Kepastian Hukum Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum Tunggal Dalam Pendirian Bank Syariah di Indonesia Rosyidi Hamzah, SH, MH
[email protected] Jl. Kereta Api No. 7 E Tangkerang Tengah Pekanbaru Perseroan Terbatas merupakan bentuk yang paling ideal bagi bank diduga karena kedudukan dan sifatnya yang memperlancar usaha bank. Keharusan bentuk hukum bank berupa Perseroan Terbatas diperlukan agar sebuah Bank memiliki kepastian hukum baik dalam pendirian maupun pembubarannya. Terobosan baru tersebut telah dilakukan pada bank syariah, bentuk badan hukum bank Syariah hanya mengenal bentuk badan hukum Perseroan Terbatas.
Dalam pembangunan nasional lembaga perbankan sangatlah berperan. Adapun tujuan dari pembangunan nasional itu sendiri untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut, lembaga keuangan harus berperan aktif dalam pembangunan nasional yaitu dengan meningkatkan peran dan fungsinya sebagai lembaga keuangan. Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatian-hatian. Fungsi utamanya sebagai penghimpun dan pengatur dana masyarakat dan bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu Negara. Bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank juga telah menjadi bagian
dari sistem keuangan dan sistem
pembayaran dunia. 1 Mengingat hal yang
demikian itu, maka begitu suatu bank telah memperoleh izin berdiri dan beroperasi dari otoritas moneter dari negara yang bersangkutan, bank tersebut menjadi "milik" masyarakat. Oleh karena itu, eksistensinya bukan saja hanya harus dijaga oleh para pemilik bank itu sendiri dan pengurusnya, tetapi juga oleh masyarakat. Kepentingan masyarakat untuk menjaga eksistensi suatu bank menjadi sangat penting, lebih-lebih bila diingat bahwa ambruknya suatu bank akan mempunyai akibat rantai atau domino effect, yaitu menular kepada bank-bank yang lain, yang pada gilirannya tidak mustahil dapat sangat mengganggu fungsi sistem keuangan dan sistem pembayaran dari negara yang bersangkutan. Hal ini adalah seperti yang pernah terjadi di tahun 1929-1933 ketika kurang lebih 9000 bank di Amerika Serikat, atau kurang lebih setengah dari jumlah bank yang ada pada waktu itu gulung tikar.
Keberadaan perbankan di Indonesia semakin banyak, hal itu ditandai dengan hadirnya bank-bank baru tumbuh dan berkembang, dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat pun merupakan catatan keberhasilan perbankan. Jumlah dana yang dapat dihimpun oleh suatu bank merupakan pencerminan dari meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap bank. Peranan Perbankan sangat mempengaruhi kegiatan
1
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan (Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan), (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm.1.
ekonomi suatu negara. Oleh karena itu kemajuan suatu bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian suatu bangsa.2
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. 3 Semakin banyak dana yang dihimpun berarti merupakan suatu indikasi bagi bank, bahwa bank yang bersangkutan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Bisnis perbankan merupakan bisnis kepercayaan, oleh karena itu pengelolaan yang hati-hati sangat diperlukan karena dana dari masyarakat dipercayakan kepadanya.
