KENISCAYAAN KONFLIK DALAM KETEGANGAN DEMOKRASI LIBERAL Tutu Citra Resmi, Budiarto Danujaya Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia
[email protected]
Abstrak Konflik telah dikenal sejak manusia berinteraksi untuk menjalin sebuah komunikasi. Dalam menjalin sebuah komunikasi manusia tentu ada kalanya memiliki perbedaan pendapat, paham, maupun argumennya masing-masing. Perbedaan pendapat ini yang kerap menimbulkan konflik itu sendiri. Filsafat mengkaji banyak bidang salah satunya adalah bidang politik. Politik tidak dapat dipisahkan dengan sistem yang berlaku dalam pemerintahan. Demokrasi merupakan sebuah sistem yang telah dikenal sejak abad ke 20 begitu pula dengan liberalisme. Seiring berjalannya waktu, demokrasi dan liberalisme dihadapkan pada suatu konflik pertentangan ideologi yang akhirnya melahirkan sebuah sistem baru dalam ketatanegaraan yaitu demokrasi liberal. Demokrasi liberal mengandung paradoks dalam dirinya, dan melalui demokrasi radikal Chantal Mouffe akan dilakukan pembongkaran atas sifat paradoksnya. Necessity of Conflict in Suspense of Liberal Democracy Abstract The conflict has been known ever since human beings interact to establish a communication. In establishing a human communication would sometimes have disagreements, understanding, and argument respectively. This difference of opinion that often lead to conflict. Philosophy examines many areas one of which is politics. Politics can not be separated with the prevailing system of government. Democracy is a system that has been known since the 20th century as well as with liberalism. Frequent passage of time, democracy and liberalism are faced with a conflict that eventually led opposition ideology of a new system that is constitutional dala liberal democracy. Liberal democracy contains the paradox it in self and through radical democracy Chantal Mouffe be unloaded on the nature of the paradox. Key words: conflict, democratic, liberal, democratix paradox, theory of conflict
1.
Pendahuluan
Dalam memandang konflik kita dihadapkan pada dua hal yaitu efek dari konflik dan sifat konflik itu sendiri: destruktif atau konstruktif. Setiap Individu memiliki pandangan serta penilaian yang berbeda mengenai efek yang dihasilkan oleh konflik. Konflik merupakan suatu hal yang wajar dan normal terjadi. Dalam kewajaran konflik, terdapat dua
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013
pandangan yang saling bertolak belakang dalam menyikapi suatu konflik. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik merupakan salah satu penyebab atas resiko kekacauan yang terjadi sebagai salah satu hasil dari konflik yang bersifat negatif. Pandangan bahwa konflik merupakan suatu hal yang bersifat destruktif pun sangat wajar terjadi bahkan hingga hari ini, faktanya wacana akan hadirnya konflik selalu diiringi oleh upaya pencarian solusi yang bertujuan atas penyelesaian konflik. Orang-orang dengan pemahaman bahwa konflik merupakan suatu hal yang bernilai negatif, merusak, dan merugikan ketentraman serta membuat mereka jauh dengan cita-cita perdamaian menyeluruh menganggap bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak memiliki kebermanfaatan. Sifat destruktif konflik yang tak memiliki kebermanfaatan ini yang oleh sebagian orang yang menganggap konflik adalah suatu hal negatif yang seharusnya ditiadakan. Solusi dari pandangan atas konflik yang bersifat destruktif ini, bergeser dari kenyataan bahwa peniadaan sifat negatif konflik telah berubah menjadi peniadaan konflik. Peniadaan konflik ini dilakukan semata-mata agar mereka tidak terlibat dalam ketegangan yang membuat suatu peluang terjadinya kekerasan. Bagaimanapun juga Resiko akan kenyataan bahwa konflik telah gagal dalam pemeliharaannya akan selalu ada dan ini merupakan alasan sebagian orang untuk meninggalkan konflik tanpa mau mencoba bermain dengan resiko bahwa kegagalan dalam menjaga atau memelihara konflik dapat berakibat kerusakan. Sisi lain dari sifat konflik selain destruktif ialah sifat konstruktif konflik. Jika sebagian orang telah begitu putus asa dalam menghadapi konflik, semangat sebagian orang lainnya atas harapan dan keyakinan bahwa konflik tidak melulu bersifat negatif, ialah sisi lain konflik dalam sifat konstruktifnya. Perlu kita ketahui bahwa konflik itu memiliki sisi positifnya sendiri. Orang-orang yang masih menaruh harapannya pada sifat positif konflik merupakan faktor kuat dalam perubahan suatu masyarakat. Konflik sehat, ketika ia terjadi dalam pola tingkah laku yang terikat. Maksudnya ialah ada aturan-aturan dalam konflik yang membatasi agar ia tidak keluar sebagai sebuah kerusakan. Bahkan dalam “demokrasi dan konflik yang mengakar: sejumlah pilihan untuk negosiator” terdapat asumsi bahwa konflik yang tajam sekalipun sangat mungkin dikelola, selama ada kombinasi prosedur dan institusi yang tepat, dalam cara-cara damai yang berkelanjutan. Artinya, konflik merupakan sebuah proses panjang yang perlu dikawal, diawasi dan dijaga batasnya bersama-sama.
