapat pada identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti pada: a. Aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS. AlHujurat: 11-13. b. Aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS. Al-Hujurat: 11-13.
8
3. Perumusan Masalah Berdasarkan gambaran di atas,maka persoalan inti yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: a. Aspek-aspek pendidikan Islam apa saja yang terkandung di dalam surat al-Hujurat:11-13? b. Bagaimana aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 11-13?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan penelitian ini adalah: a.
Untuk mengetahui aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 11-13.
b.
Untuk mengetahui aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 11-13.
2. Manfaat Penelitian : a. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis. b. Dapat memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan, khususnya dalam dunia pendidikan Islam. c. Penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindaklanjuti oleh peneliti berikutnya.
9
D. METODOLOGI PENELITIAN Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan
pure library
research (penelitian kepustakaan murni), yakni mengambil data, pendapat para ahli yang telah diformulasikan ke dalam buku-buku tafsir dan pendidikan. Sumber primer dalam penulisan ini adalah tafsir-tafsir al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 11-13; Tafsir al-Misbah, Tafsir al-Maraghi, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Munir, Tafsir Fakhrur Razi, Tafsir Wadhih, Tafsir Fathu; Qadir dan Tasir al-Azhar. Adapun sumber sekundernya adalah buku-buku pendidikan yang relevan dengan pembahasan skripsi ini. Dalam menganalisis data yang telah terkumpul,penulis menggunakan metode content analysis (analisis isi), yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memafarkan berbagai aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya. Sementara tekhnik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
A.
Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Menurut Bahasa “Dalam Islam ada beberapa istilah yang digunakan untuk pendidikan, yaitu yang pertama, kata tarbiyah ( ) ﺗﺮﺑﻴﺔyang berasal dari kata ( )ر ّﺑﻲ ﻳﺮﺑّﻲ ﺗﺮﺑﻴﺎ ﺗﺮﺑﻴﺔyang berarti mendidik, yang kedua kata ta’lim ( ) ﺗﻌﻠﻴﻢyang berasal dari kata ( ) ﻋّﻠﻢ ﻳﻌّﻠﻢ ﺗﻌﻠﻴﻢyang berarti mendidik,mengajarkan, dan yang ketiga kata ta’dib ( )ﺗﺄدﻳﺐyang berasal dari kata ( ) ادّب ﻳﺆدّب ﺗﺄدﻳﺒﺎyang berarti mengajarkan”. 1 Irsyad Djuwaeli mengutip pendapat Fuad Abd. Al-Baqy dalam bukunya:
Al-Mu’jam Al-Mufahras li al-Fadz Al-Qur’an Al-Karim: “di
dalam Al-Qur’an kata tarbiyah dengan berbagai kata yang sempurna dengannya diulang sebanyak lebih dari 872 kali. Kata tersebut pada mulanya digunakan dalam arti Insya al-syai’ halan fa halan ila al-had
1
Louis Ma’Louf, Al-Lughoh Wa Al-Lughoh Wa Al-a’lam, (Beirut : Dar Al-Masyiq, 1986), Cet. XVI, h. 526.
10
11
al-tamam
yang artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu
setahap demi setahap sampai batas yang sempurna”. 2 Istilah tarbiyah,menurut para pendukungnya berakar pada tiga kata: “Pertama,kata raba yarbu ( ) رﺑﺎ ﻳﺮﺑﻮyang berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, kata rabiya yarba ( ) رﺑﻲ ﻳﺮﺑﻮyang berarti tumbuh dan berkembang. Ketiga, kata rabba yarubbu ( ب ّ ) رب ﻳﺮyang berarti memperbaiki,menguasai,memimpin, menjaga dan memelihara sesuatu kepada kesempurnaannya secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur”. 3 Kata rabb digunakan untuk menjelaskan berbagai hal,antara lain menerangkan salah satu sifat atau perbuatan Tuhan, misalnya rabbul ‘alamin ( ب اﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ ّ )رyang berarti pemelihara, pendidik, penguasa dan penjaga alam. Kata rabb selain digunakan untuk arti sebagaimana di atas, digunakan pula untuk arti yang objeknya lebih diperinci lagi, baik benda-benda yang bersifat fisik maupun non fisik. Dengan demikian pendidikan mengandung arti pemeliharaan terhadap seluruh makhluk Tuhan. 4 Abuddin Nata juga menjelaskan: “kata ta’lim yang berakar pada kata ‘allama digunakan secara khusus untuk menunjukkan sesuatu yang dapat diulang dan diperbanyak sehingga menghasilkan bekas atau pengaruh pada diri seseorang”. 5 “Kata ta’lim dengan berbagai kata yang serumpun dengannya di dalam al-Qur’an disebut sebanyak 840 kali dan digunakan untuk arti bermacam-macam, seperti digunakan Tuhan untuk menjelaskan pengetahuan-Nya yang diberikan kepada umat manusia, dan digunakan untuk menerangkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa atas segala sesuatu”. 6
2
Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta : Karsa Utama Mandiri, 1998), Cet. I, h. 3. 3 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. II, h. 4 4 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. II, h. 6 5 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. II, h. 7 6 Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta : Karsa Utama Mandiri, 1998), Cet. I, h. 4
12
Adapun mengenai kata ta’dib yang berasal dari kata addaba tidak dijumpai dalam al-Qur’an.Kata tersebut hanya dijumpai dalam hadis yang berbunyi:
ﻋﻠﻴ ِﻪ وﺳّﻠﻢ َا ﱠدﺑَ ِﻧﻲ ر ّﺑﻲ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟّٰﻠ ُﻪ َ ﷲ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ل َر َ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل َﻗﺎ 7
(ﻦ َﺗﺄْ ِدﻳْ ِﺒﻲْ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري َﺴ َ ْﻓَﺎ ﺣ
Dari Ibnu Mas’ud ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Tuhanku telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (HR.Bukhari). Meskipun kata ta’dib tidak terdapat dalam al-Qur’an, tetapi kata ini menurut Naqib al-Attas yang dikutip oleh Irsyad Djuwaeli justru memiliki fungsi dan arti yang lebih tepat bagi pendidikan, karena kata tersebut lebih khusus ditekankan kepada pembinaan manusia. Sedangkan kata tarbiyah mengandung pengertian lebih luas mencakup pemeliharaan seluruh makhluk Tuhan, termasuk hewan. 8 Berdasarkan pengertian ketiga kata di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarbiyah merupakan upaya sadar akan pemeliharaan, pengembangan seluruh potensi diri manusia sesuai fitrahnya dan perlindungan menyeluruh terhadap hak-hak kemanusiaannya, sementara kata ta’lim mengesankan proses pemberian ilmu pengetahuan penyadaran akan fitrah dan tugas-tugas kemanusiaannya yang harus diwujudkan dalam kehidupan nyata. Sedangkan kata ta’dib mengesankan proses pembinaan kepribadian dan sikap moral serta etika dalam kehidupan. Dengan demikian, ketiga kata tersebut pada dasarnya mengacu kepada pemeliharaan dan perlindungan keseluruhan potensi diri manusia.
7
Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Suyuti, al-Jami’ As-Shagir, (Dar Al-Ihya Al-Kutub Al-Arobiyah), Jilid. I, h. 14. 8
Irsyad Djuwaeli, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, (Jakarta : Karsa Utama Mandiri, 1998), Cet. I, h. 4.
13
2. Pengertian Pendidikan Islam Menurut Istilah Pengertian pendidikan semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogie yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah yang berarti pendidikan. Dalam bahasa Indonesia, kata pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata didik. Bila kata ini diberi awalan memenjadi mendidik yang berarti “memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”. 9 Banyak para ahli berbeda versi dalam memberikan pengertian pendidikan, namun pada dasarnya mempunyai maksud yang sama. Tokoh pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata berpendapat bahwa: Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi sering merupakan perjuangan pula. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh kearah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin, pendidikan adalah kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan. 10 Sedangkan Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa: Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik 9
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “didik”, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : balai Pustaka, 1996), Edisi Kedua, Cet. VII, h. 232 10 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. II, h. 9.
14
menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan rumusan ini Ahmad D. Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu; (1) usaha (kegiatan) yang bersifat membimbing, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar, (2) ada pendidik, (3) ada yang di didik (4) adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan (5) dalam usaha tersebut tentu ada alat-alat yang digunakan. 11 Dan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.2 Tahun 1989: “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. 12 Dari beberapa rumusan pendidikan di atas, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, seksama, terencana dan bertujuan, yang dilaksanakan oleh orang dewasa, yang berarti memiliki bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan menyampaikannya kepada anak didik. Dan apa yang diberikan kepada anak didik itu sedapat mungkin dapat menolong tugas dan perannya di masyarakat kelak mereka hidup. Kemudian tentang rumusan tentang pendidikan Islam, para ahli pun berbeda pendapat dalam merumuskannya. Misalnya Muhammad Atiyah memberikan pengertian pendidikan Islam sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis bahwa “Tarbiyah Islamiyah adalah upaya mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya, manis tutur katanya, baik dengan lisan atau tulisan”. 13 Sementara menurut Prof. Dr. Omar al-Toumy, pendidikan Islam diartikan sebagai “Usaha mengubah tingkah laku individu dalam
11
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : AlMa’arif,1986), h. 131 12 UUSPN, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), Cet. III, h. 2 13 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 1994), Cet. I, h. 3-4
15
kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dengan alam sekitarnya melalui proses pendidikan. Perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islami”. 14 Syahminan Zaini dalam bukunya Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam memaparkan bahwa “Pendidikan Islam adalah usaha mengembangkan fitrah manusia dengan ajaran-ajaran Islam, agar terwujud kehidupan manusia yang makmur dan bahagia”. 15 Dan
Ahmad
D.
Marimba
memberikan
pengertian
bahwa
“Pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”. 16 Dari beberapa defenisi di atas tentang pendidikan Islam terkandung hal-hal sebagai berikut: 1.
Pendidikan Islam itu mempunyai dasar dan tujuan yang jelas,sesuai dengan ajaran Islam.
2.
Pendidikan menurut Islam tidak terbatas sampai dewasa,tetapi sampai terwujud kehidupan yang sempurna,makmur dan bahagia.
3.
Hakikat pendidikan Islam adalah merupakan usaha mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah manusia kea rah titik maksimal perkembangan dan pertumbuhannya.
14
Omar Muhammad Al-Toumy, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979), Cet. I, h. 399 15 Syahminan Zaini, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta : kalam Mulia, 1986), Cet. I, h. 4 16 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : AlMa’arif,1986), h. 131
16
B. Dasar Pendidikan Islam “Dasar (Arab: asas, Inggris: poundation, Perancis: fondemen, Latin: fundementum ) secara bahasa berarti alas, fundamen, pokok atau pangkal segala sesuatu (pendapat, ajaran, aturan)”. 17 “Dasar adalah landasan unuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar adalah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu”. 18 Dasar ilmu pendidikan Islam adalah Islam dan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad (hasil pikiran manusia). Dasar inilah yang membuat ilmu pendidikan disebut ilmu pendidikan Islam. Tanpa dasar ini, tidak akan ada ilmu pendidikan Islam. Untuk lebih jelasnya dapat dirinci sebagai berikut: 1. Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah SWT untuk menjadi pedoman bagi seluruh umat, dengan segala petunjuk-Nya yang lengkap, meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal. Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik pertama (pada masa awal pertumbuhan Islam) telah menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar pendidikan Islam. Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
17
Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi, (Beirut : Dar Al-Fikr), h. 211. HQ Shaleh, dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung : CV. Penerbit Diponegoro, 2000), h. 12. 18
17
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan mu Yang Menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2), Bacalah dengan dan Tuhan mullah Yang Paling Pemurah (3), Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (4), Dia mengajarkan kpada manusia apa yang tidak diketahuinya (5), (QS. Al-‘Alaq: 1-5). 2. Sunnah Dasar yang kedua setelah Al-Qur’an adalah sunnah Rasulullah, amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah dalam proses perubahan sikap hidup sehari-hari tersebut menjadi dasar utama pendidikan Islam setelah al-Qur’an karena Allah SWT menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi umatnya, sebagai firman-Nya:
⌧ ⌧ ⌧
☺ ⌧ ﴾٢١׃٣٣\﴿اﻻﺤﺬاﺐ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah SAW suri tauladan yang baik bagimu ( yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21). Dalam suatu hadis Nabi SAW bersabda:
ﺗﺮآﺖ: ﻋﻦ أﺑﻰ هﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻴﻜﻢ اﻣﺮﻳﻦ ﻣا ان ﺗﻤﺴﱡﻜﺘﻢ ﺑﻬﻤا ﻟﻦ ﺗﻀﻞﱠ اﺑﺪا آﺘاب ﷲ و ﺳﻨﱡﺔ رﺳﻮﻟﻪ )رواﻩ ﻣاﻟﻚ 19 ( Aku tinggalkan untuk kamu sekalian dua hal (perkara), kamu sekalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (HR.Imam Malik)
19
785.
Abu Abdillah bin Anas (Imam Malik), al- Muwaththa, (Beirut: Dar al- Fikr, 1994), h.
18
As-Sunah ialah perkataan (
) اﻗﻮال, perbuatan ( ) اﻓﻌﺎلataupun
pengakuan ( ) ﺗﻘﺮﻳﺮRasulullah SAW. Yang dimaksud dengan pengakuan ialah kejadian atau perbuatan yang dilakukan oleh orang lain yang diketahui oleh Nabi Muhammad SAW dan beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu terjadi. Sunnah merupakan sumber ajaran kedua sesudah Al-Qur’an yang juga berisi petunjuk (pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dengan segala aspeknya. Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan, bahwa dalam lapangan pendidikan, Sunnah mempunyai dua faedah: a.
Menjelaskan sistem pendidikan Islam sebagai terdapat di dalam AlQur’an dan menerangkan hal-hal rinci yang tidak terdapat di dalamnya.
b.
Menggariskan
metode-metode
pendidikan
yang
dapat
dipraktekkan. 20 3. Ijtihad Ijtihad ialah para fuqaha yaitu berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmuwan syari’at Islam dalam hal-hal yang ternyata belum dipertegaskan lagi hukumnya oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah. Ijtihad dalam bidang pendidikan harus tetap bersumber dari AlQur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam. Ijtihad tersebut haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di sesuatu tempat pada
20
Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Terj. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. II, h. 32.
19
kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori pendidikan baru hal-hal ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup. Ijtihad dibidang pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran Islam yang terdapat dalam ajaran Al-Qur’an dan Sunnah sebagian besar bersifat pokok-pokok dan prinsipnya saja termasuk dalam aspek pendidikan. Sejak diturunkannya ajaran Islam sampai wafatnya Nabi Muhammad SAW, Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula. C. Fungsi Dan Tujuan Pendidikan Islam 1. Fungsi Pendidikan Islam Menurut Ahmad Tafsir,"pendidikan adalah pengembangan pribadi dalam semua aspeknya, dengan penjelasan bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, lingkungan, dan orang lain (guru). Seluruh aspek mencakup jasmani, akal dan hati.” 21 Hal ini memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam berfungsi mengembangkan semua potensi pada peserta didik sehingga dapat mencapai kemampuan maksimal. Sehingga ia mampu memahami dirinya, orang lain dan lingkungan disekitarnya. Selain itu, dengan merujuk kepada konsep rububiyah Allah SWT terhadap manusia, maka pendidikan Islam berfungsi untuk mempersiapkan manusia agar mampu melaksanakan tugas dan fungsi kekhalifahan di muka bumi dengan baik. 2. Tujuan Pendidikan Islam
21
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 26.
20
Setiap manusia mempunyai tujuan: tujuan pendidikan dengan tujuan hidup manusia terdapat keterkaitan. Karena, pada dasarnya pendidikan bertujuan memelihara kehidupan manusia dan isi tujuan pendidikan Islam merupakan penjabaran dari tujuan hidup manusia di muka bumi ini. Maka pada hakikatnya tujuan dari pendidikan Islam itu adalah realisasi dari cita-cita ajaran itu sendiri, yang membawa misi kesejahteraan lahir dan batin di dunia dan akhirat bagi umat Islam. Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Zainuddin dalam buku Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, memandang dan membagi tujuan pendidikan menjadi tiga aspek, yaitu: a.
Aspek keilmuan, yang bertujuan agar manusia senang berpikir, menggalakkan penelitian dan mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga menjadi manusia yang cerdas dan terampil.
b.
Aspek kerohanian, yang menghantarkan manusia agar berakhlak mulia dan berkepribadian yang kuat.
c.
Aspek ke-Tuhanan, yang menghantarkan manusia beragama agar dapat mencapai kebahagian di dunia dan akhirat. 22 Dalam hal ini, Abuddin Nata mencoba memberikan ciri-ciri tujuan
pendidikan Islam. Antara lain adalah: a.
Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kemakmuran dan mengolah bumi sesuai dengan kehendak-Nya.
b.
Mengarahkan manusia agar setiap pelaksanaan tugas kekhalifahannya dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Allah SWt sehingga tugas tersebut terasa ringan dilaksanakan.
c.
Mengarahkan manusia agar berakhlak mulia sehingga fungsi kekhalifahannya tidak disalahgunakan.
d.
Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmani manusia agar memilki keterampilan, ilmu serta akhlak sebagai pendukung tugas kekhalifahannya.
22
Zainuddin, dkk., Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), Cet. I, h. 48
21
e.
Mengarahkan kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. 23 Berdasarkan hal di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
tujuan pendidikan Islam dalah mengarahkan manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah dan dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, mengembangkan aspek keilmuan aspek kerohanian dan juga aspek keTuhanan serta mengarahkan kepada dua kebahagiaan di dunia dan akhirat. D. Metode Pendidikan Islam Dalam kamus umum bahasa Indonesia, metode diartikan dengan “cara yang teratur dan terpikirkan baik-baik untuk mencapai suatu maksud”. 24 Adapun beberapa metode pendidikan Islam sebagai berikut: 1. Metode Keteladanan Yang dimaksud dengan metode keteladanan yaitu “suatu metode pendidikan dengan cara memberikan contoh yang baik kepada peserta didik, baik dalam ucapan maupun perbuatan”.25 Keteladanan merupakan salah satu metode pendidikan yang diterapkan Rasulullah SAW dan dianggap paling banyak pengaruhnya terhadap keberhasilan menyampaikan misi dakwahnya. Ahli pendidikan banyak yang berpendapat bahwa pendidikan dengan teladan merupakan metode yang paling berhasil. Abdullah Ulwan misalnya, dalam kutipan Hery Noer Ali dikatakan bahwa, “pendidikan barangkali akan merasa mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun anak akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila ia melihat pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya”. 26
23
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 53 WJS. Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1984), Cet. VII, h. 250 25 Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta : CV Misaka Galiza, 1999), Cet. I, h. 155 26 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h. 178 24
22
Hal ini disebabkan karena “secara psikologis anak adalah seorang peniru yang ulung. Murid-murid cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala hal”. 27 2. Metode Pembiasaan “Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan. Sedang kebiasaan (habit) ialah cara-cara bertindak yang persistent, uniform dan hampir-hampir otomatis (hampir-hampir tidak disadari oleh pelakunya).” 28 Pembiasaan tersebut dapat dilakukan untuk membiasakan pada tingkah laku, keterampilan, kecakapan, dan pola pikir. Pembiasaan ini bertujuan untuk mempermudah melakukannya. Karena seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melaksanakannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan, sesuatu yang telah dibiasakan dan akhirnya menjadi kebiasaan dalam usia muda diperlukan terapi dan pengendalian diri yang sangat serius untuk dapat merubahnya. 3. Metode Memberi Nasihat Hery Noer Ali menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan nasihat adalah “penjelasan tentang kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan orang yang dinasihati dari bahaya serta menunjukkannya ke jalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat”.29 Dalam penggunaan metode memberi nasihat ini pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan umat. Diantaranya dengan
27
Ramayulis, Metode Pengajaran Agama Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2001), Cet. III,
28
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h.
29
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h.
h. 127 184. 191.
23
menggunakan kisah-kisah Qur’ani, baik kisah-kisah Nabawi maupun umat terdahulu yang banyak terdapat pelajaran yang dapat dipetik.
4. Metode Motivasi dan Intimidasi Metode motivasi dan intimidasi ini dalam bahasa Arab disebut dengan uslub al-targhib wa al-tarhib atau metode targhib dan tarhib. Targhib berasal dari kata kerja raggaba yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai yang kemudian kata itu diubah menjadi kata benda targhib yang mengandung makna suatu harapan untuk memperoleh kesenangan, kecintaan, dan kebahagiaan yang dimunculkan dalam bentuk janji-janji berupa keindahan dan kebahagiaan yang dapat mendorong seseorang sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya. Tarhib berasal dari kata rahhaba yang berarti, menakut-nakuti atau mengancam. Menakut-nakuti dan mengancamnya sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah SWT atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah SWT. 30 “Penggunaan metode motivasi sejalan dengan apa yang dalam psikologis belajar yang disebut sebagai law of happiness atau prinsip yang mengutamakan suasana menyenangkan dalam belajar”. 31 Dan metode intimidasi dan hukuman baru digunakan apabila metode-metode lain seperti nasihat, petunjuk dan bimbingan tidak berhasil untuk mewujudkan tujuan. 5. Metode Persuasi Metode persuasi adalah meyakinkan peserta didik tentang sesuatu ajaran dengan kekuatan akal. Penggunaan metode persuasi didasarkan atas 30
Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta : CV Misaka Galiza, 1999), Cet. I, h. 121 31 Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. I, h. 197
24
pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berakal. Artinya Islam memerintahkan kepada manusia untuk mengguakan akalnya dalam membedakan antara yang benar dan salah serta antara yang baik dan buruk. Penggunaan metode persuasi ini dalam pendidikan Islam menandakan bahwa pentingnya memperkenalkan dasar-dasar rasional dan logis kepada peserta didik agar mereka terhindar dari meniru yang tidak dilandaskan pertimbangan rasional dan pengetahuan. “Selain metode-metode di atas masih terdapat metode-metode lainnya antara lain metode Amsal, metode kisah Qur’ani, metode Ibrah dan Mauizah, metode Tajribi (latihan pengalaman) dan metode Hiwar”. 32
32
Syahidin, Metode Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, (Jakarta : CV Misaka Galiza, 1999), Cet. I, h. 61
BAB III TAFSIR SURAT AL-HUJURAT AYAT 11-13
A. Asbabun Nuzul Berikut ini adalah bunyi lengkap surat al-Hujurat ayat 11-13:
⌦ ☺ ☺
⌧
☺ ⌧
24
25
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[1410] dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Mengenal.Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha” ( QS. Al-Hujurat (49) : 11-13)
Dalam suatu riwayat, ayat 11 surat al-Hujurat turun berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai dua atau tiga nama. Orang itu sering dipanggil dengan nama tertentu yang tidak ia senangi. Maka turunlah ayat ini sebagai larangan memberi gelar kepada orang lain, dengan nama-nama gelar di zaman jahiliah yang sangat banyak. Ketika Nabi SAW memanggil seseorang dengan gelarnya, ada orang yang memberitahukan kepada beliau bahwa gelar itu tidak disukainya. Maka turunlah ayat yang melarang memanggil orang dewasa yang tidak disukainya. 1 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat 12 surat al-Hujurat turun berkenaan dengan Salman al-Farisi yang apabila selesai makan ia terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang mempergunjingkan perbuatannya itu. Maka turunlah ayat ini yang melarang seseorang mengumpat menceritakan keaiban orang lain. 2
1
HQ Shaleh dan A Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Penerbut Diponegoro, 1995), Cet.XVII, h. 473 2 HQ Shaleh dan A Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Penerbut Diponegoro, 1995), Cet.XVII, h. 474
26
Sedangkan ayat 13 surat al-Hujurat turun ketika terjadi peristiwa penaklukan kota Makkah, Bilal naik ke atas panggung Ka’bah dan mengumandangkan azan. Berkatalah beberapa orang “apakah pantas budak hitam adzan di atas Ka’bah ?”. Maka berkatalah yang lainnya : “Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya”. Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, dan yang paling mulia adalah yang paling takwa. 3 (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Mulaikah) Dalam riwayat lain ayat ini turun berkenaan dengan Abi Hidin akan dikawinkan oleh Rasulullah kepada seorang wanita Bani Bayadlah. Bani Bayadlah berkata : “Wahai Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan puteri-puteri kami kepada budak-budak kami ?”. Ayat ini turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara bekas budak dengan orang merdeka. (Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir di dalam kitab Mubhamad yang bersumber dari Abu bakar bin Abi Daud di dalam tafsirnya.
B. Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 11-13 Surat yang tidak lebih dari 18 ini termasuk surat Madinah, ia merupakan surah yang agung dan besar, yang mengandung aneka hakikat akidah dan syariah yang penting, mengandung hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai manhaj (cara) penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan. 4 Surat al-Hujurat berisi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang mukmin terhadap Allah SWT, terhadap Nabi dan orang yang menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya, yaitu orang fasik. Pada pembahasan ini dijelaskan apa yang harus dilakukan seorang mukmin terhadap sesamanya dan manusia 3
Mustofa, Riwayat turunnya Ayat-ayat Suci Al’Quran, (Semarang : CV Asy-syifa’, 1993), Cet-I, h. 496 4 Sayyid Qutbah, Sayyid Qutbah, tafsir Qur’an, Terj. As’as Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Cet. I, Jilid X, h. 407
27
secara keseluruhan, demi terciptanya sebuah perdamaian. Adapun etika yang diusung untuk menciptakan sebuah perdamaian dan menghindari pertikaian yaitu menjauhi sikap mengolok-golok, mengejek diri sendiri, saling memberi panggilan yang buruk, suudhdhan, tajassus, ghibah, serta tidak boleh bersikap sombong dan saling membanggakan diri karena derajat manusia di hadapan Allah SWT sama. Untuk lebih memahami kandungan surat al-Hujurat ayat 11-13, penulis akan menafsirkannya secara mufradat (kosa kata), seperti berikut ini :
اﻟﺴﺨﺮﻳﺔ Mengolok-olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan cara menimbulkan tawa. Orang mengatakan sakhira bihi dan sakhira minhu (mengolok-olokkan).Dhahika bihi dan dhahika minhu (menertawakan dia). Adapun isim masdarnya As-sukhriyah dan Assikhriyah (huruf sin didhamahkan atau dikasrah). Sukhriyah bisa juga terjadi dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru perkataannya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk. 5
اﻟﻘﻮ م Telah umum diartikan orang-orang lelaki, bukan perempuan. Menurut M. Quraish Shihab seperti dikutif Abuddin Nata, kata kaum berasal dari kata qama, yaqumu qiyam yang berarti berdiri atau bangkit. Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu. 6
وﻻ ﺗﻠﻤﺰوا Janganlah kamu mencela dirimu sendiri. Jangan sebagian kamu mencela sebagai yang lain dengan perkataan atau isyarat tangan, mata atau semisalnya. Karena orang mukmin aalah seperti satu jiwa. Maka apabila seorang mukmin mencela orang mukmin yang lainnya, maka seolah-olah mencela dirinya sendiri.
وﻻﺗﻨﺎﺑﺰوا ﺑﺎﻻﻟﻘﺎب Saling mengejek dan panggil memanggil dengan gelar yang tidak disukai orang lain. 5 6
235
Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 220 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), Cet. I, h
28
اﻻ ﺳﻢ Nama dan Kemasyhuran. Seperti orang mengatakan “namanya terkenal di kalangan orang banyak baik karena kedermawanannya atau kejelekannya.
اﺟﺘﻨﺒﻮا Jauhilah oleh kalian,perintah ini mengandung makna bersungguhsungguh untuk menjauhinya.
اﻻﺛﻢ Dosa. Dosa adalah ungkapan untuk segala pelanggaran terhadap perintah Allah Ta’ala, dengan berbuat jahat atau meninggalkan yang wajib.
ﺗﺠﺴﺴﻮا Memata-matai. Yaitu mencari-cari keburukan dan cacat-cacat serta membuka-buka hal yang ditutup oleh orang.
اﻟﻐﻴﺒﺔ Menyebut-nyebut seseorang tentang hal-hal yang tidak ia sukai, tidak sepengetahuan dia.
ﻣﻦ ذ آﺮ و اﻧﺜﻰ Dari seorang laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa)
اﻟﺸﻌﻮب Suku besar yang bernasab kepada suatu nenek moyang. 7 Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mau harus berinteraksi dengan manusia lainnya, dan membutuhkan lingkungan dimana ia berada. Ia menginginkan adanya lingkungan sosial yang ramah, peduli, santun, saling menjaga dan menyayangi, bantu membantu, taat pada aturan/tertib, disiplin, menghargai hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Lingkungan yang demikian 7
Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi, … h. 235
29
itulah yang memungkinkan ia dapat melakukan berbagai aktivitasnya dengan tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat merugikan dirinya. Untuk menciptakan masyarakat yang tenang, tertib dan penuh dengan keharmonisan, al-Qur’an merupakan yang tidak ada keraguan di dalamnya. Surat al-Hujurat merupakan salah satu surat yang mengatur tentang tata kehidupan manusia, untuk terciptanya sebuah masyarakat yang makmur. Salah satu kandungan yang terdapat dalam surat al-Hujurat berisi perintah untuk melakukan perdamaian (ishlah) setelah terjadinya pertikaian, serta penjelasan tentang beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pertikaian, sehingga umat Muslim diwajibkan untuk menghindarinya, demi untuk mencegah timbulnya pertikaian tersebut. Sebab pertikaian bukan merupakan ajaran Islam, terlebih lagi disebabkan oleh hal yang sederhana, seperti halnya mengolok-ngolok. Berikut penulis akan menjelaskan kandungan makna surat al-Hujurat ayat 11 berdasarkan pendapat para mufassir, adapun uraian tafsir dari ayat tersebut adalah sebagai berikut :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain. Yang dimaksud dengan orang-orang
yang beriman adalah
mereka yang membenarkan segala sesuatu yang diperintahkan Allah SWT dan juga Rasul-Nya. 8 “Kata ( ) ﻳﺴﺨﺮyaskhar/memperolok-olokkan ialah menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan , perbuatan atau tingkah laku. 9 Contoh mengolok-ngolok misalnya dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokan apabila ia keliru perkataannya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk. Shukriyah juga berarti menghina dan menganggap rendah orang lain dan hal ini jelas haram.
8 9
251
Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Jilid XIII, h. 585 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), Volume XIII, h.
30
Kata ( ) ﻗﻮمqaum merupakan (kata) yang menunjukan arti jamak dari sekumpulan laki-laki, tidak untuk perempuan dan tidak pula untuk anak-anak. 10 Kata qaum biasa digunakan untuk menunjuk sekelompok manusia. Bahasa menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat di atas menyebut pula secara khusus wanita. “Islam menginginkan masyarakat unggul berdasarkan petunjuk al-Qur’an yaitu masyarakat yang memiliki etika yang luhur. Pada masyarakat itu setiap individu memiliki kehormatan yang tidak boleh
disentuh. Ia merupakan
kehormatan kolektif. Mengolok-olok individu manapun berarti mengolok-olok pribadi umat. Sebab seluruh jamaah itu satu dan kehormatannya pun satu”. 11 Melalui ayat 11 ini, al-Qur’an memberitahukan etika tersebut melalui panggilan kesayangan “Hai orang-orang yang beriman.” Dia melarang suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain. Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa mengolok-ngolok itu dilarang karena di dalamnya terdapat unsur kesombongan yang tersembunyi, tipu daya, dan penghinaan terhadap orang lain. Juga tidak adanya pengetahuan tentang tolak ukur kebaikan disisi Allah. Sesungguhnya ukuran kebaikan disini Allah didasarkan kepada keimanan, keikhlasan dan hubungan baik dengan Allah Ta’ala tidak diukur dengan penampilan, postur tubuh, kedudukan, dan harta. 12 Larangan mengolok-ngolok orang lain juga ditegaskan dalam sebuah hadits yang berbunyi :
"ﻻ ﻳﺪﺧﻞ ا ﻟﺠﻨﺔ: ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ان اﻟﺮ ﺟﻞ ﻳﺤﺐ ان ﻳﻜﻮن ﺛﻮﺑﻪ ﺣﺴﻨﺎ وﻧﻌﻠﻪ: ﻣﻦ آﺎن ﻓﻲ ﻗﻠﺒﻪ ﻣﺜﻘﺎ ل ذرة ﻣﻦ آﺒﺮ" ﻓﻘﺎل رﺟﻞ )رواﻩ اﻟﺘﺮ ﻣﺬ13 " "ان ا ﷲ ﺟﻤﻴﻞ ﻳﺤﺐ اﻟﺠﻤﺎل اﻟﻜﺒﺮ ﺑﻄﺮ اﻟﺤﻖ وﻏﻤﺾ اﻟﻨﺎ س: ﺣﺴﻨﺔ ؟ ﻗﺎل (ي Dari Abdullah Ibn Masud ra., dari Nabi SAW beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji Dzarrah dari sifat sombong.” Seseorang bertanya: Apakah seseorang itu menyenangi apabila pakaian dan sandalnya bagus? Sesungguhnya Allah 10
Fakhrur Razi, tafsir Fukhrur Razi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) h. 132 Sayyid Qutbh, Fi Zhilalil Qur’an…, h. 418 12 Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam, Jakarta: Akbar, 2004), Cet-1, h. 387 13 Muhammad Jamil Athtar, Sunan Tirmizi, (Beirut: Daril Fikr, 1994), Juz III, h. 402 11
31
Indah dan menyukai sesuatu yang indah. Kesombongan itu ialah mencampakkan kebenaran dan menghinakan manusia (HR. Tirmidzi) Dengan demikian jelaslah bahwa mengolok-ngolok itu hukumnya haram karena
bisa
memutuskan
persaudaraan,
menimbulkan
perselisihan
dan
permusuhan.
ْﺧﻴْ َﺮَا ِّﻣﻨْ ُﻬﻢ َ ْﻰ َأن ﻳَﻜُﻮ ﻧُﻮا َﺴ َﻋ َ Boleh jadi mereka yang diolok-olok (dalam pandangan Allah) itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Barang kali orang yang berambut kusut penuh debu tidak punya apa-apa dan tidak dipedulikan, sekiranya ia bersumpah dengan menyebut nama Allah Ta’ala maka Allah mengolok-olok orang lain yang ia pandang hina karena keadaannya compang-camping, atau karena ia cacat pada tubuhnya atau karena ia tidak lancar berbciara. Karena ia barangkali lebih ikhlas nuraninya dan lebih bersih hatinya dari pada orang yang sifatnya tidak seperti itu. Karena dengan demikian berarti ia menganiaya diri sendiri dengan menghina orang lain yang dihormati oleh Allah Ta’ala. 14 Orang yang mengolok-olok orang lain berarti ia telah melakukan dua kesalahan ganda, pertama mengolok-olok itu sendiri dan yang kedua ia menganggap bahwa dirinya lebih sempurna dari orang lain. Padahal dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang yang diolok-olok itu bisa jadi kedudukannya lebih mulia dalam pandangan Allah, dibanding yang mengolok-olok. Hal ini merupakan isyarat bahwa seorang tidak bisa dipastikan berdasarkan pujian maupun celaan orang lain atas rupa, amal, ketaatan atau pelanggaran yang tampak padanya. Karena barang kali seseorang yang memelihara amal-amal lahiriyah, ternyata Allah mengetahui sifat tercela dalam hatinya, yang tidak patut amal-amal tersebut dilakukan, disertai dengan sifat tersebut. Dan barangkali orang yang kita lihat lalai atau melakukan maksiat, ternyata Allah mengetahui sifat terpuji dalam hatinya, sehingga ia mendapat ampunan karenannya. 15
ﻦ ﻰ أَن َﻳ ُﻜﻦﱠ ﺨﻴﺮا ِﻣّﻨ ُﻬْ ﱠ َﺴ َﻋ َ ﺴَﺎ ِء َ ﺴَﺎ ُء ﻣِّﻦ ِّﻧ َ ﻻ ِﻧ َ َو 14 15
Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…, h. 222 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi.., h. 223
32
Dan janganlah kaum wanita mengolok-olok kaum wnaita lainnya, karena barangkali wanita-wanita yang diolok-olokkan itu lebih baik dari wanita yang mengolok-olok (dalam pandangan Allah). Ayat tersebut menyebutkan larangan wanita mengolok-olok orang lain. Padahal, wanita sudah tercakup dalam makna kaum. Wanita memang dapat saja masuk dalam pengertian qaum bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak kata yang menunjuk kepada laki-laki misalnya kata al-mu’minun dapat saja didalamnya terdapat kata al-mu’minat/wanita-wanita. Namun ayat di atas mempertegas penyebutan kata ( ) ﻧﺴﺎءnisa /perempuan karena ejekan dan “merumpi” lebih banyak terjadi dikalangan perempuan dibandingkan kalangan laki-laki. “ini menunjukkan bahwa penghinaan sebagian wanita terhadap sebagian yang lain sudah menjadi bagian moralitas mereka. 16 Allah menyebutkan kata jamak dalam ayat tersebut, karena kebanyakan mengolok-ngolok itu dilakukan ditengaj orang banyak, sehingga sekian banyak orang enak saja mengolok-olokkan, sementara dipihak lain banyak pula yang sakit hati. 17 Firmannya “Asa an yakunna khairam minhunna, boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, mengisyaratkan tentang adanya tolok ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian Allah yang boleh jadi berbeda dengan tolok ukur manusia secara umum. Memang banyak nilai-nilai yang dianggap baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau orang lain, justeru sangat keliru. Kekliruan itu mengantar mereka menghina dan melecehkan pihak lain. Padahal jika mereka menggunakan dasar penilaian. 18 Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Allah tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan fisik maupun harta yang dimilikinya, akan tetapi allah melihat keikhlasan amal yang dilakukannya.
" ﻣﺎ ﻳﺴﺮﻧﻰ: ﺣﻜﻴﺖ ﻟﻠﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ رﺟﻼ ﻓﻘﺎل:روي اﻟﺘﺮ ﻣﺬى ﻋﻦ ﻋﺎ ﺋﺸﺔ ﻗﺎﻟﺖ ﻗﺎ ﻟﺖ ﻓﻘﻠﺖ ﻳﺎ ر ﺳﻮل ا ﷲ ان ﺻﻔﻴﺔ ا ﻣﺮ أة وﻗﺎ ﻟﺖ ﺑﻴﺪهﺎ,أﻧﻰ ﺣﻜﻴﺖ رﺟﻼ وان ﻟﻰ آﺬا وآﺬا )رواﻩ
19
ﻟﻘﺪ ﻣﺰ ﺣﺖ ﺑﻜﻠﻤﺔ ﻟﻮ ﻣﺰﺣﺖ ﺑﻤﺎ ء اﻟﺒﺤﺮ ﻟﻤﺰ ﺣﺘﻪ: ﻓﻘﺎل,هﻜﺬا ﺗﻌﻨﻰ أﻧﻬﺎ ﻗﺼﻴﺮة (اﻟﺘﺮ ﻣﺬ ى
16
Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam, … h. 388 Ahmad Maraqhi, Tafsir al-Maraghi.., h. 222 18 M. Quraish Shihab, tafsir al-Misbah, …, h. 252 19 Shalih bin Abdul Aziz, Jamiut Turmuzdi, (Riyadh: Darussalam, 1999), h. 185 17
33
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ia berkata, dihadapan Nabi SAW saya menirukan seorang lelaki. Maka beliau bersabda, “Saya tidak suka sekiranya aku meniru seorang lelaki padahal aku meniru seorang lelaki padahal aku sendiri dan begini/” Aisyaj berkata, maka yang berkata, “Ya Rasulullah, sesunggunya Shadiyah itu seorang wanita … ‘Aisyah memperagakan dengan tangannya sedemikian rupa yang maksudnya bahwa shafiyah itu wanita yang pendek. Maka Rasul SAW bersabda, “sesungguhnya kamu telah mencampur suatu kata-kata yang sekiranya dicampur dengan air laut, tentu akan bercampur seluruhnya. (HR. Tirmizdi). Sesungguhnya Allah SWT tidak memandang seseorang berdasarkan rupa (ketampanan) dan hartamu, akan tetapi memandang kepada hati dan amal perbuatanmu.
ْﺴ ُﻜﻢ َ ﻻ َﺗﻠْﻤ ُﺰ َواْ أَﻧ ُﻔ َ َو Dan janganlah mengejek diri kamu sendiri. Kata ( ﺗﻠﻤﺰ وا
) talmizu
terambil dari kata ( ) اﻟﻠﻤﺰal-lamz. Para ulama berbeda pendapat dalam memakai kata ini. Ibn Asyur misalnya memahaminya dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan atau katakata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman. Ini aalah salah satu bentuk kekurangan dan penganiayaan. 20 Menurut Yusuf al-Qardawi al-lamz berarti alwakhzu ‘serangan’ dan ath-tha’nu ‘tusukan’ makna yang dimaksud disini adalah celaan. Seakan-akan orang yang mencela orang lain sedang mengarahkan ayunan pedangnya dan tusukan tombak kepadanya. Penafsiran ini tepat sekali, bahkan serangan lidah lebih dahsyat dan lebih menyakitkan. 21
Menurut Ibn Katsir
mencela bisa dilakukan dengan perbuatan (al-hamz), dan perkataan (al-lamz). Baik al-hamz maupun al-lamz dua-duanya dilarang. Mengadu domba adalah termasuk mencela lewat perkataan. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya, “Kecelakaanlah bagi setiap pencela dengan perkataan dan perbuatan.” (QS AlHumazah [104]:1). 22 Larangan ini (mencela diri-sendirinya) hampir sama dengan firman-Nya “Dan janganlah kamu membunuh diri sendiri” maksudnya janganlah satu sama 20
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, ….h. 251 Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam …., h. 388 22 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Ahim, (Beirut: Darul Fikr) Juz IV, h. 212 21
34
اﻟﻤﺆ: ﻗﺎل ر ﺳﻮ ل ا ﷲ ﺻﻠﻰ ا ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ: ﻋﻦ اﻟﻨﻌﻤﺎن ﺑﻦ ﺑﺸﻴﺮ ر ﺿﻰ ا ﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎ ل ﻣﻨﻴﻦ ﻓﻰ ﺗﺮ ا ﺣﻤﻬﻢ وﺗﻮادهﻢ وﺗﻌﺎ ﻃﻔﻬﻢ آﻤﺜﻞ اﻟﺠﺴﺪ اذا ﺷﺘﻜﻰ ﻣﻨﻪ ﻋﻀﻮ ﺗﺪاﻋﻰ ﺳﺎﺋﺮ اﻟﺠﺴﺪ ( )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى23 ﺑﺎ ﻟﺴﻬﺮ واﻟﺤﻤﻰ Dari Nu’man bin Basyir ra., berkata Nabi SAW bersabda, Anda akan melihat kaum mukmin adalah kasih sayang dan cinta mencintai, pergaulan mereka bagaikan satu badan, jika satu anggotanya sakit, maka menjalarkan kepada lainlain anggota sehingga badanya terasa panas dan tidak dapat tidur. (HR. Bukhari) Ayat di atas dengan tegas melarang melakukan mengejek diri sendiri. Tetapi maksudnya adalah orang lain.
Karena ejekan yang dilakukan oleh
seseorang, maka ejekan tersebut akan kembali kepada pelakunya (yang mengejek). Bisa juga larangan ini memang ditujukan kepada masing-masing dalam arti jangan melakukan suatu aktivitas yang mengundang orang lain menghina dan mengejek Anda, karena jika demikian, Anda bagaikan mengejek diri sendiri.
ﺐ ِ ْﻻ َﺗﻨَﺎ َﺑ ُﺰوأﺑُِﺎﻻْﱠﻟﻘ َ َو Dan janganlah kamu panggl-memanggil dengan gelar-gelar buruk Kata ( ) ﺗﻨﺎﺑﺰ واterampil dari kata ( ) ا ﻟﻨﺒﺬan-Nabz yakni buruk. At-tanabuz adalah saling memberi gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk yang mengandung makna timbal balik, berbeda dengan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja at-tanabuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengundang siapa yang
23
Mustafa Dhaib Bigha, Mukhtashar Shahih Bukhari, (Beirut: Yamamah, 1999), h. 665
35
Menurut Wahbah Zuhaili memberi panggilan yang buruk ini maksudnya memanggil saudaranya yang muslim dengan panggilan wahai orang fasik, orang munafiq. Bisa juga memanggil saudaranya yang sudah masuk Islam dengan panggilan wahai Yahudi atau Nasrani. Atau memanggil seseornag: wahai anjing, keledai dan babi. 25 Tindakan seperti itu jelas dilarang dalam Islam. Karena, diantara kesantunan seorang mukmin ialah dia tidak menyakiti saudaranya dengan hal semacam ini. Rasulullah telah mengubah beberapa nama dan panggilan yang dimiliki
orang sejak zaman jahiliyah, karena nama atau panggilan itu
menyinggung dna mencela perasaannya yang lembut dan hatinya yang mulia. 26 Memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pemabuk atau pencopet dan lainlain, adalah bentuk panggilan yang menyakitkan. Orang yang sudah bertaubat dengan
taubatan
nashuha,
haruslah
dipanggil
dengan
panggilan
yang
menyenangkan baginya dan tidak menyinggung perasaannya. Perlu dicatat bahwa apabila orang yang diberi gelar buruk itu tidak keberatan, maka panggilan tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Mislanya abu Hurairah yang nama aslinya adalah Abdurrahman Ibn Shakhr, atau Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib, bahkan al-‘Araj (si pincang) untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan al-A’masy (sI rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahran dan lain-lain. Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan itu tidak dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan as Shidiq. Kepada Umar dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan sebutan Zun Nurain dan kepada Ali Abu Turab serta kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah). 27 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang Muslim tidak boleh memanggil saudaranya dengan gelar-gelar yang tidak disukai terlebih lagi sampai menyakitkan perasaannya.
ﻦ َِ ﻻ ﻳﻤ ِ ق َﺑﻌْ َﺪُا ُ ﻻﺳْ ُﻢ َاﻟْ ُﻔﺴُﻮ َِ ﺑ ِﺌﺲْ َُا Seburuk-buruk panggilan ialah kefasihan sesudah iman kata ( ) ا ﻻ ﺳﻢalism yang dimaksudkan oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan. 24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, …. H. 252 Wahbah Zyhaili, Tafsir Munir…, h. 584 26 Sayyid Qutbh, Fi Zhilalil Qur’an…, h. 418 27 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah …, h. 252 25
36
Wabah Zuhaili dalam tafsir munir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan (
) ا ﻟﻔﺴﻮقmemberi gelar buruk seperti yang dilakukan oleh orang
jahiliyah setelah masuk Islam. Maksudnya sangat tercela memberikan sebutan fasik setelah yang bersangkutan beriman dengan sebenarnya.29 Menurut pendapat lain yang ini mengandung makna
seburuk-buruk pengenalan/tanda kepada
seseorang yang tidak masuk Islam adalah menyebutnya dengan sebutan fasiq atau Yahudi. 30 Dari yat ini dapatdipahami bahwa ajaran Islam melarang kepada setiap umatnya untuk mengungkit kembali kesalahan yang pernah dilakukannya, hal ini bisa menyebabkan pelakunya tersakiti padahal ia telah bertaubat untuk meninggalkan perbuatan tercelanya di masa lampau. Bahkan sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk senantiasa mendoakan saudaranya agar ia tetap berada di jalan yang diridhai Allah SWT, bukan malah memanggilnya dengan pamggilan yang menyakitkan.