Secara tersurat pengaturan resolusi bank dalam Undang-Undang LPS cenderung dilakukan dengan pendekatan bank sebagai perseroan terbatas (PT), padahal Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga mengakui eksistensi bank yang berbentuk hukum koperasi dan perusahaan daerah. 4 Akibat
2
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 1 Indonesia (b). Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. UU No. 10 Tahun 1998. LN No. 182 Tahun 1998, TLN No. 3790. Pasal 1 angka 2. 3
4
Beberapa bentuk badan hukum bank adalah perseroan terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas), Koperasi (UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian) dan Perusahaan Daerah (UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah). Undang-Undang Perbankan mengatur bentuk hukum bank umum dengan bank perkreditan rakyat pada pokoknya sama. Hanya bedanya untuk bank perkreditan rakyat dapat pula bentuk hukumnya lain dari ketiga bentuk tersebut. Bentuk hukum bank umum dapat berupa: a. Perseroan terbatas; b. Koperasi; c. Perusahaan daerah. Sedangkan bentuk hukum bank perkreditan rakyat dapat berupa salah satu bentuk dibawah ini:
adanya perbedaan bentuk hukum suatu bank tentunya berbeda pula dalam hal cara pendirian, kepengurusan dan pengelolaan maupun pembubaran badan hukum bank tersebut. Sedangkan Undang-Undang LPS hanya mengatur pembubaran badan hukum bank yang berbentuk perseroan terbatas (PT). Undang-Undang
LPS
tidak
menyebutkan
secara
eksplisit
untuk
menyimpangi Undang-Undang Perseroan Terbatas (PT), Undang-Undang Koperasi, Undang-Undang Perusahaan Daerah (PD) dan Undang-Undang lain yang mengatur mengenai hal-hal umum yang berkaitan dengan bank sebagai legal entity termasuk Undang-Undang Pasar Modal dan Undang-Undang BUMN. Pengaturan mengenai pendirian dan pembubaran Perusahaan Daerah masih merujuk pada ketentuanketentuan pasal sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah begitu juga dengan pendirian dan pembubaran Koperasi masih mengacu kepada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Akibatnya
terciptalah
ketidakpastian
hukum
dalam
melaksanakan
pembubaran bank yang berbentuk badan hukum perusahaan daerah dan bank yang berbadan
hukum
koperasi.
Kepastian
hukum
sangat
dibutuhkan
untuk
memperhitungkan dan mengantisipasi risiko. Bahkan dalam suatu negara, kepastian hukum merupakan salah satu faktor yang sangat menunjang daya tahan ekonomi a. b. c. d.
Perusahaan daerah; Koperasi; Perseroan terbatas Bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah seperti lumbung desa, bank desa, badan kredit desa, bank pasar, bank pegawai, lembaga perkreditan kecamatan dan sebagainya.
suatu negara.5 Perusahaan Daerah dan Koperasi adalah badan hukum yang lahir dan diciptakan berdasarkan hukum (created by a legal process). Oleh karena itu, kehancurannya pun mesti melalui proses hukum. Seperti yang dikatakan MC Oliver and EA Marshal only be destroyed by a legal process.6 Keharusan bentuk hukum bank berupa Perseroan Terbatas diperlukan agar sebuah
Bank
memiliki
kepastian
hukum
baik
dalam
pendirian
maupun
pembubarannya. Selain itu, dengan bentuk Perseroan Terbatas Bank diharapkan lebih dinamis dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif. Di bandingkan dengan badan hukum yang lain, maka bentuk perseroan terbatas lebih mudah dalam mengumpulkan dana untuk modal usaha. Hal ini disebabkan pemilik dana (investor) menginginkan resiko dan biaya sekecil mungkin dalam melakukan investasi (riskaverse investor).7 Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar badan usaha yang berdiri dan menjalankan usaha di Indonesia berbentuk Perseroan Terbatas. Hal tersebut tidaklah mengherankan karena terdapat beberapa kelebihan dari bentuk usaha Perseroan Terbatas yang tidak dimiliki bentuk usaha lainnya, antara lain dari para pemegang saham, pembagian struktur kepengurusan dan pengawasan yang jelas, citra yang lebih profesional apabila berbentuk Perseroan Terbatas, kemudahan mendapatkan fasilitas
5
Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima,(Sidoarjo; Masmedia Buana Pustaka, 2009), hlm. 22 6 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) hlm. 543 7 Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan ,(Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2004) Hlm. 3
kredit dan lembaga perbankan dan keuangan pada umumnya sampai pada persyaratan bentuk usaha perseroan pada industri tertentu. 8 Perseroan Terbatas merupakan bentuk yang paling ideal bagi bank diduga karena kedudukan dan sifatnya yang memperlancar usaha bank. Dengan perseroan terbatas sebagai badan hukum maka bank mempunyai kekayaan sendiri dan kekayaan tersebut berawal dari pendiri yang sekaligus pemegang saham. Pendiri selaku pemodal memiliki pertimbangan ekonomi bahwa dengan menanamkan uangnya kedalam perseroan memperoleh keuntungan karena tujuan utama perseroan adalah oriented profit sehingga dengan tujuan tersebut menghendaki perseroan diurus oleh pengurus yang professional. Disamping itu pertanggungjawaban perseroan berada pada badan hukumnya dan pendiri hanya bertanggungjawab terbatas pada modal yang dimasukkan saja. Ini merupakan salah satu faktor yang mendorong mengapa bank sebagian besar berbentuk perseroan terbatas.9 Terobosan baru tersebut telah dilakukan pada bank syariah, bentuk badan hukum bank yang selama ini dikenal (berdasarkan Undang-Undang Perbankan konvensional) yaitu berupa PT, Koperasi, atau Perusahaan Daerah, dalam UndangUndang Perbankan Syariah hanya mengenal bentuk badan hukum Perseroan Terbatas (Pasal 7).