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013
Konflik konstruktif merupakan konflik yang hadir tanpa melalui ataupun menghasilkan kekerasan. Nilai positif dalam konflik yang konstruktif menghasilkan jalan keluar permasalahan konflik untuk mencapai perdamaian dan tidak berakhir dengan kekerasan ataupun kekacauan yang bersifat destruktif tanpa harus meninggalkan konflik itu sendiri. Konflik konstruktif sebenarnya ialah bagaimana konflik tidak perlu terselesaikan, tetapi dikelola dengan baik. Dalam konflik konstruktif, wacana mengenai penyelesaian konflik dirasa kurang pas untuk mewakili ide gagasan konlik konstruktif. Maka dari itu, perlu dipertegas bahwa dalam konflik yang bersifat konstruktif, bukan penyelesaian konflik yang dituju melainkan pengelolaan konflik. Penyelesaian konflik mengandung makna bahwa konflik akan sampai pada kata selesai dan cenderung bersifat menghilangkan konflik. Namun, dalam pengelolaan konflik, konflik itu sendiri tidak dihilangkan tetapi dikelola, dijaga batas-batas konflik. Implikasi dari penyelesaian konflik ialah sebuah pandangan negatif atas konflik yang seharusnya bisa diselesaikan, dan bisa diakhiri. Konflik hadir melalui wacana lalu dibahas oleh setiap orang kemudian mereka saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini yang berpotensi memunculkan konflik baru lainnya (dalam artian ada sesuatu yang perlu dibahas). Konflik bersifat luas baik konflik individu maupun konflik sosial kelompok yang terdapat didalam masyarakat. Sulit untuk menjelaskan konflik itu sendiri. Terkadang ketika sebagian orang mencoba menghindari konflik, justru konflik datang dan mereka mau tidak mau harus berhadapan dengan konflik yang hadir. Tetapi, sikap orang berbeda-beda dalam menghadapi konflik ketika ia hadir dan cara pandang mereka terhadap konflik pun berbeda pula. Konflik dapat hadir dimana saja dan pada siapa saja termasuk hadir dalam sebuah sistem pemerintahan ataupun politik begiru juga dalam demokrasi-liberal. Demokrasi liberal dikenal sebagai sebuah sistem pemerintahan. Demokrasi liberal awalnya merupakan wacana mendamaikan konflik yang terjadi dalam sistem demokrasi dengan penyisipan liberalisme di dalamnya. Penyisipan liberalisme dalam wacana demokrasi dilatarbelakangi atas nama keadilan dan kesetaraan bahkan mereka yang optimis dengan menyandingkan demokrasi dan liberal menyatakan bahwa demokrasi liberal merupakan akhir dari sejarah (Mouffe, 1993). Demokrasi liberal yang digerakkan dengan semangat akan keadilan dan kesetaraan dirasa ideal sebagai sebuah sistem politik namun optimisme kaum yang percaya akan liberalisme dalam demokrasi harus berbenturan dengan kritik Schmitt yang menunjukkan paradoks dalam demokrasi liberal bahwa liberalisme itu sendiri menegasi demokrasi dan
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013
sebaliknya demokrasi menegasi liberalisme (Mouffe, 2000). Seperti apa yang ingin mouffe jelaskan bahwa yang dimaksudkan oleh Smith mengenai demokrasi dan liberal itu berbeda namun seperti yang kita ketahui dari perbedaan itu sendiri justru dapat menghasilkan sebuah sistem baru yang bahkan menggunakan penggabungan dari kedua kata yang memiliki perbedaan. Hal ini dapat dikaitkan dengan permasalahan mengenai konflik. Perbedaan merupakan salah satu alasan hadirnya konflik dan tidak jarang bahwa konflik sering diidentikkan dengan kekerasan dan hal-hal negatif lainnya sehingga orang cenderung menghindarinya bahkan berusaha mati-matian membunuh konflik. Akan tetapi setidaknya perlu ada penundaan terhadap tindakan yang akan dilakukan terhadap konflik. Tidak tertutup kemungkinan bukan untuk konflik juga dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai positif. Demokrasi liberal, sebagai pembahasan utama dalam penulisan ini mengindikasikan bahwa konfliktual senantiasa di dalamnya. 2.