ن َ ﻈِﺎﻠ ُﻣﻮ ﻚ ُه ُﻢ ُاﻟ ﱠ َ َو َﻣﻦ ﻟ ﱠﻢ ْ َﻳ ُﺘﺐْ ﻓﺎَْوَْﻟ َِﻨ Siapa saja yang tidak yang tidak bertaubat bahkan terus menerus mengolokolok orang lain, mengejek diri kamu sendiri serta memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, “maka mereka itu dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang dhalim yakni mereka yang menimpakan hukum Allah terhadap diri mereka sendiri karena kemaksiatan mereka terhadapNya. Dan pasti akan menerima konsekuesinya berupa azab dari Allah pada hari kiamat. 31
28
M. Quraish Shihab, Fafsir al-Misbah…, h. 253 Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir…, h. 584 30 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi…, h. 133 31 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maragi…, h. 225 29
37
Ayat ini mengandung larangan bagi siapa saja yang mengolok-olok orang lain, mengejek diri sendiri dan memberi gelar yang buruk bahkan menjadikannya menjadi suatu kebiasaan, dengan memandangnya sebagai orang yang zalim. 32 Padahal kezaliman itu merupakan kata lain dari syirik. Demikianlah ayat di atas mencanangkan prinsip-prinsip kesantunan diri bagi masyarakat yang unggul dan mulia tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 11 surat al-Hujurat ini mengandung larangan khususnya bagi kaum mukminin dan mukminat : 1. Mengolok-olok orang lain 2. Mengejek diri kamu sendiri 3. Memanggil-manggil orang lain dengan gelar-gelar yang buruk. Berikut rincian ayat 12 surat al-Hujurat, Allah swt berfirman :
⌧ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Kata ( )اﺟﺘﻨﺒﻮاIjtanibu terambil dari kata ( )ﺟﻨﺐJanb yang berarti samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini kata tersebut diartikan jauhi. Penambahan huruf ( )تta’ pada kata tersebut berfungsi penekanan yang berarti kata Ijtanibu berarti bersungguh-sungguhlah. Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk. 33 Kata آﺜﻴﺮاbanyak bukan berarti kebanyakan, sebagaimana dipahami atau diterjemahkan sementara penerjemah. Jika demikian, bisa saja banyak dari dugaan adalah dosa dan banyak pula yang bukan dosa. Yang bukan dosa adalah yang indikatornya demikian jelas, sedang yang dosa adalah dugaan yang tidak memiliki
32 33
Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi..., h. 133 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, Volume XIII, h. 254
38
Yang dimaksud dengan dhann (dugaan) adalah batas pertengahan antara yakin dan ragu, dhann (dugaan) bisa bersifat kuat (mendekati benar) dan juga bersifat lemah. 35 Allah swt melarang melakukan perbuatan buruk yang sifatnya tersembunyi. Dengan cara memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menghindari buruk sangka terhadap sesame manusia dan menuduh mereka berkhianat pada apapun yang mereka ucapkan dan yang mereka lakukan. Adapun dugaan yang dilarang dalam ayat ini adalah dugaan buruk yang dialamatkan kepada orang Baik, sedangkan dugaan yang ditujukan kepada orang yang berbuat kesalahan/fasik adalah seperti yang nampak dalam kehidupan sehari-harinya. Karena sebagian dari dugaan dan tuduhan tersebut kadang-kadang merupakan dosa semata-mata. Maka hendaklah menghindari kebanyakan dari hal seperti itu. 36 Orang-orang mukmin haruslah menjauhi buruk sangka terhadap orangorang yang beriman dan jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka kalimat itu harus diberikan tanggapan yang baik, ditujukan kepada pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah paham, apalagi
menyelewengkannya
sehingga menimbulkan fitnah dan
prasangka. Pada dasarnya setiap orang bebas dari asas praduga tak bersalah. Namun demikian praduga buruk itu hanya diharamkan terhadap orang yang disaksikan sebagai orang yang menutup aibnya, saleh dan terkenal amanatnya. “Adapun orang yang mempertontonkan diri sebagai orang yang gemar melakukan dosa, seperti orang yang masuk-masuk ke tempat-tempat pelacuran atau berteman dengan penyanyi-penyanyi cabul, maka tidaklah diharamkan berburuk sangka terhadapnya.” 37 Wabbah Zuhaili dalam Tafsir Munir mengatakan bahwa dhan (dugaan) itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pertama dhan yang sifatnya wajib/diperintahkan oleh Allah SWT. Misalnya berbaik sangka kepada Allah dan orang-orang mukmin, ketika Allah memberikan suatu musibah, maka seorang hamba harus menyadari bahwa hal tersebut merupakan kasih 34
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, Volume XIII, h. 254 Mahmud Hajazi, Tafsir Wadhih, (Beirut, Dar al-Jil, tt), Jilid III, h. 507 36 Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 27. 37 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 254. 35
39
sayang Allah kepadanya. Karena bisa jadi ujian/musibah tersebut bertujuan untuk mengangkat derajat atau menghapus dosanya. Kedua dhan yang dilarang/haram, misalnya berburuk sangka kepada Allah dan orang shaleh. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa siapa saja yang berburuk sangka kepada saudaranya berarti orang tersebut telah berburuk sangka kepada Allah SWT. Ketiga dhan yang dianjurkan berbaik sangka kepada saudaranya yang muslim, dan yang berburuk sangka jika memang yang bersangkutan telah nampak berbuat kefasikan. 38 Ada juga dhan yang diperbolehkan misalnya rincian hukum keagamaan. Pada umumnya atau dengan kata lain banyak dari hukum-hukum tersebut berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya bersifat zhanny/dugaan, dan tentu saja apa yang berdasar kepada dugaan hasilnya pun adalah dugaan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa buruk sangka merupakan perbuatan yang akan membawa kita krisis, seperti berikut ini : 39
( أﻟﻄﻴﺮة واﻟﺤﺴﺪ وﺳﻮء اﻟﻈﻦ )رواﻩ اﻟﻄﺒﺮاﻧﻰ:ﺛﻼث ﻻ زﻣﺎت ﻻﻣﺘﻰ
Tiga macam membawa krisis bagi umatku; memandang kesialan, dengki dan buruk sangka. (HR at-Thabrani) Dugaan demikian berburuk sangka tidak akan memberikan manfaat sedikitpun, oleh karena itu seorang Muslim harus berusaha menghindari sifat buruk sangka tersebut. Dalam sebuah hadits dikisahkan seorang laki-laki bertanya, “Amalan apakah yang dapat menghilangkan dari buruk sangka ya Rasulullah?” Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu mendengki maka mohon ampunlah kepada Allah, dan apabila kamu berburuk sangka maka janganlah memeriksa benar tidaknya, dan apabila kamu menduga maka laksanakanla saja rencanamu.”
إن ﺑﻌﺾ اﻟﻈﻦ إﺛﻢ Sesungguhnya prasangka (buruk) itu adalah dosa. Ayat ini merupakan alasan dilarangnya berburuk sangka, karena perbuatan tersebut termasuk dosa. Adapun contoh dugaan yang termasuk dosa adalah menuduh wanita mukminah melakukan perbuatan keji, padahal dalam kesehariannya nampak sifat yang
38 39
Wabah Zuhaili, Tafsir Munir…., h. 578. Abbas Ahmad Shiqr dan Ahmad Abdul Jawad, Jamiul Ahadits.., Juz.IV, h. 157
40
terpuji. Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya tidak mudah berburuk sangka, dan biasakanlah dengan berpositif thinking (husnudhdhan). Ayat tersebut menjadi dasar larangan menduga, yakni dugaan yang tidak berdasar, adapun apabila ada bukti yang kuat yang mendukung dugaan seseorang maka hal itu tidak mengapa. “Dugaan buruk dan tidak didukung dengan bukti kuat, hanya akan menguras energi seseorang, akibatnya pikiran akan habis untuk menduga sesuatu yang tidak berdasar. Tidak mengherankan apabila hidup tidak menjadi produktif dan menjadi sia-sia dikarenakan dugaan buruk tersebut. 40 Memang islam tidak melarang adanya bisikan yang hanya terlintas dalam benak seseorang, aslakan bisikan tadi tidak dilanjutkan dengan dugaan buruk.
وﻻ ﺗﺠﺴﺴﻮا Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain. Dalam ayat ini Allah SWT melarang dari memata-matai terhadap orang lain. Yakni upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi yang disebut tajassus. (
) ﺗﺠﺴﺴﻮاtajassasu terambil dari kata ( ) ﺟﺲ, dari sini mata-mata dinamai ( ) ﺟﺎﺳﻮسjasus. Imam Al-ghazali memahami larangan ini dalam arti, jangan tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiaannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Dengan demikian jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga. 41 Allah melarang hamba-Nya mengikuti dugaan (buruk) dan janganlah seseorang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan keyakinan tentang aib (kekurangan) manusia. Tajassus merupakan kelanjutan dari menduga, oleh karenanya ia dilarang. Tajassus dapat menggantikan tali persaudaraan. Sama halnya seperti menduga, tajassus demikian ada yang dilarang ada pula yang dibenarkan. Ini dapat 40 41
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 255. M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 255.
41
dibenarkan dalam konteks pemeliharaan negara atau untuk menarik mudharat yang sifatnya umum. Adapun tajassus untuk mencari rahasia orang lain, ia lebih dilarang. Siapa saja yang menutup aib orang lain, maka ia bagaikan menghidupkan seorang anak yang dikubur hidup-hidup. Dalam kesempatan yang lain tajassus merupakan kegiatan mengiringi dugaan dan terhadap pula sebagai kegiatan awal untuk menyingkap aurat dan mengetahui keburukan seseorang. AlQur’an memberantas praktik yang hina ini dari segi akhlak guna membersihkan kalbu dan kecenderungan buruk itu, yang hendak mengungkap aib dan keburukan tersebut. Sedangkan tahassus adalah mencari berita tentang orang lain dan apabila hal tersebut diketahui oleh yang bersangkutan maka ia tidak senang. Tahassus biasanya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berarti baik sekaligus juga yang jelek. Seperti firman Allah SWT ketika menceritakan tentang Ya’qub as yaitu, Hai anak-anakku, pergilah kamu maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya. Tidak adanya kepercayaan kepada orang lain, akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan batin berupa prasangka buruk dan mendorong melakukan tindakan lahir berupa tajassus ‘memata-matai,’ “Islam membangun masyarakatnya atas dasar kesucian lahir dan batin sekaligus. Oleh karena itu,larangan tajassus ini dibarengkan dengan su’suzhzhan. Dan, sering terjadi bahwa su’uzhzhan menyebabkan tajassus.” 42
وﻻﻳﻐﺘﺐ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﺑﻌﻀﺎ Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian orang lain. Kata ( ) ﻳﻐﺘﺐyaghtab terambil dari kata ( ) ﻏﻴﺒﻪghibah yang berasal dari kata ( ) ﻏﻴﺐghaib. 43 Menurut ijma ulama ghibah adalah termasuk dosa besar (kabair) dan haram hukumnya, tidak ada pengecualian mengenai perbuatan ini. Menurut al-Hasan ghibah itu ada tiga macam yang semuanya tercantum dalam kitab Allah SWT, yaitu ghibah, al-ihkfu dan al-Buhtan. Ghibah maksudnya ialah berkata-kata mengenai saudaramu tentang sesuatu yang ada pada dia. Al-Ikhfu 42 43
Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam Islam….., h. 390. M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 256.
42
adalah berkata-kata mengenai saudaramu tentang apa-apa yang sampai kepadamu mengenai dia, adapun al-Buhton, kamu berkata-kata mengenai saudaramu yang tidak terdapat pada dirinya. Ayat ini menjadi isyarat wajibnya menjaga kehormatan orang mukmin ketika yang bersangkutan tidak ada dihadapannya, dengan tidak melakukan ghibah. Dan telah ditafsirkan pula pengertian ghibah oleh Rasululah SAW, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Abu Hurairah ra berkata,
اﺗﺪرون:ﻋﻦ أﺑﻰ هﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ذآﺮك أﺧﺎك ﺑﻤﺎ ﻳﻜﺮﻩ ﻗﻴﻞ أﻓﺮأﻳﺖ ﻓﻲ أﺧﻲ ﻣﺎ: ﻗﺎل. اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ أﻋﻠﻢ:ﻣﺎﻟﻐﻴﺒﺔ؟ ﻗﺎﻟﻮا أن آﺎن ﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﺮل ﻓﻘﺪ ﻋﺘﻴﺘﻪ وان ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﻮل ﻓﻘﺪ ﺑﻬﺘﻪ )رواﻩ:اﻗﻮال؟ ﻗﺎل (اﻟﺘﺮﻣﺬي Abu Hurairah r.a berkata, Rsulullah bersabda, “Tahukah kamu apakah ghibah itu?” Jawab sahabat, “Allah dan Rasulullah yang lebih mengetahui. Nabi bersabda, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.” Ditanyakan lagi, “Bagaimana jika keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Jawab Nabi,”Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan apa yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terhadap apa yang kami katakan, maka kamu telah berbohong. (HR Turmudzi) Sesungguhnya ghibah adalah sebuah keinginan untuk menghancurkan orang lain, menodai harga dirinya, kemuliannya, dan kehormatannya, ketika mereka sedang tidak ada dihadapannya. Ini menunjukkan kelicikan dan kepengecutan, karena ghibah sama dengan menusk dari belakang. Ghibah merupakan salah satu bentuk perampasan, ghibah merupakan tindakan melawan orang yang tidak berdaya, ghbah merupakan tindakan penghancuran. Karena dengan melakukan ghibah, sedikit sekali lidah seseorang selamat dari mencela dan melukai hati orang lain. 44 Abu Dawud meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas bin Malik bahwa rasulullah bersabda,”Tatkala dimikrajkan, aku meliahat suatu kaum yang berkuku tembaga. Mereka mencakari wajah dan dadanya. Aku bertanya, ‘Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, mereka adalah orang yang suka makan daging
44
Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam….., h. 394.
43
manusia dan menodai kehormatannya.” 45 Orang yang menggunjing berarti ia telah menodai kehormatan orang lain.
أﺗﺤﺐ أﺣﺪآﻢ أن ﻳﺄآﻞ ﻟﺤﻢ أﺧﻴﻪ ﻣﻴﺘﺎ Apakah seorang dari kalian suka memakan daging saudaranya setelah ia meninggal dunia. Orang yang berghibah berarti ia telah merobek-robek kehormatan saudaranya, sehingga diumpamakan seperti memakan bangkai daging saudaranya. “Namun perlu dipahami bahwa ghibah yang dilarang adalah terhadap orang mukmin, bukan orang kafir. Hal ini dapat dilihat dari redaksi yang digunakannya seperti memakan bangkai saudara (akhi). Sedangkan orang kafir bukan saudara (orang mukmin), oleh karena itu ghibah trhadap orang kafir dibolehkan.” 46 Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa ghibah merupakan perbuatan yang tercela yang harus dihindari oleh setiap umat muslim khususnya. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ghibah itu haram hukumnya bahkan lebih keras daripada zina. Ajaran islam menegaskan bahwa seorang hamba harus menjauhi perbuatan tercela ini. Adapun yang menyebabkan seseorang melakukan ghibah adalah : 1. Hendak mencairkan amarah. Misalnya disebabkan karena ada seseorang yang membuatnya marah maka, untuk mencairkan amarah orang tersebut menggunjingnya. 2. Menyesuaikan diri dengan teman-teman, menjaga keharmonisan dank arena hendak membantu mereka. 3. Ingin mengangkat diri sendiri dengan cara menjelek-jelekan orang lain. Misalnya si fulan orangnya bodoh, pengetahuannya rendah, sedangkan saya tidak seperti itu. 4. Untuk canda dan lelucon. Dia menyebutkan kekurangan seseorang dengan maksud untuk membuat orang disekitarnya tertawa. Bahkan tidak sedikit orang yang mencari penghidupannya dengan cara ini.47
ﻓﻜﺮهﺘﻤﻮﻩ 45
Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an…., Jilid X, h. 421. Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrus Razi….., h. 134. 47 Ahmad bin Qudamah, Minhajul Qasidin, terj. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), Cet. 46
44
Maka kamu telah jijik kepadanya merupakan kata kerja masa lampau untuk menunjukkan bahwa perasaan jijik itu adalah sesuatu yang pasti dirasakan oleh srtiap orang. Redaksi yang digunakan ayat di atas mengandung sekian banyak penekanan pertama pada gay pertanyaan yang dinamai istifham taqriri yakni yang bukan tujuan meminta informasi, tetapi mengundang yang ditanya membenarkan. Kedua ayat ini menjadikan apa yang pada hakikatnya sangat tidak disenangi, dilukiskan sebagai disenangi. Ketiga, ayat ini mempertanyakan kesenangan itu langsung kepada setiap orang, yakni dengan menegaskan “sukakah salah seorang diantara kamu.” Keempat, daging yang dimakan bukan sekedar daging manusia tetapi daging saudara sendiri. Kelima, pada ayat ini adalah bahwa saudara itu dalam keadaan mati yakni tidak dapat membela diri. 48 Sebagai akhlak tercela, ghibah haruslah diobati. Adapun cara mengobati penyakit ghibah ialah dengan menyadarkan orang yang menggibah bahwa perbuatan itu memancing kemurkaan Allah, kebaikan-kebaikannya akan berpindah kepada orang yang dighibah, dan jika tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan orang yang dighibah akan dipindahkan kepada dirinya. Siapapun yang menyadari hal ini, tentu lidahnya tidak akan berani melakukan ghibah. Jika terlintas untuk mengghibah, maka hendaklah dia intropeksi diri dengan melihat aib diri sendiri lalu berusaha untuk meperbaikinya. Orang yang melakukan ghibah semestinya dia merasa malu sementara dirinya masih banyak memiliki kekurangan di sana sini.
وأﺗﻘﻮاا اﷲ “Maka janganlah kamu suka menggunjing, dan bertakwalah kamu kepada Allah tentang apa yang Dia perintahkan dan Dia larang terhadapmu. Waspadalah dan takutlah kamu kepada Allah.” 49
إن اﷲ ﺗﻮاب رﺣﻴﻢ Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyanyang. Kata ( ) اﻟﺘﻮابatawwah serinhkali diartikan penerima taubat. Tetapi makna ini belum mencerminkan secara penuh kandungan kata attawwah, walaupun tidak dapat menilainya keliru. Imam Ghazali mengartikan at-Tawwaah sebagai Dia (Allah) yang kembali berkali-kali menuju cara yang memudahkan taubat untuk hamba-hambaNya. Dengan jalan menampakkan 48
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., volume XIII, h. 257.
49
Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 232.
45
Terkait dengan masalah ghibah/menggunjing, jumhur ulama berpendapat, seseorang yang menggunjing saudaranya wajib bertaubat kepada Allah dengan cara berhenti dari perbuatan tersebut, serta berazam untuk tidak mengulanginya lagi. Apakah diisyaratkan bagi orang yang menggunjing meminta maaf kepada yang digunjingnya? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat, menurut sebagian pendapat wajib bagi orang yang menggunjing meminta kehalalan (maaf) dari orang yang digunjingnya tadi, sedangkan menurut sebagian ulama yang lain tidak diisyaratkan untuk kehalalan kepada orang yang digunjingnya, karena hal ini bisa menyakitkan perasaan orang tersebut. “Bila demikian halnya, maka cara yang mesti ditempuh adalah memberikan sanjungan kepada orang yang telah digunjingnya itu di tempat dimana ia telah menggunjing orang tersebut. Dan, agar dia menghindari gunjingan orang lain terhadap orang itu sesuai dengan kemampuannya. Umpatan dibayar dengan pujian.” 51 Sesunggunhnya Allah Maha Penyayang kepada siapa saja yang benar-benar kembali kepada-Nya, yakni melaksanakan taubatan nasuhan, dan inilah taubat yang sebenarnya. Dengan demikian ayat 12 di atas mengandung kesimpulan bahwa: 1. Allah SWT melarang orang-orang yang beriman berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan bergunjing. 2. Allah SWT memberi perumpamaan, orang-orang yang suka bergunjing itu seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati. 3. Allah SWT memerintahkan supaya tetap bertakwa karena Dia adalah maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam ayat 13 surat al-Hujurat Allah SWT berfirman:
ﻳﺄﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎس إن ﺧﻠﻘﻨﻜﻢ ﻣﻦ ذآﺮ وأﻧﺜﻰ 50 51
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 259. Muhammad Nasab Rifa’I, Kemudahan dari Allah…., h. 436.
46
Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari Adam dan Hawa. “Maka kenapa kamu saling mengolok-olok sesama kamu, sebagian kamu mengejek sebagian yang lain, padahal kalian bersudara dalam nasib dan sangat mengherankan bila saling mencela sesame saudaramu atau saling mengejek atau panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” 52 “Karena semua manusia berasal dari ayah dan ibu yang sama yaitu Adam dan Hawa. Berdasarkan ayat ini maka dapat dikatakan bahwa kedudukan setiap manusia adalah sama. Oleh karena itu, maka tidak ada tempat untuk saling membanggakan dan menyombongkan diri.” 53 Dengan demikian ayat ini menjelaskan larangan mengolok-olok, mencela diri sendiri, memanggil dengan gelar yang buruk, suudhdhan, tajassus, dan menggunjing. Karena pada dasarnya manusia berasal dari keturunan yang sama yaitu Adam dan hawa.
وﺟﻌﻠﻨﻜﻢ ﺷﻌﻮﺑﺎ وﻗﺒﺎﺋﻞ Dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Kata ( ) ﺷﻌﻮبsyu’ub adalah bentuk jamak dari kata ( ) ﺷﻌﺐ. Kata ini digunakan untuk menunjuk kumpulan dari sekian kabilah yang biasa diterjemahkan suku yang biasa merujuk kepada satu kakek. Qabilah pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai ‘imarah, dan yang ini terdiri dari sekian banyak kelompk yang dinamai bathn. Di bawah bath nada sekian ifakhd hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga yeng terkecil. 54 Supaya kamu saling mengenal. “Kata ta’arafu terambil dari kata ‘arafa yang berarti mengenal, kata yang digunakan dalam ayat ini mengandung makna timbale balik, dengan demikian berarti saling mengenal.” 55 Upaya saling mengenal ini dapat dilakukan dengan cara kembali kepada kabilahnya masingmasing dan saling menolong di antara sesame kerabat. Dengan demikian, dengan 52
Ahmad Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 236. Muhammad bin Ali As Syaukani, Fathul Qadir. (Beirut: Darul Ma’rifah,tt), h. 83. 54 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261. 55 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261. 53
47
Upaya saling mengenal dapt dilakukan dengan proses bersilahturahmi. Akan tetapi warna kulit, ras, bahasa, negara dan lainnya yang seringkali membuat orang enggan berinteraksi dengan yang lainnya disebabkan karena perbedaan tersebut. Padahal perbedaan-perbedaan tersebut merupakan suatu Sunnatullah dan tidak dapat dijadikan alasan untuk saling mengenal.
أن أآﺮﻣﻜﻢ ﻋﻨﺪ اﷲ أﺗﻘﻨﻜﻢ Sesunggunhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. “kata ( ) اآﺮﻣﻜﻢakramakum terambil dari kata ( ) آﺮمkaruma yang pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai obyeknya. Manusia yang baik adalah manusia yang baik terhadap Allah, dan terhadap sesame makhluk.” 56 Firman inna akramakum inda Allah atqaamakum mengandung dua makna yang pertama seseorang yang paling bertakwa maka kedudukannya akan mulia di hadapan Allah SWT dengan kata lain ketakwaan akan membuat kedudukan seeorang menjadi mulia. Yang kedua, seseorang yang mulia di hadapan Allah SWT akan membuat orang menjadi takwa, artinya kemuliaan akan membuat seseorang menjadi takwa. Akan tetapi pendapat pertama adalah lebih terkenal disbanding yang kedua. 57 Ketakwaan merupakan sumber segala keutamaan, dengan demikian dapat dikatakan takwa adalah manifestasi dari ‘amal’ sedangkan ilmu adalah kemuliaan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa seseorang yang ‘alim adalah lebih dibenci syaithan dibanding seribu abid yang rajin beribadah tapi tidak memiliki ilmu. Ketakwaan merupakan buah dari pada ilmu, Allah SWT berfirman “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah adalah orang yang alim” maka tidaklah dikatakan takwa kecuali bagi orang yang berilmu. Dengan demikian ilmu dan ketakwaan merupakan dua hal yang saling menyatu, dan tidak bias dipisahkan. Orang ‘alim tetapi tidak bertakwa adalah seperti pohon yang tidak berbuah, oleh karena itu pohon yang berbuah adalah lebih utama dibanding 56 57
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 262. Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrus Razi….., h. 139.