8
Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta:Permata Aksara, 2012)Hlm. 4 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis,( Jakarta;Rineka Cipta, 2009) hlm. 54 9
Dalam hal ini, badan hukum PT bank tersebut selain tunduk pada aturan dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, juga tunduk pada UU Perbankan Syariah, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 Undang-Undang PT yang menegaskan bahwa terhadap perseroan berlaku Undang-Undang Perseroan Terbatas, anggaran dasar perseroan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk peraturan perbankan. Dengan bentuk badan hukum berupa PT, diharapkan Bank Syariah dapat lebih mudah dalam memenuhi ketentuan di bidang perbankan, antara lain dalam hal penambahan modal mengingat dalam perseroan terbatas dikenal prinsip one share one vote, sehingga lebih mudah dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan badan hukum lain, misalnya koperasi yang menganut prinsip one man one vote. Selain itu, penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham juga relatif lebih gampang dibandingkan penyelenggaraan Rapat Anggota pada koperasi.
10
Mengutip
pendapat Sudikno Mertokusumo, perkembangan masyarakat menyebabkan timbulnya perubahan pandangan di dalam masyarakat dan perubahan pandangan dalam masyarakat menghendaki adanya hukum baru.11
B. Bank Syariah di Indonesia.
10
Arief R. Permana dan Anton Purba, Sekilas Ulasan Undang-Undang Perbankan Syariah, Buletin Hukum Perbankan dan Kesentralan Vol. 6 Nomor 2 (Agustus 2008): hlm. 6 11 Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta;Liberty, 2010) hlm. 6
Tidak dapat disangkal bahwa peran hukum sangat penting bagi dunia perbankan. Jika sektor hukum tidak memainkan perannya dengan baik dapat dipastikan bahwa dunia perbankan akan menjadi suatu rimba belantara yang penuh dengan binatang buas yang saling memangsa satu sama lain. Terlebih lagi munculnya banyak bank yang tidak jelas visi dan eksistensinya setelah era liberalisasi pasca deregulasi 27 oktober 1988 yang biasa dikenal dengan Fakto 88 12. Pada pertengahan tahun 2008 para wakil rakyat yang ada di DPR bersama dengan Pemerintah telah membentuk Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008
tentang Bank Syariah. Sebelum lahirnya UU Bank Syariah, peraturan perbankan yang berlaku adalah UU Nomor 7 Tahun 1992 yang diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 (disebut UU Perbankan). Pada awal dibentuknya undang-undang tersebut mengatur tentang prinsip-prinsip dasar dan aturan pokok perbankan. Bank
dalam
kedudukannya
sebagai
perusahaan
bertujuan
mencari
keuntungan. Sistem penarikan keuntungan yang diatur dalam UU Perbankan dengan menggunakan prinsip pengambilan bunga dan prinsip bagi hasil. Prinsip pengambilan bunga diikuti oleh bank konvensional, sedangkan prinsip bagi hasil diikuti oleh bank yang menganut prinsip syariah.13 Dalam sejarah perbankan dinegara kita bank dalam mencari keuntungan dengan cara menarik bunga kepada nasabahnya, kemudian keadaan berkembang bank
13
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, Hal. 131