Metode
Metode penelitian yang akan dilakukan dalam skripsi ini adalah metode kualitatif dengan disertai analisa deskriptif kritis mengenai masalah yang akan dibahas dengan pengulasan mendalam mengenai pandangan dan pemaknaan teori yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas. Melalui deskriptif materi yang akan dibahas, analisa permasalahan yang akan diangkat, serta kritis filosofis terhadap hasil penelitian sebelum menarik kesimpulan dari penulisan ini. Penyajian pembahasan masalah didapat melalui sumber-sumber tertulis yang akan dilampirkan sebagai daftar pustaka di akhir penulisan.
3.
Hasil dan Pembahasan
Demokrasi memanglah bukan sebuah sistem baru namun permasalahan dalam demokrasi selalu menarik untuk dibahas bahkan hingga hari ini. Paradigma yang terdapat didalamnya berikut permasalahan yang dihadapinya hingga hadirnya wacana liberal dalam demokrasi yang melahirkan sebuah sistem yang dikenal dengan demokrasi liberal menjadikan demokrasi semakin kaya akan makna. Demokrasi liberal hadir ketika demokrasi klasik dirasa tidak lagi dapat terapkan dan seiring perkembagan waktu demokrasi dihadapkan pula oleh permasalahan mengenai pluralisme hingga hadirlah wacana liberal dalam demokrasi. Untuk menyatukan demokrasi yang berlandaskan kerakyatan dan liberalisme yang mengusung kemanusiaan universal tentu saja bukanlah
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013
perkara yang mudah. Seperti kita ketahui bersama bahwa liberalisme megedepankan kebebasan individu bahkan menolak campur tangan negara ataupun pengaruh dari luar diri dinvididu yang mungkin saja mendistorsi kebebasan atau keinginan murni yang berasal dalam diri tiap-tiap individu. Hal ini demi harapan terlaksananya sebuah sistem yang terbentuk secara alami dalam kehidupan sosial. Adanya wacana mengenai demokrasi liberal memberi implikasi penting untuk menyadari bahwa, dalam demokrasi modern kita berhadapan dengan bentuk masyarakat politik baru yang berasal dari dua artikulasi tradisi yang berbeda. Di satu sisi ialah tradisi liberal yang dibentuk oleh aturan hukum, pembelaan hak asasi manusia dan menghormati kebebasan individu, di sisi lain ialah tradisi demokrasi yang memiliki ide utama mengenai kesetaraan, kesamaan antara mengatur dan diatur serta kedaulatan rakyat. Meskipun tradisi demokrasi dan wacana liberal tampak saling melengkapi satu sama lain, ternyata hal ini bukan proses yang sepenuhnya sempurna, melainkan sebaliknya hal ini juga menandai bahwa ada ketegangan yang cukup sengit didalamnya. Sebenarnya baik kalangan pemikir liberal maupun demokrat umumnya sadar akan konsekuensi logis konflik akibat perpaduan kedua idealitas dari tradisi yang berbeda ini. Akan tetapi mereka selalu berusaha untuk menafsirkan aturan dengan cara yang lebih mendekati dengan tujuan mereka. Dari sudut pandang teoretis, beberapa kaum liberal seperti FA Hayek berpendapat bahwa demokrasi (adalah) pada dasarnya sarana, perangkat utilitarian untuk menjaga perdamaian internal dan kebebasan individu, berguna asalkan tidak membahayakan lembaga liberal tapi untuk dibuang ketika itu. (Mouffe, 2000:3) Maksudnya ialah sejauh demokrasi sebagai sarana untuk menjaga perdamaian dan dalam tugasnya menjamin kebebasan individu didalamnya ia akan berguna selagi dalam praktiknya tidak merugikan ataupun membahayakan lembaga yang liberal, namun jika sebaliknya demokrasi dalam praktiknya membahayakan lembaga liberal, seketika itu pula ia tidak dapat digunakan. Perlu diketahui bersama bahwa kebebasan dalam liberalisme itu sendiri dihadapkan pada permasalahan mengenai keadilan. John Rawls misalnya seorang tokoh liberal yang memiliki perhatian akan permasalahan mengenai keadilan dan melalui teori keadilannya (theory of Justice) ia pula yang memperkenalkan mengenai konsensus yang tumpang tindih (overlaping consensus). Konsep keadilan Rawls menjadi titik berangkat yang penting karena sebagai landasan dari lahirnya wacana untuk menyelipkan