48
yang tidak berbuah, pohon yang tidak berbuah tidak memiliki banyak manfaat kecuali hanya sebatas untuk kayu bakar. Begitu pula orang ‘alim yang tidak bertakwa hanya akan menjadi bahan bakar neraka. Manusia memiliki kecenderungan untuk mencari bahkan bersaing dan berlomba menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga bahwa kepemilikan materi, kecantikan serta kedudukan sosial karena kekuasaan atau garis keturunan, merupakan kemuliaan yang harus dimiliki dank arena itu banyak yang berusaha memilikinya. Tetapi bila diamati apa yang dianggap keistimewaan dan sumber kemuliaan itu, sifatnya sangat sementara. Bahkan tidak jarang mengantar pemiliknya pada kebinasaan. Jika demikian hal-hal tersebut bukanlah sumber kemuliaan. Kemuliaan adalah sesuatu yang langgeng sekaligus membahagiaan secara terus menerus. “Kemuliaan abadi dan langgeng iu ada di sisi Allah SWT dan untuk mencapainya adalah dengan mendekatkan diri kepadaNya, menjauhi larangan-Nya, melaksanakan perintah-Nya serta meneladani sifatsifat-Nya sesuai kemampuan manusia. Itulah takwa dan dengan demikian yang paling mulia di sisi Allah adalah yang palin bertakwa.” 58 Di sisi Allah hanya ada satu pertimbangan untuk menguji seluruh nilai dan mengetahui keutamaan manusia. Ya.itu, “sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. “Orang yang paling mulia yang hakiki ialah yang paling mulia menurut pandangan Allah. “Dengan demikian, berguguranlah segala perbedaan, gugurlah segala nilai. Lalu dinaikanlah satu timbangan dengan satu penilaian. Timbangan inilah yang digunakan manusia untuk menetapkan hukum. Nilai inilah yang harus dirujuk oleh manusia dalam menimbang. Adapun nilai/panji yang diperebutkan semua orang agar dapat bernaung di bawahnya yaitu panji ketakwaan di bawah naungan Allah SWT. Inilah panji yang dikerok islam untuk menyelamatkan umat manusia dari fanatisme ras, fanatisme daerah, fanatisme kabilah, dan fanatisme rumah. 59
58
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 263 Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an…., Jilid X, h. 422.
59
49
Semua ini merupakan kejahiliahan uang kemudian dikemas dalam berbagai model dan dinamai dengan berbagai istilah. Semua merupakan kejahiliahan yang tidak berkaitan dengan islam. Islam memerangi fanatisme jahiliah ini serta segala sosok dan bentuknya agar system islam yang manusiawi dan mengglobal ini tegak di bawah satu panji yaitu panji Allah. Bukan panji Negara, bukan panji nasionalisme, bukan panji keluarga, dan bukan panji ras. Semua itu merupakan panji palsu yang tidak dikenal islam. Dalam konteks ini, sewaktu haji wada (perpisahan), nabi SAW berpesan antara lain: “ Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang arab atas non arab, tidak juga non arab atas orang arab atau orang (berkulit) hitam atas yang (berkulit) merah, (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semuliamulia kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. 60 Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Durra binti Abu Lahab r.a berkata, seorang laki-laki beranjak menemui Nabi yang sedang berada di atas mimbar. Orang itu berkata, Ya Rasulullah, manusia manakah yang paling baik? Rasulullah menjawab, Manusia yang paling baik adalah yang paling rajin membaca Al-Qur’an, yang paling bertakwa kepada Allah, yang paling sering memerintahkan kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari
perbuatan mungkar, dan yang paling sering menyambungkan tali silahturahmi. Dengan demikian sebagian ulama berpendapat kafaah di dalam pernikahan tidaklah disyaratkan kecuali agamanya, karena kedudukan semua orang adalah sama, hanya ketakwaan yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Bahkan pada hari kiamat nanti seseorang tidak akan ditanya tentang nasab maupun kedudukan mereka, karena yang paling mulia adalah yang paling bertakwa kepada Allah SWT.
إن اﷲ ﻋﻠﻴﻢ ﺧﺒﻴﺮ Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal, maksudnya Maha mengetahui apa yang dikerjakan dan Maha Mengenal/teliti terhadap semua 60
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261.
50
urusan manusia. Allah memberi petunjuk kepada yang dikehendaki dan menyesatkan kepada yang dikehendaki, mengasihi dan menyiksa kepada yang dikehendaki, memuliakan kepada yang dikehendaki dan merendahkan kepada yang dikehendaki pula. Allah SWT Maha bijaksana, Maha Mengetahui, dan Maha Teliti dalam semua urusan tersebut. Sifat ‘Alim dan Khabir keduanya mengandung makna kemahatahuan Allah SWT. Sementara ulama membedakan keduanya dengan menyatakan bahwa ‘Alim menggambarkan pengetahuan-Nya menyangkut segala sesuatu yang dikenal itu. Penekanannya pada Dzat Allah yang bersifat Maha Mengetahui buakn pada sesuatu yang diketahui itu. Sedang Khabir menggambarkan pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu. Di sini, sisi penekanannya bukan pada dzat-Nya Yang Maha Mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahui itu. 61 Dengan demikian, ayat 13 surat al-Hujurat ini mengandung kesimpulan bahwa: 1. Allah SWT menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling mengenal dan tolong menolong. 2. Kemuliaan manusia tidak diukur dengan keturunannya, melainkan diukur dengan ketakwaannya kepada Allah SWT
61
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, h. 263.
51
BAB III TAFSIR SURAT AL-HUJURAT AYAT 11-13
A. Asbabun Nuzul Berikut ini adalah bunyi lengkap surat al-Hujurat ayat 11-13:
⌦ ☺
☺
⌧
☺
⌧
25
26
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersukusuku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Mengenal.Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha” ( QS. Al-Hujurat (49) : 11-13)
Dalam suatu riwayat, ayat 11 surat al-Hujurat turun berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai dua atau tiga nama. Orang itu sering dipanggil dengan nama tertentu yang tidak ia senangi. Maka turunlah ayat ini sebagai larangan memberi gelar kepada orang lain, dengan namanama gelar di zaman jahiliah yang sangat banyak. Ketika Nabi SAW memanggil seseorang dengan gelarnya, ada orang yang memberitahukan kepada beliau bahwa gelar itu tidak disukainya. Maka turunlah ayat yang melarang memanggil orang dewasa yang tidak disukainya. 1 Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat 12 surat al-Hujurat turun berkenaan dengan “Salman al-Farisi yang apabila selesai makan ia terus tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang mempergunjingkan
1
HQ Shaleh dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 1995), Cet. XVII, h. 473.
27
perbuatannya itu. Maka turunlah ayat ini yang melarang seseorang mengumpat menceritakan keaiban orang lain”. 2 Sedangkan ayat 13 surat al-Hujurat turun ketika terjadi peristiwa penaklukan kota Makkah, Bilal naik ke atas panggung Ka’bah dan mengumandangkan azan. Berkatalah beberapa orang “apakah pantas budak hitam adzan di atas Ka’bah?”. Maka berkatalah yang lainnya : “Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya”. Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, dan yang paling mulia adalah yang paling takwa. 3 Dalam riwayat lain ayat ini turun berkenaan dengan “Abi Hidin akan dikawinkan oleh Rasulullah kepada seorang wanita Bani Bayadlah. Bani Bayadlah berkata : “Wahai Rasulullah pantaskah kalau kami mengawinkan puteri-puteri kami kepada budak-budak kami ?”.Ayat ini turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara bekas budak dengan orang merdeka”. 4
B. Tafsir Surat al-Hujurat Ayat 11-13 Surat yang tidak lebih dari 18 ayat ini termasuk surat Madinah, ia merupakan surah yang agung dan besar, yang mengandung aneka hakikat akidah dan syariah yang penting, mengandung hakikat wujud dan kemanusiaan. Hakikat ini merupakan cakrawala yang luas dan jangkauan yang jauh bagi akal dan kalbu. Juga menimbulkan pikiran yang dalam dan konsep yang penting bagi jiwa dan nalar. Hakikat itu meliputi berbagai manhaj (cara) penciptaan, penataan, kaidah-kaidah pendidikan dan pembinaan. Padahal jumlah ayatnya kurang dari ratusan. 5 Surat al-Hujurat berisi petunjuk tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang mukmin terhadap Allah SWT, terhadap Nabi dan orang yang 2
HQ Shaleh dan A. Dahlan, Asbabun Nuzul, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 1995), Cet. XVII, h. 474. 3 Mustofa, Riwayat turunnya Ayat-ayat Suci Al’Quran, (Semarang : CV Asy-syifa’, 1993), Cet-I, h. 496. 4 Mustofa, Riwayat turunnya Ayat-ayat Suci Al’Quran, (Semarang : CV Asy-syifa’, 1993), Cet-I, h. 496. 5 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), Cet. I, Jilid X, h. 407.
28
menentang ajaran Allah dan Rasul-Nya, yaitu orang fasik. Pada pembahasan ini dijelaskan apa yang harus dilakukan seorang mukmin terhadap sesamanya dan manusia secara keseluruhan, demi terciptanya sebuah perdamaian. Adapun etika yang diusung untuk menciptakan sebuah perdamaian dan menghindari pertikaian yaitu menjauhi sikap mengolok-olok, mengejek diri sendiri, saling memberi panggilan yang buruk, suudhdhan, tajassus, ghibah, serta tidak boleh bersikap sombong dan saling membanggakan diri karena derajat manusia di hadapan Allah SWT sama. Untuk lebih memahami kandungan surat al-Hujurat ayat 11-13, penulis akan menafsirkannya secara mufradat (kosa kata), seperti berikut ini :
اﻟﺴﺨﺮﻳﺔ Mengolok-olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan cara menimbulkan tawa. Orang mengatakan sakhira bihi dan sakhira minhu (mengolok-olokkan).Dhahika bihi dan dhahika minhu (menertawakan dia). Adapun isim masdarnya Assukhriyah dan As-sikhriyah (huruf sin didhamahkan atau dikasrah). Sukhriyah bisa juga terjadi dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru perkataannya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk. 6
اﻟﻘﻮ م Telah umum diartikan orang-orang lelaki, bukan perempuan. Menurut M. Quraish Shihab seperti dikutip Abuddin Nata,” kata kaum berasal dari kata qama, yaqumu, qiyam, yang berarti berdiri atau bangkit. Kata qaum agaknya dipergunakan untuk menunjukkan sekumpulan manusia yang bangkit untuk berperang membela sesuatu”. 7
وﻻ ﺗﻠﻤﺰوا Janganlah kamu mencela dirimu sendiri. Jangan sebagian kamu mencela sebagai yang lain dengan perkataan atau isyarat tangan, mata atau semisalnya. Karena orang mukmin adalah seperti satu 6
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang: Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 220. 7 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), Cet. I, h. 235.
29
jiwa. Maka apabila seorang mukmin mencela orang mukmin yang lainnya, maka seolah-olah mencela dirinya sendiri. 8
وﻻﺗﻨﺎﺑﺰوا ﺑﺎﻻﻟﻘﺎب Janganlah saling mengejek dan panggil memanggil dengan gelar yang tidak disukai oleh seseorang. 9
اﻻ ﺳﻢ Nama dan Kemasyhuran. Seperti orang mengatakan “namanya terkenal di kalangan orang banyak baik karena kedermawanannya atau kejelekannya.” 10
اﺟﺘﻨﺒﻮا Jauhilah oleh kalian,perintah ini mengandung makna bersungguhsungguh untuk menjauhinya.
اﻻﺛﻢ Dosa. Dosa adalah ungkapan untuk segala pelanggaran terhadap perintah Allah Ta’ala, dengan berbuat jahat atau meninggalkan yang wajib.
ﺗﺠﺴﺴﻮا Memata-matai. Yaitu mencari-cari keburukan dan cacat-cacat serta membuka-buka hal yang ditutup oleh orang. 11
اﻟﻐﻴﺒﺔ Menyebut-nyebut seseorang tentang hal-hal yang tidak ia sukai, tidak sepengetahuan dia.
8
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang: Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 220. 9 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang: Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 221. 10
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang: Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 221. 11 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, (Semarang: Toha Putra, 1993), Cet. II, h. 226.
30
ﻣﻦ ذ آﺮ و اﻧﺜﻰ Dari seorang laki-laki dan perempuan (Adam dan Hawa)
اﻟﺸﻌﻮب Suku besar yang bernasab kepada suatu nenek moyang. 12 Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mau harus berinteraksi dengan manusia lainnya, dan membutuhkan lingkungan dimana ia berada. Ia menginginkan adanya lingkungan sosial yang ramah, peduli, santun, saling menjaga dan menyayangi, bantu membantu, taat pada aturan/tertib, disiplin, menghargai hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Lingkungan yang demikian itulah yang memungkinkan ia dapat melakukan berbagai aktivitasnya dengan tenang, tanpa terganggu oleh berbagai hal yang dapat merugikan dirinya. Untuk menciptakan masyarakat yang tenang, tertib dan penuh dengan keharmonisan, al-Qur’an merupakan yang tidak ada keraguan di dalamnya. Surat al-Hujurat merupakan salah satu surat yang mengatur tentang tata kehidupan manusia, untuk terciptanya sebuah masyarakat yang makmur. Salah satu kandungan yang terdapat dalam surat al-Hujurat berisi perintah untuk melakukan perdamaian (ishlah) setelah terjadinya pertikaian, serta penjelasan tentang beberapa hal yang menyebabkan terjadinya pertikaian, sehingga umat Muslim diwajibkan untuk menghindarinya, demi untuk mencegah timbulnya pertikaian tersebut. Sebab pertikaian bukan merupakan ajaran Islam, terlebih lagi disebabkan oleh hal yang sederhana, seperti halnya mengolok-olok. Berikut penulis akan menjelaskan kandungan makna surat alHujurat ayat 11 berdasarkan pendapat para mufassir, adapun uraian tafsir dari ayat tersebut adalah sebagai berikut :
﴾١١׃٤٩\…﴿اﻠﺤﺠﺮات.. 12
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi, … h. 237.
31
Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolokngolok kaum yang lain. “Yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman adalah mereka yang membenarkan segala sesuatu yang diperintahkan Allah SWT dan juga Rasul-Nya”. 13 “Kata ( ) ﻳﺴﺨﺮyaskhar/memperolok-olokkan ialah menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan , perbuatan atau tingkah laku”. 14 Contoh mengolok-ngolok misalnya dengan meniru perkataan atau perbuatan atau dengan menggunakan isyarat atau menertawakan perkataan orang yang diolokkan apabila ia keliru perkataannya terhadap perbuatannya atau rupanya yang buruk. Shukriyah juga berarti menghina dan menganggap rendah orang lain dan hal ini jelas haram. “Kata ( ) ﻗﻮمqaum merupakan (kata) yang menunjukan arti jamak dari sekumpulan laki-laki, tidak untuk perempuan dan tidak pula untuk anakanak”. 15 Kata qaum biasa digunakan untuk menunjuk sekelompok manusia. Bahasa menggunakannya pertama kali untuk kelompok laki-laki saja, karena ayat di atas menyebut pula secara khusus wanita. “Islam menginginkan masyarakat unggul berdasarkan petunjuk alQur’an yaitu masyarakat yang memiliki etika yang luhur. Pada masyarakat itu setiap individu memiliki kehormatan yang tidak boleh
disentuh. Ia
merupakan kehormatan kolektif. Mengolok-olok individu manapun berarti mengolok-olok
pribadi umat. Sebab seluruh jamaah itu satu dan
kehormatannya pun satu”. 16 Melalui ayat 11 ini, al-Qur’an memberitahukan etika tersebut melalui panggilan kesayangan “Hai orang-orang yang beriman.” Dia melarang suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain. Yusuf al-Qardawi mengatakan bahwa mengolok-ngolok itu dilarang karena di dalamnya terdapat unsur kesombongan yang tersembunyi, tipu daya, dan penghinaan terhadap orang lain. Juga tidak adanya 13 14
251
15 16
Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), Jilid XIII, h. 585 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), Volume XIII, h. Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) h. 132 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an…, h. 418
32
pengetahuan tentang tolak ukur kebaikan disisi Allah. Sesungguhnya ukuran kebaikan disini Allah didasarkan kepada keimanan, keikhlasan dan hubungan baik dengan Allah Ta’ala tidak diukur dengan penampilan, postur tubuh, kedudukan, dan harta. 17 Larangan mengolok-ngolok orang lain juga ditegaskan dalam sebuah hadits yang berbunyi :
ﻞ ُﺧ ُ ْﻻ َﻳﺪ َ " : ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳﻠﻢ ﻗﺎل ن َ ْﺐ َانْ َﻳ ُﻜﻮ ﺤ ﱡ ِ ﻞ ُﻳ َﺟ ُ ن اﻟ ﱠﺮ ِا ﱠ: ٌﺟﻞ ُ ل َر َ ل َذ ﱠر ٍة ِﻣﻦْ ِآﺒْ ٍﺮ" َﻓ َﻘﺎ ُ ن ِﻓْﻲ َﻗﻠْ ِﺒ ِﻪ ِﻣﺜْ َﻘﺎ َ ﺠ ﱠﻨ َﺔ َﻣﻦْ َآﺎ َ ْا ﻟ ﺾ ُ ْﻏﻤ َ ﻖ َو ﺤﱢ َ ْﻄ ُﺮ اﻟ َ ل َاﻟْ ِﻜﺒْ ُﺮ َﺑ َ ﺠﻤَﺎ َ ْﺐ اﻟ ﺤ ﱡ ِ ﺟ ِﻤﻴْﻞٌ ُﻳ َ ﷲ َ نا " ِا ﱠ: ل َ ﺴ َﻨ ًﺔ ؟ ﻗَﺎ َﺣ َ ﺴ ًﻨﺎ َو َﻧﻌُْﻠ ُﻪ َﺣ َ َﺛﻮْ ُﺑ ُﻪ 18
(س" )رواﻩ اﻟﺘﺮ ﻣﺬ ي ِ اﻟ ﱠﻨﺎ
Dari Abdullah Ibn Masud ra., dari Nabi SAW beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji dzarrah dari sifat sombong.” Seseorang bertanya: Apakah seseorang itu menyenangi apabila pakaian dan sandalnya bagus? Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai sesuatu yang indah. Kesombongan itu ialah mencampakkan kebenaran dan menghinakan manusia (HR. Tirmidzi) Dengan demikian jelaslah bahwa mengolok-olok itu hukumnya haram karena bisa memutuskan persaudaraan, menimbulkan perselisihan dan permusuhan.
﴾١١׃٤٩\ﺧﻴْ َﺮَا ِّﻣﻨْ ُﻬﻢْ …﴿اﻠﺤﺠﺮات َ ْﻰ َأن ﻳَﻜُﻮ ﻧُﻮا َﺴ َﻋ َ…
…boleh jadi mereka yang diolok-olok (dalam pandangan Allah) itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok… Barang kali orang yang berambut kusut penuh debu tidak punya apaapa dan tidak dipedulikan, sekiranya ia bersumpah dengan menyebut nama Allah Ta’ala maka Allah mengolok-olok orang lain yang ia pandang hina karena keadaannya compang-camping, atau karena ia cacat pada tubuhnya atau karena ia tidak lancar berbciara. Karena ia barangkali lebih ikhlas nuraninya dan lebih bersih hatinya dari pada orang yang sifatnya tidak seperti itu. Karena dengan demikian berarti ia menganiaya diri sendiri dengan menghina orang lain yang dihormati oleh Allah Ta’ala. 19 17
Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam, Terj.Wahid Ahmadi,dkk,( Solo: Era Intermedia, 2007), Cet.IV, h. 435. 18 Muhammad Jamil Athtar, Sunan Tirmizi, (Beirut: Darul Fikr, 1994), Juz III, h. 402 19 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi…, h. 222
33
Orang yang mengolok-olok orang lain berarti ia telah melakukan dua kesalahan ganda, pertama mengolok-olok itu sendiri dan yang kedua ia menganggap bahwa dirinya lebih sempurna dari orang lain. Padahal dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang yang diolok-olok itu bisa jadi kedudukannya lebih mulia dalam pandangan Allah, dibanding yang mengolok-olok. Hal ini merupakan isyarat bahwa seorang tidak bisa dipastikan berdasarkan pujian maupun celaan orang lain atas rupa, amal, ketaatan atau pelanggaran yang tampak padanya. Karena barang kali seseorang yang memelihara amal-amal lahiriyah, ternyata Allah mengetahui sifat tercela dalam hatinya, yang tidak patut amal-amal tersebut dilakukan, disertai dengan sifat tersebut. Dan barangkali orang yang kita lihat lalai atau melakukan maksiat, ternyata Allah mengetahui sifat terpuji dalam hatinya, sehingga ia mendapat ampunan karenannya. 20
﴾١١׃٤٩\ﻦ…﴿اﻠﺤﺠﺮات ﻰ أَن َﻳ ُﻜﻦﱠ ﺨﻴﺮا ِﻣّﻨ ُﻬْ ﱠ َﺴ َﻋ َ ﺴَﺎ ِء َ ﺴَﺎ ُء ﻣِّﻦ ِّﻧ َ ﻻ ِﻧ َ … َو Dan janganlah kaum wanita mengolok-olok kaum wnaita lainnya, karena barangkali wanita-wanita yang diolok-olokkan itu lebih baik dari wanita yang mengolok-olok (dalam pandangan Allah). Ayat tersebut menyebutkan larangan wanita mengolok-olok orang lain. Padahal, wanita sudah tercakup dalam makna kaum. Wanita memang dapat saja masuk dalam pengertian qaum bila ditinjau dari penggunaan sekian banyak kata yang menunjuk kepada laki-laki misalnya kata almu’minun dapat saja didalamnya terdapat kata al-mu’minat/wanitawanita. Namun ayat di atas mempertegas penyebutan kata ( ) ﻧﺴﺎءnisa /perempuan karena ejekan dan “merumpi” lebih banyak terjadi dikalangan perempuan dibandingkan kalangan laki-laki. “Ini menunjukkan bahwa penghinaan sebagian wanita terhadap sebagian yang lain sudah menjadi bagian moralitas mereka”. 21 “Allah menyebutkan kata jamak dalam ayat tersebut, karena kebanyakan mengolok-olok itu dilakukan ditengah orang banyak, sehingga sekian banyak orang enak saja mengolok-olokkan, sementara dipihak lain banyak pula yang sakit hati”. 22 Firmannya ‘Asa an yakunna khairan minhunna, boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok, mengisyaratkan tentang adanya tolok ukur kemuliaan yang menjadi dasar penilaian Allah yang 20
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi..., h. 223. Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam,Terj. Wahid Ahmadi, dkk … h. 436. 22 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi..., h. 222. 21
34
boleh jadi berbeda dengan tolok ukur manusia secara umum. Memang banyak nilai-nilai yang dianggap baik oleh sementara orang terhadap diri mereka atau orang lain, justeru sangat keliru. Kekeliruan itu mengantar mereka menghina dan melecehkan pihak lain. Padahal jika mereka menggunakan dasar penilaian yang ditetapkan Alah, tentulah mereka tidak akan menghina atau mengejek. 23 Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Allah tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan fisik maupun harta yang dimilikinya, akan tetapi Allah melihat keikhlasan amal yang dilakukannya.
ْﺴ َﺮ ِﻧﻰ َ " َﻣﺎ َﻳ: ل َ ﺟﻼ ً َﻓ َﻘﺎ ُ ﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ و ﺳّﻠﻢ َر ﺖ ِﻟﻠ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ُ ْﺣ َﻜﻴ َ :ْﺸ َﺔ َﻗﺎَﻟﺖ َ ﻋﺎ ِﺋ َ ْﻋﻦ َ ي اﻟ ﱡﺘﺮْ ُﻣ ِﺬى َ ُر ِو ﺻ ِﻔ ﱠﻴ َﺔ ِا ﻣْ َﺮ َأةٌ َوﻗﺎَﻟﺖْ ِﺑ َﻴ ِﺪ َهﺎ َ ن ﷲ ِا ﱠ ِ لا َ ْﺳﻮ ُ ﺖ َﻳﺎ َر ُ ْ ﻗﺎ َﻟﺖْ ﻓ ُﻘﻠ,"ن ِﻟﻰْ َآﺬا َوآﺬا ﻼ َوَا ﱠ ًﺟ ُ ﺖ َر ُ ْﺣ َﻜﻴ َ َْأ ﱢﻧﻰ ﺣﺖْ ِﺑ َﻤﺎ ِء اﻟْ َﺒﺤْ ِﺮ َﻟ َﻤ َﺰ ﺣْ ُﺘ ُﻪ )رواﻩ َ ﺖ ِﺑ َﻜِﻠ َﻤ ٍﺔ َﻟﻮْ ُﻣ ِﺰ ِ ْ َﻟ َﻘﺪْ َﻣ َﺰ ﺣ: ل َ َﻓ َﻘﺎ,ٌﺼﻴْ َﺮة ِ َه َﻜﺬا َﺗﻌْ ِﻨﻰ أ ﱠﻧﻬﺎ َﻗ 24
(اﻟﺘﺮﻣﺬى
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Aisyah ia berkata, dihadapan Nabi SAW saya menirukan seorang lelaki. Maka Beliau bersabda, “Saya tidak suka sekiranya aku meniru seorang lelaki padahal aku sendiri begini dan begini,” Aisyah berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Shafiyah itu seorang wanita. ‘Aisyah memperagakan dengan tangannya sedemikian rupa yang maksudnya bahwa Shafiyah itu wanita yang pendek. Maka Rasul SAW bersabda, “sesungguhnya kamu telah mencampur suatu katakata yang sekiranya dicampur dengan air laut, tentu akan bercampur seluruhnya. (HR. Tirmizdi).