juga dapat menjalankan usahanya dengan prinsip syariah. Dalam sebuah bank dapat menjalankan usahanya disatu pihak menganut prinsip menarik bunga (konvensional) dan dipihak lain menganut prinsip syariah (bagi hasil). Dengan dasar Undang-Undang Perbankan, sebenarnya telah cukup untuk mendirikan sebuah bank syariah karena didalam undang-undang tersebut telah mengatur tentang usaha bank dengan prinsip syariah dan peraturan pelaksananya juga telah diatur oleh Peraturan BI. Hal ini terbukti sejak awal tahun 2000 atau sebelum lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 telah ada berbagai bank menjalankan usahanya dengan prinsip syariah. Lahirnya Bank Syariah dilatarbelakangi oleh beberapa hal, yaitu masyarakat Indonesia yang mayoritas beragam Islam, dalam ajaran Islam tidak menghendaki riba, bekerja dengan sistem bagi hasil juga sudah dikenal sejak zaman dulu, dan adanya keinginan masyarakat untuk melakukan transaksi utang piutang dengan prinsip syariah Islam. Sementara ini hukum nasional kita menganut sistem terbuka, karena pada prinsipnya hukum adalah bersifat dinamis, hukum selalu berubah mengikuti perubahan masyarakat sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman. Hukum nasional merupakan sebuah wadah yang dapat menerima atau menampung setiap perkembangan hukum dari berbagai bidang, termasuk hukum perdata Islam. Dengan latar belakang tersebut menjadi bahan pemikiran bahwa untuk mendirikan lembaga perbankan syariah perlu diatur tersendiri secara khusus. Hal ini tampak dalam konsideran UU Nomor 21 Tahun 2000 yang menyebut bahwa
pengaturan mengenai perbankan syariah dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersendiri. Kemudian didalam penjelasan Umum UU Nomor 21 Tahun 2008 antara lain disebutkan bahwa salah satu bentuk penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian nasional adanya pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai Islam (syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam sistem hukum nasional. Prinsip syariah berdasarkan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut untuk diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada prinsip syariah disebut perbankan syariah. Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain dengan prinsip bagi hasil. Dengan prinsip tersebut maka bank syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi keuntungan maupun potensi resiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Itulah pokok pikiran dalam UU Bank Syariah yang mengangkat perkembangan pemikiran yang ada di dalam masyarakat untuk mengangkat nilai-nilai ekonomi Islam ke dalam sistem hukum nasional. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 maka ada dua macam peraturan perbankan, yaitu Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang
Bank Syariah. Hubungan kedua undang-undang tersebut adalah UU Perbankan sebagai peraturan umum (lex generalis) dan Undang-Undang Bank Syariah sebagai peraturan khusus (lex specialis). Dengan demikian untuk mendirikan bank syari’ah tidak lagi mendasarkan Undang-Undang Perbankan, akan tetapi mengikuti peraturan dalam Undang-Undang Bank Sayriah. Apabila terhadap hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang Bank Syariah, maka berlaku Undang-Undang Perbankan (lex generalis derogate lex specialis). Dalam Pasal 7 Undang - Undang No. 21 Tahun 2008 ditegaskan bahwa bentuk badan hukum Bank Syariah adalah Perseroan Terbatas (PT).
Dengan
demikian suatu Bank Syariah harus memenuhi segala persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 (LN Tahun 2007 No. 106) tentang Perseroan Terbatas. Dalam kaitan dengan perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah Pasal 109 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 menentukan sebagai berikut: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinisp syariah selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah. (2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas seorang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. (3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Perseroan agar sesuai dengan prinsip syariah.