unsur liberal dalam sistem demokrasi yang melahirkan sebuah wacana mengenai demokrasi deliberatif yang kemudian dilanjutkan oleh Habermas. Demokrasi deliberatif Rawls dan Habermas mengusung ide mengenai nalar publik hal ini tidak dapat dipisahkan dari anggapan bahwa setiap individu sebenarnya memiliki rasa yang sama dan dapat memutuskan keputusan yang sama hanya jika ia tidak terdistorsi oleh pengaruh diluar dirinya sehingga muara demokrasi deliberatif ialah konsensus. John Rawls hadir dengan konsep rasionalitas demokrasi liberal dan hal ini yang kemudian melahirkan suatu konsep mengenai demokrasi deliberatif sebagai jawaban atas ketegangan demokrasi liberal atau wacana untuk mendamaikan konflik. John Rawls memberikan pandangan khusus terhadap demokrasi deliberatif dan meyakini bahwa hal
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013
itu merupakan suatu hal yang ideal dalam sebuah tindakan politis. Menurutnya, tiga unsur penting dalam demokrasi deliberatif yaitu ide nalar publik, kerangka kerja institusi demokratis konstitusional yang mengkhususkan penyusunan badan-badan legislatif deliberatif, dan yang ketiga adalah pengetahuan dan hasrat warga negarasecara umum untuk menerapkan nalar publik merupakan kunci dari pelaksanaan sistem politik ideal. Adanya nalar publik berarti adanya interaksi pandangan di ruang publik, dimana interaksi ini dilandasi suatu olah pikir yang murni, dengan kata lain ada partisipasi publik dalam menyampaikan aspirasi atau pendapatnya dalam penentuan kebijakan yang berlaku untuk mereka nantinya. Ini dicirikan sebagai muara dari demokrasi deliberatif ialah suatu konsensus. Melanjutkan pemikiran Rawls, Habermas berpandangan bahwa konsensus demokrasi merupakan mekanisme yang paling tepat untuk mengakomodasi keragaman yang menyebar dalam masyarakat kontemporer. Segala sesuatunya memungkinkan untuk di diskusikan hingga melahirkan keputusan-keputusan dan tentunya ini hanya dapat dicapai melalui proses debat yang yang terjadi secara damai. Dengan kata lain hal ini merupakan proses argumentasi rasional dan diskursif melalui komunikasi politik antara negara, masyarakat sipil, dan pasar. Berbicara mengenai demokrasi liberal, sudah tentu berbicara mengenai paradoks yang dikandung dlam dirinya sendiri yang oleh Schmitt misalnya dianggap sebagai limit darinya. Schmitt melalui pemikiran tentang homogenitas, logika inklusi-eksklusi, serta antagonisme mengkritik habis demokrasi liberal. Baginya demokrasi membutuhkan homogenitas, dan bila perlu menolak heterogenitas dan liberal dirasa tidak dapat disatukan dengan demokrasi. Selain itu, demokrasi liberal dianggap telah mengeliminasi antagonisme yang baginya politik itu hanya dapat dipahami melalui konteks antagonisme dan ia menegaskan bahwa antagonisme ada bukan untuk dirundingkan untuk mencapai kesepakatan seperti demokrasi deliberatif misalnya yang bermuara pada konsensus. Schmitt mengklaim bahwa liberalisme meniadakan demokrasi dan demokrasi meniadakan liberalisme, dan demokrasi parlementer, karena terdiri dalam artikulasi antara demokrasi dan liberalisme, karena itu merupakan rezim non-layak (Mouffe. 2000: 39) Dalam pemikiran Schmitt mengenai kritiknya atas demokrasi liberal yang dikutip oleh Chantal Mouffe dalam democratic paradox (2000) menggambarkan bagaimana Schmitt berusaha memperlihatkan kepada kita semua bahwa dua hal yang sangat berbeda antara demokrasi dan liberal merupakan sesuatu yang tidak tepat untuk berada pada satu jalur. Pada dasarnya Liberalisme yang mengusung kebebasan individu dan nilai-nilai universal tidak dapat disandingkan dengan demokrasi yang berisi wacana kesatuan politik yang bersifat partikular. Schmitt memperlihatkan bagaimana liberal menegasi demokrasi dan juga sebaliknya demokrasi menegasi liberal. Baginya, demokrasi dan liberal jelas-jelas kontra dan dua hal yang kontra tidak dapat berada dalam jalur yang sama. Tesis Schmitt yang paling terkenal ialah mengenai antagonisme.