﴾١١׃٤٩\ﺴ ُﻜﻢْ…﴿اﻠﺤﺠﺮات َ ﻻ َﺗﻠْﻤ ُﺰ َواْ أَﻧ ُﻔ َ … َو Dan janganlah mengejek diri kamu sendiri. “Kata ( ) ﺗﻠﻤﺰواtalmizu terambil dari kata ( ) اﻟﻠﻤﺰal-lamz. Para ulama berbeda pendapat dalam memakai kata ini. Ibn Asyur misalnya memahaminya dalam arti, ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau
23 24
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, …, h. 252. Shalih bin Abdul Aziz, Jamiut Turmuzdi, (Riyadh: Darussalam, 1999), h. 185
35
Larangan ini (mencela diri-sendirinya) hampir sama dengan firman-Nya “Dan janganlah kamu membunuh diri sendiri” maksudnya janganlah satu sama lain saling membunuh. Sebuah syair mengatakan: janganlah kamu membukabuka keburukan orang lain, selagi mereka menutupinya. Maka Allah takkan membukakan keburukanmu. Sebutlah kebaikan yang ada pada mereka, bila nama mereka disebut-sebut. Janganlah kamu mencela seorang pun dari mereka dengan keburukan
yang justru ada pada diri kamu sendiri. Dalam sebuah hadits
digambarkan bahwa antara mukmin yang satu dengan yang lainnya bagaikan satu tubuh, sehingga apabila seseorang mencela orang lain berarti ia telah mencela dirinya sendiri:
: ﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﱠﻠﻢ ُ ل ا ﷲ ﺻﻠﻰ ا ُ ْﺳﻮ ُ ل َر َ َﻗﺎ: ل َ ﻋﻦ اﻟﻨﻌﻤﺎن ﺑﻦ ﺑﺸﻴﺮ ر ﺿﻰ ا ﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗَﺎ ﺴ ِﺪ اذا ﺷْﺘﻜٰﻰ ﻣﻨﻪ ﻋﻀﻮٌ ﺗﺪاﻋٰﻰ َﺠ َ ْﻞ اﻟ ِ ﻃ ِﻔﻬﻢ َآﻤﺜ ُ ﺣ ِﻤ ِﻬﻢْ وﺗﻮا ﱢدهﻢ َو َﺗ َﻌﺎ ُ ﻦ ِﻓﻰْ َﺗ َﺮا َ ْﺘﺮَاﻟْ ُﻤﺆْ ِﻣ ِﻨﻴ 28
(ﺤﻤﻰ )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى ُ ﺴﻬ ِﺮ واﻟ ّ ﺳﺎ ِﺋ ُﺮ اﻟﺠﺴ ِﺪ ﺑﺎ ﻟ َ
Dari Nu’man bin Basyir ra., berkata, Nabi SAW bersabda, kamu akan melihat kaum mukmin adalah kasih sayang dan cinta mencintai, pergaulan mereka bagaikan satu badan, jika satu anggotanya sakit, maka menjalarlah kepada anggota-anggota lain, sehingga badannya terasa panas dan tidak dapat tidur. (HR. Bukhari)
25
M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, ….h. 251 Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam,Terj. Wahid Ahmadi,dkk …., h. 436. 27 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’anul Adhim, (Beirut: Darul Fikr, 2000), Juz IV, h. 256. 28 Mustafa Dhaib Bigha, Mukhtashar Shahih Bukhari, (Beirut: Yamamah, 1999), h. 665 26
36
Ayat di atas dengan tegas melarang melakukan mengejek diri sendiri. Tetapi maksudnya adalah orang lain.
Karena ejekan yang dilakukan oleh
seseorang, maka ejekan tersebut akan kembali kepada pelakunya (yang mengejek). Bisa juga larangan ini memang ditujukan kepada masing-masing dalam arti jangan melakukan suatu aktivitas yang mengundang orang lain menghina dan mengejek Anda, karena jika demikian, Anda bagaikan mengejek diri sendiri.
﴾١١׃٤٩\ﺐ…﴿اﻠﺤﺠﺮات ِ ْﻻ َﺗﻨَﺎ َﺑ ُﺰوأﺑُِﺎﻻْﱠﻟﻘ َ … َو Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar buruk Kata ( ) ﺗﻨﺎﺑﺰ واterampil dari kata ( ) ا ﻟﻨﺒﺬan-Nabz yakni buruk. At-tanabuz adalah saling memberi gelar buruk. Larangan ini menggunakan bentuk yang mengandung makna timbal balik, berbeda dengan al-lamz pada penggalan sebelumnya. Ini bukan saja at-tanabuz lebih banyak terjadi dari al-lamz, tetapi juga karena gelar buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu, membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk, sehingga terjadi tanabuz. 29 Menurut Wahbah Zuhaili memberi panggilan yang buruk ini maksudnya “memanggil saudaranya yang muslim dengan panggilan wahai orang fasik, orang munafik. Bisa juga memanggil saudaranya yang sudah masuk Islam dengan panggilan wahai Yahudi atau Nasrani. Atau memanggil seseorang: wahai anjing, keledai dan babi”. 30 “Tindakan seperti itu jelas dilarang dalam Islam. Karena, diantara kesantunan seorang mukmin ialah dia tidak menyakiti saudaranya dengan hal semacam ini. Rasulullah telah mengubah beberapa nama dan panggilan yang dimiliki
orang sejak zaman jahiliyah, karena nama atau panggilan itu
menyinggung dan mencela perasaannya yang lembut dan hatinya yang mulia”. 31 Memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pemabuk atau pencopet dan lainlain, adalah bentuk panggilan yang menyakitkan. Orang yang sudah bertaubat dengan
taubatan
nashuha,
haruslah
dipanggil
dengan
menyenangkan baginya dan tidak menyinggung perasaannya. 29
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, …. H. 252 Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir…, h. 584 31 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an…, h. 418 30
panggilan
yang
37
Perlu dicatat bahwa apabila orang yang diberi gelar buruk itu tidak keberatan, maka panggilan tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Mislanya abu Hurairah yang nama aslinya adalah Abdurrahman Ibn Shakhr, atau Abu Turab untuk Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib, bahkan al-‘Araj (si pincang) untuk perawi hadits kenamaan Abdurrahman Ibn Hurmuz, dan al-A’masy (si rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahran dan lain-lain. Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan itu tidak dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan asShidiq. Kepada Umar dengan al-Faruq, kepada Utsman dengan sebutan Zun Nurain dan kepada Ali Abu Turab serta kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah). 32 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang Muslim tidak boleh memanggil saudaranya dengan gelar-gelar yang tidak disukai terlebih lagi sampai menyakitkan perasaannya.
﴾١١׃٤٩\ﻦ…﴿اﻠﺤﺠﺮات َِ ٰﻻ ﻳﻤ ِ ق َﺑﻌْ َﺪُا ُ ﻻﺳْ ُﻢ اَﻟْ ُﻔﺴُﻮ َِ … ﺑ ِﺌﺲْ َُا …seburuk-buruk panggilan ialah kepasikan sesudah iman… Kata ( ) ا ﻻ ﺳﻢal-ism yang dimaksudkan oleh ayat ini bukan dalam arti nama, tetapi sebutan. Dengan demikian ayat di atas bagaikan menyatakan: “seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang mengandung makna kefasikan setelah ia disifati, ada juga yang memahami kata al-ism dalam arti tanda, dan jika demikian ayat ini berarti: “seburukburuk tanda pengenal yang disandangkan kepada seseorang setelah ia beriman adalah memperkenalkannya dengan perbuatan dosa yang pernah dilakukannya. Misalnya dengan memperkenalkan seseorang dengan sebutan si pembobol bank atau pencuri dan lain-lain. 33 Wahbah Zuhaili dalam tafsir munir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ( “ ) ا ﻟﻔﺴﻮقmemberi gelar buruk seperti yang dilakukan oleh orang jahiliyah setelah masuk Islam. Maksudnya sangat tercela memberikan sebutan fasik setelah yang bersangkutan beriman dengan sebenarnya”. 34 Menurut pendapat lain yang mengandung makna seburuk-buruk pengenalan/tanda kepada seseorang yang tidak masuk Islam adalah “menyebutnya dengan sebutan fasiq atau Yahudi.” 35
32
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah …, h. 252 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, h. 253 34 Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir…, h. 584 35 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi…, h. 133 33
38
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ajaran Islam melarang kepada setiap umatnya untuk mengungkit kembali kesalahan yang pernah dilakukannya, hal ini bisa menyebabkan pelakunya tersakiti padahal ia telah bertaubat untuk meninggalkan perbuatan tercelanya di masa lampau. Bahkan sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk senantiasa mendoakan saudaranya agar ia tetap berada di jalan yang diridhai Allah SWT, bukan malah memanggilnya dengan pamggilan yang menyakitkan.
﴾١١׃٤٩\ن ﴿اﻠﺤﺠﺮات َ ﻈِﺎﻠ ُﻣﻮ ﻚ ُه ُﻢ ُاﻟ ﱠ َ … َو َﻣﻦ ﻟ ﱠﻢ ْ َﻳ ُﺘﺐْ ﻓﺎَْوَْﻟ َِﻨ …dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Siapa saja yang tidak bertaubat bahkan terus menerus mengolok-olok orang lain, mengejek diri kamu sendiri serta memanggil orang lain dengan panggilan yang buruk, “maka mereka itu dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang dhalim yakni mereka yang menimpakan hukum Allah terhadap diri mereka sendiri karena kemaksiatan mereka terhadap-Nya. Dan pasti akan menerima konsekuensinya berupa azab dari Allah pada hari kiamat. 36 “Ayat ini mengandung larangan bagi siapa saja yang mengolok-olok orang lain, mengejek diri sendiri dan memberi gelar yang buruk bahkan menjadikannya menjadi suatu kebiasaan, dengan memandangnya sebagai orang yang zalim.” 37 Padahal kezaliman itu merupakan kata lain dari syirik. Demikianlah ayat di atas mencanangkan prinsip-prinsip kesantunan diri bagi masyarakat yang unggul dan mulia tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 11 surat al-Hujurat ini mengandung larangan khususnya bagi kaum mukminin dan mukminat : 1. Mengolok-olok orang lain. 2. Mengejek diri kamu sendiri. 3. Memanggil-manggil orang lain dengan gelar-gelar yang buruk. Berikut rincian ayat 12 surat al-Hujurat, Allah swt berfirman :
36 37
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maragi…, h. 225 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi..., h. 133
39
⌧ ﴾١٢׃٤٩\…﴿اﻠﺤﺠﺮات Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan)… “Kata ( )اﺟﺘﻨﺒﻮاijtanibu terambil dari kata ( )ﺟﻨﺐjanb yang berarti samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini kata tersebut diartikan jauhi. Penambahan huruf ( )تta’ pada kata tersebut berfungsi penekanan yang berarti kata ijtanibu berarti bersungguh-sungguhlah. Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk.” 38 Kata آﺜﻴﺮاbanyak bukan berarti kebanyakan, sebagaimana dipahami atau diterjemahkan sementara penerjemah. Jika demikian, bisa saja banyak dari dugaan adalah dosa dan banyak pula yang bukan dosa. Yang bukan dosa adalah yang indikatornya demikian jelas, sedang yang dosa adalah dugaan yang tidak memiliki indikator yang cukup dan yang mengantar seseorang melangkah menuju sesuatu yang diharamkan, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. 39 “Yang dimaksud dengan dhann (dugaan) adalah batas pertengahan antara yakin dan ragu, dhann (dugaan) bisa bersifat kuat (mendekati benar) dan juga bersifat lemah.” 40 Allah SWT melarang melakukan perbuatan buruk yang sifatnya tersembunyi. Dengan cara memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menghindari buruk sangka terhadap sesama manusia dan menuduh mereka berkhianat pada apapun yang mereka ucapkan dan yang mereka lakukan. Adapun dugaan yang dilarang dalam ayat ini adalah dugaan buruk yang dialamatkan kepada orang baik, sedangkan dugaan yang ditujukan kepada orang yang berbuat kesalahan/fasik adalah seperti yang nampak dalam kehidupan sehari-harinya. Karena sebagian dari dugaan dan tuduhan tersebut kadang-kadang merupakan dosa semata-mata. Maka hendaklah menghindari kebanyakan dari hal seperti itu. 41
38
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, Volume XIII, h. 254 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, Volume XIII, h. 254 40 Mahmud Hajazi, Tafsir Wadhih, (Beirut, Dar al-Jil, tt), Jilid III, h. 507 41 Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 27. 39
40
Orang-orang mukmin haruslah menjauhi buruk sangka terhadap orangorang yang beriman dan jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka kalimat itu harus diberikan tanggapan yang baik, ditujukan kepada pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah paham, apalagi
menyelewengkannya
sehingga menimbulkan fitnah dan
prasangka. Pada dasarnya setiap orang bebas dari asas praduga tak bersalah. Namun demikian praduga buruk itu hanya diharamkan terhadap orang yang disaksikan sebagai orang yang menutup aibnya, saleh dan terkenal amanatnya. “Adapun orang yang mempertontonkan diri sebagai orang yang gemar melakukan dosa, seperti orang yang masuk-masuk ke tempat-tempat pelacuran atau berteman dengan penyanyi-penyanyi cabul, maka tidaklah diharamkan berburuk sangka terhadapnya.” 42 Wabbah Zuhaili dalam Tafsir Munir mengatakan bahwa dhan (dugaan) itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pertama dhan yang sifatnya wajib/diperintahkan oleh Allah SWT. Misalnya berbaik sangka kepada Allah dan orang-orang mukmin, ketika Allah memberikan suatu musibah, maka seorang hamba harus menyadari bahwa hal tersebut merupakan kasih sayang Allah kepadanya. Karena bisa jadi ujian/musibah tersebut bertujuan untuk mengangkat derajat atau menghapus dosanya. Kedua dhan yang dilarang/haram, misalnya berburuk sangka kepada Allah dan orang shaleh. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa siapa saja yang berburuk sangka kepada saudaranya berarti orang tersebut telah berburuk sangka kepada Allah SWT. Ketiga dhan yang dianjurkan berbaik sangka kepada saudaranya yang muslim, dan yang berburuk sangka jika memang yang bersangkutan telah nampak berbuat kefasikan. 43 Ada juga dhan yang diperbolehkan misalnya rincian hukum keagamaan. Pada umumnya atau dengan kata lain banyak dari hukum-hukum tersebut berdasarkan kepada argumentasi yang interpretasinya bersifat zhanny/dugaan, dan tentu saja apa yang berdasar kepada dugaan hasilnya pun adalah dugaan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa buruk sangka merupakan perbuatan yang akan membawa kita krisis, seperti berikut ini : 44
42
( أﻟﻄﻴﺮة واﻟﺤﺴﺪ وﺳﻮء اﻟﻈﻦ )رواﻩ اﻟﻄﺒﺮاﻧﻰ: ﺛﻼث ﻻ زﻣﺎت ﻻﻣﺘﻰ
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 254. Wabah Zuhaili, Tafsir Munir…., h. 578. 44 Abbas Ahmad Shiqr dan Ahmad Abdul Jawad, Jamiul Ahadits.., Juz.IV, h. 157 43
41
Tiga macam membawa krisis bagi umatku; memandang kesialan, dengki dan buruk sangka. (HR. at-Thabrani) Dugaan demikian berburuk sangka tidak akan memberikan manfaat sedikitpun, oleh karena itu seorang Muslim harus berusaha menghindari sifat buruk sangka tersebut. Dalam sebuah hadits dikisahkan seorang laki-laki bertanya, “Amalan apakah yang dapat menghilangkan dari buruk sangka ya Rasulullah?” Rasulullah SAW bersabda, “Apabila kamu mendengki maka mohon ampunlah kepada Allah, dan apabila kamu berburuk sangka maka janganlah memeriksa benar tidaknya, dan apabila kamu menduga maka laksanakan saja rencanamu.”
﴾١٢׃٤٩\… إن ﺑﻌﺾ اﻟﻈﻦ إﺛﻢ …﴿اﻠﺤﺠﺮات …sesungguhnya prasangka (buruk) itu adalah dosa… Ayat ini merupakan alasan dilarangnya berburuk sangka, karena perbuatan tersebut termasuk dosa. Adapun contoh dugaan yang termasuk dosa adalah menuduh wanita mukminah melakukan perbuatan keji, padahal dalam kesehariannya nampak sifat yang terpuji. Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya tidak mudah berburuk sangka, dan biasakanlah dengan berpositif thinking (husnudhdhan). Ayat tersebut menjadi dasar larangan menduga, yakni dugaan yang tidak berdasar, adapun apabila ada bukti yang kuat yang mendukung dugaan seseorang maka hal itu tidak mengapa. “Dugaan buruk dan tidak didukung dengan bukti kuat, hanya akan menguras energi seseorang, akibatnya pikiran akan habis untuk menduga sesuatu yang tidak berdasar. Tidak mengherankan apabila hidup tidak menjadi produktif dan menjadi sia-sia dikarenakan dugaan buruk tersebut.” 45 Memang islam tidak melarang adanya bisikan yang hanya terlintas dalam benak seseorang, aslakan bisikan tadi tidak dilanjutkan dengan dugaan buruk.
﴾١٢׃٤٩\…وﻻ ﺗﺠﺴﺴﻮا…﴿اﻠﺤﺠﺮات …dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain... Dalam ayat ini Allah SWT melarang dari memata-matai terhadap orang lain. Yakni upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi yang disebut tajassus. 45
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 255.
42
( ) ﺗﺠﺴﺴﻮاtajassasu terambil dari kata ( ) ﺟﺲ, dari sini mata-mata dinamai ( ) ﺟﺎﺳﻮسjasus. Imam Al-ghazali memahami larangan ini dalam arti, jangan tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiaannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Dengan demikian jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga. 46 Allah melarang hamba-Nya mengikuti dugaan (buruk) dan janganlah seseorang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan keyakinan tentang aib (kekurangan) manusia. Tajassus merupakan kelanjutan dari menduga, oleh karenanya ia dilarang. Tajassus dapat memutuskan tali persaudaraan. Sama halnya seperti menduga, tajassus demikian ada yang dilarang ada pula yang dibenarkan. Ini dapat dibenarkan dalam konteks pemeliharaan negara atau untuk menarik mudharat yang sifatnya umum. Adapun tajassus untuk mencari rahasia orang lain, ia lebih dilarang. Siapa saja yang menutup aib orang lain, maka ia bagaikan menghidupkan seorang anak yang dikubur hidup-hidup. Dalam kesempatan yang lain tajassus merupakan kegiatan mengiringi dugaan dan terhadap pula sebagai kegiatan awal untuk menyingkap aurat dan mengetahui keburukan seseorang. AlQur’an memberantas praktik yang hina ini dari segi akhlak guna membersihkan kalbu dan kecenderungan buruk itu, yang hendak mengungkap aib dan keburukan tersebut. Sedangkan tahassus adalah mencari berita tentang orang lain dan apabila hal tersebut diketahui oleh yang bersangkutan maka ia tidak senang. Tahassus biasanya digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang berarti baik sekaligus juga yang jelek. Seperti firman Allah SWT ketika menceritakan tentang Ya’qub as yaitu, “Hai anak-anakku, pergilah kamu maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya”. Tidak adanya kepercayaan kepada orang lain, akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan batin berupa prasangka buruk dan mendorong melakukan tindakan lahir berupa tajassus ‘memata-matai,’ “Islam membangun 46
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 255.
43
masyarakatnya atas dasar kesucian lahir dan batin sekaligus. Oleh karena itu,larangan tajassus ini dibarengkan dengan su’suzhzhan. Dan, sering terjadi bahwa su’uzhzhan menyebabkan tajassus.” 47
﴾١٢׃٤٩\…وﻻﻳﻐﺘﺐ ﺑﻌﻀﻜﻢ ﺑﻌﻀﺎ…﴿اﻠﺤﺠﺮات …dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian orang lain… “Kata ( ) ﻳﻐﺘﺐyaghtab terambil dari kata ( )ﻏﻳﺑﺔghibah yang berasal dari kata ( ) ﻏﻴﺐghaib.” 48 Menurut ijma ulama ghibah adalah termasuk dosa besar (kabair) dan haram hukumnya, tidak ada pengecualian mengenai perbuatan ini. Menurut al-Hasan ghibah itu ada tiga macam yang semuanya tercantum dalam kitab Allah SWT, yaitu ghibah, al-ihkfu dan al-buhtan. Ghibah maksudnya ialah berkata-kata mengenai saudaramu tentang sesuatu yang ada pada dia. Al-Ikhfu adalah berkata-kata mengenai saudaramu tentang apa-apa yang sampai kepadamu mengenai dia, adapun al-buhtan, kamu berkata-kata mengenai saudaramu yang tidak terdapat pada dirinya. Ayat ini menjadi isyarat wajibnya menjaga kehormatan orang mukmin ketika yang bersangkutan tidak ada dihadapannya, dengan tidak melakukan ghibah. Dan telah ditafsirkan pula pengertian ghibah oleh Rasululah SAW, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Abu Hurairah ra berkata,
اﺗﺪرون:ﻋﻦ أﺑﻰ هﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ أن رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ذآﺮك أﺧﺎك ﺑﻤﺎ ﻳﻜﺮﻩ ﻗﻴﻞ أﻓﺮأﻳﺖ ﻓﻲ أﺧﻲ ﻣﺎ: ﻗﺎل. اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ أﻋﻠﻢ:ﻣﺎﻟﻐﻴﺒﺔ؟ ﻗﺎﻟﻮا أن آﺎن ﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﺘﻘﻮل ﻓﻘﺪ اﻏﺘﺑﺗﻪ وان ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻴﻪ ﻣﺎ ﺗﻘﻮل ﻓﻘﺪ ﺑﻬﺘﻪ )رواﻩ:اﻗﻮل؟ ﻗﺎل 49
(اﻟﺘﺮﻣﺬي
Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah bersabda, “Tahukah kamu apakah ghibah itu?” Jawab sahabat, “Allah dan Rasulullah yang lebih mengetahui. Nabi bersabda, “Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak 47
Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam Islam….., h. 390. M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 256. 49 Imam Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh : Darus Salam, 1998), Cet. I, h. 1132. 48
44
disukainya.” Ditanyakan lagi, “Bagaimana jika keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?” Jawab Nabi,”Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan apa yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terhadap apa yang kami katakan, maka kamu telah berbohong. (HR Turmudzi) Sesungguhnya ghibah adalah sebuah keinginan untuk menghancurkan orang lain, menodai harga dirinya, kemuliannya, dan kehormatannya, ketika mereka sedang tidak ada dihadapannya. Ini menunjukkan kelicikan dan kepengecutan, karena ghibah sama dengan menusuk dari belakang. Ghibah merupakan salah satu bentuk perampasan, ghibah merupakan tindakan melawan orang yang tidak berdaya, ghibah merupakan tindakan penghancuran. Karena dengan melakukan ghibah, sedikit sekali lidah seseorang selamat dari mencela dan melukai hati orang lain. 50 Abu Dawud meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Tatkala dimikrajkan, aku melihat suatu kaum yang berkuku tembaga. Mereka mencakari wajah dan dadanya. Aku bertanya, ‘Jibril, siapakah mereka itu?’ Jibril menjawab, mereka adalah orang yang suka makan daging manusia dan menodai kehormatannya.”