Sejalan dengan ketentuan ini Pasal 32 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 menentukan: (1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum konvensional yang memiliki UUS. (2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. (3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan prinsip syariah. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (4) (TLN No. 4867) disebutkan bahwa yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia sekurang-kurangnya meliputi: a.
ruang lingkup, tugas dan fungsi dewan pengawas syariah;
b.
jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah;
c.
masa kerja;
d.
komposisi keahlian;
e.
maksimal jabatan rangkap; dan
f.
pelaporan Dewan Pengawas Syariah. Kemudian ada beberapa ketentuan khusus berkenaan dengan perbankan
syariah seperti disebutkan dalam Pasal 12 dan 13. Pasal 12 menyatakan bahwa Saham Bank Syariah hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama. Kemudian
dalam Pasal 13 menentukan Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
C.
Akibat Hukum Dari Pembubaran Bank Yang Bukan Berbadan Hukum Perseroan Terbatas yang Dibubarkan Oleh Lembaga Penajamin Simpanan (LPS). Pembubaran badan hukum Perusahaan Daerah dan Koperasi secara eksplisit
telah diatur dengan undang-undang sebagai landasan hukum yang bertujuan untuk terciptanya kepastian hukum. Pembubaran badan hukum Perusahaan Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 sedangkan pembubaran badan hukum Koperasi secara eksplisit diatur didalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992. Namun disisi lain, didalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, LPS juga memiliki wewenang untuk melakukan pembubaran badan hukum Perusahaan Daerah dan Koperasi, namun hal tersebut tidak diatur secara ekspilit, sehingga mengakibatkan saling tumpang tindihnya pengaturan mengenai pembubaran badan hukum tersebut yang berujung pada tidak adanya kepastian hukum. Dalam
mekanisme
pembubaran
badan
hukum
Perusahaan
Daerah,
pembubaran dan penunjukan likuidator ditetapkan dengan Perda, setelah mendapat pengesahan oleh instansi atasan (Presiden, Menteri Dalam Negeri atau Gubernur) sesuai ketentuan Pasal 29 Undang-Undang PD, bukan kewenangan dari pemegang
saham dalam RPS/RUPS. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) mengatur bahwa Perda merupakan peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten atau kota yang ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD dan berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah. Artinya, prosedur yang ditempuh untuk melakukan pembubaran dan pembentukan PD tidaklah sesederhana seperti mekanisme pada pembubaran PT karena tidak hanya membutuhkan kontrol dari pemegang saham PD, melainkan juga kontrol wakil rakyat di lembaga legislatif.
Lembaga penjamin simpanan (LPS) akan terkena ketentuan Pasal 178 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur bahwa barang milik daerah yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umum tidak dapat dijual, diserahkan haknya kepada pihak lain, dijadikan tanggungan, atau digadaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 152 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Barang Daerah menegaskan bahwa perubahan status hukum barang daerah berupa penghapusan barang, penjualan kendraan dinas, penjualan rumah daerah dan pelepasan hak atas tanah dan atau bangunan harus dalam bentuk Keputusan Kepala Daerah atau Keputusan Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD.14
14
Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 120
Hambatan yang akan dihadapi oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berasal dari pihak legislatif dan eksekutif di daerah berupa kemungkinan terjadinya keterlambatan proses penyusunan Perda sebagai dasar hukum dari pembubaran suatu bank yang berbadan hukum Perusahaan Daerah. Berdasarkan pengalaman Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas perbankan, alasan yang dikemukakan oleh DPRD antara lain adalah bahwa pembahasan perda mengenai pembubaran Perusahaan Daerah tidak termasuk salah satu agenda rapat DPRD pada tahun berjalan atau tidak termasuk agenda yang diprioritaskan, sehingga pemda memberikan alasan