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013
Antagonisme
merupakan kriteria politik yang akan selalu ada dan politik hanya dapat dipahami dalam konteks kemungkinan yang hadir atas pengelompokkan teman-dan musuh (Mouffe, 2000: 49). Schmitt mengkritik konsensus demokrasi deliberatif karena menihilkan antagonisme dengan konsensusnya. Liberalisme dalam demokrasi telah membuat netralisasi politik sehingga buta dalam membedakan yang mana kawan yang mana musuh (Adian, 2010: 20). Identitas menjadi kabur dan liberalisme dituduh sebagai penyebabnya. Padahal, bagi Schmitt antagonisme itu akan selalu ada dalam politik dan dia ada bukan untuk diikat dalam sebuah kesepakatan musyawarah yang bermuara pada konsensus. Antagonisme ada bukan untuk dirundingkan untuk mencapai kesepakatan. Dalam hal ini, kaum liberal terlalu percaya akan kesetaraan kedudukan, keharmonisan dan konsensus yang rasional antar semua pihak tersebut dalam mewujudkan demokrasi liberal sebagai sebuah sistem yang ideal. Pada kenyataannya, anggapan bahwa setiap kelompok mamiliki kedudukan yang setara tidak terbukti dalam realitas di masyarakat. Akan selalu ada perbedaan kedudukan, misalnya saja, dimana ada yang memerintah mengindikasikan disana ada yang diperintah pula. Schmitt menambahkan, suatu dunia yang melenyapkan sama sekali kemungkinan akan perang dan konflik, mungkin saja merupakan sebuah dunia yang damai. Akan tetapi, politis adalah distingsi antara kawan dan lawan. Dapat dibayangkan jika antinomi kawanlawan lenyap, politik juga raib. Sebuah dunia yang tanpa kawan-musuh merupakan sebuah dunia tanpa politik. Bagaimanapun juga distingsi kawan-musuh merupakan differensiasi yang menghasilkan struktur (Hardiman, 155). Melanjutkan kritik dari Carl Schmitt atas paradoks demokrasi liberal, Chantal Mouffe menganggap bahwa liberalisme gagal dalam memahami pembentukan identitas kolektif. Kegagalan ini disebabkan semangat konsensus yang berlebihan sehingga menihilkan antagonisme. Padahal, antagonisme adalah prasyarat pokok pembentukan identitas kolektif. Antagonisme menyiratkan betapa identitas kolektif. Namun demikian bukan berarti Mouffe menolak liberalisme dalam hal ini. Ia melanjutkan kembali pemikirannya atas paradoks yang terkandung di dalam demokrasi liberal. Ketika paradoks dalam demokrasi liberal dipandang sebagai limit oleh Shcmitt, hal yang demikian justru dianggap sesuatu yang lebih oleh Chantal Mouffe. Melalui demokrasi radikal nya Mouffe membahas mengenai posisi identitas, kritik atas schmitt, antagonisme-agonisme. Pandangannya akan demokrasi, ialah demokrasi seharusnya selalu siap akan perubahan dalam dirinya termasuk siap dengan masuknya wacana liberal. Oleh karena itu demokrasi dimaknai sebagai penanda mengambang (floating signifier), selain itu juga Mouffe menyinggung mengenai kekuasaan sebagai ruang kosong (empty signifier). Logikanya ialah karena kekuasaan kosong, maka akan selalu ada yang ingin untuk mengisinyaakan tetapi perlu diingat bahwa pengisi kekuasaan sebagai ruang kosong tidaklah mutlak dan final. Kemungkinan yang demikian hanya akan terlaksana melalui hegemoni selalu hadir atas dasar persaingan. Perlu diingat bahwa persaingan yang dimaksud oleh Mouffe bukanlah antagonisme yang dimaknai oleh Schmitt sebagai relasi hubungan antar musuh (enemy) melainkan hubungan lawan (adversary). Hubungan lawan (adversary inilah yang terdapat dalam wacana agonisme.