51
Orang yang menggunjing berarti
ia telah menodai kehormatan orang lain.
﴾١٢׃٤٩\…أﺗﺤﺐ أﺣﺪآﻢ أن ﻳﺄآﻞ ﻟﺤﻢ أﺧﻴﻪ ﻣﻴﺘﺎ … ﴿اﻠﺤﺠﺮات …apakah seorang dari kalian suka memakan daging saudaranya setelah ia meninggal dunia... Orang yang berghibah berarti ia telah merobek-robek kehormatan saudaranya, sehingga diumpamakan seperti memakan bangkai daging saudaranya. “Namun perlu dipahami bahwa ghibah yang dilarang adalah terhadap orang mukmin, bukan orang kafir. Hal ini dapat dilihat dari redaksi yang digunakannya seperti memakan bangkai saudara (akhi). Sedangkan orang kafir bukan saudara (orang mukmin), oleh karena itu ghibah terhadap orang kafir dibolehkan.” 52 Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa ghibah merupakan perbuatan yang tercela yang harus
50
Yusuf Qardawi, Halal Haram Dalam….., h. 394. Sayyid Quthb, Fi Zhilalil Qur’an…., Jilid X, h. 421. 52 Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrur Razi….., h. 134. 51
45
dihindari oleh setiap umat muslim khususnya. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ghibah itu haram hukumnya bahkan lebih keras daripada zina. Ajaran Islam menegaskan bahwa seorang hamba harus menjauhi perbuatan tercela ini. Adapun yang menyebabkan seseorang melakukan ghibah adalah : 1. Hendak mencairkan amarah. Misalnya disebabkan karena ada seseorang yang membuatnya marah, maka untuk mencairkan amarah orang tersebut menggunjingnya. 2. Menyesuaikan diri dengan teman-teman, menjaga keharmonisan dan karena hendak membantu mereka. 3. Ingin mengangkat diri sendiri dengan cara menjelek-jelekkan orang lain. Misalnya si fulan orangnya bodoh, pengetahuannya rendah, sedangkan saya tidak seperti itu. 4. Untuk canda dan lelucon. Dia menyebutkan kekurangan seseorang dengan maksud untuk membuat orang disekitarnya tertawa. Bahkan tidak sedikit orang yang mencari penghidupannya dengan cara ini.53
﴾١٢׃٤٩\…ﻓﻜﺮهﺘﻤﻮﻩ… ﴿اﻠﺤﺠﺮات …maka kamu telah jijik kepadanya… Maka kamu telah jijik kepadanya merupakan kata kerja masa lampau untuk menunjukkan bahwa perasaan jijik itu adalah sesuatu yang pasti dirasakan oleh setiap orang. Redaksi yang digunakan ayat di atas mengandung sekian banyak penekanan pertama pada gaya pertanyaan yang dinamai istifham taqriri yakni yang bukan tujuan meminta informasi, tetapi mengundang yang ditanya membenarkan. Kedua, ayat ini menjadikan apa yang pada hakikatnya sangat tidak disenangi, dilukiskan sebagai disenangi. Ketiga, ayat ini mempertanyakan kesenangan itu langsung kepada setiap orang, yakni dengan menegaskan “sukakah salah seorang diantara kamu.” Keempat, daging yang dimakan bukan sekedar daging manusia tetapi daging saudara sendiri. Kelima, pada ayat ini adalah bahwa saudara itu dalam keadaan mati yakni tidak dapat membela diri. 54 Sebagai akhlak tercela, ghibah haruslah diobati. Adapun cara mengobati penyakit ghibah ialah dengan menyadarkan orang yang menggibah bahwa perbuatan itu memancing kemurkaan Allah, kebaikan-kebaikannya akan berpindah kepada orang yang dighibah, dan jika tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan orang yang dighibah akan dipindahkan kepada dirinya. Siapapun yang menyadari hal ini, tentu lidahnya tidak akan berani melakukan ghibah. Jika 53
Ahmad bin Qudamah, Minhajul Qasidin, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka alKautsar, 1997), Cet. I, h. 215. 54 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., volume XIII, h. 257.
46
terlintas untuk mengghibah, maka hendaklah dia intropeksi diri dengan melihat aib diri sendiri lalu berusaha untuk memperbaikinya. Orang yang melakukan ghibah semestinya dia merasa malu sementara dirinya masih banyak memiliki kekurangan di sana sini.
﴾١٢׃٤٩\…وأﺗﻘﻮا اﷲ… ﴿اﻠﺤﺠﺮات …dan bertakwalah kepada Allah… “Maka janganlah kamu suka menggunjing, dan bertakwalah kamu kepada Allah tentang apa yang Dia perintahkan dan Dia larang terhadapmu. Waspadalah dan takutlah kamu kepada Allah.” 55
﴾١٢׃٤٩\…إن اﷲ ﺗﻮاب رﺣﻴﻢ ﴿اﻠﺤﺠﺮات …sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyanyang. Kata ( ) اﻟﺘﻮابat-Tawwab seringkali diartikan penerima taubat. Tetapi makna ini belum mencerminkan secara penuh kandungan kata at-Tawwab, walaupun tidak dapat menilainya keliru. Imam Ghazali mengartikan atTawwab sebagai Dia (Allah) yang kembali berkali-kali menuju cara yang memudahkan taubat untuk hamba-hambaNya. Dengan jalan menampakkan tanda-tanda kebesaranNya. Menggiring kepada mereka peringatanperingatan-Nya, serta mengingatkan ancaman-ancaman-Nya. Sehingga bila mereka telah sadar akan akibat dari dosa-dosa dan merasa takut dari ancaman-ancaman-Nya, mereka kembali (bertaubat) dan Allah pun kembali kepada mereka dengan anugerah pengabulan. 56 Terkait dengan masalah ghibah/menggunjing, jumhur ulama berpendapat, seseorang yang menggunjing saudaranya wajib bertaubat kepada Allah dengan cara berhenti dari perbuatan tersebut, serta bercita-cita untuk tidak mengulanginya lagi. Apakah diisyaratkan bagi orang yang menggunjing meminta maaf kepada yang digunjingnya? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat, menurut sebagian pendapat wajib bagi orang yang menggunjing meminta kehalalan (maaf) dari orang yang digunjingnya tadi, sedangkan menurut sebagian ulama yang lain tidak diisyaratkan untuk kehalalan kepada orang yang digunjingnya, karena hal ini bisa menyakitkan perasaan orang tersebut. “Bila demikian halnya, maka cara yang mesti ditempuh adalah memberikan sanjungan kepada orang yang telah 55 56
Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 232. M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 259.
47
digunjingnya itu di tempat dimana ia telah menggunjing orang tersebut. Dan agar dia menghindari gunjingan orang lain terhadap orang itu sesuai dengan kemampuannya. Umpatan dibayar dengan pujian.” 57 Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada siapa saja yang benar-benar kembali kepada-Nya, yakni melaksanakan taubatan nasuha, dan inilah taubat yang sebenarnya. Dengan demikian ayat 12 di atas mengandung kesimpulan bahwa: 1. Allah SWT melarang orang-orang yang beriman berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan bergunjing. 2. Allah SWT memberi perumpamaan, orang-orang yang suka bergunjing itu seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati. 3. Allah SWT memerintahkan supaya tetap bertakwa karena Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam ayat 13 surat al-Hujurat Allah SWT berfirman:
﴾١٣׃٤٩\ﻳﺄﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎس إﻧﺎ ﺧﻠﻘﻨﻜﻢ ﻣﻦ ذآﺮ وأﻧﺜﻰ…﴿اﻠﺤﺠﺮات Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari Adam dan Hawa… Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari Adam dan Hawa “Maka kenapa kamu saling mengolok-olok sesama kamu, sebagian kamu mengejek sebagian yang lain, padahal kalian bersudara dalam nasib dan sangat mengherankan bila saling mencela sesama saudaramu atau saling mengejek atau panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” 58 “Karena semua manusia berasal dari ayah dan ibu yang sama yaitu Adam dan Hawa. Berdasarkan ayat ini maka dapat dikatakan bahwa kedudukan setiap manusia adalah sama. Oleh karena itu, maka tidak ada tempat untuk saling membanggakan dan menyombongkan diri.” 59 Dengan demikian ayat ini menjelaskan larangan mengolok-olok, mencela diri sendiri, memanggil dengan gelar yang buruk, suudhdhan, tajassus, dan
57
Muhammad Nasab Rifa’I, Kemudahan dari Allah…., h. 436. Ahmad Mustafa Al Maraghi, Tafsir al-Maraghi…., h. 236. 59 Muhammad bin Ali As Syaukani, Fathul Qadir. (Beirut: Darul Ma’rifah,tt), h. 83. 58
48
﴾١٣׃٤٩\…وﺟﻌﻠﻨﻜﻢ ﺷﻌﻮﺑﺎ وﻗﺒﺎﺋﻞ…﴿اﻠﺤﺠﺮات Dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Kata ( ) ﺷﻌﻮبsyu’ub adalah bentuk jamak dari kata ( ) ﺷﻌﺐ. Kata ini digunakan untuk menunjuk kumpulan dari sekian kabilah yang biasa diterjemahkan suku yang biasa merujuk kepada satu kakek. Qabilah pun terdiri dari sekian banyak kelompok keluarga yang dinamai ‘imarah, dan yang ini terdiri dari sekian banyak kelompok yang dinamai bathn. Di bawah bath ada sekian ifakhd hingga akhirnya sampai pada himpunan keluarga yang terkecil. 60 Supaya kamu saling mengenal. “Kata ta’arafu terambil dari kata ‘arafa yang berarti mengenal, kata yang digunakan dalam ayat ini mengandung makna timbal balik, dengan demikian berarti saling mengenal.” 61 Upaya saling mengenal ini dapat dilakukan dengan cara kembali kepada kabilahnya masing-masing dan saling menolong di antara sesama kerabat. Dengan demikian, dengan ayat ini menjadi alasan bahwa diciptakannya manusia adalah untuk saling mengenal dan tolong menolong, bukan untuk saling membanggakan dan menyombongkan diri. Upaya saling mengenal dapat dilakukan dengan proses bersilahturahmi. Akan tetapi warna kulit, ras, bahasa, negara dan lainnya yang seringkali membuat orang enggan berinteraksi dengan yang lainnya disebabkan karena perbedaan tersebut. Padahal perbedaan-perbedaan tersebut merupakan suatu Sunnatullah dan tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak saling mengenal.
﴾١٣׃٤٩\…أن أآﺮﻣﻜﻢ ﻋﻨﺪ اﷲ أﺗﻘﻜﻢ…﴿اﻠﺤﺠﺮات …sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa… “Kata ( ) اآﺮﻣﻜﻢakramakum terambil dari kata ( ) آﺮمkaruma yang pada dasarnya berarti yang baik dan istimewa sesuai obyeknya. Manusia yang baik adalah manusia yang baik terhadap Allah, dan terhadap sesama makhluk.” 62
60
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261. M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261. 62 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 262. 61
49
Firman inna akramakum inda Allah atqaakum mengandung dua makna. Yang pertama seseorang yang paling bertakwa maka kedudukannya akan mulia di hadapan Allah SWT dengan kata lain ketakwaan akan membuat kedudukan seeorang menjadi mulia. Yang kedua, seseorang yang mulia di hadapan Allah SWT akan membuat orang menjadi takwa, artinya kemuliaan akan membuat seseorang menjadi takwa. Akan tetapi pendapat pertama adalah lebih terkenal dibanding yang kedua. 63 Ketakwaan merupakan sumber segala keutamaan, dengan demikian dapat dikatakan takwa adalah manifestasi dari ‘amal’ sedangkan ilmu adalah kemuliaan. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa seseorang yang ‘alim adalah lebih dibenci syaithan dibanding seribu abid yang rajin beribadah tapi tidak memiliki ilmu. Ketakwaan merupakan buah dari pada ilmu, Allah SWT berfirman “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allah adalah orang yang alim” maka tidaklah dikatakan takwa kecuali bagi orang yang berilmu. Dengan demikian ilmu dan ketakwaan merupakan dua hal yang saling menyatu, dan tidak bisa dipisahkan. Orang ‘alim tetapi tidak bertakwa adalah seperti pohon yang tidak berbuah, oleh karena itu pohon yang berbuah adalah lebih utama dibanding yang tidak berbuah, pohon yang tidak berbuah tidak memiliki banyak manfaat kecuali hanya sebatas untuk kayu bakar. Begitu pula orang ‘alim yang tidak bertakwa hanya akan menjadi bahan bakar neraka. Manusia memiliki kecenderungan untuk mencari bahkan bersaing dan berlomba menjadi yang terbaik. Banyak sekali manusia yang menduga bahwa kepemilikan materi, kecantikan serta kedudukan sosial karena kekuasaan atau garis keturunan, merupakan kemuliaan yang harus dimiliki, karena itu banyak yang berusaha memilikinya. Tetapi bila diamati apa yang dianggap keistimewaan dan sumber kemuliaan itu, sifatnya sangat sementara. Bahkan tidak jarang mengantar pemiliknya pada kebinasaan. Jika demikian hal-hal tersebut bukanlah sumber kemuliaan. Kemuliaan adalah sesuatu yang langgeng sekaligus membahagiaan secara terus menerus. “Kemuliaan abadi dan langgeng iu ada di sisi Allah SWT dan untuk mencapainya adalah dengan mendekatkan diri kepadaNya, menjauhi larangan-Nya, melaksanakan perintah-Nya serta meneladani sifat-
63
Fakhrur Razi, Tafsir Fakhrul Razi….., h. 139.
50
sifat-Nya sesuai kemampuan manusia. Itulah takwa dan dengan demikian yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” 64 Di sisi Allah hanya ada satu pertimbangan untuk menguji seluruh nilai dan mengetahui keutamaan manusia. Yaitu, “sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. “Orang yang paling mulia yang hakiki ialah yang paling mulia menurut pandangan Allah. “Dengan demikian, berguguranlah segala perbedaan, gugurlah segala nilai. Lalu dinaikkanlah satu timbangan dengan satu penilaian. Timbangan inilah yang digunakan manusia untuk menetapkan hukum. Nilai inilah yang harus dirujuk oleh manusia dalam menimbang. Adapun nilai/panji yang diperebutkan semua orang agar dapat bernaung di bawahnya yaitu panji ketakwaan di bawah naungan Allah SWT. Inilah panji yang dikerok Islam untuk menyelamatkan umat manusia dari fanatisme ras, fanatisme daerah, fanatisme kabilah, dan fanatisme rumah. 65 Semua ini merupakan kejahiliahan uang kemudian dikemas dalam berbagai model dan dinamai dengan berbagai istilah. Semua merupakan kejahiliahan yang tidak berkaitan dengan Islam. Islam memerangi fanatisme jahiliah ini serta segala sosok dan bentuknya agar sistem Islam yang manusiawi dan mengglobal ini tegak di bawah satu panji yaitu panji Allah. Bukan panji negara, bukan panji nasionalisme, bukan panji keluarga, dan bukan panji ras. Semua itu merupakan panji palsu yang tidak dikenal Islam. Dalam konteks ini, sewaktu haji wada (perpisahan), Nabi SAW berpesan antara lain: “ Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Tuhan kamu Esa, ayah kamu satu, tiada kelebihan orang arab atas non arab, tidak juga non arab atas orang arab atau orang (berkulit) hitam atas yang (berkulit) merah, (yakni putih) tidak juga sebaliknya kecuali dengan takwa, sesungguhnya semuliamulia kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. 66 Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Durra binti Abu Lahab r.a berkata, seorang laki-laki beranjak menemui Nabi yang sedang berada di atas mimbar. Orang itu berkata, Ya Rasulullah, manusia manakah yang paling baik? Rasulullah menjawab, Manusia yang paling baik adalah yang paling rajin membaca Al-Qur’an, yang paling bertakwa kepada Allah, 64
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 263 Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an…., Jilid X, h. 422. 66 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…., h. 261. 65
51
yang paling sering memerintahkan kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari
perbuatan mungkar, dan yang paling sering menyambungkan tali silahturahmi. Dengan demikian sebagian ulama berpendapat kafaah di dalam pernikahan tidaklah disyaratkan kecuali agamanya, karena kedudukan semua orang adalah sama, hanya ketakwaan yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Bahkan pada hari kiamat nanti seseorang tidak akan ditanya tentang nasab maupun kedudukan mereka, karena yang paling mulia adalah yang paling bertakwa kepada Allah SWT.
﴾١٣׃٤٩\…إن اﷲ ﻋﻠﻴﻢ ﺧﺒﻴﺮ﴿اﻠﺤﺠﺮات …sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Maksudnya Maha mengetahui apa yang dikerjakan
dan Maha
Mengenal/teliti terhadap semua urusan manusia. Allah memberi petunjuk kepada yang dikehendaki dan menyesatkan kepada yang dikehendaki, mengasihi dan menyiksa kepada yang dikehendaki, memuliakan kepada yang dikehendaki dan merendahkan kepada yang dikehendaki pula. Allah SWT Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, dan Maha Teliti dalam semua urusan tersebut. Sifat ‘Alim dan Khabir keduanya mengandung makna kemahatahuan Allah SWT. Sementara ulama membedakan keduanya dengan menyatakan bahwa ‘Alim menggambarkan pengetahuan-Nya menyangkut segala sesuatu yang dikenal itu. Penekanannya pada Dzat Allah yang bersifat Maha Mengetahui bukan pada sesuatu yang diketahui itu. Sedang Khabir menggambarkan pengetahuan-Nya yang menjangkau sesuatu. Di sini, sisi penekanannya bukan pada dzat-Nya Yang Maha Mengetahui tetapi pada sesuatu yang diketahui itu. 67 Dengan demikian, ayat 13 surat al-Hujurat ini mengandung kesimpulan bahwa: 1. Allah SWT menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya mereka saling mengenal dan tolong menolong. 2. Kemuliaan manusia tidak diukur dengan keturunannya, melainkan diukur dengan ketakwaannya kepada Allah SWT. 67
M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, h. 263.
52
BAB IV ASPEK-ASPEK PENDIDIKAN ISLAM DALAM SURAT AL-HUJURAT AYAT 11-13 DAN APLIKASINYA A. Aspek Pendidikan Islam yang Terkandung dalam Qur’an Surat AlHujurat Ayat 11-13 Secara fungsional Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia. Yakni sebagai penjelas dan pembeda antara yang hak dan bathil, petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar. Dan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an tersebut, menurut Mahmud Syaltut sebagaimana dikutip Hery Noer Ali, dapat dikelompokkan menjadi tiga pokok, yaitu: 1. 2. 3.
Petunjuk tentang akidah atau kepercayaan yang harus dianut oleh manusia (dalam bentuk) yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan serta kepercayaan akan adanya hari pembalasan. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupan baik individual maupun kolektif. Petunjuk mengenai syari’at dan hukum yang menjelaskan dasar-dasar hukum yang harus dipatuhi oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. 1
Penulis mengelompokkan aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam QS al-Hujurat: 11-13 menjadi tiga bagian, yaitu aspek pendidikan akhlak, meliputi larangan merendahkan orang lain, larangan 1
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), Cet. I, h. 33.
52
53
suudhdhan, larangan menggunjing, aspek pendidikan taubat, dan aspek pendidikan takwa. 1.
Aspek Pendidikan Akhlak Kata akhlak dalam bentuk tunggalnya (khuluk), secara bahasa oleh Jamil Shaliba dalam kutipan Prof. Dr. H. M. Ardani diartikan dengan “perangai, tabi’at, watak, dasar kebiasaan, sopan dan santun agama”. 2 Dan secara istilah, Al-Ghazali mendefinsikan dengan “ibarat (sifat atau keadaan) dari perilaku yang kinstan (tetap) dan meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan wajar dan mudah tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan”. 3 Berdasarkan pengertian di atas, maka hakikat akhlak Al-Ghazali harus mencakup dua syarat, yaitu bersifat konstan artinya dilakukan berulangkali, (continue) dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan atau habit forming dan yang kedua bersifat reflektif dari jiwa tanpa pertimbangan dan pemikiran. Artinya perbuatan itu tumbuh bukan atas dasar tekanan-tekanan atau pengaruh orang lain. Pendidikan akhlak adalah salah satu bagian dari pengajaran agama, yang membicarakan nilai suatu perbuatan menurut ajaran agama dan berbagai hal yang langsung mngikuti pembentukan sifat-sifat itu pada diri seseorang secara umum. Adapun aspek-aspek pendidikan Islam yang meliputi pendidikan akhlak pada QS Al-Hujurat: 11-13 adalah sebagai berikut: a. Larangan Menghina Orang Lain Larangan menghina orang lain terdapat dalam firman-Nya :
⌦
2
Moh. Ardani, Nilai-nilai Akhlak/Budi Pekerti Dalam Ibadah, Jakarta: CV. Karya Mulia, 2001, cet. Ke-1, h. 25. 3 Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, ct. ke1, h. 102.
54
☺ ﴾١١ ׃٤٩\…﴿اﻠﺤﺠﺮات.. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman….(Al-Hujurat: 11) “Tidak halal bagi seorang mukmin yang mengenal Allah yang meyakini kampung akhirat, merendahkan seseorang atau menjadikannya objek tertawaan, hinaan, makian, dan celaan. Perbuatan ini mengandung kesombongan yang tersembunyi, meremehkan orang lain, dan kebodohan terhadap neraca kebaikan di sisi Allah SWT”. 4 Masyarakat unggul yang hendak ditegakkan Islam dengan petunjuk al-Quran ialah masyarakat yang memiliki etika yang luhur. Pada masyarakat itu setiap individu memiliki kehormatan yang tidak boleh disentuh. Ia merupakan kehormatan kolektif. Mengolok-olok individu manapun berarti mengolok-olok pribadi umat. Sebab, seluruh jamaah itu satu dan kehormatannya pun satu. Melalui ayat ini, Al-Qur’an memberitahukan etika tersebut melalui panggilan kesayangan, “Hai orang-orang yang beriman”. Dia melarang suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, sebab boleh jadi laki-laki yang diolok-olok itu lebih baik dalam pandangan Allah dari pada yang mengolok-olok. Mungkin juga wanita yang diolok-olok itu lebih baik dalam pertimbangan Allah dari pada yang mengolok-olok. 5 Ungkapan ayat mengisyaratkan secara halus bahwa nilai-nilai lahiriyah yang dilihat laki-laki dan wanita pada dirinya bukanlah nilai 4
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, terj.(Solo : Era Intermedia, 2000), Cet. I, h. 444. 5 Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta : Gema Insani, 2001), Cet. I, h. 327.
55
hakiki yang dijadikan pertimbangan oleh manusia. Di sana ada sejumlah nilai lain yang tidak mereka ketahui dan hanya diketahui Allah serta dijadikan pertimbangan oleh sebagian hamba. Karena itu, kadang-kadang orang kaya menghina orang miskin, orang kuat menghina orang lemah, dan orang yang sempurna menghina orang yang cacat. Kadang-kadang orang pandai yang professional menghina orang lugu yang hanya jadi pelayan. Hal-hal di atas dan perkara lainnya merupakan nilai duniawi yang tidak dapat dijadikan ukuran. Timbangan Allah dapat naik dan turun bukan oleh timbangan duniawi itu. Termasuk mengolok-olok dan cela-mencela ialah memanggil dengan panggilan yang tidak disuka pemiliknya serta dia merasa terhina dan ternoda dengan panggilan itu. Diantara seorang mukmin yang wajib diberikan mukmin lain ialah dia tidak memanggilnya dengan sebutan yang tidak disukainya. Diantara kesantunan seorang mukmin ialah tidak menyakiti sudaranya dengan hal semacam ini. Rasulullah telah mengubah beberapa nama dan panggilan yang dimiliki orang sejak jahiliah, karena nama atau penggilan itu menyinggung dan mencela perasaannya yang lembut dan hatinya yang mulia. 6 b. Larangan Su’udhdhan (Berburuk Sangka) Larangan berburuk sangka terdapat dalam firman-Nya yang berbunyi:
⌧ ٤٩\…﴿اﻠﺤﺠﺮات ﴾١٢׃ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa…(QS.Al-Hujurat: 12)
6
Sayyid Quthb, Fi Zhilalil-Qur’an,… (Jakarta : Gema Insani, 2001), Cet. I, h. 328
56
Berburuk sangka merupakan akhlak tercela dan pelakunya akan mendapat dosa, oleh karena harus ditinggalkan. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berpikir positif khususnya bagi orang yang berkepribadian mulia. Dengan demikian husnudhdhan (berbaik sangka) haruslah dibiasakan agar kita menjadi pribadi yang unggul. Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya menegaskan bahwa umat Muslim harus menjauhi sifat buruk sangka yang tidak memiliki dasar yang bisa dipertanggungjawabkan.
ﺳَﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟّٰﻠ ِﻪ َ ل اﻟّﻠ ِﻪ َ ْﺳﻮ ُ ن َر ﻋﻨْ ُﻪ َا ﱠ َ ﻲ اﻟﻠّ ُﻪ َﺿ ِ ﺚ َأﺑِﻲ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة َر ُ ْﺣ ِﺪﻳ َ ﺴﻮْا َوﻟَﺎ ُﺴ ﺴﺴُﻮا َوﻟَﺎ ﺗَﺠَ ﱠ ﺚ وَﻟَﺎ َﺗﺤَ ﱠ ِ ْﺤِﺪﻳ َ ْب اﻟ ُ ﻦ َاآْ َﺬ ﻈﱠ ن اﻟ ﱠ ﻦ َﻓِﺎ ﱠ ّﻈ ِاﻳﱠﺎ ُآﻢْ وَاﻟ ﱠ: ُﻴَﻗُﻮْل ﻋﺒَﺎ َد اﻟّٰﻠ ِﻪ ِاﺧْﻮاﻧًﺎ ِ ﻀﻮْا َوﻟَﺎ َﺗﺪَاﺑﺮوْا َو ُآﻮْ ُﻧﻮْا ُ ﻏ َ ﺸﻮْا َوﻻ ﺗَﺤَﺎ ﺳَ ُﺪوْا َوﻟَﺎ َﺗﺒَﺎ ُﺟ َ ﺗَﻨَﺎ 7
( )اﺧﺮﺟﻪ اﻟﺒﺨﺎري ﻓﻲ آﺘﺎب اﻻدب
Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah SAW bersabda, berhatihati kalian dari berburuk sangka sebab buruk sangka itu sedusta-dusta cerita (berita); janganlah menyelidiki; jangan memata-matai (mengamati) hal orang lain, jangan hasut menghasut; jangan benci membenci, dan saling membelakang. Jadilah kalian ini sebagai hamba Allah yang bersaudara. (HR. Bukhari) Buruk sangka adalah menyangka seseorang berbuat kejelekan atau menganggap jelek adanya sebab-sebab yang jelas yang memperkuat sangkaannya. Buruk sangka seperti yang dinyatakan dalam hadits di atas sebagai sedusta-dustanya perkataan. Orang yang telah berburuk sangka terhadap orang lain berarti telah menganggap jelek kepadanya padahal ia tidak memiliki dasar sama sekali. Buruk sangka akan mengganggu hubungannya dengan orang yang dituduh jelek, padahal orang tersebut belum tentu sejelek persangkaannya. Buruk sangka dalam masalah akidah adalah haram hukumnya. Oleh karena itu, tidak benar jika keimanan kepada Allah SWT hanya berdasarkan dugaan semata. Bila dicermati salah satu penyebab orang7
Musthafa Dhaib Bigha, Mukhtashar Shahih Bukhari, (Beirut: Yamamah, 1999), h. 668.
57
orang terdahulu tersesat adalah karena mereka tidak yakin dengan keimanan kepada Allah SWT. c. Larangan Ghibah (Menggunjing) Larangan ghibah ini terdapat dalam firman-Nya:
… ☺ ﴾١٢ ׃٤٩\…﴿اﻠﺤﺠﺮات. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS.Al-Hujurat: 12) Rasulullah SAW memberikan definisi tentang ghibah kepada para sahabatnya dengan metode tanya jawab, seraya bertanya kepada mereka,
ن َ ْ َأﺗَﺪ ُرو: ﺳَﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟّٰﻠ ِﻪ َ ل اﻟّﻠ ِﻪ ُ ْﺳﻮ ُ ل َر َ ﻗَﺎ: ل َ ﻋﻨْ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﻲ اﻟﻠّ ُﻪ َﺿ ِ ﺚ َأﺑِﻲ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة َر ُ ْﺣ ِﺪﻳ َ ن َ ﺖ ِإنْ آَﺎ َ ْ َأ َﻓ َﺮَأﻳ: ﻞ َ ك ِﺑﻤَﺎ َﻳﻜْ ُﺮ ُﻩ ﻗِﻴ َ ك َأﺧَﺎ َ ِذآْ ُﺮ: ل َ ﻗَﺎ.ُ اﷲُ َورَﺳﻮُﻟ ُﻪ َأﻋْﻟَم: ﻣَﺎ اﻟْ ِﻐﻴْ َﺒ ُﺔ ؟ ﻗَﺎُﻟﻮْا ْل َﻓ َﻘﺪ ُ ْل َﻓ َﻘ ِﺪ ِإﻏْ َﺘﺒْ َﺘ ُﻪ َوِإنْ َﻟﻢْ َﻳ ُﻜﻦْ ِﻓﻴْ ِﻪ ﻣَﺎ َﺗ ُﻘﻮ ُ ْن ِﻓﻴْ ِﻪ ﻣَﺎ َﺗ ُﻘﻮ َ ِإنْ آَﺎ: ل َ ل ؟ ﻗَﺎ ُ ْﻓِﻲ أَﺧِﻲ ﻣَﺎَأ ُﻗﻮ 8
.( َﺑ َﻬ ﱠﺘ ُﻪ ) رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ
“Tahukah kalian apa ghibah itu?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul- Nya yang lebih tahu.” “Engkau membicarakan saudaramu dengan sesuatu yang mereka tidak sukai,” Jelas Rasul SAW. Dikatakan kepada beliau, “Bagaimana jika yang saya katakan benar adanya?”. Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan benar, engkau menggunjingnya, sedangkan jika yang engkau katakan tidak benar, engkau berbohong kepadanya.”(HR.Muslim) 8
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh : Darus Salam, 1998), Cet. I, h. 1132
58
Pembicaraan negatif yang tidak disenangi orang lain biasanya menyangkut tabi’at, fisik, dan keturunan dan apa-apa yang khas padanya. Sesungguhnya, ghibah adalah ambisi menghancurkan orang lain. Ia juga berambisi untuk menodai harga diri, kemuliaan, dan kehormatan seseorang, disaat orang yang dituju tidak ada. Ia juga menunjukkan sifat pengecut perilakunya, karena ghibah sama dengan menikam dari belakang. Ia juga merupakan perilaku negatif, memukul orang yang tidak berdaya. Ia karenanya adalah penghancur dan sangat sedikit orang yang selamat dari lisan penggunjing, tanpa tertusuk dan terluka. 9 Adapun batas-batas dispensasi dalam membolehkan ghibah, antara lain: a. Meminta fatwa, yakni seorang yang bertanya tentang hukum dengan menyebut kasus tertentu dengan memberi contoh. b. Menyebut keburukan seseorang yang memang tidak segan menampakkan keburukannya di depan umum. Seperti menyebutkan si A pemabuk, karena memang ia sering minum dihadapan umum dan mabuk. c. Menyampaikan keburukan seseorang kepada yang berwenang dengan tujuan mencegah terjadinya kemungkaran. d. Menyampaikan keburukan seseorang kepada siapa yang sangat membutuhkan informasi tentang yang bersangkutan, misalnya dalam konteks menerima lamarannya. e. Memperkenalkan seseorang yang tidak dapat dikenal kecuali dengan menyebutkan aib atau kekurangannya. 10 Salah satu yang ditetapkan Islam adalah bahwa orang yang mendengarkan gunjingan hukumnya sama dengan orang yang menggunjing. Karenanya, ia harus menolong saudaranya dari gunjingan dengan menolak gunjingan itu, karena sabda Nabi SAW:
ْﺳَﻠ َﻢ " َﻣﻦْ ر ﱠد ﻋﻦ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟّٰﻠ ِﻪ َ ﻲ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ِﻋ َ ﻋﻨْ ُﻪ َ ﻲ اﻟﻠّ ُﻪ َﺿ ِ ﻋﻦْ َأ ِﺑﻲْ اﻟ ﱠﺪرْدَا ِء َر َ
9
Yusuf Qardhawi, Al-Halal wa al- Haram fi al- Islam terj. Wahid Ahmadi, (Solo: Era Intermedia, 2000), Cet. I, h. 453. 10 M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah…,h 256.
59
“Siapa membela harga diri saudaranya dari gunjingan, maka Allah akan menghalangi muka orang tersebut dari api neraka di hari kiamat nanti” (HR. Turmudzi dan ia meng”hasankannya”)
2. Pendidikan Taubat Pendidikan taubat ini terdapat dalam firman-Nya yang berbunyi :
﴾١١ ׃٤٩\…﴿اﻠﺤﺠﺮات. ….dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orangorang yang zalim…(QS.Al-Hujurat: 11)
Taubat artinya penyesalan atau menyesal karena melakukan suatu kesalahan dengan jalan berjanji sepenuh hati tidak akan lagi melakukan dosa atau kesalahan yang sama dan kembali kepada Allah Azza wa Jalla. “Taubat adalah awal atau permulaan di dalam hidup seseorang yang telah memantapkan diri untuk berjalan di jalan Allah (suluk). Taubat merupakan akar, modal atau pokok pangkal bagi orang-orang yang berhasil meraih kemenangan.” 12 Allah swt berfirman :
11 12
Shalih bin Abdul Azis, Jamiut Tirmidzi,…..,h.450. Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, Terj. Purwanto, (Bandung ; Marja,2006), Cet. VI, h. 9.
60
... .﴾٨ ׃٦٦\﴿اﻠﺘﺤﺮﻴم Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,… (Q.S. At-Tahrim : 8) Taubat nashuhah adalah taubat yang bersih dari segala dosa, kekurangan dan kerusakan. Taubat nashuhah itu meliputi tiga unsur; Pertama, ia mencakup seluruh dosa, sehingga tidak ada satu dosa pun yang tertinggal. Kedua, kebulatan tekad untuk itu, sehingga tidak tersisa lagi keragu-raguan dan kebimbangan. Ketiga, memurnikannya dari berbagai hal yang bisa merusak keikhlasan taubat itu. Juga agar tetap terjaga rasa takut kepada Allah dan pengharapan terhadap balasan yang Dia sediakan.
a. b. c.
d.
e.
Taubat yang sempurna harus memenuhi lima dimensi : Menyadari kesalahan. Karena seseorang tidak mungkin bertaubat kalau dia tidak menyadari kesalahannya atau tidak merasa bersalah. Menyesali kesalahan. Sekalipun seseorang tahu bahwa dia bersalah tetapi dia tidak menyesal telah melakukannya maka belumlah dikatakan bertaubat. Memohon ampun kepada allah SWT (istighfar), dengan keyakinan atau husn azh-zhan bahwa Allah SWT akan mengampuninya. Semakin banyak dan sering seseorang mengucapkan istighfar kepada Allah SWT semakin baik. Berjanji tidak akan mengulanginya. Janji itu harus keluar dari hati nuraninya dengan sejujurnya, tidak hanya dimulut, sementara di dalam hari masih tersimpan niat untuk kembali mengerjakan dosa itu sewaktu-waktu. Menutupi kesalahan masa lalu dengan amal saleh, untuk membuktikan bahwa di benar-benar telah bertaubat. 13 Taubat yang memenuhi syarat pasti akan diterima oleh Allah.
Sesungguhnya cahaya kebaikan itu akan menghapuskan kegelapan 13
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta : Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, 1999), Cet. 1, h. 61.
61
keburukan dari permukaan hati, sebagaimana kegelapan malam tidak berdaya menahan terangnya cahaya siang. Setiap hati yang suci dan bersih pasti akan diterima, sebagaimana pakaian yang bersih pasti akan digemari oleh siapa saja. Maka supaya taubat dapat diterima, hati harus disucikan dan dibersihkan terlebih dahulu. Orang-orang yang melakukan taubat dengan sungguh-sungguh, kemudian Allah SWT menerima taubatnya maka orang tersebut diibaratkan seperti orang yang tidak berdosa. 3. Pendidikan Takwa Pendidikan takwa terdapat dalam firman-Nya:
… ﴾ ١٣ ׃٤٩\﴿اﻠﺤﺟﺮاﺖ …sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.Al-Hujurat: 13) Takwa adalah sensitifitas di dalam hati, kehalusan dalam perasaan, rasa khawatir yang terus menerus, dan selalu berhati-hati terhadap duriduri yang ada di jalan kehidupan. M.Rusli Amin mengutip perkataan Prof. DR. Hamka bahwa takwa itu jangan selalu diartikan takut, seperti yang diartikan orang-orang dahulu, sebab takut hanyalah sebagian kecil dari arti takwa. Seungguhnya, di dalam takwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakkal, ridha, sabar dan sebagainya. Memang, kadang-kadang takwa juga diartikan takut. Hal ini terjadi karena susunan ayat yang cenderung pada arti yang terbatas itu saja. Padahal takwa mengumpulkan banyak arti, termasuk juga berani. Dengan demikian, pada pokoknya takwa itu berarti: pelaksanaan iman dan amal saleh, memelihara hubungan dengan Tuhan, bukan saja karena takut, tetapi lebih dari itu, karena kesadaran diri sebagai hamba Allah. 14 14
M.Rusli Amin,Pencerahan Spiritual,(Jakarta:Al-Mawardi Prima,2002) Cet.I, h.171.
62
Adapun beberapa keuntungan orang yang bertakwa, antara lain: a.
Orang yang bertakwa akan mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Allah SWT berfirman sebagai berikut: ٠٠٠
⌧ ﴾ ١٠ ׃٤٩\﴿اﻠﺤﺟﺮاﺖ …dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat : 10) Demikianlah janji Allah kepada oang yang bertakwa, bahwa kepadanya
Allah
akan
menganugerahi
rahmat,
padahal
sesungguhnya telah berlimpah-limpah rahmat Allah dicurahkan kepada manusia. Kita dapat menjalani hidup dengan rahmat Allah yang bertebaran di sekitar kita. Allah menciptakan matahari, yang tanpa itu tidak akan berlangsung kehidupan manusia di bumi, sebab kebutuhan manusia terhadap matahari merupakan sesuatu yang sangat vital, sesuatu yang prinsipil. Diturunkannya hujan dari langit yang dengan itu tumbuhlah berbagai macam tumbuh-tumbuhan di bumi, dan itu juga untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Angin yang bertiup, udara, ikan-ikan di laut. Dipeliharanya setiap benih yang ditanam oleh petani baik di sawah yang luas, maupun dikebun-kebun, sehingga tumbuhlah berbagai macam tanaman yang bermanfaat. Semua itu diberikan secara cuma-cuma kepada manusia, karena rahmat-Nya sangat luas, karena Allah Maha Pengasih terhadap makhluk-makhluk-Nya. b. Orang Yang Bertakwa Akan Mendapatkan Kecintaan Allah. Allah berfirman :
﴾٤ ׃٩\﴿اﻠﺗﻮﺑﺔ
☺
63
“Sesungguhnya Allah menyukai bertakwa” . (Q.S. At-Taubah : 4)
orang-orang
yang
Ketika mendapatkan kecintaan dari seseorang atau dari manusia saja kita telah merasakan kebahagiaan, dan kita merasa lebih bahagia dan beruntung lagi bila yang menyukai dan mencintai kita itu adalah seorang yang istimewa, apakah suami, istri, anaanak, seorang yang kaya raya, penguasa, padahal cinta manusia itu relatif. Cinta manusia itu bersumber dari hatinya, sedangkan sifat hati itu adalah bolak balik atau tidak tetap, sehingga yang terjadi pada manusia adalah hari ini cinta, besok telah berubah menjadi benci, hari ini suka besok bisa berubah menjadi tidak suka, hari ini teman besok bisa berubah menjadi musuh.
c. Orang Yang Bertakwa Akan Diberikan Jalan Keluar Dari Kesulitan Allah SWT berfirman sebagai berikut : ٠٠٠
﴾٢ ׃٦٥\﴿اﻠﻂﻼﻖ
☯
⌧
“….barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan
mengadakan baginya jalan keluar . (QS. At-Talaq : 2) Adalah sebuah fakta bahwa perjalanan hidup di dunia ini tidak selamanya mulus sesuai dengan harapan. Banyak kesulitan yang harus dihadapi. Dari permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam kehidupan seseorang, yang tentunya setiap orang mempunyai masalah yang relatif berbeda antara seseorang dengan orang lain, ada yang sanggup di atasi sendiri, ada yang teratasi
64
dengan bantuan orang lain, adapula yang tidak teratasi sekalipun berbagai upaya telah ditempuh. Diri sendiri dan juga orang lain tetap sama sebagai manusia, yang mempunyai kelemahan dan keterbatasan. Bahkan ketika kita mampu mengatasi suatu masalah, maka sesungguhnya kemampuan tersebut juga karena pemberian Allah, karena pada dasarnya tidak ada kemampuan sekecil apapun yang dimiliki manusia, kecuali dengan pertolongan Allah. “Di samping merupakan sumber dari segala kekuatan, maka Allah SWT juga merupakan sumber dari segala kekayaan, Allah Maha Kaya, dan segala kebutuhan manusia, uang, harta, kesehatan, dan sebagainya, adalah hal-hal yang terlalu murah bagi Allah untuk diadakan”. 15
B. Aplikasi Aspek Pendidikan Islam dalam Surat al-Hujurat ayat 11-13. Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa aspek pendidikan yang terdapat dalam surat al-Hujurat ayat 11-13 meliputi aspek pendidikan akhlak; larangan merendahkan orang lain, larangan berburuk sangka, larangan ghibah (menggunjing), pendidikan taubat, dan pendidikan takwa kepada Allah SWT. Agar aspek pendidikan tersebut dapat diaplikasikan dengan baik maka diperlukan sebuah metode. Seorang pendidik harus dapat memilih dan menggunakan metode secara tepat. Adapun metode, yang dapat digunakan seperti yang telah dikemukakan meliputi metode keteladanan, metode pembiasaan, metode membari nasihat, metode motivasi dan intimidasi, dan metode persuasi. 16
15
M.Rusli Amin, Pencerahan Spiritual,(Jakarta:Al-Mawardi Prima,2002) Cet.I, h.217.
16
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam…, h. 177.
65
Pada dasarnya, metode pendidikan Islam sangat efektif dalam membina keprinadian anak didik dan memotivasi mereka sehingga aplikasi metode ini memungkinkan puluhan ribu kaum Muslimin dapat membuka hati manusia untuk menerima petunjuk Illahi dan konsep-konsep pendidikan Islam. Berdasarkan uraian di atas, berikut akan dijelaskan tentang aplikasi aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam surat al-Hujurat :11-13. 1.
Aplikasi Pendidikan Akhlak Menurut Prof. Dr. H. Zakiah Daradjat, pendidikan akhlak perlu dilakukan dengan cara: a. Menumbuhkembangkan dorongan dari dalam, yang bersumber pada iman dan takwa. Hal ini bertanda pentingnya pendidikan agama. b. Meningkatkan pengetahuan tentang akhlak al-Qur’an lewat ilmu pengetahuan, pengamalan dan latihan, agar dapat membedakan yang baik dan yang buruk. c. Meningkatkan pendidikan kemauan yang dapat mempengaruhi pikiran dan perasaan agar dapat menumbuhkan kebebasan pada manusia untuk memilih yang baik dan melaksanakannya. d. Melatih untuk melakukan yang baik dan mengajak orang lain untuk melakukan perbuatan baik secara bersama-sama tanpa paksaan. e. Membiasakan dan mengulang melaksanakan yang baik sehingga perbuatan yang baik itu menjadi keharusan moral dan perbuatan akhlak terpuji. 17 Untuk lebih jelasnya, penulis rincikan berdasarkan aspek-aspeknya masing-masing, sebagai berikut: a.
Larangan Menghina Orang Lain Larangan menghina orang lain adalah bentuk antisipasi dan kehati-hatian dari terjerumus ke dalam perbuatan sombong. Masalah ini adalah masalah yang besar dan penting yang memerlukan perhatian khusus.
17
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV. Ruhama, 1995), Cet. II, h. 11.
66
Timbulnya perbuatan menghina orang lain tidak terlepas dari adanya sifat sombong dalam diri. Artinya selalu merasa lebih tinggi dan mulia dari orang lain. Salah satu tindakan preventif dari perbuatan menghina adalah membiasakan hidup tawadhu (tidak sombong). Proses pendidikan tawadhu pada dasarnya adalah upaya penanaman nilai kerendahan hati dan untuk menjauhkan diri dari sifat sombong. H.M. Saefuddaullah dan Ahmad Basyuni memberikan wasilahwasilah sebagai terapi penyembuh sifat sombong (takabur) yaitu: 1. Mengingat akibat-akibat dan bahaya-bahaya sifat sombong. 2. Mengunjungi orang yang sedang dirundung duka, agar dapat menggerakkan hatinya untuk kembali kepada Allah SWT. Seperti menjenguk orang sakit, mengantar jenazah dan ziarah kubur. 3. Berteman dengan orang-orang yang memiliki sikap rendah hati. Seperti menghadiri majlis-majlis ta’lim yang diasuh oleh ulama yang memiliki jiwa tawadu’. 4. Senang duduk-duduk bersama dengan orang-orang lemah fakir miskin. 5. Melakukan intropeksi diri untuk mengetahui penyakit-penyakit hati yang bersemayam di dalam dirinya. 6. Merenungkan alam semesta dan nikmat yang telah diperoleh sejak yang paling kecil hingga yang sebenar-benarnya. Dan riwayat hidup orang-orang takabur, seperti Iblis, fir’aun dan Abu Jahal. 18 Terapi penyembuhan diri dari kesombongan tersebut merupakan upaya untuk menjauhkan diri dari penyakit tersebut dan berupaya menanamkan sikap kerendahan hati di dalam jiwa. Dalam upaya menanamkan sifat tawaduk dan mencegah anak didik dari sifat takabur atau sombong, maka pendidik dapat
18
M. Saefuddaulah dan Ahmad Basyuni, Akhlak, Ijtimaiyah, (Jakarta: PT. Pamator, 1998),Cet. I, H. 131.
67
menggunakan beberapa metode diantaranya, metode ceramah, metode kisah, metode ibrah dan muidzah, dan metode teladan. Metode ceramah dapat dimanfaatkan oleh pendidik untuk memberitahukan kepada anak didik, tentang akibat-akibat dan bahaya
menghina
orang
lain
(kesombongan),
dan
manfaat
kerendahan hati. Penggunaan metode ceramah tersebut diyakini dapat menumbuhkan dan menanamkan apresiasi dari penghayatan terhadap kedua sikap tersebut. 19 Sehingga dengan penghayatan tersebut anak didik selalu menjadi teringat sifat tersebut, dan menjadi pendorong untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. b.
Larangan Berburuk Sangka Di balik larangan berburuk sangka
terdapat perintah untuk
selalu positif thinking (berprasangka baik). Oleh karena itu, dalam mengaplikasikan anjuran untuk berbaik sangka, pendidik dapat menggunakan beberapa metode diantaranya metode keteladanan yaitu dengan cara memberi contoh apabila ada siswa yang tidak bisa masuk sekolah, seorang pendidik menganggap bahwa siswa tersebut sedang ada keperluan dan tidak menganggap bahwa siswa tersebut malas belajar. Metode keteladanan dapat dijadikan cara yang lebih efektif dalam menanamkan sikap berprasangka baik kepada orang lain, terlebih lagi kepada orang baik. Sebab anak didik cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala hal, sebab secara psikologis anak adalah seorang peniru yang ulung. Selanjutnya pendidik dapat mengaplikasikan aspek tersebut dengan mengajarkan anak didiknya manfaat berprasangka baik (metode nasihat) dan menegaskan bahwa berburuk sangka merupakan perbuatan dosa, serta dapat menguras energy yang luar 19
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), Cet. Ke-3, h. 135
68
biasa, akibatnya hidup menjadi tidak produktif. Metode pembiasaan juga dapat digunakan yaitu dengan cara membiasakan agar siswa selalu berprasangka baik dalam segala hal, kecuali bila ditemukan bukti kuat yang mendukung dugaan tersebut. Demikianlah
metode
keteladanan,
metode
nasihat
dan
pembiasaan yang dapat dilakukan dalam rangka menanamkan agar anak selalu berpikir positif. c.