antara lain bahwa tidak tersedianya anggaran pada APBD tahun berjalan untuk penyusunan perda atau satu perda mengatur lebih dari satu bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah, sehingga menyulitkan pembuatan perda baru yang hanya mengatur pembubaran satu atau beberapa perusahaan daerah yang merupakan bagian perda yang lama.15 Dalam rangka pelaksanaan resolusi bank yang dijalankan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan dapat ditafsirkan sebagai lex specialis terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur Perseroan Terbatas, Koperasi, Perusahaan Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur hal-hal umum yang berkaitan dengan bank sebagai legal entity. 15
Berdasarkan data DPBPR BI, terdapat lebih kurang 24 buah BPR yang berbentuk PD yang tersebar di Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat yang telah dicabut izin usahanya oleh BI yang sampai saat ini belum dilakukan pembubarannya melalui Perda. Beberapa BPR tersebut telah dicabut izin usahanya oleh Bank Indonesia sejak tahun 2001. Adrian Sutedi, Op. Cit., hlm. 121
Walaupun dari sisi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) penafsiran secara luas ini membawa dampak positif bagi terselenggaranya tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), namun implikasi negatif dari penafsiran secara luas ini adalah dapat berupa terjadinya dampak politis kepada pihak legislatif dan eksekutif (DPRD maupun pemda tempat bank beroperasi), sehingga dapat terjadi semacam konflik kelembagaan dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam melakukan tindakan pemberesan terhadap harta kekayaan bank. Penerapan adagium lex specialis derogate legi generali dalam kasus ini sangat mungkin menimbulkan polemik mengingat kewenangan Pemda dan DPRD dalam membubarkan badan hukum Perusahaan Daerah telah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Perusahaan Daerah, sedangkan kemungkinan pembubaran badan hukum Perusahaan Daerah oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan hanya melakukan RDK baru pada tataran interpretasi atau penafiran hukum. Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya gugatan hukum kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bukanlah menjadi sesuatu yang mustahil. LPS merupakan salah satu lembaga negara yang menjalankan roda pemerintahan dibidang penjaminan dana nasabah yang lansung bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus selalu tunduk dan patuh pada Azas-Azas Pemerintahan Umum yang Baik dan Layak (AAUPL). Dengan adanya AAUPL akan membatasi dan menghindari Pejabat TUN melakukan
Freies Ermessen (melakukan kebijaksanaan yang jauh menyimpang dari ketentuan perundang-undangan).16 Kewenangan LPS untuk membubarkan badan hukum Bank Perusahaan Daerah dan Koperasi bertentangan dengan AAUPL yakni asas kepastian hukum dan asas tertib penyelenggaraan negara.17 Sehingga akan menjadi dasar gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang ditentukan didalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hambatan lain yang akan dihadapi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang berkaitan dengan penerapan adagium lex specialis derogate legi generali dalam kasus ini dipastikan juga akan datang dari pihak yudikatif, misalnya kemungkinan dari hakim untuk mengatakan bahwa adagium dimaksud dapat diaplikasikan sepanjang undang-undang yang mengatur sesuatu hal yang bersifat khusus yang akan menyimpangi dalil yang umum yang diatur dalam Undang-Undang yang lain menegaskan secara eksplisit pemberlakuan adagium tersebut. Dalam hal ini, apabila penafsiran secara luas tersebut diatas akan dianut, maka seharusnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan menyebutkan secara eksplisit untuk menyimpangi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
16
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta;Rajawali Pers, 2006) hlm. 252 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Korupsi dan Nepotisme menyebutkan beberapa asas umum penyelenggaraan negara, berupa Asas kepastian hukum yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. Kemudian Asas pengeyelenggaraan negara yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara. 17