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013
Dimana konsep friend-enemy dalam antagonisme Schmitt dijinakkan sebagai hubungan friend-adversary dalam agonisme. Melalui relasi hubungan antar lawan (adversary) dalam agonisme ini, diharapkan setiap orang memiliki posisis yang sah sebagai lawan dalam bersaing satu sama lain dan pandangan akan demokrasi itu sendiri baiknya menjadi demokrasi agonistik dimana pluralisme dapat hidup didalamnya. Karena hanya dengan mengakui bahwa ada yang berbeda disana, diluar diri kita, dengan keunikannya, maka mari bersaing dalam kompetisi hubungan lawan (adversary) mencirikan model demokrasi agonistik telah memberi perhatian lebih pada permasalahan pluralisme dan eksklusi minoritas. Hanya melalui berdamai dengan sifat paradoks demokrasi kita dapat membayangkan bagaimana demokrasi modern menjadi sebuah politik yang memadai. Tidak seperti konsesus yang tidak dapat dicapai melalui prosedur apapun. Tetapi sebagai sebuah konfrontasi agonistik antara interpretasi dari nilai-nilai konstitutif demokrasi liberal (Mouffe, 2000: 8-9) Dapat disimpulkan bahwa paradoks konstitutif demokrasi liberal justru merupakan dinamika dari ketegangan yang terjadi pada dirinya, karena kedua idealitas berbeda yang dikandungnya justru mengakibatkan pemaknaan artikulatifnya terus terbuka. Perlu kita ketahui bahwa konsekuensi dari terus terbukanya artikulatif demokrasi modern adalah ketiadaan jaminan bahwa baku artikulasi antarkedua idealitas berbeda di dalamnya suatu ketika akan berhenti. Tak akan ada penutupan artikulatoris menyeluruh apalagi permanen, seperti halnya juag takkan ada penyingkiran yang pasti, tetap, dan final. Dalam proses artikulatoris tak berkesudahan ini, yang mungkin terjadi paling-paling stabilisasi sementara, sebagai hasil dari negosiasi antarkekuatan-kekuatan politik yang nyata. Dapat disebut juga hegemoni stabilisasi kuasa yang bersifat sementara (Mouffe, 1996: 247) Pergeseran ataupun penafsiran ulang Chantal Mouffe antara kata ‘musuh’ dan ‘lawan’ sangatlah mendasar. Hubungan antara ‘lawan’ dalam demokrasi bukanlah hubungan permusuhan melainkan persaingan. Sebuah perbedaan yang sangat mendasar dengan model demokrasi deliberatif adalah bahwa untuk pluralisme agonistik, tugas utama politik demokratis tidak untuk mengeliminasi passion atau ketertarikan masyarakat demi mencapai konsensus yang rasional tetapi untuk memobilisasi passion mereka terhadap demokratis. Terlebih lagi Mouffe menambahkan bahwa salah satu kunci dari tesis pluralisme agonistik adalah bahwa konfrontasi dalam agonistik itu justru sebenarnya dengan jelas telah menegaskan kondisi eksistensinya. Model demokrasi agonistik dirumuskan sebagai jalan keluar dari kebuntuan paradoks dari demokrasi liberal. Paradoks ini memperlihatkan watak asli demokrasi yang tidak bisa menerima unsur pluralitas sebagai kualitas inheren liberalisme. Maka, demokrasi agonistik dirumuskan sebagai wadah konflik yang terus menerus di antara semua anasiranasir ideologi politik apa pun tanpa kecuali dengan demikian pluralisme demokrasi dapat terpelihara.