Larangan Ghibah (Menggunjing) Bila kita teliti lebih dalam maka kita akan mendapatkan bahwa sesungguhnya dibalik larangan menggunjing terdapat perintah untuk bersikap kasih sayang dan menghormati sesama. Artinya jika terdapat rasa kasih sayang maka tidak akan terjadi seorang penghinaan terhadap orang lain. Oleh karena itu, dalam mengaplikasikan larangan tersebut pendidik dapat mempergunakan beberapa metode yaitu; metode keteladanan, metode pembiasaan, metode targhib, tarhib dan metode kisah. Proses pendidikan kasih sayang yang diajarkan pada anak didik bukan hanya merupakan sebuah tindakan preventif dari penghinaan terhadap orang lain, tetapi lebih besar dari itu. Kasih sayang yang diberika kepada makhluk yang menjadi sebab turunnya rahmat Allah SWT dan tentunya kecintaan yang besar dari makhluk tersebut. Metode keteladanan, yang dapat dijadikan cara yang lebih efektif oleh pendidik dalam menanamkan sifat kasih sayang tersebut kepada anak didiknya. Sebab “anak didik cenderung meneladani gurunya dan menjadikannya sebagai tokoh identifikasi dalam segala
69
hal, sebab secara psikologis anak adalah seorang peniru yang ulung”. 20 Selanjutnya pendidik dapat mengaplikasikan aspek dengan mengajarkan kepada anak didiknya manfaat kasih sayang serta menjelaskan bahwa menyakiti dan menghina saudaranya sesama muslim adalah dosa besar. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
☺ ☺ ☺ (۵٨ ׃٣٣\)اﻻﺤﺬاﺐ
☺
Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka Telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58) Dengan demikian diharapkan anak didik dapat mengambil pelajaran yang banyak serta dapat menggugah hatinya untuk menjalankan perintah-Nya. Karena menurut Ibrahim Amini ada dua tahapan yang harus diterapkan pada diri siswa agar dapat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya yaitu dengan memberikan penjelasan kepada anak didik tentang betapa pentingnya melaksanakan perintah agama. Misalnya mengajarkan keagungan Allah SWT, kebesaran Nabi Muhammad SAW dan kasih sayangNya yang begitu besar dengan menyebutkan tentang karunia Allah SWT yang sangat melimpah, agar kasih sayang Allah SWT selalu diingat anak didik. Dan yang kedua dengan mengdisiplinkan artinya melatih anak didik untuk mengaplikasikan nilai kasih sayang
20
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam,…h. 127.
70
tersebut
dalam
kehidupan
sehari-hari
sepermainan atau yang lebih tua darinya.
baik
kepada
teman
21
Selain itu pendidik juga dapat mendidik mereka dengan membiasakan untuk berkata yang baik kepada pendidik dan temantemannya, membiasakan untuk tidak mengejek-ejek, menghina dan tidak memanggil sesama temannya dengan panggilan yang buruk (laqob). Serta apabila ada di antara mereka yang bertengkar maka damaikanlah keduanya. Hal ini adalah tindakan antisipatif yang perlu ditanamkan dalam jiwa anak didik di samping penanaman rasa persaudaraan sesama muslim. Berdasarkan uraian di atas maka aplikasi yang dapat dilakukan
adalah
dengan
beberapa
metode
yaitu;
metode
keteladanan, metode nasihat, metode kisah dan metode tarhib. 2.
Aplikasi Pendidikan Taubat Taubat merupakan salah satu cara meraih kehagiaan dunia dan akhirat, orang yang senantiasa bertaubat maka dirinya akan semakin bersih, suci, dan diwujudkan taubatnya itu dengan melaksanakan amal-amal shaleh. Para ulama berkata bahwa bertaubat dari segala dosa hukumnya wajib. Jika kemaksiatan itu dilakukan seorang hamba kepada Allah SWT yang tidak ada kaitannya dngan hak manusia, maka taubat itu di dalamnya mempunyai syarat berikut ini: a.
Berusaha menanggalkan segala dosa, dengan cara menghadirkan niat dan keinginan kuat untuk tidak mengulanginya lagi perbuatanperbuatan dosa pada masa yang akan dating dan menyesali segala dosa yang terlanjur dilakukan.
21
Ibrahim Amini, Agar Tidak Salah Mendidik Anak, Terj. Ahmad Subandi dan Salman Fardhlullah, (Jakarta: al-Huda, 2006), Cet. I, h. 233.
71
b.
Setelah itu diikuti dengan langkah –langkah yang mendukung, yaitu membebaskan diri dari segala sesuatu ataupun sarana yang dapat mendorong kepada perbuatan dosa. Misalnya bagi seorang pezina yang akan berhenti dan kebiasaan keji tersebut, maka pertama kali yang harus ia lakkan adalah menanamkan keinginan kuat untuk tidak berzina. Lalu diikuti dengan menghindari berbagai aktivitas yang dapat menyebabkan dia berzina. Misalnya tidak lagi menonton film porno dan menjauhkan diri dari orang-orang yang memiliki kebiasaan berzina. Serta selalu mengisi waktu untuk kegiatan yang bermanfaat. 22
c.
Berusaha membiasakan diri untuk mengambil air wudhu dan menyempurkanannya, lalu mengerjakan shalat, seraya memohon ampun kepada Allah SWT. Rasulullah SAW memberikan tuntunan yang mulia ini melalui sabdanya:
ُب َذﻨْﺑا ﻔَﻴَﺘَﻮَ ﻀﱠﺄُ ﻔَﻴُﺤْﺳِﻦُاﻟطﱠﻬُﻮْرَ ﺛُمﱠ ﻴَﻘُﻮْ م ُ ِﻤَﺎ ﻤِﻦْ ﻋَﺑْﺪٍ ﻴُذْ ﻨ ُﻓَﻴُﺻَﻠﱢﻲ رَآْﻌَﺗَﻴْﻦ ﺛُمﱠ ﻴَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮِ اﷲَ ﻠِﺬَا ﻠِكَ اﻠﺬﱠﻨْﺐَ اِﻻﱠ ﻏَﻔَﺮَ اﷲُ ﻠَﻪ ﴾ِ ﴿ﺮﻮاﻩاﻠﺘﺮﻤﺬى Tiada seorang pun yang melakukan suatu dosa, kemudian ia beranjak untuk mensucikan diri, lalu shalat, kemudian memohon ampun kepada Allah SWT, melainkan Allah akan mengampuni dosanya. (HR. Turmudzi). d.
Banyak-banyak melakukan istighfar, zikir kepada Allah SWT, setiap saat dalam kondisi apa saja, serta berusaha untuk melakukan berbagai amal baik (amal shaleh). Karena Allah menegaskan bahwa amal shaleh itu dapat menghapuskan dosa yang telah lalu. Hal itu tertuang dalam al-Qur’an.
22
Muhammad Al-Utsaimin, Syarah Riyadhus Shalihin…, h. 61.
72
(١١٤ ׃١١\)هوﺪ Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam, sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Hud: 114). e.
Hendaklah orang-orang yang
bertaubat senantiasa mempraktikkan
doa-doa taubat tertentu yang diajarkan allah SWT dan diberi kekuatan untuk senantiasa berada dalam taubat yang sebenar-benarnya. Hal ini berdasrkan karena “kita perlu meniru kiat-kiat para Nabi, sahabat, dan kaum salafus shalih dalam doa kepada-Nya. Doa-doa mustajab yang mereka praktikkan itu sebagiannya dapat kita temukan dalam alQur’an.” 23 Diantara doa-doa tersebut adalah: 1. Doa Nabi Adam dan Siti Hawa
☺ (٢٣ ׃٧\)اﻻﻋﺮاﻒ Keduanya berkata: "Ya Tuhan kami, kami Telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya Pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Al-‘Araaf: 23) “Doa ini dibaca apabila kita terlanjur telah menganiaya diri sendiri atau orang lain, seperti menganiaya anak, orang tua, tetangga atau siapa saja termasuk menganiaya hewan dan tumbuhan di alam sekitar”. 24 2. Doa Nabi Yunus as.
23
Syamsyuddin Noor, Rahasia Doa-doa dalam al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka al-Mawardi, 2006), Cet. 1, h. 4. 24 Syamsyudin, Noor, Rahasia Doa-Doa…, h. 91.
73
…
☺ (٨٧ ׃٢١\)اﻻﻨﺒﻴﺎﺀ …”.tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, Sesungguhnya Aku adalah termasuk orang-orang yang zalim."(QS. al-Anbiya: 87). “Bacalah doa ini ketika anda dalam keadaan sangat sulit atau
membahayakan, juga dalam keadaan bingung dalam menemukan pemecahan problematika hidup dan masalah lainnya, mudahmudahan Allah SWT menyelamatkan Anda. Doa ini mustajab, yang berasal dari doanya Nabi Yunus as. Ketika ia hampir saja mati karena ditelan ikan besar di tengah laut”. 25 3. Doa Nabi Ibrahim as. …
☺ (٤١ ׃١٤\)اﺒرهﻴﻢ Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (QS Ibrahim: 41) Serangkaian doa Nabi Ibrahm as. yang dapat dibuktikan keberkahannya, sampai sekarang tanah Mekkah itu aman sebagai kota suci ibadah dan menjadi kiblat kaum Muslimin. Doa itu adalah sebagai pelajaran dan amalan bagi setiap umat Islam yang bertakwa kepada Allah SWT dan senantiasa mengharapkan rahmat dan ampunannya serta kebaikan bagi dirinya dan anak cucunya. 26 4. Doa Nabi Muhammad dan Kaum Mukminin.
25 26
Syamsyudin, Noor, Rahasia Doa-doa…, h. 159. Syamsyudin, Noor, Rahasia Doa-doa…, h. 128.
74
☺ ⌦
…
⌧ (٨ ׃٦٦\)اﻟﺘﺤرﻴﻢ
"Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Tahrim: 8) “Ibnu Abbas dan Imam Mujahid serta para ulama lainnya mengatakan bahwa doa ini diamalkan oleh kaum Mukminin ketika Allah SWT memadamkan cahaya orang-orang munafik, yaitu orang yang kafir yang pura-pura Islam padahal ia musuh Islam”. 27 5. Doa Nabi Musa as.
☺
…
(١٦ ׃٢٨\)اﻟﻘﺼﺺ "Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku Telah menganiaya diriku sendiri Karena itu ampunilah aku". (QS. Al-Qashash: 16) Doa tersebut dibaca oleh NAbi Musa as. setelah beliau memukul (karena khilaf) orang yang melawan kepada beliau, setelah dilerai karena perkelahian. “Musa pun merasa menyesal sekali dan bingung harus bagaimana, karena ia sebenarnya tidak memukul terlalu keras dan tidak bermaksud sampai membunuhnya. Musa kemudian berdoa memohon ampun Allah SWT dan Allah SWT kemudian mengampuninya”. 28 f.
“Jika kemaksiatan itu berkaitan dengan hak Adam (manusia) maka ditambah dengan menunaikan hak saudaranya. Jika hak itu harta dan berupa sebagainya, maka dia harus mengembalikannya; jika hak itu
27 28
Syamsyudin, Noor, Rahasia Doa-doa…, h. 224. Syamsyudin, Noor, Rahasia Doa-doa…, h. 189.
75
berupa tuhan zina dan sebagainya dia harus meminta maaf kepadanya”. 29 Dalam rangka menanamkan bebepara petunjuk di atas, maka seorang guru atau pendidik harus menggunakan beberapa metode: metode pembiasaan dan metode ceramah. Metode pembiasaan diajarkan kepada anak didik untuk selalu memohon ampun kepada Allah SWT apabila anak tersebut melakukan dosa atau maksiat. Misalnya jika anak tersebut berkata kasar, maka harus dibiasakan dengan kalimat ampunan yaitu mengucapkan istighfar sebagai pembiasaan untuk selalu melakukan taubat jika melakukan dosa atau maksiat. Dengan terbiasa banyak mengucapkan istighfar, maka akan tertanam di dalam jiwa anak jika melakukan dosa atau maksiat, harus segera diiringin dengan memohon ampun kepada Allah SWT, yaitu melakukan taubatan nashuha. Dan berusaha untuk tidak mengulangi perbuatan dosa atau maksiat yang sudah dilakukannya. Metode ceramah juga dapat diajarkan guru atau pendidik kepada anak didik dalam rangka menanamkan taubat dalam jiwa anak. Secara umum anak didik harus mengetahui bahwa perbuatan dosa dan maksiat harus selalu diikuti dengan melakukan taubat. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang berbunyi: “Bertakwalah kepada Allah dimana saja kamu berada dan ikutilah prbuatan jahatmu itu dengan perbuatan baik, dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik.” Jika tidak, maka dirinya akan menjadi orang yang durhaka kepada Allah SWT karena banyaknya dosa atau maksiat yang dikerjakannya dan apabila meninggal belum taubat, maka balasannya adalah siksa yang sangat pedih karena perbuatan dosanya. Maka dari itu guru harus menyampaikan materi yang dapat membuat anak terpacu untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya, jika ia berbuat 29
Muhammad Al-Utsaimin, Syarah Riyadhush Shalihin…, h. 61.
76
dosa atau maksiat. Misalnya guru menyatakan bahwa manusia itu tidak pernah luput dari dosa dan maksiat, maka dari itu apabila terlanjur berbuat dosa dan maksiat maka harus segera diiringi dengan melakukan taubat, yaitu mohon ampun kepada Allah SWT agar segala dosanya diampuni. Demikianlah metode ceramah dan pembiasaan yang dapat diterapkan dalam rangka menanamkan taubat pada peserta didik. 3.
Aplikasi Pendidikan Takwa Terkait dengan upaya menanamkan sikap takwa,maka seorang pendidik bisa menggunakan metode ceramah dan nasihat.Pendidik hendaknya memberikan pengertian kepada muridnya bahwa kedudukan manusia adalah sama,tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin,kulit hitam maupun putih,pintar dan bodoh.Karena semua itu merupakan tolok ukur yang sifatnya sementara.Sedangkan orang yang paling mulia adalah yang paling takwa kepada Allah SWT. Oleh karenanya, tidak perlu menyombongkan diri ketika memiliki kelebihan disbanding yang lain.Bahkan seharusnya orang yang kaya membantu yang miskin dan pintar membantu yang bodoh. Metode keteladanan pun bisa digunakan oleh pendidik dalam rangka menanamkan sikap persamaan derajat (takwa). Misalnya seorang guru tidak membedakan anak didik berdasarkan status sosialnya. Kedudukan semua murid adalah sama, artinya ketika melakukan kesalahan maka siapapun orangnya dengan tidak memandang latar belakang sosialnya ia harus mendapatkan sanksi yang seimbang atas kesalahan tersebut. Metode lain yang bisa digunakan pendidik dalam menanamkan bahwa kedudukan manusia semua manusia adalah sama kecuali takwanya adalah metode kisah. Seorang pendidik bisa menjelaskan kepada anak didiknya bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah membedakan kedudukan seseorang berdasarkan warna kulit, kedudukan maupun status sosialnya. Seperti yang diketahui bahwa Bilal adalah seorang sahabat yang berkulit
77
hitam, namun ia mendapatkan kehormatan untuk mengumandangkan azan. Padahal pada saat itu masih ada orang lain yang secara fisik lebih baik dari Bilal, hal ini menandakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah membedakan seseorang berdasarkan status sosial maupun warna kulitnya. Rasulullah SAW tidak lantas memandangnya sebagai orang yang rendah melihat kondisi warna kulit yang dimiliki Bilal r.a seperti itu. 30 Dengan demikian metode yang dapat digunakan oleh pendidik dalam upaya menanamkan sikap takwa (persamaan derajat), adalah metode ceramah, metode nasihat, metode keteladanan dan metode kisah.
30
Ahmad al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi,terj. (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 236.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa aspek-aspek pendidikan Islam yang terkandung dalam surat al-Hujurat ayat 11-13 sebagai berikut: 1. Larangan merendahkan orang lain karena kemungkinan orang lain itu lebih baik dan lebih mulia daripada kita. Hal ini menunjukkan bahwa kita harus selalu bersikap rendah hati dan menjauhi sifat kesombongan diri karena kerendahan hati sangat tinggi derajatnya di sisi Allah SWT. 2. Larangan berburuk sangka karena merupakan awal dari kejahatan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia harus selalu berprasangka baik agar hidup menjadi lebih produktif, sehingga energi tidak terkuras hanya untuk memikirkan hal-hal yang belum pasti kebenarannya. 3. Larangan menggunjing orang lain karena merupakan usaha untuk menghancurkan kehormatan dan harga diri seseorang. Mendidik manusia untuk selalu bersikap kasih sayang antar sesama agar terwujud rasa persaudaraan dan kasih sayang yang kuat. 4. Pendidikan taubat menunjukkan bahwa sebesar apapun dosa manusia masih dapat pengampunan dari Allah SWT jika manusia tersebut melakukan taubat.Mendidik manusia agar senantiasa membersihkan
77
78
jiwa mereka. Sehingga wujud dari taubat dengan beramal saleh dapat dilaksanakan dalam kehidupan. 5. Pendidikan takwa yaitu dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, juga mendidik manusia untuk saling menghormati dan menghargai orang lain dari kelebihan dan kekurangan, karena tinggi rendahnya derajat seseorang diukur dari ketakwaannya.
Adapun aplikasi aspek-aspek tersebut dalam pendidikan Islam sebagai berikut: 1. Larangan menghina dan merendahkan orang lain dapat disampaikan dengan metode ceramah,kisah,ibrah,mauidzah dan keteladanan. 2. Larangan berburuk sangka dapat disampaikan dengan metode keteladanan,nasihat dan pembiasaan. 3. Larangan
menggunjing
dapat
dilakukan
dengan
metode
keteladanan,nasihat,kisah dan tarhib 4. Pendidikan taubat dapat dilakukan dengan pembiasaan dan pemberian nasihat (ceramah). 5. Pendidikan takwa dapat dilakukan dengan metode ceramah, nasihat, keteladanan dan metode kisah. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan dapat digunakan metode-metode lain sebagai penerapannya. Karena setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, seorang pendidik dalam menyampaikan materi kepada peserta didik hendaknya menggunakan beberapa metode, sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.
B. Saran Adapun saran-saran yang dapat penulis kemukakan dalam rangka menambah wawasan
penulis
dan memberi manfaat bagi pembaca dari
kandungan QS. al-Hujurat ayat 11-13 antara lain:
79
1. Disadari dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, para pendidik agama Islam masih lebih banyak berorientasi kepada sisi pengajaran (kognitif) demi tercapainya dan terselesakannya kurikulum, sedangkan dari segi afektif dan psikomotorik masih terabaikan. Maka seharusnyalah sebagai pendidik untuk kembali memperhatikan dan menumbuhkan kembali landasan paedagogiek dengan tekad, semangat, dan tentunya dengan kerja keras guna tercapainya ketiga tujuan tersebut. 2. Seorang pendidik, khususnya orang tua sebagai pendidik pertama dalam keluarga haruslah mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang dan perhatian, serta menanamkan aspek-aspek agama Islam yang akan membentengi mereka dari perbuatan-perbuatan tercela dan sangat dilarang dalam syari’at Islam. Peran orang tua sangat penting sekali dalam pembentukan akhlak seseorang, karena sebagian besar pendidikan yang diberikan oleh orang tua di rumah itu jauh lebih banyak ketimbang pendidikan formal di sekolah yang hanya beberapa jam saja. Tentunya peranan orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga, serta pendidik pada umumnya berkewajiban menanamkan nilai-nilai pendidikan agama yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah, sebagai upaya untuk membentuk kepribadian muslim yang baik sesuai dengan yang diharapkan.
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Angket Siswa Lampiran 2 : Berita Wawancara Pembina Rohis
80
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid. II, 1991. Ahmad bin Qudamah, Minhajul Qasidin, terj, Jakarta: Pustaka al- Kautsar, Cet. I, 1997. Aly, Hery, Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. II, 1999. Amin, Rusli, M, Pencerahan Spritual, Jakarta: al-Mawardi Prima, Cet. I, 2002. Amini, Ibrahim, Agar Tidak Salah Mendidik Anak, terj, Jakarta: al-Huda, Cet. I, 2006. Ardani, Moh, Nilai-Nilai Akhlak/Budi Pekerti dalam Ibadah, Jakarta: Karya Mulia, Cet. I, 2001. Aththar, M. Jamil, Sunan Tirmidzi, Bairut: Dar Al-Fikr, Juz. III, 1994. Bigha, Dhaib, Mustafa, Mukhtashar Shahih Bukhari, Beirut: Yamamah, 1999. Darajat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 1999. Djuwaeli, Irsyad, Pembaharuan Kembali Pendidikan Islam, Jakarta: Karsa Utama Mandiri, Cet. I, 1998. Ghazali, Muhammad, Berdialog dengan al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. IV, 1999. Hude, Darwis, dkk, Cakrawala Ilmu dalam al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. Ke-II, 2002. Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anul Adhim, Beirut: Dar al-Fikri, Juz. IV, 2000. Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam, Cet. I, 1999. Imam Ghazali, Ihya Ulumuddin, terj, Bandung: Marja, Cet. VI, 2006. Imam Malik, al-Muwaththa, Beirut: Dar al-Fikri, 1994. Imam Muslim, Shahih Muslim, Riyadh: Darussalam, Cet. I, 1998. Jalal, Abdul Fatah, Azas-Azas Pendidikan Islam, Bandung: CV. Diponegoro, Cet. I, 1998.
80
81
Ma’lauf, Louis, Al-Muhid fi Al-Lughoh wa al-A’lam, Beirut: Dar Al-Masyriq, Cet. XVI, 1986. Maraghi, Ahmad, Tafsir Al-Maraghi, terj, Semarang: Toha Putra, 1993 Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma’arif, 1986. Muhammad Al-Taumi, Oman, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Mustofa, Riwayat Turunnya Ayat-Ayat Suci al-Qur’an, Semarang: CV. As-Syifa’, Cet. I, 1993. Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, terj, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. II, 1996. Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. II, 1999. _____, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: Grafindo Persada, Cet. I, 2002. Noor, Syamsuddin, Rahasia Do’a-do’a dalam al-Qur’an, Jakarta:Pustaka alMawardi, Cet. I, 2006. Poerdarminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. VII, 1984. Qardawi, Yusuf, Halal Haram dalam Islam, terj, Solo: Intermedia, Cet. IV, 2007. Qutbh, Sayyid, Tafsir Fi Zilalil Qur’an, terj, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 2004. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1994. ________, Metode Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. III, 2001. Razi, Fakhrur, Tafsir Fakhrur Razi, Beirut: Dar al-Fikri, Jilid XIV, 1985. Saefuddaulah, M, dkk, Akhlak Ijtimaiyah, Jakarta: PT: Pamator, Cet. I, 1998. Shaleh, HQ, dkk, Asbabun Nuzul, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2000. Shalih bin Abdul Azis, Jamiut Turmudzi, Riyadh: Darussalam, Cet. I, 1999. Shihab, Quraish, Muhammad, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, Cet. XIX, 1994. _____, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Volume XIII, 2003.
82
Shiqr, Ahmad, Jamiul Ahadits, Beirut: Darul Fikr, Juz. IV, 1994. Syahidin, Pendidikan Qur’ani Teori dan Aplikasi, Jakarta: CV. Mizaka Galiza, Cet. I, 1999. Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. II, 1999. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. VII, 1996. Toumy, Omar, Moh, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. I, 1979. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. III, 1999. Zaini, Syahminan, Prinsip-Prinsip Dasar Konsepsi Dasar Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1986. Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I, 1991. Zuhaili, Wahbah, Tafsir Munir, Beirut: Dar al-Fikri, Jilid. XIII, 1998.