tentang Perkoperasian, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan daerah dan undang-undang lain yang terkait mengenai hal-hal umum yang berkaitan dengan bank sebagai legal entity, termasuk Undang-Undang Nomor 8 Thun 1995 tentang Pasar Modal dan Undang-Undang BUMN. Hukum bank merupakan pintu masuk untuk dilakukannya pemberesan harta kekayaan bank yang akan digunakan untuk pembayaran tagihan kreditor, termasuk kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dapat dibayangkan masalah yang akan dihadapi oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) apabila dikemudian hari terdapat banyak bank yang berbentuk Perusahaan Daerah yang masuk dalam pengawasan khusus (special surveillance) BI yang tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia dicabut izin usahanya oleh BI, sedangkan kewajiban pembayaran klaim penjaminan simpanan nasabah harus segera dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Mengingat kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah kekayaan negara yang dipisahkan yang termasuk kedalam cakupan pengertian piutang negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka hambatan yang timbul dalam proses asset recovery tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara sebagai akibat dari tertundanya pemasukan sejumlah uang kepada negara yang tidak tertutup kemungkinan ditafsirkan sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dapat dikriminalisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. Hal yang sama juga terjadi apabila Lembaga Penjamin Simpanan melakukan pembubaran badan hukum Koperasi. Koperasi adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial, beranggotakan orang-orang, atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Oleh karena itu Koperasi disebut sokoguru perekonomian Indonesia. Koperasi merupakan suatu perkumpulan yang berbadan hukum dengan keanggotaan yang terbuka dan sukarela. Menjalankan usaha bersama untuk memenuhi kebutuhan di bidang ekonomi secara bersama berasama berdasarkan Undang-undang. Anggota Koperasi jumlahnya relatif besar dan mempunyai kebebasan untuk keluar masuk. Status masing-masing anggota adalah sebagai satu kesatuan dalam koperasi. Salah satu prinsip Koperasi adalah berasas hukum, yang artinya memenuhi semua prinsip-prinsip hukum dalam usaha yang berbadan hukum. Oleh karenanya, pendirian dan pembubaran badan Koperasi harus berdasarkan dengan hukum. Koperasi sebagai badan usaha berperan pula sebagai gerakan ekonomi rakyat. Karenanya, koperasi mempunyai kekhususan tersendiri dalam menjalankan kegiatan usahanya, yaitu berdasarkan prinsip koperasi yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Dengan demikian, anggota Koperasi merupakan pemilik dan sekaligus pengguna jasa Koperasi tersebut. Usaha Koperasi selain dikaitkan lansung dengan kepentingan anggota untuk
meningkatkan usaha dan kesejahteraannya, juga dapat menjalankan usaha lain termasuk dalam kegiatan perbankan sehingga Koperasi mampu berperan di segala bidang kehidupan ekonomi. Dalam hal kegiatan perbankan yang berbentuk hukum Koperasi ini pun tujuan utamanya, yaitu tetap menyejahterakan anggotanya sekaligus menyejahterakan masyarakat secara keseluruhan.18 Pembubaran badan hukum Koperasi yang dilakukan oleh LPS akan menimbulkan akibat-akibat hukum, salah satunya ialah keputusan Lembaga Penjaminan Simpanan tersebut akan digugat oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan Koperasi di Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sebab Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan tidak secara eksplisit memiliki kewenangan untuk membubarkan badan hukum Koperasi. Sehingga pada akhirnya memperlambat proses Likuidasi Bank Gagal yang berbadan hukum Koperasi. Salah satu unsur penting dalam memberikan jaminan adalah kecepatan menyelesaikan klaim nasabah atas simpanannya yang ada pada bank apabila bank dimaksud pailit atau dilikuidasi. Cepat lambatnya penyelesaian simpanan tersebut mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan. Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang efektif dapat memberikan kontributi terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian Indonesia.