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013
Seiring perkembangan zaman, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa dalam masyarakat yang lebih besar dan lebih kompleks seperti saat ini, bentuk demokrasi langsung seperti yang terdahulu tidak lagi mungkin untuk diterapkan. Maka pandangan inilah yang menjadi alasan bahwa demokrasi modern haruslah representatif. Representatif dalam artian dapat memelihara pluralisme didalamnya. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa semakin kompleks permasalahan yang terdapat didalam masyarakat semakin banyak pula relasi identitas didalamnya. Relasi berbagai identitas menyebabkan identitas selalu rentan dan berada pada jalur yang terus menerus berubah bentuknya karena medan diskursivitas yang diisi oleh berbagai diskursus yang terus-menerus terkonstruksi (Mouffe, 1993: 28). Persoalan mengenai diskursus yang terus menerus ini membawa Claude Lefort misalnya, berpendapat bahwa transformasi simbolik yang dimungkinkan dari munculnya demokrasi modern ialah ‘pembubaran penanda kepastian’. Masyarakat demokrasi modern adalah masyarakat di mana kekuasaan, hukum dan pengetahuan mengalami ketidakpastian radikal. Ini adalah konsekuensi dari "revolusi demokratik", dimana kekuasaan menjadi ‘ruang kosong’ (Mouffe, 2000: 1-2). Mouffe menambahkan bahwa demokrasi modern bukan hanya identik dengan ruang kosong kekuasaan, ia juga ingin menekankan pada perbedaan antara dua aspek: di satu sisi, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, yaitu prinsip kedaulatan rakyat, dan di sisi lain, kerangka simbolik di mana aturan demokrasi ini dilaksanakan. Pembaharuan dalam demokrasi modern, yang membuatnya menjadi benar-benar ‘modern’ adalah dengan munculnya ‘revolusi demokratik’. Sepakat dengan Mouffe mengenai konsep penanda kosong yang menyiratkan bahwa sebenarnya tidak ada satu pun penanda yang bersifat tetap. Hal ini juga yang menegaskan bahwa yang universal itu tidak ada karena kemungkinan akan perubahan selalu ada. Begitu juga dengan demokrasi sebagai floating signifier atau penanda mengambang. Biarkanlah demokrasi menjadi penanda mengambang yang senantiasa terbuka terhadap segala intervernsi penanda lain terhadap dirinya. Dengan demikian, demokrasi akan semakin memperkaya artikulatif dirinya. Intinya ialah dengan membiarkan demokrasi menjadi penanda mengambang maka demokrasi akan dengan senantiasa terbuka terhadap masuknya nilai-nilai yang ada dalam masyarakat politik yang plural. Tidak adanya identitas yang benar-benar absolut dan final mengindikasikan bahwa diskursif merupakan suatu hal yang berproses tiada henti, tidak ada totalisasi serta tidak ada universalitas utuh. Demokrasi sebagai penanda mengambang harus selalu siap dengan hadirnya identifikasi baru atas dirinya termasuk juga dengan wacana liberalisme yang masuk dalam demokrasi. Mouffe sebenarnya tidak menolak total akan wacana demokrasi liberal, melainkan menunjukkan kelemahannya agar ia senantiasa berkembang. Demokrasi butuh penyempurnaan entah bagaimana caranya. Mungkin dalam hal ini dengan menyadingkan liberal dengannya. Meskipun Schmitt mati-matian mengatakan bahwa hal itu merupakan usaha yang sia-sia karena dua ideologi demokrasi yang partikular tidak akan pernah sejalan dengan liberal yang universal, akan tetapi Mouffe rupanya melihat bahwa demokrasi itu memang benar-benar diperlukan hadir dalam kerangka simbolik yang dibawa oleh liberal dengan penekanan atas nilai kebebasan individu dan hak asasi
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013
manusia (Mouffe, 2000: 2) Pluralitas mengindikasikan adanya kompleksitas politik, dan hal ini merupakan sesuatu yang seharusnya diterima serta dimaknai dalam ruang relasional oleh karena itu pluralisme penting untuk dikembangkan. Akan tetapi, perlu diwaspadai bahwa model pluralisme ekstrim dan liberal pluralisme justru dapat menimbulkan potensi yang menghancurkan pluralisme itu sendiri. Pluralisme ekstrim menekankan kebebasan yang tanpa batas dan mengabaikan bentuk subordinasi yang terjadi di dalamnya. Begitu pula pluralisme liberal, yang berusaha menghilangkan dimensi konflik dalam pengelolaan pluralisme. Pluralisme seharusnya mengandung berbagai kepentingan yang dapat didorong untuk membentuk suatu perjuangan hegemonik ketika relasi kekuasaan bersifat subordinasi atau represif. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya pluralisme harus memiliki dimensi antagonis sehingga bersifat politik (Mouffe, 2000: 20) Demokrasi liberal itu sendiri sedari awal memang hadir dengan paradoksnya, akan tetapi bagaimana kita memandang paradoks tersebut tergantung kembali kepada diri kita masing-masing dan dengan begitu apa yang Mouffe sampaikan dengan konsep agonistiknya akan dapat berjalan. Akan tetapi perlu diketahui bahwa ketegangan konflik akan selalu ada dan Mouffe menjelaskan bahwa ketegangan antara dua komponen ini hanya bisa distabilkan sementara melalui negosiasi pragmatis antara kekuatan politik yang selalu membangun hegemoni salah satu dari mereka dan ketegangan antara kesetaraan dan kebebasan tidak dapat didamaikan dan hanya akan ada bentuk hegemonik kontingen dalam stabilisasi konflik antara keduanya. Model demokrasi agonistik menekankan kembali tentang konflik sebagai sebuah keniscayaan dalam proses kehidupan politik sekaligus ingin menekankan ketidakmungkinan untuk menemukan prosedur-prosedur penentuan keputusan yang final, rasional dan netral dikarenakan ketersebaran kekuasaan itu sendiri dan pluralitas nilai yang ada. Model ini mengkritik cara pikir demokrasi deliberatif yang bermuasa pada konsensus dengan argumen-argumen yang cenderung menafikan atau mengabaikan keniscayaan watak politis (the political), yaitu antagonisme (Crowder, 2006 dikutip oleh Hanif, 2007: 133) Dengan demikian, kewarganegaraan dilihat sebagai identitas politik bersama dari individu-individu bebas dan mandiri yang mengikatkan diri dalam kebersamaan pengakuan etikopolitik tertentu, sebagai konsekuensi identifikasi sosiopolitik atas respublika yang sama, namun tanpa mengurangi keunikan atau mengecilkan otonomi masing-masing. Kewargaan lalu lebih merupakan prinsip artikulatoris yang mengoridori dan menjadi acuan bersama, namun tetap memberi keleluasaan artikulatif bagi idealitasidealitas khusus yang diyakini masing-masing warga sebagai penghormatan kemerdekaan individual mereka (Danujaya, 2012: 223).