18
Muhamad Djumhara, Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 2006) hlm. 188
Seluruh kewenangan yang cukup besar yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan karena fungsinya yang sangat penting dari lembaga tersebut, yaitu menjamin simpanan nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau penanganan bank-gagal. Dengan fungsi yang berat tersebut diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan dan dapat meminimumkan risiko yang membebani anggaran negara atau risiko yang menimbulkan moral hazard. Dalam jangka panjang, Undang-Undang LPS perlu disempurnakan guna memberikan landasan hukum yang lebih jelas dan lebih tegas kepada LPS khususnya dalam rangka melakukan kewenangan resolusi bank. Terkait dengan itu, rencana Amandemen Undang-Undang Perbankan dan RUU tentang Perbankan Syariah yang antara lain mengusulkan muatan mengenai keharusan bentuk hukum bank berupa Perseroan Terbatas (PT) patut didukung untuk memperoleh ketegasan mengenai tanggung jawab pemegang saham Perseroan Terbatas (PT). Perseroan Terbatas merupakan bentuk yang paling ideal bagi bank diduga karena kedudukan dan sifatnya yang memperlancar usaha bank. Dengan perseroan terbatas sebagai badan hukum maka bank mempunyai kekayaan sendiri dan kekayaan tersebut berawal dari pendiri yang sekaligus pemegang saham. Pendiri selaku pemodal memiliki pertimbangan ekonomi bahwa dengan menanamkan uangnya kedalam perseroan memperoleh keuntungan karena tujuan utama perseroan adalah oriented profit sehingga dengan tujuan tersebut menghendaki perseroan diurus oleh pengurus yang professional. Disamping itu pertanggungjawaban perseroan berada
pada badan hukumnya dan pendiri hanya bertanggungjawab terbatas pada modal yang dimasukkan saja. Ini merupakan salah satu faktor yang mendorong mengapa bank sebagian besar berbentuk perseroan terbatas.19 Lambatnya proses penguatan posisi perbankan di Indonesia salah satunya disebabkan oleh jumlah bank yang sangat berlebihan. Hal ini disebabkan oleh mudahnya pendirian bank tersebut. Dan berdasarkan seleksi alam bank-bank yang mampu bertahan adalah bank-bank yang memiliki manajemen resiko yang baik, mempraktekkan konsep GCG dan mampu bersaing dengan kekuatan asing.20 Tentunya hal ini dapat dilakukan apabila badan hukum bank tersebut juga tanggap terhadap persaingan dan hal ini hanya bisa dilakukan oleh Perseroan Terbatas. Ketidakpastian hukum akan berpengaruh pada perekonomian. Ada 3 (tiga) factor yang menjadi penyebab tidak adanya kepastian hukum di Indonesia, yaitu pertama, hirarki peraturan perundang-undangan tidak berfungsi dan masih tumpang tindihnya materi yang diatur, kedua, aparat lemah dalam menjalankan aturan, dan ketiga, penyelesaian sengketa-sengketa dibidang ekonomi tidak bisa diramalkan. Oleh karena itu, menghadapi perkembangan perekonomian yang semakin cepat, kompleks dan unpredictable, substansi hukum perbankan di Indonesia disamping harus mampu menjamin adanya kepastian hukum khususnya adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai tingkat
19 20
Hlm. 5
Gatot Supramono, Op. Cit., hlm. 54 Djoko Retnadi, Memilih Bank Yang Sehat (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006),
peraturan daerah, dan membatalkan peraturan daerah yang menghambat investasi, melakukan keberpihakan kepada rakyat miskin, reformasi peraturan perpajakan, juga harus mampu melakukan refleksivitas dengan langkah manageable, available, workable, and interwoven easily with all aspect of social life, jika hal ini tidak dilakukan maka hukum ekonomi dan perbankan semakin mengalami alinasi di masyarakat, seperti yang tengah terjadi sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adi
Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Panglima,(Sidoarjo; Masmedia Buana Pustaka, 2009)
Ekonomi
Sebagai
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan (Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan), (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). Arief R. Permana dan Anton Purba, Sekilas Ulasan Undang-Undang Perbankan Syariah, Buletin Hukum Perbankan dan Kesentralan Vol. 6 Nomor 2 (Agustus 2008). Binoto Nadapdap, Hukum Perseroan Terbatas (Jakarta:Permata Aksara, 2012) Chatamarrasjid, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan ,(Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2004) Djoko Retnadi, Memilih Bank Yang Sehat (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2006). Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis,( Jakarta;Rineka Cipta, 2009) Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada, 2005) M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009)
Muhamad Djumhara, Hukum Perbankan di Indonesia (Bandung; PT. Citra Aditya Bakti, 2006). Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta;Rajawali Pers, 2006) Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta;Liberty, 2010)