4. Kesimpulan Berdasarkan paparan permasalahan mengenai konflik dalam demokrasi liberal yang telah
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013
dibahas serta telaah lanjut mengenai sistem demokrasi yang berhadapan dengan wacana liberal dapat diketahui bahwa demokrasi liberal itu sendiri memiliki paradoks dalam dirinya. Paradoks dalam demokrasi liberal yang dianggap Schmitt sebagai limit justru dimaknai oleh Chantal Mouffe sebagai sesuatu yang memperkaya artikulatif dirinya. Permasalahan ini membawa kita dapa satu titik pertanyaan tentang bagaimana posisi konflik dalam demokrasi liberal atau lebih sederhananya pertanyaan seputar sikap kita dalam memandang konflik. Demokrasi liberal sebagai sebuah sistem pada dasarnya memiliki tujuan yang baik, Setelah dilakukan analisis oleh penulis melalui demokrasi itu sendiri, waca liberal yang hadir, konsen Rawls dan Habermas akan penyatuan demokrasi liberal hingga wacana demokrasi deliberatif, berikut dengan kritik Schmitt yang memandang paradoks hingga meminjam pemikiran Chantal Mouffe melalui demokrasi radikalnya untuk menelaah demokrasi liberal lebih lanjut maka dapat disimpulkan bahwa: Konflik dalam Demokrasi Liberal Tidak Dapat Selesai dan Final Konflik dalam Demokrasi Liberal tidak dapat selesai dan final karena: 1 Konflik mencirikan demokrasi liberal hidup dan berkembang 2 Pada kenyataannya hingga hari ini, konflik terus terjadi bahkan keberadaannya tidak dapat dihilangkan 3 Hanya dengan menerima konflik, dan mengelolanya agar tidak menjadi ganas sesungguhnya demokrasi liberal dapat terus berkembang 4 Paradoks yang bersifat konfliktual dalam demokrasi liberal memperkaya artikulatifnya. 5 Dengan memahami paradoks dalam demokrasi liberal berarti kita tahu bahwa ada akan selalu ada perbedaan yang memang menjadi dasar bagi terciptanya sebuah pluralisme. Jadi, permasalahan pandangan mengenai konflik merupakan hal yang baik bagi konflik itu sendiri. Keberadaan konflik mengindikasikan bahwa perbedaan justru hidup didalamnya dan konflik juga mencirikan bahwa adanya sesuatu yang diperjuangkan, disana, pada arena silang pendapat yang berbeda dan perjuangan untuk menyuarakan pendapatnya ini yang seharusnya kita hormati bersama dan kita terima sebagai keunikan yang berbeda antar manusia. Dengan demikian, dapat di sederhanakan bahwa seharusnya konsen kita pada konflik ialah bukan berarti perkara bagaimana mendamaikan konflik akan tetapi perkara bagaimana kita berdamai dengan konfli itu sendiri. Dengan demikian kita dapat dengan jelas mengakui bahwa konflik itu niscaya dalam ketegangan demokrasi liberal.
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013
Sebenarnya, dalam pandangan mengenai yang disensus maupun konsensus dalam demokrasi baik pandangan Rawls maupun Habermas keduanya telah sama-sama memberi kontribusi atas solusi tindakan atas konflik yang terjadi. Atau contoh lain dalam perbedaan pendapat memandang konflik misalnya saja Mouffe yang menilai Marx terlalu menyederhanakan permasalahan hanya sebatas perjuangngan kelas bukanlah yang utama. Serta diluar konteks kelas-kelas marx, ia telah menunjukan bahwasanya konflik yang terjadi mengindikasikan adanya sesuatu yang perlu dikoreksi dan untuk itu patut untuk diperjuangkan. Adapun konflik tetap memiliki resiko yang sangat besar untuk lahirnya kekerasan ataupun kekacauan yang disebabkan konflik itu sendiri namun mereka tidak ingin membuang konflik sepenuhnya. Tanpa konflik, tidak akan ada perubahan, perubahan dirasa perlu bukan semata-mata ingin menunjukan ke eksistensian dari seseorang hingga akhirnya ia muncul dalam arena konflik tetapi perubahan dirasa perlu hadir melalui konflik karena ada yang tidak beres disana, baik dalam aturan, politik, ataupun tata cara yang diberlakukan. Kita dapat melihat adanya konflik sebagai indikator penunjuk bahwa disana ada yang salah. Untuk itu perubahan dirasa perlu, salah satunya ialah melalui konflik. Intinya ialah bagaimana semestinya memperlakukan konflik yang pada dasarnya bersifat niscaya dalam segala ketegangan yang ada yang lahir dari perbedaan-perbedaan. Namun perlu diingat bahwa perbedaan itu sendiri tidak perlu menempuh upaya untuk menjadi sama. Ini yang diangkat oleh teori konflik, bagaimana konflik itu sebenarnya tidak perlu diselesaikan namun dikelola.
DAFTAR REFERENSI Baechler, Jean. 1995. Democracy an Analytical Survey. Demokrasi Sebuah Tinjauan Analitis. Terj: Hidayat, Bern. Yogyakarta: Kanisius. Danujaya, Budiarto. 2012. Demokrasi Disensus: Politik dalam Paradoks. Jakarta: Kompas. Mouffe, Chantal. 2000. The Democratic Paradox. London: Verso. Mouffe, Chantal. 1993. The Return of The Political. London: Verso. Laclau, Ernesto. Mouffe, Chantal. 1994. Hegemony and Socialist Strategy. Towards A Radical Democratics Politics. London: Verso. Adian, Donny Gahral. 2010. Demokrasi Substansial: Risalah Kebangkrutan Liberalisme. Depok: Koekoesan.
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013
Fukuyama, Francis. 2004. The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Terj: M.H. Amrullah. Yogyakarta: Qalam. Rawls, John. 1999. A theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press. Hardiman, Francisco Budi. 2007. Filsafat Fragmentaris. Yogyakarta: Kanisius. Schmitt, Carl. 1976. The Concept of The Political. New Jersey: Rutgers University Press.. Hanif, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 1410-4946 Volume 1.1, Nomor 1, Juli2007: 129.
Keniscayaan Konflik..., Tutu Citra Resmi, FIB UI, 2013